Ceritasilat Novel Online

Dylan I Love You 3

Dylan I Love You Karya Stephanie Zen Bagian 3


"Alice, Grace, sori ya ngobrolnya cuma bentar. Acaranya udah mau mulai nih. Kalian
nonton, kan?" Aku dan Grace mengangguk bersamaan.
"Ya udah, kalau gitu ntar kita ngobrol lagi setelah acaranya selesai, ya?" Dylan tersenyum,
dan aku benar-benar terpesona.
Bahkan waktu dia sudah menghilang ke backstage, aku masih bengong karena senyumnya.
Aku memang cewek yang menyedihkan.
BUKAN CUMA NUMPANG LEWAT GUE baru ngobrol sama Alice.
Dan nggak tau kenapa, gue bener-bener senang ngeliat dia.
Bukan, bukan karena gue hepi bisa terhindar dari Noni yang sebelumnya ngobrol sama
gue dan mengoceh segala macam. Gue senang karena... yah, karena yang datang Alice. Gue
jadi teringat tampang lucunya sewaktu pertama kali melihat gue di Upgraded dan gue bilang
seharian itu kami bakal kencan berdua, hehe...
"Kenapa lo ketawa-ketawa sendiri?" Dudy menepuk pundak gue. "Ayo siap-siap naik
panggung. Nggak bakal lupa lirik lagi, kan?"
Sialan, Dudy selalu menggoda gue sejak kita tampil di acara Bincang Malam dan
presenternya menyebut gue sebagai vokalis-band-yang-paling-sering-lupa-lirik.
Kadang-kadang gue mikir, gue ini vokalis band macam apa sih" Lirik sering lupa,
interaksi sama penonton juga payah... Untung tampang gue bagusan dikit, kalau enggak, gue
jamin gue nggak bakal keterima jadi vokalis Skillful!
"Nggaaakkk. Gue udah hafal kok sekarang."
Dudy nyengir, dan gue beranjak mendekati anak-anak yang sudah berjajar di pintu
menuju panggung. Gue berdiri di sebelah Dovan, dan berdoa semoga pertunjukan ini sukses
dan nggak terjadi hal-hal yang nggak diinginkan.
Lima belas menit kemudian, gue mendengar presenter menyerukan "Skillful" keraskeras, dan anak-anak mulai naik satu per satu ke atas panggung. Gue selalu dapat giliran
terakhir kalau naik panggung.
"Selamat malam, semuanyaaaa...!" seru gue begitu sudah di panggung, dan teriakan gue
langsung disembut histeria.
Oke, di mana Alice" Dia nggak pulang, kan"
Ah, itu dia, berdiri paling depan, di sebelah kanan panggung. Gue bisa dengan mudah
mengenali warna rambutnya yang cokelat kemerahan di tengah kumpulan orang berambut
hitam itu. Matanya berbinar dan dia tersenyum waktu melihat gue. She looks so sweet...
*** Gue mengelap keringat dengan handuk kecil yang ada di dalam travel bag gue, lalu minum
air banyak-banyak. Acara barusan bener-bener heboh, plus gue sempat dikerjain sama
penelepon yang ternyata orang-orang TOP Channel juga. Sialan.
"Ayo semuanya, naik mobil!" seru Bang Budy. Gue langsung memasukkan barangbarang gue yang masih berceceran ke tas.
Lho. Tunggu, gue kan tadi janji mau menemui Alice setelah acara ini"
"Dylan! Kenapa kamu masih diam di situ" Ayo cepat naik mobil!" Bang Budy meneriaki
gue. Gue nggak mungkin ikut mobil Skillful. Gue jadi nggak bisa ketemu sama Alice dong"
Apa kata dia nanti" Dan gue bener-bener pengin ngobrol-ngobrol sama dia...
"Lan, ayo! Mobilnya udah nunggu di luar!" sekali lagi Bang Budy meneriaki gue.
Dengan kesal gue mengangkat tas dan beranjak menuju pintu keluar studio, tempat mobil
menunggu dan kami bakal dilarikan diam-diam.
*** Mobil sudah melaju mulus di jalan raya. Anak-anak pada tidur semua, Bang Budy juga. Pasti
mereka kecapekan. Gue mengeluarkan HP dari kantong, dan mencari nomor telepon Alice di phonebook.
Semoga dia nggak marah karena gue ingkar janji buat ketemu sama dia tadi...
"Halo" Alice" Ini Dylan..."
"Iya, Lan, ada apa?"
"Mmm... sori, ya, Lice, gue nggak bisa nemuin lo habis konser tadi... Gue udah di mobil
nih, tadi disuruh naik cepat-cepat, jadinya gue nggak sempat nyari lo tadi."
"Oh, nggak papa kok."
Bohong. Gue bisa menangkap nada kecewa dalam suaranya, dan itu semua karena salah
gue. "Lice, gue bisa ngerti kalo lo marah. Gue memang salah kok."
"Nggak, Lan, gue nggak marah. Gue ngerti kok kalo lo tadi harus cepet-cepet pergi.
Lagian, lo pasti capek banget tadi."
Ya ampun, cewek ini bener-bener pengertian!
"Tetap aja gue nggak enak sama lo..." Gue terdiam.
Hell, sejak kapan gue jadi speechless di depan cewek gini" Alice bahkan nggak ada di
depan gue, tapi gue kehilangan kata-kata!
"Mmm... gini aja, buat menebus kesalahan gue yang tadi, gimana kalau besok kita
ketemuan?" Alice nggak bersuara. Apa dia marah banget sama gue dan udah menutup teleponnya"
Gue emang cowok yang goblok!
"Lice" Alice" Lo masih di sana?"
"Eh, iya... iya, gue masih di sini kok. Lo... lo serius mau pergi sama gue, Lan" Bukannya
lo sibuk banget" Bulan ini lo ada tur di Kalimantan sama Sulawesi, kan?"
"Iya sih, tapi kan turnya nggak mulai besok. Besok gue masih free kok. Jadi... gimana"
Besok lo nggak keberatan, kan" Gue janji besok gue bakal datang."
Mau dong... Ayolah, bilang mau... Gue bener-bener pengin jalan bareng lo lagi...
"Mmm... Boleh deh," jawab Alice lirih, dan gue nyaris teriak saking senangnya! "Besok
di mana?" Ah, iya, gue belum mikir mau ngajak dia ke mana besok. Gue pengin ngobrol-ngobrol
banyak sama dia, di mana ya enaknya" Pastinya harus tempat yang nggak banyak orangnya,
gue nggak mau di tengah-tengah gue ngobrol sama dia, ada orang yang menginterupsi ngajak
foto bareng atau minta tanda tangan.
Bukannya gue nggak suka dimintain tanda tangan atau diajak foto bareng, tapi kan nggak
enak sama Alice... Gue sudah cukup bikin dia jengkel. Pertama, menghilangkan nomor HPnya, terus nggak menepati janji menemui dia tadi. Gue nggak bakal kaget seandainya dia
menimpuk gue pakai sandal saking kesalnya dia sama gue.
"Lan" Halo" Besok jadinya di mana?"
Gue tersentak. Alice masih di seberang sana, dan gue belum ngasih jawaban besok bakal
ngajak dia ke mana. "Oh... Upgraded aja, gimana?" Tiba-tiba nama kafe itu melintas di kepala gue. Kenapa
gue nggak kepikiran dari tadi, ya" Kafe itu kan oke banget buat tempat ngobrol!
"Upgraded" Oh... kafe yang kemarin jadi tempat syuting Pacar Selebriti itu?"
"Iya. Besok jam... mmm... Oya, lo pulang sekolah jam berapa?" Gue baru ingat kalau
Alice masih sekolah, dan besok itu hari Sabtu.
"Sekolah gue libur kok kalau Sabtu," kata Alice.
Bagus. "Ya udah, kalau gitu... jam sebelas" Mau... gue jemput?"
Alice diam selama beberapa detik. "Nggak usah, kan gue bareng Grace..."
Ya ampun! Gue lupa! Kan tadi gue janjinya mau menemui Grace juga! Dan Alice
beranggapan besok gue juga mengajak Grace!
Gue oke-oke aja sih kalau Grace ikut. Dia kan temennya Alice. Tapi... gue tetap lebih
suka kalau bisa pergi berdua sama Alice...
"Oh... iya, iya," kata gue sok santai. "Kok gue bisa lupa ya, lo kan bareng Grace. Mmm...
ya udah, kalau gitu besok jam sebelas, ya?"
"Oke." "Oke. Hati-hati di jalan, Lice. Salam buat Grace."
"Iya. Lo juga hati-hati di jalan. Bye."
"Bye." Gue memutuskan sambungan telepon, dan mendadak hati gue diliputi euforia berlebihan.
Kenapa gue bisa kayak gini, ya" Apa sudah waktunya gue mulai hubungan baru" Dan apa
gue bener-bener suka sama Alice"
Mungkin dia nggak cuma numpang lewat dalam hidup gue...
Mungkin ini sudah saatnya gue melupakan Karin...
Mungkin. *** Besoknya gue bangun jam sembilan, dan langsung mandi. Tora heran melihat gue, tapi dia
nggak banyak tanya setelah gue bilang gue mau pergi sama Alice. Dia malah senyum-senyum
nggak jelas. Mengerikan. Jam sepuluh, gue mengeluarkan motor dari carport rumah. Gue sampai di Upgraded
dalam waktu 45 menit, biarpun gue udah ngebut dan lewat jalan-jalan tikus. Nggak tahu deh
sampai kapan Jakarta bakal terlibat kemacetan kayak gini. Naik motor aja susah, gimana
yang naik mobil" Yeah, itu satu lagi alasan kenapa gue merasa nggak perlu belajar mobil. Atau ini cuma
self defense gue sebagai orang yang nggak bisa nyetir" Nggak tau deh.
Gue memilih meja yang posisinya menghadap pintu masuk, jadi gue bisa melihat kalau
Alice, dan Grace, datang. Gue bersyukur banget karena Upgraded sepi, jadi nggak akan ada
banyak orang yang tau gue di sini.
Masalahnya, gue pengin sebisa mungkin menghindari gosip. Wartawan sekarang suka
aneh-aneh, gue ngobrol sama satu cewek aja bisa dibilang kalau udah jadian. Dan gue nggak
mau Alice nanti jadi nggak nyaman kalau ada gosip seperti itu. Dia kan nggak salah apaapa...
"Makan terus, Bang" Ntar tambah gendut lho..."
Gue tersentak, dan dengan kaget melihat Alice sudah berdiri di depan gue. Dia cekikikan
melihat sendok strawberry cake yang masih ada dalam mulut gue.
"Hai! Duduk... duduk..." Gue mempersilakan dia duduk, dan celingak-celinguk heran
setelah sadar dia datang sendiri. "Lho, Grace nggak ikut?"
Alice diam sebentar. "Oh, Grace lagi ada acara keluarga. Kenapa" Kayaknya pengin
banget ketemu Grace?" Alice duduk di depan gue dan tersenyum lucu.
Acara keluarga" Yes! Gue bisa ngobrol berdua sama lo dong"
"Eh. Nggak, bukannya gitu... Kan gue cuma nanya. Jadi... lo tadi ke sini naik apa?" Gue
berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Diantar Daddy."
"Heh?" Daddy"
"Mmm... Maksud gue, diantar bokap gue. Sori, habisnya gue kalau manggil bokap gue
gitu sih." Alice kelihatan salting.
"Oh iya, ya, bokap lo kan orang Aussie, hehe... Nggak papa lagi, Lice. Bokap lo
sekarang di mana?" "Langsung pergi sama nyokap gue. Tadi kan cuma nge-drop gue di sini aja. Sori ya gue
datangnya telat." "Eh, nggak kok, gue aja yang datangnya kepagian." Gue melirik arloji gue. Masih jam
sebelas kurang lima. "Oya, lo mau minum apa?"
Gue memanggil pelayan, yang langsung mendekat dan membawakan buku menu untuk
Alice. Cewek itu membalik-balik buku menunya.
Wah, dia lucu banget siang ini! Pakai bando putih dan kaus plus jins aja sih, tapi gue
bener-bener suka lihat dia tampil sederhana gitu. Agak mirip Karin, tapi rambut Karin lebih
panjang dan warnanya kan hitam...
Stop! Gue nggak boleh mikirin Karin lagi! Nggak boleh!
"Lo sering ke sini, ya, Lan?" tanya Alice setelah pelayan pergi. Tadi gue sempat dengar
dia pesan strawberry milkshake plus cheesecake, dan gue seneng mendengarnya. Cewek ini
bukan cewek jaim yang suka sok diet kalau pesan makanan di depan gue! Bagus, itu tandanya
dia cewek sehat, bukan penderita anoreksia atau bulimia. Gue suka nggak ngerti sama cewekcewek yang menyiksa dirinya sendiri dengan nggak makan. Emangnya mereka nggak lapar,
ya" "Nggak juga. Jarang-jarang aja kok. Kalau lo?"
"Gue malah baru dua kali ke sini. Pas ditelepon Mbak Mirna dan dibilang kalau gue
menang Lucky Circle itu, taunya gue kepilih jadi peserta Pacar Selebriti... Kedua kalinya ya
sekarang ini." "Oh. Kalau gitu, lo biasanya nongkrong di mana?"
"Ya PS. PIM. Biasalah, mal. Tapi nggak terlalu sering juga sih, paling cuma kalau
weekend. Bisa bangkrut gue kalau tiap hari ngemal, hehe..." Alice tertawa kecil, dan dia
kelihatan semakin imut. Pesanan Alice datang, dia langsung meminum strawberry milkshake-nya.
"Eh, Lice, gue masih nggak enak soal kemarin nih. Kan gue udah janji sama lo, tapi
taunya..." "Kan udah gue bilang nggak pa-pa. Toh, sekarang udah ketemuan lagi, kan" Lagian
kemarin tuh banyak banget penontonnya, malah ada yang ngebelain nungguin lo sama anakanak Skillful lainnya segala, gimana lo bisa ngobrol sama gue?"
"Ah, iya..." "By the way, jangan marah ya gue nanya gini, tapi... lo lagi ada gebetan nggak?"
Gue melongo, tapi langsung tersenyum melihat mata bulat Alice yang menatap gue
lekat-lekat. Kok lo nggak sadar sih kalau gue lagi menggebet lo"
"Nggg... Nggak tau juga sih, belum ketemu yang cocok. Mau bantu cariin?"
"Boleh. Tapi gue nggak punya temen yang fotomodel atau bintang iklan lho."
"Kalau sama lo aja, gimana?"
Alice bengong menatap gue. Ya ampun, gue kok jadi ngegombal gini sih" Kesalahan
fatal! "Ehhh... sori, Lice, maksud gue..."
"Nggak papa... Nggak papa..." Alice meminum milkshake-nya lagi. "Jadi... habis ini
Skillful mau tur Sulawesi dan Kalimantan sampai tengah bulan?"
Wow, dia pintar sekali ganti topik pembicaraan!
"Iya. Sampai tanggal delapan belas. Gue baru manggung di Jakarta lagi tanggal dua lima
ntar. Di Hard Rock. Lo nonton, ya?"
"Yah... gue usahain. Itu kan bukan weekend, Lan, dan besoknya gue sekolah."
"Oh. Iya, ya... Tapi kalau misalnya gue mau ketemu lo pas hari sekolah, bisa?"
"Lo... masih mau ketemu gue lagi?" tanya Alice nggak percaya. Matanya membulat, dan
gue senang banget melihat bola mata berwarna cokelat gelap itu.
"Ya mau lah... Gue seneng ngobrol-ngobrol sama lo. Dan lo anaknya easy going, nggak
jaim..." "Mmhh... Makasih."
Hihi... Alice ini lucu banget! Kenapa gue nggak dari dulu aja sih kenal sama dia"
"Lice, lo udah punya pacar?" Tiba-tiba aja mulut gue mengoceh, dan gue sendiri nggak
ngerti kenapa bisa kayak gitu. Ekspresi Alice seolah dia baru melihat hantu. "Mm... sori
kalau gue salah nanya. Lo nggak usah jawab kalau nggak mau..."
"Belum," jawab Alice, dan gue hampir nggak bisa menahan diri gue untuk nggak
meloncat-loncat. "Dan gue nggak marah. Kan tadi lo juga nggak marah waktu gue tanya soal
gebetan." "Iya juga. Jadi kita satu-sama, ya" Dan gue nggak perlu takut ada cowok yang marah
kalau gue sering ketemuan sama lo?"
"he-eh." Alice mengangguk dengan muka merah dan mulai memakan cheesecake-nya.
Setelah itu gue benar-benar kehabisan kata-kata, dan parahnya, Upgraded malah
memutar lagu Pelangi di Matamu-nya Jamrud!
Mungkin butuh kursus merangkai kata... Untuk bicara...
Duh, lagu ini kok nyindir, ya"
*** Gue memasukkan motor ke rumah sambil bersiul riang. Tadi gue menunggui Alice sampai
dia dijemput ortunya di Upgraded, tapi waktu gue berniat mau ketemu ortunya untuk kenalan,
Alice malah melarang gue. Dia bilang, nyokapnya bakal terlalu bersemangat nanti kalau tahu
dia pergi bareng gue, dan bisa-bisa nyokapnya mulai mikir yang aneh-aneh.
Biasa, nyokap gue, kata Alice tadi. Dan gue nurut aja. Gue nggak mau ada gosip apa pun
yang beredar soal gue sama Alice nanti. Malah, gue berniat benar-benar menutupi Alice dari
media. Gue nggak mau kalau sampai orang-orang yang dulu meneror Karin tahu gue lagi
dekat sama Alice dan mulai melancarkan aksi-aksi terornya lagi.
"Ehem! Yang baru nge-date sama anak SMA!"
Brengsek. Rupanya Tora sudah menunggu gue di pintu depan.
"Gimana acara kencan lo" Seru?"
"Bukan kencan kok, gue cuma ketemuan sama ngobrol-ngobrol."
"Yee... itu juga namanya kencan, tau!" Tora memutar bola matanya. "By the way, gue
berasumsi lo udah dapat lagi nomor HP-nya Alice yang hilang itu. Dari mana?"
"Iya dapat. Kemarin gue ketemu dia di studio TOP Channel, jadi gue bisa minta lagi
nomornya." Gue mengunci motor yang sudah terparkir aman di samping rumah, dan berjalan
melewati Tora. "Ehh... Lan, lo serius nih sama Alice" Maksud gue... dia kan masih anak SMA, Lan.
Masih... "kecil"."
"Emangnya kenapa" Dia dewasa kok. Nggak childish, kalau itu yang lo maksud dengan
"kecil". Dan bukannya lo sendiri yang nyuruh gue cepet-cepet cari cewek waktu di Ten Ball
dulu itu" Kenapa sekarang setelah gue deket sama cewek, lo malah ribut?"
"Bukannya gitu." Tora menjatuhkan dirinya di sofa ruang tamu. "Tapi tadinya gue kira
lo mau cari pacar di kalangan seleb juga..."
Gue menggeleng. "Punya pacar yang sama-sama seleb bakal lebih gampang ketahuan
sama wartawan infotainment, dan gue nggak suka masalah pribadi gue dikorek-korek terus
ditayangkan di TV." "Memangnya... kalau lo jadian sama Alice, lo bakal backstreet sama dia?" tanya Tora
penasaran. "Mungkin." Gue mengedikkan bahu. "Gue sendiri masih belum tau mau jalan terus sama
Alice apa nggak. Maksud gue, gue kan baru kenal dia, dan kadang-kadang gue masih suka
tanpa sadar ngebandingin dia sama Karin."
Tora diam, tapi gue bisa melihat dia sedang berpikir keras.
"Jadi... si Alice ini, dia cuma pelarian lo?"
"Bukan gitu." Gue mendesah. "Gue kan udah lama putus sama Karin, jadi gue bukannya
cari pelarian atau apa, tapi lo tau kan Karin itu pacar pertama gue, dan gue jadian sama dia
lumayan lama, jadinya kalau gue udah kenal sama cewek lain pun gue selalu tanpa sadar
membanding-bandingkan cewek itu sama dia..."
"Hoo... gue ngerti." Tora manggut-manggut. "Dan jangan salah sangka, Lan, gue


Dylan I Love You Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ngomong gini bukan karena ada maksud apa-apa, cuma gue nggak mau lo ngasih harapan
terlalu muluk sama Alice seandainya lo nggak bener-bener suka sama dia..."
"Hey! Look who"s talking about being serious! Taura Siregar!" Gue nggak bisa menahan
geli. Jarang-jarang Tora ngomong serius begini. Tapi... kayaknya dia emang nggak lagi
bercanda. "Masalahnya," Tora meneruskan, nggak terpengaruh celetukan nggak penting gue tadi,
"seperti yang gue bilang tadi, Alice masih SMA. Dia pasti masih mikir yang hepi-hepi aja
kalau pacaran, belum mikir jauh ke depan. Gue takut nantinya dia nggak tahan banting kalau
jadi cewek lo. Lo juga pasti tau yang jadi cewek lo akan punya beban tersendiri, kan?"
Gue mengangguk. Tora benar. Gue belum kenal Alice, dan gue belum tau banyak
tentang dia. Memang, sejauh ini gue melihat Alice dewasa banget, tapi siapa yang tau sampai
di mana dia sanggup menanggung "beban" sebagai cewek yang dekat sama gue"
"Dipikir baik-baik aja dulu, Lan. Jangan buru-buru. Tapi kalau lo udah yakin kalau Alice
cukup tough untuk jadi cewek lo, gue bisa apa lagi selain ngedukung" Dan lo sendiri harus
meyakinkan diri bahwa lo memang sayang sama Alice. Stop membandingkan dia dan Karin."
Tora menepuk bahu gue, lalu menghilang ke dalam kamarnya. Gue cuma bisa
menyimpan semua omongannya barusan dalam pikiran gue. Gue nggak menyangka Tora
ternyata bisa dewasa juga.
*** Malamnya, gue nggak bisa tidur. Gelisah. Penyebabnya sudah bisa diduga, semua omongan
Tora beberapa jam yang lalu. Gue jadi seperti punya beban pikiran yang berat, sama seperti
satu hari sebelum gue ikut audisi vokalis Skillful dulu. Waktu itu, gue benar-benar pusing
menimbang untung-ruginya dalam hati. Pertama, yang gue pikirkan jelas kuliah gue. Dan
isyarat-isyarat kurang setuju dari Mama dan Papa yang secara samar bisa gue tangkap setiap
kali gue bilang mau jadi penyanyi dan hidup dari situ. Kedua, gue mikirin Karin. Dia
mendukung gue 100%, tapi gue tau dengan jelas dukungan itu pasti akan terkikis sedikit demi
sedikit setelah dia tau apa saja dampak dari gue jadi terkenal.
Sekarang gue dihadapkan pada situasi yang berbeda. Nggak ada profesi atau cita-cita
yang harus gue pilih, gue cuma perlu memastikan apa perasaan gue ke Alice, apa ini cuma
have fun, atau gue bener-bener serius.
Oke, gue tau caranya. Pikirkan aja apa ciri-ciri orang yang sedang jatuh cinta, dan apa
gue mengalami ciri-ciri itu atau nggak.
Orang jatuh cinta, biasanya... deg-degan kalau ketemu.
Gue deg-degan kalau ketemu Alice. Euforia berlebihan, malah.
Terus, orang jatuh cinta... selalu kepikiran orang yang ditaksirnya itu.
Gue kepikiran Alice terus. Ini juga lagi mikirin dia. Berarti gue jatuh cinta, kan"
Tapi... gue jadi teringat omongan Tora tadi. Dia benar, Alice masih... "kecil". Kalau
pacaran, dia pasti cuma mikir hepi-hepi. Dia nggak akan berpikir pacaran sama gue berarti
dia harus menanggung risiko "dinilai" para Dylanders. Dan mungkin jadi musuh para fans
psycho macam Noni. Plus, dia bisa diteror juga seperti Karin dulu... Apa Alice bakal sanggup
menahan semua itu" Belum lagi... kalau Alice masih kelas satu SMA,d ia pasti masih umur... berapa, ya"
Enam belas mungkin. Paling banter tujuh belas. Dan gue" Dua-empat. Bagus, bedanya aja
udah delapan tahun. Apa nanti ortunya bakal setuju dia pacaran sama gue" Apa Papa-Mama
bakal percaya saat gue bilang gue ini serius sama Alice"
Tapi di atas semua itu, gue sangat menikmati saat-saat gue ada di dekat Alice. Gue
senang banget ngobrol sama dia, dan rasanya gue nggak punya masalah yang harus
diselesaikan setiap kali melihat senyumnya... Dia membuat gue bisa menjadi diri gue
sendiri... Dia bisa membuat gue tertawa lepas, satu hal yang tanpa sadar nggak pernah gue
alami lagi sejak putus sama Karin...
Dan gue nggak mau kehilangan semua itu lagi...
DIA NAKSIR AKU" NGGAK MUNGKIIINNN... (MUNGKIN AJA, LAGI!) KALAU ada yang menabok pipiku sekarang, aku nggak bakal marah. Bener deh. Aku malah lagi
butuh banget orang yang bisa membangunkan aku sekarang, sekadar mengingatkan aku cuma
berkhayal muluk, sebelum khayalanku terbang lebih tinggi dan aku bakal semakin sakit kalau
jatuh nanti. Masalahnya, samapi sekarang aku belum juga percaya aku baru pergi bareng Dylan!
Hoaaaaa... beneran Dylan yang itu! Yang vokalis Skillful itu!
Hadooohh... kayaknya masa-masa kesuramanku sudah berakhir nih! Ramalan Madam
Fortune itu ternyata bener banget, aku memang awalnya punya banyak banget halangan untuk
dekat sama Dylan, tapi gara-gara keberutungan superbesar (yang nggak mungkin kusebut kecil)
berupa acara Pacar Selebriti itu, aku jadi bisa pergi berdua sama Dylan! Dan aku sekarang punya
nomor HP-nya! Dan dia juga secara nggak langsung bilang diamau pergi sama aku lagi next time!
Dan boleh nggak sih aku ge-er sedikit" Kayaknya dia suka sama aku deh...
Yes! Yes! Yes! Pikiranku kembali melayang ke acara pertemuan di Upgraded itu lagi. Dylan hari ini banyak
diamnya, padahal biasanya kan aku yang cuma bisa bengong kalau ketemu dia. Dan, seperti biasa,
dia selalu kelihatan ganteng banget! Rasanya tadi aku nggak erla waktu Mama meng-SMS dan
bilang aku udah mau dijemput dari Upgraded. Aku juga nyaris tergoda tawaran Dylan yang
katanya nggak keberatan mengantarku pulang, tapi lagi-lagi aku takut bakal jadi bahan gosip
tetangga. Bu Parno, yang tetangga sebelah rumahku itu, kan mulutnya kayak keran rusak, ngocor
mulu nggak bisa direm. Apa jadinya kalau dia melihat aku pulang diantar Dylan" Jangan-jangan di
arisan PKK yang akan datang, namaku bakal disebut-sebut seratus kali sama dia! Idih, nggak deh!
Mobilku sampai di rumah, dan aku langsung berjalan masuk kamar. Kayaknya aku masih
terbang di awang-awang deh, seneng banget sih habis pergi berdua sama Dylan tadi!
Oke, kayaknya aku norak banget, pergi sama cowok aja kok bisa girang begini. Tapiiii...
cowok yang pergi sama aku ini kan bukan cowok biasa! Ini cowok yang punya ribuan die-hard fans
dan groupies di seluruh Indonesia, cowok yang mungkin ada di impian tiap cewek seumuranku!
Dan aku pergi sama dia! Aku!
Eh, HP-ku bunyi. Ada SMS masuk.
From: Dylan Lice, sng bgt td bs jln sm lo. Bsk jln lg yuk, mau ngk"
Hah"! Aku beneran nggak hidup di alam khayalku, kan" Dylan ngajak aku jalan LAGI"
Serius deh, ini mimpi bukan sih"
Dan aku bakal jadi cewek terbego sedunia kalau menolaknya.
To: Dylan Hai, gw mau kok kl bsk jln lg. Mo kmn" Tp di ats jam 11 ya,
kan paginya gw hrs grj dlu.
From: Dylan Oke, gw jg bsk grj pagi kok =) Tp gw mo ajk lo ke tmpt yg
agk jauh nih, jd mgkn plgnya di atas jam 6. lo senin ngk ad
tes atau tugas kan" Tempat yang agak jauh" Dia mau ngajak aku ke mana" Dan soal tugas... aduh! Aku kan
harus menyelesaikan tugas fisikaku! Dan PR matematika itu! Kalau aku mau pergi sama Dylan
besok, berarti aku harus menyelesaikan semuanya malam ini dong" Padahal aku capek banget,
penginnya sih mandi air hangat terus tidur. Tapi demi bisa pergi sama Dylan... rela deh begadang!
To: Dylan Emgnya mo kmn siy" Gw ada deadline tgs siy hr senin, tp bs
gw krjain mlm ini kok. Sambil menunggu SMS balasan dari Dylan, aku ganti pakaian dan membersihkan muka. SMS
balasannya masuk waktu aku mulai menyalakan komputer.
From: Dylan Ada dehhh. Pkkny bkl seru hehe. Ya dah lo krjain tgs lo dlu
aj. Good night ;) Aku duduk di depan komputerku, mulai membuka-buka buku teks fisika, tapi aku sama
sekali nggak konsen. Lima belas menit berikutnya juga yang terpampang di monitor komputerku
masih judul tugas dan soal-soal yang kuketik ulang.
Dylan besok mau mengajakku ke mana ya"
Aku tambah nggak konsen. Sebodo amat deh sama tugas fisika dan PR matematika, ntar hari
Senin nyontek punya Grace aja!
Ehhh... tapi dia ngerjain nggak ya"
*** "Kamu bener mau ditinggal di sini?" tanya Mama nggak percaya.
"Iya, Ma. Tinggalin aja nggak pa-pa kok. Bentar lagi juga Grace datang."
"Tapi di mana dia, kok belum datang juga?" Daddy melirik arlojinya, dan aku jadi merasa
bersalah. Masalahnya, kemarin malam Dylan SMS lagi, katanya mau jemput aku hari ini. Dan seperti
yang sudah kubilang, aku nggak mungkin minta jemput di rumah, soalnya pasti banyak yang
menginterogasi, mengintip, penasaran, dan sebagainya kalau ada seleb sekelas Dylan muncul di
depan rumahku (Bayangin aja reaksi Bu Parno! Pasti Mrs. Infotainment itu bakal histeris melihat
artis di depan jendela rumahnya! Huh!). Belum lagi kalau naluri Daddy sebagai seorang papa yang
cemburu lihat anak ceweknya mulai dekat sama cowok muncul, ugh... nggak jamin deh kalau aku
bakal bisa pergi sama Dylan!
Jadi, setelah memutar otak semalaman, aku dapat jalan keluar yang, menurutku, lumayan
oke. Aku mengarang cerita sepulang gereja aku mau pergi bareng Grace, dan anak tengil itu bakal
menjemputku di kafe di seberang gereja, jadi aku nggak pulang sama Mama dan Daddy. Padahal
sih... Dylan yang kuminta menjemputku di situ, hehe...
Aku benar-benar anak yang berdosa deh.
"It"s okay, Dad," kataku sok santai, padahal aku deg-degan juga kalau tau-tau Dylan muncul
di depan kami semua. "She"ll be here in five minutes."
"Oh. Ya sudahlah. Daddy sama Mama pulang dulu."
Daddy mencium pipiku, dan aku melambaikan tangan sewaktu mereka menghilang ke
lapangan parkir. Nah, sekarang tinggal tunggu Dylan datang!
"Bokap lo bisa bahasa Indonesia, ya?" tanya suara di belakangku. Aku langsung menoleh
dan tersentak. Dylan"!
"Lo... dari tadi di sini?" tanyaku nggak percaya. Dylan tersenyum dari balik topinya. Dia
kelihatan ganteng banget dengan polo shirt hijau dan topi army-nya itu.
"Nggak juga. Baru lima menit. Gue lihat dari sini, kebaktian lo belum selesai, jadi gue parkir
motor dan gue tunggu di sini."
"nggak ada yang... Nggak ada yang ngenalin lo?"
Dylan tertawa. "Nggak. Kan ada ini," katanya sambil menunjuk topinya.
Iya juga, dia kelihatan lain kalau pakai topi. Aku aja tadi mungkin terkecoh sama
penampilannya. Buktinya, aku sudah hampir sepuluh menit berdiri di kafe ini, tapi sama sekali
nggak sadar dia berdiri di dekatku.
"Yuk, mau pergi sekarang?"
Aku mengangguk, tapi pertanyaan yang kusimpan dari tadi malam nggak bisa kutahan lagi.
"Memangnya kita mau ke mana sih?"
"Ada deh. Kan udah gue bilang rahasia. Ntar juga lo tau." Aku bisa melihat Dylan nyengir
dari balik topinya, lalu aku membuntutinya ke tempat parkir sepeda motor.
"Ehh... Lice, nggak papa kan kalau kita naik motor" Soalnya... gue nggak bisa nyetir mobil,
jadi..." Hah" Dylan nggak bisa nyetir mobil" Aku bengong dengan suksesnya.
Masalahnya, sejak SMP tuh teman-teman cowokku aja udah bisa nyetir mobil. Apalagi anakanak sekelasku sekarang. Oscar, Moreno, Mario, dan yang lainnya malah pada bawa
mobil sendiri ke sekolah. Tapi sebodo amat deh, yang mereka bawa ke sekolah itu kan mobil bokap mereka, bukan
mobil pribadi. Kalau Dylan, aku yakin banget kalau dia sanggup beli mobil dengan koceknya
sendiri, cuma dia nggak bisa nyetirnya...
Dan siapa yang butuh naik mobil kalau bisa boncengan motor sama Dylan" Kalau naik
mobil aku kan nggak bisa peluk dia, tapi kalau naik motor, hehe... aku bisa pura-pura pegangan,
padahal sebenarnya aku meluk dia! Cihuy!
"Lice?" panggil Dylan. "Lo... nggak papa" Sori ya kalau lo..."
"Ah, gue oke-oke aja kok naik motor," jawabku sambil tersipu gara-gara bayanganku
memeluk Dylan tadi. Baguuusss... sekalian aja membayangkan kami nonton film horor dan aku
pura-pura ketakutan jadi bisa peluk dia!
"Oh. Oke. Ini helm lo." Dylan mengulurkan helm full face berwarna merah yang kayaknya
masih baru. "Ini baru, ya?" tanyaku geli.
"Eh... iya. Baru beli kemarin." Ya ampun, pipi Dylan merah! Hihi... lucu!
"Khusus buat gue?" Aku nggak tahan nggak menggoda Dylan.
"Yah... begitulah." Dylan memalingkan muka, jadi aku nggak bisa melihat pipinya memerah
lagi atau nggak, but I bet he does. "Naik, Lice."
Aku memakai helm full face itu dan naik ke boncengan motor Dylan.
*** Ya ampun. Percaya nggak, Dylan mengajakku ke Taman Safari!
He-eh, Taman Safari Bogor yang ada binatang-binatangnya itu!
Pertamanya aku sempat bengong waktu motor yang dikendarai Dylan ini melewati jalanjalan yang sama sekali nggak pernah kulihat sebelumnya, tapi belakangan aku ngeh kami ternyata
melewati jalan di luar jalan tol (Aku sempat ngeri sendiri, jangan-jangan Dylan berniat yang
nggak-nggak, aku kenal dia kan belum lama, dan dia kan COWOK! Tapi ternyata kecurigaanku
nggak beralasan, dan aku cuma bisa nyengir bego waktu kami melewati gerbang yang terbentuk
dari dua gading raksasa buatan bertaut. Mana mungkin sih Dylan mau berniat jahat di TAMAN
SAFARI"! Plis deh...)
"Kaget, ya?" tanya Dylan sambil melepas helmnya. Kayaknya dia bisa melihat tampang
kagetku begitu tahu kami ada di mana sekarang.
"Eh... lumayan. Nggak kaget-kaget banget sih, cuma nggak nyangka aja lo mau ngajak gue ke
sini." "Tapi lo nggak keberatan, kan?"
"Nggak. Gue malah sebenernya pengin ke sini. Udah lama banget gue nggak ke Taman
Safari..." Dylan tersenyum, dan memakai lagi topi yang sepanjang perjalanan tadi disimpannya di
dalam tas ranselnya. "Yuk, masuk sekarang?"
*** Karena nggak bawa mobil pribadi, akhirnya kami naik bus Taman Safari. Begitu penumpang
penuh, bus berangkat. "Iiihhh...," aku memekik waktu binatang sejenis unta yang entah apa namanya itu mendekat
dan menjilat kaca jendela di sisiku. Dylan tertawa.
"Tenang aja, kan cuma kacanya yang dijilat, bukannya kamu."
"Kamu?" tanyaku heran. Kok tumben dia bilang "kamu?" Biasanya juga dia bilang "lo-gue"!
Apa ini pertanda kalau... Hah"!
"Mmm... kalau misalnya kita sekarang ngomongnya pake aku-kamu nggak papa, kan?" tanya
Dylan dengan suara pelan, pipinya memerah. Aku melotot.
"Eh... itu... ya nggak papa sih..."
Aku salting, dan akhirnya malah mengalihkan pandanganku ke luar jendela bus Taman Safari
yang sedang kami naiki. Gila, jangan-jangan Dylan beneran naksir aku!
Ah... nggak mungkin ah! Aku kan cuma cewek biasa yang nggak punya kelebihan apa-apa. Sementara Dylan tinggal di
dunia yang penuh cewek cantik yang tinggal dia tunjuk kalau dia mau salah satunya. Ngapain juga
dia milih aku" Bus mulai melewati area hewan-hewan buas. Beruang madu, harimau, singa, semuanya
dilewati satu per satu, tapi aku sama sekali nggak bisa memusatkan perhatianku ke situ. Kayaknya
otakku sudah overload sama pertanyaanku tentang Dylan.
Setelah melewati kumpulan gajah, bus berhenti di taman bermain yang ada di akhir Taman
Safari. Di sekitar permainan-permainan ini banyak banget orang yang menjual makanan. Perutku
langsung berdangdut-ria melihat penjual nasi gila dan macam-macam makanan lainnya, tapi aku
gengsi di depan Dylan kalau bilang aku lapar!
Sssttt... mana kemarin waktu di Upgraded, aku keceplosan pesan cheesecake dan strawberry
milkshake di depan Dylan! Suer, aku malu banget! Dan kayaknya Dylan senyum-senyum gitu pas
mendengar apa yang kupesan! Aduh, nggak banget deh kalau aku makan banyak lagi di depan
dia, jangan-jangan nanti dia ilfil! Yang di Upgraded itu anggap aja dispensasi deh, soalnya kemarin
aku grogi banget mau pergi berdua sama Dylan sampai nggak sempat sarapan, dan akibatnya aku
jadi kelaparan di Upgraded!
Ini juga gara-gara ide gila Grace yang pura-pura ada acara keluarga dan nggak mau
menemaniku! Katanya sih, dia pengin membuka jalanku sama Dylan, biar kami bisa berduaan.
Dan dia juga bilang dia nggak mau jadi kambing congek! Huh!
But I really thanked her... Kalau bukan karena ide gilanya, nggak mungkin kemarin aku bisa
ngobrol-ngobrol berdua sama Dylan. Dan mungkin Dylan juga nggak akan mengajakku pergi lagi
hari ini kalau bukan karena dia senang pergi sama aku. Uhuy!
"Lice, makan yuk?"
Aku terperangah. Makan"
"Tuh, ada yang jual hamburger sama hot dog! Atau kamu mau makan nasi" Eh... ada yang jual
es krim juga!" Dylan kedengarannya riang banget melihat semua penjual makanan itu. "Kamu
mau makan apa?" Tuh kan... Dia nanya, lagi! Makan... enggak...makan... enggak...
"Mmm... Es krim aja deh, kayaknya enak panas-panas gini makan es krim."
Ya ampun, kapan sih aku berhenti berbuat tolol" Panas apanya" Ini kan Cisarua!
Tapi Dylan percaya-percaya aja sama omonganku yang asli ngaco itu, dan malah mengajakku
ke tempat penjual es krim.
"Kamu mau es krim apa?"
"Conello cokelat."
"Oke. Conello cokelatnya dua, Bang," pesan Dylan ke penjual es krim, dan dia ngotot
membayari es krimku. Kami duduk di bangku yang ada di bawah pohon, dekat permainan sepeda gantung. Dylan
membuka bungkus es krimnya dan memakan es krim itu dengan santai, sementara aku benarbenar kehilangan kontrol atas detak jantungku. Gila, kalau kayak gini terus kayaknya aku bakal
kena serangan jantung dan mati muda nih!
"Kamu keberatan nggak kalau aku cerita sesuatu?" tanya Dylan tiba-tiba.


Dylan I Love You Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nggak. Nggak papa, cerita aja..."
"Aku sebenernya nggak mau bawa-bawa kamu dalam masalah pribadiku, Lice, tapi... nggak
tau kenapa, aku seneng banget ngobrol sama kamu. Rasanya kalau aku udah cerita ke kamu, aku
jadi lega." Dylan tersenyum dan menatapku lurus-lurus. Aduuuhhh... tolooonggg! Senyumnya
itu... nggak nahaaaannnn!
"Aku juga seneng kok kalau kamu mau cerita sama aku, Lan," jawabku kagok. Suaraku
terdengar kecil dan mencicit seperti suara tikus.
"Thanks ya." Dylan menghela napas. "Kamu tau apa ketakutanku yang paling besar?"
"Kehilangan fans?"Aku sok bercanda, tapi Dylan cuma tersenyum pahit dan menggeleng.
Ups, the wrong joke in the wrong time!
"Aku paling takut mengalami kesalahan yang sama."
Aku mengernyit. "Kesalahan apa?"
"Apa aja. Tapi aku paling takut kalau orang-orang tau aku dekat sama seorang cewek, dan
cewek itu jadi bulan-bulanan media. Atau orang-orang yang nggak suka aku dekat sama cewek
itu..." "Maksudmu... kalau kamu punya pacar dan orang tau tentang itu" Juga kalau ada orang yang
benci sama pacarmu itu dan jadi menerornya?"
Dylan menatapku heran, dan aku baru sadar aku salah bicara.
Ya Tuhan... kenapa otakku selalu korslet di saat-saat genting begini sih"!
"Mmhhh... maksudku, kamu..."
"Kamu tau dari siapa kalau pacarku yang sebelumnya diteror?"
Aduh! "Bukannya gitu, tapi aku..." Aku menghela napas dalam-dalam. Nggak ada gunanya
bohong, toh nanti juga Dylan pasti bisa melihat aku bohong. "Kinar pernah bilang kamu dulu
pacar kakaknya, tapi kalian udah putus... Dan Kinar juga pernah cerita ke Grace kakaknya...
mmm... sering dapat surat kaleng dan SMS iseng sejak kamu gabung sama Skillful dan orangorang tau kakak Kinar itu pacarmu..."
Dylan menyandarkan punggungnya ke bangku taman, nggak menghabiskan es krim yang ada
di tangannya. Aku juga kehilangan selera makanku.
Gawat! Apa dia marah gara-gara aku kelewat tau urusan pribadinya, ya" Aduhh... janganjangan kalau dia marah, dia bakal meninggalkanku di Taman Safari sendirian! Aku kan nggak tau
jalan pulang dari sini, gimana dong" Dan apa jadinya kalau aku menelepon Daddy untuk minta
dijemput di Taman Safari, sementara Daddy tadi tahunya aku pergi sama Grace" Aduh, Tuhan,
tolong! Aku bener-bener kualat karena sudah bohong sama ortuku!
Dan mendadak aku ingat satu hal yang lebih gawat lagi jangan-jangan gara-gara semua
omonganku barusan, Dylan jadi mengira Kinar "ngember" ke teman-temannya soal hubungan
Dylan dan Karin dulu! Haduuuuhhhh!!!
"Eh, Dylan, aku tau semua ini bukan karena Kinar ngember atau apa lho," kataku gugup,
jantungku jungkir-balik dengan perasaan bersalah. "Sebenernya Kinar ngomong itu cuma ke
Grace, dan Grace cerita ke aku karena... karena..."
Aku nggak mungkin bilang Grace memberitahuku semua itu biar aku nggak berharap terlalu
muluk jadi pacar Dylan, kan" Ya ampun, ini jalan buntu!
"Nggak papa, Lice, aku tau Kinar bukan orang yang seperti kamu takutkan itu kok. Aku kan
kenal dia lumayan lama."
"Oh. Iya..." Aku menunduk, nggak berani menatap Dylan.
"Dan karena kamu udah tau garis besar ceritanya kayak apa, aku jadi nggak perlu ngejelasin
semuanya dari awal ke kamu."
Suara Dylan terdengar geli, jadi aku memberanikan diri mendongak.
"Kamu... nggak marah sama aku?"
"Marah" Kenapa aku harus marah sama kamu?"
"Ya kan aku..."
"Kamu nggak cerita tentang semua yang dibilang Kinar itu ke orang lain, kan?" potong
Dylan. Aku cepat-cepat menggeleng. "Nah, kalau gitu, aku nggak punya alasan buat marah sama
kamu. Aku kan nggak bisa marah sama orang atas apa yang mereka dengar."
Aku manggut-manggut tolol.
"Jadi... itu yang paling aku takutkan, Lice. Aku takut hal yang sama bakal terulang," kata
Dylan sedih. "Dan kalau sekarang aku dekat sama kamu... Tolong, jangan cerita ke siapa-siapa,
ya" Kamu boleh cerita ke Grace, tapi jangan ke orang lain lagi. Aku nggak mau kamu kenapanapa. Sori, tapi ini semua demi kamu juga..."
Dylan bangun dari kursi taman yang kami duduki, lalu membuang es krimnya yang nggak
habis ke tempat sampah. Setelah itu dia mendekat ke arahku... dan tangannya menyentuh ujung
bibirku. "Es krimmu cemot di bibir," katanya geli, seolah dia nggak habis membicarakan hal serius
yang bikin aku pusing tujuh keliling.
Kalau sekarang aku dekat sama kamu...
Kalau sekarang aku dekat sama kamu...
Maksudnya..." Apa maksudnya..."
"Lice?" "Eh"! Iya"!" Aku terlonjak.
"Kita masuk ke rumah hantu, yuk?"
*** "Gue cuma bisa bilang "wow"," seru Grace di telepon. "Lo bener-bener gila, Lice! Tau nggak, tadi
waktu ortu lo telepon gue dan nanya jam berapa gue bakal nganter lo pulang, gue bener-bener
shock! Apalagi HP lo nggak bisa dihubungi!"
"Ya gue kan di tengah-tengah Taman Safari, di sana mana ada sinyal?" aku ngeles.
"Iya tapi kan seenggaknya kemarin atau tadi pagi lo bisa bilang lo bohong sama ortu lo,
jadinya gue nggak kaget kayak tadi waktu ortu lo telepon! Untung aja gue banyak akal dan bilang
kalau kita lagi makan dan HP lo low batt. Untungnya lagi, ortu lo nggak minta ngobrol sama lo!
Coba kalau iya, mampus deh gue!" Grace menyerocos.
"Iya, iya... sori deh... Habisnya tadi pagi tuh yang kepikiran di otak gue cuma gimana cara
Dylan nggak jemput gue di rumah, jadinya gue kelupaan mau ngasih tau lo..."
"Hmm... Ya udahlah. Oya, terus tadi gimana caranya Dylan nganterin lo pulang?"
"Ya dia nurunin gue di portal, terus gue jalan sampai ke rumah."
"Ortu lo nggak curiga?"
"Ya curiga lah! Nyokap nanya, "mana Grace?" soalnya kan dikiranya lo yang nganter gue
pulang." "Terus lo bilang apa?"
"Gue bilang lo sakit perut, jadi buru-buru pulang dan gue diturunin di portal!"
"Siaul! Nggak bonafid banget sih alasan lo!" omel Grace.
Aku cengengesan. "Tau nggak, habis gue bilang gitu, Nyokap bilang apa?"
"Apaan?" Nada suara Grace masih terdengar jengkel.
"Katanya, "kok Grace nggak disuruh pakai kamar mandi kita dulu aja sih" Kan kasihan dia
kalau harus nahan sakit perutnya sampai rumah. Rumah Grace kan jauh" hoahahaha...!
"Aliiiiiccceeeee...! Kurang ajar lo! Bener-bener anak durhaka!"
"Haha... maap... maap..." Aku menghapus titik air di sudut mataku yang menetes gara-gara
aku kebanyakan tertawa. "Lo yang senang-senang sama Dylan, gue kena imbasnya," Grace menggerutu. "Tapi nggak
papa deh, gue senang kalau lo hepi, Lice."
Aku berhenti tertawa. "Trims, ya, Grace. Kalau bukan karena lo, mungkin..."
"Udahlah. Yang penting sekarang lo ingat apa omongannya Dylan, lo nggak boleh ngember
ke mana-mana kalau lo sekarang deket sama dia."
"Iya, gue ingat kok. Lo juga jangan cerita siapa-siapa, ya?"
"Tenang aja, Bos! Gue kan nggak mau lo sampai diteror. Jujur aja, gue dulu ngenes kalau
ingat kondisinya Mbak Karin menjelang dia putus sama Dylan. Gue nggak mau lo kayak gitu
juga." "Moga-moga nggak deh." Aku menelan ludah.
"Tapi yang gue nggak ngerti, kenapa ada orang yang sampai segitu tega, ya" Maksud gue, toh
mereka nggak bisa juga ngedapetin Dylan dengan cara kayak gitu..."
"Gue juga bingung. Tapi udahlah, nggak usah dipikirin lagi."
"Ehhh... sebentar! Out of topic nih, jangan kira gue ikhlas melihat image gue jeblok di mata
nyokap lo, ya! Pokoknya besok gue mau makan pangsit bakwannya Pak Amboi dua porsi, dan lo
yang bayar!" Hah"! SURPRISE"! Always said I would know where to find love
Always thought I"d be ready and strong enough
But sometimes I just felt I could give up
But you came and you changed my whole world now
I"m somewhere I"ve never been before
Now I see... What love means...
It"s so unbelievable... And I don"t wanna let it go
It"s something so beautiful, flowing down like a waterfall
I feel like you"ve always been forever a part of me
And it"s so unbelievable to finally be in love
Somewhere I never thought I"d be...
(Unbelievable " Craig David)
GUE sudah memutuskan mengejar Alice. Semuanya sudah benar-benar gue pikirkan, kalau
lo mau tau. Dan gue tipe orang yang menganut moto "di mana ada kemauan, di situ ada
jalan". Toh, gue nggak berniat married sama Alice dalam waktu dekat (yang benar aja!), dan
kita masih punya banyak waktu untuk mencoba. Nah, "mencoba" yang gue maksud di sini
bukan menjalani hubungan dengan iseng dan tanpa tujuan lho ya. "Mencoba" yang gue
maksud adalah lebih saling mengenal dan belajar mengerti pribadi satu sama lain, dan
nantinya, kalau berhasil, bisa beralih ke hubungan jangka panjang.
Gue akui, hubungan gue sama Alice memang banyak halangannya. Tapi tetap aja, gue
bener-bener sayang sama dia. Love conquers all. Dan sekarang yang penting adalah, gue
nggak mau Alice sampai kenapa gara-gara gue. Pokoknya nggak boleh ada yang tau dia dekat
sama gue. Apalagi infotainment. Juga Dylanders. Pokoknya siapa pun.
Bukannya gue takut kehilangan fans atau apa, tapi gue sama sekali nggak tau Dylanders
mana yang bener-bener baik, dan mana yang psycho. Kalau tau hidup gue bakal seribet ini,
mungkin dulu gue nggak bakal ikut audisi vokalis Skillful. Mungkin gue bakal hepi-hepi aja
jadi mahasiswa fakultas hukum yang suka nyanyi di kafe-kafe.
Tapi kalau nggak gara-gara jadi vokalis Skillful, gue juga nggak mungkin kenal Alice,
kan" "Lan, ini schedule lo." Mas Tyo, salah satu kru Skillful, menyodorkan selembar kertas ke
gue. Jadwal Skillful di Balikpapan, 5 September 2006. Flight dari Cengkareng jam setengah
tujuh pagi, sampai di Balikpapan dan istirahat. Check sound jam empat sore, manggung jam
dua belas malam. Ckckck... kafe, sih!
Gue melipat kertas schedule itu dan memasukkannya ke kantong, lalu mengeluarkan HP.
Hehe... foto Alice yang jadi wallpaper HP gue ini lucu banget! Dia lagi ketakutan setelah
keluar dari rumah hantu kemarin, dan gue iseng memotretnya. Cewek ini bener-bener lucu!
"Foto siapa tuh?" tanya Ernest yang ternyata sudah melongok diam-diam dari balik bahu
gue. Gue nyaris loncat saking kagetnya! "Cewek baru, ya?"
"Bukan. Bukaaaannn... Ini..."
"Udahlah, Lan, lo ngaku aja deh. Muka lo udah kayak stroberi busuk tuh merahnya."
Ernest cengengesan. Gue bener-bener salting! "Eh... bukan cewek gue juga sih... Belum...," kata gue malu,
dan Ernest langsung memamerkan senyum kemenangannya. Biar deh, toh cepat atau lambat
juga dia bakal tau. "Dari tadi kek ngakunya!"
"Tapi... Nest, jangan cerita ke yang lain, ya" Gue nggak mau orang-orang tau gue deket
sama cewek ini." "Lho" Kenapa?" Dahi Ernest berkerut. Kalau tampangnya serius gitu, baru deh dia
kelihatan kayak bapak beranak satu!
"Kalian ngomongin apa sih?" tanya satu suara lagi, dan gue langsung pusing begitu tau
itu suara siapa. Bang Budy! "Foto siapa itu, Lan" Yang di HP kamu?"
Yeah, kalau gini sih sekalian aja gue bikin konpers!
"Bukan foto siapa-siapa, Bang." Gue langsung mengganti wallpaper HP gue dengan
gambar lain yang nggak jelas apa.
Kelihatan banget Bang Budy nggak percaya omongan gue barusan.
"Yah, Abang nggak mau ikut campur, itu kan urusan pribadi kamu," kata Bang Budy
sambil mengangkat bahu. "Tapi kalau cewek itu memang lagi dekat sama kamu, tolong
jangan sampai pers tau, ya" Kamu kan tau sendiri gimana pers, nanti kamu sendiri yang bakal
pusing. Dan ini semua demi kebaikan cewek itu juga."
Gue mengangguk cepat. Tanpa dibilang pun gue emang udah berniat begitu. Pokoknya,
jangan sampai Alice dikenal media.
Hell, Bang Budy tuh orangnya sebenernya baik juga lho. Cuma kadang-kadang dia
terlalu overprotektif sama gue...
Dan kalau bukan manajer sehebat dia, nggak mungkin Skillful bisa jadi sengetop
sekarang ini. *** Ya ampun, gue ngantuk banget! Asli ngantuk! Mata gue udah berat aja nih. Dan kayaknya
dari tadi langkah gue seperti nggak memijak lantai.
Ini semua gara-gara Tora! Subuh tadi waktu gue bangun dan mau bikin kopi instan, dia
dengan sengaja mendului gue ke dapur, dan mengambil sachet kopi terakhir yang ada di
sana! Dia pakai kopi itu untuk diminum sendiri, padahal dia PASTI bisa melihat gue lagi
butuh banget asupan kafein, karena gue cuma sempat tidur satu jam, dan kemarin Bang Budy
sudah mewanti-wanti supaya semua kumpul di markas jam setengah enam pagi supaya nggak
ketinggalan flight. Akibat nggak minum kopi itu, sekarang gue jadi limbung, dan agak-agak
nggak nyambung kalau diajak ngobrol saking ngantuknya! Tora sialan!
"Dylan!" Gue menoleh. Arghhhh! Ada Noni di sini! Noni! Dari mana dia tau gue naik pesawat jam segini" Atau dia emang udah biasa stand by di
bandara dari pagi-pagi buta" Mata gue membeliak lebar melihat Noni berlari-lari
menghampiri gue. "Hai, Dylan," sapa Noni kenes begitu gue menuju departure gate.
Buset, anak ini dandanannya kayak mau clubbing aja!
"Hai, Noni," sapa gue balik. "Udah lama nunggunya?"
"Lama banget, sampai gue dilihatin orang-orang nih," rengeknya.
Ya iyalah, pakaian lo kayak gitu! Gue malah heran kalau orang-orang nggak ngeliatin lo!
"Oh," gumam gue pelan.
Noni mulai berceloteh macam-macam. Tanya ini-itu yang bikin kepala gue serasa mau
pecah. Ya ampun, ini masih pagi, dan gue ngantuk berat, tapi anak ini malah merepet segala
macam di depan gue! "Eh, Lan, gue cuma pengin mastiin aja nih. Lo masih jomblo, kan?"
Gue mengernyit mendengar pertanyaannya, tapi secepatnya mengubah kernyitan gue
menjadi cengiran begitu gue ingat gue harus mengendalikan emosi di hadapan fans, termasuk
Noni. "Ehm... iya, gue masih jomblo kok. Mana mungkin gue cari cewek kalau ada cewek
secantik lo yang perhatian sama gue."
Noni membelalak, dan gue rasanya kepengin banget menggigit putus lidah gue gara-gara
omongan gue barusan. Ngomong apa sih gue?""! Apa ngantuk berat bisa membuat orang jadi
error dan mengakibatkan ketidaksinkronan antara otak dan mulut?""!
"Jadi..." Noni kelihatannya nyaris meledak karena bahagia. "Jadi... lo suka sama gue?"
Lihat, Dylan, lihat! Itu tuh akibat dari omongan ngaco lo barusan!
Gue nggak menjawab, tapi langsung tolah-toleh mencari orang yang bisa menyelamatkan
gue dari keadaan genting ini. Ah! Ada Dovan!
"Van! Dovan! Kita boarding-nya jam berapa sih?" tanya gue setengah berteriak, padahal
mata gue jelas-jelas ngasih isyarat supaya Dovan menyelamatkan gue dari Noni.
"Ehh..." Dovan kelihatan bingung, tapi dia berlagak melirik jam tangannya. "Sekarang
sih. Iya sekarang!" Thanks God, dia ngerti isyarat gue!
"Mmm... Noni, sori ya, tapi gue udah mau boarding nih," kata gue sok menyesal,
padahal gue girang banget bisa kabur secepatnya dari sini!
"Oh. Ya udah deh. Hati-hati ya?" Noni cemberut. "Ehh... foto dulu dong!" Dia menarik
gue ke sisinya dan dengan cepat memotret menggunakan kamera HP-nya. Gue nyengir
kepaksa. "Bye," kata gue setengah bersemangat. Huh, gara-gara Noni, dan omongan ngaco gue
barusan, kantuk gue jadi hilang lenyap tak berbekas!
Dan kenapa sih gue harus selalu foto bareng dia tiap kali ketemu" Jangan-jangan semua
foto bareng itu dia bikin kolase terus dia pasang di langit-langit kamarnya juga, di sebelah
poster gede gue. Hiii...!
Gue menenteng tas gue ke area boarding tanpa menoleh lagi ke arah Noni. Begitu udah
di dalam, gue langsung telepon Alice.
"Halo?" "Hai!" sapa Alice riang. "Belum berangkat?"
"Nih udah boarding kok. Kamu jangan nangis ya kalau aku tinggal."
Alice tertawa. "Ya nggak lah! GR deh kamu!"
"Ya udah, nanti malam aku telepon lagi ya sebelum manggung. Ini Bang Budy udah
ribut aja nyuruh kita naik pesawat."
"Oke. Hati-hati ya."
"Kamu juga take care ya. See ya."
Gue memutuskan sambungan telepon. Kayaknya gue nggak rela deh nggak bisa ketemu
Alice dua minggu penuh...
Gimana kalau selama dua minggu itu ada cowok yang deketin dia"
S**t, cowok itu harus berhadapan sama gue!
*** 5 September 2006 Balikpapan panas banget! Baru turun dari pesawat aja, baju gue udah basah kuyup. Belum
lagi mobil jemputan panitia Z-Mild yang ternyata telat dan gue harus ngejogrok di atas troli
bandara selama satu jam lebih!
Aduh, ngantuk banget! Tapi mau tidur juga nggak bisa! Orang-orang di sekitar gue udah
mulai penasaran, dan kayaknya beberapa mulai menuding-nuding ke arah gue dan anak-anak.
Untunglah mobil jemputan itu datang juga, dan gue bisa tidur di mobil. Tapi ternyata


Dylan I Love You Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jarak bandara ke hotel tempat kami menginap itu dekat banget, jadi gue baru tidur lima menit
waktu gue dibangunin! Ckckck... kalau tau gitu, lebih baik tadi jalan kaki aja deh ke
hotelnya! Yang lebih parah adalah konsernya. Percaya nggak, tiket konser kami di sini harganya
dua ratus ribu! Memang sih kami manggungnya di kafe, tapi tetap aja menurut gue tarif
segitu tuh nggak berperikemanusiaan banget! Kalau gue calon penontonnya, dan gue lihat
entry charge-nya segitu, gue batal nonton deh!
Konsernya sendiri biasa aja. Gue nyanyi 13 lagu, dan sempat ditarik-tarik beberapa
cewek yang kelewat histeris. Ya ampun, emangnya gue segitu ngegemesinnya, ya"
Oh ya, tadi gue telepon Alice, tapi ternyata dia udah tidur. Ya jelas lah, orang gue
telepon dia sebelum manggung, dan gue manggung tuh jam dua belas, masa gue berharap
Alice masih bangun sih jam segitu" Goblok banget gue.
*** 6 September 2006 Pagi-pagi gue udah dibangunin sama Ernest. Bus yang kami pakai untuk ke Samarinda udah
siap di bawah, dan Bang Budy udah telepon ke kamar berkali-kali, tapi gue masih juga molor.
Akibatnya, gue pontang-panting sendiri, mandi ala bebek yang secepat kilat, dan baru di gus
gue sadar ada SMS dari Alice.
From: Alice A sweeter smile... A brighter day... Hope everything turn out great 4 U 2day...
(> " " <)
Have A ( ="o"= ) Nice (,,) (,,) Day... ;) Ya ampun, cewek ini bener-bener manis! Pagi-pagi aja dia masih ingat buat
menyemangati gue, padahal gue nggak jadi meneleponnya tadi malam!
Untuk menebus kesalahan, gue menelepon Alice tadi siang, sepanjang jam istirahat
sekolahnya. Dia cerita bulan depan dia dan band kelasnya disuruh nyanyi oleh kepseknya di
depan seisi sekolah, soalnya kepseknya itu suka penampilan mereka. Berarti suara Alice
bagus banget dong ya" Hmm... apa gue bisa usulin ke Bang Budy supaya album Skillful
berikutnya menggandeng penyanyi cewek untuk duet" Gue kan bisa memasukkan Alice,
hehe... Tengah-tengah ngobrol, pembicaraan gue sama Alice terputus. Taunya pulsa gue habis!
Terpaksa gue minta sopir bus berhenti di kios pulsa yang kita lihat di pinggir jalan. Waktu
gue turun untuk beli pulsa, ternyata pemiliknya mengenali gue! Dan gue diisikan pulsa
seratus ribu GRATIS, asal gue mau foto sama anak ceweknya! Gue bener-bener bingung, dan
gue bilang gue bakal dengan senang hati foto sama anak ceweknya DAN tetap membayar
pulsa gue, tapi yang punya kios nggak mau.
Kadang-kadang jadi vokalis band terkenal enak juga, hehe...
*** 8 September 2006 Samarinda dua hari yang lalu heboh, tapi Palangkaraya hari ini jauh lebih heboh!
Gue manggung di Universitas Sutopo, dan penontonnya bener-bener membludak! Gila,
padahal gue manggung jam dua siang, tapi penontonnya bisa segitu banyak. malah ada
sekumpulan cewek yang membawa spanduk bertuliskan "We Love Skillful" berukuran
superbesar! Gue sampai nggak bisa berhenti senyum melihat spanduk itu.
Oh ya, gue juga dapat kiriman SMS lucu dari si Dora, dan SMS itu langsung gue forward
ke Alice. Memang sih gue nggak kreatif, tapi mau gimana lagi dong" Gue kan nggak bisa
ngegombal 100%! SMS-nya kayak gini nih: To: Alice Days are too busy... Hours are too few...
Seconds are too fast... But there is always a time for me to say...
G O O D N I G H T... And I miss U so... Hehe, jelas Dora nggak menulis kata-kata "I miss U so" itu di SMS-nya ke gue. Kalau itu
sih tambahan gue sendiri buat Alice.
Ternyata gue tukang gombal juga. Tapi gue emang bener kangen dia sih...
*** 19 September 2006 Fiuuhhh... gue nggak nyangka kalau setelah pulang tur, barang bawaan gue jadi sepuluh kali
lipat beratnya! Atau gue aja yang tambah gendut gara-gara kebanyakan makan dan akhirnya
malah nggak kuat mengangkat barang-barang bawaan gue sendiri"
Oya, tadi Alice SMS, katanya dia nggak bisa jemput di airport soalnya dia lagi ada tes di
sekolah, dan nggak mungkin banget bolos, sementara pesawat gue landing jam sebelas siang.
Nggak pa-pa deh, yang penting ntar sore gue ketemuan sama dia... And I have a surprise
for her! *** "Kita mau ke mana sih?" tanya Alice bingung sewaktu gue menjemputnya di rumah Grace.
Seperti biasa, gue memang nggak bisa langsung menjemput Alice di rumahnya. Selain
karena Alice bilang ortunya super-duper-overprotektif, dia juga bilang tetangga sebelah
rumahnya tuh punya dosis keingintahuan yang di luar batas wajar. Malah, kata Alice, kalau
aja tetangganya yang namanya Bu Parno itu masih muda dan kerja sebagai wartawan
infotainment, orang itu pasti bakal menang award sebagai wartawan terjago mengorek
rahasia selebriti. Mendengarnya aja, gue udah ngeri. Dalam bayangan gue, Bu Parno bener-bener bikin
gue parno! "Udah, kamu naik aja."
Alice mengedikkan bahu, lalu memakai helm merah yang gue sodorkan.
*** "Udah sampai," kata gue saat motor gue berhenti dua puluh menit kemudian. Alice turun dari
boncengan dan menatap gue dengan pandangan nggak ngerti.
"Ini... tempat apa?"
"Kamu nggak bisa nebak" Nggak ada gambaran sama sekali?"
Gue bisa melihat kalau Alice bingung. Wajah lucunya itu berkerut heran.
"Tempat ini" Mmm... kantor?"
"He-eh. Kantor yang seperti apa?"
"Eh... biasa aja sih... seperti kantor-kantor biasanya..."
"Hmm... sebenernya ini bukan kantor biasa," kata gue sok serius.
"Dylan... jangan bilang kalau ini kantor manajemen Skillful..."
"Ini kantor manajemen Skillful," sahut gue puas. Alice langsung bengong.
"Aku... aku boleh masuk?" Tangan Alice menuding pintu masuk.
"Ya boleh lah... Aku udah pesan sama Bang Budy supaya malam ini Pak Kirno ngizinin
aku dan satu orang lagi masuk kantor."
"Pak Kirno itu siapa?"
"Satpam di sini. Tuh orangnya." Gue memberi isyarat ke arah pos satpam yang nggak
begitu jauh dari gue, tempat Pak Kirno duduk terkantuk-kantuk.
"Jadi... aku..."
Gue tersenyum, dan berjalan mendahului Alice ke pintu masuk. Gue lalu membukakan
pintu itu dengan gaya pelayan yang membukakan pintu untuk majikannya.
"Silakan, Tuan Putri..."
Alice terkikik, dan dia melangkah masuk.
INI PLATINUM" KOK ANEH..."
DYLAN bener-bener gila. Dia baru pulang dari tur Kalimantan-Sulawesi tadi siang, dan malam
ini langsung mengajakku pergi. Hebatnya lagi, aku nggak diajak ke tempat-tempat basi macam 21
atau mal seperti biasanya cowok mengajak cewek.
Aku diajak ke kantor manajemen Skillful!
Waktu aku pertama melihat bangunan kantor ini, aku sama sekali nggak bisa nebak di kantor
inilah Skillful bermarkas. Habisnya, di bayanganku kantor manajemen Skillful adalah jenis kantor
yang dindingnya penuh grafiti dan coretan, tipe khas bangunan yang dihuni para anak band. Tapi
nyatanya, bangunan ini nggak jauh beda dengan kantor-kantor pada umumnya. Bersih, ada
lapangan parkir kecil yang kira-kira cukup untuk tiga mobil, juga pos satpam.
Satpamnya kelihatannya lagi tidur waktu gue dan Dylan datang. Aduh, Pak, bangun dong!
Gimana nanti kalau ada maling"
Ah, sebodo amat. Aku masih bengong waktu Dylan membukakan pintu untukku, dan kami
berada dalam ruang tamu kecil yang terang benderang. Dylan mengambilkan aku sekaleng CocaCola dari lemari es yang ada di situ, dan aku langsung meminumnya, berlagak menutupi
kekagokanku yang sama sekali nggak menyangka bisa menjejakkan kaki di markas Skillful.
Tiba-tiba aku ingat pernah mendengar selentingan dari milis Dylanders bahwa kantor
manajemen ini susaaaaahhhh banget dimasuki orang-orang yang bukan kru atau personel Skillful.
Beberapa anak milis pernah ke sini, tapi mereka nggak berhasil masuk! But now I"m here!
"Mau lihat-lihat studio?" tawar Dylan. Aku langsung mengangguk.
Dylan mengajakku melewati lorong yang nggak begitu lebar, dan kami naik tangga dulu
sebelum akhirnya sampai. Aku cuma bisa bilang wow.
Studio ini keren banget! Temboknya dilapisi peredam dari bantalan-bantalan berwarna abuabu muda, dan karpetnya sewarna dengan itu. Dan walaupun aku nggak bisa main musik, aku
nggak bego-bego amat untuk menyadari studio latihan ini punya peralatan band terkeren yang
pernah kulihat! Gitar Fender hitam milik Rey, drum Dudy di pojok sana, deretan keyboard Ernest,
bas Dovan yang tersandar di dinding...
This is awesome! Dan pandanganku berhenti pada stand mike yang ada di tengah studio. Di stand mike itu ada
mikrofon yang sepertinya familier.
"Lho... kamu selalu pakai mikrofon ini, ya" Waktu di pensi SMA 93... di TOP Channel,
kamu juga pakai mikrofon ini, kan?"
Dylan mengangguk. "Itu memang mikrofon khusus buat aku," katanya sambil menunjuk ke
label kuning pada mikrofon itu yang bertuliskan "Dylan Skillful". "Nih, ada namanya segala,
hehe..." "Jadi, kalau kamu tur ke mana aja, mikrofon ini harus dibawa?"
"Yup." Aku manggut-manggut. Begitulah kalau vokalis band terkenal. Mikrofonnya aja khusus
dibawa sendiri. "Mau lihat ruangan lain" Aku mau nunjukin award room ke kamu."
"Award room?" Apaan tuh"
"Iya. Ruangan tempat menyimpan semua award yang didapat Skillful. Ada platinum, plakatplakat... yah, memang agak ngebosenin sih, tapi mungkin kamu..."
"Aku mau lihat!" seruku riang, dan langsung berlari ke arah pintu studio.
Aku mengikuti Dylan menuju ruangan yang ternyata letaknya di sebelah studio ini. Ruangan
itu lebih kecil dari studio yang tadi kumasuki, tapi ruangan ini hebat banget! Dindingnya penuh
pigura berbagai macam penghargaan. Ada dua pigura yang masing-masing berisi dobel platinum
untuk album Skillful yang dulu, sebelum Dylan bergabung. Dan yang terbaru, tergantung di dekat
pintu masuk, pigura-pigura hitam mengilap yang di dalamnya berisi kepingan CD raksasa
bertuliskan "Skillful".
Gila, mereka udah dapat tujuh platinum buat album yang sekarang ini"
Tujuh platinum berarti... satu juta lima puluh ribu keping..."
"Suka ruangannya?" tanya Dylan.
"Banget! Album kalian laris, ya?"
"Yah... berkat fans juga sih. Kalau bukan karena mereka, nggak mungkin semua award ini ada
di sini," kata Dylan merendah. Cowok ini bener-bener low profile.
Dan kenapa dia kelihatan tambah ganteng sih setelah tur"!
Aku mengalihkan tatapanku dari wajah Dylan dan memutuskan melihat-lihat lagi award-award
yang ada di ruangan ini. Semua ini punya Skillful dari hasil penjualan album mereka...
Pandanganku terantuk pada sebuah pigura yang isinya berupa piringan CD besar berwarna
perak yang nggak bertuliskan apa-apa. Barang apa ini"
"Ini... apa?" tanyaku sambil menunjuk pigura yang tergantung tepat di tengah ruangan itu.
Sepintas sih isinya nggak jauh beda sama pigura-pigura lain yang ada di ruangan ini, cuma yang
ini nggak ada tulisannya.
"Oh, itu," gumam Dylan. "Itu award paling berharga. Platinum yang paling unik."
"Ini Platinum" Kok aneh...?" Aku mendekat ke pigura itu, berusaha melihat lebih teliti.
Dan tiba-tiba lampu mati!
"Lan, lampunya mati..."
"Memang. Kalau nggak kan kamu nggak bisa lihat itu..."
Pikiranku mulai ngaco. Jangan-jangan Dylan...
"Tuh, lihat..."
Dylan menggandengku menuju pigura berisi platinum aneh tadi, dan aku mulai sadar
ternyata cuma lampu ruangan ini yang mati, sementara lampu di lorong luar sana masih menyala
terang benderang. Seberkas cahayanya masuk, tapi ruangan ini masih cukup gelap sehingga...
Oh no. Aku bener-bener speechless melihat apa yang tertulis di benda yang kusebut platinum aneh itu.
I LOVE YOU Tulisan glow in the dark pada piringan CD raksasa itu menyala terang di tengah kegelapan, dan
pikiranku mulai sibuk bekerja keras.
Mana mungkin ada penghargaan platinum yang tulisannya "I LOVE YOU?"
Kecuali kalau... "Eh... Dylan...," panggilku kagok. "Ini... maksudnya..."
"Aku tau kalau aku nggak selalu bisa ada di dekat kamu, Lice... Kita mungkin juga nggak bisa
jalan bareng di mal, atau di tempat-tempat umum lainnya, tapi... aku bener-bener sayang sama
kamu, dan nggak mungkin bisa kehilangan kamu..."
Omigod, omigod, omigod...
Aku nggak sanggup lagi. Somebody please wake me up! Mimpi ini terlalu bagus, dan aku takut
kalau aku bangun nanti aku bakal bunuh diri saking sedihnya semua kejadian ini cuma terjadi
dalam mimpi! "Kadang-kadang aku berharap aku ini cuma cowok biasa, bukan vokalis band ngetop yang
hidupnya selalu diubek-ubek sama segala macam gosip," kata Dylan sambil menggenggam
tanganku erat-erat. "Aku dulu kehilangan Karin karena itu, tapi aku sekarang nggak mau
kehilangan kamu karena hal yang sama..."
"Jadi..." "Aku tau aku gila kalau minta kamu mau menjalani semua ini diam-diam, tapi aku berusaha
sebisaku untuk melindungi kamu dari... orang-orang yang mungkin bakal menyakiti kamu kalau
tau kamu dekat sama aku... Dan aku sayang banget sama kamu..."
Aku diam. Bibir dan lidahku rasanya baru aja dikeluarkan dari freezer. Beku.
"Aku bisa ngerti kalau kamu nggak mau..."
"Aku... mau kok," jawabku akhirnya. Nggak tau kenapa bibir dan lidahku mendadak mencair
dengan sendirinya. "Aku tau kamu ngelakuin ini semua demi aku juga, dan aku... aku mau..."
Aku nggak meneruskan kata-kataku. Dylan sudah memelukku erat-erat, dan aku tersenyum
memandang Platinum I LOVE YOU yang masih menyala terang benderang di dinding itu.
Well, I"m officially his girlfriend now.
Kalau dua bulan lalu ada orang yang bilang aku bakal pacaran sama Dylan Siregar, yang
vokalis Skillful itu, aku pasti bakal ketawa terbahak-bahak dan mengatai orang itu gila.
I"M (NOT) SINGLE YES! Yes! Yes! Kalau bukan karena akal sehat, gue pasti udah bawa motor sambil berdiri saking
girangnya! Nggak sia-sia gue order khusus tiruan platinum dengan tulisan glow in the dark
itu! Harganya memang lumayan mahal, tapi itu sama sekali nggak ada artinya dibanding
senengnya gue sekarang! Gue juga bener-bener nggak nyangka Alice mau jadi pacar gue.
Maksud gue, gue kan udah minta terlalu banyak dari dia. Dia harus ngertiin schedule
Skillful yang gila-gilaan dan rela ditinggal-tinggal. Dia juga harus berbesar hati ngeliat gue
dipeluk en dicium fans-fans cewek. Dan yang lebih parah, dia harus rela nggak bisa
menyandang status sebagai pacar gue di depan umum.
Dan dia rela... Kalau bukan karena gue takut Alice diteror, gue pasti udah dengan bangga bikin konpers
dan bilang gue resmi pacaran sama cewek yang udah bikin gue hepi banget beberapa minggu
belakangan ini. Mungkin gue juga bakal pakai kaos gue yang tulisannya "I"M SINGLE" itu
lagi, dengan menambahkan kata "NOT" di tengahnya, jadi orang-orang bisa tau gue bukan
jomblo lagi. Tapi gue nggak bisa...
Dan Alice sama sekali nggak keberatan ngelakuin ini semua. Dia nggak jadi euforia
berlebihan dan langsung sorak-sorak karena pacaran sama gue. Dia cuma diam, dan bilang
dia mau pacaran sama gue... She"s the best girl ever. Dia juga nggak mengumbar statusnya ke
orang-orang, padahal kalau cewek-cewek lain mungkin bakal pamer kalau mereka punya
cowok seleb. Alice sama sekali nggak gitu,d an itu bikin gue jadi tambah sayang sama dia...
Dan merasa bersalah, karena nggak bisa jadi cowok yang baik buat dia, padahal dia
segitu baik dan berkorbannya buat gue...
*** Gue bangun gara-gara mendengar suara aneh di kamar gue. Siapa yang masuk kamar gue
pagi-pagi gini" Tora" "Hei, lo ngapain?" tanya gue dengan suara bantal. Tora nyaris meloncat saking kagetnya.
Dan saat itulah gue melihat dia sedang memegang HP gue sambil tertawa.
"Lo ngapain?" Gue menyingkap selimut gue dan bangun dari ranjang, lalu berjalan mendekati Tora.
"Lo udah jadian sam yang namanya Alice itu?" tanya Tora sambil cengengesan.
"Ternyata lo bener-bener suka sama dia, ya" SMS-SMS-nya aja romantis begini..."
Damn, jadi dia baca sent items gue ke Alice"!
"Siapa yang nyuruh lo baca SMS-SMS gue?"
"Nggak ada. Dan gue nggak ada niat gitu kok. Beneran. Pulsa gue habis, padahal gue
lagi perlu SMS orang, jadi gue pinjem HP lo. Waktu mau hapus sent items gue, gue nggak
sengaja baca sent items lo ke Alice..."


Dylan I Love You Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu sih namanya bukan nggak sengaja, tapi disengaja!" gue menggerutu.
"Ya deh, sori. Tapi lo bener jadian sama Alice, ya?"
Gue mengangguk, dan Tora langsung menepuk bahu gue keras-keras.
"Congratulations, Bro!" serunya nggak penting.
"Jangan bilang siapa-siapa."
"Lho" Kenapa?"
"Masa lo udah lupa apa yang terjadi sama Karin setelah orang-orang tau dia cewek gue"
Gue nggak mau Alice kayak gitu juga nantinya..."
Tora menghela napas. "Terus, lo pacaran sama dia gimana" Sembunyi di lemari?"
"Ya nggak lah! Apaan sih lo! Gue biasa aja kok sama Alice, cuma ya terpaksa gue nggak
bisa ke tempat-tempat yang rame sama dia, takut ada yang tau..."
"Kok kayaknya lo ngenes banget, ya?" tanya Tora prihatin.
"Ya gitulah, Tor... Lo sih enak sama Mbak Vita bisa ke mana-mana tanpa beban. Gue
nggak bisa kayak gitu. Sebenernya gue pribadi nggak pa-pa sih, tapi gue kasihan sama
Alice..." Tora menepuk-nepuk punggung gue pelan. "Kalau ke Vita, gue boleh cerita soal ini
nggak?" "Boleh. Gue percaya sama Mbak Vita, tapi tolong bilang ke dia biar nggak bilang siapasiapa."
"Beres." *** Gue sama sekali nggak ngerti apa yang ada di pikiran Tora. Setelah dia tau gue jadian sama
Alice, dia langsung ngasih tau Mbak Vita, dan habis itu dia tiba-tiba aja punya ide supaya
kami pergi berempat. Double date, kalau istilah kerennya.
Jadi di sinilah gue sekarang, dalam mobil, depan rumah Alice, menunggu Alice keluar
dari rumahnya. Karena Tora yang ngajak, dia jugalah yang jadi sopir malam ini. Ya iyalah,
kalau bukan dia, siapa lagi" Gue kan nggak bisa nyetir mobil! Dan kalau dalam mobil,
seenggaknya gue bakal terhindar kalau misalnya si Bu Parno itu iseng-iseng mengintip dari
jendela rumahnya untuk cari bahan bergosip besok pagi. Kan kaca film mobil ini 80%
gelapnya, hehe... Eh, itu dia Alice! Gue cepat-cepat turun dari mobil dan membukakan Alice pintu. Setelah dia aman dalam
mobil, baru gue masuk juga.
"Hai," sapa Mbak Vita ke Alice waktu gue menutup pintu mobil. "Gue Vita, pacarnya
Tora. Lo Alice, kan?"
"Iya," jawab Alice malu-malu.
"Kalau gue Tora, abangnya Dylan," Tora sok akrab dan ikut-ikutan menoleh dari jok
depan, mengulurkan tangan ke Alice. "Banyak yang bilang Dylan ganteng dan gue manis.
Sebetulnya ganteng tuh kalau dilihat lama-lama bisa ngebosenin, tapi kalau manis... yah, mau
sampai kiamat juga tetep aja manis!"
Gue kontan menoyor kepala Tora. Mbak Vita terkikik. Alice menoleh dan menatap gue
dengan matanya yang bulat itu.
"Dylan," katanya sok galak.
"Tuh, Lice, lo lihat deh, cowok lo ternyata nggak punya sopan santun sama abangnya
sendiri, kan?" rengek Tora dengan suara anak kecil.
"Tor, mendingan kita pergi sekarang deh, kalau nggak nanti pampers lo keburu penuh
dan lo ngompol di jalan," sahut gue kesal. Tora langsung diam dan mulai memindahkan
persneling. Mbak Vita masih cekikikan di kursi depan.
*** Ternyata Tora berhenti di Ten Ball. Gue langsung panik sendiri. Tempat ini kan rame, selain
itu gue sama Tora dan Mbak Vita sering banget ke sini, jadi orang-orang sini pasti udah hafal
tampang kami, termasuk siapa gue ini. Apa jadinya kalau mereka ngeliat gue menggandeng
Alice di tempat ini"
"Tor, kok ke sini sih?" desis gue jengkel begitu turun dari mobil, saat nggak mungkin
didengar Mbak Vita dan Alice yang turun dari sisi kiri mobil.
"Kenapa emangnya?"
"Ya kan tempat ini rame! Banyak yang kenal gue di sini, gimana kalau mereka curiga
ngeliat Alice?" "Udahlah, lo tenang aja. Gue tau apa yang lo takutin, dan percaya deh, itu nggak bakal
terjadi di sini. Ini kan tempat biliar, perhatian orang tuh terpusat ke meja dan bola, bukannya
ke pengunjung lainnya," jelas Tora santai.
Tapi tetap aja gue cemas.
"Lo jangan jalan sama Alice dulu sekarang, biar dia jalan sama Vita. Nanti kalau udah di
dalem, lo bisa duduk dan ngobrol sama dia. Gue sama Vita bisa main biliar dan nutupin
kalian dari orang-orang. Lagian, kayaknya di dalam juga masih sepi."
Gue mendesah, tapi akhirnya menuruti omongan Tora juga. Anak tengil yang satu ini
memang demen banget main api, gue nggak ngerti apa sebabnya.
*** Ten Ball belum terlalu rame, mungkin karena sekarang masih jam enam sore. Sejauh yang
gue lihat, cuma dua meja yang terisi. Tora langsung memilih meja di pojok belakang, yang
paling jauh dari jangkauan pandang orang.
"Nah, lo ngobrol sana sama cewek lo. Gue sama Vita main dulu."
Seorang score girl datang dan mengaturkan bola untuk Mbak Vita. Gue menoleh,
berusaha menyembunyikan wajah gue. Ya Tuhan, semoga bener-bener nggak ada yang
ngenalin gue... "Lan" Kamu kenapa?" tanya Alice yang sekarang duduk di sebelah gue.
"Mmm... nggak pa-pa, Say, cuma takut ketauan aja sama orang."
Anehnya, muka Alice langsung merah padam. "Kamu manggil aku "Say?""
Gue ketawa. "Ya iyalah, kan kamu pacarku."
"Eh... iya..." Alice menunduk, wajahnya tersembunyi di balik rambut cokelatnya yang
sudah mulai panjang. "Kamu nggak suka, ya?" Gue menyelipkan rambut Alice ke belakang telinganya. "Kalau
kamu nggak suka, aku nggak bakal manggil kamu gitu lagi..."
"Oh! Bukannya gitu!" Alice mendongak. "Aku cuma... aku... malu..."
Hah" Malu" "Kenapa?"
"Soalnya... soalnya kamu kan pacar pertamaku, jadi aku... belum biasa... Maksudku, aku
pasti keliatan tolol banget di depan kamu... canggung... kikuk..."
Gue tersenyum dan menggenggam tangannya. "Sebenernya, aku juga baru pernah
pacaran dua kali." "Bener?" tanya Alice nggak percaya. Gue mengangguk.
"Memangnya kamu kira, aku udah berapa kali pacaran?"
"Eh... nggak tau ya... Sepuluh?"
Sepuluh?"" "Memangnya kamu kir apacaran itu sama kayak gonta-ganti nomor HP" Nomor HP aja
sekarang kita nggak boleh ganti sering-sering karena harus daftar ke pemerintah, apalagi
pacaran." "Sori..." Alice menunduk lagi.
"Nggak papa, Say, aku kan nggak mungkin marah sama kamu." Gue mencubit pipi Alice
pelan. "Aku nggak marah kok." Alice tertawa. "Say," tambahnya kemudian sambil tersenyum
lucu. God, I really thanked You that I"ve found her.
*** Studio TV9 penuh sesak. Hari ini memang ada perayaan HUT stasiun TV ini, dan Skillful
jadi salah satu pengisi acaranya. Gue baru aja mau masuk ruang ganti waktu mendengar suara
ribut dari ruang ganti sebelah.
"Ada apa sih?" tanya gue ke Dudy yang baru melewati ruang ganti itu.
"Biasa, Hugo," kata Dudy sebal. "Dia nggak terima dapat ruang ganti itu, penginnya
ruangan yang lebih besar, di tempat kita ini."
"Hugo" Hugo... vokalisnya eXisT?"
"Ya iyalah Hugo dia! Hugo mana lagi yang bisa nyebelin kayak gitu"!"
Dudy nyelonong masuk ke ruang ganti Skillful, kayaknya ogah banget membahas Hugo
lagi. Yah, sebenernya gue ngerti sih kenapa Dudy bersikap kayak gitu. Dulu dia pernah
nyaris berantem sama Hugo, gara-gara cowok itu mengatai Skillful sebagai band "cengeng".
Gue tau persaingan di industri musik Indonesia memang ketat banget, apalagi persaingan
antarband. Band Hugo, eXisT, termasuk salah satu saingan Skillful yang paling berat. Mereka
punya fans yang kompak dan banyak banget. Album-albumnya juga selalu dapat platinum
berkali-kali. Tapi yang gue nggak ngerti, kenapa Hugo cari gara-gara sama Skillful" Skillful
toh nggak pernah bertengkar sama eXisT sebelum ini. Rey malah berteman baik sama Reza,
drummernya eXisT. Kayaknya cuma Hugo yang nggak seneng sama Skillful.
Ah, gue nggak mau mikirin itu lagi. Lebih baik...
"Surprise!" Gue melotot, Alice ada di depan gue, tersenyum riang.
"Kamu ngapain di sini?" tanya gue bingung. Gue spontan menoleh kanan-kiri, takut ada
orang yang melihat kami. "Kan tadi aku udah bilang "surprise"," katanya pelan. "Nanti kalau ada yang nanya,
bilang aja aku fans yang main ke backstage."
Oh, God. Gue bener-bener kasihan sama Alice. Untuk ketemu gue aja, dia sampai rela
pura-pura jadi fans" Sampai kapan dia harus berkorban kayak gini"
"Maafin aku, ya, Say" Kamu jadi nggak bisa bebas ketemu aku..." Aku meraih
tangannya. "Kalau aja aku bisa bikin semuanya lebih baik untuk kamu..."
"Aku nggak papa, aku bisa ngerti kok. Ini semua kan demi kebaikan aku juga. Lagian,
aku takut kamu kehilangan fans kalau mereka tau kamu udah nggak jomblo lagi."
"Kalau itu aku nggak takut. Fans memang berarti banget buat aku, tapi kamu lebih dari
itu. Aku cuma takut kamu kenapa-kenapa..."
"Hai Dylan!" Gue refleks menarik tangan gue yang masih menggenggam tangan Alice. Alice juga
mundur beberapa langkah. Gue mendongak dan dengan ngeri menyadari Noni sudah berdiri
di depan gue. Gimana caranya anak ini bisa masuk ke backstage"
"Eh... hai, Noni," sapa gue pura-pura ramah. Anak ini kayaknya punya radar untuk
mengetahui keberadaan gue deh! Dan sekarang dia menatap Alice dengan pandangan benci.
Sial, rasanya gue pengin banget mengusir dia dari sini! Noni, maksudnya, bukan Alice.
"Mau manggung, ya" Kemarin lo di Hard Rock, ya" Gue nonton lho! Sayang banget gue
nggak bisa dateng waktu lo manggung di Makassar, padahal gue udah niat mau ke sana, tapi
nggak dapet flight."
Terima kasih Tuhan! "Wah, sayang banget." Gue berlagak kecewa. "Tapi udah bisa nonton yang di Hard
Rock, kan?" "Iya, tapi kan tetep aja beda..." Waduh! Dia pegang tangan gue! "Gue kan Dylanders
paling setia, selalu nonton kalau lo manggung, nggak kayak yang lainnya..." Dia melirik
Alice yang masih menunduk.
"Iya. Makasih ya. Gue seneng banget ada Dylanders yang... kayak lo."
"Masa" Terus, kenapa lo nggak milih gue jadi peserta Pacar Selebriti waktu lo jadi
bintang tamunya?" tembak Noni langsung. "Kenapa lo milih... dia?" Dia menuding Alice,
yang sekarang mendongak dengan wajah cemas.
"Eh... itu..." Gue memutar otak. Episode Pacar Selebriti dengan gue sebagai bintang
tamu dan Alice sebagai pesertanya memang baru aja ditayangkan beberapa hari yang lalu,
pasti si Noni nonton. Sialan, kasih alasan apa nih"! "Itu... emangnya lo daftar juga, ya?" Nah,
pura-pura nggak tau memang ide bagus!
"Ya iyalah gue daftar! Dua kali, malah! Gue kirim e-mail ke Pacar Selebriti, terus daftar
juga waktu mereka buka stan di Cheerful Paradise!"
"Oh... gue nggak tau, Non." Gue nyengir kepaksa. "Waktu itu gue cuma disodori surat
yang isinya alasan-alasan kenapa orang-orang itu milih gue. Terus gue pilih salah satu, tanpa
tau identitas si penulis sama sekali. Nah, kebetulan yang gue pilih itu Alice." Gue menepuk
bahu Alice. Kasihan dia, wajahnya sampai pucat begini.
"Alice?" gumam Noni. Alisnya terangkat. "Hmm... kalau misalnya, lo tau ada surat gue
dan penulisnya gue, apa lo bakal milih gue jadi peserta?"
Ya ampun, anak ini nggak tau malu banget sih! Gue harus jawab apa" Kan ada Alice di
sini! "Eh... ya iyalah... pastinya..." Gue benci diri gue!
Noni tersenyum penuh kemenangan. Gue menoleh untuk melihat reaksi Alice, tapi dia
udah menunduk lagi. Gue merasa benar-benar berdosa. Pacar macam apa gue"!
"Eh... ya udah, ya, Non... Gue harus ganti baju... Kan bentar lagi naik panggung." Gue
menunjuk-nunjuk ruang ganti. "Alice, mmm... gue pamit dulu ya."
Alice mengangguk, dan sebelum Noni sempat berceloteh lagi, gue udah kabur ke ruang
ganti dan menutup pintunya rapat-rapat.
KERIKIL-KERIKIL KECIL (YANG MEMBUAT KAKIKU BERDARAH)
AKU sama sekali nggak marah sama Dylan.
Dari awal aku udah tau aku memang nggak akan pernah bisa diakui sebagai ceweknya di
depan umum. Apalagi di depan Noni tadi.
Tapi tetap aja... rasanya tadi aku nyesek banget waktu Dylan bilang dia bakal memilih Noni
seandainya dia tau cewek itu jadi peserta Pacar Selebriti. He will pick her over me...
Sudahlah. Mungkin Dylan memang harus bilang begitu untuk menyenangkan hati Noni. Cewek itu kan
salah satu fans Skillful yang paling setia, dan aku nggak mau Skillful sampai kehilangan fans"
apalagi pendiri community terbesar mereka di dunia maya"cuma gara-gara aku, cewek yang nggak
ada apa-apanya, yang cuma secara kebetulan berstatus pacar vokalis band itu.
Ups. HP-ku bunyi. Foto Grace yang sedang nyengir terpampang di layar.
"Lo di mana" Gue telepon ke rumah, katanya lo nggak ada."
"Gue di studio TV9."
"Hah" Ngapain lo di sana?" suara Grace terdengar kaget.
"Nonton Skillful."
"Gila, lo nemuin Dylan di depan banyak orang" Nggak takut ketauan lo?" Kali ini suaranya
sudah berubah jadi bisik-bisik tetangga. Grace memang satu-satunya orang yang tau tentang
hubunganku dan Dylan. Waktu kami pergi ke Ten Ball, aku tanya sama Dylan, boleh nggak aku
cerita sama Grace, soalnya aku nggak sanggup kalau harus menyimpan rahasia sebesar ini
sendirian, dan Dylan bilang boleh, asal aku minta Grace untuk jaga rahasia ini juga. Lagi pula,
Grace kan udah tau aku memang dekat sama Dylan, bisa-bisa nanti dia penasaran sendiri kenapa
kami nggak juga jadian, padahal kami sebenernya backstreet.
Jadi, sekarang yang tau tentang ini cuma aku, Dylan, Bang Tora, Mbak Vita, dan Grace.
Benar-benar hubungan rahasia. Kayak aku istri simpanan aja.
"Ya takut, Grace," jawabku akhirnya. "Tadi aja pas gue ke backstage malah gue kepergok ama
fansnya..." Aku menceritakan kejadian di backstage dengan Noni tadi, termasuk tentang Dylan yang
bilang dia bakal milih Noni jadi peserta Pacar Selebriti seandainya dia tau Noni ikut mendaftar.
Gilanya, Grace malah ngakak mendengar itu.
"Memangnya lo berharap Dylan bakal bilang "nggak", ya?"
"Ya... nggak juga sih, tapi..."
"Lice, lo kan udah tau apa risikonya pacaran sama Dylan. Lo nggak bisa diakui, nggak bisa
bareng dia di muka umum, harus ikhlas kalau dia ngelakuin semua itu..."
"Iya gue tau, Grace," ujarku pahit. "Rasanya memang gampang awalnya, tapi begitu semua
itu jadi nyata... gue nggak tau deh..."
"Terus lo mau gimana" Lo mau kalau Dylan buka-bukaan soal hubungan kalian, tapi lo
akhirnya diteror orang-orang jahat yang dulu meneror Mbak Karin" Lo mau kayak gitu?"
"Ya enggak..." "Ya udah, kalau gitu lo sabar aja ya. Gue yakin Dylan juga pastinya nggak mau kayak gini,
tapi karena situasi... Kita nggak bisa mendapatkan semua yang kita mau, Lice. Kadang kita harus
mengorbankan satu hal untuk mendapatkan hal yang lain..."
Aku terkikik. "Heh! Kenapa lo malah ketawa?" tanay Grace sewot.
"Nggak papa. Gue nggak nyangka aja kalau lo ternyata bisa dewasa juga."
"Siaul lo. Ya udah lah, gue dipanggil nyokap gue nih. Lo pulang naik apa?"
"Taksi." "Waduh, kesian banget. Lain kali kalo mau nonton Skillful, gue temenin deh."
Aku tersenyum. "Thanks ya, Grace. Gue nggak tau apa jadinya gue kalau nggak ada lo... Tapi
gue udah nggak papa kok. Gue tadi lihat Dylan nyanyi, dan gue sadar gue sayang banget sama
dia... Gue nggak mungkin bisa lepasin dia..."
*** Aku baru aja berdiri di pinggir jalan untuk cari taksi, waktu sebuah mobil berhenti di depanku.
Kaca mobil itu turun sedikit demi sedikit.
"Ayo naik." Dylan. Aku nggak bereaksi, masih bingung dengan perasaanku sendiri. Biarpun aku bisa ngerti dan
sayang banget sama Dylan, aku nggak bisa bohong aku masih agak dongkol gara-gara kejadian di
backstage tadi. "Marah, ya?" Dylan turun dari mobil dan menyentuh sikuku. Ternyata dia bareng Bang
Tora, tadi aku sepintas meilhat cowok itu dalam mobil. Aku menoleh ke kanan-kiri, takut ada
yang melihat. Untung tempat ini agak jauh dari studio TV9, jadi kemungkinannya kecil ada yang
lihat kami. "Aku nggak marah. Aku cuma... perlu mikir."
"Tapi kamu... sebel sama aku?" tanyanya khawatir.
"Sedikit." "Pasti gara-gara aku bilalng ke Noni bahwa aku bakal milih dia jadi peserta Pacar Selebriti
seandainya aku tau dia ikut, ya?"
Aku mengernyit. Dari mana Dylan tau" Apa di jidatku ada tulisannya gitu"
"Aku ngerti kalau kamu marah, Say. Siapa pun pasti bakal sakit hati kalau pacarnya milih
cewek lain, apalagi di depan matanya, tapi itu semua cuma untuk menyenangkan Noni, supaya dia
diam dan nggak lagi ngoceh macam-macam..."
Aku diam aja. "Gini, kamu mungkin belum tau, tapi Noni itu adalah fans yang paling... mmm... unik. Dia
posesif, beranggapan dia satu-satunya orang yang boleh dekat sama aku. Dan memiliki aku."


Dylan I Love You Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dylan memegang bahuku, dan mau nggak mau aku harus mendongak menatapnya. Oh no,
jangan tatapan lurus ke dalam mataku itu lagi... Aku kan jadi nggak bisa ngambek kalau dia
menatapku dengan tatapannya yang itu!
"Dari fans-fans yang kayak gitulah aku harus lebih melindungi kamu, Say. Orang-orang
seperti Noni itu... nggak akan bisa ngerti aku punya kehidupan sendiri. Dia juga nggak akan bisa
ngerti aku jelasin kamu itu orang yang aku pilih..."
Hati kacau-balau. Aku memang udah nggak marah, apalagi setelah Dylan bilang kayak gitu
tadi. Dan mungkin ini baru awal dari segalanya... Setelah ini pasti masih banyak lagi
penyangkalan, kebohongan, kepura-puraan... Aku harus mulai membiasakan diri. Bukankah
orang yang bisa bertahan pada akhirnya bukan orang paling pintar atau paling kuat, tapi orang
yang bisa beradaptasi"
"Aku antar pulang, ya" Bahaya kalau malam-malam kamu naik taksi."
Aku mengangguk, dan Dylan merangkulku.
*** "Alice, where have you been?"
Aku berbalik, melihat Daddy berdiri persis di depanku. Lampu ruang tamu pun sudah
menyala terang. Rupanya aku salah karena mengira seisi rumahku sudah pada tidur.
"Aku... aku pergi nonton konser, Dad..."
"Dans iapa yang mengantarmu pulang tadi?"
"Errmm... my friend. And his brother."
"Your friend... or should I say, your boyfriend?"
Aku mendongak, dan memandangi Daddy dengan hati kebat-kebit. Apa... apa Daddy tadi
melihat Dylan mengantarku sampai ke gerbang depan"
"Dad, aku..." "Daddy tidak marah, Alice," kata Daddy, seolah bisa membaca pikiranku. "Daddy cuma
ingin tahu. Is that wrong?" Aku menggeleng cepat. "Kenapa kamu tidak pernah cerita tentang
pacarmu itu?" "Aku kira... Daddy bakal marah dan melarang..."
"Me" No, I won"t. You"re my daughter, I think you know that I"m not that conservative." Daddy
berjalan ke arahku dan memeluk bahuku. "Siapa namanya?"
"Dylan." "Dylan... nice name. Teman sekolah?"
"Bukan. Dia sudah kuliah."
"Oh. Umur berapa?"
"Mmm... twenty four."
Aku bisa dengan jelas melihat mata Daddy melebar.
"Sweetheart, umur kalian berbeda cukup jauh. Apa dia... apa dia memperlakukanmu dengan
sopan" Karena Daddy yakin, cowok seumur dia pastinya..."
"Dia sopan, Daddy. Sangat sopan. Dia nggak pernah macam-macam..."
Daddy manggut-manggut. "Bagus. Karena kalau sampai dia menyakiti gadis kecilku, aku
tidak akan tinggal diam." Daddy tersenyu. Aku cuma bisa menunduk dengan perasaan campur
aduk. Helooo... aku kan nggak pernah membicarakan cowok dengan Daddy sebelumnya!
"Alice, apa kamu... tahu apa risiko berpacaran dengan cowok yang usianya jauh di atas
kamu?" Aku terdiam. "I know, Dad," jawabku akhirnya. "Dand ia bukan cuma berbeda usia jauh
dengan aku, tapi dia juga... seleb."
Daddy bengong, cuma itu yang bisa kubilang. Dan aku menghela napas dalam-dalam. Aku
memang butuh curhat sekarang ini, dan bukan dengan orang yang sepantaran aku seperti Grace,
tapi dengan orang dewasa yang bisa mengerti aku. Daddy orang yang tepat, dan dia kan daddy-ku,
dia pasti bisa memberikan nasihat yang bagus.
"Did you say celebrity?"
"Ya. Dia penyanyi. Vokalis band, tepatnya."
"Oh! Apa dia yang kamu bilang "ganteng" itu" Vokalis mmm... Skillful?"
Heh?"" "How do you know" Did Mama tell you?" tanyaku tak percaya.
"Of course, Sweetheart. Daddy dan Mama tidak punya rahasia apa pun. Dan, c"mon, kamu putri
kami satu-satunya. Apa lagi yang akan kami bahas kalau bukan kamu?"
Aku bengong. Aku nggak akan, nggak akan dan nggak akan pernah cerita apa pun lagi ke
Mama! Aku kira Mama bisa simpan rahasia, ternyata...
"Jadi kamu akhirnya... bukan hanya jadi fans Dylan?"
"Ya, Dad. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku bisa begini beruntung..."
Lalu aku menceritakan semuanya, mulai dari Pacar Selebriti, kencan di Taman Safari, saat aku
dan Dylan jadian, pokoknya semua. Daddy hanya tersenyum selama mendengarnya.
"Jadi dia yang menjemput kamu di kafe di seberang gereja waktu itu?"
Aku melotot. "Daddy tahu?"?"
"Ya, I know. Dan apa kamu kira Daddy dan Mama bisa meninggalkanmu dengan tenang di
kafe itu kalau Grace belum menjemputmu" Kami mengamatimu dari seberang jalan, dan ternyata
Grace tidak muncul. Tapi kamu malah pergi dengan seseorang naik motor."
"Jadi... jadi sebenarnya Daddy tahu, dan waktu itu Mama menelepon Grace cuma purapura?" Aku shock, nggak menyangka kalau ortuku ternyata bisa sebegitu isengnya.
"Alice, kami juga pernah muda. Dan kami juga tahu hubungan backstreet memang
mendebarkan, tapi kamu seharusnya cerita pada kami..."
"I"m sorry...," kataku lirih.
"That"s alright." Daddy mencium puncak kepalaku. "Dan ingatlah, kami percaya padamu.
Kamu boleh berpacaran, asal tetap tahu batas. Kamu tahu kan apa artinya?"
Aku mengangguk. "Dan satu lagi, kamu harus bahagia dengan hubungan yang sedang kamu jalani sekarang ini.
Tidak ada gunanya pacaran kalau kamu terus murung dan bersedih. Kamu masih muda, jangan
habiskan masa mudamu dengan hubungan yang membuatmu stres."
Aku tertegun, tapi kemudian mengangguk. Apa Daddy bisa melihat beban yang terpancar di
mataku" *** Fiuh... capek banget! Barusan aku latihan band untuk acara tampil di aula sekolah dua minggu lagi, dan
tenggorokanku kering kerontang. Ini semua gara-gara Pak Alex! Kepsek tengik itu minta band
kelasku tampil lagi sih! Jadi mau nggak mau aku sama anak-anak harus latihan lagi. Duh... grogi
banget deh harus manggung di depan seisi sekolah sekali lagi!
Eh, HP-ku bergetar. Ada SMS kayaknya. Pasti Dylan, cowok tersayangku itu kan selalu kirim
SMS pagi-pagi gini. Apalagi tadi pagi dia berangkat ke Banda Aceh, jadi mungkin sekarang dia
SMS untuk mengabari dia udah sampai. Aku senyam-senyum sendiri, lalu membaca SMS masuk
itu. Jauhi Dylan! Klo nggak, lo bakal tau akibatnya!
Aku mengerjap. Ini... nggak mungkin! Aku membaca lagi isi SMS yang tertera di monitor HP-ku. Dari nomor nggak dikenal.
"Lice!" Aku terlonjak. Oscar berdiri di belakangku dengan tampang jengkel.
"Lo kenapa" Sakit" Dari tadi gue panggil, tapi lo diem aja."
"Eh... nggak, gue cuma... nggak denger kalau lo manggil. Sori, gue lagi... baca SMs tadi. Ada
apa?" "Kita mau ulang lagi nih latihannya. Lo udah siap, kan?"
Aku menoleh dan memandang Mario, Moreno, dan Oliv yang masih sibuk di depan
instrumen mereka masing-masing, tapi jantungku berdetak keras, dan rasanya keringatku
membanjir. Tanpa kusadari, tanganku gemetar dengan sendirinya. Aku takut.
Dan aku nggak mungkin bisa latihan band dalam kondisi kayak gini.
"Mmm... Os, gue nggak ikut dulu ya latihannya" Gue... gue sakit perut... mau ke toilet..."
Dan tanpa babibu lagi, aku langsung menghambur keluar dari ruang musik.
*** Aku masuk rumah dengan perasaan kacau-balau. Otakku serasa berputar dengan pertanyaanpertanyaan yang tak ada jawabannya. Siapa peneror itu" Dari mana dia tau nomorku" Bagaimana
dia bisa tau aku punya hubungan sama Dylan"
"Non... Non Alice!"
Aku menoleh, dan melihat Mbok Sum, pembantu keluargaku, berusaha menyusulku dengan
napas terengah-engah. Di tangannya ada banyak sekali amplop.
"Ada apa, Mbok?"
"Waduh! Non Alice lagi ngelamun, ya" Mbok panggil-panggil kok nggak noleh?"
"Mmm... maaf, Mbok, aku tadi nggak dengar..."
"Ohh... ya sudah. Mbok cuma mau kasih ini kok."
Dalam sekejap, amplop-amplop yang tadinya berada di genggaman Mbok Sum berpindah ke
tanganku. Apa ini" Siapa yang mengirimiku surat sebanyak ini" Sejak kapan aku jadi artis yang terima
puluhan surat penggemar setiap hari"
Aku membuka salah satu amplop itu dengan penasaran. Nggak ada nama dan alamat
pengirimnya, jadi aku sama sekali nggka punya gambaran apa isi amplop ini.
Sedetik kemudian aku melotot begitu mengetahui apa isinya. Kertas HVS biasa, yang
ditempeli potongan-potongan huruf dari koran.
GUE KAN UDAH BILANG, JAUHI DYLAN!
LO NGGAK PANTAS BUAT DIA!
Sepertinya aliran darah di tubuhku berhenti. Aku diteror... Benar-benar diteror...
"Surat dari siapa, Non?" tanya Mbok Sum penasaran. Aku terlonjak.
"Ehh... dari temen lama, Mbok," jawabku ngaco. Aku nggak mau Mbok Sum tau soal surat
teror ini. Nggak ada yang meragukan kemampuan mulut Mbok Sum menyampaikan kabar apa
pun ke Mama, dan kalau Mama sampai tau, pasti Mama khawatir setengah mati. Pastinya Mama
akan cerita ke Daddy, dan mungkin mereka bakal memaksaku putus dengan Dylan. Aku nggak
mau itu semua terjadi. "Wah... temen lama Non Alice kangen banget, ya" Ngirim suratnya sampai banyak gitu,"
celetuk Mbok Sum. Aku memandang sisa amplop dalam genggamanku yang belum kubuka, lalu menghela napas
dalam-dalam. Nggak perlu diragukan lagi, isi amplop yang lain pasti sama. Aku cepat-cepat
masuk kamar, lalu menjejalkan semua amplop itu ke salah satu laci meja belajarku.
*** Mandi ternyata nggak bisa menghilangkan perasaan kacau-balauku. Padahal tadi aku sudah
mengguyur kepalaku berkali-kali dengan air dingin, berharap air itu bisa melarutkan semua
pikiran yang membuat otakku sumpek ini, tapi sia-sia. Tenagaku rasanya habis untuk berpikir,
jadi aku menjatuhkan diri ke ranjang.
Siapa yang menerorku" Apa dia orang yang dulu juga meneror Mbak Karin"
Kepalaku pusing banget, mungkin gara-gara sepanjang hari ini aku belum makan. Mana bisa
aku makan kalau kepikiran SMS itu" Dan surat-surat sialan itu juga...
Kalau gitu... percuma aja aku dan Dylan pacaran diam-diam, toh akhirnya peneror ini tau
juga. Apa aku harus bilang sama Dylan"
Nggak. Aku nggak boleh bilang sama Dylan, nanti dia khawatir. Dan dia lagi sibuk banget
sama promo tur albumnya di Sumatra sana, aku nggak bisa mengganggu dia dengan hal ini. Pasti
nanti dia jadi kepikiran, dan aku bakal bikin dia sedih...
HP-ku bunyi. Dengan panik aku meraih HP itu, dan langsung mendesah lega melihat foto
Dylan yang terpampang di monitornya.
"Halo?" "Halo, Say, lagi ngapain?"
"Mmm..." Pandanganku terantuk pada TV di kamarku. "Lagi nonton TV."
"Udah makan?" "Eh... udah tadi. Kamu udah?"
"Udah. Sekarang lagi on the way ke Bireun."
"Terus, ada apa kamu telepon?"
"Kamu kokngomongnya gitu" Ya aku pengin ngobrol sama kamu dong. Nggak tau kenapa,
kayaknya dari tadi siang aku kepikiran kamu terus. Perasaanku nggak enak. Sebenernya aku mau
telepon kamu tadi siang, tapi habis interview di radio kami langsung balik ke hotel dan packing,
makanya aku baru bisa telepon kamu di bus sekarang."
"Oh," gumamku pelan.
"Say, nggak ada... nggak ada kejadian buruk, kan" Kamu baik-baik aja, kan?"
Aku tercenung. Apa Dylan bisa telepati, ya" Apa dia bisa merasakan kalau aku lagi gelisah
dan takut gara-gara SMS itu"
"Aku nggak papa. Cuma tadi siang aku... sakit perut, tapi sekarang udah baikan kok. Udah
minum obat," aku mengarang.
"Oh, untung deh kamu udah baikan. Pasti kamu jajan sembarangan ya, makanya sakit perut
gitu, hayo ngaku..." Dylan terdengar geli.
"Iya, aku memang tadi beli es dawet di pinggir jalan," jawabku ngaco.
"Tuh kan. Lain kali jangan beli makan sama minum sembarangan, ya" Kalau kamu sakit
perut lagi gimana" Ya udah, sekarang kamu tidur aja, aku juga ngantuk banget, mau tidur dulu.
Besok manggung siang soalnya."
"Oke. Met bobo."
"Iya. Kamu juga met bobo ya. I miss you."
Dylan memutuskan sambungan, dan aku nyaris berteriak saking kacaunya perasaanku. Aku
harus gimana" Dylan segitu perhatiannya sama aku, baru kubilang aku sakit perut aja, dia udah
khawatir banget, gimana kalau aku bilang aku diteror"
Pokoknya, Dylan nggak boleh tau soal ini.
Aku membuka inbox-ku, tempat SMS teror itu tersimpan, dan langsung menghapusnya.
Anggap saja aku nggak pernah terima SMS itu. Dan aku akan melupakan semua surat kaleng itu
juga. Ini semua cuma kerikil-kerikil kecil dalam hubunganku dan Dylan.
*** "Lo kenapa" Suntuk banget kayaknya. Ke kantin, yuk!" ajak Grace.
Aku menggeleng. "Gue nggak lapar."
"Woah. Tumben. Kalau gitu, gue nggak jadi traktir lo bakso Pak Amboi deh."
Aku nggak menggubris Grace, dan terus menunduk. Sekarang jam istirahat, tapi aku nggak
berniat makan. Tadi pagi ada satu SMS lagi yang masuk, mengancamku supaya aku nggak dekatdekat Dylan lagi. Satu SMS itu sudah mengacaukan mood-ku hari ini. Hatiku nggak tenang dari
pagi. "Lice, lo ada masalah, ya?"
Aku duduk tegak. Grace ternyata belum keluar dari kelas untuk istirahat. Dia masih duduk di
sebelahku dan menatapku khawatir.
"Lo pasti lagi ada masalah. Alice yang normal nggak mungkin nggak bereaksi kalau gue
bilang gue mau traktir bakso Pak Amboi." Grace tersenyum kecil. "Ada yang mau lo ceritain ke
gue" Apa soal Dylan lagi?"
"Nggak. Gue nggak papa kok. Gue cuma lagi... PMS."
Grace menggeleng. "Lo bohong. Tanggal bulanan lo kan sama ama gue. Paling beda satu
hari doang, dan gue udah selesai dapet dua minggu lalu."
Aku merutuk. Begini inilah kalau temanmu terlalu mengenalmu. Kamu nggak bisa
menyembunyikan apa pun darinya.
"Gue... telat dapetnya. Nggak tau kenapa bulan ini telat banget," aku masih berusaha ngeles.
Jangan sampai Grace tau soal masalah ini, pasti dia bakal menyarankan aku untuk cerita ke
Dylan, hal terakhir yang ada di pikiranku sekarang.
Grace melongo. "Lo... nggak ngapa-ngapain sama Dylan, kan?"
Aku melotot. "Maksud lo... lo ngira gue..." Aku menggambar lingkaran di udara dengan
jariku. Grace mengangguk dengan tampang ngeri. "Ya enggak lah, Grace! Ada-ada aja lo!
Emangnya kalau orang telat dapet tuh selalu hamil" Lo mikirnya kejauhan! Gue ama Dylan
ciuman aja belum pernah!" kataku dengan wajah panas. Untunglah yang ada di kelas cuma aku
dan Grace. Nggak tau deh apa jadinya kalau ada anak lain yang mendengar omongan kami
sekarang. Jangan-jangan nanti di sekolah ini bakal beredar gosip aku hamil! Ihhh...
"Ya sorii... Habisnya lo murung banget gitu. Gue kan jadi khawatir." Grace nyengir. "Jadi, lo
beneran nggak papa?" tanya Grace lagi.
"Bener, Grace. Gue cuma lagi nggak enak badan. Lo ke kantin sendirian nggak pa-pa, kan"
Setan Harpa 12 Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Blind Date 1

Cari Blog Ini