My Name Is Red Karya Orhan Pamuk Bagian 11
dikirim sebagai hadiah dari raja-raja Frank dan para pemimpin dunia. Saat
bendabenda itu telah berhenti bekerja, sebagaimana yang bisaanya terjadi dalam
jangka waktu singkat, mereka disisihkan ke tempat ini. Dengan masuk ke kamar
ini, aku bisa memeriksa dengan saksama jarum yang menurut Tuan Osman digunakan
Bihzad untuk membutakan matanya sendiri.
Diterangi semburat cahaya merah yang menyelusup masuk dan memantul pada wadahwadah, permukaan kristal, dan berlian dari jam-jam yang sudah rusak dan berdebu,
ujung berlapis emas jarum yang berselimut sejenis cairan berwarna merah muda ini
terkadang tampak berkilau. Sungguhkah Empu Bihzad yang legendaris itu benarbenar
membutakan diri dengan alat ini" Apakah Tuan Osman telah melakukan hal
mengerikan yang sama pada dirinya sendiri" Raut wajah sosok seorang Maroko
berukuran sejari dan dilukis berwarnawarni yang terpasang pada mesin salah satu
jam berukuran besar itu tampak seperti berkata, "Ya!" Terbukti, ketika jam itu
bekerja, lelaki yang mengenakan turban Utsmaniyah ini akan dengan senang hati
mengangguk-anggukkan kepalanya seiring dentang jam sebuah gurauan kecil yang ?menjadi bagian hadiah kiriman raja Hapsburg dan pembuat jamnya yang terampil,
untuk menghibur Sultan kami dan para perempuan dalam harem beliau,
Aku melihat selintas bukubuku yang bisaa-bisaa saja: Seperti yang diamini oleh
si cebol, bukubuku ini dulunya merupakan milik para pasha yang harta bendanya
disita setelah mereka dipenggal. Begitu banyak pasha yang telah dihukum mati
sehingga bukubuku ini tak terhitung
jumlahnya, Dengan riang, si cebol menyatakan bahwa ada pula pasha yang terlalu
terbuai oleh kekayaan dan kekuasaannya sendiri sehingga melupakan bahwa ia
adalah hamba sang sultan, dan mereka memerintahkan pembuatan buku untuk
kebanggaan mereka sendiri, dihiasi dengan lembaran emas, seakanakan ia adalah
seorang raja atau shah. Mereka ini pantas dihukum mati dan harta bendanya
disita. Bahkan dalam bukubuku ini, yang sebagian di antaranya merupakan album
gambar, manuskrip bergambar, atau kumpulan puisi yang diberi ilustrasi, setiap
kali menemukan sebuah ilustrasi yang menggambarkan Shirin jatuh cinta pada
lukisan HCisrev, aku berhenti dan tercenung memandanginya.
Gambar di dalam gambar, itulah dia, gambar HCisrev yang ditemukan Shirin saat
dia sedang berjalan-jalan ke pinggiran kota, tak pernah digambarkan dengan
rinci. Bukan karena sang miniaturis tidak cukup mampu melukiskan sesuatu yang
sedemikian kecil sebagian di antara mereka memiliki kepiawaian dan kemahiran ?melukis di atas kuku, butiran padi, atau bahkan sehelai rambut. Kalau begitu,
mengapa mereka tidak menggambarkan wajah dan sosok HCisrev sasaran cinta
?Shirin secara rinci, agar ia bisa dikenali" Suatu kali di siang hari, mungkin
?untuk melupakan keputusasaanku, dan tengah berpikir bahwa aku hendak melontarkan
pertanyaan-pertanyaan tertentu pada Tuan Osman, saat membolak-balik album gambar
tak beraturan yang kutemui, aku terpana oleh gambar seekor kuda dalam sebuah
lukisan tentang upacara arak-arakan pengantin perempuan yang dibuat di atas
sehelai kain. Jantungku berdegup kencang.
Di hadapanku terpampang seekor kuda dengan lubang
hidung yang aneh sedang membawa seorang pengantin perempuan yang genit. Hewan
itu memandangiku yang berada di luar gambar. Kuda itu seperti seekor kuda ajaib
yang seolaholah akan membisikkan rahasia padaku. Seakanakan di dalam mimpi, aku
ingin sekali menjerit, tetapi suaraku terbungkam.
Dalam sebuah gerakan yang berkesinambungan, aku mengangkat album itu dan berlari
di antara bendabenda dan petipeti menuju Tuan Osman. Lalu kubentangkan di
hadapannya. Ia memandang ke bawah, ke arah lukisan itu.
Ketika kulihat tak ada percikan cahaya di wajahnya yang menandakan ia mengenali
sesuatu dari lukisan itu, aku menjadi amat penasaran. "Lubang hidung kuda itu
persis sama dengan yang dibuat untuk buku Enishteku," seruku.
Tuan Osman merendahkan lensa pembesarnya ke arah kuda. Ia membungkuk begitu
dalam, mendekatkan matanya ke arah lensa dan gambar itu, hingga hidungnya nyaris
menyentuh lembaran gambar tersebut.
Aku tidak tahan untuk berdiam diri. "Seperti yang Anda lihat, ini bukan seekor
kuda yang dibuat dengan gaya dan metode penggambaran kuda untuk buku Enishteku,"
ujarku, "tetapi hidungnya persis sama. Sang seniman berusaha melihat dunia
sebagaimana yang dilihat orangorang Cina." Aku terdiam. "Ini adalah
sebuahupacara arak-arakan pernikahan. Gambar ini seperti lukisan Cina, tetapi
sosok-sosoknya bukan orangorang Cina, mereka adalah orangorang kita."
Lensa sang empu tampaknya sudah lekat pada halaman itu, dan hidungnya pun telah
menempel pada lensa itu. Untuk bisa melihat gambar itu, ia tidak hanya
menggunakan matanya, melainkan juga kepalanya, otot-otot lehernya, punggung
tuanya, dan bahu-bahunya, dengan mengerahkan semua kekuatannya. Hening,
"Lubang-lubang hidung kuda itu terpotong," sahutnya kemudian, nyaris tanpa
bernapas, Aku menyandarkan kepalaku ke kepalanya. Dengan pipi beradu, kami memandangi
sepasang lubang hidung itu dalam waktu cukup lama. Aku menyadari dengan sedih
bahwa bukan hanya cuping hidung kuda itu terpotong, tetapi Tuan Osman mengalami
kesulitan dalam melihatnya.
"Anda betul-betul melihatnya, bukan?"
"Hanya sedikit saja," jawabnya. "Ceritakan gambar
itu." "Jika Anda memintaku, ini adalah gambar seorang pengantin perempuan yang muram,"
kataku dengan sedih. "Dia menunggangi seekor kuda kelabu dengan lubang hidung
yang terpotong. Dia sedang dalam perjalanan ke tempat pernikahannya diiringi
dayangdayang dan pengawalan beberapa orang yang tampaknya orangorang asing
baginya. Wajah para pengawal itu, raut kasar mereka, janggut hitam yang
menyeramkan, alis mata yang berkerut, kumis yang panjang dan tebal, tubuh yang
besar, jubah atau pakaian tipis sederhana, sepatu-sepatu yang tipis,
penutupkepala yang terbuat dari bulu beruang, kapak perang, dan pedangpedang
scimitar mereka menandakan bahwa mereka adalah orangorang Kambing putih dari
Transoxiana. Mungkin pengantin jelita ini yang tampaknya sedang menempuh ?perjalanan panjang berdasarkan fakta bahwa dia bepergian bersama
dayangdayangnyadi malam hari dengan lampu-lampu minyak dan obor adalah seorang
putri Cina yang pemurung."
"Atau mungkin saat ini kita hanya memikirkan bahwa pengantin ini seorang putrid
Cina karena si miniaturis, untukmenekankan keindahannya yang tak bercacat,
memutihkan wajahnya seperti yang dilakukan oleh para pelukis Cina, dan juga
memberinya mata yang sipit," sahut Tuan Osman.
"Siapa pun perempuan ini, aku merasa pilu melihat si cantik yang sedih ini
melintasi padang rumput di tengah malam ditemani pengawal-pengawal berwajah
seram, menuju tanah asing dan seorang suami yang belum pernah dijumpainya,"
sahutku. Lalu aku segera menambahkan, "Bagaimana kita bisa memastikan siapa
miniaturisnya dari lubang hidung terpotong kuda yang ditunggangi perempuan ini?"
"Bukalah halaman album itu dan katakan padaku apa yang kaulihat," titah Tuan
Osman. Saat itulah, kami bergabung dengan si cebol yang sebelumnya kulihat sedang duduk
di atas pispot kamar saat aku berlari membawa buku itu kepada Tuan Osman. Kami
bertiga memandangi halaman itu bersama-sama.
Kami memandangi gadis-gadis Cina yang kecantikannya amat memesona digambarkan
dengan gaya pengantin perempuan kami yang muram sedang berkumpul di sebuah taman
memainkan sebuah kecapi yang kelihatannya aneh. Kami melihat rumahrumah Cina,
kafilah-kafilah yang tampak muram yang sedang melakukan perjalanan panjang,
pemandangan-pemandangan padang rumput yang seindah kenangan masa lalu. Kami
melihat pepohonan yang saling membelit digambarkan dengan gaya Cina, bungabunga
musim seminya tampak bermekaran, dan burungburung bulbul yang bertengger
riang di dahandahannya. Kami melihat pangeran-pangeran bergaya Khurasan duduk di
dalam tenda mereka merayakan puisi, anggur, dan cinta; tamantaman yang
menakjubkan; dan bangsawan bangsawan tampan dengan burungburung rajawali yang
perkasa bertengger di lengan mereka, dengan anakanak panah siap digunakan untuk
berburu, dan duduk mengangkangi kudakuda mereka yang hebat. Lalu, seakanakan ada
Iblis yang melintasi halamanhalaman buku itu; kami bisa merasakan bahwa setan di
dalam ilustrasiilustrasi kerap adalah nalar itu sendiri. Apakah sang miniaturis
telah menambahkan sentuhan ironi pada aksi kepahlawan sang pangeran yang
membantai naga dengan tombak raksasanya" Apakah ia bersuka cita atas kemiskinan
para petani malang yang mengangankan kedamaian dari Syekh yang berada di tengah
tengah mereka" Apakah lebih menyenangkan bagi si miniaturis untuk melukiskan
mata sedih dan hampa anjinganjing yang terjebak dalam persetubuhan atau
membubuhkan semburat merah mengerikan di mulut-mulut terbuka para perempuan yang
menertawakan hewan-hewan itu" Kemudian kami melihat setan setan milik miniaturis
itu sendiri: Sosoksosok ganjil ini menyerupai jin dan raksasa yang sering
digambarkan para empu tua Herat dan para seniman yang mengerjakan Kitab Para
Paja, Tetapi, bakat mengejek sang miniaturis membuat sosok setan itu menjadi
lebih sinis, agresif, dan menyerupai bentuk manusia. Kami tertawa menyaksikan
setan-setan yang menakutkan ini, seukuran manusia yang tubuhnya tak karuan,
dengan tanduk bercabang dan ekor yang seperti ekor kucing. Saat aku membalikkan
halaman, setan-setan telanjang dengan alis mata bagaikan semak belukar, muka
bundar, mata bengkak, gigi runcing, kuku tajam, dan kulit berkerut yang berwarna
gelap seperti kulit seorang kakek tua itu mulai saling memukul dan bergulat
untuk bisa mencuri seekor kuda yang bagus dan mengorbankannya kepada dewa
mereka. Mereka juga bertarung untuk bisa melompat dan bermain, untuk merubuhkan
pepohonan, untuk menculik putriputri cantik dari dalam tandu mereka, dan untuk
menangkap naga-naga dan karung-karung harta. Aku menyebutkan bahwa dalam buku yang telah mendapat sentuhan begitu banyak kuas yang berbedabeda ini, sang miniaturis dikenal sebagai Pena Hitam, yang membuat gambar para
setan, juga yang menggambarkan sepasang darwis dari sekte Kalenderi yang
kepalanya botak, berpakaian compang camping, dengan rantai besi dan benda benda
lainnya, dan Tuan Osman menyuruhku mengulangi satu persatu kesamaan mereka
seraya menyimak baikbaik apa yang kukatakan.
"Cuping-cuping hidung yang terpotong dimaksudkan agar mereka bernapas lebih
mudah dan berjalan lebih jauh. Ini adalah adat kebisaaan kaum Mongol yang sudah
berlangsung satu abad," katanya kemudian. "Bala tentara Hulagu Khan menaklukkan
Arabia, Persia, dan Cina dengan kudakuda mereka. Ketika mereka memasuki Baghdad,
mereka membantai penduduknya, menjarah dan melemparkan semua buku di kota itu ke
Sungai Tigris. Seperti yang kita ketahui, penulis kaligrafi ternama yang
kemudian menjadi iluminator, yakni Ibnu Shakir, melarikan diri dari kota dan
pembantaian itu menuju utara melalui jalan yang sebelumnya dilewati tentara
berkuda Mongol ketika tiba di kota itu, bukan ke selatan seperti orangorang
lain. Pada masa itu tidak ada seorang pun yang membuat ilustrasi karena Alquran
melarangnya dan para pelukis menanggapinya dengan serius. Kita berutang rahasia rahasia besar
dari pekerjaan mulia kita itu pada Ibnu Shakir, orang suci panutan dan empu dari
semua miniaturis: pandangan dunia ini dari sebuah menara masjid, ketepatan garis
cakrawala apakah terlihat atau tidak terlihat, dan penggambaran semua benda,
dari gumpalan awan hingga serangga-serangga, seperti orang Cina membayangkannya,
dalam warnawarna yang memikat, hidup, dan optimis. Aku pernah mendengar bahwa ia
mempelajari lubang-lubang hidung kuda untuk membuatnya tetap bergerak ke utara
selama perjalanan legendaris memasuki jantung negeri bangsa Mongol. Namun,
sepanjang yang kulihat dan kudengar, tak seekor kuda pun yang ia gambarkan
terpotong di Samarkand, di mana ia sampai setelah berjalan kaki selama setahun
tanpa takut menghadapi hujan salju dan cuaca yang amat kejam, Menurutnya,
kudakuda khayal yang sempurna bukanlah yang kuat dan bertenaga atau kudakuda
hebat kaum Mongol yang ia ketahui di masa dewasanya, melainkan kudakuda Arab
yang indah yang dengan sedih ia tinggalkan di masa mudanya. Itu sebabnya bagiku
hidung aneh yang dibuat untuk buku Enishte Effendi tidak mengingatkanku pada
kudakuda Mongol atau adat kebisaaan Mongol yang tersebar luas ke Khurasan dan
Samarkand." Saat ia berbicara, Tuan Osman memandangi berkali-kali buku itu, kemudian
memandangi kami, seakanakan hanya itu yang bisa ia munculkan dalam mata
batinnya. "Selain kudakuda dengan hidung terpotong dan lukisan Cina, setan-setan
di dalam buku ini adalah hal lain yang dibawa orangorang Mongol ke Persia dan
kemudian hingga ke Istanbul. Kau mungkin pernah mendengar
bagaimana setan setan ini adalah wakil iblis yang dikirimkan lewat kekuatan
kegelapan dari bawah tanah untuk merampas kehidupan manusia dan apa pun yang
kita anggap berharga, dan bagaimana mereka membungkuk menggendong kita menuju
dunia bawah tanah mereka yang gelap dan maut. Dalam dunia bawah tanah ini,
segalanya, entah itu awan, pohon, bendabenda, anjing atau buku, memiliki roh dan
berbicara." "Ya, memang begitulah," ujar si cebol tua. "Dengan Allah sebagai saksiku,
beberapa malam ketika aku dikurung di dalam sini, tidak hanya hantu-hantu jam,
piring-piring Cina, dan mangkuk-mangkuk kristal yang terusmenerus berbunyi,
melainkan juga roh dari senapan-senapan, pedang, tameng, dan topi-topi baja yang
bernoda darah menjadi gelisah dan mulai bercakap-cakap dengan ribut sehingga
Ruang Penyimpanan Harta ini menjadi arena pertempuran kiamat."
"Para darwis Kalenderi, yang gambarnya pernah kita lihat, membawa kepercayaan
ini dari Khurasan ke Persia, dan kemudian sampai ke Istanbul," ujar Tuan Osman.
"Ketika Sultan Selim si Muka Masam menjarah Istana Tujuh Surga setelah
mengalahkan Shah Ismail, Bediuzzaman Mirza seorang keturunan Timurleng ?mengkhianati Shah Ismail, dan bersama orangorang Kalenderi yang merupakan para
pengikutnya, bergabung dengan orangorang Utsmaniyah. Di dalam kereta Sultan
Selim, saat ia kembali melintasi salju musim dingin ke Istanbul, terdapat dua
orang istri Shah Ismail yang ia bawa melalui Chaldiran. Mereka adalah perempuan
perempuan jelita berkulit putih dan bermata sipit serupa kacang almond, dan
bersama mereka dikirimkan juga
bukubuku yang disimpan di dalam perpustakaan Istana Tujuh Surga, bukubuku yang
ditinggalkan oleh empu-empu Tabriz sebelumnya, kaum Mongol, kaum Inkhaniyah,
Jelayiriyah dan orangorang Kambing hitam, dan dibawa sebagai barang jarahan oleh
shah yang dikalahkan dari Uzbek, Persia, dan Timuriyah. Aku akan membaca
bukubuku ini sampai Sultan kita dan Kepala Bendahara memindahkanku dari sini."
Kini matanya menunjukkan tiadanya arah pandangan yang bisaa dilihat pada orang
buta. Ia memegangi kaca pembesar bergagang cangkang kerangnya lebih karena
kebisaaan daripada untuk digunakan mengamati. Kami terdiam. Tuan Osman meminta
agar si cebol, yang menyimak seluruh cerita yang terdengar seperti kisah pilu
itu, untuk sekali lagi mencari dan membawakannya sebuah buku yang jilidnya ia
jelaskan dengan rinci. Saat si cebol itu kembali menjauh, dengan naif aku
bertanya pada empuku, "Kalau begitu, siapa yang bertanggung jawab atas ilustrasi
kuda di dalam buku Enishteku?"
"Kedua kuda yang dipermasalahkan memiliki lubang hidung yang terpotong,"
sahutnya, "dengan mengabaikan apakah lukisan itu dibuat di Samarkand atau,
sebagaimana yang kukatakan, di Transoxiana, kuda yang kautemukan di album ini
digambarkan dalam gaya Cina. Sementara itu, kuda yang amat indah di dalam buku
Enishtemu dibuat dengan gaya Persia seperti kudakuda hebat yang digambarkan oleh
para empu Herat. Tentu saja, ini adalah sebuah ilustrasi indah yang sulit
ditemukan tandingannya di mana pun! Ini adalah seekor kuda yang berasal dari
kemahiran seniman, bukan seekor kuda Mongol."
"Tetapi lubang hidungnya terpotong seperti seekor
kuda Mongol asli," ucapku lirih.
"Tampaknya dua ratus tahun yang lalu, ketika kaum Mongol mundur dan kekuasaan
Timurleng dan keturunannya berawal, salah satu di antara empu tua Herat
menggambarkan seekor kuda indah dengan cuping-cuping hidung yang memang
terpotong dipengaruhi oleh kuda Mongol yang dilihatnya atau oleh miniaturis ?lain yang pernah menggambar seekor kuda Mongol dengan cuping hidung terpotong,
Tak seorang pun yang tahu pasti di halaman mana buku yang mana dan yang dibuat
untuk shah manakah gambar itu dibuat. Namun, aku yakin bahwa buku dan gambar itu
sangat dipuja dan dikagumi siapa tahu, mungkin oleh salah satu perempuan
?kesayangan sultan di harem dan bahwa mereka adalah sebuah legenda di suatu
?masa! Aku juga merasa yakin bahwa untuk alasan inilah para miniaturis kebanyakan
saling mengomel dengan iri, menjiplak kuda ini, dan menggandakan lukisannya.
Dengan cara ini, kuda yang hebat dengan cuping hidung seperti itu perlahanlahan
menjadi sebuah model yang terekam kuat di benak para seniman di bengkel kerja
tersebut. Beberapa tahun kemudian, setelah penguasa mereka dikalahkan dalam
suatu peperangan, pelukis-pelukis mereka, seperti perempuan perempuan murung
yang digiring ke harem lain, menemukan shah-shah baru dan para pangeran baru di
negerinegeri yang baru, dan menyimpan dalam ingatan mereka gambar kudakuda yang
cuping hidungnya terpotong. Mungkin di bawah pengaruh gaya para empu yang
berbeda di bengkel seni yang berbeda pula, banyak seniman yang tidak menggunakan
atau perlahanlahan melupakan gambar tak bisaa yang tetap tersimpan di salah satu
sudut ingatan mereka. Yang lainnya, di bengkel seni baru yang mereka ikuti, tidak hanya
menggambarkan kuda berhidung terpotong dengan eloknya, mereka juga mengajari
murid-murid yang tampan untuk melakukan hal yang sama dengan dorongan bahwa
'beginilah empu-empu zaman dulu melakukannya.' Dengan demikian, setelah kaum
Mongol dan kuda-kudanya yang gagah berani mundur dari tanah Persia dan Arab,
bahkan setelah berabadabad kehidupan baru dibangun dalam kotakota yang telah
terbakar dan porak poranda, sebagian pelukis terus menggambar kuda dengan cara
ini, dengan menyadari bahwa itu adalah sebuah bentuk yang lazim. Aku juga merasa
yakin bahwa para pelukis lain yang masih belum menyadari penaklukan pasukan
berkuda Mongol dan terpotongnya hidung kudakuda jantan mereka, menggambar kuda
seperti yang bisaa kita lakukan di bengkel kerja kita, dan berkeras bahwa ini
adalah sebuah bentuk baku."
"Tuan," kataku, terselimuti oleh rasa kagum yang membuncah, "seperti yang kita
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harapkan, 'metode pelacur' Anda benarbenar menghasilkan sebuah jawaban.
Tampaknya setiap seniman memiliki tanda tangan tersembunyi masingmasing."
"Tidak setiap seniman, melainkan setiap bengkel seni," ujarnya dengan bangga.
"Dan bahkan tidak setiap bengkel seni. Dalam beberapa bengkel seni tertentu yang
keadaannya menyedihkan, seperti juga dalam keluarga-keluarga sengsara tertentu,
semua orang berbicara dengan suara yang berbeda selama bertahuntahun tanpa
menyadari bahwa kebahagiaan datang dari keselarasan dan pada
gilirannyakeselarasan akan menjadi kebahagiaan. Sebagian pelukis berusaha
membuat ilustrasi seperti orang Cina, sebagian seperti orang Turki, dan sebagian lagi
seperti yang mereka lakukan di Shiraz, yang pada akhirnya membuat mereka
berselisih selama bertahuntahun, dan tidak pernah mencapai kebersamaan yang
membahagiakan seperti sepasang suami istri yang tidak puas."?Aku melihat kebanggaan yang jelas terpancar di wajahnya, terbersit seorang
lelaki yang ingin berkuasa kini menggantikan sosok lelaki tua pemurung yang
patut dikasihani yang selalu kulihat dalam dirinya selama ini.
"Tuan," kataku, "selama lebih dari dua puluh tahun di Istanbul ni, Anda telah
menyatukan berbagai macam seniman dari empat penjuru dunia, orangorang dari
berbagai asal muasal dan pembawaan dalam sebuah keselarasan yang akhirnya
membuat Anda berhasil menciptakan dan menentukan gaya Utsmaniyah."
Mengapa kekaguman yang kurasakan dengan sepenuh hatiku hanya beberapa saat yang
lalu itu menjadi sebuah kemunafikan ketika aku menyuarakan perasaanku" Karena
pujian kita tentang seorang lelaki yang bakat dan kepiawaiannya memukau kita,
dengan tulus, haruskah ia kehilangan sebagian besar kekuasaan dan pengaruhnya,
dan menjadi agak menyedihkan"
"Kini, di manakah si cebol itu bersembunyi?" tanyanya.
Ia mengatakannya seperti seseorang yang berkuasa yang mabuk pujian dan
sanjungan, tetapi kemudian tibatiba teringat ingin mengganti pembicaraan.
"Selain menjadi seorang empu agung dalam legenda dan gaya Persia, Anda telah
menciptakan sebuah dunia ilustrasi yang berbeda yang layak bagi kejayaan dan
kekuatan bangsa Utsmaniyah," bisikku. "Andalah yang
membawa seni ke dalam kekuatan pedang Utsmaniyah, warnawarni penuh semangat ke
dalam kejayaan Utsmaniyah, ketertarikan dan perhatian tenhadap bendabenda dan
peralatan, dan kemerdekaan atas sebuah gaya hidup yang nyaman. Tuan, merupakan
kehormatan terbesar dalam hidupku melihat semua mahakarya para empu legendaris
zaman lampau ini bersama Anda
Selama beberapa saat aku berbisik seperti ini. Di dalam Ruang Penyimpanan Harta
yang gelap, berantakan, dan sedingin es, yang mirip dengan sebuah medan perang
yang baru saja ditinggalkan, tubuh kami sedemikian dekatnya sehingga bisikanku
menjadi sebuah pernyataan keakraban.
Kemudian, sebagaimana orangorang buta tertentu yang tidak mampu mengendalikan
raut wajahnya, sepasang mata Tuan Osman memancarkan pandangan seorang tua yang
terhanyut dalam rasa senang. Aku menyanjung empu tua itu dengan kalimat-kalimat
panjang, terkadang dengan penuh perasaan, terkadang dengan suara bergetar karena
batinku sesungguhnya merasa jijik pada orang buta itu.
Ia memegangi tanganku dengan jemari tuanya, mengeluselus lenganku, dan menyentuh
wajahku. Kekuatan dan usianya seakanakan melintas lewat jari jemarinya ke dalam
tubuhku. Aku, lagi-lagi, memikirkan Shekure yang menungguku di rumahku.
Berdiri diam dalam sikap seperti itu selama beberapa saat, dengan buku yang
terbuka di hadapan kami, seakan puja-pujiku, serta kekaguman dan rasa kasihannya
pada dirinya sendiri, telah begitu melelahkan kami, hingga kami pun
beristirahat. Kami menjadi saling merasa malu.
"Ke manakah perginya si cebol itu?" tanyanya lagi.
Aku merasa yakin bahwa si cebol yang cerdik itu sedang bersembunyi di salah satu
ceruk tersembunyi mengawasi kami. Seolaholah akan mencarinya, aku membalikkan
bahuku ke kanan dan ke kiri, tetapi memasang mataku yang terlatih tetap tertuju
pada Tuan Osman. Apakah ia sungguhsungguh buta atau sedang berusaha meyakinkan
dunia, termasuk diriku sendiri, bahwa ia sudah buta" Aku mendengar bahwa
sebagian empu yang tidak berbakat di Shiraz berpurapura buta di usia tua mereka
untuk meraih penghormatan dan demi mencegah orang lain menyebut
kesalahankesalahan mereka.
"Aku ingin mati di sini," ujarnya.
"Empuku yang agung," rayuku, "di masa kini, di mana nilai tidak terletak pada
lukisan, melainkan pada uang yang bisa didapat dari lukisan tersebut, bukan
terletak pada empu-empu tua melainkan pada para tukang jiplak gaya kaum Frank,
aku sangat memahami apa yang Anda katakan sehingga membuatku berlinang air mata.
Tetapi, menjadi tugas Anda pula untuk menjaga para empu ilustrator Anda dari
musuhmusuh mereka. Tolong katakan padaku, apa kesimpulan yang Anda ambil dari
'metode pelacur'" Siapakah miniaturis yang melukis kuda itu?"
"Zaitun." Ia mengatakan hal ini dengan sedemikian ringan, sehingga aku bahkan tidak sempat
terkejut lagi. Ia terdiam.
"Namun, aku yakin bukan Zaitun yang membunuh Enishtemu atau Elok Effendi yang
malang," ujarnya dengan tenang. "Aku yakin Zaitun yang menggambar kuda itu,
karena ia yang paling terikat dengan empu-empu
zaman dulu, yang paling akrab dengan legenda dan gaya Herat, dan riwayat
pendidikannya hingga menjadi empu bertitik tolak dari Samarkand. Sekarang aku
tahu kau tak akan bertanya padaku, 'Mengapa kita belum pernah menemukan cuping
hidung semacam ini dalam lukisan kuda lainnya yang digambarkan Zaitun selama
ini"' karena aku telah menyebutkan berkali-kali sebuah detail sayap seekor ?burung, bagaimana sehelai daun bergantung pada sebatang pohon bisa tersimpan di
?dalam ingatan dari generasi ke generasi, berpindah dari empu pada muridnya,
tetapi tidak muncul pada halaman kertas selama ada pengaruh seorang empu yang
kaku, atau berkaitan dengan selera tertentu dan kecenderungan sebuah bengkel
seni tertentu, atau kehendak sang sultan. Maka, ini adalah gambar kuda yang di
masa kecilnya dipelajari langsung oleh Zaitun dari empu-empu Persia tanpa pernah
mampu melupakannya. Kenyataan bahwa kuda itu tibatiba muncul demi buku Enishte
adalah sebuah siasat kejam Allah. Bukankah kita semua telah menganggap para empu
tua Herat sebagai panutan kita" Seperti para ilustrator Turkmenistan yang
melukiskan wajah seorang perempuan cantik yang dimaksudnya sebagai sosok seorang
Cina, tidakkah kita berpikir secara khusus tentang semua mahakarya Herat ketika
kita memikirkan lukisanlukisan yang dibuat dengan sangat indah" Kita semua
adalah pengagum fanatik mereka. Yang memelihara segenap seni hebat adalah Herat
di masa Bihzad dan pendukung gaya Heart semacam ini adalah orangorang Mongol dan
orang orang Cina. Untuk apa Zaitun yang sepenuhnya terikat dengan legenda Heart
membunuh Elok Effendi yang lebih terikat pada metode lama yang sama bahkan
?mengabdi mati-matian?"
"Kalau begitu siapa?" tanyaku. "Kupukupu?"
"Bangau!" serunya. "Inilah yang kutahu dari lubuk hatiku yang paling dalam,
karena aku mengenal betul ketamakan dan amarahnya. Dengarkan, dalam segala
kemungkinan ketika ia menyepuh untuk Enishtemu yang dengan bodoh dan ceroboh
menjiplak metodemetode kaum Frank, Elok Effendi meyakini bahwa petualangan ini
akan membahayakan. Karena ia cukup tolol untuk mau mendengarkan dengan
sungguhsungguh segala omong kosong pendakwah bodoh dari Erzurum itu sayangnya, ?para empu dalam bidang sepuh menyepuh, meskipun lebih dekat pada Tuhan dibanding
para pelukis, juga membosankan dan tolol dan lebih jauh lagi, karena ia tahu
?buku Enishtemu itu adalah sebuah proyek penting dari Sultan, rasa takut dan
keraguan Elok Effendi berkecamuk: Haruskah ia memercayai Sultan, atau memercayai
pendakwah dari Erzurum" Di masa yang lain, anak malang yang kukenal seperti aku
mengenal telapak tanganku sendiri ini akan mendatangiku atas dilema yang
mencengkramnya. Tetapi, karena dengan otak udangn yaitu pun ia tahu bahwa
menyepuh untuk Enishtemu dengan menjiplak gaya Frank merupakan pengkhianatan
terhadapku dan gaya sepuh kami, maka ia mencari orang kepercayaan lain. Ia
memercayai Bangau yang licik dan ambisius, dan membuat kesalahan dengan
membiarkan dirinya terpesona oleh kepandaian dan moral seorang lelaki yang
bakatnya telah membuainya. Aku kerap menyaksikan bagaimana Bangau menipu Elok
Effendi dengan mengambil kesempatan dari kekaguman seorang tukang sepuh yang
malang. Apa pun perdebatan yang terjadi di antara mereka, hasil akhirnya adalah
pembunuhan Elok Effendi di tangan Bangau, Dan karena
almarhum Elok telah lama menceritakan semua kegelisahannya pada para pengikut
Erzurumi, dengan keinginan membalas dendam dan untuk unjuk kekuatan, mereka lalu
membunuh pengagum kaum Frank, Enishtemu, yang mereka kira sebagai orang yang
bertanggung jawab atas kematian kawan mereka. Aku tidak bisa mengatakan bahwa
aku menyesali semua kejadian tersebut. Bertahuntahun yang lalu, Enishtemu telah
memperdaya Sultan kita dengan mendatangkan seorang pelukis Venesia namanya
?Sebastiano untuk membuat potret Vang Mulia dengan gaya Frank seakanakan beliau
?adalah raja orangorang kafir. Tidak puas dengan itu, dengan sebuah penghinaan
terbuka yang menjijikkan terhadap harga diriku, ia mengatur agar karya memalukan
itu diserahkan kepadaku sebagai model untuk dibuatkan salinannya. Dan karena
rasa takut tak terhingga kepada Sultan kita, dengan hina aku menyalin lukisan
yang telah dibuat dengan menggunakan metode kaum kafir itu, Kalau saja aku tak
pernah dipaksa melakukan hal itu, mungkin aku akan berduka atas kematian
Enishtemu, dan hari ini aku akan membantu menemukan bajingan yang telah
membunuhnya. Tetapi, pertimbanganku bukan untuk Enishtemu, ini untuk bengkel
seniku. Enishtemu bertanggung jawab atas pengkhianatan para miniaturisku yang
?kucintai lebih daripada anak kandungku sendiri dan kulatih dengan penuh
perhatian dan cinta kasih selama dua puluh lima tahun terhadapku dan segenap
?tradisi seni kami. Enishtemu yang harus disalahkan untuk semangat mereka dalam
menjiplak karya para empu Eropa dengan pembenaran bahwa 'ini adalah kehendak
Sultan.' Setiap empu hina itu hanya layak diganjar siksaan! Andai kita,
para miniaturis, belajar lebih mengabdi pada bakat dan seni daripada kepada
Sultan yang memberi kita pekerjaan, kita akan mendapat jalan untuk masuk ke
Gerbang Surga. Nah, kini, aku ingin mempelajari buku ini sendirian."
Tuan Osman melontarkan pernyataan terakhirnya bagai sebuah wasiat terakhir
seorang pasha yang sudah lelah dan bersedih, yang bertanggung jawab atas sebuah
kekalahan militer dan sudah dijatuhi hukuman penggal. Ia membuka buku yang
diletakkan Jezmi Agha di hadapannya dan dengan ketus ia memerintahkan si cebol
membalik halaman yang ia inginkan. Dengan nada suara ini, ia kembali menjadi
sang Kepala Iluminator yang dikenal oleh segenap penghuni bengkel seni.
Aku mengundurkan diri ke salah satu sudut di antara tumpukan bantal yang
berbordir mutiara, senapan-senapan yang larasnya berkarat dengan gagang
bertatahkan permata, dan aneka lemari, lalu mulai mengamati Tuan Osman. Keraguan
telah terenggut dari diriku, melayang pergi dari segenap tubuhku: Jika ia memang
ingin menghentikan pembuatan buku Sultan, masuk akal bila Tuan Osman sendirilah
yang berada di balik pembunuhan Elok Effendi dan, setelah itu, pembunuhan
Enishteku. Aku mengomeli diriku sendiri karena baru saja merasakan kekaguman
terhadapnya. Di sisi lain, aku tidak bisa menahan diri dari sebentuk rasa hormat
penuh kasih terhadap seniman besar ini, yang kini sedang menyerahkan diri
sepenuhnya pada lukisan di hadapannya, dan entah buta atau setengah buta, ia
sedang mengamatinya dari dekat seperti sedang memandangi kerut merut yang amat
banyak di wajah tuanya. Terbersit dalam diriku bahwa untuk menjaga kelestarian
gaya lama dan aturan hidup di bengkel kerja
miniaturis, untuk menjauhkan diri dari buku Enishte, dan kembali menjadi
satusatunya kesayangan Sultan, ia akan dengan senang hati menyerahkan salah satu
empu miniaturisnya, dan juga diriku, kepada para penyiksa dari Panglima Pasukan
Pengawal. Dengan marah aku mulai berpikir untuk membebaskan diri dari cinta yang
membelengguku padanya selama dua hari terakhir.
Lama sesudah itu, aku masih saja bingung, Secara acak aku memandangi
halamanhalaman bergambar dari bukubuku yang kuambil dari petipeti itu satu
persatu, untuk memuaskan segenap setan yang bangkit di dalam diriku dan untuk
mengganggu jin-jin kebimbanganku.
Berapa banyak lelaki dan perempuan yang memasukkan jari ke dalam mulut mereka!
Ini adalah bahasa tubuh untuk menunjukkan keterkejutan di semua bengkel seni
dari Samarkand hingga Baghdad selama dua ratus tahun terakhir. Ketika sang
pahlawan KeyhCisrev yang terdesak oleh musuhmusuhnya berhasil menyeberangi arus
deras Sungai Oxus dibantu kuda hitamnya yang perkasa dan Allah, pemilik rakit
dan juru dayung yang menolak membantunya menyeberang dengan rakit mereka
memasukkan satu jari mereka ke dalam mulut. Sebuah jari yang terpukau pada
HCisrev tetap berada di dalam mulutnya saat ia melihat untuk pertama kalinya
kecantikan Shirin yang kulitnya bersinar bagai cahaya purnama, saat dia mandi di
sebuah danau yang airnya berkilauan hingga kepingan perak tampak buram jadinya.
Aku bahkan menghabiskan waktu lebih banyak lagi mengamati perempuan perempuan
menawan di harem yang dengan jari di mulut mereka berdiri di balik pintupintu
istana yang setengah terbuka, di muka jendelajendela tak tersentuh di menaramenara kastil, dan mengintip dari balik tirai. Sementara Tejav, yang dikalahkan oleh pasukan
Persia dan kehilangan tahtanya, melarikan diri dari medan peperangan, Espinuy,
yang tercantik dari yang cantik dan perempuan kesayangan di haremnya, memandang
pedih dari salah satu jendela istana dengan jari di mulutnya, memohon padanya
dengan isyarat mata agar tidak meninggalkannya ke tangan musuh. Saat Yusuf, yang
ditangkap berdasarkan tuduhan palsu Zulaikha bahwa ia telah memerkosa perempuan
itu, sedang diseret ke dalam selnya, Zulaikha memandang dari jendela dengan satu
jari di mulutnya yang indah untuk menunjukkan kekejian dan hasratnya, bukan
sebuah ungkapan kekaguman. Ketika pasangan kekasih yang bahagia tetapi murung
seakanakan muncul tibatiba dari sebuah puisi cinta oleh kegairahan dan anggur,
di dalam sebuah taman yang menyerupai Taman Surga, seorang dayang culas
mengintai mereka dengan satu jari di dalam mulutnya yang merah sebagai pertanda
iri dengki. Meskipun sudah menjadi gambar baku yang terekam di dalam bukubuku catatan dan
ingatan semua miniaturis, jari lentik yang menyelusup masuk ke dalam mulut
seorang perempuan jelita memiliki keelokan yang berbeda setiap kali.
Seberapa dalam ilustrasiilustrasi ini menghiburku" Saat senja tiba, aku pergi
menghadap Tuan Osman dan berkata, "Ketika gerbang kembali dibuka sekali lagi
dengan seizin Anda, aku akan keluar dari Ruang Penyimpanan Harta."
"Apa maksudmu?" tanyanya. "Kita masih memiliki masa sehari semalam lagi, Betapa
cepatnya matamu terpuaskan oleh ilustrasiilustrasi paling hebat di dunia yang
ada di ruangan ini!"
Saat ia mengatakannya, ia tidak memalingkan wajah dari halaman buku di
hadapannya, meski warna pucat bola matanya menunjukkan bahwa ia memang sedang
menuju kebutaan. "Kita telah mengetahui rahasia hidung kuda itu," sahutku dengan yakin. "Ah!"
pekiknya. "Ya! Dan seterusnya kita serahkan kepada Sultan dan Kepala Bendahara.
Mungkin mereka akan mengampuni kita sepenuhnya."
Akankah ia menyebut Bangau sebagai si pembunuh" Aku bahkan tidak mampu bertanya
karena cemas ia tidak akan mengizinkan aku pergi. Lebih buruk lagi, aku memiliki
pikiran buruk bahwa ia bisa saja menuduhku.
"Jarum Bihzad yang digunakannya untuk membutakan dirinya sendiri itu hilang,"
ujarnya. "Mungkin si cebol itu telah meletakkannya kembali di tempatnya semula," uajrku.
"Gambar yang Anda amati di hadapan Anda sangat menakjubkan!"
Wajahnya terangkat seperti anak kecil, dan ia tersenyum. "Husrev sedang terbakar
api asmara, ketika ia menunggu Shirin dengan menunggangi kudanya di depan istana
perempuan itu di tengah malam," serunya. "Dilukis dengan gaya para empu Herat."
Kini ia memandangi gambar itu seakanakan ia bisa melihatnya, tetapi ia bahkan
tidak memegang lensa pembesarnya.
"Bisakah kausaksikan semaraknya dedaunan di pepohonan di tengah kegelapan malam
yang ditampilkan satu persatu seolaholah daun itu diterangi dari dalam seperti
bintang atau bunga musim semi, kesabaran bersahaja yang terpancar dari hiasanhiasan dinding, kehalusan dalam menggunakan lembaran emas dan
keseimbangan yang lembut dalam keseluruhan komposisi lukisan" Kuda Husrev yang
tampan sama anggun dan eloknya seperti seorang perempuan. Shirin kekasihnya
menunggu di muka jendela di atasnya, lehernya tetunduk, tetapi wajahnya tampak
penuh harga diri. Seakanakan kedua kekasih itu tetap abadi di sini dalam sinar
yang memancar dari permukaan lukisan, kulit, dan warnawarna lembut yang
diterapkan dengan indah oleh sang miniaturis. Kau bisa melihat bagaimana
wajahwajah mereka saling agak berpaling ketika tubuh mereka separuh menghadap ke
arah kita karena mereka tahu mereka berada di dalam lukisan dan oleh karenanya ?bisa kita lihat. Ini karena mereka tidak mencoba meniru dengan tepat sosoksosok
yang kita lihat di sekeliling kita. Sebaliknya, mereka menandakan bahwa mereka
muncul dari ingatan Allah. Ini disebabkan waktu berhenti bagi mereka dalam
lukisan itu. Tak peduli betapa cepat laju kisah yang mereka ceritakan dalam
gambar, mereka sendiri akan tetap abadi di sana, seperti para perawan muda
pemalu yang berasal dari keturunan baikbaik, tanpa membuat gerakan tibatiba
dengan tangan, lengan, gerakan tubuh, atau bahkan mata. Bagi mereka, semua yang
ada dalam malam yang biru kelam itu membeku: Burung terbang melintasi kegelapan,
di antara bintang-bintang, dengan kibaran seperti degup jantung para kekasih itu
sendiri, dan pada saat bersamaan, tetap abadi di tempatnya seakanakan dipakukan
ke langit di saat yang tiada bandingnya ini. Para empu tua Herat yang tahu
kehitaman beludru Tuhan itu menundukkan pandangan matanya seperti sebuah tirai,
juga tahu bahwa jika mereka menjadi buta saat menatap tak bergerak pada
ilustrasi semacam itu selama berharihari dan berminggu-minggu, jiwa mereka
pada akhirnya akan berbaur dengan keabadian lukisan itu," Ketika tiba waktu
salat magrib, saat gerbang Ruang Penyimpanan Harta dibuka dengan upacara yang
sama dan di bawah tatapan orangorang yang sama, Tuan Osman masih menatap dengan
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sungguhsungguh halaman di depannya, pada burung yang melayang tak bergerak di
angkasa. Namun, jika kau memerhatikan betapa pucat bola matanya kau akan
menyadari bahwa ia menatap halaman itu dengan ganjil, karena orangorang buta
terkadang salah menanggapi hidangan di hadapan mereka.
Para petugas Ruang Penyimpanan Harta, mengetahui bahwa Tuan Osman akan tinggal
di dalam dan bahwa Jezmi Agha berada di muka pintu, abai memeriksaku secara
keseluruhan dan tidak menemukan jarum yang kusembunyikan dalam pakaian dalamku.
Ketika aku muncul di jalanan Istanbul dari halaman istana, aku menyelinap ke
sebuah lorong dan mengeluarkan benda mengerikan yang digunakan empu legendaris
Bihzad untuk membutakan diri itu dari tempatnya semuila, dan menacapkannya pada
selempang sabukku, Aku setengah berlari melintasi jalanan.
Dinginnya kamar-kamar Ruang Penyimpanan Harta menggigit tulang belulangku
sehingga seakanakan udara lembut awal musim semi telah melingkupi jalan-jalan
kota. Saat aku melintasi toko kelontong, tukang cukur, tukang obat, kedai buahbuahan dan sayur mayur, dan kedai kayu bakar di Pasar Penginapan Lama yang
sedang menutup pintu mereka satu persatu seiring datangnya malam, aku
memperlambat langkahku dan dengan hatihati mengamati tong-tong, tumpukan kain,
wortel dan poci di kedaikedai hangat yang diterangi lampu-lampu minyak.
Jalan tempat rumah Enishteku berada (aku masih tak bisa menyebutnya "jalan
tempat rumah Shekure berada", apalagi "jalan tempat rumahku berada") muncul
lebih asing dan lebih berjarak setelah dua hari ketidakhadiranku. Tetapi, rasa
senang karena bakal bertemu kembali dengan Shekureku dalam keadaan segar bugar,
dan pikiran bahwa aku akan diizinkan tidur di ranjang kekasihku malam
ini karena si pembunuh sudah hampir tertangkap membuatku merasa sangat akrab ? ?dengan seluruh dunia sehingga saat melihat pohon delima dan pintu jendela yang
telah diperbaiki dan tertutup, aku harus menahan diri agar tak berteriak seperti
seorang petani berseru pada seseorang di seberang sungai. Ketika aku berjumpa
Shekure, aku ingin katakata pertama yang keluar dari mulutku adalah, "Kami sudah
tahu siapa pembunuh laknat itu!"
Aku membuka pintu gerbang halaman. Aku tidak yakin apakah derit pintu, cara
burung pipit minum air dari ember sumur dengan riang, ataukah kegelapan rumah
itu, tetapi dengan kepekaan layaknya srigala dari seorang lelaki yang telah
hidup sendirian selama dua belas tahun, aku langsung memahami bahwa tak ada
orang di dalam rumah. Menyadari dengan getir bahwa dirinya telah ditinggalkan
sendirian, seseorang akan membuka dan menutup semua pintu, lemari, dan bahkan
mengangkat tutup poci, dan itulah yang kulakukan. Aku bahkan melongok ke dalam
petipeti. Dalam kesunyian ini, satusatunya suara yang kudengar adalah degup jantungku
sendiri yang berpacu. Seperti seorang tua yang telah mengerjakan segala yang
hendak ia lakukan, aku merasa terhibur ketika aku dengan tibatiba menghunus
pedangku yang kusembunyikan di
dasar peti paling luar. Pedang bergagang gading inilah yang selalu membuatku
merasakan kedamaian batin dan keseimbangan dalam tahuntahun panjang di saat aku
bekerja dengan pena. Bukubuku, yang dengan keliru kita anggap sebagai
penghiburan, hanyalah menambah dalam kesedihan kita.
Aku turun ke halaman rumah. Burung pipit itu telah terbang jauh. Seakanakan
tengah meninggalkan sebuah kapal yang karam, aku meninggalkan rumah menuju
kesunyian sebuah kegelapan yang mengancam.
Hatiku, kini lebih yakin, menyuruhku berlari mencari mereka. Aku berlari, tetapi
aku melambatkan langkah saat melintasi tempattempat ramai dan halaman halaman
masjid di mana anjinganjing membuntutiku dengan riang; mengira bakal ada
hiburan.[] Bab 53 aku adalah esther - ^f*. - AKU SEDANG akan memanaskan sup mijumiju untuk makan malam kami ketika Nesim
berkata, "Ada tamu di muka pintu." Aku menyahut, "Jaga agar sup itu tidak
gosong," lalu memberikan sendok padanya dan memberi contoh dua kali adukan dalam
panci seraya memegang tangannya yang keriput. Jika kau tidak menunjukkan caranya
pada mereka, mereka akan berdiri di sana berjam-jam dengan bengong seraya hanya
memegangi sendok di dalam panci.
Ketika aku melihat Hitam di balik pintu aku tidak bisa merasakan perasaan
lainnya selain rasa kasihan. Ada sesuatu yang tersirat di wajahnya, yang
membuatku takut untuk bertanya padanya apa yang telah terjadi.
"Tidak perlu repot-repot masuk," ujarku, "aku akan keluar segera setelah aku
berganti pakaian." Aku mengenakan pakaian berwarna merah jambu dan kuning yang kukenakan ketika aku
diundang ke perayaan Ramadan, makan malam orangorang kaya, dan upacara
pernikahan yang meriah, lalu mengambil tas bepergianku. "Aku akan makan supku
saat aku kembali nanti," seruku pada Nesim yang malang.
Hitam dan aku lalu menyeberangi seruas jalan di perkampungan Yahudi kecilku yang
cerobong-cerobong asapnya terus bekerja keras mengeluarkan asap, seiring
ceret-ceret kami mengembuskan asapnya, dan aku berkata, "Suami pertama Shekure
telah kembali." Hitam terdiam dan terus dalam keadaan seperti itu sampai kami meninggalkan
daerah itu. Wajahnya jadi tampak kelabu, warna siang yang pudar.
"Di manakah mereka?" tanyanya beberapa saat kemudian.
Dari pertanyaan ini aku menduga Sahekure dan anakanaknya tak ada di rumah.
"Mereka ada di rumah mereka," kataku. Karena yang kumaksud adalah rumah Shekure
sebelumnya, dan langsung tahu bahwa ini akan melukai hati Hitam, aku membukakan
pintu harapan untuknya dengan menekankan kata "mungkin" di ujung pernyataanku.
"Apakah kau telah melihat suami lamanya yang baru pulang itu?" tanyanya padaku,
seraya memandang dalam-dalam mataku.
"Aku belum melihatnya, dan aku juga tak melihat kepergian Shekure dari
rumahnya." "Bagaimana kautahu mereka pergi?"
"Dari wajahmu."
"Ceritakanlah semuanya," desaknya dengan tegas. Hitam merasa sangat gusar karena
ia tidak mengerti bahwa Esther matanya terusmenerus menatap jendela, telinganya?terus menerus menguping bumi tak pernah bisa "menceritakan semuanya" jika dia
?ingin terus menjadi Esther yang mencarikan suami-suami bagi begitu banyak
perawan pengelamun dan mengetuk pintupintu begitu banyak rumahrumah yang tak
bahagia. "Dari yang kudengar," ujarku, "adalah adik suami Shekure yang pertama, Hasan,
yang mengunjungi rumahmu" ia tampak senang hati ketika aku berkata
?"rumahmu"-"dan berkata pada Shevket bahwa ayahnya sedang dalam perjalanan pulang
dari medan perang dan akan tiba sekitar tengah hari, dan bahwa jika ia tidak
menemukan ibunda Shevket dan adiknya berada di rumah mereka yang seharusnya, ia
akan sangat gusar. Shevket mengatakan hal ini pada ibunya yang menanggapinya
dengan sangat hatihati, tetapi tidak mampu bersikap tegas. Menjelang tengah
hari, Shevket meninggalkan rumah untuk tinggal bersama pamannya Hasan dan
kakeknya." "Dari mana kau mengetahui semua ini?"
"Tidakkah Shekure memberitahumu tentang siasat Hasan selama dua tahun terakhir
untuk menyeret Shekure kembali ke rumah lelaki itu" Ada suatu masa di mana Hasan
terus mengirim surat kepada Shekure melalui aku."
"Apakah Shekure pernah membalasnya?"
"Aku mengenal berbagai jenis perempuan di Istanbul," ujarku dengan bangga,
"tetapi tak seorang pun yang terikat pada rumahnya, suaminya, dan kehormatannya,
seperti Shekure." "Tetapi, akulah suaminya sekarang."
Suaranya terdengar khas seperti seorang lakilaki yang bimbang, yang selalu
membuatku sebal. Hebatnya, bila Shekure berlari ke satu pihak, pihak lainnya
hancur berkeping-keping. "Hasan menulis sepucuk surat dan memberikannya padaku untuk dikirimkan pada
Shekure. Isinya menceritakan betapa Shevket telah pulang ke rumahnya untuk
menanti kepulangan ayahnya, betapa Shekure telah melangsungkan pernikahan dalam
sebuah upacara pernikahan yang tidak sah, betapa Shevket sangat gusar dengan
adanya seorang suami palsu yang dimaksudkan
sebagai ayah barunya, dan betapa anak itu tidak akan pernah kembali lagi."
"Bagaimana Shekure membalasnya?"
"Dia menunggumu sepanjang malam bersama Orhan
yang malang." "Bagaimana dengan Hayriye?"
"Hayriye telah menunggu selama bertahuntahun untuk mendapat kesempatan
menenggelamkan istrimu yang jelita itu ke dalam sesendok air. Itu sebabnya dia
mulai tidur dengan Enishtemu, semoga ia beristirahat dengan damai. Ketika Hasan
melihat bahwa Shekure menghabiskan malamnya sendirian dengan perasaan takut pada
si pembunuh dan hantu, ia mengirimkan surat lainnya lewat aku."
"Apa yang ditulisnya?"
Syukur kepada Tuhan bahwa Esther yang malang ini tidak bisa membaca atau
menulis, karena ketika para Effendi dan ayah yang gusar menanyakan pertanyaan
seperti ini, Esther hanya akan berkata, "Aku tidak bisa membaca surat, aku hanya
bisa membaca wajah perempuan cantik yang sedang membaca surat."
"Apa yang kaubaca di wajah Shekure?"
"Ketidakberdayaan."
Selama beberapa lami kami berhenti berbicara. Sambil menunggu malam turun,
seekor burung hantu bertengger di atas kubah sebuah gereja Yunani yang mungil;
anakanak warga sekitar dengan hidung beringus menertawakan pakaianku dan
buntalan yang kugendong, dan seekor anjing kurap dengan suka cita menggores
tubuhnya sendiri dengan berlari kencang menuruni pemakaman yang dibatasi
pepohonan cemara untuk menyapa sang malam. "Pelan-pelan!" jeritku pada Hitam kemudian. "Aku tidak bisa mendaki bukit-bukit
ini sepertimu. Kau hendak mengajakku ke mana dengan buntalan ini?"
"Sebelum kau membawaku ke rumah Hasan, aku akan membawamu pada beberapa pemuda
murah hati dan pemberani agar kau bisa membentangkan buntalanmu dan menjual
sebagian saputangan bungabunga, selendang sutra, dan dompet-dompet berbordir
perakmu untuk kekasih rahasia mereka."
Suatu pertanda baik Hitam masih bisa bergurau dalam keadaannya yang menyedihkan,
tetapi aku bisa membaca keseriusan di balik gurauannya. "Jika kau akan
mengumpulkan gerombolan anak jalanan, aku tidak akan mengajakmu ke rumah Hasan,"
ujarku. "Aku takut sekali pada baku hantam."
"Jika kau selalu menjadi Esther yang pintar seperti bisaanya," ujarnya, "tak
akan ada baku hantam."
Kami melintasi Aksaray dan memasuki jalan yang mengarah ke belakang, tepat
menuju tamantaman Langa. Di bagian atas jalanan berlumpur itu, dalam sebuah
daerah yang pernah mengalami masa-masa bahagia, Hitam melangkah masuk ke sebuah
kedai cukur yang masih buka. Aku melihatnya berbicara pada si tukang cukur yang
sedang dipangkas oleh seorang bocah bertampang polos dengan tangan halus mulus
diterangi sebuah lampu minyak. Tak lama kemudian, si tukang cukur, muridnya yang
tampan, dan kemudian dua orang lelaki lainnya bergabung bersama kami di Aksaray,
Mereka membawa pedang dan kapak. Di satu sisi jalan Shehzadebashi, seorang
santri sekolah agama, yang tidak bisa kubayangkan bisa terlibat dalam urusan
yang kasar, bergabung dengan kami dalam kegelapan, pedang di tangannya.
"Apakah kau berencana mengepung sebuah rumah di tengah kota di siang bolong
begini?" seruku. "Ini bukan siang bolong, sekarang sudah malam," sahut Hitam dengan nada suara
yang lebih menyenangkan dari sekadar bersenda gurau.
"Jangan terlalu percaya diri hanya karena kau mengumpulkan gerombolan bandit,"
ujarku. "Berdoa saja pasukan keamanan tak melihat pasukan kecil bersenjata
lengkap yang sedang berkeliaran ini."
"Tak akan ada seorang pun yang melihat kita."
"Kemarin para pengikut Erzurumi mulamula menyerbu sebuah kedai minum, lalu rumah
darwis di Sagirkapi, memukuli semua orang yang mereka temukan di kedua tempat
itu. Seorang lelaki tua yang mendapat hantaman tongkat kayu di kepalanya, mati.
Di tengah kegelapan yang pekat ini, tentara bisa saja mengira kalian sebagian
dari mereka." "Aku mendengar kau mendatangi rumah almarhum Elok Effendi, menjumpai istrinya,
dan mendapatkan sketsa kuda dengan tinta yang luntur, sebelum menyerahkannya
pada Shekure. Apakah Elok Effendi menghabiskan banyak waktu dengan para pengikut
penceramah dari Erzurum itu?"
"Jika aku mengajak istri Elok Effendi berbincang, itu hanya karena kupikir hal
itu akan membantu Shekureku yang malang," kataku. "Lagi pula, aku sudah datang
ke sana untuk menunjukkan padanya pakaian mutakhir yang baru diturunkan dari
kapal orang Flander, bukan untuk melibatkan diri dengan urusan politikmu yang ?tak mampu dicerna otakku yang malang ini."
Saat kami memasuki jalan yang berada di belakang Charshikapi, jantungku berdebar
kencang ketakutan. Dahandahan pohon kastanye dan mulberi yang basah berkilauan
diterpa cahaya pucat bulan separuh. Semilir angin yang ditiupkan para jin dan
mayatmayat hidup menerpa tepian kain buntalanku yang berenda, bersiul di sela
pepohonan, dan menyeret aroma tubuh gerombolan kami ke hidung anjing anjing di
sekitar tempat itu yang sedang berbaring menunggu. Ketika mereka mulai menyalak
bersahutan, aku menunjuk sebuah rumah pada Hitam. Tanpa bersuara, kami
memandangi atap rumah dan daun-daun jendelanya yang gelap. Hitam memerintahkan
kawan-kawannya mengambil posisi di sekeliling rumah: di sebuah taman yang
kosong, di kedua sisi gerbang halaman rumah itu, dan di balik pepohonan di
bagian belakang. "Di jalan masuk di sana itu, ada seorang pengemis Tatar yang menjijikkan,"
ujarku. "Ia buta, tetapi ia lebih tahu siapa yang datang dan pergi di sepanjang
jalan ini daripada ketua rukun tetangganya. Ia terusmenerus bermain dengan
dirinya sendiri seolaholah ia adalah monyet jelek milik Sultan. Tanpa membiarkan
tanganmu bersentuhan dengan tangannya, berikan padanya delapan atau sepuluh
keping perak dan ia akan memberitahumu semua yang diketahuinya."
Dari kejauhan, aku mengamati Hitam menyerahkan koinkoinnya, lalu meletakkan
pedangnya di leher si pengemis dan mulai menekannya dengan serangkaian
pertanyaan. Berikutnya, aku tidak yakin bagaimana terjadinya, si murid tukang
cukur, yang kupikir hanya mengamati rumah itu, mulai memukuli si pengemis Tatar
dengan popor kapaknya. Aku mengawasinya sejenak,
kupikir itu tidak akan berlangsung lama, tetapi kemudian kudengar si Tatar
meratap. Aku berlari dan menarik pengemis itu menjauh sebelum mereka
membunuhnya. "Ia mengutuk ibuku," seru si murid tukang cukur.
"Katanya Hasan tak ada di rumahnya," ujar Hitam. "Bisakah kita memercayai
perkataan seorang lelaki buta?" ia menyerahkan padaku secarik surat yang ditulis
dengan tergesa. "Bawalah ini, antarkan ke rumah itu, berikan pada Hasan, dan
jika ia tidak ada, berikan pada ayahnya," perintahnya.
"Kau tidak menulis sesuatu untuk Shekure?" tanyaku saat mengambil surat itu.
"Jika aku mengirimkan surat lain, itu akan lebih memanasi para lelaki di rumah
itu," ujar Hitam. "Katakan padanya aku sudah menemukan pembunuh ayahnya."
"Benarkah?" "Katakan saja padanya."
Seraya mengomeli si Tatar yang masih saja menangis dan beratap, aku
menenangkannya. "Jangan lupakan yang sudah kulakukan padamu," seruku, setelah
kusadari bahwa aku telah memperpanjang kejadian itu agar tidak harus segera
pergi, Mengapa aku harus melibatkan diri dengan urusan seperti ini" Dua tahun yang lalu
di daerah Gerbang Edirne mereka membunuh seorang penjaja pakaian setelah ?memotong telinganya hanya karena perempuan yang dijanjikannya untuk dinikahi
?seorang lelaki, menikah dengan lelaki lain. Nenekku pernah mengatakan padaku
bahwa orang Turki tidak akan membunuh siapa pun tanpa alasan. Aku amat
merindukan Nesim-ku tersayang yang sedang menyiapkan sup mijumiju di rumah.
Meskipun kakiku menolaknya, aku memikirkan bagaimana Shekure
bisa berada di sana, dan berjalan ke rumah itu. Rasa penasaran menderaku.
"Pakaian! Aku membawa sutra Cina yang baru untuk pakaian musim liburan."
Aku melihat cahaya Jingga yang menerobos keluar di antara daun-daun jendela dan
bergerak-gerak. Pintu terbuka. Ayah Hasan yang santun mengundangku masuk. Rumah
itu begitu hangat seperti rumahrumah orang kaya. Ketika Shekure, yang sedang
duduk di depan sebuah meja makan rendah dengan anakanaknya melihatku, dia
bangkit dan berdiri. "Shekure," ujarku, "suamimu di sini." "Yang mana?"
"Yang baru," sahutku. "Ia mengepung rumah ini dengan segerombolan kawan-kawannya
yang bersenjata. Mereka siap bertempur melawan Hasan."
"Hasan tdak ada di sini," ujar ayah mertua yang santun itu.
"Untung saja. Lihatlah ini," kataku sambil menyerahkan catatan dari Hitam
bagaikan seorang duta besar Sultan yang dengan bangga mengatakan kehendak beliau
yang tak berampun. Saat ayah mertuanya membaca surat itu, Shekure berkata, "Esther, kemarilah dan
akan kutuangkan semangkuk sup mijumiju untuk menghangatkanmu."
"Aku tidak suka sup mijumiju," kataku pada mulanya. Aku tidak suka caranya
berbicara seakanakan dia adalah nyonya rumah ini. Namun, ketika aku memahami
maksud di balik perkataannya bahwa dia ingin berduaan denganku, aku mengambil
sendok dan bergegas membuntutinya.
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Katakan pada Hitam bahwa ini semua karena
Shevket," bisiknya. "Kemarin aku menunggu semalaman dengan Orhan yang ketakutan
setengah mati kalau-kalau pembunuh itu datang lagi. Orhan gemetar ketakutan
sampai pagi. Anakanakku dipisahkan! Ibu macam apa yang bisa terpisah dari
anakanaknya" Ketika Hitam tidak juga kembali, mereka berkata bahwa para algojo
Sultan telah memaksanya mengaku dan ia terlibat dalam pembunuhan ayahku."
"Bukankah Hitam sedang bersamamu ketika ayahmu terbunuh?"
"Esther," ujarnya, sambil membuka mata hitamnya yang memesona itu lebar lebar,
"kumohon padamu, tolonglah aku."
"Kalau begitu, katakan padaku mengapa kau kembali ke rumah ini, agar aku paham
dan bisa membantumu,"
"Menurutmu apakah aku tahu mengapa aku kembali ke sini?" protesnya. Dia tampak
hendak menangis. "Hitam bersikap kasar pada Shevketku yang malang," ujarnya.
"Dan ketika Hasan berkata bahwa ayah kandung anakanak ini telah kembali, aku
memercayainya." Aku tahu dari matanya bahwa dia sedang berdusta, dan dia tahu aku mengenali
dustanya. "Aku tertipu oleh Hasan!" bisiknya lirih, dan aku merasa bahwa dia
ingin aku menyimpulkan dari kalimatnya itu bahwa dia mencintai Hasan. Tetapi,
tidakkah Shekure menyadari bahwa dia semakin memikirkan Hasan karena dia
menikahi Hitam" Pintu terbuka dan Hayriye masuk membawa senampan roti segar yang baru dipanggang
dengan aroma amat menggiurkan. Ketika dia mendapatiku, bisa kulihat dari raut
wajahnya rasa tidak senang bahwa setelah kematian Enishte Effendi, si malang
itu dia tidak bisa dijual, tidak bisa dienyahkan menjadi warisan? ?penderitaan bagi Shekure. Aroma roti segar memenuhi ruangan itu, dan aku
mengerti yang sesungguhnya saat Shekure berhadapan dengan anakanaknya: Apakah
ada ayah kandung mereka, Hasan, atau Hitam, yang menjadi masalah bukanlah
menemukan seorang suami yang bisa dicintainya, melainkan mendapatkan seorang
ayah yang bisa mencintai anakanaknya. Kedua anak itu membelalakkan matanya
karena takut. Dengan segenap niat baiknya, Shekure siap mencintai seorang suami
yang baik, siapa pun orangnya.
"Kau mencari yang kauinginkan dengan sepenuh hatimu," kataku tanpa berpikir
panjang, "maka kau harus membuat keputusan dengan pikiranmu."
"Aku siap kembali pada Hitam bersama anakanak secepat mungkin," ujarnya, "tetapi
dengan syarat-syarat tertentu!" Dia lalu diam sejenak. "Ia harus memperlakukan
Shevket dan Orhan dengan baik. Ia tidak boleh mempertanyakan alasan-alasanku
datang kemari. Dan di atas semuanya, ia harus menyesuaikan diri dengan prasyarat
pernikahan kami ia akan memahami katakataku. Ia telah membiarkan diriku
?sendirian tadi malam untuk memagari diriku sendiri melawan para pembunuh,
perampok, dan Hasan."
"Ia belum menemukan pembunuh ayahmu, tetapi ia memberitahuku untuk mengatakan
padamu bahwa ia sudah menemukannya."
"Haruskah aku mendatanginya?"
Sebelum aku sempat menjawabnya, ayah mertua suami pertamanya yang sudah lama
selesai membaca surat itu berkata, "Katakan pada Hitam Effendi, aku tidak bisa
menyerahkan menantuku tanpa kehadiran anakku."
"Anak yang mana?" tanyaku dengan sinis, tetapi lem-but.
"Hasan," sahutnya. Karena ia seorang lelaki santun, ia tampak tersipu. "Anak
tertuaku sedang dalam perjalanan pulang dari Persia. Ada banyak saksi."
"Di manakah Hasan?" tanyaku. Aku menyantap dua sendok penuh sup yang ditawarkan
Shekure padaku. "Ia pergi untuk mengumpulkan para pegawai, penjaga pintu, dan para lelaki
lainnya dari Kantor Bea Cukai," ujarnya mengatakannya dengan sikap
kekanakkanakan seorang lelaki terhormat yang bodoh dan tak mampu berdusta.
"Setelah yang dilakukan para pengikut Erzurumi kemarin, pasukan keamanan pasti
sudah berpatroli di jalanan malam ini."
"Kami tidak melihat yang seperti itu," ujarku sambil melangkah ke arah pintu.
"Hanya itukah yang ingin kaukatakan?"
Aku melemparkan pertanyaan itu untuk menakut-nakuti lelaki itu, tetapi Shekure
tahu benar bahwa aku sesungguhnya melontarkan pertanyaan itu padanya. Apakah
kepalanya sudah benarbenar dibingungkan ataukah dia sedang menyembunyikan
sesuatu" Contohnya, apakah dia sedang menunggu kepulangan Hasan dan anak
buahnya" Lebih aneh lagi, aku merasa senang dengan sikap bimbangnya.
"Kami tidak menginginkan Hitam," seru Shevket mantap. "Dan jadikanlah ini
kunjungan terakhirmu, perempuan gembrot!"
"Kalau begitu, siapa yang akan menjajakan taplak berenda dan saputangan
berbordir bunga dan burung yang disukai ibumu yang cantik itu, dan kemeja merah
kesukaanmu?" sahutku, meninggalkan buntalanku di tengah ruangan. "Sampai aku
kembali, kau boleh membukanya dan melihat-lihat, cobalah kenakan apa pun yang kau suka."
Aku merasa pilu saat beranjak pergi, aku tidak pernah melihat mata Shekure
begitu banjir oleh air mata. Begitu aku merasakan hawa dingin di luar rumah,
Hitam menghentikanku di jalanan yang berlumpur dengan pedang di tangannya.
"Hasan tidak di rumah," sahutku. "Mungkin ia sedang pergi ke pasar untuk membeli
anggur, untuk merayakan kepulangan Shekure. Mungkin ia akan segera kembali
dengan anak buahnya. Untuk berjaga-jaga andai kau datang untuk menghajar, karena
ia memang gila. Dan jika ia sudah menghunus pedang merahnya itu, tak bisa
dikatakan lagi apa yang akan dilakukannya."
"Apa kata Shekure?"
"Ayah mertuanya menolak mentah-mentah, aku tidak akan menyerahkan menantuku,
tetapi jika aku jadi kau aku tidak akan mencemaskannya, cemaskan saja Shekure.
Isterimu sedang bingung. Jika kau bertanya padaku, dia mencari perlindungan di
rumah ini dua hari setelah ayahnya wafat, karena takut pada si pembunuh, karena
ancaman Hasan, dan karena kau pergi tanpa pesan. Dia tahu dia tidak bisa lagi
menghabiskan malam di rumah yang sama dengan ketakutan yang sama. Mereka juga
berkata padanya bahwa kau terlibat dalam kematian ayahnya. Namun, suami
pertamanya belum kembali. Shevket, dan tampaknya juga ayah mertuanya, memercayai
dusta Hasan. Shekure ingin kembali padamu, tetapi ia memiliki syarat-syarat
tertentu." Sambil menatap langsung mata Hitam, aku mengatakan semua persyaratan Shekure. Ia
menerimanya dengan mimik wajah seolaholah sedang berbicara dengan
seorang duta besar sungguhan.
"Aku juga punya sebuah syarat," ujarku. "Aku akan kembali ke rumah itu lagi,"
Aku menunjuk daun jendela di belakang rumah tempat si ayah mertua sedang duduk.
"Sebentar lagi, serang dari arah sana dan pintu depan. Kalau aku menjerit, itu
tanda bagimu untuk berhenti. Jika Hasan datang, jangan raguragu menyerangnya."
Katakataku tentu saja tidak pantas untuk seorang duta besar yang seharusnya
tidak menyebabkan bahaya, tetapi aku membiarkan diriku terhanyut. Kali ini,
begitu aku memekikkan "Pakaian..." pintu langsung terbuka. Aku langsung melangkah
mendekati si ayah mertua.
"Seluruh penduduk daerah ini dan hakim yang berwenang atas hal semacam ini dan
itu berarti semua orang mengetahui Shekure sudah lama bercerai dan kini menikah?baikbaik berdasarkan ajaran Alquran," seruku. "Bahkan andai putramu yang telah
lama meninggal dunia hidup lagi dan datang kemari dari surga dengan ditemani
Nabi Musa sekalipun, itu tak akan memengaruhi perceraiannya dengan Shekure. Kau
telah menculik seorang perempuan bersuami dan menahannya dengan paksa. Hitam
ingin aku mengatakan padamu bahwa ia dan anak buahnya akan membuatmu dihukum
atas kejahatan ini sebelum Hakim melakukannya."
"Kalau begitu ia akan membuat kesalahan yang mematikan," sahut si ayah mertua
dengan lembut. "Kami sama sekali tidak menculik Shekure! Aku adalah kakek dari
anakanak ini. Hasan adalah paman mereka. Ketika Shekure ditinggalkan sendirian,
pilihan apa lagi yang dia miliki selain mencari perlindungan ke tempat ini" Jika
dia mau, dia bisa saja pergi sekarang dan membawa anakanaknya. Namun, jangan
lupa, ini adalah rumah pertamanya, tempat dia melahirkan anakanaknya dan dengan bahagia membesarkan
mereka." "Shekure," ujarku tanpa pikir panjang, "maukah kau kembali ke rumah ayahmu?"
Dia mulai menangis menyuarakan "suka citanya." "Aku tidak memiliki ayah lagi,"
sahutnya, atau begitulah yang kudengar" Mulamula anakanaknya memeluk kakinya,
lalu mendudukkan dan memeluknya. Ketiganya saling berangkulan dan menangis
terisak. Namun, Esther tidak tolol: Aku tahu betul, air mata Shekure dimaksudkan
untuk memuaskan kedua pihak tanpa harus membuat keputusan. Tetapi, aku juga tahu
bahwa ada butiran air mata yang tulus, karena ibu beranak itu membuatku jadi
ingin menangis pula. Beberapa saat kemudian, kuperhatikan Hayriye, ular betina
itu, juga ikut terisak. Seakanakan untuk mengganjar si ayah mertua bermata hijau karena hanya ia yang
tak menangis di ruangan itu, Hitam dan anak buahnya memulai serangan ke rumah
itu pada saat itu juga dengan mendobrak pintu. Dua orang lelaki berada di pintu
depan membawa sebatang kayu yang dipakai untuk mendobrak pintu. Suara
hantamannya bagaikan tembakan meriam yang memenuhi rumah itu.
"Kau adalah lelaki berpengalaman dan terhormat," ujarku, terdesak oleh hujan air
mataku sendiri, "bukalah pintunya dan katakan pada anjinganjing galak di luar
sana bahwa Shekure sudah akan keluar."
"Akankah kaubiarkan seorang perempuan tak berdaya, menantumu sendiri, yang telah
mencari perlindungan di dalam rumahmu, pergi ke jalanan bersama anjing anjing
itu?" sahut lelaki itu.
"Dia sendiri ingin pergi," sahutku. Dengan sapu tangan unguku aku membersihkan
hidungku yang jadi mampat karena menangis.
"Kalau begitu, dia bebas membuka pintu itu dan pergi," sahutnya.
Aku duduk di samping Shekure dan anakanaknya. Setiap terdengar satu hantaman,
suara mengerikan orangorang yang mencoba mendobrak pintu menjadi alasan
berurainya air mata berikutnya, anakanak mulai menangis keras, membuat Shekure
dan aku semakin meratap. Namun, meski terdengar teriakanteriakan mengancam dari
luar dan hantaman kayu di pintu yang seolaholah akan merubuhkan rumah itu, kami
berdua tahu bahwa kami menangis untuk menunda waktu.
"Shekureku yang jelita," seruku, "ayah mertuamu sudah memberi izin dan suamimu
Hitam telah menerima syarat-syaratmu, ia sedang menunggumu dengan penuh cinta,
kau tak lagi ada urusan di dalam rumah ini. Kenakan jubahmu dan turunkan
jilbabmu, kemasi barang-barangmu, dan siapkan anakanakmu, lalu bukalah pintunya
agar kita bisa kembali ke rumahmu tanpa keributan."
Pernyataanku itu membuat anakanak berhenti meratap, dan membuat Shekure membuka
matanya dengan terkejut. "Aku takut pada Hasan," ujarnya, "pembalasan dendamnya akan sangat mengerikan.
Ia akan menjadi sangat buas. Ingatlah, aku datang ke tempat ini atas kemauanku
sendiri." "Semua itu tidak membatalkan pernikahanmu yang baru," sahutku. "Kau ditinggalkan
dalam keadaan tidak berdaya, tentu saja kau akan mencari perlindungan ke mana
saja. Suamimu memaafkanmu, ia telah siap membawamu pulang, sedangkan Hasan, kita
akan berurusan dengannya sebagaimana yang telah terjadi selama bertahuntahun." Aku
tersenyum. "Tetapi aku tidak akan membukakan pintu," ujarnya, "karena dengan begitu aku
akan kembali padanya atas kemauanku sendiri."
"Shekure sayang, aku juga tidak bisa membuka pintu itu," seruku. "Kau juga sama
tahunya denganku, itu berarti aku mencampuri urusanmu. Mereka akan membalas
dendam dengan sangat pedih terhadap campur tangan seperti itu."
Aku bisa melihat di mata Shekure bahwa dia memahaminya. "Kalau begitu tak akan
ada seorang pun yang membukakan pintu itu," ujarnya. "Kita tunggu saja mereka
berhasil mendobrak pintu itu dan membawa kita dengan paksa,"
Aku segera tahu bahwa itu adalah pilihan terbaik bagi Shekure dan anakanaknya,
dan aku jadi takut. "Namun, itu berarti pertumpahan darah," kataku. "Jika hakim
tidak terlibat dalam permasalahan ini, darah akan tertumpah, dan sebuah
pertarungan berdarah akan berlangsung selama bertahuntahun. Tak akan ada lelaki
terhormat yang sanggup berdiam diri melihat rumahnya didobrak dan dikepung demi
menculik seorang perempuan yang tinggal di dalamnya."
Sekali lagi kupahami dengan penuh penyesalan betapa Shekure sangat penuh
perhitungan dan licik, saat ia merengkuh kedua anakanaknya dan meratap habis
habisan dan bukan malah menjawabku. Sebuah suara memberitahuku untuk melupakan
semuanya dan pergi, tetapi aku tidak bisa lagi keluar lewat pintu yang sedang
didobrak dengan sekuat tenaga. Sesungguhnya, aku takut pada dua hal yang mungkin
terjadi jika mereka berhasil mendobrak pintu dan masuk, dan apa yang terjadi jika mereka tidak
melakukannya. Aku terus memikirkan anakanak buah Hitam yang mengandalkanku, yang
sedang gundah apakah harus melanjutkan tindakan mereka atau segera
menghentikannya, yang nantinya akan membuat si ayah mertua jadi berani. Ketika
si ayah mertua menghampiri Shekure, aku tahu ia akan purapura menangis, tetapi
ternyata lebih buruk lagi, ia gemetaran dengan gerak tubuh yang tak bisa
dipalsukan. Aku melangkah ke ambang pintu dan berteriak sekuatkuatnya, "Hentikan, sudah
cukup!" Keributan di luar sana dan ratapan di dalam rumah seketika terhenti.
"Shekure, suruh Orhan membukakan pintu," kataku seketika, saat sebuah ilham
muncul dan kukatakan dengan suara tenang yang manis, seakanakan sedang berbicara
pada bocah itu. "Ia ingin pulang, tak ada seorang pun yang akan mempermasalahkan
hal itu." Katakata itu hampir tidak keluar dari mulutku ketika Orhan melepaskan diri dari
pelukan sang ibu yang mengendur, dan seperti seseorang yang sudah tinggal di
rumah ini selama bertahuntahun, bocah itu membuka ganjal pintu, mengangkat kayu
penghalangnya, lalu membuka kuncinya, dan ia pun mundur dua langkah. Hawa dingin
di luar masuk saat pintu itu terkuak perlahan. Saat itu senyap, sehingga kami
semua bisa mendengar seekor anjing malas yang sedang menyalak di kejauhan.
Shekure mencium Orhan yang sudah kembali ke pelukan ibundanya, dan Shevket pun
berkata, "Aku akan memberi tahu Paman Hasan."
Aku melihat Shekure bangkit, menyambar jubahnya, lalu menyiapkan buntalannya
untuk segera pergi, dan aku
langsung merasa sangat lega. Aku takut aku akan tertawa. Aku duduk dan
menyendokkan dua sendok penuh sup mijumiju lagi ke dalam mulutku.
Hitam cukup pandai untuk tidak bergerak mendekati pintu rumah itu. Seketika,
Shevket mengunci dirinya di dalam kamar almarhum ayahnya, dan meskipun kami
berteriak meminta pertolongan Hitam, ia atau anak buahnya tak ada yang masuk.
Setelah Shekure mengizinkan Shevket membawa serta sebilah belati dengan gagang
berhias batu merah delima milik pamannya, si bocah bersedia meninggalkan rumah
itu bersama kami. "Waspadalah terhadap Hasan dan pedang merahnya," seru sang ayah mertua dengan
kecemasan yang tulus dan bukan karena perasaan telah dikalahkan bercampur
dendam. Ia mencium kedua cucunya, mengecup kepala mereka. Ia juga berbisik ke
telinga Shekure, Ketika kulihat Shekure memandangi pintu, dindingdinding, dan tungku rumah itu
untuk terakhir kalinya, aku kembali teringat betapa semua benda itu pernah
menyertainya saat dia menghabiskan tahuntahun membahagiakan dalam hidupnya
dengan suami pertamanya, Namun, sadarkah dia bahwa rumah ini juga menjadi tempat
perlindungan dua lelaki merana yang kesepian, dan hal itu meruapkan aroma
kematian" Aku tidak berjalan bersamanya dalam perjalanan pulang, karena dia
telah menyakiti perasaanku dengan kembali ke tempat ini.
Bukan dingin dan gelapnya malam yang menyatukan kedua anak tak berayah itu dan
tiga orang perempuan salah satunya pelayan, yang lainnya seorang Yahudi dan ?seorang janda melainkan daerah yang aneh
?itu, jalanan yang nyaris tak bisa dilewati, dan rasa takut kami pada Hasan.
Rombongan kami dikawal anak buah Hitam, dan seperti sebuah kafilah yang
mengangkut harta karun, kami berjalan menjauhi jalan-jalan utama, melintasi
jalan-jalan tikus, dan memisahkan diri, melewati daerah terpencil dan jarang
dikunjungi untuk menghindari berpapasan dengan penjaga kemanan, tentara,
berandal-berandal kampung yang penasaran, para perampok, atau Hasan. Sesekali,
lewat kegelapan yang amat pekat, di mana kau tidak bisa melihat tanganmu sendiri
di depan wajahmu, kami bergerombol, berkali-kali saling bersenggolan dan
menabrak-nabrak dinding, Kami berjalan saling berpegangan, dihantui rasa takut
pada mayatmayat hidup, jin, dan setan yang bisa tibatiba muncul dari dalam tanah
dan menculik kami ke dalam kegelapan malam. Tepat di balik dindingdinding dan
daun-daun jendela yang tertutup rapat, yang kami rabaraba dengan tangan kami
seperti orang buta, kami mendengar dengkuran dan orangorang yang terbatuk di
malam hari karena kedinginan, seperti binatang binatang yang bergelung di dalam
sarang-sarang mereka. Bahkan Esther, yang tidak aneh lagi dengan daerah-daerah paling miskin dan
paling kumuh, yang pernah berjalan di seluruh jalanan Istanbul kecuali daerah
?daerah tempat para pekerja pendatang dan berbagai kelompok orang malang
berkumpul sesekali merasa bahwa kami bisa saja raib di jalanan ini. Jalan yang
?berkelok-kelok dan bercecabang tanpa henti melewati kegelapan yang tiada akhir.
Meski demikian, aku masih bisa mengenali sudutsudut jalan tertentu yang dengan
tabah kulewati di siang hari sambil mengangkut buntalanku. Misalnya saja, aku
mengenali dindingdinding Jalan Penjahit, aroma menyengat pupuk kandang yang entah bagaimana
?mengingatkanku pada kayu manis dari kandang kuda yang berhubungan dengan
?kediaman Nurullah Hoja, tempat yang tersisa setelah dilahap si jago merah di
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jalan Akrobat, jalanan beratap milik para prajurit pawang rajawali yang mengarah
ke perkampungan Air Mancur Haji Buta, dan karenanya aku tahu bahwa kami sama
sekali tidak menuju rumah almarhum ayah Shekure, sedangkan bagi yang lainnya,
ini adalah tujuan yang misterius.
Tak perlu dikatakan lagi apa yang akan dilakukan Hasan jika ia marah, dan aku
tahu Hitam sudah menemukan tempat lain untuk menyembunyikan keluarganya dari
lelaki itu dan dari seorang pembunuh laknat. Andai aku bisa memperkirakan di ?mana kira-kira tempat persembunyian itu, aku akan memberitahumu sekarang, dan
memberi tahu Hasan besok pagi bukan karena berniat buruk, melainkan karena aku
?yakin Shekure menginginkan perhatian Hasan. Namun, Hitam yang cerdas seperti
bisaanya tidak lagi percaya padaku.
Kami sedang berjalan menuruni sebuah jalan gelap di belakang pasar budak, ketika
sebuah jeritan ribut dan lolongan terdengar di ujung jalan itu. Kami mendengar
suarasuara perkelahian, dan aku mengenali huru-hara mencekam yang akan mengawali
sebuah perkelahian: denting kapak, pedang, dan kayu, dan pekik kesakitan yang
memilukan. Hitam menyerahkan pedangnya yang besar pada anak buahnya yang paling ia
percayai, lalu dengan paksa mengambil belati dari tangan Shevket, sehingga
membuat anak itu menangis. Lalu, Hitam meminta si murid tukang cukur serta dua
orang lelaki lain memindahkan Shekure,
Hayriye, dan anakanak ke tempat yang jauh agar lebih aman. Si santri sekolah
agama berkata padaku bahwa ia akan membawaku pulang lewat jalan pintas.
Begitulah, ia tidak akan membiarkanku tinggal bersama yang lainnya. Apakah ini
putaran nasib atau sebuah upaya licik untuk merahasiakan tempat mereka
bersembunyi" Ada sebuah kedai, yang kukenali sebagai sebuah kedai kopi, di ujung jalan sempit
yang kami susuri. Mungkin pertarungan pedang itu terhenti begitu dimulai.
Kerumunan orang tampak berteriak-teriak saat mereka keluar masuk. Pada awalnya
kupikir mereka sedang merampok. Tetapi tidak, mereka sedang menghancurkan kedai
kopi itu. Dengan berhatihati mereka mengeluarkan semua cangkir keramik, bejanabejana kuningan, gelas-gelas, dan meja-meja pendek di bawah cahaya obor mereka
yang menyaksikan, untuk kemudian menghancurkan segalanya dengan satu komando.
Mereka mengasari seorang lelaki yang berusaha menghentikan mereka, tetapi lelaki
itu berhasil melarikan diri. Pada awalnya kupikir sasaran mereka hanyalah kedai
kopi itu, sebagaimana yang mereka akui sendiri. Mereka menghujat segala pengaruh
buruk yang dimunculkan kedai itu, betapa kopi membahayakan penglihatan dan
pencernaan, betapa kopi merendahkan kecerdasan dan membuat orang kehilangan
keimanan mereka, betapa cairan itu adalah racun dari kaum Frank dan betapa
Muhammad Yang Mulia telah menolak kopi meski disajikan oleh seorang perempuan
jelita setan yang menyaru. Seakanakan itu adalah sebuah drama satu malam berisi
?khotbah tentang tata krama moral, dan andai aku pada akhirnya sampai ke rumah,
kupikir aku akan mengomeli Nesim, memperingatkannya untuk tidak terlalu banyak
meneguk racun itu. Karena di tempat tersebut terdapat banyak pondokan dan penginapan murah yang
berdekatan, sebuah kerumunan orangorang yang penasaran langsung terbentuk begitu
saja, terdiri dari para pengelana yang sedang menganggur, para tunawisma, dan
anjinganjing tak berguna yang menyusup secara tidak sah ke kota itu. Mereka
membuat para musuh kopi ini semakin berani. Baru saat itulah kupahami orang
orang ini adalah para pengikut Nusret Hoja dari Erzurum. Mereka berniat
membersihkan semua tempat minum anggur, tempat pelacuran, dan kedai kopi di
Istanbul, serta menghukum seberat-beratnya mereka yang melenceng dari jalan
Muhammad Yang Mulia, misalnya mereka yang menggunakan ritual para darwis sebagai
alasan untuk mengadakan pertunjukan tari perut diiringi musik. Mereka bergerilya
menumpas musuh agama mereka, orangorang yang bekerja sama dengan iblis, para
penyembah berhala, mereka yang tak beriman, dan para pelukis. Tibatiba saja aku
teringat bahwa ini adalah kedai kopi yang dinding-dindingnya digantungi
gambargambar, di mana agama dan hoja dari Erzurum dilecehkan, serta
kekurangajaran tak ditentang.
Seorang pegawai pembuat kopi, dengan wajah berlumuran darah, muncul dari dalam,
dan kupikir ia akan pingsan. Namun, ia malah menghapus darah dari kening dan
pipinya dengan ujung lengan kemejanya, berbaur dengan kelompok kami, dan mulai
mengamati penggempuran itu. Kerumunan ini mundur karena ketakutan. Kuperhatikan
Hitam mengenali seseorang dan kemudian ia tampak bimbang. Dari cara para
pengikut Erzurumi itu mulai berkumpul, aku tahu bahwa pasukan
penjaga keamanan atau gerombolan lain yang bersenjatakan tongkat sedang menuju
tempat ini. Obor-obor dimatikan dan kerumunan itu menjadi orangorang yang
tercerai-berai kebingungan.
Hitam menyambar lenganku dan menyuruh murid sekolah agama itu membawaku pergi.
"Pergilah lewat jalan belakang," perintahnya. "Ia akan mengantarmu sampai ke
rumahmu." Murid sekolah agama itu ingin pergi secepat mungkin dan kami nyaris
berlari saat berlalu. Pikiranku terus bersama Hitam, tetapi jika Esther
dienyahkan dari tempat kejadian perkara, dia tidak mungkin melanjutkan kisah
ini, bukan"!] Bab 54 AKU ADALAH SEORANG PEREMPUAN --^^r-h-- AKU SUDAH mendengar keberatanmu, "Sang pendongeng, kau mungkin bisa meniru siapa
pun atau apa pun, tetapi kau tak akan pernah bisa meniru seorang perempuan!" Aku
tidak minta dibedakan. Benar, aku mengelana dari kota ke kota, menirukan
segalanya dalam jam-jam pertama setelah tengah malam di pesta-pesta pernikahan,
perayaan, dan kedaikedai kopi sampai suaraku menyerah kalah, dan itu sebabnya
aku tidak punya kesempatan untuk menikah. Namun, bukan berarti aku tidak dikenal
di antara para perempuan.
Aku cukup mengenal para perempuan. Kenyataannya, aku mengenal secara pribadi
empat di antaranya, melihat wajah mereka, dan berbicara dengan mereka: 1. Ibuku,
semoga dia beristirahat dengan damai selamanya; 2. Bibiku tersayang; 3. Istri
kakak lelakiku (kakakku itu selalu memukuliku) yang berkata "Keluar!" dalam
sebuah kesempatan bertemu denganku dia adalah perempuan pertama yang membuatku ?jatuh cinta; dan 4. Seorang perempuan yang kujumpai secara tak sengaja di sebuah
jendela yang terbuka di Konya, saat aku sedang melancong. Meski tidak pernah
berbincang dengannya, aku memelihara hasrat dan gairah padanya selama
bertahuntahun, dan aku masih merasakannya. Mungkin,
kini dia sudah meninggal dunia.
Memandangi raut wajah telanjang seorang perempuan, berbicara padanya, dan
menyaksikan kemanusiaannya, membuka jalan untuk segunung gairah sekaligus
segudang rasa sakit di lubuk hati kami, para lelaki. Oleh karena itu,
kemungkinan terbaik untuk semua itu adalah jangan pernah memandangi perempuan,
khususnya perempuanperempuan cantik, tanpa sebelumnya menikah secara resmi
seperti yang diajarkan agama kita. Satusatunya pelipur bagi hasrat bersetubuh
adalah mencoba bersahabat dengan bocah-bocah lelaki tampan, sebentuk pelampiasan
kepuasan akan para perempuan, dan jika tiba waktunya, hal ini juga menjadi
sebuah kebisaaan yang manis. Di kotakota kaum Frank di Eropa, para perempuan
berkeliaran tidak hanya mempertontonkan wajah mereka, tetapi juga rambut mereka
yang berkilauan (bagian paling menarik dari diri mereka setelah leher mereka),
lengan mereka, tenggorokan mereka yang indah, dan bahkan, jika yang kudengar ini
benar, sebagian dari kaki mereka yang indah. Hasilnya, para lelaki di kotakota
tersebut berkeliaran dengan kerepotan, malu, dan amat kesakitan, karena,
kautahu, bagian depan tubuh mereka akan selalu dalam keadaan tegang dan
kenyataan ini tentu saja mengarah pada kelumpuhan masyarakat mereka. Tak
diragukan lagi, ini sebabnya orangorang kafir Frank menyerahkan satu lagi
bentengnya kepada kami kaum Utsmaniyah.
Setelah menyadari, saat masih muda, bahwa resep terbaik untuk kebahagiaan dan
kepuasan batinku adalah menjauhi para perempuan jelita, aku jadi sangat
penasaran pada makhlukmakhluk ini. Saat itu, karena aku belum pernah melihat
perempuan mana pun selain ibuku
dan bibiku, rasa ingin tahukumengambil sebuah sifat mistis, kepalaku jadi
menggelenyar, dan aku tahu bahwa aku hanya bisa mempelajari perasaan perempuan
jika aku melakukan apa yang mereka lakukan, makan apa yang mereka santap,
mengatakan apa yang mereka katakan, meniru perilaku mereka, dan ya, hanya jika
aku mengenakan pakaian mereka. Maka, pada suatu hari Jumat, ketika ibuku,
ayahku, kakakku, dan bibiku pergi ke kebun mawar nenekku di tepian Fahreng,
kukatakan pada mereka bahwa aku merasa sakit dan akan tinggal di rumah saja.
"Ayolah ikut. Begini, kau akan menghibur kami dengan meniru anjinganjing,
pepohonan, dan kudakuda di pedesaan. Lagi pula, apa yang akan kaulakukan di sini
sendirian?" Tanya ibuku, semoga dia beristirahat dalam kedamaian yang abadi.
"Aku akan mengenakan pakaianmu dan menjadi seorang perempuan, ibuku sayang,"
bukanlah sebuah jawaban yang mungkin kukatakan. Jadi, aku berkata, "Perutku
sakit." "Ayolah, jangan pengecut," seru ayahku. "Ayo ikut dan kita akan main gulat."
Saudara-saudaraku para pelukis dan penulis kaligrafi, aku akan menceritakan
padamu sekarang, apa yang segera kurasakan ketika mereka pergi dan aku
mengenakan pakaian dalam dan pakaian perempuan milik almarhumah ibuku dan
bibiku, juga rahasia-rahasia yang kupelajari saat itu tentang menjadi seorang
perempuan. Pertama, izinkan aku berterus terang bahwa kebalikan dari yang sering
kita baca di bukubuku dan kita dengar dari para pendakwah, ketika kau menjadi
seorang perempuan, kau tidak merasa bagaikan sesosok iblis.
Tidak sama sekali! Ketika aku menarik pakaian dalam wol ibuku yang berbordir
bunga mawar, sebentuk rasa yang lembut menyelimuti seluruh tubuhku dan aku
merasa sama perasanya dengan ibuku. Sentuhan pada kulit telanjangku dari kemeja
hijau pupus bibiku, yang dia sendiri tidak pernah berani mengenakannya,
membuatku merasakan sebentuk kasih sayang yang tak terkendalikan terhadap semua
anakanak, termasuk diriku sendiri. Aku merasa ingin mengasuh semua orang dan
memasak bagi semua orang di seluruh dunia. Setelah aku sedikit banyak memahami bagaimana rasanya memiliki buah dada, aku mengisi
dadaku dengan apa saja yang bisa kutemukan kaus kaki dan lap agar aku memahami? ?apa yang sungguhsungguh membuatku penasaran: bagaimana rasanya menjadi seorang
perempuan berdada besar. Ketika aku melihat yang besar menyembul ini, ya, aku
mengakuinya, aku sama sombongnya dengan setan. Aku langsung mengerti bahwa
lakilaki, hanya dengan menangkap bayangan payudaraku yang melebihi batas
kewajaran, akan mengejarnya dan berjuang untuk bisa memasukkannya ke dalam mulut
mereka. Aku merasa begitu berkuasa, tetapi apakah hal itu yang kuinginkan" Aku
merasa bingung: aku ingin menjadi berkuasa sekaligus menjadi objek belas
kasihan. Aku menginginkan seorang lelaki yang kaya, berkuasa dan pandai yang
?tak kukenal sejak zaman Adam jatuh cinta dan tergila-gila padaku, meski aku
?juga merasa takut pada lelaki seperti itu. Mengenakan gelang-gelang emas yang
disembunyikan ibuku di dasar peti pakaian di samping tumpukan sprei dengan
border bercorak dedaunan, di dalam kaus kaki wol beraroma lavender, membubuhkan
warna merah jambu yang digunakannya untuk membuat pipinya berwarna
cerah setiap kali pulang dari pemandian umum, mengenakan jubah hijau daun milik
bibiku, dan memasang kerudung tipis dengan warna senada setelah menyatukan
rambutku, kupandangi diriku sendiri di depan cermin berbingkai cangkai kerang,
dan aku bergidik. Meski aku tidak menyentuhnya, mata dan bulu mataku telah mirip
yang dimiliki seorang perempuan. Hanya mata dan pipiku saja yang terlihat,
tetapi aku adalah seorang perempuan yang luar bisaa menawan dan ini membuatku
sangat bahagia. Kelelakianku, yang menyadari kenyataan ini bahkan sebelum aku
menyadarinya, menjadi ereksi. Tentu saja, hal ini membuatku gusar.
Di gagang cermin yang kupegang, aku mengamati sebutir air mata jatuh dari mataku
yang indah dan baru pada saat itulah sebuah puisi merasuk pedih ke dalam
benakku. Aku tidak akan pernah mampu melupakannya, karena di saat yang sama,
teriilhami oleh Yang Mahakuasa, aku menyanyikan puisi ini dengan berirama
seperti sebuah lagu, berupaya melupakan kedukaanku:
Hatiku yang bimbang mendamba Barat ketika aku berada di Timur dan mendamba Timur
kala aku di Barat. Diriku yang lain bersikukuh aku menjadi perempuan ketika aku seorang lelaki dan
seorang lelaki saat menjadi perempuan.
Betapa rumitnya menjadi manusia, tetapi lebih buruk lagi hidup dalam kehidupan
yang manusiawi. Aku hanya ingin menghibur diri sendiri dari depan sampai belakang, untuk menjadi
Timur sekaligus Barat. Aku baru akan mengatakan, "Mari kita berharap agar saudarasaudara kita para
pengikut Erzurumi tidak mendengar lagu yang berasal dari hatiku itu," karena
mereka akan murka. Namun, mengapa aku harus merasa takut" Mungkin mereka justru
tidak akan marah. Dengarkan, aku bukan mengatakan semua ini demi pergunjingan
semata, melainkan karena aku tahu bagaimana pendakwah ternama Yang Tak Mulia
Husret Effendi, meskipun sudah menikah, lebih menyukai bocah bocah lelaki
tampan, bagi kami perempuan sama perasanya dengan kalian para pelukis. Aku hanya
mengatakan pada kalian apa yang kudengar. Namun, aku sama sekali tidak peduli
terhadap hal-hal seperti ini karena menurutku sangat tidak menyenangkan dan ia
sangat tua. Giginya sudah ompong dan anakanak muda yang dekat dengannya berkata
bahwa mulutnya bau dan memaklumi raut wajahnya yang seperti pantat seekor
beruang. Baiklah, aku akan menyimpan desas-desus ini untuk kembali ke persoalan yang
sesungguhnya sebagai berikut: Begitu aku melihat betapa cantiknya aku, aku tak
ingin lagi mencuci pakaian dan piring-piring, dan malah memamerkannya dengan
berkeliaran di jalanan bagaikan seorang budak. Kemiskinan, air mata, kesedihan,
menatap pilu ke arah cermin karena kecewa dan menangis adalah nasib
perempuanperempuan sedih buruk rupa. Aku harus menemukan seorang suami yang akan
menempatkanku di atas sebuah singgasana, tetapi siapakah orangnya"
Itu sebabnya aku mulai mengintai lewat lubang kecil untuk mengintip putra para
pasha dan para bangsawan yang diundang almarhum ayahku ke rumah kami dalam
beberapa kesempatan. Aku ingin kesulitanku menyerupai
yang diderita oleh si jelita berbibir mungil beranak dua yang dicintai semua
miniaturis. Mungkin akan lebih baik bagiku mengisahkan padamu cerita tentang si
malang Shekure. Tetapi, tunggu sebentar, aku sudah berjanji akan menceritakan
kisah berikut ini malam ini:
Kisah Cinta yang Diceritakan oieh Seorang Perempuan yang Dihasut Ibiis
Sesungguhnya cerita ini sederhana saja. Cerita ini terjadi di Kemerustu, salah
satu daerah termiskin di Istanbul. Seorang warga kota dari kalangan terhormat di
wilayah tersebut, Chelebi Ahmet, yang merupakan sekretaris Vasif Pasha, adalah
seorang lelaki terhormat yang sudah menikah dan memiliki dua orang anak yang
dipeliharanya sendiri. Suatu hari, lewat sebuah daun jendela yang terbuka, ia
menangkap bayangan seorang gadis Bosnia rupawan yang tinggi semampai dengan
rambut hitam panjang, mata hitam, dan kulit keperakan, dan ia pun jadi tergilagila. Namun, si perempuan sudah menikah dan tidak tertarik sedikit pun pada
Chelebi. Ia setia mengabdi pada suaminya. Chelebi yang malang tidak ingin
menceritakan kesengsaraannya pada siapa pun, dan merana karena cinta sampai
tinggal kulit pembungkus tulang. Ia mencandu anggur yang dibelinya dari seorang
Yunani, meski tetap saja ia tak mampu menyembunyikan cintanya dari penduduk
sekitar. Pada awalnya, karena orangorang amat menyukai kisahkisah cinta semacam
itu, dan mengagumi serta menghormati Chelebi, mereka memuliakan cintanya,
membuat gurauan-gurauan tentang hal itu, dan membiarkan kehidupan berlalu
sebagaimana mestinya. Namun, sang Chelebi, yang tidak mampu
mengendalikan penderitaannya yang tak juga mereda, mulai mabuk-mabukan setiap
malam, dan duduk di depan pintu rumah tempat si jelita berkulit keperakan itu
tinggal dengan suaminya. Ia akan menangis selama berjam-jam di tempat itu
seperti anak kecil. Akhirnya hal ini meresahkan penduduk sekitarnya. Setiap
malam saat si pencinta itu menangis karena merana, mereka tidak mampu
memukulinya, mengusirnya, atau menenangkannya. Sang Chelebi, layaknya seorang
lelaki terhormat, akhirnya menangis dan meratap diamdiam tanpa membuat keributan
atau mengganggu siapa pun. Namun, lama kelamaan kesengsaraannya itu menggerakkan
seluruh warga, menjadi penderitaan dan duka cita semua orang. Orangorang
tersentuh, dan bagai sebuah mata air yang memancar dengan sedih di sebuah
lapangan, Chelebi menjadi sebuah mata air duka cita. Awalnya, pembicaraan
tentang kepedihannya itu hanya menyebar di antara penduduk sekitar saja, lalu
menjadi sebuah pergunjingan tentang nasib sial, dan kemudian menjadi kepastian
atas nasib buruk. Sebagian warga memilih untuk pindah dari daerah itu, sebagian
lagi mengalami kesialan beruntun, dan sebagian lagi tak mampu melatih
keterampilan mereka, karena mereka telah kehilangan minat untuk bekerja. Setelah
lingkungan sekitarnya menjadi semakin sepi, suatu hari si Chelebi yang kasmaran
itu juga ikut pindah dengan istri dan anakanaknya, meninggalkan si jelita
berkulit keperakan dan suaminya. Kemalangan ini memadamkan api cinta di antara
mereka, dan membuat mereka menjauh. Meski suami istri ini tinggal bersama hingga
akhir hidupnya, tetapi mereka tidak pernah mampu lagi berbahagia.
AKU BARU akan mengatakan betapa aku sangat menyukai kisah ini, karena isinya
menunjukkan begitu banyak cinta dan perempuan, ketika demi Tuhan, aku khilaf
bahwa aku telah kehilangan kemampuan nalarku. Karena aku sekarang adalah seorang
perempuan, aku akan mengatakan sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Baiklah, sesuatu
yang seperti ini, "Oh, betapa indahnya cinta!"
Lalu, siapakah orang orang asing yang menyerbu masuk itu"[]
00 AKU DINAMAI "KUPU-KUPU1
m jf'jg11^ AKU MELIHAT segerombolan orang dan tahu : bahwa para begundal
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengikut Erzurumi telah W mulai membantai kami para miniaturis cendekia. j|p2!f
Hitam juga berada dalam kerumunan dan menyaksikan serangan itu. Aku melihatnya
menghunus sebilah belati ditemani sekelompok orang bertampang aneh, serta Esther
penjaja pakaian yang terkenal dan perempuanperempuan lainnya yang mengangkut
buntalan pakaian. Aku merasa ingin segera melarikan diri setelah menyaksikan
kekejian itu dan para pengunjung kedai kopi yang dianiaya tanpa ampun saat
berusaha untuk melarikan diri. Beberapa saat kemudian, gerombolan
lainnya mungkin pasukan keamanan tiba di tempat itu. Begundal Erzurumi ? ?memadamkan obor-obor mereka dan beranjak pergi.
Tiada siapa pun di jalan masuk yang gelap menuju kedai kopi, dan tak seorang pun
yang melihatku. Aku melangkah masuk. Semua porak poranda. Aku melangkah di atas
pecahan cangkir, piring, gelas, dan mangkuk. Sebuah lampu minyak yang dipakukan
tinggi di dinding tidak padam selama kerusuhan terjadi, Lampu itu hanya
menyinari bekas jelaga di langit-langit. Di kegelapan lantai berserakan papanpapan patah dari bangkubangku dan meja-meja rendah yang dihancurkan, juga
puingpuing lainnya. Dengan bertumpu pada tumpukan bantal-bantal panjang, aku naik dan mengambil
lampu minyak itu. Dengan cahayanya yang berupa lingkaran kecil, aku menyaksikan
mayatmayat bergelimpangan di lantai. Ketika aku melihat seraut wajah berlumur
darah, aku memalingkan kepala, dan melihat yang lainnya. Sosok tubuh kedua
sedang mengerang dan saat melihat cahaya lampuku, ia mengeluarkan suara seperti
seorang anak kecil. Seseorang yang lain masuk. Awalnya aku merasa waspada, meski aku bisa merasakan
bahwa itu adalah Hitam. Kami berdua membungkuk di atas mayat ketiga yang sedang
tergeletak di atas lantai. Saat aku menurunkan lampu minyak yang kupegang ke
atas kepalanya, kami menyaksikan yang telah kami duga: Mereka membunuh si
pendongeng. Tak ada jejak darah di wajahnya yang didandani seperti wajah seorang perempuan,
tetapi dagu, alis, dan mulutnya yang berwarna merah muda itu tampak habis
dipukuli. Melihat lehernya yang menyisakan bekas memar legam, tampaknya ia telah
dicekik. Tangannya terjulur ke belakang, di kedua sisi kepalanya. Tak sulit
membayangkan betapa salah seorang dari mereka telah memegangi tangan lelaki itu
di belakang punggungnya ketika yang lainnya memukuli wajahnya sebelum akhirnya
mencekiknya. Aku bertanyatanya, apakah mereka sempat mengatakan, "Potong saja
lidahnya agar ia tak pernah lagi mengejek Yang Mulia Hoja Effendi," dan kemudian
bersiap melakukan hal itu"
"Bawa lampu itu kemari," kata Hitam. Di dekat tungku, cahaya lampu menerpa
penggilingan kopi yang hancur,
saringan dan timbangan yang pecah, serta pecahan cangkircangkir kopi yang
berserakan di antara lumpur kopi yang tertumpah. Di suatu sudut tempat si
pendongeng menggantungkan gambargambarnya setiap malam, Hitam sedang mencaricari barangbarang milik si pendongeng, selendang, saputangan tukang sulap, dan
tongkat yang bisa meledak. Hitam berkata bahwa ia sedang mencari gambargambar,
dan mendekatkan lampu yang ia rampas dariku ke arah wajahku: Ya, tentu saja aku
yang menggambar dua di antaranya atas nama persaudaraan. Kami tidak menemukan
apa pun selain kopiah Persia yang dikenakan oleh mendiang pemiliknya di
kepalanya yang gundul. Tak melihat siapa pun lagi, kami melangkah keluar menuju pekatnya malam,
melewati sebuah gang sempit yang terletak tepat di pintu belakang kedai kopi
itu. Selama kerusuhan itu berlangsung, sebagian besar pengunjung dan para
seniman yang berada di dalamnya sangat mungkin melarikan diri lewat pintu ini,
tetapi para pendatang yang pingsan dan kantung-kantung kopi yang berserakan di
mana-mana menunjukkan bahwa di tempat ini juga sempat terjadi perkelahian.
Kenyataan bahwa kedai kopi itu diserang dan si pendongeng dibunuh, berpadu
dengan kegelapan malam yang mencekam, membuat Hitam dan aku melangkah
berdekatan. Hal ini juga menimbulkan keheningan di antara kami. Kami melintasi
dua ruas jalan lagi. Hitam menyerahkan lampu itu kembali padaku, lalu ia
mengambil belatinya dan menekankannya ke kerongkonganku.
"Kita akan pergi ke rumahmu," ujarnya. "Aku ingin mencarinya agar pikiranku
menjadi tenang." "Rumahku sudah digeledah."
Aku tidak tersinggung oleh sikapnya, aku malah merasa ingin sekali menggodanya.
Tidakkah kenyataan bahwa Hitam memercayai desas-desus memalukan tentang diriku
itu membuktikan bahwa ia juga cemburu padaku" Ia menggenggam belati itu dengan
tidak begitu meyakinkan. Rumahku berseberangan arah dengan jalan yang kami lewati dari kedai kopi. Kami
berbelok ke kanan dan kiri menyusuri jalanan kecil di sekitar daerah tersebut
dan\ melintasi tamantaman kosong yang meruapkan aroma memuakkan hawa lembab dan
pepohonan kesepian saat kami menemukan sebuah jalan memutar yang sunyi ke arah
rumahku. Kami baru mencapai separuh jalan lebih sedikit, ketika Hitam berhenti
dan berkata, "Selama dua hari, Tuan Osman dan aku mengamati karya karya besar
para empu legendaris di Ruang Penyimpanan Harta."
Beberapa saat kemudian, dengan suara yang nyaris terdengar mirip jeritan, aku
berkata, "Setelah mencapai usia tertentu, sekalipun seorang pelukis bekerja di
meja kerja yang sama dengan Bihzad, segala yang dilihatnya bisa saja
menyenangkan pandangannya atau membawa kepuasan dan kegairahan dalam jiwanya,
tetapi tak akan menambah bakatnya, karena seorang pelukis melukis dengan tangan,
bukan dengan mata. Dan tanganku di usia seperti sekarang ini, apalagi tangan
Tuan Osman, tidak bisa mempelajari hal-hal baru dengan mudah."
Yakin bahwa istriku yang jelita sedang menungguku, aku berbicara sekencang
kencangnya agar dia tahu aku tidak sendirian, sehingga dia akan menyembunyikan
dirinya dari Hitam bukan karena aku menganggap serius belatinya yang bodoh itu.?Kami melintasi gerbang halaman, dan kupikir aku melihat sinar lampu bergerak
gerak di dalam rumah, tetapi syukurlah semuanya telah gelap sekarang. Ini adalah
sebuah pemerkosaan keji terhadap keleluasaan pribadiku, karena binatang
bersenjatakan pisau ini memaksa masuk ke rumah surgaku, tempat aku menghabiskan
waktuku benarbenar seluruh waktuku untuk melukis ingatan Allah hingga mataku
? ?letih sarang tempatku bercinta dengan kekasihku, perempuan tercantik di kolong
?langit sehingga aku bersumpah akan membalas dendam padanya atas perlakuannya
?ini. Dengan merendahkan cahaya lampunya, ia memeriksa kertas-kertasku, selembar
halaman yang sedang kuselesaikan menggambarkan para terdakwa yang sedang
?memohon pada Sultan untuk dibebaskan dari jeratan utang dan menerima kemurahan
hati beliau lukisan-lukisanku, meja-meja kerjaku,
?pisau-pisauku, alas papan untuk memotong pena buluh, kuas-kuas, semua benda di
sekitar meja tulisku, kertas-kertasku yang lain, batu-batu peliturku, pisau
penaku, dan ruang di antara pena dan kotak kertasku, Ia menyelidik ke dalam
lemarilemari, petipeti, di balik tumpukan bantal, memeriksa salah satu gunting
kertasku, dan di balik sebuah bantal merah lembut, juga sehelai karpet, sebelum
akhirnya kembali, membawa lampu minyaknya mendekat dan lebih dekat lagi ke
setiap benda, lalu memeriksa tempattempat yang sama sekali lagi. Seperti yang ia
katakana saat pertama kali menghunus senjatanya, ia tidak akan menggeledah
seluruh rumahku, hanya bengkel kerjaku saja. Ah, tak bisakah aku menyembunyikan
istriku satusatunya yang ingin kusembunyikan di kamar tempat dia sedang
? ?memata-matai kami saat ini"
"Ada sebuah lukisan terakhir yang menjadi bagian dari buku Enishteku yang sedang
disusun," ujarnya. "Siapa pun pembunuhnya pasti telah mencuri lukisan itu."
"Lukisan itu berbeda dari lukisanlukisan lainnya," tukasku segera. "Enishtemu,
semoga ia beristirahat dengan damai, memaksaku melukis sebatang pohon di salah
satu sudut halaman itu. Sebagai latar belakang di suatu tempat ... dan di tengah
halaman, di bagian depan, akan diletakkan gambar seseorang, mungkin potret
Sultan kita. Ruang kosong itu, cukup luas jika boleh kutambahkan, menantikan
gambar tersebut. Karena bendabenda di latar belakang dibuat lebih kecil, seperti
dalam lukisan gaya Eropa, ia juga memerintahkanku membuat pohon itu lebih kecil.
Ketika gambar itu dibuat, tersirat kesan sebuah pemandangan dunia ini yang
dilihat dari sebuah jendela, sama sekali bukan seperti sebuah ilustrasi. Saat
itulah aku mengerti bahwa dalam sebuah lukisan yang dibuat dengan metode
perspektif orang orang Frank, garis pembatas dan penyepuhan menggantikan sebuah
bingkai jendela." "Elok Effendi yang bertanggung jawab atas pembuatan garis pembatas dan
penyepuhannya." "Jika lukisan itu yang sedang kaucari, aku sudah memberitahumu bahwa aku tak
membunuhnya." "Seorang pembunuh tidak akan pernah mengakui kejahatannya," sahutnya cepat, lalu
bertanya padaku apa yang kulakukan di kedai kopi ketika penyerangan berlangsung.
Ia meletakkan lampu minyaknya tepat di samping bantal tempatku duduk untuk
menerangi wajahku serta kertas-kertas dan halamanhalaman yang sedang kuhias. Ia
sendiri hilir mudik dengan gelisah di ruangan itu seperti
sebuah bayangan dalam kegelapan.
Selain memberitahunya apa yang telah kukatakan padamu bahwa aku sesungguhnya
pengunjung rutin kedai kopi itu dan sedang kebetulan melintas. Aku juga
mengulangi keterangan bahwa aku membuat dua buah gambar yang digantungkan di
dinding kedai itu meski sebenarnya aku tidak sepakat dengan yang terjadi di ?dalam kedai kopi itu. "Karena," tambahku, "seni lukis hanya berujung pada
hujatan dan kutukan pada diri sendiri ketika lukisan tersebut mendapat
kekuatannya dari hasrat untuk menghujat dan mengutuk setan kehidupan, bukan
kekuatan yang berasal dari keahlian pelukis itu sendiri, kecintaannya pada seni,
dan hasrat untuk meraih ridho Allah ... tak peduli apakah si pendakwah dari
Erzurum atau justru Setan yang dihujat. Lebih penting lagi, jika para pengunjung
kedai kopi tidak menjadikan para pengikut Erzurumi sasaran ejekan mereka,
mungkin tak akan ada kerusuhan malam ini."
"Biarpun begitu, kau tetap akan datang ke tempat itu," sahut begundal itu.
"Ya, karena aku merasa senang di tempat itu." Apakah ia bisa memperkirakan
sejujur apakah aku" Aku menambahkan, "Meskipun aku tahu betapa buruk dan
Keris Pusaka Nogopasung 1 Lentera Maut ( Ang Teng Hek Mo) Karya Khu Lung Si Rase Kumala 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama