One For The Money Karya Janet Evanovich Bagian 4
menyimpan mobil itu beberapa waktu?"
"Aku belum yakin."
"Andai kau melihat Morelli di jalan, kau akan menahannya?" "Yeah."
Ia tersenyum. "Kalau aku dirimu, aku bakal melakukan hal yang sama. Aku takkan
menyerah hanya gara-gara jatah semingguku habis. Hanya antara kita berdua,
Vinnie mau bayar pada siapa pun yang membawa Morelli kembali. Yak, aku pergi
dulu. Makasih." "Jaga diri baik-baik."
"Yah. Aku turun pakai lift."
Aku menutup pintu, melingsirkan selot dan memasang rantai pengaman. Saat aku
berbalik, Morelli berdiri di ambang kamar tidur. "Menurutmu dia tahu kamu ada di
sini?" tanyaku. "Kalau dia tahu aku di sini, sekarang pistolnya sudah teracung ke jidatku.
Jangan meremehkan Beyers. Dia tidak sebodoh tampangnya. Dan dia sama sekali
tidak baik hati seperti kesan yang coba dia tampilkan di depanmu. Dulu dia
polisi. Dipecat karena minta dilayani oleh pelacur dari kedua jenis kelamin.
Kami biasa menyebutnya Morty Si Tikus Tanah, sebab ia mengubur anunya ke lubang
mana saja yang menganga."
"Berani taruhan, dia dan Vinnie sangat akur."
Kuberanjak ke jendela dan mengawasi pelataran. Beyers sedang memeriksa mobil
Morelli, mengintip lewat jendela. Ia mencoba membuka gagang pintu lalu bagasi.
Ia mencatat sesuatu di bagian luar mapnya. Perlahan ia menegakkan tubuh dan
memandang berkeliling. Perhatiannya tertumbuk pada van. Lambat-lambat ia
menghampirinya dan menempelkan hidung ke jendela-jendela, berusaha melihat
bagian dalam. Kemudian, ia memanjat bemper depan dengan susah-payah dan mencoba
mengintip lewat kaca depan. Ia melangkah mundur dan memandangi antena. Ia pindah
ke bagian belakang dan menyalin plat nomornya.
Ia berputar dan menengadah ke arah gedungku, dan aku terlonjak menjauhi jendela.
Lima menit sesudahnya, terdengar ketukan lagi di pintu.
"Aku bertanya-tanya tentang van di parkiran itu," cetus Beyers. "Kau sudah
lihat?" "Yang biru dengan antena itu?"
"Yak. Kenal pemiliknya?"
"Tidak, tapi van itu belakangan memang sering di sana."
Aku menutup dan mengunci pintu, serta mengawasi Beyers lewat lubang intai.
Sejenak ia berdiri merenung, lantas mengetuk pintu Tn. Wolesky. Ia
memperlihatkan potret Morelli dan mengajukan sejumlah pertanyaan. Ia mengucapkan
terima kasih pada Tn. Wolesky, mengangsurkan kartu nama, dan menghilang.
Aku kembali ke jendela, namun Beyers belum muncul di pelataran. "Dia sedang
mendatangi tetangga-tetangga lain."
Kami terus memantau jendela, dan akhirnya Beyers terseok-seok menuju mobilnya.
Ia mengendarai Ford Escort model terbaru dilengkapi telepon. Ia meninggalkan
pelataran dan menikung ke arah St. James.
Morelli di dapur dengan kepalanya masuk kulkas. "Beyers bakal j adi duri dalam
daging. Ia tinggal mengecek plat nomor itu dan menarik kesimpulan."
"Apa pengaruhnya buat kamu?"
"Pengaruhnya, gara-gara dia aku harus keluar dari Trenton sampai dapat kendaraan
lain." Ia mengambil sekotak sari jeruk dan sebongkah roti kismis. "Catat saja
dalam tagihanku. Aku harus minggat dari sini." Ia berhenti di pintu. "Kayaknya
kamu akan sendirian beberapa waktu. Jangan keluar dari apartemenmu yang
terkunci, jangan biarkan siapa pun masuk, dan kamu akan baik-baik saja.
Alternatif lain adalah pergi bersamaku, tapi bila kita kepergok berdua, kamu
akan dituduh kaki-tangan buron."
"Aku di sini saja. Aku baik-baik saja."
"Kamu harus janji takkan ke mana-mana."
"Janji! Janji!"
Ada janji yang dibuat untuk dilanggar, ini salah satunya. Aku sama sekali tak
berniat duduk berpangku tangan, menunggu Ramirez. Aku sudah muak dengan Ramirez.
Aku pengen seluruh urusan brengsek ini tuntas. Aku pengen Ramirez ada di balik
jeruji. Aku pengen uang hasil sergapan itu. Aku pengen melanjutkan hidupku.
Aku memandangi jendela, memastikan Morelli sudah berangkat. Aku meraih tas dan
mengunci pintu di belakangku. Aku melesat ke Stark Street dan parkir di seberang
gym. Aku tak punya nyali melenggang bebas di jalanan tanpa Morelli mengawasiku,
jadi aku tetap di mobil dengan jendela rapat dan pintu terkunci. Aku yakin
sekarang ini Ramirez sudah tahu mobilku. Kurasa ini lebih baik daripada tidak
ada peringatan sama sekali.
Setiap satu jam, aku menghidupkan AC untuk mendinginkan suhu dan mengusir bosan.
Beberapa kali aku melirik ke kantor Jimmy Alpha di atas dan menangkap seraut
wajah di jendela. Jendela-jendela gym tidak menunjukkan banyak aktivitas.
Pukul 12.30, Alpha berlari kecil menyeberang jalan dan mengetuk jendelaku.
Aku menurunkan kaca. "Maaf terpaksa parkir di sini, Jimmy, tapi aku harus
melanjutkan pengawasan demi Morelli. Aku yakin kaumengerti."
Alisnya mengerut. "Aku tidak mengerti. Andai aku mencari Morelli, aku bakal
mengawasi kerabat dan teman-temannya. Apa hubungannya dengan Stark Street dan
Carmen Sanchez?" "Aku punya teori sendiri tentang apa yang terjadi. Kurasa Benito menganiaya
Carmen persis seperti ia menganiaya Lula. Lalu, kupikir dia panik serta mengutus
Ziggy dan konco lain untuk membungkam Carmen. Kupikir
Morelli datang dan kemungkinan besar menembak Ziggy sebagai tindak beladiri
persis seperti pengakuannya. Entah bagaimana Carmen dan laki-laki lain itu serta
pistol Ziggy berhasil lenyap. Kupikir Morelli sedang berusaha menemukan mereka.
Dan kupikir Stark Street adalah tempat logis untuk mencari."
"Ini gila. Dari mana kaudapat gagasan segila ini?"
"Dari pernyataan Morelli waktu ditahan."
Alpha tampak muak. "Yah, apa yang kauharapkan Morelli katakan" Bahwa dia
menembak Ziggy untuk iseng" Benito itu target gampang. Dia punya reputasi
sedikit terlalu agresif dengan wanita, dan Ziggy kerja untuk dia, jadi Morelli
memanfaatkannya." "Bagaimana dengan saksi yang hilang" Dia pasti kerja buat Benito juga."
"Aku tak tahu apa-apa soal saksi hilang."
"Kata orang-orang hidungnya kayak disambar penggorengan. Ciri itu cukup
menonjol." Alpha tersenyum. "Tidak di sebuah gym kelastiga. Setengah dari seluruh anggota
yang latihan di sana punya hidung seperti itu." Ia melirik arloji. "Aku telat
buat makan siang. Kau tampak kepanasan di sini. Kaumau aku bawakan sesuatu" Soda
dingin" Roti lapis, mungkin?"
"Aku oke. Kurasa sebentar lagi aku istirahat makan siang juga. Perlu ke kamar
mandi wanita." "Ada WC di lantai dua. Minta saja kunci dari Lorna. Bilang saja aku bolehkan."
Kupikir, wajar saja Alpha menawarkan fasilitasnya, namun aku tak mau Ramirez
punya kesempatan memo-jokkanku saat aku di toilet.
Aku melirik terakhir kali sepanjang jalan dan berkendara mencari makanan cepatsaji. Setengah jam kemudian, aku kembali ke ruas parkir yang sama, merasa jauh
lebih nyaman dan dua kali lebih bosan. Aku bawa buku, tapi ternyata terlalu
sulit membaca sekaligus berkeringat, dan berkeringat menang atas buku itu.
Pukul tiga, rambutku melepek di leher dan wajahmu serta mengeriting hingga
volume maksimal. Blusku melekat di punggung, dan peluh menitik di dadaku. Kakiku
kebas, dan mata kiriku kedutan.
Belum ada tanda-tanda Ramirez. Pejalan kaki jarang melangkah buru-buru dan
menghilang ke dalam bar-bar ber-AC dan penuh asap. Aku satu-satunya orang tolol
yang ngendon dalam mobil sampai terpanggang. Bahkan, para pelacur telah
menghilang untuk rehat petang.
Kugenggam spray pelindungku dan keluar dari Cherokee, mengerang begitu tulangtulang belakangku yang kecil merenggang dan berbaris lagi. Kulenturkan otot dan
berlari-lari kecil di tempat. Kuberjalan mengitari mobil dan bungkuk menyentuh
kaki. Angin ringan berembus di Stark Street, dan aku merasakannya sebagai berkat
besar. Memang sih, indeks udaracukup maut dan suhu sepanas oven, tapi untung
saja ada sedikit angin. Aku menyender di mobil dan menarik-narik kausku, menjauhkannya dari badanku yang
bersimbah keringat. Jackie nongol dari Grand Hotel dan berderap malas-malasan ke arahku, dalam
perjalanan ke pojoknya. "Tampangmu kayak baru kena serangan panas," komentarnya,
mengulurkan Coke padaku. Aku menjentikkan tutupnya, meneguk sedikit soda, dan memegang kaleng dingin itu
di dahiku. "Makasih. Enak banget."
"Jangan kira aku mulai luluh sama bokong putih cekingmu," dengusnya. "Kamu pasti
mati duduk dalam mobil itu, dan itu bakal mencemarkan nama Stark Street. Orang akan bilang itu
pembunuhan karena ras, dan bisnis cabulku yang mengandalkan pelanggan kulit
putih akan bangkrut."
"Kuusahakan untuk tidak mati. Tuhan, jangan sampai aku membuat bisnis cabulmu
bangkrut." "Pelanggang kelas A," tukasnya. "Penikmat seks menyimpang berani bayar mahal
demi bokong raksasaku."
"Gimana kabar Lula?"
Jackie mengangkat bahu. "Ia berjuang sebisanya. Dia senang kau mengirim bunga."
"Hari ini tidak banyak aktivitas di sini."
Jackie mengalihkan matanya ke atas, ke jendela gym. "Puji Tuhan Yesus untuk
itu," ujarnya lirih.
Aku mengikuti tatapannya ke lantai dua sana. "Sebaiknya kau jangan kelihatan
bicara padaku." "Yeah," balasnya. "Lagian aku harus kembali kerja."
Selama beberapa menit aku masih berpijak di sana, menikmati soda dan kenyamanan
posisi vertikal. Aku berbalik untuk kembali ke dalam mobil dan terkesiap begitu
melihat Ramirez sudah berdiri di sebelahku.
"Udah seharian aku nunggu kau turun dari mobil itu," desisnya. "Taruhan, kau
pasti terkejut oleh kemampuanku bergerak tanpa suara. Bahkan kau tidak
mendengarku mendekat, 'kan" Selalu begitu. Kau takkan mendengar apa-apa sampai
aku menerjangmu. Dan di saat itu semua sudah terlambat bagimu."
Kutarik napas pelan-pelan untuk meredakan degup jantung. Kutunggu sejenak lagi
untuk memantapkan suaraku. Begitu merasa sudah menguasai diri, aku bertanya
tentang Carmen. "Aku ingin tahu tentang Carmen," ucapku. "Aku pengen tahu apakah
dia melihatmu datang."
"Carmen dan aku, kami punya kencan. Carmen mendapatkan apa yang dia minta."
"Sekarang dia di mana?"
Ia mengangkat bahu. "Entah. Dia kabur setelah Ziggy dihabisi."
"Bagaimana dengan pria yang bersama Ziggy ma-lam itu" Siapa dia" Apa yang
terjadi padanya?" "Soal itu juga aku tak tahu apa-apa."
"Kukira mereka bekerja untukmu."
"Kenapa tidak membahas ini di atas saja" Atau kita bisa jalan-jalan. Aku punya
Porsche. Aku bisa membawamu jalan-j alan naik Porscheku."
"Kurasa tidak."
"Lihat, kau mulai lagi. Menolak sang juara. Kau selalu menolak sang juara. Dia
tidak suka." "Ceritakan tentang Ziggy dan temannya itu ... pria dengan hidung gepeng."
"Aku lebih tertarik bercerita tentang sang juara. Gi-mana dia akan mengajarimu
tentang respek. Gimana ia bakal menghukummu biar kau bejalar tidak menolaknya
lagi." Ia beranjak mendekat, dan panas tubuhnya membuat udara terasa dingin.
"Kurasa, mungkin aku akan membuatmu berdarah sebelum memakaimu. Kau suka" Kaumau
disayat-sayat dulu, Jablai?"
Cukup. Aku muak dengan ini. "Kau takkan melakukan apa-apa padaku," tantangku.
"Aku tidak takut padamu, dan kau tidak membuatku terangsang."
"Bohong." Ia melingkarkan jemarinya di bagian atas lenganku dan mecengkeram
begitu kuat hingga kumenjerit.
Aku menendang dengan keras tulang keringnya, dan ia menampolku. Aku tak sempat
melihat tangannya bergerak. Hantaman itu bergema dalam telingaku dan kepalaku
tersentak ke belakang. Aku mengecap darah dan mengerjap-ngerjap dengan susah
payah untuk menjernihkan padanganku yang buram. Ketika bintang-bintang itu
memudar, kusemprotkan Sure Guard tepat di mukanya.
Ia melolong kesakitan dan murka, terhuyung-huyung di jalan dengan tangan
menutupi mata. Lolongannya menjelma jadi cegukan dan erangan, dan ia roboh di
atas empat kaki bagaikan seekor binatang monster banteng besar yang geram dan ?terluka.
Jimmy Alpha berlari menghampiri dari seberang jalan, disusul sekretarisnya dan
pria yang belum pernah kulihat.
Pria itu berjongkok di sisi Ramirez, berusaha menenangkan, berkata padanya bahwa
ia akan baik-baik saja dalam semenit, menyuruhnya bernapas dalam-dalam.
Alpha dan sekretarisnya bergegas mendekatiku.
"Yesus," pekik Jimmy Alpha, menyusupkan saputangan ke tanganku. "Kau baik-baik
saja" Apakah dia mematahkan sesuatu?"
Aku meletakkan saputangan ke mulutku dan menahannya di situ sambil melarikan
lidah di gigi-gigiku, memeriksa apakah ada yang hilang atau lepas. "Kurasa
baik." "Aku sangat menyesal," racau Jimmy. "Entah apa masalah dia, caranya
memperlakukan wanita. Aku minta maaf buat dia. Aku tak tahu apa yang harus
kulakukan." Aku tidak dalam suasana hati menerima permintaan maaf. "Ada banyak hal yang bisa
kaulakukan," ujarku. "Carikan dia bantuan psikiater. Kurung dia. Bawa dia ke
dokter hewan dan buat dia dikebiri."
"Aku akan bayar buat ke dokter," Jimmy Alpha bilang. "Kaumau ke dokter?"
"Satu-satunya tempat yang akan kudatangi adalah markas polisi. Aku mau bikin
tuntutan, dan tak ada yang
bisa kaukatakan akan menghentikanku."
"Pikirkan dulu selama sehari," mohon Jimmy. "Setidaknya tunggu sampai kau tidak
terlalu kesal lagi. Aku tak ingin dia dapat tuntutan atas serangan baru sekarang
ini." KUHENTAKKAN PINTU mobil terbuka dan mengempaskan diri di balik kemudi. Aku
meninggalkan ceruk parkir, berhati-hati agar tak menabrak siapa pun. Aku melaju
dengan kecepatan rata-rata tanpa menoleh ke belakang. Kusinggah di lampu merah
dan becermin di kaca spion untuk mengestimasi kerusakan. Bibir atas robek di
bagian dalam dan masih meneteskan darah. Memar ungu tampak di pipi kiriku. Pipi
dan bibirku mulai membengkak.
Kucengkeram setir erat-erat, mengerahkan seluruh ketegaranku agar tetap tenang.
Aku mengarah ke selatan dari Stark ke State Street dan menyusuri State menuju
Hamilton. Setiba di Hamilton aku merasa seakan sudah aman karena berada dalam
lingkungan rumahku sehingga boleh berhenti dulu untuk berpikir. Aku parkir di
pelataran sebuah toserba dan sejenak duduk di sana. Aku perlu ke kantor polisi
untuk melaporkan serangan tadi, tapi tak ingin meninggalkan teritori tempat
tinggalku yang aman dan tenteram. Dan aku tak yakin polisi akan menaruh
perhatian pada insiden terakhir ini dengan Ramirez. Ramirez telah mengancamku,
dan aku malah memprovokasi dia dengan sengaja parkir di seberang gym. Bukan
tindakan cerdik. Sejak Ramirez muncul di sebelahku tadi, aku menga lami overdosis adrenalin. Dan
kini, saat adrenalinku melemah, rasa lelah dan sakit menjalanku. Lengan serta rahangku ngilu, dan
tekanan darahku seolah-olah menurun hingga dua belas.
Hadapi saja, batinku, kau belum sanggup ke markas polisi hari ini. Aku merogoh
tas dan menemukan kartu nama Dorsey. Ada baiknya mengabari dan menumpahkan unekunekku pada Dorsey. Aku memijit nomornya dan meninggalkan pesan agar ditelepon
balik. Aku tidak menjelaskan apa masalahnya. Kurasa aku takkan kuat melakukannya
dua kali. Aku menyeret diri masuk ke dalam toko dan membeli es rasa anggur. "Bawu
ketelakhahan," jelasku pada kasir. "Bibiwkhu bengkhakh."
"Mungkin kau perlu ke dokter." Aku merobek kertas pembungkus dan menekankan
esnya pada bibirku. "Ahhh." Aku mendesah. "Swudha enakhan."
Aku kembali ke mobil, memasukkan gigi mundur, dan menerjang sebuah bakter.
Seluruh hidupku berkelebat di depanku. Aku tenggelam. Tolong Tuhan, doaku,
jangan sampai penyok. Kami berdua keluar dan memeriksa mobil masing-masing. Bakter itu tak tergores
sama sekali. Tidak penyok, catnya tidak mengelupas, bahkan kilaunya utuh tanpa
bekas apa-apa. Sisi kanan bemper belakang Cherokee tampak seperti baru dikuak
dengan pembuka kaleng. Pria pengemudi bakter itu menatap bibirku. "Pertengkaran rumah tangga?"
"Ketelakha'an."
"Kurasa ini bukan hari baikmu." "Shethiap hawi bu'an hawi baekhu," keluhku.
Lantaran kecelakaan itu salahku, dan mobil dia tidak mengalami kerusakan, kami
tak melakukan ritual bertukar
data asuransi. Aku memandang bemper sekali lagi, merinding hebat, dan mengemudi
lambat-lambat, membandingkan keuntungan antara bunuh diri atau menghadapi
Morelli. Telepon tengah berdering saat aku memasuki apartemen. Dari Dorsey.
One For The Money Karya Janet Evanovich di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akhu mo nunsud Wamiwez athas sewangan," aku mengadu. "Ia menonzokhu dzi mulud."
"Kejadiannya di mana?"
"Stawkh Stweet." Aku memaparkan detail-detailnya dan menolak tawarannya datang
ke apartemenku un-tuk mencatat pernyataanku. Aku takut kemungkinan dia bertemu
Morelli. Aku berjanji akan ke kantornya besok untuk mengisi dokumen yang
diperlukan. Aku mandi dan makan eskrim sebagai santap malam. Setiap sepuluh menit, aku
mengintai keluar jendela apakah ada tanda-tanda Morelli di pelataran. Aku parkir
di sudut paling ujung, tempat yang kurang kena cahaya. Jika aku berhasil
melewati semalam ini saja, besok tinggal bawa Cherokee itu ke bengkel Al dan
bertanya apakah dia bisa mengerjakan perbaikan instan. Aku belum punya bayangan
mau bayar pakai apa. Aku menonton TV hingga pukul sebelas lalu pergi tidur, mengangkut kandang Rex ke
kamar untuk menemaniku. Belum ada telepon dari Ramirez mau pun tanda-tanda dari
Morelli. Entah aku merasa lega atau kecewa. Aku tak tahu apakah saat ini Morelli
tengah menguping, menjagaku sesuai kesepakatan, jadi aku tidur dengan spray
pelindung, telepon portabel, dan pistol di meja samping ranjang.
Telepon berdering pukul 06.30. Dari Morelli. "Waktunya bangun," sapanya.
kulirik jam di samping ranjang. "Ini masih tengah malam."
"Jika terpaksa tidur dalam sebuah Nissan Sentra, kamu pasti sudah bangun dari
berjam-jam yang lalu."
"Apa yang kamu kerjakan dalam sebuah Sentra?"
"Aku minta vanku dicat dalam warna lain dan antenanya dicabut. Aku berhasil
"menemukan" sepasang plat nomor baru. Sementara, bengkel itu meminjamkan mobil
ini. Aku menunggu hari gelap lalu parkir di Maple, persis di belakang
pelataranmu." "Supaya bisa menjagaku?"
"Sebenarnya aku tak ingin melewatkan kesempatan menguping saat kamu ganti baju.
Kenapa ada bunyi derak aneh sepanjang malam?"
"Rex lari di atas rodanya."
"Bukannya dia tinggal di dapur?"
Aku tak mau Morelli tahu bahwa aku ketakutan dan kesepian, jadi aku berdusta.
"Aku membilas wastafel dan dia tidak suka bau cairan pembersihnya, jadi kuajak
dia ke kamar." Hening beberapa detik. "Kalau diterjemahkan," ledek Morelli, "artinya kamu ketakutan dan kesepian, jadi
kamu bawa dia buat neme-nin kamu."
"Akhir-akhir ini hidupku berat."
"Sama dong." "Kupikir kamu perlu hengkang dulu dari Trenton sebelum Beyers kembali."
"Kupikir juga begitu. Aku terlalu kelihatan dalam mobil ini. Pukul enam sore
nanti aku ambil van, setelah itu balik ke sini."
"Sampai ketemu nanti."
"Sepuluh-empat, Kapten Video."
Aku kembali tidur, dan dua jam kemudian melompat bangun gara-gara alarm mobil
meraung-raung dari parkiran di bawahku. Aku terbang dari ranjang, bergegas ke
jendela, menyibak gorden dengan kasar dan melihat Morty Beyers menghancurkan
alarm hingga berkeping-keping dengan gagang pistolnya.
"Beyers!" salakku dari jendela yang terbuka. "Apa yang kaulakukan?"
"Istriku meninggalkanku, dan Escortnya dia bawa."
"Lalu?" "Lalu aku perlu mobil. Aku baru akan menyewa mobil, kemudian terpikir olehku jip
Morelli yang parkir manis di sini, dan kupikir akan menghemat uang jika kupakai
dulu sampai berhasil melacak Mona."
"Kristus, Beyers, kau tak bisa begitu saja mendatangi sebuah parkiran dan
mengambil mobil orang! Ini pencurian. Kau pencuri mobil sialan."
"Apa salahnya?"
"Dari mana kaudapat kuncinya?"
"Dari tempat yang sama denganmu. Apartemen Morelli. Dia menyimpan serenceng
kunci serep dalam laci kamarnya."
"Kau takkan keluar hidup-hidup dari sini."
"Apa yang akan kaulakukan, panggil polisi?"
"Tuhan akan menghukummu atas perbuatan ini."
"Persetan dengan Tuhan," sembur Beyers, menyelinap ke belakang kemudi, berlamalama menyetel kursi dan mengutak-atik radio.
Bedebah sombong, batinku. Dia bukan hanya mencuri mobil brengsek itu, tapi dia
duduk di bawah sana, memamerkan kenekatannya merebutnya dariku. Kusambar
spray pelindungku, menerjang keluar pintu dan menuruni tangga. Aku bertelanjang
kaki, hanya dibalut gaun tidur Mickey Mouse dan kancut mini Jockey, tapi andai
penampilanku lebih minim dari ini pun aku takkan peduli.
Aku baru melintasi pintu belakang dan menjejakkan kakiku di atas pavemen ketika
Beyers memutar kunci dan menginjak gas. Sedetik kemudian, mobil itu meledak
dalam gemuruh yang merobek telinga, menerbangkan pintu-pintunya ke udara
layaknya frisbi. Lidah-lidah api menjilati rangka yang tersisa dan segera
melahap Cherokee itu, menjelmakannya ke dalam bola api kuning.
Aku terlalu kaget untuk berkutik. Aku berdiri melongo dan tak mampu bersuara
sementara keping-keping atap serta bemper membentur tanah.
Sirene meraung di kejauhan, para penghuni mulai mengucur dari gedung untuk
berdiri di sebelahku dan memandangi jip itu terbakar. Gumpalan asap hitam
membubung ke langit pagi, dan wajahku diterjang hawa panas membara.
Sama sekali tak ada kemungkinan menyelamatkan Morty Beyers. Bahkan seandainya
tadi aku langsung bereaksi, mustahil aku dapat mengeluarkannya dari mobil. Dan
barangkali dia sudah tewas oleh ledakan itu, bukan oleh api. Terpikir olehku,
betapa tipis kemungkinan ini kecelakaan semata. Dan, betapa besar kemungkinan
jebakan ini ditujukan pada diriku.
Sisi positifnya, aku tak perlu menghadapi saat penyok gara-gara kecelakaan
kemarin ketahuan oleh Morelli. Aku mundur menjauhi api dan menerobos kerumunan
kecil yang baru terbentuk. Aku mendaki dua anak tangga sekaligus dan mengunci
diri dalam apartemen. Dengan ceroboh aku telah meninggalkan pintu depan menganga
lebar ketika aku menghambur keluarmengejar Beyers. Oleh sebab itu, kulakukan
inspeksi cermat dengan pistol teracung. Jika ketemu orang yang menggoreng
Beyers, aku tidak berniat ngerjain sistem sarafnya aku memilih peluru tepat di ?perutnya. Perut adalah target yang tepat serta cukup besar.
Setelah begitu yakin apartemenku aman, aku ganti baju memakai celana pendek dan
kaus. Aku cepat-cepat buang air dan memeriksa penampilanku di kamar mandi. Ada
memar ungu di tulang pipiku dan sayatan kecil di bibir atas. Bengkaknya sudah
jauh berkurang. Akibat api tadi pagi, tampangku seperti habis terbakar matahari
dan kena pengerok cat. Alis dan rambut sekeliling wajahku memerah dan mencuatcuat sekitar delapan inci. Cantik sekali. Bukannya mengeluh lho. Bisa saja aku
yang mati dan kehilangan beberapa anggota tubuh yang mendarat di semak azalea.
Kuikat tali Reebokku dan turun untuk memantau keadaan.
Pelataran parkir dan jalan-jalan sekitar penuh oleh truk-truk pemadam kebakaran
dan mobil-mobil polisi dan ambulans-ambulans. Barikade telah didirikan,
menjauhkan penonton yang ingin tahu dari sisa-sisa jip Morelli. Air hitam serta
beroli merembesi aspal, dan udara bau daging gosong. Aku tak mau memikirkannya
lebih jauh. Aku melihat Dorsey berdiri dalam lingkaran itu, berbicara pada
petugas berseragam. Ia menengadah, tatapan kami bertemu, dan ia menghampiriku.
"Perasaanku tak enak tentang ini semua," ungkapnya.
"Kautahu Morty Beyers?" "Yeah."
"Dia yang tadinya duduk dalam jip itu."
"Ah yang benar. Kau yakin?"
"Aku sedang bicara padanya sebelum meledak."
"Kurasa ini menjelaskan kenapa alismu hilang. Apa yang kalian bicarakan?"
"Vinnie hanya memberiku seminggu untuk menangkap Morelli. Jatah waktuku sudah
habis, dan Morty melanjutkan perburuan. Boleh dibilang kami membahas Morelli."
"Kalian pasti tidak berbincang dari dekat, kalau iya kau sudah jadi burger."
"Sebenarnya aku berdiri pas di tempatmu sekarang, dan kami saling-bentak. Kami
sedikit ... berselisih pendapat."
Petugas berseragam mendekat, membawa sebuah plat mobil retak. "Kami menemukannya
dekat Dumpster," ujarnya. "Kaumau kucarikan identitas pemiliknya?"
Aku mengambil plat itu. "Tak perlu repot-repot. Mobil itu milik Morelli."
"Yah ampun," desah Dorsey. "Aku tak sabar mendengar tentang ini."
Agaknya aku perlu sedikit mengemas kenyataan, sebab polisi barangkali kurang
sepakat dengan beberapa poin penting perihal pemburu buron dan barangkali tidak
mengerti soal sita-menyita. "Ceritanya begini," tuturku. "Aku mengunjungi ibunya
Morelli, dan ia kesal karena tak seorang pun mengendarai mobil Joe. Kautahu
'kan, membiarkan mobil nganggur tidak bagus buat aki. Yah, setelah membahas iniitu, aku setuju untuk membawa mobilnya keliling buat dia."
"Jadi, kau mengendarai mobil Morelli untuk menolong ibunya?"
"Ya. Joe memintanya untuk mengurus mobil itu, tapi ibunya tak punya waktu."
"Mulia sekali perbuatanmu." "Aku manusia mulia." "Lanjut."
Aku melanjutkan. Aku memaparkan tentang istri Beyers yang minggat, dan bagaimana
ia mencoba merampas mobil itu, dan bagaimana ia membuat kesalaan fatal yaitu
berkata "persetan dengan Tuhan," dan kemudian mobil itu meledak.
"Kaupikir Tuhan murka lalu memanggang Beyers?" "Bisa jadi salah satu teori."
"Saat kau mampir ke markas untuk melengkapi laporan atas Ramirez, kita perlu
membahas ini lebih jauh."
Aku mengamati selama beberapa menit dan kemudian kembali ke apartemen. Aku
kurang tertarik berada di sana saat mereka menyekop abu yang pernah berupa Morty
Beyers. Aku duduk di depan TV sampai siang, dengan semua jendela dan gorden tertutup
rapat-rapat dari TKP di bawah. Setiap sekian menit, aku berjalan ke kamar mandi
dan becermin untuk mengecek apakah alisku sudah tumbuh.
Pukul dua belas, aku menguak gorden dan memberanikan diri mengintip pelataran.
Cherokee sudah diangkut, yang tersisa hanya dua petugas patroli. Dari jendela,
tampaknya mereka sedang mengisi formulir kerusakan untuk beberapa mobil yang
telah tertimpa hasil ledakan itu.
Sepagian nongkrongin TV sudah cukup membuatku bagai dianestesi, jadi aku merasa
siap tempur lagi. Aku mandi dan berpakaian, menjaga pikiranku agar tidak
membayangkan hal-hal berbau kematian dan pengeboman.
Aku harus mampir ke markas polisi, tapi tak ada mobil.
Di kantong cuma ada segelintir dolar. Tabung-anku nihil. Kartu-kartu kreditku
tak berfungsi selain buat benda koleksi semata. Yang kuperlukan adalah menangkap
seorang buron lagi. Aku menghubungi Connie dan mengabarinya soal Morty Beyers.
"Ini ibarat lubang menganga dalam benteng Vinnie," sahut Connie. "Ranger sedang
memulihkan diri dari luka tembak dan kini Morty Beyers tercoreng dari daftar.
Mereka berdua agen-agen terbaik kami."
"Yak, sayang sekali, tentu saja. Kurasa Vinnie cuma bisa mengandalkanku
sekarang." Jeda sesaat di ujung saluran. "Kau tidak menghabisi Morty 'kan"
"Bisa dibilang Morty menghabisi nyawanya sendiri. Kau punya kasus ringan" Aku
butuh duit cepat." "Ada seorang eksibisonis jadi TYTM, jaminannya $2.000. Ia diusir dari tiga panti
jompo. Sekarang dia tinggal di suatu apartemen entah di mana." Kudengaria
membuka-buka berkas. "Ini dia," katanya. "Oh Tuhan, dia tinggal di gedungmu."
"Siapa namanya?"
"William Earling. Apartemen 3E."
Kusambar tasku dan mengunci pintu. Aku naik tangga ke lantai tiga, menghitung
apartemen, dan mengetuk pintu Earling. Seorang pria menyambutku, dan seketika
aku curiga dialah orangnya sebab dia uzur dan telanjang. "Tn. Earling?"
"Yup. Itu aku. Bodiku keren ya, hei cewek" Apakah menurutmu senapanku
mengerikan?" Kutahan diri agar tidak melirik, tapi mataku melayang sendiri ke selatan sana.
Ternyata bukan saja itunya
kurang mengerikan, tapi juga berkeriput. "Yeah. Kau sangat mengerikan," balasku.
Kusodorkan kartu namaku. "Aku bekerja untuk Vinnie Plum, penjaminmu. Kau tidak
muncul saat sidang, Tn. Earling. Aku perlu membawamu ke kota untuk menjadwalulang." "Sidang-sidang brengsek itu cuma buang waktu," gerutu Earling. "Umurku 76.
Kaupikir mereka bakal mengirim laki-laki 76 tahun ke penjara karena dia
memamerkan anunya ke mana-mana?"
Aku sungguh berharap demikian. Melihat Earling bugil sudah membuatku memutuskan
untuk hidup selibat saja. "Aku perlu membawamu ke pusat kota. Bagaimana jika kau
berpakaian dulu." "Aku tak pernah pakai baju. Tuhan melahirkanku ke dunia dalam keadaan telanjang,
dan dalam keadaan inilah aku akan keluar."
"Buat aku sih oke-oke saja, tapi untuk sekarang kuharap kau berpakaian."
"Satu-satunya cara aku akan keluar bersamamu adalah telanjang."
Aku mengeluarkan borgol dan memasangnya ke per-gelangannya.
"Polisi brutal. Polisi brutal," pekiknya.
"Maaf jika mengecewakanmu," balasku. "Aku bu-kan polisi."
"Jadi kau apa?"
"Aku pemburu buron."
"Pemburu buron brutal. Pemburu buron brutal."
Aku beranjak ke lemari selasar, menemukan jas hujan panjang, dan
mengancingkannya pada tubuh Earling.
"Aku takkan pergi bersamamu," cetusnya, berdiri kaku dengan tangan diborgol di
balik jas hujan. "Kau tak
bisa memaksaku ikut."
"Dengar, Opa," semburku, "kau ikut dengan sukarela, atau aku tinggal
menyemprotmu pakai gas dan menggeretmu keluar dengan menarik kakimu."
Sulit dipercaya aku berkata demikian pada warga manula malang ini yang anunya
mirip bekicot. Aku muak pada diriku, tapi siapa peduli, nilainya $200.
"Jangan lupa kunci pintu," cetusnya. "Lingkungan ini makin lama makin parah.
Kuncinya di dapur." Aku meraih rencengan kunci itu, dan di salah satunya ada lambang Buick.
Beruntung sekali. "Satu hal lagi," ujarku. "Kau keberatan jika kupinjam mobilmu
untuk membawamu ke pusat kota?"
"Kurasa oke-oke saja selama kita tidak boros bensin. Penghasilanku pas-pasan,
tahu." Aku memecahkan rekor kecepatan saat mengantar Tn. Earling dan berhati-hati agar
tidak ketemu Dorsey. Aku mampir ke kantor sebelum pulang untuk mengambil cekku
dan mencairkannya di bank. Kuparkir mobil Tn. Earling sedekat mungkin dari pintu
untuk memangkas j araknya lari bugil saat dia sudah keluar penjara nanti. Aku
tak ingin melihat bagian-bagian tertentu Tn. Earling lebih dari yang diperlukan.
Aku terbirit-birit naik tangga dan menelepon ke rumah, meringis membayangkan apa
yang sebentar lagi akan kulakukan.
"Apakah Ayah sedang keluar dengan taksinya?" tanyaku. "Aku butuh tumpangan."
"Dia libur hari ini. Dia ada di sini. Kamu mau pergi ke mana?"
"Kompleks apartemen di Route 1." Meringis lagi. "Sekarang?"
"Yeah." Menghela panjang. "Sekarang." "Aku bikin kerang isi buat nanti malam.
Kamu mau kerang isi?"
Sulit dipercaya betapa aku mendambakan kerang-kerang isi itu. Lebih besar dari
kerinduanku akan seks hebat, mobil yang larinya kencang, malam sejuk, bahkan
alis. Aku butuh jeda sejenak dari hidupku sebagai orang dewasa. Aku butuh merasa
aman tanpa syarat. Aku butuh ibuku menyibukkan diri di dekatku, mengisi gelas
susuku, mengangkat tanggungjawab paling sederhana dari bahuku. Aku butuh
menghabiskan beberapa jam dalam rumah yang berantakan oleh kebanyakan perabot
dan aroma dapur yang sumpek. "Kerang isi boleh juga."
Lima belas menit kemudian Ayah sudah di pintu belakang. Ia tersentak begitu
melihatku. "Baru terjadi kecelakaan di pelataran parkir," jelasku. "Sebuah mobil terbakar,
dan aku berdiri terlalu dekat." Kuberikan alamatnya dan memintanya singgah di KMart dalam perjalanan. Tiga puluh menit kemudian, ia menu-runkanku di pelataran
parkir Morelli. "Bilang sama Ibu aku datang pukul enam," pesanku.
Ayah melirik Nova dan dus kaleng oli yang baru kubeli. "Mungkin aku tunggu di
sini dulu, sampai pasti mobil itu bisa jalan."
Aku mengisi mobil itu dengan tiga kaleng dan mengecek tingkat oli. Aku mengirim
isyarat oke pada Ayah. Ia tidak terkesan. Aku duduk di balik kemudi, menghantam
keras dasbor dengan tinjuku, dan berhasil menghidupkan mesin. "Selalu seperti
ini," seruku, yah masih belum beranjak dan kutahu ia sedang menyesali kenapa aku
tidak membeli Buick saja. Mobil mobil Buick tidak pernah menyusahkan seperti
ini. Kami keluar beriringan dari pelataran, dan aku melambai padanya di Route 1,
mengarahkan Nova ke Yen Olde Muffler Shoppe. Lewat Howard Johnson Motel yang
puncak atapnya berwarna oranye, lewat Shady Grove Trailer Park, lewat Happy Days
Kennels. Pengemudi-pengemudi lain menjaga jarak, tak berani mendekati zonaku
yang bising oleh raungan mesin. Setelah tujuh mil menyusuri jalan, aku memekik
gembira begitu melihat papan kuning-hitam toko knalpot.
One For The Money Karya Janet Evanovich di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kukenakan Oakley-ku guna menutupi alis, namun si petugas konter masih sempat
melirik dua kali. Aku mengisi formulir dan menyerahkan kunci padanya, lalu duduk
di ruangan kecil yang disediakan bagi para orangtua mobil-mobil sakit. Empat
puluh lima menit kemudian, aku sudah di jalan. Aku melihat asap hanya ketika
singgah di perempatan, dan pijar merah hanya berkedip beberapa kali. Kurasa
hasilnya setara dengan yang mungkin diharapkan.
Ibu mulai begitu aku menginjak serambi. "Setiap kali ketemu, kamu kelihatan
makin parah. Memar-memar dan luka-luka. Sekarang apa yang terjadi pada rambutmu
dan oh Tuhan kamu tak punya alis. Apa yang terjadi dengan alismu" Kata Ayah kamu
terjebak dalam kebakaran."
"Ada mobil kebakaran di pelataran parkir gedungku. Bukan apa-apa."
"Aku menontonnya di TV," timbrung Oma Mazur, menyikut Ibu agar bisa lewat.
"Mereka bilang itu pengeboman. Ledakannya bikin mobil itu meroket ke angkasa.
Dan ada seorang pria di dalamnya. Orang aneh bernama Beyers. Tapi tak banyak yang tersisa dari dia."
Oma Mazur mengenakan blus katun bercetak merah jambu dan oranye dengan gumpalan
tisu di baliknya, celana pendek elastis biru terang, sepatu tennis putih, dan
stoking digulung tepat di atas lututnya.
"Aku suka celana pendek Oma," pujiku. "Warnanya keren."
"Tadi siang dia pergi ke rumah duka berpakaian seperti itu," sembur Ayah dari
dapur. "Upacara Tony Manoso."
"Upacara yang hebat," timpal Oma Mazur. "Kelompok veteran perang menghadirinya.
Upacara paling hebat yang kuhadiri bulan ini. Dan Tony tampak keren sekali.
Mereka mendandaninya dengan dasi yang ada kepala kuda kecil itu."
"Sampai saat ini sudah tujuh orang menelepon," gerutu Ibu. "Aku bilang pada
mereka, Oma lupa minum obatnya tadi pagi."
Oma Mazur menggertakkan gigi. "Di sini tak ada yang mengerti mode. Kita tak
pernah bisa pakai sesuatu yang berbeda." Ia mengamati celana pendeknya.
"Menurutmu bagaimana?" tanyanya padaku. "Apakah cocok untuk menghadiri upacara
di siang hari?" "Tentu," balasku, "tapi seandainya malam, aku akan memakai warna hitam."
"Aku juga berpendapat begitu. Lain kali aku harus beli celana pendek ini yang
berwarna hitam." Pukul delapan, aku sudah kenyang dengan makanan enak dan perabot menyesaki
ruangan serta siap kembali ke kehidupan mandiri. Aku terhuyung-huyung keluar
dari rumah orangtuaku, lengan penuh oleh hidangan sisa, dan berkendara pulang ke
apartemen. Seharian ini aku menghindari memikirkan ledakan itu, tapi kini saatnya
menghadapi kenyataan. Seseorang baru saja mencoba membunuhku, dan itu bukan
Ramirez. Ramirez ingin menyiksa dan mendengarku minta ampun.
Ramirez mengerikan dan kejam, tapi dia juga mudah ditebak. Aku bisa
memperkirakan tindak-tanduk Ramirez. Ramirez kriminal sinting.
Memasang bom adalah jenis kegilaan yang berbeda. Bom itu penuh perhitungan dan
punya tujuan. Bom bertujuan melenyapkan seseorang dari muka bumi, seseorang
tertentu yang dianggap mengganggu.
Kenapa aku" batinku. Kenapa seseorang menginginkan kematianku" Sekadar
merumuskan pertanyaan ini sudah membuat jantungku mencelos.
Aku memarkir Nova di tengah pelataran dan bertanya-tanya apakah besok aku berani
menginjak pedal gasnya. Mobil Morelli diangkut pergi dan hanya ada sedikit
bekas-bekas kebakaran. Aspal tempat jip itu dilahap api retak-retak dan pecahpecah, namun tak ada pita TKP mau pun sisa abu yang menandai tempat itu.
Aku memasuki apartemen dan mendapati mesin penjawab berkedip-kedip tak sabar.
Dorsey menghubungiku tiga kali dan minta ditelepon balik. Dia tidak terdengar
ramah. Bernie menelepon untuk memberitahuku bahwa toko mereka sedang diskon dan
aku sebaiknya mampir. Potongan dua puluh persen untuk blender dan bonus sebotol
daiquiri mix bagi dua puluh pelanggan pertama. Mataku berbinar membayangkan
daiquiri. Uangku masih tersisa beberapa dolar, dan blender termasuk murah 'kan
kalau dibandingkan barang-barang lain" Panggilan terakhir dari Jimmy Alpha,
sekali lagi memohon maaf dan berharap aku tidak terluka berat gara-gara Ramirez.
Aku melirik jam. Hampir pukul sembilan. Tak mungkin sampai di toko Bernie
sebelum tutup. Sayang sekali. Aku yakin seandainya minum daiquiri, aku bisa
berpikir lebih jernih dan barangkali menebak siapa yang telah berusaha
mengirimku ke neraka. Aku menyalakan TV dan duduk di depannya, namun benakku melayang ke tempat lain.
Aku menduga-duga siapa pembunuh potensialku. Di antara hasil tangkapanku,
kemungkinannya cuma Lonnie Dodd, tapi dia di penjara. Kemungkinan besar ini
berkaitan dengan kasus Kulesza. Ada yang khawatir melihatku mengendus ke sanakemari. Tak terbayang olehku siapa yang cukup khawatir sampai ingin membunuhku.
Kematian 'kan urusan yang serius.
Pasti ada mata rantai yang hilang di sini. Sesuatu berkaitan dengan Carmen atau
Kulesza atau Morelli ... atau barangkali si saksi hilang.
Sebuah pikiran buruk mengguncang sudut benakku. Sejauh pengamatan, aku merupakan
ancaman nyata dan mematikan hanya bagi satu orang. Orang itu adalah Morelli.
Telepon berdering pukul sebelas, dan kuangkat sebelum mesin menjawab.
"Kamu sendirian?" tanya Morelli.
Aku ragu sejenak. "Ya."
"Kenapa jawabnya ragu?"
"Bagaimana perasaanmu perihal pembunuhan?"
"Pembunuhan siapa yang sedang kita bahas?"
"Aku." "Sekujur tubuhku menghangat."
"Yah, cuma pengen tahu."
"Aku ke sana sekarang. Tunggu aku di pintu."
Kuselipkan spray pelindung ke balik ban celana pendekku dan menutupinya dengan
kaus. Aku menempelkan mata ke lubang intai dan membuka pintu begitu Morelli
berderap di lorong. Dari hari ke hari tampangnya makin kusut. Dia perlu
memangkas rambutnya, dan janggutnya
yang baru tumbuh dua hari tampak seakan berusia seminggu. Jins serta kausnya
berkualitas gembel. Ia menutup dan mengunci pintu di belakangnya. Ia mengamati memar-memar di muka
dan lenganku. Ekspresinya prihatin. "Kamu mau cerita padaku apa yang terjadi?"
"Bibir yang robek dan memar-memar ini gara-gara Ramirez. Kami berkelahi, tapi
kurasa aku menang. Kusemprot dia pakai gas dan meninggalkannya muntah-muntah di
jalan." "Dan alismu yang gosong?"
"Mmmm. Yah, ini sedikit lebih rumit." Wajahnya meredup. "Apa yang terjadi?"
"Mobilmu meledak."
Tak ada reaksi selama beberapa detik. "Bisakah kamu mengulangnya sekali lagi?"
desahnya akhirnya. "Kabar baiknya ... kamu tak perlu khawatir lagi soal Morty Beyers."
"Dan kabar buruknya?"
Kuraih plat mobil dari bufet dapur dan kusodorkan padanya. "Cuma ini yang
tersisa dari mobilmu."
Ia menunduk menatap plat itu, terlalu tercengang untuk bicara.
Kuceritakan padanya tentang Morty Beyers yang ditinggal istrinya, dan bom itu,
dan tiga panggilan dari Dorsey.
Ia sampai pada kesimpulan yang sama denganku. "Pelakunya bukan Ramirez."
"Dalam hati aku sudah bikin daftar orang-orang yang barangkali menginginkan
kematianku, dan namamu paling atas."
"Hanya dalam angan-anganku," ejeknya. "Siapa lagi nama dalam daftarmu?"
"Lonnie Dodd, tapi kurasa dia masih di penjara."
"Kamu pernah diancam akan dibunuh" Bagaimana dengan mantan suami atau mantan
pacar" Mungkin kamu sempat menabrak seseorang baru-baru ini?"
Aku tak berniat memberikan respons untuk mengindahkan pertanyaan itu.
"Oke," desahnya. "Jadi, menurutmu ini berkaitan dengan pembunuhan Kulesza?"
"Ya." "Kamu takut?" "Ya."
"Bagus. Jadi sekarang kamu waspada." Ia menguak pintu kulkas, mengeluarkan sisasisa makanan yang Ibu berikan padaku buat di rumah, dan melahapnya dingindingin. "Kamu harus hati-hati saat bicara dengan Dorsey. Jika ketahuan olehnya
kamu kerja samadenganku, dia bisa menuntutmu karena membantu dan menjadi kakitangan seorang pelarian."
"Aku punya perasaan tak enak bahwa aku sudah dilibatkan dalam aliansi yang
kurang menguntungkan pihakku."
Morelli membuka sekaleng bir. "Satu-satunya cara kamu dapat $ 10.000 itu bila
aku merelakanmu membawaku ke polisi. Dan, aku takkan membiarkanmu membawaku ke
polisi jika aku belum bisa membuktikan diri tak bersalah. Kapan saja kamu mau
membatalkan kesepakatan ini, tinggal bilang, tapi kamu boleh ucapkan selamat
tinggal pada uangmu."
"Perilakumu sungguh busuk."
Dia menggeleng. "Realistis."
"Sudah berkali-kali aku bisa saja menyemprotmu pakai gas."
"Kurasa tidak."
Kutarik spray-ku keluar, tapi sebelum kuacungkan ia menendang kaleng itu lepas
dari tanganku dan melayang-kannya ke seberang ruangan.
"Itu tak masuk hitungan," gerutuku. "Kamu sudah memperkirakannya."
Ia menghabiskan roti lapisnya dan meletakkan piringnya di wastafel. "Aku selalu
memperkirakannya." "Sekarang apa yang kita lakukan?"
"Kita maju terus. Jelas, kita telah menginjak titik sensitif."
"Aku tak suka jadi target."
"Kamu nggak akan mengasihani diri karena itu, 'kan?" Ia mengempaskan diri di
depan TV dan mulai mengutak-atik remot. Ia tampak letih, duduk dengan punggung
bersandar di dinding, sebelah kaki dilipat. Ia berhenti pada sebuah acara
pertunjukan tengah malam dan mengatup mata. Napasnya memberat dan semakin berat,
dan kepalanya terkulai ke dada.
"Aku bisa menyemprotmu sekarang," bisikku.
Ia menengadah, namun tak membuka mata. Secuil senyum bermain di sudut bibirnya.
"Itu bukan gayamu, Manis."
Morelli masih lelap di lantai depan TV ketika aku terjaga pukul delapan. Aku
berjingkat melewatinya dan pergi lari pagi. Dia sedang baca koran dan minum kopi
saat aku kembali. "Ada sesuatu tentang pengeboman?" tanyaku.
"Berita dan foto-foto di halaman tiga. Mereka menyebutnya ledakan tanpa
penjelasan. Tak ada yang menarik secara khusus." Ia mengintip lewat atas koran.
"Dorsey meninggalkan pesan lain di mesinmu. Barangkali kamu perlu cari tahu apa
maunya." Aku cepat-cepat mandi, mengenakan pakaian bersih, mengoleskan krim aloe di
wajahku yang terkelupas, dan mengikuti endusan hidungku yang bersisik sampai ke
teko kopi. Kusesap setengah cangkir sambil membaca halaman humor, lalu
menghubungi Dorsey. "Kami dapat hasil analisis dari lab," ujarnya. "Memang sebuah bom. Karya
profesional. Tentu saja, di toko buku manapun kau bisa beli buku yang akan
memberitahumu bagaimana mengerjakan pengeboman secara profesional. Kau bisa
meracik nuklir kalau mau. Toh, kukira kauingin tahu."
"Aku sudah curiga."
"Kau punya gagasan siapa yang mungkin berkepentingan melakukannya?"
"Belum ada nama yang melintas." "Bagaimana dengan Morelli?" "Bisa jadi
kemungkinan." "Kemarin aku merindukanmu di markas," sindirnya.
Ia sedang memancingku. Ia tahu ada sesuatu yang janggal dalam urusan ini. Hanya
dia belum tahu apa persisnya. Selamat bergabung, Dorsey. "Hari ini kuusahakan ke
sana." "Tolong usahanya yang keras ya."
Aku meletakkan telepon dan menenggak habis kopiku. "Dorsey minta aku ke sana."
"Kamu mau ke sana?"
"Tidak. Dia bakal mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak sanggup kujawab."
"Pagi ini sebaiknya kamu ke Stark Street." "Pagi ini tidak. Aku perlu mengurus
sesuatu." "Mengurus apa?" "Urusan pribadi."
Sebelah alisnya melejit. "Aku perlu mengurus berbagai hal ... siapa tahu ... 11 ungkapku.
"Siapa tahu apa?"
Kulontarkan isyarat tak sabar. "Siapa tahu sesuatu menimpaku. Sepuluh hari
belakangan aku dibuntuti oleh seorang sadis profesional, dan sekarang namaku
tercantum dalam daftar seorang ahli bom. Aku merasa tak aman, paham" Jangan
ganggu aku dulu, Morelli. Aku perlu ketemu beberapa orang. Aku perlu belanja
macam-macam." Dengan lembut ia melepas secarik kulit kering dari hidungku. "Kamu akan baikbaik saja," ucapnya pelan. "Aku mengerti kamu takut. Aku juga takut. Tapi kita
berdua 'kan jagoan, dan jagoan selalu menang."
Aku merasa jahat sekali, sebab Morelli malah bersikap manis padaku, sementara
yang sebenarnya ingin kulakukan adalah mampir ke Bernie untuk beli blender dan
mendapat daiquiri mix gratis.
"Bagaimana kamu akan belanja tanpa jip?" tanyanya.
"Nova-ku sudah kuambil lagi."
Ia meringis. "Kamu tidak parkir di pelataran, 'kan?"
"Kuharap si ahli bom tak tahu itu mobilku."
"Ya ampun." "Aku yakin tak ada yang perlu dicemaskan."
"Yeah. Aku juga yakin. Aku ikut turun biar kita pastikan sama-sama."
Aku mengumpulkan barang-barangku, memeriksa jendela, dan menyetel mesin
penjawab. Morelli menunggu di pintu. Kami menuruni tangga berdua, dan sama-sama
berhenti begitu tiba di depan Nova.
"Seandainya si ahli bom tahu itu mobilmu, dia pasti
idiot mutlak jika mencoba hal yang sama dua kali," ujar Morelli. "Secara
statistik, gempuran kedua datang dari arah yang berbeda."
Menurutku masuk akal, toh kakiku tak beranjak dari pavemen dan jangtungku
memberontak dalam dada. "Baiklah. Aku siap," tegasku. "Sekarang atau tidak sama
sekali." Morelli tengkurep dan memandang ke kolong Nova. "Apa yang kamu lihat?" tanyaku.
"Oli bocor, banyak sekali." Ia merangkak keluar dan berdiri.
Aku membuka kap mesin dan mengecek tingkat oli. Siapa yang heran, mobil ini
butuh oli. Aku menuang dua kaleng dan membanting kap tertutup.
Morelli mencabut kunci dari pintu dan duduk di balik kemudi. "Mundur,"
perintahnya padaku. "No way. Ini mobilku. Biar aku yang menghidupkan."
"Jika salah satu dari kita harus meledak, biar aku saja. Toh aku pasti mati
andai tak menemukan saksi hilang itu. Jauhi mobil ini."
Ia memutar kunci. Tak ada yang terjadi. Ia menatapku.
"Kadang-kadang kita harus memukulnya dulu," ungkapku.
Ia memutar kunci lagi dan menghantam dasbor kuat-kuat dengan tinjunya. Mesin
terbatuk-batuk dan menyala, menderu-deru keras dan akhirnya tenang.
Morelli bersandar lemas pada setir, mata tertutup. "Brengsek."
Aku memandangnya lewat jendela. "Apakah kursiku basah?"
"Lucu sekali." Dia keluar dari mobil dan memegang
pintunya untukku. "Kamu mau aku ikut di belakangmu?"
"Tidak. Aku akan baik-baik saja. Makasih."
"Aku nanti di Stark Street kalau kamu perlu aku. Siapa tahu ... barangkali si
saksi akan nongol di gym."
Setiba di toko Bernie, ternyata tak ada antrean pembeli berbaris di pintu, jadi
kukira aku datang tepat waktu untuk daiquiri mix.
"Hei," sambut Bernie, "lihat siapa yang datang."
"Aku dapat pesanmu tentang blender."
"Nah, ini dia," cetus Bernie, menepuk-nepuk sebuah blender display. "Sanggup
mencacah kacang, melebur es, melumat pisang, dan meracik daiquiri paling
dahsyat." Kulirik harga yang menempel di blender. Aku mampu membelinya. "Jadi. Apakah aku
dapat jatah daiquiri mix?"
"Pastinya." Ia membawa blender yang masih dalam kotak ke kasir, membungkusnya,
dan menuliskan bon. "Bagaimana perkembangannya?" tanyanya hati-hati, matanya
terpaku pada bulu gosong yang dulunya merupakan alisku.
"Membaik." "Daiquiri akan membantu." "Tanpa setitik keraguan pun."
Di seberang jalan, Sal tengah me-Windex pintu depannya. Ia pria bertampang
ramah, gempal dan mulai botak, dalam balutan celemek penjagal daging. Sejauh
yang kutahu, dia bandar judi paruh waktu. Tak ada yang luar biasa. Aku
menyangsikan dia terkait dengan kasus ini. Toh, kenapa laki-laki macam Kulesza,
yang seluruh hidupnya terpusat di Stark Street, akan berkendara jauh-jauh khusus
menemui Sal" Aku mengetahui segelintir statistik vital Kulesza, namun aku tak
tahu apa-apa soal kehidupan pribadinya. Belanja di toko Sal adalah potongan
informasi paling menarik yang kumiliki tentang Kulesza. Barangkali Ziggy
One For The Money Karya Janet Evanovich di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penjudi. Barangkali ia dan Sal teman lama. Barangkali mereka saudara. Kalau
dipikir-pikir, barangkali Sal tahu tentang Carmen atau pria berhidung gepeng.
Aku bercakap-cakap dengan Bernie selama beberapa menit sambil memantapkan
gagasanku mewawancara Sal. Aku mengamati seorang wanita masuk ke toko itu dan
berbelanja. Tampaknya, itu pendekatan yang bagus, bisa memberiku kesempatan
melihat-lihat. Aku berjanji pada Bernie, suatu saat aku akan kembali untuk beli peralatan yang
lebih besar dan lebih canggih, lalu melangkah ke seberang jalan menuju toko Sal.
AKU MENDORONG pintu masuk toko Sal serta menghampiri rak panjang berisi steik
dan daging cincang serta untaian sosis babi yang saling membelit. Sal
melontarkan senyum selamat datang. "Apa yang bisa kulakukan untukmu?"
"Aku baru dari toko Kuntz, beli blender ..." kuangkat bungkusan itu agar ia
melihatnya. "Dan kupikir sekalian saja beli sesuatu buat makan malam." "Sosis"
Ikan segar" Irisan ayam?" "Ikan."
"Aku punya flounder yang baru saja dipancing dari pesisir Jersey."
Dan, kemungkinan besar ikan itu bisa nyala dalam gelap. "Boleh juga. Cukup buat
dua orang." Di suatu tempat di belakang toko, sebuah pintu terbuka, dan kudengar dengung
mesin truk. Pintu itu terbanting, dan suara itu menghilang.
Seorang pria masuk dari lorong di samping gudang pendingin, dan jantungku
berpacu tiga kali lebih cepat. Bukan saja hidungnya remuk, tapi seluruh mukanya
rata ... ibarat baru dihantam pakai panci goreng. Aku tak bisa memastikan sebelum
Morelli melihatnya, tapi aku curiga aku sudah menemukan sang saksi hilang.
Aku terbagi antara ingin melompat-lompat sambil
berseru kegirangan atau ngibrit kabur sebelum aku habis dicincang.
"Ada kiriman buatmu," ujar pria itu pada Sal. "Mau ditaruh di gudang?"
"Yeah," balas Sal. "Dan bawa dua gentong yang dekat pintu. Salah satunya berat,
perlu pakai troli." Perhatian Sal kembali pada ikan. "Bagaimana kau akan memasaknya?" tanyanya
padaku. "Tahu 'kan, bisa dibakar, digoreng, atau diisi. Aku sendiri lebih suka
digoreng. Banyak tepung, banyak lemak."
Aku mendengar pintu belakang ditutup di belakang pria bermuka rata. "Tadi itu
siapa?" tanyaku. "Louis. Dia kerja buat distributor di Philly. Dia yang mengantar daging."
"Dan apa yang dia bawa kembali dalam gentong-gentong itu?"
"Aku suka menyisihkan lemak-lemak. Mereka bikin makanan anjing dari situ."
Aku harus merapatkan gigi supaya tidak tunggang-langgang keluar pintu. Aku sudah
menemukan si saksi! Aku yakin. Setiba di mobil, aku pening gara-gara terpaksa
menahan diri. Aku selamat! Aku dapat membayar uang sewa apartemen. Aku berhasil
mencapai sesuatu. Dan kini sang saksi sudah ditemukan, aku akan aman. Aku
tinggal membawa Morelli ke polisi dan tak punya urusan lagi dengan Ziggy
Kulesza. Aku keluar dari drama ini. Tak seorang pun punya alasan lagi untuk
membunuhku ... kecuali, tentu saja, Ramirez. Tapi kuharap keterlibatan Ramirez
cukup dalam sehingga ia dipenjara untuk waktu yang sangat, sangat lama.
Kata pria di seberang apartemen Carmen, ia terusik oleh deru sebuah truk lemari
es. Taruhan donat, itu pasti
truk daging. Tak bisa dipastikan sebelum kuperiksa kembali punggung gedung
Carmen, tapi andai Louis parkir cukup dekat, ia bisa saja kabur lewat atap truk
pembeku itu. Kemudian, ia memasukkan Carmen dalam lemari es dan melesat pergi.
Entah apa kaitannya dengan Sal. Barangkali tidak ada kaitan sama sekali.
Barangkali cuma Ziggy dan Louis yang bekerja membersihkan kotoran Ramirez.
Dari tempat dudukku, pemandangan ke toko Sal cukup baik. Kuselipkan kunci di
starter dan melirik untuk terakhir kali. Sal dan Louis sedang berbincang. Louis
tenang. Sal uring-uringan, melempar tangannya ke udara. Kuputuskan untuk
mengamati mereka sebentar. Sal memunggungi Louis dan menelepon. Bahkan dari
jauh, bisa kulihat dia tidak senang. Iamembanting gagang telepon. Kedua pria itu
memasuki gudang pendingin dan tak lama kemudian muncul lagi dengan menarik
keluar gentong lemak. Mereka menggelindingkan gentong itu sepanjang lorong
menuju pintu belakang. Beberapa saat setelah itu, Louis nongol lagi, membopong
sesuatu yang tampak seperti bongkahan daging di bahu. Ia memasukannya ke dalam
pendingin dan menggelindingkan gentong kedua keluar. Ia berhenti sejenak di
lorong dan memandang ke jendela depan. Jantungku melonjak, dan aku bertanyatanya apakah ia dapat melihatku tengah mematai-matai. Ia melangkah maju, dan aku
meraih Sure Guard. Ia berhenti di pintu dan membalik plakat kecil BUKA menjadi
TUTUP. Aku tidak menduga hal ini. Apa artinya" Sal tidak kelihatan, tokonya tutup,
padahal setahuku ini bukan hari libur. Louis menghilang lewat lorong belakang,
dan lampu-lampu padam. Sensasi tak enak menguasai perutku. Sensasi tak enak itu
merambah menjadi panik, dan panik itu mendesak agar aku tidak melepaskan Louis.
Aku memacu Nova dan melesat ke ujung blok. Sebuah truk pendingin putih dengan
plat Pennsylvania meluncur ke tengah lalu-lintas di depanku, dan dua blok
kemudian kami menikung ke Chambers. Sungguh tak ada yang lebih kuinginkan selain
menyerahkan semua ini ke pangkuan Morelli saja, tapi entah bagaimana cara
menghubunginya. Ia sedang di utara di Stark Street, dan aku menuju selatan.
Mungkin ada telepon dalam van, tapi aku tak tahu nomornya, dan lagi pula, aku
tak bisa menelepon sampai kami berhenti di suatu tempat.
Truk pendingin itu mengambil Route 206 di Whitehor-se. Lalu-lintas agak padat.
Aku dua mobil di belakangnya, dan ternyata cukup mudah bagiku bersembunyi sambil
tetap mengawasi Louis. Tepat setelah melewati perempatan Route 70 pijar oliku
menyala dan terus menyala. Aku melontarkan sumpah-serapah penuh murka, mengerem
dadakan untuk berhenti di bahu jalan, menuang dua kaleng oli dengan kecermatan
yang sanggup mematahkan leherku, membanting kap mesin, dan melesat pergi.
Nova itu kugeber hingga 80, tak memedulikan getaran aneh di bagian moncong
maupun tatapan heran pengemudi-pengemudi lain tatkala aku mendahului mereka
dalam "mobil-memek"-ku yang berisik ini. Selewat beberapa mil yang menyiksa,
mataku tertumbuk pada truk itu. Louis salah satu pengemudi paling lambat di
jalan, melaju hanya 16 km melebihi batas perjam. Aku menghela napas lega dan
mencoba santai. Aku berdoa, semoga dia tidak pergi jauh-jauh. Di bangku
belakangku cuma tersisa satu setengah kardus kaleng oli.
Di Hammonton Louis belok kiri memasuki jalan yang
lebih kecil dan mengarah ke timur. Hanya ada segelintir mobil, dan aku terpaksa
jaga jarak yang lebih jauh di belakangnya. Pemandangan yang bergulir berupa
ladang-ladang tani dan hutan-hutan. Selewat kira-kira 24 km, truk melambat dan
memasuki jalur berkerikil yang berujung pada bangunan besiulir bergaya gudang.
Plakat di depan bangunan bertulisan, Pacheto Inlet Marina and Cold Storage. Di
belakang bangunan itu tampak perahu-perahu dan di balik perahu-perahu itu
matahari cemerlang di atas perairan.
Kukitari pelataran dan putar-balik sejauh seperempat mil di j alan ini yang
buntu di tepi Mullico River. Aku kembali dan melaju lambat-lambat. Truk itu
parkir dekat jalur papan yang menuju undak-undak kapal. Louis dan Sal di luar
truk, bersandar pada bemper belakang, tampak sedang menunggu sesuatu atau
seseorang. Mereka sendiri di pelataran. Marina itu kecil, dan kendati sekarang
musim panas, rupanya sebagian besar aktivitasnya berlangsung di akhir pekan.
Beberapa mil di belakang sempat aku melewati pom bensin. Kukira itu tempat
menunggu yang takkan membangkitkan curiga. Saat Sal dan Louis meninggalkan
marina, mereka bakal ke arah sana, kembali ke peradaban, dan aku tinggal
membuntuti. Dan, ada pula telepon umum sehingga aku bisa coba menghubungi
Morelli. Pom bensin itu dari era pra-komputer dengan dua pompa model zaman dulu
bertengger di atas bentangan semen. Sebuah tanda disandarkan pada salah satu
pompa, mengumumkan tersedianya umpan hidup dan bensin murah. Pondok berlantai
satu di belakang pompa ditambal dengan jerigen-jerigen yang digepengkan dan
aneka potongan tripleks. Sebuah telepon umum terpasang dekat
pintu kasa. Aku parkir, separuh tersembunyi, di belakang pom bensin, dan menempuh jarak
pendek ke telepon, senang akhirnya bisa mengendurkan kaki. Aku menghubungi
nomorku sendiri. Hanya ini solusi yang terpikir olehku. Telepon berdering
sekali, mesin menyahut, dan aku mendengarkan suaraku sendiri berkata aku tak di
rumah. "Ada orang?" tanyaku. Tak ada yang jawaban. Aku menyebut nomor telepon
umum ini dan berpesan untuk siapa pun yang ingin mengontakku, aku ada di nomor
tersebut selama waktu yang belum dapat dipastikan.
Aku hendak kembali ke mobil ketika Porsche milik Ramirez melintas dengan
kecepatan tinggi. Semua ini jadi semakin mencurigakan, batinku. Seorang tukang
daging, seorang pesuruh, dan seorang petinju, mengadakan pertemuan di Pachetco
Inlet Marina. Rasanya tak mungkin mereka cuma tiga sekawan yang pergi mancing
bareng. Andai bukan Ramirez yang barusan lewat tapi orang lain, aku sudah
berangkat untuk melihat dari lebih dekat. Kuyakinkan diriku tetap di tempat
karena takut Ramirez mengenali Novaku, tapi ini hanya sebagian dari kebenaran.
Ramirez telah berhasil; melihat mobilnya saja membuatku berkeringat dingin
saking ngerinya. Dan oleh karenanya aku meragukan kemampuanku berfungsi optimal
jika harus mengalami konfrontasi lagi dengannya.
Tak lama kemudian, Porsche itu berderu melewatiku, menuju jalan bebas-hambatan.
Kaca jendelanya yang gelap menghalangi pandangan, tapi paling banyak mobil itu
muat dua penumpang, jadi setidaknya di marina tinggal satu orang. Moga-moga
orang itu Louis. Kuhubungi mesin penjawabku lagi. Kali ini pesannya lebih
mendesak. "TELEPON AKU!" seruku.
Sudah hampir malam ketika telepon itu akhirnya berdering.
"Kamu di mana?" tanya Morelli.
"Aku di pesisir. Di sebuah pom bensin di pinggiran Atlantic City. Aku menemukan
saksimu. Namanya Louis." "Apakah dia bersamamu?"
"Dia di ujung jalan." Aku memaparkan secara singkat kejadian hari ini dan
memberinya petunjuk ke arah marina. Kubeli soda dari mesin di luar dan kembali
menunggu. Malam sudah pekat tatkala van Morelli akhirnya berhenti di sampingku. Belum ada
mobil di jalan sejak Ramirez lewat, dan aku yakin truk itu tidak kecolongan
melintas. Terpikir olehku, Louis mungkin berada di atas sebuah kapal, bisa jadi
menginap. Tak kulihat alasan lain mengapa truk itu masih tinggal di marina.
"Apakah saksi kita berada di marina?" tanya Morelli.
"Sejauh yang kutahu."
"Apakah Ramirez kembali lagi?"
Aku menggeleng. "Kurasa aku mau memeriksa keadaan dulu. Kamu tunggu sini."
Aku menolak menunggu lagi, di mana pun itu. Aku muak dengan penantian. Dan aku
tak sepenuhnya percaya Morelli. Dia punya kebiasaan menyebalkan, yaitu
melontarkan janji-janji menggiurkan kemudian pergi menghilang dari hidupku.
Aku membuntuti van itu ke pantai dan parkir di sampingnya. Truk pendingin putih
itu belum beranjak. Louis tak kelihatan di luarnya maupun di sekitar situ.
Kapal-kapal yang tertambat di dermaga gelap. Pachetco Inlet Marina bukanlah
pusat aktivitas yang terlalu sibuk.
"Rasanya aku menyuruhmu tunggu di pom bensin,"
gerutu Morelli. "Kita kelihatan kayak parade."
"Kupikir barangkali kamu butuh bantuan untuk menangani Louis."
Morelli berdiri di luar van bersebelahan denganku, tampak bengis dan berbahaya
di balik kegelapan. Ia tersenyum, dan giginya luar biasa putih di sela-sela
janggut hitamnya. "Bohong. Kamu mencemaskan $ lD.DDD-mu." "Itu juga."
Sejenak kami beradu-pandang, saling menantang dalam bisu.
Akhirnya Morelli meraih j aket di kursi depan lewat jendela yang terbuka,
menarik pistol semiotomatis dari saku depan, dan menyelipkannya di balik
pinggang jinsnya. "Kukira kini saatnya kita mencari saksiku."
Kami menghampiri truk dan mengintip ke dalam kabin. Kabin itu kosong dan
terkunci. Tak ada mobil lain di pelataran.
Tak jauh dari situ, air beriak berkecipak di pilar-pilar, dan kapal-kapal
mengerang pada penambatnya.
Terdapat empat dok papan, masing-masing dengan empat belas undak-undak, tujuh di
tiap sisi. Tak semua undak-undak itu layak digunakan.
Diam-diam kami menyusuri setiap dok, membaca nama-nama kapal, mencari tandatanda kehidupan. Setengah jalan dok ketiga kami berhenti di depan sebuah
Hatteras Convertible besar dengan jembatan, dan kami berdua mengucap nama kapal
itu tanpa suara. "Sal's Gal."
Morelli naik dan mengendap-endap ke bagian belakang. Aku menyusul beberapa
langkah di belakangnya. Dek itu penuh oleh peralatan memancing, jaring-jaring
bergagang panjang serta galah-galah. Pintu ke ruang duduk diselot dari luar,
yang artinya kemungkinan besar
Louis tidak di dalam. Morelli mengeluarkan senter-pena dari sakunya dan
mengarahkannya pada jendela kabin. Sebagian besar interior kapal ini rupanya
telah dilucuti untuk kegiatan memancing serius, mirip perahu nelayan, dengan
bangku ala kadarnya dan bukannya akomodasi yang lebih mewah. Di dapur kecil
berserakan kaleng-kaleng bir dan timbunan piring kertas. Senter-pena itu
menyoroti semacam bubuk putih yang bertaburan. "Sal jorok banget," komentarku.
"Kamu yakin Louis tidak berada di mobil Ramirez?" tanya Morelli.
"Susah untuk dipastikan. Mobil itu pakai kaca film. Tapi berhubung hanya muat
dua kursi, maka setidaknya satu orang ditinggal di sini."
"Dan tak ada mobil lain lewat di jalan?"
"Tidak." "Bisa jadi dia pergi ke arah lain," gumam Morelli. "Dia takkan pergi jauh-jauh.
Seperempat mil dari sini jalan buntu."
Bulan menggantung rendah di langit, menebarkan bintik-bintik perak cahaya di
atas perairan. Kami kembali menengok ke arah truk pendingin. Mesin kulkasnya
berdengung pelan dalam kepekatan.
"Barangkali kita harus memeriksa truk lagi," usul Morelli.
Nadanya membuatku tak nyaman, dan aku tak berani melontarkan pertanyaan yang
melintasi benakku. Kami sudah memastikan Louis tidak berada dalam kabin truk.
Tempat yang tersisa apa"
Kami kembali ke truk, dan Morelli memeriksa panel pengatur termostat unit
pendingin di bagian luar.
"Berapa suhunya?" tanyaku.
"Dua puluh." "Kenapa dingin sekali?"
Morelli turun dan beranjak ke pintu belakang. "Menurutmu kenapa?"
"Seseorang mencoba membekukan sesuatu?"
"Itu juga dugaanku." Pintu belakang truk diamankan oleh sebuah palang kuat serta
gembok. Morelli menimbang gembok itu di telapak tangannya. "Untung cuma segini
doang," ujarnya. Ia berlari kecil ke van dan kembali membawa gergaji baja kecil.
Dengan gelisah aku memandang sekeliling pelataran. Aku kurang suka ketangkap
basah membobol sebuah truk daging. "Memangnya tak ada cara lainuntuk
membukanya?" Aku berbisik mengatasi gesekan gergaji. "Bisa nggak kamu congkel
saja lubang kuncinya?"
"Cara ini lebih cepat," tukas Morelli. "Pokoknya kamu lihat-lihat, siapa tahu
ada penjaga malam." Bilah gergaji itu membelah besi, dan gemboknya terbuka. Morelli menarik palang
dan menguak pintu penangkal panas yang berat itu. Interior truk gelap pekat.
Morelli memanjati undakan bemper, dan aku merangkak di belakangnya, sambil
mengobok-obok tas mencari senter. Hawa beku menerpaku dan membuat napasku
tersentak. Kami berdua menyapukan sinar pada dinding-dinding yang berlapis embun
beku. Kait-kait raksasa tanpa daging bergelantungan di langit-langit. Dekat
pintu, gentong lemak sisa yang tadi siang kulihat mereka gelindingkan keluar.
Gentong yang kosong di sebelahnya, tutupnya terkempit antara gentong itu dan
dinding truk. Aku meluncurkan sinar cahaya sampai ke bagian ujung truk dan mengarahkannya ke
lantai. Tatapanku mulai fokus, dan napasku tercekat hawa dingin begitu menyadari
apa yang kulihat. Louis tergolek menelantang, lengan merentang lebar bak sayap
elang, matanya melotot nanar dan tak berkedip, kaki mengangkang. Ingus telah
mengalir keluar hidungnya dan membeku di pipi. Senoda kencing lebar
berkristalisasi di bagian depan celana kerjanya. Di tengah keningnya tampak
titik gelap besar. Sal tergolek di sisinya dengan titik yang serupa dan ekspresi
terkesiap yang sama di wajah bekunya.
"Sialan," gerutu Morelli. "Aku sama sekali nggak beruntung."
Satu-satunya orang mati yang pernah kulihat sudah dibalsam dan didandani untuk
gereja. Rambut sudah dirapikan, pipi diberi perona, dan mata ditutup sehingga
seperti istirahat dalam tidur abadi. Bukan ditembak di jidat. Cairan empedu naik
ke tenggorokanku dan kukatupkan mulutku dengan tangan.
Morelli menarikku turun dari truk, berdiri di pelataran. "Jangan muntah di
dalam," ujarnya. "Kamu akan merusak TKP."
Aku menarik napas dalam-dalam beberapa kali dan menyuruh perutku tenang.
Morelli meletakkan tangannya di tengkukku. "Kamu baik-baik saja?"
Aku mengangguk-angguk cepat. "Aku baik-baik saja. Cuma agak kaget."
"Aku perlu ambil sesuatu di van. Kamu di sini saja. Jangan balik ke truk dan
jangan menyentuh apa pun."
Dia tak perlu khawatir aku bakal kembali ke truk itu. Kuda liar pun takkan
sanggup menggeretku kembali ke sana.
One For The Money Karya Janet Evanovich di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia kembali menenteng tuas dan dua pasang sarung-tangan karet, salah satu
diberikan padaku. Kami memasang sarung-tangan masing-masing, dan Morelli
memanjat undakan bemper. "Arahkan sentermu ke Louis," perintahnya, membungkuk di
atas mayat itu. "Kamu ngapain?"
"Aku mencari pistol yang lenyap itu."
Ia berdiri dan melempar serenceng kunci padaku. "Tak ada pistol, tapi ada kunci
di sakunya. Coba lihat apakah salah satunya bisa membuka pintu kabin."
Kubuka pintu penumpang dan mengaduk-aduk kantong-kantong map, laci dasbor, dan
di kolong kursi, tapi tak menemukan pistol. Saat kembali ke Morelli, ia tengah
mengerjai gentong itu dengan linggis.
"Tak ada pistol di depan."
Tutup gentong tersentak terbuka, dan Morelli mengarahkan senternya sambil
melihat isinya. "Ada apa?"
Suaranya tercekat ketika ia menjawab. "Ini Carmen." Aku dilanda gelombang mual
lagi. "Menurutmu Carmen selama ini membeku di kulkas toko Sal?" "Rupanya
begitu." "Kenapa Sal menyimpannya" Tidakkah dia takut seseorang akan menemukan mayat
itu?" Morelli mengangkat bahu. "Barangkali dia merasa aman. Jangan-jangan ini bukan
pertama kalinya dia berbuat seperti ini. Kalau pernah melakukan sesuatu dengan
cukup sering, kita jadi terlalu percaya diri."
"Maksudmu perempuan-perempuan lain yang hilang dari Stark Street ya."
"Yeah. Sal pasti menunggu waktu yang tepat untuk mengangkut Carmen dan
membuangnya ke laut."
"Aku tak mengerti kaitan Sal dengan ini." Morelli memalu kembali tutup gentong.
"Aku juga tidak, tapi aku cukup yakin Ramirez bisa dibujuk untuk menjelaskannya pada kita."
Ia mengelap tangannya di celana sehingga meninggalkan bercak-bercak putih.
"Itu putih-putih apa sih?" tanyaku. "Sal suka mainmain sama bedak bayi atau
pembersih atau apa?"
Morelli merunduk menatap kedua tangannya dan celana. "Aku tak menyadarinya."
"Ada bubuk putih di lantai kapal. Dan barusan ada yang menempel di tanganmu dari
gentong itu dan kamu mengelapnya di celanamu."
"Yesus," seru Morelli, mengamati tangannya. "Brengsek." Ia menguak tutup gentong
dan melarikan jarinya pada bagian dalam tepi. Ia menaruh jarinya di mulut untuk
mengecapnya. "Ini narkotik."
"Sal tidak tampak seperti pemakai kokain."
"Ini bukan kokain. Ini heroin."
"Kamu yakin?" "Aku sudah sering berurusan dengan barang ini."
Bisa kulihat ia tersenyum dalam kegelapan.
"Manis, kurasa kita baru saja menemukan sebuah kapal pengantar," ungkapnya.
"Selama ini kupikir perkaranya adalah melindungi Ramirez, tapi sekarang aku
kurang yakin. Kurasa ini perkara narkotik."
"Apa itu kapal pengantar?"
"Sebuah kapal kecil yang berlayar ke laut lepas, menghampiri kapal lebih besar
yang terlibat penyelundupan narkotik."
"Sebagian besar heroin di dunia berasal dari Afga-nistan, Pakistan, Birma.
Biasanya diangkut ke Afrika utara, lalu ke Amsterdam atau kota-kota Eropa lain.
Di masa lalu, metode favorit penyelundupan ke timurlaut
adalah dengan menelannya dan masuk melalui bandara Kennedy. Setahun ini, kita
dapat tips bahwa barang itu berlayar dalam jumlah besar di kapal-kapal yang
datang ke Port Newark. DEA dan Customs telah bekerja mati-matian tapi hasilnya
masih nihil." Ia mengangkat jarinya ke atas dan mencermatinya. "Kurasa inilah
sebabnya. Ketika kapal itu tiba di Newark, heroinnya sudah mendarat duluan."
"Lewat kapal pengantar," simpulku.
"Yeah. Kapal pengantar mengangkut narkotik itu dari kapal induk dan membawanya
ke marina kecil seperti ini, tempat tak ada inspektor bea."
"Dugaanku, mereka memasukkan barangnya ke dalam gentong-gentong itu setelah
berpindah-tangan, dan waktu terakhir kali, salah satu kantongnya robek."
"Sulit dipercaya seseorang begitu ceroboh meninggalkan bukti kejahatan."
Morelli mengerang. "Orang yang sering bekerja dengan narkotik lama-lama jadi
terbiasa. Kamu pasti nggak percaya apa yang mereka tinggalkan secara terbuka di
apartemen dan garasi. Di samping itu, kapal itu milik Sal, dan kemungkinan besar
Sal tidak ikut dalam perjalanan-perjalanan itu. Demikian, andai kapal itu
tertangkap, Sal bisa berkata ia meminjamnya pada temannya. Ia tidak tahu bahwa
kapalnya digunakan untuk aktivitas ilegal."
"Menurutmu inilah kenapa begitu banyak heroin beredar di Trenton?"
"Bisa jadi. Jika punya kapal angkut seperti ini kita bisa menyelundupkan
narkotik dalam jumlah besar dan memusnahkan para kurir, jadi untung besar dengan
risiko kecil. Harga jual di jalanan turun dan kemurnian barangnya meningkat."
"Dan para pecandu mulai berguguran." "Yeah."
"Menurutmu kenapa Ramirez menembak Sal dan Louis?"
"Mungkin Ramirez perlu membakar beberapa jembatan."
Morelli menyoroti sinarnya ke pojok-pojok belakang truk. Aku nyaris tak
melihatnya dalam kepekatan, tapi bisa kudengar derap kakinya selagi ia
berpindah-pindah. "Kamu sedang apa?" tanyaku.
"Aku cari pistol. Memangnya kamu belum sadar keberuntunganku sudah habis"
Saksiku tewas. Jika aku tidak menemukan senjata Ziggy yang hilang tepat pada
waktunya, sama saja aku mati."
"Masih ada Ramirez."
"Yang mungkin mau, atau menolak buka-mulut."
"Menurutku kamu berlebihan. Aku bisa bersaksi Ramirez berada di TKP dua
pembunuhan tipe-eksekusi, dan kita baru saja menyingkap operasi narkoba skala
besar." "Barangkali ini mengungkap karakter Ziggy, tapi tidak mengubah fakta bahwa aku
dilihat telah menembak seorang pria tak bersenjata."
"Kata Ranger kamu harus percaya pada sistem."
"Ranger buta soal sistem."
Aku tak mau Morelli dipenjara karena pembunuhan yang tidak dilakukannya, tapi
aku juga tak mau dia menghabiskan sisa hidupnya dalam pelarian. Sebenarnya dia
pria yang cukup baik, dan kendati benci mengakuinya, aku jadi sayang padanya.
Begitu perburuan-buron ini kelar, aku pasti kangen saat-saat saling menggoda dan
ditemani larut malam. Memang ada kalanya dia masih suka menyebalkan, namun kini
ada perasaan berpartner yang
mengatasi sebagian besar kemarahanku dulu. Aku sulit menerima ia akan dipenjara
dengan terungkapnya semua bukti-bukti baru ini. Barangkali ia akan kehilangan
pekerjaannya sebagai polisi. Bagiku ini tidak terlalu berat daripada harus
bersembunyi selama bertahun-tahun.
"Menurutku kita telepon polisi dan biar mereka yang menggeledah," bujukku. "Kamu
tak bisa sembunyi seumur hidup. Bagaimana dengan ibumu" Bagaimana dengan tagihan
teleponmu?" "Tagihan telepon" Ah, gila, Stephanie, kamu tidak bikin tagihanku meledak 'kan?"
"Kita punya kesepatakan. Kamu akan membiarkan aku membawamu jika kita menemukan
saksi yang hilang." "Aku belum memperhitungkan dia tewas."
"Aku bakal diusir dari apartemenku."
"Dengar, Stephanie, apartemenmu tidak sehebat itu. Lagi pula, ini omong-kosong.
Kita berdua tahu kamu takkan membawaku secara paksa. Satu-satunya cara kamu
dapat uang itu adalah jika kuizinkan. Jadi, kamu duduk manis saja."
"Aku tak suka sikapmu, Morelli."
Sorot cahaya berbalik, dan ia melesat ke pintu. "Aku nggak peduli apa yang kamu
pikir tentang sikapmu. Suasana hatiku sedang buruk. Saksiku tewas, dan aku belum
menemukan senjata sialan itu. Mungkin saja Ramirez akan meraung seperti babi,
dan aku dibebaskan dari tuduhan, tapi sebelum itu terjadi aku harus tetap
bersembunyi." "Brengsek banget kamu. Aku tak percaya ini demi kebaikanmu. Bagaimana jika
polisi melihatmu dan menembakmu" Lagi pula, aku punya tugas yang harus
dilaksanakan, dan aku akan melaksanakannya. Seharusnya aku tak
pernah bikin kesepakatan denganmu."
"Itu kesepakatan yang baik," ujarnya.
"Apakah kamu bakal mengiyakannya?"
"Tidak. Tapi aku bukan kamu. Aku punya kemampuan yang hanya bisa kamu impikan.
Dan aku jauh lebih kasar ketimbang yang mampu kaulakukan."
"Kamu meremehkanku. Aku amat sangat kasar."
Morelli meringis. "Kamu marshmalhw. Lembut dan manis serta saat sudah dipanaskan
kamu sungguh lengket dan sungguh lezat."
Aku tak mampu bersuara. Tak kupercaya beberapa detik sebelumnya, benakku
dipenuhi oleh pikiran-pikiran bersahabat dan protektif terhadap kunyuk ini.
"Aku belajar cepat, Morelli. Awal-awal aku melakukan beberapa kesalahan, toh aku
mampu meringkusmu sekarang."
"Yeah, tentu saja. Apa yang akan kamu lakukan, menembakku?"
Nadanya yang sarkastis bukannya membuatku ciut. "Itu bukan pilihan yang jelek,
tapi tak perlu sampai menembak. Yang perlu kulakukan hanyalah menutup pintu ini,
dasar kecoa sombong."
Dalam keremangan, kulihat matanya melebar begitu ia mengerti sepersekiandetik
sebelum kuayunkan pintu berat kedap hawa panas hingga menutup. Kudengar dentum
teredam ketika badannya dibenturkan ke bagian dalam pintu, tapi sudah terlambat.
Palang sudah terpasang. Kunaikkan suhu hingga 40 derajat. Kukira itu cukup dingin, menjaga agar mayatmayat itu tetap beku, tapi tak sampai mengubah Morelli jadi sebatang eskrim
selama trayek kembali ke Trenton. Aku memanjat masuk kabin dan menyalakan
mesin syukur ada kunci Louis tadi.?Dengan susah-payah aku meninggalkan pelataran dan memasuki jalan, mengarah ke
jalan bebas hambatan. Setengah jalan pulang, aku melewati telepon umum dan menghubungi Dorsey. Aku
memberitahunya bahwa aku membawa Morelli, tapi tidak merinci lebih lanjut. Aku
bilang akan tiba di parkiran belakang markasnya kira-kira 45 menit lagi, dan
alangkah baiknya jika dia bersedia menungguku di sana.
Aku berbelok ke jalur masuk di North Clinton tepat waktu dan lampu depan truk
menyoroti Dorsey bersama dua petugas berseragam. Aku mematikan mesin, menarik
dan mengembuskan napas dalam-dalam untuk menenangkan perutku yang bergejolak,
kemudian turun dari kabin.
"Mungkin kaubutuh petugas tambahan," saranku. "Morelli pasti mengamuk."
Alis Dorsey naik menyentuh garis rambutnya. "Kau mengurungnya di belakang truk?"
"Yeah. Dan dia tidak sendirian."
Salah satu petugas melepas palang, pintu terempas terbuka dan Morelli
melemparkan diri ke arahku. Ia merengkuh pinggangku, dan kami berdua jatuh ke
aspal, berguling-guling dan meronta-ronta serta saling memaki.
Dorsey dan kedua petugas merenggut Morelli dariku, namun dia masih menyumpahnyumpah dan tangannya bergerak-gerak. "Aku akan membalasmu!" hardiknya. "Nanti
aku keluar dari sini aku akan mengejarmu. Kau cewek sableng! Bahaya!"
Dua petugas patroli tambahan muncul, dan keempat petugas berseragam itu
menggeret Morelli lewat pintu belakang. Dorsey dan aku berjalan lambat-lambat di
belakang mereka. "Barangkali kau menunggu di luar sampai dia tenang," sarannya.
Kucongkel kerikil dari lututku. "Itu akan makan waktu lama."
Aku mengangsurkan kunci truk pada Dorsey dan menguraikan soal narkotik serta
Ramirez. Ketika pemaparanku selesai, Morelli sudah dibawa ke atas, dan zona itu
sudah bebas untukku mengambil resi dari letnan piket.
Sudah hampir pukul 12.00 saat aku tiba di apartemen, dan satu-satunya
penyesalanku malam ini adalah, blenderku ketinggalan di marina. Sungguh aku
butuh daiquiri. Aku mengunci pintu depan dan menggeletakkan tasku di konter
dapur. Perasaanku terhadap Morelli campur-aduk ... kurang yakin apakah aku telah
bertindak benar. Akhirnya, bukan uang hasil tangkapan itu yang mendorongku.
Tindakanku itu berdasarkan kombinasi rasa tersinggung yang memang pantas dan
keyakinanku sendiri bahwa Morelli seharusnya menyerahkan-diri.
Apartemenku gelap dan tenang, cuma diterangi lampu selasar. Bayang-bayang kelam
di ruang duduk, namun tidak menakutkan. Perburuan telah usai.
Sudah saatnya memikirkan masa depanku. Jadi pemburu buron jauh lebih rumit dari
yang kuperkirakan semula. Toh, tetap ada keuntungan-keuntungan besar, dan selama
dua minggu belakangan aku sudah banyak belajar.
Hawa gerah sudah berubah sejuk sejak petang tadi dan suhu sudah nyaman, turun
hingga 70 derajat. Tirai-tirai tertutup, semilir angin bermain dengan chirttzt.
Malam yang sempurna untuk tidur, batinku.
Kutendang lepas sepatuku dan duduk di tepi ranjang, tiba-tiba merasa sedikit
kurang nyaman. Aku tak tahu sumber masalahnya apa. Seperti ada yang salah.
6.Kain India bermotif bunga-bunga, dalam aneka warna
Aku memikirkan tasku yang jauh di bufet dapur sana, dan kegelisahanku meningkat.
Cuma paranoid, tegasku pada diriku. Aku sudah mengunci diri dalam apartemen, dan
andai ada orang coba masuk lewat jendela, yang sangat kuragukan, pastinya aku
bakal sempat mencegahnya. Toh, gelombang kecemasan semakin menguat.
Aku memandang jendela, pada tirai yang sedikit menggembung oleh angin, dan
kesadaran itu menyambarku bagai tikaman pisau. Waktu pergi tadi, aku
meninggalkan jendela dalam keadaan tertutup dan terkunci. Kini jendela itu
terbuka. Yesus, ternyata jendela itu terbuka. Kengerian merayapiku, napas
terkesiap. Ada orang dalam apartemenku ... atau barangkali sedang bersiaga di tangga darurat.
Kugigit bibir bawah menahan rintihan. Ya Tuhan, tolong agar orang itu bukan
Ramirez. Siapa saja kecuali Ramirez. Jantungku berdegup tak beraturan dan
perutku mual. Sepertinya cuma ada dua pilihan. Lari ke pintu depan atau menghambur turun lewat
tangga darurat. Itu juga kalau kakiku mampu berkutik. Kukira peluang Ramirez
sudah dalam apartemen lebih besar ketimbang menunggu di tangga darurat, jadi aku
menghampiri jendela. Sambil menarik napas tajam, aku menyibak tirai dan
mengamati selot. Disegel. Selingkar kaca telah disayat lepas dari bagian atas,
memungkinkan Orang Itu menyusupkan tangan dan menarik selot. Angin malam yang
sejuk bertiup pelan lewat lubang yang disayat rapi itu.
Pro fesional, batinku. Barangkali bukan Ramirez. Barangkali hanya perampok
biasa. Barangkali setelah melihat betapa miskinnya aku, dia jadi kapok dan
memutuskan untuk merampok tempat yang lebih menguntungkan, dan mengunci jendela
di belakangnya. Kupandangi tangga
darurat lewat celah itu. Kosong, dan aku merasa lega.
Hubungi polisi dan laporkan pendobrakan ini, perintahku pada diriku. Telepon di
samping ranjang. Kupijit tombol dan tidak terjadi apa-apa. Brengsek. Seseorang
telah mencabut koneksi dari dapur. Bisikan kecil di kepalaku menyuruhku minggat
dari apartemen. Lewat tangga darurat, desaknya. Buru.
Aku berputar kembali ke jendela dan meraba-raba selot. Terdengar suara bergerak
di belakangku, dan aku merasakan kehadiran si penyusup. Lewat pantulan jendela
kulihat dia berdiri di ambang pintu kamar, dibingkai oleh cahaya lemah dari
selasar. Ia memanggil namaku, dan kurasakan rambutku berdiri tegak seperti kucing
kesetrum di kartun-kartun.
"Tutup tirai itu," perintahnya, "dan berputarlah pelan-pelan, biar aku
memandangmu." Aku mematuhi kata-katanya, memicing dalam keremangan dan kebingungan, mengenali
suara itu namun tidak mengerti tujuan dia. "Apa yang kaulakukan di sini?"
lontarku. "Pertanyaan bagus." Ia menyalakan lampu. Itu Jimmy Alpha, dan ia mengacungkan
pistol. "Aku selalu bertanya-tanya tentang itu," desahnya. "Bagaimana aku bisa
sampai di sini" Aku pria baik-baik, tahu" Aku berusaha melakukan hal yang
benar." "Melakukan hal yang benar itu bagus," ujarku.
"Apa yang terjadi dengan seluruh perabotmu?"
"Aku mengalami masa-masa sulit."
Ia mengangguk-angguk. "Jadi kau tahulah, seperti apa rasanya." Ia meringis.
"Gara-gara itu kau mulai kerja buat Vinnie?"
"Yeah." "Vinnie dan aku, punya kemiripan. Kami melakukan apa yang perlu dilakukan untuk
bertahan di luar sana. Kuduga kau seperti itu juga."
Aku kurang senang disamakan dengan Vinnie, tapi aku segan berdebat dengan lakilaki dengan pistol di tangannya. "Kurasa iya."
"Kau menonton pertarungan-pertarungan tinju?"
"Tidak." Ia mendesah. "Seorang manajer sepertiku me-nantinantikan seumur hidup kedatangan
petinju kawakan. Rata-rata manajer meninggal tanpa pernah mendapatkan satu pun."
"Tapi kau sudah dapat orang itu. Ramirez."
"Aku mulai menangani Benito sejak dia masih bocah. Empat belas tahun. Aku
langsung tahu dia akan beda dari yang lain. Ada sesuatu pada dirinya. Energi.
Kuasa. Bakat."
One For The Money Karya Janet Evanovich di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketidakwarasan, batinku. Jangan lupa ketidakwar-asannya.
"Aku mengajarkan padanya semua yang kutahu tentang tinju. Mengerahkan seluruh
waktuku untuk dia. Memastikan dia makan yang benar. Membelikannya pakaian saat
dia tidak punya uang. Mengizinkannya nginap di kantor saat ibunya sering
menghajarnya." "Dan sekarang dia juara," cetusku.
Senyumnya getir. "Itu impianku. Seumur hidup aku telah bekerja demi ini."
Aku mulai memahami arah pembicaraan ini. "Dan sekarang dia tak terkendali,"
pancingku. Jimmy bersandar di ambang pintu. "Yeah. Dia tak terkendali. Dia sedang
menghancurkan semuanya ... semua saat-saat menyenangkan, semua uang itu. Aku tak
bisa berkata apa pun padanya lagi. Dia tidak mendengarkan."
"Apa yang akan kaulakukan soal ini?"
"Ahh," Alpha mengembuskan napas. "Inilah yang jadi pertanyaan besar. Dan jawaban
pertanyaan ini adalah diversifikasi. Aku bikin diversifikasi. Aku menghasilkan
segepok duit kotor, maafkan bahasaku, dan selamat."
"Kautahu maksudnya berdiversifikasi" Artinya dengan uang yang kuhasilkan lewat
Ramirez, aku berinvestasi dalam bisnis-bisnis lain. Sebuah resto ayam cepat
saji, sebuah Laundromat, bahkan mungkin sebuah toko daging. Mungkin aku bisa
beli toko daging yang sangat murah karena pemiliknya tak mampu membayar ketika
dia kalah dalam taruhan."
"Sal." "Yeah, Sal. Kau telah bikin Sal kesal sekali, hari ini. Waktu yang salah, caramu
masuk tepat ketika Louis berada di sana, tapi kurasa akhirnya akan ada jalan
keluarnya." "Aku tak sadar Sal mengenaliku."
"Say, kau tak susah dikenali. Kau tak punya alis."
"Sal khawatir aku menyadari siapa itu Louis."
"Yak. Jadi dia meneleponku, dan kataku kita se-mua ketemu saja di marina.
Lagipula, Louis memang mau ke sana. Besok datang kiriman, dan kupikir barangkali
aku harus menghabisi Louis, sebab dia betul-betul pengacau. Dia sama sekali tak
mampu mengerjakan apa pun dengan benar. Ia membiarkan dirinya dilihat orangorang di tempat Carmen, sehingga dia terpaksa menghabisi mereka. Yang dia dapat
cuma dua dari tiga. Dia gagal menemukan Morelli. Si goblok menemukan mobil
Morelli di parkiranmu dan bukannya berpikir barangkali bukan Morelli yang
memakainya, dan dia malah memanggang Morty Beyers.
Kemudian kau mengenali dia. Kupikir waktunya sudah tiba."
"Jadi aku meminjam mobil Benito, berangkat ke marina, dan dalam perjalanan aku
melihatmu di pom bensin, sehingga dapat ide cemerlang. Jimmy, kataku, inilah
jalan keluarmu." Aku sulit mengikutinya. Masih belum betul-betul memahami keterlibatan Jimmy.
"Keluar dari apa?" tanyaku.
"Keluar dari kekacauan brengsek ini. Dengar, kau perlu mengerti satu hal
tentangku. Aku sudah banyak berkorban demi bisnis tinju ini. Aku tak pernah
punya hubungan yang bisa berujung pada pernikahan apalagi berkeluarga. Seumur
hidup, aku tak punya apa-apa selain tinju. Waktu kita masih muda, kita nggak
peduli. Kita toh masih banyak waktu. Tapi, suatu hari aku terjaga, dan menyadari
sudah tak ada waktu lagi."
"Aku menggaet seorang petinju yang doyan menyiksa orang. Itu penyakit. Ada yang
korslet dalam kepalanya, dan aku tak bisa memperbaikinya. Aku tahu karier dia
takkan bertahan lama, jadi kusisihkan uang yang kami hasilkan, dan beli beberapa
properti. Selanjutnya, aku kenal laki-laki Jamaika ini yang berkata bahwa ia
tahu cara yang lebih baik menghasilkan uang. Obat-obatan terlarang. Aku mengurus
pembeliannya, dia mengurus distribusinya, dan aku mencuci uang itu lewat bisnisbisnis-ku serta Ramirez. Kami melakukannya selama beberapa waktu dan ini bekerja
sangat baik. Yang perlu kami lakukan hanyalah menjaga Ramirez agar tidak masuk
penjara supaya kami bisa memutihkan uang itu."
"Masalahnya, sekarang aku punya banyak uang, dan aku tak bisa keluar. Organisasi
itu mencengkeram kedua bijiku, kautahu maksudku?"
"Striker." "Yak. Kelompok besar orang-orang Jamaika sialan. Penjahat kemaruk, dan tak kenal
ampun." "Jadi aku sedang dalam perjalanan mau mengganyang Louis, lalu aku melihatmu
duduk di sana, dan aku menyusun rencana. Rencana itu adalah menghabisi Sal dan
Louis ala Striker. Kemudian, kutinggalkan H kualitas tinggi bertabur di kapal
dan di gentong sehingga polisi menyergap operasi mereka serta membekukannya.
Sekarang tak tersisa seorang pun yang akan bicara di belakang punggungku, dan
aku terlalu berisiko untuk digunakan Striker selama beberapa waktu. Dan kerennya
lagi, Sal dan Louis dihubungkan dengan Ramirez, berkat kau. Aku yakin saat kau
membuat pernyataanmu pada polisi, kau akan menceritakan bahwa Ramirez melewatimu
di pom bensin." "Aku masih belum paham kenapa kau di sini, mengokang pistolmu padaku."
"Aku tak mau ambil risiko Ramirez bicara pada polisi dan mungkin mereka sampai
pada kesimpulan bahwa dia betul-betul setolol tampangnya. Atau mungkin dia
berkata pada mereka bahwa aku meminjam mobilnya, dan mereka percaya padanya.
Jadi, aku tinggal membuatmu menembak dia. Jadi Benito habis, Sal habis, Louis
habis." "Bagaimana dengan Stephanie?"
"Dan Stephanie habis juga." Ia membawa basis telepon dalam celananya. Ia
menancapkannya di dinding kamarku dan menelepon. "Sobatku," sapanya waktu sudah
tersambung. "Ada cewek di sini yang butuh perhatianmu."
Sesuatu dikatakan di saluran seberang. "Stephanie Plum," sahut Jimmy. "Dia di
rumah, menunggumu. Dan Benito, pastikan tak ada yang melihatmu.
Barangkali sebaiknya kau masuk lewat tangga darurat."
Pembicaraan itu dituntaskan dan telepon dicabut.
"Inikah yang terjadi pada Carmen?" tanyaku.
"Kristus, Carmen itu pembunuhan eutanasia. Entah gi-mana caranya dia berhasil
pulang. Saat kami mengetahuinya, dia sudah menelepon Morelli."
"Sekarang apa?"
Ia bersandar ke dinding di belakangnya. "Sekarang kita menunggu."
"Aku membalikkan punggungku saat dia mengerjakan bagiannya, lalu aku menembaknya
dengan pistolmu. Saat polisi tiba, kalian berdua sudah berdarah hingga mati, dan
semua potongan jatuh pada tempatnya."
Dia serius banget. Ia akan menonton sementara Ramirez memerkosa dan menyiksaku,
dan kemudian ia akan memastikan aku berdarah-darah hingga mati.
Ruangan ini berputar di sekelilingku. Kakiku gemetaran, dan kudapati diriku
duduk di tepi ranjang. Kujatuhkan kepalaku di antara lutut dan menunggu kabut
itu enyah. Penglihatan akan tubuh babak-belur Lula berkelebat dalam benakku,
menambah teror yang kurasakan.
Pusingnya sirna, tapi jantungku berdebar cukup keras untuk menggetarkan sekujur
tubuhku. Ambil kesempatan, pikirku. Lakukan sesuatu! Jangan cuma duduk dan
menunggu Ramirez. "Kau baik-baik saja?" tanya Alpha padaku. "Kau tidak tampak beres."
Aku membiarkan kepalaku menunduk. "Aku mual." "Kau perlu ke kamar mandi?"
Kepalaku masih di antara kakiku. Aku menggeleng, tidak. "Kasih waktu semenit
buat ngatur napas." Tak jauh, Rex berlari dalam kandangnya. Aku tak kuasa memandang ke sana, tahu
bisa jadi ini terakhir kali aku melihatnya. Lucu juga, betapa seseorang bisa
menjadi begitu terikat pada mahkluk cilik seperti itu. Sebuah tonjolan terbentuk
dalam kerongkonganku, membayangkan Rex jadi yatim-piatu, dan pesan itu kembali
padaku. Lakukan sesuatu! Lakukan sesuatu,'
Kupanjatkan doa singkat, menggertakkan gigiku, dan menghambur ke Alpha,
mengejutkannya, mendobrak perutnya dengan kepalaku.
Alpha berseru wuuuff saat udara tersentak dari perutnya, dan pistolnya meletus
di atas kepalaku, memecahkan jendelaku. Andai pikiranku sedikit jernih, aku
bakal melanjutkan dengan tendangan mantap di selangkangan. Namun aku bertindak
dengan energi dadakan, dengan adrenalin memompa sekujur sistemku dengan
kecepatan tinggi. Aku dalam mode perang atau terbang, dan terbang sama saja
memilih kalah. aku berlari menjauhinya lewat pintu kamar yang terbuka ke ruang duduk. Sudah
nyaris mencapai selasar ketika kudengar letusan pistol lagi, dan tikaman panas
menyengat kaki kiriku. Aku melolong kesakitan dan terkejut, terhuyung-huyung
hilang keseimbangan menuju dapur. Kusambar tasku dari konter dengan dua tangan
mencari .38-ku. Alpha tiba di ambang pintu dapur. Ia membidik pistolnya padaku
dan diam dalam posisi itu. "Maaf," desahnya. "Tak ada jalan lain."
Kakiku serasa terbakar dan jantungku berdegup kencang dalam dadaku. Hidungku
meler dan airmata memburamkan pandanganku. Kedua tanganku sedang memegang Smith
and Wesson kecil, masih dalam tasku. Aku berkedip-kedip mengusir airmata dan
menembak. HUJAN M E RI NTI K-RI NTIK kecil di jendela ruang duduk, bersaing dengan suara
Rex berlari-lari di atas rodanya. Sudah lewat empat hari sejak aku tertembak.
Nyerinya telah mereda ke tingkat cukup menggangu namun masih tertahankan.
Memulihkan mental akan makan waktu lebih lama. Pada malam hari aku masih
ketakutan, masih berat jika berada sendirian dalam apartemenku. Setelah menembak
Jimmy Alpha, aku merangkak ke telepon dan menghubungi polisi sebelum pingsan.
Mereka tiba tepat ketika Ramirez sedang memanjat tangga daruratku. Kemudian,
mereka mengangkutnya ke penjara dan aku diangkut ke rumah sakit. Untungnya,
kondisiku tidak separah Alpha. Dia mati. Aku hidup.
Sepuluh ribu dolar dikucurkan ke rekening bankku. Aku belum membelanjakan
sepeser pun. Aku terhalang oleh tujuh belas jahitan di bokongku. Saat jahitannya
diangkat nanti, aku berencana melakukan sesuatu yang tak bertanggungjawab
seperti terbang ke Martinique untuk berakhir pekan. Atau, barangkali bikin tato
atau mengecat rambutku warna merah.
Aku melompat begitu mendengar seseorang mengetuk pintu. Hampir pukul 19.00 dan
aku tidak mengharapkan siapa-siapa. Dengan hati-hati aku berjalan ke
selasar dan mengintip lewat lubang intai. Napasku terkesiap melihat Joe Morelli,
dibalut jaket olahraga dan jins, dicukur bersih, rambut baru dipangkas. Ia
menatap lurus ke lubang intai. Senyum seadanya. Dia tahu aku sedang
mengamatinya, bertanya-tanya apakah bijak membukakan pintu untuknya. Ia
melambai, dan aku teringat pada suatu masa, dua pekan silam, ketika posisi kami
terbalik. Kuputar kedua selot berat namun rantainya tetap terpasang. Kukuak pintu. "Ya?"
"Lepaskan rantai itu," cetus Morelli. "Kenapa?"
"Sebab aku membawakan pizza untukmu, dan jika kumiringkan untuk diselipkan lewat
pintu, kejunya bisa tumpah."
"Apakah itu piza dari Pino?"
"Tentu saja piza dari Pino."
Kupindahkan tumpuanku untuk meringankan kaki kiri. "Kenapa kamu bawain aku
pizza?" "Entah. Pengen aja. Apakah kamu mau buka pintu atau gimana?"
"Aku belum memutuskan."
Perlahan seringai usilnya terpancing. "Kamu takut padaku?"
"Uh ... ya." Seringai itu tak beranjak. "Sudah sepatutnya. Kamu mengurungku dalam truk kulkas
bersama tiga mayat. Cepat atau lambat, aku akan membalas perbuatanmu."
"Tapi tidak malam ini 'kan?"
"Tidak," desahnya. "Tidak malam ini."
Aku menutup pintu, melepas rantai, dan membukakan pintu baginya.
Ia meletakkan dus putih pizza itu di bufet dapur bersama sekerat bir. "Tampaknya
kamu berjalan agak pincang. Bagaimana perasaanmu?"
"Oke-oke saja. Untungnya, peluru Alpha menyerempet lemak dan lebih banyak
mengoyak dinding selasar."
Senyumnya lenyap. "Bagaimana perasaanmu sesungguhnya?"
Aku tidak mengerti ada apa dengan Morelli, tapi dia tak pernah gagal meruntuhkan
pertahananku. Bahkan saat aku waspada, siaga, Morelli bisa membuatku kesal,
membuatku terangsang, membuatku mempertanyakan penilaianku sendiri, dan secara
garis besar, memprovokasi emosi-emosi yang kurang nyaman. Keprihatinan tampak di
sudut matanya, dan mulutnya yang tampak serius mengkhianati nada santai
pertanyaan itu. Aku menggigit bibir kuat-kuat, namun airmataku tetap merebak, mengaliri pipiku
tanpa suara. Morelli melingkariku dengan lengannya dan mendekapku erat-erat. Ia menempelkan
pipinya di puncak kepalaku dan mengecup rambutku.
Kami berdiri seperti itu cukup lama, dan andai bokongku tidak nyeri bisa jadi
aku ketiduran di sana, akhirnya merasa nyaman dan damai, terlindungi dalam
pelukan Morelli. "Jika aku mengajukan pertanyaan serius padamu," bisik Morelli di telingaku,
"apakah kamu mau menjawab dengan jujur?"
"Mungkin." "Kamu ingat waktu di garasi ayahku?" "Dengan amat sangat jelas." "Dan waktu kita
melakukannya di bakeri ..." "Uh huh."
"Kenapa kamu melakukannya" Apakah keahlian persuasiku begitu kuat?"
Kuhentak kepalaku mundur dan menatapnya. "Kuduga itu lebih dipengaruhi rasa
ingin-tahu dan sifat pembang-kangku." Tanpa menyebut hormon yang menggila.
"Jadi, kamu setuju kita sama-sama bertanggungjawab?"
"Tentu saja." Seringai itu kembali ke bibirnya. "Dan andai aku bercinta denganmu di dapur ini
... seberapa besar rasa bersalah yang rela kamu tanggung?"
"Yesus, Morelli, ada tujuh belas jahitan di pantaku!"
Ia mendesah. "Menurutmu kita bisa jadi teman, setelah tahun-tahun yang sudah
berlalu?" Ini dilontarkan oleh orang yang melempar kunciku ke dalam Dumpster. "Kurasa itu
mungkin. Kita tidak perlu menandatangani pakta yang disahkan dengan darah 'kan?"
"Tidak, tapi kita bisa bersendawa dengan bir."
"Itu lebih gayaku."
"Bagus. Sekarang kita sudah sepakat. Ada pertandingan yang ingin kutonton, dan
TV-ku masih di ruang dudukmu."
"Pria selalu punya maksud tersembunyi," ujarku, membawa pizza ke ruang duduk.
Morelli menyusul sambil menenteng bir. "Bagaimana kamu mengatur posisi dudukmu?"
"Aku punya ban karet. Kalau kamu berani mengolokku, kusemprot pakai gas."
Ia melucuti jaket dan sarung pistolnya dari bahu, menggantung semuanya di kenop
pintu kamar, menyalakan TV, dan mencari salurannya. "Aku punya beberapa berita
untukmu," ungkapnya. "Mau mendengarnya?"
"Setengah jam lalu mungkin aku bilang tidak, tapi berhubung sekarang ada pizza
ini, aku siap mendengar apa pun."
"Itu bukan pengaruh piza, Sayang. Tapi pengaruh kehadiran sosokku yang sangat
maskulin." Kunaikkan sebelah alis.
Morelli tak mengacuhkan alis itu. "Pertama-tama, pemeriksa medis berkata bahwa
kamu layak dianugerahi penghargaan Robin Hood untuk penembak jitu. Kamu
menancapkan lima peluru tepat di jantung Alpha, dengan jarak tak lebih dari
seinci di antara masing-masing. Sungguh menakjubkan, apalagi kamu
memberondongkan tembakan itu dari dalam tasmu."
Kami berdua menenggak bir, lantaran tak satu pun dari kami yakin bagaimana
perasaan kami terhadap kenyataan bahwa aku telah menewaskan seorang lelaki.
Tidak pantas merasa bangga. Sedih juga kurang tepat. Yang pasti ada penyesalan.
"Menurutmu, mungkin tidak, aku menyelesaikannya dengan cara lain?" tanyaku.
"Tidak," tegas Morelli. "Dia pasti membunuhmu jika bukan kamu yang membunuhnya
duluan." Ini benar. Jimmy Alpha pasti berniat membunuhku. Tak ada setitik ragu pun dalam
benakku. Morelli mencondongkan tubuh untuk menyaksikan lemparan. Howard Barker meleset.
"Sial," umpat Morelli. Perhatiannya kembali padaku. "Sekarang, berita baiknya.
Aku sempat memasang perekam di petak penyimpanan barang di sudut terjauh
parkiranmu. Untuk membantuku di kala aku sedang tak berada di tempat. Aku
tinggal mengeceknya di penghujung hari sehingga bisa tahu jika aku kelewatan
sesuatu yang penting. Alat itu masih
bekerja waktu Jimmy mendatangimu. Seluruh pembicaraan kalian terekam, termasuk
penembakan dan semuanya, sejernih lonceng." "Hebat!"
"Saking lihainya diriku, kadang-kadang aku terkesan sendiri," canda Morelli.
"Cukup lihai untuk tidak dijebloskan ke penjara."
Ia memilih sepotong pizza, menumpahkan paprika hijau dan irisan bawang, dan
dengan jarinya mengumpulkannya kembali di atas pizza. "Aku bersih dari segala
tuduhan dan dikembalikan ke departemen kepolisan, dibayar retroaktif. Pistol itu
berada dalam gentong bersama Carmen. Selama ini pistol itu dibekukan, sehingga
sidik jari di atasnya masih jelas, dan petugas forensik menemukan bercak-bercak
darah. Hasil pemeriksaan DNA-nya belum keluar, namun tes pendahuluan di lab
menyatakan itu darah Ziggy, membuktikan bahwa dia bersenjata saat aku
menembaknya. Rupanya, pistol itu ngadat ketika Ziggy coba menembakku, sesuai
dugaanku. Waktu Ziggy mencium lantai, pistol itu lepas dari tangannya, dan Louis
One For The Money Karya Janet Evanovich di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengambilnya serta membawanya pergi. Kemudian, Louis memutuskan untuk
membuangnya." Aku menarik napas dalam-dalam dan melontarkan pertanyaan yang paling menyita
pikiranku selama tiga hari ini. "Bagaimana dengan Ramirez?"
"Ramirez ditahan tanpa keringanan evaluasi psikiatris. Sekarang Alpha sudah
meninggalkan panggung, sejumlah perempuan datang bersaksi melawan Ramirez."
Perasaan lega ini nyaris menyakitkan.
"Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Morelli. "Kamu masih berniat kerja untuk
Vinnie?" "Aku belum yakin." Kugigit piza. "Kemungkinan besar,"
ujarku. "Kemungkinan besar sih begitu."
"Sekadar untuk menjernihkan suasana," ungkap Morelli. "Aku menyesal telah
menulis puisi tentangmu di tembok stadion, waktu kita SMU dulu."
Jantungku bagai tersendat. "Di tembok stadion?"
Senyap. Pipi Morelli memerah. "Kukira kamu tahu." "Aku tahunya yang di Mario's Sub
Shop!" "Oh."
"Jadi maksudnya kamu menulis puisi tentangku di tembok stadion" Puisi yang
memerinci apa yang terjadi di belakang rak kue suss?"
"Apakah perasaanmu akan lebih ringan jika kubilang puisi itu memujimu?"
Aku ingin menamparnya, tapi ia keburu berdiri dan beranjak sebelum aku dapat
keluar dari ban karetku. "Itu 'kan bertahun-tahun silam," kilahnya, menari-nari menjauhiku. "Brengsek,
Stephanie, cewek dendaman sangat tidak menarik."
"Kamu kotoran, Morelli. Kotoran."
"Mungkin saja," cetus Morelli, "tapi setidaknya aku punya ... pizza yang lezat."
Tentang Pengarang Penulis buku laris Janet Evanovich adalah penerima penghargaan Silver Dagger
Award, Last Laugh Award, dan Left Coast Crime's Lefty Award. Dia juga dua kali
mendapat hadiah Independent Mystery Booksellers Association's Dilly Award. Dia
tinggal di New Hampshire dan Florida. Situs pribadinya adalah www.evanovich.com.
Darah Menggenang Di Candi 2 Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bocah Kembaran Setan 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama