Orang Ketiga Karya Sherls Astrella Bagian 1
ORANG KETIGA "Aku!" "Tidak! Aku!" "Aku." "Aku!!" Mata sepasang pria itu saling menatap tajam. Ribuan kilatan petir bersahutsahutan dari mata mereka yang membara. Mereka bertolak pinggang saling menantang tidak
ada yang mau mengalah. Kedua tangan mereka sudah menggenggam pedang mereka
masing-masing. "Hentikan! Sedang apa kalian?" Davies muncul dengan wajah panik. Ia cepat-cepat
memisahkan dua pria yang hampir tak berjarak itu. "Apa yang kalian pikir sedang
kalian lakukan!?" "Jangan ikut campur!" Trevor dan Richie mendorong Davies.
"Kalau tentang Fulvia, aku harus ikut campur!" Davies berkata tegas, "Ia
adikku." Trevor dan Richie saling bertatapan.
"Kalian pikir aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran kalian?" selidik Davies,
"Aku sudah bosan mendengar pertengkaran kalian."
Davies duduk di kursi terdekat dan menyilangkan tangan di depan dadanya,
"Silakan melanjutkan." Telinga Davies telah terbiasa mendengar pertengkaran kedua pria itu. Matanya
sudah tak heran melihat kedua sepupu itu beradu pandang dengan penuh kemarahan dan
kecemburuan. Mulutnya sudah bosan melerai.
Entah sudah berapa ratus kali mereka bertengkar dalam minggu ini. Sudah ribuan
kali dalam bulan ini dan mungkin jutaan dalam tahun terakhir ini. Tidak ada yang
menghitungnya dengan jelas tetapi semua orang di tempat ini mendengarnya hampir
setiap saat. Semua tahu apa yang mereka ributkan.
Semua terbiasa dengan pertengkaran ini.
Sejak kecil kedua sepupu ini telah bertengkar memperebutkan sepupu mereka yang
cantik dan manis, Fulvia. Andai Davies bukan kakak kandung Fulvia, mungkin ia
juga ikut dalam perebutan ini. Untungnya, mungkin, Davies adalah kakak Fulvia, kakak
kandung dan satu-satunya. Orang tua mereka semua tahu perebutan ini sejak mereka
masih kecil sudah ada dan tambah parah tiap tahunnya. Tetapi, entah mengapa
mereka bersikap pura-pura tidak tahu dan tidak mendengar.
Orang tua Davies pun tak mau campur tangan. Mereka hanya tertawa melihat
pertengkaran kedua sepupu itu dan berkata dengan tenang, "Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan." Ayah Richie malah berpendapat unik. "Bukankah ini menarik?" katanya suatu ketika
melihat mereka mulai bertengkar lagi.
"Untuk apa dipusingkan?" kata ibu Trevor ketika Davies mengeluhkan meningkatnya
frequency pertengkaran kedua sepupu itu akhir-akhir ini.
"Pertengkaran antar keluarga itu biasa," ayah Trevor malah berkata tenang.
Entah mengapa para orang tua dari ketiga keluarga ini selalu menganggap enteng
pertengkaran mereka. Audrey, anak yang paling tua dalam ketiga keluarga ini juga tidak ingin campur
tangan dalam perebutan yang kekanak-kanakan, dalam bahasanya, ini.
Hanya Davies yang selalu turun melerai bila dua pria ini mulai bertengkar
memperebutkan Fulvia. Tapi akhir-akhir ini ia semakin malas. Pasalnya, mereka semakin sering
bertengkar! Pertengkaran mereka tidak akan ada akhirnya hingga Fulvia memilih seorang di
antara mereka atau mungkin Fulvia menikah dengan orang lain. Tetapi keduanya tampaknya
mustahil. Setidaknya ketika Fulvia tidak menunjukkan minatnya pada seorang pria
pun. Fulvia, adiknya yang manis, adiknya yang tercantik dan paling dikasihinya itu
tidak pernah Nampak bersama pria lain selain kedua sepupunya atau dirinya sendiri.
Bukan karena lingkungan pergaulan Fulvia penyebabnya tetapi karena kedua sepupu itu
takkan membiarkan pria lain mendekati Fulvia.
Davies tahu sikap kedua sepupu itu pula yang menjauhkan kaum adam yang ingin
mendekati Fulvia itu. Sebenarnya, Davies tidak menyukai sikap kedua sepupu itu terhadap adiknya yang
terlalu melindungi itu. Tetapi Davies juga tidak suka bila Fulvia didekati oleh
pria yang hanya ingin mempermainkannya atau pria yang hanya tertarik pada kecantikannya
saja. Di pihak lain, Davies tidak yakin Fulvia tahu kedua kakak sepupunya sering
bertengkar memperebutkan cintanya. Walau mereka sering bertengkar tapi kedua pria ini pandai memilih tempat dan
waktu. Mereka hanya bertengkar ketika Fulvia tidak ada di sekitar mereka dan ketika
Fulvia cukup jauh untuk mendengar pertengkaran mereka.
"Siapa yang pantas untuk Fulvia?" dua pria itu menyerbu Davies.
Davies terkejut. "Aku?" "Tidak, aku!" "Bukan! Aku, Davies."
"Pusing aku melihat kalian," keluh Davies, "Mengapa kalian tidak bertanya pada
Fulvia siapa yang lebih ia sukai?" "Kalau ia menunjuk dia, aku bagaimana?" protes keduanya - saling menunjuk.
"Pusing aku. Pusing!!!" Davies memegang kepalanya, "Kalau kalian takut pada
jawaban Fulvia, tanya orang lain." Kedua pria itu menatap Davies lekat-lekat.
Melihat gelagat tidak enak, cepat-cepat Davies menambahkan dengan tegas, "Jangan
aku! Aku tidak mau. Aku menolak!" Trevor saling berpandangan dengan Richie.
"Carilah orang yang lebih mengerti tentang hal ini."
Kedua pria itu terus saling memandang sambil berpikir keras.
"Kusarankan mencari orang yang mengerti tentang wanita."
Kedua sepupu itu terdiam. Mereka berpikir keras.
"Irving!" seru mereka bersamaan.
"Irving?" Davies keheranan, "Mengapa harus Irving?"
"Katamu pria yang mengerti wanita."
Davies kebingungan diserbu dua pria itu. "Apakah aku mengatakan pria?"' tanya
Davies lebih pada dirinya sendiri.
"Ia pasti bisa tahu siapa yang lebih disukai Fulvia di antara kita," Trevor
bersemangat. "Ia pasti tahu siapa di antara kita yang lebih cocok untuk Fulvia."
Mereka saling memandang. Dalam pandangan mereka tersirat kepercayaan diri untuk
menang. Mata mereka berkata, "Pasti aku yang lebih pantas untuk Fulvia."
"Terserah pada kalian," Davies memotong jalan pandangan dua pria itu dan terus
menuju pintu. Di pintu, Davies berhenti dan membalikkan badan, "Sampai kalian
tahu siapa yang lebih pantas untuk Fulvia, jangan bertengkar! Semua orang sudah bosan
mendengarnya." "Bosan apa?" kepala cantik muncul di pintu dengan senyum cerianya. Mata biru
keunguannya menatap ketiga pria itu dengan penuh ingin tahu.
"Tidak ada apa-apa," sahut Trevor dan Richie bersamaan.
Fulvia menatap kakaknya. "Mereka bosan padaku?"
"Tidak ada yang perlu kaukhawatirkan, Fulvia. Mereka tidak akan pernah bosan
padamu," Davies menepuk kepala Fulvia dengan lembut, "Engkau anak yang cantik
dan manis." "Benar," Trevor mendekati Fulvia.
"Ayo kita pergi," Richie menarik Fulvia.
Lagi-lagi mata dua pria itu bertemu. Fulvia memeluk tangan kedua pria itu. "Aku
sayang kalian." Itulah Fulvia. Tak heran Davies melihat Trevor dan Richie selalu bertengkar.
Fulvia sangat cantik dan manis. Ia juga menyayangi keduanya tanpa pernah membedakan. Ia
memberi sesuatu pada Richie, ia pun memberi hal yang sama pada Trevor. Tak jelas
siapa yang lebih disukai Fulvia di antara mereka.
Sejak kecil mereka berempat selalu bermain bersama dan bersenang-senang bersama.
Fulvia sangat dimanja oleh kakaknya dan kakak-kakak sepupunya itu. Ketiga pria
itu bagaikan pengawal Fulvia yang tampan.
Dengan semakin bertambahnya tahun, hubungan Fulvia dengan sepupunya semakin
erat. Kedua sepupu itu semakin mendominasi Fulvia dari kakaknya sendiri.
Perlahanlahan Davies disingkirkan dari persahabatan mereka. Sekarang Davies
hampir tidak pernah lagi ada di antara mereka. Setiap Fulvia muncul, kedua sepupu itu segera
mengajak Fulvia pergi dengan meninggalkan Davies seorang diri. Mereka seperti
tidak sadar telah menjauhi Davies. Davies menghela dalam-dalam.
Sebenarnya ia tidak suka mereka meminta bantuanIrving. Tapi apa yang dapat
dilakukan" Kedua pria itu benar. Dengan reputasinya menyakiti hati para gadis
yang menggunung dan berganti-ganti kekasih,Irvingpasti sangat mengenal sifat wanita.
Irving mungkin bisa membantu menghentikan pertengkaran kedua sepupu itu yang
seperti tidak ada akhirnya. 'Semoga,' Davies berharap.
-----0----"Malam ini ada pesta..."
"Dengan siapa kau pergi?" potong kedua pria itu.
Fulvia menatap mereka bergantian.
"Dengan aku saja," Richie mendahului.
"Tidak! Dengan aku saja."
"Aku akan pergi dengan Davies," Fulvia mengecewakan keduanya.
"Jangan!" mereka serempak menyahut.
"Mengapa?" Fulvia menatap mereka dengan bingung.
"Kau tahu Davies mencintai Margot. Ia ingin mendapatkan perhatian Margot."
"Lalu mengapa?" Fulvia bertanya polos - matanya yang selalu bersinar ceria
menatap Trevor. "Kalau Margot melihatmu bersama Davies, apa yang ada dalam pikirannya?"
"Davies adalah kakakku," protes Fulvia manja.
"Kalau kau terus menempel, bagaimana Davies dapat mendekati Margot?" Richie
menjentik hidung Fulvia. Mata Fulvia berpindah-pindah dari wajah kedua pria itu. "Benar juga."
"Kamu akan menemanimu," Richie menawarkan.
Trevor menatap tajam Richie.
Mata Richie membalasnya dengan isyarat untuk diam.
Fulvia menatap mereka dengan curiga. Ia mengenal baik watak kedua sepupunya ini.
Mereka tidak pernah akur! "Malam ini kami yang akan menemanimu. Boleh?"
Kepala Fulvia berpindah pada Trevor. Lalu pada Richie. "Baik," Fulvia memeluk
tangan kedua sepupunya, "Aku senang pada kalian."
Kedua pria itu saling bertatapan. Mereka tahu ada yang harus mereka bicarakan
setelah ini dan sebelum menemani Fulvia ke pesta. Sesuatu yang sangat penting.
Kemunculan pesta ini mempermudah pekerjaan Trevor juga Richie. Mereka tak perlu
mengatur pertemuan Fulvia danIrving.
Irvingjuga pasti diundang ke pesta itu karenaIrvingadalah putra tunggal Duke
yang cukup berpengaruh. Dan, semua orang tahu keberadaanIrvingbisa meramaikan suasana.
Setiap gadis yang mendengarIrvingakan hadir dalam pesta itu, pasti akan hadir.
Mereka akan berlomba-lomba mendapatkan perhatian pria gagah yang tampan itu. Semua kecuali
Fulvia. Fulvia bisa dikatakan tak pernah mengetahui keberadaanIrvingdi dunia ini.
Mungkin ia pernah mendengar nama putra tunggal keluarga Engelschalf. Tapi ia takkan
mempedulikannya karena ia telah mempunyai tiga pria tampan yang selalu berada di sisinya.
Sungguh aneh. Reputasi Irving dengan kekasihnya yang selalu berganti-ganti telah
tersebar di seluruh pelosok terutama para wanita bangsawan yang suka bergosip. Tapi masih ada yang
ingin mendapatkan perhatianIrving. Banyak lagi!
Apa boleh buat.Irvingmemang tampan. Ia juga satu-satunya calon penerus Duke of
Engelschalf. Tampan, gagah juga kaya dan berkuasa. Gadis mana yang tidak tertarik pada pria
itu" Kekurangan Irving adalah sikapnya yang tidak setia. Tetapi tidak ada yang
mempedulikannya. Di abad pertengahan ini tidak heran seorang pria kaya dan berkuasa beristri
banyak. Raja-raja negeri di timursanajuga memiliki banyak selir. Mereka bangga dengan istri mereka yang
banyak itu. Dan, para wanita itu bangga menjadi istri orang yang berkuasa walau hanya sebagai selir.
Seorang Raja tampak semakin berkuasa dan kuat bila ia beristri banyak. Itulah pemikiran utamanya.
Seorang penguasa tampak semakin berjaya dengan para selir mereka yang banyak.
Mereka tidak sadar istri yang banyak itulah yang dapat menjadi sebab perpecahan
suatu kerajaan bahkan kehancuran sebuah kerajaan.
Ketika permaisuri dapat memberikan putra mahkota, tak ada masalah yang
menakutkan. Tapi bila yang
terjadi sebaliknya, akibatnya akan sangat fatal. Dari selir yang mempunyai anak
laki-laki akan berebut menjadikan putra mereka sebagai putra mahkota. Bahkan para selir itu akan
bersaing demi mendapatkan perhatian Raja yang lebih besar. Karena bila mereka mendapat perhatian yang
semakin besar, kedudukan mereka akan semakin terangkat. Tak jarang pula para selir ini mempengaruhi raja
dalam membuat keputusan demi kepentingan mereka sendiri. Semakin raja percaya padanya dan
Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semakin raja menyayanginya, pengaruhnya bisa lebih besar daripada sang permaisuri.
Di Eropa sedikit berbeda. Walau pengaruh agama Katolik terasa sangat kuat di
Eropa, tidak menutup kemungkinan terjadi seorang pria kaya beristri banyak. Bahkan, secara
sembunyisembunyi mereka memperistri wanita lain. Sifat perkawinan Katolik yang suci tampaknya tak banyak mempengaruhi. Satu dan
tak terpisahkan. Tapi ada yang berpisah untuk menikah dengan wanita lain.
Satu suami banyak istri ini tampaknya telah menjadi suatu kebudayaan yang sulit
dihilangkan bahkan terkesan seperti sebuah budaya yang telah diturunkan dari jaman kuno dan akan
terus diturunkan hingga kapan pun. "Fulvia! Fulvia, di mana kau?"
"Mama memanggilku," Fulvia menoleh pada kedua pria itu.
"Pergilah," sahut Trevor - menatap tajam Richie.
Keduanya siap bertengkar tapi mereka menanti sampai Fulvia masuk ke dalam ruang
tempat Countess berada. Ketika Fulvia masuk ke dalam ruang yang serambinya menghadap taman itu, Trevor
mencengkeram leher baju Richie. "Apa maksudmu dengan kami?"
"Sabar," Richie menenangkan, "Dengarkan dulu penjelasanku."
"Penjelasan apa!?"
"Kita berencana minta bantuanIrvingbukan?"
"Ya. Lalu?" "Kalau Irving tidak melihat sikap Fulvia pada kita berdua, bagaimana ia tahu"
Aku tak setuju bila ia hanya bersamamu ketikaIrvingmenilai dan engkau pasti tak senang Fulvia
bersamaku." Trevor melepaskan Richie.
"Karena itu kupikir lebih adil bila ia melihat kita bersama Fulvia."
"Kita harus menemuiIrvingsebelum kita bertemu di pesta nanti."
"Sebaiknya kita berdua yang menemuiIrving. Aku curiga engkau membujukIrvinguntuk
memihakmu." "Setuju!" sahut Trevor, "Aku juga curiga kau akan membujukIrvingmemihakmu."
"Kita sepakat setelah ini kita menemuiIrving"
"Aku sepakat." Fulvia mendekat dengan perasaan bersalah. "Mama memintaku menemaninya pergi.
Aku tidak dapat menemani kalian." "Sayang sekali," ujar Richie.
"Kami tak apa-apa. Pergilah bersama Bibi Kylie. Nanti kami akan menemuimu
sebelum berangkat ke pesta." "Benar, kami juga harus bersiap-siap."
"Terima kasih," Fulvia memeluk dua pria itu, "Kalian sungguh pengertian."
Richie dan Trevor saling bertatapan.
"Kami harus pergi sekarang," kata mereka bersamaan. Keduanya bergantian mencium
pipi Fulvia. "Selamat tinggal," Fulvia melambaikan tangan - mengantar kepergian mereka.
Mereka membalasnya lalu bergegas pergi.
"Jangan mendahuluiku," kata mereka bersamaan.
"Kita akan pergi bersama-sama," Richie menegaskan.
"Kalau ada yang mendahului, berarti ia kalah," tambah Trevor.
"Dan dia tidak boleh mendekati Fulvia lagi selama-lamanya," Richie setuju.
Keduanya bergegas menuju istal - tempat kuda mereka ditambatkan.
-----0----"Apa yang harus saya lakukan, Tuan Muda?" tanya Pedro.
Irvingduduk tegak di meja bacanya. Tangannya memegang selembar kertas dengan
tulisan tangan yang rapi. Mata Irving terangkat dari kertas itu dan tangannya langsung meremasnya.
"Kirimkan bunga mawar
merah." "Segera hamba laksanakan, Tuan Muda," Pedro membungkuk.
'Seorang lagi,' pikir Pedro ketika meninggalkan Ruang Belajar. Entah ini bunga
mawar keberapa dalam minggu ini. Ia sudah tidak dapat menghitungnya lagi.
Pedro tahu jelas apa arti bunga mawar merah ini.
Ketika seorang wanita menerima bunga mawar merah itu, mereka akan
mengiraIrvingtelah menerima
perasaannya tetapi mereka salah. Bunga mawar merah yang berduri itu, bagiIrving,
adalah sebuah tanda perpisahan. Tanda dia tidak mau lagi berhubungan dengan mereka.
Tanda jarak di antara mereka telah dibatasi oleh duri-duri yang tajam.
"Yang Mulia Duke tidak akan suka melihat ini," gumam Pedro lebih lanjut.
Baru saja Pedro tiba di Hall ketika ia mendengar pintu diketuk.
Segera pria tengah baya itu membukakan pintu.
"Selamat siang," sapa Trevor.
"Selamat siang," Pedro tidak dapat menutupi kebingungannya melihat dua pemuda
berpakaian rapi di depannya itu. "Kami datang untuk menemuiIrving," Richie langsung berkata tanpa perlu ditanyai,
"Apakah ia ada?"
"Apakah Anda mempunyai janji dengan Tuan Muda?"
"Tidak," jawab Trevor, "Ini adalah urusan penting dan mendadak. Saya
yakinIrvingtidak akan menolaknya." Pedro menatap dua orang itu dengan curiga. "Bila Anda berkenan, dapatkah Anda
memberitahu saya siapa Anda berdua?" "Saya adalah putra bungsu Count Garfinkelnn, Trevor" Trevor memberitahu.
"Saya adalah putra tunggal Earl of Ousterhouwl, Richie" kata Richie.
"Silakan masuk, M'lord," Pedro mempersilakan mereka, "Saya akan memberitahu Tuan
Muda atas kehadiran kalian." "Terima kasih," kata mereka bersamaan.
Pedro tidak tahu apakahIrvingakan senang dengan kunjungan ini.
Pedro tahuIrvingpaling tidak suka diganggu ketika ia sibuk. Dan Irving paling
tidak suka dengan kunjungan mendadak yang tidak direncanakan seperti ini.
Langkah-langkah kaki Pedro langsung membawa mereka ke Ruang Baca
tempatIrvingberada sekarang.
Dengan was-was Pedro mengetuk pintu.
Ia langsung masuk begitu mendengar sahutanIrvingdari dalam.
"Apa apa, Pedro?"
Dari nadanya, Pedro tahuIrvingmerasa terganggu.
"Maafkan saya menganggu Anda, Tuan Muda," kata Pedro sopan, "Putra Count
Garfinkelnn dan Earl of Ousterhouwl ingin bertemu dengan Anda."
"Aku tidak mempunyai janji dengan mereka,"Irvingtidak terlalu berminat untuk
menemui mereka. "Mereka ingin merundingkan sesuatu yang mendesak dan serius dengan Anda, Tuan
Muda." Irvingmenutup buku yang sedang dibacanya, "Bawa mereka menghadapku."
"Selamat siang,Irving," Richie memberikan salamnya.
"Kuharap kami tidak menganggumu," kata Trevor pula.
"Kalian telah merusak kegiatanku," kataIrvingacuh.
Trevor tertawa. "Kau masih saja tetap suka berterus-terang."
"Apa yang membawa kalian ke sini?"
"Kami ingin kau membantu kami," kata Richie.
Irvingmenatap kedua pria itu dengan was-was.
"Kurasa kau telah mendengar masalah di antara kami," kata Trevor.
"Burung-burung di udara pun menyebarkan perselisihan kalian,"
sambutIrvingdingin. Lagi-lagi Trevor tertawa. "Bila demikian halnya, aku akan langsung saja ke pokok
permasalahannya. Kau tahu perselisihan kami tidak akan berhenti sebelum Fulvia memilih seorang di
antara kami. Tetapi Fulvia tidak pernah mau memilih. Kami pun juga tidak dapat menentukan siapa yang
lebih disukai Fulvia di antara kami." "Karena itulah kami ingin kau membantu kami," kata Richie antusias.
"Kami percaya kau pasti dapat membantu kami."
"Mengapa aku harus membantu kalian!?"Irvingtidak suka. "Aku tidak ingin campur
tangan dalam urusan kalian. Aku menolak!"
Trevor tersenyum mendengar tolakan tegas itu.
"Kami juga tidak ingin memaksamu bila kami mempunyai pilihan lain," kata Trevor.
"Seseorang harus melakukan sesuatu sebelum sesuatu yang buruk terjadi," timpal
Richie. "Kurasa kita telah jelas,"Irvingberkata dingin, "Ini tidak ada hubungannya
denganku. Dan mengapa pula harus aku" Kalian bisa mencari orang lain. Aku tidak berminat."
Irvingbenar-benar tidak berminat membantu mereka berdua. Ia tidak berminat untuk
mencampuri urusan orang lain. Ia bukan orang yang suka campur tangan dalam affair orang
lain. Biarlah semua pria di dunia ini musnah hanya karena seorang wanita.
Biarlah seisi dunia ini saling membantai demi seorang wanita.
Biarlah sejarah Trojan terulang lagi.
Irvingtidak peduli selama mereka tidak mengusiknya.
Irvingcukup puas dengan kehidupannya saat ini dan ia tidak tertarik untuk
mencari masalah maupun terlibat dalam masalah orang lain.
Dan, kedua pria yang sekarang berdiri di depannya ini...
Siapa yang tidak tahu mereka" Siapa yang tidak pernah mendengar cinta segitiga
mereka dengan sepupu mereka" Semua tahu. Semua pernah mendengar bagaimana kedua pria ini terus berebut
sepupu mereka yang manis. Irvingtidak tahu siapa gadis itu tetapiIrvingtahu seperti apa gadis binal
semacam itu. Irvingtidak pernah bertemu gadis itu tetapiIrvingtelah menjumpai banyak wanita
seperti itu. Irvingtidak mengerti bagaimana kedua pria ini bisa terjerat oleh wanita seperti
itu.Irvingtidak yakin kedua pria ini sadar mereka telah jatuh dalam perangkap gadis licik
itu.Irvingpercaya mereka tidak sadar gadis itu sedang tertawa riang di atas perselisihan mereka.
Bukankah itu ciri umum para wanita"
Wanita mana yang tidak tertarik untuk mencari seorang pria kaya yang dapat
menghidupinya dan menghidupi impian-impiannya" Wanita mana yang tidak bangga atas pertengkaran dua
pria hanya untuk memperoleh dirinya" Irvingtidak percaya wanita semacam itu ada.
Bila mereka tidak ada, mengapa banyak wanita yang rela menjadi selir raja"
Mengapa banyak wanita yang rela menjadi simpanan pria lain" Mengapa banyak wanita yang suka
berselingkuh dengan pria lain" Irvingtahu persis hal itu.
Di antara sekian wanita banyaknya wanita yang melintas dalam hidupnya, ada
banyak wanita yang telah bersuami.Adapula wanita binal yang dengan jelas-jelas menunjukkan tujuan
mereka mendekatinya. Irvingjuga tidak segan menghabiskan malam bersama mereka. Apa pun yang kelak
terjadi oleh affair mereka bukanlah urusannya. Wanita-wanita itulah yang mencarinya dan ia hanya
memanfaatkannya untuk memuaskan dirinya sendiri.
Bukanlah masalah besar baginya untuk bermain dengan satu wanita di malam ini dan
berkencan dengan wanita lain di pagi harinya.
Irvingtahu kaum hawa itu akan rela melakukan apa saja hanya untuk
mendapatkannya. Irvingsadar benar akan keadaannya, akan pesonanya, akan kekuasaannya, akan
kharismanya yang menaklukan para wanita itu.
Irvingtahu posisinya dan ia tahu bagaimana menggunakannya untuk memuaskan
dirinya sendiri. Dan mereka tidak tahuIrvingtidak akan pernah membiarkan dirinya jatuh dalam
pelukan mereka. Ia adalah miliknya sendiri dan hanya dia seorang!
Dan dua pria ini... Irvingmemandang mereka dengan tidak senang. Mengapa mereka mencarinya hanya
untuk terlbat dalam cinta segitiga mereka"
"Karena hanya kau yang bisa," jawab Richie penuh antusias.
"Kami telah memutuskan hanya pria yang memahami wanita yang dapat memberikan
jawabannya pada kami," kata Trevor pula.
"Dan orang itu adalah kau," mereka berkata serempak.
"Aku sungguh tersanjung. Sayangnya, aku tidak tertarik. Aku tidak berminat."
"Jangan bersikap seperti itu,Irving," bujuk Trevor, "Kau pasti dapat membantu
kami." "Kau hanya cukup melihat bagaimana sikap Fulvia pada kami dan memberitahukan
pendapatmu pada kami." "Aku tidak tertarik,"Irvingmenuju kursinya dan mengambil buku yang sedang
dibacanya sesaat sebelum mereka mengusiknya itu.
"Ini tidak akan merepotkanmu," bujuk Richie, "Kau hanya perlu mengamati. Kau
hanya butuh mengamati sikap Fulvia. Aku yakin ini tidak akan menyita waktumu."
"Aku bahkan yakin kau akan bisa mendapatkan jawabannya dalam sekejap."
"Apa kau pikir aku seorang peramal?"Irvingmenatap tajam Trevor.
"Tidak, aku tidak mengatakannya," Trevor cepat-cepat membela diri, "Tapi dengan
Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemahamanmu terhadap wanita itu, aku yakin kau bisa mengetahuinya begitu kau bertemu
Fulvia." Irvingmenatap tajam kedua pria yang berdiri di depan meja bacanya dengan
antusias itu. Mereka begitu yakin ia akan membantu mereka.
Mereka begitu pasti ia akan dapat melihat siapa di antara mereka berdua yang
lebih dicintai sepupu mereka itu. Irvingtelah mengatakan berulang kali ia tidak berminat. Ia tidak tertarik untuk
terlibat dalam cinta segitiga mereka. Ia tidak peduli cinta segi berapa pun yang dimiliki mereka.
Irvinghanya tahu ia tidak akan tertarik pada gadis semacam itu.
Gadis yang jelas-jelas menikmati perseteruan di antara dua pria hanya untuk
memperebutkannya bukanlah tipe gadis dengan siapaIrvingakan berkencan.
Tapi kedua pria ini... Kedua pria ini benar-benar membuatnya tidak nyaman. Ia sudah mulai muak dengan
kehadiran mereka. Ia sudah mulai bosan dengan bujukan-bujukan mereka.
Irvingtahu kedua pria ini akan terus di sini mengganggunya selama ia tidak
menyetujui mereka. Maka dengan terpaksa,Irvingberkata,
"Aku akan mempertimbangkannya."
"Kami percaya kau akan," kedua pria itu langsung menggenggam tangannya dengan
mata mereka yang berbinar-binar. Cara keduanya memandangnya benar-benar membuatIrvingingin cepat-cepat mengusir
keduanya dari tempat ini. Mereka bukanlah teman dekat tetapi mereka saling mengenal. Keluarga mereka telah
saling mengenal sejak berabad-abad lalu. Dan kedua pria ini bersikap seolah-olah mereka adalah
teman akrab! "Kami akan menantimu di pesta malam ini," Trevor memberitahu.
"Fulvia akan datang dalam pesta nanti," terang Richie, "Kami akan memperkenalkan
kalian di pesta itu." Irvingterkejut. Kedua pria ini tampaknya sudah merencanakan semuanya dengan baik
sebelum datang ke Nerryland. Dan mereka yakin sekali rencana mereka akan berhasil.
"Kita akan berjumpa lagi dalam pesta nanti malam," kata mereka sebelum
meninggalkan Ruang Baca. Kedua sepupu itu pasti tidak akan melepaskannya dengan mudah sebelum ia
menjawab pertanyaan di antara mereka itu.Irvingtahu itu dan ia ingin segera cepat-cepat
menyelesaikannya dan kembali pada kehidupannya yang tenang.
Dan sekarang, di sinilah ia berada, di antara dua sepupu yang mengapitnya
seakanakan takut ia kabur
dan gadis yang menjadi penyebab semua ini di depannya.
Fulvia menatapIrvinglekat-lekat.
Irvingtidak suka cara Fulvia menatapnya.
"Anda tidak seperti yang saya dengar," Fulvia tersenyum, "Tapi juga tidak jauh
meleset dari perkiraan saya." Irvingtidak menanggapi. "Sepertinya mereka mempunyai alasan mengenalkan Anda pada saya," Fulvia menatap
kedua kakak sepupunya. Trevor serta Richie kaget mendengarnya.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak," Trevor langsung berkelit.
"Benar," Richie langsung menambahkan, "Apakah kau tidak suka mempunyai seorang
teman baru?" "Kalian...," Fulvia mendesah, "Kadang aku tidak mengerti apa yang kalian
rencanakan." Kedua pria itu terperanjat. Mereka tertawa.
"Nah, M'lord," Fulvia menatapIrvingpenuh harap, "Maukah Anda menemani saya
sepanjang pesta ini?" Irvingterkejut. Seumur-umur, baru kali ini ia diajak seorang gadis.
Kedua kakak sepupu Fulvia juga tidak kalah kagetnya dengan ajakan Fulvia yang
berani itu. Richie menyikut Trevor. Matanya mengisyaratkan untuk membujukIrvingmenerima
ajakan itu. "Benar. Benar," Richie langsung menanggapi, "Mengapa kalian tidak memperdalam
hubungan kalian?" Irvingmenatap tajam Richie.
Richie langsung pura-pura tidak melihatnya.
'Kalian ingin aku segera menyelesaikan tugas"' pikirnya sinis, 'Jangan khawatir.
Aku juga tidak ingin berlama-lama terlibat dengan kalian.'
"Dengan senang hati, Lady Fulvia," ia membungkuk, meraih tangan Fulvia dan
menciumnya. Fulvia tersenyum senang. Ia segera menyambut uluran tanganIrvingdan berjalan di
sisi pria itu ke lantai dansa. "Terima kasih," bisik Fulvia ketika mereka sudah cukup jauh bagi Trevor dan
Richie untuk mendengar kata-katanya. Irvingmengabaikannya. "Anda membantu saya menyelesaikan masalah saya yang paling merepotkan," Fulvia
menjelaskan. Irvingmulai tidak mengerti arah pembicaraan gadis ini.
"Saya tidak akan tahu harus bagaimana menghadapi mereka berdua bila Anda tidak
muncul," Fulvia menjelaskan lebih lanjut, "Mereka akan mulai bertengkar bila Anda tidak muncul."
Irvingmelirik tajam Fulvia. Seperti dugaannya, gadis ini tahu dan tampaknya ia
masih ingin terus menikmati pertengkaran kedua orang itu.
Fulvia melirik ke belakang. Ia melihat kedua kakak sepupunya itu sudah pergi
dari tempat itu. "Terima kasih," Fulvia menarik tangannya dari sikuIrving, "Dari sini saya sudah
bebas." "Apa yang akan kau lakukan?" kata-kata itu terlompat begitu saja
ketikaIrvingmelihat gadis itu seperti seekor burung yang siap untuk terbang bebas.
"Saya rasa saya akan pulang," kata Fulvia, "Saya tidak ingin berlama-lama di
sini." Irvingtidak mengerti. "Sekali lagi, terima kasih, M'lord," Fulvia memberi hormat lalu ia berbalik
meninggalkan tempat itu. Kedua kakak sepupunya itu telah menghilang dalam kerumunan para tamu.
Tampaknya mereka telah benar-benar melupakannya. Davies juga sibuk menemani Lady Margot. Sementara itu
kedua orang tuanya entah berada di sisi mana dari bangunan ini.
Fulvia merasa sudah tidak ada gunanya ia berada di tempat ini. Ia telah
menyelesaikan tugasnya menemani kedua orang tuanya dan menghormati sang tuan rumah dengan datang ke
pesta ini. Ketiga kakaknya juga sudah mendapatkan kesibukan mereka sendiri-sendiri.
Sekarang ia bisa pulang dengan tenang.
Langkah-langkah kaki Fulvia terhenti. Perasaannya tidak mungkin salah.
Kini ia telah berada jauh dari Hall tempat di mana pesta itu diselenggarakan.
Serambi tempatnya berdiri juga sepi tetapi ia tetap dapat mendengar langkah-langkah kaki yang
berat di belakangnya. 'Seseorang mengikuti!' insting Fulvia memperingatinya.
Fulvia membalik tubuhnya. "M'lord!?" Fulvia kaget, "Mengapa Anda di sini?"
Irvingjuga tidak mengerti mengapa ia mengikuti gadis itu. "Kurasa aku telah
berjanji di depan kedua kakak sepupumu untuk menemanimu sepanjang pesta ini."
Fulvia melihat ke dalam gedung. "Mereka tidak akan suka melihat Anda berada di
luar bersama seorang gadis ingusan seperti saya."
Irvingterkejut mendengar tanggapan tidak terduga itu.
"Tidak ada hubungannya denganku," tanggapIrvingacuh.
"Jadi itu benar," Fulvia tersenyum geli.
Irvingtak ingin menanggapi.
"Terima kasih Anda sudah menemani saya sampai di sini," kata Fulvia sopan, "Dari
sini saya bisa pulang sendiri." Sesuatu memperingatiIrving. "Kau akan pulang sendiri?"
"Jangan khawatir," Fulvia tersenyum, "Kereta kami akan mengantar saya pulang."
Tiba-tiba sajaIrvingmerasa begitu bodoh. Bagaimana mungkin gadis manja
sepertinya pulang sendiri di malam buta seperti ini"
Irvingtidak menahan juga tidak melarang Fulvia pergi meninggalkannya ke halaman
belakang. Derap kaki kuda terdengar kian mendekat.
"Seorang lagi gadis manja," katanya berlalu dari serambi.
Kaki-kaki kuda itu mulai beranjak menuju pintu gerbang.
Tiba-tibaIrvingmerasa asing. Sesuatu... sesuatu membuatnya was-was.
Irvingberbalik. Di pintu gerbang tampak sesosok gadis melacu kudanya dengan cepat.
"Gadis itu!?"Irvingkaget melihat sosok itu kian menjauh.
Mereka menghilang dalam kegelapan malam.
'Bukan urusanku,'Irvingberbalik dan kembali ke tempat di mana ia seharusnya
berada. Seorang pria berdiri disana- beberapa meter dari serambi. Ia
mengawasiIrvingdengan perasaan tidak senang yang tergambar jelas di wajahnya yang mengeras itu.
Irvingmelihat Davies dan ia tidak suka dengan cara pria itu memandangnya. Ia
tidak mempunyai masalah dengan pria itu tetapi pria itu seakan-akan ingin menghitung dendam di
antara mereka. Davies memelototiIrving. Ia tidak suka pria itu. Ia tahu ia seharusnya
menghentikan kedua sepupunya pagi ini. Ia sadar pria itu akan membawa bahaya pada Fulvia tapi kedua sepupu
itu tidak tahu. Bahkan Davies dapat memastikan keduanya tidak akan peduli selama mereka tahuIrvingakan
dapat membantu mereka memecahkan perseteruan di antara mereka ini.
"Aku peringati kau jangan mempermainkan adikku," bisik Davies.
"Aku tidak tertarik pada gadis ingusan sepertinya," balasIrvingdingin.
"Kau tidak pantas mengatakan hal itu. Kau tidak mengenal Fulvia," Davies
terangterangan menunjukkan kekesalannya.
"Apa bedanya ia dengan gadis-gadis lainnya?" kataIrvingsambil berlalu
meninggalkan Davies dalam kedongkolannya. Bila kedua sepupu itu tidak menyadari bahaya yang dibawaIrving, maka Davies lah
satu-satunya orang yang dapat melindungi Fulvia.
Davies tidak akan membiarkan pria dengan reputasi miring semacam ini mendekati
adiknya. "Adaapa, Davies?"
Davies berbalik. "Mengapa kau tiba-tiba meninggalkanku?" tanya Margot.
"Aku perlu mengurus suatu masalah," kata Davies sambil menggiring wanita itu
kembali ke dalam. 2 Fulvia tidak tenang. Hatinya gelisah. Pikirannya kacau.
Sepanjang pagi ini ia telah berkeliling Unsdrell dan terus mengelilinginya
tetapi ia masih belum mendapatkan suatu ide. Fulvia telah membalik-balik semua buku yang dirasanya dapat memberinya ide di
Ruang Buku. Fulvia telah mengamati setiap lukisan yang dilaluinya untuk mendapatkan ide
darinya. Fulvia telah berkeliling taman untuk melihat andai ada tanaman yang dapat
memberinya ide bagus. Fulvia telah meneliti setiap ornament-ornamen yang menghiasi Unsdrell.
Setiap sudut Unsdrell telah ditelitinya tetapi Fulvia masih tidak tahu harus
memberi hadiah apa untuk kedua orang tuanya pada ulang tahun pernikahan mereka mendatang. Ia ingin
memberi suatu hadiah istimewa untuk keduanya tetapi ia tidak tahu apa.
Tidak akan ada yang dapat membantunya memecahkan masalah ini.
Davies, kakaknya yang tidak peka itu tidak akan mengerti keinginannya ini.
Fulvia yakin bila Davies akan berkata,
"Untuk apa kau pusingkan hal semacam itu" Kulihat Papa dan Mama tidak kekurangan
apa pun." Bahkan Fulvia tidak akan kaget bila kakaknya lupa ulang tahun pernikahan orang
tua mereka telah ada di depan mata. Hanya sebulan mendatang.
Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Fulvia juga tahu mereka tidak kekurangan apa pun. Tetapi ia tetap ingin
memberikan sesuatu yang berharga pada mereka. Sesuatu yang istimewa untuk keduanya.
Tetapi apakah itu" "Kulihat pagi-pagi kau sudah menjadi hantu yang menggentayangi Unsdrell."
Fulvia terkejut. Davies bersandar di dinding Hall seakan-akan telah menanti kemunculannya sejak
lama. "Kau mencari sesuatu?" Davies mendekat.
"Tidak," Fulvia berbohong, "Aku tidak mencari sesuatu."
"Tidak biasanya kau menggentayangi Unsdrell seperti ini."
"Sungguh, Davies," Fulvia meyakinkan, "Aku tidak sedang mencari sesuatu."
"Apa kau sedang memikirkan kedua pria itu?"
"Dua pria?" Fulvia heran, "Siapa?"
"Jangan berpura-pura tidak tahu," Davies mengejek.
"Kau maksud Trevor dan Richie?" tanya Fulvia. "Tidak. Aku tidak sedang
memikirkan mereka." "Kukira kau sedang berpikir mengapa mereka berdua tidak muncul hari ini."
Fulvia tertawa geli. "Aku hampir saja melupakan mereka kalau kau tidak mengingatkanku," Fulvia
menahan tawa gelinya, "Kau benar. Tidak biasanya mereka tidak melaporkan diri hingga siang."
Davies menatap adiknya penuh curiga.
"Aneh. Tidak biasanya mereka absent seperti ini," Fulvia menatap kakaknya, "Kau
tahu apa yang terjadi pada mereka?"
"Rasanya aku lebih tahu sesuatu telah terjadi padamu," Davies menjawab tenang,
"Sesuatu pasti telah
mengganggumu sehingga kau melupakan kedua pria itu."
"Kau terlalu curiga, Davies," Fulvia mengelak, "Katakan, Davies, apakah kau tahu
bulan depan ada hari special apa?" "Hari special?" Davies berpikir keras, "Kurasa tidak ada."
"Sudah kuduga," kata Fulvia.
"Apa?" "Tidak ada," Fulvia melalui kakaknya sambil melambaikan tangan, "Aku tidak
mengatakan apa-apa."
"Kau kira aku percaya?" Davies menangkap pinggang gadis itu dan menggelitiknya.
Fulvia berteriak kaget. "Hentikan, Davies!" katanya menahan rasa geli.
"Kau yang memintanya," Davies tidak berhenti.
"Oh, Davies," Fulvia menepis tangan Davies dengan sia-sia, "Hentikan."
"Aku hanya akan berhenti bila kau mengatakan apa yang ada dalam pikiranmu itu."
"Baiklah, Davies. Aku menyerah."
Davies langsung menghentikan godaannya.
"Aku sedang berpikir, kakakku sayang," Fulvia melingkarkan tangannya di leher
kakaknya dengan manja, "Mengapa kau sangat tidak peka seperti ini?"
"Kau mengatakan apa?" nada Davies mengandung bahaya.
Fulvia tersenyum nakal. "Kau adalah pria yang paling tidak peka yang pernah
kutemui." "Aku mengkhawatirkanmu dan kau mengatakan aku tidak peka," Davies merujuk,
"Apakah itu hadiah atas kepedulianku padamu?"
Fulvia mendekatkan wajahnya. "Ya, kakakku sayang," ia mencium pipi Davies lalu
berlari menghindari kakaknya. "Kau!?" Davies langsung mengejar gadis itu.
Fulvia tertawa riang sambil berlari ke luar Unsdrell.
"Aku akan menangkapmu!" Davies mengejar Fulvia.
"Cobalah kalau kau bisa," Fulvia menoleh.
"Fulvia! Lihat depan!" Davies tiba-tiba berteriak panik.
Kaki Fulvia tergelincir sesuatu. Fulvia kaget. Tubuhnya kehilangan keseimbangan.
"Aku mendapatkanmu," seseorang menangkap tubuh Fulvia.
"Tangkapan bagus, Richie," kata Davies.
Fulvia melihat pria penolongnya dengan heran. "Richie" Mengapa kau di sini?"
"Aku telah menolongmu dan itukah sambutanmu padaku?" Richie sedih.
"Tidak. Tidak," Fulvia cepat-cepat membenarkan ucapannya, "Aku hanya heran
mengapa kau ada di sini." "Tidak biasanya kau muncul di siang hari seperti ini," Davies memberikan
penjelasan lebih lanjut. "Papa menahanku. Ia menceramahiku lagi."
"Paman Graham benar, Richie," Davies membela Earl Graham, "Sudah saatnya kau
bersikap lebih dewasa. Engkaulah satu-satunya pengganti ayahmu."
"Bagaimana denganmu?" Richie tidak dapat menerima pendapat Davies itu, "Kau juga
satu-satunya penerus ayahmu dan kau masih saja senang bercanda dengan Fulvia."
"Apa boleh buat," Davies menyerah, "Ia yang memulainya."
Fulvia tersenyum nakal. "Lagipula, Richie, aku jauh lebih muda darimu," Davies menambahkan dengan senyum
penuh kemenangan. "Kau hanya lebih muda tiga tahun dariku. Tidak lebih dari itu," Richie yang
paling tua di antara ketiga pria itu jengkel. "Di mana Trevor?" tanya Fulvia mengalihkan pembicaraan.
"Trevor belum datang?" Richie bertanya heran.
"Aku kira kalian datang bersama-sama," Davies heran kemudian ia menambahkan,
"Setelah mengurus masalah kalian, tentunya."
"Tidak, Davies. Jangan mencurigai kami seperti itu. Kami sudah berjanji padamu."
"Janji apa?" tanya Fulvia tertarik.
"Janji di antara kaum pria, Fulvia," Richie tersenyum.
"Tampaknya aku tidak boleh tahu," Fulvia kecewa.
Mereka bertiga masuk ke dalam Unsdrell.
"Mengapa Trevor belum muncul juga?" Davies keheranan, "Biasanya pagi-pagi ia
sudah muncul." "Entahlah," kata Richie, "Aku tidak mendengar apa yang terjadi padanya. Tetapi,
apa pun yang terjadi, aku yakin Trevor baik-baik saja."
"Ia pria baja," Fulvia sependapat, "Mungkin ia mempunyai urusan keluarga.
Kuharap tidak terjadi sesuatu dengan mereka."
Davies memperhatikan Fulvia yang tampak lebih mengkhawatirkan keluarga Trevor
daripada pria itu sendiri. "Bagaimana perkembangan kalian?"
Davies tidak mengerti pertanyaan Richie itu.
"Jangan katakan padaku kalian masih belum mengalami perkembangan apa pun,"
Richie merangkul Davies, "Kau benar-benar payah."
Fulvia tersenyum. Ia teringat saat pertama kali Davies bertemu Margot.
Mata Davies tidak pernah terlepas dari Lady Margot. Ia juga tidak menghiraukan
Fulvia yang saat itu berada di sisinya. Hal itu cukup membuat Fulvia menyadari perubahan yang terjadi
pada kakaknya. Davies tidak pernah menunjukkan perhatian khusus pada satu wanita. Ia bahkan
dapat dikatakan tidak mengerti wanita. Tetapi, ia rela melakukan apa saja untuk adiknya tercinta,
Fulvia. Trevor juga Richie yang selalu kesal karena Fulvia lebih suka memilih Davies
daripada mereka, juga menyadarinya. Dan sebelum Fulvia melakukan apa pun untuk kakaknya itu, kedua
pria itu telah mendekati Lady Margot. Mereka membawa Lady Margot menemui Davies dan itulah awal perkenalan mereka.
Sejak itu pula Fulvia menyadari ia tidak lagi mempunyai orang ketiga yang dapat
dipilihnya demi menghindarkan pertengkaran kedua kakak sepupu yang disayanginya itu.
Countess muncul dari dalam Ruang Keluarga. Ia melihat ketiga teman sepermainan
itu berjalan beriring-iringan di koridor.
"Richie!" Countess gembira melihat pria itu muncul, "Kupikir hari ini kau tidak
datang." "Papa menahan saya, Bibi. Ia mulai menceramahi saya lagi."
"Aku dapat mengerti apa yang dikhawatirkan Graham," kata Countess, "Dan aku
sependapat dengannya." Richie mulai melihat gelagat yang tidak enak dan ia menjadi was-was.
"Aku tidak pada tempatnya untuk menceramahimu," Countess membuat Richie lega,
"Aku yakin Graham telah mengatakan semuanya."
"Ya," Richie mengeluh, "Ia berceramah sepanjang pagi."
"Ia mengkhawatirkanmu," Countess Kylie menghibur. "Kau mau makan siang bersama
kami, Richie?" Countess mengundang, "Kurasa makan siang sudah siap."
"Tentu, Bibi," Richie menerima ajakan itu.
Mereka meneruskan langkah kaki mereka ke Ruang Makan.
"Baru saja aku menduga kau akan melewatkan acara makan siang di sini, Richie,"
Count Clarck yang telah berada di dalam Ruang Makan menyambut rombongan itu.
"Bagaimana mungkin saya melewatkan acara seperti ini," Richie tertawa.
"Kurasa orang tuamu akan marah bila kau terus-terusan seperti ini," Davies
berkomentar, "Setiap hari
kau selalu melewatkan waktu makan siangmu di sini."
"Sebaliknya, Davies, orang tuaku pasti mengira aku sakit bila aku pulang rumah
untuk makan siang." Mereka tertawa geli. "Rasanya ada yang kurang bila tidak ada Trevor," gumam Fulvia.
"Di mana Trevor?" Count yang baru menyadari kekurangan anggota keluarga mereka
di meja makan bertanya heran. "Biasanya ia tak pernah melewatkan makan siang di sini."
"Entahlah. Sejak pagi ia belum muncul," jawab Davies.
"Kau tidak menyembunyikannya, bukan, Richie?" Countess tersenyum penuh arti.
"Tentu saja tidak, Bibi."
"Akulah yang akan menyembunyikannya sebelum ia menyembunyikanku."
Mereka menoleh ke pintu. "Trevor!" Fulvia terkejut, "Kukira kau tidak datang."
"Bagaimana mungkin aku melewatkan hari tanpa melihatmu, Fulvia," Trevor mencium
pipi Fulvia. "Akhirnya kau muncul juga," dengus Richie tidak senang.
"Apa yang membuatmu terlambat?" tanya Countess.
Trevor duduk di sisi Richie dan mendesah panjang.
"Mereka bertengkar lagi," katanya, "Kali ini masalahnya benar-benar parah. Lewis
pulang malam sambil mabuk dan pelayan mengatakan ia melihat Lewis pergi bersama seorang
wanita sebelumnya. Pagipagi ini kami berangkat ke Greenwalls untuk menghiburnya."
Countess mendesah panjang. "Aku sungguh tidak mengira Lewis akan berubah seperti
ini. Dulu ia adalah pemuda yang baik."
"Kurasa tekanan usahanya membuatnya berubah," komentar Count.
"Rasanya aku ingin mencekik pria sial itu," Trevor geram, "Ia hanya bisa membuat
Audrey sedih." "Bagaimana keadaan Audrey sekarang?" tanya Fulvia cemas.
"Ia sudah lebih baik," jawab Trevor, "Sekarang Mama ada bersamanya."
Fulvia termenung. Ia sungguh sedih memikirkan keadaan kakak sepupunya itu.
Audrey adalah wanita cantik yang baik hati. Fulvia sangat menyayangi dan
mengagumi wanita yang lebih tua dua belas tahun darinya itu. Audrey sering menjaga dan merawatnya
ketika ia masih kecil. Fulvia menyayangi Audrey seperti kakak kandungnya sendiri.
Enam tahun yang lalu, Audrey menikah dengan anak seorang pedagang kaya. Cinta di
antara keduanya begitu besar hingga Count of Garfinkelnn langsung merestui Audrey ketika mereka
berniat menikah. Seperti halnya yang lain, Fulvia menyayangi Lewis, kakak sepupu iparnya yang
baik hati itu. Ia masih anak-anak ketika mereka menikah. Ia masih kecil untuk mengerti arti sesungguhnya
sebuah pernikahan. Tetapi itu tidak mencegah Fulvia mengagumi cinta mereka berdua.
Sayangnya, bahtera rumah tangga mereka yang bahagia itu tidaklah bertahan lama.
Setahun yang lalu mereka mengalami musibah. Kebakaran hebat melalap rumah
mereka. Hingga sekarang tidak ada yang tahu pasti apa penyebabnya tetapi ada yang mengatakan
itu semua karena kelalaian seorang pelayan.
Dalam kebakaran itu, mereka kehilangan harta bendanya dan juga orang tua Lewis.
Kata orang-orang, orang tua Lewis tewas terbakar karena ingin menyelamatkan Audrey dan bayi dalam
kandungannya. Audrey selamat tetapi bayi dalam kandungannya tidak dapat diselamatkan.
Lewis yang saat itu berada di luar negeri untuk kepentingan usaha keluarga
mereka, menyalahkan diri atas musibah itu. Perasaan bersalah ditambah kerugian yang harus ditanggungnya
atas musibah itu membuatnya perlahan-lahan berubah.
Semenjak saat itulah Lewis menjadi suka mabuk-mabukan dan bermain perempuan.
Setiap hari ia pulang malam dalam keadaan mabuk dan ia membuat Audrey cemas.
Keluarga Garfinkelnn berniat membantu mereka tetapi Lewis menolaknya.
"Ini adalah urusan keluargaku!" bentaknya setiap kali ada yang mau membantunya.
Trevor bahkan pernah memaksa Audrey untuk pulang bersamanya. Tetapi, Audrey
bersikeras untuk tinggal bersama Lewis di Greenwalls.
Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka tahu tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk Audrey selain terus
memberikan dukungan. "Davies, kau tidak akan seperti itu bukan?" Fulvia bertanya penuh harap. "Aku
akan sangat membencimu kalau kau seperti itu."
"Jangan khawatir, Fulvia," kata Trevor tersenyum simpul sambil melirik Davies,
"Davies tidak akan mengkhianati Margot. Sebaliknya, aku rasa besar kemungkinan Margot meninggalkan
kakakmu." "Trevor!" Davies marah.
"Bukankah itu adanya?" Trevor membela diri, "Kulihat kau benar-benar tidak peka
terhadap wanita. Kau bahkan tidak pernah mengajak Lady Margot keluar. Kau benar-benar tidak
mengerti wanita." "Kurasa hal itu tidak mungkin," Fulvia berkata pelan, "Lady Margot menyukai
Davies karena ia seperti itu." Semua langsung melihatnya.
"Margot pernah berkata padaku, dengan sifat Davies yang seperti ini, ia tidak
perlu khawatir akan ada wanita lain yang merebut Davies darinya."
Davies terdiam sambil tersipu-sipu.
Trevor dan Richie langsung tertawa geli melihatnya.
"Fulvia, maukah kau menemaniku melihat keadaan Audrey," suara Countess Kylie
berlomba dengan tawa riang kedua sepupu itu, "Kita bisa sekalian pergi berjalan-jalan bila kau
mau. Kurasa engkau akan merasa lebih baik setelah kau keluar mencari hawa baru."
Fulvia terkejut. "Mama tahu?"
"Aku adalah ibumu," Countess tersenyum bangga, "Bagaimana mungkin aku tidak tahu
apa yang dipikirkan olehmu?" "Apakah kita bisa mengajak Audrey pula?" tanya Fulvia, "Kurasa ia jauh lebih
membutuhkan udara segar daripada aku."
"Tentu," jawab Countess, "Mungkin kita juga bisa mengajak Horace dan Yolanda."
Fulvia langsung menoleh pada para pria di ruang itu, "Kalian mau ikut?"
"Tidak," jawab Trevor.
"Kali ini aku melewatkannya," Richie cepat-cepat mengelak.
"Aku masih punya urusan yang harus kukerjakan," Count menolak.
"Aku tidak tertarik," Davies juga menolak.
"Sayang sekali," Fulvia kecewa.
"Kurasa kita harus segera bersiap-siap, Fulvia," Countess berdiri.
"Ya, Mama," Fulvia langsung mengikuti ibunya meninggalkan Ruang Makan.
"Selamat bersenang-senang," kaum pria itu tersenyum.
Sepeninggal mereka, "Kupikir kau senang pergi bersama Fulvia," Trevor mengejek Richie.
"Tidak bila kaum wanita itu pergi bersama-sama," jawab Richie ringan. Lalu ia
melirik Trevor, "Kesempatan ini kuberikan padamu. Kali ini aku mengalah padamu."
"Kau!?" Trevor berdiri, "Aku tidak butuh belas kasihanmu!"
"Oh, kau mau mulai lagi"!" Richie langsung berdiri, "Katakan saja kalau takut
pergi bersama mereka." "Jangan menuduhku! Kau sendiri juga tidak mau pergi bersama mereka."
"Pengecut!" "Apa kau juga bukan seorang pengecut!" Kau takut pada mereka, bukan?"
Count Clarck tersenyum geli. "Tentu akan sangat menakutkan bila pergi bersamasama mereka," Count berdiri, "Aku tidak ingin membuang waktu dan tenagaku hanya untuk berkeliling
sepanjang hari bersama mereka." Davies yang sudah tidak ingin lagi menghentikan kedua sepupu yang suka
bertengkar itu juga bersiapsiap meninggalkan Ruang Makan.
"Aku tidak akan heran bila mereka baru pulang besok pagi," katanya sambil
mengikuti ayahnya. Di pintu, Davies berbalik dan berkata tenang, "Rapikan kembali Ruang Makan bila
kalian selesai." Dan ia menutup pintu erat-erat. Seperti dugaannya, ia mendengar suara benda-benda dilempar dari dalam Ruang
Makan. "Kurasa kali ini yang lebih menakutkan adalah mereka," Davies menyimpan
tangannya di dalam saku celananya. "Kukira kau ada di dalam untuk menghentikan mereka."
"Aku sudah bosan," keluh Davies, "Biarkan saja mereka berkelahi sampai mereka
puas." "Mereka benar-benar akrab," Count Clarck tersenyum.
"Akrab" Mereka?" Davies bertanya heran, "Kurasa tidak. Dunia pasti sudah
terbalik bila mereka saling berangkulan."
Count Silverschatz tertawa mendengarnya.
-----0----"Terima kasih kalian mau datang," Audrey tersenyum bahagia tetapi itu
tidak dapat menutupi guratanguratan kesedihan di wajahnya. "Aku senang melihat kau sudah lebih baik," kata Countess Kylie.
"Terima kasih, Bibi Kylie. Saya sungguh merepotkan kalian."
"Jangan kaupikirkan itu. Lagipula anak gadisku juga memerlukan udara segar."
"Fulvia?" Audrey menatap gadis itu, "Apa yang sedang kaurisaukan?"
"Tidak ada," Fulvia tidak ingin memberitahu seorang pun di antara mereka, "Aku
hanya berkeliling Unsdrell pagi ini dan semua mengatakan aku menggentayangi Unsdrell."
"Kalau kau melihat muka seriusnya pagi ini, kau akan sependapat dengan kami."
"Audrey," Fulvia cepat-cepat mengalihkan perhatian, "Apakah kau mau ikut keluar
bersama kami?" "Kami datang bukan tanpa tujuan, Audrey," Countess Yolanda mengingatkan, "Kami
datang untuk membawamu keluar. Kau perlu melupakan segala masalahmu itu untuk sejenak."
"Mengurung diri sepanjang hari di sini tidak akan memecahkan masalahmu dan hanya
akan merusak kesehatanmu," Countess Horace, ibu Audrey menimpali.
"Tentu," Audrey tersenyum, "Dengan senang hati."
Begitu Audrey siap, mereka berlima berjalan kaki ke pusatkota. Greenwalls
tidaklah jauh dari pusatkotadan itulah yang membuat posisinya sangat mudah dicapai darikota.
Fulvia mengawasi Greenwalls ketika mereka bergerak meninggalkan rumah besar yang
terbakar habis setahun lalu itu. Gedung itu tidaklah semegah atau pun sebesar Castil Baramand, kediaman
keluarganya Earl of Ousterhouwl maupun kediaman dua keluarga yang lain. Sebelum terbakar, rumah itu
tampak sangat menawan dan sekarang, setelah musibah itu, bangunan mewah itu tampak begitu
kotor dan tak terawat. Sebenarnya, Count of Garfinkelnn berniat membiayai pemulihan bangunan itu,
tetapi Lewis menolaknya. Audrey juga tidak dapat berbuat apa-apa atas kekeraskepalaan
suaminya itu. Walaupun demikian, orang tua Audrey secara diam-diam telah mengutus beberapa
orang untuk memperbaiki Greenwalls. Lewis boleh tidak mengijinkan mereka menyentuh
Greenwalls tetapi ia tidak dapat melarang orang tua Audrey untuk melakukan sesuatu demi putri mereka.
Orang-orang utusan Count Graham bekerja secara diam-diam untuk membenarkan
bagian vital dari Greenwalls. Ia juga membantu Audrey mengisi kembali kekosongan rumah mereka.
Audrey mengetahui apa yang dilakukan ayahnya itu tetapi tidak pernah
mengatakannya pada Lewis. Ia hanya meminta ayahnya untuk tidak melakukannya secara mencolok. Audrey tidak
ingin harga diri suaminya terluka lebih dalam lagi.
Sebagai seorang pria bangsawan, Count Graham dapat mengerti perasaan Lewis dan
karena itu pulalah ia hanya melakukan apa yang ia rasa penting dan harus segera dilakukan.
Lewis yang terpuruk oleh beban yang dibuatnya sendiri, tidak menyadari perubahan
yang terjadi di Greenwalls walaupun itu kecil.
Penolakan Lewis untuk bangkit dari rasa bersalahnya membuat Audrey semakin
sedih. Audrey semakin hancur ketika Lewis lari ke minuman keras dan mulai bermain wanita di
luarsana. Sewaktu-waktu Audrey bisa meninggalkan Greenwalls dan suaminya. Pintu Osbesque
selalu terbuka untuknya. Tetapi, Audrey tetap memilih untuk mendampingi pria pilihannya itu.
Fulvia benar-benar mengagumi kakak sepupunya itu.
Walau Lewis telah menyakitinya sedemikian rupa, Audrey tetap berlapang dada.
Malah ia sering berkata pada Fulvia, "Aku percaya suatu hari nanti ia akan kembali pada Lewisku yang dulu. Aku
percaya ia akan berhasil mengatasi semua ini."
Audrey selalu dan selalu membela Lewis tak peduli apa pun yang dilakukan
suaminya itu. Fulvia berharap ia bisa melakukan sesuatu untuk Audrey, tetapi ia sadar ia masih
terlalu muda untuk memahami permasalahan rumah tangga mereka. Apa yang bisa dilakukan Fulvia
adalah menghibur Audrey dan mengajaknya berjalan-jalan untuk mencari udara segar seperti ini.
Hari ini mereka tidak mempunyai tujuan pasti. Mereka hanya berjalan sesuai arah
kaki mereka melangkah. Mereka juga tidak membeli apa-apa. Mereka hanya terus berkeliling dan
berkeliling sambil bercakap-cakap. Sesekali mereka berhenti untuk melihat benda yang menarik
perhatian mereka. Sesekali pula mereka memasuki tempat yang menurut mereka menarik. Mereka menikmati
perjalanan mereka ini. Audrey juga tampak gembira seakan-akan ia tidak mempunyai masalah apa pun.
Untuk melengkapi perjalanan mereka, Countess Horace mengundang mereka untuk
melewatkan waktu makan malam di Baramand. Beberapa saat sebelum mereka meninggalkan Greenwalls, Countess Horace meminta
seorang pelayan Greenwalls untuk memberi kabar pada Kepala Rumah Tangga Osbesque bahwa
mereka akan makan malam disana. Selain itu, Countess Horace juga meminta semua keluarga
Ousterhouwl dan Silverschatz berkumpul di rumahnya. Alunan musik yang lembut menghentikan langkah kaki Fulvia.
Mata Fulvia langsung mencari asal suara yang menarik perhatiannya itu.
Sepasang muda-mudi yang saling bertatapan mesra berputar-putar di atas sebuah
piringan kayu. Mereka berputar-putar seolah-olah sedang berdansa diiringi musik yang mengalun
lembut dari dalam kotak musik itu. Kedua pemuda kayu mungil itu mempesona Fulvia.
Senyum Fulvia merekah. Ia tahu! Akhirnya ia tahu apa yang akan diberikannya untuk orang tuanya. Fulvia
tahu apa hadiah ulang tahun pernikahan mereka yang mendatang.
"Fulvia!" Countess Kylie memanggil, "Apa yang kaulakukan?"
Fulvia terkejut. Ia melihat ibunya dan yang lain telah beberapa meter di
depannya itu. "Sudah waktunya kita pulang, Fulvia," Countess Horace mengingatkan. "Aku telah
meminta pelayan untuk menyiapkan makan malam di Osbesque."
"Aku datang." Pada saat yang bersamaan, seseorang muncul dari dalam toko tempat Fulvia melihat
kotak musik itu. Fulvia terkejut. Kemunculan pria itu begitu mendadak hingga Fulvia tidak dapat
menghentikan langkahnya sebelum ia menabrak pria itu.
Sepertinya pria itu juga tidak menyadari keberadaan Fulvia tetapi ia cukup
tangkas untuk menahan tubuh Fulvia, mencegahnya terjatuh.
"Terima kasih," Fulvia memegang hidungnya yang sakit oleh tabrakan tidak terduga
itu. Fulvia kaget melihat siapa yang ditabraknya itu.
Mata biru tua yang dinginIrvingmenatapnya dengan penuh ingin tahu.
"Kau tidak apa-apa,Irving?"
Fulvia melihat wanita cantik di sisiIrving.
Mata hijau wanita itu menatapIrvingpenuh perhatian lalu ia menatap tidak suka
pada Fulvia bahkan nadanya pun jelas-jelas menampakan rasa tidak sukanya ketika ia berkata,
"Di mana matamu, gadis cilik?"
"Fulvia, kau baik-baik saja?"
Fulvia tiba-tiba sadar keluarganya sedang menantinya. "Maafkan saya, M'lord,"
Fulvia membungkuk lalu ia cepat-cepat mendekati ibunya.
Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau tidak apa-apa?" tanya Countess cemas.
"Tidak apa-apa, Mama. Aku terlalu ceroboh."
"Kau ini hanya bisa membuatku cemas," keluh Countess Kylie.
"Tidak apa-apa, Mama. Sungguh aku tidak apa-apa," Fulvia merangkul tangan
ibunya. Mata dinginIrvingterus menatap tajam gadis yang terus menjauh bersama ibunya
itu. Tidak pernah ia bertemu gadis itu di jalanan seperti ini.
Tidak pernah ia bertemu dengan gadis itu secara kebetulan seperti ini.
Dan sekarang tiba-tiba gadis itu muncul di hadapannya.
Apakah ini rencana mereka" Rencana mereka untuk memaksanya terlibat dalam
hubungan cinta segitiga mereka" Irvingmembuang muka. Ia tidak tertarik untuk terlibat dengan mereka bertiga. Ia
tidak suka pada Davies yang terus mengawasinya sepanjang malam kemarin seperti polisi yang
sedang mengawasi buronannya dan ia tidak ingin diperlakukan seperti itu.
3 Acara makan malam semalam benar-benar menyenangkan.
Semua anggota ketiga keluarga itu berkumpul dalam satu meja makan besar dan
bercakap-cakap dengan riang. Semua tampak gembira.
Sepanjang malam mereka bergurau dan membicarakan masalah-masalah ringan.
Audrey juga tertawa lepas.
Fulvia sangat menikmati acara semalam.
Walaupun tidak ada musik yang mengalun lembut, tidak ada hiasan-hiasan indah
ataupun tamu dalam baju mewah, Fulvia merasa sangat gembira. Bahkan ia merasa acara semalam jauh
lebih meriah dan lebih menyenangkan dari pesta-pesta yang pernah ia datangi.
Countess Horace benar. Mereka sudah lama tidak berkumpul seperti ini.
Hubungan ketiga keluarga ini sangatlah dekat. Orang-orang mengatakan, di mana
ada keluarga Garfinkelnn, di situ pulalah keluarga Silverschatz dan keluarga Ousterhouwl.
Walaupun tidak jelas bagaimana hubungan saudara mereka, Fulvia tahu ia masih
berkerabat dengan dua keluarga yang lain. Tapi bukan itulah satu-satunya alasan kedekatan hubungan
mereka. Ketiga pasang orang tua dalam ketiga keluarga itu adalah sahabat sejak lama. Dan anak-anak
mereka juga berteman satu sama lain. Audrey yang paling tua di antara mereka sudah merupakan kakak bagi mereka
berempat. Ketiga putra dalam tiga keluarga itu adalah teman sepermainan semenjak kecil.
Usia mereka yang terpaut tidak jauh, membuat mereka dapat saling memahami. Begitu dekatnya
hubungan mereka bertiga hingga tiap orang akan mengatakan mereka adalah kakak beradik.
Dan, Fulvia, yang paling muda dalam ketiga keluarga ini adalah adik yang paling
disayangi keempatnya. Begitu sayangnya mereka pada Fulvia hingga Trevor selalu bertengkar
dengan Richie demi mendapatkan Fulvia. Tidak ada yang menganggap serius pertengkaran kedua sepupu itu kecuali Davies.
Bagi ketiga pasang orang tua itu, Davies cemburu karena ia tersingkirkan dalam
persaingan keduanya. Audrey sudah mulai mengenal cinta ketika pertengkaran itu dimulai dan ia telah
berumah tangga ketika pertengkaran antara Trevor dan Richie semakin jelas. Audrey terlalu repot untuk
mengurusi pertengkaran mereka yang menurutnya kekanak-kanakan itu.
Fulvia sendiri tidak pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri pertengkaran
itu. Walaupun begitu, ia tahu perselisihan antara Trevor dan Richie itu ada.
Fulvia tahu ia tidak pernah menganggap kedua kakak sepupunya itu serius
terhadapnya. Ia menyayangi
mereka seperti kakaknya dan ia tidak akan pernah jatuh cinta pada seorang di
antara mereka. Fulvia selalu dan selalu mengatakan itu pada mereka tapi keduanya tidak pernah sungguh-sungguh
mendengarnya. Mereka bercakap-cakap hingga larut malam dan mereka mungkin akan terus
bercakapcakap hingga pagi bila bukan karena Fulvia teringat ia masih mempunyai rencana esok hari.
Fulvia tidak akan mengatakannya pada mereka. Ia tidak akan membiarkan seorang
pun terutama kedua orang tuanya tahu karena ini adalah rahasia.
Fulvia telah memantapkan hati untuk membeli kotak musik yang dilihatnya sore
ini. Ia akan memberikannya sebagai hadiah ulang tahun pernikahan orang tuanya.
Semalam Fulvia telah memutuskan dan pagi ini ia sudah tidak sabar untuk segera
membelinya. Ulang tahun pernikahan orang tuanya memang masih sebulan lebih lagi tetapi
Fulvia tidak ingin hadiah pilihannya dibeli oleh orang lain. Fulvia ingin segera membeli dan menyimpannya
hingga hari itu tiba. Tetapi untuk dapat membelinya tanpa sepengetahuan orang tuanya, Fulvia perlu
mencari alasan yang tepat.
Ketika itulah ide itu datang dengan tiba-tiba. Ia bisa menjenguk Audrey setelah
membelinya dan meminta kakak sepupunya itu untuk menilai hadiah pilihannya.
Pagi itu Fulvia meminta ijin pada kedua orang tuanya untuk menemui Audrey.
Fulvia tidak ingin Trevor maupun Richie tiba sebelum ia pergi. Untunglah kedua orang tuanya tidak
bertanya panjang lebar. Davies juga tidak bersikeras untuk menemaninya.
Kereta keluarga mereka telah menanti di depan pintu ketika Fulvia tiba.
"Aku ingin pergi kekotadulu," bisiknya pada kusir kuda yang tanpa bertanya
langsung mengantarnya kekota, ke tempat yang ia inginkan.
Fulvia mengamati kotak musik di balik jendela toko itu.
Dengan langkah mantap, Fulvia melangkah ke toko itu. Hatinya gembira
membayangkan reaksi kedua
orang tuanya ketika menerima hadiah itu.
Selangkah lagi Fulvia akan memasuki toko itu ketika pikiran itu tiba-tiba datang
padanya. Apakah bedanya hadiah ini dengan hadiah yang lain"
Tahun lalu ia membeli sebuah lukisan yang indah untuk mereka. Dan tahun
sebelumnya ia membelikan orang tuanya sebuah hiasan yang cantik. Tahun-tahun sebelumnya ia juga
membelikan sesuatu untuk mereka. Fulvia menginginkan sebuah hadiah yang istimewa.
Apakah bedanya hadiah ini dengan hadiah-hadiah sebelumnya bila ia membelinya
dengan uang orang tuanya" Orang tuanya memang telah memberikan uang tersendiri untuknya tetapi uang itu
tetap uang mereka. Uang itu bukanlah hasil kerja kerasnya.
Fulvia termangu. Kotak musik yang cantik itu akan menjadi semakin istimewa bila ia membelinya
dengan uang hasil kerja kerasnya sendiri. Tetapi...
Fulvia tidak bisa mencari uang sendiri. Fulvia yakin kedua orang tuanya tidak
akan setuju dengan idenya ini. Davies juga pasti akan menganggapnya gila. Lagipula siapa yang akan
mempekerjakan seorang putri bangsawan sepertinya"
Fulvia sadar ia tidak mempunyai kemampuan spesial apa-apa. Ia hanya bisa
melakukan apa yang seorang bangsawan wanita harus bisa. Ia bisa bermain piano dengan indah. Ia bisa
membuat sebuah puisi yang indah. Ia juga mempunyai tata karma yang tinggi. Ia bisa berjalan elok
sebagaimana layaknya seorang
bangsawan. Ia mampu berbicara dalam beberapa bahasa terutama bahasa Latin.
Tetapi keluarga bangsawan manakah yang akan mempekerjakannya"Parabangsawan yang lain pasti
lebih suka memilih seseorang yang berpengalaman darinya.
Fulvia termangu. Ia berjalan meninggalkan toko itu dengan pikiran kacau.
Adakah seorang di antara tempat ini yang mau mempekerjakannya"
Fulvia melihat sekelilingnya. Ia bukan bagian dari tempat ini. Ia adalah bagian
dari kalangan atas bukan kalangan menengah ataupun kalangan bawah. Tidak akan ada seorang pun
yang bersedia mempekerjakannya. Fulvia berkeliling seiring langkah kakinya. Ketika Fulvia menyadari ia telah
berjalan terlalu jauh dari kereta keluarganya, ia mendapati dirinya berada di depan sebuah toko roti.
Fulvia mencium bau wangi roti dari dalam tempat itu. Wangi itu benar-benar
memikatnya dan membangkitkan selera makannya.
Tiba-tiba terpikir oleh Fulvia untuk membeli beberapa potong roti untuk Audrey.
Dengan hati riang, Fulvia pun mendekat. "Selamat pagi, Nona," sambut sang penjaga, "Anda ingin membeli roti?"
"Ya," jawab Fulvia, "Bisakah Anda memberi saya tiga potong?"
Fulvia akan memberikan 2 potong untuk Audrey dan ia akan menyimpan sepotong yang
lainnya untuk keluarganya. "Brent, bisakah kau membantuku?"
"Sebentar, Jehona, aku mempunyai pembeli."
Pintu di dinding barat ruang sedang itu terbuka dan seorang anak kecil keluar
dalam keadaan telanjang bersamaan suara tangis bayi.
"Tim!" seorang wanita muncul dengan tergopoh-gopoh sambil membawa baju di
tangannya, "Jangan berlari-lari!" lalu wanita itu menoleh pada pria di depan Fulvia, "Brent! Bantu
aku sekarang juga!" Fulvia kebingungan melihat keributan dalam keluarga itu.
"Maafkan saya, Nona."
"Tidak mengapa," Fulvia tersenyum, "Saya tidak terburu-buru."
Pria yang dipanggil Brent itu segera menangkap putranya yang mulai membuat
kekacauan di tempat kerjanya sementara itu wanita muda itu bergegas masuk ke dalam ruangan.
"Sudah kukatakan kita harus mencari seseorang untuk membantu kita," terdengar
wanita itu mengeluh, "Aku tidak bisa melakukan ini semua seorang diri. Aku harus merawat Tim, menjaga
Sammy, membantumu juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Aku benar-benar
kewalahan." Fulvia mendapat ide. "Aku tahu," Brent mendudukan putranya dengan paksa kemudian mengenakan baju
padanya, "Kita tidak mempunyai cukup uang untuk membiayai seorang pekerja."
"Maafkan kelancangan saya," Fulvia memberanikan diri, "Apakah Anda membutuhkan
seseorang" Bila anda tidak keberatan, saya bisa membantu Anda."
Jehona langsung melongok keluar.
Brent menatap Fulvia lekat-lekat. Ia memperhatikan Fulvia dari atas mulai dari
bawah. "Saya melihat Anda tidak membutuhkan uang, Nona."
Fulvia kecewa. Ia sudah dapat menduga penolakan pria itu tetapi ia tidak akan
menyerah semudah itu ketika kesempatan seperti ini ada di depan matanya.
"Ya, Anda bisa mengatakannya seperti itu tetapi itu juga tidak sepenuhnya benar.
Saat ini saya ingin sekali mencari uang dengan jerih payah saya untuk membeli hadiah."
"Hadiah?" Jehona keluar sambil menggendong seorang bayi mungil.
"Ya, saya ingin membeli hadiah yang istimewa untuk kedua orang tua saya," Fulvia
menjelaskan, "Bulan depan adalah ulang tahun pernikahan mereka dan saya ingin memberikan
sesuatu yang berbeda dari sebelumnya." Brent mengamati Fulvia. "Saya rasa Anda tidak mengalami kesulitan untuk membeli
apa pun yang Anda inginkan," ia mencermati gaun Fulvia yang menunjukkan derajatnya.
Hati Fulvia menciut melihatnya.
"Hebat!" pekik gembira Jehona itu membuat Fulvia terkejut. "Jadi Anda ingin
mengumpulkan uang untuk membeli hadiah ulang tahun pernikahan orang tua Anda."
"Ya," Fulvia kebingungan melihat wanita itu tiba-tiba mendekatinya dengan penuh
rasa ingin tahu. "Ini luar biasa!" Jehona berseru gembira, "Saya membutuhkan seseorang untuk
membantu saya dan Anda membutuhkan pekerjaan. Ini benar-benar luar biasa!"
"Jehona! Kita tidak mempunyai cukup uang untuk membiayai seorang pekerja pun!"
Brent menegaskan, "Lagipula apa kau tidak dapat melihatnya! Ia tidak cocok melakukan pekerjaan
kasar." "Tidak mengapa, Brent," kata Jehona gembira, "Aku tahu. Ia cukup membantuku
menjaga Tim dan Sammy. Aku yakin ia bisa melakukan itu."
Fulvia merasa ia mempunyai harapan. "Tentu," katanya gembira.
"Bagus," Jehona puas, "Kapan Anda bisa mulai?"
"Jehona!"
Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan khawatir, Tuan Brent," kata Fulvia, "Saya tidak membutuhkan banyak uang.
Hadiah yang ingin saya beli juga tidak mahal. Saya juga mempunyai waktu cukup sebelum hari ulang
tahun pernikahan orang tua saya itu. Anda tidak perlu merasa terbebani untuk membayari saya. Berapa pun
yang Anda berikan pada saya, saya tidak keberatan."
"Kau dengar itu!?" Jehona tampak sangat puas.
Brent melihat kesungguhan Fulvia dan kepuasan Jehona.
"Anda tidak cocok berada di sini dengan gaun seperti itu," katanya kemudian.
Fulvia tersenyum gembira. Ia tahu pria itu telah luluh hatinya.
"Saya mengerti. Besok saya akan datang dengan baju yang lebih sesuai."
"Besok Anda akan mulai?" Jehona bertanya lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.
"Ya," Fulvia meyakinkan, "Saya yakin besok saya bisa datang."
"Bagus! Bagus!" Jehona tampak sangat puas.
"Besok Anda bisa datang kurang lebih pada waktu yang sama seperti saat ini,"
kata Brent. "Terima kasih, Tuan Brent," Fulvia gembira, "Saya rasa ada sesuatu yang belum
Anda berikan pada saya." Brent bertanya-tanya. "Anda belum memberi saya tiga potong roti yang ingn saya beli."
Brent langsung bangkit untuk mengambil roti permintaan Fulvia.
Fulvia langsung membayar roti-roti itu dan pergi ke rumah Audrey dengan gembira.
Jehona benar, ini benar-benar luar biasa. Baru saja ia bingung bagaimana
mendapatkan uang untuk membeli hadiah bagi orang tuanya ketika ia mendapatkan kesempatan itu. Fulvia
merasa semuanya seperti telah diatur tetapi ia tidak merasa keberatan. Ia sangat gembira karenanya.
Sekarang Fulvia harus memikirkan alasan meninggalkan Unsdrell untuk esok dan
seterusnya. Fulvia yakin ini akan lebih mudah. Ia bisa mengatakan pada orang tuanya bahwa ia ingin
mengunjungi Audrey dan Audrey juga tidak akan keberatan membantunya.
Di antara semua keluarganya, hanya Audrey yang mengerti dirinya. Audrey mungkin
tidak setuju dengan keinginannya ini tetapi setelah ia menjelaskannya, Audrey pasti dapat
mengerti keinginannya ini. Seperti yang diperkirakan Fulvia, Audrey tidak setuju dengan rencananya itu.
"Aku tidak setuju!" kata Audrey tegas, "Aku tidak akan pernah membiarkanmu
melakukan itu!" "Tapi, Audrey," pinta Fulvia, "Aku tidak melakukan sesuatu yang salah. Aku hanya
ingin membeli sebuah hadiah dengan hasil jerih payahku sendiri."
"Aku tidak setuju, Fulvia. Apa yang akan dikatakan orang tuamu terutama kakakmu
bila ia mengetahuinya?" "Karena itu, Audrey, jangan biarkan mereka mengetahuinya."
"Apakah kau mencoba menjerumuskanku dalam rencana gilamu itu?"
"Tidak, Audrey, ini bukanlah rencana gila. Aku hanya ingin membeli hadiah yang
istimewa untuk orang tuaku. Selama ini mereka telah merawatku dengan jerih payah mereka. Apakah
salahnya bila aku juga memberi mereka sesuatu yang kudapat dengan jerih payahku?"
Audrey terdiam. "Kumohon, Audrey," pinta Fulvia, "Kau tidak perlu melakukan apa pun. Kau hanya
perlu membantuku menutupi alasanku ini. Aku yang akan menanggung semuanya."
Audrey diam melihat pandangan memohon adik sepupunya itu.
"Davies pasti akan mencekikku kalau ia tahu."
Fulvia tersenyum gembira. "Terima kasih, Audrey," ia memeluk wanita itu, "Aku
tahu kau akan membantuku." "Aku tidak mengatakannya."
"Terima kasih, Audrey. Aku menyayangimu."
Audrey mendesah melihat kegembiraan gadis itu dan ia pun menyerah,
"Aku tidak mau disalahkan bila mereka mulai mencium sesuatu yang janggal."
"Tentu, Audrey. Aku juga akan berhati-hati," janji Fulvia.
Audrey mendesah panjang. Ia tidak tahu apakah yang dilakukannya ini benar atau
salah. Tetapi melihat kegembiraan Fulvia, ia merasa tidak ada salahnya ia ikut membantu Fulvia
membohongi keluarganya. Lagipula Fulvia melakukannya karena baktinya pada orang tuanya, bukan"
Fulvia gembira. Ia sangat gembira. Dengan Audrey di belakangnya, Fulvia yakin
Davies tidak akan curiga bila ia keluar rumah seharian setiap hari. Dan kedua kakak sepupu yang
selalu mengikutinya itu pasti tidak akan bertanya panjang lebar. Mereka juga tidak akan memaksa untuk
ikut dengannya. Fulvia tahu benar sifat kedua kakak sepupunya itu.
Mereka suka mengikutinya, menemaninya dan membawanya pergi tetapi mereka tidak
suka bila ada wanita dalam keluarga mereka. Mereka tahu kaum wanita dalam keluarga-keluarga
mereka itu pasti akan berbicara sendiri dan melupakan keberadaan mereka. Dan yang terparah, menurut
mereka, kaum wanita itu akan berbicara sepanjang hari hingga membuat mereka bosan.
Masalah ijin sudah beres sekarang tinggallah masalah gaun.
Begitu tiba di rumah, Fulvia langsung mencari-cari baju pelayan di Kamar Kerja,
tempat baju-baju pelayan dan peralatan mereka disimpan.
Untuk memperkecil kecurigaan keluarganya, Fulvia akan mengenakan gaunnya ketika
ia pergi meninggalkan Unsdrell dan di toko kue itulah Fulvia akan mengganti bajunya
dengan baju pelayan pilihannya. Fulvia akan kembali berganti baju sebelum pulang.
Fulvia yakin Jehona tidak akan keberatan meminjamkan kamarnya sebentar.
"Besok akan menjadi hari yang menyenangkan," kata Fulvia pada dirinya sendiri
sebelum beranjak tidur. Fulvia benar-benar sudah tidak sabar untuk menanti pagi hari sehingga ia
langsung bangun begitu sinar matahari mulai menyinari bumi.
"Papa," kata Fulvia ketika mereka telah duduk di meja makan, "Hari ini aku akan
pergi ke Greenwalls lagi." "Lagi"!" Davies terperanjat. Mata Davies mengingatkan Fulvia akan kejadian
kemarin sepulangnya dari rumah Audrey. Davies menyambutnya dengan keluhan-keluhan panjangnya. Ia mengatakan Trevor
juga Richie terus mengomel begitu mendengar kepergiannya ke Greenwalls. Davies telah mengusir
mereka pulang tetapi mereka berdua lebih memilih untuk tetap tinggal.
Bukan omelan kedua pria itu yang membuat Davies ingin mendepak mereka keluar
dari Unsdrell. Pertengkaran mereka itulah yang benar-benar membuat Davies kesal. Tetapi, tentu
saja, Davies tidak memberitahu Fulvia tentang bagian ini. Davies tahu Fulvia pasti tidak suka
mendengarnya. Trevor maupun
Richie juga pasti akan marah besar bila ia memberitahu Fulvia rahasia di antara
mereka berdua ini. Kedua pria itu benar-benar membuat kepala Davies pusing.
Sehari sebelumnya, mereka telah berjanji untuk tidak bertengkar hingga pria pilihan
mereka menjawab pertanyaan mereka. Mereka sendiri berjanji untuk menahan diri hingga diketahui
siapa di antara mereka berdua yang lebih dicintai Fulvia.
Tetapi kemarin mereka telah melanggar janji mereka sepanjang hari kemarin.
"Maafkan aku, Davies," pinta Fulvia, "Audrey membutuhkan teman dan aku telah
berjanji untuk menemaninya sepanjang hari ini dan untuk beberapa hari mendatang."
"Besok juga!" Dan besok besok besoknya lagi juga!?" Davies kaget.
"Fulvia benar," bela Countess, "Saat ini yang diperlukan Audrey adalah teman
bicara." "Apa yang harus kulakukan terhadap dua orang itu," keluh Davies.
"Aku yakin kau bisa membantuku menjelaskannya pada mereka," Fulvia tersenyum
penuh arti. Davies menyerah. Ia tahu apa pun yang dilakukannya ia tidak akan dapat mencegah
Fulvia juga kedua sepupunya itu. "Mengapa engkau tidak menginap saja disana?" tanya Count Silverschatz.
Fulvia juga telah memikirkannya. Semuanya akan lebih mudah bila ia menginap di
Greenwalls tetapi, "Tidak, Papa. Lewis pasti tidak akan senang melihat aku berada disana."
"Aku dapat mengerti itu," kata Countess, "Ia pasti akan mencurigaimu dan mungkin
mengusirmu." "Ya," Fulvia sedih.
Kakak sepupu iparnya itu dulu adalah seorang yang baik. Ia tidak pernah menolak
kehadirannya di Greenwalls. Ia malah sering mengajaknya menginap di rumah mereka. Tetapi itu
adalah dulu. Kakak sepupu iparnya yang sekarang pasti akan mencurigainya memata-matai
kegiatannya. Lewis pasti akan mengira kedatangannya untuk mencampuri masalah keluarganya dan ia pasti
tidak akan segan mengusirnya. "Aku akan meminta pelayan untuk menyiapkan kereta kuda."
"Tidak perlu, Mama," Fulvia mencegah, "Aku rasa aku akan pergi sendiri kesana."
Countess menatap putrinya lekat-lekat.
"Aku akan merasa lebih bebas bila aku pergi sendiri. Aku bisa pulang sesukaku
tanpa perlu menanti jemputan. Aku janji aku tidak akan pulang larut malam."
"Apa salahnya kita membiarkan Fulvia," kata Count, "Greenwalls juga tidak jauh."
"Terima kasih, Papa," Fulvia gembira.
4 Sudah dua minggu ini Fulvia menghabiskan hari-harinya.
Fulvia tidak pernah menduga menjaga seorang anak akan sangat menyenangkan.
Pada awal mulanya, Fulvia kewalahan menghadapi tingkah Tim. Anak lelaki berusia enam tahun itu
tidak mau diam.Adasaja yang dilakukannya. Fulvia hampir putus asa karenanya.
Jehona tersenyum melihatnya. Ia tidak menyalahkan Fulvia juga tidak menegurnya.
Dengan sabar ibu muda itu menceritakan pengalamannya setelah melahirkan Tim. Ia juga mendorong
Fulvia untuk tetap bersabar menghadapi tingkah putranya.
Dorongan Jehona sangat membantu Fulvia mengatasi rasa putus asanya dan ia
menjadi lebih tegar dalam menghadapi ulah bocah kecil itu.
Sepasang suami istri itu tidak mengetahui siapa Fulvia. Mereka hanya menduga
Fulvia adalah putrid seorang pedagang kaya dan mereka tidak bertanya banyak. Di sisi lain, Fulvia
juga tidak ingin mereka mengetahui apa pun tentang dirinya.
Awal mulanya, Fulvia merasa canggung berada dalam keluarga itu. Ia benar-benar
merasakan perbedaan kehidupan mereka dengan keluarganya. Di sini tidak ada pelayan yang
selalu siap melakukan apa saja untuknya. Di sini tidak ada kenyamanan-kenyamanan yang ia miliki di
Unsdrell. Di hari pertama Fulvia menghabiskan waktu makan siang disana, Fulvia benar-benar
canggung. Ia tidak pernah menghadapi santapan yang sederhana seperti ini. Di rumahnya, acara
makan siang adalah acara yang panjang. Satu per satu makanan mulai dari sup pembuka hingga makanan
manis datang bergantian dan sejumlah pelayan siap menanti di Ruang Makan untuk melayani
mereka. Sekarang di depannya semua telah tersedia dan tidak ada pelayan yang akan membantunya
mengambil lauk pauk di depannya itu. Tidak ada makanan pembuka maupun penutup. Fulvia sadar ia tidak
berada di Unsdrell dan ini adalah keputusannya. Suatu pagi Fulvia terkejut menyadari ia telah terbiasa dengan hidup sederhana
mereka. Fulvia sama sekali tidak menduga ia bisa beradaptasi dengan cara hidup mereka dalam waktu
singkat ini. Fulvia menyukai keluarga ini. Ia mulai menyayangi mereka seperti ia menyayangi
keluarganya sendiri. Walaupun mereka hidup sederhana, mereka selalu tampak bahagia. Fulvia menyukai
suasana hangat dalam keluarga itu seperti ia menyukai suasana hangat dalam keluarganya ketika mereka
berkumpul bersama. Walaupun kini Fulvia telah menjadi satu bagian dari keluarga kecil itu, ia
tetaplah berbeda dari mereka. Setiap orang yang melihatgayabicaranya tahu ia adalah seorang yang
berpendidikan. Setiap orang
yang melihat keluwesan dan keanggunan gerakannya tahu ia bukanlah anggota
kalangan kelas menengah atau kelas bawah. Brent mengetahui itu tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia membiarkan
pembelinya yang berpikir sendiri. Ia juga tidak mengatakan apa-apa kepada tetangga mereka.
Jehona sendiri juga tidak mengatakan apa-apa mengenai Fulvia kepada
Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kawankawannya. Wanita yang
gemar menghabiskan waktu untuk bergossip ria itu benar-benar mendukung keinginan
Fulvia untuk membeli sebuah hadiah dengan hasil jerih payahnya. Ia bahkan memarahi setiap
orang yang mencurigai identitas Fulvia. Sesuai keinginan mereka, Fulvia selalu memasuki toko dengan sembunyi-sembunyi.
Ia memasuki tempat itu dari pintu samping yang tersembunyi di dalam lorong kecil dan ia
meninggalkan tempat itu dari
tempat itu pula. Setiap hari ia menambatkan kudanya di pekarangan tetangga
mereka. Brent tidak mempunyai kuda tetapi tetangganya mempunyainya dan kepada mereka ia
mengatakan bahwa itu adalah titipan pelanggannya.
Dukungan mereka terhadapnya benar-benar membuat Fulvia terharu. Fulvia ingin
sekali melakukan sesuatu untuk mereka tetapi ia tidak tahu apakah itu. Fulvia dapat membeli baju
bagus untuk mereka tetapi Fulvia yakin mereka akan menolaknya. Fulvia bisa saja membawa makanan-makanan
yang lezat dari Unsdrell, tetapi itu sama saja menghina masakan Jehona yang tidak kalah dari
juru masak Unsdrell. Fulvia juga bisa membawakan berbagai macam mainan untuk Tim juga si kecil Sammy, tetapi
Brent pasti tidak setuju. Brent tidak ingin putranya terlalu dimanjakan dan ia lebih tidak ingin
putranya hanya bermain sepanjang hari sementara ada banyak pekerjaan yang membutuhkan bantuannya di
tempat itu. Suatu ketika Fulvia menyadari Tim tidak bisa membaca dan itu membuatnya
terkejut. Ia ingat ibunya telah mulai mengajarinya membaca semenjak ia masih kecil, lebih kecil dari usia
Tim saat ini. Semenjak saat itulah Fulvia tahu apa yang dapat dilakukannya untuk mereka.
Awalnya Tim selalu menolak bila Fulvia mulai mengenalkan alphabet padanya. Ia
juga tidak suka setiap kali Fulvia memintanya untuk melakukan tugas yang diberikannya.
Fulvia tidak pernah menduga mengajari seorang anak kecil akan sesulit ini dan ia
teringat masa-masa kecilnya. Fulvia tidak pernah menyusahkan Countess ketika Countess mengajarinya
membaca dan menulis. Fulvia ingat ibunya mengajarinya dengan cara yang menarik dan cara itu pulalah
yang kemudian digunakannya. Di Ruang Perpustakaan, Fulvia menemukan kertas-kertas bergambar yang dulu
digunakan Countess untuk mendapatkan perhatiannya. Fulvia juga menemukan beberapa buku cerita
bergambar. Berbekal benda-benda itulah ia menarik perhatian Tim dan kini Tim mulai dapat menikmati
pelajarannya. Fulvia sangat gembira karenanya. Ia juga tidak segan menjanjikan hadiah bagi Tim
setiap kali ia mempunyai kemajuan besar.
Brent tidak suka setiap kali Fulvia memberi mainan kepada Tim sebagai hadiah
atas keberhasilannya tetapi kemudian ia tidak pernah menentang niat Fulvia. Ia mengerti Fulvia hanya
ingin mendorong semangat Tim untuk terus maju. Perlahan ia mulai merasakan manfaat Fulvia
disana. Fulvia, si gadis kaya, benar-benar merepotkannya pada awal mulanya. Ia tidak
terlalu menyukai keberadaan gadis kaya itu di rumahnya. Ia tidak menyukai sikap Fulvia yang
jelas-jelas menunjukkan keheranannya melihat kesederhanaan hidup mereka. Tetapi gadis itu telah belajar
menyesuaikan diri. Kini gadis kaya itu telah menjadi guru pribadi anaknya dan ia berterima kasih
karenanya. Jehona juga sangat gembira. Sekarang Tim jauh lebih pendiam. Ia tidak lagi
banyak bertingkah seperti dulu dan tidak lagi merepotkannya.
Di saat ia mempunyai waktu, Tim akan mengerjakan tugas-tugas yang ditinggalkan
Fulvia untuknya. Tim menjadi semakin tekun dan rajin karena Fulvia selalu memberikan hadiah
padanya atas keberhasilannya walaupun itu tidak selalu berupa mainan. Apa pun bentuk hadiah
Fulvia, Tim selalu menyukainya. Tim menyukai gadis itu.
Fulvia sangat berterima kasih pada Audrey. Ia tidak akan mempunyai pengalaman
yang menyenangkan seperti ini bila bukan karena kakak sepupunya itu. Fulvia merasa bersalah karena
telah membuat Audrey membantunya mengelabuhi keluarganya dan ia semakin merasa bersalah karena ia
tidak pernah menemuinya semenjak hari itu.
Hari ini Fulvia telah memutuskan untuk menemui Audrey. Ia akan meminta ijin pada
Brent untuk pulang lebih awal. Dan itulah yang akan dilakukannya sekarang.
"Bila Anda tidak keberatan, Tuan Brent," kata Fulvia sopan, "Hari ini saya ingin
pulang lebih awal." Jehona menatapnya penuh rasa ingin tahu.
"Saya ingin mengunjungi kerabat saya," Fulvia menjelaskan.
"Sebaiknya engkau segera pergi kesana," kata Brent mengijinkan.
"Benarkah itu, Tuan Brent?" Fulvia gembira.
"Aku tidak ingin membuat orang tuamu cemas."
"Baik," Fulvia berdiri, "Saya mengerti." Lalu ia berkata pada Jehona, "Ijinkan
saya meminjam kamar Anda." "Silakan." Fulvia bergegas mengganti bajunya.
"Ia anak yang baik," Jehona berkata pada suaminya, "Ia banyak membantuku."
"Ya," Brent sependapat, "Ia juga telah membantu kita mengajari Tim. Kadang aku
merasa bersalah padanya. Bayarannya sebagai seorang guru terlalu kecil untuknya."
"Tetapi ia sendiri juga tidak ingin dibayar terlalu tinggi," Jehona
mengingatkan, "Ia sendiri yang meminta kita untuk memberinya uang sejumlah yang ia butuhkan."
"Ya," gumam Brent.
Fulvia telah mengatakan pada mereka di hari pertama ia bekerja disana. Fulvia
hanya ingin bayaran sesuai dengan harga kotak musik itu dan untuk itu ia bersedia untuk membantu
mereka selama sebulan mendatang. Fulvia telah mengatakan pada mereka bahwa mereka bisa memberinya
uang itu sebulan mendatang sesuai dengan jumlah yang diinginkannya. Fulvia tidak ingin merasa
terbebani oleh masalah gajinya karena itu pula ia tidak pernah mengungkitnya lagi. Fulvia akan menanti
saat itu dengan sabar. Setiap hari Fulvia selalu menyempatkan diri untuk melalui toko itu. Fulvia ingin
memastikan tidak ada orang yang membeli kotak musik itu dan ia sendiri selalu berdoa agar tidak ada
yang mendahuluinya. Fulvia keluar tak lama setelahnya.
"Fulvia," panggil Tim, "Kau akan pulang?"
"Ya, Tim," Fulvia berlutut di depan anak itu, "Aku harus melakukan sesuatu."
"Besok kau akan datang lagi?"
"Ya," Fulvia berjanji, "Aku akan membawa makanan manis untukmu bila kau
mengulang apa yang kuajarkan padamu hari ini."
"Aku janji." Fulvia tersenyum senang dan ia berdiri.
"Tuan Brent," kata gadis itu, "Bila Anda tidak keberatan bisakah Anda memberi
saya dua potong roti Anda yang lezat itu" Saya ingin memberikannya pada kerabat saya."
"Tentu," Brent langsung mengambil dua potong besar roti yang baru saja
dikeluarkannya dari dalam
panggangan. Fulvia merogoh sakunya untuk membayar roti-roti itu.
"Tidak perlu," Jehona cepat-cepat menahan tangan Fulvia, "Kau tidak perlu
membayarnya." "Tetapi...," Fulvia ragu-ragu.
"Anggaplah kami memberikannya padamu," Brent menegaskan.
Fulvia menatap kedua orang itu.
"Baiklah," Fulvia menyerah, "Terima kasih."
Setelah berpamitan pada mereka, Fulvia langsung melajukan kudanya ke Greenwalls.
Ia sudah tidak sabar untuk segera menceritakan pengalamannya kepada Audrey.
Fulvia menambatkan kudanya di pekarangan Greenwalls dan mengetuk pintu
Greenwalls yang tertutup rapat itu. Seorang pelayan muncul. "Ah, Tuan Puteri, selamat datang," pelayan itu memberi jalan pada Fulvia.
"Sungguh kebetulan sekali. Nyonya baru saja akan mencari Anda."
"Mencariku?" Fulvia heran, "Apa yang terjadi?"
"Saya tidak tahu."
"Di mana ia?" tanya Fulvia.
"Nyonya berada di dalam kamarnya."
Fulvia langsung melangkah ke lantai atas, ke kamar Audrey.
"Fulvia! Apakah itu kau" Aku mendengar suaramu!" seseorang berdiri di puncak
tangga menuju lantai dua dengan wajah paniknya.
Fulvia cemas melihat kepanikan kakak sepupunya dan ia mempercepat langkahnya.
Audrey lega melihat Fulvia. "Aku baru saja akan menyuruh pelayan pergi ke
Unsdrell," katanya. "Apa yang terjadi padamu, Audrey" Apakah kalian bertengkar lagi?"
"Ini lebih gawat dari itu, Fulvia," Audrey tampak tidak sabar, "Davies, kakakmu
tadi datang." "Apa!?" Fulvia terpekik kaget. Ia sama sekali tidak menduga Davies akan datang
ke Greenwalls. Celakalah sudah. Davies pasti telah mengetahui semuanya. Davies pasti akan
memberitahu orang tuanya. Mereka akan marah besar.
"Apa yang dilakukan Davies di sini?" tanyanya panik.
"Ia baru saja mengunjungi temannya dan ia mampir untuk melihatmu," jawab Audrey.
"Apa yang dikatakannya" Engkau tidak mengatakan apa pun padanya, bukan?"
"Tentu saja. Aku pasti tidak ada di sini bila ia telah mengetahui semuanya,"
canda Audrey. "Aku mengatakan padanya bahwa kau pergi kekotauntuk membeli sesuatu."
"Dan ia percaya?"
"Tentu saja. Ia tidak mungkin tidak mempercayaiku," kata Audrey bangga.
Fulvia lega. Audrey menatap Fulvia lekat-lekat, "Fulvia, kurasa kau harus mencari alasan
lain. Aku juga tidak bisa terus menerus menutupi hal ini dari mereka. Kudengar Trevor maupun Richie juga
sudah tidak tahan lagi oleh kepergianmu ke sini. Cepat atau lambat mereka pasti akan tahu."
"Jangan khawatir," Fulvia meyakinkan, "Besok aku akan meminta mereka mengantarku
ke sini. Pasti tidak akan ada yang curiga."
Audrey menatap Fulvia dengan cemas.
"Bagaimana keadaan Lewis?" Fulvia mengalihkan topik pembicaraan, "Mengapa aku
tidak melihat Lewis?" Raut wajah Audrey langsung berubah. "Aku tidak tahu. Semalam ia tidak pulang."
Fulvia terkejut. Tiba-tiba saja ia merasa ia telah mencari topic pembicaraan
yang salah. "Jangan kau khawatirkan," Fulvia mengbibur, "Aku yakin Lewis baik-baik saja."
"Kurasa ia pasti mabuk-mabukan lagi," raut wajah Audrey kian mendung.
"Audrey, apakah kau mau mendengar ceritaku?" Fulvia menggandeng Audrey ke kamar
wanita itu, "Aku punya banyak cerita yang ingin kukatakan padamu. Aku ingin kau tahu apa
saja yang kulakukan selama ini." "Kau berhutang itu padaku," Audrey segera terpancing oleh Fulvia, "Aku telah
membantumu menutupi kebohonganmu." Fulvia tersenyum. Ia memang berhutang budi pada Audrey dan satu-satunya yang
bisa dilakukannya adalah menceritakan pengalaman menariknya pada Audrey. Hanya Audrey yang tahu
apa yang dilakukannya belakangan ini dan Fulvia ingin meyakinkan kakak sepupunya itu
bahwa ia tidak melakukan sesuatu pun yang berbahaya.
Davies tidak bertanya apa-apa mengenai kepergiannya hari ini. Davies juga tidak
Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengatakan apa-apa pada kedua orang tuanya tentang kepergiannya dari Greenwalls dan itu sangat
melegakan Fulvia. Hari ini, setidaknya, Davies percaya ia pergi kekotauntuk membeli sesuatu ketika
ia datang. Tetapi besok atau lusa bila kejadian ini terulang lagi, Fulvia tidak yakin Davies akan
percaya. "Kau akan pergi ke Greenwalls lagi?"
Fulvia menoleh. Davies memperhatikan pelayan memasukkan sebuah keranjang besar ke dalam kereta.
"Ya," jawab Fulvia, "Aku telah berjanji pada Audrey untuk membawakan makanan
kesukaannya." "Pelayan bisa meminta kita mengirimnya kesana," kata Davies, "Kau tidak perlu
khusus kesanauntuk mengantarnya." "Aku telah berjanji pada Audrey," Fulvia cepat-cepat memikirkan cara untuk
meyakinkan kakaknya, "Aku telah berjanji pada Audrey untuk melihatnya hari ini. Kemarin malam Lewis
tidak pulang. Aku ingin tahu apakah ia sudah pulang atau belum."
"Lewis tidak pulang?"
"Apakah Audrey tidak memberitahumu?" tanya Fulvia, "Kemarin malam Lewis tidak
pulang dan ia belum pulang ketika sore hari aku kesana."
Dahi Davies berkerut. Fulvia terkejut. Ia menyadari kesalahannya. "Maksudku ketika aku pulang
darikota," Fulvia cepatcepat membenarkan ucapannya, "Kemarin aku pergi kekotauntuk membeli roti bagi Audrey.
Aku tahu sebuah toko roti yang lezat dan aku pikir aku akan bisa membuat Audrey sedikit
melupakan kepergian Lewis bila kami mempunyai sesuatu yang lezat untuk mengisi perut."
Kerutan di dahi Davies tidak menghilang.
"Aku harus segera pergi," Fulvia ingin segera meninggalkan tempat itu sebelum ia
semakin mengatakan sesuatu yang membuat Davies semakin mencurigainya, "Audrey pasti
telah menantiku." Fulvia bergegas memasuki kereta.
"Fulvia." Fulvia terkejut. "Berhati-hatilah."
"Tentu," Fulvia melambaikan tangan dan ketika kereta mulai bergerak meninggalkan
Unsdrell, Fulvia merasa sangat lega. Ia tidak tahu harus berkata apa bila Davies melarangnya
pergi. Ia tidak tahu harus berbuat apa bila Davies ikut bersamanya.
Fulvia merasa beban berat telah terangkat dari pundaknya.
Kereta segera beranjak ke Greenwalls seperti keinginan Fulvia.
Audrey terkejut melihat kedatangan Fulvia pagi itu.
"Tak kusangka kau benar-benar muncul pagi ini," komentarnya melihat Fulvia.
Fulvia tertawa. "Aku telah mengatakannya padamu."
"Apa yang kaubawa itu?" tanya Audrey menatap keranjang di tangan Fulvia, "Kau
tidak membawa roti lagi, bukan" Aku belum menghabiskan roti pemberianmu kemarin."
"Aku yakin kau tidak akan melewatkan ini," Fulvia meletakkan keranjangnya di
meja dan mengeluarkan isinya, "Musshroom Puffs Pastry."
"Kau memang tahu bagaimana membujuk orang," keluh Audrey.
Fulvia tertawa. Ia meletakkan pastry isi jamur kesukaan Audrey itu di meja.
"Kurasa kau telah membuat seisi Unsdrell sibuk sejak pagi."
"Apa boleh buat. Aku harus mencari cara untuk menghilangkan kecurigaan Davies."
Fulvia menutup kembali keranjangnya. "Bagaimana Lewis" Apakah ia sudah pulang?"
"Ya," nada suara Audrey langsung berubah, "Ia baru pulang dini hari tadi dan
sekarang ia masih tidur di kamar." "Apa ia mengatakan sesuatu tentang kepergiannya?" Fulvia bertanya prihatin.
"Tidak," Audrey terlihat sangat sedih, "Kurasa ia tidak akan pernah
memberitahuku." Fulvia turut bersedih melihat kakak sepupunya itu. "Aku sungguh ingin menemanimu
hari ini," katanya sedih, "Tetapi aku tidak dapat."
"Kau akan pergi?"
"Aku telah terlambat," Fulvia menenteng keranjangnya, "Aku tidak ingin membuat
mereka mencemaskanku." "Bagaimana kau akan kesana?"
"Aku akan berjalan kaki kesana," jawab Fulvia.
"Sendirian?" "Jangan khawatir, Audrey. Tempat itu tidak jauh dari Greenwalls," Fulvia menuju
pintu. "Sampai kapan kau akan terus begini" Aku tidak yakin aku bisa membantumu lebih
lama lagi. Hidung Davies sudah mulai mencium ketidakberesan di antara kita." Audrey mengikuti
Fulvia ke pintu masuk. "Jangan khawatir. Aku tidak akan melibatkanmu. Dua minggu lagi semua ini akan
selesai. Aku akan sangat berhati-hati sampai semua ini selesai."
"Aku pergi," katanya lalu ia menatap Audrey, "Dan jangan berpikir terlalu
banyak. Aku pasti akan menemanimu begitu semua ini selesai."
"Aku akan sangat menantikannya," kata Audrey.
Fulvia melambaikan tangannya ke Audrey dan berjalan meninggalkan Greenwalls.
Audrey terus berdiri di pintu masuk sampai Fulvia menghilang di jalan raya.
Dua minggu lagi... Sedikit lagi... Fulvia tidak akan membiarkan rencananya ini rusak dan ia akan melakukan apa pun
demi keberhasilan rencananya ini. Semua orang pasti akan mengatakan ini adalah rencana paling gila dari seorang
putri bangsawan tetapi bagi Fulvia ini adalah rencana yang hebat. Ia benar-benar menikmati rencananya
ini dan ia menyukai pengalaman ini. "Maafkan keterlambatan saya," Fulvia muncul dengan senyum manisnya.
Brent keheranan melihat kedatangan Fulvia melalui pintu depan. "Kau tidak
membawa kudamu?" "Ya," jawab Fulvia, "Saya pergi ke rumah kerabat saya sebelum ke sini."
"Fulvia! Fulvia!" seorang anak kecil berlari keluar, "Aku telah mengulanginya.
Kau telah berjanji padaku untuk memberiku sesuatu. Aku telah mengulangi semuanya."
Fulvia tersenyum. "Ya, aku percaya padamu."
Jehona melihat keranjang di tangan Fulvia. "Apa yang kaubawa?"
"Saya membawa Circletes," Fulvia meletakkan keranjangnya di meja terdekat, "Saya
yakin kalian akan menyukai kue almond ini." Fulvia menatap bayi yang sedang tertidur nyenyak
di gendongan wanita itu. "Sayang sekali kau masih tidak bisa memakannya, Sammy. Kalau kau sudah
lebih besar, aku akan membawakannya untukmu."
Seolah mengerti apa yang dikatakan Fulvia, bayi itu tersenyum.
"Apakah aku boleh memakannya?" tanya Tim.
"Tidak, Tim," kata Fulvia tegas, "Tidak sebelum kau mengulang apa yang telah kau
pelajari kemarin padaku." Tim kecewa. "Ijinkan saya meminjam kamar Anda, Nyonya Jehona."
"Silakan." Fulvia bergegas mengganti gaunnya.
Tim dengan tidak sabar menanti gadis itu mengganti pakaiannya. Ia sudah tidak
sabar membacakan buku yang telah dibacanya kemarin malam kepada Fulvia. Ia sudah tidak sabar
menunjukkan pada gadis itu
bahwa ia telah mengulang pelajarannya kemarin. Dan yang paling dinantikannya
adalah memakan kue yang dibawa Fulvia. Fulvia sangat mengerti keinginan anak itu dan ia menahan keinginan itu lebih
lama lagi. Begitu ia mendengar Tim membaca buku dongeng itu dengan lancar, ia membiarkan anak itu
menghabiskan makanan yang dibawanya. Inilah awal kegiatan Fulvia di tempat itu. Semuanya berjalan seperti biasa tanpa
ada sesuatu yang istimewa. Kalaupun ada itu karena Fulvia tengah memikirkan alasan baru untuk
meninggalkan Unsdrell. Keriangan dan kelincahan Tim benar-benar membantu Fulvia untuk melupakan segala
kerisauan hatinya di hari itu. Ia benar-benar hampir melupakan rahasianya yang hampir
terbongkar ini. Tetapi ketika sore beranjak dan tiba waktunya bagi Fulvia untuk pulang, pikiran
itu kembali menghantui Fulvia. Fulvia meninggalkan tempat itu dengan senyuman tetapi tak lama setelahnya ia
kembali berkutat dengan kegalauan hatinya.
Fulvia berpikir keras. Audrey benar ia sudah tidak bisa menggunakan cara ini untuk mengelabui Davies
terus-terusan. Ia juga tidak bisa setiap hari membawa sesuatu untuk Audrey seperti pagi ini. Davies
pasti akan curiga padanya. Rahasianya pasti akan terbongkar. Ini hanya masalah waktu.
Tetapi, kurang dua minggu lagi dan semuanya akan selesai. Fulvia tidak dapat
menyerah. Fulvia tidak dapat membiarkan seorang pun tahu. Fulvia harus memikirkan cara lain untuk
menutupinya. Sebuah alasan
tepat yang tidak akan membuat keluarganya maupun kakak-kakak sepupunya curiga.
Kedua orang tuanya bukanlah masalah besar baginya. Count maupun Countess
percaya setiap hari Fulvia pergi menemani Audrey. Countess bahkan mendukungnya. Seperti yang pernah
dikatakan Countess Kylie, Audrey membutuhkan teman. Karena itulah ia membiarkan putrinya pergi ke
Greenwalls setiap harinya. Di sisi lain Davies yang sudah kewalahan oleh pertengkaran Trevor maupun Richie,
mulai mencurigainya apalagi setelah kemarin Davies mendapati ia tidak berada di
Greenwalls. Jalan yang paling mudah adalah memberitahu Davies dan meminta dukungannya tetapi
itu juga adalah cara yang paling tolol. Davies tidak akan pernah mengijinkannya melakukan ini.
Fulvia harus menemukan alasan baru agar kakaknya tidak curiga.
Bahu Fulvia berselisihan dengan seseorang.
Fulvia kaget. Keseimbangan tubuhnya langsung hilang oleh tubrukan keras itu dan
keranjangnya terlepas dari tangannya. Tangan orang itu langsung terulur menarik lengan Fulvia.
"Te... terima kasih," Fulvia masih belum pulih dari kekagetannya.
"Apa yang kaulakukan di sini?" sepasang mata dingin itu menatap Fulvia.
Fulvia terkejut menyadari siapa yang baru ditabraknya itu.
"Apa yang kau tidak sadar kau membahayakan dirimu sendiri dengan melamun
sepanjang jalan," dahiIrvingberkerut ketika ia membungkuk mengambil keranjang Fulvia. "Dan pada
waktu seperti ini." Nada-nada penuh peringatan itu mengingatkan Fulvia akan larutnya keadaan saat
itu. "Oh," Fulvia sadar, "Maafkan saya. Saya sedang memikirkan sesuatu."
Tiba-tiba Fulvia merasakan sesuatu yang berbeda dari pria itu. Fulvia tidak
melihat seorang wanita pun di sisiIrving! "Anda sendirian, M'lord?" pertanyaan itu terlempar begitu saja.
Irvingtidak berminat menjawabnya.
Tiba-tiba Fulvia mendapat ide.
"Bila Anda berkenan, M'lord," Fulvia berkata sopan, "Apakah Anda bersedia
mengantar saya pulang?" Irvingterkejut. Lagi-lagi gadis ini melakukan sesuatu yang benar-benar di luar
dugaannya. "Kereta keluarga saya telah pulang dan saya tidak yakin saya dapat menemukan
kereta kuda untuk membawa saya pulang sebelum hari gelap. Saya telah berkeliling di tempat ini
tetapi saya tidak menemukan sebuah kereta kuda pun."
Fulvia tidak berbohong karena kereta keluarganya telah pulang setelah
mengantarkannya ke Greenwalls. Saat ini Fulvia juga sedang berpikir sambil mencari kereta kuda
sewaan. "Tentu saja," katanya.
Fulvia senang. Ia menemukan alasan untuk meninggalkan Unsdrell esok hari.
Tanpa berkata panjang lebar,Irvingmembawa Fulvia ke kereta kudanya. Mereka juga
tidak bercakapcakap hingga kereta kudaIrvingtiba di Unsdrell.
Davies sudah menanti Fulvia di serambi dengan wajah menakutkannya. Ia sudah
benar-benar tidak sabar. Hari semakin larut. Langit kemerahan musim panas sudah mulai menggelap
ketika akhirnya kereta itu memasuki pekarangan Unsdrell.
Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Davies heran melihatIrvingturun dari kereta itu dan ia terkejut
melihatIrvingmembantu Fulvia turun dari dalam kereta kuda itu.
"Terima kasih, M'lord," kata Fulvia sambil tersenyum manis, "Saya akan sangat
menantikan pertemuan kita besok pagi."
Mata Irving meruncing sementara itu mata Davies langsung membelalak lebar.
Irvingmenatap tajam gadis itu. Apakah ia mengatakan pada gadis ini bahwa ia akan
membawanya pergi besok pagi" Apa yang sedang direncanakan gadis ini"
Davies menatap tajam pria di sisi Fulvia. Apa yang akan dilakukan pria itu
terhadap Fulvia" Irvingmerasakan tatapan curiga itu dan ia tidak menyukainya. Ia tidak suka cara
Davies menuduhnya seperti ini. Davies tidaklah lebih tua darinya. Mereka seumur! Tetapi ia
bertindak seolah-olah ialah yang paling tua di antara mereka.
Irvingtidak merencanakan apa pun dan bila ada yang sedang menyembunyikan sesuatu
di antara mereka, itu adalah Fulvia.
Entah apa yang ada dalam pikiran gadis ini tetapiIrvingyakin ia mempunyai niat
tidak baik. Sesuatu dalam diriIrvingmemperingatkanIrvingakan bahaya yang akan disebabkan gadis ini
pada dirinya. Irvingmemutuskan ia akan mengikuti permainan gadis ini. Ia akan membiarkan gadis
ini menduga rencananya telah berhasil. Ia akan membiarkan gadis ini berpuas diri sebelum ia
menjungkirbalikkan rencananya itu. "Selamat malam, M'lord," kata Fulvia.
"Selamat malam, M'lady,"Irvingmeraih tangan Fulvia dan menciumnya. "Saya akan
menantikan pertemuan kita besok pagi."
Davies ingin sekali menjauhkan pria itu dari Fulvia dan menghajarnya.
Fulvia tersenyum gembira. Besok ia akan dapat pergi dengan bebas tanpa
kecurigaan Davies. 5 "Mengapa Anda di sini?" Fulvia heran.
Pagi ini Fulvia tengah bersiap pergi kekotaketika pelayan datang memberitahukan
kedatangan seorang pria yang tengah menantinya. Fulvia sangat bingung mendengarnya. Ia tidak
mempunyai janji dengan siapa
pun pagi ini. Fulvia tidak mengharapakan kedatangan Trevor maupun Richie pagi
ini. Hari Minggu yang lalu ketika mereka berdua datang, Fulvia telah menjelaskan pada
mereka posisinya saat ini. Tentu saja ia tidak mengatakan semuanya pada mereka. Ia hanya
memberitahu mereka ia harus
pergi kekotasetiap hari. Ia telah berjanji pada Audrey untuk menemaninya
sepanjang hari. Mulanya kedua sepupu itu tidak gembira mendengar berita yang telah mereka ketahui dari Davies
itu tetapi mereka, seperti Countess Kylie, tahu Audrey membutuhkan seorang teman.
Kedua sepupu telah memberikan ijin mereka padanya. Bahkan mereka berkata dengan
kepergiannya ini, mereka bisa lebih memusatkan diri pada kewajiban mereka sebagai calon
pengganti orang tua mereka seperti yang diinginkan orang tua mereka.
Tanpa berpikir panjang Fulvia langsung menemui orang itu.
Davies yang telah mendengar lebih dahulu akan kedatangan pria itu telah berada
disanaketika Fulvia tiba. "Bukankah kita telah berjanji untuk bertemu lagi pagi ini,"Irvingmengingatkan.
Fulvia teringat sandiwaranya kemarin malam. Ia ingin menjelaskannya
padaIrvingtetapi Davies berada disana. "Maaf. Saya kira kita akan berjumpa di tempat kemarin. Saya benar-benar tidak
menduga Anda akan datang menjemput saya."
"Saya tidak dapat membiarkan Anda pergi kesanaseorang diri, M'lady."
Fulvia merasa ia benar-benar tidak tertolong. Mungkin inilah yang dikatakan satu
kebohongan akan membuka kebohongan yang lain.
"Apakah kita bisa pergi sekarang, M'lady?"Irvingmengulurkan tangan.
Fulvia menyambut uluran tangan itu.
Mata tajam Davies mengawasi setiap tindakanIrving.
"Davies," Fulvia mengeluarkan kepalanya dari jendela kereta, "Aku akan pulang
sebelum makan malam." Davies tidak dapat berbuat apapun selain berkata, "Berhati-hatilah."
Davies tidak menyukaiIrvingtetapi ia tidak dapat menunjukkannya kepada Fulvia.
"Ini semua gara-gara Trevor juga Richie," Davies menggerutu sambil berjalan
masuk. Davies yakinIrvingsedang berencana menjadikan Fulvia satu di antara wanitawanita yang pernah memasuki hidupnya dan itulah sebabnya ia menemui pria itu sebelum Fulvia muncul.
Sekali lagi ia memperingatkan pria itu untuk menjauhi Fulvia tetapi pria itu
malah berkata dengan sombongnya, "Sebaiknya kau mengatakannya pada adikmu. Ia mencariku bukan aku
yang mencarinya." Davies kesal. Ia ingin sekali melayangkan tinjunya di muka sinisIrvingtetapi
Fulvia ada disana. Fulvia pasti akan membencinya bila ia melakukan itu di hadapannya.
Davies tahu Fulvia paling tidak suka melihat pertengkaran. Trevor dan Richie
juga mengetahui hal itu. Mereka bertiga tidak akan pernah melupakan bagaimana Fulvia menemukan ketiganya
berkelahi memperebutkan sebuah mainan.
Kala itu mereka masih kecil. Mereka mempunyai kegemaran yang sama. Mereka
menyukai mainan yang sama. Biasanya, orang tua ketiganya akan membelikan mainan yang sama untuk
menghindarkan pertengkaran
di antara mereka tetapi kali itu lain. Kali itu Trevor menemukan sebuah keretakeretaan kayu yang menarik perhatiannya. Sayangnya mainan itu hanya satu dan tidak ada duanya. Trevor sudah
sangat tertarik pada mainan sehingga orang tuanya tidak mempunyai pilihan lain selain membelinya.
Trevor yang sangat gembira dengan mainan barunya segera memamerkan mainan itu
pada kedua sahabatnya. Ketiganya menyukai mainan baru Trevor itu dan mereka berebut mainan itu sampai
berkelahi. Saat itulah Fulvia muncul. Fulvia langsung menangis melihat ketiganya berkelahi dengan seru. Tangisan
Fulvia begitu keras hingga ia mengagetkan semua orang.
"Aku benci Davies! Aku benci Trevor! Aku benci Richie!" Fulvia terus menerus
mengucapkan kalimat itu sambil menangis tersedu-sedu.
Seketika orang tua dari tiga keluarga itu langsung memarahi tiga anak lelaki
itu. Mereka menyalahkan ketiganya atas tangisan Fulvia. Mereka menghukum ketiganya karena membuat Fulvia
menangis. Davies tidak akan lupa bagaimana Fulvia menghindari mereka bertiga selama
berharihari setelah peristiwa itu. Fulvia benar-benar membenci mereka dan ia telah memberikan
hukuman yang lebih parah dari hukuman orang tua mereka.
Davies mendesah. Andai saja ia mempunyai kesempatan untuk menghantam muka
sinisIrving, ia pasti telah melakukannya. Ia tidak akan melewatkan setiap kesempatan untuk berkelahi
dengan pria itu demi Fulvia. "Setidaknya," Davies berpikir lanjut, "Kali ini mereka harus menanggung sendiri
akibatnya." Tetapi Davies kemudian berubah pikiran. Ia tidak akan memberitahu Trevor maupun
Richie tentang kepergian Fulvia hari ini. Ia ingin menanti Fulvia. Ia ingin tahu apa yang
diperbuatIrvingpada adiknya. Ia
harus mengetahui semuanya dengan jelas sebelum mencari perhitungan
denganIrvingjuga kedua sepupunya
itu. -----0----Fulvia tahu ia tidak bisa mendiamkan begini saja kesalahpahaman di
antara mereka. Ia harus menjelaskan semuanya padaIrving.
"Ke mana kita akan pergi?"
Fulvia terkejut. "Kau ingin pergi ke suatu tempat, bukan?"
"Saya ingin kekota, M'lord."
Irvingmenanggapinya dengan mengetuk jendela yang menghubungkan dengan kusir
kuda dan mengatakan tujuan mereka pada kusir kudanya.
"M'lord," Fulvia tidak tahu bagaimana harus memulai, "Saya rasa ada
kesalahpahaman di antara kita." Irvingmemicingkan sudut matanya. Mata biru tuanya memperhatikan Fulvia lekatlekat. "Saya tidak berencana untuk mengajak Anda pergi," Fulvia merasa bersalah, "Saya
hanya perlu meninggalkan Unsdrell dan kemarin saya terpaksa berbohong pada Anda juga Davies.
Davies tidak akan mengijinkan saya meninggalkan Unsdrell pagi ini tanpa sebuah alasan yang jelas
dan saya tidak ingin Davies mengetahui tujuan saya."
"Apa yang akan kaulakukan?"
"Saya perlu melakukan sesuatu yang penting," jawab Fulvia tanpa menerangkan
lebih banyak, "Sesuatu yang penting dan tidak boleh diketahui siapa pun."
Jawaban itu membuatIrvingsemakin ingin tahu apa yang sedang direncanakan Fulvia.
"Anda bisa menurunkan saya di tempat kemarin saya berjumpa Anda," Fulvia
melanjutkan, "Saya akan
bisa mengatasi semuanya darisana."
"Bagaimana kau akan pulang?"
Pertanyaan tak terduga itu membuat Fulvia terkejut.
"Saya akan menyewa kereta kuda," jawab Fulvia meyakinkan.
Jawaban itu tidak membuatIrvingpuas tetapi pria itu tidak bertanya lebih lanjut
lagi. Fulvia juga tidak berbicara lebih banyak lagi. Ia tidak ingin orang lain
mengetahui rencananya. Dua minggu lagi dan rencananya ini akan berhasil. Sebelum itu, Fulvia tidak ingin
orang lain setelah Audrey mengetahui rahasianya, rahasia kecil yang pasti akan membuat orang tuanya
gembira. Seperti keinginan Fulvia, kereta kudaIrvingmengantarnya sampai ke pinggir jalan
tempat kemarin mereka bertabrakan. Fulvia mengucapkan terima kasihnya padaIrvingbegitu mereka tiba dan ia menanti
di tempat itu sampai kereta keluarga Engelschalf menghilang dalam hiruk pikuk pagi hari di
pusatkota. Fulvia menutupi segala kegalauan hatinya dengan senyum. Fulvia tidak boleh dan
tidak dapat membiarkan keluarga itu mengetahui kegalauan hatinya. Mereka tidak boleh
mengetahui apapun tentang
bahaya rahasianya ini. Setidaknya, hari ini ia bisa lolos dari Unsdrell.
Bagaimana ia akan mengelabuhi keluarganya, bisa ia pikirkan sepulangnya dari
tempat kerjanya. Setelah memantapkan hati, Fulvia melangkah ke toko roti yang tak bernama itu.
"Hari ini kau juga diantar keluargamu?" sambut Brent melihat kedatangan Fulvia
dari pintu masuk. "Ya," Fulvia setengah membenarkan. Ia tidak ingin Brent mengetahui lebih banyak
tentang masalahnya. Ia juga tidak ingin Jehona ikut mencemaskan keberhasilan rencananya
ini. Tanpa memberi keterangan lagi, Fulvia bergegas mengganti gaunnya.
"Tak terasa waktu cepat berlalu," komentar Jehona ketika Fulvia keluar dari
kamarnya, "Rasanya seperti baru kemarin kau muncul di sini dan sekarang sudah dua minggu lebih kau
berada di sini." Fulvia tersenyum. Ia juga tidak pernah membayangkan waktu akan berlalu secepat
ini. Ia menikmati saat-saat berada di antara keluarga ini. Sekarang setiap pagi ia merasa seperti
pergi menemui keluarganya yang lain bukan pergi ke tempat kerjanya.
"Fulvia, kau akan pergi?" Tim menarik gaun Fulvia.
"Tidak, Tim. Untuk beberapa hari mendatang aku masih akan ada di sini."
Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benarkah itu?" Tim gembira.
"Ya," jawab Fulvia, "Aku masih bisa datang menjengukmu setelahnya."
Fulvia tahu ia tidak akan bisa meninggalkan keluarga ini. Keluarga ini telah
menjadi bagian dari dirinya. Keluarga ini telah memberikan pengalaman-pengalaman berharga dalam
hidupnya. Fulvia tidak akan melupakan saat-saat bersama keluarga ini.
Semua pengalaman yang didapatkannya dari keluarga ini adalah pengalaman yang
baru. Melalui keluarga inilah ia mengetahui lebih jelas bagaimana perbedaan kehidupan
kalangan atas dan kalangan menengah ke bawha.
Melalui keluarga inilah ia mengerti kebahagian adalah harta yang lebih berharga
dibandingkan uang mana pun. Melalui keluarga inilah ia mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru yang tidak
dapat diberikan keluarga maupun guru privatnya.
Mereka telah mengajarinya untuk hidup sederhana.
Mereka mengajarinya untuk berbagi dengan sesama.
Mereka membagikan pengalaman-pengalaman berharga mereka padanya.
Fulvia telah sangat menyayangi keluarga ini hingga ia sendiri tidak tahu
bagaimana ia harus meninggalkan keluarga ini dua minggu mendatang.
Fulvia tidak tahu bagaimana tetapi saat ini ia tahu ia harus memikirkan cara
untuk menutupi kepergiannya untuk dua minggu mendatang. Ia harus memikirkannya.
Seperti kemarin, Tim membantunya melupakan kegalauan hatinya. Kebahagiannya
melihat kemajuan yang diperoleh Tim membuatnya sangat puas. Setelah ia yakin Tim telah dapat
membaca dengan lancar, Fulvia mulai mengajarkan apa yang diketahuinya dari guru pribadinya.
Fulvia telah mengenalkan angka dan huruf padanya sekarang ia ingin mengenalkan
ilmu pengetahuan pada anak cerdas itu. Setelah sekian lama mengajari Tim, Fulvia mengakui kecerdasan anak itu. Tim
dapat dengan cepat menangkap dan menguasai semua yang diajarkan Fulvia. Dalam hatinya, Fulvia
berharap Tim akan memperoleh pekerjaan yang bagus di masa mendatang. Berdagang roti bukanlah
pekerjaan yang buruk tetapi tidak ada salahnya bila Fulvia menaruh harapan besar pada Tim.
Fulvia tidak pernah mengatakannya pada orang tua Tim. Ia hanya menyimpan
pendapatnya itu untuk dirinya sendiri. Sore itu Fulvia melenggangkan kaki ke jalanan. Sekali lagi ia memastikan kotak
musik yang diidamkannya belum berpindah tangan ke orang lain.
Melihat kotak musik itu masih mengalunkan nyanyian lembut dari dalam toko yang
sama, Fulvia bahagia. Untuk sejenak ia dapat melupakan kerisauannya.
"Aku pasti akan membelimu," ia berjanji pada kotak musik itu, "Untuk itu jangan
biarkan kau dibeli orang lain." Setelah mengucapkan janjinya yang kesekian kalinya pada kotak musik itu, Fulvia
melangkahkan kaki di jalanan pusatkota. Hari mulai larut dan Fulvia tidak mempunyai waktu untuk berkeliaran dikotasambil
berpikir seperti kemarin. Fulvia harus segera pulang atau keluarganya akan mulai mencemaskannya.
Baru saja Fulvia melangkahkan kaki ketika matanya menangkap sesosok pria yang
dikenalinya dengan baik. Pertemuannya denganIrvingmemang barulah tiga kali tetapi itu cukup untuk
membuat Fulvia mengenali pria itu di keramaian seperti ini.
Pria itu tampak sangat mencolok di keramaian. Ia tampak berbeda dari yang lain.
Bukan karena rambut keemasannya yang bersinar di bawah sinar matahari sore itu. Sesuatu memancar
dari pria itu, sesuatu yang membuatnya terpisah dari keramaian.
Fulvia tersenyum. Sekarang ia tahu mengapa begitu banyak wanita yang bertekuk
lutut di harapan pria itu. Ia mengerti mengapa masih begitu banyak wanita yang rela mengantri untuk
mendapatkan pria dengan reputasi miring segudang itu.
Irvingsungguh tampak menawan dan gagah di samping kereta kuda yang dikenali
Fulvia sebagai kereta kuda keluarga. Sepasang bola mata biru tuanya memandang dingin ke satu arah.
Bibirnya yang mengatup rapat menggambarkan ketidaksabarannya.
"Mungkin ia menanti teman kencannya," pikir Fulvia dan bersiap meninggalkan
tempat itu. "Aku telah menduga akan menemukanmu di sini," pria itu mendekat.
Fulvia terkejut. Apakah Irving sedang berbicara padanya" "Anda menanti saya?"
"Aku tidak punya banyak waktu,"Irvingmeraih tangan Fulvia.
Walaupun ia masih bingung, Fulvia membiarkan pria itu membantunya naik kereta.
Kebingungan Fulvia masih juga tidak terjawab ketika kereta bergerak perlahan meninggalkan
pusatkotadan Fulvia memutuskan untuk bertanya langsung,
"Mengapa Anda menanti saya?"
"Aku membawamu pergi dan aku berkewajiban memulangkanmu," jawab pria itu
singkat. Fulvia terperangah.Irvingbenar-benar seorang gentleman seperti yang didengarnya.
Fulvia tersenyum. Mungkin ia bisa memanfaatkan sedikit sifatnya ini.
"Apakah ini sangat mengganggu Anda?"
Irvingmemperhatikan senyum yang menyembunyikan sejuta rencana itu.
"Bila Anda berkenan, apakah setiap hari Anda bisa menjemput saya di Unsdrell?"
Irvingsama sekali tidak mendapatkan gambaran tentang rencana gadis ini.
"Semuanya akan lebih mudah bagi saya setelah meninggalkan Unsdrell," Fulvia
tersenyum gembira. Sesuatu meyakinkannya. Ia percayaIrvingakan bersedia membantunya. "Saya sangat
membutuhkan bantuan Anda untuk meninggalkan Unsdrell tanpa kecurigaan siapa pun."
Apakah gadis ini sedang mencoba menjerumuskannya dalam rencananya itu"
Apakah gadis ini sedang memancingnya"
Pedang Hati Suci 5 Cula Naga Pendekar Sakti Liong Kak Sin Hiap Karya Boe Beng Tjoe Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama