Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi Bagian 2
orkestra menggantikan Mr. Rosenstock jika konduktor
itu sedang beristirahat, fasih berbicara bahasa Jerman.
Dialah yang biasanya menjawab atas nama kawankawannya. "Kami selalu berusaha
sekuat tenaga. Tapi teknik kami memang masih belum sempurna. Anda perlu
tahu bahwa kegagalan inii tidak kami sengaja."
Totto-chan belum bisa memahami masalah rumit itu.
Tapi terkadang ia melihat wajah Mr. Rosenstock menjadi
merah sekali, sampai-sampai seakan uap akan mengepul
keluar dari kepalanya, kemudian pria itu akan berteriakteriak dalam bahasa
Jerman. Pada saat-saat seperti itu,
Totto-chan akan mundur dari jendela favoritnya, tempatnya menonton sambil
bertopang dagu, lalu menengkurap di lantai bersama Rocky. Mereka tak berani
bernapas, menunggu sampai musik dimainkan lagi.
Namun biasanya Mr. Rosenstock selalu ramah, selain
itu caranya berbicara bahasa Jepang sangat lucu.
"Bagus, Kuroyanagi-san," begitu katanya dengan aksen
yang aneh jika mereka bermain bagus. Atau, "Hebat
sekali!" Totto-chan belum pernah masuk ke gedung latihan. Ia
suka mengintip ke dalam dari salah satu jendela dan
mendengarkan musik. Begitulah, ketika mereka berhenti
berlatih dan para musisi itu keluar untuk beristirahat
atau merokok, Papa sering menemukannya di sana.
"Ah, kau ada di sini, Totsky!" begitu selalu kata Papa.
Jika Mr. Rosenstock melihatnya, dia akan berkata,
"Selamat pagi" atau "Selamat siang" dengan aksen yang
aneh. Lalu, meskipun Totto-chan sudah besar, Mr.
Rosenstock akan mengangkatnya seperti ketika ia masih
kecil dan menempelkan pipinya pada pipi Totto-chan. Itu
membuat Totto-chan agak malu, tapi ia menyukai Mr.
Rosenstock. Konduktor itu mengenakan kacamata bergagang tipis yang terbuat dari
perak, hidungnya besar dan badannya tidak terlalu tinggi. Wajahnya tampan dan
begitu melihatnya, orang akan langsung tahu dia
seniman. Totto-chan menyukai gedung latihan itu. Tata ruangnya ala Barat dan sudah agak
bobrok. Angin yang bertiup dari Kolam Senzoku membawa
alunan musik sampai jauh keluar dari gedung latihan.
Terkadang teriakan penjual ikan mas (kingyo) menyatu
dengan musik itu: 24. Piknik ke Sumber Air Panas
LIBURAN musim panas sudah berakhir dan hari piknik
ke sumber air panas telah tiba. Bagi murid-murid Tomoe,
acara itu sangat penting. Sebenarnya tak banyak yang
bisa membuat Mama kaget, tapi ketika Totto-chan
pulang sekolah pada suatu hari dan bertanya, "Bolehkah
aku piknik ke sumber air panas bersama murid-murid
lain?" Mama ternganga. Dia sudah pernah mendengar
orang-orang tua berombongan pergi ke sumber air
panas, tapi murid-murid kelas satu"
Namun setelah membaca surat Kepala Sekolah dengan
cermat, Mama berpendapat gagasan itu baik. Dia bahkan
mengagumi rencana Kepala Sekolah. Acara piknik akan
dinamai "Sekolah di Pantai", di suatu tempat bernama
Toi, di Semenanjung Izu, Shizuoka. Di sana ada sumber
air panas di dalam laut. Para murid bisa berenang sambil
berendam di air panas di sana. Piknik itu akan berlangsung selama tiga hari dua
malam. Ayah salah satu murid Tomoe punya rumah peristirahatan di Toi. Kelima
puluh murid Tomoe dari kelas satu sampai kelas enam
bisa menginap di sana. Tentu saja Mama tidak keberatan.
Sebelum berangkat, murid-murid Tomoe berkumpul di
sekolah pada hari yang sudah ditentukan.
"Dengar baik-baik," kata Kepala Sekolah ketika semua
sudah berkumpul. "Kita akan naik kereta, lalu naik kapal.
Aku tak ingin sampai ada yang tersesat. Mengerti" Baik,
kita berangkat sekarang!"
Hanya itu perintah yang dikatakan Kepala Sekolah,
tapi semua anak bersikap baik ketika naik kereta Toyoko
di Stasiun Jiyugaoka. Tak ada yang berlari-larian di
gerbong dan satu-satunya percakapan yang terdengar
hanyalah perbincangan pelan antarteman yang duduk
bersebeiahan. Para murid Tomoe belum pernah diberitahu bahwa mereka harus antre,
berjalan dengan benar, bersikap tenang di dalam kereta, dan tidak boleh membuang sampah di lantai
setelah memakan bekal mereka.
Entah bagaimana, kehidupan sehari-hari di Tomoe
telah mengajarkan bahwa mereka tidak boleh mendorong orang yang lebih kecil atau
lemah daripada mereka, bahwa bersikap tidak sopan berarti mempermalukan diri sendiri, bahwa
setiap kali melewati sampah
mereka harus mengambilnya dan membuangnya ke
tempat sampah, dan bahwa mereka tidak boleh melakukan perbuatan yang membuat
orang lain kesal atau terganggu.
Fakta yang paling aneh adalah Totto-chan. Baru
beberapa bulan sebelumnya ia selalu menggegerkan seisi
sekolah karena berbicara dengan pemusik jalanan dari
jendela ketika pelajaran berlangsung. Sejak hari pertama
bersekolah di Tomoe, Totto-chan selalu rajin belajar dan
berusaha bersikap baik. Kalau saja guru dari sekolahnya
yang lama melihat Totto-chan sekarang, duduk manis di
dalam kereta api bersama anak-anak lain, mereka pasti
bilang, "Pasti itu anak lain!"
Di Numazu, mereka naik kapal yang persis dengan
yang mereka bayangkan. Kapal itu tidak besar, tapi
dengan penuh semangat anak-anak melihat-lihat isinya,
meraba-raba dan mengamati dengan cermat. Ketika
kapal itu mulai berlayar, anak-anak melambai pada para
penduduk kota yang berdiri di dermaga. Belum jauh
mereka berlayar, hujan turun, memaksa mereka berteduh
di dalam. Tiba-tiba laut berubah ganas.
Totto-chan merasa mual, begitu pula anak-anak lain.
Tepat ketika itu, seorang anak laki-laki dari kelas yang
tinggi berdiri di tengah-tengah geladak, berpura-pura
menjadi penyeimbang kapal. Tiap kali kapal oleng, dia
berlari ke satu sisi sambil berteriak "Ups!" Kemudian dia
berlari ke sisi lain sambil berteriak "Ups!" Lucu sekali.
Anak-anak tertawa melihatnya, lupa bahwa mereka
mabuk laut. Mereka masih tertawa-tawa ketika kapal
berlabuh di Toi. Anehnya, setelah semua turun dari
kapal, anak laki-laki yang tadi berteriak 'Ups!" itu mulai
mabuk, padahal anak-anak yang lain sudah sembuh dan
mulai merasa nyaman! Pemandian Air Panas Toi terletak di desa yang tenang
dan indah di tepi laut, dikelilingi bukit-bukit yang
ditumbuhi pepohonan. Setelah beristirahat sebentar, para
guru membawa anak-anak ke laut. Karena di sana tidak
seperti kolam renang Tomoe, mereka mengenakan
pakaian renang. Sumber air panas yang terletak di laut itu unik sekali.
Tempatnya terbuka, tidak ada garis yang membatasi
sumber air panas itu dengan laut yang mengelilinginya.
Kalau kita berjongkok di tempat yang katanya merupakan sumber air panas, airnya akan naik setinggi
leher, terasa hangat dan nyaman, seperti mandi berendam air panas. Jika ingin
berenang di laut, kita tinggal
bergeser sekitar empat setengah meter menyamping dari
sumber air panas. Sedikit demi sedikit suhu air akan
berkurang. Semakin jauh kita berjalan, air akan semakin
dingin, jadi kita tahu kita sudah berada di laut. Jadi kalau
setelah berenang-renang di laut, kita mulai merasa
kedinginan, kita bisa cepat-cepat kembali ke sumber air
panas dan berendam sampai ke leher! Rasanya seperti di
rumah sendiri. Pemandangan di sana kini tampak sungguh lucu.
Tampak sebagian murid yang mengenakan topi renang
berenang-renang di laut seperti anak-anak biasa. Tapi
sebagian yang lain membentuk lingkaran, berendam
santai di sekitar sumber air panas sambil asyik
mengobrol, seakan sedang berendam di tempat pemandian umum. Kalau ada yang melihat mereka,
dalam hati orang itu pasti berkata, Wah, tingkah laku
anak-anak itu seperti orang tua yang sedang berendam
di air panas saja. Di masa itu, pantai-pantai masih sepi. Berada di sana
seperti berada di pantai milik pribadi. Anak-anak
menikmati sumber air panas yang unik itu sepuaspuasnya. Setelah lama sekali
berendam di air, ketika kembali ke rumah peristirahatan di sore hari, mereka
melihat jari-jari mereka keriput.
Setiap malam, setelah menyelinap ke balik selimut
kapas, para murid bergantian menceritakan kisah hantu.
Saking takutnya, Totto-chan dan teman-teman sekelasnya sampai menangis. Walaupun
sambil menangis, mereka tetap bertanya, "Lalu, apa yang terjadi?"
Tidak seperti berkemah di dalam Aula atau mengikuti
Tes Keberanian, tiga hari di Pemandian Air Panas Toi
memberi mereka pengalaman hidup yang benar-benar
nyata. Misalnya, mereka bergiliran ditugaskan membeli
sayuran dan ikan untuk makan malam. Jika seseorang
bertanya di mana sekolah mereka dan dari mana asal
mereka, mereka harus menjawab dengan sopan. Ada
anak yang nyaris tersesat di hutan. Ada yang berenang
terialu jauh ke tengah hingga tak bisa kembali ke pantai
dan membuat semua orang cemas. Ada pula yang
kakinya berdarah, tertusuk pecahan kaca. Dalam setiap
kejadian, semua anak harus berusaha sebaik-baiknya
untuk menolong. Tapi pada umumnya yang mereka alami sungguh
menyenangkan. Di sana ada hutan yang banyak burung
tonggeret dan satu toko. Di toko itu kita bisa membeli es
loli. Di pantai anak-anak berkenalan dengan seorang lakilaki yang sedang membuat
perahu kayu besar sendirian.
Bentuknya sudah mirip perahu. Setiap pagi, begitu
bangun anak-anak langsung lari ke pantai, melihat
sampai di mana kemajuan pembuatan perahu itu. Lakilaki itu memberi Totto-chan
tatal kayu yang sangat panjang dan melengkung. "Bagaimana kalau kita berfoto untuk kenang-kenangan?" tanya Kepala Sekolah
sebelum mereka meninggalkan tempat itu. Mereka belum pernah berfoto bersama.
Semua menyambut gagasan itu dengan bersemangat.
Sebelum guru siap dengan kameranya, seorang anak
berlari ke kamar kecil dan seorang anak lain berteriak
sepatunya terbalik dan ingin membetulkannya dulu.
Ketika akhirnya guru itu berkata, "Semua sudah siap?"
satu-dua anak berbaring di lantai, kelelahan setelah
terialu lama harus menahan pose. Seluruh proses itu
makan waktu sangat lama. Tapi foto itu, foto para murid yang berpose sesuka
hati dengan latar belakang laut, menjadi harta yang
sangat berharga bagi mereka. Begitu melihat foto itu,
kenangan akan bermunculan"n"perjalanan naik kapal,
sumber air panas di laut, cerita-cerita hantu, dan si anak
"Ups". Totto-chan takkan pernah melupakan liburan
musim panasnya yang pertama dan sangat menyenangkan itu. Masa-masa itu adalah masa ketika kita masih bisa
menemukan udang-udang kecil di kolam-kolam dekat
rumah mereka di Tokyo, dan gerobak tukang sampah
masih ditarik sapi jantan besar.
25. Euritmik SETELAH liburan musim panas berakhir, semester kedua
dimulai. Di Jepang, tahun ajaran sekolah mulai pada
bulan April. Bukan hanya teman-teman sekelasnya,
Totto-chan juga sudah berteman dengan semua murid
dari kelas yang lebih besar, laki-laki maupun perempuan,
berkat bermacam-macam acara yang mereka lakukan
bersama selama liburan musim panas. Totto-chan pun
semakin menyukai Tomoe Gakuen.
Selain cara pengajaran yang berbeda dengan sekolahsekolah biasa, sebagian besar
jam pelajaran di Tomoe diisi dengan pelajaran musik. Ada bermacam-macam
pelajaran musik, termasuk pelajaran euritmik setiap hari.
Euritmik adalah semacam pendidikan tentang ritme atau
irama khusus yang diciptakan seorang guru musik dan
pencipta lagu berfcebangsaan Swiss, Emile JaquesDalcroze. Hasil penelitian
Jaques-Dalcroze mulai terkenal
di sekitar tahun 1904. Sistem yang diciptakannya segera
digunakan di seluruh Eropa dan Amerika. Pusat-pusat
latihan dan lembaga penelitian pun bermunculan di
mana-mana. Berikut ini kisah bagaimana euritmik ciptaan
Dalcroze digunakan di Tomoe.
Sebelum mendirikan Tomoe Gakuen, Sosaku Kobayashi, sang kepala sekolah, pergi ke Eropa untuk
melihati bagaimana anak-anak dididik di luar negeri. Dia
mengunjungi banyak sekolah dasar dan bicara dengan
beberapa pendidik. Di Paris, dia berkenalan dengan
Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalcroze, penggubah musik yang hebat sekaligus pendidik. Dalcroze telah menghabiskan banyak waktu merenungkan bagaimana caranya melatih
anak-anak untuk mendengarkan dan merasakan musik di pikiran mereka,
bukan hanya menikmatinya dengan telinga; bagaimana
membuat mereka merasakan musik sebagai sesuatu yang
bergerak, bukan hanya sesuatu yang tak bernyawa dan
membosankan; bagaimana caranya membangkitkan kepekaan anak-anak. Akhirnya, setelah melihat bagaimana anak-anak melompat-lompat
dan berlarian, Dalcroze mendapat gagasan untuk menciptakan irama khusus untuk berolahraga. Irama itu disebut
euritmik. Kobayashi mengikuti kuliah Dalcroze di Paris selama
lebih dari setahun dan mempelajari sistem itu dengan
saksama. Banyak Dalcroze"n"komposer
orang Jepang yang Koscak Yamada; dipengaruhi pelopor tari modern di Jepang, Baku Ishii; aktor kabuki, Ichikawa
Sadanji II; perintis drama modern Kaoru Osannai; penari
Michio Ito. Mereka semua merasa ajaran-ajaran Dalcroze
merupakan dasar berbagai kesenian lain. Tapi, Sosaku
Kobayashi adalah yang pertama mempraktekkannya
untuk pendidikan sekolah dasar di Jepang.
Jika ditanya apa artinya euritmik, Sosaku Kobayashi
akan menjawab, "Euritmik adalah olahraga yang menghaluskan mekanisme tubuh;
olahraga yang mengajari otak cara menggunakan dan mengendalikan tubuh;
olahraga yang memungkinkan raga dan pikiran memahami irama. Mempraktekkan
euritmik membuat kepribadian anak-anak bersifat ritmik. Kepribadian yang
ritmik itu kuat, indah, selaras dengan alam, dan
mematuhi hukum-hukumnya."
Kelas Totto-chan mulai mempelajari euritmik dengan
melatih tubuh agar bisa memahami irama. Kepala
Sekolah memainkan piano di panggung kecil di Aula, lalu
para murid, yang berdiri bebas di mana saja, mulai
berjalan mengikuti irama musik. Mereka boleh berjalan
dengan gaya sesuka hati, asalkan jangan sampai bertabrakan dengan anak lain.
Karena itu, anak-anak cenderung bergerak ke arah yang sama sambil membentuk
lingkaran. Jika musik berirama dua ketukan, anak-anak
akan melambai-lambaikan tangan mereka ke atas dan ke
bawah, seperti dirigen, sambil terus berjalan.
Untuk gerakan kaki, para murid tidak boleh mengentakkan kaki dengan keras,
walaupun itu tidak berarti
mereka harus berjalan dengan ujung jari kaki seperti
penari balet. Mereka dianjurkan untuk berjalan santai,
sesantai-santai nya, menuruti gerak kaki mereka. Yang
terpenting adalah melakukannya sealamiah mungkin.
Jadi, anak-anak bisa berjalan sesuka hati dengan gerakan
yang mereka anggap benar. Jika irama berganti menjadi
tiga ketukan, mereka menyesuaikan lambaian tangan dan
langkah mereka dengan tempo itu, lebih cepat atau lebih
lambat sesuai irama. Mereka harus berlatih mengangkat
dan menurunkan tangan sesuai irama, sampai irama
enam ketukan. Gerakan untuk irama empat ketukan
cukup sederhana: "Ke bawah, memeluk badan, julurkan ke samping, lalu
ke atas." Untuk irama lima ketukan, gerakannya:
"Ke bawah, memeluk badan, julurkan ke depan, julurkan ke samping, lalu ke atas."
Dan untuk irama enam ketukan, tangan harus bergerak:
"Ke bawah, memeluk badan, julurkan ke depan,
memeluk badan lagi, julurkan ke samping, lalu ke atas."
Jadi jika irama selalu berganti, gerakan-gerakan itu
cukup sulit dilakukan. Dan akan semakin sulit jika Kepala Sekolah berseru,
"Bahkan walaupun aku mengubah tempo permainan
piano, kalian belum boleh mengubah irama gerakan
sampai kuperintahkan, ya!"
Misalnya, mereka sedang berjalan mengikuti irama
dua ketukan, lalu musik berganti ke irama tiga ketukan,
anak-anak harus tetap berjalan dalam irama dua ketukan
sementara telinga mereka mendengar irama tiga ketukan. Itu sangat sulit, tapi Kepala Sekolah berkata
latihan itu penting untuk menumbuhkan kemampuan
konsentrasi. Akhimya Kepala Sekolah berteriak, "Kalian boleh ganti
irama sekarang!" Dengan lega anak-anak segera menyesuaikan gerakan
mereka dengan irama tiga ketukan. Tapi untuk itu
mereka harus sangat waspada. Waktu memerintahkan
pikiran untuk meninggalkan irama dua ketukan dan
menyuruh otot-otot mereka menyesuaikan dengan irama
tiga ketukan, bisa saja irama musik tiba-tiba berubah
menjadi lima ketukan! Jika demikian, anak-anak akan
mengeluh "Guru, tunggu! Tunggu!" sementara tangan
mereka bergerak serabutan. Tapi setelah latihan terusmenerus, gerakan-gerakan itu menjadi menyenangkan.
Para murid pun bahkan menciptakan berbagai variasi
dan sangat menikmati gerakan mereka.
Biasanya setiap anak bergerak secara individual, tapi
terkadang ada yang berpasangan dan memutuskan
bergerak seirama, berpegangan tangan jika irama
dimainkan dua ketukan; atau mereka akan mencoba
berjalan dengan mata terpejam. Satu-satunya hal yang
dilarang adalah bercakap-cakap.
Terkadang, jika latihan euritmik bertepatan dengan
pertemuan Persatuan Orangtua Murid dan Guru, para ibu
suka mengintip dari jendela. Sungguh pemandangan
yang indah"n"setiap anak menggerakkan tangan dan kaki
mereka dengan santai, melompat-lompat riang, dalam
gerakan yang seirama musik.
Jadi, tujuan euritmik pertama-tama adalah melatih
pikiran dan tubuh untuk sadar akan adanya irama,
selanjutnya mencapai keselarasan antara jiwa dan raga,
sampai akhirnya membangkitkan imajinasi yang kemudian merangsang kreativitas.
Pada hari pertama datang ke Tomoe Gakuen, Tottochan melihat nama sekolah itu dan
bertanya pada Mama, "Apa artinya Tomoe?"
Tomoe adalah simbol kuno berbentuk koma. Untuk
sekolah yang didirikannya, Kepala Sekolah memilih
lambang tradisional yang terdiri atas dua tomoe"n"hitam
dan putih"n"yang bergabung membentuk lingkaran sempuma. Lambang itu menggambarkan
cita-cita Kepala Sekolah bagi para muridnya, yaitu tubuh dan pikiran
sama-sama berkembang secara seimbang dan dalam
keselarasan yang sempurna.
Kepala Sekolah memasukkan euritmik dalam kurikulum sekolahnya karena yakin
sistem itu akan berhasil dan membantu anak-anak mengembangkan kepribadian
mereka secara alamiah, tanpa terialu dipengaruhi orang
dewasa. Kepala Sekolah tidak menerapkan sistem pendidikan
yang berlaku umum ketika itu, yaitu sistem yang lebih
menekankan pada kata-kata tertulis dan cenderung
menyempitkan persepsi indrawi anak-anak terhadap
alam. Sistem itu juga menghilangkan kepekaan intuitif
mereka akan suara Tuhan yang pelan dan menenangkan,
yaitu inspirasi. Penyair Basho-lah yang menulis:
Dengar! Si Katak Lompat ke kolam kuno Dengarlah air! Walaupun sebenarnya pemandangan seekor katak
yang melompat ke kolam pasti sudah pernah dilihat
banyak orang. Sejak berabad-abad yang lalu, di seluruh
dunia, Watt dan Newton pasti bukan satu-satunya orang
yang pernah melihat uap keluar dari ketel berisi air
mendidih dan mengamati jatuhnya apel dari pohon.
Punya mata, tapi tidak melihat keindahan; punya
telinga, tapi tidak mendengar musik; punya pikiran, tapi
tidak memahami kebenaran; punya hati tapi hati itu tak
pernah tergerak dan karena itu tidak pernah terbakar.
Itulah hal-hal yang harus ditakuti, kata Kepala Sekolah.
Dan Totto-chan, yang asyik melompat-lompat dan
berlari-lari dengan kaki telanjang seperti Isadora Duncan,
merasa luar biasa bahagia dan hampir tak percaya
bahwa semua ini bagian dari bersekolah!
26. "Satu-satunya yang Kuinginkan!"
SAAT itu adalah pertama kalinya Totto-chan pergi ke
perayaan di kuil. Di tengah Kolam Senzoku, dekat
sekolahnya yang lama, ada pulau kecil dengan kuil yang
didirikan untuk menghormati Benten, dewi musik dan
keindahan. Pada malam perayaan tahunan, Totto-chan
berjalan menyusuri jalanan yang agak gelap ber-sama
Mama dan Papa. Ketika mereka tiba di tempat perayaan,
langit malam tiba-tiba tampak terang bercahaya. Tottochan menjulurkan kepalanya
ke dalam setiap stan kecil
yang ada di sana. Terdengar suara-suara aneh di manamana"n"bunyi mendecit,
mendesis, dan meletus"n"berbaur
dengan bermacam-macam aroma yang membangkitkan
selera. Bagi Totto-chan, semua itu baru dan aneh.
Ada pipa-pipa mainan, untuk "diisap seperti orang
merokok" tapi yang terisap adalah peppermint. Pipa itu
dihiasi gambar kucing, anjing, dan Betty Boop. Ada
permen loli dan arumanis. Ada bedil bambu"n"batang
bambu kecil yang bagian dalamnya berlubang dan diisi
dengan potongan-potongan batang tumbuhan tertentu,
yang jika didorong akan menghasilkan letusan keras.
Ada pria yang menelan pedang dan makan pecahan
kaca di pinggir jalan; ada lelaki lain yang menjual bubuk
yang jika digosokkan pada pinggiran mangkuk akan
mengeluarkan bunyi berdengung. Ada cincin emas ajaib
yang bisa membuat uang menghilang, foto-foto yang
mulai tampak gambarnya ketika terkena sinar matahari,
dan bunga-bunga kertas yang mekar ketika dicelupkan
ke dabm segelas air. Sambil terus berjalan, mata Tottochan'melirik ke sana-sini.
Tiba-tiba Totto-chan berhenti
melangkah. "Lihat!" serunya, melihat kotak penuh anak ayam yang
berciap-ciap. "Aku mau satu!" katanya, sambil menarik-narik Mama
dan Papa. "Belikan satu, ya Ma" Belikan satu, ya, Pa?"
Anak-anak ayam itu semua berpaling ke arah Tottochan dan mengangkat kepala
mungil mereka untuk memandangnya. Mereka menggoyang-goyangkan ekor
mereka yang kecil gundul dan berciap-ciap semakin
keras. "Mereka lucu-lucu, ya!" Totto-chan merasa belum
pernah melihat binatang yang begitu lucu dan menggemaskan. Ia pun berjongkok di
dekat kotak itu. "Beli, ya, Ma" Pa?" katanya memohon, memandang
Mama dan Papa. Ia kaget ketika kedua orangtuanya
mencoba menariknya pergi.
"Tapi Mama-Papa sudah janji akan membelikan aku
sesuatu, dan inilah satu-satunya yang kuinginkan!"
"Tidak boleh, Sayang," kata Mama lirih. "Anak-anak
ayam yang malang itu akan segera mati."
"Kenapa?" tanya Totto-chan, hendak menangis.
Papa menarik Totto-chan menjauh agar penjual anak
ayam itu tidak bisa mendengar, lalu menjelaskan,
"Mereka memang lucu dan menggemaskan sekarang,
Totsky, tapi tubuh mereka sangat lemah dan mereka takkan hidup lama. Kau pasti
menangis kalau anak ayam itu
mati. Itu sebabnya Mama dan Papa tidak mau membelikannya untukmu."
Tapi Totto-chan sudah memutuskan untuk memiliki
anak ayam. Ia tak peduli kata-kata ayahnya.
"Aku takkan membiarkan dia mati! Aku akan memeliharanya baik-baik!"
Mama dan Papa terus berusaha mengajaknya pergi,
tapi Totto-chan tetap memandangi anak-anak ayam itu
dengan sedih. Anak-anak ayam itu pun menatap Tottochan dengan memelas, sambil
terus berciap-ciap nyaring.
Totto-chan sudah memutuskan bahwa satu-satunya yang
diinginkannya adalah anak ayam. Ia terus merengek,
"Ayolah, Ma, belikan satu, ya?"
Mama dan Papa menolak tegas.
"Kami tidak ingin kau punya anak ayam yang akhirnya
akan membuatmu menangis."
Tangis Totto-chan meledak. Ia berjalan pulang dengan
air mata meleleh membasahi pipinya. Begitu sampai lagi
ke jalanan yang gelap, ia berkata sambil terisak-isak,
Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Belum pernah aku sangat menginginkan sesuatu seumur
hidupku. Aku takkan pernah lagi minta dibelikan sesuatu.
Tapi, belikan aku satu anak ayam, ya, Ma! Pa?"
Akhirnya Mama dan Papa menyerah.
Bagaikan terang matahari sesudah hujan lebat, wajah
Totto-chan langsung cerah. Sambil tersenyum lebar,
gadis cilik itu berjalan pulang dengan membawa kotak
kecil berisi dua ekor anak ayam.
Esok harinya, Mama menyuruh tukang kayu membuatkan kotak berlubang yang diberi
lampu listrik untuk menghangatkan anak-anak ayam itu. Totto-chan mengamati anak-anak ayamnya
sepanjang hari. Bulu kuning
mereka sangat menggemaskan. Tapi, pada hari keempat
salah satu dari mereka berhenti bergerak, dan pada hari
kelima yang satunya juga.
Totto-chan berusaha mengelus-elus dan memanggilmanggil anak-anak ayam itu, tapi
dua ekor hewan tersebut tetap tidak mengeluarkan bunyi "ciap". Ia menunggu dan menunggu, tapi anak-anak ayam itu tak
pernah lagi membuka mata. Persis seperti yang dikatakan Mama dan Papa. Sambil
menangis, Totto-chan menggali lubang di kebun lalu menguburkan dua unggas
mungil itu. Di atas kubur tersebut, ia meletakkan
sekuntum bunga mungil. Kini kotak bekas kandang ayamnya tampak besar dan
kosong. Ketika melihat sehelai bulu kuning kecil di salah
satu sudut kotak, Totto-chan teringat bagaimana anakanak ayam itu berciap-ciap
ketika melihatnya di pasar
malam. Ia mengertakkan gigi dan menangis diam-diam.
Belum pernah ia sangat menginginkan sesuatu sepanjang hidupnya dan kini dua anak
ayam itu sudah tiada dengan begitu cepat. Itulah pengalaman kehilangan
dan perpisahan yang pertama bagi Totto-chan.
27. Pakaian Paling Usang KEPALA SEKOLAH selalu meminta para orangtua agar
menyuruh anak-anak mereka mengenakan pakaian
paling usang untuk bersekolah di Tomoe. Dia ingin
semua murid mengenakan pakaian usang agar mereka
tak perlu mengkhawatirkan pakaian mereka akan kena
lumpur atau robek. Menurutnya, sayang kalau anak-anak
harus takut dimarahi akibat mengotori pakaian mereka,
atau ragu-ragu bergabung mengikuti suatu permainan
karena cemas baju mereka akan robek.
