Dear Dylan Karya Stephanie Zen Bagian 3
tanyanya setengah menantang.
Hell, dia cuma asal tebak atau memang benar-benar tau skenario Pak Leo"! Gue
berusaha menggigit lidah kuat-kuat. Sekarang bukan saatnya meladeni omongan anak kecil
manja dan tukang ngambek ini! Gue lebih baik memikirkan cara untuk membantu Ernest.
"Kenapa" Lo takut mukul gue" Takut image lo yang sok baik itu rusak" Hei, lo lupa
kalau image lo sudah hancur gara-gara kasus pemukulan kemarin?"
Gue tahu, sekarang seluruh isi lobi memandangi gue dan Hugo. Bahkan Ernest pun
perhatiannya teralih dari kegelisahannya untuk segera pulang ke Bandung.
"Asal lo tahu," kata gue sambil menahan marah, "sebobrok apa pun image gue,
seenggaknya gue nggak pernah ngerasai busuknya sel penjara seperti narapidana bejat
macam lo!" Hugo mengernyit, dan gue melihat urat di pelipis kanannya berdenyut. Dia marah.
Tapi gue masih lebih marah.
"Oh... merasa hebat karena jadi closing semalam, jadi sekarang mau nantang" Lo kira lo
lebih hebat dari gue?" Hugo maju beberapa langkah. Bang Budy sudah berancang-ancang
untuk menghalangi Hugo semakin mendekati gue, tapi gue memberi dia isyarat untuk diam di
tempat. "Mungkin nggak lebih hebat, tapi yang jelas, gue lebih bermoral." Gue tersenyum sinis.
"Gue punya malu, nggak kayak lo yang hampir perkosa cewek di dalam lift!"
Hugo melotot, dan gue mendengar suara orang-orang yang menahan napas di sekeliling
gue dan Hugo. Ini nyaris sama persis ketika gue meng-TKO Yopie di MTV Awards. Hanya
kurang wartawan. Dan VJ Daniel. "Paling nggak, selera gue akan cewek bisa diterima akal sehat." Hugo tertawa. Tawanya
bercampur dengan dengusan meremehkan. "Coba lihat cewek lo, apa bagusnya" Berantakan.
Nggak keruan." Kurang beberapa senti lagi tinju gue menghantam wajah Hugo brengsek itu, tapi ternyata
tinju gue terhenti di telapak tanagn Bang Budy.
"Cukup, Dylan!" desisnya marah. "Kamu nggak perlu masuk infotainment karena
memukul satu vokalis band lain lagi!"
Gue mengertakkan gigi, tapi menarik tangan gue dari tangan Bang Budy dengan gusar.
Hugo kelihatan sedikit kecewa gue nggak jadi menonjok dia. Mungkin dia sudah menyusun
"serangan balik" untuk gue. Wajahnya sudah seperti vampir haus darah.
"Itu mobilnya datang!" seru Dovan, dan gue melihat mobil panitia yang akan membawa
kami ke banda berhenti di depan pintu lobi. Ernest dengan tergesa mengangkat tasnya dari
lantai, tapi gue lah yang lebih dahulu mencapai pintu mobil dan masuk ke sana.
Sepanjang perjalanan ke airport, gue nggak mengucapkan apa pun lagi. Semua omongan
Hugo masih bergaung di telinga gue. Berani-beraninya dia menghina Alice! Kalau gue
ketemu dia lagi, akan gue bikin dia babak belur!
"Udah, Lan, nggak usah pikirin. Hugo ngomong gitu untuk mancing lo, karena dia nggak
terima eXisT kalah dari Skillful," kata Dovan sambil menepuk bahu gue pelan, tapi gue
mengabaikannya. Dulu, gue beranggapan Dudy agak konyol karena hampir berkelahi dengan Hugo hanya
karena adu mulut, tapi sekarang setelah gue tahu gimana menjijikkannya mulut Hugo, gue
jadi menyesal kenapa nggak dari dulu-dulu gue ikut Dudy menghajar pengecut satu itu!
TAKUT From: Dear Dylan Aku udh di Jkt, say. Br landing. Ada bad news, mbk Lia
(istrinya Ernest) jatuh di kmr mandi td pg, pdhl dia lg hamil.
Skrg bleeding. Udh dibawa ke RS, tp blm tau keadannya gmn.
Ernest otw ke Bdg. Doain biar ga trjd hal yg buruk ya.
"HAAAAAAHH"!"
"Busyet! Kenapa lo" Bikin kaget aja!" Grace menimpukku dengan permen sambil mengomel
karena teriakanku mengagetkannya.
"Ini... Dylan...," seruku sambil menunjuk-nunjuk HP.
"Kenapa" Dia nggak papa, kan" Udah sampai Jakarta?"
Aku mengangguk. "Dylan nggak papa, tapi Mbak Lia, istrinya Ernest, lagi di rumah sakit
sekarang..." "Istrinya Ernest...?" Grace terlihat berpikir. "Kibordis Skillful maksud lo" Kenapa dia?"
Aku mengangsurkan HP-ku pada Grace, menyuruhnya membaca sendiri SMS yang dikirim
Dylan. Meskipun nggak kenal dekat sama Ernest, dan cuma pernah ketemu dua kali sama Mbak
Lia saat konser Skillful, hatiku tetap kebat-kebit nggak keruan. Nggak pernah sebelumnya ada
orang yang kukenal mengalami hal seperti ini. Gimana keadaan Mbak Lia sekarang, ya" Apa dia
baik-baik aja" "Ya ampun, kasihan banget Ernest," kata Grace dengan wajah prihatin sambil
mengembalikan HP-ku. "Apa kita jenguk aja, ya" Lo tau nggak di rumah sakit mana?"
Aku menggeleng, sebelum akhirnya ingat Ernest tinggal di Bandung.
"Mungkin nggak di Jakarta, Grace. Mungkin di Bandung. Ernest kan rumahnya di
Bandung." Grace manggut-manggut. "Kasihan ya Ernest, habis pulang dari luar kota malah dapat bad
news kayak gini..." Aku mengangguk, dan mulai berdoa untuk Mbak Lia dalam hati.
*** Sorenya, Dylan meneleponku.
"Mbak Lia nggak papa, kandungannya juga baik-baik aja, nggak perlu dikuret atau apa.
Ernest bilang, Mbak Lia cuma disuruh bed rest aja dulu seminggu ini, biar kandungannya pulih,"
kata Dylan. Aku menghela napas lega. "Aduh, syukurlah... Aku tadi khawatir banget pas dapat SMS dari
kamu..." "Sori ya, jadi bikin kamu khawatir juga... habisnya aku kepingin bantu Ernest tapi nggak tahu
gimana caranya. Mungkin kalau semakin banyak yang berdoa buat Mbak Lia, kemungkinan hal
buruk terjadi bakal lebih kecil."
Aku menelan ludah. Dylan memang sangat perhatian sama orang, apalagi orang-orang yang
dikenalnya. Satu lagi hal yang membuatku benar-benar sayang padanya.
"Terus... kalian kan ada rencana tur mulai minggu depan, gimana tuh?"
Huhu.... aku jadi ingat kalau mulai minggu depan aku bakal ditinggal Dylan untuk tur belasan
kota bersama Skillful! Mereka bakal tur di Jawa dan Sumatra untuk promo album, yang berarti
aku baru akan ketemu Dylan sekitar sebulan kemudian. Dan setelah itu pun akan disambung tur
Sulawesi-Kalimantan seperti tahun lalu! Sungguh menyebalkan! Harusnya aku memasukkan hal
ini ke daftar 10-things-i-hate-about-you yang ku-SMS-kan ke Dylan waktu itu!
"Hmm... ya harus pakai additional player deh untuk pengganti Ernest. Mungkin kita bakal
pakai Irvan, ingat kan" Yang dulu pernah gantiin Ernest pas acara Musik Asyik" Mbak Lia nggak
mungkin bisa ditinggal tur kalau dia harus bed rest. Belum lagi siapa yang ngurusin Sascha"
Mungkin Ernest baru ikut di tur Sulawesi-Kalimantan nanti."
Aku ber-"ooo" panjang. Irvan yang disebut Dylan itu memang additional player untuk kibor
yang beberapa kali menggantikan Ernest kalau dia berhalangan tampil.
Kok memikirkan rentetan tur itu membuat mood-ku jadi kacau, ya" Padahal kan sebelum ini,
aku sudah berkali-kali ditinggal Dylan tur ke seluruh penjuru Indonesia (bahkan tahun lalu dia
sampai ke Malaysia dan Brunei segala!), tapi entah kenapa kali ini perasaanku nggak enak...
Ah, ini cuma sugestiku aja gara-gara kejadian yang menimpa Mbak Lia. Sama seperti Ernest
yang takut kehilangan Mbak Lia, aku juga takut kehilangan Dylan.
Takut banget. MOSHING GUE kepikiran Alice. Nggak enak punya sesuatu yang disembunyikan dari dia, apalagi
setelah dia terang-terangan bilang nggak suka pada sikap gue yang selalu nggak pernah
cerita-cerita kalau ada masalah (itu lhooo... di SMS 10-things-i-hate-about-you-nya).
Tapi apa gue harus bikin dia sedih dengan membeberkan semua kata busuk Hugo di
depan dia" Omongan Hugo terlalu kasar, dan gue nggak mungin sanggup mengulangnya di
depan Alice. Itu cuma akan bikin dia kepikiran, padahal sekarang dia mau ujian. Cukup
sudah bikin dia khawatir dengan semua masalah Yopie kemarin, gue nggak mau bikin dia
cemas gara-gara masalah Hugo ini lagi. Toh gue nggak sampai memukul Hugo dan masuk
infotainment seperti waktu itu.
Apa yang nggak Alice tahu nggak akan menyakitinya, kan"
Setelah melepaskan seat belt gue berdiri dari kursi, lalu ngulet-ngulet sedikit. Pesawat
baru saja berhenti dengan sempurna di banda Polonia Medan, tapi Bang Budy sudah ribut
supaya kami cepat turun. Kayak dikejar setan aja.
Gue jadi ingat, dulu ada pengalaman yang kacau banget berhubungan dengan Bang Budy
dan pesawat. Agak memalukan, malah. Bikin gue meringis sendiri kalau mengingatnya.
Jadi dulu, waktu mau promo tur album kedua di Banjarmasin, kami naik flight paling
pagi dari Jakarta. Berhubung flight-nya paling pagi, cukup banyak penumpang yang datang
telat (tapi karena kami serombongan Priambudy Setiawan, jelas kami nggak masuk golongan
penumpang yang ngaret itu. Malah, kami orang-orang pertama yang masuk ke pesawat). Nah,
saat kami sudah duduk manis di dalam pesawat, penumpang-penumpang lain banyak yang
namanya masih dipanggil melalui pengeras suara agar segera naik ke pesawat. Entah Bang
Budy salah makan, nggak sabar lagi sampai ke Banjarmasin, atau sudah habis kesabaran, dia
tiba-tiba berdiri dari kursinya dan berteriak pada semua pramugari, "Astaga, maskapai
macam apa ini"! Kalau penumpang-penumpang bodoh itu terlambat, tinggal saja! Ini kan
pesawat, bukan angkot yang lagi ngetem! Apa kalian kejar setoran"!"
Sumpah, muka gue, Ernest, Dudy, Dovan, Rey, dan kru Skillful saat itu sama sekali
nggak ada bagus-bagusnya! Ekspresi kami terbagi antara maluuuuu banget, kepingin mati di
tempat, dan sok-sok nggak kenal sama Bang Budy! Emang gila tuh orang! Manajer band
terkenal, tapi malu-maluin! Hahaha.
"Dylan, kenapa kamu bengong di situ" Ayo cepat turun!"
Waduh, gue dibentak-bentak, lagi, sama Bang Budy! Apa dia tahu gue lagi mikirin
kekonyolannya, ya" *** "Dan inilah dia... SKILLFUL!"
Lampu panggung dipadamkan, lalu Irvan naik, disusul Dudy, Rey, dan Dovan. Gue,
seperti biasa, dapat giliran naik panggung paling akhir.
"Boha kabar7, Medan!" Gue menyapa audiens dengan bahasa Batak. Lumayan nih, di
kampung halaman sendiri kan harus bisa bahasa daerah.
Lagu baru kami, Soulmate, yang bertempo cepat mengalun. Gue jejingkrakan sana-sini
mengikuti irama lagu. Ini lagu yang gue karang untuk Alice. Tepatnya, lagu yang LIRIK-nya gue tulis untuk
Alice, sementara melodinya digarap Dovan. Yeah, you know what I mean. Gue kan nggak
bisa main alat musik apa pun, gimana bisa bikin melodinya"
Aku tau tak s"lalu bisa
Ada tuk berimu cinta Kadang hanya beri kecewa Dan asa yang terpatah Tapi jika akan kaudengar Aku telah merasa Kaulah yang jadi belahan jiwa
Soulmate... Cinta setia...
Ingin kucipta bahagia Beri hidup yang sempurna Tapi semampu ku berusaha Hanya pedih bagimu yang ada
Tapi jika akan kaudengar Aku kini percaya Kaulah yang jadi belahan jiwa
Soulmate... Cinta setia...
Lagu selesai, dan gue berhenti sebentar untuk mengatur napas gue, sebelum maju
lagi ke depan panggung untuk menyapa audiens.
"Yak! Terima kasih! Seneng banget bisa manggung di Medan lagi, pulang kampung deh
saya, haha..." Waduh, ngomong apa lagi nih"
"Yak..." Gue membuka mulut lagi, tapi nggak bisa menemukan kata yang tepat untuk
melanjutkan kalimat. Tapi bukannya tadi gue udah ngomong "Yak?"
"Jadi... yang tadi lagu baru dari album terbaru..." Duhh, kok lagu-baru-dari-albumterbaru sih"! Makin parah aja skill berkomunikasi gue sama audiens! Kalau gini caranya, gue
sebaiknya gabung sama band Unskill, bukannya Skillful!
7 Apa kabar "Hmm... ya, tadi lagu baru Skillful, judulnya Soulmate. Sudah pada punya albumnya
belum?" Koor penonton terbagi antara "Sudaaaahhh" dan "Beluuuummm".
Haha, sekarang gue malah jadi kayak guru TK bertanya jawab dengan muridnya. Satu
tambah satu berapa, anak-anak" Duaaaaaaa!
"Selanjutnya... eh... lagu buat yang lagi kasmaran berat, ini dia... Terlalu Indah."
Irvan memainkan kibornya, dan gue mengambil posisi di belakang stand mike. Lumayan,
satu lagu slow dan gue bisa mengatur kembali napas gue yang nyaris putus akibat sok
jejingkrakan di lagu pertama tadi. Lupa aja gue ukuran perut gue sekarang udah kayak ibuibu hamil lima bulan.
"Ya, makasih ya... Mmm... sekarang..." Duh, lagu apa nih?"
"Tambah gemuk saja, kau, Lan!" teriak salah satu penonton, yang langsung disambut
tawa riuh penonton lainnya.
Gue cuma bisa nyengir bego mendengar komentar itu. Sialan. Kayaknya gue beneran
butuh diet! Rentetan lagu selanjutnya lumayan lancar, kecuali gue yang mendadak lupa lirik lagu
Sayangku di tengah-tengah konser, tapi untung bisa langsung mengantisipasi dengan purapura menyuruh penonton nyanyi bersama (itu trik yang ampuh banget buat vokalis yang
sering lupa lirik kayak gue, hehe...).
Gue kira gue bakal kembali ke hotel malam ini dengan perasaan puas karena konser
berjalan lancar, tapi dugaan gue salah.
Di refrein lagu kedelapan, mendadak penonton di barisan kanan ribut. Konsentrasi
nyanyi gue, yang memang nggak bagus-bagus amat, langsung buyar. Ada apa ini"
Oh Tuhan... ada moshing..."
Gue membeku di tempat. Seumur-umur gue manggung, gue nggak pernah mengalami
moshing alias aksi dorong-dorongan penonton di konser. Tapi sekarang...
