Ceritasilat Novel Online

Dewi Olympia Terakhir 2

Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan Bagian 2


State Building dengan kilat di sekelilingnya. Di kejauhan badai gelap
menggelegak, dengan tangan besar keluar dari awan. Di dasar bangunan massa telah berkumpul
... tapi bukan kerumunan turis dan pejalan kaki yang biasa. Aku melihat tombak,
lembing, dan panji-panji - perlengkapan tentara.
"Percy," gumam Rachel, seakan-akan dia tahu aku mendengarkan, "apa
yang terjadi?" Mimpi itu mengabur, dan hal terakhir yang kuingat adalah berharap aku
bisa menjawab pertanyaannya.
Keesokan paginya, aku ingin meneleponnya, tapi tidak ada telepon di perkemahan.
Dionysus dan Chiron tidak butuh sambungan telepon. Mereka hanya perlu
menghubungi Olympus dengan pesan-Iris kapan pun mereka butuh sesuatu. Dan
jika blasteran memakai ponsel, sinyalnya akan mengusik setiap monster dalam
jarak 150 km. Menelepon sama seperti meletuskan suara: Aku di sini! Silakan
permak wajahku! Dalam batas-batas perkemahan yang aman sekalipun, itu bukan jenis iklan
yang ingin kami lakukan. Sebagian besar blasteran (kecuali Annabeth dan segelintir yang lain) bahkan
tidak punya ponsel sendiri. Dan aku jelas-jelas tak bisa memberi tahu Annabeth,
"Hei, bisa kupinjam teleponmu supaya aku bisa menelepon Rachel?" Untuk
menelepon, aku bakal harus meninggalkan perkemahan dan berjalan beberapa
kilometer ke toko serbaada terdekat. Walau seandainya Chiron memperbolehkanku
pergi, pada saat aku sampai di sana, Rachel bakalan sudah berada di pesawat ke
St. Thomas. Aku menyantap sarapan yang bikin depresi sendirian di meja Poseidon. Aku
terus menerus menatap retakan di lantai marmer tempat Nico mengenyahkan
sekumpulan tengkorak haus darah ke Dunia Bawah dua tahun lalu. Kenangan itu
persisnya tidak meningkatkan selera makanku.
Setelah sarapan, Annabeth dan aku berjalan menginspeksi pondok. Sebenarnya,
sekarang giliran Annabeth menginspeksi. Tugas pagiku adalah membereskan
laporan untuk Chiron. Tapi karena kami berdua benci pekerjaan kami, kami
putuskan untuk mengerjakannya bersama-sama supaya tidak terlalu menyusahkan. Kami mulai di pondok Poseidon, yang pada dasarnya cuma berisi aku. Aku
sudah merapikan tempat tidur susun pagi itu (yah, kurang lebih begitulah) dan
meluruskan tanduk Minotaurus di dinding, jadi kuberi diriku nilai empat dari
lima. Annabeth cemberut. "Kau terlalu murah hati." Dia menggunakan ujung
pensilnya untuk memungut celana pendek lari lamaku.
Kurebut celana itu. "Hei, beri aku kelonggaran. Nggak ada Tyson yang
bersih-bersih untukku musim panas ini."
"Tiga dari lima," kata Annabeth. Aku tahu sebaiknya tidak mendebatnya,
jadi kami terus bergerak maju.
Aku mencoba menelaah tumpukan laporan untuk Chiron selagi kami
berjalan. Ada pesan-pesan dari blasteran, roh alam, dan satir di sepenjuru
negeri, yang menulis tentang aktivitas monster terkini. Laporan-laporan itu lumayan
bikin depresi, dan otak GPPH - gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas - ku
tak suka berkonsentrasi pada hal-hal yang membuat depresi.
Pertempuran kecil merajalela di mana-mana. Rekrutmen perkemahan turun
sampai nol. Para satir kesulitan menemukan blasteran baru dan membawa mereka
ke Bukit Blasteran karena banyak sekali monster yang keluyuran di seluruh
negeri. Teman kami Thalia, yang memimpin para Pemburu Artemis, sudah tidak terdengar
kabarnya selama berbulan-bulan, dan jika Artemis tahu apa yang terjadi pada
mereka, dia tidak berbagi informasi.
Kami mengunjungi pondok Aphrodite, yang tentu saja mendapat lima dari
lima. Tempat tidur tertata rapi. Pakaian di loker semua orang disusun
berdasarkan warna. Bunga segar mekar di ambang jendela. Aku ingin mengurangi satu poin
karena tempat tersebut berbau seperti
parfum desainer, tapi Annabeth mengabaikanku. "Kerja bagus seperti biasanya, Silena," kata Annabeth.
Silena mengangguk lesu. Dinding di belakang tempat tidurnya dihiasi foto
Beckendorf. Dia duduk di tempat tidur susunnya dengan sekotak cokelat di
pangkuannya, dan kuingat bahwa ayahnya punya toko cokelat di Village, yang
merupakan penyebab pria itu sampai menarik perhatian Aphrodite.
"Kalian mau bonbon?" tanya Silena. "Ayahku mengirimkannya. Dia pikir dia pikir cokelat ini mungkin akan menghiburku."
"Apa rasanya enak?" tanyaku.
Dia menggelengkan kepalanya. "Rasanya seperti kardus."
Aku tidak keberatan dengan kardus, jadi aku mencoba satu. Annabeth
menolak. Kami berjanji akan menemui Silena nanti dan terus melanjutkan.
Saat kami melintasi halaman bersama, perkelahian pecah antara pondok
Ares dan Apollo. Beberapa pekemah Apollo yang bersenjatakan bom api terbang
naik kereta perang yang dihela dua pegasus di atas pondok Ares. Aku tidak pernah
melihat kereta perang itu sebelumnya, tapi kelihatannya kendaraan itu oke juga.
Tidak lama kemudian, atap pondok Ares terbakar, dan para naiad dari danau kano
bergegas mendekat untuk meniupkan air ke atasnya.
Kemudian para pekemah Ares menjatuhkan kutukan, dan semua anak
panah anak-anak Apollo berubah jadi karet. Anak-anak Apollo terus menembaki
anak-anak Ares, tapi anak panah mereka terpental.
Dua pemanah berlari lewat, dikejar oleh seorang anak Ares yang berteriak
sambil berpuisi: "Kutuk aku" Awas kau! / Kusungguh tidak mau!"
Annabeth mendesah. "Jangan itu lagi. Kali terakhir Apollo mengutuk satu
pondok, butuh seminggu sampai kuplet berirama2 itu dimusnahkan."
Aku bergidik. Apollo adalah dewa puisi serta panahan, dan pernah
kudengar dia berdeklamasi secara langsung. Aku hampir lebih memilih ditembak
panah. "Apa sih yang mereka pertengkarkan?" tanyaku.
Annabeth mengabaikanku selagi dia mencoret-coret perkamen inspeksinya,
memberi kedua pondok nilai satu dari lima.
Kudapati diriku menatapnya, yang adalah tindakan bodoh karena aku
sudah melihatnya miliaran kali. Tingginya dan aku hampir sama musim panas ini,
dan hal itu terasa melegakan. Walau begitu, dia tampak jauh lebih dewasa.
Rasanya sedikit mengintimidasi. Maksudku, memang, dari dulu dia imut, tapi dia mulai
jadi cantik banget. Akhirnya dia berkata, "Kereta perang terbang itu."
"Apa?" "Kau menanyakan apa yang mereka pertengkarkan."
- - - - - - - - - - 2 dari bahasa Inggris couplet, berarti sajak dua seuntai, atau bait sajak
(nyanyian) yang terdiri atas dua baris atau lebih.
"Oh. Oh, benar."
"Mereka menangkapnya dalam penggerebekan di Philadelphia minggu lalu.
Beberapa blasteran pendukung Luke ada di kereta perang terbang itu. Pondok
Apollo merebutnya dalam pertempuran, tapi pondok Ares yang memimpin
penggerebekan. Jadi, mereka sudah bertengkar soal kereta perang tersebut sejak
saat itu." Kami menunduk saat kereta perang Michael Yew mengebom pekemah Ares.
Si pekemah Ares mencoba menikam dan menyumpahinya dengan kuplet yang
berima. Dia lumayan kreatif dalam membuat kata sumpah-serapah itu berirama.
"Kita sedang berjuang demi nyawa kita," kataku, "dan mereka bertengkar
gara-gara kereta perang konyol."
"Mereka akan mengatasinya," kata Annabeth. "Clarisse akan mendapatkan
kembali akal sehatnya."
Aku tidak terlalu yakin. Itu kedengarannya tidak seperti Clarisse yang
kukenal. Aku memeriksa laporan lagi dan kami memeriksa beberapa pondok lagi.
Demeter mendapat empat. Hephaestus mendapat tiga dan mungkin seharusnya
mendapat lebih rendah lagi, tapi karena Beckendorf tewas dan sebagainya, kami
memberi mereka kelonggaran. Hermes mendapat dua, yang tidaklah mengejutkan.
Semua pekemah yang tidak diketahui orangtua dewanya dijejalkan ke dalam
pondok Hermes, dan karena para dewa kadang pelupa, pondok itu selalu
kepenuhan. Akhirnya kami pergi ke pondok Athena, yang teratur dan bersih seperti
biasa. Buku-buku tertata lurus di rak. Baju zirah terpoles mengilap. Peta dan
cetak biru pertempuran menghiasi dinding. Cuma tempat tidur susun Annabeth yang
berantakan. Tempat tidurnya ditutupi kertas-kertas, dan laptop peraknya masih
menyala. "Vlacas," gumam Annabeth, yang pada dasarnya berarti menyebut dirinya
sendiri idiot dalam bahasa Yunani.
Orang nomor duanya, Malcolm, menahan senyum. "Iya, eh ... kami
membersihkan yang lain. Kami tidak tahu apakah aman memindahkan
catatancatatanmu." Itu mungkin tindakan pintar. Annabeth punya pisau perunggu yang dia
simpan hanya untuk para monster dan orang-orang yang mengusik barangbarangnya.
Malcolm menyeringai padaku. "Akan kami tunggu di luar sementara kalian
menyelesaikan inspeksi." Para pekemah Athena berbaris keluar lewat pintu selagi
Annabeth merapikan tempat tidurnya.
Aku memindah-mindahkan tumpuan tubuhku dengan gelisah dan purapura menelaah
laporan lagi. Secara teknis, dalam inspeksi sekalipun, dua pekemah
yang ... yah, sendirian di dalam pondok sebenarnya melanggar aturan.
Aturan itu sering mengemuka waktu Silena dan Beckendorf mulai pacaran.
Dan aku tahu beberapa dari kalian mungkin berpikir, bukankah semua blasteran
berkerabat dari pihak dewa, dan bukankah karena itu pacaran jadi menjijikkan"
Tapi sebenarnya, pihak dewa dalam keluarga tak masuk hitungan - secara genetis
- karena dewa-dewi tidak punya DNA. Blasteran takkan pernah mempertimbangkan memacari seseorang yang punya orangtua dewa yang sama.
Seperti dua anak dari pondok Athena" Itu memang tak mungkin. Tapi putri
Aphrodite dan putra Hephaestus" Mereka tak berkerabat. Jadi, itu bukan masalah.
Pokoknya, karena suatu alasan yang aneh aku memikirkan ini saat aku
memperhatikan Annabeth beres-beres. Dia menutup laptopnya, yang diberikan
kepadanya sebagai hadiah dari Daedalus sang penemu musim panas lalu.
Aku berdehem. "Jadi ... dapat info bagus nggak dari benda itu?"
"Terlalu banyak," katanya. "Daedalus punya banyak sekali ide. Aku bisa
menghabiskan lima puluh tahun hanya untuk mencoba memahami semuanya."
"Iya," gumamku. "Pasti menyenangkan tuh."
Dia menumpuk kertas-kertasnya - sebagian besar gambar bangunan dan
sekumpulan catatan yang ditulis tangan. Aku tahu dia ingin jadi arsitek suatu
hari nanti, tapi aku sudah belajar dengan cara yang tidak enak supaya tidak
menanyakan apa yang sedang dikerjakannya. Dia mulai membicarakan sudut dan
sendi penopang beban sampai tatapan mataku jadi kosong.
"Kautahu ... " Dia menyibakkan rambutnya ke belakang telinga, seperti
yang dilakukannya saat dia gugup. "Seluruh urusan Beckendorf dan Silena ini.
Jadi membuatmu berpikir. Soal ... apa yang penting. Soal kehilangan orang-orang yang
penting." Aku mengangguk. Otakku mulai menangkap detail-detail kecil acak, seperti
fakta bahwa dia masih memakai anting-anting burung hantu perak dari ayahnya,
yang adalah profesor sejarah militer genius di San Fransisco.
"Eh, iya," aku tergagap. "Seperti ... apa semuanya baik-baik saja dengan
keluargamu?" Oke, pertanyaan yang betul-betul bodoh, tapi hei, aku gugup.
Annabeth terlihat kecewa, tetapi dia mengangguk.
"Ayahku ingin membawaku ke Yunani musim panas ini," katanya penuh
harap. "Aku selalu ingin melihat - "
"Parthenon," aku ingat.
Dia berhasil tersenyum. "Iya."
"Nggak apa-apa. Bakal ada musim panas lain, kan?"
Segera setelah aku mengatakan ini, kusadari bahwa itu adalah komentar
dungu. Aku menghadapi akhir usiaku. Dalam waktu seminggu, Olympus mungkin
saja runtuh. Jika Zaman Para Dewa benar-benar berakhir, dunia seperti yang kita
kenal akan jadi kacau balau. Para blasteran akan diburu hingga punah. Takkan ada
musim panas lagi bagi kami.
Annabeth menatap perkamen inspeksinya. "Tiga dari lima," gumamnya,
"untuk konselor kepala yang ceroboh. Ayo. Mari selesaikan laporanmu dan
kembali ke Chiron." Dalam perjalanan ke Rumah Besar, kami membaca laporan terakhir, yang
ditulis tangan di daun mapel oleh seorang satir di Kanada. Kalau mungkin, surat
itu bahkan membuatku perasaanku lebih payah.
"'Grover yang baik,'" bacaku keras-keras. "'Hutan di luar Toronto diserang
oleh musang raksasa jahat. Mencoba melakukan seperti yang kausarankan dan
memanggil kekuatan Pan. Tidak berefek. Banyak pohon naiad dihancurkan.
Mundur ke Ottawa. Tolong beri saran. Di mana kau" - Gleeson Hedge,
pelindung.'" Annabeth merengut. "Kau belum mendengar kabar apa-apa darinya" Dengan
sambungan empatimu sekalipun?"
Aku menggelengkan kepalaku, patah semangat.
Sejak musim panas lalu waktu sang dewa Pan meninggal, teman kami
Grover menjadi semakin jauh dan semakin jauh. Dewan Tetua Berkuku Belah
memperlakukannya sebagai satir buangan, tapi Grover tetap saja bepergian ke
sepenjuru Pantai Timur, berusaha menyebarkan kabar mengenai Pan dan
meyakinkan roh-roh alam agar melindungi sepotong kecil alam liar mereka. Dia
cuma kembali ke perkemahan beberapa kali untuk menemui pacarnya, Juniper.
Terakhir kali kudengar dia ada di Central Park untuk memimpin para peri
pohon, tapi tak seorang pun melihatnya atau mendengar kabar darinya selama dua
bulan. Kami sudah mencoba mengiriminya pesan-Iris. Pesan-pesan tersebut tak
pernah sampai. Aku punya sambungan empati dengan Grover, jadi kuharap aku
tahu jika ada hal buruk yang terjadi padanya. Grover pernah memberitahuku satu
kali bahwa kalau dia meninggal, sambungan empati mungkin bakal membunuhku
juga. Tapi aku tidak yakin apakah itu masih benar atau tidak.
Aku bertanya-tanya apakah dia masih di Manhattan. Lalu kupikirkan
mimpiku tentang sketsa Rachel - awan gelap yang menyelubungi kota, pasukan
yang berkumpul di sekitar Empire State Building.
"Annabeth." Aku menghentikannya di dekat lapangan bola tambat. Aku
tahu aku mencari-cari masalah, tapi aku tidak tahu harus memercayai siapa lagi.
Plus, aku selalu mengandalkan Annabeth untuk saran. "Dengar, aku bermimpi
soal, eh, Rachel ... "
Kuceritakan segalanya kepadanya, bahkan gambar aneh Luke saat kanakkanak.
Selama beberapa saat dia tidak mengatakan apa-apa. Kemudian dia
menggulung perkamen inspeksinya begitu rapat sampai tersobek. "Kau ingin aku
berkata apa?" "Aku tidak yakin. Kau ahli strategi terbaik yang kukenal. Seandainya kau
adalah Kronos yang sedang merencanakan perang ini, apa yang akan kaulakukan


Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selanjutnya?" "Akan kugunakan Typhon sebagai pengalih perhatian. Lalu akan kuserang
Olympus secara langsung, selagi para dewa ada di Barat."
"Persis seperti di gambar Rachel."
"Percy," katanya, suaranya kaku, "Rachel cuma manusia fana."
"Tapi bagaimana kalau mimpinya benar" Titan-titan lain itu - mereka bilang
Olympus bakal dihancurkan dalam hitungan hari. Mereka bilang mereka punya
banyak tantangan lain. Dan bagaimana dengan gambar Luke saat kanak-kanak - "
"Kita hanya harus bersiap-siap."
"Bagaimana?" kataku. "Lihatlah perkemahan kita. Kita bahkan tidak bisa
berhenti melawan satu sama lain. Dan jiwaku semestinya bakal dihabisi."
Dia melemparkan perkamennya. "Aku tahu kami semestinya tidak
menunjukimu ramalan itu." Suaranya marah dan terluka. "Yang dilakukan ramalan
itu hanyalah menakutimu. Kau melarikan diri saat kau takut."
Aku menatapnya, benar-benar bingung. "Aku" Melarikan diri?"
Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. "Ya, kau. Kau pengecut, Percy
Jackson!" Hidung kami nyaris menempel. Matanya merah, dan aku tiba-tiba
menyadari bahwa waktu dia menyebutku pengecut, mungkin dia tidak
membicarakan ramalan. "Kalau kau tidak suka peluang kita," katanya, "mungkin kau sebaiknya
pergi liburan bersama Rachel."
"Annabeth - " "Kalau kau tidak suka kami temani."
"Itu nggak adil!"
Dia mendorongku ke samping dan melesat ke arah ladang stroberi. Dia
menabrak bola tambat saat dia melintas dan membuat bola itu berputar-putar liar
mengelilingi tiang.3 Aku ingin sekali berkata sisa hariku jadi lebih baik mulai saat itu. Sayangnya
itu tidak benar. Siang itu kami berkumpul di dekat api unggun untuk membakar kafan
Beckendorf dan mengucapkan selamat tinggal. Bahkan pondok Ares dan Apollo
menyatakan gencatan senjata sementara untuk menghadirinya.
Kafan Beckendorf terbuat dari rantai logam, seperti baju pelapis zirah. Aku
tidak tahu bagaimana kafan tersebut akan terbakar, tapi para Moirae pasti
membantu. Logam meleleh di api dan berubah menjadi asap keemasan, yang
membubung ke langit. Nyala api unggun mencerminkan suasana hati para
pekemah, dan hari ini warnanya hitam.
- - - - - - - - - - 3 Permainan ini bernama teetherball, merupakan permainan bola yang melibatkan dua
tim pemain yang harus memukul bola (dengan tangan kosong) yang dengan tali
ditambatkan pada sebuah tiang. Pemain berlomba-lomba memukul bola sampai talinya bisa melilit
tiang dan bola berhenti berputar di bawah garis tengah tiang.
Kuharap roh Beckendorf bakal sampai di Elysium. Mungkin dia bahkan
akan memilih dilahirkan kembali dan mencoba Elysium dalam tiga masa
kehidupan yang berbeda supaya dia bisa mencapai Kepulauan Kaum Diberkahi,
yang merupakan markas besar pesta yang utama di Dunia Bawah. Kalau ada yang
layak menerimanya, itu adalah Beckendorf.
Annabeth pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepadaku. Sebagian
besar pekemah lain melanjutkan ke aktivitas siang mereka. Aku berdiri saja di
sana sambil menatap api yang hampir padam. Silena duduk di dekat sana sambil
menangis, sementara Clarisse dan pacarnya, Chris Rodriguez, mencoba menghiburnya. Akhirnya aku mengerahkan keberanian untuk berjalan mendekat. "Hei,
Silena, aku benar-benar turut berduka cita."
Dia menyedot ingus. Clarisse memelototiku, tapi dia selalu memelototi
semua orang. Chris nyaris tidak memandangku. Dia adalah salah satu anak buah
Luke sampai Clarisse menyelamatkannya dari Labirin musim panas lalu, dan
kurasa dia masih merasa bersalah soal itu.
Aku berdehem. "Silena, kautahu, Beckendorf membawa fotomu. Dia
melihatnya tepat sebelum kami pergi bertempur. Kau sangat berarti baginya. Kau
menjadikan tahun terakhir sebagai yang terbaik dalam hidupnya."
Silena terisak. "Kerja bagus, Percy," gerutu Clarisse.
"Tidak, tak apa-apa," kata Silena. "Makasih ... terima kasih, Percy. Aku
harus pergi." "Kau ingin ditemani?" tanya Clarisse.
Silena menggelengkan kepalanya dan lari menjauh.
"Dia lebih kuat daripada kelihatannya," gumam Clarisse, hampir kepada
dirinya sendiri. "Dia akan bertahan."
"Kau bisa membantu," saranku. "Kau bisa menghormati kenangan
Beckendorf dengan cara berjuang bersama kami."
Clarisse hendak mengambil pisaunya, tapi pisaunya sudah tidak ada lagi di
tempatnya. Dia sudah melemparkannya ke meja pingpong di Rumah Besar.
"Bukan masalahku," geramnya. "Pondokku tidak memperoleh kehormatan,
kami tidak bertarung."
Aku sadar dia tidak bicara berima. Mungkin dia tidak ada ketika temanteman
sepondoknya dikutuk, atau mungkin dia punya cara mematahkan kutukan.
Sambil merinding, aku bertanya-tanya apakah mungkin Clarisse adalah mata-mata
Kronos di perkemahan. Itukah sebabnya dia menjauhkan pondoknya dari
pertempuran" Tapi meskipun aku tidak menyukai Clarisse, menjadi mata-mata
untuk para Titan tampaknya tidak sesuai gayanya.
"Baiklah," kataku padanya. "Aku tidak mau menyinggung-nyinggung ini,
tapi kau berutang padaku. Kau bakalan membusuk di gua Cyclops di Lautan
Monster kalau bukan karena aku."
Dia menggertakkan rahangnya. "Minta apa saja, Percy. Jangan ini. Pondok
Ares sudah terlalu sering dikesampingkan. Dan jangan pikir aku tidak tahu apa
yang kalian katakan tentangku di belakang punggungku."
Aku ingin mengatakan, Yah, memang benar, kan. Tapi kugigit lidahku.
"Jadi apa - kau akan membiarkan saja Kronos meremukkan kami?" tanyaku.
"Kalau kau sebegitu inginnya mendapatkan bantuanku, suruh Apollo
memberi kami kereta perang itu."
"Kau ini seperti bayi besar saja."
Dia menyerbuku, tapi Chris menyelinap ke antara kami. "Tenang, Kawankawan,"
katanya. "Clarisse, kautahu, mungkin dia ada benarnya."
Dia cemberut ke arah Chris. "Jangan kau juga!" Dia berderap pergi diiringi
Chris di belakangnya. "Hei, tunggu! Maksudku cuma - Clarisse, tunggu!"
Aku memperhatikan percik terakhir api Beckendorf bergulung-gulung ke
langit siang. Lalu aku menuju ke arena pedang. Aku perlu istirahat, dan aku
ingin bertemu teman lama. LIMA Aku Menabrakkan Anjingku ke Pohon Nyonya O'Leary melihatku sebelum aku melihatnya. Itu sudah sangat bagus,
mengingat ia seukuran truk sampah. Aku berjalan masuk ke arena, dan tembok
kegelapan menghantamku. "GUK!" Hal berikutnya yang kutahu aku gepeng di tanah dengan cakar besar di
dadaku dan lidah raksasa sebasah spons cuci piring menjilati wajahku.
"Aduh!" kataku. "Hei, Non. Senang juga melihatmu. Adaow!"
Perlu beberapa menit bagi Nyonya O'Leary untuk menenangkan diri dan
turun dari tubuhku. Pada saat itu aku kurang lebih sudah basah kuyup berlumur
liur anjing. Ia ingin main lempar-tangkap, jadi kupungut sebuah perisai perunggu
dan melemparkannya ke seberang arena.
Omong-omong, Nyonya O'Leary adalah satu-satunya anjing neraka yang
ramah di dunia. Bisa dibilang aku mewarisinya waktu pemilik sebelumnya
meninggal. Ia tinggal di perkemahan, tapi Beckendorf ... yah, Beckendorf dulu
merawatnya kapan pun aku tidak ada. Beckendorf mencetak tulang kunyah
perunggu favorit Nyonya O'Leary. Beckendorf menempa kalung lehernya dengan
wajah kecil yang tersenyum serta label nama berbentuk tulang bersilang. Selain
aku, Beckendorf adalah sahabat Nyonya O'Leary.
Memikirkan itu membuatku sedih lagi, tapi kulemparkan perisai beberapa
kali lagi karena Nyonya O'Leary memaksa.
Segera saja ia mulai menggonggong - bunyi yang sedikit lebih nyaring
daripada senjata artileri - seakan-akan dia perlu pergi jalan-jalan. Para pekemah
lain tidak menganggapnya lucu waktu dia menganggap arena sebagai kamar kecil.
Hal itu telah menyebabkan lebih dari satu kecelakaan terpeleset dan tergelincir
yang sial. Jadi, kubuka gerbang arena dan dia langsung melompat ke arah hutan.
Aku berlari-lari kecil mengejarnya, tidak terlalu peduli meskipun ia
mendahuluiku. Tak ada apa pun di hutan yang bisa mengancam Nyonya O'Leary.
Naga dan kalajengking raksasa sekalipun lari kabur saat ia mendekat.
Waktu aku akhirnya berhasil melacaknya, ia tidak sedang buang air. Ia
berada di bukaan tak asing tempat Dewan Tetua Berkuku Belah pernah menyidang
Grover. Tempat itu tidak terlihat terlalu bagus. Rumput telah berubah warna jadi
kuning. Tiga singgasana dedaunan telah kehilangan semua daunnya. Tapi bukan
itu yang mengejutkanku. Di tengah-tengah bukaan berdirilah trio teraneh yang
pernah kulihat: Juniper si peri pohon, Nico di Angelo, dan satir yang sangat tua
dan sangat gendut. Nico adalah satu-satunya yang tidak kelihatan ketakutan gara-gara
kemunculan Nyonya O'Leary. Dia terlihat kurang lebih sama seperti yang
kusaksikan dalam mimpiku - jaket penerbang, jins hitam, dan T-shirt dengan
tengkorak menari di atasnya, seperti salah satu gambar di Day of the Dead4 (Hari
Orang Mati). Pedang besi Stygian-nya tersandang di samping tubuhnya. Dia baru
dua belas tahun, tapi dia kelihatan jauh lebih tua dan lebih sedih.
- - - - - - - - - - 4 Ini merupakan hari khusus yang dirayakan di Meksiko atau oleh orang Amerika
Latin yang menetap di Amerika. Pada hari ini keluarga dan sahabat berkumpul untuk
mendoakan anggota keluarga atau teman-teman mereka yang telah meninggal dunia.
Dia mengangguk saat dia melihatku, lalu kembali menggaruk-garuk telinga
Nyonya O'Leary. Si anjing neraka mengendus-endus kaki Nico seolah dia adalah
hal paling menarik setelah steak daging iga. Karena Nico putra Hades, barangkali
dia sudah bepergian ke segala macam tempat yang cocok bagi anjing neraka.
Si satir tua tidak terlihat sebahagia itu, mendekati pun tidak. "Bersediakah
seseorang - apa yang dilakukan makhluk dunia bawah ini di hutanku"!" Dia
melambaikan tangannya dan menjejakkan kakinya seakan-akan rumput terasa
panas. "Kau yang di sana, Percy Jackson! Apa ini hewanmu?"
"Maaf, Leneus," kataku. "Itu nama Anda, kan?"
Si satir memutar-mutar bola matanya. Bulunya berwarna abu-abu seperti
terwelu, dan jaring laba-laba tumbuh di antara kedua tanduknya. Perutnya bakal
menjadikannya bumper mobil yang tak terkalahkan. "Yah, tentu saja aku Leneus.
Jangan beri tahu aku kau sudah melupakan anggota Dewan sedemikian cepat.
Sekarang, panggil hewanmu!"
"GUK!" kata Nyonya O'Leary gembira.
Si satir tua menelan ludah. "Suruh ia pergi! Juniper, aku takkan
membantumu jika situasinya seperti ini!"
Juniper menoleh menghadapku. Dia memiliki kencantikan khas dryad,
dengan gaun ungu halus dan wajah yang seperti peri, tapi matanya dihijaukan
klorofil karena habis menangis.
"Percy," katanya tersedu-sedan. "Aku baru saja menanyakan Grover. Aku
tahu sesuatu telah terjadi. Dia takkan pergi selama ini jika dia tidak dalam
kesulitan. Aku berharap bahwa Leneus - "
"Kuberi tahu kau!" si satir protes. "Kau lebih baik tanpa pengkhianat itu."
Juniper menjejakkan kakinya. "Dia bukan pengkhianat! Dia adalah satir
paling pemberani, dan aku ingin tahu di mana dia!"
"GUK!" Lutut Leneus mulai gemetaran. "Aku ... aku tidak mau pertanyaan selagi
anjing neraka ini mengendus-endus ekorku!"
Nico terlihat seolah-olah dia sedang berusaha tidak tertawa terbahak-bahak.
"Akan kuajak anjing ini jalan-jalan," dia menawarkan.
Dia bersiul, dan Nyonya O'Leary melompat mengejarnya ke ujung jauh
kebun. Leneus mendengus sebal dan mengebut ranting-ranting dari pakaiannya.
"Nah, seperti yang sedang berusaha kuterangkan, Nona Muda, kekasihmu tidak
pernah mengirimkan laporan sama sekali sejak kami melakukan voting untuk
mengasingkannya." "Anda mencoba melakukan voting untuk mengasingkannya," aku mengoreksi. "Chiron dan Dionysus menghentikan Anda."
"Bah! Mereka anggota dewan kehormatan. Voting itu tidak berjalan adil."
"Akan kuberi tahu Dionysus Anda mengatakan itu."
Leneus memucat. "Aku hanya bermaksud ... Nah, begini, Jackson. Ini bukan
urusanmu." "Grover temanku," kataku. "Dia tidak berbohong kepada Anda tentang
kematian Pan. Aku melihatnya sendiri. Anda semata-mata terlalu takut untuk
menerima kebenaran."
Bibir Leneus bergetar. "Tidak! Grover pembohong dan baguslah dia sudah
disingkirkan. Kami lebih baik tanpanya."
Aku menunjuk singgasana yang layu. "Kalau keadaan berjalan begitu lancar,
ke mana teman-teman Anda" Kelihatannya Dewan Anda tidak pernah rapat akhirakhir
ini." "Maron dan Silenus ... aku ... aku yakin mereka akan kembali," katanya,
tapi aku bisa mendengar kepanikan dalam suaranya. "Mereka cuma cuti untuk
berpikir. Tahun ini amatlah menggelisahkan."
"Keadaan bakal jauh lebih menggelisahkan," janjiku. "Leneus, kita butuh
Grover. Pasti ada cara supaya Anda bisa menemukannya dengan sihir Anda."
Mata si satir tua berkedut. "Kuberi tahu kau, aku belum mendengar kabar
apa-apa. Barangkali dia sudah mati."
Juniper menahan isakan. "Dia belum meninggal," kataku. "Aku bisa merasakan itu."
"Sambungan empati," kata Leneus menghina. "Sangat tidak bisa diandalkan." "Jadi, mulailah bertanya-tanya," aku berkeras. "Temukan dia. Ada perang
yang akan datang. Grover sedang mempersiapkan para roh alam."
"Tanpa izinku! Dan itu bukan perang kami."
Aku mencengkeram bajunya, tindakan yang betul-betul tak seperti diriku,
tapi si kambing tua bodoh ini membuatku marah. "Dengar, Leneus. Saat Kronos
menyerang, dia akan membawa banyak anjing neraka. Dia bakal menghancurkan
semua yang dilintasinya - manusia fana, dewa, blasteran. Apa menurutmu dia


Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bakal membiarkan satir pergi dengan bebas" Kau seharusnya jadi pemimpin. Jadi,
MEMIMPINLAH. Keluarlah dan lihat apa yang terjadi. Temukan Grover dan
bawakan Juniper kabar. Sekarang, PERGILAH!"
Aku tidak mendorongnya terlalu keras, tapi dia lumayan berat, jadi
keseimbangannya tak bagus. Dia jatuh dengan pantatnya yang berbulu lebih dulu,
lalu berdiri tergopoh-gopoh dan lari menjauh dengan perut bergoyang-goyang.
"Grover takkan pernah diterima! Dia akan mati sebagai satir buangan!"
Saat dia menghilang ke dalam semak belukar, Juniper mengusap matanya.
"Aku minta maaf, Percy. Aku tidak bermaksud membuatmu terlibat. Leneus masih
merupakan salah satu penguasa Alam Liar. Kau tidak ingin menjadikannya
musuh." "Tidak jadi soal," kataku. "Aku punya musuh yang lebih buruk daripada
satir kegemukan." Nico berjalan kembali menghampiri kami. "Kerja bagus, Percy. Menilai dari
jejak tahi kambing, menurutku kau lumayan mengguncangkannya."
Aku khawatir aku tahu kenapa Nico ada di sini, tapi aku mencoba
tersenyum. "Selamat datang kembali. Apa kau datang ke sini cuma untuk ketemu
Juniper?" Dia merona. "Eh, nggak. Tadi itu kecelakaan. Aku nggak sengaja ... mampir
di tengah-tengah percakapan mereka."
"Dia menakuti kami setengah mati!" kata Juniper. "Muncul begitu saja dari
bayang-bayang. Tapi, Nico, kau memang putra Hades dan sebagainya. Apa kau
yakin kau belum mendengar kabar apa-apa mengenai Grover?"
Nico memindahkan tumpuan tubuhnya. "Juniper, seperti yang tadi kucoba
beritahukan kepadamu ... sekalipun Grover meninggal, dia akan bereinkarnasi
menjadi sesuatu yang lain di alam liar. Aku tidak bisa merasakan hal-hal semacam
itu, aku hanya merasakan jiwa manusia fana."
"Tapi kalau kau memang mendengar sesuatu?" pinta Juniper, meletakkan
tangannya di lengan Nico. "Apa saja?"
Pipi Nico jadi semakin merah padam. "Eh, pastilah. Akan kupasang
telingaku." "Kita akan menemukannya, Juniper," janjiku. "Grover masih hidup, aku
yakin. Pasti ada alasan sederhana kenapa dia belum menghubungi kita."
Juniper mengangguk muram. "Aku benci tidak bisa meninggalkan hutan.
Dia bisa ada di mana saja, dan aku terjebak di sini sambil menunggu. Oh, kalau
si kambing bodoh itu membuat dirinya terluka - "
Nyonya O'Leary melompat kembali dan mulai tertarik pada gaun Juniper.
Juniper memekik. "Oh, jangan! Aku tahu soal anjing dan pohon. Aku pergi!"
Dia lenyap membentuk kabut hijau. Nyonya O'Leary terlihat kecewa, tapi
dia tersaruk-saruk pergi untuk menemukan target lain, meninggalkan Nico dan
aku sendirian. Nico mengetukkan pedangnya ke tanah. Gundukan kecil tulang hewan
merekah dari tanah. Tulang-tulang tersebut menjalin dirinya sendiri menjadi
kerangka tikus tanah dan tergopoh-gopoh pergi. "Aku ikut berduka cita
mendengar tentang Beckendorf."
Tenggorokanku tercekat. "Bagaimana kau - "
"Aku bicara pada hantunya."
"Oh ... benar." Aku tidak pernah terbiasa dengan fakta bahwa anak dua
belas tahun ini menghabiskan lebih banyak waktu bicara dengan orang mati
daripada orang hidup. "Apa dia mengatakan sesuatu?"
"Dia tidak menyalahkanmu. Menurutnya kau menyiksa dirimu sendiri, dan
dia bilang seharusnya kau tak melakukannya."
"Apa dia bakal mencoba kelahiran kembali?"
Nico menggelengkan kepalanya. "Dia akan tinggal di Elysium. Katanya dia
menunggu seseorang. Aku nggak yakin apa maksudnya, tapi dia tampaknya okeoke
saja dengan kematian."
Tidak terlalu menghibur, tapi lumayanlah.
"Aku mendapat penglihatan kau ada di Gunung Tam," aku memberi tahu
Nico. "Apa itu - "
"Sungguh," katanya. "Aku nggak bermaksud memata-matai para Titan, tapi
aku sedang ada di lingkungan situ."
"Ngapain?" Nico menarik-narik sabuk pedangnya. "Mengikuti petunjuk tentang ...
kautahu, keluargaku."
Aku mengangguk. Aku tahu masa lalunya adalah topik yang menyakitkan.
Sampai dua tahun lalu, dia dan kakak perempuannya Bianca dibekukan dalam
waktu di sebuah tempat bernama Hotel dan Kasino Lotus. Mereka sudah berada di
sana selama tujuh puluh tahun. Pada akhirnya seorang pengacara misterius
menyelamatkan mereka dan memasukkan mereka ke sekolah berasrama, tapi Nico
tidak punya memori tentang kehidupannya sebelum di kasino. Dia tidak tahu apaapa
tentang ibunya. Dia tidak tahu siapa pengacara itu, atau kenapa mereka
dibekukan dalam waktu atau dibiarkan pergi. Setelah Bianca meninggal dan
meninggalkan Nico sendirian, dia terobsesi untuk menemukan jawaban.
"Jadi, bagaimana perkembangannya?" tanyaku. "Beruntung, nggak?"
"Nggak," gumamnya. "Tapi aku mungkin akan segera mendapat petunjuk
baru." "Apa petunjuk itu?"
Nico menggigit bibirnya. "Itu nggak penting sekarang. Kautahu kenapa aku
ada di sini." Rasa ngeri mulai membuncah di dadaku. Sejak Nico pertama kali
mengajukan rencananya untuk mengalahkan Kronos musim panas lalu, aku
bermimpi buruk soal itu. Dia bakal muncul kadang-kadang dan mendesakku
untuk menjawab, tapi aku terus menampiknya.
"Nico, entahlah," kataku. "Kedengarannya lumayan ekstrem."
"Typhon bakal datang dalam waktu, berapa ... seminggu" Sebagian besar
Titan lain sudah dibebaskan sekarang dan berpihak pada Kronos. Mungkin sudah
waktunya untuk berpikir ekstrem."
Aku menoleh ke belakang ke arah perkemahan. Dari jarak sejauh ini
sekalipun aku bisa mendengar para pekemah Ares dan Apollo bertengkar lagi,
meneriakkan kutukan dan menyemburkan puisi jelek.
"Mereka bukan tandingan bagi pasukan Titan," kata Nico. "Kautahu itu. Ini
berujung pada kau dan Luke. Dan cuma ada satu cara kau bisa mengalahkan
Luke." Aku teringat pertarungan di Putri Andromeda. Aku dikalahkan habis-habisan.
Kronos hampir membunuhku dengan satu sayatan di lenganku, dan aku bahkan
tidak bisa melukainya. Riptide terpantul begitu saja dari kulitnya.
"Kami bisa memberimu kekuatan yang sama," desak Nico. "Kau sudah
mendengar Ramalan Besar. Kecuali kau mau jiwamu dihabisi bilah terkutuk ... "
Aku bertanya-tanya bagaimana Nico mendengar ramalan itu - barangkali
dari hantu. "Kau nggak bisa mencegah suatu ramalan," kataku.
"Tapi kau bisa melawannya." Ada cahaya aneh dan lapar di mata Nico. "Kau
bisa menjadi kebal."
"Mungkin kita sebaiknya menunggu. Mencoba bertarung tanpa - "
"Nggak!" bentak Nico. "Harus sekarang!"
Aku menatapnya. Sudah lama aku tidak melihat emosinya meledak seperti
tadi. "Eh, kau yakin kau nggak apa-apa?"
Dia menarik napas dalam-dalam. "Percy, aku cuma bermaksud ... waktu
pertarungan dimulai, kita nggak akan bisa melakukan perjalanan. Inilah
kesempatan terakhir kita. Aku minta maaf kalau aku terlalu memaksa, tapi dua
tahun lalu kakakku mengorbankan hidupnya demi menyelamatkanmu. Aku ingin
menghormati itu. Lakukan apa pun yang diperlukan untuk bertahan hidup dan
mengalahkan Kronos."
Aku tidak suka ide itu. Lalu kupikirkan Annabeth yang menyebutku
pengecut, dan aku jadi marah.
Nico ada benarnya. Kalau Kronos menyerang New York, para pekemah
bukan tandingan bagi pasukannya. Aku harus melakukan sesuatu. Jalan Nico
berbahaya - mungkin bahkan mematikan. Tapi hal tersebut mungkin memberiku
kekuatan untuk bertarung.
"Baiklah," aku memutuskan. "Pertama-tama apa yang harus kita lakukan?"
Senyum dinginnya yang seram membuatku menyesal aku sudah setuju.
"Pertama-tama kita harus melacak langkah Luke. Kita harus tahu lebih banyak
mengenai masa lalunya, masa kanak-kanaknya."
Aku bergidik, memikirkan gambar Rachel dari mimpiku - Luke umur
sembilan tahun yang tersenyum. "Kenapa kita harus tahu soal itu?"
"Akan kujelaskan waktu kita sampai di sana," kata Nico. "Aku sudah
melacak ibunya. Dia tinggal di Connecticut."
Aku menatapnya. Aku tidak pernah berpikir secara serius tentang orangtua
fana Luke. Aku pernah bertemu ayahnya, Hermes, tapi ibunya ...
"Luke kabur waktu dia masih kecil sekali," kataku. "Tapi kukira ibunya
sudah meninggal." "Oh, dia masih hidup, kok." Caranya mengatakan itu membuatku bertanyatanya apa
yang salah dengan ibu Luke. Orang mengerikan macam apakah dia"
"Oke ... " kataku. "Jadi, bagaimana cara kita ke Connecticut" Aku bisa
panggil Blackjack - "
"Nggak." Nico merengut. "Pegasus nggak suka aku, dan aku juga nggak
suka mereka. Tapi kita nggak perlu terbang." Dia bersiul dan Nyonya O'Leary
datang sambil melompat-lompat dari hutan.
"Temanmu ini bisa membantu." Nico menepuk kepala Nyonya O'Leary.
"Kau belum pernah mencoba perjalanan bayangan?"
"Perjalanan bayangan?"
Nico berbisik di telinga Nyonya O'Leary. Dia menelengkan kepalanya, tibatiba
awas. "Ayo naik," kata Nico padaku.
Aku tidak pernah mempertimbangkan untuk menunggang anjing sebelumnya, tapi Nyonya O'Leary jelas cukup besar. Aku memanjat ke
punggungnya dan memegang kalungnya.
"Ini akan membuatnya sangat lelah," Nico memperingati, "jadi kau nggak
bisa melakukannya sering-sering. Dan kerjanya paling bagus di malam hari. Tapi
semua bayangan adalah bagian dari komponen yang sama. Hanya ada satu
kegelapan, dan makhluk-makhluk Dunia Bawah bisa menggunakannya sebagai
jalan, atau pintu." "Aku nggak paham," kataku.
"Tenang," kata Nico. "Perlu waktu lama bagiku untuk belajar. Tapi Nyonya
O'Leary tahu. Beri tahu dia harus pergi ke mana. Bilang padanya Westport, rumah
May Castellan." "Kau nggak ikut?"
"Jangan khawatir," katanya. "Akan kutemui kau di sana."
Aku sedikit gugup, tapi aku mencondongkan badan ke kuping Nyonya
O'Leary. "Oke, Non. Eh, bisakah kau membawaku ke Westport, Connecticut"
Rumah May Castellan?"
Nyonya O'Leary mengendus udara. Dia memandangi keremangan hutan.
Kemudian dia melompat maju, tepat menuju sebatang pohon ek.
Tepat sebelum kami menabrak, kami melintas masuk ke bayangan sedingin
sisi gelap bulan. ENAM Kueku Jadi Gosong Aku tak merekomendasikan perjalanan bayangan kalau kau takut:
a) Gelap b) Rasa dingin yang menjalari tulang belakangmu
c) Bunyi-bunyi aneh d) Melaju begitu cepat sampai-sampai kau merasa wajahmu terkelupas
Dengan kata lain, kupikir perjalanan bayangan betul-betul keren. Satu menit
aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku cuma bisa merasakan bulu Nyonya O'Leary
dan jari-jariku mencengkeram rantai perunggu kalung anjingnya.
Menit berikutnya bayangan meleleh menjadi pemandangan baru. Kami
berada di tebing di hutan Connecticut. Paling tidak, tempat tersebut terlihat
seperti Connecticut dari segelintir kesempatan ketika aku pernah ke sana: banyak pohon,
dinding batu rendah, rumah-rumah besar. Di satu sisi tebing, jalan raya menembus
jurang. Di sisi satunya lagi terdapat pekarangan belakang seseorang. Properti
tersebut besar - lebih cocok disebut alam liar daripada taman. Rumahnya putih,
berlantai dua, dan bergaya Kolonial. Terlepas dari fakta bahwa tempatnya di
bukit seberang jalan raya, rasanya seperti di antah berantah. Aku bisa melihat cahaya
berpendar di jendela dapur. Ayunan tua karatan berdiri di bawah sebatang pohon
apel. Aku tak bisa membayangkan tinggal di rumah seperti ini, dengan halaman
betulan dan sebagainya. Aku tinggal di apartemen kecil atau asrama sekolah
sepanjang hidupku. Kalau ini rumah Luke, aku bertanya-tanya kenapa dia ingin
pergi. Nyonya O'Leary terhuyung-huyung. Aku ingat apa yang Nico katakan soal
perjalanan bayangan yang menguras energinya, jadi aku turun dari punggungnya.
Dia menguap lebar sekali, menampakkan gigi-giginya sedemikian rupa sampai
kupikir bisa-bisa T-rex juga takut, kemudian berputar-putar dan menggelepar
begitu keras sampai-sampai tanah berguncang.
Nico muncul tepat di sebelahku, seolah-olah bayangan telah menggelap dan
menciptakannya. Dia terhuyung-huyung, tapi aku menangkap lengannya.
"Aku baik-baik saja," dia berhasil berkata, menggosok-gosok matanya.
"Bagaimana kau melakukan itu?"
"Latihan. Beberapa kali lari menabrak dinding. Beberapa merupakan
kunjungan tak disengaja ke Cina."
Nyonya O'Leary mulai mendengkur. Kalau bukan karena raungan lalu lintas
di belakang kami, aku yakin dia bakal membangunkan semua tetangga.
"Apa kau bakal tidur juga?" tanyaku pada Nico.
Dia menggelengkan kepala. "Pertama kali aku melakukan perjalanan
bayangan, aku terlelap seminggu. Sekarang aku cuma sedikit mengantuk, tapi aku
tidak bisa melakukannya lebih dari satu atau dua kali semalam. Nyonya O'Leary
tak bakal bisa ke mana-mana sementara ini."
"Jadi, kita punya banyak waktu di Connecticut," aku menatap rumah
Kolonial putih itu. "Sekarang apa?"
"Kita bunyikan bel pintu," kata Nico.
Kalau aku adalah ibu Luke, aku tak akan membukakan pintu malam-malam untuk
dua anak aneh. Tapi aku sama sekali tak seperti ibu Luke.
Aku tahu itu bahkan sebelum kami sampai di pintu depan. Jalan setapak
diapit boneka-boneka binatang kecil yang biasanya ada di toko cenderamata. Ada
singa, babi, naga, dan hydra mini, bahkan Minotaurus mungil berpopok
Minotaurus kecil. Menilai dari kondisi mereka yang menyedihkan, makhlukmakhluk
ini sudah lama duduk di luar sini - setidaknya sejak salju meleleh musim
semi lalu. Bahkan ada tunas pohon muda yang mencuat dari antara leher salah satu
hydra. Beranda depan dipenuhi lonceng angin. Potongan-potongan kaca dan logam
yang mengilap berdenting ditiup angin. Pita kuningan bergemericik seperti air
dan membuatku menyadari bahwa aku perlu ke kamar kecil. Aku tak tahu bagaimana
Bu Castellan bisa tahan dengan semua keberisikan ini.
Pintu depan bercat hijau pirus. Nama CASTELLAN ditulis dalam bahasa
Inggris, dan di bawahnya dalam bahasa Yunani: ?"?"?"?"" ?"?"?"?".
Nico memandangku. "Siap?"
Dia nyaris belum mengetuk ketika daun pintu tersebut berayun terbuka.
"Luke!" seru sang wanita tua gembira.
Dia terlihat seperti seseorang yang suka menjejalkan jarinya ke dalam
colokan listrik. Rambut putihnya bergumpal-gumpal di sekujur kepalanya. Daster
merah mudanya diselimuti bekas gosong dan corengan abu. Saat dia tersenyum,
wajahnya terlihat melar tak wajar, dan cahaya bervoltase tinggi di matanya
membuatku bertanya-tanya apakah dia buta.
"Oh, anakku tersayang!" Dia memeluk Nico. Aku berusaha mencari tahu
penyebab dia mengira Nico adalah Luke (mereka sama sekali tak mirip), saat dia
tersenyum kepadaku dan berkata, "Luke!"
Dia lupa sama sekali soal Nico dan memberiku pelukan. Baunya seperti kue
gosong. Dia sekurus orang-orangan sawah, tetapi itu tidak menghentikannya dari
membuatku hampir remuk. "Ayo masuk!" paksanya. "Aku sudah menyiapkan makan siangmu!"


Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia menggiring kami ke dalam. Ruang tengah bahkan lebih aneh daripada
halaman depan. Cermin dan lilin memenuhi setiap jengkal ruang yang tersedia.
Aku tak bisa menoleh ke mana pun tanpa melihat pantulanku sendiri. Di atas rak,
Hermes kecil perunggu terbang mengelilingi jarum pendek sebuah jam yang
sedang berdetik. Aku mencoba membayangkan ketika sang dewa pengantar pesan
jatuh cinta pada wanita tua ini, tapi gagasan tersebut terlalu ganjil.
Kemudian kulihat foto berbingkai di atas rak, dan aku membeku. Foto
tersebut persis seperti sketsa Rachel - Luke berusia sekitar sembilan tahun,
dengan rambut pirang, senyum lebar, dan dua gigi yang hilang. Ketiadaan bekas luka di
wajahnya membuatnya terlihat seperti orang yang berbeda - begitu bebas tanpa
beban dan bahagia. Bagaimana bisa Rachel tahu tentang foto itu"
"Ke sini, Sayang!" Bu Castellan menyetirku ke arah bagian belakang rumah.
"Oh, kuberi tahu mereka kau akan kembali. Aku tahu itu!"
Dia mendudukkan kami di balik meja dapur. Di atas meja bertumpuktumpuk ratusan maksudku benar-benar ratusan - kotak Tupperware berisi roti
tawar lapis selai kacang dan jeli. Yang berada di bagian terbawah tampak hijau
dan bulukan, seakan sudah lama berada di sana. Baunya mengingatkanku pada lokerku
waktu kelas enam - dan itu bukan hal bagus.
Di atas oven terdapat tumpukan loyang kue. Pada masing-masing loyang
terdapat selusin kue gosong. Di bak cuci piring ada gunungan wadah plastik
minuman ringan Kool-Aid yang kosong. Boneka Medusa duduk di dekat keran
seolah-olah ia sedang menjaga kekacau-balauan tersebut.
Bu Castellan mulai bergumam selagi dia mengeluarkan selai kacang dan jeli
dan mulai membuat roti lapis baru. Sesuatu sedang terbakar di dalam oven. Aku
punya firasat ada lebih banyak kue lagi yang sedang dalam perjalanan.
Di atas bak cuci, ditempel di seluruh jendela, terdapat lusinan gambar kecil
yang digunting dari iklan majalah dan koran - gambar Hermes dari logo FTD
Flowers dan Quickie Cleaners, gambar caduceus - lambang tongkat yang dililit dua
ular - dari iklan kesehatan.
Jantungku mencelos. Aku ingin keluar dari ruangan itu, tapi Bu Castellan
terus tersenyum kepadaku selagi dia membuat roti lapis, seolah-olah dia sedang
memastikan aku tak akan kabur.
Nico batuk-batuk. "Bu Castellan?"
"Mm?" "Kami perlu menanyai Ibu tentang putra Ibu."
"Oh, ya! Mereka memberitahuku dia takkan pernah kembali. Tapi aku lebih
tahu." Dia menepuk pipiku penuh kasih sayang, memberiku belang-belang selai
kacang. "Kapan terakhir kali Ibu melihatnya?" tanya Nico.
Matanya kehilangan fokus.
"Dia masih kecil sekali ketika dia pergi," katanya merenung. "Kelas tiga SD.
Itu terlalu muda untuk kabur! Dia bilang dia akan pulang untuk makan siang. Dan
aku menunggu. Dia suka roti lapis selai kacang, kue kering, dan Kool-Aid. Dia
akan segera pulang untuk makan siang ... " Lalu dia memandangku dan
tersenyum. "Tapi, Luke, akhirnya kau pulang! Kau kelihatan begitu tampan.
Matamu seperti ayahmu."
Dia menoleh ke gambar-gambar Hermes di atas bak cuci. "Nah, dia itu pria
yang baik. Ya, memang. Dia datang mengunjungiku, kautahu."
Jam terus berdetik di ruangan lain. Aku mengusap selai kacang dari wajahku
dan memandang Nico sambil memohon, semacam Bisakah kita keluar dari sini
sekarang" "Bu," kata Nico. "Apa, eh ... apa yang terjadi pada mata Ibu?"
Tatapan Bu Castellan seakan retak - seolah dia sedang berusaha memusatkan fokus pada Nico lewat kaleidoskop. "Lho, Luke, kautahu ceritanya.
Tepat sebelum kau dilahirkan, kan" Dari dulu aku selalu istimewa, bisa melihat
menembus ... entah apa mereka menyebutnya."
"Kabut?" kataku.
"Ya, Sayang." Dia mengangguk memberi semangat. "Dan mereka
menawariku pekerjaan penting. Sebegitu istimewanya aku."
Aku melirik Nico, tapi dia terlihat sebingung aku.
"Pekerjaan semacam apa?" tanyaku. "Apa yang terjadi?"
Bu Castellan mengerutkan kening. Pisaunya melayang di atas roti lapis.
"Kasihan aku, tapi rupanya tidak berhasil, kan" Ayahmu memperingatiku agar
tidak mencoba. Dia bilang pekerjaan itu terlalu berbahaya. Tapi aku harus
melakukannya. Itu adalah takdirku! Dan sekarang ... aku masih tidak bisa
mengeluarkan gambaran-gambaran itu dari kepalaku. Hal-hal itu membuat
segalanya tampak kabur. Apa kau mau kue?"
Dia mengeluarkan loyang dari oven dan membuang selusin bongkahan
arang kue cokelat ke meja.
"Luke begitu baik," gumam Bu Castellan. "Dia pergi untuk melindungiku,
kautahu. Dia bilang kalau dia pergi, monster-monster takkan mengancamku. Tapi
kuberi tahu dia bahwa monster-monster bukan ancaman! Mereka duduk di luar di
jalan setapak seharian, dan mereka tidak pernah masuk." Dia memungut boneka
Medusa kecil dari ambang jendela. "Iya kan, Nyonya Medusa" Bukan, bukan
ancaman sama sekali." Dia memandangku sambil berbinar-binar. "Aku lega sekali
kau sudah pulang. Aku tahu kau tidak malu terhadapku!"
Aku bergerak-gerak di tempat dudukku. Kubayangkan menjadi Luke yang
duduk di balik meja ini, berumur delapan atau sembilan tahun, dan baru mulai
menyadari bahwa pikiran ibuku terganggu.
"Bu Castellan," kataku.
"Mama," dia mengoreksi.
"Eh, iya. Pernahkah Ibu melihat Luke sejak dia meninggalkan rumah?"
"Yah, tentu saja!"
Aku tidak tahu apakah dia membayangkan itu atau tidak. Sepengetahuanku,
setiap kali tukang pos datang ke pintu dia bisa saja dikira Luke. Tapi Nico
mencondongkan posisi duduknya ke depan dengan penuh harap.
"Kapan?" tanyaku. "Kapan terakhir kali Luke mengunjungi Ibu?"
"Yah, kejadiannya ... Ya ampun ... " Bayangan melintasi wajahnya. "Kali
terakhir, dia terlihat begitu berbeda. Bekas luka. Bekas luka mengerikan, dan
suaranya begitu penuh kepedihan ... "
"Matanya?" kataku. "Apa warnanya emas?"
"Emas?" Bu Castellan berkedip. "Tidak. Konyol sekali. Luke bermata biru.
Mata biru indah!" Jadi, Luke benar-benar pernah ke sini, dan ini terjadi sebelum musim panas
lalu - sebelum dia berubah jadi Kronos.
"Bu Castellan?" Nico meletakkan tangannya di lengan wanita tua itu. "Ini
sangat penting. Apa dia meminta sesuatu dari Ibu?"
Bu Castellan mengerutkan kening seakan-akan sedang berusaha mengingat.
"Restu - restuku. Bukankah itu manis?" Dia memandang kami tak yakin. "Dia
akan pergi ke sebuah sungai, dan dia bilang dia butuh restuku. Aku memberikan
restuku kepadanya. Tentu saja aku memberikannya."
Nico memandangku penuh kemenangan. "Terima kasih, Bu. Cuma itu
informasi yang kami - "
Bu Castellan terkesiap. Dia membungkuk, dan loyang kuenya jatuh
berkelontangan di lantai. Nico dan aku melompat berdiri.
"Bu Castellan?" kataku.
"AHHHH." Dia menegakkan tubuhnya. Aku buru-buru menjauh dan hampir
jatuh di lantai dapur, sebab matanya - matanya menyala-nyala hijau.
"Anakku," katanya dengan suara serak yang lebih dalam. "Harus
melindunginya! Hermes, tolong! Jangan anakku! Bukan takdirnya - tidak!"
Dia mencengkeram bahu Nico dan mulai mengguncang-guncangkannya
seakan-akan untuk membuatnya mengerti. "Bukan takdirnya!"
Nico mengeluarkan teriakan tercekat dan mendorongnya menjauh. Dia
menggenggam gagang pedangnya. "Percy, kita harus keluar - "
Tiba-tiba Bu Castellan kolaps. Aku melesat maju dan menangkapnya
sebelum dia bisa menabrak tepi meja. Aku berhasil membawanya ke kursi.
"Bu C?" tanyaku.
Dia menggumamkan sesuatu yang tak dapat dipahami dan menggelenggelengkan
kepalanya. "Ya ampun. Aku ... aku menjatuhkan kuenya. Payah sekali
aku." Dia berkedip, dan matanya kembali normal - atau paling tidak, seperti
sebelumnya. Nyala hijau itu sudah lenyap.
"Apa Ibu baik-baik saja?" tanyaku.
"Yah, tentu saja, Sayang. Aku baik-baik saja. Kenapa kau bertanya?"
Aku melirik Nico, yang mengucapkan kata Pergi tanpa suara.
"Bu C, Ibu tadi memberi tahu kami sesuatu," kataku. "Sesuatu tentang putra
Ibu." "Begitukah?" katanya bengong. "Ya, matanya yang biru. Kita tadi
membicarakan matanya yang biru. Sungguh bocah yang tampan!"
"Kami harus pergi," kata Nico mendesak. "Akan kami beri tahu Luke ... eh,
akan kami beri tahu dia bahwa Ibu kirim salam."
"Tapi kau tidak boleh pergi!" Bu Castellan berdiri sambil gemetaran, dan
aku mundur. Aku merasa konyol karena takut pada seorang wanita tua rapuh, tapi
menyaksikan betapa suaranya berubah, betapa dia mencengkeram Nico ...
"Hermes akan segera datang ke sini," dia berjanji. "Dia pasti ingin menemui
putranya!" "Mungkin kali lain," kataku. "Terima kasih atas - " Aku menunduk,
memandang kue-kue gosong yang berserakan di lantai. "Terima kasih atas
segalanya." Dia mencoba menghentikan kami, menawari kami Kool-Aid, tapi aku harus
keluar dari rumah itu. Di beranda depan, dia mencengkeram pergelangan
tanganku dan aku hampir terlonjak keluar dari kulitku. "Luke, paling tidak
berhati-hatilah. Berjanjilah kau akan berhati-hati."
"Aku berjanji ... Ma."
Itu membuatnya tersenyum. Dia melepaskan pergelangan tanganku, dan
saat dia menutup pintu aku bisa mendengarnya bicara kepada lilin-lilin: "Kalian
dengar itu" Dia akan berhati-hati. Sudah kuberi tahu kalian dia akan berhatihati!" Saat pintu tertutup, Nico dan aku lari. Boneka-boneka binatang di jalan
setapak seakan menyeringai kepada kami selagi kami melintas.
Kembali ke tebing, Nyonya O'Leary ternyata telah mendapat teman.
Api unggun yang nyaman meretih di tengah lingkaran batu. Seorang gadis
berusia sekitar delapan tahun duduk bersila di samping Nyonya O'Leary,
menggaruk-garuk kuping si anjing neraka.
Gadis itu berambut cokelat suram dan mengenakan gaun cokelat sederhana.
Dia mengenakan selendang di atas kepalanya sehingga dia terlihat seperti anak
pionir - seperti hantu Little House of the Prairie atau semacamnya. Dia
menusuknusuk api dengan tongkat, dan api unggun tersebut tampak berpendar lebih
merah daripada api biasa. "Halo," katanya.
Pikiran pertamaku adalah: monster. Ketika kau seorang blasteran dan kau
menemukan gadis kecil manis sendirian di hutan - itu biasanya adalah waktu yang
bagus untuk menghunus pedangmu dan menyerang. Plus, pertemuan dengan Bu
Castellan telah mengguncangku lumayan parah.
Tapi Nico membungkuk kepada gadis kecil itu. "Halo lagi, Dewi."
Gadis itu mengamatiku dengan mata semerah cahaya api. Kuputuskan
bahwa lebih aman membungkuk.
"Duduklah, Percy Jackson," katanya. "Apa kau mau makan malam?"
Setelah menatap roti lapis selai kacang jamuran dan kue gosong, aku tidak
terlalu berselera makan, tetapi gadis itu melambaikan tangannya dan hidangan
piknik muncul di pinggir api. Ada piring-piring berisi daging bakar, kentang
panggang, wortel bermentega, roti segar, dan berbagai macam makanan lain yang
sudah lama tidak kusantap. Perutku mulai keroncongan. Ini adalah jenis makanan
buatan rumah yang konon disantap orang-orang tapi kenyataannya tidak pernah.
Gadis itu memunculkan biskuit anjing sepanjang satu setengah meter untuk
Nyonya O'Leary, yang dengan senang hati mulai merobek-robeknya hingga
berkeping-keping. Aku duduk di samping Nico. Kami mengambil makanan kami, dan aku
hendak makan saat aku berpikir sebaiknya jangan dulu.
Aku menyisihkan sebagian makananku ke api, seperti yang kami lakukan di
perkemahan. "Untuk dewa-dewi," kataku.
Si gadis kecil tersenyum. "Terima kasih. Sebagai penjaga api, aku
memperoleh bagian dari setiap persembahan, kautahu."
"Aku mengenali Anda sekarang," kataku. "Pertama kali aku datang ke
perkemahan, Anda duduk di dekat api, di tengah-tengah halaman bersama."
"Kau tidak berhenti untuk mengobrol," kenang gadis itu sedih. "Sayangnya,
sebagian besar tidak pernah melakukannya. Nico bicara padaku. Dia adalah yang
pertama setelah bertahun-tahun. Semua orang buru-buru. Tidak ada waktu untuk
mengunjungi keluarga."
"Anda Hestia," kataku. "Dewi Perapian."
Dia mengangguk. Oke ... jadi dia kelihatan seperti anak umur delapan tahun. Aku tidak
bertanya. Aku sudah belajar bahwa dewa-dewi bisa terlihat seperti apa saja
sesuka mereka. "Dewi," kata Nico, "kenapa Anda tidak bersama dewa-dewi Olympia lain,
melawan Typhon?" "Aku tidak pandai bertarung." Mata merahnya berkerlip. Kusadari bahwa
matanya bukan sekadar merefleksikan nyala api. Matanya dipenuhi nyala api - tapi
tidak seperti mata Ares. Mata Hestia hangat dan nyaman.
"Lagi pula," katanya, "seseorang harus menjaga perapian rumah tetap
menyala selagi dewa-dewi lain pergi."
"Jadi, Anda mempertahankan Gunung Olympus?" tanyaku.
"'Mempertahankan' mungkin merupakan kata yang terlalu kuat. Namun
apabila kalian memerlukan tempat hangat untuk duduk dan makan hidangan
buatan rumah, kalian dipersilakan berkunjung. Sekarang makanlah."
Piringku sudah kosong sebelum aku menyadarinya. Nico menyikat
makanannya sama cepatnya.
"Rasanya enak banget," kataku. "Terima kasih, Dewi Hestia."
Dia mengangguk. "Apa kunjunganmu ke May Castellan lancar?"
Selama sesaat aku hampir melupakan wanita tua dengan mata hijau cerah
dan senyum sintingnya, betapa wanita itu tiba-tiba seolah kerasukan.
"Apa yang tidak beres dengannya, persisnya?" tanyaku.
"Dia dilahirkan dengan suatu karunia," kata Hestia. "Dia bisa melihat
menembus Kabut." "Seperti ibuku," kataku. Dan aku juga berpikir, Seperti Rachel. "Tapi matanya
yang menyala-nyala itu - "
"Beberapa orang memikul kutukan penglihatan dengan lebih baik daripada
yang lain," kata sang dewi sedih. "Selama beberapa waktu, May Castellan punya
banyak bakat. Dia menarik perhatian Hermes sendiri. Mereka memiliki bayi
lakilaki yang rupawan. Selama waktu yang singkat, May Castellan berbahagia. Dan
kemudian dia melangkah terlalu jauh."
Aku teringat apa yang dikatakan Bu Castellan: Mereka menawariku pekerjaan
penting ... Rupanya tidak berhasil. Aku bertanya-tanya pekerjaan macam apa yang
menjadikan orang seperti itu.
"Satu menit dia gembira," kataku. "Dan kemudian dia panik soal nasib
putranya, seakan-akan dia tahu Luke berubah jadi Kronos. Apa yang terjadi
sehingga ... sehingga memecah belah dirinya seperti itu?"
Wajah sang dewi jadi mendung. "Itu adalah cerita yang tidak ingin
kukisahkan. Tapi May Castellan melihat terlalu banyak. Jika kau ingin memahami
musuhmu Luke, kau harus memahami keluarganya."
Aku berpikir tentang gambar-gambar Hermes kecil menyedihkan yang
ditempel di atas bak cuci May Castellan. Aku bertanya-tanya apakah Bu Castellan
sudah segila itu waktu Luke masih kecil. Kumat dengan mata hijau itu bisa
benarbenar bikin anak sembilan tahun ketakutan. Dan kalau Hermes tidak pernah
berkunjung, kalau dia meninggalkan Luke sendirian bersama ibunya selama
bertahun-tahun itu ... "Nggak heran Luke kabur," kataku. "Maksudku, memang nggak benar
meninggalkan ibunya seperti itu, tapi tetap saja - dia masih kanak-kanak. Hermes
semestinya tidak menelantarkan mereka."


Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hestia menggaruk bagian belakang telinga Nyonya O'Leary. Si anjing neraka
menggoyang-goyangkan ekornya dan tak sengaja merobohkan sebatang pohon.
"Mudah untuk menilai orang," Hestia memperingati. "Tapi akankah kau
mengikuti jejak Luke" Mencari kekuatan yang sama?"
Nico meletakkan piringnya. "Kami tidak punya pilihan, Dewi. Itulah satusatunya
cara supaya Percy punya peluang."
"Mmm." Hestia membuka telapak tangannya dan api menggelegar. Nyala
api melesat sembilan meter ke udara. Hawa panas menampar mukaku. Lalu mati
mengecil ke ukuran normal.
"Tidak semua kekuatan spektakuler." Hestia memandangku. "Terkadang
kekuatan yang paling sulit dikuasai adalah kekuatan untuk menyerah. Apa kau
percaya padaku?" "Mmm ... ya," kataku. Apa saja supaya dia tidak main-main dengan
kekuatan apinya lagi. Sang dewi tersenyum. "Kau pahlawan yang baik, Percy Jackson. Tidak
terlalu angkuh. Aku suka itu. Tapi masih banyak yang harus kaupelajari. Ketika
Dionysus dijadikan dewa, kuserahkan singgasanaku untuknya. Itulah satu-satunya
cara untuk menghindari perang saudara antara para dewa."
"Hal tersebut membuat Dewan tak seimbang," aku ingat. "Tiba-tiba jadi ada
tujuh cowok dan lima cewek."
Hestia mengangkat bahu. "Itu adalah solusi terbaik, bukan yang sempurna.
Kini aku menjaga api. Aku memudar perlahan-lahan ke latar belakang. Tak seorang
pun akan menulis syair epik mengenai tindakan-tindakan Hestia. Sebagian besar
blasteran bahkan tidak berhenti untuk bicara kepadaku. Tapi itu tidak masalah.
Aku menjaga perdamaian. Aku menyerah ketika diperlukan. Bisakah kaulakukan
itu?" "Aku tidak tahu apa maksud Anda."
Dia mengamatiku. "Barangkali belum. Tapi sebentar lagi. Akankah kau
melanjutkan misimu?"
"Itukah sebabnya Anda di sini - untuk memperingatiku supaya nggak
pergi?" Hestia menggelengkan kepala. "Aku di sini karena ketika segala hal lain
gagal, ketika semua dewa kuat lain pergi berperang, akulah satu-satunya yang
tertinggal. Rumah. Perapian. Akulah dewi Olympia terakhir. Kau harus ingat
kepadaku ketika kau menghadapi keputusan terakhirmu."
Aku tidak suka caranya mengatakan terakhir.
Aku memandang ke arah Nico, kemudian kembali ke arah mata hangat
Hestia yang berkilau. "Aku harus lanjut, Dewi. Aku harus menghentikan Luke ...
maksudku Kronos." Hestia mengangguk. "Baiklah. Aku tidak bisa banyak membantu,
melampaui apa yang sudah kuberitahukan kepadamu. Namun karena kau
membuat persembahan untukku, aku bisa mengembalikanmu ke perapianmu
sendiri. Akan kutemui kau lagi, Percy, di Olympus."
Nada suaranya membawa pertanda buruk, seakan-akan pertemuan kami
berikutnya takkan menggembirakan.
Sang dewi melambaikan tangannya, dan segalanya memudar.
Tiba-tiba aku berada di rumah. Nico dan aku duduk di sofa di apartemen ibuku di
Upper East Side. Itu kabar bagusnya. Kabar buruknya adalah bahwa seisi ruang
keluarga ditempati oleh Nyonya O'Leary.
Aku mendengar teriakan teredam dari kamar tidur. Suara Paul berkata,
"Siapa yang meletakkan tembok bulu ini di ambang pintu?"
"Percy?" seru ibuku. "Apa kau di sini" Apa kau baik-baik saja?"
"Aku di sini," aku balas berteriak.
"GUK!" Nyonya O'Leary berusaha berputar untuk menemukan ibuku,
menjatuhkan semua foto di dinding. Dia baru bertemu ibuku sekali sebelumnya
(ceritanya panjang), tapi dia sangat suka ibuku.
Butuh beberapa menit, tapi kami akhirnya membereskan semuanya. Setelah
menghancurkan sebagian besar perabot di ruang keluarga dan barangkali
membuat tetangga-tetangga kami luar biasa marah, kami berhasil mengeluarkan
orangtuaku dari kamar tidur dan memasukkan mereka ke dapur, tempat kami
duduk mengelilingi meja dapur. Nyonya O'Leary masih menempati seisi ruang
keluarga, tapi dia meletakkan kepalanya di ambang pintu dapur supaya dia bisa
melihat kami, dan itu membuatnya gembira. Ibuku melemparkan gulungan daging
giling 5 kg untuk jatah satu keluarga kepada Nyonya O'Leary. Daging tersebut
serta-merta lenyap ke kerongkongannya. Paul menuangkan limun untuk kami
berempat sementara aku menjelaskan tentang kunjungan kami ke Connecticut.
"Jadi, ternyata benar." Paul menatapku seolah dia belum pernah melihatku
sebelumnya. Dia mengenakan jubah mandi putihnya, sekarang dipenuhi bulu
anjing neraka, dan rambut peraknya mencuat ke segala arah. "Semua pembicaraan
mengenai monster, dan kau yang blasteran ... itu memang benar."
Aku mengangguk. Musim gugur lalu aku menjelaskan kepada Paul siapa
aku. Ibuku mendukungku. Tapi sampai saat ini, menurutku dia tidak benar-benar
percaya pada kami. "Maaf soal Nyonya O'Leary," kataku, "yang menghancurkan ruang keluarga
dan sebagainya." Paul tertawa seolah-olah dia senang. "Apa kau bercanda" Ini keren!
Maksudku, ketika aku melihat jejak kaki kuda di Prius, kukira mungkin saja. Tapi
ini!" Dia menepuk moncong Nyonya O'Leary. Ruang keluarga berguncang BUM, BUM, BUM - yang entah berarti tim SWAT sedang mendobrak pintu atau
Nyonya O'Leary sedang menggoyang-goyangkan ekornya.
Mau tidak mau aku tersenyum. Paul adalah laki-laki yang lumayan asyik,
sekalipun dia adalah guru bahasa Inggris sekaligus ayah tiriku.
"Makasih karena tidak ketakutan," kataku.
"Oh, aku ketakutan kok," dia berjanji, matanya membelalak. "Aku cuma
berpendapat ini keren!"
"Yah," kataku, "kau mungkin nggak bakal terlalu antusias saat kaudengar
apa yang akan terjadi."
Kuberi tahu Paul dan ibuku tentang Typhon, dan para dewa, dan
pertempuran yang pasti akan datang. Lalu kuberi tahu mereka tentang rencana
Nico. Ibuku mengaitkan jari-jarinya di sekeliling gelas limunnya. Dia mengenakan
jubah mandi flanel biru lamanya, dan rambutnya dikuncir ke belakang. Baru-baru
ini dia mulai menulis novel, seperti yang sudah ingin dilakukannya selama
bertahun-tahun, dan aku bisa tahu dia habis bekerja sampai larut malam, sebab
lingkaran di bawah matanya lebih gelap daripada biasanya.
Di belakangnya di jendela dapur, moonlace keperakan berpendar di kotak
bunga. Aku membawa tanaman ajaib itu dari pulau Calypso musim panas lalu, dan
tumbuhan itu berkembang gila-gilaan di bawah perawatan ibuku. Wanginya selalu
menenangkanku tapi juga membuatku sedih karena mengingatkanku pada temanteman
yang sudah tiada. Ibuku menarik napas dalam-dalam, seakan-akan dia sedang memikirkan
cara untuk mengatakan tidak padaku.
"Percy, itu berbahaya," katanya. "Bagimu sekalipun."
"Bu, aku tahu. Aku bisa mati. Nico sudah menjelaskan itu. Tapi kalau kami
tidak mencoba - " "Kita semua akan mati," kata Nico. Dia belum menyentuh limunnya. "Bu
Jackson, kita tidak punya peluang melawan invasi. Dan invasi akan terjadi."
"Invasi New York?" kata Paul. "Apakah itu bahkan mungkin" Bagaimana
mungkin kami tidak bisa melihat ... monster?"
Dia mengucapkan kata itu seakan-akan dia masih tidak bisa memercayai
bahwa ini sungguhan. "Entahlah," aku mengakui. "Aku nggak tahu bagaimana Kronos bisa
berbaris masuk begitu saja ke Manhattan, tapi Kabut sangat kuat. Typhon
melintasi negeri sambil menginjak-injaknya saat ini, dan manusia fana mengira ia cuma
badai." "Bu Jackson," kata Nico. "Percy butuh restu Ibu. Prosesnya harus dimulai
seperti itu. Saya tidak yakin sampai kami bertemu ibu Luke, tapi saya sekarang
yakin seratus persen. Ini hanya pernah dilakukan secara sukses dua kali
sebelumnya. Pada kedua kali, sang ibu harus memberikan restunya. Dia harus
bersedia membiarkan putranya mengambil risiko."
"Kau ingin aku merestui ini?" Ibuku menggeleng-gelengkan kepala. "Ini
gila. Percy, kumohon - "
"Bu, aku tidak bisa melakukan ini tanpa Ibu."
"Dan jika kau selamat dari ... dari proses ini?"
"Kalau begitu, aku akan pergi berperang," kataku. "Aku melawan Kronos.
Dan hanya satu dari kami yang akan bertahan hidup."
Aku tidak memberitahunya keseluruhan ramalan - tentang jiwa yang
dihabisi dan akhir usiaku. Dia tidak perlu tahu bahwa aku barangkali pasti
mampus. Aku cuma bisa berharap aku berhasil menghentikan Kronos dan
menyelamatkan dunia sebelum aku mati.
"Kau putraku," kata ibuku sengsara. "Aku tidak bisa ... "
Aku tahu aku harus mendesaknya lebih keras kalau aku ingin dia setuju,
tapi aku tidak mau. Aku teringat Bu Castellan yang malang di dapurnya,
menunggu putranya pulang ke rumah. Dan kusadari betapa beruntungnya aku.
Ibuku selalu hadir untukku, selalu berusaha membuat keadaan terasa normal
bagiku, dengan adanya dewa dan monster dan semacamnya sekalipun. Dia
menerima meskipun aku pergi berpetualang, tapi sekarang aku minta restunya
untuk melakukan sesuatu yang barangkali bakal membuatku terbunuh.
Aku bertatapan dengan Paul, dan semacam kesepahaman melintas di antara
kami. "Sally." Paul meletakkan tangannya di atas tangan ibuku. "Aku tidak bisa
mengklaim bahwa aku mengetahui apa yang sudah kau dan Percy alami selama
bertahun-tahun ini. Tapi bagiku kedengarannya ... kedengarannya Percy akan
melakukan sesuatu yang mulia. Kuharap aku punya keberanian sebanyak itu."
Tenggorokanku tercekat. Aku tak terlalu sering dapat pujian semacam itu.
Ibuku menatap limunnya. Dia terlihat seolah dia sedang berusaha tidak
menangis. Kupikirkan apa yang dikatakan Hestia, tentang betapa sulitnya
menyerah, dan kutebak mungkin ibuku sedang merasakan itu.
"Percy," katanya. "Kuberi kau restuku."
Aku tidak merasa berbeda. Tidak ada pendar ajaib yang menerangi dapur
atau apalah. Aku melirik Nico. Dia terlihat lebih gugup daripada sebelumnya, tapi dia mengangguk.
"Sudah waktunya."
"Percy," kata ibuku. "Satu hal terakhir. Jika kau ... jika kau selamat dari
pertarungan melawan Kronos, kirimkan aku tanda." Dia merogoh-rogoh tasnya
dan menyerahkan ponselnya kepadaku.
"Bu," kataku, "Ibu tahu blasteran dan telepon - "
"Aku tahu," katanya. "Tapi untuk jaga-jaga saja. Jika kau tidak bisa
menelepon ... mungkin tanda yang bisa kulihat dari mana saja di Manhattan.
Untuk memberi tahu kami bahwa kau baik-baik saja."
"Seperti Theseus," saran Paul. "Dia semestinya mengembangkan layar putih
saat dia pulang ke Athena."
"Hanya saja dia lupa," gumam Nico. "Dan ayahnya melompat dari atap
istana karena putus asa. Tapi bagaimanapun juga, itu ide bagus."
"Bagaimana kalau bendera atau suar?" kata ibuku. "Dari Olympus - Empire
State Building?" "Sesuatu yang berwarna biru," kataku.
Kami punya lelucon lama selama bertahun-tahun ini tentang makanan biru.
Biru adalah warna favoritku, dan ibuku bersusah payah meladeniku. Setiap tahun
kue ulang tahunku, keranjang Paskahku, permen Natalku, semua selalu harus
berwarna biru. "Ya," ibuku setuju. "Akan kupasang mata untuk tanda biru. Dan akan
kucoba menghindari melompat dari atap istana."
Ibuku memberiku satu pelukan terakhir. Aku mencoba tidak merasa seakanakan aku
sedang mengucapkan selamat tinggal. Aku berjabat tangan dengan Paul.
Lalu Nico dan aku berjalan ke ambang pintu dapur dan memandang Nyonya
O'Leary. "Sori, Non," kataku. "Waktunya melakukan perjalanan bayangan lagi."
Nyonya O'Leary merengek dan menyilangkan kedua cakarnya di atas
moncongnya. "Ke mana sekarang?" tanyaku kepada Nico. "Los Angeles?"
"Tidak perlu," katanya. "Ada pintu masuk ke Dunia Bawah yang lebih
dekat." TUJUH Guru Matematikaku Memberiku Tumpangan Kami keluar di Central Park, tepat di utara The Pond. Nyonya O'Leary kelihatan
lumayan capek saat dia terpincang-pincang ke sekumpulan batu besar. Ia mulai
mengendus-endus, dan aku takut dia mungkin bakal menandai wilayahnya, tapi
Nico berkata, "Tidak apa-apa. Ia cuma mencium jalan pulang."
Aku mengerutkan kening. "Lewat batu?"
"Dunia Bawah punya dua jalan masuk besar," kata Nico. "Kautahu yang di
L.A." "Feri Charon?" Nico mengangguk. "Sebagian besar jiwa pergi lewat jalan itu, tapi ada jalan
yang lebih kecil, lebih susah untuk ditemukan. Pintu Orpheus."
"Cowok berharpa."
"Cowok berlira," Nico mengoreksi. "Tapi iya, dia. Dia menggunakan
musiknya untuk memikat bumi dan membuka jalan baru ke Dunia Bawah. Dia
menyanyi untuk masuk ke istana Hades dan hampir berhasil kabur bersama jiwa
istrinya." Aku ingat cerita itu. Orpheus seharusnya tak menoleh ke belakang waktu
dia membimbing istrinya kembali ke dunia, tapi tentu saja dia melakukannya. Itu
adalah salah satu cerita tipikal "maka-mereka-pun-mati/tamat" yang selalu
membuat kami para blasteran merasa hangat dan nyaman.
"Jadi, ini Pintu Orpheus." Aku mencoba merasa terkesan, tapi jalan masuk
tersebut tetap saja kelihatan seperti tumpukan batu bagiku. "Membukanya
bagaimana?" "Kita perlu musik," kata Nico. "Bagaimana jika kau bernyanyi?"
"Eh, aduh. Nggak bisakah kau, tahulah, suruh pintu itu terbuka" Kau kan
putra Hades dan sebagainya."
"Nggak semudah itu. Kita butuh musik."
Aku cukup yakin kalau aku mencoba bernyanyi, yang bisa kusebabkan
cuma tanah longsor. "Aku punya ide yang lebih bagus." Aku berbalik dan berseru, "GROVER!"
Kami menunggu lama. Nyonya O'Leary bergelung dan tidur. Aku bisa mendengar
jangkrik di hutan dan burung hantu ber-uhu-uhu. Lalu lintas berdengung di
sepanjang Central Park West. Kaki kuda berderap di jalan setapak dekat sana,
mungkin patroli polisi berkuda. Aku yakin mereka bakal senang sekali
menemukan dua anak nongkrong di taman pada jam satu pagi.
"Nggak ada gunanya," kata Nico pada akhirnya.
Tapi aku punya firasat. Sambungan empatiku betul-betul tergelitik untuk
pertama kalinya selama berbulan-bulan, yang entah berarti banyak orang tiba-tiba
menyetel Saluran Alam, atau Grover ada di dekat sini.
Aku memejamkan mataku dan berkonsentrasi. Grover.
Aku tahu dia berada di suatu tempat di taman. Kenapa aku tidak bisa
merasakan emosinya" Yang kudapatkan cuma dengung samar di dasar
tengkorakku. Grover, pikirku, lebih berkeras.
Hmm-hmmmm, kata sesuatu. Sebuah citra muncul di kepalaku. Kulihat pohon elm raksasa jauh di dalam
hutan, jauh dari jalan setapak utama. Akar-akar bengkok saling kait di tanah,
membuat semacam tempat tidur. Di atasnya berbaringlah seekor satir dengan
lengan tersilang dan mata terpejam. Pada mulanya aku tak bisa yakin itu adalah
Grover. Dia diselimuti ranting dan daun, seolah dia sudah tidur di sana lama
sekali. Akar-akar seakan membentuk diri mereka di sekelilingnya, pelan-pelan
menariknya ke dalam bumi.
Grover, kataku. Bangun. Mmmh - zzzzz. Sobat, kau berlumur tanah. Bangun!
Ngantuk, gumam pikirannya.
MAKANAN, bujukku. PANEKUK!
Matanya mendadak terbuka. Pemikiran-pemikiran kabur

Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memenuhi kepalaku seolah-olah dia tiba-tiba melakukan gerak cepat. Citra-citra tersebut
buyar, dan aku hampir terjatuh.
"Apa yang terjadi?" tanya Nico.
"Aku tersambung. Dia ... iya. Dia sedang dalam perjalanan."
Semenit kemudian, pohon di sebelah kami bergetar. Grover jatuh dari
dahan-dahan, dengan kepala lebih dulu.
"Grover!" teriakku.
"Guk!" Nyonya O'Leary mendongak, barangkali bertanya-tanya apakah
kami akan main lempar-tangkap dengan satir.
"Mm-mbeeeek!" Grover mengembik.
"Kau baik-baik saja, Sobat?"
"Oh, aku baik-baik saja." Dia menggosok-gosok kepalanya. Tanduknya telah
tumbuh pesat sekali sehingga menyembul seinci di atas rambut keritingnya. "Aku
sedang di ujung lain taman. Para dryad punya ide hebat ini, membuatku
menembus melalui pohon-pohon supaya aku sampai di sini. Mereka nggak terlalu
paham soal ketinggian."
Dia menyeringai dan berdiri di atas kakinya yang berkuku belah. Sejak
musim panas kemarin, Grover berhenti menyamarkan dirinya sebagai manusia.
Dia tidak pernah mengenakan topi atau kaki palsu lagi. Dia bahkan tak memakai
jins, sebab dia punya kaki kambing berbulu dari pinggang ke bawah. Di kaosnya
ada gambar dari buku Where the Wild Things Are. Kaosnya berlumur tanah dan
getah pohon. Janggut kambingnya kelihatan lebih lebat, membuatnya hampir mirip
pria dewasa (atau kambing jantan dewasa") dan dia setinggi aku sekarang.
"Senang melihatmu, G-man," kataku. "Kauingat Nico?"
Grover mengangguk kepada Nico, lalu dia memberiku pelukan erat. Baunya
seperti rumput yang baru saja dipangkas.
"Perrrcy!" embiknya. "Aku rindu kau! Aku rindu perkemahan. Di alam liar
enchilada-nya nggak terlalu enak."
"Aku khawatir," kataku. "Ke mana saja kau dua bulan terakhir?"
"Dua bulan ter - " Senyum Grover memudar. "Dua bulan terakhir" Apa
yang kaubicarakan?" "Kami sudah lama nggak mendengar kabar darimu," kataku. "Juniper
khawatir. Kami mengirim pesan-Iris, tapi - "
"Tunggu dulu." Dia mendongak memandangi bintang-bintang seperti
sedang berusaha mengkalkulasi posisinya. "Bulan apa ini?"
"Agustus." Wajahnya memucat. "Itu mustahil. Ini bulan Juni. Aku cuma berbaring
untuk tidur dan ... " Dia mencengkeram lenganku. "Aku ingat sekarang! Dia
membuatku terlelap. Percy, kita harus menghentikannya."
"Whoa," kataku. "Pelan-pelan. Beri tahu aku apa yang terjadi."
Dia menarik napas dalam-dalam. "Aku sedang ... sedang jalan-jalan di hutan
dekat Harlem Meer. Dan aku merasakan getaran di tanah, seakan-akan sesuatu
yang kuat sedang ada di dekat sana."
"Kau bisa merasakan hal-hal seperti itu?" tanya Nico.
Grover mengangguk. "Sejak kematian Pan, aku bisa merasa ketika sesuatu
yang tidak beres terjadi di alam. Rasanya seolah telinga dan mataku lebih awas
ketika aku ada di Alam Liar. Pokoknya, aku mulai mengikuti baunya. Pria berjubah
hitam panjang ini sedang berjalan di taman, dan kuperhatikan dia tidak
memancarkan bayangan. Di tengah-tengah hari yang cerah, dan dia tidak
memancarkan bayangan. Dia berdenyar saat dia bergerak."
"Seperti fatamorgana?" tanya Nico.
"Ya," kata Grover. "Dan kapan pun dia melewati manusia - "
"Manusia tersebut akan terlelap," kata Nico. "Bergelung dan tertidur."
"Itu benar! Kemudian setelah dia pergi, orang-orang terbangun dan
melanjutkan urusan mereka seolah-olah tidak ada yang terjadi."
Aku menatap Nico. "Kau kenal laki-laki berbaju hitam itu?"
"Kayaknya," kata Nico. "Grover, apa yang terjadi?"
"Aku mengikuti laki-laki itu. Dia terus melihat-lihat bangunan-bangunan di
sekitar taman seperti sedang membuat perkiraan atau apalah. Seorang wanita
berlari lewat, dan dia bergelung di trotoar dan mulai mendengkur. Laki-laki
berbaju hitam meletakkan tangannya di dahi wanita itu seperti sedang mengecek
suhu badannya. Kemudian dia terus berjalan. Pada saat ini, aku tahu dia monster
atau sesuatu yang bahkan lebih buruk. Aku mengikutinya ke dalam kebun, ke
pangkal sebatang pohon elm besar. Aku hendak memanggil sejumlah dryad untuk
membantuku menangkapnya ketika dia berbalik dan ... "
Grover menelan ludah. "Percy, wajahnya. Aku nggak bisa melihat wajahnya
karena wajahnya terus berubah-ubah. Memandangnya saja membuatku merasa
mengantuk. Kubilang, 'Apa yang kaulakukan"' Dia bilang, 'Cuma melihat-lihat.
Kau harus selalu mengamati medan tempur sebelum pertempuran.' Aku
mengatakan sesuatu yang betul-betul pintar kayak, 'Hutan ini di bawah
perlindunganku. Kau nggak boleh memulai pertempuran di sini!' Dan dia tertawa.
Dia bilang, 'Kau beruntung aku menyimpan tenagaku untuk ajang utama, Satir
Kecil. Akan kubuat kau tidur sebentar. Mimpi indah.' Dan itulah hal terakhir
yang kuingat." Nico mengembuskan napas. "Grover, kau bertemu Morpheus, Dewa Mimpi.
Kau beruntung kau bisa bangun."
"Dua bulan," erang Grover. "Dia menidurkanku selama dua bulan!"
Aku mencoba memahami apa artinya ini. Sekarang masuk akal bahwa kami
tidak bisa menghubungi Grover sepanjang waktu ini.
"Kenapa para peri hutan tidak berusaha membangunkanmu?" tanyaku.
Grover mengangkat bahu. "Sebagian besar peri hutan nggak jago menaksir
waktu. Dua bulan bagi sebatang pohon - itu nggak ada artinya. Mereka barangkali
nggak mengira ada yang salah."
"Kita harus mencari tahu apa yang dilakukan Morpheus di taman," kataku.
"Aku nggak suka 'ajang utama' yang disebut-sebutnya."
"Dia bekerja untuk Kronos," kata Nico. "Kita sudah tahu itu. Banyak dewa
minor bekerja untuk Kronos. Ini semata-mata membuktikan bahwa akan ada
invasi. Percy, kita harus melanjutkan rencana kita."
"Tunggu," kata Grover. "Rencana apa?"
Kami memberitahunya, dan Grover mulai menarik-narik bulu kakinya.
"Kau nggak serius," katanya. "Jangan ke Dunia Bawah lagi."
"Aku nggak memintamu ikut, Sobat," janjiku. "Aku tahu kau baru bangun.
Tapi kami butuh musik untuk membuka pintu. Bisakah kau melakukannya?"
Grover mengeluarkan seruling alang-alangnya. "Kurasa aku bisa mencoba.
Aku tahu beberapa lagu Nirvana yang bisa membelah batu. Tapi, Percy, apa kau
yakin kau ingin melakukan ini?"
"Tolong, Sobat," kataku. "Akan sangat berarti. Demi masa lalu?"
Dia mengerang. "Seingatku, di masa lalu kita sering sekali hampir mati. Tapi
oke, ini dia." Dia menempelkan seruling ke bibirnya dan memainkan lagu yang riang
melengking. Batu-batu besar bergetar. Beberapa stanza lagi dan batu-batu
tersebut terbelah, menampakkan retakan segitiga.
Aku menengok ke dalam. Undakan mengarah ke bawah ke kegelapan.
Udara berbau jamur dan kematian. Bau tersebut membawa kenangan buruk
tentang perjalananku menembus Labirin tahun lalu, tapi terowongan ini rasanya
bahkan lebih berbahaya. Terowongan ini mengarah langsung ke negeri Hades, dan
itu hampir selalu merupakan perjalanan satu arah.
Aku menoleh kepada Grover. "Makasih ... sepertinya."
"Perrrrcy, apa Kronos benar-benar akan menginvasi?"
"Kuharap aku bisa memberitahumu sesuatu yang lebih baik, tapi iya. Dia
akan menginvasi." Kupikir Grover bakal mengunyah seruling alang-alangnya karena gugup,
tapi dia menegakkan badan dan membersihkan kaosnya dengan tangan. Tidak bisa
tidak aku berpikir betapa dia terlihat berbeda sekali dengan si Leneus tua
gendut. "Aku harus mengumpulkan roh-roh alam, kalau begitu. Mungkin kami bisa
membantu. Akan kulihat apakah kami bisa menemukan si Morpheus ini!"
"Sebaiknya beri tahu Juniper juga bahwa kau baik-baik saja."
Matanya melebar. "Juniper! Oh, dia bakal membunuhku!"
Dia mulai berlari pergi, lalu buru-buru kembali dan memberiku pelukan
lagi. "Hati-hati di bawah sana! Kembalilah hidup-hidup!"
Setelah dia pergi, Nico dan aku membangunkan Nyonya O'Leary dari
tidurnya. Saat dia membaui terowongan, dia jadi bersemangat dan memimpin jalan
menuruni undakan. Terowongan pas-pasan untuknya. Kuharap dia tak akan
tersangkut. Aku tak bisa membayangkan berapa banyak pembersih saluran air
yang bakal kami butuhkan untuk melepaskan anjing neraka yang terjebak di
tengah terowongan ke Dunia Bawah.
"Siap?" Nico menanyaiku. "Pasti baik-baik saja. Jangan khawatir."
Kedengarannya dia sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Aku melirik ke atas, bertanya-tanya apakah aku akan pernah melihat
bintang-bintang lagi. Lalu kami membenamkan diri ke dalam kegelapan.
Undakan berlanjut selamanya - sempit, curam, dan licin. Di dalam sepenuhnya
gelap kecuali berkat sinar pedangku. Aku mencoba berjalan pelan, tapi Nyonya
O'Leary punya gagasan lain. Dia melompat-lompat maju, menggonggong gembira.
Bunyinya bergema di terowongan seperti tembakan meriam dan kutebak kami
takkan mengejutkan siapa-siapa setelah kami sampai di dasar.
Nico tertinggal di belakang, yang menurutku aneh.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku.
"Nggak apa-apa." Ekspresi apa itu di wajahnya ... keraguan" "Terus
bergerak saja," katanya.
Aku tidak punya banyak pilihan. Aku mengikuti Nyonya O'Leary ke
kedalaman. Setelah sekitar satu jam, aku mulai mendengar gemuruh sungai.
Kami keluar di dasar sebuah tebing, di dataran pasir vulkanik hitam. Di
kanan kami, Sungai Styx menyembur keluar dari batu-batu dan mengalir dengan
gemuruh deras. Di kiri kami, jauh di keremangan, api menyala di tembok Erebos,
dinding hitam besar kerajaan Hades.
Aku bergidik. Aku pertama kali ke sini waktu umurku dua belas, dan hanya
keberadaan Annabeth dan Grover-lah yang memberiku keberanian untuk terus
maju. Nico tak akan terlalu membantu soal "keberanian". Dia sendiri terlihat
pucat dan khawatir. Cuma Nyonya O'Leary yang bertingkah gembira. Dia berlari di sepanjang
pantai, memungut tulang kaki manusia secara acak dan dengan riang
menghampiriku. Dia menjatuhkan tulang di kakiku dan menungguku melemparnya. "Eh, mungkin nanti, Non." Aku menatap air gelap, mencoba mengerahkan
keberanianku. "Jadi, Nico ... bagaimana cara kita melakukan ini?"
"Kita harus masuk ke dalam gerbang dulu," katanya.
"Tapi sungainya tepat di sini."
"Aku harus mengambil sesuatu," katanya. "Itulah satu-satunya cara."
Dia berderap pergi tanpa menunggu.
Aku mengerutkan kening. Nico tidak menyebutkan apa-apa soal masuk ke
dalam gerbang. Tapi sekarang setelah kami di sini, aku tidak tahu harus
melakukan apa lagi. Dengan enggan, kuikuti dia menyusuri pantai menuju gerbang hitam
besar. Antrean orang mati berdiri di luar, menunggu giliran masuk. Ini pasti hari
yang sibuk dengan pemakaman, soalnya antrean KEMATIAN MUDAH sekalipun
macet. "Guk!" kata Nyonya O'Leary. Sebelum aku bisa menghentikannya dia
melompat menghampiri pos keamanan. Cerberus, anjing penjaga Hades, muncul
dari keremangan - rottweiler berkepala tiga yang begitu besar sampai-sampai dia
membuat Nyonya O'Leary terlihat seperti pudel mainan. Cerberus separuh
transparan, jadi ia benar-benar susah dilihat sampai dia cukup dekat untuk
membunuhmu, tapi ia bersikap seolah tidak memedulikan kami. Ia terlalu sibuk
mengucapkan salam kepada Nyonya O'Leary.
"Nyonya O'Leary, jangan!" teriakku kepadanya. "Jangan mengendus ... Ya
ampun." Nico tersenyum. Kemudian dia memandangku dan ekspresinya berubah jadi
serius lagi, seakan-akan dia teringat akan sesuatu yang tak menyenangkan. "Ayo.
Mereka nggak akan menyulitkan kita di antrean. Kau bersamaku."
Aku tak menyukainya, tapi kami menyelinap lewat satpam siluman dan
masuk ke Padang Asphodel. Aku harus bersiul memanggil Nyonya O'Leary tiga
kali sebelum dia meninggalkan Cerberus sendirian dan berlari mengejar kami.
Kami mendaki padang rumput hitam yang ditaburi pohon poplar hitam.
Kalau aku betul-betul mati beberapa hari lagi seperti yang dikatakan ramalan,
aku mungkin akhirnya bakal tinggal di sini selamanya, tapi kucoba tak memikirkan
itu. Nico tersaruk-saruk di depan, membawa kami kian dekat dan kian dekat ke
istana Hades. "Hei," kataku, "kita sudah di dalam gerbang. Ke mana kita - "
Nyonya O'Leary menggeram. Bayangan muncul di depan - sesuatu yang
gelap, dingin, dan berbau busuk kematian. Ia melayang turun dan mendarat di
puncak sebatang pohon poplar.
Sayangnya, aku mengenalinya. Dia memiliki wajah keriput, mengenakan
topi rajutan biru jelek dan gaun beledu kusut. Sayap kelelawar berkulit tebal
mencuat dari punggungnya. Kakinya punya cakar tajam, dan di tangannya yang
bercakar dia memegang cambuk berlidah api dan tas tangan bermotif paisley.
"Bu Dodds," kataku.
Dia memamerkan taring-taringnya. "Selamat datang kembali, Anak Manis."
Kedua saudarinya - para Erinyes yang lain - menukik turun dan bertengger
di sebelahnya di cabang-cabang poplar.
"Kau kenal Alecto?" tanya Nico padaku.
"Kalau maksudmu nenek sihir di tengah, iya," kataku. "Dia dulu guru
matematikaku." Nico mengangguk, seolah ini tidak mengagetkannya. Dia mendongak
memandang para Erinyes dan menarik napas dalam. "Sudah kulakukan apa yang
diminta ayahku. Bawa kami ke istana."
Aku menegang. "Tunggu sebentar, Nico. Apa yang kau - "
"Aku khawatir inilah petunjuk baruku, Percy. Ayahku menjanjikanku
informasi tentang keluargaku, tapi dia ingin menemuimu sebelum kita mencoba
sungai. Maafkan aku."
"Kau menipuku?" Aku begitu marah sehingga aku tidak bisa berpikir. Aku
menyerbunya, tapi para Erinyes cepat. Dua dari mereka menukik turun dan
memegangi lenganku. Pedangku jatuh dari tanganku, dan sebelum aku
menyadarinya, aku bergelantungan delapan belas meter di udara.
"Oh, jangan meronta, Anak Manis," guru matematika lamaku berkakak di
telingaku. "Aku tidak ingin menjatuhkanmu."
Nyonya O'Leary menggonggong marah dan meloncat, mencoba menjangkauku, tapi kami terlalu tinggi.
"Suruh Nyonya O'Leary menurut," Nico memperingati. Dia terbang di
dekatku dalam cengkeraman Erinyes ketiga. "Aku nggak mau membuatnya
terluka, Percy. Ayahku sedang menunggu. Dia cuma ingin bicara."
Aku ingin menyuruh Nyonya O'Leary menyerang Nico, tapi itu pasti tidak
ada gunanya, dan Nico benar soal satu hal: anjingku bisa terluka kalau dia
mencoba berkelahi dengan para Erinyes.
Aku menggertakkan gigiku. "Nyonya O'Leary, duduk! Nggak apa-apa,
Non." Dia mendengking dan berputar-putar, menengadah memandangku.
"Oke, Pengkhianat," geramku kepada Nico. "Kau sudah dapat hadiahmu.
Bawa aku ke istana tolol itu."
Alecto menjatuhkanku seperti sekarung umbi di tengah-tengah taman istana.


Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Taman itu indah, meskipun seram. Pohon-pohon gundul putih tumbuh dari
wadah marmer. Petak-petak bunga dipenuhi tumbuhan keemasan dan batu
berharga. Sepasang singgasana, satu dari tulang-belulang dan satu dari perak,
bertengger di balkon yang menghadap ke Padang Asphodel. Ini pasti bakal jadi
tempat yang menyenangkan untuk menghabiskan Minggu pagi jika bukan karena
bau belerang dan jeritan jiwa-jiwa yang tersiksa di kejauhan.
Pendekar tengkorak menjaga satu-satunya jalan keluar. Mereka mengenakan
baju tempur padang pasir Angkatan Darat AS dan membawa senapan M16.
Erinyes ketiga menurunkan Nico di sebelahku. Kemudian ketiga-tiganya
nangkring di atas singgasana tulang. Aku melawan desakan hati untuk mencekik
Nico. Paling-paling mereka bakal menghentikanku. Aku harus menunggu untuk
membalas dendam. Aku menatap singgasana kosong, menunggu terjadinya sesuatu. Lalu udara
berdenyar. Tiga sosok muncul - Hades dan Persephone di singgasana mereka, dan
seorang wanita lebih tua yang berdiri di antara mereka. Mereka tampaknya sedang
bertengkar. " - sudah kuberi tahu kau dia orang tak berguna!" kata wanita yang lebih
tua. "Ibunda!" timpal Persephone.
"Kita kedatangan tamu!" bentak Hades. "Tolong!"
Hades, salah satu dewa yang paling tidak kusukai, merapikan jubahnya,
yang diselimuti wajah-wajah ngeri orang-orang yang tersiksa. Dia berkulit pucat
dan bermata tajam seperti orang gila.
"Percy Jackson," katanya dengan puas. "Akhirnya."
Ratu Persephone mengamatiku dengan penasaran. Aku pernah melihatnya
sekali di musim dingin, tapi sekarang di musim panas dia terlihat seperti dewi
yang sepenuhnya berbeda. Dia memiliki rambut hitam berkilau dan mata cokelat
hangat. Gaunnya berdenyar warna-warni. Motif bunga di kain berubah dan
bermekaran - mawar, tulip, honeysuckle.
Wanita yang berdiri di antara mereka jelas-jelas adalah ibu Persephone. Dia
memiliki rambut dan mata yang sama, tapi kelihatan lebih tua dan lebih galak.
Gaunnya keemasan, berwarna seperti ladang gandum. Rambutnya dikepang
dengan rumput kering sehingga mengingatkanku pada keranjang anyaman.
Menurut tebakanku seandainya seseorang menyalakan korek api di sebelahnya, dia
bakal dapat masalah serius.
"Huh," kata wanita yang lebih tua. "Blasteran. Mengganggu saja."
Di sebelahku, Nico berlutut. Kuharap aku membawa pedangku supaya aku
bisa memenggal kepala bodohnya. Sayangnya, Riptide masih berada di suatu
tempat di padang. "Ayah," kata Nico. "Sudah kulakukan apa yang Ayah minta."
"Lama sekali," gerutu Hades. "Kakak perempuanmu pasti bisa bekerja lebih
baik." Nico menundukkan kepalanya. Kalau aku sedang tidak luar biasa marah
pada si kecil sialan itu, aku mungkin akan merasa kasihan padanya.
Aku memelototi sang dewa orang mati. "Apa yang Paman Hades inginkan?"
"Bicara, tentu saja." Sang dewa mengerutkan mulutnya, membentuk senyum
kejam. "Tidakkah Nico memberitahumu?"
"Jadi, seluruh misi ini bohong. Nico membawaku ke bawah sini untuk
dibunuh." "Oh, tidak," kata Hades. "Aku khawatir Nico cukup tulus, ingin
membantumu. Bocah itu jujur, juga bebal. Aku semata-mata meyakinkannya agar
menyimpang sedikit dan membawamu ke sini terlebih dahulu."
"Ayah," kata Nico, "Ayah berjanji bahwa Percy takkan dilukai. Ayah berkata
jika aku membawanya, Ayah akan memberitahuku tentang masa laluku - tentang
ibuku." Ratu Persephone mendesah dramatis. "Tolong, bisakah kita tak membicarakan wanita itu di depanku?"
"Maafkan aku, Merpatiku," kata Hades. "Aku harus menjanjikan sesuatu
untuk bocah itu." Sang wanita tua bersungut-sungut. "Sudah kuperingatkan kau, Putriku. Si
bajingan Hades ini tidak berguna. Kau bisa saja menikahi dewa para dokter atau
dewa para pengacara, tapi tidaaaak. Kau malah makan delima itu."
"Ibunda - " "Dan terjebak di Dunia Bawah."
"Ibunda, tolong - "
"Dan sekarang bulan Agustus, dan apakah kau pulang ke rumah seperti
seharusnya" Apa kau pernah memikirkan ibumu yang malang dan kesepian?"
"DEMETER!" teriak Hades. "Itu sudah cukup. Kau adalah tamu di
rumahku." "Oh, rumah ya?" kata Demeter. "Kausebut tempat sampah ini rumah"
Membuat putriku tinggal di tempat gelap, lembap - "
"Sudah kuberi tahu kau," kata Hades, menggertakkan giginya, "ada perang
di dunia atas. Kau dan Persephone lebih aman berada di sini bersamaku."
"Permisi," potongku. "Tapi kalau Anda sekalian ingin membunuhku, bisa
lebih cepat nggak?" Ketiga dewa memandangiku.
"Wah, yang satu ini kurang ajar nih," komentar Demeter.
"Benar sekali," Hades sepakat. "Aku akan dengan senang hati membunuhnya." "Ayah!" kata Nico. "Ayah berjanji!"
"Suamiku, kita sudah membicarakan ini," omel Persephone. "Kau tidak bisa
menghanguskan setiap pahlawan. Lagi pula, dia berani. Aku suka itu."
Hades memutar-mutar bola matanya. "Kau suka si Orpheus itu juga. Lihat
betapa bagusnya apa yang terjadi. Biar kubunuh dia, sedikit saja."
"Ayah, Ayah berjanji!" kata Nico. "Ayah berkata Ayah hanya ingin bicara
kepadanya. Ayah berkata jika aku membawanya, Ayah akan menjelaskan."
Hades melotot, merapikan lipatan-lipatan jubahnya. "Dan aku akan
melakukannya. Ibumu - apa yang bisa kuberitahukan kepadamu" Dia adalah
wanita yang luar biasa." Dia melirik Persephone dengan gelisah. "Maafkan aku,
Sayangku. Maksudku untuk manusia fana, tentu saja. Namanya Maria di Angelo.
Dia berasal dari Venesia, tapi ayahnya adalah seorang diplomat di Washington,
D.C. Di sanalah aku bertemu dia. Ketika kau dan kakakmu masih kecil, itu adalah
saat yang buruk untuk menjadi anak-anak Hades. Perang Dunia II sedang
memuncak. Segelintir, ah, anak-anakku yang lain memimpin pihak yang kalah.
Kupikir sebaiknya kujauhkan kalian dari bahaya."
"Itukah sebabnya Ayah menyembunyikan kami di Kasino Lotus?"
Hades mengangkat bahu. "Kalian tidak bertambah tua. Kalian tidak
menyadari bahwa waktu berlalu. Aku menunggu saat yang tepat untuk
mengeluarkan kalian."
"Tapi apa yang terjadi pada ibu kami" Kenapa aku tidak ingat padanya?"
"Tidak penting," bentak Hades.
"Apa" Tentu saja itu penting. Dan Ayah punya anak-anak lain - kenapa
hanya kami yang dikirim pergi" Dan siapakah pengacara yang mengeluarkan
kami?" Hades menggertakkan giginya. "Lebih baik jika kau lebih banyak
mendengarkan dan lebih sedikit bicara, Nak. Mengenai pengacara itu ... "
Hades menjentikkan jarinya. Di atas singgasananya, Alecto sang Erinyes
mulai berubah sampai dia menjadi pria setengah baya bersetelan garis-garis yang
membawa koper. Dia terlihat aneh, berjongkok di bahu Hades.
"Kau!" kata Nico.
Si Erinyes terkekeh-kekeh. "Aku jago menyamar jadi pengacara dan guru!"
Nico gemetaran. "Tapi kenapa Ayah membebaskan kami dari kasino?"
"Kau tahu kenapa," kata Hades. "Si putra Poseidon yang idiot ini tidak bisa
dibiarkan jadi satu-satunya anak dalam ramalan."
Aku mencabut rubi dari tumbuhan terdekat dan melemparkannya kepada
Hades. Batu berharga tersebut terbenam tanpa berefek apa-apa ke dalam jubahnya.
"Paman seharusnya membantu Olympus!" kataku. "Semua dewa lain melawan
Typhon, dan Paman cuma duduk di sini - "
"Menunggu perkembangan," pungkas Hades. "Ya, itu benar. Kapan terakhir
kali Olympus pernah membantuku, Blasteran" Kapan terakhir kali anakku pernah
disambut sebagai pahlawan" Bah! Kenapa aku harus bergegas-gegas membantu
mereka" Aku akan tinggal di sini dengan pasukanku dalam keadaan utuh."
"Dan ketika Kronos datang mengejar Paman?"
"Biarkan dia mencoba. Dia nantinya sudah melemah. Dan putraku ini, Nico
- " Hades memandang Nico dengan sebal. "Yah, dia memang tidak terlalu jago
sekarang, kuakui itu. Akan lebih baik jika Bianca masih hidup. Tapi beri dia
latihan empat tahun lagi. Kita bisa bertahan selama itu, pastinya. Nico akan menginjak
usia enam belas, seperti kata ramalan, dan kemudian dia akan membuat keputusan yang
menyelamatkan dunia. Dan kemudian aku akan jadi raja para dewa."
"Paman gila," kataku. "Kronos akan meremukkan Paman, tepat setelah dia
selesai membuat Olympus jadi bubur."
Hades merentangkan tangannya. "Yah, kau akan mendapat kesempatan
untuk mencari tahu, Blasteran. Sebab kau akan menunggu selama perang ini
berlangsung di dalam penjara bawah tanahku."
"Tidak!" kata Nico. "Ayah, bukan itu kesepakatan kita. Dan Ayah belum
memberitahukan segalanya kepadaku."
"Sudah kuberi tahu kau semua yang perlu kautahu," kata Hades.
"Sedangkan mengenai kesepakatan kita, aku bicara dengan Jackson. Aku tidak
menyakitinya. Kau memperoleh informasimu. Apabila kau menginginkan
kesepakatan yang lebih bagus, kau seharusnya membuatku bersumpah demi Styx.
Sekarang, pergi ke kamarmu!" Dia melambaikan tangannya dan Nico tiba-tiba
menghilang. "Bocah itu perlu makan lebih banyak," gerutu Demeter. "Dia terlalu kurus.
Dia butuh lebih banyak sereal."
Persephone memutar-mutar bola matanya. "Ibunda, sudah cukup dengan
sereal. Tuanku Hades, apa kau yakin kita tidak bisa membiarkan pahlawan kecil
ini pergi" Dia teramat berani."
"Tidak, Sayangku. Aku membiarkannya tetap hidup. Itu sudah cukup."
Aku yakin Persephone akan membelaku. Persephone yang cantik dan berani
bakal mengeluarkanku dari sini.
Persephone mengangkat bahu dengan cuek. "Ya sudah. Ada makanan apa
untuk sarapan" Aku kelaparan."
"Sereal," kata Demeter.
"Ibunda!" Kedua wanita menghilang dalam pusaran bunga dan gandum.
"Jangan merasa tidak enak, Percy Jackson," kata Hades. "Hantu-hantuku
memberiku informasi mengenai rencana Kronos. Bisa kuyakinkan kau bahwa kau
tidak punya peluang untuk menghentikannya tepat waktu ... Malam ini juga,
semua sudah terlambat bagi Gunung Olympusmu yang berharga. Jebakan akan
ditabur." "Jebakan apa?" tuntutku. "Kalau Paman tahu tentang itu, lakukan sesuatu!
Paling tidak biar kuberi tahu dewa-dewi lain."
Hades tersenyum. "Kau penuh semangat. Akan kuhargai kau karena itu.
Bersenang-senanglah di penjara bawah tanahku. Akan kami cek kau lagi dalam
waktu - oh, lima puluh atau enam puluh tahun."
DELAPAN Aku Menikmati Mandi yang Paling Tidak Enak Seumur Hidupku Pedangku muncul kembali di sakuku.
Hebat, pemilihan waktu yang tepat. Sekarang aku bisa menyerang dindingdinding
sesukaku. Selku tidak berjeruji, tidak berjendela, bahkan tidak berpintu.
Penjaga tengkorak menjejalkanku menembus dinding, dan dinding tersebut
menjadi padat di belakangku. Aku tak yakin apakah ruangan ini kedap udara.
Barangkali. Penjara Hades dimaksudkan untuk orang-orang mati, dan mereka
tidak bernapas. Jadi, lupakan lima puluh atau enam puluh tahun. Aku bakal mati
dalam waktu lima puluh atau enam puluh menit. Sementara itu, kalau Hades tidak
bohong, suatu jebakan besar bakal ditabur di New York pada penghujung hari, dan
sama sekali tidak ada apa-apa yang bisa kulakukan soal itu.
Aku duduk di lantai batu dingin, merasa sengsara.
Aku tidak ingat jatuh tertidur. Tapi tentu saja, saat itu pasti kira-kira pasti
sudah jam tujuh pagi, waktu manusia fana, dan sudah banyak yang kulewatkan.
Aku bermimpi aku berada di beranda di rumah pantai milik keluarga Rachel
di St. Thomas. Matahari sedang terbit di atas Laut Karibia. Lusinan pulau
berhutan bertaburan di laut, dan layar putih membelah air. Bau udara asin membuatku
bertanya-tanya apakah aku akan pernah melihat samudra lagi.
Orangtua Rachel duduk di balik meja patio sementara juru masak pribadi
membuatkan mereka omelet. Pak Dare mengenakan setelan linen putih. Dia sedang
membaca The Wall Street Journal. Wanita di seberang meja barangkali adalah Bu
Dare, meskipun yang bisa kulihat darinya hanyalah kuku merah muda menyala
dan sampul Cond? Nast Traveler. Aku tak yakin tentang alasan dia membaca tentang
liburan selagi dia sedang berlibur.
Rachel berdiri di depan pagar beranda dan mendesah. Dia mengenakan
celana pendek bermuda dan kaos van Gogh-nya. (Iya, Rachel mencoba mengajariku
tentang seni, tapi aku tak terlalu terkesan. Aku cuma ingat nama laki-laki itu
karena dia memotong telinganya.)
Aku bertanya-tanya apakah dia memikirkanku, dan betapa menyebalkannya
karena aku tak berlibur bersama mereka. Aku tahu itulah yang sedang kupikirkan.
Lalu pemandangan berubah. Aku berada di St. Louis, berdiri di pusat kota di
bawah Arch. Aku pernah ke situ sebelumnya. Malahan, aku hampir tewas saat itu.
Di atas kota, badai petir bergulung-gulung - dinding hitam kelam dengan
kilat yang melesat membelah langit. Beberapa blok jauhnya, kawanan kendaraan
darurat berkumpul dengan lampu berkilat-kilat. Pilar debu menjulang dari
gundukan puing, yang kusadari adalah gedung pencakar langit yang runtuh.
Seorang reporter di dekat sana berteriak ke mikrofonnya. "Para pejabat
setempat mendeskripsikan ini sebagai akibat kegagalan struktur bangunan, dan,
walaupun tak seorang pun tampaknya tahu apakah ini terkait dengan kondisi
badai." Angin memecut rambutnya. Suhu udara turun dengan drastis, mungkin
sepuluh derajat sejak aku mulai berada di sini.
"Untungnya, bangunan tersebut telah dikosongkan untuk penghancuran,"
katanya. "Tapi polisi telah mengevakuasi semua bangunan di dekat sini karena
takut keruntuhan itu mungkin memicu - "
Dia terdiam saat gemuruh dahsyat membelah udara. Sambaran petir
menghantam pusat kegelapan. Seluruh kota berguncang. Udara berpendar, dan
setiap rambut di tubuhku berdiri. Sambaran tersebut begitu kuat sehingga aku
tahu itu pasti ini: petir asali Zeus. Petir tersebut seharusnya menguapkan targetnya,
namun awan gelap semata-mata terhuyung-huyung ke belakang. Kepalan berasap
muncul dari awan. Kepalan tersebut menghancurkan menara lainnya, dan seluruh
bangunan tersebut runtuh bagaikan balok mainan anak-anak.
Si reporter menjerit. Orang-orang berlarian di jalanan. Lampu darurat
berkilat. Kulihat secercah perak di langit - kereta perang yang ditarik oleh rusa
jantan, tapi bukan Sinterklas yang mengemudi. Saisnya adalah Artemis,
menunggang badai, menembakkan berkas sinar rembulan ke kegelapan. Komet
keemasan yang menyala-nyala bersimpang jalan dengannya ... mungkin saudara
laki-lakinya, Apollo. Satu hal sudah jelas: Typhon berhasil sampai ke Sungai Mississippi. Dia
sudah setengah jalan melintasi AS, meninggalkan kehancuran di belakangnya, dan
Rahasia Gelang Pusaka 5 Pengemis Binal 19 Pewaris Mustika Api Pedang Naga Kemala 5

Cari Blog Ini