Ada beberapa sekolah dasar yang berada di dekat
Tomoe. Di sana, murid perempuan mengenakan seragam
model kelasi dan murid laki-laki mengenakan jas berkerah tinggi dan celana
pendek. Murid-murid Tomoe
mengenakan pakaian sehari-hari ke sekolah. Guru-guru
mengizinkan mereka bermain sepuasnya tanpa perlu
memikirkan kebersihan dan keutuhan pakaian mereka.
Di masa itu, celana tidak dibuat dari kain yang awet
seperti bahan jins sekarang. Jadi semua murid laki-laki di
Tomoe celananya bertambal-tambal dan murid-murid
perempuan mengenakan rok bawahan atau rok biasa
yang terbuat dari kain paling awet yang ada saat itu.
Pada jam istirahat, Totto-chan paling suka menyusup
di bawah pagar halaman rumah orang atau pagar tanah
kosong. Jadi aturan itu sungguh pas baginya karena ia
tak perlu mencemaskan pakaiannya. Di masa itu, di
mana-mana ada pagar kawat berduri. Di tempat-tempat
tertentu, kawat berduri itu dipasang rendah menyentuh
tanah. Untuk menyusup ke bawah pagar seperti itu, kita
harus menggali lubang seperti anjing. Walaupun sudah
sangat berhati-hati, Totto-chan selalu membuat bajunya
tersangkut kawat dan robek.
Pernah ia merangkak di bawah pagar dengan
mengenakan pakaian yang terbuat dari kain belacu tua
yang memang sudah lusuh. Pakaian itu pun robek dari
atas ke bawah. Meskipun pakaian itu sudah tua, Tottochan tahu Mama sangat
menyukainya, jadi ia langsung
memeras otak, mencari alasan tepat. Ia tak berani
memberitahu Mama pakaiannya robek tersangkut kawat
berduri. Pikirnya, lebih baik ia mengarang cerita bohong
agar terdengar seolah ia tak sengaja merobek pakaiannya. Akhirnya ia memutuskan
mengarang cerita seperti ini. "Aku sedang menyusuri jalan," ia berbohong kepada
Mama begitu sampai di rumah. "Tiba-tiba segerombolan
anak nakal melempari punggungku dengan pisau. Jadinya pakaianku robek seperti ini." Begitu selesai bicara,
Totto-chan berpikir bagaimana ia akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
mungkin akan ditanyakan Mama. Untung Mama hanya berkata, "Wah, pasti mengerikan
sekali!" Totto-chan mengembuskan napas lega. Mama pasti
tahu, dalam situasi-situasi seperti itu Totto-chan pasti tak
sengaja merobekkan pakaian kesayangannya.
Tentu saja Mama tak mempercayai ceritanya tentang
pisau. Pisau yang dilemparkan ke punggung pasti akan
melukai punggung dan merobek pakaiannya, padahal
Totto-chan sama sekali tidak tampak ketakutan setelah
mengalami kejadian itu. Mama langsung tahu cerita itu
hanya karangan. Apa pun yang terjadi, tidak biasanya
Totto-chan bersusah payah mengarang alasan seperti itu.
Mama pun menyadari bahwa Totto-chan pasti merasa
tidak enak karena membuat pakaiannya robek. Dan itu
cukup membuat Mama merasa lega. Tapi sudah lama
Mama ingin tahu satu hal dan saat ini tampaknya adalah
kesempatan baik untuk bertanya.
"Mama bisa melihat pakaianmu robek gara-gara pisau
atau semacamnya," katanya, "tapi bagaimana mungkin
setiap hari celana dalammu juga robek?"
Mama tak pernah bisa mengerti bagaimana celana
dalam Totto-chan yang dihiasi renda setiap hari bisa
robek di sekeliling pantat. Mama bisa mengerti bila
celana dalamnya kotor dan menipis bahannya karena
pemakainya sering main perosotan atau jatuh terduduk.
Tapi bagaimana celana dalam Totto-chan bisa sampai
robek-robek seperti rombengan"
Totto-chan memikirkan hal itu beberapa lama, kemudian berkata, "Begini, setiap kali menyusup lewat
bawah pagar sambil bergerak ke depan, tanpa sengaja
rok akan tersangkut kawat berduri. Waktu bergerak ke
arah sebaliknya, celana dalamku yang tersangkut. Saat
itu aku harus bilang, 'Bolehkah aku masuk"' dan 'Sampai
jumpa' dari satu sisi pagar ke sisi yang lain. Jadi sudah
pasti celana dalam atau bajuku akan robek."
Mama tidak sepenuhnya mengerti cerita Totto-chan,
walaupun kedengarannya kejadian itu agak mengesankan.
"Asyik, ya?" tanya Mama.
"Kenapa Mama tidak mencobanya?" kata Totto-chan,
heran karena pertanyaan itu. "Asyik sekali! Aku jamin,
celana dalam Mama pasti juga akan robek!"
Permainan yang sangat disukai dan dinikmati Tottochan itu begini cara
memainkannya. Pertama, kita mencari tanah kosong yang luas dan
dikelilingi pagar kawat berduri. Kalimat "Bolehkah aku
masuk?" diucapkan bersamaan dengan mengangkat
kawat berduri, menggali lubang di bawahnya, lalu menyusup lewat bawah pagar.
Sampai di dalam lubang, kita
angkat sedikit kawat itu, di samping bagian yang tadi,
menggali lubang yang lain, lalu mundur sambil berkata,
"Sampai jumpa."
Sekarang jelas bagi Mama bagaimana rok Totto-chan
yang tergulung ke atas ketika dia merayap mundur
membuat celana dalamnya tersangkut kawat berduri.
Proses itu diulangi berkali-kali"n"menggali lubang di
bawah pagar sambil berkata "Bolehkah aku masuk?"
kemudian mundur keluar lewat lubang lain yang baru
digali, sambil berkata "Sampai jumpa," selalu membuat
rok dan celananya robek. Dengan riang Totto-chan
menyusup masuk dan keluar, menggali lubang di bawah
pagar kawat berduri. Tak heran, celana dalamnya selalu
robek-robek. Bayangkan, bagi orang dewasa, permainan seperti itu
mungkin hanya melelahkan dan bahkan menjengkelkan,
tapi bagi anak-anak sangat mengasyikkan! Mengamati
Totto-chan, dengan rambut, kuku, dan telinga kotor kena
tanah, mau tak mau Mama merasa agak in. Dan Mama
semakin mengagumi Kepala Sekolah. Sarannya agar
anak-anak mengenakan pakaian usang yang boleh kotor,
sekotor apa pun yang mereka inginkan, membuktikan
betapa Kepala Sekolah sangat memahami anak-anak.
28. Takahashi SUATU pagi, ketika murid-murid sedang bermain-main di
halaman sekolah, Kepala Sekolah berkata, "Ini teman
baru kalian. Nama keluarganya Takahashi. Dia akan bergabung dengan anak-anak
kelas satu." Anak-anak, termasuk Totto-chan, memandangi Takahashi. Anak itu melepas topinya,
membungkuk menghormat, dan berkata malu-malu, "Senang berkenalan
dengan kalian." Totto-chan dan kawan-kawannya masih kecil, karena
baru kelas satu. Tapi Takahashi, meskipun laki-laki,
tubuhnya jauh lebih kecil dari mereka. Lengan dan
tungkai kakinya sangat pendek. Tangannya yang memegangi topinya juga pendek.
Tapi, bahunya kekar. Anak
itu berdiri dengan wajah muram.
"Kita ajak dia bicara yuk," kata Totto-chan pada Miyochan dan Sakko-chan. Mereka
mendekati Takahashi. Melihat mereka datang, anak laki-laki itu tersenyum
ramah. Totto-chan dan kawan-kawannya membalas senyumnya. Mata Takahashi bulat
besar dan tampak hendak mengungkapkan sesuatu.
"Kau mau lihat-lihat kelas di gerbong kereta?" Tottochan menawarkan. "Hmm!" gumam Takahashi sambil memakai topinya
kembali. Totto-chan tak sabar ingin segera menunjukkan kelasnya. Ia berbalik, berjalan
cepat menuju kelas, lalu memanggil Takahashi dari pintu gerbong, "Cepat!"
Takahashi tampak berjalan cepat tapi masih jauh dari
gerbong. "Aku datang," katanya sambil berjalan tertatih-tatih,
berusaha beriari. Totto-chan menyadari bahwa meskipun Takahashi
tidak menyeret kakinya seperti Yasuaki-chan yang menderita polio, dia
membutuhkan waktu yang sama lamanya untuk sampai ke gerbong. Totto-chan
menunggunya tanpa berkata apa-apa. Takahashi berlari secepat dia
bisa. Totto-chan tak perlu berteriak, "Cepat!" karena
Takahashi memang sedang bergegas secepat mungkin.
Kakinya sangat pendek dan melengkung ke dalam. Para
guru dan orang dewasa tahu pertumbuhan badannya
sudah terhenti. Ketika melihat Totto-chan memandanginya, dia berusaha keras
mempercepat langkahnya sambil
menggoyangkan lengan. Ketika akhirnya sampai ke pintu
gerbong, dia berkata, "Larimu cepat." Kemudian dia
menambahkan, "Aku dari Osaka."
"Osaka?" seru Totto-chan penuh semangat. Osaka
adalah kota impian yang belum pernah dilihatnya. Adik
bungsu Mama"n"pamannya"n"seorang mahasiswa. Setiap
kali datang berkunjung, pamannya itu selalu mengangkat
kepala Totto-chan tinggi-tinggi dengan kedua tangannya
sambil berkata, "Akan kuperlihatkan Osaka padamu. Kau
bisa lihat Osaka?" Itu permainan yang biasa dimainkan orang dewasa
untuk anak-anak, tapi Totto-chan percaya pada pamannya. Kulit wajahnya tertarik
sampai sakit, matanya sampai melotot dan telinganya sakit, tapi dia selalu
berusaha memandang ke kejauhan, mencari Osaka.
Sayangnya, dia tak pernah berhasil. Meski demikian,
Totto-chan yakin, suatu hari kelak dia pasti bisa melihat
Osaka. Karena itu, setiap kali pamannya datang, Tottochan berkata, "Perlihatkan
Osaka padaku." Begitulah,
Osaka menjadi kota yang diimpi-impikannya. Dan
Takahashi berasal dari sana!
"Ceritakan tentang Osaka," katanya kepada Takahashi.
"Tentang Osaka?" tanya anak itu sambil tersenyum
senang. Suaranya jernih dan terdengar dewasa. Tepat
ketika itu lonceng berdentang, tanda jam pelajaran
pertama mulai. "Sayang sekali," kata Totto-chan. Takahashi masuk ke
kelas dengan riang, tubuh mungilnya bergoyang-goyang,
nyaris tertutup tasnya. Dia memilih duduk di bans paling
depan. Cepat-cepat Totto-chan duduk di sampingnya. Dia
senang karena boleh duduk di mana saja yang
disukainya. Dia tidak ingin jauh-jauh dari kawan barunya
itu. Lalu Takahashi pun menjadi salah satu sahabat
Totto-chan. 29. "Lihat Dulu, Baru Lompat!"
DALAM perjalanan pulang dari sekolah, tak jauh dari
rumah, di pinggir jalan Totto-chan menemukan sesuatu
yang menarik perhatiannya: gundukan pasir yang tinggi.
Aneh melihat gundukan pasir di situ, tempat ini kan
sangat jauh dari pantai! Apakah ia bermimpi" Totto-chan
senang sekali. Setelah melompat-lompat kecil, ia berlari
kencang ke arah gundukan pasir itu lalu me-lompat ke
puncaknya. Tapi, ternyata itu bukan gundukan pasir! Di
dalamnya ada adonan semen abu-abu.
Bersamaan dengan bunyi "blep", Totto-chan terbenam
Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke dalam semen itu. Tahu-tahu badannya sudah tenggelam sampai ke dada. Ia tampak
seperti patung, lengkap dengan tas sekolah dan tas sepatu. Semakin kuat ia
berkutat mencoba keluar, semakin dalam kakinya
terbenam. Sepatunya hampir lepas. Sekarang ia harus
berhati-harj agar tubuhnya tidak tenggelam seluruhnya.
Yang bisa dilakukannya hanya berdiri diam, dengan
tangan kiri terperangkap dalam cairan pengeras itu,
memegangi tas sepatunya. Satu-dua wanita yang tak
dikenalnya lewat. Totto-chan berseru kepada mereka,
"Permisi..." dengan suara lirih, tapi mereka mengira gadis
cilik itu sedang main-main. Mereka menoleh sebentar,
tersenyum, kemudian melanjutkan langkah mereka.
Ketika sore tiba dan hari mulai gelap, Mama mencaricarinya dan kaget menemukan
kepala Totto-chan tersembul di atas gundukan itu. Mama mengambil tongkat
panjang dan menyuruh Totto-chan memegang salah satu
ujungnya. Kemudian dia berusaha menarik Totto-chan
keluar. Mula-mula Mama mencoba menarik dengan
kedua tangan, tapi kakinya malah ikut terperosok ke
dalam cairan semen. Tubuh Totto-chan tertutup semen abu-abu, seperti
tembok. "Rasanya Mama pernah mengingatkan," kata Mama,
"kalau melihat sesuatu yang menarik, jangan langsung
melompat ke situ. Lihat dulu, baru lompat!"
Yang Mama maksud dengan "pernah" itu berhubungan dengan kejadian di sekolah
waktu jam makan siang. Totto-chan sedang berjalan menyusuri jalan
setapak di belakang Aula ketika melihat beberapa lembar
koran tergeletak di tengah jalan. Totto-chan berpikir,
pasti asyik kalau melompat ke tengah koran itu. Ia pun
mundur beberapa langkah, mengambil ancang-ancang,
mengincar bagian tengah koran itu. Kemudian ia melesat
cepat dan melompat. Totto-chan tak tahu, koran itu sengaja dipasang di
sana oleh tukang kebun untuk menutupi lubang bak
penam-pung kotoran yang sudah pernah diceritakan
sebelumnya. Karena sedang mengerjakan sesuatu di
tempat lain, tukang kebun memasang koran itu untuk
menutupi lubang agar baunya tidak ke mana-mana.
Tutup bak yang terbuat dari semen cor sedang dicopot.
Totto-chan jatuh tepat di tengah koran, membuat koran
itu robek, dan ia tercebur ke dalam bak kotoran
bersamaan dengan bunyi "blop" keras. Sungguh memalukan. Untunglah mereka bisa membuatnya bersih
lagi. Itulah kejadian yang diungkit Mama.
"Aku janji takkan melompat ke mana pun lagi," kata
Totto-chan lirih. Mama lega. Tapi apa yang kemudian
dikatakan Totto-chan membuat Mama berpikir bahwa ia
tertalu cepat merasa lega.
"Aku takkan pernah lagi melompat ke atas koran atau
gundukan pasir." Mama yakin, Totto-chan pasti berpikir tidak apa-apa
melompat ke tempat-tempat lain.
Hari-hari di musim gugur semakin pendek. Ketika
akhirnya mereka sampai di rumah langit benar-benar
sudah gelap. 30. "Lalu... Uh..."
JAM makan siang di Tomoe selalu menyenangkan, tapi
akhir-akhir ini acara itu semakin menarik.
Kepala Sekolah masih memeriksa kotak bekal kelima
puluh muridnya, untuk memastikan mereka membawa
"sesuatu dari laut dan sesuatu dari pegunungan?"n"dan
istrinya selalu membawa dua panci, siap menambahkan
makanan dari laut atau dari daratan yang tidak mereka
bawa. Setelah semua siap dan mereka selesai menyanyikan "Yuk kunyah baik-baik
semua makananmu" disusul ucapan "Selamat makan," seseorang akan menyampaikan pidato. Pada suatu hari Kepala Sekolah berkata, "Kurasa kita
semua harus belajar berbicara lebih baik. Bagaimana
menurut kalian" Mulai sekarang, sementara makan siang,
kita akan meminta seseorang, bergantian dengan yang
lain, berdiri di tengah lingkaran dan menceritakan
sesuatu kepada kita. Bagaimana menurut kalian"*
Ada anak yang merasa tak pandai bicara, tapi senang
mendengarkan anak lain berbicara di depan. Ada yang
senang bisa menceritakan sesuatu yang mereka ketahui
kepada orang lain. Totto-chan belum tahu apa yang akan
diceritakannya, tapi bertekad hendak mencobanya. Sebagian besar anak-anak menyukai gagasan Kepala
Sekolah dan mereka memutuskan untuk maju berpidato
esok harinya. Di rumah, anak-anak Jepang biasanya diajari untuk
tidak berbicara waktu makan. Tetapi berkat pengalamannya hidup di luar negeri,
Kepala Sekolah selalu mendorong murid-muridnya untuk makan tanpa tergesa-gesa
dan mengobrol santai. Kecuali itu, dia berpikir penting bagi mereka untuk
berlatih berdiri di depan orang banyak dan mengungkapkan gagasan mereka dengan
jelas dan bebas, tanpa merasa malu. Begitulah, Kepala Sekolah memutuskan untuk mempraktekkan
gagasannya. Setelah anak-anak menyetujui gagasan itu, inilah yang
dikatakannya kepada mereka. Totto-chan mendengarkan
dengan penuh perhatian. "Kalian tidak periu merasa harus jadi pembicara yang
baik," katanya. "Kalian boleh berbicara tentang apa saja.
Kalian boleh berbicara tentang apa yang ingin kalian
lakukan. Apa saja. Tapi yang penting, mari kita coba
dulu." Urutan anak yang maju ke depan disepakati. Juga
disepakati bahwa siapa pun yang akan maju berbicara
harus menghabiskan makan siangnya dengan cepat. Dia
harus langsung makan setelah nyanyian selesai.
Anak-anak segera mendapati bahwa tidak seperti
mengobrol dengan dua-tiga kawan sambil makan siang,
berdiri di depan seisi sekolah membutuhkan keberanian
dan ternyata cukup sulit. Ada anak yang sangat malu dan
hanya berdiri sambil tertawa-tawa salah tingkah. Ada
anak laki-laki yang sudah mati-matian mempersiapkan
diri, bahkan menghafal apa yang akan dikatakannya, tapi
langsung lupa segalanya begitu maju ke depan. Dia
mengulang-ulang judul pidatonya yang bagus, Mengapa
Kodok Melompat ke Samping, kemudian mulai dengan
"Waktu hujan...," tapi tak bisa melanjutkan. Akhirnya dia
berkata, "Itu saja," membungkuk hormat, lalu kembali ke
tempat duduknya. Giliran Totto-chan belum tiba, tetapi dia sudah
memutuskan, kalau gilirannya tiba dia akan menceritakan cerita favoritnya, yaitu
Sang Pangeran dan Putri. Semua anak tahu cerita itu. Setiap kali dia ingin menceritakan cerita itu waktu
jam istirahat, kawan-kawannya selalu bilang, "kami sudah bosan mendengar cerita
itu." Namun Totto-chan memutuskan kisah itulah yang
akan diceritakannya. Kegiatan baru itu berjalan lancar sampai pada suatu
hari anak yang mendapat giliran maju menolak keraskeras.
"Aku tak punya sesuatu yang bisa diceritakan," kata
anak itu. Totto-chan heran melihat ada anak yang tak punya
sesuatu untuk diceritakan. Tapi anak laki-laki itu bersikeras. Kepala Sekolah
mendekati meja anak itu. Di atas
mejanya tergeletak kotak bekalnya yang sudah kosong.
"Jadi kau tak punya sesuatu untuk diceritakan," katanya.
"Ya." Anak laki-laki itu tidak bersikap sok pintar atau berpura-pura. Dia memang jujur
mengatakan tak bisa menemukan sesuatu untuk diceritakan.
Kepala Sekolah tertawa terbahak-bahak, tak peduli
giginya sudah ompong. "Ayo kita coba cari sesuatu untuk kauceritakan."
"Mencari sesuatu untuk kuceritakan?" Anak laki-laki
itu tampak kaget. Kepala Sekolah menyuruh anak laki-laki itu berdiri di
tengah lingkaran, lalu duduk di bangku anak itu.
"Coba kauingat-ingat," kata Kepala Sekolah, "apa yang
kaulakukan tadi pagi setelah bangun dan sebelum
berangkat ke sekolah. Apa yang mula-mula kaulakukan?"
"Hmm," anak itu memulai, lalu berhenti dan menggaruk-garuk kepalanya.
"Bagus," kata Kepala Sekolah. "Kau bilang, 'Hmm.' Kau
pasti punya sesuatu untuk dikatakan. Apa yang kaulakukan setelah 'hmm?"
"Hm... uh... aku bangun tidur," katanya, sambil menggaruk-garuk kepalanya lebih
keras. Totto-chan dan anak-anak lain merasa geli tapi mendengarkan dengan penuh
perhatian. Anak laki-laki itu
melanjutkan, "Lalu... uh..." Dia menggaruk-garuk kepalanya lagi. Kepala Sekolah
duduk dan menunggu dengan
sabar, memperhatikan anak itu. Wajahnya tersenyum,
tangannya tertumpang di meja. Kemudian dia berkata,
"Bagus sekali. Itu sudah cukup. Kau bangun tidur tadi
pagi. Kau telah membuat semua yang ada di sini
mengerti itu. Kau tidak harus pandai melucu atau
membuat orang tertawa untuk menjadi pembicara yang
baik. Yang penting, kau tadi bilang tak punya sesuatu
untuk diceritakan, tapi nyatanya kau punya sesuatu yang
bisa kauceritakan." Tapi anak laki-laki itu tidak segera duduk. Dia malah
berkata dengan suara sangat keras, "Lalu... uh..."
Semua anak mencondongkan badan ke depan. Anak
laki-laki itu menarik napas panjang lalu melanjutkan,
"Lalu... uh... Mama... uh... berkata, 'Gosok gigimu'... uh...
lalu aku gosok gigiku."
Kepala Sekolah bertepuk tangan. Semua ikut bertepuk
tangan. Mendengar itu, anak laki-laki itu melanjutkan,
dengan suara yang semakin keras, "Lalu... uh..."
Anak-anak berhenti bertepuk tangan. Mereka menyimak sambil menahan napas. Tubuh
mereka semakin condong ke depan. Akhirnya, anak laki-laki itu berkata dengan nada
penuh kemenangan, "lalu... uh... aku sampai di sekolah."
Salah satu anak dari kelas yang tinggi mencondongkan tubuhnya terlalu ke depan
sampai kehilangan keseimbangan. Mukanya pun terantuk kotak bekalnya. Tapi
semua senang sekali karena anak laki-laki itu menemukan sesuatu untuk
diceritakan. Kepala Sekolah bertepuk tangan dengan penuh
semangat, begitu pula Totto-chan dan anak-anak lain.
Bahkan anak laki-laki "Lalu... uh..." yang masih berdiri di
tengah mereka, ikut bertepuk tangan. Bunyi tepuk
tangan riuh memenuhi Aula.
Sampai dewasa, anak itu mungkin takkan pernah
melupakan suara tepuk tangan itu.
31. "Thank You"
LIBURAN tahun baru hampir tiba. Tidak seperti ketika
liburan musim panas, kali ini anak-anak tidak berkumpul
di sekolah tapi menghabiskan liburan bersama keluarga.
"Liburan Tahun Baru ini aku akan pergi ke rumah
kakekku di Kyushu," kata Migita berkali-kali kepada
semua orang. Tai-chan, yang suka melakukan eksperimen sains, berkata, "Aku dan kakakku akan pergi
ke labora-torium fisika." Dia tak sabar ingin segera pergi
ke sana. "Sampai ketemu, ya?" kata anak-anak, saling
berpamitan dan bercerita tentang rencana liburan
mereka. Totto-chan akan pergi bermain ski bersama Mama dan
Papa. Kawan Papa, Hideo Saito, pemain cello dan dirigen
di orkestra tempat Papa bermain, punya rumah peristirahatan yang indah di Tanah Tinggi Shiga. Mereka
biasa menginap di sana setiap musim dingin. Totto-chan
mulai belajar bermain ski sejak bersekolah di taman
kanak-kanak. Untuk peraj ke tempat bermain ski, dari stasiun kita
harus naik kereta kuda. Sepanjang jalan tampak hamparan salju memutih, lift ski,
dan pohon-pohon gundul di
sana-sini. Kata Mama, bagi orang-orang yang tidak punya
rumah peristirahatan seperti Mr. Saito, hanya ada satu
rumah penginapan gaya Jepang dan satu hotel gaya
Barat. Tapi anehnya, banyak sekali orang asing yang
menginap di sana. Bagi Totto-chan, tahun ini tidak sama dengan tahun
sebelumnya. Kini ia sudah kelas satu sekolah dasar dan
Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah tahu bahasa Inggris sedikit-sedikit. Papa mengajarinya bagaimana
mengucapkan "Thank you."
Orang-orang asing yang melewati Totto-chan yang
berdiri di salju dengan pakaian skinya selalu mengatakan
sesuatu. Antara lain, "Dia manis, ya?" atau sesuatu seperti
itu, tapi Totto-chan tidak mengerti. Dulu ia tak pernah
bisa menanggapi, tapi sekarang ia mencoba menganggukkan kepala sambil berkata,
"Thank you." Ucapan itu membuat orang-orang asing tadi tersenyum kepadanya dan saling
mengatakan sesuatu di antara mereka. Terkadang seorang wanita akan membungkuk dan menempelkan pipinya
ke pipi Totto-chan, atau seorang pria memeluknya. Totto-chan berpikir,
sungguh menyenangkan bisa berkawan dengan orangorang asing hanya dengan
mengucapkan, "Thank you."
Suatu hari, seorang pemuda yang ramah mendekati
Totto-chan dan memberi isyarat seakan berkata, "Maukah kau menumpang ski di depanku?" Papa
mengizinkannya. "Thank you" kata Totto-chan.
Pemuda itu lalu mendudukkan Totto-chan dengan
lutut ditekuk di depan skinya. Kemudian, sambil menyeimbangkan kedua skinya, dia
meluncur bersama Tottochan, menuruni landaian yang paling tidak berbahaya
dan paling panjang di Tanah Tinggi Shiga. Mereka melaju
sekencang angin. Ketika udara menerpa telinganya,
Totto-chan mendengar bunyi berkesiur. Totto-chan
memeluk lututnya erat-erat, menjaga agar dirinya tidak
terjungkal ke depan. Memang agak mengerikan, tapi
asyik sekali. Ketika mereka berhenti, orang-orang yang
menonton bertepuk tangan. Bangkit berdiri dari ski pria
itu, Totto-chan membungkuk sedikit ke arah para
penonton, lalu berkata, "Thank you." Orang-orang bertepuk tangan semakin keras.
Lama kemudian baru Totto-chan tahu bahwa pria itu
bernama Schneider, pemain ski termasyhur di dunia
yang selalu menggunakan tongkat ski yang terbuat dari
perak. Tapi hari itu, yang disukai Totto-chan dari si pria
adalah setelah mereka berski menuruni landaian dan
semua orang bertepuk tangan, Mr. Schneider memandangnya seakan Totto-chan tokoh
penting dan berkata, "Thank you." Mr. Schneider tidak mempertakukannya
seperti anak kedl, tapi seperti wanita dewasa. Ketika pria
itu membungkuk memberi hormat, dalam hati Totto-chan
tahu, Mr. Schneider adalah pria sejati. Dan di belakang
punggungnya, latar belakang salju putih seakan menjulang hingga ke kaki langit.
32. Gerbong Perpustakaan Ketika kembali ke sekolah setelah liburan musim dingin,
anak-anak melihat sesuatu yang baru dan menakjubkan.
Mereka berteriak-teriak kegirangan melihatnya. Di seberang deretan kelas ada
satu gerbong baru, di samping
petak bunga, dekat Aula. Ketika mereka berlibur,
gerbong itu telah ditata menjadi perpustakaan! Ryo-chan,
tukang kebun sekolah yang dihormati semua anak dan
bisa melakukan pekerjaan apa saja, rupanya sudah
bekerja sangat keras. Dia memasang berderet-deret rak
buku di dalam gerbong, dan rak-rak itu sekarang penuh
buku, bermacam-macam ukuran dan warnanya. Meja dan
kursi tersedia, tempat anak-anak duduk dan membaca.
"Ini perpustakaan kalian," kata Kepala Sekolah. "Semua
buku ini boleh dibaca siapa saja. Kalian tidak perlu
cemas. Tidak ada buku yang hanya khusus untuk kelas
tertentu atau yang seperti itu. Kalian boleh datang ke sini
kapan saja. Kalian juga boleh meminjam buku untuk dibawa pulang. Kalau sudah
selesai membaca buku itu,
kalian harus mengembalikannya ke sini! Dan kalau ada
yang punya buku di rumah yang menurut kalian pantas
dibaca kawan-kawan kalian, aku akan senang jika kalian
membawa buku itu ke sini. Pendek kata, bacalah sebanyak-banyaknya."
"Pelajaran pertama hari ini kita jadikan pelajaran
perpustakaan saja!" teriak anak-anak kegirangan.
"Itukah yang kalian inginkan?" kata Kepala Sekolah,
sambil tersenyum gembira melihat anak-anak sangat bersemangat. "Baiklah, mengapa
tidak?" Demikianlah, seluruh murid Tomoe"e"lima puluh anak"e"masuk ke perpustakaan. Dengan penuh semangat,
mereka memilih buku yang mereka sukai lalu mencari
tempat duduk, tapi hanya setengah dari mereka yang
bisa memperoleh kursi, yang lain terpaksa berdiri.
Suasana di dalam gerbong itu mirip sekali dengan
suasana di kereta yang penuh sesak dengan orang-orang
yang berdiri sambil membaca. Pemandangan yang cukup
menggelikan. Anak-anak sangat gembira. Karena belum terlalu
lancar membaca, Totto-chan memilih buku bergambar
yang tampak paling menarik. Ketika semua anak sudah
memegang buku dan mulai membuka-buka halaman,
suasana di dalam gerbong jadi hening. Tapi tidak bertahan lama. Keheningan itu
segera pecah karena suarasuara anak menggumam. Ada yang membaca keraskeras, ada
yang menanyakan arti huruf yang tidak
mereka ketahui kepada kawannya, dan ada yang ingin
bertukar buku. Suara tawa memenuhi gerbong. Seorang
anak baru saja mulai membaca buku berjudul Singing
Picture"e"Menggambar Sambil Bernyanyi"e"dan sedang
menggambar sebentuk wajah sambil melagukan syair
yang dibacanya dengan suara nyaring:
Lingkaran, titik; lingkaran, titik;
Tanda pagar untuk hidung; lingkaran dan titik lagi.
Tiga rambut, tiga rambut, tiga rambut"e"dan wow!
Sekejap mata, jadilah wajah gendut hausfrau"e"wanita
dusun. Wajah itu harus dilingkari ketika mengucapkan "wow"
dan tiga setengah lingkaran dibuat ketika lirik "sekejap
mata" dilagukan. Kalau semua coretan dibuat dengan
benar, hasilnya akan jadi wajah wanita gendut dengan
tatanan rambut kuno khas Jepang.
Di Tomoe, anak-anak diizinkan mengerjakan pelajaran
menurut urutan yang mereka sukai. Karena itu tidaklah
aneh kalau mereka tidak terganggu dengan kegiatan
anak-anak lain. Mereka dilatih untuk berkonsentrasi, tak
peduli apa pun yang terjadi di sekeliling mereka. Karena
itu, tak seorang pun memperhatikan anak yang menyanyi keras-keras sambil menggambar hausfrau.
Satu-dua anak bergabung, ikut bernyanyi, tapi yang lain
tetap asyik membaca buku.
Buku yang dipilih Totto-chan rupanya berisi cerita
rakyat. Ceritanya tentang putri orang kaya yang tidak
bisa mendapatkan suami karena dia selalu buang angin.
Akhirnya orangtuanya berhasil mencarikan suami untuknya, tapi gadis itu terlalu
bersemangat pada malam pernikahannya hingga tanpa sadar, dia buang angin jauh
lebih kencang daripada biasanya. Angin itu meng-angkat
suaminya dari ranjang, memutar-mutar tubuhnya tujuh
setengah kali di dalam kamar tidur, lalu memben-turkan
pria malang itu ke dinding sampai pingsan.
Gambar yang paling menarik di buku itu adalah
gambar yang menunjukkan si pengantin pria berputarputar di dalam kamar karena
diterbangkan angin. Sejak
itu, banyak anak yang ingin membaca buku tersebut.
Semua murid Tomoe berjejal di dalam gerbong, seperti
ikan sarden. Mereka melahap isi buku-buku dengan
penuh semangat. Cahaya matahari pagi tercurah lewat
jendela-jendela gerbong. Pemandangan itu pasti menghangatkan hati Kepala Sekolah.
Hari itu, anak-anak menghabiskan waktu seharian di
gerbong perpustakaan. Setelahnya kalau tak bisa bermain di halaman karena
hujan, atau di kesempatan-kesempatan lain, gerbong perpustakaan menjadi tempat
berkumpul favorit mereka.
"Sebaiknya kita membuat kakus di dekat perpustakaan," kata Kepala Sekolah pada
suatu hari. Itu diputuskannya karena anak-anak yang keasyikan
membaca buku selalu menunda sampai saat terakhir,
sebelum cepat-cepat berfari ke kakus di belakang Aula
dengan tubuh menekuk dan meliuk karena menahan
kencing. 33. Ekor DI suatu sore, ketika sekolah sudah selesai dan Tottochan bersiap hendak pulang,
Oe berlari-lari menghampirinya lalu berbisik, "Kepala Sekolah sedang memarahi
seseorang." "Di mana?" Dia heran karena belum pernah mendengar Kepala
Sekolah marah-marah. Melihat caranya beriari bergegas
menemui Totto-chan dan membisikkan hal itu kepadanya, Oe pasti juga heran.
"Mereka di dapur," kata Oe, matanya yang ramah terbelalak, cuping hidungnya
melebar. "Ayo!" Totto-chan menggandeng tangan Oe lalu mereka berdua beriari ke rumah Kepala
Sekolah. Rumah itu berdempetan dengan Aula, dapurnya tepat di samping pintu
belakang yang membuka ke halaman sekolah. Waktu
Totto-chan tercebur ke dalam bak penampung kotoran,
ia dibawa ke kamar mandi lewat dapur untuk dimandikan dan digosok sampai bersih.
Di dapur Kepala Sekolah itulah "sesuatu dari laut dan sesuatu dari pegunungan"
dimasak untuk dibagikan waktu makan siang.
Ketika berjingkat-jingkat mendekati dapur, kedua anak
itu mendengar suara Kepala Sekolah yang sedang marah,
menembus keluar pintu yang tertutup.
"Apa yang membuat Anda berkata tanpa perasaan
kepada Takahashi bahwa dia punya ekor?"
Rupanya wali kelas mereka yang sedang dimarahi.
"Saya tidak bermaksud menghinanya," mereka mendengar Ibu Guru menjawab. "Saat
itu kebetulan saya melihat ke arahnya, dan dia tampak sangat menggemaskan."
"Tidak tahukah Anda betapa seriusnya apa yang Anda
katakan itu" Apa yang harus saya lakukan untuk membuat Anda mengerti bahwa saya
sangat memperhatikan perkembangan Takahashi?"
Totto-chan teringat pada kejadian di kelas pagi itu.
Wali kelas mereka menjelaskan bahwa sebenarnya
manusia punya ekor. Anak-anak menganggap keterangan itu lucu. Orang dewasa
mungkin menganggap penjelasan itu sebagai pengantar untuk mengenal teori
evolusi. Anak-anak sangat tertarik. Lalu, ketika Ibu Guru
menjelaskan bahwa semua orang punya sisa ekor yang
disebut coccyx, anak-anak menebak-nebak di mana sisa
ekor mereka. Kelas langsung ribut. Akhirnya, Bu Guru
berkata sambil bercanda, "Mungkin seseorang di sini
masih punya ekor! Bagaimana denganmu, Takahashi?"
Takahashi langsung berdiri, menggelengkan kepala
dengan mantap sambil berkata tegas, "Aku tidak punya
ekor." Totto-chan sadar, kejadian itulah yang sedang dibicarakan Kepala Sekolah.
Sekarang suara Mr. Kobayashi
lebih terdengar sedih daripada marah.
"Tidak pernahkah Anda berpikir bagaimana perasaan
Takahashi jika dia ditanya apakah dia punya ekor?"
Kedua anak itu tidak bisa mendengar jawaban Ibu
Guru. Totto-chan tidak mengerti mengapa Kepala Sekolah sangat marah gara-gara persoalan ekor itu.
Totto-chan berpikir, dia pasti senang sekali kalau Kepala
Sekolah bertanya apakah dia punya ekor.
Karena tak ada cacat di tubuhnya, tentu saja dia
takkan keberatan ditanya seperti itu. Tapi Takahashi
telah berhenti tumbuh dan anak itu tahu. Itu sebabnya
Kepala Sekolah telah merancang semua kegiatan Hari
Olahraga secara khusus agar Takahashi bisa berpartisipasi dengan baik. Dia
menyuruh anak-anak berenang tanpa baju renang agar anak-anak seperti
Takahashi tidak perlu merasa malu akan keadaan tubuh
mereka. Dia melakukan apa saja untuk membantu anakanak yang punya cacat tubuh,
seperti Takahashi dan Yasuaki-chan, mengatasi rasa rendah diri di depan anakanak lain. Sungguh tak
masuk akal bagi Kepala Sekolah
bahwa seseorang tanpa berpikir panjang tega bertanya
begitu kepada Takahashi, hanya karena anak itu tampak
menggemaskan. Kepala Sekolah, yang kebetulan mengunjungi kelas itu,
sedang berdiri di belakang ketika Ibu Guru menanyakan
pertanyaan itu. Totto-chan mendengar wali kelasnya menangis. "Saya
memang salah. Salah sekali," katanya sambil terisak-isak.
"Apa yang bisa saya lakukan untuk minta maaf kepada
Takahashi?" Kepala Sekolah terdiam. Totto-chan tak bisa melihatnya lewat kaca pintu, tapi ia
sangat ingin ada di dekat
Mr. Kobayashi. Ia tak bisa memahami semua itu, tapi
entah bagaimana Totto-chan merasa bahwa lebih daripada sebelumnya, Kepala Sekolah adalah teman
mereka. Oe pasti juga merasa begitu.
Totto-chan tak pernah lupa bagaimana Kepala Sekolah
memarahi wali kelasnya di dapur, bukan di ruang guru
Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau di depan guru-guru lain. Itu menunjukkan bahwa
dia pendidik dalam arti sebenar-benarnya. Meski demikian,
ketika itu Totto-chan belum bisa mengerti sepenuhnya. Suara dan kata-kata Mr. Kobayashi selamanya akan terpateri di hatinya.
Saat itu musim semi hampir tiba. Awal tahun ajaran
baru dan musim semi kedua di Tomoe bagi Totto-chan.
34. Tahun Kedua di Tomoe Di halaman sekolah, tunas-tunas daun muda berwarna
hijau lembut bermunculan di pohon-pohon. Bunga-bunga
mulai mekar. Bunga krokus, dafodil, dan pansi menjulurkan kepala mereka
bergantian, seakan mengucapkan
"Apa kabar?" kepada murid-murid Tomoe. Bunga-bunga
tulip memanjangkan tangkai mereka, seakan hendak menegakkan badan. Kuncup-kuncup
bunga sakura seperti menunggu aba-aba untuk mekar serentak.
Ikan-ikan mata hitam dan ikan-ikan mas yang tinggal
di kolam kecil untuk membasuh kaki di dekat kolam
renang, berenang-renang riang sambil menggoyanggoyangkan tubuh mereka.
Tak perlu berkata "Musim semi sudah tiba" karena
musim ketika semua tampak segar berkilau dan penuh
semangat hidup, tidak perlu diumumkan kedatangannya.
Semua orang tahu, musim semi sudah tiba!
Hari itu tepat setahun sejak pagi hari ketika untuk
pertama kalinya Totto-chan datang ke Tomoe Gakuen
bersama Mama. Ia terheran-heran melihat gerbang
tumbuh dari dalam tanah, dan takjub melihat deretan
kelas di dalam gerbong kereta sampai melompat-lompat
kegirangan. Totto-chan yakin sekali Sosaku Kobayashi,
Kepala Sekolah, adalah kawannya. Sekarang Totto-chan
dan kawan-kawan sekelasnya gembira karena status
baru mereka sebagai anak kelas dua. Mereka menonton
anak-anak baru di kelas satu memandang sekeliling
mereka dengan penuh rasa ingin tahu, persis seperti
Totto-chan dan kawan-kawan sekelasnya dulu, setahun
yang lalu. Bagi Totto-chan, tahun yang sudah lewat penuh
berbagai peristiwa. Dengan penuh semangat ia menyambut setiap pagi sepanjang
tahun ajaran baru. Ia masih menyukai para pemusik jalanan, tapi ia juga telah
belajar banyak sekali tentang hal-hal di sekitamya. Gadis
cilik yang dikeluarkan dari sekolah karena dianggap
sebagai pengacau telah tumbuh menjadi anak yang baik
di Tomoe. Ada orangtua yang tidak memahami cara mendidik
murid yang diterapkan di Tomoe. Ada saat-saat ketika
bahkan Papa dan Mama pun tidak yakin apakah mereka
telah mengambil keputusan yang benar dengan menyekolahkan Totto-chan di Tomoe.
Di antara para orangtua murid, ada yang menganggap sistem pendidikan yang
diterapkan Mr. Kobayashi meragukan dan menilainya
dari apa yang mereka lihat. Mereka yang tidak yakin
akan pilihannya, memutuskan untuk memindahkan anakanak mereka ke sekolah lain.
Tapi tak ada anak yang mau dipindahkan dari Tomoe. Mereka menangis.
Untunglah tak ada anak yang dipindahkan dari kelas
Totto-chan, tapi ada anak laki-laki yang satu kelas lebih
tinggi darinya yang terpaksa pindah. Dia menangis keraskeras sambil memukulmukul punggung Kepala Sekolah
untuk mengungkapkan kekesalannya. Kulit yang terkelupas akibat luka gores di
lututnya terus melambailambai. Mata Kepala Sekolah juga merah karena
menangis. Akhirnya anak itu dibawa keluar sekolah oleh
ayah dan ibunya. Sambil berjalan menjauh, anak itu berkali-kali menoleh ke
belakang dan melambai-lambaikan
tangannya. Namun tak banyak kejadian menyedihkan seperti itu.
Sekarang Totto-chan murid kelas dua, penuh harapan
menyambut kejutan dan kegembiraan yang menantinya
di tahun ajaran baru. Dan saat ini, tas sekolahnya sudah mulai pas menempel di punggungnya.
35. Swan Lake TOTTO-CHAN diajak ke Hibiya Hall untuk menonton pertunjukan balet Swan Lake.
Papa akan memainkan biola
solo dan rombongan penari terkenal yang akan mengadakan pertunjukan. Baru kali
itu Totto-chan diajak menonton balet. Ratu para angsa mengenakan mahkota
mungil yang berkilau di kepalanya. Dia melayang-layang
di udara dengan ringan, seperti angsa sungguhan. Setidaknya,
begitulah yang dilihat Totto-chan. Sang pangeran jatuh cinta pada Ratu Angsa dan mengusir
angsa-angsa yang lain. Lalu Pangeran dan Ratu Angsa
menari bersama dengan mesra.
Musik pengiringnya yang indah juga membuat Tottochan sangat terkesan. Sampai di
rumah, pertunjukan itu terus terbayang-bayang di benak Totto-chan. Keesokan
harinya, begitu bangun ia langsung pergi ke dapur
menemui Mama, tanpa menyisir rambut dulu, dan mengumumkan, "Aku tak ingin
menjadi mata-mata, atau pemusik jalanan, atau penjual karcis kereta api. Aku
ingin menjadi balerina dan menarikan Swan Lake!"
"Oh!" kata Mama, sama sekali tak kelihatan kaget.
