My Name Is Red Karya Orhan Pamuk Bagian 10
ada saat saat dalam kantuk dan ingatan-ingatan sedih kita ketika kita merasa
Allah memerhatikan kita, dan oleh karenanya kita salat dengan kekhusyukan
seseorang yang mengusahakan sebuah permohonan ke tangan Sultan: Aku memohon pada
Allah agar memberiku sebuah rumah yang riang dan dipenuhi orangorang yang saling
mencintai. Ketika aku sampai di rumah Tuan Osman, aku tahu bahwa dalam waktu seminggu ia
telah merebut tempat almarhum Enishteku di dalam pikiranku secara bertahap. Ia
lebih suka menentang dan lebih berjarak, tetapi keyakinannya dalam iluminasi
manuskrip lebih teguh. Ia lebih menyerupai seorang darwis tua yang penuh mawas
diri dibanding seorang empu agung yang membangkitkan badai rasa takut,
kekaguman, dan cinta, di antara para
miniaturis selama bertahuntahun.
Saat kami pergi dari rumah sang empu ke istana ia menunggang kuda dan sedikit
?membungkuk, sedangkan aku berjalan kaki dan juga membungkuk ke depan kami pasti
?mengingatkan orang pada darwis tua dan muridnya yang berbakti dalam ilustrasi
murahan yang melengkapi dongeng-dongeng tua.
Di istana, kami melihat Panglima Pasukan Pengawal dan anak buahnya lebih
bersemangat dan lebih siaga daripada kami. Sultan merasa yakin bahwa begitu kami
melihat gambargambar kuda hasil karya ketiga empu itu pagi ini, kami akan mampu
menentukan siapakah di antara mereka yang merupakan pembunuh terkutuk itu dalam
sekejap mata, dan beliau akan memerintahkan agar penjahat itu segera disiksa
tanpa mengizinkannya membantah tuduhan. Kami tidak dibawa ke air mancur tempat
pelaksanaan hukuman di mana semua orang bisa melihat, melainkan ke rumah darurat
mungil di bagian yang terlindung di Taman Pribadi Sultan yang digunakan sebagai
ruang interogasi, penyiksaan, dan pencekikan.
Seorang anak muda yang tampak terlalu tampan dan sopan untuk menjadi anak buah
Panglima, dengan penuh wibawa meletakkan tiga lembar kertas di atas meja kerja.
Tuan Osman mengeluarkan kaca pembesarnya dan jantungku mulai berdegup kencang.
Seperti seekor elang yang melayang dengan eloknya di atas bentang alam, matanya
yang ia jaga agar berada dalam jarak yang tetap dari kaca pembesar, melintas
begitu perlahan di atas ketiga ilustrasi kuda yang menakjubkan. Dan bagaikan
seekor elang melihat bayi kijang yang akan menjadi mangsanya, ia perlahanlahan
mengarahkan kaca pembesarnya di atas hidung kudakuda itu dan
memusatkan perhatiannya dengan sungguhsungguh dan tenang.
"Tak ada di sini," ujarnya dengan dingin setelah sesaat.
"Apa yang tak ada di sini?" tanya Panglima.
Aku berharap sang empu agung bekerja dengan penuh pertimbangan, meneliti setiap
sisi kudakuda itu dari surai hingga kukunya.
"Pelukis terkutuk itu tak meninggalkan sedikit jejak pun," ujar Tuan Osman.
"Kita tak akan bisa menentukan siapa yang membuat ilustrasi kuda cokelat itu
dari gambargambar ini."
Seraya mengambil kaca pembesar yang telah ia sisihkan, aku menatap lubang hidung
kudakuda itu: Sang empu memang benar, tak ada apa pun dalam ketiga kuda itu yang
menyerupai lubang hidung aneh kuda cokelat yang digambar untuk manuskrip
Enishteku. Kemudian, perhatianku beralih pada para penyiksa yang menanti di luar
ruangan dengan sebuah peralatan yang gunanya tak kupahami. Ketika aku mencoba
mengamati mereka melalui pintu yang separuh terbuka, kulihat seseorang bergegas
berlari mundur seakanakan dirasuki jin, mencari perlindungan di balik salah satu
pohon. Pada saat itu, seperti sebuah cahaya lembut yang menerangi pagi yang kelam, Yang
Mulia Sultan memasuki ruangan.
Tuan Osman berkata pada beliau bahwa ia tidak bisa menentukan apa pun dari
ilustrasiilustrasi itu. Namun, ia tak mampu menahan diri agar tidak menarik
perhatian Sultan pada kudakuda dalam lukisanlukisan menakjubkan ini: cara yang
satunya mendompak, cara berdiri kuda lainnya yang lembut dan, pada kuda ketiga,
harga diri dan martabat yang layak untuk mengisi bukubuku kuno. Sementara itu, Tuan Osman
menebak seniman mana yang membuat masingmasing gambar, dan pesuruh istana yang
pergi dari pintu ke pintu rumah para seniman membenarkan apa yang dikatakan Tuan
Osman. "Yang Mulia, jangan terkejut bila hamba mengenal para pelukis hamba seperti
mengenal punggung tangan hamba sendiri," ujar sang empu. "Yang membuat hamba
bingung adalah bagaimana salah seorang di antara mereka, yang hamba kenal
seperti punggung tangan hamba sendiri, mampu membuat sebuah tanda yang tak hamba
kenal. Karena, cacat seorang empu miniaturis memiliki asal muasalnya."
"Maksudmu?" tanya Sultan.
"Yang Mulia, menurut pendapat hamba, tanda tangan tersembunyi ini, terbukti di
sini dalam lubang hidung kuda cokelat ini, bukan sekadar merupakan kesalahan tak
masuk akal dan tanpa makna seorang pelukis, melainkan sebuah isyarat yang akar
akarnya menggapai jauh ke masa lalu yang jauh pada lukisanlukisan lain, teknik
teknik lain, gaya-gaya lain, dan barangkali juga kudakuda yang lain. Jika kami
diizinkan memeriksa halamanhalaman menakjubkan dari bukubuku berumur berabadabad
yang disimpan rapat oleh Yang Mulia dengan gembok dan kunci di ruang bawah
tanah, peti besi, dan lemari Ruang Penyimpanan Harta, kami mungkin akan mampu
mengenali apa yang kami lihat sekarang sebagai kesalahan, dan kemudian kami bisa
menisbatkannya pada kuas salah satu miniaturis."
"Kauingin memasuki Ruang Penyimpanan Harta milikku?" tanya Sultan dengan takjub.
"Benar, Yang Mulia," sahut sang empu.
Permintaan ini sama kurang ajarnya dengan meminta diizinkan memasuki harem.
Kemudian, aku mengerti bahwa selain menempati dua tempat paling indah di halaman
Surga Pribadi Istana Sultan, harem dan Ruang Penyimpanan Harta itu juga
menempati dua tempat paling terkasih di hati Sultan.
Aku mencoba membaca apa yang terjadi dari wajah tampan Sultan yang kini bisa
kutatap tanpa rasa takut, tetapi beliau tibatiba saja menghilang. Apakah beliau
marah dan merasa tersinggung" Akankah kami, atau bahkan para miniaturis secara
keseluruhan, dihukum karena kelancangan empuku"
Seraya menatap ketiga kuda di depanku, aku membayangkan bahwa aku akan dibunuh
sebelum menjumpai Shekure lagi, bahkan tanpa pernah tidur seranjang dengannya.
Terlepas dari seluruh sifat indahnya, kudakuda menakjubkan ini kini terasa
muncul begitu saja dari sebuah dunia yang sangat jauh.
Aku sepenuhnya sadar dalam kesunyian yang menakutkan ini bahwa layaknya dibawa
ke jantung istana sebagai seorang bocah, dibesarkan di sini, hidup di sini untuk
mengabdi pada Sultan, dan mungkin mati demi beliau, maka menjadi seorang
miniaturis berarti mengabdi pada Tuhan dan rela mati demi keindahanNya.
Lama kemudian, ketika anakanak buah Kepala Bendahara membawa kami ke Gerbang
Tengah, kematian memenuhi benakku, kesunyian yang maut. Namun, saat aku
melintasi gerbang tempat para pasha yang tak terhitung jumlahnya telah dihukum
mati, para penjaga bertingkah seolaholah mereka tidak melihat kami. Lapangan
Dewan, yang kemarin membuatku takjub seakanakan itu adalah surga itu sendiri,
menara, dan burungburung merak tidak lagi menarik perhatianku sama sekali, karena aku tahu
kami akan dibawa lebih jauh ke dalam, ke jantung dunia rahasia Sultan kami, ke
Daerah Pribadi Enderun. Kami melintasi pintupintu yang terlarang bahkan untuk para Wazir Agung
sekalipun. Seperti seorang bocah yang memasuki sebuah dongeng, aku terus
menundukkan kepala untuk menghindari bertemu muka dengan keajaiban-keajaiban dan
makhlukmakhluk yang mungkin menyerangku. Aku bahkan tak mampu menatap ruang
balairung istana tempat Sultan menerima para tamunya. Namun, tatapanku jatuh
sejenak pada dindingdinding harem dekat sebuah pohon palem yang serupa dengan
pohonpohon palem lainnya, dan pada seorang lelaki jangkung berjubah sutra biru
berkilau. Kami melintas di antara pilar-pilar menjulang. Akhirnya, kami berhenti
di depan sebuah pintu gerbang yang lebih lebar dan lebih mengagumkan dibanding
gerbang yang lainnya, dibingkai dengan begitu banyak hiasan berpola stalaktit.
Di ambangnya berdiri para petugas Ruang Penyimpanan Harta yang mengenakan jubah
berkilauan. Salah satu di antara mereka menunduk untuk membuka kunci.
Seraya menatap langsung mataku, Kepala Bendahara berkata, "Kau sungguh
beruntung, Yang Mulia Sultan telah memberikan izin untuk memasuki ruang
penyimpanan harta Enderun. Kalian boleh melihat-lihat bukubuku yang tak pernah
dilihat orang lain. Kalian akan memandangi gambargambar menakjubkan dan
halamanhalaman berlapis emas, dan seperti para pemburu, kalian akan mencari
jejak mangsa kalian: pembunuh itu. Sultan memerintahkanku untuk mengingatkan
kalian bahwa Tuan Osman hanya punya waktu tiga hari salah satunya kini?telah berakhir hingga Kamis siang untuk memberikan nama seorang penjahat di
?antara para miniaturis. Jika gagal, kalian akan diserahkan pada Panglima Pasukan
Pengawal yang akan menyiksa kalian."
Mulamula, mereka melepaskan kain yang membungkus gembok dan disegel untuk
memastikan bahwa tiada kunci yang memasuki lubang kunci tanpa izin. Juru Kunci
Ruang Penyimpanan Harta dan dua petugas menegaskan bahwa segel itu masih utuh
dengan memberi isyarat anggukan kepala. Segel itu dibuka dan ketika anak kunci
dimasukkan, kunci terbuka dengan suara gemerincing yang memecahkan kesunyian
yang menegangkan ini. Tuan Osman tibatiba menjadi kelabu. Ketika satu sayap
pintu ganda dari kayu berhias yang berat itu terbuka, wajahnya terlanggar
seberkas sinar gelap yang seakanakan merupakan sisa-sisa masa lampau.
"Sultan tidak ingin para kepala juru tulis dan para sekretaris yang memegang
catatan barangbarang inventaris masuk tanpa ada keperluan," ujar Kepala
Bendahara. "Pustakawan Istana telah wafat dan tak ada yang merawat bukubuku ini
untuk menggantikannya. Karena alasan ini, Sultan memerintahkan agar Jezmi Agha
sendiri yang menemani kalian masuk."
Jezmi Agha adalah sesosok orang cebol bermata jernih berkilau yang tampak
berusia setidak-tidaknya tujuh puluh tahun. Penutup kepalanya yang mirip jangkar
bahkan tampak lebih aneh daripada dirinya. "Jezmi Agha mengenal bagian dalam
Ruang Penyimpanan Harta seperti mengenal rumahnya sendiri, ia tahu tempat
bukubuku dan bendabenda lainnya disimpan lebih baik daripada siapa pun."
Si cebol yang sudah tua itu tampak sama sekali tidak bangga mengenai hal ini. Ia
sedang memandangi tungku pemanas berkaki perak, pispot kamar dengan pegangan
berhiaskan cangkang tiram, lampu minyak, dan dudukan lilin yang dipegang para
pesuruh istana. Kepala Bendahara mengumumkan bahwa pintu akan kembali dikunci di belakang kami,
dan disegel oleh segel berusia tujuh puluh tahun milik Sultan Selim. Selepas
waktu salat magrib, saat matahari tenggelam, segel itu akan kembali dibongkar,
di hadapan saksi para petugas Ruang Penyimpanan Harta. Selain itu, kami harus
sungguhsungguh waspada agar tidak ada hal apa pun yang "secara tak disengaja"
ditemukan di dalam pakaian, kantung-kantung baju, atau selempang kami. Kami akan
digeledah hingga ke balik pakaian kami sebelum melangkah keluar.
Kami masuk, melewati jajaran para petugas yang berdiri di kedua sisi. Di dalam,
ruangan itu terasa sedingin es. Saat pintu ditutup di belakang kami, kami
langsung terbungkus kegelapan yang pekat. Aku mencium campuran aroma antara
jamur, debu, dan kelembaban yang menerobos ke dalam saluran pernapasanku. Di
mana mana terdapat tumpukan barang, petipeti, dan topi baja yang bercampur baur
dalam sebuah wadah berantakan. Aku merasa bahwa aku sedang menjadi saksi dari
sebuah pertempuran hebat.
Mataku menyesuaikan diri pada cahaya aneh yang menerpa seluruh ruangan,
menyelusup melalui jeruji tebal di jendelajendela yang tinggi, lewat pagar besi
berhias di tangga sepanjang dindingdinding yang tinggi dan yang ada di selasar
kayu di lantai dua. Ruangan ini berwarna merah, warna yang terbisa dari kainkain beludru, karpetkarpet, dan permadani yang bergantungan di dinding. Dengan takzim, aku
memikirkan betapa tumpukan kekayaan ini merupakan hasil peperangan, darah yang
tertumpah, serta kotakota dan harta benda yang dijarah.
"Takut?" tanya si cebol tua, menyatakan perasaanku. "Semua orang akan ketakutan
pada kunjungan pertama mereka ke tempat ini. Di malam hari roh-roh gentayangan
dari semua benda ini saling berbisik satu sama lain."
Yang mengerikan adalah keheningan di dalam keberlimpahan bendabenda menakjubkan
ini, keheningan yang terkuburkan. Dari arah belakang kami mendengar suara
dentingan segel yang sedang dipasang untuk mengunci pintu, dan kami melihat ke
sekeliling kami dengan penuh kekaguman, terpaku.
Aku melihat aneka pedang, gading gajah, jubah, dudukan lilin perak, dan bendera
satin. Aku melihat beragam kotak berhiaskan kulit kerang, kopor besi berukuran
besar, jambangan Cina, sabuk, kecapi berleher panjang, baju zirah, bantal sutra,
bola dunia, sepatu bot, bulu binatang, cula badak, telur burung unta berhias,
senapan, anak panah, tongkat kebesaran, dan aneka lemari. Tampak banyak sekali
tumpukan karpet, kain satin, dan pakaian di mana-mana, seakanakan sedang
mengalir melewatiku dari lantai teratas yang berbingkai kayu, dari pagar
besinya, dari lemarilemari dan ceruk-ceruk penyimpanan yang dibuat di dalam
dinding dinding itu. Seberkas cahaya aneh yang tak pernah kulihat sebelumnya,
menerangi beragam tumpukan pakaian, kotak, jubah kebesaran Sultan, pedang, lilin
raksasa berwarna merah jambu, turban pembalut luka, bantal yang dibordir dengan
mutiara, pelana kuda dengan untaian benang emas, pedang scimitar bergagang
berlian, tombak dengan gagang berhiaskan batu merah delima, turban berlapis, turban
berbulu, jam yang melahirkan rasa ingin tahu, bejana bermulut lebar, belati,
patung kuda dan gajah dari gading, pipa hookah dengan bagian atas yang
bertatahkan berlian, peti berlaci yang berhias cangkang kerang, hiasan kepala
kuda dari bulu, tasbih, dan topi baja bertatahkan batu merah delima dan pirus.
Cahaya yang berpendar lembut dari jendelajendela di atas menyinari butiran debu
yang berterbangan di ruangan temaram ini, seperti cahaya matahari musim panas
yang menyorot tajam dari balik kubah kaca sebuah masjid tetapi ini bukan cahaya?matahari. Ini adalah seberkas sinar aneh, di mana udara menjadi sedemikian
jelas, dan semua benda seakanakan terbuat dari bahan yang sama. Setelah kami
meresapi keheningan di dalam ruangan itu beberapa lama, aku tahu bahwa cahaya
itu sama dengan butiran debu yang menutupi semuanya, yang terkena warna merah
yang membisa di ruangan yang dingin itu, berbaur dengan semua benda untuk
menjadi sebuah kesamaan yang misterius. Dan bersamaan dengan mata kami yang
berkelana di atas semua benda yang aneh dan unik ini, kami tak mampu membedakan
masingmasing benda meski dipandangi untuk kedua hingga ketiga kalinya,
keberlimpahan semua benda ini menjadi semakin menakutkan. Apa yang kupikir
sebuah peti, kemudian kusimpulkan sebagai meja kerja lipat, dan beberapa saat
kemudian, aku merasa benda tersebut adalah peralatan kaum Frank yang ganjil. Aku
melihat bahwa peti berhias cangkang kerang di antara jubah-jubah dan bulu-bulu
binatang yang menyembul keluar dari kotak-kotak penyimpanan mereka ternyata
adalah sebuah lemari kecil yang unik yang dikirim oleh
Tsar dari Moskow. Jezmi Agha meletakkan pemanas ruangan di suatu tempat berbentuk ceruk di dalam
dinding. "Di manakah bukubuku disimpan?" bisik Tuan Osman. "Buku yang mana?"
sahut si cebol. "Yang dari Arab, Alquran dari Kufah, bukubuku yang dibawa dari
Tabriz oleh Yang Mulia Sultan Selim, bukubuku milik para pasha yang harta
bendanya disita ketika mereka dihukum mati, bukubuku hadiah yang dipersembahkan
oleh para duta besar Venesia kepada kakek Sultan kita, atau buku buku kaum
Nasrani dari masa pemerintahan Sultan Mehmet sang Penakluk?"
"Bukubuku yang dikirimkan Shah Tahmasp pada Yang Mulia Sultan Selim sebagai
hadiah dua puluh lima tahun yang lalu," sahut Tuan Osman.
Si cebol membawa kami ke sebuah lemari kayu yang amat besar. Tuan Osman menjadi
tidak sabar saat ia membuka pintupintunya, dan mengintip bukubuku di depannya.
Ia membuka salah satunya, membaca kolofonnya", dan membukabuka halamannya.
Bersama, kami memandang penuh kekaguman ilustrasiilustrasi para khan bermata
sipit yang dibuat dengan sangat hatihati.
"Genghis Khan, Chagatai Khan, Tuluy Khan, dan Kublai Khan sang Penguasa Cina,"
Tuan Osman membaca daftar nama itu sebelum menutup buku tersebut dan mengambil
buku lainnya. Kami lalu menemukan sebuah ilustrasi luar bisaa indah yang menggambarkan adegan
di mana Ferhad yang dipicu oleh perasaan cintanya menggendong Shirin-nya
tercinta *Kolofon adalah data tentang judul sebuah buku, jenis huruf yang digunakan,
pencetak, penerbit, dan tanggal penerbitan yang tercantum di bagian belakang
buku. Berasal dari sebuah kata dalam bahasa Yunani, kolophon, yang berarti
"sentuhan akhir."
dan kudanya di atas bahunya. Untuk menerjemahkan hasrat dan kemalangan yang
menimpa pasangan kekasih itu, bebatuan di pegunungan, gumpalan awan, dan tiga
batang pohon cemara yang menjadi saksi ungkapan cinta Ferhad, digambarkan oleh
sebuah tangan yang gemetar didera kepedihan hati dengan sedemikian memilukan,
hingga Tuan Osman dan aku segera bisa merasakan adanya duka lara dan air mata
dalam gambar dedaunan yang berjatuhan. Saat yang amat mengharukan ini
digambarkan sebagaimana yang diniatkan oleh para empu besar bukan untuk ? ?menunjukkan kekuatan otot-otot Ferhad, melainkan untuk menyampaikan betapa luka
cintanya bisa terasa ke seantero dunia.
"Sebuah tiruan dari Bihzad dibuat di Tabriz delapan tahun yang lalu," ujar Tuas
Osman saat ia menyimpan kembali buku tersebut dan membuka yang lainnya.
Ini adalah sebuah lukisan yang menunjukkan kekuatan persahabatan antara kucing
dan tikus dari kisah Khalifah dan Daminah, Tampak berada di sebuah lapangan,
seekor tikus yang malang terperangkap di antara serangan seekor musang di tanah
dan seekor elang di angkasa. Ia menemukan jalan keselamatannya di tangan seekor
kucing yang terjerat perangkap pemburu. Mereka lalu membuat sebuah kesepakatan.
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si kucing berpurapura menjadi sahabat tikus dan menjilatinya sehingga membuat
musang dan elang meninggalkan mereka. Sebagai balasannya, si tikus dengan sangat
berhatihati membebaskan kucing itu dari perangkap pemburu. Namun, sebelum aku
memahami nalar si pelukis, sang empu telah menyimpan kembali buku itu di samping
bukubuku lainnya dan secara acak membuka buku yang lain.
Ini adalah sebuah gambar yang menyenangkan dari
seorang perempuan misterius dan seorang lelaki: Si perempuan dengan anggun
membuka sebelah tangannya seraya melontarkan sebuah pertanyaan, tangan lainnya
dia gunakan untuk menahan lututnya di atas jubah hijaunya, sementara si lelaki
menoleh ke arahnya dan tampak menyimaknya dengan sungguhsungguh. Aku memandangi
gambar itu dengan penuh minat, merasa cemburu pada keintiman mereka, pada cinta
dan persahabatan di antara keduanya.
Sambil meletakkan kembali buku tersebut, Tuan Osman membuka halaman buku
lainnya. Pasukan berkuda Persia dan bala tentara Turania, keduanya musuh
bebuyutan, mengenakan baju zirah mereka secara lengkap, dengan topi baja,
penutup lutut, busur panah, wadah anak panah, dan anak panahnya, serta
menunggangi kudakuda legendaris yang begitu hebat dan bersenjata lengkap.
Sebelum mereka saling menyerang di medan perang hingga titik darah penghabisan,
mereka berbaris rapi sesuai pangkat mereka, saling berhadapan di atas padang
rumput yang kuning berdebu sambil menggenggam tombak dengan ujung terhunus ke
atas. Mereka tampak indah berhias warnawarni seragam mereka, dan dengan sabar
mengawasi para panglima mereka yang bergegas menuju bagian depan pasukan untuk
memulai pertempuran. Aku baru saja hendak mengatakan pada diriku sendiri dengan
mengabaikan apakah ilustrasi ini dibuat hari ini atau seratus tahun yang lalu,
apakah ini merupakan penggambaran cinta atau perang, apakah yang dilukis dan
disampaikan seniman beriman teguh itu adalah sebuah perang menurut kehendaknya
sendiri dan kecintaannya pada seni lukis; aku akan menyatakan
bahwa miniaturis ini sesungguhnya melukis kesabarannya sendiri, ketika Tuan
Osman berkata, "Di sini juga tidak ada," lalu menutup buku yang amat besar dan
berat itu. Dalam halamanhalaman sebuah album, kami melihat pegunungan tinggi berpadu dengan
gumpalan awan dalam sebuah ilustrasi pemandangan yang sepertinya berlangsung
selamanya seperti itu. Kupikir, betapapun sebuah lukisan diartikan sebagai salah
satu cara untuk melihat dunia ini, tetap saja dalam penggambarannya seakanakan
pemandangan itu ada di dunia lain. Tuan Osman mengingatkan, ilustrasi Cina ini
mungkin saja sudah berkelana dari Bukhara ke Herat, dari Herat ke Tabriz, dan
akhirnya, dari Tabriz ke istana Sultan kami, berpindah dari buku ke buku
sepanjang perjalanannya, dijilid dan dilepas berulangulang, hingga akhirnya
dibundel bersama lukisanlukisan lainnya di akhir perjalanannya dari Cina menuju
Istanbul. Kami melihat lukisan perang dan kematian, masingmasing lebih menakutkan dan
dibuat dengan lebih ahli daripada yang berikutnya: RCistem bersama-sama dengan
Shah Mazenderan; RCistem menyerang pasukan Afrasiyab; dan Riistem melakukan
penyamaran dengan baju zirah menjadi seorang pejuang misterius tak dikenal ....
Dalam album lain kami melihat mayatmayat yang tubuhnya terkoyak, belati-belati
berlumur darah, tentara-tentara bertampang sedih yang matanya memancarkan sinar
kematian, dan para pejuang yang saling menebas lawannya seperti tumpukan alang
alang saat dua pasukan legendaris, yang tak kami tahu namanya, berhadapan tanpa
kenal belas kasihan. Tuan Osman untuk yang kesekian ribu kalinya memandangi ?lukisan HCisrev mengintip Shirin yang sedang mandi di danau pada malam
bulan purnama. Ia juga memandangi lukisan pasangan kekasih Laila dan Majnun yang
tak sadarkan diri saat mereka saling menatap setelah terpisah sekian lama, dan
sebuah lukisan Salaman dan Absal yang begitu hidup dan semarak dengan
burungburung, pepohonan, dan bebungaan saat mereka melarikan diri dari seluruh
dunia dan hidup bersama di sebuah pulau kebahagiaan. Layaknya seorang empu agung
sejati, ia tidak tahan untuk tak menarik perhatianku pada beberapa hal ganjil di
sebuah sudut sebuah lukisan yang buruk sekalipun, mungkin berkaitan dengan
kekeliruan yang dilakukan si iluminator, atau mungkin berkaitan dengan
pembicaraan tentang warna: Seperti yang diharapkan, HCisrev dan Shirin
mendengarkan pembacaan sebuah puisi oleh dayangdayangnya, tetapi lihatlah,
pelukis dengki menyedihkan macam apa yang dengan sia-sia telah meletakkan seekor
burung hantu buruk rupa di dahan salah satu pohon" Siapa yang menyertakan
seorang bocah lelaki manis mengenakan pakaian perempuan di antara para perempuan
Mesir yang jemarinya teriris ketika berusaha mengupas apel sambil memandangi
ketampanan Yusuf yang rupawan" Bisakah miniaturis yang melukiskan kebutaan
Isfandiar karena sebatang anak panah memperkirakan bahwa di kemudian hari ia
juga akan dibutakan"
Kami melihat para malaikat yang menemani Rasulullah saat mi'raj; lelaki tua
berkulit gelap, bertangan enam, dengan janggut putih panjang yang dilukiskan
sebagai Saturnus; dan bayi RCistem yang sedang terlelap penuh kedamaian di dalam
buaiannya yang bertatahkan cangkang kerang, di bawah pandangan mata penuh
kewaspadaan ibunda dan dayangdayangnya. Kami
melihat bagaimana Darius meregang nyawa di tangan Iskandar, bagaimana Behram
Giir mengundurkan diri ke dalam kamar merah dengan putri Rusianya, bagaimana
Siyavush melintasi kobaran api di atas seekor kuda hitam yang lubang hidungnya
sama sekali tak terlihat ganjil, dan upacara pemakaman HCisrev yang memilukan
karena dibunuh oleh putra kandungnya sendiri. Ketika Tuan Osman dengan cepat
mengambil bukubuku lainnya dan menyisihkannya, ia akan langsung mengenali
seorang seniman dan menunjukkannya padaku, menyimpulkan sebuah tanda tangan
ilustrator yang dengan rendah hati telah disembunyikan di antara bebungaan yang
bermekaran di sudut terpisah puingpuing bangunan, atau tersembunyi di sebuah
sumur hitam bersama sesosok jin. Dengan membandingkan tanda tangan dan kolofon,
ia bisa menentukan siapa yang mengambil apa dari siapa, Ia membolak-balik
halaman buku dengan letih, berharap bisa menemukan serangkaian gambar.
Keheningan menyeruak sekian lama tanpa ada sesuatu pun, selain suara gemerisik
lirih halamanhalaman yang dibuka. Sesekali, Tuan Osman akan menjerit "Ahal",
tetapi aku tetap tenang, tak mampu memahami apa yang membuatnya terlonjak
gembira. Kadangkadang ia akan mengingatkanku tentang apa yang sudah kami lihat,
tentang komposisi halaman dan penyusunan pepohonan, serta serdadu-serdadu
berkuda pada ilustrasi tertentu di bukubuku lainnya dalam berbagai adegan
berbeda dalam kisahkisah yang sepenuhnya berlainan, dan ia akan menunjukkan
gambargambar ini sekali lagi untuk menyegarkan ingatanku. Ia membandingkan
sebuah lukisan dalam sebuah versi kitab Syair Lima Seuntai karya Nizami dari
masa kekuasaan putra Timurleng, Shah
Riza sekitar dua ratus tahun silam dengan gambar lainnya yang dikatakannya
? ?dibuat di Tabriz tujuh puluh atau delapan puluh tahun lebih awal. Kemudian, ia
akan bertanya padaku apa yang bisa kami pelajari dari fakta bahwa kedua
miniaturis itu telah menciptakan lukisan yang serupa tanpa saling melihat hasil
karya masingmasing. Ia menjawab sendiri pertanyaannya, "Melukis adalah
mengingat." Seraya membuka dan menutup manuskrip-manuskrip tua bergambar, Tuan Osman
menenggelamkan wajahnya dengan pedih ke dalam karya seni yang menakjubkan itu
(karena tak seorang pun yang bisa membuat lukisan seperti itu lagi), kemudian ia
akan terlonjak gembira di depan lembaran-lembaran yang tampak menyedihkan
(karena semua miniaturis bersaudara!) dan ia akan menunjukkan padaku apa yang ?diingat oleh si seniman, yaitu gambargambar tua tentang pepohonan, bidadari,
paying-payung, singa, tenda, naga, dan pangeran-pangeran yang murung, dan
kemudian yang diungkapkannya adalah: Ada satu masa ketika Allah mengawasi isi
dunia ini dengan semua keunikannya, meyakini keindahan yang dilihatNya, dan
melepaskan semua ciptaan-Nya pada kita, hamba-hamba-Nya. Tugas para illustrator
dan mereka yang mencintai seni, yang memandangi isi dunia ini, adalah mengingat
kehebatan yang ditunjukkan Allah dan diserahkanNya pada kita. Empu-empu paling
hebat dalam setiap generasi pelukis, hidup panjang umur dan bekerja keras hingga
buta, berjuang mati-matian dengan penuh ilham untuk meraih dan mengabadikan
angan-angan megah yang Allah perintahkan agar kita saksikan. Karya mereka
menyerupai kemanusiaan yang mengingat kembali semua kenangan
keemasannya sejak awal mula. Sayangnya, empu-empu terhebat sekalipun, seperti
para manula atau miniaturis agung yang menjadi buta karena bekerja terlalu
keras, hanya mampu mengingat samarsamar bagian-bagian dari semua penglihatan
yang menakjubkan itu secara acak. Ini adalah kearifan misterius di balik
fenomena para empu tua yang dengan menakjubkan menggambarkan sebatang pohon,
seekor burung, seorang pangeran yang sedang membasuh diri di pemandian umum,
atau seorang dara yang murung di tepi jendela, dengan cara yang persis sama,
meskipun tidak pernah saling melihat hasil karya masingmasing dan terpisah oleh
waktu ratusan tahun. Beberapa lama kemudian, begitu cahaya kemerahan di Ruang Penyimpanan Harta
meredup, dan terbukti sudah bahwa lemari itu tidak berisi satu pun bukubuku
hadiah Shah Tahmasp yang dikirimkan kepada kakek Sultan kami, Tuan Osman
mengulang kembali logika yang sama:
"Terkadang, sebuah sayap burung, cara sehelai daun melekat erat pada sebatang
pohon, lengkungan langit-langit, segumpal awan yang melayang-layang atau tawa
renyah seorang perempuan diabadikan selama berabadabad lewat empu pada muridnya
dan ditunjukkan, diajarkan, dan diingat dari generasi ke generasi. Dengan
mempelajari semua detail ini dari sang empu, seorang miniaturis akan meyakininya
sebagai sebuah bentuk yang sempurna, dan ia akan meyakini ketetapannya itu
seperti ia meyakini Alquran yang mulia. Dan seperti halnya ia mengingat isi
Alquran, ia tidak akan pernah melupakan detail yang terpatri secara tetap dalam
ingatannya. Namun, tidak pernah melupakan bukan berarti ia akan selalu
menggunakan detail ini. Adat istiadat
bengkel seni tempat ia memudarkan cahaya matanya, kebisaaan kebisaaan dan selera
warna empu bis a a di sampingnya, atau keinginan sultannya, sesekali mampu
mencegahnya melukiskan detail-detail tersebut, dan ia akan menggambarkan sebuah
sayap burung, atau cara seorang perempuan tertawa-"
"Atau lubang hidung seekor kuda."
" atau lubang hidung seekor kuda," lanjut Tuan Osman yang berwajah datar,
?"tidak dengan cara yang telah ditanamkan dengan amat kuat ke lubuk jiwanya,
melainkan sesuai dengan kebisaaan bengkel seni tempat ia menemukan dirinya
sendiri, sama seperti para miniaturis yang lainnya di sana. Kaupaham?"
Dari satu halaman dalam kisah HCisrev dan Shirin karya Nizami, ada beberapa hal
yang kami tandai. Dalam sebuah gambar yang menceritakan Shirin sedang duduk di
singgasananya, Tuan Osman membaca keras-keras sebuah naskah yang terukir pada
dua lempeng batu di atas dinding istananya: ALLAH YANG MAHA KUASA TELAH MENJAGA
KEKUASAAN PUTRA TIMURLENG KHAN YANG JAYA, SULTAN KAMI YANG MULIA, KHAN KAMI YANG
ADIL, YANG MELINDUNGI KEPEMIMPINAN DAN WILAYAH YANG DIKUASAINYA AGAR IA
SELAMANYA BERJAYA (terbaca di sudut kiri) DAN KAYA RAYA (terbaca di sudut
kanan). Beberapa saat kemudian aku bertanya, "Di manakah kita bisa menemukan ilustrasi
di mana di dalamnya sang miniaturis menggambarkan sepasang lubang hidung kuda
dengan cara yang sama dengan yang terpatri dalam ingatannya?"
"Kita harus menemukan Kitab Para Paja yang legendaris, yang dikirimkan Shah
Tahmasp sebagai hadiah," sahut Tuan Osman. "Kita harus menyaksikan kembali
masa-masa jaya legenda tersebut, ketika Allah terlibat dalam pembuatan lukisan
beberapa orang miniaturis. Masih lebih banyak lagi buku yang belum kita
periksa." Terlintas dalam benakku bahwa mungkin saja tujuan utama Tuan Osman bukanlah
menemukan kudakuda dengan hidung yang digambarkan dengan ganjil, melainkan untuk
memeriksa sebanyak mungkin gambargambar menakjubkan yang telah dibiarkan
tertidur selama bertahuntahun di dalam Ruang Penyimpanan Harta ini, aman dari
berpasang-pasang mata yang ingin melihatnya. Aku menjadi sangat tidak sabar
menemukan sebuah tanda yang akan mempersatukan aku dengan Shekure yang sedang
menungguku di rumah, sehingga aku enggan meyakini bahwa empu agung itu ingin
tinggal selama mungkin di dalam Ruang Penyimpanan Harta yang sedingin es ini.
Maka kami pun melanjutkan membuka lemarilemari dan petipeti lainnya yang
diperlihatkan pada kami oleh si cebol tua itu untuk memeriksa gambargambar yang
ada di dalamnya. Terkadang, aku menjadi muak dengan semua lukisan yang tampak
sama itu, dan aku berharap tidak pernah lagi melihat HCisrev mendatangi Shirin
di bawah jendela puri. Aku lalu berlalu dari samping sang empu bahkan tanpa ?memandang sedikit pun ke arah lubang hidung kuda yang ditunggangi HCisrev dan
?berusaha menghangatkan diri di dekat tungku pemanas, atau aku akan berjalan
penuh hormat dan kagum di antara tumpukan pakaian, emas permata, senjata, dan
barang jarahan di ruang-ruang penghubung di Ruang Penyimpanan Harta ini.
Sesekali, dikejutkan oleh pekikan tibatiba dan gerakan tangan Tuan Osman, aku
membayangkan ada sebuah maha karya yang baru
ditemukan, atau, ya, pada akhirnya seekor kuda dengan lubang hidung yang aneh
ditemukan, dan aku pun berlari menghampirinya. Lalu, aku akan memandangi gambar
yang dipegang sang empu dengan tangan bergetar sambil terduduk di atas sehelai
permadani Ushak dari zaman Sultan Mehmet sang Penakluk, hanya untuk mengamati
sebuah ilustrasi dengan gambar yang belum pernah kusaksikan sebelumnya; lukisan
yang menceritakan, katakan saja, Setan yang dengan licik menumpang bahtera Nabi
Nuh. Kami menyaksikan saat ratusan shah, raja, sultan, dan khan yang memerintah
?dan menduduki tahta beragam kerajaan dan kesultanan sejak masa pemerintahan
Timurleng hingga masa kekuasaan Sultan SCileyman yang Agung dengan suka cita
?dan penuh semangat memburu rusa, singa, dan kelinci. Kami menyaksikan betapa
Iblis sekalipun menggigit jari dan terjajar mundur karena malu pada lelaki tak
tahu malu yang berdiri di atas potongan kayu yang diikatkan pada kaki belakang
seekor unta agar ia bisa menyodomi hewan itu. Dalam sebuah buku berbahasa Arab
yang didatangkan jauh-jauh dari Baghdad, kami melihat para saudagar yang terbang
dengan berpegangan erat pada kaki seekor burung dongeng saat burung itu
melintasi samudra demi samudra. Dalam buku berikutnya, yang dengan sendirinya
terbuka tepat di halaman pertamanya, kami melihat adegan yang paling aku dan
Shekure sukai, ketika Shirin memandangi lukisan diri HCisrev yang digantungkan
di sebuah dahan pohon dan kemudian jatuh cinta padanya. Lalu, saat melihat
sebuah ilustrasi yang menggambarkan cara kerja bagian dalam sebuah jam dinding
rumit yang terbuat dari aneka kumparan dan bola-bola besi, burungburung, dan
patung Arab kecil yang didudukkan di
atas seekor gajah, kami jadi teringat waktu.
Aku tak tahu berapa lama lagi waktu yang kami habiskan untuk memeriksa buku demi
buku dan ilustrasi demi ilustrasi dalam sikap seperti ini. Rasanya seperti masa
keemasan yang membeku, yang tak pernah berubah dan terungkap di dalam gambar dan
kisah yang kami saksikan, berpadu dengan masa yang lembab dan berlumut yang kami
alami di dalam Ruang Penyimpanan Harta ini. Rasanya seakan akan halamanhalaman
bergambar ini, yang diciptakan berabadabad yang lalu dengan keberlimpahan
penglihatan di dalam bengkel-bengkel seni milik para shah, khan, dan sultan,
yang tak terhitung jumlahnya itu, hidup kembali seperti semua benda yang
mengepung kami: topi baja, pedang scimitar, belati dengan gagang bertatahkan
berlian, baju zirah, cangkir porselin dari Cina, kecapi yang lembut dan berdebu,
bantalan-bantalan berhias butiran mutiara, dan lembaran permadani seperti yang
kami lihat dalam aneka ilustrasi yang tak terhingga jumlahnya.
"Kini aku paham bahwa dengan menciptakan kembali secara sembunyisembunyi dan
setahap demi setahap gambargambar yang sama selama ratusan tahun, ribuan seniman
dengan cerdik telah melukiskan perubahan bertahap dari dunia mereka ke dunia
lainnya." Aku akan jadi orang pertama yang mengakui betapa aku sungguhsungguh tidak paham
dengan apa yang dimaksud oleh sang empu. Namun, perhatian mendalam yang
diperlihatkan Tuan Osman terhadap ribuan gambar yang dibuat selama dua ratus
tahun terakhir dari Bukhara ke Herat, dari Tabriz ke Baghdad, dan sepanjang
jalan menuju Istanbul, telah jauh melebihi pencarian atas sebuah petunjuk lubang
hidung dari gambar kuda tertentu. Kami telah berperan serta dalam semacam elegi muram atas ilham, bakat,
dan kesabaran semua empu yang telah melukis dan mengerjakan iluminasi di
negerinegeri ini selama bertahuntahun.
Karena alasan inilah, ketika pintupintu Ruang Penyimpanan Harta dibuka saat tiba
waktu salat magrib dan Tuan Osman menjelaskan padaku bahwa ia tak ingin pergi
dari tempat itu dan hanya dengan tetap berada di tempat ini sampai pagi,
memeriksa gambargambar dengan bantuan penerangan lampu minyak dan lilin, barulah
ia bisa memenuhi tuntutan Sultan kami, tanggapan pertamaku adalah sebagaimana
yang kusampaikan padanya tetap berada di tempat ini bersamanya dan si cebol.?Namun, ketika pintu terbuka dan Tuan Osman menyatakan keinginan kami pada para
petugas yang sedang menunggu dan meminta izin Kepala Bendahara, aku segera
menyesali keputusanku. Aku amat merindukan Shekure dan rumah kami. Aku menjadi
begitu gelisah memikirkan bagaimana dia mengatasi keadaan, menghabiskan malam
sendirian dengan anakanak, dan bagaimana dia akan menutup rapat daun-daun
jendela yang kini sudah diperbaiki.
Lewat gerbang Ruang Penyimpanan Harta yang setengah terbuka, aku memberi isyarat
pada kehidupan yang menakjubkan di luar sana melalui deretan pohon palem yang
besar dan basah di halaman Enderun kini diselimuti kabut tipis dan melalui
? ?gerak tubuh dua orang pesuruh istana yang sedang bercakap-cakap dalam bahasa
isyarat agar tidak mengganggu ketenangan Sultan kami. Namun, aku tetap di
tempatku, mematung karena rasa malu dan rasa bersalah.[]
Bab 50 kami dua orang dartis YA, GUNJINGAN yang mengatakan gambar kami ada di antara halamanhalaman lukisan
dari Cina, Samarkand, dan Herat yang dibundel dalam satu album dan disembunyikan
di sudut terpencil Ruang Penyimpanan Harta yang penuh sesak oleh barangbarang
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jarahan dari ratusan negara selama ratusan tahun oleh nenek moyang Yang Mulia
Sultan kita, sangat mungkin disebarkan kepada para miniaturis oleh si cebol
Jezmi Agha. Andai kami boleh menceritakan kembali kisah kami dengan gaya kami
sendiri atas izin Allah kami berharap tak seorang pun di kedai kopi yang indah
? ?ini akan tersinggung karenanya.
Seratus sepuluh tahun telah berlalu sejak kematian kami, empat puluh tahun sejak
penutupan pondok darwis pendukung Persia kami yang tak ternilai harganya, sarang
perbuatan bidah dan kegiatan terlarang itu. Namun, lihatlah sendiri, kini inilah
kami di hadapanmu. Bagaimana mungkin" Akan kukatakan padamu: Kami digambarkan
dengan gaya Venesia! Seperti yang diceritakan ilustrasi ini, pada suatu hari dua orang darwis sedang berkelana
melintasi wilayah pendudukan Sultan kita, dari satu kota ke kota lainnya.
