Ceritasilat Novel Online

Kumbang Datang Di Fajar 1

Kumbang Datang Di Fajar Pagi Karya Rugyinsun Bagian 1


KUMBANG DATANG DI FAJAR PAGI!
! Rugyinsun ! ! ! ! ! ! !!!!!! !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
! ! ! ! ! ! PT Evolitera Jakarta, 2010 KUMBANG DATANG DI FAJAR PAGI
"#$%!Rugyinsun! ! ! Editor & Layout : Evolitera Cover : Rugyinsun PT Evolitera EvoHackSpace " Jalan Kayu Putih IV Blok D, No. 1, 3rd floor
East Jakarta 13260, INDONESIA
Published at www.evolitera.co.id by PT Evolitera Jakarta, 2010 ? Rugyinsun, 2010 DAFTAR ISI 1. Air Mata di Merahnya Senja
1 2. Aku Sudah Dewasa 4 3. Ayah, Hidupku Harapanmu
9 4. Sekolahku Tak Semisi 14 5. Bukan Sekedar Pembantu
17 6. Kumbang Datang di Fajar Pagi
23 Halaman ini sengaja dikosongkan
Air Mata di Merahnya Senja
AIR MATA DI MERAHNYA SENJA
Merah mega warnai langit sore di ufuk barat, mewarnai hari di ujung siang
dengan merahnya. Ku terpaku menatapnya, bertanya pada kerlip kejora di merahnya
langit sore. "Kejora, kau lihat aku" Aku di sini menatapmu. Kejora, aku bingung. Di tanganku
kugenggam handphone. Baru saja ada pesan masuk, dari Fahriz. Dalam pesannya, ia
mengajakku keluar bersamanya malam ini untuk menikmati indahnya suasana malam
Minggu seperti yang dulu biasa kami lakukan bersama di masa SMA. Tetapi, bukankah
waktu sujud sebentar lagi tiba" Kejora, jawab, jangan membisu!!"
"Ukhti Indah!!"
Suara tersebut mengejutkanku. "Ukhti Fira!"
"Lagi ngapain, lagi melamun ya?" tanyanya sambil tersenyum.
"Tidak Ukhti, saya lagi memandangi langit sore," jawabku.
"Kok matanya berkaca-kaca, ada masalah ya?"
Aku tertunduk malu. Sebagai kader organisasi dakwah, aku tidak mau Ukhti Fira
tahu kalau aku punya pacar. Aku ingin membuktikan padanya, bahwa aku bisa seperti
dia: taat beribadah, bertanggung jawab, dan menerapkan ajaran Islam seutuhnya dalam
kehiduan sehari-hari. "Ukhti, ke mesjid yuk," Ukhti Fira mengajakku ke mesjid.
Tiba-tiba Fahriz datang. "Indah, yuk berangkat," ajaknya.
Hati ini menangis, tak mau mengecewakannya. Aku tidak tega membiarkannya
sendiri, tapi... aku juga tidak ingin dia terlena oleh kesenangan sesaat. "Ya Allah, tolong
hamba," doaku dalam hati.
Kulihat kening Ukhti Fira mengerut. "Mau ke mana?" tanyanya kemudian.
"Fahriz, maaf, aku harus menghadiri rapat organisasi di mesjid kampus sehabis
isak. Bukannya aku... Maaf Fahriz."
"Kok malam Minggu rapatnya, organsasi apa sih" Malam Minggu kan, waktu
untuk bersantai." 1 Air Mata di Merahnya Senja
"Aku bergabung dengan organisasi dakwah, Fahriz. Mulai sekarang, aku lebih
banyak meluangkan waktu dan pikiran dalam organisasi dakwah. Aku ingin menjadi
muslimah yang sebenarnya, yang selalu menjaga kehormatan dirinya. Dan... setiap
muslim wajib menjalankan ajaran agama serta menyiarkannya. Dari itu, sekarang aku
selalu aktif di organisasi dakawah. Aku ingin menjadi muslimah yang selalu berjuang
untuk menegakkan agama Allah. Maaf Fahriz, aku tidak mau melakukan hal-hal yang
kurang bermanfaat." "Tapi... bukan berarti kamu tidak mau menemani hari-hariku lagi, kan?"
"Maaf Fahriz, aku mengerti perasaanmu. Tetapi, perlu kamu tahu, kader yang
baik itu adalah kader yang tahu kebutuhan organisasi. Sebagai kader dakwah, tidak
mungkin aku bersenang-senang di saat musuh-musuh Islam gencar menyerang hendak
merusak akidah umat Islam. Aku harus berjuang untuk melawan godaan-godan setan,
terutama nafsuku sendiri. Aku harus berusaha untuk menerapkan ajaran Islam dalam
keseharianku. Aku... aku harus... mendakwahkannya ke orang lain. Fahriz... maaf, aku
harus meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang kurang bermanfaat semasa di SMA
dulu. Walau... walau sebenarnya, hal itu sulit bagiku." Tak terasa air mataku menetes di
pipi. "Ukhti Indah, dia pacar Ukhti?" tanya Ukhti Fira.
"Dulu Ukhti, tapi sekarang saya sadar, bahwa hidup tak bisa dijalani dengan
hanya bersenang-senang saja. Saya sadar kalau dalam hidup ini banyak ujian dan
cobaan yang pasti akan di hadapi. Saya... saya akan terus berusaha untuk
membentengi jiwa saya dengan iman dan takwa. Saya akan terus berusaha untuk
meningkatkan keimanan saya, dan... saya akan terus memperbaiki konsep perjalanan
hidup untuk mencapai misi hidup ini. Saya janji Ukhti, saya akan terus aktif dalam
organisasi dakwah. Saya tidak akan menukar akhirat saya dengan kesenangan sesat,"
ungkapku pada Ukhti Fira.
"Lalu... aku kau tinggalkan?" tanya Fahriz kecewa.
"Maaf Fahriz, hubungan yang kita jalin tidak punya misi yang jelas, tanpa konsep
dan tanpa tujuan yang jelas. Semua berdasar keinginan untuk bersenang-senang.
Sekali lagi maaf, Fahriz." Air mataku tak henti basahi pipiku.
2 Air Mata di Merahnya Senja
Gelap berangsur menutupi hari, tanda malam telah tiba, gantikan siang yang
benderang. Dengan derai air mata, kulihat Fahriz pergi meninggalkan aku. "Ukhti..."
kurebahan kepalaku dalam pangkuan Ukhti Fira.
3 Aku Sudah Dewasa AKU SUDAH DEWASA "Haha haha?" Indah tertawa terbahak-bahak saat bergurau sama teman-temannya di kampus
barunya, Universitas Muhammadiyah Jember.
Di antara teman-temannya, Indah lah yang paling lucu. Ia selalu membuat temantemannya tertawa. Ada saja yang bisa dia lakukan untuk membuat teman-temannya
tertawa. Dasar anak baru lulus SMA, belum dewasa.
Menjelang tengah semester pertama, Ia tertarik untuk ikut lembaga pers kampus.
Ia mendatangi sekretariat pers di kampusnya.
"Kalau kamu minat, selesai UTS ada perekrutan anggota baru. Entar kamu ikut
diklatnya, tapi sekarang kalau memang ada waktu, ikut saja kegiatan rutin kami setiap
hari Jumat sore," jelas salah satu pengurus pers mahasiswa.
"O gitu, ya udah. Jumat ya?"
*** Jumat sore, Indah datang ke sekretariat pers mahasiswa di kampusnya dengan
membawa karya tulis berupa artikel ringan yang telah dibuatnya. Betapa terkejutnya ia
setelah berkumpul dengan teman-teman pers. Jauh berbeda dengan teman-temannya
di kelas, karakter anak-anak pers Islami banget.
Ia jadi malu sebab ia bergabung dengan para akhwat dan ikhwan yang sudah
tidak kekanak-kanakkan lagi seperti dia. Mereka kelihatan dewasa sekali, sungguh
berbeda dengan Indah. Tapi" ada yang membuat ia betah bersama orang-orang yang
jauh berbeda karakter dengan dirinya. Tepat di hadapannya sedang duduk seorang
ikhwan, caaakep banget. "Sayang aku kelihatan kekanak-kanakkan," pikirnya. "Coba
aku sudah seperti mbak-mbak itu, mungkin dia akan melirikku."
Ia mulai berkhayal tentang ikhwan yang di hadapannya, pikirannya tidak
konsentrasi lagi pada materi kepenulisan yang diberikan oleh ketua lembaga pers.
4 Aku Sudah Dewasa Dua jam berlalu begitu cepat, acara pun ditutup. Belum puas hati Indah berada di
hadapan ikhwan yang cakep. Saat keluar dari sekretariat, ia mencoba memberanikan
diri menyapa ikhwan yang dikaguminya.
"Mas?" "Apa, Dik?" "Ih!! Kok kayak yang nyapa adiknya," keluhnya dalam hati. "Mmm" kegiatannya
apa aja?" "Adik baru gabung ya?"
"Nama saya Indah, Mas."
Ia mengenalkan namanya biar tidak dipanggil adik.
"Oh ya, nama saya Fandy. Kegiatan kami banyak kok, Dik."
"Adik lagi," keluhnya dalam hatinya. "Apa saja?"
"Ada writing camp, wawancara, penelitian, dan masih bannyak lagi. Mmmm"
Dik Indah belum jadi anggota ya?"
Indah menatapnya dengan wajah cemberut.
"Kok cemberut?"
"Cemberut! Tidak. Kata Mas Arman, setelah UTS ada perekrutan anggota baru."
"Ya benar. Nanti Dik Indah ikut diklat. Nah setelah jadi anggota, Dik Indah bisa
ikut semua kegiatan kami."
"Mmmm" Mas, kalau belajar nulis sama Mas Fandy, boleh nggak?"
Fandy tersenyum mendengar pertanyaan Indah. "Sama mbak-mbaknnya aja ya.
Nanti saya kenalin."
Indah nampak kecewa dengan sikap Fandy. "Sombong, mentang-mentang udah
jadi pengurus," keluhnya dalam hatinya. "O, ya udah kalau begitu."
*** Sore, matahari mulai menampakkan warna merahnya di ujung barat sang bumi.
Langit di ufuk barat indah terhias oleh bias cahaya sang raja siang yang hendak
5 Aku Sudah Dewasa kembali ke singgasananya. Di halaman tempat kosnya, di bawah pohon mangga, Indah
berdiri menatapi merahnya senja.
Di wajah langit sore ia terbayang wajah sang ikhwan yang baru dikenalnya.
"Gimana ya" agar dia mau melirikku. Kayaknya nggak mungkin banget. Dia kan punya
banyak teman akhwat yang" jauuuuh lebih dewasa dari aku."
"Halo Indah"!!"
Fitri, teman Indah yang tiba-tiba muncul di belakangnya, mengagetkan dia. "Kok
melamun, jatuh" hati ma cowok ya" Ayo ngaku."
Tidak seperti biasanya, Indah hanya tersenyum, dia tidak tertawa saat Fitri
godain dia. "Waaah, drastis banget perubahannya. Habis ketemu siapa sih?"
"Fit, menurut kamu, aku kelihatan dewasa nggak?"
Fitri terkejut mendengar pertanyaan temannya itu. "Mmmm" Kalau aku
bandingkan sama adikku yang masih kelas 6 SD, mungkin lebih dewasa dia."
Indah menatap Fitri dengan sinis. "Fit, aku serius."
"OK, OK nggak usah marah. Orang dewasa itu" lebih banyak diamnya dari
pada ngomongnya. Punya rasa tanggung jawab. Jadi, apa yang ia lakuin udah
dipikirkan terlebih dahulu, nggak kayak?"
"Aku." Fitri menganggukkan kepala. "Terus, apa lagi ya" Nah, lebih feminin. Mmmm"
kalo boleh tau, suka sama siapa sih?"
"Nggak, nggak suka sama siapa-siapa."
"Terakhir nih, kata pepatah, "tua itu pasti, tapi dewasa itu pilihan" udah itu aja.
Aku balik dulu ya, udah hampir maghrib."
*** Malam semakin larut, udara pun semakin dingin menusuk kulit. Indah yang lagi
sendiri di kamarnya terus terbayang wajah ikhwan yang dikaguminya. "Harus! Aku
harus lebih dewasa dari mereka. Aku harus merubah sikapku. Benar kata Fitri, dewasa
6 Aku Sudah Dewasa itu pilihan. Kini saatnya aku jadi dewasa, aku harus banyak belajar pada mereka yang
lebih dewasa dariku, tapi" bagaimana dengan teman-temanku" Aku tidak mau
ninggalin mereka." *** Hari Senin terasa amat berbeda bagi teman-teman Indah, mereka seperti
kehilangan satu temannya. Di hari itu, Indah benar-benar merubah sikap dan
penampilannya. Ia tidak lagi berpakaian yang minimal. Ia menggantinya dengan busana
yang serba tertutup, bahkan lekuk tubuhnya pun tidak kelihatan. Udah jadi akhwat.
"Teman-teman, nggak papa kan aku begini. Aku masih teman kalian kok."
"Seperti apa pun kamu, kamu adalah teman kami. "
Indah senang dengan sikap teman-temannya. Mereka tetap menganggap dia
sebagai teman meskipun ia telah berubah sikap dan penampilannya.
*** Tak terasa sudah seminggu Indah dengan penampilan barunya, dan waktu untuk
berkumpul bersama teman-teman pers pun tiba. Sebelum berangkat, bahkan
malamnya, Indah sudah banyak mengkhayal tentang ikhwan yang dikaguminya. Dalam
khayalnya, ikhwan yang dikaguminya mau meliriknya dan jatuh hati padanya.
"Wah, Dik Indah! Kirain siapa. Tambah cantik kalau begitu."
Indah geer mendengar pujian Fandy, pdahal Fandy hanya basa-basi. "Tapi"
kenapa dia manggil Dik, kayak bicara sama anak kecil aja. Padahal sama mbak-mbak
itu nggak manggil adik," pikirnya.
"Mas Fandy!" Salah satu akhwat pengurus pers memanggil Fandy.
"Apa?" "Ayah mau ke kosan besok. Katanya ingin ketemu Mas, bisa kan, Mas?"
7 Aku Sudah Dewasa Seperti petir menyambar dada Indah, jantungnya seperti hancur. Dadanya terasa
panas seperti disusupi air mendidih.
"Waaah, disuruh segera nikah paling!" Salah satu ikhwan pengurus pers godain
Fandy. Bagai mawar yang mekar di saat senja menyala. Percuma, tak terlihat mekarnya,
tertutup gelap yang semakin menebal. Indah tidak jadi ikut kegiatan pers, ia segera
kembali ke kosannya dan menangis di kamarnya. Ima, teman kosnya yang kebetulan
melihat wajah Indah berair mata, mencoba melihat Indah di kamarnya. Dilihatnya Indah
sedang terisak oleh tangis yang dalam.
Ima mendekati Indah, ia duduk di samping Indah dan memegang bahu Indah.
"Indah, ada apa?"
Indah semakin jadi nangisnya. Ia memeluk Ima. "Ima, kukira dengan
perubahanku aku akan bahagia, tapi?"
Ima menarik nafas dalam-dalam. "Indah, mungkin Tuhan menghendaki yang
terbaik bagi kamu. Mungkin Tuhan hendak mendewasakan kamu melalui masalah yang
kamu hadapi sekarang. Sabar ya, semua pasti ada hikmahnya."
Indah terdiam sejenak. Ia menghapus air mata yang membasahi pipinya.
"Tapi, apapun yang menimpamu, jangan kamu ubah lagi sikap dan


Kumbang Datang Di Fajar Pagi Karya Rugyinsun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penampilanmu, Indah. Aku salut sama kamu. Kamu tampak lebih dewasa."
8 Ayah, Hidupku Harapanmu AYAH, HIDUPKU HARAPANMU Hijau daun pepohonan di sepanjang jalanan membuat jalanan teras sejuk tak
tersentuh terik mentari siang. Runtuhan daun kering sesekali jatuhi kepalaku yang
sedang melangkah dengan penuh keragu-raguan. Kapan aku bisa melangkah di atas
anganku, kapan aku bisa merasakan hidup yang sebenarnya"
Aku bingung. Dalam hati aku ingin menjalani hidup di atas kerangka karanganku
sendiri, yang kubuat dan kurencanakan sendiri. Aku ingin menjadi diriku sendiri, arungi
luasnya lautan kehidupan dengan sampan sendiri.
Ombak, aku tidak bahagia di atas kapal besar ini. Walau hidupku lebih terjamin,
tapi aku tak bisa menentukan haluannya seperti yang kuingin. Aku lebih suka berlayar
dengan kapal keciku yang akan mengajariku tentang banyak hal dalam hidup ini.
Ombak, kapal ini hanya akan membuatku tertidur dan terlelap dalam mimpi indah yang
tak pasti adanya. Manis memang kudengar kalimatnya. Katanya ia sayang aku, ingin membahagiakanku. Ia tak ingin melihat ada air mata di kedua bola mataku walau hanya
setetes saja. Dia selalu ingin mengukir senyum dan tawa di bibirku, tapi ia tak mau tau
tentang hati ini. Ia tak tahu apa yang kumau.
Ia tak mau tahu ke mana haluan hidup ini. Ia tak mau tahu ke mana hati ini
hendak pergi. Seolah hanya ia saja yang berhak mengatur alur cerita kisah ini. "Aldi,
ayahmu ini sudah tua, sudah banyak makan asam garam, sudah banyak tahu manis
pahitnya dunia. Ayah ingin hidup kamu selalu dalam kebahagiaan. Ayah tidak ingin
kamu salah melangkah. Jadilah anak yang baik, penurut sama orang tua. Jangan suka
membangkang nasihat orang tua," nasihatnya padaku saat aku hendak berangkat
sekolah. Lembut memang ucap kalimatnya, namun cukup sedih mengiris hati. Memang
ayah lebih dulu hidup dari pada aku, pengalaman hidupya jauh lebih banyak daripada
aku. Tetapi, bukan berarti aku harus meniru jalannya untuk bisa lebih hebat seperti dia.
9 Ayah, Hidupku Harapanmu Aku bisa lebih kreatif daripada dia. Aku tidak harus menjadi seperti dia untuk menuju
danau bahagia. Masih kuingat saat aku masih kelas 2 SMP. "Ayah bangga kalau kamu bisa
seperti ayahmu," katanya padaku. Memang dia tidak memaksaku untuk menjadi seperti
dia. Namun, dalam senyum di wajahnya aku melihat tersirat harapan agar aku seperti
dia. Dalam makna tuturnya, dan di setiap arti nasihatnya mengatakan bahwa ia ingin
aku seperti dia, menjadi dokter yang hebat. Dan yang tampak jelas, kulihat keningnya
selalu mengerut sat aku minta uang untuk membeli kertas A4 untuk mencetak cerpencerpenku. Mungkin ia khawatir aku melupakan pelajaran belajar IPA, terutama biologi.
Setiap saat hati ini tak henti menangis. Namun aku selalu berusaha tersenyum.
Hampir semua waktuku kuhabiskan untuk mewujudkan impian ayah. Aku menekuni
pelajaran IPA walau karena terpaksa. Aku hanya menggunakan sedikit waktu untuk
menulis cerpen dan belajar tentang sastra.
Dalam hati aku meminta pada Tuhan, Sang Pencipta, agar perbuatanku tidak
dicatat sebagai perbuatan tercela. Aku merasa bersalah telah mencuri waktu untuk
menulis cerpen dan belajar sastra. Mungkin ayahku akan marah kalau ia tahu. Ingin
rasanya aku bekerja agar aku bisa hidup mandiri, tapi ayah tidak mengizinkan. Katanya
aku harus rajin belajar agar aku bisa seperti dia. Sampai kapan aku hidup dalam
harapannya" Suatu malam kubuka lembaran-lembaran diary-ku. Kutulis kata hatiku ini:
Diary, kau tau" kau lihat air mata ini"
Diary, sudah berapa detik" sudah berapa menit" sudah berapa jam" 10 Ayah, Hidupku Harapanmu atau" sudah berapa tahun hidup kurelakan untuk mewujud impian ayah
kurelakan cita pribadiku kurelakan hidupku demi harapan impian ayah demi senyum di bibirnya Diary, kau tau" aku ingin bercerita pada semua yang mendengar
bukan hanya padamu.. Diary, aku melihat bintang di siang benderang
juga bulan bersama mentari
Diary, aku tak mau malamku gelap
karena bulan bintang di siang hari
aku tau ku tak bisa melarang bulan dan bintang
tapi aku" ingin berseru
walau dengan tinta penaku
11 Ayah, Hidupku Harapanmu pada semua makhluk di dunia
agar nyalakan lentera kecil di malam yang gelap
Diary, aku" aku tak punya waktu
waktuku telah dibeli untuk mewujudkan impiannya
Diary, ku tak mau malamku gelap Diary, ceritakan! Diary, ceritakan! ceritakan! ceritakan, Diary" Pernah aku nekat tidak belajar selama seminggu. Seluruh waktuku selama
seminggu kugunakan untuk menulis cerpen dan belajar sastra. Bahkan aku
memutuskan untuk tidak memilih jurusan IPA setelah naik kelas tiga SMA. Aku ingin
memilih jurusan bahasa. Namun, rasa bersalah membuat tidak tenang. Pikiranku galau,
jiwaku tidak tenteram. Aku pun kembali menekuni peajaran IPA, walau sebenarnya hati
tersiksa. Rasanya, aku seperti berjalan di tepi jurang yang licin yang banyak hewan
buasnya dengan membawa beban yang berat. Melangkah perlahan, terasa berat.
Melangkah cepat, aku takut jatuh. Sementara untuk berhenti, aku takut diserang hewan
buas. Mau tidak mau aku harus menjalani hidup apa adanya. Mungkin memang
beginilah hidup. Kini aku sudah semester dua fakultas kedokteran. Kuikhlaskan impianku demi
untuk mewujudkan impian ayah. Semoga Allah mengganti pengorbanan ini dengan
12 Ayah, Hidupku Harapanmu yang lebih baik. Aku yakin butiran air mata ini akan menjadi saksi pengorbanan hidup
ini. 13 Sekolahku Tak Semisi SEKOLAHKU TAK SEMISI "Kok melamun, lamunin apa sih?" tanya Randi saat bermain ke rumah suatu
sore. Seketika ku tersadar dari lamunanku. "Aku bingung, Ran. Aku suka sekali
pelajaran fisika, tapi aku takut untuk menekuninya. Aku takut nilai mata pelajaran yang
lain turun. Aku bisa tidak naik kelas bila hanya nilai fisikaku yang tinggi."
"Ya" gini Fan, kamu tekuni aja pelajaran Fisika. Mengenai pelajaran yang lain,
tidak usah khawatir. Kamu nyontek aja saat ujian."
"Solusi kok menyesatkan."
"Bukan menyesatkan, Fan. Lagipula, buat apa kamu menekuni semua mata
peajaran jika kamu tidak menyukainya. Toh, kalau pun kamu menekuni semua mata
pelajaran, tidak mungkin kamu bisa menguasainya semua. Bisa-bisa, pelajaran fisika
yang kamu minati yang amburadul. Sudah, kembangkan saja pengetahuan fisikamu."
Kurasa memang ada benarnya apa yang dikatakan Randi. Sejak SD aku
mempelajari semua mata pelajaran, tapi sekarang yang kuingat hanya pengetahuan
fisika. Aku lupa pelajaran yang lain, hanya sedikit yang kuingat. Bahkan pelajaranpeajaran di kelas satu kemarin, aku lupa. Apalagi pelajaran di SMP, waduh" hilang
entah ke mana. Aku tidak mengerti, kenapa semua mata pelajaran dipaksakan pada siswa,
bukankah minat belajar siswa tidak sama. Ada yang suka matematika saja, ada yang
suka biologi saja, dan semacamnya. Rasannya lebih efektif bila mata pelajaran yang
diajarkan hanya mata pelajaran yang diminati siswa saja. Bahkan aku berani meskipun
ditekankan harus mendapat nilai sepuluh untuk mata pelajaran fisika. Sebab, itu
memang targetku. Aku memang ingin mendalami ilmu fisika.
Kurasa ada yang perlu diubah dengan sistem pendidikan di negeri ini. Atau....
kenapa tidak pelajaran yang memberi pencerahan saja yang ditekankan, seperti
pelajaran agama dan palajaran kewarganegaraan, ditambah pelajaran yang diminati.
14 Sekolahku Tak Semisi Kan enak, siswa akan lebih menyadari hakikat dirinya sebagai makhluk Tuhan dan
makhluk sosial. Dengan begitu, tentu siswa akan tekun belajar tanpa disuruh atau dipaksa. Siswa
akan lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, bukan nilai seperti dalam rapor
atau ijazah. Sebab, agama dan Pancasila mengajarkan manusia untuk menjadi
manusia seutuhnya. Dan manusia utuh akan mempelajari semua ilmu untuk
meningkatkan nilai dirinya. Bukan untuk meraih gelar atau ijazah saja.
Ah, aku kok jadi melamun lagi. "Ran, suka pelajaran fisika juga?"
"Ah, tidak. Hanya ingin membaca saja menemani kamu yang lagi melamun. Fan,
aku kok sering melihat kamu melamun di sini, nggak malu sama orang-orang yang
lewat" Melamun kok di depan rumah."
"Memangnya kenapa" Ini kan teras rumahku sendiri. Biarin orang lewat."
"Daripada melamun, lebih baik kamu belajar biar nilaimu tinggi. Entar, kalau udah
lulus kuliah di jurusan fisika. Nah, kamu bisa belajar fisika sampai kenyang di perguruan
tinggi." "Ya" tapi kan" biayanya mahal. SMA saja aku pake beasiswa. Kalau mampu
kayak kamu, enak." "Kan bisa sambil kerja, Fan. Eman, kamu punya potensi. Sepertinya kamu bakat
di fisika. Eman kalau kemampuan fisikamu tidak diasah."
Memang, tidak ada yang mudah dalam hidup ini. Andai saja aku anak orang
kaya, aku akan membeli alat-alat praktek yang diperlukan untuk belajar fisika. Sayang.
Kenapa bukan perguruan tinggi yang digratiskan. Kalau gratis kan bisa ditekan setinggi
mungkin standard nilainya. Apalagi pelajarannya sudah tidak banyak, sudah ada
spesifikasi ilmu. Nilai di bawah sembilan nggak usah diluluskan aja, biar mahasiswa
rajin belajarnya. Kalau biayanya mahal, bisa saja dosennya merasa kasihan untuk tidak
meluluskan mahasiswa yang belum begitu menguasai mata kuliahnya, seperti guruguru di SMA. Tak jarang mereka memberi nilai kasihan pada siswa, bahkan ada yang
memberi siswa kesempatan untuk nyontek, agar siswanya lulus. Lulus, kalau ilmunya
tidak sesuai dengan nilainya, kan percuma. Bila begini terus, output pendidikan tidak
15 Sekolahku Tak Semisi akan berkualitas. Paling yang dihasilkan hanya manusia-manusia penggerak
perusahaan, bukan seorang ahli. Tapi mungkin memang sudah nasib.
"Fan, kamu kenal sama Fini, anak kelas B?"
"Tidak, kenapa?"
"Dia kemarin nanya ke aku tentang contoh soal yang ini," Randi menunjukkan
halaman 11 di buku fisikaku. "Sayang, aku tidak suka fisika, dia cantik banget, Fan.
Ternyata ilmu fisika banyak faedahnya."
"Banyak faedahnyaaaaa..... Memangnya kamu sudah bisa mencari nafkah?"
"Ya" pacaran dulu, Fan."
"Ran, kita ini tercipta sebagai makhluk termulia, masa mau melakukan hal
semacam itu." "Alim kamu, Fan," katanya sambil tersenyum.
"Ya" bukannya aku sok alim. Tapi alangkah baiknya bila menjadi manusia yang
utuh yang bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Bukan hanya manusia berilmu,
tapi tak pandai memanfaatkan ilmu dalam hal kebaikan."
"Iya, kamu benar. Udah ya, aku balik dulu. Udah hampir maghrib."
"Iya, terima kasih. Jangan lupa belajar yang rajin."
16 Bukan Sekedar Pembantu BUKAN SEKEDAR PEMBANTU Pagi itu suara kicau burung-burung pipit ramai bernyanyi di puncak pohonan
rindang di belakang rumah bercat warna hijau. Rumah yang tidak begitu besar, namun
tampak begitu asri oleh warna hijau pepohonan dan bunga di sekelilingnya. Di rumah itu
tak terlihat adanya aktivitas, sepi seperti di tinggal penghuninya.
Maklum, penghuninya pada bekerja kalau pagi. Pak Rahman dan Bu Fitri, yang
menghuni rumah itu, keduanya sibuk sebagai pegawai di sebuah perusahaan swasta.
Berangkat pagi, pulang sore. Begitu setiap hari, hanya anaknya yang masih balita
dengan pembantu setianya, Bi Sutin, yang ada di rumah itu.
"Uwe" uweeee"!!"
Tiba-tiba terdengar tangis balita menyeruak di sela kicauan burung-burung pagi.
"Anak cakep nggak boleh nangis. Kenapa, Nak" Mau ma"em ya?"
Bi Sutin membujuknya dengan lembut sambil membelai-belai rambut Ical yang
lagi digendongnya agar Ical berhenti menangis. Lalu ia mengambil semangkok bubur. Ia
suapi Ical yang mulai menghentikan tangisnya. Sesekali Ical diajak bercanda oleh Bi
Sutin. "Lucu," kata Bi Sutin saat melihat tawa Ical yang mungil.
Begitulah hari-hari Ical di rumah. Setiap hari hanya ditemani pembantu. Hanya
pada waktu sore ia bisa merasakan dekapan orang tuanya. Itu pun hanya sebentar
sebab orang tuanya masih lelah sehabis pulang kerja. Kalau boleh dibilang, Bi Sutin
lebih pantas disebut ibunya Ical. Sementara bapaknya, lebih banyak menghabiskan
waktu dengan kopi dan koran ditimbang menggendong Ical.
Mungkin bagi kedua orang tua Ical, keluarga akan bahagia bila ekonominya
berkecukupan. Sehingga, mereka begitu pasrah pada pembantunya. Beruntung mereka
punya pembantu yang begitu penyayang.
17 Bukan Sekedar Pembantu *** Waktu tak terasa terus menuju ujung, seolah tak dapat dihentikan. Ical, si balita,
pun tumbuh menjadi besar. Di usianya yang sudah mencapai 6 tahun, Ical sudah mulai
masuk TK. Lingkungannya bertambah luas. Ia mulai berinteraksi dengan teman-teman
barunya di sekolah TK-nya.
Sungguh beda dengan teman-temannya. Teman-teman Ical diantar oleh orang
tuanya ke sekolah, sementara Ical diantar oleh pembantu. Namun Ical tidak merasa
malu, sebab ia lebih terbiasa bermain dengan Bi Sutin dibanding dengan ibunya sendiri.
"Anak yang keberapa, Bu?" Tanya salah seorang ibu yang juga mengantar
anaknya. Bi Sutin tersenyum ramah. "Yang pertama, Bu."
Ibu yang bertanya tersebut mengerutkan keningnya, seolah ia tidak percaya
kalau Ical anaknya Bi Sutin. Memang, Bi Sutin lebih pantas disebut neneknya Ical.
Bahkan anaknya Bi Sutin di kampung sudah lebih tua dibanding usia ibunya Ical. Wajar
kan. "Anak pertama?"!" kata ibu itu.
Bi Sutin kembali melempar senyum pada ibu itu. "Anu, saya bukan ibunya, Bu.
Saya hanya pembantu. Maklum, kedua orang tuanya sibuk, jadi saya yang
menggantikan sebagai orang tuanya."
"Sejak kecil"!"
"Iya," jawab Bi Sutin sambil tersenyum.


Kumbang Datang Di Fajar Pagi Karya Rugyinsun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ibu sendiri, punya anak"!"
"Bahkan sudah punya cucu," jawab Bi Sutin sambil tersenyum.
*** "Bi, Ical mau ke rumah teman."
Ical yang sudah kelas dua SMP pamit pada Bi Sutin saat mau maen ke rumah
temannya di hari Minggu. 18 Bukan Sekedar Pembantu Aneh, padahal ada ibunya, kenapa ia hannya pamit pada Bi Sutin.
"Mau ke mana, Nak?" tanya ibunya yang lagi nonton TV.
"Mau ke rumah teman, Ma." Lalu Ical pergi.
"Bi, gimana Ical, nggak nakal?" Tanya Bu Fitri.
"Aneh?" kata Bi Sutin dalam hatinya. Maklum, di kampungnya tidak ada wanita
yang bekerja. Jadi, orang tua pasti lebih tau tentang anaknya. Mungkin ia pikir, keliru
bila Bu Fitri nanya tentang Ical ke dia, tapi" itulah faktanya. Hari-hari Ical lebih banyak
dihabiskan dengan Bi Sutin, bukan dengan ibunya.
"Dia anak yang baik. Tidak ngerepotin, Bu. Saya kagum padanya," jawab Bi
Sutin. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Namun, karena Bi Sutin sudah terlanjur
menyayangi Ical, bahkan lebih dari anaknya sendiri, ia menutupi kenakalan Ical.
Bahkan setiap shalat, ia selalu mendoakan Ical agar selalu dikaruniai kebahagiaan oleh
Allah, dan selalu dituntun menuju jalan kebaikan.
"Ical, sudah shalat dzuhur?" tanya Bi Sutin sambil mendekat duduk di samping
Ical yang duduk nonton TV sepulang dari rumah temannya.
"Ntar lagi, Bi," jawabnya sedikit manja.
"Shalat kok ditunda-tunda," tegur Bi Sutin dengan lembut.
"Aaah, Bibi..." lalu Ical mematikan TV-nya dan segera berwudhu.
*** Siang semakin panas oleh terik sinar matahari. Langit tampak begitu cerah, tak
ternoda oleh awan sepetak pun. Perlahan dengan sepeda motornya, Ical pulang dari
sekolah. Dan, betapa terkejutnya ia melihat Bi Sutin berpakaian begitu rapi dengan tas
besar yang dipegangnya. "Mau ke mana"!" tanyanya.
Bi Sutin meneteskan air mata. "Bibi mau pulang ke kampung, Cal," jawabnya
sambil menahan tangis. "Pulang ke kampung"! Bi Sutin mau ninggalin Ical?"
19 Bukan Sekedar Pembantu Bi Sutin terdiam. Tak tega rasanya ia ninggalin Ical meskipun ada orang tua Ical
yang akan merawat dia. "Aku hanya pembantu orang tuamu, Cal," kata Bi Sutin dalam
hatinya. Namun bagi Ical, ia bukan hanya sekedar pembantu. Baginya ia adalah orang
tuanya yang selalu menyayanginya dan selalu mengingatkan dia untuk makan, shalat,
dan semacamnya. Namun, Bi Sutin punya keluarga di rumah. Ia punya anak, punya
cucu di kampungnya yang juga membutuhkan kasih sayangnya.
"Kenapa, kenapa Bibi mau pulang ke kampung?"
"Cal, anak Bibi yang bungsu melahirkan bayi kembar. Padahal, itu anak
pertamanya. Dia sangat membutuhkan aku untuk mengurusi bayinya. Aku dipaksa
pulang." Air mata Ical menetes. "Terus, Ical?""
Bi Sutin terdiam. *** Tak terasa waktu berjalan begitu cepat seiring perputaran bumi ini. Kini Ical
sudah jadi manusia dewasa, sudah bukan lagi Ical yang dulu. Ia sudah lulus SMA.
Sudah mulai berperan di masyarakat umum. Apalagi ia sudah jadi mahasiswa di
perguruan tinggi swasta di Bandung. Jauh dari orang tuanya yang tinggal di Jawa
Tengah. Sudah dua tahun ia kuliah, semester dua. Namun, belum pernah ia pulang ke
rumah, bahkan saat liburan pun. Seakan ia tidak ingat keluarganya. Yang ia ingat,
mungkin hannya saat uang kirimannya habis. Di benaknya seolah tak terpikir
bagaimana kondisi kedua orang tuanya. Seolah tak ada rasa rindu untuk sang ayah dan
sang ibu di rumah. Namun, aneh juga bila dipikir, kenapa orang tua Ical juga tidak pernah
menanyakan kabar Ical di Bandung. Seolah-olah bagi mereka, yang penting mengirimi
Ical uang. 20 Bukan Sekedar Pembantu *** Suatu hari ayah Ical kecelakaan di tempat kerjanya, dan menyebabkan ia
mengalami patah tulang kaki dan gegar otak. Ia langsung dibawa ke rumah sakit. Bu
Fitri yang saat itu ikut mengantar suaminya ke rumah sakit segera memberi tahu Ical.
"Oh, ya Ma, saya segera pulang."
Sesampainya di rumah sakit, Ical mendapati ayahnya sudah tidak bisa
mengenali dirinya. Bicaranya ngelantur, kadang bernyanyi.
"Astaghfirullah!"
Hati Ical bergetar. "Ayah." Sungguh sangat jarang ia ucapkan kata itu. Ia
meneteskan air mata. "Ayah, baru kali ini saya merasa begitu dekat dengan engkau.
Ayah." "Ical, kamu jangan segera kembali ke Bandunng ya. Kamu temani ayah kamu
sama Bi Parti. Dua hari lagi, Mama mulai kerja lagi. Mama tidak bisa cuti lama-lama."
Ical hanya mengangguk. "Ya Allah, kenapa aku merasa begitu jauh dengan ayah
dan mama" Ya Allah," keluh Ical dalam hatinya.
Dua hari kemudian, saat Bu Fitri mulai kerja, ayah Ical dipanggil sang Ilahi. "Inna
lillahi wa inna ilaihi raji"un." Ical yang selalu berada di sampingnya begitu sedih dengan
kepergian ayahnya. Ia tak kuasa menahan tangis.
*** Semester 6 Ical mulai mengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar di
Bandung. Ia begitu menikmati kariernya itu. Income yang diperolehnya pun cukup
lumayan sehingga ia bisa membiayai kuliahnya sendiri.
Dua tahun kemudian, ia mendapat kenaikan gaji. Semakin besar pendapatan
yang diterima. Bahkan ia menikah dengan seorang gadis di sana. Dan semakin tak
pikirkan olehnya untuk pulang ke kampung halamannya. Mungkin hanya setahun sekali,
tiap hari raya. Itu pun tidak pasti.
21 Bukan Sekedar Pembantu Kini Bu Fitri telah meninggal dunia. Ical telah kehilangan kedua orang tuanya.
Saat sendiri, ia kadang teringat masa lalunya dengan orang tuanya. Betapa sibuknya
orang tuanya sehingga ia selalu dititipkan kepada pembantu, Bi Sutin.
"Ya Allah, belum cukup rasanya waktu Kau berikan pada hamba untuk hidup
bersama orang tua." 22 Kumbang Datang di Fajar Pagi
KUMBANG DATANG DI FAJAR PAGI
"Akhi, kenapa kamu selalu godai aku, bukankah Akhi adalah orang yang paham
agama, dan bukankah Akhi telah lama belajar di pesantren?" tegurku pada Arman,
teman sekelasku, saat godai aku ketika berpapasan denganku di depan masjid kampus
suatu sore. "Ukhti, aku senang dekat denganmu. Wajar kan orang jatuh cinta?"
"Senang sih, boleh-boleh saja, tapi caranya tidak harus begitu," tegurku.
Aku tidak mengerti dengan sikapnya. Kata Indah, teman dekat Arman, Arman
adalah santri yang berprestasi ketika belajar di pesantren dulu. Tetapi, kenapa dia lost
control. Hampir tiap ketemu aku, dia selalu godai aku, seolah ia tidak tahu kalau hal itu
dilarang agama. "Halo Ukhti, kok bengong?" tegurnya, mengejutkanku.
"Maaf Akhi, saya harus ke masjid sekarang, ada acara diskusi."
"Kok diskusi terus, sekali-kali jalan-jalan lah" temani aku menikmati
pemandangan indah. Mau kan?" pintanya.
Aku tidak menghiraukannya. Aku terus melangkah menuju mesjid untuk
mengikuti acara diskuksi agama yang diselenggarakan oleh organisasi dakwah
kampus. *** Sehabis diskusi, aku duduk di serambi mesjid bersama teman-teman akhwat,
menunggu waktu salat maghrib. Tiba-tiba Arman datang menghampiri aku yang sedang
duduk di serambi mesjid bersama para akhwat.
"Ukhti Ulfa, saya ingin ngobrol sebentar sama Ukhti, boleh kan?" pintanya.
Aku merasa malu pada ukhti-ukhti yang lagi bersamaku. "Ada perlu apa"
Langsung saja di sini."
23 Kumbang Datang di Fajar Pagi
"Ya" kan nggak enak sama teman-teman Ukhti, saya ingin ngobrol berdua
saja," pintanya. Orang ini" kayak nggak punya kerjaan, pikirku dalam hati. "Akhi, kan Islam
melarang laki-laki yang bukan muhrim berdua sama perempuan muslim."
"Yang dilarang kan, laki-laki. Saya cuma satu, "laki" saja, nggak dua kali
"laki"nya."
Aku agak kesal mendengar leluconnya. "Akhi, saya punya banyak urusan, tidak
ada kesempatan untuk bersenda gurau. Banyak hal yang harus saya urusi bersama
teman-teman dakwah. Tolong Akhi bisa mengerti," ujarku dengan nada agak emosi.
"Ukhti, sabar, jangan terbawa emosi," Ukhti Indah menasehatiku.
Kalau saja Islam tidak mengajarkan untuk bersikap bijaksana, ingin aku makimaki dia. Aku kesal dengan sikapnya.
"Yang dilarang itu, kalau memungkinkan untuk berbuat maksiat," paparnya lagi.
"Kalau di sana kan tidak mungkin," katanya kemudian sambil menjunjuk serambi depan
masjid. Aku menghela nafas. "Ayo, sebentar saja."
"Nah" gitu dong."
Kemudian kami duduk di serambi depan mesjid. "Perlu apa?" tanyaku.
"Mmmm" biar lebih dekat, aku tidak memanggil kamu Ukhti, ya. Boleh kan?"
"Terserah Akhi, tapi perlu apa?"
"Kamu kok aktif di organisasi dakwah, pasti kamu orang yang dalam wawasan
agamanya, iya kan" Kalau aku, belum berani berdakwah meskipun sudah lama belajar
agama di peasantren."
"Memangnya, apa urusannya sama Akhi?"
"Ya" Saya hanya ingin mengingatkan saja. Kalau belum menguasai?"
"Oooo" itu masalahnya. Terus" kalau ilmu agama saya masih dangkal,
menurut Akhi, lebih baik saya menemani Akhi jalan-jalan, atau " pacaran sama Akhi,
gitu" Jadi, menurut Akhi, orang baru boleh mengamalkan ajaran agama kalau sudah
menguasai ilmu agama"!" tanyaku agak kasar.
"Bukan!! Bukan itu maksudku. Aku hanya?"
24 Kumbang Datang di Fajar Pagi
"Maaf, sebentar lagi adzan maghrib. "Assalamumalaikum." Lalu aku bergabung
lagi dengan teman-teman akhwat di serambi samping mesjid.
*** Sehabis maghrib, aku dan teman-teman akhwat membaca Al-Quran di mesjid
hinngga isya. Dan kembali ke kontrakan setelah salat isya. Baru beberapa menit saja di
kontrakan, HP-ku berdering. Aku sudah mengira kalau itu SMS dari Arman. Ternyata
dugaanku tidak salah. "Ulfa, kamu cantik, aku kagum pada kecantikanmu. Sungguh
besar anugerah Tuhan yang diberikan kepadamu. Engkau diciptakan dengan wajah
yang begitu cantik." Demikian bunyi SMS-nya.
Aku sedikit ge-er membaca pesannya yang berisi pujian. Kenapa dia menilaiku
dari kecantikanku, pikirku. Bukankah kesenangan pada hal itu hanya sementara, dan
bukankah tujuan orang berumah tangga tidak hanya melihat keindahan wajah cantik
atau tampan. Tidak tahukah ia kalau berumah tangga adalah sebuah amanah Allah,
keduanya harus punya rasa tanggung jawab yang besar pada rumah tangganya.
Apalagi dalam rumah tanggal ah kehidupan dimulai. Seharusnya ia memikirkan hal itu.
Ikhwan, kenapa engkau tidak melalui jalan yang bijak untuk mendekatiku, kalau itu
memang tujuan baikmu" tanyaku dalam hati. Ahhh" aku kok jadi mikirin dia, lalu aku
makan malam. Sehabis makan malam aku membaca buku psikologi anak, bacaan harianku
yang sangat kugemari. Seperti biasa, setiap hari, bahkan setiap ada kesempatan aku
selalu membaca buku psikologi anak untuk memperdalam pengetahuanku tentang
kejiwaan. Agar aku dapat dengan mudah mempengaruhi orang lain. Sehingga misi
dakwah pun akan mudah terealisasikan, terutama pada kalangan anak-anak.
Bagiku seorang anak adalah masa depan kehidupan. Ia butuh perhatian orang
dewasa. Rasanya tak mungkin rumah tangga yang dibangun hanya atas dasar saling
suka mampu membangun diri anak menjadi generasi yang baik, yang akan mengubah
dunia ini menjadi lebih baik.
25 Kumbang Datang di Fajar Pagi
"Tiiiit, tiiiiit!" tiba-tiba HP-ku berdering. Kulihat ada pesan masuk. Ternyata, dari
Arman, "Jangan malam-malam ya, tidurnya." Demikian pesannya. Aku cuek saja, tidak
membalas pesannya. Tetapi, dia mengirim SMS lagi hingga berkali-kali. Akhirnya, aku
pun membalasnya, "Iya, makasih diingatkan."
*** Esok harinya, jam tujuh pagi, ketika aku hendak berangkat ke kampus. Tiba-tiba
ada suara motor berhenti di depan kontrakanku. Kulihat keluar, ternyata Arman.
Dengan menahan malu pada teman-teman di kontrakan, aku keluar dan menyapanya,
"ada perlu apa Akhi?" tanyaku.
"Bareng, yuk. Dari pada jalan kaki, capek. Mau kan," pintanya.
"Maaf Akhi, belum boleh. Saya jalan kaki saja."
"Ya udah, aku pelan-pelan aja," katanya.
Gila benar dia, aku malu pada akhwat dan ikhwan yang melihatku sedang
dibuntuti cowok. Ingin rasanya aku lari sekencang-kencangnya. "Ya Allah, lindungi
hambamu. Tolonglah aku."
Sesampainya di kampus aku langsung menuju masjid. Kulihat teman-teman
akhwat lagi duduk di serambi masjid. Lega rasanya meski aku sedikit malu pada
mereka. Lalu aku shalat dhuha bersama sebagian mereka yang belum shalat.
Jam setengah delapan aku menuju kelas. Ternyata dosennya belum ada. Arman
mendekati aku, "Ukhti, kok selalu menghindar dariku, kenapa?" tanyanya. "Biasa aja,
seperti teman-teman yang lain."
Ya Allah, ke mana dosennya" tanyaku dalam hati.
"Ukhti, bisa bicara sebentar, saya udah nanya ke pengajaran barusan. Katanya,
dosennya berhalangan hadir. Bisa kan" Penting sekali Ukhti," bujuknya.
"Maaf, saya banyak urusan."
"Tapi kan" sekarang jam kuliah, dan dosennya kebetulan tidak bisa hadir. Masa
nggak bisa, sebentar aja. Please..."
"Ayo ke mesjid, kalau memang ada perlu."
26 Kumbang Datang di Fajar Pagi
*** "Ukhti, kenapa Ukhti selalu menghindar dari aku?" tanyanya.
"Akhi, kita ini muslim. Udah jelas kan, ayatnya. Tuhan melarang hambanya untuk
mendekati perbuatan zina."
"Tapi, ini tidak dekat dengan zina, Ukhti. Aku hanya ingin dekat kamu," bujuknya.
"Kita ini kan lawan jenis!!"
"Iya, saya tahu itu, tapi kan hanya bersama. Aku tidak akan berbuat hal-hal yang
mendekati zina." "Terus" bagaimana dengan kewajiban dakwah kita, bukankah sebagai muslim
kita wajib menyampaikan ajaran Allah pada orang lain. Kalau Akhi selalu berdua atau
selalu bergoncengan dengan saya, bagaimana kita bisa berdakwah. Orang-orang akan
mengatakan bahwa kita pacaran, suka berbuat maksiat, dan semacamnya."
Kulihat ia terdiam sejenak. "Ukhti, saya serius ingin bersama Ukhti, selamanya,"
bujuknya lagi. "Maksudnya"!" aku terkejut mendengar pernyataannya.
"Aku ingin hidup bersama kamu selamanya dengan cara yang diridhoi Allah,"
jelasnya. "Tapi" tapi saya belum siap untuk menjalani itu. Maaf Akhi."
"Kenapa mesti merasa tidak siap, kan suami yang bertanggung jawab terhadap
keluarga. Aku sudah bekerja."
"Akhi, saya tahu itu, tapi" seorang anak butuh seorang ibu yang bijaksana
dalam mendidiknya. Seorang anak butuh ibu yang betul-betul mengerti cara mendidik
anak. Dan saya" saya belum siap untuk menjadi ibu yang seperti itu. Ilmu agama saya
masih terlalu sempit. Kalu Akhi memang serius, sabarlah, dan tolong jaga jarak. Hanya
laki-laki yang sudah menikahi saya yang berhak menyentuh saya. Cinta saja tidak bisa
untuk membuka tabir penghalang pria dan wanita."
"Tapi Ukhti?" "Cukup sampai di sini perbincangan kita, saya mau ke perpustakaan. Sampai
waktu yang ditentukan Allah, Akhi. Assalamualaikum."
27 Kumbang Datang di Fajar Pagi
***

Kumbang Datang Di Fajar Pagi Karya Rugyinsun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejak saat itu, aku merasa tenang, sebab dia tidak lagi suka godai aku. Kegiatan
dakwahku pun menjadi normal lagi, tapi" kadang aku merasa kesepian. Bahkan
kadang aku mengharapkan kehadirannya di sisiku. Padahal, baru satu bulan perjanjian
itu berlalu. Sementara waktu yang kujanjikan, tak mungkin tiba dalam waktu kurang dari
dua tahun. Apakah ini karena aku belum cukup matang untuk menjalankan misi
dakwah, tanyaku dalam hati. Aku ingin dia godai aku lagi.
Namun, aku tidak menyerah dengan kondisi jiwaku, aku yakin aku bisa menjaga
diri dan menjalankan misi dakwah dengan meningkatkan ketekunan dalam belajar dan
memperbanyak kegiatan dalam organisasi dakwah. Selain itu, aku berusaha untuk
selalu dekat dengan para akhwat yang lebih senior dariku. Aku selalu berusaha untuk
tidak menyendiri. Inikah ujian dakwah" Tanyaku dalam hati. Pernah kudengar dari salah seorang
akhwat senior, "tujuan yang baik itu, panjang jalannya, berat usahanya, banyak
rintangannya, lama waktunya, dan butuh kesabaran."
*** "Ukhti, kok sering murung?" tegur Ukhti Indah saat aku duduk melamun di kursi
depan kontrakan. "Nggak, saya lagi baca buku?"
"Benar baca buku" Pandangannya kok kosong?" tanyanya lagi. "Lagi punya
masalah, ya, atau lagi teringat ikhwan yang biasanya godain anti?"
"Ukhti, kalau boleh nanya, seberat apa sih ujian yang pernah dialami Ukhti dalam
menjalankan misi dakwah?" tanyaku.
Ukhti Indah tersenyum padaku. "Ya" menurutku, sebatas kemampuanku. Allah
itu tidak akan membebani hambanya melebihi batas kemampuannya. Memangnya
kenapa" Kalau punya masalah, cerita aja sama saya, jangan dipendam sendiri.
Semnua orang pernah merasakan masalah, tidak satupun manusia yang tidak pernah
28 Kumbang Datang di Fajar Pagi
mendapat masalah. Semua pernah diuji oleh Allah. Tidak usah malu untuk curhat.
Siapa tahu saya punya solusinya."
"Ukhti, saya" Saya selalu teringat kumbang yang menghampiriku di saat fajar
pagi. Saya memintanya untuk pergi dan kembali saat surya mulai menabur butiran
cahayanya, tapi" saya melihat mendung menebal menutupi langit di pagi hari,"
ungkapku pada Ukhti Indah.
Ukhti Indah menghela napas panjang mendengarnya. "Kalau dia memang serius,
kenapa Ukhti menundanya?"
"Saya belum siap, Ukhti. Ilmu agama saya terlalu sedikit untuk menjalani hidup
berumah tangga, apalagi untuk menjadi seorang ibu. Aku belum bisa bersikap bijak."
"Tapi" apakah Ukhti yakin, suatu saat nanti akan mendapatkan yang lebih baik
dari kumbang yang pernah menghampiri Ukhti?"
Aku terdiam. Aku bingung untuk menjawab pertanyaan Ukhti Indah. Memang,
aku mengharapkan kehadiran kumbang yang lebih baik. Aku berharap ikhwan dari
komunitas dakwah yang mendekatiku. Menurutku, status keimanan mereka lebih jelas.
Andai saja Arman seperti mereka, mungkin aku akan menerimanya.
"Ukhti, kok bengong?" tegur Ukhti Indah.
"Saya bingung untuk memutuskan, Ukhti."
"Kalau boleh, saya ingin memberi saran. Dalam Al-Quran Allah berfirman, bahwa
orang yang baik itu akan hidup dengan orang yang baik juga. Maka dari itu, kalau bisa,
Ukhti bersabar saja. Tetapi" kalau Ukhti terlanjur cinta pada ikhwan yang lagi naksir
Ukhti, alangkah baiknya bila Ukhti menerimanya saja. Sepertinya dia orang baik. Hanya
saja, mungkin ia berbeda budaya dengan kita. Mungkin memang begitu cara dia untuk
menunjukkan cintanya. Kalau Ukhti ingin yang lebih baik, berarti Ukhti harus berusaha
untuk menjadikan diri Ukhti lebih baik dari pada sekarang."
"Jujur, saya memang suka padanya, tapi dia bukan yang kuharapkan. Mungkin
rasa ini ada karena dia teralu sering mendekatiku. Saya masih ingin meningkatkan
kualitas diri saya, terutama iman saya."
"Ya" kalau begitu, saya mendukung keputusan Ukhti. Saya akan bantu, dan
saya doakan, semoga Ukhti menjadi wanita yang indahnya tak tertandingi oleh
29 Kumbang Datang di Fajar Pagi
indahnya mutiara terindah di dunia ini. Seperti yang disabdakan Nabi bahwa wanita
adalah sebaik-baik perhiasan dunia. Dan" ingat, dalam diri wanita lah kehidupan
dimulai." Aku tersenyum mendengar kata-kata Ukhti. "Amin, Ukhti. Saya juga berharap
demikian. Dan" saya mohon bantuannya, Ukhti. Saya masih terlalu lemah, dan saya
masih terlalu dini untuk merasakan cinta."
"Iya, saya dan akhwat yang lain akan bantu. Selalu dekatlah dengan akhwatakhwat yang sudah lebih senior."
Sejenak kuterdiam, hati kecilku berkata, ternyata tidak mudah untuk menjadi
orang baik. Tuhan tidak seketika memberi kesabaran pada hambanya, tapi Allah
memberinya permasalahan yang harus diurusi agar hamba-Nya menjadi orang yang
sabar. Kalau memang, hal itu adalah yang terbaik, aku akan tabah di jalan-Mu, wahai
Dzat yang Penyayang. *** Seminggu berikutnya, tanpa sengaja, aku melihat Arman lagi jalan bareng sama
cewek cantik. Aku cuek saja, walau sebenarnya ada rasa iri (cemburu) di hati. Kalau
saja Allah tidak menjanjikan kehidupan yang jauh lebih baik dari kenikmatan sesaat,
mungkin aku akan bersedih hati. Hati kecilku tidak rela ia bersama wanita lain. Namun,
aku berusaha untuk menghibur diri dengan berkumpul bersama akhwat-akhwat yang
semisi denganku. Mereka rela menjomblo demi misi dakwah.
Memang, begitulah seharusnya seorang muslim. Seorang muslim seharusnya
rela dan mau menjalani semua ketentuan Allah. Seberat apapun itu, tentunya tak lebih
dari batas kemampuan hambanya. Semua yang dari-Nya adalah yang terbaik untuk
hambanya. Mungkin ujian yang Ia berikan padaku adalah untuk memperkuat imanku,
untuk menumbuhkan kesabaran di hatiku, serta untuk meningkatkan kematangan
jiwaku. Aku yakin itu. Namun, saat sendiri di kamar, aku masih mengingatnya. Aku selalu ingat saat
dia tiap hari godai aku. Indah rasanya ada cinta hampiriku, membuat duniaku terasa
30 Kumbang Datang di Fajar Pagi
bagaikan surga. Kenapa" cinta datang terlalu dini" Tak terasa, air mataku menetes di
pipiku. Namun, aku yakin, kehidupan akhirat lebih indah dan abadi. Aku tidak akan
menukarnya dengan kesenangan sesaat.
31 BIOGRAFI RINGKAS Rugyinsun bernama asli Sunardi, dilahirkan di Desa Randucangkring, Pujer,
Bondowoso pada tahun 1985 Desember tanggal 14. Menyelesaikan pendidikan SD, MI
di kampungnya, SMP di kecamatan Pujer. Tahun 2005 lulus dari SMKN 02 Jember.
Pernah sakit selama tujuh tahun, sejak naik kelas dua SMP sampai lulus SMK (20002007). Sakit panjang ini menyebabkan saya banyak mengkhayal.
Tahun 2006 saya kenal Ustadz Fauzhil Adhim di majalah Al Hidayah. Waktu itu
saya sedang di rumah sakit, menunggu alat untuk emboulisasi penyakit saya. Karena
Ustadz Adhim adalah penulis buku-buku parenting, saya suka beliau. Saya termotivasi
dan mulailah mencoba untuk menulis. Tahun 2008 masuk kuliah di UNMUH Jember, di
FKIP Bahasa Inggris. Tahun 2009, bulan Februari, satu cerpen berjudul "Sebatas
Impian" terbit di majalah Kuntum. Agustus 2009, sebuah opini berjudul "Pahlawan
Tanpa Pamrih" terbit lagi di Kuntum. Tahun 2010, dua puisi berjudul "Semangat Tak
Pernah Padam" dan "Buku, Bukanku Malas" terbit di majalah Giezone.
32 . 33 Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan 2 Pendekar Rajawali Sakti 170 Siluman Bukit Tengger Jodoh Si Mata Keranjang 7

Cari Blog Ini