Ceritasilat Novel Online

Jelihim Sang Pembebas 1

Jelihim Sang Pembebas Karya Syam Asinar Radjam Bagian 1


This document was generated by ABC Amber LIT
Converter program Jelihim Sang Pembebas Novel Syam Asinar Radjam Bab I - Disekuilibrium Asap kabut menyelimuti bumi,aras menjadi panik. Matahari terasa
semakin dekat. Bumi memang sedang memanggang dirinya. Bulan
makin susah terlihat, begitu sabit. Titik api terlihat di sekujur bumi. Walah,
penghuni khayangan menjadi panik.
Baladewa turun ke bumi, memantau dengan mata api, di mana telagatelaga " tempat
para bidadari turun dari bianglala,...Ou, mata seorang
dewa pedih, tertancap abu dari telaga. Melesat cepat sang dewa kembali
kearas. Anak manusia mana sebegitu kurang ajar membuat bumi
terpanggang " Apakah Yang Maha Kuasa penyebabnya, Waduh,.. takdir
siapa percaya " Sekilas yang lalu, para dewa menghirup kiriman udara bersih bumi, para
bidadari menikmatisengeng (sunset) di telaga-telaga segar bumi.
Selendang mayang panjang sembilannya berwarna-warni membusur di
angkasa. Anak-anak manusia bercengkrama, petani menanam dan menuai. Padi
melambai dan menunduk, bujang dan gadisribang-ribangan , lesung
selalu berbunyi dihantamantan ,guhong gemercik.Sang Kemare datang
dengan khabar baik, tatanan sosial teratur seimbang, hukum
berkuasa,tunjuk salah tunjuk ditetak, Oh, tak ada manusia memakan
manusia. Bayi-bayi menangis secara wajar, ketika lapar minta susu.
Menangis bukan karena terpanggang, dan buah dada ibunya pun tak lagi
berisi. Kemarau begitu panjang.
*** Siapakah gerangan, anak manusia di atas batu " Tuak di kanan, gadis di
kiri. Dicumbu sepuasnya,O, baumu memabukkan, bidadari mengintip
dari awang-awang. Urat geli menggeletar,...
Dia, dia orangnya. Rentasan. Yang empat windu lalu menumbangkan
dewankute . Didahului dengan bertebaran fitnah, hawa jahat bertebaran,
pembunuhan bukan hal yang aneh. Kecemasan melanda tujuhkute di
utara Muara Cawang. Kematian bersimaharejalela.
ApalahBelalang Kerta Gambir " apalahSimboer tjahaja" Ketika
kesepakatan tak lagi bermakna. Lantas Rentasan naik ke pentas
pemerintahankute, sebagai penguasa tujuhkute . Rentasan muncul
sebagai pahlawan, sebagai pembaharu yang dieluh-eluhkan. Lengkaplah,
Pemuda yang juga memiliki ilmu awet muda ini lengkap kesaktiannya.
Banyak orang ditoreh beraliran sesat. Harus dipisahkan nyawa dan
badannya. Lambat laun semua berubah. Setiap datang ke pelosok-pelosokkute ,
rakyat dikumpulkan dulu. Diajari berbicara yang baik dan benar, sebelum
bertemu 'Pemimpin sejati'. Pagar-pagar rakyat miskin di poles pewarna.
Pondok-pondok diratakan, rumah-rumah dikapuri.
Rakyat hidup dalam masa 'lupa' yang panjang dan gelap. Tak ada cahaya
di ujung terowongan. Sekalipun sesekali perlawanan terlihat, hanyalah
letupan-letupan kecil yang cepat dipadamkan. Penindasan ini pun
didukung para cendekia yang melacurkan pengetahuan pada penguasa.
Kepandaian dihargai dengan pangkat dan emas. Kaum Cendikia tak mau
Kepandaian dihargai dengan pangkat dan emas. Kaum Cendikia tak mau
kembali ke talang, "Rakyat malas dan tak menguntungkan untuk hidup
disana!" Sergah mereka.
Kekuatan adat, kepercayaan, bersebunyi di balik tirai hitam. Disudut
sumpak balai-balai adat, tempat bersembahyang. Berbicara dalam kasakkusuk. Hanya
menghabiskan waktu berprasangka buruk terhadap
pemikiran-pemikiran pembaharuan.
Mereka justru membantu pembesar menarik upeti dari setiap
musimngetam , musim berjual getah, berniaga ternak, dan damar.
Dan Para tukang cocok tanam, di pedesaan bukan sekali dua melakukan
perlawanan, bersama para pekerja di tempat-tempat usaha serta
kalangan terpelajar. Apalah kekuatan.Parabegundal Rentasan menguasai
semuanya. Menguasai pendidikan, tipuan, persenjataan dan kekuatan
seluruh negeri. *** Bab II - Anak Sepotong Kayu
Tok-tok tikus, Melemang melukut, Datanglah (h)antu tikus, Nyuhok-nyuhok kebawah Jelapang Simar,....
Tembang itu diiringi tawa geli anak kecil.Bersama dengan suara malam
lainnya, jangkrik, burung, angin dan daun-daun, tembang itu berasal dari
sebuah Talang di tepi sungai besar. Talang Buleh Pehabung yang artinya
boleh berlebih atau makmur. Isinya cuma empat rumah panggung,
bersuasana tenang. Teratur dan aman, sekalipun tanpa peraturan tertulis.
Hanya kesepakatan tertuang di kepala yang diberi nama 'Belalang Kerta
Gambir', tunjuk salah, tunjuk ditetak.
Tok-tok tikus,mele,... Suara itu tepat dari rumah Matni. Istrinya Ningyut bertembang sambil
bergelut dengan putranya yang sedang belajar berjalan. Simar adalah
nama putra Matni dan Ningyut.
Betapa rindunya Siamak dan istrinya akan kelahiran seorang anak.
Seperempat abad sudah usia perkawinan mereka. Tak juga muncul
seorang anak, maklumlah anak di negeri mereka, bukanlah seperti
dongeng di negeri Andersen, bayi antaran para bangau.
Purnama empat belas. Bulan bulat penuh. Hanya nenek bongkok yang
sedikit menambah warna sinar emas bulan. Bocah berkumpul di
tengahlaman. Bocah laki-lakibehusek, bermain pedang-pedangan.
Bergulat di tanah. Gadis-gadis kecil berjajar di anak tangga bulat, saling
mengepang rambut kawannya, sehabis bermaincak-ingkling.
Bayi bernyanyi kegirangan di sebelah rumah Siamak dan Rieayu.
Orangorang tuabegesah, bercerita daritundan ketundan. Semua rumah
berdekatan. Talang berbaugelundu dari dapur-dapur yang membuat
minyak kelapa. Aromanya bercampur pandan memenuhi talang. Malam
begitu akrab, tenang, dan sejuk.
Ningyut masih bergelut dengan putranya,..bocah-bocah berpedangan.
Berlompatan, sembunyi-sembunyi di balik pohon pisang.Adayang
mengendap untuk menyerang,... Gadis-gadis kecil bernyanyi di pangkal
tangga. Siamak dan Rieayu memperhatikan semuanya. Siamak menoleh ke
Rieayu, pasangan itu bertatapan. Hampir setengah abad perkawinan
mereka tak juga hadir keturunan. Tak putus asa mereka berpinta
berupaya. secara adat, secara akal sehat,...
Rieayu mendongak ke langit. Siamak cuma tertunduk.Sinar kesedihan,
sinar pengharapan, oh adakah terbaca dari langit. Keduanya bertatapan
lama.Ambung Rieayu tek selesai dianyam. Cuma asap tembakau dari
daun nira Siamak yang berterusan mengapul. Keduanya bertatapan. Tak
jelas, apalah kesedihan "
Bocah-bocah sudah berhenti main pedang-pedangan. Gadis kecil semua
sudah berkepang. Tawa Simar sudah berhenti agaknya. Sudah tidur
agaknya di tetek ibunya. Lampu minyak kelapa ditundan ujung sudah
padam. Hanya suara jangkrik, angin menggesek rumpunbuluh . Bocahbocah dengan
peluh naik ke panggung. Pedang-pedangan dari pelepah
pisang, terpecah terkapar-kapar. Perdang milik Rentasan dari
batangrukam menghancurkannya.
Tiga bocah menangis. Kalah. Rentasan memang begitu subur tubuhnya.
Dibanding bocah seusianya. Gadis-gadis berlarian dengan suka. Kepang
panjang dan belah dua bergoyang. Pulang.
"Indok, ceritakanandai-andai ," Terdengar gadis kecil Remayun meminta
ibunya mendongeng. "Ini panggung si Kude Irang, Kude Irang kude melayang. Kakak mengilir
ke Pelimbang. Belikan aku sabut Kain, belikan aku pitir emas,..."Sayupsayup
terdengar syair Kude Irang dari dongengRumasalit dan antu Mook .
Dan malam pun bergerak menuju pagi. Malam tertidur. Siamak dan
Rieayu bertatapan. Angin lembut menjatuhkan daun-daunKemang
.Adasuara gigi tupai menguliti duku muda. Malam itu tak terdengar burung
pelatuk membuat sarang. Nyala-nyala api padam. Cuma bara berkilat di bawah masing-masing
panggung. Tak adatuju. Tak ada bintang jatuh. Siamak dan Rieayu masih
ditundan. Menyesali nasib ataukah mencari harapan. Rieayu mendongak
ke langit. Berpinta. Siamak mengikuti.
"Oh, yang memberi hidup. Bila kau percaya pada kami, Apalah pelipur, jika
tak ada seorang anak,..."
Dan langit tak berubah. Senandung satwa semakin indah.
*** Esoknya, Pasangan pembelah kayu ini meninggalkan talang, mencari
damar dan pohonsialang .Pengembaraan pembela kayu dan istrinya ini
tiba di Gunung Tujuh. Entahlah apa do'a yang dipanjatkannya, terlalu
indah, doa seorang rakyat, do'a seorang yang penuh pengharapan.
Lancang sekali jika dicoba membahasakannya ke dalam sebuah tulisan
sembrono. Singkat kata terjadilah dialog antara Siamak dan Sang Pencipta. Entahlah,
apakah dialog pelambang, atau dialog oral.
"Apalah pelipur, jika tak ada seorang anak,..."Begitu menghiba nadanya.
Berpadu dengan gesekan buluh-buluh tertiup angin sepoi.
Siamak adalah pembelah kayu yang dikenal jujur. Tak pernah sembarang
mengambil pekerjaan. Tak pula pernah berniat lebih dari sekedar
kebutuhannya, sederhana tapi tidak miskin. Meski garis tegas antara
sederhana mulai bias dengan kemiskinan.
Empat puluh hari empat puluh malam mereka berpinta. Sang istri setia
menemaninya. Hidup hanya hitungan waktu.
Mereka hendak melanjutkan berpinta pada hari ke empat puluh satu.
Ketika guruh petir bergemuruh berani. Hutan begitu kelam, tabir hitam
turun berlembar-lembar. Melesat sang Kemare membawa khabar " Segera Pulang!"
Sepasang tua bersedekap. "Mengapa kami harus pulang, tak ada yang menunggu kami di Talang."
"Segeralah Pulang. Tapi, potonglah kayu besi di sebelahmu. Apa yang kau
pinta akan kau temui berkat kekuasaan-Nya." Sang Kemare berlalu.
Keduanya bertatapan. Istrinya mengangguk. Apakah mungkin sesuatu di
dalam kayu. Dan apalah mampu membuat rebah kayu besi dengan kapak
tuanya. Tapi itu dilakukan mereka. Hari pertama berhasil mengikis kulit kayu besi.
Hari kedua, lingkar tahun terluar terkikis, begitulah selanjutnya. Berapakali
mereka harus mengganti gagang kapak tua. Untuk alat pemotong itu dari
sebuah besi tua bagus mutu.
Hari ke setengah, Rieayu terdiam saja.
"sudahlah, kakak Siamak. Kita Pulang ke Talang. Sudah dua kali purnama
muncul kita tak menemukan apa-apa,..." Nasihatnya akhirnya.
Siamak merangkulnya. "Rieayu, jikapun tak sesuatu ada di sini, kayunya
akan berguna untuk pedang-pedangan anak kita nanti." Hibur orang tua
itu. "Siapa tahu, dia bisa bermain dengan yang lain."
"Iya, kalau dia perempuan?"
"Kita berikan untuk calon suaminya kayu bermutu ini, Pondok mereka akan
teduh dan kuat. Dingin dan kokoh,..."
Keduanya melanjutkan. Rieayu sambil Siamak memotong Kayu, berhasil
membangun pondok kecil, peristirahatan menjelang malam. Ketika fajar
membuat bayang-bayang daun kelapa dan pinang-pinangan, Siamak
memotong lagi. Begitulah seterusnya. Hari Keempat puluh pohon tua itu rebah. Betapa
kecewa Rieayu melihat tak ada apa di dalamnya,..." Pohon itu perlahan
rebah ke mata air berhulu di matahari terbit.
Kayu besi menimpa rumpun bambu betung. Menerapas daun-daun buluh.
Mengesek bilah sebelum jatuh berdebam ke tanah. Siamak dan Rieayu
mengitari tunggul kayu besi. Tak ada lelubang, tak ada tanda-tanda
pencapaian permintaan mereka.
Burung malam berbunyi siang itu. Rieayu ketakutan. Duhai musibah
apakah pertanda. Betina tua memeluk Suaminya, yang tak kalah
ketakutan. Sang Kemare tak terdengar, sebelumnya Siamak sempat
diperingatkan istrinya bahwa ada suaranenek di dekat mereka. "Aku takut
Kakak,..." "Ssssst,... Apakah kau mendengar sesuatu ?"
"Hanya suara burung malam,...suaraguhong ?"
"Bukan,..." Siamak menjawab dengan mendesis. "Cobalah kau dengar
lebih tajam, di tempat rebahan kayu kita, di rumpun buluh, arah mata air,..."
Rieayu terdiam. Keningnya bertambah kerut. Matanya semakin tajam,...
ada sesuatu tertangkap di telinga. Keduanya bertatapan lama,....
Keduanya berlari meninggalkan tempat mereka semula. Menuju ke
sumber suara," Suara Bayi,..." Sorak mereka.
Siamak mencegah lari istrinya sebelum tiba di ujung rumpun.Adaharimau
tua tertimpa kayu besi,... mulutnya berdarah, entah darah apa,... ataukah
darahnya sendiri. Mengendap orang tua itu menuju bangkai harimau. Di atas dedaun
mati,...tergolek bayi sekira-kira dua puluh hari. Darah sedikit mengucur di
kulit bahunya yang empuk,... lembut, merah.
Rieayu langsung mendekapnya,...
Oh,...mereka bersedekap berdua. Memanjatkan syukur ke pemberi hidup.
Bayi itu kelak diberi nama Jelihim, Anak Sepotong Kayu.
*** "Jelihim, makanlah dulu."
"Iya, nek. Nanti dulu," Jelihim memanggil keduanya Nenek. Nenek Jantan
dan Nenek Betina, seperti yang diajarkan. Dua orangtua itu menghadapi
gulaitempoyak mengepul di atas tikar pandan. Masa tua begitu
menyenangkan, terlebih sejak kehadiran anak kecil di rumah mereka.
Sekalipun keduanya masih mencari tahu siapa orang tua Jelihim
sebenarnya, meyusuri ceceran darah dari taring harimau.
"Jelihim, makan dulu,..."
"Iya, Nek," Kumbang arang-arang, 'Men nak idup keluah, Men nak mati kedalam. Tembang itu terdengar di bawah tangga. Bocah Jelihim memukul-mukul
tiang rumah, mengusir kumbang dari liang-liang. Menangkapnya dengan
benang yang menjerat.Kumbang arang-arang, 'men nak idup ke luah,
men nak mati ke dalam,...
*** Bab III - Berguru ke Padang Datar
Jelihim minggat. Sejak tiga hari ini Tak muncul di perguruan tulis baca
yang diasuh guru-guru bayaran penguasa negeri. Kawan-kawannya
mencemooh 'kebodohan' itu.
Guru-guru mengajarkan tulis bacasuratulu. Mengajari mengeja kitab-kitab
yang tak terbaca mata hati Jelihim. Terjadi di sini pemindahan
pengetahuan dan keterampilan hasil ceplakan yang tak menyentuh talang,
kute, marga dan Negeri. Guru-guru seperti orang-orangan pengusir
burung di ume yang menunjukkan pengetahuan yang diceplak oleh
pembesar negeri bidang keilmuan dari kitab-kitab tak dikenal di luar.
Dibiakkan di dalam negeri begitu saja.
Jelihim minggat. "Nenek ingin aku memperoleh pendidikan, karenanya ia melarangku
sekolah," Kawan-kawannya mencemooh,...
Setiap tempat adalah sumber ilmu. Pergi begitu saja, berguru dengan
alam kepadangdatar. "Pengalaman adalah guru terbaik, karena bayaran guru mahal,..." Canda
Jelihim kepada kawan-kawannya.
Muak dengan keseharian mencatat dan menghapus batu sabak.
Menghapus isi kepala berisi kederhanaan. Menghapus kenyataan di


Jelihim Sang Pembebas Karya Syam Asinar Radjam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerbang perguruan terdapat peminta-minta, bertebaran mereka yang tak
mampu masuk, dan terpaksa menjadi penjahat tak terbagi pengetahuan
dan kesempatan.Walah, di dalam pun orang-orang dilatih menjadi
penjahat. Bau pantat dimuka guru.
Masuk ke sarang pengetahuan dijadikan tujuan utama. Bukanlah sebuah
perjalanan pengikisan kekentalan perseberangan derajat. Orang-orang
mencari 'laba' dengan modal yang ditanamkan di pada pendidikan. Murid
terlatih menabung nilai di saku guru-guru, dengan kehadiran tanpa
penghayatan dan penghormatan palsu. Orang-orang menjadi tergantung
bukan karena mencari ilmu adalah tugas hidup. Hanya alasan laba rugi
bak perniagaan. Orang-orang dibodohi tujuan mencerdaskan kehidupan
negeri. Hanyalah lingkaran setan di perguruan macam ini. Orang-orang bertujuan
mencapai cita-cita menjadi pengawal penguasa negeri, bukan untuk
kepentingan orang lain. Asal untuk tidak kelaparan, memeras pun halal.
Lingkaran setan menghasilkan orang-orang berkedudukan, berkecukupan
dan mampu menjadikan keturunan di perguruan-perguruan ternama. Dan
Talang tetap tak ada perubahan.
Orang miskin tak mampu menginjak perguruan. Orang muda desa tak
mampu belajar dikute, Tak mampu menyuap menjadi pengawal
pembesar.Walah,..orang-orang berilmu diharapkan mampu menuntaskan
perseberangan ini, mampu menuntaskan kemiskinan. Padahal tak ada
yang mampu menarik benang merah antara keduanya.
Orang-orang muda di talang-talang tersesat pada keputus-asaan
berkepanjangan, tak berdaya dengan tingginya biaya berguru. Sekalipun
sempat mencicipi belajar di perguruan, kenyataan di kute tak ada peluang
bagi mereka mengabdikan ilmu. Sungguh telah tertolong bangsa priyayi
yang sekarang memerintah merebut kekuasaan.
Oh, semua menjadi ajang pemaksaan saja. Pencucian otak,
penghancuran nilai kemanusiaan. Betapa manusia adalah mahluk
membingungkan. Semua nilai dikurbankan demi kebendaan.
Makanya Jelihim minggat. Mengembara, berguru kepada angin yang
bertiup, pada matahari yang setia, tak pernah tenggelam, pada bintang
benderang sekalipun tau yang dilihatnya bukanlah bintang, hanya sebuah
cahaya dari benda bergerak cepat yang tertangkap mata lemahnya dalam
jarak begitu jauh. Jelihim mengembara setelah berpamit ke Siamak,
Rieayu, dua orang tua yangbesedingan .
*** Pengembaraan begitu melelahkan, belajar pada mata air, belajar pada
petani tentang bertanam tanpa harus menikmati panen.
Akhirnya pengembaraan berhenti sebentar. Jelihim bertemu guru belang
kaki. "Tak ada yang dapat kuberikan padamu Jelihim. Bisa taring raja
harimau memenuhi isi darahmu. Bersilat hanya melatihmu membunuh,"
"kalaulah itu diniatkan untuk membunuh, Guru." Jawab Jelihim.
"Nah, ternyata kau lebih bijak daripadaku."
Di sela berlatih silat, memainkan selendangsampang due belas, ...
"...Apa guna kita memiliki sekian banyak pemuda dari pondok-pondok
berisi ilmu yang cerdas. Tetapi rakyat dibiarkan bodoh. Segeralah kaum
pintar itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan kepintaran mereka,"
Lalu suara itu menghilang guru belang kaki itu lenyap. Meninggalkan
Jelihim dipadangdatar. Jelihim terduduk. Entah mau menangis atau apa dalam perpisahan tak
terduga itu. Menangis pun untuk siapa "
*** Jelihim tepekur saja dua hari setelah berpisah dengan Belang Kaki. Dia
mencoba menggabungkan gambar-gambar dikepalanya yang panjang
dan menghubungkan ke peristiwa pertemuan mereka.
Matahari begitulah, dimusim pancaroba. Tak Jelas dingin panasnya.
Hanya dia mendapat kesialan hari ini. Pengembaraannya menghantarkan
raganya kepadangtak tampak tepian. Datar saja. Tak jelas arah bau mata
air. Tiga hari jelihim dalam kehausan hebat. Jangankan mandi. Dia
menghisapi keringatnya sendiri.
Malam dingin dan panas siang menghantam tubuhnya. Bibirnya membiru,
memutih dan pecah. Matanya membengkak saja. Debu begitu menyukai
sisa kelembaban di mata Jelihim sepertinya. Ya, tak ada lagi kelembaban
lain. Burung mayat di atas kepala berputar-putar dengan nyanyian
kematian. Hanyalah rundungan kemalangankah yang pantas dinikmati
seorang tak menerima kemapanan.
Menjelang sore. Ya, menjelang sore kalau tidak salah. Tapi jelihim masih
berjalan. Dia masih dapat merasakan selang waktu pertukaran ujung
tumit kiri dan kanan bergantian melangkah pelan. Menjejak di rumput
gersang. Langkahnya mulai amat pelan. Tumit terasa semakin menebal,
perih. Tak ada sisa nasi diperutnya, hanya kemauannya menggerakkan
kedua kaki. "Bukan takut mati, tapi mengapa harus mati dulu," Jelihim
berkata sendiri. Matanya yang tertutup debu masih bersinar. Matahari semakin jauh. Dia
menikmati kepergian matahari darinya. Oh, tak tahu Jelihim sedang
mengejarnya. Hanya sisa-sisa larik jingga di ujung dataran tak nampak
tepi. Selebih itu dia tak tahu seiring gelapnya dunia, terseret ke kegelapan
yang lebih hitam. Jelihim terjatuh.
"Hei, bangun Beruk!" Suara itu bukan teriakan. Jelihim menggerakgerakkan pelupuk
matanya. Setengah sadar Jelihim merasakan dadanya bergetar dengan bisikan
pelan itu. Bergetar tapi tak sakit. Jelihim membuka mata.
Oh, tersadar dia di tengah genangan air, mungkin danau. Sebatas
dadanya jika duduk. "Nah, nah, nah Berukku sudah bangun." Dada Jelihim bergetar lagi.
Matanya mencari-cari arah suara itu. Walah, seorang tua bangkotan di tepi
danau berjingkrak aneh. Manusia gila, pikir Jelihim. Kakinya seperti
berselaput lagi, berwarna coklat belang putih.
Berjingkrak untuk apa" Kening Jelihim berkerut rapat. Dia mendengar
nyanyian untuk seorang beruk. Ya, seorang bukan seekor.
Sayup-sayup, terdengargenjer-genjer beruk di genjer, tercelup berharihari jadi
beser, seorang beruk pemalas berendam saja, tak tau malu tak
ada mau,... Dengan nada tak tentu. Tak teratur.
Jelihim berhasrat naik dari danau. Mendekati orang gila belang kaki itu.
Setidaknya dia bertanya sesuatu tentang yang tak diketahuinya sampai di
tempat ini. Jelihim coba menggerakkan sendi kaki.
"Eh, Beruk. Mandimu belum usai." Orang-tua berjingkrak itu berkata Ke
Jelihim. "Bangsat, berarti Beruk itu Saya," Jelihim memaki seribu bahasa.
"Habiskan makimu. Supaya kau bisa berkata baik besok, ha ha ha,..Tapi
usaikan mandimu. Tubuhmu kotor dan menjijikkan. Mundur tiga langkah.
Sudah tiga hari kau disanasaja. Tak baik air keruh untuk tubuhmu Beruk."
Jelihim terhenyak, telah tiga hari dia mendekam di lumpur ini. Jelihim
mencoba menatap matanya.Walah , mata itu begitu menakutkan,
mencorong seperti bola api.
Orang gila itu lebih terkejut lagi menatap mata Jelihim.Ya, Jagat raya.
Matahari ternyata dua . Lalu dia berjingkrak-jingkrak seperti bocah
menerima mainan baru. "Matahari ada dua, matahari ada dua, Emak,..."
"Gila," Bisik Jelihim.
"Eh, Kau jadi lupa untuk mundur."
Jelihim tak mampu menggerakkkan kakinya. Seolah terpaku di lumpur.
Sekalipun mampu tak akan dia menuruti kemauan orang itu. Dia sudah
cukup kebasahan disini. Dia mau pergi melanjutkan pengembaraannya.
"Masih tak mau mundur juga. Biar aku paksa!" Orang gila itu melambaikan
tangannya. Lalu tubuh Jelihim diserang angin keras yang dingin. Tubuhnya tambah
menggigil. Terlempar sepuluh depa ke belakang. Jelihim tergagap.
Kedalaman air di tempat barunya menyambut ganas. Tubuhnya meluncur
saja ke bawah. "Selamat datang, wahai ajal," bisik Jelihim.
Dia tak mampu menggerakkan apa-apa. Tubuhnya meluncur lurus. Hanya
dia mampu menahan nafas saja. Gelembung-gelembung udara kecil
meluncur berbalik arah dengan luncuran Jelihim.
"Bange(goblok) sudah kubilang tiga langkah saja, ha ha ha,...suara itu
merambat di dalam air. Jelihim memaki dalam hati. Sementara tubuhnya terus ke arah bawah tak
tentu batas. Jelihim memejamkan matanya menyambut sang ajal. Belum
pernah sekali dia sepasrah ini.
Lalu dia merasa rambutnya di tarik dari atas. Jelihim membuka mata.
Hanya kaki yang terlihat. Kaki berbelang-belang. Teringat dia itu orang gila
di atas tadi. Secepat kilat mereka tiba di atas awang-awang. Hanya riak air
dan luapan yang meninggi dilihat Jelihim di atas permukaan danau. Lalu
tubuhnya terlempar lagi ke air, ke kira-kira tiga langkah dari tempatnya
semula. Jelihim menggigil kedinginan. Rahangnya menggeretak. Sampai malam
datang lagi. Sumsumnya terasa membeku. Jelihim hanya mengatur
pernafasan. Terus berjuang melawan kedinginan. Menjelang pagi,
sumsum terasa semakin berat. Jelihim kembali menggeretak. Kulitnya
terasa tebal dan mati rasa.
Sampai saat kekuatan panas dari ubun-ubunnya mengaliri setiap sarap di
tubuhnya. Jelihim memberanikan membuka mata. Kaki belang-belang itu
di depan mukanya. Orang gila itu duduk di atas kepalanya. Jelihim
menggerutu. Tapi kekuatan apa yang mampu memghangatkan air beku
ini. Tak lama. Orang gila itu menghilang.
Kurang lebih empat puluh kali Jelihim melihat Matahari di atas kepalanya.
Dia masih saja tak mampu meninggalkan telaga. Panas kepanasan,
dingin kedinginan. Kadang laki-laki tua itu muncul lagi ketika matahari
menyegat kulit. Mengalirkan tenaga dingin beku ke ubun-ubun Jelihim.
Saat itu mungin pada hari ke tiga belas. Jelihim menyadari sebuah
perubahan pada dirinya. Dia tak lagi berlapar-lapar saja karena ada buah
teratai yang dapat dilahapnya. Sekalipun kakinya masih terasa lumpuh.
Tapi kekuatan panas dan dingin itu benar-benar berguna. Hari ke dua
puluh Jelihim mampu menguasai kekuatan baru itu. Dia mampu
membuat ikan di sekitarnya mengapung dan masak dengan menaikkan
sedikit suhu tubuhnya. Saat itulah sebuah tendangan mengenai dadanya. "Saat ini kau hanya
boleh makan dari tanganmu." Lalu bayangan itu begitu silap.
Sampai hari ke empat puluh satu. Dia dia diperintahkan naik ke atas.
Kelumpuhannya selama ini hilang. Dan orang tua itu berlalu saja.
"Bapak tua," tahan Jelihim
Orang itu berlalu saja. Kaki belangnya melangkah menjauh. Jelihim
mengejar. "Kau tunggu saja disana."
Jelihim terdiam. "Apa yang harus ditunggu?" pikirnya. "Ketidakpastian?".
Dia ingin mengejar. Dengan kekuatan baru yang dirasakannya saat ini
tubuhnya terasa lebih ringan. Dia yakin mampu mengejar.
"Tidak," Pikirnya dalam hati. Harus belajar mempercayai orang. Jelihim tak
meninggalkan tempat ini. Hari keempat penantiannya, orang aneh itu kembali dihadapannya. Duduk
bersilah. "Siapa namamu, Beruk" Jelihim, Bapak. Mengapa sampai
disini" Tak tahu, Bapak. Setahu saya hanyapadangrumput tak tampak tepi.
Tahu-tahu saya terendam di telaga itu. Dan kalau boleh tahu tempat
apakah ini, Bapak" Mengapa kau yang bertanya, tapi tak apa tak ada
larangan untuk itu disini. Inilahpadangdatar.
Jelihim tercengang.Padangdatar " Setahunyapadangdatar hanya sebuah
tempat di dongeng-dongeng dalam kitabNinek Gumbak Panjang. Dimana
semua ilmu pengetahuan terkumpul.
Hormat saya, Bapak. Hua ha ha, Jelihim ternyata kau tetap seperti Beruk.
Beruk pun tak butuh pakai penghormatan-penghormatan. Apalagi kau
memberikan itu setelah kau tahu sesuatu di sini,kan" Maafkan saya,
Bapak. Lalu seperti apa layaknya saya memanggilmu, Bapak" Panggil
aku Belang Kaki" Izinkan saya memanggilmu guru. Ha, ha, ha sudah
lama aku tak dipanggil guru. Tidak, ha ha ha,... sebentar, Guru " Guru"
Guru Belang Kaki,... ya boleh kau panggil aku begitu. Sekalipun, belum
tentu kau kuajarkan sesuatu. Kau belajar sendiri di sini. Di telaga. Atau
rumput yang bergoyang. Terima kasih Guru " Guru "!!! Guru Belang kaki,
tahu "! I,... iya Guru Belang kaki.
Jelihim memberi hormat lagi.
Begitulah seterusnya. Hari-hari Jelihim diisi dengan mempelajari falsafi
air, atau apa saja dipadangdatar. Mengupas kitabNinek Gumbak Panjang
yang merupakan sumber ilmu siasat dan terkaan terhadap yang akan
terjadi. Mengupas pula Belalang Kerta Gambir. Belajarpencak , berlatih
silat. Bersemadi. Berlatih mengumpulkan tenaga panas dan dingin di
pusarnya. Mengeluarkannya pula dan mengendalikannya.
Jelihim mematangkan sastrasuratulunya. Dari Guru Belang kaki dia
mendapat ilmu memintal dan menenun. Mereka berkebun juga untuk
kebutuhan sehari-hari. Gurunya tak mengajarkan untuk memakan sesuatu
yang bukan hasil kerja tangannya. "Janganlah kau terlalu suka
mengumpulkan kesenangan, kekayaan."
"Mengapa, Guru Belang Kaki?"
"Saat yang sama kau juga telah menumpukkan kemiskinan dan
penderitaan bagi orang lain."
"Tidak Guru. Karena hanya aku sanggup makan hingga kenyang saja. Aku
hanya mampu memiliki pakaian sampai rusak. Tak ada lagi yang berhak
kumiliki." "Kau berasal dari kelompok aneh, Jelihim. Kau bukan dari kelompok
tertindas, bukan pula penindas."
"Penindasan itu di depan mata saya, Guru Belang Kaki."
"Kau melihatnya. Makaderake bagimu jika kau membiarkannya."
"Mudah-mudahan tidak, Guru Belang Kaki."
"Semestinya Jelihim. Karena kau mempunyai ilmu yang bisa dibagi untuk
pembebasan." "Lalu Guru Belang Kaki sendiri ?" Tanya Jelihim.
"Ha ha ha, pertanyaanmu menyindir sekali Jelihim, ha ha ha"
"Maaf, Guru Belang Kaki."
"Tak apa Jelihim. Inilah bagian dari hidup. Aku mengambil peran ini.
Doakan aku mampu menjalani peran ini dalam mendukung gerakanmu.
Aku hanya mampu menulis kitab-kitab dan membagikan sedikit isi
kepalaku." "Kalaulah aku tak mampu lagi bergerak tanpa kitab Guru Belang Kaki ?"
"Maka kau percayakan pada nurani. Dia akan menggiring jalannya perang
yang kau jalankan." *** Bab IV - Smaradana Dua betina di atas telaga, jentera bianglala masih terukir lengkung.
Selengkung busur soratama. Dua mata dibalikaur berduri pasat
memandang terpesona. Betina peri yang muda menyisiri betina peri yang
tua. Tempurungbiuku menyusuri setiap lembaran panjang rambut ibu
peri. Telaga tersapu bianglala. Sore itu peri mandi. Geletar urat geli Jelihim
mengacaukan nafas. Sinar matahari, desah angin mengkilatkan air
meriakkan kecipak katak menjadi besar.Duhai, siapakah betina begitu
indah,..." Tak lama rambut peri tua telah terikat rapi, dibalut kerudung sutra lembut.
Telah lama selesai mandi, betina peri tua melangkah melintasi bianglala.
Melesat pelan ke balik mega.
Angin lebih keras terasa mendekat. Angin dengan uap panas. Dua betina
itu diam saja. Jelihim menangkap gerakan angin itu. Kekuatan besar milik
Rentasan, jejaka penguasa tujuhkute di selatan.
Kekuatan itu berhenti di semakrukam, Sepasang mata merah bekas bau
tuak menatap pemandangan indah itu.
Dang betina peri muda melangkah ke telaga. Aroma telaga bertebaran
bungamelur. Dua jejaka bersembunyi termabuk keindahan. Gerakan di
bawah air sedikit tampak menggelegakkan nafas Rentasan. Jejaka itu
melesat ke telaga. "Duhai, siapa demikian jelita sampai masuk ke kawasan kekuasaanku"
Wajarlah kiranya jika ku harus tahu namamu, duhai tamuku,..." Rentasan
memandang lekat ke Betina di telaga.


Jelihim Sang Pembebas Karya Syam Asinar Radjam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Betina itu mempercepat mandinya, dan naik ke atas darat. "Siapapun
kiranya Tuan, tak pantaslah jika sampai mengganggu perempuan mandi,"
Ucap betina itu pelan tapi tegas.
"Apakah salah jika aku cuma ingin berkenalan?" Rentasan menebar
senyum di sela kalimatnya. "Sebenarnya aku juga tahu sedikit kesopanan,
tapi hasrat begitu kuat. Tak kuat kutahan keinginan berkenalan,...Apalagi
dengan perawan demikian rupawan." Tak tahan Rentasan merasakan
kehalusan jemari betina di hadapannya. Sampailah Rentasan
mengulurkan tangan, "Namaku Rentasan. Penguasa tunggal tempatmu
mandi ini,..." "Namaku Redendam," Jawab sang betina tanpa mengulurkan tangan.
"gadis tersasar yang sekedar numpang membersihkan diri."
"Ooh, sendirikah Dikau, Adinda Redendam " Aku berharap kau tak
menolak jika kuajak singgah ke istanaku. Aku menyukai matamu, seperti
sepasang bintang kejora, tak ada bandingnya. Hanya satu kejora di langit.
Kau memiliki dua. Kecantikan sukar ditara. Kebetulan aku sedang
mencari pasangan. Jika kau bersedia aku akan segera meminangmu."
Rentasan mulai berani meraih tangan betina Redendam.
"Maaf, aku tak suka dengan caramu, Anak Manusia. Aku harus segera
pergi," Nada betina terdengar layaknya orang yang terganggu saat-saat
indahnya. Peri muda melesat pergi dengan muka sedikit kesal. Rentasan pergi
dengan ketersinggungan. Belum pernah rayuannya tak mempan di gadis
di muka bumi. Oh, Rentasan,...Buluh perindu- mu mandul. Peri muda
melangkah ke bianglala yang mulai pudar.
Jelihim tertinggal di semak aur berduri. Terpaku mabuk harum melur.
Jelihim tertinggal di semak aur berduri. Terpaku mabuk harum melur.
Duhai, wangimu harum bayi. Jejaka penjudi itu tetap terpaku. Khayal
menerawang jauh. Kilatan matahari di atas telaga. Kilatan lembut sutera
basah. sosok itu begitu indah. Tulang bahu begitu simetris. Tak ada
lemak berlebih, bisa digolongkan kurus malah. Tapi begitu menarik.
Begitu merangsang. Betapa tulang lebih terlihat menggiurkan dibanding
daging. Bianglala semakin memudar. Ujungnya meninggalkan tanah.
Jelihim melesat menyambar sumber kilatan. Serangga air tak berhenti
berbunyi, katak masih menunggu lalat, tak ada kecipak. Begitu tinggi ilmu
meringan tubuh jejaka yang diakui sebagai penguasa tujuhkute di selatan
Muara Cawang. "Hei, tunggu!" Jelihim menangkap ujung pudar bianglala. Betina di atasnya menoleh
dengan rupa kesal, "Mengapa lagi"!" Dia menyangka jejaka genit di atas
telaga mengganggunya lagi.
"Maaf jika aku mengganggumu, Wahai Perempuan. Tapi apakah kau
ketinggalan sesuatu."
Betina itu tersadar yang datang ternyata lelaki lain. Bukan lelaki yang tadi
mengganggunya. Keangkuhan melarangnya meminta maaf. "Tidak, tak
ada yang tertinggal."
"Ya sudah, berarti selendang ini bukan milikmu. Maaf, selamat tinggal,"
Jelihim pura-pura hendak pergi.
Betina di bianglala terkesiap. "Hei, kau bilang selendang?" Lalu dia
meraba lehernya sigap. "Iya, selendangku tertinggal. Maafkan atas
kekasaranku tadi." Warna muka Jelihim tak berubah. "Tapi Aku rasa kau tak begitu butuh,"
Tidak juga ternyata. Warna muka Jelihim ditoreh sedikit rasa iseng.
"selammm,......mat,..ting,...." Tinggal jari telunjuk dan ibu jari Jelihim
"selammm,......mat,..ting,...." Tinggal jari telunjuk dan ibu jari Jelihim
memegang ujung bianglala.
"Eii, jangan pergi dulu. Benar-benar aku minta maaf. Selendang itu
pemberian ibu periku,...tolong berikan padaku. Begitu berharga bagiku."
Ujung lentik jari-jari Betina peri menangkap jemari Jelihim.
Jelihim meloncat ke atas bianglala. Akibat hentakan tenaga betina
ditambah tenaga bujangan sakti itu sendiri.
"Aaaah,... " Begitu kuat lonjakan tadi. Jelihim berhasil menjejak ke
bianglala. Si Betina terhempas ke luar sisi bianglala. Jemari mereka
terlepas. Tubuh ramping melayang di atas awang-awang. "TENANG!"
Teriak si Bujangan. Tubuh Jelihim melesat. Tubuh jatuh itu begitu cepat meluncur. Jelihim
menambah kecepatannya. Meloncat dari mega-mega. Tinggal sedikit lagi,
jemari lentik itu sampai. Tapi kecepatan jatuhnya semakin cepat. Keringat
Jelihim jatuh perbutir. Tubuh kuyuhnya basah peluh.
Jelihim mempercepat lesatannya. Gadis itu semakin dekat ke bumi.
Bayangannya jatuh di telaga. Serangga darat berhenti berbunyi. Semua
sepi.Belido bersembunyi di balik-balikpurun . Angin seolah diam.
Jelihim berdoa dalam rupa cemas. Menyesal seumur hidup jika dia tak
mampu menyelamatkan betina itu. Entah kenapakesan pertama begitu
menggoda , bukan karena itu saja. Setidaknya dia turut menyebabkan
gadis itu jatuh,...dan mati.
"Aaaah! TIDAK!!!" Teriakan Jelihim mengacaukan telaga. Ikan-ikan
berlompatan. Air beriak keras, telaga tenang tiba-tiba
bergelombang.Adasesuatu di hatinya yang rentan pecah. Jelihim merasa
sesak di dadanya. Tak ada harapan. Betina itu sebatang pinang sepuluh tahun dari tanah.
Jelihim terus mempercepat laju.
Burung-burung berhenti terbang. Hinggap di atas pohon-pohon tepi
Burung-burung berhenti terbang. Hinggap di atas pohon-pohon tepi
telaga. Gadis itu seolah pingsan. Diam. Tak ada yang bisa berharap. Tak juga
ada yang mampu menolong. Tubuh itu akan remuk dalam waktu tak lama
lagi.Umban . Luluh,... lantak.
Jelihim terus menambah kekuatannya. Tak bisa semakin cepat dia
melesat, tubuh lepas itu bertambah pula kecepatannya.Gayatarik bumi
menyedotnya. Jelihim pun tak mampu berharap.
Selendang di pinggang betina itu tiba-tiba berkibar. Arah jatuhnya
membelok. Melengkung setengah cakrawala. Gerakan itu begitu indah.
Burung-burung diam teriri. Diiringi tawa-tawa kecil. Betina itu menari di
udara. Berputar dari mega ke mega tak secepat Jelihim memang. Pipit,
cucakrawa yang tadi terdiam bersorak kagum. Tarian itu begitu indah.
Awan mengganti-ganti rupa. Bentuk biri-biri putih, kereta kencana dengan
empat kuda, atau kapas-kapas putih kecil, jagungbeheteh .
Tertinggal Jelihim dalam kekesalan. Bujangan itu merasa dipermainkan.
Tapi tawa kecil keluar dari mulutnya. "Sial, kubalas kali lain!" Teriaknya ke
betina penari di mega. Betina itu tertawa saja. Pemandangan di langit begitu indah. Dada jelihim
bergeletar. Belum dia pernah melihat betina serupawan ini. Rona
merahnya tertimpa mentari sore yang tak tega menyentuh kulit mulus
sang betina. "Hei, bianglala hampir habis!" Jelihim cemas mengingatkan.
Akhirnya betina rupawan berhenti menari. Berusaha mengejar ujung
bianglala. Jelihim melesat cepat. Menyambar tubuh ramping. Dalam
terbang Jelihim berkata, "Maaf bila ku tak sopan." Getarannya begitu
lembut. Oh, pikir si Betina.Asmaramu di bicaramu, bujangan.
Cinta tertebar di intonasi si Bujangan.
Jelihim menyambar ujung bianglala. Mereka berdekapan di tujuh warna.
"Terima kasih, namaku Redendam. Bolehkah ku tahu namamu ?"
"Jelihim. Kau bisa panggil aku Kawan Jelihim." Mata mereka bertemu.
"Ufh, maaf aku cuma mau memulangkan selendangmu. Begitu berarti
sepertinya," Jelihim tersadar.
"Apakah aku harus berterima kasih lagi, persediaan terima kasihku tak
banyak," Betina itu tertawa kecil setelah ucapan terakhirnya sendiri.
"Tak perlu berterima kasih. Toh, tak bisa tak bisa ditukarsekulak beras,"
Jelihim membalas. Keduanya tertawa. "Bolehkah aku berterus terang, duhai Redendam ?" Ucap Jelihim pelan.
Gadis itu menganggukkan. "Aku cuma mau minta maaf sempat memperhatikanmu dan ibu perimu di
telaga tadi, eee,...."Ucapan itu putus. Cuma terucap di hati. Tapi
rendendam membacanya,eh,...aku mencintaimu karena kau mencintai
ibumu. Keduanya terdiam. Jelihim tak kuasa menahan hatinya. Getaran Betina itu
pun begitu kuat. Bumi langit guncang.Sudahlah, anak manusia. Buang
mimpimu pada perempuan langit. Tak ada kata-kata. Cuma bayangan
disengeng .Siluet tubuh berdekatan. Wajah mereka menyatu.
"Maafkan aku, aku harus pergi, " Suara berat jelihim menyadarkan.
Adadesah tertahan milik Betina.
Tapi Jelihim sudah berlompatan di mega-mega.
"Aku tunggu setiap sore di telaga," Bisik sakti Redendam dari jauh.
Jelihim menoleh sebentar. Cuma bentuk hitam seorang betina dengan
latar oranye di ujung langit.Nyawamu dan nyawaku dijodohkan di langit,
dan anak kita akan lahir di cakrawala. Adapun mata kita akan terus
bertatapan hingga berabad-abad lamanya.10
Di bawah, dua pasang mata Rentasan yang rupanya belum pergi
berlumur kebencian karena peristiwa tadi.
*** Si Betina selalu menunggu di tepi telaga. Sendirian. Dan Jelihim tak
pernah muncul. Menghabiskan waktu di lapak taruh. Tapi jangan cari
Jelihim di satu lapak taruh, Jelihim hanyalah petaruh berpindah. Jelihim
tak pernah menang, tak juga pernah kalah. Dari hikmah dari pertaruhan
macam itu didebatkannya kepada kawan-kawan penjudi lainnya.Dan
ajaklah mereka berdebat dengan cara sebaik-baiknya11
"Adajudi lain yang lebih besar, kawan-kawan. Tentulah taruhannya besar
pula. Bagaimana menaruhkan hak dan martabat diri terhadap
penguasaan musuh dikute di utara." Sambil berjudi Jelihim membangun
kekuatan dengan mencoba menyadarkan kawan-kawannya. Jelihim
masih meragukan betinanya.
Si Betina menunggui di tepi telaga. Berpantun,Uji dengan aku dek
ngandang, ngandang pedare lelayuan, uji pedengan aku dek ribang,
ribang ketare kemaluan,...
*** Bab V - Panen Raye Di Selatan Begitu indah. Semuanya tersaput keemasan. Bulir-bulir padi merunduk
Begitu indah. Semuanya tersaput keemasan. Bulir-bulir padi merunduk
dalam, dewi padi menari di mata kelam sang dukun. Bocah-bocah
berlarian di sela-sela rumpun padi, bergumul miang. Bocah-bocah telah
dilangiri. Asap mengepul di dapur umum. Baupadi pulut
tersiramkincememenuhiume . Perempuan tua memanggulkeruntung ,aniani menari. Dan
padi tak pernah marah kepada ani-ani. Laki-laki
mendorongkisaran .Bocah-bocah ditarik ibu-ibu mereka dari rumpun padi.
Disuruh bermain layang-layang.
Sebagian menurut. Berlari dengan benang layang-layang dari urat pohon.
Layang-layang daun waru terbang, membelah angin. Siulan bersahutan.
"Hei, jangan bersiul di tengahume. " Teriak ibu-ibu mereka. Bocah
berlarian menjauh. Siulan dari mulut penuhkaramunting terus berbunyi
tersendat. Melompati sesaji untuk bumi. Dewi Padi tersenyum di alam
maya. Ayam-ayam yang ditehing. Tunjadanlengkur tetap dipasang. Dua bulan
lalu Cik bernyanyi di tepi-tepi desa melawan arah angin. Berucap-ucap,
...Kepak-kepik kumbang lenggane, baleklah kamu ke mega metu. Kalu
kamu dek balek, kamu dikutuk oleh Allah. Ke ayek kamu dak boleh
minum, ke dahat kamu dak boleh makan. Laillaha ilallah, ..."
Pak Cik ikutngetam hari ini. Ikat kepalanya hitam. Jelihim bersamanya.
Keduanya dilarang bekerja di tengah tengahume. Keduanya melihat saja
panen raye itu.Panen tiba, petani desa memetik tanaman. Bocah-bocah
menari lincah dipematang,...
Padi begitu cepat berlumbuk, di jemur-jemur. Jelihim menenggak tuak.
Wajahnya merah bersuka. Rakyatnya tak pernah kekurangan beras. Padi
begitu cepat berlumbuk, padi di jemur-jemur. Padi berlumbung-lumbung.
Jelihim meniup batang padi. Menimpa-nimpa siulan bocah. Sebuah
harmoni alami. Orkestra mereka mengisi suara gemercik airguhong .
Bercampur suara angin menggesek batang-batangbuluh , daun-daun,
serangga padi, jangkrik tanah, pipit.
*** Di Utara Panen tiba. Petani --tepatnya tukang cocok tanam di dusun-dusun-bergumul
ditengah sawah dan ladang. Petani bergulat dengan utang yang
harus dibayar kepada Rentasan. Panen tak bisa disebut berhasil,
belalang muncul entah dari mana. Kesaktian petani musnah. Mantra
apalah daya. Ramuan yang selama ini dipaksakan oleh Rentasan lewat
kaki tangannya, tak lagi bergigi. Pemuka-pemuka kepercayaan ditugaskan
mencatat hasi panen yang kelak disumbangkan ke tempat-tempat
pemujaan. Bocah-bocah bekerja bersama orang-orang tua. Semua harus cepat
selesai. Tak ada bersuka. Antan bertalu keras. Perempuan-perempuan
menumbuk bonggol jagung kering. Tak ada yang bisa dimakan sekalipun
tersedia padi. Padi itu bukanlah milik mereka. Semua milik Rentasan.
Musim tugal kemarin panen gagal, karena cuma padi kesenangan
Rentasan yang boleh ditanam. Ketika musimkepi' dan belalang panen
gagal. Petani berhutang besar. Untuk tongkat tugal sakti yang mampu
membuat lubang tanam setengahsekat sekejap.
Matahari begitu panas, peluh berkucur, belacu-belacu kuyup oleh keringat.
Hanyalah tukang cocok tanam belaka, yang keuntungannya dinikmati
mereka yang tak melakukan kerja-kerja menghasilkan sesuatu apa.
Petani tanpa tanah, walah. Menanam tanpa memanen, sekalipun petani
begitulah adanya. Bertandur saja, tak begitu memikirkan siapa kelak
menikmati bebuah yang ditanam. Anak-cucukah " atau orang yang tak
sengaja bersinggah " selayaknya hakikat seorang petani. Petani tanpa
tanah, walah-walah. Siapa menguasai tanah dia menguasai makanan.
Dan Rentasanlah sang penguasa.
Rentasan mabuk di rumah bordil. Aroma tuak mengambang terbang.
Tawamu aneh,... tawa serakah. Gudangnya dipenuhi cengkeh, kelapa,
padi,... tak termakan-makan oleh mulutnya padahal.Memanen tanpa
menanam, merompak tanpa jejak, kabur tanpa buntut, bau tanpa kentut.
Rentasan keluar menonton pasukannya. Berlatih perang, latih tarung.
Rentasan mencoba mereka satu-satu. Semua bergelimpangan. Lalu latih
tarung lagi. Pasukan Rentasan hanya bisa bertarung. Lain tidak,... seperti
ayam jago kesayangannya. *** Petani tak boleh berkumpul ramai-ramai. Kaki tangan Rentasan
menyelempangkan pedang-pedang panjang.
*** Bab VI - G e g a r KuteMuara Cawang terlihat lenggang. Padahal hari itu harikalangan, hari
pekan. Angin bertiup sedikit, cukup mampu menggerakkan anak rambut
putri Redendam, bidadari khayangan yang turun di kalangan kute Muara
Cawang. Parasnya elok,harumnya wangi bayi, jadikan keringat menjadi
bumbu, ah Parasnya elok benar, mata-mata mengintip dari jendela rumah-rumah
yang juga menjadi pasar. Kalangan Muara Cawang memang sangat
ramai, pedagang dan pembeli tujuh kute di hulu dan dan tujuhkute di hilir
bertemu. Setepak sekat dari batanghari dipenuhi pedagang.
Durian hinggatempoyak , ada tersedia. "Belilahpekasam ini, sebentar lagi
banjir besar, kalian tak bisa membeli ikan."
"Ssst, mau beli kalung babi tidak," Penjual obat baju hitam itu berbisik ke
seorang yang kelihatannya habis menjual getah.Punjin nya gemerincing.
Orang-orang kasak kusuk. Buah-buah berlumbuk di kalangan, sementara orang-orang terlihat segan
datang.Pedare ,rukam , duku, rambutan, dan macam-macam lagi. Tapi


Jelihim Sang Pembebas Karya Syam Asinar Radjam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cuma mata-mata yang terlihat dari kejauhan.
Bidadari itu demikian cantik, sehingga orang-orang tahu kalau Redendam
turun pastilah Rentasan keluar dan memancing keributan dan menggoda
gadis bidadari itu.Mata-mata itu bukan dari kuku orang mati, duhai
mereka tertindas atau tidak"
Tapi Redendam hari sepertinya tak mau berurusan. Sehingga dia cepatcepat pulang
setelah membeli beberapa butir telur ulat sutra. Terbang,
selendangnya terurai serupa jalan, dan orang-oranglimabelaskute itu
merasa bernasib benar jika telah memandang semua itu. Untung Jaka
Tarup di lain lakon. Lenyap sudah keindahan di sisa matahari terbit. Orang-rang diliputi rasa
senang dan penyesalan. Menyesalkan terlalu singkat semua keindahan,
dan mensukuri dengan keindahan berlalu, bencana urung datang.
Angin tiba-tiba bertiup kencang, udara jahat tak ramah. Kepulan asap dari
ujungkute membumbung, bukan asap tapi debu. Sebuah bayangan gelap
berkelebat, Orang-orang yang baru mau keluar celah-celah pintu minggir
lagi. Adayang datang. Matanya menyorot tajam, hidungnya mengendus-endus
bau wangi. Seperti mereka yang ada di kedai tuak milik pedagang
Tiongkok. Rentasan sang penguasa tujuhkute di utara. Kekuatannya maha dashyat,
Duhai siapa yang mampu menyamai kekuatan para dewa di khayangan "
Yang mampu mendatangkan badai, mampu memindah gunung. Tak ada
yang mengalahkan Rentasan di tujuhkute utara. Setelah berhasil
mengacau rapat dewankute , Rentasan menguasai tujuhkute tersebut.
Muncullah sang tiran. Saat ini Rentasan berkeinginan mengusaikute di selatan Muare Cawang.
Ah, politik kenegaraan masa itu begitulah, kedaulatan hanyalah muncul
setelah menguasai daerah kekuasaan lain. Setelah menindas kelompok
lain, setelah ....kegilaan-kegilaan yang memunculkan kelas-kelas
penindas baru, entah penindas kelas miskin atau penindas dari kelas
pemilik modal,... Bumi terbolak tertelan hawa serakah.
Seketika kedatangannya mempercepat jalannya matahari, kalangan
mendadak panas, matahari terasa lebih dekat.
Rentasan hanya bergelak. Mencomoti dagangan di tengah kalangan.
Melemparnya sekehendak hati. Durian hanya terbelah dua-tiga tanpa
dimakan. Dilempar ke angkasa, terbakar oleh kekuatan langit. Membara
dan menabrak bautu langit. Pecah.
KuteMuare Cawang gegar. Dewa-dewa khayangan ribut di angkasa, ribut
rembuk, rapat tikus terjadi. Semua sepakat menghentikan ulah Rentasan,
semua sepakat. Tapi siapa yang mau turun ke bumi, dan menginjak
tanah. Rentasan tak terkalahkan.
Siapa bisa menolong siapa " Siapa yang mau jadi pahlawan, apakah
memang pahlawan tak dibutuhkan "
Tiba-tiba hawa berubah pelan-pelan, sejuk terbawa angin selatan.
Matahari tertekan awan, naik ke atas lagi. Hawa sejuk berputar mengitari
Muare Cawang. Rentasan mengetahui ini, "Hei, siapa berani main-main
dengan ku !" Dia memaki. Memang dia hanya bisa memaki. Kecuali
dengan Redendam yang diimpikannya. Tak kurang akal, dipancingnya
keluar panas bumi,bloom ledakan-demi ledakan mendahului semuanya.
Api-api keluar dari celah-celah mata air.
Hawa sejuk semakin kuat. Bergantian dengan hawa dingin membekukan
memadamkan api. Sesekali gas bersih terasa dikurung, api padam.
Hidup lagi oleh kemarahan Rentasan. Api membeku lagi, ....
Orang-orang di Kute Muare Cawang panas dingin, suasana tenang pagi
menjadi kotor. Keringat sebesar jagung tiba-tiba menjadi salju, salju tibatiba
menjadi cair, dan mengembun,...Oh neraka tercium dari bumi, apinya
menjilat-jilat pantat anjing,...
Kedaan tak dapat dibiarkan, sayur dan buah menjadi busuk, ternak-ternak
terkapar, ... Hawa beku semakin dekat.
Orang-orang tertegun, Sosok kurus kering dengan rambut riap-riapan
muncul. Kepalanya tak tertutup apa-apa, Cuma belacu yang membungkus
tubuh tipis itu. Jelihimkah " Yang diakui rakyat kute selatan sebagai
pemimpin. Pemimpin yang tak pernah muncul langsung, semua
dipercayakan kepada rakyat, lewat senyum tipisnya dia sering mendesah,
"kalian rakyat, kalianlah pemimpin,.." Selebihnya dia lebih sering berada di
ume atau dimanalah berada tempat tempat sepi.
Jelihim sang 'sempalan' biasa disebut Rentasan. Sampai saat ini
Rentasan begitu bernafsu mengalahkan si Kerempeng itu, karena
kekayaan 'negeri' kecilnya begitu cukup. Sampai saat ini kekuatan
bersenjata Rentasan belum mampu merobohkan bentengaur negeri sang
sempalan. Khabar burung menebar bahwa Jelihim menjalinasmaradengan
Redendam. Dan Rentasan meluap kemarahannya mendengar itu. "Lebih
baik berbuat dosa daripada kudengar namanya!" Maki Rentasan setiap
anak buahnya melaporkan Jelim.
"Oh rupanya kau yang membuat rakyat disini kedinginan, wahai pemimpin
yang tak pernah menghangatkan rakyat. Habis panas tubuhmu Cuma
untuk mensedekap Redendam, cuih!" Ludah Rentasan menyentuh tanah,
membuat lubang sebesar sumur. Seketika cacing-cacing keluar,
kepanasan. Khabar burung lagi mengatakan bahwa Rentasan mencemburui Jelihim.
Ah terserah,... "Siapa yang dengki dengan kesukaanku terhadap
Redendam, maka dialah musuhku !" Maki Rentasan seringkali di hadapan
pendukungnya. Anak-anak buahnya menyingkir menjauh dari Rentasan.
Biasanya dia membanting apa saja yang ada di dekatnya setiap berkata
itu. "Adaapa Rentasan, pagi-pagi kau sudah ngamuk-ngamuk tiada karuan.
Muare Cawangkanbukan kekuasaanmu," Jelihim berkata pelan. Udara
perlahan normal, orang-orang memberesi dagangan berdiri di kejauhan
menonton dua orang digdaya itu. "Di daerah kekuasaanmu sendiripun tak
boleh terlalu kejam. Berapa orang yang tak bisa makan hari ini karena
kalangan kau hancurkan?" Jelihim berusaha menyadarkan Rentasan.
"Sudahlah kau tak usah berkhotbah, berhentilah berbicara tentang surganeraka,
jangan sok suci. Kau sendiri bercinta setiap waktu!" Rentasan
geram. "Aku tak berkhotbah, apalagi tentang surga neraka. Aku Cuma
mengingatkan bahwa kita manusia. Maka jadilah manusia,..."
"Tutup mulutmu." Kebencian meluap-luap , amarah membakar hati
Rentasan.Kuduk rentasan tercabut dari sangkar dan membacok Jelihim.
Hanya mengenai angin. Jelihim mengelak gesit sambil melemparkan
ajian membuat rompal golok Rentasan.
Golok membacok lagi, menusuk, dan mengiris. Jelihim terus saja
mengelak. "Hei, apa-apaan ini." Disela-sela kelebatan bayang-bayang
golok yang membungkus bayangan Jelihim, Jelihim bersuara.
Masih sempat tiga kali golok itu mencincang tubuh Jelihim, luput. Lalu
Rentasan berhenti. Nafas terengah, matahari memoles keringat mereka.
"Baiklah, Jelihim." Rentasan memulai pembicaraan. "Ambillah jagomu,
kita sabung saja," "He, bukan begitu maksudku. Kenapa harus main adu-aduan, adu otot,
adu ayam, atau adu apalah. Seperti binatang saja kita ini," Jelihim
mundur. "Dan kau tahu aku tak punya ayam,kan?"
"Tak mau tahu." Atau kau mengaku kalah. "Taruhannya ini," Rentasan
memperlihatkanpunjen berisi simbol kekuasaan di tujuh kute di utara.
"Kau harus serahkan tujuh kute di selatan kalau kau kalah." Lalu
Rentasan memperlihatkan selendang Sutra, simbol seorang perawan.
Redendam juga dipertaruhkan.
"Bukan cuma ini, tapi kalau kau kalah, tanah secuilmu di Selatan juga
untuk ku," Senyum Rentasan terasa culas.
Tunduk tertindas adalah penghianatan, "Cuma ada satu kata,... Lawan!"
Bisik batin Jelihim. Tapi apakah tega, kalau Redendam pun kupertaruhkan.
Sang Kemare hinggap di bahu Jelihim, Lelaki itu dalam kebingungan.
Otaknya dipacu berpikir cepat. Keadaan setempat tak mentolerir pikiran
yang gagap dan setengah hati.
Lelaki dan Murai Mencumbu pilihan tersulit,
Ketika cinta jadi taruhan
Jadilah Hanoman menyerbu alengka,
Gawat, lakonmu berat wahai lelaki,...
Paruh murai begitu dekat dengan telinga Jelihim, "Aku rasa Redendam
bisa menerima itu, jangan kau pandang ini permainan yang menyakitkan
dia. Sebuah langkah pembebasan manusia dikute utara, wahai Jelihim.
Tarung ini untuk kebenaran."
Maka mantaplah pilihan yang diputuskan Jelihim, dia menulis pesan
dalamsuratulukepada kekasihnya di khayangan.
Salah besar mungkin keputusan ini,
Segala bolehlah kau timpakan kepadaku
Masih ingatkah adinda tentang sebuah cita-cita
Kehidupan tanpa penindasan
Kehidupan disini dipenuhike serakahan
sampai beberapa sengeng kita tak bertatapan
Kirimkan padaku ayam jalak juring kuning,
Sang Kemare itu segera kembali meninggalkan Redendam di dalam
rundungan sedih. Terbang bersama ayam jalak juring kuning.
Dan Rentasan dan Jelihim melesat kekute Pagar Batu. Hanya sebuah
kelebatan, menyisakan tawa Rentasan sepanjang rimba yang dilalui.
Satwa berhenti bernyanyi, Perjalanan teramat jauh, melintasi rimba,
sebuahpadangpasir yang panas, Debu mengepul-ngepul, pasir tergurat
panjang dan dalam. Dua garis. Menuju sebuahkute mati. Dipenuhi batubatu raksasa
yang menjulang, dan tandus.
Orang-orang kute berkumpul menyusul dengan langkah tergesah. Kute
selatan dan Utara bertatapan sinis bersiap perang. Orang-orang
Rentasan beringasan bermata merah. Siap menelan orang-orang
berduyun itu. "Hei, tak baik kau membesarkan matamu ke rakyat ini, kita sesama rakyat.
Mari sama-sama mengarahkan mata pisau ke musuh bersama," Sergah
seorang tua. Pak Cik ikut rupanya.
Orang-orang dalam langkah berduyun-duyun.
Dua sosok berhadapan. Dari kejauhan hanyalah kibaran-kibaran jubah,
angin terlalu deras,... Dikendalikan setan-setan.
*** Bab VII - Perang Keduanya bertatapan. Tempat ini adalah ladang pembunuhan empat
windu lalu. Orang-orang terkena fitnah sebagai pengikut aliran sesat,
diculik, dan tinggal nama. Khabarnya ladang ini menyimpan roh-roh
penasaran mereka. Jelihim menggali kapak perangnya. Ayam jago dihadapkan.Siapakah dia"
Dia begitu berani mengembara dalam keterasingan, menentang maut
dan penderitaan di padang yang dibanjiri darah, dan yang dari merahnya
lautan kesyuhadaan dia mengangkat semangatnya dan tegar
menghadapi tantangan . Jago Rentasan mengepak-ngepak sayap besar.
Jago terbaik di muka tujuhkute . Bulu kumbang, hitam perkasa. Tajinya
ganda, serupa besi hitam. Diasah baik, pecahlah entah berapa batu
istimewa. Segala racun mengendap dipangkal hingga ujungnya.
Lawan-lawan terbaik Bulu Kumbang tersungkur kehilangan darah dan
bengkak-bengkak. Biasanya Selalu didampingi tujuhdagok yang mengitari
arena sabung dari kejauhan. Semuanya haus darah, selalu begitu lawan
Bulu Kumbang tersengkang, tujuh anak panah raksasa itu melesat ke
darat melemparkan bangkai jago ke angkasa. Bulu-bulu beterbangan,
daging dan tulang tercerai berai dimakan binatang bebas racun itu.
Ayam Jalak Juring Kuning bertubuh kecil, bulu jarang, serupa bulu jarum.
Jelihim sejenak ragu. Tapi tak mungkin Redendam memberikan pilihan yang salah.Sang
Kemare hinggap di pundak Jelihim. Membisikkan pesan Redendam,
bahwa Jalak Juring Kuning adalah anak elang yang diasuh ayam. Meski
buruk tampilan, kekuatanya belum tentu kalah dengan kesaktian Bulu
Kumbang.Dagok-dagok pun terbang menjauh, melihat sorot mata Jalak
Juring Kuning. Maka sabung pun dimulai. Jelihim dalam rupa tenang. Di hati dia
mencemaskan taruhan. Redendam dan rakyatnya dikute 'sempalan'.
Rentasan berdiri tersengkang. Tangannya dilipat di depan dada.
Kemenangan diatas kepalanya. Bibirnya tertarik ke atas.
Bulu kumbang menerjang. Debu mengepul, Jalak Juring Kuning terseok.
Jalak Juring Kuning bengkit lagi, tapi Bulu Kumbang bergerak lebih cepat.
Menerjang lagi. Jalak Juring Kuning, terhuyung sedikit. Tidak terkena
terjangan, tapi kepakan sayap Bulu Kumbang. Luput sedikit jengger Jalak
Juring Kuning, terpatuk musuhnya. Jelihim dalam rupa cemas. Taji Bulu
Kumbang menghujam ke arah kepala Lawannya. Sepemanggangan
petaling, Lalu perkelahian begitu cepat, hanya debu mengepul dan
bayang-bayang hitam mengitari warna kuning pudar.
Dua kali bulan terlihat melintas perkelahian itu tetap berlangsung, bayangbayang
mulai jelas, bayang kuning pudar mengitari warna hitam pekat.
'Ayam kecil' itu menghentak melesat ke atas.
Bulu kumbang bergasing di bawah. Putarannya melubangi tanah. Jalak
Juring kuning menghujam ke Bulu Kumbang. 'Ayam besar' itu
mempercepat gasingannya, memasang taji kembarnya sebagai tameng.
Juring Bulu Kuning luput serangannya. Oh, tidak memang serangannya ke
sejengkal dari gasingan Bulu Kumbang. Menghujam tanah di dekat Bulu
kumbang. Melubangi tanah dengan cepat. Menghilang.
Bulu Kumbang masih mempertahankan serangan dari atas. Taji
kembarnya berputar cepat tak henti. Tiba-tiba gasingan itu berhenti. Tubuh
Bulu Kumbang melesat ke atas.
Darah bercipratan di udara. Tubuh Jalak Juring Kuning melesat dari
bawah tanah, bersama debu dan tanah liat. Sayapnya membentuk bor
tajam. Melubangi tanah, melubangi bumi, melubangi punggung Bulu
Kumbang. Melubangi hati busuknya.
Bulu Kumbang terseok, diam. entah mati.
Rentasan terhenyak, Jelihim langsung menyambar ayam Jalak Bulu
Kuring. Rentasan tertawa,...terbahak keras, "Kau Kalah, Jelihim Malang!" Soraknya
jumawa. Orang berduyun dari berbagai kute telah sampai dari perjalanan
tiga hari ini, menyaksikan semuanya. Orang-orang itu dari kubu
bermacam, kelompok sang sempalan dan kelompok penguasa.
Jelihim tersenyum, kau yang kalah Rentasan," Ujarnya pelan.
"Ayammu menang ! Maka kau kalah, hai Bujang Dungu!" Makinya.
"Aturan macam apa itu, diseluruh Kute ayam menang sabung dia yang
menang, sebaliknya juga demikian, hai orang tak tau diri." Jelihim mulai
memaki. Orang-orang tertindas selama ini turut memaki kelicikan itu.
Rentasan mendelik. Dia tetap terbahak. 'Aturan di dunia ini aku yang buat,
dan tak tahukah kau bahwa undang-undang Kute Muare Cawang yang
diakui orang-orang itu, sudah kuganti pagi tadi." Rentasan menciumi Bulu
Kumbang dengan suka cita. Lalu melemparkannya ke ujung arena
sabung. "Mana lambang kekuasaan dikute kecilmu yang miskin itu.
Serahkanlah, supaya tak memperpanjang urusan. Dan jangan sekali lagi
kau muncul di tepi telaga, karena kau tak berhak bergaul dengan
Redendam. Pecundang."
Jelihim naik Pitam. Dan berkeras tak mau memberikannya. Jelihim
menolak takluk. "Alangkah buruknya hatimu! Tak akan kuserahkan
rakyatku kepada manusia tak tahu malu sepertimu. sekehendak hati kau
ubah peraturan!" "Jadi maumu apa!" Rentasan mengayunkankuduk -nya. Rentasan
mengelak. Terus terang saja dia tak terampil berkelahi. Cuma memiliki
sedikit kemampuan membela diri. Jelihim terkurung kelebatan putih
tajam. Dia tak tahu kelemahan orang sakti yang menyerangnya.
Peperangan tak terelakkan, banjir darah orang-orang berduyun terjadi,...
Semua orang tahu Rentasan orang nomor wahid untuk kekebalan tubuh.
Jelihim kebingungan. Lari adalah pengecut. Terlintas di ingatan,
selempang yang kadang dipakainya mampu membuat bayangan
kembarannya. Selempang dua belas itu dilepas. sreeet,..


Jelihim Sang Pembebas Karya Syam Asinar Radjam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perkelahian terlihat terus berlangsung. Jiwa Jelihim melesat ke angkasa.
Rentasan terus saja menyerang bayang-bayang yang terlihat tak semakin
lemah. Ilmu-ilmu terbaik Rentasan bermunculan. Ilmu racun, tenaga
dalam. Rentasan mengubahnya menjadi macan kumbang. Lawannya sedikit
tersudut. Keadaan berbalik, Macan kumbang terlilit Naga,...Macan
Kumbang menjadi asap. Naga kebingungan seperti mabuk.
*** Bab VIII - Patah-hilang Kaki Langit
Baru tiba di gerbang langit Jelihim dikepung sepuluh penjaga langit, "Anak
manusia! Tak layak sungguh Engkau menjajakkan kaki ke sini!"
"Maaf, tolong pertemukan aku dengan aku dengan para dewa."
"Engkau pikir siapalah dirimu"! Sukarkah bagi engkau memandang diri
sendiri"!" Pemimpin pasukan mentertawakan.
"Sudahlah, tak usah berpanjang ulur, ada persoalan penting langit dan
muka bumi yang harus dibicarakan."
"Ha, ha, ha,... persoalan langit dan bumi katamu. Melucu, kan" Apalah
soal sedemikian hingga Engkau berani ke sini"!"
Jelihim naik pitam. "Jadi apalah kerja kalian hingga tak tahu isi dunia.
Berjaga dan berpesta di sini saja tah?" Oh begitu panas hawa langit,
matahari tak menjauh, duhai mengapa Jelihim tiba-tiba
beringas,...Sudahlah, ini mendesak nian. Pertemukanlah aku segera. Aku
punya indok dan Rame dewa di sini"!
Pengawal langit beringas bengis "Segumpal daging hina dina, tak kau
pandang muka dahulu menerobos kemari"! Pulanglah Engkau!" Tubuh
Jelihim terdorong ke arah megag-megag.
Jelihim memaki lagit yang bisu dan tuli terhadap masalah dunia dan
isinya. Naik pitam. Sepuluh pengawal mengepungnya. Sepuluh bola api
menyambarnya. Entah kekuatan apa mebuat Jelihim begitu berani. Apatah
ini karena Jelihim direndam Guru Belang kaki belasan purnama di
Padang Datar. Bola api terarah ke Jelihim. Dan anak manusia itu
menangkapnya saja. Jelihim bersedekap. Uap air mengepul di sekujur
Jelihim. Sebegitu kuat hawa dingin Jelihim menjadi uap. Api mengembun.
Bola api bertambah-tambah.
Tubuh Jelihim bergeletar. Sosok itu kemudian mencelat-celat. Dengan
gerak tangannya api dipelintir dan dikumpulkan di tangan. Di telapak
Jelihim api terkumpul sebesar anak sapi memadat beku dingin. Sebagian
memadat lekas mnyublim. Dilemparkan kembali ke tubuh sepuluh
pengawal. Pengawal sibuk menghindar-hindar. Oh, betapa es itu seolah
digerakkan. Kemanapun mereka mencelat mengikuti. Sampai kemudian
habis menguap. Tak urung Pengawal mengatur stretegi baru. Sepuluh tombak perang
mencelat berseliweran di muka hidung Jelihim. Tidak tepat dan kembali
ke tangan pemilik. Tapi serangan tak berhenti. Serang, kembali, serang,
kembali, serang begitu saja. Jelihim menghantamnya dengan uap panas
dari perut. Gagang tombak terbakar hangus menjadi abu.
Tak urung mata tombak dari besi langit yang tak termakan api menyerang
ke arah tubuh Jelihim. Tubuhnya ditaburi keringat dingin. Mata tombak
mengarah ke titik-titik saraf anak manusia itu. Jelihim menggasingkan
tubuhnya. Jubah belacunya menjadi perisai.
"Kurang ajar kalian!"
Belacu Jelihim tersobek-sobek.
Jelihim meningkatkan tenaganya." Anak Manusia gonggongan harimau ini
menaburkan racun.Ya Serabit , apakah mahluk langit teracun bisa.
Lmega Jelihim terdesak. Jelihim terseok. Tak habis pikir dengan kekuatan
sendiri. Dari Kute Mati terlihat kilat menyambar-nyambar diselingi guruh
besar. Ratusan pengawal bermunculan. Tubuh manusia itu terkepung. Jelihim
memaki kesombongan langit. Darahnya mengelagak. Jelihim
meningkatkan lagi kekuatannya. Tubuhnya memerah. Mencelat-celat
menghindari larik-larik sinar anak panah. Sepuluh sabuk serupa baja,
menyerangnya. Jelihim terpukul mundur. Sembilan sabuk menghantam
dadanya. Jelihim terlempar ke mega.
Tubuhnya menyelinap di mega-mega. Anak petir menyusul menyambar
Jelihim. Susah payah Jelihim mengumpulkan mega. Pertempuran terus
berlangsung di bumi. Tak henti-henti. Pecundang-pecundang bumi
memanfaatkan untuk menghimpun kekuatan di luar pertempuran.
Pemangku-pemangku segala, menyerukan ketentraman. Apalah jadi,
keadaan memaksa meninggalkan semua pertimbangan para pemangku.
Yang lain berperang untuk pengakuan kedaulatan. Bahwa manusia lahir
dengan sifat mulia, yang dipaksakan untuk hangus.
Mega membeku di kepalan Jelihim. Pengendara mega di belakang
Jelihim. Petir menyambar diatas kepalanya. Jelihim melesat menangkap
ekor petir. Bersekutu dengan para pengendara petir. Memanggil
pengendara-pengendara angin, badai, topan, yang selama ini menjadi
boneka-boneka langit. Mereka melesat ke pendopo langit. Para pejaga lagit mengangkang
menghadapi. Berkumpul di satu sudut langit. Perisai kaca dan pentungan
baja yang dipanggang di matahari. Dibawah satu seruan Jelihim, mereka
mendesak di dua Sayap. Pertempuran besar tak terelakkan. Jelihim
merengsek ke dalam. Uap panas mengumpul di perut jelihim. Uap dingin
di dada naik melesak. Dua belah tangan Jelihim di satukan. Jelihim
memusatkan serangan ke satu kaki langit.
Tak ada yang dapat memastikan apakah kekuatan itu berupa padatan
atau bukan. Kekuatan itu melesat. Ratusan penjaga langit menghindari
angin panas dingin itu. Hawa berputar-putar. Ratusan tubuh mencelat
menghindar menjauh. Kekuatan itu terus menghantam, ke kaki langit.
"BLARRRRRRRR!" Langit geger termiring ke sudut-sudut bumi. Patah, jatuh dan Hilang kaki
langit. Melesat ke dalaman samudera di bumi. Pengawal langit mencakmencak. Dewa-dewa keluar istana. Mencari-cari sumber kejadian.
Dewa Perang Langit paling duluan tiba. Tidurnya terganggu. Selama ini
dia berkuasa dengan tenang dengan dua kekuasaan.
Melihat siapa pengacau, Dia mencabut tombak perangnya. "Kurang ajar,
kuhancurkan tempurung kepalamu pengacau ketentraman langit!"
Tombak perang melesat ke arah Jelihim. "Tak ada pilihan kecuali mati di
sambarnyawe-ku ini.Akhirnya kau makan lagi, Tombak Sambarnyawe, ha
ha ha,... Matilah!" "Tahan!" Teriak Jelihim melihat pendatang baru itu.
Jelihim sempat mengelak. Tak urung mukanya tergores sinar tombak, tak
berdarah lagi. Goresan itu gosong.
Yang disergah mendelik tajam. "Siapa Engkau, hai bocah pengganggu.
Tak urung Dewa Perang terkesiap melihat ada anak manusia yang
mampu menghindari serangannya. "Siapa pun engkau tak tak ada hidup
untuk perusak kaki langit."
"Aku Jelihim. Karena kalian tak segan merusak bumi, maka aku merasa
tak bersalah merusak langit. Dan Bukan salahku karena sambutan langit
teramat sombong!" Balas Jelihim tegas. "Guntur, bayu, bianglala, mega,
dan semuanya di sini yang bukan penghuni kerajaan langit. Kita saksikan
bersama betapa sombongnya sambutan langit ketika ada permasalahan
di bumi!" "Banyak cakap!" Maki Dewa Perang Langit.
"Bebal! Tongop!" Jelihim menggeradak.
Dewa Perang menghunuskan tombaknya. Jelihim menghindar ke sudut
langit lain, berbaling di tiang-tiang langit. Matanya merah. Memaki-maki
dalam hati. Di tengah kancah, bayu, guntur, awaan, bainglala, bertempur
sebentar dengan pasukan penjaga langit. Lalu satu persatu pergi ke
megag-megag. Dunia batas bumi dan langit. Ooo, Jelihim seorangan.
Bola api berpendar-pendar. Bunga api memercik-mercik. Hawa nafsu
menari-nari. *** Masih terasa getaran itu dari megag-megag. Dentuman di Bumi dan di
langit menggetarkan. Bayu, Guntur, Bianglala, mega berhenti melayang.
"Kita kemana?" "Menjauhi semuanya."
"Ya." "Tapi mengapa?"
"Mengapa bagaimana?"
"Mengapa harus lari?"
"Keributan itu adalah persoalan langit dan bumi."
"Lupakah kita, bahwa kita diantaranya."
"Satu hancur, semua juga tak akan benar."
"Jadi?" "Kita bantu Jelihim."
"Ke langit lagi?"
"Tak harus. Mega dan bianglala ke Kute Mati. Coba kalian redamkan
pertempuran dengan perubahan cuaca."
"Tapi itu penipuan. Kau pikir perang itu cukup pada Jelihim saja?"
"Baiklah. Kita ikut berperang, kita biarkan semuanya berperang."
"Sampai kebenaran itu datang."
Mereka melesat ke arah berlawanan.
*** Benturan antara tenaga Jelihim dan Tombak Sambar Nyawe Dewa
Perang Langit semakin dahyat. Keduanya basah berpeluh. Berisanbarisan penjaga
langit mengepung keduanya berkeliling.
"Jelihim, kami datang!" Teriak Guntur dan Bayu. Jelihim hanya sempat
menoleh sekilas. Ujung landap Sambar Nyawe hampir saja membakar
tubuhnya. Dua sosok kawannya pun langsung terkurung barisan yang
memecah. "Apa yang kalian bela"!" Teriak Jelihim di sela seliweran serangan.
"Yang Kalah, ha ha ha,..."
Tak urung Jelihim turut terbahak, sambil melihat ke atas. Tak mau
tawanya menghadap langit. Dewa aperang semakin beringas. Nafsunya
memburu, marah. Dan tak habis pikir.
"Semuanya berhenti!" Terdengar seruan pelan. Semua menghentikan
gerakan. Tak urung membuat Jelihim terheran. "Suara siapa gerangan,
sebegitu mempengaruhi mahluk-mahluk bebal ini?"
"Hormat Raja Langit." Suara Dewa Perang Langit. Dan semua pasukan
penjaga langit bersuara serupa serempak. "Hormat Raja Langit."
"Hentikan persengketaan ini, aku ingin berbicara dengan anak manusia
ini." Raja langit itu melambaikan tangan ke Jelihim. Dan Jelihim dengan
setengah sadar menuju dia.
"Mengapa sampai kau ke sini?"
"Sebelumnya, maaf. Benarkah engkau Raja Langit, Bapak?"
Dia menangguk. "Lalu gerangan mengapa sampai tak tau permasalahan di bumi yang
akan kukhabarkan ke sini?" Jelihim bertanya heran, sambil menghapus
peluh dengan lengan baju belacunya.
"Ha ha ha,...baik kalau kau ingin bertemu denganindok-rame mu diaras .
Kupersilahkan Engkau. Carilah. Tapi apakah kau tahu siapa mereka?"
"Engkau yang tahu, Bapak. Maka engkau pula yang menunjukkan."
*** Bab IX - Kematian "Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, wahaiRame dewa . Andaikan
aku boleh membunuh Rentasan,... maka aku lakukan itu.
"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Pemberi hidup,
kecuali dengan alasan yang benar," Nasihat dari langit.
"Lalu bagaimana pilihan harus kutempuh ?"
Terlalu sulit menggambarkan obrolan khayali Jelihim dan penguasa
langit.Hanya mampu tergambar kembali dengan sisa-sisa
kekuatanpengandai-andai bahwa langit bercerita Jelihim dan Rentasan
adalah saudara kandung di langit. Dariindok danrame dewa yang sama.
Jelihim mempertanyakan bagaimana dia harus mematikan Rentasan.
Mengingat dia belum pernah membunuh sebelumnya. Dan musuh ini
bukanlah musuh biasa. Pengadai-andaimenceritakan Jelihim pesan untuk mengiris 'sesuatu'
Rentasan. Dan harus dihidupkan lagi, dengan mencukur tiga jalur.
*** Jelihim melesat ke bumi. Selendang berlaga dengankuduk. Jelihim
masuk ke selendang. Tubuhnya dikerubungi libasankuduk.
Jelihim menghindar-hindar. Dia teringat satu rumpun buluh di dekatkute
mati. Menghindar untuk bersiasat bukanlah pengecut. Tubuh kuyuhnya
menghindar-hindar, selendang berkibas-kibas, menyelaputi bayangan
tubuh. Jelihim terbang menjauh, tubuh rentasan mengejar. Pukulan demi
pukulan beruntun dari belakang. Jelihim terbang serupa gasing.
Menghindari tabrakan dengan batu-batu raksasa sekaligus menghindari
serangan di belakang punggung.
Rumpun bambu di depan muka. Jelihim mempercepat langkahnya,
tubuhnya melayang dari debu ke debu. Rentasan menghentakkan tenaga
yang tersimpan. Bayangan tepat di kepala Jelihim. Serangan berasal dari
arah yang sama. Hawa panas tangan Rentasan membekukan isi kepala
Jelihim. Selang waktu sejenak saja, dapat menghancurkan isi kepala Jelihim. lakilaki itu
menahan kepalanya dengan kibasan telapak tangan dua belas kali
di atas ubun-ubun kembarnya.
Tak urung tenaga dari atas membuatnya terguling-guling. Jelihim
melanjutkan gulingan menghindari kilatan bola api dari tangan Rentasan.
Jelihim memang tak lebih lemah dari Rentasan. Tapi dia tak bisa
membunuh Rentasan. Tubuh lelaki Jelihim bergulingan terus ke rumpun bambu. Daunnya telah
gugur terpanggang oleh tangan Rentasan. Burung sirna sarangnya.
Hanya beberapa batang yang utuh, yang lain roboh melapuk mengikuti
kejatuhan daun. Jelihim menyambar dan memotongnya dengan ujung
kuku, membuat sembilu. Jelihim menahan-nahankuduk dengan bilah sembilu. Jelihim kewalahan.
Sembilunya tak lebih sakti. Tebasan kuduk mengancamnya. Jelhim
merendahkan bahu. Sembilu menyerang arah pusar.
Berhasil, baju Rentasan tersobek. Tapi pusarnya tak tergores sedikitpun.
Rentasan terbahak, mentertawakan kelucuan gerakan sembilu,...
Srettt, Jelihim memotong ujung jari telunjuk Rentasan. Kelengahan itu harus
dibayar mahal. Satu buku jari telunjuk putus. Rentasan tertegun, mukanya
merah menahan marah. Kuduknya mengacung ke atas, membuat
gerakan menebas ke Jelihim yang tertegun tepat sebahu di muka
Rentasan. Tak ada kesempatan berlari, bukan kesempatan tapi kemampuan Jelihim
hilang, kaku dia melihat darah mengucur,...
"Aahhhhhhkk,..."
Rentasan tersungkur, hilang kekuatannya terpotong sembilu.
*** Dan orang-orang berhenti berlaga.
*** Bab X - Ujung Tak Putus Khabar itu terbawa angin sejuk yang berhembus di seluruh negeri. Negeri
dipimpin sementara oleh pendamping Rentasan selama ini. Kehidupan
negeri menjadi lucu sedikit, tetapi cukup baik untuk mengikis
keistimewaan peran pemimpin negeri. Satukute paling kecil lepas
terpisah. Rakyat di yang tiggalkute-kute Utara bergembira, mereka mematok lahanlahan
Rentasan di utara. "Ini lahan kami sendiri !" Teriak mereka dengan
ikat-ikat kepala merah. "Rentasan merampasnya dari kami empat windu
lalu." Padang penggembalaan Rentasan dicangkuli, ditanam umbi-umbian.
Kebun kelapa, istana, taman peristirahatan, pemancingan, yang
semuanya pernah dikuasai Rentasan luluh lantak. Dihantam pacul,
ditebar biji-biji, umbi-umbi. Berhadapan dengan bugundal-begundal
Rentasan. Rakyat utara mengadakan ruwatan rakyat. Panen yang hilang empat windu
dirayakan. Tari tanggai,andai-andai , gamalan. Musim kebebasan, musim


Jelihim Sang Pembebas Karya Syam Asinar Radjam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawin pula. Musim kawin bukan hanya milik manusia. Orang-orang tak bisa tidur
bermalam-malam. Anjing-kucing bergelut ramai. Hari ke hari, minggu ke
minggu, bulan ke bulan. Kegembiraan berlebih ini lamalama,pelampiasan kekecewaan
yang menumpuk dan terbakar selayaknya
jerami kering di musim panas. Kegembiraan meluap keseluruh negeri.
Padahal pertarungan baru usai, bertahun lamanya pertarungan JelihimRentasan
berlangsung. Sejak perebutan dewankute.
Saat itu Bertebaran manusia-manusia yang mengaku berpihak kepada
rakyat negeri. Pemilihan pengusa sementara berlangsung. Pemilihan ini
sejujur-jujurnya bunyi mulut ke mulut. Dipantau oleh beragam kelompok
pemantau yang berdiri sendiri. Rakyat di sibukkan dengan empat puluh
delapan calon pengganti. Negeri disibukkan dengan pemilihan. Sekalipun banyak kelompok yang
menolak pemilihan tanpa pemulihan terlebih dulu itu. Pemilihan
berlangsung saja. Negeri berwarna-warna. Merah-kuning-hijau dibumi yang buram. Merah
kain dan darah, api menyebar di beberapa titik. Hijau kain dan lumut di
koreng-koreng memborok. Kuning di kain dan kotoran. Buram, semuanya
buram, Semua disibukkan kekuasaan.Oh, betapa kebaikan itu setengah
hati,...Serta warna-warna lain, apalah guna menyalahkan warna, apalah
berkat menyalakan warna, apalah salah menggores warna....
Dan terpilih seorang ratu yang dipercaya sebagai si Adil. Tapi kemudian
yang menjadi pemimpin si segala tahu yang amat sakti. Ternyata
peraturan pemilihan bukan memilih pemimpin, tetapi wakil rakyat kute.
Merekalah yang mencarikan pemimpin negeri.
*** Jelihim masih saja, terduduk. Sang Kemare Redendam membawakan
sajak-sajak bidadari. Jelihimrengko dalam. Tapi dia memandang awangawang.
Bidadarinya di atas langit. "Kutunggu sore nanti, ditelaga," Bisik
Jelihim tersenyum. Betina tersipu di balik awan.
Tubuh Rentasan masih berdiri mematung. Mati. Tidak jatuh. Kakinya
tertancap ke tanah sepaha. Tubuh itu merunduk ke depan. Rambut seperti
bujangan tak mandi semusim tugal. Awut-awutan, penuh debu.
Jelihim ke arahnya, mencabut tubuh Rentasan, merebahkannya di tanah.
Sungguh jika ada pilihan lain, tak akan dibunuhnya Rentasan, saudara
kandungnya di alam lain. "Tak ada musuhmu yang manusia, wahai Anak
Jelihim3," Jelihim terngiang kata-kata Siamak. Orang tua yang
menemukannya di atas bambu.
"Lalu siapakah musuhku ?" Jelihim terngiang pertanyaannya ketika
berlatih silat. "Pikirannya. Musuhi pikirannya." Tegas pelan Siamak.
*** Jelihim masih terduduk. Mengasoh" Memikirkan apakah akan
menguburkan Rentasan, atau dikirim kekute Utara, Saja. Angin masih
pelan, sisa-sisa peperangan terhampar di lapangan. Karang menjadi
kawah. Ayam jago Rentasan diam tak bergerak. Bulu tercerabut di atas
kepala. Jengger merah semakin merah. Merah pucat.
Entah jago itu mati, atau pingsan. Diselubungi bulu bertebaran di tepi
kawah.Kuduk Rentasan terlempar jauh di seberang kawah.
Dari langit terbang lagiSang Kemare , yang belum sampai ke langit. Ada
yang datang, ke arah medan pertempuran.
Jelihim sudah menangkap getaran itu. Tiga sosok berjalan gontai.
Perempuan muda dan dua anak-anak.
Jelihim melesat ke arah tiga bayangan itu. "Apakah yang membuat kalian
tersesat kekute mati ini."
"Apakah Bapak kami masih hidup." Suara anak-anak mendahului
perempuan itu. Tersadarlah, Jelihim bahwa ketiganya adalah istri sah Rentasan.
"Bapak kalian telah mati,..." Ucap Jelihim pelan ke anak-anak dan
perempuan muda. Jelihim menyesal tak mampu membahasakannya ke
lain lebih halus. Ucapan itu tak sempat selesai, terpotong sesegukan
ketiganya. Jelihim menunduk, melangkah membimbing ketiganya ke tubuh mati
Rentasan. Makin keraslah sesegukan itu.
"Tuan," Perempuan muda bersuara.
Jelihim menoleh. Menatap wajah sedih perempuan di hadapannya.
"Tuan bisakah kau hidupkan lagi suamiku. "
Jelihim tak menjawab langsung. Pikirannya berputar pada rakyat di
tujuhkute Utara. Kudeta dewan marga, empat windu yang lalu. Fitnah
bertebaran terhadap dewan marga seiring kemarau panjang yang
ditangkap orang-orang pintar sebagai isyarat bencana berkepanjangan.
Aroma busuk fitnah bertebaran sejauh bunga ilalang terbang. Tumbuh
berkembang di sembarang tempat.
Didahului dengan tetua-tetua yang melihat bintang berekor jatuh.
Keruntuhan penguasa yang dicintai rakyatnya tergambar di sana. Bangkai
di sungai-sungai, manusia mati di hutan-hutan.Oalah , siapa yang
membenarkan pembunuhan. Terlalu lama semua berjalan. Apakah salah memiliki dendam, Wahai
Rentasan " Adakah salah berpilih arif "
Perampok telah mati. Kekuasaan itu hancur luluh. Semua mungkin
hancur, nol. "Tapi, mereka masih banyak ?" Pikir Jelihim. Tak Rentasan
seorang. *** "Tuan,..." Suara itu berulang lagi.
"Maaf,... Aku tak mampu memberi hidup," Jelihim menolak.Sang Kemare
melesat, membawa pesan dari langit "Jelihim, bukan kau penentu hidupmati, tapi
kau tak bisa beringkar janji."
Jelihim tersedak. Malu, teguran dari langit tak mampu membuat lari.
Lama Jelihim menentukan pilihan. Khabar bertebar secepat angin.
Semua rakyat seluruh kute utara dan kute sempalan, pun telah hadir.
Berbondong, beriringan. Membawa panji dan peringatan, tuntutan bahwa
hukuman itu selayaknya bagi penjahat. Mereka berhadapan dengan sisasisa kekuatan
Rentasan. Peperangan demi peperangan kecil terjadi.
Kereta-kereta lembu. Lembu-lembu tanpa kereta. Orang-orang dengan
buntalan bekal. Perempuan, pemuda, tetua, sesepuh,
semuanya,..."Jangan hidupkan! Biarkan pengadilan rakyat!" Teriak mereka
bersama. Semua merengsek ke arah mayat Rentasan. Jelihim menahan dengan
sorot matanya. Rakyat seluruhkute mengepalkan tangan. Pembakaran sisa-sisa kayu di
mana-mana. Dinding batu penuh coretan. "Hancurkan Rentasan!" Teriak
mereka lagi. Orang-orang berikat kepala. Orang-orang berkerudung putih. Orang-orang
membawa pacul, membawa palu, membawa arit. Orang-orang membawa
kitab suci. Istri dan anak Rentasan di seret-seret. Jelihim mengamankan jika
berlebihan. Jelihim tak kunjung memberi keputusan terakhir. Mayat
Rentasan di situ saja. Tak bergerak barang segerak. Rambutnya
menjuntai memanjang. Tak ada yang berubah selain rambut. Tak juga
membusuk. Mereka menungu bermusim-musim. Arena pertemuan berlumut,
memecah, basah, kerontang. Orang-orang berjanggut-janggut, kulit muka
berkerak-kerak,...Oh betapa lama penantian.
Jelihim menoleh menebarkan pendangannya, semua membalas dalam
ketaksabaran. "Aku tak boleh membunhnya, tidak juga kita. Sebenarnya
dia hanyamati sura.Aku hanya berhak mematikannya sementara. Tapi
sesuai janji, bahwa dia akan hidup lagi.
Hanya kita harus memberikan hukuman penyadaran untuknya. Terserah
ke langit menuntun apakah dia akan kembali sadar. Tak harus dia mati,
tapi cukup tanda kekalahan. Tanah-tanah di kute kalian, berbagilah
dengan adil. Karena tanah, sawah, hutan dan bukit-bukit sesungguhnya
milik kalian bersama."
Jelihim mengabarkan pesan dari langit ketika dia meminta izin mematikan
Rentasan. Maka Jelihim menggunting rambut Rentasan tiga juhai, tiga
jalur. Jelihim memoles kulit kepala tersebut dengan ramuan sakti.
Meresap ke akar rambut, mematikan rambut di tiga jalur itu. Sebagai tanda
kekalahan. Jelihim memetik tiga helai daun selasih ulung membacakan ucapucapSelasih ulung
untuk ujung jari telunjuk Rentasan dibuluh mike (tanah
tumbuh),"Hak hu meriang merindu ati, tidur tiade hede lagi, makan tiade
kenyang lagi, mikirka adingku Rentasan si jantung ati," Artinya kirakira,Hak hu
meriang merindu hati, tidur tiada redah lagi, makan tiada
kenyang lagi. Mikirkan adikku Rentasan si Jantung Hati.
Orang-orang menunggu dengan tidak sabar. Orang-orang menanti tidak
puas. Mahluk di bumi menunggu kesangsian.
Rentasan dengan lemah bangkit.
Orang-orang menjauh dengan rupa beragam macam.
*** tamat Keterangan Kosa Kata A Ambung: Keranjang besar dari rotan yang dianyam jarang, biasanya
digunakan untuk membawa padi, dan bahan-bahan lain dari ladang.
Andai-andai: dongeng. (Pe)ngandai-andai: tukang bercerita, tukang dongeng
Ani-ani: alat tuai padi tradisional
Antan: Alu, pemukul lesung
Aras: alam khayangan B Batusabak ; Batu berbentuk lempengan tipis dan ringan berfungsi
sebagai buku, yang digurat dengan alat tulis dari jenis batu pula.
Sedangkan penghapus biasanya menggunakan kain yang di basahi, atau
buahpehian (jawa; Suren)muda ketika musimnya.
Begesah: Ngobrol Behusek: Bermain Belido: notophterus notophterus (latin), ikan endemik Sumsel
Belalang Kerta gambir:Undang-undang imajiner yang di akui masyarakat
lama di tanah rambang bahwa itu sebuah peraturan yang ideal. Dimana
jari telunjuk salah, maka jari telunjuk itu yang harus di potong.
Besedingan: Sedih berkepanjangan
Biuku: jenis kura-kura dalam bahasa lokal Rambang (sekitar Prabumulih)
Bulu jarum: sebutan untuk anak burung yang baru menetas.
Buluh: Bambu, bamboo C Cak-ingkling: mainan anak-anak yang dimainkan dengan cara membuat
kotak-kotak dan garis-garis di tanah. Kemudian bergantian diloncati
dengan sebelumnya didahului melemparpantis, potongan genting
misalnya. Ceplakan: Jiplakan D Dagok: Rajawali raksasa yang dalam kepercayaan Rambang adalah
peliharaan orang-orang sesat, dukun-dukun jahat. Biasanya setiap
berbunyi pada malam hari membawa khabar kematian.
Derake: durhaka G Gamalan: Gamelan Gelundu: ampas minyak kelapa.
Guhong: mata air dari gua tanah, biasanya terdapat di hulu sungai-sungai
kecil. I Indok dan rame dewa: dalam keyakinan lama masyarakat Rambang
adalah orang tua setiap manusia di khayangan di mana sebelum
diturunkan ke bumi melalui manusia.
K Kalangan: Pasar yang buka seminggu sekali
Karamunting: Buah dari tanaman semak-semak, berwarna hijau ketika
mentah. Manis dan hitam, setelah matang. Buahnya berukuran seperti
kelereng, tapi sedikit lebih kecil dan lonjong meruncing di tangkainya
Kemang: Buah-buahan dari keluarga mangga yang diPalembangdan
sekitarnya dimanfaatkan sebagai bahan sambal.
keruntung: keranjang dari bambu
Kince: Kuah dari santan dan durian yang dimanisi dengan gula merah,
dan bumbu penyedap lain layaknya kuah kolak
Kisaran: Alat tradisional pemisah padi dari tangkainya, terbuat dari kayu
keras yang tua, ddigunakan dengan cara memutar.
kuduk: golok khas beberapa daerah di Sumatera Selatan. Banyak
ditemukan di kebudayaan sepanjang sungai Lematang
kulak: satuan lokal untuk ukuran volume, setara dengan satuan volume 4
kilogram beras atau satu per empat kaleng. Sekulak berarti 4 kilogram .
Kumbang arang-arang, 'men nak idup ke luah, men nak mati ke dalam,...
;Kumbang diam dan mikirlah, kalau ingin hidup keluar (dari liang), kalau
mau mati (tetap) kedalam (liang).
Kute: sebutan untuk dusun yang besar -sekarang mungkin maksudnya
adalahkota L Laman: halaman Langir: air campuran jeruk nipis untuk bersuci. Dilangiri : disucikan
dengan air jeruk (limau) nipis. Biasanya dilakukan setahun sekali. Dengan
cara campuran limau dengan air putih tersebut diusap ke ubun-ubun.
Lemang: makanan dari beras ketan yang dibungkus dengan daun pisang
dan buluh (bambu). Kemudian dipanggang.
Lengkur: pagar kecil dari bambu belah yang di lengkung-lengkungkan
membentuk busur 180odengan diameter 1 meter. Dipagarkan di
sekeliling ume. M Marga; sistem pemerintahan asli di daerah Sumatera Selatan
(sekaranang setingkat kecamatan) dipimpin oleh Pesirah. Kemudian
sistem politik ini di marginalkan oleh pemerintah Orde baru dengan
Undang-Undang Pemerintahan Desa lewat (UU. No. 5 tahun 1979)
Melukut: artinya menjadi beras yang hancur, beras yang sangat disenangi
tikus. Melur: Bunga dari keluargajasmin (melati-melatian)
N Nenek : Dipakai juga untuk menyebut harimau
Ngetam: Panen P Padipulut : Nama untuk beras ketan, ada tiga varietas yang umum dikenal
di petani tradisional padi pulut (ketan putih), padi pulut ahang (ketan
hitam), padi pulut abang (ketan merah).
Pekasam: Makanan dari ikan yang daetkan dengan cara direndam dengan
campuran air garam sampai membusuk.
Petaling: jenis buah yang sudah sulit ditemui di hutan-hutan sumsel.
Batangnya lurus tinggi dan berkayu keras. Bijinya yang dilapisi daging
buah bergetah, memiliki kulit biji yang keras, dan isi bijinya sangat lezat
kalau dipanggang seperti kacang goreng. Jika direbus rasanyamumpur
seperti umbi-umbian. Punjin: Pundi uang dari kain.
Purun: Jenis tumbuhan rawa, dipakai dan dimanfaatkan sebagai bahan
pembuat tikar. R Rengkah dalam: Rusak hancur bagian dalam tubuh
Ribang-ribangan: bercinta
Rukam: Jenis tanaman buah. Bentuk pohon berduri, dan buah berwarna
hijau (mentah), gandaria - merah dan hitam (masak).
S Sang Kemare: Sebutan untuk burung murai putih, dipercaya Sang Kemare
adalah burung pembawa khabar, sejenis merpati pos lah.
Sekat: Satuan ukuran luas dalam rambang, kira-kira 400 meter persegi


Jelihim Sang Pembebas Karya Syam Asinar Radjam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

(20 x 20 m) Dikenal pula dengan nama lineng untuk daerah Ogan
Komering Ilir sengeng:sunset, kondisi langit ketika berwarna jingga.
Sialang: pohon tempat lebah madu bersarang.
Simboer Cahaya: kitab undang-undang pemerintahan marga sejak
zaman Belanda sampai kemudian dicabut dengan
penyeragamanSuratulu; abjad tradisional daerah rambang dan
sekitarnya,suratulu juga ditemui di daerah Lahat (Gumay dan sekitarnya),
dan mungkin di beberapa daerah lain di Sumatera Selatan; pemerintahan
desa lewat UU. No 5 / 1979.
T Talang:Komunitas kecil paling banyak 10 rumah, biasanya di tengah hutan
yang dekat dengan kawasan peladangan, (h)ume, guguk (kebun buah).
Tempat hidupnya petani-petani.
Tehing: Sepotong bambu bulat kecil yang ditaruh di pangkal paruh ayam
peliharaan. Biasanya dipasang setelah padi ume berumur tiga bulanan,
supaya tidak bisa melihat ke atas (tangkai padi yang berjuntai). Ayam yang
ditehing Cuma dapat melihat ke bawah.
Tempoyak: Durian yang diawetkan dengan garam.
Tok-tok tikus, Melemang melukut, Datanglah (h)antu tikus, Nyuhoknyuhok kebawah
Jelapang Simar,....Tembang tersebut kira-kira berarti,
tok-tok tikus, menjadilemang, melukut datanglah hantu tikus menyuruk ke
bawah ketiak,...Simar."
Tuju: bola api atau seperti jarum yang terbang di malam hari. Biasanya
adalah buatan dukun santet.
Tundan: teras rumah panggung
Tunja: instrumen pengusir babi yang terbuat dari sobekan-sobekan kain
pada tongkat setinggi bahu di pinggir-pinggir ladang. Sobekan kain atau
kapas di beri lemak babi yang sudah tua sekali.
Tunjuk salah tunjuk ditetak: jari telunjuk bersalah, maka jari telunjuk yang
dipotong. Aturan ini terdapat pada kitab undang-undang imajiner Marga
Rambang, Undang-undang Kerta Belalang Gambir.
U Ume: huma Umban: jatuh Uji dengan aku dek ngandang/ ngandang pedare lelayuan/ uji dengan
aku dek ribang/ ribang ketare kemaluan(Menurutmu aku tak membuat
pagar/ pagar dari (kayu) pedare layu/ Menurutmu aku tak suka/ kentara
suka membuat malu) tamat Darah Pendekar 2 Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer Lagu Rindu Puncak Ciremai 1

Cari Blog Ini