Kumpulan kecil di barisan kanan itu mulai ricuh. Beberapa botol plastik beterbangan di
udara, dan segerombolan orang mulai saling memukul. Perhatian penonton di barisan lainnya
mulai beralih pada keributan yang sedang terjadi.
Panik, gue menoleh ke arah Dovan yang ada di kanan belakang gue. Tapi sama seperti
gue, dia membeku di tempat. Gue menoleh ke Rey, dan dia kelihatan pucat.
Astaga, apa yang harus gue lakukan"
"Halooo... yang di sana, jangan pukul-pukulan dong... Kita kan nonton konser buat have
fun, pukul-pukulan nggak bisa buat have fun..."
Damn, kenapa di saat genting begini, omongan gue malah makin belepotan dan nggak
jelas"! Bego bego begooooooo!
BUUAAAAAAKKKK!!! BUGG!!! BUGG!!!
Gue berjengit. Aksi pukul-memukul itu sudah menyebar ke seluruh barisan kanan.
Mungkin karena beberapa orang yang tanpa sengaja terpukul merasa nggak terima, dan
memukul balik. Dari moshing kecil, sekarang barisan kanan berubah menjadi rusuh.
Ya Tuhan, tolonglah... Gue berdiri gemetar di bibir panggung, nggak sanggup meneruskan menyanyi. Semua
lirik lagu Skillful tersapu bersih dari otak gue, meninggalkan kehampaan... Ketakutan...
BRAAAAKKKKKK! Pagar besi pembatas antara penonton dan panggung roboh, terdorong tubuh-tubuh yang
terlibat aksi pukul dan moshing yang makin tak terkendali. Belasan orang, yang berdiri
menempel pada pagar besi itu jatuh terjungkal, menjadi mangsa empuk bagi orang-orang
yang tadinya menjadi lawan pukul mereka. Gue serasa mau mati melihat beberapa tubuh
terinjak kaki-kaki yang tak bisa menahan keseimbangan.
Di tengah kepanikan, gue merasakan ada tangan yang menarik gue dari belakang, dan
menyeret gue turun panggung.
*** "Sekarang semua kembali ke kamar masing-masing. Besok pagi kita check-in di airport jam
delapan. Jangan pikirkan kejadian barusan." Bang Budy melipat tangannya di dada, tanda dia
sudah selesai memberikan ceramah, dan satu per satu kami keluar dari kamar hotelnya.
Jangan pikirkan kejadian barusan"
Gampang aja dia ngomong begitu. Dia nggak ada di atas panggung seperti gue, yang
melihat kejadian itu persis di depan mata... Dia nggak merasakan horor yang menghantui gue
selama beberapa menit mengerikan di panggung tadi... Dia nggak tahu kepanikan gue... Dia
nggak merasa seperti nyaris mati melihat manusia-manusia di bawah sana terinjak...
Gue nggak pernah mengalami kejadian seperti ini, dan berharap nggak akan pernah
mengalaminya, tapi sekarang semuanya terjadi... Kenyataan bahwa konser tadi rusuh
menghantam gue dengan telak.
Yah... gue nggak tahu bagaimana akhir konser itu, karena Asep sudah keburu menarik
gue turun dari panggung, mendorong gue masuk ke mobil, dan menyuruh sopir melarikan
mobil itu ke hotel tempat kami menginap. Setengah perjalanan ke hotel, barulah gue sadar
mobil itu bukan hanya berisi gue, tapi juga Irvan, Dudy, Rey, dan Dovan. Sama seperti gue,
mereka "diamankan" oleh Asep, Tyo, dan kru-kru lainnya.
Tapi pemandangan terakhir yang gue lihat di venue tadi sudah cukup membuat gue
tertampar. Kenapa konser kami bisa rusuh..." Skillful bukan band rock, yang memancing
kerusuhan massa. Lagu-lagu kami mayoritas slow, dan yang upbeat pun hanya cukup untuk
loncat-loncat, bukan untuk moshing atau aksi pukul... Ditambah lagi, sebelum ini konser
kami nggak pernah rusuh. Kenapa sekarang..." Dovan berjalan mendului gue, dan membuka pintu kamar. Gue memang sekamar sama
dia kali ini, karena Ernest yang biasa sekamar sama gue nggak ikut. Melihat tampang Dovan,
gue tahu dia nggak mau membicarakan masalah ini.
Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan gue juga nggak kepingin ngebahas...
HP di saku celana gue bergetar, dan gue melihat ada SMS masuk dari Alice.
From: Sayang Say, udh sls manggung" Capek yaa" Met bobo ya, don"t forget
to pray. Miss u. Gue mematikan HP gue tanpa membalas SMS Alice. Untuk pertama kalinya dalam
hidup gue, gue nggak kepingin ngobrol sama Alice...
HE TELLS ME NOTHING "IYA, Bu Robert, masa Bu Robert nggak tahu siiiih" Alice nggak cerita sama Bu Robert" Saya
tuh lihat di infotainment, Bu! Konser band pacarnya Alice itu rusuuuuuuhhh banget! Sampai
puluhan orang luka-luka, katanya!"
Aku melepaskan tirai jendela yang tadi kusingkap dengan tangan, dan menelan ludah dengan
susah payah. Bu Parno ada di depan sana, bercerita dengan penuh semangat pada Mama tentang
berita infotainment yang ditontonnya.
Berita infotainment tentang konser Skillful yang berakhir rusuh...
Yang, sayangnya, bukan sekadar berita isapan jempol, karena aku sendiri melihat liputannya
di berita pagi ini. Konser Skillful di Medan rusuh. Menyebabkan puuhan orang luka berat dan ringan. Pagar
pembatas antara penonton dan panggung roboh.
Berita baiknya, nggak ada korban jiwa.
Tapi aku tetap merasa terinjak-injak, karena mengetahui semua itu dari TV... dan cerita Bu
Parno pada Mama yang kucuri dengar dari balik jendela... bukannya langsung dari Dylan sendiri.
Aku merasa nggak dipercaya. Sekali lagi dia nggak cerita padaku saat ada masalah... apa aku
ini nggak berarti apa-apa buat dia" Apa dia cuma menganggapku anak kecil yang nggak akan bisa
dimintai pendapat tentang masalah ini" Kalaupun iya begitu, kenapa dia nggak mau sekadar
bercerita padaku" Aku ini kan masih pacarnya...
Aku bisa merasakan air mata kecewa menuruni pipiku.
"Lice..." Aku menoleh, dan melihat Mama berdiri di ambang pintu sambil memegang keranjang berisi
sayuran dan daging ayam yang baru dibelinya dari tukang sayur di depan sana tadi. Mbok Sum,
pembantu keluargaku, tergopoh-gopoh datang mengambil keranjang itu dari tangan Mama, dan
membawanya ke dapur. "Kenapa kamu nggak cerita ke Mama?" Mama berjalan mendekat dan memelukku.
Perasaanku makin amburadul. Gimana bisa aku cerita, Ma, kalau aku sendiri nggak tahu tentang
masalah ini..." "Sudahlah, itu bukan salah Dylan..."
Apa yang bukan salah Dylan" Kerusuhan di konsernya" Atau keputusannya untuk nggak
cerita padaku tentang masalah ini"
"Mama tahu ini berat buat kamu, Lice. Apalagi setelah... masalah yang kemarin itu. Tapi
kamu harus kuat, ya?"
"Tapi, Ma...," aku bicara di sela tangisku, "aku merasa nggak dihargai... dylan sama sekali
nggak cerita sama aku soal masalah ini. Aku marah sama dia... Aku marah... POkoknya aku
benciiiii banget sama dia sekarang!"
Mama terdiam, tapi beberapa detik kemudian aku merasakan tangannya membelai lembut
rambutku. "Mungkin Dylan masih shock. Dia pasti butuh waktu untuk berpikir dulu. Mama yakin, nanti
juga dia bakal cerita sama kamu."
Selalu begitu. Dylan butuh waktu berpikir. Dylan butuh waktu sendiri. Bagaimana dengan
aku" Aku juga butuh penjelasan. Aku juga butuh ditenangkan...
"Hei, kamu tahu nggak sih, dulu setelah setahun menikah, Mama dan Daddy bertengkar
hebat" Sampai banting-banting barang segala?"
Heh, kenapa Mama tiba-tiba ngomong begitu"
"Nggak... aku nggak tau."
"Itu disebut "Pertengkaran Besar Pertama". Biasanya memang terjadi setahun setelah
pernikahan. Nah... mungkin kamu sama Dylan bakal mengalami itu sekarang."
Aku bengong, sebelum akhirnya mencubit Mama.
"Adudududuh... kok Mama dicubit sih"!" Mama meringis kesakitan.
"Habisnya Mama ngaco sih! Masa Mama bilang kalau aku dan Dylan mengalami
"Pertengkaran Besar Pertama?"! Yang bener aja, Ma! Aku sama Dylan tuh cuma pacaran,
bukannya nikah!" "Hmm teori Mama aja sih, tapi "Pertengkaran Besar Pertama" seharusnya nggak cuma terjadi
sama pasangan menikah aja, tapi sama pasangan pacaran juga. Buktinya, kamu selama ini nggak
pernah bertengkar sama Dylan. Yahh... paling banter ribut-ribut kecil lah. Tapi sekarang kamu
merasa sebeeell banget sama dia, merasa marah sama dia, itu kan cikal bakal "Pertengkaran Besar
Pertama", hehe..."
Mama cengengesan, tapi langsung diam begitu aku menggelitiki pinggangnya. mama
memang paling suka usil! Gara-gara omongan Mama tadi, aku jadi nggak bisa meneruskan aksi
cengengku deh! *** "Lo lihat sendiri kan, Grace, gue makin lama makin merasa nggak kenal Dylan. Dia seperti...
asing. Bukan Dylan yang selama ini gue kenal..."
Grace mendengus, lalu meletakkan kembali botol kondisioner rambut ke rak yang ada di
hadapannya. "Kenapa sih nggak ada kondisioner yang bisa membuat rambut rewel jadi nurut?"
Hah, ngomong apa sih dia"!
"Yang ini untuk rambut rontok... ini untuk rambut bercabang... rambut kering... rambut
berjerawat... eh, keliru! Ini obat jerawat deng!"
Habis kesabaran, aku menggetok kepala Grace dengan kepalan tanganku.
"Aww! Apaan sih" Sakit, tau!" Grace mengusap-usap kepalanya.
"Lo sih, orang lagi serius ngajak ngobrol, malah nyerocos aneh-aneh! Pakai ngigo rambut
berjerawat segala! Yang bener aja!"
"Deuu... yang lagi sewot!" Grace mengibaskan atngannya dan meneliti isi rak lagi. Kami
memang sedang berada di salah satu toko di PIM yang menyediakan produk-produk health &
beauty care. Tadinya aku nggak mau ke sini karena mood dan penampilanku sedang ancur-ancurnya,
tapi Grace, yang tahu aku nggak masuk sekolah hari ini karena bad mood sama Dylan dan
bukannya sakit, datang ke rumah dan memaksaku memberikan referensi kondisioner rambut
yang bagus di toko ini. Plis deh, memberikan referensi kondisioner rambut yang bagus"! Memangnya aku Rudy
Hadisuwarno"! Aku yakin, sebenarnya Grace datang ke rumah karena ditelepon Mama, yang nggak tahan
melihatku melakukan aksi melankolis-dramatis di kamar gara-gara kesal sama Dylan, yang sampai
detik ini belum menelepon juga. Dan nggak bisa diteleopn, pula!
"Yang ini nih, untuk rambut frizzy... Frizzy apaan sih, bo" Maksudnya model rambut kayak
rambutnya Jonathan Frizzy, gitu?"
"Graceee...," aku setengah mengeluh. "Udahlah, nggak usah berusaha menghibur gue gitu.
Pikiran gue tetep nggak bisa dialihkan dari masalah Dylan, tau... Dan bercandaan lo nggak lucu!
Jadi kalau lo emang berniat nolongin gue, bisa nggak kita ngebahas tentang Dylan aja?"
Tampang Grace kelihatan seolah aku baru bilang aku tahu warna branya. Dia menoleh
menatapku, dan cengengesan nggak penting.
"Akting gue payah, ya?"
"Payah banget."
"Sori ya... Padahal gue cuma kepingin menghibur lo, tapi ternyata gagal."
"Udahlah, nggak papa. Sekarang mendingan lo balikin tuh kondisioner rambut nggak jelas
yang sebenernya nggak lo butuhin, dan kita ke Coffee Bean. Gue kepingin minta saran lo soal
Dylan!" Grace mengangguk patuh, dan mengembalikan kondisioner yang dipegangnya itu ke rak
barang. Kami hampir saja keluar dari toko ini, waktu pegawai toko yang di dekat pintu
menghentikan kami. "Ada yang bisa saya bantu, Mbak?"
"Nggak, Mbak, makasih," jawabku sambil mempercepat langkah. Satu-satunya bantuan yang
kubutuhkan saat ini hanyalah Dylan ada di Jakarta dan memberikan penjelasan A to Z tentang
kenapa dia nggak pernah mau mendiskusikan masalah-masalahnya denganku. Kalau si pegawai
bisa memberikan bantuan macam itu, dia boleh membantuku.
"Mungkin Mbak butuh sesuatu untuk perawatan jerawatnya" Untuk menghilangkan jerawatjerawat Mbak" Kami juga ada teh herbal untuk pelangsing. Bagus lho, Mbak, baru datang dari
China," jelasnya dengan pede selangit.
Harga diriku langsung jatuh ke level terendah. Aku bener-bener nggak butuh omongan
macam itu sekarang. Kata-kata si pegawai toko membuatku makin merasa nggak berharga...
Atau toko ini punya program training khusus untuk melatih pegawainya jadi
MEYEBALKAN dan nggak peka, ya"
Well, kalau iya, training itu amat sangat berhasil.
*** Aku terlongo di depan laptop.
Milis Skillful penuh dengan posting yang membahas rusuhnya konser band idola mereka.
Seperti ada tangan tak kelihatan yang mencekik leherku membaca semua itu.
" Rusuh! Galz, bad news... konser Skillful di Medan...
winda_gurl90 Send IM " Re: Rusuh! Gue nyaris ga percaya wktu lht di tv, katanya...
" Re: Rusuh! Alice, blm ad kbr ya dr Dylan" kita pgn tau..
c-ta_dylanders Send IM elsa_here Send IM Tadi pagi memang Elsa, Ardelia, dan beberapa orang lainnya meneleponku, menanyakan apa ada
kabar yang sudah kudapat dari Dylan, karena saat berkali-kali dikejar wartawan mengenai
rusuhnya konser, Skillful selalu menghindar dan melakukan aksi tutup mulut.
Mereka kira, aku pasti punya penjelasan.
Sayangnya nggak. Gimana bisa aku kasih penjelasan, kalau Dylan saja nggak bisa dihubungi"
Aku benar-benar kecewa, taip harus bilang pada semua fans itu, kalau aku memang belum
dapat kabar apa pun dari Dylan. Mereka kelihatannya mengerti... tapi entahlah, mungkin mereka
bertanya-tanya dalam hati apa aku jujur atau enggak.
Bisa saja mereka mengira Dylan memberitahuku semua detail cerita, tapi aku dilarang
menyebarkannya, kan"
Yah, pada dasarnya memang aku nggak boleh kasih statement apa pun. Pertama, karena aku
memang nggak tau apa-apa. Kedua, karena aku bukan orang yang tepat untuk dimintai
konfirmasi. Maksudku, plis deh, kalau pihak Skillful sendiri nggak mau kasih statement atas rusuhnya
konser mereka, masa aku, yang cuma kebetulan pacar vokalisnya, bisa kasih statement sih" Janganjangan nanti malah aku salah bicara dengan mulut bocorku ini!
Hhh... tapi tetap saja, ini membuatku makin gelisah. Aku kepingiiiinnn banget mendengar
penjelasan dari mulut Dylan sendiri. Aku kepingin dia mau terbuka cerita-cerita ke aku tentang
semua masalahnya seperti dulu, saat kami belum jadian, when he used to talk to me. Aku kepingin
semuanya kembali seperti dulu... saat dia, sepertinya, begitu mengerti aku.
I look around me, And I want you to be there
"Cause I miss the things that we shared.
Look around you. It"s empty, and you"re sad
"Cause you miss the love that we had.
You used to talk to me like
I was the only one around,
The only one around. We used to have this figured out;
We used to breathe without a doubt.
When nights were clear, you were the first star that I"d see.
We used to have this under control.
We never thought. We used to know. At least there"s you, and at least there"s me.
Can we get this back"
Can we get this back to how it used to be"
To how it used to be, yeah...
(Used To " DAUGHTRY)
DIOMELIN SEISI DUNIA! "IYA, iya, Ma, aku nggak papa... Kemarin tuh nggak bisa dihubungin soalnya... mmm...
baterai HP habis. Charger-ku ketinggalan di hotel di Medan... Mmm... ini aja baru dapat
charger pinjeman yang cocok. Ehh... yahh... Mama tau sendiri kan HP-ku bukan HP sejuta
umat... gitu deh..."
"Aduh kamu itu, Lan! Makanya kalau bawa barang itu diperiksa, jagnan sampai ada
yang ketinggalan. Kalau begini kan kamu sendiri yang repot," nasihat Mama di telepon. Gue
cuma bisa manggut-manggut, antara bosan dan merasa bersalah karena sudah bohong sama
Mama. Sebenarnya, charger HP gue nggak ketinggalan di mana pun. Charger itu masih aman di
dalam travel bag gue, dan baterai HP gue pun masih full.
HP gue nggak bisa dihubungi karena memang sejak malam konser yang rusuh di Medan
itu, gue menonaktifkan HP. Bukannya apa-apa, tapi gue nggak tahan kalau harus menerima
banyak telepon dan SMS di saat pusing dan butuh ketenangan untuk berpikir.
Yah... gue tahu gue terkesan egois dengan ngomong kayak gitu, tapi mau gimana lagi,
coba" Kalau ada masalah, gue lebih suka cari jalan keluar sendiri. Gue toh nggak bego-bego
amat untuk menyelesaikan semua masalah itu. Asal,s elama proses mencari solusi itu, gue
nggak diganggu. "Ya sudah, sekarang KAMU TELEPON ALICE! Dia sudah khawatir banget sama
kamu!" perintah Mama dengan nada seolah beliau adalah Adolf Hitler, dan perintahnya
nggak bisa diganggu gugat.
"Iya deh, Ma... nanti aku telepon..."
"Nggak ada nanti! SEKARANG!"
"Tapi, Ma, ini aku mau..." Aduh, alasan apa ya" Masa gue bohong lagi sih sama Mama"
Tadi kan udah bohong masalah charger itu...
"Dylan, Mama nggak mau tau, pokoknya setelah kamu tutup telepon ini, kamu
LANGSUNG TELEPON ALICE! Kamu sih enak nggak khawatir, tapi Alice sudah panik
berat!" Gue menelan ludah. Masa Mama bilang gue enak-enakan" Justru gue yang paling stres!
Gue yang ada di atas panggung, melihat semua keributan di bawah panggung, yang hanya
berjarak beberapa meter dari tempat gue berdiri. Gue yang melihat bagaimana banyak orang
terinjak kaki penonton lainnya ketika jatuh... Tapi gue juga yang nggak bisa melakukan apaapa...
"Iya, Ma, aku telepon dia."
"Bagus. Jangan sampai nggak. Ya sudah, Mama mau rapat panitia dulu. Nantulang Maria
sudah ribut saja ini dengan Nantulang Uci."
"Mereka ribut kenapa?"
"Nantulang Uci usul supaya hiburan di pesta nanti pakai dua penyanyi sama pengiring
organ saja, tapi Nantulang Maria suul supaya ktia sewa full band. Ributlah mereka."
Gue geleng-geleng kepala. Lagi-lagi masalah sepele yang bikin heboh. Untunglah gue
nggak punya rencana merit dalam waktu dekat. Bisa-bisa Nantulang Maria dan Nantulang
Uci punya acara "Ribut Jilid II".
"Ya sudah, Ma, nanti aku kabari lagi. Salam buat semuanya."
"Iya, nanti Mama sampaikan. JANGAN LUPA TELEPON ALICE!"
Astaga! "Iya, Ma, iyaaa... Dadahhh..."
Gue menekan tombol pemutus sambungan di HP gue, lalu duduk di atas tumpukan kotak
peralatan Skillful yang ditata para kru di dekat pintu masuk hotel. Kami memang sedang
menunggu mobil jemputan untuk ke airport, karena malam ini bakal manggung di
Pekanbaru. Setelah dua hari mematikan HP, gue akhirnya menyalakannya lagi tadi, dan
langsugn saja telepon Mama, dengan sejuta nasihat dan rongrongannya supaya gue segera
menelepon Alice, masuk ke HP gue.
Tapi gue masih nggak kepingin menelepon Alice... nggak berani, tepatnya. Gue takut
dan nggak mau berbagi horor di atas panggung itu dengan Alice. Seenggaknya sekarang.
Alice bisa ikut stres kalau mendengar cerita gue. Dan tentu saja, dia juga bisa
mengkhawatirkan keselamatan gue. Bukannya nggak mungkin rusuh di konser bisa
membahayakan keselamatan gue juga. Mungkin besok baru gue akan teleopnd ia, kalau gue
sudah agak tenang. Jujur aja, gue takut manggung lagi setelah kejadian kemarin, tapig ue kan nggak bisa gitu
aja mogok manggung. Bisa-bisa Skillful kena penalti dari pihak sponsor dan panitia. Kami
kan sudah tanda tangan kontrak, jadi mau nggak mau gue harus manggung.
Ku pernah mengenal satu cinta... Rasa indah tak pernah terduga...
HP gue berbunyi, ringtone-nya memang lagu Terlalu Indah milik Skillful. Di LCD-nya
muncul wajah Tora yang sedang nyengir.
"Halo..." "Hei, dodol! Ke mane aje lu?" Diteleponin mati terus tu HP! Nggak nyadar apa kalu kita
semua pada kelimpungan mikirin lo" Pernikahan gue sampai diundur nih!" Tora merepet
dengan heboh. He" Pernikahan Tora dan Mbak Vita diundur" Gara-gara gue?"" Kok tadi Mama nggak
bilang apa-apa" "Hah"! Yang bener lo"! Kenapa?"
"Karena gue sadar gue belum cukup mendidik adik gue untuk jadi manusia bertanggung
jawab! Daripada nantinya gue pusing mendidik adik dan istri gue, mendingan gue nggak
nikah dulu!" Gue baru sadar omongan Tora tentang menunda pernikahannya itu cuma ngibul.
Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kampret! "Huuu! Nggak lucu, tau! Gue kira pernikahan lo mau diundur beneran!"
"Hehe... nggak lah. Gue malah kepinginnya cepet-cepet aja."
"Kenapa" Udah nggak sabar?" Gue cengengesan biarpun tau Tora nggak bisa
melhiatnya. "Bukan! Udah nggak tahan dengerin semua anggota panitia perang dunia mulu kalau
rapat!" Gue ngakak. "Oohh... kasihaaaann!"
"Udah ah, cukup bercandanya. Gue kepingin ngebahas kelakuan lo nih!"
Aduh! "Kelakuan gue yang mana?" tanya gue sok nggak ngerti.
"Kelakuan lo yang sok matiin HP! Sok nggak bisa dihubungin! Kenapa sih lo" Lari dari
kenyataan?" Tuuuhh... bener kan! Lagi-lagi gue disalahin! Siaul!
"Tor, gue tuh kepingin mikir! Kalau gue diteleponin terus, gue jadi pusiiing!" Gue
memutuskan untuk jujur soal alasan gue mematikan HP ke Tora. Sama dia sih nggak perlu
bohong seperti kalau ke Mama.
"Ya kaalu emang mau mikir, mikirin pacar sama keluarga lo ini juga kek! Kita juga
butuh kabar, tengil! Gue kira lo udah kena lemparan botol atau apaaaa gitu pas kerusuhan,
terus amnesia dan nggak ingat lagi untuk kontak kita-kita!" curhat Tora penuh perasaan.
Gue menelan ludah. Apa gue segitu salahnya ya" Gara-gara matiin HP selama dua hari"
"Lo udah telepon Mama" Kasih kabar kek..."
"Udah. Barusan Mama telepon gue. Paaaasss banget waktu gue baru nyalain HP."
"Oh, bagus deh. Lain kali jangan diulangi lagi, oke" Tau nggak, gue udah nelepon HP lo
sejuta kali dari dua hari kemarin, tapi nggak nyambung juga! Tadinya gue berniat ini bakal
jadi telepon terakhir, kalau lo angkat ya syukur, kalau nggak ya gue nggak bakal nelepon lagi
saking keselnya gue sama lo!"
Nggak tahu kenapa, gue malah merasa geli mendengar omongan Tora.
"Yee... ketawa lagi! Eh, sekarang lo telepon Alice deh kalau gitu, dia kasihan banget,
tau! Bolak-balik nelepon ke rumah, nanya udah ada kabar dari lo apa belum."
Waow, setelah Mama, sekarang Tora juga menyuruh gue telepon Alice!
"iya, iyaa... ntar gue telepon."
"Ya udah. Ehh... udah dulu ya! Buseett, gue telepon lo udah tujuh menit nih! Habis deh
pulsa gue... See ya!"
"Dasar pelit!" Gue mencibir, lalu memasukkan kembali HP ke tas selempang kecil yang
gue pakai untuk menyimpan dompet, HP, dan segala macam barang gue kalau pergi-pergi.
Ku pernah mengenal satu cinta... Rasa indah tak pernah kuduga...
Haaa" Bunyi lagi"
Gue melihat wajah Mbak Vita di LCD HP gue. Wah, dia kok bisa sih nelepon persis
setelah Tora nelepon" Sehati banget mereka!
"Halo?" "Halo" Dylan" Aduuuhhh... lo ke mana aja"! Gilaaa... gue nyaris menyerah untuk
nelepon lo nih! HP dimatiin mulu!"
Waah, bahkan kata-kata pembuka obrolannya pun mirip sama susunan kata-kata Tora
tadi! "Ehh... iya, Mbak... lagi butuh waktu buat mikir...," jawab gue kagok. Duh, baru matiin
HP aja, orang-orang udah pada heboh gini. Gimana kalau gue nggak pulang-pulang lagi"
Ahh... kok malah mikirin yang jelek-jelek sih"!
"Lan, Lan... lo kayak anak kecil aja! Gue tau lo pasti shock gara-gara kejadian rusuh itu,
tapi lo nggak perlu mendadak nggak bisa dihubungi gitu dong. Kasihan nyokap lo, kasihan
bokap lo, kasihan Alice, kasihan gue... kalau Tora sih nggak perlu dikasihani, hehe..."
Gue terdiam, tapi detik berikutnya ngakak selebar-lebarnya. Mbak Vita memang kocak,
lagi marah aja bisa sambil bercanda!
"Iya deh, Mbak, sori, haha... Ini juga makanya aku nyalain HP..."
"Ya deh, gue maafin, asal habis ini nggak pakai aksi mogok terima telepon lagi, ya!"
"Beres, Bos!" "Terus ini nih... gue mau tanya kronologis rusuh di konser lo."
Gue terdiam. Sebenernya gue lagi nggak kepingin membahas masalah itu. Mengingatnya
lagi saja, gue sudah bergidik, apalagi kalau disuruh menceritakan ulang.
"Wah, sori, sori, Lan... gue nggak peka, ya" Lo pasti lagi nggak kepingin ngebahas.
Udah, lupain aja permintaan gue yang tadi."
Nah, itu tahu. "Mmm iya, Mbak. Makasih."
"Ya udah, take care ya di sana. Gue doain semuanya lancar-lancar aja. Lo juga banyak
berdoa, biar tenang."
"Iya, Mbak. Thanks yaa."
Mbak Vita memutus sambungan teleponnya, dan nyariiiss saja gue memasukkan HP ke
dalam tas lagi, waktu HP itu berbunyi. Busyet, kenapa bisa beruntung gini sih" Apa sudah
waktunya gue punya asisten pribadi untuk menjawab telepon-telepon yang masuk"
Hah" Papa" "Halo?" "Dylan," kata Papa dengan suaranya yang berat di seberang sana. Gue langsung tegang.
Gue bisa dengan mudah menghadapi omelan Mama, kebawelan Tora, dan nasihat-nasihat
Mbak Vita, tapi kalau Papa... gue selalu berusaha sebisa mungkin nggak membuat Papa
marah. "Iya... iya, Pa?"
"Kamu baik-baik saja, kan, di sana?"
"Ehh... iya, Pa, baik-baik aja kok..."
"Ya sudah, Papa cuma kepingin tau itu saja. Jangan matikan HP lagi."
Gue menggigit bibir. "Iya, Pa, iya... Aku nggak matikan HP lagi kok."
"Bagus. Kalau ada apa-apa, jangan lupa kabari Papa, Mama, Tora, Vita, Alice, pokoknya
kami semua." Waduh, wajib siap sedia pulsa yang banyak nih, kalau yang harus gue telepon
serombongan orang begini. "Iya, Pa."
"Dan jangan bertingkah seperti anak kecil lagi. Kamu sudah dewasa."
GLEK! Jangan bertingkah seperti anak kecil lagi, kata bokap gue! Huuuh, kadangkadang gue berharap gue ini masih anak kecil, jadi nggak bakal dimarahi kalau bertingkah
seperti anak kecil juga! "Ya sudah. Jaga diri baik-baik di sana. Telepon Alice, ya" Kasihan dia."
Papa menutup teleponnya, dan gue merasa dapat serangan sakit gigi mendadak. Dari
dulu memang bokap gue irit bicara. Seperlunya saja, bener-bener bertolak belakang dengan
anggota keluarga gue lainnya, yang... mmm... bawel. Tapi kalau Papa sudah angkat bicara,
gue selalu nggak berkutik.
Bahkan Papa pun menyuruh gue telepon Alice!
Hah" HP gue bunyi lagi?"" Ya ampun, siapa sihh"
Lho... Ernest" "Halo?" "Hoi! Akhirnya nyala juga HP lo!"
"Iya, Nest. Baru gue nyalain lima belas menit, tapi gue sudah terima telepon dari empat
orang yang berbeda. Lo yang kelima."
"Makanya, jangan sok nggak nyalain HP!" Gue mendengar Ernest terkekeh. "Lo kayak
pejabat yang ketahuan baru nikah lagi aja, menghindari kejaran wartawan infotainment."
Benar-benar selera humor khas Ernest, slengean dan tajam, tapi konyol.
"Haha, makaseeh. Tapi lo nggak ada di tempat waktu kerusuhan itu terjadi, bro. Gue
gemetar. Gue takut. Dan gue nggak mau telepon-telepon yang masuk malah mengignatkan
gue lagi sama kejadian itu."
"Iya, iya, gue ngerti. Dulu gue juga gitu kok..."
Gue terperangah. "Dulu" Kapan?"" Kok gue nggak tau?"
"Ya waktu lo belum jadi vokalis Skillful lah. Waktu itu Skillful main di Tulungagung,
terus tau-tau aja penonton udah pada berkelahi. Lemparan-lemparan botol lah, sandal lah,
bendera-bendera nggak jelas yang mereka pegang lah... Heran gue, nonton Skillful kok
bawanya bendera yang tulisannya nama band lain, dasar! Gue sebel banget lihat tu bendera
dikibar-kibarkan, kayak kebagusan aja!" Ernest mengomel.
"He" Lo kok jadi ngelantur ngomongnya?" gue menegur Ernest yang omongannya
merembet ke soal bendera yang dibawa penonton konser, bukannya membahas konser yang
rusuh. "Eh iya! Hehehe... sori! Habis gue kesel sih, tu penonton apa nggak bisa baca ya yang
mau manggung tuh Skillful, bukan band yang benderanya mereka bawa-bawa itu! Nggak
penting banget tu bend..."
"Neeesst," gue menegurnya, "lanjut ke cerita rusuhnya aja deh!"
"Ohh iya, iya. Ehem!" Ernest berdeham, sok resmi, "Yah... gitu deh, penonton pada tibatiba saling pukul. Terus dari kelompok kecil, merambat ke lebih banyak penonton lagi, kacau
banget pokoknya! Si Indra aja sampai kena lemparan botol..."
"Oya?" Gue bengong. Berarti gue masih lebih "beruntung" dong, nggak kena lemparan
apa-apa" Indra, yang vokalis Skillful sebelum gue, aja kena lemparan botol gitu.
"Iya. Untung botol plastik doang... tapi dia benjut sih! Sejak itu tuh si Budy jadi galak!"
Gue melongo. "Serius lo?" Sejak itu Bang Budy jadi galak?"
"Lho, emang lo belum tau" Dulu Budy baik banget, lagi! Tapi setelah kerusuhan itu, dia
jadi overprotektif banget. Sama fans juga dia jadi parno, tapi itu demi keselamatan kita juga
sih, Lan..." Gue speechless. Baru kali ini gue tahu Bang Budy dulu orangnya ramah. Gue kira dia
galak begitu bawaan dari orok! Ternyata bukan dari sononya dia galak...
"Yah, gue jadi melantur lagi deh... Gini aja, sekarang lo nggak usah khawatir. Gue
nonton berita, dan kayaknya aksi moshing di konser itu nggak ada faktor kesengajaan kok.
Katanya ada penonton yang nggak sengaja menyiku penonton lainnya, dan yang disiku itu
nggak terima, jadi mereka tonjok-tonjokan. Sebenernya sih nggak papa, tapi ternyata dua
roang yang tonjok-tonjokan itu pada bawa geng, jadilah saling pukulnya menyebar. Belum
lagi orang-orang di sekitar mereka yang merasa nggak terima "keserempet" bogem juga,
jadilah rusuh..." "Oh... gitu" Jadi selanjutnya...?" Selain menonaktifkan HP, gue memang nggak nonton
berita juga dua hari ini. Males lihat tampang gue di TV! Belum lagi kalau infotainmentinfotainment sok tahu itu memberitakan rusuhnya konser dengan hiperbola, huh! Mending
nggak nonton TV sekalian deh!
"Ya selanjutnya lo nyantai aja. Nggak ada grup band yang konsernya nggak pernah
rusuh, Lan. Bahkan penyanyi-penyanyi pop aja konsernya pernah rusuh. Yahh... bukannya
gue bilang itu hal yang harus terjadi atau apa, tapi... sudahlah, pokoknya lo nggak usah
kahwatir. Gue dengar dari Dovan, katanya lo udah turun lima kilo gara-gara masalah
kemaren?" Haah" Lima kilo apa"!
"Ngaco! Gue masih seberat anak gajah baru lahir! Heran, udah nggak slera makan tapi
masih gendut juga nih badan!"
Ernest tertawa sekeras-kerasnya. Siaul. anak-anak memang selalu menjadikan berat
badan gue, yang akhir-akhir ini makin bikin timbangan badan mengeluh kalau gue naiki,
sebagai bahan ejekan kelas wahid.
Selain itu, tentu saja mereka juga masih suka mengejek skill rendah gue dalam
menghafal lirik lagu dan berkomunikasi dengan penonton. Gue jadi bulan-bulanan banget deh
pokoknya kalau kami semua ngumpul. Memang nyebelin jadi anak bawang!
"Nah, udah nggak parno lagi, kan" Gue takut nih..." Nada suara Ernest tiba-tiba berubah.
Gue jadi bingung. "Lho" Tadi nyemangatin, kok sekarang lo malah takut" Takut apa?"
"Takut kalau lo punya banyak pikiran, nanti malam pas di Pekanbaru lo lupa semua lirik
lagu Skillful! Huwahahahaha!" Nah kaan, baru juga gue bilang! Dia seneng banget ngejek
gue! Tapig ue tahu itu cuma bercanda lah. Gue nggak pernah tersinggung atau sakit hati kok
kalau anak-anak mengusili gue. Toh, gue juga sering iseng ganggu yang lainnya.
"Ya deh, ya deehh... mumpung lo nggak ada di sini dan gue nggak bisa nimpuk lo, puaspuasin aja ngejek gue!" kata gue sewot. "Eh, gimana kabar Mbak Lia?" Setelah ngobrol
sampai melantur ke mana-mana, gue baru ingat menanyakan kabar Mbak Lia.
"Baik. Gue nih yang nggak baik, harus jadi bapak rumah tangga, haha! Gue harus
bangun pagi buat masakin Sascha sarapan, terus nganter dia ke sekolah, siangnya jemput,
bikinin makan siang, terus malamnya bikin makan malam, duhh... remuk semua badan gue!"
"Hehe, baru tau deh lo gimana kerja keras Mbak Lia tiap hari," gue balk mengejek,
nggak menyia-nyiakan kesempatan.
"Iya, ya" Pantas aja waktu itu dia sampai bisa jatuh di kamar mandi, pasti dia kecapekan
banget karena kerjaannya banyak begini. Habis ini gue mau pakai sopir aja deh, biar Lia
nggak susah ngantar-jemput Sascha sekolah. Sama nambah pembantu satu lagi ah."
"Nah, bagus tuh. Gue setuju."
"Tau nggak, Lan" Gara-gara kejadian kemarin, gue tambah takut kehilangan Lia. Gue
baru sadar gue kurang perhatian sama dia. Biasa kalau pulang show, gue kecapekan sendiri
terus tidur, udah jarang ngobrol-ngobrol sama dia kayak dulu lagi... Padahal dia kan lagi
hamil ya, harusnya gue ngasih perhatian lebih, bukannya malah ngurangin... duh! Bego
banget gue!" Ernest membego-begokan dirinya sendiri.
"Yah, udahlah, bisa dijadikan pengalaman juga, kan" Experience is the best teacher,"
gue sok menasihati, seolah gue ini konsultan yang biasa menjawab rubrik tanya-jawab
masalah rumah tangga di majalah, dan Ernest adalah pengirim suratnya. Haha!
"Waahh, udah sok bule dia sekarang! Mentang-mentang cewek lo bule ya, Lan?"
Ernest tertawa, tapi gue cuma mesam-mesem nggak jelas. Satu orang lagi yang
mengingatkan gue pada Alice...
"Makanya, lo juga sama cewek lo tuh, diperhatiin! Ntar kalau dia merasa lo nggak
perhatian sama dia, terus dia nyari cowok lain, baru nyaho deh lo!"
Gue menelan ludah dengan susah payah. Ya ampun, Ernest benar! Bagaimana kalau
Alice kecewa banget sama gue yang nggak jelas ini, dan memutuskan untuk cari cowok
lain?"" No way! Pokoknya nggak boleh! Gue nggak mau kayak Ernest... nggak mau harus ada
sesuatu yang menimpa Alice dulu baru gue merasa nggak bisa kehilangan dia. Mama, Tora,
Mbak Vita, dan Papa bisa saja menyuruh-nyuruh gue menelepon Alice, tapi tetap kalimatkalimat Ernest barusan lah yang membuat gue nggak bisa berkelit.
"Ehh... iya, Nest, beres deh pokoknya! Ya udah ya, ini gue mau telepon Alice dulu.
Salam buat Mbak Lia sama Sascha. Nanti gue main ke Bandung deh kalau tur Jawa-Sumatranya udah selesai ya."
"Sipp. Salamin buat anak-anak juga deh. Bilangin, ntar malam manggung yang bener,
jangan ingat yang kemarin lagi, oke?"
"Oke! Bye!" Sambungan telepon dari Ernest terputus, dan gue hampiiirr aja menekan speed dial
nomor HP Alice, waktu melihat ada icon unread message di LCD HP gue. Rupanya ada SMS
yang masuk selaam gue bicara di telepon sama Ernest tadi.
Gue membuka SMS itu. Dari Alice.
From: Sayang Loving is... Not how u GET, But, how u GIVE Not how u KEEP, But, how u SHARE Now how u LISTEN, But, how u UNDERSTAND PS: is that ur definition of ours" If yes... I think, u
don"t understand me enough.
What am I to you" Of course, not someone u can share ur
problems with... Gue bener-bener nggak tau harus bilang apa. Gue nggak tahu kapan Alice mengirim
SMS ini, apa baru tadi dan langsung masuk, atau saat HP gue mati dua hari ini... tapi
membacanya benar-benar membuat gue merasa tertampar.
She"s hurt... Gue cepat-cepat menekan speed dial nomor Alice. Tersambung, tapi dia nggak
menangkatnya. Lice, angkat dong... angkat...
Gue mencoba lagi. Tersambung lagi... tapi masih nggak diangkat.
Apa dia nggak mengangkatnya karena kepingin balas dendam sama gue" Lebih baik gue
SMS dia dulu. Nanti gue coba telepon lagi.
To: Sayang Sorry, my fault. My EVERYTHING u want me to. fool. Can we talk" I"ll tell you Sayangnya, sampai mobil jemputan yang gue naiki sampai di airport, sampai gue
boarding pesawat jurusan Medan-Pekanbaru, sampai pesawat yang gue tumpangi mendarat
di Bandara Simpang Tiga di Pekanbaru... Alice belum membalas SMS gue.
Bahkan ditelepon pun tetap nggak diangkat.
Apa dia juga sebegini cemasnya waktu menelepon gue dan mendapati HP gue mati"
BIAR DIA TAHU RASA! "SI Dylan masih nggak bisa dihubungi?"
"Hmm... tadi dia telepon gue sih."
"Terus" Nggak lo angkat"!" cerocos Grace. Dia langsung mengomel panjang-pendek saat
aku mengangguk. "Lo gimana sih, Lice... Dua hari ini lo panik kaerna Dylan nggak bisa dihubungi. Lo panik
karena fans-fans Skillful pada minta konfirmasi ke lo, atpi lo harus mengaku lo juga nggak tahu
apa-apa karena Dylan nggak cerita sama lo, kenapa sekarang waktu Dylan telepon, lo nggak
angkat?" Grace menyerocos, menyalah-nyalahkan aku dengan segenap hati.
Aku mengentakkan kakiku dengan kesal. Cukup deh aku diomelin! Kan seharusnya aku yang
marah-marah sekarang ini!
"Grace, gue tuh keseeeell banget sama Dylan! Gue benci dia nggak mau cerita sama gue.
Gue benci dia bikin gue khawatir dan gelisah kayak cacing kepanasan! Gue nggak suka
dibeginikan, dan biar saja sekali-sekali dia tahu gimana rasanya nggak bisa menghubungi
seseorang di saat dia bener-bener butuh untuk bicara!" semprotku.
Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Grace termangu, kelihatannya nggak menyangka aku bakal mengomelinya balik.
Saat akhirnya dia bicara lagi, yang diucapkannya justru, "HP lo bunyi tuh."
Benar juga. HP-ku berbunyi. Huh, kalau Dylan lagi, aku nggak bakal mengangkatnya! Biar
saja dia pusing karena aku nggak mau bicara sama dia!
Oh, bukan Dylan ternyata. Ini Cynthia, fans Skillful.
"Halo?" "Alice, ya ampuuunnn, Aliceee!" serunya dengan napas terengah-engah. Kenapa sih dia"
Habis maraton" "Ya, Cyn" Ada apa" Gue belum dapat kabar apa pun dari Dy..."
"Bukan, Bukaaannn! Gue bukan mau nanya apa lo udah dapat kabar! Gue mau nyampein
bad news ke lo!" "B... bad news?" tanyaku dengan perut jungkir-balik. Apa..." Jangan-jangan..."
"Lice, konser Skillful rusuh lagi, Lice, yang di Pekanbaru..."
Aku merasa baru saja ada yang memegang pergelangan kakiku, dan menjungkirku bterbalik
di udara. Lalu melepas pergelangan di pergelangan kakiku itu, dan menjatuhkanku lagi ke tanah.
"Kenapa" Ada apa?" tanya Grace begitu melihat ekspresiku, tapi lidahku terlalu kelu untuk
menjawab. "Gue tau dari Silvia, fans Skillful di Pekanbaru. Dia baru aja dievakuasi dari stadion tempat
Skillful konser, karena di dalamnya udah rusuh banget! Dia langsung telepon gue, makanya
sekarang gue telepon untuk ngasih tahu lo..."
"Tapi... tapi..."
"Banyak yang luka-luka... Tadi Silvia sempat lihat orang-orang yang digotong keluar dari
stadion bersimbah darah..."
Aku merasa mual. Rasanya kepingin muntah saja...
"Tapi itu kan yang gue dengar dari Silvia, mungkin sekarang situasinya sudah membaik, gue
nggak tahu... Gue mau telepon anak-anak milis yang lainnya dulu ya, Lice?"
Aku nggak bisa menjawab. Bahkan mengeluarkan gumaman pun mulutku nggak sanggup.
Tapi Cynthia memutuskan sambungan teleponnya, mungkin mengira aku sudah pingsan, sampai
nggak bisa menjawab pertanyaannya lagi.
"Lice, lo kenapa" Ada apa?" tanya Grace lagi.
Aku menatap Grace seolah nggak mengerti bahasa yang digunakannya. Sedetik kemudian,
tangisku meledak. "Udah, udah... nih, minum dulu deh." Grace menyodorkan segelas minuman padaku, yang
kuteguk sedikit. Siaul, minumannya enak. Segar. Tapi kan aku ceritanya lagi ngambek, mana mungkin jadi
rakus minta minum banyak-banyak"
"Apaan nih?" "Es teh. Gue kasih jeruk nipis dikit," jawab Grace sambil mengambil mug dari tanganku dan
meletakkannya di meja. "Eh, gue udah coba telepon Dylan, tapi HP-nya mati."
Aku nggak bereaksi, bingung antara mau marah, khawatir, atau nangis lagi. Kayaknya semua
masalah ini lebih berat daripada teror-teror Noni dulu. Seenggaknya dulu, walaupun aku punya
masalah, Dylan ada di dekatku. Sekarang" Dia jauh... dan nggak memercayaiku untuk share
masalahnya... Duh, aku jadi kepingin nangis lagi!
"Kenapa ya?" tanya Grace sambil duduk di sebelahku, "Kenapa konser yang di Pekanbaru
ini bisa rusuh juga" Apa penontonnya terinspirasi dari rusuh di Medan?"
"HUSH!" potongku. "Apaan sih, masa konser rusuh bisa terinspirasi"!"
"Lho iyaa... kan bisa aja! Siapa tahu pen..."
Aku nggak tahu Grace mengatakan apa lagi, karena perhatianku teralih dering HP-ku.
Di LCD-nya terpampang wajah Dylan.
WHEN EVERYTHING"S GETTING WORSE
AYO, Alice, angkat dong... Angkat...
"Halo?" Thanks God! "Halo" Say!"
"Masih ingat nelepon?" tanyanya dengan suara judes.
Ampuuunn, dia marah! "Say, aku... aku minta maaf..."
"Forgiven. But not forgotten," katanya dengan suara yang lebih judes lagi.
"Kok... kok gitu sih?"
"Salah kamu sendiri."
Gawaaattt! "Iya, aku memang salah... tapi kok tadi siang aku telepon nggak diangkat?"
"Gimana kalau pertanyaannya dibalik" Dua hari ini AKU telepon kok HP-mu mati"
Kenapa" Perlu berpikir" Perlu menyendiri" Atau puas karena bisa bikin orang lain gelisah
mikirin keselamatanmu?"
Suer deh, seumur hidup gue nggak pernah menghadapi omongan setajam ini! Dan ini...
Alice yang ngomong! Alice yang biasanya bercanda melulu, yang nggak pernah marah...
"Kamu nggak tau gimana paniknya aku..." Alice bicara lagi di seberang sana, tapi kali ini
suara galaknya hilang, digantikan dengan... suara orang nangis?""
Aduh! Kalau dia marah, gue bisa deh terima... tapi kalau nangis..."
Gue nih paling nggak bisa lihat orang nangis! Apalagi kalau pacar sendiri...
Yah, memang sih gue nggak NGELIAT dia nangis sekarang, tapi kan gue TAHU dia lagi
nangis! Gara-gara gue, pula! Dasar Dylan bego! Begoooo!
"Say, aduh... maafin aku, ya" Aku sebenernya kepingin banget cerita sama kamu, tapi
aku nggak mau kamu jadi..."
"Kamu nggak mau aku jadi kepikiran, iya kan" Dylan, lebih baik aku kepikiran, daripada
aku nggak tahu apa-apa! Aku bukan cuma panik, tapi aku ngerasa kalau kamu nggak percaya
sama aku untuk tahu semua masalahmu! Kamu anggap aku masih anak kecil, ya kan" Kamu
kira anak SMA kayak aku nggak bisa bantu apa-apa, kan"!"
Waahh! Sekarang Alice mulai ngomongin umur! Padahal biasanya dia nggak pernah
nyinggung masalah itu! Kacauuuuu... beneran marah nih dia! Mana manggil gue "Dylan",
bukan "Say", lagi!
"Iya, iya... aku tahu aku salah... aku janji nggak bakal kayak gitu lagi..."
Alice terdiam. Gue jadi takut, jangan-jangan dia lagi menyusun kalimat-kalimat tajam
untuk membombardir gue lagi"
"Ya udah. Janji, ya?"
Lha" Marahnya segitu aja"
Memang, Alice itu lucu. Kalau marah nggak pernah bisa lama.
"Iya, aku janji."
"Oke. Mmm... aku denger, konser barusan... rusuh juga?"
Gue bengong. Alice tahu! Tiba-tiba gue merasa berada di atas panggung lagi. Nggak ada moshing seperti waktu di
Medan, hanya saja mendadak makian-makian kasar terdengar di udara, botol-botol
berterbangan, dan beberapa orang mulai terlibat perkelahian... Sekali lagi gue ada di
panggung dengan badan gemetar. Gue nggak percaya semua ini terulang lagi... Gue ngagk
mau percaya semua ini terjadi lagi...
Teriakan Bang Budy lah yang menyadarkan gue, dan memaksa diri gue berlari secepat
mungkin menuju backstage, dan masuk ke mobil bersamanya... Irvan, Dudy, Rey, dan Dovan
entah sudah di mobil lain atau masih di venue, gue nggak tahu... Yang gue dengar hanya
gumam gelisah Bang Budy... dan degup jantung gue yang seperti berkejaran dengan waktu...
Gue merasa baru saja meninggalkan nyawa gue di belakang sana. Yang lari bersama gue
hanya rasa takut... Dalam tiga hari, dua konser Skillful rusuh... Apa lagi yang lebih buruk
daripada itu" Bedanya, saat kembali ke hotel, gue bisa langsung menelepon Alice, bukannya
mematikan HP seperti kemarin. Tapi kalau sekarang dia menyuruh gue cerita...
"Kamu tahu dari mana?"
"Mm... tadi sebelum kamu telepon, Cynthia telepon aku. Dia ditelepon sama fans yang
nonton di stadion dan baru aja dievakuasi keluar..."
Gue memejamkan mata. Berita buruk selalu terlalu cepat menyebar...
"Aku..." Gue menggigit bibir kuat-kuat. Rasanya susah banget cerita. "Aku nggak tahu...
tadi tiba-tiba aja penonton berkelahi... terus mereka saling pukul... Bang Budy langsung bawa
aku naik mobil ke hotel..."
"Tapi kamu nggak papa, kan" Kamu nggak kenapa-napa, kan?"
"Nggak... aku nggak papa. Aku baik-baik aja."
Gue bisa mendengar Alice mendesah lega.
"Besok ke mana" Kota apa?"
"Besok..." Gue meraih kertas catatan schedule milik Dovan yang ada di atas meja dan
membacanya. "Besok ke Batam."
"Apa Bang Budy nggak minta supaya tur kalian ditunda dulu" Kalau seperti ini..."
"Aku nggak tahu. Anak-anak pada belum balik ke hotel, jadi Bang Budy belum
ngomong apa-apa, mungkin nanti. Tapi kalau rusuhnya begini... bukan karena ada unsur
kesengajaan, mungkin tur bakal tetap jalan terus..."
"Aku khawatir..."
"Aku juga." "Pulang aja, Lan."
"Aku nggak bisa... aku harus nunggu keputusan dari Bang Budy dulu."
"Aku nggak mau kamu kenapa-napa! Aku nggak mau kayak Ernest, pas Mbak Lia
dibawa ke rumah sakit baru merasa khawatir! Aku harus mencegah sebelum sesuatu yang
buruk menimpamu!" Gue bengong. Alice bilang dia nggak mau seperti Ernest, yang saat Mbak Lia kenapanapa, baru merasa khawatir"
"Tapi aku terikat kontrak...," kata gue bingung.
"Batalkan kontraknya! Batalkan!"
Hah" Batalkan kontrak" "Lho, nggak bisa gitu dong, Say..."
"Aku nggak mau tahu, Lan! Aku... aku... takut kamu kenapa-napa... Balik ke Jakarta, ya,
besok" Ya?" "Tapi kalau aku batalkan kontrak secara sepihak, manajemen Skillful bisa kena penalti...
dan pasti aku yang harus bayar, karena salahku..."
"Bayar aja!" GLEK! Bayar aja, katanya..."
"Lan, aku punya feeling nggak enak... Kamu pulang, ya, besok" Naik flight paling pagi,
kalau bisa. Sementara tolak dulu tawaran manggung, apalagi kalau venue-nya lapangan sama
stadion..." Gue tambah melongo. Alice kedengarannya panik banget, setengah histeris, malah.
Tapi gue kan nggak bisa memenuhi permintaannya. Membatalkan kontrak nggak
segampang itu. Bayar penalti mungkin bukan masalah buat gue, tapi gimana dengan Bang
Budy" Gimana dengan profesionalitas manajemen Skillful" Dan kalaupun yang ini bisa
dibatalkan, kontrak-kontrak selanjutnya sudah menunggu. Manajemen biasanya menerima
tawaran kontrak tiga bulan sebelum tanggal show. Masa semua itu harus dibatalkan juga"
"Sayang, aku ngak bisa... Aku kan harus mematuhi kontrak. Lagi pula, konser berikutnya
kan nggak mungkin rusuh lagi. Masa rusuh terus sih," gue berusaha membujuk Alice.
"Memangnya ada yang bisa jamin berikutnya nggak bakal rusuh lagi" Ini aja udah dua
kali! Pokoknya pulaaangggg..." Alice tersedu-sedu di telepon. "Pulang, Lan, pulaaangg..."
Duh! Gimana nih" Apa gue iyain aja dulu, ya"
Ah, nggak, gue nggak boleh bohongin dia lagi, nanti dia maalh tambah marah kalau tahu
gue bohong! "Say, aku janji aku nggak bakal kenapa-napa. Tinggal empat kota lagi kok, terus aku
balik Jakarta. Kamu jangan gitu ya?"
"Pulaangg... hiks... pulaaangg!"
Waduh, nggak bisa dibujuk nih! Repot! Padahal sebelumnya Alice nggak pernah
merajuk kayak anak kecil gini!
"Aku bener-bener nggak bisa... Aku kan harus profesional, Sayang..."
"Iya deh iya, pentingin aja tuh sana profesionalitas kamu! Memang kamu nggak mau
denger omongan aku!"
Tut tut tut tuuuttt... Haah" Alice menutup teleponnya"! Ngambek LAGI?""
Gilaaa, padahal tadi baru juga baikan!
Telepon lagi, Dylan, cepat telepon lagi!
Gue memencet speed dial nomor Alice, tapi nggak tersambung. Damn, dia langsung
matiin HP rupanya. Gimana nih" Gimanaaa"
"Arrrrrgggggghhhhhh!" Gue menjerit sekeras-kerasnya, dan menendang dinding kamar
hotel sekuat tenaga. Sebodo amat! Mau ngambek ya ngambek sana!
*** Seperti dugaan gue, Bang Budy nggak ada niatan sedikit pun untuk membatalkan kontrak dan
memboyong kami semua kembali ke Jakarta. Dia kan orang yang strict banget, pantang
mengecewakan klien yang sudah mengontrak Skillful. Lagi pula, dari laporan yang diberikan
pihak polisi, rusuh yang terjadi di Pekanbaru itu bukan karena unsur kesengajaan juga, sama
seperti yang terjadi di Medan, dan nggak ada hal yang bisa menghambat Skillful melanjutkan
tur. Jadi sekarang, kami berada dalam pesawat dengan rute penerbangan Pekanbaru-Batam.
Dan mungkin sudah bisa ditebak, gue dan Alice perang dingin. Sesudah aksi merajuk
kayak anak kecilnya semalam, dia mematikan HP. Waktu tadi pagi gue telepon, HP-nya
sudah aktif, tapi dia nggak mengangkat telepon dari gue.
Padahal gue redial sampai dua belas kali! Tetap nggak diangkat!
Huh, bener-bener deh gue nggak butuh Alice ngambek di saat kayak gini! Gue udah
pusing gara-gara semua konser rusuh itu, tapi kenapa cewek gue sendiri malah bikin gue
tambah puyeng" Kenapa dia nggak seperti Mbak Sita, istrinya Dovan, yang menelepon untuk
menghibur dan menenangkan Dovan sampai tengah malam" Kenapa Alice malah merengekrengek minta gue pulang" Kenapa dia nggak mengerti gue"
Yah... gue tahu, dia pasti mengkhawatirkan gue, tapi gue kan bukan anak kecil lagi! Gue
bisa jaga diri. Setahun lebih gue pacaran sama dia, dan gue sudah konser ke mana-mana
(bahkan ke kota-kota kecil yang namanya nyaris keselip di peta Indonesia!), toh gue baikbaik aja, kan" Sekarang, hanya karena ada orang-orang goblok yang lempar-lemparan botol
di konser Skillful dan bikin konser itu kacau, Alice memaksa gue pulang"
Oh God... ternyata di dunia ini ada masalah yang lebih bikin pusing dari masalah debat
kusir Nantulang Uci dan Nantulang Maria soal warna kebaya keluarga untuk pesta Tora dan
Mbak Vita! Gue berusaha tidur di pesawat, tapi bunyi mesin pesawat kecil yang berisiknya ngalahngalahin bunyi mesin bajaj ini benar-benar bikin kantuk gue ngibrit. Ahh, tapi gue yakin
kalaupun bunyi mesinnya nyaris-tak-terdengar sekalipun, gue tetap nggak akan bisa tidur.
Gue takut malah nanti mimpi buruk tentang Alice yang merengek-rengek menyuruh gue
pulang! Belum lagi kata-katanya soal dia yang punya feeling nggak enak itu...
Ya Tuhan, semoga konser nanti malam nggak rusuh lagi.
Dan semoga pesawat ini nggak jatuh ke laut... Bunyi mesinnya bikin ngeri!
*** Makasih, Tuhan, makasiiihhh...
Konser Skillful nggak rusuh lagi! Yeeesss!
Padahal gue udah parno aja dari sebelum manggung, takut kalau ada rusuh lagi.
Memang, banyak upaya sudah dilakukan untuk menghindari rusuh, mulai dari menambah
jumlah aparat keamanan, pemeriksaan ketat sebelum memasuki venue, sampai gue yang
ngotot song list konser ini hanya diisi lagu-lagu slow! Gue takut lagu upbeat bakal membuat
penonton loncat-loncat, dan mungkin tanpa sengaja akan menyiku penonton lainnya dan
memicu perkelahian. Yeah, memang kemungkinan rusuh ditimbulkan lagu upbeat itu kecil banget, taip nggak
ada salahnya dihindari, kan"
Terbukti, konser tadi aman-tenteram-sentosa-damai-sejahtera! Yeeesss! Nggak pernah
gue selega ini sebelumnya setelah selesai manggung. Seperti ada beban berat yang diambil
dari pundak gue! "Hoi! Ikut nggak lo?" Dudy menepuk pundak gue dengan semangat berlebih. Gue jadi
merasa punya beban di pundak lagi: rasa nyeri yang diakibatkan tepukan tangan Dudy yang
sebesar tutup tong sampah itu!
"Ke mana?" "Nyari oleh-oleh," jawab Dovan sebelum Dudy sempat menjawab. "Rey sama Irvan juga
pada mau ikut. Lo nggak?"
"Oleh-oleh apaan?"
"Biasaaa... buat bini!" Dudy memasang tampang seharusnya-gue-nggak-berurusandengan-hal-semacam-ini. "Ini kan Batam, Lan, banyak barang bagus dari Singapura.
Harganya miring! Bini gue nitip tas barunya Louis Vuitton, Sita nitip radio bag-nya Fendi,
terus bininya Dudy nitip sepatu Steve Madden, bini Irvan tau deh nitip apa... duh, kacau deh
kita bapak-bapak disuruh belanja begituan!"
"Katanya, kalau pulang dari sini nggak bawa titipan itu, nasib kita bakal begini!" Dovan
membuat gerakan mengiris di lehernya dengan jari telunjuk, lalu geleng-geleng. "Daripada
kena masalah, mending dituruti deh! Lo sih enak belum punya bini, nggak dititipin macemmacem!"
"Eh, Alice nggak lo beliin apaaa gitu?" tanya Dudy bingung. "Biasanya cewek demen
banget dapat barang bermerek. Lagian, ini kan barang asli, tapi harganya aja kebetulan murah
karena dekat dari Singapura. Gue juga mau nyari sepatu Keds buat manggung nih, punya gue
udah jelek!" Gue menggeleng. Alice nggak pernah minta apa-apa kalau gue tur keluar kota.
Kelihatannya dia juga ngak begitu suka barang bermerek. Gue jadi teringat clutch yang Alice
pakai di MTV Awards, yang dia bilang diambil dari lemari mamanya. Dia lebih suka barangbarang yang unik begitu, bukan yang bermerek.
"Udaahh, ikut aja! Ntar pulang kita makan-makan deh! Ngelepasin stres! Sekalian
ngerayain konser tadi yang bebas rusuh! Yuk!"
Sekali lagi gue menggeleng. Prospek untuk berkeliling kompleks pertokoan menemani
Dovan, Dudy, Rey, dan Irvan membelikan oleh-oleh untuk istri mereka membuat gue malas.
Lagian, gue capek... ngantuk...
"Yee... daripada lo suntuk di sini! Gih, cepetan, keburu tokonya tutup!" Dovan
mengguncang-guncangkan badan gue.
"Memangnya kalian tau toko yang jual barang-barang itu di mana" Salah-salah mlah beli
barang tembakan!" "Ih, geblek ni anak!" Dovan ngakak. "Ya kita nanya sama panitia lah! Ada banyak LO di
bawah sana yang dengan senang hati mau jadi guide dadakan!"
"Ooohhh. Bagus deh."
"Makanya, ikut! Kalau nggak beliin Alice, ya beliin buat nyokap lo deh! Atau pacarnya
Tora, si Vita! Lumayan, buat hadiah pernikahan, kan?"
Gue menggeleng lagi. Mama juga nggak suka barang bermerek. Dan gue udah punya dua
Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiket PP Jakarta-Singapura untuk hadiah pernikahan Mbak Vita dan Tora, jadi gue nggak
perlu nyari lagi. "Udah, biarin deh si Dylan, tepar dia!"
Dovan akhirnya menyeret Dudy keluar dari kamar, menemui Rey dan Irvan di depan
sana. Gue langsung menjatuhkan diri di tempat tidur, dan tertidur nyenyak.
*** Waktu gue bangun, Dovan dan yang lainnya belum kembali. Gue lihat jam, dan ternyata
masih jam setengah sebelas malam. Mereka pasti masih pergi makan, entah Bang Budy ikut
juga atau nggak. Hmm... bete juga ya ditinggal sendirian gini" Mana gue nggak bisa nelepon Alice karena
kami lagi berantem! Gue menyalakan TV, dan menonton beberapa video klip yang diputar di MTV dan VH1,
sebelum akhirnya bosan sendiri dan membulatkan niat untuk jalan-jalan. Pakai topi ah, tapi
ke bar hotel aja. Bar hotel yang gue masuki ternyata penuh pengunjung. Sebagian besar di dance floor,
tapi banyak juga yang duduk minum di bar. FYI, gue tipe oran gyang nggak suka dugem. Ke
pub juga cuma kalau Skillful ada job manggung di sana, atau ada temen yang ultah, karena
ngue nggak suka suasana pub yang bising. TApi daripada mati gaya di kamar" Gue jadi
nyesel kenapa tadi nggak ikut anak-anak aja. Mereka toh belanjanya pasti cuma sebentar,
nggak pakai nawar-nawar kayak Mama kalau ke pasar, dan setelah itu langsung pergi makan.
Kalau gue ikut, pasti kami udah duduk sambil ngobrol di tempat makan yang asyik dengan
perut kenyang. Memang dasar gue aja yang bego!
Gue duduk di bangku yang paling tersembunyi di pojok bar. Untungnya, bangku itu
kosong. Lagu yang diputar DJ kayaknya lagu favorit di bar ini, membuat kaki semua orang
langsung gatal untuk turun ke dance floor. Untung di gue, jadi dapat tempat duduk.
"Corona extra satu," pesan gue ke bartender, dan dia langsung mengambilkan sebotol
dari lemari pendingin, lalu membukakan tutupnya.
Gue meneguk Corona yang gue tuang ke gelas kaca sedikit. Rasa campur aduk"pahit,
manis, asam"bir langsung menyerbu lidah. Asal tahu aja, ini minuman yang paling "aman"
yang bisa lo temukan kalau datang ke bar, sekaligus yang paling nggak bikin kantong bolong.
Dulu si Udik yang mengajari gue tentang itu, saat sebelum gue masuk Skillful. Anehnya,
setelah gue masuk Skillful, yang berarti gue juga lebih sering keluar-masuk pub dan nggak
perlu lagi mengkhawatirkan harga minuman yang membuat kantong bolong sekalipun, gue
tetap selalu minum Corona kalau, dengan terpaksa, ke bar. Nggak tahu kenapa. Karena udah
terbiasa aja, kali. Dan mungkin karena gue nggak kepingin teler di bar juga kayak orangorang mabok lainnya. Bisa gawat kalau gue teler dan kebetulan di bar itu ada wartawan
infotainment! Nah lho, selamat menikmati wajah sendiri di infotainment besok!
"Lho" Dylan?"
Gue nyaris tersedak. Buset, sudah pakai topi begini, masih ada yang ngenalin juga"! Apa
besok-besok gue harus pakai wig juga"
"Hei, sendirian aja?"
Gue menoleh, dan bengong sejadi-jadinya melihat siapa yang tadi menyapa gue.
Regina" "Lo... lo ngapain di sini?" tanya gue bego. Regina tersenyum melihat gue yang
kebingungan. "Gue tadi sore naik flight dari Jakarta ke sini, terus besok mau nyebrang ke Singapura.
Syuting buat iklan terbarunya GloWhite di sana. Kebetulan pada kepingin nyoba jalur ini nih,
katanya sih lebih hemat."
Gue manggut-manggut, merasa semakin bloon. Memang sih, katanya jalur JakartaBatam-Singapura bisa lebih murah dibanding penerbangan langsung dari Jakarta ke
Singapura. Dan hotel yang gue tempati ini kan hotel terbagus di Batam, jadi nggak heran
kalau Regina, yang top model dengan bayaran selangit itu, menginap di sini juga.
"Yang lainnya pada ke mana?" tanya Regina begitu sadar gue duduk sendiri.
"Tadi pergi, nyari oleh-oleh buat istri masing-masing. Gue capek banget tadi, jadi nggak
ikutan." "Oh." Regina tersenyum lagi, dan mau nggak mau gue memerhatikan penampilannya
juga. Gue memang bukan cowok yang ngerti jenis-jenis pakaian cewek, atau tren apa yang
sedang berlangsung di New York-Paris-Milan-Tokyo sana, tapi gue bisa melihat selera
berpakaian Regina sangat high class. Plus,s emua baju selalu kelihatan bagus di badannya.
Seperti sekarang, walau dia cuma pakai kaus tanpa lengan warna putih dan jins, dia kelihatan
cantik banget. Dan dia mengubah model rambutnya juga ternyata. Beda sih dari terakhir
waktu gue ketemu dia. "Lo kelihatannya lagi bete, Lan, ada apa?" tanya Regina lagi, dan gue tersentak. Dia
nggak tahug ue barusan memerhatikan penampilannya, kan"
"Gue" Ohh... eh... nggak tuh. Nggak, gue nggak bete. Baik-bak aja kok."
"Gara-gara konser rusuh, ya?"
"Lo tahu?" "Iya. Kan gue nonton TV juga."
"Oh." Gue menggaruk-garuk kepala, lalu mengetuk-ngetukkan jari ke pinggir gelas
Corona gue. "Mmm... ya namanya konser rusuh, Gin, gue kepikiran juga..."
"I see. Tadi habis konser di Batam sini juga?"
Gue mengangguk. "Untung yang ini nggak rusuh juga. Gue udah takut aja tadi."
"Wajar, Lan, orang takut itu wajar..." Regina tersenyum lagi, dan gue jadi bingung.
Bukannya dia... biasanya selalu "ramah" sama gue" "Ramah" dalam artian "rajin menjamah",
maksudnya. Kenapa sekarang nggak"
Eits! Bukan berarti gue demen dipegang-pegang sama Regina, tapi... ya gue heran aja
kenapa sekarang tangannya nggak gerayangan ke mana-mana.
"Ada masalah lain, ya?" tanya Regina lagi.
"Ah, nggak... itu aja." Gue menggaruk kepala gue sekali lagi.
"Lo nggak bakat jadi bintang sinetron, Lan. Nggak jago akting, hihi..." Regina tertawa
kecil, dan gue langsung malu.
"Iya, ya" Memang sih... gue lagi ada masalah." Gue teringat aksi ngambek Alice.
"Masalah kecil kok tapi."
"Bener" Kelihatannya lo kepikiran banget gitu?"
"Oya?" Gue sok kaget, tapi Regina mengangguk yakin.
"Boleh kok kalau mau cerita-cerita," tawarnya.
Gue tersenyum menatap Regina, dan tahu-tahu aja, cerita tentang aksi ngambek Alice
mengalir dari mulut gue. Gue yang bingung karena Alice menyuruh gue membatalkan
kontrak dan segera kembali ke Jakarta, kepusingan gue yang bertambah karena masih agak
stres setelah mengalami dua konser rusuh tapi malah dijutekin sama pacar sendiri, plus
gimana gue harus mengajak bicara Alice saat sampai di Jakarta nanti, semuanya tiba-tiba
sudah didengar oleh Regina. Hebatnya, dia nggak memotong sekali pun saat gue bercerita.
"Oh, gitu. Hmm... kalau boleh tahu nih, kayaknya beda umur lo sama cewek lo lumayan
jauh, ya" Soalnya waktu di PIM waktu itu, gue lihat dia masih... ehh... muda banget."
"Mmm... iya sih. Dia delapan tahun di bawah gue."
Baru kali ini ekspresi tenang Regina berubah. Dia kelihatan kaget.
"Kenapa" Kaget, ya?" tebak gue.
"Iya sih. Gue nggak nyangka aja bedanya ternyata sejauh itu." Regina tersenyum lagi,
dan gue menyadari kenapa dia bisa jadi bintang iklan dan model dengan nilai kontrak
termahal se-Indonesia. Senyumnya itu lho, manis banget! Dan gue nggak nyangka bahwa dia
teman yang enak diajak ngobrol.
"Tapi nih, mungkin itu menjelaskan kenapa dia bisa ngambek kayak gini..."
"Oya" Memang apa hubungannya?" tanya gue nggak ngerti.
"Iya. Jadi gini nih, dia kan minta lo batalin kontrak terus balik ke Jakarta secepatnya,
kan?" Gue mengangguk. "Ya itu karena jalan pikiran dia masih jalan pikiran orang seumuran
dia. Dia masih belum ngerti yang namanya kontrak dan profesionalitas kerja. Dia belum
paham kalau kita batalin kontrak tuh ruginya banyak banget di kita. Gue nggak ngomongin
soal penalti, karena apa sih susahnya ngeluarin uang demi menyenangkan orang yang kita
sayangi" Yang gue omongin ini soal image. Lo tahu kan, kita menjual kredibilitas kita ke
klien, ke sponsor... Sekalinya kredibilitas itu rusak, let"s say, dengan kita batalkan kontrak
secara sepihak, kita bakal susah lagi dapatnya. Kalau sudah gitu, berantakan deh semua."
"Nah, itu yang gue maksud, Gin!" Gue menepuk meja bar sedikit, dan Regina tersenyum
lagi. Wow, gue betul-betul nggak nyangka Regina nyambung banget diajak ngobrol! Selama
ini gue selalu beranggapan cewek-cewek model secantik dia pasti bolot, lemot, disconnect,
dan semacamnya, tapi malam ini Regina meruntuhkan stereotip itu!
Gue jadi merasa bersalah karena pernah punya paham seperti itu.
"Terus, sekarang, cewek o masih ngambek nih" Lo telepon nggak diangkat?"
"He-eh. Childish banget, ya?"
"Eh, nggak boleh bilang gitu, kali." Regina menepuk bahu gue pelan, dan gue sadar gue
baru saja... menjelek-jelekkan Alice!
Ooohh damn! Gue ngak pernah SEKALI PUN menjelek-jelekkan Alice sebelum ini, tapi
sekarang gue mengatainya childish di depan orang lain"!
"Gue ngerti lo sebel cewek lo nggak bisa ngertiin lo, tapi kan lo juga harus bisa ngertiin
dia. Pasti dia khawatir banget mikirin keselamatan lo. Pasti dia kepingin banget lo mau share
semua masalah sama dia. Dia kan cewek lo, Lan, dia berhak untuk itu."
Great, sekarang gue bener-bener merasa gue manusia paling berdosa di dunia!
"Terus... gue harus gimana?"
"Jadwal lo habis ini padat nggak?"
"Maksudnya... malam ini?" Weits, ngapain Regina nanya gitu" Jangan-jangan...
"Bukaaan! Maksud gue, setelah show di Batam ini. Apa besok lo langsung ada show lagi,
atau ada jeda satu hari gitu?"
"Oh..." Hah, kayaknya otak gue mulai terkontaminasi cara kerja otak si Udik nih! "Dua
hari lagi manggung di Jambi sih. Tapi besok gue flight ke sana."
"Nah, kenapa lo nggak balik Jakarta aja dulu" Lo bisa coba ngajak cewek lo bicara baikbaik. Malamnya, atau besok paginya, lo bisa flight lagi ke Jambi. Gue yakin, sebagian besar
cewek bakal tersentuh kalau dapat "pengorbanan" kayak gitu."
Gue melongo. Regina bukan cuma nyambung diajak ngobrol, tapi dia juga smart banget!
Kayak Mbak Vita! "Ehh... ide gue terlalu norak, ya?" tanya Regina karena melihat gue bengong.
"Nggak, nggak kok. Ide lo bagus banget, Gin. Gue malah nggak kepikiran sama sekali
untuk pulang dulu." "Nah, gue seneng deh kalau masukan dari gue bisa dipakai."
"Thanks a lot, ya, Gin! Nggak tahu deh apa jadinya kalau nggak ada lo."
"Sama-sama, Lan. Sama-sama."
*** Wajah Alice benar-benar kayak melihat setan waktu melihat gue di ruang tamu rumahnya.
Tapi dalam hitungan detik, dia sudah membuang muka, dan berjalan melewati gue dengan
ekspresi dingin, seolah gue ini tembok!
"Say, Say... tunggu dulu!" Gue bangun dari sofa tamu dan memegang pergelangan
tangan Alice, mencegahnya kabur.
"Apaan sih! Nggak usah panggil-panggil gue "Say" segala deh!"
Hah" "Kok kamu ngomongnya gitu?"
"Tanya sama diri lo sendiri! Minggir!" Alice meronta, berusaha melepaskan diri dari
gue. Gue jadi bingung, antara takut menyakiti dia, dan takut Alice keburu ngabur sebelum
gue sempat mengajaknya bicara.
"Alice, tunggu sebentar dong. Aku mau bicara!" Gue akhirnya memutuskan nggak
memanggilnya "Say" dulu, sekadar mengurangi faktor yang bakal membuatnya semakin
marah sama gue. "Bicara saja sana sama Regina Helmy!"
Regina Helmy?"" Kok dia bawa-bawa Regina segala sih"!
"Kenapa" Kaget gue tahu lo ada apa-apa sama dia" Huh, gue memang bego, harusnya
dari dulu gue sadar lo ada apaapa sama supermodel ceking itu! Nggak perlu nunggu sampai
kalian nongol di infotainment segala!"
Infotainment" Apa sih yang nongol di infotainment" Omongan Alice makin ngawur deh
kayaknya... Atau gue aja yang masih lambat loading karena tadi pagi ngejar flight terpagi dari
Batam menuju Jakarta, dan karena itu belum sempat minum kopi"
"Apa sih..." Infotainment apa?"
"Hah, pura-pura nggak tahu lagi! Maaf ya, tapi gue rasa sebelum gue dicampakkan demi
Regina, gue aja yang duluan mutusin lo! Mulai sekarang kita putus! PUTUS!"
Buset! PUTUS?""
"Alice, tunggu... kamu nggak boleh gitu aja bilang putus..."
"Oh, bisa aja! Buat apa gue terus sama lo, kalau gue tahu lo ada main sama cewek lain di
belakang gue" Gue tahu gue memang jelek, sering malu-maluin, konyol, nggak pantes buat
lo, tapi kok lo setega itu sih sama gue"!"
Wah, semakin lama semakin ngaco nih!
"Lice, aku sama sekali nggak ngerti apa yang kamu omongin! Bener, Lice, aku sama
sekali nggak ngerti! Infotainment apa" Main sama cewek lain apa" Dan kamu sama sekali
nggak jelek, malu-maluin, dan konyol seperti yang kamu bilang tadi!"
"Gue benci sama lo, Dylan! Gue benciiiii!" jerit Alice sambil memukul-mukul dada gue,
lalu berlari meninggalkan ruang tamu. Gue bisa mendengar suara pintu kamarnya yang
dibanting dengan keras di kejauhan.
Oh, God... ada apa lagi ini"
"Maaf, Dylan, tadi sebenarnya Tante sudah hampir bilang supaya Dylan pergi saja, tapi
karena Dylan ngotot kepingin bicara sama Alice..."
Tante Lita, nyokap Alice, tiba-tiba sudah berdiri di depan gue, dan menatap gue dengan
pandangan yang nggak bisa gue tangkap apa artinya.
"Maaf, Tante, tapi Alice... Alice kenapa" Dia bicara macam-macam, saya sama sekali
nggak ngerti..." "Dylan, Tante harap kamu ngerti kenapa Tante membela Alice... Dia anak Tante, dan
Tante cuma nggak ingin ada yang menyakiti dia..."
Lho" Ini siapa yang menyakiti siapa" Kok mendadak Alice dan nyokapnya jadi aneh
begini sih" "Tante, saya nggak pernah bermaksud menyakiti Alice. Kalau soal kerus..."
"Kalau kamu nggak bermaksud untuk menyakiti Alice, pasti kamu nggak akan menjalin
hubungan dengan cewek lain."
JDEEEERRR! Kayaknya bener nih bukan otak gue yang lambat loading, tapi memang
Ailce dan nyokapnya yang lagi ngaco omongannya!
"Saya nggak menjalin hubungan dengan cewek lain, Tante. Siapa yang bilang...?"
"Lalu yang di infotainment tadi pagi itu apa?"
"Infotainment... apa?" tanya gue dengan kebingungan tingkat tinggi.
Tante Lita mengernyit. "Kamu benar-benar nggak tau?"
"Apa soal konser di Pekanbaru yang rusuh" Tapi itu kan..."
"Bukan, bukan soal konser rusuh," potong Tante Lita, "tapi berita bahwa kamu pacaran
dengan Regina Helmy."
Gue merasa baru kejatuhan bola boling, tepat di ubun-ubun.
"Saya" Dan Regina Helmy?"?"
"Ada wartawan yang mengambil gambar kalian berciuman. Di Batam. Tadi pagi."
Haaaaaaaaaaaaahhhh"!
"Tolong jelaskan, Dylan. Tante nggak bisa terima anak Tante diperlakukan seperti itu.
Alice itu sangat..."
"Tunggu, Tante, tunggu," kata gue sebelum Tante Lita semakin ngaco. "Tante bilang,
ada yang mengambil gambar saya... dan Regina Helmy... berciuman?"
"Ya. Bahkan baju kamu di gambar itu adalah baju yang kamu pakai sekarang. Apa kamu
masih mau menyangkal?"
Ya Tuhan. Ya Tuhan. Ya Tuhan!
"Tante, saya nggak punya hubungan apa-apa sama Regina, kecuali hubungan kerja! Saya
kebetulan ketemu dia di Batam, karena dia sedang transit untuk ke Singapura. Dan ciuman
itu... itu cuma cipika-cipiki biasa, karena dia akan melanjutkan ke Singapura sementara saya
ke Jakarta. Yang dia cium juga bukan cuma saya, tapi juga semua personel Skillful, bahkan
manajer kami! Itu cipika-cipiki antara rekan kerja... nggak ada artinya..."
Tante Lita tetap pada ekspresinya semula, kelihatan berhasrat melempari gue dengan vas
bunga! Dan astaga! Yang tadi Tante Lita bilang itu... apa benar" Ada wartawan yang mengambil
gambar saat gue cipika-cipiki Regina di Batam tadi pagi, lalu memasukkannya ke
infotainment dan membuat gosip ngawur"
Gue nggak heran kalau Alice muntab kayak tadi. Gue rasa dia meledak begitu melihat
gosip itu. Dia pasti menganggap gue bajingan kelas teri basi; kami sedang perang dingin, tapi
gue malah ciuman sama cewek yang pernah dicemburuinya dan disebutnya model-bego-dariagensi-tolol!
Damn! Belakangan ini gue benar-benar dikorek habis oleh infotainment! Pertama
"sandiwara" pemukulan Yopie, lalu konser Skillful yang rusuh, dan sekarang gosip ngaco
tentang gue yang pacaran dengan Regina! Infotainment busuk!
"Dylan, kamu nggak bohong, kan?"
Gue memejamkan mata, dan menarik napas dalam-dalam.
"Tante, saya sudah mengatakan yang sebenarnya. Tante boleh nggak percaya, tapi saya
jujur, Tante. Saya sempatkan datang ke sini di tengah jadwal tur justru karena saya mau
mengajak bicara Alice setelah kami bertengkar dua hari lalu. Tapi sebelum saya sempat
menyelesaikan masalah itu, infotainment ternyata sudah menciptakan masalah lain yang lebih
berat untuk saya. Itu semua gosip sampah."
Gue coba tersenyum, tapi rasanya pahit. Mungkin gue seharusnya bersyukur sampai
detik ini Tante Lita belum juag menendang gue keluar dari rumahnya.
"Ah... Dylan, Tante juga bingung harus bagaimana. Tante sebenarnya percaya sama
kamu, tapi..." Tapi" "...Tante rasa akhir-akhir ini berat sekali untuk Alice. Alice marah karena dia tahu konser
Skillful di Medan rusuh dari TV, dia khawatir akan keselamatan kamu karena konser
Pekanbaru rusuh lagi, dan sekarang, dia melihat berita kamu menjalin hubungan dengan
cewek lain... Semua itu terlalu berat untuk ditanggung oleh satu orang, Dylan..."
Gimana dengan gue" Gue juga memanggung semua itu sendiri... Ditambah cewek yang
sangat gue sayangi baru saja memutuskan gue karena lebih percaya pada gosip infotainment...
"Nanti Tante akan coba bicara pada Alice, tapi... semuanya tetap tergantung keputusan
Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Alice, ya, Dylan?" Gue bisa apa lagi selain mengangguk"
"Makasih, Tante. Maaf, saya sudah membuat Alice sedih..."
Gue berjalan keluar dari rumah Alice, dan kelimpungan sendiri karena nggak
menemukan taksi. Tadi gue dari bandara langsung ke sini, tanpa sempat pulang ke rumah
dulu. Waktu gue menyalakan HP (yang sejak turun dari pesawat ternyata belum gue nyalakan
lagi) untuk memesan taksi, SMS masuk bertubi-tubi. Dari Papa, Tora, Mbak Vita, Ernest,
Udik, Nantulang Saidah, dan tentu saja... Mama.
From: Mama Apa-apaan kau ini"! Kau masuk infotainment krn ciuman dgn
model video klip kau yg ceking itu di Batam!
Tanpa pikir panjang, gue menelepon HP Mama. Tersambung.
"Halo, Ma..." "Amang, na boha do ho"! Hubereng ho di tipi marsiumaan dohot borua di Batam! Aha
lapatan ni i. Paboa tu au!" 8
Ampun! Mama nggak pernah ngomong bahasa Batak ke gue kecuali lagi benar-benar
marah! "Aku pulang sekarang, Ma. Aku jelaskan di rumah, ya?"
"Kamu nggak bisa pulang! Rumah kita sudah dikerumuni wartawan! Jadi jelaskan
sekarang juga! Haaaa?"" 8 Nak, apa-apaan kamu ini"! Mama lihat kamu di TV ciuman dengan perempuan di Batam! Apa artinya
itu" Jelaskan! LAGU-LAGU NYINDIR "GUE nyesel, Grace, hikss... Gue nyeseeeellll banget pernah kenal sama Dylan! Kalau bisa
ngulang waktu, gue nggak mau deh ketemu sama dia! Nggak mau ngefans sama dia! Nggak mau
pacaran sama dia! Hiiiikkksss..."
Srooottt...! Aku mengeluarkan hasil produksi hidungku di tisu. Grace mengernyit ngeri
mendengar bunyinya, tapi aku nggak peduli.
"Harusnya gue tahu hikss... kalau gue ini nggak pantas buat dia! Har
usnya gue tahu hiksss... setelah kejadian dengan Cindy dulu, kalau Dylan nggak mungkin bisa tahan sama cewek kayak
gue! Dia butuh cewek cantik, modis, sophisticated, sementara gue nggak kayak gitu! Huaaaaaaa!
Hiiikkssss..." "Udah dong, Lice, udah... jangan nangis gitu lagi..."
"Cowok gue selingkuh, Grace, SELINGKUH! Dan se-Indonesia tahu karena dia selebriti!
Se-Indonesia tahu I"ve been dumped! Muka gue mau ditaruh di mana, Grace" Di mana?"?"
"Di situ aja, jangan jauh-jauh. Ntar ilang," Grace cengengesan. Edan!
"Iiihh, kenapa sih lo nggak bisa serius" Gue ini lagi marah, sediiiihh, kecewa! Gue kepingin
nabok orang, rasanya!"
Grace langsung mundur teratur. "Eh, gue nggak ikut-ikutan deh ya kalau udah berhubungan
sama tabok-tabokan..."
"Makanya, lo kasih saran yang serius dong!"
"Iya sih, Lice, gue tahu pasti sakit banget buat lo, setelah semua kejadian belakangan ini,
tiba-tiba lo lihat lagi Dylan di infotainment tadi pagi... tapi pa nggak sebaiknya lo dengerin dulu
semua penjelasan dari dia?"
"Nggak ada penjelasan yang perlu gue dengar lagi, Grace. Semuanya udah jelas! Dylan
nyeleweng, sama Regina Helmy! Sekarang gue ngerti kenapa dia nggak mau waktu gue suruh
balik ke Jakarta secepatnya! Pasti dia lagi asyik sama Regina, makanya nggak mau pulang!
Huaaaaaa..." Aku menangis sekencang-kencangnya. Sebelumnya aku nggak pernah terpikir
seperti itu, tapi begitu gagasan itu muncul di kepalaku, aku langsung sadar itu mungkin saja
terjadi. Huuuhh! Dan Dylan pakai sok bilang dia nggak bisa pulang karena terikat kontrak, pula!
Kontrak cinta sama Regina Helmy sih iya!
"Tapi... kata nyokap lo, tadi siang Dylan datang ke sini?"
"Oh. Itu." Aku membersit ingusku lagi di tisu. Sekali lagi Grace mengernyit jijik. "Dia mau
ngajak gue bicara, tapi gue nggak mau. Huh, pasti dia ketakutan setelah tahu beritanya sama
Regina sudah tersebar di infotainment! Dia pasti takut gue sudah membongkar semua aibnya,
makanya dia datang ke sini mau membujuk gue! Memangnya dia kira gue bego, apa?"
"Memangnya tadi dia bilang apa aja?"
Aku mengusap air mataku yang berleleran di pipi, dan berusaha mengingat-ingat semua
omongan Dylan siang tadi.
"Dia berlagak pura-pura nggak tau! Waktu gue bilang gue sudah tahu dia ada main sama
cewek lain, dia malah nanya main sama cewek lain apa"! Huh! Dia kira gue bakal percaya katakatanya lagi"! No way!"
Grace diam, sepertinya dia sedang memutar otak.
"Lice, sori nih, tapi gue rasa... Dylan nggak mungkin deh nyeleweng."
"Hah"!" pekikku kaget. "Grace, tolong deh! Gue butuh bukti macam apa lagi" Di infotainment
ada gambar dia ciuman sama Regina, Grace! CI-U-MAN!"
"Tapi itu kan cuma cipika-cipiki biasa, Lice... Di kalangan seleb seperti Dylan, itu nggak
berarti apa-apa." "Oh yaaa?" tanyaku sinis. "Dan kalaupun itu nggak berarti apa-apa, memangnya aku bakal
percaya Dylan benar-benar nggak neyeleweng" Ayolah, Grace, mana ada cowok yang bakal milih
gue kalau ada cewek seperti Regina Helmy di depan muka?"
"Ada. Dylan, kan?" Grace mengedipkan sebelah matanya sambil cengengesan.
"Huuuhh! Bodo ah!" Aku melempar bantal ke muka Grace, tapi dia dengan sigap
menangkapnya. "Gue masih nggak percaya Dylan neyeleweng. Lo harusnya dengerin penjelasan dia dulu
tadi. Lagian, dia bukannya masih tur Sumatra" Kenapa dia ada di Jakarta" Jangan-jangan dia
sengaja balik ke Jakarta buat ngajak lo bicara, Lice?"
"Hah! Siapa tahu malah dia mau mutusin gue duluan sebelum gue yang mutusin dia karena
lihat berita di infotainment!"
"Ah, ngobrol sama lo memang susah kalau lo lagi emosi begini." Grace berdecak lalu turun
dari ranjangku. "Lho, lo mau ke mana?"
"Pulang aja deh. Ngasih saran ke lo nggak didengar, juga."
"Eeehhh... jangan ngambek gitu dong, Grace! Gue lagi broken heart nih, baru putus! Gue
butuh lo buat jadi teman curhat, hikss..." Aku mulai banjir air mata lagi. Kenapa sih, aku baru
putus, tapi temanku malah mau ngabur" Apa kabarnya sahabat setia yang diam mendengarkan
semua curhatku (seperti yang di film-film itu lho), membelai rambutku saat aku patah hati dan
berkata bahwa dia mengerti perasaanku" Grace malah membela Dylan!
"Habisnya, lo childish gitu sih..."
"Gue" Childish?"
"Iya. Gue rasa lo masih marah sama Dylan karena dia nggak menuruti rengekan lo untuk
membatalkan kontrak, jadinya lo gampang tersulut emosi waktu nonton gosip nggak bener
tentang Dylan nyeleweng itu."
"Hah" Jadi gue yang salah, gitu?"
"Gue nggak bilang lo salah. Gue cuma menyayangkan lo nggak ngasih Dylan kesempatan
untuk bicara. Gimana kalau dia menganggap serius kata-kata lo untuk putus?"
Aku tercekat. Beberapa jam terakhir ini, sejak aku membanting pintu kamar di depan Dylan,
lalu Dylan pergi dan Grace datang, aku sama sekali nggak memikirkan itu. Yang berputar di
otakku cuma sakit hati karena Dylan tega-teganya menduakan aku. Tapi sekarang setelah Grace
bilang seperti itu, aku jadi kepikiran...
Bagaimana kalau Dylan menganggap serius kata-kata "putus"-ku"
"Oh, gue memang serius kok! Siapa juga yang masih mau jalan sama dia!"
"Ahh, Alice, Alice... lo nggak ingat gimana dulu lo memuja Dylan" Lo nggak ingat gimana
dulu lo nyaris nggak percaya waktu dia mulai PDKT ke lo" Ke mana semua rasa itu sekarang"
Masa cuma gara-gara gosip ngawur di infotainment, kalian putus sih?"
"Grace, beberapa bulan ini dia sudah nggak menghargai gue lagi untuk berbagi masalah...
dan belakangan dia mulai nggak setia juga, apa lagi yang harus gue pertahankan?" tanyaku getir.
Mengingat saat-saat manis bersama Dylan malah membuat sakit hatiku semakin parah. Aku harus
mulai melupakannya. "Tapi Dylan..." Grace menatapku dalam, lalu menggeleng. "Gue nggak nyangka bakal
berakhir seperti ini... Kalian ke depannya bakal gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana. Meneruskan hidup masing-masing...," jawabku (sok) nggak
butuh. Mendadak aku jadi pahit membayangkan hari-hari ke depan yang harus kulalui tanpa Dylan.
Nggak akan ada lagi acara-acara asyik seperti MTV Awards yang akan kudatangi bersamanya,
nggak akan ada lagi Dylan yang menjemputku dengan motornya di saat dia libur show, aku nggak
akan bisa lagi bertemu Tante Ana, Bang Tora, Mbak Vita...
O-mi-God! Bang Tora dan Mbak Vita..." Pernikahan mereka! Aku kan sudah setuju untuk jadi
penerima tamu! Bahkan bajuku pun sudah dijahitkan! Bagaimana aku harus membatalkannya"
"Grace... gue lupa... gue sudah setuju untuk jadi penerima tamu di pesta pernikahan Bang
Tora nanti...." "So?" Ihh, Grace lemot juga ternyata! "Ya gue kan nggak mungkin terlibat di acara keluarga Dylan
kalau gue udah nggak punya hubungan apa-apa sama dia lagi!" gerutuku kesal. "Gimana dong?"
"Acaranya masih lama?"
"Tiga bulan lagi!"
Aku mondar-mandir dengan panik. Gimana aku harus bilang ke Tante ana bahwa aku
kepingin mengundurkan diri jadi penerima tamu" Beliau pasti menahanku, apalagi kalau tahu
alasannya adalah karena aku dan Dylan sudah putus. Aku masih ingat, terakhir kali aku dan
Dylan putus, Tante Ana lah yang berinisiatif membuat kami balikan. Aku nggak akan kaget
seandainya kali ini Tante Ana melakukan hal yang sama.
Hanya saja, kali ini situasinya berbeda. Dulu aku putus sama Dylan bukan karena aku mau,
tapi karena harus... supaya aku nggak diteror lagi oleh Noni. Tentu saja, waktu itu aku sayang
banget sama Dylan, dan nggak menolak untuk balikan, tapi sekarang..."
Membayangkan Dylan mengkhianatiku dengan Regina Helmy membuatku mual. Apa saja
yang sudah mereka lakukan di Batam" Jangan-jangan malah selama ini tanpa sepengetahuanku
Regina selalu ikut kalau Dylan promo tur bersama Skillful...
Ya Tuhan... aku benar-benar tak tahan memikirkannya...
"Eh, ini lagu apa sih" Lucu, ya?"
Grace berjalan menuju radio yang kutaruh di pojok kamar dan membesarkan volumenya.
Aku langsung mengenali lagu yang dimaksud Grace. Itu lagu yang kudengar dulu, saat aku
merasa beruntung memiliki pacar seperti Dylan.
Kau pacar yang sempurna Baik, tampan, dan kaya Tak hentinya kubanggakan di depan mereka
Semua orang bilang Beruntungnya diriku Dapatkan pacar sepertimu...
Haha, rasanya aku ingin tertawa. Lirik lagu itu sangat nggak cocok denganku sekarang.
Tapi sayangnya kau buatku kecewa
S"lama ini kau telah berdusta
Teganya dirimu selingkuh di belakangku
Hingga membuatku malu Menyesal diriku t"lah membanggakan dirimu
Aduh, mana tahan, ku malu...
(Mana Tahan " SHE) Grace sepertinya tercekat mendengar lirik lagu itu, lalu ia menoleh menatapku. Aku cuma bisa
bengong dan balik menatapnya. Dulu, aku hanya mendengar bait pertama lagu ini dan nggak
memerhatikan refrainnya, tapi sekarang...
Aku salah. Lagu ini ternyata masih sangat cocok untukku. Huhuhuhu... siaaaallll!
*** Aku sedang bergelung di tempat tidur sambil sesenggukan saat ada yang mengetuk pintu kamar.
Aku menyeret kakiku menuju pintu dan membukanya. Ternyata Mama.
"Boleh Mama masuk?"
Aku mengangguk, lalu menyeret kakiku menuju ranjang dan bergelung di sana lagi. Mama
menatapku iba. "Alice, tadi Dylan sudah menjelaskan semuanya ke Mama."
Aku hanya mengerjap, nggak memberikan reaksi lainnya.
"Dia bilang, dia nggak ada hubungan apa pun kecuali hubungan kerja dengan cewek itu,
Lice. Dia nggak selingkuh. Dan soal ciumannya itu... itu hanya cipika-cipiki biasa. Yang dicium
Regina bukan hanya dia, tapi juga semua personel Skillful, bahkan manajer mereka."
"Itu kan kata dia," gerutuku ketus. "Dylan itu pintar mengarang lirik lagu, Ma, pasti dia juga
pintar mengarang cerita bohong!"
Ya ampun, aku mulai jayus dan nggak nyambung rupanya. Mama sampai bengong
mendengar kata-kataku, taip aku kan ceritanya lagi patah hati, nggak ada yang akan
menyalahkanku kalau aku jadi error sedikit.
"Mama rasa, ada baiknya kamu sedikit percaya sama dia. Mama... nggak yakin dia selingkuh."
"Ih, Mama! Mama sama aja deh kayak Grace! Kurang bukti apa lagi, Ma" Dylan muncul di
sejuta infotainment sedang mencium cewek itu! Aku yakin, Bu Parno udah nggak sabar
menyebarkan gosip hot itu sama ibu-ibu sekompleks!"
"Lho, kok malah bawa-bawa Bu Parno sih?" tanya Mama bingung. Aku cemberut. Masa sih
Mama nggak tahu kemampuan tetangga sebelah rumah kami itu untuk menyebarkan gosip"
Apalagi ini gosip tentang tetangganya sendiri! Pasti semangat "pendistribusian" gosipnya akan
berlipat ganda! "Tapi, Lice," Mama berjalan mendekat lalu duduk di ranjangku, mengabaikan intermezzo
ngawurku tentang Bu Parno tadi, "Dylan itu anaknya baik banget. Dia juga sayang banget sama
kamu. Mama dan Daddy bisa melihat itu, makanya kami mengizinkan kalian pacaran."
"Ah, Ma, mungkin dia dulu memang sayang banget sama aku, tapi sekarang... setelah ada
cewek seperti Regina di hadapannya, perasaannya ke aku pasti sudah gone with the wind! Lihat aja,
dia bahkan sudah nggak mau berbagi tentang masalah rusuhnya konser denganku, itu kan bukti
kalau dia sudah mulai nggak menghargai aku..."
Aku merasakan tenggorokanku tercekat, dan mataku mulai memanas. Dalam hitungan detik,
air mataku berjatuhan. Aku benci sekali mengingat perbuatan Dylan yang itu.
"Aduh, Sayang...," Mama memelukku. "Tapi kalau apa yang dibilang Dylan itu benar" Mama
nggak mau kamu sampai salah ambil keputusan."
"Aku nggak akan nyesel, Ma. Keputusanku sudah bulat. Aku nggak keberatan ditinggaltinggal, nggak keberatan Dylan cuma punya waktu sedikit untuk aku, tapi kalau dia sudah mulai
selingkuh sama cewek lain, aku... aku nggak bisa terima..."
*** Mama keluar dari kamarku setelah kira-kira setengah jam menenangkanku yang cengeng. Mama
juga membuatkanku sup ayam jagung yang enak banget, dan menyuapiku di tempat tidur, hal
yang, seingatku, terakhir dilakukannya saat aku kelas dua SD. Aku jadi merasa lebih baik.
Seenggaknya aku tahu kalaupun aku sudah nggak punya pacar, aku masih punya Mama yang
peduli padaku. Sayang, Daddy sedang ke Melbourne untuk menemui Auntie May dan Uncle
Dave. Aku yakin, dia belum tahu apa-apa, karena infotainment Indonesia kan nggak masuk kriteria
untuk ditayangkan di televisi sana. Mungkin nanti Daddy akan tahu dari Mama. Atau sudah"
I"m wondering, what would he do if he know"
Apa Daddy bakal mendatangi Dylan, dan melabraknya karena sudah membuatku patah hati
begini" Ah, aku nggak mau kalau Daddy sampai mencarinya untuk memarahinya. Bukan karena aku
masih peduli sama Dylan, tapi karena aku nggak mau Dylan mengira aku hancur karena dia. Aku
nggak mau Dylan sampai menganggapku lemah. Begini-begini, gengsiku masih tinggi.
Hhhh... tapi kok aku sudah kangen padanya"
Sudah, sudah, daripada melamun dan jadi kepikiran terus, lebih baik aku cari kerjaan!
Aku meraih laptop-ku dari dalam tasnya, menyambungkan Internet, dan menghidupkan
Yahoo! Radio di Yahoo! Messenger-ku. Aku trauma menyetel radio biasa gara-gara mendengar
lagu tadi siang. Aku nggak mau mendengar lagu yang "menyindir"-ku lagi...
Yahoo! Radio memutar Tattoo milik Jordin Sparks, membuatku melongo sejadi-jadinya.
Judulnya mengingatkanku pada Dylan! Pada tatonya! Hikss...
Duh, Yahoo! Radio ternyata juga punya lagu "nyindir"!
Untung Tattoo sudah mencapai bagian akhir, jadi lagu itu sudah habis terputar sebelum aku
sempat jadi cengeng lagi.
Tapi mendengar lagu berikutnya, air mataku malah semakin tumpah-ruah.
IT"S OVER (AGAIN) "THANKS ya, Dik, you"re my best pal!"
"Ah, sama-sama. Asal nanti kalau adik gue yang centil itu ngintip-ngintip, jangan lo ajak
ngobrol ya, bisa kege-eran dia!"
"Sip!" Gue mengacungkan jempol, dan merebahkan diri di ranjang Udik, teman kuliah
gue (iya, iya, gue tahu gue lagi cuti kuliah, tapi kan Udik tetap statusnya "temen kuliah"
gue!). Setelah menjelaskan tentang kenapa gue bisa ada di infotainment dengan berita mencium
cewek di Batam lewat telepon pada Mama tadi siang, gue langsung menuju rumah Udik. Mau
gimana lagi, coba" Rumah gue penuh dikerubungi wartawan, padahal tiket Jakarta-Jambi gue
adalah tiket yang gue pesan untuk tanggal besok! Gue nggak mungkin tidur di jalanan, kan"
Tapi kalau gue nekat pulang ke rumah, itu cari mati namanya!
Untung gue kepikiran untuk pergi ke rumah Udik. Gue sedang bener-bener nggak mood
menjawab pertanyaan para wartawan itu. Terserahlah mereka mau menggosipkan gue apa,
gue nggak peduli lagi! Infotainment sudah membuat gue kehilangan Alice...
Yah, begitulah. Gue memutuskan untuk numpang di rumah Udik semalam. Lebih baik
daripada menginap di hotel, karena di rumah Udik gue bisa sekalian punya teman ngobrol.
Tampangnya memang sempat kaget waktu melihat gue muncul di teras rumahnya, tapi dia
langsung dengan sigap menyeret gue masuk, karena kepingin mendengar sendiri semua
penjelasan tentang pemukulan Yopie, rusuhnya konser Skillful, dan gue yang, menurut istilah
dia, punya mainan baru bernama Regina Helmy.
Hah! Gue nggak nyangka Udik ternyata penyimak infotainment juga!
"Hoi! Bengong lo! Ayam tetangga gue pada mati semua nanti!" Udik menepuk kaki gue
Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keras-keras. "Tuh, saking seriusnya bengong, sampai digigitin nyamuk aja nggak kerasa!"
Dia menunjukkan tangannya yang belepotan darah, dengan bangkai nyamuk kecil di
tengahnya. Gue mengerling kaki gue, di tempat yang ditepuk Udik tadi, dan mendapati di situ
juga ada bercak darah. Hhh... ternyata putus cinta bikin mati rasa juga, ya" Gue sama sekali nggak merasa ada
nyamuk yang menyedot darah gue sebegitu banyak.
"Nih, daripada bengong, lo bantu gue deh."
"Bantu apaan?" "Lupa, ya" Lo nyuruh gue handle Friendster lo, dan sekarang banyak cewek kirim
message nih! Gue harus balas apa?"
"Terserah lo deh. Lo kan yang paling jago ngurusin cewek gitu!"
"Iya, tapi gue sekarang udah mulai pusing nih! Udah kehabisan jawaban! Cewek-cewek
ini... sekalinya dibalas message-nya, minta dibalas terus! Gimana kalau mereka tau kalau
yang selama ini balas message mereka bukan lo ya?" Udik cengengesan.
"Ya udah, biar aja. Daripada message-nya nggak dibalas, juga." Gue mengedikkan bahu,
tapi beranjak juga menuju meja komputer Udik. Window yang terpampang di monitor adalah
inbox account Friendster gue, dan gue shock mendapati unread messages-nya ada sembilan
belas! "Setiap hari segini banyak?" tanya gue bingung.
"Iyaaa! Makanya, lo ngerti kan sekarang kenapa gue udah kehabisan kata-kata?" gerutu
Udik. "Gih, lo bantuin ngarang deh! Gue yang ngetik!" perintahnya.
Selama sepuluh menit berikutnya, gue membantu Udik membalas beberapa message.
Masih ada sisa tiga belas lagi, tapi gue juga sudah kehabisan kata-kata.
"Eh, Dik, lagu apa nih" Besarin dong!"
Gue mendengar komputer Udik memutar lagu yang iramanya enak banget, yang ternyata
diputarnya dari Yahoo! Radio.
"Ehh... What About Now-nya DAUGHTRY," Udik membaca tulisan di window Yahoo!
Messenger-nya, lalu membesarkan volume speaker di komputer, dan gue mendengarkan lagu
itu mengalun. Shadows fill an empty heart
As love is fading, From all the things that we are
But are not saying. Can we see beyond the scars
And make it to the dawn"
Change the colors of the sky.
And open up to The ways you made me feel alive,
The ways I loved you. For all the things that never died,
To make it through the night,
Love will find you. What about now" What about today" What if you"re making me all that I was meant to be"
What if our love never went away"
What if it"s lost behind words we could never find"
Baby, before it"s too late,
What about now" Gue mengernyit. Baru kali ini gue mendengar lagu yang menohok begini. Kenapa bisa pas
dengan apa yang gue rasakan ke Alice"
*** Pesawat yang gue tumpangi mendarat di bandara Sultan Thaha, Jambi, dengan sedikit
sentakan. Beberapa penumpang heboh, mungkin mengira diri mereka sudah di ujung maut
atau apa, tapi gue nggak bereaksi.
Nggak ada yan glebih mengguncang dunia gue selain diputuskan Alice...
Kalau saja gue bisa, gue kepingiiiinn banget menuntut infotainment-infotainment yang
menyebarkan gosip tentang gue dan Regina. Mereka nggak tahu seberapa besar gosip itu
sudah berdampak pada hidup gue. Mama bahkan nangis waktu mendengar Alice memutuskan
gue, dan menyalahkan gue karena nggak mampu menjaga perasaan gadis itu baik-baik.
Yah, gue memang salah. Goblok! Gue menyia-nyiakan cewek sebaik Alice.
Rasanya nggak mungkin dia mau balik lagi sama gue...
Sambil menuruni tangga pesawat, gue menyalakan iPod dan memasang earphone di
telinga. Lagu yan ggue dengar adalah What About Now-nya DAUGHTRY, lagu yang gue
dengar di Yahoo! Radio semalam. Memang, lagu ini menohok perasaan, tapi liriknya dalem
banget. Gue nggak yakin apa Skillful bisa bikin lirik lagu sebagus ini.
Dan mungkin karena gue suka sama What About Now, semalam gue meminjam
komputer Udik untuk mencari lagu-lagu DAUGHTRY lainnya. Gue dapat sealbum penuh!
Hell, this band is cool! Dan ternyata vokalisnya tuh Chris Daughtry yang jebolan
American Idol itu! Pantas gue merasa familier sama suaranya, ternyata...
Yah, pokoknya gue sekarang suka banget sama band ini. Mereka benar-benar punya skill
bermusik yang tinggi, dan aliran musiknya nggak jauh beda dengan Skillful, pop rock. Ada
beberapa lagu upbeat di album mereka, dan beberapa lainnya adalah lagu slow.
Gue berjalan melewati gerbang kedatangan, dan mencari-cari penjemput gue. Bang Budy
bilang, salah satu kru akan menjemput gue, tapi dia nggak bilang siapa.
"Hei!" Gue menoleh, dan melihat Tyo, kru Skillful, nyengir di depan gue. Gue mencopot
earphone yang terpasang di telinga.
"Oh, lo yang jemput" Gue kira Asep."
"Nggak. Si Asep sakit."
"Lho" Sakit apa?"
"Kejatuhan kamera."
"Hah?" Gue mengernyit nggak ngerti. "Kamera apa" Digicam?"
"Bukan. Kamera TV."
Gue masih melongo kebingungan, tapi Tyo sudah membimbing gue ke sebuah mobil
yang menunggu di depan terminal kedatangan. Sopir mobil itu langsung memacu
kendaraannya begitu gue dan Tyo berada di dalam mobil. Berkat topi dan kacamata hitam
yang gue pakai, nggak ada yang mengenali gue sebagai Dylan Skillful.
"Eh, lanjutin cerita yang tadi dong. Yang Asep kejatuhan kamera TV," pinta gue ke Tyo.
Gue masih penasaran kenapa Asep bisa kejatuhan kamera TV. Aneh banget!
"Yah... gini, kemarin waktu kita sampai di bandara, ternyata wartawan udah ngejogrok di
situ." "Hah" Ngapain?"
"Ya nungguin lo lah, ngapain lagi?"
Gue melongo sejadi-jadinya. "Nungguin gue?"
"Iya. Mereka mau minta konfirmasi soal gosip lo sama si Regina."
"Damn!" gue mengumpat.
"Untung lo dari Batam balik dulu ke Jakarta, Lan. Kalau lo ikut ke Jambi, wahh... gue
Pendekar Pengejar Nyawa 1 Giring Giring Perak Karya Makmur Hendrik Misteri Si Cadar Berdarah 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama