Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande Bagian 3
sejawatnya sering tak mampu melakukan apa-apa.
Untuk itu, ada alasan terhormat dan tak terhormat. Alasan yang tidak terhormat
adalah bahwa lebih mudah untuk tidak melakukan apa-apa. Terlalu banyak yang
harus dilakukan untuk mengumpulkan bukti dan suara untuk memutuskan bahwa
seorang sejawat harus dicabut izin praktiknya. Selain itu, dibutuhkan keberanian
dan keyakinan diri. Alasan yang terhormat, dan mungkin merupakan alasan utama,
adalah tak ada yang tega melakukannya. Bila seorang sejawat yang terampil, baik,
dan biasanya penuh perhatian, yang kita kenal baik dan kita sudah biasa bekerja
sama dengannya selama bertahuntahun, tibatiba mulai sering meresepkan Per-codan
(obat pereda nyeri), atau menjadi begitu sibuk dengan masalah pribadi sehingga
mengabaikan tugasnya pada pasien, kita pasti ingin menolongnya, bukan
menghancurkan kariernya. Memang tidak mudah menolongnya. Dalam praktik pribadi,
orang tak mengenal cuti atau bebas tugas, yang ada hanyalah sanksi disiplin atau
pelaporan atas tindak malpraktik (tindak pelayanan yang tidak memenuhi syarat
profesi/hukum). Akibatnya, kalau ada yang ingin menolong, mereka melakukannya
diam-diam, secara pribadi. Tujuannya baik, tetapi hasilnya biasanya tidak.
Untuk jangka lama, beberapa sejawat Goodman berusaha menolongnya. Berawal dari
sekitar tahun 199D mereka mulai curiga. Mulai terdengar bisik-bisik tentang
keputusan yang aneh, hasil penanganan yang meragukan, semakin sering orang
menuntutnya ke pengadilan. Makin lama, orang mulai merasa perlu mengambil
tindakan. Beberapa dokter senior, masingmasing atas nama pribadi, mengajaknya menepi dan
mencoba menanyakan masalahnya. Rosenthal menyebutnya sebagai "Terribly Quiet
Chat" (Ngobrol Diam-Diam). Seorang mitra menemui Goodman dalam sebuah pesta
koktil, atau mampir di rumahnya. Ia menarik Goodman menepi dan berbisik menanyakan kabarnya, mengatakan
padanya bahwa orang mulai mempercakapkannya. Yang lain menggunakan cara yang
lebih terbuka: "Aku langsung bicara padanya: 'Entah apa yang membuatmu berubah.
Perilakumu benarbenar aneh. Yang jelas, aku tak akan membiarkan anggota
keluargaku datang memeriksakan diri padamu.'"
Kadang pendekatan demikian justru yang berhasil. Aku berbincang dengan pensiunan
kepala departemen di Harvard, yang sering mengadakan "Ngobrol Diam-Diam" semasa
masih aktif bertugas. Seorang dokter senior bisa saja memiliki kewenangan moral
di bidangnya untuk melarang seseorang melakukan sesuatu. Banyak dokter bandel
yang dipanggil oleh kepala departemen itu akhirnya mengaku punya masalah, dan ia
membantu mereka sebisanya. Ia meminta mereka memeriksakan diri ke seorang
psikiater, atau mengirimnya ke pusat rehabilitasi ketergantungan obat, atau
mengusulkan agar mereka pensiun. Tetapi, beberapa dokter tidak mau mengikuti
sarannya. Yang lain menyangkal punya masalah. Beberapa sudah keterlaluan sampai
mengadakan semacam kampanye untuk membela diri. Antara lain dengan meminta
anggota keluarganya marah-marah kepada kepala departemen itu, atau meminta
sejawat yang setia menegurnya di gang rumah sakit untuk mengatakan bahwa mereka
tak pernah melihat si dokter itu berbuat salah, bahkan mengirim pengacara yang
mengancam untuk menuntut.
Goodman memang mendengarkan apa yang dikatakan semua orang. Ia mengangguk dan
mengakui bahwa beban kerjanya terlalu banyak sehingga kadang tak tertangani. Ia
berjanji akan berubah, akan menerima lebih sedikit
pasien, dan tidak lagi tergesa-gesa dalam menangani pasien, mengerjakan operasi
sebagaimana mestinya. Ia mengakhiri obrolan itu dengan rasa malu dan tekad untuk
berubah. Tetapi, pada akhirnya tidak ada yang berubah.
Dan seperti biasanya, orang yang paling tahu betapa Goodman sudah jadi demikian
membahayakan adalah orang yang berada dalam posisi yang paling tidak enak, yang
justru harus melakukan sesuatu: dokter yunior, perawat, staf penunjang medik.
Dalam situasi yang demikian, staf pendukung akan melakukan sesuatu untuk
melindungi pasien. Perawat secara diam-diam menasihati pasien untuk memeriksakan
diri ke dokter lain. Resepsionis purapura sulit menemukan jadwal kosong seorang
dokter. Residen bedah senior menghadiri operasi di tingkat yunior untuk
memastikan bahwa dokter bedah tertentu tidak melakukan sesuatu yang
membahayakan. Salah seorang dokter asisten Goodman berusaha menjalankan peranan pelindung ini.
Ketika ia pertama kali bekerja bersama Goodman membantu memperbaiki posisi ?tulang yang patah (reposisi), mengamati kemajuan pasien, membantu dalam
pembedahan ia sangat mengaguminya. Tetapi, ia melihat bahwa Goodman mulai
?sering berbuat salah. "Ia menerima empat puluh pasien sehari dan menghabiskan
kurang dari lima menit untuk setiap pasien," kata asisten itu padaku. Untuk
mencegah munculnya masalah di klinik, ia pulang lebih lambat untuk mengecek
ulang semua keputusan medis yang diputuskan oleh Goodman. "Saya selalu
menindaklanjuti pasien dan memperbaiki apa yang telah dilakukannya." Di kamar
bedah, ia berusaha memberikan saran dengan cara yang santun. Misalnya dengan
bertanya, "Apakah sekrup itu tidak terlalu panjang?" Atau, "Apakah posisi sendi
panggul itu sudah tepat?" Namun, tetap terjadi kesalahan dan "banyak operasi yang
sebetulnya tidak perlu dilakukan," katanya. Sedapat mungkin, ia menasihati
pasien agar pergi ke dokter lain-"tentu saja tanpa mengatakan terus terang,
'Menurut saya, dia gila.'"
Hal seperti ini bisa berlangsung cukup lama tanpa orang menyadarinya. Tetapi,
ketika orang mulai kehabisan cadangan niat baiknya ketika upaya Ngobrol Diam?Diam tidak memberikan hasil dan ketika tampaknya kerja di belakang layar tak ada
selesainya bagi para sejawat maka perasaan itu pelan-pelan akan berubah. Hal
?yang terkecil sekalipun dapat memicu tindakan drastis. Pada Goodman, hal kecil
itu adalah mangkir dalam konferensi mingguan Mortalitas & Mortalitas yang wajib
diikuti, yang mulai dilakukannya pada 1993. Walaupun kelalaiannya dalam
memberikan layanan pada pasien semakin nyata ia menjadi dokter yang paling
?banyak digugat para sejawatnya tetap merasa tidak enak kalau harus
?menghakiminya. Tetapi, ketika ia mulai tidak menghadiri M & M, mereka akhirnya
punya pelanggaran kongkret untuk dipermasalahkan.
Banyak orang telah memperingatkannya, makin lama makin tegas, bahwa ia mungkin
akan menghadapi masalah serius bila tidak muncul di M & M. "Tetapi, ia
mengabaikan semua peringatan itu," demikian kata sejawatnya. Setelah setahun
berlalu, dewan rumah sakit mengenakan masa percobaan sebagai tindak
administratif. Walaupun begitu, ia mengoperasi semakin banyak pasien dan
menimbulkan semakin banyak komplikasi. Satu tahun lagi berlalu. Segera setelah
Hari Buruh 1995, dewan rumah sakit dan pengacaranya akhirnya memanggilnya untuk
duduk di meja konferensi yang panjang dan mengatakan bahwa
pihak rumah sakit mencabut haknya sebagai dokter bedah dan melaporkan kasusnya
kepada dewan kedokteran negara untuk disidik. Ia dipecat.
Goodman tidak pernah bercerita kepada keluarganya tentang kesulitan yang
dihadapinya dan juga tidak bercerita bahwa ia telah kehilangan pekerjaan. Setiap
pagi selama berminggu-minggu, dengan mengenakan stelan jas dan dasi, ia menuju
ke kantornya seolah tak ada sesuatu yang berubah. Ia memeriksa sejumlah
pasiennya yang terakhir dan merujuk mereka yang perlu dioperasi kepada dokter
lain. Praktiknya menjadi kosong dalam tenggang waktu satu bulan. Istrinya merasa
ada sesuatu yang tidak beres, dan ketika ia mendesak, akhirnya Goodman
menceritakan semuanya. Istrinya merasa seolah langit runtuh dan merasa takut: ia
merasa suaminya seorang asing, seorang penipu. Sesudah itu, Goodman tinggal di
rumah, di tempat tidur terus, dan ia tak bicara dengan siapa pun selama berharihari. Dua bulan setelah dipecat, Goodman diajukan lagi ke sidang malpraktik, kali ini
untuk kasus seorang istri petani yang datang kepadanya dengan nyeri sendi bahu
berat. Goodman memasang sendi palsu, tetapi operasi itu tidak berhasil. Gugatan
ini merupakan pukulan terakhir. "Aku tak punya apa-apa lagi," katanya padaku.
"Ya, aku punya teman dan keluarga, tetapi aku tak punya pekerjaan." Dan seperti
halnya dokter lain, pekerjaan adalah jati-dirinya.
Di ruang bawah rumahnya ia menyimpan pistol, sebuah Magnum .44 yang dibelinya
ketika ia pergi memancing ke Alaska, untuk melindungi diri dari beruang.
Dimasukkannya peluru pada pistol itu dan berpikir untuk bunuh diri. Ia tahu cara
melakukannya agar dapat langsung mati setelah menembak. Bukankah ia seorang
dokter bedah" Pada tahun 1998, ketika menghadiri konferensi di dekat Palm Spring, aku membaca
sekilas jadwal ceramah yang padat dan melihat ada presentasi yang menarik: "Dua
ratus dokter dilaporkan karena berperilaku membahayakan," oleh Kent Neff, MD.
Ceramah ini berlangsung di ruang kecil yang jauh dari serambi utama. Paling
banyak beberapa puluh orang saja yang hadir. Neff seorang pria lima puluh
tahunan yang berpenampilan rapi, berambut perak, dan serius, dan ternyata ia
memiliki keahlian khusus (subspesialis) yang di bidang kedokteran dikenal paling tertutup: ia psikiater
yang mengkaji dokter dan profesional lain yang punya masalah perilaku yang
serius. Pada tahun 1994, katanya, ia bertugas menangani sebuah program kecil
untuk menolong sejumlah rumah sakit dan klinik yang mempekerjakan dokter yang
bermasalah. Dalam waktu singkat, berbagai rumah sakit dan klinik itu
mengiriminya dokter yang berdatangan dari berbagai daerah. Sekarang ini, sudah
ada 250 dokter yang mengunjunginya, suatu pengalaman yang bukan main, dan ia
memeriksa seluruh data yang dikumpulkannya seperti seorang ilmuwan dari P3M
(Pusat Pemberantasan Penyakit Menular) menganalisis wabah tuberkulosis.
Yang ditemukannya tidak terlalu mengejutkan. Dokter tidak dianggap berbahaya
sebelum tindakannya menimbulkan kerusakan hebat. Mereka jarang sekali menjalani
pemeriksaan untuk menilai ketergantungan obat, gangguan mental, atau kelainan
khusus lainnya. Dan ketika timbul masalah, akibatnya sangat buruk. Yang
membuatku terkesan adalah bahwa Neff bekerja sendiri dan tanpa
pamrih tak ada hibah dana, tak ada bantuan dari lembaga pemerintah untuk ? ?menangani masalah ini.
Beberapa bulan setelah ceramah itu, aku terbang ke Minneapolis untuk melihat
kerja Neff. Programnya dijalankan di RS Abbott Northwestern, dekat kota di
distrik Powderhorn. Ketika sampai, aku diantar ke lantai lima sebuah gedung bata
merah di salah satu sisi di luar kompleks utama rumah sakit. Aku sampai di
sebuah lorong panjang dengan lampu temaram, beberapa pintu tertutup tak bertanda
di kedua sisinya, dan karpet tipis cokelat muda. Ruang itu sama sekali tidak
mirip rumah sakit. Ada sebuah papan bertuliskan huruf cetak "Program Penilaian
Profesional." Neff, berjaket wol dengan kacamata berbingkai logam, keluar dari
salah satu pintu dan mengajakku berkeliling.
Para dokter datang ke sini setiap Minggu malam, dengan membawa koper. Mereka
mendaftarkan diri di serambi lantai dasar dan diantarkan ke ruangan mirip asrama
tempat mereka menginap empat hari empat malam. Tiga orang dokter yang menjadi
pasien sedang berada di situ pada minggu kedatanganku. Mereka boleh pergi dan
pulang sesukanya, kata Neff meyakinkanku. Tetapi, aku toh melihat bahwa mereka
sebetulnya tidak bebas. Umumnya, rumah sakit tempat mereka bekerja telah
membayar untuk program itu sebesar tujuh ribu dolar, dan mengatakan kepada para
dokter itu bahwa kalau ingin tetap berpraktik, mereka harus ke Minneapolis.
Yang bagiku tampak paling menonjol dari program itu adalah bahwa Neff sebenarnya
membujuk organisasi medis untuk mengirim dokter mereka, Tampaknya ia
melakukannya hanya dengan menawarkan bantuan. Walaupun masih ragu, rumah sakit
dan klinik ternyata sangat bersemangat mengirim dokternya untuk ditolong oleh
Neff. Dan mereka bukan satu-satunya profesi. Tak lama kemudian, perusahaan
penerbangan mulai mengirimkan pilotnya. Pengadilan mengirimkan hakim. Perusahaan
mengirimkan para direkturnya.
Bagian kecil yang dilakukan Neff adalah mencampuri urusan mereka. Ia mirip
dengan dokter yang kita kunjungi ketika anak kita batuk, tapi kemudian
menasihati kita mengenai bagaimana seharusnya kita menata kehidupan kita. Ia
menangani para dokter itu, tetapi tidak segan untuk mengatakan kepada lembaga si
dokter bahwa masalahnya sudah terlalu lama dibiarkan. Ada beberapa jenis
perilaku yang disebutnya sebagai "gejala perilaku" yang seharusnya membuat
? ?orang sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres pada seseorang, begitu ia
menjelaskan. Misalnya, seorang dokter bedah melempar pisau bedah di OK, atau
seorang pilot tibatiba meledak amarahnya dalam penerbangannya. Tetapi, semua
kejadian itu dianggap remeh. "Dia sebetulnya dokter yang baik," begitu orang
akan berdalih, "meskipun kadang suka bertingkah."
Neff menyebutkan setidaknya ada empat jenis gejala perilaku. Ada pengendalian
amarah yang buruk dan menetap, atau perilaku yang suka menganiaya. Ada perilaku
aneh atau tak menentu. (Ia pernah menemukan seorang dokter yang tidak pernah
melewatkan hari tanpa menggunakan waktu sekitar dua jam untuk terus-menerus
membenahi mejanya. Dokter itu menderita kelainan obsesif-kompulsif.) Ada
pelanggaran terhadap batas yang berlaku bagi profesi. (Neff suatu kali menangani
seorang dokter keluarga, yang suka mengajak seorang pemuda pasiennya makan malam
berdua, dan pernah juga mengajak pasiennya untuk berlibur bersama. Ternyata ia
mengalami fantasi kompulsif tentang hubungan seks dengan pemuda remaja). Dan
banyak lagi tanda yang sudah lebih dikenal sebagai penyebab mencoloknya
peningkatan jumlah tuntutan hukum atau keluhan (seperti yang dialami Goodman).
Melalui programnya, Neff berhasil membujuk sejumlah rumah sakit dan klinik dan ?perusahaan penerbangan dan perusahaan lainnya untuk menyelesaikan masalah itu
?secara sungguh-sungguh. Banyak lembaga sekarang menetapkan, sebagai bagian dari
kontrak kerjanya, bahwa gejala perilaku dapat menyebabkan pelakunya harus
dinilai kembali. Namun, hakikat dari apa yang dilakukannya sebenarnya hanyalah menyediakan
konsultasi pasien, seperti yang dilakukan seorang dokter jantung terhadap pasien
yang mengalami sakit dada. Ia memeriksa orang yang dikirim kepadanya, melakukan
beberapa pengujian, dan memberikan pandangan resmi tentang apa yang sedang
terjadi, apakah orang itu dapat dipertahankan dalam pekerjaannya, dan perubahan
keadaan yang mungkin terjadi. Neff bersedia melakukan apa yang orang lain segan
melakukannya: menghakimi (atau ia lebih suka menyebutnya "menilai") seorang
sejawat. Dan ia melakukannya secara lebih menyeluruh dan rasional jika
dibandingkan dengan yang dapat dilakukan oleh seorang sejawat.
Yang dilakukan Neff pertama kali pada ketiga dokter yang datang ketika aku di
sana adalah mengumpulkan informasi. Mulai dari Senin pagi, diteruskan selama dua
hari berikutnya, ia dan empat dokter lainnya mewawancarai setiap dokter secara
terpisah. Mereka diharuskan menceritakan pengalaman mereka secara berulangulang, enam kali atau lebih, untuk menerobos keengganan dan sikap membela diri yang
memang wajar jika dilakukan, dan untuk menggali semua rincian pengalaman mereka.
Sebelum mereka tiba, Neff juga sudah menyiapkan catatan lengkap tentang para
dokter itu. Dan selama seminggu penanganan itu, ia tak segan-segan menghubungi
sejawat mereka untuk mengecek kontradiksi dan kerancuan hal-hal yang mereka
ceritakan. Pasien Neff juga menjalani pemeriksaan lengkap, termasuk pemeriksaan darah untuk
memastikan bahwa tidak ada penyakit fisik yang menyebabkan timbulnya perilaku
yang membahayakan itu. (Seorang dokter yang dikirim ke Neff setelah beberapa
kali mengalami terpaku tak bisa bergerak ketika sedang mengerjakan operasi
ternyata menderita penyakit Parkinson tingkat lanjut). Mereka menjalani
pemeriksaan untuk deteksi alkohol dan narkotik. Dan mereka menjalani uji
psikologi untuk menemukan berbagai hal, mulai dari kecanduan judi sampai
skizofrenia paranoid. Pada hari terakhir, Neff mengumpulkan seluruh timnya pada sebuah meja konferensi
di sebuah ruang kecil yang muram untuk membuat keputusan. Sementara itu, para
dokter yang menjadi pasiennya itu menunggu di kamar masingmasing. Seluruh staf
menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk meninjau data pada setiap kasus.
Kemudian, sebagai sebuah tim, mereka membuat tiga keputusan terpisah. Pertama,
mereka menegakkan diagnosis. Kebanyakan dokter menderita penyakit jiwa depresi,
?kelainan bipolar, ketergantungan obat atau alkohol, bahkan psikosis yang nyata.
Hampir tanpa kecuali, keadaan itu tidak pernah didiagnosis dan diobati. Beberapa
berjuang menghadapi stres, perceraian, kesedihan, penyakit, dan semacamnya.
Kemudian, tim memutuskan apakah dokter itu cukup bugar untuk kembali berpraktik.
Neff memperlihatkan padaku beberapa laporan yang lazim. Penilaiannya selalu
jelas dan tegas: "Karena kecanduan alkohol, Dr. X saat ini tidak dapat
menjalankan praktik dengan keterampilan yang memadai dan dengan aman." Terakhir,
mereka mengemukakan anjuran yang tegas yang harus diikuti oleh para dokter itu.
Bagi beberapa dokter yang dianggap layak untuk kembali praktik, mereka
menganjurkan kehatihatian tertentu: menjalani pengujian obat secara acak
sepanjang waktu, pemantauan resmi oleh sejawat yang ditunjuk, pembatasan
tertentu dalam berpraktik. Untuk mereka yang dianggap tidak laik praktik, Neff
dan timnya biasanya menyatakan jangka waktu minimum untuk mereka tidak praktik,
rincian penanganannya, dan prosedur yang jelas tentang penilaian ulang. Pada
akhir sidang pengambilan keputusan itu, Neff memanggil setiap dokter ke
kantornya dan menjelaskan laporan akhir yang akan dikirimkan ke rumah sakit atau
klinik mereka. "Biasanya mereka terkejut," kata Neff. "Sembilan puluh persen
menyatakan rekomendasi kami lebih keras dari apa yang mereka perkirakan."
Neff mengingatkan aku lebih dari sekali bahwa programnya hanya memberikan
anjuran. Tetapi, setelah anjuran itu diberikan secara tertulis, sulit bagi rumah
sakit atau klinik untuk tidak mematuhinya dan mau tak mau mereka mengharuskan si
dokter mematuhi program yang telah disusun untuknya. Keuntungan pendekatan Neff
adalah bahwa begitu muncul masalah, boleh dikatakan semuanya langsung terbuka:
Minneapolis, evaluasi, diagnosis, program penanganan. Para sejawat si dokter
tidak lagi arus menghakimi dan memutuskan nasibnya. Dan si
dokter ang bermasalah mendapatkan pertolongan. Neff dan timnya elah
menyelamatkan ratusan dokter yang nyaris hancur ariernya dan mungkin ?menyelamatkan ribuan pasien.
Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Program Neff bukan satu-satunya program sejenis itu. Dalam beberapa puluh tahun
terakhir, kalangan medis dalam dan luar negeri telah mengadakan sejumlah program
untuk mendiagnosis dan menangani dokter yang "sakit." Tetapi, program Neff
adalah salah satu dari beberapa program yang mandiri dan lebih sistematis
metodenya jika dibandingkan dengan program lain.
Namun, programnya ditutup beberapa bulan setelah kunjunganku. Meski program itu
telah menarik perhatian seluruh negeri dan tumbuh pesat, Program Penilaian
Profesional itu menghadapi masalah pendanaan, tidak mampu mendanai programnya
sendiri. Pada akhirnya, Neff tidak berhasil membujuk RS Abbott Northwestern
untuk melanjutkan subsidinya. Ia, katanya ketika terakhir kami berbincang,
sedang mencari dukungan untuk memulai programnya di tempat lain.
Tetapi, baik berhasil atau tidak, ia telah menunjukkan apa yang dapat dilakukan.
Pertanyaan yang sulit untuk para dokter, bahkan terutama untuk para pasiennya
? ?adalah apakah pendekatan itu dapat diterima. Program semacam program Neff ini
merupakan pendekatan langsung mungkin terlalu langsung. Para dokter akan
?bersedia mengirimkan sejawat mereka yang bermasalah dokter buruk yang lazim
?dijumpai hanya jika konsekuen-snya berupa diagnosis dan penanganan, bukan
?penahanan dan penuntutan secara hukum. Untuk itu, masyarakat harus siap
memandang dokter yang demikian itu bukan sebagai sosiopat, melainkan sebagai
seorang manusia biasa yang sedang berjuang. Falsafah Neff adalah, seperti yang
diungkapkannya, "keras terhadap perilakunya, tetapi lunak kepada orangnya."
Orang mungkin lebih memilih cara untuk tidak bertanya, tidak bercerita, Tanyalah
diri Anda, dapatkah Anda menerima sistem yang bisa merehabilitasi ahli
anestesiologi yang ketagihan obat, ahli bedah jantung yang menderita psikosis
manik, dokter anak yang suka mencabuli gadis kecil, jika itu berarti akan lebih
banyak dokter seperti itu yang bisa ditangkap" Atau dengan kata lain, apakah
Anda mau Hank Goodman mengerjakan operasi kembali"
Kehidupan Hank Goodman, dan mungkin kariernya, adalah salah satu yang
diselamatkan oleh Neff. Pada pertengahan Desember 1995, setelah memikirkan untuk
bunuh diri, Goodman menghubungi Neff di kantornya. Pengacara Goodman pernah
mendengar tentang program Neff dan memberikan nomor teleponnya kepada Goodman.
Neff memintanya agar ia segera datang. Goodman berangkat hari berikutnya. Mereka
bertemu selama satu jam, dan pada akhir pertemuan itu Goodman ingat betapa ia
merasa lega. Neff bicara tanpa banyak basa-basi dan dengan sikap menghormati
sejawat, dan berkata bahwa ia dapat menolongnya, bahwa hidupnya belum berakhir.
Goodman percaya padanya. Ia mendaftarkan diri pada program itu minggu berikutnya dan membayar sendiri
biayanya. Empat hari itu merupakan saatsaat yang sulit, kadang sangat penuh
perlawanan. Ia tidak siap untuk mengakui semua yang telah dilakukannya atau
menerima semua kenyataan yang ditemukan oleh anggota tim Neff. Diagnosis
utamanya adalah depresi yang sudah berlangsung lama. Kesimpulan
mereka terang-terangan menyatakan: Dokter ini, tulis mereka "tidak mampu
menjalankan praktik secara aman saat ini karena ia menderita depresi berat dan
tidak akan dapat berpraktik untuk jangka yang belum dapat ditentukan." Dengan
penanganan yang lama dan memadai, demikian bunyi laporan itu, "kami
memperkirakan ia masih punya kesempatan untuk kembali berpraktik." Cap diagnosis
yang khas itu mungkin tidak sepenting intervensi yang diberikan: tindakan untuk
memberitahu Goodman, dalam kewenangannya sebagai suatu lembaga, bahwa ada yang
tidak beres dengan dirinya sehingga dia tidak boleh berpraktik, dan bahwa
mungkin ia akan dapat berpraktik lagi di kemudian hari.
Atas anjuran Neff, Goodman dirawat di rumah sakit jiwa. Kemudian, seorang
psikiater setempat dan dokter penyelia ditugasi untuk memantaunya di rumah. Ia
mendapat Prozac, kemudian Effexor. Ia patuh menjalankan program itu. "Pada tahun
pertama, aku tak peduli apakah aku hidup atau mati," katanya padaku. "Tahun
kedua, aku ingin hidup, tetapi tidak ingin bekerja. Tahun ketiga, aku ingin
kembali bekerja." Akhirnya, psikiater setempat yang merawatnya, dokter
internisnya, dan Neff, semuanya sepakat bahwa ia sudah siap. Terutama karena
anjuran merekalah dewan kedokteran wilayah mengizinkan Goodman kembali
berpraktik, walaupun dengan beberapa pembatasan. Pada mulanya, ia boleh praktik
tidak lebih dari dua puluh jam per minggu dan di bawah pengawasan. Ia harus
mengunjungi psikiaternya dan dokter keluarganya secara berkala. Ia tidak dapat
mengerjakan operasi sedikitnya enam bulan setelah kembali ke klinik. Kemudian,
ia hanya boleh melakukan operasi sebagai asisten sampai evaluasi ulang
menyatakan bahwa ia dapat memperoleh
kewenangan penuh. Ia juga harus menjalani pengujian alkohol dan narkotik secara
acak. Tetapi, klinik mana yang mau menerimanya" Mitranya yang dahulu tidak mau
menerimanya. "Terlalu berat buat kami," katanya. Ia hampir diterima di kota tepi
danau di pedesaan, dan di tempat itu ia punya rumah peristirahatan. Di situ ada
sebuah rumah sakit kecil, dikunjungi oleh 45 ribu orang selama musim panas, dan
tak punya dokter bedah tulang. Para dokter di situ mengetahui masalahnya di masa
lalu, tetapi karena sudah bertahuntahun mencari ahli ortopedi, mereka menyambut
kedatangannya. Dengan begitu pun, dibutuhkan satu tahun baginya untuk bisa
mendapatkan asuransi malpraktik. Dan ia berpikir akan lebih bijak untuk
mewaspadai tekanan akibat berpraktik secara penuh. Maka, ia memutuskan untuk
mulai dengan melakukan pemeriksaan fisik untuk sebuah perusahaan asuransi,
Belum lama ini, aku mengunjungi Goodman di rumahnya, rumah bata merah yang
cantik penuh dengan anjing, kucing, dan burung, bermacam ornamen di ruang duduk,
dan di pojok dapur, sebuah komputer dan kumpulan majalah ortopedi serta sejumlah
buku ajar dalam bentuk CD-ROM. Ia berkemeja polo dan celana khaki, dan ia tampak
santai, tidak tergesa-gesa, boleh dikatakan bermalas-malasan. Kecuali saatsaat
bersama keluarga, atau ketika belajar atau membaca agar tidak ketinggalan
informasi terbaru dalam bidangnya, ia tidak tampak sibuk. Hidupnya tidak seperti
dokter bedah umumnya, tetapi ia merasa bahwa gairah kerjanya telah kembali. Aku
mencoba membayangkannya mengenakan seragam bedah lagi di sebuah OK dengan ?seorang asisten bicara di telepon, menanyakan tentang pasien yang lututnya
terinfeksi. Siapa yang dapat membayangkan apa yang akan terjadi"
Kita semua, apa pun pekerjaan kita, berada di tangan manusia yang dapat berbuat
salah. Kenyataannya sulit untuk dihadapi, tetapi tidak dapat dihindari. Setiap
dokter harus menguasai hal-hal yang memang sepatutnya dikuasainya, tapi belum
dipelajarinya, memiliki kemampuan untuk menilai yang ternyata salah, memiliki
karakter kuat yang dapat hancur. Apakah aku lebih kuat dari orang ini sekarang"
Lebih handal" Lebih waspada" Sadar dan bersikap hatihati atas kelemahanku
sendiri" Aku ingin begitulah keadaannya dan mungkin aku harus berpikir begitu
?untuk dapat melakukan apa yang kulakukan sehari-hari. Tetapi, aku tak bisa tahu.
Tidak seorang pun bisa tahu.
Goodman dan aku makan siang bersamasama di kota dan kemudian mengendarai mobil
mencari angin. Ketika menghampiri rumah sakitnya yang dulu, yang terangbenderang dan modern, kutanya apakah aku boleh melihat-lihat. Ia tidak perlu
ikut, kataku. Tidak lebih dari dua atau tiga kali ia pernah masuk ke gedung itu
dalam empat tahun ini. Setelah ragu beberapa saat, ia memutuskan untuk
menemaniku. Kami masuk melalui pintu geser otomatis, dan menyusuri lorong yang
bercat putih. Sebuah suara ceria terdengar, dan aku dapat melihat betapa ia
menyesal telah ikut masuk.
"Hai, Dr. Goodman!" seorang wanita berambut putih dengan wajah penuh senyum
keibuan, menegur dari balik meja informasi. "Sudah lama sekali aku tak
melihatmu, Ke mana saja?"
Goodman tertegun. Ia membuka mulut untuk menjawab, tetapi katakata tak kunjung
keluar, "Aku sudah pensiun," akhirnya ia berkata.
Wanita itu memiringkan kepala, tampak bingung: Goodman tampak tegap dan dua
puluh tahun lebih muda darinya. Kemudian, kulihat sorot matanya menajam ketika
ia mulai mengerti. "Mudah-mudahan Anda menikmatinya," katanya kembali dengan
ramah. Goodman bicara dengan risi tentang perjalanan mancing yang akan dilakukannya.
Kami berjalan menjauh. Lalu, ia berhenti dan berkata kembali kepada perawat itu,
"Tetapi aku akan kembali," katanya.><
Bagian II -M i ste ri " Bulan Purnama Jumat Tanggal Tiga Belas
Jack Nicklaus tidak akan mau bermain golf tanpa membawa tiga uang koin receh di
sakunya. Michael Jordan selalu mengenakan celana dalam model boxer dengan
lambang Universitas North Carolina di balik seragam Chicago Bulls-nya. Dan Duke
Ellington hanya akan tampil dalam pergelaran, atau mengizinkan kelompok band-nya
tampil, dengan berpakaian warna kuning. Untuk orang yang harus tampil
memeragakan sesuatu demi mencari nafkah, takhayul tampaknya hampir merupakan
keharusan. Pemain bisbol, misalnya, sangat percaya pada takhayul. Wade Boggs,
mantan bintang bisbol Boston Red Sox, harus selalu makan ayam sebelum
bertanding. Sebaliknya, Tommy Lasorda, ketika menjadi manejer Los Angeles
Dodgers, selalu makan linguine dengan saus clam merah bila timnya menghadapi ?pitcher yang melempar bola dengan tangan kanan, atau dengan saus putih bila
menghadapi pitcher kidal. Tetapi, dari semua itu, pitcher New York Mets, Turk
Wendell, tampaknya yang paling aneh. Sebagai jimat, ketika bertanding, ia
memakai kalung taring binatang, tidak mau memakai kaus kaki, tidak mau
melangkahi foul line (garis pelanggaran), dan harus menyikat giginya di antara
setiap putaran (inning). Ketika ia menandatangani kontrak untuk musim main 1999,
ia bersikeras agar gajinya ditulis $1.200.000,99. "Ah aku cuma suka dengan angka
99 saja," katanya pada wartawan.
Tetapi, aku belum tahu ada dokter yang begitu percaya pada takhayul. Dokter
cenderung punya komitmen kuat terhadap rasio terutama dokter bedah. Kepuasan
?utama dalam ilmu, dan khususnya yang menyangkut operasi pada manusia, adalah
keberhasilan perencanaan dan pemikiran yang logis. Seandainya ada dalil dalam
dunia kedokteran, maka dalil itu pastilah "yang terpenting adalah bersikap
bijak." Dan kami yang berada di dunia ini biasanya tidak merasa nyaman, kalau
tak mau disebut menolak, terhadap sesuatu yang berbau mistik. Paling-paling, ada
dokter bedah yang selalu menggunakan sepatu operasi tertentu, atau punya cara
khusus untuk membalut luka operasi yang telah ditutup. Dan untuk itu pun, kami
selalu berhati-hati menjelaskan berbagai kebiasaan khas kami itu dengan
penjelasan yang setidaknya masuk akal: "Sepatu lain tidak senyaman sepatu yang
ini," begitu si dokter bedah itu berdalih, atau "Plester yang itu sering
menimbulkan lepuh" (padahal tak ada orang lain yang punya masalah dengan plester
itu). Biasanya, tidak ada dokter yang mengatakan bahwa, sebenarnya, kami cuma
menganggap bahwa benda itu membawa sial.
Oleh karena itu, terasa aneh bagiku, ketika pada su-atu sore aku dan seorang
teman residen duduk di meja menyusun rencana jaga malam gawat darurat untuk
bulan depan, ternyata tak seorang pun yang mau jaga malam pada Jumat tanggal
tiga belas. Kami sedang mengundi setiap malam di antara kami, dan untuk beberapa
putaran pertama tampaknya semua normal saja. Kami menyisakan
semua Jumat malam, karena malam akhir pekan tidak banyak diminati. Tetapi,
ketika malamnya tinggal sedikit, barulah jelas bahwa Jumat malam yang satu itu
memang sengaja tidak dipilih. Ya ampun, pikirku, ini konyol sekali. Jadi, ketika
tiba giliranku memilih lagi, kucantumkan namaku untuk jaga pada malam itu,
"Beristirahatlah sekarang," kata salah seorang residen. "Kau pasti akan
menghadapi malam yang sibuk." Aku tertawa dan mengabaikan saran itu.
Namun, ketika kulihat kalender beberapa hari kemudian, baru aku sadar bahwa
Jumat itu adalah malam bulan purnama. Kemudian, ada yang mengatakan bahwa malam
itu pun akan ada gerhana bulan. Dan untuk sesaat hanya sesaat saja lho aku ? ?merasa rasa percaya diriku menurun. Mungkin aku memang akan menghadapi malam
yang menyedihkan, demikian aku mulai berpikir. Tetapi, sebagai dokter yang
terlatih dan waspada, aku tak mau mudah terhanyut dalam pemikiran semacam itu.
Tentu saja, pikirku, tidak ada bukti yang mendukung hal-hal konyol ini. Dan
kemudian, sekadar untuk memastikan, aku pergi ke perpustakaan.
Aku berhasil menemukan satu penelitian ilmiah yang menguji apakah benar bahwa
Jumat tanggal tiga belas membawa sial. (Aku tak yakin mana yang lebih
mencengangkan: bahwa ada orang yang melakukan penelitian tentang pertanyaan ini,
atau bahwa aku hanya menemukan satu contoh saja. Bukankah ini dunia yang
melakukan penelitian tentang hampir semua hal. Suatu kali, ketika mencari-cari
di perpustakaan, aku bahkan menemukan laporan bahwa air liur menyebar di seluruh
rongga mulut ketika orang mengunyah permen karet). Penelitian tahun 1993 yang
dilaporkan di British Medical Journal itu
membandingkan catatan rumah sakit mengenai korban kecelakaan lalu lintas yang
terjadi pada Jumat tanggal tiga belas dengan yang terjadi pada Jumat tanggal
enam di sebuah komunitas di luar London. Walaupun kecelakaan lalu lintas pada
Jumat tanggal tiga belas lebih sedikit daripada Jumat tanggal enam, ternyata
korbannya tercatat lebih tinggi 52 persen pada tanggal tiga belas. "Jumat
tanggal tiga belas adalah hari sial untuk sebagian orang," begitu penulisnya
menyimpulkan. "Dianjurkan untuk tinggal di rumah saja." Mereka tidak menjelaskan
bagaimana menghindari kesialan di rumah.
Tetap saja, kataku pada diri sendiri, kita tidak dapat hanya bergantung pada
satu penelitian tentang satu Jumat tanggal tiga belas di satu kota. Keragaman
acak pastilah yang menyebabkan peningkatan angka kecelakaan itu. Untuk dapat
yakin, kita harus melihat ajegnya hasil yang buruk ini pada sejumlah penelitian.
Dan ini tidak ada. Sebaliknya, satu hal yang pernah dibuktikan adalah manusia umumnya membayangkan
suatu pola (baik maupun buruk), padahal sebenarnya pola itu tidak ada. Itu hanya
hasil kerja otak kita. Bahkan pola yang acak sekalipun bisa tampak tidak acak.
Ahli statistik William Feller menggambarkan satu contoh yang sekarang dianggap
klasik. Selama serangan bom besarbesaran oleh Jerman atas London Selatan pada
Perang Dunia Kedua, beberapa daerah kena lebih sering, sementara beberapa daerah
lain tidak kena sama sekali. Tempat yang tidak kena bom itu tampaknya adalah
tempat yang sengaja tidak dibom, dan orang berkesimpulan bahwa itu adalah tempat
Jerman menyebar mata-matanya. Tetapi, ketika Feller menganalisis hantaman bom
itu secara statistik, ternyata seba-rannya benarbenar acak.
Kecenderungan untuk melihat pola yang sebenarnya tidak ada disebut sebagai
kesalahan penembak jitu Texas. Seperti halnya seorang penembak jitu dari Texas
yang menembak dinding gudang kemudian menggambar lingkaran di sekitar lubang
peluru, kita cenderung memerhatikan sesuatu yang tidak biasa dahulu misalnya
?empat kejadian buruk pada suatu hari kemudian menentukan pola berdasarkan
?fakta tersebut. Bagiku, tampaknya kita juga bisa saja waspada pada Kamis tanggal
tiga belas atau Jumat tanggal lima, sama seperti pada Jumat tanggal tiga belas.
Namun, fobia Jumat tanggal tiga belas sudah begitu meluas. Dari sejumlah survei,
Donald Dossey, seorang ilmuwan perilaku dari North Carolina, memperkirakan bahwa
antara 17 juta sampai 21 juta penduduk Amerika mengalami kecemasan ringan sampai
berat, atau mengubah kegiatannya, hanya karena paraskevidekathaphobia (bahasa
Yunani untuk "ketakutan pada Jumat tanggal tiga belas"). Mereka melakukan
beberapa ritual sebelum meninggalkan rumah, menelepon kantor dan berpurapura
sakit, menunda penerbangan atau pembelian dalam jumlah besar, menyebabkan
kerugian bisnis sebanyak 750 juta dolar setahun.
Takhayul tentang bulan bahkan lebih gawat lagi. Pada jajak pendapat tahun 1995
ditemukan bahwa 43 persen orang Amerika percaya bahwa bulan memengaruhi perilaku
seseorang. Dan, yang menarik, tenaga kesehatan mental lebih memercayainya
dibandingkan dengan pekerja bidang lainnya. Selama berabad-abad dan di berbagai
peradaban di seluruh dunia, bulan purnama diyakini bisa menyebabkan
kegilaan sehingga muncul istilah "lunatic" (berarti gila, dari kata lunar yang ?berarti bulan). Tentu saja, adanya daur bulanan manusia tampaknya lebih masuk
akal ketimbang efek Jumat tanggal tiga belas. Para ilmuwan pada suatu masa
pernah menyangkal gagasan daur biologis, tetapi sekarang sudah diterima secara
luas bahwa musim dapat memengaruhi perasaan dan perilaku, dan bahwa kita semua
mempunyai daur sirkadian yang menggambarkan perubahan suhu tubuh, kesiagaan,
ingatan, dan perasaan menurut jam-jam tertentu dalam satu hari.
Dalam pencarian di komputer, aku menemukan sekitar seratus penelitian yang
berusaha menemukan adanya daur "sirkalunidian." Yang paling menarik perhatianku
adalah penelitian lima tahun atas angka kejadian peracunan diri di sebuah rumah
sakit di New South Wales, Australia, yang dilaporkan di Medical Journal of
Australia. Dari tahun 1988 sampai 1993, rumah sakit itu menerima 2.215 pasien
yang minum kelebihan dosis obat atau yang meracuni dirinya sendiri dengan zat
beracun. Peneliti itu ingin melihat apakah angka tertinggi terjadi bukan saja
bergantung pada fase dalam sebulan, tetapi juga pada tanda zodiak atau
perhitungan numerik seseorang (seperti "perhitungan menurut rumus yang tercantum
dalam Zolar's Encyclopedia of Ancient and Forbidden Knowledge," begitu lapor si
penulis). Tidak mengherankan bahwa angka peracunan diri tidak dipengaruhi oleh
apakah ia lahir di bawah bintang Virgo atau Libra. Tidak juga dipengaruhi oleh
"Angka Nama," "Angka Bulan," atau "Angka Kelahiran" seseorang. Tetapi,
kecenderungan wanita (dan bukan lelaki) keracunan pada waktu sekitar purnama 25%
lebih sedikit jika dibandingkan dengan pada awal bulan.
Cukup aneh bahwa penurunan angka peracunan diri ini
ada hubungannya dengan hasil penelitian lain. Seandainya ada hubungan antara
faktor kejiwaan dan munculnya purnama, maka kita dapat melakukan pencegahan.
Para penulis penelitian tahun 1996 yang meneliti upaya bunuh diri di daerah
Dordogne Prancis menyimpulkan dalam tata bahasa Inggris yang buruk bahwa "Orang
Prancis lebih sedikit yang meninggal pada saat purnama, dan lebih banyak pada
masa awal bulan." Penelitian di Cuyahoga County, Ohio, dan di Dade County,
Florida juga menemukan bahwa angka bunuh diri menurun pada hari-hari purnama.
Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi, semua penelitian ini tidak menyepakati adanya efek kebahagiaan akibat
purnama. Lebih banyak penelitian yang gagal memperlihatkan hubungan antara daur
bulan ini dan upaya bunuh diri.
Sementara itu, untuk bentuk kegilaan lainnya, bulan tampaknya tidak memegang
peranan. Para peneliti telah memeriksa buku catatan pelaporan ke kantor polisi,
konsultasi ke psikiater, pembunuhan, dan berbagai catatan lain tentang kegilaan
yang kita lihat sehari-hari termasuk kunjungan ke gawat darurat. Mereka tidak
?menemukan hubungan timbal-balik apa pun dengan purnama.
Setelah membaca itu semua, akhirnya aku keluar dari perpustakaan dengan
keyakinan bahwa tak ada purnama maupun tanggal sial yang akan mengancam jaga
malamku. Beberapa minggu kemudian, malam yang dimaksud itu tiba. Aku berjalan
menuju UGD (unit gawat darurat) pada pukul 6 petang untuk melakukan acara serah
terima dengan residen jaga siang. Aku terkejut melihat betapa ia sudah disibuki
oleh sejumlah pasien yang harus kutangani. Kemudian, segera setelah aku mulai
bekerja, datang lagi pasien trauma baru lelaki berusia 28 tahun yang pucat dan ?berlumuran darah serta tak sadarkan diri akibat tabrakan frontal dalam kecepatan
tinggi. Polisi dan paramedis menjelaskan bahwa ia membuntuti pacarnya sambil
membawa pistol. Ketika polisi muncul, ia melarikan diri dengan memacu mobilnya
dan memaksa polisi mengejarnya, yang berakhir dengan kecelakaan hebat ini.
Sepanjang malam itu keadaan tidak menjadi lebih baik. Aku, seperti biasanya kami
mengatakannya, "mampus" malam itu kerja keras, tidak bisa duduk barang dua
?menit pun, sulit sekali melepaskan diri dari pasien.
"Ini Jumat tanggal tiga belas," perawat menjelaskan.
Aku baru akan mengatakan bahwa sebenarnya penelitian tidak memperlihatkan adanya
hubungan itu. Tetapi, penyerantaku berbunyi sebelum aku sempat buka mulut. Ada
pasien trauma baru.x flij[\ Misteri Nyeri Setiap nyeri ada riwayatnya, dan riwayat nyeri Rowland Scott Quinlan bermula
dari kecelakaan yang terjadi beberapa tahun yang lalu ketika ia berusia 56
tahun. Quinlan adalah arsitek lulusan Boston dan pelaut bersemangat berambut
putih yang selalu mengenakan dasi kupu-kupu dan mengisap cerutu Belanda,
pemimpin perusahaan Beacon Street yang tumbuh pesat yang menyandang namanya, dan
perancang beberapa bangunan semacam Fakultas Kedokteran Universitas
Massachusetts. Kemudian, pada Maret 1988, ia jatuh dari papan penyangga di
lokasi pembangunan salah satu proyeknya sebuah paviliun di Kebun Binatang
?Franklin Park. Tulang belakangnya tidak apa-apa, tetapi tulang di sendi bahu
kirinya melesat keluar sendi (dislokasi) dan patah, sehingga ia harus menjalani
beberapa kali pembedahan. Pada musim gugur, ia sudah kembali ke meja gambarnya,
dan ketika itulah ia mulai diserang nyeri kejat hebat di pinggang seolah ada
ular melilit punggungnya. Serangan nyeri itu muncul dan muncul lagi, dan
walaupun pada mulanya ia mencoba mengabaikannya, nyeri itu semakin hebat dan tak
tertanggungkan. Lebih dari sekali, ketika ia sedang berdiri bersama kliennya,
nyeri pinggang itu tibatiba datang sehingga ia terdorong ke depan, dan ia
berusaha untuk tidak menjerit ketika
kliennya menangkap dan menolongnya duduk ke kursi atau di lantai, Ketika sedang
duduk di restoran dengan seorang rekannya, ia diserang nyeri yang sangat hebat
yang membuatnya langsung muntah. Tak lama kemudian, ia tidak mampu lagi bekerja
lebih dari dua atau tiga jam sehari, dan ia harus menyerahkan perusahaannya
kepada mitranya. Dokter ortopedi yang menangani Quinlan telah melakukan beberapa kali pemeriksaan
sinar-X. Tidak banyak yang terungkap mungkin hanya gambaran radang sendi
?ringan, tetapi tidak ada yang luar biasa. Maka, Quinlan dikirim ke spesialis
nyeri yang menyuntikkan jarum panjang berisi steroid dan anestetik lokal ke
tulang belakangnya. Beberapa suntikan pertama ke bawah selubung sumsum tulang
cukup manjur untuk beberapa hari, kadang beberapa minggu, tetapi sejumlah
suntikan berikutnya hanya meringankan nyerinya sampai suatu saat suntikan itu
tidak ada lagi efeknya. Aku pernah melihat hasil payaran CT dan sebundel hasil pencitraan dan
pemeriksaan lainnya. Tak ada satu pun yang membuatku menemukan penyebab nyeri
pinggang itu: tak ada patah tulang, tak ada tumor, tak ada infeksi, bahkan tak
ada tanda radang sendi (artritis). Posisi semua tulang belakangnya baik, seperti
tumpukan uang logam tebal. Cakram lunak mirip gel yang berperan sebagai bantalan
antartulang belakang pun tak ada yang pecah. Di bagian pinggang bawah, pada
tulang belakang, ada dua cakram yang sedikit menonjol, tetapi itu biasa untuk
orang seusianya, dan tonjolan itu tampaknya tidak menekan saraf. Bahkan seorang
dokter-muda pun dapat mengatakan bahwa tak ada alasan untuk pembedahan di tulang
belakang. Bila dokter menghadapi pasien dengan keluhan nyeri kronis tanpa ada kelainan
fisik yang menyebabkannya dan pasien seperti ini sangat banyak kami cenderung
? ? mengatakan bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kami menganggap hidup ini
bisa dipahami dan logis, dan masalah yang muncul dapat kita lihat atau rasakan,
atau kita ukur dengan mesin. Jadi, nyeri seperti yang dirasakan Quinlan biasanya
kami simpulkan sebagai berasal dari dalam kepalanya: bukan nyeri fisik, tetapi
suatu nyeri "mental" yang sebenarnya kurang nyata. Bahkan, dokter ortopedi yang
menangani Quinlan memang menganjurkannya pergi juga ke psikiater selain ke
fisioterapis. Ketika aku bertamu ke rumah Quinlan di kota tepi pantai di luar Boston, kudapati
dia tengah duduk di kursi yang merupakan tempatnya sehari-hari: meja kerja di
dapur yang menghadap ke jendela setinggi dinding dengan pemandangan ke arah
kebun kecil. Cetak biru beberapa proyek yang belum selesai tampak bergulungan di
atas meja. Perangkat telepon kepala (headset) tergeletak di satu sisi. Selusin
pena gambar berbagai jenis, bersama beberapa penggaris kecil dan jangka tertata
di sebuah wadah. Ia tersenyum sambil berdiri menyambutku. Aku ingat kembali
semua pemeriksaan medisnya dan berbagai hasil pencitraan tulangnya yang bersih:
Apakah ia berpurapura merasakan nyeri"
Ketika kutanyakan hal itu padanya, ia tersenyum getir dan mengatakan bahwa
kadang ia menanyakan hal yang sama kepada diri sendiri. "Aku merasa nyaman di
sini," katanya. Quinlan memiliki pelat mobil bertanda penyandang cacat, jaminan
keuangan, dan tidak ada tekanan untuk menjalankan bisnis, dan kalau tidak mau
melakukan apa-apa, dia cukup mengatakan bahwa pinggangnya sakit
bukan main. Namun, walaupun di tangannya terpasang infus yang mengalirkan
fentanil, sejenis narkotik, dosis tinggi selama 24 jam sehari, ia tetap tidak
mampu mengerjakan hal paling sederhana berdiri dalam antrian, naik tangga, ?bahkan tidur selama lebih dari empat jam tanpa nyeri tibatiba yang
?digambarkannya sebagai "seseorang meremas otot punggungku."
Aku bertanya pada istrinya, seorang wanita tinggi yang usianya beberapa tahun
lebih muda dari suaminya, bermata indah dan sayu, apakah ia pernah berpikir
bahwa suaminya berpurapura merasakan nyeri. Ia mengatakan bahwa setiap hari
selama sepuluh tahun ini ia menyaksikan nyeri itu dan menjalani kehidupan
bersama suaminya dengan ambang batas nyeri yang terus meningkat. Dia melihat
betapa nyeri itu membuat suaminya begitu kesakitan sehingga ia tahu tidaklah
mungkin suaminya berpurapura. Suaminya berusaha membawakan barang belanjaan, dan
lalu dengan wajah malu terpaksa menyerahkannya kembali beberapa saat kemudian.
Walaupun suaminya suka menonton, mereka sudah tidak pernah pergi ke bioskop
beberapa tahun ini. Kadang nyeri yang dirasakan ketika bergerak begitu hebatnya
sehingga ia terpaksa mengompol karena terlalu sakit jika harus berjalan ke kamar
mandi. Namun, ada beberapa hal tentang nyeri itu yang membingungkan perempuan itu dan
membuatnya bertanya dalam hati apakah nyeri itu adanya dalam kepala sang suami.
Ia memerhatikan bahwa bila suaminya sedang cemas atau gelisah, nyeri itu lebih
hebat, dan bila suaminya dalam suasana hati yang bagus atau sedang asyik dengan
sesuatu, nyeri itu bisa hilang. Ada saatsaat depresi yang tampaknya menimbulkan
kejat otot hebat tanpa peduli apa pun yang sedang dikerjakannya. Seperti dokter, si istri pun
bertanya-tanya bagaimana bisa nyeri itu begitu melumpuhkan padahal tak ada
kelainan fisik yang menimbulkannya. Dan bagaimana dengan suasana yang cenderung
mendatangkan serangan nyeri perasaan, pikiran, bahkan kadang tidak ada
?pemicunya sama sekali" Semua pertanyaan itu memenuhi pikirannya dan menuntut
suatu penjelasan. Tetapi, kenyataan yang menyedihkan adalah Roland Scott Quinlan
bukanlah kasus luar biasa. Di kalangan penderita nyeri kronis, kasus ini boleh
dikatakan kasus biasa. Dr. Edgar Ross, seorang ahli anestesiologi berusia empat puluhan adalah direktur
pusat pengobatan nyeri kronis di Brigham and Women's Hospital di Boston, tempat
Quinlan berobat. Pasien datang berobat ke Dr. Ross dengan berbagai macam nyeri
yang dapat kita bayangkan: sakit pinggang, nyeri leher, nyeri artritis, nyeri
seluruh tubuh, nyeri saraf, nyeri akibat AIDS, nyeri panggul, sakit kepala
kronis, nyeri fantom kaki. Biasanya mereka sudah berobat ke banyak dokter dan
mencoba berbagai macam terapi termasuk pembedahan, tetapi tak ada hasilnya.
Ruang tunggu pusat pengobatan itu mirip dengan tempat praktik dokter lainnya.
Lantainya berkarpet biru, tumpukan majalah lama, dan deretan pasien tanpa
ekspresi yang duduk diam bersandar ke dinding. Sebuah lemari kaca memperlihatkan
kumpulan surat ucapan terima kasih. Tetapi, ketika aku mengunjungi Dr. Ross,
kulihat aneka surat itu bukan semacam surat kesaksian yang sering dipajang para
dokter. Para pasien itu bukan berterima kasih karena telah sembuh dari nyerinya.
Mereka berterima kasih kepada dokter karena telah menanganinya dengan sungguhsungguh karena percaya bahwa nyeri yang mereka derita itu nyata. Sebenarnya, ?dokter semacam diriku juga sangat berterima kasih kepada para spesialis nyeri
ini. Walaupun kami ingin memperlihatkan perasaan yang netral kepada pasien, kami
akui bahwa pasien nyeri kronis adalah sumber kekecewaan dan rasa tak berdaya
kami: mereka datang mengeluhkan penyakit yang tidak dapat kami jelaskan dan
tidak dapat kami sembuhkan, mereka menggoyahkan keyakinan kami bahwa kami adalah
dokter yang kompeten dan pintar. Kami sangat gembira ada orang seperti Dr. Ross
yang bersedia mengambil pasien itu dari kami.
Ross mengajakku masuk ke kantornya. Dengan suara lembut dan tidak tergesa, ia
memperlihatkan sikap menenangkan yang sangat cocok untuk pekerjaannya. Jenis
masalah yang dihadapi Quinlan, katanya, adalah jenis yang paling sering
ditemuinya. Nyeri pinggang kronis sekarang ini menduduki tempat kedua setelah
selesma, sebagai penyebab mangkir bekerja, dan menghabiskan sekitar 40 persen
biaya kesehatan untuk pekerja. Bahkan, seperti ada semacam wabah nyeri pinggang
di Amerika sekarang ini, dan tak ada yang dapat menjelaskan sebabnya.
Berdasarkan kesepakatan, kami menganggapnya sebagai suatu masalah mekanis akibat
tekanan berlebihan pada tulang belakang. Karena itu, sudah selama kira-kira enam
puluh tahun kami menyelenggarakan berbagai program di tempat bekerja, bahkan
sekarang ada "sekolah punggung" yang antara lain mengajarkan cara "mengangkat
barang dengan benar." Walaupun jumlah pekerja yang bekerja dengan tangan semakin
berkurang, justru semakin banyak orang yang menderita nyeri pinggang kronis.
Penjelasan tentang sebab mekanis boleh dikatakan selalu salah, kata Ross. Memang
benar, mengangkat barang dengan cara yang salah dapat menyebabkan otot tertarik
atau cakram tulang belakang tergelincir. Tetapi, cedera otot seperti itu dapat
terjadi pada siapa saja, kapan saja, dan pada kebanyakan orang hal itu tak
menimbulkan masalah yang menetap. Banyakpenelitian telah dilakukan untuk
menemukan faktor fisik yang dapat dipakai untuk meramalkan nyeri pinggang akut
yang mana yang akan berkembang menjadi nyeri kronis, tetapi sampai sekarang
belum ada penelitian yang berhasil menemukannya. Misalnya, dokter sering
menganggap bahwa cakram yang rusak dapat menyebabkan nyeri, tetapi penemuan
akhirakhir ini tidak dapat membuktikannya. Pemeriksaan MRI (magnetic resonance
imaging) tulang belakang memperlihatkan bahwa kebanyakan orang yang tidak
menderita nyeri pinggang, cakramnya menonjol. Sebaliknya, sebagian besar pasien
nyeri pinggang kronis, seperti Quinlan, ternyata tidak memperlihatkan kelainan
struktur. Bahkan pada mereka yang punya kelainan pun, tidak ada hubungan antara
nyeri yang hebat dan parahnya kelainan.
Bila kondisi pinggang kita tidak dapat digunakan untuk meramalkan apakah kelak
kita akan menderita nyeri pinggang kronis, apa yang dapat dijadikan patokan" Ya,
itulah hal biasa yang biasanya tidak dibahas oleh dokter maupun pasien. Berbagai
penelitian menuduh faktor "nonfisik" seperti kesepian, terlibat masalah hukum,
penerimaan santunan oleh pekerja, dan rasa tidak puas dalam pekerjaan.
Perhatikan, misalnya, wabah sakit pinggang di kalangan medis sendiri. Pemberi
asuransi pernah menganggap dokter sebagai pelanggan yang ideal. Tidak ada
hal yang dapat menghentikan seorang dokter bekerja bertahuntahun berdiri di
?samping meja operasi, serangan artritis, bahkan juga usia tua. Perusahaan
asuransi mencoba bersaing dengan menawarkan premi yang lebih rendah dan manfaat
yang lebih banyak untuk membuat bisnisnya menarik. Tetapi, pada beberapa tahun
terakhir ini, jumlah dokter yang menderita sakit pinggang atau leher meningkat
tajam. Sudah jelas sekali, dokter bukan orang yang tibatiba harus mengangkat
beban berat. Tetapi, telah ditemukan satu faktor risiko: dengan meningkatnya
peranan perawatan yang dikelola dengan baik, kepuasan kerja profesi medis
menurun tajam. Penjelasan tentang nyeri yang mendominasi sebagian besar sejarah medis berasal
dari Rene Descartes, lebih dari tiga abad yang lalu. Descartes mengemukakan
bahwa nyeri merupakan fenomena fisik murni yaitu cedera jaringan merangsang ?saraf tertentu yang menyampaikan sinyal itu ke otak sehingga pikiran mencerap
(merasakan) rasa yang disebut nyeri. Fenomena itu, katanya, ibarat kita menarik
tali yang menyebabkan lonceng di otak berbunyi. Sulit untuk menggambarkan betapa
rumitnya peristiwa ini. Penelitian abad kedua puluh tentang nyeri terutama
ditujukan untuk mencari dan menemukan serabut saraf yang khusus berperan dalam
mengurus sensasi nyeri (sekarang dikenal sebagai serat delta-A dan C) dan jalur
kerjanya. Dalam kedokteran sehari-hari, dokter memandang nyeri berdasarkan
penggambaran Descartes sebagai suatu proses fisik, suatu tanda cedera jaringan.
?Kami mencari cakram tulang belakang yang patah, tulang yang patah, infeksi, atau
tumor, dan kami mencoba memperbaikinya.
Namun, keterbatasan penjelasan mekanis ini berlangsung cukup lama, Selama Perang
Dunia Kedua, misalnya, Letnan Kolonel Henry K. Beecher mengadakan penelitian
klasik di kalangan prajurit yang menderita cedera berat dalam peperangan.
Menurut pandangan para penganut Descartes, beratnya cedera akan menentukan
hebatnya nyeri, ibarat tombol pengatur volume radio. Tetapi, 58 persen dari
mereka yang menderita patah tulang multipel, luka tembak, tungkai
?remuk ternyata hanya menderita nyeri ringan atau tidak merasa nyeri sama
?sekali. Hanya 27 persen dari prajurit itu yang merasakan nyeri yang cukup berat
sehingga memerlukan obat, padahal bagi orang biasa yang bukan tentara, luka
demikian membutuhkan narkotik untuk menghilangkan nyerinya. Jelaslah, sesuatu
yang ada di dalam pikiran para prajurit itu Beecher berpendapat bahwa mereka
?begitu bersyukur dapat selamat dari keganasan medan perang melawan sinyal yang
?dikirim dari cederanya. Nyeri dikenal sebagai proses yang lebih rumit daripada
sekadar penyampaian pesan satu arah, dari cedera ke keluhan "aduh!"
Pada tahun 1965, seorang psikolog Kanada, Ronald Melzack, dan ahli faal Inggris,
Patrick Wall, mengusulkan agar model Descartes digantikan oleh apa yang mereka
sebut Teori Gerbang Kendali Nyeri. Melzack dan Wall mengemukakan bahwa sebelum
sampai ke otak, sinyal nyeri harus melewati suatu mekanisme gerbang di sumsum
tulang belakang, yang dapat dilalui oleh sinyal ke atas atau ke bawah. Pada
beberapa kasus, gerbang hipotetis ini dapat menghentikan impuls nyeri sehingga
tidak sampai ke otak. Bahkan, tak lama kemudian para peneliti menemukan gerbang
nyeri itu di bagian sumsung tulang
belakang yang disebut tanduk belakang. Teori ini menjelaskan teka-teki mengapa
usapan pada kaki yang nyeri menyebabkan nyerinya hilang. (Usapan itu menimbulkan
sinyal yang dikirim ke tanduk belakang yang menutup gerbang untuk impuls nyeri
yang berasal dari tempat di sekitarnya).
Penemuan Melzack dan Wall yang paling mengejutkan adalah bahwa yang
mengendalikan gerbang itu bukan hanya sinyal dari saraf pengindera, tetapi juga
emosi dan "keluaran" lain dari otak. Mereka mengatakan bahwa menarik tali itu
belum tentu akan menyebabkan lonceng di otak berbunyi. Lonceng itu
sendiri pikiran dapat menghentikan bunyinya. Teori mereka telah memicu banyak
? ?penelitian untuk mempelajari bagaimana faktor seperti suasana hati (mood), jenis
kelamin, dan keyakinan dapat memengaruhi sensasi nyeri. Pada suatu penelitian,
misalnya, peneliti mengukur ambang nyeri dan tingkat ketahanan (toleransi) 52
orang penari dari sebuah kelompok balet Inggris dan 53 mahasiswa menggunakan
metode baku yang disebut uji tekanan dingin. Pengujian ini sebenarnya sederhana
saja. (Aku mencobanya sendiri di rumah). Setelah merendam tangan dalam air
bersuhu sama dengan suhu tubuh selama dua menit untuk mendapatkan kondisi awal,
masukkanlah tangan ke baskom berisi air es dan mulailah menghitung waktunya.
Catat saat ketika tangan mulai terasa sakit: itulah ambang nyeri. Kemudian,
catat saat ketika nyeri itu tak tertahankan lagi sehingga tangan harus
dikeluarkan dari air: itulah tingkat ketahanan. Pengujian itu harus dihentikan
setelah 120 detik untuk mencegah terjadinya cedera.
Hasilnya sangat mengesankan. Rata-rata, mahasiswi
mulai merasakan nyeri setelah detik keenam belas dan mereka menarik tangannya
setelah 37 detik. Penari balet perempuan bertahan sampai hampir tiga kali lebih
lama pada kedua angka itu. Lelaki pada kedua kelompok memperlihatkan ambang dan
ketahanan yang lebih tinggi seperti yang memang sudah diperkirakan, sebab ?beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa perempuan lebih peka daripada
lelaki terhadap nyeri, kecuali pada minggu-minggu terakhir kehamilan tetapi,
?perbedaan antara lelaki penari dan lelaki bukan penari ternyata cukup besar.
Bagaimana menjelaskan perbedaan ini" Mungkin ini berhubungan dengan aspek
psikologi penari balet kelompok yang terkenal dengan disiplin diri, kebugaran
?fisik, dan semangat kompetisi, dan juga lebih sering mendapat cedera kronis.
Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kepribadian mereka yang tangguh dan budaya kompetisinya terbukti membuat mereka
lebih tahan terhadap nyeri: itulah sebabnya mereka dapat tampil walaupun dalam
keadaan keseleo atau patah tulang, dan mengapa separuh dari semua penari
mengalami cedera jangka lama. (Sama seperti lelaki bukan penari, aku mulai
merasakan nyeri setelah 25 detik; tetapi aku dapat membiarkan tanganku tetap
dalam baskom es selama 120 detik. Silakan menduga-duga arti penemuanku ini
terhadap kepatuhan/disiplin yang tertanam pada residen bedah.)
Penelitian lain tentang masalah ini memperlihatkan bahwa orang yang bersifat
membuka diri (ekstrover) lebih tahan terhadap nyeri dibandingkan dengan orang
yang tertutup, para pencandu obat memiliki ambang dan ketahanan yang lebih
rendah, dan bahwa dengan latihan, orang dapat mengurangi kepekaannya terhadap
nyeri. Ada juga bukti kuat bahwa sugesti mental yang sangat
sederhana dapat memperlihatkan efek kuat terhadap nyeri. Dalam suatu penelitian
pada lima ratus pasien yang menjalani tindak penanganan gigi, kelompok yang
menerima suntikan plasebo (obat bohong: tablet/kapsul yang bukan berisi obat)
berikut penjelasan bahwa suntikan itu akan mengurangi nyerinya, paling sedikit
mengeluh nyeri, bukan hanya lebih sedikit daripada kelompok yang menerima
plasebo tanpa penjelasan, tetapi juga dari pasien yang mendapatkan anestetik
tanpa penjelasan apa-apa tentang efeknya. Sekarang, sudah banyak bukti
memperlihatkan bahwa otak ternyata berperanan aktif dalam pengalaman nyeri ini,
bukan sekadar sebagai lonceng yang digoyang oleh tali. Sekarang, setiap buku
kedokteran mengajarkan Teori Gerbang Kendali sebagai fakta. Tetapi, ada masalah
tentang itu. Teori itu tidak menjelaskan apa yang terjadi pada orang semacam
Roland Scott Quinlan. Teori Gerbang Kendali menerima pandangan Descartes bahwa yang kita rasakan
sebagai nyeri adalah sinyal dari jaringan yang cedera yang disampaikan oleh
saraf ke otak, dan teori itu memperkuat bukti bahwa otak mengendalikan sebuah
gerbang untuk sinyal nyeri semacam itu. Tetapi, pada kasus nyeri pinggang kronis
Quinlan, mana cederanya" Atau pada nyeri fantom di tungkai. Setelah tungkai
diamputasi, kebanyakan orang akan mengalami nyeri membakar atau kejat yang
menetap, yang terasa persis seperti ketika tungkai itu masih ada. Tetapi, tanpa
tungkai, tidak ada impuls saraf yang masuk ke gerbang. Jadi, dari mana datangnya
nyeri itu" Tali dan penariknya tidak ada, tetapi lonceng itu tetap bisa
berbunyi. Pada suatu hari di musim semi 1994, Dr. Frederick Lenz, seorang ahli bedah saraf
di RS John Hopkins membawa ke meja operasinya seorang pasien yang mengeluh
tremor (gemetaran) berat di tangan. Pasien itu, yang kusebut saja Mark Taylor,
baru berusia 36 tahun, tetapi selama bertahuntahun tangannya gemetaran hebat
secara tak terkendali sehingga kerja yang sangat sederhana pun menulis,
?memasang kancing baju, minum dari gelas, atau mengetik pada komputer dalam
kerjanya sebagai agen pembelian terasa sangat sulit. Obat tak dapat
?menyembuhkan, dan ia berulang kali kehilangan pekerjaan akibat masalahnya ini.
Dalam keputusasaan untuk kembali hidup normal, ia setuju untuk menjalani operasi
yang sangat sulit: operasi otak yang mungkin dapat merusak sel-sel dalam
struktur kecil di otak yang disebut talamus, yang sudah dikenal sebagai organ
yang berperan dalam perangsangan berlebihan pada tangan seperti itu.
Tetapi, Taylor punya masalah besar lain: selama tujuh belas tahun ia berjuang
menghadapi kelainan panik yang berat. Setidaknya sekali dalam seminggu, ketika
ia sedang bekerja pada komputernya atau ketika sedang di rumah menyuapi anaknya
di dapur, ia tibatiba merasakan nyeri dada hebat seperti nyeri pada serangan
jantung. Jantungnya berdebar keras, telinganya berdenging; napasnya jadi sesak
dan ia merasakan ada dorongan kuat untuk lari. Namun, psikiater yang disarankan
oleh Lenz untuk didatangi Taylor meyakinkannya bahwa kelainan itu tidak perlu
menghalanginya untuk menjalani operasi.
Mula-mula, kata Lenz, segalanya berlangsung seperti yang diharapkannya. Ia
menyuntikkan anestetik lokal operasi dilakukan sementara pasien sadar dan ia ? ?melubangi puncak tengkorak Taylor dengan bor kecil. Kemudian, dengan hatihati ia
memasukkan pengajuk (probe) listrik yang panjang dan halus jauh ke dalam, masuk
langsung ke talamus, Lenz berbicara dengan Taylor selama operasi berlangsung,
memintanya menjulurkan lidah, menggerakkan tangan, dan melakukan berbagai macam
tugas untuk memperlihatkan bahwa ia baik-baik saja. Bahaya dari operasi seperti
ini adalah bahwa mungkin terjadi perusakan sel yang salah: sel talamus yang
menyebabkan tremor terletak sangat dekat, tak sampai satu milimeter jaraknya
dari sel yang justru penting untuk fungsi merasakan dan aktivitas gerak. Jadi,
sebelum menyolder dengan pengajuk kedua yang lebih besar, si ahli bedah harus
menemukan dulu sel yang tepat dengan merangsangnya dengan kejutan listrik halus.
Pengajuk itu sudah berada di bagian talamus Taylor yang diberi label Situs 19
oleh Lenz, dan ia mengejutkannya dengan listrik tegangan rendah. Ia sudah
melakukan operasi ini ribuan kali, dan biasanya, demikian katanya, kejutan
listrik di tempat itu membuat orang merasa lengan bawahnya seperti ditusuktusuk. Itulah yang dirasakan oleh Taylor. Lenz kemudian merangsang daerah di
dekatnya yang diberi label Situs 23 yang bila dirangsang akan menimbulkan rasa
kesemutan biasa dan ringan di dada. Tetapi, kali ini Taylor merasakan nyeri yang
tidak biasa dan jauh lebih hebat itulah nyeri dada yang khas dirasakannya pada
?serangan panik, bersamaan dengan rasa tercekik dan rasa seperti akan mati yang
selalu menyertai kedua gejala itu. Nyeri ini membuatnya berteriak dan hampir
melompat dari meja operasi. Ketika Lenz menghentikan rangsangan itu, sensasi itu
hilang dan Taylor tibatiba kembali tenang. Karena bingung, Lenz merangsang Situs
23 sekali lagi, dan ternyata itu menyebabkan efek serupa. Ia menghentikannya, mohon maaf kepada
Taylor karena telah menimbulkan rasa tak nyaman, dan melanjutkan mencari sel
yang mengendalikan tremornya, kemudian menyoldernya. Operasi itu berhasil baik.
Setelah Lenz menyelesaikan operasi itu, pikirannya berpacu. Baru satu kali
sebelum ini ia melihat efek yang seperti itu. Itu terjadi pada wanita 69 tahun
yang punya riwayat panjang tentang kesulitan mengatasi nyeri angina (nyeri
seperti serangan jantung) yang muncul bukan hanya ketika sedang melakukan kerja
fisik berat, tetapi juga ketika melakukan kerja fisik ringan yang seharusnya
tidak membebani jantungnya. Ketika melakukan operasi yang sama pada perempuan
itu, ternyata perangsangan bagian mikroskopis dari otaknya, yang biasanya memicu
kesemutan ringan di dada, justru menimbulkan, seperti pada Taylor, nyeri dada
yang lebih berat yang biasa menyerangnya itu sensasi yang digambarkan si pasien
?sebagai "rasa diremas, dalam, menakutkan." Dampaknya mungkin mudah hilang,
tetapi Lenz menghabiskan bertahuntahun mempelajari nyeri dan menyadari bahwa ia
telah menyaksikan suatu efek yang penting dan sangat kuat. Seperti yang kemudian
dikemukakannya dalam laporan yang diterbitkan dalam majalah Nature Medicine,
respons pada kedua pasien itu sangat berlebihan untuk rangsangan yang
diberikannya. Rangsang yang pada kebanyakan orang hanya menimbulkan kesemutan,
sangat menyiksa bagi mereka. Daerah otak yang mengendalikan sensasi biasa
menjadi terangsang secara abnormal berkobar hebat sebagai respons atas
?rangsang yang sama sekali tidak berbahaya. Pada kasus wanita itu, sakit dadanya
dimulai sebagai tanda dari penyakit jantung,
tetapi sekarang muncul dalam keadaan yang tidak ada hubungannya dengan serangan
jantung. Bahkan lebih aneh lagi, pada kasus Taylor, nyeri itu dimulai tidak
dengan suatu gangguan fisik, tetapi dengan kelainan paniknya yang dikenal
sebagai suatu kondisi psikologis. Penemuan Lenz menunjukkan bahwa, pada
kenyataannya, semua nyeri "adanya di kepala" dan lebih lanjut, bahwa kadang tak
?perlu ada cedera fisik apa pun untuk membuat sistem nyeri itu kacau, seperti
pada Mark Taylor atau mungkin Roland Scott Quinlan.
Ini teori terbaru tentang nyeri. Penganut utamanya, sekali lagi, Melzack, yang
meninggalkan Teori Kendali Gerbang pada akhir 1980-an dan mulai berbicara di
depan pendengar yang sulit dipengaruhi untuk mengubah sekali lagi pengertian
mereka tentang nyeri. Dengan bukti ini, katanya sekarang, kita harus berhenti
berpikir bahwa nyeri atau sensasi lainnya merupakan sinyal yang secara pasif
"terasa" di otak. Memang benar, cedera memang menghasilkan sinyal saraf yang
dikirim melalui gerbang di sumsum tulang belakang, tetapi otaklah yang membentuk
pengalaman nyeri itu, dan otak dapat melakukannya sekalipun tidak ada rangsangan
dari luar. Bila seorang ilmuwan gila melucuti tubuh kita sampai tinggal otak
saja di dalam tabung gelas, kata Melzack, kita akan tetap dapat merasakan
nyeri ya, kita dapat merasakan sensasi itu dalam rentang intensitas yang penuh.?Menurut teori baru itu, nyeri dan sensasi lainnya dice-rap sebagai "neuromodul"
di otak semacam program komputer dalam hard drive, atau seperti jalur (track)
?dalam CD. Bila kita merasakan nyeri, itu artinya otak sedang menjalankan
neuromodul yang menghasilkan sensasi nyeri, seolah ada orang menekan tombol PLAY
pada pemutar CD. Dan banyak sekali hal yang dapat menekan tombol itu (selain dokter
bedah saraf yang memberikan kejutan listrik pada sel saraf yang tepat dengan
arus bertegangan rendah). Seperti dijelaskan Melzack, neuromodul nyeri bukan
suatu kesatuan anatomi tersendiri, melainkan suatu jejaring yang menghubungkan
berbagai unsur dari hampir setiap bagian di otak. Masukan diterima dari saraf
sensorik, memori (ingatan), perasaan, dan berbagai pusat lainnya, ibarat para
anggota suatu panitia yang bertanggung jawab atas dimainkannya suatu orkestra.
Bila sinyalnya mencapai suatu nilai ambang, maka neuromodulnya akan terpicu.
Tetapi kemudian, yang terdengar bukan melodi dengan satu nada saja. Nyeri adalah
suatu imfoni suatu tanggapan rumit yang bukan saja berupa sensasi tertentu,
?tetapi juga melibatkan kegiatan motorik, perubahan emosi, pemusatan perhatian,
dan ingatan yang baru. Setelah munculnya berbagai penjelasan ini, tibatiba saja peristiwa jari kaki
terinjak bukan lagi sesuatu yang sederhana. Dalam teori ini, sinyal dari jari
itu harus melewati gerbang di sumsum tulang belakang, tetapi kemudian sinyal ini
bergabung dengan banyak sinyal lain di otak yang berasal dari ingatan,
?kesiagaan, perasaan, pengalihan perhatian. Semuanya, bersamasama mengaktifkan
neuromodul nyeri di jari. Tetapi, pada sebagian orang, rangsang fisik itu dapat
diabaikan dan jari yang terinjak itu tidak terasa nyeri. Sampai di sini tak ada
yang mengherankan. Tetapi, sekarang kita dapat membayangkan dan ini merupakan
?dampak radikal dari gagasan Melzack bahwa neuromodul yang sama dapat
?diaktifkan, menghasilkan nyeri pada jari kaki, walaupun kakinya tidak diinjak
sama sekali. Neuromodul itu, seperti halnya Situs
23 pada otak Mark Taylor, dapat dibuat siap untuk dirangsang oleh rangsangan
sekecil apa pun. Maka, hampir semua hal dapat menimbulkan sensasi itu: sentuhan,
rasa takut, kecewa yang datang tibatiba, atau sekadar ingatan.
Teori baru tentang psikologi nyeri itu, di luar dugaan, telah membantu
mengarahkan penelitian farmakologi untuk nyeri. Untuk para ahli farmakologi,
senjata pamungkas untuk nyeri kronis adalah sebuah pil yang lebih manjur
daripada morfin, tetapi tidak memiliki efek samping seperti ketergantungan,
kantuk, dan gangguan gerak. Bila masalahnya terletak pada sistem neuron yang
hiperaktif, maka yang dibutuhkan adalah obat yang dapat menekan hiperaktivitas
itu. Itulah sebabnya, dalam sepuluh tahun terakhir ini tampak perkembangan yang
aneh, para spesialis nyeri semakin sering meresepkan obat epilepsi semacam
karbamazepin dan gabapentin untuk pasien yang sulit diobati. Tetapi, beginilah
kerja obat itu: mengatur sel-sel otak untuk mengubah keterangsangannya. Sampai
saat ini, jenis obat ini hanya berhasil untuk sebagian orang Quinlan minum
?gabapentin selama enam bulan tanpa hasil apa-apa tetapi, perusahaan obat
?berusaha keras untuk menemukan generasi baru dari senyawa "yang menstabilkan
neuron" itu. Neurex, sebuah perusahaan bioteknologi di Silicon Valley(sekarang disebut Elan
Pharmaceuticals), beberapa waktu yang lalu mengembangkan suatu obat nyeri dari
racun liur (venom) siput laut Conus, berdasarkan teori di atas. Racun liur, tak
diragukan lagi, adalah suatu protein yang secara biologis sangat kuat dan,
berbeda dengan protein alami lain yang telah dicoba oleh para peneliti, racun
liur ini menghambat mekanisme tubuh untuk mencerna protein. Kiatnya adalah
menjinakkan racun itu, mengubahnya sehingga bermanfaat sebagai obat. Racun Conus
terkenal karena dapat mematikan dengan cara menghambat jalur khusus di otak yang
diperlukan agar neuron (sel saraf) dapat diaktifkan. Tetapi, dengan sedikit
mengubah strukturnya, para ilmuwan Neurex berhasil menciptakan Ziconotide, obat
yang hanya menekan sedikit saja jalur itu. Obat ini tampaknya hanya
menghilangkan keterangsangannya, tanpa memadamkan sel-sel otak. Pada uji klinik
tingkat awal, Ziconotide berhasil mengatasi nyeri kronis akibat kanker dan
akibat AIDS. Pereda nyeri (analgesik) generasi baru lainnya adalah ABT-S94 yang
dikembangkan oleh Abbott Laboratory, suatu senyawa yang mirip dengan racun yang
dihasilkan oleh katak Equador, Epibpedobates tricolor. Dalam percobaan pada
hewan yang dilaporkan dalam majalah Science, ABT-594 terbukti lima puluh kali
lebih kuat daripada morfin dalam menghilangkan nyeri. Beberapa perusahaan punya
obat nyeri lain yang juga sedang dikembangkan, termasuk kelas antagonis NMDA
yang juga bekerja dengan jalan mengurangi keterangsangan neuron. Salah satunya
mungkin akan menjadi pereda nyeri yang dibutuhkan oleh Quinlan dan pasien lain
yang seperti dia. Walaupun demikian, semua obat ini baru menyelesaikan sebagian dari masalah.
Masalah mendasar dalam penelitiannya adalah bagaimana mencegah sistem nyeri pada
pasien demikian agar tidak menjadi kacau. Riwayat yang dikemukakan oleh mereka
yang mengidap nyeri kronis selalu diawali dengan cedera. Jadi, dari riwayat itu,
kita berusaha mencegah nyeri kronis dengan cara mencegah terjadinya cedera otot
akut. Semua industri yang bergerak di bidang ergonomi mengembangkan produknya
berdasarkan gagasan ini. Tetapi, pelajaran yang dapat dipetik dari klinik nyeri
Dr. Ross dan pengalaman operasi Dr. Lenz adalah bahwa ternyata nyeri berasal
dari tempat lain, bukan dari otot dan tulang pasien. Bahkan beberapa bentuk
nyeri ternyata, secara mengherankan, bertingkah seperti wabah di masyarakat.
Di Australia, selama awal 1980-an, para pekerja, khususnya yang bekerja
menggunakan papan ketik komputer, mengalami wabah nyeri lengan yang melumpuhkan
yang disebut oleh dokter sebagai "cedera otot berulang" atau RSI (repetition
strain injury). Ini bukan sekadar kejat penulis yang ringan, tetapi nyeri hebat
yang dimulai dengan rasa tak enak ketika mengetik atau ketika mengerjakan
pekerjaan lain yang sifatnya berulang-ulang, dan yang terasa semakin nyeri
sehingga menjadi lumpuh. Rata-rata penderitanya terpaksa tidak bekerja selama 74
hari. Seperti halnya nyeri pinggang kronis, tidak ada kelainan fisik yang ajeg
dan tak ada pengobatan yang efektif, tetapi nyeri lengan itu menyebar seperti
penyakit menular. Sebelum 1981, gejala itu boleh dikatakan tidak ada, tetapi
pada puncaknya, pada 1985, banyak sekali pekerja yang terserang keluhan ini. Di
dua negara bagian Australia, RSI menyebabkan cacat pada 3D persen tenaga kerja
di beberapa industri; sementara itu, ada kelompok pekerja yang sama sekali tidak
terkena. Kelompok itu bahkan ada di antara pekerja di satu perusahaan. Pada
Telecom Australia, misalnya, angka kejadian RSI di kalangan operator telepon di
satu kota berbeda-beda di departemen yang berbeda. Para peneliti tidak dapat
menemukan hubungan antara RSI dan lingkungan fisik pekerja keberulangan ?kerjanya atau ergonomi alatnya.
Kemudian, mendadak seperti bermulanya, wabah itu menurun dan pada 1987 hilang
sama sekali. Pada akhir 1990-an, para peneliti Australia mengeluh bahwa mereka
tidak dapat menemukan pasien RSI dalam jumlah yang cukup untuk diteliti.
Nyeri pinggang kronis sudah lama kita kenal, tetapi sulit secara
konseptual bahkan secara politis untuk mengkaji ulang dan menemukan penyebab
? ?sosialnya, apalagi menemukan bagaimana faktor budaya membuat sistem nyeri
seseorang berubah. Wabah nyeri di Australia menunjukkan kekuatan berbagai faktor
itu untuk menimbulkan nyeri yang melumpuhkan dalam skala nasional, namun
pengetahuan kita tentang semua penyebab itu dan tentang pengobatannya masih
sangat kurang. Kita ketahui dari berbagai penelitian bahwa jejaring dukungan
sosial misalnya pernikahan yang bahagia dan pekerjaan yang memuaskan dapat ? ?melindungi terhadap nyeri pinggang yang parah. Kita tahu bahwa secara statistik,
bila seseorang dinyatakan menderita penyakit tertentu dan baginya tersedia
santunan kecacatan (dan karenanya juga pengakuan resmi), nyeri kronis yang
dideritanya terasa semakin parah. Di Australia, misalnya, banyak peneliti
berpendapat bahwa dua faktor utama yang menyebabkan epidemi itu adalah
menetapkan RSI sebagai suatu diagnosis dan tindakan yang terlalu dini dari
pemerintah untuk memberikan kompensasi asuransi untuk gejala itu sebagai
kecacatan akibat kerja. Ketika diagnosis itu tidak diakui oleh dokter, dan
santunan kecacatan sulit diperoleh, angka kejadian gejala yang berhubungan
dengan kelainan itu menurun tanjam. Dapat juga dilihat bahwa publikasi
sebelumnya tentang kemungkinan munculnya nyeri lengan dan kampanye bersama di
beberapa tempat untuk menggiatkan pelaporan nyeri lengan atau anjuran untuk
perubahan ergonomi ikut menyebabkan wabah. Akhirakhir ini, di Amerika Serikat,
timbul perdebatan tentang penyebab epidemi di tempat kerja yang serupa, yang
disebut dengan berbagai nama: cedera stres berulang, kelainan gerak berulang,
dan yang sesuai dengan tata nama mutakhir kelainan trauma kumulatif. Sekali
? ?lagi, faktor sosial tampaknya merupakan faktor risiko yang lebih penting ket
imbang faktor fisik. Nyeri pinggang dan nyeri lengan bukan satu-satunya yang dipengaruhi oleh sebab
nonfisik. Berbagai penelitian telah memperlihatkan bahwa kondisi sosial berperan
penting dalam berbagai sindrom nyeri kronis, beberapa di antaranya nyeri panggul
kronis, kelainan sendi rahang bawah, dan sakit kepala kronis. Sekali lagi,
janganlah hendaknya kita menuduh si penderita berpurapura merasakan nyeri ini.
Seperti dikemukakan Melzack, nyeri yang bukan berasal dari cedera fisik sama
nyatanya dengan nyeri yang berasal dari cedera fisik di otak, keduanya adalah
?sama. Karena itu, pendekatan yang sabar terhadap nyeri kronis berarti meneliti
aspek sosialnya, bukan hanya aspek fisiknya, karena penyelesaian masalah nyeri
kronis mungkin lebih ditentukan oleh apa yang terjadi di sekitar kita, bukan
oleh apa yang terjadi di dalam diri kita. Dari semua dampak teori baru tentang
Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nyeri, yang satu ini tampaknya adalah yang paling aneh dan paling tak
terjangkau: nyeri telah menjadi aset politik.><
fg - Rasa Mual Pada mulanya, rasa mual tampaknya bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Amy
Fitzpatrick sedang hamil delapan minggu anaknya kembar, seperti diperlihatkan
?dalam USG dan setelah melihat teman dan saudaranya menjalani kehamilan, ia
?mengerti bahwa mual merupakan hal yang lumrah dalam kehamilan. Tetapi, mualnya
yang pertama benarbenar terasa tidak nyaman. Ia sedang berada di jalan raya FDR
Drive di New York City, sedang mengendarai Honda Civic-nya menuju kantor,
menembus lalu lintas pagi yang kalut dan sibuk. Ketika melaju dengan kecepatan
delapan puluh kilo per jam, ia sadar bahwa ia ingin muntah.
Fitzpatrick adalah perempuan tinggi berusia 29 tahun dengan rambut tebal hitam
yang kontras dengan kulit Irlandianya yang putih berlesung pipi, dan wajah
remaja yang kadang membuat orang sering meremehkannya, padahal ia seorang
MBAdari Wharton. Ia tinggal di Manhattan, tempat suaminya bekerja sebagai bankir
investasi, dan ia berkendara ulang-alik ke Manhasset di Long Island, tempatnya
bekerja sebagai konsultan manajemen di North Shore Health System. Saat itu
adalah pagi di bulan Maret yang sejuk, dan ia segera mencari tempat untuk menepi
sebentar. Setelah keluar dari FDR dan berbelok menurun menuju
jembatan Triborough, kepalanya mulai pusing dan isi lambungnya bergolak. Ia
sedang mengalami keadaan yang oleh para ilmuwan disebut sebagai "fase prodomal
muntah." Liurnya bertambah, kadang begitu banyak. Pupil matanya melebar.
Jantungnya berdebar cepat. Pembuluh darah di kulit menciut (konstriksi), membuat
kulitnya pucat ilmuwan NASA menggunakan sensor kulit untuk mendeteksi mabuk
?udara pada para astronot, yang kadang tidak mau mengakui bahwa mereka merasa
mual. Orang merasakan keringat dingin. Kelelahan, dan biasanya kantuk, muncul
beberapa menit kemudian. Perhatian, refleks, dan konsentrasi menurun.
Ketika semua itu berlangsung, di lambungnya terjadi aktivitas listrik yang tidak
normal yang membuat lambung tidak bisa mengeluarkan isinya ke usus dan tidak
bisa mengendur. Esofagus (kerongkongan) berkerut sehingga bagian atas lambung
tertarik ke atas keluar dari rongga perut, masuk ke rongga dada melalui
diafragma (jaringan bentuk kubah yang membatasi rongga perut dan rongga dada),
membentuk semacam corong dari lambung ke esofagus. Kemudian, dalam satu gerakan
yang disebut "kontraksi balik yang kuat" isi bagian atas usus halus dikeluarkan
kembali masuk ke lambung sebagai gerakan awal sebelum muntah. Di usus halus
bagian bawah, kontraksi (gerak otot yang mengerut) berirama yang lebih kecil
mendorong isi usus masuk ke usus besar.
Ketika Fitzpatrick keluar melewati jalan menurun, jalan melebar membentuk
beberapa jalur seperti kipas, dan semua mobil di sekitarnya meliuk-liuk
berebutan posisi. Ia mencari tempat untuk menepi di sisi kanan jalan, tetapi tak
ditemukannya. Ia mulai memotong beberapa jalur untuk menuju ke sisi kiri,
berharap sampai pada tanah tak
bertuan antara jalan masuk ke gerbang tol dan jalan dari arah yang berlawanan.
Ia mulai bersendawa, dan ia merogoh kantong plastik belanjaan yang kosong. Lalu,
ia muntah. Beberapa percikan mengotori baju dan jaketnya. Sebagian lagi masuk ke
kantong yang dipegangnya dengan satu tangan. Tetapi, ia tetap mengawasi jalan
dan mengusahakan mobilnya tetap stabil dan keluar dari lalu lintas. Ia berhasil
menghentikan mobilnya, membungkuk dengan sabuk pengaman tetap terpasang, dan
mengeluarkan semua yang masih tersisa dalam lambungnya.
Gerak muntah itu sendiri terdiri atas dua fase. Fase sendawa melibatkan beberapa
kali kontraksi yang terpadu dari otot perut, otot diafragma, dan otot yang
bekerja untuk menarik napas. Sampai di situ, tak ada yang keluar. Pada fase
muntah, diafragma dan otot perut berkontraksi kuat dan lama, menimbulkan
tezkanan yang kuat pada lambung; bila esofagus dalam keadaan kendur, akan
terjadi semburan seperti ketika petugas pemadam kebakaran menyemprotkan air dari
selang air. Muntah biasanya membuat orang merasa lebih baik, setidaknya untuk sementara
waktu, tetapi Fitzpatrick tidak merasa lebih baik. Ia tetap duduk di mobilnya
sementara di luar mobil terus berseliweran, menunggu hilangnya rasa mual itu,
tetapi tetap saja terasa. Akhirnya, masih dengan rasa mual, ia menjalankan
mobilnya menyeberangi jembatan, kemudian berputar arah, pulang, dan terus naik
tempat tidur. Beberapa hari kemudian, ia mulai kehilangan nafsu makannya, dan
tidak dapat mencium bau-bauan yang tajam, Akhir minggu ini adalah Paskah, dan ia
bersama suaminya, Bob, berangkat dengan mobil ke Alexandria, Virginia, untuk
mengunjungi keluarga. Ia tidak dapat duduk tenang di mobil sehingga harus
berbaring telentang di jok belakang. Pasti diperlukan waktu beberapa bulan
sebelum ia dapat kembali ke New York.
Di rumah orang tuanya, gejala itu semakin hebat. Akhir minggu itu, ia tidak
dapat menelan makanan dan minuman sama sekali. Ia jadi benarbenar dehidrasi
(kekurangan cairan). Senin setelah Paskah, ia ke rumah sakit dan menghabiskan
beberapa jam di situ untuk mendapatkan cairan pengganti melalui infus di vena.
Ia mengunjungi ahli kandungan ibunya yang meyakinkannya bahwa mual dan muntah
adalah normal selama kehamilan, dan memberinya beberapa nasihat praktis yang
umum: hindari segala yang berbau tajam, jangan minum air dingin, dan usahakan
sesering mungkin makan makanan kecil misalnya kue kering atau makanan ?karbohidrat lainnya. Karena gejala yang terjadi pada Fitzpatrick masih normal,
si dokter tidak memberikan obat apa pun. Mabuk pada kehamilan, katanya, biasanya
hilang setelah minggu keempat belas kehamilan, paling lama minggu keenam belas.
Fitzpatrick memutuskan untuk memaksakan dirinya makan, tetapi tak ada yang dapat
ditelannya selain sedikit kue kering atau roti panggang. Pada akhir minggu itu
ia membutuhkan lagi cairan tambahan, dan dokter mengatur pengiriman perawat ke rumah orang tuanya untuk memasangkan infus ke
pembuluh venanya. Fitzpatrick terus saja merasa bahwa ia ingin muntah. Ia
sebenarnya seorang yang dapat makan apa saja, tapi sekarang bau makanan yang
paling sederhana pun membuatnya mau muntah. Ia biasanya senang naik jet coaster,
tapi sekarang duduk di mobil atau hanya berdiri atau mengangkat kepala saja
sudah menyebabkannya merasa sangat pusing. Ia tidak sanggup berjalan menuruni
tangga. Bahkan di tempat tidur, menonton TV atau sekadar membaca majalah pun
sudah membuat kepalanya pusing tujuh keliling. Beberapa minggu kemudian, ia
muntah lima atau enam kali sehari. Berat badannya turun enam kilo, padahal
sebagai wanita yang mengandung anak kembar seharusnya berat badannya naik.
Tetapi, yang paling buruk dari semuanya itu adalah perasaan bahwa ia tidak bisa
lagi mengendalikan hidupnya. Ia sudah bukan lagi seorang manajer eksekutif. Dia
kembali ke rumah tempatnya dibesarkan. Ibunya terpaksa mengambil cuti mengajar
di sekolah menengah untuk merawatnya. Ia merasa seolah ia seorang anak yang tak
berdaya. Apakah perasaan mual yang begitu aneh dan menyiksa ini" Masalah ini kurang
mendapat perhatian dalam pendidikan dokter, padahal muntah merupakan keluhan
yang paling sering, setelah nyeri, yang membuat orang pergi ke dokter. Gejala
ini juga merupakan efek samping yang khas dari obat. Untuk pasien bedah, muntah
setelah suatu pembiusan juga merupakan hal yang biasa sehingga baskom khusus
untuk muntah harus selalu tersedia di samping tempat tidur di ruang pemulihan.
Sebagian besar pasien yang mendapatkan kemoterapi selalu mengalami mual, dan
mereka selalu mengatakan bahwa itu adalah bagian yang terburuk dari
pengobatannya. Sekitar 6D sampai 85 persen wanita hamil mengalami mabuk pagi
atau "mabuk kehamilan," dan sepertiga dari mereka yang bekerja terpaksa tidak
masuk kerja karena perasaan mual ini. Pada sekitar lima dari seribu wanita
hamil, kondisinya sangat berat sehingga menyebabkan penurunan berat badan yang
cukup besar keadaan ini disebut "hiperemesis kehamilan." Dan, tentu saja, boleh?dikatakan kita semua pernah mengalami mabuk perjalanan. Mabuk laut,
pada masa Yunani kuno, merupakan masalah utama dalam angkatan bersenjata mereka.
(Kata nausea yang artinya mual, berasal dari kata Yunani yang berarti kapal).
Cybersickness masih tetap menjadi masalah dalam pengembangan piranti dunia maya.
Dan mabuk ruang angkasa merupakan masalah yang sering dihadapi para astronot,
walaupun jarang disebut-sebut.
Hal yang paling menonjol pada mual adalah bahwa rasa itu sangat tidak nyaman
(Cicero menyatakan bahwa ia "lebih baik mati daripada mengalami lagi sengsaranya
mabuk laut"), dan bukan hanya ketika mual itu menyerang. Lama setelah pudarnya
kenangan akan nyeri ketika bersalin, para ibu masih tetap ingat rasanya mual;
bahkan mual ini menjadi alasan bagi beberapa wanita untuk tidak mau hamil lagi.
Begitu hebatnya rasa mual itu. Orang yang patah kaki dalam bermain ski nyeri
?trauma yang paling hebat segera akan bermain ski kembali setelah sembuh.
?Sebaliknya, setelah pengalaman buruk dengan sebotol anggur, orang tidak akan mau
minum lagi selama bertahuntahun. Dalam buku Anthony Burgess, A Clockwork Orange,
pihak berwenang menyusun program untuk menghilangkan sifat kejam Alex dengan
cara mengaitkan dorongan amarahnya dengan perasaan mual, bukan dengan nyeri.
Pada suatu masa, penduduk kota di Jerman melakukan upaya serupa. Sebuah tulisan
dari tahun 1843 menggambarkan bahwa remaja nakal pada waktu itu biasanya
dikurung dalam sebuah kotak di halaman balai kota, kemudian polisi memutar kotak
itu dengan kecepatan tinggi sehingga para anak muda itu menjadi "tontonan yang
menjijikkan" bagi penonton yang berkerumun di tempat itu.
Rasa mual dan muntah yang sangat tidak menyenangkan itu memang ada manfaatnya
secara biologis. Muntah setelah memakan sesuatu yang beracun atau yang busuk
jelas ada manfaatnya: racun itu dikeluarkan. Dan perasaan tidak enak akibat mual
yang biasanya menyertai kejadian itu membuat Anda tidak akan mau makan makanan
seperti itu lagi. Inilah yang menjelaskan mengapa banyak obat, kemoterapi, dan
anestetik umum sering menimbulkan mual dan muntah: semua itu barang
beracun walau yang digunakan secara terkendali dan tubuh manusia dirancang
? ?untuk menolaknya. Sulit untuk menjelaskan mengapa beberapa hal menyebabkan mual dan muntah, tetapi
para ilmuwan mulai menyadari adanya kewajaran dalam rancangan alam. Kita mengira
bahwa mabuk kehamilan, misalnya, merupakan suatu keadaan yang secara evolusi
merugikan, sebab mudigah (embrio) yang sedang tumbuh itu memerlukan zat gizi.
Namun, dalam sebuah tulisan terkenal pada tahun 1992, seorang ahli biologi
evolusi, Margie Profet, mengemukakan argumentasi bahwa mabuk kehamilan
sebenarnya sesuatu yang bersifat melindungi. Ia mengatakan bahwa makanan alami
yang aman untuk orang dewasa sering tidak aman untuk mudigah. Semua tanaman
menghasilkan racun, dan dalam upaya agar kita dapat memakannya, tubuh berevolusi
mengembangkan sistem penetralan racun (detoksifikasi). Tetapi, sistem ini tidak
menyingkirkan racun kimiawi secara keseluruhan, dan mudigah bisa jadi peka
terhadap jumlah racun yang sangat kecil. (Sebagai contoh, racun kentang terbukti
dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan saraf pada janin hewan, walaupun pada
kadar yang tidak meracuni induknya; mungkin saja angka kejadian kelainan saraf,
spina bifida, yang tertinggi di dunia, yakni di Irlandia,
disebabkan oleh konsumsi kentang yang sangat tinggi.)
Mabuk kehamilan, menurut Profet, mungkin merupakan suatu evolusi agar mudigah
tidak terlalu sering mendapatkan racun alami. Ia mencontohkan bahwa wanita yang
mengalami mabuk kehamilan lebih suka makan makanan yang diolah sederhana yang
tidak mudah busuk (seperti roti atau sereal) dan biasanya menjauhi makanan yang
mengandung racun alami dalam kadar tinggi, seperti makanan pedas atau berbumbu
tajam, dan makanan produk hewani yang tidak segar. Teori ini juga menjelaskan
mengapa mabuk kehamilan itu terjadi pada tiga bulan (trimester) pertama
kehamilan. Itulah masa ketika mudigah membentuk organnya dan paling peka
terhadap racun; selain itu, mudigah ketika itu masih kecil dan kalori yang
dibutuhkan masih cukup dipasok dari cadangan lemak sang ibu. Secara keseluruhan,
wanita yang mengalami mabuk kehamilan sedang sampai berat jarang mengalami
keguguran jika dibandingkan dengan wanita yang mengalami mabuk ringan atau tidak
mabuk sama sekali. Manfaat mabuk perjalanan lebih sulit dijelaskan. Pada tahun 1882, seorang
psikolog Harvard, William James, mengamati bahwa sekelompok orang tuli ternyata
kebal terhadap mabuk laut, dan sejak itu perhatian yang besar diarahkan pada
peranan sistem keseimbangan (vestibuler) bagian di telingadalam yang ?memungkinkan kita menetapkan posisi tubuh dalam suatu ruang. Para ilmuwan sampai
pada keyakinan bahwa suatu gerak yang kuat merangsang sistem ini secara
berlebihan, menghasilkan sinyal di otak yang memicu mual dan muntah. Tetapi,
seperti dikatakan oleh Charles Oman, seorang ahli fisiologi ruang angkasa dari
MIT, teori ini tidak dapat menjelaskan
banyak hal tentang mabuk perjalanan: mengapa kegiatan semacam lari, meloncat,
atau berdansa hampir tidak pernah menimbulkan mabuk, sementara gerakan yang di
luar kendali kita misalnya diayun-ayun pada komidi putar dapat menyebabkan
? ?mabuk; mengapa pengemudi mobil atau pilot tidak serentan penumpangnya; dan
mengapa mabuk dapat berkurang dengan bertambah seringnya kita mengalaminya.
Mabuk perjalanan dapat terjadi tanpa ada gerak sama sekali misalnya, pada
?cybersickness, atau pada fenomena yang serupa, "cinerama sickness" yang terjadi
bila kita menonton film yang ditayangkan pada layar yang sangat besar. Oman
mendapati bahwa salah satu rangsangan yang sangat kuat untuk mabuk ruang angkasa
pada astronot adalah melihat astronot lainnya melayang jungkir-balik,
pemandangan itu dapat tibatiba menimbulkan rasa mual seolah Anda sendirilah yang
jungkir-balik itu. Para peneliti kini sudah tahu bahwa mabuk perjalanan terjadi ketika ada
kesenjangan antara gerak yang kita alami dan gerak yang kita duga akan kita
alami. Untuk menyeimbangkan posisi kepala pada bahu dan posisi tubuh pada
panggul dan kaki, kita memerlukan "kepekaan akan posisi tubuh" yang berfungsi
baik, yaitu sistem yang mencoba menduga adanya gerak berdasarkan masukan dari
penglihatan, otot, dan terutama telingadalam. Mual akan muncul bila otak
menerima masukan sensori yang tidak diduga sebelumnya misalnya pada seseorang
?yang merasakan lantai yang diinjaknya naik turun ketika untuk pertama kali
berlayar, atau pada seorang yang menggunakan helm virtual reality dan melihat
dirinya bergerak dalam dunia maya itu padahal tubuhnya sadar bahwa ia hanya
berdiri di tempat. (Memegang kemudi kendaraan-nya bisa mengurangi perasaan ini
karena ia merasa dapat mengendalikan geraknya). Secara sederhana, mabuk
perjalanan dapat disebut sebagai mabuk akibat gerak yang tidak dikenal.
Tetapi, mengapa gerak yang tidak dikenal itu membuat kita sengsara" Penjelasan
yang paling dapat diterima membuat kita harus kembali pada teori bahwa mual dan
muntah adalah suatu pencegahan terhadap racun. Selama masa Pleistocene, ketika
manusia sebagai spesies masih dalam tahap evolusi, orang tidak pernah mengalami
gerak pasif seperti yang dialami orang sekarang ketika berada di atas kapal atau
di mobil. Sensasi yang hampir sama dapat terjadi ketika orang menelan racun yang
menimbulkan halusinasi seperti yang terjadi pada orang yang minum terlalu ?banyak alkohol. Jadi, mual dan muntah yang terjadi dalam perjalanan mungkin
merupakan hasil sampingan modern dari sistem baku dalam tubuh untuk mengeluarkan
racun dan melatih diri untuk menjauhinya. Tetapi, teori ini masih belum teruji
seperti telah terujinya penjelasan mual dan muntah pada kehamilan. Dan masih
belum ada penjelasan yang meyakinkan tentang mengapa kecemasan, atau melihat
darah, atau melihat orang muntah, membuat orang merasa mual.
Walaupun mual dan muntah dapat membuat orang terbiasa, pada kasus hiperemesis
yang dialami Amy Fitzpatrick, gerak refleks itu sangat hebat dan tak terkendali.
Memang, sebelum Perang Dunia Kedua dan sebelum ada teknik modern untuk mengganti
cairan, hiperemesis biasanya mematikan, kecuali kemudian terjadi keguguran.
Sekarang pun, walau kematian sudah jarang, dapat terjadi cedera serius akibat
muntah termasuk pecahnya esofagus, kuncupnya paru-paru, dan pecahnya limpa. Tak
?ada yang berani mengatakan bahwa kondisi Fitzpatrick tergolong ringan. Harus
dilakukan sesuatu untuk menolongnya.
Ketika berat badan Fitzpatrick sudah turun sampai enam kilo, dokternya
meresepkan obat untuk menghentikan mual dan muntahnya dan memungkinkannya makan
dan minum kembali. Pertama, dokter memberinya Reglan, obat yang sering dipakai
untuk mengatasi mual akibat pembiusan. Fitzpatrick menggunakan alat yang dapat
memompakan obat itu ke kakinya selama 24 jam. Tetapi, cara itu ternyata tidak
menolong; sebaliknya, obat itu menimbulkan efek samping pada saraf yang cukup
menakutkan gemetaran, rahang kaku, kekakuan tubuh, dan kesulitan bernapas.
?Dokter kemudian mencoba obat kedua, Compazine, yang juga tidak memperlihatkan
efek apa-apa, dan kemudian yang lain, Phenergan, yang dimasukkan ke dubur, yang
membuatnya mengantuk, tetapi tidak mengurangi muntahnya.
Semua obat itu bekerja menyekat reseptor (bangun ultramikroskopis pada sel yang
merupakan tempat lekatnya zat kimia) dopamin di otak, suatu zat kimia yang
terdapat di otak. Tetapi, ada kelompok obat antimuntah terbaru yang beredar di
pasar sekarang ini, suatu penyekat reseptor serotonin, dan obat ini
diproklamirkan sebagai terobosan dalam pengobatan mual dan muntah. Obat-obat itu
tidak murah Zofran, yang paling laku, harganya 125 dolar atau lebih untuk
?sehari penelitian memperlihatkan bahwa semua obat itu dapat mengurangi muntah
?pada pasien kemoterapi dan juga pada beberapa pasien bedah. Tidak ditemukan
masalah cacat bawaan. Jadi, Fitzpatrick diberi Zofran melalui vena untuk
beberapa minggu, tetapi, sekali lagi, tidak ada perbaikan.
Dokternya juga melakukan pemeriksaan darah, pemeriksaan ultrasonografi (USG),
dan berkonsultasi kepada beberapa spesialis. Mual dapat juga menandakan adanya
sumbatan di saluran cerna, atau suatu infeksi berat, atau keracunan. Tetapi,
tidak ditemukan adanya penyebab lainnya.
"Saya tahu dokter sudah melakukan yang terbaik," kata Fitzpatrick dan ia pun
melakukan yang terbaik yang ia bisa. Ia hanya harus bertahan, katanya pada diri
sendiri dan sebagai seorang MBA ia dapat melakukan itu. Ia mempersiapkan baskom
plastik berbentuk ginjal yang diletakkan pada beberapa tempat strategis di
sekitar rumah dan suatu alat penghisap berujung plastik yang diletakkan di
samping tempat tidurnya untuk mengisap liur yang berlebihan dari mulutnya.
Walaupun begitu, hampir sepanjang hari, kalau tidak membungkuk untuk muntah, ia
Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya berbaring di tempat tidur dengan mata terpejam.
Sementara itu, beberapa orang keluarga dan teman secara sistematis mengumpulkan
informasi tentang pilihan pengobatan baik yang konvensional maupun yang nonkonvensional. Kadangkadang Fitzpatrick mencoba terapi herbal, pijit Cina dengan
air yang dicampur dengan lemon. Ia mencoba jahe setelah membaca suatu studi yang
memperlihatkan bahwa jahe mungkin efektif untuk kondisinya. Ia mencoba Sea-Band,
yakni balutan pada lengan yang memberikan tekanan secara menetap pada "titik
Neiguan" suatu titik di bagian dalam kedua lengan bawah, tiga jari di bawah ?alur pergelangan, di antara beberapa urat. (Meskipun akupresur dikabarkan manjur
untuk melawan rasa mual akibat kehamilan, kemoterapi, dan pergerakan, berbagai
penelitian tidak menunjukkan
efek yang sama.) Tidak satu pun dari semua itu mengurangi mualnya, walaupun ia
menikmati pijitannya. Yang lebih mengganggu adalah gejala itu tidak membaik dengan berjalannya waktu
seperti yang diharapkan oleh dokternya. Pada bulan keempat, mualnya masih
seperti sebelumnya ini kejadian yang sangat berlebihan. Dia tampak sangat
?sakit. Berat badannya turun delapan kilo. Dokter mengirimnya ke Rumah Sakit
Universitas George Washington untuk mendapatkan pelayanan kebidanan risiko
tinggi. Ia mendapatkan nutrisi intravena dan berat badannya mulai naik. Tetapi,
beberapa bulan berikutnya, ia menghabiskan waktu lebih banyak di rumah sakit
daripada di luar. Bagi dokternya, Fitzpatrick kini merupakan peringatan yang menakutkan tentang
kegagalan pasien yang keberadaannya merupakan ancaman bagi para dokter dan
?keahlian mereka. Berbagai dokter punya berbagai cara untuk menghadapi pasien
semacam ini, dan selama kejadian yang dialaminya itu, boleh dikatakan
Fitzpatrick sudah menemui semua dokter itu. Beberapa dokter mengatakan bahwa
dalam beberapa minggu keadaannya akan membaik. Salah seorang di antaranya
bertanya mungkin ia ingin kembali ke New York, dan ia punya kesan yang aneh
bahwa dokter itu hanya ingin terbebas dari kasusnya. Yang lain menganggap bahwa
ia kurang keras berusaha untuk makan, seolah mual itu dapat dikendalikan. Rasa
frustrasi para dokter itu kentara sekali. Belakangan, mereka menganjurkannya
untuk menemui psikiater. Ini bukan alasan yang tidak wajar. Kecemasan dan stres
dapat memengaruhi mual, dan ia sangat ingin mencoba apa saja yang dapat
menolong. Tetapi, Fitzpatrick berkata bahwa psikiater yang mengobatinya
terpaku pada kemungkinan ia menolak kehadiran anaknya dan ketidakmampuannya
berperan sebagai istri dan ibu. Sungguh mencengangkan, ternyata banyak sekali
dokter yang yakin dengan teori Freud bahwa hiperemesis disebabkan oleh penolakan
yang tak disadari terhadap kehamilan.
Keadaannya berkembang melampaui kemampuan dokter menangani, bahkan lebih buruk
lagi, mereka tidak dapat memahaminya. Tentu saja, Fitzpatrick kemudian mencari
cara untuk mengendalikan diri. Akhirnya, ia dan keluarganya mendesak tim dokter
untuk mencoba pengobatan yang mereka baca dalam sebuah tulisan tentang
pengalaman Maria Shiver dengan hiperemesis. Pengobatan itu berupa infus
droperidol, suatu penenang yang biasa digunakan untuk mengurangi mual dan muntah
pada pasien bedah. Dokter setuju untuk mencobanya. Namun, selama infus itu,
kondisi Fitzpatrick bahkan memburuk. Ia mulai muntah setiap sepuluh menit,
menyebabkan luka kecil di esofagus, dan mulai memuntahkan darah semangkuk penuh.
Penderitaannya tak kunjung berhenti. Tak jarang wanita pada kasus hiperemesis
terpaksa menggugurkan kehamilannya karena penderitaan yang berlebihan. Wanita
yang terbaring di seberang tempat tidurnya menggugurkan kehamilannya karena
hiperemesis, dan dokter menganjurkan hal yang sama pada Fitzpatrick. Ia tidak
mau mempertimbangkan itu, antara lain karena ia seorang Katolik yang taat, dan
juga karena setiap hari perawat datang dengan alat USG sehingga ia dapat
mendengar kedua jantung kecil itu berdenyut dalam rahimnya. Itu saja sudah cukup
untuk membuatnya bertahan.
Tidak ada antimuntah yang dapat digunakan untuk segala macam muntah. Tapel kulit
yang mengandung sko-polamin dapat mengurangi mabuk perjalanan dan muntah
pascabedah, tetapi tampaknya tidak menolong banyak untuk wanita hamil atau
pasien yang menjalani kemoterapi. Antagonis reseptor dopamin, Phenergan, efektif
pada banyak wanita hamil dan penderita mabuk perjalanan, tetapi tidak pada
pasien yang mendapat kemoterapi. Bahkan obat yang paling baru semacam Zofran
yang sering dipandang sebagai penisilin untuk kelas antimuntah, sering tidak
menolong. Zofran memang sangat manjur untuk mengatasi muntah pada kemoterapi dan
pembiusan, tetapi penelitian memperlihatkan bahwa Zofran tidak dapat menolong
penderita mabuk perjalanan atau orang yang mengalami hiperemesis kehamilan.
(Mengisap marijuana tampaknya manjur untuk pasien kemoterapi bila muntahnya
ringan, tetapi untuk wanita hamil, marijuana bersifat racun untuk mudigahnya,
seperti halnya tembakau).
Hal ini masuk akal kalau kita ingat bahwa mual adalah keadaan yang dapat dipicu
oleh rangsangan yang aneh seperti gerak yang tidak dikenal, bau busuk, obat
beracun, dan naik turunnya hormon selama kehamilan. Seperti dijelaskan oleh para
ilmuwan, otak memiliki program (atau "modul") muntah yang menerima dan
menanggapi semua jenis masukan: dari reseptor kimia di hidung, usus, dan otak;
dari reseptor yang mendeteksi kepenuhan lambung atau sentuhan pada anak lidah;
dari sensor gerak di telinga tengah; dari pusat yang lebih tinggi di otak yang
mengendalikan ingatan, suasana hati, dan pengenalan. Setiap obat mutakhir
tampaknya lebih memengaruhi beberapa jalur tertentu ketimbang jalur
lainnya. Jadi, efeknya berbeda pada kondisi yang berbeda.
Selanjutnya, walaupun kita sering mengira bahwa mual dan muntah adalah bagian
dari fenomena yang sama, sebenarnya keduanya berbeda, mungkin berasal dari
program yang berbeda di otak, dan obat yang manjur untuk mual belum tentu manjur
untuk muntah, dan sebaliknya. Muntah tidak selalu disertai mual. Aku ingat ada
seorang anak kelas enam sekolah dasar yang dapat muntah atas kemauannya tanpa ?mamasukkan jari atau apa pun ke tenggorokan walaupun ia tidak merasa mual sama
?sekali. Dan seorang penderita sindrom ruminasi, suatu keadaan yang jarang sekali
terjadi, punya kecenderungan yang tak dapat dijelaskan untuk mengeluarkan
makanan dari lambungnya ke mulut segera setelah makan ini juga tanpa rasa mual.
?(Mereka dapat menelan kembali makanan itu atau memuntahkannya, "bergantung pada
lingkungan sekitar," kata seorang ilmuwan dalam tulisannya). Sebaliknya, mual
yang berat sekalipun belum tentu diikuti muntah. Dan obat yang dapat
menghentikan muntah, tapi belum tentu menghilangkan mual hal yang sering tidak
?diketahui oleh perawat atau dokter. Misalnya, petugas medis sering sangat
terkesan dengan Zofran, tetapi pasien mungkin tidak sedemikian terkesan. Suatu
penelitian pimpinan Gary Morrow, peneliti perkara mual di Fakultas Kedokteran
Universitas Rochester, mendapati bahwa penggunaan luas Zofran dan obat
sekelompoknya telah mengurangi muntah pada pasien kemoterapi, tetapi tidak
mengurangi keparahan mualnya. Bahkan, pasien masa sekarang mengalami mual lebih
lama dibandingkan dengan pasien pada masa sebelum Zofran.
Para peneliti yang mengamati pasien kemoterapi kelompok sasaran para peneliti
?untuk mempelajari bagaimana timbulnya mual dan muntah menemukan sesuatu yang
?bahkan lebih mengejutkan. Para pasien ini mengalami tiga jenis mual dan muntah.
Jenis yang "akut" terjadi beberapa menit sampai beberapa jam setelah menerima
dosis toksik (dosis tinggi yang meracuni) obat kemoterapi dan kemudian hilang
secara bertahap persis seperti efek yang kita ramalkan dari racun. Tetapi
?kemudian, pada banyak pasien, mual dan muntah muncul kembali setelah satu dua
hari, ini mereka sebut "emesis tertunda." Dan sekitar seperempat dari pasien
kemoterapi bahkan mulai mengalami "mual dan muntah yang ditunggu," yaitu mual
dan muntah yang terjadi sebelum kemoterapi disuntikkan. Morrow telah mencatat
beberapa ciri menonjol dari mual jenis ini. Bila mual akut yang mengawalinya
lebih kuat, maka mual yang ditunggunya lebih parah. Semakin banyak daur
kemoterapi yang dijalani pasien, maka isyarat untuk terjadinya mual yang
ditunggu jadi lebih umum: muntah mulanya muncul ketika pasien melihat perawat
yang memberikan obat, kemudian muncul bila ia melihat perawat mana saja atau
mencium bau klinik, kemudian muncul ketika ia memarkirkan mobil di klinik untuk
mendapatkan kemoterapi pada waktunya. Morrow punya seorang pasien yang sudah
muntah ketika ia melihat tanda "exit" di jalan raya menuju ke rumah sakit.
Tentu saja reaksi ini merupakan hasil pengondisian psikologisyang sudah dikenal
itu efek "Clockwork Orange" yang bekerja. Pengondisian itu mungkin berperanan ?penting dalam memperpanjang mual pada keadaan lain, termasuk kehamilan. Bila
sudah terjadi muntah yang tertunda atau muntah yang ditunggu, obat terbaru
sekalipun tak dapat menolong. Penelitian oleh Morrow dan peneliti lainnya
menemukan bahwa hanya terapi perilaku lah yang dapat menyembuhkan muntah yang sudah ter-kondisikan, misalnya terapi
hipnosis atau teknik relaksasi, dan itu pun hanya pada beberapa pasien.
Menuntut Balas 26 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Pendekar Lembah Naga 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama