Ceritasilat Novel Online

Drama Di Ujung Pisau 4

Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande Bagian 4


Pada akhirnya sudah jelas bahwa persenjataan medis untuk melawan mual dan muntah
memang masih primitif. Karena seringnya masalah ini terjadi dan betapa orang mau
membayar banyak untuk terbebas dari masalah itu, perusahaan obat bersedia
menghabiskan dana milyaran dolar untuk menemukan obat yang lebih manjur. Merck,
misalnya, telah mengembangkan calon obat yang menjanjikan, sekarang dikenal
sebagai MK-869. Ini adalah salah satu dari kelas obat baru yang disebut
"antagonis zat P." Kelompok obat ini menarik banyak perhatian ketika Merck
mengumumkan bahwa kelompok ini tampaknya manjur secara klinis untuk mengobati
depresi. Namun, yang kurang diperhatikan adalah penemuan yang diterbitkan dalam
New England Journal of Medicine bahwa MK-869 sangat ampuh untuk mual dan muntah
pada pasien kemoterapi. Penemuan ini dianggap luar biasa, sedikitnya karena dua alasan. Pertama, obat
itu sangat mengurangi muntah akut maupun muntah yang tertunda. Kedua, MK-869
tidak saja dapat menghentikan muntah, tetapi juga mengurangi mual. Proporsi
pasien yang mengeluhkan mual yang tidak ringan dalam lima hari setelah
kemoterapi menurun dari 75 persen menjadi 51 persen dengan obat itu.
Tetapi, semua obat memiliki keterbatasan, dan betapa pun menjanjikannya obat
baru semacam itu, tetap saja akan gagal pada banyak pasien. Bahkan MK-869 pun
tidak dapat menghentikan mual pada separuh pasien kemoterapi. (Selain itu,
keamanan dan efektivitasnya untuk wanita hamil masih belum diketahui untuk
sementara waktu. Karena membahayakan dari segi medis maupun hukum, perusahaan obat tidak
berani mencobakan obat pada wanita hamil). Jadi, belum akan ada semacam morfin
untuk mengatasi mual, Mual yang hebat menjadi masalah yang menetap. Begitu pun,
suatu cabang ilmu baru di kedokteran yang disebut "kedokteran paliatif,"
mengejar sesuatu yang radikal: mengkaji penderitaan secara ilmiah. Dan yang
mengagumkan adalah bahwa mereka menemukan jalan keluar ketika ilmu lain tidak.
Para spesialis kedokteran paliatif adalah pakar dalam merawat pasien yang
sekarat khususnya dalam memperbaiki kualitas hidupnya, bukan memperpanjang
?hidupnya. Orang mungkin berpikir bahwa tidak diperlukan bidang spesialis khusus
untuk hal itu, tetapi bukti menunjukkan bahwa para spesialis ini memang lebih
baik dalam hal itu. Pasien yang sekarat biasanya mengalami nyeri hebat. Banyak
juga yang mengalami mual. Sebagian lagi fungsi parunya sangat buruk sehingga
walaupun mendapat cukup oksigen, mereka tetap hidup dengan napas yang sesak
mengerikan dengan perasaan seolah mereka sedang tenggelam dan tidak mendapat
?cukup oksigen. Mereka adalah pasien yang menderita penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, dan para spesialis paliatif sangat berhasil dalam menolong mereka.
Kuncinya sederhana, mereka menangani penderitaan itu dengan serius, sebagai
masalah yang memang benar ada. Dalam kedokteran, kami terbiasa memandang gejala
sebagai suatu petunjuk dari suatu teka-teki untuk menemukan penyakit dan apa
yang dapat dilakukan untuk menangani penyakit itu. Dan umumnya, memperbaiki
keadaan fisik yang salah membuang usus buntu yang terinfeksi, menyambung
?tulang yang patah, mengobati pneumonia merupakan cara yang tepat untuk
?mengurangi penderitaan (Aku tidak akan jadi dokter bedah kalau merasa pembedahan
tidak bisa meringankan penderitaan orang). Tetapi, itu tidak selalu berlaku
untuk mual. Pada umumnya, mual bukanlah tanda adanya kelainan fisik, melainkan
suatu tanggapan normal terhadap sesuatu seperti perjalanan atau kehamilan atau
?bahkan terhadap suatu pengobatan yang bermanfaat seperti kemoterapi atau
antibiotik atau anestetik umum. Pasiennya sendiri, boleh kami katakan "tidak
apa-apa," tetapi penderitaannya bukan main beratnya.
Coba perhatikan pentingnya berbagai tanda vital. Ketika pasien di rumah sakit,
setiap empat jam perawat mencatat semua tanda vital pada papan di kaki tempat
tidur untuk memberikan gambaran kepada dokternya tentang bagaimana keadaan
pasien dalam waktu tertentu. Ini dilakukan di mana pun di dunia ini. Berdasarkan
kesepakatan, empat tanda vital itu adalah suhu tubuh, tekanan darah, denyut
nadi, dan laju napas. Dan semua itu bercerita banyak pada kita tentang membaik
atau memburuknya keadaan fisik seseorang. Tetapi, semua itu tidak menunjukkan
pada kita tentang penderitaannya, tentang sesuatu yang lebih dari sekadar
keadaan fungsi tubuh. Para spesialis paliatif berusaha mengubah ini. Mereka
ingin nyeri tingkat ketidaknyamanan yang dilaporkan pasien dijadikan tanda ? ?vital kelima. Yang ingin diangkat oleh mereka adalah bahwa dokter harus
menyadari betapa sering mereka mengabaikan nyeri. Dan mereka mengembangkan
strategi penanganan nyeri yang lebih baik secara umum. Misalnya, sekarang sudah
jelas bahwa bila gejala mual (atau dalam hal paliatif: nyeri)
berat muncul dan berlanjut, maka gejala itu akan semakin sulit diobati dengan
cara apa pun. Pendekatan yang terbaik, yang dipelajari spesialis paliatif adalah
memulai pengobatan ketika gejala masih ringan atau pada beberapa keadaan,
?bahkan sebelum gejala muncul dan itu memang terbukti benar, baik pada penumpang
?yang akan naik kapal laut atau pasien kanker yang akan memulai kemoterapi. (The
American Society of Clinical Oncology telah mengumumkan panduan untuk menerapkan
cara pencegahan pada pasien kemoterapi). Pada masa ketika dokter tidak ragu
untuk memberikan antimuntah pada mabuk kehamilan biasa setidaknya sepertiga
?dari wanita hamil menggunakan obat demikian pada 1960-an dan 1970an hiperemesis lebih jarang terjadi. Tetapi, dokter kemudian meninggalkan
?praktik ini setelah beberapa tuntutan hukum memaksa obat terkenal Bendectin
ditarik dari peredaran karena menyebabkan cacat bawaan (padahal beberapa
penelitian tidak memperlihatkan adanya bahaya). Sekarang ini sudah menjadi cara
baku untuk menghindari pemberian obat sampai muntah sudah sangat parah dan
menimbulkan dehidrasi dan kelaparan, seperti halnya kasus Fitzpatrick. Jumlah
wanita yang dirawat karena hiperemesis kemudian meningkat dua kali lipat.
Namun, pengamatan yang mungkin paling mencolok oleh para spesialis paliatif
adalah bahwa ada perbedaan antara gejala dan penderitaan, Seperti dikemukakan
oleh dokter Eric J. Cassell dalam bukunya The Nature of Suffering and the Goal
of Medicine, untuk beberapa pasien, sekadar mendapatkan penjelasan tentang apa
?sumber kesengsaraan itu, memandang arti kesengsaraan itu dari sisi lain, atau
menerima saja kenyataan bahwa
kita tidak selalu bisa menjinakkan alam sudah cukup untuk dapat mengatasi
?penderitaannya. Jadi, dokter tetap bisa membantu, walaupun di saat obat tidak
berhasil mengobati. Amy Fitzpatrick mengatakan bahwa dokter yang paling disukainya adalah yang mau
mengakui bahwa mereka tidak tahu bagaimana menjelaskan mengapa dirinya terusmenerus merasa mual atau apa yang harus dilakukannya untuk mengatasinya. Para
dokter itu akan mengatakan bahwa mereka belum pernah menemukan kasus seperti
kasus dirinya, dan ia dapat merasakan bahwa mereka bersimpati padanya. Diakuinya
bahwa ia punya perasaan mendua tentang perawatannya di rumah sakit. Kadang, para
dokter itu membuatnya bertanya dalam hati apakah mungkin ia telah salah memilih
dokter, jika seandainya ada sesuatu yang luput dari perhatian mereka. Tetapi,
dengan semua pengobatan yang telah ia dan dokternya coba, mual itu tidak kunjung
hilang. Mual itu benarbenar tidak dapat dimengerti oleh siapa pun.
Bulan pertama merupakan perjuangan yang menakutkan dan mengerikan. Tetapi,
secara bertahap ia merasakan ada perubahan, semangatnya menjadi lebih kuat, dan
ia bahkan kadang berpikir bahwa semua itu tidak terlalu berat. Ia berdoa tiap
hari dan yakin bahwa si kembar yang tumbuh di dalam dirinya itu adalah karunia
Tuhan, dan dengan berlalunya waktu, ia memandang cobaan itu hanyalah sesuatu
yang harus dibayarnya untuk memperoleh kenikmatan itu. Ia berhenti mencari
keajaiban. Setelah kehamilan 26 minggu, ia minta agar semua percobaan untuk
mengobati dihentikan. Mual dan muntah itu menetap, tetapi ia tidak mau takluk.
Akhirnya, muncul tanda mulainya penyembuhan. Pada
minggu ketiga puluh, ia mendapati dirinya bisa makan beberapa jenis makanan
dengan kombinasi yang aneh dalam porsi kecil: steak, asparagus, tuna, dan es
krim mint. Dan ia dapat menelan minuman protein. Mualnya tetap ada, tetapi
sedikit berkurang. Pada minggu ke-33, Fitzpatrick mulai memasuki saat
persalinan, tujuh minggu lebih dini. Suaminya terbang dari La Guardia tepat pada
saat bayinya akan lahir. Dokter memperingatkannya bahwa bayi kembar itu mungkin
akan kecil, sekitar satu setengah kilo, tetapi pada 12 September pukul 10.52,
Linda lahir dengan berat 2 kilo 330 gram dan pada pukul 10.57 Jack lahir bahkan
dengan berat badan 2,5 kilo keduanya dalam kondisi prima.?Segera setelah persalinan, Fitzpatrick muntah sekali lagi. "Tapi, itu adalah
yang terakhir kali," katanya mengenang. Besok paginya, ia minum segelas besar
jus jeruk. Dan malam itu ia makan hamburger besar dengan keju biru dan kentang
goreng. "Lezatnya bukan main," katanya.><
Wajah Merona Pada bulan Januari 1997, Christine Drury menjadi pembawa acara malam pada
Channel 23 News di stasiun TV setempat yang merupakan afiliasi NBC di
Indianapolis. Dalam dunia berita televisi dan panggung wicara (talk shows),
begitulah dimulainya karier. (David Letterman memulai kariernya dengan
menyajikan ramalan cuaca mingguan di stasiun yang sama). Drury bekerja pada
giliran pukul 9 malam sampai pukul S dinihari, mengembangkan cerita dan, lewat
tengah malam membacakan buletin tiga puluh detik dan dua setengah menit. Kalau
sedang beruntung dan ada berita istimewa yang disiarkan secara langsung
(breaking news) di tengah malam, ia tampil lebih lama, meliput berita langsung,
baik dari ruang berita maupun di lapangan. Kalau ia sedang sangat
beruntung seperti ketika kereta api Conrail anjlok di Greencastle ia akan
? ?terus bertugas sampai ke acara pagi.
Drury berusia 26 tahun ketika ia mendapat pekerjaan itu. Sejak masih gadis kecil
yang tumbuh di Kokomo, Indiana, ia sudah bercita-cita bekerja di bidang
televisi, khususnya sebagai pembawa acara. Ia selalu menginginkan dirinya tampil
percaya diri dan anggun seperti perempuan di balik meja berita itu. Pada suatu
hari semasa ia di sekolah menengah atas, dalam acara belanja ke salah satu mal
di Indianapolis, ia melihat Kim Wood
yang ketika itu merupakan pembawa acara Channel 13 pada jam tayang prima. "Aku
ingin jadi dia," kata Drury dan pertemuan itu rupanya membuat cita-citanya
tampak dapat diraih. Di perguruan tinggi, di Universitas Purdue, ia mengambil
bidang telekomunikasi, dan pada suatu musim panas ia mengambil kesempatan magang
di Channel 13. Satu setengah tahun setelah wisuda, ia mengambil pekerjaan
peringkat bawah di situ sebagai asisten produksi. Ia menjalankan alat
TelePrompTer, menata posisi kamera, dan secara umum mengerjakan apa saja yang
disuruhkan padanya. Selama dua tahun berikutnya, ia mulai merintis jalan menjadi
penulis berita, kemudian akhirnya menjadi pembaca berita malam. Atasannya
melihat Durry sebagai calon pekerja yang ideal. Ia pandai menulis berita, begitu
kata mereka, punya suara yang cocok untuk TV, dan bukan kebetulan, ia "enak
dipandang" yang maksudnya dia cantik secara keseluruhan, sangat Amerika,
?seperti Meg Ryan. Ia punya gigi putih yang sempurna, mata biru, rambut pirang,
dan senyum yang cerah. Namun, selama tampil di acaranya, wajahnya selalu merona merah tanpa disadari.
Kejadian yang paling biasa saja sudah cukup untuk membuat wajahnya merona. Itu
bisa terjadi ketika ia sedang berada di depan kamera, membacakan berita, lalu ia
salah baca atau menyadari bahwa ia membaca terlalu cepat. Langsung wajahnya
memerah. Semacam sensasi panas mirip sengatan listrik mulai timbul di dada dan
kemudian menjalar ke leher, telinga, dan kulit kepalanya. Dalam istilah faal,
keadaan itu hanya menunjukkan adanya penyebaran balik aliran darah. Wajah dan
leher memiliki sangat banyak pembuluh vena yang dekat ke permukaan, dan pembuluh
itu dapat terisi lebih banyak darah dibandingkan dengan pembuluh
di tempat lain. Bila dirangsang oleh sinyal saraf tertentu, pembuluh ini akan
melebar, sementara pembuluh lain justru menciut: tangan akan pucat dan dingin
ketika wajah merona. Untuk Drury, yang lebih mengganggu daripada reaksi fisik
itu adalah ketegangan yang menyertainya: pikirannya jadi kosong; ia mendengar
suaranya sendiri menjadi gagap. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk menutup
wajah dengan kedua tangannya, untuk menghindar dari kamera, untuk bersembunyi.
Menurut Drury, wajahnya memang mudah sekali merona, dan dengan kulit Irlandianya
yang putih, rona wajahnya itu sangat nyata. Ia anak yang selalu tersipu dengan
wajah merona bila namanya dipanggil di kelas, atau ketika mencari tempat duduk
saat makan siang di sekolah. Sebagai orang dewasa, wajahnya dapat merona ketika
kasir di toko menahan antrian pembeli untuk menanyakan harga barang yang
dibelinya, atau saat diklakson orang ketika ia menyupiri mobilnya. Rasanya aneh
bahwa orang yang demikian ingin bekerja di depan kamera. Tetapi, Drury selalu
berjuang menghilangkan kecenderungan untuk merasa malu. Di sekolah menengah, ia
seorang pemandu sorak, ikut dalam tim tenis, dan terpilih untuk ikut menjadi
ratu pesta prom. Di Purdue ia ikut kegiatan tenis seuniversitas, jadi awak
perahu dayung bersama teman-temannya, dan diterima di organisasi mahasiswa Phi
Beta Kappa. Ia bekerja sebagai pelayan toko dan sebagai asisten manajer di
pertokoan Wal-Mart, bahkan memimpin staf setiap pagi dalam acara kumpul pegawai
di Wal-Mart. Kesukaannya bergaul dan kegiatan sosialnya membuatnya memiliki
teman dari berbagai kalangan.
Tetapi, ketika mengudara ia tidak dapat menghilangkan
serangan rona wajah itu. Bila Anda lihat rekaman awal-awal ia siaran melaporkan?meningkatnya denda karena ngebut di jalan, keracunan makanan di sebuah hotel,
seorang anak dua belas tahun dengan IQ 325 lulus dari perguruan tinggi rona
?wajahnya tampak jelas. Belakangan, ia mulai menggunakan kaus berleher tinggi dan
membubuhkan rias wajah yang lebih tebal. Wajahnya jadi sedikit lebih gelap,
tetapi rona merahnya boleh dikatakan tak terlihat.
Begitu pun, ada saja pemirsa yang mengatakan bahwa ada yang tidak beres.
Sekarang, ketika wajahnya memerah dan itu terjadi hampir setiap kali ia
?mengudara kita akan melihatnya mengejang, mata terpaku ke satu titik,
?gerakannya jadi kaku. Suaranya menjadi lebih cepat dan melengking. "Ia
benarbenar ibarat rusa yang disoroti sinar lampu," kata seorang produser di
stasiun itu, Drury sudah berhenti minum kopi. Ia mencoba teknik pengendalian napas. Ia
membeli berbagai buku pengembangan diri untuk orang-orang yang tampil di TV dan
berpurapura bahwa kamera adalah anjingnya, temannya, ibunya. Ia pernah mencoba
mengatur kepalanya diam pada posisi tertentu ketika sedang berada di depan
kamera. Semua itu tak ada hasilnya.
Dilihat dari jam tayangnya dan dengan penayangan yang sangat terbatas, menjadi
pembawa acara semalaman adalah pekerjaan yang tidak menarik. Orang biasanya
bertahan setahun, menyempurnakan keterampilannya, lalu pindah ke bagian yang
lebih baik. Tetapi, Drury tidak pindah ke mana-mana. "Dia jelas tidak siap untuk
tampil pada jam-jam siang," kata produsernya. Pada Oktober 1998, ketika sudah
hampir dua tahun bekerja, ia menulis dalam laporan hariannya, "Perasaan
bahwa aku akan gagal terus menghantuiku. Aku menangis sepanjang hari. Dalam
perjalanan menuju kantor, aku merasa seolah akan menghadapi sesuatu yang
memalukan. Aku tidak tahu mengapa Tuhan memberikan pekerjaan yang tak dapat
kulakukan. Aku harus memikirkan bagaimana melakukannya. Aku harus mencoba segala
cara sebelum menyerah."
Sebenarnya apa yang terjadi pada fenomena aneh yang disebut "wajah merona" itu"
Reaksi kulit" Emosi" Semacam reaksi pembuluh darah" Para ilmuwan tidak pernah
yakin bagaimana menjelaskannya. Wajah merona adalah sesuatu yang bersifat
fisiologis sekaligus psikologis. Di satu pihak wajah merona bersifat tak
disadari, tak dapat dikendalikan, dan disebabkan oleh faktor luar, seperti ruam
kulit. Di pihak lain, untuk terjadinya diperlukan pemikiran dan perasaan pada
tingkat fungsi otak yang tertinggi. "Manusia adalah satu-satunya hewan yang
wajahnya dapat merona," tulis Mark Twain. "Atau yang memerlukan rona wajah."
Para pengamat sering mengatakan bahwa wajah merona hanyalah perwujudan rasa
malu. Para penganut teori Freud, misalnya, memandang wajah merona sebagai
layaknya ereksi yang salah tempat, yang terjadi karena dorongan seksual yang
tertekan. Tetapi, seperti yang ditulis dan dipertanyakan Darwin dalam tulisannya
pada tahun 1872, bukan rasa malu, melainkan kemungkinan tampil di depan umum
atau penghinaanlah yang membuat wajah kita merona. "Orang akan merasa malu
ketika dikatakan bahwa ia membuat kesalahan kecil, tanpa wajahnya merona,"
katanya, "tetapi, bila ia merasa bahwa ia "tertangkap basah," wajahnya segera
akan merona, terutama bila ia tertangkap oleh orang yang dikaguminya."
Tetapi, kalau yang kita permasalahkan adalah soal penghinaan, mengapa wajah kita
juga merona bila kita dipuji" Atau ketika orang menyanyikan lagu "Selamat Ulang
Tahun" untuk kita" Atau ketika orang menatap kita" Michael Lewis, seorang
profesor ilmu kesehatan jiwa di Universitas Kedokteran dan Kedokteran Gigi di
New Jersey, sering memperlihatkan efek ini di muka kelas, Ia mengumumkan bahwa
ia akan menunjuk salah seorang mahasiswa, dan ia menunjuk tanpa maksud apaapa
dan bukan untuk menilai apa pun dari orang yang ditunjuk. Ia kemudian menutup
matanya dan menunjuk. Semua mahasiswa melihat kepada yang ditunjuk. Dan ternyata
orang yang ditunjuk selalu merasa malu. Dalam sebuah eksperimen ganjil yang
dilakukan beberapa tahun yang lalu, dua orang psikolog sosial, Jenice Templeton
dan Mark Leary, memasang kawat sensor pengukur suhu wajah pada subjek
penelitian, kemudian menempatkan mereka di satu sisi kaca satu arah. Kemudian,
kaca itu diangkat sehingga mereka jadi tahu bahwa para penonton melihat mereka
dari sisi di seberang kaca itu. Pada separuh waktu penelitian, penonton
menggunakan kacamata gelap, dan pada separuh waktu lainnya tidak. Aneh sekali,
subjek penelitian baru merona wajahnya ketika mereka dapat melihat mata para
penonton. Hal yang paling mengganggu tentang wajah merona adalah bahwa keadaan itu
menimbulkan efek sekunder. Efek sekunder itu sendiri menimbulkan rasa malu dan
dapat menyebabkan jengah, bingung, dan salah tingkah. (Darwin, yang berjuang
untuk menjelaskan mengapa itu terjadi, menduga bahwa lebih banyaknya darah
mengalir ke wajah menyebabkan darah terkuras dari otak).


Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa yang menyebabkan refleks demikian memang membingungkan. Salah satu teori
mengatakan bahwa rona wajah itu diciptakan untuk menunjukkan rasa malu, sama
seperti senyum menunjukkan rasa bahagia. Ini menjelaskan mengapa refleks itu
terjadinya hanya di bagian tubuh yang terlihat (wajah, leher, dan dada bagian
atas). Lalu, mengapa orang yang berkulit gelap juga bisa merona wajahnya" Survei
menunjukkan bahwa hampir semua orang dapat merona wajahnya, apa pun warna
kulitnya, walaupun pada banyak orang hal itu memang tidak terlihat. Dan ternyata
orang juga tahu bahwa kita malu, meskipun wajah kita tidak merona. Penelitian
memperlihatkan bahwa orang sudah tahu bahwa kita malu sebelum wajah kita
memerah. Kenyataannya, merona itu mencapai puncaknya antara lima belas sampai
dua puluh detik, padahal kebanyakan orang hanya butuh kurang dari lima detik
untuk mengtahui bahwa seseorang merasa malu mereka tahu karena mereka menangkap?pengalihan pandang yang segera, biasanya ke bawah dan ke kiri, atau karena
senyum jengah yang terjadi setengah sampai satu detik kemudian. Jadi, ada alasan
untuk meragukan bahwa tujuan wajah yang merona adalah untuk mengekspresikan rasa
malu. Namun, ada pandangan lain yang dianut oleh semakin banyak ilmuwan. Efek
meningkatkan rasa malu mungkin bukan suatu kebetulan; mungkin itulah gunanya
wajah merona, Penjelasannya tidak serumit yang dibayangkan. Orang tidak suka
dipermalukan dan berusaha untuk tidak memperlihatkannya bila memang
dipermalukan, tetapi rasa malu sebenarnya ada gunanya, karena, berbeda dengan
kesedihan, kemarahan, atau bahkan cinta, rasa malu merupakan emosi yang
berkaitan dengan moral. Timbul dari kepekaan seseorang terhadap apa yang dipikirkan orang
lain, rasa malu menimbulkan kesadaran yang menyakitkan bahwa ia mungkin telah
melanggar suatu batas tertentu, sambil pada saat yang sama meminta maaf pada
orang lain. Hal itu membuat kita dapat mempertahankan harga diri kita di hadapan
orang lain. Dan bila wajah merona bisa meningkatkan kepekaan seseorang, maka itu
adalah demi kebaikannya. Tetapi, masalahnya, bagaimana menghentikannya. Rasa malu menyebabkan wajah
merah, dan wajah yang memerah menimbulkan rasa malu jadi, apa yang dapat ?memutuskan lingkaran itu" Tak seorang pun tahu, tetapi pada beberapa orang,
mekanismenya di luar dugaan. Ternyata banyak orang yang sering mengalami wajah
merona yang berat dan tidak terkendali, Mereka menggambarkannya sebagai sesuatu
yang "amat parah", "bisa terjadi setiap saat", dan "memalukan". Aku pernah
berbincang dengan seorang yang wajahnya bisa merona ketika ia sedang sendirian
di rumah dan melihat seseorang merasa malu di TV, dan ia kehilangan pekerjaannya
di sebuah konsultan manajeman karena atasannya mengira ia tidak merasa "nyaman"
kalau harus berhadapan dengan klien. Orang lain lagi, seorang ilmuwan saraf,
meninggalkan kariernya di kedokteran klinis dan memilih hidup terkurung dalam
penelitian hanya karena wajahnya cenderung merona. Bahkan dengan kondisi begitu
pun, ia tetap tak dapat melepaskan diri dari masalahnya itu. Pekerjaannya
sebagai peneliti penyakit keturunan pada otak telah sangat berhasil, sehingga ia
sering menolak undangan untuk memberikan ceramah dan tampil di TV. Pada suatu
kali, ia sampai terpaksa bersembunyi di toilet kantor untuk menghindari kru CNN.
Pada kesempatan lain, ia diundang untuk menyajikan hasil penelitiannya di hadapan lima puluh ilmuwan
terkemuka di dunia, termasuk lima pemenang hadiah Nobel. Biasanya, ia dapat
menyajikan pembicaraannya dalam keadaan lampu yang dipadamkan sambil
memperlihatkan slide. Tetapi kali ini, salah seorang hadirin menghentikannya
dengan mengajukan sebuah pertanyaan lebih dulu, dan wajah ilmuwan ini menjadi
merah. Ia berdiri sambil bergumam sebentar, kemudian mundur ke belakang mimbar,
dan diam-diam mengaktifkan penyerantanya. Ia, menunduk membaca penyerantanya,
kemudian mengumumkan bahwa ada panggilan darurat. Ia sangat menyesal, katanya,
karena harus pergi. Ia menghabiskan sisa waktunya hari itu di rumah. Dia adalah
orang yang sepanjang hidupnya meneliti kelainan di otak dan saraf, tetapi dia
tetap tidak dapat menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya.
Tak ada nama resmi untuk gejala ini, walaupun sering dikatakan sebagai wajah
merona yang "berat" atau wajah merona "patologis," dan tak ada yang tahu berapa
banyak orang yang mengalaminya. Sebuah perkiraan kasar mengatakan bahwa 1 sampai
7 persen populasi umum terserang gejala ini. Berbeda dengan umumnya orang, yang
gejala wajah merona ini berkurang setelah masa remajanya berlalu, "wajah merona
kronis" justru meningkat dengan bertambahnya usia. Pada mulanya, hal ini diduga
menyangkut masalah intensitas ronanya, tetapi ternyata tidak. Pada suatu
penelitian, misalnya, ilmuwan menggunakan sensor untuk memantau suhu dan warna
kulit wajah subjek, dan meminta mereka berdiri di depan penonton dan melakukan
beberapa hal seperti menyanyikan lagu kebangsaan Amerika atau berdansa mengikuti
suatu lagu. Mereka yang mengidap wajah merona kronis
tidak lebih merah wajahnya dibandingkan dengan yang lain, tetapi mereka memang
lebih rentan untuk merona wajahnya. Christine Drury menggambarkan lingkaran
setan itu padaku: orang yang takut wajahnya merona, akan merona wajahnya,
kemudian merona lagi akibat malu dengan wajahnya yang merona. Mana yang terjadi
lebih dulu meronanya atau malunya ia tidak tahu. Ia hanya ingin dapat
? ?menghentikannya. Pada musim gugur 1998, Drury mengunjungi seorang internis. "Nanti juga akan
hilang sendiri," katanya pada Drury. Tetapi, ketika ia mendesak, dokter itu
setuju untuk memberikan obat. Tidak jelas apa yang akan dituliskan di resep.
Buku ajar kedokteran tidak menyebut apa pun tentang wajah merona yang patologis.
Beberapa dokter meresepkan anticemas, seperti Valium, denganasumsi bahwa
masalahnya adalah rasa cemas. Sebagian lain meresepkan penyekat beta yang
menekan respons tubuh terhadap stres. Beberapa menuliskan Prozac atau
antidepresi lainnya. Suatu pengobatan yang memperlihatkan keberhasilan yang
lumayan bukanlah obat, melainkan teknik perilaku yang dikenal sebagai "perhatian
paradoks" yaitu melatih pasien untuk membuat wajahnya merona secara aktif dan
?bukan menghalanginya. Drury mula-mula menggunakan penyekat beta, kemudian
antidepresi, dan akhirnya psikoterapi. Tak ada perbaikan.
Pada Desember 1998, wajah merona yang dialaminya itu semakin tidak
tertanggungkan, tampilannya di layar kaca sangat memalukan, dan kariernya hampir
tak dapat diselamatkan. Ia menulis di buku hariannya bahwa ia siap untuk
mengundurkan diri. Lalu, suatu hari ia mencari informasi di internet mengenai
wajah merona dan membaca bahwa ada sebuah rumah sakit di Swedia yang dokternya
melakukan pembedahan yang dapat menghentikan gejala itu. Dalam operasi itu
dilakukan pemotongan saraf yang keluar dari sumsum tulang belakang dan naik
menuju kepala. "Aku membaca tentang sejumlah orang yang punya masalah yang
persis sama dengan masalahku, dan rasanya aku tak percaya," katanya padaku. "Air
mata bercucuran membasahi wajahku." Hari berikutnya ia mengatakan pada ayahnya
bahwa ia telah memutuskan untuk menjalani operasi. Pak Drury jarang
mempertanyakan pilihan puterinya, tetapi kali ini ia merasa ini bukan gagasan
yang baik. "Aku sungguh sangat terkejut," katanya mengingat-ingat peristiwa itu.
"Dan ketika ibunya diberitahu, ia bahkan lebih terkejut. Pada prinsipnya, ibunya
tidak mengizinkan puterinya pergi ke Swedia dan menjalani operasi itu."
Drury setuju untuk mempelajari lebih banyak tentang operasi itu, Dia membaca
beberapa artikel yang dapat ditemukannya di majalah kedokteran. Ia bicara dengan
dokter bedah itu dan beberapa mantan pasiennya. Setelah beberapa minggu, ia
malah menjadi lebih yakin. Ia mengatakan kepada kedua orangtuanya bahwa ia akan
pergi ke Swedia, dan ketika jelas bahwa ia tak dapat dihalangi, ayahnya
memutuskan untuk pergi menemani putrinya itu.
Pembedahan itu dikenal sebagai simpatektomi torasik endoskopik, ETS (endoscopic
thoracic sympathectomy). Operasi itu adalah pemotongan sistem saraf simpatis,
bagian dari sistem saraf "autonom" yang mengendalikan napas, denyut jantung,
pencernaan, berkeringat, dan berbagai fungsi dasar dalam kehidupan, termasuk
wajah merona. Di bagian punggung kita, di kiri kanan tulang belakang, terentang
batang simpatis mirip dua tali halus, yang merupakan tempat jalannya saraf
simpatis sebelum keluar menuju ke setiap organ. Pada awal abad kedua puluh, para
dokter bedah mencoba membuang cabang batang saraf ini disebut simpatektomi ?torasik untuk mengatasi beberapa keadaan: epilepsi (ayan), glaukoma (penyakit
?tingginya tekanan bola mata), beberapa jenis kebutaan. Umumnya, percobaan ini
lebih menimbulkan bahaya ketimbang manfaat. Tetapi, para dokter bedah itu
menemukan dua keadaan yang tak biasa yang mendapat manfaat dari simpatektomi
ini: operasi ini menghilangkan nyeri dada yang membandel pada pasien penyakit
jantung lanjut yang tak dapat diobati dengan pembedahan jantung, dan operasi ini
bisa menghentikan keluarnya keringat pada tangan dan wajah pada pasienhiperhidrosis proses berkeringat yang tak terkendali.
?Karena biasanya memerlukan pembukaan rongga dada, operasi ini jarang dilakukan.
Tetapi, pada beberapa tahun terakhir, sejumlah ahli bedah, khususnya di Eropa,
menggunakan teropong yang dimasukkan melalui lubang kecil. Di antara mereka ada
tiga sekawan di Gbteborg, Swedia, yang mengamati bahwa banyak pasien hiperhidrosis yang bukan saja tidak berkeringat lagi setelah operasi ini, tetapi juga
wajahnya tidak merona lagi. Pada tahun 1992, kelompok Gbteborg menerima banyak
pasien yang mengeluh karena wajahnya tidak merona. Ketika hasil penelitian ini
dilaporkan di media, para dokter itu malah kebanjiran pasien. Sejak tahun 1998,
para dokter bedah itu telah melakukan operasi pada lebih dari tiga ribu pasien
yang menderita wajah merona yang parah.
Operasi ini sekarang dilakukan di seluruh dunia, tetapi kelompok Gbteborg
merupakan salah satu dari sedikit
yang melaporkan hasilnya: 94 persen pasien mereka melaporkan bahwa wajah merona
yang biasanya mereka alami telah berkurang banyak: pada kebanyakan kasus bahkan
hilang sama sekali. Pada sebuah survei yang dilakukan delapan bulan setelah
pembedahan, 2 persen menyesali keputusannya karena mengalami efek samping, 15
persen tidak puas dengan hasilnya. Efek sampingnya tidak mengancam hidup, tetapi
juga tidak remeh. Cedera paling serius yang terjadi pada 1 persen pasien adalah
sindrom Horner akibat cedera yang tak sengaja terjadi pada saraf yang mengurus
mata sehingga menyebabkan pupil mata menciut, kelopak mata turun, dan bola mata
agak menjorok ke dalam. Yang tidak terlalu serius, pasien tidak lagi berkeringat
pada bagian tubuh dari puting susu ke atas, dan kebanyakan mengalami peningkatan
keringat pada tubuh bagian bawah sebagai kompensasi. (Menurut sebuah penelitian
yang berlangsung lebih lama pada pasien yang tangannya berkeringat, sepuluh
tahun setelah ETS, proporsi yang puas dengan hasil operasi menurun sampai 67
persen, terutama karena keringat kompensasi). Sekitar sepertiga pasien juga
mengalami reaksi menarik yang dikenal sebagai keringat kecap (gustatory
sweating) yaitu berkeringat yang terjadi ketika mengecap rasa tertentu atau ?membaui bau tertentu. Dan karena cabang simpatis ke jantung ikut terbuang,
pasien merasakan turunnya denyut jantung sampai 10 persen; sebagian mengeluhkan
menurunnya kemampuan fisik. Karena semua alasan itu, maka operasi ini seharusnya
merupakan upaya terakhir, sesuatu yang boleh dicoba, kata ahli bedahnya, setelah
semua upaya gagal. Ketika akhirnya pergi ke Gbteborg, mereka sering sudah dalam
keadaan putus asa, Seperti dikatakan seorang pasien
yang telah dioperasi kepadaku, "Aku tetap akan menjalani operasi itu, walaupun
mereka mengatakan bahwa ada kemungkinan lima puluh persen meninggal."
Pada tanggal 14 Januari 1999, Christine Drury dan ayahnya tiba di Gbteborg, Kota
itu adalah kota pelabuhan berusia empat ratus tahun yang terletak di pantai
barat daya Swedia, dan ia ingat hari itu dingin, bersalju, dan indah sekali,
Pusat Kedokteran Carlanderska adalah bangunan tua dan kecil dengan dinding yang
dirambati tanaman dan pintu kayu lengkung berdaun ganda yang besar. Di dalamnya
sepi dan temaram; mengingatkan Drury pada penjara bawah tanah sebuah puri.
Barulah ia sadar betul dan bertanya dalam hati apa yang dilakukannya di sini,
1.500 kilometer dari rumahnya, di rumah sakit yang tidak pernah ia kenal
sebelumnya. Tetapi, ia tetap mendaftarkan diri dan perawat mengambil darahnya
untuk pemeriksaan darah rutin, memastikan rekam medisnya lengkap, dan menerima
pembayaran sebesar enam ribu dolar. Drury membayarnya dengan kartu kredit.
Ruangan di rumah sakit itu sangat bersih dan modern dengan seprei putih dan
selimut biru. Christer Drott, dokter bedahnya, datang menemuinya pagi hari
berikutnya. Ia berbahasa Inggris dengan aksen Inggris yang sempurna dan,
katanya, sangat menyenangkan: "Ia menjabat tangan kita dan sangat ramah. Mereka
telah menghadapi ribuan kasus semacam ini. Aku suka sekali padanya."
Pada pukul sembilan tiga puluh pagi itu, seorang petugas datang untuk
mengantarkannya ke kamar operasi. "Kami baru saja selesai membahas kisah seorang
anak yang meninggal karena ahli anestesiologinya tertidur,"
kata Drudry. "Jadi, aku meminta kepada ahli anestesiologi agar tidak tertidur
dan membiarkan aku mati. Ia tertawa dan menjawab 'Baiklah.'"
Setelah Drury tidak sadar, Drott, yang mengenakan setelan bedah dan gaun bedah
steril, mengusap dada dan ketiaknya dengan larutan antiseptik dan meletakkan
kain penutup steril sehingga hanya ketiaknya yang terpapar. Setelah meraba ruang
di antara dua iga di ketiak kiri pasien, ia membuat tusukan sedalam tujuh mili
dengan ujung pisau bedahnya, kemudian mendorongkan jarum besar melalui lubang
itu, masuk ke rongga dadanya. Dua liter karbon dioksida dipompakan ke dalam
rongga dada melalui jarum tadi sehingga paru kirinya terdorong ke bawah dan
memberi jalan masuk. Kemudian, Drott memasukkan teropong (resektoskop), pipa
logam panjang yang di ujungnya terdapat kamera, lampu serat optik, dan ujung
kawat solder. Ini sebenarnya alat urologi yang cukup halus untuk dimasukkan ke
saluran kemih (walaupun tidak pernah cukup halus untuk pasien urologi). Dengan
melihat melalui lensa kamera, ia mencari batang simpatis kiri pasien, dengan
hatihati agar tidak mencederai pembuluh darah utama dari jantung, dan mencari
bangun halus berbentuk tali yang terletak sepanjang deretan pangkal iga,
tempatnya menyatu dengan tulang belakang. Ia menyolder batang saraf itu pada dua
tempat, di atas iga kedua dan ketiga, menghancurkan semua cabang ke wajah,
kecuali yang menuju ke mata. Dan setelah memastikan tak ada perdarahan, ia
menarik alat itu keluar, memasukkan kateter untuk mengisap keluar karbon
dioksida dan membiarkan paru-paru mengembang kembali, lalu menjahit luka
berukuran enam mili itu. Setelah pindah ke sisi lain meja operasi, ia melakukan
prosedur serupa pada dada sebelah kanan. Segala sesuatu berlangsung tanpa
hambatan. Operasi itu berlangsung dua puluh menit.
Apa yang terjadi bila kita menghilangkan kemampuan seseorang untuk merona
wajahnya" Apakah itu hanya sekadar versi edah dari kosmetik perias
wajah menghilangkan warna merahnya, tetapi tidak menghilangkan kejengahan ?seseorang" Atau dapatkah pemotongan beberapa serabut saraf perifer memengaruhi
pribadi orangnya" Aku ingat, pada suatu masa, sebagai remaja, membeli kacamata
bercermin. Dalam beberapa minggu, barang itu sudah hilang, tetapi ketika aku
memakai kacamata itu, rasanya aku memandang orang secara lebih berani dan tak
malu-malu, dan bertingkah laku lebih tegar. Aku merasa terlindung di balik
kacamata, kurang terpapar, agak lebih bebas rasanya. Apakah pembedahan itu
menimbulkan hal serupa"
Hampir dua tahun setelah operasinya, aku makan siang bersama Drury di sebuah bar
untuk olahragawan di Indianapolis. Aku penasaran, seperti apa wajahnya tanpa
saraf yang mengendalikan ronanya apakah ia tampak pucat, wajahnya penuh bercak,
?tidak alami" Nyatanya, wajahnya bersih dan tampak agak merah muda, tak berbeda
dari sebelumnya, katanya. Tetapi, sesudah operasi itu, wajahnya tidak lagi
merona. Kadang, hampir tak tentu, ia merasakan rona terselubungi perasaan khas
yang dirasakannya ketika wajahnya merona, padahal wajahnya tidak merona. Aku
bertanya apakah wajahnya merah ketika ia berlari, tidak, jawabnya, tetapi ya
bila ia menjungkirkan badannya. Perubahan fisik lainnya tampak tak berarti
baginya. Yang paling menonjol, katanya, adalah
wajah maupun lengannya tidak pernah berkeringat lagi sekarang, tapi perut,
punggung, serta tungkainya berkeringat jauh lebih banyak daripada biasanya,
walaupun tidak sampai mengganggu. Parut luka operasinya yang memang kecil itu
telah hilang sama sekali.
Sejak pagi pertama setelah operasi, kata Drury, ia merasa dirinya mengalami
perubahan. Seorang perawat lelaki yang menarik datang untuk mengukur tekanan
darahnya. Biasanya wajahnya akan merona begitu didekati, tetapi hal seperti itu
tidak terjadi. Ia merasa seolah topengnya sudah dibuka, katanya.
Hari itu, setelah keluar dari rumah sakit, ia menguji dirinya dengan menanyakan
arah jalan kepada beberapa orang di jalan. Sekarang, seperti ditegaskan oleh
ayahnya, wajahnya tidak merona lagi. Lebih dari itu, pertemuan dengan orang
sekarang rasanya biasa dan mudah, kejengahan yang dahulu mengganggunya, sekarang
tak ada lagi. Di bandara, ia ingat, ia dan ayahnya berdiri dalam antrian panjang
untuk cek-in dan ia tidak dapat menemukan paspornya. "Jadi, kutumpahkan isi
tasku di lantai dan mulai mencarinya, dan baru kemudian aku sadar apa yang
kulakukan dan aku tidak merasa malu," katanya. "Aku menengadah ke ayahku dan
?mulai menangis," Sampai di rumah, dunia rasanya seperti baru. Sekarang perhatian terasa tidak
rumit, dan tidak menakutkan. Monolog yang biasa dilakukannya ketika ia
berhadapan dengan orang ("Aduh, mudah-mudahan wajahku tidak merah, aduh jangan
merah, oh Tuhan wajahku akan merah nih") tak ada lagi, dan ia sekarang dapat
mendengarkan orang lain dengan lebih baik, Ia juga dapat memandang orang lebih
lama tanpa dorongan untuk mengalihkan
pandangan. (Bahkan, ia justru melatih dirinya untuk tidak menatap orang).
Lima hari setelah pembedahan, Drury kembali ke meja penyiar. Ia hampir tidak
menggunakan rias wajah malam itu. Ia mengenakan blazer wol warna biru, semacam
baju hangat yang selama ini ia tidak pernah berani memakainya. "Sikapku jelas:
Inilah siaran pertamaku," katanya padaku. "Dan semuanya berlangsung sempurna."
Selanjutnya, aku melihat rekaman siarannya pada minggu pertama setelah operasi.
Aku melihat liputannya tentang pembunuhan seorang pastor setempat oleh seorang
pengendara yang mabuk, dan tentang penembakan anak usia sembilan belas tahun
oleh remaja enam belas tahun. Ia tampak lebih alami daripada dulu. Ada satu
rekaman yang mengejutkan. Itu bukan dari buletin malam yang biasa dibawakannya,
melainkan suatu segmen layanan publik yang bernama "Membacalah, Indiana,


Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Membacalah!" Selama enam menit tayangan langsung pada suatu pagi bulan Februari,
ia tampak membacakan cerita kepada kerumunan anak delapan tahun yang sukar
diatur, sementara teks pesan yang menghimbau orang tua untuk membacakan cerita
pada anakanak mereka terus terbaca di bagian bawah layar televisi. Walaupun
dikacaukan oleh ulah anakanak yang berlarian, melemparkan sesuatu, dan
mendekatkan wajah ke kamera, Drury tetap bertahan bicara mengisi jam tayangnya.
Drury tidak bercerita kepada siapa pun perihal operasinya, tetapi teman
sekerjanya segera melihat perbedaan pada dirinya. Aku bicara dengan produser di
stasiun tempatnya bekerja yang mengatakan, "Dia hanya mengatakan bahwa ia akan
pergi bersama ayahnya, tetapi ketika ia kembali dan aku melihatnya lagi di TV,
aku berkata 'Christine! Ini luar biasa sekali!' Ia tampak santai di depan kamera.
Kita melihat seseorang yang percaya diri muncul di TV, yang sama sekali berbeda
dengan sebelumnya." Dalam beberapa bulan, Drury mendapat pekerjaan sebagai
reporter yang tampil pada jam tayang prima di stasiun lain.
Memotong sedikit saraf ke wajahnya, ia pun langsung berubah. Ini suatu
pernyataan yang aneh karena kita selama ini berpikir bahwa hakikat diri adalah
sesuatu yang berbeda dari pernak-pernik tubuh. Siapa yang belum pernah melihat
foto diri, atau mendengar suara sendiri di pita rekaman, dan berpikir, Itu bukan
aku! Pasien luka bakar yang melihat dirinya di cermin untuk pertama kali ini ?contoh ekstrem selalu merasa aneh melihat bayangan sosok dirinya. Tapi, mereka
?bukan saja segera "terbiasa" dengan tampilan barunya; kulitnya yang baru pun
telah mengubah mereka. Semua itu mengubah cara mereka berhubungan dengan orang
lain, harapan mereka dari orang lain, dan caranya memandang dirinya di hadapan
orang lain. Perawat dari bangsal luka bakar pernah berkata padaku bahwa rasa
aman itu bisa jadi menakutkan dan menyakitkan, orang yang selamat, tapi
rahangnya turun. Dengan cara yang sama, Drury memandang wajah meronanya yang
sering muncul mendadak itu sebagai sesuatu di luar dirinya, tidak beda dengan
sebuah luka bakar ia menyebutnya "topeng merah." Tetapi, topeng itu memengaruhi
?jauh ke dalam dirinya sehingga ia yakin dapat menghalanginya menjadi orang yang
dicita-citakannya. Ketika topeng itu dilepaskan, ia merasa lahir kembali,
berani, "sama sekali berbeda dengan sebelumnya." Tetapi, mana orang yang
dulu selalu malu dan langsung jengah jika mendapatkan kecaman ringan" Drury
lambat-laun menyadari bahwa orang itu masih tetap ada.
Suatu malam, ia keluar makan malam dengan seorang teman dan memutuskan untuk
menceritakan perihal operasi itu. Lelaki itu adalah orang pertama selain
keluarga yang diberitahu, dan temannya itu sangat terkejut. Dioperasi untuk
menghilangkan kemampuan untuk merona wajah" Tampaknya tidak masuk akal, katanya,
dan lebih buruk lagi, sia-sia. "Dasar orang TV, mau melakukan apa saja demi
karier," begitu Drury mengenang katakata temannya itu.
Ia pulang berurai air mata, marah, tetapi juga merasa malu, bertanya dalam hati
apakah menjalani operasi itu sesuatu yang tidak normal dan menunjukkan
kelemahan. Beberapa minggu dan beberapa bulan sesudah itu, ia jadi semakin yakin
bahwa melakukan operasi sebagai jalan keluar membuatnya merasa sebagai pemalsu
jatidiri. "Operasi itu telah membuka jalanku menjadi wartawan, sesuai dengan
pendidikanku," katanya, "tetapi aku merasa sangat malu karena sampai harus
mengatasi kesulitanku dengan cara-cara buatan seperti itu."
Ia menjadi semakin takut bahwa orang lain akan tahu tentang operasi itu. Suatu
kali, seorang teman sekerjanya yang mencoba menemukan apa sebenarnya yang tampak
berubah padanya, bertanya apakah berat badannya turun. Dengan senyum lemah ia
menjawab tidak, dan tak bicara apa-apa lagi. "Aku ingat, suatu kali stasiun kami
piknik pada hari Sabtu sebelumlomba mobil Indy 5DD, dan aku terus memikirkan
diriku, Aduh, mudah-mudahan aku bisa menuntaskan acara piknik ini tanpa ada yang
bertanya "Hei, kenapa wajahmu tidak pernah merona lagi?"
Hal itu sama memalukannya seperti sebelumnya, hanya saja sekarang bukan karena
wajahnya merona, tetapi karena justru tidak adanya rona merah itu.
Di televisi, kejengahan mulai mengacaukan perhatiannya lagi. Pada Juni 1999, ia
menerima pekerjaan baru, tetapi ia tidak dijadwalkan mengudara untuk dua bulan.
Selama masa kosong itu, ia menjadi tidak yakin apakah ingin kembali ke TV. Pada
suatu hari pada musim panas itu, ia keluar bersama kru lain untuk meliput
kerusakan akibat badai di kota tetangga yang menyebabkan banyak pohon tumbang.
Mereka memintanya berlatih dulu berdiri di depan kamera. Ia yakin dirinya
terlihat baik-baik saja, tetapi perasaannya tidak demikian. "Aku merasa seolah
itu bukan tempatku, aku tidak pantas berada di situ," katanya. Beberapa hari
kemudian, ia mengundurkan diri.
Setahun lebih sudah berlalu sejak itu, dan Drury telah menghabiskan waktu
sepanjang itu untuk kembali menata jalan hidupnya. Karena menganggur dan merasa
malu, ia menarik diri, tidak mau menemui siapa pun, menghabiskan hari-harinya
dengan menonton TV dengan duduk di sofa dalam keadaan depresi yang semakin
berat. Tetapi, lambat laun terjadi perubahan. Meskipun bertentangan dengan
dorongan hatinya, ia menceritakan apa yang telah dilakukannya kepada temantemannya dan para mantan sejawatnya. Di luar dugaan dan sangat melegakan, hampir
semuanya memberikan dukungan. Pada September 1999, ia bahkan membangun suatu
organisasi, Yayasan Topeng Merah, untuk menyebarkan informasi tentang kelainan
wajah merona yang kronis, dan untuk membentuk komunitas bagi para penderitanya.
Mengungkapkan rahasianya tampaknya membuat ia akhirnya maju terus.
Pada musin dingin itu, ia mendapat pekerjaan baru?kali ini di radio, dan ini memang sangat wajar. Ia menjadi asisten kepala biro
untuk radio Metro Network di Indianapolis. Ia dapat didengar membawakan berita
setiap pagi di hari kerja pada dua stasiun radio, kemudian mengisi acara laporan
lalu lintas sore hari untuk kedua radio itu dan beberapa stasiun radio yang
lainnya. Pada musim semi berikutnya, dengan kepercayaan diri penuh, ia mulai
menghubungi stasiun televisi. Stasiun Fox setempat setuju untuk menggunakannya
sebagai penyiar cadangan. Pada awal Juli, ia dipanggil, pada saatsaat terakhir,
untuk meliput keadaan lalu lintas dalam acara pagi yang berlangsung selama tiga
jam. Aku melihat rekaman acara itu. Acara itu merupakan salah satu dari beberapa
acara berita pagi dengan dua orang pembawa acara yang ceria dan hidup pria dan
?wanita yang duduk di sofa, memegang mug kopi besar. Setiap setengah jam mereka
?mengalihkan pemirsa ke acara Drury yang membacakan laporan lalu lintas selama
dua menit. Ia berdiri di hadapan serangkaian peta kota yang diproyeksikan ke
layar, menekan tombol untuk mengganti-ganti gambar, kemudian menceritakan
berbagai kecelakaan mobil dan sejumlah penutupan jalan akibat pembangunan, yang
harus diperhatikan para pemakai jalan. Sesekali, pasangan pembawa acara
melontarkan gurauan seperti "Hei, kau bukan gadis yang biasa membacakan berita
lalu lintas kami," yang dijawabnya dengan santai, penuh tawa dan canda.
Menggairahkan, katanya, tetapi tidak mudah. Ia masih suka merasa sedikit jengah,
membayangkan apa kata orang melihatnya kembali setelah lama hilang. Tetapi, ia
dapat menguasai perasaan itu. Ia, katanya, mulai merasa nyaman dengan kulitnya.
Akhirnya, orang tentu ingin tahu apakah masalahnya merupakan masalah fisik atau
psikis. Tetapi, pertanyaan itu tak mungkin dijawab, sama seperti pertanyaan
apakah rona wajah itu suatu proses fisik atau mental atau apakah orangnya itu
?menderita sakit fisik atau mental. Keduanya tak dapat dipisahkan pada diri
seseorang, dengan pisau dokter bedah sekalipun. Aku pernah menanyakan kepada
Drury apakah ia menyesali operasi itu. "Sama sekali tidak," katanya. Ia bahkan
menyebut pembedahan itu "penyembuhanku." Pada saat yang bersamaan ia
menambahkan, "Orang harus tahu pembedahan bukan akhir dari masalah." Ia
?sekarang mencapai apa yang disebutnya sebagai "medium bahagia." Ia sudah
terbebas dari kejengahan yang kuat, yang dipicu oleh rona wajahnya, tetapi ia
menerima kenyataan bahwa ia tidak akan dapat menghilangkannya sama sekali. Pada
bulan Oktober berikutnya, ia menjadi reporter on-air paruh waktu yang bekerja
lepas untuk Channel 6, afiliasi TV ABC di Indianapolis. Ia berharap dapat
bekerja penuh waktu untuk pekerjaan itu.x
rt6 * Pria yang Tak Bisa " Berhenti Makan
Operasi pintas lambung Roux-en-Y adalah sebuah prosedur operasi radikal dan
merupakan cara yang paling drastis untuk menurunkan berat badan. Operasi ini
juga merupakan operasi paling aneh yang pernah kuikuti dalam pembedahan.
Pembedahan ini tidak membuang penyakit, tidak memperbaiki kerusakan atau cedera.
Ini sebuah operasi yang ditujukan untuk mengendalikan kemauan seseorang untuk ?mengubah alat dalaman seseorang sehingga ia tidak akan makan berlebihan lagi.
Dan operasi ini segera jadi populer. Sekitar 45.ODD pasien obesitas (kegemukan)
telah menjalani bedah pintas lambung di Amerika selama tahun 1999, dan jumlah
ini menjadi dua kali lipat pada tahun 2DD3. Vincent Caselli ikut menjalani
operasi ini. Pada pukul 7.3D tanggal 13 September 1999, seorang ahli anestsiologi dan dua
petugas kamar bedah membawa Caselli (yang namanya diubah) ke kamar bedah tempat
aku dan dokter bedahnya sudah menunggu. Caselli berusia 54 tahun, seorang
operator alat berat dan kontraktor konstruksi jalan (ia dan anak buahnya
membangun jalan melingkar di lingkungan rumahku), anak seorang imigran Italia,
sudah 35 tahun menikah, dan ayah dari tiga orang gadis yang sekarang telah
dewasa dan membangun keluarga sendiri. Ia juga mempunyai berat badan 214 kilo, walaupun tingginya
hanya 1 meter 67,5 senti, dan keadaannya menyedihkan. Ia tidak dapat
meninggalkan rumah, kesehatannya memburuk, dan tak ada sesuatu pun yang tampak
normal dalam hidupnya. Untuk orang yang sangat gemuk, anestesia umum saja sudah berbahaya; operasi
besar di perut dengan mudah dapat jadi bencana. Obesitas sangat meningkatkan
kemungkinan terjadinya kegagalan pernapasan, serangan jantung, infeksi luka
operasi, hernia hampir semua komplikasi mungkin terjadi, termasuk kematian.
?Walaupun demikian, Dr. Sheldon Randall, dokter bedah yang merawatnya, santai
saja mengobrol dengan para perawat tentang akhir minggu mereka, meyakinkan
?Caselli bahwa semuanya akan berjalan lancar karena ia sudah melakukan lebih
?dari seribu kali pembedahan semacam ini. Aku, residen yang membantu, tetap
merasa khawatir. Sambil memerhatikan Caselli yang berusaha keras menggeser
tubuhnya dari brankar ke meja operasi, berhenti di tengah usahanya untuk
bernapas, aku khawatir ia akan jatuh. Setelah berada di meja operasi, panggulnya
menggantung di kedua sisi meja operasi, dan kuperiksa kembali bantalan yang
melindungi tubuhnya dari tajamnya pinggiran meja operasi, Ia telanjang, dengan
hanya sehelai kain yang menutupi "burung"nya yang berukuran umum, dan perawat
menutupkan selimut di atas tubuh bagian bawahnya untuk alasan kesopanan. Ketika
kami mencoba untuk membaringkannya, napasnya berhenti dan wajahnya mulai
membiru, dan ahli anestesiologi terpaksa membuatnya tidur dalam posisi duduk.
Hanya setelah pipa napas terpasang dan ventilator mekanis mengatur napasnya,
barulah kami berhasil membaringkannya.
Ia terbaring bagaikan sebuah gunung pada meja operasi. Tinggiku 19D senti,
tetapi meskipun meja operasi sudah diatur serendah itu, aku tetap harus berdiri
di atas bangku penyangga untuk dapat melakukan operasi; Dr Randall berdiri di
atas dua bangku penyangga yang ditumpuk. Ia mengangguk padaku, dan aku mulai
menyayat di garis tengah perut pasien kami, menembus kulit, dan kemudian
menembus beberapa sentimeter ketebalan jaringan lemak yang kuning mengilat. Di
dalam rongga perutnya, tampak hatinya dengan guratan lemak juga, dan ususnya diselubungi oleh
lapisan lemak tebal, tetapi lambungnya tampak biasa kantung sebesar dua kepalan?tangan, tampak halus berwarna merah keabu-abuan. Kami pasang retraktor logam
pada tempatnya untuk memperbesar luka operasi sehingga hati dan kelukan usus
yang permukaannya halus licin bisa diketepikan. Dengan bekerja sedalam siku,
kami stapel lambungnya ke bawah sehingga ukurannya tinggal kira-kira 30-an gram
(satu oz). Sebelum operasi, lambung itu dapat menampung sekitar seliter makanan
dan minuman; sekarang hanya dapat menampung tidak lebih dari segelas kecil. Kami
kemudian menjahit lubang kantung kecil ini ke bagian usus yang jaraknya enam
puluh sent setelah duodenum melewati bagian awal usus halus tempat empedu dan
?cairan pankreas mencerna makanan. Ini merupakan bagian pintas dari operasi itu,
dan itu berarti makanan yang ditampung di lambung akan menjadi tidak langsung
diserap. Operasi itu berlangsung sedikit lebih lama dari dua jam. Caselli stabil selama
operasi, tetapi pemulihannya agak sulit. Biasanya pasien dapat dipulangkan tiga
hari setelah operasi; Caselli baru tahu ia berada di mana setelah dua hari
kemudian. Ginjalnya tidak bekerja selama 24 jam, dan cairan menumpuk di paruparunya. Ia jadi meracau, merasa melihat sesuatu di dinding, menarik-narik
masker oksigennya, dadanya condong ke monitor, bahkan menyentakkan slang infus
intravena (IV) di lengannya. Kami begitu khawatir, isteri dan anak-anaknya
sangat takut, tetapi berangsur-angsur keadaannya membaik.
Pada hari ketiga setelah pembedahan, keadaannya cukup baik sehingga ia dapat
minum cairan yang encer (air, jus apel, air jahe) sampai sebanyak 30-an cc
setiap empat jam. Dalam visite (kunjungan rutin dokter pada pasien yang dirawat
di rumah sakit) sore, kutanyakan bagaimana rasanya minuman masuk melalui
kerongkongannya. "Lancar," katanya. Kami mulai memberinya 120 cc Carnation
Instant Breakfast sebagai sumber protein dan kalori dalam jumlah yang cukup. Ia
hanya dapat menghabiskan separuhnya selama satu jam. Jumlah itu sudah membuatnya
kekenyangan, dan kalau sudah begitu ia merasakan nyeri yang tajam, Memang itulah
yang seharusnya terjadi, kata Dr. Randall padanya. Baru beberapa hari kemudian
ia siap untuk menerima makanan padat. Keadaannya terus membaik dan ia tidak
memerlukan lagi cairan infus IV. Nyeri di luka operasinya dapat diatasi, dan
setelah ia menjalani rehabilitasi selama beberapa hari, ia pun dipulangkan.
Beberapa minggu kemudian, kutanyakan keadaan Caselli pada Dr. Randall. "Baikbaik saja", kata ahli bedah itu. Walaupun aku sudah membantunya beberapa kali
untuk kasus serupa, aku tidak pernah mengamati bagaimana kemajuan para pasien
itu sesudahnya. Apakah memang berat badannya menurun" tanyaku. Dan berapa banyak
ia dapat makan" Randall menganjurkan aku menjenguknya sendiri. Jadi, pada suatu
hari di bulan Oktober, kutelepon Caselli. Ia terdengar gembira mendengar
suaraku. "Datanglah," katanya. Dan pulang kerja hari itu aku mampir ke rumahnya.
Vincent Caselli dan isterinya tinggal di rumah bertingkat sederhana yang disebut
sebagai saltbox, tak jauh di luar kota Boston. Untuk ke sana, aku mengambil
Route 1, melewati empat gerai Dunkin1 Donuts, empat pizzeria, tiga restoran
steik, dua gerai McDonalds, dua gerai Ground Rounds, sebuah Taco Bell, sebuah
restoran Friendly, dan sebuah gerai International House of Pancakes.
(Pemandangan sekitar jalan raya yang biasa, tetapi hari itu terasa sebagai
perjalanan menyedihkan yang menyusahkan diri sendiri). Kutekan bel rumahnya dan
menunggu cukup lama. Kudengar langkah kaki bersepatu olahraga lambat-lambat
menuju pintu, dan Caselli yang tampak terengah-engah, lalu membukanya. Tetapi,
ia tersenyum lebar ketika melihatku dan menyalami tanganku dengan hangat. Ia
mengajakku masuk tangannya memegangi meja, dinding, kosen pintu untuk menjaga
?agar tidak jatuh menuju ke sebuah kursi di meja makan dalam dapurnya yang
?berlapis kertas dinding bergambar bunga.
Kutanyakan bagaimana kabarnya. "Sangat baik," katanya. Tidak ada lagi nyeri
akibat operasi, luka operasinya sudah sembuh, dan walaupun baru tiga minggu,
berat badannya sudah turun delapan belas kilo. Namun, dengan berat badan 177
kilo, dan tetap dengan ukuran celana no. 64 dan T-shirt XXXXXXL (ukuran terbesar
yang dapat ditemukannya di toko khusus untuk orang tinggi dan besar), ia tidak
merasa ada perubahan. Kalau duduk, ia
harus mengangkang agar perutnya yang buncit dapat membuyut di antaranya, dan
berat badan seberat itu memaksanya bergeser setiap satu dua menit pada kursi
kayu yang didudukinya karena bokongnya akan terasa kesemutan. Keringat mengaliri
lipatan kulit di dahinya sehingga rambutnya yang sudah tipis dan berwarna dua
itu melekat di kulit kepalanya. Matanya yang cokelat tampak basah dan kantong
matanya tampak gelap di bawahnya. Dari napasnya terdengar bunyi desahan halus,
Kami berbincang tentang kepulangannya dari rumah sakit. Makanan padat yang
pertama dicobanya adalah sesendok penuh orak-arik telur. Jumlah sedemikian saja
sudah membuatnya kekenyangan sampai timbul nyeri, katanya, sangat nyeri,
"seperti ada yang robek," kemudian ia muntahkan lagi, Ia takut bahwa ia tak akan
bisa lagi menelan makanan padat, tetapi kemudian secara bertahap ia dapat
menerima sejumlah kecil makanan lunak kentang ongklok, makaroni, bahkan ayam ?asal dicincang halus dan lunak. Roti dan daging kering terasa menyangkut di
kerongkongannya, dan ia terpaksa memasukkan jarinya ke mulut untuk merangsang
muntah. Semua itu sangat mengganggu bagi Caselli, tetapi ia dapat menerimanya karena ia
ingin kurus. "Setahun dua tahun yang lalu, aku serasa hidup di neraka," katanya.
Perjuangan itu dimulai pada akhir usia dua puluhan. "Aku selalu bertubuh gemuk,"
katanya. Beratnya 90 kilo pada usia sembilan belas, ketika ia menikahi Teresa
(begitu kupanggil istrinya), dan sepuluh tahun kemudian beratnya menjadi 136
kilo. Ia pernah menjalani diet dan berat badannya turun 34 kilo, tetapi kemudian
naik lagi 45 kilo. Pada tahun 1985, beratnya 180 kilo. Dalam suatu upaya diet,
ia berhasil menurunkan berat badannya sampai 86
kilo, tetapi kemudian beratnya naik lagi. "Mungkin beratku sudah naik dan turun
lima ratus kilo," katanya. Tekanan darahnya naik, kolesterolnya naik, dan ia
terserang penyakit kencing manis. Lutut dan pinggangnya sakit sepanjang waktu.
Geraknya sangat terbatas. Biasanya ia membeli tiket musiman untuk menonton
pertandingan Boston Bruins, dan teratur pergi ke jalur balap di Seekonk setiap
musim panas untuk menonton balap mobil. Bertahuntahun yang lalu, ia sendiri ikut
sebagai pembalap. Sekarang ia hanya dapat berjalan menuju truk pick-up-nya. Ia
tidak pernah lagi naik pesawat terbang sejak tahun 1983, dan sudah dua tahun ia
tidak pernah lagi naik ke lantai dua rumahnya karena tidak sanggup menaiki
tangga. "Teresa membeli komputer setahun yang lalu untuk kantornya di atas. Saya
belum pernah melihatnya," katanya. Ia harus memindahkan kamar tidurnya di lantai
dua ke sebuah ruang kecil dekat dapur. Sejak itu, karena tidak dapat berbaring,


Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia tidur di kursi yang sandarannya dapat diatur. Begitu pun, ia hanya bisa
terlena sebentar-sebentar karena napasnya sering terhenti ketika tidur, yang
merupakan gejala umum di kalangan penderita obesitas yang diduga karena lemak
tebal di pangkal lidah dan jaringan lunak di bagian atas saluran napas. Setiap
tiga puluh menit napasnya akan terhenti dan ia terbangun karena kekurangan
oksigen. Ia mudah sekali merasa lelah.
Ada juga beberapa kesulitan lain, sesuatu yang hanya dibicarakan oleh segelintir
orang saja. Memelihara kebersihan diri hampir tidak mungkin, katanya. Ia tidak
dapat berdiri untuk berkemih, dan setelah buang air besar ia sering harus mandi
agar dapat membersihkan diri. Lipatan kulit menjadi lecet dan merah, dan kadang
jadi bruntusan dan mengalami infeksi. "Apakah menimbulkan masalah
dalam perkawinan Anda?" tanyaku. "Tentu," jawabnya. "Tak ada lagi kehidupan
seksual. Aku sangat menginginkannya." Tetapi, untuknya, yang terburuk adalah
hilangnya kemampuan untuk mencari nafkah.
Ayah Vincent Caselli datang ke Boston dari Italia pada tahun 1914 untuk bekerja
pada perusahaan konstruksi. Tak lama kemudian, ia sendiri mendapatkan lima buah
mesin pengeruk uap dan membangun perusahaannya sendiri. Pada tahun 1960, Vince
dan saudara laki-lakinya mengambil alih, dan pada tahun 1979 ia menjalankan
usaha itu sendiri. Ia terampil mengoperasikan alat-alat berat. Kekhususannya
adalah menjalankan sebuah Gradall sebuah mesin keruk hidrolik 30 ton seharga
? 300 ribu dolar dan ia mempekerjakan sekelompok orang selama satu tahun untuk ?membangun jalan dan trotoar. Akhirnya dia memiliki sendiri Gradall, dan sebuah
truk berpengeruk MAC beroda sepuluh, sebuah backhoe dan beberapa truk bak
terbuka. Tetapi, tiga tahun terakhir ini, tubuhnya sudah menjadi terlalu besar
sehingga tidak dapat lagi mengoperasikan Gradall atau mengerjakan pemeliharaan
harian semua peralatan itu. Ia harus menjalankan bisnisnya dari rumah dan
membayar orang lain untuk mengerjakan pekerjaan berat; dia melibatkan seorang
keponakan untuk membantu mengelola para pekerja dan berbagai kontrak. Biaya
pengeluarannya meningkat dan karena dia tidak dapat lagi mengunjungi orang-orang
di balai kota, semakin sulit pula untuk mendapatkan kontrak. Kalau bukan karena
pekerjaan Teresa dia seorang manajer bisnis untuk sebuah perusahaan yang
?menyediakan tenaga bantuan untuk dirumah di Boston mereka tentu sudah bangkrut.
?Teresa, seorang wanita cantik berambut merah dengan kulit berbintik (yang,
seperti biasanya, berberat badan normal), selalu mendorongnya untuk menjalani
diet dan berolahraga. Caselli pun sangat ingin menurunkan berat badan, tetapi
tugas yang harus dikerjakannya untuk mengendalikan diri, dari hari ke hari, dari
makan ke makan lagi, rasanya tak tertanggungkan. "Saya orang yang banyak
kesukaan," katanya. "Saya sangat mudah menjadikan sesuatu menjadi kebiasaan."
Dan makan adalah kebiasaannya yang paling buruk, tetapi makan memang kebiasaan
setiap orang. Apa yang aneh dari kebiasaannya, aku bertanya. Yah, porsi yang
dimakannya ternyata terlalu besar dan dia tidak pernah bisa menyisakan sepotong
roti pun di piringnya. Kalau ada pasta tertinggal di mangkok, ia akan memakannya
juga. Tetapi mengapa, aku bertanya dengan penasaran. Apakah hanya karena ia
menyukai makanan" Ia memikirkan jawabannya sebentar. Bukan soal suka, katanya.
"Makan itu sendiri langsung memberikan rasa menyenangkan," katanya, "tetapi cuma
menyenangkan seketika saja." Apakah rasa lapar yang berlebihan yang mendorongnya
makan" "Aku tidak pernah lapar," katanya.
Menurut pendapatku, Caselli makan untuk alasan yang sama dengan alasan orang
lain makan: karena makanan itu enak rasanya, karena sekarang jam tujuh dan
waktunya makan, karena makanan yang lezat sudah terhidang di meja. Dan ia
berhenti makan dengan alasan yang sama dengan alasan orang lain berhenti makan:
karena sudah kenyang dan makan tidak menyenangkan lagi. Perbedaan utamanya
tampaknya terletak pada jumlah makanan yang membuatnya kenyang. (Ia dapat makan
pizza ukuran besar dalam sekejap mata). Untuk menurunkan berat badan, tugas yang
dihadapinya sama beratnya dengan tugas yang dihadapi oleh mereka yang berdiet lainnya berhenti
?makan sebelum kenyang ketika makanan itu masih terasa enak, dan berolahraga.
Semua itu dapat dilakukannya untuk beberapa waktu, dan dengan sedikit bimbingan
dan peringatan bisa sedikit lebih lama, tetapi ia tidak bisa melakukannya untuk
jangka lama. "Aku orang yang lemah," katanya.
Pada awal tahun 1998, internisnya mengatakan padanya dengan tegas, "Kalau kau
tidak dapat menurunkan berat badan, kita harus melakukan sesuatu yang lebih
drastis," Dan yang dimaksud oleh dokter itu adalah pembedahan. Ia kemudian
menjelaskan operasi pintas lambung dan memberikan nomor telepon Dr. Randall.
Bagi Caselli, ini sesuatu yang tidak mungkin. Gambaran tentang operasi itu saja
sudah cukup mencemaskan. Ia tidak dapat menunda urusan bisnisnya untuk menjalani
operasi itu. Namun, setahun kemudian, pada musim semi 1999, ia mengalami infeksi
berat pada kedua kakinya: karena berat badannya terus bertambah, varises di
kakinya muncul, kulitnya jadi tipis dan pecah, menyebabkan luka terbuka dan
bernanah. Walaupun demam dan merasa kesakitan, barulah setelah dibujuk terusmenerus oleh isterinya, ia mau ke dokter. Dokter menetapkan diagnosis selulitis,
yakni radang yang parah pada jaringan lunak, dan ia harus dirawat selama
seminggu di rumah sakit untuk mendapatkan infus antibiotik.
Di rumah sakit, ia menjalani pemayaran ultrasonik untuk melihat sumbatan di
pembuluh darah tungkainya. Setelah itu, seorang ahli radiologi datang untuk
menjelaskan hasil pemeriksaan itu. "Katanya, 'Anda beruntung Bung,'" Caselli
mengenang. "Aku bertanya, 'Apakah aku menang lotere" Apa yang telah kulakukan
sampai dikatakan beruntung"' Jawab si dokter, 'Tak ada sumbatan pada pembuluh
darah Anda, dan aku benarbenar heran. Aku tak bermaksud menakut-nakuti, tetapi
pada orang seperti Anda, dalam situasi seperti situasi Anda, biasanya akan
terdapat bekuan darah. Karena tidak mengalaminya, berarti Anda orang yang cukup
sehat'" tetapi, katanya melanjutkan, hanya kalau Caselli berusaha menurunkan ?berat badannya.
Segera sesudah itu, ahli penyakit infeksi datang memeriksanya, dokter itu
membuka pembalut, memeriksa lukanya, dan embalutnya kembali. Tungkainya membaik,
katanya. Tetapi emudian ia menambahkan satu hal lagi. "'Saya akan menyampaikan
atu hal,'" Caselli mengenang katakata spesialis itu. 'Saya sudah membaca seluruh
rekam medis Anda di mana, pa, dan bagaimana Anda dahulu. Sekarang Anda di sini
?dan nilah yang sedang terjadi. Anda harus menurunkan berat adan dan saya
?mengatakan ini bukan bujukan agar Anda mau melakukannya, saya hanya mengatakan
dengan tegas pada Anda turunkan berat badan Anda, maka Anda akan menjadi orang
?yang sehat. Jantung Anda baik. Paru-paru Anda baik. Anda kuat.'"
"Aku memikirkan kata-katanya dengan serius," kata Caselli. "Dua orang dokter
mengatakan ini padaku, Mereka tidak mengenal aku selain dari apa yang mereka
baca dalam rekam medisku, Tak ada alasan bagi mereka untuk mengatakan itu,
tetapi mereka tahu bahwa berat badan adalah suatu masalah. Dan kalau aku dapat
menurunkannya Setelah pulang ke rumah, ia tetap terbaring sakit di tempat tidur selama dua
minggu. Sementara itu, bisnisnya ambruk. Kontrak tidak berdatangan lagi, dan ia
tahu ketika para pekerjanya selesai mengerjakan pekerjaan yang ada sekarang, ia harus
memberhentikan mereka. Teresa mendaftarkannya untuk menemui Dr. Randall, dan ia
menemuinya. Dr. Randall menjelaskan operasi pintas lambung itu dan berkata terus
terang padanya tentang risiko operasi itu. Ada kemungkinan satu dari dua ratus
orang mati, dan satu dari sepuluh mungkin akan mengalami efek yang tak
diharapkan seperti perdarahan, infeksi, tukak lambung, sumbatan darah, atau
kebocoran ke rongga perut. Dokter juga mengatakan bahwa operasi itu akan
mengubah pola makannya untuk selamanya. Karena tidak dapat bekerja, merasa malu,
merasa tidak sehat, dan kesakitan, Vincent Caselli memutuskan bahwa pembedahan
adalah satu-satunya harapan baginya.
Sulit memikirkan dengan mendalam tentang nafsu makan manusia tanpa
mempertanyakan apakah memang kita bisa mengatur sendiri kehidupan kita ini. Kita
yakin akan kekuatan kemauan dalam arti tersedianya pilihan untuk hal-hal
?sederhana, seperti akan tetap duduk atau berdiri, akan bicara atau tidak, akan
makan sepotong pisang goreng atau tidak. Tetapi, sedikit sekali orang, yang
gemuk maupun yang kurus, dapat dengan sukarela menurunkan berat badan untuk
jangka lama. Kisah penanganan untuk menurunkan berat badan adalah salah satu
kisah kegagalan yang hampir tak pernah berhenti. Apa pun paduan
penanganannya diet cairan, diet tinggi protein, atau diet jeruk, diet Zone,
?diet Atkins, atau diet Dean Ornish berat badan akan segera turun, tetapi tidak
?bertahan lama. Suatu kelompok ahli di National Institute of Health tahun 1993
menelaah berbagai penelitian diet selama puluhan tahun dan menemukan bahwa
antara 90 sampai 95 persen orang kembali naik berat badannya dalam setahun sebanyak
sepertiga sampai dua pertiga dari berat yang pernah berkurang dan kembali ke
?berat semula dalam lima tahun. Dokter pernah memasang kawat di rahang pasien
agar rahangnya lebih rapat, meniupkan balon plastik ke dalam lambung, membuang
lapisan lemak, meresepkan amfetamin dan hormon tiroid jumlah besar, bahkan
melakukan pembedahan otak untuk menghancurkan pusat lapar di
hipotalamus tetapi, tetap saja berat badannya naik kembali. Pemasangan kawat
?rahang, misalnya, dapat menurunkan berat badan cukup banyak, dan pasien yang
minta dipasangkan kawat itu datang dengan motivasi kuat, tetapi beberapa di
antaranya akhirnya minum cairan berkalori dengan rahangnya yang hampir rapat itu
sampai berat badannya naik lagi, dan yang lainnya gemuk kembali segera setelah
kawatnya diangkat. Kita adalah spesies yang berevolusi untuk sanggup mengatasi
kelaparan, bukan melawan berlimpahnya pangan.
Satu kelompok manusia yang merupakan kekecualian dari kisah kegagalan yang
menyedihkan ini adalah, dan ini sangat mengejutkan, anakanak. Tak ada yang dapat
membantah bahwa anakanak memperlihatkan pengendalian diri yang lebih baik jika
dibandingkan dengan orang dewasa. Dalam empat penelitian acak pada anakanak
penderita obesitas antara usia enam dan dua belas tahun, terlihat bahwa anak
yang mendapatkan pendidikan perilaku sederhana (pelajaran mingguan selama
delapan sampai dua belas minggu diikuti dengan pertemuan bulanan sampai dengan
satu tahun), sepuluh tahun kemudian berat badannya berkurang jika dibandingkan
dengan anakanak yang tidak mendapatkan pendidikan
itu; 3D persen di antaranya tidak tergolong penderita obesitas lagi. Tampaknya
nafsu makan anak lebih mudah dibentuk, sementara nafsu makan orang dewasa tidak.
Saat yang paling menentukan adalah makan itu sendiri. Sedikitnya ada dua hal
yang membuat orang makan lebih dari seharusnya dalam suatu jamuan. Salah satunya
adalah dengan makan secara perlahan tetapi terus-menerus dan untuk jangka lama
sekali. Inilah yang dilakukan oleh para pengidap sindrom Prader-Willi. Akibat
gangguan fungsi hipotalamus yang bersifat herediter (diturunkan/diwariskan),
mereka tidak pernah merasa puas makan. Dan walaupun kecepatan makannya hanya
separuh kecepatan makan orang pada umumnya, mereka tidak ada berhentinya. Mereka
akan menjadi penderita obesitas yang sangat parah, kecuali jika dilakukan
pembatasan makan yang ketat (sedemikian ketatnya sehingga beberapa di antaranya
akan makan sampah atau makanan hewan kalau tak menemukan yang lain).
Namun, pola yang lebih lazim adalah makan secara cepat. Manusia dapat mengalami
apa yang oleh para ilmuwan disebut sebagai "paradoks lemak." Makanan yang masuk
ke dalam lambung dan duodenum (usus dua belas jari, yaitu usus halus bagian
atas) akan memicu reseptor peregangan, reseptor protein, dan reseptor lemak yang
mengirim sinyal ke hipotalamus untuk menimbulkan rasa kenyang. Tak ada yang
menimbulkan reaksi lebih cepat daripada yang ditimbulkan oleh lemak. Walaupun
jumlahnya kecil, bila sampai ke duodenum, lemak akan menyebabkan orang
menghentikan makannya. Tetapi, kita tetap saja makan terlalu banyak lemak.
Mengapa ini bisa terjadi" Alasannya adalah kecepatan makan. Ternyata makan juga
dapat memicu reseptor di mulut yang sinyalnya membuat hipotalamus meningkatkan
kecepatan makan dan, lagi-lagi, yang merangsang paling kuat adalah lemak. ?Sedikit lemak di lidah, maka reseptor itu akan mendorong kita untuk makan cepat,
sebelum sinyal yang dari usus menghentikannya. Semakin enak makanannya, semakin
cepat kita makan ini fenomena yang disebut "efek makanan pembuka." (Ini
?terjadi, kalau Anda ingin tahu, bukan dengan mengunyah lebih cepat, melainkan
dengan lebih sedikit. Para peneliti dari Prancis membuktikan bahwa untuk dapat
makan lebih banyak dan lebih cepat, orang memperpendek masa mengunyahnya
?mereka melakukan lebih sedikit "kunyahan per satuan makanan" sebelum
menelannya). Tampaknya, seberapa beratnya berat badan seseorang ditentukan oleh, antara lain,
bagaimana hipotalamus dan batang otak menimbang berbagai sinyal yang
bertentangan dari mulut dan usus itu, Sebagian orang merasa kenyang lebih dini
ketika makan; yang lainnya, seperti Vincent Caselli, mengalami efek makanan
pembuka jauh lebih lama. Dalam beberapa tahun terakhir ini, telah lebih banyak
yang berhasil diungkapkan tentang mekanisme pengendalian ini. Kita sekarang
tahu, misalnya, bahwa hormon semacam leptin dan neuropeptid Y kadarnya naik dan
turun sesuai dengan kadar lemak, dan dengan demikian mengatur nafsu makan.
Tetapi, pengetahuan kita tentang mekanisme ini masih belum cukup mendalam.
Perhatikanlah sebuah laporan pada tahun 1998 tentang dua pria, "BR" dan "RH,"
yang menderita amnesia berat. Seperti tokoh jahat dalam film Memento, mereka
dapat bercakapcakap wajar dengan Anda, tetapi ketika sesuatu mengalihkan
perhatian mereka, maka mereka
akan lupa pada semua yang baru saja berlangsung, bahkan tidak ingat bahwa sedang
bercakapcakap dengan Anda. (BR pernah mendapat serangan ensefalitis berat; RH
pernah mendapat serangan kejang selama dua puluh tahun). Paul Rozin, seorang
dosen psikologi di Universitas Pennsylvania menggunakan mereka dalam sebuah
penelitian yang mempelajari hubungan antara ingatan dan makan. Selama tiga hari
berturutturut, ia dan timnya memberikan makanan yang khas untuksetiap subjek
penelitian (BR mendapat daging, bubur bulgur, tomat, kentang, kacang merah,
roti, mentega, buah peach, dan teh; RH mendapat veal parmigiana dengan pasta,
kacang panjang, jus, dan app!e crumb cake). Setiap hari BR menghabiskan makanan,
dan RH tidak dapat menghabiskannya. Kemudian, piring mereka diambil. Sepuluh
sampai tiga puluh menit kemudian, para peneliti itu datang kembali membawakan
makanan yang sama. Mereka mengatakan "Ini makan siang Anda." Keduanya makan
seperti sebelumnya. Sepuluh sampai tiga puluh menit berikutnya, para peneliti
datang lagi membawakan makanan yang sama. Mereka mengatakan "Ini makan siang
Anda," dan kembali mereka makan. Pada beberapa kesempatan lain, para peneliti
bahkan pernah menawarkan RH makan siang yang keempat. Pada saat itulah ia
menolak dengan halus sambil berkata bahwa "perutnya agak tegang." Reseptor
regangan lambung bukan tidak berfungsi sepenuhnya. Jadi, pada orang yang lupa
bahwa ia sudah makan, konteks sosial saja orang datang membawa makan ?siang sudah cukup untuk membangkitkan nafsu makan.
?Dapat Anda bayangkan dua tenaga di dalam otak bersaing untuk membuat Anda merasa
lapar dan merasa kenyang. Anda punya reseptor di mulut dan reseptor pembau, melihat teramisu akan
mendorong ke satu arah dan reseptor di usus mendorong ke arah lainnya. Anda
punya leptin dan neuropeptida yang mengatakan pada Anda bahwa cadangan lemak
Anda terlalu banyak atau sedikit. Anda juga punya kepekaan sosial dan pribadi
untuk memutuskan apakah makan lebih banyak adalah perilaku yang baik. Bila salah
satu mekanisme itu terganggu, barulah timbul masalah.
Mengingat kerumitan masalah nafsu makan dan pengertian kita yang belum sempurna
tentang hal itu, maka tidak mengherankan bahwa obat yang mengubah nafsu makan
tidak berhasil membuat orang makan lebih sedikit. (Kombinasi dua obat
fenfluramin dan fentermin, atau "fen-fen" adalah yang paling berhasil, tetapi
kombinasi ini menyebabkan kelainan katup jantung sehingga telah ditarik dari
peredaran). Para peneliti universitas dan pabrik obat melakukan penelitian
secara intensif untuk menemukan obat yang dapat secara efektif mengobati
obesitas berat. Sejauh ini obat itu belum ditemukan. Walaupun demikian, suatu
penanganan terbukti efektif, dan anehnya, penanganan itu adalah operasi.
Di rumah sakitku, ada perawat ruang pemulihan yang berusia 48 tahun dan
tingginya hanya sedikit di atas 150 senti, dengan rambut cokelat kekuningan
potongan anak lelaki dan tubuh yang nyaris atletis. Sambil minum kopi di kafe
rumah sakit pada suatu hari, tak lama setelah kunjunganku ke Vincent Caselli, ia
mengungkapkan bahwa ia pernah punya berat badan lebih dari 110 kilo. Carla
(demikian aku memanggilnya) menjelaskan bahwa ia telah menjalani pintas lambung
sekitar lima belas tahun yang
lalu. Ia telah menderita obesitas sejak berusia lima tahun. Ia mulai menjalani diet
dan memakan pil diet pencahar, diuretik, amfetamin ketika di bangku SMP.
? ?"Masalahnya bukan menurunkan berat badan," katanya "Yang masalah adalah
mempertahankannya setelah turun." Ia ingat betapa kesalnya ia ketika jalan-jalan
ke Disneyland bersama teman-teman, ia mendapati dirinya terlalu gemuk sehingga
tidak dapat melewati pintu putar untuk masuk. Pada usia 33, beratnya 120 kilo.
Suatu hari ketika menemani pacarnya, seorang dokter, ke konferensi di New
Orleans, ia merasa sangat sesak napas ketika berjalan sepanjang Bourbon Street.
Untuk pertama kali, katanya, "Aku jadi mengkhawatirkan hidupku bukan saja
?kualitasnya, tetapi lamanya hidup."
Itu pada tahun 1985. Dokter pada waktu itu sedang mencobakan pembedahan radikal
untuk obesitas, tetapi antusiasme untuk itu lama-kelamaan menurun. Dua operasi
tampaknya menjanjikan. Yang pertama, dikenal sebagai pintas yeyuno-ileal yang
?merupakan operasi memintas hampir semua usus halus sehingga hanya sejumlah kecil
saja makanan yang diserap ternyata menyebabkan kematian. Yang lainnya,
?pengecilan lambung dengan stapel ternyata dengan berlalunya waktu jadi tidak
efektif; orang cenderung untuk beradaptasi dengan lambung yang kecil, makan
makanan berkalori tinggi semakin sering.
Namun, karena bekerja di rumah sakit, Carla mendengar laporan yang


Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggembirakan tentang operasi pintas lambung pengecilan lambung ditambah ?dengan pemindahan aliran makanan di usus sehingga makanan hanya memintas satu
meter di awal usus kecil. Dia tahu
bahwa data tentang keberhasilannya masih sedikit dan beberapa operasi gagal, dan
ia menunggu sampai setahun sebelum memutuskan. Tetapi, semakin bertambah berat
badannya, ia semakin yakin bahwa ia harus mencoba kesempatan itu. Pada bulan Mei
1986, ia memutuskan untuk menjalani operasi itu.
"Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan kenyang," katanya. Enam
bulan setelah operasi, berat badannya turun sampai 84 kilo. Enam bulan
berikutnya, beratnya 59 kilo. Ia menjadi sangat kurus sehingga harus menjalani
operasi untuk membuang lipatan kulit yang menggantung di perutnya dan lipatan di
paha yang menggantung menutupi lutut. Semua orang yang pernah mengenalnya tidak
mengenalinya lagi, bahkan ia sendiri pangling melihat dirinya. "Aku pergi ke bar
untuk melihat apakah aku bisa memikat perhatian orang untuk diajak kencan dan
?ternyata bisa," katanya. "Aku selalu menolak," ia segera menambahkan sambil
tertawa. "Tetapi, pokoknya aku berhasil memikat perhatian orang."
Ternyata, perubahannya bukan hanya bersifat fisik. Lambat laun ia merasa ada
dorongan kuat untuk menghindari makanan, dorongan yang tidak lazim baginya. Ia
tidak lagi harus makan segala sesuatu: "Ketika aku makan, selalu muncul
pertanyaan apakah makanan ini baik untukku" Apakah berat badanku akan naik kalau
aku memakannya banyak-banyak" Maka aku bisa berhenti makan." Perasaan itu
mengherankannya. Ia mengerti bahwa pembedahan itulah yang membuatnya tidak makan
sebanyak sebelumnya, tetapi ia merasa bahwa ia memang tidak ingin makan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ini khas untuk pasien yang berhasil
menjalankan operasi pintas lambung.
"Aku memang lapar, tetapi aku cenderung untuk berpikir lebih lanjut," seorang
wanita lainnya yang menjalani operasi itu berkata padaku, dan ia menggambarkan
percakapan dalam dirinya seperti apa yang terjadi pada Carla: "Aku bertanya pada
diriku 'apakah aku benarbenar memerlukannya"' Aku memerhatikan diriku." Pada
kebanyakan orang, perasaan ingin mengendalikan diri ini bukan hanya pada makan.
Mereka menjadi lebih percaya diri, bahkan sedikit memaksakan kehendak kadang
?sampai menimbulkan konflik. Angka perceraian, misalnya, meningkat setelah
pembedahan itu. Memang, beberapa bulan setelah operasi, Carla dan pacarnya
putus. Penurunan drastis pada berat badan Carla bukanlah suatu penyimpangan.
Serangkaian laporan kasus sekarang memperlihatkan bahwa pasien yang menjalani
operasi pintas lambung kehilangan sedikitnya dua pertiga dari kelebihan berat
badannya, (biasanya lebih dari 45 kilo) dalam setahun. Penurunan itu pun
bertahan: kajian selama sepuluh tahun sesudahnya menunjukkan peningkatan berat
badan hanya lima sampai sepuluh kilo. Dan manfaatnya pada kesehatan sangat
menonjol; kecenderungan mereka mendapat serangan jantung, asma, atau artritis
berkurang; yang paling mengesankan dari semuanya adalah 80 persen dari mereka
yang menderita kencing manis sembuh dari penyakit itu.
Pada suatu pagi di bulan Januari 2000 aku mampir menengok Vincent Caselli,
sekitar empat bulan setelah operasi. Ia memang tidak berjalan cepat menuju
pintu, tetapi sekarang ia tidak sesak napas. Kantung di bawah matanya sudah
mengecil. Wajahnya lebih berbentuk. Walaupun padat, pinggangnya tampak lebih
kecil, gelambir - nya lebih sedikit. Ia mengatakan bahwa berat badannya 158 kilo masih terlalu berat untuk orang
?yang tingginya 1 meter 67,5 senti, tetapi 41 kilo lebih rendah daripada sebelum
operasi. Dan penurunan itu sudah menimbulkan banyak perubahan dalam hidupnya.
Bulan Oktober yang lalu, katanya, ia tidak dapat menghadiri pernikahan putri
bungsunya karena tidak sanggup berjalan menuju ke gereja. Tetapi, pada bulan
Desember, berat badannya sudah turun sehingga ia dapat berjalan menuju ke
bengkel mobilnya di East Dedham setiap pagi. "Kemarin aku menurunkan tiga ban
truk," katanya "Melakukan itu tiga bulan yang lalu" Tak mungkin." Ia menaiki
tangga rumahnya untuk pertama kali setelah tahun 1997. "Suatu hari menjelang
hari Natal, aku berkata pada diriku, 'Mari kita lihat, aku harus mencoba.' Aku
melangkah perlahan satu demi satu." Ia hampir tak mengenali lagi lantai dua
rumahnya. Kamar mandi telah direnovasi, dan Teresa, tentu saja, telah mengambilalih kamar tidur, termasuk lemarinya. Ia akan pindah lagi ke atas, katanya,
walaupun masih harus menunggu agak lama, Ia masih harus tidur setengah duduk di
kursi, tetapi sudah dapat tidur selama empat jam sekarang-"Syukurlah," katanya.
Penyakit kencing manisnya sembuh. Dan walaupun ia masih belum bisa berdiri lebih
lama dari dua puluh menit, tukak di kakinya pun telah sembuh. Ia menyingsingkan
celananya untuk memperlihatkan kakinya. Ternyata ia memakai sepatu kerja Red
Wing ang biasa sebelumnya ia harus memotong sisi sepatu itu agar dapat ?memasukkan kakinya.
"Aku masih harus menurunkan berat badanku sedikitnya 45 kilo lagi," katanya. Ia
ingin bisa bekerja kembali, menjemput cucunya, membeli baju di toko Filane,
pergi ke mana saja tanpa harus bertanya pada diri sendiri, "Apakah ada tangga di sana"
Apakah kursinya cukup besar untukku" Apa aku akan sesak napas?" Ia masih tetap
makan sedikit, seperti burung. Hari sebelumnya ia tidak makan apa pun pada pagi
hari, siangnya makan sepotong ayam dengan wortel rebus dan sebutir kentang
panggang kecil, dan malam makan seekor udang goreng, sepotong ayam teriyaki, dan
dua sendok lo mi ayam-sayur dari restoran China. Ia memulai kembali usahanya,
dan, katanya padaku, ia baru-baru ini pergi untuk makan siang dengan relasi
bisnisnya. Di sebuah restoran baru di Hyde Park-"istimewa," katanya dan ia tak
?dapat menahan diri untuk tidak memesan burger besar dan sepiring kentang goreng.
Namun, ia berhenti hanya setelah dua gigitan burger. "Salah seorang temannya
bertanya, 'Cuma itu yang dapat kaumakan"' Dan aku menjawab, 'Aku tak dapat makan
lebih banyak.' 'Sungguh"' 'Ya,' kataku, 'aku tak dapat makan lebih banyak.
Memang begitulah." Namun, kuperhatikan bahwa caranya bicara tentang makan berbeda dangan cara Carla
membicarakannya. Ia tidak mengatakan bahwa ia berhenti makan karena ingin
berhenti, tetapi karena ia harus berhenti. Ada keinginan untuk makan lagi,
katanya menjelaskan, tetapi "Aku akan mulai merasa bahwa sesuap lagi akan
membuatku terpaksa muntah." Namun, ia sering makan sesuap lagi. Dengan serangan
mual, nyeri, dan kembung yang dikenal sebagai dumping syndrome ia akhirnya
? ?muntah. Kalau ada cara untuk makan lebih banyak, ia tetap mau makan. Ini
membuatnya takut, katanya mengakui. "Ini tidak benar," katanya.
Tiga bulan kemudian, dalam bulan April, Vince mengundang aku dan anakku untuk
mampir di bengkelnya di East Dedham, Walker berusia empat tahun ketika itu, dan Vince ingat aku
pernah mengatakan bahwa Walker sangat menyukai segala yang bersifat mekanik.
Maka, pada hari Sabtu saat aku bebas tugas, kami pergi ke sana. Ketika kami
menghentikan mobil di jalan berbatu menuju bengkel itu, Walker bersiul kagum.
Bengkel itu mirip suatu gudang yang sangat besar dengan pintu dua tingkat dan
dinding logam bercat kuning. Di luar, udaranya hangat sebagaimana biasanya pagi
musim semi, tetapi di dalam terasa sejuk. Langkah kami terdengar bergema di atas
lantai beton. Vince dan sahabatnya, seorang kontraktor alat berat yang ku
panggil Danny, tampak duduk di kursi lipat logam di bawah seberkas sinar
matahari sambil mengisap cerutu Honduras, menikmati pagi dengan damai. Keduanya
berdiri menyambut kami. Vince memperkenalkan aku sebagai "salah seorang dokter
yang mengerjakan operasi lambungku" dan aku memperkenalkan Walker yang menyalami
mereka, tetapi pandangan matanya tertuju ke beberapa truk besar. Vince
mengangkatnya dan mendudukkannya di kursi pengemudi sebuah mobil keruk dengan
alat pengeruk di depan, yang diparkir di salah satu pojok bengkel itu, dan
membiarkan Walker bermain dengan berbagai tombol dan tuas di mobil itu.
Kemudian, kami menuju ke Gradall kesayangannya, sebuah tank yang gagah, selebar
jalan desa dengan rambu lalu lintas warna kuning, dan ban hitam yang berkilat
setinggi dadaku. Nama perusahaannya tertera dalam tulisan berukir di badannya.
Pada oasisnya, yang tingginya satu meter delapan puluh senti dari tanah,
terdapat kabin pengemudi bertutup kaca dan sebuah teropong sepanjang sepuluh
meter yang bertumpu pada dudukan yang dapat berputar 360 derajat. Kami
mengangkat Walker masuk ke kabin itu dan ia berdiri di situ beberapa waktu, jauh
di atas kami, menarik tuas dan menekan pedal, merasa pusing sekaligus gamang.
Aku bertanya pada Vince tentang usahanya. Tidak baik, katanya. Selain beberapa
pekerjaan pada akhir musim dingin untuk membersihkan kota dari salju dengan truk
bak terbuka, tak ada lagi pemasukan sejak Agustus. Ia harus menjual dua dari
tiga pick-up-nya, truk pengeruk Mack-nya, dan hampir semua peralatan kecil untuk
membangun jalan. Danny mengemukakan alasannya. "Yah, selama ini 'kan dia tidak
aktif," katanya. "Lagi pula, kita baru saja memasuki musim panas, Ini 'kan usaha
musiman" Tetapi, kami semua tahu bahwa bukan itu masalahnya.
Vince mengatakan bahwa berat badannya sekarang 145 kilo. Ini 13,5 kilo lebih
rendah daripada saat aku terakhir bertemu dengannya, dan ia sangat bangga dengan
kenyataan ini. "Dia tidak suka makan," kata Danny. "Makannya separuh dari yang
kumakan." Tetapi, Vince masih belum dapat naik ke Gradall dan mengoperasikannya.
Dan ia mulai khawatir apakah keadaan itu akan berubah. Laju pengurangan berat
badannya tampaknya mulai melambat, dan ia merasa bahwa ia dapat makan lebih
banyak. Sebelumnya, ia hanya dapat makan beberapa suap burger, tetapi sekarang
ia bahkan dapat menghabiskan separuhnya. Dan ia memang makan lebih banyak
daripada yang dapat ia kendalikan. "Minggu yang lalu, Danny dan seorang teman,
kami ada usaha bersama," katanya, "kami makan makanan Cina, Berhari-hari, aku
tidak makan makanan yang baik aku berusaha melakukan apa yang dapat kulakukan, ?tetapi aku makan agak banyak. Aku harus mengantarkan Danny kembali ke
Boston College, dan sebelum sempat keluar dari tempat parkir, aku sudah tak
tahan, aku terpaksa muntah."
"Rasanya aku sudah kembali ke pola dulu ketika aku selalu ingin makan," katanya
melanjutkan. Memang perutnya membuatnya berhenti makan, tetapi ia khawatir.
Bagaimana kalau suatu hari perutnya bisa menerima kembali makanan" Ia mendengar
tentang orang-orang yang stapelnya lepas dan ukuran lambungnya kembali ke ukuran
semula, atau yang berat badannya kembali naik dengan cara lain.
Aku berusaha meyakinkannya. Kukatakan bahwa aku tahu Dr. Randall telah
mengatakan padanya dalam pertemuannya yang terakhir: bahwa akan terjadi sedikit
peningkatan daya tampung lambungnya, dan bahwa hal yang dialaminya adalah
normal. Tetapi, apakah dapat terjadi sesuatu yang lebih buruk" Aku tak mau
mengatakannya. Di antara para pasien pintas lambung yang kuajak bicara, ada seorang pria yang
kisahnya masih merupakan tanda tanya dan peringatan bagiku, Ia berusia 42 tahun,
menikah, punya dua orang anak perempuan. Kedua putrinya itu punya bayi tanpa
suami dan masih tinggal bersama keluarganya. Ia adalah manajer sistem komputer
senior di sebuah perusahaan besar. Pada usia 38, ia sudah harus pensiun dan
tidak dapat bekerja karena berat badannya yang sudah lebih dari 136 kilo sejak
?di sekolah menengah naik sampai lebih dari 204 kilo sehingga menyebabkan sakit
?pinggang yang tak teratasi. Tak lama kemudian, ia pun terpaksa diam terus di
rumah. Ia tidak sanggup jalan setengah blok sekalipun. Ia hanya dapat berdiri
tegak sebentar saja. Ia keluar rumah,
rata-rata sekali seminggu, biasanya untuk pergi ke dokter. Pada bulan Desember
1998, ia menjalani bedah pintas lambung. Pada bulan Juni berikutnya berat
badannya berkurang 45 kilo.
Kemudian, "Aku mulai makan lagi," demikian katanya. Pizza, berkotak-kotak kue
kering yang bergula. Berpak-pak donat. Sekarang benarbenar sulit untuk
mengatakannya. Lambungnya tetap kecil dan hanya dapat menampung makanan dalam
jumlah kecil pada sekali makan, dan ia merasakan mual berat dan nyeri yang
dirasakan oleh setiap pasien bedah pintas lambung ketika mereka makan makanan
manis atau berkalori tinggi. Tetapi, dorongan makannya tetap lebih tinggi dari
sebelumnya. "Aku makan, meskipun terasa nyerinya bahkan sampai ingin muntah," ?katanya. "Kalau aku muntah, maka aku bisa makan lagi. Aku akan makan sepanjang
hari." Tak ada waktu tanpa makan sesuatu. "Kututup pintu kamar tidur, anakanakku berteriak-teriak, kedua bayi menangis, istriku sedang bekerja, dan aku
mulai makan." Berat badannya kembali menjadi 204 kilo, dan kemudian lebih.
Operasinya gagal. Dan hidupnya kembali tenggelam dalam kegilaan memenuhi nafsu
makannya. Ia adalah salah satu dari 5 sampai 20 persen pasien laporan penelitian
?memberikan angka yang berbeda-beda yang kembali naik berat badannya setelah
?bedah pintas lambung. (Ketika kami bertemu, ia sudah mendaftarkan diri untuk
menjalani operasi lagi, bedah pintas lambung yang lebih radikal, dengan harapan
bahwa akan terjadi perubahan). Pada semua operasi yang gagal ini, pasiennya akan
jatuh lagi ke keadaan yang menyebabkan berat badannya naik lagi. Pembedahan yang
membuat makan berlebihan menjadi sesuatu yang sangat sulit dan
tidak menyenangkan yang pada lebih dari 80 persen pasien akhirnya cukup untuk
?menghilangkan nafsu makan kadang dapat sia-sia sama sekali. Belum ada
?penelitian yang ditujukan untuk mengungkapkan faktor risiko terhadap hasil
seperti itu. Tampaknya, keadaan itu dapat terjadi pada siapa saja.
Beberapa bulan berlalu sebelum aku bertemu lagi dengan Vince, Musim dingin tiba,
aku meneleponnya untuk menanyakan kabarnya. Ia menjawab bahwa ia baik-baik saja
dan aku tidak bertanya lebih jauh. Tetapi, ketika kami berencana untuk bertemu,
ia mengatakan bahwa pasti akan menyenangkan kalau kami pergi bersama menonton
pertandingan Boston Bruin. Barulah aku tersadar, mungkin memang dia baik-baik
saja. Beberapa hari kemudian, ia menjemputku di rumah sakit dengan truk Dodge Ram enam
rodanya yang berisik. Untuk pertama kali sejak aku mengenalnya, ia tampak kecil
di dalam truk besar itu. Berat badannya turun sampai 113,5 kilo. "Ya, memang
belum sekeren bintang film Gregory Peck," katanya, tetapi sekarang ini ia tidak
berbeda dari orang pada umumnya gemuk yang biasa. Lipatan kulit di bawah
?dagunya sudah hilang. Wajahnya telah berbentuk. Tubuhnya tidak lagi membuyut di
antara tungkainya. Dan, hampir satu setengah tahun setelah operasi, berat
badannya masih terus turun. Di Fleet Center, tempat berlangsungnya pertandingan
Bruin, ia naik ke tangga berjalan tanpa bertumpu. Tiket kami diambil di pintu
gerbang Bruin bertanding melawan Pittsburgh Penguins dan kami melewati pintu
? ?putar. Tibatiba ia berhenti, "Lihat!" teriaknya. "Aku dapat melewatinya, tanpa
kesulitan. Aku belum pernah melewati pintu itu." Itulah saat pertama ia
menikmati peristiwa semacam ini sejak bertahuntahun.
Kami mengambil tempat duduk kira-kira 24 baris dari arena es, dan ia sedikit
tertawa karena tubuhnya pas di kursi. Deretan kursi itu cukup rapat seperti di
bus, tetapi ia dapat duduk dengan nyaman. (Akulah yang sukar bergerak karena
kakiku yang panjang). Vince segera menemukan kesenangan di sini. Ia adalah
penggemar hoki sejak kecil sehingga dapat menjelaskan segala sesuatunya padaku:
Garth Snow, penjaga gawang Penguin, adalah pemuda setempat, dari Wrentham, dan
teman salah seorang sepupu Vince; Joe Thornton dan Jason Allison adalah
penyerang Bruin terbaik, tetapi tak ada yang menandingi Mario Lemieux dari
Penguin. Hampir dua ribu orang yang menonton pertandingan ini, tetapi dalam
waktu sepuluh menit Vince sudah menemukan teman yang dikenalnya di pemangkas
rambut, duduk beberapa deret dari tempat kami.
The Bruins menang, kami pulang dengan riang dan heboh. Sesudah itu, kami makan
malam di sebuah restoran masakan panggang di dekat rumah sakit. Vince bercerita
bahwa usahanya akhirnya hidup kembali dan berjalan baik. Ia dapat mengoperasikan
Gradall tanpa kesulitan dan ia mendapat pekerjaan yang menggunakan Gradall penuh
pada tiga bulan terakhir. Ia bahkan mulai berpikir untuk membeli yang model
baru. Di rumah, ia telah pindah kembali ke lantai atas. Ia dan Teresa berlibur
ke Adirondacks; mereka sering keluar malam dan mengunjungi para cucu.
Aku bertanya apa yang berubah setelah terakhir kali aku melihatnya di musim semi
yang lalu. Ia tidak dapat menjelaskannya dengan tepat, tetapi ia memberikan
sebuah contoh. "Dulu aku suka sekali biskuit Italia, dan
sekarang pun masih suka," katanya. Setahun yang lalu ia biasa memakannya sampai
ingin muntah. "Tetapi sekarang, entahlah, sekarang rasanya terlalu manis.
Sekarang aku makan satu, dan setelah satu atau dua gigitan, aku tak mau lagi."
Begitu juga dengan pasta yang dulu selalu jadi masalah untuknya. "Sekarang aku
cukup mencicipi saja dan sudah puas."
Tampaknya seleranya terhadap makanan berubah. Ia menunjuk nachos, dan Buffalo
wings (sayap ayam), dan hamburger pada daftar menu, dan mengatakan bahwa ia
sendiri kaget bahwa ia tidak lagi ingin makan ketiga jenis makanan itu.
"Tampaknya aku cenderung memilih protein dan sayuran sekarang," katanya, dan ia
memesan selada ayam Caesar. Tetapi, ia juga merasakan bahwa ia tidak lagi
bernafsu untuk makan banyak. "Aku biasanya segan menyingkirkan makanan,"
katanya. "Sekarang yah sekarang berbeda." Tetapi, kapan perubahan ini terjadi" ?Dan bagaimana" Ia menggelengkan kepala. "Sayang aku juga tak tahu persis,"
katanya. Ia diam sejenak untuk mengingat-ingat. "Sebagai manusia, kita rupanya
menyesuaikan diri. Kita mengira tidak, tetapi ternyata ya, kita memang
menyesuaikan diri." Dewasa ini, bukan kegagalan operasi obesitas yang menimbulkan kekhawatiran,
tetapi justru keberhasilannya. Dulu, untuk waktu yang lama, operasi ini dianggap
suatu tindakan yang tidak terhormat. Ahli bedah Bariatrik begitulah sebutan
?untuk dokter bedah obesitas menghadapi skeptisisme yang luas tentang
?pertimbangan untuk terus mengembangkan operasi radikal semacam itu padahal
berbagai versi operasi sebelumnya sudah gagal. Bahkan kadang muncul tantangan
yang kuat bagi mereka untuk memaparkan hasil kerja mereka di berbagai konferensi bedah yang bergengsi.
Mereka merasakan betapa para ahli bedah lain memandang rendah para pasien mereka
(yang dianggap punya masalah emosional bahkan moral) dan juga memandang rendah
mereka.

Drama Di Ujung Pisau Bedah A Surgeon's Notes On An Imperfect Science Karya Atul Gawande di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang semua itu sudah berubah. The American College of Surgeons akhirakhir
ini menerima bedah bariatrik sebagai salah satu spesialisasi. The Nasional
Institute of Health mengeluarkan pernyataan sepakat bahwa bedah pintas lambung
adalah satu-satunya terapi yang dikenal efektif untuk mengatasi obesitas morbid
(kegemukan yang merupakan penyakit), yang dapat menghasilkan penurunan berat
badan jangka panjang dan memperbaiki kesehatan, Dan kebanyakan asuransi setuju
untuk memberikan penggantian biaya.
Para dokter beralih dari menolaknya menjadi mendukungnya, kadang membujuk pasien
obesitas mereka untuk mau menjalani operasi itu. Dan ternyata pasien demikian
tidak sedikit. Lebih dari lima juta orang dewasa Amerika memenuhi kriteria
obesitas morbid yang cukup ketat. ("Indeks massa tubuh" mereka, yaitu berat
badannya dalam kilogram dibagi dengan tinggi dalam meter dipangkalkan dua,
adalah empat puluh atau lebih, dan untuk rata-rata orang itu berarti kelebihan
berat badan sekitar 45 kilo atau lebih). Sepuluh juta orang lebih ternyata
beratnya masih di bawah batas obesitas, tetapi mungkin sudah punya masalah
kesehatan cukup serius yang berhubungan dengan obesitas sehingga dianjurkan
untuk dioperasi. Sekarang ini, jumlah orang yang memerlukan pembedahan obesitas
sepuluh kali lebih banyak daripada jumlah yang memerlukan bedah pintas jantung
dalam setahun. Sangat banyak orang yang mencari pertolongan melalui pembedahan
itu dan ahli bedah khusus yang ada tidak dapat memenuhi tuntutan itu. The
American Sociaty of Bariatric Surgery hanya mempunyai lima ratus anggota yang
melakukan pembedahan itu di seluruh AS, dan daftar tunggu mereka umumnya
berbulan-bulan. Maka muncullah masalah yang sangat umum untuk teknik bedah yang
baru dan mahal (biayanya dapat mencapai 20 ribu dolar): para dokter bedah muda
berebutan mengambil spesialisasi itu, mereka adalah dokter yang sudah
menyelesaikan pendidikan bedah umum, tetapi belum menguasai teknik itu dan yang
belum menjalani pendidikan sama sekali. Komplikasi lebih lanjut adalah banyak
ahli bedah mengembangkan berbagai variasi atas operasi baku, yang belum diteliti
sepenuhnya ada "duodenal switch", ada pintas "cabang panjang", ada pintas ?laparoskopi. Dan beberapa ahli bedah mengejar populasi baru sebagai sasaran,
seperti kaum remaja dan orang yang sebenarnya gemuknya sedang-sedang saja.
Namun, yang tampaknya paling mengganggu dalam melambungnya popularitas bedah
pintas lambung adalah dunia sekitarnya. Dalam budaya AS, kegemukan dipandang
sebagai sesuatu yang salah, dan janji untuk membuat kurus dalam seketika apa
?pun risikonya dapat menjadi godaan yang sulit ditolak. Dokter dapat
?menganjurkan operasi atas pertimbangan kesehatan pasien, tetapi jelas bahwa
stigma tentang obesitaslah yang mengantar banyak pasien ke meja operasi.
"Bagaimana Anda bisa jadi segemuk itu?" itulah yang sering dipertanyakan orang
dalam senyum tanpa kata, bahkan kadang ditanyakan langsung. (Caselli
menceritakan bahwa beberapa orang yang tak dikenalnya menanyakan hal itu di
jalan). Perempuan lebih menderita daripada lelaki akibat
sanksi sosial ini, dan bukan kebetulan bahwa wanita yang menjalani operasi ini
tujuh kali lebih banyak daripada pria. (Padahal wanita penderita obesitas hanya
delapan kali lebih banyak daripada lelaki penderita obesitas.)
Memang, bila menolak menjalani operasi padahal Anda sepatutnya dioperasi, Anda
akan dipandang melakukan sesuatu yang tidak wajar. Seorang wanita yang beratnya
159 kilo dan menolak operasi mengatakan padaku bahwa dokternya berusaha
membujuknya dengan gencar untuk mengubah pilihan. Dan aku tahu, setidaknya satu
pasien penyakit jantung, yang dokternya tidak mau mengobati kecuali jika ia mau
menjalani bedah pintas lambung. Beberapa dokter bahkan mengatakan bahwa bila
Anda tidak dioperasi, maka Anda akan mati, padahal kita tidak tahu. Walaupun
perbaikan dalam berat badan dan kesehatan memang menonjol, belum ada penelitian
yang memperlihatkan hubungannya dengan menurunnya angka kematian.
Ada alasan yang logis untuk meragukan operasi itu. Seperti dikatakan Paul
Ernsberger, seorang peneliti obesitas di Universitas Case Western Reverse,
banyak pasien yang menjalani pintas lambung baru berusia dua puluhan dan tiga
puluhan. "Apakah itu akan efektif dan bermanfaat setelah usianya empat puluh
tahun?" tanyanya. "Tak ada yang tahu." Ia mengkhawatirkan kemungkinan efek
jangka panjang dari kekurangan zat gizi (untuk ini pasien biasanya disuruh makan
multivitamin setiap hari). Dan ia prihatin dengan bukti yang diperlihatkan pada
tikus yang meningkat kemungkinan risikonya mengalami kanker usus.
Kita ingin kemajuan dalam kedokteran lebih jelas dan pasti, tetapi ini tentu
saja jarang terjadi. Setiap cara
terapi baru selalu diikuti dengan kesenjangan pengetahuan baik pada pasien
?maupun pada masyarakat sehingga sulit bagi mereka untuk memutuskan apakah akan
?memilih terapi itu. Mungkin operasi yang lebih sederhana dan kurang radikal akan
terbukti efektif untuk obesitas. Mungkin obat kurus yang sudah lama dicari
sekarang sudah ada. Meskipun demikian, pintas lambung yang kita miliki
sekaranglah yang membuahkan hasil. Tidak semua pertanyaan itu dapat dijawab,
tetapi telah dilakukan banyak penelitian untuk menjawabnya dalam lebih dari
sepuluh tahun ini. Dan karena itulah kita terus mengembangkannya. Rumah sakit di
mana-mana membangun pusat bedah obesitas, memesan meja operasi baru, melatih
ahli bedah dan stafnya. Pada saat yang sama, setiap orang mengharapkan bahwa
suatu hari kelak akan ditemukan sesuatu yang baru dan lebih baik, yang akan
membuat apa yang kita kerjakan sekarang menjadi usang.
Di seberang tempatku duduk di meja restoran makanan panggang, Vince Caselli
mendorong selada ayam Caesar-nya yang hanya dimakan separuh. "Tak ada selera,"
katanya, dan ia mengatakan bahwa ia bersyukur untuk itu. Ia tidak menyesal
menjalani operasi itu. Ia mendapatkan kembali hidupnya, katanya. Tetapi, setelah
minum satu putaran lagi dan ketika hari semakin senja, jelas tampak bahwa ia
tetap merasa tidak nyaman.
"Aku punya masalah yang serius dan aku harus melakukan upaya yang serius pula,"
katanya. "Kurasa aku telah menggunakan teknologi terbaik yang ada sampai
sekarang. Tetapi, aku memang khawatir: apakah ini akan berlangsung terus sampai
akhir hidupku" Apakah, suatu hari kelak, aku akan kembali ke titik awal
lagi atau lebih buruk" Ia terdiam sejenak, memandang gelasnya. Kemudian, ia ?mengangkat pandangannya, matanya jernih. "Yah, inilah kartu yang diberikan Tuhan
untukku. Aku tidak boleh cemas tentang sesuatu yang tak dapat kuken-dalikan."><
ian III -Ketidakpastian Sayatan Terakhir "Pasien Anda meninggal; keluarganya berkumpul. Dan ada satu hal terakhir yang
harus Anda tanyakan: masalah autopsi. Bagaimana menghadapi masalah ini" Anda
dapat melakukannya dengan begitu saja seolah autopsi adalah hal biasa di dunia
ini: "Dapat kita lakukan autopsi sekarang?" Atau Anda dapat bersikap tegas
dengan suara seorang prajurit: "Kecuali jika Anda punya alasan untuk menolak,
kami akan melakukan autopsi, Bu." Atau Anda dapat berkata seolah Anda tidak
terlibat: "Maaf, mereka minta aku menanyakan apakah Anda ingin dilakukan
autopsi?" Yang tidak dapat Anda lakukan sekarang adalah menutupnutupi kenyataan ini. Suatu
kali aku merawat seorang wanita usia delapan puluh tahunan yang baru saja
melepaskan izin mengemudinya dan malah tertabrak mobil yang disupiri oleh
?seorang yang bahkan lebih tua daripadanya ketika ia berjalan menuju halte bus.
?Ia mengalami patah tulang tengkorak yang menekan ke dalam dan menyebabkan
perdarahan otak, tetapi meskipun sempat dioperasi, ia meninggal beberapa hari
kemudian. Jadi, pada suatu sore di musim semi, setelah pasien itu menghembuskan
napasnya yang terakhir, aku berdiri di samping tempat tidurnya dan menundukkan
kepala, bersama keluarga yang menangisinya. Kemudian,
dengan cara yang sehalus mungkin tanpa sepatah pun kata yang menyakitkan aku
? ?berkata: "Kalau boleh, kami ingin melakukan pemeriksaan untuk memastikan sebab
kematiannya." "Autopsi?" salah seorang keponakannya bertanya. Ia memandangku seolah aku burung
pemangsa bangkai yang berputarputar di atas mayat bibinya. "Apakah ia belum
cukup menderita?" Autopsi sekarang ini diragukan kedudukannya. Satu generasi yang lalu, tindakan
ini dilakukan secara rutin; sekarang jarang orang melakukannya. Orang tidak
pernah merasa nyaman membayangkan, setelah meninggal, tubuhnya dipotong dan
dibuka. Untuk seorang dokter bedah sekalipun, perasaan bahwa telah melakukan
kekerasan tak dapat dihindari.
Belum lama berselang, aku hadir mengamati autopsi seorang perempuan usia 38
tahun, pasienku yang meninggal setelah lama berjuang melawan penyakit jantung.
Ruang autopsi berada di bawah ruang bawah tanah, di samping ruang cuci dan ruang
muat barang, di balik pintu logam yang tak bertanda. Langitlangitnya tinggi,
catnya sudah mengelupas, dan lantainya keramik cokelat yang landai ke arah
saluran penyalir di tengah ruang. Tampak sebuah tungku Bunsen di meja kerja, dan
sebuah timbangan gantung kuno dengan pengukur yang penunjuknya berbentuk panah
warna merah, dan mangkuk di bawahnya, untuk menimbang organ. Pada rak dinding di
Romantika Sebilah Pedang 7 Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda Pedang Tanpa Perasaan 13

Cari Blog Ini