Ceritasilat Novel Online

Dragon Keeper 5

Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson Bagian 5


sehingga Ping tak perlu membicarakan masalah tersebut lebih lanjut.
"Ah, Penasihat Agung," Kaisar menyapa dengan ceria. "Kebetulan sekali aku ingin
bertemu denganmu. Aku akan mengeluarkan keputusan resmi. Dua malah. Pertama,
Hutan Harimau akan kujadikan taman untuk binatang. Dilarang berburu di sana.
Selain itu, warna resmi kekaisaran mulai saat ini adalah kuning. Harap atur
pembuatan jubah baru, dan semua istana di kekaisaran ini atapnya harus berwarna
kuning." Penasihat Tian sama sekali tidak kelihatan senang mendengar pengumuman Kaisar
ini. "Barangkali Yang Mulia ingin mendengar beberapa saran mengenai kedua hal itu,"
sahutnya. "Tidak, keputusanku sudah bulat," Liu Che berkata ceria. "Sekarang, ada perlu
apa kau kemari?" "Saya datang untuk memberitahukan bahwa rom bongan pertama para cendekiawan
sudah tiba." Penasihat Agung tampak sangat kesal karena dia belum tahu, kenapa
Kaisar memanggil para cendekiawan itu. "Mereka menunggu di Kamar Awan
Bertebaran." "Ping, ayo ikut aku menemui para cendekiawan itu," Liu Che mengajak. "Aku ingin
mereka melihatku ber sama nagaku."
Sejauh ini Ping begitu menikmati semua ini, sampaisampai dia lupa pada naga yang
masih terikat di ujung tali yang dipegangnya. Suara gemuruh kesal Danzi semakin
keras. "Apakah dia lapar?" tanya Kaisar.
Mereka melangkah ke arah Kamar Awan Bertebaran. Tiba-tiba perut Ping menjadi
kram. Perasaan hangat dan damai yang tadi memenuhi dirinya seketika membeku. Ada
seseorang yang dikenalnya di kamar itu, tapi dia tidak tahu siapa orang itu.
Bukan Diao, dia yakin itu. Barangkali si necromancer. Tentunya tak mungkin Liu
Che mengundang orang itu.
Para pengawal membuka pintu. Ping dan sang naga ikut masuk di belakang Kaisar.
Sepuluh tambah dua lakilaki berwajah serius sudah menunggu. Para cendekiawan
terpana menatap sang naga. Liu Che tampak senang bahwa dia berhasil membuat para
cen dekiawan ini terkesan. Ping mengamati wajah mereka. Hampir semuanya sudah
sangat tua, dengan jenggot kelabu panjang. Hanya ada satu orang yang lebih muda.
Senyum lega merekah di wajah Ping ketika dia menyadari siapa orang itu. Ternyata
Wang Cao. Baru saja dia hendak bergegas menyalami Wang Cao, suara gemuruh sang
naga berubah menjadi suara gong bernada panik.
"Ping mesti pura-pura tidak kenal," suara sang naga berkata dalam benaknya.
Wang Cao menatap naga itu dengan penuh minat, seperti baru pertama kali
melihatnya. Dia menatap Ping sekilas tanpa menunjukkan tandatanda mengenali
ketika dia berlutut di hadapan Kaisar bersama para cendekiawan lainnya.
"Aku harus menyambut tamuku," Kaisar berkata
kepada Ping. Liu Che menghampiri para cendekiawan. Ping merasa Danzi menarik-narik tali
pengikatnya. "Kembali ke kandang," katanya.
Ping menuntun naga itu kembali ke kandang lalu melepaskan ikatan di lehernya.
Dengan rasa bersalah ditatapnya sang naga; dia menyadari Danzi tidak menikmati
acara jalan-jalan di Taman Keselarasan Tersembunyi, tidak seperti dirinya.
"Bagaimana Wang Cao bisa tahu kita ada di sini?" Ping bertanya.
Sang naga menggelengkan kepalanya yang besar. "Dia tidak tahu. Wang Cao tak
punya mata batin." "Jadi, dia di sini hanya karena kebetulan?"
"Langit menebarkan jalanya ke mana-mana. Meski lubangnya tidak halus, tak ada
yang lolos ke luar." Seperti biasa, kata-kata bijak sang naga tidak dipahami
Ping. Ping meninggalkannya di kandang. Dia butuh berpikir. Dia harus mencari jalan
untuk melarikan diri. Maka dia melangkah balik mendaki lereng bukit, menuju
Taman Keselarasan Tersembunyi.
Sambil duduk di Paviliun Mengamati Kuncup Magnolia Bermekaran, dia menyadari
bahwa dia tidak perlu pergi ke Samudra untuk bisa hidup seperti putri raja. Dia
membayangkan kehidupan di tempat indah ini. Bisa jalan-jalan di seputar tempat
ini setiap hari, memandangi pepohonan dan bunga berganti warna seiring
perjalanan musim, mendengarkan kicau burung dan celotehan monyet di
kejauhan, barangkali sekali-sekali pergi ke Hutan Harimau dan menangkap sekilas
sosok kuning bergaris-garis hitam itu di antara pepohonan. Ping memain-mainkan
stempel batu zamrud yang tergantung di pinggangnya. Kalau mau, dia bisa saja
memilih kehidupan semacam itu. Dia bisa makan burung hantu panggang dan buah
persik. Liu Che akan jalan-jalan bersamanya setiap kali Kaisar itu mengunjungi
Pondok Ming Yang, meminta saran mengenai urusan kekaisaran. Orang paling penting
di kekaisaran ini akan menjadi sahabatnya. Kalau dia kabur bersama sang naga,
dia akan menjadi buronan lagi. Kaisar tidak akan lagi menjadi sahabatnya.
Seekor tupai melompat turun dari pohon di dekatnya. Ekornya yang lebat berkedutkedut takut, sepasang matanya yang kecil dan cerah itu melirik ke sekeliling,
mencari-cari apakah ada bahaya. Ping duduk begitu diam, hingga tupai itu tidak
memerhatikannya. Ketika Ping berdiri, binatang itu melompat kaget ke atas pohon
dan lenyap seketika. Kehidupan semacam ini tak mungkin bagi Ping. Dia harus
mendampingi sang naga ke Samudra.
Naga itu masih meringkuk sedih di kandangnya.
"Mesti memikirkan cara kabur," kata sang naga,
"Aku sudah punya cara," sahut Ping. Enam burung layang-layang panggang
dihidangkan untuk sang naga, tapi makanan itu tidak disentuhnya. Bahkan Hua pun
tidak kelihatan berminat pada makanannya.
"Kita harus pergi malam ini," kata Ping.
"Bagus," sahut sang naga.
"Kita akan melintasi Hutan Harimau," Ping meneruskan.
"Takkan ada yang berani mencari kita di sana."
"Selamat malam, Yang Mulia," Ping berkata sembari berlutut dan membungkukkan
kepala hingga ke lantai, ketika Kaisar memasuki bangsal makan.
Ping bukan satu-satunya tamu Liu Che dalam jamuan makan malam itu. Para
cendekiawan dan tamu lainnya juga hadir, semuanya berlutut dengan dahi menyentuh
lantai. Liu Che tersenyum bahagia. "Hari ini banyak membuahkan hasil, Ping," katanya
seraya melambai menyuruh Ping duduk di sampingnya.
Para cendekiawan mengambil tempat masing-masing pada jarak yang sepantasnya dari
Kaisar. Ping duduk di samping Kaisar, dan menyadari betul bahwa Wang Cao
mengawasinya. "Aku sudah banyak belajar dari para cendekiawan ini," Liu Che melanjutkan
ucapannya. Para pelayan mulai membawa masuk makanan.
"Mereka tahu banyak sekali tentang cara membuat ramuan untuk awet muda. Tahukah
kau bahwa salah satu ahli alkimia ini umurnya sudah lebih dari seratus tahun?"
Dia menunjuk lakilaki yang kelihatannya seperti baru berumur enam kali sepuluh.
Kaldu burung la yang-layang yang dihidangkan di hadapan Ping
harum sekali, tapi Ping hanya sanggup makan bebe rapa sendok. Perutnya bergolak
cemas. Kaisar makan sambil bercakap-cakap, menceritakan berbagai peristiwa hari
itu kepada Ping. "Menurut mereka, untuk membuat ramuan awet muda hanya dibutuhkan sedikit
perubahan." Semakin banyak hidangan dibawa masuk burung puyuh panggang, ikan karper cincang,
telur burung bangau. Ping hanya makan masing-masing hidangan sesendok.
"Mereka akan mulai mengerjakan ramuan baru setelah kembali ke Chang'an. Aku
sudah menyiapkan istana kecil untuk mereka gunakan. Sementara itu, aku harus
makan buah persik dan telur burung bangau, dan menelan sepotong cinnabar setiap
hari. Pernahkah kau melihat cinnabar, Ping"1
Ping menggeleng, meski sebenarnya dia sudah pernah melihat cinnabar dalam
campuran serbuk ledak Wang Cao.
"Tunjukkan sedikit cinnabar pada Ping," Kaisar memerintahkan para cendekiawan.
Mereka semua menatap Ping dengan curiga.
"Tidak apa-apa, saudara-saudara," kata Liu Che seraya mengambil buah plum kering
serta kenari air. "Tak perlu takut pada Ping. Wang Cao, ambil cinnabar, supaya
aku bisa menunjukkan padanya."
Wang Cao membungkuk kepada Kaisar dan keluar dari bangsal perjamuan. Beberapa
saat kemudian, dia kembali dengan membawa sebuah kantong dari kulit. Dia
membungkuk di samping meja Ping. Disingkirkannya piala anggur Ping dan
dikeluarkannya cinnabar itu, yang terbuat dari kristal-kristal merah gelap.
"Indah sekali," kata Ping, yang tidak berani menatap sang tabib.
"Ping adalah Pengurus Naga Kaisar," Liu Che menjelaskan.
Wang Cao menatap sekilas dengan tajam sambil membungkuk ke arah Ping.
"Para cendekiawan ini sangat berminat kepada nagaku," Kaisar meneruskan. "Kata
mereka, dia akan berguna. Benarkah itu?"
"Benar, Yang Mulia," sahut Wang Cao. "Sisik naga adalah bahan penting dalam
membuat ramuan." "Ping akan ambilkan beberapa. Bukankah begitu, Ping?"
"Tentu, Yang Mulia," jawab Ping, meski dia tak yakin Danzi bersedia
memberikannya. "Mungkin perlu juga memeriksa sifat darah naga itu, Yang Mulia," kata
cendekiawan lainnya. Ping mengangguk pada cendekiawan itu, meski dia sama sekali tidak bakal meminta
sang naga untuk melukai dirinya sendiri demi mengambil darahnya.
Kaisar memberitahukan semua rencananya pada Ping. Dia hendak mengirim penjelajah
ke barat, untuk mencari Pegunungan Kunlun serta buah kehidupan.
Ping menghabiskan sisa anggurnya. Kini, setelah memutuskan bahwa sudah waktunya
kabur, dia ingin menuntaskan rencananya itu sesegera mungkin. Tapi dia tak bisa
meninggalkan bangsal perjamuan sebelum Kaisar beranjak dari sana. Dia berusaha menahan kuap.
Ketika Liu Che akhirnya keluar ruangan, Ping kembali ke kamarnya. Seprai sutra
dan ranjang yang hangat itu kelihatan begitu menggodanya. Ping menguap. Kenapa
dia merasa sangat lelah, padahal ada tugas sangat penting yang harus
dilaksanakan" Dilepasnya gaun sutra biru yang telah dia kenakan selama dua hari
belakangan ini, dan dia letakkan dengan rapi di tempat tidur. Kemudian dia
mengenakan gaun sederhana miliknya sendiri (yang telah dikembalikan pa danya
dalam keadaan bersih dan wangi) lalu dia ambil keranjangnya. Untuk terakhir kali
dia menatap gorden sutra dan lukisan di dinding yang hanya kelihatan samar-sama
dalam cahaya bulan, lalu keluar dari kamar yang indah itu.
Ada tiga pengawal kekaisaran di halaman. Ping menyelinap tanpa ketahuan. Dia
melintasi kebun menuju ke kandang. Itu bukan rute yang paling dekat, tapi dia
ingin melihat taman itu sekali lagi. Taman itu bermandikan cahaya bulan.
Dedaunan tampak seperti diperciki cat warna perak. Setiap kolam dan anak sungai
memantulkan rembulan yang bergerak di permukaan airnya. Hanya suara-suara pelan
malam siulan seekor burung malam, kepakan sayap kelelawar, gemeresik suara
binatang kecil yang mengganggu kesenyapan itu.
Cahaya bulan tidak mencapai kandang itu. Ping menyesal kenapa tidak membawa
lampu. Perlahan-lahan dia melangkah ke arah kandang, mencari-cari jalan
sepanjang dinding-dinding kayu.
Dia hanya bisa melihat naga itu samar-samar dalam kegelapan. Danzi tidak
sendirian. Ada Wang Cao bersamanya. Mereka duduk berdekatan. Sang tabib
berbisik. Sang naga memperdengarkan bunyi berdenting senang seperti helai-helai
logam tipis yang bergoyang ditiup angin sejuk. Sudah berhari-hari Ping tidak
mendengarnya memperdengarkan suara seperti itu. Ketika melihat Ping masuk,
mereka berhenti meng obrol.
"Ping," kata Wang Cao. "Siapa mengira kita akan bertemu lagi!"
Dia kedengaran senang melihat Ping, tapi wajahnya tetap tampak keras.
Ping tersenyum. "Senang melihatmu lagi, Wang Cao."
Tabib itu memegang sesuatu di pangkuannya. Ping melihat lebih dekat. Senyumnya
memudar. Yang ada di pangkuan Wang Cao itu batu naga. "Kulihat kau telah
mengurus batu naga dengan lebih baik," kata Wang Cao.
"Kami akan pergi malam ini," kata Ping. Entah ke napa mulutnya terasa susah
sekali mengeluarkan kata-kata itu.
"Danzi sudah mengatakan."
Ping mengulurkan tangan dan mengambil batu naga itu dari Wang Cao. Dilihatnya
tabib itu membawa tas kulit di bahunya. Ping merasakan permukaan sejuk batu itu
di bawah jemarinya. Gelombang rasa senang merambati lengannya, hingga ke
keseluruhan tubuhnya. Pada saat yang sama, bulan muncul dari balik awan dan
menyorotkan sejalur cahaya pucat pada batu itu, Warna ungunya begitu pekat dan mencolok, guratan
putih susunya hanya terlihat samara dalam cahaya remang-remang. Ping menaruh
batu itu ke dalam keranjang. Keranjang itu hampir-hampir tidak muat. Ping merasa
pening. "Apa Ping yakin ingin pergi?" tanya sang naga.
Ping menyandang keranjang itu di bahunya dan merasakan batu itu bersandar pada
pinggulnya. "Aku yakin," katanya.
"Kaisar akan marah."
"Aku tahu. Liu Che akan memberlakukan kembali keputusan yang menyatakan aku
mesti dipancung," Ping berkata sedih. "Mau bagaimana lagi?"
Ping melepaskan tali di seputar leher naga itu. Kemudian dia memastikan Hua
nyaman ber ada di balik salah satu sisik Danzi yang tumbuh terbalik.
"Danzi," katanya. "Aku ingin minta bantuanmu."
Dibelainya bagian yang lunak di bawah dagu naga itu.
"Para cendekiawan Liu Che menginginkan sisik naga untuk membuat ramuan awet muda
untuk Kai sar," katanya. "Bersediakah kau mengizinkan aku mengambil satu saja
sisikmu untuk mereka?"
Sekonyong-konyong naga itu berdiri pada kaki belakangnya. Ping mundur dengan
kaget. Kemudian Danzi mulai memeriksa sisik-sisik di perutnya dengan kaki
depannya. "Sisik di sebelah sini lebih gampang diambil," katanya. "Tumbuh lebih cepat."
Ping mengamati naga itu memilih salah satu
sisik. Dia teringat ucapan Danzi dulu, bahwa beberapa sisiknya bisa digunakan
untuk kebaikan, beberapa lainnya untuk kejahatan.
"Pastikan kau memilih yang untuk kebaikan," katanya.
Ping berjengit ketika sang naga mencabut sisiknya. Kelihatannya sakit sekali.
Danzi mencabut satu lagi, dan satu lagi. Lalu diberikannya ketiga sisik itu pada
Ping. "Bila aku bisa menulis, aku akan mening galkan pesan untuk Kaisar," kata Ping.
"Bisakah kau memastikan ketiga sisik ini sampai padanya, Wang Cao?"
Sang tabib mengambil sisik-sisik itu dan mengangguk.
Danzi masih terus mencari-cari di antara sisik-sisiknya. Dia mencabut satu sisik
lagi. "Satu ini buat Ping," katanya seraya mengulurkan sisik itu. "Suatu hari nanti
mungkin berguna." Ping tak membayangkan dia akan keku rangan sisik naga saat dia
membutuhkan, dengan adanya naga raksasa ini di sampingnya. Namun diambilnya juga
sisik itu. Bentuknya seperti kipas kecil dan pas sekali di telapak tangannya.
Rasanya keras seperti kuku dan kasar kalau disentuh. Sisik-sisik itu hijau, tapi
warnanya berkesan aneh, membuat Ping berpikir bahwa kalau diangkat ke cahaya
terang, sisik-sisik itu seperti transparan. Ada setitik darah di tempat sisik
itu dicabut dari daging sang naga,
Ping menoleh kepada Wang Cao.
"Aku tak akan bertemu lagi denganmu," katanya. Setidaknya itulah yang coba dia
katakan, namun kata-katanya terdengar seperti diseret dan tak bisa dipahami.
Dia maju selangkah, tapi kehilangan keseimbangan. Dia mengulurkan tangan untuk
menahan badannya, tapi kakinya lemas dan ambruk sebelum tangannya sampai ke
tembok. Kandang serasa memudar. Dia melihat ekspresi serius di wajah Wang Cao
berubah. Semula dikiranya itu akibat pengaruh cahaya bulan, tapi tidak. Tabib
itu tampak tersenyum. Pandangan Ping menjadi buram.
Ping menunggu matanya bisa fokus kembali. Perlu beberapa saat untuk itu. Lalu
dia bangkit dan berdiri goyah. Dia tak perlu mencari batu naga itu. Dia sudah
tahu batu itu lenyap. Galur-galur cahaya bulan yang pucat menyelinap menembus
batang bambu yang menjadi tembok kandang. Kandang itu kosong. Sang naga juga
sudah pergi. Suara melengking memecahkan kesenyapan malam. Jerit kesakitan dan pengkhianatan.
Jeritan menyayat hati yang membuat siapa pun yang mendengarnya menjadi putus
asa. Ping merangkak. Sesuatu yang kecil dan berbulu berlari cepat ke arahnya dan
menyembunyikan diri di dalam lipatan gaunnya. Tapi itu pun tak membuatnya lebih
tenang. Para pengawal istana muncul di belakangnya, mengarahkan lampu kepadanya,
tapi terlalu takut untuk mendekat. Wajah mereka merefleksikan kepedihan dalam jeritan tadi.
Jeritan itu masih terus dan terus terdengar. Jeritan yang akan menguras habis
seluruh kebahagiaan di dunia. Ping serasa tak mengenali tubuhnya sendiri yang
meringkuk di dalam jerami. Yang ada di kepalanya hanyalah jeritan itu. Jeritan


Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itulah keseluruhan dirinya saat ini. Dan sampai nanti.
Para pengawal membuka jalan, dan sebuah sosok kecil melangkah menghampiri dalam
balutan pakaian tidur putih. Ping hanya samar-samar menyadari gerakan itu.
Rasanya semuanya terjadi di tempat lain, jauh dari tempat dia berada saat ini.
Kemudian sosok dalam pakaian tidur putih itu meraih kedua lengan Ping dan
mengguncangnya. "Ping," katanya.
Jeritan itu berhenti dan Ping bersandar pada bahu sang Kaisar, dan menangis.
21 Setengah Jalan Ke Surga Ping sudah kembali berada di tempat tidur hangat itu, di antara seprai dan
selimut sutra yang halus. Dia meminum ramuan panas dari cangkir tanah liat
berwarna biru. Minuman itu dibuat oleh tabib pribadi Kaisar. Kaisar berdiri di
ujung tempat tidur, dikelilingi pengawal, menteri, dan para pelayan. Meski
Kaisar menatap Ping dengan wajah cemas, orang lainnya memandangi gadis yang tadi
menjerit nyaring itu dengan wajah ketakutan. Ping berharap bisa menganggap apa
yang terjadi tadi sebagai mimpi buruk, tapi penyangkalan kecil itu pun tak
dimungkinkan. Ping merasa seperti ada orang yang telah merogoh jantungnya dan meremasnya.
"Naga itu sudah pergi," katanya. Kaisar mengangguk. "Bukan hanya dia," sahutnya.
"Wang Cao, tabib dari Chang'an, juga menghilang semalam. Para pengawalku
menemukan gerbang selatan sudah dibuka. Mereka yakin tabib dan naga itu pergi ke
Hutan Harimau." Kedua tangan Ping gemetar. Sang tabib meraih
cangkirnya sebelum Ping menjatuhkannya. Ping terhenyak kembali ke tempat tidur.
"Dia butuh istirahat, Yang Mulia," kata sang tabib. "Pukulan ini terlalu berat
buatnya." Masih ada hal lain yang diucapkan, tapi Ping tak dengar. Sosoksosok di
sekeliling tempat tidurnya lenyap. Dia hanya samar-samar menyadari ketika me
reka pergi. Cahaya matahari menerobos masuk ke dalam kamar itu. Ping menutupi
kepalanya dengan selimut sutra. Dia tak ingin melihat cahaya fajar yang cerah.
Dunia di luar sana telah menjadi dunia hantu yang tidak sungguh-sungguh ada.
Satu-satunya yang dia rasakan hanyalah kepedihan di jantungnya, seperti habis
ditikam. Lao Ma pernah menceritakan kisah-kisah tentang para putri yang patah
hati. Ping waktu itu tidak menyadari bahwa patah hati bisa menimbulkan kepedihan
seperti ini. Danzi telah meninggalkannya, dengan membawa batu naga itu. Dia pernah mengatakan
bahwa Ping orang yang istimewa, Pengurus Naga. Dia telah me ng ulurkan cermin
Pengurus Naga kepada Ping. Ping telah mengulurkan tangan untuk menerimanya. Tapi
cermin itu tak pernah sampai di tangannya, sebab perhatiannya teralihkan. Dia
terlalu banyak meng habiskan waktu bersama Liu Che. Kenyamanan hidup di istana
telah membuatnya terlena. Dia membiarkan dirinya dibelokkan dari tujuan untuk
mencapai Samudra, oleh persahabatan dari orang yang sebaya dengannya. Dan yang
terburuk, dia telah menerima stempel Pengurus Naga Kaisar. Danzi melihatnya
mengambil stempel itu dari Kaisar.
Wang Cao tentu telah melihat stempel itu terjuntai di pinggangnya, pada seutas
pita ungu cerah. Rasa marah menguasai Ping ketika dia teringat tabib itu. Dia
ingat tangan Wang Cao sekilas melewati pialanya ketika sedang menunjukkan
kristal-kristal cinnabar itu padanya. Wang Cao pasti telah memasukkan sejenis
obat tidur di dalam anggurnya agar dia tak bisa mengikuti mereka. Sang naga
rupanya tidak memercayainya. Danzi telah memilih Wang Cao untuk pergi bersamanya
ke Samudra. Ping tidak lulus ujian itu.
s Ping tidak bangun dari tempat tidurnya selama tiga hari. Dia tidak banyak tidur,
tapi dia merasa enggan untuk bangun. Setiap kali dia tidur sebentar, mimpinya
selalu tentang batu naga itu. Dan dia terjaga karena mendengar suara-suara
nyaring yang telah didengarnya di Wucheng.
Dia tidak mau makan, dan ketika salah seorang pelayan datang untuk memandikan
dan menyisiri rambutnya, Ping menarik Hua dari balik selimut. Pelayan itu lari
keluar sambil menjerit-jerit.
Kaisar datang mengunjunginya setiap hari. Dia mengirim pemusik dan monyet-monyet
sirkus untuk menghibur Ping. Dia menyuruh para pelayan menggendong Ping ke
taman. Tapi Ping tak menunjukkan minat pada apa pun.
"Kau telah membuat takut para pelayan," kata Liu Che ketika dia datang
mengunjungi Ping pada hari ketiga. "Gadis pelayan yang ditugasi melayani-mu menolak masuk ke kamarmu.
Dia bilang kau penyihir. Katanya ada tikus di tempat tidurmu."
Liu Che terperanjat ketika Ping menarik keluar tikusnya dari balik selimut. "Ini
Hua," katanya. Liu Che tersenyum seraya memandangi Ping menggelitik perut tikus itu. "Apa kau
sudah biasa berteman dengan hama?"
"Hanya yang satu ini," Ping menyahut.
Kaisar duduk di ujung tempat tidur Ping dan dengan takut-takut membelai tikus
itu. "Ping, besok aku akan ke Tai Shan," katanya. "Menurut para peramalku, sebentar
lagi adalah hari yang paling baik untuk mendaki ke puncaknya dan me mohon berkah
dari Langit." Ping tidak mengatakan apa-apa.
"Aku ingin kau ikut," kata Liu Che. "Tai Shan sangat indah, begitulah yang
kudengar. Barangkali pemandangan di sana bisa mengembalikan semangatmu." Kaisar
berpikir sejenak. "Kau boleh mengajak tikusmu."
Ping tidak keberatan. Tak ada gunanya berdebat dengan Kaisar.
Jarak ke Tai Shan tidak jauh, hanya sekitar seratus //, tapi Kaisar tidak perlu
berjalan kaki ke sana. Dia juga tidak pergi sendirian. Sekereta penuh orang
mengiringinya. Empat lakilaki mengusungnya dengan tandu dari kayu eboni mengilap
berhiaskan pola halus awan yang berarak, dalam warna perak dan ungu pucat serta
bertatahkan mutiara. Tiraitirai berbordir menyembunyikan sang Kaisar dari pan
dangan. Pena sihat Agung, para menteri, dan ahli nujum yang akan melaksanakan
upacara semuanya bepergian naik kereta. Serombongan kecil pengangkut barang
membawa barang kekaisaran (makanan, peralatan memasak, berkotak-kotak jubah,
tempat tidur portabel, tenda) yang digantung pada galah yang mereka pikul di
pundak. Ada juga pengawal, pelayan, dan seorang juru masak. Di barisan paling
belakang ada sepuluh kambing yang akan dijadikan per sembahan. Mereka diawasi
oleh dua bocah yang tampak kumal.
Ketika Kaisar bersikeras agar Ping naik salah satu kereta bersama para menteri,
Ping tidak menolak. Dia tidak kuat lagi berjalan kaki. Dipandanginya lading yang
datar tanpa minat. Kereta yang terantuk-antuk di jalanan pedesaan yang jelek
membuat dia tak bisa tidur sepanjang perjalanan. Para menteri tidak meng ajaknya
bicara. Dia dibiarkan dengan pikiranpi kirannya sendiri, yang terus saja
mengulang-ulang kejadian pada minggu-minggu sebelumnya, sambil menyesali kenapa
dia tidak mengambil keputusan yang berbeda.
Ketika rombongan kaisar memasuki pedesaan, para petani di ladang menurunkan
cangkul dan meninggalkan alat bertani mereka. Semuanya berlutut dengan wajah
menyentuh tanah saat Kaisar lewat. Ketika rombongan itu berhenti untuk bermalam,
perkemahan mereka terang benderang oleh lampu dan berisik oleh berbagai
kegiatan. Mereka berangkat kembali keesokan paginya, rombongan itu meninggalkan
hasil panen yang terinjak-injak,
tulang ikan, kulit buah, dan kotoran sapi. Ping teringat betapa mudahnya dulu
ketika dia bepergian bersama Danzi. Betapa sedikit bawaan mereka. Betapa cepat
mereka bergerak melintasi pedesaan. Betapa sedikit orang yang memerhatikan
ketika mereka lewat. Sewaktu rombongan berhenti pada penghujung hari kedua, Ping turun dari kereta,
Di sebelah utara, selatan, dan barat, pedesaan itu membentang datar dan tidak
bergunung ataupun berbukit, tapi di sebelah timur keadaannya berbeda. Di arah
itu sebuah pegunungan menjulang begitu saja dari dataran itu dalam serangkaian
karang kelabu samar. Puncak-puncaknya yang tidak beraturan menghilang ke dalam
awan. Satu-satunya tumbuhan di sana adalah pohon pinus yang tumbuh berpegangan
pada lereng bukit dalam kantong tanah di dalam celah atau retakan. Pohon-pohon
itu kecil dan tumbuh meliukliuk ke arah matahari. Pegunungan itu sangat megah
dan aneh nya terlihat akrab. Sekonyong-konyong ingatan tentang Huangling
berkelebat dalam benak Ping. Bukan karena Pegunungan Tai Shan yang megah itu
mengingatkannya akan lereng gersang gunung yang dulu menjadi rumahnya. Keduanya
tak bisa di bandingkan. Yang diingat Ping adalah lingkaran cahaya lampu dalam
kegelapan. Salah satu lukisan yang pernah dilihatnya di tembok Istana Huangling
menggambarkan pegunungan ini. Dulu dia mengira pegunungan terjal dan indah itu
hanya ada dalam imajinasi si pelukis.
Sampai sejauh ini, Ping tidak berminat tahu tentang tempat tujuan mereka, tapi
kini, setelah melihat lereng keramat Tai Shan, perasaannya jadi ber beda.
Dikeluarkannya Hua untuk menunjukkan pemandangan itu.
"Lihat, Hua," katanya. "Itu Tai Shan, dan kita akan mendakinya."
Keesokan paginya Ping tidak ikut naik kereta, Dia berjalan di samping tandu
Kaisar. Matanya terarah ke pegunungan, memandangi gunung yang semakin besar dan
tampak angkuh ketika mereka semakin dekat. "Tai Shan adalah satu dari lima
gunung suci di kekaisaranku," Lie Che memberitahunya ketika mereka berhenti
untuk makan siang. "Puncaknya menjulang hampir mencapai Langit. Ke sanalah para
Kaisar pergi untuk berbicara dengan para leluhurnya yang telah tiada, dan
memohon berkah agar pemerintahannya langgeng dan sukses."
Kaisar bicara dengan ceria sambil makan, tapi Ping memerhatikan dia menggigiti
kulit di seputar kuku ibu jarinya hingga berdarah.
Rombongan mereka tiba di kaki Tai Shan malam itu. Para pemikul barang mendirikan
tenda untuk Kaisar. Para pelayan pribadi Liu Che mengeluarkan meja, tempat tidur
Kaisar, karpet dan bantal untuk melengkapi tenda. Juru masak mengeluarkan
peralatan masak dan mulai menyiapkan makanan untuk Kaisar. Kaisar menghampiri
Ping. "Kita akan beristirahat di sini besok," katanya. "Lalu malamnya kita mulai
mendaki gunung itu."
"Kenapa tidak mendaki di siang hari, Liu Che?" tanya Ping. "Hamba yakin itu jauh
lebih mudah." "Kalau mendaki pada malam hari, kita akan tiba di Puncak Kaisar Batu Zamrud saat
subuh. Itu waktu yang paling bagus untuk menghadap Langit dan para leluhurku
yang terhormat. Hanya aku, ahli nujum, Penasihat Tian, dan beberapa pelayan yang
akan mendaki. Kau boleh tetap di perkemahan, Ping."
"Hamba ingin ikut mendaki gunung itu bersama Yang Mulia, kalau boleh."
"Hanya aku yang boleh menginjak Puncak Kaisar Batu Zamrud," kata Liu Che. "Tapi
kau boleh mendaki bersamaku ke Gerbang Selatan, kalau kau mau."
"Terima kasih, Yang Mulia."
Liu Che menatapnya. "Apa kau yakin bisa melakukan pendakian sesulit itu, Ping?"
"Hamba yakin. Hamba sudah merasa jauh lebih baik."
Mereka makan sup kaki beruang, bangau pang gang dengan saus plum, acar ikan, dan
Sentil merah, disusul dengan irisan jeruk, buah persik kering, dan kenari.
Itulah makanan terakhir Kaisar sebelum mendaki gunung. Besok dia harus berpuasa
sepanjang hari. "Setelah aku memberikan persembahan kepada Langit," kata Kaisar, "aku akan
bertukar pikiran dengan menteriku dan memikirkan cara untuk menangkap kembali
nagaku." Ping tidak berkata apa-apa. Danzi memang telah memilih untuk meninggalkannya,
tapi naga itu sudah bebas. Ping tahu dia tidak akan mau membantu Kaisar
menangkap kembali naga itu.
Keesokan harinya rasanya dua kali lebih lama daripada hari lainnya. Ping tidak
sabar ingin segera mendaki. Semua orang sibuk mempersiapkan pendakian, tapi dia
tak punya kegiatan apa pun untuk menghabiskan waktu. Dipandanginya anakanak
bermain-main dengan kambing-kambing mereka, melemparkan bola kulit ke punggung
binatang-binatang itu, main kejar-kejaran. Kegembiraan mereka ternyata menular,
Mau tak mau Ping jadi tersenyum. Entah kenapa, membayangkan akan mendaki Tai
Shan membuatnya merasa lebih bahagia daripada yang dirasakannya sejak Danzi
meninggalkan dirinya. Siang itu Liu Che masuk ke tendanya bersama sang ahli nujum untuk melakukan
upacara pembersihan diri. Ping, Penasihat Agung, dan para pelayan hanya makan
sedikit makanan itu kalau dilihat dari stan dar makanan kekaisaran yang
biasanya, tapi tetap jauh lebih mewah dibandingkan makananma kanan sederhana
yang dimakan Ping dan Danzi se waktu mereka bepergian bersama. Bahkan ada
kalanya mereka tidak makan berhari-hari karena tidak menemukan makanan. Ping
tersenyum sendiri ketika teringat betapa senangnya Danzi setiap kali berhasil
menangkap burung layang-layang untuk dipanggang. Ping sendiri sudah mulai
menyukai makan burung layang-layang. Hidangan-hidangan Kaisar sangat le-zat,
tapi Ping rela mengorbankan apa pun demi bisa duduk bersama Danzi di dekat api
unggun kecil setelah seharian berjalan kaki, hanya makan kacang dan buah beri.
Ping memberi makan Hua sebanyak yang mau dimakan tikus itu, supaya Hua mau tidur
selama pendakian dan tidak gelisah.
Selesai makan, ketika Ping mulai mengantuk, seorang menteri memukul gong sebagai
pemberitahuan bahwa Kaisar akan mulai men daki Tai Shan. Rombongan yang akan
berangkat jumlahnya jauh lebih sedikit. Selain Penasihat Tian, si ahli nujum,
dua pengawal dan seorang pelayan, para penggembala juga diajak untuk menggiring
kambing-kambing yang akan dijadikan sesajian.
Liu Che keluar dari tenda dengan mengenakan jubah indah terbuat dari satin
hitam, bersulamkan benang perak dan bertatahkan batu-batu mulia.
"Apa kau akan ikut mendaki gunung bersamaku, Ping?" tanyanya.
"Aku ingin sekali, Yang Mulia."
"Bakal makan waktu semalaman. Apa kau yakin kau cukup kuat?"
"Aku yakin." Kaisar mesti berpuasa sampai pagi, tapi juru masak membawakan kue-kue gandum
untuk orang yang menemani Kaisar mendaki gunung. Seorang peng awal memimpin di
depan dengan membawa obor yang menyala terang. Ahli nujum mengikuti dari
belakang. Ping mengira Liu Che akan naik kembali ke tandu, tapi ternyata tidak.
Dia mulai mendaki lereng. "Jalanlah bersamaku, Ping," katanya. Penasihat Tian melotot, tapi Ping melakukan
sesuai permintaan Kaisar. Sang Penasihat Agung mengambil tempat di belakang Liu
Che, diikuti si pelayan. Di belakangnya adalah kambing dan para penggembala.
Paling belakang berjalan pengawal satunya yang juga membawa obor.
Mulanya pendakian itu mudah. Ping tidak membawa beban apa pun dan lereng gunung
itu mulanya landai saja. Bulan sudah muncul di langit. Ketika mereka lewat di
bawah gerbang bercat, Ping bisa melihat ukiran naga dan qilin.
"Itu Gerbang Awal Perjalanan," kata Liu Che.
"Paduka pernah ke sini, Liu Che?" tanya Ping.
"Belum pernah," sahut Kaisar, "tapi para menteriku sudah memberitahukan tahapan
perjalanan ini. Berikutnya kita akan tiba di Terowongan Cypress."
Benar saja, bulan mulai menghilang di balik kegelapan pekat. Ping bisa melihat
pohon di kedua sisi jalan setapak. Cabang gelap pepohonan menggapai dan bertemu
di atas jalan itu, saling bertautan dan membentuk terowongan hidup. Ketika
mereka keluar dari ujung Terowongan Cypress, jalan setapak itu men jadi lebih
curam. Kambing-kambing di belakang Ping mengembik mengeluh. Anakanak penggembala
memukul seraya berteriak kasar agar binatang-binatang itu jalan terus. Si ahli
nujum mulai melantunkan nada-nada rendah. Tak lama kemudian semua orang
melangkah beriringan mengikuti irama
lantunan tersebut. Kemudian jalan setapak dari tanah itu berakhir dan Ping
merasakan batu karang di bawah kakinya. Dia tersandung menabrak undakan. Ping
mendongak dan cahaya bulan menerangi jalan kecil di hadapan mereka. Jalan itu
terbuat dari ratusan anak tangga yang dipahat dalam batu karang Tai Shan.
Rangkaian undakan itu menanjak ke atas gunung sejauh yang bisa terlihat dalam
cahaya bulan samar-samar.
"Ada berapa undakan?" tanya Ping.
"Tujuh ribu," sahut Liu Che. Sang Kaisar kedengaran lelah. Seharian dia tidak
makan. Ping berpikir sebaiknya dia tidak bertanya macam-macam dan membiarkan
Kaisar memusatkan pikiran untuk mendaki. Kini undakan itu terlalu sempit baginya
untuk melangkah di samping Kaisar, jadi Ping berjalan di belakangnya.
Sambil naik, Ping mulai menghitung undakan itu. Sampai pada angka tiga ratus,
lima kali sepuluh, dan enam, dia tidak bisa menghitung lagi. Dia mulai lagi dari
awal, tapi lantunan sang ahli nujum membuatnya mengantuk. Dia memejamkan mata,
mendaki satu undakan mengikuti irama lantunan sang ahli nujum. Ping bertanyatanya, mungkinkah dia bisa berjalan sambil tidur" Kemudian dia terbangun dari
mimpi di mana Master Lan berteriak menyuruhnya bangun. Dia menyadari bahwa dia
tergeletak di undakan itu. Para penggembala kambing berteriak menyuruhnya terus
berjalan, sebab dia menghambat kambing. Ping cepat-cepat menyusul rombongan di
depannya. Tak lama kemudian Penasihat Tian berseru untuk berhenti, dan mereka bisa
beristirahat sebentar. Ping makan sepotong kue gandum dan minum dari anak sungai
gunung. Liu Che duduk dalam diam.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan malam seperti ini, tidak
ada pemandangan indah yang menghibur. Yang dilihat Ping hanyalah bentuk gelap
batu-batu karang di tepi jalan setapak, sesekali ada pohon pinus bengkok dan
undakan tanpa akhir yang menanjak di hadapannya. Mereka lewat di bawah sebuah


Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerbang berukir lain. "Kita sudah lebih dekat dengan puncak gunung?" Ping bertanya pada Penasihat
Tian. Penasihat Tian menggeleng dan menunjuk ke lengkung gerbang. "Ini namanya Gerbang
Setengah Jalan ke Surga."
Kaki-kaki Ping serasa terbuat dari batu. Otot be tisnya sakit sekali. Dia sangat
lelah, hingga ingin rasanya menggeletak di pinggir jalan, meski malam itu udara
mulai dingin. Dia tak penting bagi upacara ini. Takkan ada yang memerhatikan
kalau dia tidak hadir. Tapi dia tak ingin mengecewakan Liu Che, membiarkan sang
Kaisar mendaki tanpa ditemani. Meski puncak Tai Shan hanya tampak sebagai bentuk
hitam tak berbintang berlatar belakang langit malam, Ping bisa merasakan puncak
itu menariknya untuk terus mendaki. Bayangan gunung yang menjulang itu, yang
telah dilihatnya selama siang tadi, masih tetap terbayang meski dia memejamkan
mata. Dia harus mendaki sampai ke puncak.
Undakan itu menjadi securam tangga. Jalan setapaknya meliuk dan berkelok. Ping
melangkah dengan susah payah. Dia tidak lagi melihat si pengawal yang membawa
obor serta sosok Liu Che yang tampak gelap. Kemudian undakan itu berakhir dan
jalan setapaknya menjadi landai. Sungguh melegakan setelah berjalan mendaki
begitu lama. Sekonyong-konyong embusan angin sejuk melayang melintasi jalan
setapak itu. Ping bisa melihat jalan di hadapannya, ditandai oleh batu kerikil
putih kecil yang me mantul dalam cahaya pucat rembulan, namun kedua sisi jalan
setapak itu gelap gulita. Dia baru saja bisa melihat karang di kedua sisinya
ketika mendaki tadi. Kini kegelapan yang melingkupinya serasa ringan bagai
udara, tak berujung. Angin bertiup dari bawah, mengembangkan gaunnya. Ping
merasa ada turunan curam di kedua sisinya dan merasa bersyukur dia tak bisa
melihatnya. Kambing sudah berhenti agak di belakangnya, mengembik dengan
menyedihkan. Mereka tidak ingin melintasi jalan setapak itu.
Penasihat Tian berbalik untuk menyuruh kedua penggembala agar bergegas. "Bawa
binatang itu menyeberangi Jembatan Awan sebelum bulan ber sembunyi di balik
awan," teriaknya. Ping melangkah ke jembatan sempit itu. Dia memusatkan matanya pada batu-batu
putih yang menandai jalur mereka dengan jelas, seperti diterangi ribuan lampu
kecil. Kemudian bulan menghilang di balik awan dan batu-batu itu tak terlihat
lagi. Ping berhenti di tengah jembatan. Di depan sana
yang tampak hanya kegelapan pekat. Dia menoleh untuk melihat apakah yang lain
ada di belakangnya, tapi si pengawal yang membawa obor juga tidak kelihatan,
karena masih menapaki undakan terakhir. Ping tidak melihat siapa-siapa. Dia
seorang diri di jalur sempit itu, diselubungi kegelapan, dan angin dingin. Tanah
berada jauh di bawah sana.
Dia berbalik, namun kehilangan arah. Dia tidak tahu mesti berjalan ke mana.
Kalau salah melangkah, dia akan terjungkal jatuh dari atas gunung. Desau angin
di sela bebatuan karang menenggelamkan suara bocah penggembala serta embikan
kambing. Ping berseru, tapi angin menelan suaranya yang lemah begitu dia meneriakkannya,
dan membawanya ke dalam kegelapan. Jantungnya berdebar makin kencang dan makin
kencang di kedua telinganya, sampai detaknya menenggelamkan raungan angin. Kedua
kakinya gemetar karena kedinginan, kelelahan, dan ketakutan.
Beberapa hari sebelumnya, ketika Danzi meninggalkannya, dia tak peduli andai pun
dia mati terjatuh dari atas gunung. Tapi kini dia tahu bahwa dia tak ingin mati.
Serasa ada kekuatan baru yang memenuhi tubuhnya. Kekuatan yang bukan berasal
dari kegelapan di sekelilingnya, melainkan dari dalam dirinya. Dia teringat
ucapan Danzi bahwa dia memiliki mata batin. Maka, bukannya berusaha mencari
jalan dalam kegelapan, Ping memejamkan mata. Jalannya menjadi lebih jelas.
Memang dia tidak melihat, namun dia merasakan kekokohannya
yang mantap. Dia maju se langkah dengan hatihati, lalu satu lagi. Tahu-tahu dia
sudah melangkah maju dengan penuh keyakinan, kedua matanya terpejam rapat,
sampai dia merasakan embusan angin berhenti dan batu karang yang kokoh kembali
menjulang di kedua sisi jalan setapak.
Maka dibukanya matanya. Bulan muncul dari balik awan. Batu-batu kerikil yang
diterangi cahaya bulan mengapit kedua sisi jalan di belakangnya. Para
penggembala membujuk kambing mereka satu persatu, tidak lagi memukuli dengan
tongkat sambil memaki, melainkan membujuk dengan gumaman lembut,
Undakan itu muncul kembali, meliuk ke sana dan kemari mengikuti lekuk gunung.
Undakannya menjadi begitu curam, sampaisampai dipasangi tali pada cincin-cincin
besi di karang sepanjang jalan, untuk membantu pendakian. Seraya menarik dirinya
naik di undakan curam itu, Ping bertanya-tanya bagaimana bocah penggembala akan
menyeberangkan kambing. Akhirnya kegelapan itu memudar menjadi kelabu. Di langit tampak semburat merah
muda samar. Undakan itu berakhir dengan mendadak dan jalan setapak menjadi rata,
melintasi bentangan rumput yang datar. Sebuah gerbang lengkung tampak di jalan
se tapak itu. "Kita sudah tiba di Gerbang Selatan ke Langit," Penasihat Tian mengumumkan
dengan lega. Sebuah anak sungai mengalir berliku di tanah berumput itu dan tumpah menjadi air
terjun kecil di pinggir gunung. Dalam cahaya samar Ping bisa
melihat sang ahli nujum menyelipkan sebilah belati tipis di pinggang. Samarsamar tampak juga olehnya Liu Che dalam jubah hitamnya sedang mempersiapkan
bagian terakhir perjalanan itu. Di depan sana ada serangkaian undakan terakhir.
Untuk bagian perjalanannya yang terakhir ini, Kaisar yang masih muda itu hanya
akan didampingi sang ahli nujum, kambing, dan penggembala. Hewan-hewan itu
berkumpul berdesakan di jalan setapak di belakang mereka. Para penggembala
menggigil da lam udara menjelang subuh. Wajah mereka pucat, ketakutan. Salah
satunya menangis. Penasihat Tian memberikan minuman pada anakanak itu. Ping
terheran-heran melihat sang Penasihat Agung begitu ramah kepada para
penggembala. Tapi dia ti dak menawarkan cangkir itu pada Ping. Minuman terse but
sepertinya bisa menenangkan anakanak itu. Kemudian Penasihat Agung melepaskan
jaket dan celana panjang mereka, lalu menggantinya dengan jubah hitam pendek.
Sang ahli nujum mengucapkan beberapa kata yang tidak dipahami Ping, kemudian Liu
Che mulai menapaki undakan. Sang ahli nujum mengikuti. Para penggembala tidak
menggigil lagi. Wajah mereka menjadi tenang. Tanpa disuruh kedua anak lelaki itu
menggiring kelima belas kambing mendaki seratus undakan terakhir menuju Langit.
Undakan itu tidak curam. Setelah susah payah mendaki begitu jauh, bagian
terakhir perjalanan ini boleh dikatakan relatif mudah. Kambing mau mendaki,
cukup dengan diberi pukulan ringan di pantat. Liu Che sama sekali tidak
menoleh. Ketika langit makin terang, Ping melihat mereka dikelilingi lautan awan. Awan
itu berubah menjadi merah muda bercahaya. Rupanya matahari sudah terbit, meski
mereka tak bisa melihatnya di bawah awan. Puncak Kaisar Batu Zamrud menembus
lautan empuk itu dan menjulang ke Langit dalam udara pagi yang hening. Di puncak
bukit ada kuil. Para penggembala tampak sangat kecil, kambing juga tampak
seperti mainan ketika mereka tiba di puncak. Ping tidak melihat Liu Che maupun
sang ahli nujum. Mereka sudah masuk ke dalam kuil. Kuil itu pasti cukup besar
untuk dimasuki kambing, sebab satu demi satu mereka lenyap dari pandangan.
Ping mengira akan mendengar embikan panik kambing ketika sang ahli nujum
menyembelih mereka, tapi tak ada suara apa pun yang memecahkan keheningan pagi
itu. Matahari mengintip dari balik tepian awan dan membanjiri mereka dengan
cahaya keemasan. Galur-galur sinarnya terpantul pada pola ber warna emas yang
dilukis di kuil jauh di atas mereka.
Waktu berlalu. Dua burung bangkai berputar-putar di atas puncak gunung. Kemudian
sebuah sosok kecil muncul di luar kuil. Dia seorang diri.
"Di mana kedua anak dan sang ahli nujum?" Ping berbisik pada Penasihat Tian.
"Undakan terakhir menuju Langit hanya boleh dilalui oleh Kaisar," sahutnya.
"Hukuman bagi siapa pun yang melanggarnya adalah kematian."
Ping tercekat. Para penggembala yang ceria itu,
yang telah berbagi perjalanan berat ini bersamanya, telah dijadikan sesajen
bersama kambingnya. "Kaisar membunuh mereka?" bisiknya.
"Tidak, itu kewajiban ahli nujum, sebelum dia bunuh diri."
Penasihat Tian menatap Ping yang tertegun. "Mereka diberkati," katanya. "Mereka
akan menda patkan tempat istimewa di Langit."
Ketika Kaisar turun dari gunung itu, cahaya matahari terpantul pada sosoknya.
Dia hampir terlalu menyilaukan untuk dipandang. Kaisar benarbenar tampak seperti
dewa. Ketika dia tiba di undakan terakhir, Ping baru tahu mengapa dia tampak
begitu cemerlang. Rupanya Kaisar telah mengganti jubah satin hitamnya yang muram
itu dengan jubah kuning keemasan. Para menteri berlutut di hadapannya. Para
pengawal dan pelayan sudah berlutut dengan wajah menyentuh tanah sejak saat
Kaisar mula-mula kelihatan. Ping sendiri agak terlambat berlutut sampai
kepalanya menyentuh tanah.
"Langit telah menerima persembahanku," Liu Che mengumumkan. "Langit telah
memberkati pemerintahanku dan menyatakan pemerintahanku akan berlangsung lama
dan sejahtera." Ping mengangkat wajah. Dia melihat Kaisar melicinkan jubah barunya. "Langit juga
telah merestui perubahan warna resmi kekaisaran dari hitam menjadi kuning."
Liu Che terhuyung-huyung. Penasihat Tian maju dan menangkapnya sebelum dia
roboh. "Vang Mulia bisa berbuka puasa," katanya.
Didudukkannya Kaisar pada sebongkah karang. Pelayan memberinya beberapa potong
kue gandum. Penasihat Tian menyodorkan cangkir emas pada Ping. "Isi dengan air
dari anak sungai." Ping mengambil cangkir emas itu lalu mencelupkannya ke dalam air yang berbuih.
Ketika dia hendak menyerahkan cangkir itu kepada Liu Che, dua emosi yang saling
bertentangan menghantamnya bagai tamparan ganda di pipinya. Yang satu adalah
perasaan sukacita, yang mengaliri sekujur tubuhnya bagaikan serbuan udara hangat
dan terdengar seperti nada tinggi yang manis. Yang satunya lagi adalah perasaan
takut yang bercokol di dasar perutnya seperti melon yang busuk. Dijatuhkannya
cangkir itu dan dia memandang sekeliling. Pemandangannya belum berubah, hanya
saja kini Penasihat Tian berteriak marah atas kecerobohannya. Ping tidak
mengacuhkannya. Dia merasa seakan emosi-emosinya sendiri saling bertarung. Entah
kelelahan yang amat sangat, atau kurang tidur, atau tipisnya udara di sini yang
membuatnya merasa seperti ini. Tapi bukan semua itu penyebabnya. Ping memejamkan
mata. Rasanya mustahil, tapi dia tahu pasti bahwa batu naga itu ada di dekatdekat sini. Begitu pula si pemburu naga.
22 Pertumpahan Darah Di Tai Shan
Ping tidak membuka mata. Dibiarkannya pikirannya melayang mencari sumber
nyanyian itu, dan dibiarkannya kedua kakinya membawanya ke sana. Dia merasakan
kelembapan yang dingin menyelimutinya, dan tahulah dia bahwa dia sedang turun ke
dalam awan. Ketika dia menarik napas, udara dingin yang lembap itu memenuhi
paru-parunya, membungkus jantungnya bagaikan es yang terbentuk di seputar tepian
kolam pada musim dingin. Rasanya seperti menghirup kesedihan. Hal itu, ditambah
dengan onggokan kengerian yang pekat di dalam perutnya, pasti akan membuat ciut
nyalinya kalau bukan karena nyanyian itu. Dia sudah semakin dekat ke sana,
semakin dekat dengan batu naga itu. Lalu tiba-tiba nyanyian itu berubah menjadi
pekikan melengking. Bunyi mangkuk tembaga yang saling berantukan, diiringi suara
lain yang membuat gigi-gigi Ping bergemeletuk seperti dua pisau berkarat yang
saling digesekkan. Itu suara Danzi kalau sedang cemas, takut, dan panik. Belum
pernah Ping mendengar Danzi memperdengarkannya
sekaligus. Ping membuka mata. Dia tak lagi membutuhkan amarah untuk memicu kemampuannya
mencari, juga tak perlu memejamkan mata untuk merasakan benang yang
menghubungkannya dengan apa yang dicarinya. Jalannya sudah jelas, seperti
diterangi oborobor. Ping mulai berlari tanpa memikirkan keselamatannya sendiri. Dia tiba di Jembatan
Awan. Kabut mu lai menipis ketika dia berdiri di sana. Dilihatnya bah wa
jembatan itu bukanlah dibuat oleh manusia, me lainkan sebuah bentukan alam
berupa lempengan sempit karang yang lebarnya tidak lebih dari satu meter. Ketika
kabut menguap sepenuhnya, tampak pemandangan yang membuat jantung tercekat. Ke
dua sisi jalan setapak sempit itu diapit jurang yang sangat dalam. Di salah satu
sisinya, karang itu meluncur ke lembah berhutan yang tersembunyi di dalam
deretan pegunungan. Di sisi satunya, karang itu menukik turun sampai nyaris ke
dasar gunung. Ping bisa melihat sampai ke dataran yang jauh di bawah sana. Dia
tidak ragu maupun takut. Dia berlari, seakan jembatan itu selebar jalanan untuk
Kaisar, dengan tanah rata yang terbentang aman di kedua sisinya.
Di sisi lain jembatan, di sebelah timur, ada gunung lain. Lebih kecil daripada
Puncak Kaisar Batu Zamrud. Ping melongok puncaknya yang rata, seakan salah satu
dewa telah memangkas puncaknya dalam amukan amarah. Ada sebatang pohon pinus
tumbuh di atasnya, meliuk dan keriput, Danzi
berada di dataran tinggi kecil itu, berdiri pada kedua kaki belakangnya. Di
sampingnya ada Wang Cao yang menggenggam pedang perunggu, tangan satunya lagi
memegangi keranjang anyaman berisi batu naga. Jarak mereka terlalu jauh,
sehingga Ping tidak bisa melihat apakah batu itu baikbaik saja. Mereka berdua
berhadapan dengan sosok ketiga. Diao.
Di antara Ping dan puncak yang lebih rendah itu ada lembah yang penuh dengan
karang besar bersisi tajam. Ketiga orang itu tidak menyadari kehadiran nya.
Danzi tiba-tiba saja menyerang si pemburu naga. Diao mengayunkan belati, tapi
Danzi berhasil menghindar. Di perutnya sudah ada luka sabetan berwarna ungu.
Wang Cao tidak bergerak. Kedua kakinya seperti menempel ke karang itu. Ping
bergegas lari ke lembah yang memisahkannya dari dataran tinggi. Si pemburu naga
menarik crossbow dari bahu dan mengarahkannya ke jantung sang naga. Ping
menjerit persis ketika Diao menekan pemicu pada busurnya. Tiga pasang ma ta
menoleh untuk mencari sumber jeritan itu, sementara anak panah Diao meluncur ke
arah sang naga, Bunyi logam berkelontang bergema nyaring di puncak karang ketika
pedang Wang Cao jatuh ke ta nah. Tabib itu menunduk menatap anak panah yang
tertancap begitu dalam pada tubuhnya, hingga hanya ujungnya yang dihiasi bulu
yang kelihatan. Teriakan Ping telah menyebabkan bidikan si pemburu naga meleset,
sehingga Wang Cao yang terkena. Ping mendengar Diao menyumpah seraya
mencabut anak panah lain dari tabungnya tanpa menoleh sedikit pun pada
korbannya. Wang Cao ambruk ke tanah, Diao menggigit anak panah itu di antara
giginya. Me narik crossbow perlu dua tangan. Batu naga itu ber guling jatuh dari
cengkeraman Wang Cao. Benak Ping dipenuhi suara jeritan nyaring batu itu. Dia
pun mulai berlari melintasi bentangan karang.
Ping melompati karangkarang itu selincah kambing gunung, sampai tiba di dasar
puncak yang lebih rendah. Dia menyesal tidak memiliki sayap. Karang itu tidak
lebih dari tinggi empat lakilaki, namun terjal. Terdengar olehnya Diao menyumpah
serapah ketika diserang Danzi. Kemudian Ping mendengar suara gemuruh amarah dan
ketakutan sang naga berkumandang memantul pada lereng terjal Puncak Kaisar Batu
Zamrud. Ping tak bisa melihat apa yang ter jadi. Dia harus mencari jalan untuk
naik ke atas sana. Maka ditancapkannya jemarinya pada celah-celah karang yang
paling dangkal, sementara kaki-kakinya mencari tumpuan pada tanjakan yang paling
sempit, dan dia pun memanjat seperti serangga.
Ping menarik tubuhnya melewati tepian karang. Diao berdiri memunggunginya. Bau
busuk orang itu membuat Ping mual. Wang Cao tergeletak tak bergerak, darah mulai
menggenang di bawah tubuh nya. Diao sudah memasang anak panah lagi pada crossbow
dan kembali mengarahkannya pada Danzi. Naga itu tampak bingung dan matanya
berkaca-kaca, seperti tidak tahu mesti berbuat apa. Dia
memusat kan pikiran dengan saksama sehingga tak menyadari kehadiran Ping.
Jarinya bergerak ke arah pemicu. Ping menerkam Diao, menjatuhkannya ke tanah,
namun si pemburu naga masih sempat meluncurkan anak panah. Anak panah itu
menancap pada kaki belakang sang naga dan tembus hingga ke batang pohon pinus,
memaku Danzi ke pohon itu. Ping telah melingkarkan lengannya di leher Diao. Diao
menyikut dada Ping. Dari jarak sedekat itu, wajah nya jadi semakin jelek. Ada
empat luka dalam di pipinya akibat cakar. Didorong nya Ping ke samping, lalu dia
merangkak ke arah batu naga dan mengambilnya. Ditariknya batu itu dengan kasar
dari dalam keranjang anyaman, dan wa jah jeleknya pun merekahkan senyuman jahat.
Di benak Ping, jerit ketakutan batu itu berubah menjadi pekik melengking penuh
kengerian. Mustahil orang lain tidak ada yang mendengar.
Ping merasa kekuatan di dalam dirinya mengumpul men jadi semburan dahsyat.
Tubuhnya mengge letar dari kepala sampai ke kaki. Dia tak perlu menghitung
mundur ataupun membayangkan bunga peoni, kekuatan itu sudah siap digunakan. Ping
menjulurkan ke dua lengannya dan kekuatan itu melesat melalui ujung jarinya,
menghantam crossbow di tangan Diao hingga terlepas. Seulas senyum sepahit biji
apricot melintas di wajah Ping ketika dia menghampiri si pem buru naga. Dia
hanyalah gadis budak dan dia se kepala lebih pendek dari Diao, tapi mata
lakilaki itu memancarkan rasa takut. Si pemburu naga menye rang dengan belatinya
yang jelek. Ping menepis belati itu dengan kekuatannya yang tak terlihat. Mengarahkan
kekuatan c/w-nya dari jarak sedekat ini lebih sulit. Dia membutuhkan lebih
banyak ruang. Diao kembali menyerang. Ping menahan serangan itu dengan
lengannya. Lengan Diao gemetar ketika berusaha memaksa menundukkan Ping, namun
Ping dapat mengimbangi kekuatan si pemburu naga. Tapi tepat ketika Ping hampir


Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhasil mengalahkan Diao, lakilaki itu menendang perutnya. Ping tersengal dan
terhuyung mundur sampai ke pinggir dataran tinggi kecil yang melekuk langsung
menjadi jurang. Karang itu sudah halus terkikis angin dan hujan. Kaki Ping
terpeleset. Sol sepatunya yang sudah tipis karena dipakai berjalan begitu lama,
tak bisa mencengkeram lagi. Ping terjungkal ke depan seraya mencakar-cakar
karang itu, mencoba mencari pegangan. Ada sejumput rumput liat yang berhasil
menemukan cukup tanah di dalam celah sebongkah karang untuk menancapkan akarakarnya. Ping menyambar rumput itu dengan dua tangan. Diao sudah mengacungkan
belatinya lagi. Ping melihat ke bawah. Jaraknya tidak sejauh yang pernah
dilihatnya di Tai Shan. Tapi cukup jauh untuk membuatnya patah leher kalau
jatuh. Ketika bilah belati itu menghunjam ke arahnya, sekelebat warna kelabu melesat
keluar dari lipatan gaun Ping dan lari merambati kaki Diao. Si pemburu naga
memekik kesakitan dan terkejut ketika Hua menancapkan giginya ke pipi Diao yang
terluka. Diao menjatuhkan belatinya ketika berusaha
melepas kan tikus. Belati itu berkelontang jatuh ke jurang. Tangan Diao yang
satu masih tetap memegangi batu naga, Akar rumput yang dijadikan pegangan Ping
mulai tercabut akibat berat badannya. Kedua kaki Ping mengais-ngais di permukaan
karang yang melandai, mencoba mencari pijakan. Diao melepaskan batu naga itu.
Batu itu menghantam karang, suaranya membuat Ping berjengit. Lalu batu itu mulai
menggelinding ke pinggir gunung dan pasti bakal terjungkal jatuh dari puncak,
hancur di bawah sana. Kaki kanan Ping menemukan celah kecil. Dia mengangkat
tubuhnya seraya menjepit karang dengan lutut dan mengulurkan tangan ke arah batu
naga, menahannya dengan ujung jari tepat sebelum batu itu menggelinding. Diao
menjerit sambil berusaha melepaskan tikus di wa jahnya. Gigi Hua masih tertanam
dalam-dalam di pipi si pemburu naga.
Ping meraba-raba batu naga di bawah jemarinya. Rasa lega memenuhi dirinya ketika
jeritan nyaring batu itu berubah menjadi nyanyian. Dipeluknya batu itu. Diao
mengambil sebatang gada dari sabuknya dan memukul Hua dengan senjata itu, meski
hantaman itu pasti menghancurkan tulang pipinya sendiri. Hua jatuh ke tanah,
mulutnya masih menggigit sejumput daging pipi Diao. Ping melihat gada itu
melengkung turun ke arahnya. Masih sambil berlutut, Ping mengulurkan tangan
kanan dan aliran kekuatan chi merambat keluar dari dalam dirinya, kekuatannya
bahkan semakin besar. Si pemburu naga terangkat dari tanah dan terlempar
mundur melintasi dataran tinggi. Dia mendarat di tepi seberang. Dia menoleh ke
belakang dan melihat hanya udara yang memisahkannya dari karangkarang di bawah
sana. Dengan panik dia mencoba menjejakkan kaki, tapi terpeleset di permukaan
karang yang licin. Dia jatuh ke jurang, kedua lengannya menggapai-gapai tak
berdaya. Ping menunggu dengan tenang dan dingin, sampai mendengar bunyi sebagai
tanda bahwa si pemburu naga telah menghantam karang.
Ping tidak tahu mesti menoleh ke mana dulu. Danzi berdarah, tertancap di pohon
oleh anak panah itu. Hua terbaring tak bergerak di atas karang, darah mengalir
dari luka di kepalanya, salah satu kakinya bengkok dalam sudut yang tidak wajar.
Ping menoleh pada sang naga dan mencengkeram anak panah itu, lalu menariknya
lepas dari kaki sang naga. Darah mengalir dari lukanya. Ping mencabut segenggam
lumut dari tanah di bawah pohon pinus, Ditutupinya luka itu dengan lumut.
Kemudian dilepasnya stempel di pinggangnya. Dengan pita ungu pengikat stempel
dibebatnya lumut tadi pada kaki sang naga. Lalu dia menghampiri Hua dan
mengangkat tubuhnya yang kecil dan terkulai. Didekatkannya tikus itu ke
wajahnya, dirasakannya bulu yang hangat di pipinya. Air mata merebak di kedua
mata Ping. "Tikus tidak mati," kata suara di dalam benaknya. Itulah pertama kalinya Danzi
membuka suara. Ping memandangi tikus yang luka parah itu, tapi dia tahu sang naga benar.
Sekonyong-konyong Ping menyadari dia sedang diawasi. Sosok Kaisar yang tampak
keemasan berdiri di pinggir Jembatan Awan. Penasihat Tian, para pengawal, dan si
pelayan ada bersamanya. Mereka tak bergerak, menatap lekatlekat ke arahnya. Liu
Che meneriakkan perintah kepada pengawal. Mereka pun bertindak, berlari
menyeberangi Jembatan awan, ke arah Ping dan sang naga.
"Danzi mesti pergi," kata sang naga.
"Kau tak mungkin bisa ke Samudra dengan kaki luka dan lubang menganga di
perutmu," kata Ping.
Para pengawal sudah menyeberangi jembatan dan sekarang susah payah melintasi
batu karang. "Tak perlu jalan," sahut sang naga, Dia merentangkan sayap. "Bisa terbang."
Jahitan Ping masih ada di situ, dan rupanya cukup manjur. Robekan di sayap kiri
Danzi sudah sembuh sepenuhnya.
"Cukup kuat untuk membawa penumpang?" Bunyi denting genta angin memenuhi udara.
Dengan lembut Ping menaruh Hua di balik salah satu sisik sang naga.
Sang naga berbelok ke Puncak Kaisar Batu Zamrud. "Kaisar akan senang Ping
menyelamatkan naganya dari Diao," katanya. "Ping akan mendapat kehormatan besar
kalau tetap tinggal."
"Aku tidak mau bersama Kaisar, Danzi," sahut Ping.
Stempel Pengurus Naga Kaisar tergeletak di batu karang dekat kakinya. Ping
memungutnya dan menelurusi ukiran naga yang indah di stempel itu
dengan jarinya. Kemudian diangkatnya stempel itu ke atas kepala, dengan maksud
untuk melemparnya jauh-jauh. Dia memandang Liu Che di seberang lembah sana.
Kemudian dia menurunkan tangan lalu dia masukkan stempel itu di dalam
pundipundinya. Meski Liu Che tidak menyadarinya, Ping telah melakukan yang
terbaik untuk sang naga, Bagaimanapun, dia masih tetap Pengurus Naga Kaisar,
Ping mendengar pengawal di kaki batu karang sedang berusaha mencari jalan ke
atas, "Apa kau yakin sanggup membawaku terbang?" tanyanya.
"Yakin." Ping mendengar erangan. Dia menoleh ke Wang Cao. Dia telah melupakan tabib itu.
Dia pun berlutut di samping Wang Cao. Genangan darah lengket semakin melebar di
seputar tubuh lakilaki itu.
"Aku tidak punya keberanian untuk melawan Diao," bisik Wang Cao. "Lagi-lagi aku
telah mengecewakan Danzi. Kaulah Pengurus Naga yang sejati, Ping."
Dia mengulurkan tangan ke batu naga, namun tangannya terkulai sebelum menyentuh
batu itu. "Orang yang mencoba menjadi pengganti tukang kayu pasti tangannya terluka," sang
naga berkata pelan. "Salah Danzi."
Para pengawal Kaisar telah menemukan jalan naik yang lebih mudah.
"Mesti pergi," kata Danzi. "Ambil tali Wang Cao."
Ping mengambil gulungan tali yang terikat di pinggang sang tabib. Dia juga
mengambil kantong kulit Wang Cao serta keranjang anyaman itu. Si pengawal berhasil memanjat naik,
dan kini mengejar Ping dengan pedang terangkat. Dengan mudah Ping me nepisnya
dengan kekuatan chi. Ping memanjat ke punggung sang naga sebelum naga itu mengambil lima langkah maju
dan mengepakkan sayap. Langkah keenam membawanya ke tepi puncak gunung. Dia
tidak jatuh, dia sama sekali tidak meluncur turun, sepasang sayapnya membawa
mereka berdua terbang dengan mudah.
"Mesti terbang jauh," kata sang naga. "Ping mesti menyelamatkan diri dan batu
itu." Ping memasukkan batu itu ke dalam keranjang. Dia mesti mendorongnya keras-keras
agar bisa masuk. Kemudian digantungkannya keranjang itu pada tanduk Danzi. Dia
juga melilitkan talinya seputar kedua tanduk, lalu dua kali lilitan di
pinggangnya. Danzi membubung naik dan mengitari puncak Kaisar Batu Zamrud. Ping memandang ke
bawah, ke arah Liu Che. Sang Kaisar memandangi mereka, kedua tangannya bertolak
pinggang. Ping dapat melihat wajahnya dengan jelas. Mulutnya cemberut dalam
ekspresi marah yang sama seperti ketika Ping pertama kali bertemu dengannya.
Selama waktu yang sangat singkat dia menikmati menjadi sahabat sang Kaisar, tapi
kini dia telah menolak persahabatan itu dan mencuri naganya. Sekarang Kaisar
adalah musuhnya. 23 Samudra Ping memandangi sosok Kaisar yang makin lama makin kecil dan menjadi sebuah
noktah keemasan sementara sang naga terbang menjauhi Tai Shan. Pegunungan itu
lalu lenyap dan tam pak dataran di bawah mereka, berupa kotak-kotak kuning dan
cokelat. Beberapa kotak cokelat itu bergaris hijau di tempat tanaman musim semi
mulai tumbuh. Tanaman pembatas dan tembok di antara ladang-ladang itu tegak,
tampak mencolok bagaikan benang sulam sehingga lanskap tersebut menyerupai ben
tangan selimut yang dijahit dari potongan kain yang berbeda-beda. Banyak yang
ingin Ping tanyakan. Pertanyaan pertama adalah yang paling penting.
"Bagaimana keadaan Hua?" Dia harus berteriak agar suaranya terdengar, mengatasi
deru angin serta irama kepakan sayap sang naga.
"Bisa merasakan detak jantungnya." Suara naga itu terdengar jelas di dalam
benaknya, seperti biasa. Ping tersenyum sendiri. Dalam hatinya dia sudah yakin tikus itu masih hidup,
tapi dia masih belum memercayai mata batinnya.
"Berapa jauh jarak ke Samudra?"
"Tidak jauh. Bisa sampai hari ini kalau sayap kuat."
"Apa yang kau lakukan di Tai Shan, Danzi?"
"Kabur dari Diao," sahut sang naga. "Ada mata-mata di antara pengawal Kaisar.
Tahu kami ada di Hutan Harimau. Menunggu waktu kami muncul." "Apa yang terjadi?"
"Diao melukaiku. Kami berhasil kabur, tapi Diao mengikuti. Wang Cao bilang sayap
sudah tidak apa-apa buat terbang, jadi kami mendaki Tai Shan supaya bisa lepas
landas dan kabur dari Diao."
"Aku ikut sedih tentang Wang Cao, Danzi," kata Ping. "Aku terlalu lamban,
sehingga tidak bisa menyelamatkan dia juga."
"Danzi yang mesti minta maaf, Ping," naga itu berkata. "Wang Cao iri pada Ping.
Dia ingin menjadi Pe ngurus Naga. Aku terpengaruh ucapannya dan mem biarkan dia
meyakinkanku bahwa Ping bukan Peng urus Naga sejati. Maaf."
Langit mendung. Danzi terbang makin tinggi. Mulanya awan hanya berupa serpihan
tipis seperti uap dari ketel, tapi lalu semakin tebal hingga Ping dan sang naga
terselubung kabut putih dingin. Danzi terdorong oleh embusan angin, tapi dia
terus terbang makin tinggi. Tiba-tiba mereka sudah menembus awan dan kembali
tersiram cahaya matahari. Yang tampak oleh Ping di bawahnya hanyalah bentangan
luas warna putih sejauh mata memandang, seakan mereka terbang di atas dunia
es dan salju. Setelah mengalami berbagai rintangan, cobaan, dan orang-orang yang mencoba
menghalangi mereka, akhirnya mereka pergi juga ke Samudra, dan rentang jarak
terakhir dalam perjalanan ini tidak menuntut usaha apa pun darinya. Ping
menguap. Dia ingin memandangi awan berubah bentuk, tapi sudah dua hari dia tidak
tidur. Dia senang ada tali yang mengikatnya pada sang naga sehingga dia aman.
Batu naga di dalam keranjang menjadi bantalnya. Ping memejamkan mata dan
membiarkan kantuk menariknya ke alam mimpi.
Ketika terbangun, Ping merasa kedinginan. Tubuhnya kaku, Awan tampak cerah oleh
siraman cahaya matahari, bersemburat merah muda. Melalui celah di awan, lanskap
di bawah tampak gelap. Kepak sayap sang naga sudah memelan. Napasnya tersengalsengal. Ping baru saja hendak bertanya berapa jauh lagi perjalanan mereka ketika dia
melihat keranjang berisi batu itu robek di satu sisinya dan batu itu kelihatan.
Warnanya tampak beda dalam cahaya terang. Menjadi ungu yang lebih gelap, seperti
buah plum masak. Guratan merah gelapnya, yang semula hanya berupa benang tipis,
tampak lebih tebal. Dengan hatihati Ping mengangkat batu itu dengan dua tangan,
khawatir keranjangnya akan robek sepenuhnya dan batu itu jatuh ke luar.
Gumpalan awan di bawah mereka mendadak berakhir dan dunia yang tampak kecil di
bawah sana kembali terlihat. Pemandangannya bukan lagi berupa ladang-ladang
mungil, melainkan berselimutkan pebukitan rendah dan hijau. Ada sesuatu di
cakrawala yang memantulkan cahaya matahari seperti lempengan perak yang dipoles
mengilap. Ketika semakin dekat, lempengan itu men jadi lebih lebar. Napas sang
naga menjadi serak, kepakan sayapnya lebih pelan, jarak di antara mereka dan
bumi di bawah sana semakin dekat. Perbukitan berubah menjadi bentangan tanah
datar. Lempengan perak itu menjadi lebih lebar, dan ber ubah biru ketika mereka
semakin dekat. Bentuknya ternyata tidak padat, permukaannya yang cekung tampak
naik-turun. Ping tak bisa membayangkan, tempat apa yang mereka tuju itu. Daratan
berakhir tiba-tiba menjadi karang yang menjulang, kemudian hanya ada segaris
tipis tanah pucat di antara daratan dan warna biru yang luas itu. Di tempat
warna biru ber temu dengan tanah ada gulungan-gulungan kecil putih. Ping baru
menyadari bahwa yang dilihatnya itu adalah air. Air yang membentang sejauh mata
memandang ke utara, ke selatan, dan ke timur, hingga menyatu dengan langit,
Luasnya bentangan air itu membuatnya takut.
"Apa itu?" tanya Ping.
"Samudra," sahut Danzi.
"Tapi kukira Samudra itu nama tempat, suatu negara, atau provinsi."
"Bukan. Samudra adalah air yang mengelilingi semua daratan."
Bayangan Ping tentang Samudra, yang semula dikiranya surga taman, seketika
luntur. "Tapi kau bilang..."
"Tidak bisa menggambarkan Samudra pada orang yang belum pernah melihatnya."
"Luas sekali ya."
"Wilayah paling luas di dunia."
Ping memandangi Samudra itu masih terus melebar, hingga seperti mengepung mereka
sepenuhnya, lalu yang ada hanyalah warna biru.
"Apa kau akan masuk ke Samudra?" tanya Ping, yang mengira tempat tujuan sang
naga mungkin berada di bawah ombak.
"Tidak. Mesti cari tempat buat istirahat." Danzi melayang kembali ke arah
daratan. Awan kelabu muncul di cakrawala. Udara di sekitar mereka terasa hidup,
membuat kulit Ping merinding dan ram butnya seperti bergerak sendiri, melayang
dan bergemeretak ketika dia mencoba merapikannya. Suasana amat hening. Danzi
berputar-putar membuat lingkaran seraya bersiap mendarat. Embisan angina tibatiba mendorong naga itu, dan isi perut Ping serasa akan tumpah ketika Danzi
merosot hamper satu chang sebelum dia mengangkasa kembali. Awan yang datang dari
timur tampak tebal dan hitam. Matahari tidak terlihat dan keadaannya gelap
seperti menjelang malam. Tiupan angin semakin kencang. Awan mendadak terang oleh
keredap kilat yang membutakan, dan terdengar bunyi petir
menggelegar. Air mulai tumpah dari langit, seperti ada yang membuka tingkap di
awan. Udara yang semula kering menjadi basah kuyup dalam beberapa saat. Ping men
dekap erat batu naga. Kembali kilat menerangi ba gian bawah awan. Angin menjadi
begitu kencang, sampaisampai Ping takut dirinya tertiup jatuh dari punggung sang
naga, meski dia telah mengikat dirinya dengan tali. Dia tak bisa melihat karena
air hujan membutakan matanya. Didekapnya batu naga itu lebih erat.
Sayap Danzi yang rapuh itu dipermainkan angin seperti daun musim gugur. Ping
takut mereka akan ter tiup kencang. Danzi hendak menuju garis tipis pucat di
antara Samudra dan daratan. Sang naga tak bisa mengendalikan pendaratannya.
Tanah mendekat dengan cepat ke arah mereka. Ketika semakin dekat, Ping melihat
tanah itu tak sepenuhnya datar. Ada karang bertebaran di sekitarnya. Hujan
membuat dia sulit melihat. Maka dicondong-kannya badan agar bisa melihat lebih
jelas, mencari tempat aman untuk mendarat. Angin mendorong sang na ga,
menghemasnya laksana layang-layang. Sang naga miring dengan tajam, mencoba
mengarah ke tempat yang tidak berbatu. Batu naga yang basah itu ter gelincir
dari dekapan. Ping menjerit ketika melihat batu ungu itu jatuh.
Dia mencari-cari simpul tali yang mengikatnya. Dia ingin terjun untuk
menyelamatkannya. Dengan tak berdaya dilihatnya batu itu terempas ke karang di
bawah sana. Tak lama kemudian sang naga menghantam daratan dengan suara debuk
keras yang bisa mematahkan tulang, Dia melesak ke dalam pasir yang putih halus, hingga
menimbulkan galur be berapa meter dalamnya. Ping melepaskan ikatan talinya
dengan tersengal-sengal, dan melompat, lalu lari menghampiri batu naga itu.
Ping berlutut dan memungut batu naga tergeletak di antara dua karang. Ada
retakan besar di sekeliling ba tu itu. Udara di daratan sama liarnya dengan di
angkasa tadi. Angin bisa menerbangkannya setiap saat. Petir menyambar di atas
sana, dan seketika diikuti gemuruh guntur menggelegar. Di depan mata Ping,
semakin banyak retakan yang terjadi pada batu itu, berkelokkelok dan mengarah ke
bagian tengah. Air mulai merembes ke luar dari batu yang retak itu. Retakannya
semakin lebar, aliran air dari da lamnya semakin banyak, hingga akhirnya tumpah
membasahi kedua tangan Ping. Rasanya hangat. Sepertinya mustahil batu ini bisa
menyimpan cairan sebanyak itu.
"Danzi, aku telah membuat batu naga pecah."
Naga yang kelelahan itu merangkak mendekat. Ping memandangi batu yang rusak.
Serbuan air hangat yang terakhir membuat batu itu terbelah menjadi dua. Kedua
bagiannya tergeletak di tangan Ping. Angin berhenti bertiup. Hujan mulai reda.
Langit menjadi lebih terang. Ada sesuatu di dalam paruh batu di tangan kirinya,
sesuatu yang warnanya seungu batu itu sendiri. Tapi sesuatu itu bukan benda
keras, bukan kristal seperti dikira Ping, melainkan se perti sayuran aneh
berwarna ungu, tertutup lender lengket. Sesuatu itu tergelincir


Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jatuh ke pangkuan Ping. Benda itu lebih mirip helai-helai kain basah yang
digumpal-gumpal menjadi bola. Sementara Ping mengamati, gumpalan itu berkedutkedut dan salah satu helai ungunya melepaskan diri dan jatuh ke lutut Ping.
Benda itu lunak dan lemas, dan berjurnbai di ujungnya. Seutas helai ungu lainnya
melepaskan diri dari gumpalan tak berbentuk itu. Mereka fl eksibel, lunak dan
berlendir. Empat di antaranya berjurnbai pada ujungnya, sementara yang kelima
ujungnya berbentuk titik. Ping hendak mengibaskan benda jelek itu dari lututnya,
ketika bagian terakhir benda itu membuka. Helaian yang ini lebih tebal, lebih
padat, sama sekali tak berbentuk. Helaian itu mengangkat tubuhnya. Sepertinya
dia mempunyai bentuk tertentu. Ada dua tonjolan bundar, dua lubang kecil seperti
titik. Di ujung helaian itu ada lubang yang lebih besar dan membuka basah. Di
dalam lubang itu ada dua deret paku kecil tajam. Ping terkesiap ketika dia
menyadari, untuk pertama kali, benda apa itu sebenarnya. Benda itu bukanlah
sayur, bukan juga gumpalan helai-helai kain. Benda itu hidup. Lubang bergerigi
tajam itu adalah mulut, lubang kecil itu lubang hidung, dan kedua tonjolan itu
sepasang mata yang belum membuka. Benda ini adalah makhluk yang mempunyai
kepala, empat kaki, dan ekor.
Dengan hatihati Danzi mengangkat makhuk itu dari pangkuan Ping dan menjilati
lendir yang menutupi dengan lidahnya yang merah panjang, kemudian ditaruhnya
makhluk itu di pasir. Makhluk itu
menyeimbangkan diri sejenak pada kakinya yang ringkih, lalu ambruk. Ping melihat
makhluk kecil itu tertutup sisik ungu yang halus mengilap dan mu lus seperti
sisik ikan. Ada sederetan paku halus sepanjang tubuhnya, mulai dari kepala
hingga ujung ekor nya. Tepi-tepi yang berjurnbai di ujung kakinya adalah jarijari mungil. Makhluk itu ternyata seekor bayi naga.
"Danzi," bisik Ping. "Kenapa kau tidak bilang bahwa batu naga itu sebenarnya
telur?" Ketika mendengar suara Ping, si bayi naga menoleh. Kedua matanya membuka untuk
pertama kali. Warnanya hijau. Dia memperdengarkan suara mendengkur nyaring. Ping
terpukau menatapnya. Bayi naga itu sama sekali tidak jelek. Malah dia cantik
sekali. Ping menggendongnya dan mendekapnya.
"Tidak mau bikin Ping cemas."
"Tapi aku kan bisa saja tidak sengaja memecahkannya!"
"Memang akhirnya pecah."
"Maksudku sebelum dia siap menetas." Ping tak sanggup mengalihkan tatapannya
dari makhluk mungil itu. "Apa dia memang sudah siap menetas?"
Danzi memiringkan kepala.
"Dia jantan atau betina?"
"Jantan. Ketahuan dari hidungnya yang lurus."
"Apa makanannya, Danzi?"
"Mulanya susu. Lalu nanti serangga. Dan nanti lagi burung kecil."
Ping tampak cemas. "Susu apa" Serangga apa?" "Susu domba bagus sekali. Susu
kambing juga bagus. Mengenai serangga, ngengat dan capung yang paling bagus. Ulat juga boleh.
Pokoknya jangan yang bercangkang keras atau yang menyengat."
Ping ingin menanyakan banyak hal. Suara Danzi da lam benaknya terdengar samar,
sulit didengar di tengah dengkuran bayi naga, Matahari mengintip di celah sempit
di antara awan dan cakrawala. Sisik-sisik ungu si bayi naga yang baru kering
tampak gemerlap dalam cahaya Jingga matahari. Ping memaksakan diri mengalihkan
matanya dari si bayi naga kepada Danzi, untuk pertama kali sejak naga itu
terempas di pantai. Naga tua itu tampak kelelahan. Sisik-sisiknya tidak
memantulkan cahaya matahari, tampak kusam dan pudar. Sepasang matanya tampak
kekuning-kuningan, seperti ketika dia masih tinggal di sumur naga di Huangling.
Ping terkesiap. "Hua!" katanya. "Aku lupa pada Hua!"
Danzi merogoh ke balik sisik paling atas yang tumbuh terbalik dan mengeluarkan
tikus itu. Ping menaruh si bayi naga di pangkuannya. Bayi naga itu meringkuk dan
tertidur. Kemudian dengan lembut Ping mengambil tikus yang tidak bergerak itu
dari cakar Danzi. Hua berbaring lemas di tangan Ping, seperti kain perca. Ping
mendekapnya lebih erat. Dadanya yang mungil bergerak sedikit ketika dia menarik
napas tersendat-sendat. "Dia masih hidup," bisik Ping.
"Mungkin takkan bertahan," kata Danzi.
"Ini salahku," kata Ping, air matanya merebak.
"Hua yang malang."
"Sebentar lagi gelap. Mesti cari tempat untuk bermalam."
Tiba-tiba Ping merasa sangat kewalahan. Dia mesti mengurus bayi naga yang baru
lahir, seekor naga yang sudah uzur, dan seekor tikus yang terluka. Mereka tidak
punya tempat berlindung, tidak ada makanan. Ingatan tentang kamar tidur yang
indah di Pondok Ming Yang muncul dalam benaknya. Dia teringat harum jamuan makan
Kaisar. Sesaat dia bertanya-tanya, apakah keputusan yang diambilnya sudah benar.
Ditatapnya naga kecil di pangkuannya. Kalau dia tetap tinggal bersama Liu Che,
mereka semua tentunya akan lebih nyaman, namun bayi naga ini akan menghabiskan
tahuntahun panjang ke hidupannya di dalam sangkar. Dengan lembut dikembalikannya
Hua ke balik sisik Danzi dan dipindahkannya si bayi naga ke lekukan lengan
kanannya. Lalu dia bangkit berdiri. Ada tugas yang mesti dilakukannya.
24 Ping mencari di antara karangkarang, kalau-kalau ada gua, tapi ternyata tidak
ada. Dia menyusuri pantai di kedua arah, mencari tempat bermalam. Akhirnya dia
menemukan lubang aneh terbuat dari kerangka seekor makhluk laut raksasa. Kepala
dan ekornya sudah dibuang, sehingga hanya bagian badannya yang tersisa. Bagian
rusuknya begitu luas, sampaisampai Ping bisa berjalan di da lamnya. Kulitnya
yang sudah kering memberikan lapisan pelindung tahan cuaca yang sangat sempurna.
Di dalamnya ada tandatanda bahwa kerangka itu pernah menjadi rumah seorang
nelayan. Sebelum gelap, Ping mengumpulkan kayu api dan air hujan, dan menemukan sejumlah
ikan kecil serta ke piting yang terperangkap dalam kubangan di batu karang. Dia
menyalakan api. Di dalam kantong Wang Cao ada panci masak, beberapa lentil, dan
gandum. Ada juga sewadah salep awan merah, sejumlah campuran ramuan untuk Danzi,
dan sekantong kecil teh. Wang Cao telah menyiapkan segalanya dengan baik.
Barangkali Tak Ada Akhir Ping memasak makanan untuk dirinya dan Danzi, tapi naga tua itu hanya makan
sedikit. "Bagaimana dengan bayi naga itu?" tanya Ping. "Aku tidak punya susu,"
Dan Ping terheran-heran ketika Danzi mengulurkan satu cakarnya, lalu menusuk
luka di dadanya yang baru saja berhenti mengeluarkan darah.
"Apa-apaan kau?"
Danzi menampung sedikit darahnya yang ungu itu dalam cangkang kerang. Si bayi
naga meminumnya dengan rakus.
"Bisa hidup dari darah untuk beberapa hari," kata Danzi.
Setelah bayi naga itu selesai minum, Ping menaruhnya di alas dari rumput laut
kering. Dengan segera makhluk kecil itu tertidur. Ping menyiapkan ramuan tanaman
obat untuk Danzi dan mengoleskan salep pada lukanya. Setelah naga tua itu
tertidur juga, Ping keluar ke pantai dan memandangi samudra mahaluas yang
gemerlapan dalam cahaya bulan. Om bak memecah di pantai, namun diisap kembali
oleh kekuatan tak terlihat. Ping meminum sedikit air Samudra itu dan se ketika
meludahkan kembali air asin itu. Samudra ternyata tidak seperti yang
dibayangkannya selama ini. Keesokan harinya, Ping bangun pagi-pagi sekali dan
menyalakan api yang sudah mati. Kaki-kaki si bayi naga kini sudah lebih kuat.
Dia bisa mondarmandir di sekitar pantai. Danzi masih kelihatan lesu dan letih.
Ping berhasil menangkap seekor burung laut, yang kemudian di panggangnya untuk
Danzi. Dia juga meminumkan
beberapa tetes kaldu ikan pada Hua.
"Kau bohong tentang perairan Samudra, Danzi," katanya. "Airnya terlalu asin
untuk diminum, dan aku tak percaya air itu memiliki kekuatan magis."
"Ping benar," sahut Danzi, "tapi waktu itu tidak bisa bilang yang sebenarnya
tentang tugasmu. Ping tidak akan bisa memahami."
"Jadi, seperti inilah Samudra," kata Ping. "Kenapa kita pergi begitu jauh untuk
sampai ke tempat ini?" Dipandanginya tubuh Danzi yang lemah dan penuh luka.
"Apakah air itu bisa menyembuhkanmu?"
"Tidak. Mesti menyeberanginya untuk mencapai Pulau Penuh Berkah."
"Kenapa kau mesti ke sana?"
"Akan mati, kalau tetap di Kekaisaran ini. Di Pulau Penuh Berkah ada sungai air
kehidupan. Bisa menyembuhkanku."
Ping mencoba memandang lekatlekat ke arah cakrawala, tapi tak bisa melihat ada
pulau apa pun di sana. "Seberapa jauh" Apa kau sanggup membawa kami sejauh itu?"
"Hanya Danzi yang pergi."
Ping serasa tak percaya mendengarnya. "Kau akan meninggalkan bayimu?"
"Tadinya ingin membawa batu naga ke Pulau Penuh Berkah, agar bayi naga lahir
jauh dari dunia manusia."
"Kau masih bisa membawanya."
Naga itu menggelengkan kepala. "Dunia tanpa naga akan menjadi tempat yang sedih.
Dia akan ditinggalkan di sini bersama Pengurus Naga." Ping menyadari yang dimaksud Danzi
adalah dirinya. "Tapi aku tidak tahu cara mengurusnya."
"Naga yang masih muda biasanya menghabiskan seratus tahun pertama bersama
induknya." Danzi meng hela napas dengan sedih. "Ping mesti jadi pengganti induk
naga, Lu Vu. Lakukan seperti yang akan dia lakukan. Bimbing dia, tapi jangan
dijinakkan. Bentuk dia tanpa mengekangnya." Danzi menyentuh kepala naga kecil
itu dengan satu jarinya yang ber cakar. "Ping akan tahu."
Ping berharap dia punya keyakinan sebesar keyakinan Danzi untuk membesarkan si
bayi naga. Naga tua itu melangkah perlahan-lahan, menapaki jalan setapak yang curam hingga
ke puncak ka rang. "Mesti pergi sekarang."
Pin menggendong bayi naga itu dan mengikuti Danzi.
"Tapi kau tidak punya makanan. Kau juga butuh air bersih."
"Semuanya akan diberikan." "Apa kau takkan kesepian?"
"Danzi akan membawa Hua. Dia juga butuh air kehidupan untuk bertahan."
"Bagaimana aku bisa hidup tanpamu, Danzi?"
"Jalannya mudah kalau kau tidak menyimpang darinya."
"Apa kau sanggup terbang sejauh itu?" "Siapa yang tahu akan seperti apa
akhirnya" Barangkali tak ada akhir."
Berdasarkan pengalaman, Ping tahu tak ada gunanya berdebat. Ditaruhnya si bayi
naga di tumpukan rumput, lalu diambilnya Hua dari balik sisik Danzi. Dipeluknya
tikus yang lembut dan hangat itu di dekat wajahnya untuk terakhir kali. Hua
menoleh ke arah Ping. Matanya berkedip-kedip, tapi dia tak ber suara. Dengan
hatihati Ping mengembalikannya ke balik sisik Danzi. Danzi memberikan pada Ping
se mua emas dan barang lain yang selama ini dia sem bunyikan di balik sisiknya
yang tumbuh terbalik, barang-barang yang belum dilihat Ping. Danzi juga
menyerahkan cermin Pengurus Naga. Cermin itu berkilauan dalam cahaya matahari.
"Kau Pengurus Naga terakhir, Ping."
"Terakhir?" Naga itu mengangguk sedih. "Terakhir dan terbaik."
"Bayi naga ini bukan naga terakhir, kan?"
"Dia yang terakhir dan pertama."
Ping tidak mengerti maksudnya.
"Naga Kaisar terakhir. Yang pertama hidup bebas bersama Pengurus Naga sejati."
Danzi merentangkan sayapnya.
"Tunggu!" kata Ping. "Siapa nama bayi naga ini?"
Danzi berpikir sejenak. "Panggil dia Kai Duan, artinya permulaan," katanya.
"Long Kai Duan." Sebelum Ping sempat mengatakan apa-apa lagi, naga itu sudah
mengepakkan sayap dan maju tiga langkah ke tepi tebing karang. Dia begitu kurus,
hingga embusan angin kencang mengangkatnya dengan mudah ke atas ombak yang
memecah. Dia terbang tanpa menoleh ke belakang. Selama ini kehi dupannya ke ras dan sulit,
Ping berharap dia akan menemukan kedamaian di Pulau Penuh Berkah. Rasa nya
mustahil sayap rapuhnya sanggup membawanya menempuh jarak sejauh itu. Ping masih
terus memandanginya hingga sosoknya terlalu kecil untuk dilihat. Dia berdoa
Danzi memiliki kekuatan untuk mencapai tujuannya.
Kemudian Ping menatap bayi naga yang berdiri dengan goyah. Sanggupkah dia
memenuhi semua harapan Danzi" Dalam beberapa minggu belakangan ini dia telah
melakukan hal-hal yang kelihatannya mus tahil. Dia telah menemukan namanya. Dia
te lah menjalin persahabatan dengan Kaisar dan ke hilangan. Dia telah menolong
seekor naga. "Ayo, Kai," katanya seraya menggendong makhluk kecil itu. "Kita mesti mencari
kambing betina." Dia bukan lagi gadis pemalu yang mau saja menjalani kehidupan penuh penderitaan
sebagai budak daripada mencoba hal-hal baru. Dia kini memikul tanggung jawab
untuk membesarkan naga terakhir. Ping melangkah menjauhi Samudra. Jalan yang
mesti ditempuhnya kini berbeda, dan dia tak sabar ingin memulainya.
Daftar Istilah Chang\ ukuran jarak yang kira-kira setara dengan 2,3 meter.? Cinnabar, mineral berwarna merah terang yang nama kimianya merkuri sulfi da.
? Konfusius: filsuf Cina yang hidup sekitar tahun 5DD SM.
? Empat hewan spiritual: naga, qiiin, phoenix, dan penyu raksasa. Bangsa Cina
?kuno menamai empat rasi bintang berdasarkan keempat binatang ini.
Dinasti Han: Berlangsung dari tahun 202 SM sampai 220 SM.
? Jin\ ukuran berat untuk emas.
? Jujube: nama buah yang dikenal sebagai kurma Cina.
? Li\ ukuran jarak yang setara dengan setengah kilometer.
? Mow. ukuran luas tanah yang lebarnya satu langkah dan panjangnya 240 langkah.
? Pangolin', binatang dengan kulit bersisik dan moncong panjang, pemakan semut.
?Chi\ menurut kepercayaan tradisional Cina, chi adalah energi kehidupan yang
mengalir dalam tubuh kita dan mengontrol fungsi-fungsi tubuh. Qilin: binatang
dalam mitos Cina, tubuhnya seperti rusa, ekornya seperti ekor sapi, dan memiliki
satu tanduk. Phoenix (Fenghuang): burung dalam mitos Cina yang sangat mirip burung merak.
Shen: menurut kepercayaan tradisional Cina, shen adalah energi spiritual yang
menggerakkan kegiatan-kegiatan mental dan spiritual kita. Kadang-kadang
diterjemahkan sebagai jiwa.
Shw. ukuran berat yang setara dengan setengah gram.
Kalau ingin tahu episode berikutnya, baca di halaman berikut ini...
Taman Sang Naga Ungu Ucapan Terima Kasih Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada member PenerbitMatahati.com, dan
friendster, pembaca, dan ter utama, mereka yang di bawah ini:
Untuk Endorsement: - Junior Respati (Redaktur Majalah Hai)
- Puth Davina (Redaktur Majalah Kawanku)
Untuk Kerjasamanya: - Ardian C (Moderator Komunitas Budaya Tiong hoa)
- Trinzi Mulamawitri Bila ingin bergabung dengan Komunitas Matahati di Friendster, Anda dapat
searching melalui info @penerbitma taha ti. corn
Hong Lui Bun 4 Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L Garuda Mata Satu 2

Cari Blog Ini