Ceritasilat Novel Online

Thalita 2

Thalita Karya Stephanie Zen Bagian 2


ya!" serunya marah. "Gue mau pulang!"
Darius keluar dari kamar Andra, bergegas pulang sebelum dia terpaksa jatuh dua
kali dalam lubang yang sama. Kalau itu sampai terjadi, perjuangannya selama ini di
panti rehab nggak bakal ada artinya. Semua tangis dan kekecewaan ortunya juga bakal
sia-sia. Di dalam kamarnya, Andra memikirkan lagi semua ucapan Thalita. Senyum Thalita,
permohonan-permohonannya supaya Andra mau masuk rehab, caranya tertawa, setiap
kejadian waktu mereka jalan bareng, dan tiap tetes air mata cewek itu yang harus
tumpah gara-gara Andra. Tapi tubuhnya tak bisa melawan. Setiap pembuluh darahnya menuntut, dan dia
menyerah. Bubuk-bubuk putih itu mulai merasuki tubuhnya tanpa kendali"
*** Thalita masuk ke kamar dan menjatuhkan diri di ranjang. Sepanjang perjalanan pulang
tadi dia nggak bisa berhenti menangis, sampai pandangannya kabur dan berkali-kali
dia nyaris menabrak mobil di depannya, atau keluar dari jalur jalan yang seharusnya.
Beberapa kali juga dia diklakson habis-habisan oleh mobil-mobil di belakangnya yang
emosi karena mobil Thalita nggak juga jalan walaupun traffic light sudah berubah dari
merah menjadi hijau. Bagaimana caranya dia bisa sampai di rumah dengan jiwa masih
dalam raganya, Thalita sendiri nggak tahu. Kalau orang melihat caranya menyetir tadi,
dia seharusnya nggak selamat.
Kenapa sih, pikir Thalita, kenapa gue nggak mati aja tadi di jalan" Kalau gue mati,
gue nggak perlu sakit hati mikirin ini semua" Kenapa juga Andra harus datang lagi"
Apa nggak cukup dia nyakitin hati gue" Gue masih sayang banget sama dia, tapi gue
nggak mau ambil risiko dengan balikan. Hubungan kami pasti bakal suram, dan dia
pasti bakal nyakitin gue seperti dulu lagi"
Tangis Thalita semakin membanjir karena ingat wajah pucat Andra begitu Thalita
bilang dia sudah punya pacar lagi. Mantannya itu kelihatan" entahlah, seperti
kehilangan semangat hidup, padahal Thalita kan bohong. Dia belum punya pacar lagi,
bahkan gebetan pun nggak punya. Hatinya sudah terlalu banyak dipenuhi nama
Andra, tak ada ruang lagi untuk nama lain. Bagaimana mungkin dia bisa punya pacar
lagi" Dan tiba-tiba Thalita terpikir sesuatu yang tadi sama sekali nggak dipikirkannya.
Bagaimana kalau Andra sakit hati karena Thalita udah punya pacar baru, dan dia"
berbuat sesuatu yang bodoh"
Ah, nggak mungkin, pikir Thalita getir. Andra bukan orang kayak gitu"
Dan mungkin Thalita seharusnya melakukan ini sejak dulu, karena Andra toh lebih
sayang drugs-nya daripada Thalita. Bukankah seharusnya sekarang dia bersyukur
karena bisa benar-benar lepas dari cowok itu"
Thalita menyusut air matanya. Dia nggak boleh begini terus. Dia sudah melepaskan
diri dari Andra, dan sekarang dia HARUS melepaskan diri dari bayang-bayang cowok
itu juga. And when you slammed the front door shut
A lot of others opened up
So did my eyes so I could see
That you never were the best for me
Well, I never saw it coming
I should"ve started running
A long, long time ago And I never thought I"d doubt you
I"m better off without you
More than you, more than you know
I"m slowly getting closure
i guess it"s really over
I"m finally getting better
And now I"m picking up the pieces
I"m spending all of these years
Putting my heart back together
"Come the day I thought I"d never get through,
I got over you (Over You " DAUGHTRY)
LIMA "Dimakan dong makanannya, Ndra."
Andra mengaduk-aduk makanan dalam piring yang ada di hadapannya dengan
nggak bersemangat. "Kenyang, Pa?"
"Lho, dari tadi kamu kan belum makan apa-apa?" tegur Tante Retno lembut. Entah
kenapa wanita ini, meskipun Andra selalu menjahatinya, dia malah menyayangi Andra
seperti anaknya sendiri. Andra melirik wanita itu dengan galak, membuat Tante Retno jadi bungkam dan
nggak berani ngomong apa-apa lagi.
Weekend ini Andra memang diminta Papa menginap di rumah beliau yang baru.
Sebenarnya Andra nggak mau, apa lagi alasannya kalau bukan karena di sana ada
Tante Retno dan Ayu, dua manusia yang paling dibencinya di muka bumi ini. Tapi
entah kenapa Papa memaksa, bikin Andra jadi bingung sendiri.
Memangnya Papa nggak takut kalau selama gue nginep di sana, gue bakal
memengaruhi Rio buat nyicipin narkoba" pikir Andra jengah. Yah, memang sih Andra
amat sangat nggak mungkin melakukan itu, soalnya dia kan sayang banget sama Rio.
Gila aja kalau dia sampai tega mencekoki adiknya sendiri dengan narkoba.
Kalau Ayu" Well, sebenarnya pikiran Andra untuk mencekoki Ayu narkoba itu
ingin juga dicobanya. Hitung-hitung membalaskan kekesalannya karena Ayu dan
ibunya berani merangsek masuk dalam kehidupan keluarga Andra.
"Ayu mana?" tanya Papa ke Tante Retno, berusaha mengalihkan pembicaraan ke
topik lain karena menyadari suasana dingin yang menyergap setelah Andra menatap
Tante Retno penuh kebencian. Itu juga membuyarkan lamunan jahat Andra tentang
niatnya berusaha mencekoki Ayu dengan narkoba.
"Tadi sih di atas, Mas. Katanya sih tadi sore udah makan waktu main di rumah
temannya. Apa mau saya panggilkan?"
"Nggak usah, mungkin dia memang sudah kenyang."
"Biar Andra yang panggil, Pa," kata Andra menawarkan diri. Mungkin sehabis
memanggil Ayu nanti dia bisa langsung menyelinap ke kamarnya dan nggak perlu ikut
makan malam lagi. Dia sudah muak sama Tante Retno dan semua kepalsuannya!
Atau mungkin dia bisa mulai mengiming-imingi Ayu dengan narkoba juga"
Hmm" "Tapi, Ndra"," Tante Retno berusaha mencegah. Dia tahu Andra benci sekali
padanya dan Ayu. Aneh kalau sekarang Andra mau memanggilkan Ayu, kalau dia
memang nggak punya maksud tersembunyi.
"Nggak apa-apa, Tante. Tante di sini aja, nikmati makanannya, dan semua yang
sudah Tante curi dari keluarga saya!" kata Andra ketus, lalu segera berjalan cepat
menuju tangga. Hampir saja Papa menyusul untuk memarahi Andra, tapi ditahan oleh Tante Retno.
*** "Bah, lo masih make rupanya?" tanya Agus kasar.
Andra menatap laki-laki berewokan di depannya itu dengan tatapan kosong. "Ada
stok nggak, Bang?" "Lo ada duitnya berapa?"
Andra menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribuan, uang jajannya untuk
bulan itu. "Yakin nih, cuma segini?" tanya Agus meremehkan.
"Ya adanya cuma itu, gimana dong?"
"Babe lo kan tajir, Ndra!"
Andra mendengus. "Babe, Babe" kalo Papa tahu gue minta duit untuk nyabu, gue
bakal langsung dijeblosin ke tempat rehab! Bisa gila gue di sana!"
Agus tertawa ngakak. "Lha, temen lo itu, siapa namanya" Itu" yang udah tobat
itu"!" tanya Agus sambil berusaha mengingat-ingat.
"Darius, Bos!" sahut Bejo, salah satu anak buah Agus.
"Ah, ya! Darius! Nama aja macho, tapi kelakuan bencong! Dia udah keluar dari panti
rehab belon?" "Udah. Udah tobat," sahut Andra.
"Dia nggak gila, kan?"
Andra menggeleng. "Berarti panti rehab itu kagak bikin orang jadi gila, Ndra! Bego lo!" Agus ngakak
semakin keras. Andra menuang isi bir yang ada di atas meja ke dalam salah satu gelas dan
menghabiskannya sekali tenggak.
"Udah deh, Bang! Hari ini gue nggak punya banyak waktu. Gue nginep di rumah
Papa sampai besok. Kalo hari ini gue pulang telat, Papa pasti curiga. Jadi mending
cepetan kasih barangnya deh!"
"Wah" takut lo sama babe lo?" tanya Agus geli.
Andra nggak menjawab pertanyaan itu.
"Terus, kabar cewek lo gimana" Yang katanya ngebujuk lo biar bisa berhenti make
itu?" Andra menenggak bir lagi, kali ini langsung dari botolnya. "Gue udah putus sama
dia." "Nah, akhirnya lo berani juga mutusin cewek tukang ngatur macem dia!" puji Agus
senang. Dia memang sebal banget sama mantan cewek Andra yang tukang ngatur itu.
Gara-gara cewek itu, Andra jadi jarang beli barang. Pemasukan Agus kan jadi
berkurang! "Orang gue yang diputusin!" gerutu Andra keki.
Agus melotot. "Hah" Dasar tolol lo! Kenapa lo kagak mutusin dia duluan, hah?"
"Gue tuh sayang sama dia, Bang. Kalo bukan karena badan gue nagih sabu terus,
gue pasti udah nurutin kata-kata cewek gue itu!" protes Andra kesal.
"Mantan cewek lo, tau! Bukan cewek lo lagi!"
"Terserah deh!" Andra mengusap bir yang menetes di dagunya dengan punggung
tangan. "Mana barangnya?"
"Bejo, ambilin barang buat Andra!" perintah Agus.
Bejo keluar dari ruangan itu, dan sesaat kemudian datang kembali sambil membawa
beberapa paket ukuran medium yang diserahkannya ke Agus, tapi dengan ekspresi
menahan tawa yang teramat sangat.
Andra mengerutkan keningnya dan menoleh ke arah Agus, tapi ternyata tampang
Agus nggak jauh beda. Andra memperhatikan wajah para bodyguard lain di ruangan
itu, dan ekspresi mereka semua juga setali tiga uang.
"Abang ngetawain apa sih?" tanya Andra penasaran.
"Ya ngetawain lo! Ngetawain apa lagi"! Hahaha?"
"Kenapa gue diketawain" Tampang gue ada yang aneh?"
"Bukan tampang lo, tapi nasib lo! Kesian amat lo ditinggal cewek cuma gara-gara
barang ini!" Agus melemparkan paket-paket yang tadi diambilkan Bejo ke arah Andra
dan tawanya meledak. Begitu juga semua bodyguard di ruangan itu. Yang tadinya cuma
mesem-mesem, sekarang udah ngakak abis-abisan. Andra berusaha cuek dan keluar
dari ruangan itu dengan tampang biasa, tapi hatinya perih.
Sungguh, kalau dia sanggup, dia kepengin banget meninggalkan semua ini dan
kembali pada Thalita, tapi dia nggak bisa. Tubuhnya menderita jika tak menghirup
semua bubuk putih itu. Sakitnya tak tertahankan.
*** Thalita menutup presentasi makalahnya dengan senyum mengembang. Semua
pertanyaan dari Pak Lukas, atau dari teman-teman di kelas pelajaran Agama itu bisa
dijawabnya dengan jawaban yang tepat. Darren yang partner sekelompoknya juga
tersenyum puas. Jawaban-jawaban yang diberikannya nggak kalah bagus. Dia
menguasai banget materi untuk presentasi kali ini, dan Thalita jadi kagum sama cowok
itu. Thalita memang sudah nggak terbeban lagi untuk menepati janjinya pada Tatyana,
karena janji itu sudah di-cancel. Dan entah kenapa, setelah itu dia malah merasa jadi
lebih enjoy berada di dekat Darren. Rasanya semua tekanan yang mengimpitnya selama
ini udah hilang, dan dia jadi nggak harus melakukan "manuver-manuver" untuk
pedekate sama Darren cuma karena terbeban janjinya pada Tatyana itu.
Sepertinya semua jadi terasa lebih mudah sekarang, termasuk kerja sama dalam
makalah itu dengan Darren. Dan Thalita baru sadar, setelah semua perasaan
terbebannya itu hilang, ngobrol-ngobrol sama Darren ternyata bener-bener fun. Cowok
itu enak diajak ngobrol apa aja, terutama soal sepak bola. Tiap Senin pagi, mereka
berdua pasti udah heboh membahas pertandingan sepak bola liga-liga top Eropa
weekend sebelumnya. Kadang-kadang debat kusir kalau tim jagoan mereka bukan tim
yang sama. Singkatnya, pembatalan "perjanjian" itu malah membuat Thalita bisa akrab
dengan Darren, dan kali ini akrab yang bener-bener akrab, bukan karena terpaksa.
Padahal nih, gara-gara melihat idola mereka bisa segitu gampangnya akrab sama
cewek "biasa-biasa aja" macam Thalita (apalagi saat ngobrolin sepak bola), separuh
cewek SMA Persada Bangsa jadi rela begadang dan terkantuk-kantuk di depan TV tiap
Sabtu dan Minggu subuh, nonton pertandingan sepak bola yang sama sekali nggak
mereka mengerti. Dan itu cuma supaya mereka bisa sok nyinggung-nyinggung tentang
bola juga di depan Darren hari Senin-nya!
Darren lempeng aja menghadapi semua tingkah gila cewek-cewek itu, karena dia
tahu mereka itu sebenarnya nggak ngerti bola, dan melakukan hal gila macam itu cuma
untuk menarik perhatiannya. Cuma, Darren agak surprised juga karena nggak nyangka
dia bisa membuat segitu banyak cewek rela punya "mata panda" di hari Senin pagi
akibat mantengin bola subuh harinya. Kok bisa ya" pikir Darren heran.
Tapi gimanapun akrabnya Thalita sama Darren, masih ada serangan rasa bersalah
yang menghampiri Thalita jika sedang terlibat obrolan yang menyenangkan dengan
cowok itu. Seperti ada sosok Andra yang hadir tiba-tiba, memaksa Thalita untuk nggak
melupakannya. Dan setiap kali itu terjadi, Thalita bisa merasakan ia langsung menarik
diri dari obrolannya dengan Darren. Entah dengan cara memutus pembicaraan dengan
segala macam alasan, atau jadi menjawab seadanya jika ditanya. Pagar pembatas
bernama Andra itu terlalu kuat mengelilinginya.
"Nah, Darren, Thalita, kalian boleh duduk," kata Pak Lukas sambil bertepuk
tangan. Presentasi mereka memang dapat giliran paling akhir, dan sekarang sudah
hampir waktunya bel pulang.
Darren dan Thalita berjalan ke bangku masing-masing. Tatyana sempat mengedip
pada Thalita sebelum cewek itu duduk, yang dibalas Thalita dengan cengiran nggak
jelas. Presentasi kelompok Tatyana dan Sugeng tadi diwarnai oleh tatapan mupeng
cowok-cowok saat giliran Tatyana, dan tatapan terpesona cewek-cewek saat giliran
Sugeng. (Dalam hal ini cewek-cewek itu ya cuma Nita, karena Tatyana ada di depan
kelas, Thalita nggak lagi tertarik sama cowok, dan Verina sibuk sendiri sama pacarnya.)
"Nilai presentasi dan makalah kalian semua akan Bapak umumkan minggu depan,"
Pak Lukas mengumumkan. "Secara keseluruhan, kerja kalian sudah bagus sekali, dan
ternyata cukup kompak biarpun ada kelompok yang kelasnya berbeda. Yah, mungkin
ke depannya Bapak bakal memberikan banyak tugas kelompok begini."
Bel pulang berdentang, memutus pidato Pak Lukas.
"Nah, kita sambung minggu depan, ya." Pak Lukas rupanya cukup tau diri untuk
nggak meneruskan pidatonya. Lagi pula, dia nggak segitu butanya sampai nggak bisa
melihat beberapa muridnya yang sudah berdiri sambil menenteng tas masing-masing.
Yang ada dia bakal dicaci maki kalau masih terus nekat meneruskan pidatonya.
"Hei, makasih ya!"
Darren tiba-tiba sudah berdiri di depan meja Thalita, membuat Thalita yang lagi
sibuk membereskan barang-barangnya mendongak sesaat.
"Buat apa?" "Ya karena lo udah bikin susunan makalah yang bagus banget. Gue seneng dapat
partner kayak lo." Darren tersenyum lebar, sementara Thalita melihat seisi kelas yang
ternyata hanya tinggal mereka berdua. Rupanya yang lain-lain sudah pada cabut
duluan. "Oh" itu juga kan karena lo bisa dapetin bahan makalah yang bagus. Kalau nggak
ya gue nggak bisa bikin makalah yang oke juga. Harusnya gue yang bilang thanks ke
lo?" "Hmm" gue punya ide nih, itu juga kalau lo nggak keberatan sih?"
"Apa dulu?" "Gue pengin nraktir lo. Yah" ngopi, ngeteh, atau nongkrong gitu. Anggap aja buat
ngerayain kerja sama pertama kita yang sukses, gimana?"
Thalita terpana. Dia memang akrab sama Darren akhir-akhir ini, tapi tetap dalam
batas teman ngobrol aja, itu juga cuma di sekolah. Tapi sekarang" kok Darren ngajak
kencan" "Jangan tersinggung atau apa, Tha, tapi gue bener-bener cuma pengin nraktir lo
terus ngobrol-ngobrol gitu aja. Tadi pagi kita belum selesai ngebahas Roma lawan Inter
Milan semalam, kan" Lebih enak ngobrol di kafe, lagi, daripada di sekolah?"
Thalita tercenung. Rasa bersalah yang sangat dikenalnya, yang selalu muncul jika ia
dekat dengan Darren, sedang menikamnya lagi. Bayangan Andra yang mungkin
sedang berjuang melawan narkobanya (walaupun kemungkinan itu sangat kecil,
mengingat pengakuan Andra saat terakhir Thalita bertemu dengannya), sementara
Thalita enak-enakan hang-out sama Darren, menghantamnya begitu hebat.
"Wah, kayaknya lo keberatan, ya" Ya udah nggak papa. Sori gue udah bikin lo
bingung. See you tomorrow." Darren beranjak dari tempatnya berdiri.
"Eh" tunggu!" panggil Thalita. Mendadak, kali ini saja, ia ingin mengabaikan
bayangan Andra dalam benaknya. Sekali ini saja ia ingin bebas dari serangan rasa
bersalah itu. Dia kan bukannya mau kencan sama Darren, tapi cuma mau ngobrolngobrol aja. Lagi pula benar kata Darren, debat kusir mereka tadi pagi soal Roma vs.
Inter Milan belum selesai! "See you tonight deh. Coffee Bean PIM, seven o"clock, gimana?"


Thalita Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alis Darren terangkat, sebelum akhirnya dia nyengir lebar. "Sounds great."
*** Thalita pucat pasi. Gelas Jasmine Milk Tea yang ada dalam genggamannya nyaris
meluncur turun ke lantai Coffee Bean, kalau aja nggak ditahan Darren.
"Lo kenapa, Tha?" tanya Darren cemas.
"Gue" ada mantan gue?" Thalita menunduk, bulu kuduknya berdiri, dan dia
sama sekali nggak berani menatap ke arah Andra dan Darius yang baru saja melangkah
memasuki Coffee Bean. Thalita juga nggak tau apa cowok itu udah melihatnya ada di
sini. "Mantan lo" Mantan lo yang mana?"" Darren mengedarkan pandangannya ke
seluruh Coffee Bean, dan entah kenapa bisa dengan tepat menebak sosok Andra.
"Cowok pakai kaus putih yang baru masuk itu?"
Thalita mengangguk, gemetar. "Kita" kita pergi aja dari sini, ya?"
"Oke." Darren berdiri dan menggamit tangan Thalita, yang dengan panik melirik ke arah
tempat Andra duduk. Cowok itu kelihatannya lagi sibuk ngobrol sama Darius.
Mungkin Thalita dan Darren bisa keluar dari situ tanpa sepengetahuan Andra"
Semakin dekat ke sofa Andra duduk, Thalita semakin mempercepat langkahnya.
Kenapa dari sekian banyak tempat dan waktu, dia bisa ketemu sama Andra di sini"
Kenapa" Beberapa langkah lagi sudah pintu keluar, Thalita menunduk semakin dalam. Kalau
saja dia bisa mengubah wajahnya jadi wajah orang lain walau cuma beberapa detik"
"Thalita?" Suara itu seperti ribuan jarum yang menusuk punggungnya. Andra ternyata masih
bisa mengenalinya, bahkan walaupun Thalita sudah menunduk sampai-sampai nggak
bisa melihat jalan di depannya.
"Mmm" hai, Ndra," sapa Thalita, mengerling Andra sedikit. Cowok itu kelihatan
seperti baru ditonjok jatuh.
"Hai! Thalita! Apa kabar?" sapa Darius yang baru menyadari siapa yang disapa
Andra. Thalita bengong sesaat melihat Darius. Cowok itu kelihatan beda banget dengan
yang terakhir Thalita lihat. Darius agak gemuk sekarang, dan sepertinya penuh
semangat hidup, beda sekali dengan Andra yang berdiri di sebelahnya. Andra tambah
kurus, matanya cekung, dan tulang pipinya menonjol. Thalita nggak bisa menahan diri
untuk nggak melirik lipatan siku Andra. Masih banyak bekas suntikan di sana. Ia
bergidik ngeri. "Hai, Dar," sapa Thalita seadanya. "Long time no see?"
"Siapa dia?" tanya Andra tanpa basa-basi. Tatapannya tertuju pada tangan Darren
yang menggenggam tangan Thalita penuh perlindungan.
"Ini?" Thalita terbata, tapi nggak menarik lepas tangannya. Genggaman Darren
terasa aman, dan dia takut kalau-kalau dia bakal jatuh lemas seandainya dia berdiri di
hadapan Andra tanpa menggenggam tangan Darren. "Ini" ini Darren, pacar gue."
Andra benar-benar kelihatan seperti orang yang baru divonis hukuman mati.
Sementara Darren menoleh ke arah Thalita dengan tatapan bingung, tapi pada detik
berikutnya dia kelihatan mengerti drama apa yang sedang dimainkan Thalita.
Thalita merasa berdiri di tepi tebing, siap menerjunkan diri ke jurang yang
terhampar di hadapannya. Apa yang baru saja ia katakan" Kenapa kata-kata itu terucap
begitu saja" Apa itu dorongan emosinya, yang merasa marah karena melihat kondisi
Andra masih sama parahnya seperti ketika mereka putus" Apakah itu pengaruh rasa
kecewanya, karena ia sama sekali tak melihat ada usaha yang dilakukan Andra untuk
bisa melepaskan diri dari drugs" Ya, ia marah dan kecewa, dan kali ini ia ingin Andra
merasakan hal yang sama. Biar dia tahu bagaimana rasanya!
"Ren, kenalin, ini Andra. Ndra, ini Darren," kata Thalita, berusaha menekan
intonasi suaranya sedatar mungkin.
Darren mengulurkan tangannya untuk bersalaman, tapi Andra tetep diam, sampai
akhirnya Darren menarik tangannya lagi. Thalita tercekat, Darius juga.
"Maafin aku, Tha" Maafin aku?"
Dan Andra berlalu pergi dari situ, meninggalkan Thalita, Darius, dan Darren yang
terlongong tanpa tahu harus berbuat apa.
*** "Maaf ya," kata Thalita pada Darren dalam perjalanan menuju parkir basement PIM2.
Setelah kejadian tadi, Thalita memutuskan untuk langsung pulang. Dia sama sekali
nggak berselera untuk jalan-jalan atau mencari tempat nongkrong lain. "Gue jadi
terpaksa mengaku-aku lo pacar gue?"
"Nggak papa. Gue cuma kaget kok tadi?"
Thalita mendongak menatap Darren, merasa sangat berterima kasih. Cowok ini
benar-benar baik, bahkan dia nggak keberatan pura-pura jadi pacar Thalita, biarpun
selama ini Thalita merasa komitmennya untuk jaga jarak dari Darren sering membuat
cowok itu tersinggung. Entah kenapa, tiba-tiba Thalita merasa dia harus cerita ke seseorang tentang
perasaannya yang kacau-balau pada Andra. Dia nggak akan bisa memendam semua ini
sendiri lagi. Dia butuh tempat untuk berbagi.
"Mantan gue yang tadi itu, namanya Andra. Gue putus sama dia karena gue nggak
tahan terus-terusan melihat dia jadi junkies"," jelas Thalita lirih.
Alis Darren terangkat sedikit. Selain itu, dia sama sekali nggak menunjukkan tandatanda kekagetan lainnya.
"Gue udah berkali-kali memohon sama dia supaya dia berhenti ngobat, tapi dia
cuma janji mulu, nggak pernah menepati janjinya itu. Jadi waktu kenaikan kelas
kemarin, gue mengambil keputusan, gue harus putus dari dia. Gue nggak tahan"
Selain itu, ortu gue juga melarang gue dekat sama Andra lagi?"
Air mata Thalita menitik, dan dia cepat-cepat mengusapnya. Sungguh memalukan,
di depan cowok seganteng Darren, dia malah menangis. Cengeng!
"Andra berulang kali minta balik sama gue, tapi gue tau gue nggak akan sanggup
disakiti sekali lagi. Gue beberapa kali nolak dia, tapi dia kekeuh. Sampai akhirnya
terakhir kali dia minta balik, gue bilang ke dia gue udah punya pacar baru, dan nggak
mungkin balik sama dia lagi" Itu alasan gue aja, karena gue mikir kalau Andra tahu
gue udah punya gandengan, dia nggak akan minta gue balik sama dia lagi. Dia
kelihatan marah banget waktu itu" Dan tadi waktu kami ketemu lagi, kebetulan gue
lagi sama lo" Gue marah, kecewa karena gue lihat kondisi dia belum berubah. Gue tau
pasti, dia masih ngobat, dan gue kepingin supaya sekali ini aja, dia bisa merasakan
kekecewaan seperti yang gue rasakan. Gue nggak tau kenapa gue bisa ngomong
sengaco itu, tanpa bilang-bilang ke lo sebelumnya" It was just" I don"t know"
sepertinya perkataan itu meluncur gitu aja dari bibir gue, tanpa bisa gue kendalikan?"
"It"s okay, Tha. Kita juga nggak tahu bakalan ketemu sama mantan lo itu di sini,
kan?" Thalita mengangguk. "Tapi tetep aja gue ngerasa nggak enak sama lo" Lo harus
berada di situasi yang nggak nyaman gara-gara gue" Apalagi sekarang, lo harus
menampung curhat gue juga?"
Langkah Darren terhenti, dan dia menatap Thalita lembut. "Gue sama sekali nggak
nyalahin lo kok. Dan kalau lo mau tahu, gue justru ngerasa tersanjung banget karena lo
ternyata percaya sama gue untuk tahu tentang masa lalu lo dan Andra. Nggak setiap
orang bakal lo ceritain tentang masa lalu lo, kan?"
"Iya. Makasih ya, Ren" Dan kalau gue bisa minta satu hal lagi, tolong jangan cerita
soal kejadian hari ini ke siapa-siapa, termasuk ke Tatyana?"
Darren mengangguk. "You have my word."
*** Andra memacu motornya dengan kencang sepanjang perjalanan pulang. Perasaannya
benar-benar campur aduk nggak keruan. Thalita ternyata nggak bohong, dia sudah
punya pacar baru. Dan pacar baru Thalita itu, sewaktu Andra melihatnya tadi, ia merasakan pukulan
yang sangat dahsyat di dadanya. Cowok itu" sempurna untuk Thalita. Sehat, tegap,
dan mampu melindunginya. Benar-benar sosok yang akan dibutuhkan Thalita saat ini,
jika dibandingkan dengan Andra yang sekarang ringkih digerogoti narkoba. Andra
yang mungkin tak punya masa depan lagi.
Meski sakit, Andra mengakui dalam hati, cowok itu lebih pantas bagi Thalita
daripada dirinya. Tapi rasa sakit yang menyerbunya sekarang begitu kejam. Ia masih
sayang Thalita, sebaik apa pun cowok Thalita sekarangia tetap tak bisa merelakannya.
Andra berhasil sampai di rumah, dan memarkir motornya sembarangan saja di
carport. Ia bergegas masuk ke kamarnya, mencari-cari barang yang baru dibelinya dari
Agus. Kali ini dia benar-benar membutuhkan barang itu, lebih dari yang sebelumsebelumnya.
*** Santi berdiri di depan pintu rumahnya dengan perasaan galau. Jam segini Mama belum
pulang juga, dan entah kenapa Santi jadi khawatir. Padahal ini bukan pertama kalinya
Mama pulang larut malam. Malah, sering Mama pulang dalam keadaan mabuk, dan
diantar orang-orang yang nggak Santi kenal. Hanya kali ini Santi benar-benar cemas.
Bukan cuma karena Mama belum pulang, tapi juga karena sejak kemarin malam Andra
belum juga keluar dari kamarnya. Santi terakhir kali melihat Andra masuk ke kamar
kemarin malam, dengan ekspresi wajah yang aneh, seperti gusar, tapi bercampur sedih
yang mendalam. Santi nggak berani masuk ke kamar Andra, tapi dia juga khawatir kalau-kalau
terjadi hal-hal yang buruk sama kakaknya itu. Itulah kenapa sekarang Santi
memutuskan untuk menunggu Mama pulang. Mungkin nanti Mama bisa memanggil
Andra keluar dari kamarnya.
Baru dua jam kemudian sebuah sedan mewah yang entah milik siapa berhenti di
depan rumah, dan Mama keluar dari dalamnya sambil terhuyung. Santi cepat-cepat
membukakan pintu untuk Mama.
"Ma"," Santi berusaha memulai pembicaraan setelah Mama masuk ke rumah.
Kayaknya pembicaraan ini bakal susah, karena Mama sudah dalam kondisi setengah
sadar. Siapa yang bisa diajak bicara kalau sudah dalam kondisi teler begitu"
"Hmm"," gumam Mama nggak jelas. Dari mulutnya tercium bau alkohol yang
keras. "Kak Andra" udah seharian ini nggak keluar dari kamarnya?"
"So?" "Aku" aku jadi khawatir?"
Mama mengibaskan tangannya. "Ah, nggak usah sok khawatir kamu. Dia kan udah
biasa kayak gitu, hoaaahhhmmmm?" Mama menguap.
"Iya, tapi kali ini aneh banget, Ma. Kak Andra bahkan nggak keluar untuk mandi
atau makan. Itu kan aneh banget! Aku cuma takut Kak Andra kenapa-napa?"
"Udahlah, Santi, kamu nggak usah mikir yang aneh-aneh! Kamu tuh kebanyakan
nonton sinetron! Kakakmu nggak kenapa-kenapa! Dan apa kamu yakin Andra ada di
rumah" Bisa aja dia keluyuran nggak jelas sama teman-teman brengseknya itu dan
nggak pulang!" Mama yang teler jadi senewen, dan mulai mengomeli Santi.
"Tapi kemarin aku lihat kok waktu Kak Andra pulang. Aku tahu pasti Kak Andra
nggak keluar-keluar lagi setelah itu. Udah gitu, waktu Kak Andra pulang, mukanya
suntuk banget?" "Suntuk gimana?"
"Yah, Kak Andra kayak kacau gitu. Aku takut, Ma"," Santi makin gelisah.
"Santi, cukup! Mama capek, mau tidur! Jangan ganggu Mama lagi, oke?" Mama
memutuskan untuk menyudahi pembicaraan, dan tanpa babibu lagi masuk ke
kamarnya. Santi menghela napas. Dari ruang makan tempatnya berdiri sekarang, Santi bisa
melihat pintu kamar Andra yang tertutup rapat. Entah sedang apa kakaknya di dalam
situ. Semoga Mama benar, Andra nggak kenapa-kenapa, dan perasaan cemas Santi
cuma karena dia kebanyakan nonton sinetron.
*** "Tha" aku udah sembuh. Kamu lihat, aku sekarang bukan junkies lagi! Aku bersih!"
Thalita melongo melihat Andra yang ada di hadapannya sekarang. Cowok itu
kelihatan seperti Darius, yang sehat dan dan punya semangat hidup. Nggak ada lagi
mata cekung, tubuh kurus, atau bekas-bekas suntikan di lipatan sikunya. Air mata
Thalita menetes perlahan. Ini Andra yang dulu dia sayangi, Andra yang beberapa
bulan belakangan ini dia rindukan setengah mati. Andra yang dulu"
"Kamu" Kamu beneran sembuh, Ndra" Kamu mau nurutin omonganku buat ikut
rehab?" tanya Thalita nggak percaya.
Andra mengangguk riang. "Iya, aku sembuh buat kamu, Tha!"
Thalita serasa bisa terbang saking girangnya. "Kamu janji nggak bakal pakai drugs
lagi, Ndra?" "Nggak bakal. Never again!" Andra mengacungkan jarinya yang membentuk huruf
V pada Thalita. "Janji deh!"
"Janji nggak bakal ninggalin aku lagi?" tanya Thalita senang. Dia bisa balik sama
Andra sekarang. Bisa menjalani masa-masa yang indah seperti di awal mereka pacaran
dulu. Nggak akan ada lagi penghalang! Semua drugs itu sudah pergi"
Tapi tubuh Thalita lemas mendadak waktu dia melihat Andra menggeleng.
"Sori, Tha, tapi aku nggak bisa. Aku nggak bisa bareng kamu lagi. Aku harus
pergi" Maafin aku?"
Andra berbalik menghadap pintu gerbang rumah Thalita yang mendadak berubah
jadi lorong hitam panjang yang entah di mana ujungnya.
"Nggak bisa" Apa maksudmu nggak bisa" Tapi, Ndra" kamu kan udah sembuh!
Kenapa kamu mau ninggalin aku" Aku sayang banget sama kamu! Sekarang kita bisa
balikan lagi!" "Aku juga sayang sama kamu, Tha! Tapi?" Andra nggak meneruskan kalimatnya,
dan tiba-tiba Thalita serasa ditarik dari mulut lorong gelap itu dan dijatuhkan di atas
tempat tidurnya. Mimpi. Thalita mengucek matanya, dan melihat jam dinding. Setengah empat subuh.
Dadanya sesak akibat mimpi tadi. Harusnya Thalita tau, Andra nggak akan mungkin
meninggalkan drugs-nya, walaupun demi Thalita.
Terdengar suara HP berbunyi, dan tangan Thalita menggapai-gapai ke nakas di
samping ranjangnya. Dia terheran-heran menatap nama incoming call yang tertera di
LCD HP-nya. Darius calling" Kenapa Darius meneleponnya subuh-subuh begini"
"Thalita" Ini Darius. Sori, gue harus gangguin lo subuh-subuh gini?"
"Eh" lo, Dar. Ada apa?"
"Ini" ini soal Andra?"
Perasaan Thalita langsung nggak enak. Soal Andra" Dan Darius sampai harus
meneleponnya subuh-subuh begini karena itu" Jangan-jangan ada sesuatu yang
terjadi" "Andra" Andra" nggak papa, kan?" tanya Thalita ketakutan. Dia nggak bisa
membayangkan sesuatu yang buruk terjadi.
"Maaf, Tha" tapi Andra" Andra udah nggak ada" Dia OD"."
ENAM Thalita berdiri lemas di samping makam Andra yang baru saja ditutup. Dia sudah
nggak bisa meneteskan air mata lagi. Air matanya sudah terkuras habis sejak dia
mengetahui Andra meninggal.
Ternyata Andra sudah dua hari meninggal sewaktu jenazahnya ditemukan di
kamar. Itu pun karena Santi, yang khawatir karena kakaknya nggak keluar-keluar juga
dari kamar, akhirnya menelepon Darius di tengah malam dan meminta cowok itu
datang. Darius datang lalu mendobrak pintu kamar Andra karena temannya itu nggak
kunjung menyahut walaupun dipanggil berkali-kali. Waktu pintu itu berhasil didobrak,
mereka mendapati Andra tergeletak di atas ranjang dengan tangan dan kepala
menjuntai ke bawah. Di sampingnya banyak sekali plastik kosong bekas wadah sabusabu, juga bong dan jarum suntik. Santi yang histeris langsung pingsan. Terpaksa
Darius yang mengurus semuanya, mulai dari menelepon ambulans dan polisi, karena
mama Andra terlalu mabuk di kamarnya untuk mengurus itu semua.
Polisi datang kurang dari sepuluh menit kemudian, disusul ambulans yang sirene
membuat penduduk yang tinggal sekompleks dengan rumah Andra terbangun. Dari
hasil autopsi, Andra diketahui overdosis zat adiktif atau narkoba. Darius yang
mendengar hasil autopsi itu cuma bisa menghela napas. Dia nggak pernah menyangka
sahabatnya akan berakhir seperti ini. Tapi Darius sadar semua ini adalah kenyataan
yang nggak bisa diubah. Dia memutuskan untuk menghubungi papa Andra, juga
Thalita, dan beberapa teman dekat mereka.
Selama satu hari jenazah Andra disemayamkan, dan sepanjang itu mamanya terus
menjerit memanggil-manggil anak yang selama hidup diabaikannya itu. Santi
menangis di bahu papanya, sementara Tante Retno dan Ayu berulang kali meneteskan
air mata. Beberapa tetangga datang melayat, tapi tak banyak karena Andra memang
kurang disukai tetangga-tetangganya, yang tahu dia tergolong anak berandalan. Yang
datang juga sebagian besar ibu-ibu kompleks yang iba pada Santi, dan ingin
mengetahui keadaan anak itu. Teman Andra hanya segelintir yang datang, karena sejak
Andra menjadi junkies, jumlah temannya juga meluntur sedikit demi sedikit.
Dulu, Andra nggak pernah tau bahwa drugs akan membuat kehidupan sosialnya
begitu berantakan. Membuat orang-orang yang dulu menyukainya meninggalkannya
satu demi satu. Tapi inilah kenyataannya sekarang, dan sudah terlambat bagi Andra
untuk memperbaikinya lagi.
Setelah selesai disemayamkan, papa Andra memutuskan untuk segera
memakamkan anaknya. Semuanya disiapkan dengan serba-cepat dalam kegalauan.
Diadakan kebaktian yang sangat singkat di taman pemakaman, sebelum peti jenazah
Andra diturunkan ke liang lahat.
Kenapa, Ndra" Kenapa" batin Thalita miris, sambil masih berdiri di sisi makam
Andra. Dari dulu gue selalu takut hari ini datang" Hari saat lo pergi dan nggak bisa
kembali lagi" Hari di mana gue tau bahwa gue nggak bisa menyelamatkan lo dari
obat-obat itu lagi"

Thalita Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seseorang menepuk bahu Thalita lembut, dan cewek itu menoleh. Jennie berdiri di
belakang Thalita dengan tatapan iba.
"Adik lo nelepon gue tadi, ngasih tau hari ini Andra dimakamkan."
Thalita mengangguk lemah. Sebelumnya dia sama sekali nggak terpikir untuk
menelepon Jennie, karena dunia rasanya sudah terbalik begitu dia mengetahui Andra
meninggal. Thalita bersyukur karena Acha bisa mengambil inisiatif untuk memberitahu
Jennie. Kebetulan, Thalita memang sangat membutuhkan seseorang untuk
menemaninya saat itu. "Yuk, ikut gue," ajak Jennie, lalu menggamit tangan Thalita menuju salah satu
pohon besar yang ada di dekat situ.
Mereka akhirnya duduk di bawah pohon itu, dan air mata Thalita, yang tadi
dikiranya sudah habis terkuras, mulai menetes lagi.
"Gue rasanya pengin ikut mati aja, Jen?"
"Hush!" bentak Jennie. "Jangan ngomong yang nggak-nggak deh!"
"Tapi" Andra mati gara-gara gue" Kalau aja gue mau balik sama dia" Kalau aja
gue nggak berpura-pura Darren itu pacar gue di depan dia?"
Mata Jennie menyipit. "Maksud lo apa" Darren pura-pura jadi pacar lo di depan
Andra" Gue nggak ngerti?"
Thalita mengangguk, lalu menceritakan semua kejadian di Coffee Bean PIM
beberapa hari yang lalu. Kejadian yang menjadi awal segala petaka yang terjadi saat ini.
"Jadi" menurut lo, Andra" bunuh diri karena dia nggak terima lo punya pacar
baru lagi, gitu?" "Iya" Karena gue tau Andra, Jen. Dia nggak mungkin nyabu segitu banyak dalam
kondisi normal" Pasti dia lagi tertekan banget gara-gara gue?"
Jennie mendengus. "Cih! Kalau menurut gue, dalam kondisi normal dia justru
nggak akan nyabu sama sekali!"
Thalita menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Tapi tetep aja" semua ini gara-gara
gue" Gue yang udah membunuh Andra! Gue yang nyakitin dia! Padahal seharusnya
gue selalu ada di sampingnya, terus mendorong dia untuk sembuh, bukannya
menghindar dan jadi pengecut?"
"Tha, ini bukan salah lo!"
"Nggak! Gue yang salah! Andra mati karena gu?"
Plaakk! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Thalita. Jennie berdiri dengan napas
tersengal, memegangi tangannya yang baru saja menampar Thalita.
"Kenapa sih" Kenapa lo harus terus menyalahkan diri lo sendiri"!" tanya Jennie
galak. "Andra mati itu sama sekali bukan salah lo, tau nggak"! Dia mati karena
ketololannya sendiri! Siapa suruh dia nyabu" Siapa suruh dia nggak mau dengar
omongan lo untuk rehab dari dulu-dulu" Kalau aja dia mau nurutin omongan lo, gue
yakin kalian bakal bisa balik lagi! Andra tahu gimana harus memperbaiki
kesalahannya, tapi dia toh lebhi memilih tetap berkubang dalam ketololannya sendiri!"
Thalita tersedu-sedu, sementara Jennie sudah selesai memuntahkan semua
kekesalannya, dan sekarang sedang berusaha mengatur napasnya yang masih
tersengal. "Maafin gue, Tha. Gue cuma nggak mau lo terus-menerus menyalahkan diri lo
untuk kesalahan yang sebenernya sama sekali nggak lo perbuat?" Jennie berjongkok
di depan Thalita dan memeluk sahabatnya yang sesenggukan itu.
"Tapi seharusnya gue nggak pura-pura punya pacar baru, kan" Gue tahu itu bakal
nyakitin dia, tapi gue tetap ngelakuin itu?"
"Tuh kan, lo mulai nyalahin diri lo sendiri lagi," gerutu Jennie putus asa. "Lo nggak
denger omongan gue yang tadi, ya" Gue tegasin lagi, Tha: ini semua BUKAN salah lo.
Dan kalaupun Andra memang patah hati karena dia tau lo punya cowok baru, DIA
SENDIRI yang salah, karena memilih semua drugs itu buat pelariannya. Mungkin aja lo
memang membuat dia patah hati, tapi kalau dia nggak pakai drugs, dia nggak akan OD,
kan" Got my point?"
Thalita menelan ludah dengan susah payah. Jennie memang bisa sangat galak kalau
dia mau, dan jujur aja kali ini Thalita agak kaget karena tahu sahabatnya bahkan berani
menamparnya. Tapi" Thalita mulai bisa menerima kata-kata Jennie. Cewek itu
benar" Thalita bisa saja membuat Andra patah hati, tapi kalau Andra sendiri nggak
memakai drugs, dia toh nggak akan OD.
"Gue ngerti kalau ada perasaan bersalah dalam diri lo, tapi terus menyalahkan diri
nggak akan bikin Andra balik lagi, kan?" Jennie memegang bahu Thalita, dan berusaha
supaya sahabatnya itu berani menatapnya.
"Iya?" Bahu Thalita gemetar karena dia berusaha menghentikan tangisnya.
"Nah, jangan nyalahin diri lo lagi, ya" Emang begini jalannya, Tha, dan lo nggak
perlu hidup dalam rasa bersalah."
Thalita mengangguk lagi, dan dia teringat sesuatu.
"Sekarang gue ngerti, apa arti mimpi gue malam itu?"
"Mimpi?" "Iya. Sebelum gue ditelepon Darius yang mengabarkan Andra udah nggak ada, gue
mimpi Andra datang ke rumah gue. Dia bilang bahwa dia udah bersih" udah bukan
junkies lagi" Tapi waktu gue tanya apa dia janji nggak akan ninggalin gue lagi, dia
minta maaf dan bilang dia nggak bisa menemani gue lagi. Lalu dia menghilang begitu
saja, tersedot ke dalam terowongan hitam yang tiba-tiba muncul. Sekarang gue ngerti
apa maksudnya" dia datang untuk pamitan dan minta maaf sama gue karena dia mau
pergi dan nggak kembali lagi?"
"Ya Tuhan," gumam Jennie pahit.
"Gue nggak tahu harus bagaimana, Jen" Gue masih nggak percaya gue nggak akan
pernah ngeliat Andra lagi" Gue nggak bisa percaya kali ini gue bener-bener
kehilangan dia?" Jennie terdiam, dia nggak tau harus ngomong apa lagi. Di mata Jennie, Thalita
terlihat seperti orang yang sudah kehilangan semangat hidup.
"Yang tabah ya" Ini pencobaan biasa kok. Tuhan kan nggak akan memberi
percobaan yang melebihi kemampuan kita" Dan Dia pasti punya rencana di balik ini
semua, rencana yang kita nggak tahu?"
Thalita menatap makam Andra sekali lagi, masih ragu apakah dia memang benarbenar akan kuat melalui ini semua. Kematian Andra seperti merenggut setengah
hidupnya. Apakah manusia bisa bertahan hidup hanya dengan setengah jiwa tersisa"
*** Papa memeluk Thalita dengan protektif ketika cewek itu tiba di rumah. Papa sudah
tahu Andra meninggal. Tadi beliau menawarkan diri untuk menemani Thalita ke
pemakaman, tapi gadis itu menolak.
"Sini, Tha, duduk sini?" Papa membimbing Thalita ke sofa ruang tamu, sofa yang
sama yang diduduki Thalita ketika ia diceramahi, dan Papa mengusir Andra beberapa
bulan lalu. "Pa, Andra, Pa" Andra udah nggak ada"," kata Thalita dengan suara tercekat.
"Ya, ya, Papa tau?" Papa kini duduk di hadapan Thalita, dan menggenggam
tangan Thalita lembut, sementara Thalita bisa merasakan pipinya mulai dibasahi air
mata. "Pasti berat sekali untuk kamu."
Thalita mengangguk dalam tangisnya. "Aku kehilangan dia banget, Pa" Aku
nggak akan bisa melihat dia lagi?"
"Tapi kamu sudah pernah berusaha untuk menyelamatkan dia, kan" Nggak ada
yang perlu kamu sesali, Tha. Kamu sudah mencoba sebisa kamu, tapi Andra sendirilah
yang akhirnya memutuskan mengambil jalan seperti ini."
Kata-kata Papa mirip kata-kata Jennie, batin Thalita pahit.
"Kamu salah jika kamu nggak pernah berusaha membantu Andra. Tapi kamu
membantunya, kan" Berapa kali kamu memohon dia untuk masuk rehab, tapi dia
nggak pernah nurut" Jangan salahkan dirimu, Tha. Papa tau ini berat, dan Papa nggak
akan bilang "I"ve told you so", meskipun sudah sering Papa khawatir Andra akan
berakhir seperti ini."
"Tapi dia?" "Tha, ada hal-hal yang memang harus terjadi, supaya kamu belajar dari hidup ini.
Papa nggak pernah mengharap ini akan kamu alami secara langsung, tapi dengan
begini kamu bisa melihat sendiri, apa yang bisa direnggut narkoba. Andra masih muda,
dan mungkin saja akan punya masa depan yang cerah jika dia nggak pernah mencicipi
drugs. Dia seharusnya tau, kematianlah yang akan menantinya di ujung jika dia masih
berurusan dengan barang haram itu. Tapi dia nggak berusaha lari jauh-jauh, dia malah
mendekat pada kematian itu."
Thalita menyusut air matanya perlahan.
"Kehilangan orang yang kamu sayangi, apalagi dengan cara seperti ini, memang
berat. Tapi dengan begitu, kamu akan lebih menghargai hidup yang kamu miliki, dan
nggak akan mempertaruhkan diri untuk coba-coba narkoba, karena kamu tahu apa
yang menunggumu nanti jika kamu melakukannya. Kuatlah, Tha. Papa yakin kamu
bisa melalui semua ini."
Papa memeluk Thalita, dan Thalita merasakan kasih sayang, perlindungan, dan
kehangatan, seketika melingkupinya. Ada rasa aman dan damai saat Papa
memeluknya, dan ia benar-benar mensyukuri hal itu. Itu membuat jiwanya yang remuk
seakan dilekatkan kembali.
*** "Tha" ada tamu nih," panggil Mama sambil mengetuk pintu kamar Thalita lembut.
Thalita masih tetap terdiam di atas ranjangnya, nggak bereaksi.
"Thalita, Sayang, ada tamu buat kamu?"
Mama terus mengetuk pintu kamar dan memanggil Thalita dari luar, tapi Thalita
tetap saja diam. Dia nggak peduli akan apa pun lagi sekarang, karena Andra udah
nggak ada. Untuk apa dia hidup" Kenapa dia masih hidup sampai sekarang, Thalita
sendiri nggak tahu. Dia seperti terbunuh waktu tahu Andra meninggal, dan entah
kenapa sekarang dia masih ada di sini dan bernapas.
Terdengar suara pintu kamar dibuka. Rupaya Mama sudah nggak sabar menunggu
Thalita membuka pintu, dan akhirnya memutuskan membuka pintu itu sendiri.
"Tha, ada temenmu tuh nunggu kamu di luar?"
Akhirnya Thalita bereaksi. "Siapa?" tanyanya, tapi masih dengan terbaring di
ranjang dan membelakangi Mama.
"Cowok. Dulu pernah datang ke sini buat ngerjain tugas sekolah kalau nggak
salah?" Thalita terenyak. Cowok" Yang dulu pernah datang ke sini untuk ngerjain tugas
sekolah" Darren" Thalita bangun dari ranjang, dan menatap Mama kebingungan. "Orangnya kayak
apa?" Kalau benar Darren yang datang, Thalita benar-benar shock. Dia memang sudah
beberapa hari ini bolos sekolah. Alasannya, dia merasa nggak akan sanggup melakukan
apa pun dengan bayang-bayang Andra masih melintas di kepalanya, apalagi kalau hal
itu adalah mengerjakan soal-soal matematika-fisika-kimia yang bikin para murid
berpotensi mengalami kebotakan dini. Makan yang nggak pakai mikir aja Thalita nggak
bisa, apalagi untuk sekolah yang harus memutar otak!
Ortu Thalita, yang sadar anaknya butuh waktu untuk menyendiri setelah kematian
Andra, mengizinkan saja anaknya bolos. Percuma kalau anak itu masuk sekolah tapi
nggak konsen. Lagi pula, kehilangan seseorang yang kita sayangi bukan sesuatu yang
gampang dilalu, dan Thalita butuh waktu juga untuk memulihkan kondisi
emosionalnya. Rumah jelas tempat yang paling baik untuk itu, daripada Thalita pergi
ke sekolah tapi di jalan dia nyetir dengan serampangan karena perasaannya yang
kacau" Nah, ortu Thalita nggak mau gambling dengan risiko itu.
Kembali lagi ke poin yang tadi: masa sih yang datang itu beneran Darren" Buat apa
dia datang" Thalita kan udah nitip pesan ke Nita supaya kalau ada yang nanya apa
alasannya nggak masuk, Nita bisa bilang Thalita nggak masuk karena sakit. Apa" apa
Darren sengaja datang untuk menjenguknya"
"Cakep lho. Anaknya tinggi besar, indo" Pokoknya yang dulu pernah ke sini itu,
yang bikin kamu sibuk bersih-bersih ruang tamu sepagian," jelas Mama, semakin bikin
Thalita bengong. Berarti memang benar Darren.
"Kamu mau nemuin dia?" tanya Mama penuh harap. Sudah beberapa hari Thalita
mengurung diri di kamar, disuruh makan juga susahnya minta ampun. Mungkin ada
baiknya kalau ada yang datang dan mengajaknya ngobrol, jadi Thalita bisa sedikit
mengeluarkan unek-uneknya.
Thalita hampir menggeleng, tapi dalam hati dia penasaran juga kenapa Darren bisa
sampai ke rumahnya. Kalau dia nggak menemui Darren, dia nggak bakal tau apa
alasan cowok itu datang, kan"
"Ya deh." Thalita turun dari ranjang dan memakai sandalnya, lalu beranjak keluar
kamar. "Eh, Tha, tunggu!"
"Kenapa, Ma?" "Kamu" ganti baju dulu dong. Sisiran sama cuci muka juga, at least?"
Thalita berjalan mendekati cermin meja riasnya, dan dengan kaget menyadari
pantulan sosoknya yang amburadul sekali.
Dia memutuskan untuk menuruti saran mamanya. Kalau nggak, jangan-jangan
nanti Darren menjerit begitu melihatnya karena menyangka Thalita kuntilanak!
*** "Hai, Tha," sapa Darren. Cowok itu berdiri saat melihat Thalita memasuki ruang tamu.
"Hai, Ren, ada apa?"
Anehnya, Darren nggak menjawab, dia malah seperti termangu menatap Thalita.
"Ren" Lo nggak papa?" tanya Thalita khawatir. Apa cuci muka dan sisir rambut tadi
nggak berpengaruh banyak baginya, ya"
Darren seperti baru ditonjok, dan sadar dari lamunannya. "Lo" lo kenapa, Tha?"
tanyanya, terdengar lebih khawatir. Dia nggak menjawab pertanyaan Thalita barusan,
karena kaget melihat mata Thalita yang membengkak superbesar, juga wajah Thalita
yang sedih. "Gue nggak papa kok" Cuma agak nggak enak badan. Makanya nggak sekolah."
Thalita terdiam, lalu dia ingat alasannya mau menemui Darren tadi. "Oya, ada apa lo
ke sini?" "Gue nggak lihat lo di sekolah beberapa hari ini. Waktu gue tanya Tatyana, katanya
lo sakit, jadi gue datang ke sini buat jenguk lo," jelas Darren, tangannya menunjuk
keranjang berisi buah-buahan di atas meja, yang tadi sama sekali nggak tertangkap
mata Thalita. "Oh," gumam Thalita, surprised. Nita dan Tatyana aja nggak menjenguk dia, tapi
cowok ini" yang bahkan bukan teman sekelas atau teman dekatnya, sengaja datang
untuk menjenguk. Darren baik banget. Kalau saja hati Thalita nggak terisi penuh oleh
Andra, pasti sudah dari dulu-dulu dia luluh oleh cowok yang satu ini. "Makasih ya"
Jadi ngerepotin?" "Ah, nggak papa. Oya, besok lo udah masuk sekolah belum?"
Thalita menggeleng. "Gue nggak tahu?"
"Tapi lo udah ngerasa baikan, kan" Maksud gue" udah lebih fit?"
"Gue?" Thalita menatap Darren, dan menyadari cowok itu menatapnya balik. Lalu
Thalita sadar, keberadaan Darren di dekatnya selalu membuatnya tak bisa menahan
diri untuk curhat. Darren seperti" tempat dia bisa menumpahkan perasaannya. Entah
kenapa bisa seperti itu. "Darren, Andra" Andra udah nggak ada, Ren?" Air mata Thalita tumpah tanpa
bisa dicegah lagi. Berhari-hari menangis dan menyimpan kesedihannya ternyata
membuat cadangan air mata Thalita semakin banyak, dan sekarang semua air mata itu
keluar begitu saja di hadapan Darren.
Darren terdiam, seolah Thalita baru saja bicara dalalm bahasa yang nggak ia
mengerti. Tapi beberapa saat kemudian Darren menghela napas dalam-dalam. "Gue
ikut sedih dengernya, Tha," katanya kemudian. "Kalau gue boleh tahu, kenapa
Andra?"" "Overdosis," tukas Thalita sebelum Darren sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Dan gue merasa" guelah penyebab dia sampai seperti itu?" Thalita sesenggukan.
"Kenapa lo ngerasa gitu?"
"Karena" hari di waktu dia meninggal adalah hari" hari kita ketemu dia di PIM,
dan gue mengaku-aku lo sebagai cowok gue?"
Seperti ada yang menghentikan aliran waktu untuk sesaat, karena yang terdengar di
ruangan itu cuma sedu sedan Thalita.
"Temen gue, namanya Jennie, bilang itu sama sekal ibukan salah gue" Karena
kalaupun Andra kecewa sama gue, dia nggak akan meninggal kalau dia nggak pakai
drugs" Jennie juga bilang ini semua salah Andra sendiri, karena dia nggak pernah mau
menuruti kata-kata gue untuk rehab. Tapi tetap aja" tetap aja gue merasa bersalah?"
Tangis Thalita semakin kencang, dan Darren terpaksa pindah duduk ke sofa di
sebelah Thalita, untuk bisa menenangkan cewek itu.
"Sssttt, Tha, udah ya, udah" Gue tau ini berat banget buat lo, tapi gue percaya, ada
rencana Tuhan di balik semua ini. Everything happened for a reason," kata Darren sambil
mengusap rambut Thalita lembut. "Dan Jennie benar, ini bukan salah lo, jadi jangan
menyalahkan diri lo lagi."
Entah kenapa, Thalita sepertinya nggak mau melepaskan diri dari pelukan Darren.
Kenapa gue ini" batinnya pahit. Andra baru aja meninggal, tapi gue malah pelukpelukan sama cowok lain"
Akhirnya, berhasil melawan kecenderungan tubuhnya yang seperti besi menempel
pada magnet (in this case, Darren), Thalita duduk tegak lagi dan mengusap air matanya.
"Sori, gue kebawa emosi tadi," kata Thalita agak malu.
"Eh" it"s okay?" Darren terdengar agak salting juga. "Yah" gue rasa lo perlu
waktu untuk menyendiri dulu, untuk menenangkan diri" Tapi kalau ada apa-apa, dan
lo nggak keberatan berbagi, lo mau hubungin gue, kan?"
Thalita mengangguk. "Makasih, ya, Ren?"
*** "Lit!"

Thalita Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tatyana tersentak kaget, nyaris saja mencorengkan maskara ke alisnya. Dia menoleh
dan mendapati Darren berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Apa?" tanya Tatyana, masih agak kesal karena Darren mengagetkannya tadi.
"Gue habis dari rumah Thalita."
Tatyana menoleh dengan mulut ternganga lebar. "Ngapain lo ke sana" Tugas dari
Pak Lukas kan udah kelar!"
"Yee" emangnya gue cuma boleh ke sana kalo ngerjain tugas?"
Alis Tatyana terangkat beberapa senti. Ini pertama kalinya setelah bertahun-tahun,
Darren pergi ke rumah cewek bukan untuk urusan sekolah atau yang semacam itu.
"Nggak usah mikir yang aneh-aneh. Gue ke rumah Thalita tuh buat jenguk dia, tau!
Dia kan udah berapa hari ini nggak masuk." Darren melemparkan bantal berbentuk
hati milik Tatyana yang ada di ranjang ke wajah si empunya, karena melihat wajah
Tatyana yang sudah menunjukkan ekspresi bakal menginterogasinya segala macam.
Bantal itu mengenai wajah Tatyana.
"Terus" Thalita sakit apa?" Tatyana rupanya nggak ambil pusing dengan wajahnya
yang terkena lemparan bantal Darren. Kalau tentang Thalita sekarang ini jelas lebih
penting daripada itu. "Dia?" Darren hampir saja bilang Thalita nggak masuk karena mantannya baru aja
meninggal, tapi dia lalu ingat dia sudah berjanji pada Thalita nggak akan cerita tentang
Andra pada siapa pun, termasuk pada Tatyana. "Dia sakit perut, tapi sekarang udah
baikan sih," karang Darren.
"Sakit perut" Kok sampai nggak masuk sekolah berhari-hari, ya?"
"Nggak tau deh gue, tapi dia tadi udah baikan kok. Yah, lo juga kenapa nggak
nengokin dia" Kan lo temen sekelasnya!"
"Lo juga, nengok nggak ngajak-ngajak!" gerutu Tatyana. Dia memang kepingin
menengok Thalita, tapi nggak tau alamat cewek itu, dan Darren yang tau ternyata
malah pergi ke sana sendirian. Menyebalkan!
Terdengar suara ketukan, Tatyana dan Darren berpaling ke arah pintu. Ada Mbok
Jum di sana, pembantu keluarga mereka sejak belasan tahun lalu.
"Non, udah datang tuh temennya," kata Mbok Jum pada Tatyana.
Tatyana menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal dengan kesal. Gara-gara
Darren dia belum selesai dandan, padahal orang yang menjemputnya sudah datang!
"Eh" bilang tunggu bentar deh, Mbok. Aku belum selesai siap-siap, gara-gara
orang satu ini nih!" Tatyana menuding Darren, lalu mengambil bantal h
ati yang tadi berhasil menimpuknya, dan melemparkannya balik ke Darren. Luput. Darren malah
bisa menangkap bantal itu dengan tangannya. Tatyana merutuk karena lupa Darren
kiper utama tim sepak bola sekolah mereka, yang sudah berhasil membawa timnya
menang di berbagai kejuaraan.
Mbok Jum meringis geli melihat tingkah kedua anak majikannya, lalu mengangguk
patuh dan beranjak dari ambang pintu kamar Tatyana.
"Mau pergi lo?" tanya Darren.
"Udah jelas nanya!" Tatyana sewot. "Mending lo keluar sana deh! Gara-gara lo, gue
jadi nggak bisa dandan, tau nggak?"
"Halah" emang lo mau pergi sama siapa sih" Dandannya heboh amat" Paling juga
sama Stefira." Darren menyebutkan nama teman dekat Tatyana.
"Yee" salah jeh!"
"Terus?" "Mmm?" Pipi Tatyana memerah. "Sugeng."
Darren membeliak, matanya seperti mau keluar dari rongganya. "Hah" Lo" oh
ampun deh, lo jadian sama dia?"?"
Tatyana mengangguk. "Sejak kapan?" Kok" kok lo nggak bilang-bilang sama gue sih"!"
"Ih! Emangnya ada peraturan gue harus cerita segala sesuatunya ke lo" Tak usah
yee! Tapi karena gue lagi baik nih, gue kasih tahu ke lo" gue sama Sugeng jadian
waktu kami satu kelompok ngerjain tugas makalah dari Pak Lukas itu, puas?"
Tatyana selesai berdandan, lalu bergegas memasukkan dompet, HP, dan bedak
compact ke dalam tasnya. "Udah ya, gue pergi dulu" Ciao!"
Darren cuma bisa menghela napas begitu menyadari hari itu adalah hari Sabtu.
Malam Minggu, dan adiknya baru pergi nge-date, sementara dia sendiri kelihatannya
bakal menghabiskan malam ini dengan main PSP seperti sebelum-sebelumnya.
TUJUH Thalita memutuskan untuk masuk sekolah hari ini. Sudah satu minggu sejak dia nggak
masuk sekolah, dan ortunya merasa itu sudah melewati jangka waktu toleransi mereka
bagi Thalita untuk membolos. Lagi pula, sedih kelamaan juga nggak baik buat Thalita.
Kalau dia sendirian terus, dia bakal semakin teringat Andra. Nah, kalau di sekolah kan
banyak hal yang bakal menyibukkan dia, dan itu bakal mempermudah Thalita untuk
melupakan Andra. Ini jalan pikiran ortunya sih" karena buat Thalita, Andra itu udah
lebih dari bayangannya sendiri. Sementara bayangan hanya ada di tempat terang, bagi
Thalita, proyeksi Andra selalu ada di mana pun dia berada, nggak peduli tempat itu
gelap ataupun terang. "Thalitaaaa! Haiii! Aduh, akhirnya lo masuk sekolah lagi. Gue udah kangeeeennn
banget sama lo!" Nita bersemangat banget menyambut Thalita di pintu kelas.
"Hai, Nit," sapa Thalita lesu. Dia masih belum bisa kembali kayak dulu. Baru satu
minggu Andra pergi, dan Thalita masih merasa kehilangan. Cuma dalam hati dia bisa
sedikit bersyukur karena Andra tiada di saat mereka sudah pisah sekolah, dan Thalita
sudah cukup terbiasa nggak melihat Andra setiap hari. Thalita nggak bisa
membayangkan kalau Andra meninggal saat mereka masih pacaran dan satu sekolah
dulu. Bisa-bisa Thalita bunuh diri, atau minimal jadi gila, saking depresinya karena
nggak bisa ketemu Andra setiap hari.
"Oya, lo sakit perutnya kenapa sih" Salah makan" Keracunan?" Nita bertanya
ngawur. "Ah" nggak taulah, Nit, pokoknya perut gue lagi nggak berfungsi dengan normal
aja gitu. Lima menit sekali harus ke kamar mandi. Nggak lucu kan kalo gue tetep
masuk sekolah dengan kondisi kayak gitu?" Thalita mengarang cerita.
"Hihihi" iya juga sih. Tapi sekarang udah baikan, kan?"
"Yah, lumayanlah?" Semoga Nita nggak terus nanya-nya alasan gue nggak masuk,
karena pasti gue harus terus membohongi dia, batin Thalita pahit.
"Sori ya, Tha, gue nggak nengokin lo selama lo sakit" Gue?"
Belum sempat Nita menyelesaikan kalimatnya, seseorang melintas di depan mereka
berdua. Darren. "Hai, Tha, udah baikan?" sapa Darren tanpa mengacuhkan tatapan bengong Nita.
"Mmm" udah." Kepala Thalita tertunduk, masih merasa canggung kalau ingat dia
sudah pernah memeluk (atau dipeluk") Darren beberapa hari yang lalu.
"Ya udah, kalau gitu jangan suka telat makan lagi ya, nanti lo sakit perut lagi kayak
kemarin. Bye!" Darren berlalu, meninggalkan Thalita yang tersipu dan Nita yang melongo.
"Kok" kok dia bisa tau lo sakit perut" Lo yang ngasih tahu dia, ya" Udah gitu, dia
perhatian banget ya sama lo?" berondong Nita tanpa ampun setelah sosok Darren
menghilang di belokan koridor sekolah.
Thalita cepat-cepat menggeleng. "Nggak, dia kan nanya sama Tatyana kenapa gue
nggak masuk. Makanya dia bisa tahu gue sakit perut. Terus kalo soal perhatian, itu
cuma perasaan lo aja. Gue biasa-biasa aja kok sama dia?"
Nita terlihat berpikir. "Emang sih waktu hari pertama lo nggak masuk itu Tatyana
nanya ke gue, dan gue emang bilang ke dia kalo elo sakit perut?" Nita mengetukngetukkan telunjuk ke dagunya, "tapi kenapa Darren sampai?"
"Nit, jangan mulai bikin gosip yang nggak-nggak deh," tukas Thalita.
"Eits" gue nggak bikin gosip yang nggak-nggak, tapi lo sendiri kan yang emang
deket sama Darren" Sampai bikin cewek-cewek sesekolah ini iri! Soalnya, selama ini
kan Darren dingin banget sama cewek!" Nita mencerocos.
"Nitaaaa" gue sama Darren itu bisa akrab cuma kalau lagi ngobrolin bola. Terus
juga karena kami satu kelompok waktu tugas agama kemarin. Di luar itu, gue biasa aja
sama dia, dan dia juga biasa aja sama gue."
"Oya?" Nita nyengir. "Menurut gue, yang tadi itu nggak biasa tuh. Kayaknya
Darren tuh perhatiaaaannn banget sama lo, hal yang nggak pernah dia lakuin ke
cewek-cewek lain!" Thalita menghela napas. "Yah" terserah lo deh, yang penting gue udah nyeritain
yang sebenernya bahwa gue sama Darren nggak ada apa-apa. Lo mau percaya atau
nggak, itu hak lo kok?"
Thalita mengedikkan bahunya dan berlalu dari situ, tapi dalam hati dia kepikiran
juga semua omongan Nita barusan. Yah, Thalita terpaksa mengakui bahwa Nita benar.
Dia sendiri bisa merasakan bahwa Darren memang perhatian banget sama dia. Jenis
perhatian yang nggak mungkin diberikan ke teman cewek biasa, apalagi yang baru
dikenal seperti Darren mengenal Thalita. Semua kelakuan Darren selama ini udah
membuktikannya kok, lebih lagi waktu dia bela-belain menengok Thalita beberapa hari
lalu. Kalau Nita tahu tentang itu, Thalita jamin temannya itu bakal semakin yakin
bahwa memang ada apa-apa antara Darren dan Thalita.
Sori, Nit, batin Thalita, gue nggak bisa membuat dugaan lo jadi kenyataan. Karena
sebaik apa pun Darren, gue masih nggak bisa ngelupain Andra"
*** Thalita menghentikan mobilnya di halaman parkir sebuah mal, lalu mengambil tas
selempangnya di kursi belakang mobil, dan berjalan menuju pintu masuk mal tersebut.
Udara sejuk dari AC yang ada di dalam mal menyambutnya begitu dia melangkah
memasuki mal yang masih terbilang baru di Jakarta itu. Dia melewati beberapa SPG
yang menawarinya parfum keluaran paling gres dengan senyum sekilas, dan berjalan
nggak tentu arah selama sepuluh menit kemudian.
Thalita sendiri nggak tahu kenapa dia bisa "mendarat" di mal ini, apalagi dengan
kondisinya sekarang. Dia nggak tahu mau ngapain di sini, mau beli apa, atau mau ke
mana, tapi dia merasa nyaman ada di antara banyak orang. Ini jauh lebih baik daripada
pilihan untuk kembali ke kamarnya yang sepi di rumah dan mulai menangisi Andra
lagi. Thalita berjalan terus, dan akhirnya sampai di depan sebuah kafe yang sepi. Ia
melihat poster-poster makanan yang terpajang di bagian depan kafe. Fish and chips, tuna
sandwich, french fries with lemon sauce" dan entah kenapa perutnya tiba-tiba terasa
lapar. Barulah Thalita sadar dia belum makan dari pagi, sementara sekarang sudah jam
empat sore. Akhirnya Thalita memutuskan untuk memasuki kafe itu dan duduk di meja paling
pojok, di depan jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan jalanan Jakarta
yang macet total. Seorang waiter mendatanginya, mengangsurkan daftar menu. Thalita
memesan fish and chips dan strawberry milkshake, lalu waiter itu meninggalkannya
sendiri. Jalanan di luar masih macet, mobil-mobil merayap perlahan, seperti iring-iringan
siput yang berjalan lambat. Lamat-lamat Thalita mendengar sebuah lagu yang diputar
di kafe itu" Tak kan pernah habis air mataku
Bila ku ingat tentang dirimu
Mungkin hanya kau yang tahu
Mengapa sampai saat ini ku masih sendiri"
Bulu kuduk Thalita meremang tanpa disadarinya. Lagu ini"
Adakah di sana kau rindu padaku
Meski kita kini ada di dunia berbeda
Bila masih mungkin waktu kuputar
Kan kutunggu dirimu"
Jantung Thalita berdetak cepat. Dia mengenali lagu ini. Mengenangmu milik
Kerispatih, lagu lama yang sudah sering didengarnya sebelum ini, tapi entah kenapa
kini terasa benar-benar mengiris. Mengingatkannya kembali pada Andra, bahkan saat
Thalita belum benar-benar bisa melupakan cowok itu"
Biarlah kusimpan Sampai nanti aku kan ada di sana
Tenanglah dirimu dalam kedamaian
Ingatlah cintaku, kau tak terlihat lagi
Namun cintamu abadi"
Mata Thalita membasah, dan dalam sekejap, air matanya sudah membanjir,
membuat waiter yang mengantarkan pesanannya kebingungan. Tapi akhirnya si waiter
meletakkan saja pesanan Thalita di meja, dan berlalu pergi dari situ.
Sepuluh menit kemudian, Thalita beranjak pergi dari kafe itu, dengan
meninggalkan uang di atas meja, di sebelah piring fish and chips pesananannya yang
masih utuh dan sudah dingin. Juga di dekat gelas besar strawberry milkshake yang masih
penuh, dengan titik-titik embun yang membasahi bagian luarnya, yang meninggalkan
genangan air di atas meja.
Sama seperti genangan air yang tertampung di pelupuk mata Thalita.
*** Hari demi hari berlalu, dan tanpa terasa tahun berganti. Desember terlewatkan dalam
hujan deras yang mengguyur sepanjang hari. Januari bergulir menjadi Februari, dan
tiba-tiba saja Valentine sudah di depan mata. Anak-anak kelas X-5 SMA Persada
Bangsa sibuk mempersiapkan acara Valentine mereka dengan pacar atau gebetan
masing-masing. Verina dan Andika bakal merayakan second anniversary mereka tepat Hari Valentine
tahun ini. Tatyana dan Sugeng rencananya mau candlelight dinner di salah satu kafe
yang terkenal romantis karena lokasinya yang outdoor. Nita diajak pergi cowok yang
tinggal satu kompleks perumahan dengannya ke acara V-Day sebuah radio remaja.
Sementara Thalita" Memikirkan Valentine akan datang saja dia sudah miris rasanya.
Valentine tahun lalu dia masih berstatus pacar Andra. Mereka pergi ke sebuah pesta
kembang api, dan tertawa-tawa bersama. Tapi tahun ini" Andra sudah nggak ada lagi
untuk menemaninya. Thalita sendiri, kesepian, pahit"
Tapi Valentine tetap datang dengan ataupun tanpa kehadiran Andra. Dan
kehebohan di SMA Persada Bangsa membuat Thalita geleng-geleng kepala. Tanggal 14
Februari pagi itu, begitu sampai di sekolah, Thalita mendapati ada ribut-ribut di depan
kelas X-6. Usut punya usut, ternyata ada cewek yang lagi nembak Darren!
Thalita cepat-cepat berlari menuju kelas X-6, dan mendapati kerumunan penuh
cewek cekikikan yang melihat salah satu teman mereka yang sedang jadi "pejuang
cinta" itu. Tapi yang bikin Thalita melongo justru adalah karena dia melihat meja
Darren penuh dengan berbagai macam kado dan cokelat. Ada juga bunga.
Kelihatannya itu semua bukan cuma dari cewek si pejuang cinta itu.
"Darren, gue udah suka sama lo sejak kita masih SMP. Lo ganteng banget, dan
setiap kali ngeliat lo, gue deg-degan," kata cewek pejuang cinta itu dengan sedikit
nervous. Kontan aja susunan kalimat barusan mengundang "cieeeeee?" dari kalangan
penonton. Wajah Darren tanpa ekspresi.
"Gue memang nggak pernah dekat sama lo, tapi sekarang gue mau mencoba" Dan
tolong, Ren, kasih gue kesempatan" Mau nggak lo jadi cowok gue?"
Seisi ruangan kelihatannya ikut menahan napas bersama cewek itu, menunggu
jawaban Darren. "Sori, tapi gue nggak bisa" Ada cewek lain yang gue suka sekarang."
Senyap. Seperti ada hantu yang diam-diam mengambil pita suara milik semua
orang yang berkerumun di situ.
"Sori ya," kata Darren lagi, lalu keluar dari kelas itu dengan menerobos kerumunan
orang yang tadi menontonnya.
Setelah Darren pergi, barulah keriuhan pecah. Semua sibuk kasak-kusuk dan
berceloteh, sementara cewek yang ditolak Darren tadi lagi dihibur salah satu temannya.
Dari tampangnya, jelas cewek itu kecewa, tapi kayaknya dia bisa menerima. Mungkin
dia bisa ngerti bahwa tindakannya tadi tergolong nekat, karena dia nggak begitu kenal
Darren, ditambah fakta bahwa Darren dingin sama cewek, tapi dia masih tetap nekat
nembak. Thalita hampir pergi juga dari situ, waktu telinganya menangkap obrolan beberapa
cewek di dekatnya. "Eh, eh, lo dengar nggak tadi, Darren bilang dia lagi suka sama cewek" Siapa ya?"
kata salah satu dari mereka.
"Nggak tahu" kan dia nggak pernah deket sama cewek ya" Kalo cewek yang
deketin dia sih banyak. Orang ganteng gitu!" sahut yang satunya.
Thalita kebingungan. Cewek-cewek ini malah membahas pengakuan Darren bahwa
dia lagi naksir cewek, bukan soal penembakan yang terjadi barusan.
"Eh, tapi kayaknya gue tau deh siapa cewek yang ditaksir Darren itu"," salah satu
cewek itu mulai bergosip lagi.
"Siapa" Siapa?"
"Itu" Thalita, anak X-5! Kan mereka kayaknya akrab banget tuh!"
Kening Thalita berkerut mendengar namanya disebut-sebut. Gosip apa lagi sih yang
beredar ini" "Thalita" Serious lo?" salah satu cewek penggosip itu melongo mendengar celoteh
temannya. "Ya iyalah!" Thalita menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar obrolan beberapa cewek itu.
Kayaknya sebentar lagi bakal ada gosip beredar bahwa dialah cewek yang ditaksir
Darren. Tapi Thalita nggak mau ambil pusing, toh nanti gosip itu bakal hilang dengan
sendirinya. Lagi pula, Thalita nggak naksir Darren karena ia belum bisa melupakan
Andra. Tapi" gimana kalau yang digosipkan cewek-cewek tadi itu benar" Gimana kalau
cewek yang dimaksud Darren memang dia"
Lagi-lagi Thalita menggelengkan kepalanya. Ah, kege-eran amat gue" makinya
dalam hati. Masih banyak cewek di sekolah ini dan di luar sana, kenapa gue bisabisanya mikir bahwa cewek yang ditaksir Darren itu gue" Memang sih dia baik sama
gue, tapi kan sebatas itu aja"


Thalita Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thalita melangkah pergi dari situ, nggak mau membiarkan pikiran ngaconya
semakin berkembang. Masih lima belas menit lagi sebelum bel masuk. Dia pengin ke
lab komputer dan mengecek e-mail di sana.
Lab komputer ternyata kosong. Thalita langsung duduk di depan komputer
favoritnya yang terletak di sudut ruangan. Sekali lagi Thalita bersyukur karena dia
sekolah di SMA Persada Bangsa, yang lab komputernya lengkap dengan fasilitas
Internet 24 jam. Aksesnya cepat, lagi. Ini baru sekolah! pikirnya senang.
Window e-mail Thalita sudah terbuka, dan dia keheranan sendiri melihat satu subject
yang bertuliskan "Kartu ucapan untuk Anda!" Thalita menggerakkan pointer komputer
yang digunakannya ke subject itu dan mengklik di situ. Dengan cepat e-mail itu terbuka,
dan Thalita mendapati tulisan yang membuat mulutnya menganga.
Fenandra Christian mengirim kartu ucapan untuk Anda! Klik di sini untuk
melihatnya. "Nggak mungkin," desis Thalita nggak percaya. "Andra udah nggak ada, mana
mungkin kartu ini dari dia?""
Tangan Thalita bergetar saat sekali lagi menggerakkan pointer mouse dalam
genggamannya. Dia membuka link dari e-mail yang terkirim itu, dan mendapati sebuah
window baru terbuka. Itu e-card untuk macam-macam event seperti yang diterima
Thalita sekarang. Beberapa detik terlewati untuk loading, dan akhirnya e-card itu bisa
dibuka. Thalita mengklik tombol play.
Beberapa detik selanjutnya Thalita terenyak, dan waktu e-card itu selesai dimainkan,
dia menyadari matanya sudah basah.
E-card itu bergambar karikatur cewek dan cowok yang menuruni lembah bunga,
berlarian ke arah pelangi yang ada di kejauhan. Tapi ketika mereka sampai, pelangi itu
sudah menghilang, digantikan gerimis yang turun lagi. Si cewek dalam e-card murung,
tapi si cowok berlari mengambilkannya bunga yang indah, dan muncul tulisan:
Eventhough the rainbow has gone
And the rain comes swept away the fun
My love will never fade away
It will remain, day by day"
Si cewek dalam e-card tersenyum lagi, menyadari pelangi yang hilang itu bukan
apa-apa dibanding kalau dia kehilangan cowoknya. Membaca itu saja Thalita sudah
menangis, tapi air matanya tumpah lebih banyak karena membaca pesan yang ditulis
Andra di bawahnya. Thalita, Maaf, aku nggak pernah bisa jadi seperti yang kamu minta"
Juga karena selama ini aku egois"
Dan karena aku tak bisa menjauhi semua drugs itu,
Lalu kembali padamu"
Maaf, karena semua itu telah membuatmu sedih"
Kalau saja aku bisa, rasanya ingin aku mengubah semua
Kembali ke hari-hari kita yang dulu,
Walau aku tahu itu nggak mungkin terjadi"
Tapi hanya untuk kamu tahu
Aku akan selalu sayang sama kamu
Nggak peduli kita udah nggak bersama lagi
Atau pelangi menghilang dan hujan datang menggantikan
Aku masih akan selalu ada"
Happy Valentine, Tha" :)
With all my love and apology,
Andra ` 051107 Thalita masih menangis waktu pintu lab komputer menjeblak terbuka, dan Darren
muncul di sana. "Thalita"!" serunya kaget. "Kok lo bisa ada di sini?"
Darren berlari mendekati Thalita, dan memperhatikan e-card yang masih
terpampang di monitor komputer.
"Ini" e-card dari" Andra?" tanyanya hati-hati.
Thalita mengangguk. "Andra men-setting-nya supaya terkirim hari ini. Dia
membuat kartu ini November lalu, beberapa hari sebelum dia meninggal?" Jari Thalita
menunjuk tanggal yang tertera di sebelah nama Andra di e-card itu.
"Tha, gue?" Darren kebingungan, antara mau menghibur Thalita seperti dulu atau
tetap berdiri di tempatnya sekarang.
"Kenapa, Ren" Kenapa gue harus kehilangan dia?" Thalita berdiri dan
mengguncang-guncangkan Darren. "Kenapa" Kenapa juga dia harus ngirim kartu ini
buat gue" Kenapa gue harus membacanya setelah dia nggak ada"!"
"Tenang, Tha, tenang?" Darren menahan tangan Thalita yang mengguncangguncangkan badannya. "Mungkin Andra cuma pengin lo tahu, how much you meant for
him" Bahkan kalaupun lo udah nggak sama dia lagi. Juga kalaupun dia udah nggak
ada kayak sekarang?"
Thalita nggak menjawab. Dia cuma menyusut air matanya, dan tepat saat itu bel
berbunyi. "Ayo masuk kelas, belnya udah bunyi tuh. Gue tadi mau ngumpet di sini gara-gara
Gio ngebuntutin gue terus, pengin tahu siapa cewek yang gue sebut-sebut di depan
Siska tadi." "Siska?"" "Mmhh" cewek yang nembak gue tadi itu. Udahlah, nggak usah dibahas lagi. Yuk
masuk kelas, jangan sedih lagi ya?"
Thalita mengangguk, tapi masih ragu. Dia nggak yakin dia bisa nggak sedih lagi
setelah ini. Rasanya bayangan Andra semakin menghantuinya.
*** "Tha, I"m so sorry to hear that"," desah Jennie setelah Thalita cerita tentang e-card yang
dikirim Andra. "Lo jadi ingat lagi ya, sama dia?"
"Gue memang nggak pernah ngelupain dia, Jen?" Thalita menggigit bibirnya kuatkuat. Perih, tapi belum seperih hatinya.
"Tapi, gue rasa udah waktunya lo ngelupain dia?"
Thalita melirik Jennie tajam, membuat sobatnya itu salah tingkah.
"Maksud lo apa?" tanyanya tajam.
"Tha, gue bukannya mau menghilangkan Andra dari hidup lo, tapi" kita harus
terima kenyataan dia udah nggak ada, kan" Dan lo nggak mungkin kayak gini terus. Lo
masih muda, tau. Hidup lo masih panjang. Nggak mungkin lo tetep berkubang dalam
keadaan lo yang sekarang."
"Nggak usah mulai ceramah lagi deh, Jen," kata Thalita sambil mengibaskan
tangannya, seolah dia nggak mau mendengar apa pun lagi yang keluar dari mulut
Jennie. "Gue tahu lo bakal bersifat defensif kayak sekarang. Itu wajar kok, Tha."
"Gue nggak defensif," sangkal Thalita ketus.
"Dengan bilang kayak gitu aja lo udah membuktikan lo defensif," balas Jennie
halus, tahu pasti dia bakal memenangkan debat ini. "Ayolah, Tha, lo udah terlalu
banyak sedih setahun ini. Kadang-kadang gue nunggu lo menyerah dan memutuskan
untuk bahagia lagi?"
Thalita menatap seprai ranjangnya yang bermotif bunga-bunga, berusaha
menulikan telinga, tapi kata-kata Jennie barusan telanjur menusuk dalam.
"Tapi?" "Andra bilang apa di e-card-nya" Walau pelangi menghilang dan hujan datang
menggantikan, dia akan selalu ada" Oh" bullshit! Buktinya, sekarang dia nggak ada di
sini! Gimana bisa dia menjanjikan hal muluk kayak gitu ke elo, kalau untuk menuruti
omongan lo buat masuk rehab aja dia nggak mau?"
"Jen, jangan ngejelekin Andra?"
"Gue nggak ngejelekin, gue cuma bicara fakta kok. Gue dulu nggak benci Andra,
tapi kalau ngeliat kondisi lo sekarang, gue jadi benci banget sama dia. Dia hidup, lo
sengsara. Sekarang dia udah nggak ada, lo tambah sengsara. Thalita, Thalita" lo tahu
gimana cara ngilangin rasa pahit sehabis minum kopi tanpa gula" Makan permen yang
manis, bukannya dengan membiarkan rasa pahit itu tetap ada di lidah lo!"
Thalita terkesiap. Jennie kayaknya memang highly trained banget untuk
menghasilkan kalimat-kalimat yang menusuk begini.
"Jadi" menurut lo, gue harus nyari cowok lagi, gitu?"
"Yah" gue nggak berharap lo lari ke PS sekarang dan ngajak kenalan cowok
pertama yang lo temui di sana, tapi at least lo nggak berkubang dalam kesedihan lagi
lah. Udah berbulan-bulan, Tha" Udah cukup."
Thalita menelan ludah dengan susah payah, dan menyadari ada satu hal yang
belum diceritakannya pada Jennie.
"Mmm" Jen, tadi di sekolah ada yang nembak Darren, tapi Darren nolak dan
bilang ada cewek lain yang dia suka," kata Thalita lirih.
"Wow. It was definitely you that he talking about."
"Menurut lo gitu" Kenapa?"
"Ya ampuuunn, Tha, lo ini buta atau apa sih" Gue yang cuma sering denger cerita lo
aja yakin dia naksir sama lo, kok lo yang ditaksir malah nggak nyadar sih?"
"Hmm" Gue" Gue cuma nggak mau kege-eran aja?"
"Nggak, lo nggak kege-eran kok. Dia ini "permen manis" yang gue maksud tadi. Go
get him, dan biarkan Andra jadi masa lalu, oke?"
Thalita mengendikkan bahu. Tapi dia tahu, akan lebih mudah membiarkan Darren
masuk ke hatinya kalau pintunya sudah terbuka. Dan sekarang memang pintu itu
mulai terbuka, bersamaan dengan terkuncinya pintu lain yang berisi kenangankenangan tentang Andra.
*** "Hai! Nonton Milan lawan Fiorentina nggak semalam?" Thalita memukul punggung
Darren pelan, membuat cowok itu menoleh dan nyengir setengah heran sewaktu
melihatnya. Ini pertama kalinya Thalita mengajaknya ngobrol soal bola lagi setelah
Andra nggak ada. "Nonton dong!" jawab Darren semangat. Dia senang karena entah kenapa Thalita
sudah terlihat ceria lagi.
"Yah" gue ketiduran sebelum second half?" Thalita cemberut. "Skor akhirnya
berapa?" "Satu-satu. Agak ngebosenin juga sih, jadi lo nggak rugi apa-apa kok." Darren
nyengir semakin lebar, membuat Thalita nggak tahan untuk nggak nyengir juga.
"Mmm" Ren, soal yang di lab komputer Jumat lalu itu" Gue minta maaf, ya"
Kesannya gue cengeng banget, cuma karena terima e-card gitu aja nangis. Dan udah
berapa kali gue nangis di depan lo" Kayaknya bukan cuma Jumat kemarin itu ya?"
"Udahlah, Tha, nggak papa kok. Nggak usah diingat-ingat lagi. Gue ngerti perasaan
lo waktu itu, pasti lo sedih banget karena jadi teringat Andra lagi. Gimanapun juga, dia
kan mantan lo, lo pernah sayang sama dia?"
Thalita menghela napas. "Memang. Tapi udahlah, dia udah masa lalu. Dan sekarang
kan dia udah nggak ada?"
Darren menunduk, menatap Thalita yang memang lebih pendek darinya. Baru kali
ini dia dengar Thalita menyebut Andra "masa lalu". Sebelum ini, sepertinya Thalita
nggak pernah mau rela lepas dari bayang-bayang Andra.
"Kenapa" Kaget?" tanya Thalita, seolah bisa membaca pikiran Darren.
"Mmm" ya, sedikit."
"Yah, gue emang baru mengambil keputusan untuk melupakan Andra. Nggak
gampang sih, tapi gue tahu gue harus berani nyoba. Gue kan harus menghilangkan
rasa kopi pahit dalam mulut gue dengan nyari permen manis?"
"Hah" Kopi pahit" Apa hubungannya sama kopi pahit?" tanya Darren, heran
setengah mati. Thalita sadar dia baru saja melantur, bener-bener bego! "Hehe" nggak, bukan apaapa kok. Itu cuma istilah yang dipakai temen gue aja, bukan dalam artian sebenernya
lho?" "Oh" gue kirain lo minum kopi pahit beneran?"
"Hehe, nggak kok. Oyaaa" ngomong-ngomong soal kopi, gue juga mau nagih janji
lagi! Kalau boleh sih?"
"Janji apa?" "Yang di Coffee Bean waktu itu kan gue nggak selera makan apa-apa karena
ketemu Andra, jadiii" kalau gue minta traktir lagi, boleh nggak?"
Alis Darren terangkat. "Traktir lagi" Untuk ngerayain makalah Agama yang sukses
itu?" "Eh" iya?" Thalita menggaruk kepalanya yang nggak gatal, nyadar bahwa
permintaannya barusan sangat konyol dan nggak tahu diri banget. Kok dia bisa jadi
ngawur gini sih di depan Darren"
"Boleh," jawab Darren, terdengar sama sekali nggak keberatan. "Mau di mana?"
Thalita bingung, nggak nyangka Darren mau saja menuruti permintaan bodohnya.
"J.Co Bintaro Plaza, gimana?"
"Boleh. Jam tujuh?"
"He-eh." Thalita mengangguk menyetujui.
"Oke. See ya later."
*** Waktu Thalita sampai di J.Co malam harinya, Darren sudah di sana.
"Hai," sapa Thalita sambil menjatuhkan dirinya di sofa yang berhadapan dengan
Darren. "Sori gue telat. Biasa, macet."
"Nggak papa, gue juga baru dateng kok. Eh, lo pesen aja dulu."
Thalita mengangguk, lalu memesan Copa Banana dan Almonetta, plus segelas
Toffee"O di kasir. Agak maruk sih makan sebanyak itu, tapi mumpung ditraktir! Hihi"
Mereka lalu membahas pertandingan-pertandingan Liga Italia kemarin. Beberapa
kali adu debat, tapi kebanyakan Thalita dan Darren senyam-senyum karena ternyata
tim yang mereka jagokan sama. Thalita merasa fun banget bisa ngobrol-ngobrol bareng
Darren kayak gini lagi. Berbulan-bulan mereka nggak pernah punya waktu untuk seruseruan kayak gini cuma karena masalah Andra, tapi sekarang Thalita bersyukur banget
karena udah mendapatkan teman diskusi bolanya lagi.
Tanpa terasa, pesanan mereka sudah habis semua. Dua jam sudah berlalu, dan
Thalita baru sadar setelah melirik jam yang tertera di LCD HP-nya.
"Eh, udah malam," gumamnya.
Darren mengikuti arah pandangan Thalita. "Iya ya?"
"Ren, makasih ya, gue seneng banget malem ini. Udah lama gue nggak hepi kayak
gini, dan gue utang budi sama lo?"
"Ya ampun, Tha, kok ngomong gitu sih" Gue tuh seneng bisa lihat lo balik jadi ceria
gini lagi. Tadinya gue kira, gue bener-bener udah kehilangan sosok Thalita yang fun
dan asyik kalau diajak ngobrolin bola itu, tapi thanks God, I don"t."
Thalita tersenyum kecil, dan dia jadi merasa bersalah karena mendadak teringat
tingkahnya pada Darren dulu, padahal cowok ini begini baiknya sama dia. "Gue juga
mau minta maaf, soalnya" mungkin lo nyadar, di awal-awal kita kenal, gue seperti
menjaga jarak banget dari lo?"
"Iya, sampai-sampai lo nggak ngizinin gue ke rumah lo walaupun itu buat kerja
kelompok. Dan waktu mau nraktir lo aja, gue nyaris ditolak," kelakar Darren. Cowok
ini bener-bener easy going, kelihatannya dia nggak pernah pusing akan satu hal pun.
"Maaf ya," pinta Thalita nggak enak. "Gue kayaknya jutek banget waktu itu,
padahal" cewek-cewek lain pasti bakal dengan senang hati tukar posisi sama gue. Dan
lo" lo juga pasti nggak pernah ditolak cewek, kan" Sementara gue seenaknya aja?"
"Nggak juga," potong Darren. "Cewek yang benar-benar gue sayang malah nolak
gue habis-habisan." Seperti ada yang baru menyumbat tenggorokan Thalita dengan sesuatu, karena
mendadak dia jadi speechless. Dia, tanpa sadar, sudah memasuki wilayah privasi
Darren. Obrolannya dengan Tatyana berbulan-bulan lalu, tentang cewek yang menolak
Darren ini, seperti diputar ulang di depan mata Thalita.
"Eh" sori, Ren, gue sama sekali nggak bermaksud?"
"It"s okay. Gue emang berniat cerita sama lo kok. Rasanya nggak fair aja, selama ini
lo selalu mau cerita masalah-masalah tentang Andra ke gue, tapi gue nggak pernah
cerita apa pun sama lo soal masalah-masalah gue."
"Jangan menganggap itu keharusan lho?"
"Nggak kok. Gue emang udah berencana pengin cerita tentang ini sama lo someday,
tapi belum nemu saat yang tepat aja. Tapi karena kebetulan tadi kita ngebahas sampai
ke sini, yah" gue rasa nggak ada salahnya gue cerita ke lo sekarang."
Thalita terenyak. Darren mulai bercerita tentang cewek itu, cewek yang
membuatnya patah hati setengah mati sampai dia tanpa sadar jadi dingin pada cewekcewek lain. Cewek yang dia kira bisa membuatnya lupa pada kekecewaannya pada
ibunya yang berselingkuh, tapi ternyata malah membuat luka hatinya makin dalam.
Cewek yang menantangnya mencoba drugs dan semua hal terlarang lainnya, yang
karena Darren menolak maka dia nggak pernah mendapatkan cewek yang
disayanginya itu. Sepanjang Darren bercerita, Thalita terpaksa pasang tampang pura-pura-nggak-tau,
soalnya dia nggak mau membayangkan jika Darren tahu Thalita sudah pernah dengar
cerita ini dari Tatyana. "Namanya Cheryl," kata Darren. Ekspresinya seperti orang yang dipaksa menelan
biji kedondong waktu menyebutkan nama itu. "Gue nggak tau sekarang dia di mana
dan entah udah jadi apa."
"Lo" nggak pernah nyoba nyari tahu?"
"Buat apa" Toh gue kan memang berencana untuk ngelupain dia. Kalau gue nyari
tahu soal dia, gue kan bakal makin susah ngelupain. Nggak ketemu bertahun-tahun
malah bikin gue akhirnya bisa lupa. Cuma yah" nggak mungkin menghapus dia sama
sekali, kan" Seperti kalau lo salah tulis di kertas dan menghapusnya pakai Tip-ex, bekas
Tip-ex itu masih tetap akan ada, dan kertas yang lo tulisi itu nggak mungkin jadi bersih
kembali seperti semula."
Thalita manggut-manggut. Perumpamaan Darren pas banget, dan mungkin seperti
itu jugalah segala ingatan tentang Andra dalam hidupnya. Dihapus seperti apa pun,
nggak akan mungkin kembali bersih seperti semula.
"Eh, udah mau tutup nih," kata Darren membuyarkan lamunan Thalita. Thalita
melihat ke sekelilingnya, dan ternyata pengunjung J.Co yang tersisa cuma mereka.
Waktu ternyata berlari begitu cepat ketika mereka mengobrol.
"Yuk, keluar."

Thalita Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka berdiri, lalu keluar menuju tempat parkir. Angin malam yang dingin
menerpa wajah Thalita saat ia melewati ambang pintu Bintaro Plaza.
"Mobil lo parkir di mana?" tanya Darren.
"Mmm" gue nggak bawa mobil. Tadi di-drop doang sih di sini, soalnya adik gue
mau pakai mobilnya."
"Terus, sekarang lo pulang naik apa?"
"Ya taksi. Tuh, ada banyak." Thalita menuding deretan taksi yang ada di depan
mereka. "Gue antar aja deh, gimana?"
"Nggak usah, Ren, rumah gue deket kok. Di sektor tiga situ. Paling naik taksi cuma
sepuluh menit." "Justru karena dekat itu, lo nggak usah takut ngerepotin gue buat minta diantar
pulang." Darren nyengir, dan Thalita jadi nggak bisa membantah lagi. "Kebetulan gue
bawa mobil. Yah, mobil Bokap sih" soalnya akhir-akhir ini kan hujan deras terus, bisa
basah kuyup gue kalau naik motor. Yuk, gue antar pulang aja, ya?"
Thalita mengangguk, dan tawaran untuk semobil sama Darren (yang pastinya
GRATIS) memang terdengar lebih menggiurkan dibanding harus pulang naik taksi
malam-malam sendirian (bayar, lagi!). Jadi Thalita mengekor Darren berjalan menuju
mobil cowok itu, yang ternyata" sebuah BMW hitam gres!
Kalau nggak ingat kemungkinan buruk Darren bakal menganggapnya cewek matre,
pasti Thalita udah melongo di situ. Wow! Cowok cakep dan mobil keren (walau itu
mobil bokapnya), benar-benar kombinasi yang bisa bikin para cewek klepek-klepek!
Mau nggak mau Thalita jaim, berlagak dia udah sering naik BMW, dan duduk di jok
samping pengemudi. Darren menjalankan mobilnya keluar dari parkiran Bintaro Plaza,
dan mereka mulai melaju di jalanan yang ternyata macet. Entah ada apanya di Jakarta
ini, sudah malam begini masih aja macet. Tapi entah kenapa, Thalita malah merasa
senang melihat kemacetan ini. Dia kan jadi punya waktu lebih lama bareng Darren"
Eh" pikir Thalita bingung. Kenapa gue jadi kesenengan gini" Gawat, kalau anakanak sekolah tau soal ini, apalagi fakta tentang gue yang diantar pulang Darren, pasti
gosip langsung meledak tanpa ampun!
Thalita menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengusir sebersit perasaan
senang yang tadi hinggap. Lumayan berhasil, dia jadi nggak mikir yang aneh-aneh lagi.
Plus, Darren sekarang menyetel radio, jadi perhatian Thalita sedikit teralihkan oleh
suara-suara dari radio itu.
"Yap! Barusan lo dengerin Sadis dari Afgan yang di-request sama Parjo. Buseett"
yang namanya Parjo aja sekarang udah punya HP yak" Bisa SMS request juga doi!"
Penyiar radio itu berceloteh, membuat Thalita nggak tahan untuk nggak nyengir
membayangkan mas-mas bernama Parjo, lengkap dengan peci dan sarung tersampir di
bahu yang bertampang ndeso, mengirim SMS request ke radio. Bayangan itu
membuatnya geli sendiri. "Nah, Parjo ngirimnya buat Parti, pembokat Bu Vony tetangga sebelah! Alamak!" Si
penyiar terkekeh. "Kok buat pacarnya sendiri milih lagu Sadis sih, Bang" Bisa digampar
lho ntar!" Si penyiar radio cengengesan lagi. "Ya udah, request berikutnya dari Daisy di
SMA 23, buat Arya, gue sayaaanggg banget sama elo! Request Mengenangmu-nya
Kerispatih. Lha! Ini lagi! Emang Arya-nya di mane, Mpok?"
Thalita melongo mendengar judul lagu itu, dan dalam hati berdoa mati-matian
supaya lagu itu jangan diputar. Dia nggak mau menangis lagi waktu mendengarnya,
seperti dulu waktu dia mendengar lagu itu di kafe entah apa namanya.
Tapi harapan Thalita nggak terkabul.
"Ya udah, gue puterin langsung deh, dari Daisy buat Arya, ini dia Mengenangmu
dari Kerispatih." Dan intro lagu yang diiringi orkestra itu mengalun dalam mobil Darren, membuat
Thalita menggigit bibirnya kuat-kuat.
Tak "kan pernah habis air mataku"
Bila kuingat tentang dirimu"
Ya Tuhan, jangan" Jangan biarkan aku menangis di sini" Jangan" Thalita
memohon dalam hati. Aku harus bisa melupakan Andra, dan itu berarti juga
mendengar semua hal yang membuatku teringat padanya, tapi tanpa menangis lagi"
Lagu itu terus mengalun, sementara Thalita setengah mati menahan air matanya.
Adakah di sana kau rindu padaku"
Meski kita kini ada di dunia berbeda"
Thalita menggigit bibirnya semakin kuat, dan tiba-tiba saja dia mendapati alunan
lagu itu menghilang. Dia menoleh dan melihat ujung jari Darren ada pada tombol power
radio. "Jangan nangis, Tha. Jangan nangis lagi?"
Entah kenapa sepertinya air mata Thalita menuruti kata-kata Darren. Mendadak
bendungan yang ada di pelupuknya menghilang, dan dia menghela napas dalamdalam.
Dia akan melupakan Andra, seperti Darren melupakan Cheryl.
*** Sepuluh menit kemudian, mobil Darren berhenti di depan rumah Thalita, dan cewek
itu melangkah turun dari mobil.
"Makasih ya" Hati-hati di jalan," kata Thalita sebelum menutup pintu mobil.
"Iya. Eh, Tha?"
"Ya?" Thalita melongokkan kepalanya ke dalam mobil lagi.
"May I try?" tanya Darren, dia menatap Thalita lurus-lurus.
Jantung Thalita berdegup kencang. Apa cowok ini barusan meminta izin untuk
mendekatinya" "Try what?" "Replacing Andra?"
Thalita mengerjap. Dugaannya nggak salah. "Permen manis"-nya sudah ada.
"You may," jawab Thalita sambil tersenyum, lalu menutup pintu mobil Darren dan
berjalan menuju pagar rumahnya.
DELAPAN "Ren, gue mau ngomong."
Darren menurunkan majalah sepak bola yang dibacanya, keningnya berkerut
melihat tampang Tatyana yang serius menatapnya.
"Ya ngomong aja."
"Tapi janji jangan marah?"
Kali ini Darren meletakkan majalahnya. "Tunggu, lo nggak melakukan sesuatu yang
parah, kan?" tanyanya penuh curiga.
"Yah, cukup parah sih?"
"Jangan bilang lo ngebakar semua poster dan kliping bola gue."
Tatyana mendengus. "Ya nggaklah, gue nggak segila itu. Ini" soal Thalita."
"Thalita kenapa?"
"Mmm?" Tatyana menjatuhkan dirinya di sofa sebelah Darren. "Gue mau ngaku"
dulu gue pernah minta Thalita untuk pedekate sama lo?"
Darren melongo. "Maksud lo?"
"Yah" soalnya gue" gue nggak tega aja lihat lo jadi dingin sama cewek sejak lo
dikecewain Cheryl, dan gue lihat Thalita anaknya baik, lucu, dan" gue rasa dia bakal
cocok sama lo, dan?"
Sunyi selama beberapa detik. Darren menatap adiknya ini lekat-lekat.
"Ya ampun, Lita!" seru Darren kemudian, membuat Tatyana nyaris terlonjak dari
sofa yang didudukinya. "Lo nyadar nggak sih apa yang lo lakuin" Kesannya gue nggak
sanggup cari cewek sendiri, tau nggak"! Terus" selama ini Thalita deket sama gue juga
karena lo yang nyuruh" Bukan karena keinginan dia sendiri, gitu?" Darren meledak.
"Eh, Ren, bukan gitu" Sumpah bukan gitu maksud gue" Dan gue sama Thalita
juga udah ngebatalin semua kesepakatan kami kok. Thalita bilang, perasaannya belum
"kena" sama lo, dan itu mungkin karena saraf otaknya rusak gara-gara patah hati sama
cowoknya dulu. Itu bikin gue jadi mikir lagi, dan gue nyadar gue ternyata stupid banget
udah minta hal konyol kayak gitu ke Thalita, padahal cinta kan nggak bisa
dipaksain?" Otak Darren berputar cepat. Perasaan Thalita belum "kena" padanya"
"Kapan itu?" Darren mulai mereda. Dia baru sadar percuma saja dia marah-marah
sekarang. Malah mungkin lebih baik kalau dia mendengarkan semua omongan
Tatyana. "Udah lama, bulan-bulan awal tahun ajaran baru."
Darren terdiam, dan dia berpikir. Mungkin itu sebabnya di awal tahun ajaran dulu,
Thalita seperti "terpaksa" mendekatinya, tapi waktu Darren menunjukkan respons,
cewek itu malah mundur teratur. Ya, pasti itu. Thalita mendekatinya karena diminta
Tatyana, tapi dia mundur saat Darren menunjukkan respons, karena sebenarnya dia
nggak suka pada Darren. "Terus"," Darren terdiam, agak ragu melanjutkan kalimatnya, "kenapa sekarang
dia mau dekat sama gue" Bukan karena lo yang nyuruh lagi, kan?"
Tatyana cepat-cepat menggeleng. "Sueerrr" kali ini bukan gue yang nyuruh! Gue
sendiri heran kok, kenapa kalian bisa dekat justru saat gue udah ngebatalin semua
kesepakatan itu sama Thalita."
"Dan kenapa" Thalita nggak pernah cerita soal semua ini ke gue?"
"Yah, dia kan nggak goblok, Ren. Dia pasti tau lo bakal marah banget seandainya
dia cerita soal kesepakatan gue sama dia ini."
"Terus" kenapa tiba-tiba lo sendiri yang cerita soal ini semua ke gue?"
"Eh" nggak ada maksud apa-apa sih" Gue cuma ngerasa nggak enak aja sama lo
kalau lo nggak tahu tentang ini. Dan gue juga sebenernya penasaran kenapa sekarang
Thalita bisa dekat sama lo tanpa terpaksa?"
Mungkin karena sekarang Andra udah nggak ada, jawab Darren dalam hati, karena
itulah Thalita mulai bisa menerima gue.
Sekarang Darren menatap adiknya penuh selidik, dan Tatyana jadi sewot karena itu.
"Kenapa" Lo nggak percaya sama gue, ya?"
"Nggak tau deh."
"Darren, denger deh, kalau ada yang harus disalahkan atas semua ini, itu adalah
gue. Gue yang minta Thalita pedekate sama lo, gue yang punya ide konyol itu, dan
Thalita sama sekali nggak salah. Lo jangan marah sama dia ya" Gue udah seneng
banget lihat kalian bisa deket kayak sekarang ini" dan gue nggak mau semuanya jadi
kacau karena pengakuan gue barusan."
"Iya deh iya" gue percaya. Jadi, yang sekarang ini bener-bener tanpa campur
tangan lo?" Darren memastikan.
"Sejuta persen tanpa campur tangan gue!" kata Tatyana mantap. "Eh" tapi ada
kontribusi gue juga sih. Gue kan berdoa tiap malam supaya lo bisa dapat cewek yang
baik, dan ternyata lo malah bisa dekat sama Thalita. Itu kan bukti gue berkontribusi
juga!" Darren meringis., lalu mengacak rambut Tatyana. "Makasih ya, Lit. Doain lagi
supaya semuanya bisa lancar dan seperti yang lo dan gue inginkan, oke" Dan jangan
ngulangin hal konyol itu lagi!"
"Oke!" *** "Thaaaa, ngaku aja deh!"
"Apa sih, Nit?"?" desis Thalita jengkel. Sedari tadi Nita mengusiknya terus, sampaisampai dia nggak konsen menyelesaikan latihan Kimia-nya, padahal buku latihan
harus dikumpulkan kurang dari sepuluh menit lagi!
"Lo jadian ya, sama Darren" Ya, kan" Ya, kan" Ya, kan?"
"Nggak!" "Ihh" ngaku aja kenapa sih" Kan biar gue nggak gangguin lo lagi! Gue penasaran
banget, tahu nggak" Mana anak-anak pada tanya semua ke gue! Gue kan keki juga
kalau gue bilang nggak tahu, padahal lo sahabat gue!"
Thalita manyun. Memang wajar kalau anak-anak SMA Persada Bangsa curiga dan
kepengin tahu, soalnya bisa dibilang Darren dan Thalita sekarang kayak kembar siam.
Ke mana-mana mereka nempel terus dan nggak pernah lepas! Yah" lepasnya cuma
sekali-sekali sih, kalau Nita minta ditemani ke kantin tapi dia nggak mau jadi obat
nyamuk, atau kalau Darren lagi ngumpul sama teman-temannya. Fakta di-mana-adaThalita-di-situ-pasti-ada-Darren-dan-sebaliknya itu jelas membuat sebagian besar isi
SMA Persada Bangsa blingsatan saking penasarannya. Dan sekarang Nita jadi ikutikutan heboh, kayak wartawan infotainment yang kepengin mengorek gosip terpanas.
"Ya ampun, Nita" Ya lo bilang aja kalau gue nggak jadian sama Darren!
Kenyataannya gitu kok!"
"Tapi kalo nggak jadian, kok kalian bisa deket banget" Dia pedekate sama lo, ya?"
"Nggak tahu!" jawab Thalita sewot. Tujuh menit sebelum waktu pengumpulan
buku latihan. "Yeee" kok nggak tau" Gimana sih?"
"Aduh, Nit, udahlah" nanti kalau misalnya gue jadian atau apa gitu, pasti lo yang
pertama gue kasih tahu kok!"
"Bener?" tanya Nita, dan Thalita melihat mata sobatnya itu berbinar. Haduh,
ampun deh anak satu ini! "Iya! Sekarang diam deh!"
Nita diam, dan Thalita setengah mati berusaha konsen menyelesaikan latihan
Kimia-nya. Sayang, dia gagal, karena waktu dia baru mau menulis rumus untuk soal
nomor empat, bel pergantian pelajaran berbunyi, dan itu berarti buku latihan harus
dikumpulkan, selesai atau nggak.
Thalita jadi bete sepanjang sisa hari itu. Ternyata jadi "artis" yang lagi digosipkan
memang nggak enak. Pantas aja Cut Memey dan Angel Lelga dulu selalu pasang
tampang kusut bak kaus kaki kucel yang belum dicuci tiap kali nongol di infotainment.
Munculnya Kera Siluman 2 Pendekar Rajawali Sakti 16 Rahasia Kalung Keramat Dosa Dosa Tak Berampun 2

Cari Blog Ini