Ceritasilat Novel Online

Senja Di Himalaya 6

Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai Bagian 6


pemberontak mereka adalah kesopanan mereka yang menggelisahkan.
Kaset-kaset itu merekam pidato favorit tentang membasuh-Zcu/cr/'-berdarahdalam-induk-perairan-sungai-Teesta.
"Jangan beri mereka apa pun," bisik Lola dalam bahasa Inggris, merasa
aman, mengira mereka tak akan mengerti. "Begitu kita mulai memberi, mereka akan
terus datang lagi." Tidak ada gas juga, atau minyak tanah. Mereka semua kembali memasak dengan
kayu bakar. Tidak ada air.
"Letakkan ember-ember di taman," kata Lola pada Noni, "supaya terisi air
hujan. Sebaiknya kita tidak menyiram toilet lagi. Taruh saja beberapa Sunny
Fresh untuk menyamarkan baunya. Toh untuk tugas-tugas kecil saja."
Tidak ada listrik karena departemen kelistrikan telah dibakar untuk
memprotes penahanan yang dilakukan pada pemblokiran jalan.
Ketika lemari es bergetar mati, kakak-beradik itu terpaksa langsung
memasak semua makanan yang tidak tahan lama. Hah itu Kesang sedang libur.
Di luar, hujan turun dan waktu sudah mende-kati jam malam; tertarik oleh
aroma tajam daging kambing yang tengah dimasak, sekelompok pemuda GNLF yang
sedang lewat mencari naungan meman-jat masuk melalui jendela dapur.
"Kenapa pintu depanmu digembok, Bibi?"
Gembok-gembok besar yang biasanya terpasang pada koper kaleng yang berisi
barang-barang ber-harga telah dipindah ke pintu depan dan belakang sebagai
pengamanan ekstra. Di atas kepala mereka, di dalam loteng, beberapa benda
berharga dibiarkan tak terlindung. Perak puja keluarga dari masa pra-atheis
mereka; wadah-wadah bayi Bond Street dengan alat makan seperti kulir yang dulu
telah mengumpulkan dan memasukkan Farex ke dalam
Tetapi mereka mengerti. Mereka mengerti bahasa Inggris Lola dan Lola tak
mengerti bahasa Nepal mereka.
"Sumbangan apa pun untuk perjuangan demi Gorkhaland tidak jadi masalah."
"Tidak masalah buat kalian, masalah buat kami."
"Ssstt," Noni menyuruh saudaranya diam. "Jangan sembrono," katanya dengan
terengah. "Kami akan memberikan tanda terima," kata para pemuda itu, mata tertancap
pada makanan yang terhampar di atas meja sosis-sosis Essex Farm yang mirip ?usus; salami beku dengan lapisan tanah beku yang meleleh.
"Tidak ada gunanya," kata Lola
"Ssttt," kata Noni lagi. "Beri kami sebuah kalender kalau begitu.?"Cuma
satu, Bibi?" "Baiklah, yah, dua."
"Tetapi Anda tahu betapa kami membutuhkan dana ...."
Mereka membeli tiga buah kalender dan dua kaset. Meskipun demikian, para
pemuda tersebut masih belum pergi juga.
"Bolehkan kami tidur di lantai" Polisi tak akan pernah mencari kami di
sini." "Tidak boleh," jawab Lola.
"Baiklah, tetapi tolong janganmembuat keri-butan atau kekacauan," jawab
Noni. Para pemuda melahap semua makanan sebelum mereka tidur.
* Lola dan Noni menghalangi pintu kamar mereka dengan menggeser lemari
berlaci ke depan pintu sepelan mungkin. Para pemuda itu mendengarnya dan tertawa
keras, "Jangan khawatir. Kalian tahu, kalian terlalu tua untuk kami."
Kedua bersaudara itu menghabiskan malam tersebut sembari terjaga, mata
sakit menatap kegelapan. Mustafa, kaku di pelukan Noni, merasa harga dirinya
tercoreng, lubang pantatnya menjadi titik rapat tanda seru kemarahan, ekornya
garis lurus yang tanpa kompromi di atas titik tersebut.
Dan Budhoo, satpam mereka"
Mereka menunggunya datang dengan membawa senjata dan menakut-nakuti para
pemuda hingga pergi, tetapi Budhoo tidak datang.
"Sudah kubilang ... " kata Lola dalam bisikan
murka, "Orang-orang Nepal ini! Saling bekerja sama ii
"Mungkin para pemuda itu mengancamnya," semprot Noni.
"Oh, ayolah. Dia mungkin adalah paman salah seorang dari pemuda itu!
Seharusnya kita tadi menyuruh mereka pergi dan karena sekarang kau sudah
memulainya, Noni, mereka akan terus datang."
"Pilihan apa yang kita punya" Jika kita meno-lak, kita akan membayar untuk
itu. Jangan naif." "Kaulah yang naif: 'Mereka ada benarnya, mereka ada benarnyaaaaa, tiga
perempat benar kalau bukan seluruhnya benaaaar,' sekarang lihat ... dasar wanita
bodohi" * Belum sampai sebulan berlalu ketika kakak-beradik itu terbangun suatu pagi
untuk mendapati bahwa, dalam selubung malam, sebuah gubuk telah tegak seperti
jamur di atas bekas tetakan baru di dasar petak sayur Mon Ami. Mereka melihat
dengan ngeri saat dua pemuda dengan tenang menebang bambu dari tanah mereka dan
membawanya persis di depan hidung mereka, sebuah tongkat penabuh genderang yang
panjang dan kuat, masih keruh dan bergetar gara-gara dorongan dan tarikan, kontradiksi antara kelenturan dan kedegilan, cukup panjang untuk membentang di
sepanjang rumah yang berukuran cukup besar.
Mereka bergegas keluar, "Ini tanah kami!?"Ini bukan tanah kalian. Ini
tanah bebas," balas mereka, menuturkan kalimat itu dengan tegas, dengan kasar.
"Ini tanah kami."
"Ini tanah tak bertuan."
"Kami akan memanggil polisi." Mereka mengedikkan bahu, berbalik, dan terus
bekerja.[] "Apakah Anda berdua khawatir akan ditangkap oleh polisi?" salah seorang
dari pemuda itu bertanya sambil tersenyum menyeringai keesokan paginya, "karena
memberi kami tempat menginap" Itukah yang Anda khawatirkan" Polisi tak akan
menyentuh orang kaya, hanya orang seperti kami, tetapi jika Anda mengatakan apa
pun, kami akan terpaksa mengambil tindakan terhadap kalian."
"Tindakan apa?"
"Anda akan tahu, Bibi."
Masih saja, kesopanan halus mereka.
Mereka pergi dengan membawa beras dan sa-bun, minyak, serta hasil tahunan
kebun itu berupa lima botol chutney tomat, dan saat menuruni tangga, mereka
memerhatikan apa yang tak mereka lihat dalam kegelapan saat datang betapa ?bagus-nya tanah itu membentang menjadi halaman rum-put, kemudian jatuh ke dalam
deretan bertingkat di bawahnya. Tanahnya cukup luas untuk memuat sederetan gubuk
yang tak banyak jumlahnya. Di atas kepala mereka, segumpak kulit hitam kelelawar
yang tersengat listrik menggantung pada kabel yang terentang di antara pepohonan
menunjukkan suplai listrik yang besar selama masa damai. Pasar tengah tutup;
jalanan beraspal yang indah berada persis di depan; sehingga mereka bisa
berjalan kaki ke toko dan sekolahan dalam waktu dua puluh menit alih-alih dua
jam, tiga jam, sekali jalan ....
TIGA PULUH DELAPAN Ini tidak muncui begitu saja, bahkan Lola tahu itu, melainkan muncul dari
rasa marah lama yang tidak bisa diceraikan dari Kalimpong. Menjadi bagian dalam
setiap tarikan napas. Ada di dalam mata yang menanti, melekatkan diri padamu
tatkala kau mendekat, menunggangi punggungmu saat kau berjalan, dengan sebuah
gumaman yang tak tertang-kap olehmu saat melintas; ada dalam gelak tawa mereka
yang berkumpul di Kantin Thapa's, di Gompu's, di setiap gubuk pinggir jalan yang
menjual telur dan korek api.
Orang-orang ini bisa menandai mereka, menge-nali mereka orang kaya ?minoritas tetapi Lola dan Noni nyaris tak bisa membedakan individu-individu
?yang membentuk gerombolan orang miskin ini.
Sebelumnya, kedua bersaudara itu tak pernah terlalu memerhatikan karena
alasan sederhana bahwa mereka tidak harus memerhatikan. Sudah sewa-jarnya mereka
membuat orang iri, pikir mereka, dan hukum probabilitas memihak mereka untuk
melaju dalam kehidupan tanpa menghadapi apa pun yang lebih dari sekadar komentar
komat-kamit, tetapi kadang-kadang, seseorang mengalami nasib buruk dengan berada
persis di tempat yang salah serta persis pada waktu yang salah, yaitu tatkala
semua itu akhirnya bisa mengejar dan bergenerasi-generasi persoalan pun menimpa
?mereka. Persis ketika Lola mengira kehidupan semacam ini akan berlanjut, seratus
tahun seperti yang telah lalu Trollope, BBC, ledakan tawa saat Natal tiba-tiba
? ?saja, semua yang mereka nyatakan sebagai tak berdosa, menyenangkan, lucu, tak
terlalu jadi persoalan, terbukti salah.
Ternyata memang jadi persoalan, membeli ham kalengan di negeri nasi dan
dat; memang jadi persoalan hidup di sebuah rumah besar dan duduk di samping
pemanas pada malam hah, meskipun pemanas itu berkedip-kedip dan bergetar-getar;
memang jadi persoalan untuk terbang ke London dan kembali dengan cokelat-cokelat
berisi kirsch; memang jadi persoalan bahwa orang lain tidak bisa melakukannya.
Mereka telah berpura-pura bahwa semua itu tidak jadi persoalan, atau tak ada
kaitannya dengan mereka, dan tiba-tiba semua itu sangat berkaitan dengan mereka.
Kekayaan yang tampak melindungi mereka seperti selimut malah merupakan hal yang
membuat mereka rentan tak terlindung. Mereka, di tengah kemiskinan ekstrem,
terang-terangan lebih kaya, dan statistik perbe-daannya tengah disiarkan melalui
pengeras suara, ditulis jelas-jelas di sekujur dinding. Amarah itu telah memadat
menjadi slogan dan senapan, dan ternyata mereka, mereka, Lola dan Noni, adalah
pihak bernasib buruk yang tidak akan bisa lepas, yang akan membayar utang yang
seharusnya ditanggung bersama dengan orang lain dari banyak
generasi * Lola pergi mengunjungi Pradhan, pimpinan GNLF sa-yap Kalimpong yang
flamboyan, untuk mengeluhkan tentang gubuk-gubuk ilegal yang didirikan oleh para
pengikutnya di atas tanah Mon Ami.
Pradhan berkata, "Tetapi aku harus menyedia-kan tempat tinggal untuk
orang-orangku." Dia terlihat seperti beruang teddy bandit, dengan janggut lebat
dan bandana di seputar kepalanya, subang emas. Lola tidak banyak tahu
mengenainya, hanya bahwa dia dijuluki "si eksentrik dari Kalimpong" di surat
kabar, pembelot, berapi-api, tak terduga, seorang pemberontak, bukan negosiator,
yang mengatur sayap GNLFnya seperti seorang raja mengatur kerajaannya, seorang
perampok mengatur kawanannya. Dia lebih liar, kata orang, dan lebih penuh amarah
ketimbang Ghising, pemimpin sayap Darjeeling, yang lebih baik dalam berpolitik
dan yang anak buahnya sekarang menduduki Klub Gymkhana. Resume Ghising dimuat
dalam edisi Indian Express terakhir yang bisa melewati pemblokiran jalan, "Lahir
di perkebunan teh Manju; pendidikan, perkebunan teh Singbuli; mantan anggota
pasukan senapan Gorkha kedelapan, aksi di Nagaland; aktor dalam pelbagai lakon
drama; penulis karya prosa dan puisi [lima puluh dua buku mungkinkah itu"]; ?petinju kelas bantam; anggota serikat buruh."
Di belakang Pradhan berdirilah seorang tentara
dengan senapan bergagang kayu terbidik ke arah luar. Di mata Lola, dia
terlihat seperti saudara lelaki Budhoo dan membawa senjata Budhoo.
"Di sisi jalan, tanah saya." Lola, dengan terba-lut sari untuk janda yang
dulu dia kenakan untuk menghadiri pengkremasian listrik ketika Joydeep
meninggal, berkomat-kamit lemah dalam bahasa Inggris patah-patah, seolah
berpura-pura bahwa bahasa Inggrislah yang tidak dapat diucapkannya dengan benar,
alih-alih mengungkapkan fakta bahwa bahasa Nepallah yang tidak pernah dia
pelajari. Rumah Pradhan berada di wilayah Kalimpong yang tak pernah disinggahi Lola
sebelumnya. Pada dinding luar, potongan-potongan bambu yang dibelah dua diisi
tanah dan ditanami dengan tanaman-tanaman segar. Rumput porcupine dan kaktus
berbulu tumbuh di dalam kaleng-kaleng Dalda serta kantung-kantung plastik yang
berjejer di anak tangga menuju rumah persegi empat kecil beratap seng tersebut.
Ruangannya penuh dengan pria-pria yang menatap, sebagian berdiri, sebagian duduk
di atas kursi lipat, semua berdesakan di dalam seolah tengah berada di dalam
ruang tunggu dokter. Lola bisa merasakan hasrat kuat untuk membebaskan diri
mereka dari dirinya seperti membebaskan diri dari penderitaan. Seorang pria lain
yang bersikap sopan mendahului Lola, seorang pemilik toko Marwari yang mencoba
membawa kiriman lentera doa melewati blokade jalan. Anehnya, orang-orang Marwari
mengendalikan bisnis penjualan benda-benda peribadatan Tibet lentera dan lonceng,
?halilintar, jubah merah ke-unguan para rahib dan pakaian dalam warna kunyit,
kancing-kancing kuningan yang masing-masing memiliki hiasan timbul bergambar
sekuntum bunga teratai. Ketika pria itu diantar ke hadapan Pradhan, dia mulai menekuk tubuh,
membungkuk, menggeliat-geliat sedemikian rupa sampai bahkan mengangkat mata pun
dia tak mau. Dia memuntahkan berbagai sebutan kehormatan yang berbunga-bunga,
"Tuan yang Terhormat dan Huzoor dan Vang Kehadirannya Sungguh Agung dan Yang
Kehendaknya adalah Kebahagiaan saya, Tolong Anugerahkan, Restu Paduka Dipinta,
Vang Mulia, Vang Murah Hati, Semoga Berkah Tuhan Menghujani Anda dan Segala
Milik Anda, Semoga Vang Megah Terhormat Diberi Kemakmuran dan Semoga Anda
Memberi Kemak-muran pada Pemohon yang Penuh Hormat Dia menyampaikan sebuah taman
bunga pidato yang berlimpah ruah, tetapi tanpa hasil, dan akhirnya, dia mundur
keluar masih dengan bunga-bunga mawar dan permohonan, doa-doa serta pemberkatan
.... Pradhan menolaknya, "Tidak ada pengecua-lian."
Kemudian tibalah giliran Lola.
"Tuan, tanah hak milik dilanggar batasnya."
"Nama tanah?" "Mon Ami." "Nama macam apa itu?" "Nama Prancis."
"Aku tidak tahu bahwa kita tinggal di Prancis. Apakah kita tinggal di
Prancis" Kalau begitu, beri tahu aku mengapa aku tidak berbicara dalam bahasa
Prancis?" Dan dia berusaha menyuruh Lola pergi dengan segera, melambaikan tangan
menolak denah juru ukur tanah dan dokumen-dokumen tanah hak milik yang
menunjukkan pengukuran kapling yang oleh Lola dicoba digelar di hadapannya.
"Orang-orangku harus diberi tempat bernaung," Pradhan menyatakan dengan
tegas. "Tetapi tanah kami "Di sepanjang jalan, sampai jarak tertentu, adalah tanah milik pemerintah,
dan itulah tanah yang kami ambil."
Gubuk-gubuk yang telah muncul tiba-tiba dalam waktu semalam dihuni oleh
wanita, pria, anak-anak, babi, kambing, anjing, ayam, kucing, dan sapi. Dalam
waktu setahun, Lola bisa meramalkan, gubuk-gubuk itu bukan lagi terbuat dari
tanah liat dan bambu, melainkan beton dan keramik.
"Tetapi itu tanah kami
"Apakah kau memanfaatkannya?"
"Untuk menanam sayur."
"Kau bisa menanamnya di tempat lain. Letakkan sayuran itu di samping
rumahmu." "Memotong ke dalam bukit, tanahnya rapuh, bisa terjadi longsor," Lola
menggumam. "Sangat ber-bahaya untuk orang-orang Anda. Tanah longsor di jalan
Lola gemetaran seperti sungut kucing
karena takut, meskipun dia bersikeras pada dirinya
sendiri bahwa itu karena marah.
"Tanah longsor" Mereka tidak membangun rumah besar seperti rumahmu, Bibi,
hanya gubuk-gubuk kecil dari bambu. Malah, rumahmulah yang mungkin menyebabkan
tanah longsor. Terlalu berat, bukan" Terlalu besar" Tembok bermeter-meter
lebarnya" Batu, beton" Kau wanita kaya" Rumah-taman-pelayan!"
Di sini Pradhan mulai tersenyum.
"Sebenarnya," dia berkata, "seperti yang bisa kaulihat," dia membuat gerak
isyarat ke arah luar, "aku adalah raja Kalimpong. Seorang raja harus memiliki
banyak ratu." Dia menyentakkan kepala ke belakang mendengarkan suara di dapur
yang masuk melalui pintu bertirai. "Aku sudah punya empat istri, tetapi maukah
kau," dia memandangi Lola dari atas ke bawah, mendorong kursinya merebah, kepala
dimiringkan secara kocak, seraut ekspresi malu-malu yang nakal memerangkap
wajahnya, "Bibi tersayang, maukah kau menjadi istri kelimaku?"
Para pria di ruangan itu tertawa sangat keras, "HA HA HA." Dia memegang
kesetiaan mereka. Dia tahu cara memikat kekuatan adalah dengan berpura-pura
bahwa kekuatan itu ada sehingga kekuatan tersebut bisa berkembang sesuai dengan
reputasinya .... Lola, untuk sekali dari sedikit ke-sempatan dalam hidupnya,
menjadi objek lelucon, menjijikkan, menggelikan, di wilayah kota yang salah.
"Dan kautahu, kau tidak akan bisa melahirkan anak lelakiku pada usiamu,
jadi aku mengharapkan mas kawin yang besar. Dan kau tak terlalu sedap dilihat, tak ada apa-apa
atas" Pradhan menepuk-nepuk bagian depan kemeja khakinya-"maupun di bawah" dia? ?
menepuk-nepuk pantatnya, yang dia lenggak-lenggokkan keluar kursi?"Malah, aku punya lebih banyak di kedua tempat
itu!" Lola bisa mendengar mereka tertawa saat dia meninggalkan tempat itu.
Bagaimana kakinya kuat berjalan" Dia akan berterima kasih pada kedua kaki
tersebut sepanjang hidupnya.
"Ah, tolol," Lola mendengar seseorang berkata saat dia menuruni anak


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangga. Para perempuan tengah menertawakannya dari jendela dapur. "Lihat raut
mukanya," kata salah seorang dari mereka.
Mereka adalah gadis-gadis cantik dengan rambut dalam gelungan sehalus
sutra dan cincin hidung dalam hidung manis yang mengernyit ....
* Mon Ami terlihat seperti seekor merpati kedamaian biru-putih yang gaib
dengan rangkaian mawar di paruhnya, pikir Lola saat dia melintas di bawah
teralis di atas gerbang. "Apa yang terjadi, apa katanya" Apakah kau berjumpa dengannya?" Noni
bertanya. Namun, Lola tidak mampu berbicara pada Noni, yang telah menunggu
saudarinya kembali. Lola pergi ke kamar mandi dan duduk gemeta-ran di atas tutup toilet.
"Joydeep," dia menjerit tanpa suara kepada suaminya, yang telah lama
meninggal dunia, "lihat apa yang telah kaulakukan, pria bodoh!!!!"
Bibir Lola membuka dan mulutnya sangat besar sesuai dengan ukuran rasa
malunya. "Lihat apa yang kautinggalkan padaku! Tahu-kah kau bagaimana aku
menderita, tahukah kau?"" Di mana kau"! Kau dan hidup remehmu yang tak berarti,
dan lihat apa yang harus kuhadapi, lihat saja, aku bahkan tak memiliki harga
diri." Lola memegangi dada perempuan tuanya yang diolok-olok dan mengguncangguncangnya. Bagaimana dia dan Noni bisa meninggalkan tempat ini sekarang" Jika
mereka meninggalkan Mon Ami, militer akan mengambil alih. Atau para penghuni
liar yang mengklaim hak para penghuni liar akan mengajukan kasus ke pengadilan.
Mereka akan kehilangan rumah yang telah mereka berdua, Joydeep dan Lola, beli
dengan gagasan palsu mengenai masa pensiun, tanaman sweet pea dan kabut, kucing
dan buku. * Kebisuan berdering dalam pipa, mencapai titinada tak tertahankan, memelan,
meninggi. Lola menarik keran hingga terbuka tak setetes air pun jatuh ? ?kemudian dia memutar keran dengan ganas hingga menutup seolah-olah mencekik
leher benda itu. Bangsat! Tak pernah ada celah sedikit pun dalam kepercayaan diri Joydeep,
ketenangannya. Tak pernah terpikir untuk membeli rumah di Calcutta tidak.
?Bukan si Joydeep itu, dengan gagasan romantisnya mengenai kehidupan di pedesaan;
dengan sepatu bot Wellington, teropong, dan buku tentang mengamati burung
miliknya; dengan Veats, Rilke (dalam bahasa Jerman), Mandelstam (dalam bahasa
Rusia) miliknya; di Pegunungan Kalimpong yang berwarna keunguan dengan Talisker
dan kaus kaki Burberry (kenang-kenangan dari liburan di Skotlandia yang berisi
golf+ikan salmon asap+pabrik wiski) sialannya.
Joydeep dengan pesona prianya yang kuno. Dia selalu berjalan seolah-olah
dunia kukuh di bawah kakinya dan dia tak pernah mengalami keraguan. Dia adalah
sesosok kartun. "Kau bodoh," Lola berteriak padanya.
Tetapi setelah itu, sesaat kemudian, tiba-tiba saja, Lola melemah. "Matamu begitu indah, hitam, dan daiam." Joydeep biasa mencium dua bola
berkilauan itu ketika berangkat untuk mengurusi dokumen-doku-mennya.
"Tetapi ada janji-janji yang harus kupenuhi," Pertama mata yang satu, lalu
yang satunya lagi ?"Dan jarak bermii-mii yang harus kutempuh sebeium tidur-"
"Dan jarak bermii-mii yang harus kautempuh
sebelum tidur?" Lola akan ikut berduet ?"Dan jarak bermii-mii yang harus kutempuh sebeium tidur."
Joydeep akan mengulang. Bagaimanapun, sampai detik terakhir, bahkan setelahnya, Joydeep tetap
mampu membangkitkan kembali kejenakaan yang telah menyalakan cinta Lola ketika
mereka masih tak lebih dari anak-anak. "Bersulanglah untukku hanya dengan mata
dikau," demikian Joydeep bernyanyi untuk Lola pada resepsi pernikahan mereka,
kemudian mereka berbulan madu di Eropa.
* Noni di depan pintu, "Apakah kau baik-baik saja?"
Keras-keras, Lola berkata, "Tidak, aku tidak baik-baik saja. Kenapa kau
tidak pergi saja?" "Kenapa kau tidak membukakan pintu?"
"Pergi kubilang, sana bergabunglah dengan para pemuda di jalan yang selalu
kaubela itu." "Lola, buka pintunya."
"Tidak." "Buka." "Enyahlah kau," kata Lola.
"Lola?" kata Noni. "Aku membuatkanmu rum dan nimboo."
"Enyah," kata Lola.
"Yah, Kak, dalam situasi apa pun kekejaman dilakukan dalam selubung alasan
yang masuk akal-" "Sungguh menggelikan."
"Tetapi jika kita lupa bahwa ada kebenaran da-nlam apa yang mereka
katakan, masalah-masalah ini akan terus terjadi. Kaum Gurkha dimanfaatkan-"
"Omong kosong tolol," kata Lola kejam. "Orang-orang ini bukan orang baik.
Kaum Gurkha adalah tentara bayaran, itulah mereka. Upah mereka dan mereka akan
setia pada apa saja. Tak ada prinsip yang terkait, Noni. Dan apa maksudnya
GOrkha" Selama ini selalu GUrkha. LAGI PULA, tak banyak Gurkha di sini ada ?beberapa tentu saja, dan beberapa pendatang yang baru pensiun yang datang dari
Hong Kong, tetapi selain itu mereka hanya sherpa, kuli-"
"Ejaan yang diinggriskan. Mereka hanya mengubahnya menjadi-"
"Yang benar saja! Kenapa mereka menulis dalam bahasa Inggris jika mereka
ingin bahasa Nepal diajarkan di sekolah-sekolah" Mereka ini cuma orang-orang
udik, dan itulah kenyataannya, Noni, kautahu itu, kita semua tahu itu."
"Aku tidak tahu."
"Kalau begitu, sana bergabunglah dengan mereka seperti kubilang tadi.
Tinggalkan rumahmu, ting-galkan buku-buku serta Ovaltine-mu serta celana dalam
panjangmu. HA! Aku ingin melihatmu, dasar pembohong dan penipu!?"Akan
kulakukan." "Sana, kalau begitu." Dan setelah kau selesai melakukan itu, sana masuklah
neraka!!" "Neraka?" ujar Noni, mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi di sisi seberang.
"Mengapa neraka?""
"Karena kau akan melakukan tindak KEJAHATAN, itulah sebabnya!" raung Lola.
* Noni kembali duduk di atas bantal naga di sofa. Oh, mereka telah keliru.
Tempat yang sejati ternyata tak mereka miliki. Mereka berdua adalah orang-orang
bodoh yang merasa tengah melakukan sesuatu yang menarik hanya dengan menempati
pondok yang indah ini, dengan merayu diri meng-gunakan buku-buku perjalanan lama
di perpustakaan, mencari sudut pandang terarah tertentu yang bisa digunakan
untuk meromantisasi diri, untuk menemukan apa yang dulu dianggap hanya sebagai
kisah untuk disampaikan di depan Royal Geographic Society, ketika si pengarang
kembali guna memberi ceramah dengan ditemani sherry dan segulung piagam
penghargaan yang terhias huruf emas atas eksplorasi terhadap kerajaan-kerajaan
Himalaya jauh tetapi jauh dari apa" Eksotis bagi siapa" Himalaya merupakan ?pusat bagi kedua bersaudara itu, tetapi mereka tak pernah memperlakukannya
sedemikian. Kehidupan paralel dijalani oleh orang-orang Budhoo, Kesang yang tidak
? ?memiliki ambiguitas atau ketegangan semacam itu, sementara Lola dan Noni
menikmati kepura-puraan bahwa mempertahankan peradaban di tempat nan hijau yang
menjulang dan berkedip-kedip ini merupakan perjua-ngan rutin. Mereka
mempertahankan perlengkapan
berkemahnya, senter-senter, jala nyamuk, jas hujan, botol-botol air panas,
brendi, radio, kotak P3K, pisau militer Swiss, buku tentang ular-ular berbisa.
Benda-benda ini adalah jimat yang dika-runiai tugas mengubah realitas menjadi
sesuatu selain itu, perlengkapan yang diciptakan oleh sebuah dunia yang
menyamakan benda-benda tersebut dengan keberanian. Namun, sesungguh-nya, benda-benda itu sepadan dengan kepengecutan. Noni berusaha menyemangati diri. Barangkali semua orang merasa seperti ini
pada titik tertentu ketika dia menyadari bahwa ada kedalaman pada hidup dan
emosinya di luar signifikansi dirinya sendiri. []
TIGA PULUH SEMBILAN Pada akhirnya, yang berhasil dilampaui Gyan dan Sai adalah sentuhan
pertama, begitu lembut, begitu lembut tak terhingga; mereka telah saling menyentuh seolah-olah mereka bisa pecah, dan Sai tak bisa melupakan itu.
Sai mengingat tatapan garang yang dilempar-kan Gyan padanya di Darjeeling,
memperingatkan Sai agar tidak mendekat.
Pada satu kesempatan terakhir setelah meno-lak mengenali Sai, Gyan datang
ke Cho Oyu. Dia duduk di depan meja seperti terbelenggu.
Beberapa bulan lalu Gyan mengejar-ngejar Sai dengan gigih dan sekarang dia
bertingkah seolah-olah Sai telah mengejar dan memerangkapnya, dalam keadaan
kesal, ke dalam sebuah sangkar!
Pria macam apa ini" pikir Sai. Sai tak bisa memercayai dirinya pernah
mencintai sesuatu yang sehina itu. Ciuman Sai tidak mengubah Gyan menjadi
pangeran; Gyan malah berubah menjadi seekor katak yang menjijikkan.
"Pria macam apa kau ini?" tanya Sai. "Apakah kelakuan seperti ini bisa
diterima?" "Aku bingung," ujar Gyan pada akhirnya, dengan enggan. "Aku cuma manusia
dan kadang-kadang aku lemah. Maaf."
"Maaf itu melepaskan sesosok iblis amarah, "Kau lemah dan manusia atas
pengorbanan siapa! Kau tak akan pernah mencapai apa-apa dalam hidup, Bung,"
teriak Sai, "jika ini kau kira bisa dipakai sebagai alasan. Seorang pembunuh
bisa mengatakan hal yang sama dan kau kira dia akan dibe-baskan dari segala
masalah dan melompat-lompat bahagia?"
Hal yang seperti biasa terjadi, persis seperti yang selalu terjadi dalam
pertengkaran mereka. Gyan mulai merasa jengkel, karena, sungguh, siapa Sai yang
berani-beraninya menguliahi Gyan" "Gorkhaland untuk orang Gorkha. Kami adalah
tentara pembebasan." Dia adalah seorang martir, seorang pria dewasa; bahkan,
seorang pria yang memiliki ambisi, prinsip.
"Aku tidak perlu mendengarkan ini," kata Gyan melompat dan menerjang
keluar dengan tiba-tiba persis ketika Sai masih berbicara panjang lebar dan
berapi-api. Dan Sai menangis, karena itu adalah kebena-ran yang tidak adil.
* Ditinggalkan pada jam malam, muak akan Gyan, muak akan hasrat untuk
dihasrati, Sai masih ber-harap Gyan kembali. Sai sudah kehilangan kemam-puan
lamanya untuk sendiri. Dia menunggu, membaca Wuthering Heights dua kali, setiap kali kekuatan
tulisan itu menjang- kitkan perasaan seekor hewan liar pada perutnya dan dua kali Sai membaca?halaman-halaman terakhir tetap saja Gyan tak datang.
? * Seekor serangga tongkat sebesar sebatang ranting kecil memanjati anak
tangga. Seekor kumbang dengan warna merah yang gegabah mengikuti di belakang.
Seekor kalajengking mati tengah dibongkar oleh gerombolan semut pertama?tama lengan Popeye-nya lepas, diangkut oleh sebarisan semut pekerja, kemudian
sengatnya, dan secara terpisah, matanya.
Tetapi Gyan tidak datang.
Sai pergi mengunjungi Paman Potty. "Ahoy teman," dia berteriak pada Sai
dari beranda rumah-nya seperti dari geladak kapal.
Namun, Paman Potty melihat bahwa Sai tersenyum hanya karena sopan santun,
dan dia merasakan sekilas kecemburuan sebagaimana yang dirasakan para sahabat
ketika kehilangan seorang sahabat karena cinta, terutama mereka yang telah
memahami bahwa persahabatan itu mencukupi, lebih kukuh, lebih sehat, dan lebih
mudah di hati. Sesuatu yang selalu menambah dan tak pernah mengurangi.
Melihat Sai terkurangi, Paman Potty merasa takut, lalu bernyanyi: Kauiah
yang terbaik Kau Nap-O-iean Brandy
Kauiah yang terbaik Kau Ma-HAT-ma Gandy!
Tetapi tawa Sai juga sikap manis yang sengaja dibuat demi Paman Potty,
sebuah kepura-puraan bahwa persahabatan mereka masih seperti dulu.
Paman Potty telah memperkirakan hal ini, dan mencoba menunjukkan pada Sai
jauh sebelumnya bagaimana Sai harus melihat cinta; cinta adalah hiasan rumit dan
seni; pedihnya cinta, kehilangan cinta, seyogianya menjadi bagian dari
inteligensi, bahkan sebuah percintaan yang sedih akan lebih bernilai ketimbang
segala kebahagiaan yang lembam. Bertahun-tahun lalu, sebagai seorang mahasiswa
di Oxford, Paman Potty pernah meng-anggap dirinya sebagai pencinta cinta. Dia
memeriksa kata tersebut dalam kartu katalog dan membawa pulang setumpuk buku;
dia mengisap cerutu cheroot, minum port dan Madeira, membaca segala yang dia
bisa dari psikologi ke sains ke pornografi ke puisi, surat cinta orang Mesir,
erotika orang Tamil abad ke-19 .... Ada kebahagiaan dalam memburu dan kebahagiaan
dalam melarikan diri, dan saat berangkat melakukan perjalanan riset lapa-ngan,
dia menemukan cinta murni di tempat-tempat yang paling mesum, di bagian kota
yang salah tempat, polisi tak berani ke sana; jalan-jalan Abad Pertengahan yang
mirip liang, begitu sempit sehingga orang harus menyusurinya secara miring
melewati para penjual obat terlarang dan pelacur; tempat, pada malam hah, priapria yang tak pernah dia lihat memasukkan lidah mereka ke dalam
mulutnya. Ada Louis dan Andre, Guillermo, Rassoul, Johan serta Yoshi, dan
"Humberto Santamaria," yang pernah dia teriakkan di atas sebuah gunung di
Distrik Lake karena sebuah percintaan yang elegan. Sebagian dari mereka
mencintainya sementara dia tidak mencintai mereka; sebagian yang lain dia cintai
dengan gila-gilaan, dalam, dan mereka, mereka tidak mencintainya sama sekali.
Namun, Sai tengah berada pada posisi yang terlalu dekat untuk bisa menghargai
sudut pandangnya. Paman Potty menggaruk kakinya agar lapisan kulit matinya lepas, "begitu
kau mulai menggaruk, Nak, kau tak bisa berhenti ....
ii* * * Ketika Sai selanjutnya pergi ke Mon Ami, mereka tertawa dan menebak-nebak,
gembira bisa sedikit bersenang-senang di tengah kekacauan, "Siapa pemuda
beruntung itu" Tinggi, tampan, dan gagah?"
"Dan kaya?" kata Noni. "Mari kita berharap dia kaya?"
* Meskipun demikian, untungnya, sedikit nasib baik menimpa Sai dan menutupi
kehancuran harga dirinya ini. Penyelamat Sai adalah flu domestik biasa. Secara
heroik, dia menangkap kesedihan domestik biasa Sai pada waktu yang tepat, mencampur aduk penyebab matanya yang terus berair
dan tenggorokannya yang sakit, mengacaukan gejala virus dengan kejatuhan
memalukan dari tali akrobat cinta yang megah. Tertamengi sedemikian rupa oleh
diagnosis sederhana, Sai menutupi wajahnya dengan kerut merut tak terhingga
sehelai saputangan pria. "Flu!" Hatsyi hatsyi. Satu bagian flu biasa berbanding
dengan sembilan bagian kese-dihan biasa. Lola dan Noni membuatkan minuman yang
terbuat dari madu, lemon, rum, dan air panas. "Sai, kau terlihat parah, parah."
Mata Sai merah dan sakit, bercucuran air mata.
Tekanan melindas otak Sai seperti sepatu bot gestapo.
Di Cho Oyu, si juru masak menggeledah laci obat mencari Coldrin dan Vicks
Vaporub. Dia menemukan sehelai selendang sutra untuk leher Sai, dan Sai terayunayun di dalam kehebohan panas dan dingin Vicks, dirundung angin dingin
eucalyptus, masih merasakan beban dan intensitas penantian yang terus
menggerogoti, beban dan intensitas harapan yang terus hidup tanpa sokongan.
Apakah rasa sayangnya terhadap Gyan hanya-lah sebuah kebiasaan" Bagaimana
mungkin dirinya bisa begitu memikirkan seseorang"
Semakin Sai memikirkannya, semakin Sai memi-kirkannya, semakin Sai
memikirkannya. Untuk mengumpulkan kekuatan, Sai berbicara langsung pada hatinya. "Oh,
mengapa engkau harus bersikap sedemikian buruk?"
Akan tetapi, sang hati tidak mau melunakkan pendirian.
Terdapat kehormatan dalam melupakan dan menyerah, Sai mengingatkan sang
hati; tidak mela-kukannya adalah kekanak-kanakan semua orang harus menerima ?ketidaksempurnaan dan kehilangan dalam hidup.
Ubur-ubur raksasa, dodo terakhir.
Pada suatu pagi, flunya mereda, Sai menyadari bahwa alasan itu tak lagi
bisa dipakai. Saat jam malam berakhir, untuk menyelamatkan kehormatan-nya, Sai
memulai misi tak terhormat mencari Gyan.[]
EMPAT PULUH Gyan tidak ada di mana-mana di pasar, tidak ada di toko musik dan video
tempat Rinzy dan Tin Tin Dorji menyewakan kaset-kaset usang film Bruce Lee dan
Jackie Chan.

Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Belum, belum melihatnya," kata Dawa Bhutia menjulurkan kepala keluar dari
uap masakan kubis di dapur Restoran Chin Li.
"Belum ke sini," kata Tashi di Snow Lion, yang telah menutup lini
perjalanan bisnisnya, gara-gara tidak ada wisatawan, dan memasang meja biliar.
Poster-poster masih tertempel di dinding, "Alami keagungan Raj; datanglah ke
Sikkim, tanah tempat lebih dari dua ratus biara berada." Terkunci di belakang,
dia masih memiliki harta karun yang dia keluarkan untuk dijual kepada para turis
kaya: sebuah thangkha langka yang menggambarkan para lama berlayar di atas
makhluk laut gaib untuk menyebarkan dharma ke Cina; anting-anting seorang pria
bangsawan; sebuah cawan dari batu permata nefrit yang diselundupkan dari sebuah
biara Tibet, begitu transparan cahaya menembus-nya hingga memunculkan gumpalan
awan mendung hijau dan hitam. "Sungguh tragis apa yang terjadi di Tibet," para
turis akan berkata, tetapi wajah mereka menunjukkan kegembiraan belaka melihat
ba- rang rampasan itu. "Hanya dua puluh lima dolar!"
Namun, sekarang dia terpaksa menggantungkan diri pada mata uang lokal.
Sepupu Tashi yang terbelakang mental berlari bolak-balik sambil membawa botolbotol antara Gompu's dan meja biliar agar orang-orang bisa terus minum saat
mereka bermain dan mengobrolkan tentang gerakan. Selapis muntahan bertebaran di
sekitar. Sai berjalan melewati ruang-ruang kelas pergu-ruan tinggi Kalimpong yang
kosong, serangga-serangga mati menggelung bertumpuk-tumpuk pada jendela-jendela
yang tertutup es, lebah-lebah terjerat benang sutra laba-laba, papan tulis masih
berisi simbol-simbol dan perhitungan. Di sini, di dalam atmosfer berkloroform
ini, Gyan pernah belajar. Sai berjalan memutar ke sisi sebalik gunung yang
berpemandangan Sungai Rolli dan Bong Busti, tempat Gyan tinggal. Butuh dua jam
perjalanan menuruni bukit menuju rumah Gyan di wilayah miskin Kalimpong yang
sangat asing bagi Sai. Gyan telah menceritakan kisah nenek moyang-nya yang pemberani di
ketentaraan, tetapi menga-pa dia tak pernah bicara mengenai keluarganya yang ada
di sini saat ini" Di lubuk benaknya, Sai tahu dia seharusnya tetap di rumah,
tetapi dia tak bisa menghentikan diri.
Sai melewati beberapa gereja: Saksi Yehovah, Advent, Santa hah akhir,
Baptis, Mormon, Pan-tekosta. Gereja Inggris lama berdiri di jantung kota,
gereja-gereja Amerika di pinggiran, tetapi toh gereja-gereja yang baru memiliki
lebih banyak uang serta semangat yang lebih bertalu-talu, dan mereka mengejar dengan cepat.
Pelaksana yang sempurna, pula, dalam teknik sembunyi-di-balik-pohon-dan-muncultiba-tiba untuk mengejutkan orang-orang yang mungkin melarikan diri; dalam
penyamaran salwar kameez (jauh lebih mudah untuk melahap-mu, Nak ...); dan jika
kita bergabung dalam obrolan remeh pelajaran bahasa yang tak berbahaya (jauh
lebih mudah untuk menerjemahkan Bibel, Nak ...), itu dia mereka sulit ?disingkirkan layaknya amuba.
Namun, Sai lewat tanpa diganggu. Gereja-gereja itu gelap; para misionaris
selalu pergi pada masa-masa berbahaya untuk menikmati kue kering keping cokelat
dan menambah dana di kampung halamannya, sampai situasi cukup tenang untuk
berusaha lagi sehingga mereka bisa melancarkan serangan, yang sudah diperbarui
dan diperkuat, terhadap khalayak yang terlemahkan dan putus asa.
Sai melintasi ladang-ladang dan kerumunan kecil rumah, menjadi bingung
dalam jaringan kapiler jalan kecil yang menyilangi pegunungan, tegak lurus
seperti tanaman merambat, membelah dan berakhir ke dalam jalan-jalan kecil lain
menuju gubuk-gubuk yang bertengger di sepanjang punggung bukit selebar alis
dalam rumpun bambu lebat. Atap-atap seng menjanjikan tetanus; kakus di luar
rumah menganjur ke udara agar tahi bisa jatuh ke dalam lembah. Batang bambu yang
dibelah dua membawa air ke petak-petak jagung serta labu, dan pipa-pipa seperti
cacing yang melekat pada pompa meren-tang dari sebuah parit ke gubuk-gubuk itu.
Keliha- tan indah dalam cahaya matahari, rumah-rumah mungil ini, bayi-bayi
merangkak di sekitar dengan pantat merah dari sela-sela celana yang bagian
belakangnya dipotong agar mereka bisa melakukan susu dan buang air besar;
fuschia dan mawar karena semua orang di Kalimpong menyukai bunga, bahkan di ?tengah kelimpahan botani yang ada padanya. Meskipun demikian, Sai tahu bahwa
begitu siang menghilang, kita tak akan bisa meng-abaikan kemiskinan itu, dan
akan menjadi jelas bahwa bagian dalam rumah-rumah ini sesak dan basah, asap
cukup tebal untuk mencekik orang, para penghuninya makan seadanya diterangi
cahaya lilin yang terlalu suram untuk bisa digunakan melihat, tikus-tikus serta
ular di dalam kasau ber-kelahi memperebutkan serangga dan telur burung. Kita
tahu bahwa hujan mengumpul di bawah dan membuat lantai tanahnya becek, bahwa
semua prianya minum terlalu banyak, realitas tergelincir ke dalam mimpi buruk,
percekcokan, dan pemukulan.
Seorang perempuan yang menggendong bayi melintas. Perempuan itu berbau
tanah serta asap dan aroma pekat yang terlalu manis tercium dari si bayi,
seperti bau jagung direbus.
"Apakah Anda tahu di mana tempat tinggal Gyan?" Sai bertanya.
Dia menunjuk pada sebuah rumah persis di depan mereka; di sana rumah itu
berdiri dan sesaat Sai merasa terpana.
Rumah itu adalah kubus berlapis lumpur; tem-boknya pastilah dibuat dengan
semen yang terusak pasir karena semennya meluap keluar dari bekas-bekas bopeng seolah-olah
dari kantung yang bocor. Mercu-mercu tiang kabel listrik menjulang di sudut-sudut bangunan,
membelah menjadi beberapa bagian yang menghilang ke dalam jendela-jendela yang
dipasangi terali tipis seperti penjara. Sai bisa mencium bau selokan terbuka
yang se-ketika mengungkapkan tentang sistem pembuangan lamban yang setiap hah
selalu bermasalah meskipun sangat sederhana. Selokan itu mengalir dari rumah
tersebut di bawah kumpulan kasar bebatuan dan mengalir melintasi tanah yang
ditandai dengan kawat berduri, dan dari bawah kawat ini muncullah segerombol
ayam betina kebingungan dan marah yang dikejar-kejar oleh seekor ayam jantan
berahi. Lantai atas rumah tersebut belum selesai, barangkali terhenti karena
kekurangan dana, dan, sembari menunggu terkumpul dana cukup banyak untuk
meneruskan pembangunan, lantai atas itu menjadi rusak; tak ada dinding tak ada
atap, hanya segelintir tiang dengan batang-batang besi mencuat di bagian atas
untuk memberi sketsa dasar mengenai apa yang akan menyusul. Sudah dilaku-kan
upaya untuk menyelamatkan batang-batang besi itu dari karat dengan botol-botol
soda yang dibalik, tetapi tetap saja batang-batang itu berwarna oranye cerah.
Namun, Sai bisa memastikan bahwa bangunan itu adalah rumah berharga milik
seseorang. Bunga-bunga marigold dan zinia menghiasi tepian
beranda; pintu depan dalam keadaan terbuka dan Sai bisa melihat melintasi
pernis pintu itu yang mengerut, sebuah jam dinding berlapis warna keemasan dan
selembar poster bergambar anak kecil berambut pirang kemerahan tergantung pada
dinding yang berjamur, jenis hal yang pasti akan diolok-olok Lola dan Noni tanpa
ampun. Ada rumah-rumah seperti ini di mana-mana, tentu saja, lazim bagi mereka
yang telah berjuang mencapai ujung terendah kelas menengah hanya di ujung,
?hanya sedikit saja, bertahan mati-matian tetapi setiap saat rusak lagi, rumah
?itu merosot, bukan menjadi kemiskinan indah yang sering dipotret para turis,
melainkan menjadi sesuatu yang benar-benar muram modernitas diberikan dalam
? bentuknya yang paling kikir, benar-benar baru pada suatu hah, hancur berantakan
keesokan harinya. * Rumah itu tidak cocok dengan cara bicara Gyan, bahasa Inggrisnya,
tampangnya, pakaiannya, atau-pun pendidikannya. Tidak cocok dengan masa depan
Gyan. Segala hal yang dimiliki keluarga Gyan dicurahkan kepadanya dan butuh
sepuluh orang dari mereka menjalani hidup seperti ini untuk mengha-silkan
seorang pemuda yang tersisir rapi, terpelajar, taruhan terbaik mereka di dunia
yang besar. Pernikahan saudara-saudara perempuan, pendidikan adik-adik lelaki,
gigi nenek semua ditunda, dibung-?kam, sampai dia mentas, bekerja keras, mengirim sesuatu kembali.
Sai merasa malu, saat itu, untuk Gyan. Betapa Gyan pasti berharap
kebisuannya akan ditafsirkan sebagai harga diri. Tak heran Gyan menjauhkan Sai.
Tak heran Gyan tidak pernah menyinggung-nying-gung tentang ayahnya. Dilema dan
stres yang tentu ada di dalam rumah ini bagaimana Gyan bisa membiarkan itu
?semua keluar" Dan Sai juga merasa jijik saat itu, pada dirinya sendiri.
Bagaimana dirinya bisa terkait dengan upaya ini, tanpa pengetahuan ataupun
persetujuannya" Sai berdiri memandangi ayam-ayam itu, tak yakin harus berbuat apa.
* Ayam, ayam, ayam memberi sedikit pemasukan tambahan. Unggas-unggas
tersebut tak pernah me-nampilkan diri sejelas itu kepada Sai; sebuah ge-rombolan
yang ganjil, perkosaan dan kekerasan tengah dipentaskan, ayam-ayam betina
didesak dan dipatuk sementara mereka menjerit-jerit dan mengepak-ngepakkan
sayap, berusaha melepaskan diri dari ayam jantan pemerkosa.
Beberapa menit berlalu. Haruskah dia pergi, haruskah dia tinggal"
Pintu itu terdorong semakin membuka, dan seorang gadis berusia sekitar
sepuluh tahun keluar dari rumah itu sambil membawa panci masak untuk digosok
dengan lempung dan kerikil di keran luar.
"Apakah Gyan tinggal di sini?" Sai bertanya tanpa sadar.
Kecurigaan membayangi wajah gadis itu. Itu adalah raut kepastian motifmotif tersembunyi yang tenang dan tua, raut yang lucu pada seorang anak kecil.
"Dia guru les matematikaku."
Masih menunjukkan ekspresi seolah-olah seseorang seperti Sai hanya bisa
berarti masalah, gadis itu meletakkan panci dan kembali masuk ke dalam rumah
ketika ayam jantan menyerbu untuk me-matuk bulir-bulir nasi yang melekat di
dasar panci, langsung memanjat masuk ke dalam, memberi ke-bebasan sementara pada
ayam-ayam betina. Pada saat itulah, Gyan keluar, menangkap raut jijik Sai sebelum Sai sempat
menyembunyikannya, dan menjadi murka. Berani-beraninya Sai mencari dirinya untuk
memuaskan rasa belas kasihannya! Dia sempat merasa bersalah atas kebisuannya
yang berkepanjangan, tengah mempertimbangkan datang kembali untuk menemui Sai,
tetapi sekarang dia tahu bahwa dirinya benar. Si ayam jantan memanjat keluar
dari panci dan mulai berjalan dengan angkuh. Ayam jantan tersebut adalah satusatunya hal yang megah di sekitar tempat itu, bermahkota, bertaji, berkokok
membanggakan diri seperti seorang kolonialis.
* "Mau apa kau?" Sai melihat pikiran Gyan mengubah mata dan mulut Gyan, teringat bahwa Gyan
telah meninggalkan dirinya, bukan sebaliknya, dan Sai merasa-kan amarah yang
getir. Dasar munafik busuk. Berpura-pura satu hal, menjalani hal yang lain. Tak ada selain kebohongan
dalam segala hal. Agak jauh dari situ, Sai bisa melihat sebuah bi-lik kakus terbuat dari
empat batang bambu dan kain karung tipis menerawang di atas ngarai yang
mengkhawatirkan. Barangkali Gyan berharap dapat menggunakan bujuk rayu agar bisa memasuki
Cho Oyu; mungkin seluruh keluarganya bisa pindah ke sana, jika dia memainkan
perannya dengan benar, dan mengu-nakan kamar-kamar mandi besar itu, masingmasing sebesar rumahnya. Cho Oyu mungkin sudah mulai ambruk, tetapi tempat itu
pernah sangat megah; rumah itu memiliki masa lalu kalaupun bukan masa depan, dan
itu barangkali sudah cukup gerbang berkerawang hitam, nama rumah diukir pada ?pilar batu mengesankan dengan peluru meriam berlumut di atasnya seperti dalam To
the Manor Born. Saudara perempuan Gyan memandangi mereka dengan penuh rasa ingin tahu.
"Mau apa kau?" suara dingin Gyan mengulang pertanyaan.
Sesungguhnya, Sai datang untuk memanggil Gyan momo, sesendok nikmat daging
kambing cincang di dalam bungkus berlekuk yang menawan, Sai datang untuk duduk
di pangkuan lelaki ini, bertanya kenapa Gyan belum memaafkannya seperti waktu pertengkaran Natal
lalu, tetapi Sai tak akan membuat Gyan puas degan mengakui kelemahan apa pun.
Alih-alih, Sai berkata bahwa dia datang mengenai Bapa Booty.
* Kemarahan Sai pada ketidakadilan yang menimpa temannya itu kembali melanda
seketika. Bapa Booty tersayang, yang telah dipaksa memasuki jip yang berangkat
menuju bandara Siliguri, setelah kehilangan segalanya kecuali kenangan: waktu
ketika dia memberi ceramah mengenai bagaimana peterna-kan-peternakan sapi bisa
menciptakan ekonomi gaya Swiss mini di Kalimpong dan disambut dengan tepuk
tangan sambil berdiri; puisinya mengenai sapi di Illustrated Weekly; dan "Tak
ada yang semanis ini, sobat" malam-malam di beranda Paman Potty, ketika musik
?berakhir pada nada semanis madu yang berkepanjangan, serta rembulan bulat
?sempurna melayang naik, keajaiban keju terang seorang alkemis. Betapa cepatnya
?bumi berputar! Semua itu sudah berakhir.
Bagaimana dia bisa hidup, keluh Bapa Booty, di tempat dia akan dipangkas
menjadi seorang jompo yang disokong negara dan dibungkus dalam kotak yang sangat
bersih di sebelah orang tua lain yang diduga sama persis dengan dirinya?Bapa Booty meninggalkan temannya Paman
Potty dalam keadaan berduka, minum minuman keras, dunia pecah bergelombang
di sekitarnya; kursi terbang ke satu arah, meja dan kompor ke arah lain; seisi
dapur bergoyang ke depan dan ke belakang.
* "Lihat apa yang kalian perbuat," Sai menyalahkan Gyan.
"Memangnya apa yang kuperbuat" Apa hubu-ngannya diriku dengan Bapa Booty?"
"Sangat berhubungan."
"Yah, jika itu yang mesti dikorbankan, biarlah. Apa orang Nepal harus
terus sengsara selama dua ratus tahun lagi agar polisi tidak punya alasan
mengusir Bapa Booty?" Gyan keluar dari gerbang, menggiring Sai menjauh dari
rumahnya. "Ya," sahut Sai. "Kau, misalnya, lebih baik pergi daripada Bapa Booty. Kau
mengira dirimu hebat ... yah, kau tahu sesuatu" Kau tidak hebat! Bapa Booty telah
berbuat lebih banyak ketimbang yang akan kau perbuat untuk orang-orang di
perbukitan." Gyan menjadi benar-benar marah.
"Sebenarnya, baguslah mereka menendangnya keluar," kata Gyan, "siapa yang
butuh orang Swiss di sini" Sudah berapa ribu tahun kita memproduksi susu
sendiri?" "Kalau begitu, kenapa kau tidak melakukannya" Kenapa kau tidak membuat
keju?" "Kita hidup di India, terima kasih banyak. Kami
tidak ingin keju dan kami sungguh tidak memerlukan cerutu cokelat."
"Ah, hal yang itu-itu lagi." Sai ingin mencakar Gyan. Sai ingin mencungkil
mata Gyan dan me-mukulinya hingga biru-biru. Citarasa darah, asin, pekat Sai
?bisa membayangkan rasanya. "Perada-ban itu penting," kata Sai.
"Itu bukan peradaban, dasar bodoh. Sekolah dan rumah sakit. Itu
peradaban." Dasar bodoh berani-beraninya Gyan!
?"Tetapi orang harus punya standar. Kalau tidak, segala sesuatu akan jatuh
ke level yang sama rendahnya seperti kau dan keluargamu."
Sai terkejut sendiri saat bicara, tetapi dalam momen ini dia bersedia
memercayai apa pun yang berseberangan dengan Gyan.
"Oh, begitu, kemewahan Swiss menjadi standar, cokelat dan jam tangan
menjadi standar.... Ya, tenangkan nuranimu yang bersalah, gadis kecil bodoh, dan
berharaplah tak ada yang membakar rumahmu gara-gara alasan sederhana bahwa kau
ini bodoh." Lagi-lagi Gyan menyebut Sai bodoh "Jika ini pendapatmu, kenapa kau tidak?mem-boikot keju saja alih-alih melahapnya" Sekarang kau menyerang keju" Munafik!
Tetapi enak sekali makan keju ketika kau punya kesempatan, bukan" Semua roti
bakar keju itu" Ratusan tangkup roti bakar keju yang mungkin telah kau makan.
Belum lagi cerutu cokelat .... Rakus sekali, memakannya seperti seekor babi
gendut. Juga roti bakar isi ikan tuna serta
biskuit selai kacang!"
Pada titik ini, saat pembicaraan menjadi beran-takan, selera humor Gyan
mulai kembali, dan Gyan mulai terkekeh, matanya melembut, dan Sai bisa melihat
ekspresi Gyan berubah. Mereka jatuh kembali ke dalam keakraban, ke dalam
pengetahuan yang sama, ke dalam wilayah abu-abu yang kotor. Hanya manusiamanusia biasa dalam cahaya telur rebus buram yang biasa, tanpa keanggunan, tanpa
kejutan, campuran pelbagai kontradiksi, prinsip-prinsip sederhana,
memperdebatkan apa yang separuh mereka percayai atau bahkan yang tidak mereka
percayai sama sekali, menghasrati kenya-manan sebagaimana kebersahajaan ketat,
keaslian sebagaimana permainan sandiwara, menghendaki kenyamanan keluarga
sebagaimana meninggalkan mereka selamanya. Keju dan cokelat mereka ke-hendaki,
tetapi juga mengenyahkan seluruh hal asing sialan ini. Cinta nekat yang liar
untuk me-ngantar mereka bersepeda ke angkasa, tetapi juga cinta nasi dan dal
yang diberkahi dengan perasaan rutinitas yang tak menghebohkan, kejutan-kejutannya terjaring dengan aman dalam sesuatu yang sungguh-sungguh familier seperti
menikahi anak perempuan atau anak lelaki sahabat ayah kita dan menggerutu


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang harga kentang, harga bawang merah. Setiap kontradiksi yang mungkin
disediakan oleh sejarah atau oleh kesempatan pada mereka, setiap kontradiksi
yang mereka warisi, mereka hasrati. Namun, hanya dalam kadar yang sama, tentu
saja, seperti mereka menghasrati kemurnian
dan ketiadaan kontradiksi
* Sai juga mulai tertawa sedikit.
"Momo?" ucap Sai, beralih ke nada memohon. Lalu, secepat kilat Gyan
membelok kembali. Ingat bahwa ini bukan percakapan yang ingin dia akhiri dalam
tawa. Nama panggilan yang kekanak-kana-kan, sentuhan halus mata Sai semua itu
?mem-bangkitkan amarah Gyan. Bagaimana Sai membuat Gyan meminta maaf, bagaimana
Sai mencoba me-merangkapnya, membedongnya, menyeretnya ke dalam bubur ketergilagilaan yang menjengkelkan, kemanisan bayi yang lengket memualkan ... iiiih ....
Gyan butuh menjadi pria. Dia butuh berdiri te-gak dan menjadi kasar.
Kekeringan, keleluasaan, sikap badan yang bagus dan tegap. Bukan buang-buang
waktu, kebingungan, menggeliat-geliat dalam gula seperti ini ....
* Oh, ya, betapa Gyan butuh menjadi kuat
?Karena, sejujurnya, seiring minggu berlalu, dia, Gyan, merasa takut dia
?yang mengira tak ada yang lebih membahagiakan ketimbang meneriakkan kemenangan
atas penindasan, dia yang telah me-ngacungkan kepalan tangan pada kekuasaan,
yang telah mendapati bahwa api semangat teman-teman kuliahnya menyucikan, dia
yang telah mengklaim lereng bukit, menikmati pikiran tentang kakak-beradik Mon Ami dengan aksen
Inggris mereka yang dibuat-buat menjadi pucat dan gemetaran dia, yang merupakan?pahlawan bagi tanah air....
Gyan mendengarkan dengan kegentaran semakin meningkat saat percakapan di
Gompu's semakin memanas. Kapan teriak-teriak dan pemogokan pernah membawa hasil,
kata mereka, dan berbicara tentang membakar wisma persinggahan dinas, me-rampok
pom bensin. Ketika Chhang, Bhang, Gyan, Burung Hantu, dan Keledai melompat ke dalam
jip, mengisi bensin di pom bensin lalu pergi tanpa membayar, Gyan gemetaran
sehebat manajer pom yang berada di sisi seberang jendela, otot jantungnya
tersentak-sentak tanpa kendali.
Ada orang-orang yang terprovokasi oleh tan-tangan tersebut, tetapi Gyan
tak mendapati dirinya termasuk orang-orang ini. Dia marah karena keluar-ganya
tidak terpikir untuk melarangnya, mengu-rungnya tetap di rumah. Dia benci
ayahnya yang menyedihkan, ibunya yang meminta bimbingan dari dirinya, yang
selalu meminta bimbingan dari Gyan, bahkan ketika Gyan masih kecil, hanya karena
dia lelaki. Gyan menghabiskan malam-malamnya dengan terjaga, khawatir dia tidak
bisa memenuhi pernya-taan-pernyataannya sendiri.
Namun, bagaimana orang bisa memiliki harga diri tatkala mengetahui bahwa
dia sama sekali tak meyakini apa pun" Bagaimana orang bisa merengkuh apa yang
menjadi haknya jika dia tak meninggalkan
sesuatu untuk itu" Bagaimana orang bisa mencip-takan kehidupan penuh makna
dan kebanggan" * Ya, dia berutang banyak pada penolakannya atas Sai.
Celah yang diberikan Sai menuju ke dunia yang lain memberi cukup ruang
untuk dienyahkan Gyan; Gyan bisa melawan Sai, menegaskan konflik dalam hidupnya
yang telah dia rasakan selama ini, tetapi dengan cara yang selembut katun-wul.
Dalam tindakan menyingkirkan Sai, suatu energi terlahir, sebuah tujuan
meruncing. Gyan tak akan berdamai dengan manis.
"Kau membenciku," ujar Sai, seolah-olah membaca pikiran Gyan, "karena
alasan-alasan besar yang tak ada hubungannya denganku. Kau tidak bersikap adil."
"Apa yang adil" Apa yang adil" Apa kau punya pengetahuan sedikit pun
mengenai dunia ini" Apa kau mau repot-repot melihat" Apa kau memahami bagaimana
keadilan bekerja, atau, lebih tepatnya, TIDAK bekerja" Kau bukan bayi lagi, tahu
"Dan seberapa dewasa kau ini" Bahkan, terlalu takut untuk datang memberi
les karena kautahu bahwa kau telah berbuat buruk dan kau terlalu pengecut untuk
mengakuinya! Kau barangkali hanya duduk-duduk menunggu ibumu menjodohkanmu.
Keluarga kelas rendah, tak berpendidikan, tipe menikah berdasarkan perjodohan ...
mereka akan mencarikan seorang gadis tolol untuk kaunikahi dan kau akan senang
sepanjang hidupmu karena memiliki sebuah boneka. Kenapa tidak mengakuinya,
Gyan?"" Pengecut! Berani-beraninya Sai" Siapa yang mau menikahinya!
"Kau kira luar biasa bagiku duduk di beranda-mu" Aku tak mungkin
menghabiskan hidup cuma makan roti bakar keju, benar, bukan?"
"Aku tak memintamu. Kau melakukannya atas kemauanmu sendiri, dan bayar
kami untuk itu, jika memang demikian pendapatmu." Sai menemukan se-rangan baru
dan mengikutinya meskipun dia terus-menerus bertambah ngeri oleh kata-kata kasar
yang mengalir dari mulutnya, tetapi seolah-olah dia tengah berada di atas
panggung; peran yang dia mainkan jauh lebih kuat ketimbang dirinya sendiri.
"Makan gratis ... khas orang-orang seperti kalian, menuntut dan mengambil
lantas meludahi apa yang telah diberikan pada kalian. Ada satu alasan kenapa
kalian tak akan mencapai apa-apa?"Karena kalian tidak layak mendapatkannya. Kenapa kau memakannya jika itu
tak layak buatmu?" "Bukan tak layak buatku. Tak ada HUBUNGANNYA denganku, DASAR BODOH-"
"Jangan sebut aku BODOH. Sepanjang percakapan ini kau terus mengulangulangnya, BODOH BODOH-"
Menyerbu Gyan dengan mata dan kukunya, setelah mempelajari sesuatu dari
tingkah laku ayam biasa beberapa menit lalu, Sai menggurat lengan Gyan dengan
garis-garis merah dar-"Kau memberi
tahu mereka tentang senjata-senjata itu, bukan?" jerit Sai tiba-tiba. "Kau
menyuruh mereka datang ke Cho Oyu" Benar bukan, BENAR BUKAN?"
Semua meledak begitu saja meskipun Sai belum pernah mempertimbangkan
kemungkinan ini sebelumnya. Tiba-tiba kemarahannya, ketidakhadiran Gyan, Gyan
yang mengabaikannya di Darjeeling semuanya berkumpul menjadi satu.
?Rasa bersalah Gyan melekat tanpa disadari, meruyak dalam matanya,
menghilang muncul lagi. Menggeliat-geliat melompat-lompat berusaha melepaskan
diri seperti seekor ikan yang terjala. "Kau sudah giia."
Aku melihat itu, sambar Sai. Melompat untuk merenggutnya dari mata Gyan.
Namun, Gyan me-nangkap Sai sebelum Sai mencapainya, kemudian melemparkannya ke
samping ke dalam semak-semak iantana dan memukul-mukul sekeliling dengan
sebatang tongkat. * "Gyan bhaiya?" suara ragu-ragu saudara perempuan Gyan terdengar saat Sai
berhasil berdiri. Mereka berdua berbalik penuh kengerian. Semua kejadian itu disaksikan.
Gyan menjatuhkan tongkat dan memerintah saudarinya, "Jangan mondar-mandir di
sini. Sana pulang. Atau aku akan memukulmu keras-keras."
Dan Gyan berteriak pada Sai, "Jangan pernah datang lagi ke sini." Oh,
sekarang semua ini akan dilaporkan pada orangtuanya.
Sai berteriak kepada adik Gyan, "Baguslah kau melihatnya, baguslah kau
mendengarnya. Sana beri tahu orangtuamu apa yang selama ini dikerjakan kakakmu,
mengatakan padaku dia cinta aku, membuat segala macam janji, kemudian mengirim
perampok ke rumah kami. Aku akan melapor polisi dan mari kita lihat apa yang
akan terjadi pada keluargamu. Gyan akan dicungkil matanya, dipotong lehernya,
kemudian mari kita lihat ketika kalian semua datang sambil menangis mengemisngemis .... Hah!" Sang adik berusaha mendengarkan, tetapi Gyan memegang kepangnya dan
menariknya pulang. Sai telah mengkhianatinya, membuatnya mengkhia-nati orang
lain, bangsanya sendiri, keluarganya. Sai telah merayunya, mendekatinya dengan
sembunyi-sembunyi, memata-matainya, menghancurkannya, menyebabkannya bertindak
keji. Gyan tak sabar menunggu hah ketika ibunya menunjukkan foto gadis yang akan
dinikahinya, seorang gadis yang menawan, harap Gyan, dengan pipi seperti dua
buah apel Simla, yang tak membiarkan pikirannya melintasi selokan serta wilayah
abu-abu, dan Gyan akan memujanya karena gadis itu sungguh merupakan keajaiban.
Sai tidak ajaib, dia adalah sosok yang tak menarik, refleksi dari segala
kontradiksi di se-kitarnya, sebuah cermin yang menunjukkan pada Gyan dirinya
sendiri dengan terlalu jelas sehingga memustahilkan kenyamanan.
* manan bagi jiwa-jiwa di seluruh dunia, tetapi itu tak bisa menyamankan
Sai. Dia tak merasakan lagi iba yang dia rasakan sebelumnya ketika merenungkan
pemandangan ini; bahkan para petani bisa mendapatkan cinta dan kebahagiaan,
tetapi dia tidak, dia tidak ....
* Ketika Sai sampai di rumah, dia melihat dua orang di beranda tengah
berbicara kepada si juru masak dan sang hakim.
Seorang perempuan sedang memohon, "Kepada siapa orang pergi bila dia
miskin" Orang seperti kami harus menderita. Semua goonda bermunculan dan polisi
bekerja sama dengan mereka."
"Siapa kalian?"
Perempuan yang tengah memohon belas kasi-han ini adalah istri dari pemabuk
yang ditangkap dan ditanyai polisi tentang perampokan senjata di Cho Oyu serta
yang telah menjadi sasaran latihan strategi penyiksaan baru para polisi. Mereka,
di Cho Oyu, telah lupa tentang pria ini, tetapi istri pria tersebut berhasil
melacak pertalian mereka dan dia datang dengan bapak mertuanya untuk menemui
sang hakim, berjalan selama setengah hah dari sebuah dusun di seberang Sungai
Relli. "Apa yang akan kami perbuat?" dia bertanya dengan memelas. "Kami bahkan
bukan orang Nepal, kami orang Lepcha ... Suami saya tak bersalah dan polisi telah
membutakan matanya. Dia tak tahu
Sai mulai mengikuti kakak-beradik itu, tetapi kemudian berhenti. Rasa malu
mulai menggerogoti diri Sai. Apa yang dia lakukan" Dialah yang akan mereka
tertawakan, gadis putus asa yang telah berjalan sejauh ini demi cinta tak
terbalas. Gyan akan ditepuk punggungnya dan diberi selamat atas penaklukannya.
Sai akan dipermalukan. Tanpa se-ngaja Gyan menemukan trik lama yang membuatnya
kembali menjadi pahlawan, "lelaki yang dihasrati" .... Semakin Gyan menghina Sai
di belakangnya-"Oh, gadis sinting itu mengikutiku terus ..." semakin para pria ?akan bersorak-sorai, semakin status Gyan akan meningkat di Kantin Thapa's,
semakin Sai akan diubah tanpa sepengetahuannya menjadi seorang wanita gila,
semakin Gyan menggemuk oleh rasa bangga .... Sai merasa harga dirinya sendiri
beranjak pergi, ketika dia menyaksikan dari jauh saat Gyan dan adik perempuannya
berjalan menyusuri jalan setapak. Saat mereka memasuki rumah, harga diri Sai
turut lenyap. * Sai berjalan pulang dengan sangat perlahan, mual, muak. Kabut mulai
menebal, asap mempertebal petang hah dan uap air. Bau kentang dimasak menguar
dari rumah-rumah busti di sepanjang jalan, bau yang sudah pasti berkonotasi
dengan kenya- apa-apa tentang Anda, dia sedang berada di pasar seperti biasa, semua
orang tahu," isak sang istri, menatap ke arah sang bapak mertua, meminta
bantuan. Apa gunanya perempuan ini memprotes dan menangis"
Akan tetapi, bapak mertuanya terlalu ketakutan. Dia sama sekali tidak
mengatakan apa-apa, hanya berdiri saja; ekspresinya tak bisa dibedakan dengan
kerut-kerut wajahnya. Anak lelakinya, bila tidak sedang minum-minum, bekerja
merenovasi jalan di distrik itu, memuat bebatuan dari palung Sungai Teesta ke
dalam truk-truk kontraktor, membongkar muatan di tempat-tempat konstruksi,
membersihkan longsoran yang jatuh dan jatuh dengan gerakan abadi yang sama
seiring sungai mengalir turun. Istri anak lelakinya juga bekerja di jalan tol,
tetapi tak ada pekerjaan yang bisa dilakukan sekarang karena GNLF telah menutup
seluruh jalan. "Kenapa datang padaku" Pergilah ke polisi. Mereka yang menangkap suamimu,
bukan aku. Itu bukan salahku," kata sang hakim, yang gusar sehingga lancar
bicara. "Lebih baik kalian pergi dari sini."
"Anda tak boleh mengirim perempuan ini ke polisi," tegur si juru masak,
"bisa-bisa mereka me-lecehkannya."
Perempuan itu sudah terlihat seperti habis diperkosa dan dipukuli.
Pakaiannya sangat kotor dan giginya mirip sederet biji jagung busuk, sebagian
hilang, sebagian menghitam, dan dia sangat
bungkuk karena biasa mengangkut batu pemandangan yang lazim, perempuan ?semacam ini di perbukitan. Beberapa orang asing bahkan telah memotretnya sebagai
bukti kengerian .... "George,1 George,'" seru seorang istri yang terkejut kepada suaminya yang
membawa kamera. Dan sang suami menjulurkan badan keluar jendela: Klik! "Dapat,
Sayang ...!" "Tolong kami," pinta perempuan itu.
Sang hakim seolah tiba-tiba teringat kepri-badiannya, menjadi kaku, dan
tak mengatakan apa-apa, memasang topeng pada mulutnya, tak melihat kanan ataupun
kiri, kembali pada permainan caturnya.
Dalam kehidupan ini, sang hakim teringat lagi, kita harus menghentikan
pikiran kita jika ingin tetap utuh, kalau tidak, rasa bersalah dan iba akan
merenggut segalanya dari kita, bahkan diri kita dari diri kita sendiri. Dia
merasa malu oleh perhatian yang tengah diseret kembali pada penghinaan dirinya,
pemasangan taplak di meja, tawa itu, peram-pokan senapan-senapan yang tak pernah
menyum-bang pada balet kematian yang dipercepat saat musim bebek tiba.
Sekarang, seperti dapat diramalkan, kekacau-an telah semakin berkembang.
Inilah sebabnya dia pensiun. India terlalu ka-cau untuk keadilan, keadilan
hanya akan berakhir dalam penghinaan bagi pihak yang berwenang. Dia telah
melaksanakan kewajibannya seperti kewajiban warga negara lainnya untuk
melaporkan masalah pada polisi, dan sekarang itu bukan lagi tanggung jawabnya. Beri sedikit
saja pada orang-orang ini dan setelah itu, kita akan mendapati diri menyokong
seisi keluarga selamanya, keluarga yang terus berlipat ganda, tak ragu lagi,
karena mereka mungkin saja tak punya makanan, sang suami mungkin saja buta dan
patah kakinya, sedangkan sang perempuan mungkin saja berpenyakit anemia dan
bungkuk, tetapi mereka masih menghasilkan bayi setiap sembilan bulan. Jika kita
membiarkan orang-orang seperti itu mendapatkan satu inci saja, mereka akan
mengambil segala yang kita miliki seluruh anggota keluarga terkuk jadi satu ?karena rasa bersalah di satu sisi, dan kerakusan tanpa akhir serta kemampuan
untuk bergantung di sisi lain dan jika mereka tahu bahwa kita mudah dibu-juk,
?semua orang ikut menyerahkan rasa bersalah-nya guna memperbesar rasa bersalah
kita: rasa bersalah lama, rasa bersalah baru, segala jenis rasa bersalah yang
pernah melintas. * Si juru masak memandangi pria dan wanita itu, lan-tas menghela napas.
Mereka menatap Sai, "Didi si perempuan berkata. Matanya terlalu putus asa
untuk dilihat secara langsung.
Sai berbalik dan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia tidak peduli.
Sai sedang tidak berada dalam suasana hati
untuk berbuat baik. Jika para dewa berbaik hati kepadanya, dia mungkin
akan berbuat baik, tetapi sekarang, tidak, dia akan menunjukkan pada mereka
bahwa jika mereka melakukan ini padanya, dia akan melepaskan kejahatan di atas
bumi dalam citra mereka sendiri, sesosok murid jahat yang sempurna bagi dewadewi iblis .... Butuh waktu beberapa lama, barulah pria dan wanita itu pergi. Mereka duduk
di luar gerbang, si juru masak dipaksa untuk menggiring mereka keluar seperti
menggiring sapi, kemudian selama beberapa waktu mereka berjongkok dengan paha
melekat tumit serta tidak bergerak, hanya menatap tanpa emosi, seolah-olah
terkuras dari segala harapan dan inisiatif.
Mereka menyaksikan sang hakim membawa Mutt jalan-jalan dan memberi makan
anjing itu. Sang hakim merasa marah dan malu karena mereka menontonnya. Kenapa
mereka tidak juga PERGI! "Suruh mereka pergi atau kalau tidak, kita akan memanggil polisi," sang
hakim berkata pada si juru masak.
"Jao, }ao," kata si juru masak, "}ao, jao," me-lalui pintu gerbang, tetapi
mereka hanya mundur ke arah bukit, ke balik semak-semak dan beristirahat di sana
dengan raut hampa yang sama pada wajah mereka.
Sai naik ke kamarnya, membanting pintu, dan melemparkan diri ke depan
pantulan di dalam cermin. Apa yang akan terjadi padaku "! Gyan akan menemukan
kedewasaan dan ke- murnian dalam pencariaannya atas Tanah Air dan Sai akan ditinggalkan dalam
keremajaan abadi, terjebak dalam dramatika yang memalukan. Inilah sejarah yang
menghidupi Sai: keluarga yang tidak pernah peduli, kekasih yang melupakan ....
Sai menangis sesaat, air mata mengalir deras dengan sendirinya, tetapi
tanpa terduga bayangan perempuan yang memohon-mohon itu melintas lagi. Sai
menuruni tangga dan bertanya kepada si juru masak, "Apakah kau memberi mereka
sesuatu?" "Tidak," jawab si juru masak, yang juga merasa tidak enak. "Bisa apa
kita," kata si juru masak da-tar, seolah-olah memberi jawaban, bukan mengajukan


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertanyaan. Kemudian kembali keluar dengan sekantung beras. "Hss sss hss?" desisnya.
Tetapi pada saat ini pasangan tersebut telah menghilang. []
EMPAT PULUH SATU Langit di atas Manhattan keruh, banyak isi di da-lamnya, ranting-ranting
dan burung dara serta gumpalan awan bergelombang yang mengeluarkan cahaya kuning
aneh. Angin bertiup kencang dan pom-pom merah muda pohon-pohon ceri di Riverside
Park mendesir pada campuran yang gelisah itu.
Keresahan yang muncul setelah Biju menelepon ke Kalimpong bukan lagi
merupakan sesuatu yang ada di dalam rongga perutnya; keresahan tersebut telah
menjadi sedemikian besar, sampai-sampai Bijuiah yang berada di daiam perut
keresahan itu. Dia sudah mencoba menelepon lagi pada hah berikutnya dan berikutnya lagi,
tetapi sambungan telepon sekarang benar-benar mati.
"Semakin banyak masalah," kata Mr. Iype. "Akan berlangsung beberapa waktu.
Orang-orang yang sangat bengis. Semua tipe tentara itu
Di sepanjang Hudson, gelombang-gelombang air yang besar terbelah dan
terobek maju, angin mengarahkan embusan ke hulu.
"Lihat itu. Seperti di Injii," kata seseorang di sebelah Biju di pagar
jeruji. "Seperti Ayub. Kenapa" Kenapa?"
Biju bergeser menjauh di pagar tersebut, tetapi pria itu juga bergeser.
"Kautahu apa nama as/i sungai ini?" Wajah gendut karena McDonald's, rambut
jarang-jarang, dia seperti banyak orang di kota ini, sesosok orang pintar dan
sinting yang berkemah di luar toko buku Barnes & Noble. Angin kencang menyambar
kata-katanya dan melambai-lambaikannya; kata-kata itu sampai di telinga Biju
dalam keadaan terpotong-potong secara ganjil, dalam perjalanan ke tempat lain.
Pria itu menolehkan wajah ke arah Biju agar angin tidak mengiris-ngiris
percakapan mereka. "Muhheakunnuk, Muhheakunnuk sungai yang mengalir dua arah," ?tambahnya dengan gerak alis penuh makna, "dua arah. Itulah nama asii siaiannya."
Kalimat-kalimat mengalir keluar dari wajah itu bersama ludah yang basah. Dia
tersenyum dan melelehkan air liur bersamaan dengan informasinya, melahap dan
mengeluarkannya pada saat yang bersamaan.
Tetapi lantas apa nama palsunya" Biju sama sekali tak memiliki nama untuk
air hitam ini. Sungai ini bukan sejarahnya.
Dan kemudian datanglah Moby Dick siaian. Sungai itu penuh dengan ikan paus
siaian yang sudah mati. Bangkai-bangkai siaian terse ret ke hulu sungai, hancuriebur di pabrik-pabrik. "Minyak, kautahu," katanya dengan frustrasi batin yang mendalam. "Seiaiu
gara-gara minyak siaian. Dan pakaian da/am."
Alis dan air liur memercik.
"Korset!!" katanya tiba-tiba.
"Tak bisa bahasa Inggris," kata Biju melalui
corong yang terbuat dari kedua tangannya dan cepat-cepat berjalan menjauh.
* "Tak bisa bahasa Inggris," demikian yang selalu di-katakan Biju kepada
orang-orang gila yang memulai percakapan di kota ini, kepada gelandangangelandangan kasar yang pemarah dan para penginjil yang mengenakan setelan serta
topi toko diskon yang bercorak ramai, menunggu di sudut-sudut jalan,
melangsungkan latihan moral dan fisik mereka dengan mengejar orang-orang kafir.
Para penganut Gereja Kristus dan Zion Suci, orang-orang yang menemukan semangat
baru dalam agama itu memba-gikan pamflet-pamflet yang memberi Biju kabar-kabarmutakhir-senilai-jutaan-dolar mengenai pel-bagai aktivitas setan: "SETAN TENGAH
MENANTI UNTUK MEMBAKARMU HIDUP-HDUP," teriak kepala-kepala berita itu. "TAK ADA
WAKTU TERSISA." Pernah, Biju didekati oleh seorang Lithuania penganut Hare Krishna, New
York via Vilnius dan Vrindavan. Raut vegetarian yang penuh celaan menemani
brosur untuk si mantan koki daging sapi. Biju menatapnya dan harus memalingkan
pandangan seolah-olah menghindar dari kecabulan. Dari satu sisi, ini memang
seperti pelacur terlalu banyak yang diperlihatkan. Buku di tangan pria itu ?memiliki sampul bergambarkan Krishna di medan tempur dalam warna-warni terang,
sama dengan warna-warni yang digunakan pada poster film.
Apa sebenarnya India bagi orang-orang ini" Berapa banyak yang hidup dalam
berbagai versi palsu negara mereka, dalam berbagai versi palsu negara orang
lain" Apakah hidup mereka terasa sama tidak nyatanya seperti hidup Biju sendiri
terasa olehnya" Apa sebenarnya yang tengah dia lakukan dan mengapal
Pertanyaan itu bahkan tak pernah ada sebelum dia pergi. Sudah tentu, jika
kau bisa pergi, maka kau pergi. Dan jika kau sudah pergi, tentu saja, jika
memungkinkan, kau tetap tinggai....
Lampu-lampu taman telah menyala pada saat Biju menaiki tangga batu berbau
pesing menuju jalan, dan cahayanya larut di dalam senja melihat-nya membuat
?semua orang merasa lampu-lampu itu sedang menangis. Di depan lampu-malam-alapanggung kota itu, Biju melihat lelaki tunawisma tengah berjalan dengan kaku,
seolah-olah menggu-nakan kaki buatan, menyeberang dengan kereta belanjaannya
yang berisi barang rongsokan menuju igloo plastik tempat dia menanti badai
berakhir. Biju berjalan kembali ke Kafe Gandhi, sembari berpikir dirinya semakin
kosong. Tahun demi tahun, hidupnya tak mengalami kemajuan apa pun; dalam ruang
yang seharusnya memuat keluarga, teman, dia adalah satu-satunya yang mengisi
kekosongan. Namun, ada satu bagian lain dari dirinya yang ber-kembang:
ketidakpercayaan dirinya dan rasa me-ngasihani diri oh, keboyakannya. Kikuk di
?Amerika, seorang cebol berukuran raksasa, seporsi kecil
berukuran gendut .... Apakah tidak seharusnya dia kembali pada kehidupan
tempat dia bisa mengiris kebermaknaannya sendiri, ke tempat dia bisa melepaskan
kendali berlebihannya pada takdir dan barangkali terlepas sama sekali dari
penentuan takdir" Dia bahkan bisa jadi mengalami kemewahan terbesar, yakni sama
sekali tak memerhatikan dirinya.
Dan jika dia terus di sini" Apa yang akan terjadi" Akankan dia, seperti
Harish-Harry, mencip-takan versi palsu diri sendiri dan menggunakan apa yang
telah dia ciptakan itu sebagai petunjuk, memahami dirinya secara terbalik" Hidup
bukan lagi mengenai hidupnya, dan kematian apa artinya itu bagi dia" Tak akan ?ada hubungannya dengan kematian.
* Pemilik Biro Perjalanan Shangri-la yang baru dibuka di blok yang sama
dengan Kafe Gandhi memesan makan siang istimewa "non vegetarian" setiap hah:
kare kambing, pilau sayur, dan kheer. Mr. Kakkar adalah namanya.
"Arre, Biju," dia menyapa Biju karena Biju telah diberi tugas mengantar
makanannya. "Sekali lagi kau menyelamatkanku dari masakan istriku, ha ha. Kita
akan membuang makanannya ke toilet!"
"Kenapa tidak Anda berikan saja pada gelanda-ngan kotor itu," kata Biju
mencoba membantu sang lelaki tunawisma sekaligus menghinanya pada saat
yang sama. "Oh, tidak," sahut Mr. Kakkar, "pelacur-penyi-hir, itulah tipe istriku,
dia akan datang menyusuri jalan untuk berkunjung tiba-tiba dan memergokinya
menyantap makanan tersebut, kebetulan semacam itu selalu terjadi padanya, dan
itu benar-benar akan menjadi akhir riwayatku."
Semenit kemudian, "Kau yakin ingin pulang?"" ujarnya kaget, mata melotot,
"Kau melakukan kesa-lahan besar. Tiga puluh tahun di negara ini, tanpa masalah
kecuali penyihir pelacur itu, tentu saja, dan aku tak pernah pulang. Lihat saja
sistem pemi-paannya," dia memberi isyarat ketika mendengar suara toilet berdeguk
di belakangnya. "Mereka seharusnya menaruh sistem pemipaan mereka di ben-dera,
seperti kita menaruh alat tenun fasilitas unggulan di negara ini.
?"Pulang?" lanjut Mr. Kakkar, "jangan sungguh-sungguh gila seperti
itu semua kerabat yang meminta uang! Bahkan, orang asing meminta uang mungkin
? ?mereka cuma mencoba, kautahulah, barangkali kau berak dan dolar keluar. Kuberi
tahu kau, sobat, mereka akan mendapatkanmu; kalau bukan mereka, para perampok;
kalau bukan peram-pok, penyakit; kalau bukan penyakit, hawa panas; kalau bukan
hawa panas, para Sardaji gila itu akan menjatuhkan pesawatmu, bahkan sebelum kau
tiba." Saat Biju sedang berada jauh dari India, Indira Gandhi dibunuh oleh orangorang Sikh atas nama Tanah Air mereka; Rajiv Gandhi telah mengambil alih
kekuasaan ? * "Hanya masalah waktu. Seseorang akan membunuh Rajiv Gandhi juga," kata Mr.
Kakkar. Tetapi Biju berkata, "Aku harus pergi. Ayahku
ii "Ah, perasaan lembek semacam itu tak akan membawamu ke mana pun. Ayahku,
selama dia masih hidup, selalu mengatakan kepadaku, "Bagus, tinggallah di sana,
jangan kembali ke tempat me-ngerikan ini."
Mr. Kakkar mengerkah es batu dengan giginya, mengangkat es-es itu dari
Diet Coke-nya dengan bantuan pena bolpoin, yang dihiasi miniatur pesa-wat di
ujung atasnya. Namun, dia menjual selembar tiket Gulf Air kepada Biju: New York-LondonFrankfurt-Abu Dhabi-Dubai-Bahrain-Karachi-Delhi-Calcutta. Tiket termu-rah yang
bisa diperoleh. Seperti bus di angkasa.
"Jangan bilang aku belum memperingatkanmu."
Kemudian dia menjadi lebih kontemplatif. "Kautahu," katanya, "Amerika
sedang dalam proses membeli seluruh dunia. Pulanglah, dan kau akan menemukan
mereka menguasai segala bisnis. Suatu hah, kau akan bekerja untuk sebuah
perusahaan Amerika di sana atau di sini. Pikirkan anak-anakmu. Jika kau tetap di
sini, anakmu akan mendapatkan gaji seratus ribu dolar untuk perusahaan yang sama
yang mungkin mempekerjakan dia di India tetapi hanya menggajinya seribu dolar.
Lalu bagaimana kau bisa mengirim anak-anakmu ke perguruan tinggi internasional terbaik"
Kau membuat kesalahan besar. Dunia ini, sobat, masih merupakan dunia tempat satu
pihak menempuh perjalanan untuk menjadi pelayan, dan pihak lain menempuh
perjalanan untuk diperlakukan seperti seorang raja. Kau ingin anakmu berada di
pihak ini atau pihak yang satunya?"
"Ah," desahnya, mengibas-ngibaskan bolpoin, "begitu kau tiba, Biju, kau
akan mulai berpikir bagaimana caranya untuk sebisa mungkin keluar dari sana."
* Namun, Biju pergi ke Jackson Heights, dan dari sebuah toko yang seperti
hanggar dia membeli: sebuah TV dan VCR, kamera, beberapa kacamata hitam, topitopi bisbol yang bertuliskan "NVC" dan "Yankees" dan "I Like My Beer Cold and My
Women Hot Aku Suka Bir Dingin dan Perempuan Seksi," sebuah jam digital dua ?waktu dan pemutar kaset serta radio, beberapa jam tangan anti air, beberapa
kalkulator, sebuah pisau cukur listrik, sebuah oven pemanggang, selembar jaket
musim dingin, beberapa helai sweter nilon, kemeja-kemeja campuran katunpoliester, selembar selimut polyurethane, sehelai jas hujan, sebuah payung
lipat, sepatu kulit lunak, sebuah dompet kulit, pemanas bikinan Jepang, satu set
pisau tajam, satu botol air panas, Fixodent, saffron, kacang mete, dan kismis,
aftershave, T-shirt dengan tulisan "I Love NY Aku
?Cinta New York" dan "Born in the USA Lahir di Amerika Serikat" yang
?dibuat mencolok dengan corak batu-batu berkilauan, wiski, dan, setelah ragu
sesaat, sebotol parfum bernama Windsong ... untuk siapa" Biju belum tahu wajah
perempuan itu. * Saat berbelanja, Biju ingat bahwa saat masih kecil, dia menjadi bagian
gerombolan anak lelaki yang bermain dengan begitu bersemangat sehingga mereka
pulang dalam keadaan sangat letih. Mereka melempar batu dan sandal ke pepohonan
untuk menjatuhkan ber dan jamun; memburu cecak sampai ekornya lepas dan melempar
potongannya pada gadis-gadis kecil; mereka mencuri butir-butir chooran dari
toko, yang terlihat seperti kotoran kambing tetapi rasanya sangat-sangat enak
dengan suara gigitan agak mirip pasir. Dia teringat mandi di sungai, merasakan
tubuhnya menyentuh otot sungai yang dingin dan kencang, serta duduk di atas
sebuah batu dengan kaki di dalam air, menggerogoti batang tebu, berusaha
mengeluarkan rasa manisnya tak peduli betapa rahangnya terasa sakit, benar-benar
asyik. Dia bermain kriket, kriket, kriket. Biju mendapati diri tersenyum sendiri
sewaktu mengenang saat seisi desa menyaksikan India memenangkan pertandingan uji
coba melawan Australia di sebuah televisi yang bertenaga baterai mobil karena
trafo di desa itu telah terbakar. Di seluruh India hasil panen membusuk di
ladang, para pelacur negara itu mengeluhkan penurunan bisnis karena semua pria di India
menancapkan mata pada layar televisi. Biju mengenang samosa didampingi siraman
chutney terhidang di atas piring daun. Sebuah tempat yang dirinya tak pernah
menjadi satu-satunya orang yang ada di dalam foto.
Tentu saja, dia tidak memikirkan kenangannya mengenai sekolah di desa,
tentang kepala sekolah yang tidak meluluskan murid-murid kecuali dibayar oleh
orangtuanya. Dia tidak mengingat tentang atap yang terbang setiap musim hujan
atau tentang fakta bahwa tidak hanya ibunya, tetapi sekarang juga neneknya,
telah tiada. Dia tidak memikirkan hal-hal yang dulu menjadi alasan utama
kepergiannya.[] EMPAT PULUH DUA Meskipun menyerah dengan manis saat disuap, begitu Gyan meninggalkan
rumah, adik perempuan Gyan yang telah menyaksikan pertengkaran antara Gyan dan
Sai beralih kesetiaan pada dorongan menggosip yang tak tertahankan, dan ketika
Gyan kembali, dia mendapati seisi rumah telah menge-tahui apa yang terjadi.
Pembicaraan mengenai senjata menimbulkan efek mengejutkan berupa ter-bangunnya
nenek Gyan dari keadaan tak sadarkan diri (bahkan, aroma pertempuran-pertempuran
baru memberi kehidupan baru pada orang-orang lanjut usia di seluruh lereng
bukit), dan dia merayap perlahan dengan membawa gulungan surat kabar. Gyan
melihatnya mendekat dan bertanya-tanya sedang apa neneknya itu. Kemudian sang
nenek meraih Gyan dan memukul kepalanya. "Kendalikan dirimu. Keluyuran ke sana
kemari seperti orang bodoh, tak memerhatikan sekolahmu! Apa yang akan kaucapai
dengan ini" Penjara, itu dia." Si nenek memukul pantat Gyan saat Gyan berusaha
melewatinya cepat-cepat. "Jauhi masalah, mengerti," memukul lagi keras-keras,
"seperti bayi kau akan menangis."
"Dia mungkin tidak melakukan apa-apa, " ibu Gyan berkata.
"Lalu kenapa gadis itu datang jauh-jauh ke sini" Tanpa alasan apa-apa"
Jauhi orang-orang itu," nenek Gyan menggeram, berpaling pada Gyan. "Masalah
seperti apa yang akan kautimpakan pada dirimu ... padahal kita ini keluarga miskin
.... Kita berada di tangan mereka .... Jadi sinting gara-gara ayahmu pergi dan ibumu
terlalu lemah untuk mengontrolmu," si nenek melotot pada menantunya, senang
memiliki alasan untuk melakukan itu. Gyan dikurung dengan gembok dan kunci.
Hah itu, ketika teman-temannya datang men-jemput Gyan, saat mendengar
suara jip, nenek Gyan merayap keluar, menatap tajam dengan matanya yang berair.
"Setidaknya katakan pada mereka bahwa aku sedang tidak sehat. Nenek bisa
menghancurkan reputasiku," teriak Gyan, sisi remajanya muncul ke depan.
"Dia sedang sakit," kata nenek Gyan. "Sakit keras. Tidak bisa menemui
kalian lagi." "Sakit apa?"
"Dia tak henti-henti ke kamar mandi melakukan tatti," kata si nenek. Gyan
mengerang di dalam rumah. "Pasti habis makan sesuatu yang terlalu masak. Dia
seperti keran terbuka."
"Setiap keluarga harus mengirim seorang lelaki untuk mewakili keluarga
dalam pawai kami." Mereka merujuk pada pawai keesokan hah, pawai besar yang dimulai di Mela
Ground. "Perjanjian Indo-Nepal dibakar besok."
"Jika kalian ingin dia melakukan tatti sepanjang
pawai .... Mereka pergi dan mendatangi rumah-rumah di seluruh lereng bukit sesuai
dengan pengumuman bahwa setiap rumah diingatkan harus memiliki wakil yang ikut
berdemonstrasi keesokan harinya, meskipun ada banyak yang mengklaim memiliki
masalah pencernaan dan sakit jantung, pergelangan kaki keseleo, sakit punggung ...
dan berusaha dibebas-kan dengan surat keterangan kesehatan, "Mr. Chatterjee
harus menghindari terpapar dari kege-lisahan dan kegugupan karena dia adalah
pasien bertekanan darah tinggi."
Namun mereka tidak dibebaskan dari kewajiban, "Kalau begitu kirim orang
lain. Tentunya tidak semua anggota keluarga sakit?"
* Setelah sebuah keputusan besar dienyahkan, Gyan, walau awalnya memprotes,
merasakan kedamaian yang manis hinggap pada dirinya, dan meskipun pura-pura
frustrasi, dia sangat lega dibebaskan menjadi anak kecil lagi. Dia masih muda,
belum ada kerusakan permanen yang terjadi. Biarkan dunia berjalan sendiri
sebentar di luar, kemudian ketika sudah aman, dia akan mengunjungi Sai dan membujuknya supaya mau berteman lagi. Gyan bukan orang jahat. Dia tidak ingin
bertengkar. Masalahnya adalah dia mencoba menjadi bagian dari masalah-masalah
yang lebih besar, mencoba menjadi bagian dari politik dan sejarah. Kebahagiaan
memiliki tern- pat yang lebih kecil, meskipun tentu saja ini bukan sesuatu yang perlu
dipamer-pamerkan; hanya sedikit orang yang akan bangkit dan mengumumkan,
"Sesungguhnya, aku ini pengecut," tetapi kepena-kutannya mungkin bisa
disembunyikan, dengan baik, di dalam realitas yang sangat biasa yang terletak di


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

antara garis-garis penurut. Terselamatkan dari satu kehinaan dengan bersikap
buruk pada Sai, Gyan sekarang bisa terselamatkan dari kehinaan lain secara tak
disengaja dengan mengaku menghormati neneknya. Kepengecutan memerlukan topeng
sendiri, rasionalisasi sendiri, seperti segala hal lain jika memang hal itu
hendak menjadi prinsip hidupnya. Kebahagiaan bukan perkara mudah. Kita harus menempatkannya dengan cerdik, menyamarkannya, berpura-pura bahwa itu adalah hal
yang lain. Gyan punya banyak waktu untuk berpikir dan saat jam demi jam berlalu, dia
mencungkil endapan daki dari pusarnya, kotoran dari telinganya dengan sebuah
pensil timah tumpul, mendengarkan radio dan menguji kebersihan lubang-lubang di
tubuhnya dengan musik, miring ke kanan, ke kiri, "Chaandni raate, pyaar ki baate
Kemudian, dengan sedih dilaporkan, Gyan mencukil beberapa gumpalan ingus dari
hidungnya dan memberikannya pada laba-laba raksasa berloreng macan yang
bertengger di jaringnya di antara meja dan dinding. Laba-laba itu menyambarnya,
tak percaya akan nasib baiknya, dan perlahan-lahan mulai menyantapnya. Gyan
berbaring telentang dan melakukan gerak mengayuh dengan kakinya secara malasmalasan. Kenikmatan ada di dunia ini kenikmatan-kenik-matan kecil mendalam yang ?bagaimanapun mencip-takan perasaan bebas di segala sisi.
Namun, rasa bersalah kembali datang dengan kuat: bagaimana bisa dia
menceritakan kepada para pemuda tersebut mengenai senjata-senjata itu"
Bagaimana" Bagaimana dia bisa membahayakan Sai sedemikian rupa" Kulit Gyan mulai
merinding dan seperti terbakar. Dia tak bisa berbaring di atas tempat tidur
lagi. Dia bangkit dan berjalan naik-turun. Bisakah dia kembali bahagia dan tak
berdosa setelah apa yang dia takukan"'
* Maka ketika Sai terbaring dirundung duka di kamar-nya, serta saat Gyan
kali pertama mempertimbang-kan betapa bahagianya memutar roda kehidupan yang
bersahaja dan lantas merasa mual atas luka yang dia timbulkan pada orang lain,
mereka me-lewatkan protes penting itu, momen menentukan dari konflik tersebut,
ketika perjanjian Indo-Nepal pada 1950 dibakar dan masa lalu dibuang ke dalam
nyala api kemudian hancur lebur.
"Harus ada yang pergi kata si juru masak pada sang hakim setelah para
pemuda datang ke Cho Oyu untuk mengajukan tuntutan kehadiran pada pawai.
"Yah, kalau begitu sebaiknya kau pergi," ujar sang hakim.[]
EMPAT PULUH TIGA 27 Juli 1986. Malamnya, hujan turun dan si juru masak ber-doa semoga dia tidak harus
pergi, tetapi pada pagi harinya hujan telah berhenti dan selapis warna biru
terlihat, tampak begitu mengada-ada dan kekanak-kanakan sesuai dengan nuansa
musim hujan yang berubah-ubah, si juru masak merasa cuaca itu menimbulkan
kekosongan dalam hatinya dan dia berbaring di tempat tidur selama mungkin,
berharap warna biru itu akan segera tertutup. Kemudian, ketika tak bisa menunda
lebih lama lagi, dia bangkit, memakai sandalnya, dan keluar menuju kakus.
Dia bertemu dengan temannya si satpam MetalBox, dan mereka berjalan
bersama menuju La-pangan Mela, melalui gerbang masuk yang di atasnya dipasang
patung Gandhi untuk memperingati kemerdekaan India. Di bawahnya, tertulis dalam
bahasa Hindi, "Kesatuan Kasih Pelayanan." Beberapa ribu orang datang, tidak
hanya dari Kalimpong, tetapi dari desa-desa dan kota-kota di sekitarnya, dari
Mirik, Pasumbang, Lembah Soureni, Aloobari, Lembah Labong, Kurseong dan Peshok,
Jalan Raya Mungpootista, dan banyak lagi tempat-tempat selain itu. Ketika semua
orang telah berkumpul, mereka akan berbaris menuju kantor polisi tempat
mereka akan membakar dokumen tersebut.
"Kemampuan pengorganisasian GNLF bagus," si juru masak berkomentar; mau
tak mau dia meng-apresiasi mereka karena keteraturan semacam ini merupakan
pemandangan yang langka di Kalimpong.
Mereka berdiri dan menunggu seiring waktu berjalan. Akhirnya, ketika
matahari sudah terik di atas kepala dan tak menciptakan bayangan, seorang pria
meniup peluit dan menginstruksikan kepada mereka untuk bergerak maju.
Melambaikan kukri, pisau-pisau arit itu tera-cung tinggi dan berkilauan
terkena cahaya, "Jai Gorkha," teriak pria-pria itu. "Jai Gorkhaland! Gorkhaland
untuk orang Gorkha!"
"Kita akan selesai dalam waktu satu jam," kata satpam MetalBox penuh
harap. * Semua berjalan sesuai dengan rencana, dan mereka mulai menanti-nanti makan
siang karena mereka sudah lapar; tetapi, tiba-tiba saja tatkala mereka mencapai
persimpangan jalan, sebuah peristiwa yang tak terduga terjadi. Berondongan batu
dan kerikil berhamburan dari belakang kantor pos, tempat si juru masak pernah
menunggu surat-surat dari Biju dan yang, si juru masak melihat dengan sedih,
sekarang dipalang dan ditutup.
Batu-batu itu mengenai bubungan atap, DOR DOR DOR DOR; kemudian batu-batu
itu datang beterbangan dengan semakin cepat, melambung,
dan melukai beberapa orang, yang lantas ter-huyung-huyung mundur. Lebamlebam. Darah. Tak akan pernah terungkap siapa pelakunya, rencana jahat siapa ini?Orang-orang yang dibayar oleh polisi, kata para peserta pawai, agar para
peserta pawai terdorong membalas penghinaan itu, balik melemparkan batu-batu,
dengan demikian memberi alasan bagi polisi untuk bereaksi.
Tidak benar, kata polisi. Para perusuh, klaim mereka, telah membawa batubatu untuk dilemparkan di muka hukum dan ketertiban.
Bagaimanapun, semua pihak setuju bahwa dalam kemarahan karena serangan
ini, massa mulai melempar batu kepada para jawan yang semuanya mengenakan
perlengkapan tameng antihuru-hara dan pentungan. Misil-misil tersebut menghantam
atap kantor polisi, memecahkan jendela.
Polisi memungut batu-batu itu dan mengemba-likannya. Siapa mereka sehingga
harus bersikap lebih superior secara spiritual ketimbang massa"
Dan kemudian, BUM BUBUM, udara penuh dengan batu, botol, pecahan bata, dan
teriakan. Massa mulai mengumpulkan bebatuan, menyerang lagi sebuah area gedung;
polisi mulai mengejar massa, batu-batu berjatuhan; semua orang ter-hantam,
orang-orang, polisi; mereka saling menyerang satu sama lain, menggebuk dengan
tongkat, memukul dengan batu; mulai menyayat dengan arit mereka sebuah tangan,
?seraut wajah, sebatang hidung, sebuah telinga. Beredar rumor bahwa ada orang-orang di antara para pengunjuk rasa yang
membawa senjata api ... barangkali itu benar. Barangkali tidak.
Namun, semakin para pengunjuk rasa bertekad bulat, semakin keras mereka
melawan, semakin mereka menolak bubar, semakin yakin polisi bahwa mereka memang
bersenjata. Perlawanan seperti ini tentunya tak akan ada kecuali didukung oleh
senjata. Begitulah dugaan polisi.
Pada akhirnya, polisi tak bisa menahan rasa tegang kecurigaannya dan
melepaskan tembakan. Para peserta pawai yang berada persis di depan berhamburan, lari ke kanan
dan ke kiri ?Mereka yang mengikuti di belakang dari luar Bioskop Kanchan, terdesak oleh
desakan orang-orang yang lebih di belakang, jatuh tertembak.
Dalam kekaburan mahacepat, tiga belas pemuda setempat mati.
Beginilah sejarah bergerak, dibangun dengan lambat, dibakar dengan cepat,
dan dalam suatu ketidaklogisan, lompatan ke belakang sekaligus ke depan, menelan
kaum muda ke dalam kebencian lama. Ruang antara kehidupan dan kematian, pada
akhirnya, terlalu sempit untuk diukur.
Pada titik ini, sebagian orang yang melarikan diri berbalik dan kembali
menyerang polisi, meneriakkan balas dendam. Mereka menarik senjata dari tangan
mereka, dan polisi, yang mendapati diri tiba-tiba, secara drastis, kalah banyak,
mulai memohon dan merengek. Seorang jawan disayat pisau hingga mati, lengan jawan lain diiris lepas, yang ketiga diti-kam, dan kepalakepala polisi terpajang di atas tiang pancang di depan stasiun di seberang
bangku yang dinaungi pohon prem, tempat para penduduk kota pernah beristirahat
pada masa-masa damai dan tempat si juru masak terkadang membaca surat-suratnya.
Sesosok tubuh tanpa kepala ber-larian selintas di jalan, darah menyembur dari
leher-nya, dan mereka semua melihat kenyataan mengenai makhluk hidup bahwa ?setelah mati, dalam penghinaan terakhir, tubuh memberaki diri sendiri.
Polisi berlari mundur seperti sebuah film yang diputar mundur untuk
memasuki kantor, tetapi mendapati bahwa beberapa rekan sejawat mereka, yang
sudah berada di sana sebelum mereka, telah mengunci pintu dan tiarap ketakutan
di lantai, tak mau mengizinkan orang lain masuk, tak peduli bagaimanapun mereka
menggedor dan memohon. Dikejar oleh massa, polisi yang dihalangi masuk ke tempat
berlindung oleh sesama mereka sendiri, berlari menuju rumah-rumah pribadi.
Lola dan Noni, yang telah memberi tumpangan kepada para pemuda GNLF malam
sebelumnya, mendapati tiga orang polisi menggedor pintu belakang Mon Ami. Mereka
duduk merengek-rengek di ruang tamu saat kedua wanita itu menutup tirai di
sekeliling mereka. "Menyedihkan," kata Lola kepada mereka. "Kalian ini polisinya"!" Karena
para polisi itu sekarang berada dalam perlindungan mereka, bukan seba-liknya.
"Sama sekali tidak membantu kami kali ini,
malah sekarang lihatlah, butuh bantuan kami.'"
"Ma," mereka memanggil Lola, "Ma, tolong jangan usir kami keluar, kami
akan melakukan apa pun untuk Anda. Kami seperti anak-anak Anda."
"Hah! Sekarang kalian memanggilku Ma! Sangat bagus dan lucu. Bukan begini
perilaku kalian se-minggu yang lalu
Di pasar huru-hara terus berlanjut. Jip jip dido-rong ke dalam jurang,
?bus-bus dibakar, cahaya dari pembakaran itu terbayang berkilat-kilat pada kabut
senja yang mulai turun, dan api menyebar sampai hutan-hutan bambu. Udara di
dalam batang-batang kopong itu mengembang dan batang-batang tersebut meledak
serta terbakar dengan mengeluarkan suara seperti tembakan, tetapi jauh lebih
keras dan berkepanjangan.
* Semua orang berlarian, orang-orang yang terpaksa ikut pawai, para pelaku
keributan, dan polisi-polisi yang babak belur. Mereka memencar ke jalan-jalan
setapak alternatif menuju Bong Busti dan Pasar Teesta. Si juru masak berlari
sendiri karena dia telah terpisah dengan satpam MetalBox, yang terpaksa
melarikan diri ke arah yang lain. Dia berlari secepat paru-paru dan kakinya
mengizinkan, jan-tungnya berdenyut menyakitkan dalam dada, teli-nga, dan
kerongkongannya, setiap napas beracun. Dia berhasil menapaki beberapa jauh jalan
pintas curam menuju Jalan Raya Ringkingpong, dan di sana
dia merasa kakinya ambruk di bawahnya, kedua kaki itu bergetar teramat
hebat. Dia duduk di atas pasar di antara tongkat-tongkat bambu yang menunjang
panji-panji doa berwarna putih, tulisannya sudah pudar seperti guratan di atas
kerang yang telah lama disapu oleh samudra. Menara Divisi Investigasi Kriminal
bergaya Victoria berada di belakangnya, begitu juga sosok besar Galingka House,
Tashiding House, dan Morgan House, yang dibangun untuk orang Inggris, tetapi
semuanya sekarang merupakan wisma-wisma tamu milik pelbagai perusahaan. Seorang
tukang kebun berjongkok di atas halaman rumput Morgan House yang masih ditumbuhi
tana-man-tanaman yang dibeli Mrs. Morgan dari Inggris. Tukang kebun itu tampak
tak menyadari apa yang tengah terjadi; menatap keluar tanpa harapan ataupun
ambisi, tanpa kekhawatiran, mengembang-kan suatu kualitas yang tanpa kualitas
agar dia bisa menjalani hidup ini.
Si juru masak bisa melihat api yang menyala di bawahnya dan orang-orang
berpencaran. Saat mereka melintasi uap panas nyala api, orang-orang itu terlihat
beriak dan mengombak seperti ilusi optik. Di atasnya ada Kanchenjunga, kukuh,
luar biasa, sebuah pemandangan yang selama berabad-abad telah memberikan
kebebasan pada manusia dan mencairkan menyumbat hati manusia untuk berba-hagia.
Namun, tentu saja si juru masak tak bisa merasakan hal ini sekarang dan dia
tidak tahu apakah pemandangan gunung itu masih akan sama baginya. Vang
mencengkeram hatinya seolah-olah
hati itu sebuah pintu adalah kepanikannya sesosok makhluk pengerat yang ?mencakar-cakar.
Bagaimana mungkin segalanya akan tetap sama" Merahnya darah yang terhampar
di jalan pasar dalam genangan-genangan basah bercampur dengan lumuran kuning dal
yang pasti telah dibawa seseorang yang memperkirakan piknik setelah pawai, dan
ada lalat-lalat beterbangan di atasnya, sandal-sandal tanpa pasangan yang
tertinggal, sepasang kacamata patah yang menyedihkan, bahkan satu buah gigi.
Situasinya mirip iklan layanan masyarakat tentang keamanan yang diputar di
bioskop sebelum film mulai berisi gambar seorang pria bersepeda menuju kerja,
seorang pria miskin tetapi memiliki istri yang mencintainya, dan sang istri
telah membekalinya dengan hidangan makan siang di dalam wadah makanan; kemudian
terdengar bunyi klakson serta gemerencing kecil sepeda yang penghabisan, dan
kegelapan morat-marit berubah menjadi gambar fragmen bisu tumpahan makanan yang
bercampur dengan darah. Warna-warni yang tak serasi itu, kerumahtanggaan teraduk
dengan kematian, kepastian bertabrakan dengan yang tak terduga, kebaikan
digantikan dengan gambar kekerasan, selalu membuat si juru masak merasa ingin
muntah dan menangis bersamaan.
Sekarang dia mengalami perasaan itu dan, dengan gemetaran serta bercucuran
air mata, terus merayap menuju Cho Oyu, bersembunyi di semak-semak saat dia
dilewati oleh tank-tank militer yang
menggelinding turun dari area barak militer menuju kota. Alih-alih musuh
asing, alih-alih Cina yang telah siap mereka hadapi, yang kebencian padanya telah mereka timbun, mereka harus memerangi warga negara mereka sendiri ....
Tempat ini, pasar ini, tempat dia melakukan tawar-menawar dengan senang
atas kentang, dan menghina, ya menghina, si wallah buah dengan lepas dan senang,
menikmati kata-kata kasar tentang produk busuk yang menyembur dari mulutnya;
tempat dia pernah dengan perasaan teramat aman benar-benar kehilangan kesabaran
menghadapi para penjahit tuli, tukang pipa yang tak cakap, tukang roti lamban
dengan kue tanduk krimnya; tempat yang pernah dia tinggali dengan aman dengan
mengetahui bahwa ini adalah tempat yang pada dasarnya beradab yang di dalamnya
tersedia ruang untuk mereka semua; tempat dia eksis dalam apa yang tampak
sebagai kemenjengkelan yang manis tengah menunjukkan pada dirinya bahwa selama?ini dia salah. Dia tidak diinginkan di Kalimpong dan dia tidak seharusnya ada di
sana. Pada titik ini, dia dilanda ketakutan bahwa bisa jadi dia tak akan pernah
bertemu dengan putra-nya lagi.
Surat-surat yang berdatangan selama ber-tahun-tahun ini hanyalah
harapannya sendiri yang balas menulis surat kepadanya. Biju hanyalah sebuah
kebiasaan berpikir. Dia tidak ada. Mungkinkah dia ada"
EMPAT PULUH EMPAT Insiden horor itu semakin berkembang, melewati perubahan musim, sepanjang
musim dingin dan musim semi yang penuh bunga, musim panas, lalu hujan dan musim
dingin lagi. Jalanan ditutup, ada jam malam setiap hah, dan Kalimpong
terperangkap dalam kegilaannya sendiri. Orang tak bisa meninggalkan lereng
bukit; tak ada yang keluar rumah sebisa mungkin melainkan terus saja mengunci
serta membentengi diri. Jika kau adalah orang Nepal yang tak mau ber-gabung, keadaannya buruk.
Satpam MetalBox dipu-kuli, dipaksa mengulangi "Jai Gorkha," dan diseret ke Kuil
Mahakala untuk bersumpah setia pada gerakan.
Jika kau bukan orang Nepal, lebih buruk lagi.
Jika kau orang Bengali, orang-orang yang telah mengenalmu seumur hidup tak
akan menyapamu di jalan. Bahkan orang Binari, Tibet, Lepcha, dan Sikkim tidak menyapamu. Mereka,
kawanan penduduk mi-noritas yang tidak berarti, kelompok kecil tanpa daya yang
bisa terjerat di kedua jaring, ingin meletakkan orang Bengali di sisi lain
perselisihan ini dari diri mereka, menetapkan diri sebagai musuh.
"Sudah bertahun-tahun," kata Lola, "aku membeli telur di toko Tshering di
sana itu, dan kemarin dia menatapku tepat di muka dan mengatakan bahwa dia tidak punya telur.
'Aku melihat sekeranjang telur di sana,' kataku, 'bagaimana mungkin kau
mengatakan padaku bahwa kau tidak punya telur"' 'Telur-telur itu sudah
dipesan,'jawabnya. "Pern Pern," Lola berseru saat keluar, ketika melihat temannya anak
perempuan Mrs. Thondup memasuki toko. Baru beberapa bulan lalu Lola dan Noni
ikut ambil bagian dalam perbincangan yang benar-benar sopan di rumahnya yang
telah mendengar jenis kehidupan lain di tempat yang lain, telur-telur burung
quail dengan tunas bambu, karpet-karpet Tibet tebal di bawah jari kaki mereka.
"Pern Pern?""
Pern Pern melemparkan pandangan kikuk yang memohon pada Lola dan bergegas
lewat. "Tiba-tiba saja menjadi pihak yang keliru, ya?" kata Lola, "Tak seorang
pun yang tidak meninggalkan kami."
Di punggung bukit di bawah Mon Ami, di antara deretan gubuk ilegal, kakakberadik itu memerhatikan sebuah kuil kecil mengibarkan bendera merah dan emas,
memastikan bahwa apa pun yang terjadi, sampai kapan pun, tak ada pihak
berwenang baik itu polisi, pemerintah, siapa pun yang akan berani membantah ? ?legitimasi pendudukan tanah itu. Dewa-dewa sendiri telah memberkatinya sekarang.
Kuil-kuil kecil menjamur di seluruh Kalimpong, berdampingan dengan konstruksikonstruk-si yang dilarang oleh pemerintah kota kecerdikan penghuni liar. Dan
?para penyerobot itu menggunakan kabel telepon, pipa air, kabel listrik dalam campur aduk koneksi
ilegal. Pohon-pohon yang menyediakan buah pir bagi Lola dan Noni, dalam jumlah


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu banyak sehingga mereka pernah memaki-maki, "setup pir dan krim, setup pir
dan krim siaian setiap hah!" telah dipetiki habis dalam waktu semalam. Petak
brokoli lenyap, area di dekat gerbang digunakan sebagai kamar mandi. Anak-anak
kecil berjajar dalam barisan untuk meludahi Lola dan Noni saat mereka melintas,
dan ketika Kesang, pelayan Lola dan Noni, digigit oleh anjing salah seorang
penghuni liar, dia berteriak, "Lihat, anjingmu telah menggigitku, sekarang kau
harus mengoleskan minyak dan kunyit pada lukaku agar aku tidak mati karena
infeksi." Namun, mereka hanya tertawa.
* Para pemuda GNLF membakar habis rumah peristira-hatan pemerintah di tepi
sungai, di seberang jembatan tempat Bapa Booty memotret kupu-kupu polkadot.
Bahkan, bungalo-bungalo inspeksi hutan di seluruh distrik tersebut terbakar, di
beranda bungalo-bungalo tersebut para anggota ICS pernah berdiri dan mengagumi
ketenteraman, ketenangan surgawi senja, dan fajar yang mengambang di pe-gunungan
itu. Rumah persinggahan dinas dibakar, juga rumah kemenakan perempuan perdana
menteri. Alat pe-ledak mengakibatkan tanah longsor tatkala negosiasi tidak jelas arahnya. Kalimpong berubah menjadi kota hantu, angin
berguling-guling di sekitar jalanan yang murung, sampah beterbangan tanpa
penghalang. Apa pun tujuan yang mungkin dimiliki GNLF, tujuan tersebut tak lagi
terkendali; bahkan kemarahan satu orang, pada masa-masa itu, tam-paknya cukup
untuk membakar lereng bukit.
* Para wanita melintas dengan tergesa di jalan. Para pria gemetar ketakutan
di rumah karena takut ditangkap atas pelbagai jenis alasan yang menga-da-ada,
GNLF menuduh mereka sebagai informan polisi, polisi menuduh mereka sebagai
militan. Bahkan, mengendarai mobil bagi mereka yang bisa melakukannya adalah
tindakan yang membahayakan karena mobil hanyalah perangkap; banyak kendaraan
dikepung dan dicuri; mereka bisa lebih gesit dengan berjalan kaki, bersembunyi
di dalam hutan saat mendengar bahaya, menyeberangi jhora dan berjalan pulang
melalui jalan setapak. Lagi pula, beberapa saat kemudian, tak ada bahan bakar
lagi karena para pemuda GNLF telah menyedotnya hingga tetes terakhir, dan pompom bensin tutup. * Si juru masak mencoba menenangkan diri dengan mengulang-ulang, "Semuanya
akan baik-baik saja, segala sesuatu pasti melewati masa susah, dunia
bergerak memutar, hal buruk terjadi, berlalu, dan situasi sekali lagi
menjadi baik Akan tetapi, suaranya lebih bernada memohon ketimbang yakin, lebih
merupakan harapan ketimbang kearifan.
Setelah ini setelah perampokan senjata dan pawai, setelah dia melihat ?kerapuhan hidupnya di sini sebagai orang bukan Nepal dia tak mampu menenangkan
?diri dengan semestinya; tak ada siapa-siapa, apa-apa tetapi sebuah penampakan
?menakutkan membayang dia yakin ada sesuatu yang bahkan lebih buruk lagi berdiri
?di dekatnya. Di mana Biju, di mana dia" Si juru masak meloncat setiap kali
melihat bayangan. Oleh karena itu, biasanya Sailah yang berjalan ke pasar yang dipenuhi daun
jendela dan pintu ter-tutup untuk mencari kedai dengan pintu belakang setengah
terbuka mengisyaratkan bisnis kilat yang rahasia atau papan kertas karton
dipasang di jendela gubuk milik seseorang yang menjual sedikit kacang atau
beberapa butir telur. Kecuali sedikit belanjaan yang dibeli Sai, nyaris seluruh makanan mereka
didapatkan dari kebun. Untuk kali pertamanya, mereka di Cho Oyu menyantap
makanan lereng bukit yang sebenarnya. Dalda saag, berbunga merah muda, berdaun
datar; bhuti-ya dhaniya yang tumbuh subur di sekitar tempat tinggal si juru
masak; sulur-sulur baru tanaman menjalar gambas atau labu; fiddlehead ningro
keriting, keju churbi dan tunas bambu yang dijual perempuan-perempuan yang
muncul dari balik se-mak di jalan setapak hutan dengan keju terbungkus
pakis dan irisan-irisan tunas bambu dalam ember air. Sehabis hujan, jamur
mencuat keluar, semanis ayam dan semegah Kanchenjunga, begitu besar, merekah
terbuka. Orang-orang mengambili jamur tiram di kebun yang ditinggalkan Bapa
Booty. Se-saat, aroma mereka memasak memberi nuansa ke-makmuran dan kenyamanan
yang mengejutkan pada kota itu.
* Suatu hah, ketika Sai tiba di rumah dengan sekilo atta basah dan beberapa
kentang, dia menemukan dua sosok manusia, yang pernah dilihatnya pada kesempatan
sebelum itu, di beranda, memohon pada sang hakim dan si juru masak.
"Tolonglah, sahib Mereka adalah istri dan ayah dari pria yang disiksa dulu
itu. "Astaga," kata si juru masak ketakutan ketika melihat mereka, "Astaga,
baap re, untuk apa kalian ke sini?" meskipun dia tahu.
Orang-orang melaratlah yang menyusuri garis begitu tipisnya sehingga patut
dipertanyakan apakah garis itu memang ada, sebuah garis imajiner antara para
pengacau dan hukum, antara dirampok (siapa yang akan mendengarkan mereka jika
mereka pergi ke polisi") dan diburu oleh polisi sebagai kambing hitam untuk
kejahatan orang lain. Merekalah yang paling kelaparan.
* "Mengapa kalian datang ke sini membuat masalah" Sudah kami katakan bahwa
kami tidak ada sangkut pautnya dengan tindakan polisi menahan suamimu. Kami
bahkan bukan pihak yang menuduh atau memukulinya .... Kalau saja polisi memberi
tahu kami, kami akan segera pergi dan mengatakan bahwa bukan ini orangnya ... kami
tidak diberi tahu .... Kami berutang apa pada kalian?" kata si juru masak. Tetapi
dia sedang memberikan atta yang dibawa Sai ... pada saat sang hakim menghardik,
"Jangan beri mereka apa-apa," dan melanjutkan permainan caturnya.
"Tolonglah, sahib," mereka memohon dengan tangan tertangkup, kepala
tertunduk. "Siapa yang akan membantu kami" Apa kami bisa hidup tanpa makanan
sama sekali" Kami akan menjadi pelayan Anda selamanya ... Tuhan akan membalas Anda
... Tuhan akan memberi pahala pada Anda
Namun, sang hakim tak tergoyahkan.
Sekali lagi, setelah digiring keluar, mereka duduk di luar gerbang.
"Suruh mereka pergi," perintah sang hakim pada si juru masak.
"Jao, jao," kata si juru masak, meskipun dia khawatir mereka mungkin perlu
beristirahat sebelum harus berjalan lima sampai enam jam lagi menembus belantara
menuju desa mereka. Sekali lagi mereka bergeser dan duduk agak lebih jauh agar tidak
mengganggu. Sekali lagi mereka melihat Mutt. Moncong anjing itu melekat pada
tempat berbau busuk favoritnya, tak sadar akan hal
lain. Si perempuan tiba-tiba menjadi cerah dan berkata kepada si pria,
"Jual anjing semacam itu dan kita bisa mendapatkan banyak uang Mutt tidak
beralih dari bau itu untuk waktu yang sangat lama. Jika sang hakim tak ada di
sana, mereka bisa meraih dan menangkapnya.? *
Beberapa hah kemudian, ketika orang-orang di Cho Oyu telah melupakan
kembali dua orang tak penting kalau tidak bisa dibilang mengganggu ini, mereka
kembali. Namun, mereka tidak masuk melalui pintu gerbang; mereka langsung
menyembunyikan diri di jurang jhora dan menunggu Mutt, sang pakar bau-bauan,
muncul untuk melakukan rutinitas menge-lilingi tanah itu. Menemukan kembali
pelbagai aroma dan memperkuatnya adalah bentuk seni yang terus berkembang. Mutt
sibuk dengan aroma favorit lamanya, yang semakin membaik seiring waktu, yang
memunculkan kedalaman dan segi-segi terten-tu dari kepribadiannya. Mutt benarbenar sedang asyik, tidak memerhatikan para penyusup yang merayap mendekatinya
dan menerkam! Kaget, Mutt mendengking, tetapi segera mereka membekap moncongnya dengan
tangan yang kuat karena kerja keras fisik.
Sang hakim sedang mandi dengan ember, si juru masak mengaduk mentega, Sai
di tempat tidur-nya berbisik sengit, "Gyan, kau bajingan, kaupikir
aku akan menangisimu?" Mereka tidak melihat atau mendengar apa pun.
Para penyusup mengangkat Mutt, mengikatnya dengan tali, dan menaruhnya di
dalam karung. Si pria menggendong karung itu di atas bahunya, dan mereka
membawanya melewati kota tanpa menarik perhatian. Mereka berjalan mengitari
lereng gunung, kemudian terus menuruni dan menyeberangi Relli serta melewati
tiga punggung bukit yang mengom-bak seperti lautan hijau kebiruan, menuju sebuah
dusun kecil yang jauh dari jalan beraspal.
"Menurutmu, mereka tidak akan menemukan kita?" si bapak bertanya pada
menantunya. "Mereka tidak akan berjalan sejauh ini dan mereka tak bisa mengendarai
mobil ke sini. Mereka tidak tahu nama kita, mereka tidak tahu desa kita, mereka
tak menanyakan apa-apa pada kita."
Dia benar. Bahkan, polisi tak mau repot-repot mencari tahu nama pria yang telah
mereka pukuli dan butakan. Nyaris mustahil mereka mau repot-repot mencari seekor
anjing. Mereka memerhatikan bahwa Mutt sehat, ketika mereka mencubitnya dari luar
karung; gemuk dan siap menghasilkan sedikit uang untuk mereka. "Atau mungkin
kita bisa menggunakannya untuk beranak pinak, kemudian kita bisa menjual anakanak anjing-nya ...." (Mereka tidak tahu, tentu saja, bahwa Mutt dulu sekali sudah
dimandulkan oleh seorang dokter hewan panggilan ketika anjing itu mulai menarik
cinta dari segala jenis anjing gelandangan
kotor di lereng bukit, anjing kesasar yang melancar-kan bujuk rayu, dan
anjing-anjing jantan terhormat yang berkomplot ....)
"Haruskah kita mengeluarkannya dari dalam karung?"
"Lebih baik biarkan dia di dalam saat ini. Nanti dia mulai menyalak ...."[]
EMPAT PULUH LIMA Seperti bus rusak berupaya keras menembus angkasa, pesawat Gulf Air tampak
nyaris tak bisa berfungsi, meskipun sebagian besar penumpang langsung merasa
nyaman dengan kekurangenergi-kan ini. Oh, ya, mereka akan pulang, lutut berdesak-desakan, langit-langit di atas kepala mereka, lengket oleh keringat,
pasrah pada takdir, tetapi bahagia.
Pemberhentian pertama adalah Heathrow dan mereka merayap keluar dari ujung
terluar yang tidak direnovasi untuk menghadapi era baru globalisasi, tetapi
tetap berada dalam era lama kolonialisasi.
Semua penerbangan dunia ketiga berlabuh di sini, keluarga-keluaga yang
menunggu penerbangan lanjutannya selama berhari-hari, berjongkok di lantai dalam
kerumunan ala bakteri berukuran besar, dan tempat itu sungguh jauh berbeda
dengan tempat para penumpang Eropa-Amerika Utara datang dan pergi, mengambil
penerbangan cepat tanpa omong kosong dengan ruang ekstra untuk kaki dan TV
pribadi, melesat terbang untuk sebuah rapat dengan gaya sedemikian rupa sehingga
benar-benar sulit dibayangkan bahwa mereka juga manusia yang buang air besar dan
buang air kecil, bisa mengeluarkan darah dan air mata. Sutra dan kasmir, gigi
yang diputihkan, Prozac, laptop, dan roti lapis untuk makan siangnya yang
bernama the Milano. Frankfurt. Penumpang pesawat menginap malam itu di zona karantina yang
serupa, seribu jiwa menyelonjorkan badan seolah-olah berada di dalam kamar
mayat, bahkan wajah-wajah mereka ditutupi untuk menghindari cahaya lampu neon
yang ber-dengung. Seperti sebuah bus, New York-London-Frankfurt-Abu Dhabi-Dubai-Bahrain Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 22 Kisah Flarion Putera Sang Naga Langit Karya Junaidi Halim Sepasang Pendekar Kembar 2

Cari Blog Ini