Miss Pesimis Karya Alia Zalea Bagian 2
sepertiku. Aku berdiri dari kursi karena kulihat Baron berjalan perlahan-lahan ke arahku.
"Didi," ucap Baron setelah dia berada beberapa langkah di hadapanku. Dari
nada suaranyam, Baron seakan-akan menanyakannya padaku, tapi aku rasa dia
hanya menggumamkan namaku pada dirinya sendiri.
www.ac-zzz.tk Baron tidak berubah banyak, wajahnya yang dulu sangat mulus tanpa jerawat
masih sama meskipun tubuhnya yang dulu tinggi besar kini terlihat lebih gempal
dan lebih kekar. Satu-satunya perbedaan yang dapat kulihat adalah rambut ikalnya
yang dulu dibiarkan berantakan sekarang dipotong pendek dan di-gel dengan rapi.
Baron yang sedang berdiri kurang dari satu meter di hadapanku adalah Baron yang
aku ingat dari lima belas tahun yang lalu.
Tanpa bisa mengontrol diriku, tiba-tiba aku bergerak untuk memeluknya. Dan
untuk pertama kali aku dapat merasakan sengatan listrik yang kurasakan ketika
Ervin menyentuhku hampir dua tahun yang lalu tapi dengan dosis yang lebih tinggi
sehingga membuat lututku lemas. Aku dapat merasakan bahwa seluruh tubuh
Baron pun menegang. Tapi aku yakin bahw aitu bukan disebabkan oleh sengatan
listrik yang kurasakan, tapi lebih karena kaget. Aku masih dapat mencium aroma
Baron yang dulu pula, aromanya yang khas, yang merupakan paduan pewangi
pakaian dengan sedikit wangi parfum yang hingga kini tidak bisa kutebak
brandnya. Setelah beberapa saat, aku dapat merasakan tubuh Baron mulai relaks dan
membalas pelukanku, kemudian kami pun bergerak untuk memisahkan diri dari
pelukan itu. "Apa kabar?" tanyaku dengan nada tenang yang dipaksakan. Bila kakakku ada
bersamaku, dia pasi tahu bahwa meskipun nada suaraku itu terdengar ceria, tapi
sebenarnya menyiratkan ketegangan di dalam hatiku.
Baron mencium pipiku, dan aku membalasnya.
"Baik," jawabnya.
Aku hanya bisa tersenyum atas jawabannya. "Mau ke mana?" tanyaku setelah
aku sadar kembali dari shock-ku.
"Oh, pulang ke Jakarta, baur ada urusan di sini buat beberapa hari."
"Kerjaan?" "Iya, aku sekarang Stock Trader, jadi biasa, suka bolak-balik ke luar negeri."
"Oh... seru nggak jadi Stock Trader?" Setelah mengucapkan pertanyaan itu aku
rasanya mau menendang diriku sendiri. Pertanyaan bego apa pula itu" Memangnya
main Counter Strike, seru" Dasar blo"on.
Baron mengangguk dan menggerakkan tangan yang menandakan bahwa
www.ac-zzz.tk pekerjaan itu hanya so-so. Ketika dia melakukannya aku melihat bahwa di jari
manis tangan kanannya ada sebentuk cincin emas yang jelas-jelas terlihat seperti
cincin kawin. Aku berusaha keras tidak memfokuskan tatapanku pada cincin itu, tapi
ternyata tidak berhasil. "Omong-omong, Kal cerita ketemu kamu di bandara waktu itu," lanjut Baron.
"Iya. Selamat ya buat tunangannya, aku juga ketemu Olivia."
"Iya makasih. Oli cerita ketemu kamu."
"So, kapan dong D-day-nya?" Aku berusaha keras untuk tidak terdengar jealous,
tapi tidak berhasil. "Masih belum diputusin, masih mikir-mikir." Ketika mendengar kata-kata itu,
entah kenapa tapi hatiku terasa agak lega, karena sekarang aku bisa yakin bahwa
mereka belum menikah. Tiba-tiba ground crew Singapore Airlines mengumumkan bahwa pesawatku
sudah siap boarding. "Di, boarding," panggil Ina.
Aku mengangguk ke arah Ina dan menghadap kembali ke Baron. "I think that's
my call." Rupanya ketika aku sedang memandang Ina, Baron mengeluarkan kartu nama
dari dompetnya. Ketika aku menghadap kembali padanya, dia menyodorkan kartu
itu padaku. "Di, ini kartu nama aku. Kita harus ngobrol lebih lama lagi ya.
Telepon aku kapan-kapan, mungkin kita bisa pergi makan siang bareng."
Aku mengambil kartu namanya dan merogoh tasku, mencari kartu namaku.
Setelah menemukannya, buru-buru kuberikan padanya.
"I'll call you," ucpaku, kemudian melangkah untuk memeluk Baron. Bukannya
ganjen, tapi aku berusaha keras untuk mengenang detik-detik ini, karena aku tahu
bahwa bisa jadi ini yang terakhir.
Baron bergerak untuk memelukku. Kekakuan yang terasa beberapa menit yang
lalu kini sudah hilang dan aliran listrik yang kurasakan sebelumnya sudah agak
berkurang. Setelah memberikan ciuman di pipi masing-masing untuk terakhir
kalinya, aku pun beranjak masuk ke dalam belalai menuju pesawatku. Ina yang
menungguku di samping pintu masuk belalai hanya menatap bingung melihat
www.ac-zzz.tk wajahku yang pucat. Aku merasa limbung. Tapi aku memberikan tanda padanya
untuk masuk ke pesawat secepat mungkin.
Aku berusaha keras untuk tidak berbalik untuk melihat apakah Baron masih
menungguku di luar. Alasan pertama adalah karena aku tidak mau melihatnya di
sana, berdiri menunggu hingga aku hilang dari pandangannya, dan yang kedua,
aku takut bahwa aku tidak akan menemukannya di sana padahal dalam hati aku
betul-betul berharap dia menungguku. I am so confused.
Beberapa menit setelah pesawat kami lepas landas, Ina mencoba mencari tahu
siapakah laki-laki yang tadi ngobrol denganku. Pertama-tama aku memutuskan
untuk berdiam diri tanpa mengatakan apa-apa, tapi akhirnya aku menyerah. Aku
memang pernah bercerita kepada Ina tentang Baron, tapi itu hanya sekilas. Ketika
aku menyebutkan nama Baron kepadanya, mata Ina langsung melebar. Untuk
pertama kalinya aku bertanya-tanya apa Ina tahu lebih banyak mengenai
perasaanku terhadap Baron daripada yang kubiarkan dilihat semua orang di dunia
ini. Aku harus lebih berhati-hati lagi dengan Ina, ucapku dalam hati. Kalau Ina
sampai tahu tentang perasaanku terhadap Baron, maka sudah pasti kakakku pun
tahu dan itu berarti aku akan diceramahi olehnya. Kakakku adalah orang paling
praktis yang kukenal, sehingga kalau menurutnya suatu hubungan tidak akan
berakhir dengan baik, maka dia tidak akan melanjutkan hubungan itu. Kalau
kakakku tahu tentang Baron dan statusnya yang akan segera menikah, maka dia
akan memintaku untuk melupakan Baron secepat mungkin. Sedangkan aku masih
belum bisa melepaskan lelaki itu. Aku masih perlu waktu.
*** Tiga hari setelah kepulanganku dari Singapura, aku mencoba melupakan
pertemuanku dengan Baron, tapi entah kenapa kepalaku menolak ide itu. Alhasil
aku mengalami kesengsaraan hati yang tidak terobati. Selama ini aku sudah cukup
mengenal diriku sendiri bahwa kalau mulai merasa melankolis, aku biasanya
langsung menumpahkan perhatianku pada hal-hal lain yang bisa membuatku lupa
dengan persoalan sebenarnya. Pada saat ini, karena satu-satunya hal yang bisa
dijadikan pelarian adalah pekerjaanku, aku akhirnya bekerja seperti orang
www.ac-zzz.tk kesetanan. Aku adalah orang pertama yang tiba di kantor dan orang terakhir yang
meninggalkan kantor. Bosku yang melihatku jadi super-rajin dan tidak bisa diam,
yakin kalau aku mungkin lupa minum Ritalin, obat yang biasanya diminum oleh
orang-orang yang memiliki ADHD alias Attention Deficit and Hyperactive Disorder.
Ternyata kolega-kolegaku juga merasa bahwa aku hidup di kantor dan tidak pernah
pulang. Malam itu, aku menimbang-nimbang apakah aku harus menelepon Baron dan
menyelesaikan permasalahan yang sudah berlarut-larut ini. Aku memegang kartu
namanya, Thomas Baron Iskandarsyah. Nama yang selama ini ada di kepalaku,
selalu ada di kepalaku dan tidak mau pergi. Aku tertawa sendiri, menertawakan
nasibku yang menyedihkan ini.
Aku berpikir bahwa tiga hari setelah pertemuan kami adalah waktu yang cukup
untuk menghubungi Baron sekadar untuk basa-basi. Tentunya apabila Ina dan
Mbak Tita tahu aku melakukan ini, nasibku tidak akan jauh dari Joan of Arc. Aku
memegang kartu nama itu di tangan kiriku dan HP di tangan kananku. Setelah
mengumpulkan cukup keberanian aku pun menekan nomor HP Baron. Hatiku
bagaikan sedang berlari di atas treadmill dengan kecepatan 100 kilometer per
jam, menunggu hingga terdengar nada sambung dari ujung saluran telepon. Aku hampir
saja melepaskan Hp dari tanganku yang terasa agak basah ketika terdengar nada
sambung. Setelah sekitar enam deringan dan tidak ada yang menjawab, aku sudah
siap untuk menutup teleponku, tetapi tiba-tiba dari ujung telepon itu terdengar
suaranya berkata, "Halo."
Ketika mendengar suara itu aku yakin jantungku berhenti selama satu menit,
meskipun mungkin tidak selama itu. Otakku bagaikan sedang dimasukkan ke mesin
cuci, berputar dan berputar, mencoba untuk memutuskan apakah aku cukup bernai
untuk mengatakan bahwa itu aku. Kemudian kudengar Baron berkata lagi, kini
dengan nada lebih serius.
"Halo." Secercah keberanian terasa di hati kecilku, dan aku melakukan hal yang aku
tidak pernah lakukan sebelumnya, aku menekan tombol END di HP-ku dan
hilanglah sambungan telepon itu. Kubiarkan HP meluncur dari tanganku ke atas
www.ac-zzz.tk bantal dan menggeram keras. Tiba-tiba HP-ku berbunyi. Hatiku bagaikan beku, aku
betul-betul bego menelepon Baron ke HP-nya. Tentu saja dia bisa melihat nomor
yang menelepon dan menelepon balik. Sesaat perasaan panik menghujaniku.
Ya ampun, dia bisa lihat nomor HP gue, dia tahu itu gue, Ampun Adriiii... bego
banget sih elo!!! Aku duduk tegak di tempat tidurku. Memandangi HP-ku yang masih berdering
seolah benda itu mengandung radioaktif. Beberapa saat kemudian HP-ku berhenti
berbunyi dan aku kembali menenggelamkan tubuhku di antara bedcover dan
bantalbantal yang menutupi tempat tidurku. Setelah merasa cukup tenang aku
mengangkat HP-ku untuk melihat nomor telepon yang missed call. Aku langsung
tahu itu nomor Baron. Aku juga melihat bahwa ada voice mail di mailbox-ku.
"Halo, ini Thomas Iskandarsyah, barusan ada yang menghubungi saya dari
nomor ini tapi koneksinya sepertinya kurang bagus dan putus. Kalau ini memang
emergency, silakan hubungi saya lagi di nomor ini atau hubungi saya di rumah,
nomornya..." Kemudian suara Baron mengulangi pesan itu dalam bahasa Inggris.
Aku berpikir, lho kok dia nggak tahu itu gue ya" Lalu aku teringat bahwa
nomor HP-ku memang tidak tertera di kartu namaku, hanya alamat, e-mail, nomor
telepon, dan nomor faks kantor. Ketika sadar bahwa aku sudah ketakutan tanpa
sebab, aku pun terbahak-bahak, tertawa sendiri di kamarku. Ibuku yang mendengar
tawaku yang menggelegar sempat melongokkan kepalanya di pintu untuk
menanyakan apa yang lucu. Aku hanya mengatakan padanya bahw aada sesuatu
yang lucu di buku yang sedang kubaca. Aku memandang-mandangi kartu nama
Baron lebih lama lagi, menimbang-nimbang apakah aku akan menyimpannya. Aku
takut kalau aku memutuskan untuk menyimpan kartu nama itu suatu saat aku bisa
jadi gila dan iseng-iseng meneleponnya lagi. Akhirnya aku menyimpan kartu nama
itu di sebuah kotak dan meletakkannya di dalam laci mejaku yang paling bawah.
9. MERENUNGI NASIB BEBERAPA hari setelah kepulanganku dari Singapura, hari-hariku dihiasi
persiapan-persiapan heboh perayaan Nujuh Bulanan kakakku. Jenis kelamin si bayi
adalah laki-laki. Nama juga sudah dipilih, Lukas. Nama yang menurutku sangat
bagus dan terdengar kuat. Mudah-mudahan Lukas akan memiliki wajah seperti
www.ac-zzz.tk Lukas Haas atau Luke Wilson atau bahkan Luke Skywalker ketika dia beranjak
dewasa. Pesta Nujuh Bulanan itu ternyata benar-benar meriah. Cuaca di luar yang agak
mendung menambah kedramatisan suasana sore itu. Entah kenapa, suasana acara
itu membuatku agak sedih, terharu, dan mengingatkanku bahwa semakin hari aku
semakin tua. Tambahan lagi, beberapa bude, pakde, oom, dan tanteku membuatku
ingin menangis tersedu-sedu sambil guling-guling di lantai karena
pertanyaanpertanyaan mereka. "Di, kapan nyusul Mbak Tita?" Pertanyaan yang berasal dari bude-bude yang
masih cukup sopan. "Pacarnya kok nggak dibawa?" Pertanyaan dari bude dan pakde yang agak
kurang sopan. "Gimana kabar cowok kamu?" Pertanyaan yang sangat ngeledek.
"Sudah ada pacar belum" Apa mau Bude kenalin sama anak temannya Bude?"
Pertanyaan yang kurang ajar.
Intinya selama acara itu, aku rasanya ingin menggeret laki-laki tak dikenal
untuk pura-pura jadi pacarku biar semua bude, pakde, oom, dan tanteku puassssss.
Setelah pulang dari rumah kakakku malam itu, aku memutuskan untuk tidak
menerima telepon dari siapa pun dan berdiam diri di kamar, merenungi nasib.
Perenungan nasibku itu berlanjut hingga bulan berikutnya. Ina yang mencoba
menghubungiku melalui HP sampai marah-marah karena aku tidak pernah
mengangkat telepon dan mailbox-ku penuh sehingga dia tidak bisa meninggalkan
pesan untuk memaki-makiku lagi. Sedangkan ketika dia mencoba untuk
menghubungiku di rumah, aku selalu keluar rumah atau sudah tidur. Ketiga
sobatku yang berusaha keras untuk menghubungiku pun tidak sukses.
Hingga suatu sore di bulan November, aku sedang menikmati hari Sabut
dengan menemani ibuku berbelanja ke Carrefour ketika berpapasan dengan Dara
yang marah habis-habisan karena aku tidak meneleponnya balik setelah lebih dari
sepuluh pesan yang dia tinggalkan ke semua orang di rumahku, mailbox HP-ku,
SMS, juga e-mail. "Dri, aduh, Dri, elo ke mana saja sih?"
www.ac-zzz.tk Aku mencoba menyembunyikan rasa sedihku dengan tersenyum kepada Dara.
Semenjak kedua sobatku yang lain menikah dan terlalu sibuk dengan keluarga
masing-masing, Dara yang dulunya tidak pernah peduli dengan orang lain, kini
jadi leibh jeli dalam urusan mencium masalah.
"Sori deh, Ra. Biasa... kantor lagi gila," akhirnya aku berkata.
"Tia pkali gue telepon elonya nggak ada. Gue sama Jana sudah rencana mau ke
rumah lo besok kalau lo masih nggak angkat telepon. Kami pikir lo marah sama
kami, atau kenapa gitu."
Aku menatap Dara dengan pandangan memohon. Dara langsung tanggap dan
bertanya, "Lo kenapa sih, Dri?"
Aku hanya menggelengkan kepala sebelum menjawab. "Cuma kecapekan kok.
Sori ya." Dara mengangguk menandakan bahwa dia mengerti. Itulah hebatnya Dara. Dia
selalu memahami apabila seseorang membutuhkan waktu atau ruang untuk
berpikir sendirian tanpa harus memaksa.
"Ya sudah, nanti telepon gue ya." Ketika mau beranjak pergi, tiba-tiba dia
berbalik memandangku. "Eh, gue hampir lupa, Nadia tuh nyoba nelepon elo buat
ngasih tahu bulan depan ada reuni SMP di Senayan. Dia mau nanya apa lo mau
datang, soalnya gue, dia, sama Jana sudah RSVP."
"Oh." Adalah satu-satunya jawaban yang bisa kukeluarkan dari mulutku yang
ternganga. "Jadi gimana?" tanya Dara setelah beberapa saat.
"Nanti gue telepon lo deh ya," ucapku cepat, karena ibuku sudah memberikan
tanda bahwa dia akan jalan-jalan ke area makanan.
Setelah puas dengan penjelasanku, Dara pun mencium pipiku dan melangkah
pergi. Tapi sebelum jauh, dia berkata lagi, "Dri, seminggu yang lalu gue ketemu
sama anak-anak, mereka bilang Baron sudah tunangan sama Olivia lho. Itu juga
sebabnya kenapa gue neleponin elo melulu. Gue mau ngasih tahu tentang itu."
Aku memandang Dara dengan tatapan kosong. Seperti mengerti sinyalku, Dara
kemudian melambaikan tangan dan berlalu ke kasir.
*** www.ac-zzz.tk Malam itu setelah mandi dan akan bersantai di tempat tidurku, aku memutuskan
untuk menghubungi Dara. Aku bangkit dari posisi berbaringku dan mencari HP-ku
yang tersembunyi di antara kertas-kertas di atas meja kerjaku. Tapi HP-ku
sepertinya hilang ditelan bumi. Setelah mencoba mencari tanpa hasil selama lima
belas menit, akhirnya aku turun ke ruang makan untuk menggunakan telepon
rumah. Aku menekan nomor telepon Dara sembari menarik salah satu kursi di meja
makan dan duduk. Setelah beberapa deringan, akhirnya aku mendengar suara Dara
di ujung kabel telepon. "Ra, ini Adri."
"Akhirnya lo telepon juga, gue pikir kalau lo nggak telepon gue sampai jam
setengah sepuluh, gue yang bakalan telepon elo."
Miss Pesimis Karya Alia Zalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sori, tadi gue beberes urusan kantor dulu."
"Oh." Setelah menunggu beberapa saat dan aku diam saja, akhirnya Dara
menambahkan, "Lo nggak apa-apa...?"
"Gue sudah tahu Baron tunangan sama Olivia dari dua bulan yang lalu,"
ucapku memotong kalimatnya. Apa memang sudah selama itu semenjak aku
bertemu dengan Olivia"
"Hah, kok lo nggak bilang ke kita-kita sih?"
"Sori deh, tapi waktu itu gue masih dalam tahap shock. Gue sangka akan
membaik setelah beberapa bulan, tapi nggak tahunya kok nggak juga, malahan
makin parah." "Lo bilang lo tahu dari dua bulan yang lalu" Berarti sebelum lo ke Singapur
dong." "Gue ketemu sama Olivia di bandara waktu jemput bokap gue, terus gue juga
ketemu dia di Singapur."
"Dia tuh siapa" Baron?"
Aku mengangguk menjawab, setelah beberapa saat aku baru menyadari hal itu
ketika Dara mengulangi pertanyaannya.
"Iya," akhirnya aku menjawab.
"Hah, lo ketemu sama Baron lagi" Gila, heboh ini! Terus gimana, lo ngobrol
sama dia?" Dara terdengar sangat antusias. Aneh.
www.ac-zzz.tk "Ya ngobrol sedikit sih." Kemudian aku menceritakan seluruh kejadian
pertemuanku dengan Kalvin dan Olivia, dan Baron beberapa bulan yang lalu, plus
telepon iseng yang kubuat.
setelah mendengar ceritaku, Dara berkata, "Ternyata intuisi gue bahwa lo masih
ada hati sama Baron tuh benar." Dari nadanya aku tahu bahwa Dara memang tidak
kaget atas ceritaku. "Dia selalu ada di kepala gue, Ra."
"Kenapa lo nggak pernah cerita sih ke kami?" Suara Dara terdengar sedikit
menuduh. "Gue pikir lo pada nggak akan mau tahu tentang itu," balasku.
"Tentu saja kami mau tahu, Dri. Kami ini sobat lo, kami mau tahu segala
sesuatunya tentang kehidupan lo," ucap Dara berapi-api.
"Sori ya," ucapnya pelan.
"Tapi dia sudah mau married lho, Dri."
"I know," geramku. Aku sudah tahu tentang hal itu, dan sedang berusaha untuk
menerimanya. Tapi terdengar orang lain mengatakannya membuatku merasa putus
asa, karena kata-kata itu terdengar lebih final.
Ada keheningan yang tidak mengenakkan. Dalam usahaku untuk mencairkan
suasana agar Dara tidak lagi merasa tersinggung karena rahasiaku, aku bertanya,
"Omong-omong reuninya siapa yang koordinir?"
Dara sempat terdengar menarik napas sebelum menjawab. "Bangsanya si Adit,
Irene, Gege itulah. Mereka bilang rencananya sudah pasti, jadi mereka akan mulai
ngirim e-mail dan nelepon anak-anak buat ini."
"Memangnya cuma angkatan kita doang?"
"Ya nggak, pokoknya semua angkatan waktu kita kelas tiga."
"Wahhh... gue nggak ikutan deh ya, habis nanti ketemu sama Baron, gue mau
ngomong apa?" "Biasa deh!! Ngomong saja masalah banjir di Jakarta atau tentang betapa
panasnya Jakarta akhir-akhir ini, atau..."
Aku memotong usulan-usulan tersebut yang mulai terdengar sedikit sarkastis.
"Ya sudah, elo bisa tolong RSVP-in gue?" aku akhirnya memutuskan.
www.ac-zzz.tk "Nah gitu dong. Ya udah, besok gue bilang ke Nadia supaay RSVP-in elo ke
panitia." "Memangnya tanggal berapa sih?"
"Lima belasan deh kalau nggak salah, pokoknya hari Sabtu."
"Well, kalau hari Sabtu sih gue nggak bisa nolak kali ya."
"Dri..." "Ya?" Dara terdiam selama beberapa detik sebelum berkata, "Gue khawatir deh sama
elo." Aku tertawa mendengar nadanya yang serius itu.
"Jangan khawatir, Ra. Gue nggak apa-apa."
"Gue lagi mikir, kalau misalnya masalah sebesar Baron saja elo nggak pernah
cerita, hal-hal lain apa lagi yang elo simpan sendiri?"
Aku menarik napas. Ervin dan keinginanku untuk melakukan in-vitro fertilization, pikirku merasa
bersalah. Tapi seperti biasa aku akhirnya terpaksa berbohong.
"Nggak ada apa-apa lagi kok. Itu satu-satunya rahasia gue," jawabku.
"Yakin?" ledek Dara.
"Iiiihhhhhh... rese deh lo," ucapku sambil tertawa.
Akhirnya setelah beberapa menit mencoba membujukku dan tidak berhasil,
Dara pun berpamitan dan menutup telepon. Aku baru bisa bernapas lega. Aku tidak
suka berbohong, tapi menurutku menahan suatu informasi tidak bisa digolongkan
sebagai kebohongan, kan"
*** Hari Senin akhirnya aku memutuskan untuk membuka e-mail pribadiku yang aku
yakin penuh dengan segala macam message dari semua orang yang kubiarkan tak
terbaca. Ternyata aku benar, aku menemukan lebih dari empat puluh message di
email Yahoo-ku. Rata-rata memang dari teman-temanku. Ada satu e-mail dari Vincent
yang memberitahuku bahwa dia dan istrinya berencana akan pindah ke Kuala
Lumpur. Baguslah, itu berarti aku punya kontak kalau mau pergi ke Kuala Lumpur.
www.ac-zzz.tk Bahagia dengan prospek ini aku mulai membaca e-mail lainnya.
Kebanyakan dari Ina dan ketiga sobatku, kemudian ada dua e-mail lain dari
Iskandarsyah_TB@yahoo.com, satu dengan subjek "Halo lagi dari gue", dan yang
satu lagi "Reuni". Aku hampir saja memutuskan untuk menghapuskan dari inbox-ku
karena berpikir itu junk mail, ketika mengingat alamat itu. Itu e-mail Baron.
Setelah mengumpulkan cukup keberanian aku memutuskan untuk membuka e-mail
pertama dan mulai membaca perlahan-lahan.
Di, Aku cuma mau tanya kabar kamu. Call me.
Baron Selesai membaca e-mail pendek itu aku merasa sedikit kecewa. Kalau dia hanya
ingin menanyakan kabar, kenapa tidak telepon saja" Freaking idiot, omelku
sembari membuka e-mail Baron yang bertanggalkan sekitar sepuluh hari yang lalu.
DiDi, Ini Baron, ngimelin kamu lagi, soalnya kamu belum kontak aku.Kamu inget kan
kamu janji mau telepon aku" Apa jangan-jangan kartu namaku hilang" Kalau ingat
kebiasaan kamu yang sering teledor, aku nggak heran. Aku cuma mau bilangin ada
reunian SMP tanggal 15 Desember hari Sabtu di Senayan. Kalau kamu sempat, bisa
tolong imel aku balik"
Baron. Setidak-tidaknya e-mail yang kedua lebih panjang, meskipun tidak sepanjang
yang kuharapkan. Nadanya pun tidak menghangat, masih tetap biasa-biasa saja.
Aku jadi semakin yakin bahwa Baron tidak merasakan sengatan listrik yang
kurasakan ketika memeluknya.
Aku berdebat dengan diriku sendiri apakah aku mau menghapus kedua e-mail
yang mengingatkan betapa bodohnya aku ini, atau menyimpannya sebagai tanda
mata bahwa aku telah berhubungan dengan Baron, atau lebih tepatnya bahwa Baron
menghubungiku. Aduh, merana amat sih hidup gue, ucapku dalam hati. Kenapa
aku masih juga stuck dengan Baron" Sedangkan Baron sudah melupakanku. Aku
bahkan yakin aku memang tidak pernah ada di pikirannya sama sekali.
Rasa resah dan gundah menghantuiku sepanjang hari, aku tidak bisa
www.ac-zzz.tk berkonsentrasi di rapat ataupun saat aku harus memberikan pelatihan mengenai
Conflict Resolution. Hahaha... tidak heran karena aku juga tidak bisa
menyelesaikan konflik di dalam diriku ini. Kemudian ketika kembali ke kantorku setelah makan
siang, aku salah melakukan beberapa analisis data hingga harus mengulang
semuanya dan terpaksa tinggal di kantor hingga jam tujuh malam.
Pat yang melihatku masih ada di mejaku sambil makan biskuit yang kusimpan
di laci, menyapaku, "Adriana, masih kerja?"
"Iya nih. Aku harus menyelesaikan laporan ini malam ini."
"Laporan apa?" "Ini lho, evaluasi pekerjaan kita bulan lalu."
"Bukannya ini seharusnya pekerjaan Sony?"
Aku memang tahu ini pekerjaan seorang asisten, bukan manajer personalia
sepertiku. Tapi Sony sedang kutugaskan untuk mengerjakan beberapa penilaian
kinejra para pegawai di Divisi Keuangan.
"Iya sih, tapi dia sedang banyak pekerjaan lain," jawabku singkat.
"Well, oke. Santai saja, itu tidak perlu buru-buru kok."
"Tapi, laporan ini kan harus slesai sebelum tenggat besok."
"Memang, tapi terlambat sedikit tidak apa-apa."
Aku tidak berhenti mengetik ketika berbicara dengan Pat, dan alhasil, analisisku
keluar dengan bentuk bagan yang agak aneh. Frustrasi, aku menggeram kesal.
Pat yang tidak pernah melihatku begitu ganas terlihat kaget. "Adri, kamu tidak
apa-apa?" Aku mengambil napas sedalam-dalamnya sebelum menjawab pertanyaan ini.
"Ya... Aku baik-baik saja kok. Cuma agak banyak pikiran belakangan ini." Aku
melemparkan senyuman yang pasti tidak terlihat terlalu meyakinkan.
"Ya sudah, kalau itu ceritamu." Pat kemudian meninggalkan ruanganku setelah
menatapku dengan gaya kebapakan yang selalu dilakukannya untuk menandakan
bahwa apabila aku perlu teman untuk bicara, ia akan siap mendengarkan. Andaikan
Ervin ada di kantornya, mungkin aku bisa ngobrol-ngobrol dengannya untuk
menghilangkan kegalauan hatiku, tapi aku tahu dia sudah pulang.
www.ac-zzz.tk Tiba-tiba, panjang umur, Ervin muncul di ruanganku.
"Dri, lagi ngapain, kok tampang kusut amat?" tanyanya dengan suaranya yang
bariton. Aku hampir loncat dari kursiku karena kaget. "Vin, lo ngagetin gue deh."
"Sori, sori," tambah Ervin sambil melangkah masuk ke ruanganku dan duduk di
sofa putih di sebelah kanan meja kerjaku.
Aku memutar kursiku untuk menghadapnya.
"Lo bukannya tadi sudah pulang?" tanyaku.
"Belum. Tadi cuma ngantar Susan ke Mal Ambassador, sekalian gue cari
makan," jawabnya sambil menyandarkan tubuhnya yang kekar di sofaku.
"Susan yang anak baru itu?" tanyaku.
"Bingo." Ervin sepertinya tidak peduli bahwa Susan adalah pegawai baru paling
cantik di Good Life. "Eh, lo sibuk nggak hari Sabtu?" tanya Ervin padaku tiba-tiba.
"Mmmhhh, ada rencana mau nonton sih."
"Mau nonton"!!! Kok nggak ngajak-ngajak gue?"
"Yeeee, lo kan ada pacar lo."
Ervin memberikan tampang malas. "Pacar?"
Aku memandang Ervin dengan tatapan tidak percaya.
"Lho, itu... itu... aduh siapa sih namanya..." Itu pacar lo, kan?"
"Lo kayak nggak kenal gue deh. Date, Dri, date, beda."
Aku hanya menggeleng. "Memangnya lo nggak ada rencana sama dia?"
Ervin terdiam sebentar sebelum menjawab. "Nope."
Aku tahu betul kalau Ervin sudah bertingkah laku seperti ini terhadap
perempuan, maka perempuan itu pasti sudah membuatnya ilfil dan sebentar lagi
hubungan mereka akan history atau mungkin sudah history. "Hah, tuh perempuan lo
dumpt lagi?" Aku memutar bola mataku. "Kenapa lagi sama yang ini, kurang punya
otak?" candaku. Ervin memang tergolong laki-laki langka yang menginginkan pacarnya pintar
dan bisa diajak bicara dibandingkan sekadar cantik.
"Gitu deh," jawab Ervin dengan nada bercanda.
www.ac-zzz.tk "Lo tuh ya, kenapa juga elo mau pergi nge-date sama dia kalau buntutnya lo
putusin juga?" omelku.
"Soalnya dia ngajakin gue keluar terus, akhirnya gue nggak bisa cari alasan buat
nolak lagi," jelasnya polos.
Aku tahu bahwa Ervin tidak akan bertindak kasar atau kurang ajar dengan
perempuan mana pun kecuali sangat terpaksa.
"Lo nggak takut dia stalk elo kayak siapa tuh cewek lo yang waktu itu?"
Ervin mengerutkan kening dan memberikan tatapan siap perang padaku.
"Theta?" tanyanya.
"Oh iya, Theta. Heboh tuh dia, sampai nungguin gue pulang kerja segala karena
mau tahu apa gue penyebab lo mutusin dia."
Aku tertawa keras mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu itu. Ervin ikut
tertawa. Tanpa kurasa ternyata hatiku sudah terasa sedikit lebih lega.
"Ya sudah, besok-besok hati-hati kalau milih perempuan ya. Gue nggak mau
sampai nyokap lo minta gue nyariin elo perempuan baik-baik lagi."
Ketiga kalinya aku bertemu dengan mamanya Ervin, beliau menanyakan
apakah hubunganku dengan Ervin serius. Ketika aku dan Ervin hanya tertawa
mendengar pertanyaan itu, beliau meminta agar aku mencarikan perempuan yang
baik untuk anak laki-laki satu-satunya itu. Menurut beliau, selama ini perempuan
yang dibawa pulang oleh Ervin bentuknya tidak keruan. Ada yang masih pakai
kawat gigi, ada yang pakai rok sampai kelihatan celana dalamnya karena terlalu
pendek, ada yang hobinya mengibaskan rambutnya yang panjang sampai suatu kali
masuk ke sup yang sedang dihidangkan oleh mamanya Ervin, bahkan ada yang
ngacir pulang sambil menangis tersedu-sedu karena digonggong anjingnya Ervin,
seekor bulldog yang sudah tergolong "anjila" alias "anjing lanjut usia" karena
umurnya sudah dua belas tahun dan hampir buta.
"Siapa bilang gue nggak hati-hati?"
"Biasanya tindakan yang lebih berhati-hati datang dengan usia, dan kebanyakan
memang perlu kedewasaan," ucapku. Sengaja dengan nada menggurui untuk
mengganggu Ervin. "Siapa bilang gue nggak dewasa?" Ervin mengambil umpanku dan langsung
www.ac-zzz.tk terlihat tersinggung. "Soalnya, laki-laki yang sudah dewasa itu nggak akan beli mobil yang hanya
punya dua pintu, kan susah kalau mesti bawa bayi..."
Ervin akan memotong omonganku, tapi tidak kupedulikan. "Tambahan lagi,
laki-laki dewasa itu nggak akan tinggal di apartemen yang lebih kelihatan
seperti rumah bordil. Laki-laki dewasa akan beli rumah. Ngerti?"
"Siapa bilang gue nggak bisa bawa bayi dengan mobil gue yang sekarang"
Kalau soal rumah, lo sendiri bilang apartemen gue kelihatan seksi. Kalau soal
apartemen gue yang kayak rumah bordil, lo pasti ngomongin bedcover gue yang
warna hitam. Itu dikasih sama Kirana, dan gue belum ada waktu untuk beli yang
baru," Ervin mencoba membela diri.
"Kalau soal women, kan gue memang masih single, jadinya boleh dong kalau
masih milih-milih. Gue juga bingung, ngapain amat sih nyokap gue minta tolong
elo dan adek gue untuk nyariin gue perempuan, gue kan bisa cari sendiri," tambahnya
menutup argumentasinya. Aku mengangkat kedua belah tanganku, mengalah. "Gue sih nggak peduli
sama... kegiatan lo, asal jangan lo bawa-bawa gue kalau nanti misalnya lo kena
santet atau leibh parah lagi... karma gara-gara aktivitas lo ini."
Tanpa kusangka-sangka Ervin membalas, "Gimana bisa lo mikir kalau karma
lebih parah dari santet" Jelas-jelas santet lebih parah. Omong-omong tentang
santet..." Sebelum Ervin selesai dengan kalimatnya aku langsung memotong.
"Kenapa lo nanya-nanya masalah hari Sabtu?"
Ervin hanya nyengir melihatku mengganti topik. "Nggak kenapa-napa, cuma
mau ngajak lo jalan," balas Ervin sambil menatap langit-langit ruang kerjaku dan
tidak memperhatikan ekspresi wajahku yang sedang menggigit bibir wajahku tanda
senewen. "Oh... jadi stok cewek lo lagi habis ya, makanya balik ke gue?" ledekku.
Sesuai dengan perkiraanku, kata-kataku dapat menarik perhatiannya kembali ke
bumi. Tepatnya kepadaku. Satu senyuman muncul di sudut bibirnya.
"Gue kangen sama elo," Ervin kemudian berkata. Wajahnya polos, tidak
Miss Pesimis Karya Alia Zalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
www.ac-zzz.tk berdosa. Aku sudah cukup kebal dengan Ervin sehingga kata-kata mesranya sudah
hampir tidak memengaruhiku lagi.
Aku memandangi Ervin beberapa saat sebelum menjawab. "Lo tuh ya,
memangnya gue date for rent, apa?" balasku.
Ervin hanya melemparkan senyuman. "Ya... gue ada tiket buat nonton Jazz
Night di Hard Rock, gue pikir daripada gue pergi sama orang lain, lebih baik
pergi sama elo. About this date for rent..."
Aku langsung memotong kalimatnya yang mulai tidak keruan. "Kok baru nanya
sekarang, tadinya rencana mau pergi sama whatever her name is, ya?" tanyaku
dengan nada curiga. "Nggak lah." Aku tahu betul bahwa Ervin berbohong, dan aku memang sudah lama tidak
makan enak. Tapi hanya untuk membuat Ervin merasa bersalah aku menambahkan,
"Gue pikir-pikir dulu ya."
"Dri, lo tega amat sih sama gue" Ayolah... Sori deh kalau baru nanya sekarang,"
Ervin memohon kepadaku. Aku memberikan senyuman iseng padanya sebelum menjawab. "Ya sudah,
memangnya jam berapa sih acaranya?"
"Jam delapan. Nanti lo gue jemput jam empat ya... Jadi kita bisa dinner dulu,
oke?" Aku sudah tahu kebiasaan Ervin, dia paling suka mengajakku makan, karena
menurutnya seleraku sama dengannya dan ukuran perutku selalu mampu
mengakomodasikan porsi yang besar, sehingga tidak ada yang terbuang. Tidak
membuatnya rugi, katanya.
Aku mengangguk, menyetujui rencana Ervin.
Ervin sudah siap beranjak meninggalkan ruanganku ketika aku berkata, "Thanks
ya, Vin." Ervin kembali menghadapku. "Buat apa?"
"Just thanks," balasku sambil tersenyum.
Tanpa disangka-sangka kemudian Ervin menghampiriku dan mengecup
keningku. "No problem." Lalu dengan satu senyuman dia melangkah keluar dari
www.ac-zzz.tk ruanganku. Beberapa detik kemudian dia masuk lagi, "Eh, Dri, Sarah minggu depan pulang
lho dari Toronto." Ervin sedang bertolak pinggang, aku lihat dia menggunakan
dasi yang kuberikan padanya tahun lalu sebagai hadiah ulang tahun. Aku tersenyum
pada diriku sendiri. "Dia mau jalan tuh," tambah Ervin.
Hubungan Ervin dengan keluarganya yang sangat dekat, membuatnya sebisa
mungkin meluangkan waktu untuk berkumpul dengan mereka, terutama adiknya
yang jarang bertemu. Oleh sebab itu, Ervin sering mengajak Sarah kalau dia
sedang jalan denganku, membuatku juga dekat dengan adik perempuan Ervin itu.
"Lho, kok dia pulang sih, memangnya libur?" tanyaku bingung.
"Nggak lah. Elo sih sudah lama nggak jalan sama gue. Dia sudah lulus, lagi,"
jawab Ervin santai. "Oh, gitu?" "Tadinya gue mau ajak dia ke Jazz Night ini..." Ervin terdiam ketika melihat
ekspresiku. Dia tahu bahwa dia sudah tertangkap basah.
"Lho, jadinya dia toh yang ngebatalin sama elo?" teriakku.
Ervin terdiam sesaat sebelum menjawab, "Iya," dengan nada bersalah. "Dia
bilang mau pulang minggu lalu, tapi ternyata ditunda sampai minggu depan, gue
gondok banget soalnya tiketnya sudah di tangan gue."
Sebetulnya aku berniat untuk membuat Ervin memohon-mohon dulu padaku,
mungkin dengan sedikit sogokan es krim, sebelum kemudian setuju untuk pergi
dengannya. Tapi aku sadar bahwa hari sudah semakin malam dan aku masih harus
menyelesaikan pekerjaanku.
"So, jadi jam empat ya," Ervin mencoba mengkonfirmasi lagi.
"Ya, Bos," aku menjawab sambil mengangkat tangan ke dahi, memberikan
hormat. Ervin pun tersenyum dan meninggalkan ruanganku.
*** Malam itu setelah yakin bahwa aku sudah cukup kuat untuk melakukannya tanpa
menangis, aku membalas e-mail Baron. Aku membuat nada e-mail-ku tidak kalah
www.ac-zzz.tk biasa dengan kedua e-mail-nya.
Halo Baron, Sori baru bisa balas e-mail kamu sekarang. Nggak, kartu nama kamu nggak
hilang kok, tapi aku memang belum sempat nelepon. Iya, aku bakalan datang ke
reunian. Kamu dan Olivia juga, kan"
Didi E-mail itu cukup bersahabat, tetapi tidak terlalu hangat, hiburku pada diri
sendiri sebelum kemudian mengirimkan e-mail itu ke dunia maya dengan satu klik.
Aku melipat kakiku di atas tempat tidur sambil memandangi layar laptop-ku. Entah
apa yang kutunggu. Ternyata Baron tidak akan langsung membalas e-mail-ku. Dia
mungkin sedang keluar dengan Olivia. Aku langsung merinding memikirkan
mereka berdua berpelukan dengan mesra. Kudengar ibuku memanggilku dari lantai
bawah untuk memberitahu bahwa aku harus mengunci pintu sebelum tidur, karena
beliau dan bapakku akan pergi tidur sekarang. Aku memberitahunya bahwa aku
akan segera turun untuk mengunci pintu. Orangtuaku hanya memiliki satu
pembantu rumah tangga yang tinggal di perkampungan dekat rumahku, tetapi dia
biasanya sudah pulang jam enam sore.
Setelah kembali ke kamarku lagi sambil membawa secangkir Milo panas, aku
memandangi layar e-mail Yahoo-ku, dan melihat bahwa aku memiliki satu e-mail
baru. Aku membuka e-mail itu. Ternyata dari Baron! Aku hanya meninggalkan
kamarku kurang dari setengah jam, jadi sedikit kaget bahwa dalam jangka waktu
sesingkat itu, dia sudah membalas e-mail-ku.
"Adri, jangan ge-er," gumamku mencoba mengingatkan diriku sebelum
kemudian mulai membaca e-mail itu.
Dear Di, Sekarang jam 11 malam, sebetulnya aku mau telepon kamu, tapi aku nggak
tahu nomor HP kamu. Kamu Sabtu free" Mungkin kita bisa pergi dinner. No HP
kamu berapa" Baron Aku membacakan beberapa kali untuk memastikan bahwa Baron benar-benar
menuliskan kata "Dear". Aku mencoba membaca pesan-pesan tersembunyi yang
www.ac-zzz.tk mungkin ada di e-mail-nya. Apa maksud dia dengan "dinner?" Tentunya bukan
hanya aku dan dia, kan" Pasti dengan Olivia. Apa maksud dia dengan kata-kata
"sebetulnya aku mau telepon kamu?" Apa dia memang mau telepon aku, atau
hanya basa-basi" Aku hampir saja menerima tawarannya untuk bertemu hari Sabtu,
tapi tiba-tiba aku teringat bahwa aku sudah ada janji dengan Ervin untuk pergi
ke Hard Rock. Meskipun tahu bahwa Ervin akan bisa mengerti apabila aku
membatalkan janjiku dengannya, tapi kalau Ervin bertanya alasan aku membatalkan
janjiku, aku tidak yakin aku bisa menyimpan kebahagiaanku dan tidak
menceritakan e-mail dari Baron ini. Setelah berdebat dengan diriku sendiri
selama lima belas menit, akhirnya aku memutuskan untuk tidak membalas e-mail dari
Baron dan pergi tidur. I'll decide it tomorrow, aku berjanji pada diriku sendiri.
*** Keesokan harinya aku masih belum bisa memutuskan bagaimana aku harus
membalas e-mail Baron. Aku justru bertemu dengan Sarah yang ternyata sudah tiba
di Jakarta. Hari itu aku sekali lagi menghabiskan waktuku dengan Ina. Aku
berharap temanku itu bisa membantuku melupakan Baron untuk beberapa jam.
Kami sedang dalam perjalanan menuju bioskop ketika aku mengenali Sarah dari
kejauhan. "Sar," panggilku.
Sarah yang mendengar namanya dipanggil celingukan mencari siapa yang
memanggilnya. Sewaktu dia melihatku, dia langsung berteriak dan lari ke arahku
dengan tangan terbuka. "Mbak Adriiiiiiii," teriaknya keras, sehingga membuat semua orang di
sekitarnya kaget. Aku yakin beberapa orang menyangka Sarah sedang terkena
serangan epilepsi. Sarah memelukku dengan antusias. Ina yang menyaksikan reaksi Sarah sempat
terbengong-bengong melihat kedekatan kami.
"Lho kok malah ketemu di sini sih?" kataku pada Sarah.
"Memangnya si Jabrik nggak bilangin ke Mbak aku sudah pulang tadi malam?"
Itulah cara Sarah memanggil Ervin, kakak laki-laki tercintanya itu. Terkadang
www.ac-zzz.tk melihat cara Ervin dan Sarah berinteraksi, mengingatkanku akan kedekatanku
dengan kakakku. Mungkin itu sebabnya aku selalu merasa nyaman di sekitar
orangorang ini, yang menurut orang lain mungkin agak-agak gila.
"Ervin bilang kamu baru pulang minggu depan."
"Dasar tuh anak, suka lupaan gitu. Tapi maklum sih, kelihatannya dia sibuk
banget." "Biasalah Ervin, kalau nggak soal kerjaan, dia pasti sibuk urusan perempuan,"
jawabku enteng. Sarah tertawa menggelegar. "Tuh kan, aku sudah bilang ke Ervin berkali-kali
Mbak ini jago ngelawak, tapi dia nggak percaya."
Aku ikut tertawa mendengar komentar Sarah.
"Omong-omong selamat ya sudah lulus, heboh deh. Welcome to the real world,
lady," ujarku sambil menepuk bahu Sarah. "Jadi kamu pulang for good atau ada
rencana mau balik ke Toronto lagi?" lanjutku.
"For good." Ketika dia mengatakan ini aku lihat bahwa Sarah mengatakannya
dengan nada agak tersipu-sipu, kemudian mukanya mulai memerah.
"Lho, lho, kok jadi mirip kepiting rebus gini sih?" ledekku.
"Pacarku mau pulang ke Jakarta bulan depan dan rencananya mau ngelamar
aku dalam waktu dekat ini," lapor Sarah.
Aku ternganga. "Congratulations," ucapku setelah shock-ku sudah agak
berkurang. Satu orang lagi di dalam hidupku yang akan melepaskan masa
lajangnya. "Teman kuliah?" tanyaku.
Sarah mengangguk. Aku kemudian teringat akan Ina yang sedang berdiri di
sampingku dan mendengarkan dengan sabar percakapanku dengan Sarah. Buruburu
aku memperkenalkan mereka.
"Mbak mau ngapain di sini?" tanya Sarah.
"Sebenarnya sih kita mau nonton, kamu mau ikutan?" tanyaku.
"Nggak deh, aku masih perlu beli beberapa barang, soalnya bentar lagi dijemput
sama Ervin. Kalau aku masih belum kelar shopping, dia bisa marah-marah," jelas
Sarah. www.ac-zzz.tk Aku tertawa, karena tidak bisa membayangkan Ervin memarahi Sarah. Ervin
terlalu cinta pada adik satu-satunya ini dan tidak bakal berani menanggung
risiko Sarah jadi ngambek karena ditegur olehnya.
Kami lalu berpisah dan Sarah berjanji akan meneleponku kalau dia sudah selesai
unpack barang-barangnya. Kini giliran Ina yang mulai bertanya-tanya mengenai
Ervin. Aku hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditembakkan bagaikan
oleh bazoka itu dengan cara menghindar.
Ina memang telah memenuhi tugasnya untuk membantuku melupakan Baron
untuk beberapa jam. Tapi ternyata kebingunganku tentang Baron muncul kembali
setelah aku pulang ke rumah malam itu hingga tiga hari berikutnya. Akhirnya hari
Sabtu pagi aku memutuskan untuk mengatasi kebingunganku dengan melakukan
suatu tindakan. Kalau tindakan itu nantinya salah, well... aku harus menanggung
akibatnya. Melalui e-mail aku memberitahu Baron bahwa aku tidak bisa
menemuinya hari itu. 10. ERVIN VERSUS BARON SELAMA perjalanan menuju Bundaran HI, aku dan Ervin sempat membicarakan
pertemuanku dengan Sarah, dan telepon Sarah beberapa hari yang lalu untuk
makan siang denganku minggu depan.
"So, gue denger lo pergi makan siang sama Reza hari Kamis kemarin," Ervin
membuka pembicaraan. Aku mengangguk, meskipun bingung mengapa dia menanyakan hal yang tidak
penting seperti itu. "Kok lo mau sih?" lanjutnya dengan nada bingung sekaligus menuduh.
Mendengar nadanya yang menurutku terdengar sedikit menghina, aku
tersinggung. "Memangnya Reza kenapa?" tanyaku balik.
"Dia terlalu tua buat elo."
"Dia cuma setahun lebih tua dari elo," balasku.
"Really?" tanya Ervin tidak percaya.
Aku mengangguk. "Dia kelihatan jauh lebih tua dari gue," gumam Ervin. "Tapi
lo jangan pergi lagi sama dia," lanjut Ervin dengan nada lebih keras.
www.ac-zzz.tk "Aduhhh, kenapa lagi sih?" tanyaku tidak sabaran.
"Karena Reza keturunan bule, dan dia suka digosipin yang nggak-nggak,"
jawab Ervin. "Oma lo orang Belanda, Vin, lo juga ada keturunan bule. Dan lo juga sering
digosipin yang nggak-nggak di kantor." Aku mencoba untuk mencari penjelasan
atas tingkah laku Ervin sore ini.
"Oke, tapi Reza itu playboy," jawab Ervin tanpa memandangku.
"Nggak bedalah sama elo," balasku. Aku tidak percaya bahwa kami bertengkar
karena urusan laki-laki. Selama ini Ervin tidak pernah peduli dengan siapa aku
pergi lunch, kenapa dia jadi sewot sekarang" Satu-satunya penjelasan yang bisa
kupikirkan adalah karena Reza sering disebut-sebut sebagai "Manajer Paling
Ganteng" di kantorku dan Ervin merasa tersaingi.
"Maksud lo nggak beda?" Kini Ervin memandangku dengan kening berkerut.
Jelas-jelas aku membuatnya tersinggung. Bagus!!!
"Lo dan Reza sama playboy-nya, tapi mungkin Reza sedikit lebih metroseksual
daripada elo." "Kok lo ngomong gitu?" Suara Ervin mulai agak meninggi. Nadanya terdengar
aneh, nada yang tidak bisa kutebak karena tidak pernah kudengar sebelumnya dari
Ervin. "Oke, penting nggak sih kita berdebat soal ini?" tanyaku dengan nada setenang
mungkin. Aku tidak mau bertengkar dengan Ervin. Tidak sekarang setidaktidaknya.
Mungkin nanti kalau kami sudah sampai di Hard Rock dan perhatian
Ervin tidak terbagi antara mengemudikan mobil dan debatnya denganku.
"Ini bukan debat, tapi diskusi," balasnya.
"Kalau gitu... bisa nggak kita mendiskusikan ini nanti saja" Gue nggak mau lo
nabrak gara-gara... diskusi ini."
Mendengar alasanku yang masuk akal, Ervin terdiam.
"Omong-omong, gue dengar lo nolak tawaran buat jadi brand manager-nya
Clean?" tanyaku. Clean adalah produk sabun pencuci baju terbaru Good Life dan
promosinya akan besar-besaran.
"Oh itu... ya... gue tolak karena gue nggak siap," jawab Ervin enteng.
www.ac-zzz.tk Jawaban santai Ervin membuatku melotot. Inilah salah satu dari banyak hal
yang membuatku terkadang naik pitam padanya. Dibandingkan dengan kolegakolegaku
di Good Life yang sepantar dengannya, sebetulnya Ervin bisa lebih cepat
naik ke jenjang karier yang lebih tinggi kalau dia menginginkannya. Tapi
sepertinya dia selalu mencoba menahan diri dan membiarkan orang lain untuk menjadi lebih
sukses daripada dirinya. Hingga kini aku tidak pernah mengerti alasannya.
"Kalau gue yang ditawarin, siap nggak siap kerjaan itu pasti gue ambil karena
itu berarti stepping stone untuk karier gue." Aku mencoba untuk menunjukkan
kepada Ervin bahwa keputusannya untuk menolak itu salah.
"Ya... orang kan beda-beda, Dri."
Sekali lagi Ervin kupelototi. Tapi bukannya takut, Ervin malah tersenyum.
"Tahun depan lo sudah tiga puluh dua, seharusnya lo bangga bisa dipercaya
untuk menangani kerjaan ini. Lo calon termuda yang pernah ditunjuk Good Life
untuk jadi brand manager tiga produk sekaligus."
"Kalau gue terima kerjaan itu, gue nggak akan punya waktu untuk hal lain."
"Lho... memangnya lo ada hal lain apa yang lebih penting?"
"Banyak," jawab Ervin polos. "Clubbing, dating, jalan-jalan sama temen-temen
Miss Pesimis Karya Alia Zalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gue, pokoknya hal-hal normal yang banyak dikerjakan oleh laki-laki single dan
heteroseksual kayak gue lah," lanjutnya.
Aku tidak bisa berkata-kata. Aku bukanlah orang yang menyukai kekerasan,
tapi pada saat itu aku ingin sekali menampar Ervin hingga babak-belur agar dia
sadar. Akhirnya aku hanya bisa menarik napas sebelum pelan-pelan
mengeluarkannya. "Apa lo nggak mikir, dengan jadi brand manager Clean berarti gaji lo naik dan
masa depan keluarga lo bisa lebih terjamin?" ucapku pelan. Aku mencoba untuk
mengganti taktik. "Keluarga gue terjamin kok. Bokap kan sudah urus itu semua."
"Bukan keluarga yang itu maksud gue, ember. Maksud gue keluarga lo nanti.
Istri, anak..." Aku membiarkan kata-kataku menggantung.
"Oh, soal itu... Aduhhhhh, lo jadi mirip nyokap gue deh. Bawel."
Bukan kata - kata yang tepat untuk diucapkan tentangku pada saat itu.
"Gue nggka bawel," ucapku berapi-api.
www.ac-zzz.tk "Oh ya" Apa nggak pernah ada yang bilang ke elo bahwa lo bawel?" balasnya
ketus. Mulutku terbuka karena kaget. Apa maksudnya dengan kata-kata itu"
"Gue nggak pernah nyangka kalau lo kayak gini," akhirnya aku berkata pelan.
"Gue kayak apa, Dri?" tanyanya.
"You are mean," jawabku.
Kini giliran mulut Ervin yang ternganga. "I am NOT mean."
Aku tidak menghiraukan kata-katanya dan menatap ke luar jendela. Ada jarumjarum
yang menusuk-nusuk mataku, menandakan bahwa aku akan menangis
sebentar lagi. Itulah kebiasaan yang sangat kubenci, entah bagaimana tapi
sepertinya emosiku sangat berhubungan dengan saluran air mataku. Kalau sudah
sangat marah aku justru akan menangis. Aku mengedipkan mata berkali-kali untuk
mencegah hal itu terjadi. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri kalau aku
sampai menangis di depan Ervin. Ervin mungkin tidak bermaksud apa-apa dengan
kata itu, tapi kata "bawel" tidak berkonotasi baik di kepalaku. Aku tidak akan
berkeberatan kalau orang bilang aku "nyentrik", "aneh", "hermit", bahkan
"perawan tua", tapi tidak "bawel". Itu penghinaan.
Melihat reaksiku sepertinya Ervin sadar bahwa dia telah mengatakan hal yang
salah. Tiba-tiba tanganku bagaikan disengat listrik. Secara refleks aku menarik
tanganku. Tapi tangan Ervin menggenggam erat tanganku. Kuletakkan tanganku
kembali di pangkuanku, tapi aku tidak membalas genggaman Ervin.
"Lo marah, ya?" tanya Ervin pelan.
Aku berpikir sesaat sebelum kemudian menggeleng.
"Kecewa?" tanya Ervin lagi.
Tentu saja aku kecewa. Aku kecewa karena kata-katanya.
Ketika aku tidak menjawab, Ervin berkata, "Dri, gue nggak ambil kerjaan itu
karena gue tahu ada banyak orang lain yang juga bisa mengerjakan pekerjaan itu.
Gue mau kasih mereka kesempatan."
Meskipun aku kaget dengan penjelasannya, tapi aku tetap berdiam diri. Lagi
pula, itu bukan kenapa aku kecewa dengannya.
"Makasih buat penjelasannya, tapi itu nggak penting," ucapku pelan.
www.ac-zzz.tk "Jadi apa yang penting, Dri?" Kini Ervin mencoba untuk mencuri pandang ke
mataku. Tapi aku menolak menatapnya.
"Gue nggak suka dibilang bawel. Kalau gue bawel, sudah dari lama gue ngomel
tentang aktivitas... seksual lo yang sering melibatkan perempuan yang menurut
gue punya reputasi yang harus dipertanyakan."
Ervin sepertinya akan memotongku, tapi aku belum selesai meluapkan
perasaanku. "Gue tahu bahwa gue sering terlalu sok tahu dan banyak orang yang nggak
suka kalau gue ngomong terlalu jujur. Gue minta maaf kalau pendapat gue bikin lo
tersinggung, tapi gue ngomong itu karena gue tahu lo mampu untuk lebih maju.
Selama ini gue pikir elo ngerti maksud gue, tapi sekarang gue tahu gue sudah
salah sangka," ucapku perlahan-lahan.
Ervin melepaskan genggamannya. Kami terdiam seribu bahasa. Aku melihat
beberapa kali mulut Ervin terbuka seperti dia akan mengatakan sesuatu, tapi
kemudian dia menutupnya kembali.
"I'm sorry," ucap Ervin akhirnya.
"Yeah, me too," balasku.
"No, no... I'm really sorry."
Aku tetap tidak mengangkat pandanganku dari pangkuanku.
"Dri, bisa tolong lihat gue," pinta Ervin.
Aku ragu sesaat, kemudian aku mengalihkan perhatianku pada jalan raya di
depanku sebelum kemudian memandangnya.
Ketika yakin bahwa aku tidak akan berpaling lagi, Ervin memulai
penjelasannya. "Lo salah satu orang di dunia ini yang pendapatnya sangat gue
hargai karena lo selalu jujur. Kalau lo nggak suka sesuatu tentang orang...
tentang gue terutama, lo selalu bilang ke gue."
Aku menunggunya untuk melanjutkan. "Sori, tapi mungkin memang hari ini
gue lagi banyak pikiran... soal kerjaan, soal lamarannya Sarah, soal Reza sama
elo..." Mendengar nama Reza disebut-sebut lagi darahku langsung naik ke kepala.
"Gue cuma pergi makan siang. Itu saja," ucapku. Ketika sadar dengan kata-kataku,
aku menggigit lidah. Aku tidak harus menjelaskan ini kepada Ervin.
www.ac-zzz.tk "Tapi gue nggak suka," ucap Ervin dengan nada agak keras.
Aku tidak peduli apa dia suka atau tidak aku berhubungan dengan Reza, dan
kata-katanya yang menggurui membuatku kesal. "Elo tuh orang paling manja dan
egois yang gue kenal, tau?"
Sekitar pukul 17.30 kami tiba di Plaza EX. Ervin menawarkan untuk
menggandengku dan aku memutuskan untuk meraih tangannya karena aku tidak
mau hilang di tengah keramaian Hard Rock malam itu.
"Vin, Ervin..." Tiba-tiba dari atas terdengar suara seseorang memanggilmanggil,
aku pun mencoba mencari sumber suara itu. Rupanya Ervin telah
menemukan siapa yang memanggilnya dan menarikku menuju tangga untuk ke
tingkat atas. Ervin kemudian memegang pinggangku untuk menembus keramaian
Hard Rock malam itu. "Dri, ayo, jangan ketinggalan," ucap Ervin sambil memberiku senyuman.
Aku lalu mencoba menyamai langkah Ervin yang terkesan agak tergesa-gesa.
"Vin, lo jalan duluan saja, nanti kita ketemu di atas," teriakku pada Ervin
mengatasi keramaian Hard Rock. Ervin menatapku dengan ragu, tapi setelah aku
meyakinkannya, dia pun melepaskan pinggangku dan menggenggam erat tanganku
sebelum dia melepaskannya untuk mencari orang yang memanggilnya itu.
Ketika sudah sampai di lantai atas, aku melihat Ervin sedang ngobrol dengan
seorang laki-laki yang menggunakan hem biru muda dan celana jins. Postur tubuh
teman Ervin itu benar-benar terlihat familier bagiku, dengan rambut ikalnya yang
agak-agak kemerahan. Tiba-tiba seorang waiter yang tergesa-gesa menuju tangga
tidak melihatku. Aku terdorong cukup kuat sehingga harus mundur beberapa
langkah. Tiba-tiba Ervin sudah ada di sampingku dan menuntunku menuju
temannya. Beberapa saat kemudian aku berhadapan dengan punggung teman
Ervin. "Tom, ini Adri, date gue malam ini," ucap Ervin.
Sebelum aku bisa bereaksi dengan kata date, tiba-tiba HP-ku bergetar di dalam
tas. Ketika akhirnya aku dapat meraih HP-ku, benda itu sudah berhenti bergetar.
Aku melemparnya kembali ke dalam tas tanpa memeriksanya sebelum
memfokuskan perhatian kepada teman Ervin itu.
www.ac-zzz.tk "Dri, kenalin, ini Thomas," Ervin memperkenalkan kami.
Ketika aku mengangkat wajahku dan bertatapan dengan Thomas, napasku
langsung sesak. Aku mengedipkan mata beberapa kali karena berpikir bahwa aku
sedang berhalusinasi. Tapi ketika aku membuka mataku lagi wajah Baron yang
terlihat kaget dan bingung tetap ada di hadapanku. Baron yang sudah beberapa
hari ini coba kuhindari. Akhirnya suaraku kembali dan aku berkata, "Baron?"
"Didi?" Pada saat bersamaan Baron pun mengucapkan namaku dan kulihat
Ervin yang tadinya hanya bisa mengerutkan kening karena bingung, kini menatap
curiga bercampur keingintahuan.
"Baron" Didi?" tanya Ervin. Ketika aku dan Baron tidak bereaksi, Ervin pun
menambahkan, "Lo berdua memangnya kenal?"
Aku hanya memandangi Ervin karena tidak tahu harus mengatakan apa. Baron
kemudian menolongku. "Vin, ini Didi... teman SMP gue..." Tapi sebelum Baron
selesai menjelaskan siapa aku, Ervin telah memotongnya.
"Didi" Cinta mati lo waktu SMP itu?" teriak Ervin. Kulihat Baron menutup
matanya untuk menahan diri agar tidak mencekik Ervin saat itu juga.
Kepalaku bagaikan sedang lari maraton 10.000 meter, mencoba mencari titiktitik
yang bisa menghubungkan Ervin dengan Baron, tapi tidak satu pun penjelasan
muncul di otakku. Kemudian kurasakan HP-ku mulai bergetar lagi. Tanpa berpikir
panjang aku langsung menggunakan alasan menjawab telepon untuk menghindar.
Aku melangkah ke arah bar yang terlihat agak kosong.
Ternyata yang meneleponku adalah Jana.
"Dri... Eh, elo ada di mana sih, kok ramai banget?" tanya Jana dari ujung
telepon. "Gue lagi di Hard Rock. Kenapa?"
"Hard Rock" Lho memang kondangannya di Hard Rock apa?"
"Nggak, gue nggak lagi kondangan."
"Lho, katanya lo pergi kondangan?"
Aku langsung tertawa terbahak-bahak karena pasti Mpok Sanah salah memberi
informasi ke mana aku pergi ke Jana. Dari kejauhan aku dapat melihat bahwa Ervin
dan Baron sedang mengadakan diskusi panjang-lebar mengenai sesuatu. Kadang
www.ac-zzz.tk kala Ervin memandang ke arahku sambil menyipitkan matanya. Kuperhatikan
kedua laki-laki itu dengan lebih teliti. Mereka sama-sama ganteng abisss. Baron
kelihatan jauh lebih dewasa daripada Ervin, tapi Ervin kelihatan lebih seksi.
Tinggi mereka hampir sama, meskipun mungkin kalau diperhatikan dengan lebih teliti,
Ervin lebih tinggi sekitar dua sentimeter daripada Baron, tapi Baron juga
terlihat lebih gempal daripada Ervin sehingga kekuatan mereka kelihatan seimbang. Entah
apa yang mereka bicarakan, tapi sepertinya suatu hal yang sangat serius
berdasarkan cara beridir Baron yang terlihat tidak nyaman dan Ervin yang
berkalikali mengepalkan tangan. Bagaimana mungkin aku bisa berhadapan dengan dua laki-laki ini pada saat
yang bersamaan" Lebih parahnya lagi aku mencoba untuk memutuskan siapakah di
antara mereka berdua yang lebih cocok untukku. Ervin atau Baron" Dalam hati aku
tertawa sendiri. Kalau saja kedua laki-laki itu menginginkanku dan aku berhak
menentukan pilihan. Ervin versus Baron. Aku memutuskan untuk membalikkan
tubuh, berkonsentrasi pada Jana dan mengalihkan pandangan dan pikiranku dari
segala sesuatu yang membuat imajinasiku merajalela.
"Aduh, panjang ceritanya. Kenapa lo telepon?" tanyaku pada Jana.
"Gue cuma mau ngasih tahu Nadia sudah RSVP-in elo. Omong-omong lo di
Hard Rock sama siapa?"
"Sama orang kantor."
"Eh, Dri, soal Baron, Dara..."
"Jan, Baron ada di sini. Nanti gue telepon lo balik deh ya." Aku lalu menutup
teleponku. Seperti perkiraanku, beberapa detik kemudian teleponku bergetar lagi,
dan nomor itu adalah nomor HP Jana. Dengan kesal aku membiarkan HP-ku
bergetar, dan setelah berhenti, aku kemudian mematikannya.Aku menarik napas
dalam-dalam, mencoba memutuskan langkah selanjutnya.
Tiba-tiba ada seseorang yang mencolek bahuku. Sebelum berbalik untuk
menghadap orang itu aku sudah tahu bahwa itu Baron. Aku dapat mencium aroma
tubuhnya dari tempatku berdiri. Ketika berbalik, aku menemukan Baron
memandangiku. Kemudian tiba-tiba tanpa kukira-kira dia melebarkan kedua
tangannya bagaikan akan memelukku. Aku hanya berdiam diri, masih tertegun atas
www.ac-zzz.tk semua kejadian yang terjadi bertubi-tubi. Ketika aku tidak bereaksi, Baron maju
beberapa langkah dan memelukku. Aku tidak memiliki pilihan lain selain membalas
pelukan itu. "Hei," ucap Baron pelan. Aku dapat merasakan embusan napasnya.
Setelah Baron melepaskanku, aku langsung berkata, "Aku nggak tahu kamu
kenal Ervin." Aku ingin sekali menyiramkan satu ember air dingin ke kepalaku untuk
menenangkan sarafku. "Ervin juga nggak pernah cerita kamu bakalan jadi date-nya malam ini,"
jawabnya. "Date" Nggak kok, cuma teman. Omong-omong anaknya ke mana ya?" tanyaku
dengan suara setenang mungkin.
"Tadid ia bilang mau ke toilet, aku menawarkan diri untuk nyari kamu."
Untuk meringankan suasana aku bertanya, "Omong-omong kamu ke sini diajak
Ervin juga?" "Diajak" Tiket Jazz Night dia dari aku."
Ketika mendengar penjelasan Baron, aku tertawa.
Baron memperhatikanku sebelum bertanya, "Ada yang lucu?"
Aku menahan tawaku dan menggeleng sebelum menjawab. "Nggak, nggak
ada." Lagi-lagi keheningan menyelimuti kami.
"Eh, Di..," tetapi sebelum Baron bisa menyelesaikan kalimatnya, Ervin sudah
muncul kembali sambil melambaikan tangannya ke arah kami. Tanpa disangkasangka,
Baron memegang pinggangku, kemudian menuntunku untuk berjalan di
tengah keramaian menuju Ervin.
"Tom, kita duduk di mana?" tanya Ervin setelah aku dan Baron sudah cukup
dekat. Ervin sempat melemparkan pandangannya ke pinggangku yang dilingkari
lengan Baron. Baru pertama kali aku melihat tatapan Ervin yang kalau kulihat di
mata orang lain bisa kubilang menyemburatkan jealousy. Tapi ini Ervin. Dia tidak
mungkin kan cemburu pada Baron karena aku"
"Tuh," jawab Baron sambil menunjuk ke arah sebuah booth kecil di sudut
www.ac-zzz.tk ruangan. Baron kemudian menarik tangannya dari pinggangku.
Aku duduk di bagian dalam dan Ervin duduk di sampingku, sedangkan Baron
duduk menghadap kami berdua. Setelah kami semua duduk dengan tenang sambil
menikmati minuman masing-masing, tiba-tiba tangan kiri Ervin memegang pahaku
dan dia pada dasarnya memaksa agar aku duduk lebih dekat dengannya. Aku
hampir saja menumpahkan minumanku. Aku mencoba menarik kakiku, tapi
pegangan Ervin malah semakin erat. Untuk mengontrol detak jantungku yang
melonjak tidak keruan aku mencoba mencari bahan pembicaraan.
"Ron, Oli nggak diajak?" tanyaku.
Baron terlihat sendu ketika mendengar pertanyaan itu, sedangkan Ervin lagilagi
terlihat kaget. Aku lupa bahwa Ervin tidak tahu bahwa aku juga mengenal
Olivia. "Oli ada di rumahnya," jelas Baron. Dia tidak memberikan penjelasan lebih
lanjut, sehingga aku harus mencari topik baru.
"Lo kenal Baron di mana, Vin?" tanyaku.
"Kita sobatan waktu SMA, kadang-kadang memang agak-agak susah slaing
kontak sama dia nih," ucap Ervin sambil menunjuk Baron. "Tapi terus si bule satu
ini telepon gue buat nonton Jazz Night," lanjutnya.
"Kamu masih dipanggil "Bule" waktu SMA?" tanyaku kepada Baron.
Tanpa kusadari, pernyataan itu ternyata membuat kedua laki-laki yang duduk
bersamaku tertegun. Setelah beberapa lama baru Baron bereaksi.
"Kamu masih ingat itu?" tanya Baron pelan.
Aku mengangguk. "Iya, gue juga dipanggil Bule waktu SMP," jelas Baron pada Ervin yang hanya
mengangguk dan memberikan tatapan tidak suka padaku.
Baron kemudian mulai bertanya-tanya. "Jadi kamu sama Ervin kerja bareng?"
"Iya," aku menjawab.
"Lo kenapa manggil Adri kamu sih, kenapa nggak elo?" tanya Ervin tiba-tiba.
Aku dan Baron sama-sama tertegun dengan pertanyaan itu. Beberapa saat ada
keheningan yang tidak mengenakkan, lalu Baron menjawab dengan tenang. "Nggak
tahu juga sih, tapi semenjak kita bertemu lagi waktu gue ke Singapur, gue selalu
www.ac-zzz.tk
Miss Pesimis Karya Alia Zalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manggil Didi "kamu". Memangnya kenapa?"
"Singapur" Lo ketemu Baron di Singapur?" tanya Ervin padaku. Suaranya
terdengar tidak stabil. "Iya," jawabku gelisah.
Cengkeraman tangan Ervin di pahaku mengerat.
"Omong-omong, aneh ya dengar kamu... dipanggil Adri, aku selalu manggil
kamu Didi," ucap Baron.
Aku pun langsung tersipu-sipu tanpa sebab. Meskipun di dalam Hard Rock
cukup remang-remang, aku dapat melihat bahwa urat-urat di leher Ervin mulai
keluar, yang menandakan bahwa dia sedang mencoba menahan emosinya, tapi
Baron sepertinya tidak memperhatikan hal itu.
"Kamu sudah berapa lama kenal Ervin?" tanya Baron lagi.
Aku belum sempat menjawab ketika Ervin langsung menyambar, "Hampir dua
tahun." Baron kemudian memandangku, yang mengangguk untuk mengkonfirmasi
pernyataan itu. "Lo nggak pernah cerita ke gue sih?" tanya Baron pada Ervin dengan nada
menuding. "Memang elo emak gue?" balas Ervin. Ketegangan yang dapat kurasakan di
antara mereka terasa cukup tebal untuk bisa dipotong dengan pisau. Tiba-tiba
mereka tertawa keras dan semuanya cair kembali.
Kemudian makanan kami tiba dan akhirnya Ervin menarik tangannya dari
pahaku. Aku buru-buru menggunakan kesempatan itu untuk bergeser sejauh
mungkin dari jangkauan tangannya.
Aku lihat ada sebongkah brokoli di samping steikku. "Vin, brokoli," ucapku.
Ervin pun menusukkan garpunya ke sayuran hijau itu dan memindahkannya ke
piringnya. Ketika memandang ke arah Baron dengan tidak sengaja, aku mendapati
keningnya berkerut. "Anyway, kamu kuliah di mana sih?" tanyaku mencoba untuk tidak terlihat
gugup. www.ac-zzz.tk "Aku di UI, Ekonomi. Aku ketemu lagi sama Oli di situ juga," jawab Baron.
Aku hanya mengangguk-angguk karena mulutku terlalu penuh daging untuk
mengeluarkan kata-kata. Setelah menelan potongan dagingku aku bertanya lagi, "Jadi sudah berapa lama
kamu sama dia?" "Enam tahun total. Sering putus-nyambung," jawab Baron.
"Enam tahun" Gila... lama ya," komentarku kagum. Sejujurnya aku memang
kagum dengan dua orang yang bisa menjalin hubungan selama itu.
Baron hanya tersenyum atas komentarku.
"Oli kenapa nggak lo ajak, Tom?" tanya Ervin tiba-tiba. "Gue pikir lo bakalan
datang sama dia, makanya gue bawa Adri, biar nggak jadi third wheel," tambahnya.
Baru saat ini aku sadari bahwa Ervin memanggil Baron dengan nama depannya,
Thomas, dan itu terdengar sangat asing di telingaku.
"Sebetulnya aku juga cadangan doang, Ervin tadinya mau ngajak Sarah, tapi
gara-gara dia cancel, aku yang jadi korban," sambarku.
Ervin memandangku dengan gemas, tapi aku tidak menghiraukannya.
Baron hanya menggeleng-geleng sebelum menjawab, "Oli lagi sibuk mikirin
anggaran buat resepsi," kemudian melahap sepotong daging besar.
"Dia maunya besar-besaran?" tanya Ervin.
"Bukan cuma dia... emaknya, tantenya, budenya, teman-temannya, sampai
tetangga-tetangganya juga maunya besar-besaran. Dasar cewek," omel Baron.
Aku dan Ervin sempat saling pandang sebelum kemudian Ervin membalas.
"Calon bini jangan diledek gitu," canda Ervin.
"Calon bini sih calon bini, tapi sumpah, kalau gue tahu dia ternyata orangnya
segini bawelnya cuma urusan milih kembang, mendingan gue nggak usah nikah,"
ujar Baron berapi-api. Sekali lagi aku dan Ervin saling pandang. Ervin menangkap maksudku
mengenai kata "bawel" yang digunakan Baron untuk menggambarkan tingkah laku
Olivia. Aku sebetulnya ingin menepuk-nepuk tangan Baron untuk menenangkannya,
tapi pada saat terakhir aku berhasil menahan diri. "Jadi Hari H-nya kapan?"
www.ac-zzz.tk tanyaku. "Kayaknya sih awal tahun depan, tapi dukun mantennya masih ngitungngitung
dulu. Omong-omong kamu datang ya sama Ervin, jangan sampai nggak,"
jawab Baron. "Jadi aku diundang?" tanyaku.
"Iya dong, nanti undangan aku kirim ke kantor kamu ya. Aku soalnya nggak
punya alamat rumah kamu."
"Iya, kirim saja ke kantor, biasanya suka telat kalau dikirim ke rumah, maklum
kalau tinggal di kampung," candaku.
"Rumah kamu di mana sih?"
"Rempoa," Ervin menyambar tanpa disangka-sangka.
Tiba-tiba dari lantai bawah terdengar ada sedikit ribut-ribut.
"Mas, Mas, ada apaan sih?" tanyaku kepada pelayan yang datang untuk
memberiku segelas Pepsi baru.
"Band-nya baru datang, Mbak," jawab pelayan itu lalu berlalu.
"Sekarang jam berapa sih?" tanyaku.
Baron melirik jam tangannya dan mengacungkan jari-jari tangannya yang
panjang, menunjukkan jam delapan. Setelah piring-piring makan diangkat dari
meja, Baron pun mengajak aku dan Ervin untuk berdiri di tepi balkon, supaya bisa
nonton konser Jazz Night lebih jelas.
Acara berakhir pukul 23.30. Aku menyalakan HP-ku kembali. Kulihat Ervin
sedang berbicara perlahan-lahan dengan Baron sebelum kemudian menumpukan
perhatianku kepada gambar amplop yang berkedip-kedip di layar HP-ku. Ternyata
ada sepuluh voicemail dan beberapa SMS semenjak pukul 18.00, cukup aneh. Tapi
aku yakin semuanya pasti dari sobat-sobatku yang sudah tahu dari Jana mengenai
kabarku dan Baron yang sedikit membingungkan beberapa jam yang lalu itu. Empat
pesan pertama memang dari mereka, dan aku segera menghapusnya. Tapi pesan
kelimat datang dari Reilley, kakak iparku yang dengan suara agak panik mengabari
bahwa kakakku akan melahirkan. Panik, aku langsung berseru, "Vin, Ervin, rumah
sakit, rumah sakit, kakak gue melahirkan."
Ervin dan Baron langsung berlari ke arahku untuk menenangkan sekalian
www.ac-zzz.tk mencari tahu masalah yang sebenarnya.
"Dri, kenapa, Dri?" tanya Ervin. "Tenang dulu dong, Dri, jangan panik kayak
gitu." "Kakak gue, Vin, melahirkan, melahirkan. Aduh, ini pesan sudah dari jam
delapan, ya ampun. Sekarang sudah jam dua belas. Aduhhhhhhh...!"
"Oke, oke... rumah sakit mana, Dri?" tanya Ervin.
"Rumah sakit, rumah sakit, rumah..." Dengan gugup aku mencoba menjawab
pertanyaan Ervin, tapi aku tidak bisa mengatakan nama rumah sakit itu. Lidahku
kelu. Baron yang masih berdiri tertegun akhirnya mengambil HP-ku yang hampir saja
meluncur dari genggamanku ketika aku panik. Perlahan-lahan Baron kemudian
memberitahu isi mailbox-ku.
"Di, pesan dari Reilley (Baron menyebut nama Reilley dengan tatapan penuh
tanda tanya, karena dia tidak mengenal nama ini), bilang Mbak Tita akan
melahirkan (Sekarang giliran Ervin yang memberikan pandangan aneh kepadaku
dan menyebutkan nama Mbak Tita dengan nada penuh tanda tanya kepada Baron
yang tidak menghiraukannya). Reilley bilang bahwa kamu harus telepon Bonyok
kamu. Nyokap kamu telepon... dia sama Bokap kamu sudah dalam perjalanan ke
rumah sakit diantar sama Pak Yoyok. Nyokap telepon lagi... mereka sudah sampai
di rumah sakit, tapi masih belum tahu nomor kamarnya. Dara nanya ke mana, kok
kamu nggak angkat telepon. Terus Nyokap lagi... kamar Mbak Tita di 215 di Rumah
Sakit Internasional Bintaro."
Setelah memberitahuku semua informasi tersebut, Baron kemudian
mengulurkan kembali HP-ku. Ervin mengambilnya dari tangan Baron ketika
melihatku tidak bereaksi dan memasukkannya ke tas tanganku. Aku yang sudah
lebih tenang menurut saja digandeng Ervin. Kami berdua, diikuti Baron, segera
menuju lapangan parkir. Aku duduk di kursi penumpang mobil Ervin dan
berpamitan pada Baron. Tiba-tiba HP-ku berbunyi. Telepon dari ibuku yang menanyakan keberadaanku
dan kenapa aku masih belum sampai juga di rumah sakit. Aku menenangkannya
sebelum memberikan kepastian bahwa aku akan tiba dalam waktu setengah jam.
www.ac-zzz.tk "Ayo, Dri, mesti jalan sekarang kalau lo mau ada di sana sebelum bayinya
lahir." Ervin menutup pintu mobil di sisi penumpang dan berjalan ke sisi sopir.
"Ron, thanks buat undangannya!" teriakku melalui jendela.
Kemudian kami pun berlalu. Dari kaca spion aku bisa melihat Baron
melambaikan tangan ke arah kami.
Ervin membawa mobil seperti orang kesetanan. Semua mobil yang berkecepatan
kurang dari 140 kilometer per jam diklakson dan diusirnya dari hadapannya. Aku
harus berpegang erat pada kursiku dalam kepanikan. Rasa mual mulai muncul di
perutku karena Ervin melewati beberapa mobil sambil membanting setir ke kiri
lalu ke kanan. Aku lihat Ervin mengeratkan genggamannya pada setir dan mengganti
persneling ke gigi enam. "Vin, gue tahu mobil lo mahal dan ada banyak airbag-nya jadi kalau kecelakaan
mungkin nggak akan sefatal kalau misalnya kita naik Kijang. Tapi kecuali lo mau
interior mobil lo ini rusak dan baunya jadi aneh gara-gara muntah gue, gue
saranin lo slow down," ucapku pelan.
Seperti tidak sadar bahwa dia overspeed, pandangan Ervin jatuh ke speedometer
sebelum kemudian mengurangi kecepatan. Aku mengembuskan napas lega.
"Thanks," ucapku.
"Lo mual?" tanya Ervin.
"Hampir," balasku.
"Sori." Aku hanya mengangguk. Lalu, "Lo kok baru tahu kakak lo bakal melahirkan sih, Dri" Memang HP lo
apain?" tanyanya. "HP gue matiin. Habis..." Aku tidak meneruskan penjelasanku karena Ervin
sudah memotongku. "Kan kasihan nyokap lo nggak bisa telepon elo."
Aku berdiam diri, merasa bersalah.
"Memangnya lo nggak tahu kapan kakak lo akan melahirkan?"
"Dokternya bilang kemungkinan hari Selasa. Gue nggak tahu dokter bisa
meleset juga." www.ac-zzz.tk "Ini keponakan pertama lo ya?" tanya Ervin.
Aku mengangguk. "Gue nggak tahu kakak lo lagi hamil. Kok lo nggak pernah cerita?" tanya Ervin
lagi. "Memangnya penting, ya?"
Ervin mengangguk. "Gue baru sadar ternyata ada banyak hal yang gue nggak
tahu tentang elo." Aku tertawa terkekeh-kekeh. "Tenang saja, ada banyak hal yang gue juga nggak
tahu tentang elo," balasku.
Ervin kemudian menatapku. "Hal apa yang elo nggak tahu tentang gue?"
Keingintahuan terlihat di matanya.
"Gue nggak tahu ternyata lo teman baik sama Baron..." Sebelum aku bisa
menyelesaikan kalimatku Ervin sudah memotongku.
"Gue juga nggak tahu ternyata lo jago flirting sama cowok lain."
Mulutku ternganga, bukan karena kata-katanya, tapi lebih karena nadanya yang
terdengar sangat sarkastis.
"Apa maksud lo flirting?" tanyaku bingung.
"Ya flirting, ngobrol sama cowok lain mana pakai pegang-pegang segala lagi."
Apa?"" Kok bisa-bisanya topik pembicaraannya jadi ke sini" pikirku dalam hati.
Jelas-jelas Ervin sedang membicarkaan Baron.
Daripada bertengkar aku lebih memilih humor. "Lo jealous, ya?" ledekku.
"NO!!! Bukan jealous, gue cuma mau bilangin ke elo etiket orang nge-date."
"Nge-date" Sejak kapan kita nge-date?"
"Sejak malam ini. Lo gue kenalin ke Thomas... Baron lo itu... sebagai date gue."
Nada Ervin terdengar seperti nada orang siap perang ketika mengatakan nama
Baron. Entah kemasukan setan apa dia malam ini.
"Well, lo mestinya tanya ke gue dulu apa gue mau jadi date lo malam ini. Dan
bisa-bisanya lo ngomongin soal etiket ke gue, lo tahu sendiri kalau biasanya
kita lagi jalan banyak perempuan yang dekat-dekat sama elo dan gue nggak pernah
komentar apa-apa, kan?"
"Iya... tapi seperti yang elo bilang, itu kan cuma jalan, bukannya nge-date."
www.ac-zzz.tk "Aduh, nggak ada bedanya deh."
"Ada dong, Dri."
Aku pelototin Ervin yang lagi nyetir. Kuperhatikan bahwa jarum speedometer
sudah naik lagi melewati angka 120. Tapi aku terlalu marah untuk peduli.
"Oooohhhh, ini masalahnya bukan karena jalan atau date, kan" Ini masalah elo
boleh flirt tapi gue nggak boleh, gitu?"
"Maksud gue bukan itu."
"Terserah deh lo mau manggil nih malam jalan kek, date kek, mau bilang gue
flirt kek, nggak kek. Lagian juga bukannya sesuatu yang spesial gitu lho kalau
gue on a date sama seorang Ervin Daniswara. Hampir semua perempuan di Jakarta
sudah pernah pergi on a date sama elo," balasku berapi-api.
Ervin mengerling dan aku tahu dia tersinggung. Tapi setelah agak lama dia
membalas. "Kenapa juga sih lo harus baik sama semua orang" Sama Baron, Reza, tuh bule
di Hard Rock?" Aku tadinya mau tidak menghiraukan komentar ini, tapi tidak bisa. "Ya gue
lebih suka kalau orang menganggap gue sopan daripada rude. Tuh bule cuma tanya
apa elo atau Baron yang cowoknya gue, gue bilang lo berdua sobatan dan gue cuma
aksesoris saja. Benar, kan?"
"Salah, lo nih malam sama gue, punya gue."
Aku langsung kaget atas kata-kata itu dan hanya bisa terdiam. Ervin betul-betul
cemburu rupanya. Kemudian dengan hati-hati aku berkata, "Punya elo" Elo baru
bilang gue punya elo?"
"Maksud gue..."
"Memangnya gue barang" Memangnya gue tipe perempuan yang bisa lo beli
kayak Tiffany"s atau Bulgari?" teriakku memotong kalimatnya.
"Bukan gitu, Dri, maksud gue..."
"Stop, stop, gue turun di sini saja," ucapku pelan tapi tegas. Kami sedang
berada di arteri Pondok Indah. Tapi seperti tidak mendengarku dia tetap meluncurkan mobilnya di jalur kanan.
"Vin, gue turun di sini saja, tuh ada taksi," ucapku memerintah.
www.ac-zzz.tk Tapi Ervin tetap tidak menghiraukanku.
"Vin," teriakku akhirnya. "Lo dengar gue nggak sih?"
"Gue antar lo ke rumah sakit," jawabnya singkat.
Kami berdua sama-sama tidak mengatakan sepatah kata pun selama sisa
perjalanan yang memakan wakut setengah jam itu. Ketika Ervin menghentikan
mobilnya di lobi rumah sakit, aku langsung membuka pintu dan berlari menuju
meja informasi, tidak menghiraukan Ervin yang berteriak-teriak memanggilku. Aku
tidak peduli padanya sekarang, pertama-tama karena ada masalah yang lebih
penting daripada memikirkan tingkah laku anehnya malam ini. Kedua, aku terlalu
kesal padanya untuk melihat wajah Dewa Yunani-nya lagi.
Setelah menanyakan letak ruang bersalin aku langsung berlari sambil menekan
nomor HP Reilley. Ternyata kakakku baru masuk ruang bersalih beberapa menit
yang lalu. Suara Reilley yang biasanya tenang terdengar agak-agak panik. Aku
segera memberitahu bahwa aku sudah sampai dan sedang berlari menujunya.
Ketika tiba di ruang tunggu keluarga, aku bertemu dengan ibu dan bapakku
yang terlihat cukup tenang, menghirup minuman hangat dari gelas plastik.
"Bu, Mbak Tita gimana?" tanyaku sambil memeluk dan mencium ibu dan
bapakku. "Mbak Tita baik-baik saja kok. Tadi Reilley bilang, kalau kamu mau ikutan
masuk juga boleh," jawab ibuku. "Kamu ke sini diantar sama teman kamu?"
Miss Pesimis Karya Alia Zalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lanjutnya. Aku mengangguk. "Orangnya mana?" tanya bapakku.
"Nggak tahu, tadi sih ada," aku menjawab cuek. "Bu, aku masuk ya. Oh iya, ini
tolong pegangin tasku."
Aku langsung berlari ke arah pos jaga suster untuk minta dibiarkan masuk
menemani kakakku. Ruang bersalin yang kumasuki terlihat agak kosong, hanya ada satu dokter, dua
suster, dan Reilley yang terlihat agak aneh dengan pakaian yang dikenakannya.
Reilley mengangguk menandakan bahwa dia melihatku. Kakakku yang terlihat
sangat kesakitan pun sempat melihatku sebelum dia mengalami kontraksi. Selama
www.ac-zzz.tk beberapa jam kemudian aku menemani Mbak Tita di ruang bersalin. Setelah tiga jam
dan si bayi masih belum lahir juga, meskipun ibunya sudah mau pingsan, Reilley
akhirnya memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu karena rupanya dia tidak
tega melihat istrinya kesakitan.
Pukul tujuh pagi hari akhirnya Lukas O"Reilley dilahirkan dengan selamat dan
komplet. Reilley yang sedang pergi ke kantin untuk membeli kopi harus dipanggil
melalui speaker. Reilley tiba beberapa menit kemudian, keningnya berkeringat dan
napasnya memburu. Aku hampir saja tertawa ketika melihatnya, tubuh Reilley yang
tinggi besar itu rupanya harus berolahraga ekstra pagi itu.
Menahan kantuk dan lelah, aku berjalan keluar dari ruang bersalin seperti
zombie. Tanganku agak merah dan bengkak karena digenggam kakakku selama dia
mengalami kontraksi. Ketika melangkah ke ruang tunggu, aku melihat bapak dan
ibuku, dan... Oh my God, I am so tired I'm hallucinating.
Aku mengedipkan mataku beberapa kali. Ketika aku membuka mataku kembali
ternyata dia masih tetap ada di sana. Ervin yang melihatku berjalan mendekat
memberi tanda kepada orangtuaku. Ibu dan bapakku kemudian bergegas berjalan
ke arahku, dan ketika aku memberitahu bahwa Lukas dan Mbak Tita sehat-sehat
saja, mereka langsung berpelukan. Seorang suster menghampiri kami untuk
mempersilakan mereka bertemu Lukas dan Mbak Tita. Tanpa basa-basi mereka
langsung pergi meninggalkanku.
Setelah kedua orangtuaku berlalu, aku mengalihkan perhatianku pada Ervin.
Kemeja putihnya terlihata agak kusut, kedua lengan kemeja itu dilipat dengan
asal. Meskipun begitu, dia masih terlihat ganteng. Semua rasa kesal yang kurasakan
beberapa jam yang lalu, kini hilang tidak berbekas. Ervin yang sadar bahwa aku
sedang memperhatikannya dengan pandangan agak aneh berjalan ke arahku dan
memelukku. Tanpa sadar aku hanya membiarkan tubuhku dipelukanya. Aku bisa
merasakan sesuatu di hatiku bergeser. Tubuhku yang tadinya terasa dingin
sekarang menjadi hangat. Ervin mencoba merapikan rambutku yang kemungkinan
besar sudah terlihat seperti Medua dan menuntunku untuk duduk di kursi.
"Orangtua lo sayang banget ya sama anaknya sampai mau nungguin
www.ac-zzz.tk semalaman. Tadinya sudah mau gue antar pulang, karena Pak Yoyok sudah pulang
duluan sekitar jam dua, tapinya bonyok lo nolak. Katanya mau nunggu sampai cucu
mereka lahir," Ervin menjelaskan padaku.
Aku hanya duduk terpaku dan menatap Ervin. Senyum simpul hanyalah satusatunya
tanda bahwa aku masih sadar.
"Tadi malam kok nggak nungguin gue sih" Pas gue telepon HP lo untuk nyokap
lo ngangkat, jadi gue tahu lo ada di mana, kalau nggak kan gue bingung juga mau
ke mana. Gue tanya resepsionis, mereka nggak punya pasien yang namanya Tita,"
Ervin mulai ngomel lagi. Aku terlalu lelah untuk membalas. Aku menutup mataku beberapa detik. Tibatiba
aku merasakan guncangan. "Dri... Dri... bangun, Dri," ucap Ervin.
Pelan-pelan kubuka mataku. "Pergi sana, gue mau tidur," gumamku.
Samar-samar kudengar Ervin terkekeh-kekeh.
11. CIUMAN AKU terbangun beberapa jam kemudian di tempat tidurku di rumah. Aku mencoba
mengingat bagaimana aku bisa sampai di sini. Lalu memori mengenai beberapa jam
yang lalu perlahan-lahan kembali. Aku ingat Ervin menawarkan untuk
mengantarkan orangtuaku pulang, tetapi mereka menolak, lebih memilih untuk
menunggu Pak Yoyok untuk menjemput. Lalu Ervin meminta izin kepada mereka
untuk membawaku pulang. Sekilas kuingat Ervin memapahku ke mobilnya dan
membawaku pulang. Lalu perjalanan dari pintu depan ke kamarku di dalam
pelukannya. Aku hanya sempat menukar bajuku dengan piama sebelum tewas.
Kudengar ada ketukan pelan di pintu kamarku sebelum kemudian Mpok Sanah
masuk untuk membangunkanku.
"Udah mendusin belom?" tanyanya. Mpok Sanah sudah bekerja untuk
keluargaku semenjak aku bayi, dan terkadang bahasa Betawi-nya yang kental masih
suka membuatku tertawa. "Jam berapa, Mpok?" tanyaku, mencoba untuk mengedipkan mataku beberapa
kali untuk mengusir kantuk.
"Udah mau magrib."
www.ac-zzz.tk Mpok Sanah kemudian melangkah masuk untuk menutup jendela kamarku.
"Ibu sama Bapak sudah pulang?" tanyaku.
"Udah balik lagi noh ke rumah sakit."
Rupanya mereka tidak mau menungguku. Ya sudah, nanti aku ke rumah sakit
sendiri. Aku melangkah turun dari tempat tidurku.
"Buru dah mandi, ada nyang nunggu noh di luar."
Aku berjalan ke dresser-ku untuk mengambil pakaian dalam. "Siapa?" tanyaku.
"Anak muda nyang nganter tadi pagi, sapa namanya yah... Eh iya... Kepin."
"Siapa?" Aku tahu bahwa Mpok Sanah selalu salah kalau sudah urusan nama
orang. Aku hanya ingin memastikan.
"Kepin... eh... Empin... eh... tau dah. Nyang nganter tadi pagi. Noh liet ndiri
aja dah," ucapnya dengan nada tidak pasti.
"Ervin?" teriakku kaget.
"Nah, bener tuh. Cakep bener dah orangnya, mirip bintang pelem," ucap Mpok
Sanah tersipu-sipu. Meskipun kaget Ervin ada di rumahku, tetapi aku terpaksa tertawa melihat
tingkah laku Mpok Sanah. Buru-buru aku masuk ke kamar mandi. Dalam hati aku
bertanya-tanya, untuk apa Ervin ke sini lagi"
Setengah jam kemudian kutemukan Ervin sedang duduk dengan santai di sofa
sambil menonton Anderson Cooper 360. Volume TV cukup rendah sehingga dia
mendengarku menuruni tangga.
"Hei, Vin," sapaku..
"Hey, you." Ervin buru-buru menghampiriku.
Aku melihat ada bayangan hitam di bawah matanya seperti dia belum tidur.
Kulitnya pun terlihat lebih pucat daripada biasanya.
"Sori tadi malam... eh, tadi pagi... gue ngantuk banget. Makasih sudah ngantar
gue pulang." "No problem." Selama beberapa detik ada keheningan. Rupanya silir angin pertengkaran kami
sebelumnya masih tersisa, meskipun kini aku tidak bisa mengingat inti dari
pertengkaran tersebut. Ketika Ervin tidak mengatakan apa-apa, aku terpaksa
www.ac-zzz.tk mencari topik pembicaraan. "Sudah makan?" tanyaku lalu berjalan menuju kulkas.
"Gue tadi sudah makan di rumah," jawabnya sambil mengikutiku ke dapur.
"Mau minum?" "Nggak, tadi sudah dibuatkan teh sama Mpok Sanah."
"Oh." Aku sudah kehabisan bahan pembicaraan. Aku mesti ngomong apa lagi"
"Akhirnya gue bisa liaht rumah lo dari dalam," ucap Ervin tiba-tiba.
Aku hanya memandangnya bingung.
"Iya... lo kan selama ini nggak pernah ngundang gue masuk." Ada senyum
simpul di sudut bibir Ervin ketika mengatakannya. "Kamar lo juga bagus...
nyaman," lanjutnya. Aku menyipitkan mataku curiga. Apa maksudnya dengan kata-kata itu" Aku
menunggu kalimat selanjutnya, tapi tidak kunjung datang.
"Lo nggak ke rumah sakit?" tanya Ervin tiba-tiba mengganti topik.
Aku hampir tersedak mendengar pergantiain topik yang tiba-tiba itu. "Oh...
nggak. Tadi Nyokap telepon, katanya gue istirahat saja. Besok giliran gue ke
sana," jawabku setenang mungkin. Ibuku memang menelepon sewaktu aku sedang mandi
dan meninggalkan pesan kepada Mpok Sanah untuk memberitahu soal itu.
"Gue pikir lo mau ke rumah sakit, soalnya kalau lo mau, gue bisa antar," ucap
Ervin. Aku tertawa mendengar penawarannya. "Vin... gue bukannya mau ngusir elo
ya, tapi elo kelihatan capek banget. Jadi kayaknya lebih baik lo pulang dan
tidur," ucapku. Wajah lelah Ervin terlihat kecewa. "Lo nggak perlu gue lagi?"
Aku agak kaget dengan pertanyaan juga nadanya. Aku memandangi Ervin yang
sepertinya sedang menunggu jawaban dariku dengan penuh harap.
"Nggak... bukan itu. Gue perlu elo, tapi nggak saat ini," jawabku pelan.
"Tapi lo akan perlu gue nanti?" tanyanya penuh harap.
"Iya nanti," balasku.
Wah... laki-laki satu ini benar-benar kelelahan sampai berkelakuan aneh seperti
ini, pikirku. Aku mengantar Ervin ke mobilnya yang diparkir di pinggir jalan. Setelah
www.ac-zzz.tk sampai di depan mobil aku berkata, "Thanks for everything."
Ervin terlihat ragu sesaat sebelum kemudian berkata, "Dri... gue minta maaf soal
tadi malam. Soal omongan gue yang kelewatan. Gue juga nggak tahu kenapa gue
marah-marah sama elo."
Aha... dia merasa bersalah rupanya. Itu sebabnya dia berkelakuan baik malam
ini. "Nggak apa-apa," ucapku bersungguh-sungguh.
Kemudian Ervin terdiam beberapa detik. "Akhirnya gue bisa ketemu juga sama
keluarga lo ya. Lo ternyata sayang juga sama Mbak Tita lo itu," ucap Ervin
pelan. Aku tertawa kecil. "Yeah, well, dia itu segalanya buat gue," jawabku. "Nanti lo
gue kenalin ke dia deh kalau dia sudah keluar rumah sakit."
"I'd like that," jawab Ervin sambil tersenyum dan menatapku.
Aku memang sering menjadi korban tatapan mata Ervin, berapa kali bahkan
menyebabkanku hampir mau pingsan. Tapi itu semua tidak sebanding dengan apa
yang kurasakan malam ini. Ada sesuatu yang berbeda di matanya. Mungkin karena
aku terbiasa dengan tatapannya yang penuh kepastian, tapi senja ini, mata itu
terlihat ragu. Lampu jalan mulai menyala dan sinarnya menyinari wajah Ervin dari
sisi yang membuat matanya terlihat berbinar-binar.
Aku maju beberapa langkah ke arah Ervin untuk mencium pipinya, seperti biasa
cara kami say goodbye. Tapi entah gara-gara angin apa, setelah aku berada cukup
dekat dengan pipinya, pandanganku justru jatuh pada bibirnya. Ervin yang melihat
reaksiku hanya terdiam dan menunggu. Sejujurnya beberapa bulan setelah aku
mengenal Ervin, aku sempat bertanya-tanya bagaimana rasanya kalau Ervin
menciumku. Tapi lambat laun, rasa keingintahuanku itu memudar, bahkan hilang
sama sekali, hingga sekarang. Dan suatu alarm yang bunyinya mirip sekali dengan
alarm pesawat ulang-alik yang mengalami masalah dengan mesinnya mulai
berbunyi. Mayday... Mayday... Houston we have a problem. Adriana Amandira akan jatuh.
Minta bantuan. Diulang... minta bantuan. Dia jatuh cinta setengah mati pada
lakilaki ini. Karena aku berdiri di atas trotoar, mataku dan Ervin bisa saling tatap. Untuk
www.ac-zzz.tk pertama kalinya tinggi kami hampir sejajar. Dengan penuh keraguan, kuletakkan
tangan kananku di lengannya. Kudekatkan wajahku sehingga hanya ada sekitar
lima sentimeter yang memisahkan bibirku dengan bibirnya. Ervin menggerakkan
kepalanya sedikit dan dia pun mendekatkan kepalanya kepadaku. Kedua tangan
Ervin telah memegang pinggangku. Terakhir yang kusadari adalah sentuhan singkat
bibir Ervin di bibirku sebelum ada bunyi klakson mobil yang menyadarkanku.
Buru-buru kutarik wajahku dari hadapan Ervin dan mencium pipinya. Ervin yang
agak-agak kaget melihat pergantian emosiku terlihat bingung sebelum kemudian
membalas dengan memberikan ciuman di pipiku juga.
Ketika M3-nya meluncur pergi aku dapat melihat tatapan mata Ervin yang
terlihat sedikit sendu. Aku tidak pernah melihatnya seperti itu.
HOLY CRAP!!! If I wasn't in a deep shit before, I am now.
*** Ketika aku sedang bersiap-siap untuk makan malam, kepalaku seperti sedang
berlari di atas treadmill. Aku mencoba mencari penjelasan mengenai kejadian
beberapa saat yang lalu. Beberapa kali Ervin meneleponku tapi tidak kuangkat.
Aku mencoba memblokir segala sesuatunya tentang Ervin.
Aku TIDAK jatuh cinta pada Ervin. Itu tidak hanya aneh, tapi juga BODOH!!!
Berkali-kali aku mengomeli diriku sendiri yang menaruh benih ide gila itu di
kepalaku. Ini Ervin, temanku yang playboy abissss, yang meskipun sudah
mengenalku selama hampir dua tahun tidak pernah sekali pun mencoba untuk
menjalin hubungan romantis denganku. Lebih parahnya, bagaimana aku bisa
menghadapinya besok" Oke, mungkin aku bisa menghindar selama beberapa hari,
tapi aku tidak bisa menghindar selamanya. Mau tidak mau pasti akan bertemu juga.
Sengaja atau tidak sengaja. Kepanikan mulai menyelimutiku. Bagaimana kalau
Ervin menceritakan kejadian barusan kepada orang-orang kantor" Aku bisa jadi
bahan tertawaan selama berbulan-bulan.
Jam sembilan malam pikiranku sudah semakin gila. Aku berkontemplasi untuk
pindah kerja. Kira-kira perusahaan mana yang mau mempekerjakanku secepatnya"
Kalau bisa mulai minggu depan. Tapi tentu saja itu gila. Tidak ada perusahaan
yang akan mempekerjakanku secepat itu dan Good Life tidak akan melayani surat
www.ac-zzz.tk pengunduran diriku kecuali itu diserahkan sebulan sebelumnya. Aku tahu betul
peraturan itu karena aku yang membuat peraturan itu. DAMN IT!!!!!
Tiba-tiba HP-ku berbunyi. Dari Baron. Untuk pertama kali aku menyesal telah
memberikan nomor HP-ku padanya sewaktu di Hard Rock. Aku tidak perlu ada
satu orang lagi yang membuatku pusing gara-gara hatiku.
"Halo, Ron," ujarku.
"Gimana Mbak Tita, katanya sudah melahirkan, ya?" Suara Baron terdengar
antusias. Aku mendengar bunyi "tuuuuut" yang menandakan bahwa baterai HP-ku
sudah sangat lemah. Aku yang selalu lupa nge-charge HP, hari itu bahkan lebih
lupa lagi. "Hah?" ucapku mencoba untuk menangkap kata-kata Baron yang terakhir.
"Aku telepon beberapa kali tadi siang, tapi nggak diangkat, jadi aku coba jam
segini, siapa tahu kamu sudah bangun."
"Good timing," gumamku.
"Jadi, laki-laki apa perempuan?"
"Laki-laki. Namanya Lukas."
"Congrats ya, bilangin ke Mbak Tita, aku titip salam."
"Iya, makasih." Aku mendengar bunyi "tuuuut" itu lagi.
"Kamu lagi di mana sih, kok ramai amat?"
Aku memang sedang nonton MTV, dan lagu terbaru Paramore sedang terlantun
dengan cukup keras. Aku langsung mengecilkan volume TV.
"Oh sori, aku lagi nonton TV." Aku mencoba mencari charger HP yang seingatku
kutinggalkan di ruang TV, tapi aku tidak bisa menemukannya.
"Ohhhhh, ya sudah kalau begitu, kapan-kapan aku telepon lagi ya. Kita perlu
ngobrol nih, kemarin waktu ketemuan nggak sempat ngobrol panjang-lebar."
"Oh iya," balasku pendek.
"Ya anyway, gini...," sebelum Baron selesai berbicara tiba-tiba sambungannya
terputus. Sinyalnya hilang beberapa saat. Belum lagi ternyata baterai HP-ku
sudah superlow. "Ron, aku nggak bisa dengar kamu... Ron," teriakku.
www.ac-zzz.tk Aku mencoba berjalan ke tempat lain agar mendapat sinyal, tapi tetap tidak
mendapatkannya. Aduuhhhh... padahal aku mau tahu apa yang akan dikatakannya.
Aku tahu dia mau menanyakan sesuatu padaku.
"Stupid cell phone," omelku ketika hubungan itu benar-benar terputus karena
Miss Pesimis Karya Alia Zalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
teleponku mati total. 12. KUCING-KUCINGAN SESUAI dengan rencanaku, selama beberapa hari aku sukses menghindari Ervin.
Karena aku tidak pernah mengangkat HP-ku akhirnya Ervin berusaha
menghubungiku di rumah. Nomor telepon yang sebelumnya adalah off limits
baginya. Tapi atas bantuan Sony, asistenku si pengkhianat itu, Ervin pun
mendapatkan nomor telepon rumahku. Beberapa kali dia menelepon tapi aku tidak
ada di rumah, tapi aku dan dia tahu bahwa aku menolak untuk menerima telepon
itu. Setiap kali dia meninggalkan pesan, suaranya terdengar semakin putus
harapan. Rupanya dia betul-betul ingin bicara denganku. Hingga akhirnya Ervin
meninggalkan voicemail untukku, yang membuatku merasa bersalah karena tidak
menghiraukannya. "Adri, ini gue. Kita perlu bicara. Gue nggak tahu gue salah apa lagi sama elo.
Why won't you talk to me" Apa gara-gara kejadian malam itu" I'm sorry, okay.
Tapi, tolong dong telepon gue, biar kita bisa ngomongin soal itu. Please..."
Alasan aku menolak untuk berbicara dengan Ervin sebetulnya cukup simple.
Aku masih perlu waktu untuk menganalisis perasaanku terhadapnya.
*** Suatu sore ketika aku baru saja pulang dari rumah kakakku yang sudah
diperbolehkan pulang dari rumah sakit oleh dokter, Sarah meneleponku. Aku tahu
bahwa kemungkinan besar Ervin memintanya untuk melakukannya, dan aku tahu
bahwa mungkin Sarah sudah tahu panjang-lebar tentang kejadian memalukan
beberapa hari yang lalu di rumahku itu.
"Mbak, ini Sarah."
"Halo, Sar, apa kabar" Kita masih jadi kan jalan buat weekend depan?"
"Iya, jadi dong. So kita mau ke mana nih" Oh iya, omong-omong congrats ya,
kakaknya Mbak sudah punya momongan, aku baru dengar dari Ervin."
www.ac-zzz.tk Aku langsung terdiam ketika mendengar Sarah menyebutkan nama Ervin.
Entah kenapa, tapi tiba-tiba perutku terasa mulas. Aku baru sadar kemudian bahwa
Sarah sedang memanggil-manggil namaku.
"Mhhhh, ke tempat biasalah. Anyway, iya, makasih, gue sudah jadi tante nih,"
ucapku sambil tertawa. Itu adalah pertama kali aku bisa tertawa lepas dan bebas.
Bebas dari Ervin. Untuk pertama kalinya aku sadar bahwa sudah sekitar tiga hari belakangan ini
wajah, bahkan nama Baron tidak pernah terlintas di kepalaku. Yang ada di
pikiranku cuma Ervin. "Ya sudah, jadi jam satuan ya." Kata-kata Sarah membangunkanku dari
lamunan. Sebelum aku menutup telepon Sarah berkata, "Omong-omong, telepon Mas
Ervin tuh, dia lagi agak-agak sedih."
Sebelum aku bisa membalas komentarnya, Sarah sudah menutup telepon.
Ketika mendengar nama Ervin aku hanya bisa terdiam. Meskipun aku sudah
menyangka komentar itu akan muncul cepat atau lambat, aku tetap mengharapkan
bahwa itu akan terjadi nanti, tidak secepat ini. Dan Sarah menyebut Ervin dengan
kata Mas, ini berarti urusannya memang serius.
*** Selama beberapa hari aku masih tetap main kucing-kucingan dengan Ervin.
Akhirnya suatu Selasa malam ketika aku sedang tidur-tiduran dengan ibuku di
tempat tidurnya, beliau pun menanyakan tentang Ervin.
"Di, teman kamu yang waktu itu nungguin kamu di rumah sakit baik juga ya."
Aku tidak menghiraukan komentar ibuku, mataku terus memandang televisi.
"Kok kamu nggak mau terima teleponnya sih" Memangnya kenapa?"
Aku pura-pura tidak mendengarkan ibuku.
"Eh, Di, ditanya kok cuek gitu sih?"
Akhirnya aku mengalihkan mataku dari televisi dan menatap ibuku. "Nggak
kenapa-napa kok, lagi nggak mood saja ngomong sama dia."
"Lho kok gitu sih, sudah diantar, ditungguin sampai pagi... kurang apa lagi?"
"Kurang sih nggak, cuma..."
www.ac-zzz.tk "Cuma kenapa" Tapi kan kasian lho, dia sudah nelepon beberapa kali, lamalama
Ibu jadi nggak enak kan bohong sama dia. Sudah mana kerjaannya nanyain
kabarnya Ibu sama Bapak lagi."
"Ah, dasar enyak-enyak, susah deh. Itu memang style-nya Ervin, Bu, selalu
kayak gitu." "Oh?" Tiba-tiba bapakku yang dari tadi berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya di
ruang sebelah, meskipun aku tahu dia juga ikut mendengarkan percakapan kami,
mengomentari, "Ngomongin siapa sih?" teriaknya.
"Mau tahu saja deh," jawab ibuku juga dengan berteriak keras.
"Ngomongin si Muffin lagi deh ya?" balas bapakku tidak kalah kerasnya.
Aku dan Ibuku saling tatap. "Hah?" ucap kami bersamaan.
"Iya, katanya Tita, kamu kan suka jalan sama si Muffin itu, kan?" lanjut
bapakku. "Pak, Ervin, E-R-V-I-N, bukan Muffin, memangnya makanan," balasku sambil
mengulum senyum. "Ye... masa gosipin tentang aku sama Mbak Tita sih?"
tambahku. Aku terbahak-bahak mendengar komentar bapakku. Bapakku adalah orang
terakhir yang kupikir akan tertarik pada love life-ku. Sebagai seorang konsultan
pajak yang cukup sukses, bapakku hampir tidak pernah ada di rumah. Empat hari
dalam satu minggu dia biasanya ada di luar kota untuk memberikan pelatihan atau
seminar pajak. Terkadang ibuku ikut menemani, tapi lebih sering ibuku memilih
tinggal di rumah saja. "Memangnya menurut Ibu sama Bapak orangnya oke, ya?"
Aku mendengar langkah bapakku menuju ke arah kamar tidur. Tidak lama
kemudian dia muncul sambil mengangguk lalu berkata, "Yah, itu kan kamu yang
bisa nilai." "Oh iya, reuniannya kamu kapan tuh?" tanya ibuku.
"Sabtu depan," jawabku.
Dengan begitu pembicaraan kami pun berakhir.
*** www.ac-zzz.tk Aku tidak membalas telepon Baron sekali pun, semenjak dia meneleponku beberapa
hari yang lalu. Banyak permasalahan yang harus kuselesaikan dengan Ervin dulu.
Akhirnya hari Sabtu, Desember tanggal 15 pun tiba. Jana sudah memutuskan bahwa
dia yang akan menjemputku, karena untuk pertama kalinya dia bisa punya waktu
off dari anak-anaknya, dan dia mau merayakan hari kebebasannya itu. Karena acara
reuninya akan dimulai sekitar jam tujuh, Jana menjemputku jam lima sore,
kemudian dalam perjalanan, kami menjemput Dara. Nadia yang rumahnya di ujung
dunia, alias di Kelapa Gading, terpaksa harus naik taksi apabila Kafka,
suaminya, menolak mengantarnya. Tapi tentu saja sebagai suami tercinta, Kafka seperti
biasa bersedia mengantar sang istri ke mana pun dia pergi.
"Dri, lo nggak apa-apa" Muka lo agak panik gitu," tanya Jana.
"Gue kelihatan panik?" Aku mencoba mencari cermin. Aku melatih senyumku
beberapa kali di depan cermin tempat bedakku. Setelah puas bahwa wajahku sudah
cukup ceria, aku kembali memfokuskan perhatianku pada percakapan dengan
sobat-sobatku. Setibanya kami di Senayan, suasana reuni sudah dimulai. Mulai dari angkatan
kelas satu sampai kelas tiga, mulai dari anak kelas A hingga D, semuanya
terlihat bercakap-cakap dan bernostalgia bersama-sama. Ketika aku melangkah masuk ke
restoran, aku dapat mengenali Baron dari kejauhan. Dia sedang ngobrol dengan
beberapa orang lain yang tidak terlalu kukenal. Baron kemudian berpaling dan
melihatku. Dengan antusias dia melambaikan tangannya, dan hanya dengan satu
senyuman dari Baron, hilanglah Ervin dari pikiranku. Tiba-tiba jantungku
berdetak lebih kencang dan aku merasa sedikit gerah.
"Dri, Dri, itu Baron, kan?" bisik Jana. Aku langsung mengangguk.
"Masih ganteng ya," tambah Dara.
Kami bertiga kemudian tertawa mendengar komentar itu. Nadia yang baru
datang langsung nimbrung. Berempat kami melangkah mencari penyegar
kerongkongan, lebih tepatnya minuman bersoda. Kalau bisa yang ada alkoholnya
untuk menenangkan detak jantungku yang melonjak-lonjak karena melihat Baron
dengan kemeja lengan panjang berwarna hitam dan jins yang membuatnya terlihat
lebih... handsome daripada biasanya.
www.ac-zzz.tk Koordinasi reuni itu ternyata cukup baik. Makanan yang tersedia adalah buffet,
dan meskipun ada sekitar dua ratus orang yang hadir, kami tidak merasa penuh
sesak, dan semua orang terlihat cukup menikmati suasana reuni. Aku pun
melupakan Baron untuk beberapa saat dan mulai sibuk ngobrol dengan banyak
orang yang sudah lama tidak kutemui. Khresna yang dulunya adalah badut kelas
sekarang sudah jadi dosen bahasa Jerman di UI. Hartawan, anak yang dulunya
sering dijadikan bual-bualan anak-anak karena tingkah laku kocaknya, sekarang
sudah jadi pengacara yang cukup andal. Rini, anak yang dulunya sering dipanggil
"brung" karena ukuran tubuhnya yang cukup besar sehingga kalau berjalan seperti
mengeluarkan suara "brung... brung... brung...", sekarang berpenampilan bagaikan
model. Tinggi dan langsing.
Tanpa disadari, jam di tanganku sudah menunjukkan pukul sepuluh. Ketika aku
dan sobat-sobatku sedang minum-minum dan ngobrol, tiba-tiba kulihat Baron
menghampiri kerumunan kecil kami. Nadia yang duduk di sebelahku ternyata
langsung memberikan kode kepada Jana dan Dara yang duduk membelakangi
Baron. "Halo," sapa Baron padaku.
Ketiga sobatku yang langsung sadar bahwa kemungkinan besar Baron mau
ngobrol denganku, meninggalkanku dengannya. Tapi sebelumnya, aku sadar Jana
menggenggam tanganku untuk memastikan bahwa aku memang ingin sendiri
dengan Baron. Aku menurunkan daguku sebagai tanda "Ya" dan Dara dan Nadia
langsung menggeret Jana ke arah toilet wanita.
"Sori, mereka memang suka kayak gitu." Aku berusaha keras untuk
menjelaskan tingkah laku ketiga sobatku yang dari dulu sampai sekarang masih
suka kumat dan membuatku malu.
Baron hanya tersenyum dan duduk di kursi di sampingku.
Aku baru sadar bahwa sepanjang malam aku tidak melihat Olivia.
"Olivia ke mana, Ron?" tanyaku.
"Dia lagi ke Yogya," jawabku singkat. "Anyway, omong-omong gimana kabar
kamu" Semenjak aku telepon habis Mbak Tita melahirkan, kita belum sempat
ngobrol lagi." www.ac-zzz.tk "Iya... sori, tapi aku lagi banyak kerjaan akhir-akhir ini," ucapku berbohong.
Mudah-mudahan Baron tidak melihat kebohonganku ini.
Baron sempat terlihat ragu, tapi kemudian dia tersenyum. "Bagus deh kalau
gitu, soalnya aku sangka kamu menghindar dari aku."
"Menghindar" Nggak lah, mana bisa, aku kan..." Aku kemudian sadar bahwa
kalimat yang akan kukatakan selanjutnya bukanlah sesuatu yang akan mampu
kukatakan kepadanya. "Kamu kenapa?" "Nggak, nggak, nggak apa-apa."
Setelah beberapa saat kami pun hanya duduk tanpa berbicara. Dapat kulihat
tatapan beberapa teman Baron yang kurang mengenakkan kepadaku.
"Ron, mmmhhhh, kayaknya aku mesti... nyari anak-anak deh, lagian juga
teman-teman kamu pasti mau ngobrol sama kamu juga." Aku buru-buru berdiri,
tapi Baron menarik pergelangan tanganku.
"Eh, Dri, Dri, mau ke mana?" tanya Baron menahanku.
Aku hanya melirikkan mataku ke arah teman-temannya yang sekarang sedang
melemparkan pandangan sadis kepadaku, dan Baron pun mengerti. Baron
meletakkan gelas yang sedang dipegangnya, menggandeng tanganku dengna paksa
dan menggeretku keluar dari restoran. Aku kaget ketika dia berani menggandengku
di depan teman-temannya, membuatku semakin kikuk.
Baron tidak melepaskan genggamannya ketika kami sudah ada di luar restoran.
Dia menuntunku untuk duduk bersamanya di salah satu meja yang tersedia di sana
sebelum kemudian duduk di sampingku. Dalam hati aku tahu ini salah. Ada satu
motto hidupku kalau sudah menyangkut cinta. Jangan pernah ngambil pacar orang,
tunangan orang, apalagi suami orang. Nanti kamar. Tapi aku tidak mampu
membuat diriku melangkah pergi dari Baron.
"Kamu nggak enak ya sama anak-anak?" tanya Baron.
Aku tidak menjawab pertanyaannya, hanya mengangkat kedua alisku.
Lalu Baron bertanya tiba-tiba, "Jadi kamu sama Ervin dekat?"
Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaannya. "Wah, kamu mesti kasih
definisi "dekat"," balasku sambil tertawa.
www.ac-zzz.tk "Jujur, aku agak kaget waktu lihat kamu sama dia di Hard Rock," Baron
melontarkan pernyataan ini dalam satu napas sebelum melanjutkan. "Aku nggak
nyangka ternyata kamu date-nya Ervin. Sebetulnya, aku yang mau ngajak kamu ke
Hard Rock Sabtu malam itu."
Aku terbatuk-batuk beberapa menit dan Baron menepuk-nepuk punggungku.
Tenggorokanku terasa kering. "Aku sama Ervin memang suka jalan bareng, itu
saja," akhirnya aku bisa berkata.
"Jadi kamu nggak dating sama dia?" Baron ternyata cukup serius dengan seri
pertanyaan ini. "Memangnya kenapa sih nanya-nanya?" tanyaku akhirnya.
"Nggak, soalnya... dari nada bicara dan tindakan Ervin, aku menangkap
hubungan kalian lebih daripada sekadar teman."
Oh, rupanya bukan aku saja yang sadar soal tingkah laku aneh Ervin malam itu.
"Apa kamu lagi dekat sama orang lain?" tanya Baron lagi.
Aku rasnaya ingin melempar sepatuku ke Baron. Buat apa dia menanyakan
urusan pribadiku" Dia saja yang tidak tahu apa yang menyebabkan kehidupan
cintaku berantakan total seumur hidupku.
"Nggak," akhirnya aku menjawab. "Nggak ada waktu," lanjutku.
Baron mengangguk puas. Percakapan pun berganti arah. "Kamu tadi datang
sama siapa?" tanyanya.
Aku yang merasa lega atas bahan pembicaraan baru, menjawab, "Jana tadi yang
jemput aku, kami datang bertiga sama Dara."
"Oh." "So, kamu kok nggak ikut Oli ke Yogya?" tanyaku.
"Nggak. Katanya dia mau pergi sendiri," balas Baron cuek.
Aku menatap Baron dengan bingung. Entah kenapa kok sepertinya aku
mendapati bahwa dia tidak terlihat kehilangan, bahkan terlihat agak-agak tidak
peduli pada Olivia. "Oh," adalah satu-satunya kata yang bisa kukeluarkan.
"Kamu masih suka berenang?" tanya Baron tiba-tiba.
Aku kemudian tertawa, karena teringat memori itu. Baron dan aku memang
www.ac-zzz.tk bergabung dalam tim renang sekolah kami sewaktu SMP kelas satu dan dua. Aku
ingat betul bahwa selama dua tahun kami banyak menghabiskan waktu bersamasama
hanya dengan mengenakan pakaian renang yang cukup minim.
Aku menggeleng. "Sudah nggak. Kamu?"
Baron pun menggeleng. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menanyakan pertanyaan yang keluar
dari mulut Ervin ketika di Hard Rock.
"Ron... aku boleh tanya sesuatu ke kamu?"
Baron menatapku dan mengangguk.
"Apa maksud Ervin waktu dia bilang kalau kamu cinta mati sama aku waktu
SMP?" Baron terdiam sesaat sebelum menjawab, "Kamu dengar kata-kata itu ya" Aku
sangka kamu nggak dengar. Aku berharap kamu nggak dengar."
Aku tertawa garing. "Kamu suka sama aku waktu itu?" candaku dengan nada
getir. "Apa kamu nggak pernah tahu itu?" lanjutnya pelan sambil mengempaskan
tubuhnya ke sandaran kursi.
Aku tidak bisa bernapas. He liked me" teriakku dalam hati. Aku masih tidak
percaya. "Ada rasa sih, aku juga waktu itu sempat suka sama kamu...."
Cinta sama kamu lebih tepatnya, ucapku dalam hati.
Baron memotong kalimatku. "Kamu juga suka sama aku?"!! Tapi kenapa kok
kamu nggak pernah ngasih perhatian ke aku sih?"
Aku hanya memandangnya dengan tatapan kosong. Bagaimana aku bisa
Miss Pesimis Karya Alia Zalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjelaskan bahwa aku tahu jenis perempuan yang dia suka dan aku jelas-jelas
tidak memiliki kriteria yang diinginkannya. Atau yang kupikir "diinginkannya".
"Padahal aku sudah berusaha narik perhatian kamu, tapi kayaknya kamu nggak
ada interest sama sekali ke aku. Kadang-kadang memang kamu suka baik, dan
sesekali, meskipun itu jarang, kalau aku kepergok lagi ngeliatin kamu, kamu
senyum ke aku. Tapi itu saja," lanjut Baron berapi-api.
Aku tahu betul bahwa pernyataannya penuh dengan fakta. "Iya, sori, but give me
www.ac-zzz.tk a break, will you, I was 15. Lagian seluruh sekolah selalu tahu kalau kamu sama
Olivia will be together eventually. Terus belum lagi gara-gara banyak yang suka sama
kamu. Tambahan lagi setelah agak lama, aku lihat kamu juga nyuekin aku, jadi ya
sudah." Baron teridam beberapa saat. Urat-urat di lengannya keluar sehingga terlihat
Bidadari Penyebar Cinta 1 Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung Rahasia 180 Patung Mas 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama