Ceritasilat Novel Online

My Name Red 4

My Name Is Red Karya Orhan Pamuk Bagian 4


mata orang yang sudah mati, bukan di liang kubur, melainkan di sebuah tempat
yang jauh berbeda .... Sebuah kenangan: Tiga puluh tahun yang lalu, kakek Sultan, Penghuni Surga,
memutuskan untuk selamanya mengambil alih pulau Siprus dari orangorang Venesia.
Syekhulislam Ebussuut Effendi, mengingat betapa pulau ini pernah dijadikan
pemasok bala tentara bagi Mekah dan Madinah, berdasarkan sebuah fatwa yang
kurang lebih menyatakan bahwa tak pantas bagi sebuah pulau yang sudah membantu
mempertahankan tempa-tempat suci tetap berada di bawah kendali kaum kafir
Kristen. Akibatnya, sebuah tugas amat berat untuk memberi tahu orang orang
Venesia tentang keputusan yang tak terduga ini, yakni bahwa mereka harus
menyerahkan pulau itu, dibebankan kepadaku. Hasilnya, aku bisa berjalan-jalan
mengunjungi katedral-katedral di Venesia, Meskipun aku terkagum-kagum melihat
jembatanjembatan dan pafazzo mereka, tetapi aku amat terpukau oleh lukisan
lukisan yang digantungkan di rumahrumah orangorang Venesia. Namun, di tengah
ketercenganganku merasakan keramahtamahan yang disuguhkan oleh bangsa Venesia,
aku mengirimkan sepucuk surat yang berbahaya, yang memberi tahu mereka secara
angkuh betapa Sultan kami menginginkan pulau Siprus. Orangorang Venesia sangat
murka, sehingga dalam rapat kongres yang dilangsungkan secara mendadak
disimpulkan bahwa mendiskusikan surat itu saja pun sudah dianggap tidak mungkin.
Orangorang jahat yang mengamuk telah memaksaku mengurung diri di palazzo milik
Doge. Dan ketika beberapa orang penjahat berhasil melewati para pengawal dan
penjaga pintu, dan siap untuk mencekikku, dua kesatria pribadi Doge berhasil
melarikan aku melewati salah satu jalan rahasia yang berujung di sebuah kanal.
Di sanalah, di tengah selimut kabut, bukan seperti yang ada sekarang ini, aku
seketika berpikir bahwa pengemudi gondola yang tinggi pucat dan berpakaian
putih-putih, yang mencengkeram tanganku, tak lain adalah Kematian. Aku menangkap
bayangan diriku di dalam bola matanya. Dengan penuh damba, aku memimpikan bisa menyelesaikan bukuku diamdiam dan
kembali ke Venesia. Aku mendekati liang kubur yang sudah dengan hatihati
ditimbun tanah: Saat ini, para malaikat sedang menanyainya di atas sana,
bertanya apakah ia lakilaki atau perempuan, apa agamanya, dan siapa yang
dikenalinya sebagai nabinya. Kemungkinan datangnya kematianku sendiri membersit
di benakku. Seekor burung gagak mendarat di dekatku. Aku menatap penuh kasih tepat ke bola
mata Hitam, memintanya menarik tanganku dan menemaniku berjalan pulang.
Kukatakan padanya bahwa aku akan menantikan kedatangannya di rumah besok pagi
untuk meneruskan pekerjaan kami membuat buku itu. Aku sungguhsungguh
membayangkan kematianku sendiri dan sekali lagi tersadar bahwa buku itu harus
diselesaikan, apa pun risikonya.[]
Bab 18 MEREKA MELEMPARKAN tanah yang dingin berlumpur ke atas mayat Elok Effendi yang
malang, yang sudah hancur teraniaya dan tak berbentuk, dan aku menangis paling
nyaring di antara mereka semua. Aku menjerit, "Aku ingin mati bersamanya!" dan
"Biarkan aku ikut masuk ke dalam liang kuburnya!", lalu mereka memegangi
pinggangku agar tak terjatuh ke dalam liang lahat. Tanganku menggapai-gapai ke
udara dan mereka menekankan telapak tangan mereka ke dahiku, menarik kepalaku ke
belakang agar aku bernapas, Dari pandangan kerabat si mati, bisa kurasakan bahwa
aku telah melebihlebihkan ratapan dan tangisku. Aku pun mengendalikan diriku.
Berdasarkan kedukaanku yang sedemikian dahsyat, bengkel kerja akan dipenuhi
gunjingan tentang kemungkinan aku dan Elok Effendi sesungguhnya adalah sepasang
kekasih. Aku bersembunyi di balik sebatang pohon hingga upacara pemakaman itu berakhir
untuk menghindari perhatian banyak orang. Seorang kerabat si bodoh yang sudah
kukirim ke neraka itu seseorang yang lebih tolol daripada orang yang mati ?itu menemukanku di balik pohon dan menatap mataku lekat-lekat dengan tatapan
?yang dimaksudkannya sebagai tatapan penuh makna. Ia merengkuh tubuhku selama
beberapa saat, lalu si tolol itu
aku akan disebut seorang pembunuh
menanyakan hal berikut, "Apakah kau 'Sabtu' atau 'Rabu'?"
"'Rabu' adalah nama panggilan di bengkel kerja bagi almarhum saat ini," ujarku,
Seketika ia membisu. Kisah di balik namanama bengkel kerja yang telah menyatukan kami satu sama lain?bagaikan sebuah pakta rahasia sebenarnya sederhana saja: Selama masa kami
?menjadi murid, saat Osman sang miniaturis baru saja lulus dari asisten empu ke
tingkat empu, kami semua sama-sama menghormati, mengagumi, dan mencintainya. Ia
seorang empu dan ia mengajari kami segalanya, berkat karunia Allah kepadanya
berupa kepiawaian artistik yang menakjubkan dan kepandaian yang bagaikan milik
sesosok jin. Setiap pagi, sebagaimana yang dituntut dari para murid, salah satu
dari kami akan mendatangi rumah empu dan membuntutinya dengan penuh hormat,
berjalan menuju bengkel kerja, membawakan pena dan kotak kuasnya, tasnya dan
sebuah kopor penuh berisi kertas. Kami sangat berambisi berada di dekatnya,
sehingga kami berselisih dan bertengkar untuk menentukan siapa yang akan pergi
membuntutinya hari itu. Tuan Osman memiliki seorang murid kesayangan. Namun, bila orang itu saja yang
selalu pergi membuntuti Tuan Osman, maka hal itu akan menyebabkan gunjingan yang
tiada habisnya dan gurauan berselera rendah memenuhi seisi studio tanpa
terelakkan lagi. Akhirnya empu agung memutuskan bahwa setiap orang dari kami
akan mendapatkan satu hari tertentu dalam seminggu. Empu agung bekerja setiap
hari Jumat dan tinggal di rumah setiap Sabtu. Putranya, yang sangat dicintainya
yang di kemudian hari mengkhianatinya dan kami dengan meninggalkan urusan ini
akan menemani ayahnya setiap Senin, layaknya seorang murid biasa. Ada salah
seorang saudara seperguruan kami yang tinggi kurus, dan dikenal sebagai "Kamis," seorang
miniaturis paling berbakat di antara kami yang kemudian meninggal dunia di usia
muda, terserang demam yang berawal dari satu penyakit yang misterius. Elok
Effendi, semoga ia beristirahat dalam damai, akan pergi membuntuti empu di hari
Rabu, dan itulah sebabnya ia dikenal sebagai "Rabu." Setelah itu, empu agung
kami dengan segenap kasih sayang dan penuh arti mengganti nama kami, dari
"Selasa" menjadi "Zaitun," dari "Jumat" menjadi "Bangau," dan dari "Minggu"
menjadi "Kupukupu," Ia menamai kembali almarhum tercinta dengan sebutan "Elok"
untuk dikaitkan dengan keindahan karya sepuhannya. Sang empu agung pernah
berkata, "Selamat datang 'Rabu,' bagaimana kabarmu pagi ini?" pada almarhum
Elok, sebagaimana ia menyapa kami semua dahulu.
Ketika aku mengenang kembali bagaimana ia menyebutku, mataku berlinang linang.
Tuan Osman memuji kami, dan matanya sendiri akan meneteskan air mata saat ia
melihat keindahan karya kami. Ia akan mencium tangan dan lengan kami, dan selain
degupan jantung di dada, kami juga merasa seolaholah kami berada di surga
sebagai seorang murid dan betapa bakat kami bermekaran dengan kasih sayangnya.
Bahkan kecemburuan, yang menjadi mendung bagi semua linangan air mata bahagia
itu, memiliki warna yang berbeda kemudian.
Kini aku sepenuhnya terbelah, seperti sosoksosok yang kepala dan tangannya
dilukis oleh seorang empu, sementara tubuh dan pakaian mereka dilukis oleh empu
lainnya. Ketika seseorang yang takut pada Tuhannya seperti aku, secara tak
terduga menjadi seorang pembunuh, perlu waktu untuk menyesuaikan diri. Aku
telah menerima suara kedua, di mana aku menjadi seorang pembunuh, sehingga aku
bias meneruskan kehidupan lamaku meskipun sudah menjadi seorang pembunuh. Aku
berbicara sekarang ini dalam suara keduaku yang keji dan jahat, yang selalu
kujauhkan dari kehidupan sehari-hariku. Dari waktu ke waktu, tentu saja, kau
akan mendengar suaraku yang biasa dan dikenali banyak orang, yang seharusnya
menjadi satusatunya suara yang kumiliki andai aku tidak menjadi seorang
pembunuh. Namun, ketika aku berbicara dengan mengatasnamakan bengkel kerjaku,
aku tak akan pernah mengakui menjadi seorang "pembunuh." Aku tidak akan
membiarkan siapa pun berupaya menghubungkan kedua suara ini. Karena itu, aku
sengaja tidak memiliki gaya khas tertentu atau pun cacat khusus dalam kemampuan
artistikku yang bisa membongkar kepribadianku yang tersembunyi. Tentu saja, aku
meyakini bahwa gaya berguna untuk membedakan satu seniman dari seniman lainnya,
dan itu adalah suatu cacat bukan sebagai karakter individual, sebagaimana yang ?dinyatakan oleh para seniman angkuh.
Aku tentu mengakui bahwa dalam situasi yang kuhadapi sendiri, hal ini
memunculkan masalah. Sebab, meskipun aku berbicara dengan menggunakan nama
bengkel kerjaku, yang diberikan dengan penuh kasih oleh Tuan Osman dan digunakan
oleh Enishte Effendi yang juga mengaguminya, tak sekalipun aku menginginkanmu
mengetahui apakah aku ini Kupukupu, Zaitun, atau Bangau. Karena jika kautahu,
kau tak akan raguragu menyerahkanku ke tangan para algojo anak buah Panglima
Pengawal Sultan. Dan, aku harus sungguhsungguh merenungkan apa
yang kupikirkan dan kukatakan. Sesungguhnya, aku tahu bahwa kau mendengarkanku,
bahkan ketika aku membesar-besarkan masalah secara pribadi. Aku tidak bisa
berpikir ceroboh tentang rasa frustasiku atau detail kesalahan hidupku. Bahkan
saat menceritakan kembali kisahkisah "Alif," "Ba" dan "Jim," aku selalu
memikirkan pandanganmu padaku.
Di satu sisi, para pejuang, kekasih, para pangeran, dan ksatriaksatria
legendaries yang kugambar wajahnya puluhan ribu kali, tergambarkan di situ, di
zaman dongeng musuh yang mereka perangi, contohnya, atau naga-naga yang mereka
?bantai, atau gadis-gadis cantik yang menangisi mereka. Namun, aspek lainnya, dan
sisi lain dari tubuhtubuh mereka, berhadap-hadapan dengan para pencinta buku
yang selalu akan menatap lukisanlukisan menakjubkan itu. Jika aku memiliki gaya
dan karakter tersendiri, hal itu tidak hanya akan tersembunyi di dalam karya
seniku, melainkan dalam kejahatanku dan juga dalam semua ucapanku! Ya, cobalah
temukan siapa aku lewat warna katakataku!
Aku juga tahu, bila kau menangkapku, itu akan memberi ketenangan pada jiwa
sengsara Elok Effendi yang malang. Mereka menyekop tanah ke atas tubuhnya, saat
aku berdiri di sini di bawah pepohonan, di tengah cericit burungburung, sambil
mengawasi arus air Golden Horn yang keemasan, dan kubahkubah Istanbul yang samar
terlihat di kejauhan, serta meresapi kembali betapa indahnya tetap dalam keadaan
hidup. Elok Effendi yang menyedihkan, begitu ia bergabung ke dalam lingkaran si
pendakwah bermuka masam dan garang dari Erzurum itu, ia berhenti menyukaiku,
Meskipun dalam masa dua puluh lima tahun kami membuat ilustrasi bukubuku untuk
Sultan kita, ada masa ketika kami begitu dekat satu sama lain. Dua puluh tahun yang
lalu kami berteman dekat saat mengerjakan sebuah buku sejarah istana dalam versi
khusus untuk almarhum ayahanda Sultan kita sekarang. Namun, kami tidak pernah
lebih dekat daripada saat kami mengerjakan delapan ilustrasi untuk melengkapi
sebuah kumpulan puisi Fuzuli. Pada suatu malam musim panas waktu itu, sebagai
pemakluman terhadap hasrat-hasrat gilanya yang bias dipahami seorang miniaturis
?harus meresapi dengan kalbunya teks yang tengah ia ilustrasikan aku dating
?kemari dan dengan sabar mendengarkannya membacakan baitbait puisi karya Fuzuli
dengan meledak-ledak, sementara gerombolan burung layanglayang berseliweran
kencang. Aku masih ingat sebait puisi yang dibacakannya malam itu, "Aku bukanlah
diriku, melainkan dirimu senantiasa." Aku selalu bertanyatanya, bagaimana orang
akan membuat ilustrasi untuk kalimat ini.
Aku segera berlari ke rumahnya begitu aku mendengar bahwa mayatnya telah
ditemukan. Di sanalah, sebuah taman mungil yang kini terbungkus salju tempat
kami pernah duduk dan membaca puisi, tampak mengecil ukurannya, seperti yang
kerap terjadi pada taman mana pun yang dikunjungi kembali setelah bertahuntahun
lamanya. Rumahnya juga terasa seperti itu. Dari ruangan di sebelahku, aku
mendengar ratapan para perempuan dan jeritan-jeritan nyaring mereka, saling
bersahutan seakanakan sedang berlomba. Saat kakak tertuanya berbicara, aku
mendengarkan dengan sungguhsungguh: Wajah adik kami yang malang hancur sebagian
dan kepalanya juga remuk. Setelah ia dipindahkan dari dasar sumur tempat ia
tergeletak selama empat hari,
saudarasaudaranya nyaris tak bias mengenalinya. Dan istri nya yang malang,
Kalbiye, yang dijemput dari rumahnya di tengah pekatnya malam telah dipaksa
untuk mengenali mayat tak berbentuk itu dari pakaiannya yang koyak moyak. Aku
teringat sebuah gambar tentang para saudagar Midian yang mengeluarkan Yusuf dari
dalam lubang tempat ia dibuang oleh saudarasaudaranya yang iri padanya. Aku
menikmati lukisan adegan ini dalam kisah Yusuf dan Zulaikha, karena gambarannya
mengingatkan kita betapa iri dengki adalah emosi utama dalam kehidupan.
Sebuah ketenangan menyeruak. Aku merasakan mata mereka memandang ke arahku.
Haruskah aku menangis" Aku menangkap tatap mata Hitam. Bajingan sialan itu, ia
menatap tajam ke arah kami, bagaikan seseorang yang telah dikirim kemari oleh
Enishte Effendi untuk membongkar kebenaran.
"Siapakah yang tega melakukan kejahatan sekeji ini?" pekik si kakak sulung.
"Binatang biadab macam apa yang tega membantai adik kami yang bahkan tak mampu
menyakiti seekor semut sekalipun?"
Ia menjawab pertanyaan ini dengan cucuran air matanya sendiri, dan aku pun ikutikutan dengan berpurapura pilu seraya menuntut jawaban atas segala pertanyaanku
sendiri: Siapakah musuh Elok" Jika bukan aku, siapa lagi yang mungkin
membunuhnya" Aku teringat beberapa waktu yang lalu saat itu Kitab Keterampilan ?sedang dipersiapkan ia terlibat perdebatan dengan beberapa orang seniman yang
?ingin menghilangkan teknikteknik para empu zaman dulu dan menghancurkan
halamanhalaman yang sudah dengan susah payah dikerjakan oleh kami para
?ilustrator. Mereka ingin
menyianyiakan garis yang membingkai halamanhalaman itu dengan membubuhkan
warnawarna mengerikan untuk melebihlebihkan gambarnya, hingga berkesan murahan
dan terburuburu. Siapakah mereka" Kemudian, entah bagaimana, gunjingan mulai
menyebar, bahwa kekejian ini bukan atas dasar alasan tersebut, melainkan karena
persaingan untuk merebut kasih sayang seorang murid tampan dari pembuat sampul
buku yang bekerja di lantai dasar, tetapi ini adalah cerita lama. Dan ada pula
yang terganggu dengan keangkuhan Elok, keanggunan dan penampilannya yang
feminine dan cerdas itu. Namun, hal ini sepenuhnya berkaitan dengan satu masalah
lainnya: Elok sungguh sungguh terikat pada gaya lama, seseorang yang fanatik
tentang koordinasi warna antara penyepuhan dan ilustrasi. Dengan keberadaan Tuan
Osman, ia bias melakukan banyak hal, misalnya menunjukkan kesalahankesalahan
miniaturis lainnya yang sebenarnya tidak ada khususnya kesalahan?kesalahanku dengan ungkapan yang halus. Pertengkaran terakhirnya berhubungan
?dengan sebuah masalah yang peka bagi Tuan Osman beberapa tahun lalu: para
miniaturis istana yang bekerja serabutan, diamdiam menerima penugasan sepele di
luar tunjangan yang diberikan istana, Beberapa tahun terakhir ini, ketertarikan
Sultan mulai mengendur, dan bersamaan dengan itu, uang yang datang dari Kepala
Bendahara juga berkurang. Segenap miniaturis mulai mengunjungi rumahrumah
berlantai dua milik pasha-pasha muda sementara senimanseniman terbaik akan
?mengunjungi Enishte pada larut malam.
Aku sama sekali tidak terganggu dengan keputusan Enishte untuk berhenti
mengerjakan bukunya yang kami
?kerjakan atau alasannya bahwa pekerjaan itu mendatangkan kesialan. Ia tentu
?saja telah menduga-duga bahwa pembunuh yang telah menghilangkan nyawa Elok
Effendi yang bodoh itu adalah salah satu dari kami yang sedang mempercantik
bukunya. Jika kau menempatkan dirimu di tempatnya: Akankah kau mengundang
seorang pembunuh ke rumahmu dua minggu sekali untuk mengerjakan ilustrasi
setelah hari menjadi gelap" Tidakkah kau akan mengenali terlebih dahulu mana si
pembunuh dan mana ilustrator terbaik" Aku tidak ragu lagi bahwa ia akan segera
mencari tahu siapakah di antara para miniaturis yang paling berbakat dan paling
terlatih dalam memilih warna, menyepuh, menggarisi halaman, membuat ilustrasi,
menangani gambar dan menata komposisi halaman. Setelah melakukan hal itu, ia
akan meneruskan pekerjaannya hanya denganku saja. Aku tidak bias membayangkan ia
akan menjadi sedemikian picik dengan memikirkanku sebagai seorang pembunuh biasa
daripada seorang miniaturis yang sungguh sungguh berbakat.
Dengan sudut mataku, aku mengamati si bodoh Hitam Effendi yang dibesarkan oleh
Enishte Effendi. Saat kedua orang ini terpisah jauh dari kerumunan orang di
pemakaman mereka tampak pergi ke arah yang berlawanan, dan berjalan menurun
menuju tepian Eyiip. Kubuntuti mereka. Mereka naik ke atas sebuah perahu panjang
berdayung empat, dan sesudahnya, aku masuk ke perahu berdayung enam bersama
beberapa orang murid muda yang sudah melupakan si mati dan pemakaman itu, dan
bercengkerama riang. Menjelang Gerbang Phanar, perahu-perahu kami menjadi
berdekatan satu sama lain, hingga mereka bersiap untuk mengunci
dayung-dayung itu, dan saat itulah aku bisa melihat dengan jelas Hitam sedang
membisikkan sesuatu yang tampaknya serius ke telinga Enishte. Aku berpikir,
betapa mudahnya mengakhiri sebuah kehidupan. Tuhanku tercinta, Kau telah memberi
masingmasing di antara kami kekuatan yang tak ternyana ini, tetapi Kau juga
membuat kami takut melatihnya.
Tetap saja, jika seseorang sekali saja mengatasi ketakutannya itu dan bertindak,
ia serta merta akan menjadi seseorang yang berbeda sepenuhnya. Ada masa di kala
aku sangat ketakutan, bukan hanya terhadap Iblis, melainkan juga pada jejak
paling samar Iblis tersebut di dalam diriku. Kini, bagaimanapun, aku merasakan
sebentuk kesadaran betapa Iblis dapat diatasi dan, lebih jauh lagi, betapa hal
ini amat penting bagi seorang seniman. Selepas aku membunuh lelaki menyedihkan
itu, aku mengatasi gemetarnya tanganku yang ternyata hanya berlangsung selama
beberapa hari saja. Aku lalu merasa lebih baik, dan berani menggunakan
warnawarna yang lebih terang dan lebih mencolok. Yang lebih penting, aku
menyadari bahwa aku bias memanipulasi keheranan-keheranan yang berkecamuk di
dalam imajinasiku. Namun, hal ini menuntut pertanyaan, berapa banyak orang di


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Istanbul yang bisa sungguh sungguh menghargai kecemerlangan ilustrasiilustrasiku" Di luar wilayah kota yang berbatasan dengan perairan di dekat Jibali, sepanjang
di tengah Golden Horn, aku memandang sinis ke arah Istanbul. Kubahkubah yang
ujungnya bertopikan salju bercahaya terang disorot sinar matahari yang menembus
dan melubangi gumpalan awan di atasnya. Semakin besar dan kian berwarnawarni
sebuah kota, semakin banyak tempat di dalamnya untuk
menyembunyikan kesalahan dan dosa seseorang. Semakin ramai suatu tempat, semakin
banyak orang bersembunyi di dalamnya. Keintelekan sebuah kota bukan diukur dari
jumlah ulamanya, banyaknya perpustakaan, para miniaturis, ahli kaligrafi dan
sekolah yang ada di dalamnya, melainkan dari jumlah kejahatan yang
menggeliatgeliat di dalamnya, yang dilakukan di jalanan-jalanan gelap di tempat
itu selama ribuan tahun. Dengan logika ini, tak diragukan lagi, Istanbul adalah
kota paling intelek sedunia.
Di tepi dermaga Unkapani, aku meninggalkan perahu panjang yang kutumpangi
beberapa saat setelah Hitam dan Enishtenya meninggalkan perahu mereka. Aku
berada di belakang mereka saat mereka saling menyandarkan tubuh berangkulan dan
berjalan menaiki bukit. Di suatu tempat sisa kebakaran beberapa waktu lalu yang
diteduhi Masjid Sultan Mehmet, mereka berhenti dan saling mengucapkan salam
perpisahan. Enishte Effendi sendirian, dan segera saja terlihat bagai seorang
lakilaki tua tak berdaya. Aku tergoda untuk berlari menghambur padanya dan
memberitahunya kepalsuan macam apa yang sudah dibisikkan oleh orang tak beradab,
yang pemakamannya baru saja kami hadiri, kepadaku. Aku akan mengakui apa yang
telah kuperbuat untuk melindungi kami semua dan bertanya padanya, "Benarkah apa
yang dinyatakan oleh Elok Effendi" Benarkah bahwa kita telah merusak kepercayaan
Sultan Kita lewat ilustrasi yang kita buat" Apakah teknik teknik melukis kita
menjadi pengkhianatan dan pelecehan terhadap agama kita" Dan apakah Anda sudah
menuntaskan lukisan besar terakhir itu?"
Aku berdiri di tengah jalan bersalju saat malam turun
perlahan dan kupandangi jalanan gelap di bawah sana yang telah ditinggalkan
semua orang untukku bersama segenap jin, peri, para bandit dan perampok, serta
tangisan para ayah dan anakanak yang pulang ke rumah, dan juga pada kesedihan
pepohonan yang terbungkus salju. Di ujung jalan ini, di dalam rumah megah
berlantai dua megah milik Enishte Effendi, di bawah atap itu, yang kini bisa
kulihat dari sela dahandahan pepohonan kastanye, tinggal seorang perempuan
paling jelita di jagat raya ini. Namun, tidak, mengapa aku harus membiarkan
diriku menjadi tergila-gila"[]
Bab 19 LIHATLAH! AKU adalah sekeping uang emas dua puluh dua karat Kesultanan
Utsmaniyah dan aku membawa simbol resmi Yang Mulia Sultan, Sang Pengawal Dunia.
Di sini, di tengah malam di kedai kopi nyaman yang tengah berkabung diselimuti
muramnya suasana pemakaman, Bangau, salah seorang empu utama Sultan, baru saja
menyelesaikan gambarku, meskipun ia belum bisa menyepuhku dengan warna emas aku?akan membiarkanmu berkhayal tentang hal itu. Penampakanku ada di sini di
hadapanmu, meski diriku bias ditemukan di dompet saudaramu tercinta, Bangau,
miniaturis terkenal itu. Ia bangkit sekarang, mengeluarkanku dari dompetnya dan
memamerkannya pada kalian semua. Hai, hai, salam untuk semua seniman empu dan
hadirin sekalian. Mata kalian terbelalak lebar saat melihat kecemerlanganku,
kalian bergairah saat aku berkilauan diterpa pendar cahaya lampu minyak, dan
akhirnya bulu kuduk kalian meremang karena iri pada pemilikku. Empu Bangau.
Kalian merasa pantas melakukannya, karena tidak ada ukuran yang lebih baik atas
bakat seorang illustrator selain aku.
Selama tiga bulan terakhir, Empu Bangau sudah mendapatkan empat puluh tujuh
kepingan emas seperti diriku. Kami semua berada di dalam dompet yang ini, dan
Empu Bangau, kalian lihat saja sendiri, tidak
aku adalah sekeping uang emas
menyembunyikan kami dari siapa pun. Ia tahu tidak ada lagi miniaturis lainnya di
Istanbul yang bisa melakukan apa yang sudah dilakukannya. Aku merasa bangga
dianggap sebagai ukuran bakat di antara para seniman dan berguna untuk
mengakhiri perdebatan yang tak penting itu. Dahulu, sebelum kita terbiasa pada
kopi, dan pikiran kita lebih tajam, para miniaturis bodoh yang kecewa
menghabiskan malammalam mereka dengan berdebat mengenai siapa yang paling
berbakat, siapa yang memiliki kepekaan paling hebat dalam soal warna, siapa yang
terbaik dalam menggambar pohon, atau siapa yang paling ahli dalam melukiskan
gumpalan awan. Tidak, mereka juga membual mengenai masalah-masalah lain, dan
saling menjatuhkan. Sekarang penilaianku bias memutuskan apa saja, ada sebentuk
harmoni indah di dalam bengkel seni itu, dan terlebih lagi, suasana yang bakal
sesuai bagi para empu tua Herat.
Sebagai tambahan untuk menunjukkan harmoni dan atmosfer yang terbawa oleh
penilaianku ini, biarkan aku rangkaikan bagimu berbagai hal yang bisa ditukar
denganku: sebelah kaki seorang gadis budak muda dan cantik yang besarannya
sekitar seperlima puluh seluruh tubuhnya, sebuah cermin tukang cukur dengan
gagang kayu kenari berkualitas bagus, tepiannya dihiasi tulang, sebuah lemari
berlaci yang dicat begitu indah, dihiasi corak matahari dan dedaunan berwarna
perak bernilai sembilan puluh keping koin perak, 120 potong roti segar,
sebongkah batu nisan dan peti mati untuk tiga orang, sebuah gelang tangan perak,
sepersepuluh bagian dari seekor kuda, sepasang kaki seorang selir yang sudah tua
dan gemuk, seekor anak kerbau jantan, dua buah gerabah cina kualitas terbaik,
gaji bulanan seorang miniaturis
Persia, Mehmet si Darwis dari Tabriz, dan kebanyakan seniman lainnya yang
bekerja di bengkel seni Sultan, seekor rajawali pemburu yang hebat beserta
kandangnya, sepuluh guci anggur Panyaot, satu jam kenikmatan surgawi bersama
Mahmut, seorang pemuda yang kerupawanannya terkenal di seluruh dunia, atau
berbagai kesempatan lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu.
Sebelum aku tiba di sini, aku menghabiskan waktu sepuluh hari di dalam sebuah
kaos kaki kotor seorang pegawai tukang sepatu miskin. Setiap malam, lakilaki
malang itu akan jatuh terlelap di ranjangnya sambil menyebutkan beraneka benda
yang bisa dibelinya dengan menukarkanku. Baitbait puisi panjang ini, begitu
manis bagai dendang pengantar tidur, membuktikan padaku bahwa tak satu pun
tempat di muka bumi ini yang tak bisa didatangi oleh sekeping uang.
Semua ini mengingatkanku. Andai kusebut semua yang terjadi pada diriku sebelum
aku sampai ke tempat ini, kisah itu akan menjadi berjilid-jilid buku, Tak ada
orang asing di antara kami, kami semua bersahabat. Sepanjang kau bersumpah untuk
tak mengatakannya pada orang lain, dan sepanjang Bangau Effendi tidak akan
tersinggung karenanya, aku akan menceritakan padamu sebuah rahasia. Apakah
kaumau bersumpah tidak akan membocorkannya"
Baiklah kalau begitu, aku akan membuat pengakuan. Aku bukan koin emas dua puluh
dua karat yang asli dari Kesultanan Utsmaniyah yang dibuat di Percetakan Uang
Chemberlitash. Aku tiruannya. Mereka membuat diriku di Venesia menggunakan emas
campuran dan membawaku ke sini, menukarkanku sebagai uang emas Utsmaniyah dua
puluh dua karat. Simpati dan pengartianmu sangat kuharapkan.
Berdasarkan keterangan yang bisa kuperoleh dari percetakan uang di Venesia,
bisnis seperti ini sudah berlangsung selama bertahuntahun. Hingga barubaru ini,
kepingan uang emas kurang berharga yang dibawa orangorang kafir Venesia ke
wilayah Timur dan dibelanjakan di sana adalah keping-keping ducat Venesia yang
mereka buat di tempat yang sama. Kami bangsa Utsmaniyah, selamanya akan
menghargai apa pun yang tertulis dan tidak memedulikan jumlah emas yang ada di
setiap ducat sepanjang tulisannya tetap sama dan kepingan emas palsu dari ? ?Venesia ini membanjir di Istanbul. Kemudian, karena koinkoin yang kadar emasnya
kurang dan lebih banyak tembaganya ternyata lebih keras, kami mulai membedakan
koin dengan cara menggigitnya. Contohnya saja, kau terbakar api asmara; kau
menghambur ke pelukan Mahmut yang pesona kebeliaannya tak tertandingi dan
dicintai semua orang; pertama, ia akan memasukkan koin itu ke dalam mulut
lembutnya bukan benda lain dan menggigitnya, lalu menyatakannya sebagai koin
? ?palsu, Sebagai akibatnya, ia hanya akan membawamu ke surga selama setengah jam
saja, bukan satu jam penuh. Para kafir Venesia, menyadari koinkoin palsu mereka
menimbulkan banyak ke rugian, memutuskan untuk memalsukan koinkoin Utsmaniyah,
dengan alasan kaum Utsmaniyah bisa terpedaya sekali lagi.
Kini, izinkan aku menarik perhatianmu pada sesuatu yang cukup aneh: Ketika kaum
kafir Venesia ini melukis, seakanakan mereka tidak sedang membuat lukisan,
melainkan menciptakan objek yang mereka lukis. Ketika
objek yang dimaksud adalah uang, entah bagaimana, alihalih membuat lukisannya
seolaholah nyata, mereka malah membuatnya sangat kentara sebagai barang tiruan.
Kami dimasukkan ke dalam peti besi, dibawa berlayar oleh kapal-kapal dan
berkelana hilir mudik antara Venesia dan Istanbul. Aku menemukan diriku ada di
sebuah tempat penukaran uang, di dalam mulut bau bawang pemiliknya. Kami
menunggu selama beberapa saat dan seorang petani sederhana masuk. Ia berharap
bisa menukar sejumlah kepingan uang emas. Si pemilik penukaran uang yang
merupakan seorang penipu ulung, menyatakan bahwa ia harus menggigit kepingan
emas itu untuk memastikan apakah kepingan uang emasnya asli atau palsu. Maka, ia
mengambil koin milik si petani dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
Ketika kami bertemu di dalam mulutnya, kusadari bahwa koin si petani itu adalah
sekeping koin emas Kesultanan Utsmaniyah yang asli. Ia melihatku di dalam mulut
bau bawang menyengat itu, dan berkata, "Kau tak lebih daripada sebuah benda
tiruan." Ia benar, tetapi sikapnya yang angkuh menyinggung perasaanku, dan aku
berdusta padanya, "Saudaraku, sesungguhnya, kaulah benda tiruan itu."
Sementara itu, si petani terus bersikukuh, "Bagaimana koin emasku bisa palsu"
Aku menguburnya di bawah tanah dua puluh tahun yang lalu, apakah kejahatan
pemalsuan itu sudah ada pada zaman itu?"
Aku bertanyatanya apa yang akan terjadi ketika si pemilik penukaran uang
mengeluarkanku dari mulutnya, dan bukan koin emas si petani. "Ambillah koin
emasmu, aku tidak ingin uang palsu milik orang kafir Venesia," sahutnya.
"Tidakkah kau merasa malu?" Si petani
menanggapinya dengan melontarkan katakata kasar, lalu membawaku bersamanya
keluar dari pintu itu. Setelah mendengarkan penolakan yang sama dari kios-kios
penukaran uang yang lainnya, semangat si petani itu mulai luntur dan ia pun
menukarkanku sebagai sekeping koin emas campuran senilai sembilan puluh keping
perak. Inilah awal rangkaian pengalamanku berkelana tanpa akhir dari tangan ke
tangan selama tujuh tahun.
Dengan bangga aku akan mengakui bahwa aku menjalani sebagian besar waktuku di
Istanbul, berkelana dari satu dompet ke dompet lainnya, dan bagian dalam
selempang ke dalam saku, sebagai sekeping koin yang pandai. Mimpi terburukku
adalah disimpan di dalam sebuah bejana dan ditelantarkan selama bertahuntahun di
balik sebongkah batu, dikuburkan di dalam taman, bukan karena kejadian tersebut
tidak akan terjadi padaku, melainkan, dengan alasan apa pun periode ini tidak
akan bertahan lama. Sebagian orang yang memegangku ingin sesegera mungkin
terlepas dariku, khususnya jika mereka menyadari bahwa aku uang palsu. Meski
demikian, aku belum pernah bersinggungan dengan orang yang memperingatkan
seorang pembeli yang tidak menaruh kecurigaan bahwa aku adalah koin tiruan.
Seorang pialang yang tak mengenaliku sebagai uang palsu, kemudian membayar 120
keping uang perak sebagai penggantiku. Ia akan menghujat dirinya sendiri karena
merasa marah, pedih dan tidak sabar, begitu ia sadar betapa ia telah dicurangi,
dan kesadaran mendadak yang menyakitkan ini tak akan hilang begitu saja, sampai
ia mengenyahkan diriku dengan memperdaya orang lain. Selama masa krisis ini,
bahwa ketika ia berusaha berkali-kali memperdaya orang lain, dan selalu gagal
karena ketergesaan dan kemarahannya, sementara itu ia terus memaki dan menghujat orang "tak bermoral"
yang telah menipunya dengan memberikan uang palsu ini padanya.
Selama tujuh tahun terakhir di Istanbul, aku sudah berpindah tangan sebanyak 560
kali dan tak satu pun rumah, kedai, pasar, bazar, masjid, gereja, ataupun
sinagog yang kumasuki. Saat aku berpindahpindah tempat, aku belajar bahwa ada
banyak sekali gunjingan yang tersebar luas, telah banyak sekali legenda yang
dikisahkan dan rangkaian dusta dibuatkan di seputar namaku, lebih banyak dari
yang kubayangkan. Secara terusmenerus aku mengikuti perkembangannya: Tidak ada
lagi yang dianggap bernilai selain diriku, aku tak kenal ampun, aku buta, diriku
sendiri bahkan terpukau oleh uang, dunia kesialan yang berputar di sekelilingku,
bukan Tuhan, melainkan aku, dan tak ada sesuatu pun yang tidak bisa
kubeli untuk tidak mengatakan apa pun tentang sifat dasarku yang kotor dan ?kasar. Dan mereka yang mengetahui bahwa aku adalah sekeping uang emas palsu
bahkan memberikan penilaian yang lebih kasar lagi. Beriringan dengan nilai
sesungguhnya dari diriku yang merosot, entah bagaimana, nilai ungkapanku justru
melonjak ini adalah bukti bahwa puisi memberi ketenangan pada kemalangan?kemalangan hidup. Namun, di luar semua penilaian tak berperasaan dan dusta-dusta
keji itu, aku menyadari bahwa sebagian besar kalangan justru mencintaiku. Di
antara kebencian-kebencian ini, sebentuk dorongan hati yang menggebu-gebu dan
kasih saying seperti itu cukup menggembirakan kami semua.
Aku sudah melihat setiap inci Istanbul, dari jalan ke jalan dan dari distrik ke
distrik. Aku sudah mengenal semua tangan, mulai dari tangan orang Yahudi sampai
orang Abkhazia, mulai tangan orang Arab hingga ke tangan orang Mingeria. Suatu
kali aku pernah meninggalkan Istanbul di dalam dompet se orang pendakwah dari
Edirne yang sedang dalam perjalanan menuju Manisa. Di perjalanan, kami disergap
kawanan perampok. Salah seorang dari mereka berteriak, "Uang atau nyawa?" Dengan
panik, si pendakwah malang itu menyembunyikan kami di dalam lubang anusnya.
Tempat ini, yang dianggap olehnya sebagai tempat yang paling aman, baunya lebih
dahsyat daripada mulut seorang penggemar bawang, dan jauh lebih tidak nyaman.
Keadaan segera menjadi lebih buruk, ketika perampok itu tidak lagi berteriak
"Uang atau nyawa!" melainkan, "Kehormatanmu atau nyawamu!" Dengan berbaris,
mereka menyodomi lakilaki itu bergiliran. Aku tak tega menceritakan kepedihan
yang kami derita di dalam lubang yang sempit itu. Karena alasan itulah aku tidak
suka meninggalkan Istanbul.
Aku disambut baik di Istanbul. Gadis-gadis menciumiku seolaholah aku ini suami
impian mereka. Mereka menyembunyikanku di balik bantal mereka, di antara
sepasang payudara mereka yang montok, atau di dalam celana dalam mereka. Mereka
bahkan membelaiku dalam tidur mereka, untuk memastikan aku masih di sana. Aku
pernah disimpan di samping perapian di sebuah pemandian umum, di dalam sebuah
sepatu bot, di dasar sebuah botol kecil di sebuah kios penjual wewangian, dan di
dalam saku rahasia yang dijahitkan ke dalam kantung biji-bijian seorang juru
masak. Aku pernah mengelana ke segala penjuru Istanbul di dalam sebuah sabuk
yang terbuat dari kulit unta, di dalam pelapis mantel yang dibuat dari kain
Mesir bermotif kotak-kotak, di dalam bahan tebal pelapis
sepatu, dan di dalam sudutsudut tersembunyi shalwar berwarnawarni. Ahli pembuat
jam Petro pernah menyembunyikanku di sebuah tempat rahasia di dalam sebuah jam
seorang kakek, dan seorang saudagar Yunani memasukkanku ke dalam bulatan keju
kashari. Aku pernah disembunyikan bersama perhiasan, segel-segel dan kunci-kunci
yang dibungkus oleh sehelai kain tebal di dalam sebuah ceruk di dalam perapian,
di dalam tungku, di bawah celah kusen jendela, di balik tumpukan bantal kursi
yang dipenuhi jerami kasar, di dalam ruang-ruang bawah tanah, dan di dalam
tempattempat tersembunyi sebuah meja berlaci. Aku pernah mengenal para ayah yang
sering tiba tiba berdiri di dekat meja makan untuk mengecek apakah aku masih di
tempatku, perempuanperempuan yang mengisap-isapku seperti sebutir permen tanpa
alasan, anakanak yang mendengusiku sambil meletakkanku di depan lubang hidung
mereka, dan orangorang tua dengan satu kaki di dalam kuburnya yang tak bias
merasa santai, kecuali setelah mereka berulangulang mengambilku dari dompet
kulit domba mereka dan memasukkannya kembali, setidaknya tujuh kali sehari. Ada
seorang perempuan Sirkasia teliti yang setiap kali usai menghabiskan waktu
seharian membersihkan rumah akan mengambil kami keluar dari dompetnya dan
menggosok kami dengan sebuah sikat kasar. Aku ingat seorang penukar uang bermata
satu yang terusmenerus menumpuk kami menjadi tumpukan-tumpukan tinggi, seorang
penjaga pintu yang baunya seperti bunga yang bersama-sama keluarganya mengamati
kami seakanakan sedang mengawasi sebuah pemandangan yang menakjubkan, dan si
tukang sepuh, yang tidak lagi bersama kami tidak perlu kusebut?namanya yang menghabiskan malam dengan menyusun kami dalam beraneka bentuk. Aku
?pernah melancong di dalam perahu-perahu kecil dari kayu mahoni, mengunjungi
istana Sultan, disembunyikan di dalam sampulsampul buku buatan Herat, di dalam
tumit sepatu-sepatu beraroma mawar, dan di dalam kain penutup kantung pelana.
Aku pernah mengenal ratusan tangan: yang kotor, berbulu, gempal, berminyak,
gemetaran dan tua. Aku pernah berbau seperti ruang tempat mengisap candu, toko
pembuat lilin, ikan maka rel yang dikeringkan, dan keringat semua orang
Istanbul. Setelah menjalani berbagai kegairahan dan kesibukan yang hiruk pikuk
itu, seorang pencuri kacangan yang telah menggorok leher korbannya di tengah
malam pekat, melemparkanku ke dalam kantungnya, dan begitu ia kembali ke rumah
terkutuknya, ia mengumpat di depan wajahku dan menggerutu, "Sialan kau, ini
semua garagara kau." Aku begitu tersinggung, begitu terluka, sehingga aku tidak
menginginkan apa pun lagi selain menghilang.
Andai aku tidak pernah ada, bagaimanapun tak akan ada seorang pun yang mampu
membedakan seorang seniman hebat dengan seniman buruk, dan hal ini akan
menyebabkan kerusuhan di antara para miniaturis. Mereka semua akan saling
menggorok. Jadi, aku memang belum menghilang. Aku masuk ke dalam kantung salah
seorang miniaturis yang paling berbakat dan paling cerdas, dan ia membawaku
hingga ke tempat ini. Jika kau berpikir kau lebih baik daripada Bangau, berusahalah meraihku.[]
Bab 20 AKU bertanyatanya, apakah ayahanda Shekure mengetahui bahwa kami saling berkirim
surat. Jika aku melihat dari gaya bahasanya yang menyiratkan seorang perempuan


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

patuh yang takut pada ayahnya, aku menyimpulkan bahwa tak sepatah kata pun
tentang aku yang mereka bicarakan. Namun, aku bisa merasakan bahwa bukan ini
masalahnya. Kelicikan di mata Esther, penampilan Shekure yang memikat di jendela
saat itu, kemantapan yang diisyaratkan Enishteku dengan menjadikanku
ilustratornya, dan keputusasaannya ketika memintaku untuk datang pagi ini semua?itu membuatku gundah gulana.
Di pagi harinya, begitu Enishteku menyuruhku duduk di depannya, ia mulai
menceritakan potret-potret yang disaksikannya di Venesia. Sebagai duta besar
Sultan kami, Sang Pengawal Dunia, ia mengunjungi banyak sekali palazzo, gereja
dan rumah orangorang kaya di sana. Selama berharihari, ia berdiri di hadapan
ribuan lukisan potret. Ia memandangi ribuan wajah dalam bingkai yang dilukis di
atas kain kanvas atau kayu, atau digambarkan langsung di permukaan dinding.
"Masingmasing amat berbeda satu sama lain. Mereka sangat khas. Wajahwajah
manusia yang unik!" ujarnya. Ia dibuat mabuk oleh
aku dinamai hitam keberagamannya, warna warnanya, rasa senang yang ditimbulkan cahaya lembut yang
seolaholah jatuh di atas lukisanlukisan itu, dan makna yang terpancar dari mata
wajahwajah itu. "Seakanakan diserang wabah mematikan, semua orang membuat potret dirinya," ia
berkisah. "Di seluruh penjuru Venesia, orangorang kaya dan berpengaruh,
menginginkan potret diri mereka dilukis sebagai sebuah simbol, sebuah
cinderamata atas hidup mereka, dan tanda dari kekayaan, kekuasaan dan pengaruh
yang mereka miliki agar mereka selalu ada di sana, berdiri di depan kita,
?menyatakan keberadaannya, individualitas dan keunikan mereka."
Kata-katanya terdengar merendahkan, seolaholah ia sedang menyuarakan
kecemburuan, ambisi, dan keserakahannya. Terkadang, ketika ia berbicara tentang
potret-potret yang dilihatnya di Venesia, wajahnya bisa tibatiba berbinar-binar
seperti seorang anak kecil.
Lukisan potret menjadi semacam penyakit menular di antara rangorang kaya, para
pangeran, dan keluarga ternama yang menjadi model bagi karya-karya seni,
sehingga ketika mereka meminta para seniman untuk melukis adegan-adegan dalam
Alkitab dan legenda-legenda keagamaan untuk menghiasi dindingdinding gereja,
orangorang kafir ini akan memaksakan gambar diri mereka muncul di suatu tempat
di dalam lukisanlukisan itu. Contohnya, dalam lukisan tentang upacara pemakaman
Santo Stephanus, kau akan tibatiba melihat seseorang yang dilukiskan berada di
antara para pelayat yang menangis di samping kubur ternyata adalah pangeran yang
sedang menunjukkan kepadamu dengan kegairahan, keceriaan dan
?kebanggaan yang polos lukisanlukisan yang digantung di dindingdinding pa/azzo?r\ya. Berikutnya, di sudut sebuah lukisan dinding yang menggambarkan Santo
Petrus sedang menyembuhkan orang sakit dengan bayangannya, kau akan menyadari
sesuatu yang ganjil pada orang malang yang menggeliat kesakitan dalam lukisan
tersebut yang ternyata adalah potret saudara lelaki tuan rumahmu yang sekuat
lembu. Keesokan harinya, kali ini di dalam sebuah lukisan yang menggambarkan
Kebangkitan Orangorang Mati, kau akan menemukan tamu yang menemanimu santap
siang tergambar di dalamnya.
"Beberapa di antaranya sudah amat keterlaluan, hanya karena ingin disertakan ke
dalam sebuah lukisan, hingga mereka bersedia dilukis sebagai seorang pelayan
yang mengisi cawan-cawan air di tengah keramaian, atau seorang lelaki tanpa
belas kasih yang melempar batu pada seorang pezina, atau seorang pembunuh yang
tangannya berlumuran darah," ungkap Enishteku dengan takut-takut, seolaholah
kami sedang membicarakan godaan setan.
Aku berpurapura tidak mengerti dan berkata, "Seperti ketika kita melihat Shah
Ismail menaiki tahtanya di dalam bukubuku berilustrasi yang menceritakan legenda
kuno orang Persia, atau ketika kita menjumpai sebuah lukisan tentang Timurleng
yang sesungguhnya berkuasa jauh setelah masa itu, di dalam kisah Husrev dan
Shirin." Apakah ada suarasuara tertentu di dalam rumah itu"
"Seperti jika lukisanlukisan Venesia itu dibuat untuk menakut-nakuti kita,"
sahut Enishteku kemudian. "Dan tidak cukup kita terpaku takjub memandangi
kekuasaan dan uang orangorang ini untuk membayar karya-karya
tersebut, mereka juga seolaholah ingin kita tahu bahwa jejak keberadaan
seseorang di dunia ini juga menjadi sesuatu yang istimewa, sebuah kejadian yang
misterius. Mereka sedang berusaha menakut-nakuti kita dengan wajahwajah unik,
mata, dan sikap mereka, dan setiap lipatan pakaian mereka dimaknai lewat
bayangan. Mereka sedang berusaha menakut-nakuti kita dengan menjadi
makhlukmakhluk misterius."
Ia menjelaskan betapa ia pernah tersesat dalam sebuah galeri lukisan potret yang
sangat megah milik seorang kolektor gila yang rumah mewahnya bertengger di atas
tepian Danau Como. Si pemilik mengumpulkan lukisan potret semua tokoh besar
dalam sejarah orangorang Frank, mulai raja-raja hingga para kardinal, dari
serdadu hingga seniman. "Ketika tuan rumahku yang sangat ramah itu
meninggalkanku sendirian, membiarkanku berkeliaran semauku ke seluruh penjuru
palazzo yang sebelumnya dengan bangga ia tunjukkan kepadaku beberapa bagiannya,
aku melihat orangorang kafir yang mungkin terkemuka sebagian besar tampak ?seperti nyata dan sebagian lagi bahkan tampak sedang memelototi
mataku masingmasing pernah mencapai sesuatu hal yang teramat penting di dunia
?ini, karena lukisan potret mereka dibuat. Kemiripan mereka telah membuat
lukisanlukisan potret itu memancarkan keajaiban yang bisa membedakan mereka,
sehingga sejenak aku merasa rendah dan tak berdaya berada di antara
lukisanlukisan itu. Jika aku dilukis dalam gaya seperti itu, tampaknya aku akan
lebih paham mengapa aku ada di dunia ini."
Ia ketakutan karena tibatiba saja ia mengerti dan mungkin juga
?mendambakan bahwa kesenian Islami yang telah disempurnakan dan dilestarikan
?oleh para empu Herat akan mencapai akhir riwayatnya dengan kemunculan lukisan potret ini.
"Namun, seakanakan aku pun ingin merasa luar biasa, berbeda, dan unik," ucapnya.
Bagaikan didorong oleh Iblis, ia merasakan dirinya semakin tenggelam ke dalam
apa yang ia takutkan. "Bagaimana aku mengatakannya" Ini seakanakan merupakan
sebuah dosa keinginan, seperti menjadi angkuh di hadapan Tuhan, seolaholah
menganggap diri sendiri menjadi sosok maha penting, seperti menempatkan diri di
pusat dunia ini." Beberapa saat kemudian, gagasan ini muncul dalam benaknya: Metodemetode yang
digunakan oleh senimanseniman Frank ini seperti jika mereka bermain hebat
hebatan dalam sebuah permainan anakanak. Pasti ada yang lebih dari sekadar sihir
untuk berhubungan dengan Sultan yang Agung tetapi bisa saja pada kenyataannya
?itu berbentuk sebuah kekuatan yang sengaja dikerahkan untuk membela keyakinan
kita yang diamdiam mengendalikan semua yang memeluknya.
Aku tahu bahwa gagasan penyusunan sebuah manuskrip bergambar muncul kemudian:
Enishteku, yang kembali ke Istanbul dari Venesia, meyakinkan bahwa akan sangat
luar biasa jika Sultan menjadi subjek sebuah potret dalam gaya kaum Frank.
Namun, setelah Yang Mulia tidak berkenan, disetujui akan dibuat sebuah buku
berisi gambargambar Sultan dan hal-hal yang mewakili beliau.
"Kisahnya yang paling penting," ujar Sultan kami yang paling bijak dan paling
berjaya. "Ilustrasi yang indah akan menyempurnakan sebuah kisah. Ilustrasi yang
tidak menyempurnakan kisahnya, pada akhirnya akan menjadi berhala palsu. Karena
kita tidak mungkin meyakini sebuah
kisah yang tiada, kita akan memercayai gambar yang mewakilinya. Ini tak jauh
berbeda dengan proses pemujaan berhala di Ka'bah yang telah berlangsung sebelum
Nabi Muhammad, semoga kedamaian dan karunia dilimpahkan pada beliau,
menghancurkan mereka. Jika bukan sebagai bagian sebuah kisah, bagaimana kau bisa
mereka lukisan bunga anyelir merah ini, misalnya, atau orang cebol kurang ajar
di sana itu?" "Dengan melukiskan keindahan dan keunikan bunga anyelir tersebut."
"Ketika kau menyusun adegan-adegannya, apakah kau bias menempatkan bunga itu
tepat di tengahtengah halaman?"
"Waktu itu aku takut," ujar Enishteku. "Aku sempat panic ketika tersadar ke mana
pikiran Sultan mengarah." Yang membuat Enishteku ketakutan adalah kesan yang
muncul dengan menempatkan sesuatu tepat di tengah halaman dan itulah, dunia ?sesuatu yang lain dari yang dimaksud oleh Tuhan.
"Sesudah itu," kata Sultan, "kau akan punya keinginan memamerkan sebuah gambar
yang di bagian tengahnya terdapat seorang cebol." Itu sudah kuduga. "Namun,
gambar seperti ini tak akan pernah bisa dipajang: setelah beberapa saat kita
akan mulai memuja sebuah gambar yang kita gantung di dinding, dan mengabaikan
niat kita yang sesungguhnya. Andai aku percaya layaknya orangorang kafir ini
bahwa Nabi Isa adalah Tuhan, berarti aku juga mengamini Tuhan bias disaksikan di
muka bumi ini, dan bahkan bisa berwujud manusia. Saat itulah aku mungkin bisa
menerima lukisan manusia dalam detail keseluruhan dan memajang gambargambar
semacam itu. Kau tentu memahami hal itu, lambat laun dan tanpa
berpikir masak-masak kita akan memuja gambar mana pun yang tergantung di
dinding, bukan?" Enishteku berkata, "Saya amat memahaminya dan karena saya paham, maka saya takut
terhadap apa yang kita berdua pikirkan."
"Karena itulah," sahut Sultan, "aku tidak akan pernah mengizinkan potretku
dipajang." "Meskipun sebenarnya justru seperti itulah yang ia inginkan," bisik Enishteku,
dengan tawa sinis, Kini giliranku yang merasa ketakutan.
"Namun, aku ingin potret diriku itu dibuat dengan gaya para empu Frank," lanjut
Sultan. "Tentu saja akan menjadi sebuah lukisan potret yang hebat, yang harus
diselimuti oleh halamanhalaman sebuah buku. Buku apa pun itu nantinya, kaulah
yang akan mengatakannya padaku."
"Di tengah keterkejutan dan keherananku, aku mencamkan pernyataannya," ujar
Enishteku, lalu ia menyeringai dengan lebih sinis dari sebelumnya. Tibatiba
saja, ia seperti malih rupa menjadi orang lain.
"Yang Mulia Sultan memerintahkanku untuk segera mulai bekerja menyusun buku
beliau. Kepalaku terasa berputar oleh kegairahan. Ia menambahkan bahwa buku itu
harus disiapkan sebagai kado bagi hakim agung Venesia yang ingin kukunjungi
sekali lagi. Begitu selesai, buku itu akan menjadi simbol kekuatan yang lebih
hebat daripada Kekhalifahan Islam Sultan yang agung dalam tahun keseribu
hijriah. Ia memintaku menyiapkan manuskrip bergambar itu dengan penuh
kerahasiaan, terutama demi menutupi tujuan pembuatannya, yakni sebagai lambang
perdamaian terhadap orangorang Venesia, selain untuk menghindari merebaknya
kecemburuan di bengkel seni. Dengan suka cita, setelah bersumpah
merahasiakannya, aku mulai melakukan pekerjaan penuh bahaya ini."[]
Bab 21 MAKA PADA suatu Jumat pagi, aku mulai menyusun konsep buku yang akan berisi
potret Sultan yang dilukis dalam gaya Venesia. Aku membincangkan ini dengan
Hitam dan menceritakan kembali bagaimana aku memunculkan gagasan itu bersama
Sultan, dan bagaimana aku membujuknya untuk mendanai bukuku. Maksudku yang
tersembunyi adalah meminta Hitam menuliskan kisahkisah yang bahkan belum ?kumulai sedikit pun yang akan menyertai serangkaian ilustrasi.
?Kukatakan padanya bahwa aku akan menyelesaikan sebagian besar ilustrasi buku itu
dan bahwa gambar yang terakhir sudah hampir selesai. "Ada satu gambar yang
melukiskan kematian, "ujarku, "dan aku sudah mendapatkan miniaturis yang paling
pandai, Bangau, untuk melukiskan pohon yang melambangkan kedamaian alam duniawi
Sultan kita. Ada sebuah gambar Setan dan seekor kuda yang mendorong kita untuk
selalu menjauhinya. Ada seekor anjing yang selalu tampak licik dan jahat, dan
juga ada sekeping uang emas .... Para empu miniaturis telah melukiskan benda benda
ini dengan sangat indah untukku," ujarku pada Hitam, "sehingga jika kau
melihatnya sekali saja, kau akan langsung tahu apa kisah yang pantas
menyertainya. Puisi dan lukisan,
aku adalah pamanmu tercinta
rangkaian kata dan warna, semua ini saling bersaudara, seperti yang kauketahui."
Sesaat aku menimbang-nimbang, apakah aku akan memberitahunya bahwa aku mungkin
akan menikahkan putriku dengannya. Maukah ia tinggal bersama kami di rumah ini"
Kukatakan pada diriku sendiri untuk tidak terpengaruh oleh perhatiannya yang
tampak penuh semngat dan ekspresi wajahnya yang seperti anak kecil. Aku tahu ia
sedang membuat rencana untuk melarikan diri dengan Shekure. Namun, aku tidak
bias mengandalkan orang selain dirinya untuk menuntaskan bukuku.
Setelah pulang bersama dari salat Jumat, kami mendiskusikan "bayangan," inovasi
terhebat yang mewujud dalam lukisan para empu Venesia. Aku berkata, "Andai kita
berniat membuat lukisan berdasarkan sudut pandang para pejalan kaki yang
bercakap-cakap bersenda gurau dan membicarakan dunia mereka, yakni jika kita
berniat melukis dari jalanan, kita harus belajar cara melukis sebagaimana yang
?dilakukan orangorang Frank sesuatu yang pada kenyataannya paling sering
?ditemukan: bayangan."
"Bagaimana cara melukis bayangan?" tanya Hitam. Dari waktu ke waktu, saat
kemenakanku menyimak, aku merasa ia mulai tidak sabar. Ia mulai memainkan tempat
tinta Mongol yang diberikannya kepadaku sebagai hadiah. Sesekali ia mengambil
sepotong besi dan menyodok-nyodok api di tungku. Kadang kala aku membayangkan ia
berniat membenamkan tongkat besi itu ke kepalaku dan membunuhku, karena aku
berani menjauhkan seni ilustrasi dari cara pandang Allah, karena aku akan
mengkhianati mimpimimpi para empu Heart dan segenap tradisi melukisnya, karena
aku memperdaya Sultan agar melakukannya. Sesekali Hitam akan duduk terpaku selama beberapa lama
dan menatap langsung mataku lekat-lekat. Aku bisa membayangkan apa yang sedang
dipikirkannya, "Aku akan menjadi budakmu hingga aku mendapatkan anak
perempuanmu." Suatu kali, seperti yang biasa kulakukan saat ia masih kanakkanak,
aku mengajaknya berjalan-jalan ke halaman, dan berusaha menjelaskan padanya,
sebagai ayah, tentang pepohonan, tentang cahaya yang jatuh di dedaunan, tentang
salju yang mencair, dan mengapa rumahrumah seakanakan mengecil saat kita
berjalan menjauhinya. Namun, ini adalah sebuah kesalahan. Ini hanya membuktikan
bahwa hubungan bapak-anak yang kami miliki dulu sudah lama sekali tidak kami
lakukan sejak hubungan itu hancur. Kini kemampuannya bersabar terhadap ocehan
seorang lelaki tua telah menggantikan rasa penasaran kanak-kanaknya dulu dan
kegairahannya terhadap ilmu. Aku hanyalah seorang lelaki tua yang anak
perempuannya menjadi sasaran cinta Hitam. Pengaruh dan pengalaman dari berbagai
negara dan kota yang sempat dijelajahi kemenakanku ini selama selusin tahun,
telah sepenuhnya terserap dalam jiwanya. Ia bosan padaku, dan aku
mengasihaninya. Kurasa ia marah bukan hanya karena aku tidak mengizinkannya
menikahi Shekure dua belas tahun yang lalu lagi pula, saat itu tak ada pilihan
?lain melainkan juga karena aku mendambakan lukisanlukisan yang gayanya
menistakan ajaran para empu Herat. Lebih jauh lagi, karena aku menceracaukan
semua kemustahilan ini dengan sepenuh hati, aku membayangkan kematianku di
tangannya. Meski begitu, aku tidak takut padanya. Justru sebaliknya, aku berusaha
menakutinya, karena aku percaya rasa takut baik untuk tulisan yang kuminta darinya, "Seperti di dalam
gambargambar itu," ucapku, "orang bisa menempatkan dirinya sendiri di pusat
dunia ini. Salah satu ilustratorku dengan cemerlang melukiskan kematian untukku.
Lihatlah." Lalu aku menunjukkan padanya lukisanlukisan yang diamdiam kupesan dari para empu
miniaturis selama setahun terakhir. Awalnya, ia tampak seperti seorang bocah
lelaki yang malumalu, bahkan ketakutan. Saat ia paham bahwa gambaran tentang
kematian itu diilhami oleh adegan-adegan yang sudah dikenalnya dalam berbagai
edisi Kitab Para Paja misalnya adegan pemancungan Afrasiyab dari Siyavush, atau?pembunuhan Suhrab oleh RCistem, tanpa menyadari bahwa ia adalah anak lelakinya
sendiri ia menjadi tertarik dengan hal itu. Di antara gambargambar yang
?melukiskan upacara pemakaman almarhum Sultan Siileyman, salah satunya ada yang
kubuat dengan menggunakan warnawarna tebal tetapi pilu, penggabungan sebuah
kepekaan yang tertata apik yang diilhami orangorang Frank dengan upayaku sendiri
dalam memberi bayangan yang kutambahkan kemudian. Aku menunjukkan kedalaman
?menakutkan yang mencuat dari efek-efek gumpalan awan dan garis cakrawala. Aku
mengingatkannya bahwa kematian itu sesuatu yang unik, seperti potret orangorang
kafir yang kulihat bergantungan di berbagai paiazzo di Venesia. Semuanya
seakanakan menuntut dilukiskan secara mencolok. "Mereka begitu ingin tampil
berbeda dan menonjol, dan mereka menginginkannya dengan sebentuk gairah agar
menatap ke dalam mata malaikat maut. Lihatlah betapa orangorang tidak takut pada
malaikat maut, tetapi lebih pada kekejian yang
diwujudkan dalam hasrat untuk menjadi satusatunya, yang unik dan tidak biasa.
Lihatlah ilustrasi ini dan tuliskan sebuah kisah tentangnya. Berikan suara pada
si malaikat maut. Ini kertas dan pena. Aku akan langsung memberikan apa yang
kautulis pada penulis kaligrafi," kataku,
Ia menatap lukisan itu dengan berdiam diri. "Siapakah yang melukisnya?"
tanyanya. "Kupukupu. Ia yang paling berbakat di antara mereka. Tuan Osman telah jatuh
cinta dan kagum padanya selama bertahuntahun."
"Aku pernah melihat versi yang lebih kasar dari lukisan tentang seekor anjing di
kedai kopi tempat si pendongeng melakukan pertunjukan," ujar Hitam.
"Ilustrator-ilustratorku, sebagian besar yang secara spiritual terikat pada Tuan
Osman dan bengkel seninya, tidak begitu peduli kerja keras yang mereka lakukan
untuk bukuku. Ketika mereka meninggalkan tempat ini di malam hari, aku
membayangkan mereka merasa gembira dalam mengerjakan ilustrasiilustrasi ini demi
uang dan menertawakan aku di kedai kopi. Dan siapakah di antara mereka yang bisa
melupakan ketika Sultan memanggil seorang seniman muda Venesia yang sengaja


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diundang dari keduataan besar lewat perintahnya padaku untuk membuat lukisan
potret dirinya. Setelah itu, ia memerintahkan Tuan Osman menyalin lukisan cat
minyak tersebut. Dipaksa meniru karya pelukis Venesia itu, Tuan Osman menganggap
akulah yang bertanggung jawab atas pemaksaan terselubung dan lukisan potret
memalukan yang dihasilkannya. Ia cukup punya alasan untuk itu."
Sepanjang hari aku menunjukkan padanya semua lukisan kecuali ilustrasi terakhir
?yang tak bisa kuselesaikan karena alasan tertentu. Aku mendorongnya untuk menulis. Aku
mendiskusikan watak para miniaturis, dan aku menghitung sejumlah uang yang
kubayarkan pada mereka. Kami memperbincangkan "perspektif dan apakah objek-objek
remeh yang menjadi latar belakang lukisan Venesia itu merupakan penistaan
terhadap agama. Kami juga membicarakan kemungkinan Elok Effendi yang malang itu
dibunuh atas dasar ambisi menggebu yang disebabkan kecemburuan atas kekayaannya.
Begitu Hitam pulang malam itu, aku merasa yakin ia akan datang kembali esok
paginya sebagaimana yang dijanjikannya. Dan sekali lagi ia akan mendengarkanku
menuturkan ceritacerita yang akan mengisi bukuku. Aku mendengarkan suara
langkahnya yang menjauh dan lenyap di balik gerbang yang terbuka. Ada sesuatu
dengan malam yang dingin yang membuat pembunuhku yang tak pernah tidur dan
gelisah semakin kuat dan menjadi lebih keji dariku dan bukuku.
Aku menutup gerbang halaman dengan erat setelah kepulangan Hitam. Kuletakkan
mangkuk air keramik tua yang biasa kugunakan untuk menanam kemangi di balik
gerbang, seperti yang selalu kulakukan setiap malam. Sebelum aku memadamkan
tungku menjadi abu pijar dan beranjak tidur, aku melihat Shekure yang berpakaian
putih, tampak seperti sesosok hantu di tengah kegelapan.
"Apakah kau sungguhsungguh ingin menikah dengannya?" tanyaku.
"Tidak, Ayah. Aku sudah lama melupakan pernikahan. Lagi pula, aku sudah
menikah." "Jika kau masih ingin menikah dengannya, aku akan merestuinya."
"Aku tidak ingin dinikahkan dengannya."
"Mengapa?" "Karena itu melawan kehendak Ayah. Dengan segenap ketulusan, aku tidak
mendambakan siapa pun yang tidak Ayah inginkan."
Sejenak aku memerhatikan batu bara di dalam tungku memantul di matanya. Matanya
telah menua, bukan karena ketidakbahagiaan, melainkan karena amarah, meskipun
tak ada kesan rasa tersinggung di dalam nada suaranya.
"Hitam kasmaran padamu," ujarku, seolaholah aku sedang mengungkapkan suatu
rahasia. "Aku tahu."
"Ia mendengarkan semua yang harus kukatakan hari ini, bukan karena kecintaannya
pada lukisan, melainkan karena rasa cintanya padamu."
"Ia akan menyelesaikan buku Ayah. Itu yang penting."
"Suamimu mungkin akan kembali suatu hari nanti," kataku,
"Aku tidak yakin, entah mengapa, mungkin karena kesunyian ini, tetapi malam ini
aku menyadari sepenuhnya bahwa suamiku tak akan pernah kembali. Apa yang pernah
kumimpikan sepertinya akan menjadi kenyataan: Mereka pasti telah membunuhnya. Ia
pasti sudah lama menjadi abu." Dia membisikkan pernyataan terakhirnya dengan
amat lirih agar tidak terdengar anakanaknya yang sedang tidur. Dan dia
mengatakannya dengan nada suara yang menyiratkan amarah.
"Jika mereka sampai membunuhku," ujarku, "aku ingin kau menyelesaikan buku yang
membuatku menyerahkan segalanya ini. Bersumpahlah kau akan melakukannya."
"Aku bersumpah. Siapa yang akan menuntaskan buku itu?"
"Hitam! Kau bisa merasa yakin bahwa ia akan melakukannya."
"Ayah sudah meyakinkannya agar ia akan melakukannya," ujarnya. "Ayah tak
membutuhkanku untuk itu."
"Aku sepakat, tetapi ia berjanji padaku akan melakukannya karena kau. Jika
mereka membunuhku, ia mungkin akan merasa takut untuk melanjutkannya."
"Kalau begitu, ia tidak akan bisa menikahiku," sahut putriku yang pintar itu
sambil tersenyum, Mengapa aku tak memerhatikan senyumnya itu" Selama kami berbincang, aku hanya
memerhatikan pijaran yang sesekali tampak di matanya. Kami berdiri saling
berhadapan di tengah ruangan itu.
"Apakah kalian saling berkomunikasi, saling berkirim isyarat?" tanyaku, tak
mampu menahan diri. "Bagaimana mungkin Ayah punya pikiran semacam
itu?" Keheningan yang menyakitkan menyeruak selama beberapa saat. Seekor anjing
menyalak di kejauhan. Aku agak kedinginan dan gemetar. Ruangan itu begitu gelap
kini, sehingga kami tidak bisa lagi saling memandang. Kami hanya bisa saling
merasakan kehadiran masingmasing. Seketika kami saling berpelukan dengan segenap
perasaan. Dia mulai menangis terisak, dan berkata bahwa dia merindukan ibunya.
Aku mencium dan membelai kepalanya yang wanginya seperti rambut ibunya. Aku
menuntunnya kembali ke kamar tidurnya dan membaringkannya di tempat tidur, di
samping anakanaknya yang sedang tidur bersisian. Saat aku merenungkan kembali
apa yang terjadi dua hari terakhir, aku merasa yakin bahwa Shekure telah
menjalin hubungan Bab 22 KETIKA AKU pulang malam itu, dengan cerdik aku menghindari nyonya pemilik
rumah yang mulai bertingkah seperti ibuku. Aku mengurung diri di dalam kamar ?dan berbaring di atas kasurku, membiarkan diriku kembali mengkhayalkan sosok
Shekure. Aku membiarkan diriku merasakan kesenangan dengan menggambarkan suara suara yang
kudengar di rumah Enishte. Pada kunjungan keduaku setelah dua belas tahun, dia
tidak juga menunjukkan dirinya. Namun, secara ajaib dia berhasil menunjukkan
kehadirannya padaku, sehingga aku marasa yakin bahwa aku selalu dia awasi.
Sementara dia tengah mempertimbangkanku sebagai calon suaminya, dia menyenangkan
dirinya sendiri dengan bermain logika. Menyadari hal ini, aku membayangkan akan
terus bisa menemuinya. Dengan demikian aku mampu memahami pernyataan Ibnu Arabi
tentang cinta sebagai kemampuan untuk membuat sesuatu yang tak terlihat menjadi
tampak dan hasrat untuk selalu merasakan yang tak terlihat di dalam diri
seseorang. Aku bisa menerka bahwa Shekure terusmenerus mengawasiku, karena aku mendengarkan
suarasuara yang datang dari dalam rumah, dan mendengar gemeretak papan-papan
kayunya. Pada satu titik, aku merasa amat yakin bahwa dia berada di kamar
sebelah bersama aku dinamai hitam anakanaknya. Kamar yang terbuka menghadap ke lorong yang menghubungkannya dengan
ruang antara. Aku bisa mendengar anakanak itu saling dorong dan berkelahi,
sementara ibu mereka mungkin berusaha menenangkan mereka dengan gerak tubuhnya,
pandangan mata mengancam, dan alis mata yang bertaut. Sesekali aku mendengar
mereka berbisik tak wajar, bukan seperti bisikan agar tak mengganggu orang yang
sedang salat, melainkan bisikan seperti yang dilakukan orangorang sebelum
tertawa tergelak. Pada kesempatan lain, saat kakek mereka menjelaskan padaku tentang keistimewaan
cahaya dan bayangan, Shevket dan Orhan memasuki ruangan dan dengan sikap tubuh
sangat berhatihati kentara sekali mereka sudah berlatih sebelumnya memegang ? ?nampan dan menyajikan kopi untuk kami. Upacara ini, yang pasti amat dicemaskan
oleh Hayriye, sengaja dipersiapkan Shekure agar mereka bisa mengamati lelaki
yang mungkin tak lama lagi akan menjadi ayah mereka. Karena itu, aku pun memuji
Shevket, "Betapa indah bola matamu." Lalu, aku segera menoleh ke arah adiknya,
Orhan aku takut ia akan iri jika tak kusapa dan menambahkan, "Begitu juga bola
?matamu." Lalu, aku meletakkan sehelai kelopak anyelir merah yang kukeluarkan
dengan cepat dari lipatan jubahku ke atas nampan dan mencium pipi mereka.
Kemudian, aku mendengar tawa terkekeh geli dari dalam ruangan itu.
Sering aku penasaran, dari lubang atau sudut sebelah mana di dinding, pintu,
atau langit-langit, mata Shekure sedang mengintipku. Sambil memandangi celah,
simpul atau apa pun yang kuanggap bisa berbentuk lubang, kubayangkan Shekure
sedang mengintip di sebaliknya.
Tibatiba saja aku mencurigai sebuah titik hitam lainnya dan untuk memastikan
apakah dugaanku benar dengan risiko dianggap kurang ajar oleh Enishteku saat ia
?meneruskan ceritanya yang tiada henti aku berdiri. Berpurapura menunjukkan
?sikap seorang murid penuh perhatian yang terserap dalam pikirannya untuk
menunjukkan betapa aku memerhatikan kisah yang diceritakan Enishteku, aku mulai
berjalan hilir mudik di dalam ruangan yang pengap itu, sebelum mendekati titik
hitam yang kucurigai di dinding.
Saat aku gagal menemukan mata Shekure yang bersarang di titik yang kusangka
lubang intip itu, aku merasa amat kecewa, lalu aku didera rasa sepi dan tak
sabar seorang lelaki yang tak tahu pasti ke mana hendak menuju.
Sesekali, aku merasakan kesadaran yang kuat dan tibatiba, seakanakan Shekure
sedang mengawasiku. Aku akan merasa begitu yakin bahwa dia memang sedang
memandangiku, sehingga aku sengaja bertingkah seperti seorang lelaki yang
mencoba menunjukkan bahwa ia lebih bijak, lebih tangguh, dan lebih cakap
daripada yang sesungguhnya, hanya untuk membuat perempuan yang dicintainya
terkesan. Aku sempat berkhayal Shekure dan anakanaknya sedang membandingbandingkan aku dengan suaminya ayah yang dirindukan anakanak itu sebelum aku
? ?bias kembali memusatkan perhatian pada masalah para ilustrator terkemuka Venesia
yang teknik melukisnya sedang diceritakan dengan berapiapi oleh Enishteku saat
itu. Aku ingin menjadi salah satu dari para ilustrator ternama itu, karena
Shekure sudah banyak mendengar tentang mereka dari ayahnya. Mereka adalah para
ilustrator yang telah mendapat pengakuan dari
masyarakat luas, bukan dengan menderita sebagai martir di dalam sel-sel penjara
seperti orangorang suci, atau dengan menebas kepala tentara musuh dengan sebilah
pedang tajam, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh suami Shekure yang sudah
tiada itu, melainkan berdasarkan sebuah manuskrip yang telah mereka tuliskan
atau selembar halaman yang mereka lukis. Aku berusaha sekuat tenaga membayangkan
gambargambar menakjubkan yang telah diciptakan para ilustrator terkenal ini,
yang menurut Enishteku, diilhami oleh kekuatan misterius dunia ini dan
kegelapannya yang kasat mata. Aku berusaha keras membayangkannya semua karya ?besar yang pernah disaksikan Enishteku dan kini sedang ia ceritakan satu persatu
kepada orang yang tak pernah melihatnya. Akhirnya, saat imajinasiku gagal
melakukannya, aku menjadi semakin sedih dan terpuruk.
Aku mendongak dan melihat Shevket telah ada di hadapanku lagi. Ia mendekatiku
dengan mantap, dan aku menyimpulkan sebagaimana adat kebiasaan seorang anak
?lelaki sulung di suku-suku Arab tertentu di Transoxiana dan suku-suku Sirkasia
di pegunungan Kaukasus bahwa ia tidak hanya mencium tangan tamunya di awal
?sebuah kunjungan, melainkan juga saat tamu itu hendak beranjak pergi. Tanpa
sadar, aku menjulurkan tanganku ke arahnya untuk dicium. Seketika, dari sebuah
tempat yang tak jauh, aku mendengar tawa Shekure. Apakah dia menertawakanku" Aku
menjadi gugup dan salah tingkah. Untuk mencairkan keadaan, aku merengkuh Shevket
dan mencium kedua pipinya, seolaholah itulah yang diharapkannya dariku, Kemudian
aku tersenyum pada Enishteku sebagai permintaan maaf karena telah memotong
perkataannya, sekaligus untuk
meyakinkannya bahwa aku tidak bermaksud bersikap kurang menghargainya. Kurengkuh
bocah itu dekat ke pipiku untuk mencari tahu apakah ia mewarisi wangi ibunya.
Saat itu aku menyadari anak itu menjejalkan segumpal kecil kertas ke dalam
telapak tanganku, lalu ia membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauh ke arah
pintu. Kugenggam erat gumpalan kertas itu dalam kepalan tanganku bagaikan sebongkah
permata. Dan ketika aku sadar bahwa ini adalah sebuah pesan dari Shekure, dalam
luapan kegembiraan aku nyaris tak mampu menahan seringai bodohku ke arah
Enishteku. Tidakkah itu merupakan bukti yang menunjukkan bahwa Shekure juga
mendambaku" Tibatiba saja, aku mengkhayalkan kami asyik bercumbu dengan liar.
Sepertinya aku sangat yakin kejadian luar biasa yang kubayangkan itu akan segera
terjadi, sehingga kejantananku mulai bangkit dengan tak senonoh tepat di
?hadapan Enishteku. Apakah Shekure menyaksikan hal ini" Aku langsung memusatkan
diri pada apa yang sedang dijelaskan oleh Enishteku untuk mengalihkan perhatian.
Beberapa lama kemudian, ketika Enishteku mendekat untuk menunjukkan padaku
lembaran ilustrasi yang lain dari bukunya, diamdiam aku membuka gumpalan kertas
yang baunya seperti kamperfuli itu, dan aku hanya mendapatkan kertas yang
dibiarkan kosong. Aku tak bisa memercayai mataku dan dengan bodoh kubolak-balik
kertas itu untuk memeriksanya.
"Sebuah jendela," ujar Enishteku, "menggunakan teknikteknik perspektif, seolah
olah menilai dunia dari sebuah jendela apa itu yang kaupegang?"
?"Bukan apa-apa, Enishte Effendi," sahutku. Saat ia
menoleh ke arah lain, aku mendekatkan gumpalan kertas itu ke lubang hidungku,
dan kuhirup wanginya dalam-dalam.
Selepas rehat makan siang, karena aku tak ingin menggunakan pispot kamar
Enishteku, aku mohon diri untuk pergi ke jamban di halaman. Cuaca dingin
menggigit. Aku bergegas menyelesaikan urusan pribadiku itu tanpa harus membuat
bokongku membeku terlalu lama, ketika aku melihat Shevket diamdiam muncul di
depanku tanpa menimbulkan suara, menghadang jalanku seperti seorang bandit. Di
kedua tangannya ia memegang pispot kamar sang kakek yang telah penuh. Ia masuk
ke jamban setelah aku, dan mengosongkan pispot tersebut. Lalu, ia keluar dan
menyorotkan sepasang bola mata indahnya tepat ke mataku sambil menggembungkan
kedua pipinya dan tetap memegangi pispot yang telah kosong itu.
"Anda pernah melihat mayat kucing?" tanyanya. Hidungnya persis seperti milik
ibunya. Apakah Shekure sedang mengamati kami" Aku melihat ke sekelilingku. Daundaun jendela tertutup rapat di lantai dua tempat pertama kalinya aku melihat
Shekure setelah bertahuntahun.
"Tidak." "Maukah kuperlihatkan pada Anda mayat kucing di rumah seorang Yahudi yang
dihukum gantung?" Ia keluar menuju jalanan tanpa menunggu jawabanku. Aku membuntutinya. Kami
berjalan sekitar empat puluh atau lima puluh langkah sepanjang jalan yang
berlumpur dan berlumur es sebelum kami memasuki sebuah taman yang berantakan tak
terurus. Di sini bau dedaunan busuk dan aroma jamur terasa menyengat. Dengan
keyakinan seorang bocah yang mengenal betul tempat tersebut, ia
melangkah mantap dan berirama, masuk melewati pintu sebuah rumah berwarna kuning
yang berdiri di depan kami nyaris tersembunyi di belakang kerumunan pohon ara
dan badam. Rumah itu benarbenar kosong, tetapi kering dan hangat, seakanakan ada seseorang
yang tinggal di dalamnya.
"Rumah siapa ini?" tanyaku.
"Keluarga Yahudi. Ketika lakilaki itu mati, istri dan anakanaknya pindah ke
perkampungan Yahudi di seberang dermaga tempat para penjual buah. Mereka meminta
Esther si penjaja pakaian menjualkan rumah mereka." Ia pergi ke sudut ruangan
dan kembali lagi. "Kucing itu tak ada, menghilang," serunya.
"Ke mana kira-kira perginya mayat kucing itu?"
"Kakekku bilang mereka yang sudah mati bergentayangan."
"Bukan mayatnya," ujarku. "Sukma mereka yang bergentayangan."
"Bagaimana Anda tahu?" tanyanya. Ia sedang memegangi pispot itu erat-erat di
pangkuannya dengan sikap amat serius.
"Pokoknya tahu. Apakah kau selalu datang kemari?"
"Ibuku datang kemari bersama Esther. Mayat hidup yang bangkit dari kuburnya
datang ke tempat ini di malam hari, tetapi aku tidak takut pada tempat ini.
Apakah Anda pernah membunuh seseorang?"
"Ya." "Berapa banyak?" "Tidak banyak. Dua." "Dengan pedang?" "Dengan pedang."
"Apakah jiwa mereka gentayangan?"
"Aku tidak tahu. Menurut yang ditulis di bukubuku, mereka bergentayangan."
"Paman Hasan memiliki sebilah pedang merah. Pedang itu sangat tajam, hingga
dapat memotong Anda bila menyentuhnya. Dan ia juga punya sebilah belati dengan
pegangan yang berhiaskan batu merah delima. Apakah kau yang membunuh ayahku?"
Aku mengangguk tanpa memberi tanda "ya" atau "tidak." "Bagaimana kautahu kalau
ayahmu sudah mati?" "Ibuku mengatakannya kemarin. Ayah tidak akan kembali. Ibu melihatnya dalam
mimpinya." Andai diberi kesempatan, kita akan memilih melakukan sesuatu atas nama sebuah
tujuan mulia untuk keburukan yang sedang kita siapkan demi kepentingan kita
sendiri, demi hasrat cinta yang membara di dalam diri, atau demi cinta yang
menghancurkan hati. Oleh karena itu, sekali lagi aku memantapkan hati untuk
menjadi ayah bagi anakanak yang terlantar ini. Ketika aku kembali ke rumah itu,
aku mendengarkan lebih cermat cerita kakek Shevket ketika ia menjelaskan buku
yang teks dan ilustrasinya harus kuselesaikan.
Mari kumulai dengan ilustrasiilustrasi yang ditunjukkan Enishteku padaku, gambar
kuda itu misalnya. Di halaman ini tidak ada gambar manusia, dan daerah sekitar
si kuda juga kosong. Bahkan dengan kekosongan seperti itu sekalipun, aku tak
bisa mengatakan gambar itu sederhana dan hanya berisi seekor kuda saja. Ya, kuda
itu memang ada di sana, meski tampaknya si penunggang kuda sudah turun ke
sampingnya, atau mungkin si penunggang itu baru akan muncul dari balik semak
yang digambarkan dengan gaya Kazvin. Inilah yang akan segera dipahami
dari pelana di atas kuda yang menyiratkan hiasan dan jejak kemuliaan: Mungkin
seorang lelaki dengan pedangnya sedang bersiap-siap muncul di samping kuda
perkasa itu. Jelas sekali Enishte telah memerintahkan pembuatan kuda ini pada seorang empu


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilustrator yang diamdiam dipanggilnya dari bengkel seni. Karena ilustrator itu,
yang datang di malam hari, hanya bisa melukis seekor kuda yang telah terpatri ?dalam benaknya bagai sebuah cetakan jika itu merupakan bagian dari sebuah
?kisah, maka begitulah ia akan membuka kisahnya: dengan pengulangan. Ketika
menggambar kuda, yang sudah ribuan kali ia saksikan dalam adegan percintaan dan
peperangan, Enishteku, terilhami oleh metode yang digunakan para empu Venesia,
lalu memberi instruksi pada ilustratornya. Misalnya, ia mungkin akan berkata
seperti ini, "Lupakan pengendaranya, gambarlah sebatang pohon di sana. Namun,
buatlah sebagai latar belakang dengan ukuran yang lebih kecil."
Ilustrator itu akan duduk di depan meja kerjanya bersama Enishteku dan dengan
penuh semangat ia melukis dalam cahaya lilin sebuah gambar yang aneh dan tidak
lazim, yang tidak menyerupai adegan-adegan yang biasa dilukis dan diingatnya.
Tentu saja, Enishteku membayarnya sangat mahal untuk setiap lukisan yang
dibuatnya. Namun sejujurnya, metode khusus dalam melukis ini juga memiliki daya
pikat tersendiri. Entah bagaimana, seperti juga Enishteku, setelah beberapa
lama, sang illustrator tidak lagi menentukan kisah apa yang akan disertai
ilustrasi yang harus ia sempurnakan. Yang diinginkan Enishteku dariku adalah
memeriksa semua ilustrasi yang dibuat dengan gaya setengah
Venesia setengah Persia ini, dan menuliskan sebuah kisah yang tepat untuk
menyertai setiap lukisan tersebut pada halaman sebelahnya, Jika aku ingin
mendapatkan Shekure, tentu saja aku harus menuliskan kisahkisah ini. Namun, yang
terpikir di benakku hanyalah kisah yang diceritakan si pendongeng di kedai kopi
itu.[] Bab 23 Vilaku akan disebut seorang
pembunuh - 1*)^ - DETIK DEMI detik berlalu, jam menunjukkan bahwa hari telah malam. Azan belum
berkumandang, tetapi lama sebelumnya aku sudah menyalakan lilin di samping meja
kerja lipatku. Aku segera menyelesaikan gambar seorang pecandu opium dari
ingatanku. Aku sedang membenamkan pena buluhku ke dalam tinta hitam Hasan Pasha
dan memainkannya dengan lincah di atas kertas yang berkilauan dan indah itu,
ketika aku mendengar suara yang memanggilku keluar sebagaimana yang terjadi
setiap malam. Aku menolaknya. Aku merasa yakin tak akan keluar, hanya berada di
rumah dan bekerja. Aku bahkan berupaya untuk memaku pintuku untuk sementara
waktu. Buku yang harus buruburu kuselesaikan ini adalah pesanan dari seorang Armenia
yang datang jauh-jauh dari Galata. Ia mengetuk pintu rumahku pagi tadi sebelum
ada orang yang terjaga. Lakilaki ini adalah seorang pemandu dan penerjemah,
meskipun ia berbicara gagap. Ia terus memburuku kapan pun seorang pelancong
Frank atau Venesia menginginkan sebuah "buku tentang busana" dan melibatkanku
dalam sebuah baku tawar yang alot. Setelah pagi itu menyepakati sebuah buku
tentang busana dengan kualitas rendahan seharga dua puluh keping perak, aku
meneruskan membuat ilustrasi selusin
orang Istanbul yang sedang duduk bersama saat salat isya, dengan memberi
perhatian lebih pada detail pakaian mereka. Aku menggambarkan seorang ulama,
seorang penjaga gerbang istana, seorang pendakwah, seorang serdadu Turki,
seorang sufi, seorang anggota pasukan kavaleri, seorang hakim, penjual hati,
seorang algojo algojo yang tengah beraksi menyiksa orang adalah gambar yang ?sangat laris seorang pengemis, seorang perempuan yang bekerja di pemndian umum,
?dan seorang pecandu opium. Aku mengerjakan banyak sekali bukubuku semacam ini
hanya untuk mendapatkan beberapa keeping perak tambahan, hingga aku mulai
menemukan permainan-permainan bagi diriku sendiri, untuk melawan kebosanan
ketika aku menggambarnya. Misalnya saja, aku memaksa diri menggambar si hakim
tanpa mengangkat penaku dari halaman itu, atau aku menggambarkan si pengemis
dengan mata tertutup. Segenap bandit, penyair, dan orangorang yang selalu merana, tahu bahwa ketika
salat malam dilaksanakan, para jin dan setan di dalam diri mereka akan merasa
sangat tersiksa dan merontaronta, lalu dengan kompak berseru, "Keluar! Keluar!"
Suara dari dalam yang tiada henti-hentinya ini menuntut, "Carilah orang lain
untuk menemanimu, carilah kegelapan, kepedihan, dan kehinaan." Aku sudah
menghabiskan banyak waktu untuk memuaskan semua jin dan setan ini. Aku sudah
melukis banyak gambar yang sebagian besar dianggap sebagai keajaiban yang keluar
dari tanganku dengan bantuan roh-roh jahat ini. Namun, kini sudah tujuh hari
selepas senja, sejak aku membunuh bajingan itu, aku tidak mampu lagi
mengendalikan para jin dan setan di dalam diriku. Mereka mengamuk sejadijadinya, hingga aku memberi
tahu diriku sendiri bahwa mereka akan sedikit lebih tenang andai aku mau
berjalan-jalan keluar selama beberapa saat.
Usai mengatakannya, seperti yang selalu terjadi, entah bagaimana kutemukan
diriku menggelandang menyusuri malam. Aku berjalan dengan cepat, melewati
jalanan bersalju, gang-gang berlumpur, lereng-lereng yang tertutup es, dan
trotoar sunyi, seolaholah aku tidak akan pernah berhenti berjalan. Saat aku
berjalan, menuruni jalan memasuki kegelapan malam yang pekat, memasuki bagian
paling terpencil dan terlantar di kota itu, aku berjalan selangkah demi
selangkah meninggalkan jiwaku. Dan ketika aku menyusuri jalanan yang sempit,
dengan langkah kakiku bergema di tembok-tembok batu penginapanpenginapan,
sekolah sekolah dan masjid-masjid yang kulewati, ketakutanketakutanku akan
mereda. Sesuai keinginan mereka sendiri, sepasang kakiku membawaku ke jalanan sunyi di
pinggiran kota, tempat aku biasa datang setiap malam, di mana para hantu dan jin
akan gemetaran menyusurinya. Aku mendengar kabar bahwa setengah dari seluruh
lelaki di daerah ini telah terbujur kaku dalam peperangan melawan Persia dan
sisanya melarikan diri dengan menyatakan bahwa tempat ini membawa kesialan.
Namun, aku tidak memercayai takhayul seperti itu. Satusatunya tragedi yang
menimpa perkampungan ini dari peperangan Safawiyah, adalah ditutupnya rumah sufi
Kalenderi empat puluh tahun lalu, karena dicurigai sebagai tempat persembunyian
musuh. Aku berjalan memutar ke balik semak dan rumpun pohon salam yang meruapkan aroma
menyenangkan, bahkan di tengah cuaca terdingin sekalipun. Lalu aku menegakkan
papan-papan dinding di antara reruntuhan cerobong asap
dan jendela yang rusak. Aku masuk, bau wewangian dan jamur berusia seratus tahun
kuhirup dalam-dalam ke paru-paruku. Berada di sana membuatku merasa diberkahi.
Kurasakan air mataku hendak menetes dari kedua sudut mataku.
Jika aku belum pernah mengatakan hal ini sebelumnya, aku ingin berkata bahwa aku
tidak takut pada apa pun selain Allah, dan hukuman yang dijatuhkan di dunia ini
menurutku sama sekali tidak berarti apa pun. Yang kutakutkan adalah berbagai
siksaan yang akan diderita oleh seorang pembunuh seperti diriku di hari
pembalasan nanti, sebagaimana yang dijelaskan di dalam Alquran. Dalam bukubuku
kuno yang jarang kubaca, kala aku melihat gambaran siksaan ini dalam segala
warna dan kekejamannya yang menggambarkan adegan-adegan di neraka dengan begitu
sederhana, kekanakkanakan, tetapi tetap mengerikan, digambar di atas kulit sapi
muda oleh para miniaturis Arab tua, atau siksaan-siksaan yang digambarkan oleh
senimanseniman terkemuka Cina dan Mongol, aku tidak tahan membandingkan dan
mencermati logikanya: Apa yang dinyatakan dalam surat "Al-Isra" (Perjalanan
Malam) ayat 33*" Tidakkah tertulis di sana bahwa kita tidak boleh mengambil
nyawa orang yang telah dilarang Tuhan untuk dibunuh tanpa alasan yang benar"
Baiklah: Si pendosa yang kukirim ke neraka itu bukanlah orang beriman yang
dilarang Tuhan untuk dibunuh. Lagi pula, aku memiliki alasan yang bagus untuk
meremukkan tengkorak kepalanya.
Lelaki ini telah menipu sebagian di antara kami yang mengerjakan buku yang
diperintahkan oleh Sultan secara diamdiam. Jika aku tidak membungkamnya, ia akan
?"Janganlah kamu membunuh orang yang telah diharamkan oleh Allah (membunuhnya),
kecuali dengan jalan yang hak..." membuat Enishte Effendi, semua miniaturis, dan bahkan Tuan Osman, dituduh
sebagai kaum murtad dengan membiarkan pengikut fanatic Hoja dari Erzurum
mengganggu mereka. Jika seseorang berhasil menyebarkan berita bahwa para
miniaturis sedang melaksanakan penistaan terhadap agama, para pengikut Ezurumi
ini yang sedang mencari alasan untuk menguji kekuatan mereka akan merasa puas ? ?dengan menghabisi para empu miniaturis, mereka akan merusak semua bengkel seni
dan Sultan tak akan mampu melakukan apa pun, selain memandanginya tanpa
berkedip. Sebagaimana yang kulakukan setiap kali aku datang ke tempat ini, aku
membersihkannya dengan sapu dan kain lap yang kusembunyikan di sebuah sudut.
Saat aku membersihkan tempat ini, aku merasa terbangkitkan dan sekali lagi
merasa seperti seorang pelayan setia Allah. Agar Allah tidak merenggut perasaan
terberkahi ini, aku pun salat berlama-lama. Hawa dingin yang bisa membuat seekor
rubah berak tembaga, menusuk-nusuk tulangku. Kurasakan ancaman rasa sakit di
bagian belakang tenggorokanku. Aku melangkah keluar.
Tak lama kemudian, lagi-lagi dengan kesadaran yang ganjil, aku menemukan diriku
sudah berada di lingkungan yang sepenuhnya berbeda. Aku tidak tahu apa yang
telah terjadi, apa yang sudah kupikirkan antara lingkungan terpencil rumah para
sufi itu hingga ke tempat ini. Aku tidak tahu bagaimana aku tiba di jalanan
berpagar pepohonan cemara ini.
Sejauh aku berjalan, sebuah pikiran selalu menggangguku tiada henti, dan pikiran
itu menggerogotiku seperti seekor cacing. Mungkin jika kukatakan padamu, beban
itu akan berkurang: Sebutlah ia "penipu
memuakkan" atau "Elok Effendi yang malang" keduanya sama saja beberapa saat
? ?sebelum tukang sepuh tersayang ini tewas, ia membuat tuduhan keji terhadap
Enishte kami. Namun, ketika ia tahu bahwa aku tidak terpengaruh oleh
pernyataannya tentang Enishte Effendi yang menggunakan teknik perspektif kaum
kafir, binatang itu mengungkapkan hal-hal berikut ini, "Ada sebuah lukisan
terakhir. Dalam lukisan tersebut, Enishte menistakan semua yang kita yakini. Apa
yang sedang dilakukannya merupakan penghinaan terhadap agama, sebuah hujatan
yang sesungguhnya." Lebih jauh lagi, tiga minggu setelah bajingan itu
melontarkan tuduhan tersebut, Enishte Effendi memintaku membuat ilustrasi
sejumlah benda yang tidak berkaitan, seperti seekor kuda, sekeping uang emas dan
Malaikat Maut, dalam berbagai sudut di sebuah halaman, dengan ukuran yang tidak
serupa. Tentu saja, itulah yang diharapkan orang dari sebuah lukisan Frank.
Enishte selalu bersusah payah menutupi sebagian besar bagian utama di halaman
yang ia minta kubuatkan ilustrasinya seperti halnya bagian-bagian yang disepuh
emas oleh Elok Effendi yang malang itu, seakanakan ia ingin menutupi sesuatu
dariku dan para miniaturis lainnya.
Aku ingin bertanya pada Enishte apa yang ia ilustrasikan dalam lukisan terakhir
yang lebar itu, tetapi ada banyak hal yang menahanku. Jika aku bertanya padanya,
ia tentu saja akan mencurigaiku sebagai pembunuh Elok Effendi, dan menceritakan
kecurigaannya itu pada semua orang. Namun, ada hal lain yang juga merisaukanku.
Jika aku bertanya padanya, Enishte akan menyatakan bahwa Elok Effendi justru
benar dengan keyakinankeyakinannya. Terkadang kukatakan pada diriku sendiri
bahwa aku harus bertanya padanya, berpurapura bahwa kecurigaan ini bukan berasal dari Elok
Effendi, melainkan muncul begitu saja di benakku. Pada akhirnya, kedua pilihan
itu sama-sama tidak menyenangkan bagiku.
Tungkai-tungkai kakiku, yang selalu lebih cepat bergerak daripada kepalaku,
telah membawaku ke arah jalan menuju rumah Enishte Effendi. Aku berjongkok di
dalam sebuah tempat yang tersembunyi, dan selama beberapa lama sebisa mungkin
aku mengamati rumah itu di tengah kepekatan malam. Aku mengamatinya dalam waktu
yang cukup lama: Di antara pepohonan besar, terdapat sebuah rumah besar
berlantai dua dengan gaya yang unik milik seorang lakilaki kaya! Aku tidak tahu
di sisi mana kamar Shekure berada. Seperti dalam lukisan Tabriz di zaman
kekuasaan Shah Tahmasp, aku membayangkan rumah dalam bentuk penampang seperti ?jika dibelah dua oleh sebilah pisau dan aku berusaha mengilustrasikan dengan
?mata batinku di mana aku akan menemukan Shekure, di balik daun jendela yang
sebelah mana. Pintu terbuka. Aku melihat Hitam meninggalkan rumah itu dalam kegelapan. Sejenak
Enishte memandanginya dengan penuh kasih sayang dari belakang gerbang halaman
sebelum ia menutupnya. Benakku, yang sempat memanjakan diri dengan khayalankhayalan bodoh, dengan cepat
membuat tiga kesimpulan berdasarkan apa yang kusaksikan itu:
Satu: Karena Hitam lebih murah dan tidak begitu berbahaya, Enishte Effendi akan
memintanya menyelesaikan buku kami.
Dua: Si jelita Shekure akan menikah dengan Hitam.
Tiga: Apa yang dikatakan oleh Elok Effendi yang malang itu memang benar,
sehingga sia-sia saja aku telah
membunuhnya. Dalam situasi seperti ini, secepat kepintaran kita yang tak berampun itu membuat
kesimpulan pahit yang ditentang oleh hati kita, seluruh tubuh kita akan berontak
melawan pikiran yang berkecamuk. Awalnya, setengah pikiranku dengan keras
menentang kesimpulan ketiga yang menunjukkan bahwa diriku tak lebih dari sekadar
pembunuh keji yang menjijikkan, Kakiku, sekali lagi, bertindak lebih cepat dan
lebih rasional daripada kepalaku. Aku tibatiba saja sudah mengejar Hitam
Effendi. Kami melintasi beberapa tepi jalan ketika terbersit di benakku betapa mudahnya
jika aku ingin membunuhnya. Dengan puas dan penuh percaya diri ia berjalan di
depanku, dan betapa sebuah kejahatan akan mencegahku menghadapi dua kesimpulan
pahit pertama yang bersarang di benakku. Lebih jauh lagi, aku tidak akan
menghancurkan tengkorak Elok Effendi tanpa alas an sama sekali. Kini, jika aku
berlari mendahuluinya delapan atau sepuluh langkah, menyergapnya, dan
mendaratkan sebuah pukulan ke kepalanya dengan sekuat tenaga, semuanya akan
berlangsung kembali seperti biasa. Enishte Effendi akan mengundangku menuntaskan
buku kami. Namun, sisi diriku yang lebih jujur (apa artinya kejujuran kalau
bukan ketakutan") dan lebih waras, terusmenerus mengatakan padaku bahwa bajingan
yang kubunuh dan kulemparkan ke dalam sumur adalah seorang penipu tulen. Jika
memang demikian, aku tidak sia-sia membunuhnya, dan Enishte yang tidak perlu
lagi menyembunyikan sesuatu demi buku yang sedang dibuatnya, pasti akan
mengundangku kembali ke rumahnya.
Saat aku mengamati Hitam berjalan di depanku, entah bagaimana, aku tahu dengan
pasti bahwa tidak satu pun di antara semua itu yang akan terjadi. Semuanya
hanyalah ilusi. Hitam Effendi lebih nyata dariku. Ini terjadi pada kami semua:
Sebagai reaksi atas bersikap terlalu logis, kami memanjakan khayalan selama
berminggu-minggu dan akhirnya bertahuntahun. Pada suatu hari kami melihat
sesuatu, sebuah wajah, seperangkat pakaian, seseorang yang berbahagia, dan
tibatiba saja tersadar bahwa mimpi kami tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Oleh karena itu, kami paham bahwa seorang perawan tidak akan diizinkan menikahi
kami, atau bahwa kami tidak akan pernah mencapai keadaan seperti itu seumur
hidup. Aku sedang mengamati naik turunnya bahu, kepala, dan leher Hitam caranya ?berjalan amat memuakkan, seolaholah setiap langkahnya adalah berkah bagi dunia
ini dengan sebentuk kebencian yang amat kuat melilit hatiku. Lelaki seperti
?Hitam, bebas dari kesadaran moral yang membelenggu dan dengan masa depan yang
menjanjikan, akan menganggap seluruh permukaan bumi ini rumahnya. Mereka bias
membuka pintu manapun, laksana seorang Sultan yang memasuki kandang kuda
pribadinya dan meremehkan kami yang berjongkok di dalamnya. Keinginan untuk
mengambil sebongkah batu dan berlari di belakangnya nyaris terlalu kuat untuk
kutahan. Kami adalah dua orang lelaki yang mencintai seorang perempuan yang sama. Ia
berada di depanku dan sepenuhnya tidak menyadari kehadiranku, saat kami berjalan
melewati jalanan Istanbul yang berkelok-kelok, menanjak dan menurun. Kami
berjalan seperti dua orang
bersaudara melintasi jalanan sunyi yang ditinggalkan untuk tempat berkelahi
kawanan anjing liar, melewati reruntuhan bangunan yang terbakar tempat para jin
bergentayangan, halamanhalaman masjid tempat malaikatmalaikat bersandar di
kubah-kubahnya untuk tidur, di samping pepohonan cemara yang menggumamkan jiwajiwa mereka yang telah mati, menyusuri samping pekuburan berselimut salju yang
penuh sesak oleh hantu, di luar pengamatan bandit-bandit yang sedang mencekik
korban-korbannya, melewati jajaran toko, kandang kuda, rumahrumah para sufi,
bengkel lilin, penyamakan kulit, dan dinding dinding batu. Ketika kami berhenti,
aku merasa diriku ternyata bukan sedang membuntutinya, melainkan sedang
menirunya.[] Bab 24 AKU ADALAH kematian, seperti yang bisa dengan jelas kaulihat. Namun, tak perlu
takut, aku hanyalah sebuah ilustrasi. Menjadi sosok tersebut, aku bisa membaca
kengerian di kedua bola matamu. Meskipun kautahu benar bahwa aku tidak nyata
layaknya anakanak yang menyerahkan diri sepenuhnya pada sebuah permainan kau
masih saja terkurung rasa takut, seakanakan kau bertemu langsung dengan kematian
yang sesungguhnya. Ini membuatku senang. Saat kau melihatku, kau merasa dirimu
akan merendahkan diri karena takut jika saat-saat terakhir yang tak terelakkan
itu tiba, Ini bukan gurauan. Ketika berhadapan dengan maut, orang akan
kehilangan kendali atas fungsi-fungsi tubuhnya khususnya pada sebagian besar
?orang yang dikenal pemberani. Untuk alasan ini, mayatmayat yang bergelimpangan
di medan perang yang kaulukiskan ribuan kali, tidak berbau darah, bubuk mesiu,
dan panasnya senjata sebagaimana yang diperkirakan, melainkan bau tahi dan
daging yang membusuk. Aku tahu ini adalah untuk pertama kalinya kau melihat penggambaran kematian.
Setahun yang lalu, seorang lakilaki tua tinggi kurus yang misterius mengundang


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke rumahnya seorang empu miniaturis muda yang tak lama kemudian membuat
aku adalah kematian ilustrasi diriku. Di ruang kerja yang temaram di dalam rumah bertingkat dua itu,
si lelaki tua menyajikan secangkir kopi kental yang amat nikmat pada si empu
muda untuk menjernihkan benaknya yang belia. Lalu, di dalam ruangan yang remang
remang berpintu biru itu, si lelaki tua membuat empu miniaturis itu bergairah
dengan menunjukkan kertas terbaik dari Hindustan, kuas-kuas yang terbuat dari
bulu cerpelai, beraneka lempengan tipis emas, segala jenis pena buluh, dan pisau
pena bergagang koral, yang menandakan bahwa ia mampu membayar mahal miniaturis
itu. "Nah, kini, gambarkanlah kematian untukku," pinta si lelaki tua.
"Aku tidak bisa menggambarkan kematian, karena sepanjang hayatku belum pernah
satu kali pun aku melihat gambar kematian," sahut miniaturis bertangan ajaib
yang akhirnya menggambarkan apa yang diminta si lelaki tua.
"Kau tidak perlu melihat sebuah ilustrasi sesuatu untuk menggambarkannya,"
sanggah lelaki tua yang santun itu.
"Ya, mungkin benar begitu," ujar si empu ilustrator. "Namun, jika menginginkan
gambar yang sempurna, seperti yang dibuat oleh para empu tua, gambar itu harus
dibuat setidak-tidaknya seribu kali sebelum aku berupaya membuatnya. Sehebat apa
pun seorang miniaturis, ketika ia melukiskan sebuah benda untuk pertama kalinya,
ia harus mengerjakannya layaknya seorang murid, dan aku tidak akan pernah bias
melakukannya. Aku tidak bias mengesampingkan keempuanku saat harus membuat
ilustrasi tentang maut. Itu sama artinya aku sendiri yang mati."
"Kematian akan membuatmu bersentuhan dengan
subjeknya," timpal lakilaki tua itu.
"Bukan dengan mengalami subjek lukisan yang membuat kami menjadi empu, justru
tidak pernah mengalaminya yang membuat kami menjadi empu."
"Kalau begitu, maka keempuan itulah yang harus berkenalan dengan kematian."
Dengan kalimat itu mereka terlibat dalam sebuah perbincangan mengawang dengan
pemahaman ganda dan serangkaian perumpamaan, dengan permainan kata kata, acuan
yang sulit dipahami, dan kalimat-kalimat bersayap, sebagaimana para miniaturis
yang menghormati empu-empu tua seperti mereka menghormati bakat mereka sendiri.
Mengingat yang sedang mereka perbincangkan adalah keberadaanku, aku mendengarkan
dengan saksama percakapan tersebut perbincangan yang kutahu akan membuat para
miniaturis terkemuka yang kini berada di antara kami di kedai kopi yang nyaman
ini merasa bosan. Biar kukatakan bahwa diskusi tersebut menyentuh hal-hal
berikut ini: "Apakah ukuran bakat seorang miniaturis adalah kemampuannya melukis apa pun
dengan kesempurnaan yang sama seperti para empu agung, atau kemampuannya
memperkenalkan sesuatu yang belum pernah disaksikan siapa pun lewat lukisannya?"
tanya ilustrator cemerlang bertangan terampil dan bermata jeli ini. Meskipun ia
mengetahui jawaban pertanyaannya sendiri, ia tetap diam menanti jawaban.
"Orangorang Venesia mengukur kehebatan seorang miniaturis berdasarkan
kemampuannya dalam menemukan kebaruan suatu subjek dan teknik lukisan yang tak
pernah digunakan siapa pun sebelumnya," ujar lelaki tua itu bersikukuh dengan
pendapatnya. "Orangorang Venesia akan mati dengan cara mereka," ujar si ilustrator yang
dengan cepat telah menggambar diriku,
"Kematian kita serupa satu sama lain," tukas lelaki tua
itu. "Legenda dan lukisan menceritakan betapa manusia tidak ada yang sama, bukan
betapa mereka mirip satu sama lain," lanjut si ilustrator. "Para empu miniaturis
meraih keempuannya dengan menggambarkan legenda-legenda unik seakanakan kami
mengenal baik legenda-legenda tersebut."
Perbincangan itu berubah arah membahas perbedaan antara kematian bangsa Venesia
dengan bangsa Utsmaniyah, antara Malaikat Maut dengan malaikatmalaikat Allah
lainnya, dan bagaimana mereka tidak pernah digambarkan dengan tepat melalui
kesenian orangorang kafir. Empu muda yang saat ini tengah memandangiku dengan
sepasang mata cemerlangnya di kedai kopi kesayangan kami saat itu merasa
terganggu oleh katakata penuh tekanan ini. Tangannya menjadi tidak sabar. Ia
ingin segera melukis diriku, meski ia tidak tahu seperti apa bentuk dan rupaku.
Lelaki tua licik dan penuh perhitungan yang berniat mencurangi si empu muda
menangkap aroma semangat lelaki muda itu. Di kamar yang temaram itu, si lelaki
tua menancapkan sorot matanya yang berkilauan diterangi cahaya lampu minyak ke
arah si empu muda bertangan ajaib.
"Kematian yang digambarkan berwujud manusia oleh para seniman Venesia, bagi kita
adalah sesosok malaikat seperti Izrail," ujarnya. "Ya, dalam wujud seorang
lelaki. Sama seperti Jibril yang berwujud seorang manusia ketika
menyampaikan wahyu pada Nabi Muhammad. Kau paham, bukan?"
Kusadari bahwa empu muda yang diberkahi Allah dengan bakat yang mengagumkan itu
menjadi tidak sabar dan ingin membuat ilustrasi diriku, karena lelaki tua cerdik
itu telah berhasil membangkitkan pikiran gila dalam dirinya: Apa yang pada
dasarnya ingin kita lukis adalah sesuatu yang tidak kita ketahui dengan segala
bayang-bayangnya, bukan sesuatu yang kita tahu kejelasannya.
"Aku tidak mengenal kematian," ujar si miniaturis.
"Kita semua mengenal kematian," sergah lelaki tua itu.
"Kita takut padanya, tetapi kita tidak mengenalnya."
"Kalau begitu kau harus menggambarkan rasa takut itu," ujar lelaki tua itu.
Ia hendak menciptaku saat itu. Empu miniaturis yang hebat itu merasakan bagian
belakang lehernya tersengat, otot-otot tangannya kaku, dan jemarinya merindukan
sebatang pena buluh. Namun, karena ia empu agung tulen, ia bisa mengendalikan
dirinya, mengetahui bahwa ketegangan yang dirasakannya akan semakin menambah
dalam kecintaannya pada lukisan di dalam jiwanya.
Lelaki tua yang cerdik itu mengerti betul apa yang terjadi dan ia berniat
mengilhami si pemuda untuk mewujudkan diriku. Karena ia yakin empu muda itu akan
menyelesaikannya tidak lama lagi, lelaki tua mulai membaca kalimat-kalimat
tentang diriku dari bukubuku di hadapannya: Kitab Sukma karya El-Jevziyye, buku
Al-Ghazali berjudul Kitab Penyingkapan, dan Suyuti.
Maka kemudian, saat si empu miniaturis dengan sentuhan ajaibnya melukis potret
yang kini kau pegang dengan rasa takut ini, ia menyimak cerita betapa Malaikat
Maut memiliki ribuan sayap yang membentang dari surga ke bumi, dari titik
terjauh di Timur hingga titik terjauh di Barat. Ia mendengar betapa sayap-sayap
ini akan menjadi suaka bagi mereka yang sungguhsungguh beriman, adapun bagi para
pendosa dan pembangkang akan terasa sama menyakitkannya dengan mata tombak yang
menembus daging. Karena sebagian besar di antara kalian para miniaturis sudah
tejerat masuk neraka, ia menggambarkanku dengan tubuh penuh mata tombak. Ia
mendengarkan betapa malaikat yang dikirim Allah untuk mencabut nyawa kalian itu
membawa buku catatan berisi daftar nama kalian, dan betapa sebagian dari nama
itu akan dilingkari garis hitam. Hanya Allah yang tahu saat pasti datangnya
kematian: Ketika saat itu tiba, sehelai daun akan jatuh dari sebuah pohon yang
terletak di bawah singgasanaNya, dan siapa pun yang memegang helai daun ini bisa
membaca kepada siapakah kematian akan datang. Dengan semua alasan ini, sang
miniaturis melukiskan aku sebagai sosok yang menakutkan, tetapi sekaligus juga
penuh perhatian, bagaikan orang yang memahami semua permasalahan. Lelaki tua
gila itu terus membaca: saat Malaikat Maut, yang berwujud manusia, merentangkan
tangannya dan mencabut nyawa orang yang waktunya di bumi sudah berakhir,
secercah cahaya yang melingkupi segalanya bagai cahaya matahari yang memancar,
dan oleh karenanya miniaturis bijak itu melukiskanku bergelimang cahaya, karena
ia juga tahu bahwa cahaya ini tidak akan terlihat oleh mereka yang berkumpul di
sekitar orang yang sedang sekarat, Lelaki tua yang berapiapi itu membaca dari
Kitab Sukma tentang para perampok kuburan kuno yang menyaksikan di tempat
mayatmayat yang tubuhnya dipenuhi lubang
bekas mata tombak hanya ada pijaran api dan tengkoraktengkorak yang berisi
leburan timah. Sang ilustrator yang mengagumkan ini mendengarkan dengan saksama
kisahkisah tersebut dan melukiskanku sebagai sosok yang akan menakutkan siapa
pun yang melihatnya. Kemudian, ia menyesali apa yang diperbuatnya. Bukan karena kengerian
ditambahkannya dalam lukisannya itu, melainkan karena ia berani melukisnya.
Sementara bagiku, aku merasa seperti seseorang yang disesali keberadaannya oleh
ayah kandungnya sendiri, dan menganggap dirinya amat memalukan. Mengapa
miniaturis berbakat itu menyesal telah membuat ilustrasi diriku"
1. Karena aku, lukisan kematian, tidak digambar dengan segenap kemampuannya.
Seperti yang kaulihat, aku tidak sesempurna yang dilukiskan oleh para empu
Venesia, atau para empu tua Herat. Aku juga merasa malu dengan keburukan rupaku,
Empu hebat itu tidak melukiskanku dengan gaya yang cocok dengan martabat
kematian. 2. Setelah diperdaya dengan licik oleh lelaki tua itu, empu ilustrator yang
menggambarku menemukan dirinya tibatiba saja telah meniru metode dan perspektif
para empu Frank. Hal ini amat mengganggu jiwanya, karena ia merasa telah
bersikap tidak hormat dan untuk pertama kalinya merasa berbuat kurang ajar
terhadap empu-empu zaman dulu.
3. Pasti terbersit dalam benaknya, sebagaimana yang dirasakan orangorang tolol
yang merasa bosan padaku dan tersenyum: Kematian bukan untuk ditertawakan.
Tetangga Hantu 1 Pendekar Rajawali Sakti 21 Sepasang Rajawali Pendekar Bloon 19

Cari Blog Ini