Itu pertama kalinya Totto-chan menonton balet, tapi ia
sudah banyak mendengar dari Kepala Sekolah tentang
Isadora Duncan, wanita Amerika yang amat pandai
menari. Seperti Mr. Kobayashi, Isadora Duncan banyak
dipengaruhi Dalcroze. Jika Kepala Sekolah yang sangat
dikaguminya menyukai Isadora Duncan, itu sudah cukup
bagi Totto-chan. Meskipun belum pernah melihat wanita
itu menari, ia merasa sudah mengenalnya. Karena itu,
menjadi penari balet bukanlah cita-cita yang aneh bagi
Totto-chan. Kebetulan kawan Mr. Kobayashi yang mengajar
euritmik di Tomoe punya studio tari di dekat sekolah.
Mama mendaftarkan Totto-chan untuk belajar tari di
studionya setelah pulang sekolah. Mama tidak pernah
berkata pada Totto-chan bahwa ia harus melakukan ini
atau itu, tapi kalau Totto-chan ingin melakukan sesuatu.
Mama selalu setuju. Tanpa banyak bertanya, Mama akan
mengatur segalanya untuk Totto-chan.
Totto-chan mulai belajar menari di studio itu dan
merindukan datangnya hari ketika ia mampu menarikan
Swan Lake. Tapi guru itu telah menciptakan metode
khusus untuk mengajar. Kecuali mengulangi euritmik
yang diajarkan di Tomoe, dia menyuruh murid-muridnya
menggerakkan tubuh mereka mengikuti denting piano
atau alunan musik dari phonograph sambil mengulangulang kalimat "Berkilau di atas gunung!" dari doa
"Sucikan jiwaku; Oh, berkilau di atas gunung!" yang biasa
dinyanyikan para peziarah yang mendaki Gunung Fuji.
Suatu saat, guru itu tiba-tiba berseru, "Berhenti!" dan
murid-murid harus mengambil posisi tertentu, sesuka
mereka, dan diam tak bergerak. Guru itu juga akan
mengambil posisi tertentu, sambil berseru "Aahhh!"
dengan penuh perasaan, lalu mengambil posisi "menengadah memandang surga" atau
"orang dalam kesakitan
luar biasa" sambil membungkuk rendah-rendah dan memegangi kepala dengan kedua
tangannya. Sementara itu, bayangan yang terpateri di benak
Totto-chan adalah angsa yang mengenakan mahkota
berkilau dan pakaian balet putih yang mekar indah. Yang
pasti bukan "Kemilau di atas gunung!" atau "Aahhh!"
Pada suatu hari, Totto-chan mengumpulkan keberanian dan menghadap gurunya, dia
pria berambut ikal panjang dan dikepang. Totto-chan merentangkan tangan
dan menggerakkan keduanya seperti gerakan sepasang
sayap angsa. "Apakah kita tidak akan belajar menari seperti ini?" dia
bertanya. Guru itu tampan, bermata bulat besar, dan berhidung
mancung. "Kita tidak belajar menari seperti itu di sini," katanya.
Sejak itu Totto-chan berhenti belajar menari di studio
itu. Memang dia suka melompat-lompat dengan kaki
telanjang tanpa sepatu balet, atau memperagakan pose
karangannya sendiri, tapi dia sangat ingin, ingin sekali,
mengenakan mahkota mungil yang berkilauan!
"Swan Lake memang indah," kata guru itu, "tapi aku
ingin mengajarimu menari sesuka hati."
Baru bertahun-tahun kemudian Totto-chan tahu bahwa nama guru itu Baku Ishii, bahwa dia bukan hanya
memperkenalkan balet bebas di Jepang tapi juga
menamai gaya tarian itu Jiyugaoka ("Bukit Kebebasan").
Gadis cilik itu juga baru tahu bahwa Baku Ishii, yang
usianya lima puluh tahun waktu itu, telah mencoba
mengajarkan nikmatnya menari dengan bebas kepada
Totto-chan. 36. Guru Pertanian "INILAH guru kalian hari ini. Dia akan mengajarkan
banyak hal kepada kalian." Dengan kata-kata itu, Kepala
Sekolah memperkenalkan seorang guru baru. Totto-chan
mengamati guru itu dengan saksama. Kesan pertamanya,
guru itu tidak berpakaian seperti guru. Di luar kaus
dalamnya, dia mengenakan kemeja tengan pendek bermotif garis-garis. Dia tidak
berdast dan lehernya berkalung handuk. Celana panjangnya terbuat dari kain
katun celup warna biru. Pipa celananya sempit dan
penuh tambalan. Kakinya tidak mengenakan sepatu
biasa, tapi semacam kaus tebal berjari dua dan bersol
karet"e"khas pakaian pekerja. Di kepalanya bertengger
topi jerami yang sudah usang.
Semua anak berkumpul di dekat kolam di Kuil
Kuhonbutsu. Saat memandangi guru itu, Totto-chan merasa pernah
melihatnya. "Di mana, ya?" ia berusaha mengingat-ingat.
Wajah pria itu ramah, terbakar matahari, dan penuh
kerutan. Ia merasa telah sering melihat pipa ramping
yang tergantung pada tali hitam yang berfungsi sebagai
ikat pinggang itu. Tiba-tiba Totto-chan ingat!
"Bukankah Anda petani yang mengolah ladang dekat
anak sungai itu?" tanyanya riang pada si pria.
"Benar," kata "guru baru" itu sambil tersenyum lebar.
Deretan giginya tampak jelas dan kerut di wajahnya
semakin nyata. "Kau selalu melewatiku kalau sedang
jalan-jalan ke Kuhonbutsu! Itu ladangku. Di sana, yang
dipenuhi bunga-bunga sesawi."
"Wah! Jadi Anda akan menjadi guru kami hari ini,"
seru anak-anak penuh semangat.
"Tidak!" kata pria itu sambil menggoyang-goyangkan
kedua tangan di depan wajahnya. "Aku bukan guru! Aku
hanya petani. Kepala sekolah kalian memintaku mengajarkan apa yang aku tahu. Itu
saja." "Oh, itu tidak benar. Dia guru. Dia guru pertanian
kalian," kata Kepala Sekolah yang berdiri di samping
petani itu. "Dengan senang hati dia setuju untuk mengajari kalian bagaimana
caranya bercocok tanam. Ini
seperti mendapatkan pembuat roti untuk mengajari
kalian bagaimana caranya membuat roti. Nah, dengar,"
katanya kepada petani itu, "katakan pada anak-anak apa
yang harus mereka lakukan, lalu kita akan mulai
sekarang juga." Di sekolah dasar biasa, guru yang akan mengajarkan
sesuatu kepada murid-murid harus punya ijazah guru.
Tapi Mr. Kobayashi tidak peduli pada hal-hal formal
seperti itu. Menurutnya, lebih baik anak-anak belajar
sesuatu dengan langsung mengerjakannya.
"Ayo kita mulai," kata guru pertanian itu.
Tempat mereka berkumpul terletak di pinggir kolam
di Kuil Kuhonbutsu. Tempatnya sangat tenang, menyenangkan, dan diteduhi pohonpohon besar. Kepala Sekolah telah menyuruh orang memindahkan setengah
gerbong kereta api ke sana untuk menyimpan peralatan
pertanian milik anak-anak. Sekop dan garu, misalnya.
Gerbong yang setengah itu tampak berdiri tenang dan
rapi di sana, di tengah hamparan tanah yang akan
mereka olah. Guru pertanian itu menyuruh anak-anak mengambil
sekop dan garu dari gerbong, lalu mulai menyiangi
rumput. Dijelaskannya segala sesuatu tentang rumput
liar: bahwa mereka bandel, bahwa ada jenis rumput liar
yang tumbuh lebih cepat daripada tanaman pertanian
dan membuat tanaman itu tak mendapat sinar matahari,
bahwa rumput liar merupakan persembunyian yang
bagus untuk bermacam-macam serangga. Dia juga menerangkan bahwa rumput liar bisa
mengisap habis unsur-unsur hara dari dalam tanah.
Dia mengajarkan berbagai hal, terus-menerus. Dan
sambil berbicara, tangannya tak pernah berhenti mencabuti rumput liar. Anak-anak
menirunya. Kemudian guru itu mengajarkan caranya menggunakan garu, membuat deretan lubang memanjang
untuk menanam benih, menebar pupuk, dan apa saja yang harus dikerjakan
untuk menumbuhkan sesuatu di ladang. Guru itu menjelaskan sambil memberikan
contoh nyata. Seekor ular kecil menjulurkan kepalanya ke luar
lubang, nyaris menggigit tangan Ta-chan, salah seorang
anak yang lebih tua. Guru pertanian itu menenangkannya, "Ular-ular di sini tidak
berbisa. Mereka tidak akan
menggigit kalau tidak diganggu."
Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kecuali mengajarkan cara bercocok tanam di ladang,
guru pertanian itu juga mengajarkan hal-hal menarik
tentang serangga, burung, kupu-kupu, dan cuaca. Pendek
kata segala sesuatu yang menarik. Tangannya yang kasar
dan kekar merupakan bukti bahwa apa yang dikatakannya kepada anak-anak dan semua
pengetahuannya diperoleh dari pengalaman.
Dengan keringat bercucuran, anak-anak selesai menanami ladang dengan bantuan
Guru Pertanian. Ladang itu tampak sempurna walaupun ada beberapa lubang
benih yang tidak rapi. Sejak hari itu, anak-anak sangat menghormati si
petani. Setiap kali melihatnya, bahkan dari kejauhan,
mereka berteriak, "Itu guru pertanian kami!" Jika punya
sisa pupuk, Guru Pertanian akan membawanya ke ladang
anak-anak dan menebarkannya di sana. Begitulah,
tanaman anak-anak jadi tumbuh subur. Setiap hari
seorang anak disuruh pergi ke ladang lalu melaporkan
perkembangannya kepada Kepala Sekolah dan anak-anak
lain. Anak-anak belajar memahami keajaiban dan kegembiraan yang mereka rasakan
ketika mengamati bagaimana benih yang mereka tanam sendiri tumbuh menjadi
tunas. Setiap kali ada dua-tiga anak berkumpul, obrolan
segera beralih ke perkembangan ladang mereka.
Peristiwa-peristiwa buruk mulai terjadi di berbagai
belahan dunia. Tapi ketika membicarakan ladang kecil
mereka, murid-murid Tomoe akan selalu merasa masih
terlindungi di dalam pusat kedamaian.
37. Masak Bersama PADA suatu hari, setelah sekolah usai, Totto-chan keluar
dari gerbang tanpa bicara pada siapa pun. Bahkan
mengucapkan sampai jumpa pun tidak. Ia cepat-cepat
berlari ke Stasiun Jiyugaoka sambil tak putus-putusnya
bergumam pada diri sendiri, "Ngarai Petir masak bersama, Ngarai Petir masak
bersama..." Itu kalimat yang sulit bagi seorang gadis cilik, tapi
tidak lebih menyusahkan daripada nama tokoh pria
dalam rakugo. Pria itu namanya terlalu panjang untuk
diucapkan hingga dia sudah tenggelam di sumur
sebelum para penolongnya tahu siapa dia.
Totto-chan harus berkonsentrasi untuk menghafalkan
kalimat tadi. Seandainya seseorang di dekatnya tiba-tiba
mengucapkan nama panjang yang termasyhur itu, yang
mulai dengan "Jugemu-Jugemu", ia pasti akan langsung
lupa kalimat yang telah dihafalkannya. Bahkan, seandainya
ia berkata, "Ayo lompat," sambil melompati genangan air, ingatannya pasti akan terganggu. Karena
itu, ia hanya bisa mengulang-ulang kata-kata itu tanpa
henti. Untunglah di kereta api tak ada orang yang
mengajaknya bicara. Totto-chan berusaha keras untuk
tidak menemukan sesuatu yang menarik. Jadi, ia berhasil
sampai ke stasiun tempatnya turun tanpa sekali pun
berteriak, "Apa itu?"
Ketika ia keluar dari stasiun, seorang pria yang
dikenalnya dan bekerja di stasiun itu berkata, "Halo,
sudah pulang?" Totto-chan nyaris menjawab tapi berhasil
menahan din. Ia tahu, kalau ia bicara, apa yang sudah
dihafalkannya akan buyar. Jadi ia hanya melambai lalu
cepat-cepat berlari pulang.
Begitu sampai di rumah, ia berteriak nyaring kepada
Mama, "Ngarai Petir masak bersama!" Mula-mula Mama
mengira kata-kata itu semacam teriakan pemain judo
atau semboyan Empat Puluh Tujuh Ronin. Namun tak
lama kemudian Mama mengerti. Dekat Stasiun Todoroki,
tiga perhentian sesudah Jiyugaoka, ada tempat indah dan
terkenal bernama Todoroki Keikoku, artinya: Ngarai
Petir. Tempat itu adalah salah satu tempat paling terkenal di kota tua Tokyo. Di
sana ada air terjun, anak
sungai, dan hutan yang indah. Lalu, bagaimana tentang
masak bersama" Itu pasti berarti para murid akan
memasak di udara terbuka. Kalimat itu sulit dihafal anakanak, pikir Mama
terkagum-kagum. Tapi, itu membuktikan bahwa anak bisa belajar dengan mudah jika
minat mereka sudah ditumbuhkan.
Merasa lega setelah terbebas dari kalimat yang sulit,
Totto-chan memberitahu Mama semua detail yang perlu,
semua mengalir tidak beraturan. Hari Jumat berikutnya,
para murid harus berkumpul di halaman sekolah. Mereka
harus membawa mangkuk sup, mangkuk nasi, sumpit,
dan satu cangkir beras. Kata Kepala Sekolah, beras secangkir akan menjadi dua
mangkuk penuh jika sudah dimasak, Totto-chan menambahkan. Mereka akan membuat sup daging babi. Karena
itu, Totto-chan membutuhkan beberapa iris daging babi dan sayuran. Kalau mau,
mereka boleh membawa penganan untuk dimakan di
sore hari. Selama beberapa hari berikutnya, Totto-chan selalu
menempel Mama di dapur. Dengan cermat, ia mengamati
bagaimana Mama menggunakan pisau, memegang panci,
dan memasak nasi. Sungguh asyik mengamati Mama
bekerja di dapur, tapi yang paling disukai Totto-chan
adalah cara Mama berseru, "Oh, panas!" lalu cepat-cepat
memegang cuping telinganya dengan ibu jari dan
telunjuk. Begitulah teriaknya setiap kali ia mengambil
sesuatu yang panas seperti tutup panci, misalnya.
"Itu karena cuping telinga dingin," Mama menjelaskan.