Kami berdua bertelanjang kaki, dengan kepala tercukur, dan kami setengah
telanjang. Kami mengenakan
sehelai rompi dan baju kulit rusa, dengan seutas sabuk melingkari pinggang kami
dan sebatang tongkat untuk berjalan dalam genggaman, sedangkan mangkuk tempat
kami mengemis terjuntai dengan rantai dari leher kami. Salah seorang di antara
kami membawa sebilah kapak untuk memotong kayu, dan yang lain membawa sebuah
sendok untuk makan makanan apa pun yang dikurniakan Tuhan kepada kami.
Saat itu, saat berdiri di depan sebuah penginapan untuk penumpang kafilah di
samping sebuah mata air, kawanku, tidak, kekasihku, tidak, saudaraku dan aku
sedang terlibat adu pendapat yang bisaa kami lakukan, "Kau yang pertama Tidak, ?kau saja yang pertama." Dengan ribut kami saling tunjuk siapa yang pertama kali
menggunakan sendok dan makan dari mangkuk, ketika seorang pelancong Frank,
seorang asing, menghentikan kami dan memberi kami masingmasing sekeping uang
perak Venesia dan menggambar kami.
Ia adalah seorang Frank. Tentu saja, ia aneh. Ia menempatkan kami tepat di
tengah halaman, seakanakan kami ini tenda sang Sultan, dan ia melukiskan kami
dalam keadaan setengah telanjang, ketika aku membagi pikiranku dengan kawanku
tentang hal itu: Agar tampak benarbenar seperti sepasang darwis pengemis dari
sekte sufi Kalender! yang miskin papa, kita harus membalikkan bola mata kita ke
belakang agar tampak bagian dalamnya, sehingga bagian putih bola mata kita akan
menghadap dunia seperti orang buta dan seperti itulah yang kami lakukan. Dalam
?situasi seperti ini, sudah sewajarnya seorang darwis menatap dunia di dalam
kepalanya daripada dunia di luar kepalanya. Karena kepala kami terlalu dipenuhi
hasis, pemandangan di dalam benak
kami lebih menyenangkan daripada yang dilihat pelukis Frank itu.
Sementara itu, adegan di luar kepala kami itu justru menjadi semakin buruk. Kami
mendengar omelan seorang Hoja Effendi.
Jangan biarkan kami memberi kesan buruk. Kami telah menyebutkan bukti
penghormatan kami kepada "Hoja Effendi," tetapi minggu lalu di kedai kopi yang
indah ini terjadi sebuah kesalahpahaman yang luar bisaa. "Hoja Effendi" yang
terhormat ini, yang sedang kami bicarakan, tak berhubungan sama sekali dengan
Yang Mulia Nusret Hoja, sang ulama dari Erzurum, tidak juga dengan si bajingan
Husret Hoja, atau dengan hoja dari Sivas yang bersetubuh dengan iblis di atas
sebatang pohon. Mereka yang menganggap buruk semua hal berkata bahwa jika Yang
Mulia Hoja Effendi kembali menjadi sasaran caci maki di sini, maka mereka akan
memotong lidah si pendongeng dan meratakan kedai kopi ini di dekat kepalanya.
Seratus dua puluh tahun yang lalu, saat itu tidak ada kopi, Hoja terhormat yang
kisahnya akan kami ceritakan tampak berang.
"Hai, orang kafir Frank, mengapa kau melukis kedua orang ini?" serunya. "Kedua
darwis Kalenderi sialan ini berkeliling untuk mencuri dan mengemis, mereka
mengisap hasis, minum anggur, saling menyodomi, dan dari penampilan mereka
tampaknya mereka sama sekali tidak tahu bagaimana cara salat atau membaca doa,
tidak punya rumah, tempat tinggal, atau keluarga. Mereka tidak lebih daripada
butiran debu di dunia kami yang indah ini. Dan kau, mengapa kau menggambarkan
hal yang memalukan ini padahal ada begitu banyak keindahan di negeri yang hebat
ini" Apakah ini dimaksudkan untuk
mempermalukan kami?"
"Sama sekali tidak, ini kulakukan karena ilustrasi tentang sisi buruk kalian
mendatangkan lebih banyak uang," sahut orang kafir itu. Kami dua orang darwis
tercengang mendengar alasan si pelukis.
"Jika bisa mendatangkan lebih banyak uang untukmu, maukah kau melukis iblis
dengan cahaya yang indah?" ujar Hoja Effendi, berpurapura akan memulai sebuah
perselisihan. Namun, seperti yang kaulihat dari lukisan ini, orang Venesia itu
adalah seorang seniman sejati. Ia hanya memusatkan perhatian pada karyanya yang
ada di hadapannya dan uang yang akan diperolehnya daripada menanggapi celaan
Hoja. Ia kemudian melukis kami, dan menyelipkan gambar kami ke dalam map kulit di
bagian belakang pelana kudanya, lalu kembali ke kota asalnya. Tak lama
sesudahnya, bala tentara Utsmaniyah menaklukkan dan menjarah kota mereka yang
terletak di tepi Sungai Danube, dan kami berdua akhirnya kembali dengan cara
seperti ini ke Istanbul dan ke Ruang Penyimpanan Harta. Dari sana kami disalin
berkali-kali, berpindah dari satu buku rahasia ke buku rahasia lain, dan
akhirnya kami tiba di kedai kopi yang menyenangkan ini, tempat kopi diteguk
bagaikan cairan yang membuat awet muda dan menambah semangat. Kini berikutnya:
Risalah Singkat tentang Lukisan, Kematian, dan Tempat Kami di Dunia
Hoja Effendi dari Konya yang kami sebutkan tadi membuat pernyataan berikut ini
dalam salah satu ceramahnya yang kemudian ditulis dan dikumpulkan dalam sebuah
buku tebal: Kedua orang darwis Kalenderi adalah makhlukmakhluk tak berguna yang tidak
penting di dunia ini karena mereka tidak termasuk kelompok mana pun dari keempat
kelompok yang membagi manusia: 1. Bangsawan, 2. Saudagar, 3. Petani, dan 4.
Seniman. Oleh karena itu, mereka adalah makhluk yang sia-sia.
Sebagai tambahan, ia mengatakan hal-hal berikut ini, "Kedua orang ini selalu
berkeliaran sebagai sepasang manusia yang selalu berdebat tentang siapa di
antara mereka yang akan makan lebih dulu dengan sendok mereka yang hanya satu
satunya itu, dan mereka yang tidak mengetahui bahwa ini adalah ungkapan licik
dari pikiran mereka yang sesungguhnya siapa yang akan menyodomi terlebih dahulu?merasa hal itu sebagai sesuatu yang menghibur, lalu tertawa." Yang Mulia Tolong
Jangan-Disalahartikan Hoja telah menguak rahasia kami karena ia, bersama kami,
bocah-bocah lelaki tampan, murid-murid magang, dan para miniaturis adalah para
pengelana yang berjalan di jalan setapak yang sama.
Rahasia yang Sesungguhnya
Namun, rahasia yang sesungguhnya adalah seperti ini: Ketika orang kafir Frank
itu menggambar kami, ia memandangi kami begitu manis dengan perhatian yang
membuat kami menyukainya dan senang menjadi objek lukisannya. Namun, ia membuat
kesalahan dengan memandangi dunia dengan mata telanjangnya, dan menggambarkan
apa yang dilihatnya. Maka, ia menggambarkan kami sebagai sepasang orang buta
meskipun kami bisa melihat dengan baik, tetapi kami sama sekali tidak keberatan
tentang hal itu. Kini kami sudah
cukup puas. Menurut sang Hoja, kami berada di neraka; menurut sebagian orang
mukmin kami tak lebih daripada mayatmayat yang membusuk; dan menurut kalian,
para miniaturis yang berkumpul di sini, kami adalah sebuah lukisan; dan karena
kami adalah sebuah lukisan, maka kami berdiri di hadapan kalian seakanakan kami
masih hidup dan segar bugar. Selepas perdebatan kami dengan Hoja Effendi dan
setelah berjalan dari Konya ke Sivas selama tiga malam dengan melewati delapan
desa, dan mengemis sepanjang perjalanan, pada suatu malam kami terserang hawa
dingin dan hujan salju, sehingga kami dua orang darwis ini saling berpelukan
erat, jatuh tertidur, dan mati beku kedinginan. Sebelum mati, aku sempat
bermimpi: Aku adalah subjek sebuah lukisan yang masuk ke surga setelah ribuan
tahun kemudian.[] Bab 51 i n ilahTk u\ tua nosma n
MEREKA MENCERITAKAN sebuah kisah di Bukhara yang berasal dari masa Abdullah
Khan. Khan Uzbek ini adalah seorang penguasa yang pencuriga. Walaupun ia tidak
keberatan lebih dari satu seniman mengerjakan sebuah ilustrasi yang sama, tetapi
ia menentang para pelukis yang meniru gambar orang lain karena dengan demikian ?akan sulit sekali menentukan di antara para pelukis yang mencontek itu pelukis
mana yang telah menyalin dengan sedemikian ceroboh, yang harus disalahkan atas
sebuah kesalahan. Lebih penting lagi, setelah satu masa, alihalih mendorong diri
agar memperoleh pencerahan berupa ingatan Tuhan di dalam kegelapan, para
miniaturis pencoleng ini dengan malasmalasan malah terus mengintip gambar apa
pun dari balik bahu seniman di sampingnya. Dengan alas an inilah, dengan senang
hati Khan Uzbek menyambut kedatangan dua empu agung satu dari Shiraz di Selatan,
satu lagi dari Samarkand di Timur yang melarikan diri dari peperangan dan
?kekejaman para shah, dan berlindung di istananya. Namun, ia melarang kedua empu
berbakat luar bisaa itu untuk saling melihat hasil karya yang lain, dan
memisahkan mereka dengan memberi ruang kerja kecil di ujung yang berseberangan
di istananya untuk memisahkan mereka sejauh mungkin. Maka, selama tiga
puluh tujuh tahun lebih empat bulan, tepat seperti yang dicatat dalam sebuah
legenda, kedua empu agung ini masingmasing mendengarkan Abdullah Khan
menceritakan kehebatan karya empu lain yang tidak pernah boleh dilihat,
bagaimana karya itu dibedakan dari karya yang lain, atau betapa ganjilnya
kesamaan satu karya dengan karya lainnya. Sementara itu, mereka berdua terus
merasa sangat penasaran tentang lukisan masingmasing yang mereka buat. Selepas
masa hidup Abdullah Khan yang panjang dan merambat lamban bagaikan kura-kura,
kedua seniman tua itu saling berlari ke kamar kawannya dan melihat lukisan
mereka. Beberapa saat kemudian, seraya duduk di kedua ujung bantal besar sambil
masingmasing memegangi buku milik kawannya dan memandangi gambar gambar yang
mereka kenal dari dongeng Abdullah Khan, kedua miniaturis itu diliputi perasaan
kecewa yang amat dalam, karena ilustrasiilustrasi yang mereka lihat sama sekali
tidak seluar bisaa yang mereka bayangkan dari cerita yang mereka dengar, bahkan
tampak serupa dengan gambargambar yang mereka lihat dalam tahun tahun terakhir,
bisaa-bisaa saja, pucat, dan samar. Kedua empu agung itu sama sekali tidak
menyadari bahwa samarnya gambar yang mereka lihat terjadi karena mata mereka
sudah mulai buta, mereka juga tidak menyadari ketika mata mereka telah
sepenuhnya menjadi buta. Mereka malah menganggap samarnya gambar gambar tersebut
disebabkan mereka telah diperdaya oleh sang Khan, dan sejak itu mereka meyakini
hingga mati bahwa impian lebih indah daripada lukisan.
Di tengah malam yang mencekam di dalam Ruang Penyimpanan Harta yang dingin, saat
aku membalik-balik halaman buku dengan jemari membeku sambil menatap lekat gambargambar di berbagai
buku yang sempat kuangankan selama empat puluh tahun itu, aku sadar betapa aku
lebih berbahagia daripada seniman seniman di dalam cerita yang memilukan dari
Bukhara ini. Aku bergetar menyadari bahwa sebelum menjadi buta dan melintasi
dunia lain, aku telah memegang buku yang legendanya kudengar sepanjang hayatku,
dan sesekali aku berucap lirih, "Alhamdulillah, terima kasih Tuhan," setiap
kuamati betapa setiap satu halaman yang kubuka ternyata lebih menakjubkan dari
legendanya. Contohnya, delapan puluh tahun yang lalu Shah Ismail melintasi sungai dan dengan
pedangnya menaklukkan Herat dan seluruh Khurasan dari kekuasaan orang orang
Uzbek, di mana ia menunjuk adiknya, Sam Mirza, sebagai gubernur Herat. Untuk
merayakan saat kemenangan ini, sang adik, sebagai balas budi, menyiapkan sebuah
manuskrip, sebuah buku dalam versi bergambar, dengan judul Pertemuan BintangBintang, yang menceritakan sebuah kisah yang dialami dan disaksikan oleh Emir
HCisrev di istana Delhi. Menurut legenda tersebut, salah satu ilustrasi dalam
buku ini menunjukkan kedua penguasa tersebut bertemu di tepi sebuah sungai, di
mana mereka merayakan kemenangan mereka. Wajahwajah mereka menyerupai Sultan
Delhi, Keykubad, dan ayahnya, Bughra Khan, sang penguasa Bengali, yang merupakan
tokoh-tokoh utama buku tersebut, tetapi kedua wajah itu juga menyerupai wajah
Shah Ismail dan adiknya Sam Mirza, dua lelaki yang bertanggung jawab atas
pembuatan buku itu. Aku sangat yakin bahwa tokoh-tokoh yang kisahnya terbersit
dalam ingatanku ketika aku memandangi halaman itu akan muncul di dalam
tenda sultan, dan aku bersyukur pada Tuhan yang telah memberiku kesempatan
melihat lembaran yang menakjubkan ini.
Dalam sebuah ilustrasi yang dibuat oleh Syekh Muhammad, salah satu empu agung
dari masa legenda yang sama, seorang rakyat jelata yang kekaguman dan kasih
sayangnya pada sang sultan sudah mencapai taraf cinta yang tulus murni, ketika
menyaksikan sang sultan bermain polo dengan putus asa berharap bola akan
menggelinding menghampirinya agar ia bisa menyerahkan bola itu pada sang sultan.
Sebagaimana yang pernah dikisahkan padaku ribuan kali, cinta, kekaguman dan
kepatuhan si rakyat jelata yang ditujukan pada seorang khan agung atau seorang
raja yang mulia, atau seperti seorang murid yang masih muda dan tampan kepada
empunya, digambarkan dalam halaman ini dengan sedemikian lembut dan dengan
perasaaan kasih yang begitu dalam, dari jari jemari si rakyat jelata yang
terjulur sambil memegangi bola itu, hingga ketidakmampuannya mengerahkan
keberanian dalam dirinya untuk menatap wajah sang penguasa, sehingga ketika aku
memandangi gambar ini, aku tahu bahwa tidak ada yang lebih menyenangkan di dunia
ini selain menjadi seorang murid dari seorang empu besar, dan kepatuhan yang
berujung pada perbudakan seperti itu membuat berkurangnya kesenangan menjadi
seorang empu bagi seorang murid yang muda, menawan, dan pandai dan aku turut ?berduka cita pada mereka yang tidak pernah mengetahui kebenaran ini.
Aku membalikkan halaman itu, memandang dengan cepat tetapi cermat pada ribuan
burung, kuda, serdadu, pasangan kekasih, unta, pepohonan dan gumpalan awan,
sementara si cebol petugas Ruang Penyimpanan Harta yang riang, seperti seorang
shah di zaman dahulu yang diberi kesempatan memamerkan kekayaan dan harta
bendanya, dengan bangga dan tanpa rasa takut mengambil buku demi buku dari dalam
petipeti dan meletakkannya di hadapanku. Dari dua sudut terpisah sebuah peti
besi yang berisi bukubuku besar yang menakjubkan, bukubuku bisaa, dan albumalbum
gambar yang tak beraturan, terdapat dua buku luar bisaa yang satu dijilid
?dengan gaya Shiraz dan sampulnya berwarna merah burgundi, yanglainnya dijilid
dengan gaya Herat dan diperindah pelapis gelap bergaya Cina yang berisi
halamanhalaman yang mirip satu sama lain, hingga pada awalnya aku mengira
gambargambar itu sebagai salinan. Ketika aku berusaha menentukan buku mana yang
asli dan mana yang merupakan salinannya, aku memeriksa namanama para penulis
kaligrafi dalam bagian kolofon, mencari tanda tangan tersembunyi, dan akhirnya
aku menyadari, dengan bergetar, bahwa kedua edisi karya Nizami ini adalah
bukubuku legendaris yang dibuat Syekh Ali dari Tabriz, yang satu untuk Khan
Kambing hitam, Jihan Shah, dan yang lainnya untuk Khan Kambing putih, Hasan
Jangkung. Setelah ia dibutakan oleh penguasa Kambing hitam untuk mencegahnya
membuat versi lain buku pertama, seniman agung itu mencari perlindungan pada
penguasa Kambing putih dan menciptakan sebuah salinan edisi pertama yang lebih
indah berdasarkan ingatannya. Melihat gambargambar tersebut berada dalam buku
legendaris yang kedua, yang dibuatnya ketika ia sudah buta, tampak lebih
sederhana dan lebih murni, sementara warnawarni dalam edisi pertama lebih hidup
dan memicu semangat, aku jadi teringat bahwa ingatan
seorang buta menampilkan kesederhanaan hakiki kehidupan, sekaligus membunuh
kekuatannya. Karena aku sendiri adalah seorang empu besar sejati, atas sepengetahuan Allah
Yang Mahakuasa, yang melihat dan mengetahui segalanya, aku sadar bahwa suatu
hari nanti aku juga akan menjadi buta. Namun, apakah hal ini yang kuinginkan
sekarang" Mengingat kehadiranNya bisa kurasakan begitu dekat di tengah kegelapan
indah dan mencekam Ruang Penyimpanan Harta yang berantakan ini, bagaikan seorang
lelaki terkutuk yang berharap memandangi dunia ini untuk terakhir kalinya
sebelum dipenggal kepalanya, aku bermohon padaNya, "Izinkanlah aku melihat semua
ilustrasi ini sepuas hatiku."
Saat aku membolak-balik halamannya, dengan izin Tuhan yang misterius, aku kerap
menjumpai legenda dan permasalahan kebutaan. Dalam sebuah adegan terkenal yang
menunjukkan Shirin ketika dia berjalan-jalan ke pedesaan dan jatuh cinta pada
HCisrev setelah melihat potret lelaki itu di dahan sebatang pohon, Syekh Ali
Riza dari Shiraz menggambarkan setiap helai daun pohon tersebut satu persatu
dengan sedemikian unik, sehingga semua dedaunan itu memenuhi langitnya. Sebagai
jawaban bagi seorang bodoh yang melihat karya tersebut dan berkomentar bahwa
intisari ilustrasi yang sesungguhnya bukanlah sebatang pohon, Syekh Ali menjawab
bahwa intisari sesungguhnya juga bukan hasrat seorang perempuan rupawan,
melainkan kegairahan sang seniman, dan keinginan untuk membuktikan sebuah misi
yang diembannya dengan melukiskan pohon yang sama dengan segenap dedaunannya di
atas sebutir padi. Andai tanda tangan yang tersembunyi di balik kaki indah
dayangdayang kesayangan Shirin tidak mengecohku, aku
tentu akan melihat sebatang pohon luar bisaa yang dibuat oleh seorang empu buta
di atas kertas bukan sebatang pohon yang dibuat di atas sebulir biji padi yang? ?ia biarkan setengah selesai, setelah ia menjadi buta selama tujuh tahun lebih
tiga bulan setelah ia memulai tugas itu. Di halaman lainnya, RCistem membutakan
mata Iskandar dengan anak panah bermata dua, digambarkan oleh seniman yang
mengenal betul gaya India dengan begitu bersemangat dan penuh warna, sehingga
kebutaan itu, kepedihan yang tak bertepi, dan hasrat terpendam seorang
miniaturis sejati, muncul di hadapan para penikmatnya sebagai awalan bagi sebuah
perayaan yang penuh kegembiraan.
Mataku berkelana ke setiap sudut gambar dan jilid-jilid buku hanya karena sebuah
gairah seseorang yang ingin mengamati sendiri semua legenda yang pernah
didengarnya selama bertahuntahun, dan bukan karena kegelisahan seorang lelaki
tua yang merasa akan segera tak mampu melihat apa pun lagi. Di sana, di dalam
Ruang Penyimpanan Harta yang dingin berselimut warna merah kirmizi yang tak
pernah kusaksikan sebelumnya yang diakibatkan warna pakaian dan debu yang
?terkena sinar ganjil lilin-lilin sesekali aku memekikkan sebentuk ungkapan
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
?kekaguman, yang karenanya Hitam dan si cebol akan bergegas mendekatiku dan
melongokkan kepala mereka dari balik bahuku untuk mengintip halaman bergambar
yang begitu hebat di hadapanku. Katrena tak mampu menahan diri, aku pun mulai
menjelaskan, "Warna merah semacam ini adalah milik empu besar Mirza Baba Imami
dari Tabriz, rahasia yang ia bawa hingga ke liang kuburnya. Ia menggunakannya
untuk tepian karpet, warna merah tanda kesetiaan Alevi di turban Shah Persia,
dan lihatlah, marah itu juga ada di sini pada perut singa di halaman ini, dan
ada di jubah bocah tampan ini. Allah tidak pernah menyingkap secara langsung
merah seindah ini, kecuali ketika Ia membiarkan darah hambanya tersimbah. Maka
meski kita bersusah payah sekuat tenaga menemukan beragam merah yang hanya
terlihat oleh mata telanjang di atas kain buatan manusia dan dalam
lukisanlukisan karya para empu besar, entah bagaimana Tuhan menyisipkan rahasia
itu ke dalam tubuh serangga-serangga terlangka yang hidup di balik bebatuan,"
ujarku. Lalu kutambahkan, "Rasa syukur kita panjatkan ke hadirat-Nya yang kini
telah menyingkapnya untuk kita."
"Lihatlah ini," ujarku beberapa lama kemudian, sekali lagi aku tak mampu menahan
diri untuk menunjukkan pada mereka sebuah mahakarya yang satu ini mungkin
?pernah menjadi ilustrasi salah satu kumpulan ghazah yang membicarakan cinta,
persahabatan, musim semi, dan kebahagiaan. Kami menatap pepohonan musim semi
yang bermekaran dalam satu susunan warna, pohonpohon cemara di taman
mengingatkan kami pada surga dan keriangan orangorang terkasih yang bersandar di
taman itu sambil minum anggur dan membacakan sajak-sajak; seolah olah, kami yang
berada di dalam Ruang Penyimpanan Harta yang lembab, berdebu, dan dingin ini
juga bisa mencium aroma musim semi yang berseri-seri dan kulit lembut mereka
yang berpesta pora dengan riang gembira. "Perhatikan bagaimana seniman yang sama
menggambarkan lengan bagian bawah pasangan kekasih, kaki kaki telanjang mereka
yang indah, keelokan sikap berdiri mereka, dan suka cita burungburung yang
"Puisi lirik berbahasa Arab, Persia, atau Urdu yang berisi lima bait atau lebih
yang masingmasing baitnya memiliki tema yang berbeda
beterbangan di sekitar mereka dengan sedemikian tulus, juga bagaimana mereka
membuat lengkungan kasar pohonpohon cemara di latar belakangnya!" seruku. "Ini
adalah karya Lutfi dari Bukhara yang karena sifat pemberang dan suka
berperangnya, membuat ia selalu meninggalkan lukisannya setengah jadi. Ia
bertempur dengan setiap shah dan khan yang menyatakan diri tak memahami apa pun
soal lukisan, dan ia tidak pernah tinggal di satu kota dalam waktu lama. Empu
agung ini bepergian dari satu istana shah yang satu ke istana shah lainnya, dari
kota ke kota, selalu bertikai di sepanjang perjalanannya, tidak pernah bisa
menemukan seorang penguasa pun yang bukunya sepadan dengan bakatnya, hingga
akhirnya ia menemukan sebuah bengkel seni milik seorang kepala suku linglung
yang hanya memerintah sebuah daerah di puncakpuncak gunung yang terbuka.
Menyatakan bahwa sebagai 'seorang khan yang meski daerah kekuasaannya kecil,
tetapi tahu banyak tentang lukisan,' Lutfi dari Bukhara menghabiskan dua puluh
lima tahun sisa hidupnya di sana. Apakah ia tahu bahwa penguasa linglung ini
buta menjadi bahan tebak-tebakan dan sumber tertawaan, bahkan hingga hari ini."
"Apakah kau melihat halaman ini?" pekikku di tengah kepekatan malam, dan kali
ini mereka berdua bergegas menghampiriku, dengan membawa tempat lilin yang
teracung tinggi. "Dari masa cucu moyang Timurleng hingga sekarang, buku ini
telah pernah dimiliki oleh sepuluh orang dalam perjalanannya dari Herat
melintasi jarak seratus lima puluh tahun." Menggunakan kaca pembesarku, kami
bertiga membaca semua tanda tangan, ucapan persembahan, keterangan sejarah dan
namanama sultan yang masingmasing saling ber-kelindan yang mengisi setiap ? ?sudut halaman kolofon, dijilid menyatu, saling tumpang tindih, "Buku ini
diselesaikan di Herat, atas bantuan Tuhan, di tangan juru kaligrafi Sultan Veli,
putra Muzaffer dari Herat, pada tahun 849 Hijriyah, untuk Ismet-iid Diinya,
istri dari Muhammad Juki, saudara laki laki yang jaya dari sang Pemimpin Dunia,
Baysungur." Sesudahnya, kami membaca keterangan betapa buku itu telah beralih
menjadi milik Sultan Halil dari Kambing putih, lalu berpindah ke tangan putranya
Yakup Ney, dan kemudian ke para sultan Uzbek di Utara, yang masingmasing
menghibur diri dengan buku itu dan sesekali memindahkan atau menambahkan satu
dua gambar dari dan ke dalam buku itu. Dimulai dari pemiliknya yang pertama,
mereka menambahkan wajahwajah istri mereka yang jelita ke dalam ilustrasinya dan
dengan bangga menambahkan keterangan namanama mereka di halaman kolofon. Setelah
itu, buku itu berpindah ke tangan Sam Mirza yang berhasil mengambil alih Herat,
dan ia menjadikan buku itu semacam hadiah, dengan beberapa kalimat persembahan
secara terpisah, untuk kakak lelakinya, Shah Ismail, yang kemudian membawanya ke
Tabriz dan menjadikannya hadiah dengan kalimat persembahan lainnya. Ketika sang
ahli surga Sultan Selim si Muka Masam mengalahkan Shah Ismail di Chaldiran dan
menjarah Istana Tujuh Surga di Tabriz, maka buku itu berakhir di sini, di Ruang
Penyimpanan Harta di Istanbul setelah mengelana melintasi gurun-gurun pasir,
pegunungan, dan menyeberangi sungaisungai, bersama bala tentara sang sultan yang
digdaya. Seberapa besar ketertarikan dan kegairahan seorang empu uzur ini dinikmati pula
oleh Hitam dan si cebol" Saat
aku membuka bukubuku baru dan membalik-balik halaman-halamannya, aku merasakan
kesedihan mendalam ribuan ilustrasi dari ratusan kota besar dan kecil,
masingmasing dengan watak yang berbeda, masing masing lukisan di bawah kekuasaan
seorang shah, khan, atau kepala suku kejam yang berbeda-beda, masingmasing
mempertontonkan bakat dan kemampuan untuk mendorong seseorang pada kebutaan. Aku
merasakan rasa sakit dari aniaya yang kami derita selama masa pendidikan yang
begitu lama, pukulan-pukulan yang didaratkan penggaris-penggaris, hingga kedua
pipi kami menjadi merah merona, atau pukulan batu marmer polesan ke kepala kami
yang tercukur, saat aku membolak-balik dengan rasa malu halamanhalaman sebuah
? ?buku primitif yang memperlihatkan metode dan pelaksanaan siksaan. Aku sama
sekali tidak tahu bagaimana mungkin buku yang menyedihkan ini ada di ruang harta
Utsmaniyah. Alihalih melihat siksaan-siksaan tersebut sebagai sebuah perbuatan
yang penting dilakukan di bawah pengawasan seorang hakim untuk memastikan
keadilan Allah di muka bumi ini, para pelancong kafir akan meyakinkan para
pengikutnya akan kekejian dan kebengisan kita dengan membiarkan miniaturisminiaturis hina menistakan diri dengan membuat gambargambar ini untuk beberapa
keping uang emas. Aku merasa malu melihat betapa ketaranya rasa suka cita yang
tersirat dalam karya para miniaturis ini dalam gambar perajaman, pemukulan,
penyaliban, leher leher atau kaki-kaki yang digantung, pemancungan, penombakan,
ditembakkan sebagai peluru meriam, tubuhtubuh yang dipaku, dicekik, tenggorokan
yang digorok, mengumpankan manusia pada anjinganjing kelaparan,
pencambukan, makian, penekanan, ditenggelamkan ke dalam air dingin, rambut yang
dicerabut, jemari yang dipatahkan, pengulitan, hidung yang dipotong, dan bola
mata yang dicungkil keluar. Hanya senimanseniman sejati seperti kami yang akan
menderita sepanjang masa pendidikan kami dengan dirajam, dihajar habis-habisan,
dan dipukul agar empu menjengkelkan yang salah menggambar sebuah garis akan
merasa lebih baik belum lagi berjam-jam didera hantaman tongkat dan penggaris ?agar setan di dalam diri kita binasa, untuk dilahirkan kembali sebagai jin
pembangkit ilham hanya kami yang dapat merasakan kegembiraan luar bisaa dengan
?melukiskan perajaman dan siksaaan, hanya kami yang dapat mewarnai semua
pelaksanaan hukuman itu dengan riang seakanakan sedang mewarnai sebuah
layanglayang untuk seorang bocah.
