Ceritasilat Novel Online

The Propotition 3

The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley Bagian 3


bergegas kearah Georgie dan meraihnya. "Whoa, whoa, Little Man.
Jangan berani-berani masuk tanpa pelampung."
"Tapi pelampung hanya untuk seorang bayi!" keluhnya sambil
berusaha melepaskan diri dari pelukan Aidan.
"Aku tidak ingin mendengarnya." Dia mendudukkan Georgie dan
membuka sebuah kotak penyimpan berwarna coklat. Aidan
mengeluarkan sepasang pelampung bergambar Power Ranger.
Kemudian memasangkannya di kedua lengan Georgie. "Ibumu akan
menendang pantatku jika dia tiba dan kau tidak memakai ini."
Georgie memelototi Aidan sebelum akhirnya lari dan melompat
kedalam kolam renang. "Paman Aidan, maukah kau membantuku belajar renang gaya
punggung?" Tanya Percy.
Aidan melirik Emma. "Kau keberatan?"
"Tentu saja tidak. Bahkan, aku sangat suka melihatmu beraksi."
Aidan menyeringai sebelum mencondongkan badannya untuk
berbisik di telinga Emma. "Aku akan memakai speedo yang pernah
aku janjikan, tapi aku pikir itu akan membuat anak-anak itu panik."
Emma tertawa dan mendorong Aidan untuk bergegas. "Cepat ganti
pakaianmu dengan celana renang, dasar sombong!"
Sementara Aidan menghilang ke dalam rumah untuk berganti
pakaian, John berenang mendekat ke tempat Emma duduk. Ia
menyandarkan sikunya pada pinggiran kolam. "Jadi sudah berapa
lama kau berpacaran dengan Paman Aidan?"
Dia berjuang menyembunyikan pipinya yang memerah saat
mengatakan yang sejujurnya. "Dia hanya seorang teman."
John memberinyapandangan yang mengatakandengan jelas
iamengetahui kalau Emma telah membohonginya."Aku berharap
punya temansecantikdirimu," katanyasambil tersenyum.
Emma tidak bisa menahan tawanya. "Wah, terima kasih, John. Kau
cukup hebat untuk menjadi seorang perayu, bukankah begitu?"
John membusungkan dadanya, dan Emma bersumpah bahwa dia bisa
melihat Aidan kecil berusia tigabelas tahun. "Gadis-gadis juga
berpikir demikian." "Hmm, aku pikir disamping rambut dan matamu, kau mewarisi
kebiasaan menggoda dari Paman Aidan."
Aidan memilih waktu yang tepat untuk akhirnya keluar dengan
celana renangnya. Dia memandang Emma dan John dengan ekspresi
ingin tahu. "Apa yang kalian berdua bicarakan?"
"Berapa banyak John memiliki kemiripan denganmu." Dia
memberikan Aidan seringai dan kedipan nakal. "Dan tingkah laku
sepertimu." Aidan menyilangkan tangannya didepan dada telanjangnya. "John,
apa kau merayu temanku?"
John sedikit memucat. "Tidak, aku hanya berbicara dengannya.
Maksudku, Paman tidak pernah memiliki teman perempuan untuk
diajak kesini ataupun memperkenalkannya ke Papa."
Sekarang giliran Aiden yang kebingungan. "Terserah." Dia
menyelam kedalam kolam dan berenang kearah Percy yang sedang
menunggunya. Emma menonton saat Aidan memperlihatkan cara
berenang lalu menyuruh Percy untuk mengulanginya. Saat sedang
memberikan instruksi, dia melempar dengan riang Georgie keudara
dan membiarkan pria kecil itu tercebur kedalam kolam.
Emma menarik napas putus asa dan mencoba untuk meredakan
debaran jantungnya saat melihat Aidan berinteraksi begitu mudah
saat bersama dengan keponakan-keponakannya. Saat Aidan keluar
dari kolam renang dan melangkah kearahnya, dia tidak bisa menahan
dirinya untuk tidak tetap menatap pria itu.
Alis Aidan terangkat keatas saat melihat ekspresi Emma. "Apa?"
"Aku hanya tidak pernah membayangkan melihat kau berada
disekitar anak kecil."
"Oh yeah, aku adalah Ward Cleaver yang aneh, bukan begitu?" Dia
mendengus. "Kau tidak cukup mengakui dirimu. Untuk beberapa alasan, kau
tidak suka membuktikan dirimu bahwa sebenarnya kau peduli
dengan mereka." "Benarkah?" Emma mengangguk. "Jika kau anti terhadap anak kecil, kau tidak
akan membiarkan mereka kesini dan berenang, dan kau akan
membiarkan Georgie berenang tanpa pelampungnya. Ditambah lagi,
kau menghabiskan duapuluh menit untuk mengajarkan Percy
berenang." Aidan dengan geram mengusap rambutnya yang basah, dia
mengerutkan dahinya. "Em, aku tidak tahu petunjuk apa yang kau
berikan saat ini, tapi aku tidak akan pernah memikirkan hal penting
untuk menjadi seorang Ayah, oke?"
"Kau tidak seharusnya berpikiran negatif tentang dirimu," protes
Emma. Sebelum Aidan bisa mengatakan apa-apa, sebuah jeritan terdengar
dari arah kolam. Georgie berjalan perlahan kearah tangga pinggir
kolam, airmata mengalir diwajahnya. Setelah ia keluar dari kolam, ia
berlari kearah Emma dan Aidan.
"Dia menahanku dibawah!" Georgie menangis sambil menunjuk
kearah John. "Itu hanya beberapa detik. Berhenti bertingkah seperti seorang bayi
besar," balas John. "A-aku tidak bisa bernafas!" cerca Georgie, mengusap airmata
dengan kepalan tangannya.
"Keluarlah dari kolam, pria kecil. Kau akan baik-baik saja," kata
Aidan. Jawaban Aidan membuat tangisan Georgie semakin keras dan
mendapat tatapan tajam dari Emma. "Apa?" tanya Aidan.
"Kemarilah, sayang," Panggil Emma, membuka kedua tangannya
lebar. "Georgie berlari dengan cepat kepangkuan Emma dan
membungkus lengannya disekitar leher Emma. "Shh, kau baik-baik
saja sekarang." Dia mengalihkan kemarahannya kepada John. "Aku
pikir kau berhutang maaf pada saudaramu."
Mata John melebar saat dia mengalihkan tatapannya dari Emma
kearah Pamannya, tapi Aidan tidak menghiraukan. "Um, aku minta
maaf, Georgie." "Kau berjanji tidak akan melakukannya lagi?" Tanyanya, suaranya
terdengar lirih dari balik leher Emma.
"Iya, aku janji."
Emma mengusap punggung Georgiedengan gerakan melingkar.
"Lihat, semuanya sudah baik. Apakah kau ingin kembali ke kolam?"
"Tidak," sergah Georgie.
Percy memutar matanya kearah John yang kemudian mencibir. "Yah,
kalau aku menempel padanya, aku juga tidak ingin pergi." Kata John
sementara percy menganggukkan kepala setuju.
Walaupun dia berbicara dengan suara yang sangat pelan, Emma dan
Aidan bisa mendengarnya. Sementara Emma berjuang untuk
melawan gejolak yang menrayapi kedua pipi serta lehernya, Aidan
berjalan kearah tepi kolam. "Oke, cepat hentikan ini. Jika kalian
tidak bisa menghormati teman ku, kalian boleh pergi dengan pantat
kecil yang terangsang kerumah kalian!" geramnya.
Mata John dan Percy melebar, tetapi mulut mereka tidak bisa
tertutup. Merasa kalah, mereka mulai melangkah ke arah kolam
renang. "Tunggu Aidan, kau tidak seharusnya menyuruh mereka pulang
karena hal itu. Mereka masih kecil," Bantah Emma.
Dia cepat-cepat berbalik. "Apakah kau bercanda?"
"Aku yakin mereka merasa tidak enak karena telah bersikap tidak
sopan dan mereka akan mau untuk meminta maaf." Dia menunjuk
tangannya kearah John dan percy. "Kalian akan meminta maaf,
kan?" "Iya, ma'am," jawab Percy.
John mengangguk. "Aku sangat, sangat menyesal karena berbicara
seperti itu tentangmu Emma."
Untuk tindakan yang lebih baik, John menatap Aidan. "Dan aku juga
minta maaf karena bersikap kurang sopan pada teman wanitamu - "
Dia berhenti sejenak karena mendapat tatapan tajam dari Aidan.
"Untuk temanmu," dia menyelesaikannya.
"Aku juga," sahut Percy.
Emma menatap Aidan dan tersenyum. "Lihatlah, masalah sudah
terselesaikan." Georgie mengangkat kepalanya. "Apa arti terangsang?"
Emma tidak bisa menahan tawanya pada situasi yang menggelikan
ini, khususnya saat mata Aidan melebar, dan dia menatap tidak
berdaya kepada penjelasan Emma. "Itu bukan sesuatu yang perlu kau
ketahui, dan Pamanmu seharusnya tidak mengatakan hal itu,"
jawabnya. "Ooh, pamam Aidan, kau dalam masalah," kata Georgie,
mengibaskan jari-jarinya kearah Aidan.
Emma menyeringai. "Ya, Paman Aidan adalah seorang pria yang
buruk. Kita seharusnya mencuci mulutnya dengan sabun, bukankah
begitu?" Georgie terkekeh. "Ya, kita harus melakukannya."
"Hello?" Sebuah suara seorang wanita terdengar dari dalam rumah.
"Mommy!" tangis Georgie, melepaskan dirinya dari Emma dan
berlari kearah pintu. Emma sudah akan berdiri, tapi Aidan menahannya, melemparkan
handuknya kearah Emma. Saat Emma hendak mengeluarkan
protesnya, dia meringis dan menunjuk kearah dada Emma. Emma
menunduk dan memerah. Menenangkan Georgie membuat baju
putihnya basah kuyup, dan itu jelas-jelas dapat memperlihatkan bra
putih berendanya. "Oh sial!" Emma melihat dengan liar kearah teras
untuk melarikan diri. Aidan mengenggam tangannya. "Ayo temui Becky."
"Apakah kau bercanda" Aku tidak akan bertemu dengan saudara
perempuanmu saat aku terlihat seperti Bimbo dari kontes pakaian
basah," desis Emma. "Kau tidak punya banyak pilihan. Saat Georgie memberitahunya
kalau ada seorang wanita disini bersamaku, dia akan langsung
mencarimu." Dia melangkah kedepan dan membungkuskan
handuknya ke Emma. "Berpura-puralah kau habis berenang."
"Oke," bisiknya enggan.
Seperti dugaan Aidan, Becky muncul dari arah pintu, mengenggam
tangan Georgie. Saat melihat Emma, dia berjalan dengan cepat
kearah mereka. Dengan rambut pirang berombak dan mata biru nya
yang menusuk, Becky melewati Aidan. Dia menepuk punggung
Aidan. "Baiklah, adikku, aku tidak akan membiarkan pria-pria kecil
ini datang kalau kau memiliki teman."
"Ini Emma Harisson - dia temanku di kantor."
Emma mengulurkan tangannya dan memberikan senyum terbaiknya
pada Becky. "Senang bertemu denganmu."
"Begitu juga denganku."
Saat Becky melanjutkan penilaian terhadapnya, Emma
membebaskan tenggorokannya. "Anak-anak lelakimu benar-benar
menyenangkan. Aku sangat gembira bertemu dengan mereka."
Becky Menyeringai. "Terima kasih. Aku hanya berharap mereka
benar-benar bertingkah laku baik." Dia lalu menatap Aidan dengan
tatapan penuh selidik. "Aku tidak tahu kalau kau memiliki teman
kerja yang cantik." Aidan mendengus karena keterusterangan kakaknya. "Ya, ada
beberapa standar kecantikan di perusahaan."
Becky menyinggungnya dengan bermain-main. "Baiklah, kami tidak
ingin mengganggu kalian berdua lebih lama lagi." Dia memberi
isyarat kepada John dan Percy untuk keluar dari kolam renang.
Dengan enggan mereka membawa diri mereka keluar dan memakai
handuk. Becky membungkus handuk dengan erat disekeliling
Georgie. "Sekarang apa yang yang harus kalian katakan kepada
Paman Aidan karena telah membiarkan kalian berenang?"
"Terima kasih," mereka mengatakan dengan serempak yang
menyebabkan Aidan dan Emma tersenyum.
Lalu John dan Percy mengangguk sopan kearah Emma. "Terima
kasih karena telah berbicara dengan Paman Aidan untuk
membiarkan kami tinggal disini...untuk kedua kalinya," kata John,
ada rona merah dipipinya.
Emma tersenyum. "Sama-sama."
Becky mengalihkan pandangannya dari anak laki-lakinya ke Emma,
lalu memberikan Aidan pandangan yang sudah sangat diketahuinya.
"Baiklah, semoga kalian menikmati malam yang indah."
"Terima kasih."
Mereka mengantar Becky dan tiga pria kecil kepintu. Setelah mereka
pergi, Aidan mengerang dan menggosok matanya saat dia jatuh
diatas kursi. "Jesus, aku sangat senang mereka pergi."
"Aw, aku benci melihat mereka pergi. Mereka benar-benar pria kecil
yang manis." Aidan tertawa kecil. "Oh yeah, Aku seharusnya bertanya kepada
mereka untuk menghabiskan malam disini. Aku yakin kalau John
akan suka berbagi ranjang denganmu dan menyiksamu." Dia
menggelengkan kepalanya dengan muak. "Pria kecil yang nakal."
"Dia baru tigabelas tahun. Apa yang sebenarnya kau harapkan" Aku
sangat meragukan kau adalah seorang malaikat yang akan
melakukan hal-hal baik pada saat kau seusianya," Emma
membalasnya dengan tersenyum.
"Tidak, aku juga merupakanpria kecil yang nakal."
"Aku bisa membayangkannya. Aku bersumpah bahwa dia terlihat
dan bertingkah sama sepertimu" Emma terkekeh. "Dia adalah
pemeran lain dari Fitzgerald yang baru saja tumbuh."
Ponsel Aidan tiba-tiba berdering, dan saat dia melihat siapa yang
menelepon, dia meringis. "Sial, dari kantor di India. Aku harus
menyelesaikannya. Buat dirimu senyaman mungkin dirumah, okay?"
"Tidak masalah," jawab Emma, menggaruk daun telinga Beau.
Segera setelah Aidan meninggalkan ruangan, Beau melompat di
sofa bersamanya. "Mau mencari film wanita untuk kita tonton
bersama?" Dia menjilat tangannya. Dia meraih remote di atas meja dan mulai
memencet tombol saluran TV. "Ooh," gumamnya saat melihat salah
satu film favoritnya, Notting Hill, sedang diputar. Dia meringkuk
lebih nyaman di sofa, bulu hitam mengkilap dari Beaunya terasa
mengganggu. Setelah beberapa saat, kelopak matanya terasa berat,
dan sebelum dia bisa menghentikan dirinya sendiri, dia tertidur.
*** "Ya, aku berharap bisa bertemu dengan Anda bulan depan, Mr.
Benwaldi," Kata Aidan sebelum mematikan ponselnya. Dia bangkit
dari mejanya dengan napas berat. Pada kenyataannya, dia tidaklah
begitu tertarik dengan prospek yang mengharuskannya
meninggalkan negaranya selama sebulan, tapi itu adalah
penentuannya dalam menjalankan masa promosinya. Tentu saja, dia
tidak berpikiran untuk memberitahu Emma tentang
keberangkatannya dalam waktu dekat ini. Dia tidak terlalu yakin
bagaimana Emma nantinya bisa membiarkan dia pergi ditengahtengah masa diskusi
tentang membuat anak - keputusan mereka.
Mungkin dia akan meyakinkan Emma untuk pergi selama beberapa
hari jika percobaan minggu depan tidak berhasil.
Tunggu, apa yang sebenarnya dia pikirkan" Emma bukanlah pacar
ataupun istrinya. Meminta izin kepada wanita untuk berpergian
keluar negeri bukanlah bagian dari komitmennya, walaupun itu lebih


The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk kebaikan wanita itu daripada untuk dirinya.
"Hei, aku adalah tuan rumah yang paling buruk yang pernah ada.
Maaf karena terlalu lama," ucapnya, saat dia berjalan memasuki
ruang tamu. Dia berhenti dengan suara decitan saat melihat Emma
tertidur di sofa dengan Beau disebelahnya. Untuk beberapa saat, dia
tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Haruskah dia
membangunkan Emma untuk mengambil mobilnya dan pulang, atau
haruskan dia menawarkan Emma untuk tidur di kamar tamu" Atau
haruskah dia membawa Emma ke ranjangnya" Itu bukanlah seperti
mereka belum pernah tidur bersama.
Dia menatap Beau dan mendengus frustrasi. Ketika Beau menatap
dengan ekspresi mengantuk kearahnya, Aidan menggoyanggoyangkan jarinya. "Kau
tahu betul kalau kau tidak diperbolehkan
berada didekat perabotan."
Beau menanggapinya dengan menguap dan kemudian mencari
tempat yang lebih nyaman disisi Emma.
Aidan membungkuk di atas sofa, tangannya mengusap pipi Emma.
"Bangun, Em," katanya lembut.
"Hmm?" Dia bertanya tanpa gerak.
"Kau harus pindah ke ranjang."
"Tidak. Itu terlalu melelahkan," bisiknya.
Aidan menggosok lengan Emma. "Kau akan merasa lebih baik kalau
tidur di ranjang." Emma memberikan dengkuran kecil sebagai balasannya. Aidan
memutar matanya. Tentu saja, dia akan membuat ini menjadi lebih
berat untuk Aiden. "Okay, baiklah. Aku akan membawamu ke
ranjang." Dia meraih bagian bawah kaki Emma dan menaruh lengannya
disekitar punggung Emma. Dengan sekuat tenaga dia mengangkat
Emma dari sofa. Emma menatapnya dengan tatapan samar. "Apakah kau ksatria
dengan baju baja yang bersinar sekarang?"
"Oh yeah, aku adalah ksatria yang luar biasa," gumamnya.
"Kau membuatku melanggar semua aturan yang aku buat."
"Huh?" Matanya tertutup, dan Aiden berpikir kalau dia sudah kembali
tertidur. "Kau membuatku merasakan lebih...Awalnya aku hanya
mengira akan memanfaatkanmu untuk melakukan sex sama seperti
kau memanfaatkanku."
Dadanya terasa sesak karena kata-kata wanita itu. Benarkah apa
yang gadis itu pikirkan tentang dirinya" Walaupun biasanya benar,
dia tidak suka mendengarnya dari wanita itu...Setidaknya sekarang.
"Em, buka matamu dan lihat aku."
Sesuai perintahnya, mata hijau yang mengantuk milik Emma
berusaha fokus menatapnya. "Tidakkah kau pernah berpikir bahwa
aku memanfaatkanmu" Boleh jadi aku selalu ingin melakukan sex
denganmu, tapi aku tidak akan pernah memanfaatkanmu."
Emma membungkus tangannya lebih erat disekitar leher Aidan,
bibirnya menyentuh dada Aidan. "Kau adalah pria yang baik, Aidan
Fitzgerland, walaupun kau tidak pernah mengakuinya."
"Apakah kau berpikir begitu?"
Kepalanya mendongak dengan malas. "Aku tidak pernah
membayangkan kau akan mengurusku seperti yang kau lakukan
sekarang, khususnya saat tidak ada perjanjian tentang sex. Tapi kau
melakukannya." Aidan memutar matanya saat dia menurunkan Emma diatas
ranjangnya. "Itu membuatku seperti laki-laki sungguhan, huh?"
"Umm, hmm," bisiknya, tengkurap.
"Aku senang kau berpikir seperti itu tentangku, Em."
"Hanya saja jangan menghancurkan hatiku," katanya lembut.
Dia sudah bernafas berat saat dia membalas, "Aku akan mencoba
yang terbaik dari diriku.
*** Bab 14 Sepuluh hari setelah makan malam dan tidur di rumah Aidan, Emma
memaksa dirinya untuk membuang buku tentang peraturan keluar
dari jendelanya. Sms rutin setiap hari, email dan telepon dari Aidan
bahkan membuat Casey menjadi seorang yang percaya bahwa Aidan
merupakan calon kekasih yang terbaik. Dan sekarang bulatan merah
di kalender mengatakan padanya bahwa inilah waktunya untuk
memulai babak kedua membuat bayi.
Dan sekarang Aidan tetap menginginkan Emma untuk datang ke
rumahnya. "Semua perjanjian" yang telah mereka susun dibatalkan,
jadi tidak ada pertemuan di hotel lagi. Setelah bersiap-siap untuk
berangkat, Emma keluar menuju rumah Aidan.
Aidan membuka pintu hanya dengan mengenakan boxer dan kaos.
"Maaf, aku baru selesai mandi."
"Yeah, begitu juga denganku," Emma menjawab, sambil mengikuti
Aidan masuk kedalam rumah.
Aidan menyeringai pada Emma di balik punggungnya. "Kau
seharusnya mandi disini dan kita dapat membunuh 2 burung dengan
1 tembakan." Emma tertawa. "Kurasa kau benar."
"Apakah kau lapar?"
"Sedikit." "Aku dapat memesankanmu masakan Cina."
Emma pura-pura ketakuan. "Itu berarti kau tidak akan memasak
untukku malam ini?" Aidan tertawa, "Maaf sayang, tidak malam ini. Pekerjaanku telah
meremukan bokongku."
"Jabatan baru?"
Aidan mengangguk, "Meskipun uang sangat berharga, aku mulai
berharap untuk mengatakan tidak."
Setelah mencari di dalam lacinya, Aidan mengambil menu dan
memberikannya pada Emma. "Katakan apa yang kau inginkan untuk dimakan."
Bukannya melihat pilihan makanan, Emma bingung tentang apa
yang berbeda dari Aidan. Kemudian dia menyadari apa itu. "Boxer"
Kapan kau mulai mengenakannya?"
Dia bersandar padameja dapur. "Well, aku melakukan penelitian
kecil dan menemukan bahwa boxer lebih baik untuk ball dan jumlah
sperma." "Ohh..." Dia menjawab, menahan rona yang menjalar di pipinya.
"Yeah, artikel itu juga mengatakan tampaknya itu dapat membantu
sperma dalam gerakan mereka dan membuat mereka memenangkan
medali emas dalam pertandingan Olympiade."
Jantung Emma berdetak lebih cepat dan iamenghembuskan nafas.
"Jadi kau mulai mengenakan boxer untuk membantuku hamil?"
"Yups. Dan aku juga membaca bahwa cara ini juga lebih baik untuk
menahan sperma agar mereka lebih kuat." Aidan melepaskan
sandarannya dan berjalan kehadapan Emma. "Jadi, Aku mencoba
menahan setiap aktititas seks agar sperma-spermaku tidak terbuang
percuma." "Oh," Gumamnya.
"Apa itu mengejutkanmu?"
Emma menangguk, "Aku hanya menduga kau telah mencari wanita
lain atau..." "Meniduri wanita lain?"
Ketika Emma tidak menjawab, Aidan menyingkirkan rambut Emma
menjauh dari wajah dan membelai pipinya.
"Tidak ada orang lain selain dirimu --- Bahkan tidak untuk tanganku
sejak aku melihatmu."
Matanya melebar saat dia mengerti yang dimaksud Aidan. "Aku kira
ini telah menjadi sepuluh hari terpanjang, huh?"
Ekspresi Aidan menunjukan penderitaan. "Sebenarnya, aku akan
meledak." Emma tertawa. "Aku sangat terkesan dengan betapa seriusnya kau
melakukan ini." "Kapanpun aku berusaha melakukan sesuatu, aku berniat untuk
melakukannya dengan baik dan memberikan semua yang aku punya.
Dan itu termasuk membuatmu hamil."
Emma memukul lengan Aidan manja. "Kau benar-benar perayu
ulung." Aidan tertawa. "Ayo kita lihat apakah aku dapat merayumu untuk
melepas celana dalammu sekarang?"
"Bagaimana dengan makanannya?" Emma bertanya
"Kita akan bekerja keras untuk mendapatkan makanan lain yang
nikmat," balasnya. Menu makanan terlepas dari tangan Emma dan jatuh di lantai.
"Kedengarannya menyenangkan."
Saling menatap, suasana diantara mereka berubah. Tiba-tiba, seperti
Aidan tidak dapat membuat Emma telanjang lebih cepat. Dia
mencengkeram pinggiran gaun dan kemudian menariknya keatas,
membuangnya melewati kepala. Emma senang dia memilih pakaian
dalam yang tepat ketika mata Aidan begitu liar mengagumi bra
warna hijau dan emas dan juga celana dalam yang dia kenakan. Tapi
Aidan tidak menatapnya lama. Malah, dia mencengkeram pinggul
Emma dan menaikkannya untuk duduk di atas meja marmer. Jarijari Aidan melepaskan
bra Emma dan membuangnya jauh bersamaan
dengan Emma yang membungkus kakinya dipinggang Aidan.
Bibir Aidan dengan lapar mencium Emma dan lidahnya melesat
keluar masuk dimulut Emma. Tangannya menangkap payudara
telanjang Emma, meremasnya Aidan tahu Emma menyukainya.
Sebagai balasan, Emma mengeluarkan desahan pada tindakan Aidan.
Tangan Aidan meninggalkan payudaranya dan menuju celana
dalamnya. Dia lepaskan celana dalam itu dan bergerak kebawah
paha Emma. Aidan kemudian melebarkan kaki Emma, menyamakan dengan
bahunya. Ketika lidahnya melesat masuk kedalam miliknya, Emma
menengadahkan kepalanya. "Mmm, oh Tuhan, ya!"
"Sebut namaku, sayang." Aidan berbisik terhadap respon Emma.
Saat Aidan masih melanjutkan serangan pada klitorisnya, Emma
memberikan perhargaan dengan sebuah teriakan, "Ya, Aidan! Oh, ya,
oh ya, Aidan!" Dengan kaki gemetar, dia melebarkan lagi kakinya
untuk membuat Aidan lebih leluasa. Dan itu membuat Aidan
memainkan jari-jarinya keluar masuk dari milik Emma sementara
lidahnya menjilat dan menggoda miliknya. Jemari Emma
mencengkeram tepi meja saat ia mencapai klimaks.
Ketika Aidan mulai ereksi, lebih daripada jemarinya menyentuh
pada milik Emma, mata Emma terbuka dan dia menyentak balik.
"Tidak, tidak seperti ini! tidak di sini!"
Aidan menangkat alisnya. "Jangan katakan padaku kau merasa jijik
melakukan seks diatas meja dapur" Aku berjanji ini bersih."
Emma menunjukkan wajah memerah. "Bukan itu."
Aidan mengusap rambutnya yang sudah basah oleh keringat. "Em,
kau pikir kau bisa menolaknya" Maksudku, aku berdiri disini dengan
boxer ini sekarang, dan semua yang aku inginkan hanya berada di
dalammu." "Aku hanya tidak ingin mengingat dan mendapatkan bayiku di
kandung saat melakukannya diatas meja dapur, oke?"
Aidan memandangnya sebentar sebelum tertawa keras. "Kalau
ingatanku tidak salah, kita pernah melakukannya di mejaku setelah
kita melakukannya di kursi."
"Karena kau tidak mau membawaku pindah ke ranjang!" Emma
mendebat. "Tapi tidakkah kau berpikir bahwa banyak bayi telah dikandung
ditempat yang buruk?"
Emma menyilangkan tangannya di depan payudara telanjangnya
dengan marah. "Kita tidak sedang membicarakan tentang bayi orang
lain. Kita sedang berbicara tentang bayi kita."
Aidan memutarkan matanya dan menyeringai. "Emma Harrison, kau
benar-benar membuatku mati secara perlahan." Ketika Aidan
mendorong Emma lebih dekat kearahnya, Emma mulai protes tapi
Aidan menggelengkan kepalanya. "Pegangan pada kudamu, tuan
putri. Aku akan membawamu ke tempat tidur, oke?"
Emma menyeringai, "Aku akan membuatmu puas, aku berjanji."
Setelah Aidan mengangkatnya dari meja, dia mencengkeram
pahanya erat pada pinggang Aidan sementara dia membopong
Emma agar tetap stabil di pinggulnya. "Hmm, jadi apa yang bisa kau
sarankan?" Emma menolehkan kepalanya kekanan, memperlihatkan yang ada
dalam benaknya. "Bagaimana setelah kita selesai putaran pertama,
aku berikan seks oral padamilikmu yang paling berharga?"
Aidan mengerang "Aku akan sangat senang membawa pantat
cantikmu ke tempat tidurku."
Emma terkekeh "Aku bisamembayangkan banyak hal."
"Kamu sangat bossy dan menuntut, Em. Aku tidak percaya aku
memberikannya kepadamu."
"Itu karena kau ingin memberikannya padaku. Akui saja. Aku telah
menaklukanmu dalam seks."
Aidan menyipitkan matanya, "Apa kau mencoba untuk mengatakan
aku seorang pecundang yang berada di kamar tidur sekarang?"
"Tidak seperti itu, sayang. Aku hanya berpikir aku telah memberikan
efek bagaimana kau berpikir dan bertindak dalam melakukan seks,
sama seperti kau merubahku. Kau lembut, manis, dan bijaksana
bukan hanya untuk kepuasanmu saja. Wanitamu di masa yang akan
datang pasti berterimakasih padaku."
Aidan tidak membalas. Sebaliknya, dia mendorong Emma terlentang
begitu saja ditempat tidur.
Dia tersentak kaget karena perbuatan kasar Aidan. "Kenapa Tuan
Fitzgerald, kau benar-benar bukan pria sejati." Goda Emma.
Aidan gelengkan kepala. "Episode singkat di dapur membuatku
menunggu lama untuk berhubungan denganmu, Nona Harrinson.
Kau dapat mempertimbangkan untuk memperingatkan dirimu
sendiri bahwa tidak ada lagi Tuan Baik Hati!"
Emma berbohong jika kata-kata yang dilontarkan Aidan dengan
kilauan keinginan membara didalam matanya tidak merangsangnya.
Aidan membuka lutut Emma dengan tangannya dan melebarkan
pahanya. Ekspresinya berubah seperti predator liar saat dia
menempatkan dirinya di atas tubuh Emma. Dengan satu dorongan
keras, Aidan memegang kendaliatasdirinya. Merasakan milik Aidan,
Emma bergidik karena kekuatan Aidan. Aidan menyeringai melihat
Emma. "Sepertinya tubuhmu mengkhianati perilaku sopanmu.
Kupikir aku telah memberimu efek yang sangat bagus."
"Aku tidak dapat menyangkalnya, Kau memang seperti itu." Emma
terengah-engah. Aidan tetap melanjutkan hentakannya kedalam milik Emma,
peraduan hentakan kulit mereka membuat gema seluruh ruangan
dengan desah keliaran Aidan. Emma tahu, Aidan menidurinya
seperti ini untuk membuktikan pada dirinya sendiri dan Emma tidak
menginginkan apapun untuk membuktikan padanya bahwa dia telah
berubah. Emma menaruh tangannya pada wajah Aidan, menggambar bibir
Aidan untuknya. Aidan sejenak berhenti menyentakkan miliknya
ketika Emma dengan cepat memasukkan lidahnya ke mulut Aidan,
dengan lembut membelai lidahnya. Dia menyisir rambut Aidan
dengan tangannya dan menarik rambut belakangnya. Aidan
mengerang pelan di tenggorokannya. Tangan Emma mengelus
punggung Aidan. Bukannya memasukkan jemarinya kedalam tubuh belakang Aidan,


The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Emma hanya membuat lingkaran disekitar pantat Aidan. Sekarang
berganti, Aidan yang bergidik. Emma menangkap pantatnya,
menekannya untuk masuk lebih dalam pada dirinya sementara dia
menaikkan pinggulnya. "Sekarang lakukan dengan pelan dan manis,
kumohon?" tanya Emma.
Mata Aidan perlahan terbuka dan sebuah senyuman menyimpul
dibibirnya. "Ketika kau meminta seperti itu, bagaimana mungkin aku
dapat berkata tidak?"
*** Setelah putaran pertama selesai dengan janji Emma tentang oral, dia
meringkuk kedalam lengkungan lengan Aidan. Menempelkan
telinganya pada dada Aidan, dia mendengarkan dentuman dari detak
jantung Aidan. Emma hampir kembali tertidur ketika suara Aidan
membangunkannya. "Apa kau sudah bangun?"
"Mmm-hmm." Gumam Emma.
"Ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu dan aku ingin kau
benar-benar bangun untuk mendengarkannya, Em."
Perkataan Aidan membuatnya terjaga sama seperti efek yang
ditimbulkan setelah meminum secangkir kopi. Dia bangkit dan
melihat ekspresi sulit Aidan.
"Mengapa aku merasa kau akan menjatuhkan bom padaku?"
Aidan menghembuskan nafas tak beraturan. "Ini karena jabatan
baruku, aku harus pergi ke India untuk membantu memulai cabang
baru di sana." Didalam hati, Emma merasa lega. Ribuan pemikiran yang beragam
telah berlomba didalam pikirannya. Kebanyakan dari mereka
berpikir bahwa Aidan tidak ingin berlama-lama melihatnya atau
menjadi bagian dari pembuatan bayi. "Berapa lama kau akan pergi?"
"Mungkin kau tidak akan suka...dua minggu sampai satu bulan."
Emma terkejut. "Jadi artinya kau mungkin tidak akan berada disini
dalam beberapa waktu kedepan untuk..." Emma menundukkan
kepalanya. "Well, kau tahu."
Aidan mengusapkan ibu jarinya kearah pipi Emma. "Mungkin. Aku
hanya tidak tahu berapa lama itu akan berlangsung."
Emma menoleh "Tidak apa-apa, aku mengerti."
"Kau mengerti?"
"Ini tidak seperti kau pergi liburan atau apapun itu. Ini tentang
pekerjaan - kau harus melakukannya. Aku sadar kau punya
kehidupan bukan hanya untukku dan rencana pembuatan bayiku."
Emma tersenyum. "Selain itu, akupun tidak bisa menahanmu dengan merantaimu di
tempat tidur untuk memenuhi kebutuhanku."
Dada Aidan bergetar oleh suara tawa di bawahnya.
"Oh, Em aku tidak tahu kau bisajadi sangat nakal." Aidan
mengangkat alisnya, dia menyeringai melihat Emma. "Kapanpun
kau ingin membelengguku di tempat tidur, kau hanya perlu
memberitahuku. Aku akan dengan senang hati melayanimu."
Emma mendekat untuk merangkul Aidan. "Aku berpikir kita telah
melakukannya dengan baik."
Aidan memainkan jemarinya diatas paha Emma. "Sekarang kenapa
kau tidak membalas untuk mengejutkanku" Kalau kau berpikir meja
dapur begitu menjijikan untuk membuatmu mengandung. Aku yakin
kau punya pemikiran lain."
"Kau mengatakan padaku sebelumnya tidak ingin masuk untuk
semua itu." "Itu benar. Tapi untukmu, aku membuat pengecualian."
Memutarkan matanya, Emma membungkuk dan menjilati leher
Aidan dan sepanjang rahangnya. Ketika dia hampir sampai pada
mulut Aidan, dia menjatuhkan dirinya. "Kau pikir kau dapat
melayaniku untuk putaran berikutnya?"
Aidan menyeringai. "Kenapa tidak."
Sesaat kemudian, Beau melompat keatas tempat tidur dengan
menggigit celana dalam Emma.
"Beau! Tidak, berikan itu!" Jeritnya, menarik celana dalamnya dari
gigitan Beau. Setelah dia mendapat celana dalamnya, hidung
basahnya mendorong paha Emma, mencoba untuk mendorong
menjauh dari pangkuan Aidan.
"Beau, kau *cockblocker tua! Turun!" Teriak Aidan.
Emma terbaring dan tertawa karena omongan Aidan dan kelucuan
Beau, dia hampir tidak bisa bernafas akibat tawanya. Beau mulai
menjilati wajah Emma dan ia mendorong Beau agar menjauh.
"Tidak, boy, hentikan." Pinta Emma
"Turun!" Teriak Aidan, mencoba meraih leher Beau.
Ketika Beau turun dari tempat tidur, Emma melihat Aidan. " Apa
yang akan terjadi padanya ketika kau pergi?"
Aidan menganggkat bahu. "Meskipun dia benci menginap, aku kira
aku akan menitipkannya di Doggy Daycare."
Emma menatap tempat tidur Beau. Aidan memperlihatkan wajah
sedih pada Emma. "Aw, Beau yang malang." Emma melihat kearah
Aidan dan tersenyum. "Dapatkah aku menjaganya untukmu."
Aidan mendengus "Apa kau benar-benar ingin melakukannya?"
"Aku hanya menyukainya, dan benci untuk berpikir dia tidak akan
merasa senang selama dua sampai empat minggu."
"Apakah kau benar-benar serius?"
Emma menoleh. "Kau tidak percaya padaku untuk menjaga
anjingmu?" Aidan tertawa. "Tentu saja aku percaya. Dan jika kau benar-benar
menginginkannya ambil saja dengan pantatnya yang bau selama dua
sampai empat minggu, dia milikmu."
Emma menatap kearah tempat tidur Beau.
"Apa kau mendengarnya" Kau akan pergi dan tinggal bersamaku
selama Daddy pergi ke India."
Beau menggoyangkan ekornya sementar Aidan mencibir. "Aku tidak
percaya kau menyebutku Daddy-nya."
Emma memberikan senyum jahat sementara jarinya menyentuh
keatas paha Aidan dan kemudian jarinya ditangkap Aidan.
"Bolehkah aku memanggilmu Big Daddy?"
Aidan menjilati bibirnya. "Oh yeah, itu bagus."
"Yang mana yang bagus" Aku membelaimu seperti ini atau aku
menyebutmu Big Daddy?" Goda Emma.
"Mmm, keduanya," Aidan membalas.
Setelah dia membuat Aidan mengeras, Emma mengarahkan Aidan
kemiliknya yang telah basah. Emma tersenyum lebar pada Aidan.
"Okay Big Daddy, ayo coba sekali lagi untuk membuat seorang
bayi." *** Bab 15 Emma menggigiti kukunya yang sudah tidak rata. Duduk di atas
meja kamar mandi, kakinya bergoyang ke belakang dan ke depan.
Seluruh tubuhnya berdengung dengan energi yang misterius. Dia
menarik nafas dengan gelisah, mencoba menenangkan emosinya
yang tidak terkontrol, tapi tidak kurang dari satu akuarium margarita
saja yang bisa membantunya saat ini.
Dia mengalihkan pandangannya dari Casey yang duduk santai di
sofa kecil, kemudian memandang tiga alat tes kehamilan yang
berbeda. "Ini sudah berapa lama?" tanya Emma.
Casey mengerang. "Sekitar lima detik sejak terakhir kali kau
menanyakan itu! Ya Tuhan, Em, kau bisa membuatku terkena
stroke!" "Maafkan aku. Rasanya sudah begitu lama sejak aku melakukan tes
dengan tiga alat sialan itu. Aku tidak bisa berpikir lagi."
Seseorang hendak mencoba masuk ke dalam kamar mandi, dan
Casey langsung melompat berdiri, menggunakan tenaganya untuk
menahan pintu. "Maaf, ini tidak bisa digunakan. Coba yang lain
yang ada di aula." Orang itu menggerutu, tapi kemudian pergi menjauh. Mata Emma
melebar. "Aku tidak bisa percaya kau membajak kamar mandi untuk
tes kehamilanku!" "Apa kau ingin wanita asing buang air kecil disini, ditengah-tengah
momen besar milikmu ini?"
Tawa yang penuh kegugupan keluar dari mulut Emma. "Tidak,
kurasa tidak. Tapi kita tidak tahu ini akan menjadi momen besar atau
tidak." Casey menyeringai. "Kau sudah terlambat satu minggu kali ini, Em.
Dan jangan lupa kalau Aidan memperlakukan spermanya dengan
begitu hati-hati. Aku pikir untuk yang kedua kalinya ini,
keberuntungan berpihak padamu!"
"Aku juga berharap seperti itu, aku ada perasaan bahwa Aidan
sedikit kecewa karena tidak ada sesi membuat bayi lagi, terutama
ketika dia menyimpan tenaganya saat dia berada di luar negeri."
"Siapa yang bilang itu sudah berakhir?"
Alis mata Emma terangkat karena terkejut. "Karena tujuan
sebenarnya sudah tercapai pada saat... aku hamil."
"Ya dan membiarkan dia terus kembali menemuimu akan
memberimu sesuatu yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya."
"Dan apakah itu?"
Casey memberinya senyum sok tahu. "Seorang suami."
Ruangan itu terasa berputar, membuat kepala Emma terbentur ke
kaca yang ada di belakangnya. Dia menyentuhkan tangannya ke
kepala bagian depannya untuk meredakan kepalanya yang masih
terasa berputar. "Jangan mengatakan sesuatu seperti itu kepadaku
karena itu akan membuat kepalaku meledak sewaktu-waktu." Saat
Casey tidak membalas kata-katanya, Emma membuka matanya.
"Apa itu?" "Mereka mulai berubah warna!"
Emma menarik nafas panjang sebelum bergerak maju menuju ke
meja kamar mandi itu. "Dan?"
"Sialan, satunya memiliki dua garis dan satunya lagi mengatkan
'Ya'!" Emma hampir saja terjatuh ke lantai di depan meja kamar mandi itu,
dengan sempoyongan dia mencoba meraih Casey dan berpegangan
pada bahunya. Karena bingung, dia bertanya, "Tapi... APa
maksudnya itu..?" Airmata mulai mengalir dari mata Casey. "Itu artinya kau benarbenar hamil!"
"Apa kau yakin" Kau tidak salah membacanyakan?"
"Tidak, aku positif, dan semua tes juga positif!"
Emma membeku saat tubuhnya dengan perlahan mulai memproses
semuanya yang sedang terjadi. Semua emosi saling memantul di
dalam dirinya dan membuat tubuhnya terasa gemetar. Dia tidak bisa
mengedipkan matanya, dan juga tidak bisa bernafas sama sekali.
Tahun-tahun menyakitkan yang dilewatinya setelah kematian Travis
dan mamanya, dia selalu menghabiskannya dengan berharap,
berdoa, dan merindukan seorang anak, dan itu semua dipenuhi pada
saat ini. Secara fisik dan emosi ini semua benar-benar membuatnya
kewalahan. Hamil... dia benar-benar hamil.
Casey mengguncang dia perlahan-lahan. "Bernafaslah, Em, kau
harus bernafas." Airmata mengalir di kedua pipi milik Emma. Tangannya secara
otomatis memegangi perutnya. "Aku tidak bisa percaya kalau ini
benar-benar terjadi."
"Itu pasti lebih baik kalau berjalan dengan benar," Casey mencoba
bercanda, saat dia mencoba menghapus airmatanya dengan
punggung telapak tangannya.
Perasaan gembira Emma mulai menghilang. "Bagaimana kalau
ternyata hasil tes ini salah" Maksudku, bagaimana kalau--"
Casey menggoyangkan kepalanya. "Kau bisa mencoba membeli
sepuluh alat tes lagi untuk meyakinkan dirimu, tapi kali ini semua
benar-benar terjadi."
Emma mengambil tisue dan mengusap airmatanya. "Apa kau tidak
melihatnya" Hanya ada kekecewaan dan kesedihan di dalam
hidupku sehingga rasanya amat sulit bagi diriku untuk mempercayai
bahwa sesutu yang aku inginkan benar-benar terjadi."
"Em-" "Kau tidak akan mengerti rasanya bagiku. Sudah berulang kali aku
berharap mendapatkan sebuah kebahagiaan nyata, namun aku tidak
pernah bisa mendapatkannya. Travis dan aku berencana untuk segera
membentuk keluarga. Dia bercanda bahwa dia akan melamarku,
sehingga kita bisa menikah secepat kilat. Aku tidak ingin yang lain
kecuali memiliki anak dari dia, dan kemudian dia pergi. Kemudian
aku juga kehilangan mamaku." Bibirnya bergetar. "Aku sangat takut
ini semua tidak berjalan sesuai yang direncanakan, Case."
"Jangan takut." Casey menarik Emma ke dalam pelukannya. "Aku
ada disini bersamamu, dan semuanya akan baik-baik saja. Ini adalah
waktu untuk dirimu berbahagia, Em. Kau hanya perlu
mempercayainya." Emma menutup matanya dan membiarkan optimisme yang
dikatakan oleh Casey mengalir dalam dirinya. "Aku ingin
mempercayai itu. Sangat-sangat menginginkannya."
Casey mendorong tubuh Emma untuk memberinya senyuman yang
memberikan keyakinan. "Well, kau harus percaya, karena ini adalah
fakta. Sekarang tatap cermin itu dan katakan apa yang harus kau
katakan." "Serius Case?" "Lakukanlah!" "Baiklah." Emma menatap wajahnya yang muram dengan maskara
yang sudah berantakan di cermin. "Aku hamil, dan aku akan menjadi
seorang ibu." "Benar sekali! Sekarang, kapan kau akan memberitahu Big Papa
mengenai kabar baik ini?"
"Oh, aku tidak tahu. Meskipun kami sering bicara di telepon atau
skype sejak dia pergi, aku tidak ingin melakukannya dengan cara
seperti itu." Melihat wajah licik Casey, Emma menyilangkan kedua
lengannya di depan dadanya. "Aku tahu bahwa kau sedang berpikir,
dan jawabannya adalah tidak. Kami tidak melakukan telepon seks!"
"Sangat mengecewakan," Casey cemberut.
Sambil memutar matanya, Emma mengatakan, "Sekarang, mari kita
kembali ke percakapan kita tadi, aku pikir lebih baik jika aku
menunggu dia pulang ke rumah."
"Dan kapan tepatnya itu?"
"Salah satu hari yang ada di minggu depan."
"Bagus kalau begitu, kau masih punya waktu untuk melihat ke
dalam kandunganmu, dan kau akan tahu bahwa pada saat kau
melihatnya kau tidak akan ragu lagi untuk mengatakan kabar baik ini
kepadanya." Dia memegang gagang pintu kamar mandi. "Sekarang
mari kita keluar dari sini dalam hitungan kelima dan pergi
merayakan keberhasilan ini dengan minum minuman tanpa alkohol
dan coklat!" Emma tersenyum. "Kedengarannya, itu adalah ide yang bagus
untukku." *** Seminggu kemudian, Emma berjalan keluar dari ruang tunggu
tempat praktek dokter kandungannya dengan wajah yang sama
seperti yang diharapkan oleh Casey dan Connor. Dia tidak bisa
menyembunyikan senyumannya yang mengembang di wajahnya.
"Aku benar-benar hamil!"
Melihat Emma, mereka berdua keluar dari tempat duduknya dan
berteriak dengan gembira saat mereka memberikan pelukan
kepadanya. Pada saat mereka berjalan hendak kembali ke mobil,
telepon Emam berbunyi dari dalam tasnya. Dia mengambilnya dan


The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian mendesah. Di Bandara. Akan segera pulang. Apa kau mau bertemu denganku
dan kemudian kita akan minum di O'Malley jam 6 nanti"
Emma segera membalas sms yang dikirimkan oleh Aidan tadi.
Kedengarannya bagus. Sampai jumpa nanti.
Respon Aidan berikutnya membuat Emma tergelincir dan
menghentikan langkahnya. Emma berhenti untuk menatap ke layar
teleponnya selama beberapa saat. Ada kerinduan dan kegelisahan
yang nampak jelas dalam kata-kata Aidan.
Bagus. Aku menunggu hingga aku bisa mencium dan menjilati
seluruh bagian dari tubuhmu yang begitu indah nanti malam.
"Ada masalah apa Em?" Tanya Casey.
"Tidak ada apa-apa...hanya sebuah sms yang kudapatkan."
Connor mendengus. "Hanya mendapat sms apanya! Dari ekspresi
wajahmu saat ini, aku rasa itu adalah sms yang berasal dari Big Papa
Fitzgerald!" Connor mengatakannya dengan bercanda.
Emma terkekeh. "Ya, benar. Dia sedang dalam perjalanan pulang."
Sambil mengintip dari balik bahu Emma, Connor mendesah. "Sialan,
girl, dia menunggu saat-saat dimana dia bisa menjilati setiap inchi
dari tubuhmu" Em akan menjadi seorang yang kinky pada diriku."
"Apa kau bisa berhenti!" Emma menjerit, kemudian menjauhkan hp
nya dari pandangan Connor. Reaksi Emma itu membuat Connor dan
Casey tertawa seperti orang gila saat mereka bergerak masuk ke
dalam mobil mereka. Sambil meraba-raba untuk mencari kunci mobilnya, dia tidak yakin
bagaimana dia akan membalas pesan yang dikirimkan oleh Aidan
tadi. Akhirnya dia memutuskan untuk membalasnya dengan katakata 'See You' saja.
Saat mulai menjalankan mobilnya, Emma
mendapatkan perasaan sakit di perutnya karena dia tahu bahwa
mengatakan hal ini pada Aidan tidak akan semudah apa yang dia
pikirkan. *** Bab 16 Saat pesawatnya meluncur di landasan pacu di Hartsfield Jakson,
Aidan melawan keinginan untuk berteriak kesenangan. Baginya,
tidak ada tempat yang bebar-benar seperti rumah. Dia mengetuk
kakiknya tidak sabar saat dia menunggu pesawatnya berhenti. Empat
minggu lalu terasa seperti selamanya. Bahkan meskipun dia tidak
menginnginkan apa-apa lebih dari membeli sepasang chili dog dari
Varisity dan dengan 12 pack dari toko minuman keras, dia memiliki
rencana-rencana makan malam yang penting dan bahkan rencana
malam yang lebih besar. Setelah medarat, dia berlari dari pintu masuk. Mengangkat kopernya
secepat yang dia bisa. Melihat jam tangannya, dia mempunyai 45
menit untuk menuju ke tempat O'Malley. Dia sebenarnya ingin
mempunyai waktu untuk bersiap-siap, tapi kemeja kusut dan celana
berkerutnya-lah yang hanya dia miliki sekarang.
Ajaibnya, Aidan masuk ke tempat O'Malley jam 6 kurang sedikit.
Ketika Jenny melihatnya, wajahnya berseri. "Hey orang asing!
Senang kau sudah kembali."
Aidan tersenyum. "Terima kasih. Aku senang bisa pulang. Kau tidak
bisa membayangkan betapa rindunya aku dengan lubang tua dia
dinding. Kau benar-benar tidak bisa menemukan bir atau burger
yang sama dengan yang di sini."
Jenny tertawa. "Jadi apakah aku perlu memesan tempat yang besar
untuk para kru dan pesta Selamat Datang di rumahmu?"
"Um, tidak, sebenarnya, aku akan bertemu dengan seseorang."
"Seseorang atau seorang wanita?"
Dia terbatuk. "Seorang wanita."
Aidan tidak bisa menahan rasa kagetnya saat senyum Jenny melebar.
"Apakah si cantik berambut merah yang bersamamu sebelumnya?"
Mulut Aidan melongo. "Tunggu, bagaimana kau mengira seperti
itu?" Jenny menyeringai. "Aku tahu ada sesuatu diantara kalian berdua
saat kau datang - sesuatu yang berbeda dari wanita lain yang pernah
aku lihat bersamamu."
"Tapi dulu bahkan kami belum berkencan." Aidan menggelengkan
kepalanya. "Kami bahkan tidak berkencan sekarang."
"Oh, ayolah." Jenny melambaikan tangannya mengabaikan Aidan
dan mengambil dua menu. Dia mengarahkan Aidan ke area yang
sama yang dia tempati bersama Emma sebelumnya. Kali ini Jenny
memberi mereka tempat pojok belakang, meyakinkan mereka akan
mendapat lebih banyak privasi. "Kalian terlihat seperti sepasang
kekasih yang serasi," katanya sebelum pergi meninggalkan Aidan
melongo sekali lagi. Respon Aidan untuk pujian Jenny adalah hanya gerutu frustasi. Dia
duduk di tempatnya dan mengeluarkan ponselnya. Setelah melewati
beberapa email dan sms, dia mendongak dan melihat Emma masuk
melewati pintu. Aidan menarik nafas dan mencoba untuk
menyetabilkan kecepatan detak jantungnya. Apa yang terjadi
dengannya" Tidak pernah ada wanita yang mempunyai efek
sebanyak ini padanya. Waktu yang berlalu sepertinya membuat
Emma bahkan lebih cantik dari yang Aidan ingat, tapi ada sesuatu
yang berbeda tentangnya- sesuatu yang lebih lembut, lebih mudah
terluka. Ini sangatlah merangsang.
Ketika Jenny mengatakan sesuatu pada Emma, dia berbinar dan
menundukkan kepalanya. Tanpa berkedip, Aidan melihat Emma
mengikuti Jenny mengarah meja mereka. Gaunnya meluncur di
pinggulnya, menonjolkan lekukan yang sudah Aidan kenal. Rambut
pirangnya yang panjang bergelombang, jatuh di sekitar pundaknya.
Aidan menggertakkan giginya saat dia melihat beberapa lelaki
mengerling pada Emma saat Emma melewati mereka. Meskipun
Aidan tidak punya hak, dia ingin berteriak pada mereka jika Emma
adalah miliknya. Wajahnyanya bersinar saat Emma melihat tatapan Aidan. "Hey!"
Saat Aidan keluar dari tempatnya, Emma berlari dan mengalungkan
lengannya di leher Aidan. Aidan membuka mulut untuk mengatakan
hallo, tapi bibir Emma bertemu dengan bibirnya. Saat Emma
memperdalam ciumannya, Aidan mencoba untuk menjaga sikapnya
dengan mempererat lengannya di sekitar pinggang Emma. Sial, dia
rindu rasa bibirnya, lidahnya, dan bentuk tubuh Emma melawannya.
Siulan rendah di belakang mereka menyebabkan Emma menarik
kepalanya membuat Aidan kaget. Jenny menyeringai pada mereka
dan berkedip. "Sekarang siapa yang butuh anak-anak ketika kau
memperoleh ucapan selamat datang seperti itu, hah?"
Pipi Emma memerah, tapi dia tertawa. Menolehkan kepalanya ke
Aidan, dia bertanya, "Apa aku cukup untuk pesta Selamat Datang?"
Aidan menyeringai. "Saat ini, iya, kau cukup."
Jenny mendesak mereka untuk menempatkan alat-alat makan di atas
meja. "Kurasa aku akan meninggalkan dua sejoli ini sendiri
sekarang." "Terima kasih," kata Aidan.
Aidan mengangkat alisnya saat Emma memilih duduk di sebelahnya
dari pada di hadapannya. "Serindu itu padaku, hah?"
Tawa Emma membuat jantung Aidan bergetar dengan kehangatan.
"Iya, sebenarnya aku sangat merindukanmu."
Aidan melihat ke dalam mata hijaunya yang bersinar. "Aku juga
rindu padamu." Sangat rindu dari yang ingin kuakui.
"Aku atau seks?" tanya Emma.
"Keduanya," jawabnya jujur.
Emma terkikik. "Kurasa hanya seksnya saja."
"Kau merendahkan dirimu sendiri seperti biasanya." Meletakkan
lengannya di sandaran kursi, Aidan berbalik agar lebih baik melihat
Emma. "Tapi aku tidak bisa menahan diriku jika ini terdengar aku
hanya merindukan seksnya saja ketika aku bilang padamu seberapa
cantiknya kau terlihat malam ini."
"Tidak, tidak apa-apa." Pipi Emma bersemu. "Dan terima kasih."
Aidan maju untuk menyundul lehernya, menghirup aroma lembut
parfumnya. Aidan mengerang di kesakitan yang manis. "Cara
gaunmu memeluk semua lekukan dan rambutmu jatuh dengan bebas
dan bergelombang, memohon padaku untuk melarikan tanganku
melewatinya, membuatku ingin melupakan makan malam dan malah
membawamu pulang." Saat Emma menegang, dia mengangkat kepalanya. "Ada apa?"
"Aku perlu mengatakan sesuatu padamu."
"Apapun. Well, sejauh sesuatunya itu tidak seperti kau tidak akan
pulang denganku malam ini."
"Aku hamil," sembur Emma.
Udara mendesah keluar darinya, dan Aidan merasa seperti dia di
tendang di selangkangannya. "Oke, itu sebenarnya bukan yang aku
duga." "Aku mengetahuinya 2 minggu yang lalu, tapi aku ingin
menunggumu kembali untuk memberitahumu."
Sekarang Aidan tahu kenapa Emma tampak sangat berbeda.
Kehamilan membuatnya bersinar dengan kebahagiaan murni. Rasa
kebanggaan yang besar tersalur melewatinya bahwa dia mempunyai
bagian yang menyebabkan kebahagiaan itu. Bibirnya membantuk
senyum tulus. " Itu berita bagus, Em. Aku ikut senang untukmu."
Airmata bahagia berkilauan di mata Emma. "Oh Aidan, aku tidak
akan pernah cukup berterima kasih padamu untuk membuat mimpi
ini menjadi mungkin." Emma menangis, meletakkan lengannya di
sekitar leher Aidan sekali lagi. emma memeluk erat Aidan. "Aku
tetap tidak percaya ini terjadi setelah hanya 2 bulan mencoba. Apa
kau tahu seberapa kita di berkahi dan beruntung" Beberapa orang
sudah mencoba berbulan-bulan dan berbulan bulan- bahkan
bertahun-tahun." "Iya, itu sangat menyedihkan," canda Aidan.
Tawa genit Emma lepas dari mulutnya. "Aku menyesal bahwa kita
tidak. . . well, kau tahu, berhubungan seks sebanyak yang kau
inginkan." Hanya menyebut kata itu di bibir lezatnya membuat Aidan
menggeliat di tempatnya. "Iya memang, terutama sejak aku hampir
saja menjadi biarawan beberapa minggu terakhir ini."
Mata Emma melebar. "Maksudmu kau akan terus menggunakan
boxers dan tidak melakukan aktivitas apapun?"
"Well, aku mungkin mengatasi urusan itu sekali atau dua kali,"
jawab Aidan, malu-malu. "Tapi aku absen seminggu terakhir ini
untuk persiapan." Sekarang setelah semua pekerjaan itu, dia pulang
ke rumah, ekor ada di antara kakinya, dan terlalu frustasi. Benarbenar hanya
Aidan dan tangannya di malam itu.
Emma menangkup wajah Aidan di tangannya. "Oh, kasihan kau!
Kau sudah bener-benar pergi ke atas dan jauh untukku melalui
semua hal ini." Ketika Emma membelaikan jarinya di atas bibirnya, Aidan
menangkap tangannya. "Kumohon Em, jangan. Aku sangat frustasi
untuk hal-hal seperti ini."
Sebuah senyum menggoda dan manis menyebar di wajah Emma.
"Kuberi tahu kau. Karena kau membuatku menjadi wanita yang
paling bahagia di dunia, kupikir aku lebih dari berhutang padamu
satu atau dua ronda untuk membuat senyuman di wajahmu."
Untuk kedua kalinya di malam ini, Aidan merasa seperti di tendang
di selangkangannya. "Kau tidak serius."
Alis Emma berkerut. "Apa kau tidak ingin aku menjadi serius?"
"Tentu saja aku ingin! Aku ingin mendorong gaunmu ke atas
lututmu, merenggut thong berenda yang kubayangkan kau pakai, dan
menyetubuhimu sampai pingsan tepat di tempat ini."
Emma menarik nafas dalam satu tarikan dan matanya melebar. "Aku
menganggap itu adalah 'iya'."
Aidan menyeringai. "Hey, ini sudah empat minggu sayang. Kau
beruntung aku tidak menyeretmu ke dalam kamar mandi untuk
sebuah quickie." Ketika hidung Emma mengerut jijik, Aidan tidak
bisa menahan tawanya. "Jangan cemas, Em. Aku akan
mengendalikan diriku." Melarikan tangannya di bawah gaun Emma,
Aidan meremas pahanya. Aidan terkejut ketika Emma tidak memukul tangannya. Sebaliknya,
Emma tersenyum mengundang padanya.
"Bisakah kita setidaknya makan dulu?"
"Tentu saja kita bisa. Kau makan untuk dua orang sekarang, iya
kan?" Emma mendengus. "Sepertinya iya. Tapi caraku makan akhir-akhir
ini, kau akan menganggap aku mempunyai anak kembar 3 atau
sesuatu." Aidan melambaikan tangannya ke pelayan. Setelah Emma memesan
semua yang dia inginkan, Aidan tidak bisa menyembunyikan rasa
gelinya. "Kau serius akan memakan semua itu?"
Emma menganggukkan kepalanya saat pelayan pergi. "Ini tidak akan
masalah karena saat ini sejak aku mengasumsikan aku akan
membakar banyak kalori nanti, benar kan?"
Aidan tertawa. "Iya!"
Untuk sisa makan malam, Aidan menjaga sikapnya. Sebaliknya,
Aidan fokus pada betapa bahagianya Emma saat membicarakan
tentang bayi dan kehamilan. Dia tidak pernah melihat Emma banyak
bicara atau banyak tersenyum. Dia mulai berfikir bagaimana pipinya
tidak sakit. Aidan mengeras saat Emma mengatakan bahwa kedua
Casey dan Connor pernah menemaninya ke dokter pertamanya. "Jadi
sekarang dia mengurusmu yang sedang mempunyai bayi meskipun
dia bukan ayahnya?" Garpu Emma membeku di udara saat wajahnya jatuh. "Dia hanya
ingin datang dan mendukungku saat kau keluar kota."
"Yah dia memang baik," kata Aidan, tidak bisa menahan sarkasme
keluar dari nada suaranya.
"Jika kau tidak menginginkan dia di USG pertama, aku tidak akan
mengundangnya." Aidan tidak tahu kenapa hal itu menganggunya. Ini tidak seperti dia
mempunyai rencana untuk ikut campur di kehidupan si bayi. . . atau
dia ingin" Untuk beberapa alasan, hanya pemikiran dari Connor
masuk ke kehidupan bayinya menjatuhkan sebuah selimut posesif di
sekitarnya. Merasa ngeri, Aidan mencoba membaca perasaannnya
sendiri. Disamping Connor terlihat seperti seorang lelaki sejati- dia
jelas tidak perlu khawatir tentang dia berkompetisi di tempat tidur
Emma. "Aidan, kau tidak menjawabku?"
Aidan bertemu dengan tatapan intens Emma. "Apa?"
"Aku bertanya padamu lagi jika kau ingin ini hanya menjadi kita
berdua yang datang ke USG pertama itu."
Menelan dengan suasah payah, Aidan akhirnya merespon, "Um, iya,
tentu." Semua keraguan tentang keputusannya lenyap pada ekspresi
kebahagian murni, tidak dibuat-buat melintas di wajah Emma.
Mengetahui Aidan adalah alasan dibalik itu menghangatkannya
langsung ke jiwanya. Ini adalah perasaan yang Aidan pikir dia bisa
datang untuk menikmati lebih dari ini.
"Bagus," jawab Emma, menggigit gorengan terakhirnya.
Aidan tidak bisa menahan seringainya ketika dia melihat piring
kosong Emma. "Mau beberapa makanan penutup?"
Emma mengerucutkan bibirnya pada godaaan Aidan. "Tidak, sudah
cukup untuk sekarang, terima kasih."
"Kalau begitu tolong bisakah kita keluar dari sini dan pulang ke
rumahmu sebelum aku menderita blue ball yang permanen?"
Emma terkikik. "Kurasa iya. Aku senang aku mempunyai es krim


The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ben and Jerry di kulkas, atau kita harus berhenti untuk beristirahat."
Aidan mengerang saat dia melempar segepok uang untuk membayar
di meja. "Kau suka menyiksaku-kan?"
Melarikan tangannya ke atas lutut Aidan, Emma berhenti tepat
sebelum menyentuh kejantannannya. Ketika dia menarik napas
tajam, Emma menarik tangannya dan mengangkat minumannya,
memutar-mutar sedotannya, Emma membawanya ke bibirnya dan
menggerakkannya masuk dan keluar saat dia sedang minum. "Hmm,
ini sangat enak." Mulut Aidan melongo kaget. Dia tidak percaya Emma melakukan ini
padanya. Emmanya yang manis dan tidak berdosa, ibu dari anaknya,
berubah menjadi wanita penggoda. Dan dalam beberapa alasan kecil,
Aidan sangat menikmatinya.
Ketika Emma akhirnya melihat ke arahnya, dia tertawa terbahakbahak. "Maafkan
aku. Aku tidak bisa menahan diriku sendiri."
"Hanya pastikan kau menjaga sikap itu terus sampai sisa malam ini,"
jawab Aidan, menarik Emma keluar dari tempat mereka.
*** Chili dog: hot dog yang disajikan diatasnya dengan cabai con carne (biasanya
tanpa biji). Seringkali, topping lain juga ditambahkan, seperti keju, bawang, dan mustard
Blue ball: Sebuah kondisi yang menyakitkan ketika seorang pria telah amat
terangsang secara seksual
namun tidak diizinkan untuk ejakulasi, meninggalkan bola-nya terasa berat dan
sakit. Quickie: sebuah hubungan seks kilat hanya dengan sedikit atau tanpa foreplay.
Bab 17 Setelah mereka meninggalkan O'Malley's, Aidan mengikutinya
masuk rumah. Setelah Emma memarkir mobilnya di garasi, dia
melompat keluar dari mobil lalu menemuinya di jalan masuk mobil.
Aidan menatap sekeliling halaman. "Dimana Beau?"
Emma tertawa. "Aku meletakkannya di kursi santai mewah miliknya
di ruang bawah tanah sebelum aku menemuimu. Kau mau aku
mengeluarkannya?" Dia menggelengkan kepalanya saat mereka mulai berjalan "Tidak,
aku bisa menemuinya nanti setelah aku memakanmu paling tidak
sekali." Emma berdecak. "Kasihan Beau. Tuannya selalu mementingkan
kebutuhannya terlebih dahulu."
Aidan tertawa. "Dia seorang pria, jadi dia akan sangat mengerti."
"Oh benarkah?" "Kau seharusnya percaya jika ada jalang yang panas datang, dia
tidak akan berpikir dua kali tentang penisnya dan pergi
meninggalkanku." "Apa aku seperti itu menurut mu" Seorang jalang yang panas?"
Tanya Emma, pura-pura kesal.
"Tentu saja tidak...well, kau mungkin seperti itu sebelum aku
membuatmu hamil." Sambil menggelengkan kepala ke arahnya, ia membuka kunci pintu
lalu menahannya terbuka untuk Aidan. Setelah ia berbalik untuk
menutup dan mengunci pintu kembali, Aidan langsung
menyergapnya. Merengkuh dari belakang, dia meraih tangan Emma
dan menempelkannya di pintu kayu. Ia membenamkan wajah pada
lehernya sebelum membungkus kan lengan nya pada pinggang nya
dan menempelkan ereksi pada punggungnya. Ia menyeringai pada
Emma, lalu mengerang, "Ya Tuhan, Em, Aku sangat
menginginkanmu hingga terasa menyakitkan."
Merasakan kebutuhan Aidan terhadap dirinya membuat kehangatan
membanjiri intinya. Dia merindukannya secara emosional, tapi rasa
sakit yang muncul di antara kedua kakinya merupakan cara tubuhnya
untuk menunjukkan betapa ia merindukannya secara fisik.
Salah satu tangannya meluncur dari pinggang ke atas dadanya untuk
menangkup payudaranya. Ketika ia meremasnya kasar seperti yang
biasa Emma sukai, dia merintih sakit, bukannya nikmat.
Merespon reaksinya, Aidan langsung menegang. Dia membalikkan
tubuh Emma untuk menatapnya, alisnya berkerut khawatir.
"Maafkan aku, Em. Kau seharus nya menghentikanku ketika
melakukan itu." Emma menangkup wajah Aidan di tangannya, menggosokkan ibu
jari di sepanjang garis rahangnya. "Ini bukan salahmu. Aku
seharusnya memperingatkanmu kalau payudaraku..." Dia menggigit
bibir berusaha membayangkan bagaimana caranya untuk
menjelaskan hal ini. "Well, mereka sekarang menjadi lebih lembut
karena kehamilan." Meskipun ia telah berusaha, wajahnya tetap
memerah karena malu. "Oh, aku mengerti." Emma memaksa dirinya untuk menatap Aidan,
ia terlihat sedang menatap bingung pada payudaranya. Setelah Aidan
menggaruk dagu, Emma bertanya, "Apa?"
"Apakah di dalamnya sudah terdapat, seperti, air susu atau lainnya?"
Dia tertawa. "Tidak, tidak, bukan seperti itu."
Meskipun Aidan tampak lega, ia tetap belum menyentuhnya.
Perlahan-lahan, Emma meraih ujung kemeja lalu menariknya
melalui kepala. Dia menahan tatapan Aidan yang membara sambil
meraih ke belakang punggung untuk melepas bra. Setelah
membiarkannya tergeletak di lantai, ia meraih tangan Aidan lalu
membawa mereka ke dadanya. "Lakukan dengan lembut, oke?"
Emma menggerakkan tangan Aidan pada payudaranya, memberi
gambaran pola dan tekanan yang seharus nya. "Mmm, bagus,"
katanya. Ketika jari-jari Aidan memelintir dan menggoda putingnya hingga
mengeras, ia melengkungkan alis, meminta persetujuan. "Bagus
sekali," gumam Emma.
Sementara dia terus menggoda puncak payudaranya, Emma
mengulurkan tangan untuk melonggarkan dasi Aidan. Begitu dasinya
terlepas, tangannya mulai melepas kancing-kancing kemeja. Setelah
kemeja itu terlepas,dia mulai membuka ikat pinggang nya. Dia pasti
bergerak kurang cepat karena tangan Aidan melepas payudaranya
untuk membuka resleting lalu menendang celananya.
Penampakan celana boxer-nya yang kusut - celana yang dia kenakan
hanya untuk Emma - ia menyeringai. Meraih tangan Aidan, Emma
menuntunnya menyusuri lorong menuju kamar tidur. Aidan
menggunakan tangannya yang bebas untuk membelai punggung
Emma. Rasanya seperti ia tidak bisa berhenti menyentuh bahkan
hanya sedetik. Ketika mereka masuk ke kamar tidur, Aidan
memindahkan tangan dari pantat Emma ke pinggangnya, menarik
tubuh Emma ke arahnya. Emma membungkuskan lengan nya pada
dada Aidan, menikmati sensasi kulit telanjangnya yang menempel
pada payudaranya. Mulut Aidan bertemu dengan mulut Emma dengan meluap
luap,memutuskan ciuman saat dia menuntun mereka menuju ranjang
Dia meletakkan tangan di dada Aidan lalu mendorongnya,
membuatnya terlentang di tempat tidur. Bukannya tetap berbaring
terlentang, ia malah bangkit dalam posisi duduk. Aidan meraih
pinggang Emma, lalu menariknya lebih dekat.
Setelah menghabiskan beberapa menit menjilat dan menghisap
putingnya, dia mencium dari lekuk payudaranya lalu turun ke bawah
perutnya. Jari-jarinya yang cekatan menyentakkan celana dalamnya,
membuat Emma telanjang dan merasa rentan dihadapannya. Ketika
Aidan tidak segera mencium atau membelai, Emma menatapnya.
Emma tercekat melihat Aidan menatap perutnya.
"Ada apa?" Tanya Emma.
"Tidak," Gumam nya.
"Kau tidak menyangka perutku sudah berbentuk, kan?"
"Tidak, tentu saja tidak. Tubuhmu memang sudah sedikit berubah.
Aku bisa melihatnya." Dengan ringan, ia melarikan punggung jarijarinya pada
perut Emma. Ekspresinya hampir terpesona. "Jadi ada
bagian dari diriku di dalam sana, ya?"
"Ya," jawabnya lembut.
Dia memiringkan kepala ke samping, tersenyum menatapnya. "Sial.
Cukup menakjubkan jika kau berhenti memikirkan hal ini."
Kata-katanya membuat sedikit debar dihatinya hancur seketika.
"Memang." Ketika Aidan membungkuk untuk mengecup lembut perutnya,
Emma menjadi rapuh. Sikap Aidan membuat matanya berkaca-kaca.
Dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar tidak menangis hingga
rasa logam darah memenuhi rongga mulutnya. Ketika dia pikir
emosinya mungkin sedang labil, Aidan menjentikkan lidah ke
klitorisnya sementara jari-jarinya mencari intinya. Terengah-engah,
Emma menyusupkan tangan pada rambut Aidan lalu meremasnya.
Seluruh pikirannya melayang dari otak karena siksaan penuh
kenikmatan dari lidahnya yang menjilat dan mengisap organ seks
nya. Tidak butuh waktu lama bagi Emma untuk melempar kepalanya ke
belakang lalu meneriakkan nama Aidan ketika dia datang. Tubuhnya
terhuyung-huyung, Aidan mencengkeram pinggangnya dan memutar
nya, mendorongnya ke tempat tidur. Emma menahan rasa sakit
kepala yang tidak biasa terjadi pasca orgasme, hal tersebut
merupakan efek lain dari kehamilan yang mengganggunya.
Dengan senyum kelaparan, Aidan menekan tubuh Emma pada
tempat tidur. Namun ketika dia mulai memposisikan miliknya pada
tubuh Emma, Aidan membeku. Seketika ia kembali berlutut di antara
kedua kaki Emma. "Ada apa?" Tanya Emma.
Dia menggaruk kepala. "Um, aku tidak tahu bagaimana harus
mengatakan ini." Menopang tubuh dengan sikunya, Emma bertanya, "Apa
maksudmu?" "Begini. Aku agak takut."
Emma merasa seolah-olah alisnya akan melompat langsung dari
dahinya. "Maaf?"
"Maksudku, aku takut melakukan sesuatu yang akan menyakiti bayi
nya. Seperti meremukkannya saat tubuhku berada di dalam mu atau
menusuk terlalu dalam atau hal sialan semacamnya. "
"Oh, aku mengerti maksudmu," gumamnya. Dia melawan dorongan
untuk menertawakan keanehan pada situasi ini. Tidak pernah dalam
berjuta tahun dia membayangkan Aidan takut melakukan seks.
"Well, dokterku tidak mengatakan apa-apa tentang pantangan
berhubungan seks, jadi kupikir kami akan baik-baik saja."
Harapan melintas di mata Aidan. "Menurutmu begitu?"
Dia tidak bisa lagi menahan tawa. "Ya, aku yakin."
"Oh, jadi ini lucu sekarang?"
Dia mengangguk. "Jika kau bisa melihat ekspresi pada wajahmu."
Merengut, dia menyilangkan lengan di dada. "Well, maafkan aku,
karena ingin melindungi anak kita."
Emma bangkit lalu menangkup wajah Aidan dengan tangannya.
"Maafkan aku. Seharusnya aku tidak tertawa. Hanya saja
kebanyakan pasangan, menikah atau tidak menikah, tidak berhenti
melakukan hubungan seks pada masa kehamilan." Ketika Aidan
akan mendebat, Emma meletakkan jari di bibirnya, membuatnya
terdiam. "Tapi aku menghargai rasa khawatir dan kepedulianmu.
Setiap kali kita bersama, kau selalu perhatian dengan tidak
melakukan sesuatu yang akan menyakitiku. Aku yakin kau akan
terus melakukan hal yang sama sekarang."
Dia meringis. "Itu hanya... aku khawatir karena sudah terlalu lama
untukku. Jika aku berusaha jujur?", saat ini merupakan salah satu
periode terpanjang tanpa seks dalam kehidupan dewasaku, jadi aku
khawatir akan lepas kontrol."
"Ini akan baik-baik saja. Percayalah, aku akan memberitahumu jika
ada sesuatu yang salah."
Aidan menatapnya waspada sebelum ia mengangguk.
"Sekarang kenapa kau tidak bercinta denganku" Pelan dan lembut,"
katanya. Aidan menghela napas. "Aku bisa mencoba."
Emma tidak bisa menahan tawa melihat tekad di wajahnya. "Aku
tidak percaya Mr. Aidan Fitzgerald - Dewa Seks yang luar biasa sedang meragukan kemampuannya di tempat tidur."
Ekspresi Aidan seketika berubah dari khawatir ke marah karena
ejekannya dalam sekejap. "Kau mulai lagi," jawabnya, suaranya
rendah dan serak. "Umm, hmm," gumam Emma, menarik wajah Aidan ke wajahnya.
Dia putus asa menginginkan bibir Aidan yang hangat menempel
pada bibirnya. Ia memasukkan lidah ke dalam mulutnya, lalu
membelainya, membuat Aidan menggeram jauh dari balik
tenggorokannya. Emma meraih diantara mereka dan mengambil ereksinya. Dia
membelainya dengan kuat, membuat rahang Aidan menegang.
Setelah cukup lama mengocok miliknya yang luar biasa panjang,
Aidan mendengus, pinggulnya bergerak maju mundur pada tangan
Emma. "Em," gumamnya.
Emma mengarahkan ereksinya ke dalam lipatannya. Ia masuk secara
perlahan, lembut, sedikit demi sedikit, hingga miliknya terisi penuh
olehnya. Emma sadar betapa ia merindukan perasaan miliknya
berada di dalam dirinya. Ketika Aidan menarik keluar, Emma
terkesiap karena rasa kehilangan. Tatapan kalut Aidan bertemu
dengan nya, dan Emma tersenyum. "Tidak apa-apa. Lanjutkan saja
apa yang sedang kau lakukan."
"Akan kucoba," jawabnya, menghujamkan kembali miliknya ke
dalam dirinya. Emma mencengkeram bahu Aidan sambil membentangkan kakinya
lebih lebar. Gerakan Aidan berubah lambat dan nikmat. Di setiap
hentakan, Emma mengangkat pinggul untuk bertemu dengan nya.
Mereka bergerak bersama dengan sempurna, terengah-engah dan
kehabisan napas di saat yang bersamaan.
Aidan meraih tangan Emma dan membawanya di antara mereka.
"Sentuh dirimu," perintahnya. Permintaan itu membuat rasa malu
menyergap Emma. Ketika Emma menarik tangannya, Aidan
menggeleng. "Jika kau tidak mau menyentuh dirimu, sentuh aku...
sentuh kita." Emma bergidik mendengar kata-kata Aidan, dan dia tidak hanya
merasa pasrah tapi merasa bergairah juga. Ragu-ragu, ia
menyelipkan tangan di tempat mereka melebur, merasakan miliknya
yang meluncur keluar masuk di dalam dirinya. Emma menyentuh
kemaluan Aidan, licin karena gairah mereka. Aidan mengerang
setuju. "Ya, sayang. Oh sialan, nikmat sekali." Setelah lama
membelai miliknya, Emma akhirnya menyentuhkan jari-jari ke
klitorisnya dan mulai membelai dan menggosoknya.
Sambil memejamkan mata, dia membiarkan perasaan
membanjirinya. Terlalu berlebihan - sensasi dari Aidan menusuk
masuk dan keluar ditambah rangsangan dari dirinya sendiri. Tidak
butuh waktu lama untuk membangun getaran gelombang orgasme
pada dirinya. "Aidan! Oh Aidan! "Teriaknya.
"Oh, sialan, Em, aku tidak bisa bertahan lebih lama," Kata Aidan,
dengan menggertakkan gigi.
Emma membawa bibir nya ke bibir Aidan,mencium nya dengan
keras dan penuh gairah saat tubuh Aidan gemetar dan datang di
dalam dirinya. Aidan ambruk di atas tubuh Emma seperti yang biasa
dilakukannya. "Brengsek!" Kutuknya. Ekspresinya ketakutan ketika
menatap mata Emma. "Ya Tuhan, apa aku menyakitimu?"
Emma memutar bola matanya. "Aidan, bisakah kau berhenti
mengkhawatirkanku" Aku baik-baik saja."


The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau yakin?" Emma menyeringai. "Mungkin siap untuk pencuci mulut."
Aidan mendengus. "Aku pikir kita baru saja melakukan makanan
penutup yang luar biasa liar!"
"Hmm, well, itu tadi benar-benar panas, tapi aku ingin sesuatu yang
dingin dan manis." Ketika Aidan melengkungkan alis, Emma
tertawa. "Tapi yang tadi kita lakukan juga cukup manis!"
"Biar kutebak. Ben & Jerry memanggil-manggilmu, kan?"
Emma mengangguk. "Kalau begitu biarkan aku menjadi seorang pria sejati dan pergi
mendapatkannya untukmu."
"Ooh, es krim setelah seks... sangat romantis!" Renungnya.
"Kau melakukannya lagi," jawab Aidan, saat ia turun dari tempat
tidur lalu pergi ke dapur.
"Untung aku mengisi kulkas dengan es krim, ya?"
Aidan mengedipkan mata dari atas bahunya. "Aku bisa memikirkan
sesuatu yang lebih baik untuk di masukkan ke mulutmu."
Emma melempar bantal ke arahnya karena kata-kata vulgarnya.
"Pergi ambil es krimnya, dan aku akan membiarkan mu kembali di
tempat tidur ini." "Oh, kau akan membiarkanku kembali. Kenyataan nya, aku berani
bertaruh kau akan memohon padaku."
Ketika Aidan mulai keluar dari kamar tidur, Emma tidak dapat
mencegah tubuhnya menggigil dalam antisipasi tentang apa yang
akan terjadi di sisa malam ini.
*** Bab 18 Seperti mimpi Emma merasakan sesuatu yang lembab menjelajahi
punggungnya yang telanjang hingga kearah leher. Saat Aidan
menekan ereksinya dipagi hari kepunggung Emma, matanya
langsung terbuka. Emma menengok untuk menatap Aidan dari atas
bahunya. "Selamat pagi juga. Atau harus aku katakan selamat pagi
untuk kalian berdua," katanya, suaranya terdengar bahagia.
Aidan menyenandungkan sebuah tawa di telinganya. "Maaf, aku
membangunkanmu. Aku tidak bisa tidak bergairah jika terbangun di
samping seorang dewi yang menggairahkan dan telanjang."
"Apa kau berpikir dengan menyanjungku kau bias mendapatkan aku
lagi?" "Aku sangat mengharapkan hal itu."
"Hmm, aku pikir aku sudah memberimu hadiah seks yang
menyenangkan tadi malam. Aku tidak ingat kalau pagi ini juga
termasuk dari kesepakatan kita."
"Jadi, kau ingin menggodaku dengan pura-pura sulit untukku
dapatkan?" Aidan meletakkan tangannya diantara perut dan kedua
kaki Emma. Emma menghirup napas."Apakah itu berarti ya?" Tanya
Aidan, jari-jarinya mempercepat tempo mereka.
"Ini jelas bukan tidak," gumam Emma, menyandarkan kepalanya
pada bahu Aidan. Pada saat orgasme mulai terbangun, tiba-tiba rasa mual
melandanya."Tidak, tidak, hentikan!" Emma berteriak.
Aidan menatap ke bawah dengan heran. "Apa yang salah?"
"Aku - "Emma menutup mulutnya dengan tangan, berharap tidak
memuntahi Aidan.Dia melangkahi kaki Aidan langsung melesat ke
kamar mandi.Dia nyaris memuntahkan isi perutnya sebelum berhasil
mencapai kamar mandi. Emma mencengkeram sisi dudukan closet
lalu mulai muntah dengan hebat. Secara terus menerus, perutnya
mendorong keluar semua yang ada di dalamnya.Merasa lelah, Emma
berlutut. Ketika ia mengangkat kepalanya, ia melihat Aidan berdiri
di ambang pintu. Dia hanya memakai celana dalamnya, Emma
melihat kejadian ini telah memadamkan libido Aidan.
"Mual di pagi hari?"
"Umm, hmm," keluhnya.
"Mau aku ambilkan sesuatu?"
"Tidak, aku - "Emma muntah lagi, lalu membawa lengannya ke
mulut. Dia tidak berani menatap Aidan.Rasanya memalukan, Aidan
melihatnya seperti ini.Sambil menatap lantai, dia berkata, "Aku
baik-baik saja. Kembalilah ke tempat tidur."
Tanpa bicara, Aidan meninggalkan kamar mandi. Emma tak dapat
menyalahkannya. Ia dapat mengerti bahwa aspek kehamilan yang
tidak menarik ini hanya akan membuat Aidan semakin
menjauhinya.Apa yang membuat Aidan menginginkannya jika dia
bisa mendapatkan wanita manapun yang ia inginkan"
Emma menempelkan pipi pada tutup closet, ia merasa cairan pahit
naik ketenggorokan lagi. Diam-diam berharap untuk tidak muntah
lagi. Kemudian Aidan muncul di ambang pintu. Emma melihatnya
membawa segelas air dan sekantong biskuit asin. Emma menatapnya
heran, sementara Aidan tersenyum malu."Aku kira ini dapat
membantu." Dia tidak melarikan diri. Malah sebaliknya, ia berusaha
mendapatkan sesuatu yang bisa membuat Emma merasa lebih baik.
Tindakannya membuat perasaan Emma jungkir balik seperti berada
dalam sebuah permainan roda putar yang lepas kendali. "Terima
kasih," bisiknya. Bukannya meninggalkan keduanya di meja lalu berbalik keluar
pintu, Aidan malah meraih handuk lalu membasahinya dengan air
dingin. Kemudian berjongkok di samping Emma, meraih
wajahnya."Aidan, kau tidak - " protesnya.
"Shh, biarkan aku merawatmu." Dengan pelan Aidan mengusapkan
handuk basah pada pipi dan dahi Emma. Tindakannya
menghangatkan hati Emma, membuat rasa cintanya yang begitu
besar terpancar dari dalam dada.Seluruh keraguan tentang
kedalaman perasaannya terhadap Aidan lenyap.Emma menutup mata
sehingga Aidan tidak akan melihat air matanya. "Apa rasanya enak?"
Tanpa mampu berbicara, Emma menganggukkan kepala.
"Aku sangat menyesal membuatmu muntah," kata Aidan.
Matanya langsung terbuka. "Ini bukan salahmu."
Dia menyeringai. "Well, sepertinya aku membuatmu bekerja keras."
Dia tersenyum lemah."Tapi aku yang memintamu.Jika ini kesalahan
seseorang, maka ini adalah salahku."
"Apakah selalu seburuk ini?"
Emma mengangguk."Setiap pagi...terkadang di sore hari." Dia
bergidik. "Juga karena bau tertentu."
Aidan meremas handuk di tangannya. "Aku harap aku bisa
membantumu.Aku merasa tak berdaya melihatmu menderita."
Kata-katanya membuat dada Emma terasa sesak."Aku sudah merasa
cukup dengan kau ada di sini - menenangkan ku seperti ini." Dia
mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi Aidan. "Kau memiliki
hati yang baik dan memberi begitu banyak cinta. Kau akan menjadi
ayah yang baik." Aidan menatapnya tak percaya - dadanya naik turun dengan
cepat.Emma bisa melihat seluruh emosi Aidan lenyap tepat
dihadapannya.Aidan menggeleng."Kau memberiku terlalu banyak
nilai positif.Selain itu, aku benar-benar brengsek jika
meninggalkanmu sendirian ketika kau sakit." Emma bangkit dari
lantai lalu melemparkan handuk ke meja.
Emma menggigit bibirnya,sadar bahwa mungkin ini hal terbaik yang
pernah ia dapatkan dari Aidan - hanya rasa peduli dan perhatian
yang cukup dari hati nuraninya. Hal ini tidak akan pernah cukup
untuk membuat Aidan mencintainya. Dia hanya perlu menerima
fakta itu lalu menjaga perasaannya.Dia hanya dapat memberikan
dirinya secara fisik - meskipun dia sangat berharap bahwa keintiman
fisik akan membuat Aidan merasakan sebuah perasaan emosional
yang kuat. Jadi Emma menarik napas dalam-dalam lalu bangkit dari lantai.
"Aku akan mandi."
Aidan berbalik dengan kaget."Kau sudah baikan?"
"Mual dan muntah tidak pernah berlangsung lama. Aku merasa lebih
baik sekarang."Dia tersenyum. "Kau ingin bergabung denganku?"
"Apa kau yakin?"
"Aku tidak bisa menjanjikan apapun." Dia menarik tirai kamar
mandi lalu menyalakan air. "Selain itu, kita berdua harus siap dalam
beberapa menit karena aku berharap kau membelikanku sarapan.Kau
mengerti, karena telah membuatku kelelahan dan semuanya."
Dia menyeringai. "Aku rasa aku bisa melakukannya."
*** Bab 19 Satu jam kemudian, Emma menekuk tubuhnya sementara Aidan
menurunkan atap convertible-nya.
"Apa yang terdengar enak?" tanyanya sambil keluar dari jalan raya.
"Hmm, *IHOP" Aku masih menginginkan pancake."
"Kalau begitu, IHOP."
Sambil memindah-mindah saluran radio, telepon Aidan berdering.
Dia melirik ID pemanggil dan meringis. "Ayahku."
"Kau belum bicara dengannya semenjak kembali?"
"Belum." Emma menggeleng. "Aku tidak bisa percaya kau tidak memberitahu
dia kalau kau pulang dengan selamat. Aku yakin dia sangat
khawatir." "Terima kasih telah membuatku merasa bersalah," gumam Aidan.
Emma menjulurkan lidahnya mengejek pada Aidan ketika dia
menjawab telepon. "Hei Pop...yeah, aku sampai tadi malam. Maaf
aku tidak meneleponmu. Aku sedikit capek."
Emma mendengus pada kebohongan Aidan. Dia tidak terlalu capek
untuk pergi dengannya. Ketika pandangan mereka saling bertemu,
Aidan menjulurkan lidah padanya, dan Emma tertawa.
"Aku berencana untuk menemuimu." Dia berhenti sejenak. "Aku
tahu kau benar-benar telah bekerja keras di kebun mawar, tapi
sekarang benar-benar waktu yang tidak tepat."
Emma berdeham, dan Aidan melirik padanya. "Antar aku pulang dan
pergi temui ayahmu," gumamnya.
Aidan menggeleng. "Ya, dia merindukanmu dan-"
"Ayah, aku akan sangat senang untuk datang selama ayah tidak
keberatan kalau aku membawa teman."
Tunggu, apa" Aidan benar-benar akan membawa Emma untuk
bertemu ayahnya" Itu merupakan tingkatan komitmen yang tidak
pernah Emma bayangkan darinya.
Aidan sepertinya mengerti keterkejutan Emma karena dia berbisik,
"Kau tidak keberatan?"
Emma menggeleng, dan Aidan tersenyum. "Baiklah. Kami akan
datang sekitar sepuluh menit lagi. "Setelah menutup telepon, dia
berpaling ke arah Emma. "Apa kau yakin tidak keberatan dengan
semua ini?" "Kenapa aku harus keberatan?"
Aidan mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu. Ayahku seorang...ya...
dia seorang buruh, mantan marinir Katolik Irlandia yang sangat suka
bekerja di sekitar kebun mawarnya dan bermain dengan cucucucunya."
Emma tersenyum mendengar penjelasannya. "Mengingat sebagian
besar keluarga ibuku adalah kaum buruh, kupikir aku akan baik-baik
saja. Selain itu, dia kakek dari anakku."
"Aku cuma tidak mau menyia-nyiakan hari Sabtumu untuk
mendengarkan celotehan ayahku yang terus menerus bercerita
tentang macam- macam spesies mawarnya atau cerita perangnya."
"Sepertinya menyenangkan."
"Kau harus lebih sering keluar, sayang."
Emma merasakan cengkraman yang tak asing di dalam dadanya
pada sikap sembrono Aidan. Senyumnya memudar. "Kupikir
sebenarnya kau tidak mau memperkenalkanku padanya."
Aidan memalingkan pandangannya dari jalan untuk menatapnya.
"Apa" Kenapa?"
"Kau tidak mau harus menjelaskan apa pun padanya tentang kita
atau apa yang bukan tentang kita. Belum lagi kau tak mau harus
berpura-pura bahwa aku adalah pacarmu."
"Yah, aku sebenarnya tidak berencana memperkenalkanmu sebagai
pacarku. Aku mau bohong dan bilang kalau kita bekerja untuk
sebuah proyek bersama di kantor."
"Oh," gumam Emma.
"Kau tidak berpikir aku akan berdansa waltz di sana dan
menjatuhkan bom padanya soal bayi itu, kan" Kupikir itu akan
membuatnya sedikit panik."
"Apa kau pernah berencana untuk memberitahunya?"
"Dan apa yang akan kukatakan" 'Hei Yah, ini adalah gadis yang
memintaku untuk menidurinya karena jam biologisnya terus
berdetak. Mungkin sesekali, dia akan membiarkan ayah melihat
anaknya kalau ayah mau, tapi aku menandatangani kontrak di mana
aku tidak perlu punya kewajiban sebagai orang tua ataupun
keuangan.'" Emma menggeleng. "Kau tahu aku memiliki bagian dari kontrak
yang diedit. Lagipula aku tidak akan menjauhkan bayi ini dari
kakeknya...atau ayahnya."
Aidan melirik Emma dengan heran. "Maksudmu kau tidak akan
melarangku ambil bagian lebih besar dalam kehidupan si bayi?"
Jantung Emma berdegup begitu keras di dadanya di mana dia yakin
Aidan bisa mendengarnya. Dia berusaha untuk menemukan
suaranya. "Tentu saja, aku tidak keberatan. Aku mau kau melakukan
apa pun yang buatmu nyaman."
Aidan terdiam selama beberapa saat. Lalu dia menghela napas. "Aku
mau memastikan satu hal menjadi jelas. Memiliki bagian yang lebih
bukan berarti aku akan menjadi seperti ayah kebanyakan dan
membantumu membesarkannya. Dan aku yakin sekali tidak akan
mengganti popok atau bangun di tengah malam untuk memberi
makan atau apapun." Emma menggigit bibirnya agar tidak tersenyum. Dia mencongkel
lapisan yang keras milik Aidan sedikit demi sedikit. Itu adalah
langkah kecil, tapi dia akan mendapat apa yang bisa dia dapatkan.
"Tidak apa-apa. Aku tidak mengharapkan kau untuk melakukan
semua itu. Aku cuma mau anakku setidaknya tahu siapa ayahnya."
"Maka kita siap untuk pergi."
Aidan berbelok ke jalan masuk sebuah rumah bata sederhana. Sama
seperti di rumahnya, halaman itu menakjubkan. "Kau tidak bercanda
waktu kau bilang ayahmu punya bakat khusus dalam berkebun,"
gumamnya saat mereka keluar dari mobil.
Aidan menyeringai. "Tunggu sampai dia menunjukkan kebun
mawarnya." "Dia punya kebun mawar?"
"Ya, dengan beberapa jenis yang berbeda."
"Itu luar biasa. Mungkin dia akan bersedia memberiku beberapa tips
berkebun. Aku akan senang punya lebih banyak bunga yang tumbuh
di sekitar jendela kamar bayi."
"Aku yakin dia akan dengan senang hati untuk membantu."
Ketika Emma berjalan di parkiran, dia tersandung. Aidan
membelitkan lengannya di pinggang Emma untuk menahannya.
"Apa kau baik-baik saja?"
"Aku cuma sedikit pusing akhir-akhir ini. Efek samping
menakjubkan yang lain dari awal kehamilan."
"Senang mendengar bahwa itu bukan karena kerja keras kita tadi
malam yang membuatmu pusing," jawabnya sambil menyeringai.
Emma memukul lengan Aidan dengan main-main. "Kau
mengerikan." "Halo di sana!" Seorang pria berkepala perak memanggil dari


The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

samping rumah. Rasa terkejut membanjiri Emma saat Aidan tidak menurunkan
lengan dari pinggangnya. "Hei, Pop."
"Senang melihatmu, nak," jawab ayah Aidan tersenyum. Dia
melindungi matanya dari sinar matahari dan menatap Emma. "Dan
siapa wanita cantik ini?"
"Ini Emma Harrison. Dia dan aku bekerja bersama."
Emma mengulurkan tangannya sembari tersenyum. "Senang bertemu
dengan Anda, Mr. Fitzgerald."
"Panggil saja Patrick," jawabnya sambil menjabat tangan Emma.
"Kau suka mawar, Emma?"
"Ya, aku suka. Aku baru saja mengagumi keindahan semua bunga
Anda." "Ayo kalau begitu. Kutunjukkan taman mawarku." Dia mengulurkan
lengannya seperti seorang pria yang sopan, dan Emma menyelipkan
tangan melalui lengannya. Mereka berjalan di halaman depan
dengan Aidan mengikuti di belakang.
Ketika mereka berbelok, Emma tersentak melihat warna warni
seperti pelangi. "Oh itu menakjubkan!"
"Terima kasih. Aku baru saja mencoba mengintegrasikan beberapa
jenis baru." Ponsel Aidan berdering. Setelah dia meraihnya dari sakunya, dia
mengerang. Patrick dan Emma meliriknya. "Dari kantor. Sebaiknya
kuangkat." "Silakan, nak. Semua mawar ini masih akan berada di sini ketika kau
selesai," jawab Patrick, bergurau.
Aidan berjalan ke sudut rumah. Emma menyentuh lembut mawar
merah sebelum membungkuk untuk mencium baunya. Keharuman
dari wangi memabukkan perasaannya, dan dia mendesah senang.
"Ini sangat indah."
Patrick tersenyum dengan bangga. "Mereka adalah Don Juan atau
Sweetheart Roses. Mereka juga dikenal sebagai mawar pemanjat
karena mereka tumbuh dengan baik pada anjang-anjang dan samping
bangunan. Satu hal yang menarik tentang mereka adalah mereka
begitu tangguh dan tidak perlu banyak pemangkasan dari tahun ke
tahun." Jari Patrick menelusuri salah satu duri. "Sebenarnya istri
saya yang menanam ini."
Hati Emma terasa nyeri melihat ekspresi sedihnya. Dia mengulurkan
tangan dan mengusap lengan Patrick dengan lembut. "Aidan
bercerita tentang kepergiannya. Saya turut berduka cita. Di satu sisi,
saya tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang menjadi
seluruh dunia Anda."
"Kau juga?" tanya Patrick lembut.
"Ibu saya meninggal karena kanker dua tahun lalu. Dia adalah
segalanya bagi saya, terutama setelah ayah terbunuh saat saya
berusia enam tahun." Emma memberinya senyum sedih. "Kadangkadang rasanya seperti
aku tidak akan pernah bisa mengatasinya seperti ada lubang menganga di dalam hati sepanjang sisa hidup
saya." Patrick mengangguk. "Ya, itulah rasanya." Patrick meraih tangan
Emma dan menggenggamnya erat. "Terima kasih untuk berbagi
dengan saya." "Sama-sama." Keheningan menggantung di sekitar mereka saat Emma terus
mengagumi taman Patrick. Dia baru saja menghirup apa yang dia
bayangkan sebagai Mawar Kuning dari Texas ketika suara Patrick
mengejutkannya. "Jadi, Anda dan anak saya bekerja bersama?"
"Kami berdua di perusahaan yang sama, tapi dia sebenarnya bekerja
beberapa lantai di atas saya."
"Aku mengerti."
Emma mendongak dari mawar yang sedang dia kagumi dan
menemukan Patrick memberikan tatapan menyelidiknya. "Dan
kalian berdua berharap aku percaya bahwa tidak ada sesuatu di
antara kalian, selain hanya bekerja bersama?" tanyanya, sambil
tersenyum. Emma merona. "Yah, tidak, maksud saya, itu rumit."
"Bukankah cinta selalu rumit?"
"S-saya rasa begitu. Tapi kita baru saling mengenal selama beberapa
bulan, jadi dia tidak sedang jatuh cinta - maksudnya, kita tidak
sedang jatuh cinta."
Patrick menjepit bibirnya. "Apakah kau melihat mawar ini?"
Emma mengangguk. "Ini tidak terlihat seperti akan mekar, ya kan?"
Sembari memiringkan kepalanya, Emma menatap kuncup yang
tertutup. "Sepertinya begitu."
"Ah, tapi itulah di mana penampilan bisa menipu. Kadang-kadang
yang mekar lebih cepat layu dengan cepat juga. Ini adalah bagian
yang paling sulit untuk mengakalinya ketika hendak membuat
beberapa bunga yang paling cantik." Dia memotong tangkai Don
Juan yang cukup panjang dan menyerahkannya kepada Emma. "Kau
bisa mengatakan padaku bahwa dirimu dan Aidan tidak jatuh cinta,
tapi penampilan dapat menipu."
Emma tersentak dan hampir menjatuhkan mawar. Dia membuka
mulutnya untuk membantah Patrick, tapi Aidan datang. "Maaf
tentang tadi." "Tidak apa-apa, nak. Aku sedang menikmati untuk mengenal Emma
lebih baik," jawab Patrick. Emma menundukkan kepalanya untuk
menghindari tatapannya. "Apa kalian mau bergabung denganku
untuk makan siang?" "Sebenarnya aku sedang membawa Em keluar untuk makan saat
Ayah menelepon." "Psh, siapa yang ingin makan keluar ketika kau bisa makan masakan
rumahan" Ini Shepherd Pie ibumu."
Emma mengamati mata Aidan yang bersinar, dan dia tahu dia bisa
melupakan keinginannya untuk pancake. "Kedengarannya enak,"
katanya. Aidan mengangkat alisnya penuh tanya, dan Emma mengangguk.
"Oke, kalau begitu, kita akan tinggal."
"Hebat!" Seru Patrick, kemudian memberi isyarat kepada mereka
untuk menuju pintu belakang.
Emma tersenyum. "Aku harus mengakui aku sangat terkesan dengan
keterampilan memasak para pria Fitzgerald."
Patrick melirik Aidan dari balik bahunya. "Oh, kau memasak untuk
Emma?" Emma berusaha melawan dorongan untuk tertawa ketika melihat
semburat merah merayap di pipi kecokelatan Aidan. "Ya, hanya
beberapa scampi. Tidak ada yang menarik."
"Dia cuma merendah. Itu enak."
Patrick memegang pintu agar tetap terbuka untuk mereka. "Kukira
kami pria Fitzgerald sudah dipaksa belajar memasak - kalau aku
karena seorang duda dan Aidan seorang bujangan."
"Saya yakin, semua yang Anda siapkan pasti enak," kata Emma.
Patrick mengambil sebuah sarung tangan oven. "Aidan, bagaimana
kalau kau membawa Emma ke ruang makan dan mengatur piring di
meja sementara aku mengambil makanan?"
"Kenapa Anda tidak membiarkan saya membantu?" tawar Emma.
Dia tersenyum. "Itu akan luar biasa."
Setelah semuanya selesai, mereka semua duduk. Patrick
mengulurkan tangannya. "Aidan, mau memimpin doa?"
Mulut Emma menganga karena terkejut. Sama sekali tidak
terpikirkan bahwa Aidan akan dekat dengan yang bersifat
keagamaan, apalagi dipercayakan mengucapkan syukur.
Saat ia mengulurkan tangannya, Aidan mengedipkan mata. "Tutup
mulutmu, Em. Kau bisa menangkap lalat kalau seperti itu."
Emma menutup bibirnya dan memberinya tatapan membunuh. Tapi
ketika Aidan meletakkan tangannya dan menyentuhkan jemarinya
lembut di atas buku-buku jari Emma, kemarahannya menguap.
"Tuhan terkasih, untuk apa yang akan kami terima membuat kami
benar-benar bersyukur. Amin."
Ketika mereka mengangkat kepala, Patrick mengulangi, "Amin."
Emma memberi Aidan senyum malu-malu dan bergumam, "Pendek
dan manis." Aidan hanya tertawa dan menempatkan serbet di
pangkuannya. Saat Patrick membuka tutup panci perut Emma mengencang. Oh
tidak, jangan sekarang. Tolong jangan sekarang! Dia memohon
dalam hati. Ketika aroma daging menyerbu hidungnya, rasa mual
menguasai dirinya. Muntahan naik di tenggorokannya, dan ia
menjepit tangannya ke mulutnya. "Maaf!" Gumamnya sebelum
melompat dari meja, menjatuhkan kursinya sebagai akibatnya.
*** IHOP (International House of Pancakes) jaringan restoran yang mengkhususkan diri
dalam makanan sarapan. Bab 20 Aidan memandang gugup ke ayahnya. Dia menelan ludah dengan
susah payah saat Patrick menatap tubuh Emma dari belakang. Suara
pintu kamar mandi terbanting. Patrick menaikkan alis karena curiga.
Pikirannya berputar-putar tentang bagaimana ia akan menjelaskan
perilaku Emma dan menjaga rahasia mereka. Akhirnya dia
tersenyum meminta maaf. "Aku seharusnya memberitahu kalau dia
seorang vegetarian, dan bau daging membuatnya sakit."
"Jangan membodohi aku."
"Maaf?" Pinta Aidan, sambil mencondongkan tubuh ke depan
kursinya. Tentu saja itu bukan respon yang dia harapkan.
Kebohongannya tampak cukup masuk akal baginya. Well, kecuali
untuk sedikit fakta bahwa Emma dengan senang hati menerima
undangan makan siang pie daging sepuluh menit yang lalu.
Patrick menggeleng. "Dia hamil, kan?"
Perut Aidan bergejolak, dan ia menahan diri karena ingin lari dari
meja seperti Emma. "Apa yg menyebabkan kau berpikir demikian?"
Katanya dengan suara parau. Dia yakin sekali Emma tidak
menyebutkan sesuatu kepada Patrick saat mereka melihat mawar.
Jika ada orang yang mau menjatuhkan bom tentang sesuatu
mengenai dirinya akan menjadi seorang ayah, itu pasti dia.
"Pengalaman dari ibumu. Dia tidak bisa berdiri di ruangan sama
yang ada bau daging saat dia masih hamil kamu. Bahkan bau daging
samar-samar saja telah mengirimnya ke kamar mandi. Yang
terburuk, saat kami berada di kota besar dan melewati stand hotdog."
Patrick tersenyum sedih. "Aku belum pernah melihat seseorang yang
memiliki semacam reaksi seperti itu selain dirinya, bahkan
saudaramu tidak seperti itu."
Aidan mengalihkan pandangannya menyusuri lorong. "Kehamilan
Emma baru enam minggu. Morning sickness-nya atau kurasa aku
harus mengatakan itu mual-mual, benar-benar membuatnya begitu
menderita." "Aku berasumsi itu anakmu?"
"Tentu saja," geram Aidan.
"Kau pasti bisa melihat mengapa aku mempertanyakanmu. Setelah
semuanya, kau mengenalkan sebagai seorang teman di tempat
kerjamu dan sekarang kau bilang dia hamil anakmu."
"Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskan itu padamu."
"Apakah kau berencana untuk menikahinya."
"Tidak sesederhana itu."
Alis Patrick melengkung karena kaget. "Tidak" Aku kira ketika kau
bersama seorang wanita dan dia hamil anakmu, kau akan melakukan
hal yang terhormat dan menawarkan untuk menikahinya. Lalu
mengapa kau tidur dengannya jika kau tidak mencintainya dan
melihat masa depan bersamanya" Atau kau masih sialan cenderung
menjadi laki-laki brengsek yang suka memperalat wanita untuk
kepentingan pribadimu sendiri?"
Aidan menyipitkan mata dan mencengkeram pinggiran taplak meja
berenda. "Ya Tuhan, Pop, jangan menyembunyikan sesuatu lagi.
Katakan saja bagaimana perasaanmu yang sebenarnya!"
"Maafkan aku, tapi umurmu sudah tiga puluh dua tahun sekarang.
Kau belum memiliki hubungan jangka panjang sejak kau putus
dengan Amy." Patrick menggeleng sedih. "Jika aku mau jujur, aku
bisa mengatakan bahwa Amy dan Emma mengingatkan aku akan
banyaknya kesamaan satu sama lain. Tentu saja aku tidak ingin
melihat Emma terluka seperti Amy, terlebih jika dia sedang
mengandung cucuku." "Dengar, berhentilah menganggapku seperti seorang bajingan.
Emma menginginkan bayi, jadi aku setuju untuk membantunya."
Patrick membuka dan menutup mulutnya seperti ikan keluar dari air
untuk mengambil udara. Begitu ia punya waktu untuk menyesuaikan
diri dengan berita ini, senyum geli melengkung di bibirnya. "Ah, kau
seperti seekor kuda pejantan atau sesuatu yang lain?"
"Tidak lucu." "Maaf, Nak. Aku tidak bisa menahan diri." Dia menepuk lengan
Aidan." Abaikan semua gurauanku, aku hanya ingin kau berpikir
panjang dan keras tentang apa yang kau lakukan. Aku bisa melihat
kau sangat peduli pada Emma, dan dia juga melakukannya padamu."
Aidan bergeser di kursinya dan menatap tangannya. "Aku tidak tahu
bagaimana perasaanku."
"Kau tahu apa yang dikatakan ibumu, kan?"
Dia langsung tahu ia berada dalam kesulitan yang sangat besarsaat
mendengar kata-kata ayahnya, Aidan bangkit dari kursi dan ingin
menuangkan minuman untuk dirinya sendiri. Dia mengambil Scotch
dari kabinet. "Jangan membawa dia ke dalam persoalan ini. Dia
sendiri sudah cukup mendesakku. Selalu bertanya-tanya mengapa
aku menyakiti hati Amy, atau mengapa aku tidak berumah tangga,
menikah dengan gadis baik-baik dari gereja, dan memiliki banyak
anak." Dengan mudah ia meninggalkan bagian saat menjelang
ajalnya, ibunya membuat Aidan berjanji untuk memiliki anak suatu
hari nanti. "Apakah kamu tidak menyadari nak bahwaibumu tahu apa
sebenarnya yang akan membuatmu bahagia."
Aidan merengut. "Tapi dia tidak pernah melihat diriku yang
sebenarnya - dia hanya percaya bagian yang baik-baik saja. Jika dia
benar-benar berhenti berpikir tentang hal ini, ia akan menyadari
kalau aku tidak pernah ingin terikat atau terjebak dengan wanita
yang sama hari demi hari."
Luka terpancar di mata Patrick. "Apakah itu yang kau pikirkan
selama empat puluh lima tahun aku memiliki ibumu?"
Aidan mendongakkan kepalanya dan menatap noda air di langitlangit ruang makan.
Dia berharap tidak pernah mengangkat telpon
atau setuju untuk datang kemari. Sebagian besar dari semua ini, dia
berharap dia tidak pernah berpikir bahwa mengajak Emma menjadi
ide yang bagus. Emma benar ketika itu dia sudah mengantipasi
kehadirannya akan menimbulkan banyak pertanyaan. Aidan
mendesah dan memandang ayahnya. "Tidak Pop, bukan itu yang
akupikirkan. Tapi kita orang yang berbeda."
"Emma bisa menjadi hal terbaik yang pernah terjadi padamu."
Suara dengusan keluar dari bibir Aidan. "Bagaimana sih kau bisa
tahu itu" Kau bersama dia baru satu jam!"
"Aku mungkin sudah tua, tapi aku tidak buta. Dia seorang wanita
yang sempurna, nak. Dia begitu cantik luar dalam. Bagaimana bisa
kau tidak merasa kagum dengan seorang wanita istimewa seperti
dia" Seandainya aku seusiamu, aku akan melakukan dengan sekuat
tenaga untuk membuat dia menjadi milikku - apalagi jika dia
mengandung anakku."

The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aidan membuka mulut untuk berdebat, tapi suara pintu kamar mandi
berderit, dia menutup mulutnya lagi. "Jangan bicara sepatah
katapun," dia berbisik kepada ayahnya. Ketika Emma muncul,
wajahnya benar-benar terlihat mengerikan kecuali rona memerah
karena malu tampak di pipinya. Dia pelan-pelan duduk di kursinya
dan ragu-ragu melirik Aidan di seberang mejanya.
"Apakah kau baik-baik saja?" Tanyanya.
Emma tersenyum melemah. "Aku baik-baik." Kemudian dia beralih
ke Patrick. "Mr. Fitzgerald, aku sangat menyesal telah merusak
makan siang Anda seperti itu."
Dia mengangkat jari telunjuknya untuk menyuruhnya diam. "Kau
tidak melakukan hal seperti itu." Dia mengulurkan tangannya ke
seberang meja untuk meremas tangan Emma. "Selain itu, hati
orangtua ini sangat senang mendengar akan menjadi seorang kakek
lagi." "Sial, Pop, aku kan bilang jangan berbicara sepatah katapun!" Aidan
berseru ketika mata Emma melebar sebesar tatakan gelas.
"Kau bilang padanya?" Tanyanya.
Patrick menggelengkan kepalanya. "Sekarang jangan marah
dengannya. Aku orang yang bisa menebak. Ketika mendiang istriku
sedang mengandung Aidan, dia menderita 'morning sickness' - well,
sambil bercanda kami menyebutnya 'all day sickness' karena
mualnya tidak hanya pagi hari saja. Dan gangguan indera
penciumannya sangat mengerikan."
Emma mencengkeram perutnya. "Benar, sangat mengerikan."
"Jika aku seorang penjudi, aku akan bertaruh dengan uangku bahwa
kau mengandung anak laki-laki. Bagaimanapun juga istriku hanya
mengalami hal itu dengan Aidan."
Emma tersenyum sambil termenung. "Sangat luar biasa jika bayi ini
anak laki-laki, tapi aku juga bahagia jika ini perempuan - yang
terpenting asalkan dia sehat."
Patrick menepuk tangan Emma. "Oh, tetapi kau membutuhkan anak
laki-laki. Dengan begitu ada yang meneruskan nama keluarga
Fitzgerald." Dia berpaling ke Aidan. "Kau berencana untuk
memberikan nama belakangmu pada bayi itu, kan?"
"Ya Tuhan, Pop! Jangan terlalu serius."
"Aku seorang Katolik Irlandia yg setia nak, aku tidak akan menyerah
pada legitimasi cucuku."
Aidan merasakan darah mengalir dari wajahnya. Dia segera meraih
gelasnya dan menuangkan kembali sisa Scotch-nya. Ayahnya terus
mengawasinya, dia bergeser di kursinya. "Well, Emma dan aku
belum membicarakannya."
"Tidakkah kau ingin meneruskan nama keluarga kita?" Patrick
mengalihkan pandangannya dengan intens pada Emma. "Aku satusatunya anak lakilaki dari orang tuaku, dan aku hanya memiliki
seorang anak laki-laki. Aku memiliki lima cucu dan cicit, namun
nama kami akan punah jika Aidan tidak memberikan namanya."
"Oh, ayolah, Pop, ini bukan seperti aku akan menjadi Fitzgerald
yang terakhir. Kakek Fitz memiliki tujuh saudara!" Bantah Aidan.
Patrick menyilangkan lengan di dadanya dengan marah. "Baiklah.
Jika kau tidak ingin memberikan namamu pada bayi ini, aku yang
akan memberikan namaku pada bayi ini!"
Ketika Emma menjerit kecil di depannya, Aidan tahu dia kesal
karena jelas melihat ketegangan antara dua orang keras kepala yang
saling berhadapan. "Tolong bisakah kau hentikan ini" Kau membuat
Em panik." Ekspresi Patrick segera melunak. "Emma, aku sangat menyesal jika
aku menyinggung atau membuatmu marah. Aku sangat melindungi
keluarga, dan setelah mengetahui kau mengandung cucuku,sekarang
kau bagian dari kami."
Aidan menyaksikan ekspresi Emma berubah dari ketakutan menjadi
benar-benarterlihat berseri-seri. "Sangat manis melihat anda
yangbegitu peduli. Bayiku sangat beruntung memilikimu sebagai
seorang kakek." Dia menarik napas. "Tapi sebelum aku hamil, Aidan
dan aku mengatur parameter yang sangat jelas tentang apa
peranannya." "Jadi, kau keberatan bayi ini memiliki namanya?" desak Patrick.
"Well, tidak ... Maksudku, aku tidak keberatan." Sebelum Aidan bisa
menghentikan dirinya sendiri, dia melotot padaEmma di seberang
meja. Emma cepat-cepat menggelengkan kepalanya. "Tapi aku tidak
ingin menekan apapun pada Aidan. Jangan tersinggung, Patrick, tapi
kau seperti memaksa Aidan untuk mengambil keputusan yang sulit.
Aku tidak ingin Aidan merasa tidak nyaman."
Patrick mendengus dan bersandar ke kursinya. "Baiklah. Aku hanya
orang kuno, kurang pengetahuan, tua bangka!"
Emma tertawa. "Aw, tidak kau tidak seperti itu. Sebenarnya, kau
banyak mengingatkan aku pada kakekku. Dia benar-benar lebih dari
sosok ayah bagiku setelah ayahku meninggal. Granddaddy sangat
tradisional dan kuno. Dan orang yang santai asal kau tidak
mengacaukan keluarganya."
"Dia terdengar mirip denganku."
"Aku pikir kalian berdua bisa bergaul dengan baik. Dia juga
menanyakan hal yang sama dan khawatir ketika mendengar aku
belum menikah dan hamil." Emma memutar serbet di pangkuannya.
"Sebenarnya, dia agak berhati-hati mengatakan itu padaku."
Aidan merasakan sengataningin melindungi Emma atas
ketidaknyamanannya. "Kau tidak mengatakan itu padaku."
"Semuanya baik-baik saja sekarang. Bahkan, dia benar-benar kreatif
bila berhubungan dengan kerajinan kayu, dan dia sedang memahat
kayu untuk membuatkuda goyang mainan bayi."
"Itu cara yang bagus untuk membuat perubahan," renung Patrick.
Emma tersenyum. "Ya, benar."
Patrick tampak bijaksana. Lalu dia berdiri. "Ayo, Emma, ada sesuatu
yang sepertinya kau dan bayi ini harus memilikinya."
Dia mengulurkan tangannya, Emmapun tersenyum dan menyelipkan
tangannya pada Patrick. Aidan menyaksikan bagaimanaayahnya
menarik Emma keluar dari kursi di ruang makan dan membawanya
menyusuri lorong. Dia duduk tertegun, masih tidak percaya
pengaruh Emma pada ayahnya. Aidan tidak pernah melihat dia
begitu bersemangat dalam beberapa bulan. Rasanya Emma seperti
membawa potongan dari diri ayahnya yang telah mati menjadi hidup
kembali-sesuatu yang bahkan dia atau saudara-saudara
perempuannya tidak pernah bisa melakukan itu.
Rasa ingintahunya menyebabkan dia bangkit dari kursinya dan
mencari mereka. Ia menemukan mereka di kamar tidur orang tuanya.
Emma berdiri di tengah ruangan, mengintip dengan saksamake
lemari pakaian. Suara gesekan datang dari dalam, dan Aidan
mendengar makian pelan dari ayahnya. Akhirnya, Patrick muncul
dengan membawa kotak kuning yang sudah memudar dengan
berjalannya waktu, senyum berseri-seri di wajahnya. "Untuk
cucuku," katanya, menyerahkan kotak ke Emma.
Emma menggosokkan tangan yang bebas ke pinggulnya dan
menantang, "Dan bagaimana jika bayinya perempuan?"
"Percayalah padaku akan hal ini." Ketika Emma mendengus sebagai
bentuk protes, Patrick tertawa. "Baik, baiklah. Ini akan sesuai untuk
cucu perempuanku juga."
Emma membuka tutup kotak itu. Aidan mencondongkan tubuh ke
depan saat ia dengan lembut menarik kertas tisu. Teriakan pelanlolos
dari bibirnya. Dengan lembut, dia mengeluarkan baju bayi putih
dengan renda yang rumit dan ada mutiaranya. "Sangat indah."
"Ini adalah baju pembaptisan Aidan," kata Patrick.
Aidan menarik napas. Kata-kata ayahnya ditambah dengan Emma
yang sedang memegang sebagian dari masa lalunya membuat dia
merasa terganggu. Jika ada keraguan tentang bagaimana perasaan
ayahnya terhadap Emma dan anak mereka, keraguan itu langsung
musnahdenganmelihat baju kecil di tangannya. Aidan
sepenuhnyayakin belum siap untuk ketingkat yang melibatkan
banyak emosi dan komitmen. "Dad, Emma bahkan bukan seorang
Ilmu Ulat Sutera 5 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam Gadis Hari Ke Tujuh 4

Cari Blog Ini