Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan Bagian 2
merasa iba padanya. Dengan rambut hitam acak-acakannya dan pakaian hitam
punknya, dan mantel wol usang membalut tubuhnya, dia kelihatan bagai sejenis
burung gagak raksasa, benar-benar tak sesuai dengan latar putih pemandangannya.
"Kita akan mengembalikan Annabeth," janjiku. "Aku hanya belum tahu bagaimana
caranya." "Pertama-tama aku mendapati Luke salah arah," ujar Thalia. "Kini Annabeth - "
"Jangan berpikir kayak gitu."
"Kau benar." Dia menegakkan badannya. "Kita akan temukan jalan."
Di lapangan bola basket, beberapa Pemburu sedang menembakkan bola ke ring.
Salah satu dari mereka sedang berkelahi dengan seorang laki-laki dari kabin
Ares. Tangan anak Ares itu memegang senjata dan gadis Pemburu itu tampak seperti
akan segera menukarkan bola basketnya dengan busur dan panah.
"Aku akan melerai mereka," kata Thalia. "Kau berkeliling saja ke sekitar
kabinkabin. Beritahukan semua orang tentang pertandingan tangkap bendera besok."
"Oke. Kau seharusnya jadi kapten regu."
"Tidak, tidak," ujarnya. "Kau sudah lebih lama di kemah. Kau saja yang jadi
kapten." "Kita kan bisa, eh ... bikin wakil kapten atau semacamnya."
Thalia tampak ragu dengan ide itu, sama sepertiku, tapi dia mengangguk.
Saat dia berjalan menuju lapangan basket, aku berseru, "Eh, Thalia."
"Yeah?" "Aku minta maaf atas apa yang terjadi di Asrama Westover. Seharusnya aku
menunggu kalian saat itu."
"Tak apa, Percy. Aku mungkin juga akan melakukan hal yang sama." Dia
memindah-mindahkan berat di antara kedua kakinya, seolah dia lagi berusaha
memustuskan untuk bicara lebih banyak atau tidak. "Kau tahu, kau pernah
menanyakan tentang ibuku dan aku agak membentakmu. Itu hanya karena ... aku
pernah kembali mencarinya setelah tujuh tahun, dan aku menemukan kalau ibuku
sudah meninggal di Los Angeles. Dia, em ... dia peminum berat, dan kelihatannya
dia sedang berkendara larut malam sekitar dua tahun lalu, dan ..." Thalia
mengerjapkan matanya kuat-kuat.
"Maafkan aku." "Yah, sebenarnya ... kami juga nggak pernah deket. Aku kabur saat berumur
sepuluh tahun. Dua tahun terbaik dalam hidupku adalah saat aku dalam pelarian
bersama Luke dan Annabeth. Tapi tetap saja - "
"Itu sebabnya kau kesulitan mengemudikan van matahari itu."
Dia memberiku tatapan waspada. "Apa maksudmu?"
"Kau tampak begitu tegang. Kau pasti teringat akan ibumu, jadi kau tak ingin
berada di balik setir."
Aku merasa menyesal sudah mengatakan itu. Raut muka Thalia begitu mirip
dengan Zeus, sekalinya aku melihat dewa Zeus marah besar - seolah tak lama lagi,
mata Thalia akan menembakkan listrik jutaan volt.
"Iya," gumamnya. "Iya, bisa jadi karena itu."
Dia melangkah pelan menuju lapangan, di mana pekemah Ares dan Pemburu
sedang berusaha saling bunuh dengan pedang dan bola basket.
Kabin-kabin itu adalah kumpulan gedung teraneh yang akan pernah kaulihat.
Gedung-gedung besar bertiang-putih kepunyaan Zeus dan Hera, Kabin Satu dan
Dua, terletak di tengah, dengan lima kabin milik para dewa di sisi kiri dan lima
kabin milik para dewi di sisi kanan, jadi susunan gedung-gedung ini membentuk
huruf U mengitari halaman hijau di tengah dan tungku perapian daging bakar.
Aku berkeliling ke tiap kabin, memberi tahu semua orang tentang pertandingan
tangkap bendera. Kubangunkan seorang anak Ares dari tidur siangnya dan dia
berteriak mengusirku. Saat kutanyakan padanya di mana Clarisse berada dia
bilang, "Pergi menjalani misi dari Chiron. Misi sangat rahasia!"
"Apa dia baik-baik saja?"
"Belum dengar darinya sebulan ini. Dia menghilang. Sama kayak dirimu kalau kau
nggak segera pergi dari sini!"
Kuputuskan untuk membiarkannya kembali tidur.
Akhirnya aku mendatangi Kabin Tiga, kabin Poseidon. Itu adalah gedung rendah
berwarna abu-abu yang terbuat dari bebatuan laut, dengan kerang-kerang dan
fosilfosil karang menempel di bebatuannya, kecuali untuk ranjang tingkatku.
Sebuah tanduk Minotaurus tergantung di dinding sebelah bantalku.
Kukeluarkan topi bisbol Annabeth dari dalam ranselku dan menaruhnya di meja
samping ranjang. Akan kuberikan topi ini padanya saat aku menemukannya. Dan
aku memang akan menemukannya.
Aku mencopot jam tanganku dan mengaktifkan perisainya. Perisai itu berderak
bising saat ia melingkat keluar. Duri-duri Dr. Thorn telah membuat penyok
perunggunya di banyak sisi. Satu bagian penyok begitu parahnya hingga perisai
itu tak bisa membuka sempurna, dan membuat perisai itu tampak seperti pizza dengan
dua irisan hilang. Gambar-gambar indah logamnya yang diukir oleh saudaraku
tampak rusak parah. Dalam gambar aku dan Annabeth sedang bertarung melawan
Hydra, kelihatannya ada sebuah meteor yang membuat lubang besar di kepalaku.
Kugantung perisai itu di sangkutannya, di sebelah tanduk Minotaurus, tapi
perisai itu sekarang tampak menyedihkan untuk dipandang. Barangkali Beckendorf dari
kabin Hephaestus dapat memperbaikinya untukku. Dia adalah pembuat senjata
paling jago di perkemahan. Aku akan menanyakannya pada waktu makan malam.
Aku sedang memandangi perisai itu saat kudengar suara yang aneh - gemercik
air - dan kusadari ada sesuatu yang baru di ruangan. Di belakang kabin ada sebuah
kolam besar dari batu laut abu-abu, dengan pipa corot berbentuk seperti kepala
ikan terpahat di batu. Dari mulutnya menyembur aliran air, sebuah mata air laut
mengucur ke dalam kolam. Airnya sangat panas, karena kolam itu mengirim kabut
ke udara musim dingin layaknya sauna. Kolam itu membuat ruangan terasa hangat
dan cerah, pekat dengan aroma laut segar.
Kudekati kolam. Tak ada pesan yang menempel atau semacamnya, tapi aku tahu
ini pasti hadiah dari Poseidon.
Aku memandangi airnya dan berucap, "Makasih, Ayah."
Permukaan air itu meriak. Di dasar kolam, beberapa keping koin tampak berkilat sekitar selusin keping drachma emas. Kusadari apa kegunaan dari air mancur ini.
Ia adalah pengingat untuk menjaga hubungan dengan keluargaku.
Kubuka jendela terdekat, dan cahaya matahari musim dingin membentuk pelangi
di tengah kabut. Kemudian kuambil satu koin dari dalam air panas.
"Iris, Oh Dewi Pelangi," kataku, "terimalah persembahanku."
Kulontarkan koin ke dalam kabut dan ia raib. Lalu kusadari aku tak tahu siapa
yang ingin kuhubungi pada mulanya.
Ibuku" Itu adalah perbuatan yang akan dilakukan oleh "anak baik-baik", tapi ibu
pasti belum mengkhawatirkanku. Dia sudah terbiasa menghadapi kehilanganku
selama berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu.
Ayahku" Sudah sangat lama, hampir dua tahun, sejak terakhir kalinya aku
benarbenar bicara padanya. Tapi bisakah kau mengirimkan pesan-Iris pada seorang
dewa" Aku belum pernah mencobanya. Apakah itu akan membuat mereka kesal,
layaknya menerima panggilan telepon menarwarkan barang atau semacamnya"
Aku ragu. Kemudian kuputuskan pilihan.
"Tunjukkan Tyson padaku," pintaku. "Di penempaan para Cyclops."
Kabut berdenyar, dan bayangan saudara tiriku muncul. Dia dikelilingi kobaran
api, yang pastinya bakal menjadi masalah kalau dia bukanlah Cyclops. Dia sedang
membungkuk di atas paron, menempa sebuah bilah pedang merah-panas. Bungabunga
api memercik dan nyala api berputar melingkari tubuhnya. Ada sebuah
jendela berbingkai batu pualam di belakangnya, dan jendela itu memandang ke
latar air biru gelap - dasar lautan.
"Tyson!" pekikku.
Dia tidak mendengarku pada awalnya karena bunyi hantaman palu dan gemuruh
kobaran api. "TYSON!" Dia menoleh, dan satu mata besarnya melebar. Wajahnya berubah merengut curiga
dengan seringai di mulutnya. "Percy!"
Dia menjatuhkan bilah pedangnya dan berlari ke arahku, berusaha memberiku
pelukan. Bayangan itu mengabur dan aku langsung terlompat mundur. "Tyson, ini
pesan-Iris. Aku nggak benar-benar ada di sini."
"Oh." Sosoknya kembali terlihat di pandangan, tampak malu. "Oh, aku tahu itu.
Iya." "Bagaimana kabarmu?" tanyaku. "Bagaimana dengan pekerjaanmu?"
Matanya berbinar. "Senang sekali pekerjaannya! Lihat!" Dia memungut bilah
pedang panasnya dengan tangan kosong. "Aku buat ini!"
"Itu keren banget."
"Aku tulis namaku di pedang ini. Di sini, nih."
"Hebat. Dengar, apa kau sering bicara dengan Ayah?"
Senyum Tyson memudar. "Jarang. Ayah sibuk. Dia cemas tentang perang."
"Apa maksudmu?"
Tyson mengembuskan napas berat. Dia mengulurkan bilan pedang itu keluar
jendela, yang menghasilkan gelembung-gelembung mendidih. Saat Tyson
membawanya kembali, logam itu tampak dingin. "Arwah-arwah laut purba
membuat masalah. Aigaios. Oceanus. Mereka itu."
Aku sedikit tahu apa yang dia bicarakan. Dia menceritakan tentang makhlukmakhluk
abadi yang menguasai lautan jauh di masa bangsa Titan masih berjaya.
Sebelum bangsa Olympia mengambil alih. Fakta bahwa mereka kini kembali,
dengan Penguasa Titan Kronos dan sekutu-sekutunya kembali menguat, tidaklah
baik. "Apa ada sesuatu yang bisa kulakukan?" tanyaku.
Tyson menggelengka kepalanya sedih. "Kami mempersenjatai kaum putri duyung.
Mereka butuh ribuan senjata lagi untuk besok." Tyson memandangi bilah
pedangnya dan mendesah. "Arwah-arwah purba melindungi kapal yang buruk."
"Putri Andromeda?" seruku. "Kapalnya Luke?"
"Benar. Mereka membuatnya jadi sulit dicari. Melindunginya dari badai Ayah.
Kalau tidak gitu, kapal itu pasti sudah dihancurkan Ayah."
"Memang sepantasnya dihancurkan."
Raut Tyson mencerah, seolah dia baru teringat suatu hal. "Annabeth! Apa dia di
sana?" "Oh, yah ..." Rasanya hatiku melesak seberat bola bowling. Bagi Tyson Annabeth
sama kerennya dengan selai kacang (dan dia jelas sangat menggemari selai
kacang). Aku tak tega untuk memberitahukannya bahwa Annabeth menghilang.
Tyson akan mulai menangis begitu parahnya sampai-sampai dia pasti sudah akan
memadamkan apinya. "Yah, nggak ... dia nggak ada di sini sekarang."
"Sampaikan salam untuknya!" Dia berbinar. "Salam buat Annabeth!"
"Oke." Aku menahan ganjalan yang mulai mencekat tenggorokanku. "Akan
kusampaikan." "Dan, Percy, jangan khawatirkan kapal buruknya kapal itu menjauh."
"Apa maksudmu?"
"Ke Terusan Panama! Sangat jauh dari sini."
Aku mengerutkan alis. Mengapa Luke mau membawa kapal pesiar penuh setannya
melayar jauh ke sana" Terakhir kalinya kami bertemu dengannya, dia sedang
menyusuri Pesisir Timur, merekrut para blasteran dan melatih pasukan
monsternya. "Baiklah," ucapku, merasa tak tenang. "Itu ... bagus. Kurasa."
Di tempat penempaan, suara berat terdengar meneriakkan sesuatu yang tak
tertangkap olehku. Tyson berjengit. "Harus kembali kerja! Bos akan marah.
Semoga beruntung, Saudara!"
"Oke, bilang pada Ayah - "
Tapi sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, bayangan itu bergetar dan
menghilang. Aku kembali sendirian dalam kabinku, merasa lebih kesepian dari
sebelumnya. *** Aku merasa sangat sedih pada waktu makan malam.
Maksudku, makanannya sangat enak seperti biasanya. Kau tak mungkin menemui
masalah dengan daging panggang, piza, dan gelas-gelas soda yang tak pernah
habis. Obor dan tungku perapian menjaga paviliun kuar tetap hangat, tapi kami
semua harus duduk bersama teman-teman satu kabin, yang itu artinya aku
sendirian di meja Poseidon. Thalia duduk sendiri di meja Zeus, tapi kami tak
bisa duduk bersama. Peraturan kemah. Setidaknya kabin Hephaestus, Ares, dan Hermes
ada beberapa orang masing-masing. Nico duduk bersama Stoll Bersaudara, oleh
karena pekemah baru selalu terdampar di kabin Hermes kalau orangtua Olympia
mereka belum diketahui. Stoll Bersaudara kelihatannya sedang berusaha
meyakinkan Nico bahwa poker adalah permainan yang jauh lebih asyik daripada
Mythomagic. Kuharap Nico tak punya uang untuk dipertaruhkan.
Satu-satunya meja yang tampak benar-benar meriah hanya meja Artemis. Para
Pemburu minum, makan, dan tertawa-tawa layaknya satu keluarga besar bahagia.
Zo? duduk di ujung meja seperti sang ibu anak-anak. Dia tidak tertawa sebanya
anak-anak lain, tapi dia sesekali tersenyum. Hiasan perak lambang wakil Dewi
Artemis berkelip menghiasi kepangan-kepangan hitam rambutnya. Kukir dia
terlihat jauh lebih manis saat tersenyum. Bianca di Angelo tampak begitu senang.
Dia sedang mencoba belajar cara beradu panco dengan gadis berbadan besar yang
tadi menyulut perkelahian dengan anak Ares di lapangan basket. Gadis yang lebih
besar terus-terusan mengalahkannya, tapi Bianca sepertinya merasa asyik-asyik
saja. Saat kami selesai makan, Chiron mengajukan sulang rutin pada para dewa dan
secara formal menyambut kedatangan para Pemburu Artemis. Tepuk tangan
terdengar diberikan setengah hati. Kemudian Chiron mengumumkan tentang
permainan tangkap-bendera "persahabatan" untuk besok malam, yang disambut
dengan tepuk tangan lebih meriah.
Setelahnya, kami semua berjalan pelan menuju kabin masing-masing untuk waktu
tidur musim dingin yang lebih awal. Aku sangat letih, yang artinya aku jatuh
tertidur dengan mudahnya. Itu bagian baiknya. Bagian buruknya adalah, aku
mendapat mimpi buruk, dan bahkan untuk ukuranku, mimpi itu sangat
mengejutkan. Annabeth sedang berdiri di sisi bukit yang gelap, diselubungi kabut. Tempatnya
tampak hampir seperti Dunia Bawah Tanah, karena aku langsung merasakan
desakan klaustrofobia dan aku tak dapat melihat langit di atas - hanya kegelapan
yang begitu dekat dan berat, seolah aku sedang berada di dalam gua.
Annabeth berjuang menaiki bukit. Puing-puing tiang pualam hitam Yunani kuno
berserakan, seolah ada yang meledakkan sebuah bagunan besar hingga hancur.
"Thorn!" teriak Annabeth putus asa. "Di mana kau" Kenapa kau bawa aku ke
sini?" Dia mendaki pelan melewati runtuhan tembok hingga sampai ke puncak
bukit. Napasnya tertahan. Di sana ada Luke. Dan dia sedang kesakitan.
Dia berbaring di tanah berbatu, berusaha untuk bangkit. Kegelapan tampak lebih
pekat di sekitarnya, kabut berputar-putar mengelilinginya dengan liar.
Pakaiannya tercabik-cabik dan wajahnya penuh luka goresan dan banjir keringat.
"Annabeth!" panggilnya. "Tolong aku! Kumohon!"
Annabeth berlari menujunya.
Aku mencoba berteriak: Dia pengkhianat! Jangan percaya padanya!
Tapi suaraku tak terdengar dalam mimpi.
Ada air mata menggenangi mata Annabeth. Dia membungkuk seolah ingin
menyentuh wajah Luke, tapi pada detik terakhir dia mengurungkannya.
"Apa yang terjadi?" tanyanya.
"Mereka meninggalkanku di sini," erang Luke. "Tolong. Ia bisa membunuhku."
Aku tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Sepertinya Luke berjuang keras
melawan sebuah kutukan tak kasat mata, seolah kabut itu mencekiknya hingga
sekarat. "Kenapa aku harus mempercayaimu?" tanya Annabeth. Suaranya begitu terluka.
"Kau memang tak seharusnya mempercayaiku," ujar Luke. "Aku sudah berbuat
buruk padamu. Tapi kalau kau tidak menolongku, aku akan mati."
Biarkan dia mati, aku ingin sekali berteriak. Luke telah sering kali mencoba
membunuh kami dengan begitu kejinya. Dia tak pantas mendapat bantuan sedikit
pun dari Annabeth. Kemudian kegelapan yang menaungi Luke mulai runtuh, seperti atap gua
diguncang gempa. Bongkahan besar batu-batu hitam mulai berjatuhan. Annabeth
segera turun tangan tepat saat sebuah retakan muncul. Dan seluruh langit-langit
roboh. Entah bagaimana dia menahannya - berton-ton batu. Annabeth menahannya
dari terjatuh menimpa dirinya dan Luke, hanya dengan kekuatannya sendiri. Itu
mustahil. Dia mestinya tak bisa melakukannya.
Luke berguling membebaskan diri, sambil terengah. "Makasih," ucapnya akhirnya.
"Bantu aku menahan ini," Annabeth mengerang.
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Luke mengumpulkan napas. Wajahnya penuh debu dan keringat. Dia bangkit
dengan goyah. "Aku tahu aku bisa mengandalkanmu." Luke mulai melangkah pergi saat
kegelapan yang bergetar itu nyaris meremukkan Annabeth.
"TOLONG AKU!" pintanya.
"Oh, jangan khawatir," ujar Luke. "Bantuanmu akan segera tiba. Ini semua bagian
dari rencana. Sementara itu, berusahalah untuk tak mati.
Langit-langit kegelapan mulai kembali ambruk, menindih Annabeth ke tanah.
Aku tersentak bangkit dari tempat tidurku, mencengkeram seprai kuat-kuat. Tak
ada suara di kabinku kecuali gemercik mata air laut. Jam di meja tidurku
menunjukkan waktu baru lewat tengah malam.
Hanya mimpi, tapi aku yakin akan dua hal: Annabeth terancam bahaya besar. Dan
Luke adalah penyebabnya. Bab 6 Arwah Teman Lama Datang Berkunjung
Esok paginya usai sarapan, kuceritakan pada Grover tentang mimpiku. Kami
sedang duduk di padang rumput memandangi para satir mengejar-ngejar peri
pohon di tengah salju. Para peri telah berjanji untuk memberi kecupan pada satir
kalau mereka berhasil tertangkap, tapi mereka jarang sekali tertangkap. Biasanya
si peri akan membiarkan satir bersiap lari kencang, kemudian ia akan mengubah diri
jadi pohon berselimut salju dan satir malang itu akan menabraknya dengan kepala
terlebih dulu dan sebuah gundukan salju akan jatuh menimpanya.
Saat kuberitahu Grover tentang mimpi burukku, dia mulai memainkan jemarinya
pada bulu kakinya yang kusut.
"Langit-langit gua jatuh menimpanya?" tanyanya.
"Iya. Sebenarnya apa artinya itu?"
Grover menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu. Tapi setelah apa yang Zo?
mimpikan - " "Hei. Apa maksudmu" Zo? mengalami mimpi kayak gitu?"
"Aku ... aku nggak tahu, persisnya. Sekitar pukul tiga dini hari ini dia
mendatangi Rumah Besar dan menuntut untuk bicara dengan Chiron. Dia tampak sangat
panik." "Tunggu, bagaimana kau bisa tahu ini?"
Grover merona. "Aku sempat emm yah semacam ... berkemah di luar kabin
Artemis." "Buat apa?" "Hanya buat, kau tahulah, berada di dekat mereka."
"Kau penguntit berkuku kambing."
"Bukan! Omong-omong, aku mengikutinya masuk Rumah Besar dan bersembunyi
di semak-semak dan melihat semuanya. Dia begitu marah saat Argus nggak
membiarkannya masuk. Itu pemandangan yang agak berbahaya."
Aku mencoba membayangkannya. Argus adalah kepala keamanan perkemahan seorang pria besar rambut pirang dengan banyak mata memenuhi sekujur
tubuhnya. Dia jarang menampakkan diri kecuali sesuatu yang serius sedang
terjadi. Aku tak ingin bertaruh siapa yang bakal menang dalam pertarungan antara pria itu
melawan Zo? Nightshade. "Apa yang dia katakan?" tanyaku.
Grover mengernyit. "Yah, Zo? mulai bicara dengan logat betul-betul kunonya
kalau lagi marah, jadi nggak mudah untuk memahaminya. Tapi intinya sesuatu
tentang Artemis yang sedang terancam bahaya dan membutuhkan para Pemburu.
Dan kemudian dia menyebut Argus sebagai anak muda dengan otak-mendidih ...
kurasa itu sebutan yang buruk. Dan kemudian Argus menyebut Zo? - "
"Woii, tunggu sebentar. Kenapa Artemis bisa berada dalam bahaya?"
"Aku ... yah, akhirnya Chiron keluar dengan piayamanya dan ekor kudanya yang
terikat alat pengeriting dan - "
"Dia mengenakan alat pengeriting di ekornya?"
Grover menutup mulutnya. "Maaf," kataku. "Teruskan."
"Yah, Zo? bilang kalau dia butuh izin untuk meninggalkan kemah secepatnya.
Chiron menolak. Dia mengingatkan Zo? kalau para Pemburu seharusnya berada di
sini sampai mereka menerima perintah dari Artemis. Dan Zo? bilang ..." Grover
menelan ludah. "Zo? bilang 'Bagaimana kami bisa menerima perintah dari Artemis
kalau Artemis tersesat"'"
"Apa maksudmu tersesat" Kayak dia butuh petunjuk arah, gitu?"
"Bukan. Kurasa maksudnya Artemis menghilang. Diambil. Diculik."
"Diculik?" Aku berusaha memikirkan itu. "Bagaimana kau bisa menculik seorang
dewi yang hidup kekal" Apakah itu bahkan memungkinkan?"
"Yah, bisa saja. Maksudku, toh itu pernah terjadi pada Persephone."
"Tapi dia kan, Dewi Kembang."
Grover tampak tersinggung. "Musim semi."
"Apa aja deh. Artemis jauh lebih kuat dari itu. Siapa yang bisa menculiknya" Dan
untuk apa?" Grover menggeleng muram. "Aku nggak tahu. Kronos?"
"Dia nggak mungkin sudah sekuat itu. Atau bisakah?"
Terakhir kalinya kami melihat Kronos, dia masih berwujud keping-keping kecil.
Yah ... sebenarnya kami tak benar-benar bertemu dengannya. Ribuan tahun lalu,
usai peperangan besar Titan melawan Dewa, para dewa telah memotongmotongnya jadi
serpihan dengan sabit besarnya sendiri dan menebarkan sisa-sisa
tubuhnya ke Tartarus, jurang yang bagai tempat sampah tak berdasar milik para
dewa khusus untuk membuang musuh-musuh mereka. Musim panas dua tahun
lalu, Kronos telah mengelabui kami menuju pinggir lubang dan hampir menarik
kami masuk ke dalam. Kemudian musim panas kemarin, di atas kapal pesiar iblis
milik Luke, kami melihat peti mati emas. Luke mengatakan dengan peti itu dia
memanggil Penguasa Titan keluar dari kedalaman, sedikit demi sedikit, setiap
kali seseorang baru terekrut dalam misinya, Kronos bisa memengaruhi orang-orang
dengan mimpi-mimpi dan mengelabui mereka, tapi aku tak tahu bagaimana secara
fisik dia bisa mengalahkan Artemis jika dia masih berwujud seperti gundukan
kulit pohon busuk yang jahat. "Aku nggak tahu," kata Grover. "Kurasa orang akan tahu jika Kronos sudah
mewujud kembali. Para dewa akan lebih gelisah. Tapi tetap saja, rasanya aneh,
kau mengalami mimpi buruk di malam yang sama dengan Zo?. Ini hampir seperti - "
"Keduanya berkaitan," kataku.
Di seberang padang beku, seorang satir berseluncur dengan kuku-kuku
kambingnya saat dia mengejar seorang peri pohon rambut merah. Peri itu terkekeh
dan merentangkan kedua tangannya saat si satir itu berlari menujunya. Pop! Peri
itu berubah jadi sebatang pinus dan sang satir pun mencium batang pohonnya
dengan kecepatan tinggi. "Ah, cinta," ujar Grover melamun.
Aku memikirkan tentang mimpi Zo?, yang dialaminya hanya selang beberapa jam
setelah mimpiku. "Aku harus bicara dengan Zo?," kataku.
"Em, sebelum kau pergi bicara ..." Grover menarik sesuatu dari dalam saku
mantelnya. Itu adalah pajangan kertas lipat-tiga seperti brosur perjalanan. "Kau
ingat apa yang kaukatakan - tentang betapa anehnya para Pemburu itu tiba-tiba
saja muncul di Asrama Westover" Kurasa mereka mungkin mencari kita."
"Mencari kita" Apa maksudmu?"
Dia menyodorkan brosurnya padaku. Brosur itu tentang para Pemburu Artemis.
Bagian depannya bertulisan, PILIHAN BIJAK UNTUK MASA DEPANMU! Di
dalamnya memuat gambar-gambar gadis muda sedang melakukan beraneka
kegiatan berburu, mengejar monster, menembakkan panah. Ada tulisan seperti:
JAMINAN KESEHATAN: KEABADIAN DAN MANFAATNYA BUATMU!
dan MASA DEPAN BEBAS LAKI-LAKI!
"Aku menemukannya di dalam ransel Annabeth," kata Grover.
Aku memandanginya. "Aku nggak ngerti."
"Yah, menurutku sih ... sepertinya Annabeth sedang berpikir untuk ikut
bergabung." *** Aku ingin bilang bahwa aku menerima berita itu dengan cukup baik.
Sebenarnya adalah, aku ingin sekali mencekik gadis-gadis abadi Pemburu Artemis
satu per satu. Sisa hari itu kuhabiskan dengan berusaha menyibukkan diri, tapi
aku sangat mencemaskan Annabeth. Aku pergi ke kelas lempar lembing, tapi pekemah
Ares yang bertanggung jawab mengajar kelas itu mengusirku pergi setelah
kosentrasiku buyar dan menembakkan lembing itu ke sasaran sebelum dia
menyingkir dari pandangan. Aku meminta maaf atas lubang di celananya, tapi dia
tetap mengusirku. Aku mengunjungi istal pegasus, tapi Silena Beauregard dari kabin Aphrodite
sedang beradu argumen dengan salah satu Pemburu, dan aku putuskan lebih baik
untuk tak ikut campur. Setelah itu, aku duduk di tribune kosong kereta tempur dan merenung gelisah. Di
lapangan penahan di bawah sana, Chiron sedang memberi latihan menembak. Aku
tahu dia akan jadi orang terbaik untuk kuajak bicara. Barangkali dia bisa
memberiku sedikit nasihat, tapi sesuatu menahanku. Aku mendapat firasat Chiron
akan mencoba melindungiku, seperti yang biasa dia lakukan. Dia mungkin tak
akan membeberkan semua yang dia ketahui.
Aku memandang ke arah lain. Di puncak Bukit Blasteran, Pak D dan Argus sedang
memberi makan bayi naga yang menjaga Bulu Domba Emas.
Kemudian sesuatu segera menyentakkan benakku: tak ada seorang pun yang
berada di Rumah Besar. Namun ada seseorang lagi yang lain ... sesuatu yang lain
yang bisa kumintai petunjuk.
Darahku menderum di telinga saat aku berlari memasuki rumah dan menaiki anak
tangga. Baru sekali aku melakukan hal ini sebelumnya, dan aku masih berkali-kali
mengalami mimpi buruk tentangnya. Kubuka pintu tingkapnya dan melangkah
masuk loteng. Ruang loteng tampak begitu gelap dan berdebu dan penuh dengan barang
rongsokan, persis seperti ingatanku. Ada beberapa perisai dengan moncong gigitan
monster menjorok keluar, dan pedang-pedang yang meliuk membentuk kepala
iblis, dan sekumpulan bangkai yang diawetkan, seperti kulit harpy yang diisi
ulang den seekor ular piton berwarna jingga terang.
Di dekat jendela, duduk di bangku berkaki tiga, tampak mumi kering seorang
wanita tua dalam balutan gaun hipple bertinta-celup. Sang Oracle.
Aku memaksa diriku berjalan mendekatinya. Aku menanti hingga kabut hijau
menguar dari mulut sang mumi, seperti kejadian sebelumnya, tapi tak ada apa pun
yang terjadi. "Hai," kataku. "Eh, ada kabar apa?"
Aku mengernyit menyadari betapa terdengar bodohnya itu. Tak mungkin ada
"kabar-kabar baru" kalau kau sudah mampus dan mendekam di loteng. Tapi aku
tahu arwah sang Oracle bergentayangan di sana. Aku bisa merasakan kehadiran
yang dingin di ruangan, seperti ular yang tidur meringkuk.
"Aku punya pertanyaan," ucapku sedikit lebih lantang. "Aku perlu tahu tentang
Annabeth. Bagaimana aku bisa menyelamatkannya?"
Tak ada jawaban. Sinar matahari membias melewati jendela loteng yang kotor,
menerangi partikel-partikel debu yang menari di udara.
Aku menunggu lebih lama. Lantas amarahku bangkit. Aku sedang tak diacuhkan oleh sesosok mayat.
"Oke," ujarku. "Baiklah kalau gitu. Aku akan mencari tahu sendiri."
Aku berbalik dan membentur meja besar penuh suvenir. Sepertinya meja itu lebih
berantakan dari terakhir kalinya aku di sini. Para pahlawan menyimpan semua
jenis barang di loteng: berbagai tropi misi yang tak lagi ingin mereka simpan di
kabin mereka, atau barang-barang yang menyimpan kenangan menyedihkan. Aku
tahu Luke pernah menyimpan sebuah cakar beruang di sekitar sini - cakar yang
menorehkan codet di wajahnya. Ada sebuah pedang dengan gagang patah berlabel:
Ini patah dan Leroy terbunuh. 1999.
Kemudian kusadari ada sehelai syal sutra merah jambu dengan label menempel
padanya. Aku memungut label itu dan mencoba membacanya:
SYAL DEWI APHRODITE DITEMUKAN DI WATERLAND, DENVER, CO.,
OLEH ANNABETH CHASE DAN PERCY JACKSON
Kupandangi syal itu. Aku sudah lupa sama sekali akan adanya syal itu. Dua tahun
lalu, Annabeth merenggut syal ini dari tanganku dan mengatakan sesuatu seperti,
Nggak boleh. Jangan dekat-dekat sihir cinta itu!
Kukira Annabeth membuangnya begitu saja. Tapi ternyata barang itu ada di sini.
Dia menyimpannya selama ini" Dan mengapa dia menaruhnya di loteng"
Aku berpaling pada mumi. Dia belum bergerak, namun bayang-bayang di
wajahnya membuatnya tampak seolah dia tersenyum dengan mengerikan.
Kujatuhkan syal itu dan berusaha untuk tak berlari pontang-panting ke pintu
keluar. Malam itu seusai makan malam, aku sudah sangat siap untuk mengalahkan para
Pemburu pada permainan tangkap bendera. Itu akan jadi permainan kecil-kecilan:
hanya tiga belas Pemburu, termasuk Bianca di Angelo, dan pekemah dengan
jumlah yang kira-kira sama dengan mereka.
Zo? Nightshade tampak gusar. Dia terus-terusan memandangi Chiron dengan
tatapan benci, seolah tak percaya dia dipaksa Chiron melakukan hal ini. Para
Pemburu lain juga tak tampak bersemangat. Tak seperti malam kemarin, mereka
tak ketawa atau bercanda sesama mereka. Mereka hanya duduk mengumpul di
paviliun makan, saling berbisik gelisah selagi mereka mempersiapkan baju tempur
mereka. Sebagian dari mereka bahkan tampak seperti habis menangis. Kurasa Zo?
telah menceritakan pada mereka akan mimpi buruknya.
Dalam tim kami, kami memiliki Beckendorf dan dua anak Hephaestus lain,
beberapa anak dari kabin Ares (meski masih terasa aneh Clarisse tak berada di
sana), Stoll bersaudara dan Nico dari kabin Hermes, dan beberapa anak Aphrodite.
Rasanya aneh kabin Aphrodite mau ikutan main. Biasanya mereka hanya dudukduduk
di pinggiran, sambil ngobrol, dan menekuni bayangan diri mereka di sungai
atau semacamnya, tapi saat mereka mendengar kami akan bertarung melawan para
Pemburu, mereka begitu antusias untuk turut serta.
"Akan kutunjukkan pada mereka 'bagaimana cinta itu tak berarti'," Silena
Beauregard menggerutu sembari mengencangkan baju zirahnya. "Akan kuhabisi
mereka!" Sisanya adalah Thalia dan aku sendiri.
"Aku akan ambil posisi menyerang," Thalia mengajukan diri. "Kau ambil
pertahanan." "Oh." Aku ragu, karena tadinya aku baru ingin mengucapkan hal yang sama, hanya
kebalikannya. "Tidakkah menurutmu dengan perisaimu dan lainnya, kau lebih baik
di posisi bertahan?"
Thalia sudah memegang Aegis di lengannya, dan bahkan teman-teman satu tim
kami berjengit darinya, berusaha tak mundur ketakutan menghadapi Medusa
berkepala perunggu itu. "Yah, kupikir perisai ini bakal lebih menguatkan serangan," kata Thalia. "Lagi
pula, kau sudah lebih terlatih dalam pertahanan."
Aku tak yakin apa dia menggodaku. Aku punya pengalaman yang buruk dengan
pertahanan dalam permainan tangkap bendera ini. Tahun pertamaku, Annabeth
menempatkanku di luar sebagai umpan, dan aku hampir saja digorok sampai mati
dengan berbagai tombak dan dibunuh oleh seekor anjing neraka.
"Baiklah, nggak masalah," aku berbohong.
"Bagus." Thalia berbalik untuk membantu beberapa anak Aphrodite, yang sedang
kesulitan mengepas baju zirahnya tanpa mematahkan kuku mereka. Nico di Angelo
berlari ke arahku dengan seringai lebar di wajahnya.
"Percy, ini keren banget!" Helm perunggu dengan sehelai biru-birunya merosot
menutupi matanya, dan lempengan dadanya sekitar enam ukuran terlalu besar
untuknya. Aku bertanya-tanya apakah aku tampak sekonyol itu saat pertama
kalinya aku datang. Sayangnya, kemungkinan begitu.
Nico mengangkat pedangnya dengan segenap kekuatan. "Apa kita boleh bunuh tim
lain?" "Yah ... tidak."
"Tapi para Pemburu itu kekal, kan?"
"Itu hanya kalau mereka tidak kalah dalam pertempuran. Lagi pula - "
"Rasanya asyik banget kalau kita bisa, kayak, dibangkitkan kembali begitu kita
terbunuh, supaya kita bisa terus bertarung, dan - "
"Nico, ini serius. Ini pedang-pedang betulan. Bisa melukaimu."
Dia memandangiku, sedikit kecewa, dan kusadari baru saja aku terdengar persis
seperti ibuku. Wow. Bukan pertanda baik.
Kutepuk pundak Nico. "Hei, nggak apa-apa kok. Pokoknya ikuti tim. Menjauhlah
dari Zo?. Kita bakal bersenang-senang."
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kaki-kaki kuda Chiron berderap melintasi lantai paviliun.
"Para pahlawan!" panggilnya. "Kalian tahu peraturannya! Sungai adalah garis
batasan. Tim biru - Perkemahan Blasteran - akan mengambil sisi barat hutan.
Pemburu Artemis - tim merah - akan mengambil sisi timur hutan. Aku akan
bertugas sebagai wasit dan petugas medis lapangan. Dimohon, jangan ada
penganiayaan yang disengaja! Semua barang-barang sihir diperbolehkan. Siapkan
posisi kalian!" "Asyik," Nico berbisik di sebelahku. "Barang sihir kayak gimana" Aku dapat juga
nggak?" Aku baru mau mengungkapkan padanya bahwa dia tak bakal dapat, saat Thalia
berseru, "Tim biru! Ikuti aku!"
Mereka bersorak dan mengikuti. Aku harus berlari agar tertinggal, dan malah
tersandung oleh perisai seseorang, jadi aku tak tampak seperti wakil kapten sama
sekali. Lebih seperti orang idiot.
Kami pasang bendera kami di puncak Kepalan Zeus. Sebenarnya ia adalah
kumpulan bongkah batu di tengah-tengah area barat hutan yang, kalau kau
perhatikan dari arah yang pas, ia akan tampak seperti kepalan tinju raksasa yang
menyeruak dari dalam tanah. Dan jika kaulihat kumpulan batu ini dari arah mana
pun, ia akan tampak bagai gundukan besar kotoran rusa, tapi Chiron tak akan
mengizinkan kami menyebut tempat itu Gundukan Pup, terutama karena tempat itu
sudah diberi nama buat Zeus, yang tak terlalu punya selera humor.
Omong-omong, itu adalah tempat yang baik untuk menancapkan bendera. Puncak
batunya setinggi enam meter dan sulit buat dipanjat, sehingga benderanya jelas
kelihatan, sesuai bunyi peraturan, dan tidak masalah penjaga tidak diperbolehkan
berdiri dalam jarak sepuluh meter darinya.
Aku suruh Nico bertugas jaga menemani Beckendorf dan Stoll bersaudara, berpikir
dengan begitu Nico akan aman dari pertandingan.
"Kami akan kirimkan umpan tipuan ke arah kiri," Thalia memberi tahu tim.
"Silena, kau pimpin tugas itu."
"Siap!" "Bawa serta Laurel dan Jason. Mereka pelari yang baik. Berlarilah membentuk
setengah lingkaran di sekitar Pemburu, pikat mereka sebanyak yang kaubisa. Aku
akan umpani pihak inti tim itu ke arah kanan dan menyergap mereka diam-diam."
Semua mengangguk. Kedengarannya sih rencana yang bagus, dan Thalia
mengutarakannya dengan begitu percaya diri hingga kau teryakini bahwa rencana
itu pasti berhasil. Thalia memandangiku. "Ada yang ingin ditambahkan, Percy?"
"Em, iya. Kuatkan pertahanan. Kita punya empat penjaga, dua pengintai. Itu nggak
cukup buat hutan yang luas. Aku akan berjaga dengan pindah-pindah. Teriaklah
kalau kalian butuh pertolongan."
"Dan jangan tinggalkan pos masing-masing!" kata Thalia.
"Kecuali kalau kalian melihat adanya peluang emas," tambahku.
Thalia memberengut. "Pokoknya jangan tinggalkan pos kalian."
"Betul, kecuali - "
"Percy!" Dia menyentuh lenganku dan mengejutkanku. Maksudku, semua orang
bisa saja memberi kejutan statis di musim dingin, tapi bila Thalia yang
melakukannya, itu menyakitkan. Kurasa itu karena ayahnya adalah dewa petir.
Thalia sudah dikenal suka membakar habis alis mata orang-orang.
"Maaf," ucap Thalia, meski dia tak terdengar merasa bersalah. "Sekarang, apa
semuanya sudah jelas semua?"
Semua mengangguk. Kami memecah dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil.
Bunyi trompet terdengar, dan pertandingan pun dimulai.
Kelompok Silena menghilang di sisi kiri hutan. Thalia menunggu waktu beberapa
detik, sebelum melesat pergi ke arah kanan.
Aku menunggu sesuatu terjadi. Aku memanjat Kepalan Zeus dan mendapat
pemandangan hutan yang cukup luas. Aku teringat bagaimana para Pemburu
menghambur keluar dari hutan saat mereka bertarung melawan manticore, dan aku
sudah menyiapkan diri untuk sesuatu seperti itu - satu terjangan besar yang dapat
membuat kami kewalahan. Tapi tak ada apa pun yang terjadi.
Aku melihat sekelebat sosok Silena dan dua pengintainya. Mereka berlari ke
daerah hutan yang kosong, diikuti oleh lima Pemburu, mengarahkan mereka
memasuki hutan dan menjauh dari Thalia. Rencana sepertinya berjalan dengan
baik. Lalu kudapati beberapa Pemburu lain mengarah ke kanan, dengan busur
siaga. Mereka pasti sudah melihat Thalia.
"Apa yang terjadi?" Nico mendesak, berusaha untuk memanjat ke sebelahku.
Pikiranku berpacu. Thalia tak akan berhasil, tapi para Pemburu terbagi dua.
Dengan begitu banyak Pemburu di dua sisi, pusat mereka pasti lengang. Kalau aku
bergerak cepat ... Kupandangi Beckendorf. "Kalian bisa menjaga pertahanan?"
Beckendorf mendengus. "Tentu saja."
"Aku akan masuk."
Stoll bersaudara dan Nico bersorak saat aku berlari menuju garis batas.
Aku berpacu dengan kecepatan tinggi dan aku merasa hebat. Kuseberangi danau
memasuki wilayah musuh. Aku bisa lihat bendera perak mereka di depan, hanya
satu penjaga, yang bahkan tak melihat ke arahku. Kudengar suara perkelahian di
sisi kiri dan kananku, suatu tempat di hutan. Ini mudah sekali.
Penjaga berpaling pada menit terakhir. Itu adalah Bianca di Angelo. Matanya
membeliak saat aku menghantamnya dan dia terjungkang ke salju.
"Maaf!" teriakku. Aku menarik turun bendera sutra peraknya dari pohon dan pergi.
Aku sudah beranjak sepuluh meter dari situ sebelum Bianca berhasil teriak
meminta bantuan. Kukira aku akan bebas pulang dengan mudahnya.
ZIP! Sebuah kawat perak melesat melewati pergelangan kakiku dan mengencang
di pohon sebelahku. Sebuah kawat jebakan, ditembakkan dari busur! Sebelum aku
bahkan bisa berpikir untuk berhenti, aku terjatuh keras, terjerembab di salju.
"Percy!" teriak Thalia, di sisi kiriku. "Apa yang kau lakukan?"
Sebelum dia beranjak mendekatiku, sebuah panah meledak di kakinya dan
gumpalan asap kuning menguar menyelubungi timnya. Mereka mulai terbatukbatuk dan
muntah. Aku bisa menghirup bau gas dari seberang hutan - bau
memuakkan sulfur. "Tidak adil!" Thalia terengah. "Panah-panah kentut sangat nggak sportif!"
Aku bangkit dan berusaha lari lagi. Tinggal beberapa meter lagi dari anak sungai
dan aku akan memenangkan pertandingan. Sejumlah panah lagi berdesing di balik
telingaku. Seorang Pemburu tiba-tiba muncul entah dari mana dan mengayunkan
belatinya ke arahku, tapi aku mengelak dan terus berlari.
Aku mendengar suara teriakan dari sisi anak sungai kami. Beckendorf dan Nico
berlari ke arahku. Kukira mereka berlari untuk menyambutku, tapi kemudian
kulihat mereka sedang mengejar seseorang - Zo? Nightshade, berpacu ke arahku
bak macan, mengelak dari para pekemah lain dengan lincahnya. Dan dia
memegang bendera kami di tangannya.
"Tidak!" pekikku, dan menambah kecepatan.
Aku sudah setengah meter dari air saat Zo? melaju ke seberang memasuki
wilayahnya, menabrakku untuk menahan lajuku. Para Pemburu bersorak saat
kedua tim mengumpul di anak sungai. Chiron muncul dari balik hutan, tampak
muram. Di belakangnya muncul Stoll bersaudara, dan kelihatannya keduanya
seperti habis mendapat sambitan keras di kepala. Connor Stoll memiliki dua panah
mencuat dari helmnya bagai antena.
"Para Pemburu menang!" Chiron mengumumkan tanpa semangat. Kemudian dia
menggumam, "Untuk kelima puluh enam kali berturut-turut."
"Perseus Jackson!" teriak Thalia, menggempur ke arahku. Dia berbau telur busuk,
dan dia begitu mengamuknya sampai-sampai bunga-bunga api biru memercik di
baju zirahnya. Semua orang mengernyit dan mundur karena Aegis. Dibutuhkan
kekuatan besar tekadku untuk tak beranjak mundur.
"Demi dewa-dewi, apa yang sebenarnya tadi kau PIKIRKAN?" bentaknya.
Kukepalkan tanganku. Sudah cukup banyak hal buruk yang terjadi padaku untuk
hari ini. Aku tak butuh masalah baru ini. "Aku dapat benderanya, Thalia!"
Kuacungkan bendera itu di depan mukanya. "Kulihat peluang dan kuambil!"
"AKU TADI ADA DI WILAYAH MEREKA!" teriak Thalia. "Tapi benderanya
sudah hilang. Kalau kau nggak ngerecokin, kita sudah akan menang."
"Terlalu banyak yang mengikutimu!"
"Oh, jadi itu salahku?"
"Aku nggak bilang begitu."
"Aaah!" Thalia mendorongku, dan sebuah kejutan listrik menyengat tubuhku
hingga menerbangkanku ke belakang sejauh tiga meter memasuki air. Sebagian
pekemah berdengap. Dua Pemburu terkekeh.
"Maaf!" ujar Thalia, berubah pucat. "Aku nggak sengaja - "
Amarah mendengung di telingaku. Gelombang air mengumpul dari anak sungai,
menyembur ke wajah Thalia dan membasahinya dari kepala hingga jempol.
Aku bangkit. "Yeah," geramku. "Aku juga nggak sengaja."
Thalia menghela napas berat.
"Cukup!" Chiron memerintahkan.
Tapi Thalia mengacungkan tombaknya. "Kau mau lagi, Otak Ganggang?"
Entah mengapa, aku tak masalah kalau Annabeth memanggilku begitu setidaknya, aku sudah terbiasa - tapi mendengarnya dari mulut Thalia sangat
menggangguku. "Majulah, Muka Pinus!"
Kuangkat Riptide, tapi sebelum aku bisa membela diriku sendiri, Thalia memekik,
dan ledakan kilat menyambar dari langit, melecut tombaknya bagai tangkai
pancing kilat, dan menghantam dadaku.
Aku terduduk keras. Ada bau asap; aku merasa itu datang dari pakaianku.
"Thalia!" seru Chiron. "Sudah cukup!"
Aku bangkit berdiri dan memerintahkan seisi anak sungai untuk bangkit. Air itu
melengkung ke atas, ratusan galon air dalam pusaran besar es.
"Percy!" Chiron memohon.
Aku baru mau menggelontorkan ke arah Thalia saat aku melihat sesuatu dari balik
hutan. Aku segera kehilangan amarah dan konsentrasiku bersamaan. Air mencebur
kembali ke dasar sungai. Thalia begitu terkejut hingga dia berbalik untuk
melihat apa yang kupandangi. Seseorang ... seseorang berjalan mendekat. Dia diselubungi kabut hijau tebal,
tapi saat dia mendekat, para pekemah dan Pemburu berdengap.
"Ini mustahil," ujar Chiron. Aku belum pernah mendengarnya begitu tegang. "Dia
... dia belum pernah meninggalkan loteng. Tidak pernah."
Namun kini, sang mumi kering pemilik Ramalan menyeret dirinya ke depan
hingga dia berdiri di tengah-tengah kami. Kabut mengitari kaki-kaki kami,
mengubah salju jadi bercorak hijau yang memualkan.
Tak satu pun dari kami berani bergerak. Lalu suaranya mendesis di dalam
kepalaku. Sepertinya semua orang bisa mendengarnya, karena beberapa orang
mengangkat tangan mereka ke kuping.
Aku adalah arwah Delphi, ujar suara itu. Penyampai ramalan Phoebus Apollo,
penebas Piton yang berkuasa.
Sang Oracle memandangiku dengan tatapan dingin dan matinya. Kemudian dia
berpaling tanpa ragu pada Zo? Nightshade. Mendekatlah, Pencari, dan
bertanyalah. Zo? menelan ludah. "Apa yang harus kulakukan untuk menolong dewiku?"
Mulut sang Oracle membuka, dan kabut hijau menguar keluar. Aku melihat
bayangan samar gunung, dan seorang gadis tengah berdiri di puncaknya yang
gundul. Itu adalah Artemis, tapi dia terbelenggu rantai, yang diikatkan ke
bebatuan. Dia berlutut, kedua tangannya diangkat seolah sedang menangkis serangan, dan
sepertinya dia kesakitan. Sang Oracle bicara:
Lima akan pergi ke barat menuju dewi terantai,
Seorang akan menghilang di daratan tanpa hujan,
Amukan Olympus menunjukkan jejaknya,
Pekemah dan Pemburu bersatu akan bertahan,
Kutukan Bangsa Titan harus seorang hadapi,
Dan seorang akan binasa di tangan salah satu orangtuanya.
Kemudian, saat kami memandanginya, kabut berputar dan menyurut seperti ular
hijau besar memasuki mulut sang mumi. Sang Oracle duduk di atas batu dan
memantung seperti saat di loteng, seolah dia bisa saja sudah duduk di tepi
sungai ini selama ratusan tahun.
Bab 7 Semua Membenciku Kecuali Sang Kuda
Mestinya sang Oracle bisa jalan pulang sendiri ke loteng.
Alih-alih, Grover dan aku dipilih untuk mengangkutnya. Aku tak merasa kami
terpilih karena kami adalah anak yang paling populer.
"Awas kepalanya!" Grover meperingatkan saat kami menaiki tangga. Tapi sudah
terlambat. Jeduk! Aku membenturkan wajah mumi pada tingkap kolong pintu dan debu-debu
pun bertebangan. "Ah, sial." Aku menurunkannya dan memeriksa kerusakan. "Apa aku mematahkan
sesuatu?" "Nggak tahu deh," Grover mengakui.
Kami mengangkatnya ke atas dan meletakkanya di atas bangku kaki tiga. Kami
berdua kehabisan napas dan bersimpah keringat. Siapa yang tahu sebuah mumi
bisa seberat itu" Aku berasumsi mumi itu tak ingin bicara denganku, dan aku benar. Aku lega saat
kami akhirnya keluar dari sana dan menutup pintu loteng.
"Yah," seru Grover, "tadi tuh menjijikkan banget."
Aku tahu dia berusaha meringankan batinku, tapi aku tetap merasa sedih. Seluruh
pekemah akan marah padaku yang mengakibatkan kekalahan dalam pertandingan
dari para Pemburu, dan kemudian ada ramalan baru dari sang Oracle. Seolah arwah
Delphi telah berusaha sebisa mungkin untuk mengesampingkanku. Dia
mengabaikan pertanyaanku namun rela berjalan hampir satu kilometer untuk bicara
pada Zo?. Dan dia tidak bicara sepatah kata pun, bahkan untuk sekedar memberi
sedikit petunjuk, mengenai Annabeth.
"Apa yang akan dilakukan Chiron?" tanyaku pada Grover.
"Andai aku tahu." Dia memandang sendu ke luar jendela tingkat dua pada bukit
bergalur yang terselimuti salju. "Aku ingin berada di luar sana."
"Mencari Annabeth?"
Grover sedikit kesulitan memusatkan perhatian padaku. Kemudian wajahnya
merona. "Oh, iya. Itu juga. Tentu saja."
"Kenapa?" tanyaku. "Apa yang kaupikirkan?"
Dia mengentakkan kakinya gelisah. "Hanya mengingat apa yang dikatakan
manticore itu, tentang Kebangkitan Besar. Aku nggak habis pikir ... kalau semua
kekuatan purba itu bangkit, barangkali ... barangkali tidak semua dari mereka
itu jahat." "Maksudmu Pan."
Aku merasa agak egois, karena aku sudah melupakan sama sekali tentang ambisi
hidup Grover. Dewa alam liar telah menghilang selama dua ribu tahun. Menurut
rumor dia telah meninggal, tapi para satir tak mempercayainya. Mereka bertekad
untuk menemukannya. Mereka sudah pergi mencarinya dengan susah payah
selama berabad-abad, dan Grover yakin dialah yang akan berhasil menemukannya.
Tahun ini, dengan upaya Chiron menempatkan semua satir dalam tugas darurat
untuk mencari para blasteran, Grover belum sempat meneruskan pencariannya. Itu
pasti membuatnya senewen.
"Aku sudah membuat jejak itu membeku," ucapnya. "Aku merasa nggak tenang,
kayak aku telah mengabaikan sesuatu yang betul-betul penting. Dia ada di luar
sana. Aku bisa merasakannya."
Aku tak tahu harus berkata apa. Aku ingin menyemangatinya, tapi aku tak tahu
bagaimana caranya. Optimismeku sudah terinjak-injak dalam benaman salju di
hutan luar, bersama dengan semangat tangkap-bendera kami.
Sebelum aku bisa menanggapi, Thalia menaiki anak tangga denga langkah berat.
Dia secara resmi tak bicara padaku saat ini, tapi dia memandangi Grover dan
berkata, "Bilang sama Percy untuk turun ke bawah."
"Kenapa?" tanyaku.
"Apa dia bilang sesuatu?" Thalia bertanya pada Grover.
"Em, dia tanya kenapa."
"Dionysus mengadakan pertemuan para kepala kabin untuk membahas ramalan,"
ujarnya. "Sayangnya, itu termasuk Percy."
Pertemuan itu diadakan di sekitar meja Ping-Pong di ruang rekreasi. Dionysus
melambaikan tangannya dan menyediakan aneka camilan: Cheez Whiz, biskuit
renyah, dan beberapa botol anggur merah. Lantas Chiron mengingatkannya bahwa
anggur melanggar peraturan dan sebagian besar dari kami masih di bawah umur.
Pak D mendesak. Dengan sekali jentikan jemarinya, anggur itu berubah jadi Diet
Coke. Tak ada yang meminumnya juga.
Pak D dan Chiron (dalam wujud berkursi roda) duduk di satu ujung meja. Zo? dan
Bianca di Angelo (yang sudah jadi semacam asisten pribadi Zo?) duduk di ujung
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seberangnya. Thalia dan Grover dan aku duduk di sepanjang sisi kanan meja,
sementara anggota penasihat kepala lain - Beckendorf, Silena Beauregard, dan
Stoll bersaudara - duduk di sisi kiri. Anak-anak Ares mestinya juga mengirimkan
perwakilan, tapi mereka semua mengalami cedera patah tulang (secara tak sengaja)
sewaktu pertandingan tangkap bendera, berkata para Pemburu. Mereka semua kini
beristirahat di ruang perawatan.
Zo? mengawali pertemuan dengan semangat yang positif. "Ini benar-benar sia-sia."
"Cheez Whiz!" Grover berdengap. Dia mulai menyibukkan diri mengambil biskuit
dan bola-bola Ping-Pong lalu sibuk menaburi bagian atasnya dengan topping.
"Tak ada waktu untuk bicara," Zo? menyambung. "Dewi kami membutuhkan
kami. Para Pemburu harus segera pergi."
"Pergi ke mana?" tanya Chiron.
"Barat!" ujar Bianca. Aku terkejut melihat betapa berbeda Bianca tampak sekarang
hanya setelah menghabiskan seberapa hari dengan para Pemburu. Rambut
gelapnya dikepang menyerupai Zo? sekarang, sehingga kau bisa melihat wajahnya
dengan jelas. Dia memiliki bintik-bintik yang tersebar di seputar hidungnya, dan
mata gelapnya samar-samar mengingatkanku pada seseorang yang terkenal, tapi
aku tak tahu siapa. Dia kelihatan rajin berolahraga, kulitnya berkilat samar,
seperti para Pemburu yang lain, seolah dia mandi dengan pancuran air sinar rembulan.
"Kau sudah dengar ramalannya. Lima akan pergi ke barat menuju dewi terantai.
Kami bisa mengumpulkan lima pemburu dan pergi."
"Benar," Zo? menyetujui. "Artemis sedang disandera! Kita harus segera temukan
dia dan membebaskannya."
"Kau kelewatan sesuatu, seperti biasa," kata Thalia. "Pekemah dan Pemburu
bersatu akan bertahan. Kita seharusnya mengerjakan ini bersama."
"Tidak!" timpal Zo?. "Pemburu tidak membutuhkan bantuan engkau."
"Bantuan-mu," gerutu Thalia. "Sudah nggak ada lagi orang yang menyebut engkau
dalam percakapan, setidaknya sejak tiga ratus tahun, Zo?. Ikutilah zaman."
Zo? tampak ragu, seolah dia sedang berusaha merangkai kalimatnya dengan benar.
"Mmeu. Kami tidak membutuhkan bantuan-mmeu."
Thalia memutar bola matanya. "Lupakan sajalah."
"Yang kutakuti, ramalan itu menyebutkan bahwa kalian memang membutuhkan
bantuan kami," kata Chiron. "Pekemah dan Pemburu harus bekerja sama."
"Betulkah begitu?" Pak D merenung, memutar Diet Cokenya di bawah hidungnya
seolah kaleng itu adalah buket cantik. "Seseorang akan hilang. Seseorang akan
binasa. Itu terdengar sangat mengerikan, bukan" Bagaimana jika kau gagal justru
karena kau mencoba bekerja sama?"
"Pak D," desah Chiron, "dengan segala rasa hormat, Anda berada di pihak mana?"
Dionysus mengangkat kedua alisnya. "Maaf, sobat cenaturusku. Hanya mencoba
membantu." "Kita mestinya bekerja sama," Thalia bersikukuh. "Aku juga nggak suka, Zo?, tapi
kau tahu kebenaran ramalan. Apa kau berani melawannya?"
Zo? mengernyit, tapi aku tahu Thalia berhasil menyampaikan maksudnya.
"Kita tak boleh menunda-nunda," Chiron memperingatkan. "Hari ini hari Minggu.
Jumat ini 21 Desember, adalah titik balik matahari musim dingin."
"Oh, asyik sekali," gumam Dionysus. "Pertemuan tahunan yang membosankan
lagi." "Artemis harus hadir pada saat titik balik matahari musim dingin," ujar Zo?.
"Dia adalah salah satu anggota dewan yang paling vokal dalam menekan agar segera
diambil tindakan untuk mengatasi pengikut-pengikut Kronos. Jika dia tak hadir,
para dewa tak akan memutuskan apa pun. Kita akan kehilangan satu tahun lagi
masa persiapan perang."
"Apa kau menyiratkan bahwa para dewa kesulitan mengambil tindakan, Nona
Muda?" tanya Dionysus.
"Benar, Dewa Dionysus."
Pak D mengangguk. "Hanya mengecek. Kau benar, tentu saja. Teruskan."
"Aku setuju dengan Zo?," kata Chiron. "Kehadiran Artemis di pertemuan dewan
musim dingin sangat penting. Kita hanya memiliki waktu seminggu untuk
menemukannya. Dan barangkali yang lebih penting lagi: untuk menemukan lokasi
monster yang dia buru. Sekarang, kita harus putuskan siapa yang akan berangkat
dalam misi ini." "Tiga dan dua," kataku.
Semua orang memandangiku. Thalia bahkan lupa untuk tak mengacuhkanku.
"Kita harus membawa lima orang," ujarku, merasa rikuh. "Tiga Pemburu, dua dari
Perkemahan Blasteran. Itu sangat adil."
Thalia dan Zo? bertukar pandang.
"Yah," kata Thalia. "Itu memang terdengar masuk akal."
Zo? menggerutu. "Aku akan lebih senang membawa seluruh Pemburu. Kita akan
membutuhkan kekuatan dari jumlah yang ada."
"Kalian akan menyusuri kembali jejak sang dewi," Chiron mengingatkannya.
"Bergerak dengan cepat. Tak diragukan lagi Artemis mengikuti bau monster
langka ini, apa pun ia, saat dia bergerak ke barat. Kalian harus melakukan hal
yang sama. Ramalan itu jelas: Amukan Olympus menunjukkan jejaknya. Apa yang akan
dikatakan oleh pemimpinmu" 'Terlalu banyak Pemburu akan mengacaukan
baunya.' Kelompok kecil lebih baik."
Zo? mengambil pemukul Ping-Pong dan menekuninya seolah dia sedang
memutuskan siapa yang ingin dia pukul terlebih dulu. "Monster ini - kutukan
Olympus. Aku sudah berburu di sisi Yang Mulia Artemis bertahun-tahun lamanya,
namun aku tetap tak tahu seperti apa kemungkinan makhluk buas ini."
Semua memandang Dionysus, kurasa itu karena dia adalah satu-satunya dewa yang
hadir dan para dewa mestinya serbatahu. Dia sedang membolak-balik majalah
tentang anggur, namun ketika semua orang terdiam dia mendongak. "Yah, jangan
lihat aku. Aku adalah dewa muda, ingat" Aku tidak mengikuti berita tentang semua
monster purba itu dan para titan yang membosankan. Mereka adalah topik
perbincangan yang payah di pesta."
"Chiron," kataku, "kau tak tahu sedikit pun tentang monster ini?"
Chiron mengerutkan bibirnya. "Aku punya beberapa ide, tak satu pun ada yang
baik. Dan tak satu pun yang masuk akal. Typhon, misalnya, bisa saja sesuai
dengan deskrpsi ini. Dia jelas merupakan kutukan Olympus. Atau monster laut Keto.
Namun bila kedua monster ini yang bangkit, kita pasti akan tahu. Mereka adalah
monster-monster laut seukuran gedung-gedung pencakar langit. Ayahmu,
Poseidon, tentu sudah akan membunyikan peringatan. Aku takut monster ini bisa
jadi lebih sukar ditemukan. Barangkali bahkan lebih kuat."
"Spertinya bahaya besar yang akan kalian hadapi," ujar Connor Stoll. (Aku suka
bagaimana dia menyebutkan kata kalian dan bukan kita). "Kedengarannya seperti
setidaknya dua dari lima orang akan menginggal."
"Seseorang akan menghilang di daratan tanpa hujan," kata Beckendorf. "Kalau aku
jadi kau, aku akan jauh-jauh dari gurun."
Ada gumaman kesepakatan. "Dan kutukan bangsa Titan harus seorang hadapi," ucap Silena. "Apa maksudnya
itu?" Aku melihat Chiron dan Zo? bertukar pandang gugup, namun apa pun yang tengah
mereka pikirkan, mereka tidak membaginya.
"Seorang akan binasa di tangan salah satu orangtuanya," ujar Grover di
tengahtengah gigitan Cheez Whiz dan bola Ping-Pong. "Bagaimana itu bisa terjadi"
Orangtua siapa yang ingin membunuh anaknya?"
Ada keheningan berat menggantung di seputar meja.
Aku memandangi Thalia dan bertanya-tanya apakah dia memikirkan hal yang
sama dengan diriku. Bertahun-tahun lalu, Chiron menerima sebuah ramalan
tentang keturunan berikutnya dari Tiga Besar - Zeus, Poseidon, atau Hades - yang
akan menginjak usia enam belas. Menurut ramalan, anak itu akan membuat sebuah
keputusan yang kelak akan menyelamatkan atau menghancurkan keberadaan
dewa-dewa untuk selamanya. Karenanya, Tiga Besar telah bersumpah setelah
Perang Dunia II usai untuk tak lagi memiliki keturunan. Namun Thalia dan aku
tetap terlahir, dan kini kami berdua kian mendekati usia enam belas.
Aku teringat akan perbincangan yang kulakukan tahun lalu bersama Annabeth.
Aku bertanya padanya, jika aku sangat berpotensi bahaya, kenapa dewa tidak
membunuhku saja. Beberapa dewa ingin membunuhmu, katanya. Tapi mereka takut menyinggung
Poseidon. Bisakah orangtua Olympian berbalik melawan anak blasterannya" Apakah
kadangkadang menjadi lebih mudah hanya dengan membiarkan mereka mati" Jika
pernah ada anak-anak blasteran yang perlu khawatir tentang hal itu, itu Thalia dan aku.
Aku bertanya-tanya apakah mungkin aku harus mengirimkan Poseidon dasi
berpola kerang untuk hari ayah setelahnya.
"Akan ada kematian," Chiron memutuskan. "Itu yang kita ketahui."
"Ya, ampun!" kata Dionysus.
Semua orang menatapnya. Dia mendongak dengan polos dari halaman-halaman
majalah Wine Connoisseur. "Ah, anggur pinot noir akan dimunculkan kembali.
Jangan pedulikan aku."
"Percy benar," ucap Silena Beauregard. "Dua pekemah harus ikut pergi."
"Oh, aku tahu," timpal Zo? sinis. "Dan kurasa kau ingin mengajukan diri?"
Silena merona. "Aku tak akan pergi ke mana pun bersama para Pemburu. Jangan
pandangi aku!" "Putri Aphrodite tidak berkeinginan untuk dipandangi," ejek Zo?. "Apa yang akan
dikatakan oleh ibu engkau?"
Silena mulai beranjak dari bangkunya, namun Stoll bersaudara menariknya
kembali. "Hentikan," seru Beckendorf. Dia adalah anak berbadan besar dengan suara lebih
besar lagi. Dia tak banyak bicara, namun ketika dia bicara, orang-orang akan
mendengarkan. "Mari kita mulai dengan Pemburu. Yang mana dari kalian bertiga
yang akan berangkat?"
Zo? berdiri. "Aku akan pergi, tentu saja, dan aku akan membawa serta Phoebe. Dia
adalah pelacak jejak terbaik kami."
"Cewek badan besar yang senang memukuli kepala orang-orang?" tanya Travis
Stoll dengan berhati-hati.
Zo? mengangguk. "Anak yang menaruh panah-panah di helmku?" tambah Connor.
"Betul," bentak Zo?. "Kenapa?"
"Oh, tidak apa-apa," ucap Travis. "Hanya saja kami punya kaus untuknya dari toko
perkemahan." Dia mengangkat kaus besar warna perak bertulisan ARTEMIS
DEWI BULAN, TUR BERBURU MUSIM GUGUR 2002, dengan daftar panjang
taman-taman nasional dan hal-hal lain di bawahnya. "Ini barang kolektor. Dia
sempat mengaguminya. Kau mau memberikannya padanya?"
Aku tahu Stoll bersaudara sedang menyembunyikan sesuatu. Mereka selalu begitu.
Tapi kurasa Zo? tidak mengenal mereka sebaik aku. Zo? hanya mendesah dan
mengambil kausnya. "Seperti yang kukatakan, aku akan membawa Phoebe. Dan
aku ingin Bianca juga ikut."
Bianca tampak terkejut. "Aku" Tapi ... aku masih baru banget. Aku nggak akan
banyak gunanya." "Kau akan baik-baik saja," Zo? bersikukuh. "Tak ada cara lain yang lebih baik
untuk membuktikan diri engkau sendiri."
Bianca mengatup mulutnya. Aku merasa agak iba padanya. Aku ingat akan misi
pertamaku saat aku berusia dua belas tahun. Saat itu aku merasa benar-benar
tidak siap. Sedikit tersanjung, mungkin, namun lebih banyak merasa enggan dan takut.
Kurasa hal yang sama sedang berkecamuk dalam kepala Bianca saat ini.
"Dan bagi pekemahnya?" tanya Chiron. Matanya bertemu mataku, tapi aku tak
tahu apa yang dipikirkannya.
"Aku!" Grover bangkit berdiri dengan begitu cepatnya hingga membentur meja
Ping-Pong. Dia membersihkan remah-remah biskuit dan sisa-sisa bola Ping-Pong
dari pangkuannya. "Apa pun demi membantu Artemis!"
Zo? mengerutkan hidungnya. "Kurasa tidak, satir. Kau bahkan bukan blasteran."
"Tapi dia adalah pekemah," kata Thalia. "Dan dia punya pengindera satir dan
sihir rimba. Apa kau sudah bisa memainkan lagu pemburu, Grover?"
"Tentu!" Zo? ragu. Aku tak tahu apa maksudnya lagu pemburu, namun sepertinya Zo?
berpikir itu adalah hal yang baik.
"Baiklah," ucap Zo?. "Dan pekemah kedua?"
"Aku akan pergi." Thalia berdiri dan mengedarkan pandangan, menantang siapa
pun yang berani meragukannya.
Sekarang, baiklah, mungkin kepandaian metematikaku bukan yang terbaik, tapi
tiba-tiba terpikir dalam benakku bahwa kami telah mencapai angka lima, dan aku
tidak termasuk di dalamnya. "Hei, tunggu sebentar," ujarku. "Aku juga ingin
pergi." Thalia tak mengatakan apa pun. Chiron masih mempelajariku, matanya sayu.
"Oh," ucap Grover, tiba-tiba tersadar akan masalahnya. "Wah, iya, aku lupa!
Percy harus pergi. Aku nggak bermaksud ... aku akan tinggal. Percy harus pergi
menggantikanku." "Dia tak bisa pergi," seru Zo?. "Dia laki-laki. Aku tak akan biarkan para
Pemburu menempuh perjalanan dengan seorang laki-laki."
"Kau sudah pernah menempuh perjalanan ke sini bersamaku," kuingatkan dirinya.
"Itu adalah kondisi darurat jangka-pendek, dan itu diperintahkan oleh sang dewi.
Aku tak akan pergi menjelajah negeri dan bertarung melawan banyak bahaya
ditemani seorang lelaki."
"Memang Grover apaan?" desakku.
Zo? menggelengkan kepalanya. "Dia tidak termasuk. Dia adalah satir. Teknisnya
dia bukanlah laki-laki."
"Hei!" protes Grover.
"Aku harus pergi," kataku. "Aku harus ikut dalam misi ini."
"Kenapa?" tanya Zo?. "Karena teman engkau Annabeth itu?"
Aku merasa wajahku terbakar. Aku benci mengetahui semua mata memandangiku.
"Tidak! Maksudku, itu cuma sebagai alasannya. Aku hanya merasa kalau aku
semestinya pergi!" Tidak ada yang mendukungku. Pak D nampak bosan, masing membaca
majalahnya. Silena, Stoll bersaudara, dan Beckendorf hanya menatap meja. Bianca
menatapku kasihan. "Tidak," kata Zo? datar. "Aku menuntut ini. Aku akan membawa satir jika aku
harus, tapi tidak dengan pahlawan laki-laki."
Chiron mendesah. "Pencarian ini untuk Artemis. Para Pemburu diijinkan untuk
menentukan teman mereka."
Telingaku berdenging saat aku duduk. Aku tahu Grover dan yang lainnya sedang
memberiku simpati, tapi aku tidak menatap mereka. Aku hanya duduk di sana saat
Chiron menyimpulkan hal itu.
"Baiklah," katanya. "Thalia dan Grover akan menemani Zo?, Bianca, dan Phoebe.
Kalian akan berangkat saat fajar. Dan semoga para dewa" - dia melirik
Dionysus - "ikut menyertakan, kami berharap - mereka bersamamu.
Aku tidak datang saat makan malam, yang merupakan kesalahan, karena Chiron
dan Grover datang mencariku.
"Percy, aku sangat menyesal!" kata Grover, duduk di sampingku di tempat tidur.
"Aku nggak tahu kalau mereka akan - bahwa kau akan - Sumpah!"
Grover mulai terisak, dan kupikir kalau aku tidak segera menghiburnya, dia entah
akan mulai menangis atau menggigiti kasurku. Grover suka melahap barangbarang
furnitur setiap kali dia merasa sedih.
"Nggak apa-apa," aku berbohong. "Sungguh. Nggak apa-apa."
Bibir bawah Grover bergetar. "Aku bahkan nggak berpikir ... Aku begitu terfokus
untuk menolong Artemis. Tapi aku berjanji, aku akan mencari Annabeth di segala
tempat. Kalau bisa ditemukan, aku sudah pasti akan menemukannya."
Aku mengangguk dan berusaha mengabaikan lubang besar yang terbuka dalam
dadaku. "Grover," kata Chiron, "barangkali kau akan membiarkan aku berbicara dengan
Percy?" "Tentu," isaknya.
Chiron menanti. "Oh,'' seru Grover. "Maksud Bapak empat mata. Tentu, Pak Chiron." Grover
menatapku muram. "Lihat, kan" Tak ada yang membutuhkan kambing."
Dia melangkah gontai ke ambang pintu, sambil membuang ingus di lengan
bajunya. Chiron mengembuskan napas berat dan berlutut pada kaki-kaki kudanya. "Percy,
aku pribadi tak pernah sepenuhnya memahami ramalan."
"Yeah," ujarku. "Yah, itu mungkin karena ramalan-ramalan memang nggak masuk
akal."
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Chiron memandang mata air laut yang bergemericik di sudut ruangan. "Thalia tak
akan menjadi pilihan pertamaku untuk menjalani misi ini. Dia terlalu tak
sabaran. Dia suka bertindak tanpa berpikir terlebih dulu. Dia terlalu yakin pada
dirinya." "Apa Bapak tadi akan memilihku?"
"Jujur, tidak," katanya. "Kau dan Thalia terlalu serupa."
"Makasih banyak."
Chiron tersenyum. "Perbedaannya adalah kau lebih kurang percaya diri dari
Thalia. Itu bisa berarti baik atau buruk. Tapi satu hal yang bisa kusampaikan:
kalian berdua jika disatukan akan berbahaya."
"Kami bisa mengatasinya."
"Seperti caramu mengatasinya di tepi sungai tadi malam?"
Aku tak menjawab. Dia membuatku mati kutu.
"Barangkali ini adalah untuk yang terbaik," renung Chiron. "Kau bisa pulang ke
ibumu untuk liburan. Jika kami membutuhkanmu, kami akan menghubungimu."
"Yeah," kataku. "Barangkali."
Aku menarik Riptide dari dalam sakuku dan meletakkannya di meja samping
ranjangku. Sepertinya aku tidak akan menggunakannya untuk apa pun kecuali
menulis kartu-kartu Natal.
Sata Chiron melihat pena itu, dia mengernyit. "Pantas saja Zo? tidak ingin kau
ikut. Tidak saat kau membawa senjata itu."
Aku tak tahu apa maksudnya. Kemudian aku teringat akan apa yang Chiron
katakan padaku lama sekali, saat dia pertama kalinya memberiku pedang ajaib ini:
Pedang ini memiliki sejarah yang tragis dan panjang, yang tak perlu kita bahas.
Aku ingin bertanya padanya mengenai itu, tapi kemudian dia mengeluarkan
sekeping drachma emas dari dalam tas pelananya dan melontarnya padaku.
"Hubungi ibumu, Percy. Beri tahu dia kau akan pulang di pagi hari. Dan, yah,
asal tahu saja ... aku sendiri hampir mengajukan diri untuk menjalani misi ini. Aku
sudah akan pergi, jika tidak teringat pada kalimat terakhir."
"Seorang akan binasa di tangan salah satu orangtuanya. Benar."
Aku tak perlu bertanya. Aku sudah tahu ayah Chiron adalah Kronos, sang Raja
Titan jahat itu sendiri. Kalimat itu akan terdengar sangat masuk akal jika saja
Chiron mengikuti misi ini. Kronos tidak peduli terhadap siapa pun, termasuk
anakanaknya sendiri. "Chiron," kataku. "Kau tentu tahu apa kutukan Titan ini, kan?"
Wajahnya menggelap. Tangannya membentuk cakar di depan jantungnya dan
dibuatnya gerakan mendorong ke arah depan - isyarat purba untuk menangkal
bala. "Kita hanya bisa berharap ramalan itu tidak seperti apa yang kupikirkan.
Sekarang, selamat malam, Percy. Dan saatmu akan tiba. Aku yakin akan itu. Tak
perlu tergesa-gesa."
Dia menyebut saatmu seperti cara orang-orang biasa menyebutkan ajalmu. Aku tak
mengerti apakah itu yang Chiron maksudkan, tapi tatapan di matanya membuatku
takut bertanya. Aku berdiri di mata air laut, menggosok koin Chiron di telapak tanganku dan
berusaha memikirkan apa yang akan kukatakan pada ibuku. Aku sedang tak
berselera untuk mendengarkan satu orang dewasa lagi memberitahuku bahwa
berpangku tangan adalah hal terbaik yang bisa kulakukan, tapi kurasa ibuku
pantas menerima kabar terbaruku.
Akhirnya, aku menghela napas dalam-dalam dan melempar koinnya ke dalam
kolam. "Oh dewi, terimalah persembahanku."
Kabut itu berdenyar. Cahaya dari kamar mandi cukup untuk menghasilkan pelangi
samar. "Tunjukkan padaku Sally Jackson," pintaku. "Upper East Side, Manhattan."
Dan di kabut itu tampil sebuah bayangan yang tak kusangka. Ibuku tengah duduk
di meja dapur kami bersama seorang ... pria. Mereka tertawa tergelak. Ada
tumpukan besar buku di antara mereka. Pria itu, aku tak tahu, mungkin sekitar
tiga puluhan tahun, dengan rambut gondrong gelap diselingi uban dan jaket cokelat di
luar kaus hitamnya. Dia tampak seperti seorang aktor - seperti pria yang pantas
berperan sebagai polisi yang sedang menyamar di layar televisi.
Aku terlalu kaget untuk mengucapkan sesuatu, dan untungnya, ibuku dan pria itu
sedang terlalu sibuk tertawa untuk memperhatikan pesan-Irisku.
Sang pria berkata, "Sally, kau lucu sekali. Kau ingin tambah anggur lagi?"
"Ah, seharusnya tidak. Kau tambah saja kalau mau."
"Sebenarnya, aku sebaiknya menggunakan toiletmu. Bolehkan?"
"Di ujung lorong," ujar ibu, terdengar berusaha menahan tawa.
Pria aktor itu tersenyum dan berdiri, lantas pergi.
"Ibu!" panggilku.
Ibu terlompat begitu kencangnya hingga hampir menjatuhkan buku-bukunya dari
atas meja. Akhirnya dia memfokuskan pada diriku. "Percy! Oh, sayang! Apa
semua baik-baik saja?"
"Apa yang Ibu lakukan?" desakku.
Dia mengerjapkan mata. "Tugas rumah." Kemudian ibu tampaknya mengerti air
mukaku. "Oh, sayang, itu hanya Paul - em, Pak Blofis. Dia teman sekelas di
seminar menulis Ibu."
"Pak Blowfish - ikan buntal?"
"Blofis. Dia akan kembali sebentar lagi, Percy. Katakan pada ibu ada masalah
apa." Ibu selalu tahu jika ada masalah. Kuceritakan padanya tentang Annabeth. Hal-hal
lain juga, tapi sebagian besar masalahnya adalah tentang Annabeth.
Mata ibuku berkaca-kaca. Aku tahu ibu berusaha keras menguatkan dirinya demi
aku. "Oh, Percy ..."
"Iya. Jadi mereka memberitahuku bahwa tak ada yang bisa kulakukan. Kurasa aku
bakal pulang ke rumah."
Ibu memutar pensilnya dengan jemarinya. "Percy, betapapun Ibu ingin sekali kau
pulang" - ibu mendesah seolah dia sedang marah pada dirinya sendiri "betapapun Ibu ingin kau selalu aman, Ibu ingin kau memahami sesuatu. Kau perlu
melakukan apa yang harus kaulakukan."
Aku memandanginya. "Apa maksud Ibu?"
"Maksud Ibu, apa kau benar-benar, dari lubuk hati terdalam, meyakini bahwa kau
harus membantu menyelamatkannya" Apa kau merasa itu adalah hal yang
seharusnya dilakukan" Karena Ibu tahu satu hal tentangmu, Percy. Hatimu selalu
bicara benar. Dengarkan bisikannya."
"Ibu ... Ibu menyuruhku untuk pergi?"
Ibuku meruncingkan bibirnya. "Ibu hanya ingin bilang bahwa ... kau sudah terlalu
besar bagi Ibu untuk masih didikte akan apa yang sebaiknya kaulakukan. Ibu
memberitahumu bahwa Ibu akan mendukungmu, bahkan jika apa yang
kauputuskan untuk lakukan itu berbahaya. Ibu tidak percaya bisa bicara seperti
ini." "Ibu - " Bunyi toilet disiram terdengar dari lorong apartemen kami.
"Ibu tak punya banyak waktu," ujarnya. "Percy, apa pun yang kauputuskan, Ibu
menyayangimu. Dan Ibu tahu kau akan lakukan yang terbaik demi Annabeth."
"Bagaimana Ibu bisa yakin?"
"Karena dia akan melakukan hal yang sama untukmu."
Dan bersamaan dengan ucapannya itu, ibuku menyapukan tangannya pada kabut,
dan koneksinya pun buyar, meninggalkanku dengan bayangan terakhir teman
barunya, Pak Blowfish, tersenyum pada ibu.
Aku tidak teringat jatuh tertidur, tapi aku ingat akan mimpiku.
Aku kembali berada di gua kosong itu, langit-langit menggantung rendah dan berat
di atasku. Annabeth berlutut di bawah tekanan gumpalan kegelapan yang tampak
seperti tumpukan batu. Annabeth sudah terlalu letih bahkan untuk berteriak
memanggil bantuan. Kakinya bergetar. Pada detik kapan pun, aku tahu dia akan
kehabisan tenaga dan langit-langit gua akan ambruk menindihnya.
"Bagaimana keadaan tamu manusia kami?" suara lelaki terdengar menggelegar.
Itu bukan suara Kronos. Suara Kronos terdengar parau dan menyakitkan telinga,
seperti bunyi belati digoreskan di atas batu. Aku sudah pernah mendengarnya
mengejekku beberapa kali dalam mimpiku. Tapi suara ini lebih dalam dan berat,
seperti gitar bas. Kekuatannya membuat tanah bergetar.
Luke muncul dari balik bayangan. Dia berlari menuju Annabeth, berlutut di
sisinya, kemudian melihat kembali pada sosok pria tak kasat mata. "Dia makin
melemah. Kita harus cepat-cepat."
Munafik. Seolah dia benar-benar mencemaskan kondisinya.
Suara dalam itu terkekeh. Suara itu berasal dari sosok yang berdiri di balik
bayangbayang, di sudut mimpiku. Kemudian sebuah tangan besar mendorong seseorang
maju ke bawah cahaya - Artemis - tangan dan kakinya di belengu dengan rantai
perunggu langit. Aku berdengap. Gaun peraknya sobek dan koyak di sana-sini. Wajah dan
lengannya memiliki luka sayat di berbagai sisi, dan dia mengucurkan darah ichor,
darah emas para dewa. "Kau dengar ucapan bocah tadi," seru sang pria di balik bayang-bayang.
"Putuskan!" Mata Artemis membakar dengan amarah. Aku tidak tahu mengapa dia tidak
memerintahkan saja rantainya untuk meledak, atau membuat dirinya sendiri
menghilang, tapi sepertinya dia tidak bisa melakukannya. Barangkali rantai itu
yang melemahkannya, atau suatu sihir dari tempat yang gelap dan mengerikan ini.
Sang dewi memandangi Annabeth dan raut mukanya berubah jadi cemas dan
marah. "Berani-beraninya kau menyiksa seorang gadis seperti ini!"
"Dia akan mati tak lama lagi," ujar Luke. "Kau bisa menyelamatkannya."
Annabeth mengeluarkan suara protes lemah. Jantungku serasa diremas-remas. Aku
ingin berlari ke arahnya, tapi aku tak dapat bergerak.
"Lepaskan ikatan tanganku," kata Artemis.
Luke menghunus pedangnya, Backbiter. Dengan satu ayunan jitunya, dia memecah
borgol sang dewi. Artemis berlari ke sisi Annabeth dan mengambil bebannya dari pundak Annabeth.
Annabeth terkulai ke tanah dan terbaring di sana dengan mengigil. Artemis
terhuyung, berusaha menahan berat bebatuan hitam.
Pria di balik bayangan terkekeh. "Kau sangat mudah ditebak selain juga mudah
dikalahkan, Artemis."
"Kau mengejutkanku," ujar sang dewi, masih berjuang menopang beban. "Ini tak
akan terjadi lagi." "Tentu saja tidak," ujar sang pria. "Sekarang kau sudah tak lagi bisa mengganggu
untuk selamanya! Aku tahu kau tak bisa menahan diri untuk tak membantu seorang
gadis muda. Toh, bukanlah itu yang menjadi keahlianmu, sayang."
Artemis mengerang. "Kau sama sekali tak mengenal belas kasih, dasar bajingan."
"Untuk hal yang satu itu," ucap sang pria, "kita bisa sepakat. Luke, kau boleh
bunuh gadis itu sekarang."
"Tidak!" teriak Artemis.
Luke ragu. "Dia - dia masih bisa berguna, Tuan. Sebagai umpan lanjutan."
"Bah! Kau benar-benar percaya itu?"
"Benar, Jenderal. Mereka akan datang untuknya. Aku yakin itu."
Sang pria mempertimbangkan. "Jika demikian, sang Drakaina (Dracaenae) bisa
mengawalnya di sini. Jika dia tidak mati dari luka-lukanya, kalu boleh
menyimpannya hidup-hidup hingga saat titik balik matahari musim dingin tiba.
Setelah itu, jika pengorbanan kita berjalan sesuai rencana, nyawa akan tak
berarti. Seluruh nyawa kaum manusia tak akan berarti."
Luke mengangkut tubuh lemas Annabeth dan membawanya pergi dari sang dewi.
"Kau tak akan temukan monster yang kaucari," ujar Artemis. "Rencanamu akan
gagal." "Betapa sedikit yang kauketahui, dewi mudaku," pria dalam bayang-bayang
berujar. "Bahkan pada saat ini, para pelayan kesayanganmu telah memulai misi
mereka mencarimu. Mereka akan langsung masuk dalam perangkapku. Sekarang,
kami harus permisi dulu, ada perjalanan jauh yang mesti kami tempuh. Kami harus
menyambut para Pemburumu dan memastikan misi mereka begitu ... menantang."
Tawa pria itu menggema dalam kegelapan, mengguncang tanah hingga seluruh gua
tampak akan segera ambruk.
Aku tersentak bangun. Aku merasa yakin aku barusan mendengar suara gebrakan.
Aku mengedarkan pandangan ke sepenjuru ruang kabin. Di luar tampak gelap.
Mata air laut masih bergemercik. Tak ada suara lain selain suara teriakan burung
hantu di hutan dan debur ombak di kejauhan pantai. Di bawah cahaya rembulan, di
atas meja sisi tempat tidurku, tergeletak topi New York Yankees kepunyaan
Annabeth. Aku memandanginya selintas, dan kemudian: BRAK. BRAK.
Seseorang, atau sesuatu, memukul-mukul pintuku.
Kuambil Riptide dan bangkit dari tempat tidur.
"Halo?" panggilku.
BUK. BUK. Aku merayap ke pintu. Kubuka tutup pedang, membuka pintu dengan cepat, dan menemukan diriku
berhadapan muka dengan seekor pegasus hitam.
Wah, bos! Suaranya terdengar di pikiranku saat ia bergerak mengelak dari acungan
pedangku. Aku nggak mau jadi kuda-ke-bab!
Sayap hitamnya merentang waspada, dan deru angin memukulku mundur
selangkah. "Blackjack," seruku, lega sekaligus jengkel. "Ini sudah tengah malam!"
Blackjack membuang napas berat. Tidak juga, bos. Sekarang jam lima pagi. Untuk
apa kau masih tidur"
"Sudah berapa kali kukatakan padamu" Jangan panggil aku bos."
Apa pun yang kaukatan, bos. Kaulah jagoannya. Kaulah orang nomor wahid
buatku. Kukucek sisa-sisa kantuk dari mataku dan berusaha untuk tak membiarkan sang
pegasus membaca pikiranku. Itulah masalah dari menjadi anak Poseidon: karena
dia menciptakan kuda-kuda dari buih laut, aku jadi bisa memahami pikiran
sebagian besar hewan tunggangan, tapi mereka juga bisa membaca pikiranku.
Terkadang, seperti kasus Blackjack ini, mereka seperti mengadopsiku.
Begini, Blackjack sempat ditawan di atas kapal Luke musim panas lalu, sampai
kami berhasil menciptakan sedikit hura-hara yang membuatnya bisa meloloskan
diri. Sebenarnya aku tak banyak andil saat kejadian itu, serius, tapi Blackjack
merasa merutang budi padaku karena telah menyelamatkannya.
"Blackjack," kataku, "kau mestinya menetap di istal."
Cuih, istal. Apa kau lihat Chiron tinggal di istal"
"Yah. Nggak sih."
Tepat. Dengar, kami mendapat teman-teman laut kecil lain yang butuh bantuan.
"Lagi?" Iya. Aku bilang pada hippocampus aku akan pergi memanggilmu.
Aku mengerang. Setiap kalinya aku berada di dekat pantai, para hippocampus akan
meminta bantuanku dengan berbagai masalah mereka. Dan mereka punya
segudang masalah. Mulai dari ikan paus terdampar di pantai, porpois terjaring
jala ikan, para putri duyung dengan bintil kuku - mereka akan memanggilku untuk
turun ke bawah air dan membantu.
"Baiklah," kataku. "Aku datang."
Kau paling hebat, Bos. "Dan jangan panggil aku bos!"
Blackjack meringkik pelan. Bisa jadi itu bunyi tawa.
Aku menoleh kembali pada ranjang nyamanku. Perisai perungguku masih
menggantung di dinding, penyok dan tak bisa digunakan. Dan di meja samping
ranjang ada topi Yankees ajaib Annabeth. Segera, aku menyelipkan topi itu ke
dalam sakuku. Kurasa aku sudah punya firasat, bahkan di kala itu, bahwa aku tak
akan kembali ke kabinku untuk waktu yang sangat lama.
Bab 8 Aku Membuat Janji Berbahaya
Blackjack memberiku tumpangan menuju pantai, dan harus kuakui ini sungguh
asyik. Menaiki kuda terbang, meluncur di atas gulungan ombak pada kecepatan
seratus enam puluh kilometer per jam dengan embusan angin menerpa rambutku
dan buih laut menciprati wajahku - hei, ini jelas mengalahkan serunya selancar
air. Di sini. Balckjack memelankan lajunya dan bergerak membentuk lingkaran. Lurus
ke bawah. "Makasih." Aku meluncur turun dari punggungnya dan terjun ke dalam laut beku.
Aku sudah terbiasa melakukan berbagai aksi semacam itu selama dua tahun
terkahir. Aku bisa bergerak leluasa di bawah air, hanya dengan memerintahkan
arus air untuk berubah di sekitarku dan mendorongku meluncur ke depan.
Aku bisa bernapas di bawah air, tak masalah, dan pakaianku tak pernah basah
kecuali aku menginginkannya.
Aku melesat ke bawah memasuki kegelapan.
Enam meter, sembilan meter, dua belas meter. Tekanannya tak terasa berat. Aku
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak pernah mencoba menekannya - untuk melihat apakah ada batasan seberapa
jauh aku bisa menyelam. Aku tahu sebagian besar manusia biasa tak akan bisa
melewati kedalaman enam puluh meter tanpa menjadi rusak seperti kaleng
alumunium. Mestinya aku juga sudah tak bisa melihat apa pun, berada jauh di
kedalaman air di tengah malam, tapi aku bisa melihat panas dari makhluk-makhluk
hidup, dan rasa dingin dari arus air. Susah dijelaskan. Tidak sama seperti
melihat secara normal, tapi aku bisa tahu di mana segala sesuatu berada.
Selagi aku mendekat ke dasar laut, aku melihat tiga hippocampus - kuda-kuda
dengan ekor ikan - berenang-renang dalam lingkaran mengitari perahu yang
terbalik. Ketiga hippocampus itu sungguh indah dilihat. Ekor-ekor ikan mereka
gemerlap dengan warna-warni pelangi, memancarkan pendar cahaya. Surai mereka
putih, dan mereka tengah berderap melintasi air seperti yang biasa dilakukan
kudakuda yang sedang gelisah menghadapi badai petir. Sesuatu jelas mengganggu
mereka. Aku mendekat dan menemukan masalahnya. Sebuah bayangan gelap - sejenis
binatang - terjepit oleh separuh badan perahu dan tersangkut oleh jala ikan, salah
satu dari jala-jala besar yang biasa digunakan dalam kapal pukat ikan untuk
meraup banyak tangkapan sekaligus. Aku benci jala seperti itu. Sudah cukup buruk
mereka telah menenggelamkan porpois dan lumba-lumba, namun mereka
terkadang juga menangkap hewan-hewan mitologi. Saat jaringnya terlilit, beberapa
nelayan pemalas hanya akan memotong jala itu dan membiarkan begitu saja hewan
yang tersangkut mati. Sepertinya makhluk malang ini sedang berjalan-jalan iseng di sekitar dasar Selat
Long Island dan entah bagaimana akhirnya mendapati dirinya tersangkut jala
perahu nelayan yang tenggelam ini. Makhluk itu telah berusaha membebaskan diri
dan akhirnya berhasil membuat dirinya tersangkut makin parah, hingga posisi
perahu pun bergerak. Kini bangkai lambung kapal, yang bersandar pada sebuah
batu besar, mulai goyah dan nyaris terjatuh menimpa hewan yang tersangkut.
Para hippocampus berenang-renang kalut, ingin menolong namun tak tahu
bagaimana caranya. Satu hippocampus berusaha menggigit jalanya, namun gigigigi
hippocampus memang tidak diciptakan untuk memotong tali. Hippocampus
sangat kuat, tapi mereka tak memiliki tangan, dan mereka juga tidak (ssttt ...)
begitu pandai. Bebaskan ia, Tuan! ujar seekor hippocampus saat ia melihatku. Yang lain
mengikuti, meminta hal yang sama.
Aku berenang mendekat untuk melihat lebih jelas pada makhluk tersangkut itu.
Awalnya kukira makhluk itu adalah hippocampus muda. Aku sudah pernah
menyelamatkan beberapa dari mereka sebelumnya. Tapi kemudian aku mendengar
suara aneh, sesuatu yang tidak semestinya berada di dalam air:
"Moooooo!" Aku berenang ke sisi makhluk itu dan melihat bahwa ia adalah seekor sapi.
Sebenarnya ... aku sudah pernah mendengar tentang sapi-sapi laut, seperti ikan
duyung dan semacamnya, tapi ini jelas merupakan sapi dengan tubuh bagian
belakang berupa ular. Bagian setengah depannya adalah anak sapi - masih kecil
sekali, dengan bulu hitam dan mata cokelat besar sedihnya dan moncong putih dan setengah bagian belakangnya merupakan ekor ular hitam-dan-cokelat dengan
sirip-sirip memenuhi bagian atas hingga bawah, seperti seekor belut raksasa.
"Wow, makhluk kecil," kataku. "Dari mana asalmu?"
Makhluk itu memandangku sedih. "Moooo!"
Tapi aku tak bisa membaca pikirannya. Aku hanya mengerti bahasa kuda.
Kami belum tahu apa makhluk itu, Tuan, salah satu hippocampus bicara. Banyak
makhluk-makhluk aneh mulai bangkit.
"Iya," gumamku. "Itu yang kudengar.
Kubuka tutup Riptide, dan pedang itu tumbuh ke ukuran sebenarnya di tanganku,
bilah perunggunya berkilat di kegelapan.
Ular sapi itu panik dan mulai meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari jala,
matanya penuh ketakutan. "Wow!" seruku. "Aku tak akan melukaimu! Biarkan
aku memotong jalanya."
Tapi ular sapi itu menggelepar-gelepar dan jadi semakin tersangkut. Badan perahu
mulai miring, mengangkat kotoran-kotoran tanah di dasar laut dan hampir jatuh
menimpa badan si ular sapi. Para hippocampus meringkik panik dan
menggerakgerakkan badan mereka di dalam air, yang sama sekali tak membantu.
"Oke, oke!" seruku. Kusingkirkan pedang itu dan mulai mengajak bicara setenang
yang kubisa agar para hippocampus dan ular sapi itu berhenti panik. Aku tak tahu
apakah memungkinkan diseruduk di bawah air, tapi aku tidak terlalu ingin tahu.
"Tenang. Tak ada pedang. Lihat" Tak ada pedang. Pikiran-pikiran tenang.
Rerumputan laut. Mama-mama sapi. Vegetarianisme."
Aku ragu si ular sapi mengerti apa yang kukatakan, tapi ia menanggapi nada
suaraku. Para hippocampus masih gugup, tapi mereka sudah berhenti berputarputar
mengitariku dengan cepat.
Bebaskan ia, Tuan! mereka memohon.
"Iya," kataku. "Aku sudah mengerti bagian itu. Aku sedang berpikir, nih.
Tapi bagaimana aku bisa membebaskan ular sapi betina ini (aku putuskan makhluk
ini kemungkinan berjenis kelamin "perempuan") begitu panik melihat pedang"
Seolah ia sudah pernah melihat pedang sebelumnya dan tahu betapa
membahayakannya pedang itu.
"Baiklah," kataku pada para hippocampus. "Aku butuh kalian semua untuk
mendorong sesuai aba-abaku."
Awalnya kami mencoba menggerakkan perahu. Tidak mudah, tapi dengan tenaga
dari tiga kekuatan kuda, kami berhasil menggeser bengkai perahu itu hingga ia
tidak lagi mengancam terjatuh menimpa si ular sapi bayi. Kemudian aku beralih
mengurusi jalanya, menguraikan bagian yang terlilit sedikit demi sedikit,
meluruskan bagian pemberat dan sangkutan ikannya, menarik simpul yang
menjerat sekitar kaki-kaki si ular sapi. Rasanya dibutuhkan waktu lama sekali maksudku, ini lebih parah daripada saat aku harus menguraikan kabel-kabel
pengendali video gameku. Sepanjang waktu itu, aku terus berbicara dengan ikan
sapi itu, memberitahunya bahwa semua akan baik-baik saja sementara ia mengeluh
dan mengerang. "Tenanglah, Bessie," kataku. Jangan tanya padaku kenapa aku mulai
memanggilnya begitu. Aku hanya merasa itu sepertinya nama yang bagus untuk
seekor sapi. "Sapi baik. Sapi manis."
Akhirnya, jala itu pun terlepas dan sang ular sapi melesat melintasi air dan
bersalto dengan riangnya. Para hippocampus meringkik gembira. Terima kasih, Tuan!
"Moooo!" Ular sapi itu menyundulku dan memberiku tatapan mata cokelat
besarnya. "Iya," kataku. "Tidak apa-apa. Sapi manis. Yah ... lain kali berhati-hatilah."
Yang jadi mengingatkanku akan sesuatu, sudah berapa lama aku di bawah air"
Satu jam, setidaknya. Aku harus segera kembali ke kabinku sebelum Argus atau
para harpy mengetahui bahwa aku telah melanggar jam malam.
Aku melesat ke atas dan memecah permukaan. Dengan segera, Blackjack menukik
turun dan membiarkanku berpegangan pada lehernya. Ia mengangkatku ke udara
dan membawaku pulang menuju pantai.
Sukses, Bos" "Iya. Kami berhasil menyelamatkan seekor bayi ... nggak tahu sih bayi apaan.
Lama banget. Hampir saja diseruduk."
Perbuatan baik selalu mengundang bahaya, Bos. Kau juga telah menyelamatkan
aku, bukan" Aku tak bisa berhenti memikirkan arti mimpiku, dengan Annabeth terkulai seolah
tanpa nyawa di tangan Luke. Di sini aku menyelamatkan bayi-bayi monster,
namun aku tak bisa menyelamatkan temanku sendiri.
Selagi Blackjack terbang pulang menuju kabinku, aku sempat menoleh pada
paviliun makan. Aku melihat bayangan - seorang anak laki-laki sedang merunduk
di balik sebuah tiang Yunani, seolah dia sedang bersembunyi dari seseorang.
Itu adalah Nico, tapi sekarang bahkan belum datang fajar. Masih lama dari waktu
sarapan. Apa yang dia lakukan di atas sana"
Aku ragu. Hal terakhir yang kuinginkan adalah menghabiskan waktu lagi
mendengarkan Nico bercerita tentang permainan Mythomagicnya. Tapi ada
sesuatu yang tak benar. Aku bisa tahu dari melihat caranya berjongkok.
"Blackjack," kataku, "turunkan aku di bawah sana, yah" Di belakang tiang itu."
Aku hampir saja mengacaukannya.
Aku sedang berjalan menaiki tangga ke belakang Nico. Dia tidak melihatku sama
sekali. Nico berada di belakang tiang, mengintip ke pojokan, seluruh
perhatiannya terfokus pada area makan. Aku berjarak satu setengah meter darinya, dan aku baru
saja hendak menyapa Apa yang kaulakukan" Dengan lantangnya, saat kusadari dia
tengah meniru Grover: dia sedang memata-matai para Pemburu.
Ada suara-suara - dua gadis berbicara di meja makan. Di pagi buta begini" Yah,
kecuali jika mereka dewi fajar, kurasa.
Kuambil topi ajaib Annabeth dari dalam sakuku dan memakainya.
Aku tak merasa berbeda, tapi saat aku mengangkat kedua tanganku aku tak bisa
melihatnya. Aku tak kelihatan.
Aku merayap mendekati Nico dan mengendap ke belakangnya. Aku tak bisa
melihat kedua gadis itu dengan baik di kegelapan, tapi aku mengenali suara
mereka: Zo? dan Bianca. Sepertinya mereka sedang berdebat.
"Itu tak bisa disembuhkan," ujar Zo?. "Setidaknya, tidak dalam waktu cepat."
"Tapi bagaimana itu bisa sampai terjadi?" tanya Bianca.
"Kelakar bodoh," geram Zo?. "Anak-anak Stoll dari kabin Hermes itu. Darah
centaurus sama seperti asam. Semua orang tahu itu. Mereka menciprati bagian
dalam kaus Tur Berburu Artemis dengannya."
"Itu buruk sekali!"
"Dia akan hidup," kata Zo?. "Tapi dia harus dirawat tidur selama beberapa minggu
dengan ruam kulit yang parah. Tak mungkin dia bisa pergi. Kini semua bergantung
pada diriku ... dan engkau."
"Tapi ramalan itu," ujar Bianca. "Kalau Phoebe tak bisa pergi, hanya akan
berempat. Kita harus pilih satu orang lagi."
"Tak ada waktu," ucap Zo?. "Kita harus berangkat di awal fajar. Itu sebentar
lagi. Lagi pula, ramalan itu menyebutkan kita akan kehilangan satu orang."
"Di dataran tanpa hujan," kata Bianca, "tapi itu tak mungkin di sini."
"Bisa saja," ucap Zo?, meski dia tidak terdengar yakin. "Perkemahan memiliki
perbatasan sihir. Tak ada apa pun, bahkan cuaca sekalipun, yang dibiarkan masuk
tanpa izin. Tempat ini bisa jadi dataran tanpa hujan."
"Tapi - " "Bianca, dengarkan aku." Suara Zo? menegang. "Aku ... aku tak bisa menjelaskan,
namun aku merasa bahwa kita tak semestinya memilih satu orang lagi. Ini akan
terlalu berbahaya. Mereka akan menemukan akhir yang lebih mengerikan dari
Phoebe. Aku tak mau Chiron memilih seorang pekemah sebagai teman kelima kita.
Dan ... aku tak ingin berisiko kehilangan seorang Pemburu lagi."
Bianca terdiam. "Kau harus ceritakan pada Thalia keseluruhan mimpimu."
"Tidak. Itu tak akan membantu."
"Tapi, kalau kecurigaanmu benar, mengenai sang Jenderal - "
"Aku sudah memegang janji engkau untuk tak lagi membicarakan itu, " ujar Zo?.
Dia terdengar sangat terganggu. "Kita akan segera tahu. Sekarang mari, fajar
akan segera tiba." Nico menyingkir cepat dari jalan mereka. Dia lebih cepat dariku.
Selagi kedua gadis itu berlari menuruni tangga, Zo? hampir saja menabrakku. Dia
mematung, matanya memicing. Tangannya merayap ke busurnya, tapi kemudian
Bianca berujar, "Lampu-lampu di Rumah Besar sudah menyala. Ayo cepat!"
Dan Zo? pergi mengikutinya keluar paviliun.
Aku tahu Nico sedang berpikir. Dia mengambil nafas dalam dan baru hendak
berlari mengejar kakaknya saat aku melepas topi tak kasat mata dan berujar,
"Tunggu." Dia hampir saja terpeleset di anak tangga es saat dia memutar tubuh mencariku.
"Kau muncul dari mana?"
"Aku berada di sini sedari tadi. Tak kasat mata."
Dia menggumamkan kata tak kasat mata tanpa suara. "Wow. Keren."
"Bagaimana kau bisa tahu Zo? dan kakakmu berada di sini?"
Wajah Nico memerah. "Aku dengar mereka berjalan melewati kabin Hermes. Aku
nggak ... aku nggak bisa tidur dengan nyenyak di perkemahan. Jadi aku dengar
suara langkah kaki, dan mereka berbisik. Dan jadi kau mengikuti, gitu deh."
"Dan sekarang kau berpikir untuk mengikuti mereka dalam misi ini," aku
menebak. "Bagaimana kau tahu?"
"Karena kalau itu saudariku, aku pasti akan berpikir begitu. Tapi kau tak bisa."
Nico tampak menantang. "Karena aku masih terlalu kecil?"
"Karena mereka tak akan mengizinkanmu. Mereka akan menangkapmu dan
mengirimmu kembali ke sini. Dan ... iya juga, karena kau terlalu kecil. Kau
ingat manticore" Akan ada lebih banyak makhluk-makhluk semacam itu. Lebih
berbahaya. Sebagian pahlawan akan tewas."
Bahunya melorot. Kaki-kakinya bergerak-gerak gelisah. "Mungkin kau benar.
Tapi, tapi kau bisa pergi mewakiliku."
"Apa kaubilang?"
"Kau bisa berubah tak kasat mata. Kau bisa pergi!"
"Para Pemburu tak menyukai laki-laki," aku meng-ingatkannya. "Kalau mereka
sampai tahu - " "Jangan biarkan mereka sampai tahu. Ikuti mereka tanpa terlihat. Awasi kakakku!
Kau harus melakukannya. Kumohon?"
"Nico - " "Kau toh berencana untuk pergi, kan?"
Aku ingin mengatakan tidak. Tapi dia menatap mataku tajam, dan aku tak bisa
berbohong padanya. "Iya," kataku. "Aku harus mencari Annabeth. Aku harus membantu, bahkan kalau
pun mereka tidak mau aku ikut."
"Aku tak akan mengadukanmu," katanya. "Tapi kau harus berjanji untuk menjaga
kakakku. "Aku ... itu janji yang berat, Nico, dalam perjalanan seperti ini. Lagi pula,
kakakmu kan punya Zo?, Grover, dan Thalia - "
"Janji," desaknya.
"Aku akan berusaha sebisa mungkin. Aku janji itu."
"Ayo pergi, kalau gitu!" ujarnya. "Semoga berhasil!"
Ini sungguh gila. Aku belum berkemas. Aku tak membawa apa-apa selain topi dan
pedang dan pakaian yang kukenakan. Aku seharusnya bersiap pulang ke
Manhattan pagi ini. "Bilang pada Chiron - "
"Aku akan karang-karang alasan." Nico tersenyum licik. "Aku jago dalam hal itu.
Ayo pergilah!" Aku berlari, sembari memakai kembali topi Annabeth. Saat matahari tengah terbit,
aku berubah tak kasat mata. Aku tiba di puncak Bukit Blasteran tepat untuk
melihat van kemah menghilang menyusuri jalan pedesaan, mungkin Argus
mengantar kelompok misi ke kota. Setelah itu mereka akan bergerak sendiri.
Aku merasa timbulnya desakan rasa bersalah, dan bodoh, juga. Bagaimana aku
bisa mengejar mereka" Dengan berlari"
Kemudian kudengar suara kepakan sayap besar. Blackjack mendarat di sisiku. Ia
mulai mengendus-endus santai seberkas rumput yang mencuat dari es.
Kalau aku bisa menebak. Bos, kurasa kau butuh kuda untuk berpergian. Kau
tertarik" Gumpalan rasa syukur menyumbat kerongkonganku, tapi aku berhasil berujar,
"Yeah. Ayo kita terbang."
Bab 9 Aku Belajar Cara Menumbuhkan Zombie-Zombie
Hal penting dari terbang dengan pegasus di siang hari adalah kalau kau tidak
berhati-hati, kau bisa mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang serius di Jalan
Tol Long Island. Aku harus menjaga Blackjack agar tetap tertutupi awan, yang
untungnya, awan-awan itu menggantung cukup rendah di musim dingin. Kami
terus meluncur, berusaha menjaga van Perkemahan Blasteran tetap dalam jarak
pandang. Dan jika di daratan cuaca begitu dingin, maka di atas udara rasanya
jauh lebih dingin lagi, dengan hujan es menusuk kulitku.
Aku berpikir andai saja aku sempat membawa pakaian dalam penghangat
Perkemahan Blasteran yang mereka jual di toko perkemahan, tapi setelah cerita
tentang Phoebe dan kaus berdarah centaurus, aku tak lagi yakin aku masih bisa
memempercayai produk-produk mereka.
Kami kehilangan van itu dua kali, tapi aku memiliki firasat tajam mereka akan
pergi melalui Manhattan terlebih dulu, jadi tak terlalu sulit untuk menelusuri
jejak
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka kembali. Arus kendaraan sangat padat dengan datangnya musim liburan. Saat itu sudah
menjelang siang saat mereka memasuki kota. Aku mendaratkan Blackjack di dekat
puncak Gedung Chrysler dan memandangi van kemah putih, mengira ia akan
berhenti di pangkalan bus, tapi ia terus saja melaju.
"Ke mana Argus membawa mereka?" gumamku
Oh, bukan Argus yang nyetir, Bos, Blackjack memberitahukanku. Gadis itu yang
nyetir. "Gadis yang mana?"
Gadis Pemburu. Dengan semacam mahkota perak di rambutnya.
"Zo??" Iya, yang itu. Hei, lihat! Di sana ada toko donat. Bisakah kita mampir beli
donat buat di jalan" Aku berusaha menjelaskan pada Blackjack bahwa membawa kuda terbang
memasuki toko donat akan menyebabkan semua polisi yang berada di dalam
terkena serangan jantung, tapi ia sepertinya tidak mengerti. Sementara, van itu
terus menyelap-nyelip menuju Terowongan Lincoln. Bahkan tak pernah terpikir
olehku bahwa Zo? dapat menyetir. Maksudku, dia tak tampak berumur enam belas.
Tapi kalau dipikir lagi, toh dia hidup abadi. Aku bertanya-tanya apakah dia
memiliki SIM New York, dan jika punya, apa data tanggal kelahirannya yang
tercantum di sana. "Yah," kataku. "Ayo kita kejar mereka."
Kami baru hendak melompat dari Gedung Chrysler saat Blackjack meringkik
terkejut dan hampir menjatuhkanku. Sesuatu meliliti kakiku seperti ular. Aku
meraih pedangku, tapi saat aku melihat ke bawah, tak ada ular. Sulur - sulur
anggur - menyeruak dari celah-celah bebatuan gedung. Sulur itu membelit seputar
kaki Blackjack, mengikat pergelangan kakiku sehingga kami tak bisa bergerak.
"Mau pergi ke mana?" tanya Pak D.
Dia sedang bersandar di dinding gedung dengan kaki melayang di udara, jaket
hangat kulit-macannya dan rambut hitamnya melambai-lambai terterpa angin.
Ada dewa! teriak Blackjack. Itu si pria anggur!
Pak D mendesah kesal. "Orang berikutnya, atau kuda berikutnya, yang
memanggilku 'pria anggur' akan berakhir dalam botol Merlot!"
"Pak D." Aku berusaha menjaga suaraku tetap tenang selagi sulur-sulur anggur itu
terus membelit tungkai kakiku. "Apa yang Bapak inginkan?"
"Oh, apa yang aku inginkan" Kau pikir, barangkali, direktur perkemahan yang
kekal dan sangat berkuasa tak akan mengetahui kau pergi tanpa izin?"
"Yah ... barangkali."
"Seharusnya aku lempar kau dari atas gedung ini, tanpa kuda terbang, dan kita
lihat bagaimana heroiknya teriakanmu saat terjatuh."
Kukepalkan tanganku. aku tahu aku seharusnya tutup mulut, tapi Pak D akan
membunhuku atau menyeretku kembali ke perkemahan dengan memalukan, dan
aku tak tahan memikirkan dua kemungkinan itu. "Kenapa Bapak begitu
membenciku" Apa yang pernah kuperbuat padamu?"
Api ungu berpijar di matanya. "Kau adalah pahlawan, Nak. Aku tak butuh alasan
lain lagi." "Aku harus pergi dalam misi ini! Aku harus bantu teman-temanku. Itu sesuatu
yang tak akan kau mengerti!"
Ehm, bos, Blackjack berkata gugup. Mengingat kita terikat sulur-sulur tiga ratus
meter di udara, kau mungkin bisa bicara lebih manis sedikit.
Ikatan sulur-sulur anggur itu mengencang di seputar tubuhku. Di bawah kami, van
putih itu tampak makin menjauh. Tak lama lagi ia akan menghilang dari
pandangan. "Pernahkah kuceritakan padamu kisah tentang Ariadne?" tanya Pak D. "Putri muda
jelita dari Kreta" Dia juga senang menolong teman-temannya. Bahkan, dia pernah
menolong seorang pahlawan muda bernama Theseus, juga putra Poseidon. Sang
putri memberinya satu bola benang rajut ajaib yang memberinya petunjuk arah
untuk keluar dari sebuah Labirin. Dan tahukah kau bagaimana Theseus
menunjukkan rasa terima kasihnya?"
Jawaban yang ingin kuberikan adalah Masa bodoh! Tapi aku merasa jawaban itu
tak akan membuat Pak D mengakhiri ceritanya lebih cepat.
"Mereka menikah," ujarku. "Hidup bahagia selama-lamanya. Tamat."
Pak D mencibir. "Tidak tepat. Theseus bilang dia ingin menikahinya. Dia
membawa putri itu menaiki kapalnya dan berlayar menuju Athena. Di tengah
perjalanan, di sebuah pulau kecil bernama Naxos, dia ... Apa kata yang biasa
digunakan manusia masa kini" ... dia mencampakkannya. Aku temukan putri itu di
sana, kautahu. Sendiri. Patah hati. Menangis habis-habisan. Dia telah
mengorbankan segalanya, menginggalkan semua yang dia miliki, demi membantu
seorang pahlawan muda nan perkasa yang mencampakkannya begitu saja seperti
sebuah sandal rusak."
"Itu memang salah," kataku. "Tapi itu seudah terjadi ribuan tahun lalu. Apa
hubungannya itu dengan aku?"
Pak D menatapku dingin. "Aku jatuh cinta pada Ariadne, Nak. Aku sembuhkan
luka hatinya. Dan saat dia meninggal, aku menjadikannya sebagai istri abadiku di
Olympus. Dia masih menantiku hingga sekarang. Aku akan kembali padanya
begitu aku selesai dengan seabad hukuman di perkemahan konyol kalian yang
serasa berada di neraka."
Aku menatapnya. "Kau ... Bapak sudah menikah" Tapi kukira kau mendapat
masalah karena mengejar seorang peri pohon - "
"Maksud yang ingin kusampaikan adalah bahwa kalian pahlawan tak pernah
berubah. Kalian menuduh kami para dewa bersikap dangkal. Kalian seharusnya
melihat diri kalian sendiri. Kalian hanya mengambil apa yang kalian inginkan,
memanfaatkan siapa pun yang kalian perlukan, dan lantas kalian mengkhianati
semua orang di sekitar kalian. Jadi mengertilah mengapa aku tak pernah senang
dengan pahlawan. Mereka adalah kumpulan orang-orang egois yang tak punya rasa
terima kasih sedikit pun. Tanyakan saja pada Ariadne. Atau medea. Bahkan, coba
saja tanyakan pada Zo? Nightshade."
"Apa maksud Bapak, tanyakan pada Zo??"
Dia melambaikan tangannya seperti mengusir. "Pergilah. Itu teman-teman
konyolmu itu." Sulur-sulur pun melepas belitan seputar kakiku.
Aku mengerjapkan mata tak percaya. "Kau ... Bapak membiarkanku pergi" Begitu
saja?" "Ramalan itu menyebutkan setidaknya dua dari kalian akan mati. Barangkali aku
beruntung dan kau termasuk salah satunya. Tapi ingat kata-kataku, Putra
Poseidon, hidup atau mati, kau tak akan lebih baik dari pahlawan-pahlawan bajingan
lainnya." Bersamaan dengan itu, Dionysus menjentikkan jarinya. Sosoknya melipat seperti
pajangan kertas. Ada bunyi pop dan dia pun menghilang, meninggalkan bau samar
anggur yang dengan cepat terhapus oleh hembusan angin.
Nyaris saja, ujar Blackjack.
Aku mengangguk, meski jadi berpikir bahwa aku tak akan secemas ini jika saja
Pak D menyeretku kembali ke perkemahan. Fakta bahwa dia membiarkanku pergi
menunjukkan dia benar-benar meyakini bahwa kemungkinan besar kami akan
hancur lebur dalam misi ini.
"Ayo, Blackjack," seruku, berusaha terdengar ber-semangat. "Akan kubelikan kau
donat di New Jersey."
Ternyata nantinya, aku tidak jadi membelikan Blackjack donat di New Jersey. Zo?
berkendara terus ke selatan seperti orang sinting, dan kami hendak memasuki
Maryland saat dia akhirnya berhenti di tempat pemberhentian. Blackjack nyaris
terjatuh dari langit, saking letihnya.
Aku baik-baik saja, Bos, ujarnya terengah-engah. Hanya ... hanya ambil napas.
"Berhentilah di sini," kataku padanya. "Aku akan melihat-lihat."
'Berhenti di sini,' bagus itu. Aku bisa melakukannya.
Kukenakan topi tak kasat mataku dan berjalan memasuki toko. Sulit untuk tak
sembunyi-sembunyi. Aku harus mengingatkan diriku sendiri bahwa tak ada siapa
pun yang bisa melihatku. Namun, itu pun sukar dilakukan karena aku juga harus
ingat untuk menyingkir dari arah jalan orang-orang agar mereka tak menabrakku.
Aku berpikir aku akan masuk ke dalam dan menghangatkankan diri, barangkali
sekalian mengambil segelas cokelat panas atau semacamnya. Aku punya sedikit
uang receh dalam sakuku. Aku bisa meninggalkannya di konter. Aku bertanyatanya
apakah gelas itu akan berubah tak kasat mata saat aku memegangnya, atau
apakah aku harus berurusan dengan masalah cokelat panas terbang, ketika seluruh
rencanaku tiba-tiba dirusak oleh Zo?, Thalia, Bianca, dan Grover yang melangkah
keluar dari toko. "Grover, apa kau yakin?"
Iblis Sungai Telaga 7 Senopati Pamungkas I Karya Arswendo Atmowiloto Bende Mataram 29
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama