Ceritasilat Novel Online

Hex Hall 4

Hex Hall Karya Rachel Hawkins Bagian 4


walaupun ada beberapa yang punya nyali lebih dan memakai jas panjang dan
celana selutut. Kami baru saja aka memasuki ruang pesta ketika sesuatu yang hangat menekan
punggungku. Kupikir itu hanya orang yang tak sengaja menyenggolku, sampai
sebuah suara berbisik di telingaku, pelan dan rendah, "Aku tahu itu kau."
Bab 25 AKU MENCOBA BERPUTAR, tapi sulit saat kau terjepit di antara segerombolan
orang dan memakai gaun besar. Aku tak sengaja menyikut Jenna, yang memekik
kaget, sebelum akhirnya aku berhasil berputar dan berhadapan dengan Archer.
Kami berdua membelalakan mata dan berkata, "Whoa."
Aku langsung merona. Oh, Tuhanku, apakah aku baru saja menatap Archer dan
mengatakan, "Whoa?"
Tapi...tunggu sebentar. Apakah Archer baru saja menatapku dan berkata, "Whoa?"
Kami semacam saling membeliak. Archer lebih dari pantas mendapatkan "whoa"nya.
Ini adalah laki-laki yang bisa membuat seragam sekolah saja kelihatan bagus.
Apa yang dia lakukan terhadap pakaian resmi itu hampir merupakan kejahatan. Dia
berbohong tentang dasi kupu-kupunya yang berwarna pink. Bahkan dia tidak
memakai dasi kupu-kupu, hanya dasi biasa, dan warnanya hitam, seperti semua
pakaian lain yang dikenakannya.
Tetapi, bagian terbaiknya adalah cara dia memandang. Tepatnya cara dia
memandangku. "Gaun itu," katanya akhirnya, matanya masih memindai seluruh tubuhku. "Itu...
sesuatu." Aku mati-matian menahan desakan untuk menarik potongan leher yang rendah dan
hanya tersenyum. "Trims. Aku cuma, eh, merombaknya sedikit."
Dia mengangguk, tapi masih sedikit terpana, dan dengan susah payah aku berusaha
agar tidak tersenyum bodoh.
Kemudian aku ingat apa yang dikatakannya. "Apa maksudmu, kau tahu itu aku?"
Dia menggelengkan kepalanya, seolah-olah untuk menjernihkan pikirannya. "Oh,
ya. Elodie." Jantungku rasanya menggelepar di dalam dadaku, dan aku benar-benar bisa
merasakan wajahku memucat.
"Aku baru saja melihatmu dari belakang dan mengatakan bahwa itu pasti kau. Kata
Elodie, tidak mungkin itu kau."
"Oh." Aku memandang ke belakangnya dan melihat Elodie yang sedang
menghampirinya. Dia memelototi aku, dan aku terkejut melihat gaunnya tampak
sempurna. Kata siapa tulang akan tahu apa yang harus dilakukan, pikirku, tetapi aku merasa
semacam lega. Kemarahanku sudah memudar begitu aku bisa membuat gaun yang
dahsyat ini. Lagi pula kurasa itu merupakan pembalasan dendam yang lebih baik
daripada mengacaukan gaunnya.
"Bagaimana mungkin kau bisa membuatnya?" tanya Elodie. Dia mencoba untuk
menjaga nada suaranya tetap manis, tetapi matanya dingin dan marah.
Aku hanya membalas senyumannya dan mengedikkan pundak. "Itulah anehnya.
Rupanya bonekaku kena kutukan."
Matanya melebar sedikit sebelum dia mengalihkan tatapannya. "Aneh,"
gumamnya. "Ya, benar. Untungnya, aku bisa melenyapkan kutukan itu, dan kemudian - tada!"
Aku melebarkan rokku sambil tersenyum cerah, dan dianugerahi oleh cibiran
Elodie. "Apakah menurutmu itu tidak sedikit... nyaring?" tanyanya.
Sebelum aku menjawab sesuatu yang tajam, Archer berpaling kepadanya. "Oh,
ayolah, El. Dia kelihatan cantik dan kau tahu itu."
Itulah gongnya. Cengiran tolol itu tidak bisa ditahan lagi. Archer tersenyum dan
mengedipkan seebelah mata saat dia dan Elodie melewati kami dan masuk ke
dalam ruang pesta. Aku berputar ke Jenna, yang tertawa dan memutar matanya. "Ya ampun, Nak,
parah sekali." Dia masih cekikikan, dan aku masih mesem-mesem seperti orang gila ketika kami
memasuki ruang pesta. Aku tak tahu apa yang kusangka akan kulihat, tapi ruang
pesta itu benar-benar membuatku tercengang. Tak ada pita kertas atau balon di
sini. Sebagai gantinya, ruangan itu berpendar dengan cahaya peri lembut, versi
yang lebih kecil dan lebih lembut daripada bola yang selalu Alice buatkan untuk
kami. Masing-masing bertengger di atas sesuatu yang kelihatannya seperti bunga
berwarna ungu tua. Bunga-bunga itu melayang tinggi di udara, terangguk-angguk
seolah-olah tertiup angin sepoi-sepoi. Kandilnya tidak dinyalakan, tetapi
kristalnya berubah menjadi ungu untuk acara itu, dan cahaya peri itu membuat kristalnya
mirip batu kecubung. Cermin-cerminnya juga tidak ditutupi. Kupikir itu akan
mengganggu Jenna, tetapi ketika kami memandang cermin dan hanya melihat
diriku, dia hanya menunjuk dan berkata, "Lihat. Di dalam Dunia Cermin, kau
masih tetap keajaiban tanpa pasangan kencan," yang membuat kami berdua
tergelak. Lantainya tidak lagi berupa kayu yang berkilat terang seperti biasanya,
melainkan hitam yang gelap dan mengilap. Aku menggelengkan kepalaku sambil terkagumkagum.
"Ini...wow." "Aku tahu," kata Jenna. Dia meraih tanganku dan meremasnya. "Aku senang kau
memaksaku untuk datang."
Kami menyusuri tepian perabot untuk sementara waktu, sambil menonton semua
orang berdansa. Aku ingat prom yang kudatangi bersama Ryan, tempat semua
orang berjoget seakan-akan sedang melakukan audisi pembuatan video rap. Yang
ini tidak mungkin bisa lebih berbeda lagi. Para penyihir dan shapeshifter sedang
berdansa waltz, yang membuatku sedikit cemas. Tak seorang pun yang
memberitahuku bahwa berdansa merupakan prakondisi untuk bersekolah di
Hecate. Para perinya berkerumun dengan kaum mereka sendiri di salah satu tepi
ruang dansa, berdansa rumit yang kelihatan sesuatu yang berasal dari era
Elizabeth di Inggris. Aku melihat Archer dan Elodie sedang berdansa, dan napasku tersentak karena
keindahan mereka: Archer, jangkung dan berambut gelap, dan Elodie, rambutnya
berkilauan diterpa cahaya, gaunnya melayang-layang di sekelilingnya. Tetapi,
sewaktu aku memandang wajah mereka, kulihat mereka jelas-jelas sedang
bertengkar. Archer sedang merengut dan menatap suatu titik di atas kepala
Elodie, dan Elodie tampaknya sedang bicara dengan kecepatan satu kilometer per menit.
Kemudian, tiba-tiba Elodie menarik tangannya dari genggaman Archer dan
mencengkeram pinggangnya.
Rasa takut pelan-pelan naik di dalam diriku sementara aku memperhatikan Archer
membimbing Elodie keluar dari lantai dansa. Gadis itu mencoba untuk tersenyum,
tetapi kelihatannya lebih mirip meringis. Aku melihatnya melambaikan tangan
kepada Archer dan mengucapkan kata, "Aku tidak apa-apa." Tapi dia lalu tersentak
dan memegangi pinggangnya lagi. Aku melihat Anna menerobos kerumunan, Mrs.
Casnoff di belakangnya. Sekarang tubuh Elodie hampir terlipat dua.
"Aku ingin tahu apa yang terjadi," kata Jenna.
"Mungkin pinggangnya terjepit."
"Ya. Mungkin." Aku menengok dan melihat Jenna sedang menatapku dengan ekspresi cemas.
"Apa?" "Apa yang kau lakukan kepada pakaian Elodie sore tadi?"
"Tidak ada!" Aku bersikeras, tetapi aku pendusta yang buruk dan aku tahu itu
terpampang jelas di wajahku.
Jenna hanya menggelengkan kepalanya dan kembali menengok lagi untuk
memperhatikan Elodie, yang sekarang sedang dibimbing keluar dari ruangan oleh
Mrs. Casnoff dan Anna. Archer beranjak untuk mengikuti, tetapi Elodie berpaling
dan mengatakan sesuatu kepadanya. Tentu saja kami tidak bisa mendengarnya, tapi
dari ekspresi wajahnya jelas bahwa gadis itu marah. Apa pun yang dikatakan oleh
Elodie, Archer mundur dua langkah dan mengangkat kedua tangan di depannya.
Elodie kembali berputar ke Mrs. Casnoff, dan mereka berdua meninggalkan ruang
pesta, dengan Anna dan Archer yang mengikuti di belakang mereka.
Archer kembali dua puluh menit kemudian, tampak bingung dan marah.
Aku bisa merasakan tatapan Jenna di punggungku saat menyeberangi ruangan
untuk menghampiri Archer.
"Kenapa tadi?" tanyaku.
Archer masih menatap pintu tempat mereka membimbing Elodie keluar.
"Entahlah. Dia baik-baik saja, kemudian dia mulai mengatakan bahwa gaunnya
terlalu sempit, seperti mengerut atau apalah. Gaunnya terus-menerus mengecil,
katanya, dan dia sulit bernapas. Menurut Mrs. Casnoff gaun itu dikutuk."
Aku lega karena dia masih melihat ke arah yang jauh dariku sehingga tidak
melihat aku yang berjengit. Tulang itu akan tahu apa yang harus dilakukan.
Apakah Alice tahu ini akan terjadi, atau apakah aku mengacaukannya entah
bagaimana" Mungkin seharusnya aku langsung menggunakannya, bahwa sihir
yang dikandungnya, entahlah, menjadi basi atau bagaimana selama seminggu aku
menahannya. Atau dia memang tahu, bisik sebuah suara. Dia tidak pernah bermaksud membuat
gaun itu hanya berubah warna. Dia bermaksud untuk menyakiti Elodie.
Tapi, mengapa Alice ingin melakukan itu" Aku tahu dia tidak menyukai Elodie,
tapi ini rasanya terlalu kejam. Tidak, aku pasti mengacaukannya entah bagaimana,
seperti mantra cinta pada Kevin.
"Hei," kata Archer.
"Ya," kataku dengan lemah. Kemudian aku tersenyum dan mencoba terdengar
lebih bersemangat. "Ya, aku tidak apa-apa. Itu cuma... kau tahu, merasa aneh
tentang Elodie." "Ya," dia sepakat, sambil kembali menoleh ke arah pintu.
"Dia marah, ya, kepadamu?" Aku memberanikan diri.
Sambil mengusapkan tangan ke rambutnya, Archer menghela napas dan berkata,
"Kurasa. Katanya aku seharusnya merasa senang karena sekarang aku bisa
menghabiskan waktu di pesta dengan seseorang yang benar-benar kuinginkan."
Pemuda itu menunduk menatapku. "Kurasa maksudnya kau."
Banyak orang di sekeliling kami, tapi tiba-tiba aku merasa kami benar-benar
hanya berdua saja. Dan pada saat itu, aku bersumpah aku bisa merasakan ada sesuatu
yang bergeser di antara kami. Suatu percikan berkobar yang sebelumnya tidak ada,
setidaknya tidak di dalam diri Archer.
Dia kembali memalingkan wajah, ke arah pintu, kemudian tersenyum kepadaku.
"Yah, sayang sekali kalau tidak memamerkan gaun itu. Mau dansa?"
"Tentu," kataku, berusaha mengeluarkan suara yang paling santai sebisaku, tapi
jantungku berdegup begitu kencangnya sehingga aku khawatir dia benar-benar bisa
melihatnya. Soalnya banyak sekali bagian dari dadaku yang terbuka.
Archer menarikku ke lantai dansa, satu tangan di pinggangku, yang lainnya
menggenggam tanganku tinggi sejajar dengan pundak. Aku ketakutan setengah
mati kalau-kalau aku akan tersandung gaunku sendiri atau menginjak kakinya,
tetapi berkat Archer, kami meluncur di lantai dansa dengan lancar.
"Kau bisa berdansa?" tanyaku.
Dia menatapku sambil menunduk dan tersenyum. "Beberapa tahun yang lalu,
Casnoff memutuskan untuk mengajarkan kelas dansa resmi. Semua wajib
mengikutinya." "Seharusnya aku juga ikut."
"Ah, kau baik-baik saja. Ikuti saja aku."
Aku belum pernah mendapat petunjuk yang lebih baik lagi. Tidak ada pemain
musik atau sound system yang bisa kulihat, hanya musik bagaikan mimpi yang
sepertinya melayang dari mana-mana dan tidak di mana-mana. Jemariku
bertengger dengan ringan di pundak Archer saat kami berputar-putar di ruangan.
Kami berdansa mendekati tempat aku meninggalkan Jenna. Aku mencari-cari dia,
tapi tidak bisa melihatnya. Aku bertanya-tanya apakah dia sudah kembali lagi ke
kamar, dan merasa sedikit bersalah. Tapi kemudian tangan Archer mengencang di
pinggangku, dan Jenna pun lenyap sama sekali dari pikiranku.
Aku mendongak dan melihat Archer sedang mengamatiku lekat-lekat dengan
ekspresi wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya. Yah, ekspresi yang belum
pernah diarahkan kepadaku sebelumnya.
"Dia benar," gumamnya.
"Tentang apa?" kataku, dan suaraku tidak terdengar seperti suaraku. Rendah dan
mendesah. "Ternyata aku memang ingin melewati pesta ini bersamamu."
Aku merasakan seakan-akan ada seribu pijaran yang meletup di dalam diriku.
Senyuman yang mulai merekah di wajahku benar-benar membuat wajahku nyeri,
dan untuk pertama kalinya aku tak peduli kalau dia melihatnya.
Aku tau bahwa aku sudah tidak naksir Archer lagi.
Aku jatuh cinta kepadanya.
Wajahnya merunduk, dan jantungku berhenti berdetak. "Sophie - "
Tetapi sebelum dia bisa menyelesaikannya, sebuah jeritan mengoyak udara.
Musiknya berhenti mendadak. Hampir semua orang berputar melihat Elodie
bergegas memasuki ruang pesta, jubah sutra hijau berkelepak di sekeliling
tungkainya yang pucat, dan air muka horor terpampang di wajahnya.
"Anna!" jeritmya. "Terjadi lagi! Aku... Oh, Tuhan, kurasa dia sudah mati."
Bab 26 ANNA tidak meninggal, syukurlah. Mereka menemukannya terkapar di lorong
tepat di depan kamarnya. Kata Elodie, Anna pergi untuk mengambilkan teh dari
dapur. Ketika dia tidak kembali, Elodie jadi khawatir dan pergi mencarinya.
Saat itulah dia menemukan Anna, tertelungkup di lorong, genangan teh dan
darahnya sendiri diserap oleh karpet tebal berwarna krim. Sama seperti Holly,
sama seperti Chaston, di lehernya ada dua lubang kecil, tetapi kedua pergelangan
tangannya tidak disayat. Cal tiba tepat pada waktunya, dan ketika Mrs. Casnoff datang sambil berlari
menaiki tangga, Anna sudah duduk, dan kepalanya terkulai di pundak Cal.
Sama seperti Chaston, gadis itu tidak bisa mengatakan siapa yang menyerangnya.
Jenna sudah kembali ke kamar kami, dan tampaknya sama sekali tidak menyadari
apa yang menimpa Anna. Tapi, dia berada tepat di ujung lorong.
Sekitar tengah malam, Mrs. Casnoff datang untuk menjemputnya. Mereka belum
kembali. Aku berbaring terjaga di tempat tidurku, masih memakai gaun, semalaman yang
panjang. Untungnya, Alice dan aku memutuskan untuk tidak bertemu malam ini,
jadi aku tidak harus mengkhawatirkan mantra penidurnya tiba-tiba menguasai.
Sekitar pukul tiga, akhirnya aku tertidur, tapi aku menghabiskan sisa malam itu
dengan berguling ke sana kemari karena mimpi buruk. Aku melihat Jenna,
mulutnya berlumuran darah, dan Anna di kakinya. Aku melihat Archer dan Elodie
berdansa, hanya Elodie tampak pucat, bibirnya biru dan matanya membelalak
sementara gaunnya melilitnya seperti ular. Dan yang paling aneh lagi, aku
melihat Alice di pekuburan, menggenggam pagar besi, sementara tiga lelaki berpakaian
serba hitam turun di atasnya, pisau perak terangkat tinggi-tinggi. Aku terbangun
saat secercah sinar matahari pertama menyapu lantai.
Aku merasa kehilangan kiblatku. Mulutku kering dan lengket, seolah-olah aku
menghabiskan semalam suntuk dengan makan benang. Di samping itu, ada suara
berdering yang rendah dan kosong. Tadinya kupikir itu hanya telingaku saja.
Kemudian aku menyadari itu ternyata suara lonceng di puncak rumah, lonceng
yang biasanya memanggil kami untuk masuk ke kelas. Mengapa lonceng itu
berdering sepagi ini"
Kemudian kejadian semalam kembali membanjiri pikiranku. Aku menengok ke
tempat tidur Jenna, tetapi masih tetap kosong.
Aku mendorong diriku turun dari tempat tidur dan menyembulkan kepala ke luar
pintu. Beberapa orang gadis sudah berpakaian dan menuju ke arah tangga. Aku
melihat Nausicaa dan memanggilnya, "Hei! Ada apa?"
"Disuruh berkumpul," jawabnya. "Sebaiknya kau berpakaian."
Aku menutup pintu dan meliuk-liukkan tubuhku keluar dari gaunku. Gaun itu
berubah menjadi sarung bantal lagi saat menyentuh lantai. Aku memecahkan
semacam rekor kecepatan berpakaian, dan memutuskan untuk membiarkan
rambutku yang tergelung sejak semalam dengan begitu saja. Sekarang
gelungannya lebih berantakan, dan separuhnya sudah terurai menutupi wajahku,
tapi kurasa tak seorang pun akan peduli.
Kami semua bertemu di ruang pesta, yang sudah diubah kembali menjadi ruangan
yang kami kenal dengan baik, lengkap dengan meja-mejanya yang campur aduk.
Sembari duduk di kursi di bagian belakang, aku mendongak dan melihat sebuah
cahaya peri tinggi di langit-langit. Cahaya itu terantuk pelan di sudut, seakanakan sedang mencari jalan keluar.


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua guru sudah berkumpul di podium di depan, kecuali Lord Byron. Mrs.
Casnoff tampak letih dan lebih tua daripada yang pernah kulihat. Dengan kaget
kulihat rambutnya tidak ditata seperti biasanya dengan gelungan rumit, melainkan
dipuntirkan secara asal-asalan di belakang lehernya.
Archer dan Elodie duduk di sebelah kiri depan. Elodie tampak pucat, dan masih
ada air mata yang mengaliri wajahnya. Archer merangkulkan tangannya ke Elodie,
bibirnya bergerak di pelipis gadis itu. Kemudian, seakan tahu aku memperhatikan
mereka, Archer menoleh dan menatapku. Aku menundukkan pandanganku,
tanganku mengepal di rokku.
Setelah kejadian yang menimpa Anna dan Jenna, aku hampir melupakan tentang
aku dan Archer, tetapi sekarang pertemuan semalam kembali melayang ke dalam
pikiranku, menghempas ke jantungku.
Untungnya, Mrs. Casnoff berdiri dan mengangkat kedua tangannya menyuruh
diam, jadi aku bisa mengalihkan pandanganku ke arah kepala sekolah dan bukan
ke arah Archer. "Anak-anak," dia memulai. "Seperti yang aku yakin kalian ketahui, ada serangan
lagi semalam. Miss Gilroy akan sembuh seperti sedia kala, tetapi karena ini
merupakan tiga serangan dalam jangka waktu kurang dari setahun, kita jelas harus
mengambil langkah-langkah drastis. Seperti yang aku yakin kalian lihat, Lord
Byron tidak ada di sini. Begitu juga dengan Miss Talbot. Sampai Dewan bisa
menyelidiki penyerangan-penyerangan ini sampai ke dasarnya, vampir tidak lagi
diterima di Hecate."
Jantungku melesak sementara semua orang di sekelilingku bertepuk tangan. Aku
teringat Jenna, betapa bahagianya dia semalam memakai gaun pink-nya, dan
merasakan air mata menyengat mataku. Ke mana mereka membawanya"
Mrs. Casnoff menyampaikan beberapa hal lagi, sebagian besar tentang tetap
berhati-hati dan menyadari sekeliling kami, dan bahwa kami tidak boleh
menurunkan kewaspadaan kami sampai kami tahu pasti apa yang terjadi, tetapi aku
sudah tidak mendengarkannya lagi. Benar Jenna sudah berada kembali di kamar
kami ketika Anna diserang, tapi aku pernah melihat Jenna setelah pulang dari
makan di klinik. Dia selalu kelelahan dan hampir mabuk. Semalam, ketika Casnoff
datang menjemputnya, dia hanya kelihatan ketakutan.
Aku tidak menyadari bahwa pertemuan itu sudah selesai sampai seorang
shapeshifter lelaki menginjak kakiku saat bangkit dari tempat duduknya.
Dengan kebas, aku berdiri, hanya untuk mendengar Mrs. Casnoff berkata, "Elodie,
Sophie, tunggu sebentar."
Aku berputar kembali. Elodie tampak sama bingungnya dengan aku.
"Silakan kalian berdua pergi ke kantorku."
Archer meremas lengan Elodie dengan cepat sebelum berlalu. Matanya berserobok
pandang denganku saat melewatiku. Dia melemparkan senyuman kepadaku, dan
aku mencoba untuk balas tersenyum. Apa pun yang terjadi di antara aku dan
Archer semalam hanyalah anomali belaka, yang aku tahu lebih mudah kalau
dianggap tidak pernah terjadi saja. Jelas-jelas dia bersama Elodie, dan aku
tidak bisa menyalahkannya. Bukan saja Elodie jelita, tetapi sekarang semua temannya
sudah pergi. Orang berengsek seperti apa yang akan putus dengan pacarnya sehari
setelah sahabat gadis itu nyaris dikeringkan darahnya"
Bukannya itu situasi yang sering terjadi, kurasa.
Elodie dan aku berjalan ke kantor Mrs. Casnoff, pundak kami bersinggungan di
lorong sempit. "Aku benar-benar menyesal," aku mulai bicara, tapi Elodie memotong perkataanku
dengan tatapan sedingin es. "Apa, karena sahabatmu nyaris membunuh salah satu
temanku lagi, atau atas kau yang nyaris membunuhku dengan gaunku sendiri?"
Bahkan aku terlalu letih untuk memberikan kesempatan kepada keterampilan
berdustaku. "Mantranya tidak seharusnya menyakitimu. Seharusnya hanya
mengubah warna gaunmu menjadi berbeda kalau kau memakainya."
Elodie terdiam, dan ketika aku meliriknya, kulihat dia sedang menatapku dengan
pandangan menimbang-nimbang. "Itu sihir yang sangat kuat," katanya. "Dan
walaupun aku tidak senang karena nyaris dicekik oleh bajuku sendiri, mantra itu
keren juga untuk dipelajari."
"Aku akan mengajarkannya kepadamu kalau kau mengajarkan kepadaku kutukan
yang kau rapalkan ke bonekaku," aku menawarkan.
Sebelum Elodie bisa menjawab, Mrs. Casnoff menggiring kami ke kantornya yang
sempit. "Mari, Ladies."
Begitu Elodie dan aku duduk di kursi-kursi pendek itu, Mrs. Casnoff bergerak ke
belakang mejanya. "Aku yakin kalian berdua tahu mengapa aku ingin berbicara
dengan kalian." Dia menghela napas dan duduk. Kalau itu orang lain, aku akan mengatakan dia
menghempaskan diri ke kursinya, tetapi Mrs. Casnoff terlalu resmi untuk
menghempaskan diri. Itu lebih mendekati merobohkan diri dengan anggun.
"Aku yakin terpikir oleh kalian bahwa semua penyerangan itu hanya terjadi kepada
anggota kelompok kalian, Anak-anak."
Dengan kebingungan, aku berkata, "Oh, aku bukan anggota kelompok mereka."
Sekarang Mrs. Casnoff yang tampak bingung. Dia menatap Elodie, yang sekarang
kulihat sedang memandang ke tempat lain kecuali ke arah salah satu dari kami.
"Kau memasukkan Sophia ke dalam kelompokmu tanpa sepengetahuannya?" tanya
Mrs. Casnoff. "Apa?" pekikku. "Bagaimana mungkin?"
Elodie mengembuskan napas panjang yang membuat poninya bergerak. "Begini,
kami tidak punya pilihan," katanya, masih sambil memandang ke pangkuannya.
Aneh sekali rasanya melihat Elodie menunduk. Biasanya dia berkali-kali memutar
matanya dan mengatakan sesuatu yang mengandung kebencian yang menetesnetes.
Tapi sekarang, dia kelihatan benar-benar bersalah.
"Kami membutuhkan dia," kata Elodie kepada Mrs. Casnoff, nadanya memohon.
"Dia tidak mau bergabung dengan kami dengan sukarela, jadi kami melakukan
ritual penggabungan tanpanya."
Mrs. Casnoff membelalak kepada Elodie. "Dan apa yang kau gunakan sebagai
pengganti darahnya?"
"Aku masuk ke kamarnya dan mengambil beberapa lembar rambut dari sisirnya,"
guman Elodie. "Tapi kami pikir itu tidak berhasil. Hanya ada kepulan asap hitam
yang besar ketika kami melemparkan rambut ke api. Seharusnya tidak begitu."
"Oh Tuhanku!" Aku meledak. "Kau tidak boleh melakukan perbuatan semacam
itu! Aku tak percaya aku merasa menyesal karena telah meletakkan tulang di
dalam gaunmu." Tatapan Mrs. Casnoff kembali kepadaku. "Kau melakukan apa?" tanyanya dengan
suara yang begitu dingin, sampai-sampai aku yakin aku akan membeku seketika
seperti Mammoth berbulu tebal.
Elodie melihat ada kesempatan. "Benar! Dialah yang hampir membunuhku
semalam dengan menyelipkan tulang berteluh di gaunku!"
"Hanya karena kau mengutuk gaunku," aku membalasnya.
"Hanya karena kau mencoba untuk merebut pacarku!"
Rupanya sampai disitulah batas kesabaran Mrs. Casnoff.
"Anak-anak!" teriaknya, sambil berdiri dan menghempaskan kedua tangan di atas
mejanya. "Waktu untuk bertengkar karena gaun dan anak laki-laki sudah selesai.
Dua di antara saudari kalian terluka parah, dan yang satu meninggal dunia."
"Tapi... Anda sudah memperbaikinya," kata Elodie dengan pelan. "Anda mengusir
para vampir." Mrs. Casnoff duduk di kursinya dan menggosok-gosokkan tangan ke matanya.
"Kita tidak yakin bahwa Jenna atau Byron yang bertanggung jawab. Mereka bedua
mengaku tidak bersalah, dan semalam tak satu pun dari mereka menunjukkan
tanda-tanda baru saja makan."
Terbayang olehku gambar di buku tentang L'Occhio di Dio, gambar penyihir yang
dikeringkan darahnya, dan Alice mengatakan bahwa Mata melihatku, bahkan di
sini. "Mrs. Casnoff," kataku. "Apakah menurut Anda... apakah menurut Anda mungkin
kalau L'Occhio di Dio berhasil memasuki sekolah?"
"Kenapa kau sampai berpikiran begitu?" tanya Elodie, tetapi Mrs. Casnoff
mengangkat tangannya. "Aku pernah melihat sebuah gambar tentang penyihir yang mereka bunuh, dan di
leher perempuan itu ada dua lubang dan nyaris tidak ada darahnya, mirip dengan
Holly, Chaston, dan Anna. Maksudku, mungkin bisa - "
Mrs. Casnoff menyela. "Aku juga pernah melihat gambar itu, Sophia, tetapi tidak
mungkin L'Occhio di Dio bisa menyusupi Hecate. Ada terlalu banyak mantra
pelindung. Bahkan kalau mereka entah dengan cara bagaimana sanggup
melewatinya, apa yang akan mereka lakukan" Bersembunyi di pulau kecil ini
selama berbulan-bulan dan menunggu sampai mereka bisa menyelinap ke dalam
sekolah?" Kepala sekolah itu menggelengkan kepalanya. "Tidak masuk akal."
"Kecuali jika mereka sudah ada di dalam sekolah," kataku.
Mrs. Casnoff mengangkat kedua alisnya. "Apa, sebagai guru" Atau murid" Tidak
mungkin." "Tapi - " Suara Mrs. Casnoff lembut, dan matanya sedih saat dia berkata, "Sophia, aku tahu
kau tidak ingin percaya bahwa Jenna bertanggung jawab atas kejadian ini. Tak
seorang pun dari kita yang ingin. Tapi aku khawatir bahwa kali ini, itulah
penjelasan yang paling masuk akal. Jenna sedang dipindahkan ke markas besar
Dewan sekarang, dan dia akan diberi kesempatan untuk membela diri. Tapi, kau
harus menerima bahwa dia mungkin bersalah."
Dadaku menegang memikirkan Jenna, ketakutan dan sendirian, sedang dalam
perjalanan ke London, tempat dia mungkin dipasak. Bahkan mungkin oleh ayahku
sendiri. Sambil mengulurkan tangannya ke seberang meja, Mrs. Casnoff berkata, "Aku
turut menyesal." Dia memandang ke arah Elodie. "Aku turut prihatin terhadap
kalian bedua. Tapi mungkin ini akan memberikan kesempatan kalian untuk
menyingkirkan perbedaan mulai dari sekarang. Lagi pula, hanya tinggal kalian
berdualah anggota kelompok kalian yang tersisa di sini." Dia kembali menatapku
dan tersenyum masam. "Suka atau tidak suka. Sekarang, aku mengizinkan kalian
untuk tidak mengikuti pelajaran hari ini. Sampai kami mendapatkan hasil dari
penyelidikan Dewan, aku ingin kalian saling menjaga. Mengerti?"
Kami berdua menggumamkan iya dan kemudian beringsut keluar dari kantor Mrs.
Casnoff. Aku menghabiskan sisa hariku di dalam kamarku. Tanpa Jenna, kamar itu rasanya
besar dan sepi, dan dengan susah payah aku menahan tangis saat menatap boneka
singanya, yang dinamakan Bram sambil bercanda, dan semua buku-bukunya.
Mereka tidak membiarkan Jenna membawa apa-apa bersamanya.
Aku diam di tempat tidur pada saat makan malam. Suatu saat setelah malam turun,
aku mendengar ketukan pelan di pintuku, dan Archer mengatakan, "Sophie" Kau
ada di dalam?" Tapi aku tidak menjawab, dan setelah beberapa waktu, kudengar
dia berjalan menjauh. Aku berbaring terjaga sampai tengah malam, ketika mantra pendaran hijau lembut
Alice merayap melalui jendelaku.
Sambil melemparkan selimutku, aku melompat berdiri, sangat ingin keluar dari
rumah ini dan ke langit, dan ingin menceritakan semua yang telah terjadi kepada
Alice. Bahkan aku tidak mau repot-repot pelan-pelan di tangga saat berjalan menuju
pintu depan. Tanganku baru saja memutar kenop ketika aku mendengar suara mendesis,
"Ketahuan!" Dengan jantung yang pindah ke mulut, aku berbalik dan melihat Elodie sedang
berdiri di kaki tangga, kedua lengannya terlipat, dan ada seringaian di
wajahnya. Bab 27 "AKU SUDAH MENDUGANYA," katanya, lebih kencang sekarang. "Aku tahu
kau pasti punya tujuan tertentu. Ketika Mrs. Casnoff mendapati kau merapal
mantra ke seluruh sekolah, kau akan bergabung dengan lintah kecil temanmu itu di
London." Aku masih mati rasa di pintu, kenopnya separuh berputar di tanganku. Dari semua
orang yang bisa menangkap basah aku menyelinap keluar, mengapa harus satusatunya
orang yang paling membenciku" Aku berdiri di sana sambil memikirkan
sesuatu untuk diucapkan yang akan membuatnya tidak berlari ke Mrs. Casnoff saat
itu juga. Kemudian aku ingat air mukanya saat dia menanyakan tentang mantra tulang itu,
dan ada ide muncul di kepalaku. Aku hanya bisa berharap Alice akan
menyetujuinya. "Baiklah, kau menangkap basah aku." Aku mencoba tersipu-sipu, tapi mungkin
hanya berhasil kelihatan masam, karena Elodie bergerak mundur selangkah saat
aku menghampirinya. "Karena sihirku begitu buruk - kau juga tidak membantu - aku mengambil, eh, les
privat dari salah satu hantu di sini."
Elodie memutarkan matanya. "Oh, ayolah," katanya. "Guru sihir" Yang kebetulan
hantu" Kau pastilah menyangka otakku sudah mati."
Matanya menyipit. "Siapa yang kau temui di luar sana sebenarnya" Cowok"
Karena kalau itu Archer - "
"Tidak ada apa-apa di antara diriku dan Archer," kataku - yang secara teknis
sebuah dusta. Maksudku, aku sangat yakin aku jatuh cinta kepada pemuda itu, dan
kurasa dia mungkin saja menciumku di pesta kalau saja Elodie tidak buru-buru
masuk, tapi itu kan tidak sama dengan kalau kami bertemu untuk melepaskan
gairah di hutan. Tak peduli betapa inginnya aku mewujudkannya.
Sekarang aku tersenyum kepada Elodie dan mengacungkan tanganku. "Kau mau
belajar beberapa sihir keren" Ikut aku."
Tepat seperti harapanku, pemikiran mempelajari sihir baru terlalu menggoda
sehingga Elodie tak mau melewatkannya.
"Baiklah," katanya. "Tapi kalau ini semacam muslihat yang berujung dengan aku
terbunuh, aku benar-benar akan menghantui bokongmu."
Alice pastilah sudah tahu bahwa Elodie akan datang, karena ada dua sapu yang
menunggu di luar. Mata Elodie melebar seperti mata bocah pada pagi hari Natal. "Kau naik sapu?"
Aku hanya tersenyum dan melompat naik.
"Ayolah," gamitku, sambil mengulangi kata-kata Alice untukku. "Bersikaplah
tradisional sesekali."
Setelah itu kami menembus malam, udara yang dingin dan bersih membakar paruparu
kami. Di atas kepala, bintang-bintang berkelap-kelip di langit yang bagaikan
tinta. Aku bisa mendengar Elodie tertawa di sampingku, dan aku menoleh ke
arahnya, mata kami bertemu di dalam senyuman bersama pertama kami.
Setelah kami mendarat di pekuburan, aku memperkenalkan Elodie kepada Alice,
tanpa memberitahukan bahwa Alice adalah nenek buyutku, dan memperkenalkan
Elodie sebagai "anggota kelompokku".
Alice melirikku dari samping mendengarnya, tapi dia tidak mengatakan apa-apa.
"Jadi, sihir macam apa yang kalian berdua lakukan di luar sini di Desa Seram
ini?" tanya Elodie. "Beberapa hal," jawab Alice. Diterangi sinar rembulan, kulitnya tampak seperti
porselen dan pipinya kemerahan. Matanya tampak lebih cemerlang. Aku
bertanyatanya apakah dia punya semacam mantra kecantikan. Kalau iya, aku benarbenar berharap kami akan mempelajarinya nanti.
"Sophie sudah bisa merapal mantra memanggil benda-benda," Alice melanjutkan.
"Dan dia saat ini sedang mempelajari mantra berpindah."
Elodie menoleh ke arahku, terkejut. "Kau bisa membuat benda-benda bermunculan
dari udara kosong?" "Ya," kataku, seolah-olah itu tidak berarti walaupun aku masih tidak bisa
memanggil benda yang lebih besar daripada lampu, dan itu pun membuatku
mengucurkan keringat berember-ember. Berkonsentrasi kepada sesuatu yang kecil
tidak akan membuatku megap-megap kehabisan napas, aku melambaikan tangan
dan sebuah bros zamrud muncul di udara tepat di hadapan Elodie. Mulutnya
menganga, dan aku tersenyum kepada Alice.
Elodie menjulurkan tangan dan mengambil bros itu, membalikkannya lagi dan lagi
di tangannya. "Ajari aku."
Dia mampu belajar dengan cepat, lebih cepat daripada aku, dan dalam satu jam dia
bisa membuat pulpen dan kupu-kupu kuning kecil muncul. Aku sedikit iri, aku
belum pernah mewujudkan apa-apa yang bukan benda tak bergerak. Sisi baiknya,
Alice tidak terlalu terkesan terhadap Elodie, dan dia tidak memuji gadis itu
sebanyak Alice memuji aku.
Sementara mereka mengerjakan itu, aku berlatih memindahkan diriku dari satu
tempat ke tempat lainnya, mantra yang masih belum kukuasai. Kata Alice, penyihir
yang sakti bisa menyeberangi samudra dengan mantra itu, tetapi bahkan sejauh ini
aku tidak bisa bergerak satu senti pun ke kiri.
Akhirnya, Elodie dan aku sama-sama kelelahan dan cukup mabuk oleh sihir, jadi
kami duduk di rumput, punggung kami bersandar di pagar pekuburan sementara
Alice bersandar ke pohon, sambil menatap ke angkasa.
"Kuharap tidak apa-apa aku berada disini," kata Elodie kepada Alice.


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa kau datang bersama Sophia malam ini?" tanya Alice. Dia tidak
kedengaran marah, hanya ingin tahu, jadi aku menjawab, "Elodie memergoki aku
menyelinap keluar, jadi aku mengundangnya untuk ikut serta. Kupikir dia mungkin
mau belajar beberapa sihir baru juga."
"Kata Mrs. Casnoff, kami harus saling menjaga," kata Elodie kepadaku, tetapi dia
tersenyum. Aku tidak yakin apakah itu karena sihir atau dia benar-benar bahagia
berada di sini. "Mengapa?" tanya Alice, dan baik Elodie maupun aku jadi lebih serius. Dengan
singkat, aku menceritakan kepada Alice kejadian yang menimpa Anna, dan betapa
Jenna dan Byron sudah pergi.
"Apakah mereka yakin itu perbuatan vampir?"
"Tidak. Tapi mereka tidak tahu siapa lagi yang bisa melakukan itu," kata Elodie.
"Mata," kata Alice, dan aku merasakan Elodie menegang di sampingku.
"Aku sudah menanyakan tentang itu," kataku. "Tapi kata Mrs. Casnoff tidak
mungkin mereka bisa menghampiri kami. Ada terlalu banyak mantra pelindung."
Alice tertawa dengan suara rendah yang mengakibatkan hawa dingin merambati
tulang punggungku. "Ya, itu juga yang mereka katakan kepadaku. Tidak ada
apaapanya sampai mantra penidurku bisa menembus pertahanan mereka yang
menyedihkan itu. Apakah menurutmu Mata tidak bisa melakukan hal yang sama?"
"Tapi mereka kan tidak punya kekuatan sihir," bantahku, tapi aku kedengaran
tidak yakin. Elodie beringsut sedikit ke arahku.
"Benarkah?" tanya Alice. Dia berjalan ke arah kami dan berjongkok di depanku.
Aku melihat jari-jari putihnya yang panjang membuka kancing-kancing
kardigannya, dan setelah terbuka, dia membuka kancing gaunnya.
Aku duduk di sana, membeku dalam ketakutan, saat dia menarik lengannya ke
bagian pinggang gaunnya dan menurunkan pakaian dalamnya.
Di sana, tepat di tempat yang seharusnya ada jantung, ada luka yang menganga
lebar. "Inilah yang dilakukan Mata terhadapku, Sophia. Mereka melacakku, mereka
mengejar sampai aku tidak bisa berlari lebih jauh lagi, dan mereka memotong
jantungku. Di sini. Di Hecate."
Yang bisa kulakukan hanyalah menatap lubang itu dan menggelengkan kepalaku.
Aku bisa merasakan Elodie gemetar di sampingku.
"Ya, Sophia," kata Alice dengan pelan. Aku mendongak menatap wajahnya dan
melihat dia sedang memperhatikan aku dengan iba, seakan-akan merasa menyesal
karena harus mengatakan semua ini kepadaku.
"Ketua Dewan sendiri yang mengirimku kemari, yang memperdayaiku sehingga
merasa aman di sini, dan kemudian mempersembahkan aku seperti domba untuk
dikorbankan." "Tapi kenapa?" tanyaku, suaraku tidak lebih dari bisikan tertahan.
"Karena mereka takut terhadap kekuatanku. Karena kekuatanku lebih besar
daripada kekuatan mereka."
Kepalaku berputar dan aku merasa seolah-olah akan muntah. Entah mengapa
semua horor yang pernah ditunjukkan kepada kami di malam pertama di Hecate
tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang ini, dengan satu kisah ini.
"Ayahmu percaya bahwa kau akan aman di sini karena dia tidak tahu kisah yang
sebenarnya tentang bagaimana aku mati. Tapi, Sophia, kau harus memercayaiku.
Kau berada di dalam bahaya besar di sini." Alice menoleh ke arah Elodie. "Kalian
berdua. Seseorang sedang mengincar penyihir-penyihir kuat, dan hanya kalian
berdualah yang tersisa."
Sekarang giliran Elodie yang menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak, tidak
mungkin. Itu perbuatan Jenna. Itu perbuatan vampir. Itu... pasti begitu."
Wajah Alice berubah menjadi sangat diam, bagaikan topeng telah menutupinya,
dan matanya tampak memandang menembus kami. "Mungkin begitu. Demi kalian
berdua, kuharap begitu."
Dia mengulurkan tangan dan mengambil sebelah tanganku, dan satu tangan Elodie
dengan tangan lainnya. "Tapi untuk berjaga-jaga kalau bukan begitu..."
Mendadak tanganku terasa panas di dalam genggamannya. Terlalu panas, dan aku
berjengit, mencoba menarik tanganku. Aku bisa merasakan Elodie yang mencoba
melakukan hal yang sama, tetapi Alice tetap bertahan sampai kami berdua
mengerang pelan. Akhirnya rasa panas itu mereda, dan dia melepaskan kami. Aku
mengamati tangan yang sekarang tergeletak di pangkuanku, menyangka tangan itu
akan kelihatan setidaknya memerah, kalau tidak melepuh, tetapi ternyata
kelihatannya normal-normal saja.
"Tadi itu apa?" tanya Elodie dengan suara bergetar.
"Mantra pelindung. Itu akan membantumu untuk mengenali musuh-musuhmu,
kalau-kalau saatnya tiba."
Elodie dan aku terdiam saat kami bertiga terbang kembali ke sekolah. Kali ini
tidak ada tawa ceria, tidak ada perasaan ringan kebebasan.
Sewaktu kami mendarat, Alice merogoh lehernya dan menarik kalung yang sedang
dipakainya. Kalung itu sama persis dengan yang dia berikan kepadaku. Elodie
tidak langsung memakainya. Dia hanya memandangnya, berkerut kening, sebelum
menggenggamnya. "Terima kasih untuk pelajarannya," katanya kepada Alice. Kemudian dia menoleh
kepadaku, wajahnya masih resah dan berkata, "Sampai besok, Sophie."
"Apakah kau benar-benar berpikir Mata ada di sini, di Hecate?" Aku bertanya
kepada Alice begitu Elodie sudah masuk.
Alice memandang ke arah Hecate melewati aku. Bangunan besar berupa bayangan
itu tampak seperti monster bermata banyak yang tertidur di kegelapan.
"Ada sesuatu di sini," katanya akhirnya. "Tapi apa, aku tak tahu. Belum tahu."
Aku menoleh ke belakang ke arah rumah dan tahu bahwa Alice benar. Sebuah
bayangan telah menimpa sekolah dan bagiku kelihatannya seperti merayapinya
semakin mendekat. Di atas, awan berarak melintasi bulan sabit, dan malam pun
menjadi semakin kelam. Aku takut memikirkan berjalan ke dalam lorong yang
gelap sendirian dan memasuki kamar kosong.
"Apakah kau - " Aku mulai bertanya kepada Alice, tetapi sewaktu aku berpaling,
dia sudah pergi, meninggalkan aku yang menggigil dan sendirian di tengah malam.
Bab 28 KUPIKIR ELODIE TIDAK mau ikut lagi denganku untuk bertemu dengan Alice
setelah insiden, "Biar kutunjukkan luka di dadaku yang menganga kepadamu," itu,
tapi dia membuatku terkejut dengan menungguku di tangga malam berikutnya.
"Jadi, kapan kau bertemu dengan Alice?" tanyanya sambil turun.
"Pertengahan bulan Oktober?" jawabku.
Elodie mengangguk, seakan-akan itu jawaban yang sudah diperkirakannya, "Jadi
setelah Chaston, kalau begitu."
"Ya," kataku. "Apa hubungannya dengan itu?"
Tapi, dia tidak menjawab.
Elodie datang bersamaku selama dua minggu berikutnya. Alice tampaknya tidak
keberatan Elodie mengikuti, dan aku semacam kaget juga karena aku tidak merasa
bahwa kehadirannya menimbulkan kebencian. Bahkan, aku mulai curiga janganjangan
aku mungkin sebenarnya menyukai Elodie.
Bukannya seperti kepribadiannya berubah seratus persen atau apalah, tapi dia
benar-benar menjadi Elodie yang lebih baik hati dan lebih lembut. Mungkin dia
hanya memanfaatkan aku untuk mendekati Alice. Maksudku, setelah hanya dua
malam pelatihan saja, Elodie sudah bisa membuat sofa kecil muncul entah dari
mana, dan dia melanjutkan ke mantra berpindah. Bukannya salah satu dari kami
ada yang sudah menguasainya.
Tapi, kurasa itu bukan hanya tentang sihir; kurasa dia kesepian. Anna dan
Chaston sudah pergi, dan belum pernah benar-benar terpikirkan olehku betapa hanya
mereka berdualah teman bicara Elodie, di samping Archer. Bahkan, mereka juga
sudah jarang menghabiskan waktu bersama-sama. Kata Elodie, dia terlalu sibuk
dengan"hal-hal lain" untuk berpacaran, sementara Archer mengatakan dia sedang
menjaga jarak dengan Elodie.
Archer dan aku juga jadi aneh. Setelah pesta, ada sesuatu yang berubah di antara
kami, dan rasa senasib sepenanggungan yang kami alami selama menjalankan
tugas ruang bawah tanah sudah menguap. Sekarang biasanya kami menghabiskan
satu jam penuh dengan membuat katalog dan bukannya saling mengejek dan
bercanda, dan terkadang ketika dia tidak tahu bahwa aku sedang memandangnya,
aku melihat air muka menerawang itu melintasi wajahnya. Aku tak tahu apakah dia
sedang memikirkan Elodie, atau apakah, seperti aku, dia kecewa akibat jarak
canggung yang menjelma di antara kami.
November di Hecate kelabu dan berhujan, yang tampaknya cocok dengan suasana
hatiku. Walaupun aku senang Elodie dan aku menjadi semacam teman, dia bukan
Jenna, dan aku merindukan teman sejatiku. Sekitar seminggu setelah Anna
diserang, Mrs. Casnoff mengumumkan pada saat makan malam bahwa Dewan
membersihkan Byron dari segala tuduhan. Sepertinya, dia punya alibi yang tak
terbantahkan, dia sedang berbicara secara telepati dengan seseorang di Dewan
pada saat itu. Tetapi, tak peduli berapa kali pun aku bertanya, Mrs. Casnoff tidak
mau memberikan jawaban tentang di mana Jenna berada atau apa yang sedang terjadi,
dan aku sangat mengkhawatirkannya sepanjang waktu.
Mom - sebagai ibu - bisa merasakan bahwa ada sesuatu tidak beres kapan pun aku
meneleponnya, tapi kubilang aku sedang kewalahan dengan pelajaran. Aku tidak
menceritakan apa-apa tentang Chaston, Anna, atau Jenna; itu akan membuatnya
ketakutan setengah mati, dan aku tahu sekarang saja dia sudah cukup
mengkhawatirkan aku. Aku benci sendirian di kamar pada malam hari, jadi aku mulai menghabiskan
malam-malam tanpa tugas ruang bawah tanahku di perpustakaan, membaca kisahkisah
Prodigium dengan harapan aku bisa menemukan sesuatu yang mungkin bisa
membersihkan nama Jenna. Sejauh ini, satu-satunya makhluk yang kutahu yang
mengambil darah dari korban-korban mereka adalah vampir, demon, dan, kalau
buku yang satu ini bisa dipercaya, L'Occhio di Dio. Karena Mrs. Casnoff sudah
meruntuhkan teori L'Occhio di Dio-ku, aku mencoba mencari-cari buku tentang
demon. Tapi, tampaknya setiap buku tentang demon di dalam perpustakaan ditulis
dalam bahasa Latin. Aku mencoba meletakkan tangan di halaman-halamannya dan
berkata, "Bicara." Tapi, buku-buku itu tampaknya antimantra. Satu-satunya bagian
yang bisa kupahami adalah fakta yang sudah kuketahui, seperti bagaimana mereka
harus dibunuh dengan kaca demon itu. Aku berharap dengan sepenuh hati bahwa
tidak ada demon di Hecate, karena aku curiga kau tidak bisa tinggal pergi ke
toko Williams-Sonoma untuk membelinya.
Pada suatu malam di akhir bulan November, tepat setelah makan malam dan
sebelum aku seharusnya melapor untuk tugas ruang bawah tanah, aku membawa
beberapa buku kepada Mrs. Casnoff. Dia sedang berada di kantornya, menulis di
dalam buku neraca hitam. Cahaya lampu memancarkan pendaran hangat ke seluruh
ruangan, dan terdengar musik klasik yang mengalun pelan. Seperti pada malam
pesta, musiknya tidak datang dari tempat yang bisa kulihat.
Dia mendongak saat aku masuk. "Ya?"
Aku mengacungkan buku-buku itu. "Aku punya pertanyaan tentang ini."
Kepala sekolah itu mengerutkan keningnya sedikit tetapi menutup neracanya dan
memberikan isyarat agar aku duduk.
"Apakah ada alasan khusus kau meneliti demon, Sophia?"
"Yah, aku membaca bahwa mereka terkadang meminum darah korban-korbannya,
dan kupikir, Anda tahu, bukan, mungkin itulah yang menimpa Chaston dan
Anna." Lama sekali Mrs. Casnoff mempelajari aku. Aku menyadari musiknya sudah tidak
terdengar lagi. "Sophie," kataya. Baru kali ini dia memanggilku dengan nama itu. Suaranya letih.
"Aku tahu betapa kau sangat ingin membebaskan Jenna dari segala tuduhan."
Aku tahu apa yang dikatakannya, sama dengan yang dia ucapkan tentang Mata.
Aku mendahuluinya. "Aku tidak bisa membaca buku-buku ini karena semuanya
dalam bahasa Latin, tetapi ada gambar-gambar di dalamnya yang menunjukkan
demon-demon yang berbentuk manusia."
"Itu benar. Tapi juga benar bahwa kau akan tahu bahwa makhluk seperti itu ada di
wilayah sekolah." Aku berdiri, membanting salah satu buku ke atas mejanya. "Anda sendiri yang
mengatakan bahwa bukan selalu sihir jawabannya! Mungkin sihir Anda rusak.
Mungkin ada sesuatu yang memiliki kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuatan
Anda dan masuk." Mrs. Casnoff bangkit dari kursinya, pundaknya melorot. Ada perubahan tiba-tiba
di udara, dan aku tiba-tiba - dengan sakit - menyadari bahwa Mrs. Casnoff lebih
daripada sekadar seorang kepala sekolah. Dia seorang penyihir yang sangat kuat.
"Jangan menaikkan suaramu kepadaku, Nona Muda. Walaupun benar bahwa sihir
tidak luput dari kekeliruan, apa yang kau sebutkan itu tidaklah mungkin. Aku
merasa prihatin terhadapmu, tapi kau harus menerima fakta bahwa di dalam tiga
minggu selama Jenna pergi, baik kau maupun Elodie atau murid-murid lain di
sekolah ini tidak ada yang diserang. Kau telah keliru memilih teman, tapi itu
tidak bisa dihindari." Aku menatapnya, napasku keluar-masuk dengan terengah-engah, seakan-akan baru
saja ikut perlombaan lari.
Mrs. Casnoff mengusapkan tangan ke rambutnya, dan aku melihat tangannya
gemetar. "Aku minta maaf kalau aku terdengar kasar, tapi kau harus mengerti
bahwa vampir tidak seperti kita; mereka monster, dan aku bodoh karena telah
melupakannya." Ekspresi wajahnya melembut. "Ini juga melukai perasaanku, Sophie. Aku
mendukung keputusan ayahmu untuk mengizinkan vampir bersekolah di sini.
Sekarang ada muridku yang meninggal, dua lagi yang mungkin tidak akan pernah
kembali, dan banyak orang-orang yang punya kekuasaan besar marah kepadaku.
Aku ingin sekali memercayai bahwa Jenna tidak ada hubungannya dengan semua
ini, tapi bukti-buktinya mengatakan yang sebaliknya."
Dia menarik napas panjang dan meletakkan buku-buku itu ke tanganku yang
kebas. "Kau seorang teman yang setia karena mencoba mencari jalan untuk
membersihkan namanya, tapi dalam kasus ini, aku khawatir upayamu sia-sia. Aku
tidak ingin kau melakukan penelitian tentang demon lagi, apakah dimengerti?"
Aku tidak mengangguk, tetapi dia bersikap seolah-olah aku melakukannya.
"Sekarang, aku rasa kau terlambat untuk tugas ruang bawah tanahmu, jadi
kusarankan kau cepat-cepat ke sana sebelum Ms. Vanderlyden datang mencarimu."
Melalui lapisan air mata, aku memperhatikan wanita itu duduk di belakang meja
dan membuka neracanya. Aku marah karena dia menolak untuk mengakui bahwa
ada sesuatu di Hecate yang tidak diketahuinya. Aku merasa kesedihan yang
menusuk tulang. Tidak masalah apa pun yang kutemukan, atau teori apa yang
sedang kucoba untuk kubuktikan - penjelasan yang paling mudah adalah Jenna
telah membunuh Holly dan mencoba membunuh kedua gadis lainnya, jadi itulah
yang akan dipercayai oleh semua orang. Pilihan selain itu mungkin berarti
mengakui bahwa mereka salah, atau, lebih buruk lagi, tidak punya kekuatan penuh.
Air mata itu sudah lenyap saat aku tiba di ruang bawah tanah, digantikan oleh
rasa nyeri yang berdenyut-denyut secara teratur tepat di belakang mataku. Si Vandy
sedang menungguku di pintu. Aku sudah bersiap dia hendak menggigit kepalaku mungkin bahkan secara harfiah - tetapi pastilah dia melihat sesuatu di wajahku,
karena yang dia lakukan hanyalah menggerutukan, "Kau terlambat," dan
mendorongku dengan pelan ke arah tangga.
Begitu dia mengunci pintu di belakangku, Archer mendongak dari balik salah satu
rak. "Di situ kau rupanya. Apakah si Vandy mengirimkan anjing-anjing nerakanya
untuk menjemputmu?" "Tidak," aku mengambil papan dan berjalan menuju sudut terjauh di ruang bawah
tanah itu. "Apa, tidak ada balasan nyelekit" Tidak ada jawaban standar keluaran Sophie
Mercer?" "Aku tidak sedang merasa terlalu besar mulut saat ini, Cross," kataku sambil
mataku memindai rak tanpa melihatnya.
"Huh," katanya dengan pelan. "Ada apa sih denganmu?"
"Mari kita lihat. Satu-satunya teman sejati yang kumiliki di sini sudah pergi
dan mungkin tidak akan pernah kembali lagi. Semua orang bersikeras berpikiran bahwa
dia monster, dan tak seorang pun yang mau mendengarkan ide lain."
"Ide lain apa?" tanyanya. "Sophie, dia vampir. Itulah yang mereka lakukan."
"Jadi, kau juga memercayai itu?"
Archer melemparkan kertas-kertasnya. "Ya, aku percaya. Aku tahu dia temanmu,
dan itu menyebalkan, tapi bukan dia satu-satunya teman yang kau punya di sini."
Aku begitu marah, aku merasa bahwa aku bergetar. Aku melintasi ruangan untuk
berdiri di hadapan lelaki itu. "Apakah kau mengatakan bahwa kau temanku, Cross"
Karena aku berani sumpah kau nyaris tidak mau bicara denganku sejak malam
pesta." Archer memalingkan wajah, dan aku bisa melihat otot-otot berkedut di rahangnya.


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau jadi sangat aneh sejak malam itu."
"Aku?" Dia melemparkan pandangannya lagi kepadaku. "Kau yang tidak bisa
memandangku. Dan mohon maaf kalau kupikir agak mencurigakan juga karena
begitu Elodie mulai menghabiskan waktunya bersamamu, dia tiba-tiba putus
denganku." Aku menggelengkan kepalaku, kebingungan, sampai aku mencerna perkataannya.
"Apa, kau pikir aku mengatakan kepada Elodie bahwa kau ingin menghabiskan
waktu di pesta denganku sehingga dia mencampakkanmu dan aku bisa memiliki
dirimu seutuhnya?" Sewaktu Archer tidak mengatakan apa-apa, aku mendorongnya sedikit.
"Ngaca dong," aku nyaris menyeringai. Aku mencoba berjalan melewatinya, tapi
dia menangkap lenganku, menyentakkanku dengan keras sehingga aku nyaris
menabraknya. Selama beberapa detik kami membeku, saling membelalakkan mata, napas
memburu. Aku melihat matanya sedikit menggelap, seperti mata Jenna pada hari
dia melihat darahku. Tapi yang ini karena dahaga yang berbeda, yang juga
kurasakan. Aku tidak membiarkan diriku berpikir. Aku hanya mencondongkan tubuh dan
merapatkan bibirku ke bibirnya.
Dia membutuhkan waktu sedetik untuk merespons, tetapi kemudian dia
mengeluarkan suara yang mirip geraman dari dalam tenggorokannya, dan tiba-tiba
lengannya memelukku, merangkulku sedemikian eratnya sehingga aku tak bisa
bernapas. Bukannya aku peduli. Aku hanya memedulikan Archer, bibirnya di
bibirku, dan tubuhnya yang rapat dengan tubuhku.
Aku pernah berciuman beberapa kali sebelumnya, tapi tidak seperti ini. Aku
merasakan bagaikan tersengat listrik dari puncak kepala ke ujung kakiku, dan di
suatu tempat di bagian belakang benakku aku mendengar Alice yang mengatakan
bahwa cinta punya kekuatan sihir sendiri. Alice benar, ini ajaib.
Kami berhenti untuk menarik napas. Aku ingin tahu apakah aku tampak sama
terpananya dengan dia, tetapi dia kemudian menciumku lagi dan kami pun
terhuyung-huyung menabrak rak. Kudengar ada sesuatu yang jatuh dan pecah di
lantai, mendengar suara pelan kaca yang remuk terinjak saat Archer mendorongku
ke tembok. Ada bagian yang berakal sehat di suatu tempat di dalam diriku yang menggenggam
mutiaranya erat-erat dan mendesiskan sebaiknya aku tidak menyerahkan kartu Vku
di ruang bawah tanah, tetapi ketika tangan Archer menyelinap ke balik blusku
dan meraba kulit punggungku, aku mulai berpikir bahwa ruang bawah tanah juga
sama bagusnya dengan tempat lain.
Seakan-akan sama sekali bukan milikku, kedua tanganku naik ke antara kami dan
melepaskan beberapa kancing kemejanya. Aku ingin menyentuh kulit Archer
seperti dia menyentuh kulitku. Archer pasti merasakan hal yang sama, karena dia
sedikit mundur untuk memberikan jalan masuk yang lebih baik untukku. Bibirnya
menjelajahi dari bibirku ke leher, dan aku memejamkan mata dan membiarkan
kepalaku mendongak ke belakang ke tembok sambil menggeserkan tanganku ke
balik kemejanya. Mulut yang berada di leherku terasa begitu nikmat sehingga perlu beberapa saat
bagiku untuk menyadari bahwa tangan kiriku membara.
Kepalaku terasa berat saat aku mengangkatnya untuk melihat tanganku yang
berada di dadanya, tepat di atas jantungnya.
Kemudian pesona hasrat yang menutupi otakku digantikan oleh gelombang
keterkejutan yang mengebaskan saat aku melihat sebuah tato - sebuah mata hitam
dengan iris keemasan - yang muncul di bawah jemariku.
Bab 29 TADINYA AKU MENOLAK UNTUK percaya apa yang kulihat. Kemudian
Archer, yang sadar bahwa aku mengejang, menarik diri dan menunduk.
Ketika dia menengadahkan wajahnya lagi untuk menatapku, dia tampak pucat, dan
ada kepanikan di matanya. Saat itulah aku tahu bahwa yang kulihat di sela-sela
jariku itu nyata: tanda L'Occhio di Dio. Archer adalah salah satu dari Mata. Aku
mengucapkan kata itu di benakku, tapi rasanya tidak masuk akal. Aku tahu
seharusnya aku menjerit atau berlari atau apalah, tapi aku tak sanggup bergerak.
Archer bicara. "Sophie."
Rasanya seakan namaku jadi kata kunci untuk menghentikan kelumpuhanku - aku
menekankan kedua telapak tanganku keras-keras ke dadanya dan mendorong. Aku
membuatnya kaget, kalau tidak aku tidak akan pernah bisa mengalahkannya. Dia
terjungkal, menghempas rak, mengakibatkan isinya berhamburan ke lantai. Ada
cairan kuning dan kental meleleh dari salah satu bejana yang pecah. Aku
terpeleset menginjaknya saat aku berputar untuk berlari.
Tapi Archer sudah menegakkan dirinya, dan dia menyambar lenganku. Kurasa dia
memanggil namaku lagi, tapi aku tidak yakin. Aku berputar, dan momentumku
membuatnya terjengkang kehilangan keseimbangan lagi. Sementara dia terpeleset
cairan kuning itu, aku menyikut dadanya sekuat tenaga. Dia membungkuk saat
udara menghambur keluar dari paru-parunya, dan aku memanfaatkan peluang itu
untuk menghajar rahangnya dengan pangkal telapak tanganku.
Keterampilan Nomor Tiga, pikirku.
Persis seperti di dalam Pertahanan.
Archer mencengkeram mulutnya saat darah segar merembes dari celah jari-jarinya.
Aku merasakan desakan gila untuk tertawa dari dalam diriku. Aku baru saja
mencium mulut itu, dan sekarang mulut tersebut berdarah karena aku.
Archer mengulurkan tangannya kepadaku, tapi dia bergerak dengan pelan, dan aku
bisa berputar menjauhinya.
Berapa kali kami bertempur di dalam pelajaran Pertahanan" Apakah kami hanya
mempersiapkan diri untuk menghadapi saat ini" Apakah Archer memperhatikan
aku bersusah-payah untuk menangkis pukulannya, dan tertawa melihat betapa
mudahnya untuk membunuhku"
Aku merunduk menghindari sambaran tangannya dan berlari ke arah tangga.
Otakku rasanya seakan meluncur turun dari perosotan berputar. Yang bisa
kupikirkan hanyalah Archer telah menciumku, Archer telah membunuh Holly,
Archer telah melukai Chaston, Archer telah menyerang Anna. Aku tidak menoleh
ke belakangku, tapi aku merasakan jari-jarinya menyambar pergelangan kakiku.
Aku berlari menuju pintu, barulah aku ingat bahwa pintunya terkunci... Oh,
Tuhan, pintunya terkunci.
Aku menghempaskan diri ke kayu, berteriak, "Vandy! Mrs. Casnoff! Siapa saja!"
Dengan menggedor-gedor pintu sekeras-kerasnya dengan kepalan tangan, akhirnya
aku menoleh ke belakang tepat pada waktunya saat Archer sedang menarik pipa
celananya. Perlu semenit untuk menyadari bahwa dia sedang meraih sesuatu yang
terikat ke tungkainya. Pisau. Pisau perak, mirip pisau yang dipakai untuk memotong jantung Alice.
Jeritanku jadi terengah-engah dan lemah karena ketakutan, seperti sesuatu yang
berasal dari mimpi buruk.
Tapi, Archer tidak menghampiriku. Dia berlari ke arah jendela rendah di bagian
belakang ruangan, menyelipkan pisau itu ke kunci kunonya.
Aku bisa mendengar suara orang-orang di balik pintu - langkah-langkah kaki dan,
kupikir, kunci berdencing-dencing.
Kunci di pintu dan di jendela membuka pada saat yang bersamaan.
Archer menatapku untuk terakhir kalinya saat aku melorot bersandar di pintu. Aku
tidak bisa membaca ekspresi di wajahnya, tapi aku terkejut melihat ada genangan
air di matanya. Kemudian dia berbalik dan beringsut-ingsut keluar dari jendela
tepat pada saat pintu terbuka di belakangku, dan aku terjatuh, sambil gemetaran,
ke dalam pelukan Vandy. *** Aku duduk di sofa di kantor Mrs. Casnoff, secangkir teh panas di tanganku. Dari
baunya, ada lebih dari sekedar teh di dalam cangkir itu, tapi aku belum
menyesapnya. Aku tak bisa menghentikan gigiku yang bergemeletuk cukup lama
untuk minum. Meskipun Mrs. Casnoff telah menyelubungkan jaket tebal bulu
binatang kepadaku. Aku tak yakin apakah aku akan bisa berhenti gemetaran.
Mrs. Casnoff duduk di sampingku, sambil mengelus-elus rambutku. Karena dia
yang melakukan rasanya perilaku keibuan itu aneh, dan lebih menggelisahkan
daripada menenagkan. Si Vandy masih bersandar ke pintu, sambil mengosokgosok
bagian belakang lehernya. Sudah lama sekali tidak ada yang bicara.
Kemudian Mrs. Casnoff berkata, "Kau yakin itu tanda Mata."
Sudah tiga kali dia menanyakan itu kepadaku, tapi aku hanya mengangguk dan
mencoba untuk membawa cangkir teh yang bergetar itu ke bibirku.
Dia menghela napas yang membuatnya terdengar seakan sudah berumur seratus
tahun. "Tapi bagaimana?" tanyanya untuk yang ketiga kalinya. "Bagaimana bisa salah
satu di antara kita menjadi L'Occhio di Dio?"
Aku memejamkan mata dan akhirnya minum. Ternyata aku benar, tehnya
dicampur sejenis alkohol. Cairan itu menghantam perutku dengan gelombang
panas, tetapi sama sekali tidak menghentikan aku dari menggigil.
Bagaimana" pikirku. Bagaimana"
Aku mencoba menjawab pertanyaanku sendiri, sambil bertanya-tanya apakah
Archer mencari mereka tahun lalu ketika dia meninggalkan Hecate untuk
sementara waktu. Tapi itu pertanyaan yang logis, dan otakku rasanya benar-benar
tak mampu mengolah logika saat ini.
Archer adalah salah satu dari Mata. Archer telah mencoba membunuhku.
Aku terus-menerus mengulanginya di kepalaku. Hampir dari kejauhan, aku ingin
tahu apakah Archer berteman denganku, pura-pura menyukaiku, hanya agar dia
bisa punya peluang untuk berdekatan denganku. Apakah itu alasannya dia mulai
berpacaran dengan Elodie"
Aku menggosokkan tangan ke dadaku, tepat di atas jantungku. Mrs Casnoff
memperhatikan dengan tampang prihatin. "Apakah dia menyakitimu?"
"Tidak," jawabku. "Dia tidak menyakitiku."
Tidak di tempat yang bisa kau lihat, setidaknya.
"Tapi, sepertinya kau berhasil mendaratkan pukulan telak," kata si Vandy, sambil
mengangguk ke arah tangan kananku, yang sudah berubah menjadi keunguan dan
membengkak akibat bertabrakan dengan rahang Archer.
Aku mengangkat pandanganku untuk menatapnya.
"Ya," kataku dengan datar. "Berkat pelajaran Pertahanan berkualitas tinggi Anda.
Sangat berharga." "Aku sama sekali tidak mengerti," kata Mrs Casnoff, kebingungan. "Seharusnya
kita tahu. Seharusnya kita bisa merasakannya. Atau seseorang seharusnya pernah
melihat tandanya." Aku menggelengkan kepala. "Tanda itu tersembunyi. Tanda itu muncul karena..."
Karena mantra perlindungan Alice, pikirku, tapi aku tak ingin menceritakan
tentang Alice kepada mereka. "Aku merapalkan mantra perlindungan kepada
diriku," dustaku. Seperti biasanya aku payah kalau dalam soal berbohong, tapi
mereka terlalu terguncang untuk melihatnya. "Ketika aku menyentuhnya, tanda itu
muncul." Mrs Casnoff menatapku. "Kau menyentuhnya?"
Aku merasakan wajahku membara karena malu. Seakan-akan keadaan belum
cukup buruk karena lelaki yang kucintai ternyata seorang pembunuh, sekarang aku
akan tertangkap basah karena bermesraan di ruang bawah tanah.
Untungnya, Mr. Ferguson, guru yang shapeshifter, masuk, sambil
mengguncangkan air hujan dari jaket kulitnya yang berat. Ada serigala pemburu
Irlandia besar di sampingnya, bersama singa gunung keemasan. Sambil aku
memperhatikan, serigala itu berdiri dan menjadi Gregory Davidson, salah satu
anak yang lebih tua di kampus ini. Singa gunung itu Taylor. Untuk pertama
kalinya sejak Beth mengatakan kepadanya siapakah ayahku, Taylor tidak memelototiku.
Bahkan, aku yakin melihat pancaran iba di matanya.
"Tidak ada tanda-tanda dia, Mrs. C...," kata Mr. Ferguson. "Kami sudah
menggeledah seluruh pulau."
Mrs. Casnoff menghela napas. "Tak satu pun dari mantra pelacakku yang
menghasilkan apa-apa juga. Seakan-akan dia lenyap di telan udara."
Mrs. Casnoff memijat pelipisnya dan berkata, "Masalah yang lebih mendesak
sekarang adalah memberitahukan kepada Dewan bahwa kita sudah disusupi.
Ayahmu pasti ingin mendengar tentang ini, dan kemudian, tentu saja, mantra
keamanan kita harus diperkuat, dan murid-murid lainnya harus diberi tahu apa
yang telah terjadi."
Suaranya bergetar saat mengucapkan kata terakhir, dan dengan ngeri kulihat dia
menjatuhkan wajahnya ke tangan sambil terdengar seperti terisak-isak.
Aku melepaskan jaket kulit buluku dan menyelimuti pundaknya.
"Semuanya akan baik-baik saja."
Dia mendongak menatapku, matanya berkaca-kaca oleh air mata yang tak
tercurahkan. "Aku minta maaf sekali, Sophie. Seharusnya aku mendengarkanmu."
Kalau saja dia mengucapkannya beberapa jam yang lalu, kata-kata dari Mrs.
Casnoff itu pasti akan membuatku berjingkrak-jingkrak di jalan. Sekarang aku
hanya tersenyum sedih dan mengatakan, "Jangan terlalu dipikirkan."
Aku senang karena ini artinya Jenna mungkin bisa kembali, tapi sekeping
kebahagiaan itu terkubur di bawah campuran antara sakit hati, sedih dan amarah.
Aku ingin terbukti benar, tapi tidak seperti ini.
Aku meninggalkan Mrs. Casnoff, Ferguson, dan si Vandy yang sedang
merencanakan untuk berkumpul keesokan harinya, dan berjalan menuju kamarku.
Walaupun aku merindukan Jenna, malam ini aku benar-benar ingin sendirian.
Cal menungguku di kaki tangga.
"Aku baik-baik saja," kataku, sambil mengangkat tangan. "Nanti juga sembuh
sendiri." "Bukan itu. Mrs. Casnoff tidak ingin kau pergi ke mana-mana sendirian sementara
ini. Tidak sampai kami menemukan Archer."
Aku menghela napas. "Jadi... apa" Apa kau akan mengikutiku ke kamarku?"
Dia mengangguk. "Baiklah." Aku meletakkan satu tangan di atas kayu licin pegangan tangga dan
berusaha untuk menyeret diriku yang letih ini naik. Sekarang aku baru memahami
apa artinya sakit hati. Persis itulah yang kurasakan. Seperti terkena pilek,
tapi di dalam jiwaku dan bukannya di tubuh. Aku begitu lelah, dan semuanya terasa nyeri.
Saat terpikir olehku untuk mempertimbangkan kembali niat untuk tidak pernah
masuk ke dalam salah satu bak mandi menyeramkan itu, aku mendengar Elodie
memanggilku, "Sophie?"
Aku berputar dan melihat gadis itu sedang berdiri di serambi. Wajahnya pucat,
dan itulah pertama kalinya aku melihatnya tampak tidak terlalu cantik.
"Ada apa?" tanyanya. "Semua orang membicarakan bahwa Archer, yah,
menyerangmu di ruang bawah tanah, atau apalah, dan aku tak bisa menemukannya
di mana-mana." Baru saja kupikir tak mungkin rasa pedih di dadaku tak mungkin bisa lebih buruk
lagi, ternyata malah mengembang bagaikan tumbuhan berduri.
"Tunggu di sini," kataku kepada Cal.
Aku memegang tangan Elodie dan membimbingnya ke ruang duduk terdekat.
Sambil duduk di sampingnya di sofa, aku menjelaskan apa yang telah terjadi,
dikurangi bagian aku dan Archer yang berciuman dan pada dasarnya menceritakan
tentang perkelahian dan tanda di atas jantungnya.
Baru separuh jalan, Elodie mulai menggelengkan kepalanya. Air menggenang di
matanya. Aku terus bicara dan menyasikan air mata itu mengaliri pipinya dan
jatuh ke pangkuannya, meninggalkan noktah-noktah berwarna gelap di rok birunya.
"Itu tak mungkin," katanya saat aku selesai bicara. "Archer... tidak bisa
menyakiti orang lain. Dia..." Pada saat itu tangisannya telalu keras sampai-sampai tidak bisa bicara, dan aku
menjulurkan tangan untuk memeluknya, hanya untuk mendapatkan tamparan di
tanganku. "Tunggu," katanya, dan serpihan Elodie yang lama mulai muncul kembali.
"Bagaimana kau bisa melihat tandanya?"
"Sudah kubilang," kataku, tapi aku tak sanggup menatap matanya. Sebagai
gantinya aku menatap lampu di belakangnya, menatap wajah kosong gadis
gembala di dasar lampu tersebut. "Perlindungan yang dirapalkan oleh Alice untuk
kita." "Aku tahu itu," kata Elodie, sambil menjauhiku. "Tapi kenapa kau menyentuh
dadanya?" Aku menaikkan mataku untuk menatapnya dan mencoba untuk memikirkan dusta
yang masuk akal. Tapi aku letih dan sedih, dan tak satu pun yang terpikir
olehku. Dengan perasaan bersalah, aku menunduk menatap pangkuanku.
Aku menunggu Elodie untuk berteriak atau menangis lagi, atau menghajarku, tapi
dia tidak melakukan apa-apa. Dia hanya mengelap wajahnya dengan punggung
tangan, berdiri dan berlalu.
Bab 30

Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

KUPIKIR BERITA TENTANG Archer akan benar-benar membuat orang gusar,
tetapi ternyata malah sebaliknya. Bukannya merasa ketakutan karena L'Occhio di
Dio berhasil memasuki sekolah kami, semuanya tampak lega bahwa misteri di
balik serangan-serangan itu telah terpecahkan dan kehidupan akhirnya bisa
kembali normal. Yah, normal untuk sekolah seperti Hecate, yang artinya para
shapeshifter bisa keluar pada malam hari lagi, dan para peri diizinkan untuk
menjelajahi hutan pada saat matahari terbit dan terbenam.
Beberapa hari kemudian, Mrs. Casnoff menarikku ke samping dan mengatakan
bahwa Jenna akan kembali lagi, dan ayahku akan datang sekitar satu minggu
setelahnya. Seharusnya mungkin aku merasa gembira karena akhirnya bisa bertemu
dengannya, tetapi yang kurasakan hanyalah gugup. Apakah Dad datang ke Hecate
dengan kapasitas resminya, atau apakah karena aku putrinya dan aku nyaris
menjadi korban penyerangan" Apa yang akan kami bicarakan"
Aku menelepon Mom suatu malam untuk membicarakan itu dengannya. Aku
belum menceritakan tentang Archer kepadanya. Hanya akan membuatnya
ketakutan saja. Aku cuma mengatakan bahwa ada semacam masalah, dan Dad akan
datang untuk memeriksanya.
"Kau akan menyukainya," kata Mom. "Dia sangat memesona dan pintar. Aku tahu
dia pasti akan senang sekali bertemu denganmu."
"Kalau begitu mengapa dia belum pernah mencoba untuk bertemu denganku
sebelumnya" Maksudku, aku mengerti sewaktu aku masih kecil Mom tidak ingin
kami akrab. Tapi, bagaimana setelah aku mendapatkan kekuatanku" Mom pasti
menganggap seharusnya dia bisa meluangkan waktu untuk berkunjung sesekali."
Mom jadi terdiam sebelum akhirnya dia berkata, "Sophie, ayahmu punya alasan
sendiri, tapi dialah yang harus menceritakannya kepadamu, bukan aku. Tapi dia
mencintaimu." Setelah jeda lagi, Mom menanyakan, "Apakah ada kejadian lain?"
"Cuma sedang kewalahan dengan pelajaran sekolah saja," aku berdusta.
Aku mencoba merasa gembira karena akan bertemu dengan Dad, tapi sulit rasanya
merasa antusias terhadap apa pun. Aku merasa bagaikan bergerak di bawah
permukaan air, dan ada apa pun yang orang lain katakan kepadaku kedengarannya
tidak jelas dan jauh. Sebaliknya, aku mendapati diriku mendadak jadi populer. Kurasa dibutuhkan
nyaris terbunuh di ruang bawah tanah oleh pemburu demon yang sedang
menyamar untuk membuat orang-orang ingin berteman denganmu. Siapa sangka"
Aku bercanda begitu kepada Taylor suatu petang saat makan malam.
Sejak malam di ruang kerja Casnoff, dia jauh lebih ramah kepadaku, karena
sekarang akhirnya dia menyadari bahwa aku bukan mata-mata untuk ayahku. Dia
tertawa. "Aku tak menyangka kau kocak sekali!"
Yeah, aku memang tukang bikin huru-hara ketawa. Mungkin karena dengan
berkelakar aku jadi tidak mencucurkan air mata.
Aku memperhatikan orang-orang yang berkumpul di sekitar Elodie dan berkotek
dengan simpatik, menggumamkan betapa berat patah hatinya. Dia tidak mau bicara
denganku, dan aku merasa kehilangan. Memang kedengarannya aneh, tapi aku
benar-benar ingin bicara dengannya tentang Archer. Dia satu-satunya orang yang
punya perasaan yang sama denganku.
Aku sudah tidak menemui Alice lagi di hutan. Mrs. Casnoff bersungguh-sungguh
dengan kata-katanya dan merapalkan sekitar selusin mantra pelindung di rumah
itu, bahkan mantra tidur berkekuatan super Alice pun tak lagi bekerja. Aku bisa
saja menyelinap keluar, tapi aku punya firasat bahwa itulah yang Elodie lakukan,
jadi aku membiarkan saja dia yang melakukannya. Maksudku, aku sudah mencuri
pacarnya, walaupun hanya untuk sebentar saja. Dia boleh mendapatkan nenek
buyutku. Sebenarnya bukan pertukaran yang adil, tapi demi memperbaiki keadaan,
hanya itulah yang bisa kulakukan.
Lagi pula, aku tidak yakin apakah aku bisa memercayakan diriku kepada Alice
lagi. Kalau dipikir-pikir, sebagian kecil dari diriku merasa gembira ketika mantra di
gaun Elodie mulai bekerja. Aku tidak ingin menyakitinya - setidaknya kupikir
tadinya begitu - tapi jelas-jelas ada perasaan bergelora karena aku tahu aku mampu
melakukan mantra semacam itu.
Sampai di mana kesenangan itu akan berakhir"
Ketertarikanku terhadap sisi kelam bukanlah satu-satunya yang menyita pikiranku.
Tak henti-hentinya aku memikirkan malam di ruang bawah tanah itu. Aku
terusmenerus teringat Archer yang menarik keluar pisau itu. Dia punya banyak
peluang untuk menikamku dan melarikan diri. Jadi, mengapa dia tidak melakukannya" Aku
memutar balik pertanyaan itu lagi dan lagi di kepalaku, tapi aku tidak bisa
menemukan skenario yang memberikan jawaban yang benar-benar kuinginkan;
bahwa Archer bukan Mata, bahwa semua itu hanyalah kesalahan yang mengerikan.
Seminggu setelah Archer pergi, aku sedang bertengger di kursiku di dekat
jendela, sambil membalik-balikkan buku pelajaran Literatur Sihir-ku. Walaupun sudah
dibersihkan nama baiknya, Lord Byron tidak akan kembali ke Hecate. Aku
menangkap kesan dia mengatakan sesuatu yang benar-benar kasar terhadap Mrs.
Casnoff ketika wanita itu memintanya untuk kembali, karena berkali-kali bibir
Mrs. Casnoff menegang ketika mengumumkan bahwa kami akan mendapatkan
guru barunya. Ternyata gurunya si Vandy. Kupikir Vandy akan sedikit lebih ramah
kepadaku setelah dia menyelamatkan aku dari seorang pembunuh, tapi selain
menghentikan tugas ruang bawah tanahku selama sisa semester ini (tiga minggu
penuh - benar-benar murah hati dia), dia tidak menunjukkan tanda-tanda melunak.
Kami diberi tiga esai untuk diselesaikan pada hari Jumat, itulah sebabnya aku
tergoda untuk menemukan sesuatu di dalam buku pelajaran bodoh yang hanya
separuh menarik hatiku ini.
Aku baru saja membaca satu paragraf tentang "Pasar Goblin" Christina Rosetti
ketika ada gerakan di halaman yang menarik perhatianku. Rupanya Elodie yang
sedang berjalan dengan penuh tekad ke arah hutan. Kurasa dia dan Alice
memutuskan bahwa sapu agak terlalu menarik perhatian.
Aku mengatakan kepada diriku sendiri bahwa aku tidak cemburu, dan tidak
masalah Alice tidak berusaha untuk menghubungi aku beberapa hari terakhir ini.
Lagi pula Elodie murid yang lebih baik. Aku melirik ke arah lemari, tempat aku
menjejalkan boneka singa Jenna, Bram. Aku harus menyembunyikannya setelah
dia pergi karena terlalu menyakitkan bagiku melihatnya. Minggu lalu aku
menggantungkan kalung pemberian Alice di leher Bram untuk alasan yang sama.
Aku kan sudah tidak membutuhkan benda itu lagi untuk membuatku agar tetap
terjaga. Aku masih menatap lemari itu ketika pintu kamarku terbuka.
"Kangen aku?" tanya Jenna sambil nyengir. Aku tak tahu siapa di antara kami
yang lebih terkejut ketika aku menangis tersedu-sedu.
Jenna langsung menyeberangi kamar, merangkulkan lengannya kepadaku dan
membimbingku ke tempat tidurku. Dia memelukku sementara aku menangis.
Jenna mengulurkan tangan ke belakangku dan mengambil sekotak tisu dari
mejaku. "Ini," katanya, sambil menyodorkannya kepadaku.
"Trims." Aku membersitkan hidung ke dalam tisuku. Kemudian aku
mengembuskan napas panjang yang bergetar. "Wah. Aku merasa lebih baik."
"Dua minggu yang berat, ya?"
Aku meliriknya. Dia kelihatan lebih baik daripada yang pernah kulihat. Kulitnya
masih tetap sangat pucat, tapi ada semburat merah jambu samar di pipinya. Bahkan
garis pink di poninya tampak lebih cerah.
"Apa mereka sudah menceritakannya kepadamu?"
Jenna mengangguk. "Ya, tapi aku tak percaya. Bagiku Archer sama sekali tidak
kelihatan seperti sejenis pemburu demonrahasia."
Aku mendengus dan mengelap hidungku lagi. "Kau dan semua orang lain. Kau
bersama Dewan. Apakah mereka ketakutan?"
"Banget. Dan yang kudengar, Archer dan seluruh keluarganya menghilang dari
permukaan bumi. Tak seorang pun yang tahu apa yang terjadi, tapi tampaknya
cukup jelas bahwa mereka semua terlibat." Jenna mengusapkan tangan ke
rambutnya. "Gila sekali kalau dipikir-pikir selama ini dia sedang menyembunyikan
dirinya." "Ya," kataku, sambil menunduk memandang kedua tanganku. "Menyebalkan
sekali karena..." Aku mendesah. "Kau membencinya karena perbuatannya, tapi kau merindukannya," Jenna
menyelesaikan kalimatku. Aku mendongak memandangnya, heran. "Tepat sekali."
Dia mengangkat tangan dan menyibakkan rambutnya ke samping, memperlihatkan
sepasang bekas luka tusuk berwarna biru muda tepat di bawah telinganya. "Aku
tahu sedikit tentang jatuh cinta kepada musuh."
Sambil tersenyum sedih, dia membiarkan rambutnya kembali tergerai.
Aku bergerak di atas tempat tidur untuk memberikan tempat agar dia bisa duduk,
dan kami berdua bersandar di bantal-bantalku.
"Jadi, ceritakanlah tentang London."
Jenna memutarkan matanya dan menendang sepatunya sampai terlepas. "Bahkan
aku tidak pernah sampai ke London. Dewan punya rumah di Savannah yang
mereka gunakan kalau punya urusan yang harus dilakukan di Hecate. Aku tinggal
di sana sementara mereka menanyakan serentetan pertanyaan kepadaku, seperti
vampir jenis apa yang menulari aku, dan berapa sering aku makan. Aku tidak akan
berbohong, terkadang rasanya menyeramkan. Aku yakin mereka mendatangkan
Buffy sewaktu-waktu untuk memberikan goyang pasak kepadaku."
Aku tersedak oleh gelak tawa. "Goyang apa?"
Sambil tersipu-sipu, Jenna memalingkan wajah dan menggosokkan kedua kakinya.
"Cuma istilah yang dikatakan oleh cewek itu di sana."
"Cewek cantik?" tanyaku, sambil menyenggol pundaknya dengan pundakku.
"Mungkin," katanya, tapi dia nyengir lebar sekali. Yang bisa kukorek dari dia
hanyalah nama gadis itu Victoria, dia bekerja untuk Dewan, dan dia juga vampir.
"Ada vampir yang bekerja di Dewan?"
"Ya," kata Jenna, lebih bersemangat daripada yang pernah kulihat sebelumnya.
"Mereka mengerjakan segala pekerjaan keren, mengajari vampir-vampir muda dan
bertindak sebagai keamanan untuk para petinggi di dalam Dewan."
"Omong-omong, apa kau tidak kebetulan bertemu dengan ayahku?"
Jenna menggelengkan kepalanya. "Tidak, maaf. Tapi kudengar Vix bilang dia akan
berangkat ke sini dalam beberapa hari ini."
"Vix?" tanyaku, sambil melakukan gerakan-alis-terkejutku yang itu.
Jenna kembali merah padam, dan aku tertawa. "Wow, apakah Bram tahu bahwa
dia mungkin harus membagi dirimu dengan seseorang tak lama lagi?"
"Tutup mulut," katanya, tapi dia masih tersenyum. "Hei, mana Bram?"
"Aku menyimpannya untukmu," kataku, sambil melompat turun dari tempat tidur
dan menuju lemari. Aku mengambil Bram dari bawah tumpukan cucian dan
melemparkannya ke Jenna. Dia menangkapnya sambil tersenyum. "Ah, Bram,
betapa aku merindu - "
Ekspresi wajahnya berubah, dan aku memperhatikan rona merah cantik itu
memudar dari pipinya saat dia menatap boneka singanya.
Atau, lebih tepatnya, menatap kalung di lehernya.
"Dari mana kau mendapatkan ini?"
"Kalung itu" Itu hadiah."
"Dari siapa?" Dia mengalihkan pandangannya kepadaku, dan aku melihat dia
benar-benar ketakutan. Ada butiran keringat yang mengkhawatirkan muncul di
belakang leherku. "Kenapa" Apa itu?"
Jenna bergidik dan mendorong Bram agar menjauh darinya. "Itu batu darah."
Aku melintasi kamar dan memungut Bram, sambil melepaskan kalung dari
lehernya. Batu datar besar itu sama sekali tidak keliahatan mirip batu darah. Warnanya pun
bukan merah. "Ini kan hitam," kataku kepada Jenna, mengulurkannya kepadanya, tetapi Jenna
beringsut mundur ke kepala tempat tidur.
"Itu karena isinya darah demon."
Semua yang ada di dalam diriku jadi bergeming. "Apa?"
Jenna merogoh ke dalam blusnya dan mengeluarkan batu darahnya. Cairan di
dalamnya terlempar dan berputar-putar, seolah-olah ada badai di dalam kapsul
mungil itu. "Lihat?" katanya. "Ada sihir putih di dalam batuku. Sihir itu hanya bereaksi
seperti itu kalau berada di dekat sihir hitam. Dan batu itu benar-benar barang
kegelapan, Sophie." Jari-jari Jenna mencengkeram kalungnya dengan begitu kencangnya sampai bukubuku
jarinya memutih. "Kalungku juga begitu pada hari pesta dansa," katanya, matanya masih menatap
liontin di tanganku. "Saat kau mengeluarkan tanah itu. Seharusnya aku
mengatakan sesuatu saat itu, tapi kau kelihatan sangat gembira dengan gaun itu,
dan kupikir masa sih sihir hitam bisa membuat sesuatu secantik itu."
Aku nyaris tidak mendengarkan Jenna. Aku teringat bahwa Mrs. Casnoff
mengatakan tak seorang pun tahu bagaimana Alice bisa sampai jadi penyihir.
Bagaimana dia hanya bicara kepadaku setelah Chaston diserang, betapa lebih
hidupnya dia kelihatannya setelah peristiwa yang menimpa Anna.
Dan wajah Elodie ketika Alice memberikan kalung itu kepadanya.
Elodie sedang bersama Alice saat ini.
Aku menjatuhkan kalung itu, dan batunya retak terkena sudut mejaku. Setetes
cairan hitam merembes dari retakan dan mendesis di lantai, meninggalkan tanda
terbakar kecil. Aku terheran-heran betapa tololnya aku selama ini. Betapa naifnya.
"Jenna, panggil Mrs. Casnoff dan Cal. Katakan mereka untuk pergi ke hutan, ke
kuburan Alice dan Lucy. Dia pasti tahu di mana tempatnya."
"Mau ke mana kau?" tanyanya, tapi aku tidak menjawab. Aku hanya berlari seperti pada malam saat aku menemukan Chaston.
Aku menembus hutan, dahan-dahan menggores wajah dan lenganku, batu-batu
melukai kakiku. Aku hanya memakai celana piyama dan kaus, tapi aku nyaris tidak
merasa kedinginan. Aku hanya berlari.
Karena sekarang aku paham bagaimana Alice bisa menjelma, bagaimana dia
memiliki semua kekuatan walaupun dia seharusnya sudah mati. Upacara sihir
hitam yang melibatkan Alice itu tidak menjadikannya seorang penyihir, melaikan
membuatnya menjadi demon.
Kau juga, bisik benakku. Kalau ternyata dia begitu, maka kau juga begitu.
Bab 31 AKU YAKIN AKU AKAN menemukan Elodie tergeletak berlumuran darah atau
bahkan mungkin tewas saat aku sampai di pekuburan. Jadi aku terkejut ketika
melihatnya berdiri di samping Alice, tersenyum saat dia memudar - hanya untuk
muncul kembali beberapa detik kemudian sekitar satu meter jauhnya.
Akhirnya dia menguasai mantra berpindah.
Alice melihatku lebih dulu dan mengangkat tangannya untuk menyapa. Aku
menatapnya dan bertanya-tanya bagaimana aku bisa sampai percaya dia hanyalah
hantu biasa. Tak satu hantu pun di Hecate yang tampak begitu nyata, begitu utuh.
Kehidupan terpancar dari dirinya. Aku merasa bodoh karena tidak melihat itu
sebelumnya. Aku mendekati mereka, rasa takut menggelora di dalam diriku. Elodie sudah
berhenti tersenyum begitu dia melihatku dan sekarang memandang ke suatu tempat
di atas kepalaku. "Elodie," kataku dengan suara yang kuharap kalem, tetapi aku tahu bahwa aku
terdengar sama tegang dan ketakutannya dengan perasaanku. "Kurasa kita harus
kembali ke sekolah. Mrs. Casnoff sedang mencarimu."
"Tidak, dia tidak mencariku," jawab Elodie. Dia merogoh ke dalam blusnya dan
mengeluarkan kalungnya. "Benda ini berpendar saat seseorang mencariku dan
mengatakan siapa dia. Lihat?"
Liontin itu berpendar, dan aku bisa melihat namaku tergurat di atasnya dengan
warna emas buram. "Pusaka keluarga, ya?" tanyaku kepada Alice.
Dia tersenyum, tapi aku melihat ada kerlipan di matanya. "Nah, Sophia, jangan
iri." "Aku tidak iri," kataku terlalu cepat. "Aku hanya merasa Elodie dan aku
seharusnya kembali ke sekolah sekarang."
Di dalam hati, aku memperkirakan berapa lama yang dibutuhkan oleh Mrs.
Casnoff dan - kuharap - Cal untuk sampai di sini. Kalau Jenna langsung menemui
mereka setelah aku pergi, tentunya mereka hanya beberapa menit saja di
belakangku. Alice mengerutkan kening dan mengangkat kepalanya, mengendus-endus udara sama sekali tidak ada unsur manusia pada gerakan tersebut. Aku merasakan diriku
mulai gemetar. "Kau ketakutan, Sophia," katanya. "Mengapa kau sampai merasa takut
terhadapku?" "Tidak," jawabku, tapi lagi-lagi suaraku membocorkannya.


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Angin berembus melalui pepohonan, membuat dedaunan saling bergesek dan
bayang-bayang bergerak-gerak cepat di tanah. Alice memalingkan wajahnya dan
menarik napas dalam. Kali ini ekspresi wajahnya mengeras. "Kau membawa
penyusup kemari. Mengapa kau melakukan hal seperti itu, Sophia?"
Alice menjentikkan tangannya ke arah hutan, dan aku bisa mendengar erangan
nyaring, mirip suara pohon yang mencabut dirinya sendiri dan bergerak. Dia
sedang memperlambat Mrs. Casnoff dan Cal, aku menyadari sambil ketakutan.
"Kau membawa Casnoff kemari?" tanya Elodie, tapi mataku terkunci ke Alice.
"Aku tahu apa dirimu," kataku, suaraku hanya sedikit lebih kencang daripada
bisikan. Tadinya aku menyangka Alice terkejut atau setidaknya marah, tapi dia
hanya tersenyum lagi. Entah bagaimana itu lebih mengerikan.
"Benarkah?" tanyanya.
"Demon." Alice tertawa, suara parau dan rendah, dan matanya mengilat merah keunguan.
Aku berpaling ke Elodie. Gadis itu tampak merasa bersalah, tapi dia tidak
menghindari tatapanku. "Kau memang benar-benar memanggil demon," kataku, dan dia mengangguk,
seakan-akan aku baru saja menuduh dia telah mengecat rambutnya, atau sesuatu
yang sama tidak berbahayanya.
"Kami tidak punya pilihan," dia bersikeras. "Kau dengar sendiri apa kata Mrs.
Casnoff: musuh-musuh kita semakin lama semakin kuat saja. Maksudku, ya
Tuhan, Sophie, mereka mengubah salah satu dari kita dan memanfaatkannya untuk
melawan kita. Kita harus mempersiapkan diri."
Elodie mengatakan semua ini dengan nada sabar bagaikan guru taman kanakkanak.
"Jadi apa?" tanyaku, suaraku bergetar. "Kau membiarkannya membunuh Holly?"
Sekarang mata Elodie merunduk, dan dia berkata, "Pengorbanan darah adalah
satusatunya cara untuk mengikat demon kepadamu."
Aku ingin berlari menghampiri dan menonjoknya, menjerit, tapi aku terpaku di
tempatku. Elodie menatapku dengan mata lebar yang memohon.
"Kami tidak bermaksud untuk membunuh Holly. Kami tahu kami perlu empat
orang untuk menahan demon dan membuatnya melakukan permintaan kami. Tapi
kami harus punya darah. Jadi, aku merapalkan mantra penidur kepadanya dan
Chaston melukai lehernya dengan belati. Kami pikir kami bisa menghentikan
pendarahan sebelum terlambat, tapi dia begitu banyak mengeluarkan darah."
Aku bisa merasakan rasa mual di bagian belakang tenggorokanku.
"Kau bisa mengambil darah dari mana saja," kataku. "Kau mengambilnya dari
lehernya agar bisa menimpakan kesalahan kepada Jenna. Sekali mendayung dua
tiga pulau terlampaui, ya?"
Aku melanjutkan. "Kau tahu bahwa kau membunuh Holly, tapi kau membiarkan
semua orang menyangka Jenna-lah pelakunya. Kau membuat aku bertanya-tanya
apakah itu memang dia."
"Kupikir dialah yang menyerang Chaston dan Anna," kata Elodie, air mata bergulir
di pipinya. "Kami hanya berpikir ritual itu gagal. Aku belum pernah bertemu
dengan Alice sebelum malam itu bersamamu, sumpah."
Sekarang aku menatap Alice. "Mengapa kau tidak menampakkan diri kepada
mereka?" Alice mengedikkan pundaknya. "Mereka hanya buang-buang waktuku saja.
Mereka menarikku keluar dari neraka, tapi aku tidak merasa perlu melayani tiga
anak sekolahan." Dia mengangkat satu tangannya, dan Elodie tersentak.
"Aku bertanya-tanya mengapa begitu lama kau baru menyadarinya," kata Alice,
masih menatapku. "Seharusnya kau gadis yang sangat cerdas, Sophie, tapi kau
tidak bisa membedakan antara hantu dan demon" Atau apakah lebih dari itu?"
Dia menggerakkan tangannya ke arah kiri, dan Elodie menjerit saat dia terbang ke
samping, mendarat teronggok di pagar pekuburan. Dia tak bergerak setelah itu,
tapi aku tak tahu apakah dia pingsan atau apakah Alice menggunakan sihir untuk
menjaganya agar tidak bergerak.
"Apakah kau tau apa yang kupikirkan, Sophia" Kurasa kau tahu apa aku ini, tapi
kau tak mau mengakuinya. Karena kalau aku demon, maka kau ini apa?"
Seluruh tubuhku gemetaran sekarang. Aku ingin menutup kedua telingaku agar
tidak mendengar perkataannya. Karena dia benar. Aku tahu ada sesuatu yang
berbeda dari dirinya, tapi aku tak ingin menanyakan itu karena aku menyukainya.
Aku menyukai kekuatan yang diberikannya kepadaku.
"Sudah sangat lama aku menantikanmu, Sophia," kata Alice, dan sekarang dia
tampak seperti biasanya - hanya seorang gadis sebayaku. "Ketika penyihirpenyihir
yang punya alasan menyedihkan itu merapalkan mantra pemanggilan
mereka, aku berjuang keras melawan sekawanan demon agar menjadi yang
terpanggil. Dengan harapan aku bisa bertemu denganmu."
Darah mengalir deras di telingaku, memukul-mukul pelipisku.
"Tapi kenapa?" bisikku melalui gigi yang bergemeletuk.
Senyuman Alice cantik dan mengerikan. Matanya berpendar seterang tungku
menyala. "Karena kita keluarga."
Kemudian aku terlontar ke belakang, punggungku terhempas nyeri ke pohon, kulit
kayunya membesetku menembus kaus. Aku mencoba untuk bergerak, tapi tubuhku
terasa berat dan tak berdaya.
"Aku minta maaf atas itu," katanya, bergerak ke arah Elodie. "Tapi aku tidak
bisa mendapatkanmu dengan cara seperti barusan."
Dia berlutut di samping Elodie sementara aku duduk tak berdaya dan lumpuh.
Selembut seorang ibu terhadap bayinya, Alice mengangkat kepala Elodie ke
pangkuannya. Matanya tak terfokus dan separuh terpejam, Elodie menggulirkan
kepalanya ke satu sisi dan Alice membelai pelipisnya. Lalu Alice mengangkat
tangannya ke leher Elodie. Dua cakar tipis keluar dari ujung-ujung jarinya,
diterangi oleh cahaya dari bola.
Elodie nyaris tak berjengit saat cakar itu menusuk lehernya, tapi aku menjerit.
Ketika Alice merundukkan mulutnya untuk minum, aku memejamkan mataku.
Aku tak tahu berapa lama sudah waktu berlalu sebelum mendadak aku bisa
bergerak lagi - tapi ketika aku akhirnya berdiri, Alice sedang berdiri di
hadapanku, dan Elodie tergeletak, sangat pucat dan sangat diam, menyandar di pagar
pekuburan. Aku berlari menghampirinya, dan Alice tidak mencoba untuk menghentikanku.
Sambil berlutut di samping Elodie, aku merasakan tanah lembap di bawah kami.
Wajah Elodie terasa dingin di wajahku, tetapi matanya masih separuh terbuka, dan
aku bisa mendengar napas pendek-pendeknya.
Luka di lehernya merah dan mentah, kulit Elodie yang lain sangat putih. Mata
kami bertemu dan bibirnya bergerak, seakan dia sedang mencoba mengatakan
sesuatu. "Maafkan aku," bisikku. "Maafkan aku, atas semuanya."
Gadis itu berkedip sekali, dan bibirnya bergerak lagi. Tangan.
Karena menyangka dia menginginkan aku memegang tangannya, aku meraih dan
menggenggam tangan kirinya.
Dia mendesah panjang, dan aku merasakan getaran pelan, seperti arus listrik
bertegangan rendah. Aku merasakan sihirnya menurun ke dalam diriku, tepat seperti yang dia
ceritakan. Rasanya lembut dan dingin, seperti salju. Kemudian tangannya terjatuh dari
tanganku, dan dia menjadi sangat diam.
Kudengar Alice tertawa. Aku berbalik dan melihatnya berputar-putar, roknya
dikembangkan di sampingnya. "Harus kuakui, dari antara semua hadiah yang bisa
kau berikan kepadaku, yang itulah yang terbaik."
Dengan perlahan, aku berdiri. "Hadiah?"
Alice berhenti berputar, tapi dia masih cekikikan. "Pada malam kau membawanya
bersamamu, aku merasa yakin kau tau apa aku ini sebenarnya. Baik sekali kau
membawanya kepadaku dan membuatku terhindar dari risiko tertangkap di sekolah
mengerikan itu." Sihir yang diberikan Elodie kepadaku masih berdenyut-denyut di nadiku, tapi aku
sama sekali tak tahu harus diapakan. Aku tahu aku bukan tandingan Alice, bahkan
kalau jenis kekuatan kami sama. Dia jauh lebih lama menggunakannya, ditambah
waktu yang dihabiskannya di neraka telah mengajarkan beberapa muslihat
kepadanya. Jadi, satu-satunya yang teringat olehku adalah beberapa paragraf yang
berasal dari buku-buku demon yang pernah kubaca, dan amarah murni dan
membara. Alice sedang tertawa lagi, mabuk sihir karena darah Elodie. "Sekarang setelah
aku mendapatkan seluruh kekuatanku, kita tidak akan bisa dihentikan, Sophie. Takkan
ada yang tak bisa kita raih."
Tapi, aku tidak sedang mendengarkannya. Aku sedang menatap patung malaikat
dan pedang hitam di tangannya. Batu hitam.
Kaca Demon. Dalam pelajaran Petahanan, si Vandy selalu mengatakan betapa semua orang
punya kelemahan, dan aku tahu apa kelemahan Alice.
Aku. "Pecah," gumamku, dan dengan derakan nyaring, pedang itu terbelah dua. Batu
bergerigi mendarat di rumput tepat di hadapanku. Aku memungutnya walaupun
benda itu panas membara dan tepiannya mengiris tanganku. Batu itu lebih berat
daripada sangkaanku, dan kuharap aku mampu mengangkatnya dengan cukup
tinggi untuk melakukan apa yang harus kulakukan.
Alice berputar dan melihat aku yang sedang memegang pecahan batu itu, tapi dia
tidak tampak ketakuatan, hanya kebingungan. "Sedang apa kau, Sophia?"
Alice berdiri sekitar tiga meter dariku. Aku tahu kalau aku berlari
mendekatinya, dia akan menjentikkan aku ke pohon seperti serangga. Tapi, dia begitu limbung
dan tidak menyangka aku akan menyakitinya. Lagi pula, kami kan keluarga.
Aku memejamkan mata dan berkonsentrasi, memanggil kekuatanku sendiri dan
sihir yang telah Elodie berikan kepadaku. Angin kencang menampar-nampar di
sekelilingku, angin yang begitu dingin sampai-sampai napasku habis dibuatnya.
Darahku memelan di dalam urat nadiku, bahkan saat jantungku berdegup kencang.
Aku membuka mata dan mendapati diriku langsung berada di hadapan Alice.
Matanya terbelalak, tapi bukan karena ketakutan atau terkejut. Melainkan karena
senang. "Kau berhasil!" serunya dengan gembira, seolah-olah kita sedang berada di
tempatku berlatih balet. "Ya. Benar." Kemudian aku mengangkat pecahan kaca demon dan memenggal lehernya.
Bab 32 "JADI TERNYATA AKU ini demon," kataku kepada Jenna keesokan sorenya.
Kami sedang duduk di kamar, atau, tepatnya, dia duduk. Aku masih terbaring di
tempat tidur, tempat aku berada sejak Cal dan Mrs. Casnoff menyeretku kembali
ke Hecate. Cal bisa menyembuhkan sebagian besar kerusakan di kakiku akibat aku
berlari tanpa alas kaki seperti orang gila menembus hutan, tetapi tanganku lain
lagi ceritanya. Aku menunduk. Tangan kiriku baik-baik saja, tapi yang kanan mendapat tiga luka
sayatan yang melintang di jari-jari, telapak dan pangkal telapak tanganku. Luka
itu mengerut dan tampak parah, pinggiran masing-masing sayatan berwarna merah
keunguan yang menyala. Cal mengerahkan segala kemampuannya untuk
menyembuhkannya, tapi kaca demon terlalu banyak membuat kerusakan. Mungkin
aku akan selalu punya bekas luka.
Atau mungkin persediaan sihir Cal tidak banyak tersisa setelah mencoba
menyembuhkan Elodie. Dia dan Mrs. Casnoff datang menerjang ke lapangan
hanya beberapa saat setelah aku memenggal kepala Alice dan memandang tubunya
terserap ke dalam tanah. Cal langsung berlari menghampiri Elodie, tapi kami
semua tahu bahwa sudah terlambat. Anna mengatakan bahwa Cal tidak bisa
membangkitkan orang mati, tapi dia mencobanya malam itu. Hanya ketika sudah
jelas bahwa Elodie sudah pergi barulah dia beralih kepadaku dan mengambil
pedang dari tanganku. Dalam perjalanan kembali ke sekolah, aku hanya separuh sadar, tapi aku ingat
Mrs. Casnoff mengatakan bahwa jasad Alice dikubur di pekuburan itu, bersama dengan
beberapa demon lain. Itulah sebabnya mengapa malaikat itu memegang pedang
kaca demon - untuk berjaga-jaga kalau ada yang berhasil kabur.
"Kalian jauh lebih siap daripada Pramuka," gumanku. Kemudian aku pingsan.
"Aku selalu menyangka kau sangat iblis. Aku hanya tak ingin mengatakan apaapa,"
kata Jenna sekarang. Suaranya enteng, tapi matanya tampak sedih saat
menunduk dan menatap tanganku.
Aku mendengar sebagian besar kisahnya dari Mrs. Casnoff malam itu. Dia tidak
berbohong saat dia menceritakan kepadaku bahwa Alice telah diubah melalui ritual
sihir hitam. Hanya saja dia tidak mengatakan kepadaku bahwa ritual Alice adalah
mantra pemanggilan, dirancang untuk mewujudkan demon dan membuatnya
melakukan perintah kita. Aku tidak bisa membayangkan untuk apa orang membutuhkan demon. Untuk
disuruh-suruh" Tugas-tugas keji umum yang perlu dilakukan di sekitar rumah"
Tapi demon itu penuh risiko, jadi bukannya menjadi abdi Alice, makhluk itu malah
mencuri jiwanya dan menjadikannya monster. Karena dia sedang mengandung saat
itu, bayinya pun jadi demon. Lucy menikahi manusia, jadi Dad separuh demon,
yang membuat aku seperempat demon.
"Tapi," kata Mrs. Casnoff saat Cal sedang mencoba untuk menyembuhkan
tanganku, "bahkan sejumlah darah demon yang sudah dilarutkan pun bisa
menghasilkan kekuatan yang dahsyat."
"Bagus," jawabku, tanganku membara saat sihir putih Cal mengurapinya.
Mrs. Casnoff tentu saja sudah tahu apa diriku sebenarnya. Itulah sebabnya dia
tidak dapat merasakan kehadiran Alice. Dia pikir dia hanya menangkap getar-getar
demon-ku. "Jadi, sekarang bagaimana?" tanya Jenna, sambil turun dari tempat tidurnya untuk
duduk dengan canggung di tepi tempat tidurku. "Bagaimana dengan Archer dan
ayahmu?" Aku bergeser, berjengit saat tanganku membentur tungkaiku. "Aku belum
mendengar apa-apa tentang Archer selain yang kau ceritakan tentang betapa dia
dan keluarganya telah lenyap dari permukaan bumi. Tampaknya ada sekelompok
besar warlock yang sedang memburunya."
Dan apa yang akan mereka lakukan kalau berhasil menangkapnya..." Aku tidak
ingin memikirkannya. "Menurut Cal dia dan keluarganya mungkin melarikan diri ke Italia," lanjutku,
mencoba untuk tak menggubris pilu di jantungku. "Karena di sanalah markas besar
Mata, sepertinya itu taruhan yang aman."
Herannya Jenna menggelengkan kepalanya. "Entahlah. Sesuatu yang kudengar
tanpa sengaja di Savannah. Beberapa penyihir sedang membicarakan kontingen
L'Occhio di Dio di London. Ada beberapa penampakan orang baru bersama
mereka. Berambut gelap, muda. Bisa saja dia."
Dadaku menegang. "Mengapa dia pergi ke sana" Dia akan berada tepat di bawah hidung Dewan."
Jenna menggerakkan bahuku. "Bersembunyi di tempat yang mencolok" Kuharap
mereka berhasil menangkapnya. Kuharap mereka berhasil menangkap semuanya."
Mata Jenna tampak dingin saat mengucapkannya, dan aku sedikit bergidik.
"Soal ayahku, aku benar-benar tidak tahu. Dewan sudah tahu bahwa dia separuh
demon, tapi kurasa karena dia tidak pernah berusaha memakan wajah siapa pun
dan amat sangat kuat untuk ditendang, mereka memutuskan bahwa tidak apa-apa
menjadikannya Pimpinan, selama tak ada Prodigium lain yang mengetahui siapa
dia sebenarnya." "Dan Mrs. Casnoff juga tahu?"
"Semua guru tahu. Mereka bekerja untuk Dewan."
Jenna mengangkat tangannya dan mulai memutar-mutarkan poni pink-nya.
"Jadi, kau bukan penyihir," katanya. Itu bukan pertanyaan.
Sekarang jengitanku tidak ada hubungannya dengan tanganku. Aku bukan
penyihir. Aku tidak pernah jadi penyihir. Mrs. Casnoff menjelaskan bahwa
kekuatan demon mirip dengan penyihir hitam sehingga mudah saja demon
"disangka" sebagai penyihir, selama dia tidak melakukan hal-hal gila, seperti...
yah, meminum darah segerombol penyihir untuk membuat dirinya lebih kuat lagi.
Aku sendiri lebih suka menganggap diriku penyihir. Itu jauh lebih baik daripada
demon. Demon artinya monster bagiku.
Tiba-tiba Jenna mengulurkan tangannya dan mulai menggaruk-garuk puncak
kepalaku. "Sedang apa kau?"
"Aku ingin tahu apakah kau punya tanduk di balik rambutmu itu," katanya,
cekikikan. Aku menepiskan tangannya, tapi mau tak mau aku membalasnya dengan
tersenyum. "Aku senang sekali kemonsteranku membuatmu terhibur, Jenna."


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia berhenti memainkan rambutku dan merangkulkan lengan ke pundakku. "Hei,
sesama monster, aku bisa mengatakan kepadamu bahwa itu tidak terlalu buruk.
Setidaknya kita bisa jadi orang aneh bersama-sama."
Aku menoleh dan meletakkan kepala di pundaknya.
"Trims," kataku pelan, dan dia membalasnya dengan meremas pundakku.
Ada bunyi ketukan pelan di pintu, dan kami berdua mendongak.
"Itu mungkin Casnoff," kataku. "Sudah lima kali dia memeriksaku hari ini."
Yang tidak kuceritakan kepada Jenna adalah pada saat terakhir kali kami bicara,
aku bertanya kepada Mrs. Casnoff apa arti semua ini untukku.
"Itu artinya, kau akan selalu punya kekuatan yang sangat besar, Sophia,"
jawabnya. "Itu artinya, seperti ayahmu, kau akan selalu diharapkan untuk
menggunakan kekuatan ini untuk melayani Dewan."
"Jadi, aku punya takdir," kataku. "Sialan."
Mrs. Casnoff tersenyum dan menepuk-nepuk tanganku. "Itu takdir yang mulia,
Sophia. Sebagian besar penyihir bersedia membunuh untuk mendapatkan
kekuatanmu. Beberapa di antaranya sudah melakukan itu."
Aku hanya mengangguk karena tidak bisa mengatakan apa sebenarnya yang
kurasakan. Aku tidak ingin menjadi Sophia, yang Agung dan Mengerikan. Hal
semacam itu seharusnya menjadi milik gadis-gadis seperti Elodie, gadis-gadis
yang cantik dan ambisius. Aku hanyalah aku: kocak, yakin, dan cerdas, tapi bukan
pemimpin. Sambil duduk di sana dengan Mrs. Casnoff, Cal masih memegangi tanganku
bahkan ketika semua sihir sudah habis dari dalam dirinya, dan aku menanyakan
satu pertanyaan yang sedari tadi berdengung di kepalaku.
"Apakah aku berbahaya" Seperti Alice?"
Mrs. Casnoff membalas tatapanku dan mengatakan, "Ya, Sophia, kau berbahaya.
Kau akan selalu berbahaya. Beberapa campuran demon, seperti ayahmu, mampu
bertahan selama bertahun-tahun tanpa insiden apa-apa, walaupun dia ditemani oleh
seorang anggota Dewan setiap waktu hanya untuk berjaga-jaga. Yang lainnya,
seperti nenekmu, Lucy, tidak seberuntung itu."
"Apa yang terjadi?"
Mrs. Casnoff memalingkan wajahnya dan berkata dengan amat, sangat pelan,
"L'Occhio di Dio membunuh nenekmu, Sophie, tapi dengan alasan yang tepat.
Walaupun hidup selama tiga puluh tahun tanpa pernah menyakiti satu makhluk
hidup pun, ada sesuatu... sesuatu menimpanya pada suatu malam, dan dia berubah
kembali ke sifat aslinya."
Dia menarik napas dalam-dalam dan mengatakan, "Dia membunuh kakekmu."
Tidak ada suara untuk waktu yang lama sampai aku bertanya, "Jadi, itu bisa
menimpaku" Aku bisa berubah suatu hari dan men-demon-kan entah siapa yang
sedang bersamaku?" Dan ketika aku mengatakan itu, yang bisa kulihat hanyalah Mom yang terkapar
berlumuran darah dan patah di kakiku. Perutku bergolak dan merasa mual.
"Itu sebuah kemungkinan," jawab Mrs. Casnoff.
Kemudian aku bertanya kepada Mrs. Casnoff apakah ada cara agar aku berhenti
menjadi demon - apakah aku bisa kembali menjadi normal.
Dia mengamatiku lama sekali, sebelum mengatakan, "Ada Pemunahan. Tapi, itu
hampir pasti bisa membunuhmu."
Jawabannya masih tetap memberatkanku bagaikan batu di dalam dadaku.
Pemunahan mungkin bisa membunuhku.
Itu mungkin akan membunuhku.
Tapi kalau aku menjalani kehidupanku sebagai demon, aku mungkin akan
membunuh seseorang. Seseorang yang kucintai.
Pintu terbuka, tapi bukan Mrs. Casnoff yang berdiri di sana. Melainkan Mom.
"Mom!" Aku menjerit, melompat dari tempat tidurku dan merangkulkan lenganku
kepadanya. Aku bisa merasakan air matanya saat dia membenamkan wajahnya ke
rambutku, jadi aku memeluknya semakin erat dan menghirup minyak wanginya
yang sudah tidak asing lagi.
Ketika kami melepaskan diri, Mom mencoba untuk tersenyum kepadaku, dan
mengulurkan tangan untuk memegang tanganku. Aku tak mampu menahan jeritan
pelan karena nyeri, dan dia menunduk.
Kupikir Mom menangis lagi saat melihat tanganku, tapi ternyata dia hanya
mengangkatnya ke bibirnya dan mencium telapak tanganku, seperti sewaktu aku
berumur tiga tahun dan lututku terluka.
"Sophie," kata Mom, sambil menyingkirkan rambut yang menutupi wajahku. "Aku
datang untuk membawamu pulang, ya, Sayang?"
Aku menoleh ke belakang ke arah Jenna, yang sedang berusaha keras untuk tidak
mengacuhkan kami, tapi kulihat kekecewaan melintasi wajahnya. Kalau aku pergi,
Jenna tidak akan punya siapa-siapa. Sampai sebegitu saja niat untuk menjadi
orang aneh bersama. Aku menarik napas dalam-dalam dan kembali menatap Mom. Aku tak tahu apakah
aku cukup kuat untuk menatap matanya dan mengucapkan apa yang ingin
kukatakan, apa yang kutahu harus kulakukan segera setelah Mrs. Casnoff
memberikan jawabannya kepadaku.
Kemudian - sebelum aku bisa mengatakan apa-apa - aku melihat Elodie lewat di
pintuku. Bergegas aku keluar, sambil jantungku pindah ke tenggorokan, aku bertanya-tanya
apakah Cal ternyata berhasil menyelamatkannya. Mungkin dia sedang berada
dalam proses penyembuhan selama ini, dan mereka tidak memberitahukannya
kepadaku. Lorongnya kosong kecuali ada dia, dan dia memunggungiku.
"Elodie!" jeritku, sambil berlari menghampirinya. Tapi dia tidak melihatku, dan
aku sadar bahwa aku sedang memandang menembusnya.
Dia terus berjalan, berhenti sejenak di pintu-pintu seakan-akan sedang mencari
seseorang - hanya hantu Hecate yang terperangkap di sini selamnya. Aku tahu
bahwa dia pantas mendapatkan itu, di satu pihak. Dia dan kawan-kawannya telah
memanggil demon dan membayar harganya.
Aku memperhatikan dia lama sekali, sampai akhirnya Elodie memudar ke dalam
cahaya matahari senja. Kami tidak pernah benar-benar berteman, tapi dia telah
memberikan sedikit sihir yang tersisa di dalam dirinya sehingga aku bisa
mengalahkan Alice, dan aku tidak akan pernah melupakannya.
Dan pada akhirnya, melihat Elodie-lah yang memberikan aku kekuatan untuk
berputar menghadap ibuku dan berkata, "Aku tidak akan pulang. Aku akan ke
London, dan aku akan menjalani Pemunahan."
End Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia
Edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Lembah Nirmala 11 Tiga Dalam Satu 02 Bintang Malam Dewi Penyebar Maut I I I 2

Cari Blog Ini