Ceritasilat Novel Online

Mata Elang 5

Mata Elang Karya Hey Sephia Bagian 5


cuma berhenti buat minum susu sekitar jam 10 pagi tadi. Sudah jam 2 siang, materi ujian
Patologi Anatomi masih belum bisa dihafalnya dengan sempurna. Sadu kemarin sudah
mengancam, kalau sampai jam 4 sore masih belum bisa juga, malam ini dia tidak akan jadi
diajak pergi ke pesta perkawinan saudara sepupunya itu.
"Sadu memang sadis!" teriaknya menumpahkan seluruh kekesalannya. Ujian masih besok
Senin, ini kan baru hari Sabtu sore. Kenapa harus selesai dihafal sekarang" Buku diktat yang
tebal itu dipukul-pukulkan ke kepalanya, seakan-akan dengan begitu, materi yang ada di
dalamnya akan rontok merasuk ke otaknya. Seandainya saja bisa semudah itu, dia tidak perlu
susah-susah menghafal seperti sekarang.
"Ada apa mengataiku?" Sadu mengagetkannya. Dia sudah berdiri di depan pintu kamar Niken,
entah sejak kapan, Niken tidak memperhatikan.
Niken diam saja walaupun hatinya masih mengomel. Omelan itu tergambar dengan jelas di
wajahnya walaupun mulutnya tak mengeluarkan suara satu desibel pun. Sadu otomatis
tersenyum. "Belum selesai ya" Aku juga belum. Minggir, minggir sedikit, kasih tempat." katanya sambil
meraih kursi dari depan meja rias Niken. Diangkatnya kursi belajar Niken beserta orangnya
lalu dipinggirkan sedikit supaya Sadu mendapat bagian meja. Niken otomatis memekik
tertahan waktu kursinya terangkat, dengan dua tangannya kuat-kuat mencengkeram kursi
yang didudukinya itu. Kalau tidak teringat akan waktu yang mengejar, Niken sudah akan beradu mulut dengan Sadu.
Tapi dia tahu diri dan membiarkan saja Sadu menyita separuh bagian mejanya. Untuk
menghadapi ujian hafalan seperti ini biasanya Niken membuat sendiri rangkuman dalam rupa
poin-poin. Tapi karena waktunya cuma sedikit, dia hanya menyediakan satu lembar kertas
yang cukup lebar untuk menggambar diagram dan menulis istilah-istilah penting yang sulit
untuk dihafal. Berkali-kali perut Niken berbunyi karena protes sudah sejak pagi tadi tidak diberi masukan.
Niken sama sekali tidak menghiraukannya dan terus membaca.
"Apa yang disebut sistem reticuloendotelial?" Tiba-tiba sunyi senyap itu dipecahkan oleh suara
lantang Sadu. "Kau bertanya padaku?" tanya Niken menunjuk hidungnya sendiri, dengan nada agak heran
sambil melirik jam wekernya. Puji Tuhan, masih jam tiga kurang seperempat! pekiknya dalam
hati. "Ya. Apa itu sistem reticuloendotelial?" Kali ini Sadu mengatakannya dengan agak cepat.
Meskipun begitu, kata "reticuloendotelial"nya terdengar begitu jelas.
"Ini masih jam berapa, koq sudah mulai tanya-jawab?"
"Loh, aku benar-benar bertanya, malah dikira mengetes."
Niken tidak percaya. Anak jenius ini pasti sedang mempermainkannya. Sistem
reticuloendotelial termasuk bahan materi umum. Kalau pertanyaan yang diajukan Sadu lebih
spesifik dalam sistem reticuloendotelial, misalnya, apa fungsi sel kupffer dalam hati, itu masih
bisa dipercayainya. Kalau cuma definisi sistem reticuloendotelial, tidak perlu membaca dan
menghafal dari buku. Dengan hadir dan mengerjakan beberapa praktikum pun pasti bisa
menjelaskannya dengan baik. Lagipula, tadi jelas sekali dia mengucapkan "reticuloendotelial"
dengan fasih. Kalau tidak tahu pasti tidak akan bisa mengucapkannya sefasih itu.
"Maksudmu kamu nggak tahu apa arti sistem reticuloendotelial?" tanya Niken memastikan.
"Betul. Kalau tahu, ngapain aku tanya?"
"Karena kamu kurang kerjaan dan bermaksud menggangguku supaya aku tidak berhasil
menghafal semuanya dalam waktu yang ditentukan." jawab Niken berusaha menerka arah
pembicaraan. Sadu tergelak. Sudah tentu dia tahu jawaban atas pertanyaannya tadi. Dia cuma khawatir
Niken sebentar lagi akan jatuh pingsan karena kelaparan.
"Kalau kamu sudah merasa yakin tahu apa itu sistem reticuloendotelial, ayo kita makan bakmi
ayam di warung pojok gang. Aku belum makan siang, lapar. Kita teruskan belajarnya sesudah
makan. Ayo!" Sambil berkata begitu, Sadu berdiri dan menutup bukunya.
"Nggak bisa. Tinggal sejam lagi sudah jam empat. Sudah tidak banyak waktu buatku untuk
menghafal. Aku baru mau makan sesudah lewat jam empat." sahut Niken tegas. Dia tidak
mau membuang-buang waktu berharganya. Dia sungguh-sungguh ingin pergi ke pesta itu.
Bahkan dia sudah spesial membeli rok pesta.
"Aku tahu. Kita teruskan besok saja. Kamu sudah berusaha mati-matian. Tanya jawabnya aku
undur sampai besok jam empat saja."
"Tapi... Kenapa...?"
"Aku nggak mau kamu jatuh pingsan di pesta. Dan lagi, kalau kamu mau datang ke pesta
nanti malam, kamu harus tampil secantik dan sesegar mungkin. Aku nggak mau ada orang
yang bilang aku berselera rendah punya pacar jelek."
"Aku tahu aku tidak begitu cantik, tapi aku juga tidak jelek!" protes Niken. Selama ini Pandu
juga selalu memujinya manis.
"Lihat tuh mata kamu hitam seperti panda. Mata hitam buat panda memang kelihatan cakep,
tapi di kamu jelek sekali. Sudah sipit, hitam, seperti habis aku jotos saja. Nanti orang mengira
aku orang yang ringan tangan, alias suka memukul ceweknya."
Niken spontan berdiri dan menatap wajahnya sendiri di depan cermin meja riasnya. Betul
juga, pikirnya. Sudah beberapa malam ini dia kurang tidur karena mempersiapkan bahan
ujian. "Jangan kuatir," kata Niken kemudian. "Ini bisa ditutupi dengan foundation dan bedak." Katakata Niken itu mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia harus meminjam make-up pada salah
satu teman kostnya. Kalau cuma lipstik dia memang punya, tapi foundation dan bedak" Satu
hal lagi, mungkin dia juga harus les make-up kilat dengan salah satu dari mereka. Duh,
banyak sekali yang harus dilakukannya hari ini!
"Mana" Meja riasmu bersih sekali cuma ada sisir doang. Mana bedak" Mana foundation?" Sadu
teliti sekali dan dengan mudah bisa menebak kalau Niken tidak punya kosmetik dan alat-alat
kecantikan. Sebenarnya memang tidak sulit untuk menebaknya, karena memang Niken tidak
pernah terlihat menggunakan kosmetik apapun selama dia mengenalnya.
Niken baru saja akan membantah, ketika Sadu sudah berkata lagi dengan suara keras, "Ayo!
Kalau kamu nggak ikut aku sekarang, nanti malam juga nggak boleh ikut aku pesta."
Kasar sekali orang ini, batin Niken dalam hati. Ketika Sadu lalu menarik tangannya untuk
menggandeng dan memaksanya ikut pergi, Niken kembali menarik paksa tangannya.
"Aku bisa jalan sendiri."
Dalam hati sebetulnya Niken bersorak gembira karena tidak jadi tanya jawab sore ini. Dia
memperkirakan kalau besok belajar dari pagi, sebelum sore pasti sudah hafal luar kepala.
Begitu sampai di warung mie ayam, Sadu langsung berteriak "Pak Mo, mie ayam dua porsi
cepetan yah!" Gayanya seperti sudah kenal lama sama si bapak yang jual bakmi.
"Kenapa pesan dua porsi" Emangnya kamu yakin aku bakal pesen mie ayam?" tanya Niken.
"Lho" Non, di sini jualnya cuma mie ayam, kamu mau pesen apa lagi" Tapi, tadi aku pesen
dua porsi bukan buat kamu koq. Aku memang benar-benar sedang lapar." Sadu berkelit.
Huh, dasar egois, pikirnya.
"Satu lagi mie ayamnya, Pak." kata Niken lalu memesan untuknya sendiri.
Begitu mie ayam Sadu selesai dibikin, yang dua porsi tadi itu, Sadu lalu menawarkan satu
porsinya untuk dimakan Niken dahulu. Niken menggeleng. "Aku belum mau semaput. Masih
kuat tahan kalau cuma lima menit lagi." Dia bersikukuh tidak ingin menerima mie ayam Sadu
karena jengkel dengan perkataan Sadu yang tadi.
"Sudah, makan saja dulu." kata Sadu sambil menyodorkan mie itu ke hadapan Niken. "Nanti
kalau mie kamu datang, aku yang makan. Kan buat aku juga lebih enak, masih panas."
Karena tidak enak hati diperhatikan oleh bapak penjual mie ayam, Niken akhirnya menurut
saja. Ketika beberapa menit kemudian bapak itu mendekat lagi untuk mengantarkan mie ayam
yang sudah jadi, bapak itu bertanya, "Den Sadu, cewek cakep ini siapa" Pacarnya?"
Niken menghentikan suapan bakminya. Dia heran kenapa bapak itu bisa tahu nama Sadu. Dia
bahkan tidak memperhatikan pertanyaan bapak itu selanjutnya. Sementara dirinya masih
terbengong-bengong, Sadu sudah menjawab, "Iya Pak, kenapa" Cakep yah?" katanya sambil
merangkul pundak Niken. Niken langsung melotot dan hampir tersedak. Sambil susah payah menelan segerombolan
bakmi yang sudah setengah masuk di kerongkongannya, Niken lalu berkata perlahan pada
Sadu, "Apa katamu?"
Sadu lalu menginjak kaki Niken, menahan Niken untuk tidak berkata apa-apa lagi. Niken yang
cuma pakai sandal jepit spontan tambah mendelik.
"Pantes nggak Pak, saya sama nona ini?" Sadu sudah terdengar berkata-kata gila lagi.
Tangannya masih belum lepas dari pundak Niken. Malah sekarang wajahnya didekatkan
sampai bersejajar dengan wajah Niken, seakan-akan bapak penjual bakmi itu adalah
fotografer yang sedang akan memotret mereka.
"Cocok sekali. Yang cewek cakep, yang cowok gagah. Memang jodoh!" kata bapak itu sambil
berlalu. Niken masih mendelik, wajahnya seperti meminta penjelasan atas kejadian barusan.
"Latihan, Nik. Malam ini kan kamu bakal disapa orang-orang sebagai pacarku. Jangan kaget
begitu dong!" kata Sadu setengah berbisik.
"Ini kaki tolong yah!" Niken langsung membentaknya.
Sadu sungguh lupa kakinya yang satu masih di atas kaki Niken. Pantas saja wajah Niken
sudah merah padam seperti ingin membogem-mentahkannya!
Cepat-cepat diangkatnya kakinya yang tidak tahu diri itu.
"Maaf.. maaf.." kata Sadu berulang-ulang sambil mengatupkan kedua tangannya seperti
menyembah-nyembah Niken. Niken lalu meneruskan makan bakminya, sedetikpun tidak melirik ke arah Sadu. Tidak
mempedulikan tingkahnya sama sekali. Padahal Sadu sudah pasang tampang sekocak
mungkin untuk membuat Niken tertawa.
"Masih marah?" tanya Sadu setelah melihat usahanya sia-sia.
"Tumben kamu peduli apa aku marah atau tidak. Kamu tidak pernah peduli apa kata orang."
Niken masih berkonsentrasi pada bakminya. Heran, kenapa bakminya tidak habis-habis.
"Ya sudah, terserah kau saja lah. Nanti aku jemput jam lima. Kamu sudah harus siap." kata
Sadu sambil beranjak pergi.
Memang tidak tahu aturan, Niken bersungut-sungut dalam hati. "Untung saja aku bukan
pacarnya sungguhan. Bisa mati ribuan kali karena kesal!"
* Jam lima kurang seperempat. Sore tadi Niken berhasil membujuk Farah untuk
mendandaninya. Waktu di kamarnya tadi, Farah sempat bertanya apakah Niken sudah putus
dengan Pandu. Niken cuma menjawab dengan senyuman. Dia tidak tahu harus menjawab
apa. Dia tidak ingin membocorkan rencana dan rahasianya itu pada siapapun. Tidak ada
satupun orang yang bisa dipercayainya, kecuali Pandu, dan Sadu tentunya, yang memang
terlibat dalam masalah ini.
Wajar saja Farah menanyakan hal ini, karena Pandu dua minggu yang lalu saja masih datang
ke rumah, dan masih terdengar rajin menelepon, tapi Niken hari ini terlihat rapi sekali mau
kencan dengan orang lain. Sedangkan di pihak lain, Sadu juga tiap hari menyatroni kost Niken.
Semua orang juga sering melihat mereka berduaan di kamar. Jadi siapa sebetulnya pacar
Niken, tidak ada yang tahu pasti. Niken tidak peduli dan tidak ingin membenarkan atau
menyalahkan gosip-gosip yang beredar di belakangnya.
Hasil kerja Farah cukup bagus, Niken mengamati dirinya sendiri di depan kaca riasnya.
Rambutnya yang sebahu disanggul dan diberi tusuk yang manis, sepadan dengan rok satin
biru muda yang dipakainya. Make-upnya juga tidak terlalu menyolok. Pendek kata, Niken hari
ini terlihat lain dari biasanya.
Baru saja Niken melihat jam weker di meja tulisnya, dia mendengar suara ketukan dari luar
pintu kamarnya. "Sudah waktunya. Niken, semangat!" kata Niken dalam hati, mengepalkan tangannya untuk
menyemangati dirinya sendiri. Setelah menghela napas panjang, dia lalu memakai sepatu hak
tingginya. Memakai sepatu ini memang sengaja dilakukannya pada saat-saat terakhir, karena
dia paling tidak suka pada bagian ini. Semakin pendek waktu untuk memakai sepatu maksiat
ini, semakin baik. Ketika Niken membuka pintu kamarnya, ternyata Sadu tidak berada di depan pintu. Ia sedang
duduk di sofa depan dengan wajah tanpa ekspresi seperti biasanya.
"Ayo, sebelum rambutku memutih, kita berangkat." ajak Niken.
Sadu berdiri. Mereka lalu saling memperhatikan "kostum" masing-masing.
