Ceritasilat Novel Online

Number Four 5

I Am Number Four Karya Pittacus Lore Bagian 5


tiba di ujung. Ada tangga pendek yang mengarah ke
sepasang pintu logam di atas. Nomor Enam
menunggu hingga semuanya tiba.
"Pintu itu mengarah ke mana?" tanyaku.
"Belakang tempat parkir guru," kata Sarah. "Tak jauh
dari lapangan football."
Nomor Enam menempelkan telinga ke celah kecil di
antara kedua pintu yang tertutup itu untuk
mendengarkan suara di luar. Hanya angin. Wajah
kami semua penuh keringat, debu, dan rasa takut.
Nomor Enam memandang Henri dan mengangguk.
Aku memadamkan sinarku. "Oke," kata Nomor Enam. Lalu dia membuat dirinya
tak terlihat. Dia membuka pintu beberapa senti agar bisa
menjulurkan kepala ke luar dan memandang
berkeliling. Kami semua memandangnya sambil
menahan napas, menunggu, mendengarkan, gelisah.
Nomor Enam melihat ke arah yang satu, lalu ke arah
yang lain. Puas karena tidak ada yang melihat kami,
dia pun mendorong pintu itu hingga terbuka. Kami
keluar satu per satu. Segalanya tampak gelap dan hening. Tidak ada angin.
Bahkan pepohonan di hutan di sebelah kanan kami
pun diam tak bergerak. Aku memandang berkeliling.
Aku bisa melihat siluet ujung tumpukan rongsokan
mobil di depan pintu sekolah. Tidak ada bulan. Tidak
ada bintang. Bahkan tidak ada langit. Kami seperti
berada di dalam gelembung kegelapan, di bawah
semacam kubah yang hanya berisi kegelapan. Bernie
Kosar mulai menggeram. Awalnya pelan sehingga
kupikir dia hanya tegang. Namun geramannya
semakin galak, semakin mengancam. Aku sadar dia
merasakan sesuatu di luar sana. Kami semua menoleh
ke arah Bernie Kosar menggeram. Namun kami tidak
melihat sesuatu apa pun bergerak. Aku maju ke
depan Sarah. Aku berpikir untuk menyalakan sinarku,
tapi aku tahu jika aku melakukan itu mereka akan
lebih mudah menemukan kami. Tiba-tiba, Bernie Kosar
berlari. Dia berlari menyerbu ke depan sekitar tiga puluh
meter, lalu melompat ke udara, dan menancapkan
giginya dalam-dalam ke salah satu pengintai tak
terlihat, yang langsung tampak seolah mantra tak
terlihatnya rusak. Segera saja kami bisa melihat
mereka semua. Mereka mengepung kami. Tak kurang
dari dua puluh Mogadorian mulai mendekat.
"Ini perangkap!" teriak Henri. Dia langsung menembak
jatuh dua pengintai. "Kembali ke terowongan!" teriakku kepada Mark dan
Sarah. Salah satu pengintai Mogadorian menyerbu ke arahku.
Aku mengangkat pengintai itu ke udara lalu
melemparkannya sekuat mungkin ke pohon ek yang
berjarak sekitar dua puluh meter. Dia jatuh ke tanah
dengan bergedebuk, langsung berdiri, dan
melemparkan belati ke arahku. Aku menangkis belati
itu. Kemudian mengangkat si pengintai lagi dan
melemparkannya lebih kuat lagi. Si pengintai berubah
menjadi abu di dasar pohon itu. Henri menembakkan
senapan beberapa kali, suaranya bergaung. Dua
tangan menarikku dari belakang. Aku hampir
menangkisnya namun ternyata itu Sarah. Nomor
Enam tak terlihat di mana pun. Bernie Kosar sudah
menjatuhkan satu Mogadorian ke tanah dan
menghunjamkan giginya ke leher si Mogadorian
begitu dalam. Matanya menyala-nyala.
"Kembali ke sekolah!" teriakku.
Sarah tidak melepaskan pegangannya. Bunyi guntur
memecah keheningan dan badai mulai terbentuk.
Awan gelap berkumpul di atas kepala. Kilatan petir
dan guntur membelah langit malam. Guntur berbunyi
begitu keras sehingga Sarah terlompat setiap kali
guntur berbunyi. Nomor Enam muncul kembali. Dia
berdiri sekitar sembilan meter dari kami, matanya
menatap langit, wajahnya penuh konsentrasi, kedua
tangannya diangkat. Dia yang membuat badai itu. Dia
mengendalikan cuaca. Halilintar mulai menyambar,
menghantam mati para pengintai di tempat mereka
berdiri, membuat ledakan-ledakan abu di halaman.
Henri berdiri di samping, memasukkan peluru ke
dalam senapan. Si pengintai yang dicekik Bernie Kosar
akhirnya menyerah pada kematian. Mogadorian itu
berubah menjadi setumpuk abu yang menyelimuti
wajah Bernie Kosar. Bernie bersin sekali,
mengguncangkan abu dari badannya, lalu berlari dan
mengejar pengintai terdekat hingga mereka berdua
hilang di hutan yang jaraknya lima puluh meter dari
situ. Aku khawatir ini terakhir kalinya aku melihat
Bernie Kosar. "Kau harus kembali ke sekolah," kataku kepada
Sarah. "Kau harus pergi sekarang. Kau harus
bersembunyi. Mark!" teriakku. Aku menengadah tapi
tidak melihat Mark. Aku menengok berkeliling. Aku
melihat Mark berlari ke arah Henri, yang masih
mengisi senapannya. Mulanya aku tidak mengerti
kenapa, lalu aku melihat apa yang terjadi: Satu
Mogadorian pengintai mengendap-endap menghampiri
Henri tanpa dia sadari. "Henri," teriakku untuk menarik perhatiannya. Aku
mengangkat tangan untuk menghentikan si pengintai
yang mengacungkan belati tinggi di udara, namun
Mark berhasil menerjangnya lebih dulu. Mereka
bergulat. Henri menutup senapan. Mark menendang
belati si pengintai. Henri menembak. Si pengintai
meledak. Henri mengatakan sesuatu kepada Mark.
Aku berteriak kepada Mark lagi. Mark berlari
menghampiri, terengah-engah.
"Kau harus membawa Sarah kembali ke sekolah."
"Aku bisa membantu," kata Mark.
"Ini bukan pertempuranmu. Kau harus sembunyi!
Kembali ke sekolah dan sembunyi bersama Sarah!"
"Oke," katanya.
"Kau harus tetap bersembunyi, apa pun yang terjadi!"
Aku berteriak mengatasi gemuruh badai. "Mereka
tidak akan mengejar kalian. Mereka menginginkanku.
Berjanjilah, Mark! Berjanjilah kau akan tetap
bersembunyi bersama Sarah!"
Mark mengangguk cepat. "Aku berjanji!"
Sarah menangis. Tidak ada waktu untuk
menenangkannya. Terdengar halilintar menyambar
dan letusan senapan. Sarah mencium bibirku,
tangannya memegang wajahku dengan kuat. Aku
tahu Sarah bisa terus seperti itu selamanya. Mark
menarik Sarah, menuntunnya pergi.
"Aku mencintaimu," kata Sarah. Sarah menatapku
seperti aku menatapnya sebelum meninggalkan kelas
tata boga. Dia seolah berpikir bahwa ini terakhir
kalinya dia melihatku dan ingin mengingatnya seumur
hidup. "Aku juga mencintaimu," balasku saat mereka berdua
tiba di tangga terowongan. Begitu selesai
mengucapkan kata-kata itu, Henri berteriak kesakitan.
Aku berbalik. Salah satu pengintai telah
menghunjamkan belati ke perut Henri. Aku
merasakan ngeri. Si Mogadorian mencabut belati itu.
Mata pisaunya berkilauan dengan darah Henri. Dia
mengayunkan belati itu, ingin menikam Henri untuk
kedua kalinya. Aku mengulurkan tangan dan
merenggut pisau itu pada detik terakhir sehingga
hanya tinju si Mogadorian saja yang mengenai Henri.
Henri mengerang, mengumpulkan tenaga, lalu
menekankan laras senapan ke dagu si pengintai dan
menembak. Si pengintai jatuh, tanpa kepala.
Hujan mulai turun, deras dan dingin. Aku langsung
basah kuyup. Darah mengucur dari perut Henri. Dia
mengarahkan senapan ke kegelapan. Tapi semua
pengintai sudah pindah ke bagian yang gelap, jauh
dari kami, sehingga Henri tidak bisa membidik dengan
baik. Mereka tidak berminat lagi untuk menyerang
karena tahu bahwa dua dari kami sudah mundur dan
yang ketiga terluka. Nomor Enam masih
mengarahkan tangan ke langit. Badai membesar,
angin mulai menderu. Dia tampak kesulitan
mengontrol badai itu. Guntur dan badai musim dingin
di bulan Januari. Secepat badai itu dimulai, secepat itu
pula badai itu berhenti. Guntur, kilat, dan hujan
berhenti. Angin berhenti bertiup. Lalu dari kejauhan
terdengar suara geraman rendah. Nomor Enam
menurunkan tangannya. Kami semua berusaha
mendengarkan. Bahkan para Mogadorian pun
menoleh. Suara geraman itu membesar, jelas
mengarah ke tempat kami. Suara geraman itu
terdengar seperti bunyi mesin. Para pengintai keluar
dari kegelapan dan mulai tertawa. Walaupun kami
sudah membunuh setidaknya sepuluh dari mereka,
jumlah mereka saat ini lebih banyak dibandingkan
tadi. Dari kejauhan, asap membubung di atas
pepohonan seolah ada sebuah mesin uap yang
datang dari belokan. Para pengintai saling
mengangguk, tersenyum jahat, dan membentuk
lingkaran mengelilingi kami, memaksa kami kembali
ke sekolah. Dan jelas hanya itu satu-satunya yang
bisa kami lakukan. Nomor Enam menghampiri.
"Apa itu?" tanyaku.
Henri berjalan pincang, senapannya tergantung lemah
di sampingnya. Napasnya berat. Ada luka di pipi di
bawah mata kanannya dan ada lingkaran darah di
sweater abu-abunya akibat belati tadi.
"Itu yang lainnya, ya?" Henri bertanya kepada Enam.
Nomor Enam memandang Henri. Dia panik,
rambutnya basah dan menempel di samping
wajahnya. "Hewan buas," katanya. "Dan para prajurit. Mereka di
sini." Henri mengokang senapan dan menarik napas dalam.
"Perang yang sesungguhnya dimulai," katanya. "Aku
tidak tahu dengan kalian berdua. Tapi jika ini perang,
maka terjadilah. Aku, kali ini...," katanya, lalu suaranya
melirih. "Yah, celakalah jika aku mati tanpa
perlawanan." Nomor Enam mengangguk. "Para Lorien melawan
hingga titik darah penghabisan. Begitu juga aku,"
katanya. Asap itu masih membubung. Muatan hidup, pikirku. Itu
cara mereka mengangkut hewan buas, dengan
menggunakan truk besar. Nomor Enam dan aku
mengikuti Henri kembali ke tangga. Aku berteriak
memanggil Bernie Kosar, tapi anjing itu tak tampak.
"Kita tak bisa menunggunya," kata Henri. "Tak ada
waktu." Aku memandang berkeliling sekali lagi, lalu
membanting pintu hingga tertutup. Kami bergegas
menyusuri terowongan, menaiki panggung,
menyeberangi gedung olahraga. Kami tidak melihat
satu pengintai pun. Kami juga tidak melihat Mark dan
Sarah, sehingga aku merasa lega. Kuharap mereka
bersembunyi dengan baik. Kuharap Mark memegang
janjinya dan mereka tetap bersembunyi. Saat sampai
di ruang tata boga, aku menggeser lemari es dan
mengambil Peti Loric. Henri dan aku membukanya.
Nomor Enam mengambil batu penyembuh dan
menghunjamkannya ke perut Henri. Henri diam,
matanya tertutup, menahan napas. Wajahnya merah
karena sakit, tapi dia tidak bersuara sedikit pun. Satu
menit berlalu. Lalu, Nomor Enam mencabut batu itu.
Luka Henri sembuh. Henri menghela napas, keningnya
berkeringat. Lalu giliranku. Nomor Enam menekankan
batu itu ke luka di kepalaku. Rasa sakitnya jauh lebih
besar daripada apa yang pernah kurasakan
sebelumnya. Aku mengerang dan merintih, setiap otot
di tubuhku tegang. Aku tidak bisa bernapas hingga
semuanya selesai. Saat selesai, aku membungkuk dan
terengah-engah selama satu menit.
Di luar, bunyi mesin itu sudah berhenti. Truk
pengangkut itu tidak terlihat. Saat Henri menutup Peti
dan menyimpannya di tempat yang sama seperti
sebelumnya, aku memandang ke luar jendela,
berharap melihat Bernie Kosar. Tapi dia tak terlihat.
Sepasang lampu depan mobil lewat di sekolah.
Seperti sebelumnya, aku tidak tahu apakah itu mobil
atau truk. Lampu itu melambat saat lewat di gerbang
sekolah, kemudian melaju kembali tanpa berbelok ke
dalam. Henri menurunkan kemejanya, mengambil
senapan. Saat kami berjalan ke pintu, sebuah suara
membuat kami bertiga terpaku.
Terdengar raungan dari luar. Raungan itu keras, seperti
raungan hewan dan mengancam, tidak seperti apa
pun yang pernah kudengar. Kemudian terdengar suara
logam. Kunci gerbang dibuka, dilepaskan, dan gerbang
pun dibuka. Suara sesuatu dibanting menyadarkan
kami kembali. Aku menarik napas dalam. Henri
menggelengkan kepala dan mendesah putus asa,
seolah kalah dalam pertempuran.
"Selalu ada harapan, Henri," kataku. Henri menoleh
memandangku. "Kita belum melihat perkembangan
terbaru. Kita belum mendapatkan semua informasi.
Jangan putus asa." Henri mengangguk. Aku melihatnya sedikit


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersenyum. Henri memandang Nomor Enam,
perkembangan terbaru yang kurasa tidak pernah
terbayangkan baik oleh aku ataupun Henri. Siapa tahu
lebih banyak dari kami yang juga saling mencari" Lalu
Henri melanjutkan kata-kataku. Dia mengutip katakata yang sama seperti yang
pernah dikatakannya kepadaku saat aku putus asa. Pada hari itu aku
bertanya bagaimana mungkin kami bisa
memenangkan pertarungan melawan para
Mogadorian, yang tampaknya menyukai peperangan
dan kematian padahal kami sendirian dan kalah
jumlah, serta jauh dari rumah. "Jangan pernah
berputus asa," kata Henri. "Saat kau kehilangan
harapan, segalanya pun musnah. Saat kau pikir
semua telah berakhir, ketika segala sesuatu tampak
buruk dan sia-sia, harapan itu selalu ada."
"Tepat," kataku.
F RAUNGAN LAIN MEMBELAH MALAM, MENEMBUS
dinding-dinding sekolah, membekukan darah. Tanah
bergetar diinjak para hewan buas yang sekarang
pastilah sudah dilepaskan. Aku menggelengkan
kepala. Dari kenangan tentang kilas balik perang di
Lorien, aku tahu pasti sebesar apa hewan-hewan itu.
"Demi teman-temanmu dan kita," kata Nomor Enam,
"sebaiknya kita pergi dari sekolah selagi masih ada
waktu. Mereka akan menghancurkan seluruh gedung
ini demi menangkap kita."
Kami saling mengangguk. "Harapan kita satu-satunya hanyalah masuk ke
hutan," kata Henri. "Apa pun yang kita hadapi, kita
mungkin bisa kabur jika kita tetap tak terlihat."
Nomor Enam mengangguk. "Pegang tanganku."
Tanpa perlu disuruh lagi, Henri dan aku memegang
tangan Nomor Enam. "Sepelan mungkin," kata Henri.
Lorong itu gelap dan hening. Kami berjalan pelanpelan, bergerak secepat mungkin
dengan sehening mungkin. Raungan lagi. Saat raungan itu masih
terdengar, terdengar raungan lain. Kami berhenti.
Bukan hanya satu hewan buas, tapi dua. Kami terus
berjalan dan masuk ke gedung olahraga. Tidak ada
tanda-tanda adanya pengintai. Saat tiba di tengah
lapangan, Henri berhenti. Aku menoleh tapi tidak bisa
melihat. "Kenapa kita berhenti?" bisikku.
"Sst," katanya. "Dengar."
Aku berusaha mendengarkan. Namun aku tidak
mendengar apa pun selain dengungan darah di
telingaku. "Hewan buas itu berhenti bergerak," kata Henri.
"Lalu?" "Sst," katanya. "Di luar sana ada yang lain."
Lalu aku mendengarnya. Suara salakan bernada tinggi
yang tampaknya berasal dari hewan-hewan
berukuran kecil. Suara itu teredam, walaupun jelas
semakin keras. "Apa itu?" tanyaku.
Sesuatu mulai membentur-bentur pintu di panggung,
pintu yang kami harap bisa kami gunakan untuk
kabur. "Nyalakan sinarmu," kata Henri.
Aku melepaskan tangan Nomor Enam, menyalakan
tanganku, dan mengarahkannya ke panggung. Henri
membidikkan senapan. Pintu itu melonjak-lonjak.
Tampaknya sesuatu berusaha mendobrak pintu tapi
tidak cukup kuat. Musang-musang, pikirku, hewan
kecil bertubuh gemuk yang ditakuti para penulis di
Athens. Salah satu dari mereka menghantam pintu
begitu keras sehingga pintu itu terlontar dari
panggung dan jatuh berdebam di lantai. Padahal
kupikir mereka kurang kuat. Kedua musang itu
melompat ke depan. Begitu melihat kami, mereka
berlari ke arah kami dengan begitu cepat sehingga
aku tidak bisa melihatnya. Henri berdiri memandangi
sambil membidikkan senapan, meringis senang. Kedua
hewan itu berlari ke arah yang berbeda, lalu
melompat dari jarak enam meter, yang satu ke arah
Henri, satu lagi ke arahku. Henri menembak satu kali.
Musang itu meledak dan menutupi Henri dengan
darah dan isi perutnya. Pada saat aku akan merobek
musang kedua menggunakan telekinesis, musang itu
ditangkap oleh tangan Nomor Enam yang tak terlihat
dan dihantamkan ke lantai seperti menghunjamkan
bola football. Hewan itu langsung mati.
Henri mengokang senapan. "Yah, itu tak terlalu
buruk," katanya. Sebelum aku bisa menjawab, seluruh
dinding di sepanjang panggung dihantam oleh tinju
seekor hewan buas. Hewan itu mundur dan meninju
lagi, menghancurkan panggung sehingga kami bisa
melihat langit malam. Dampak hantamannya
membuat aku dan Henri terpental ke belakang.
"Lari!" teriak Henri sambil memuntahkan semua peluru
di senapan itu ke arah di hewan buas raksasa. Tidak
ada pengaruhnya. Hewan buas itu mencondongkan
tubuh ke depan dan meraung sangat keras sehingga
aku bisa merasakan bajuku berkibar. Sebuah tangan
meraih dan memegangku, membuatku tak terlihat.
Hewan buas itu menyerbu ke depan, berlari lurus ke
arah Henri. Aku ngeri membayangkan apa yang akan
terjadi. "Tidak!" jeritku. "Ke Henri, ke Henri!" Aku meronta
dalam cengkeraman Nomor Enam. Akhirnya aku
berhasil memegang kemudian mendorongnya. Aku
menjadi terlihat kembali. Nomor Enam tetap tak
terlihat. Hewan buas itu menyerbu ke arah Henri,
yang hanya berdiri diam dan memandanginya. Tak
ada peluru. Tak ada pilihan. "Ke Henri!" teriakku lagi.
"Ke Henri, Enam!"
"Ke hutan!" balas Nomor Enam.
Aku hanya bisa memandang. Hewan itu berdiri
setinggi sembilan, mungkin dua belas meter,
menjulang di atas Henri. Hewan itu meraung,
matanya penuh kemarahan. Tinjunya yang besar dan
berotot diayunkan tinggi ke udara, begitu tinggi
sehingga menerobos kasau dan atap gedung
olahraga. Kemudian tinju itu turun, dengan begitu
cepat sehingga tampak kabur bagaikan baling-baling
kipas angin yang berputar. Aku menjerit ngeri, tahu
bahwa Henri akan dihancurkan. Aku tidak bisa
berpaling. Henri tampak begitu kecil. Dia berdiri di
sana dengan senapan tergantung di sampingnya. Saat
tinju hewan buas itu hampir mengenainya, Henri
hilang. Tinju itu menghantam lantai gedung olahraga,
menghancurkan kayu hingga berkeping-keping,
membuatku terlontar ke tribun yang jaraknya enam
meter. Hewan buas itu berbalik ke arahku,
menghalangi pandanganku ke tempat Henri tadi
berdiri. "Henri!" teriakku. Hewan buas itu meraung keras
menenggelamkan suara apa pun, jika memang Henri
menjawab. Hewan itu melangkah ke arahku. Ke
hutan, kata Nomor Enam. Pergi ke hutan. Aku berdiri
dan berlari secepat mungkin ke bagian belakang
gedung olahraga, yang tadi dihancurkan hewan itu.
Aku menoleh untuk melihat apakah hewan itu
mengikutiku. Tidak. Mungkin Nomor Enam melakukan
sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya. Yang
kutahu hanya sekarang ini aku sendirian.
Aku melompati tumpukan puing-puing dan berlari
menjauhi sekolah, berlari secepat mungkin ke hutan.
Kegelapan merubungiku, mengikuti bagaikan hantu
jahat. Aku tahu aku bisa berlari lebih cepat daripada
mereka. Hewan buas itu meraung dan terdengar
suara dinding lain hancur. Aku mencapai pepohonan.
Kerumunan kegelapan seolah hilang. Aku berhenti dan
mendengarkan. Pepohonan bergoyang ditiup angin. Di
sini ada angin! Aku berhasil kabur dari kubah apa pun
yang dibuat para Mogadorian. Sesuatu yang hangat
berkumpul di pinggang celanaku. Luka di punggung
akibat peristiwa di rumah Mark James terbuka lagi.
Siluet sekolah tampak suram dari tempatku berdiri.
Seluruh gedung olahraga sudah hancur. Yang tersisa
hanya tumpukan batu. Bayangan hewan buas itu
menjulang di atas puing-puing kantin. Kenapa hewan
itu tidak mengejarku" Dan di mana hewan buas
kedua yang suaranya kami dengar tadi" Hewan itu
menghantamkan tinjunya lagi, dan satu ruangan lagi
hancur. Mark dan Sarah ada di suatu tempat di sana.
Aku menyuruh mereka kembali dan sekarang aku
sadar betapa bodohnya diriku. Aku tidak mengira
bahwa hewan buas itu akan tetap menghancurkan
sekolah walaupun aku tidak ada di sana. Aku harus
melakukan sesuatu untuk mengusirnya. Kuhirup napas
dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan. Begitu
melangkah, sesuatu yang keras memukul belakang
kepalaku. Aku jatuh ke lumpur dengan wajah terlebih
dahulu. Kusentuh kepalaku yang barusan dipukul.
Tanganku berlumuran darah, menetes dan ujung
jariku. Aku berbalik. Awalnya aku tidak melihat apaapa. Namun kemudian sesuatu
melangkah keluar dari kegelapan dan menyeringai.
Prajurit. Jadi seperti ini tampang prajurit Mogadorian.
Lebih tinggi daripada pengintai- dua meter, mungkin
malah dua setengah meter- dengan otot-otot yang
menonjol dari balik jubah hitam. Urat-urat bertonjolan
di sepanjang masing-masing lengannya. Sepatu bot
hitam. Dia tidak mengenakan penutup kepala. Rambut
panjang menjuntai ke bahu. Kulit pucat dan licin
seperti pengintai. Seringai percaya diri, bertekad bulat.
Salah satu tangannya memegang pedang. Panjang
dan berkilau, terbuat dari suatu logarn yang belum
pernah kulihat baik di Bumi ataupun di Lorien. Pedang
itu juga tampak berdenyut, seakan-akan hidup.
Aku mulai merangkak menjauh. Darah menetes ke
leherku. Hewan buas di sekolah meraung lagi. Aku
meraih dahan pohon yang ada di dekatku dan
menarik diriku berdiri. Prajurit itu berjarak tiga meter.
Aku mengepalkan kedua tanganku. Prajurit itu
menggerak-gerakkan pedang dengan acuh tak acuh
ke arahku. Lalu suatu benda keluar dari ujung pedang,
tampak seperti belati kecil. Aku memandang belati itu
melengkung, meninggalkan jejak di belakangnya
seperti asap pesawat. Sinarnya memantraiku
sehingga aku tidak bisa mengalihkan pandangan.
Kilatan cahaya terang meniadakan segalanya. Dunia
menjadi hampa dan tanpa suara. Tidak ada dinding.
Tidak ada suara. Tidak ada lantai atau langit-langit.
Perlahan-lahan berbagai bentuk mulai terlihat kembali.
Pepohonan berdiri bagai patung-patung kuno yang
berbisik bahwa dulu dunia pernah berada di suatu
alam lain yang hanya dihuni kegelapan.
Aku mengulurkan tangan untuk meraba pohon
terdekat, satu-satunya warna abu-abu di dunia yang
putih. Tanganku menembus pohon itu. Untuk sesaat
pohon itu beriak seolah terbuat dari cairan. Aku
menarik napas dalam. Saat mengembuskan napas,
rasa sakit kembali terasa di luka di kepalaku serta
luka di lengan dan tubuhku akibat kebakaran di
rumah Mark James. Suara air menetes datang dari
suatu tempat. Perlahan-lahan, aku bisa melihat bentuk
prajurit itu, yang berjarak enam atau sembilan meter.
Seperti raksasa. Kami saling tatap. Pedangnya bersinar
lebih terang di dunia baru ini. Matanya menyipit.
Tanganku kembali mengepal. Aku sudah pernah
mengangkat benda yang jauh lebih berat daripada ini.
Aku juga sudah pernah membelah pohon dan
menghancurkan benda. Pasti aku bisa mengimbangi
kekuatannya. Aku mendorong semua yang kurasakan
ke inti diriku, semua yang merupakan diriku saat ini
dan semua yang merupakan diriku nanti, hingga aku
merasa seolah akan meledak.
"Yahhhh!" teriakku, dan aku memukul tanganku ke
depan. Kekuatan meninggalkan tubuhku, menyerbu
ke arah si prajurit. Pada saat yang sama, si prajurit
mengayunkan pedang di depan tubuhnya seolah
memukul lalat. Kekuatanku ditangkis ke pepohonan,
membuat pohon-pohon menari-nari sebentar seperti
rumput tertiup angin, lalu diam. Prajurit itu
menertawakanku, tawanya serak dan dalam,
mengejek. Mata merah si prajurit mulai berbinar,
berputar seakan matanya penuh dengan lava. Prajurit
itu mengangkat tangannya yang tidak memegang
pedang. Aku menegangkan tubuh, bersiap
menghadapi sesuatu yang tak kuduga. Lalu tanpa
mengerti apa yang terjadi, leherku ada di
cengkeramannya. Jarak yang memisahkan kami
berdua hilang dalam sekejap mata. Prajurit itu
mengangkatku dengan satu tangan. Dia bernapas
dengan mulut, aku bisa mencium bau napasnya yang
busuk. Aku meronta, berusaha melepaskan jarijarinya dari leherku, tapi jari-jari
itu keras bagai besi. Lalu dia melemparku. Punggungku menghantam tanah dua belas meter
jauhnya. Aku berdiri. Prajurit itu menyerbu,
mengayunkan pedang ke kepalaku. Aku menunduk
dan melawan dengan mendorongnya sekuat
mungkin. Prajurit itu terhuyung mundur tapi tetap
berdiri. Aku mencoba mengangkatnya menggunakan
telekinesis, namun tak terjadi apa pun. Di dunia lain


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini, dunia dalam cengkeraman kekuatan kegelapan
Mogadorian, kekuatanku berkurang, hampir tak
berguna. Tempat ini menguntungkan si Mogadorian.
Prajurit itu tersenyum melihat kegagalanku dan
mengangkat pedang dengan kedua tangan. Pedang
itu menjadi hidup, kilauan berwarna perak berubah
menjadi biru es. Api biru menjilat-jilat bilah pedang
itu. Pedang yang berkilau karena tenaga, seperti yang
dikatakan Nomor Enam. Prajurit itu mengayunkan
pedang ke arahku, lalu belati lain terbang dari
ujungnya, lurus ke arahku. Aku bisa melakukan ini,
pikirku. Aku menghabiskan berjam-jam di halaman
belakang dengan Henri untuk menghadapi ini. Kami
selalu menggunakan pisau, kurang lebih sama dengan
belati. Apa Henri tahu para Mogadorian akan
menggunakan belati" Pasti dia tahu, walaupun aku
tidak pernah melihat belati di kilasan citra penyerbuan
Mogadorian di Lorien. Tapi aku juga tidak pemah
melihat makhluk ini. Makhluk yang kulihat di Lorien
rasanya tidak seseram ini. Pada hari penyerbuan
Lorien, mereka tampak sakit dan kelaparan. Apakah
Bumi memulihkan kesehatan mereka" Apakah
sumber daya Bumi membuat mereka menjadi lebih
kuat dan lebih sehat"
Belati itu benar-benar memekik saat menyerang ke
arahku, membesar dan diselubungi api. Saat aku akan
menangkisnya, belati itu meledak menjadi bola api,
dan lidah apinya meloncat ke arahku. Aku terjebak di
dalamnya. Aku diselubungi bola api. Orang lain pasti
terbakar, tapi aku tidak. Lalu entah kenapa
kekuatanku kembali. Aku bisa bernapas. Tanpa si
prajurit ketahui, bola api itu membuatku lebih kuat.
Sekarang giliranku tersenyum atas kegagalannya.
"Hanya itu yang kau bisa?" teriakku.
Wajah si prajurit berubah marah. Dengan sikap
menantang si prajurit meraih ke belakang bahunya.
Lalu muncullah sebuah senjata seperti meriam yang
mulai menyatu dengan tubuhnya, membelit lengan si
prajurit. Lengan dan senjata itu menjadi satu. Aku
mengeluarkan pisau dari saku belakangku, pisau yang
kuambil dari rumah sebelum kembali ke sekolah.
Kecil, tidak berarti, tapi lebih baik daripada tidak sama
sekali. Aku menghunus pisau dan berlari menyerbu.
Bola api itu ikut bersamaku. Si prajurit mengambil
ancang-ancang dan menghantamkan pedang sekuat
tenaga. Aku menangkisnya dengan pisau saku itu,
tapi berat pedang itu menyebabkan pisauku terbelah
dua. Aku menjatuhkan sisa pisauku dan
mengayunkan tinju sekuat mungkin. Tinjuku
menghantam perut si prajurit. Dia terhuyung. Namun
dia langsung tegak kembali dan mengayunkan
pedang itu lagi. Aku merunduk di bawah bilah pedang
pada detik terakhir. Pedang itu berdesing di atas
rambutku. Meriam menyusul. Tidak ada waktu untuk
bereaksi. Meriam itu menghantam bahuku. Aku
mengerang dan terlempar ke belakang. Si prajurit
kembali tegak dan mengacungkan meriam ke udara.
Mulanya aku bingung. Warna abu-abu dari pohon
ditarik dan diisap ke dalam senjata itu. Lalu aku
mengerti. Senjata itu. Senjata itu harus diisi sebelum
bisa ditembakkan. Senjata itu perlu mencuri sari pati
Bumi agar bisa digunakan. Warna abu-abu dari pohon
itu bukanlah bayangan. Warna abu-abu itu adalah
nyawa pohon itu, inti Sarinya. Sekarang kehidupan
pohon itu dicuri, diisap oleh para Mogadorian. Ras alien
yang menghabisi sumber daya planet mereka demi
kemajuan, sekarang melakukan hal yang sama di sini.
Inilah alasan mengapa mereka menyerang Lorien.
Alasan yang sama untuk menyerang Bumi. Satu demi
satu pohon-pohon roboh dan berubah menjadi
tumpukan abu. Senjata itu bersinar semakin terang,
begitu terang sehingga mata terasa sakit saat
memandangnya. Tidak ada waktu untuk diam.
Aku menyerbu. Si prajurit tetap mengarahkan senjata
itu ke langit dan mengayunkan pedang. Aku
merunduk dan menubruk si prajurit. Tubuh prajurit itu
menegang dan dia mengerang kesakitan. Api di
sekelilingku membakarnya di tempat dia berdiri. Tapi
pertahananku jadi terbuka. Prajurit itu mengayunkan
pedang dengan lemah, tidak cukup kuat untuk
melukaiku, tapi aku tidak bisa mengelak. Pedang
menghantamku. Tubuhku terlempar lima belas meter
ke belakang. Rasanya seolah disambar kilat. Aku
berbaring di sana. Tubuhku gemetar seolah baru
terkena setrum. Aku mengangkat kepala. Kami
dikelilingi tiga puluh tumpukan debu pohon yang
gugur. Berapa kali dia bisa menembak dengan itu"
Angin bertiup dan debu mulai menyebar di antara
kami. Bulan kembali terlihat. Dunia lain ciptaan si
Mogadorian mulai runtuh. Prajurit itu tahu. Senjatanya
siap. Aku berusaha berdiri. Tergeletak beberapa meter
di dekatku, masih bersinar, terdapat belati yang tadi
dilontarkan ke arahku. Aku memungutnya.
Prajurit itu menurunkan meriam dan membidik.
Warna putih yang mengelilingi kami mulai memudar,
warna-warna muncul kembali. Lalu meriam itu
ditembakkan. Tampak kilatan cahaya terang berisi
wujud mengerikan dari orang-orang yang pernah
kukenal- Henri, Sam, Bernie Kosar, Sarah- mereka
semua mati di dunia lain ini. Cahaya itu begitu terang
sehingga aku bisa melihat mereka semua, mencoba
membawaku bersama mereka, menyerbu ke depan
dalam bentuk bola energi yang semakin lama
semakin besar. Aku mencoba menangkisnya, namun
bola energi itu terlalu besar. Warna putih terang bola
energi menghantam bola api yang mengelilingiku.
Saat keduanya bersentuhan, terjadi ledakan yang
menyebabkanku terlempar ke belakang. Aku
mendarat dengan bergedebuk. Aku berusaha
memahami kenapa aku tidak terluka. Bola api sudah
padam. Entah bagaimana, bola api itu menyerap bola
energi, menyelamatkanku dan kematian yang tak
terhindarkan. Pasti begitulah cara meriam itu bekerja,
kematian yang satu untuk kematian yang lain.
Kekuatan pengendalian pikiran, memanipulasi rasa
takut, yang dimunculkan dengan menghancurkan
elemen-elemen di dunia. Para pengintai telah belajar
melakukannya dengan pikiran mereka, walaupun
efeknya lemah. Para prajurit menggunakan senjata
yang menghasilkan efek yang lebih besar.
Aku berdiri, masih memegang belati yang bersinar. Si
prajurit menarik semacam tuas di samping meriam,
tampaknya untuk mengisi meriam itu. Aku berlari ke
arahnya. Begitu cukup dekat, aku membidik
jantungnya dan melemparkan belati sekuat mungkin.
Meriam itu meletus untuk kedua kalinya. Warna
oranye menyerbu kencang ke arahku, kematian
menghampiriku. Belati dan rudal itu saling melintas di
udara, tanpa bersentuhan. Saat kupikir tembakan
kedua itu mengenaiku, mengantarkan kematian,
terjadi sesuatu yang tak terduga.
Belatiku menancap duluan.
F1 Dunia ciptaan prajurit Mogadorian itu lenyap. Dunia itu
memudar. Dingin dan gelap kembali seolah tak
pernah hilang. Peralihan yang memusingkan. Aku
melangkah mundur dan jatuh. Mataku menyesuaikan
diri dengan kurangnya cahaya. Aku menatap sosok
prajurit yang gelap dan menjulang di atasku. Ledakan
meriam itu tidak ikut bersama kami. Belati bersinarlah
yang ikut. Belati itu menancap dalam di jantungnya,
gagangnya berdenyut-denyut berwarna oranye di
bawah sinar bulan. Prajurit itu terhuyung-huyung.
Kemudian, belati itu masuk lebih dalam dan
menghilang. Si prajurit mengerang. Darah hitam
menyembur dari lukanya. Mata si prajurit menjadi
kosong, lalu berputar ke dalam kepalanya. Dia jatuh
ke tanah, berbaring tak bergerak, lalu meledak
menjadi awan abu yang menyelimuti sepatuku. Satu
prajurit. Aku sudah membunuh satu prajurit. Mungkin
bukan yang terakhir. Berada di dunia lain tadi membuatku lemah. Aku
meletakkan tangan di pohon terdekat untuk
menenangkan diri dan menarik napas, namun pohon
itu tidak lagi ada di sana. Aku memandang berkeliling.
Semua pohon yang ada di sekitar kami sudah
berubah menjadi tumpukan abu seperti yang terjadi
di dunia lain, persis seperti para Mogadorian saat
mereka mati. Aku mendengar raungan hewan buas. Kuangkat
kepalaku melihat sisa-sisa bangunan sekolah yang
masih berdiri. Tapi selain gedung sekolah, di tempat
itu ada sesuatu yang lain, jaraknya lima meter dariku,
berdiri tegak dengan pedang di tangan yang satu dan
meriam di tangan yang lain. Meriam itu dibidikkan ke
jantungku. Meriam itu sudah diisi, bersinar penuh
kekuatan. Prajurit lain. Kurasa aku tidak punya
kekuatan untuk melawan yang satu ini.
Tidak ada yang bisa kulempar. Jarak di antara kami
terlalu besar sehingga aku tidak mungkin berlari
menyerbunya sebelum meriam itu ditembakkan. Lalu
lengan si prajurit mengejang dan suara tembakan
bergema di udara. Secara naluriah tubuhku tersentak,
berpikir bahwa meriam itu akan membelahku jadi
dua. Tapi aku baik-baik saja, tidak terluka. Aku
memandang bingung. Di sana, di dahi prajurit itu, ada
sebuah lubang sebesar uang logam. Darahnya yang
menjijikkan menyembur dan lubang itu. Prajurit itu
roboh dan hancur. "Itu untuk ayahku," terdengar suara di belakangku.
Aku berbalik. Sam, memegang pistol perak di tangan
kanannya. Aku tersenyum kepadanya. Dia
menurunkan senjatanya. "Mereka lewat tengah kota,"
katanya. "Aku tahu itu mereka begitu melihat
truknya." Aku berusaha menarik napas, memandang kagum ke
arah Sam. Sesaat sebelumnya, dalam bola energi si
prajurit pertama, aku melihat Sam dalam wujud
mayat membusuk yang bangkit dari kegelapan
neraka untuk membawaku. Dan sekarang Sam
menyelamatkanku. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Kau datang dari mana?"
"Aku membuntuti dengan truk ayahku setelah
mereka melewati rumahku. Aku masuk sekitar lima
belas menit yang lalu. Namun kemudian aku
dikerumuni para Mogadorian yang sudah ada di sini.
Jadi aku pergi dan parkir di tanah lapang sekitar satu
kilometer dari sini, lalu berjalan menembus hutan."
Lampu mobil kedua yang tadi kami lihat dari jendela
di sekolah ternyata berasal dari truk Sam. Aku
membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi
guntur mengguncang langit. Badai mulai terbentuk.
Aku merasa lega karena itu berarti Nomor Enam
masih hidup. Kilat menyambar membelah langit.
Awan mulai berdatangan dari segala penjuru,
berkumpul membentuk satu awan besar. Hari
menjadi semakin gelap. Lalu turunlah hujan yang
begitu lebat sehingga aku harus memicingkan mata
agar bisa melihat Sam yang berada 1,5 meter dariku.
Sekolah tampak seperti terselubungi badai. Lalu
sebuah kilat besar menyambar. Sesaat dunia tampak
terang. Lalu aku melihat hewan buas Mogadorian
disambar kilat. Raungan kesakitan terdengar.
"Aku harus kembali ke sekolah!" teriakku. "Mark dan
Sarah ada di suatu tempat di dalam sana."
"Kalau kau pergi, aku juga pergi," jawab Sam sambil
berteriak mengatasi gemuruh badai.
Kami berjalan tidak lebih dari lima langkah sebelum
akhirnya angin bertiup menderu, mendorong kami ke
belakang. Hujan lebat menyengat wajah kami. Kami
basah kuyup, menggigil, dan kedinginan. Tapi jika aku
menggigil, itu artinya aku hidup. Sam berlutut, lalu
tiarap agar tidak diterbangkan angin ke belakang. Aku
melakukan yang sama. Dengan mata terpicing aku
melihat awan- berat, gelap, mengerikan- berputar
dalam lingkaran kecil. Di bagian tengah awan
itu- yang kulihat dengan susah payah- sebuah wajah
mulai terbentuk. Wajah itu tua, berkeriput, berjanggut, dan tenang
seolah sedang tidur. Wajah yang tampak lebih tua
daripada Bumi. Awan semakin rendah, perlahan-lahan
turun mendekati tanah dan mengisap segalanya.
Dunia menjadi gelap, begitu gelap dan tak bisa
ditembus cahaya sehingga sulit membayangkan
bahwa di suatu tempat di sana rnasih ada matahari.
Raungan lagi. Raungan kemarahan dan malapetaka.
Aku mencoba berdiri tapi langsung dihantam angin.
Anginnya terlalu besar. Wajah itu. Wajah itu mulai
hidup. Bangun. Matanya membuka. Wajah itu
menyeringai. Apa itu awan buatan Nomor Enam"
Wajah itu tampak bagaikan perwujudan kemurkaan,
perwujudan balas dendam. Turun dengan cepat.
Segala sesuatu seolah di ujung tanduk. Lalu mulut
awan itu membuka, lapar, menarik bibirnya sehingga
giginya tampak, dan matanya dipicingkan dengan
penuh kebencian. Kemurkaan luar biasa.
Lalu wajah itu menyentuh tanah. Ledakan sonik
menggetarkan tanah. Ledakan itu mengenai sekolah.
Dunia tampak terang dengan cahaya merah, oranye,


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan biru. Aku terlempar ke belakang. Pepohonan
patah jadi dua. Tanah bergetar. Aku mendarat dengan
bergedebuk. Dahan-dahan dan lumpur menimpaku.
Telingaku berdenging begitu keras. Ledakan itu begitu
kuat sehingga pastilah terdengar hingga delapan
puluh kilometer. Kemudian hujan berhenti. Segalanya
hening. Aku berbaring di lumpur, mendengarkan detak
jantungku. Awan menyingkir, memperlihatkan bulan.
Tidak ada embusan angin sedikit pun. Aku
memandang berkeliling tapi tidak melihat Sam. Aku
berteriak memanggilnya tapi tak ada jawaban. Aku
berusaha mendengar sesuatu, apa pun itu- raungan
lain atau senapan Henri. Namun, tidak terdengar apa
pun. Aku bangkit dari tanah, membersihkan lumpur dan
ranting-ranting sebisa mungkin dan keluar dari hutan.
Bintang-bintang bermunculan kembali, jutaan bintang
berkelap-kelip tinggi di langit malam. Apakah sudah
berakhir" Apakah kami menang" Atau ini hanyalah
ketenangan sesaat" Sekolah, pikirku. Aku harus
kembali ke sekolah. Aku melangkah ke depan, dan
saat itu aku mendengarnya.
Raungan lain, datang dari hutan di belakangku.
Aku mendengar suara tembakan membelah malam,
bergaung begitu rupa sehingga aku tidak bisa
menduga dari mana asalnya. Aku berharap dengan
segenap hatiku bahwa suara itu berasal dari senapan
Henri, bahwa dia masih hidup, masih melawan.
Tanah mulai bergetar. Hewan buas berlari, ke arahku,
tidak salah lagi. Pohon-pohon hancur dan direnggut
dari akarnya di belakangku. Hewan-hewan itu
tampaknya tidak memelankan larinya. Apakah hewan
ini lebih besar dari yang satu itu" Aku tidak ingin tahu.
Aku berlari ke sekolah. Namun kemudian aku sadar
bahwa itu tempat terburuk yang bisa kutuju. Sarah
dan Mark rnasih di dalam, rnasih bersembunyi. Atau
setidaknya kuharap begitu.
Segalanya kembali seperti sebelum badai. Kegelapan
mengikuti, menghampiri. Para pengintai. Para prajurit.
Aku berbelok ke kanan dan berlari di sepanjang jalan
dengan pohon di pinggirnya yang mengarah ke
lapangan football. Hewan buas itu membuntuti
jejakku. Apa aku bisa melarikan diri darinya" Jika bisa
mencapai hutan di seberang lapangan ini, mungkin
aku bisa. Aku kenal hutan itu. Hutan itu mengarah ke
rumah kami. Aku memiliki keuntungan di dalam hutan
itu karena aku mengenalnya. Aku memandang
berkeliling dan melihat sosok para Mogadorian di
halaman sekolah. Jumlah rnereka terlalu banyak. Kami
kalah jumlah, jauh. Apa kami pernah benar-benar
yakin bisa menang" Sebuah belati terbang melewatiku. Kilatan warna
merah meleset hanya beberapa senti dari wajahku.
Belati itu menancap di batang pohon di sampingku
dan pohon itu terbakar. Raungan lagi. Hewan itu
menyusul. Di antara kami, siapa yang lebih kuat" Aku
masuk ke stadion, berlari melintasi tengah lapangan.
Pisau lain berdesing di sampingku, kali ini biru. Hutan
sudah dekat. Saat akhirnya berlari kencang ke dalam
hutan, aku tersenyum. Aku memancing hewan itu
menjauhi yang lain. Jika yang lain aman, tugasku
selesai. Saat rasa kemenangan mekar di dadaku,
belati ketiga menancap. Aku jatuh ke lumpur dengan wajah terlebih dahulu.
Aku bisa merasakan belati menancap di antara tulang
belikatku. Rasanya begitu sakit sehingga aku lumpuh.
Kucoba meraih belati itu untuk mencabutnya, namun
letaknya terlalu tinggi. Belati itu terasa seolah
bergerak, masuk lebih dalam. Rasa sakitnya
menyebar seolah aku diracuni. Perutku, sakit sekali.
Aku tidak bisa mencabut belati itu dengan telekinesis.
Entah kenapa kekuatanku seakan hilang. Aku mulai
merangkak maju. Salah satu prajurit- atau mungkin
itu pengintai, aku tidak tahu- menginjak punggungku,
membungkuk, dan mencabut belati. Aku mengerang.
Belati itu hilang, tapi rasa sakitnya tetap ada. Si
Mogadorian mengangkat kakinya dan punggungku.
Aku masih bisa merasakan keberadaannya dan
berusaha telentang untuk menghadapinya.
Prajurit lain, berdiri menjulang dan tersenyum penuh
rasa benci. Wajah yang sama seperti prajurit
sebelumnya. Pedang yang serupa. Belati yang tadi
menancap di punggungku sekarang ada dalam
genggamannya. Belati itulah yang tadi kurasakan.
Belati itu berputar saat menancap dalam dagingku.
Aku mengangkat tangan ke depan ke arah si prajurit
untuk memindahkannya, tapi aku tahu itu sia-sia. Aku
tidak bisa berkonsentrasi, segalanya tampak kabur. Si
prajurit mengacungkan pedang ke udara. Seakan
mengecap kematian, pedang itu mulai bercahaya
dengan latar belakang kegelapan malam. Aku akan
mati, pikirku. Tak ada yang bisa kulakukan. Aku
memandang mata si prajurit. Sepuluh tahun melarikan
diri. Betapa mudahnya ini berakhir. Betapa sepinya.
Tapi di belakang si prajurit ada sesuatu yang lain.
Sesuatu yang lebih ganas daripada sejuta prajurit
dengan sejuta pedang. Panjang setiap giginya sama
dengan tinggi si prajurit. Gigi-geligi putih berkilau
dalam mulut yang terlalu kecil untuk menampung
semua gigi itu. Hewan besar dengan mata jahatnya
menjulang di atas kami. Napasku tercekat menyakitkan di tenggorokan.
Mataku melotot karena ngeri. Hewan itu akan
menghabisi kami berdua, pikirku. Si prajurit tidak
sadar. Prajurit itu menyeringai ke arahku. Tubuhnya
tegang saat mulai mengayunkan pedang itu ke
bawah untuk membelahku menjadi dua. Tapi
gerakannya terlalu lambat. Hewan buas itu lebih dulu
menyerangnya. Rahang si hewan buas mengatup
bagai perangkap beruang. Hewan buas itu tidak
berhenti hingga seluruh gigi-geliginya mengatup.
Tubuh si prajurit terbelah dua tepat di bawah
pinggulnya, hanya menyisakan sepasang kaki yang
masih berdiri tegak. Hewan buas itu mengunyah dua
kali dan menelan. Kaki si prajurit jatuh bergedebuk ke
tanah, yang satu jatuh ke kanan, yang lainnya jatuh
ke kiri, dan langsung berubah jadi abu.
Aku mengumpulkan segenap kekuatan untuk meraih
dan merenggut belati yang jatuh di kakiku. Aku
menyelipkan belati itu ke pinggang celana jinsku dan
mulai merangkak menjauh. Aku merasakan hewan
buas itu berdiri menjulang di atasku. Aku bisa
merasakan napasnya di tengkukku. Bau kematian dan
daging busuk. Aku tiba di tempat terbuka kecil dalam
hutan. Menunggu kemurkaan hewan buas. Menanti
saat gigi dan cakarnya mencabik-cabik tubuhku. Aku
menarik diriku ke depan hingga tidak bisa bergerak
lagi. Kusandarkan punggungku ke pohon ek.
Hewan buas itu berdiri di tengah-tengah lapangan,
sembilan meter dariku. Untuk pertama kalinya, aku
menatap hewan buas itu dengan saksama. Sosok
gelap, tampak kabur di malam yang dingin dan gelap.
Lebih tinggi dan lebih besar daripada hewan buas
yang tadi ada di sekolah. Tingginya dua belas meter,
berdiri tegak dengan kedua kaki belakangnya. Kulit
tebal dan berwarna abu-abu membalut otot yang
menonjol. Hewan itu tak berleher. Kepalanya condong
ke depan sehingga rahang bawahnya lebih maju
daripada rahang atasnya. Sepasang taringnya
mengarah ke langit. Sepasang taring lain mengarah
ke tanah, meneteskan darah dan liur. Lengan yang
panjang dan besar tergantung 30 atau 60 senti di atas
tanah saat hewan itu berdiri tegak, membuatnya
terkesan bungkuk. Matanya berwarna kuning.
Lingkaran-lingkaran di samping kepalanya berdenyut
sesuai denyut jantungnya, satu-satunya tanda bahwa
hewan itu memiliki jantung.
Hewan itu mencondongkan tubuh ke depan sehingga
tangan kirinya menyentuh tanah. Sebuah tangan
dengan jari-jari gemuk pendek dan cakar elang,
berfungsi untuk mencabik apa pun yang disentuhnya.
Hewan itu mengendusku, lalu meraung. Raungan
yang memekakkan telinga dan bisa membuatku
terdorong ke belakang jika saja tidak ada pohon di
belakangku. Mulutnya membuka, memperlihatkan
sekitar lima puluh lebih gigi-geligi, yang masingmasingnya sangat tajam.
Tangannya yang satu lagi diayunkan dan menyebabkan semua pohon, sekitar
sepuluh atau lima belas pohon, terbelah.
Tidak bisa melarikan diri lagi. Tidak bisa bertempur
lagi. Darah dari luka akibat belati mengalir menuruni
punggungku. Tangan dan kakiku gemetar. Belati itu
masih terselip di pinggang celana jinsku, tapi buat apa
meraihnya" Bagaimana mungkin sebuah belati
sepanjang sepuluh senti bisa melawan seekor hewan
buas setinggi dua belas meter" Belati itu hanya seperti
serpihan kayu bagi hewan itu. Belati itu hanya akan
membuat hewan itu semakin marah. Harapanku satusatunya hanyalah mati kehabisan
darah sebelum dibunuh dan dimakan. Aku menutup mata menyambut kematian. Cahayaku
padam. Aku tidak mau melihat apa yang akan terjadi.
Aku mendengar gerakan di belakangku dan
membuka mata. Pastilah salah satu Mogadorian
mendekat agar bisa melihat lebih baik, pikirku. Namun
kemudian aku tahu dugaanku salah. Aku merasa
kenal dengan cara berjalannya yang melompatlompat. Aku merasa kenal dengan suara
napasnya. Lalu sesuatu itu muncul. Bernie Kosar. Aku tersenyum. Namun senyumku langsung pudar.
Jika aku akan mati, tidak ada gunanya jika Bernie
Kosar juga mati. Jangan, Bernie Kosar. Jangan ke sini.
Kau harus pergi. Lari secepat mungkin. Pergi sejauh
mungkin dari sini. Anggap saja kau baru selesai lari
pagi denganku ke sekolah. Ini saatnya pulang ke
rumah. Bernie Kosar memandangku sambil berjalan. Aku di
sini, Bernie Kosar seakan berkata seperti itu. Aku di
sini dan aku akan mendampingimu.
"Tidak," kataku keras-keras.
Bernie Kosar berhenti cukup lama untuk menjilat
tanganku, menenangkan. Dia memandangku dengan
matanya yang besar dan cokelat. Pergi, John, aku
mendengar suara di benakku. Jika perlu,
merangkaklah. Tapi kau harus pergi sekarang juga.
Kehilangan darah membuatku berkhayal. Bernie
seolah berbicara denganku. Apakah Bernie Kosar
benar-benar ada di sini, atau aku hanya berkhayal"
Bernie Kosar berdiri di depanku seakan ingin
melindungiku. Dia mulai menggeram, awalnya pelan,
tapi semakin lama geramannya semakin besar dan
semakin ganas seperti raungan si hewan buas itu.
Hewan buas itu menatap Bernie Kosar. Menunduk
menatap Bernie Kosar. Bulu-bulu di tengah punggung
Bernie Kosar berdiri. Telinganya yang cokelat
menempel di kepalanya. Kesetiaannya, keberaniannya
hampir membuatku menangis. Tubuhnya ratusan kali
lebih kecil daripada si hewan buas itu, namun dia
berdiri dengan gagah, bersumpah untuk melawan.
Cukup sapuan cepat si hewan buas, dan segalanya
akan berakhir. Aku mengulurkan tangan ke arah Bernie Kosar.
Seandainya aku bisa berdiri dan meraih lalu
membawanya pergi. Geraman Bernie Kosar begitu
ganas sehingga seluruh tubuhnya bergetar.
Lalu sesuatu mulai terjadi.
Bernie Kosar mulai membesar.
G SETELAH BEGITU LAMA, BARU SEKARANG AKU
mengerti. Ketika kami lari pagi, saat aku berlari terlalu
cepat sehingga Bernie Kosar tak bisa mengimbangi.
Kenapa dia menghilang ke dalam hutan dan beberapa
detik kemudian muncul kembali di depanku. Itu yang
tadi ingin dikatakan Nomor Enam. Nomor Enam
langsung tahu begitu melihatnya. Saat kami lari pagi,
Bernie Kosar masuk ke dalam hutan dan berubah
wujud menjadi burung. Caranya bergegas ke luar
setiap pagi, mengendus tanah, berpatroli di halaman.
Melindungiku, dan Henri. Mencari tanda-tanda
Mogadorian. Cecak di Florida. Cecak yang biasa
memandangi dari dinding saat aku sarapan. Sudah
berapa lama dia bersama kami" Chimaera, hewan
yang kulihat dimasukkan ke dalam roket
kedua- apakah mereka berhasil mencapai Bumi"
Bernie Kosar terus membesar. Dia menyuruhku lari.
Aku bisa berkomunikasi dengannya. Bukan. Bukan
hanya itu. Aku bisa berkomunikasi dengan semua
hewan. Pusaka lain. Sejak kejadian dengan rusa di
Florida pada hari ketika kami pergi. Bulu kudukku
meremang saat rusa itu menyampaikan sesuatu
kepadaku, suatu kilasan perasaan. Waktu itu aku
mengira perasaan itu disebabkan rasa sedih karena
harus pergi, tapi aku salah. Anjing-anjing Mark James.
Sapi-sapi yang kulewati saat lari pagi. Sama. Aku
merasa begitu bodoh karena baru menyadarinya
sekarang. Padahal begitu jelas, tepat di depan
hidungku. Seperti pepatah yang biasa diucapkan
Henri: Sesuatu yang tampak sangat jelas adalah


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesuatu yang sering kali kita abaikan. Tapi Henri tahu.
Itu sebabnya Henri melarang Enam memberitahuku.
Bernie Kosar sudah selesai membesar. Rambutnya
rontok, digantikan sisik-sisik. Dia tampak seperti naga,
tapi tanpa sayap. Otot-otot bertonjolan di tubuhnya.
Gigi dan cakar bergerigi, dengan tanduk melingkar
seperti tanduk biri-biri jantan. Lebih gemuk daripada
hewan buas itu, tapi jauh lebih pendek. Dia tampak
sangat ganas. Dua raksasa berhadapan di tempat
terbuka, saling meraung. Lari, katanya. Aku berusaha memberitahunya bahwa
aku tidak bisa. Aku tidak tahu apakah dia bisa
memahamiku. Kau bisa, katanya. Harus.
Hewan buas Mogadorian itu mengayunkan tangan,
pukulan yang seakan berawal dari langit dan meroket
turun dengan brutal. Bernie Kosar menahan pukulan si
hewan buas dengan tanduknya, lalu menerjang
sebelum hewan itu bisa mengayunkan tinju lagi.
Mereka bertabrakan keras di tengah-tengah lapangan.
Bernie Kosar memukul ke atas, menancapkan giginya
di samping tubuh lawanya. Hewan buas itu balas
memukulnya. Mereka berdua bergerak sangat cepat sehingga tak
terlihat jelas. Tubuh mereka berdua luka-luka. Aku
menonton dengan punggung bersandar ke pohon. Aku
ingin membantu, tapi telekinesisku masih tidak
berfungsi. Darah masih mengalir di punggungku.
Tangan dan kakiku terasa berat. Darahku seakan
berubah jadi timah. Aku bisa merasakan kesadaranku
memudar. Hewan buas Mogadorian berdiri dengan dua kaki
sementara Bernie Kosar bertarung dengan empat kaki.
Dia menyerbu. Bernie Kosar menundukkan kepala.
Mereka bertubrukan, menabrak pohon di kananku.
Entah bagaimana, hewan buas itu ada di atas Bernie
Kosar. Dia menghunjamkan giginya dalam-dalam ke
leher Bernie Kosar, menggoyang-goyangkan kepala,
berusaha mencabik leher Bernie Kosar. Bernie Kosar
menggeliat di bawah gigitannya, tapi tidak bisa
membebaskan diri. Bernie Kosar mencakar-cakar
lawannya, tapi hewan buas itu tetap tidak
melepaskan gigitannya. Lalu sebuah tangan meraih dari belakangku,
memegang lenganku. Aku berusaha menepisnya, tapi
tak kuasa. Mata Bernie Kosar menutup rapat. Dia
menggeliat di bawah rahang si hewan buas,
tenggorokannya tertarik, tidak bisa bernapas.
"Tidak!" teriakku.
"Ayo!" teriak seseorang di belakangku. "Kita harus
pergi dari sini." "Bernie Kosar," kataku, tidak tahu suara siapa itu.
"Bernie Kosar!"
Bernie Kosar digigit dan dicekik. Dia sekarat. Tapi aku
tidak bisa melakukan apa pun. Dan aku pun akan
segera menyusulnya. Aku rela mengorbankan
nyawaku demi nyawanya. Aku melolong pilu. Bernie
Kosar menoleh memandangku. Wajahnya mengernyit
karena sakit, menderita, dan juga karena merasakan
ajalnya segera tiba. "Kita harus pergi!" teriak suara di belakangku,
tangannya menarikku berdiri.
Bernie Kosar menatap mataku. Pergi, katanya. Pergi
dari sini, sekarang, selagi bisa. Tak banyak waktu.
Entah bagaimana aku meraih kakiku. Pusing, dunia di
sekelilingku tampak kabur. Hanya mata Bernie Kosar
yang tetap tampak jelas. Matanya menjerit "Tolong!"
meskipun pikirannya berkata lain.
"Kita harus pergi!" kata suara itu lagi. Aku tidak
menoleh untuk melihat, tapi aku tahu suara siapa itu.
Mark James. Dia tidak lagi bersembunyi di sekolah,
dan berupaya menyelamatkanku dari kehancuran ini.
Mark ada di sini. Itu berarti Sarah baik-baik saja.
Untuk sesaat aku merasa lega, tapi perasaan itu
langsung lenyap. Saat ini hanya ada satu hal penting.
Bernie Kosar, berbaring miring, memandangku dengan
tatapan kosong. Dia menyelamatkanku. Sekarang
giliranku menyelamatkannya.
Mark mengulurkan tangan ke depan dadaku. Dia
menarikku ke belakang, pergi dari lapangan, menjauhi
pertempuran. Aku meronta membebaskan diri. Mata
Bernie Kosar perlahan-lahan mulai menutup. Dia akan
pergi, pikirku. Aku tidak mau melihatmu mati, kataku.
Aku bersedia melihat apa pun di dunia ini, tapi aku
tidak mau melihatmu mati. Tidak ada jawaban.
Gigitan si hewan buas semakin kencang. Bernie Kosar
bisa merasakan maut mendekat.
Aku melangkah terhuyung-huyung, menarik belati dari
pinggang celana jinsku. Aku memegang belati itu erat.
Belati itu hidup dan mulai bersinar. Aku tidak akan
bisa melemparkan belati ke tubuh si hewan buas. Aku
juga tidak bisa menggunakan Pusakaku. Pilihan yang
mudah. Tidak ada pilihan selain menyerang.
Aku menarik napas dalam dengan bergetar.
Kuayunkan tubuh ke belakang. Seluruh tubuhku
tegang, nyeri karena kelelahan. Setiap bagian tubuhku
terasa sakit. "Tidak!" teriak Mark di belakangku.
Aku menyerbu ke depan, berlari ke arah si hewan
buas. Mata si hewan buas Mogadorian itu tertutup.
Rahangnya mencengkeram tenggorokan Bernie Kosar.
Darah di sekitarnya tampak berkilauan di bawah sinar
bulan. Sembilan meter lagi. Enam meter. Mata si
hewan buas terbuka tepat saat aku melompat. Mata
kuning itu murka begitu melihatku. Aku terbang di
udara sambil memegang belati tinggi di atas kepala
dengan kedua tangan, seperti dalam suatu mimpi
heroik yang kuharap tidak pernah berakhir. Si hewan
buas melepaskan leher Bernie Kosar dan bergerak
untuk menggigitku, walaupun tahu bahwa dia
terlambat menyadari keberadaanku. Bilah belati itu
bersinar menyambut apa yang akan terjadi. Aku
menghunjamkannya ke mata si hewan buas dalamdalam. Cairan langsung muncrat dan
dia pun mengeluarkan lolongan sangat keras yang
membekukan darah. Kurasa mereka yang sudah mati
pun bisa terbangun karenanya.
Aku jatuh telentang. Saat kuangkat kepala, hewan
buas itu terhuyung-huyung di atasku. Dengan sia-sia
dia berusaha menarik belati dari matanya, tapi
tangannya terlalu besar dan belati itu terlalu kecil.
Senjata Mogadorian berfungsi dengan suatu cara yang
kurasa tak akan pernah kupahami, karena ada
gerbang mistik antardunia. Belati itu juga sama. Luka
yang disebabkan belati itu menarik kegelapan
memasuki mata si hewan buas dalam bentuk pusaran
awan, angin topan kematian.
Si hewan buas terdiam saat awan hitam besar
terakhir berpusar masuk ke dalam tengkoraknya
bersama belati itu. Lengannya tergantung lunglai di
samping badannya. Tangannya mulai bergetar.
Getaran itu begitu hebat sehingga membuat seluruh
tubuhnya yang besar berguncang. Saat getaran itu
berhenti, si hewan buas terhuyung lalu jatuh dengan
punggung menubruk pepohonan. Dia terduduk, tapi
tetap menjulang sekitar dua puluh lima meter di
atasku. Segalanya hening, seakan menanti apa yang
akan terjadi. Terdengar bunyi senapan ditembakkan
satu kali, sangat dekat sehigga telingaku berdenging.
Hewan buas itu menarik napas dan menahannya
seolah bermeditasi. Tiba-tiba kepalanya meledak,
menghujani segala yang ada di sekitarnya dengan
serpihan otak, daging, dan tengkorak, yang langsung
berubah menjadi debu dan abu.
Hutan sunyi senyap. Aku berpaling dan memandang
Bernie Kosar. Dia masih terbaring miring tak bergerak.
Matanya tertutup. Aku tidak tahu apakah dia masih
hidup. Saat aku memandangnya, Bernie Kosar
berubah wujud lagi, mengecil ke ukuran normalnya,
tapi tetap tak bergerak. Terdengar bunyi derak
dedaunan dan gemeretak ranting-ranting di dekatku.
Aku harus mengerahkan seluruh kekuatan hanya
untuk mengangkat kepala dua senti dari tanah.
Kubuka mata dan mengintip ke kegelapan malam,
berharap melihat Mark James. Tapi bukan Mark James
yang berdiri di dekatku. Napasku tercekat. Sosok
gelap, tidak tampak jelas di bawah sinar bulan. Lalu
sosok itu melangkah ke depan, menutupi bulan.
Mataku membelalak ngeri. *** SOSOK SAMAR ITU SEMAKIN JELAS. AKU MERASA
lelah, sakit, dan ngeri. Namun akhirnya aku
tersenyum, merasa lega. Henri. Dia melemparkan
senapan ke semak-semak lalu berlutut di sampingku.
Wajahnya berdarah, kemeja dan jinsnya compangcamping, terkoyak di sepanjang
kedua lengan dan lehernya, namun matanya berpendar ngeri saat
melihat luka-luka di tubuhku.
"Sudah berakhir?" tanyaku.
"Sstt," katanya. "Apa salah satu belati mereka
mengenaimu?" "Punggungku," kataku.
Henri menutup mata dan menggelengkan kepala. Dia
merogoh saku dan mengeluarkan sebuah kerikil
bundar kecil yang tadi diambilnya dari Peti Loric
sebelum kami meninggalkan kelas tata boga.
Tangannya gemetar. "Buka mulutmu," katanya. Henri memasukkan batu
itu. "Tahan di bawah lidah. Jangan ditelan." Henri
meletakkan tangannya di bawah ketiakku dan
mengangkat tubuhku. Aku berdiri. Henri
memegangiku hingga aku bisa berdiri dengan
seimbang. Dia memutar tubuhku untuk melihat luka di
punggungku. Wajahku terasa hangat. Sepertinya batu
itu menyembuhkanku. Kaki dan tanganku sakit
karena lelah, tapi kekuatanku pulih.
"Apa ini?" "Garam Loric. Memperlambat dan mengurangi efek
belati itu," kata Henri. "Kau akan merasa bertenaga,
tapi itu tidak bertahan lama. Kita harus kembali ke
sekolah secepat mungkin."
Kerikil itu terasa dingin di mulutku, tidak asin seperti
garam- sebenarnya malah tidak berasa sama sekali.
Aku menunduk dan berusaha memaharni apa yang
terjadi, kemudian mengibaskan sisa-sisa abu si hewan
buas yang mati. "Apa semuanya baik-baik saja?" tanyaku.
"Nomor Enam luka parah," jawab Henri. "Sam sedang
membawanya ke truk. Kemudian Sam akan menyetir
truk ke sekolah untuk menjemput kita semua. Jadi,
kita harus kembali ke sana."
"Kau lihat Sarah?"
"Tidak" "Mark James tadi di sini," kataku, lalu memandang
Henri. "Kupikir kau itu dia."
"Aku tak melihatnya."
Aku melihat Bernie Kosar di belakang Henri. "Bernie
Kosar," kataku. Bernie Kosar masih mengerut, sisiksisiknya menghilang- digantikan
bulu berwarna cokelat dan hitam- kembali ke wujud yang langsung
aku kenali. Telinga terkulai, kaki pendek, tubuh
panjang. Anjing beagle dengan hidung dingin dan
basah yang selalu siap untuk lari. "Dia
menyelamatkan nyawaku. Kau sudah tahu, ya?"
"Tentu saja aku tahu."
"Kenapa nggak bilang?"
"Karena dia mengawasimu saat aku tidak bisa."
"Tapi kenapa dia ada di sini?"
"Dia ikut naik pesawat bersama kita."
Lalu aku teringat benda yang dulu kusangka boneka,
mainanku. Sebenarnya aku bermain dengan Bernie
Kosar, walaupun dulu namanya Hadley.
Kami berjalan menghampiri anjing itu. Aku
berjongkok dan mengusap samping tubuh Bernie
Kosar. "Kita harus cepat," kata Henri lagi.
Bernie Kosar tidak bergerak. Hutan itu hidup,
dikerumuni kegelapan. Artinya hanya satu, tapi aku
tak peduli. Aku menggerakkan tangan ke dada si
anjing. Walaupun lemah, aku bisa mendengar
jantungnya berdetak. Masih ada kehidupan, walaupun
samar. Tubuh Bernie Kosar penuh dengan luka, darah
merembes dari segala tempat. Kaki depannya
bengkok tidak wajar, patah. Tapi dia masih hidup. Aku
mengangkat Bernie Kosar selembut mungkin,
menggendongnya seperti menimang bayi. Henri
membantuku berdiri. Lalu dia merogoh saku,
mengambil kerikil garam lain, dan memasukkannya
ke dalam mulut. Aku bertanya-tanya apakah dia
berbicara mengenai dirinya sendiri saat mengatakan
tidak banyak waktu. Kami berdua berdiri goyah. Lalu
aku melihat sesuatu di paha Henri. Luka berwarna
biru tua berkilau dan dikelilingi darah. Henri juga
ditikam belati prajurit Mogadorian. Aku bertanyatanya apakah kerikil garam itu
satu-satunya yang membuat Henri berdiri, seperti halnya diriku.
"Senapannya?" tanyaku.
"Pelurunya habis."
Kami berjalan meninggalkan tempat terbuka itu,
dengan perlahan. Bernie Kosar tidak bergerak di
tanganku, tapi aku bisa merasakan kehidupan belum


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkannya. Belum. Kami keluar dari hutan,
meninggalkan ranting-ranting yang bergantungan,
semak-semak, serta bau daun basah dan membusuk
di belakang kami. "Bisa lari?" tanya Henri.
"Nggak," kataku. "Tapi aku akan tetap lari."
Terdengar keributan di depan kami, sejumlah
geraman diikuti gemerincing rantai.
Lalu kami mendengar raungan, tidak seganas raungan
yang lain, tapi cukup keras sehingga kami tahu
artinya hanya satu: hewan buas lain.
"Yang benar saja," kata Henri.
Ranting patah di belakang kami, dari hutan. Henri dan
aku menoleh ke belakang, tapi hutan itu terlalu lebat
sehingga kami tidak bisa melihat. Aku menyalakan
sinar di tangan kiriku dan menyorotkannya ke
pepohonan. Sekitar tujuh atau delapan prajurit berdiri
di tepi hutan. Saat sinarku mengenai mereka, mereka
langsung menghunuskan pedang, yang menjadi hidup
dan bersinar dengan berbagai warna.
G1 "Jangan!" teriak Henri. "Jangan gunakan Pusakamu,
nanti kau jadi lemah."
Terlambat. Kupadamkan sinarku, tapi aku kembali
merasa pusing dan lemah, serta sakit. Aku menahan
napas, menunggu para prajurit berlari menyerbu ke
arah kami. Tapi mereka tidak bergerak. Tidak
terdengar suara lain selain suara hewan buas yang
tak sabar untuk dilepas dari rantainya di depan kami.
Lalu di belakang terdengar suara pekikan perang. Aku
berpaling untuk melihat. Pedang-pedang Mogadorian
mulai berkilauan dihunus para prajurit di belakang
kami dan bergerak maju. Salah satu prajurit tertawa
percaya diri. Sembilan prajurit bersenjata dan kuat
melawan kami bertiga yang sudah kepayahan, lukaluka, serta tak memiliki senjata
selain keberanian kami. Hewan buas di satu arah, para prajurit di arah
yang lain. Itulah pilihan yang kami hadapi saat ini.
Henri tampak tenang. Dia mengeluarkan dua kerikil
dari sakunya dan memberikan satu untukku.
"Yang terakhir," katanya, suaranya bergetar.
Tampaknya dia harus mengerahkan banyak tenaga
hanya untuk berbicara. Aku memasukkan kerikil itu ke dalam mulut dan
menahannya di bawah lidahku, walaupun sisa kerikil
pertama masih ada. Kekuatan baru menjalari tubuhku.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Henri.
Kami terkepung. Henri, Bernie Kosar, dan aku adalah
yang tersisa dari kami semua. Nomor Enam luka
parah dan dibawa pergi oleh Sam. Tadi Mark ada di
sini, tapi sekarang dia tidak ada di mana pun. Yang
tersisa hanyalah Sarah. Kuharap dia bersembunyi
dengan aman di sekolah yang jaraknya sekitar dua
ratus meter di depan kami. Aku menarik napas dalam
dan menerima yang tak terhindarkan.
"Tak masalah, Henri," kataku sambil memandangnya.
"Tapi sekolah di depan kita, dan sebentar lagi Sam
tiba di sana." Apa yang Henri lakukan selanjutnya membuatku
kaget: dia tersenyum. Henri mengulurkan tangan dan
meremas bahuku. Matanya lelah dan merah, tapi aku
melihat rasa lega, rasa tenang seolah dia tahu
segalanya akan segera berakhir.
"Kita sudah melakukan apa yang bisa kita lakukan.
Yang terjadi, terjadilah. Yang jelas, aku benar-benar
bangga kepadamu," katanya. "Tindakanmu hari ini
luar biasa. Aku tahu kau pasti bisa. Selalu. Tak pernah
sekali pun aku ragu."
Aku menundukkan kepala. Aku tidak mau Henri
melihatku menangis. Aku meremas Bernie Kosar.
Sejak aku menggendongnya, baru kali ini Bernie Kosar
memperlihatkan tanda-tanda kehidupan. Dia
mengangkat kepala cukup tinggi sehingga bisa
menjilat wajahku, dan menyampaikan satu kata
kepadaku. Hanya satu kata. Seakan tenaganya hanya
cukup untuk itu. Keberanian.
Kuangkat kepalaku. Henri melangkah ke depan dan
memelukku. Aku menutup mata dan membenamkan
wajahku di lehernya. Henri masih gemetar, tubuhnya
terasa rapuh dan lemah di pelukanku. Aku yakin
tubuhku pun tidak lebih kuat. Ini dia, pikirku. Kami
akan berjalan melintasi lapangan dengan gagah
menuju apa pun yang ada di sana. Setidaknya kami
melakukannya dengan bermartabat.
"Tindakanmu sangat hebat," kata Henri.
Aku membuka mata. Dari balik bahu Henri, aku
melihat para prajurit berjalan mendekat. Jarak
mereka sekarang hanya enam meter. Mereka
berhenti. Salah satu dari mereka memegang belati
yang berdenyut-denyut dengan warna perak dan abuabu. Prajurit itu melemparkan
belati itu ke udara, menangkapnya, lalu melemparkannya ke punggung
Henri. Aku mengangkat tangan dan menangkis belati
itu. Belati itu meleset sekitar tiga meter. Kekuatanku
langsung hilang walaupun kerikil di mulutku baru larut
setengahnya. Henri memegang tanganku yang bebas dan
mengalungkannya ke pundaknya, lalu memegang
pinggangku dengan tangan kanannya. Kami
melangkah dengan terhuyung-huyung. Hewan buas
itu mulai tampak, berdiri di hadapan kami, di tengahtengah lapangan football.
Para Mogadorian membuntuti kami. Mungkin mereka ingin melihat
hewan buas beraksi, melihat hewan buas membunuh.
Setiap kali melangkah tenagaku semakin berkurang.
Jantung di dadaku berdegup. Ajal segera tiba. Aku
takut. Tapi Henri di sini. Juga Bernie Kosar. Aku senang
karena tidak perlu menghadapinya sendiri. Beberapa
prajurit berdiri di samping si hewan buas. Bahkan
seandainya kami bisa melewati si hewan buas,
setelahnya masih ada para prajurit, yang berdiri
dengan pedang terhunus. Tidak ada pilihan lain. Kami sampai di lapangan. Aku
pikir hewan itu akan menerkam kami kapan saja.
Tapi tidak terjadi apa-apa. Saat tinggal lima belas
meter lagi dari si hewan buas, kami berhenti. Kami
berdiri saling bersandar.
Ukuran hewan buas itu hanya setengah dari hewan
buas yang lain, namun masih cukup besar untuk
membunuh kami semua tanpa perlu menghabiskan
banyak tenaga. Kulitnya pucat, hampir transparan,
menutupi tulang rusuk dan sendi-sendi yang
menonjol. Ada banyak bekas luka berwarna merah
muda di lengan dan samping badannya. Matanya
putih dan buta. Hewan itu memindahkan berat
badannya, lalu merunduk. Kemudian dia
menundukkan kepala ke rumput untuk membaui apa
yang tidak bisa dia lihat dengan matanya. Hewan itu
bisa merasakan kami di depannya dan menggeram.
Aku tidak merasakan kemarahan dan kedengkian
seperti pada hewan buas lainnya, tidak ada rasa haus
terhadap darah dan kematian. Yang kurasakan
hanyalah rasa takut, rasa sedih. Aku membuka diriku
terhadap perasaan itu. Aku melihat penyiksaan dan
kelaparan. Aku melihat hewan buas itu dikurung
sepanjang hidupnya di Bumi, di gua yang lembap dan
gelap. Menggigil sepanjang malam agar tetap hangat,
selalu dingin dan basah. Aku melihat para Mogadorian
mengadu hewan-hewan buas itu satu sama lain,
memaksa mereka bertempur untuk melatih mereka,
untuk menjadikan mereka kuat dan kejam.
Henri melepaskan pegangannya. Aku tidak bisa
memegang Bernie Kosar lebih lama lagi. Perlahanlahan aku meletakkan Bernie Kosar
di rumput di kakiku. Aku tidak merasakan gerakannya dan aku
tidak tahu apakah dia masih hidup. Aku melangkah
ke depan dan jatuh berlutut. Para prajurit di sekeliling
kami berteriak. Aku tidak memahami bahasa mereka,
tapi dari nada suara mereka aku tahu mereka tidak
sabar. Salah satu prajurit mengayunkan pedangnya
dan sebuah belati melesat tanpa mengenaiku, kilatan
warna putih lewat dan bagian depan kemejaku
berkibar serta robek. Aku tetap berlutut dan
menengadah memandang hewan buas yang
menjulang di atasku. Semacam senjata ditembakkan,
tapi pelurunya hanya lewat di atas kepala kami.
Tembakan peringatan, untuk membuat hewan buas
itu beraksi. Hewan buas itu gemetar. Belati kedua
membelah udara dan mengenai hewan buas itu, di
bawah siku tangan kirinya. Hewan itu mendongak
dan meraung kesakitan. Aku turut berduka, aku berusaha memberitahunya.
Aku turut berduka atas hidup yang harus kau jalani.
Kau diperlakukan dengan buruk. Tak ada makhluk
hidup yang patut menerima perlakuan seperti itu. Kau
dipaksa hidup di neraka, diculik dari planetmu untuk
bertempur dalam perang yang bukan peperanganmu.
Dipukuli, disiksa, dan dibuat kelaparan. Segala rasa
sakit dan penderitaan yang kau alami adalah
tanggung jawab mereka. Kau dan aku memiliki ikatan
yang sama. Kita berdua diperlakukan dengan buruk
oleh monster-monster ini.
Dengan segenap tenaga, aku mencoba mengirimkan
citra-citra, hal-hal yang kulihat dan kurasakan. Si
hewan buas tidak berpaling. Pikiranku, hingga tingkat
tertentu, mencapainya. Aku memperlihatkan Lorien,
laut yang luas, hutan yang lebat, dan bukit-bukit hijau
yang dipenuhi kehidupan. Hewan-hewan minum dari
air biru yang segar. Para Loric hidup dalam kerukunan.
Aku memperlihatkan neraka yang terjadi setelah itu.
Laki-laki, perempuan, dan anak-anak dibantai. Para
Mogadorian. Para pembunuh berdarah dingin.
Pembunuh kejam. Mogadorian menghancurkan apa
pun yang merintangi jalan mereka akibat keyakinan
menyedihkan dan kesembronoan mereka sendiri.
Bahkan menghancurkan planet mereka sendiri. Lalu
kapan semua itu akan berakhir" Aku memperlihatkan
Sarah, memperlihatkan semua emosi yang kurasakan
saat bersama dengannya. Rasa senang dan bahagia.
Itulah yang kurasakan saat bersamanya. Lalu rasa
sakit yang kurasakan karena harus meninggalkan
Sarah, semua karena para Mogadorian. Tolong aku,
kataku. Bantu aku mengakhiri kematian dan
pembantaian ini. Mari bertempur bersama. Tenagaku
tinggal sedikit, tapi jika kau menolongku, aku akan
menolongmu. Hewan buas itu mendongakkan kepala ke langit dan
meraung. Raungan yang panjang dan dalam. Para
Mogadorian bisa merasakan apa yang terjadi dan
telah menyaksikan cukup banyak. Mereka mulai
menembakkan senjata. Aku menoleh. Salah satu
meriam dibidikkan tepat ke arahku. Meriam itu
ditembakkan. Kematian putih menyerbu. Namun
hewan buas itu menundukkan kepala tepat pada
waktunya dan menyerap tembakan itu. Wajahnya
mengernyit kesakitan. Matanya dipejamkan dengan
kuat, tapi langsung kembali terbuka. Kali ini aku
melihat kemarahan. Aku jatuh dengan wajah terlebih dahulu ke rumput.
Sesuatu mendorongku. Henri memekik kesakitan di
belakangku, lalu dia terlempar sejauh sembilan meter.
Tubuhnya terbaring di lumpur, wajah menengadah,
berasap. Aku tidak tahu apa yang mengenai Henri.
Sesuatu yang besar dan mematikan. Panik dan rasa
ngeri menghantamku. Jangan. Jangan Henri, pikirku.
Tolong jangan Henri. Hewan buas itu menyapukan tinju dengan kuat,
menghabisi sejumlah prajurit dan menghancurkan
senjata mereka. Raungan lagi. Aku menengadah dan
melihat mata si hewan buas berubah menjadi merah,
berkobar-kobar dengan kemarahan. Pembalasan.
Pemberontakan. Hewan itu melihat ke arahku sekali
kemudian berlari mengejar para penangkapnya.
Senjata-senjata ditembakkan, tapi langsung
dihancurkan. Bunuh rnereka semua, pikirku.
Bertarunglah dengan gagah, dengan terhormat,
semoga kau membunuh mereka semua.
Aku mengangkat kepala. Bernie Kosar tak bergerak di
rumput. Henri, sembilan meter jauhnya, juga tak
bergerak. Aku meletakkan tangan di rumput dan
menarik diriku ke depan, melintasi lapangan, senti
demi senti, menyeret tubuhku ke Henri. Saat tiba di
sana, mata Henri terbuka sedikit. Setiap tarikan napas
dilakukan dengan susah payah. Darah mengalir dari
mulut dan hidungnya. Aku memeluk dan menarik
Henri ke pangkuanku. Tubuhnya rapuh dan lemah.
Aku bisa merasakan dia sekarat. Matanya membuka,
bergetar. Henri memandangku, mengangkat
tangannya, lalu memegang pipiku. Begitu dia
melakukan itu, aku menangis.
"Aku di sini," kataku.
Henri berusaha tersenyum.
"Maafkan aku, Henri," aku berkata. "Maafkan aku.
Harusnya kita pergi saat kau bilang pergi."
"Sstt," katanya. "Bukan salahmu."
"Maafkan aku," kataku di antara isakan tangis.
"Kau luar biasa," katanya berbisik. "Kau luar biasa.
Aku selalu tahu kau bisa"
"Kita harus ke sekolah" kataku. "Sam pasti sudah di
sana."

I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dengar, John. Semua," katanya. "Semua yang perlu
kau ketahui ada di Peti. Suratnya."
"Ini belum berakhir. Kita masih bisa."
Aku bisa merasakan Henri mulai pergi. Aku
mengguncangnya. Matanya membuka kembali, pelan.
Darah mengalir dari mulutnya.
"Ke sini, ke Paradise, bukan kebetulan." Aku tidak
mengerti apa maksudnya. "Baca suratnya."
"Henri," kataku, lalu aku mengulurkan tangan dan
mengelap darah dari dagunya.
Henri menatap mataku. "Kau itu Pusaka Lorien, John. Kau dan yang lainnya.
Harapan satu-satunya yang ditinggalkan planet kita.
Rahasianya," kata Henri, lalu dia batuk-batuk. Lebih
banyak darah. Matanya menutup lagi. "Petinya, John."
Aku menariknya lebih erat, merengkuhnya. Tubuh
Henri mulai mengendur. Napasnya begitu pendek,
seakan dia tidak bernapas sama sekali.
"Kita akan kembali sama-sama, Henri. Aku dan kau.
Aku janji," kataku sambil memejamkan mata pedih.
"Kau harus kuat," kata Henri sambil terbatuk-batuk,
walaupun dia berusaha untuk terus berbicara. "Perang
ini... Bisa menang... Cari yang lain... Enam...
Kekuatan...," katanya, lalu suaranya melirih.
Aku mencoba berdiri sambil tetap memeluk Henri, tapi
aku tidak punya tenaga lagi, bahkan untuk bernapas.
Aku mendengar si hewan buas meraung di kejauhan.
Meriam-meriam masih ditembakkan, suara dan
cahayanya mencapai tempat duduk stadion. Tetapi
semakin lama semakin sedikit meriam yang
ditembakkan, hingga akhirnya hanya tinggal satu. Aku
mengendorkan pelukanku. Kuletakkan tangan di
wajahnya dan dia membuka mata, melihatku untuk
terakhir kalinya. Henri menarik napas pendek dan
mengembuskannya, lalu menutup mata perlahanlahan.
"Aku tidak akan menyesali apa yang terjadi walau
hanya sedetik, Nak. Walau ditukar dengan seluruh
Lorien. Walau ditukar dengan seluruh dunia," katanya.
Saat kata-kata terakhir itu meninggalkan mulutnya,
aku tahu Henri telah pergi. Aku memeluknya dengan
erat. Gemetaran. Menangis. Dadaku dipenuhi rasa
putus asa dan hilang harapan. Lengan Henri jatuh
lunglai ke rumput. Aku memegang kepala Henri
dengan kedua tangan dan memeluknya di dadaku.
Aku mengguncang-guncangnya, sambil menangis
sejadi-jadinya. Jimat di leherku bersinar biru, menjadi
berat selama sepersepuluh detik, lalu meredup dan
kembali normal. Aku duduk di rumput dan memeluk Henri, saat
dentuman meriam terakhir menghilang. Rasa sakit
meninggalkan tubuhku. Seiring dinginnya malam, aku
merasakan diriku sendiri mulai memudar. Bulan dan
bintang bersinar di atas. Aku mendengar suara tawa
dingin terbawa angin. Aku mengenali suaranya. Aku
menoleh. Mengatasi rasa pusing dan pandangan yang
kabur, aku bisa melihat satu pengintai Mogadorian
lima meter dariku. Jubah panjang, topi diturunkan ke
mata. Mogadorian itu menjatuhkan jubah dan
melepaskan topinya, memperlihatkan kepala pucat
dan tak berambut. Dia meraih ke belakang ikat
pinggangnya lalu mengeluarkan pisau berburu,
panjang bilahnya tidak kurang dari tiga puluh senti.
Aku menutup mata. Tak peduli lagi. Napas serak si
pengintai menghampiriku, tiga meter, lalu satu
setengah meter. Lalu langkahnya terhenti. Mogadorian
itu mengerang kesakitan. Aku membuka mata. Si pengintai itu telah begitu
dekat sehingga aku bisa mencium baunya. Pisau
berburu itu lepas dari tangannya. Di dadanya,
mungkin di jantungnya, menyembul ujung pisau
tukang daging. Pisau itu dicabut. Si pengintai jatuh
berlutut, kemudian terguling ke samping, dan meledak
jadi abu. Di belakangnya, memegang pisau dengan
tangan kanan gemetar, dengan air mata di matanya,
berdirilah Sarah. Dia menjatuhkan pisau itu dan
bergegas menghampiriku. Kemudian Sarah
memelukku. Aku masih memeluk Henri dan kepalaku
terkulai. Dunia berubah hampa. Pertempuran berakhir,
sekolah hancur, pepohonan tumbang, tumpukan abu
di rumput di lapangan football. Aku masih memeluk
Henri. Dan Sarah memelukku.
H CITRA-CITRA TAMPAK SILIH BERGANTI, membawa
kesedihan dan kebahagiaannya masing-masing.
Terkadang keduanya. Yang terburuk adalah citra
hitam gelap gulita tanpa cahaya, dan yang terbaik
adalah citra kebahagiaan yang begitu menyilaukan
mata. Keduanya tampak silih berganti seolah
disorotkan proyektor yang terus menerus djalankan
oleh suatu tangan tak kasat mata. Satu citra, lalu
yang lain. Bunyi penutup lensa. Lalu berhenti. Berhenti
di citra yang satu ini. Ambil dan pegang citra itu
dekat-dekat. Lihatlah. Henri selalu berkata: Nilai
sebuah ingatan adalah kenangan akan kesedihan dan
emosi yang ditimbulkannya.
Suatu hari di musim panas yang hangat, rumput yang
sejuk, dan matahari bersinar tinggi di langit tak
berawan. Angin bertiup dari perairan, membawa
kesegaran laut. Seorang lelaki berjalan ke rumah,
membawa tas kantor. Lelaki itu masih muda, dengan
rambut cokelat dipotong pendek, baru bercukur,
berpakaian santai. Dia tampak gugup, terlihat dari
caranya memindahkan tasnya dari tangan yang satu
ke tangan yang lain dan keringat yang mengalir di
dahinya. Dia mengetuk pintu. Kakekku menjawab,
membuka pintu dan mempersilakan lelaki itu masuk,
lalu menutup pintu. Aku kembali bermain di halaman.
Hadley berubah wujud, terbang, lalu menghindar, lalu
berlari. Kami bergulat dan tertawa hingga sakit perut.
Hari berlalu. Aku masih terlalu kecil untuk memahami
waktu. Lima belas menit berlalu. Mungkin kurang. Pada
usiaku itu, sehari bisa berlangsung selamanya. Pintu
terbuka lalu tertutup. Aku mendongak. Kakekku
berdiri bersama si lelaki tadi. Mereka berdua
memandangku. "Ada orang yang ingin kukenalkan kepadamu,"
katanya. Aku berdiri dari rumput, menepukkan tangan untuk
membersihkan kotoran. "Ini Brandon," kata kakekku. "Dia C?panmu. Kau tahu
apa artinya?" Aku menggelengkan kepala. Brandon. Itu namanya.
Setelah bertahun-tahun berlalu, baru kali ini aku
mengingatnya. "Itu artinya mulai sekarang dia akan menghabiskan
banyak waktu bersamamu. Kalian berdua. Itu artinya
kalian terhubung. Kalian terikat satu sama lain. Kau
mengerti?" Aku mengangguk dan berjalan menghampiri lelaki itu.
Aku mengulurkan tangan meniru sikap orang-orang
dewasa yang sering kulihat. Lelaki itu tersenyum dan
berlutut. Dengan tangan kanannya, dia meraih
tanganku yang kecil dan menggenggamnya.
"Senang bertemu denganmu, Pak," kataku.
Matanya yang penuh semangat hidup, ramah, dan
riang menatap mataku seolah memberikan janji,
suatu ikatan. Namun, aku terlalu muda untuk
memahami apa arti janji atau ikatan itu.
Lelaki itu mengangguk dan meletakkan tangan kirinya
di atas tangan kanannya, tanganku yang kecil lenyap
di antara keduanya. Dia mengangguk ke arahku,
masih tersenyum. "Anakku sayang" katanya. "Aku yang senang."
*** Aku tersentak bangun. Aku berbaring telentang,
jantungku berdegup kencang, napasku terengahengah seolah baru berlari. Mataku
tetap menutup tapi aku tahu matahari telah terbit dengan adanya
bayangan panjang dan udara segar di ruangan itu.
Rasa sakit terasa kembali. Tungkai dan lenganku
masih berat. Seiring dengan itu, aku merasakan rasa
sakit lain. Rasa sakit yang jauh lebih besar daripada
rasa sakit fisik yang pernah kurasakan: ingatan dari
beberapa jam sebelumnya. Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya.
Sebutir air mata bergulir di wajahku. Aku tetap
menutup mata. Aku berharap- harapan tak masuk
akal- bahwa jika aku tidak menyongsong hari ini
maka hari akan melewatiku, dan hal-hal yang terjadi
tadi malam akan terhapus. Tubuhku bergetar, isakan
berubah menjadi tangisan. Aku menggelengkan
kepala dan menahannya. Aku tahu Henri sudah
meninggal. Aku tahu bahwa hal itu tidak akan
berubah. Aku merasakan gerakan di sampingku. Aku tegang,
mencoba tetap tak bergerak agar tak terlacak.
Sebuah tangan terjulur dan menyentuh pipiku.
Sentuhan lembut penuh cinta. Mataku terbuka,
menyesuaikan diri dengan cahaya pagi hingga langitlangit suatu kamar yang tak
kukenal tampak jelas. Aku tidak tahu di mana aku berada, atau bagaimana
aku bisa tiba di tempat itu. Sarah duduk di sampingku.
Dia memegang pipiku dan mengusap alisku dengan
ibu jarinya. Dia membungkuk dan menciumku, ciuman
yang lembut dan lama sehingga aku berharap bisa
memasukkannya ke dalam botol dan menyimpannya.
Lalu dia mengangkat wajahnya. Aku menarik napas
dalam dan menutup mata, lalu mencium keningnya.
"Kita di mana?" tanyaku.
"Hotel, lima puluh kilometer dari Paradise."
"Bagaimana aku bisa sampai di sini?"
"Sam yang mengantar kita," jawab Sarah.
"Maksudku dari sekolah. Apa yang terjadi" Aku ingat
kau bersamaku tadi malam, tapi aku nggak ingat
kejadian setelahnya," kataku. "Rasanya seperti
mimpi." "Aku menunggu di lapangan bersamamu sampai Mark
datang. Lalu dia membawamu ke truk Sam. Aku
nggak bisa sembunyi lebih lama lagi. Di sekolah,
tanpa tahu apa yang terjadi di luar, justru membuatku
khawatir. Lagi pula kurasa aku bisa membantu, entah
bagaimana." "Kau sudah membantu," kataku. "Kau menyelamatkan
nyawaku." "Aku membunuh alien," kata Sarah, seolah masih
belum percaya. Sarah merangkulku, tangannya memegang belakang
kepalaku. Aku mencoba duduk. Aku bisa bangkit
hingga setengah jalan, kemudian Sarah membantuku,
mendorong punggungku dengan hati-hati agar tidak
menyentuh luka akibat belati. Kuayunkan kaki ke
lantai dan kuulurkan tangan, meraba goresan di
sekeliling pergelangan kakiku dengan ujung jari dan
menghitungnya. Masih tiga. Dengan begitu aku tahu
Nomor Enam selamat. Aku telah menerima nasib
bahwa aku akan menghabiskan sisa hidupku
sendirian, menjadi pengembara kesepian tanpa
tempat tujuan. Tapi ternyata aku tidak sendiri. Nomor
Enam masih ada, masih bersamaku, mengikatku
dengan duniaku yang dulu.
"Enam baik-baik saja?"
"Ya," jawab Sarah. "Dia ditikam dan ditembak, tapi
sepertinya sekarang dia baik-baik saja. Kupikir dia tak
akan selamat seandainya Sam tidak membawanya
ke truk." "Di mana dia?" "Di kamar sebelah, dengan Sam dan Mark."
Aku berdiri. Otot dan sendiku terasa nyeri sebagai
protes. Seluruh tubuhku terasa kaku dan sakit. Aku
mengenakan kaus bersih dan celana pendek. Tubuhku
segar dan berbau sabun. Luka-luka di tubuhku sudah
dibersihkan dan diperban, ada beberapa yang dijahit.
"Ini semua kerjaanmu?" tanyaku.
"Sebagian besar. Menjahitnya susah. Kami cuma
punya satu contoh jahitan, yang Henri buat di
kepalamu. Sam membantu menjahit."
Aku memandangi Sarah yang duduk di tempat tidur,
dengan kaki dilipat. Mataku melihat sesuatu, sesuatu
yang kecil dan bergerak di bawah selimut di ujung
tempat tidur. Badanku menegang. Aku langsung
teringat akan musang-musang yang berlari di gedung
olahraga. Sarah melihat apa yang kulihat dan
tersenyum. Dia merangkak ke ujung tempat tidur.
"Ada yang ingin menyapamu," kara Sarah. Lalu dia
memegang ujung selimut dan membukanya perlahanlahan, memperlihatkan Bernie Kosar
yang sedang tidur. Kaki depannya dipasangi pelat logam. Tubuhnya
dipenuhi luka-luka yang, seperti punyaku, sudah
dibersihkan dan mulai sembuh. Matanya perlahanlahan terbuka dan menyesuaikan
diri. Lingkaran merah ada di sekeliling matanya, dan dia tampak
sangat lelah. Bernie tidak mengangkat kepala tapi
ekornya dikibas-kibas pelan, menepuk kasur dengan
lembut. "Bernie," kataku, lalu aku berlutut di depannya.
Kusentuh kepalanya lembut. Aku tidak bisa berhenti
tersenyum dan air mata kebahagiaan merebak di
mataku. Tubuh kecilnya dilingkarkan membentuk bola,
kepalanya diletakkan di kaki depannya, matanya


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandangku, dengan bekas luka akibat
pertempuran tapi masih mengisahkan cerita.
"Bernie Kosar, kau selamat. Aku berutang nyawa
kepadamu," kataku, lalu mencium kepalanya.
Sarah membelai punggung Bernie Kosar.
"Aku membawanya ke truk saat Mark membawamu."
"Mark. Aku menyesal karena pernah meragukannya,"
kataku. Sarah mengangkat salah satu telinga Bernie Kosar.
Bernie Kosar menoleh, mengendus tangan Sarah lalu
menjilatnya. "Kata Mark, Bernie Kosar membesar
hingga sembilan meter dan membunuh hewan buas
yang ukurannya dua kali lipat. Apa benar?"
Aku tersenyum. "Tiga kali lipat."
Bernie Kosar memandangku. Pembohong, katanya.
Aku menunduk dan mengedip ke arahnya. Aku
kembali berdiri dan memandang Sarah.
"Semua ini," kataku. "Semua ini terjadi begitu cepat.
Bagaimana kau menerimanya?"
Sarah mengangguk. "Menerima apa" Kenyataan
bahwa aku jatuh cinta dengan alien, yang baru
kuketahui sekitar tiga hari yang lalu, lalu tiba-tiba saja
berjalan masuk ke kancah peperangan" Yeah, aku
menerimanya dengan baik."
Aku tersenyum. "Kau malaikatku."
"Ah," katanya. "Aku cuma seorang gadis yang gila
karena cinta." Sarah turun dari tempat tidur dan memelukku. Kami
berdiri di tengah ruangan, saling berpelukan.
"Kau benar-benar harus pergi?"
Aku mengangguk. Sarah menarik napas dalam. Saat mengembuskan
napas, badannya bergetar. Dia berusaha menahan
tangis. Selama dua puluh empat jam terakhir ini aku
melihat lebih banyak air mata daripada yang pernah
kulihat sepanjang hidupku.
"Aku tak tahu ke mana kau harus pergi atau apa
yang harus kau lakukan, tapi aku akan menunggumu,
John. Segenap hatiku adalah milikmu, baik kau minta
ataupun tidak." Aku menarik Sarah. "Dan hatiku milikmu," kataku.
*** Aku berjalan melintasi ruangan. Di atas meja ada Peti
Loric, tiga buah tas, komputer Henri, dan semua uang
yang dia ambil dari bank untuk terakhir kalinya. Sarah
pasti menyelamatkan Peti itu dari kelas tata boga.
Aku meletakkan tanganku di peti itu. Semua rahasia,
kata Henri. Semua rahasia ada di dalam sini. Pada
saatnya nanti, aku akan membuka Peti dan
mengungkap rahasia itu. Yang jelas, itu bukan
sekarang. Dan apa maksud Henri bahwa kedatangan
kami ke Paradise bukan kebetulan belaka"
"Kau mengemas tasku?" aku bertanya kepada Sarah
yang berdiri di belakangku.
"Ya, dan itu mungkin hal paling sulit yang harus
kulakukan." Aku mengangkat tas dari meja. Di bawah tas itu ada
amplop manila dengan namaku di depannya.
"Apa ini?" tanyaku.
"Aku tak tahu. Aku menemukan itu di kamar Henri.
Kami pergi ke sana setelah meninggalkan sekolah dan
mengambil semua benda yang bisa kami ambil.
Setelah itu, kami ke sini."
Aku membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya.
Semua dokumen yang sudah Henri buat untukku:
akta kelahiran, kartu jaminan sosial, visa, dan
sebagainya. Aku menghitung semuanya. Tujuh belas
identitas berbeda, tujuh belas usia berbeda. Di lembar
terdepan ada sticky note dengan tulisan tangan Henri.
Bunyinya, "Jika perlu." Di belakang lembar terakhir
ada sebuah amplop tertutup lagi, dengan namaku.
Sebuah surat. Pasti surat yang Henri bicarakan
sebelum meninggal. Aku tidak sanggup membacanya
sekarang. *** Aku memandang ke luar jendela kamar hotel. Salju
lembut turun dari awan abu-abu yang melayang
rendah di atas kepala. Tanah terlalu hangat sehingga
salju langsung meleleh. Mobil Sarah dan truk biru
ayah Sam diparkir berdampingan di tempat parkir.
Saat aku berdiri memandangi mobil, terdengar suara
pintu diketuk. Sarah membukanya. Sam dan Mark
berjalan masuk ke kamar. Nomor Enam terpincangpincang di belakang mereka. Sam
memelukku, mengucapkan turut berduka cita.
"Makasih," kataku.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Nomor Enam. Dia
tidak lagi mengenakan pakaian karet. Saat ini Nomor
Enam mengenakan celana jins yang dipakainya saat
pertama kali bertemu denganku dan salah satu kaus
olahraga Henri. Aku mengangkat bahu. "Aku baik-baik saja. Sakit dan
kaku. Badanku terasa berat."
"Rasa berat itu akibat belati. Tapi nanti juga hilang
sendiri." "Seberapa parah lukamu?" tanyaku.
Nomor Enam mengangkat kaus dan menunjukkan
luka di samping tubuhnya, lalu luka di punggungnya.
Dia menceritakan semua. Dia ditikam tiga kali tadi
malam. Itu belum termasuk luka-luka lain di sekujur
tubuhnya dan luka akibat tembakan di paha
kanannya- sekarang sudah dibalut erat kain kasa dan
plester- yang menyebabkan dia pincang. Dia
mengatakan bahwa saat kami berhasil kembali,
sudah terlalu terlambat untuk menggunakan batu
penyembuh. Aku kagum karena dia masih hidup.
Sam dan Mark mengenakan pakaian yang kemarin
mereka pakai. Keduanya tampak kotor dan
berlumuran lumpur, tanah, serta noda-noda darah.
Mereka berdua tampak sangat mengantuk seperti
yang belum sempat tidur. Mark berdiri di belakang
Sam, memindahkan berat badannya dengan tidak
nyaman. "Sam, sejak dulu aku tahu kau memang hebat,"
kataku. Dia tertawa ragu. "Kau baik-baik saja?"
"Yeah, aku baik-baik saja," kataku. "Kamu?"
"Baik." Aku melihat Mark melewati bahu Sam.
"Sarah bilang kau menggendongku dari lapangan tadi
malam." Mark mengangkat bahu. "Aku senang bisa
membantu." "Kau menyelamatkan nyawaku, Mark."
Dia menatap mataku. "Aku rasa kita semua saling
menyelamatkan tadi malam. Nomor Enam
menyelamatkanku tiga kali. Lalu kau menyelamatkan
kedua anjingku hari Sabtu kemarin. Aku rasa kita
impas." Aku tersenyum. "Cukup adil," kataku. "Aku hanya
senang mengetahui kau bukan orang berengsek
seperti yang kuduga."
Mark setengah meringis. "Seandainya aku tahu kau
itu alien dan bisa menghajarku kapan pun kau mau,
aku pasti bersikap lebih baik kepadamu sejak hari
pertama." Nomor Enam berjalan melintasi ruangan dan melihat
tasku di atas meja. "Kita harus pergi," katanya. Kemudian dia
memandangku dengan agak khawatir, wajahnya
melembut. "Hanya ada satu hal yang belum
dilakukan. Kami tidak tahu kau ingin kami melakukan
apa." Aku mengangguk. Aku tidak perlu bertanya untuk
mengetahui apa yang dia bicarakan. Aku memandang
Sarah. Ini terjadi lebih cepat dari yang kuduga.
Perutku mual. Aku merasa seakan ingin muntah.
Sarah mengulurkan tangan dan memegang tanganku.
"Di mana dia?" *** Tanah lembap akibat salju yang meleleh. Aku
memegang tangan Sarah. Kami berjalan menembus
hutan tanpa berbicara, satu kilometer dari hotel. Sam
dan Mark berjalan di depan, mengikuti jejak kaki
berlumpur yang mereka buat beberapa jam lalu. Aku
melihat tempat terbuka di depan, di tengahtengahnya tubuh Henri sudah
dibaringkan di atas kayu. 'Tubuhnya dibungkus dengan selimut abu-abu
yang diambil dari tempat tidurnya. Aku
menghampirinya. Sarah mengikuti dan meletakkan
tangan di bahuku. Yang lainnya berdiri di belakangku.
Aku menurunkan selimut itu untuk melihat Henri.
Matanya tertutup, wajahnya berubah menjadi kelabu
pucat, dan bibirnya biru akibat dingin. Aku mencium
keningnya. "Apa yang ingin kau lakukan, John?" tanya Nomor
Enam. "Kita bisa menguburkannya jika kau mau. Kita
juga bisa mengkremasinya."
"Bagaimana cara kita mengkremasinya?"
"Aku bisa membuat api."
"Kukira kau cuma bisa mengendalikan cuaca."
"Bukan cuaca. Tapi elemen."
Aku memandang wajah Nomor Enam yang lembut.
Dia tampak khawatir tapi juga stres karena kami
hanya punya sedikit waktu sebelum bala bantuan
Mogadorian tiba. Aku tidak menjawab. Kualihkan
pandang dan memeluk Henri untuk terakhir kalinya,
wajahku menempel ke wajahnya. Aku larut dalam
kesedihan. "Maafkan aku, Henri," bisikku di telinganya. Aku
menutup mata. "Aku menyayangimu. Aku tidak akan
melupakanmu sedetik pun. Tidak akan," kataku. "Aku
akan membawamu kembali. Entah bagaimana
caranya, aku akan membawamu kembali ke Lorien.
Bagiku kau adalah ayahku, ayah terbaik yang pernah
kumiliki, walaupun kita sering bercanda tentang itu.
Aku tidak akan melupakanmu, tidak semenit pun
selama aku hidup. Aku menyayangimu, Henri. Selalu."
Kulepaskan pelukanku, kutarik selimut kembali
menutupi wajahnya, dan aku membaringkannya
dengan lembut di atas kayu. Aku berdiri dan memeluk
Sarah. Dia memelukku hingga aku berhenti menangis.
Aku menghapus air mata dengan punggung tangan
lalu mengangguk ke arah Nomor Enam.
Sam membantuku menyingkirkan ranting-ranting dan
dedaunan. Setelah itu, kami membaringkan tubuh
Henri di tanah agar abunya tidak bercampur dengan
apa pun. Sam membakar ujung selimut dan Nomor
Enam membuat api itu membesar. Kami semua
memandangnya terbakar, dengan mata basah.
Bahkan Mark pun menangis. Tidak ada yang
mengucapkan sepatah kata pun. Saat api padam, aku
mengumpulkan dan memasukkan abunya ke dalam
kaleng kopi yang Mark bawa dari hotel. Aku akan
memindahkannya ke tempat yang lebih baik begitu
kami berhenti. Setelah kembali, aku meletakkan
kaleng itu di dasbor truk ayah Sam. Aku merasa
tenang karena tahu bahwa Henri masih bisa
bepergian bersama kami, bahwa dia masih bisa
memandangi jalan saat kami meninggalkan kota
seperti yang sering kali kami lakukan.
Kami memasukkan barang-barang ke belakang truk.
Selain barang-barangku dan Nomor Enam, Sam juga
memasukkan dua tasnya. Mulanya aku bingung. Tapi
kemudian aku sadar bahwa dia dan Nomor Enam
sepakat bahwa Sam akan ikut bersama kami. Dan
aku senang karenanya. Sarah dan aku masuk kembali
ke kamar hotel. Begitu pintu ditutup, Sarah
memegang tanganku dan menarikku agar
menghadap ke arahnya. "Hatiku sakit," katanya. "Aku ingin kuat demi dirimu,
tapi hatiku sakit setiap kali teringat bahwa kau akan
pergi." Aku mencium kepalanya. "Hatiku juga sakit," karaku. "Aku akan menulis surat
begitu tiba di suatu tempat. Dan aku akan berusaha
menelepon jika aman."
Nomor Enam menjulurkan kepala dari pintu.
"Kita benar-benar harus pergi," katanya.
Aku mengangguk. Dia menutup pintu. Sarah
mendekatkan wajahnya ke wajahku. Kami berdiri
dan berciuman di kamar hotel. Satu-satunya hal yang
membuatku kuat adalah pikiran bahwa jika para
Mogadorian kembali sebelum kami pergi, Sarah akan
berada dalam bahaya lagi. Kalau tidak, aku pasti
pingsan. Kalau tidak, aku pasti tinggal di sini
selamanya. Bernie Kosar masih berbaring menunggu di ujung
tempat tidur. Dia mengibaskan ekor saat aku
mengangkatnya pelan-pelan ke pelukanku dan
membawanya ke luar ke truk. Nomor Enam
menghidupkan truk dan membiarkannya menyala.
Aku berpaling memandang hotel. Aku sedih karena ini
bukan rumah kami dan tahu bahwa aku tidak akan
pernah melihat rumah kami lagi. Dinding kayu dengan
cat yang terkelupas, jendela rusak, sirap hitam yang
bengkok akibat sinar matahari dan hujan. Tampak
seperti Paradise- Surga, begitu kataku kepada Henri.
Tapi itu tidak lagi benar. Surga sudah hilang.
Aku menoleh dan mengangguk ke arah Nomor Enam.


I Am Number Four Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia naik ke dalam truk, menutup pintu, dan
menunggu. Sam dan Mark berjabat tangan, tapi aku tidak
mendengar apa yang mereka ucapkan. Sam naik ke
dalam truk dan menunggu bersama nomor Enam. Aku
menjabat tangan Mark. "Aku berutang banyak kepadamu, lebih dari apa yang
bisa kubalas," kataku kepada Mark.
"Kau tidak berutang apa-apa kepadaku," kata Mark.
"Nggak juga," kataku. "Suatu hari nanti aku akan
membalasnya." Aku berpaling. Hatiku hancur berkeping karena
perpisahan ini. Tekadku tergantung di seutas tali tipis.
Aku mengangguk. "Sampai bertemu lagi."
"Hati-hati." Aku memeluk Sarah erat, tak mau rnelepaskan.
"Aku akan kembali untukmu," kataku. "Aku janji. Jika
itu hal terakhir yang kulakukan, aku akan kembali
untukmu." Wajahnya dibenamkan di leherku. Sarah
mengangguk. "Aku akan terus menunggu sampai kau kembali,"
katanya. Ciuman terakhir. Aku melepaskan pelukanku dan
membuka pintu truk. Mataku terus menatapnya.
Sarah menutup mulut dan hidungnya dengan kedua
tangan. Kami berdua tidak bisa mengalihkan
pandangan. Aku menutup pintu. Nomor Enam
memasukkan gigi mundur lalu memundurkan truk dari
tempat parkir, berhenti, kemudian memasukkan gigi
maju. Mark dan Sarah berjalan ke ujung tempat
parkir dan memandang kami pergi. Air mata mengalir
di kedua pipi Sarah. Aku berbalik dan memandang
dari jendela belakang. Aku mengangkat tangan dan
melambai. Mark balas melambai tapi Sarah hanya
menatap. Kupandangi Sarah selama mungkin,
semakin lama semakin kecil hingga tampak kabur di
kejauhan. Truk melambat dan berbelok. Mereka
berdua hilang dari pandangan. Aku kembali
menghadap ke depan dan memandangi ladangladang yang kami lewati. Aku menutup
mata dan membayangkan wajah Sarah dan tersenyum. Kita
akan bersatu kembali, kataku kepadanya. Dan hingga
hari itu tiba, kau akan selalu ada di hatiku dan di
setiap pikiranku. Bernie Kosar mengangkat kepala dan meletakkannya
di pangkuanku. Truk bergoyang-goyang di sepanjang
jalan, mengarah ke selatan. Kami berempat, bersamasama, menuju kota berikut. Di
mana pun itu. TAMAT H1 Kepada Penduduk Bumi NAMAKU PITTACUS LORE. AKU ADALAH TETUA Loric
dari Planet Lorien, yang jauhnya lima juta kilometer
dari Bumi. Aku sudah ratusan kali berkunjung ke
Bumi, dan aku berada di sini sekarang.
Aku adalah salah satu dari sepuluh Tetua Planet
Lorien. Bangsa kami terlahir dengan kekuatan yang
disebut Pusaka: kemampuan untuk tak terlihat,
kemampuan mengendalikan elemen, tahan panas dan
dingin, berkomunikasi dengan binatang, dan banyak
lagi. Sebagian besar bangsa Loric terlahir dengan satu
Pusaka Utama, dan juga menguasai beberapa Pusaka
minor lainnya. Sedangkan para Tetua menguasai
semua pusaka yang ada. Legenda-legenda kalian
tentang orang-orang dengan kekuatan luar biasa
sebenarnya bukanlah mitos. Orang-orang dalam
legenda yang kalian turunkan dari generasi ke
generasi itu sebenarnya berasal dari bangsa Loric.
Bumi adalah planet yang mirip dengan Lorien sebelum
planet kami itu hancur. Kami menemukan Bumi secara
tak sengaja, saat salah satu pesawat angkasa kami
yang menuju ke sebuah sistem tata surya lain
mengalami kegagalan mesin. Pesawat itu terombangambing di antariksa dan akhirnya
terdampar di sistem tata surya kalian. Pesawat kami sedang mengorbit di
Mars sambil diperbaiki, saat warna biru laut Bumi
menarik kami. Kami mengirim pesawat pengintai ke
Bumi dan menemukan lingkungan yang hijau, indah,
dan damai. Dan yang paling luar biasa, kami melihat
kalian, manusia, yang sangat mirip dengan bangsa
Loric, tetapi jauh lebih muda. Manusia saat itu hidup
bersuku-suku di gua, dataran terbuka, tepi sungai, dan
pantai. Dan kami memutuskan untuk membantu.
Kamilah yang mengenalkan bahasa. Mengajarkan
dasar-dasar bertani, memberi alat-alat sederhana, dan
keahlian mengolah logam. Kamilah yang mengajari
kalian cara membangun perahu, berlayar, dan
menggunakan bintang sebagai pemandu arah. Dan
kalian pun mulai menyebar ke seluruh penjuru Bumi.
Masyarakat pun terbangun. Kami secara reguler
berkunjung ke masyarakat-masyarakat baru manusia,
membantu membangun piramid, kuil, candi. Kami
selalu mengawasi dari kejauhan, dan sering kali
mengirimkan orang-orang Loric untuk tinggal di antara
kalian tanpa kalian sadari.
Saat kerajaan Yunani Kuno berkembang, kami melihat
adanya potensi yang luar biasa. Yunani terletak di
pertemuan antara benua-benua besar, Asia, Afrika,
dan Eropa. Yunani berhasil mengembangkan bahasa
dan aksara, membentuk armada, dan membangun
dasar-dasar pemerintahan. Namun sayangnya,
kerajaan Yunani terus-menerus terlibat peperangan.
Tujuh Tetua kami, termasuk aku, pergi ke Yunani dan
mengenalkan cara berpikir yang lebih maju untuk
menghentikan peperangan. Kami kemudian dikenal
sebagai Tujuh Orang Bijak dari Yunani dan menjadi
bagian dari sejarah. Peranku di Yunani adalah sebagai
pemimpin militer. Aku pertama kali muncul di Kota
Mytilene dan kemudian dikenal sebagai Pittacus dari
Mytilene. Aku membawa kemenangan atas pasukan
Athena, dengan menantang duel Jenderal Athena.
Pemenang dan pasukannya akan dianggap
memenangi pertempuran sehingga banjir darah bisa
terhindarkan. Aku memenggal kepalanya dengan
pedangku. Kadang demi kedamaian, kau perlu
melakukan tindak kekerasan asalkan bisa
menyelamatkan nyawa banyak orang.
Setelah Yunani berkembang, kami pergi. Kami, para
Tetua, memutuskan bahwa manusia perlu menjalani
hidup mereka sendiri. Agar mereka belajar mengambil
keputusan, tanpa pengaruh kami, dan menentukan
takdir mereka sendiri. Masyarakat yang kami bangun
hancur. Kuil dan monumen-monumen lain runtuh.
Perang dan kekerasan bagaikan candu bagi
pemerintahan manusia, dan sistem politik di Bumi
sepertinya didasarkan pada penaklukan.
Bumi- planet yang dulu murni- menjadi tercemar,
tereksploitasi, dan mulai membusuk. Sesekali, salah
satu dari kami datang dan mencoba dengan cara-cara
tersamar untuk membantu manusia, baik dengan seni,
teknologi, ataupun filosofi. Leonardo Da Vinci adalah
salah satu dari kami. Juga Mozart, Joan of Arc, Thomas
Edison, Winston Churchill, Picasso, Ghandi, dan
Einstein. Aku berada di sini sekarang karena planet kami telah
dihancurkan. Seluruh populasi kami tewas dibantai ras
Mogadorian, kecuali sembilan anak dan sembilan
penjaga mereka. Sembilan anak ini lari ke Bumi,
untuk bersembunyi, tumbuh, dan mengembangkan
Pusaka mereka, agar suatu hari nanti mereka bisa
membalas atas kekalahan Lorien.
Penampilan mereka tak jauh beda dengan anak
manusia, dan penjaga mereka tahu bagaimana
melatih dan melindungi mereka. Namun, ras
Mogadorian mengejar hingga ke Bumi. Mereka
memburu sembilan anak itu dan berhasil membunuh
tiga di antaranya. Enam anak yang tersisa kini
berusaha melawan. Seperti yang kukatakan, kami
bukan manusia. Kami mampu melakukan hal-hal luar
biasa. Bersatu, keenam anak itu bisa mengalahkan
pasukan perang mana pun di Bumi ini. Akan tetapi,
kaum Mogadorian juga bukanlah manusia. Mereka
kejam, haus darah, dan tanpa ampun. Mengalahkan
mereka tak akan mudah. Perang kami telah
menyebar ke planet kalian. Semua akan ditentukan di
sini, di Bumi. Akan ada pembantaian besar-besaran.
Meski kami berusaha sekuatnya untuk melindungi
manusia, korban pasti berjatuhan. Dan aku minta
maaf karenanya. Aku tak akan bercerita tentang hidupku di Bumi. Aku
juga tak akan mengisahkan bagaimana aku bisa
sampai di sini, atau di manakah aku saat Lorien
dihancurkan. Aku mengisahkan cerita tentang Lorien,
Sembilan Penerus Pusaka, dan perang kami dengan
Mogadorian, sehingga kalian tahu apa yang terjadi.
Agar kalian bisa ikut mencegah kehancuran Bumi. Aku
akan berusaha menemukan dan menyatukan enam
anak yang tersisa. Mereka saat ini mungkin sedang
berjalan melewatimu, duduk di dekatmu, atau
mengawasimu saat kau membaca ini. Mereka
mungkin di kotamu. Di sekolah anak-anakmu. Mereka
terus berlatih, menunggu hari ketika mereka akan
saling bertemu, dan aku. Saat itu kami akan maju ke
pertempuran terakhir bersama-sama.
Kami menang, kami akan terselamatkan dan kalian
juga terselamatkan. Kami kalah, dan semua akan
musnah. TTD Pittacus Lore love this car " Dendam Sejagad 16 Wiro Sableng 132 Kutukan Sang Badik Bangau Sakti 30

Cari Blog Ini