Ceritasilat Novel Online

One Money 3

One For The Money Karya Janet Evanovich Bagian 3


urusan pribadi." "Bukan urusan pribadi" Kamu meneror ibuku, nyoiong mobilku, dan bilang ke orangorang bahwa aku menghamilimu! Menurutku, bikin perempuan bunting jelas urusan
pribadi! Yesus, belum cukupkah aku dituntut atas pembunuhan" Kamu ini apa sih,
penguber buron utusan iblis?" "Sarafmu sedang tertekan."
"Ini lebih gawat dari tertekan. Aku ngalah. Semua orang harus mengemban salibnya
masing-masing ... kamu salibku. Aku menyerah. Ambil mobilnya. Aku udah nggak
peduli. Yang kuminta cuma jangan sampai ada gambar-gambar di pintunya, dan kamu
rajin ganti oli kalau pijar merah itu berkedip." Ia melirik interior mobil.
"Kamu tidak pakai telepon, 'kan?"
"Tidak. Tentu saja tidak."
"Pulsa telepon 'kan mahal."
"Jangan khawatir."
"Brengsek," rutuknya. "Hidupku brengsek."
"Barangkali ini hanya fase sementara."
Parasnya melunak. "Aku suka pakaianmu." Ia mencantolkan jarinya di leher kausku
yang longgar dan mengintip bra elastis hitam di baliknya. "Seksi sekali."
Perutku membara. Kuyakinkan diri ini pertanda marah, tapi aku curiga yang lebih
mendekati kenyataan adalah senewen karena terangsang. Tangannya kutepak. "Jangan
kurang ajar." "Buset, aku sudah menghamilimu, ingat" Sedikit keintiman takkan mengganggumu."
Ia beranjak mendekat. "Aku juga suka lipstikmu. Merah ceri. Sangat menggoda."
Ia menguak bibirnya dan menciumku. Aku sadar seharusnya kuhajar anunya dengan
lututku, tapi ciumannya sungguh nikmat. Joe Morelli masih tahu cara mencium.
Mulanya perlahan dan lembut, selanjutnya panas dan mendalam. Ia menarik diri dan
tersenyum, dan ternyata aku pun berseri-seri.
"Kena deh," ledeknya.
"Napasmu bau naga."
Lengannya terulur melewatiku dan ia mencabut kunci dari starter. "Dilarang
membuntutiku." "Itu jauh dari pikiranku."
"Yeah, bagaimanapun, biar kuperlambat lajumu sedikit."
Ia berderap mendekati Dumpster toko dan melempar kuncinya ke dalam. "Selamat
berburu," tukasnya, melangkah ke van. "Jangan lupa bersihkan sepatumu sebelum
naik mobilku." "Tunggu dulu," hardikku. "Aku punya banyak pertanyaan. Aku mau tahu soal
pembunuhan itu. Aku mau tahu soal Carmen Sanchez. Dan benarkah ada kontrak untuk
menghabisimu?" Ia memanjat ke dalam van dan melesat keluar pelataran.
Dumpster itu berukuran ekstrabesar. Tinggi lima kaki, lebar lima kaki, panjang
lima kaki. Aku jinjit dan mengintip lewat tepi. Seperempatnya terisi dan baunya
mirip bangkai anjing. Kunci mobil tidak kelihatan.
Perempuan yang lebih cengeng pasti sudah nangis meraung-raung. Perempuan yang
lebih cerdik sudah pasti punya kunci serep. Kugeret sebuah peti kayu mendekati
Dumpster dan bertengger di atasnya untuk melihat kian jelas. Sebagian besar
sampahnya terbungkus kantong. Beberapa kantong itu robek, memuntahkan sisa
makanan, irisan-irisan selada kentang, ampas kopi, minyak sisa, cairan tak
dikenal, dan bonggol-bonggol sayur yang sudah layu membusuk.
Terbayang olehku, mereka yang tewas akibat terlindas di jalan. Debu kembali debu
... mayones kembali terurai menjadi aneka komponen. Entah itu kucing atau
kol, seonggok bangkai bukanlah pemandangan yang atraktif.
Kuingat-ingat semua orang yang kukenal, tapi sepertinya tak ada yang cukup
tolol, rela memanjat masuk ke dalam sebuah Dumpster demi diriku. Oke, batinku,
sekarang atau tidak sama sekali. Kuangkat sebelah kaki dan sejenak diam
menggelantung, menghimpun keberanian. Perlahan aku mendaratkan tubuh, bibir
atasku mengkerut. Jika tercium selintas saja bau tikus, aku keluar dari sini.
Kaleng-kaleng bergulingan di bawah pijakku, menguak sesuatu yang lengket dan
lembek di bawahnya. Kakiku mulai tergelincir sehingga aku pegangan ke tepi
Dumpster dan tanpa sengaja sikuku terbentur. Aku menyumpah dan mengerjap-ngerjap
menahan airmata. Ada bungkus plastik bekas roti yang relatif bersih dan kugunakan sebagai sarung
tangan untuk mengobok-obok dengan hati-hati onggokan sampah. Gerak-gerikku
perlahan sekali, takut setengah mati seandainya aku tersungkur dan mukaku
mendarat duluan di tengah-tengah sayur kol dan otak kambing. Banyaknya makanan
yang dimubazirkan ini sungguh memprihatinkan, hampir sama memuak-kannya dengan
bau busuk menyengat yang membakar rongga hidung hingga menempel di langit-langit
mulutku. Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, aku menemukan serenceng
kunci itu terbenam dalam cairan kuning kecokelatan. Aku tak melihat Pampers
dekat-dekat sini, jadi kuharap itu mostar. Kucelupkan tanganku ke dalam entah
apa itu dan nyaris muntah.
Aku menahan napas, melempar kunci ke aspal lewat tepi bak, dan tanpa buang-buang
waktu lagi akumenyu-sul. Aku menyeka kunci-kunci itu sebisanya dengan bungkus
roti tadi. Sebagian besar substansi kuningnya
hilang, sehingga kunci itu cukup layak dipakai untuk menyetir dalam keadaan
darurat. Kulepas sepatuku dengan menginjak tumitnya, dan melucuti kaus kakiku
dengan dua jari, persis cewek-cewek jijian. Aku memeriksa bagian lain tubuhku.
Selain bercak saus Thousang Island di bagian depan kausku, rupanya aku masih
mulus tak bercacat. Surat-surat kabar untuk daur-ulang menumpuk di samping Dumpster. Kulapisi kursi
pengemudi dengan halaman olahraga, siapa tahu di bokongku tersisa substansisubstansi aneh. Kurentangkan koran menutupi keset lantai di sisi penumpang dan
dengan hati-hati meletakkan sepatu dan kaus kakiku di tengahnya.
Kulirik lembaran koran yang tersisa, dan sebuah judul berita melompat ke mataku.
"Pria Lokal Tewas Ditembak dari dalam Mobil yang Melaju." Di bawah judul itu
terpampang foto John Kuzack. Aku ketemu dia hari Rabu; sekarang Jumat. Ini koran
kemarin. Kubaca ulasannya tanpa ingat untuk bernapas. Kuzack ditembak mati Rabu,
larut malam, di depan gedung apartemennya. Selanjutnya, ulasan itu memaparkan
bagaimana Kuzack pernah menjadi pahlawan perang Vietnam, dianugerahi Purple
Heart, dan bahwa ia adalah tetangga yang periang dan sangat disukai. Sampai tiba
saat naik cetak, polisi belum menemukan tersangka maupun motif.
Kubersandar pada Cherokee, berusaha mencerna kematian John Kuzack. Betapa besar
dan hidup dirinya ketika kami berbincang. Dan kini dia tewas. Pertama Edleman,
tabrak-lari, dan sekarang Kuzack. Dari tiga orang yang melihat sekaligus dapat
mengingat sang saksi hilang, dua telah tewas. Terpikir olehku Ny. Santiago dan
anak-anaknya, kemudian bergidik.
Aku melipat koran itu baik-baik dan kuselipkan ke dalam ceruk peta. Begitu
sampai rumah nanti, aku harus segera menghubungi Gazarra untuk meyakinkan diri
akan keselamatan Ny. Santiago.
Aku tak mampu mencium apakah aku bau, tapi sebagai pencegahan aku mengemudi
dengan jendela-jendela terbuka lebar.
Aku parkir di Laudromat dan masuk menjemput pakaianku dengan telanjang kaki.
Hanya ada satu orang di ruangan itu, wanita tua di meja lipat dekat dinding
ujung. "Ya ampun," serunya dengan tampang heran. "Bau apa ini?"
Pipiku memanas. "Mungkin dari luar sana," balasku. "Mungkin baunya ikut masuk
waktu aku buka pintu." "Busuk sekali!"
Aku mengendus tapi tak tercium apa pun. Hidungku telah padam sebagai tindak
defensif. Aku melirik kausku. "Apakah baunya seperti bumbu Thousand Island?"
Ia menutupi mukanya dengan sarung bantal. "Kurasa aku mau muntah."
Kujejali cucian ke dalam keranjangku dan keluar. Setengah jalan pulang, aku
singgah di lampu merah dan menyadari mataku basah. Di ambang airmata nih,
batinku. Untungnya, tak ada siapa-siapa saat aku menjejak parkiran dan melangkah
memasuki gedungku. Serambi dan lift sama-sama kosong. Sejauh ini semua baik-baik
saja. Pintu lift menganga di lantai dua dan di sini juga tak ada siapa-siapa.
Aku menghela napas lega, menggeret cucian sampai ke pintu, menyelinap ke dalam
apartemen, melucuti pakaianku dan menjejali semua ke dalam kantong sampah hitam
besar yang segera kuikat.
Aku melompat ke bawah pancuran dan sabunan serta menggosok diri dan sampoan
hingga tiga kali. Aku mengenakan baju bersih dan untuk mengujinya, aku
mendatangi Tn. Wolesky di seberang koridor.
Ia membuka pintu dan seketika menutupi hidung dengan tangannya. "Wuh," erangnya.
"Bau apa sih?" "Aku juga pengen tahu," balasku. "Rupanya mengambang di koridor."
"Baunya kayak bangkai anjing."
Aku mendesah. "Yeah. Kesan pertamaku juga begitu."
Aku balik ke apartemenku. Aku perlu mencuci ulang semuanya, tapi aku sudah
kehabisan koin. Aku terpaksa pulang ke rumah dan mencuci di sana. Kulirik
arloji. Hampir pukul enam. Aku menghubungi Ibu dari telepon mobil dan
mengabarinya bahwa aku pasti ke sana buat makan malam.
Aku parkir di depan rumah, dan bagai sihir Ibu langsung nongol, dituntun oleh
naluri keibuan misterius yang selalu tahu begitu putrinya menjejakkan kakinya di
trotoar. "Mobil baru," komentarnya. "Bagus sekali. Dapat dari mana?"
Aku merengkuh keranjang cucian dengan sebelah lengan dan plastik sampah dengan
satunya. "Pinjam punya teman."
"Siapa?" "Ibu belum kenal dia. Teman sekolah dulu."
"Yah, kamu beruntung punya teman seperti itu. Ada baiknya kamu masak sesuatu
untuk dia. Kue, misalnya."
Aku bergegas melewatinya, menuju tangga ruang bawah tanah. "Aku bawa cucian.
Kuharap Ibu tidak keberatan."
"Tentu saja aku tidak keberatan. Ini bau apa sih" Kamu ya" Baumu seperti kaleng
sampah." "Aku tak sengaja menjatuhkan kunciku ke dalam
Dumpster, dan harus manjat ke dalam untuk mengambilnya."
"Aku tidak mengerti kenapa hal-hal kayak gini bisa menimpamu. Ini tak pernah
terjadi pada orang lain. Siapa lagi yang pernah menjatuhkan kuncinya dalam
Dumpster" Tidak ada, itu jawabannya. Hanya kamu yang melakukannya."
Oma Mazur muncul dari dapur. "Aku mencium bau muntah."
"Itu Stephanie," timpal Ibu. "Dia baru masuk Dumpster."
"Apa yang dia kerjakan dalam Dumpster" Apa mencari mayat" Kulihat di TV, mafia
meledakkan otak seseorang dan meninggalkannya dalam Dumpster biar dilahap
tikus." "Stephanie mencari kuncinya," bela Ibu di depan Oma Mazur. "Itu kecelakaan."
"Yah, betapa mengecewakan," ujar Oma Mazur. "Aku berharap hal-hal yang lebih
baik dari dia." Begitu kami selesai bersantap, aku menelepon Eddie Gazarra, memasukkan tumpukan
cucian kedua dalam mesin, serta membilas sepatu dan kunciku dengan selang air.
Kusemprot bagian dalam jip dengan Lysol dan membuka jendela lebar-lebar. Alarm
takkan berfungsi karena jendela menganga, tapi kurasa risiko mobil ini dirampas
di depan rumah orangtuaku tidak terlalu besar. Aku mandi dan berpakain dengan
baju bersih langsung dari pengering.
Aku ketakutan gara-gara kematian John Kuzack dan tak ingin berjalan masuk ke
dalam apartemen yang gelap, jadi kucari alasan untuk bisa cepat pulang. Aku baru
saja mengunci pintu di belakangku ketika telepon berdering. Suara si penelepon
teredam sehingga aku perlu menajamkan telinga, menjereng ke corong telepon
seakan-akan itu bakal membantu. Ngeri bukanlah emosi yang logis. Tak seorang pun bisa menyakiti secara fisik via
telepon, toh aku tetap terperanjat begitu menyadari Ramirezlah yang menelepon.
Aku langsung memutus sambungan, dan ketika telepon berdering lagi kuhentak kabel
lepas dari stop kontak. Aku butuh mesin penjawab untuk menyaring panggilan
masuk, tapi aku belum mampu membelinya sampai berhasil melakukan penyergapan.
Besok pagi aku mulai menguber Lonnie Dodd.
Aku terjaga gara-gara suara hujan menabuh tangga darurat. Hebat. Memang ini yang
kubutuhkan untuk membuat hidupku makin rumit. Aku merangkak turun dari ranjang
dan menyibak gorden, tidak bersemangat harus menghadapi hari yang becek.
Parkiran terendam, memantulkan pendar dari sumber-sumber cahaya misterius. Sisa
dunia kelabu keperakan, awan mengambang berat dan tanpa celah, warna gedunggedung memudar di balik hujan.
Aku mandi dan mengenakan jins dan kaus, membiarkan rambutku kering sendiri.
Percuma menata rambut jika basah-kuyup begitu melangkah keluar gedung. Sarapan,
gosok gigi, kemudian kuoleskan segaris tebal hijau giok untuk mencerahkan mata.
Berhubung hujan, aku memakai sepatu Dumpsterku. Aku menatap ke bawah dan
mengendus. Barangkali tercium bau samar daging asap, tapi kalau dipikir-pikir
tidak terlalu buruk kok. Aku menginventaris isi tas, memastikan semua atributku lengkap borgol, pentung,?senter, pistol, peluru ekstra (kurang berguna sebab aku sudah lupa cara mengisi
pistol toh, kita tak pernah tahu kapan kita membutuhkan sesuatu yang berat
?untuk ditimpukkan ke buron yang coba-coba lari). Kujejali berkas Dodd bersama payung lipat dan
sebungkus biskuit selai kacang sebagai cemilan darurat. Aku menyambar jaket
Gore-Tex hitam ungu yang sangat keren, yang kubeli ketika masih masuk golongan
pekerja mapan, dan menuju parkiran.
Di hari seperti ini, enaknya baca komik di bawah tenda selimut sambil nyemil
bagian tengah Oreo. Di hari seperti ini, tidak enak jika harus memburu pelarian.
Sialnya, aku butuh uang dan tak punya kemewahan memilih hari khusus pelarian.
Alamat Lonnie Dodd's di 2115 Barnes. Aku mengeluarkan peta dan menilik
koordinat. Hamilton Township kira-kira tiga kali luas Trenton dan menyerupai pai
yang pinggirannya telah digerigiti. Barnes membelakangi jalur Conrail tepat di
utara Yardville, salah satu dari ketiga perbatasan county.
Aku melewati Chambers menuju Broad dan memotong ke Apollo. Barnes bermuara di
Apollo. Langit sudah agak cerah, sehingga memungkinkanku memantau nomor-nomor
rumah sambil mengemudi. Semakin mendekati 2115, aku semakin tertekan. Nilai
properti-properti yang kulewati menurun dengan kecepatan mengerikan. Tadinya,
lingkungan pekerja kerah biru yang terhormat dengan bungalo-bungalo keluarga
tunggal yang berdiri di halaman-halaman berukuran sedang menjadi perumahan tak
terawat milik kelas berpenghasilan rendah sampai kelas yang tidak berpenghasilan
sama sekali. Dua-satu-satu-lima terletak di ujung jalan. Rumputnya lebat dan merebah. Sebuah
sepeda butut dan mesin cuci dengan penutup atas menganga menghiasi pekarangan
depan. Rumah itu sendiri berupa cinder biok kecil peternakan yang dibangun di
atas lempeng. Lebih mirip
tempat umum ketimbang rumah tinggal. Sesuatu mengingatkan pada ayam atau anak
babi. Sehelai seprai direntangkan asal-asalan menutupi j endela bagian depan
rumah. Barangkali untuk menjaga privasi para penghuni saat mereka menyeka dahi
dengan kaleng bir Bull's Eye dan membuat kekacauan di dalam.
Kuberkata pada diriku, sekarang atau tidak sama sekali. Hujan merintik dan
mengalir di kaca depan mobil. Kuoleskan lipstik lagi untuk memompa semangatku.
Tidak terlalu ampuh, jadi kutebalkan lagi garis-garis biru di sekitar mata dan
menambah mascara serta perona pipi. Aku becermin di kaca spion. Wonder Woman,
minggir jauh-jauh! Yeah, yang benar saja. Kuamati foto Dodd untuk terakhir kali,
supaya tidak menciduk laki-laki yang salah. Kujatuhkan rencengan kunci ke dalam
tas, memakai tudungku, dan turun dari mobil. Kuketuk pintu dan diam-diam
berharap tak ada orang di rumah. Hujan ini dan lingkungan ini serta rumah muram
kecil ini membuatku ketakutan. Jika ketukan kedua masih tidak dijawab, batinku,
kuanggap Tuhan tidak menghendaki aku menjerat Dodd, dan aku akan cabut dari
sini. Tak ada jawaban setelah aku mengetuk untuk kedua kali, tapi aku mendengar toilet
disiram, jadi tahu ada orang di dalam. Sialan. Kuhantam pintu kuat-kuat dengan
tinjuku. "Buka dong," jeritku sekencangnya. "Anterin pizza nih."
Cowok kurus berambut gelap sebahu membuka pintu. Lebih tinggi beberapa jengkal
dariku. Ia telanjang kaki dan telanjang dada, dibalut jins belel melorot yang
risteltingnya hanya separuh dinaikkan. Di latar belakang kulihat ruang duduk
penuh sampah. Hawa yang tercium bau pipis kucing.
"Aku tidak pesan pizza," cetusnya. "Apakah kau Lonnie Dodd?"
"Yeah. Apa hubungannya dengan pesanan pizza?" "Cuma sebuah taktik supaya kaubuka
pintu." "Sebuah apa?"
"Aku kerja buat Vincent Plum, agen jaminanmu. Kau tidak datang pada tanggal
sidang, dan Tn. Plum ingin kau menjadwal-ulang."
"Persetan. Aku takkan menjadwal-ulang apa pun."
Hujan mengaliri jaketku, merembesi jins dan sepatuku. "Cuma beberapa menit kok.
Dengan senang hati aku akan mengantarmu."
"Plum tidak menyediakan jasa limo. Plum hanya mempekerjakan dua jenis orang ...
cewek dengan toket gede dan mancung, serta pemburu buron brengsek. Tidak
bermaksud menghina, dan memang sulit melihat dibalik jas hujan itu, tapi
sepertinya toketmu tidak gede dan mancung. Jadi, kau pasti pemburu buron
brengsek." Tanpa aba-aba ia mengulurkan tangan ke bawah jas hujan, merenggut tas dari
bahuku, dan menumpahkan isinya ke karpet gelap di belakangnya. Pistolku berdebam


One For The Money Karya Janet Evanovich di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendarat. "Kau bisa dapat masalah besar gara-gara bawa senjata gelap di negara bagian
ini," ejeknya. Aku menyipitkan mata. "Apakah kau akan beker-jasama?"
"Menurutmu?" "Menurutku, jika kau pintar, kau akan mengenakan baju dan sepatu, serta ikut
denganku." "Kayaknya aku nggak sepintar itu."
"Baik. Kalau begitu kembalikan barang-barangku, dan aku akan pergi dengan senang
hati." Belum pernah aku
berkata sejujur ini. "Aku takkan mengembalikan apa pun. Barang-ba rang ini sekarang jadi barangbarangku." Aku menimbang-nimbang untuk menendang bijinya, ketika ia mendorongku di dada,
menjatuhkanku dari undakan semen kecil. Bokongku mendarat keras di lumpur.
"Pergi jauh-jauh," semburnya, "atau kutembak pakai pistol brengsekmu sendiri."
Pintu terbanting dan dikunci. Aku berdiri dan mengelap tangan di jaketku. Tak
bisa dipercaya, aku cuma berdiri bengong sementara dia merebut tasku. Ada yang
kupikirkan" Yang kupikirkan Clarence Simpson, dan bukannya Lonnie Dodd. Lonnie Dodd bukan
pemabuk gembrot. Seharusnya aku mendekatinya dengan postur yang lebih defensif.
Seharusnya aku berdiri lebih jauh dari dia, di luar jangkauan. Dan seharusnya
aku menggenggam spray pelindungku, bukan meninggalkannya di dalam tas.
Masih banyak yang perlu kupelajari sebagai pemburu buron. Keahlianku kurang,
tapi masalah yang lebih besar adalah, perangaiku juga kurang. Ranger sudah
berusaha memberitahuku, tapi masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Jangan
pernah tidak waspada, kata Ranger. Kalau melangkah di jalanan, kau harus
mengamati segalanya, setiap detik. Kalau melamun kau bisa mati. Saat mengejar
TYTM, kau harus bersiap menghadapi yang terburuk.
Waktu itu rasanya terlalu didramatisisai. Ditinjau sekarang ini, rupanya itu
nasihat yang bagus. Dengan langkah berat aku kembali ke jip dan berdiri di sana, menggerundel,
menyerapahi diri dan Dodd dan E. E. Martin. Kutambahkan beberapa makian tentang
Ramirez dan Morelli lalu capek sendiri.
"Sekarang apa?" jeritku pada hujan. "Sekarang apa yang akan kaulakukan, cewek
genius?" Yak, tentu saja aku takkan pergi tanpa Lonnie Dodd diborgol di kursi belakangku.
Tampaknya, aku butuh bantuan, dan ada dua pilihan. Polisi atau Ranger. Jika
menelepon polisi, aku akan dapat masalah gara-gara pistol itu. Jadi, terpaksa
Ranger. Aku menutup mata. Sungguh aku tak ingin memanggil Ranger. Aku ingin menanganinya
sendiri. Aku ingin menunjukkan pada semua orang, aku mampu.
"Pride goeth before the fail," cetusku. Aku tak yakin apa artinya, tapi rasanya
tepat. Aku menarik napas dalam-dalam dan serak, melepas jas hujan yang berlumpur dan
basah-kuyup, duduk di balik kemudi, dan menelepon Ranger.
"Yo," sapanya. "Aku punya masalah."
"Apakah kau telanjang?"
"Tidak, aku tidak telanjang."
"Sayang sekali."
"Aku sudah memojokkan seorang TYTM di rumahnya, tapi aku kurang beruntung saat
mau menangkapnya." "Bisa lebih spesifik soal kekurangberuntunganmu?"
"Ia merebut tasku dan menendangku keluar dari rumahnya."
Jeda. "Dan kuduga, kau tidak berhasil mempertahankan pistolmu."
"Dugaanmu benar. Tapi sisi positifnya adalah, pistol itu tidak diisi."
"Ada amunisi dalam tasmu?"
"Barangkali beberapa butir di sana-sini."
"Sekarang kau di mana?"
"Di depan rumahnya, dalam j i p."
"Dan kaumau aku datang ke sana dan membujuk TYTM itu agar bersikap manis?"
"Yeah." "Kau beruntung, aku senang Henry Higgins. Mana alamatnya?"
Kuberikan alamatnya, memutuskan hubungan, dan merasa muak pada diriku. Aku baru
saja mempersenjatai TYTM-ku, dan sekarang aku mengirim Ranger membereskan
kekacauan itu. Aku harus secepatnya belajar lebih cerdik. Aku harus belajar cara
mengisi pistol sial itu, dan aku harus belajar cara menembak.
Barangkali aku takkan pernah berani menembak Joe Morelli, tapi aku cukup yakin
aku sanggup menembak Lonnie Dodd.
Aku melirik jam dasbor, menunggu Ranger, cemas karena ingin menyelesaikan urusan
yang belum tuntas ini. Sepuluh menit berlalu sebelum Mecedes hitamnya nongol di
ujung jalan, meluncur di balik hujan, licin dan muram, air tidak menempel di
permukaan cat. Kami sama-sama turun dari mobil. Ia mengenakan topi bisbol hitam, jins hitam
ketat, dan kaus hitam. Ia memasang sabuk dan sarung pistolnya yang dari nilon
hitam, pistol itu ditahan pada pahanya dengan Velcro hitam. Pada pandangan
pertama, ia mirip polisi SWAT. Ia mengenakan rompi Kevlar. "Siapa nama TYMT
itu?" "Lonnie Dodd." "Punya fotonya?"
Aku bergegas ke jip, menarik keluar foto Dodd dan menyerahkannya pada Ranger.
"Apa pelanggarannya?" Ranger ingin tahu. "Pencurian mobil, kejahatan pertama."
"Dia sendiri?" "Sejauh yang kutahu. Aku tidak bisa menjaminnya."
"Rumah ini punya pintu belakang?"
"Entah." "Mari cari tahu."
Kami langsung menuju ke belakang, memotong lewat rerumputan yang tinggi, mata
terus mengawasi pintu depan, mengamati apakah ada yang bergerak di balik
jendela. Aku tak pusing-pusing pakai jaket. Di saat-saat seperti ini, rasanya
kerepotan yang tak perlu. Prioritasku adalah meringkus Dodd. Badanku basah
hingga ke tulang-tulang, dan mengetahui aku takkan bisa lebih basah dari ini
sungguh melegakan. Pekarangan belakang mirip yang depan: rumput tinggi, ayunan
karatan, dua kaleng sampah kepenuhan, tutupnya yang penyok terhampar di tanah.
Sebuah pintu belakang menghadap pekarangan itu.
Ranger menarikku mendekat ke bangunan, di luar penglihatan dari jendela. "Kau
tetap di sini dan awasi pintu belakang. Aku ke depan. Aku tak mau kau jadi
pahlawan. Jika seseorang lari ke lintasan kereta itu, kau jangan dekat-dekat.
Paham?" Air merembes dari ujung hidungku. "Maaf melibatkan-mu dalam urusan ini."
"Ini sebagian salahku juga. Aku tidak menganggapmu serius dulu. Kalau kau benarbenar terjun dalam kerjaan ini, kaubutuh seseorang untuk menolongmu saat
penangkapan. Dan, kita perlu menghabiskan waktu bicara soal teknik-teknik
penangkapan." "Aku butuh partner."
"Yak, kamu butuh partner."
Ia beranjak, mengitari rumah, langkah-langkahnya teredam suara hujan. Kumenahan
napas, menajamkan telinga, mendengarnya mengetuk pintu, menyebutkan identitas.
Pasti ada sahutan dari dalam, tapi tak terdengar olehku. Yang terjadi berikutnya
adalah suara-suara tidak jelas dan aksi-aksi beruntun cepat sekali. Peringatan
dari Ranger bahwa dia akan masuk, pintu terempas terbuka, banyak teriak-teriak.
Satu tembakan. Pintu belakang terempas terbuka dan Lonnie Dodd menghambur keluar, bukan menuju
rel kereta, tapi rumah sebelah. Ia masih hanya dibalut jins. Ia berlari membabibuta di bawah hujan, jelas panik. Aku setengah tersembunyi di balik sebuah
gudang, dan ia melewatiku tanpa melirik sama sekali. Bisa kulihat kilau perak
sebuah pistol terselip di ban celananya. Siapa yang menyangka" Di atas semua
penghinaan tadi, sekarang bedebah itu membawa kabur pistolku. Empat ratus dollar
melayang begitu saja, dan pas saat aku sudah memutuskan untuk belajar
menggunakan benda sialan itu.
Aku takkan membiarkan itu terjadi. Aku berteriak pada Ranger dan mengejar Dodd.
Dodd tidak terlalu jauh di depanku, dan aku bersepatu sementara dia tidak. Ia
tergelincir di rumput licin oleh hujan, menginjak hanya Tuhan yang tahu apa. Ia
menjatuhkan diri di atas sebelah lutut, dan aku menerjang punggungnya dengan
badanku, hingga kami berdua jatuh ke tanah. Ia mendarat sambil memekik "huh!",
berkat 57 kg bo-bot wanita ngamuk mendarat di atas tubuhnya. Yah, oke, mungkin
58 kg, tapi tidak lebih, sumpah.
Ia terengah-engah, dan aku merampas pistolnya, bukan disebabkan insting
defensif, tapi rasa posesif. Itu 'kan pistolku, sialan. Aku melompat berdiri dan
mengacungkan .38 ke arah Dodd, memegangnya dengan kedua
tangan untuk meredakan getaran. Tak terpikir olehku untuk memeriksa peluru.
"Jangan bergerak!" jeritku. "Jangan bergerak sama sekali atau kutembak."
Ranger muncul dalam jarak pandangku. Ia meletakkan lututnya di ceruk punggung
Dodd, memasang borgol, dan menariknya berdiri.
"Bedebah ini menembakku," gerutu Ranger. "Kau percaya ini" Pencuri mobil culun
menembakku." Ia mendorong Dodd di depannya dan menuntunnya ke arah jalan. "Aku
memakai rompi Kevlar sialan. Kaupikir dia menembakku di rompi" Tidak sama
sekali. Tembakannya begitu payah, dia ketakutan banget, jadi menembakku di
kaki." Aku menatap kaki Ranger dan nyaris terejembab.
"Lari duluan dan telepon polisi," perintah Ranger. "Dan, telepon Al di bengkel
untuk mengambil mobilku."
"Yakin kau baik-baik saja?"
"Luka ringan, say. Tak perlu cemas."
Aku menelepon, mengambil tas dan barang-barangku dari rumah Dodd, lalu menunggu
bersama Ranger. Kami mengikat Dodd seperti kalkun natal, muka menghadap lumpur.
Ranger dan aku duduk di trotoar di bawah hujan. Rupanya ia tidak khawatir dengan
luka serius seperti itu. Katanya ia pernah mengalami yang lebih parah, tapi bisa
kulihat nyeri membuatnya sedikit membungkuk dan meringis.
Aku melingkari lengan ke tubuhku sendiri dan mengatupkan gigi supaya tidak
gemeretakan. Dari luar, bibir atasku tegang, berusaha tampak tenang seperti
Ranger, berusaha tampak tegar dan suportif. Di dalam, aku gemetar begitu hebat
sampai jantungku seakan menggiggil di dalam dadaku.
Polisi tiba pertama, baru paramedis, kemudian Al. Kami memberikan keterangan
pendahuluan, Ranger diangkut ke rumah sakit, dan aku mengekor mobil patroli ke
markas. Sudah hampir pukul 5 saat aku sampai di kantor Vinnie. Kuminta Connie menuliskan
dua cek terpisah. Untukku, $50. Sisanya untuk Ranger. Aku tak ingin menerima
uang itu sama sekali, tapi aku betul-betul perlu menyaring telepon-telepon yang
masuk, dan inilah satu-satunya cara buatku beli mesin penjawab.
Sungguh aku pengen pulang, mandi, ganti pakaian yang bersih dan kering, serta
makan yang benar. Aku tahu sekalinya sampai rumah, pasti malas keluar lagi, jadi
aku muter dulu ke Kuntz Appliances sebelum kembali ke apartemen.
Bernie tengah memasang label harga pada kardus penuh jam alarm dengan sebuah
alat perekat kecil. Ia mendongak saat aku memasuki pintu.
"Aku butuh mesin penjawab," ujarku. "Dibawah $50." Blus dan jinsku sudah relatif
kering, tapi sepatuku merem -beskan air seiring dengan setiap langkahku. Di mana
pun kuberdiri, terbentuklah genangan mirip amuba sekelilingku.
Dengan sopan, Bernie pura-pura tak menyadarinya. Ia beralih ke mode salesman dan
menunjukkan padaku dua model mesin penjawab, keduanya sesuai standar
hargaku. Aku bertanya mesin mana yang ia rekomendasikan untukku dan aku menuruti
anjurannya. "MasterCard?" tanya Bernie.
"Aku baru dapat cek $50 dari Vinnie. Bisa kualihkan padamu?"
"Tentu," balasnya. "Boleh saja."
Dari tempatku berdiri, aku bisa memandang lewat jendela depan, ke Sal's Meat
Market di seberang jalan. Pemandangannya tak seberapa sebuah jendela etalase ?bias dengan nama tercetak dalam huruf hitam dan emas, serta pintu kaca tunggal
dengan tanda BUKA merah-putih dirantai pada kop karet mungil di tengah.
Kubayangkan Bernie menghabiskan berjam-jam melamun ke luar jendela, menatap
hampa pada pintu Sal's. "Kau pernah bilang Ziggy Kulesza belanja di Sal's?" "Yeah. Tentu saja, di Sal's
kau bisa belanja macam-macam."
"Begitulah yang kudengar. Barang macam apa yang sekiramu dibelanja Ziggy?"
"Sulit mengatakannya, tapi aku belum pernah lihat dia keluar dari sana sambil
nenteng kantong berisi iga babi."
Aku melindungi mesin penjawab itu di bawah blusku dan terbirit-birit ke mobil.
Kulontarkan pandangan bertanya-tanya ke arah Sal's untuk kali terakhir, lalu
beranjak pergi. Dibawah hujan, lalu-lintas melambat, serta kudapati diriku terhipnotis oleh
irama dan decit penyeka kaca serta titik-titik pijar merah rem mobil depan. Aku
mengemudi secara autopilot, kilas-balik kejadian hari ini melintasi benakku, dan
aku mencemaskan Ranger. Di TV sering kita menyaksikan seseorang ditembak.
Melihat kekejaman secara langsung rasanya jauh berbeda. Ranger terus
berkata lukanya tidak parah, tapi bagiku itu sudah termasuk parah. Aku punya
pistol, dan aku bakal belajar bagaimana menggunakannya dengan benar. Toh aku
kehilangan antusiasme semula, jika harus menanamkan timah ke dalam tubuh
seseorang. Aku berbelok memasuki pelataran dan menemukan petak kosong berdekatan dengan
gedungku. Aku mengaktifkan alarm, menyeret diri keluar mobil dan naik tangga.
Kutinggalkan sepatuku di selasar dan meletakkan mesin penjawab bersama tasku di
konter dapur. Kubuka sekaleng bir dan menelepon rumah sakit untuk menanyakan
Ranger. Aku diberi tahu ia sudah dirawat serta dipulangkan. Ini kabar baik.
Kujejali perutku dengan krakers Ritz dan selai kacang, menyiram semuanya dengan
bir kedua, dan tertatih-tatih ke kamar. Aku melucuti pakaianku yang lembab,
setengah berharap melihat diriku mulai lapuk. Aku belum memeriksa sekujur badan,
tapi tempat yang kelihatan rupanya masih bebas-jamur. Sungguh mengherankan.
Betapa beruntung. Aku melingsirkan gaun tidur model kaus lewat kepala, pakai
celana dalam bersih, dan tepar di ranjang.
Aku terjga dengan jantung dag-dig-dug tanpa tahu kenapa. Sudah mengumpulkan
nyawa, kusadari telepon berdering. Aku menjangkau gagang sambil meraba-raba dan
menatap tolol jam di mej a samping ranjang. Pukul 02.00. Pasti ada yang
meninggal, batinku. Oma Mazur atau Bibi Sophie. Atau, jangan-jangan ayahku gagal
ginjal. Aku menyahut, napas tertahan, bersiap menghadapi yang terburuk. "Halo."
Hening di saluran seberang. Aku mendengar seseorang bernapas dengan susah-payah,
suara-suara perkelahian, kemudian rintihan. Suara wanita sayup-sayup.
"Jangan," mohonnya. "Oh Tuhan, jangan." Lolongan mengerikan merobek udara,
mengguncang telepon di telingaku. Aku berkeringat dingin saat menyadari apa yang
tengah kudengarkan. Aku membanting gagang dan menyalakan lampu di sisi ranjang.
Aku turun dari ranjang dengan kaki gemetar dan terhuyung-huyung ke dapur.
Kusambar mesin penjawab dan menyetelnya untuk bekerja pada dering pertama.
Rekamanku berkata agar meninggalkan pesan.
Cuma itu. Aku tidak menyebutkan nama. Aku ke kamar mandi, sikat gigi dan kembali
ke tempat tidur. Telepon berdering, dan mesin penjawab segera menyahut. Si penelepon separuh
berdendang, separuh berbisik padaku. "Stephanie," kicaunya. "Stephanie."
Secara naluriah kuangkat tanganku menutupi mulut. Inilah gerakan refleks untuk
menahan jeritan pada manusia, tapi jeritan telah direnggut dariku. Yang tersisa
hanya tarikan napas cepat. Setengah tercekat, setengah melenguh.
"Seharusnya teleponnya jangan ditutup, Jablai," ejeknya. "Kau kelewatan bagian
terbaik. Kau harus tahu apa yang sanggup dilakukan sang juara, dan pasti kau
takkan sabar menunggu giliranmu."
Aku lari ke dapur, tapi sebelum berhasil mencabut kabelnya, perempuan tadi
bicara. Ia terdengar masih muda. Kata-katanya sulit dipahami, berat oleh airmata
dan gemetar oleh upaya bicara. "E-enak seka-kali," gagapnya. Suaranya pecah. "Oh
Tuhan, tolong aku. Aku terluka. Aku terluka parah sekali."
Sambungan terputus, lantas aku segera menelepon polisi. Aku menjelaskan tentang
rekaman itu dan berkata bahwa Ramirezlah biangnya. Kuberikan alamat rumah
Ramirez pada mereka. Kuberikan nomor teleponku juga, kalau-kalau mereka ingin
melacak panggilannya. Aku menyudahi telepon dan ngider dalam apartemen, mengecek
pintu dan jendela-jendela masing-masing tiga kali, bersyukur selot tambahanku
sudah dipasang. Telepon berdering, mesin menjawab. Tak seorang pun menyapa, toh aku merasakan
getaran iblis dan kesintingan bergejolak dalam kesenyapan. Dia di ujung sana,
mendengarkan, menikmati kontak ini, berusaha menakut-nakutiku. Di kejauhan,
nyaris terlalu sayup untuk terdengar, seorang wanita terisak-isak. Aku mencabut
kabel telepon dari stopkontak hingga katup plastik kecilnya pecah, kemudian aku
muntah di wastafel. Puji Tuhan ada saringan kotoran.
Begitu fajar aku terjaga, lega karena malam sudah berlalu. Hujan telah berhenti.


One For The Money Karya Janet Evanovich di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Masih terlalu dini untuk para burung berkicau. Belum ada mobil melintasi St.
James. Seakan dunia tengah menahan napas, menunggu matahari menyeruak di
cakrawala. Telepon semalam terngiang kembali dalam benakku. Aku tak butuh rekamannya untuk
mengingat pesan itu. Stephanie yang baik dan peka ingin membuat pengaduan atas
tindak kekerasan tersebut. Stephanie si pemburu buron baru masih
mempertimbangkan kredibilitas dan respek. Mustahil aku lari ke polisi setiap
kali dapat ancaman lalu berharap mereka mengakui kesetaraanku. Mereka sudah
mencatat bahwa aku minta pertolongan bagi si wanita teraniaya di kasetku.
Setelah merenung sejenak, kuputuskan mendiamkan hal ini untuk sementara.
Agak Siangan nanti aku akan menelepon Jimmy Alpha.
Tadinya aku berniat meminta Ranger menemaniku ke tempat latihan menembak, tapi
lantaran dia masih memulihkan diri dari luka tembak, aku terpaksa membebaninya
pada Eddie Gazarra. Aku melirik jam lagi. Gazarra pasti sedang bekerja. Aku
menghubungi markas dan meninggalkan pesan agar ditelepon balik.
Aku mengenakan kaus dan celana pendek, lalu mengikat tali sepatu lariku. Lari
bukanlah kegiatan favoritku, toh sudah saatnya menganggap pekerjaanku serius,
dan salah satu tuntutannya adalah menjaga stamina.
"Ayo, kamu bisa," cetusku, biar semangat.
Aku berlari kecil sepanjang lorong, tangga, melewati pintu depan gedung.
Kuembuskan napas pasrah sebelum mengawali trayek berjarak 4,8 km itu, yang
dengan cermat sudah diupayakan agar menghindari tanjakan-tanja-kan dan bakeribakeri. Aku kepayahan melewati mil pertama, kemudian semakin memburuk. Aku bukanlah
orang yang berhasil menemukan iramanya. Bodiku tidak didisain untuk berlari.
Bodiku didisain untuk duduk dalam sebuah mobil mahal dan menyetir. Aku berpeluh
dan bernapas keras saat aku belok sudut dan melihat gedungku setengah blok
jauhnya. Begitu dekat dan masih begitu jauh. Aku melakukan sprint bagian
terakhir, sebisaku. Aku berhenti mendadak di pintu dan membungkuk hingga
pinggang, menunggu penglihatanku jernih, merasa begitu bugar sampai-sampai tak
kuasa menahan bobotku sendiri.
Mobil patroli Eddie Gazarra menepi. "Aku dapat pesanmu," ujarnya. "Yesus,
tampangmu parah banget."
"Aku habis lari."
"Mungkin kau harus periksa ke dokter." "Ini karena aku berkulit putih. Jadi
gampang memerah. Kau sudah dengar tentang Ranger?"
"Hanya setiap patah detail. Kau betul-betul topik
panas. Bahkan aku tahu kaupakai apa waktu datang bersama Dodd. Yang kutangkap,
kausmu sangat lepek. Maksudku, sangat lepek.
"Waktu kau baru mulai jadi polisi, apakah kau takut pada senjatamu?"
"Aku tumbuh bersama senjata. Waktu kecil aku punya senapan angin, dan aku sering
pergi berburu bersama ayahku dan Paman Walt. Kurasa bagiku senjata hanyalah alat
di antara sekian lainnya."
"Andai kuputuskan untuk terus kerja buat Vinnie, menurutmu perlu tidak aku bawa
pistol?" "Tergantung kasus yang kautangani. Jika kau hanya melacak mereka yang sekadar
tidak muncul ke pengadilan, tidak. Jika kau memburu kriminal edan, ya. Kau punya
pistol?" "Smith and Wesson .38. Ranger sempat memberiku instrukri pemakaian, selama 10
menit, tapi aku belum merasa yakin. Maukah kau mendampingiku sementara aku
latihan target?" "Kau menganggap serius kerjaan itu ya?"
"Tak ada cara lain."
Ia manggut-manggut. "Aku dengar tentang teleponmu semalam."
"Ada hasilnya?"
"Ada perintah mengirim orang ke sana, tapi saat mereka tiba Ramirez sendirian.
Katanya ia tidak meneleponmu. Tentang wanita itu mereka tak dapat petunjuk, tapi
kau bisa melapornya karena mengganggumu."
"Nanti kupikirkan."
Aku melambai padanya lalu naik tangga, ngosngosan dan megap-megap. Aku memasuki
apartemen, mencari kabel telepon pengganti, memasang kaset baru dalam
mesin penjawab telepon dan pergi mandi. Sekarang hari Minggu. Vinnie memberiku
waktu sepekan, dan pekan itu sudah berlalu. Aku tak peduli. Vinnie bisa saja
menyerahkan kasus ini pada orang lain, tapi ia tak bisa mencegahku terus
menguber Morelli. Andai orang lain menjerat dia sebelum aku, disitulah semuanya
akan berakhir, tapi hingga titik itu maka aku berniat tetap menanganinya.
Gazarra setuju menemuiku di lapangan tembak di belakang Sunny's Gun Shop selepas
dia kerja pukul 04.00. Jadi, ada waktu seharian untukku menyidik. Aku mulai dari
berkendara melewati rumah ibunda Morelli, rumah sepupunya, dan rumah-rumah
sejumlah relasinya. Kukitari halaman parkir apartemennya, dan ternyata Novaku
masih di tempat yang sama saat kutinggalkan. Aku berkelana hilir-mudik Stark
Street dan Polk. Aku tak melihat van atau apa pun hal lain yang dapat
mengindikasi kehadiran Morelli.
Aku melintas di depan gedung Carmen, dan menikung ke bagian belakang. Jalan
tikus yang memotong blok ini sempit dan kurang terpelihara, lubang disana-sini.
Tak ada parkiran penghuni di belakang sini. Pintu belakang tunggal membuka ke
jalan tikus ini. Di seberang, rumah-rumah kembar berdinding kerikil dan aspal
juga membelakangi jalan. Aku parkir sedekat mungkin dari gedung apartemen, meninggalkan hanya sedikit
ruang agar tak ada mobil lain mendempetiku. Aku keluar dan memandang ke atas,
berusaha mendeteksi apartemen Carmen di lantai dua, terkejut melihat dua jendela
dipalang dan hitam terbakar. Jendela-jendela itu milik apartemen keluarga
Santiago. Pintu belakang menuju jalanan dibiarkan terbuka lebar, dan bau tajam asap serta
kayu gosong mengambang di udara. Aku mendengar gesekan sapu dan menyadari bahwa seseorang sedang
bekerja di koridor sempit yang mengantar ke selasar depan.
Setiris air kotor mengalir lewat ambang pintu, dan seorang pria berkulit gelap
dan kumisan menatapku. Matanya beralih ke mobilku, dan dengan kepalanya ia
memberi isyarat ke arah jalan. "Dilarang parkir di situ."
Kusodorkan kartu namaku padanya. "Aku mencari Joe Morelli. Ia melanggar
kesepakatan pembebasan bersyarat."
"Terakhir kulihat dia, dia lagi menggeletak di lantai, pingsan."
"Kau menyaksikan saat ia dihantam?"
"Tidak. Aku baru sampai di atas waktu polisi datang. Apartemenku di basemen.
Jarang terdengar suara-suara."
Aku memandang ke atas, ke arah jendela yang pecah. "Apa yang terjadi?"
"Kebakaran di apartemen Santiago. Kejadiannya Jumat. Tapi kalau kita mau lebih
tepat, bisa dibilang kejadiannya Sabtu. Sekitar pukul 2 pagi. Puji Tuhan tak ada
orang di rumah. Ny. Santiago sedang ke tempat putrinya. Jaga anak-anak. Biasanya
mereka yang ke sini, tapi pada hari Jumat ia yang datang ke sana."
"Ada yang tahu pemantik kebakarannya apa?"
"Ada sejuta kemungkinan. Gedung ini tidak sepenuhnya aman. Kondisinya tidak
terlalu buruk dibandingkan gedung lain, tapi ini bukan bangunan baru, ngerti
'kan maksudku?" Aku melindungi mataku dengan tangan, memandang ke atas untuk terakhir kali dan
membayangkan seberapa sulit melempar molotov lewat jendela kamar Ny. Santiago.
Pasti tidak sulit, kusimpulkan. Dan, pukul 2 pagi, dalam apartemen sekecil itu,
api yang menyambar dalam sebuah
kamar tidur, akibatnya tentu saja petaka. Andai Santiago berada di rumah, ia
sudah pasti terpanggang. Tak ada balkon maupun tangga darurat. Seluruh apartemen
itu hanya memiliki satu jalan keluar yaitu pintu depan. Bagaimanapun, Carmen ?dan saksi yang hilang itu rupanya tidak minggat lewat pintu depan.
Aku berbalik untuk mengamati jendela-jendela gelap rumah-rumah kembar di
seberang jalan, dan kuputuskan tak ada salahnya mewawancarai para penghuni. Aku
kembali ke Cherokee dan berkendara mengitari blok, menemukan ceruk parkir satu
jalanjauhnya. Aku menggedor pintu-pintu dan mengajukan banyak pertanyaan dan
menunjukkan foto-foto. Tanggapan yang kuterima rata-rata sama. Tidak, mereka
tidak mengenali potret Morelli, dan tidak, mereka tak melihat apa pun yang
ganjil dari jendela belakang mereka pada malam pembunuhan maupun malam
kebakaran. Kucoba rumah yang tepat berseberangan dengan apartemen Carmen, disambut oleh
laki-laki tua dan bongkok dengan tongkat bisbol teracung. Tatapannya penuh
selidik, berhidung bengkok, dan dengan telinga seperti itu jelas dia takkan
berani keluar rumah tatkala angin kencang berembus.
"Latihan bisbol?" sindirku.
"Tak ada istilah terlalu hati-hati," tukasnya.
Kuperkenalkan diri dan bertanya apakah ia melihat Morelli.
"Enggak. Gak pernah lihat dia. Dan aku punya banyak kesibukan lain daripada
ngintip lewat jendela. Lagian, pas malam pembunuhan itu juga nggak mungkin lihat
apa-apa. Gelap gulita. Apa pula yang harus kulihat?"
"Di belakang sana 'kan ada lampu jalan," pancingku.
"Kuduga pasti cukup terang."
"Malam itu lampu-lampunya mati. Aku sudah bilang ke polisi yang datang. Lampulampu sialan itu selalu mati. Ditimpukin anak-anak. Aku tahu lampunya mati sebab
aku ngintip ke luar, pengen tahu kenapa ribut-ribut. Aku nggak bisa dengar TV
gara-gara semua mobil polisi dan truk yang berisik itu."
"Pertama ngintip keluar, gara-gara mesin truk pendingin itu ... sejenis truk yang
biasa dari toko makanan. Benda sialan itu berhenti pas di belakang rumahku. Asal
tahu ya, lingkungan ini udah kayak neraka. Orang makin seenaknya. Mereka selalu
markir truk dan mobil pengangkut sepanjang gang ini waktu melakukan kunjungan
pribadi. Seharusnya dilarang."
Aku asal manggut-manggut saja, bersyukur punya pistol sebab andaikata suatu saat
aku berubah jadi orang senyinyir dia, mending aku bunuh diri.
Ia mengartikan anggukanku sebagai dorongan dan terus merepet. "Lalu truk berikut
yang datang adalah wagon polisi yang kira-kira segede truk pendingin itu, dan
mereka juga membiarkan mesin dalam keadaan hidup. Rupanya orang-orang nggak
takut boros bensin."
"Jadi, kau sungguh tak melihat sesuatu yang mencurigakan?"
"Terlalu gelap, aku sudah bilang. King Kong bisa aja manjat tembok itu tanpa ada
yang lihat." Kuucapkan terima kasih atas bantuannya dan melangkah kembali ke jip. Sudah
hampir tengah hari, dan udara panas menggelegak. Aku pergi ke bar Cousin
Roonie's, memborong satu pak berisi enam kaleng bir dan melesat ke Stark Street.
Lula dan Jackie sedang "jualan" di sudut jalan, seperti biasa. Mereka
berkeringat dan sempoyongan di bawah terik, meneriakkan nama-nama hewan
kesayangan ditambah isyarat-isyarat visual yang mengundang pada para pelanggan
potensial. Aku parkir dekatmereka, meletakkan pak bir di atas kap mesin, dan
menyentak buka sekaleng. Lula membeliak ke arah birku. "Hei cewek, kau berusaha menarik kami menjauh dari
pojok ini?" Aku meringis. Aku lumayan suka pada mereka. "Kukira kalian mungkin haus."
"Bangkeee. Haus nggak nyampe setengah dari penderitaanku." Lula melenggang
datang, mencomot bir, dan meneguk banyak-banyak. "Entah kenapa aku buang-buang
waktu mejeng di luar sini. Siapa juga yang pengen ngewe saat cuaca kayak gini."
Jackie menyusul. "Seharusnya kau jangan minum," ia mengingatkan Lula. "Om-mu
bakal ngamuk." "Huuh," keluh Lula. "Kayak aku peduli aja. Germo bangsat. Bukan dia yang
sekarang lagi berdiri di bawah matahari, 'kan?"
"Jadi, ada gosip apa tentang Morelli?" tanyaku. "Ada perkembangan baru?"
"Belum lihat dia tuh," balas Lula. "Vannya juga enggak."
"Kalian dengar sesuatu soal Carmen?" "Seperti apa?"
"Seperti apakah dia ada di sekitar sini?"
Lula mengenakan haiter top dengan sebagian besar payudaranya menyembul keluar.
Ia menggelindingkan kaleng bir dingin itu ke dadanya. Kurasa itu usaha yang siasia. Ia memerlukan gentong untuk mendinginkan dada sebesar itu.
"Belum dengar apa-apa soal Carmen."
Sekelebat pikiran buruk menyambar benakku. "Carmen pernah menghabiskan waktu
bersama Ramirez?" "Cepat atau lambat semua orang menghabiskan waktu bareng Ramirez."
"Kau pernah bareng dia?"
"Aku sendiri tidak. Dia demennya main sama cewek-cewek ceking."
"Andai dia demen sama dirimu" Apakah kau akan pergi dengannya?"
"Say, tak ada yang berani menolak Ramirez."
"Dengar-dengar dia menganiaya perempuan."
"Banyak laki-laki menganiaya perempuan," kilah Jackie. "Kadang laki-laki suka
naik pitam." "Kadang mereka sakit," tangkisku. "Kadang mereka ketagihan. Yang kudengar
Ramirez ketagihan." Lula melirik ke arah gym, matanya terkunci pada jendela lantai 2. "Yah," akunya
pelan. "Dia ketagihan. Dia mengerikan. Temanku pernah bareng Ramirez, dan dia
disayat-sayat sampai parah."
"Disayat" Pakai pisau?"
"Bukan," balasnya. "Pakai botol bir. Leher botolnya dipecah dan dipakai buat ...
tahu 'kan, dimasukin."
Kepalaku serasa melayang, dan sejenak aku berdiri mematung. "Bagaimana kautahu
itu kerjaan Ramirez?"
"Orang pada tahu."
"Orang pada nggak tahu apa-apa," bantah Jackie. "Orang seharusnya jangan banyak
omong. Nanti ada yang mendengarmu, dan kau pasti mampus. Salahmu sendiri, sebab
kautahu lebih baik tutup mulut. Aku tak mau lama-lama di sini dan ikut-ikutan.
Hu-uh. Bukan aku. Aku mau kembali ke pojokku. Kalau kau tahu apa yang baik bagi
dirimu, kau akan ikut denganku."
"Kalau aku tahu apa yang baik bagi diriku, aku nggak bakalan berdiri di luar
sini sama sekali, tahu?" keluh Lula sambil beranjak.
"Hati-hati ya," sambarku di belakangnya.
"Perempuan sebesarku tak perlu hati-hati," celetuk Lula. "Aku tinggal menghajar
bokong mereka. Tak seorang pun boleh macam-macam sama Lula."
Aku mengangkut sisa bir ke mobil, menyelinap ke balik kemudi, dan mengunci
pintu. Kuhidupkan mesin dan kupasang AC pada daya embus maksimal, mengarahkan
angin itu agar menampar-nampar wajahku. "Ayo, Stephanie," kataku. "Tenangkan
dirimu." Namun aku tak bisa tenang. Jantungku berpacu kencang, dan
kerongkonganku begitu tercekat oleh duka terhadap seorang wanita yang bahkan
tidak kukenal, seorang wanita yang pasti telah menderita secara mengerikan. Aku
ingin kabur sejauh mungkin dari Stark Street dan tak pernah kembali. Aku tak mau
tahu tentang persoalan-persoalan ini, tidak mau teror ini merayap memasuki
kesadaranku pada momen-momen yang tidak terduga. Aku berpegang erat pada setir
dan menatap ke seberang jalan ke lantai dua gym. Aku gemetar oleh murka dan
horor, karena Ramirez belum dihukum, dan dia masih bebas-berkeliaran untuk
memutilasi dan meneror wanita-wanita lain.
Aku melompat turun dari mobil, membanting pintu tertutup, dan berjalan lempeng
ke gedung kantor Alpha, menaiki tangga, dua undakan sekaligus. Aku berderap
melewati sekretarisnya dan mengempaskan pintu ruangan Alpha dengan kekuatan yang
sanggup membuatnya remuk ke tembok.
Alpha terlonjak di kursinya.
Aku membungkuk, telapak tangan di meja, dan berbicara tepat di depan mukanya.
"Semalam aku ditelepon petinjumu. Dia sedang menganiaya seorang perempuan, dan
mencoba menakut-nakutiku dengan siksaannya. Aku tahu tentang semua tuntutan atas
pemerkosaan terhadap Ramirez sebelum ini, dan aku tahu tentang hobinya melakukan
mutilasi seksual. Entah bagaimana ia berhasil lolos dari jerat hukum sejauh ini,
tapi aku kemari untuk memberitahumu, keberuntungan dia sudah habis. Kau harus
menghentikan dia, jika tidak aku yang akan melaku-kanya. Aku akan ke polisi. Aku
akan ke pers. Aku akan ke komisi pertinjuan."
"Jangan lakukan itu. Biar kutangani. Aku bersumpah, aku akan menanganinya. Aku
akan membawanya ikut konseling."
"Hari ini!" "Yak, hari ini. Aku janji, aku akan mencarikan dia bantuan."
Selama sedetik aku tidak percaya, toh aku sudah memuntahkan unek-unekku, jadi
aku pergi dalam tornado kemurkaan yang sama dengan ketika aku masuk. Kupak-sakan
diri bernapas dalam-dalam sembarimenuruni tangga dan menyeberang jalan dengan
ketenangan yang sebenarnya tak kurasakan. Aku keluar dari parkiran dan dengan
sangat lambat, sangat hati-hati, melaju pergi.
Masih cukup pagi, namun aku sudah kehilangan energi untuk melakukan pelacakan.
Mobilku menuju pulang atas kehendaknya sendiri, dan tahu-tahu aku sudah di
pelataran parkir gedungku. Aku mengunci mobil, mendaki tangga ke apartemen,
mengempas tubuh ke ranjang dan mengambil posisi berpikir favoritku.
Aku terjaga pukul tiga dan merasa lebih ringan.
Sementara aku tidur, jelas benakku telah bekerja keras menyortir koleksi pikiran
depresif terbaru ini. Pikiran-pikiran itu masih menghantui, namun setidaknya
sudah tidak bergumul tepat di balik keningku.
Kusiapkan roti isi selai kacang dan jeli untuk diriku, membagikan sepotong pada


One For The Money Karya Janet Evanovich di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rex, dan menelan sisanya sembari mengakses pesan-pesan untuk Morelli.
Sebuah studio foto telah meneleponnya, menawarkan foto delapan kali sepuluh
gratis jika Morelli datang untuk satu sesi pemotretan. Seseorang ingin menjual
bohlam padanya, dan Carlene juga menelepon dengan ajakan gila, bernapas berat
beberapa kali, dan mencapai orgasme dahsyat atau semacamnya. Sialnya, ia juga
menghabiskan waktu rekam, jadi tak ada pesan lain. Baguslah. Aku tidak sanggup
mendengar le-bih banyak lagi.
Aku sedang beres-beres dapur ketika telepon berdering dan mesin menjawabnya.
"Kau mendengarkan, Stephanie" Kau di rumah" Aku lihat kau berbincang dengan Lula
dan Jackie hari ini. Kau minum bir bareng mereka. Aku tak suka, Stephanie. Bikin
aku merasa payah. Bikin aku merasa kau lebih suka mereka ketimbang aku. Bikin
aku marah karena kau tak menginginkan apa yang ingin diberikan sang juara
padamu." "Mungkin aku akan memberikan hadiah untukmu, Stephanie. Mungkin aku akan
mengantarnya ke depan pintumu saat kau tidur. Kau senang tidak" Semua wanita
senang hadiah. Khususnya jenis hadiah persembahan sang juara. Kau bakal
terkejut, Stephanie. Spesial untukmu."
Dengan janji itu terngiang-ngiang di telingaku, aku memastikan pistol dan
peluru-peluruku berada di dalam
tas, dan berangkat ke Sunny's. Aku tiba di sana pukul empat dan menunggu di
pelataran sampai Eddie muncul pukul 04.15.
Ia telah menanggalkan seragam, dan ,38-nya dijepit di pinggang.
"Mana pistolmu?" tanyanya. Aku menepuk tasku.
"Itu dianggap membawa senjata dengan sembunyi-sembunyi.
Di New Jersey itu pelanggaran serius. "Aku punya
izin." "Coba kulihat."
Aku menarik izin tersebut dari dompetku. "Ini adalah izin kepemilikan, bukan
membawa-bawa," terang Eddie.
"Kata Ranger ini multiguna."
"Ranger akan datang mengunjungimu saat kau mengerjakan plat mobil?"
"Kadang kupikir ia mengendurkan batasan hukum sedikit. Apakah kau akan
menahanku?" "Tidak, tapi kau harus bayar mahal untuk ini."
"Selusin donat?"
"Selusin donat harga buat menebus tilang parkir. Kalau ini harganya sekrat bir
dan satu pizza." Untuk sampai ke lapangan tembak perlu masuk lewat toko senjata. Eddie membayar
karcis dan membeli sekotak peluru. Aku menirunya. Lapangan ini tepat di belakang
toko senjata, terdiri atas ruangan seukuran arena boling kecil. Tujuh bilik
berdiri terpisah, masing-masing dengan rak setinggi dada. Area di luar bilikbilik disebut down-range. Target standar berupa sosok manusia tanpa gender
dipotong tepat di lutut, dengan lingkaran-lingkaran
bidik meradiasi keluar dari jantung, tergantung pada kerek. Etiket Ranger,
jangan pernah mengacungkan pistol pada orang yang berdiri di sebelahmu.
"Oke," ujar Gazarra, "mari mulai dari awal. Kaupunya Smith and Wesson .38
Special. Revolver lima tembakan, yang berarti masuk kategori senjata ringan.
Yang kau pakai adalah peluru hydroshock yang sanggup menyebabkan penderitaan dan
siksaan maksimal. Dorong tombol kecil ini dengan jempolmu, silinder lepas, dan
kau tinggal mengisi pistolmu. Sebutir peluru disebut amunisi. Isi setiap ceruk
dengan sebutir amunisi dan tutup kembali silindernya. Jangan pernah biarkan
jarimu diam di atas pelatuk. Saat kita kaget, refleks alaminya adalah
mencengkeram, dan bisa-bisa kau berakhir dengan kaki bolong. Rentangkan jari
pelatukmu lurus pada laras sampai kau siap menembak. Hari ini kita belajar
posisi paling dasar. Lebarkan kaki selebar bahumu, berat badan bertumpu pada
setengah bagian bawah kakimu, pegang pistol dengan kedua tangan, jempol kiri di
atas jempol kanan, lengan lurus. Lihat target, angkat pistol setinggi
pandanganmu. Bagian depan itu post, bagian belakang itu notch. Jejerkan keduanya
pada titik yang menjadi targetmu dan tembak."
"Revolver ini beraksi-ganda. Kau bisa menembak dengan menarik pelatuk atau
dengan mendorong picu dan kemudian menarik pelatuknya." Ia memeragakan sembari
bicara, melakukan semua penjelasan itu kecuali menembakkan pistolnya. Ia melepas
silinder, menumpahkan peluru di atas rak, menidurkan pistol itu di atas rak, dan
melangkah mundur. "Ada pertanyaan?"
"Tidak ada. Belum."
Ia menyodorkan sepasang penutup telinga. "Silakan."
Tembakan pertamaku aksi tunggal, dan aku mengenai sasaran. Aku menembak beberapa
lagi aksitunggal, lantas beralih ke aksi-ganda. Ini lebih sulit dikontrol, tapi
aku melakukannya dengan cukup bagus.
Lewat setengah jam, aku sudah menghabiskan seluruh amunisiku, dan aku menembak
dengan kurang baik berhubung ototku kebas. Biasanya kalau ke gym, aku
menghabiskan sebagian besar waktu melatih otot perut dan kaki, sebab kesanalah
larinya lemakku. Jika mau jago dalam menembak, aku harus menguatkan bagian atas
tubuhku. Eddie mengerek targetku masuk. "Tembakan keren,
Tex." "Aku lebih pandai buat aksi tunggal." "Karena kau cewek."
"Jangan bilang hal-hal kayak gitu kalau aku lagi me-gang senjata."
Sebelum pergi aku beli sekotak pelor. Aku memasukkan semuanya ke dalam tas
bersama pistolku. Aku mengemudi mobil curian. Pada titik ini, mencemaskan
kenyataan aku membawa-bawa senjata secara ilegal rasanya percuma.
"Jadi, apakah aku dapat pizzaku sekarang?" Eddie ingin tahu
"Bagaimana dengan Shirley?"
"Shirley pergi ke pembaptisan seorang bayi." "Anak-anak?"
"Di mertua." "Bagaimana dengan dietmu?" "Kau berusaha mengelak dari pizza ini?" "Perbedaan
aku dengan wanita gembel di stasiun kereta cuma sejumlah $12 dan 33 sen."
"Oke, aku saja yang traktir pizza."
"Bagus. Aku perlu bicara. Aku punya banyak masalah."
Sepuluh menit kemudian, kami bertemu di Pino's Pizzeria. Ada beberapa restoran
Italia di Burg, namun Pino'slah tempatnya makan pizza. Aku pernah dikasitahu,
pada malam hari kecoa-kecoa sebesar kucing kampung keluar menjelajahi dapur, toh
pizza di sana tetap nomor satu kerak yang renyah dan mengembang, saos racikan ?dapur, serta cukup banyak minyak peperoni untuk berlari di sepanjang lenganmu
dan menetes di sikumu. Ada bar dan ruang keluarga. Larut malam bar dipenuhi
polisi-polisi selesai dinas, berusaha melepas penat sebelum pulang ke rumah.
Pada jam segini bar dipenuhi pria-pria yang menunggu pesanan takeout.
Kami dapat meja di ruang keluarga dan memesan seteko bir sembari menunggu pizza.
Di tengah meja bertengger wadah merica pedas tumbuk dan wadah lain berisi keju
parmesan. Taplaknya dari plastik, kotak-kotak merah-putih. Dinding berpanel kayu
dilak hingga mengilap dan berhiaskan bingkai-bingkai foto penduduk lokal tenar,
orang Italia maupun non-Italia. Selebriti yang mendominasi dinding itu adalah
Frank Sinatra dan Benito Ramirez.
"Jadi, apa masalahmu?" Eddie ingin tahu.
"Masalahku dua. Pertama. Joe Morelli. Sejak mengawali misi ini, aku ketemu dia
beberapa kali dan tak pernah berhasil menangkapnya, mendekati hal itu pun
tidak." "Kau takut padanya?"
"Tidak. Tapi aku takut menggunakan pistolku."
"Kalau begitu, lakukan dengan cara wanita. Semprot dengan gasmu dan borgol dia."
Ngomong sih gampang, ngelakuinnya yang susah, batinku. Sulit menyemprot seorang
pria jika lidahnya sedang menjelajahi mulutmu. "Memang begitulah rencanaku, tapi
dia selalu bergerak lebih cepat dariku."
"Kau minta saranku" Lupakan Morelli. Kau cuma pemula, dia sudah pro. Dia sudah
punya pengalaman ber-ntahun-tahun di belakangnya. Waktu jadi polisi dia lihai,
dan kemungkinan sebagai buron dia malah lebih lihai lagi."
"Melupakan Morelli bukan pilihan. Aku ingin kau mengecek beberapa mobil
untukku." Aku menulis nomor plat van biru di atas serbet dan menyodorkannya pada
Eddie. "Coba cari tahu siapa pemiliknya. Aku juga perlu tahu apakah Carmen
Sanchez punya mobil. Dan jika dia punya mobil, apakah mobil itu telah diderek ke
tempat sita kendaraan?"
Aku minum beberapa teguk bir dan duduk melorot, menikmati hawa dingin dan
dengung percakapan di sekitar kami. Sekarang meja-meja sudah penuh, dan
segerombol kecil orang mengantre di pintu. Tak seorang pun pengen masak kala
cuaca panas seperti ini. "Dan masalah keduamu apa?"
"Jika kuberi tahu, kau harus janji takkan bereaksi berlebihan."
"Kristus, kau hamil."
Aku menatapnya dengan bengong. "Kenapa kau berpikiran seperti itu?"
Tampangnya jadi bersalah. "Entahlah. Keluar begitu saja. Itu yang selalu Shirley
katakan padaku." Pasangan Gazarra memiliki empat anak. Yang sulung berusia sembilan. Yang bungsu
baru setahun. Semuanya laki-laki, dan semuanya monster.
"Yah, aku tidak hamil. Masalahku adalah Ramirez." Kupaparkan seluruh ceritaku
mengenai Ramirez. "Seharusnya kau lapor ke polisi," tegur Gazarra.
"Kenapa kau tak menelepon polisi waktu kau dianiaya di gym?"
"Apakah Ranger akan melapor ke polisi andai dia dianiaya?"
"Kau bukan Ranger."
"Benar, tapi kau mengerti maksudku 'kan" "Kenapa kau menceritakan hal ini
padaku?" "Kurasa, andaikata tiba-tiba aku menghilang, aku ingin kautahu ke mana harus
mulai mencari." "Yesus. Jika menurutmu dia sebahaya itu, kau harus minta perintah penahanan."
"Aku kurang percaya sama perintah penahanan. Di samping itu, aku harus bilang
apa pada hakim ... bahwa Ramirez mengancam akan mengirimiku hadiah" Coba lihat
sekeliling kita. Apa yang kaulihat?"
Eddie mendesah. "Potret-potret Ramirez, bersebelahan dengan Paus dan Frank
Sinatra." "Aku yakin aku akan baik-baik saja," hiburku. "Aku cuma butuh menceritakannya
pada seseorang." "Jika kau punya masalah tambahan lagi, aku ingin kau langsung meneleponku."
Aku mengangguk. "Kalau sendirian di rumah, pastikan pistolmu terisi dan dalam jangkauan. Apakah
kau sanggup menembak Ramirez jika keadaan memaksa?"
"Entahlah. Kurasa iya."
"Jadwal kantor berubah, dan aku kembali kerja siang. Kuminta setiap hari pukul
empat kita ketemu di Sunny. Biar aku yang beli amunisi dan bayar karcis masuk.
Satu-satunya cara merasa nyaman dengan pistol adalah dengan menggunakannya."
Pukul sepuluh aku sudah pulang, dan lantaran kurang kerjaan kuputuskan untuk
membersihkan apartemen. Di mesin penjawab tak ada pesan dan di ambang pintuku
tak ada paket mencurigakan. Aku mengganti perangkat tidur Rex, menyedot debu
karpet, menggosok kamar mandi, dan memoles segelintir perabotku yang tersisa.
Ini menyibukkanku sampai pukul sepuluh. Aku memeriksa untuk terakhir kali,
memastikan semua terkunci, mandi, dan pergi tidur.
Aku terjaga pukul tujuh, merasa ringan. Aku tidur seperti bata. Mesin penjawabku
masih bebas-pesan. Burung-burung mencericip, mentari bersinar, dan bisa kulihat
pantulanku di pemanggang roti. Aku mengenakan celana pendek dan kaus, lalu mulai
bikin kopi. Aku menguak gorden ruang duduk dan terpana oleh betapa indah hari
ini. Langit biru cemerlang, udara masih segar berkat hujan semalam, dan aku
dilanda hasrat tak tertahan untuk mendendangkan dengan lantang kutipan The Sound
of Music. Aku bernyanyi, "The hills are aliiiiive with the sound of muuusic, *
tapi selanjutnya aku tak hapal.
Aku menari-nari masuk kamar dan dengan anggun membuka gorden. Aku lumpuh begitu
melihat Lula terikat di tangga darurat. Ia tergolek di sana bagai boneka
percaraksasa, lengannya melengkung di atas susuran dalam sudut yang aneh,
kepalanya terkulai ke dada. Kakinya terentang jadi tampaknya dia sedang duduk.
Ia telanjang dan bersimbah darah. Darah itu menggumpal di rambutnya dan
sepanjang kakinya. Sehelai seprai merentang di belakangya agar tersembunyi dari
penglihatan orang di parkiran.
Aku menjeritkan namanya dan mengutak-atik gerendel jendela, jantungku berdebar
begitu kuat dalam dadaku hingga pandanganku mengabur. Aku membuka jendela dan
setengah terjatuh di tangga darurat, menggapai Lula, menarik-narik tali
pengikatnya dengan sia-sia.
Lula tidak bergerak, tidak bersuara sedikit pun, dan aku tak mampu menenangkan
diri untuk memastikan apakah ia masih bernapas. "Kau akan selamat," isakku
dengan suara serak, leher tercekat, paru-paru terbakar. "Aku akan mencari
bantuan." Dan sambil terengah aku merintih, "Jangan mati, Lula. Va Tuhan, Lula j
angan mati." Aku terhuyung-huyung kembali lewat jendela untuk memanggil ambulans, kakiku
terselengkat birai dan terjerembab ke lantai. Tidak sakit, tetapi panik saat aku
tergesa-gesa meraih telepon lalu berlutut. Aku tak bisa mengingat nomor darurat.
Pikiranku diselubungi oleh histeria, meninggalkanku dengan kekalutan dan
penolakan yang biasa muncul saat terj adi tragedi mendadak dan tak terduga.
Aku meninju angka 0 dan berseru pada operator, Lula terluka di tangga daruratku.
Aku mengalami kilas-balik Jackie Kennedy saat merangkak di atas kursi mobil
untuk membantu suaminya yang tewas, dan airmataku meledak, menangisi Lula dan
Jackie serta diri sendiri, kami para korban kekerasan.
Kuobok-obok laci perangkat makan, mencari pisau, dan baru menemukannya dalam rak
pengering piring. Entah sudah berapa lama Lula terikat di susuran, tapi aku tak
tahan jika ia harus tergantung di sana sedetik lebih lama.
Aku tergopoh-gopoh keluar lagi dengan pisau itu serta menyayat tali-tali hingga
putus, dan Lula merebah di pelukanku. Besarnya hampir dua kali diriku, toh aku
tetap menggotong tubuhnya yang bergeming serta berdarah melewati jendela. Saat
ini naluriku adalah menyembunyikan dan melindungi. Stephanie Plum, induk kucing.
Ku-mendengar sirene meraung-raung di kejauhan, semakin mendekat, kemudian polisi
menggedor pintuku. Aku tak ingat telah membiarkan mereka masuk, tapi jelas aku
melakukannya. Seorang polisi berseragam mengajakku menyisih, ke dapur,dan
mendudukkanku di atas kursi. Seorang petugas medis menyusul.
"Apa yang terjadi?" tanya si polisi.
"Aku menemukan dia di tangga darurat," jelasku. "Aku buka tirai dan dia ada di
sana." Gigiku gemelutukan, jantungku masih berpacu kencang. Kutelan udara. "Dia
diikat supaya tetap tegak, dan aku memotong tali dan menggeretnya lewat
jendela." Terdengar seruan paramedis, agar dibawakan tandu. Suara ranjangku digeser untuk
memberi ruang. Aku takut bertanya apakah Lula masih hidup. Aku menghirup udara
lebih banyak dan kukepalkan tangan di atas pangkuanku hingga buku-buku jariku
memutih dan kuku menusuk daging telapak tanganku.
"Apakah Lula tinggal di sini?" si polisi ingin tahu. "Tidak. Aku tinggal di
sini. Entah di mana tempat tinggal Lula. Bahkan aku tidak tahu nama
belakangnya." Telepon berdering dan secara otomatis aku menjawabnya.
Suara si penelepon berbisik lewat corong. "Kau sudah menerima hadiahku,
Stephanie?" Bumi seakan berhenti berputar. Sejenak keseimbanganku hilang, kemudian perasaan
itu segera berubah jadi fokus. Aku menekan tombol rekam di mesin dan meninggikan
volume agar semua orang bisa dengar.
"Hadiah apa maksudmu?" pancingku.
"Kautahu hadiah apa. Aku lihat kau menemukan dia. Aku lihat kauseret dia lewat
jendela. Aku memata-mataimu. Bisa saja aku datang waktu malam kau tidur, tapi
aku pengen kaulihat Lula. Aku pengen kau lihat apa yang bisa kulakukan pada
perempuan, jadi kautahu apa yang menantimu. Aku pengen kau kepikiran. Aku pengen
kau kepikiran seberapa itu akan menyaktikan, dan bagaimana kau akan minta ampun
padaku." "Kau suka melukai wanita?" pancingku, sudah mulai menguasai diri.
"Ada kalanya wanita butuh dilukai."
Kuputuskan untuk mengumpan. "Bagaimana dengan Carmen Sanchez" Kau melukainya?"
"Tidak sehebat yang bakal kulakukan padamu. Aku punya rencana spesial buatmu."
"Ini waktu yang paling tepat," cetusku, dan dengan terguncang kusadari bahwa aku
bersungguh-sungguh. Pernyataan itu bukannya sok berani. Aku dilanda kemurkaan
yang dingin, keras, menegangkan sekujur tubuh termasuk otot-lingkar.
"Polisi masih di sana, Jablai. Aku takkan datang ketika ada polisi. Aku bakal
menemuimu saat kau sendirian dan tidak mengharapkan kedatanganku. Kupastikan
kita punya banyak waktu untuk bersama." Sambungan terputus.
"Yesus Kristus," cetus si polisi. "Orang edan." "Kautahu itu tadi siapa?" "Aku
takut menebaknya." Kukeluarkan kaset dari mesin, menulis namaku dan tanggal pada label. Tanganku
gemetar demikian hebat hingga tulisannya nyaris tak terbaca.
Sebuah radio-genggam bergemerisik dari ruang duduk. Terdengar suara orang
berbisik-bisik di kamar tidur. Suara-suara itu sudah berkurang kadar


One For The Money Karya Janet Evanovich di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketegangannya, dan irama aktivitas sudah lebih teratur. Aku menatap diri dan
menyadari, aku berlumuran darah Lula. Darahnya membercak di kaus dan celana
pendekku, menggumpal di tangan dan bawah kakiku yang telanjang. Telepon lengket
oleh noda-noda darah, sama halnya dengan lantai dan konter.
Polisi dan petugas medis saling melirik. "Mungkin ada baiknya kau membersihkan
darah itu," anjur sang dokter. "Bagaimana kalau mau mandi secepatnya."
Kupandangi Lula dalam perjalanan ke kamar mandi. Mereka bersiap-siap membawanya
keluar. Ia diikat di tandu, dilapisi seprai dan selimut. Ia dipasangi infus.
"Bagaimana keadaannya?" tanyaku.
Seorang anggota unit itu menarik tandu maju. "Bernyawa," ungkapnya.
Sekelar aku mandi, tim medis sudah pergi. Dua polisi berseragam masih tinggal,
dan yang bicara padaku di dapur tengah berembuk dengan anggota kepolisian di
ruang duduk, keduanya sibuk membaca catatan. Aku buru-buru berpakaian dan
membiarkan rambutku mengering sendiri. Kuingin segera menyampaikan pernyataanku
dan menyelesaikan semuanya. Aku pengen ke rumah sakit, menengok Lula.
Nama PBP itu Dorsey. Sebelumnya aku pernah melihat dia, kemungkinan besar di
Pino's. Tingginya sedang, bobotnya sedang, dan tampak berusia akhir 40-an. Ia
memakai kemeja lengan panjang dan celana bahan dan pantofel. Kaset rekamanku
terselip di saku kemejanya. Barang bukti A. Kuceritakan padanya tentang insiden
di gym, tanpa menyebut nama Morelli, membiarkan Dorsey berpikir identitas
penyelamatku tak dikenal. Jika polisi ingin percaya Morelli telah meninggalkan
kota, itu tak apa bagiku. Aku masih punya harapan membekuknya dan mendapat
uangku. Dorsey menulis banyak catatan dan bertukar-pandang dengan petugas patroli tadi.
Ia tidak terlihat tercengang-cengang. Kuduga, jika kau sudah cukup lama jadi
polisi, takkan ada yang mengejutkanmu lagi.
Begitu mereka pergi kumatikan mesin kopi, menutup dan mengunci jendela kamar,
menyambar tas, serta membungkukkan bahu, bersiap menghadapi mereka yang di
koridor. Aku harus melewati Ny. Orbach, Tn. Grossman, Ny. Feinsmith, Tn.
Wolesky, dan entah siapa lagi. Mereka pasti pengen tahu secara mendetail, dan
aku sedang tidak ingin menjabarkan detail-detail.
Kumerunduk dalam-dalam, melontarkan permintaan maaf, dan melesat lempeng ke
tangga karena tangga pasti memperlambat mereka. Kutinggalkan gedung secepat
kilat dan bergegas ke Cherokee.
Aku melewati St. James ke Olden dan memotong Trenton ke Stark. Lebih gampang
langsung ke St. Francis Hospital, tapi aku ingin menjemput Jackie. Aku meluncur
sepanjang Stark Street dan melewati gym tanpa melirik
sama sekali. Buat aku, Ramirez bakal habis. Andai kali ini ia masih lolos dari
jerat hukum, aku akan menghajarnya sendiri. Aku akan memotong tititnya pakai
pisau kalau perlu. Jackie baru keluar dari Corner Bar, barangkali habis sarapan. Aku mengerem
hingga berhenti sambil berdecit-decit dan setengah mencuatkan badan keluar
pintu. "Masuk!" pekikku pada Jackie.
"Ada apa?" "Lula di rumah sakit. Ramirez menghajarnya."
"Oh Tuhan," rengeknya. "Aku takut sekali kemarin. Aku tahu ada yang tak beres.
Separah apa?" "Sejujurnya aku belum tahu. Kutemukan Lula di tangga daruratku barusan. Ramirez
meninggalkan dia terikat di sana sebagai peringatan buatku. Lula tak sadarkan
diri." "Aku di sana waktu dia jemput Lula. Ia tak mau ikut, tapi tak seorang pun bilang
tidak pada Benito Ramirez. Bisa-bisa bos Lula menggebuknya sampai berdarahdarah." "Yeah. Yak, bagaimanapun akhirnya dia dihajar sampai berdarah-darah."
Aku dapat parkir di Hamilton, satu blok dari pintu masuk UGD. Kusetel alarm,
lalu Jackie dan aku berlari-lari kecil. Bagian bawah Jackie saja mungkin 91 kg,
tapi dia sama sekali tidak terengah-engah waktu kami mendorong pintu kaca ganda.
Kurasa kebiasaan melonjak-lonjak sepanjang hari menjaganya tetap bugar.
"Seorang wanita bernama Lula baru saja diantar masuk dengan ambulans," lontarku
pada seorang pegawai. Karyawan itu menatapku, kemudian menatap Jackie. Jackie dalam balutan celana
pendek hijau mencolok dengan separuh bokongnya menyembul, sandal karet serasi,
dan atasan tanpa lengan hot pink. "Kau keluarganya?" tanyanya pada Jackie.
"Lula tak punya keluarga di sini."
"Kami perlu orang untuk mengisi formulir."
"Kurasa aku bisa melakukannya," balas Jackie.
Saat kami selesai dengan formulir-formulir, kami diminta duduk dan menunggu.
Kami melakukannya dalam bisu, membalik-balik majalah compang-camping tanpa
minat, memandang dengan ketidakacuhan kurang manusiawi sementara tragedi demi
tragedi meluncur lewat lorong. Setengah jam kemudian, aku menanyakan keadaan
Lula dan diberi tahu bahwa ia sedang di bagian sinar X. Bagaimana ia bisa di
sinar X" tanyaku. Karyawan itu tidak tahu. Mungkin akan lama, tapi nanti seorang
dokter akan datang bicara pada kami. Aku melaporkannya pada Jackie.
"Hunh," dengusnya. "Sudah kuduga."
Aku butuh kafein, jadi kutinggalkan Jackie menunggu sendiri dan pergi menanyakan
kafeteria. Aku disuruh mengikuti jejak-jejak kaki di lantai, dan mustahil itu
takkan mengantarku pada makanan. Aku mengisi kotak takeout dengan kue-kue, dua kopi besar, serta menambahkan
dua jeruk kalau-kalau Jackie dan aku kepengen menu sehat. Kurasa tak ada
gunanya, tapi barangkali seperti mengenakan celana dalam bersih, kalau-kalau
terjadi kecelakaan mobil. Tak ada ruginya menyiapkan diri.
Sejam kemudian, kami bertemu dokternya.
Ia menatapku, kemudian menatap Jackie. Jackie menaikkan atasannya yang melorot
dan menarik-narik celana pendeknya. Usaha yang sia-sia.
"Kau keluarganya?" tanya dokter pada Jackie.
"Kurasa iya," balas Jackie. "Bagaimana keadaannya?"
"Prognosisnya, ia masih dipantau, tapi ada harapan.
Ia kehilangan banyak darah, dan menderita trauma kepala. Ada banyak luka yang
memerlukan jahitan. Ia dibawa ke bagian bedah. Kemungkinan besar masih lama
sebelum ia diantar ke kamar. Kau mungkin ingin pergi dulu dan kembali satu-dua
jam lagi." "Aku takkan ke mana-mana," tolak Jackie.
Dua jam merangkak tanpa informasi lebih lanjut. Kami sudah melahap semua kue dan
terpaksa makan jeruknya. "Gak suka ini," cetus Jackie. "Gak suka terkurung dalam lembaga. Seluruh tempat
sialan ini bau kayak buncis kalengan."
"Kau pernah menghabiskan banyak waktu dalam lembaga, ya?"
"Sialnya begitu."
Rupanya ia tidak berminat untuk bercerita lebih lanjut, dan sebenarnya aku juga
tak mau tahu. Aku tidak betah di kursiku, menatap sekeliling ruangan dan mataku
tertumbuk pada Dorsey yang sedang bicara pada si pegawai tadi. Ia manggutmanggut, menyimak jawaban atas pertanyaan yang ia ajukan. Si pegawai menunjuk
Jackie dan aku, lalu Dorsey berjalan mendekati kami.
"Bagaimana Lula?" tanyanya. "Ada perkembangan?"
"Dia sedang dioperasi."
Ia mengempaskan diri di kursi sebelahku. "Kami belum berhasil menangkap Ramirez.
Kau punya gagasan kira-kira dia di mana" Apakah dia mengatakan sesuatu yang
menarik sebelum kau mulai merekam?"
"Katanya ia memata-mataiku menarik Lula lewat jendela. Dan dia tahu polisi
sedang di apartemenku. Pasti dia berada dekat-dekat situ."
"Barangkali dari telepon mobil."
Aku setuju. "Ini kartu namaku." Ia menulis sebuah nomor di punggung kartu. "Ini nomor
rumahku. Kalau lihat Ramirez, atau ditelepon lagi, segera hubungi aku."
"Akan susah baginya bersembunyi," ujarku. "Dia selebriti lokal. Dia gampang
dikenali." Dorsey mengembalikan penanya ke saku dalam jaket, dan sekilas kulihat sarung
pistol di pinggangnya. "Ada banyak orang di kota ini yang akan mengupayakan
segalanya untuk menyembunyikan dan melindungi Benito Ramirez. Sebelumnya kami
pernah mengalami ini dengan Ramirez."
"Ya, tapi kau belum pernah dapat rekaman."
"Benar. Rekaman ini mungkin bisa bikin perbedaan."
"Takkan ada bedanya," dengus Jackie saat Dorsey beranjak. "Ramirez melakukan apa
yang dia mau. Tak ada yang peduli ia menghajar perek."
"Kita peduli," tegasku pada Jackie. "Kita bisa menghentikan dia. Kita bisa
membuat Lula bersaksi melawan dia."
"Hunh," gumam Jackie. "Kau belum tahu banyak."
Sudah pukul tiga ketika kami diizinkan menengok Lula. Ia belum sadar dan
ditempatkan di UPI. Kunjungan kami dibatasi masing-masing 1D menit. Aku meremas
tangannya dan berjanji semuanya akan oke. Saat waktuku habis, aku bilang pada
Jackie bahwa aku punya janji yang tak bisa kubatalkan. Katanya ia akan tinggal
sampai Lula membuka mata.
Aku tiba di Sunny setengah jam sebelum Gazarra. Aku bayar ongkos masuk, membeli
sekotak pelor, dan kembali ke arena. Aku menembak beberapa kali dengan picu
ditarik ke belakang, dan kemudian bersiap untuk latihan serius. Aku membayangkan
Ramirez sebagai target. Aku
membidik jantungnya, bijinya, hidungnya.
Gazarra tiba di arena pukul 04.40. Ia meletakkan sekotak pelor di meja pengisian
amunisi dan menempati bilik di sebelahku. Begitu sudah menghabiskan kedua kotak
itu, aku rileks dan merasa cukup akrab dengan pistolku. Aku mengisi lima peluru
dan menyelipkan pistol kembali ke dalam tas. Aku menepuk bahu Gazarra dan
mengisyaratkan aku sudah selesai.
Ia menyimpan Glock ke dalam sarung dan mengikutiku keluar. Kami menunggu tiba di
pelataran parkir untuk mulai bicara.
"Aku dengar waktu panggilanmu masuk," ungkapnya. "Maaf aku tak bisa ke sana. Aku
tengah menangani sesuatu. Aku ketemu Dorsey di markas. Katanya kau tenang
sekali. Katanya kau menyalakan perekam waktu Ramirez meneleponmu."
"Coba kaulihat aku lima menit sebelumnya. Aku tak bisa ingat 911."
"Kurasa kau belum mempertimbangkan ambil cuti?"
"Sempat terlintas dalam benakku."
"Kau menaruh pistolmu di dalam tas?"
"Enggak dong, itu 'kan melanggar hukum."
Gazarra menghela napas. "Jangan sampai ketahuan, oke" Dan telepon aku bila kau
merasa takut. Kau boleh tinggal bersama Shirley dan aku selama yang
kauinginkan." "Aku menghargainya." "Aku sudah cek plat nomor yang kauminta. Plat itu milik
mobil yang diderek karena parkir sembarangan, dibawa ke tempat sita kendaraan,
kemudian tak pernah diambil."
"Aku lihat Morelli mengendarai mobil itu."
"Barangkali ia meminjamnya."
Kami bertukar-senyum, membayangkan Morelli mengendarai mobil yang dicuri dari
tempat sita kendaraan. "Bagaimana dengan Carmen Sanchez" Apakah dia punya mobil?"
Gazarra mengeluarkan secarik kertas dari sakunya. "Ini mereka dan nomor plat
mobilnya. Mobilnya tidak disita. Kaumau aku ikut pulang denganmu" Memastikan
apartemenmu aman?" "Tidak perlu. Setengah populasi gedungku pasti masih mangkal di koridor."
Yang sungguh kutakuti adalah melihat darahnya. Aku harus masuk ke apartemenku
dan menghadapi imbas maut hasil karya Ramirez. Darah Lula masih menyebar di atas
telepon, dinding, permukaan meja, dan lantai. Jika melihat darah itu membuatku
histeris lagi, aku ingin menghadapinya tanpa siapa-siapa, dengan caraku sendiri.
Aku parkir di pelataran dan menyelinap masuk gedung tanpa terlihat. Waktu yang
pas, batinku. Koridor sepi. Semua orang sedang makan malam. Spray-ku di tangan
dan pistol dicantolkan di balik ban pinggangku. Kuputar kunci di lubang dan
merasakan perutku bergejolak. Bereskan saja, tegasku pada diriku. Tinggal
menghambur masuk, periksa di kolong ranjang apakah ada pemerkosa, ambil sarung
tangan karet, dan bersihkan kekacauan.
Selangkah tentatif masuk selasar, dan kusadari ada seseorang dalam apartemenku.
Seseorang sedang masak di dapur, menimbulkan bunyi-bunyi kegiatan memasak yang
menyenangkan, wajan-wajan beradu, air mengalir. Di balik dentang-denting itu
terdengar hidangan mendesis di atas penggorengan.
"Halo," sapaku, pistol di tangan, nyaris tak mampu mendengar suaraku sendiri di
balik debar jantungku. "Siapa itu?" Morelli dengan santai melangkah keluar dari dapur. "Cuma aku. Taruh pistol itu.
Kita perlu bicara." "Yesus! Kamu arogan banget. Pernahkah melintasi benakmu aku bisa saja menembakmu
dengan pistol ini?" "Tidak. Belum pernah mikir begitu."
"Aku sudah latihan. Aku penembak jitu."
Ia beranjak ke belakangku, menutup dan mengunci pintu. "Yak, taruhan kalau buat
ngeluarin isi perut orang-orangan karton itu kamu jagoannya."
"Apa yang kamu lakukan di apartemenku?"
"Aku lagi masak buat makan malam." Ia kembali ke osengannya. "Ada rumor kamu
baru mengalami hari yang berat."
Benakku berputar-putar. Aku sudah memeras otak, berusaha menemukan Morelli, dan
dia dalam apartemenku. Ia bahkan memunggungiku. Aku bisa menembak bokongnya.
"Kamu tak ingin menembak pria tak bersenjata," cegahnya, membaca pikiranku.
"Negara bagian New Jersey tegas soal yang satu ini. Percaya deh sama yang tahu."
Baiklah, jadi aku takkan nembak dia. Tinggal bikin dia pingsan pakai Sure Guard.
Sistem sarafnya pasti bingung apa yang telah menimpanya.
Morelli menambahkan irisan jamur segar ke dalam penggorengan dan terus memasak,
menyebarkan harum santapan surgawi ke arahku. Ia tengah mengaduk paprika merah
dan hijau, bawang dan jamur, dan naluri pembu-nuhku melemah seiring proporsi
ludah yang menggenangi mulutku.
Akhirnya kuputuskan dengan rasional untuk menunda menyemprot Morelli. Kuyakinkan
diri, aku perlu mendengarkan yang ingin dia bicarakan, namun kenyataan buruk
adalah, motifku tidak semulia itu. Aku kelaparan dan tertekan, dan lebih takut
pada Ramirez ketimbang Joe Morelli. Faktanya, kurasa dengan cara yang ganjil,
aku merasa aman karena ada Morelli di apartemenku.
Krisis harus ditangani satu per satu, batinku. Makan malam dulu. Semprotkan gas
padanya buat hidangan penutup.
Ia berpaling dan memandangiku. "Kamu ingin membicarakannya?"
"Ramirez nyaris membunuh Lula dan mengikatnya di tangga daruratku."
"Ramirez itu ibarat jamur lapuk yang membiak di atas rasa takut. Kamu pernah
menyaksikan dia di atas ring" Para fans mencintainya sebab dia sanggup bertahan
sampai wasit mengakhiri pertandingan. Ia mempermainkan lawannya. Dia menikmati
pemandangan darah menyembur. Dia menikmati memberikan ganjaran. Dan setiap kali
ia sedang memberikan ganjaran, ia berbicara pada korbannya dengan suara
mendesis, berkata pada mereka betapa semuanya akan semakin menyakitkan, berkata
bahwa ia takkan berhenti sampai mereka memohon untuk dibuat K.O. Pada wanita pun
dia seperti itu. Senang melihat mereka ketakutan dan kesakitan. Senang
meninggalkan jejaknya."
Kugeletakkan tasku di konter. "Aku tahu. Dia pakarnya mutilasi dan bikin orang
mohon ampun. Sebenarnya, boleh dibilang dia terobsesi dengan hal itu."
Morelli mengecilkan api. "Aku berusaha menakut-nakutimu, tapi kayaknya kurang
berhasil." "Aku kehabisan rasa takut. Dalam diriku sudah tak tersisa rasa takut. Mungkin
besok." Aku memandang berkeliling dan menyadari darah sudah dibersihkan" "Kamu
baru menyikat dapurku?"
"Dapur dan kamar tidur. Untuk karpetmu, perlu tenaga pro fesional."
"Terima kasih. Hari ini aku memang tidak berminat melihat darah lagi."
"Apakah keadaannya buruk sekali?"
"Yah. Wajahnya babak-belur, nyaris tak bisa dikenali, dan dia bersimbah darah ...
di mana-mana." Suaraku pecah dan tercekat d kerongkongan. Kutekuri lantai.
"Brengsek." "Aku punya anggur di kulkas. Kenapa kamu tidak menukar pistol itu dengan gelas
saja?" "Kok kamu jadi baik padaku?" "Aku butuh kamu." "Ya ampun." "Bukan dalam
arti itu." "Aku tidak mikir "itu". Aku cuma bilang Ya Ampun. Kamu masak apa?"
"Steik. Aku menaruhnya di wajan waktu kamu masuk parkiran." Ia menuang anggur
dan menyodorkan gelas padaku. "Gaya hidupmu agak sederhana di sini."
"Aku kehilangan pekerjaan dan belum dapat kerjaan lain. Kujual perabotan demi
menyambung hidup." "Karena itulah kamu putuskan untuk kerja buat Vinnie?"
"Memang tak banyak pilihan."
"Jadi kamu mengejarku demi uang. Bukan karena dendam pribadi."
"Awalnya memang tidak."
Ia bergerak ke sana-kemari di dapurku seakan telah tinggal di sini seumur hidup,
menata piring-piring di konter, mengeluarkan semangkuk salada dari kulkas.
Mungkin saja orang lain akan merasa diinvasi, tapi ternyata rasanya malah sangat


One For The Money Karya Janet Evanovich di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyaman. Ia melempar steik iga ke tiap piring, menaburkan paprika dan bawang, serta
menambahkan kentang bakar terbungkus aluminium. Ia mengeluarkan saus salada,
krim dan saos steik, mematikan penggorengan, serta mengelap tangan di handuk
dapur. "Kenapa sekarang jadi dendam pribadi?"
"Kamu merantaiku di batang pancuran! Habis itu kamu membuatku mengais-ngais
Dumpster buat ambil kunciku! Setiap kali ketemu, kamu berbuat segalanya untuk
mempermalukanku." "Itu bukan kuncimu. Itu kunciku." Ia menyesap anggur, dan tatapan kami salingmengunci. "Kamu nyolong mobilku."
"Aku punya rencana tertentu."
"Kamu berencana mencidukku pas aku datang merebut mobilku?"
"Kurang-lebih begitu."
Ia membawa piringnya ke meja. "Dengar-dengar Ma-cy's buka lowongan untuk gadisgadis demo dandan." "Kamu bicara persis ibuku."
Ia meringis dan menusuk steiknya.
Hari ini tenagaku terkuras, dan anggur berikut makanan enak ini telah
meluluhkanku. Kami bersantap di meja, duduk berseberangan, sibuk dengan piring
masing-masing bak suami-istri tua. Aku menghabiskan isi piringku lalu
memundurkan kursi. "Apa yang kamu butuh dariku?"
"Kerja sama. Dan sebagai imbalan atas kerja samamu, aku akan memastikan kamu
yang dapat uang hadiah itu."
"Ini menarik." "Carmen Sanchez itu informan. Pada suatu malam aku sedang di rumah nonton TV,
dan ia meneleponku, minta tolong. Katanya dia diperkosa dan dipukuli. Katanya ia
butuh uang, butuh tempat tinggal aman, dan sebagai imbalan ia akan memberikan
informasi yang penting."
"Waktu tiba di apartemen Sanchez, Ziggy Kulesza menyambutku di pintu, dan Carmen
tidak kelihatan. Seorang laki-laki lain, yang lebih dikenal sebagai sang saksi
hilang, muncul dari kamar, entah bagaimana mengenaliku, dan panik. "Dia polisi,"
dia berseru pada Ziggy. "Aku tak percaya kau malah buka pintu buat polisi
sialan." "Ziggy mengacungkan pistol ke arahku. Kutembak balik dan boleh dibilang tepat di
mukanya. Yang kutahu selanjutnya, aku tengah menatap langit-langit. Laki-laki
kedua lenyap. Carmen lenyap. Pistol Ziggy lenyap."
"Kok bisa ia tidak mengenaimu pada jarak sedekat itu" Dan kalau dia tidak
mengenaimu, ke mana peluru itu nyasar?"
"Satu-satunya penjelasan yang terpikir olehku, pistol itu gagal meletus."
"Dan sekarang kamu ingin melacak Carmen supaya ia mendukung ceritamu."
"Kurasa Carmen takkan mendukung cerita siapa pun. Kuduga, ia dipukuli parah oleh
Ramirez, dan Ziggy beserta konconya dikirim untuk menuntaskan urusan itu. Ziggy
biasa mengerjakan semua urusan kotor Ramirez.
"Kalau banyak beredar di jalan sepertiku, pasti dengar banyak hal. Ramirez
senang mengganjar perempuan. Terkadang perempuan yang terakhir kali terlihat
bersama dia kemudian menghilang. Kurasa Ramirez kebawa suasana dan membunuh
mereka, atau barangkali ia menganiaya
mereka demikian parah sehingga harus mengutus orang untuk menghabisi mereka
supaya tidak ketahuan. Kemudian mayat-mayat itu raib. Tak ada mayat; tak ada
pembunuhan. Kurasa Carmen sudah mati di kamar pas aku datang. Pantesan Ziggy
kalang-kabut." "Cuma ada satu pintu," bantahku, "dan tak ada yang melihat Carmen pergi ... dalam
keadaan mati maupun hidup."
"Ada jendela kamar tidur yang menghadap jalan tikus."
"Kamu pikir Carmen dilempar lewat jendela?" Morelli membawa piringnya ke dapur
dan mulai bikin kopi. "Aku mencari laki-laki yang mengenaliku. Waktu roboh ke
lantai, Ziggy menjatuhkan pistol itu. Aku melihatnya terpelanting ke samping.
Begitu aku dihantam dari belakang, konco Ziggy pasti mengambil pistol itu,
melesat ke kamar tidur, membuang Carmen keluar jendela, dan meloncat di
belakangnya." "Aku sudah ke belakang sana. Itu loncatan yang tinggi jika kamu tidak mati."
Morelli mengangkat bahu. "Barangkali ia berhasil menyelinap lewat kerumunan yang
bergerombol dekat Ziggy dan aku. Lalu dia keluar lewat pintu belakang,
mengangkut Carmen dan pergi naik mobil."
"Aku mau dengar soal $ 10.000 yang bakal jadi milikku
itu." "Kamu membantuku membuktikan bahwa aku menembak Kulesza sebagai tindak beladiri,
dan aku akan membolehkanmu menahanku."
"Aku tak sabar menyimak bagaimana aku melakukannya."
"Satu-satunya penghubungku dengan saksi hilang itu Ramirez. Aku memata-matai
dia, namun tanpa hasil. Sialnya, gerak-gerikku semakin terbatas. Aku sudah mendayagunakan semua utang
budi yang bisa kutagih. Belakangan, kebanyakan aku bersembunyi dan bukannya
melacak. Aku merasa mulai kehabisan waktu dan gagasan."
"Kamu satu-satunya orang yang takkan dicurigai memberiku pertolongan," lanjut
Morelli. "Kenapa aku harus menolongmu" Kenapa aku tidak menggunakan kesempatan ini untuk
menjeratmu?" "Karena aku tak bersalah."
"Itu masalahmu, bukan masalahku." Itu jawaban yang keras dan kurang bersungguhsungguh. Yang benar adalah, aku mulai melunak terhadap Morelli.
"Kalau begitu, mari mahalkan hargamu. Sembari kamu membantuku melacak saksiku,
aku melindungimu dari Ramirez."
Aku nyaris bilang tak butuh perlindungan, namun itu absurd. Aku butuh seluruh
perlindungan yang bisa dikerahkan. "Bagaimana andai Dorsey membekuk Ramirez dan
aku tak butuh proteksimu lagi?"
"Ramirez bakal bebas-bersyarat dan dendamnya ber-lipat-ganda. Dia punya banyak
teman yang berkuasa."
"Dan bagaimana kamu melindungiku?"
"Aku menjaga tubuhmu, Manis."
"Kamu tak boleh tidur di apartemenku."
"Aku tidur di van. Besok aku tinggal pasang alat pemancar di sini."
"Bagaimana dengan malam ini?"
"Terserah kamu," ujarnya. "Barangkali kamu aman. Kuduga Ramirez ingin bermainmain denganmu beberapa waktu. Buat dia ini ibarat pertarungan. Ia ingin
menjalankan kesepuluh ronde."
Aku setuju. Ramirez dapat menerjang masuk lewat jendela kamar kapan saja dia
mau, tapi dia memilih untuk menunggu.
"Seandainya pun aku sepakat membantumu, aku tak tahu mulai dari mana,"
singgungku. "Apa lagi yang dapat kukerjakan, yang belum kamu kerjakan" Mungkin
saksimu itu sudah di Argentina."
"Saksiku tidak di Argentina. Dia di luar sana, membunuh orang-orang. Ia membunuh
semua orang yang mungkin mengaitkannya dengan TKP. Ia sudah bunuh dua orang dari
gedung Carmen dan gagal dalam usaha pembunuhan ketiganya. Aku juga termasuk
dalam daftarnya. Tapi dia tak bisa menemukanku selama aku bersembunyi, dan bila
aku mengejarnya terang-terangan, polisi bakal mencidukku."
Bohlam menyala. "Kamu mau memakaiku sebagai umpan. Kamu akan mengayun-ayunkanku
di depan hidung Ramirez dan berharap aku mengorek informasi darinya sementara
dia mempraktikkan teknik-teknik penyiksaan padaku. Yesus, Morelli, kutahu kamu
kesal aku sedikit menyenggolmu dengan Buick, tapi tidakkah kamu pikir dendammu
berlebihan?" "Ini bukan balas dendam. Kenyataannya adalah ... aku suka kamu." Mulutnya melembut
jadi senyum memikat. "Andai keadaannya beda, mungkin aku berusaha membenarkan
kesalahan di masa lalu."
"Ya ampun" "Kayaknya kalau semua urusan ini tuntas nanti, kita perlu melakukan sesuatu
terhadap sisi sinismu itu."
"Kamu minta aku mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan bokongmu sendiri."
"Nyawamu sudah dalam taruhan. Kamu dibuntuti oleh
seorang pria yang sangat besar, suka memerkosa dan memutilasi wanita. Bila kita
menemukan saksiku, kita membuktikan kaitannya dengan Ramirez dan moga-moga
membuat mereka dikurung seumur hidup." Ia dapat poin.
"Aku akan memasang penyadap di selasar dan kamar tidurmu," terang Morelli,
"sehingga bisa mendengar ke seluruh apartemen, kecuali kamar mandi. Jika kamu
tutup pintu kamar mandi, kemungkinan besar aku tak bisa dengar. Setiap kali kamu
keluar, aku akan menyembunyikan kabel di bawah kausmu, dan aku akan membuntutimu
dari jauh." Kutarik napas dalam-dalam. "Dan kamu akan merelakan aku mendapat jatah tangkapan
atas dirimu begitu kita menemukan si saksi hilang?"
"Tepat sekali."
"Katamu Carmen informan. Informasi macam apa yang biasa dia berikan?"
"Apa saja yang tercecer. Kebanyakan hal-hal berbau peredaran narkoba dan namanama anggota organisasi. Entah apa informasi apa yang dimiikinya waktu dia
menelepon itu. Aku tak sempat mengetahuinya."
"Anggota organisasi?"
"Anggota geng Jamaica. Striker adalah induk organisasi, bermarkas di Philly.
Cakarnya menancap di setiap transaksi narkoba di seluruh Trenton. Striker
membuat mafia kelihatan seperti segerombol banci. Mereka membawa masuk barang
lebih cepat dari penjualan mereka, dan kami tak mengerti cara mereka
menyelundupkannya. Musim panas ini terjadi 12 kematian akibat overdosis. Stok
barang demikian besar sehingga para bandar tak ambil pusing untuk menakarnya
sesuai standar." "Menurutmu Carmen punya informasi tentang Striker?"
Morelli menatapku beberapa detik. "Tidak," desahnya pada akhirnya. "Kupikir dia
ingin mengatakan sesuatu tentang Ramirez. Kemungkinan besar, Carmen mendapat
informasi itu ketika sedang bersamanya."
Teleponku berdering pukul tujuh paeleponku berdering pukul tujuh pagi. Mesin
menjawab, dan aku mengenali suara Morelli. "Bangun dan bersinarlah, Jagoan,"
sapanya. "Sepuluh menit lagi aku tiba di pintumu buat pasang piranti. Nyalakan
mesin kopi ya." Aku bikin kopi, sikat gigi, serta mengenakan celana pendek dan blus. Morelli
tiba lima menit kecepatan, menenteng kotak alat. Di saku kemeja lengan pendeknya
ada sulaman yang tampak resmi, bertulisan Long's Service. "Apa itu Long's
Service?" tanyaku. "Boleh jadi apa saja yang kita inginkan." "Aha," cetusku.
"Kostum samaran." Ia menggeletakkan kacamata hitamnya di konter dapur dan
mendekati kopi. "Orang jarang memperhatikan tukang yang memperbaiki barang
rusak. Mereka ingat warna seragamnya tapi hanya sebatas itu. Dan jika kita
menghayatinya dengan benar, seragam dapat membawamu masuk ke hampir semua
gedung." Aku menuang kopi untuk diriku dan menghubungi rumah sakit, menanyakan
perkembangan Lula. Aku diberi tahu bahwa kondisi Lula sudah stabil dan sudah
dipindahkan dari UPI. "Kamu perlu bicara pada Lula," desak Morelli. "Pastikan dia menuntut. Mereka
menahan Ramirez semalam dan
menginterogasinya tentang penganiayaan seksual. Dia sudah keluar. Dilepas dengan
jaminan yang dia bayar sendiri."
Ia meletakkan kopinya, membuka kotak alat, dan mengeluarkan obeng kecil dan dua
lempeng penutup saluran listrik. "Ini tampak seperti stopkontak biasa,"
pamernya, "tapi di dalamnya terdapat penyadap. Aku suka menggunakannya karena
tak perlu ganti baterai. Ini bekerja dengan kabelmu. Sangat bisa diandalkan."
Ia melepas lempeng stopkontak selasarku dan merenggangkan beberapa kabel,
bekerja dengan penjepit berujung karet. "Dari van aku dapat menguping dan
merekam. Jika Ramirez mendobrak masuk, atau muncul di pintumu, kamu harus
bertindak sesuai nalurimu. Jika kamu merasa bisa ajak dia berbincang dan
mengorek informasi darinya tanpa membahayakan dirimu, coba saja."
Ia merampungkan pekerjaan di selasar dan pindah ke kamar tidur, mengulang
prosedur tadi. "Dua hal yang harus kamu ingat. Bila kamu menyalakan radio,aku
tak dapat mendengar apa yang terjadi di sini. Dan andai aku harus mendobrak
masuk, paling-paling dari jendela kamar tidurmu. Jadi, biarkan tiraimu tertutup
biar aku agak terlindungi."
"Menurut kamu kita bakal menghadapi itu?" "Kuharap tidak. Coba buat Ramirez
bicara di telepon. Dan ingatlah untuk merekamnya." Ia meletakkan obeng itu
kembali ke kotak dan mengeluarkan lakban perawatan serta kotak plastik mungil
seukuran kemasan permen karet. "Ini adalah pemancar miniatur untuk di badan. Dua
baterai litium sembilan volt yang menyediakan 15 jam waktu operasi. Dilengkapi
mikrofon elektret eksternal, beratnya tujuh ons, dan harganya sekitar $1 .2 00.
Jangan sampai hilang dan jangan memakainya waktu mandi."
"Barangkali Ramirez akan berperilaku baik sekarang, setelah dituntut atas
penganiayaan." "Aku tidak yakin Ramirez mampu membedakan yang baik dan buruk."
"Apa rencana kita hari ini?"
"Kupikir kita bawa kamu kembali ke Stark Street. Sekarang 'kan kamu tak perlu
berusaha bikin aku gila, kamu bisa konsentrasi bikin gila Ramirez saja. Pancing
dia untuk melakukan aksi baru."
"Duh, Stark Street. Tempat favoritku. Apa yang harus kukerjakan di sana?"
"Jalan-jalan saja di sekitar sana dan tampillah seksi, ajukan pertanyaanpertanyaan yang menyebalkan, secara garis besar bikin orang-orang gregetan. Kamu
melakukannya dengan alami."
"Kamu tahu Jimmy Alpha?"
"Semua orang tahu Jimmy Alpha."
"Menurutmu dia bagaimana?"
"Tergantung. Sejauh ini kalau urusan denganku, orangnya oke. Dan aku selalu
berpikir dia manajer yang andal. Ia melakukan semua hal yang tepat bagi Ramirez.
Mendapatkan pertarungan-pertarungan yang tepat. Mendapatkan pelatih-pelatih yang
baik." Morelli meneguk habis kopinya. "Orang seperti Jimmy Alpha menghabiskan
seluruh hidupnya berharap menggaet seseorang sekaliber Ramirez. Rata-rata mereka
tak pernah mendekati hal ini. Jadi manajer Ramirez ibarat menang tiket lotere
sejuta dolar ... tapi lebih bagus karena Ramirez akan terus menghasilkan. Ramirez
itu tambang emas. Sayangnya, Ramirez juga sinting banget, dan Alpha terjebak
antara karang dan tembok kukuh."
"Itu pendapatku juga. Kurasa memegang tiket pemenang itu akan menggoda seseorang
menutup mata terhadap kecacatan psikis Ramirez."
"Terutama sekarang ini, saat mereka mulai meraup uang banyak. Alpha mendukung
Ramirez bertahun-tahun lamanya waktu dia masih berandalan. Sekarang Ramirez
bergelar juara dan telah menandatangani kontrak untuk pertarungan di TV. Secara
harfiah ia bernilai jutaan bagi imbalan Alpha di masa mendatang."
"Jadi, opinimu tentang Alpha agak ternoda."
"Kupikir Alpha tidak bertanggungjawab secara kriminal." Ia melirik arloji.
"Pagi-pagi sekali Ramirez lari di jalanan, kemudian sarapan di kedai di
seberanggym. Setelah sarapan ia latihan dan biasanya tinggal di sana sampai
pukul empat." "Berat sekali latihannya."
"Setengah mampus. Andai dia bertarung melawan yang waras, lawan itu pasti dalam
masalah. Dua lawan yang terakhir kalah dengan sengaja. Tiga minggu lagi Ramirez
dijadwalkan bertarung dengan satu kunyuk lagi, dan kemudian ia harus mulai
serius untuk pertarungan melawan Lionel Reesey."
"Kamu tahu banyal soal tinju."
"Tinju itu olahraga sejati. Laki-laki melawan laki-laki. Pertarungan sungguhan.
Ibarat seks ... mengeluarkan sisi kebinatangan kita."
Aku meniru geraman orang tercekik.
Ia memilih jeruk dari mangkuk buah di konter. "Kamu cuma uring-uringan karena
tak ingat kapan terakhir kali merasakan kebinatanganmu."
"Aku sering merasakan kebinatanganmu, terima kasih."
"Sayang, kamu tidak merasakan kebinatanganmu sama sekali. Aku sudah menanyakan
orang-orang. Kamu tak punya kehidupan sosial."
Kuacungkan jari tengah tegak-tegak. "Oh yeah, silakan sosialisasikan ini."
Morelli nyengir. "Kamu imut sekali kalau belagak tolol. Kapan saja kamu pengen
membebaskan kebinatanganmu, tinggal bilang padaku."
Cukup. Aku mau semprot dia. Mungkin tidak dengan maksud membawanya ke polisi,
tapi sekadar menikmati melihat dia pingsan lalu muntah-muntah.
"Aku harus pergi," cetus Morelli. "Tetanggamu melihatmu masuk. Aku tak ingin
menodai reputasimu dengan berlama-lama di sini. Sebaiknya kamu datang ke Stark
Street agak siang dan keliling jalan kaki selama satu-dua jam. Pakai pemancarmu.
Aku akan memantau dan menguping."
Masih ada waktu sepagian, jadi aku keluar untuk lari. Belum bertambah mudah
bagiku, tapi setidaknya tidak ada Eddie Gazarra yang nongol dan bilang bahwa aku
kayak mau mati kepanasan. Aku sarapan, mandi lama-lama, dan merencanakan
bagaimana aku bakal menghabiskan uangku setelah meringkus Morelli.
Kukenakan sandal tali, rok mini rajut hitam ketat, dan atasan elastis merah


One For The Money Karya Janet Evanovich di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan garis leher rendah yang mempertontonkan belahan dada sebanyak mungkin,
berkat ukuran braku. Kukembangkan rambutku dengan busa dan penyemprot. Kugarisi
mataku biru dongker, membuatnya makin menjijikkan dengan tambahan maskara,
mengecat bibirku warna merah murahan, dan menggantungkan giwang paling besar,
paling mengilap yang kumiliki di telingaku. Kupoles kuku senada dengan bibir
lalu mematut diri di cermin.
Persis pelacur. Pukul 11.00. Masih kepagian, tapi aku ingin membereskan urusan mondar-mandir di
Stark secepatnya biar bisa menjenguk Lula. Setelah itu, kurasa aku akan latihan
menembak sebentar dan kemudian pulang serta menunggu telepon berdering.
Aku parkir satu blok dari gym dan mulai meniti jalanan dengan tas menggelantung
di bahu dan tangan menggenggam Sure Guard. Ternyata pemancar itu nongol di bawah
blusku yang elastis, jadi aku menghangatkannya di celana dalam bikiniku. Makan
telingamu, Morelli. Van parkir hampir berseberangan dengan gym. Jackie berdiri antara aku dan van.
Ia tampak lebih judes dari biasanya.
"Bagaimana kabar Lula?" tanyaku. "Hari ini sudah nengok dia?"
"Pagi hari tidak ada jam kunjung. Toh aku tak punya waktu nengok dia. Aku harus
cari nafkah, tahu." "Kata rumah sakit kondisinya stabil."
"Yeah. Mereka memindahkannya ke kamar regular. Ia harus tinggal di sana beberapa
waktu lagi, siapa tahu terjadi pendarahan dalam, tapi kurasa ia akan selamat."
"Dia punya tempat tinggal aman saat keluar nanti?"
"Tak ada tempat tinggal aman bagi Lula begitu dia keluar, kecuali dia sudi
bersikap bijak. Ia malah berencana mengaku ke polisi, bedebah kulit putihlah
yang menyayat-nyayat dia."
Morelli lewat telepati. "Seseorang harus menghentikan Ramirez."
"Yang pasti bukan Lula," dengus Jackie. "Lagian, saksi macam apa dia" Kaukira
orang bakal percaya sama pelacur" Mereka pasti bilang Lula pantas diperlakukan
begitu dan kemungkinan besar bosnya akan menggebuknya sebagai peringatan buat
kita. Barangkali mereka akan bilang, biar itu jadi pelajaran bagi kita karena
sudah melacurkan diri."
"Hari ini lihat Ramirez" Dia ada di gym?"
"Gak tahu. Mataku ini tak melihat Ramirez. Bagiku dia tak kasat mata."
Sudah kuduga, hanya segitu yang bisa kukorek dari Jackie. Dan kemungkinan besar,
dia benar soal Lula ketika duduk di bilik saksi nanti. Ramirez akan menyewa
pembela terbaik di negara bagian ini, yang bahkan takkan perlu mengeluarkan
setitik keringat pun untuk mendiskreditkan Lula.
Kuteruskan jalan kaki. Ada yang lihat Carmen Sanchez" tanyaku. Benarkah dia
dilihat bersama Benito Ramirez pada malam Ziggy Kulesza ditembak"
Tak seorang pun melihat Sanchez. Tak seorang pun tahu apa pun soal Sanchez dan
Ramirez. Aku seliweran sejaman lagi dan sebagai penutup, aku menyeberangi jalan untuk
merongrong Jimmy Alpha. Kali ini aku tidak menerobos masuk ke kantornya. Dengan
sabar aku menunggu sementara sekretarisnya mengumumkan kedatanganku.
Alpha tidak tampak terkejut. Barangkali ia sudah mengawasiku dari balik
jendelanya. Di sekitar matanya ada lingkaran hitam, yang biasa terjadi pada
mereka yang tak bisa tidur semalaman dan punya masalah tanpa solusi. Aku berdiri
di depan mejanya, dan selama semenit penuh kami saling menatap tanpa bicara.
"Sudah dengar tentang Lula?" tanyaku.
Alpha mengangguk. "Dia nyaris membunuh Lula, Jimmy. Dia menyayat-nyayat dan memukuli serta
meninggalkannya terikat di tangga daruratku. Kemudian, dia meneleponku dan
bertanya apakah aku sudah menerima hadiahnya dan berkata aku harus siap-siap
mengalami nasib yang lebih buruk lagi."
Kepala Alpha lagi-lagi manggut, tapi kali ini untuk me-vnyangkal. "Aku sudah
bicara padanya," tangkis Alpha. "Benito mengakui telah bersama-sama Lula, dan
barangkali agak kasar, tapi katanya cuma sebatas itu. Katanya mungkin orang lain
yang melakukannya pada Lula, sesudah itu. Katanya ada orang tengah berupaya
membuat nama Benito jadi jelek."
"Aku bicara padanya di telepon. Aku tahu apa yang kudengar. Aku merekamnya."
"Dia bersumpah itu bukan dia."
"Dan kau percaya padanya?"
"Setahuku dia suka kelewatan sama perempuan. Sok macho. Jadi sensitif kalau
merasa perempuan kurang respek padanya. Toh, aku tak bisa membayangkan dia me=
ngikat seorang wanita di tangga darurat. Dan aku tak bisa membayangkan dia
meneleponmu seperti itu. Aku tahu dia bukan Einstein, tapi tetap saja aku yakin
dia takkan bertindak segoblok itu."
"Dia bukannya goblok, Jimmy. Dia sakit. Yang sudah dia lakukan itu mengerikan."
Ia melarikan jemarinya di rambut. "Entahlah. Mungkin kau benar. Dengar, bantulah
aku dan jauhkan Stark Street untuk sementara. Polisi akan menyidik apa yang
terjadi pada Lula. Apa pun yang mereka temukan ... aku bakal harus hidup dengan
kenyataan itu. Sementara itu, aku harus menyiapkan Benito untuk sebuah
pertarungan. Ia akan melawan Tommy Clark dalam tiga pekan. Clark bukan ancaman
besar, tapi kita harus memperlakukan
setiap lawan sama-rata. Para fans beli tiket, mereka berhak mendapatkan sebuah
pertarungan. Aku takut jika Benito melihatmu, ia akan gelisah, tahu" Sudah cukup
sulit menyuruhnya latihan ..."
Suhu dalam kantor sekitar 40 derajat, tapi di bawah lengan Alpha ada noda gelap.
Andai aku di tempatnya, aku juga bakalan berkeringat dingin. Ia tengah
menyaksikan impiannya menjelma jadi mimpi buruk, dan ia tak punya nyali untuk
menghadapinya. Kubalas, aku harus menuntaskan misi dan tak bisa menjauhi Stark Street. Aku
keluar sendiri dan menuruni serangkai tunggal tangga. Aku duduk di undakan
terakhir dan bicara pada selangkanganku. "Buset," tukasku. "Bikin tertekan aja."
Di seberang jalan, Morelli tengah menguping dari dalam van. Entah apa yang dia
pikirkan. Morelli mengetuk pintuku pukul 10.30 malam. Dia bawa satu krat bir dan pizza,
serta mengempit TV portabel di bawah lengannya. Dia sudah melepas seragam tadi,
kembali memakai jins dan kaus angkatan laut.
"Sehari lagi dalam van itu, dan dengan senang hati aku bakal masuk penjara,"
rengeknya. "Apakah itu pizza Pino?"
"Memangnya ada jenis lain?"
"Bagaimana kamu membelinya?"
"Pino mengantar pesan buat buron." Ia menatap sekeliling. "Di mana kabelmu
ditancap?" "Di ruang duduk."
Ia memasang TV, menata pizza dan bir di lantai, dan memencet remote control.
"Sudah ada telepon masuk?" "Belum."
Ia membuka bir. "Masih dini. Ramirez bekerja paling
baik waktu malam." "Aku sempat ngobrol sama Lula. Ia takkan mau menuntut."
"Betapa mengejutkan."
Aku duduk di lantai dekat kotak pizza. "Kamu dengar percakapanku dengan Jimmy
Alpha?" "Yak, aku dengar. Kamu tadi pakai baju apaan sih?"
"Itu gaya jablaiku. Aku ingin mempercepat urusan ini."
"Kristus, cowok-cowok yang lagi nyetir sampai naik ke trotoar. Dan di mana kamu
taruh mikrofon itu" Nggak mungkin di bawah kausmu. Kalau iya perekatnya pasti
kelihatan nongol dari balik kaus itu."
"Aku selipkan di celana dalamku."
"Duh," gerutunya. "Saat barang itu kembali padaku pasti karatan."
Aku membuka bir dan menyilakan diri mencomot seiris pizza. "Apa kesimpulanmu
tentang Alpha" Menurutmu dia bisa didorong bersaksi melawan Ramirez?"
Morelli menggonta-ganti saluran, memilih pertandingan bola, dan selama beberapa
detik menonton. "Tergantung seberapa banyak yang dia tahu. Kalau biasa mengubur
kepalanya dalam-dalam di tanah, dia tidak punya fakta-fakta kuat. Dorsey
mendatanginya setelah kamu pergi, dan hasil yang dia dapat malah kurang
dibangingkan dengan kamu."
"Kamu menyadap kantor Alpha?"
"Tidak. Bincang-bincang di bar Pino."
Tersisa satu potong pizza. Kami berdua memelototi nya. "Nanti pinggulmu melebar," sergah Morelli. Dia benar, toh aku tetap merebut
pizza itu. Kutendang dia keluar sedikit lewat pukul satu lalu
menyeret diri ke ranjang. Aku tidur semalaman, dan di pagi hari belum ada pesan
di mesin penjawab. Aku hendak bikin kopi ketika alarm mobil meraung dari
pelataran di bawah. Aku menyambar kunci dan terbirit-birit keluar apartemen,
melompati tiga undak tangga sekaligus. Pintu pengemudi menganga dan aku naik ke
dalam Jeep itu. Alarm itu melolong. Aku mematikannya dan menyetelnya kembali,
mengunci mobil, dan balik ke apartemen.
Morelli berada di dapur, dan boleh dibilang usahanya untuk tetap tenang membuat
tekanan darahnya memasuki zona merah.
"Aku tak mau mobilmu dicuri orang," dalihku. "Jadi kupasangi alarm."
"Kamu bukannya khawatir mobilku dicuri sembarang orang. Aku yang ingin kamu
cegah. Kamu memasang alarm brengsek itu dalam mobil brengsek itu supaya aku
tidak merampasnya darimu!"
"Dan ternyata berguna 'kan. Apa yang kamu lakukan di mobil kita?"
"Itu bukan mobil kita. Itu mobilku. Aku mengizinkan-mu mengendarainya. Aku ingin
cari sarapan." "Kenapa tidak naik van saja?"
"Sebab aku ingin mengemudi mobilku. Sumpah, kalau semua kekacauan ini sudah
beres, aku mau pindah ke Alaska. Dan aku tak peduli pengorbanannya, aku harus
jauh-jauh dari kamu, sebab jika aku tinggal di sini aku akan mencekikmu, dan
mereka akan menuntutku atas pembunuhan tingkat satu."
"Yesus, Morelli, kamu terdengar seperti lagi PMS. Kamu perlu belajar untuk
sedikit santai. Itu 'kan cuma alarm mobil. Seharusnya kamu berterima kasih
padaku. Aku memasangnya dengan uangku sendiri."
"Oh, betul juga, kok aku bisa lupa ya?"
"Belakangan ini kamu lagi banyak tekanan."
Pintu diketuk, dan kami berdua melonjak.
Morelli mendahuluiku ke lubang intai. Ia mundur beberapa langkah dan menarikku
bersamanya. "Itu Morty Beyers," desisnya.
Pintu diketuk lagi. "Jangan sampai dia mendapatkanmu," tegasku. "Kamu milikku, dan aku tak mau bagibagi." Morelli meringis. "Aku di kolong tempat tidur jika kamu butuh aku."
Aku melangkah ke pintu dan mengintip dulu. Sebelumnya aku tak pernah ketemu
Morty Beyers, tapi orang ini memang tampak seperti habis mengalami operasi usus
buntu. Usia menjelang 40, kelebihan berat, pucat, dan membungkuk, menahan perut.
Rambutnya yang berwarna pasir tipis disisir menutupi puncak kepala yang botak
dan bermandi peluh. Aku menyambutnya di pintu.
"Morty Beyers," sapanya, mengulurkan tangan. "Kau pasti Stephanie Plum."
"Bukankah seharusnya kau di rumah sakit?"
"Usus buntu pecah hanya memerlukan beberapa jam rawat-inap. Aku sudah kembali
kerja. Menurut mereka aku sudah diperbarui."
Ia tidak tampak baru. Ia tampak seakan baru ketemu Vampir di tangga. "Perutmu
masih sakit?" "Hanya kalau berdiri tegak."
"Apa yang bisa kulakukan untukmu?"
"Kata Vinnie kau memegang berkas TVTM-ku. Kupikir sekarang aku sudah merasa
baikan ..." "Kauminta berkas-berkas itu kembali."
"Yeah. Dengar, aku menyesal ini kurang berhasil bagimu."
"Tidak sepenuhnya gagal. Aku menahan dua orang di antara mereka."
Ia manggut-manggut. "Belum beruntung dengan Morelli?"
"Tidak sama sekali."
"Aku tahu mungkin terdengar aneh, tapi aku bersumpah telah melihat mobilnya di
parkiranmu." "Aku mencurinya. Kupikir mungkin aku bisa memancing dia keluar dan datang
merebut mobilnya." "Kaucuri mobilnya" Beneran" Yesus, ini hebat." Ia bersandar ke dinding dengan
tangan menutupi hidung. "Kaumau duduk sebentar" Kaumau air putih?"
"Nggak, aku baik-baik saja. Aku harus mulai kerja. Aku cuma mau ambil foto-foto
itu dan sebagainya."
Aku bergegas ke dapur, mengumpulkan berkas-berkas, buru-buru kembali ke pintu.
"Ini dia." "Bagus." Ia mengempit map-map itu di sebelah lengan. "Jadi kau berencana
Tumbal Tujuh Dewa Kematian 1 Dewi Sri Tanjung Mencari Ayah Kandung Hotel Majestic 1

Cari Blog Ini