Sadu mengenakan jas hitam, kemeja biru tua dan dasi panjang hitam. Tanpa topi seperti
biasanya, rambutnya disisir rapi. Niken tidak pernah menyadari betapa lebat dan indah rambut
Sadu. Kalau rapi begini, pasti teman-teman ceweknya banyak yang naksir dia!
"Kenapa kamu mengetuk pintu kamarku" Biasanya juga langsung masuk..." tanya Niken
kemudian. "Psstt.. jangan merusak suasana. Aku tidak ingin bertengkar malam ini. Ingat, malam ini kita
adalah pasangan yang dimabuk cinta. Jangan sampai membuat Dion curiga. Dia sangat pandai
mencium ketidakberesan." kata Sadu sambil melingkarkan tangannya ke pinggangnya sendiri,
mengisyaratkan Niken untuk menggandengnya.
Sebetulnya saat melihat Niken pertama kali tadi, jantung Sadu seakan lompat sampai
menyentuh lantai. Ia hampir tidak percaya yang di hadapannya ini Niken yang setiap hari
ditemuinya. Malam ini Niken terlihat feminin sekali, seperti layaknya seorang wanita. Sekilas
mengingatkannya pada sosok ibunya. Ibunya yang cantik. Di balik rok satinnya juga terlihat
lekuk tubuh Niken yang diberinya nilai delapan. Nilai sembilan dan sepuluh cuma
diperuntukkan bagi fotomodel dan pragawati. Kalau saja tadi Niken tidak menanyakan perihal
ketukan pintu, dia pasti sudah mengkhayal yang indah-indah.
"Kita belum sampai di "panggung sandiwara". Di "belakang panggung" kita hanya teman biasa.
Tolong ingat itu." kata Niken sambil terus berjalan.
Sampai di luar, Niken bingung karena tidak menemukan sepeda motor Sadu.
"Kita jalan kaki?" tanyanya.
Sadu menunjuk mobil sedan yang diparkir di seberang rumah.
"Kamu kira aku tega melihatmu dandan cakep-cakep begitu lantas naik motor" Kalau
mendadak hujan bagaimana?"
Niken lalu mengikuti langkah Sadu menuju ke arah mobil yang ditunjuknya tadi. Tanpa
disuruh, Sadu membukakan pintu untuk Niken. Hari ini dia sepertinya sungguh-sungguh
berusaha menjadi seorang gentleman. Niken jadi tidak tega mengacuhkannya. Dia lalu
mengucapkan terima kasih.
Sepanjang perjalanan, Sadu tidak henti-hentinya bercerita ini-itu. Ia menceritakan
kenakalannya waktu SMP. Bagaimana ia dan teman-temannya sering mengerjai guru-guru
sampai pernah diskors beberapa hari. Ada guru wanitanya yang tidak tahan bau parfum.
Suatu hari Sadu datang pagi-pagi membawa sebungkus tissue basah, dan seluruh permukaan
kelas dibersihkannya menggunakan tissue basah sebelum pelajaran mulai. Papan tulis, daun
pintu dan jendela, semua meja dan kursi, termasuk meja kursi guru, tidak ada satupun yang
luput dari sapuan tissue basah yang wangi itu. Bahkan kapur-kapur yang tak berdosa pun
dilapnya dengan tissue basah. Walhasil kelasnya pagi itu jadi wangi sekali. Bahkan bagi anakanak dari kelas sebelah yang tidak alergi pada wewangian pun tetap merasa wanginya sangat
menusuk hidung. Kebetulan hari itu pelajaran pertamanya adalah mata pelajaran si guru
wanita yang alergi bau parfum itu. Murid-murid pura-pura cuek dan berkata tidak merasa
mencium bau aneh saat ditanya pada awalnya. Reaksi si guru sudah dapat ditebak. Dalam
waktu beberapa menit saja, si guru yang naas itu sudah lantas bersin-bersin tiada henti
sampai wajahnya merah padam mengenaskan, sampai akhirnya muntah-muntah dan minta
ijin pulang. Pernah Sadu ribut-ribut di kelas sampai membuat marah guru matematikanya, lalu guru
matematika itu melempar penghapus papan tulis ke arahnya. Malang bagi sang guru, Sadu
sempat melihatnya sebelum penghapus itu mengenai wajahnya, lalu menunduk cepat-cepat,
dan plaakkk!! Penghapus itu mendarat dengan mulus di jidat temannya yang gendut yang
duduk di belakangnya, yang sama sekali tidak melihat ada bahaya mengancam. Besoknya
guru itu diadukan oleh orangtua temannya itu kepada kepala sekolah.
Malam-malam waktu Persami yang kebetulan tempatnya di dekat daerah pekuburan Cina,
Sadu dan teman-teman segengnya berhasil membuat tunggang-langgang anak-anak
sesekolahan beserta guru-guru pembimbingnya saat mereka menyamar menjadi hantu
berkepala kambing. Ada satu anak laki-laki yang bahkan lari terbirit-birit tanpa celana karena
sedang buang air besar waktu mendengar orang-orang berlarian dan berteriak-teriak ada
hantu. Ekspresi wajah Sadu waktu bercerita sangat lucu, Niken senang melihat sisi Sadu yang seperti
ini. Sadu terlihat seperti masuk dalam karakternya yang sebenarnya dan enjoy sekali. Katakatanya kocak dan nadanya sangat menyenangkan. Niken jadi betah berlama-lama
mendengarkan cerita-cerita Sadu dan terus tertawa pada lelucon-leluconnya.
Sadu sengaja berbuat begitu untuk mencairkan suasana, supaya di "panggung sandiwara"
nanti mereka bisa berakting dengan sempurna. Semakin melihat Niken gembira
mendengarkan lelucon-leluconnya, semakin bersemangat dia meneruskan ceritanya. Mata
Niken terlihat berbinar-binar saat mendengarkan ceritanya, dan bagi Sadu, hal itu adalah
sebuah pemandangan yang teramat indah.
Tidak terasa mereka sudah sampai di Bogor, dan sampai di depan sebuah villa yang
pekarangannya sangat besar. Pesta perkawinan itu memang diadakan di halaman belakang
villa pribadi milik paman Sadu. Halaman depannya saja selebar ini, apalagi halaman
belakangnya, paling tidak ada satu hektar luas tanahnya. Kata Sadu, batas tanah di bagian
belakangnya adalah sebuah sungai kecil yang airnya sangat jernih.
Niken ingat, dalam salah satu penuturan Sadu, keluarga Sadu dari pihak ibunya memang
tergolong konglomerat, karena kakek dari ibunya adalah salah satu pengusaha teh yang
terkenal di Jawa Barat. Kakak ibunya, yaitu paman yang memiliki villa megah ini, adalah
penerus usaha teh kakeknya. Ibu Sadu mendapatkan warisan dalam rupa uang, yang sayang
sekali dalam waktu sekejab habis dibuat judi ayah Sadu. Harta keluarga Sadu yang tersisa
sebelum ibu Sadu meninggal hanyalah hasil simpanan sewaktu menikah dulu. Sebelum
meninggal, ibunya sempat membagi harta itu di antara Sadu dan kakak perempuannya. Di
saat ibunya meninggal, ia bersumpah tidak akan memaafkan Sadu dan kakak perempuannya
kalau sampai membiarkan Dion datang menyembahyangi jenasahnya. Ibunya juga berpesan
pada mereka untuk sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang uang simpanan itu pada Dion.
Kebenciannya pada anaknya sendiri itu dibawanya sampai mati.
"Sudah siap?" tanya Sadu sambil mematikan mesin mobilnya.
Niken tidak menjawab. Ia menatap Sadu seakan-akan ingin mendapatkan kekuatan starter
dari matanya. Sadu memegang kedua pundak Niken sambil berkata, "Kalau aku nggak yakin, aku nggak
akan membawamu kemari. Tugasmu sekarang adalah tampil sesempurna dan semenarik
mungkin. Kurasa hal itu bukan hal yang susah, karena dari kost tadi sampai di sini saja kamu
sudah berhasil membuatku hampir tak bisa berkedip. Bayangkan, bagaimana perihnya mataku
kalau terus-terusan begini?"


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sadu lalu membiarkan Niken yang termangu, ia turun dari mobil dan membukakan pintu untuk
Niken dari luar. Tangannya diulurkan untuk membantu Niken turun. Niken lalu tersenyum,
membalas senyuman Sadu yang manis sekali barusan. Dengan riang digamitnya lengan Sadu
lalu mereka berdua berjalan berdampingan.
Begitu masuk ke halaman belakang tempat pesta, mata Niken mulai mencari-cari Dion. Niken
tidak begitu mengingat wajahnya, waktu di hotel kumuh itu terlalu gelap dan waktu itu
suasana hatinya sangat kacau balau.
"Jangan dicari, biarkan dia yang datang pada kita." kata Sadu berbisik mengingatkan, seperti
tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Niken. Niken mengangguk.
Sadu lalu memperkenalkan Niken pada sanak-keluarganya yang sudah datang di situ,
termasuk pada mempelai peremuan, sepupu Sadu itu. Niken memuji gaun pengantin sepupu
Sadu, bahkan berkata gaun itu seperti yang diinginkannya kalau menikah nanti. Sepupu Sadu
itu sepertinya sangat menyukai Niken, sekejab saja dia sudah akrab berbincang-bincang
dengan Niken. Pergaulan memang bukan suatu hal yang pernah menyulitkan Niken. Malam itu tak terkecuali.
Sebentar saja dia sudah akrab bercakap-cakap dengan banyak orang, seperti sudah lama
kenal saja. Ini juga dikarenakan topik bahasan yang dikuasai oleh Niken cukup luas, jadi dia
bisa menimpali percakapan apapun dengan baik. Malam ini Niken adalah orang kedua yang
menarik perhatian orang, setelah pengantin wanita, tentu saja.
"Well well... sepertinya tinggal aku yang belum dikenalkan pada gadis cantik ini."
Niken menoleh ke arah datangnya suara itu. Seorang lelaki muda berbadan tinggi tegap sudah
berdiri di dekat Sadu. Wajahnya tampan, putih mulus tapi di dagunya terlihat bintik-bintik
kehijauan, tanda bekas cukuran yang masih fresh. Tatapan matanya sangat mempesonakan,
tidak heran kalau Sadu bilang banyak wanita yang bertekuk-lutut tanpa syarat di hadapannya.
Nampaknya salah satu dari wanita itu adalah wanita yang berdiri di sebelahnya, menggelendot
di lengannya. Dion seperti Sadu tapi dalam versi yang lebih berkarisma dan memikat. Dia tidak
terlihat mempunyai sisi gelap seperti Sadu.
"Ini Niken, pacarku." Sadu lalu menggandeng tangan Niken dan dibawanya ke hadapan Dion.
"Tidak kusangka selera adikku ini sangat tinggi. Tidak percuma dia jadi adikku! Benar-benar
salut!" kata Dion sambil menepuk pundak Sadu. Kalau orang lain yang melihat, pasti tidak
mengira ada dendam sebesar gunung es di antara mereka berdua.
Niken tersenyum sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan orang yang
sangat dibencinya itu. "Niken." katanya menyebutkan namanya sendiri.
"Dion. Dion Sahara. Sorry, aku tidak mendengar nama belakangmu." kata Dion.
"Aku memang belum mengatakannya." kata Niken. Setelah diam beberapa jenak, Niken
melanjutkan, "Tjakrawibawa. Nama ayahku Tjakrawibawa."
Dion mengernyitkan dahinya. Dari wajahnya, sepertinya Dion pernah mendengar nama yang
baru saja disebutnya. Niken ingin tahu apakah Dion bisa menebak asal-usulnya.
"Apa kamu ada hubungan keluarga dengan mendiang Benny Tjakrawibawa, direktur Tjakra
Group?" Niken terperanjat. Dia tahu ayahnya dan perusahaan yang dipimpinnya itu memang sangat
berkuasa sewaktu ayahnya masih hidup, tapi tidak disangkanya sebegitu terkenalnya sampai
Dion bisa menyebut nama ayahnya. Sadu pun tidak pernah menanyakan asal-usul dirinya.
"Dia ayahku. Kau kenal dengan dia?"
Sadu juga terlihat sangat terkejut mendengar ucapan Dion barusan. Lebih kaget lagi setelah
mendengar jawaban Niken. Dia baru sadar bahwa selama ini dia terlalu menganggap remeh
kakaknya ini. Dia yang sudah mengenal Niken sekian lama, baru malam ini mendengar nama
ayah Niken. Sementara Dion yang baru beberapa menit mengenalnya, sudah berhasil menerka
garis keturunan Niken. Dalam hati ia merasa kakaknya yang walaupun tidak pernah kuliah ini
memang sangat pintar. Kepandaiannya sebenarnya tidak kalah dengan Sadu, cuma bedanya,
Dion lebih suka belajar sendiri. Dion tidak suka dengan sistem pengajaran guru-murid.
Meskipun Dion tinggal kelas, sebetulnya dia sudah menguasai seluruh bahan pelajaran,
bahkan lebih dari itu. Hal itu sengaja dilakukannya atas dasar prinsipnya yang tidak mau
dikekang. Dion pernah berkata pada Sadu, dia tidak perduli dengan nilai, yang penting adalah
dia sudah mengerti. Dion terbahak-bahak. "Siapa yang tidak mengenal Pak Benny" Senang sekali bisa berkenalan
denganmu, manis. Apa sih yang membuat wanita cantik dan terpelajar sepertimu tertarik pada
adikku yang bodoh ini?" tanya Dion melirik Sadu yang berdiri di sebelahnya.
Niken memandangi Sadu dan Dion bergantian. Setelah dengan cepat mengatur beberapa
kalimat untuk mengalir dari otaknya, Niken lalu berkata, "Sadu ini seperti berlian mentah yang
belum dipotong. Apa kamu pernah melihat seperti apa batu berlian yang masih murni"
Bentuknya tidak indah seperti berlian-berlian yang sudah dibentuk, hanya seperti batu kaca
biasa. Dalam pandangan orang yang tidak tahu berlian pasti menganggap berlian mentah itu
adalah barang tidak berharga. Tapi berlian tetap berlian. Berlian mentah jelas nilai nominalnya
jauh lebih berharga daripada berlian yang sudah dipotong. Hanya dari batu berlian yang
mentah itu bisa dibuat berlian yang sangat indah. Akulah tukang batu yang bisa membuat
berlian mentah itu menjadi perhiasan yang tak ternilai artinya."
Sadu melongo mendengar jawaban Niken. Dia tahu Niken akan menjawab dengan jawaban
yang menyanjungnya, tapi tidak dikiranya jawabannya akan penuh arti seperti itu. Dia mengira
Niken akan memuji kepandaiannya atau apa lah. Dion sendiri juga terlihat terpukau atas
jawaban Niken. "Memang hebat!" kata Dion sambil bertepuk tangan. "Boleh aku mengambilkan minuman
untuk nona yang cantik ini?" lanjutnya kemudian.
"Red wine, thanks." sahut Niken.
Melihat Dion berlalu, Niken lekas-lekas menggamit lengan Sadu dan mengajaknya menyingkir
ke pinggir taman. "Kamu tidak pernah bilang bahwa Dion itu tampan sekali!" katanya protes. Dia merasa berhak
diberi peringatan untuk mempersiapkan dirinya.
"Lho" Bukannya kamu sudah pernah bertemu dengan Dion" Yang waktu di..."
"Iya! Aku sama sekali tidak ingat. Aku tidak begitu memperhatikan wajahnya waktu itu. Kamu
juga tidak pernah menunjukkan fotonya, kek." Niken membela diri.
"Salah siapa" Aku kira kamu sudah jelas..." Sadu tidak jadi meneruskan kalimatnya ketika
dilihatnya wajah Niken semakin cemberut. Tidak disangkanya gadis kecil ini bisa begitu
dewasa dalam satu menit, dan bisa begitu manja menit berikutnya. Benar-benar
membingungkan tapi sekaligus sangat mengasyikkan!
"Baiklah, memang salahku." kata Sadu kemudian. "Tapi kulihat kamu bisa mengatasinya
dengan baik. Kalau tidak tahu kau sedang bersandiwara, aku betul-betul mengira kau jatuh
cinta padaku dengan kata-kata puitismu yang seperti itu." kata Sadu menggoda. Ia berusaha
mengembalikan keceriaan Niken.
"Jangan mimpi kamu!" kata Niken memperingatkannya.
"Aku tidak berani..."
"Bagus kalau kau tahu diri. Aku tidak akan..." Belum selesai Niken melanjutkan kata-katanya,
Sadu sudah meraih pinggang Niken, membalikkan badan Niken sehingga mereka menghadap
arah yang sama, yaitu ke arah tengah taman, sambil berkata di telinganya, "Aku juga sangat
mencintaimu." Niken cuma sempat bingung dua detik, ketika kemudian dilihatnya Dion dan gadis yang terus
mengikutinya sudah berjalan menuju ke arah mereka berdiri dengan dua gelas anggur merah
di tangannya. Niken maklum, Sadu cuma ingin memberitahunya bahwa musuh sudah
mendekat. Dalam hati dia sangat berterima kasih. Diciumnya pipi Sadu karena yakin Dion
sedang memperhatikan mereka. Dibiarkannya tubuhnya dipeluk erat oleh Sadu dari belakang.
Seandainya tadi Niken berhenti sejenak dan memperhatikan Sadu, dia akan bisa melihat
betapa merahnya wajah Sadu waktu dicium pipinya oleh Niken!
"Anggur merah untuk nona cantik," kata Dion sambil memberikan segelas anggur merah itu
kepada Niken. "Kamu tidak bilang mau minum apa, jadi aku tidak mengambilkan untukmu."
katanya pada Sadu. "Tidak apa-apa. Nanti aku bisa ambil sendiri. Hey, sudah cukup kamu mewawancarai Niken,
mengapa kamu tidak mengenalkan gadis yang kau bawa?"
Dion menoleh pada gadis di sebelahnya yang sedari tadi diam saja. "Namanya Lisa." jawabnya
singkat. Diacungkannya tangan Lisa untuk menjabat tangan Niken dan Sadu. Seperti robot,
gadis itu menurut saja. Setelah menjabat tangan, Lisa pamit mau ke toilet.
"Apa yang bisa kukatakan, sama sekali tidak bisa dibandingkan kualitasnya dengan gadismu."
kata Dion menepuk-nepuk bahu adiknya.
"Karena buatmu yang penting adalah kuantitas, bukan kualitas." sindir Sadu pedas.
Maksudnya adalah, Sadu selama ini memang tidak pernah punya pacar, sementara teman
wanita Dion sudah tak terhitung jumlahnya. Bahkan saat ini pasti lebih dari satu.
"Dia tidak bisa dibilang pacar. Wanita buatku cuma seperti dasi. Dekat dengan tubuh, tapi
bukan suatu hal yang penting, hanya sebagai pelengkap kostum saja." Diteguknya anggur di
gelas yang dipegangnya, lalu ia melanjutkan, "Kalau aku bisa menemukan gadis seperti Niken
yang benar-benar mencintaiku seperti Niken mencintaimu, pasti aku akan sangat bersyukur.
Aku bahkan sanggup meninggalkan kehidupanku yang sekarang demi dia. Sayang aku masih
belum bisa menemukan wanita yang posisinya sebagai pemakai dasiku, bukan hanya sekedar
dasi. Mungkin seumur hidup aku cuma akan bisa memakai dasiku sendiri."
Dion lalu menepuk-nepuk bahu Sadu lagi dan menambahkan, "Makanya jaga baik-baik Niken
ini. Dia terlalu baik untukmu. Kalau kamu lengah aku bisa merebutnya."
"Jangan harap." kata Sadu sambil mempererat pelukannya di pinggang Niken.
Niken sendiri sedang terdiam merenungkan kata-kata panjang Dion barusan. Mungkin cuma
dia yang sadar bahwa Dion sengaja memakai dasi sebagai perumpamaan untuk membalas
perumpamaan berlian Niken tadi. Kejadian ini mengingatkannya pada perselisihannya dengan
Pandu waktu SMA yang mempersatukan mereka berdua. Pandu yang dibencinya, ternyata
justru adalah orang yang bisa mengimbanginya. Bagi Pandu, Niken adalah wanita pemakai
dasinya, dan bagi Niken, Pandu adalah berlian mentahnya. Orang-orang lain hanyalah dasidasi dan batu-batu yang tidak penting.
"Sedang apa Pandu sekarang?" pikirnya dalam hati. Tiba-tiba Niken didera rasa kangen yang
amat sangat. Betapa ironisnya mengingat sekarang dirinya ada di dalam pelukan laki-laki lain.
Yang Niken tidak tahu, saat ini Pandu sedang berada di serambi depan kost Niken. Pandu tahu
Niken malam ini keluar dengan Sadu, tapi dia spesial datang untuk menyemangati Niken
menghadapi ujiannya hari Senin besok.
Satu lagi yang Niken tidak tahu, saat ini ada tiga orang pria yang menaruh perhatian padanya.
Pandu yang sangat mencintainya, Sadu yang akan selalu melindunginya, dan Dion, yang
menganggap Niken yang baru ditemuinya ini sebagai wanita yang paling menarik di sepanjang
sejarah hidupnya. Ketika Sadu kembali dari mengambil minuman untuk dirinya sendiri, dilihatnya Niken sedang
asyik berbincang-bincang dengan Dion. Karena tidak ingin mengganggu, ia lalu pergi ke tepi
sungai di belakang. Dia ingat waktu kecil dia sering bermain-main di sini. Betapa indahnya
masa itu, masa-masa di saat dia dan Dion masih sering bermain bersama. Pertengkaran
diantara mereka hanya berkisar seputar rebutan mainan.
Sadu lalu melepas kancing jas dan mengendorkan dasinya, mencopot sepatu dan juga kaos
kakinya. Dilipatnya celana panjangnya sampai lutut. Sambil duduk di rerumputan tepi sungai,
kakinya direndamnya di dalam air.
"Rupanya kamu ada di sini. Aku cari kamu ke mana-mana." keluh Niken sambil melepas
sepatu hak tingginya. "Sepatu seperti ini adalah kutukan bagi cewek. Aku yakin kalau aku
sering-sering memakai sepatu seperti ini, kemampuan otakku pasti akan menurun drastis.
Mana bisa berpikir pakai sepatu yang menyiksa begini?"
Sadu tidak terlihat ingin menanggapi Niken kali ini. Niken lalu duduk di samping Sadu. Kakinya
juga diceburkannya ke dalam air.
Ketika Sadu melihat Niken mulai akan angkat bicara lagi, dia lalu menutup mulut Niken dengan
tangannya. "Dengar..." "Apa?" "Kau tidak mendengar?"
"Apa?" ulang Niken sekali lagi. Dia benar-benar tidak mendengar apa-apa. Cuma suara
jangkrik, air yang mengalir, dan angin malam yang berhembus sepoi-sepoi. Suara musik dari
taman bahkan sama sekali tidak terdengar dari sini.
"Benar. Tidak ada suara apapun selain suara jangkrik bersahutan. Biarkan saja seperti ini."
Tidak ingin mengganggu keasyikan Sadu, Niken lalu berdiam diri. Dengan kaki masih
menggantung di tepi sungai, Niken merebahkan tubuhnya terlentang di atas rerumputan.
Benar kata Sadu, pikirnya, kalau saja ia membawa kertas dan bolpen pasti dia sudah
mendapat banyak ilham untuk menulis puisi, hal yang sudah lama sekali tidak dilakukannya
karena tidak pernah sempat. Niken terus memejamkan matanya menikmati suara alam yang
begitu syahdu. Tidak berapa lama, Niken tertidur.
Sadu baru menyadari bahwa Niken sudah tertidur ketika dia akan bangkit mengajak Niken
pulang. Tapi dilihatnya Niken sudah tertidur pulas. Dia jadi merasa bersalah karena akhir-akhir
ini sudah membuat Niken belajar dengan keras sampai kelelahan. Dicopotnya jas yang
dipakainya, lalu diselimutkan di atas tubuh Niken. Dia lalu juga merebahkan diri di sebelahnya.
Ketika Dion akan pulang, dia juga mencari Niken dan Sadu ke mana-mana. Saat dilihatnya
Niken dan Sadu berbaring berdua di tepi sungai, dia tidak ingin mengganggu mereka.
Walaupun dalam hatinya ada rasa yang sangat kuat untuk ingin memiliki Niken, dia sadar
bahwa Niken bukanlah mainan yang biasa diperebutkan Sadu dan dirinya di kala kecil dulu.
Dia merasa banyak bersalah pada keluarganya, dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak
mengganggu hubungan Niken dan Sadu, si empunya Niken. Dia sama sekali tidak paham
bahwa Sadu sama sekali tidak memiliki Niken. Ada orang lain yang sangat dicintai oleh Niken.
Pandu! Pandu yang saat ini masih menunggu di depan kost Niken...
:: Sequel (Mata Elang) : Chapter 5
Niken terbangun karena merasa telapak kakinya dingin sekali karena terbenam dalam
genangan air selama berjam-jam. Kedua kakinya dari lutut ke bawah juga tak bisa digerakkan
karena kram. "Aah..." Niken mengerang pelan saat berusaha meluruskan kakinya. Ribuan jarum serasa
menusuk-nusuk betisnya. Dengan menopang berat seluruh badannya pada sikunya, ia lalu
menyeret kakinya naik dengan perlahan-lahan.
Sadu terbangun karena mendengar erangan Niken. Dia langsung panik saat melihat wajah
Niken yang sepertinya sedang menahan sakit.
"Ada apa?" tanya Sadu. Kantuknya hilang seketika.
"Betisku kram." kata Niken masih sambil meringis kesakitan.
Sadu lalu membantu meluruskan kedua kaki Niken. Ia lalu menghangatkan kedua telapak
tangannya dengan menggosok-gosokkannya satu sama lain. Setelah merasa cukup hangat,
diletakkannya kedua tangannya itu untuk memijit-mijit betis Niken.
"Sudah lumayan. Terima kasih." kata Niken kemudian.
"Sudah pagi." kata Sadu melirik jam tangannya. Jam setengah empat pagi. "Ayo kita pulang."
Setelah memakai jas, kaos kaki dan sepatunya, Sadu lalu mengambil sepatu hak tinggi Niken
dan mengulurkan tangannya untuk membantu Niken berdiri. Niken meremas tangan yang
diulurkan oleh Sadu dan menggunakannya untuk menopang badannya untuk berdiri. Belum
sampai bisa berdiri tegak, Niken sudah berasa akan jatuh lagi. Ia merasa tidak ada kekuatan
sama sekali di kakinya. Sadu cepat-cepat menyangga badan Niken supaya tidak jatuh lagi.
"Nggak bisa jalan?" tanya Sadu.
Niken menggeleng lemah. Masih sambil menyangga tubuh Niken, pelan-pelan Sadu membungkuk dan jongkok.
"Ayo naik." katanya menawarkan punggungnya untuk menggendong Niken.
Niken melihat tidak ada pilihan lain, lalu ia merebahkan tubuhnya di punggung Sadu dan
membiarkan badan tegap Sadu mengangkat tubuhnya.
Setelah pelan-pelan mendudukkan Niken di jok mobil belakang, Sadu segera menstater
mobilnya dan pergi. Niken tidur lagi di sepanjang perjalanan.
* Sementara itu di depan rumah kost Niken, Pandu tidak melihat ada tanda-tanda bahwa Niken
akan datang. Dia sudah menunggu semalaman tapi yang ditunggu-tunggu tidak kelihatan
batang hidungnya. Karena lapar, Pandu lalu mencoba berjalan keluar untuk melihat apakah
ada warung yang sudah buka. Sampai di ujung gang, ia melihat bapak penjual mie sedang
membuka warungnya. "Sudah buka, Pak?" tanya Pandu dengan sopan.
"Sudah. Duduk saja." kata bapak itu menurunkan kursi dari atas meja untuk diduduki
tamunya. "Terima kasih, Pak. Satu porsi bakmi dan teh hangat, Pak. Nggak tergesa-gesa, kok." katanya
kemudian. Pada saat yang bersamaan, mobil Sadu sudah sampai di depan kost Niken. Sadu membantu
Niken turun. Kram di betis Niken sudah hilang.
"Aku sudah nggak papa, koq. Bisa berjalan sendiri." kata Niken.
Sadu tetap berjalan di samping Niken sampai di dalam kamar Niken untuk berjaga-jaga kalaukalau Niken jatuh.
"Sungguh sudah tidak apa-apa?" tanya Sadu memastikan.
Niken mengangguk pasti. "Terima kasih. Aku sungguh merepotkan." katanya.
"Baiklah kalau begitu." kata Sadu kemudian. "Nanti sore jam lima aku datang lagi. Jangan lupa
belajar." * Sudah merupakan kebiasaan bagi Sadu untuk makan di warung bakmi ujung gang itu sebelum
ke kost Niken atau sesudah dari sana. Tak terkecuali pagi itu.
Sadu agak terkejut melihat sudah ada orang lain yang duduk di dalam warung itu sepagi ini.
Ia lalu tersenyum menyapa orang itu, lalu berkata pada bapak penjual bakmi, "Pak Mo, seperti
biasa yah." "Pagi-pagi sudah sampai di sini lagi?" tanya Pak Atmo, bapak penjual bakmi itu.
Sadu cuma tersenyum. Ini adalah kali kedua ia pagi-pagi berada di warung bakmi itu. Yang
pertama kali adalah waktu ia semalaman tidur di dalam kamar kost Niken.
"Pacarnya nggak ikut?" tanya Pak Atmo lagi.
"Baru saja saya antar pulang." jawab Sadu.
"Pulang pagi" Keasyikan semalam yah, nggak ingat waktu, seperti waktu itu?" goda Pak Atmo.
Sadu cuma tertawa. Pak Atmo memang sudah biasa menggodanya seperti ini. Waktu dulu
pagi-pagi ia datang ke mari dia juga digoda seperti ini.
Baru saja bakmi yang dipesan Sadu akan selesai dibuat, handphone Sadu berdering.
"Ya".... Hah?" Jangan kuatir, aku segera ke sana." Cuma singkat pembicaraan di telepon yang
dapat didengar dengan jelas oleh Pandu yang duduk di meja sebelah.
"Pak Mo, bakminya dibungkus saja. Tolong cepat ya Pak."
?" Begitulah instruksi Sadu pada Pak
Atmo setelah itu. Kebetulan pada saat itu bakminya sudah matang. Pak Atmo segera membungkus bakmi itu


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan memasukkannya ke dalam kantong plastik.
"Kembaliannya buat bapak saja!" kata Sadu sambil langsung melompat ke atas mobilnya lagi
dan mengendarai mobil itu dengan kecepatan tinggi.
* Niken tergolek lemah di ranjangnya. Beberapa detik sesudah ia merebahkan dirinya di atas
ranjang, bahkan belum sempat mengganti pakaiannya, tiba-tiba rasa sakit yang tak terhingga
menyerang perutnya. Dugaannya pasti maag, karena sudah berhari-hari ini makannya tidak
teratur. Beban pikirannya juga banyak. Siang belajar, malam ditraining oleh Sadu. Karena itu
tadi ia menelepon Sadu yang menurut tebakannya pasti masih belum jauh dari kostnya, untuk
membelikan obat maag dan kembali ke kostnya.
Tanpa mengetuk pintu lagi Sadu masuk ke kamar Niken.
"Bagaimana" Sakit sekali?" tanya Sadu menghampiri Niken yang masih tergolek di ranjang.
Niken cuma mengangguk dan merintih kesakitan berulang-ulang.
Sadu keluar mengambil segelas air dari dapur, lalu memberikan air dan obat yang baru saja
dibelinya itu kepada Niken.
"Kamu musti makan." kata Sadu kemudian. "Ini, kubelikan bakmi yang di ujung jalan itu."
Niken menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Harus. Nanti malah tambah sakit. Sakit maag itu obatnya ya makan. Aku ambilkan mangkok
dulu." Sadu lalu keluar lagi ke dapur mengambil mangkok dan sendok.
Sebentar saja semangkuk mie dengan sendoknya sudah siap di tangan Sadu.
Niken masih terus menggeleng. "Aku nggak punya tenaga buat makan." Kedua tangannya
masih memegangi perutnya yang sakitnya bukan kepalang.
Sadu lalu duduk di ranjang Niken. Dibuatnya Niken duduk di ranjang dengan bersandarkan
bantal di punggungnya. "Kamu duduk saja. Aku suapi."
Niken menyerah saja. Dia terlalu lemah untuk ngotot kali ini.
Sakit perutnya itu datang pergi. Kalau saat datang, nyerinya bukan main. Jarak antara datang
dan pergi itu tadinya cukup dekat, dan interval sakitnya cukup panjang. Saat sakitnya datang,
Niken terus memegangi perutnya sambil memejamkan mata, jadi Sadu selalu menghentikan
suapannya. Ia baru menyuapi lagi saat sakit Niken sudah reda. Begitu seterusnya, jadi
bakminya sampai lama tidak habis-habis.
Setelah sekitar lima belas menit, Niken berkata, "Sepertinya jarak antara sakit sudah
bertambah panjang, kurasa obatnya sudah mulai bereaksi."
Berbarengan dengan itu, handphone Niken berdering. Niken menunjuk tas kecilnya yang
dibawanya pesta semalam, di mana ia menyimpan telepon genggamnya itu. Sadu
mengambilkan barang yang ditunjuk Niken.
"Kamu di mana sih, Fei?" Rupanya Pandu, yang sudah berdiri di depan rumah kost Niken lagi.
"Di kamar." "Di kamar siapa?" tanya Pandu tidak sabar.
"Di kamarku lah, di kamar siapa lagi?" Niken heran kenapa Pandu bertanya hal seperti itu.
"Lho" Aku ada di depan kostmu. Koq aku tidak melihatmu masuk?" tanyanya heran.
"Kamu ada di depan kostku" Koq aku tidak lihat kamu waktu aku masuk?" Gantian Niken yang
bertanya dengan keheranan.
"Masuk saja," tambah Niken kemudian. "Pintunya tidak dikunci."
"Pandu?" tanya Sadu saat Niken menutup teleponnya.
Niken mengangguk. Sakitnya mendadak menyerang lagi. Sudah tidak separah tadi, tapi masih
cukup untuk membuatnya meringis kesakitan.
Terdengar ketukan di depan pintu kamar Niken. Niken mengeluh dalam hati, ia sudah bilang
pintunya tidak dikunci, kenapa musti mengetuk pintu lagi" Pandu memang tidak seperti Sadu
yang suka masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu lebih dahulu.
Niken menatap Sadu, Sadu mengerti maksud tatapan Niken. Ia lalu berjalan ke arah pintu dan
membukakan pintu itu, lalu kembali lagi ke sisi ranjang Niken.
Sadu sama sekali tidak memperhatikan keterkejutan Pandu melihat dia yang membukakan
pintu kamar Niken. Orang yang sama yang di warung bakmi tadi, yang barusan kencan
semalaman dengan pacarnya. Otak Pandu memutar ulang percakapan di warung bakmi antara
Pak Atmo dengan orang yang ternyata adalah Sadu ini.
"Masih sakit" Kalau masih sakit terus kita ke dokter ya?" tanya Sadu khawatir melihat interval
sakit Niken yang menurut hitungannya masih panjang. Yang ditanya cuma menggeleng lemah.
Pandu masih diam terpaku di depan pintu. Ia masih tidak mempercayai apa yang dilihat oleh
matanya. Lelaki yang ada di samping Niken itu bukan dirinya, tapi ia sangat memperhatikan
dan sikapnya terlalu baik pada Niken. Di saat yang bersamaan otaknya juga terus memutar
dan mengingat-ingat seluruh percakapan yang didengarnya sebelum ini di warung bakmi.
Pacarnya... tidak hanya hari ini... panggilan telepon itu...
"Kamu naik kereta pagi?" Pertanyaan Niken membuyarkan lamunan Pandu. Rupanya sakit
Niken baru saja reda lagi.
"Sudah semalaman aku di sini." jawab Pandu dengan nada agak kesal.
"Kan kamu tahu aku pergi ke pesta perkawinan itu." kata Niken sambil membetulkan posisi
duduknya. "Tapi kau tidak bilang kalau akan menginap di sana."
"Aku memang tidak berencana akan menginap di sana. Kalau memang akan menginap aku
pasti bilang, kan?" "Lalu kamu di mana dan ngapain semalaman?"
Sadu terus menoleh bolak-balik antara Niken dan Pandu ketika mereka bercakap-cakap
barusan. Ia lalu lama memandangi wajah Pandu karena merasa pernah melihat Pandu di
suatu tempat, tapi tidak dapat diingatnya.
Sadar dirinya dipandangi oleh orang yang dari tadi sudah ditebaknya pasti yang bernama Sadu
itu, entah kenapa Pandu jadi tambah jengkel.
"Jadi dia yang bernama Sadu?" tanya Pandu. Nada suaranya tidak enak didengar di telinga.
Niken heran, Pandu tidak pernah sekasar ini pada orang yang belum pernah dikenalnya.
Sadu juga terkejut mendengar Pandu berkata demikian. Ia semakin berusaha mengingat-ingat
di mana pernah melihat Pandu. Tapi otaknya tadi cukup shock mendengar Niken sakit, jadi ia
sudah lupa bahwa Pandu adalah orang yang ada di warung bakmi tadi.
"Sorry aku lupa mengenalkan. Pandu, kenalkan, ini Sadu. Sadu, ini Pandu, pacarku." kata
Niken memperkenalkan mereka satu sama lain.
"Tidak usah repot-repot." kata Pandu memotong pembicaraan. "Kamu apa nggak salah
mengenalkan" Sebenarnya yang pacarmu itu aku atau dia?"
Niken semakin heran atas sikap aneh Pandu pagi ini. Sadu apalagi.
"Kamu ngomong apa, Ndu" Jangan begitu dong. Nggak mau kenalan ya sudah. Jangan tidak
sopan begitu." "Aku tidak sopan"!" Nada suara Pandu semakin meninggi. "Sepertinya aku sudah mengganggu
keasyikan kalian berdua. Sebaiknya aku pergi." kata Pandu lalu mulai melangkah pergi.
Niken lalu memanggil Pandu dengan suara keras, "Kamu jangan pergi sebelum masalah ini
jelas. Kamu," kata Niken menoleh ke arah Sadu. "Juga jangan pergi."
Ketegangan di ruangan itu begitu tebal, seperti bisa diiris dengan pisau. Sadu bisa melihat
mata Niken sudah berkaca-kaca ingin menangis. Niken belum pernah dibentak-bentak Pandu
seperti ini, dan sekarang Pandu membentaknya di hadapan orang lain.
Jelas saja Niken berasa ingin menangis. Ditambah sakit perutnya juga mendadak menyerang
lagi, ia lalu diam sebentar sambil memegangi perutnya dan merintih perlahan. Pandu sudah
hendak maju menolongnya, tapi segera mengurungkan niatnya ketika dilihatnya Sadu sudah
kembali duduk di sebelah Niken.
"Sekarang, tolong jelaskan apa maksudmu berkata seperti itu." kata Niken setelah sakitnya
reda lagi. Ia lega melihat Pandu akhirnya mau duduk di ujung ranjangnya, di dekat kakinya.
Pandu diam saja. Ia kalau sedang marah justru tidak ingin banyak berkata. Ia cuma menatap
Niken dengan pandangan mata yang tajam. Mata elang yang biasanya memandang Niken
dengan penuh kasih sayang itu hari ini tidak lagi begitu.
"Kamu marah karena aku pulang pagi?" tebak Niken hati-hati. Ia terus memutar otaknya,
mencari ide untuk menjawab pertanyaan kenapa Pandu bisa semarah ini.
Yang ditanya masih diam saja tidak bergeming. Sadu tidak tahan lagi untuk berbicara. Ia
melihat air mata Niken sebentar lagi akan menetes dari danau matanya. Ia tidak ingin melihat
Niken menangis. "Niken kecapaian lalu tertidur di pesta kemarin, dan kami tidak melakukan suatu hal pun yang
melanggar kepercayaanmu. Kamu harusnya percaya pada Niken."
"Diam kamu!" bentak Pandu berbalik memandang Sadu dengan sorot mata yang penuh
kebencian. Sadu kaget, tapi sama sekali tidak gentar. Ia merasa kecemburuan Pandu terlalu
berlebihan. Sadu yakin benar-benar tidak pernah melakukan hal yang tidak benar dengan
Niken. Belum pernah. Bukannya dia tidak ingin, tapi karena ia yakin Niken tidak ingin.
"Sepertinya aku orang terakhir yang tahu bahwa aku sudah dikhianati. Seluruh dunia sudah
tahu dan menertawakanku. Cuma aku yang terlalu bodoh untuk menyadarinya." kata Pandu
kemudian. "Apa maksudmu berkata demikian" Kapan aku pernah mengkhianatimu" Sadu juga sudah
bilang barusan..." Pandu cepat-cepat memotong kata-kata Niken. "Simpan pembelaanmu. Aku tidak ingin
dengar. Aku begitu percaya padamu, Fei. Aku begitu karena aku sayang. Aku tidak menyangka
kamu sanggup menyakitiku."
Air mata Niken mengalir dengan deras. Mimpi pun ia tak pernah berniat mengkhianati Pandu.
Mendengar Pandu menuduhkan hal yang bertentangan dengan hatinya, Niken begitu sedih
dan kalut. "Kalau kamu tidak percaya pada Niken, kau boleh dengar kata-kataku. Siapapun tak akan bisa
merebut hati Niken. Seluruhnya adalah milikmu. Aku saksinya." kata Sadu berusaha membela
Niken. Ia sungguh tidak tahan melihat Niken menangis begitu.
"Apa tidak dengar aku tadi suruh kamu diam"!" Lagi-lagi Sadu kena bentakan.
Sadu bersyukur paling tidak Pandu tidak menggunakan nada yang sama untuk menyerang
Niken. Tapi ia jadi tidak respek sama orang yang bernama Pandu ini. Selama ini ia
menganggap Pandu pasti seperti dewa sampai berhasil mendapatkan gadis seperti Niken. Tapi
nyatanya Pandu kasar seperti ini, sungguh ia tidak mengerti kenapa Niken bisa begitu sayang
pada orang seperti itu. "Pandu... aku salah apa...?" Cuma itu yang bisa keluar dari Niken di sela isak tangisnya.
"Niken, aku tadinya datang kemari ingin menyemangatimu untuk ujian besok. Tak kusangka
aku begitu bodoh, sudah ada orang lain yang melakukannya dengan lebih baik dariku. Aku
lebih baik pulang saja daripada lebih lanjut mempermalukan diriku sendiri." Pandu lalu
beranjak berdiri. Seperti biasa, kalau sedang jengkel, ia tidak pernah memanggil Niken dengan
sebutan "Fei". Niken tidak lagi mempedulikan sakitnya. Dengan seluruh kekuatannya ia bangun dan
mencegah langkah Pandu dengan berdiri tepat di depannya. Karena badannya masih lemah, ia
memegang pundak Pandu untuk dijadikan sandaran. Ditatapnya mata Pandu lekat-lekat. Ia
tidak percaya Pandu akan meninggalkannya begitu saja tanpa kejelasan.
"Kalau tidak percaya padaku, kamu mau percaya sama siapa, Ndu?"
Pandu membalas memandang mata Niken lekat-lekat, seakan berusaha mencari kebenaran di
dalamnya. Mata Niken begitu bening, terlihat air matanya masih menggenang di pelupuknya.
Tidak tega melihat gadis yang paling disayanginya menangis, Pandu memejamkan matanya.
Walaupun matanya sudah terpejam, bayangan Niken yang sedang menangis tetap terbayang
dengan jelas di otaknya. Ia lalu membuka matanya lagi.
"Aku pulang dulu." kata Sadu kemudian. "Kalian berdua bicaralah baik-baik." Sadu lalu
membuka pintu kamar Niken hendak melangkah keluar.
"Tunggu. Justru aku yang ingin pulang. Aku muak melihat diriku sendiri di sini tidak tahu
malu." Pandu menyingkirkan Niken yang berdiri di depannya lalu cepat-cepat melangkah
keluar. Sadu berusaha mencegahnya di depan pintu, tapi tenaga Pandu cukup kuat untuk
melawannya dan melepaskan diri. Niken lalu mengejar Pandu yang sudah sampai di pintu
pagar. "Jangan pergi... Aku nggak tahu apa yang membuatmu marah seperti ini. Tapi kamu harus
percaya aku tidak pernah mengkhianatimu." pinta Niken.
Pandu membalikkan badannya, menghadap ke arah jalan, membelakangi Niken. Sekuat
tenaga kedua tangan Niken membalikkan kembali badan Pandu untuk berhadapan dengannya
lagi. "Ayolah. Jangan pergi. Kamu bilang kamu datang ke sini untuk menyemangatiku. Kamu tahu
aku nggak akan bisa membiarkan kamu pergi begitu saja tanpa memberikan penjelasan
padaku. Jangan pergi... Aku masih belum menunjukkan lagu yang baru selesai kubuat.
Pandu..." Air matanya mengalir lagi di pipinya.
"Jangan menangis." kata Pandu mengusap air mata dari kedua pipi Niken dengan tangannya.
"Baiklah. Kalau kamu benar-benar masih menganggapku, kalau masih menginginkanku, aku
minta kamu lupakan rencana gilamu itu. Aku kira aku bisa tahan, tapi ternyata aku nggak bisa
mendengar kamu jadi pacar orang lain, walaupun itu hanya pura-pura. Aku bisa gila kalau
kamu terus begini." Niken menelan ludahnya. "Maksudmu, kau ingin aku menghentikan usaha balas dendamku?"
Pandu mengangguk. "Kau bisa bilang aku egois, Fei, tapi aku nggak bisa biarkan ada orang
lain yang memilikimu walaupun hanya sebutan saja."
"Kaulah yang memiliki hatiku, Pandu. Memilikiku sepenuhnya." Niken terus berusaha
meyakinkan Pandu. "Kalau begitu tidak ada masalah kan untuk melepas semua itu" Aku merasa hasil akhirnya pun
nggak akan sebanding dengan rasa sakit hatiku. Aku ingin melenyapkan semua kemungkinan
untuk kehilanganmu. Lagipula, lihat dirimu. Apa gunanya menyiksa diri seperti ini" Demi apa"
Apa kamu kira aku nggak sedih melihatmu sakit seperti ini?"
Niken terdiam. "Jangan minta aku untuk berhenti sekarang, Ndu. Aku baru saja berhasil
menjejakkan kakiku selangkah lebih maju untuk mencapai tujuanku. Aku akan lebih menjaga
kesehatanku. Aku janji kamu nggak akan kehilangan aku." kata Niken. Tubuhnya bergetar
saat mengucapkan kata-kata tadi. Dia juga tak bisa kehilangan Pandu. Niken bisa mengerti
kekhawatiran Pandu, dan ia pun merasa itu sebetulnya memang tidak berlebihan, tapi pada
saat yang bersamaan ia tidak rela usahanya terbuang sia-sia, apalagi di saat ia sudah melihat
setitik terang di ujung terowongan gelapnya.
"Keras kepala!" seru Pandu dalam hati. Ia tahu, apapun yang dia katakan hari ini, tak akan
bisa merubah pendirian gadis berkepala batu yang berdiri di depannya. Dilihatnya mata Niken
yang penuh harap memohon dirinya untuk tetap tinggal.
"Kamu yakin aku nggak akan kehilangan kamu?" tanya Pandu setelah diam beberapa lama.
Niken cepat-cepat mengangguk tanpa berpikir panjang.
"Pikir lagi baik-baik, jangan asal mengiyakan. Kamu bisa menjamin aku nggak akan kehilangan
kamu?" Pandu bertanya untuk kedua kalinya.
"Aku nggak ingin kehilangan kamu. Aku cuma tahu itu. Soal bagaimana akhir cerita ini, aku
nggak tahu, tapi aku berharap kita akan tetap saling memiliki." Niken tahu, ia tidak bisa
membohongi Pandu. Pandu tahu persis resiko yang mereka hadapi.
"Nggak ingin itu hal yang lain. Aku juga nggak ingin."
Dengan suara serak dan mata memerah, Pandu akhirnya berkata, "Kalau aku diberi waktu
ribuan tahun pun untuk menjelaskan pada hatiku bagaimana aku bisa kehilangan kamu hari
ini..." Pandu meletakkan tangannya di mulut Niken yang sudah hendak protes. Ia lalu
melanjutkan, ".. aku nggak akan pernah bisa menjelaskannya. Tapi hari ini sepertinya takdir
sudah memaksaku untuk berpaling darimu."
Niken menutup kedua telinganya. "Cukup! Aku nggak mau dengar!"
"Aku tahu kamu bisa mendengarku. Dengar, Fei, kamu hari ini cantik sekali. Aku harus
mengatakan hal ini sebelum aku berubah pikiran lagi." Pandu lalu memegang kedua tangan
Niken yang menutupi telinganya itu, lalu dibawanya ke antara mereka berdua.
"Aku berharap suatu hari kita bisa bertemu lagi untuk menyambung kembali cerita kita yang
terputus ini, dan semoga ini bukan akhir dari kisah cinta termegah yang pernah ada. Selamat
tinggal Niken." Setelah berkata begitu, Pandu melepaskan tangan Niken.
Niken juga tahu, Pandu sama keras kepalanya dengan dirinya. Ia merasa kekuatannya untuk
menahan Pandu pergi kali ini sudah habis. Apapun yang dikatakannya tak akan bisa membuat
Pandu kembali. Air matanya jatuh satu-satu menatap punggung Pandu yang berjalan semakin
lama semakin jauh tanpa menoleh.
"Pandu!!!!" seru Niken putus asa sambil menangis. Karena sakitnya menyerang lagi, ia lalu
jongkok dan meletakkan satu tangan di perutnya dan yang satu lagi di atas lututnya dan
menangis di situ. Napasnya tersengal-sengal karena ia terus menangis. Roknya yang panjang
dibiarkannya menyapu tanah.
Sadu yang dari tadi mengamati dari dalam lalu ikut jongkok di sebelah Niken. Dia tidak tahu
apa yang harus dilakukannya. Ingin rasanya Sadu memegang erat-erat pundak Niken untuk
menghibur gadis itu, tapi ia bahkan tidak berani menyentuhnya, seakan takut kalau kena
sentuhannya, Niken akan hancur berkeping-keping seperti vas cina yang retak. Jadi Sadu
hanya diam saja, hatinya ikut remuk menatap Niken yang terus menangis.
Pandu masih mendengar teriakan terakhir Niken itu, dan air mata pun menetes di pipinya.
Cepat-cepat diusapnya air mata itu, dan ia terus berlari secepat mungkin untuk menyingkirkan
bayangan Niken yang terus mengikutinya.
* Sadu kuatir sekali pagi itu tidak menemukan Niken di antara teman-temannya. Kemarin sore ia
tidak jadi belajar atau tanya jawab bersama Niken. Niken sama sekali nggak bisa diajak bicara
apalagi diajak belajar. Sampai jam sepuluh malam ia terus berusaha memaksa Niken untuk
cuma sekedar makan nasi soto yang sudah dibelinya siang tadi, tapi Niken cuma makan
beberapa sendok. Niken sudah tidak menangis, maagnya juga sepertinya sudah tidak sakit
lagi, tapi ia sama sekali tidak mau diajak berkomunikasi. Akhirnya Sadu pulang setelah berkalikali mengingatkan Niken untuk tidak lupa datang jam setengah delapan untuk ikut ujian. Tapi
dimana Niken sekarang"
Sudah waktunya. Para siswa sudah masuk ke ruang ujiannya masing-masing. Pengawas
seperti biasa didatangkan dari luar, sepertinya kali ini dari Dinas P&K. Ia terus mencari-cari
Niken sebelum masuk ke ruangan, tapi sia-sia. Sepertinya Niken tidak akan muncul hari ini.
Sadu menatap bangku kosong tempat Niken seharusnya duduk. Ia menggeleng-gelengkan
kepalanya. Ketika ujian mulai, ia membalik-balik kertas soal dan lembar jawabannya. Hanya
ada satu lembar kertas lembar jawaban. "Tidak ada uraian!" pekiknya dalam hati.
Saat waktu selesai dan alat tulis harus diletakkan, ia cepat-cepat menuliskan nama di atas
ketas lembar jawabannya. Niken Tjakrawibawa. Ia sudah mengingat-ingat nomor ujian Niken
waktu menatap bangku kosong Niken tadi, karena dihitungnya bangku Niken berbeda 16
tempat dengannya, berarti nomor ujian Niken pasti 16 nomor sebelum nomornya.
* Begitu keluar dari ruang ujian, Sadu cepat-cepat membawa motornya menuju ke rumah kost


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Niken. Tidak seperti biasanya, kali ini pintu kamar Niken dikunci. Sadu tahu Niken ada di
kamarnya karena dari luar terlihat lampunya menyala. Mobilnya pun masih diparkir di depan
rumah. Dari tadi Sadu mencoba menelepon, tapi handphone Niken juga tidak aktif.
Sadu mengetuk-ngetuk pintu kamar Niken sambil memanggil-manggil namanya.
"Pergilah. Aku ingin sendiri." kata Niken dari dalam. Entah apa yang sedang dilakukannya,
keluh Sadu. Tidak ingin pulang, Sadu lalu mampir di warung bakmi seperti biasanya.
"Es teh, Pak Mo." kata Sadu.
Ketika Pak Atmo membawakan es tehnya, ia bertanya pada Sadu, "Kemarin pagi kenapa tibatiba tidak jadi makan?"
"Kemarin pagi..." Sadu tiba-tiba menoleh ke arah meja di mana Pandu duduk kemarin.
Teringatlah sekarang di sinilah ia pernah melihat wajah Pandu sebelumnya! Kemarin pagi, di
tempat ini! Saat ia menerima telepon Niken yang meminta dibelikan obat, saat Pak Atmo
menggodanya dengan guyonan-guyonan tentang "pacarnya", Pandu ada di sini!
Sadu cepat-cepat keluar, ia bahkan lupa tidak membayar ataupun meminum es tehnya.
Secepat kilat sudah kembali berada di luar kamar Niken, mengetuk-ngetuk pintu Niken dengan
tidak sabar, "Niken! Buka pintunya! Aku tahu pernah melihat Pandu di mana. Aku tahu
sekarang kenapa kemarin ia begitu marah! Cepat... buka pintunya!" Sadu berpikir, kalau ini
tidak menarik perhatian Niken, apa yang bisa"
Benar saja, pintu itu pun terbuka. Begitu pintu itu terbuka, Sadu cepat-cepat masuk. Ia tidak
mau terkunci di luar lagi kalau Niken berubah pikiran.
"Katakan apa maksudmu" Apa yang kamu bilang tadi" Pandu kenapa?" tanya Niken bertubitubi. Semalaman ia tidak tidur memikirkan dan mengulang kembali kejadian kemarin pagi. Ia
paham, ia tidak bisa memberikan apa yang Pandu mau, yaitu merelakan untuk tidak
meneruskan aksi balas dendamnya, dan itu lah yang membuat Pandu meninggalkannya. Tapi
ia masih heran kenapa Pandu bersikap begitu aneh sebelumnya. Kalau saja Pandu tidak begitu
marah, ia pasti akan bisa membujuk Pandu untuk mendukung rencananya lagi. Kemarin
kejadiannya begitu cepat dan begitu aneh, ia sama sekali tidak mengerti.
"Pandu. Aku tahu kenapa dia begitu marah kemarin. Dia sudah salah paham padamu. Dia
mengira aku pacaran denganmu." tutur Sadu.
"Dapat berita burung dari mana dia koq sampai bisa mengira seperti itu?" tanya Niken
bingung. "Dari aku." Sebelum mata Niken yang melotot membacoknya, Sadu lalu menceritakan bagaimana ia
kemarin bertemu dengan Pandu di warung bakmi Pak Atmo. Diceritakannya semua yang
dikatakan Pak Atmo padanya, apa saja yang kira-kira didengar oleh Pandu kemarin pagi.
"Ditambah lagi kamu meneleponku, ditambah lagi aku sudah berada di dalam kamarmu saat ia
masuk kemari. Aku rasa kalau aku adalah dia, aku juga akan marah." kata Sadu menjelaskan
apa yang baru saja disadarinya.
"Ya Tuhanku!" seru Niken pada dirinya sendiri. Sejenak ia tak tahu harus berkata atau berbuat
apa. "Kenapa kamu baru bilang sekarang?" tanya Niken kemudian.
"Kemarin memang aku merasa pernah melihat Pandu entah di mana. Demi Tuhan aku tidak
ingat, Niken. Aku tahu bodoh sekali, hal sepenting ini bisa sampai lupa. Tapi aku sungguh
nggak ingat. Maaf..." kata Sadu dengan nada sangat menyesal. Lucu sekali, pikir Sadu.
Kenapa ia harus mengatakan hal ini pada Niken" Bukankah bagus sekali sekarang Niken sudah
putus dengan Pandu" Tapi Sadu tahu, Niken sangat menderita. Ia tak bisa membiarkan Niken
seperti ini. "Baiklah. Sekarang kamu keluar saja. Aku mau ganti baju dan pergi ke Bandung." kata Niken
mendorong Sadu untuk keluar kamarnya.
"Apa" Kamu mau ke mana" Kamu nggak bisa ke mana-mana, Niken. Besok lusa ada ujian
Farmakologi. Apa kamu nggak mau tahu apa yang terjadi pada ujian tadi pagi?" tanya Sadu.
Ia jengkel kenapa Niken sama sekali tidak mempedulikan dirinya sendiri.
"O ya, bagaimana ujian hari ini" Keluar banyak tentang Sitopatologi Komprehensit, nggak?"
Niken menanyakan bagian yang paling belum dikuasainya.
"Lumayan. Aku yakin kamu dapat nilai bagus." jawab Sadu.
"Maksudmu, kalau aku ikut ujian tadi pagi, menurutmu aku pasti bisa mengerjakannya?" tanya
Niken lagi. Ia jadi menyesal tadi tidak ikut ujian.
"Bukan. Maksudku, kamu pasti akan mendapat nilai yang bagus." Sadu menatap Niken dengan
sungguh-sungguh. Niken masih tidak mengerti. Jelas-jelas ia tidak ikut ujian tadi. Apa maksudnya..."
"Kamu..." Oh, jangan bilang kamu tadi...?" Niken sadar, Sadu bisa seyakin itu dirinya
mendapatkan nilai bagus, pasti karena yang nama yang ditulis di kertas jawaban Sadu bukan
nama Sadu, melainkan nama Niken.
Sadu mengangguk. "Kamu ini bodoh sekali, Sadu!"
Sadu menggeleng. "Kamu juga bodoh. Kalau tidak ketahuan, aku yakin bisa membujuk Pak
Purba untuk memberikan ujian ulang. Lagipula masih ada ujian praktek. Nilai-nilaiku selama ini
cukup baik. Kalau kamu yang tidak ikut ujian, dengan nilai-nilaimu yang seperti itu mana bisa
dipertimbangkan untuk ikut ujian ulang" Kemungkinan terburuk adalah kalau ketahuan, nilai
kita berdua akan digugurkan. Ya sudah, kita sama-sama mengulang." Sepertinya Sadu sudah
begitu yakin atas keputusannya.
"Terima kasih atas apa yang sudah kau lakukan untukku. Tapi sekarang aku benar-benar
harus pergi. Aku ingin menjelaskan segalanya pada Pandu, supaya ia tidak salah paham lagi.
Ayo keluar." Niken mendorong-dorong Sadu keluar lagi.
Sadu berdiri tegak tak bergeming. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Niken jelas kalah kuat
dibandingkan Sadu. Seperti semut mendorong gajah.
"Ya sudah. Aku pergi saja. Aku tidak harus berganti pakaian." kata Niken memutuskan untuk
pergi tanpa berganti pakaian.
Kembali Sadu menghalangi Niken di depan pintu. Niken jadi jengkel karena tidak bisa keluar
dari kamarnya sendiri. "Kalau kamu terus menghalangiku, aku akan sangat membencimu." ancam Niken.
"Baiklah, kau boleh pergi." kata Sadu kemudian. "Tapi kamu harus janji akan kembali sebelum
nanti malam jam sepuluh, atau aku akan mencari tahu di mana Pandu tinggal, dan
menyusulmu ke sana. Kamu tidak mau kesalahpahamannya bertambah besar, kan?" Sadu
balas mengancam. Sebetulnya ia tidak tahu mau memulai mencari alamat Pandu dari mana,
tapi yang penting bicara dulu.
"Oke, oke. Aku akan pulang nanti malam. Nah, sekarang menyingkirlah."
"Kamu harus berjanji. Aku akan menunggumu di sini." kata Sadu memegang lengan Niken. Ia
tidak akan melepaskannya sebelum ia yakin Niken akan memenuhi janjinya.
"Aku berjanji." Niken melepas toe-ring pemberian Pandu dari jari kakinya. Toe ring yang tidak
pernah dilepasnya selama ini. Yang tadi malam terus dipandanginya untuk mengenang saat
Pandu memberikan benda itu padanya.
"Ini," Niken meletakkan toe-ring itu di atas meja tulisnya. "Ini adalah barangku yang paling
berharga. Ini pemberian Pandu waktu aku ulang tahun ke tujuh belas. Jagalah benda ini
dengan nyawamu. Kalau sampai jam sepuluh malam aku belum pulang, kau boleh membuang
cincin ini. Bagaimana?" Mata Niken berkaca-kaca saat melepaskan toe-ring itu dari kakinya
dan mengucapkan perkataannya barusan. Hatinya sakit sekali menyadari dirinya sudah
kehilangan seorang Pandu.
"Tidak perlu sedrastis itu, Niken. Aku cuma ingin kamu lebih serius dalam belajar. Demi masa
depanmu sendiri." Niken mengangguk. "Aku tahu, aku tahu kamu bermaksud baik. Boleh aku pergi sekarang?"
Sadu melepaskan lengan Niken. Niken tergesa-gesa pergi naik mobilnya, ia bahkan tidak
menutup pintu pagar. Ia juga tidak mendengar Sadu meneriakkan "Hati-hati!". Cuma satu
yang ada di pikirannya, Pandu. Ia harus menemui Pandu dan mendapatkannya kembali
sebelum semuanya terlambat. "Tuhan, beri aku satu kesempatan lagi!" doanya berulang-ulang
di sepanjang perjalanan ke Bandung.
* :: Sequel (Mata Elang) : Chapter 6
Di dalam kamar Niken, Sadu sedang asyik membandingkan buku catatannya dengan buku
catatan Niken. Jelas sekali perbedaannya. Punya Niken buku catatannya lebih komplit daripada
buku diktat. Sadu sampai tersenyum-senyum geli membolak-balik buku catatan Farmakologi
Niken. Sepertinya Niken merangkum sendiri, mengetik atau menyalin dari beberapa buku
diktat dan fotocopyan dari dosen, lalu di print. Tidak heran Niken selalu membutuhkan
persiapan yang lama sekali untuk belajar. Beberapa rangkuman itu sudah terjilid rapi. Masih
diwarna-warnai dengan highlighter pula. Di dalamnya banyak terdapat gambar-gambar dan
diagram. Walaupun banyak gambar yang berguna, tapi ada banyak pula gambar-gambar yang
sama sekali tidak ada hubungannya dengan bahan kuliah. Misalnya gambar hati dan bungabunga, yang hampir di tiap halaman ada. Tulisan nama "Pandu" atau "I love Pandu" atau "Niken
loves Pandu" juga sering muncul.
Sadu sendiri tidak pernah membuat rangkuman serajin itu. Biasanya ia hanya menambahkan
catatan di kertas fotocopyan dosen. Selebihnya ia hanya menuliskan halaman-halaman penting
dari buku diktat. Pantas saja buku diktat Niken masih rapi, tidak ada satupun halamannya
yang sobek-sobek. Niken banyak membuat pembatas-pembatas halaman pakai sticker warnawarni. Sementara buku-buku diktat Sadu kumal sekali karena sering dibawa ke mana-mana
dan sering dibuat alas tidur.
Menilik banyaknya gambar dan coretan-coretan yang tidak berkaitan dengan pelajaran, Sadu
jadi tertawa sendiri. Ada rasa perih di hatinya yang dibiarkannya begitu saja. Ia dapat
merasakan cinta Niken terhadap Pandu yang begitu besar. "Apakah cintaku pada Niken
sebesar cinta Niken pada Pandu?" gumamnya. Entahlah. Tapi Sadu berpikir, mungkin
selamanya tidak akan ada orang yang bisa menggantikan posisi Pandu di hati Niken. Tidak
dirinya, tidak orang lain. Seberapa pun besar cintanya pada Niken. Tapi benarkah"
Mungkinkah Niken akan melihat ke arahnya jika Pandu tidak ada di sisinya" Suatu hari nanti,
bila ia terus mencintai Niken, melindunginya, menjagainya, apakah Niken akan memberikan
hati padanya" Kegiatan dan pikiran yang berkecamuk di otak Sadu itu terhenti karena tiba-tiba ia mendengar
suara ketukan pintu. Karena tidak ingin beramah-tamah dengan teman sekost Niken, Sadu
tidak mempedulikan ketukan pintu itu. Walaupun sudah lama didiamkan ternyata yang di luar
pintu tidak mengenal putus asa. Pintu itu masih tetap saja digedor-gedor dari luar. Dengan
terpaksa dan ogah-ogahan Sadu membukakan pintu.
"Hah" Pandu"!" seru Sadu kaget setelah melihat orang yang berdiri di depan pintu.
"Kamu"!" Pandu terlihat sama terkejutnya melihat lagi-lagi Sadu yang membukakan pintu
kamar Niken. "Mana Niken?" tanya Pandu setelah masuk ke dalam kamar dan tidak menemukan orang yang
dicarinya. "Pergi mencarimu. Kamu ngapain kemari" Niken pergi ke Bandung mencarimu..." Sadu jadi
bingung, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Kamu sendiri, ngapain di sini?" tanya Padu dengan nada tidak senang.
"Aku... Bukan urusanmu. Yang penting kamu sekarang cepat pulang, Niken sudah berangkat
kira-kira... satu jam yang lalu." kata Sadu sambil sekilas melirik jam tangannya.
"Bukan urusanku" Kamu kira kamu siapa, punya hak apa kamu ada di dalam kamar ini?"
Pandu semakin marah. Ia merasa pria aneh di depannya ini benar-benar bagaikan drakula
yang sudah menancapkan dengan dalam gigi-gigi taringnya yang tajam di leher Niken.
Sadu diam saja. Meskipun dia ingin sekali melawan, ia tahu pasti perbuatannya itu hanya akan
membuat persoalan bertambah rumit. Setelah hampir semenit mereka saling diam dan saling
pandang, Sadu akhirnya berkata, "Sebaiknya kamu cepat pulang ke Bandung, Niken pasti
nanti bingung mencarimu kalau tidak menemukanmu di sana."
"Tolong jangan ikut campur dalam urusan ini." Pandu tidak suka mendengar perkataan Sadu
barusan yang dianggapnya terlalu sok tahu dan mengguruinya.
Sadu mengambil langkah drastis. Ia mencengkeram kerah baju Pandu sambil berkata, "Kalau
kau tidak pergi sekarang, kau mungkin akan kehilangan kesempatan untuk memperbaiki
hubunganmu dengan Niken. Niken sangat mencintaimu. Awas kalau kamu sampai
mengecewakannya." Dasar Pandu tidak suka digertak, apalagi oleh orang yang tidak disukainya, ia lantas membalas
ancaman Sadu itu dengan melepas topi yang dipakai Sadu dan menjambak rambutnya. "Kalau
bukan gara-gara kenal kamu, Niken nggak akan punya pikiran untuk membalas dendam. Kalau
bukan gara-gara kamu, sekarang ini hubunganku dengan Niken tidak perlu acara perbaikan.
Sebaiknya kamu berdiri jauh-jauh dan jangan menggangguku."
Mereka saling menatap, lalu Sadu melepaskan cengkeramannya dari kerah baju Pandu.
Sedetik kemudian Pandu juga mengikuti. Sebersit Pandu melihat sebentuk benda yang sangat
dikenalinya. Pandu menangkap tangan Sadu, ia bertanya, "Dari mana kau dapatkan ini?" Air muka Pandu
berubah drastis. Ia tidak habis pikir bagaimana benda sepenting itu bisa berada di tangan
Sadu. Sadu menatap ke arah benda yang disebut Pandu, yang ia selipkan di jari kelingkingnya, cincin
jari kaki Niken. "Oh, ini... tadi aku tidak mengijinkan Niken untuk pergi, karena dia harus belajar. Lusa ada
ujian. Karena dia ngotot ingin mencarimu, ia lalu meninggalkan benda ini sebagai jaminan
bahwa dia akan pulang nanti malam."
Pandu merasa kerongkongannya sangat kering, beberapa lama ia berdiam diri tanpa berkata
apa-apa. Ia lalu melepaskan tangan Sadu. Sejenak kemudian Pandu berkata, "Berikan
padaku." Sadu berpikir Pandu memang lebih berhak untuk memegang benda itu dibanding dia, maka ia
segera melepas toe-ring itu dari jari kelingkingnya. Pandu merebut cincin itu dari tangan Sadu,
lalu keluar dari kamar itu tanpa pamit.
* Niken duduk melamun dan merenung di bangku di depan kost Pandu sambil memainkan
gantungan kunci mobilnya. Ia tahu Pandu sedang dalam perjalanan pulang, ia sudah
menelepon handphonenya waktu tidak menemukan Pandu di sini tadi. Sebenarnya temanteman kost Pandu satu-per-satu sudah menawarkan Niken untuk menunggu di dalam, tapi
Niken pernah melihat bagaimana kondisi kost Pandu, dan dia memilih menunggu di luar.
Anak-anak cowok yang gila-gila itu memang sering keluar-masuk kamarnya dengan pakaian
yang tidak senonoh. Maklum, di dalam semua anak laki-laki, jadi tidak tahu malu. Sebenarnya
Niken tidak keberatan, tapi justru mereka yang mendadak jadi alim gara-gara ada orang lain
di situ. Niken jadi merasa mengganggu kebebasan mereka, makanya ia memilih untuk
menunggu di luar saja. Setiap anak kost yang keluar atau masuk dan menyapanya, pasti
menyuruhnya untuk menunggu di ruang dalam, malah ada pula yang menawarkan untuk
menunggu di dalam kamarnya! Niken tidak punya kunci kamar Pandu, dan kamar Pandu
terkunci, jadi ia tak bisa menunggu di situ.
Agung, teman kost Pandu yang kocak, sempat menemaninya beberapa lama. Darinya, Niken
jadi tahu bahwa Pandu belum pulang sejak pergi ke Jakarta. Agung malah terheran-heran
kenapa Niken ada di sini dan Pandu ada di sana. Agung juga berulang kali memuji Pandu
sebagai cowok yang paling setia, katanya bahkan Romeo pun kalah setia kalo dibandingkan
sama Pandu. Walaupun wajah Niken tersenyum-senyum waktu Agung berkata demikian,
hatinya terasa sakit sekali karena merasa cintanya tidak sebanding dengan cinta Pandu
padanya. Ia jadi merasa bersalah selama ini telah mengesampingkan Pandu, telah membuat
Pandu salah sangka padanya. Sedangkan Pandu sendiri tidak pernah melakukan suatu hal pun
yang bisa membuat Niken salah sangka.
Beberapa kali ia harus menghapus air mata yang meleleh di pipinya. Cengeng sekali dia hari
ini. Entah kenapa setiap kali hatinya meneriakkan nama Pandu, matanya seperti ikut
merasakan kepedihan hatinya itu.
Niken juga baru menyadari bahwa menunggu seperti ini memang sangat menyiksa. Masih
lumayan dirinya sekarang menunggu dengan sebuah kepastian bahwa Pandu memang akan
datang. Dua malam yang lalu Pandu menunggu semalaman di depan kostnya seperti ini,
bedanya malam itu Pandu tidak tahu kapan dia akan pulang. Niken sadar, saat itu Pandu terus
menunggu karena yakin sekali Niken akan segera pulang. Tapi Niken telah mengecewakan
keyakinan Pandu itu karena penantiannya terbukti sia-sia belaka.
"Cewek.. godain dong!"
Niken hampir melompat karena kaget. Siapa lagi kalau bukan Agung yang baru saja pulang.
"Masih menunggu Pandu?" tanya Agung, menanyakan hal yang tidak perlu. Ya, jelas-jelas
Niken masih di situ menunggu Pandu.
Niken cuma menjawab pertanyaan Agung yang tidak perlu itu dengan anggukan. Agung lalu
duduk di sebelah Niken, sambil berkata, "Jangan kuatir, Niken, nanti kalau Pandu pulang, aku
akan marahi dia karena sudah membuatmu menunggu sekian lama. Sudah berapa lama kamu
menunggu"... Sudah enam jam lebih!" Agung menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Disuruh menunggu sampai kapan pun aku nggak keberatan." Niken menggumam sendiri.
Matanya menerawang jauh. Sebenarnya air mata sudah mulai mengumpul lagi di pelupuknya,
tapi ia berusaha untuk tidak memikirkannya supaya tidak menangis di depan Agung.
Agung pura-pura tidak mendengar gumaman Niken tadi walaupun didengarnya dengan jelas.
"Sebenarnya siapa sih yang suka duluan, kamu atau Pandu?" tanya Agung mengalihkan bahan
pembicaraan. Ia sebetulnya sudah terlalu sering mendengar cerita tentang Niken dari Pandu.
Bagaimana mereka pertama kali bertemu, bagaimana cinta mereka berkembang melewati
berbagai macam cobaan. Tapi selama ini ia tidak pernah mendengar cerita versi Niken.
Niken tersenyum mengenang pertama kali ia dan Pandu bertemu. Dengan senyum
tersungging di bibirnya, Niken mengaku, "Sepertinya aku duluan yang naksir Pandu. Cewek
mana sih yang nggak naksir sama cowok ganteng bermata elang seperti Pandu?"
Agung tertawa mendengar jawaban Niken yang menurutnya tergolong sangat hiperbola. Ia
juga senang karena merasa sukses membuat Niken tersenyum. Jangan panggil namanya
Agung kalau tidak bisa membuat orang tertawa!
"Gitu dong, senyum. Kamu kalau senyum manis sekali, lho." goda Agung. "Padahal si Pandu
bilang dia duluan yang naksir kamu lho. Koq ceritanya terbalik-balik begini sih?" Agung
memberi umpan lagi agar Niken mau bercerita lebih banyak.
"Masa" Dia bilang begitu" Dia bilang nggak, kenapa dia naksir aku?" Niken malah bertanya
dengan mata berbinar-binar. Rupanya Agung sudah berhasil membuatnya sejenak lupa akan
kepedihan hatinya. "Dia bilang kamu cewek tergalak yang pernah ditemuinya!" Agung tergelak-gelak. Niken ikut
tertawa. Sadar dirinya dipermainkan, Niken lalu berniat ingin membalas ledekan Agung, ia
berkata, "Kenapa sih kamu bernama Agung" Apa waktu masih bayi orang tuamu sudah tahu
kalau kamu bakal berbadan "agung" seperti sekarang?"
"Waaaah... penghinaan nih!" Agung sadar Niken balik membalasnya. Tapi ia senang karena
usahanya berhasil. Sudah tidak ada lagi wajah yang sedih seperti tadi. "Orang tuaku merasa
aku nantinya akan jadi orang besar. Cuma kayaknya betul kamu, nama itu jadi boomerang.
Entah nantinya bisa jadi orang besar atau tidak, tapi yang jelas aku jadi gendut begini.
Mustinya aku diberi nama "Imut" saja yah!"
Begitulah sampai Pandu datang saat mereka berdua masih tertawa-tawa saling melempar


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

canda. "Sorry mengganggu yang lagi bersenang-senang." tegur Pandu.
"Nah, yang ditunggu-tunggu akhirnya pulang. Hey, Pandu! Kalau kamu nggak pulang-pulang
bisa aku embat ini cewek nganggur!" goda Agung, yang sama sekali tidak tahu suasana hati
Pandu. "Ambil saja." jawab Pandu pendek.
Agung kaget mendengar Pandu berkata begitu, biasanya Pandu selalu menanggapi godaannya
dengan pembalasan yang lebih kejam.
"Niken sudah menunggu lama, lho..." lapor Agung, lagi-lagi mengatakan sesuatu yang tidak
perlu. Pandu tahu berapa lama Niken sudah ada di situ. Ia juga sudah berusaha secepat
mungkin untuk pulang. Pandu tidak menjawab dan tidak berkata apa-apa. Sepertinya ia hanya menunggu Agung
untuk masuk ke ruang dalam. Agung merasa kehadirannya di situ mengganggu, lagipula tidak
tahu mau berkata apa lagi, tahu diri ia lalu masuk.
"Capek?" tanya Niken saat Pandu menghempaskan tubuh penatnya di bangku itu.
Pandu mengangguk. "Mananya yang capek, sini aku pijitin..." Niken menawarkan jasa pijatnya yang memang sering
dilakukannya pada Pandu. "Yang capek di sini..." Pandu mengepalkan tangannya dan menekan ke arah dada di mana
terdapat jantungnya. Niken cuma menatap lama tempat yang dimaksud oleh Pandu itu. Ia tidak pernah bermaksud
untuk melukai orang yang begitu dicintainya.
"Kamu kenapa kemari?" tanya Pandu kemudian.
Niken tahu, tanpa diberitahu olehnya pun, Pandu sudah paham apa alasan Niken datang
kesitu. Bertanya seperti itu hanyalah untuk menyindirnya.
"Aku sudah membuatmu salah paham. Aku datang untuk minta maaf, dan untuk memberikan
lagi hatiku untukmu, karena memang itu adalah milikmu. Itu kalau kamu masih mau. Aku
harap kamu masih mau..." Niken sebetulnya bukan model orang yang suka mengalah seperti
ini. Biasanya Pandu selalu mengikuti kata-katanya, jadi ia tidak pernah dihadapkan pada
situasi seperti ini. Tapi Niken merasa kali ini sepertinya ia sudah membuat kesalahan yang
begitu besar, Pandu berhak menyindirnya, bahkan jika Pandu tidak memaafkannya pun ia
tidak akan menyalahkannya.
"Aku sudah salah paham?" tanya Pandu. Nada suara Pandu membuat Niken jengah. Niken
tahu Pandu marah, tapi ia juga tidak suka mengulang-ulang kata maaf.
Niken lalu menyampaikan hal yang menjadi tujuan utama kehadiran dirinya di situ. "Kamu ada
di warung bakmi sebelum ke rumahku, ya" Kamu mendengar yang nggak-nggak, kamu
marah. Aku nggak menyalahkan kamu marah, tapi sungguh, semua yang kamu dengar itu
nggak benar. Tukang bakmi itu memang suka menggoda Sadu. Waktu aku di sana juga
begitu. Lalu kamu masuk ke kamarku, Sadu ada di situ. Aku tahu kamu pasti tambah marah.
Ditambah lagi aku tidak mau..."
"Masalahnya nggak sesimpel itu." Pandu memotong penjelasan Niken. Ia lalu mengambil
cincin yang sejak tadi dikantonginya.
"Coba tebak aku dapat ini dari mana?" tanya Pandu. Lagi-lagi pertanyaan yang ia sudah tahu
jawabannya. Niken terkejut melihat toe-ringnya sudah berada di tangan Pandu lagi.
Pandu menimang-nimang cincin itu di telapak tangannya. "Buatku benda ini sangat berharga.
Aku mohon kamu jangan memberikannya lagi pada orang lain."
"Aku tidak... Aku cuma..." Niken terbata-bata tak tahu harus berkata apa.
"Kamu tahu" Kamu sangat berarti bagiku, Fei. Bagaikan nafas untuk paru-paruku. Aku
mengira aku juga seperti itu bagimu. Selama ini aku mengira kamu membutuhkanku. Baru
kusadari betapa aku salah."
"Omong kosong apa ini, Ndu" Atas dasar apa kamu bilang aku nggak butuh kamu" Kamu kira
aku ngapain di sini" Bahkan aku besok lusa ada ujian." Niken jengkel karena kata-kata Pandu
terus memojokkan dirinya.
"Aku lihat kamu memang sudah nggak butuh aku. Akui saja. Kamu lebih membutuhkan Sadu,
yang siap menolongmu kapanpun juga. Aku sama sekali nggak menyalahkanmu. Aku sadar
memang aku nggak bisa membantumu."
"Kamu tahu, aku bahkan bolos ujian tadi pagi."
"Jangan membuatku merasa bersalah. Kali ini nggak akan mempan." Pandu berlagak acuh.
Sebetulnya dengan satu kalimat yang barusan Niken laporkan, Pandu sudah langsung merasa
khawatir nilai-nilai Niken akan tambah terpuruk. Pandu tahu, bagi Niken bolos kuliah memang
bukan hal yang baru, tapi bolos ujian baru kali ini terjadi.
Sekalipun Niken merasa kata-kata Pandu benar-benar tidak masuk akal dan tidak tersirat ada
niatan untuk merekonsiliasi hubungan mereka, ia diam saja karena tidak ingin makin
mengobarkan api pertengkaran.
"Kamu sudah minta ujian ulang?" tanya Pandu kemudian.
Niken mengangkat bahu. Ia bingung apakah mesti memberitahukan bahwa Sadu sudah
menggantikannya ikut ujian. Ia tidak tahu bahwa Pandu sangat mudah membaca gelagatnya.
"Kenapa kamu lantas diam saja" Apa yang ingin kau katakan?"
Niken makin mengkeret. Ia merasa kalau dia memberitahukan hal itu pada Pandu, pasti Pandu
bertambah marah. Tapi kalau tidak memberitahukannya, Pandu sepertinya juga akan marah.
Melihat Niken diam beberapa lama, Pandu lalu berkata, "Sejak kapan kamu takut padaku, Fei"
Bilang saja, takut apa?"
"Mungkin aku tidak perlu ujian ulang." Niken akhirnya memutuskan untuk jujur saja. Daripada
bohong lalu ketahuan di kemudian hari, malah tambah runyam nantinya.
"Koq bisa" Kamu ijin sakit?" tanya Pandu heran. Ia tahu tidak semudah itu mengundurkan diri
dari ujian. "Ada orang bodoh yang tidak menuliskan namanya sendiri di lembar jawabannya, malah
menulis namaku." "Sadu?" tebak Pandu. Niken menjawab dengan menganggukkan kepalanya.
Pandu sudah yakin sekali tebakannya seratus persen betul walaupun tidak dijawab dengan
anggukan itu sekalipun. Ia tahu, siapa lagi yang mau berbuat seperti itu demi Niken" Dari
awal melihat Sadu, ia sudah merasakan ada cinta di sorotan mata Sadu saat memandang
Niken. Justru itulah sebabnya ia marah pada Niken, karena Niken begitu polos tidak
menyadarinya. Justru itu pula ia ingin Niken tidak meneruskan niat balas dendamnya, karena
itu hanya akan membuat Niken semakin dekat dengan Sadu. Semurni apapun tujuan awalnya,
Sadu tidak bisa memungkiri dirinya sendiri bahwa ia sangat mencintai Niken. Pandu merasa
hanya masalah waktu saja, Niken akan dengan mudah direnggut dari sisinya.
Pandu lalu menundukkan kepalanya, menyembunyikannya di antara kedua lengannya yang
diletakkannya di atas lututnya. Rasanya kepalanya sudah mau meledak. Semalam, seperti
Niken, ia juga tidak bisa tidur. Karena itulah pagi-pagi ia sudah memutuskan untuk datang lagi
pada Niken untuk mengajak Niken melupakan semua perkataannya dan kembali padanya.
Tapi rasanya sekarang ia menyadari jelas sudah tidak mungkin. Ia dihadapkan lagi pada
kenyataan yang begitu pahit. Cinta mereka sudah digerogoti oleh virus aneh yang bernama
Sadu. Tidak ada obat penawarnya.
"Kamu pulang saja, Fei. Buat apa kamu terus di sini?" Suara Pandu terdengar penuh keputusasaan.
"Kenapa kamu bilang begitu" Aku nggak akan pergi sebelum masalah ini selesai."
"Masalah ini tidak akan selesai." keluh Pandu. Ia lalu seperti mendapatkan ilham dari kata-kata
Niken barusan. "Kamu mau masalah ini selesai" Aku akan selesaikan sekarang juga." Pandu
lalu berdiri, dengan mudah ia mengangkat tubuh Niken dari atas bangku itu untuk berdiri.
"Pergi. Pergi sekarang. Bawa ini." Pandu memberikan toe-ring yang sedari tadi digenggamnya
itu kepada Niken. "Lupakan aku. Sekarang ini cuma Sadu yang bisa membantumu. Pergilah
padanya. Ia juga sangat mencintaimu." Pandu mendorong-dorong Niken untuk pergi. Niken
yang tidak bisa melawan dorongan Pandu itu mau tak mau terus mundur selangkah demi
selangkah dengan terseret-seret.
"Kamu gila, Pandu! Kalaupun Sadu memang mencintaiku, aku..."
Pandu tidak mengijinkan Niken menyelesaikan kata-katanya. "Tidak mencintainya, kan" Aku
tahu. Pergilah. Ini yang terbaik buat kita. Kalau kamu terus begini kita cuma akan saling
menyakiti, dan pada akhirnya kamu akan membenciku, dan mungkin malah lebih mencintai
Sadu." Tidak lama kemudian mereka sudah sampai di depan pintu mobil Niken. Pandu merebut kunci
mobil Niken dari tangan Niken, lalu membuka pintu mobil itu, dan mendorong paksa Niken
masuk ke dalamnya, dan menstater mobil itu.
Niken terus berteriak-teriak histeris tidak ingin pulang. Pandu tidak mempedulikannya, ia lalu
menutup pintu mobil dari luar. Niken masih tetap berusaha membuka pintu itu dari dalam, tapi
Pandu juga menahannya dari luar. Tidak kekurangan akal, Niken membuka jendelanya. Ia
bermaksud ingin melompat keluar lewat jendela. Pandu menghalang-halangi niat Niken
dengan badannya. "Niken...!" kata Pandu dengan suara keras. "Dengarkan aku," kata Pandu setelah melihat
Niken tidak kunjung putus asa melawannya. Air mata sudah mengalir di pipi Niken sejak mulai
berteriak-teriak tadi. Pandu lalu berlutut di luar mobil, sambil memegang kedua tangan Niken dari luar jendela.
"Dengar. Percayalah padaku, ini yang terbaik buat kita berdua. Berusahalah untuk
melupakanku. Aku juga akan begitu. Aku cuma minta satu hal. Cincin itu, jangan pernah kau
berikan pada orang lain..."
Niken sudah menangis terisak-isak. Rasanya ingin sekali ia memeluk Pandu dan menangis di
bahunya. Sambil membelai rambut Niken, lalu mengistirahatkan kedua tangannya di tengkuk Niken,
Pandu berkata dengan lembut, "Jangan menangis. Aku merasa, kita pasti akan bertemu lagi.
Saat itu, kau bisa ceritakan padaku betapa indah hidupmu, betapa kau berterima kasih atas
keputusanku hari ini. Lalu aku akan bercerita betapa hidupku sangat menderita tanpamu. Lalu
kamu akan menertawakanku. Percayalah, sayang. Ini semua aku lakukan untukmu."
"Kalau ini semua untukku, mengapa aku sekarang begitu sedih?"
Pandu tidak menjawab. Ia mengecup bibir Niken dengan lembut. Ia merasa ia perlu
melakukannya. Untuk dirinya, juga untuk Niken.
"Pergilah. Nggak lama, kamu akan bisa tertawa lagi. Aku tadi melihatmu begitu gembira
bercanda ria dengan Agung. Jadilah Niken yang seperti itu. Aku hanya bisa membuatmu sedih
dan menghalangi langkahmu."
Walaupun berkata demikian, Pandu masih belum juga melepaskan tangannya yang masih
memegang kepala Niken. Sepertinya tangannya itu pun masih belum rela untuk melepaskan
Niken. "Aku cuma ingin bergembira lagi bersamamu, Ndu..."
"Karena itu kamu harus pergi. Pergilah sekarang. Kejar cita-citamu, raih harapanmu.
Semuanya." Pandu lalu melepaskan tangannya dan berdiri lagi.
Melihat Niken terus menangis dan tidak terlihat akan segera pergi, Pandu lalu menggertaknya,
"Kalau kamu nggak pergi-pergi juga, aku sendiri yang akan membawamu ke Jakarta malam ini
juga." Niken bisa melihat kebulatan tekad Pandu dari matanya. Ia sama sekali tidak mempunyai
tenaga, keyakinan ataupun keberanian untuk melawannya. Tidak sanggup berkata apa-apa
lagi, ia lalu berusaha tersenyum walaupun dengan berderaian air mata tak tertahankan, lalu
melambaikan tangannya pada Pandu sebagai tanda perpisahan. Pandu sangat terharu melihat
Niken seperti itu, ia juga tersenyum, mengangkat dan melambaikan tangannya untuk
mengucapkan selamat tinggal. Lalu Niken membawa hatinya yang selaksa dihujani ribuan
panah itu pergi dari tempat itu.
* :: Sequel (Mata Elang) : Chapter 7
Sudah lebih dari tengah malam saat Niken sampai di Jakarta lagi. Malam itu saat membuka
pintu kamarnya, Niken melihat Sadu tertidur menelungkupkan kepala di atas meja belajarnya.
Niken sudah sangat lelah, badannya sangat membutuhkan tidur nyenyak, jadi ia sama sekali
tidak bermaksud membangunkan Sadu. Baru beberapa detik setelah Niken merebahkan kepala
di atas bantalnya, ia langsung tertidur.
Ketika ia bangun, hari sudah pagi. Sinar matahari telah tak sabar mengintip dari sela-sela
korden jendela. Ia heran melihat Sadu sudah tidak ada di kamarnya. Baru saja ia ingin
meletakkan kepalanya kembali untuk tidur sebentar lagi, matanya tertumbuk pada sesobek
kertas di atas meja sisi ranjangnya. Dipungut lalu dibacanya.
Selamat pagi, Niken. Kamu tidur lelap sekali. Aku sudah bangun dari tadi dan menunggumu bangun, tapi kamu sepertinya akan lama baru
bangun. Kenapa kamu tidak membangunkanku waktu datang kemarin malam"
Selamat sudah bisa menyambung kembali benang yang putus, aku nggak akan
mengganggumu hari ini. Terima kasih sudah menepati janjimu.
Sampai ketemu besok, jangan lupa ada ujian Farmakologi jam sembilan pagi.
Belajar!!! Ya, besok ada ujian Farmakologi. Tapi Niken tidak ada semangat sedikitpun untuk belajar. Ia
baru mau tidur lagi ketika tiba-tiba jam weker yang ada di meja belajarnya berbunyi.
Terkejutnya setengah mati. Ia merasa tidak pernah memasang weker itu semalam. Cepatcepat ia bangkit untuk mematikan jam weker yang berdering dengan nyaring di telinganya itu.
Jam setengah delapan pagi, gumamnya. "Whooaaa, masih pagi sekali," katanya sambil
menggeliat seperti cacing berjemur. Niken melihat buku diktat dan buku rangkumannya
tertumpuk rapi di atas mejanya tepat di tengah-tengah. Ada sesobek surat lagi di atas
tumpukan buku-buku itu. Aku tahu kamu pasti nggak akan bisa bangun untuk belajar. Sengaja aku pasang jam weker
ini supaya kamu bisa bangun.
Capek ya" Salah siapa pergi ke Bandung.(gambar lidah menjulur keluar). Tapi kamu harus
belajar. Ayo bangun! Sikat gigi sana, itu mulut bau, tau!(gambar lidah menjulur keluar lagi.)
Niken mengomel dalam hati. Bisa-bisanya Sadu menulis surat seperti ini. Ia lalu mencoba
membaui mulutnya dengan mengatupkan tangannya membentuk tempurung di depan
mulutnya. Memang perlu menggosok gigi, kalau tidak nanti bisa pingsan sendiri waktu
menghafal nama-nama obat-obatan yang memusingkan itu.
Setelah mandi dan menggosok gigi, ia lalu duduk di kursi meja belajarnya. Masih belum ada
semangat untuk belajar. Setelah memaksakan diri, dibukanya buku rangkumannya. Ia kaget
melihat buku itu sudah penuh coretan highlighter. Ada secarik kertas lagi yang dilipat dua dan
diselipkan di halaman pertama.
Yay!!! Akhirnya kamu belajar juga.
Nah, gitu dong, jangan malas.
Aku sudah memberi tanda di bagian yang penting-penting yang harus dihafal, yang menurutku
bakal keluar di ujian besok. Kalau kamu sudah bisa menghafal semua sesuai petunjukku,
dijamin ujian besok bisa lulus.
Oya, terimakasih buku rangkumanmu ini komplit sekali, lebih sakti dari primbon. Lain kali aku
fotocopy punyamu saja, ya.
Mau tak mau Niken tersenyum. Ia tidak mengira akan bisa tersenyum lagi setelah kejadian
kemarin. Memang hari terus berganti tidak peduli ia sedang sedih atau tidak. Yang terpenting,
besok ada ujian dan Sadu memang benar, ia harus belajar. Ia mengira tidak dapat hidup
tanpa Pandu, tapi nyatanya hidup tetap berjalan. Matahari masih tetap terbit, angin masih
tetap bertiup, dan besok ujian Farmakologi tetap ada. Lagipula, siapa tahu Pandu berkata
benar, suatu hari nanti, mungkin, jika mereka memang ditakdirkan untuk bertemu lagi di
tempat dan waktu yang berbeda, keadaan akan sudah berubah.
"Semoga saja hari itu akan ada," doa Niken sambil membuka halaman kedua buku
rangkumannya. Niken bingung melihat bukunya sudah penuh coretan tulisan tangan Sadu dengan
menggunakan pensil. Kebanyakan Sadu menulis bagian di rangkuman "yang ini ada di buku
diktat yang ini di halaman sekian". Atau "perhatikan gambar atau diagram penting di buku
diktat untuk mempermudah hafalan yang ini". Halaman-halaman penting buku diktat juga
penuh tulisan serupa. Di setiap akhir pembahasan, Sadu selalu menyelipkan pertanyaan ulasan
untuk mengetes apakah Niken benar-benar sudah mengerti. Lalu pesan-pesan seperti, "Sudah
mengerti?", atau "Sekarang boleh istirahat 10 menit, ngemil itu penting, lho".
Belajar seperti ini bagi Niken sangat mengasyikkan karena materinya cepat masuk ke otak,
seperti ada tutor yang membimbingnya selangkah demi selangkah. Sebentar saja tidak terasa
sudah lima dari keseluruhan tujuh bab dilalapnya habis. Terkadang ia berhenti dan teringat
peristiwa kemarin di Bandung, tapi coretan highlighter Sadu warna-warni menarik
perhatiannya, menahannya untuk tidak berlama-lama larut dalam lamunannya.
Kira-kira jam lima sore, teleponnya berdering. Niken cepat-cepat lari mengambil teleponnya
yang ada di meja sebelah ranjangnya. Tanpa melihat layar teleponnya, ia langsung menerima
telepon itu. "Ndu?" kata Niken waktu menjawab telepon itu.
"Sorry... bukan Pandu, ini cuma aku. Aku tidak menyangka kamu akan pulang kemarin malam.
Aku kira kamu bakalan menginap di sana." Rupanya bukan Pandu melainkan Sadu. Oh,
kenapa nama mereka begitu mirip, memikirkannya saja lidah dan otak Niken seperti
terpelintir. "Aku kan sudah janji. Lagipula Pandu sudah tidak menginginkanku. Untuk apa aku berlamalama di sana?"
"Bukannya kamu kemarin ke sana untuk menjelaskan semuanya?" Sadu bingung atas jawaban
Niken. "Iya, tapi aku gagal..." ujar Niken dengan nada mengeluh. "Sudahlah jangan ungkit-ungkit lagi
persoalan ini. Ada apa kamu menelepon?"
"Kamu butuh aku ke sana?" tanya Sadu kuatir Niken akan seperti hari sebelumnya. Mogok
makan, mogok belajar. "Nggak." sahut Niken. "Jangan ganggu. Aku sedang belajar." tolak Niken. Ia ingin
menunjukkan bahwa ia bisa mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan Sadu.
"Sungguh" Sungguh belajar?" Sadu tidak lantas percaya begitu saja. Dia masih ingat dua hari
yang lalu Niken kukuh sekali tidak mau menyentuh apalagi membuka buku-bukunya. Sadu
waktu pulang tadi mengira Niken akan semangat lagi belajar setelah hilang ngantuknya karena
sudah berbaikan lagi dengan Pandu. Tapi sepertinya masalahnya sudah bertambah parah.
Berarti semangat belajar Niken juga akan menurun ke tingkat yang lebih gawat lagi.
"Kamu tidak percaya" Tinggal satu bab lagi selesai. Menurutku kamu berbakat jadi tutor.
Besok kalau lulus daftar saja di UI jadi dosen. Siapa tau nanti bisa jadi Prof."
"Kamu belajar menurut catatanku?" selidik Sadu. Ia masih tidak percaya. Bahkan ia sudah
siap-siap mau berangkat ke rumah Niken. Kunci sepeda motor sudah ada di genggamannya.


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tanya," Niken berlagak main tebak-tebakan. "Kalo hasil lab ESR-nya tinggi, berarti apa?"
"Oke." Sadu mengerti maksud Niken. "Kalau kamu bisa menjawabnya sendiri, aku percaya
kamu sudah banyak mengerti."
Niken tersenyum puas. Ini memang bukan soal yang sulit kalau sudah belajar. "Berarti ada
infeksi atau gangguan pada sel darah merah. ESR adalah laju endap darah yang menunjukkan
kecepatan mengendapnya darah."
Sadu manggut-manggut. Ia meletakkan kembali kunci sepeda motor di atas meja.
"Bagaimana" Sudah percaya?"
"Bagaimana kalau SGPT dan alkaline fosfatnya tinggi...?" tanya Sadu.
Niken langsung menjawab dengan mantap, "Berarti ada gangguan dalam fungsi hati. Hasil
MCU yang lain juga harus dilihat untuk memastikan adanya gangguan hati, yaitu pemeriksaan
protein total, bilirubin total, SGOT, gamma GT. Puas sama jawaban saya, Pak Dosen?"
Sadu tergelak. Nada suara Niken saat mengatakan "Pak Dosen" rasanya mengejek sekali. Tapi
dia sangat puas Niken bisa menjawab dengan benar. Berarti usahanya kemarin seharian tidak
sia-sia. "Bagus kalau kamu sudah paham," ujar Sadu kemudian. "Malam ini sebaiknya kamu tidur lebih
awal supaya besok bisa bangun."
"Baik, Pak." * Jam sembilan kurang sepuluh. Peserta ujian sudah diperkenankan masuk ruang ujian lima
menit yang lalu, tapi Niken masih belum nampak batang hidungnya. Hal itu tentu saja
membuat kuatir Sadu. Jangan-jangan Niken akan tidak datang lagi seperti dua hari yang lalu.
Sadu juga sudah berada di dalam ruang ujian. Ia sudah siap-siap menghafalkan nomor ujian
Niken lagi, ketika dilihatnya Niken lari-lari menuju ruang ujian.
"Anak gila. Ujian bisa-bisanya terlambat!" gerutu Sadu. Tapi tak ayal dia lega sekali karena
Niken sudah datang. Berarti Niken masih peduli pada masa depannya, dan masalah Pandu
sudah tidak mempengaruhinya lagi.
Waktu Niken lewat melalui mejanya, Sadu berbisik, "Kenapa telat, non?"
"Berisik ah!" Cuma itu jawaban Niken yang lalu cepat-cepat duduk dan mengatur nafasnya yang masih
tersengal-sengal karena berlari-larian tadi. Bodoh sekali kemarin malam dia salah menyetel
jam wekernya bukan jam tujuh pagi tapi jam tujuh malam. Jadi ketika terbangun, sudah jam
delapan lebih dua puluh menit. Panik setengah mati, Niken lantas cepat-cepat menggosok gigi
dan cuci muka, lalu langsung berangkat ke kampus. Bahkan ia tidak ingat apakah ia sempat
mengunci pintu mobilnya saat turun tadi. Tapi ia berusaha untuk tidak memikirkan hal itu. Toh
tidak ada benda-benda berharga di dalam mobilnya.
* Sadu menertawakan kebodohan Niken saat Niken menceritakan apa yang terjadi pagi tadi
sambil berjalan di lapangan depan.
"Jadi kamu belum mandi?"
"Pikirmu?" "Pasti belum!" Sadu tertawa lagi. "Pantas saja baunya minta ampun nih!" Sadu mengibasibaskan tangannya di depan hidungnya.
"Oh, minta dihajar?" ancam Niken sambil mengangkat tangannya. Sayang sekali saat itu dia
tidak membawa buku diktat yang tebal-tebal itu. Kalau ada buku diktat pasti sudah
digebuknya Sadu tanpa ampun. Berhubung hari ini cuma ada ujian, Niken tidak membawa
apapun selain kartu mahasiswa dan alat tulis. Ia bahkan tidak membawa dompet lantaran tadi
terlalu tergesa-gesa. Sadu cepat-cepat mengambil langkah seribu guna menghindari bogem Niken di pantatnya.
Niken mengejarnya. Biarpun badannya kecil mungil, tapi kalau hanya soal kejar-mengejar
bukanlah masalah yang berat untuknya. Tadi pagi dia sudah pemanasan pula. Rupanya Sadu
cukup gesit. Berkali-kali Niken hampir berhasil menangkapnya tapi berkali-kali pula ia berhasil
menghindarkan diri. Sadu benar-benar harus lari sekencang mungkin jika dia mau lepas dari
kejaran Niken. Dan itu tidaklah mudah.
"Cukup, Niken... Cukup..." kata Sadu sambil masih berlari. Kalau berhenti pasti Niken akan
menghajarnya. Tiada jalan lain selain terus berlari. "Kamu belum lelah-lelah juga
mengejarku?" "Awas kalau sampai tertangkap pasti aku habisi."
Sudah saatnya untuk minta ampun. Nafas Sadu sudah hampir putus. Paru-parunya butuh
sumbangan ransum oksigen. Dari mana mendapatkannya kalau terus-menerus lari begini"
"Kau boleh memukulku. Tapi sekali saja." kata Sadu menawarkan gencatan senjata.
"Tidak ada tawar-menawar. Sudah loyo yah?" ejek Niken merasa lawannya sudah hampir
menyerah dan mulai siap-siap mengibarkan bendera putih.
Sambil terus berlari, Sadu menghadap ke arah belakang, ke arah yang mengejarnya. Gerakan
tangannya memohon ampun, tapi masih terus berlari.
"Buk!" Sadu menabrak orang karena tidak memperhatikan jalan saat berlari. Sedetik kemudian
Niken hampir berhasil menangkapnya dan baru saja ia hendak memukul pantat Sadu dengan
tasnya, ketika... "Dion!" Sadu terkejut karena menabrak orang, dan lebih terkejut lagi melihat orang yang
ditabraknya ternyata adalah kakaknya sendiri, yang notabene bukan mahasiswa UI.
Tangan Berbisa 14 Pendekar Kelana Sakti 12 Dua Pendekar Buntung Mobil Hantu 2

Cari Blog Ini