Ceritasilat Novel Online

My Name Red 6

My Name Is Red Karya Orhan Pamuk Bagian 6


Elok Effendi yang telah menghasutnya melawanmu, kita, bukumu, juga melawan seni?ilustrasi, lukisan, dan segenap hal lain yang kita percayai seniman itu menjadi
?panik, lalu membunuh bajingan itu dan melemparkan tubuhnya ke dalam sebuah
sumur." "Bajingan?"
"Elok Effendi adalah seorang pengkhianat yang punya sifat dan turunan yang
buruk. Penjahat!" aku berteriak seakanakan ia ada di hadapanku di ruangan itu.
Diam. Apakah ia takut padaku" Aku takut pada diriku sendiri. Seakanakan aku
terpaksa mengalah pada kehendak dan pikiran orang lain, tetapi ini bukannya tak
menyenangkan sama sekali.
"Siapakah miniaturis yang menjadi panik seperti dirimu dan ilustrator dari
Isfahan itu" Siapa yang membunuhnya?"
"Aku tak tahu," ujarku.
Namun, aku ingin ia mengambil kesimpulan dari ekspresiku bahwa aku berbohong.
Aku menyadari bahwa aku telah membuat kesalahan fatal dengan datang ke sini,
tetapi aku tidak akan terpuruk pada rasa bersalah dan penyesalan. Aku bias
melihat bahwa Enishte Effendi menjadi curiga padaku dan hal ini membuatku
senang. Jika ia yakin bahwa aku adalah seorang pembunuh dan pengetahuan ini
membuatnya takut, maka ia tak akan
berani menolak menunjukkan lukisan terakhir itu padaku. Aku begitu penasaran
terhadap lukisan itu, bukan karena dosa apa pun yang kulakukan berkaitan
dengannya aku sungguh ingin melihat bagaimana lukisan itu seutuhnya.
?"Pentingkah mengetahui siapa yang membunuh pengkhianat itu?" ujarku. "Mungkinkah
siapa pun yang menyingkirkannyajustru telah melakukan perbuatan yang baik?"
Aku makin bersemangat ketika kulihat ia tak mampu lagi menatap langsung mataku.
Orangorang murah hati yang mengira diri mereka secara moral lebih baik dan lebih
tinggi daripada orang lain, tak bisa menatap matamu secara langsung apabila
mereka merasa malu terhadapmu, barangkali karena mereka mengira telah
meninggalkanmu pada sebuah nasib penuh siksa dan derita.
Di luar, tepat di depan gerbang halaman, anjinganjing mulai melolong.
"Salju mulai turun lagi," kataku. "Ke mana perginya semua orang di malam seperti
ini" Mengapa mereka meninggalkanmu sendirian di sini" Mereka bahkan belum
menyalakan sebatang lilin pun untukmu."
"Ini memang aneh sekali," ujarnya. "Aku sendiri tidak mengerti."
Ia begitu tulus sehingga aku sangat percaya padanya, dan alihalih mengolok
oloknya seperti yang dilakukan para miniaturis lainnya, aku sekali lagi
mengetahui bahwa aku benarbenar mencintainya begitu dalam. Namun, bagaimanakah
ia bias sedemikian cepat merasakan luapan rasa hormat dan kasih saying dariku
yang tibatiba ini, yang ia tanggapi dengan mengelus rambutku dengan kepedulian
seorang ayah" Aku mulai melihat bahwa gaya melukis Tuan Osman dan warisan
para empu lama Herat tak lagi memiliki masa depan, dan pikiran yang tak bias
dilenyapkan ini menakutkanku lagi. Setelah mengalami beberapa tragedi, kami
semua merasakan hal yang sama: Dalam harapan terakhir yang sangat menyedihkan,
dan tanpa peduli betapa konyol dan bodohnya kami kelihatannya, kami berdoa agar
semuanya berlanjut seperti biasa.
"Mari kita lanjutkan membuat ilustrasi buku kita," ujarku. "Biarlah semuanya
berlanjut seperti biasa."
"Ada seorang pembunuh di antara para miniaturis. Aku sedang melanjutkan
pekerjaanku dengan Hitam Effendi."
Apakah ia sedang menghasutku untuk membunuhnya"
"Mana Hitam sekarang?" tanyaku. "Di manakah putrimu dan anakanaknya?"
Aku merasa ada kekuatan lain yang meletakkan katakata ini ke dalam mulutku,
tetapi aku tak bisa menahan diriku. Tak ada lagi cara bagiku untuk berbahagia
dan penuh harap. Aku hanya bisa bersikap cerdik dan kasar. Di balik dua jin yang
selalu menghibur ini kecerdasan dan kekasaran aku merasakan kehadiran Iblis ? ?yang mengendalikan mereka, menaklukkanku. Pada saat yang sama, anjinganjing
keparat di luar gerbang mulai melolong liar seakanakan mereka mencium aroma
darah. Apakah aku telah meninggalkan saat ini lama sekali" Di sebuah kota yang jauh, di
masa yang kini terasa jauh bagiku, ketika salju yang tak bisa kulihat jatuh,
diterangi cahaya lilin, aku berusaha menjelaskan di antara derai air mata bahwa
aku sungguh tidak bersalah pada si tua pikun yang pernah menuduhku mencuri cat
miliknya. Tapi kemudian, anjinganjing itu mulai melolong seakanakan mereka
mencium aroma darah. Dan aku paham dari dagu
Enishte Effendi yang seperti seorang lelaki tua yang jahat, dan dari matanya
yang akhirnya bisa menatap lekat-lekat mataku tanpa belas kasihan, bahwa ia
bermaksud menghancurkanku. Aku mengingat serpihan kenangan ketika aku masih
seorang murid berumur sepuluh tahun seperti sebuah gambar yang garisnya tampak jelas, tetapi
warnanya telah pudar. Oleh karenanya aku menghidupi masa kini seakanakan itu
adalah kenangan yang telah pudar.
Maka, saat aku bangkit dan memutar di belakang Enishte Effendi, seraya
mengangkat wadah tinta perunggu yang besar dan berat itu di antara bendabenda
kaca, porselen, dan kristal yang biasa kulihat di atas mejanya, miniaturis di
dalam diriku yang bekerja keras yang telah ditanamkan Tuan Osman dalam diri ?kami semua tengah mengerjakan ilustrasi yang kulihat dan kulakukan dalam adegan
?yang tampak jelas tetapi warnanya pudar, bukan sebagai sesuatu yang kualami
sekarang, tetapi seakanakan itu adalah sebuah kenangan dari masa silam. Kautahu
bagaimana dalam mimpi kita gemetar melihat diri kita seakanakan dari luar,
dengan perasaan yang sama, seraya memegang wadah tinta perunggu yang besar
tetapi berujung kecil itu, aku berkata, "Ketika aku masih seorang murid berumur
sepuluh tahun, aku pernah melihat wadah tinta semacam ini."
"Itu adalah wadah tinta Mongol berumur tiga ratus tahun," tukas Enishte Effendi.
"Hitam membawanya dari Tabriz. Itu untuk menaruh warna merah."
Pada saat itu tentu saja setan membujukku untuk menjatuhkan wadah tinta itu ke
kepala Enishte Effendi. Namun, aku tak menyerah pada bujuakan setan, dan dengan
harapan palsu, aku berkata, "Akulah yang
membunuh Elok Effendi."
Kau paham mengapa aku mengatakan hal ini dengan penuh harapan, bukan" Aku yakin
Enishte akan mengerti, dan sebagai akibatnya, maafkan aku ia akan merasa takut
?dan menolongku.[] b 29 AKU ADALAH PAMANMU TERCINTA
KESUNYIAN MELINGKUPI ruangan ketika ia mengaku telah membunuh Elok Effendi. Aku
menduga ia juga hendak membunuhku. Jantungku berdetak lebih cepat. Apakah ia
datang ke sini untuk mengakhiri hidupku atau hanya untuk mengaku dan membuatku
takut" Bukankah ia sendiri tahu apa yang ia inginkan" Aku takut saat menyadari
betapa tak kenalnya aku dengan dunia batin seniman luar biasa ini yang
garisgaris menakjubkan dan penggunaan warna ajaibnya telah akrab denganku selama
bertahuntahun. Aku bias merasakannya berdiri tegang di belakangku, di tengkukku,
memegang wadah tinta besar yang digunakan untuk warna merah, tetapi aku tidak
menoleh padanya. Aku tahu diamku akan membuatnya gelisah. "Anjinganjing itu
belum juga berhenti melolong," ujarku.
Kami terdiam lagi. Kali ini, aku tahu bahwa kematianku, atau keterhindaranku
dari nasib buruk ini, akan tergantung pada apa yang kukatakan padanya. Yang
kutahu selain dari pekerjaannya adalah ia sangat cerdas, dan jika kau percaya
bahwa seorang ilustrator tak pernah mengungkap jiwanya dalam karyanya,
kecerdasan tentu saja adalah sebuah modal. Bagaimana ia memojokkanku di rumahku
ketika tak ada orang lain di sini" Pikiranku yang renta dipenuhi oleh pertanyaan
ini, tetapi aku terlalu bingung untuk melihat diriku keluar dari permainan ini. Di manakah Shekure"
"Kautahu akulah yang melakukannya, bukan?" tanyanya.
Aku sama sekali tidak tahu sampai ia mengatakannya padaku. Dalam benakku aku
bahkan bertanyatanya apakah ia telah melakukan hal yang baik dengan membunuh
Elok Effendi dan mungkin miniaturis yang telah tiada itu memang telah menyerah
pada kecemasannya dan membuat masalah bagi kami semua.
Aku justru sedikit berterima kasih pada pembunuh ini, yang dengannya aku
sendirian di rumah sunyi ini.
"Aku tak terkejut kau membunuhnya," kataku. "Orangorang seperti kita yang hidup
dengan buku dan senantiasa memimpikan halaman-halamannya hanya takut pada satu
hal di dunia ini. Terlebih lagi, kita bergelut dengan sesuatu yang lebih
terlarang dan berbahaya, yakni kita bergelut membuat lukisan di sebuah kota
muslim. Seperti halnya Syekh Muhammad dari Isfahan, kita para miniaturis
cenderung merasa bersalah dan menyesal, kitalah yang pertama kali menyalahkan
diri kita sendiri sebelum orang lain melakukannya, merasa malu dan memohon ampun
pada Tuhan dan orang banyak. Kita membuat bukubuku kita secara rahasia seperti
para pendosa yang malu hati. Aku tahu benar bagaimana penyerahan terhadap
serangan tanpa akhir para hoja, para pengkhotbah, para hakim dan para mistikus
yang menuduh kita menistakan agama, serta rasa bersalah tanpa akhir mematikan
dan sekaligus memelihara imajinasi para seniman."
"Kau tidak menyalahkanku karena membunuh miniaturis tolol itu?"
"Yang membuat kita tertarik untuk menulis, membuat ilustrasi, dan melukis
berkaitan erat dengan rasa takut akan balas jasa ini. Bukan untuk uang kita
bermurah hati berlutut di depan karya kita dari pagi hingga petang, terus
bekerja diterangi cahaya lilin sepanjang malam hingga menemui kebutaan dan
mengorbankan diri demi lukisan dan bukubuku, melainkan untuk lari dari ocehan
orang lain, lari dari masyarakat. Namun, berlawanan dengan gairah untuk mencipta
ini, kita juga ingin agar mereka yang kita tinggalkan itu melihat dan menghargai
lukisanlukisan yang kita buat dan ketika mereka menyebut kita para pendosa" Oh,?penderitaan ini dibebankan pada ilustrator yang berbakat murni! Namun, lukisan
yang murni tersembunyi dalam kesedihan yang tak terlihat dan tak dibuat orang.
Ini terdapat dalam lukisan yang pada pandangan pertama mereka sebut buruk, tak
lengkap, menghujat atau melecehkan. Seorang miniaturis sejati tahu ia harus
mencapai titik itu, tetapi pada saat bersamaan ia takut pada kesepian yang
menantinya di sana. Siapa yang mau menerima keberadaan yang menakutkan dan
mencekam urat saraf seperti itu" Dengan menyalahkan diri sebelum orang lain
menyalahkannya, seorang seniman percaya ia akan terhindar dari apa yang ia
takuti selama bertahuntahun. Orang lain mendengarkannya dan percaya padanya
hanya ketika ia mengakui kesalahannya, yang membuatnya dikutuk akan dibakar di
neraka ilustrator dari Isfahan bahkan menyalakan sendiri api neraka untuknya."
"Tetapi aku bukanlah seorang miniaturis," ujarnya. "Aku tak membunuhnya karena
rasa takut." "Kau membunuhnya karena kauingin melukis seperti keinginanmu,tanpa rasa takut."
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, miniaturis yang ingin menjadi
pembunuhku itu mengatakan sesuatu yang sangat cerdas, "Aku tahu kau menjelaskan
semua ini untuk mengalihkan perhatianku, menipuku, agar dirimu bisa terlepas
dari keadaan ini," dan ia menambahkan, "tetapi yang tadi kaukatakan memang
benar. Aku ingin kau mengerti. Dengarkanlah aku."
Aku menatap matanya. Ia telah benarbenar melupakan tata krama dan basa-basi di
antara kami ketika ia bicara: Ia telah terbawa oleh pikiran-pikirannya sendiri.
Tetapi ke mana" "Jangan takut, aku tak akan menghina kehormatan-mu," ujarnya. Ia tertawa getir
saat memutar untuk menghadap ke arahku. "Bahkan kini," ujarnya, "saat aku
melakukan hal ini, seakanakan ini bukanlah aku. Seakanakan ada sesuatu yang
menggeliat kesakitan di dalam diriku memaksaku melakukan perintah jahatnya.
Namun, aku memerlukan sesuatu itu. Itu juga yang terjadi dengan melukis."
"Ini adalah dongeng ibu-ibu tua tentang Iblis."
"Kau kira aku berdusta?"
Ia tak cukup berani untuk membunuhku maka ia ingin agar aku membuatnya marah.
"Tidak, kau tidak berdusta, tetapi kau juga tak mengetahui apa yang sesungguhnya
kaurasakan." "Aku mengetahui dengan baik apa yang kurasakan. Aku menderita siksa kubur tanpa
mati terlebih dahulu. Tanpa sadar, kita telah tenggelam dalam dosa karena
dirimu. Dan kau kini berkhotbah agar kita 'lebih berani.' Kaulah yang membuatku
menjadi seorang pembunuh. Para pengikut Nusret Hoja akan membunuh kita semua."
Semakin berkurang rasa percaya dirinya, ia semakin
menaikkan nada suaranya dan kian erat menggenggam wadah tinta itu. Akankah
seseorang yang melintasi jalan bersalju mendengar teriakannya dan masuk ke dalam
rumah" "Bagaimana kau membunuhnya?" tanyaku, lebih untuk menunda-nunda waktu ketimbang
karena rasa ingin tahu. "Bagaimana kau bisa bertemu dengannya di mulut sumur
itu?" "Pada malam saat Elok Effendi meninggalkan rumahmu, ia mendatangiku," ujarnya
dengan hasrat untuk mengaku yang tak disangka-sangka. "Katanya ia telah melihat
lukisan terakhir itu. Aku mencoba berpanjang kata memintanya dengan sangat agar
tidak menyebarkan gunjingan tentang lukisan itu. Aku lalu mengajaknya berjalan
ke daerah yang hancur akibat kebakaran. Kukatakan padanya aku memiliki uang emas
yang kukubur dekat sumur. Ketika ia mendengar hal itu, ia memercayaiku ... Adakah
bukti yang lebih baik dari ini bahwa seorang illustrator didorong oleh
ketamakannya belaka" Itu alasan lain aku tidak menyesal membunuhnya. Ia adalah
seorang seniman medioker. Si tolol yang tamak itu siap menggali ke dalam bumi
yang beku dengan kuku-kukunya. Kautahu, jika aku sungguh memiliki keping-keping
emas terkubur di samping sumur itu, aku tak akan mengajaknya serta. Ya, kau
mempekerjakan seorang payah yang menyedihkan untuk menyepuh. Almarhum tersayang
itu memiliki kecakapan, tetapi pilihan warna dan penerapannya biasa-biasa saja,
dan iluminasinya tak memberi ilham. Aku tak meninggalkan jejak... Katakan padaku,
apakah hakikat 'gaya'" Kini, orangorang Frank dan Cina membicarakan karakter
bakat seorang pelukis yang mereka sebut 'gaya.' Apakah gaya
membedakan seorang seniman bagus dari yang lainnya atau tidak?"
"Jangan takut," kataku, "sebuah gaya baru tidak berkembang dari hasrat seorang
miniaturis. Seorang pangeran mati, seorang shah kalah perang, sebuah zaman yang
tampaknya abadi berakhir, sebuah bengkel kerja ditutup dan para anggotanya
berpencaran, mencari tempat lain dan para pecinta buku lainnya untuk mereka
jadikan junjungan. Suatu hari, seorang sultan yang penuh kasih mengumpulkan para
seniman eksil ini, para ahli kaligrafi dan miniaturis pengungsi yang berbakat
tetapi kebingungan, di tendanya atau di istananya dan mulai mendirikan bengkel
kerja buku seni miliknya. Bahkan jika para seniman ini, yang tak terbiasa satu
sama lain, pada mulanya melanjutkan gaya melukis yang mereka anut sepanjang
waktu, seperti anakanak yang perlahanlahan menjadi berteman dengan berkeliaran
di jalanan, lalu bertengkar, bersatu, berkelahi, dan berkompromi. Lahirnya
sebuah gaya baru adalah hasil dari bertahuntahun ketidaksepakatan, kecemburuan,
pertentangan, dan studi dalam hal warna dan lukisan. Secara umum, anggota paling
berbakat dari bengkel kerja itulah yang akan menjadi cikal bakal bentuk ini.
Mari kita sebut bahwa ia jugalah yang paling beruntung. Para miniaturis lainnya
terbebani tugas tunggal untuk menyempurnakan dan meperbaiki gaya ini melalui
peniruan tanpa henti."
Tak mampu menatap langsung mataku, ia menampilkan perilaku lembut yang tak
terduga, dan seraya memohon belas kasih dan kejujuranku, ia bertanya padaku,
gemetar seperti seorang perawan, "Apakah aku memiliki gayaku sendiri?"
Aku mengira air mata akan menetes dari sepasang
mataku. Dengan segala kelembutan, simpati dan kebaikan yang bisa kuterima, aku
bergegas mengatakan padanya apa yang kupercayai sebagai kebenaran, "Kau adalah
seniman paling berbakat yang penuh ilham dengan sentuhan dan mata paling memukau
untuk detail yang pernah kulihat selama enam puluh tahun hidupku. Jika aku yang
telah melihat karya seribu miniaturis ini meletakkan sebuah lukisanmu di
depanku, aku masih bisa langsung mengenali keistimewaan yang dianugerahkan Tuhan
pada penamu." "Setuju, tetapi aku tahu kau tak cukup bijak dalam menghargai misteri
keterampilanku," ujarnya, "kau berdusta karena takut padaku. Gambarkan sekali
lagi karakter metodeku."
"Penamu memilih garis yang tepat seakanakan atas persetujuan garis itu sendiri,
seolah olah tanpa sentuhanmu. Yang digambar oleh penamu bukan sepenuhnya
kenyataan, tetapi juga bukan sesuatu yang asal saja! Ketika kau menggambarkan
sebuah kerumunan berkumpul, ketegangan muncul dari tatapan antar tokoh, tata
letak mereka di atas halaman, dan makna metamorfosis teks ke dalam sebuah
bisikan abadi yang elok. Aku kembali lagi pada lukisanmu berkali-kali untuk
mendengar bisikan itu, dan setiap kali, aku menyadari dengan tersenyum bahwa
maknanya telah berubah, dan aku mulai membaca lukisan itu dengan cara baru.
Ketika lapisan-lapisan makna itu disingkap secara bersamaan, sebuah kedalaman
muncul melebihi metode perspektif para empu Eropa."
"Bagus. Lupakanlah para empu Eropa. Mulailah dari awal."
"Kau memiliki semacam garis yang kuat dan menakjubkan sehingga pengamat lebih
percaya apa yang kaulukis daripada kenyataan itu sendiri. Dan seperti halnya
bakatmu bias menciptakan sebuah lukisan yang akan memaksa lelaki paling saleh
mencampakkan keimanannya, bakatmu itu juga bisa membawa orang paling putus asa
dan orang kafir paling keras kepala sekalipun kembali ke jalan Allah."
"Benar, tapi aku tak yakin pada pujapuji itu. Coba
lagi." "Tak ada miniaturis yang tahu konsistensi lukisan dan rahasianya sebaik dirimu.
Kau selalu menyiapkan dan merapikan warnawarna yang paling kemilau, bercahaya,
dan asli." "Ya, dan apa lagi?"
"Kautahu kaulah yang paling hebat di antara para pelukis setelah Bihzad dan Mir
Seyyid Ali." "Ya, aku menyadarinya. Jika kau juga menyadarinya, mengapa kau membuat buku


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan Hitam Effendi?"
"Pertama, karya yang ia buat tidak membutuhkan keterampilan seorang miniaturis,"
ujarku. "Kedua, tidak sepertimu, ia bukanlah seorang pembunuh."
Ia tersenyum manis mendengar gurauanku. Melihat ini, kurasa aku akan bisa lolos
dari mimpi buruk ini dengan berterima kasih pada sebuah ekspresi baru kata ?"gaya" ini. Setelah aku mengawali pembicaraan itu, kami memulai sebuah diskusi
menyenangkan mengenai wadah tinta Mongol dari perungu yang ia pegang, bukan
seperti ayah dan anak, melainkan seperti dua lelaki tua yang penuh rasa ingin
tahu dan berpengalaman. Berat perunggu itu, keseimbangan wadah tinta itu,
kedalaman lehernya, panjang pena buluh kaligrafi tua dan misteri tinta merah
yang ketetapannya bisa ia rasakan saat ia
mengayunkan wadah tinta itu di depanku .... Kami setuju bahwa jika orangorang
Mongol tidak membawa rahasia tinta merah yang mereka pelajari dari para empu
?Cina ke Khorasan, Bukhara, dan Herat, kami di Istanbul tak akan bisa membuat
?lukisanlukisan ini sama sekali. Saat kami berbicara, ketetapan waktu, seperti
cat itu, seakanakan berubah, mengalir lebih cepat. Di sebuah sudut benakku aku
bertanyatanya mengapa tak seorang pun pulang ke rumah. Seandainya saja ia telah
meletakkan kembali benda berat itu.
Dengan ketenangan sehari-hari kami, ia bertanya, "Ketika bukumu selesai, apakah
mereka yang melihat karyaku akan menghargai keterampilanku?"
"Jika kita bisa menyelesaikan buku ini atas kehendak Tuhan, Sultan tentu saja
akan melihatnya. Mulamula beliau memeriksa untuk melihat apakah kita menggunakan
cukup lempengan emas di tempattempat yang selayaknya. Lalu, seakanakan membaca
sebuah gambaran tentang dirinya sendiri, seperti yang akan dilakukan oleh Sultan
mana pun, beliau akan memandang potret dirinya, dilanda oleh rasa senangnya
bukan oleh kehebatan ilustrasi kita. Setelahnya, jika beliau berlama-lama
mengamati tontonan yang kita ciptakan secara teliti dan penuh pengabdian dengan
mengorbankan cahaya mata kita, maka makin baiklah. Kautahu, seperti halnya aku,
kalau bukan karena keajaiban, beliau akan mengunci buku itu di tempat
penyimpanan harta karun, bahkan tanpa bertanya siapakah yang membuat bingkai
atau menyepuh iluminasi, siapa yang melukis orang ini atau kuda itu dan seperti?semua tukang gambar yang terampil, kita akan kembali melukis, berharap suatu
hari sebuah keajaiban akan adanya pengakuan menemukan
kita." Kami terdiam sejenak, seakanakan tengah menanti sesuatu dengan sabar.
"Kapankah keajaiban itu datang?" tanyanya. "Kapankah semua lukisan yang kita
kerjakan sampai penglihatan kita berkurang itu akan sungguhsungguh dihargai"
Kapankah mereka akan memberiku, memberi kita, sebuah penghormatan yang layak
kita dapatkan?" "Tak akan pernah!"
"Mengapa begitu?"
"Mereka tak akan pernah memberimu apa yang kauinginkan," kataku. "Di masa depan
kau akan makin kurang dihargai."
"Bukubuku tahan hingga berabadabad," ujarnya dengan bangga, tetapi tanpa rasa
yakin. "Percayalah padaku, tak seorang pun empu Venesia memiliki kepekaan puitismu,
keyakinanmu, kemurnian dan kejernihan dalam warna-warnamu, tetapi lukisanlukisan
mereka lebih memesona karena mereka lebih mirip dengan kehidupan itu sendiri.
Mereka tidak melukis dunia seperti terlihat dari balkon sebuah menara,
mengabaikan apa yang mereka sebut perspektif. Mereka menggambarkan apa yang
terlihat di batas jalan, atau dari dalam ruangan seorang pangeran, dengan
menyertakan ranjangnya, selimutnya, bangkunya, cerminnya, harimau miliknya,
putrinya, dan mata uangnya. Mereka menyertakan semua itu, seperti yang kautahu.
Aku tidak terbujuk oleh segala yang mereka lakukan. Mencoba meniru dunia secara
langsung melalui lukisan terasa tidak terhormat bagiku. Aku tak menyukainya.
Tetapi ada daya tarik tak terbantahkan pada lukisanlukisan yang mereka buat
dengan metodemetode baru itu. Mereka menggambarkan
yang dilihat oleh mata tepat seperti yang dilihat oleh mata. Jelas, mereka
melukis apa yang mereka lihat, sementara kita melukis apa yang kita pandang.
Memandang karya mereka, orang akan menyadari bahwa satusatunya cara membuat
wajah seseorang abadi adalah melalui gaya kaum Frank. Dan bukan hanya para
penduduk Venesia saja yang tertarik dengan gagasan ini, melainkan juga semua
penjahit, tukang jagal, tentara, pendeta dan pedagang di segenap negeri kaum
Frank ... Mereka menggambar potret mereka dengan cara seperti ini. Hanya dengan
memandang sekilas pada lukisanlukisan itu dan kau pun akan ingin melihat dirimu
sendiri dengan cara ini. Kau akan ingin percaya bahwa kau berbeda dari yang
lain, sesosok manusia yang unik, istimewa, khusus. Melukis orang bukanlah
seperti mereka yang dicerap oleh pikiran, melainkan seperti mereka yang sungguh
terlihat oleh mata telanjang, melukis dengan metode baru, membuat hal ini
menjadi mungkin. Suatu hari semua orang akan melukis seperti yang mereka
lakukan. Ketika kata 'lukisan' disebut, dunia akan memikirkan karya mereka!
Bahkan seorang penjahit bodoh yang miskin dan tak paham ilustrasi sekalipun akan
menginginkan potret semacam itu sehingga ia akan diyakinkan, dengan melihat
keunikan garis hidungnya, bahwa ia bukankah orang kebanyakan, melainkan seorang
lelaki istimewa." "Lalu kenapa" Kita juga bisa membuat lukisan potret semacam itu," ejek pembunuh
licin itu. "Kita tak akan melakukannya!" sahutku. "Tidakkah kau belajar dari korbanmu,
almarhum Elok Effendi, betapa takutnya kita dianggap sebagai peniru orangorang
Frank" Bahkan jika kita berusaha dengan berani untuk
melukis seperti mereka, itu tak akan menghasilkan hal yang sama. Pada akhirnya,
tata cara kita akan mati, warnawarna kita akan pudar. Tak seorang pun akan
peduli pada bukubuku dan lukisanlukisan kita, dan mereka yang menyatakan
ketertarikan akan bertanya dengan senyum mengejek, tanpa pengertian sama sekali,
mengapa tak ada perspektif atau kalau tidak mereka tak akan bisa menemukan ?manuskrip-manuskrip itu sama sekali. Ketakpedulian, waktu, dan bencana akan
menghancurkan seni kita. Lem orang Arab yang digunakan untuk menjilid buku
mengandung ikan, madu, dan tulang, dan halamanhalaman itu diukur dan dipoles
dengan sebuah pelitur yang terbuat dari putih telur dan kanji. Tikustikus tamak
tak punya malu akan menggerogoti halamanhalaman ini; rayap, kutu buku, dan
seribu jenis serangga lainnya akan mengoyak manuskrip-manuskrip kita hingga
lenyap tanpa bekas. Jilid buku akan terlepas dan halaman halaman berserakan.
Para perempuan menggunakannya untuk menyalakan kompor, para pencuri, para
pelayan yang lalai, dan anakanak akan merobek-robek halamanhalaman dan
gambargambar itu tanpa piker panjang. Para pangeran bocah akan menodai
ilustrasiilustrasi itu dengan pena mainan. Mereka akan menghitamkan mata orang,
menyeka hidung ingusan mereka di atas halamanhalaman itu, mencoreti pinggirpinggirnya dengan tinta hitam. Dan sensor keagamaan akan menghitamkan apa pun
yang tersisa. Mereka akan merobek dan memotong-motong lukisan kita, mungkin
menggunakannya untuk membuat gambargambar lain, atau untuk permainan dan semacam
hiburan. Ketika para ibu menghancurkan ilustrasiilustrasi yang mereka anggap
cabul, para ayah dan abang akan
menumpahkan air mani ke gambargambar perempuan jelita dan halamanhalaman itu pun
akan menjadi lengket, bukan hanya karena perbuatan semacam ini, tapi juga karena
lengket oleh lumpur, air, lem yang jelek, ludah, serta segala kotoran dan
makanan. Noda-noda kotoran akan mekar seperti bebungaan tempat halamanhalaman
itu melengket. Hujan, atap yang bocor, banjir, dan kotoran akan menghancurkan
bukubuku kita. Tentu saja, bersamaan dengan halamanhalaman yang koyak, pudar,
dan tak terbaca, di mana air, kelembaban, kutu, danketidakpedulian akan
membuatnya menjadi bubur kertas, sebuah buku terakhir yang muncul utuh daridasar
peti seperti sebuah keajaiban juga akan lenyap suatu hari, ditelan nyala api
yang tak kenal belas kasihan. Adakah daerah di Istanbul yang belum pernah
terbakar hingga rata dengan tanah setidaknya sekali setiap dua puluh tahun
sehingga kita bias berharap sebuah buku semacam itu bisa selamat" Di kota ini,
di mana setiap tiga tahun terdapat lebih banyak buku dan perpustakaan yang
musnah dibandingkan yang dibakar dan dijarah orangorang Mongol di Baghdad,
apakah yang bisa dibayangkan pelukis mungkin terjadi, bahwa adikaryanya akan
bias bertahan lebih dari seabad, atau bahwa suatu hari gambargambarnya mungkin
dilihat orang dan ia dipuja seperti Bihzad" Bukan hanya karya seni kita,
melainkan setiap karya yang dibuat di dunia ini dalam waktu bertahuntahun akan
musnah ditelan api, dihancurkan oleh ulat atau hilang karena diabaikan: Shirin
dengan bangga memandang Hiisrev dari sebuah jendela; Hiisrev dengan senag hati
mengintip Shirin saat dia mandi diterangi cahaya bulan; sepasang kekasih saling
melirik dengan keanggunan dan kelembutan; Rustem bergulat
dengan sesosok iblis putih hingga mati di dasar sebuah sumur; kegelisahan Majnun
yang dimabuk cinta bertemankan seekor harimau putih dan seekor kambing gunung di
gurun pasir; penangkapan dan penggantungan seorang gembala curang yang
menghadiahkan seekor kambing gembalaannya pada serigala betina yang berteman
dengannya pada setiap malam; bunga, bidadari, ranting pohon berdaun, burung dan
tetesan air mata di pingiran iluminasi; para pemain kecapi yang mengiringi
puisi-puisi misterius Hafiz; hiasan dinding yang telah meruntuhkan mata ribuan,
bahkan puluhan ribu, murid miniaturis; tanda peringatan kecil tergantung di atas
pintu dan dinding; baitbait yang ditulis secara rahasia antara batas-batas
ilustrasi yang dihiasi; tanda tangan bersahaja yang tersembunyi di dasar
dinding, di sudutsudut, di bagian depan hiasan, di bawah alas kaki, di bawah
semak belukar dan di antara bebatuan; selimut perca bertutup bunga yang menutupi
tubuh sepasang kekasih; kepala-kepala orang kafir yang berat menanti dengan
sabar almarhum kakek Sultan saat beliau berbaris dengan penuh kemenangan menuju
sebuah benteng musuh; meriam, senapan, dan tenda-tenda yang di masa mudamu
kaubantu pembuatan ilustrasinya dan yang muncul di latar belakang sebagai duta
para kaum kafir mencium kakekbuyut Sultan; para iblis, yang bertanduk dan tidak
bertanduk, yang berekor dan tidak berekor, yang bertaring dan tidak bertaring;
ribuan jenis burung termasuk burung hoopoe' bijak milik Nabi Sulaiman, bangau
yang melompat, burung dodo dan burung bulbul yang bernyanyi; kucing-kucing yang
tenang dan "Burung berjambul yang memiliki suara amat nyaring melengking dengan kepala dan
punggung berwarna merah jambu kecokelatan, dan paruh melengkung ke bawah
Terdapat di Eropa dan Asia Nama Latinnya adalah Upupaepops.
anjinganjing yang gelisah; awan yang berarak cepat; rerumputan mungil indah yang
dibuat dalam ribuan gambar; bayanganbayangan ribuan pohon cemara dan delima yang
jatuh pada batu dan tenda-tenda yang dedaunannya digambar satu demi satu dengan
kesabaran Nabi Ayub; istana-istana dan ratusan ribu bata yang mengambil model ? ?istana-istana dari masa Timurleng atau Shah Tahmasp, tetapi dipasangkan dengan
ceritacerita dari zaman yang jauh lebih awal; puluhan ribu pangeran muram yang
tengah mendengarkan musik yang dimainkan oleh para perempuan cantik dan para
pemuda yang duduk di atas karpetkarpet menakjubkan di taman bunga dan di bawah
pepohonan berbunga; lukisanlukisan keramik dan karpet luar biasa yang berutang
kesempurnaan pada ribuan ilustrator magang dari Samarkand hingga Islambol yang
terpukul hingga menangis lebih dari seratus lima puluh tahun terakhir;
tamantaman indah dan meluncurnya layanglayang hitam yang masih kaugambarkan
dengan semangat lamamu, adegan-adegan kematian dan perangmu yang mengagumkan,
lukisanmu tentang para sultan yang berburu dengan anggun, dan dengan kecakapan
yang sama, kau mengejutkan kijang kijang yang melarikan diri, para shah yang
meregang nyawa, para tawanan perang, pasukan kaum kafirmu dan kotakota musuh,
malammalam gelapmu yang berkilau seakanakan malam itu sendiri yang mengalir dari
penamu, bintang-bintangmu, pohonpohon cemaramu yang seperti hantu,
lukisanlukisan tinta merahmu tentang cinta dan maut, karyamu dan karya
miniaturis lainnya, semuanya akan musnah
Ia mengangkat wadah tinta itu dan menghantamkannya ke kepalaku dengan seluruh
kekuatannya. Aku terlempar ke depan karena pengaruh tenaga pukulannya. Kurasakan sakit luar
biasa yang bahkan tak akan pernah mampu kulukiskan. Seluruh dunia terbungkus
dalam rasa sakitku dan memudar menguning. Sebagian terbesar benakku menduga
serangan ini memang disengaja, tetapi, bersama pukulan itu atau karena pukulan
?itu sebagian benakku yang lain, bagian benakku yang bimbang, dalam sebuah
?pertunjukan niat baik yang sedih, ingin berkata pada orang gila yang hendak
membunuhku itu, "Kasihanilah aku, kau telah salah menyerangku."
Ia mengangkat wadah tinta itu lagi dan membenturkannya ke kepalaku.
Kali ini, bahkan bagian yang bimbang dari benakku paham bahwa ini bukanlah
kesalahan, melainkan kegilaan dan kemarahan yang mungkin bakal berujung pada
kematianku, Aku begitu ngeri dengan keadaan itu sehingga aku mulai meninggikan
suaraku, melolong dengan seluruh kekuatan dan penderitaanku, Warna lolongan ini
hijau kebiruan, dan dalam kelamnya malam di jalan sepi, tak seorang pun akan
mampu mendengar warnanya. Aku tahu aku benarbenar sendirian.
Ia terkejut oleh ratapanku dan raguragu. Sejenak kami saling berpandangan. Aku
bias mengatakan dari bola matanya bahwa, terlepas dari rasa takut dan malunya,
ia telah mundur dari apa yang ia lakukan. Ia bukan lagi empu miniaturis yang
kukenal, melainkan sesosok orang asing tak dikenal berniat jahatyang tak
berbicara dengan bahasaku, dan sensasi ini memperpanjang isolasi sejenakku
selama berabadabad. Aku ingin menggenggam tangannya, seakanakan untuk merengkuh
duniaini. Tapi tak ada gunanya. Aku memohon, atau mengira melakukan
hal itu, "Anakku, anakku tersayang, kumohon jangan akhiri hidupku," Bagai dalam
mimpi, ia seakanakan tidak mendengarku.
Ia kembali melayangkan wadah tinta itu ke kepalaku.
Pikiranpikiranku, apa yang kulihat, mataku, segalanya berbaur menjadi rasa
takut. Aku tak bisa melihat satu warna pun dan menyadari bahwa semua warna telah
menjadi merah. Kupikir darahku adalah tinta merah; kukira tinta di tangannya
adalah darahku yang mengucur.
Betapa tak adil, kejam, dan tak kenal belas kasih rasanya mati semendadak itu.
Namun, inilah akhir di mana kepalaku yang tua dan berlumur darah perlahanlahan
menuju. Lalu akumelihatnya. Ingatan-ingatanku memutih, seperti salju di
luarsana. Jantungku terasa sakit saat seakanakan berdenyut dalam mulutku.
Kini aku akan menggambarkan kematianku. Barangkali kau telah mengerti hal ini
sejak lama: kematian bukanlah akhir, ini pasti. Bagimanapun, seperti tertulis
dalam berbagai buku, kematian adalah sesuatu yang menyakitkan di luar pemahaman
kita. Rasanya seakanakan bukan hanya tengkorak dan otakkuyang terserak,
melainkan seluruh bagian diriku berbaur menyatu, terbakar dan tersiksa. Menahan
penderitaan tak berbatas ini begitu sulit sehingga sebagian benakku
bereaksi seakanakan ini hanyalah sebuah pilihan dengan melupakankepedihan dan ? ?berusaha tidur nyenyak.
Sebelum aku mati, aku teringat legenda Assyria yang kudengar setelah dewasa.
Seorang lelaki tua yang hidup sendirian bangkit dari ranjangnya di tengah malam
dan minum segelasair. Ia meletakkan gelas itu di ujung meja dan menemukan lilin
yang tadinya ada disitu telah lenyap.
Ke mana lilin itu" Selarik cahaya merembes dari dalam kamar. Ia mengikuti cahaya
itu, kembali ke dalam kamar tidurnya dan menemukan seseorang tengah berbaring di
atas ranjangnya memegang lilin. "Siapakah kau?" tanyanya. "Akulah Maut," ujar
orang asing itu. Lelaki tua itu dilanda kesenyapan yang misterius. Lau ia
berkata, "Jadi, kau datang juga rupanya." "Ya," sahut Maut dengan angkuh.
"Tidak," kata lelaki tua itu dengan tegas, "kau hanyalah mimpiku yang belum
berakhir." Lelaki tua itu tibatiba memadamkan lilin di tangan si orang asing dan
semuanya lenyap dalam kegelapan. Lelaki tua itu kembali naik ke ranjangnya yang
kosong, tidur,dan hidup selama dua puluh tahun lagi.
Aku tahu cerita itu bukanlah suratan nasibku. Ia melayangkan lagi wadah tinta
itu kekepalaku. Aku sedang berada dalam keadaan sangat tersiksa sehingga aku
hanya bias melihat dengan samar akibatnya. Ia, wadah tinta itu, dan ruangan yang
diterangi cahaya temaram lilin telah mulai mengabur.
Namun, aku masih hidup. Hasratku untuk merengkuh dunia ini, untuk melarikan diri
dan lolos darinya, gerakan tangan dan lenganku sebagai usaha untuk melindungi
wajah dan kepalaku yang berlumur darah, caraku menggigit pergelangan
tangannya,dan wadah tinta yang membentur wajahku membuatku sadar akan hal ini.
Kami bergelut sejenak, jika bisa disebut begitu. Ia amat kuat dan sangat
bersemangat. Ia menekanku terlentang. Seraya menekankan lututnya di bahuku, ia
menahanku ke lantai, sementara ia berceloteh dengan nada tidak hormat,
menghujatku, seoranglelaki tua yang tengah sekarat. Barangkali karena aku tak
bias memahami atau mendengarkannya, barangkali karena aku tidak
senang melihat matanya yang haus darah, ia kembali memukuli kepalaku.Wajahnya
dan seluruh tubuhnya menjadi merah cerahkarena tinta yang muncratkeluar dari
wadahnya, dan kukira,karena darah yang mengucur dari kepalaku.
Merasa sedih karena hal terakhir yang kulihat di dunia ini adalah orang yang
menjadi musuhku, aku memejamkan mata. Setelah itu, aku melihat secercah cahaya
lembut. Cahaya itu semanis dan semenarik tidur yang kukira akan mengobati segala
rasa sakitku, Aku melihat sebuah sosok dalam cahaya itu dan seperti seorang
bocah lugu aku bertanya, "Siapakah kau?"
"Akulah Izrail, Malaikat Maut," ujarnya. "Akulah yang mengakhiri riwayat orang
di dunia ini. Akulah yang memisahkan anakanak dari ibu mereka, para istri dari
suami-suami mereka, para kekasih dari kekasih mereka, dan para ayah dari
putriputri mereka. Tiada makhluk di dunia ini yang bisa menghindar bertemu
denganku." Ketika aku tahu maut tak bisa kuhindari, aku pun menangis.
Air mataku yang bersimbah membuatku merasa sangat kehausan. Di satu sisi ada
kepedihan yang membius karena wajah dan mataku bersimbah darah; di sisi lain
terdapat tempat di mana kegilaan dan kekejaman berhenti, tetapi tempat itu aneh
dan mengerikan. Aku tahu itulah alam yang diterangi, Alam Kubur, ke mana Izrail
memberi isyarat padaku, dan aku merasa takut. Aku tahu aku tak bisa lagi tinggal


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di dunia ini, dan itu membuatku meratap dan melolong pedih. Di dunia yang penuh
rasa sakit menakutkan dan siksaan ini tak ada tempat bagiku menemukan pelipur
lara. Untuk tetap tinggal di dunia, aku harus pasrah pada siksaan tak
tertahankan ini dan semua ini tak mungkin kutanggung dalam keadaan tua renta
begini. Tepat sebelum aku mati, aku sungguhsungguh merindukan kematianku, dan pada saat
bersamaan, aku mengerti jawaban atas pertanyaan yang telah kurenungkan seumur
hidupku, jawaban yang tak bisa kutemukan dalam bukubuku: Bagaimanakah semua
orang, tanpa kecuali, bisa berhasil dalam sekaratnya" Itu bias diketahui melalui
hasrat sederhana untuk mati. Aku juga mengerti bahwa kematian akan membuatku
lebih bijaksana. Namun, aku dilanda kebimbangan seorang lelaki yang hendak melakukan perjalanan
jauh dan tak mampu menahan diri untuk melepaskan tatapan terakhir pada kamarnya,
harta bendanya, dan rumahnya. Dalam kepanikan aku berharap bisa berjumpa dengan
putriku untuk terakhir kalinya. Aku amat menginginkan hal ini sehingga aku
bersiap menggertakkan gigi lebih lama lagi dan menahan rasa sakit serta dahaga
yang makin memuncak, demi menanti kepulangan Shekure.
Karenanya, cahaya lembut dan maut di hadapanku memudar entah bagaimana, dan
benakku membuka diri pada suarasuara dan keributan dunia di mana aku terkapar
menanti ajal. Aku bisa mendengar pembunuhku mengitari ruangan, membukai laci,
mengacak-acak kertas-kertasku, dan mencari lukisan terakhir itu dengan penuh
semangat. Ketika ia tak berhasil, kudengar ia membongkar peralatan melukisku dan
menendangi petipeti, kotak-kotak, wadah-wadah tinta dan meja kerjaku yang bias
dilipat. Aku merasa sesekali aku mengerang dan membuat gerakan-gerakan aneh
dengan lengan tuaku dan kakiku yang lelah. Dan aku menunggu.
Rasa sakitku tidak mereda pada akhirnya. Aku semakin diam dan tak bisa lagi
menggertakkan gigiku, tetapi lagi-lagi aku bertahan, menunggu,
Lalu terpikir olehku, jika Shekure pulang, dia mungkin akan bertemu dengan
pembunuhku yang kejam itu. Aku bahkan tak ingin memikirkannya. Tibatiba,
kurasakan pembunuhku keluar dari kamar itu. Ia mungkin telah menemukan lukisan
terakhir itu. Aku menjadi amat kehausan, tetapi masih menunggu. Datanglah sekarang, anakku
sayang, Shekureku yang cantik, tunjukkan dirimu.
Dia tidak datang juga, Aku tak lagi punya kekuatan untuk menahan penderitaan ini. Aku tahu aku akan
mati tanpa sempat menjumpainya lebih dulu. Ini terasa amat getir sehingga
membuatku ingin mati karena rasa sedihnya. Setelahnya, seraut wajah yang tak
pernah kutemui sebelumnya muncul di sebelah kiriku dan terus tersenyum. Dengan
ramah ia menawariku segelas air.
Melupakan segalanya, dengan rakus aku meraih air
itu. Ia menarik gelas itu, "Ejeklah Nabi Muhammad sebagai pembohong," ujarnya.
"Ingkari segala yang ia katakan."
Makhluk itu pastilah Iblis. Aku tak menyahut. Aku bahkan tak takut padanya.
Karena aku tak pernah percaya satu kalipun bahwa banyak melukis bisa membuatku
tertipu olehnya, aku menunggu dengan penuh percaya diri. Aku memimpikan
perjalanan tiada akhir yang menungguku dan masa depanku.
Sementara itu, saat aku didekati oleh malaikat bersinar yang tadi kulihat, Iblis
pun lenyap. Sebagian diriku tahu bahwa malaikat berkilau yang telah menyebabkan
Iblis minggat ini adalah Izrail. Namun, sebagian dari pikiranku yang membangkang
teringat bahwa dalam Kitab Penyingkapan tertulis bahwa Izrail adalah malaikat
bersayap seribu yang membentang antara Timur dan Barat, dan bahwa ia menggenggam
seluruh dunia di tangannya.
Saat aku semakin bingung, malaikat bermandi cahaya itu mendekatiku, seakan akan
hendak membantuku, dan ya, seperti yang dinyatakan Al-Ghazali dalam Mutiara
Keajaiban, ia berkata manis, "Bukalah mulutmu agar jiwamu pergi."
"Hanya doa bism/Hah yang bakal keluar dari mulutku," sahutku.
Bagaimanapun ini hanyalah alasan terakhir. Aku tahu aku tak bisa lagi bertahan
lebih lama, karena waktuku telah tiba. Sejenak aku merasa malu karena
meninggalkan tubuhku yang buruk dan berlumur darah dalam keadaan menyedihkan
seperti ini untuk putriku yang tak akan pernah kujumpai lagi. Namun, aku ingin
segera meninggalkan dunia ini, menanggalkannya seperti baju kekecilan yang
menjepit tubuh. Aku membuka mulutku dan tibatiba saja segala warna menjadi seperti lukisan
perjalanan mikraj Nabi Muhammad saat beliau mengunjungi surga. Semuanya
membanjir dalam kemilau indah seakanakan dengan murah hati dilukis dengan sapuan
emas. Air mata kesakitan mengalir dari sepasang mataku. Embusan napas tertahan
melintas dari paru-paruku ke mulutku. Semuanya terbungkus dalam kesenyapan yang
menakjubkan. Kini aku bisa melihat jiwaku meninggalkan tubuhku dan bahwa aku berada di tangan
Izrail. Jiwaku, seukuran lebah, bermandikan cahaya dan gemetar saat ia
meninggalkan tubuhku dan terus gemetar seperti merkuri di telapak tangan Izrail.
Namun, pikiranku tidak tertuju pada hal ini, melainkan pada dunia baru yang
asing yang baru saja menjadi tempatku dilahirkan kembali.
Setelah melalui penderitaan yang amat berat, ketenangan meliputiku. Kematian
ternyata tidak sesakit yang kutakutkan, malah sebaliknya, aku merasa santai, dan
dengan cepat menyadari bahwa keadaanku sekarang adalah keadaan yang tetap,
sementara itu keterbatasan-keterbatasan yang kurasakan dalam kehidupanku di
dunia hanyalah sesuatu yang fana, Inilah yang akan terjadi sejak saat ini, abad
demi abad, hingga akhir zaman. Ini tidak membuatku sedih atau senang. Peristiwa
peristiwa yang pernah kualami dengan cepat dan terpotong-potong, kini terbentang
di ruang tak terhingga dan terjadi secara bersamaan, seperti dalam salah satu
lukisan halaman ganda yang besar di mana seorang miniaturis cerdas melukis hal
hal tak berkaitan di tiap-tiap sudutnya begitu banyak hal terjadi secara ?sekaligus.[]
30 SALJU TURUN begitu lebat, sehingga butirannya terkadang berhasil masuk menembus
kerudungku, bahkan sampai ke mataku. Aku memilih berjalan melewati taman yang
tertutup rerumputan yang telah membusuk, lumpur dan potongan dahan-ahan pohon,
lalu aku mempercepat langkahku begitu aku sudah kembali berada di jalan. Aku
tahu kalian semua bertanyatanya mengenai apa yang sedang terlintas di benakku,
Seberapa besar aku memercayai Hitam" Izinkan aku berterus terang. Aku sendiri
tidak tahu apa yang kupikirkan. Kalian paham, bukan" Aku bingung. Yang aku tahu:
Seperti biasa aku terperangkap dalam rutinitas makanan, anakanak, ayahku, dan
pesuruh, dan tak lama hatiku akan membisikkan kebenaran padaku, tanpa harus
ditanya lagi. Besok, menjelang siang, aku akan tahu siapa yang akan kunikahi.
Aku ingin berbagi sesuatu denganmu sebelum aku sampai di rumah. Tidak! Ayo,
sudahlah, ini bukan tentang ukuran benda besar menakutkan yang dipamerkan Hitam
padaku. Jika kau mau, kita bisa membicarakannya nanti. Yang ingin
kuperbincangkan adalah kebimbangan Hitam. Sepertinya ia tidak hanya memikirkan
hasrat berahinya saja. Sejujurnya, tidak ada bedanya bagiku sekalipun ia
melakukannya. Yang mengejutkanku adalah kebodohan? AKU, SHEKURE >/*- nya! Menurutku, tidak pernah terbersit di dalam pikirannya bahwa ia bisa
membuatku takut dan menjauh, mempermainkan kehormatanku dan melepaskannya, atau
membuka pintu bagi hasil akhir yang lebih membahayakan. Aku tahu dari raut wajah
polosnya betapa ia mencintai dan mendambakanku. Namun, setelah menunggu selama
dua belas tahun, mengapa ia tidak bisa mengikuti aturan main dan menunggu selama
dua belas hari lagi saja"
Tahukah kau, aku memiliki perasaan terpendam karena aku jatuh cinta pada
ketidakberdayaannya dan kemurungannya, serta pandangannya yang seperti anak
anak" Terkadang, di saat aku lebih pantas marah padanya, aku malah
mengasihaninya. "Oh, anakku yang malang," sebuah suara di dalam diriku berkata,
"kau sudah mengalami siksaan hebat dan masih saja terlihat tak berdaya." Aku
merasa amat melindunginya, sehingga aku mungkin saja membuat kesalahan. Aku bisa
saja mengorbankan diri pada anak manja itu.
Memikirkan anakanakku yang malang, aku segera mempercepat langkahku. Baru
kemudian, dalam kegelapan yang turun lebih awal menyertai hujan salju yang
membutakan mata, aku mengkhayalkan sosok seorang hantu lakilaki yang mengejarku.
Dengan menundukkan kepala, aku melepaskan diri darinya.
Ketika masuk melewati gerbang halaman depan, aku tahu Hayriye dan anakanak belum
kembali. Baiklah kalau demikian, aku akan kembali tepat pada waktunya, Azan isya
belum berkumandang. Aku menaiki tangga, rumah itu meruapkan aroma selain selai
jeruk. Ayahku berada di dalam kamar temaram yang berpintu biru.Kedua tungkai
kakiku membeku kedinginan. Aku memasuki kamarku si sisi kanan, disamping tangga,
sambil memegangi sebuah lampu, dan ketika aku melihat kamarku terbuka, bantal-bantal berserakan dan
seisi kamar porakporanda, aku beranggapan semua itu adalah hasil kenakalan
Shevket dan Orhan. Ada sebuah keheningan yang ganjil di rumah itu. Aku
mengenakan pakaian rumahku dan duduk sendirian di tengah kegelapan, dan ketika
aku membiarkan diri melamun sesaat, benakku menangkap keributan kecil di lantai
bawah, tepat di bawahku, bukan dari arah dapur, melainkan dari kamar besar di
samping kandang kuda yang biasa digunakan sebagai bengkel kerja ilustrasi di
musim panas. Apakah ayahku turun ke tempat itu, dalam cuaca sedingin ini" Aku
tidak ingat telah melihat cahaya lampu minyak di sana. Tibatiba saja aku
mendengar bunyi derit pintu depan, di antara batu pijakan dan halaman, lalu
kudengar suara salak nyaring dan menakutkan anjinganjing liar yang gelisah dan
berkeliaran di luar gerbang aku menjadi waspada.?"Hayriye?" panggilku. "Shevket, Orhan
Aku merasakan seembus hawa dingin. Tungku batu bara ayahku pasti masih menyala.
Aku harus duduk bersamanya dan menghangatkan diri. Saat aku melangkah
mendekatinya, sambil mengacungkan lampu minyak tinggitinggi, benakku tidak lagi
bersama Hitam, melainkan bersama anakanak.
Aku melintasi lorong yang lebar, merasa bimbang apakah aku sebaiknya menyiapkan
air mendidih di tungku batu bara di bawah untuk membuat sup ikan. Aku memasuki
kamar berpintu biru. Semuanya begitu berantakan. Tanpa berpikir aku baru saja
akan berkata, "Apakah yang tadi dilakukan ayahku?"
Kemudian aku melihatnya terkapar di lantai.
Aku menjerit nyaring, dilanda ketakutan. Lalu aku
melengking keras sekali lagi. Seraya menatap tubuh ayahku, aku terdiam.
Dengar, aku tahu lewat bibirmu yang terkatup rapat dan reaksi dinginmu bahwa kau
sudah mengetahui sejak beberapa saat sebelumnya apa yang terjadi di kamar ini.
Jika bukan semuanya, setidaknya kautahu cukup banyak. Yang sedang kaupertanyakan
adalah reaksiku atas apa yang kulihat, apa yang kurasakan. Sebagaimana yang
terkadang dilakukan para pembaca saat mengamati sebuah gambar, kau sedang
berusaha memahami luka sang kesatria dan memikirkan kejadian-kejadian di dalam
kisah itu yang mengarah pada peristiwa memilukan ini. Dan kemudian, setelah
mempertimbangkan reaksiku, kau akan dengan senang hati berusaha membayangkan,
bukan luka hatiku, melainkan apa yang kaurasakan jika berada di tempatku, jika
ayahmu terbunuh seperti ini. Aku tahu inilah yang sedang dengan susah payah
kaulakukan. Ya, aku pulang di malam itu, menemukan seseorang telah membunuh ayahku. Ya, aku
menjambak-jambak rambutku. Ya, seperti yang akan kulakukan di saat aku masih
kanakkanak, aku menghambur ke tubuhnya dengan semua kekuatanku dan menciumi
kulitnya. Ya, aku gemetar dan sulit bernapas. Ya, aku memohon pada Allah untuk
membangkitkannya dan mendudukkannya perlahan di sudut ini, di antara bukubukunya, seperti yang selalu dilakukannya. Bangun, Ayah, bangunlah. Jangan mati.
Kepalanya yang berlumuran darah telah dihantam hingga hancur. Lebih dari sekadar
kertas-kertas dan bukubuku yang koyakkoyak, lebih dari sekadar meja-meja,
peralatan melukis dan wadah-wadah tinta yang dilemparkan dan dirusak, lebih dari
sekadar pengrusakan bantalan-bantalan kursi, meja-meja kerja dan papan tulis,
dan semua yang porakporanda, bahkan lebih dari sekadar kemarahan yang telah membunuh ayahku,
aku takut pada kebencian yang telah meluluhlantakkan ruangan itu dan segala
isinya. Aku tidak lagi menangis. Beberapa orang melintas di jalan di luar sana,
tertawa dan berbincang di tengah kegelapan, sementara aku juga bisa mendengar
kesunyian sejati yang melanda duniaku dalam pikiranku. Dengan kedua tanganku aku
menyeka hidungku yang berair dan sungai air mata di pipiku. Selama beberapa
waktu aku hanya memikirkan anakanakku dan kehidupan kami.
Aku memasang kuping dalam kesenyapan itu. Aku berlari, menarik kedua kaki
ayahku, dan menyeretnya ke lorong. Untuk alasan tertentu, ia jadi lebih berat di
luar sini, tetapi tanpa memedulikan hal itu, aku mulai menariknya menuruni
tangga. Setengah jalan, kekuatanku melemah, dan aku pun terduduk di tengah
tangga. Aku tengah dilanda hujan air mata lagi ketika kudengar sebuah suara yang
kukira adalah Hayriye dan anakanak yang sudah pulang, Aku memegang kuatkuat
tumit ayahku, dan menjepitkannya di ketiakku, aku meneruskan menyeretnya turun,
kali ini lebih cepat. Kepala ayahku sudah sedemikian hancur dan tergenangi darah
sehingga menimbulkan suara seperti kain pel diperas saat mengenai setiap anak
tangga. Di anak tangga terbawah, aku membalikkan tubuhnya yang kini terasa lebih
ringan, dan dengan sekuat tenaga aku menyeretnya melintasi lantai batu ke
bengkel kerja musim panas. Agar bias melihat di tengah kegelapan ruangan itu,
aku segera melangkah kembali ke tungku di dapur. Ketika aku kembali dengan
sebatang lilin, kusaksikan betapa ruangan tempat aku membawa tubuh ayahku telah
porakporanda. Aku tercekat membisu.
Siapakah yang melakukan ini" Ya, Tuhan, siapakah di antara mereka yang
melakukannya" Pikiranku begitu kacau. Aku menutup pintu rapat-rapat, dan kutinggalkan ayahku
dalam ruangan yang sudah porak poranda itu. Aku menyambar sebuah ember dari
dapur dan mengisinya dengan air dari dalam sumur. Kunaiki tangga, dan dengan
diterangi cahaya lampu minyak, segera kubersihkan genangan darah di lorong, di
atas anakanak tangga, dan di semua tempat lainnya. Aku kembali naik ke kamarku,
membuka pakaianku yang berlumuran darah, dan menggantinya dengan pakaian bersih.
Dengan menjinjing ember dan kain pel, aku baru saja akan memasuki kamar berpintu
biru itu ketika kudengar gerbang halaman depan terbuka. Azan isya sudah
berkumandang. Aku mengumpulkan semua kekuatanku, dan dengan memegang lampu
minyak di tanganku, aku menunggu mereka di anak tangga teratas.
"Ibu, kami pulang," kata Orhan.
"Hayriye! Dari mana saja kau?" ujarku dengan segenap kekuatanku, tetapi yang
terdengar hanya serupa bisikan.
"Tapi Ibu, kami tidak berada di luar sampai lewat waktu salat isya ..." Shevket
membela diri. "Diam! Kakekmu sakit, ia sedang tidur."
"Sakit?" tanya Hayriye dari bawah. Dia tahu bahwa aku sedang marah. "Shekure,
kami menunggu Kosta. Setelah ikannya tiba, tanpa membuang waktu lagi kami pergi,
lalu aku membeli buah kering dan ceri untuk anakanak."
Aku merasa harus segera turun dan membisiki Hayriye, tetapi aku takut saat aku
berjalan ke bawah, lampu minyak yang kubawa akan menerangi anakanak tangga yang
basah dan ceceran darah yang mungkin terlewat
olehku tadi. Anakanak itu dengan ribut menaiki tangga dan kemudian membuka
sepatu mereka. "Ah-ah-ah," seruku. Sambil menuntun mereka menuju kamar tidur kami aku berkata,
"Jangan jalan ke sana, kakek kalian sedang tidur. Jangan masuk ke sana."
"Aku akan masuk ke ruangan berpintu biru agar dekat dengan tungku," sahut
Shevket, "bukan ke kamar kakek."
"Kakek kalian ketiduran di kamar itu," bisikku.
Kuperhatikan betapa mereka raguragu sesaat. "Ayo kita pastikan agar jin jahat
yang merasuki kakek kalian dan membuatnya sakit, tidak akan merasuki kalian
juga," ujarku. "Pergilah ke kamar kalian, sekarang." Aku menuntun tangan
keduanya dan memasukkan mereka ke dalam kamar tempat kami tidur bersama di
dalamnya. "Sekarang ceritakan padaku, apa yang kalian lakukan di jalanan di saat
seperti ini?" "Kami melihat beberapa pengemis berkulit hitam," jawab Shevket.
"Di mana?" tanyaku. "Apakah mereka membawa bendera?" "Saat kami mendaki sisi
bukit. Mereka memberikan sebutir limau kepada Hayriye. Hayriye memberi mereka
uang. Mereka berselimut salju." "Apa lagi?" "Mereka menembakkan anak panah ke
sebuah sasaran di lapangan." "Di tengah hujan salju begini?" tanyaku. "Ibu, aku
kedinginan," potong Shevket. "Aku akan masuk ke kamar berpintu biru." "Kalian
tidak akan meninggalkan kamar ini," tegasku. "Kalau tidak kalian akan mati. Aku
akan membawakan tungku batu baranya." "Mengapa ibu berkata kami akan mati?"
tanya Shevket. "Aku akan menceritakan sesuatu pada kalian," ujarku, "tetapi
kalian tidak boleh memberi tahu orang lain, paham?" Mereka pun bersumpah tidak
akan membocorkannya. "Ketika kalian sedang keluar rumah, seorang lelaki berkulit
putih yang mati dan kehilangan
warnanya telah datang dari negeri yang amat jauh dan berbicara pada kakek
kalian. Ternyata ia adalah sesosok jin." Mereka bertanya padaku dari mana asal
muasal jin tersebut. "Dari seberang sungai," jawabku. "Dari tempat ayah kami
berada?" tanya Shevket. "Ya, dari sana," jawabku. "Jin dating untuk melihat
gambargambar di dalam buku kakek kalian. Mereka berkata bahwa seorang pendosa
yang melihat gambargambar itu akan langsung mati."
Sejenak hening. "Dengarkan, aku akan turun ke bawah dengan Hayriye," ujarku. "Aku akan membawa


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tungku batu bara itu kemari, juga baki makan malam kalian. Jangan meninggalkan
kamar ini atau kalian akan mati. Jin itu masih ada di rumah ini."
"Ibu, jangan pergi," rengek Orhan.
Aku memberi petunjuk pada Shevket. "Kau akan bertanggung jawab atas adikmu,"
tegasku. "Jika kau meninggalkan ruangan ini dan jin itu tidak menangkapmu, aku
yang akan membunuhmu." Aku menunjukkan raut wajah menakutkan yang biasa
kuperlihatkan sebelum aku menampar mereka. "Sekarang, berdoalah agar kakekmu
yang sedang sakit itu tidak mati. Jika kalian bersikap baik, Tuhan akan
mengabulkan doa kalian dan tidak akan ada seorang pun yang bisa mencelakai
kalian." Tanpa berpikir terlalu lama, mereka mulai berdoa. Aku pun turun ke
lantai bawah. "Seseorang telah menjatuhkan bejana selai jeruk," lapor Hayriye. "Mustahil
kucing yang melakukannya, kucing tidak cukup kuat. Anjing tidak mungkin bisa
masuk kerumah ini...."
Tibatiba dia melihat kengerian di wajahku dan terhenti, "Ada
apakahsebenarnya?"tanyanya. "Apa yang terjadi" Adakahsesuatu terjadi padaayahmu
tercinta?" "Ia tewas."
Dia tersentak dan menjerit. Pisau dan bawang yang dipegangnya jatuh dari
tangannya dan menimpa talenan dengan sedemikian kuat, menghunjam pada ikan yang
sedang disiapkannya. Dia menjerit lagi, Kami berdua menyaksikan betapa darah
mengucur dari tangan kirinya; bukan dari ikan, melainkan dari telunjuk kirinya
yang tak sengaja tergores pisau. Aku berlari naik, dan seperti yang selalu
terjadi setiap kali aku mencari secarik kain muslin di ruangan yang
berseberangan dengan kamar tempat anakanakku berada, aku mendengar keributan dan
teriakanteriakan mereka. Sambil menggenggam helaian kain yang sudah kusobek, aku
memasuki\ kamar dan menemukan Shevket naik ke atas tubuh adiknya, menahan bahu
Orhan dengan kedua lututnya. Ia sedang membuat adiknya tercekik.
"Apa yang sedang kalian lakukan!" bentakku sekuatkuatnya.
"Orhan akan meninggalkan kamar ini," sahut Shevket.
"Bohong," tukas Orhan. "Shevket membuka pintu dan kukatakan padanya agar jangan
keluar." Ia mulai terisak.
"Kalau kalian tidak duduk tenang di sini, aku akan membunuh kalian berdua."
"Ibu, jangan pergi," rengek Orhan.
Di lantai bawah aku membalut jari Hayriye untuk menghentikan pendarahannya.
Ketika kukatakan padanya bahwa ayah ku tidak meninggal secara wajar, dia tampak
ketakutan dan memanjatkan doa memohon pertolongan dan perlindungan Allah. Dia
memandangi jarinya yang terluka dan mulai menangis. Apakah kasih sayangnya
pada ayahku cukup besar untuk menimbulkan tangisan seperti itu" Dia ingin naik
ke lantai atas dan melihatnya.
"Ia tidak ada di atas," ujarku, "Ia ada di kamar belakang."
Dia menyorotkan pandangan curiga ke arahku. Namun, ketika ia sadar aku tak mampu
memandangi lagi mayat ayahku, dia jadi terlihat penasaran. Dia menyambar lampu
dan berlalu. Hayriye melangkah sejauh empat atau lima langkah melintasi pintu
dapur tempat aku sedang berdiri, dan perlahanlahan dia mendorong pintu kamar
itu. Dengan diterangi cahaya lampu yang dipegangnya, dia melongok ke dalam.
Awalnya dia tak mampu melihat mayat ayahku, lalu diacungkannya lampu itu lebih
tinggi, mencoba menerangi sudutsudut ruangan segi empat yang luas itu.
"Aaah!" jeritnya. Dia menangkap bayangan jenazah ayahku di tempat ia
kutinggalkan di samping pintu. Dengan tubuh mematung, dia menatapnya. Bayangan
yang dilihatnya sepanjang lantai itu masih saja membeku. Saat ia memandanginya,
aku membayangkan apa yang sedang disaksikannya. Ketika dia kembali, dia tidak
menangis lagi, Aku merasa lega melihat dia masih mampu mengendalikan diri. Dia
cukup kuat untuk menerima apa yang akan kukatakan padanya.
"Kini, dengarkan aku Hayriye," pintaku. Saat aku berbicara, aku mengayun-ayunkan
pisau ikan yang tampaknya telah kuambil tanpa sadar. "Lantai atas juga telah
hancur berantakan. Iblis terkutuk itu telah menghancurkan semuanya. Di sanalah
tempat ia meremukkan wajah dan tengkorak ayahku. Di sanalah ia membunuh ayahku.
Aku membawa tubuhnya ke bawah agar anakanak tidak melihatnya, dan agar aku masih
sempat mem beritahumu, Setelah kalian bertiga pergi, tadi aku juga pergi keluar.
Ayah berada di rumah sendirian."
"Aku tidak tahu itu," dia berkata dengan ketus. "Di mana kau saat itu?"
Aku ingin dia memerhatikan baik keheninganku. Lalu aku berkata, "Aku bersama
Hitam. Aku bertemu dengan Hitam di rumah orang Yahudi yang digantung. Namun, kau
tidak boleh mengatakan hal ini pada siapa pun. Untuk saat ini, kau juga tidak
akan mengatakan pada siapa pun bahwa ayahku telah terbunuh."
"Siapa yang telah membunuhnya?"
Apakah dia benarbenar tolol atau dia sedang berusaha menyudutkanku"
"Jika aku tahu, aku tidak akan menyembunyikan kenyataan bahwa ia telah tiada,"
sahutku. "Aku tidak tahu. Apakah kautahu?"
"Bagaimana aku bisa tahu?" sahutnya. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?"
"Kau akan bersikap seakanakan tak terjadi apa-apa," perintahku. Aku merasakan
desakan kuat di dalam dadaku untuk menangis. Aku menangis tersedu-sedu, tetapi
kemudian aku berhasil mengendalikan diri. Kami berdua diam.
Beberapa lama kemudian, aku berkata, "Lupakan sup ikan saat ini, siapkan makanan
untuk anakanak." Dia tampak terpukul dan mulai menangis, aku lalu merengkuhnya, Kami saling
berpelukan erat. Aku merasa mencintainya saat itu. Sejenak aku merasa iba,
tidakhanya pada diriku dan anakanak, tetapi juga pada kami semua. Namun, saat
kami berpelukan seperti itu sekalipun, setitik keraguan masih saja menggelitik ku.Kautahu di mana aku berada saat ayahku terbunuh. Rencanaku selanjutnya adalah
membawa Hayriye dan anakanak keluar dari rumah ini. Kautahu bahwa meninggalkan
ayahku sendirian di rumah adalah sebuah kebetulan yang tak terduga sama sekali ...
tetapi apakah Hayriye tahu" Apakah dia memahami apa yang sudah kujelaskan
padanya" Ya, dia akan cepat mengerti dan kemudian kecurigaannya tumbuh. Aku
memeluknya lebih erat lagi, tapi aku tahu dalam benaknya dia akan menyimpulkan
bahwa aku melakukan ini untuk menutupi ratapanku, dan tak lama aku merasa
seolaholah aku telah menipunya. Sementara ayahku dibunuh di tempat ini, aku
asyik masyuk bersama Hitam. Kalau saja hanya Hayriye yang mengetahuinya, aku
tidak akan merasa sebersalah ini, tetapi menurutku kau juga akan
mempermasalahkannya. Jadi, akuilah, kau percaya aku menyembunyikan sesuatu. Duh,
perempuan yang malang! Akankah nasibku menjadi lebih buruk lagi" Aku mulai
menangis, lalu Hayriye pun menangis, dan kami berpelukan lagi.
Aku berpurapura memuaskan rasa laparku di atas meja makan yang kami tata di
lantai atas. Dari waktu ke waktu, dengan alasan "memeriksa keadaan kakek", aku
akan masuk ke kamar lainnya dan menangis habis-habisan. Lalu, karena anakanak
ketakutan dan merasa sedih, mereka tidur saling berangkulan di sampingku di atas
ranjang. Selama beberapa saat mereka tidak mampu memejamkan mata karena takut
jin, dan saat mereka menepukkan telapak tangan satu sama lain dan berbalik arah,
mereka masih saja bertanya, "Aku mendengar suarasuara aneh, apakah kau
mendengarnya?" Untuk meninabobokan mereka, aku
berjanji akan menceritakan pada mereka sebuah dongeng cinta. Kau tentu tahu
bagaimana katakata bisamelayang-layang di dalam gelap,
"Ibu tidak akan menikah, bukan?" tanya Shevket.
"Dengarkan Ibu," ujarku. "Ada seorang pangeran dari sebuah tempat yang sangat
jauh yang jatuh cinta pada seorang dara cantik jelita. Bagaimana hal ini bisa
terjadi" Akan kuceritakan pada kalian. Sebelum melihat si dara jelita, ia pernah
melihat lukisannya, begitulah ceritanya."
Seperti yang biasa kulakukan jika sedang sedih dan gelisah, aku bercerita bukan
dari ingatanku, melainkan mengarang sendiri sesuai dengan yang kurasakan saat
itu. Karena aku mewarnainya dengan paletku sendiri yang berasal dari kenangan
dan kecemasan-kecemasanku, maka kisah yang kuceritakan itu akan menjadi
ilustrasi muram yang menyertai semua hal yang telah menimpaku.
Setelah kedua anak itu terlelap, aku meninggalkan ranjang yang hangat, dan
bersama Hayriye, kubersihkan apa yang sudah diporakporandakan iblis jahanam itu.
Kami memunguti serpihan peti, bukubuku, pakaian, cangkir keramik, barang
tembikar, piring-piring dan wadah-wadah tinta, yang tampaknya terlempar ke
segala penjuru dan berserakan. Kami mengeluarkan sebuah meja kerja lipat yang
sudah patah, kotak-kotak cat dan kertas yang sudah dikoyak-koyak oleh amukan
kebencian, dan sementara kami melakukan semua itu, salah satu dari kami,
sesekali akan terhenti dan menangis. Kami seakanakan merasa lebih hancur oleh
porak porandanya kamar-kamar itu beserta perabotannya, juga kekejian yang
dilakukan atas kehidupan pribadi kami, daripada karena kematian ayahku. Aku bias
mengatakan itu dari pengalamanku sendiri, orangorang malang yang
kehilangan orang yang mereka cintai akan merasa tenang dengan kehadiran
bendabenda di dalam rumah yang tak berubah. Mereka dihanyutkan oleh kesamaan
tirai, selimut dan cahaya matahari yang masuk, yang membuat mereka melupakan
kenyataan bahwa Izrail telah merenggut kekasih atau anggota keluarga mereka.
Rumah yang dirawat dan dijaga ayahku dengan penuh kesabaran dan cinta, yang
setiap sudut dan pintunya telah ia dekorasi dengan susah payah, diluluhlantakkan
tanpa ampun. Dan itu membuat kami tidak hanya kehilangan kenangan atas
kenyamanan dan kesenangan, tetapi juga mengingatkan kami pada jiwa terkutuk
penjahat telengas yang membuat kami juga merasa takut padanya. Contohnya, ketika
aku bersikukuh turun ke lantai bawah, mengambil air segar dari sumur untuk
berwudu dan mengaji surah "Ali Imran" yang amat disukai oleh almarhum ayahku ?tersayang, karena menceritakan harapan dan kematian dari Alquran yang paling
?dibanggakannya karena dijilid di Herat, kami terombang-ambing dalam kengerian
ini dan sontak waspada saat kami mendengar suara gerbang halaman yang berderit.
Tak ada apa-apa. Namun, setelah kami memeriksa gerendelnya yang masih terkunci
dan membarikade gerbang itu dengan menyatukan kekuatan kami berdua, dan
memindahkan pot-pot pohon kemangi yang biasa disirami ayahku setiap pagi di
musim semi dengan air segar yang ditimbanya dari sumur, kami lalu masuk lagi ke
dalam rumah di tengah malam bisu, dan tibatiba saja, kami merasa bahwa
bayangbayang tubuh kami yang dipanjangkan oleh cahaya lampu minyak tampak
seperti bayangan orang lain. Yang paling menakutkan adalah kengerian yang
melanda kami seperti tindak pengabdian yang dilakukan
dalam diam, ketika kami membasuh wajah ayahku yang berlumuran darah dengan
hikmat dan mengganti pakaiannya agar aku bias menipu diri untuk tidak percaya
bahwa ayahku sudah tewas, "Genggamkan lengan bajunya dari bawah tubuhnya," bisik
Hayriye padaku. Ketika kami membuka pakaiannya yang bernoda darah dan pakaian dalamnya, yang
membuat kami tercengang bercampur kagum adalah warna putih yang masih tampak
hidup dari kulit ayahku yang diterangi cahaya lilin. Karena masih banyak hal
lain yang lebih mematikan yang membuat kami takut, tak seorang pun di antara
kami yang merasa malu melihat tubuh telanjang ayahku tubuh kaku dipenuhi luka ?menganga di antara bintik-bintik hitam. Saat Hayriye naik lagi ke lantai atas
untuk mengambil pakaian dalam ayah yang bersih dan kemeja sutra hijaunya, aku
tak mampu mengendalikan diri. Aku memandang bagian bawah ayahku dan seketika aku
merasa malu dengan perbuatanku. Setelah kami mendandani ayahku dengan pakaian
bersih dan dengan hatihati membersihkan darah di leher, wajah, dan rambutnya,
aku lalu memeluknya dengan sepenuh hati dan menenggelamkan hidungku di
janggutnya. Kuhirup bau tubuhnya dan menangis lama sekali.
Bagi mereka yang menuduhku tidak berperasaan, atau bahkan menuduhku bersalah,
biar kukatakan dua kali kejadian ketika aku menangis lagi: 1. Ketika aku sedang
merapikan kamar di lantai atas agar anakanak tidak mengetahui apa yang terjadi,
dan menempelkan cangkang kerang yang biasa digunakan ayahku sebagai pengilap
kertas ke telingaku seperti yang selalu kulakukan saat masih kanakkanak untuk
mencoba mendengar suara laut yang menghilang. 2. Ketika aku melihat bantal
beludru merah yang sering diduduki ayahku selama dua belas tahun terakhir begitu
?seringnya ia gunakan hingga sudah menjadi bagian dari bokongnya telah terkoyak.
?Ketika semua yang ada di rumah itu dikembalikan lagi ke tempatnya, kecuali
kerusakan yang sudah tak bisa diperbaiki, dengan tegas kutolak permintaan
Hayriye untuk membentangkan kasur gulungnya di kamar kami. "Aku tidak ingin
anakanak menjadi curiga besok pagi," jelasku padanya. Namun, sesungguhnya aku
sangat ingin ditinggalkan hanya bersama anakanakku, tidur untuk waktu yang amat
lama. Bukan karena aku didera rasa ngeri atas apa yang telah terjadi, melainkan
karena aku memikirkan bendabenda yang mungkin belum tersimpan kembali dengan
baik.[] Bab 31 AKU ADALAH MERAH - - pjf=^ AKU MUNCUL di Ghazni ketika penyair Kitab Para * ' ; Raja, Firdausi,
?menyelesaikan baris terakhir sebuah V i-f puisi kwatrain dengan rima yang paling
rumit, yang HjgEi terbaik di antara para penyair istana Shah Mahmud, yang
mengolok-oloknya sebagai seseorang yang tak lebih dari seorang petani. Aku ada
di tempat penyimpanan anak anak panah milik tokoh dalam Kitab Para Raja, Rustem,
ketika ia mengelana demi mencari kuda jantannya. Aku menjadi darah yang muncrat
saat ia membelah monster jahat menjadi dua bagian dengan pedangnya yang
menakjubkan. Aku juga ada di lipatan kain penutup ranjang saat Rustem bercinta
gila-gilaan di atasnya dengan putri rupawan seorang raja yang menerimanya
sebagai tamu. Sesungguhnya dan sejujurnya, aku sudah pernah berada di mana saja.
Aku muncul saat Tur mengkhianati Iraj dengan memenggal kepala saudaranya itu.
Aku ada saat pasukan pasukan legendaris, dengan sangat spektakuler bagaikan
sebuah mimpi, saling berhadapan stepa-stepa, dan aku pun ada saat darah segar
Iskandar berkilauan di hidungnya yang indah, setelah ia tersengat sinar matahari
terik. Ya, Shah Behram Gur menghabiskan setiap malam dalam seminggu dengan
perempuan cantik yang berlainan di bawah kubahkubah beraneka warna dari
negerinegeri yang jauh, mendengarkan kisahkisah yang diceritakan perempuan itu, dan aku ada di
permukaan pakaian yang dikenakan perawan memesona yang dikunjunginya pada suatu
Selasa, yang lukisan dirinya telah membuat Shah Behram Gur jatuh cinta, seperti
saat aku muncul dari mahkota hingga ke jubah Hiisrev yang jatuh cinta pada
lukisan diri Shirin. Terus terang, aku juga terlihat di panji panji perang musuh
musuh yang mengepung benteng, di atas taplak meja yang menutupi meja-meja
hidangan pesta, di atas kain beludru para duta besar yang menciumi kaki sultan,
dan di mana pun pedang yang legendanya disukai oleh anakanak dilukiskan. Ya,
seorang murid yang matanya berbentuk seperti buah almond, mengoleskanku dengan
menggunakan kuas yang elok ke atas kertas tebal dari Hindustan dan Bukhara. Aku
menghiasi karpetkarpet Ushak, hiasan dinding, jengger ayam-ayam jantan yang
sedang bertarung, buah-buah delima, buah-buahan dari negerinegeri dongeng, mulut
Setan, garis halus yang digariskan di dalam pembatas gambar, bordiran lengkung
di tenda-tenda, bebungaan yang nyaris tak terlihat jelas oleh mata telanjang
yang dibuat hanya untuk kesenangan pribadi sang seniman, baju baju yang
digunakan oleh para perempuan menawan yang menjulurkan lehernya untuk melihat ke
jalanan dari balik daun jendela yang terbuka, mata boneka burung sewarna buah
ceri asam yang terbuat dari gulali, stoking-stoking yang digunakan para gembala,
semburat fajar yang diceritakan dalam legenda-legenda, tumpukan mayat, ribuan
orang yang terluka, puluhan ribu pasang kekasih, kesatria, dan shah. Aku senang
sekali terlibat dalam adegan peperangan, di mana darah bermekaran seperti bunga
candu; muncul pada jubah para penyair
yang sedang mendengarkan musik di pinggiran desa, saat anakanak lelaki tampan
dan para penyair minum anggur; aku senang menghiasi sayap-sayap malaikat, bibir
para perawan, lukaluka yang mematikan di tubuh mayat dan kepala-kepala yang
terpenggal dengan rongga mata yang digenangi darah.
Aku mendengar pertanyaan di permukaan bibirmu: bagaimana rasanya menjadi sebuah
warna" Warna adalah sentuhan mata, musik bagi mereka yang tuli, sepatah kata yang
dilahirkan kegelapan. Karena aku telah mendengarkan jiwa-jiwa berbisik bagai ?bisikan angin sepoi-sepoi dari buku ke buku, dari satu benda ke benda lain
?selama puluhan ribu tahun, maka izinkan aku mengatakan bahwa sentuhanku
menyerupai sentuhan para bidadari. Sebagian dari diriku yang serius, hadir
memenuhi kebutuhan penglihatanmu, sementara sebagian lainnya yang lebih ceria,
mengawang-awang di udara bersama pandangan matamu.
Betapa beruntungnya aku menjadi warna merah! Aku begitu bergelora. Aku amat
kuat. Aku tahu orang memerhatikan aku dan bahwa aku tidak bisa ditolak. Aku
tidak menutup diri sama sekali: Bagiku, kelembutan mewujud dengan sendirinya
bukan dari kelemahan atau kehalusan, melainkan melalui kesungguhan dan kemauan.
Jadi, aku menarik perhatian pada diriku sendiri.
Aku tidak takut pada warnawarna lainnya, bayangan, kerumunan, bahkan kesepian
sekalipun. Betapa menyenangkannya bisa menutupi permukaan sesuatu yang telah
menantiku, dengan keberadaanku yang gilang gemilang! Di mana pun aku menyebar,
aku melihat mata yang bersinar, kegairahan yang menguar, alis alis yang
terangkat, dan detak-detak jantung yang berpacu.
Lihatlah, betapa indahnya hidup! Lihatlah, betapa hebatnya bisa melihat. Camkan:
Hidup adalah menyaksikan. Aku ada di mana-mana. Kehidupan dimulai denganku dan
kembali padaku. Yakinilah apa yang kukatakan padamu.
Diam dan dengarkan betapa aku berkembang menjadi sebuah warna merah yang luar
biasa. Seorang empu miniaturis, seorang ahli dalam seni lukis, dengan sekuat
tenaga menumbuk kumbang merah kering dari daerah bersuhu terpanas di Hindustan,
menjadikannya bubuk warna yang halus, menggunakan alu dan lumpang miliknya. Ia
menyiapkan lima drahma" bubuk warna merah, satu drahma soapwort" dan satu drahma
lotor. Ia merebus soapwort di dalam sebuah kendi berisi tiga okka air. Kamudian,
ia mencampurkan lotor ke dalam air hingga larut. Ia membiarkan campuran itu


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendidih saat ia menikmati secangkir kopi yang nikmat. Saat ia menikmati
kopinya, aku menjadi tidak sabar, seperti seorang anak yang akan dilahirkan.
Kopinya sudah menjernihkan benak si empu, dan memberinya mata bagaikan sesosok
jin. Ia menaburkan bubuk merah itu ke dalam belanga dan dengan cermat mengaduk
campuran baru tersebut dengan sebatang tongkat bersih berukuran cukup besar yang
memang disiapkan untuk keperluan ini. Aku sudah siap menjadi warna merah yang
murni, tetapi kekentalanku sangat penting: cairan itu tidak boleh dibiarkan
mendidih hingga menyusut. Ia mengangkat ujung tongkat pengaduk dan
menempelkannya ke kuku jempolnya (jemari lainnya sama sekali tidak bisa diterima
untuk hal ini). Oh, betapa hebatnya menjadi warna
*Satuan ukuran yang digunakan orang Yunani kuno.
**Tanaman dengan bunga berwarna merah muda atau putih, di masa lampau daunnya
digunakan orang untuk membuat campuran sabun.
merah! Dengan anggun aku mewarnai kuku jempol itu, tanpa meluber di sisi-sisinya
seperti air. Singkatnya, kekentalanku sudah tepat, tetapi aku masih mengandung
ampas. Ia mengangkat belanga itu dari atas tungku dan menyaringku dengan
selembar kain tenun yang biasa digunakan untuk membungkus keju untuk lebih
memurnikanku, Lalu, ia memanaskanku lagi, mendidihkanku hingga berbusa dua kali
lagi. Setelah menambahkan sejumput tawas ke dalamku, ia membiarkanku menjadi
dingin. Beberapa hari berlalu dan aku duduk tenang di dalam panic itu. Dengan bersiaga
untuk dipulaskan ke halamanhalaman kertas, atau dicoretkan di mana-mana dan di
atas apa pun, duduk diam seperti itu membuatku patah hati dan terpuruk. Selama
masa diam inilah aku bermeditasi memikirkan apa maknanya menjadi warna merah.
Suatu kali, di sebuah kota di Persia, saat aku sedang dioleskan dengan kuas
seorang muris magang ke atas bordiran pada kain pelapis pelana seekor kuda yang
digambar seorang miniaturis buta dengan sepenuh hati, aku mencuri dengar dua
empu buta yang sedang berdebat:
"Karena kita telah menghabiskan hidup kita dengan penuh semangat dan keyakinan
untuk bekerja sebagai seorang pelukis, sewajarnya kita yang kini menjadi buta
ini mengetahui tentang merah, serta mengingat warna seperti apa dan mewakili
perasaan macam apakah merah itu," ujar yang membuat lukisan kuda berdasarkan
ingatannya. "Namun, bagaimana jika kita memang terlahir buta" Bagaimana kita
akan mampu memahami merah yang digunakan oleh murid kita yang tampan ini?"
"Sebuah persoalan menarik," sahut yang lainnya. "Tetapi, jangan lupa bahwa warna
bukanlah diketahui, melainkan dirasakan."
"Ah, cobalah jelaskan warna merah pada seseorang yang tak pernah mengetahui
warna merah." "Jika kita menyentuhnya dengan ujung jari kita, akan terasa seperti sesuatu
antara besi dan tembaga. Jika kita meneteskannya ke dalam telapak tangan kita,
warna itu akan membakar. Jika kita menjilatnya, akan terasa sangat gurih,
seperti daging yang digarami. Jika kita menempelkannya di antara bibir kita,
rasanya akan memenuhi rongga mulut kita. Jika kita membauinya, aromanya seperti
seekor kuda. Merah itu laksana sekuntum bunga, dengan wangi seharum bunga aster,
bukan sekuntum mawar merah."
Seratus sepuluh tahun lalu, kemahiran seniman Venesia belum cukup mengancam
sehingga para penguasa kita tidak merasa perlu bersusah payah menyiasatinya, dan
para empu legendaries memercayai metode pribadi mereka dengan amat teguh seperti
kepercayaan mereka kepada Allah. Oleh karenanya, mereka me nganggap metode
Venesia dalam menggunakan beraneka jenis warna merah untuk melukiskan luka
tebasan pedang, bahkan untuk pakaian berduka, sebagai suatu penistaan dan
kekasaran yang tak layak ditertawakan. Hanya miniaturis yang lemah dan meragu
akan menggunakan beraneka jenis warna merah untuk menggambarkan merahnya jubah,
kata mereka bayangan bukanlah alasan. Lagi pula, kami hanya meyakini satu jenis?
warna merah. "Apa artinya merah?" miniaturis buta yang menggambar kuda dari ingatannya itu
bertanya lagi. "Arti sebuah warna adalah apa yang ada di depan kita dan kita lihat," sahut yang
satunya. "Merah tidak bisa diterangkan pada yang tidak bisa melihatnya."
"Untuk menyangkal keberadaan Tuhan, korban-korban Iblis memelihara keyakinan
bahwa Tuhan tidak bisa dilihat oleh mata kita," ujar miniaturis buta yang
menggambar kuda itu. "Namun, Tuhan muncul pada mereka yang bisa melihatnya," ujar empu lainnya.
"Karena alasan inilah Alquran menyatakan bahwa orang yang buta dan yang bisa melihat
itu tidak setara." Murid yang tampan itu belum pernah sehalus itu membubuhkanku ke atas kain
pelapis pelana kuda. Betapa sensasi yang luar biasa menetapkan keutuhan,
kekuatan dan semangatku pada sebuah ilustrasi hitam putih yang dibuat begitu
indah: ketika kuas bulu kucing itu menyapukanku ke atas halaman yang sudah siap
diwarnai, dengan senangnya aku menjadi sangat peka. Oleh karenanya, saat aku
membawa warnaku ke atas halaman kertas tersebut, seolaholah aku memerintahkan
dunia ini untuk "Menjadi!" Ya, mereka yang tidak bisa melihatnya akan
menyangkalnya, tetapi sesungguhnya aku bisa ditemukan di mana saja.[]
32 SEBELUM AMAK-AMAK terbangun, aku menulis sebuah surat singkat pada Hitam,
memberitahunya untuk segera datang ke rumah Yahudi yang jfl digantung itu, Aku
meremas kertas itu menjadi gumpalan dan menjejalkannya ke dalam telapak tangan
Hayriye agar dia bisa bergegas mendatangi Esther. Saat Hayriye mengambil surat
itu, dia memandangi mataku dengan sorot mata yang lebih berani daripada
biasanya, dengan mengabaikan kecemasan yang melanda kami. Dan aku, yang tidak
lagi memiliki seorang ayah untuk ditakuti, membalas sorot matanya dengan
keberanian yang baru kutemukan. Saling pandang dengan sorot mata tajam ini akan
menentukan warna hubungan kami di masa yang akan datang. Lebih dari dua tahun,
aku mencurigai Hayriye bisa saja mengandung anak ayahku, melupakan statusnya
sebagai seorang budak, dan bersiasat agar menjadi nyonya rumah ini. Aku
mendatangi ayahku yang malang dan dengan penuh hormat kucium tangannya yang kini
kaku, yang anehnya tidak kehilangan kelembutannya. Aku menyembunyikan sepatu
ayahku, turban tebal dan jubah ungunya, lalu kujelaskan pada anakanak begitu
mereka bangun bahwa kakek mereka sudah agak sehat dan telah pergi ke kawasan
Mustafa Pasha pagi-pagi benar.
-^t>V^ AKU, SHEKURE?Hayriye telah kembali dari kunjungan paginya. Ketika dia menyiapkan meja rendah
untuk makan pagi, dan aku sedang menaruh seporsi selai jeruk di tengahnya, aku
membayangkan betapa Esther kini sedang mengetuk pintu rumah Hitam. Salju telah
berhenti tercurah dan matahari tampak mulai menyorotkan sinarnya.
Di taman rumah orang Yahudi yang digantung itu, aku mengingat kembali kejadian
yang terukir di benakku. Bunga es yang bergantungan di beberapa bagian atap dan
bingkai jendela sudah mulai menipis, dan taman itu berbau jamur serta dedaunan
busuk yang menyerap cahaya matahari. Aku menemukan Hitam sedang menunggu di
tempat aku pertama kali melihatnya tadi malam seolaholah sudah lama sekali,
?serasa berminggu-minggu telah berlalu. Aku menaikkan kerudungku dan berkata,
"Kau boleh merasa senang, jika kalau mau. Keberatan dan keraguan ayahku tidak
akan menghalangi kita lagi, Saat kau berusaha menyentuhku di tempat ini tadi
malam, seorang lelaki iblis telah menyelinap masuk ke rumah kami dan membunuh
ayahku." Alihalih merasa penasaran menanti reaksi Hitam, kau mungkin akan lebih bingung
dengan caraku mengatakannya yang amat dingin dan terkesan tidak tulus. Aku
sendiri tidak tahu benar alasannya. Mungkin kupikir aku lebih baik menangis
saja, memancing Hitam untuk memelukku, dan aku akan menjadi sangat intim
dengannya lebih cepat dari yang kuinginkan.
"Ia merusak segala penjuru rumah kami, jelas sekali ia meluapkan kemarahan dan
kebenciannya. Aku tidak yakin ia sudah selesai dengan niatnya, kurasa setan ini
kini tidak sedang duduk tenang beristirahat di suatu sudut. Ia mencuri
gambargambar utama. Aku memintamu
melindungiku melindungi kami dan menyelamatkan buku ayahku dari tangan iblis
? ?itu. Sekarang, katakanlah padaku, dengan rencana dan persyaratan apakah kau akan
menjamin keselamatan kami" Inilah yang harus kami putuskan."
Ia bersuara seperti akan mulai berbicara, tetapi dengan mudah aku mendiamkannya
dengan sebuah tatapan seakanakan aku telah sering melakukan hal ini sebelumnya.?"Di mata hakim, suamiku dan keluarganya yang selanjutnya berkewajiban meneruskan
tugas ayahku sebagai waliku. Inilah persoalan yang muncul sejak sebelum kematian
ayahku, karena menurut hakim suamiku masih hidup. Hanya karena Hasan berusaha
mengambil kesempatan atasku selama kakaknya tidak ada, sebuah serangan gagal
yang mempermalukan ayah mertuaku, maka aku diizinkan untuk kembali ke rumah
ayahku meskipun belum resmi menjadi seorang janda. Namun, kini ayahku sudah
meninggal dunia dan aku tidak memiliki saudara lelaki. Tidak perlu dipertanyakan
lagi bahwa satusatunya waliku yang paling mungkin adalah adik suamiku dan ayah
mertuaku. Mereka bahkan sudah menyiapkan siasat agar aku kembali ke rumah mereka
dengan mengancamku dan ayahku. Begitu mereka mendengar ayahku tewas, mereka
tidak akan raguragu lagi untuk melakukan tindakan resmi. Satusatunya harapan
untuk menghindari kejadian ini adalah dengan menutup-nutupi kematian ayahku.
Mungkin dengan sejuta luka, karena ada seseorang yang berada di balik kejahatan
ini." Di saat itulah, secercah cahaya pucat perlahan menyusup masuk melalui kisi-kisi
jendela yang sudah rapuh, dan cahayanya jatuh di antara aku dan Hitam, menerangi selubung debu dari
masa lalu di dalam ruangan itu.
"Ini bukan satusatunya alasan mengapa aku menyembunyikan kematian ayahku,"
ujarku, sambil menegaskan pandanganku langsung ke bola mata Hitam yang membuatku
senang karena melihat adanya perhatian yang lebih dalam daripada rasa cinta di
matanya. "Aku juga takut tak mampu membuktikan di mana keberadaanku saat ayahku
dibunuh. Meskipun hanya seorang budak, dan kata katanya mungkin tidak akan
dianggap berarti, aku tetap merasa takut Hayriye terlibat dalam intrik ini. Jika
bukan untuk melawanku, mungkin ada kaitannya dengan buku ayahku. Selama aku
tetap tanpa seorang pelindung, pemberitahuan kematian ayahku, ketika ada
beberapa bibit masalah di dalam rumah, untuk alas an yang sudah kusebutkan tadi,
bisa menyebabkan kemalangan bagiku di tangan Hayriye. Misalnya saja, bagai mana
jika dia tahu bahwa ayahku tidak ingin aku menikah denganmu?"
"Ayahmu tidak menginginkanmu menikah denganku?" Tanya Hitam.
"Tidak. Ia tidak seperti itu, ia hanya cemas kau akan membawaku pergi darinya.
Karena tak lagi ada bahaya kau melakukan hal sejahat itu padanya, kita simpulkan
saja bahwa ayahku yang malang itu tidak lagi keberatan. Apakah kau keberatan?"
"Tidak sama sekali, sayangku."
"Baiklah, kalau begitu. Waliku tidak meminta uang atau emas padamu. Tolong
maafkan kelancanganku membahas pernikahan bagi diriku sendiri, tetapi aku memang
memiliki prasyaratprasyarat tertentu yang
sayangnya harus kujelaskan padamu."
Saat aku terdiam sejenak, Hitam berkata, "Ya," dengan sikap yang menunjukkan
permintaan maaf atas keragu-raguannya.
"Pertama," ujarku, "kau harus bersumpah di depan dua orang saksi bahwa jika kau
bersikap kasar dan buruk padaku dalam pernikahan kita, hingga aku tak tahan
lagi, atau jika kau mengambil istri kedua, kau akan meluluskan perceraian
denganku beserta pemberian tunjangan hidup. Kedua, kau harus bersumpah di depan
dua orang saksi bahwa dengan alasan apa pun, jika kau tidak ada di rumah lebih
dari enam bulan tanpa sekalipun berkunjung, aku juga akan diizinkan menuntut
cerai darimu dengan pemberian tunjangan hidup. Ketiga, setelah kita menikah, kau
tentu saja akan pindah ke rumahku, tetapi hingga iblis yang membunuh ayahku
tertangkap, atau hingga kau berhasil menangkapnya betapa aku ingin menyiksanya
?dengan tanganku sendiri! dan hingga buku Sultan diselesaikan dengan bimbingan
?bakat dan upayamu, serta dipersembahkan kepada Sultan, kau tidak akan tidur
seranjang denganku. Keempat, kau akan mencintai anakanakku, yang juga tidur
seranjang denganku, seolaholah mereka adalah anakanakmu sendiri."
"Aku setuju." "Bagus. Andai semua halangan yang masih menghadang kita sekarang ini bisa lenyap
dengan cepat, kita akan menikah sesegera mungkin."
"Ya, menikah, tetapi tidak tidur seranjang."
"Langkah pertama adalah pernikahan," ujarku. "Mari kita upayakan hal itu
terlebih dahulu, Cinta akan muncul setelah pernikahan. Jangan lupa: Pernikahan
terkadang memudarkan pijar-pijar api cinta, hingga hanya
meninggalkan sebentuk kejenuhan dan kegelapan yang menyedihkan. Tentu saja,
setelah menikah, cinta itu sendiri akan lenyap, tetapi kebahagiaan akan mengisi
ruang kosong itu. Tetap ada saja mereka yang cukup bodoh untuk tergesagesa jatuh
cinta sebelum menikah, dan mereka terbakar emosi, lalu merasa betapa semua
perasaan mereka itu kemudian sangat melelahkan mereka dengan meyakini cinta
sebagai tujuan tertinggi dalam hidupnya."
"Kalau demikian, apakah kebenaran dari masalah ini?"
"Kebenarannya adalah kelegaan. Cinta dan pernikahan tidak lain adalah upaya
untuk mendapatkan seorang suami, sebuah rumah, anakanak, dan sebuah buku. Tidak
bisakah kaulihat, dalam keadaanku yang seperti ini, dengan seorang suami yang
menghilang entah ke mana dan seorang ayah yang telah tiada, aku merasakan
keadaan yang lebih tidak enak daripada pengasinganmu dulu" Aku akan mati tanpa
anakanakku, dengan siapa aku menghabiskan harihari dengan tertawa-tawa,
bertengkar, dan saling mencintai. Lebih jauh lagi, sejak kau mendambakanku,
bahkan dalam situasi tidak mengenakkan yang kualami sekarang ini, sejak kau
diamdiam merana karena ingin menghabiskan malam denganku meskipun tidak di ?ranjang yang sama di bawah atap yang sama dengan jenazah ayahku dan anakanakku
?yang nakal, kau masih saja memaksakan diri mendengarkan dengan sepenuh hatimu
apa yang ingin kukatakan padamu."
"Aku mendengarkanmu."
"Ada banyak cara di mana aku bisa mendapatkan sebuah perceraian yang aman.
Saksi-saksi palsu bisa bersumpah bahwa sebelum suamiku berangkat ke medan
pertempuran, mereka menyaksikannya rela menjatuhkan talak padaku dengan satu
syarat, misalnya jika ia tidak kembali dalam dua tahun, aku harus dianggap bebas
merdeka. Atau yang lebih sederhana lagi, bahwa mereka bersedia bersumpah telah
melihat mayat suamiku di medan perang dengan menceritakan berbagai hal teperinci
yang jelas dan meyakinkan. Namun, dengan mempertimbangkan jenazah ayahku dan
keberatan keluarga suamiku, mengajukan saksi-saksi palsu itu akan menjadi sebuah
proses yang sia-sia, karena hakim yang paling bodoh sekalipun tak akan percaya.
Walaupun suamiku meninggalkanku tanpa tunjangan hidup, dan tidak kembali dari
medan peperangan selama empat tahun, bahkan hakim-hakim dari mazhab Hanafi
sekalipun tidak akan meluluskan perceraian atasku. Meski demikian, Hakim Uskudar
yang mengetahui jumlah perempuan yang berada dalam keadaan sepertiku ini
bertambah setiap harinya, lebih menaruh belas kasihan dan karenanya dengan satu
?anggukan Yang Mulia Sultan dan Syaikulislam hakim itu kadang kala akan
?membiarkan wakilnya dari mazhab Syafi'i membuat keputusan di tempatnya, karena
pemberian vonis cerai akan dibenarkan bagi perempuanperempuan sepertiku,
termasuk persyaratan pemberian tunjangan hidup. Kini, jika kau bisa menemukan
dua orang saksi untuk bersaksi secara terbuka mengenai keadaanku yang memilukan,
bayarlah mereka untuk melakukannya, pergilah melintasi Bosphorus bersama mereka
menuju sisi seberang tempat Uskudar41 berada, aturlah kesepakatan bagi si hakim,
pastikan bahwa wakilnya akan duduk
*Uskudar melupakan sebuah wilayah di Istanbul yang terletak di pantai bagian
timur Selat Bosphorus. Sebelumnya, Uskudar merupakan sebuah kota yang terpisah
dari Istanbul hingga akhir 1980-an dan dihubungkan dengan Istanbul oleh perahu
penyeberangan yang melintasi Selat Bosphorus.
menggantikannya agar perceraian itu diluluskan berdasarkan keterangan para
saksi, daftarkan perceraian itu dalam buku catatan si hakim, dan berusahalah
memperoleh selembar surat resmi yang menyatakan proses perceraian itu sudah
berlangsung, juga izin tertulis bagi pernikahanku yang berikutnya. Jika kau bisa
menyelesaikan semua ini, kembalilah menyeberang ke sini siang ini juga,
maka dengan beranggapan tidak akan ada kesulitan berarti dalam menemukan ?seorang penghulu yang bisa menikahkan kita malam ini sebagai suamiku kau bisa
?menghabiskan malam ini bersamaku dan anakanakku. Dengan demikian, kau juga akan
mengalami malammalam sulit tidur karena mendengar setiap derakan di dalam rumah
dari langkah-langkah iblis pembunuh itu. Lebih daripada itu, kau akan
menyelamatkanku dari keterpurukan karena menjadi seorang perempuan malang tanpa
perlindungan ketika kita mengumumkan kematian ayahku pada pagi harinya."
"Ya," sahut Hitam dengan rasa humor yang baik dan, entah bagaimana, terkesan
kekanakkanakan. "Ya, aku setuju menjadikanmu milikku."
Ingatkah kau, betapa baru saja aku menyatakan diri tidak mengetahui alas an
mengapa aku harus berbicara pada Hitam dengan sedemikian lugas dan dengan sikap
yang terkesan munafik. Kini aku tahu: Aku telah menyadari bahwa hanya dengan
berkata lugas seperti itulah aku bisa meyakinkan Hitam yang masih saja tumbuh
?dengan kebingungan masa kecilnya akan kemungkinan terjadinya hal-hal yang
?bahkan bagiku sendiri sulit dipercaya.
"Banyak yang harus kita lakukan untuk memerangi musuhmusuh kita, mereka yang
akan menghalang-halangi upaya menuntaskan buku ayahku, mereka yang akan menentang perceraianku dan
upacara pernikahan kita yang insya Allah akan kita langsungkan malam ini.
?Namun, aku seharusnya tidak semakin membingungkanmu karena tampaknya kau lebih
bingung dariku." "Kau tidak tampak bingung sama sekali," sahut Hitam.
"Mungkin, tetapi karena semua itu bukanlah gagasanku sendiri, aku mempelajarinya
dari ayahku selama bertahuntahun." Aku mengatakan hal ini agar ia tidak


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengabaikan apa yang kukatakan karena beranggapan semua rencana ini muncul dari
pikiranku sebagai seorang perempuan.
Berikutnya, Hitam mengatakan apa yang kudengar dari setiap lelaki yang tidak
takut mengakui kecerdasanku, "Kau sangat cantik."
"Ya," sahutku, "akan amat menyenangkanku jika aku dipuji atas kepintaranku.
Ketika aku masih kecil, ayahku sering melakukannya."
Aku baru saja akan menambahkan bahwa saat aku dewasa ayahku jadi tidak pernah
memuji kepintaranku lagi, tetapi aku malah mulai terisak. Saat aku menangis,
seakanakan aku meninggalkan ragaku dan menjadi sesosok manusia lain, sepenuhnya
terpisah dari keperempuananku. Bagaikan seorang pembaca yang menjadi gundah
karena sebuah gambar sedih di halaman buku, kusaksikan hidupku dari luar ragaku,
dan aku mengasihani apa yang kulihat. Ada sesuatu yang begitu polos dalam
menangisi kesusahan orang lain, seakanakan semua kegundahan itu milik orang
lain, hingga ketika Hitam memelukku, sebentuk rasa syukur menyelimuti kami
berdua. Namun, saat ini, saat kami berpelukan, perasaan nyaman yang tetap ada di
antara kami ini, tak mampu
memengaruhi musuhmusuh yang melingkari kami.
tab 33 AKU DINAMAI HITAM MEN3ADI JANDA, ditinggalkan dan berduka, Shekureku tercinta pergi dengan langkah
kaki bagaikan seorang ayah, dan aku tegak mematung seakanakan terpesona dalam
kebekuan rumah orang Yahudi yang digantung itu di antara aroma almond dan anganangan pernikahan yang dia tinggalkan dalam keadaan sadar. Aku merasa linglung,
pikiranku berputar-putar sedemikian cepat hingga nyaris terasa menyakitkan.
Bahkan tanpa kesempatan berduka secara layak atas kematian Enishteku, aku segera
pulang ke rumah. Di satu sisi, sebuah kebimbangan menggeliat dalam diriku:
Apakah Shekure menggunakanku sebagai sebuah jaminan dalam sebuah rencana besar"
Apakah dia sedang memperdayaku" Di sisi lain, angan-angan akan sebuah pernikahan
penuh kebahagiaan bermainmain di depan mataku.
Selepas berbincang-bincang dengan induk semangku yang menanyaiku di depan pintu,
tempat aku pergi dan datang di pagi hari ini, aku beranjak ke kamarku dan
mengambil dua puluh dua keping uang emas Venesia dari pinggiran selendang yang
kusembunyikan di dalam kasurku, dan menaruhnya di dalam kantung uangku dengan
jemari bergetar. Tatkala aku kembali ke jalanan, aku segera tahu bahwa aku akan
melihat mata Shekure yang gelap, berlinangan air mata dan gundah sepanjang hari itu.
Aku menukar lima gambar singa Venesia itu di tempat penukaran uang milik seorang
Yahudi yang selalu tampak tersenyum. Berikutnya, dengan benak berkecamuk, aku
memasuki sebuah daerah yang namanya belum pernah kusebut, karena aku tidak
menyukainya: Yakutlar, tempat almarhum Enishteku dan Shekure, beserta
anakanaknya, menungguku di rumah mereka. Saat aku berjalan menyusuri jalan itu
dengan langkah setengah berlari, sebatang pohon seakan mencemoohku karena aku
begitu terhanyut oleh mimpimimpi dan rencana pernikahan, tepat di hari
meninggalnya Enishteku. Lalu, seolaholah batu es yang meleleh, sebuah mata air
di pinggir jalan mendesis ke dalam telingaku: "Jangan menganggapnya terlalu
serius, utamakan kepentingan dan kebahagiaanmu sendiri." "Semuanya akan baikbaik
saja dan berjalan lancar," tukas seekor kucing hitam pembawa sial yang sedang
menjilati tubuhnya sendiri di sebuah sudut, "tetapi semua orang, termasuk dirimu
sendiri, akan menuduhmu terlibat dalam pembunuhan pamanmu."
Kucing itu berhenti menjilati tubuhnya sendiri, saat aku tibatiba saja menangkap
bayangan matanya yang membius. Aku tidak harus memberitahumu betapa lancangnya
kucing-kucing di Istanbul ini, karena orangorang memanjakan mereka.
Aku bertemu dengan Imam Effendi yang mata hitam besarnya serta kelopak matanya
yang setengah terkatup itu memberinya kesan selalu mengantuk, bukan di rumahnya,
melainkan di halaman sebuah masjid setempat, dan di sanalah aku menanyakan
padanya sebuah pertanyaan aman yang ala kadarnya, "Kapankah
seseorang wajib bersaksi di depan pengadilan?" Aku mengangkat alisku saat
mendengar jawabannya yang terdengar angkuh, seolaholah aku baru mendengar
keterangan ini untuk pertama kalinya. "Menjadi seorang saksi pelengkap tidak
wajib, selama saksi-saksi lain sudah hadir," jelas Imam Effendi, "tetapi dalam
keadaan di mana hanya ada seorang saksi mata, Allah mengizinkan satu orang saja
yang menjadi saksi."
"Itulah masalah sulit yang sedang kuhadapi saat ini," ujarku, membawa percakapan
ini ke tingkat yang lebih tinggi. "Dalam sebuah situasi di mana semua orang
mengetahuinya, semua saksi telah menghindari tanggung jawab mereka, dan menolak
pergi ke pengadilan dengan alasan 'menjadi saksi hanya dilakukan berdasarkan
kerelaan,' dan akibatnya kepentingan mereka yang sedang berusaha kutolong
benarbenar diremehkan."
"Kalau demikian," ujar Imam Effendi, "mengapa tidak kau longgarkan sedikit
ikatan dompetmu?" Aku mengambil kantung uangku dan menunjukkan padanya kepingan uang emas Venesia
yang berdesakan di dalamnya: tanah lapang di halaman masjid, wajah si pendakwah,
semuanya seketika seakanakan diterangi kemilau emas. Ia bertanya padaku dilema
apa yang sedang melandaku.
Aku menjelaskan padanya siapa diriku. "Enishte Effendi sedang sakit," ujarku
lirih, seperti sedang berusaha merahasiakannnya. "Sebelum meninggal dunia, ia
ingin status janda putrinya disahkan dan dia dinyatakan harus diberi tunjangan
hidup." Aku bahkan tidak perlu menyebutkan wakil hakim Uskudar. Imam Effendi langsung
paham dan berkata bahwa seluruh penduduk di daerah itu sudah lama dilanda
kegalauan mengenai nasib Shekure yang tak berdaya. Ia juga menambahkan bahwa
situasi tersebut sudah berlangsung terlalu lama. Alihalih harus mencari saksi
kedua yang dibutuhkan bagi sebuah perceraian resmi, Imam Effendi malah
menyarankan agar adik lelakinya yang dijadikan saksi. Kini, andai aku harus
menawarkan kepingan emas tambahan pada adiknya itu yang juga tinggal berdekatan
dan telah mengetahui situasi sulit yang dialami Shekure dan anakanak
tercintanya, aku akan melakukan langkah yang bagus. Lagi pula, hanya untuk dua
keping emas Imam Effendi mau membantuku bersepakat dengan saksi kedua. Kami
segera membuat kesepakatan bersama. Imam Effendi pergi menjemput adiknya.
Sepanjang hari itu berlangsung seperti kisah "kucing dan tikus" yang kulihat
dipertontonkan oleh para pendongeng di kedaikedai kopi Aleppo. Karena semua
petualangan dan tipuan di dalamnya, kisahkisah semacam itu yang ditulis sebagai
puisi naratif dan dijilid tidak pernah dianggap terlalu serius, bahkan andai
dibuat dengan kaligrafi yang indah sekalipun. Oleh karenanya, ceritacerita
seperti itu tidak pernah diberi ilustrasi. Sebaliknya, aku cukup senang membagi
petualangan sepanjang hari itu ke dalam empat adegan, dan membayangkan setiap
adegannya dengan berhalaman-halaman ilustrasi di dalam benakku.
Dalam adegan pertama, sang miniaturis harus menggambarkan betapa kami berada di
tengah para pendayung berkumis tebal dan tampak gagah perkasa yang mengerahkan
segenap kekuatannya untuk membawa kami melintasi Selat Bosphorus yang biru
menuju Uskudar di dalam sebuah perahu panjang merah berdayung empat
yang kemudian kami labuhkan di Unkapani. Imam Effendi dan adiknya yang kurus dan
berkulit gelap itu, yang senang dengan kejutan perjalanan tersebut, dengan asyik
mengajak para pendayung mengobrol akrab. Sementara, di tengah angan-angan indah
pernikahan yang terus bermainmain tiada henti di depan mataku, aku menatap nanar
ke dalam air Bosphorus yang mengalir lebih jernih daripada biasanya di pagi
musim dingin yang cerah ini, dan berjaga-jaga jika ada tandatanda ancaman dalam
arus air. Misalnya saja, aku takut akan melihat puingpuing kapal bajak laut di
bawah sana. Maka, segembira apa pun warnawarni yang dibubuhkan sang miniaturis
pada laut dan gumpalan awan, ia harus menyertakan sesuatu yang setara dengan
kegelapan rasa takutku, dan kekuatan mimpimimpi kebahagiaanku seekor ikan ?bertampang ketakutan, misalnya di kedalaman air ini, agar para pembaca
?petualanganku tidak akan menganggap semuanya berlangsung serba ceria.
Gambar kedua kami harus menunjukkan istana-istana para sultan, pertemuan dengan
Dewan Negara, penerimaan para duta besar dari Eropa, dilengkapi interior yang
disusun begitu teperinci dan teliti dengan kehalusan yang layak disandingkan
dengan karya tak ternilai Bihzad, yakni gambar yang menyiratkan berbagai siasat
dan ironi. Maka, ketika Kadi Effendi tampak membuat isyarat membuka satu tangan
tanda "tunggu" yang bermakna "tidak akan pernah" atau "tidak" pada upayaku
menyuapnya, dengan tangan lainnya ia terlihat mengantungi koinkoin emas
Venesiaku dengan cekatan, dan hasil akhir penyuapan ini harus dilukiskan dalam
gambar yang sama: Shahap Effendi, wakil pengganti Hakim Uskudar yang menganut
mazhab Syafi'i. Kelanjutan
gambar tersebut dalam kejadian yang saling berkaitan hanya bisa dibuat melalui
kecerdikan seorang miniaturis yang pintar menyusun gambar. Sehingga, ketika para
pengamat yang pada awalnya melihat aku melakukan penyuapan dan memerhatikan di
tempat lain dalam lukisan itu bahwa lelaki yang duduk bersila di atas bantalan
hakim adalah wakilnya, akan menyadari bahwa hakim yang terhormat telah
menyerahkan wewenangnya untuk sementara agar wakilnya itu bisa menghalalkan
sebuah perceraian untuk Shekure, bahkan tanpa ia harus membaca kisahnya.
Ilustrasi ketiga harus menunjukkan kejadian yang sama, tetapi kali ini dengan
ornamen dinding yang lebih gelap dan tampak dibuat dengan gaya Cina, dahan dahan
pohon yang melengkung-lengkung tampak begitu rumit dan lebat, dan gumpalan awan
warnawarni harus dimunculkan di atas wakil si hakim, agar kelicikan dalam kisah
Mrs Mcginty Sudah Mati 1 Goosebumps - Teror Di Ruang Bawah Tanah Darah Pendekar 24

Cari Blog Ini