Totto-chan sangat terkesan pada gerakan Mama. Ia
menganggap gerakan itu khas orang dewasa dan bukti
keahlian di dapur. Katanya pada diri sendiri, "Kalau nanti
kami berngarai-petir-masak-bersama, aku juga akan
melakukan itu!" Hari Jumat akhirnya tiba. Mereka pergi ke Ngarai
Petir setelah meninggalkan stasiun kereta. Kepala
Sekolah mengawasi anak-anak yang berkumpul di
pinggir hutan. Wajah-wajah mungil mereka berbinar disinari sinar matahari yang
tercurah lewat sela-sela pohon
tinggi. Dengan ransel menggembung, anak-anak menunggu apa yang akan dikatakan
Kepala Sekolah. Dari arah belakang mereka, terdengar gemuruh air terjun
yang termasyhur itu. Bunyinya berirama indah.
"Nah," kata Kepala Sekolah, "pertama-tama, kita bagi
kalian menjadi beberapa kelompok. Lalu masing-masing
kelompok membuat tungku dari bata-bata yang dibawa
para guru. Beberapa dari kalian pergi mencuci beras di
anak sungai, lalu memasaknya. Setelah itu, kita mulai
membuat sup daging babi. Sekarang kita mulai."
Anak-anak membagi diri menjadi beberapa kelompok
dengan bersuit batu-kertas-gunting. Karena hanya ada
kira-kira lima puluh anak, tak lama kemudian mereka
sudah terbagi menjadi enam kelompok. Mereka menggali
lubang dan mengetilinginya dengan tumpukan batu bata.
Setelah itu mereka menyilangkan batang-batang besi di
atas lubang, untuk meletakkan panci sup dan panci
penanak nasi. Sementara kegiatan itu sedang berlangsung, ada anak yang
ditugaskan mengumpulkan kayu bakar di hutan dan ada yang disuruh mencuci beras
di anak sungai. Anak-anak sendiri yang membagi-bagi
bermacam-macam tugas itu.
Totto-chan menawarkan diri untuk mengiris sayuran
dan bertanggung jawab atas sup daging babi. Seorang
anak laki-laki yang dua tahun lebih tua darinya juga
ditugaskan mengiris sayuran, tapi irisan yang dibuatnya
biia tidak terlalu besar, maka akan jadi terlalu kecil.
Kacau sekali. Meski begitu, anak itu melakukan tugasnya
dengan sungguh-sungguh sampai hidungnya ber- keringat. Totto-chan mengikuti contoh Mama.
Dengan terampil ia mengiris terong, kentang, bawang,
akar burdock, dan sayuran lain, menjadi irisan yang pas
untuk digigit. Ia bahkan berinisiatif membuat acar dari
irisan tipis terong dan ketimun yang digosok-gosok
dengan garam. Totto-chan juga memberikan saran
kepada beberapa anak yang lebih besar, yang kesulrtan
menjalankan tugasnya. Totto-chan benar-benar merasa
seakan ia sudah menjadi seorang ibu! Semua orang
mengatakan acar buatannya enak.
"Oh, aku hanya ingin melihat apakah aku bisa membuatnya," katanya merendah.
Ketika tiba waktunya mencicipi rasa kaldu daging
babi, semua dimintai pendapat. Dari berbagai kelompok
terdengar seruan-seruan, "Wan!" "Wow!" dan tawa riang.
Burung-burung di hutan bernyanyi nyaring. Kicau merdu
mereka berbaur dengan tawa riang anak-anak. Sementara itu, aroma masakan lezat
melayang dari setiap panci.
Sampai sebelum saat itu, hampir tak ada anak yang
pernah memperhatikan bagaimana makanan dimasak
dan bagaimana panas api harus diatur. Mereka hanya
memakan apa yang sudah terhidang di meja. Kegembiraan karena memasak sesuatu
untuk diri mereka sendiri, dengan segala kerepotannya"e"dan memperhatikan perubahan-perubahan yang
terjadi pada bahan makanan yang dimasak"e"adalah
pengalaman yang benar-benar baru bagi mereka.
Akhirnya, pekerjaan setiap kelompok selesai. Kepala
Sekolah menyuruh anak-anak membersihkan rerumputan agar mereka bisa duduk dalam
satu lingkaran. Satu panci sup dan satu panci nasi diletakkan di depan setiap
kelompok. Tapi Totto-chan tidak mau panci sup kelompoknya diangkat dari tungku
sebelum ia mempertunjukkan gerakan yang sudah lama direncanakannya.
Sambil mengangkat tutup panci yang panas, ia berseru
dengan sengaja, "Oh, panas!" lalu menempelkan ibu jari
dan telunjuk tangan kiri dan kanannya ke kedua cuping
telinganya. Baru setelah itu ia berkata, "Kalian boleh memindahkan panci itu"
Panci itu dipindahkan ke tempat
anggota kelompoknya duduk. Totto-chan heran, tak
seorang pun tampak terkesan pada gerakannya. Meski
demikian, ia merasa cukup puas.
Perhatian semua anak tertuju pada mangkuk-mangkuk
nasi di depan mereka dan isi mangkuk sup yang
mengepul. Itu karena para murid sudah lapar. Tapi
khususnya dan terutama, itu karena semua hidangan di
hadapan mereka adalah hasil kerja mereka sendiri!
Setelah anak-anak menyanyikan, "Yuk kunyah baikbaik semua makananmu," dan
berkata, "aku bersyukur,"
suasana di dalam hutan menjadi hening. Tak ada suara
lain selain gemuruh air terjun.
38. "Kau Benar-Benar Anak Baik!"
"KAUu benar-benar anak baik, kau tahu itu, kan?"
Itu yang selalu dikatakan Kepala Sekolah setiap kali
dia berpapasan dengan Totto-chan. Dan setiap kali
Kepala Sekolah mengatakannya, Totto-chan tersenyum,
melompat rendah, lalu berkata, "Ya, aku memang anak
baik." Dan ia mempercayai kata-kata itu.
Sebenarnya, dalam banyak hal Totto-chan anak baik.
Ia baik hati kepada siapa saja"e"khususnya kepada
kawan-kawannya yang punya cacat tubuh. Ia selalu
membela mereka. Jika ada anak sekolah lain yang
mengatai kawan-kawannya yang cacat, ia berani berkelahi dengan anak yang jahat
itu, walaupun akhirnya ia
menangis. Totto-chan bersedia melakukan apa saja untuk
merawat binatang terluka yang ditemukannya. Tapi
guru-gurunya juga sering kaget mendapati Totto-chan
tertimpa berbagai masalah karena ingin memuaskan rasa
ingin tahunya begitu menemukan sesuatu yang tidak
biasa. Totto-chan suka melakukan hal-hal aneh, misalnya
mengepit kepangnya di ketiak sambil berbaris di pagi
hari. Suatu hari, Totto-chan mendapat giliran menyapu
kelas. Ia membuka pintu di lantai yang tertangkap mata
awasnya, lalu membuang semua kotoran yang disapunya
ke dalam lubang itu. Pintu itu aslinya berfungsi sebagai
lubang pemeriksa mesin di kereta sungguhan. Tapi ia tak
bisa menutup kembali pintu itu, dan ulahnya ini merepotkan banyak orang.
Lalu pemah ada seseorang yang memberitahunya cara
menggantungkan daging di pengait. Totto-chan pun
masuk ke ruang olahraga dan mengaitkan salah satu
lengannya di palang latihan yang paling tinggi. Ia tergantung di sana lama
sekali. Ketika seorang guru melihatnya dan bertanya apa yang dilakukannya, ia
berkata, "Hari ini aku jadi sepotong daging!" dan tepat ketika itu
pegangannya lepas. Totto-chan jatuh terempas, keras
sekali, hingga paru-parunya tersentak dan sepanjang hari
itu dia tak bisa bicara. Belum lagi kejadian ketika ia
tercebur ke bak penampung kotoran.
Ia selalu melakukan hal-hal seperti itu dan melukai
dirinya sendiri, tapi Kepala Sekolah tak pemah memanggil Mama atau Papa. Hal
yang sama berlaku bagi anak-anak lain. Persoalan-persoalan selalu diselesaikan
antara Kepala Sekolah dengan si anak. Persis seperti
ketika Kepala Sekolah mendengarkan ocehan Totto-chan
selama empat jam pada hari pertama ia datang ke
sekolah itu. Kepala Sekolah selalu mendengarkan dengan
saksama apa yang dikatakan si anak tentang kecelakaan
yang dialaminya. Dia bahkan mendengarkan alasanalasan mereka. Dan jika si anak
melakukan sesuatu yang benar-benar buruk dan akhirnya menyadari kesalahannya, Kepala Sekolah akan
berkata, "Sekarang, minta
maaf." Dalam kasus Totto-chan, semua keluhan dan kekhawatiran yang disampaikan orangtua
anak-anak lain dan guru-guru lain pastilah sampai ke telinga Kepala Sekolah.
Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itulah sebabnya, setiap kali ada kesempatan, Kepala
Sekolah selalu berkata kepada Totto-chan, "Kau benarbenar anak baik." Orang
dewasa, yang mendengar dia
berkata begitu, akan menyadari pentingnya cara dia
memberi tekanan pada kata "benar-benar".
Apa yang Kepala Sekolah ingin agar dimengerti oleh
Totto-chan adalah sesuatu yang seperti ini: "Ada orang
yang mungkin berpendapat kau bukan anak baik dalam
hal-hal tertentu, tapi watakmu yang sesungguhnya tidak
buruk. Banyak watak baik dalam dirimu dan aku tahu
itu." Bertahun-tahun kemudian barulah Totto-chan menyadari maksud Mr. Kobayashi yang sesungguhnya.
Meskipun waktu itu mungkin ia belum memahami arti
sebenarnya kata-kata Kepala Sekolah, yang pasti Mr.
Kobayashi telah menanamkan dalam-dalam rasa percaya
diri dan keyakinannya bahwa ia "anak yang baik". Katakata itu menggema di dalam
hati Totto-chan, bahkan ketika ia sedang asyik melakukan sesuatu yang tidak
biasa. Sering sekali ia berseru pada dirinya sendiri
"Astaga!" ketika mengingat-ingat apa yang pernah
dilakukannya. Mr. Kobayashi terus-menerus mengulang kalimat itu,
setiap kali, selama ia bersekolah di Tomoe. Mungkin
kata-kata penrjng itulah yang telah menentukan arah
seluruh hidupnya kemudian, "Totto-chan, kau benarbenar anak baik, kau tahu itu,
kan?" 39. Pengantinnya TOTTO-CHAN sangat sedih. Ia sudah kelas tiga sekarang dan sangat menyukal Taichan. Anak itu cerdas dan
mahir fisika. Tai-chan belajar
bahasa Inggris dan dialah yang mengajari Totto-chan
mengucapkan kata Inggris untuk rubah.
'Totto-chan," kata Tai-chan, "kau tahu apa kata Inggris
untuk kitsune" Itu 'fox."
"Fox." Totto-chan senang sekali mengulang-ulang kata itu
sepanjang hari. Sejak itu, hal pertama yang selalu dilakukannya begitu ia masuk
ke kelas-keretanya adalah
meraut semua pensil Tai-chan seindah mungkin, dengan
pisau perautnya. Ia bahkan tak memedulikan pensilpensilnya sendiri, yang cukup
dirautnya dengan gigi. Tapi walaupun semua yang telah dilakukan Tottochan, Tai-chan pernah berbicara
kasar padanya. Kejadiannya waktu istirahat makan siang. Totto-chan sedang
berjalan-jalan di belakang Aula, di dekat bak penampung
kotoran. "Totto-chan!" Suara Tai-chan terdengar marah. Kaget, Totto-chan
berhenti melangkah. Setelah menarik napas, Tai-chan
berkata, "Kalau sudah besar, aku takkan menikah
denganmu. Aku tak peduli walaupun kau memohonmohon." Setelah berkata begitu,
Tai-chan pergi dengan kepala tertunduk. Totto-chan berdiri terpana. Ia memandangi Tai-chan
sampai anak itu, dengan kepalanya yang besar, hilang
dari pandangan. Kepala penuh otak yang sangat dikaguminya. Kepala yang tampak
jauh lebih besar daripada tubuh pemiliknya dan membuat anak-anak menjulukinya
"Tanda Bagi yang Ganjil".
Totto-chan memasukkan tangannya ke saku sambil
berpikir. Ia tak ingat telah melakukan sesuatu yang
mungkin membuat Tai-chan kesal. Karena penasaran, ia
membicarakan kejadian itu dengan kawan sekelasnya,
Miyo-chan. Setelah mendengarkan cerita Totto-chan,
Miyo-chan berkata dengan nada dewasa, "Wah, tentu
saja! Itu karena kau melempar Tai-chan keluar arena
waktu gulat sumo hari ini. Sebenarnya tak aneh ia terlempar keluar begitu karena
kepalanya memang sangat berat. Tapi, tetap saja dia bakal marah padamu."
Totto-chan sangat menyesali kejadian itu. Apa yang
mendorongnya mengalahkan anak laki-laki yang sangat:
disukainya, yang pensil-pensilnya dirautnya setiap hari"
Tapi sudah terlambat. Sekarang ia tak mungkin lagi
menjadi pengantin Tai-chan.
"Aku akan tetap meraut pensil-pensilnya," kata Tottochan memutuskan. "Karena aku
cinta padanya." 40. Sekolah Tua yang Usang
ADA satu jingle"e"semacam lagu pendek, biasanya untuk
iklan"e"yang populer di kalangan anak-anak sekolah
dasar. Anak-anak di sekolah lama Totto-chan sering
menyanyikannya. Sambil berjalan pulang dari sekolah,
mereka menoleh-noleh ke belakang, memandang sekolah
mereka, dan bernyanyi: Sekolah Akamatsu sekolah tua yang usang;
Tapi di dalamnya, sekolah yang hebat!
Jika kebetulan anak-anak sekolah lain lewat di situ,
anak-anak itu akan menudingkan telunjuk mereka ke
arah Sekolah Akamatsu dan bernyanyi:
Sekolah Akamatsu sekolah yang hebat;
Tapi di dalamnya, sekolah yang usang!
Perang kata-kata seperti itu biasanya berakhir dengan
keributan. Apakah sekolah dikatakan usang atau hebat di baris
pertama, tergantung pada apakah gedungnya lama atau
baru. Bagian terpenting dari nyanyian itu adalah bans
kedua. Bagian yang mengatakan bagaimana keadaan
bagian dalam sekolah. Jadi tak jadi soal jika bans
pertama mengatakan bahwa sekolah kita usang di bagian
luarnya. Yang lebih penting adalah bagian dalamnya.
Jingle itu biasanya dinyanyikan oleh lima-enam anak.
Lewat tengah hari, setelah pelajaran selesai, muridmurid Tomoe bermain bersama
seperti biasa. Mereka boleh melakukan apa saja sampai bel terakhir berbunyi,
setelah itu mereka harus meninggalkan halaman sekolah.
Kepala Sekolah berpendapat bahwa waktu bebas untuk
melakukan apa saja yang mereka sukai sangat penting
bagi anak-anak. Karena itu, jam bebas di Tomoe lebih
panjang daripada jam bebas di sekolah-sekolah dasar
lainnya. Hari itu, beberapa anak bermain sepak bola. Anakanak lain membuat pakaian mereka
kotor dengan bermain di palang-palang besi atau bak pasir, ada yang
memanjat pohon, ada yang merawat petak-petak bunga.
Murid-murid perempuan dari kelas yang lebih tinggi
duduk-duduk sambil mengobrol. Setiap anak melakukan
sesuatu yang mereka sukai. Di antara mereka ada sedikit
anak, seperti Tai-chan, yang tetap tinggal di dalam kelas
untuk melanjutkan eksperimen fisika dengan tabungtabung reaksi. Beberapa anak
membaca di perpustakaan, dan Amadera, yang menyukai binatang, sedang memeriksa kucing liar yang ditemukannya, membaringkan
kucing itu dan memeriksa bagian dalam telinganya.
Pendek kata, semua murid Tomoe melakukan apa yang
mereka sukai dengan cara mereka sendiri.
Tiba-tiba terdengar nyanyian nyaring dari luar sekolah: Sekolah Tomoe sekolah tua dan usang;
Di dalamnya juga tua dan usang!
Wah, jahat sekali, pikir Totto-chan. Kebetulan ia
berada di dekat gerbang. Yah, sebenarnya bukan gerbang sungguhan karena tiang
itu ditumbuhi dedaunan. Tapi Totto-chan mendengar nyanyian itu dengan jelas.
Keterialuan! Bayangkan, anak-anak itu mengatai sekolahnya tua dan usang, di luar
maupun di dalam! Ia tersinggung. Anak-anak lain juga tersinggung. Mereka
berlarian ke gerbang. "Sekolah tua dan usang!" ulang anakanak dari sekolah lain
sambil beriari menjauh dan
meneriakkan ejekan-ejekan.
Totto-chan marah sekali. Ia mengejar mereka. Sendirian. Tapi mereka menyusuri
jalan kecil dengan beriari
sangat cepat. Dalam sekejap kemudian mereka lenyap
dari pandangan. Totto-chan berjalan balik ke sekolah
dengan perasaan galau. Sambil berjalan ia bernyanyi:
Sekolah Tomoe sekolah yang hebat;
Beberapa langkah kemudian ia menambahkan:
Di dalam maupun di luar, sekolah yang hebat!
Totto-chan suka kata-kata itu dan itu membuatnya
merasa lebih enak. Jadi ketika sampai di sekolah, ia
berpura-pura jadi anak dari sekolah lain dan berteriak
dari balik pagar tanaman dengan suara keras, agar
semua anak bisa mendengarnya:
Sekolah Tomoe sekolah yang hebat;
Di dalam maupun di luar, sekolah yang hebat!
Anak-anak yang bermain di halaman sekolah mulamula tidak bisa menebak siapa yang
bernyanyi. Namun begitu tahu itu suara Totto-chan, mereka berlari ke jalan
lalu bergabung. Akhirnya mereka bergandengan tangan
dan berbaris di jalanan yang mengelilingi sekolah sambil
bernyanyi bersama. Hati merekalah yang menyatu, lebih
daripada suara mereka, meskipun saat itu mereka tidak
menyadarinya. Semakin sering mereka mengelilingi
sekolah itu, semakin tinggi semangat mereka.
Sekolah Tomoe sekolah yang hebat;
Di dalam maupun di luar, sekolah yang hebat!
Tentu saja anak-anak itu tidak tahu betapa nyanyian
mereka telah membuat Kepala Sekolah, yang duduk di
kantornya sambil mendengarkan, merasa sangat bahagia.
Pastilah begitu perasaan setiap pendidik. Karena bagi
mereka yang benar-benar memikirkan pendidikan bagi
anak-anak, mengelola sekolah pasti adalah rangkaian
masalah yang terjadi setiap hari. Di sekolah seperti
Tomoe, peristiwa-peristrwa yang terjadi pastilah lebih
aneh lagi karena semua hal di sana memang tidak biasa.
Sekolah itu tidak bisa menghindarkan diri dari kritikan
yang dilancarkan orang-orang yang terbiasa dengan
sistem pendidikan konvensional.
Dalam situasi seperti ini, nyanyian anak-anak itu
menjadi hadiah paling manis yang bisa mereka berikan
kepada Kepala Sekolah. Sekolah Tomoe sekolah yang hebat;
Di dalam maupun di luar, sekolah yang hebat!
Hari itu, lonceng terakhir berbunyi lebih lambat
daripada biasanya. 41. Pita Rambut PADA suatu hari, waktu jam istirahat setelah selesai
makan siang, Totto-chan sedang melompat-lompat menyeberangi Aula ketika ia
bertemu Kepala Sekolah. Mungkin aneh mengatakan ia bertemu Kepala Sekolah,
karena guru itu selalu bersama mereka sepanjang waktu
makan siang, tapi mereka "bertemu" karena Kepala
Sekolah berjalan dari arah berlawanan.
"Oh, kau," kata Kepala Sekolah. "Sudah lama aku ingin
menanyakan sesuatu kepadamu."
"Tentang apa?" tanya Totto-chan, senang karena
merasa bisa memberikan informasi tertentu kepada
Kepala Sekolah. "Dari mana kaudapatkan pita itu?" tanya Kepala
Sekolah, sambil memandang pita yang menghiasi rambut
Totto-chan. Wajah Totto-chan langsung berbinar ketika mendengar pertanyaan itu. Ia sudah
mengenakan pita itu sejak sehari sebelumnya. Ia sendiri yang menemukan
pita itu. Ia mendekat agar Kepala Sekolah bisa melihat
pitanya dengan lebih jelas.
"Pita ini ada di seragam sekolah milik bibiku," katanya
bangga. "Aku melihatnya waktu Bibi menyimpannya di
laci pakaian dan Bibi memberikannya padaku. Kata Bibi,
aku pengamat yang baik."
"Oh, begitu," kata Kepala Sekolah sambil merenung.
Totto-chan sangat bangga akan pitanya. Ia bercerita
kepada Kepala Sekolah bagaimana ia pergi berkunjung
ke rumah bibinya dan beruntung karena bibinya sedang
mengangin-anginkan beberapa pakaian. Di antara pakaian-pakaian itu ada rok lipit panjang model kuno
berwarna ungu kemerahan"e"seragam sekolahnya dulu.
Ketika bibinya hendak menyimpan rok itu, Totto-chan
melihat sesuatu yang indah melekat di sana.
"Apa itu?" Mendengar pertanyaan Totto-chan, bibinya terenyak.
Sesuatu yang indah itu ternyata pita yang dijahitkan
pada ban pinggang di bagian belakang.
"Pita ini akan membuat pemakainya tampak cantik
dari belakang," kata Bibi. "Di masa itu semua anak
perempuan menjahitkan renda buatan sendiri atau
sehelai pita lebar yang indah di sini."
Bibi melihat bagaimana Totto-chan memandang pita
itu penuh minat ketika mendengarkan penjelasannya.
Gadis cilik itu juga terus-menerus menyentuh dan membelai pita tersebut. Maka
Bibi pun berkata, "Akan
kuberikan padamu. Lagi pula aku sudah tak memakainya
kok." Bibi mengambil gunting, menggunting benang yang
menjahitkan pita itu ke roknya, lalu memberikannya
kepada Totto-chan. Begitulah cara Totto-chan memperolehnya. Pita yang indah itu
terbuat dari sutra halus dan
lebar, dihiasi sulaman bunga-bunga mawar dan bungabunga lain. Setelah diikatkan,
pita itu lebar dan kaku, dan
simpulnya sebesar kepala Totto-chan. Kata Bibi, kain
sutra itu kain impor. Sambil berbicara, Totto-chan sesekali menggoyangkan
Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepalanya agar Kepala Sekolah bisa mendengar keresik
kain sutra itu. Setelah mendengar ceritanya, Kepala
Sekolah tampak agak sedih.
"Jadi begitu, ya?" katanya. "Kemarin Miyo-chan bilang
dia ingin punya pita seperti punyamu. Aku telah pergi ke
semua toko pita di Jiyugaoka, tapi tak ada yang seperti
punyamu. Jadi begitu" Itu kain impor, ya?"
Wajahnya lebih menggambarkan wajah ayah yang
prihatin karena tak bisa memenuhi permintaan putrinya
daripada wajah seorang kepala sekolah.
"Totto-chan, aku akan sangat berterima kasih jika kau
tidak lagi memakai pita itu ke sekolah. Kau tahu kan,
Miyo-chan selalu merengek-rengek minta pita seperti itu.
Kau keberatan?" Totto-chan mempertimbangkan permintaan itu sambil
melipat kedua tangannya di dada. Lalu ia menjawab
dengan cepat, "Baiklah. Aku takkan memakainya lagi ke
sekolah." "Terima kasih," kata Kepala Sekolah.
Totto-chan merasa agak kecewa, tapi Kepala Sekolah
akan jadi repot jika ia tetap memakai pita tersebut, itulah
sebabnya ia setuju. Alasan lainnya adalah karena
bayangan akan seorang pria dewasa"e"Kepala Sekolah
yang disayanginya"e"keluar-masuk semua toko pita demi
mencari pita seperti miliknya, membuat Totto-chan
merasa iba. Begitulah suasana di Tomoe. Secara tak
sadar, anak-anak dibiasakan memahami masalah orang
lain dan berusaha membantu, tak peduli berapa pun usia
mereka. Kebiasaan itu menjadi sesuatu yang wajar untuk
dilakukan. Keesokan harinya, ketika hendak membersihkan
kamar Totto-chan setelah putrinya itu berangkat ke
sekolah, Mama menemukan pita itu diikatkan di leher
boneka beruang kesayangan Totto-chan. Mama heran
mengapa tiba-tiba Totto-chan berhenti memakai pita
kesayangannya. Menurut Mama, boneka beruang itu
tampak agak malu karena tiba-tiba dipercantik dengan
pita seindah itu. 42. Mengunjungi yang Terluka
UNTUK pertama kali dalam hidupnya, Totto-chan berkunjung ke rumah sakit yang
merawat serdadu-serdadu yang terluka. Ia pergi bersama kira-kira tiga puluh anak
dari berbagai sekolah dasar, anak-anak yang tidak
dikenalnya. Itu bagian dari kegiatan yang dirancang dan
diorganisir secara nasional untuk siswa sekolah dasar.
Biasanya setiap sekolah mengirimkan dua atau tiga anak,
tapi sekolah yang kecil seperti Tomoe hanya mengirim
satu. Kelompok itu akan dipimpin oleh guru dari salah
satu sekolah. Totto-chan mewakili Tomoe.
Guru yang bertugas waktu itu adalah wanita yang
kurus dan berkacamata. Dia memimpin anak-anak masuk
ke bangsal tempat kira-kira lima belas serdadu yang
mengenakan piama putih dirawat. Ada yang berbaring di
ranjang dan ada yang berjalan-jalan di bangsal. Tottochan sempat mencemaskan
bagaimana penampilan serdadu yang terluka, tapi mereka semua tersenyum,
melambaikan tangan, dan tampak riang meskipun beberapa di antara mereka
kepalanya diperban. Melihat itu,
Totto-chan merasa lega. Guru mengumpulkan anak-anak di tengah bangsal,
lalu berbicara di depan para serdadu.
"Kami datang untuk menjenguk bapak-bapak sekalian," katanya, dan semua anak membungkuk memberi hormat. Kemudian guru itu
melanjutkan, "Karena
hari ini tanggal lima Mei"e"Hari Perayaan Anak LakiLaki"e"kami akan menyanyikan lagu
Julai-julai Ikan Karper." Dia mengangkat tangannya seperti dirigen dan
berkata kepada anak-anak, "Siap" Tiga... empat...." Lalu
dia menggerak-gerakkan tangan menurut irama. Anakanak yang tidak saling kenal
itu menyanyi dengan sepenuh hati: Melewati lautan atap rumah,
Melewati lautan awan... Totto-chan tidak kenal lagu itu. Di Tomoe, lagu-lagu
seperti itu tidak diajarkan. Ia duduk di pinggir tempat
tidur seorang serdadu berwajah ramah. Serdadu itu juga
duduk. Mereka mendengarkan anak-anak menyanyi
dengan perasaan canggung. Ketika nyanyian itu selesai,
guru itu mengumumkan dengan jelas, "Sekarang kami
akan menyanyikan Lagu Pesta Boneka." Mereka menyanyikannya dengan merdu. Semua,
kecuali Totto-chan. Biar kami nyalakan lentera-lentera,
Menyalakannya satu per satu...
Tak ada yang bisa dilakukan Totto-chan kecuali diam.
Ketika mereka sudah selesai menyanyi, para serdadu
itu bertepuk tangan. Si guru pun tersenyum dan berkata,
"Bagaimana kalau kita nyanyikan Kuda Poni dan Kuda
Betina" Ayo, sama-sama! Tiga... empat...." Lalu ia mulai
memberi aba-aba lagi. Totto-chan juga tidak kenal lagu itu. Ketika anak-anak
selesai menyanyikannya, serdadu yang duduk bersama
Totto-chan di ranjang itu menepuk kepalanya dan
berkata, "Kau tidak menyanyi."
Totto-chan merasa bersalah. Ia datang untuk menghibur mereka, tapi menyanyikan
satu lagu pun ia tidak bisa. Karena itu ia berdiri, mundur menjauh dari tempat
tidur itu, lalu berkata dengan berani, "Baiklah. Sekarang
aku akan menyanyikan lagu yang aku tahu."
Sesuatu yang di luar rencana akan terjadi.
"Apa yang akan kaunyanyikan?" tanya guru itu. Terlambat! Totto-chan telah
mengambil napas dalam-dalam
dan mulai menyanyi. Guru itu memutuskan untuk menunggu.
Karena mewakili Tomoe, Totto-chan berpendapat sebaiknya ia menyanyikan lagu Tomoe yang paling
terkenal. Setelah mengambil napas dalam-dalam, ia pun
memulai: Yuk kunyah baik-baik, Semua makananmu... Beberapa anak tertawa. Yang lain bertanya pada anak
yang berdiri di dekatnya, "Lagu apa itu" Lagu apa itu?"
Ibu Guru mulai memberi aba-aba, tapi karena tidak tahu
apa yang harus dilakukannya, gerakannya terhenti dan
tangannya menggantung di udara. Totto-chan malu
sekali, tapi dia terus menyanyi:
Yuk kunyah baik-baik, Nasi, ikan, sayur! Setelah selesai menyanyi, Totto-chan membungkuk
memberi hormat. Ketika mengangkat kepalanya, ia heran
melihat air mata mengalir di pipi serdadu itu. Ia mengira
telah melakukan sesuatu yang buruk. Tapi kemudian,
Keris Pusaka Sang Megatantra 4 Dewa Arak 49 Geger Pulau Es Rahasia Di Pulau Kirrin 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama