Ceritasilat Novel Online

Kutukan Bangsa Titan 1

Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan Bagian 1


Rick Riordan Kutukan Bangsa Titan (Percy Jackson & The Olympians # 3)
Sumber Ebook : FB Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia
Re Edit & Convert: Farid ZE Blog Pecinta Buku _ PP Assalam Cepu
Daftar Isi Bab 1 Operasi Penyelamatanku Berjalan Kacau
Bab 2 Wakil Kepala Sekolah Mendapat Peluncur Misil
Bab 3 Bianca di Angelo Menetapkan Pilihan
Bab 4 Thalia Membakar New England
Bab 5 Aku Menelepon ke Saluran Bawah Air
Bab 6 Arwah Teman Lama Datang Berkunjung
Bab 7 Semua Membenciku Kecuali Sang Kuda
Bab 8 Aku Membuat Janji Berbahaya
Bab 9 Aku Belajar Cara Menumbuhkan Zombie-Zombie
Bab 10 Aku Merusakkan Beberapa Pesawat Roket
Bab 11 Grover Mendapat Lamborghini
Bab 12 Aku Pergi Berseluncur dengan Seekor Babi
Bab 13 Kami Mengunjungi Tempat Penampungan Sampah Para Dewa
Bab 14 Aku Memiliki Masalah Bendungan Sialan
Bab 15 Aku Bergulat Melawan Kembaran Jahat Sinterklas
Bab 16 Kami Bertemu Naga dengan Bau Napas Keabadian
Bab 17 Aku Menambah Beberapa Juta Kilo Bobot Ekstra
Bab 18 Seorang Teman Mengucap Perpisahan
Bab 19 Para Dewa Memvoting Cara Membunuh Kami
Bab 20 Aku Mendapat Musuh Baru untuk Natal
Bab 1 Operasi Penyelamatanku Berjalan Kacau
Hari Jumat sebelum liburan musim dingin, ibuku mengemasiku tas untuk
bermalam dan beberapa senjata berbahaya dan mengantarku menuju sekolah
asrama baru. Kami menjemput teman-temanku, Annabeth dan Thalia, di tengah
perjalanan. Perjalanan memakan waktu delapan jam dari New York menuju Pelabuhan Bar,
Maine. Hujan es dan salju berjatuhan menimpa jalan raya. Annabeth, Thalia, dan
aku tak bertemu satu sama lain selama beberapa bulan ini, tapi di tengah badai
salju dan berkecamuknya pikiran akan apa yang akan kami lakukan, kami terlalu
tegang untuk mengobrol banyak. Kecuali bagi ibuku. Dia akan makin banyak
mengoceh saat tegang. Pada saat kami akhirnya tiba di Asrama Westover, hari
sudah gelap, dan ibu sudah menceritakan pada Annabeth dan Thalia semua
kisahkisah memalukanku di masa bayi.
Thalia menghapus embun dari jendela mobil dan mengintip ke luar. "Oh, asyik.
Bakalan seru nih." Asrama Westover tampak seperti kastil milik kesatria jahat. Gedung itu berbatu
hitam semua, dengan menara-menara dan jendela-jendela melengkung dan satu set
besar pintu ganda kayu. Gedung itu bertengger di tebing salju dengan
pemandangan hutan luas berselimut salju di satu sisi dan gulungan laut abu-abu
di sisi lain. "Apa kalian yakin kalian nggak ingin aku menunggu?" tanya ibuku.
"Nggak usah, makasih, Bu," ujarku. "Aku nggak tahu berapa lama kami akan
berada di sini. Kami akan baik-baik saja."
"Tapi bagaimana cara kalian kembali nanti" Ibu khawatir, Percy."
Kuharap wajahku tak merona. Sudah cukup buruk aku harus meminta Ibu untuk
mengantarku ke medan pertarunganku.
"Tidak apa-apa, Bu Jackson." Annabeth tersenyum menenangkan. Rambut
pirangnya dimasukkan dalam topi skinya dan mata abu-abunya sewarna dengan
laut. "Kami akan menjauhkannya dari masalah."
Ibuku tampak sedikit lebih tenang. Dia berpendapat Annabeth adalah anak
setengah-dewa yang paling bisa diandalkan yang pernah menginjak kelas delapan.
Dia yakin Annabeth sering kali menyelamatkanku saat nyawaku terancam. Ibu
benar, tapi itu tidak berarti bahwa aku menyukai fakta itu.
"Baiklah, Anak-anak," ujar ibuku. "Apa kalian punya semua yang kalian
butuhkan?" "Siap semua, Bu Jackson," kata Thalia. "Terima kasih atas tumpangannya."
"Sweter tambahan" Kalian punya nomer ponsel Ibu?"
"Ibu - " "Ambrosia dan nektarmu, Percy" Dan sekeping drachma emas kalau-kalau kau
harus menghubungi perkemahan?"
"Ibu, serius! Kami akan baik-baik saja. Ayo, teman-teman."
Ibu tampak sedikit sakit hati, dan aku menyesalinya, tapi aku sudah siap keluar
dari mobil. Kalau ibuku menceritakan satu kisah lagi tentang bagaimana lucunya aku di
bak mandi saat umurku tiga tahun, aku akan menggali lubang di benaman salju dan
mengubur diriku sendiri sampai mati beku.
Annabeth dan Thalia keluar mengikutiku. Deru angin menusuk langsung ke
mantelku seperti hujaman belati es.
Begitu mobil ibuku sudah hilang dari penglihatan, Thalia berkata, "Ibumu asyik
banget, Percy." "Dia memang lumayan asyik," aku mengakui. "Bagaimana denganmu" Kau pernah
berhubungan dengan ibumu?"
Begitu aku mengucapkannya, aku ingin segera menariknya kembali. Thalia adalah
jagonya dalam memberi tatapan jahat, dengan pakaian gaya punknya yang selalu
dia kenakan - jaket tentara sobek-sobeknya, celana kulit hitam dan perhiasan
rantai, pensil mata hitam dan mata birunya yang menusuk. Tapi tatapan yang dia
berikan padaku saat ini adalah tatapan jahat yang sempurna. "Itu sama sekali
bukan urusanmu, Percy - " "Kita sebaiknya masuk ke dalam," Annabeth menyela. "Grover akan menunggu."
Thalia memandangi kastil dan menggigil. "Kau benar. Aku penasaran apa yang
Grover temukan di sini hingga dia mengirimkan sinyal darurat."
Aku mendongakkan pandangan pada menara-menara gelap Asrama Westover.
"Pastinya bukan sesuatu yang baik," tebakku.
Pintu-pintu kayu ek itu berderit membuka, dan kami bertiga melangkah memasuki
aula depan dengan jejak embusan salju berputar-putar menyelubungi kami.
Yang bisa kukatakan hanyalah, "Wow."
Tempat itu sangat besar. Pada dinding-dindingnya berjajar panji-panji perang dan
panjangan senjata: senapan antik, kapak perang, dan masih banyak lagi senjata
jenis lain. Maksudku, aku sih sudah tahu Westover adalah sekolah militer, tapi
dekorasi di gedung itu tampak seperti pameran pembantaian. Sungguh.
Tanganku merogoh saku, tempat aku menyimpan pena mematikanku, Riptide. Aku
sudah dapat merasakan ada yang tidak beres di tempat ini. Sesuatu yang
berbahaya. Thalia menggosok gelang peraknya, alat ajaib kesukaannya. Aku tahu
kami memikirkan hal yang sama. Siap-siap bertarung.
Annabeth baru berkata, "Aku ingin tahu di mana - " saat tiba-tiba pintu-pintu
membanting tertutup di belakang kami.
"Oo-ke," gumamku. "Kayaknya kita harus tinggal di sini dulu sebentar."
Aku bisa mendengar alunan musik bergema dari sisi lain aula. Suaranya terdengar
seperti musik dansa. Kami letakkan tas-tas bermalam kami di balik tiang dan mulai berjalan menyusuri
aula. Kami belum berjalan jauh saat aku mendengar suara jejak kaki di lantai
batu, dan seorang pria dan wanita melangkah keluar dari bayang-bayang untuk mencegat
kami. Mereka berdua memiliki rambut abu-abu pendek dan seragam gaya-militer hitam
dengan garis tepi merah. Sang wanita memiliki kumis tipis, dan sang pria dengan
kumis tercukur licin yang tampak seperti terbalik buatku. Mereka berdua berjalan
dengan kaku, seolah ada gagang sapu terikat di balik punggung mereka.
"Yah?" tuntut sang wanita. "Apa yang kalian lakukan di sini?"
"Em ..." Kusadari aku belum merencanakan hal ini. Aku begitu terfokus untuk
menemui Grover dan mencari tahu masalahnya, sampai-sampai tak terpikir olehku
seseorang mungkin akan menanyakan apa yang diperbuat tiga anak mengendapendap
memasuki sekolah di malam hari. Kami bahkan tidak membicarakan sama
sekali di dalam mobil tentang bagaimana kami akan masuk. Aku berkata,
"Nyonya, kami hanya - "
"Ha!" bentak sang pria, yang membuatku terloncat. "Pengunjung tidak diizinkan
mengikuti pesta dansa! Kalian harus segera kee-luarrgh!"
Nada bicara pria itu memiliki aksen - Prancis, barangkali. Dia mengucapkan huruf
r-nya seperti setengah cadel setengah berkumur. Tubuhnya tinggi, dengan wajah
menyerupai elang. Lubang hidungnya mengembang saat dia bicara, yang
membuatku sulit untuk tak memperhatikan hidungnya, dan matanya memiliki dua
warna berbeda - satu cokelat, satu biru - seperti kucing jalanan.
Aku merasa dia akan segera melempar kami kembali ke salju, tapi kemudian
Thalia melangkah ke depan dan melakukan sesuatu yang sangat ganjil.
Dia menjentikkan jarinya. Suaranya begitu tajam dan berisik. Mungkin itu hanya
khayalanku saja, tapi aku merasa embusan angin terlontar keluar dari genggaman
tangannya, menyebar ke sepenjuru ruangan. Angin itu bertiup mengitari kami,
membuat panji-panji yang terpajang di dinding berkibar.
"Oh, tapi kami bukanlah pengunjung, Pak," kata Thalia. "Kami bersekolah di sini.
Bapak ingat: Aku Thalia. Dan ini Annabeth dan Percy. Kami murid di kelas
delapan." Guru pria itu memincingkan mata dua-warnanya. Aku tak tahu apa yang dipikirkan
Thalia. Sekarang kami barangkali akan segera dihukum karena berdusta plus
dilempar kembali ke salju. Tapi pria itu tampak berpikir ragu.
Dia memandangi rekannya. "Nyonya Gottschalk, apa kau kenal dengan muridmurid
ini?" Meski situasi berbahaya yang tengah kami hadapi, aku harus menggigit lidahku
untuk tak tertawa. Seorang guru dengan nama Got Chalk - Punya Kapur" Dia pasti
bercanda. Wanita itu mengerjapkan matanya, seperti seseorang yang baru tersadar dari
lamunannya. "Saya ... iya. Saya rasa iya, Pak." Wanita itu mengernyitkan
keningnya memandang kami. "Annabeth. Thalia. Percy. Apa yang kalian lakukan
keluar dari ruang gimnasium?"
Sebelum kami bisa menjawab, aku mendengar suara langkah kaki lagi, dan Grover
berlari, kehabisan napas. "Kalian berhasil! Kalian - "
Dia segera menghentikan bicaranya saat melihat ke-dua guru itu. "Oh, Bu
Gottschalk. Dr. Thorn! Saya, eh - "
"Ada apa, Tuan Underwood?" kata sang pria. Nada bicaranya jelas menunjukkan
bahwa dia membenci Grover. "Apa maksud ucapanmu, mereka berhasil" Berhasil
tiba" Murid-murid ini tinggal di sini."
Grover menelan ludah. "Benar, Pak. Tentu saja, Dr. Thorn. Maksud saya hanya,
saya begitu gembira mereka berhasil ... membuat sari buah untuk pesta dansa!
Sari buahnya enak sekali. Dan mereka yang membuatnya, lho!"
Dr. Thorn memelototi kami. Aku putuskan salah satu matanya palsu. Yang
cokelat" Atau yang biru" Dia terlihat seperti ingin melempar kami dari menara
kastil tertinggi, tapi kemudian Nyonya Gottschalk berkata dengan tatapan
terhipnotis, "Benar, sari buahnya memang luar biasa. Sekarang pergilah, kalian
semua. Jangan tinggalkan ruang gimnasium lagi!"
Kami tak ingin diberi tahu dua kali. Kam beranjak pergi dengan banyak lontaran
"Baik, Bu" dan "Baik, Pak" dan memberi hormat dua kali, hanya karena itu
rasanya memang yang sepantasnya dilakukan.
Grover segera menggiring kami menyusuri aula ke arah sumber alunan musik.
Aku bisa merasakan tatapan tajam kedua guru itu di balik punggungku, tapi aku
berjalan mendekati Thalia dan bertanya dengan suara pelan, "Bagaimana cara
kaulakukan jentikan-jari itu?"
"Maksudnya Kabut" Memangnya Chiron belum menunjukkanmu caranya?"
Sebuah ganjalan menyekat tenggorokanku. Chiron adalah pelatih kepala kami di
perkemahahan, tapi dia tak pernah mengajariku hal-hal seperti itu. Kenapa dia
hanya mengajari Thalia dan tidak diriku"
Grover membawa kami menuju pintu dengan tulisan GIM di kaca jendelanya.
Bahkan dengan penyakit disleksiaku, aku bisa membaca tulisan sebanyak itu.
"Tadi nyaris sekali!" seru Grover. "Terpujilah para dewa kalian bisa sampai di
sini!" Annabeth dan Thalia memeluk Grover. Aku memberinya tos.
Sungguh menyenangkan bisa bertemu dengannya setelah beberapa bulan. Grover
tumbuh makin tinggi dan telah menumbuhkan sedikit jenggot baru, tapi selain dari
itu Grover tampak sama seperti biasanya saat dia menyamar sebagai anak
manusia - topi merah menyembunyikan tanduk kambingnya, celana jins gombrong
dan sepatu kets dengan kaki palsu untuk me-nyembunyikan kaki berbulu dan
berkuku belahnya. Dia mengenakan kaus hitam yang membutuhkan beberapa detik
untukku membacanya. Tulisannya ASRAMA WESTOVER: DENGKUR. Aku tak
tahu apakah itu nama peringkat Grover atau barangkali hanya slogan sekolah.
"Jadi apa kondisi daruratnya?" tanyaku.
Grover menghela napas dalam. "Aku menemukan dua."
"Dua anak-blasteran?" tanya Thalia, takjub. "Di sini?"
Grover mengangguk. Menemukan satu anak-blasteran saja sudah sangat langka. Tahun ini, Chiron
menugaskan para satir untuk bertugas lembur dalam misi darurat dan mengirim
mereka ke pelosok negeri, menjelajahi sekolah-sekolah dari kelas empat SD
sampai tingkat SMA untuk merekrut calon-calon pahlawan baru. Ini adalah masamasa genting. Kami mulai kehilangan pekemah. Kami membutuhkan semua
pejuang baru yang bisa ditemukan. Masalahnya adalah, sebenarnya tidak ada
banyak anak setengah-dewa di luar sana.
"Laki-laki dan perempuan, bersaudara." katanya. "Mereka sepuluh dan dua belas
tahun. Aku nggak tahu garis keturunannya, tapi mereka kuat. Kami mulai
kehabisan waktu, sayangnya. Aku butuh bantuan."
"Ada monster-monster?"
"Satu." Grover tampak tegang. "Dia curiga. Aku rasa di juga belum yakin, tapi
ini adalah hari terakhir tahun ajaran. Aku yakin dia nggak akan membiarkan mereka
meniggalkan kampus tanpa mencari tahu. Ini mungkin kesempatan terakhir kita!
Setiap kalinya aku berusaha mendekati anak-anak itu, dia selalu hadir,
mencegatku. aku nggak tahu lagi apa yang mesti kulakukan!"
Grover menatap Thalia putus asa. Aku berusaha untuk tak terganggu oleh itu.
Biasanya, Grover mendatangiku untuk meminta bantuan, tapi Thalia memiliki
senioritas. Bukan hanya karena ayahnya adalah Zeus. Thalia lebih berpengalaman
dari kami semua dalam mengatasi monster-monster di dunia nyata.
"Oke," ujar Thalia. "Anak-anak blasteran ini ada di pesta dansa?"
Grover mengangguk. "Kalau begitu mari kita dansa," kata Thalia. "Siapa monsternya?"
"Oh," kata Grover, dan memandang berkeliling dengan gugup. "Kalian baru saja
ketemu dengannya. Sang wakil kepala sekolah, Dr. Thorn."
Hal yang aneh dari sekolah-sekolah militer: anak-anaknya berkelakuan sangat
sinting saat sebuah perhelatan diadakan dan mereka bisa melepas seragam mereka.
Kurasa itu karena segala sesuatunya begitu diatur ketat sepanjang waktu,
sehingga mereka merasa harus menebus atas apa yang mereka lewatkan atau semacamnya.
Ada balon-balon hitam dan merah di sepenjuru lantai gimnasium, dan anak-anak
laki-laki menyepak balon-balon itu ke muka satu sama lain, atau mencoba saling
mencekik dengan menggunakan kertas-krep dekorasi yang ditempel di sepanjang
dinding. Anak-anak perempuan berjalan-jalan dalam satu kerumunan regu sepak
bola, seperti yang biasa mereka lakukan, mengenakan banyak riasan wajah dan
pakaian atasan bertali dan celana panjang berwarna terang dan sepatu-sepatu yang
terlihat seperti alat penyiksa. Sekali waktu mereka akan mengerubungi seorang
pria malang layaknya sekelompok ikan piranha, teriak-teriak dan cekikikan, dan
saat mereka menyingkir, rambut pria itu akan penuh dengan pita-pita sementara
mukanya penuh dengan coretan lipstik. Beberapa anak laki-laki yang lebih tua
tampak lebih seperti aku - tak nyaman, seolah tak lama lagi mereka akan terpaksa
berjuang mempertahankan nyawa mereka. Tentu saja, dalam kasusku, itu memang
kenyataannya .... "Itu mereka." Grover mengendikkan kepalanya ke arah sepasang anak yang tengah
berdebat di tribune. "Bianca dan Nico di Angelo."
Anak perempuannya mengenakan topi hijau berkelepai, seolah dia ingin
menyembunyikan wajahnya. Anak laki-lakinya jelas adiknya. Mereka berdua
memiliki rambut hitam lurus dan kulit kecokelatan, dan mereka banyak
menggunakan gerak tangan saat bicara. Anak laki-laki itu sedang mengocok kartu


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tampak seperti kartu koleksi. Saudarinya tamapak seperti sedang
mengomelinya akan sesuatu. Dia terus menebarkan pandangan ke sekitar seolah
merasakan ada sesuatu yang salah.
Annabeth berkata, "Apa mereka ... maksudku, apa kau sudah menjelaskannya pada
mereka?" Grover menggeleng. "Kau tahu kan bagaimana biasanya. Hal itu akan semakin
membahayakan mereka. Begitu mereka menyadari siapa mereka sebernarnya, bau
mereka akan semakin kuat."
Grover memandangiku, dan aku mengangguk. Aku tak pernah tahu sepertu apa
"bau" anak-anak blasteran bagi penciuman para monster dan satir, tapi aku tahu
bau itu bisa menyebabkanmu terbunuh. Dan semakin kau menjadi anak setengahdewa
yang kuat, baumu akan semakin tercium seperti santapan siang bagi monster.
"Ayo kita bawa mereka dan segera pergi dari sini," kataku.
Aku mulai melangkah maju, tapi Thalia meletakkan tangannya di pundakku. Wakil
kepala sekolah, Dr. Thorn, menyelinap keluar dari pintu dekat tribune dan
sekarang berdiri di dekat di Angelo bersaudara. Dia mengangguk dingin ke arah
kami. Mata birunya tampak bersinar.
Menilai dari raut mukanya, kurasa Thorn tidak terkelabui oleh tipuan Kabut
Thalia sedikit pun. Dia sudah mencurigai kami. Dia hanya menunggu untuk mencari tahu
untuk apa kami ke sini. "Jangan pandangi anak-anak itu," Thalia memerintah-kan. "Kita harus menunggu
kesempatan untuk membawa mereka. Kita harus berpura-pura nggak tertarik pada
mereka. Alihkan dia dari bau mereka."
"Gimana caranya?"
"Kita kan tiga anak blasteran yang kuat. Kehadiran kita bisa membingungkannya.
Berbaurlah. Bersikaplah wajar. Berdansalah sedikit. Tapi tetap awasi kedua anak
itu." "Berdansa?" tanya Annabeth.
Thalia mengangguk. Dia memasang kuping untuk mendengarkan musik dan
membuat wajahnya masam. "Ih. Siapa sih yang milih lagu-lagu Jesse McCartney?"
Grover tampak tersinggung. "Aku."
"Oh demi dewa dewi, Grover. Itu payah banget. Nggak bisakah kau mainkan lagulagu
kayak Green Day atau semacamnya?"
"Green apa?" "Lupakan saja. Ayo kita dansa."
"Tapi aku nggak bisa dansa!"
"Bisa saja kalau aku yang memimpin," kata Thalia. "Ayolah, bocah kambing."
Grover memekik tertahan saat Thalia menarik tangannya dan menggiringnya ke
lantai dansa. Annabeth tersenyum. "Kenapa?" tanyaku.
"Nggak ada apa-apa. Senang saja Thalia kembali."
Annabeth telah tumbuh lebih tinggi dariku sejak musim panas tahun lalu, yang
menurutku agak mengganggu. Biasanya dia tak pernah mengenakkan perhiasan
sama sekali kecuali kalung manik-manik Perkemahan Blasterannya, tapi kini dia
mengenakan anting-anting perak kecil berbentuk burung hantu - simbol ibunya,
Athena. Annabeth mencopot topi skinya, dan rambut pirang panjangnya tergerai ke
bawah bahunya. Membuatnya tampak lebih dewasa, entah kenapa.
"Jadi ..." aku berusaha memikirkan sesuatu untuk dikatakan. Bersikaplah wajar,
Thalia sudah berpesan pada kami. Saat kau adalah anak-blasteran dalam misi
berbahaya, memangnya ada yang wajar" "Em, merancang gedung yang bagus
baru-baru ini?" Mata Annabeth berbinar, seperti biasanya saat dia berbicara tentang arsitektur.
"Oh demi dewa dewi, Percy. Di sekolah baruku, aku bisa mengambil rancang 3-D
sebagai mata pelajaran pilihan, dan ada program komputer keren banget yang ..."
Annabeth terus mengoceh tentang bagaimana dia telah merancang monumen besar
yang ingin dia bangun di bekas lokasi gedung World Trade Center di Manhattan.
Dia menceritakan tentang penompang strukturnya dan bagian facade gedung dan
semacamnya, dan aku berusaha untuk mendengar. Aku tahu Annabeth ingin
menjadi arsitek super saat besar nanti - dia menggemari matematika dan
gedunggedung bersejarah dan semua hal itu - tapi aku tak mengerti satu kata pun
yang dia terangkan. Sejujurnya aku agak kecewa mendengar dia sangat menyukai sekolah barunya. Itu
adalah kali pertama Annabeth memasuki sekolah New York. Aku berharap akan
bisa bertemu dengannya lebih sering. Sekolah barunya adalah sekolah asrama di
Brooklyn, dan dia dan Thalia sama-sama terdaftar sebagai murid di sana.
Lokasinya cukup dekat dengan Perkemahan Blasteran hingga Chiron bisa datang
membantu kalau-kalau mereka terlibat masalah. Namun karena itu adalah sekolah
khusus perempuan, dan aku masuk sekolah MS-54 di Manhattan, sehingga hampir
tak pernah bertemu dengan mereka.
"Iya deh, eh, asyik dong," kataku. "Jadi kau akan menetap di sana sepanjang
akhir tahun ini, yah?" Wajahnya berubah mendung. "Yah, barangkali, kalau aku nggak - "
"Hei!" Thalia memanggil kami. Dia sedang berdansa slow dengan Grover, yang
terus-terusan menginjak kakinya sendiri, menedang Thalia tepat di tulang kering,
dan tampak ingin segera mati. Setidaknya kakinya adalah palsu. Tidak sepertiku,
Grover punya alasan atas kecerobohannya.
"Berdansalah, kalian!" Thalia memerintahkan. "Kalian tampak kayak orang tolol
cuma berdiri di sana."
Aku menatap gelisah pada Annabeth, kemudian pada sekumpulan gadis yang
mengitari ruang gimnasium.
"Gimana?" kata Annabeth.
"Em, siapa yang mesti kuajak?"
Dia menonjok perutku. "Aku, dasar Otak Ganggang."
"Oh. Oh, betul juga."
Maka kami berjalan ke lantai dansa, dan aku memandangi untuk melihat
bagaimana cara Thalia dan Grover berdansa. Kuletakkan satu tanganku di pinggul
Annabeth, dan dia menjepit tanganku yang lain seperti hendak membantingku
dalam pertandingan judo. "Aku nggak akan menggigit," katanya padaku. "Yang benar deh, Percy. Apa kalian
anak laki-laki nggak pernah berdansa di sekolah kalian?"
Aku tak menjawab. Sebenarnya kami juga memiliki pesta dansa di sekolah. Tapi
aku tak pernah benar-benar berdansa di pesta itu. Aku biasanya mengikuti
kumpulan laki-laki yang bermain bola basket di pojokan.
Kami berdansa beberapa menit. Aku berusaha berkonsentrasi pada hal-hal kecil,
seperti hiasan kertas-kertas krep dan mangkuk sari buah - apa pun selain fakta
bahwa Annabeth lebih tinggi dariku, dan tanganku basah oleh keringat dan
barangkali terasa menjijikkan, dan aku terus-terusan menginjak jempol kakinya.
"Apa yang mau kau bicarakan tadi?" tanyaku. "Apa kau menemui masalah di
sekolah atau semacamnya?"
Annabeth mengerutkan bibirnya. "Bukan itu. Ayahku."
"O-ow." Aku tahu Annabeth memiliki hubungan yang rentan dengan ayahnya.
"Kukira hubungan kalian makin membaik. Apa masalahnya dari ibu tirimu lagi?"
Annabeth mendesah. "Ayah memutuskan untuk pindah. Tepat saat aku mulai
kerasan di New York, dia mengambil pekerjaan baru yang bodoh, meneliti untuk
buku Perang Dunia 1. Di San Francisco."
Dia mengatakan hal ini seolah sedang membicarakan tentang Padang Hukuman
atau celana senam Hades. "Jadi dia ingin kau ikut pindah ke sana bersamanya?" tanyaku.
"Ke belahan lain negeri," katanya muram. "Dan anak-anak blasteran kan nggak
bisa tinggal di San Francisco. Dia seharusnya tahu itu."
"Apa" Kenapa begitu?"
Annabeth memutar bola matanya. Mungkin dia mengira aku hanya bercanda. "Kau
tahulah. Itu kan ada di sana."
"Oh," ujarku. Aku sama sekali nggak mengerti apa yang dia bicarakan, tapi aku
tak ingin terkesan bodoh. "Jadi ... kau akan kembali tinggal di perkemahan atau
bagaimana?" "Masalahnya lebih serius dari itu, Percy. Aku ... aku mungkin harus menceritakan
sesuatu kepadamu." Tiba-tiba Annabeth memantung. "Mereka menghilang."
"Apa?" Aku mengikuti arah pandangannya. Bangku penonton. Kedua anak blasteran itu,
Bianca dan Nico, sudah tak lagi ada di sana. Pintu di dekat Tribune itu terbuka
lebar. Sosok Dr. Thorn tak terlihat di mana pun.
"Kita harus panggil Thalia dan Grover!" Annabeth memandang ke sekitar dengan
kalut. "Oh, ke mana sih mereka pergi berdansa" Ampun deh!"
Annabeth berlari ke arah kerumunan. Aku baru hendak menyusul saat gerombolan
anak perempuan menghalang lajuku. Aku bergerak lincah menghindari mereka
agar tak mendapat pernak pita-dan-lipstik itu, dan pada saat aku terbebas,
Annabeth menghilang dari pandangan. Aku memutar tubuhku, mencari-cari sosok
Annabeth atau Thalia dan Grover. Alih-alih, aku melihat sesuatu yang
membekukan darahku. Sekitar lima belas meter sari tempatku berdiri, tergeletak di lantai gimnasium,
adalah sebuah topi hijau berkelepai sama persis seperti yang tadi dikenakan
Bianca di Angelo. Di dekatnya kartu-kartu koleksi bertebaran.
Kemudian aku menemukan sekilas sosok Dr. Thorn. Dia dengan tergesa-gesa
memasuki pintu di ujung seberang ruangan, menggiring anak-anak di Angelo
dengan menarik tengkuk mereka, seperti anak-anak kucing.
Aku masih belum menemukan Annabeth, kemudian aku berpikir, Tunggu dulu.
Aku ingat apa yang dikatakan Thalia padaku di aula masuk, menatapku bingung
saat aku menanyakan padanya tentang trik jentikan-jari itu: Memangnya Chiron
belum menunjukkan padamu caranya" Aku memikirkan bagaimana Grover beralih
ke dirinya, mengharapkan untuk menjadi sosok penyelamat.
Bukannya aku membenci Thalia. Dia orangnya baik. Bukan salahnya ayahnya
adalah Zeus dan dia mendapat seluruh perhatian .... Namun tetap saja, aku kan
tak perlu selalu berlari ke dirinya untuk menyelesaikan setiap masalah. Lagi pula,
kami tak punya banyak waktu. Di Angelo bersaudara terancam bahaya. Bisa jadi mereka
sudah akan lama menghilang pada saat kutemukan teman-temanku. Aku cukup
tahu dengan para monster. Aku bisa mengatasi ini sendiri.
Kukeluarkan Riptide dari sakuku dan segera berlari mengejar Dr. Thorn.
*** Pintu itu mengarah ke lorong gelap. Kudengar suara-suara perkelahian di depan,
kemudian suara geram kesakitan. Kubuka tutup Riptide.
Pena itu tumbuh membesar di tanganku sampai kugenggam pedang perunggu
Yunani sepanjang satu meter dengan gagang bersampul-kulit. Pedang itu
memendarkan sinar lemah, melemparkan cahaya keemasan ke deretan loker.
Aku berlari pelan menyusuri lorong, tapi pada saat aku sampai di ujung, tak ada
siapa pun di sana. Kubuka pintu dan kutemukan diriku kembali ke aula masuk
utama. Aku benar-benar dipalingkan. Aku tak menemukan sosok Dr. Thorn di
mana pun, tapi di sana, di ujung seberang ruangan, tampak anak-anak di Angelo.
Mereka berdiri memantung ketakutan, menatap tepat ke arahku.
Aku maju perlahan, menurunkan mata pedangku. "Tenanglah. Aku tak akan
melukai kalian." Mereka tak menjawab. Mata mereka penuh rasa takut. Ada apa sebenarnya dengan
mereka" Di mana Dr. Thorn itu" Barangkali dia merasakan kehadiran Riptide dan
mundur. Para monster membenci senjata-senjata berbahan perunggu langit.
"Namaku Percy," kataku, berusaha membuat suaraku terdengar tenang. "Aku akan
membawa kalian keluar dari sini, membawa kalian ke tempat aman."
Mata Bianca membeliak. Kepalan tangannya mengeras. Sudah terlambat saat aku
menyadari apa arti dari tatapannya. Dia tidak takut padaku. Dia berusaha
memperingatkanku. Kubalikkan tubuh dan sesuatu melesat SYUUUT! Rasa nyeri meledak di
pundakku. Kekuatan seperti sebuah tangan besar menyentakkanku ke belakang dan
membenturku ke tembok. Kuayun pedangku tapi tak ada yang bisa dikenai.
Suara tawa dingin bergema ke sepenjuru lorong.
"Benar, Perseus Jackson," kata Dr. Thorn. Aksennya merusak huruf J di nama
belakangku, membuat seperti Z. "Aku tahu siapa kamu."
Aku berusaha membebaskan bahuku. Mantel dan kemejaku tertancap ke dinding
oleh suatu tusukan - sebuah proyektil seperti belati hitam sekitar tiga puluh
senti. Tusukan itu menggores kulit pundakku saat ia menembus pakaianku, dan luka
sayatan itu membakar. Aku sudah pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.
Racun. Kupaksakan diri untuk berkonsentrasi. Aku tak boleh pingsan.
Sebuah siluet hitam sekarang bergerak mendekati kami. Dr. Thorn berjalan ke arah
remang-remang cahaya. Dia masih tampak seperti manusia, tapi wajahnya seperti
siluman. Dia memiliki gigi-gigi putih sempurna dan mata cokelat/birunya
memantulkan cahaya dari pedangku.
"Terima kasih sudah mau keluar dari ruang gimnasium," katanya. "Aku benci
acara dansa SMP." Aku berusaha mengayunkan pedangku lagi, tapi dia berada di luar jangkauan.
SYUUUT! Proyektil kedua melesat dari suatu tempat di belakang Dr. Thorn. Dia
tidak tampak bergerak. Seolah-olah ada seseorang tak kasat mata yang berdiri di
belakangnya, melemparkan sejumlah belati.
Di sebelahku, Bianca memekik. Duri kedua menancap ke tembok batu, hanya
berjarak satu senti dari wajahnya.
"Kalian bertiga akan ikut denganku," kata Dr. Thorn. "Pelan-pelan. Dengan patuh.
Kalau kalian membuat sedikit suara, kalau kalian berteriak meminta bantuan atau
coba-coba melawan, akan kutunjukkan seberapa jitunya lemparanku."
Bab 2 Wakil Kepala Sekolah Mendapat Peluncur Misil
Aku tak tahu monster jenis apa Dr. Thorn itu, tapi yang jelas dia sangat cepat.
Barangkali aku bisa membela diriku kalau saja aku bisa mengaktifkan perisaiku.
Yang kubutuhkan hanya menyentuh jam tanganku. Namun membela nyawa anakanak di
Angelo adalah masalah lain, aku butuh pertolongan, dan hanya ada satu
cara yang terpikir olehku untuk mendapatkan.
Kupejamkan mata. "Apa yang kaulakukan, Jackson?" desis Dr. Thorn. "Terus berjalan!"
Aku membuka mata dan terus bergerak maju. "Bahuku," aku berbohong, berusaha
terdengar kesakitan, yang memang tak sulit. "Rasanya seperti terbakar."
"Bah! Racunku hanya menyebabkan rasa sakit. Ia tak akan membunuhmu. Jalan
terus!" Thorn menggiring kami ke luar, dan aku berusaha memusatkan pikiran.
Kubayangkan wajah Grover. Aku memusatkan pada perasaan takut dan
terancamku. Musim panas lalu, Grover telah menciptakan sambungan empati di
antara kami. Dia mengirimiku bayangan-bayangan dalam mimpiku untuk
memberitahuku bahwa dia sedang terancam bahaya. Sejauh pengetahuanku, kami
berdua masih tersambung, tapi aku belum pernah berusaha menghubungi Grover
sebelumnya. Aku bahkan tak tahu apakah sambungan ini akan bekerja saat Grover
dalam keadaan terjaga. Hei, Grover! Pikirku. Thorn menculik kami! Dia adalah maniak pelempar duri
beracun! Tolong! Thorn membawa kami memasuki hutan. Kami berjalan di jalur bersalju dengan
penerangan temaram dari cahaya lampu model kuno. Pundakku nyeri. Angin yang
berembus menusuk pakaianku yang koyak, begitu dinginnya sampai-sampai aku
merasa bagai es krim rasa percy.
"Ada tanah kosong di depan," kata Thorn. "Kami akan memanggil kendaraan
kalian." "Kendaraan apa?" tuntut Bianca. "Ke mana kau akan membawa kami?"
"Diamlah, gadis menjengkelkan!"
"Jangan bicara begitu pada kakakku!" ujar Nico. Suaranya bergetar, tapi aku
terkesan pada nyalinya yang berani bicara.
Dr. Thorn membuat suara geraman yang jelas bukan suara manusia. Suara itu
membuat bulu kudukku merinding, tapi aku memaksa diriku untuk terus berjalan
dan berpura-pura menjadi bocah tawanan yang manis. Sementara itu, kukirimkan
pikiran-pikiranku bak orang gila - apa pun untuk mendapat perhatian Grover:
Grover! Apel-apel! Kaleng timah, kaleng timah! Cepatlah bawa pantat kambing
berbulumu kemari dan bawa serta beberapa teman bersenjata lengkap!
"Berhenti," kata Thorn.
Bentangan jalan hutan membuka. Kami tiba di tebing yang memandang lautan.
Setidaknya, aku merasakan adanya laut di bawah sana, ratusan meter di bawah.


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku bisa mendengar ombak-ombak berdesir dan aku bisa menghirup buih-buih air
garam dingin. Namun yang bisa kulihat hanyalah kabut dan kegelapan.
Dr. Thorn mendorong kami menuju tebing. Aku terhuyung, dan Bianca
menangkapku. "Makasih," gumamku.
"Makhluk apa dia sebenarnya?" bisiknya. "Bagaimana kita bisa melawannya?"
"Aku ... aku sedang mengusahakannya."
"Aku takut," gumam Nico. Dia memainkan sesuatu - seperti mainan prajurit kecil
dari logam. "Berhenti bicara!" kata Dr. Thorn. "Menghadaplah ke arahku!"
Kami membalikkan tubuh. Mata dua-warna Thorn berbinar lapar. Dia menarik sesuatu dari balik mantelnya.
Pada awalnya kukira itu adalah pisau lipat otomatis, tapi ternyata itu hanya
sebuah telepon. Dia memencet tombol di pinggir dan berkata, "Paketnya - sudah siap
dikirim." Ada suara jawaban tak jelas di ujung sana, dan kusadari Thorn sedang bicara
dengan gaya walkie-talkie. Ini tampak terlalu modern dan menakutkan - monster
menggunakan telepon genggam.
Aku memandang ke belakangku, penasaran seberapa dalamnya ujung tebing ini
hingga ke dasar. Dr. Thorn tertawa. "Ya ampun, Putra Poseidon. Lompatlah! Di sana ada laut.
Selamatkan dirimu." "Dia menyebutmu apa barusan?" gumam Bianca.
"Akan kujelaskan nanti," kataku.
"Kau punya rencana, kan?"
Grover! Pikirku putus asa. Datanglah padaku!Barangkali aku bisa mengajak kedua
anak di Angelo untuk melompat bersamaku ke laut. Kalau kami terjun dengan
selamat, aku bisa gunakan air untuk melindungi kami. Aku sudah pernah
melakukan hal-hal seperti itu sebelumnya. Kalau suasana hati ayahku sedang baik,
dan mendengarkan, dia mungkin akan membantu. Mungkin.
"Aku akan membunuhmu sebelum kau bisa sampai ke air," ujar Dr. Thorn, seolah
membaca pikiranku. "Kau tak tahu siapa aku sebenarnya, yah?"
Sekerjap gerakan di belakangnya, dan sebuah misil lain berdering begitu dekat
denganku hingga ia menggores kupingku. Sesuatu melesat dari balik tubuh Dr.
Thorn - seperti ketapel, tapi lebih lentur ... lebih mirip seperti ekor.
"Sayangnya," kata Thorn, "kau diinginkan hidup-hidup, kalau memungkinkan.
Kalau tidak kau pasti sudah mati dari tadi."
"Siapa yang menginginkan kami?" desak Bianca. "Karena kalau kau mengira kau
bisa mendapat uang tebusan, kau salah besar. Kami nggak punya keluarga. Nico
dan aku ..." Suaranya sedikit pecah. "Kami nggak punya siapa pun kecuali satu
sama lain." "Aduh betapa malangnya," ujar Dr. Thorn. "Jangan khawatir, anak-anak manja.
Kalian akan menemui bosku tak lama lagi. Kemudian kalian akan mendapatkan
sebuah keluarga baru."
"Luke," kataku. "Kau bekerja untuk Luke."
Mulut Dr. Thorn berkedut jijik saat aku menyebut nama musuh lamaku - mantan
teman yang berusaha membunuhku beberapa kali. "Kau tak tahu sama sekali apa
yang sedang terjadi, Perseus Jackson. Akan kubiarkan sang Jendral memberi
pencerahan padamu. Kau akan memberi bantuan besar untuknya malam ini. Dia
sangat menanti untuk bertemu denganmu."
"Sang Jendral?" tanyaku. Lalu kusadari aku mengucapkan kata itu dengan aksen
Prancis. "Maksudku ... siapa Jenderal itu?"
Thorn memandang ke cakrawala. "Ah, inilah ia. Kendaraan kalian."
Aku berbalik dan melihat pijar cahaya di kejauhan, sebuah lampu sorot di atas
laut. Kemudian suara baling-baling helipkopter terdengar semakin deras dan mendekat.
"Ke mana kau akan membawa kami?" kata Nico.
"Kau harusnya merasa tersanjung, Nak. Kau akan mendapat kesempatan untuk
bergabung dengan bala tentara yang luar biasa! Persis seperti permainan konyol
yang kau mainkan dengan kartu-kartu dan boneka-boneka itu."
"Itu bukan boneka! Itu adalah replika kecil! Dan kau bisa bawa saja bala
tentaramu itu dan - " "Tenang dulu," Dr. Thorn memperingatkan. "Kau akan mengubah pikiran untuk
bergabung dengan kami, Nak. Dan kalau tidak, yah ... masih ada kegunaan lain
dari anak-anak blasteran. Kami punya banyak mulut-mulut monster untuk diberi
makan. Masa Kebangkitan Besar akan segera tiba."
"Masa apa?" tanyaku. Apa pun untuk membuatnya tetap bicara sementara aku
berusaha mencari cara membebaskan diri.
"Kebangkitan para monster." Dr. Thorn tersenyum jahat. "Monster-monster paling
buruk, paling berkuasa, kini mulai bangkit. Monster-monster yang tak pernah
terlihat selama ribuan tahun. Mereka akan menyebabkan kematian dan kehancuran
dengan cara yang tak pernah disangka-sangka oleh manusia. Dan tak lama lagi
kami akan mendapat monster terpenting dari semuanya - yang akan menentukan
kejatuhan Olympus!" "Oke," Bianca berbisik padaku. "Dia jelas-jelas sinting."
"Kita harus melompat dari tebing," kataku padanya pelan. "Terjun ke laut."
"Oh, ide hebat. Kau juga sama sintingnya."
Aku tak sempat berdebat dengannya, karena tepat saat itu kekuatan tak kasat mata
menabrak tubuhku. Mengingat ulang kejadian itu, tindakan Annabeth sungguh brilian. Dengan
mengenakan topi tak kasat matanya, dia menerjang ke di Angelo bersaudara dan
aku, menjatuhkan kami ke tanah. Selama setengah detik, Dr. Thorn terkejut,
hingga semburan pertama misilnya melenceng melewati kepala kami. Hal itu
memberi Thalia dan Grover kesempatan untuk menyerang dari belakang - Thalia
menggunakan perisai ajaibnya, Ageis.
Kalau kau belum pernah melihat Thalia memasuki medan pertarungan, kau tentu
belum pernah merasakan takut yang sesungguhnya. Dia menggunakan tombak
besar yang memanjang dari kaleng Mace - Gada, yang bisa menciut dan selalu dia
bawa dalam sakunya, tapi bukan itu bagian seramnya. Perisainya dibuat mengikuti
senjata yang digunakan ayahnya Zeus - juga disebut Aegis - sebuah hadiah dari
Athena. Perisai itu memiliki kepala sang gorgon Medusa tertempel dalam lapisan
perunggunya, dan meskipun ia tak akan mengubahmu jadi batu, perisai itu tetap
begitu mengerikan, hingga kebanyakan orang akan panik dan kabur saat
melihatnya. Bahkan Dr. Thorn mengernyit dan menggeram ketika dia melihatnya.
Thalia bergerak maju dengan tombaknya. "Demi Zeus!"
Kukira Dr. Thorn sudah akan langsung mampus. Thalia menusuk kepalanya, tapi
dia mengerang dan menangkis tombak itu ke samping. Tangannya berubah ke
bentuk tangan hewan jingga, dengan cakar sangat besar yang melecutkan bungabunga
api saat menggores perisai Thalia. Kalau bukan karena Aegis, Thalia pasti
sudah akan teriris bak selembar roti. Namun, dia berhasil berguling ke belakang
dan kembali berdiri. Suara helikopter semakin bising di belakangku, tapi aku tak berani menoleh.
Dr. Thorn kembali melontarkan misil ke arah Thalia, dan kali ini aku melihat
bagaimana dia melakukannya. Dia punya ekor - ekor dengan kulit keras serupa
kalajengking yang mencuat dengan duri-duri di ujungnya. Misil-misil itu berhasil
ditangkal Aegis, tapi kekuatan hantamannya membuat Thalia terjungkal.
Grover melompat ke depan. Dia menaruh serulingnya ke bibir dan mulai
memainkannya - lagu rancak yang terdengar seperti alunan musik yang akan
membuat para perompak berjoget. Rerumputan menyeruak dari lapisan salju.
Dalam hitungan detik, rumput liar setebal tali melilit kaki Dr. Thorn,
membelitnya. Dr. Thorn meraung dan mulai berubah wujud. Dia tumbuh membesar hingga ke
ukuran aslinya - wajahnya masih manusia, tapi tubuhnya serupa harimau besar.
Ekor keras berdurinya melecutkan duri-duri mematikan ke segala arah.
"Manticore!" seru Annabeth, yang kini menampakkan diri. Topi ajaib New York
Yankeesnya terlepas saat dia menerjang ke arah kami.
"Siapa kalian sebenarnya?" Bianca di Angelo mendesak. "Dan apa itu?"
"Manticore?" dengap Nico. "Dia punya kekuatan serangan tiga ribu dan plus lima
untuk melempar lemparan!"
Aku tak mengerti apa yang Nico bicarakan, tapi aku tak punya waktu untuk
mencemaskannya. Sang Manticore mencabik rumput-rumput liar ajaib Grover
hingga bercarik-carik, kemudian berbalik menghadap kami dengan geram.
"Tiarap!" Annabeth mendorong anak-anak di Angelo rebah ke tanah bersalju. Pada
detik terakhir, aku teringat akan perisaiku sendriri. Kutekan jam tanganku, dan
pelat logamnya melingkar keluar menjadi sebuah perisai perunggu tebal. Tepat
pada waktunya. Segera duri-duri menancap dengan kekuatan besar hingga
memenyokkan logamnya. Perisai indah itu, hadiah dari saudaraku, dirusak parah.
Aku bahkan tak yakin perisai ini masih bisa digunakan untuk menangkis semburan
duri-duri berikutnya. Kudengar suara hantaman dan pekikan, dan Grover mendarat di sebelahku dengan
berdebum. "Menyerahlah!" raung sang monster.
"Tak akan pernah!" teriak Thalia dari seberang lapangan. Dia menerjang ke arah
monster, dan selama sedetik, kukira Thalia akan langsung menusuknya. Tapi lantas
ada suara-suara bising dan seberkas sinar dari arah belakang kami. Helipkopter
muncul dari balik kabut, melayang-layang di dekat tebing. Itu adalah helikopter
hitam mengilat gaya-militer bersenjata, lengkap dengan tambahan senjata di sisi
yang tampak seperti roket-roket berpenuntun laser. Helikopter itu pasti
dikendarai oleh manusia, tapi untuk apa helikopter itu ada di sini" Bagaimana mungkin
manusia bisa bekerja dengan monster"
Cahaya lampu sorot itu membutakan Thalia, dan sang manticore
mengenyahkannya ke samping dengan kibasan ekornya. Perisai Thalia mental ke
salju. Tombaknya melayang ke arah lain.
"Tidak!" Aku berlari menolongnya. Aku menangkis sebuah duri tepat sebelum ia
akan menusuk dada Thalia. Kuangkat perisaiku untuk melindungi kami, tapi aku
tahu itu tak akan cukup. Dr. Thorn tertawa. "Sekarang sudah kalian sadari betapa sia-sianya ini"
Menyerahlah, pahlawan-pahlawan cilik."
Kami terperangkap antara satu monster dan sebuah helikopter bersenjata lengkap.
Kami benar-benar tak punya kesempatan.
Kemudian kudengar suara yang begitu jelas dan tajam: bunyi tiupan trompet
berburu dari arah hutan. Sang manticore memantung. Semenit, tak ada yang
bergerak. Hanya ada embusan angin dan salju dan desing baling-baling
helikopter."Tidak," kata Dr. Thorn. "Tak mungkin - "
Kalimatnya terputus saat sesuatu melesat melewatiku seperti sebias cahaya
rembulan. Sebuah panah perak berpijar muncul di bahu Dr. Thorn.
Dia terhuyung ke belakang, merintih kesakitan.
"Terkutuklah kau!" raung Thorn. Dia melepaskan duri-durinya, lusinan duri
langsung, ke tengah hutan tempat asal panah tadi, tapi dengan sama cepatnya,
panah-panah perak melesat sebagai balasan. Kelihatannya seolah panah-panah itu
menabrak duri-duri Dr. Thorn di tengah udara dan membelahnya jadi dua, tapi
mataku pasti menipu pandanganku. Tak ada seorang pun, bahkan anak-anak
Apollo di perkemahan, yang bisa menembak dengan ketepatan seperti itu.
Sang manticore mencabut panahnya dari pundaknya dengan erang kesakitan.
Napasnya berat. Aku mencoba mengayunkan pedangku ke arahnya, tapi dia tak
secedera kelihatannya. Dia mengelak dari seranganku dan meng-hantamkan
ekornya ke perisaiku, mementalkanku ke samping.
Kemudian para pemanah muncul dari balik hutan. Mereka adalah anak-anak
perempuan, ada sekitar selusin. Yang paling kecil barangkali berumur sepuluh
tahun. Yang tertua, sekitar empat belas, sepertiku. Mereka mengenakan jaket ski
bertudung bulu binatang warna perak dan celana jins, dan mereka semua
bersenjatakan busur. Mereka maju ke arah manticore dengan ekspresi tegas.
"Para Pemburu!" seru Annabeth.
Di sebelahku, Thalia bergumam, "Oh, hebat deh."
Aku tak sempat menanyakan apa maksudnya.
Salah satu pemanah yang lebih besar melangkah ke depan dengan busur siaga. Dia
tinggi dan anggun dengan kulit sewarna tembaga. Tak sama seperti gadis-gadis
lain, dia mengenakan lingkaran kepang perak terjalin di bagian atas rambut hitam
panjangnya, membuatnya tampak seperti putri dari Persia. "Izin untuk membunuh,
Yang Mulia?" Aku tak tahu siapa yang dia ajak bicara, karena dia memakukan pandangannya
lurus ke arah sang manticore.
Sang monster mengerang. "Ini tidak adil! Keterlibatan langsung! Ini bertentangan
dengan Hukum Purba!"
"Tidak juga," sahut seorang gadis lain. Gadis ini sedikit lebih muda dariku,
barangkali dua belas atau tiga belas tahu. Dia memiliki rambut cokelat kemerahan
terikat kuncir kuda dan mata yang aneh, kuning keperakan seperti warna bulan.
Wajahnya begitu cantik hingga membuat napasku tertahan, tapi raut wajahnya
tegas dan berbahaya. "Pemburuan semua makhluk buas yang berkeliaran berada
dalam medanku. Dan kau, makhluk jahat, termasuk makhluk buas." Dia
memandang ke arah gadis yang lebih tua dengan lingkar kepang. "Zo?, izin
diberikan." Sang manticore menggeram. "Kalau aku tak bisa mendapatkan anak-anak ini
hidup-hidup, aku akan mendapatkan mereka dalam keadaan mati!"
Dia menerjang ke arah Thalia dan aku, tahu kami sedang lengah dan kebingungan.
"Tidak!" teriak Annabeth, dan dia menerjang ke arah monster.
"Mundur, anak blasteran!" gadis dengan lingkar kepang berseru. "Keluar dari
garis tembakan!" Tapi Annabeth melompat ke punggung monster dan memasukkan belatinya ke
tengkuknya. Sang manticore meraung, berputar-putar dengan ekor mengibasngibas
udara saat Annabeth bergantungan mempertahankan diri.
"Tembak!" perintah Zo?.
"Jangan!" teriakku.
Tapi para Pemburu itu membiarkan panah-panah mereka bertebangan. Panah
pertama menancap ke leher sang manticore. Panah lain menusuk dadanya. Sang
manticore terhuyung ke belakang, mengerang. "Ini bukan akhirnya, Pemburu!
Kalian akan mendapatkan balasannya!"
Dan sebelum siapa pun bisa bereaksi, sang monster, dengan Annabeth masih
bergantungan di punggungnya, melompat ke tebing dan terjatuh ke dalam
kegelapan. "Annabeth!" aku berteriak.
Aku mulai berlari ke arahnya, tapi musuh kami belum selesai mengurusi kami.
Ada suara dor-dor-dor dari helikopter - suara tembakan senjata.
Sebagian besar Pemburu berlari memencar saat lubang-lubang kecil muncul di
salju di bawah kaki mereka, tapi gadis berambut cokelat kemerahan itu hanya
mendongak dengan tenang ke arah helikopter.
"Manusia," dia mengumumkan, "tidak diizinkan untuk menyaksikan perburuanku."
Gadis itu mengulurkan tangannya, dan helikopter itu pun meledak dalam gumpalan
debu - bukan, bukan debu. Logam hitam itu membuyar jadi kerumunan burung burung-burung gagak, yang terbang menyebar ke langit malam.
Para pemburu mendekati kami.
Gadis bernama Zo? berhenti saat melihat Thalia. "Kau," ujarnya dengan nada
muak. "Zo? Nightshade." Suara Thalia bergetar dengan amarah. "Waktu yang tepat,
seperti biasanya." Zo? memandangi yang lainnya. "Empat anak blasteran dan satu satir, Yang Mulia."
"Benar," ujar gadis yang lebih kecil. "Beberapa pekemah Chiron, kurasa."
"Annabeth!" teriakku. "Kalian harus membiarkan kami menyelamatkannya!"
Gadis berambut kemerahan beralih memandangiku. "Maafkan aku, Percy Jackson,
tapi temanmu sudah tak tertolong."
Aku berusaha untuk berlari, tapi dua orang gadis menahanku.
"Kau tidak siap untuk menerjunkan diri dari tebing," kata gadis berambut
kemerahan. "Lepaskan aku!" aku mendesak. "Memangnya kau pikir siapa dirimu?"
Zo? melangkah ke depan dengan seolah ingin menamparku.
"Jangan," perintah gadis yang satunya. "Aku tidak merasakan adanya
ketidakhormatan, Zo?. Dia hanya kalut. Dia tak mengerti."
Gadis kecil itu memandangiku, sorot matanya lebih dingin dan terang dari bulan
di musim dingin. "Aku adalah Artemis," ujarnya. "Dewi Perburuan."
Bab 3 Bianca di Angelo Menetapkan Pilihan
Setelah melihat Dr. Thorn berubah menjadi monster dan terjun dari ujung tebing
bersama Annabeth, kupikir tak ada hal lain yang bisa mengejutkanku. Tapi ketika
gadis dua belas tahun ini memberitahukanku dia adalah Dewi Artemis, aku


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menanggapi dengan sesuatu yang terdengar cerdas seperti, "Em ... oke deh."
Itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Grover. Dia terengah, kemudian
cepat-cepat berlutut di atas salju dan mulai mengoceh, "Terima kasih, Yang Mulia
Artemis! Kau sangat ... kau sangat ... Wow!"
"Berdirilah, bocah kambing!" bentak Thalia. "Masih ada masalah lain yang harus
kita cemaskan. Annabeth menghilang!"
"Woy," seru Bianca di Angelo. "Tunggu dulu. Stop, stop."
Semua orang memandanginya. Bianca menunjuk dengan jari telunjuknya ke arah
kami semua bergiliran, seolah dia mencoba menghubungkan titik-titiknya. "Siapa
... siapa kalian sebenarnya?"
Raut muka Artemis melembut. "Mungkin pertanyaan yang sebaiknya dilontarkan,
Sayang, adalah siapa dirimu sebenarnya" Siapa orangtuamu?"
Bianca menatap gugup ke arah adiknya, yang masih memandang dengan terkesima
pada Artemis. "Kedua orang tua kami sudah meninggal," kata Bianca. "Kami anak yatim piatu.
Ada simpanan di bank untuk membayar iuran sekolah kami, tapi ..."
Bianca tampak bimbang. Kurasa dia bisa menebak dari wajah kami bahwa kami
tidak mempercayai omongannya.
"Apa?" desaknya. "Aku mengatakan yang sesungguhnya."
"Kau adalah anak blasteran," kata Zo? Nightshade. Aksennya sulit ditebak. Ia
terdengar sangat kuno, seolah dia membaca dari buku teks yang sudah sangat lama.
"Salah satu dari kedua orangtuamu adalah manusia. Satunya lagi adalah bangsa
Olympia." "Olympia ... maksudnya atlet Olimpiade?"
"Bukan," ujar Zo?. "Salah satu dari para dewa."
"Keren!" seru Nico.
"Tidak!" suara Bianca bergetar. "Ini tidak keren!"
Nico berjoget-joget layaknya orang kebelet pipis. "Apakah Zeus benar-benar
memiliki petir yang bisa menghasilkan enam ratus kerusakan" Apa dia mendapat
poin gerakan ekstra kalau - "
"Nico, diamlah!" Bianca meletakkan kedua tangannya ke wajahnya. "Ini bukan
permainan konyol Mythomagic-mu itu, oke" Tidak ada yang namanya dewadewi!"
Betapapun aku sangat mencemaskan Annabeth - yang ingin kulakukan hanyalah
mencarinya - namun aku tak bisa tak merasa iba pada di Angelo bersaudara. Aku
teringat apa yang kurasakan saat pertama kalinya diberi tahu bahwa aku adalah
anak setengah dewa. Thalia pasti merasakan hal yang sama, karena amarah di matanya meredup sedikit.
"Bianca, aku tahu ini sulit dipercaya. Tapi para dewa sebenarnya masih ada.
Percayalah padaku. Mereka hidup abadi. Dan setiap kali mereka memiliki
keturunan dengan manusia biasa, anak-anak seperti kita ini, yah ... Hidup kita
akan selalu terancam bahaya."
"Bahaya," sahut Bianca, "seperti gadis yang jatuh tadi."
Thalia memalingkan pandangan. Bahkan Artemis merasa sedih.
"Jangan putus harapan pada Annabeth," kata sang dewi. "Dia adalah gadis
pemberani. Kalau dia bisa ditemukan, aku akan menemukannya."
"Kalau begitu kenapa kau nggak biarkan kami pergi mencarinya?" tanyaku.
"Dia sudah hilang. Tak bisakah kau merasakannya, Putra Poseidon" Ada sebuah
sihir yang sedang bekerja. Aku tak tahu persis bagaimana atau mengapa, tapi
temanmu sudah menghilang."
Aku masih tetap ingin melompat dari tebing dan mencarinya, tapi aku mendapat
firasat bahwa Artemis benar. Annabeth sudah hilang. Kalau saja dia masih berada
di bawah laut sana, pikirku, aku tentu sudah bisa merasakan kehadirannya.
"Oo!" Nico mengacungkan tangannya. "Bagaimana dengan Dr. Thorn" Tadi tuh
keren banget caramu menembakkan panah ke arahnya! Apa dia mati?"
"Dia adalah manticore," kata Artemis. "Harapan kami dia sudah hancur untuk saat
ini, tapi para monster tak pernah benar-benar mati. Mereka akan mewujud
kembali." "Kalau tidak mereka akan memburu kami," ucap Thalia.
Bianca di Angelo menggigil. "Itu sebabnya ... Nico, kau ingat musim panas lalu,
pria-pria yang mencoba menyerang kami di gang D.C.?"
"Dan sopir bus itu," kata Nico. "Yang memiliki tanduk domba. Betul kan apa
kubilang, itu nyata."
"Itu sebabnya Grover mengawasimu selama ini," kataku. "Untuk menjaga
keselamatan kalian, kalau kalian memang terbukti anak-anak blasteran."
"Grover?" Bianca memandanginya. "Kau juga setengah-dewa?"
"Yah, satir sih, sebenarnya." Dia menyepak sepatunya lepas dan memamerkan kaki
kambingnya. Kukira Bianca akan langsung jatuh pingsan saat itu.
"Grover, pasang sepatumu kembali," kata Thalia. "Kau membuatnya ketakutan."
"Hei, kakiku kan bersih!"
"Bianca," kataku, "kami datang ke sini untuk menolongmu. Kau dan Nico perlu
dilatih untuk bertahan hidup. Dr. Thorn bukanlah monster terakhir yang akan
kalian temui. Kalian harus ikut ke perkemahan."
"Perkemahan?" tanya Bianca.
"Perkemahan Blasteran," kataku. "Itu tempat di mana anak-anak blasteran belajar
untuk bertahan hidup dan semacamnya. Kalian berdua bisa bergabung dengan
kami, menetap di sana sepanjang tahu kalau kalian mau."
"Asyik, ayo kita pergi!" sahut Nico.
"Tunggu." Bianca menggelengkan kepalanya. "Aku tidak - "
"Masih ada pilihan lain," ujar Zo?.
"Tidak, tidak ada!" seru Thalia.
Thalia dan Zo? saling melotot. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi aku
tahu pasti ada sejarah buruk di antara mereka. Entah atas alasan apa, mereka
saling membenci. "Kita sudah terlalu membebani anak-anak ini," Artemis menyampaikan. "Zo?, kita
akan beristirahat di sini selama beberapa jam. Dirikan tenda-tenda. Obati yang
cedera. Ambil barang-barang milik para tamu kita dari gedung sekolah."
"Baik, Yang Mulia."
"Dan, Bianca, ikutlah denganku. Aku ingin bicara denganmu."
"Bagaimana denganku?" tanya Nico.
Artemis mempertimbangkan anak itu. "Barangkali kau bisa tunjukkan pada Grover
bagaimana cara memainkan kartu yang sangat kau gemari itu. Aku yakin Grover
akan senang hati menghiburmu untuk sementara waktu ... sebagai bantuan
untukku?" Grover hampir saja terpeleset sendiri saat bangkit. "Sudah pasti! Ayo, Nico!"
Nico dan Grover berjalan ke arah hutan, sambil berbincang-bincang tentang
poinpoin yang dia kumpulkan dan peringkat kekebalan dan masih banyak topik khas
penggermar game lainnya. Artemis membawa Bianca yang tampak kebingungan
ke sekitar tebing. Para Pemburu mulai mengeluarkan isi ransel mereka dan
mendirikan kemah. Zo? memberikan tatapan bengis sekali lagi pada Thalia, kemudian pergi untuk
memantau beberapa hal. Begitu dia pergi, Thalia mengentakkan kakinya frustasi. "Berani-beraninya para
Pemburu itu! Mereka pikir mereka begitu ... Aaargh!"
"Aku setuju denganmu," kataku. "Aku nggak percaya - "
"Oh, kau setuju denganku?" Thalia berpaling padaku marah. "Apa sih yang
kaupikirkan di ruang gimnasium tadi, Percy" Bahwa kau akan bertarung dengan
Dr. Thorn sendirian" Kau jelas tahu dia itu monster!"
"Aku - " "Kalau kita tetap bersama, kita pasti sudah akan menghabisinya tanpa campur
tangan para Pemburu. Annabeth mungkin masih akan bersama kita. Apa kau nggak
berpikir ke situ?" Rahangku mengeras. Aku memikirkan ucapan yang kasar untuk kukatakan, dan
mungkin aku sudah akan mengatakannya, tapi lalu aku memandang ke bawah dan
melihat sesuatu berwarna biru gelap tergeletak di atas salju dekat kakiku. Topi
bisbol New York Yankees milik Annabeth.
Thalia tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi. Dia menyeka air mata yang
mengaliri pipinya, membalikkan badan, dan berjalan pergi, meninggalkanku
sendirian dengan topi yang terinjak di hamparan salju.
*** Para Pemburu mendirikan posisi kemah mereka dalam hitungan menit. Tujuh tenda
besar, semua dari bahan sutera perak, membentuk bulan sabit mengelilingi satu
sisi api unggun. Salah satu gadis meniupkan peluit anjing perak, dan selusin serigala
putih muncul dari balik hutan. Mereka mulai mengitari kemah seperti anjing
penjaga. Para Pemburu berjalan di antara mereka dan memberi mereka makanan,
benar-benar tak takut, tapi kuputuskan untuk berada di dekat-dekat tenda.
Burungburung elang mengawasi kami dari pepohonan, mata mereka berkilat-kilat
tertepa cahaya api, dan aku merasa elang-elang itu juga sedang bertugas jaga. Bahkan
cuacanya terasa tunduk menngikuti perintah sang dewi. Udara masih dingin,
namun deru angin mereda dan hujan salju berhenti, sehingga suasana terasa
nyaman untuk duduk di dekat api unggun.
Yeah ... kecuali untuk rasa nyeri di bahuku dan rasa bersalah yang memberatiku.
Aku tak percaya Annabeth menghilang begitu saja. Dan betapapun marahnya aku
pada Thalia, diam-diam aku merasa bahwa dia ada benarnya. Ini memang salahku.
Apa sebenarnya yang ingin dikatakan Annabeth padaku di ruang gimnasium"
Sesuatu yang serius, katanya. Kini aku tak akan pernah tahu. Aku memikirkan
bagaimana kami berdansa selama separuh lagu, dan hatiku terasa makin berat.
Kupandangi Thalia mondar-mandir di tengah salju di ujung kemah, berjalan di
antara kawanan serigala tanpa rasa takut. Dia berhenti dan memandang kembali ke
arah Asrama Westover, yang kini tampak gelap gulita, bertengger di tepi bukit di
luar hutan. Aku penasaran apa yang tengah dia pikirkan.
Tujuh tahun lalu, Thalia diubah menjadi pohon pinus oleh ayahnya, untuk
membuatnya terhindar dari maut. Dulu dia berdiri menantang pasukan monster di
puncak Bbukit Blasteran guna memberi waktu pada teman-temannya Luke dan
Annabeth untuk membebaskan diri. Thalia baru kembali menjadi manusia selama
beberapa bulan ini, dan sekali waktu dia akan berdiri bak patung hingga
orangorang akan mengira dia masih berupa pohon.
Akhirnya, salah satu dari para Pemburu membawakan kembali tas ranselku.
Grover dan Nico kembali dari jalan-alan mereka, dan Grover membantuku
merewat lenganku yang cedera.
"Warnanya hijau!" seru Nico gembira.
"Bertahanlah," Grover memberitahuku. "Ini, makanlah sedikit ambrosia sementara
aku bersihkan lukamu."
Aku mengernyit saat dia mengobati lukaku, tapi bongkah ambrosia itu membantu.
Rasanya seperti kue cokelat bikinan rumah, lumer di mulut dan menyebarkan rasa
hangat ke sekujur badanku. Setelah diberi ambrosia dan salep ajaib yang
digunakan Grover, bahuku terasa lebih baik dalam hitungan menit.
Nico menggeledah tasnya sendiri, yang sepertinya telah dikemas oleh para
Pemburu untuknya, meski bagaimana mereka bisa menyeludup masuk ke Asrama
Westover tanpa ketahuan, tampak sungguh mustahil. Nico menjajarkan
sekumpulan patung kecil di atas salju - replika-replika perang kecil dari dewadewi
Yunani dan para pahlawan. Aku mengenali Zeus dengan petirnya, Ares
dengan tombaknya, Apollo dengan kereta mataharinya.
"Koleksi yang lengkap," kataku.
Nico tersenyum. "Aku hampir punya semuanya, ditambah kartu-kartu
hologramnya! Yah, kecuali sedikit kartu yang betul-betul langka."
"Kau memainkan ini dari dulu?"
"Baru sejak tahun ini. Sebelum itu ..." Dia menautkan alisnya.
"Ada apa?" tanyaku.
"Aku lupa. Itu aneh."
Nico tampak gelisah, tapi itu tak bertahan lama. "Hei, bolehkan kulihat pedang
yang kaugunakan tadi?"
Kutunjukkan Riptide padanya, dan kujelaskan padanya bagaimana ia berubah dari
bentuk pena menjadi pedang hanya dengan membuka tutupnya.
"Keren! Apa ia bisa kehabisan tinta?"
"Em, yah, aku sebetulnya nggak menggunakannya buat menulis."
"Apa kau benar-benar putra dari Poseidon?"
"Yah, iya." "Apa kau bisa berselancar dengan baik, kalau begitu?"
Aku menatap Grover, yang berusaha keras menahan tawa.
"Ampun deh, Nico," kataku. "Aku nggak pernah mencobanya."
Dia terus-terusan mengajukan pertanyaan. Apa aku sering bertengkar dengan
Thalia, mengingat dia adalah putri Zeus" (Aku tak jawab pertanyaan itu.) Kalau
ibu Annabeth adalah Athena, Dewi Kebijaksanaan, lalu kenapa Annabeth malah
memilih untuk menerjunkan diri dari tebing" (Aku berusaha keras menahan diri
dari mencekik Nico karena menanyakan itu.) Apakah Annabeth adalah pacarku"
(Pada titik ini, aku sudah siap untuk memasukkan anak ini ke dalam karung bekas
daging dan melemparnya ke kumpulan serigala.)
Kupikir tak lama lagi dia akan menanyakanku berapa banyak poin pukulan yang
pernah kuterima, dan aku akan kehilangan kesabaranku sepenuhnya, tapi kemudian
Zo? Nightshade mendatangi kami.
"Percy Jackson."
Dia memiliki bola mata cokelat gelap dan hidung agak mencuat ke atas. Dengan
lingkaran kepang peraknya dan ekspresi angkuhnya, dia tampak seperti berasal
dari kalangan ningrat sampai-sampai aku harus menahan dorongan untuk menegakkan
dudukku dan berkata "Baik, Nyonya." Gadis itu memperhatikanku dengan muak,
seolah aku adalah sekantong cucian kotor yang dia diperintahkan untuk
mengambilnya. "Ikutlah bersamaku," katanya. "Yang Mulia Artemis ingin bicara dengan dikau."
*** Zo? memanduku memasuki tenda terakhir, yang tampak tak berbeda dari tendatenda
lainnya, dan mempersilakanku masuk. Bianca di Angelo duduk di sebelah
gadis berambut merah, yang masih sulit kuakui sebagai Artemis.
Ruang dalam tenda itu terasa hangat dan nyaman. Permadani sutra dan bantalbantal
memenuhi lantai. Di tengah-tengah, ada tungku api berwarna emas yang
tampak terus mengobarkan api tanpa bahan bakar atau asap. Di belakang sang
dewi, pada penopang pajangan berlapis kayu ek yang terpahat menyerupai tanduk
rusa, terpampang busur perak besarnya. Pada dinding-dindingnya menggantung
bulu-bulu binatang buruan: beruang hitam, macan, dan beberapa hewan lain yang
tak kuketahui. Kurasa aktivis pelindung hewan akan mendapat serangan jantung
memandangi kulit-kulit hewan langka itu, tapi mungkin karena Artemis adalah
dewi perburuan, dia bisa saja memunculkan kembali apa pun yang dia tembak.
Kukira ada kulit hewan lain yang tergeletak di sebelahnya, tapi kemudian
kusadari itu adalah hewan hidup - seekor rusa dengan bulu berkilat dan tanduk perak,
kepalanya bersandar dengan nyaman di pangkuan Artemis.
"Bergabunglah dengan kami, Percy Jackson," ujar sang dewi.
Aku duduk di seberangnya di lantai tenda. Sang dewi mempelajariku dengan
seksama, yang membuatku merasa tak nyaman. Dia memiliki sorot mata yang
sangat tua bagi seorang gadis muda.
"Apa kau terkejut dengan umurku?" tanyanya.
"Eh ... sedikit."
"Aku bisa menampilkan diri sebagai wanita dewasa, atau api yang membara, atau
apa pun yang kuinginkan, tapi inilah yang paling kusenangi. Ini adalah sosok
yang mengikuti usia rata-rata para Pemburuku, dan semua gadis muda yang berada di
bawah pengawasanku, sebelum mereka binasa."
"Binasa?" tanyaku.
"Beranjak dewasa. Jadi tergila-gila pada lelaki. Jadi bertingkah konyol, sibuk
sendri, tak percaya diri. Melupakan diri mereka sendiri."
"Oh." Zo? duduk di sebelah kanan Artemis. Dia memelototiku seolah semua yang
dikatakan Artemis barusan adalah karena salahku, seolah akulah yang menciptakan
ide adanya laki-laki. "Kau harus memaafkan para Pemburuku kalau mereka tak menyambut ramah
dirimu," kata Artemis. "Sangat jarang kami menerima laki-laki di kemah ini.
Biasanya laki-laki dilarang untuk berhungungan dengan para Pemburu. Laki-laki
terakhir yang melihat kemah ini ..." Dia memandang ke arah Zo?. "Yang mana itu
yah?" "Laki-laki yang tinggal di Colorado itu," sahut Zo?. "Yang Mulia mengubahnya
menjadi antelop-jack."
"Ah, ya." Artemis mengangguk, puas. "Aku senang sekali membuat antelop-jack.
Apa pun itu, Percy, aku memintamu ke sini agar kau memberitahuku lebih banyak
tentang sang manticore. Bianca melaporkan beberapa ... mmm, hal-hal
mengganggu yang dikatakan monster itu. Tapi dia mungkin tidak memahaminya.
Aku ingin mendengarnya darimu."


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka kuceritakan semua padanya.
Saat aku selesai mengungkapkannya, Artemis meletakkan tangannya, menyusuri
busur peraknya pelan. "Itulah jawaban yang kutakuti."
Zo? memajukan duduknya. "Baunya, Yang Mulia?"
"Iya." "Bau apa?" tanyaku.
"Beberapa makhluk buas yang sudah tak pernah kuburu selama ribuan tahun
bangkit kembali," gumam Artemis. "Buruan sangat tuanya hingga nyaris kulupa."
Dewi Artemis menatapku tajam. "Saat kami datang malam ini kemari, kami
merasakan kehadiran manticore, tapi bukan dia yang sebenarnya kami cari.
Katakan lagi, persisnya apa yang sebelumnya dikatakan oleh Dr. Thorn."
"Em, 'Aku benci pesta dansa SMP.'"
"Bukan, bukan. Setelahnya."
"Dia bilang seseorang yang dipanggil dengan sebutan Jenderal akan menjelaskan
beberapa hal padaku."
Wajah Zo? memucat. Dia berpaling pada Artemis dan mulai mengucapkan sesuatu,
tapi Artemis mengangkat tangannya.
"Lanjutkan, Percy," kata sang dewi.
"Yah, kemudian Thorn membicarakan tentang Masa Kebangkitan Bangsa - "
"Kebangkitan Besar," Bianca mengoreksi.
"Oh, iya. Dan dia bilang, 'Tak lama lagi kita akan memiliki monster yang
terpenting dari semuanya - monster yang akan menentukan kejatuhan Olympus.'"
Sang dewi masih diam saja hingga tampak bagai patung.
"Bisa juga dia berbohong," kataku.
Artemis menggelengkan kepalanya. "Tidak. Dia tidak bohong. Aku terlalu lamban
mengenali tanda-tandanya. Aku harus memburu monster ini."
Zo? tampak seperti berusaha sangat keras untuk tak takut, tapi dia mengangguk.
"Kita akan segera pergi, Yang Mulia."
"Tidak, Zo?. Aku akan lakukan ini sendiri."
"Tapi, Artemis - "
"Tugas ini terlalu berbahaya bahkan bagi para Pemburu. Kau tahu ke mana aku
harus mengawali pencarianku. Kau tak bisa pergi ke sana bersamaku."
"Apa .. apa pun yang kauinginkan, Yang Mulia."
"Aku akan temukan makhluk ini," Artemis bersumpah. "Dan aku akan membawa
pulang kembali ke Olympus pada titik balik matahari musim dingin. Itu akan jadi
bukti yang kubutuhkan untuk meyakinkan Dewan Para Dewa akan betapa
berbahayanya situasi yang tengah kita hadapi."
"Kau tahu monster apa itu?" tanyaku.
Artemis mencengkeram busurnya. "Kita berdoa saja agar dugaanku salah."
"Apakah para dewi bisa berdoa?" tanyaku, karena aku tak pernah memikirkan itu
sebelumnya. Sebuah kilasan senyum sempat bermain di bibir Artemis. "Sebelum aku pergi,
Percy Jackson, aku punya sebuah tugas kecil untukmu."
"Apa ini melibatkan perubahan jadi jackalope?"
(Jacklope: hewan fiktif berupa kelinci bertanduk rusa.)
"Sayangnya, tidak. Aku ingin kau mengantar para Pemburu kembali ke
Perkemahan Blasteran. Mereka bisa tinggal di sana untuk mengamankan diri
sebelum aku kembali."
"Apa?" sembur Zo?. "Tapi, Artemis, kita kan benci tempat itu. Terakhir kalinya
kita menetap di sana - "
"Ya, aku tahu," kata Artemis. "Tapi aku yakin Dionysus tidak akan menyimpan
dendam hanya karena suatu kesalahpahaman yang, yah, sepele. Adalah hakmu
untuk menggunakan Kabin Delapan kapan pun kau membutuhkannya. Lagi pula,
kudengar mereka membangun kembali pondok-pondok yang dulu kau bakar."
Zo? menggumankan sesuatu tentang para pekemah yang bodoh.
"Dan sekarang masih ada satu keputusan lagi yang harus dibuat." Artemis beralih
ke Bianca. "Apa kau sudah tetapkan pilihanmu, Sayang?"
Bianca ragu. "Aku masih memikirkannya."
"Tunggu dulu," kataku. "Memikirkan tentang apa?"
"Mereka .. mereka telah mengajakku untuk bergabung dengan Perburuan."
"Apa" Tapi kau tak bisa! Kau harus ikut Perkemahan Blasteran agar Chiron bisa
melatihmu. Hanya itu satu-satunya pilihan agar kau bisa belajar bertahan hidup."
"Itu bukanlah satu-satunya pilihan bagi seorang gadis," kata Zo?.
Aku tak percaya aku mendengarkan ini. "Bianca, perkemahan ini asyik banget! Di
sana ada istal pegasus dan arena adu-pedang dan ... Maksudku, apa yang
kaudapatkan dari bergabung dengan para Pemburu?"
"Pertama-tama," ujar Zo?, "adalah keabadian."
Aku menatapnya, kemudian pada Artemis. "Dia bercanda, kan?"
"Zo? jarang sekali bercanda tentang apa pun," ungkap Artemis. "Para Pemburuku
mengikuti petualangan-petualanganku. Mereka adalah gadis-gadis pengabdiku,
para pendampingku, saudari-saudari senasib sepenanggungan. Begitu mereka
bersumpah setia padaku, mereka jelas akan hidup abadi .. kecuali kalau mereka
kalah dalam peperangan, yang hampir tak mungkin. Atau melanggar janji mereka
sendiri." "Janji untuk apa?"
"Untuk menjauhi jalinan asmara selama-lamanya," kata Artemis. "Untuk tak
pernah beranjak dewasa, tak pernah menikah. Untuk menjadi gadis selamalamanya."
"Sama seperti kau?"
Sang dewi mengangguk. Aku berusaha membayangkan apa yang dia katakan. Menjadi makhluk yang hidup
abadi. Terus-terusan bergaul dengan hanya gadis-gadis a-be-ge seumur hidup. Aku
tak bisa memahaminya. "Jadi kau berkeliaran begitu saja ke sepenjuru negeri
merekrut anak-anak blasteran - "
"Bukan hanya blasteran," sela Zo?. "Yang Mulia Artemis tak pernah
mendiskriminasi berdasarkan keturunan. Siapa pun yang menghormati dewi boleh
bergabung. Blsteran, peri, manusia - "
"Kau sendiri apa, kalau begitu?"
Amarah terpancar di mata Zo?. "Itu bukanlah urusan engkau, Nak. Intinya adalah
Bianca boleh bergabung kalau dia menginginkannya. Ini adalah pilihannya."
"Bianca, ini gila," ujarku. "Bagaimana dengan adikmu" Nico nggak bisa jadi
Pemburu." "Tentu saja tidak," Artemis menyetujui. "Dia akan memasuki perkemahan.
Sayangnya, hanya itu hal terbaik yang bisa dilakukan anak-anak laki-laki."
"Hei!" aku mengajukan protes.
"Kau bisa menemuinya dari waktu ke waktu," Artemis meyakinkan Bianca. "Tapi
kau akan terbebas dari tanggung jawab. Nico akan diurusi oleh pembimbing
perkemahan. Dan kau akan mendapat sebuah keluarga baru. Kami."
"Keluarga baru," Bianca mengulangi dengan penuh harapan. "Terbebas dari
tanggung jawab." "Bianca, kau tak bisa melakukan ini," ujarku. "Ini gila."
Bianca memandangi Zo?. "Apakah balasannya setimpal?"
Zo? mengangguk. "Jelas."
"Apa yang harus kulakukan?"
"Katakan ini," Zo? memberitahunya, "'Aku bersumpah mengabdikan diriku pada
Dewi Artemis.'" "Aku .. aku bersumpah mengabdikan diriku pada Dewi Artemis."
"'Aku lepaskan segala ikatan dengan laki-laki, menerima kegadisan selamalamanya,
dan bergabung dengan Perburuan.'"
Bianca mengulang kalimat itu. "Itu saja?"
Zo? mengangguk. "Jika Yang Mulia Artemis menerima ikrar engkau, maka itu
sudah mengikat." "Aku terima," sahut Artemis.
Pijar api di tungku menyala lebih terang, melemparkan cahaya perak ke ruangan.
Bianca tampak sama saja, tapi dia menghela napas dalam dan membukan matanya
lebar-lebar. "Aku merasa ... lebih kuat."
"Selamat datang, Saudari," kata Zo?.
"Ingat akan ikrarmu," kata Artemis. "Inilah sekarang hidupmu."
Aku tak bisa bicara. Aku merasa bagai penyusup. Dan orang yang benar-benar
gagal. Aku tak percaya aku sudah menempuh sejauh ini dan menderita begitu
banyak hanya untuk melepaskan Bianca pada klub cewek-cewek abadi.
"Jangan sedih, Percy Jackson," kata Artemis. "Kau masih bisa menunjukkan pada
di Angelo perkemahanmu. Dan kalau Nico ingin, dia bisa menetap di sana."
"Hebat," kataku, berusaha tak terdengar jengkel. "Bagaimana cara kita bisa tiba
di sana?" Artemis mengerjapkan matanya. "Fajar akan segera menyingsing. Zo?, robohkan
kemah. Kau harus segera pergi ke Long Island dengan cepat dan aman. Aku akan
penggil kendaraan dari saudaraku."
Zo? tidak tampak senang dengan ide ini, tapi dia mengangguk dan menyuruh
Bianca untuk mengikutinya. Saat dia hendak pergi, Bianca berhenti di hadapanku.
"Maafkan aku, Percy. Tapi ini yang kuinginkan. Aku benar-benar
menginginkannya." Kemudian dia pergi, dan aku ditinggal sendiri dengan dewi berumur dua belas
tahun. "Jadi," kataku muram. "Kita akan naik kendaraan kiriman saudaramu, yah?"
Mata perak Artemis berbinar. "Benar, bocah. Kau tahu, Bianca di Angelo bukanlah
satu-satunya orang yang punya saudara menjengkelkan. Sudah waktunya untukmu
bertemu dengan kembaran nakalku, Apollo."
Bab 4 Thalia Membakar New England
Artemis meyakinkan kami bahwa fajar segera tiba, tapi siapa pun bisa saja
membohongiku, karena saat itu suasana terasa lebih dingin dan gelap dan bersalju
dari biasanya. Di puncak bukit, jendela-jendela Asrama Westover tak
berpenerangan sama sekali. Aku penasaran apakah para guru sudah menyadari
akan hilangnya di Angelo bersaudara dan Dr. Thorn. Aku tak ingin berada di dekat
sini saat mereka menyadari. Dengan keberuntunganku biasanya, satu-satunya ana
yang akan teringat Bu Gottschalk tentu "Percy Jackson", dan lantas aku akan
dijadikan sasaran buron nasional ... untuk kesekian kalinya.
Para Pemburu merobohkan kemah secepat mereka mendirikannya. Aku berdiri
menggigil di tengah salju (tak seperti para Pemburu, yang sama sekali tak
kelihatan tak nyaman), dan Artemis memandangi arah timur seolah dia sedang menantikan
sesuatu. Bianca duduk di tepi, sedang bicara dengan Nico. Aku bisa membaca dari
raut muram Nico bahwa Bianca sedang menjelaskan keputusannya untuk
bergabung dengan Perburuan. Aku tak habis pikir betapa egoisnya Bianca,
meninggalkan adiknya begitu saja.
Thalia dan Grover datang dan mendekatiku, tak sabar mendengar apa yang terjadi
pada audiensiku dengan sang dewi.
Saat kuberitahukan pada mereka, Grover memucat. "Terakhir kalinya para
Pemburu mengunjungi perkemahan, situasinya tak baik."
"Bagaimana mereka sampai ke sini?" aku penasaran. "Maksudku, mereka tiba-tiba
saja muncul." "Dan Bianca bergabung dengan mereka," kata Thalia, muak. "Ini semua salah Zo?.
Gadis sombong yang nggak - "
"Siapa yang bisa menyalahkannya?" kata Grover. "Keabadian bersama Artemis?"
Dia mengembuskan napas berat.
Thalia memutar matanya. "Dasar satir. Kalian semua tergila-gila pada Artemis.
Apa kalian nggak sadar-sadar juga kalau dia nggak akan pernah membalas cinta
kalian?" "Tapi dia begitu ... begitu dekat dengan alam," timpal Grover kasmaran.
"Kau kayak satir kacangan, ah," kata Thalia.
"Kacang-kacang dan buah beri," ujar Grover melamun. "Yeah."
Akhirnya langit mulai terang. Artemis menggumam, "Sudah waktunya. Dia sangat
pemalas di musim dingin."
"Kau, em, menunggu matahari terbit?" tanyaku.
"Menunggu saudaraku. Ya."
Aku tak ingin terdengar tak sopan. Maksudku, aku tahu kisah-kisah legenda
tentang Apollo - atau kadang-kadang Helios - mengendarai kereta matahari besar
melintasi langit. Tapi aku juga tahu bahwa matahari sebenarnya adalah sebuah
bintang yang berada sekitar jutaan kilometer jauhnya dari sini. Aku sudah
terbiasa mendapati mitos-mitos Yunani sebagai fakta, tapi tetap saja ... aku tetap tak
mengerti bagaimana Apollo bisa mengendarai matahari.
"Ini tidak seperti perkiraanmu," kata Artemis, seolah dia membaca pikiranku.
"Oh, oke." Aku mulai rileks. "Jadi, ini nggak berarti dia akan menunggangi - "
Tiba-tiba datang sebuah ledakan cahaya di cakrawala. Semburan kehangatan.
"Jangan lihat," saran Artemis. "Setidaknya sampai dia parkir."
Parkir" Kualihkan pandanganku, dan kulihat anak-anak yang lain juga melakukan hal yang
sama. Pijar dan kehangatannya menguat hingga mantel dinginku terasa lumer di
badanku. Kemudian tiba-tiba pijar itu padam.
Aku menoleh. Dan aku tak bisa mempercayainya. Itu adalah mobilku. Ehm, yeah,
mobil yang selalu kuinginkan sih, tepatnya. Convertible merah Maserati Spyder.
Mobil itu begitu kerennya sampai ia bercahaya. Kemudian kusadari ia bercahaya
karena logamnya panas. Saljunya mencair di sekitar Maserati dalam bentuk
lingkaran sempurna, yang menjelaskan mengapa sekarang aku berdiri di hamparan
rumput hijau dan sepatuku basah kuyup.
Pengemudinya keluar mobil, sambil menyungingkan senyum. Dia tampak berumur
sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun, dan untuk sesaat, aku mendapat
perasaan tak enak dengan mengira dia adalah Luke, musuh lamaku. Laki-laki ini
memiliki rambut pirang yang sama dan potongan tampang bak seorang penjelajah.
Tapi itu bukan Luke. Lelaki itu lebih tinggi, tanpa codet di wajahnya seperti
Luke. Senyumnya lebih cerah dan jenaka. (Luke hanya bisa membentak dan mencibir
akhir-akhir ini.) Pengemudi Maserati itu mengenakan celana jins dan sepatu kulit
dan kaus tanpa lengan. "Wow," gumam Thalia. "Apollo benar-benar hot."
"Dia kan Dewa Matahari," timpalku.
"Bukan itu maksudku."
"Adik kecil!" panggil Apollo. Kalau saja giginya lebih putih lagi dia tentu
sudah akan membutakan kami semua tanpa perlu menggunakan mobil mataharinya. "Ada
apa" Kau tak pernah menelepon. Kau tak pernah kirim surat, aku mulai cemas!"
Artemis mendesah. "Aku baik-baik saja, Apollo. Dan aku bukanlah adik kecilmu."
"Hei, aku kan lahir lebih dulu."
"Kita kembar! Berapa ribu tahun lagi kita harus bertengkar tentang ini - "
"Jadi ada apa sih?" selanya. "Kau sedang ditemani gadis-gadismu, kulihat. Kalian
semua butuh beberapa tip memanah?"
Artemis menggertakkan giginya. "Aku perlu bantuan. Aku harus berburu,
sendirian. Aku perlu kau untuk mengantarkan teman-temanku ke Perkemahan
Blasteran." "Tenju saja, Dik!" Kemudian dia mengangkat kedua tangannya dengan isyarat
hentikan segalanya. "Aku merasa sebuah haiku akan muncul"
(haiku: Puisi Jepang yang biasanya menggunakan ilusi dan perbandingan, terdiri
atas 17 suku kata yang terbagi menjadi 3 larik, larik pertama 5 suku, larik
kedua 7 suku, dan larik ketiga 5 suku.)
Semua Pemburu mengeluh jengkel. Tampaknya mereka sudah pernah bertemu
dengan Apollo sebelumnya.
Dia berdeham dan mengangkat satu tangannya secara dramatis.
"Rumput di salju. Artemis minta tolong. Aku keren."
Dia menyeringai ke arah kami, menanti tepukan tangan.
"Kalimat terakhir cuma ada empat suku kata," ujar Artemis.
Apollo mengernyit dahi. "Masa?"
"Iya. Bagaimana kalau Aku besar kepala?"
"Tidak, tidak, itu kan tujuh suku kata. Hmm." Dia mulai menggumam sendiri.
Zo? Nightshade berpaling ke arah kami. "Dewa Apollo jadi tergila-gila pada haiku
semenjak dia mengunjungi Jepang. Ini tak seburuk saat dia ketagihan pantun
jenaka. Kalau aku harus mendengar satu pantun lagi yang diawali dengan, Pada
zaman dahulu kala ada seorang dewa dari Sparta - "
"Aku dapat!" seru Apollo. "Aku keren lho. Itu kan lima suku kata!" Dia
membungkuk, tampak begitu puas dengan dirinya sendiri. "Dan sekarang, Dik.
Kendaraan buat para Pemburu, kau bilang tadi" Waktu yang pas. Aku baru saja
bersiap-siap tancap gas."
"Anak-anak setengah dewa ini juga perlu tumpangan," kata Artemis, menunjuk ke
arah kami. "Beberapa pekemah Chiron."
"Tidak masalah!" Apollo mengamati kami. "Mari kita lihat ... Thalia, betul kan"
Aku sudah dengar segala hal tentangmu."
Thalia merona. "Hai, Dewa Apollo."
"Putri Zeus, kan" Itu artinya kau saudara tiriku. Dulunya pohon, kan" Senang kau


Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali. Aku tak suka melihat gadis cantik diubah jadi pohon. Ya ampun, aku
ingat suatu masa - "
"Saudaraku," kata Artemis. "Kau harus segera pergi."
"Oh, betul juga." Kemudian dia memandangiku, dan matanya memicing. "Percy
Jackson?" "Tul. Maksudku ... betul, Pak."
Rasanya aneh memanggil anak remaja dengan sebutan "pak", tapi aku sudah tahu
untuk berhati-hati bila berhubungan dengan makhluk abadi. Mereka biasanya akan
mudah tersinggung. Lalu mereka akan meledakkan apa yang ada.
Apollo mengamatiku, tapi dia tak mengatakan apa pun, yang menurutku agak
menakutkan. "Yah!" ujarnya pada akhirnya. "Kita sebaiknya segera naik, oke" Perjalanan hanya
menempuh satu arah - ke barat. Dan kalau tempat perhentianmu kelewatan, yah
kelewatan deh." Aku memandangi mobil Maserati itu, yang maksimal hanya akan muat dua
penumpang. Kami semua berjumlah dua puluhan.
"Mobil yang keren," kata Nico.
"Makasih, Nak," sahut Apollo.
"Tapi bagaimana kita semua bisa masuk?"
"Oh." Apollo tampak baru menyadari adanya masalah itu. "Yah, aku nggak suka
mengubah bentuk mobil balapku, tapi kurasa ..."
Dia mengeluarkan kunci mobilnya dan memencet tombol alarm keamanannya. Tit,
tut. Selama semenit, mobil itu menyala terang kembali. Saat pijarnya padam, mobil
balap Maserati itu sudah berganti dengan salah satu bentuk bus kecil antarjemput model Turtle Top seperti yang biasanya kami gunakan untuk pertandingan basket
sekolah. "Oke," katanya. "Semua masuk."
Zo? memerintahkan para Pemburu untuk mulai masuk. Dia mengambil ransel
kemahnya, dan Apollo berkata, "Mari kubantu bawa itu, Sayang."
Zo? sontak mundur. Matanya memancarkan nafsu membunuh.
"Saudaraku," bujuk Artemis. "Kau tak boleh membantu para Pemburuku. Kau tak
boleh memandang, mengajak bicara, atau menggoda para Pemburuku. Dan kau tak
boleh memanggil mereka dengan panggilan sayang."
Apollo merentangkan tangannya. "Maaf. Aku lupa. Hei, Dik, omong-omong, kau
sendiri mau pergi ke mana, sih?"
"Berburu," ujar Artemis. "Itu bukan urusanmu."
"Aku akan cari tahu. Aku melihat semua. Tahu semua."
Artemis mendengus. "Pokoknya nanti turunkan mereka di tempat, Apollo. Dan
jangan macam-macam!"
"Tidak, tidak! Aku tak pernah macam-macam."
Artemis memutar bola matanya, kemudian memandangi kami. "Aku akan bertemu
kalian pada titik balik matahari musim dingin. Zo?, kau bertanggung jawab
mengawasi para Pemburu. Lakukan dengan benar. Lakukanlah seperti apa yang
akan kulakukan." Zo? menegapkan badan. "Baik, Yang Mulia."
Artemis lantas berlutut dan menyentuh tanah seolah mencari jejak kaki. Saat dia
berdiri, dia tampak gelisah. "Ancaman bahaya yang begitu besar. Makhluk buas itu
harus ditemukan." Dia berlari ke arah hutan dan melebur dalam salju dan bayang-bayang.
Apollo berpaling dan menyeringai, sambil memainkan kunci mobilnya di antara
jemarinya. "Jadi," serunya. "Siapa nih yang mau nyetir?"
Para Pemburu menumpuk ke dalam bus. Mereka berdempetan di belakang agar
berada sejauh mungkin dari Apollo dan para laki-laki lain pembawa bibit
penyakit. Bianca duduk bersama mereka, meninggalkan adiknya duduk bersama kami di
depan, yang menurutku begitu dingin bagi kakak-adik, tapi Nico sepertinya tak
peduli. "Ini keren banget!" seru Nico, melompat-lompat di kursi pengemudi. "Apa ini
beneran matahari" Kukira Helios dan Selene adalah dewa-dewi matahari dan
bulan. Kenapa kadang-kadang mereka dan kadang-kadang itu kau dan Artemis?"
"Perampingan jabatan," sahut Apollo. "Orang-orang Romawi yang memulainya.
Mereka nggak sanggup mengadakan persembahan ke seluruh kuil yang ada, maka
mereka melepaskan Helios dan Selene dan memasukkan tugas-tugas mereka ke
dalam uraian pekerjaan kami. Saudariku mendapatkan bulan. Aku dapat matahari.
Awalnya itu cukup menyebalkan, tapi setidaknya aku jadi dapat mobil keren ini."
"Tapi gimana cara kerjanya?" tanya Nico. "Kukira matahari adalah bola api besar
yang terdiri dari gas!"
Apollo terkekeh dan mengacak-ngacak rambut Nico. "Rumor itu mungkin diawali
karena Artemis dulu suka menyebutku bola api besar gas kentut. Serius, Nak, itu
tergantung apa kau membicarakan tentang astronomi atau filosofi. Kau ingin
membicarakan astronomi" Bah, apa menariknya itu" Kau ingin membicarakan
tentang apa yang manusia pikirkan tentang matahari" Ah, nah itu lebih menarik.
Mereka mendapat banyak manfaat dari menunggangi matahari ... eh, itu
sebutannya sih. Matahari memberi mereka kehangatan, menumbuhkan penen
mereka, menggerakkan sumber tenaga, membuat semua tampak, yah, lebih cerah.
Kendaraan ini dibangun dari impian manusia akan matahari, Nak. Ini sudah sama
tuanya dengan Peradaban Barat. Setiap hari, ia akan melintasi langit dari timur
ke barat, membuat terang seluruh kehidupan manusia-manusia kecil dan remeh itu.
Kendaraan ini adalah manifestasi dari kekuatan matahari, sesuai dengan yang
dilihat manusia. Masuk akal?"
Nico menggeleng. "Nggak."
"Yah, kalau begitu, bayangkan saja matahari sebagai mobil solar yang sangat
kuat, sangat berbahaya." "Bolehkah aku menyetir?"
"Tidak. Terlalu kecil."
"Oo! Oo!" Grover mengacungkan tangannya.
"Mm, tidak," kata Apollo. "Terlalu berbulu." Dia memandang melewatiku dan
memusatkan pada Thalia. "Putri Zeus!" serunya. "Dewa Langit. Sempurna."
"Oh, tidak." Thalia menggelengkan kepalanya. "Tidak, makasih."
"Ayolah," kata Apollo. "Berapa umurmu?"
Thalia ragu. "Aku nggak tahu."
Sungguh menyedihkan, tapi itu benar. Thalia diubah jadi pohon saat berusia dua
belas, tapi itu tujuh tahun yang lalu. Jadi seharusnya dia sekarang berumur
sembilan belas, kalau kau menghitung berdasarkan tahun yang berjalan. Tapi
Thalia merasa masih seperti dua belas tahun, dan kalau kau melihatnya, dia
tampak berumur antara rentang dua usia itu. Menurut perkiraaan terbaik Chiron, usia
Thalia tetap bertambah saat dia berwujud pohon, tapi jauh lebih lambat.
Apollo mengetuk jemarinya ke bibirnya. "Kau lima belas, hampir enam belas."
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Hei, aku kan dewa ramalan. Aku tahu berbagai hal. Kau akan berumur enam belas
tahun sekitar seminggu lagi."
"Itu memang hari ulang tahunku! 21 Desember."
"Itu artinya kau sudah cukup umur sekarang untuk menyetir dengan izin!"
Thalia menggerak-gerakkan kakiknya gelisah. "Eh - "
"Aku tahu apa yang ingin kaukatakan," sela Apollo. "Kau merasa tak pantas
mendapat kehormatan menyetir kendaraan matahari ini."
"Bukan itu yang mau kukatakan."
"Jangan cemas! Maine ke Long Island adalah perjalanan yang sangat singkat, dan
jangan pikirkan akan apa yang terjadi pada anak terakhir yang kulatih. Kau
adalah putri Dewa Zeus. Dia tak akan meledakkan kamu di udara."
Apollo tertawa renyah. Kami semua tak ikutan.
Thalia mencoba untuk protes, tapi Apollo jelas tak mau menerima jawaban "tidak".
Dia menekan tombol di dashboard, dan sebuah tanda muncul di sepanjang atas
kaca depan. Aku harus membacanya dari urutan belakang (yang bagi seorang
penderita disleksia, tak begitu berbeda dangan membaca dari depan). Aku cukup
yakin tulisan itu adalah AWAS: MASIH BELAJAR.
"Copot saja tanda itu!" Apollo memberi tahu Thalia. "Kau akan menyetir dengan
jago!" Kuakui aku merasa iri. Aku tak sabar ingin mulai menyetir. Beberapa kali di
musim gugur ini, ibuku membawaku ke Montauk saat jalanan pantai lengang, dan
dia akan membiarkanku mencoba Mazdanya. Memang sih, itu adalah mobil sedan
Jepang, dan yang ini adalah kendaraan matahari, tapi seberapa beda sih rasanya"
"Kecepatan sama dengan panas," Apollo menasihati. "Jadi mulailah pelan-pelan,
dan pastikan kau sudah mencapai ketinggian yang pas sebelum kau benar-benar
menambah kecepatan."
Thalia mencengkeram setir begitu kuatnya sampai-sampai buku jari-jarinya
memutih. Dia tampak seperti mau muntah.
"Ada yang salah?" kutanyakan padanya.
"Nggak ada apa-apa," ujarnya bergetar. "Ng-nggak ada yang salah."
Dia menarik setir ke belakang. Kendaraan memiring, dan bus pun melesat maju
begitu cepatnya hingga aku jatuh ke belakang dan menabrak sesuatu yang lembut.
"Adouw," seru Grover.
"Maaf." "Lebih pelan!" kata Apollo.
"Maaf!" kata Thalia. "Sekarang sudah terkendali!"
Aku berhasil duduk tegak kembali. Memandang ke luar jendela, aku melihat
lingkar asap di pepohonan dari tanah tempat kami tinggal landas tadi.
"Thalia," ujarku, "pelan-pelan dong dengan pedal gasnya."
"Aku sudah bisa, Percy," ujarnya, sambil menggertakkan giginya. Tapi dia tetap
saja menekan keras pedal gasnya.
"Santai sedikit," kataku padanya.
"Aku santai!" sahut Thalia. Dia begitu tegang sehingga tubuhnya tampak bagai
terbuat dari kayu tripleks.
"Kita harus membelok ke selatan untuk ke Long Island," kata Apollo. "Belok
kiri." Thalia menyentakkan roda ke samping dan sekali lagi melemparku ke Grover,
yang memekik. "Kiri yang lain," saran Apollo.
Aku berbuat kesalahan dengan memandang keluar jendela lagi. Kami sudah berada
di ketinggian pesawat terbang sekarang - begitu tingginya sampai langit mulai
terlihat gelap. "Ah ..." kata Apollo, dan aku merasa dia memaksakan dirinya untuk terdengar
tenang. "Lebih rendah sedikit, Sayang. Pantai Cape Code akan membeku."
Thalia memiringkan rodanya. Wajahnya seputih kapur, keningnya bertabur
keringat. Jelas ada yang tak beres. Aku belum pernah melihat dia seperti ini
sebelumnya. Bus menukik turun dan seseorang menjerit. Barangkali itu aku. Sekarang kami
melesat lurus menuju Laut Atlantik dengan kecepatan ribuan kilometer per jam,
pesisir New England di seberang kanan kami. Dan ruangan dalam bus makin
panas. Apollo sudah terlempar ke suatu tempat di sudut belakang bus, tapi dia mulai
memanjati deretan kursi-kursi.
"Ambil kembali setirnya!" Grover memohon padanya.
"Jangan khawatir," seru Apollo. Dia tampak sangat khawatir. "Dia hanya perlu
belajar untuk - ALAMAK!"
Aku lihat apa yang tengah dia lihat. Di bawah kami tampak kota kecil New
England berselimut salju. Setidaknya sih, tadinya berselimut salju. Selagi aku
memandangnya, salju itu mencair dari pohon-pohon dan atap-atap dan lapangan
rumput. Menara putih gereja berubah jadi cokelat dan mulai berasap.
Gumpalangumpalan kecil asap, seperti lilin-lilin ulang tahun, bermunculan di
sepenjuru kota. Pepohonan dan atap-atap rumah tersulut api.
"Naikkan ketinggian!" aku teriak.
Ada pijar liar di mata Thalia. Dia menarik mundur setirnya, dan kali ini aku tak
terlempar. Saat kami melaju ke atas, aku bisa melihat melalui jendela belakang
bahwa kobaran api-api di kota diapadamkan oleh semburan es dadakan.
"Di sana!" Apollo menunjuk. "Long Island, tepat di depan. Mari memelan,
Sayang." Thalia melaju menuju pesisir utara Long Island. Di sanalah letak Perkemahan
Blasteran: bukitnya, hutannya, pantainya. Aku bisa melihat paviliun makannya dan
pondok-pondok dan gedung amfiteaternya.
"Aku bisa mengendalikannya," gumam Thalia. "Aku bisa mengendalikannya."
Kami sudah berjarak beberapa ratus meter sekarang.
"Rem," kata Apollo.
"Aku bisa melakukannya."
"REM!" Thalia menginjak pedal rem, dan bus matahari melesat maju dengan sudut empat
puluh derajat, meluncur ke arah danau kano Perkemahan Blasteran dengan suara
BYUUUUUUR! Membahana. Uap air menyembur naik, membuat sebagian peri
air yang ketakutan kocar-kacir keluar danau sembari menjinjing keranjang
anyaman setengah-jadi. Bus itu memantul ke permukaan, bersama dengan dua buah kano yang terbalik dan
setengah lumer. "Yah," ujar Apollo dengan senyum beraninya. "Kau benar, Sayang. Semua berada
dalam kendalimu! Sekarang mari kita lihat apakah kita merebus seseorang yang
penting, oke?" Bab 5 Aku Menelepon ke Saluran Bawah Air
Aku belum pernah melihat Perkemahan Blasteran di musim dingin sebelumnya,
dan salju ini mengejutkanku.
Asal kau tahu, perekamahan ini memiliki kontrol iklim yang sungguh ajaib. Tak
ada yang memasuki perbatasan kecuali atas seizin sang direktur, Pak D. Kukira
cuaca akan hangat dan cerah, tapi alih-alih salju diizinkan turun perlahan. Es
menutupi lintasan kereta dan ladang stroberi. Kabin-kabin berhiaskan lampu-lampu
pijar kecil, seperti lampu-lampu Natal, bedanya lampu-lampu itu sepertinya
adalah bola-bola api sungguhan. Lebih banyak cahaya lagi menyala dari hutan, dan yang
teraneh dari semuanya, sebuah api berpijar drai jendela loteng Rumah Besar,
tempat sang Oracle menetap, terperangkap dalam tubuh mumi lama. Aku
penasaran apakah arwah Delphi itu sedang memanggang marshmallow di atas sana
atau apa. "Wow," seru Nico saat dia memanjat keluar dari bus. "Apa itu tembok panjat?"
"Iya," kataku. "Kenapa ada lahar yang mengalir ke bawahnya?"
"Sedikit tantangan ekstra. Ayo. Akan keperkenalkan kau pada Chiron. Zo?,
sudahkan kau bertemu - "
"Aku kenal Chiron,' sahut Zo? ketus. "Katakan padanya kami akan berada di
Kabin Delapan. Pemburu, ikuti aku."
"Akan kutunjukkan jalannya," Grover menawarkan.
"Kami tahu jalannya."
"Oh, sungguh, tidak apa-apa kok. Sangat mudah untuk tersesat di sini, kalau kau
tidak" - dia terpeleset oleh sebuah kano dan bangkit kembali sembari masih
meneruskan omongannya - "seperti yang biasa dikatakan ayah kambing tuaku!
Ayolah!" Zo? memutar matanya, tapi kurasa dia sadar Grover tak bisa disingkirkan. Para
Pemburu menyandang ransel-ransel dan busur-busur mereka di atas bahu dan
melangkah menuju deretan kabin. Saat Bianca di Angelo hendak pergi, dia
mencondongkan tubuh dan membisikkan sesuatu ke telinga adiknya. Bianca
tampak memandanginya untuk memberi sebuah jawaban, tapi Nico hanya
mengomel dan berpaling. "Jaga diri kalian, Sayang!" Apollo menyeru pada para Pemburu. Dia mengedipkan
mata padaku. "Berhati-hatilah pada ramalan-ramalan itu, Percy. Aku akan segera
berjumpa lagi denganmu."
"Apa maksudmu?"
Bukannya menjawab, dia malah melompat kembali ke dalam bus. "Sampai nanti,
Thalia," panggilnya. "Dan, eh, bersikap manislah!"
Apollo memberinya senyum jail, seolah dia tahu sesuatu yang tak Thalia ketahui.
Lalu dia menutup pintu-pintunya dan menyalakan mesin. Kupalingkan pandangan
saat kendaraan matahari itu lepas landas dalam semburan panas. Maserati merah
melesat melintasi hutan, berpijar makin terang dan terbang kian tinggi sampai ia
menghilang di balik secercah sinar matahari.
Nico masih terlihat kesal. Aku betanya-tanya apa yang dikatakan oleh kakaknya
padanya tadi.

Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa Chiron?" tanyanya. "Aku nggak punya replika kecilnya."
"Penanggung jawab kegiatan kami," ujarku. "Dia ... yah, nanti kau akan lihat
sendiri." "Kalau gadis-gadis Pemburu tadi tidak menyukainya," gerutu Nico, "itu sudah
cukup baik buatku. Ayo kita pergi."
Hal kedua yang mengejutkanku dari perkemahan adalah betapa sepi suasananya.
Maksudku, aku tahu sebagian besar Blasteran hanya berlatih di musim panas.
Hanya pekemah tahunan yang akan menetap di sini - anak-anak yang tak punya
tempat untuk kembali, atau akan terlalu sering diserang para monster kalau
mereka pulang. Tapi tampaknya anak-anak seperti itu tak banyak jumlahnya.
Aku mendapati Charles Beckendorf dari kabin Hephaestus sedang mengurusi besi
tempa di depan gudang persenjataan. Stoll bersaudara, Travis dan Connor, dari
kabin Hermes, sedang memilih-milih gembok di toko kemah. Beberapa anak dari
kabin Ares sedang beradu lempar bola salju dengan peri pohon di pinggir hutan.
Hanya itu saja. Bahkan saingan lamaku dari kabin Ares, Clarisse, tak tampak
batang hidungnya. Rumah Besar penuh dengan dekorasi tali yang digelantungi bola-bola api warna
merah dan kuning. Bola api itu tampaknya menghangatkan serambi tanpa
membakar apa pun. Di dalam ruangan, api berderak di tungku perapian. Udara
berbau seperti cokelat panas. Pak D, direktur kemah, dan Chiron sedang bermain
kartu dengan hening di ruang tamu.
Janggut cokelat Chiron tampak lebih lebat di musim dingin. Rambut ikalnya
tumbuh sedikit lebih panjang. Dia tidak memegang jabatan sebagai guru tahun ini,
jadi kurasa dia bisa tampil lebih santai. Dia mengenakan sweter berbulu dengan
cetakan gambar tapak kaki kuda, dan dia mengenakan selimut di pangkuannya
hingga hampir menyembunyikan seluruh kursi rodanya.
Dia tersenyum saat melihat kami. "Percy! Thalia! Ah, dan ini pasti - "
"Nico di Angelo," ucapku. "Dia dan kakaknya adalah blasteran."
Chiron mengembuskan napas lega. "Kalian berhasil, kalau begitu."
"Yah ..." Senyum di wajah Chiron memudar. "Ada masalah apa" Dan di mana Annabeth?"
"Oh, tidak," Pak D berujar dengan suara bosan. "Jangan bilang ada satu orang
lagi yang hilang." Aku berusaha tak mengacuhkan kehadiran Pak D, tapi dia memang sulit untuk tak
diperhatikan, dengan balutan baju hangat kulit macan tutul oranye terangnya dan
sepatu lari ungunya. (Memangnya Pak D pernah berlari dalam kehidupan
abadinya") Sebuah mahkota daun dafnah emas bertengger miring pada rambut ikal
hitamnya, yang pasti artinya dialah yang memenangkan ronde terakhir permainan
kartu. "Apa maksudmu?" tanya Thalia. "Memangnya siapa lagi yang hilang?"
Tepat saat itu, Grover berlari kecil masuk ruangan, menyeringai lebar bak orang
sinting. Ada lingkaran hitam di matanya dan garis merah di wajahnya yang tampak
seperti bekas tamparan. "Para Pemburu sudah masuk semua!"
Chiron mengernyitkan dahinya. "Para Pemburu, yah" Kurasa ada banyak hal yang
mesti kita bicarakan." Dia memandangi Nico. "Grover, barangkali kau sebaiknya
membawa teman muda kita ke ruang istirahat dan tunjukkan padanya film orientasi
kita." "Tapi ... Oh, oke. Baik, Pak."
"Film orientasi?" tanya Nico. "Apa filmnya untuk segala umur atau khusus
dewasa" Karena Bianca tuh ketat banget - "
"Untuk 13 tahun ke atas, kok," kata Grover.
"Asyik!" Nico dengan senang hati mengikuti Grover keluar ruangan.
"Sekarang," Chiron berkata pada Thalia dan aku, "barangkali sebaiknya kalian
berdua duduk dan ceritakan pada kami kisah selengkapanya."
Setelah kami memaparkannya, Chiron berpaling ke Pak D. "Kita harus segera
melancarkan pencarian terhadap Annnabeth secepatnya."
"Aku ikut," Thalia dan aku berseru serentak.
Pak D mendengus. "Tentu saja tak boleh!"
Thalia dan aku mulai protes, tapi Pak D mengangkat tangannya. Ada api amarah
keunguan di matanya yang biasanya berarti sesuatu yang buruk dan mahabesar
akan segera terjadi jika kami tidak tutup mulut.
"Dari apa yang kalian ceritakan padaku," ujar Pak D, "kita masih tak merugi dari
petualangan liar ini. Kita telah, sayangnya, kehilangan Annie Bell - "
"Annabeth," bentakku. Annabeth sudah mengikuti kemah sejak usia tujuh tahun,
dan tetap saja Pak D berpura-pura tak mengenal namanya.
"Ya, ya," katanya. "Dan kalian memunculkan seorang bocah kecil menyebalkan
untuk menggantikannya. Jadi kulihat tak ada gunanya mengorbankan beberapa
anak blasteran lagi dalam penyelamatan konyol. Kemungkinannya sangat besar
bahwa gadis Annie ini telah mati."
Aku ingin sekali mencekik Pak D. Rasanya tak adil Zeus mengirimnya ke sini
sebagai direktur perkemahan selama ratusan tahun. Mestinya itu menjadi hukuman
bagi perilaku buruk Pak D terhadap Olympus, tapi akhirnya ia malah menjadi
hukuman bagi kami semua. "Annabeth bisa jadi masih hidup," kata Chiron, tapi aku merasa dia kesulitan
untuk terdengar optimis. Chiron praktis telah membesarkan Annabeth selama
bertahuntahun, sejak Annabeth menjadi pekemah tahunan, sebelum memilih untuk
memberi kesempatan kedua pada ayah dan ibu tirinya dengan kembali tinggal bersama
mereka. "Annabeth sangat cerdas. Kalau ... kalau musuh-musuh kita menahannya,
dia akan berusaha untuk memperpanjang waktu. Dia bahkan bisa jadi berpura-pura
bekerja sama." "Itu benar," kata Thalia. "Luke pasti menginginkannya hidup-hidup."
"Apa pun yang terjadi," kata Pak D, "sayangnya dia harus cukup pintar untuk
membebaskan dirinya sendiri."
Aku bangkit dari meja. "Percy." Nada suara Chiron penuh peringatan. Dalam benakku, aku tahu aku tak
semestinya mencari gara-gara dengan Pak D. Bahkan meskipun kepada anak
pengidap GPPH (gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas) seperti aku,
dia tak akan memberikan toleransi sedikit pun. Tapi aku sudah begitu marahnya
hingga sama sekali tak peduli.
"Bapak senang kehilangan satu pekemah lagi," kataku. "Bapak akan senang kalau
kami semua menghilang!"
Pak D menguap. "Maksudmu sebenarnya apa, sih?"
"Yah," geramku. "Hanya karena Bapak dikirim ke sini sebagai hukuman bukan
berarti Bapak bisa menjadi pemalas berengsek! Ini adalah peradabanmu, juga.
Mungkin Bapak bisa mencoba lebih membantu sedikit!"
Sesaat, tak ada suara sama sekali kecuali derak api. Cahaya yang terpantul di
mata Pak D memberinya raut wajah yang sinis. Dia membuka mulutnya untuk
mengatakan sesuatu - mungkin kutukan yang akan meledakkanku jadi serpihan
kecil - saat Nico merengek masuk ruangan, diikuti Grover.
"KEREN BANGET!" pekik Nico, sembari mengangkat kedua tangannya ke arah
Chiron. "Kau ... kau adalah centaurus!"
Chiron berhasil memberikan senyum gelisahnya. "Benar, Tuan di Angelo, kalau
kau berkenan. Meski, aku lebih sukan tetap dalam wujud manusia di atas kursi
roda ini untuk, yah, pertemuan pertama."
"Dan, wow!" Dia memandang ke Pak D. "Kau adalah pria anggur itu" Bukan
main!" Pak D mengalihkan tatapannya dari aku dan memberi Nico pandangan muak. "Pria
anggur?" "Dionysus, kan" Oh, wow! Aku punya patung replikamu."
"Replika aku." "Dalam permainanku, Mythomagic. Dan ada juga kartu hologramnya! Dan
meskipun kau hanya punya sekitar lima ratus poin serangan dan semua orang
berpikir kau adalah kartu dewa paling payah, tapi menurutku kekuatanmu sungguh
keren!" "Ah." Pak D tampak benar-benar terkejut, yang mungkin jadi menyelamatkan
nyawaku. "Yah, itu ... sungguh melegakan."
"Percy," ujar Chiron cepat-cepat, "kau dan Thalia pergilah ke kabin-kabin.
Beritahukan pada para pekemah kita akan bermain tangkap bendera besok malam."
"Tangkap bendera?" tanyaku. "Tapi kita nggak punya cukup - "
"Ini sudah tradisi," kata Chiron. "Pertandingan persahabatan, kapan pun para
Pemburu berkunjung."
"Yeah," gumam Thalia. "Aku yakin pertandingan itu akan sangat bersahabat."
Chiron memberi sentakan kepala sebagai isyarat ke arah Pak D, yang masih
merengut saat Nico menceritakan tentang berapa banyak poin kekebalan yang
dimiliki semua dewa dalam permainannya. "Cepat pergilah sekarang," Chiron
memberi tahu kami. "Oh, benar," ucap Thalia. "Ayo, Percy."
Dia menarikku ke luar Rumah Besar sebelum Dionysus teringat bahwa barusan dia
ingin membunuhku. "Kau sudah membuat Ares menjadi musuh," Thalia mengingatkanku saat kami
melangkah gontai menuju deretan kabin. "Kau masih butuh musuh abadi lagi?"
Thalia benar. Musim panas pertamaku sebagai pekemah, aku terlibat perkelahian
dengan Ares, dan sekarang dia dan semua anak-anaknya ingin membunuhku. Aku
tak perlu menyulut kemarahan Dionysus juga.
"Maaf," ujarku. "Aku hanya nggak tahan. Rasanya sungguh nggak adil."
Thalia berhenti dekat gudang senjata dan memandang ke arah bukit, pada puncak
Bukit Blasteran. Pohon pinusnya masih berada di sana, dengan Bulu Domba Emas
berkerlap-kerlip di dahan terendahnya. Sihir pohon itu masih melindungi
perbatasan kemah, tapi ia tak lagi menggunakan roh Thalia sebagai sumber
kekuatannya. "Percy, semuanya memang nggak adil," gumam Thalia. "Kadang-kadang rasanya
aku ingin ..." Dia tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi nada bicaranya sangat pilu hingga aku
Pendekar Naga Mas 3 Sebilah Pedang Seribu Romansa Pedang Bilah Bambu Karya Mike Simons Rahasia Sendang Bangkai 1

Cari Blog Ini