Setelah ratusan tahun, orang yang memandang dunia kami lewat ilustrasiilustrasi
yang kami buat tidak mampu memahami apa pun. Dengan berkeinginan untuk melihat
dari dekat, meski agak kurang sabar, mereka akan merasakan sebentuk rasa malu,
kegembiraan, luka yang terpendam dalam, dan kesenangan mengamati seperti yang
kurasakan sekarang ini, saat memeriksa gambargambar di dalam Ruang Penyimpanan
Harta yang dingin membekukan ini tetapi mereka tidak akan pernah sungguhsungguh
?tahu. Saat aku membolak-balik halamanhalaman ini dengan jari-jari tuaku yang
mati rasa karena hawa dingin, lensa pembesar andalanku dengan gagang berhias
cangkang kerang bersama bola mata kiriku menjelajahi setiap sudut gambar
bagaikan seekor bangau tua yang sedang mengelilingi dunia ini, sedikit terpana
melihat pemandangan di bawahnya, tetap saja
terkagum-kagum melihat banyak hal baru. Dari halamanhalaman yang disembunyikan
dari kita selama bertahuntahun ini, sebagian di antaranya adalah gambargambar
legendaris. Aku jadi tahu seniman mana yang sudah belajar dari siapa, di bengkel
seni mana dalam kekuasaan shah siapakah apa yang kita sebut "gaya" miliknya
terbentuk untuk pertama kali, empu ternama tempat ia bekerja, dan bagaimana,
misalnya saja, gumpalan awan bergaya Cina yang kukenal bisa tersebar hingga
Persia dari Heart di bawah pengaruh seni Cina yang juga digunakan di Kazvin. Aku
akan sesekali membiarkan diriku melontarkan seruan, "Aha!" Namun, sebentuk rasa
sakit tersembunyi di dalam diriku, sebuah kesedihan dan penyesalan yang nyaris
tak mungkin kubagi denganmu untuk para pelukis muda bertubuh kurus, meskipun
tampan, berwajah bulat dengan mata serupa mata kijang, yang direndahkan dan
disiksa dianiaya empunya yang menderita demi karya seninya, dengan hasrat
? ?meledak-ledak dan harapan membubung tinggi, menikmati kasih sayang yang
berkembang di antara mereka dan empu mereka, dan kecintaan mereka terhadap
lukisan, sebelum menyerah pasrah pada ketiadaan nama dan kebutaan setelah
bertahuntahun lamanya bekerja keras.
Dengan rasa sedih dan penyesalan seperti itulah aku memasuki dunia keindahan dan
kelembutan perasaan ini, kemungkinan tentang gambar siapa yang telah diam diam
dilupakan oleh mata hatiku, setelah bertahuntahun melukiskan peperangan dan
perayaan bagi Sultan kami. Dalam sebuah album kumpulan gambar, aku melihat
seorang bocah Persia berpinggang ramping dengan bibir merah sedang memegangi
sebuah buku di pangkuannya,
tepat seperti caraku memegangi buku saat ini. Hal itu mengingatkanku pada apa
yang selalu dilupakan para shah yang memiliki kelemahan soal emas dan kekuasaan:
Keindahan dunia ini adalah milik Allah. Dalam sebuah halaman album lainnya yang
dilukis oleh seorang empu muda dari Isfahan, dengan air mata menggenang aku
menyaksikan dua pemuda menakjubkan yang saling jatuh cinta, dan itu juga
mengingatkanku pada rasa cinta yang dipelihara murid-muridku sendiri yang tampan
untuk melukis. Seorang pemuda berkaki kurus, berkulit jernih, dengan tubuh lemah
gemulai dan lengan telanjang halus mulus yang bisa membangkitkan keinginan orang
untuk menciumnya dan mati, sementara seorang perawan jelita dengan bibir sewarna
buah kersen, mata serupa almond, serta tubuh ramping dan hidung bulat mungil
memandang penuh tanya seperti memandangi tiga kuntum bunga yang indah pada
? ?tiga tanda kecil perlambang gairah asmara yang dibakarkan pemuda itu pada tangan
indahnya untuk membuktikan kekuatan cinta dan keterikatannya pada si gadis
jelita. Anehnya, jantungku mulai berdegup kencang dan keras. Sebagaimana yang terjadi
enam puluh tahun yang lalu di awal masa pendidikanku, ketika aku memandangi
lekat-lekat ilustrasi seronok pemuda-pemuda tampan berkulit pualam dan perawanperawan ramping dengan buah dada kecil yang dilukiskan dengan gaya Tabriz,
bulir-bulir keringat berkumpul di keningku. Aku teringat kembali kegairahan
melukisku yang sudah kutinggalkan dan kedalaman pemikiran yang kualami ketika
beberapa tahun setelah aku menikah dan memulai langkah-langkah pertamaku sebagai
seorang empu, aku melihat seorang pemuda tampan dengan wajah malaikat, sepasang
mata bagaikan biji almond dan kulit sewarna kelopak mawar, masuk sebagai seorang
calon murid. Sejenak aku merasakan sebuah perasaan yang kuat bahwa lukisan
bukanlah tentang kesedihan dan penyesalan, melainkan tentang gairah yang
kurasakan ini, dan merupakan bakat seorang seniman empu untuk memindahkan
nafsunya itu menjadi sebentuk cinta pada Tuhan, dan kemudian menjadi cinta pada
dunia sebagaimana Tuhan melihatnya. Perasaan ini sedemikian kuatnya sehingga
membuat aku bisa merasakannya kembali dengan kenikmatan tiada tara selama
bertahuntahun yang kuhabiskan di atas papan gambarku hingga punggungku menjadi
bungkuk. Semua pukulan yang kuterima ketika mengasah kemampuanku, pengabdianku
untuk menjadi buta melalui ilustrasi dan semua kepedihan dalam melukis yang
diderita olehku dan yang lainnya. Seakanakan mataku menjelajahi sesuatu yang
terlarang, aku memandang selama mungkin tanpa bersuara ke arah ilustrasi
menakjubkan ini dengan rasa nikmat yang sama. Beberapa saat kemudian aku masih
saja menatap lekat lukisan itu, Sebutir air mata meluncur jatuh melintasi pipiku
ke atas janggutku. Ketika kuperhatikan terlihat sebuah tempat lilin melayang perlahanlahan
melintasi Puang Penyimpanan Harta dan mendekatiku, aku menyisihkan album itu dan
dengan acak membuka salah satu buku yang dikeluarkan si cebol beberapa saat yang
lalu di sampingku. Ini adalah sebuah album yang khusus disiapkan untuk para
shah: Aku melihat dua ekor rusa di sisi sebatang pohon kecil berwarna hijau,
sedang saling berpandangan kasmaran, dan srigala-srigala mengawasi mereka dari
jauh dengan iri dengki. Aku membalikkan halaman itu: Kudakuda berwarna cokelat
kemerahan dan merah kecokelatan yang
tampaknya merupakan karya hanya satu orang empu tua Herat saja betapa hebatnya ?kudakuda itu! Aku membalikkan halaman itu: Seorang pejabat pemerintah yang duduk
penuh percaya diri menyambutku dari sebuah lukisan berusia tujuh puluh tahun
itu. Aku tidak mampu memastikan siapakah orang itu dari wajahnya, karena ia
mirip dengan siapa pun, atau begitulah yang kukira, tetapi hawa lukisan dan
janggut lelaki sedang duduk yang dilukis dalam bermacam warna itu,
mengingatkanku pada sesuatu. Jantungku segera berdegup kencang begitu kukenali
gambar tangan yang begitu bagus dalam karya itu. Batinku menyadarinya sebelum
diriku sendiri, hanya ia yang bisa menggambarkan tangan sebagus itu: Ini adalah
karya Bihzad. Seakanakan seberkas cahaya menyembur keluar seketika dari lukisan
itu ke wajahku. Aku pernah melihat lukisanlukisan yang dibuat oleh empu agung Bihzad beberapa
kali sebelumnya. Mungkin karena saat itu aku tidak memandanginya sendirian,
tetapi dalam sebuah kelompok empu muda beberapa tahun yang lalu atau mungkin
karena kami tidak bisa dengan pasti menentukan apakah itu memang benarbenar
karya Bihzad yang agung, aku tidak sedemikian tersentuh seperti sekarang ini.
Kegelapan pekat yang berbau apak dari Ruang Penyimpanan Harta ini seolaholah
menjadi cerah. Tangan yang dilukiskan dengan sedemikian indahnya muncul di
benakku dengan lengan kurus yang luar bisaa, bertatahkan tandatanda cinta, yang
baru saja aku saksikan. Sekali lagi, aku memuji Tuhan karena memperlihatkan
padaku keindahan yang begitu luar bisaa sebelum aku menjadi buta. Bagaimana aku
tahu bahwa aku akan segera menjadi buta" Aku tidak tahu! Aku
merasa bahwa aku bisa membagi firasatku ini dengan Hitam yang berada di
sampingku sambil memegangi lilin dan juga sedang memandangi halaman yang sama,
tetapi hal lainlah yang justru terlontar dari mulutku.
"Lihatlah penggambaran tangan yang begitu hebat ini," seruku. "Ini adalah karya
Bihzad." Tanganku bergerak dengan sendirinya memegang tangan Hitam, seakanakan sedang
memegangi tangan murid-murid muda tampan yang begitu mulus dengan kulit selembut
beludru, yang masingmasing kucintai di masa mudaku. Tangannya lembut tetapi
kekar, lebih hangat dari tanganku sendiri, lembut dan lebar, dan aku tergetar
merasakan bagian pergelangan tangannya yang berurat. Saat aku muda, aku akan
menggenggam tangan seorang murid lelaki kecil sebelum memberitahunya bagaimana
cara memegang kuas, dan aku akan memandang penuh kasih sayang ke arah mata
indahnya yang ketakutan. Tepat seperti itulah aku memandangi Hitam. Terpantul di
bola matanya, aku melihat lidah api lilin yang ia acungkan. "Kita para
miniaturis bersaudara," ujarku, "tetapi kini semuanya sudah sampai pada
akhirnya." "Apa maksud Anda?"
Aku berkata, "Semuanya sudah sampai pada akhirnya" bagaikan seorang empu besar
yang merindukan kebutaan, yang telah mengabdikan waktu bertahuntahun pada
seorang bangsawan atau seorang pangeran, yang telah menciptakan banyak mahakarya
dengan gaya kuno di dalam bengkel seninya, yang telah memastikan bahwa bengkel
seni ini memiliki gaya sendiri, seorang empu besar yang tahu betul bahwa kapan
pun bangsawan junjungannya kalah dalam perang terakhirnya, tuan tuan yang baru
akan tiba dalam kebangkitan musuh yang
menjarah, membubarkan bengkel seni, mengoyak bukubuku, meninggalkan
halamanhalaman buku berserakan dan merendahkan serta menghancurkan semua yang
tersisa, termasuk segala detail indah yang sejak lama diyakininya, yang
merupakan penemuan pribadinya, dan yang ia cintai layaknya anakanak kandungnya
sendiri. Namun, aku harus menjelaskan semua itu dengan cara berbeda pada Hitam.
"Ilustrasi ini adalah tentang penyair besar Abdullah Hatifi," ujarku. "Hatifi
adalah seorang penyair besar yang tetap tinggal di rumah ketika semua orang
bergegas keluar dan menjilat Shah Ismail setelah ia menduduki Herat. Sebagai
tanggapan, Shah Ismail sendiri yang bersusah payah mendatangi rumah Hatifi di
pinggiran kota untuk menjumpainya. Kita mengenal Hatifi bukan dari karya Bihzad
yang menggambarkan wajahnya, melainkan dari tulisan di bawah ilustrasinya itu,
bukan?" Hitam menatapku dan mata indahnya menyorotkan kata "ya." "Ketika kita memandangi
wajah sang penyair di dalam lukisan," lanjutku, "kita melihat bahwa wajah itu
bisa saja wajah orang lain. Andai Abdullah Hatifi ada di sini, semoga Tuhan
memberi kedamaian bagi ruhnya, kita tidak bisa berharap mengenalinya dari wajah
di dalam lukisan ini. Namun, kita bisa mengenalinya dengan mengandalkan
keseluruhan ilustrasi ini: Ada sesuatu di dalam komposisinya, dalam pose Hatifi,
warna-warnanya, sepuhannya, dan tangan amat memesona yang dilukis oleh sang empu
agung Bihzad, yang akan langsung menunjukkan bahwa itu adalah lukisan si
penyair. Makna diwakili oleh bentuk dalam dunia seni kita. Saat kita mulai
melukis dengan meniru gaya para empu Frank dan Venesia, sebagaimana dalam buku
yang dipesan Sultan
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita kepada Enishtemu, wilayah makna berakhir sudah dan wilayah bentuk dimulai.
Meski begitu, dengan metodemetode Venesia
"Enishteku, semoga ia beristirahat dengan damai selamanya, dibunuh," tukas Hitam
dengan kasar. Aku membelai tangan Hitam, yang kuletakkan di dalam genggaman tanganku,
seakanakan aku sedang mengeluselus dengan khidmat tangan mungil seorang murid
muda yang suatu hari ternyata menghasilkan sebuah mahakarya. Dalam diam dan
takzim kami menatap mahakarya Bihzad itu selama beberapa saat. Lalu, Hitam
menarik tangannya dari genggamanku.
"Kita telah melewatkan dengan cepat kudakuda berwarna cokelat kemerahan di
halaman sebelumnya, tanpa memeriksa hidung mereka," serunya.
"Tidak ada yang aneh dengan hidung mereka," sahutku dan membalikkan halaman
sebelumnya agar ia bisa melihat sendiri gambar itu. Memang tak ada yang aneh
dengan lubang hidung kudakuda itu.
"Kapankah kita akan mendapat kuda dengan hidung yang aneh?" tanya Hitam seperti
anak kecil. Namun, di tengah malam, menjelang pagi, ketika kami menemukan Kitab Para Paja
yang legendaris milik Shah Tahmasp di sebuah peti besi di bawah tumpukan
berbagai tirai sutra hijau yang bergelombang dan menariknya ke depan, Hitam
bergelung dan dengan cepat jatuh tertidur di atas sehelai karpet Ushak merah,
dengan kepala indahnya tergeletak di atas sebuah bantal beludru yang berhiaskan
bordiran mutiara. Sementara itu, begitu aku melihat buku besar yang legendaris
itu lagi setelah bertahuntahun, aku segera paham bahwa hari baru saja dimulai
bagiku. Buku legendaris yang hanya sekali kulihat pada dua puluh lima tahun yang silam
itu begitu besar dan berat, sehingga Jezmi Agha dan aku kesulitan mengangkat dan
membawanya. Ketika aku menyentuh jilidnya, aku tahu terdapat kayu di balik
sampul kulitnya. Dua puluh lima tahun yang lalu, setelah kematian Sultan
Suleyman yang Agung, Shah Tahmasp begitu bahagia setelah akhirnya mampu mengusir
sultan yang telah menduduki Tabriz tiga kali ini, sehingga bersama barisan untaunta yang mengusung hadiah dan upeti yang dikirimkan pada pengganti Sultan
Suleyman, Sultan Selim, ia menyertakan sebuah Alquran menakjubkan dan buku besar
ini, buku yang paling indah dari semua buku yang ada di dalam Ruang Penyimpanan
Harta miliknya. Pertama, sebuah rombongan utusan Persia beranggotakan tiga ratus
orang membawa buku besar itu ke Edirne, tempat sultan yang baru menghabiskan
masa berburu musim dinginnya. Setelah buku ini tiba di sini, di Istanbul,
bersama hadiahhadiah lainnya yang diusung unta dan bagal, Kepala Iluminator Memi
Hitam dan kami, ketiga empu muda, dikirim untuk melihat buku itu sebelum dikunci
di dalam Ruang Penyimpanan Harta, Seperti lazimnya orangorang Istanbul yang
bergegas ingin melihat seekor gajah yang dibawa dari negeri Hindustan, atau
seekor jerapah yang dibawa dari Afrika, kami terbirit-birit pergi ke istana di
mana aku tahu dari Tuan Memi Hitam, bahwa sang empu besar Bihzad, yang telah
meninggalkan Herat menuju Tabriz dalam usia tuanya, tidak menyertakan karyanya
ke dalam buku ini karena ia telah buta.
Bagi miniaturis-miniaturis Utsmaniyah seperti kami yang merasa takjub oleh buku
buku bisaa dengan tujuh atau delapan ilustrasi di dalamnya, membukabuka buku
yang berisi 250 ilustrasi berukuran besar bagaikan menjelajahi sebuah istana
yang luar bisaa indah dan megah ketika seluruh penghuninya sedang tertidur. Kami
menatap lekat-lekat halamanhalaman yang begitu kaya tersebut dengan takzim,
seperti memandangi tamantaman surga yang secara ajaib menjelma selama satu
kilatan waktu. Dan selama dua puluh lima tahun berikutnya kami mendiskusikan
buku yang tetap terkunci di dalam Ruang Penyimpanan Harta ini.
Tanpa bersuara aku membuka sampul tebal Kitab Para Paja seakanakan membuka
sebuah pintu istana yang amat besar. Saat aku membolak-balikkan halamannya, yang
masing-masingnya menimbulkan suara gemerisik yang menyenangkan, aku diliputi
perasaan sayu yang melebihi kekagumanku.
1. Memikirkan kisahkisah yang menyiratkan betapa semua empu miniaturis Istanbul
pernah mencuri gambargambar dari halamanhalaman buku ini, aku tak mampu
memusatkan pikiran pada gambargambar ini.
2. Memikirkan betapa aku mungkin akan menemukan sebuah gambar tangan yang dibuat
oleh Bihzad di salah satu sudutnya, aku tak mampu menyerahkan diri sepenuhnya
kepada setiap adikarya yang muncul setiap lima atau enam gambar (betapa mantap
dan anggunnya Tahmuras memukulkan tongkat kebesarannya ke kepala para setan dan
raksasa, yang kemudian pada masa damai akan mengajarinya membaca abjad, bahasa
Yunani, dan bahasa-bahasa lainnya!).
3. Hidung kuda serta kehadiran Hitam dan si cebol
mencegahku untuk menenggelamkan diri pada apa yang kulihat.
Tentu saja, aku merasa kecewa menemukan diriku mengamati gambar lebih dengan
pikiranku daripada dengan hatiku, meskipun aku mendapatkan keberuntungan besar
karena Allah, dengan kemurahan hatiNya, memberiku kesempatan untuk melihat buku
legendaris ini sepuas hatiku, sebelum tirai beludru kegelapan diturunkan
menutupi mataku anugerah terindah yang dilimpahkan pada semua miniaturis agung.?Kala cahaya fajar menerobos masuk Ruang Penyimpanan Harta yang perlahanlahan
terasa seperti ruangan makam yang sedingin es, aku memandangi satu persatu 259
gambar dalam buku luar bisaa itu. Karena aku memandanginya dengan mata batinku,
izinkan aku sekali lagi memilah-milah, seakanakan aku adalah seorang ulama Arab
yang hanya tertarik pada penalaran:
1. Aku tidak bisa menemukan di mana pun seekor kuda dengan lubang hidung yang
menyerupai gambar buatan pembunuh laknat itu: Tidak di antara kudakuda aneka
warna yang berpapasan dengan Riistem ketika ia mengejar kuda si pencuri di
Turan; tidak di antara kudakuda luar bisaa milik Feridun Shah yang melintasi
sungai Tigris setelah Sultan Arab menolak memberi izin padanya untuk melakukan
hal itu; tidak di antara beberapa kuda kelabu yang dengan mimik pilu menyaksikan
pengkhianatan Tur dengan memenggal kepala adiknya Iraj, yang ia cemburui karena
ketika menyerahkan tanah kekuasaannya, ayah mereka memberikan
negerinegeri terbaik Persia dan Cina kepada Iraj, dan hanya menyisakan
? ?negerinegeri bagian barat untuk Tur; tidak juga di antara kudakuda bala tentara
Iskandar yang menyertakan serdadu-serdadu Khazar, Mesir, Berber* dan Arab,
semuanya dilengkapi baju zirah, tameng besi, pedangpedang yang tak bisa
dihancurkan, dan topi baja yang bersinar-sinar; tidak juga kuda terkenal yang
membunuh Shah Yazdgird yang hidungnya berdarah berkali-kali sebagai hukuman
?Tuhan atas pembangkangannya melawan takdir dengan menginjak-injaknya di tepi
?danau hijau yang air segarnya meringankan penderitaannya; dan tidak juga di
antara ratusan kuda sempurna bagai dalam dongeng yang digambarkan bersama-sama
oleh enam atau tujuh miniaturis. Namun, masih ada waktu lebih dari sehari penuh
di depanku yang bisa kugunakan untuk memeriksa bukubuku lainnya di Ruang
Penyimpanan Harta. 2. Ada sebuah pernyataan tentang topik gunjingan yang bertahan lama di antara
para empu iluminator selama dua puluh lima tahun terakhir: Atas izin langsung
Sultan, seorang ilustrator memasuki Ruang Penyimpanan Harta yang terlarang ini,
menemukan buku yang luar bisaa, membukanya, dan dengan diterangi cahaya lilin
menyalin gambarnya ke dalam buku sketsa miliknya, misalnya saja kudakuda hebat,
pepohonan, gumpalan awan, bebungaan, tamantaman, burungburung, dan adegan perang
dan cinta, untuk digunakan kelak dalam karya-karyanya sendiri .... Ketika seorang
seniman "Sebutan untuk wi lay ah utara Afrika.
menciptakan sebuah karya yang menakjubkan dan luar bisa, kecemburuan memunculkan
gunjingan-gunjingan dari yang lainnya, yang merendahkan gambar tersebut tak
lebih sebagai karya orang Persia dari Tabriz. Pada zaman dahulu, Tabriz bukanlah
wilayah kekuasaan Utsmaniyah. Kala tuduhan seperti itu ditujukan padaku, aku
tentu saja merasa marah, meski diamdiam kurasakan pula sebuah kebanggaan. Namun,
ketika aku mendengar tuduhan yang sama tentang seniman lainnya, aku
memercayainya. Kini, aku dengan sedih menyadari bahwa dengan cara yang aneh kami
berempat, para miniaturis yang pernah memandangi buku ini dua puluh lima tahun
yang lalu, mencamkan semua gambar ini ke dalam ingatan kami dan sejak itu
mengingatnya, memindahkannya, mengubahnya, dan melukiskan mereka ke dalam
bukubuku Sultan kami. Jiwaku sekarat bukan karena kecurigaan yang berlebihan dan
tak berampun dari para sultan yang tak bersedia mengeluarkan bukubuku seperti
ini dari ruang hartanya dan memperlihatkannya pada kami, tetapi oleh sempitnya
dunia lukis melukis kami. Apakah itu melalui para empu agung Herat atau para
empu baru dari Tabriz, senimanseniman Persia telah membuat lebih banyak
ilustrasi yang luar bisaa, lebih banyak mahakarya, daripada kami orangorang
Utsmaniyah. Bagaikan sambaran halilintar yang menyentakkanku, betapa pantasnya jika selama
dua hari ke depan ini semua miniaturisku dan aku sendiri menjalani siksaan.
Dengan menggunakan ujung pena pisauku, dengan kejam aku mengikis gambar mata di
bawah tanganku di sebuah gambar yang terhampar di depanku. Ini adalah gambar yang menceritakan
cendekiawan Persia yang mempelajari permainan catur hanya dengan memandangi
seperangkat papan catur yang dibawa oleh seorang duta besar dari Hindustan,
sebelum mengalahkan sang empu Hindu itu dalam permainannya sendiri! Sebuah dusta
Persia! Satu persatu, aku mengikis gambar gambar mata para pemain catur itu dan
juga mata shah dan anakanak buahnya yang sedang menonton mereka. Membukabuka
kembali halamanhalaman buku itu, tanpa belas kasih aku juga mencungkili mata
para shah yang sedang bertempur tanpa ampun, mata para serdadu dari pasukan yang
sedang menjatuhkan lawan mereka, yang dilengkapi dengan baju zirah yang hebat,
dan juga dari kepala-kepala yang terpenggal bergeletakan di tanah. Setelah
melakukan hal yang sama pada tiga halaman lainnya, aku menyelipkan pisau penaku
kembali ke dalam selempangku.
Kedua tanganku gemetar, tetapi aku tidak merasa terlalu jahat. Apakah aku kini
merasakan apa yang dirasakan begitu banyak orang gila yang melakukan perbuatan
aneh yang sering kutemui selama lima puluh tahun masa pengabdianku sebagai
seorang pelukis" Aku tidak menginginkan apa-apa lagi selain darah mengalir deras
ke atas halamanhalaman buku ini, dari seganap mata yang telah kubutakan.
3. Hal ini membawaku pada siksaan dan penghiburan yang menantiku di pengujung
hayatku. Tidak ada bagian dari buku luar bisaa ini, yang diselesaikan Shah
Tahmasp dengan melecut senimanseniman Persia paling piawai selama sepuluh tahun,
memperlihatkan sentuhan pena Bihzad yang agung, dan penggambaran tangannya yang
sangat indah itu tidak ditemukan di mana-mana. Fakta ini menunjukkan bahwa
Bihzad sudah buta dalam tahuntahun terakhir hidupnya ketika ia melarikan diri
dari Herat ke Tabriz. Maka, sekali lagi aku dengan suka cita menyimpulkan bahwa
setelah ia mencapai kesempurnaan seorang empu tua dengan bekerja sepanjang
hayatnya, Bihzad membutakan dirinya sendiri agar ia tak menodai karya-karyanya
dengan kehendak bengkel seni atau shah lainnya.
Baru setelah itu, Hitam dan si cebol membuka sebuah buku tebal yang mereka bawa
dan meletakkannya di hadapanku. "Tidak, bukan yang ini," ujarku tanpa
bermaksud berbantahan. "Ini adalah Kitab Para Paja versi Mongol: Kudakuda besi
pasukan kavaleri Iskandar dengan baju zirah berisi nafta yang dinyalakan seperti
lentera, lalu bergerak melawan musuh dengan api memancar dari lubang hidung
kudakuda itu." Kami memandangi pasukan berbaju besi menyala yang ditiru dari lukisanlukisan
Cina. "Jezmi Agha," kataku, "kami menggambarkan dalam Catatan Peristiwa Suitan Seiim
hadiahhadiah yang dibawa para duta besar Shah Tahmasp dari Persia dua puluh lima
tahun yang lalu, yang juga diperlihatkan dalam buku ini
Dengan cepat ia menemukan Catatan Peristiwa
Suitan Seiim dan meletakkannya di hadapanku. Berpasangan dengan halaman yang
telah diwarnai dengan penuh semangat, yang memperlihatkan para duta besar
mempersembahkan Kitab Para Paja bersama
hadiahhadiah lainnya untuk Sultan Selim, di antara hadiahhadiah yang terdaftar
satu persatu mataku menemukan apa yang dahulu pernah kubaca, tetapi sudah
kulupakan karena begitu luar bisaa:
Jarum emas dengan gagang berhias batu pirus dan cangkang kerang yang digunakan
oieh seniman berbakat yang paling dihormati di Herat, Empu Segala Empu
Iluminator, Bihzad, untuk membutakan dirinya yang mulia.
Aku bertanya pada si cebol, di mana ia menemukan Catatan Peristiwa Suitan Seiim.
Aku membuntutinya melewati kegelapan Ruang Penyimpanan Harta yang berdebu, jalan
yang berkelok-kelok di antara petipeti, tumpukan pakaian dan karpet,
lemarilemari dan kolong-kolong tangga. Kuperhatikan betapa bayanganbayangan kami
kini mengecil, lalu membesar, menyelusup di antara tirai-tirai, gading-gading
gajah, dan kulit-kulit harimau. Di salah satu kamar penghubung, yang juga
membisakan warna merah ganjil yang sama dari kain dan beludru, di samping peti
besi tempat disimpannya Kitab Para Paja, di antara bukubuku lainnya, lembaran
lembaran kain yang dibordir benang emas dan perak, batu dari Srilanka yang masih
kasar dan belum digosok, dan belati-belati bertatahkan batu merah delima, aku
melihat hadiahhadiah lainnya yang dikirimkan Shah Tahmasp: karpetkarpet sutra
dari Isfahan, sebuah kotak permainan catur dari gading, dan sebuah benda yang
langsung menyedot perhatianku sebuah kotak pena berhias gambar naga dan ?dahandahan pohon khas Cina, dan hiasan berbentuk bunga mawar berhias kulit
kerang dari zaman Timurleng. Aku membuka wadah itu dan wangi lembut dari kertas
yang terbakar dan air mawar meruap
keluar dari kotak itu. Di dalamnya terletak jarum emas dengan gagang bertatahkan
batu pirus dan cangkang kerang yang bisaa digunakan untuk melekatkan tanda
kehormatan pada turban. Aku meraih jarum itu dan kembali ke tempatku secepat
hantu. Mengapa Shah Tahmasp mengirimkan jarum yang menakutkan ini bersama buku yang ia
persembahkan kepada Sultan Selim" Apakah karena Shah ini yang menjadi murid
Bihzad pada masa kecilnya dan menjadi pelindung para seniman di masa mudanya,
telah berubah di masa tuanya dengan menjauhkan para penyair dan seniman dari
lingkaran dalamnya, dan sepenuhnya mengabdikan dirinya pada keimanan dan ibadah"
Apakah dengan alasan ini ia bersedia melepaskan buku luar bisaa ini, sebuah buku
yang merupakan hasil kerja keras para empu besar selama lebih dari sepuluh
tahun" Apakah ia mengirimkan jarum ini agar semua orang mengetahui betapa sang
seniman besar telah membutakan dirinya sendiri, atau karena apa yang telah
menjadi gunjingan selama beberapa waktu bahwa siapa pun yang memandangi
halamanhalaman buku ini meski hanya sekali, tidak akan lagi berkeinginan melihat
apa pun di dunia ini" Mungkin juga buku ini tidak lagi dianggap sebuah mahakarya
oleh sang Shah yang merasakan sebuah penyesalan yang pedih, rasa takut bahwa ia
telah melakukan penistaan melalui kecintaan masa mudanya pada lukisan,
sebagaimana yang terjadi dengan beberapa penguasa di masa tua mereka.
Aku teringat kisahkisah yang diceritakan oleh para illuminator dengki yang
menjadi tua dengan menyadari bahwa mimpimimpi mereka tak akan pernah terwujud:
Ketika bala tentara penguasa Kambing hitam, Jihan Shah,
bersiap memasuki Shiraz, Ibnu Husam, Kepala Iluminator kota legendaris itu
menyatakan, "Aku menolak melukis dengan cara lain," dan ia meminta muridnya
membutakan matanya dengan sebilah besi panas. Di antara para miniaturis yang
dibawa oleh tentara Sultan Selim si Muka Masam kembali ke Istanbul setelah
mengalahkan Shah Ismail, merebut Tabriz, dan menjarah Istana Tujuh Surga,
terdapat seorang empu tua Persia yang menurut gunjingan telah membutakan diri
dengan obat-obatan, karena ia yakin bahwa ia tidak akan pernah mampu melukis
dengan gaya Utsmaniyah bukan kebutaan yang disebabkan oleh sebuah penyakit yang
?ia derita dalam perjalanan sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian orang.
Untuk memberi contoh pada mereka, aku kerap bercerita pada
iluminatoriluminatorku saat mereka mengalami frustasi, bagaimana Bihzad
membutakan dirinya sendiri.
Apakah tidak ada jalan lain" Andai seorang empu miniaturis menggunakan beberapa
metode baru di mana-mana, di tempattempat yang berbeda-beda, tak dapatkah ia
menyelamatkan seluruh bengkel seni dan gaya para empu tua, meskipun hanya
sedikit saja" Terdapat sebercak noda gelap di ujung paling runcing jarum yang indah itu, meski
mata lelahku tak mampu memastikan apakah noda itu darah atau bukan. Seraya
menurunkan lensa pembesar, seakanakan memandangi sebuah gambar cinta yang sedih
diiringi rasa sayu, aku mengamati jarum itu cukup lama. Aku lelah membayangkan
bagaimana Bihzad melakukannya. Aku mendengar bahwa orang tidak bisa langsung
buta begitu saja; kegelapan yang laksana beludru itu turun perlahanlahan,
terkadang terjadi setelah berharihari,
terkadang setelah berbulan-bulan, sebagaimana para manula yang menjadi buta
secara alamiah. Aku menangkap bayangan sesuatu ketika melintas ke kamar berikutnya. Aku berdiri
dan memandanginya, ya, itu adalah sebuah cermin gading dengan pegangan berulir
dan bingkai kayu hitam yang tebal, bagian panjangnya dihiasi tulisan begitu
indah. Aku duduk kembali dan menatap mataku sendiri. Betapa indahnya lidah api
dari lilin yang menari-nari di bola mataku yang telah menyaksikan tanganku ?melukis selama enam puluh tahun.
"Bagaimanakah Empu Bihzad melakukannya?" aku bertanya pada diriku sendiri sekali
lagi, Tanpa pernah sekalipun memalingkan mata dari cermin, dengan gerakan-gerakan
terlatih seorang perempuan yang membubuhkan pemulas mata di kelopak matanya,
tanganku menemukan jarum itu bergerak dengan sendirinya, Tanpa bimbang dan ragu,
seakanakan sedang membuat lubang di ujung sebutir telur burung unta yang akan
segera dihias, dengan gagah berani, tenang dan mantap, aku menusukkan jarum itu
ke bola mata kananku. Jeroanku seakan melesak, bukan karena aku merasakan apa
yang sedang kulakukan, melainkan karena aku menyaksikan apa yang sedang
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kukerjakan. Aku mendorong masuk jarum itu ke dalam mataku hingga seperempat
panjang jari, lalu mencabutnya. Dalam sebait puisi yang terpatri dalam bingkai
cermin itu, sang penyair mengharapkan keindahan abadi dan kebijaksaan bagi semua
yang mengamatinya dan kehidupan yang abadi bagi cermin itu sendiri.
?Dengan tersenyum, aku melakukan hal yang sama pada mata kiriku.
Selama beberapa saat aku tidak bergerak. Aku
memandangi dunia ini memandangi segalanya.
Seperti yang kukira, warnawarni dunia ini tidak menjadi semakin gelap, melainkan
membaur dengan sedemikian lembutnya. Aku melihatnya tepat seperti itu, tak lebih
dan tak kurang. Cahaya pucat matahari jatuh ke atas kain merah dan merah kirmizi di Ruang
Penyimpanan Harta. Dengan upacara yang bisaa dilakukan, Kepala Bendahara dan
para anak buahnya membuka segel, lalu membuka kunci dan pintu. Jezmi Agha
mengganti pispot kamar, lampu-lampu dan tungku pemanas, lalu membawa masuk roti
segar dan buah mulberi kering, serta mengumumkan pada yang lain bahwa kami akan
meneruskan pencarian terhadap kudakuda yang dilukis dengan lubang hidung aneh di
dalam bukubuku milik Sultan. Apakah yang lebih menyenangkan daripada memandangi
lukisanlukisan terindah di dunia seraya berusaha mengingat pandangan Tuhan
terhadap dunia"[] Bab 52 aku dinamai hitam KETIKA KEPALA Bendahara dan para petugas membuka gerbang dengan upacara agung,
mataku sudah terbiasa pada aura merah beludru di kamar-kamar di dalam Ruang
Penyimpanan Harta, sehingga cahaya matahari musim dingin dini hari yang
menyelinap masuk dari halaman Daerah Pribadi Istana Enderun tampak begitu
mengerikan. Aku berdiri terpaku, seperti halnya Tuan Osman: Jika aku bergerak,
seakanakan semua jejak yang kami cari di tengah udara Ruang Penyimpanan Harta
yang berdebu, berbau apak, dan bisa dirasa itu akan lenyap.
Dengan sorot mata penasaran bercampur kagum, seperti seseorang yang melihat
sebuah benda menakjubkan untuk pertama kalinya, Tuan Osman memandangi cahaya
yang memancar turun ke arah kami dari sela-sela kepala para petugas Ruang
Penyimpanan Harta yang berjajar rapi di masingmasing sisi gerbang yang terbuka.
Malam sebelumnya, aku mengawasinya saat ia membukabuka halamanhalaman Kitab Para
Paja, Kuperhatikan raut wajah takjub yang sama terbersit di wajahnya saat
bayangannya memantul di dinding, bergetar lembut, kepalanya perlahan menunduk ke
arah lensa pembesarnya, dan bibirnya bergerak-gerak lembut, seakanakan sedang
mempersiapkan diri untuk mengungkap sebuah rahasia yang menyenangkan, lalu tersentak sambil memandang
kagum sebuah ilustrasi. Setelah gerbang itu ditutup kembali, aku berjalan hilir mudik tak sabar ke
berbagai kamar dengan lebih gelisah. Dengan gundah aku memikirkan bahwa kami
tidak akan mempunyai cukup waktu untuk memilah-milah keterangan dari bukubuku di
Ruang Penyimpanan Harta ini. Aku merasa betapa Tuan Osman tidak bisa memusatkan
perhatian dengan baik pada apa yang tengah dilakukannya, dan aku mengakui
keraguanku terhadapnya. Layaknya seorang empu sejati yang terbiasa mengeluselus muridnya, ia memegangi
tanganku dengan begitu lembut. "Orangorang seperti kita tidak memiliki pilihan
lain selain berusaha melihat isi dunia ini sebagaimana cara pandang Tuhan dan
memasrahkan diri pada keadilan-Nya," ujarnya. "Dan di sini, di antara semua
gambar dan harta benda ini, aku merasakan sebuah sensasi kuat bahwa kedua hal
ini mulai berpadu: Saat kita mendekati cara pandang Tuhan terhadap dunia ini,
keadilan-Nya mendekati kita. Lihatlah ini, jarum yang digunakan Tuan Bihzad
untuk membutakan matanya sendiri
Tuan Osman dengan dingin menceritakan kisah tentang jarum itu, dan aku memeriksa
ujung runcing benda mengerikan di balik kaca pembesar yang ia turunkan agar aku
bisa melihatnya lebih jelas; selapis warna merah muda menutupi ujung jarum itu.
"Para empu zaman dahulu," ujar Tuan Osman, "akan mengalami siksaan rasa bersalah
dalam mengubah bakat, warna, dan metode mereka. Mereka menganggap hina bila
suatu hari nanti harus melihat dunia seperti yang diperintahkan oleh seorang
shah Timur, lalu kemudian
menurut yang diperintahkan oleh seorang penguasa Barat seperti yang dilakukan ?oleh senimanseniman masa kini."
Matanya tidak sedang mengamati atau mempelajari halamanhalaman di hadapannya.
Sepertinya ia sedang memandangi sebentuk warna putih yang tak mungkin diraihnya
di kejauhan. Pada selembar halaman Kitab Para Paja yang terbentang di
hadapannya, bala tentara Persia dan Turania sedang bertempur dengan segenap
kekuatan mereka. Berbarengan dengan kudakuda yang saling beradu bahu, para
kesatria yang gagah perkasa menghunus pedangpedang mereka dan saling membantai
dengan warnawarni dan kesemarakan sebuah pesta raya, baju-baju zirah mereka
terkoyak oleh lembing-lembing pasukan berkuda lawan, kepala dan tangan mereka
terpisah dari tubuh mereka, tubuhtubuh yang terencah atau terbelah dua terserak
di mana-mana. "Ketika para empu agung masa lalu dipaksa mengikuti gaya kaum pemenang dan
meniru miniaturis-miniaturis mereka, mereka mempertahankan kehormatan mereka
dengan berani menggunakan sebatang jarum untuk menjemput kebutaan yang akan
menimpa mereka karena kerja keras dalam waktu lama. Ya, sebelum kemurnian
kegelapan Tuhan luruh di mata mereka bagaikan sebuah hadiah dari Tuhan, mereka
akan menatap sebuah mahakarya tanpa henti selama berjam-jam atau bahkan
berharihari, dan karena mereka dengan keras kepala menatapnya dengan kepala
tertunduk, makna dan dunia lukisanlukisan itu yang ternoda darah yang menetes
?dari mata mereka akan mengambil alih seluruh rasa sakit yang mereka derita,
?seiring mata mereka yang perlahanlahan memburam menjelang kebutaan, meredup
dalam damai. Tahukah kau ilustrasi mana yang ingin kusaksikan hingga aku sampai
pada kegelapan ilahiah dari sebentuk kebutaan?"
Seperti seorang lelaki yang berusaha mengingat kembali kenangan masa kecilnya,
ia memusatkan pandangannya, kedua bola matanya menciut dan bagian putihnya
melebar, mengarah ke sebuah tempat yang jauh di balik dindingdinding Ruang
Penyimpanan Harta. "Adegan yang digambarkan dengan gaya para empu Heart zaman dahulu, di mana
HCisrev yang terbakar asmara mengendarai kudanya menuju kaki bukit istana musim
panas Shirin, dan menunggu!"
Mungkin kini ia akan terus menceritakan lukisanlukisan itu seperti sedang
membacakan sebuah puisi muram yang memuja kebutaan para empu zaman dulu. "Empu
agungku, tuanku," dengan getaran yang aneh aku menyelanya, "yang ingin kutatap
selamanya adalah wajah lembut kekasihku. Sudah tiga hari sejak kami menikah. Aku
telah mendambakannya selama dua belas tahun. Adegan saat Shirin jatuh cinta pada
Husrev setelah memandangi gambar lelaki itu mengingatkanku hanya pada dia
seorang." Tersirat ekspresi yang amat kuat di wajah Tuan Osman, mungkin rasa penasaran,
tetapi sepertinya itu tidak ada hubungannya dengan kisahku atau dengan adegan
berdarah di hadapannya. Ia tampak seperti sedang menantikan kabar baik yang akan
membuatnya merasa tenang. Ketika aku telah yakin bahwa ia tidak sedang
memandangiku, dengan cepat aku menyambar jarum itu dan beranjak pergi.
Di bagian yang gelap dari sepertiga Ruang Penyimpanan Harta itu, yang
berdampingan dengan ruang
pemandian, terdapat sebuah sudut yang dipenuhi oleh ratusan jam aneh yang
Lentera Iblis 2 Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi Serba Hijau 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama