The Truth About Forever Karya Orizuka Bagian 2
tawa. Yogas hanya tersenyum kecut.
"Yah, makasih." Yogas mengalah dan mengambil nampan itu dari tangan Kana.
"Jangan lupa setelah makan piringnya dicuci ya," perintah Kana. Dia terimgat akan
pengalamannya sendiri saat lupa mencuci piring dan kena marah tantenya.
"Ya, Bu," jawab Yogas membuat Kana tersenyum geli.
Sebelum Yogas menghilang ke dalam kamarnya, Kana berkata lagi, "Jangan lupa, sebelum
makan cuci tangan dulu, ya!"
Yogas menutup pintu, tersenyum sendiri mendengar kata-kata Kana. Dia menatap makanan di
tangannya. Gudeg buatan ibu kost. Rasanya sudah begitu lama Yogas tidak melihat nasi. Yogas
segera duduk dan dengan cepat menyantap nasi gudeg itu seakan tidak pernah makan
sebelumnya. *** "Hana tak kuasa lagi manahan perih di hatinya saat melihat Angga pergi... Kenapa bahasaku jadi
menjijikkan begini, ya?" gumam kana bingung saat membaca layar komputernya.
"Arrrggghhhh!!"
Kana berbaring di lantai, fristasi pada karyanya yang sedari tadi belum juga beranjak dari
halaman tiga puluh sembilan, dan malah makin ngaco. Kana menghela napas, bangkit, dan
seperti biasa, melakukan senam-senam kecil untuk kembali menyegarkan pikirannya. Dia melirik
jam dinding, dua belas lebih sepuluh.
Kana memutuskan untuk membaut secangkir susu cokelat panas untuk mengembalikan
semangatnya. Perempuan itu mengambil sebotol air dan sebungkus susu cokelat, lalu membuka
pintu untuk pergi ke dapur. Dia melirik ke kamar yogas yang lampunya masih menyala, lalu
buru-buru kembali lagi ke kamarnya.
*** Yogas menatap kosong layar handycam-nya. Di sana, tampak teman-teman SMA-nya sedang
bersama-sama mengerjakan pentas seni. Yogas menekan tombol stop, membuka kaset mini
DVD-nya, lalu melemparnya sembarangan. Di kaset itu, tertempel stiker bertuliskan "Pensi
2000'. Yogas menggapai-gapai kaset lain tanpa melihat dan yang terambil adalah yang
bertuliskan "Anyer 2000'. Alih-alih langsung menyetelnya, Yogas malah menatap kaset itu
dingin. "Gas..." Yogas tersentak kaget saat mendengar suara seseorang memanggil namanya. Yogas menatap
kaset di tangannya bingung. Mungkinkah...
"Gas..." Kali ini, Yogas segera melempar kaset itu. Suara itu mirip sekali dengan suara seseorang yang
pernah dikenalnya. Tetapi, tidak mungkin...
"Yogas!" Yogas menoleh ke arah pintu. Ternyata, suara itu berasal dari sana. Yogas menghela napas lega,
tetapi detik berikutnya, dia bingung. Diliriknya jam tangannya. Setengah satu pagi.
Yogas membuka pintu dan tampang Kana muncul. Di tangannya, terdapat dua buah mug yang
mengepul. Yogas mengernyit.
"Nih." Kana menyodorkan satu mug bergambar Mickey Mouse.
"Apa nih?" tanya Yogas, belum mengambil mug yang disodorkan.
"Susu cokelat. Katanya, bagus buat pertumbuhan," jelas Kana.
"Pertumbuhan gue udah maksimal," tukas Yogas.
"Ambil aja kenapa, aku gak mau minum dua-duanya, nih," balas Kana. "Udah susah-susah
dibuatin, juga." "Gak ada yang nyuruh lo ngebuatin." Tetapi Yogas menerima mug itu. "Thanks."
Kana mengangguk kecil sambil mengintip ke dalam kamar yogas. "Kamu lagi ngapain" Kok jam
segini belum tidur?" tanyanya, membuat yogas merasa harusnya dialah yang bertanya seperti itu.
"Gak ngapa-ngapain," yogas menjawab sambil berusaha menghalangi pandangan Kana. "Lo
sendiri" Gak takut lo jalan-jalan sendirian hari gini?"
"Udah terlalu biasa," jawab Kana. "Tinggal di kost ini bakal bikin kamu gak takut sama apa pun
lagi." Yogas membenarkan dalam hati. Kost ini memang lebih mirip rumah hantu.
"Oke. Kalo gitu, gue mau tidur." Yogas mengakhiri pembicaraan, tak berniat mengobrol malammalam. "Ini, thanks."
Tanpa menunggu jawaban kana, yogas masuk dan menutup pintu kamarnya. Tak berapa lkama,
dia mendengar suara pintu sebelah ditutup. Yogas duduk di kasur sambil menatap susu cokelat di
tangannya. Sepertinya, dia tidak boleh terlalu baik pada Kana. Dia tidak membutuhkan lebih
banyak masalah. Yogas menghirup susu cokeleat itu, lalu menghabiskannya dalam sekali teguk.
*** Sudah beberapa hari ini yogas menyantroni beberapa fakultas di kampus UGM, tetapi orang
yang dicarinya gak juga ketemu. Tak terkecuali hari ini. Lagi-lagi, dia pulang dengan tangan
kosong. Orang yang pertama kali diliat yogas di kost adalah seorang berambut gimbal. Kalau saja dia
tidak berpakaian lengkap, Yogas akan menyangka dia orang sakit jiwa. Itu pun, kalau hanya
boxer dan kaus oblong bisa dibilang lengkap.
"Hai" sapa orang itu membuat yogas berhentu. Yogas mengangguk pada orang itu. "Anak baru
ya?" Yogas mengangguk lagi. Ternyata, orang itu penghuni kost ini juga. Salah satu dari cowok yang
tertinggal di kost ini. "Namaku Ono," katanya sambil menyodorkan tangan.
yogas menyambutnya. "Yogas."
"Peace, yo," Ono tiba-tiba menunjukkan gerakan memukul dada dan mengancungkan simbol
Victory. Yogas menatapnya bingung.
"Peace," kata yogas akhirnya sambil mengancungkan jari telunjuk dan tengahnya juga.
Tiba-tiba, terdengar suara tawa dari atas, membuat Yogas dan Ono sama-sama mendongak. Kana
sedang menatap mereka sambil memegangi perut. Wajahnya tampak geli. Yogas buru-buru
menurunkan tangannya saat sadar kalo perempuan itu sedang menertawainya.
"Cuekin aja, Gas, dia pikir dia Bob Marley," ucapannya mebuat Ono cemberut. Yogas tersenyum
sopan pada Ono, lalu naik.
"Ra kuliah, tho Kan?" Tanya Ono pada kana dnegan logat Jawa yang kental.
"Ora, Mas. Libur," jawab Kana, dan langsung nyengir pada Yogas yang sudah sampai di lantai
dua. "Gas, kamu hati-hati lho sama Kana. Siap nyerang kapan saja tuh!" teriak Ono dari bawah,
membuat Yogas tersenyum kaku. "Tiap malem harus kunci pintu.
"Heh, harusnya aku yang dibilangin begitu!" balas Kana keki.
"Wah, gak ada niat mau nyerang tuh," komentar yogas sambil merogoh saku celananya dan
mengambil kunci. Kana menatapnya sebal.
"Eh, jangan pede dulu, ntar-ntar kalo kamu naksir aku, repot lho!" sahut Kana membuat Yogas
mendengus. Yogas masuk ke kamarnya lalu menutup pintu. Benar sekali. Akan sangat repot baginya kalau
harus menyukai seseorang. Atau, disukai.
*** Yogas baru akan memasak air untuk mie cup-nya saat kana muncul tiba-tiba dan mematikan
kompor. Yogas mengernyit dan menatap cewek itu.
"Disuruh makan barenag Bulik. Ayo," kata Kana sambil menarik yogas yang belum sempat
menyanggupi menuju rumah ibu kost yang letaknya bersebelahan dengan bangunan kost.
Disana, ibu kost beserta suami dan anak satu-satunya yang masih berusia sepuluh tahun, Ono,
dan seorang lelaki dengan kacamata tebal yang diyakini Yogas sebagai penghuni kost satunya
lagi, sudah duduk manis mengelilingi sebuah meja makan.
"Aku berhasil bawa dia ke sini," sahut Kana ceria lalu menyuruh Yogas duduk. "Ini dia nih anak
baru yang gak sopan. Udah dua minggu lebih ngekost, tapi belum kenalan."
"Hus, jangan ngomong begitu ah, siapa tahu dia sibuk," kata ibu kost sambil tersenyum pada
Yogas yang membalasnya dengan kaku.
"Iya, nih. Nak yogas, maaf ya, kana memang agak judes," timpal suami ibu kost membuat kana
melotot. "Gak apa-apa, pak," jawab Yogas membuat kana pindah memelototinya.
"Yogas, ini suami saya Harun, dan ini Mela, anak saya satu-satunya. Terus kamu udah kenal
ono, kan" Nah, kalo yang ini namanya Agus," Ibu kost menunjuk kelaki yang berkacamata.
Yogas mengangguk padanya, yang dibalas anggukan singkat. "Dia anak kedokteran. Pintar
banget lho, sampai dapat beasiswa!"
Yogas mengangguk-angguk kecil, benar-benar kagum pada orang yang sudah kuliah di
kedokteran, dapat beasiswa pula. Tak heran bentuk Agus seperti itu. Mungkin dia terlalu sibuk
belajar sampai tak senpat bersisir.
"Yang bawel itu, kamu pasti udah kenal. Dia banyak nyusahin gak, Gas" tanya Ibu kost lagi.
Kana seperti siap mengamuk.
"Lumayan," jawab yogas menbuat Kana benar-benar mengamuk.
"Adu, maaf ya, kalo dia sering ribut, anaknya memang suka heboh sendiri. Tapi, sebenarnya dia
anak baik kok," kata ibu kost sambil nyengir pada Kana yang melangkah ke dapur masih sambil
misuh-misuh sendiri. "Besok-besok, kalo mau makan, datang saja ke sini. Kita makan bareng," kata Bapak kost.
"Kami semua biasa makan malam bareng."
Yogas mengangguk ragu sementara Kana sudah kembali dengan setumpuk piring. Ono
membantu mendistribusikannya.
"Yah, kalau begitu, ayo kita mulai makan!" sahut Bapak kost lagi setelah semua orang
mendapatkan piring. "Ayo, Gas, makan yang banyak!"
Yogas hanya mengangguk pelan sambil memperhatikan anak-anak lain berebut perkedel jagung.
Kana menatap yogas heran.
"Gas" Kenapa?" tanyanya membuat yogas menatapnya. "Jangan salahin kita lho, kalau lauk
pauknya habis. Di sini sistemnya seleksi alam."
Yogas tertawa garing dan menggapai satu perkedel jagung yang tersisa,kemudian menatap nasi
di piringnya. Dia melirik orang-orang di sekitarnya yang sudah mulai sibuk makan sambil
berkicau. Sudah lama Yogas. Tidak merasakan suasana makan malam seperti ini. Yogas
tersenyun dalam hati, lalu bermaksud untuk mulai makan.
"Bulik, nanti aku bantuin cuci piring," ujar kana di sela-sela cerita Agus tentang ujiannya.
Mendengar itu, yogas tersentak dan menatap sendok di tangannya yang sudah setengah terangkat
di udara. Sendok itu terlepas dengan sendirinya dan jatuh ke piring, membuat suara berdenting
keras. Semua orang berhenti berbicara dan menatap yogas yang wajahnya pucat pasi.
"Gas" Kamu kenapa, Nak?" tanya ibu kost, terlihat khawatir. "Masakan ibu gak enak?"
Yogas masih belum bisa menguasai dirinya. Wajahnya tegang dan dari dahinya keluar keringat
dingin. "Maaf, saya ke belakang dulu," katanya, lalu buru-buru bangkit dan pergi meninggalkan meja
makan. Semua orang saling tatap dengan pandangan heran.
Secepat mungkin, Yogas berjalan kembali ke kamar kost-nya, lalu masuk kamar mandi sambil
menjambak-jambak rambutnya sendiri. Bagaimana mungkin tado dia berpikiran untuk makan
bersama keluarga itu" Bagaimana mungkin kemarin-kemarin dia juga menerima makanan dan
minuman dari Kana" Yogas memukul dinding di depannya keras-keras. Napasnya tersengal, mulai memikirkan
dirinya yang nista itu dengan tamaknya mau merasakan sedikit kebahagiaan tanpa memikirkan
akibatnya. Yogas menatap cermin kecil di depannya. Dia tahu dia seharusnya tidak memulai hubungan baik
dengan siapa pun. Yogas membasuh wajahnya dengan air, menarik napas dalam-dalam, lalu
menghelanya. Tak lama kemudian, Yogas keluar dari kamar mandi dan tertegun melihat Kana yang sudah
menunggu di depan kamarnya sambil membawa nampan. Wajahnya terlihat khawatir.
"Gas, kamu gak enak badan, ya?" tanyanya sementara yogas menghampirinya. "Bulik khawatir
banget, makanya aku bawain makanan kamu ke sini."
"Gak perlu," tukas Yogas dingin sambil melewati Kana, bermaksud masuk ke kamar. Kana
menatap yogas bingung. "Tapi, ntar kamu sakit," kata Kana lagi, membuat Yogas berbalik.
"Apa peduli lo?" tanyanya tak sabar. Kana terdiam, jadi Yogas mendesah. "Denger,r. Jangan
pegi ke sini, karena gue gak perlu. Ngerti?"
Yogas masuk ke kamar dan membanting pintunya tepat di depan Kana yang masih mematung.
Yogas menjambak rambutnya, lalu terduduk di belakang pintu.
Lebih baik begini. Memang, lebih baik begini.
Misterious Guy "Aneh banget," kata Kana dengan mata menerawang.
Lian menatapo Kana, lalu beralih pada whiteboard. Saat ini mereka sedang berada di kelas,
menunggu dosen datang. "Apanya?" tanya Lian, setelah tak menemukan kejanggalan pada whiteboard yang ditatap Kana.
"Si alien," kata Kana lagi membuat Lian tiba-tiba bersemangat.
"Oh Yogas" Emangnya kenapa" Dia ngap-ngapain kamu?" serunya membuat Kana mendelik.
Begitu Lian nyengir kuda, Kana menghela napas.
"Kadang-kadang baik. Kadang-kadang judes. Semalam malah ngamuk," adu Kana.
Lian mengernyit. "Ngamuk kenapa?"
Kana mengangkat bahu. "Gak tahu, aku juga gak ngerti. Padahal aku cuma bawain dia makanan
kayak sebelum-sebelumnya. Kupikir aku punya salah, tapi setelah dipikir-pikir lagi, kayaknya
gak," lanjut Kana lagi, lalu mendesah. "Memang bener-bener makhluk aneh."
"Kan," kata Lian membuat Kana menoleh. "Kamu gak naksir dia, kan?"
Kana tidak langsung menjawab. Dia menatap Lian sementara Lian balas menatapnya penuh arti.
"Li, kayaknya salah deh aku curhat ama kamu," kata Kana akhirnya.
"Naksir juga gak apa-apa, Kan. Aku ikhlas kok," jawab Lian membuat Kana mengernyit.
"Kenapa juga harus gak ikhlas?" tanya Kana dan Lian pun tertawa.
*** Yogas menatap bangunan di depannya. Fakultas Hukum UGM. Mungkin orang yang dicarinya
ada di sini. Setelah kejadian semalam, Yogas kembali bersemangat untuk menemukan orang itu,
menyelesaikan masalahnya, dan kembali ke Jakarta. Yogas tak mau berlama-lama di sini.
Yogas mengorek sakunya, mengeluarkan ponsel yang selama beberapa hari terakhir dia matikan,
lalu mengaktifkannya. Seketika, beberapa pesan masuk ke inbox-nya. Kebanyakan dari ibunya,
tetapi satu pesan dari seseorang membuat Yogas tertegun. Tanpa membacanya, Yogas mencatat
nomor Eno di kertas, mencabut SIM card dari ponselnya, lalu membuangnya ke kolam. Setelah
berhasil mendapatkan kartu perdana baru di penjual pulsa, Yogas langsung menelepon Eno.
"No" Gue. Gue di depan Hukum UGM. Kalo bisa, gue pengen ketemu," kata Yogas begitu
telepon tersambung, lalu dia mengangguk setelah mendengar jawaban Eno. "Oke, gue tunggu."
Dia memutus sambungan telepon dan duduk di halte bus. Beberapa orang dari dinas
perhubungan yang bertugas mengambil uang dari bus-bus mengobrol sambil sesekali meliriknya.
Yogas tidak memperdulikan mereka. Dia memasang headphone-nya dan mendengarkan
"Perfect" milik SUM 41.
Tak berapa lama, seorang cowok dengan motor bebek berhenti di depan Yogas. Cowok itu
membuka helmnya sedikit, lalu mengangguk pada Yogas.
"Ga," sapa Eno membuat Yogas bangkit. "Ayo."
Yogas memakai ranselnya dan melompat ke belakang Eno. Tanpa basa-basi, Eno segera tancap
gas. "Jadi, apa kabar lo, Gas?" tanya Eno sambil mengembuskan asap rokok.
"Gitu aja," jawab Yogas pendek sambil memainkan kotak rokoknya.
"Tadi, Eno membawanya ke kafetaria UGM. Karena belum saatnya makan siang, cafetaria itu
tampak sepi. Yogas sendiri tidak berminat untuk makan.
"Belum ketemu juga?" tanya Eno lagi. Yogas menggeleng. Eno mendesah sambil mematikan
rokok di asbak. "Lo masih dendam sama dia, Gas" Udah mau empat tahun."
Yogas mendengus. "Gimana gue gak dendam, No" Dia ngehancurin hidup gue."
"Gas, kalo lo masih mikirin kejadian itu, lo gak bakal maju. Lupain aja kenapa" Lagian lo gak
kenapa-kenapa, kan?" kata Eno membuat Yogas menatapnya tajam.
"Lo gak tahu apa-apa, No," tandasnya dingin.
"Kalo gitu, kasih tahu gue. Lo gak bisa ngarepin gue mau bantu lo, kalo lo gak ngasih tahu gue,"
kata Eno lagi. Yogas menatap Eno ragu.
Cafetarian mulai ramai saat Yogas akhirnya memberitahu Eno tentang apa yang terjadi padanya
selama empat thun terakhir. Eno mendengarkan ceritanya dengan mulut terbuka lebar.
"Serius lo, Gas?" tanya Eno, wajahnya menegang. Yogas mengangguk.
"Sekarang, mau ngomong apa lo tentang lupain dia?" cetus Yogas. "Gue harus cari dia sampe
dapet. Setelah itu, gue gak peduli apa yang bakal terjadi sama gue. Toh, gue juga udah gak punya
alasan buat hidup." Eno menatap ngeri Yogas yang sekarang menyalakan rokoknya.
"Stop dulu ngerokoknya," Eno merebut rokok dari mulut Yogas.
Yogas bengong, lalu tertawa terbahak-bahak. "Lo kedengeran kayak nyokap gue."
Tapi Eno tidak tertawa. Dia hanya menatap temannya itu, tak tahu harus melakukan atau
mengatakan apa. Yogas menyadarinya, jadi dia berhenti tertawa.
"Jangan lo juga, No," sambung Yogas, membuat Eno mengernyit. "Jangan lo juga kasian sama
gue. Gue muak dikasihani."
Eno mengangguk kecil. "Sori. Gue bakal bantu semampu gue, tapi gue gak janji bisa nemeni lo
karena gue kerja." "Gak apa-apa. Gue lega udah ngomong sama lo. Seenggaknya, lo orang yang paling kalem
setelah tahu gue kenapa," kata Yogas sambik tertawa miris.
Eno balas tersenyum tipis, lalu menatap Yogas yang kembali menyalakan rokok. Tak pernah
disangkanya kalau teman masa SMA-nya ini akan berubah menjadi orang seperti ini.
*** Kana memasukkan Vario birunua ke dalam garasi kost dan naik tangga dengan langkah gontai.
Setelah tadi kuliah seharian penuh, tubuhnya seolah baru ditimpa raksasa. Diam-diam, dia
mengutuk kehidupan perkuliahannya yang semakin berat. Kalau sudah begini, bagaimana dia
bisa menyelesaikan naskahnya"
Kata sedang memijat lehernya yang pegal saat dia melihat yogas keluar kamar mandi. Sesaat,
mereka saling tatap, tapi akhirnya yogas membuang muka dan berjalan cuek ke kamarnya.
"Dasar alien," ujar Kana membuat Yogas menoleh.
"Hah?" Yogas mengenyitkan dahi.
"Dasar alien. Sebentar-sebentar baik, sebentar-sebentar judes. Dasar gak knsisten," kata kana
lagi. Yogas menatap Kana yang cemberut. "Terserahlah," komentarnya pendek, lalu masuk ke
kamarnya.
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hiiihhhh!" seru Kana gemas sambil melemparkan sandalnya ke pintu kamar Yogas. "Orang
aneeehhh!" Sambil tersengal, Kana masuk ke kamarnya dan melemparkan tas sembarangan. Kana mendelik
ke dinding yang menempel dengan kamar Yogas. Tiba-tiba, kata-kata Lian tadi pagi terngiang di
telinga Kana. "Emangnya siapa yang suka sama orang aneh kayak kamu!" teriak Kana lagi, sambil
melemparkan boneka-bonekanya ke dinding itu.
Yogas mengenyit saat mendengar suara ribut-ribut dari kamar sebelahnya.
"Berisik!" sahutnya sambil memukul dinding di sebelahnya. Dia duduk di kasur, lalu
mengeluarkan handycam-nya.
Setelah suara-suara itu menghilang, Yogas berkonsentrasi pada layar handycam di depannya dan
memutar kembali kaset berisi rekaman saat kelasnya sedang bersiap-siap mengadakan pentas
seni. Sekilas, dia menangkap sosok Eno yang sedang memotong karton. Itu membuatnya teringat
pada pertemuan mereka tadi siang.
Yogas merasa bebannya sedikit terangkat setelah berterus terang pada Eno. Setidaknya, sekarang
Eno bersungguh-sungguh membantunya menemukan orang itu, dan tidak menjauhinya seperti
semua orang. Tahu-tahu, orang yang sedang dipikirkan Yogas muncul di layar handycam, tertawa-tawa sambil
mengancungkan sapu seolah tak ada yang terjadi. Memang, saat itu semuanya belum terjadi.
Yogas jadi ingin kembali ke masa-masa itu, masa-masa saat semuanya masih baik-baik saja.
Namun, itu sudah tak mungkin. Tak ada gunanya mengharapkan sesuatu yang mustahil. Yogas
menutup layar handycam. Tangannya terkepal keras sampai bergetar.
Dia harus segera menemukannya. Harus.
*** Kana menatap kosong langit biri di atasnya. Tangannya memegang baju-baju yang baru
diangkatnya dari jemuran. Semalam, Kana tidak bisa tidur ataupun meneruskan tulisannya.
Otaknya tiba-tiba macet karena terhalang sosok Yogas.
"Kenapa dia harus kost di sini sih?" gumam Kana sebal. Lalu, meneruskan mengambil beberapa
baju yang masih tergantung.
Setelah selesai, Kana bergerak turun. Tempat jemuran berada di lantai tiga, yang tidak jadi
dibangun karena kurang dana. Sekarang, lantai itu hanya berupa lahan kosong, beratapkan langit
yang sering digunakan Kana sebagai tempat untuk mencari inspirasi.
Kana berjalan dengan baju menutupi pandangannya, tak sadar kalau ada yang terjatuh dari
pegangannya. "34A," kata seseorang membuat kana menoleh.
"Hah?" gumam Kana.
Yogas tampak sedang duduk di depan pintu sambil menggunting kuku.
"Itu," yogas mengendikkan kepalnya ke arah sesuatu yang tergeletak di lantai. Kana menatapnya
bingung, lalu mengikuti arah pandangan Yogas dan mendapati sesuatu berwarna pink di lantai.
Seketika, mata Kana membesar.
"Aaaaahh!" Kana berseru panik saat menyadari kalau benda pink itu adalah bra-nya. Dia cepatcepat memungutnya sambil mendelik ganas ke arah Yogas, yang dengan cueknya kembali
menggunting kuku. Setelah lama mendapat tatapan ganas dari Kana, Yogas mendongak.
"Apa?" tanyanya pada Kana yang masih memicing curiga.
"Ini udah kedua kalinya," ujar Kana lambat-lambat. "Kamu lihat benda-benda pribadiku."
Yogas bengong, lalu kembali menggunting kuku. "Kayak gue yang mau aja," komentarnya
pendek membuat Kana melotot.
"Sempet-sempetnya liat ukurannya lagi!" sahut Kana panas.
"Gak sengaja," kata Yogas, tak peduli pada kekesalan Kana.
"Cabul," umpat Kana dendam.
"Hah?" Yogas tak terima. Kana menatap Yogas ganas lalu bermaksud masuk ke kamarnya.
Namun, sebelum dia sempat masuk, Yogas berkata lagi, " Emangnya gak kebesaran ya, 34A?"
Kana menatap Yogas tak percaya, sementara Yogas pura-pura tak melihatnya.
"Dasar cabuuuull!" jerit Kana, lalu segera masuk ke kamar dengan membanting pintunya.
Begitu kana tak terlihat, Yogas terkekeh sendiri. Namun, tiba-tiba dia menyadari kalau lagi-lagi,
dia telah melakukan hal yang tidak semestinya.
*** "Kan, Yogas ke mana?" tanya ibu kost saat makan malam.
"Mana aku tahu," jawab Kana. Dia masih sebal karena kejadian tadi siang.
"Makannya dianterin lagi sana, siapa tahu dia lapar," kata ibu kost lagi. Di sampingnya,
suaminya mengangguk-angguk setuju.
"Bulik, kalo dia memang laper, dia pasti ke sini," kata Kana, malas mengantarkan makanan lagi.
"Kemarin dia kenapa, ya?" tanya Agus sambil membetulkan posisi kacamatanya.
"Mungkin ada masalah," kata ibu kost. "Atau gak enak badan. Makanya, sana kamu anterin lagi."
Kana menatap tantenya penuh harap supaya tidak jadi mengantarkan makanan, tetapi tantenya
malah sudah menyiapkannya untuk Yogas. Kana tertunduk lemas. Dengan terpaksa dia
menyanggupinya. Kana berjalan ragu ke kamar Yogas. Lampunya menyala, artinya cowok itu ada di kamar.
Tadinya, Kana bermaksud menaruh makanan itu begitu saja di depan pintu, tetapi dia
mengurungkan niatnya setelah melihat seekor kucing yang stand by di sebelahnya.
"Jangan harap," Kana berkata pada kucing itu, yang segera mengeong marah dan pergi. Kana
menghela napas, lalu akhirnya menedang pintu kamar Yogas karena tangannya penuh.
"Gas," panggil Kana, tetapi tidak ada jawaban. Mungkin Yogas sedang tidur. Ketika Kana baru
akan membawa makanan itu kembali, dia mendengar suara-suara dari pintu tingkat atas. Kana
mengernyit, lalu berjalan ke arah tangga menuju lantai tiga. Kana segera naik dan mendapati
Yogas sedang berbaring di lantai, menatap langit yang bertaburan bintang.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Kana heran.
Yogas menoleh sebentar, lalu kembali menatap langit.
"Gak ngapa-ngapain," kata Yogas, yang segera duduk. "Udah gue bilang, kan, gak usah bawain
gue apa-apa lagi." "Eh, bukannya aku mau, ya, nganterin kamu makan. Kayak raja aja," Kana berkata sewot. "Tapi,
kalo emang kamu gak mau, sana balikin sendiri ke Bulik."
Kana meletakkan nampan di depan Yogas, membuat Yogas mau tak mau menatapnya. Kali ini,
nampan itu berisi sepiring nai rames dan segelas es jeruk. Yogas menelan ludah, teramat sangat
ingin mencicipi semua itu, tetapi berarti dia akan menerima kebaikan lagi.
Kana menatap bingung Yogas yang tampaknya sedang berpikir keras.
"Apa susahnya sih tinggal makan ini" Serius banget mikirnya," kata kana membuat Yogas
tersadar. "Nanti gue balikin sendiri," ujar yogas akhirnya. Sebisa mungkin, dia menatap ke arah lain,
selain sepering nasi rames di depannya.
Kana mengernyit, menelengkan kepalanya, dan akhirnya mengankat bahu.
"Udah aneh, cabul, banyak mikir lagu. Kamu pikir gimana kamu bisa menjalani hidup?" kata
Kana sok bijak, lalu meninggalkan Yogas yang menatapnya sebal.
Setelah Kana menghilang, Yogas kembali menatap nampan itu. Yogas tak boleh mengulangi hal
yang sama. Jadi, saat seekor kucing datang dan memakan isi piring itu, Yogas tak begitu
keberatan. *** Hari Minggu siang. Yogas baru saja bangun dan dia tidak berniat pergi ke mana pun karena
kampus libur. Itu membuat orang yang dicarinya akan semakin sulit untuk ditemukan. Hari ini,
Yogas akan berusaha pergi ke mal atau tempat hiburan lain, jika nyawanya sudah lebih
terkumpul. Yogas membuka pintu kamarnya dan sektika terbatuk karena debu-debu tebal yang berterbangan
di sekitarnya. Yogas menoleh dan mendapati Kana sedang memukul kasur kapuk yang
digantungi di depan kamarnya. Hidung dan mulutnya tertutup kain bermotif polkadot, sementara
di pinggangnya tergantung kemoceng.
Kana berhenti memukul, lalu menoleh pada Yogas. Dia berkacak pinggang dan menatap Yogas
dengan mata memicing. "Ya ampun, hari gini baru bangun" Mau jadi apa generasi sekarang?" katanya sambil gelenggeleng kepala.
"Bawel," balas Yogas sambil menggaruk kepalanya. "Lo ngapain sih" Bikin polusi aja. Kalo mau
di atas sana." "Oh, berhubung sekarang kamu ngomong gitu, tolong sekalian doibawain dong ke atas. Aku gak
kuat nih," pinta Kana membuat Yogas menyesal memberinya saran.
Yogas berdecak, tetapi dia mengangkat kasur Kana dan berjalan malas ke atas.
"Awas jatuh," kata Kana saat di tangga. "Kasurnya."
Yogas hanya mendelik sementara Kana tertawa. Tak berapa lama, Yogas sudah meletakkan
kasur itu di antara dua kursi di lantai tiga. Kana segera memukulinya dengan heboh, membuat
hujan debu di mana-mana. "Udah berapa tahun sih lo gak ngebasin kasur?" seru Yogas di sela-sela batuknya. "Mending
buang aja deh!" "Enak aja kamu ngomong. Memang mau beliin lagi?" sahut Kana tak jelas, karena megap-megap
di balik kain penutup hidungnya. "Kalo kamu mau tahu, kasur yang kamu pake itu lebih banyak
debunya, bisa buat adukan semen."
Yogas jadi teringat pada kasurnya di kamar, dalam hati segera berjanji tidak akan duduk
serampangan lagi. Selama beberapa saat, Yogas memperhatikan kesibukan Kana.
"Eh, lo tau mal di sini di mana?" tanya Yogas tiba-tiba.
"Mal!?" Kana balik bertanya. Memang kenapa?"
"Gak, cuma nanya doang," Yogas berkelit. Kana sendiri sudah berhenti mengebasi kasurnya dan
menatap yogas curiga. "Kamu mau ngelamar kerja jadi cleaning service, ya?" tanyanya membuat Yogas bengong. "Gak
diterima di mana-mana, makanya putus asa, ya?"
"Yogas berdecak. "Udahlah, lupain aja," katanya keki.
"Eh, kenapa harus dilupain?" sambar Kana sambill mendekati Yogas dan menatapnya seolah
memberi semangat. "Cleaning service juga kerjaan kok. Yang penting halal. Ya gak?"
Yogas tertawa garing, lalu membalik badan dan menatap sekeliling. Pemandangan di depannya
hanyalah atap-atap rumah tetangga, tetapi langit biru cerah membuatnya perasaannya nyaman.
"Oh, iya, aku tahu!" seru Kana lagi, membuat perasaan Yogas kembali tidak enak. "Gimana kalo
kamu bantuin aku beres-beres kamarku, sekalian latihan jadi cleaning service nanti!"
Yogas menatap Kana datar, lalu melewatinya tanpa bicara sepatah kata pun. Cewek itu memang
makhluk yang kompleks. *** Sesiangan ini, Yogas sudah mengunjungi satu mal bernama Galeria. Karena sudh malas bertanya
pada Kana, akhirnya dia bertanya pada Eno. Selama beberapa jam dia mencari, tetapi orang yang
dicarinya tak ketemu juga. Yogas juga baru tahu, kalo di Yogya, setelah pukul enam tak ada lagi
bus yang beroperasi. Jadi, dia pulang berjalan kaki dan sekarang hampir tak punya tenaga lagi
untuk naik tangga. "Ngopo'e Gas" Kayak mbah-mbah ngono," komentar Ono yang tak sengaja melihat Yogas di
tangga. Yogas hanya membalasnya dengan cengiran tak jelas.
"Gas!" seru ibu kost yang sedang menyiram pot-pot di depan rumahnya. "Nanti makan malem
bareng ya!" "Saya sudah makan, Bu," kata yogas cepat. "Makasih."
Yogas buru-buru naik, sebelum ibu kost mulai membujuknya atau menanyainya macam-macam.
Setelah aman, Yogas kembalu terseok. Ketika lewat depan kamar Kana yang terbuka, Yogas tak
sengaja melirik. Di dalam, Kana yang sedang menatap kayar komputernua menoleh.
"Wah, udah pulang! Gimana, dapet kerjaannya?" tanya Kana, tapi Yogas memilih tak
menjawabnya. Kana bangkit dan melangkah keluar kamar. "Gitu aja gak dapet" Aduh, ternyata
kamu sebeg yang aku kira, ya..."
Kana terkekeh kejam smentara Yogas nenatapnya sebal.
"Berhenti ngegodain gue, oke" Yang kemaren-kemaren gue beneran gak sengaja," kata Yogas
membuat Kana memicing. 'Tapi, kamu sempat liat ukurannya!" balas Kana sengit. "Dalam waktu sesingkat itu, kamu bisa
liat ukurannya!" "Oke, oke, gue liat ukurannya. Jadi" Gak penting juga, kan?" kata Yogas membuat Kana
semakin panas. Yogas mendesah. "Oke, kalo ini memang penting buat lo, gue minta maaf."
"Kana menatap Yogas, menimbang-nimbang. Setelah beberapa saat, akhirnya dia mengangkat
bahu. "Ya, mau gimana lagi. Memang cowok zaman sekarang pikirannya selalu ke situ," kata Kana
membuat Yogas melotot. "Ke mana maksud lo?" katanya tak terima.
"Tapi, aku mau kamu ngelakuin sesuatu buat gantinya," Kana tak memperdulikan kata-kata
Yogas. "Ambilin kasurku, terus taro di kamarku."
Yogas bengong sesaat. "Bilang aja lo mau minta tolong ambilin kasur!" sahutnya keki. "Pake
menyudutkan gue, lagi!"
"Yah, itu kan salah kamu juga. Udah, ambilin sana!" balas Kana.
Yogas akhirnya pergi juga walaupun sambil bersungut-sungut. Kana nyengir penuh kemenangan.
Beberapa saat kemudian, Yogas kembali sambil memanggul kasurnya. Kana sudah menantinya
dengan senyum lebar. "Taro di mana?" tanya Yogas, tak repot-repoit menyembunyikan nada kesalnya.
"Di sini," Kana menunjuk karpet yang terhampar di lantai kamarnya. Yogas meletakkan kasur
itu, kemudian menepuk-nepuk pundaknya yang terkena debu kapuk.
Kana segera memasang seprai pada kasur itu, sementara Yogas mengedarkan pandangannya ke
sekeliling kamar Kana yang bernuansa pink. Tanpa disadarinya, dia melangkahkan kakinta ke
arah papan target Kana dan membacanya.
"Satu. Menjadi penulis best seller," gumam Yogas, lalu memoleh pada Kana dan menatapnya
sangsi. "Lo" Penulis best-seller?"
"Eh, jangan salah! Aku udah mulai nulis dari sekarang!" sahut Kana. "Suatu saat, kalo aku
beneran jadi penulis best-seller, kamu jangan nyesal ya, gak baik-baik sama aku."
Ucapan Kana membuat Yogas mendengus. Dia kemudian melirik sebuah pigura yang berisi foto
Kana dengan orang_orang yang kelihatannya adalah orang tuanya.
"Meninggal dua tahun lalu," jelas Kana seolah mengetahui pertanyaan di benak Yogas.
"Kecelakaan mobil."
"Oh," kata Yogas. "Sori."
"Gak apa-apa," kata Kana yang telah selesai memasang seprai. "Orangtuaku bilang, apapun citacita ku, aku pasti bisa raih kalo aku bener-bener berusaha. Makanya aku yakin bisa jadi penulis
best seller. Kalo cita-cita kamu apa, Gas?"
Yogas mendadak bergeming. Dia tidak tahu apa yang dilakukannya di sini, di kamar ini. Dia
tidak tahu kenapa dia malah mengobrol tentang ini itu bersama seorang gadis yang hampir tidak
dikenalnya, dan tidak boleh dikenalnya lebih jauh.
"Gas?" tanya Kana, bingung pada Yogas yang tiba-tiba membatu.
"Gue... capek," kata Yogas dingin. Dia melangkah keluar dari kamar Kana dan segera masuk ke
kamarnya. Yogas terduduk di kasur, matanya menerawang. Selama ini, dia bertekad untuk tidak memulai
hubungan apa pun dengan siapa pun lagi, dan berhasil pada semua orang yang ditemuinya.
Tetapi, kenapa tidak pada gadis ini" Kenapa setiap kali Yogas berusaha menjauhinya dia selalu
saja lupa" Yogas tidak boleh lupa siapa dirinya. Tidak boleh.
Don't Fall in Love with Me
"Ternyata, memang bener-bener anah," kata Kana sambil melamun.
"Hem" Siapa?" tanya Lian sambil cemingak-celinguk. Saat ini, mereka sedang berada di kantin
menunggu mata kuliah selanjutnya.
"Si alien," ujar Kana lagi. Lian langsung tersedak es jeruknya.
"Apa lagi sekarang?" tanyanya, tertarik.
"Orangnya gak jelas. Kadang baik, kadang aneh. Gak bisa ditebak," cerita Kana lagi. Lian
mengangguk-angguk. "Aku jadi pengen liat, Kan," kata Lian, tampak benar-benar penasaran. "Pulang ntar aku main ke
kost mu, ya. Udah lama juga."
"Terserah aja," kata Kana, tak begitu mendengarkan sementara Lian sudah bersorak girang.
*** Kana men-starter Vario birunya, sementara Lian naik untuk dibonceng. Saat Kana sedang
mengendarai motornya keluar parkiran, Kana mengerem mendadak. Kepala Lian sampai
terantuk helm Kana. "Kenapa sih, Kan" Sakit, nih!" serunya, tetapi Kana tak menjawab. Matanya terpaku pda sesosok
cowok bersweter abu-abu dengan headphone besar mlingkar di lehernya di depang gerbang
kampus. Yogas sedang menyalakan iPod-nya. Setalh lagu terdengar, dia memasang headphone ke
telinganya kemudian dia berbalik dan mendapati Kana sedang menatapnya. Selama beberapa
saat, mereka saling tatap sampai akhirnya Yogas mengalihkan pandangam. Yogas sama sekali
tak tahu kalau Kana kuliah di kampus ini, FISIPOL.
Kana membawa motornya menuju Yogas, lalu berhenti tepat di sampingnya. Lian yang tadinya
sibuk memanggil Kana langsung terdiam begitu melihat sosok Yogas. Detik berikutnya, dia
sadar bahwa cowok itulah alien yang selama ini tinggal di sebelah Kana. Lian sampai lupa
bernapas saking senangnya.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Kana bingung. Yogas berusaha untuk tidak menatap Kana. Dia
sama sekali tak punya jawabannya. "Lagi nunggu seseorang?"
"Yah, begitulah,"jawab Yogas akhirnya.
"Siapa?" tanya Lian, membuat Yogas mengernyit.
"Ini Lian, temenku," kata Kana, membuat Yogas mengangguk-angguk sementara Lian nyengir
lebar, mencoba tebar pesona. "Jadi, lagi nunggu siapa?"
"Bukan urusan lo," jawan Yogas membuat Kana tertegun dan cengiran Lian lenyap.
"Oh," ujar Kana setelah beberapa saat. "Kalo gitu, aku duluan.
Yogas mengangguk tanpa menatap Kana kana menancap gas dan segera meluncur ke jalan
dengan pikiran kosong. "Kana!!" seru Lian membuat Kana kaget sehingga motornya oleng.
"Apaan sih?" Kana balas berseru setelah motornya kembali seimbang.
"Aku gak setuju kamu sama alien itu! Sok banget!" seru Lian lagi, terdengar benar-benar emosi.
Kana terdiam selama beberapa saat.
"Siapa bilang aku mau sama dia?" ujar Kana, sementara Lian masih terus mengoceh.
Kana tidak mendengarkan sisa kata-kata Lian karena sibuk memikirkan alasan yogas ada di
kampusnya. *** Kena menatap kosong layar komputernya. Sudah sejak dua jam lalu dia melakukannya. Kana
masih teringat dengan kejadian tadi siang, saat Yogas ada di kampusnya untuk menunggu
seseorang. Yogas tidak mau menatapnya dan kembali bersikap seperti pertama kali dia datang ke
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sini. Kana membaringkan tubuhnya di lantai. Doa tidak merasa melakukan kesalahan apa pun, jadi
apa yang membuat Yogas bersikap seperti itu padanya"
Pusing, Kana memutuskan untuk membuat susu cokelat untuk menenangkan pikirannya. Yogas
benar. Alasan dia datang ke sini bukan urusan Kana. Kana menghela napas sambil membuka
pintu kamarnya. Saat melewati kamar Yogas, dia melirik sedikit. Tampaknya cowok itu ada di
dalam. Kana membuang muka, lalu berderap ke dapur.
Dia tak mau tahu lagi soal cowok aneh itu.
*** Yogas menatap langit yang penuh bintang di atasnya. Hari ini, dia kembali pulang dengan tangan
kosong. Namun, bukan itu yang memenuhi pikirannya sekarang. Dia sama sekali tidak tahu
kalau kampus yang tadi didatanginya adalah kampus Kana. Kalau saja dia tahu, dia akan lebih
berhati-hati supaya tidak terlihat.
Yogas menghela napas berat. Kenapa sih, orang ini begitu susah dicari" Kalai sudah ketemu,
Yogas akan segera pergi dari tempat ini dan tak akan berurusan lagi dengan orang-orang di kost
ini. Baru saj Yogas mengingat kejadian semalam, subjek yang dipikirkan muncul dari pintu dengan
membawa mug yang mengepul. Wajahnya tampak kaget.
Kana menatap Yogas yang juga menatapnya, lalu bermakud untuk pergi. Kana tidak tahu kalau
Yogas juga ada di sini. Tahu begitu, Kana tidak akan naik.
"Mana buat gue?" tanya Yogas membuat Kana tak jadi turun. Dia berbalik dan menatap Yogas
bingung. "Hah?" tanyanya.
"Itu," Yogas mengendikkan kepalanya ke arah mug yang dipegang Kana. "Mana buat gue?"
"Ih, bikin sendiri sana," kata Kana cepat, bingung pada sikap Yogas yan sudab berubah lagi.
Yogas kembali menatap langit dan menutup matanya. Kana menatapnya ragu, lalu mendekati
cowok itu dan duduk di sampingnya. Angin semilir bertiup, menggerakkan poni Kana ke sana
kemari. "Aku tahu, apa pun yang terjadi sama kamu, itu bukan urusanku," Kana memulai pembicaraan,
membuat mata Yogas terbuka. "Tapi, bisa gak kita ngobrol apa pun selain itu" Kayak misalnya,
apa yang lagi kamu baca, udah nonton fil terbarunya Tobey Maguire atau belum...l
Sudut bibir Yogas terangkat sedikit. Dia mengamati punggung kana yang tampak kecil. Kepala
cewek itu menggeleng-geleng, seolah salah bicara. Yogas memejamkan matanya lagi.
"Jadi, udah nonton film itu belum?" tanya yogas membuat Kana menoleh dan menatapnya tak
percaya. "Belum. Kamu?" tanya Kana balik.
"Belum sempet," jawab Yogas menbuat kana mengangguk-angguk.
"Hm, di sini lagi diputer lho. Nonton yuk?" Ajakan Kana membuat mata Yogas kembali terbuka.
Tahu-tahu kana menoleh, panik. "Eh, bukan, bukan! Bukannya aku ngajak kamu ngedate atau
gimana! Cuma gak sengaja!"
Yogas terkekeh, lalu duduk dan menyalakan rokoknya. Kana memperhatikan kepulan-kepulan
asap yang dibuat Yogas. "Ng... cewek kamu ada di kampusku, ya?" tanya Kana tiba-tiba, membuat yogas menatapnya
heran. "Tadi di kampus, kamu nungguin cewek kamu, ya?"
Dahi Yogas segera mengerit, seolah tak suka dengan kata-kata Kana.
"Oke, oke, bukan urusanku, aku ngerti," kaya Kana cepat. "Sori."
Alih-alih menanggapi kata-kata Kana, Yogas malah menatap kosong atap-atap rumah di
depannya. Sejenak, tak ada yang berbicara di antara mereka.
"Oke, gini aja," kata Kana kemudian. "Berhubung kehidupan kamu top secret, aku aja yang
cerita. Gimana?" Yogas menatap Kana, tak mengerti.
"Jadi, aku lahir tanggal 21 Oktober 1986 di Bogor," Kana mulai bercerita sementara yogas
tersenyum simpul. "Papaku orang Yogya, mamaku orang Bogor. Aku cuma sampe SMP di
Bogor, terus waktu SMA aku pindah di sini..."
Yogas tak berusaha menghentikan Kana bercerita. Dia hanya mendengarkan dan tak sekalipun
menyela. *** "Wah, hujan," gumam Kana begitu keluar dari kamarnya.
Musim memang sudah berganti. Mulai sekarang hujan akan terus membasahi Yogya dan Kana
sebal karena dia tak suka naik motor menggunakan jas hujan. Selain merepotkan, dia selalu
paranoid dengan kemungkinan jas hujannya yang seperti sayap Batman terbelit jeruji ban
motornya. Tiba-tiba, pintu kamar sebelah terbuka. Yogas keluar dengan kaus oblong dan rambut acakacakan. Begitu bersentuhan dengan hawa di luar, dia langsung bergidik.
"Gila, dingin banget," komentarnya sambil menggosok-gosok
menghangatkan diri. Di sebelahnya, Kana menatapnya lekat.
lengannya, berusaha "Apa?" tanya Yogas begitu sadar Kana ada di sampingnya. Kana cuma menggeleng sabil
tersenyum tipis. Yogas menatap cewek itu heran, lalu bergewrak ke kamar mandi karena hasrat
alamnya. Kana menatap geli Yogas yang kebelet. Semalam, Kana seperti bermimpi bisa mengobrol
panjang lebar dengannya. Yah, tidak bisa dibilang mengobrok sih, karena cuma Kana yang
bicara, tetapi yang seperti itu juga sudah bisa disebut kemajuan.
"Eh, tunggu," gumam Kana, bingung sendiri. "Kemajuan apa?"
Kana mendadak kena serangan panik. Yogas yang sudah keluar dari kamar mandi menatapnya
bingung. "Kenapa lo?" tanyanya, tapi Kana hanya menatapnya dengan mata terbelalak.
"Ya ampun, ya ampun," Kana tak mau percaya. "Gak mungkin!"
"Apaan sih?" Yogas mulai kesal karea Kana seperti hidup dalam dunianya sendiri. "Ngomongngomng, di muka lo ada nasinya tuh."
"Ha" Masa iya?" kana segera mematut dirinya di jendela kamarnya sendiri. Setelah lama
bercermin dan tak menemukan satu butir nasi pun di wajahnya, Kana sadar kalau dia belum
sarapan dan tak mungkin ada nasi di sana.
"Woi!" Kana berseru sebal ke arah pintu kamar Yogas. Namun, setelah itu dia tersenyun dan
berangkat ke kampus dengan hati riang walaupun hujan turun semakin deras.
*** Yogas tidak pergi ke mana pun hari ini karena hujan turun dengan deras sepanjang pagi.
Sekarang, setelah langit cerah, dia sudah malas menggerakkan tubuhnya. Yogas menggapai
handycam, lalu menyetel kaset yang bertuliskan "Anyer 2000" setelah sempat ragu sejenak.
Baru sedetik film itu berputar, Yogas menutup lagi handycam-nya. Ternyat, dia memang maih
belum mampu menontonnya. Yogas menatap kosong handycam di tangannya. Seharusnya, dia
tak pernah menonton video itu.
Tiba-tiba, Yogas ingin melihat pantai. Dia ingin berteriak sekuat tenaga untuk melepaskan semua
kepenatannya. Yogas bangkit dan bersiap-siap pergi. Tak berapa lama, dia sudah menuruni
tangga dan mendapati Kana baru memasukkan motornya ke garasi. Yogas mengamati motor
Kana dan seketika mendapat ide. Kana balas menatap Yogas bingung.
"Gue pinjem motor lo dong," kata Yogas tanpa basa-basi.
"Hah?" tanya Kana heran. "Memang mau ke mana?"
"Udah deh, gak usah banyak tanya," Yogas merebut helm Kana dan membawa motornya.
"Eh, tunggu! Ini motor baru! Aku ikut!" Kana mengambil helm dari motor Ono dan melompat ke
belakang Yogas. Kana tidak bisa membiarkan Yogas pergi dengan motor hasil warisan
orangtuanya. Lagipula, bisa repot kalo Yogas kena razia dan tidak bawa STNK.
Seolah Kana cuma sekarung beras, Yogas segera tancap gas. Kana terjengkang dan hampir jatuh
kalau tidak buru-buru menggamit bahu Yogas.
"Mau ke mana sih?" sahut Kana.
"Pantai," jawab Yogas tenang dan Kana cuma mengangguk-angguk. Tetapi, detik berikutnya dia
tersadar. "HEEE" Pantai?"" serunya membuat motor oleng. "Kamu gila ya?"
"Iya. Lo kasih tau jalannya, ya," kata Yogas lagi, membuat Kana semakin yakin kalau Yogas
benar-benar sakit jiwa. *** Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, mereka sampai juga di pantai Parangtritis. Yogas
berjalan tenang ke pantai, sementara Kana menatap sedih motor barunya yang kepanasan karena
baru diajak berjalan-jalan berkilo-kilo jauhnya.
"Gas, tunggu!" Kana menyusul Yogas yang seolah tak mendengarnya. Kana menatapnya curiga,
lalu menekan mulut saat melihat tatapan Yogas yang koson. Dia mengguncang-guncang bahu
Yogas. "Gas! Gas! Kamu gak diundang Nyi Roro Kidul, kan" Gas, sadar!"
Tepat ketika Yogas akan bicara, Kana menamparnya dengan sekuat tenaga. Pipi Yogas terasa
panas dan lehernya seperti patah.
"Apaan sih lo?" amuk Yogas. Pipinya berdenyut menyakitkan.
"Hh... Syukur deh," Kana mendesah dengan mata berkaca-kaca, lega.
"Syukur apanya?" sahut Yogas sambil mengelus pipinya.
"Lho" Kamu gak diundang Nyi Roro Kidul, ya?" kata Kana polos, membuat Yogas gemas dan
ingin menjitaknya. "Abis, kamu tiba-tiba aja mau ke pantai."
Yogas menghela napas, lalu meneruskan perjalanannya ke bibir pantai. Saat itu karena abis
hujan, laut menajdi pasang. Pantai ini tidak begitu bagus-pasirnya coklat dan airnya tidak sebiru
yang diinginkannya-tetapi lumayan untuk menenangkan pikiran Yogas.
"Wah, langit habis hujang cerah banget ya," komentar Kana saat melihat langit biru tanpa awan
di atasnya. "Udah lama juga aku gak ke pantai."
Kana meregangkan otot dengan merentangkan tangannya, bermaksud merasakan angin yangnya
sebentar, mengeluarkan handycam dan merekam Kana di luar kesadarannya.
Kana sendiri tidak sadar kalo Yogas sedang merekamnya. Dia benar-benar senang datang ke
pantai setelah lama tidak melakukannya. Dia berlari-lari ke air dan bermain kejar-kejaran dengan
ombak sambil sesekali menjerit kedinginan saat kakinya terkena air.
Yogas melepaskan matanya dari layar dan menatap Kana yang sedang tertawa sendiri karena
ombak datang begitu besar sehingga membasahi jeans-nya yang sudah dilipat tonggi-tinggi.
"Gas! Kamu ngapain" Ayo sini!" sahut Kana membuat Yogas tersadar. Yogas segera mematika
handycam-nya dan mengikuti Kana turun ke air. Memang benar, airnya sangat dingin.
Sementara ombak berdebur ke kakinya, Yogas menatap ke laut lepas. Dia bermaksud untuk
berteriak sekuat tenaga, tetapi tiba-tiba Kana mendorongnya sekuat tenaga sehingga dia tercebur
dengan wajah terlebih dahulu menyentuh air. Kana tertawa lepas melihat Yogas yang sekarang
basah kuyup. Yogas menatap Kana sebal, lalu bangkit dan mengejar cewek itu. Kana segera berlari
menghindari Yogas, tetapi akhirnya tertangkap dalam waktu singkat. Walaupun Kana memberi
perlawanan, Yogas berhasil menceburkan cewek itu ke air. Yogas ganti tertawa penuh
kemenangan dan beberapa detik setelahnya, dia tersadar.
"Kenapa, Gas?" tanya Kana, heran melihat Yogas tiba-tiba berhenti tertawa.
"Gak apa-apa," jawab Yogas sambil kembali ke pasir, dan terduduk di sana sementara Kana
masih bermain-main dengan ombak. Yogas menatap pemandangan itu kosong. "Barusan gue
ngapain sih," gumamnya, lalu tertawa miris.
Yogas membaringkan tubuhnya di pasir yang masih lembap, lalu mencoba memejamkan
matanya. Dalam enam tahun, baru kali ini dia tertawa selepas itu. Dan, dia bahkan melakukannya
dengan cewek yang baru dikenalnya.
Kana menghampiri Yogas. "Gas, kok malah tidur?"
"Tolong, jangan ganggu gue sebentar," kata Yoga tanpa membuka matanya. "Gue butuh
sendirian." Benar. Rencana awalnya adalah datang sendirian ke pantai dan melepaskan semua kepenatannya.
Kenapa cewek ini malah ikut"
"Oh, oke," Kana mengangguk paham, lalu berjalan kembali ke pantai.
Entah berapa lama yogas tertidur, tetapi saat dia terbangun, langit sudah berganti warna.
Matahari sudah mau tenggelam, meyebar semburat jingga ke permukaan laut. Yogas duduk, lalu
melihat Kana yang sedang berlari ke sana kemarin sambil menyeret sesuatu yang bentuknya
seperti layangan. Yogas menatapnya heran.
"Lo ngapain?" tanya Yogas bingung.
"Oh, udah bangun?" tanya Kana dengan napas tersengal. "Aku lagi main layangan."
Ternyata benar, layangan. Yogas menghela napas. Cewek satu ini memang tidak bisa
diharapkan. Yogas bangkit, lalu merebut benang dari tangan Kana.
"Pegang layangannya," perintah Yogas dan Kana segera melakukannya. "Kalo gue bilang lepas,
dilepas." Kana mengangguk. Yogas menghela napas lagi, lalu berkata, "Lepas."
Kana melepaskan layangannya, dan tepat pada saat itu, Yogas menarik benangnya. Dalam
seketika, layangan berbentuk burung itu sudah terbang.
"Uwaaahhh! Hebaat!" sahut Kana sambil bertepuk tangan girang. Yogas meliriknya, heran
kenapa cewek itu begitu senang melihat layangan terbang.
"Memang begini harusnya maen layangan. Gue gak pernah liat versi lo tadi," kata Yogas
membuat Kana mendelik. Tapi di detik berikutnya, Kana sudah asyik kembali menatap layangan.
"Eh, aku boleh pegang gak?" tanya Kana penuh harap. Yogas menyerahkan benangnya.
"Uwaaahhh!!" Sebenarnya, Kana agak grogi saat menerima benang layangan itu, takut layangan itu putus di
tangannya. Kana tak pernah sekalipun memegang layangan yang benar-benar terbang seperti itu.
Itulah sebabnya, dia memegang benangnya dengan ekstra hati-hati. Yogas kembali ke pasir dan
duduk sambil melihat Kana yang masih berteriak-teriak girang seperti anak kecl, takjub melihat
ekor layangan yang berkibar-kibar indah tertiup angin. Yogas lantas merekamnya lagi dengan
handycamnya. Tak terasa, matahari sudah hampir tenggelam. Kana merasa sudah puas dengan layangannya
yang terbang karena pegangannya lepas. Sekarang, dia terduduk kelelahan di samping Yogas
yang sudah kembali tertidur.
Kana mengamati wajah polos Yogas yang terlelap. Kana benar-benar senang bisa menghabiskan
sore bersama coewok itu seperti ini.
"Jangan ngeliatin terus," kata Yogas tiba-tiba membuat Kana kaget.
"Siapa juga," Kana segera salah tingkah dan berusaha membuang pandangannya. Namun, tak
berlangsung lama, karena di luar kesadarannya, dia kembali menatap Yogas.
"Serius. Ntar lo suka sama gue," kata yogas lagi.
"Emangnya kenapa kalo aku suka sama kamu?" tanya Kana menantang.
"Jangan," jawab Yogas setelah beberapa detik.
"Kenapa?" tanya Kana lagi, membuat Yogas menghela napas.
"Karena kita gak punya masa depan," katanya tanpa membuka mata.
Kana menatap wajah it u lama, tak mengerti akan perkataannya, tetapi entah mengapa tak punya
keinginan untuk bertanya lebih jauh. Kana memiliki firasat, kalaupun bertanya, jawaban Yogas
akan lebih menyakitkan. One Second of Happiness "'Kita gak punya masa depan' katanya."
"Hah?" Lian menatap Kana yang tampak menerawang. Akhir-akhir ini sahabatnya itu selalu
seperti ini. "Maksudnya?"
Kana mengangkat bahu, lalu menyeruput jus mangganya tanpa semangat. "Andai saja aku tahu."
"Kalian toh belum tentu kawin, bkan" Jadi, apa maksudnya ngomong begitu?" tanya Lian lagi.
"Masa depan apa sih yang dia maksud?"
Kana meletakkan pipinya ke meja kantin, lalu mendesah, Lian menatap sahabatnya itu khawatir.
"Kan, kalo pendapatku sih kamu jangan terlibat terlalu jauh sama dia. Aku punya firasat dia agak
berbahaya," kata Lian membuat Kana mendongak.
"Berbahay?" tanya Kana.
"Sebelum semuanya serius, berhenti saja berharap dari dia, Kan. Kalo emang dia cowok baikbaik, dia gak akan bersikap bunglon gak jelas ke kamuyak gini," kata Lian lagi.
Kalau mau jujur, Kana merasakan hal yang sama dengan Lian. Kata-kata Yogas kemarin sama
saja dengan menolak Kana mentah-mentah. Namun, setelah mereka pulang dari pantai, Yogas
tidak bersikap dingin, malah cenderung bersahabat. Dari awal, Yogas seperti sedang
mempermainkan perasaan Kana.
"Kayaknya kamu bener, Li," ujar Kana akhirnya. Kana tidak mau salah mengartikan sikap
hangat Yogas lagi. Kana merasakan tangan Lian meremas bahunya. Lian sendiri tahu, kalau benar Kana menyukai
alien aneh ini, berarti ini adalah cinta pertama Kana. Lian tidak mau cinta pertama sahabatnya
jatuh pada orang yang salah.
*** "Ada apa, No?" tanya Yogas antusias begitu bertemu dengan Eno di cafetaria. Semalam, Eno
mengajaknya bertemu. "Dia udah ketemu?"
"Bukan itu," kata Eno, tampak ragu.
Yogas sendiri terlihat bingung. "Jadi, ada apa?"
"Duduk dulu deh," Eno mengendikkan dagu ke kursi di depannya dan Yogas menurut. Eno lalu
mencondongkan wajahnya ke arah Yogas. "Seharusnya, gue yang tanya ada apa. Sebenernya lo
serius gak sih nyari dia?"
Yogas mengernyit. "Maksud lo apa, No?"
Eno mendesah, lalu menatap Yogas serius. "Gas, gue kemarin liat lo lewat di depan tempat kerja
gue. Naek motor, sama cewek. Gue pikir lo ke sini mau nyari dia."
Yogas mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali dan akhirnya tersadar Eno sedang
membicarakan Kana. "No! Gue serius nyari dia!" sahut yogas panas. "Kalo kemaren lo liat gue, itu karena pikiran gue
udah butek banget, makanya gue ke pantai buat nenangi diri."
"Sama cewek?" tanya Eno curiga. Yogas berdecak.
"Cewek itu anak kost gue. Gue minjem motor dia, tanpa gue sadari dia udah ngikut gue. Dia
takut motornya kenapa-kenapa," Yogas menjelaskan, tapi Eno tampak masih belum percaya.
"No, lo harus percaya ama gue. Gue gak punya waktu untuk yang laen."
"Sebaiknya begitu," kata Eno lagi. "Denger, Gas, gue bener-bener mau bantu lo. Tapi, kalo lo
sendiri senang-senang..."
"No, gue gak pernah kepikiran mau senang-senang," kata Yogas tegas. "Setelah gue dapet dia,
gue bakal pergi dari sini."
Eno menghela napas, tampak sudah menyesal karena tak mempercayai Yogas. Dia mengamati
Yogas yang tampak emosi. "Sori Gas, kalo gue udah marah-marah gak jelas. Tapi, kalo dipikirpikir, lo butuh waktu senggang juga. Jangan selalu mikirin dia."
"Gue gak butuh waktu senggang," tukas Yogas pendek.
"Soal cewek itu juga, mungkin ada bagusnya juga kalo lo jalan sama dia," kata Eno lagi. Yogas
menatapnya tak percaya. "Lo gila ya, No" Gue udah gak ada niat buat begituan! Lo pikir gue masih punya hak buat
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begituan?" sahut Yogas berang.
"Bener juga. Sori," sesal Eno. "Kalo lo mau egois dikit, mungkin lo dulunya gak melepas
Wulan." Ekspresi wajah yogas mengeras saat Eno menyebut nama itu. Nama yang sudah sekian lama
dikubburnya rapat-rapay di dalam hatinya.
"Jangan pernbah sebut nama dia lagi," ucap yogas dingin.
"Oke. Sori," kata Eno, dan setelah itu, tak ada satu pun yang berbicara lagi.
*** Yogas berjalan gontai menuju kost-nya yang suram. Ono dan Agus sedang tidak ada, dan rumah
ibu kost juga tampak sepi. Yogas naik tangga dan orang yang paling tidak ingin ditemuinya
malah sedang berjalan ke arahnya. Di tangannya, terdapat mug yang mengepul.
"Dari mana" Kok jam segini baru pulang?" tanya Kana, tetapi begitu melihat rambut dan wajah
yogas yang basah karena kehujanan, dia buru-buru masuk ke kamarnya. Tak lama kemudian, dia
keluar dengan handuk dan mengelap wajah dan rambut Yogas. "Kok gak bawa payung sih" Ntar
pilek lho!" Yogas menatap Kana yang tampak khawatir, lalu menepis tangan cewek itu. Handuk yang
dipegang Kana jatuh ke lantai. Kana menatap Yogas heran. Yogas balas menatapnya dingin.
"Jangan peduliin gue," kata yogas dengan rahang yang mengeras. "Jangan bersikap baik sama
gue." "Kenapa?" tanya Kana.
"Gue bilang jangan, ya jangan!!" sahut Yogas membuat Kana terlonjak. "Jangan tanya apa-apa
lagi lagi gue, lo ngerti" Urusin aja kehidupan lo sendiri!"
Yogas berjalan melewati Kana yang bergeming. Dia berusaha membuka pintunya yang terkunci.
Dicari-carinya kunci di balik bajunyay yang basah dengan tak sabar.
"Dasar jelek," kata Kana pelan, membuat Yogas menoleh padanya. Kana menatap Yogas dengan
mata nyalang. "Kalo lagi begini, aku bilang kamu lagi jelek."
"Hah?" kata Yogas tak mengerti.
"Mood kamu. Selalu berubah-ubah dan gak bisa ditebak. Hari ini kamu marah-marah, besok
kamu baik. Selalu aja bilang, 'Jangan peduliin gue', tapi nanti ngomong hal-hal baik sebagai
penggantinya," kata Kana, air matanya sudah menggenang. "Gak bisakah kamu milih salah
satu?" Yogas menatap Kana nanar.
"Tadinya aku mau ngertiin sikap aneh kamu ini, tapi aku sama sekali gak ngerti!" sahut Kana.
"Gak ada yang nyuruh lo ngertiin gue," tandas Yogas. "Tolong jangan ngomong hal-hal yang
ngerepotin." Kana menatap Yogas tak percaya sementara Yogas menemukan kuncinya dan masuk ke kamar.
Yogas melempar ranselnya, lalu membanting tubuhnya ke kasur. Pikirannya berkecamuk hebat.
Tiba-tiba dia teringat pada perkataan Eno tadi siang. Kalo saja Yogas mau sedikit egois, dia tidak
akan melepaskan Wulan. Namun, yogas sudah melepaskan Wulan. Sekarang, Yogas tidak berminat pada percintaan
macam apa pun lagi. Kalaupun berminat, dia tetap tidak berhak. Yogas tidak menyesali nasibnya
itu. Yang Yogas sesalkan, kenapa dia tidak menjauhi Kana sejak awal. Yogas sudah
meremehkannya. Tiba-tiba Yogas mendengar suara pintu sebelah ditutup. Dia menghela napas, lalu membuka
layar handycam-nya dan menonton video yang direkamnya di pantai kemarin. Yogas menatap
layar kosong yang menampilkan Kana sedang berlari-lari gembira, lalu menutupnya.
Masa bersenang-senang sudah berakhir.
*** Kana bangun dengan mata sembap. Semalam, dia menangis karena kata-kata kejam Yogas. Kana
menatap cermin, bermaksud mengompres kedua matanya dengan timun dingin. Mungkin
tantenya punya. Kana tidak bisa ke kampus dengan mata seperti ini.
Kana membuka pintu kamarnya, bersamaan dengan Yogas. Saat Kana menoleh, tatapannya
langsung bertemu dengan Yogas. Kana terdiam selama beberapa detik, kemudian segera
menutup wajahnya, sadar kalo dia mungkin sudah terlihat seperti panda.
Namun, Yogas sudah keburu melihat mata Kana, dan tidak tahan melihatnya lama-lama. Yogas
menutup pintu kamar, menguncinya, lalu memakai sepatu tanpa banyak bicara. Kana mengintip
dari sela-sela jarinya. "Mau..." Kana terdiam, tak meneruskan kata-katanya. Dia sebenarnya mau bertanya Yogas mau
ke mana, tetapi tak jadi melakukannya.
Yogas hanya menghela napas dan melewati Kana tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia
tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Kemarin, cewek itu menyuruhnya memilih dan
seharusnya dia tahu mana yang sudah dipilih Yogas. Yogas sebisa mungkin akan menjauhinya.
Kana menatap punggung Yogas yang perlaha menjauh dan akhirnya menghilang di balik tangga.
Kana tahu Yogas tak akan pernah bersikap baik padanya lagi.
*** Saat ini, Yogas berada di depan Fakultas Ilmu Budaya UGM. Matanya sibuk mencari-cari orang
yang sedang dicarinya. Walaupun begitu, pikirannya melayang ke mana-mana.
Yogas tak tahu harus berbicara apa pada Kana yang matanya sembap seperti itu. Yogas merasa
dirinya tak pantas untuk ditangisi. Namun, mungkin kata-katanya semalam sudah keterlaluan.
Mendadak, Eno muncul di depannya. Yogas ternganga melihatnya.
"Ngapain lo di sini?" tanyanya.
"Lo lupa ya, gue kuliah di sini!" sahut Eno, lalu terkekeh. "Yang ngapain tuh lo! Kalo mau nyari
dia, dia gak ada di sini. Gue udah cek satu persatu nama mahasiswa di sini."
"Oh," kata yogas, merasa bodoh karena lupa Eno berkuliah di sastra Inggris. "Sori, gue lupa."
"Ngomong-ngomong, kenapa tamoang lo?" Eno tiba-tiba menyadari sesuatu. "Apa yang sakit?"
"Ngomong apaan lo?" Yogas nyengir. "Gue baik-baik aja."
"Syukur deh. Tapi kenapa muka lo ruwet banget" Oh gue tahu. Pasti ada hubungannya sama
cewek anak kost lo itu," tebak Eno, tapi yogas tak segera menjawab. "Bener, kan?"
"Kayaknya dia suka ama gue, No," Yogas berdecak. "Nyusahin aja."
"Dari awal, lo harusnya jauhin dia," kata eno. "Kecuali, kalo lo juga punya perasaan sama ke
dia." "Gue... gue gak bisa punya perasaan sama siapa pun, No," kata Yogas setelah berpikir selama
beberapa saat. "Gas, lo tahu gak jatuh cinta itu apa?" tanya Eno, membuat Yogas mengernyit. "Artinya, lo jatuh
ke dalam cinta tanpa sengaja. Jadi, walaupun lo gak mau jatuh, lo bakalan tetep jatuh."
Yogas terdiam sejenak mendengar kata-kata Eno, kemudian tertawa miris.
"No, lo gak ngerti juga ya" Gue gak bisa jatuh cinta, atau apapun itu, sama siapa pun. Gue gak
bisa mentingin perasaan gue sendiri. Jadi tolong berhenti ngomong kosong kayak yang tadi itu,"
kata Yogas. Dia mengeluarkan rokoj dan menyalakannya dengan tak sabar.
Eno menatap temannya itu kasihan. Karena walaupun ingin, yogas tak bisa lagi merasakan
kebahagiaan walaupun cuma sedikit.
*** Lagi-lagi, Yogas pulang tanpa hasil, tetapi kali ini dia tak mempermasalahkannya. Langkahnya
terhenti di tangga, teringat wajah sembap Kana tadi pagi. Sebenarnya Yogas tidak ingin pulang
ke kost karena bisa bertemu dengan cewek itu, tetapi dia tak punya pilihan lain karena di luar
hujan dan Eno harus bekerja. Yogas menggigit bibirnya ragu.
"Mau sampe kapan di situ" Ngehalangin jalan nih," kata seseorang di belakangnya membuat
Yogas terkejut. Yogas menoleh dan ternyata Kana. Kepalanya terbungkus handuk dan wajahnya
tampaknya sudah baik-baik saja.
"Oh," yogas menyadari kalau dia masih menghalangi jalan, lalu berjalan naik. Kana
mengikutinya dari belakang. Yogas melirik cewek itu.
"Keran di sini lagi macet, gak tahu kenapa. Jadi, kalo mau mandi, nebeng aja di Bulik. Dia juga
gak di rumah, lagi ke tempat nmertuanya," Kana menjelaskan tanpa duminta. Yogas hanya
menggumam tak jelas untuk menanggapinya sambik menatap kana heran.
Kana balas menatap Yogas, kemudian menghela napas.
"Kenapa" Kamu berharap aku masih sedih?" tanya Kana menbuat Yogas segera mengalihkan
pandangannya dan sibuk mencari kunci. Kana menghela napas lagi. "Aku orangnya sensitif. Jadi,
lain kali jangan ngomong sekejam itu."
Yogas mengernyit sementara Kana melangkah masuk ke kamarnya sambil tersenyum jail. Yogas
menggeleng-gelengkan kepalanya bingung, kemudian masuk ke kamarnya. Setelah melempar
ranselnya ke kasur, Yogas membuka sweternya. Beberapa detik kemudian, terdengar suara lagu
mengalun dari kamar Kana, disusul oleh suara cempreng yang memekakkan telinga. Yogas
terkekeh pelan sambil duduk bersandar pada dinding yang membatasi kamarnya dan Kana.
Apa pun mantra yang dipakai cewek ini, jelas-jelas Yogas tidak bisa menghindarinya. Namun,
sesakit apa pun, Yogas harus bisa menangkalnya. Mereka tidak punya masa deoan. Setidaknya,
Yogas yang tidak punya. *** Kana sedang menyapu gang depan kamarnya saat Yogas keluar kamar dengan wajah bangun
tidur dan rambut acak-acakan. Kana menatap sosok itu lekat-lekat. Semalam, Kana sudah
memutuskan untuk mencoba mengerti sikap bunglon Yogas. Mungkin, Yogas punya masalah
sehingga membuatnya cepat naik darah. Kalau sudah begitu, Kana akan mendiamkannya untuk
beberapa saat, lalu mengajaknya ngobrol lagi kalau dia sudah tenang. Selama ini, yang terjadi
seperti itu, jadi Kana tak perlu khawatir berlebihan.
Yogas menoleh, menatap Kana dengan mata setengah tertutup.
"Lo liatin gue selama apa pun gue juga gak bakal naksir sama lo," kata Yogas kejam, berhasil
membuat Kana menganga. "Eh! Ntar kena karma tahu rasa!" Kana menyahut sebal, tapi Yogas malah menguap lebar sambil
berjalan ke kamar mandi. Begitu Yogas menghilang di balik pintu kamar mandi, Kana tersenyum. Memang, beginilah
harusnya menghadapi seorang Yogas. Kana sedang bersiul senang sambil masuk ke kamar
dengan melompat-lompat heboh saat tak sengaja menabrak sebuah rak buku. Dia kehilangan
keseimbangan. Tangannya menggapai mencari pegangan, tetapi malah memegang rak buku
gantung yang segera patah karena tak kuat menahan beban tubuhnya. Rak itu jatuh
bergedebukan. Kepala Kana malah sempat tertimpa kamu Jonh Echols dan patahan rak.
"Aduuhhh..." rintihnya sambil memijat kakinya yang terseleo.
Yogas ternyata udah ada sudah ada di depan kamar Kana. Bukannya menolong, dia malah
menatao Kana datar. "Kurang bego apa sih," komentarnya dengan wajah mengejek, lalu segera menghilang.
"Kurang ajaar!" sahut Kana sambil melemparinya buku, tetapi yogas sudah keburu masuk
kamarnya sendiri. Setelah berhasil menyingkirkan patahan rak dari kakinya, Kana merangkak dan memberekan
buku-bukunya. Kana menatap sedih rak gantungnya yang sudah tergeletak di lantai. Tiba-tiba,
sesuatu yang hangat mengalir dari dahi Kana. Kana menyeka dahinya sembarangan, lalu terpaku
melihat cairan merah pekat di punggung tangannya. Kana bengong sebentar, kemudian berteriak
histeris. Di kamar sebelah, Yogas menghela napas tak habis pikir. Apa lagis sih yang dilakukan cewek
itu" Yogas menutup telinganya dengan headphone, lalu menyetel volume iPod-nya keras-keras
sambil merapikan kaset-kaset yang bertebaran di kasurnya.
Tahu-tahu, Yogas merasaka getaran. Tadinya, yogas berpikir kalau itu gempa bumi, tetapi
getaran itu halus dan hanya sebentar dan sepertinya berasal dari kamar sebelah. Yogas melirik
dinding sebelahnya, melepas headphone-nya, lalu beranjak untuk menegur cewek itu karena
sudah terlalu berisik. Yogas membuka kamarnay dan bergerak ke kamar Kana.
"Oi, lo berisik amat..." Yogas tak jadi meneruskan kalimatnya begitu melihat Kana yan sudah
terbaring di lantai di antara buku-buku dan patahan rak. Yogas segera menghampiri Kana dan
menggoncang-goncang tubuh cewek itu.
"Woi! Woi! Lo kenapa?" sahut yogas panik. Dia membalik tubuh Kana, lalu terkejut saat melihat
dahi Kana yang sudah berdarah. Yogas menepuk-nepuk pipi kanan. "Woi! Sadar!"
Setelah akhirnya menyadari kalau kana tidak akan bangun dalam waktu dekat, Yogas segera
mencari kain untuk menutupi luka Kana. Dia menggendong Kana dan membawanya ke bawah.
Ono yang sedang memperbaiki motor menatap yogas bingung.
"Gas" Ngopo?" sahutnya.
"Ketimpa rak buku," jawab Yogas cepat. "Rumah sakit yang deket di mana ya?"
"Sardjito! Wis, tak anter! Sik, aku ambil kunci motor!" sahut Ono sambil buru-buru masuk
kamar dan keluar dengan memegang kunci motor. "Kamu nyusul wae pake motornya Kana!
Sana cepat ambil kuncinya!" Yogas mengangguk, mendudukkan Kana di motor Ono, lalu segera
naik untuk mengambil kunci motor Kana. Beberapa deti kemudian, dia sudah menyusul dan
mengikuti Ono dari belakang sambil mengawasi kalau Kana terjatuh. Ono memegang Kana
dengan satu tangan dan berjalan pelan agar dia tidak terjatuh.
Sesampainya di rumah sakit Dr. Sardjito, Kana segera masuk UGD dan menerima perawatan.
Ono dan Yogas menunggu di luar. Yogas menatap kausnya yang terkena darah Kana.
"Anaknya memang agak ceroboh," kata ono membuat yogas menoleh. "Jadi, tolong sekalian
dijaga ya." Yogas tak menanggapi, juga tak bertanya maksud kata-kata Ono. Dia hanya terdiam sambil
menatap pintu UGD, berharap tidak terjadi sesuatu yang serius pada Kana. Tak berapa lama,
pintu UGD terbuka dan Kana berjingkat keluar dengan dahi diplester. Yogas dan Ono samasama bengong.
"Kata dokter, aku pingsan karena terlalu syok ngeliat darah," katanya malu-malu. "Sori ya,
ngerepotin." Kana tertawa penuh bersalah sementara Ono menghela napas lega. Yogas sendiri langsung
berdiri. "Kalo gitu, ayo pulang," katanya pendek sambil berjalan mendahului mereka.
Kana menatap punggung Yogas sebal, lalu melirik kakinya yang juga diperban.
"Sakit, lho," gumam Kana. Ono yang mendengarnya tersenyum geli, lalu menepuk kepalanya.
"Ayo, aku bantu," katanya sambil mengalungkan lengan Kana ke lehernya dan membantunya
berjalan. *** Yogas menatap langit-langit kamarnya hampa. Kejadian tadi benar-benar membuatnya pusing.
Kenapa dia harus sepanik itu pada cewek yang baru dikenalnya" Kenapa setiap Yogas mau
menjauh ada saja yang terjadi"
Tahu-tahu terdengar suara berisik dari kamar sebelah. Yogas melirik dinding di sebelahnya
sebal. Kali ini apa"
Yogas baru mau memejamkan matanya ketika suara-suara itu malah terdengar semakin keras dan
mulain mengganggu. Setelah berdecak kesal, Yogas bangkit dan melangkah keluar kamar. Dia
mendapati Kana sedang berjongkok di depan kamarnya dengan palu di tangan. Di depannya, ada
rak buku yang patah, dan paku-paku yang berserakan.
Yogas mengernyit heran. Kana menoleh sebentar, kemudian kembalu mencoba untuk
menyatukan bagian yang patah di raknya. Kana mengetukkan palu kuat-kuat dan seketika
pangkuknya bengkok. "Gak bisa besok aja ya" Berisik nih," kata Yogas sambil menggaruk tengkuk.
"Aku gak bisa tidur kalo ada yang belum selesai kayak gini. Lagian, kamarku jadi berantakan
sama buku," ujar Kana sambil kembali mencoba memaku pakunya, tetapi lagi-lagi tidak berhasil.
Yogas menatap Kana yang sedang mencoba lagi. Karena tidak tahan, Yogas merebut palu dari
tangan Kana kemudian berjongkok di sebelahnya. Kana menatap Yogas takjub. Yogas sendiri
mencoba untuk tidak memperdulikannya. Dia mengambil paku, lalu mulai memakunya dengan
mudah. "Hm, ternyata baik juga ya," puji Kana membuat Yogas hampir memaku jarinya sendiri.
"Supaya cepet selesai. Atau gue yang gak bisa tidur," kelit Yogas. Kana mengangguk-angguk
dengan senyum jail. "Yang tadi siang, makasih ya," ujar Kana kemudian.
"Bukan apa-apa," balas Yogas sambil cepat-cepat mengambil paku, berharap rak itu cepat
selesai. "Tapi pingsannya gak penting. Lo pikir lo enteng?"
Kana terkekeh pelan. "Aku emang punya fobia sama darah. Dua tahun yang lalu, aku liat gimana
papa-mamaku berdarah-darah. Sejak itu, aku jadi takut liat darah," jelas Kana membuat Yogas
terdiam sejenak. Dia melanjutkan memaku.
"Tadi, kamu khawatir kan sama aku?" lanjut Kana membuat palu Yogas terhenti di udara. "Kata
Ma Ono muka kamu pucet banget waktu ngangkat aku. Seneng, deh."
Yogas tak berkomentar apa pun menghadapi cengiran Kana. Dia mengetuk-ngetuk paku cepatcepat. Yogas takut kalau sedikit lebih lama saja bersama cewek ini, dia akan mulai berharap
untuk mendapatkan sedikit kebahagiaan.
"Ayo ngaku deh, Gas, waktu kamu liat aku tadi, kamu pasti panik berat, kan" Kamu pasti nyesel
udah ngejek-ngejek aku sebelumnya," kata Kana lagi. "Makanya jangan suka ketawa di atas
penderitaan orang lain..."
Mungkin sedikit waktu saja boleh. Yogas melirik Kana yang sedang mengamati perban di
kakinya. Rambutnya yang tebal dan bergelombang menutupi pipinya, membuat Yogas ingin
menyelipkannya ke telinganya. Mungkin, Yogas bisa menghabiskan waktu bersama gadis ini
walau pun sebentar saja. "Kakiku udah kayak kena penyakit gajah lho, Gas. Gede banget, biru-biru lagi. Tapi enaknya,
jadi ada alasan untuk gak ke kampus deh..."
Semua beban Yogas terangkat saat bersama gadis ini, seakan Yogas baik-baik aja. Kalau gadis
ini begitu sulit dijauhi, kenapa Yogas tidak membiarkannya saja" Kenapa harus bersusah payah
menjauhinya" "Gas?" tanya Kana membuat Yogas tersadar. Kana mengangguk-angguk, mata bulatnya
mengerling jenaka. "Nah ya, kena karma, kan?"
Salah tingkah, Yogas buru-buru mengetuk paku yang dipegangnya, tetapi justru ibun jarinya
yang terpukul. Yogas segera meringis kesakitan.
"Ya ampun Gas!" seru Kana panik. "Kamu gak apa-apa, kan?"
Yogas menggeleng cepat, tetapi ibu jarinya sudah mengeluarkan darah. Wajah Kana langsung
berubah pucat. "Aku cari tisu dulu!" sahut Kana lalu segera masuk ke kamar dengan langkah pincang. Tak
berapa lama, dia keluar membawa tisu. Yogas segera menggunakannya untuk mengehntikan
pendarahan. "Ng, aku cari plester ya!" ujar Kana lagi.
Kana segera masuk ke kamarnya lagi untuk mencari plester. Yogas menekan tisu itu sambil
menahan perih di ibu jarinya. Darah dengan cepat merembes di tisu itu, dan saat itulah Yogas
tersadar. Tubuh Yogas tiba-tiba membeku. Jari-jari tangannya terasa dingin. Matanya terpancang
pada tisu yang sudah berwarna merah.
"Gas, ini plesternya. Sini, aku pasang..."
Yogas menepis tangan Kana yang akan menempel plester. Kana menatap bingung Yogas yang
menbatu dan berkeringat dingin.
"Gas" Kenapa..."
Yogas bangkit mendadak, lalu berderap ke kamarnya tanpa sepatah kata pun. Dia masuk ke
kamarnya, meninggalkan Kana yang masih bingung. Yogas mengunci pintu kamarnya,
kemudian merosot ke lantau.
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang tidak bisa. Sebentar saja tidak bisa. Sedetik pun tidak boleh. Yogas tidak ditakdirkan
untuk mendapatkan kebahagiaan macam apa pun.
Yogas menatap tisu di tangannya nanar. Dengan tangan yang gemetar, dia mengambil korek apa
dari saku, menyalakannya, lalu membakar tisu itu. Air mata Yogas tiba-tiba menetes, menyadari
bahwa seharusnya dia tak pernah berharap
What if... "Pusing deh, punya tetangga kayak si Yogas," komentar Lian setelah mendengar cerita Kana.
Saat ini Lian sedang berada di kost Kana, menengoknya karena tadi bolos kuliah.
Kana mengangguk setuju sambil membuka balutan perban di kakinya yang sudag tampak kotor.
Dia menghela napas. "Padahal aku pikir akhirnya dia udah agak baik," Kana mendesah. "Ternyata, tetep selabil yang
kemaren-kemaren." "Kira-kira, apa ya masalahnya?" tanya Lian tiba-tiba. "Kabur dari rumah" Ayahnya selingkuh"
Atau, cweknya diambil orang?"
Kana mendelik, tidak setuju pada kemungkinan-kemungkinan yang dikatakan Lian. Lian sendri
terkekeh. "Apa pun masalahnya, kayaknya berat banget," desah Kana. Lian berhenti tertawa dan
mengamatinya. "Tapi, Kan, kalo suatu saat kamu tahu masalah dia, apa kamu masih mau nemenin dia?" tanya
Lian tiba-tiba membuat Kana menatapnya. "Kalo ternyata masalahnya benar-benar berat dan
kamu gak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya, kamu masih mau bareng dia?"
Kana terdiam sebentar, tetapi kemudian memukul Lian. "Kamu apa-apaan sih, Li" Jangan nakutnakutin gitu dong!" serunya membuat Lian tertawa.
"Kamu serius banget sih, bikin aku jadi pengen ngegodain!" seru Lian sambil bangkir untuk
bermain game di komputer. "Eh, ada Zuma, kan?"
Tak berapa lama, Lian sudah asyuk bermain Zuma," sementara Kana memikirkan kata-katanya.
Bagaimana kalau yang dikatakan sahabatnya itu benar" Bagaimana kalau masalah Yogas
ternyata melebihi perkiraan Kana"
Kana ingin membantu Yogas semampunya, tetapi Yogas bahkan hampir tak pernah mengatakan
apa pun tentang dirinya sendiri. Mungkin Yogas tak bisa mempercayai siapa pun. Namun, Kana
yakin Yogas bisa mempercayainya.
Kana akan membuatnya percaya.
*** Yogas melangkahkan kakinya pulang ke kost. Dia melirik rumah ibu kost yang masih gelap.
Sepertinya penghuninya masih pergi. Ono dan Agus juga tidak tampak di mana pun. Yogas
melirik ke atas, dan kamar Kana juga tampak gelap. Yogas menghela napas lega. Dia tidak mau
bertemu cewek itu setelah kejadian semalam.
Saat Yogas memutar kuncinya, dia berubah pikiran. Entah mengapa dia ingin mencari angin
dulu. Dia bergerak ke tangga dan naik ke lantai tiga.
Yogas terpaku saat melihat Kana sedang bersandar pada pembatas pagar. Dia tidak menyangka
cewek itu akan ada di sini, jadi dia segera beranjak pergi sebelum terlihat. Namun, tahu-tahu
Kana menoleh dan menangkap basah Yogas yang baru mau turun.
"Gas!" panggil Kana ceria membuat Yogas tak sengaja menoleh. "Sini!"
Yogas menatapnya malas, berbalik, dan berniat untuk turun. Sebelum dia sempat melangkahkan
kaki, Kana menarik tangannya dan membawanya ke pagar pembatas. Kana lalu menunjuk ke
langit yang sedang bertaburan bintang.
"Liat, Gas! Barusan ada bintang jatuh!" sahut Kana girang. Yogas menatap arah yang ditunjuk
Kana, tetapi tak melihat apa pun yang jatuh. "Ditungguin sebentar aja, pasti ada lagi yang jatuh!"
"Kemungkinan satu banding sejuta," kata Yogas pendek sambil melepaskan diri dari pegangan
Kana. "Heh" Masa sih?" tanya kana tak percaya.
"Mana gue tahu, memang gue astronot," balas Yogas, lalu beranjak pergi.
"Yeee... kalo gitu gak usah sok tahu!" Kana menarik Yogas lagi.
"Apa sih?" seru Yogas sambil melepaskan tangan Kana.
"Tungguin Gas, siapa tahu ada lagi! Kayak di Meteor Garden tuh, kan suka ada hujan meteor!"
sahut Kana berapi-api. Yogas menatapnya sebal, tetapi akhirnya menatap langut juga.
"Tahu gak apa permintaanku tadi?" tanya Kana, tapi Yogas tak berniat menjawab. "Aku minta,
apa pun permasalahan kamu, biar cepet selesai. Aku kurang baik apa tuh, malah ngegodain orang
lain?" "Gak ada yang minta," tukas Yogas sekenanya.
"Kamu ngerasa ngutang gak?" tanya Kana.
"Gak juga," jawab Yogas membuat Kana mendelik.
"Dasar gak tahu diri, udah didoain juga," balas Kana. "Kalo kalu ngerasa ngutang, kamu harus
tungguin satu bintang jatuh lagi, terus doain yang baik-baik buat aku!"
Yogas hampir mendengus karena menganggap itu sebuah permintaan bodoh. Ketika Yogas akan
berkomentar, sebuah bintang jatuh terlihat di kejauhan. Mata Yogas melebar tak percaya.
"Gas! Gas! Bintang jatuh lagi! Ayo cepet minta sesuatu!" Kana menggoncang-goncang Yogas
yang masih bengong. Setelah beberapa lama, Yogas tak juga berbicara. Kana menatapnya
bingung. "Gas" Kamu minta apa?"
"Minta supaya cewek bawel ini gak nyampurin urusan orang lagi!" Yogas menatap Kana,
kemudian dia beranjak pergi.
"Kenapa sih kamu segitunya gak percaya sama aku?" tanya Kana membuat langkah Yogas
terhennti. "Kenapa kamu tertutup banget?"
"Karena lo bukan siapa-siapa," Yogas berbalik dan kembali menatap Kana tajam. "Dan, karena
lo bukan siapa-siapa, gue gak harus nyeritain apa pun sama lo. Bukannya gue udah bilang dari
awal, jangan nyampurin urusan gue" Kenapa lo harus keras kepala sih?"
"Tapi..." "Apa susahnya sih, ninggalin gue sendirian" Kalo lo sepeduli itu sama gue, tolong hargai privasi
gue. Gue gak suka ada cewek bawel nyampurin urusan gue," tandas Yogas, lalu bergerak turun
tanpa menunggu reaksi Kana.
Yogas melangkah tanpa kesadaran ke kamarnya, lalu menjatuhkan dirinya ke kasur. Bukan,
bukan Yogas tidak mempercayai Kana. Hanya saja, dia tidak ingin Kana tahu apa yang
sebenarnya terjadi padannya. Kalau Kana tahu, Kana mungkin saja akan menghindarinya, seperti
semua orang. Dan entah kenapa, Yogas tidak menginginkan itu terjadi.
Ternyata sangat susah hidup tanpa ketamakan. Dalam keadaan gini, Yogas masih saja
mengharapkan keajaiban yang dia tahu tak akan terjadi. Tak ada yang bisa Yogas lakukan untuk
menyelamatkan diri, tetapi setidaknya dia bisa menyelamatkan Kana wlaupun dengan cara
menyakitkan. Yogas menatap botol yang tergeletak di depannya. Botol yang sudah sekian lama tidak
disentuhnnya. Botol yang berisi sisa hidupnya.
*** "No, gue harus cepat-cepat nemuin dia."
Eno menatap yogas heran. Tak pernah dilihatnya Yogas seniat itu. Mungkin Yogas sempat
sangat bertekad saat awal-awal datang ke Yogya, tetapi akhir-akhir ini dia tak begitu
memikirkannya. Baru sekarang Yogas bertingkah seperti ini lagi.
Yogas sendiri memandang sekeliling dengan gelisah, mengamati setiap wajah yang muncul di
cafetaria. Makanannya tidak tersentuh, padahal seharian ini mereka berputar-putar di kamous
tekhnik. "Gue harus cepet-cepet pindah dari kost itu," kata Yogas lagi, membuat Eno menemukan
permasalahannya. "Cewek itu ya?" kata Eno paham. "Lo awal-awal mikir kalo lo gak mungkin jatuh cinta sama dia,
tapi kenyataannya lo jatuh cinta?"
Yogas tak menjawab. Dia malah menatap ke arah lain.
"Pokoknya, gue harus cepet-cepet nemuin dia. Kalo perlu, gue jabani datang ke setiap kost di
kota ini," kata Yogas lagi. Eno menatapnya simpati.
"Kasih tahu aja cewek itu soal maslah ini, Gas," usul eno membuat Yogas menatapnya marah.
"Kalo dia malah ngehindarin lo, bukannya malah bagus" Masalah lo yang uitu terselesaikan,
kan" Lo gak perlu buru-buru pindah dari sana, kan?"
Yogas terdiam, memikirkan kata-kata Eno. Sepertinya itu sebuah usulan yang bagus. Dengan
demikian, cewek itu akan menjauh dengan sendirinya. Tetapi...
"Tapi, lo gak bisa karena lo gak mau dia ngejauhin lo," kata Eno seolah bisa membaca pikiran
Yogas. Yogas menatapnya tajam. "Lo gak mau dia tahu. Iya, kan?"
"Gue bakal kasih tau dia pulang nanti," sanggah Yogas cepat. "Malah bagus kalo dia ngejauhin
gue. Usul lo bagus."
Eno menatap Yogas yang meremas-remas gelas plastik air mineral. Eno bisa melihat kekalutan
pikiran Yogas dari raut wajahnya. Lagi-lagi, Yogas harus melakukan sesuatu yang bisa
menghancurkannya, seperti enam tahun lalu.
"Jangan maksain diri, Gas," kata Eno, tetapi yogas tak nmendengar. Dia sudah membulatkan
tekadnya untuk memberi tahu Kana, apa pun konsekunsinya.
*** Sudah sepuluh menit, Kana menatap ragu pintu kamar Yogas. Tantenya baru saja pulang dari
rumah mertuanya di Klaten dan dia membawa banyak makanan. Kana disuruh untuk memanggil
Yogas supaya makan bersama.
Tangan Kana tak bisa begerak untuk mengetuk pintu Yogas. Dia masih teringat perkataan Yigas
semalam. Kana tak mau Yogas marah lagi padanya karena dianggapnya sudah menyampuri
urusannya dengan mengajaknya makan.
Tahu-tahu, Kana mendapat ide. Dia menulis sebuah memo dan bermaksud menempelkannya di
pintu. Namun, begitu tangannya menempel pada pintu, pintu itu terbuka sendir. Kana terlonjak.
"Maaf! Pintunya kebuka sendiri, sumpah!" seru Kana cepat, takut Yogas mengamuk. Namun, tak
ada jawaban apa pun dari dalam.
Penasaran, Kana melongok ke kamar. Kamar itu ternyata kosong. Tumben sekali Yogas lupa
mengunci pintu kamarnya. Tanpa disadarinya, Kana sudah berada di dalam kamar itu.
"Ya ampun!" seru Kana begitu melihat keadan kamar yang sudah seperti tempat penampunngan
sampah itu. "Jorok banget sih."
Kana cepat-cepat mengambil kantung plastik besar, lalu memunguti cup-cup mie dan botol-botol
air mineral yang berserakan di lantai. Setelah itu, dia mengambil sapu dan mulai membersihkan
kamr Yogas. Saat sedang menyapu lantai, mata Kana tertumbuk pada kasur yang kelihatan
menyedihkan karena tidak diberi seprai.
"Ya ampun," gumamnya tak habis pikir. "Gak gatel-gatel apa."
Tanpa banyak berpikir lagi, Kana segera mengambil seprai dari lemarinya dan memasangkannya
ke kasur Yogas. Kana sempat geli sendiri saat melihat seprai pink bergambar Barbie itu
terpasang di sana, tetapi Kana tidak punya seprai lain lagi.
Setelah seprai terpasang, Kana menghela napas dan lanjut membersihkan kamar. Dia melihat
ransel Yogas yang isinya berhamburan ke mana-mana, lalu memutuskan untuk
membereskannya. Mata Kana membesar saat menemukan sebuah benda sepanjang lima belas
sentu terbungkus kulit hitam. Kana membukanya, lalu terperanjat begitu tahu dia sedang
memegang sebuah belati yang terlihat sangat tajam. Kana buru-buru meletakkannya kembali ke
ransel. Mungkin Yogas membawanya untuk perlindungan diri.
Selesai membereskan ransel, Kana kembali menyapu. Saat dia menyapu kolong meja, sebuah
botol berguling dan menggelinding ke dekat kakinya. Kana memungut botol itu, lalu
mengamatinya. "AZT," baca Kana lambat-lambat. "Apaan sih ini?"
Sebuah tangan tahu-tahu merebut botol itu dari tangan Kana. Kana menoleh cepat, dan
mendapati Yogas di sampingnya dengan ekspresi yang tidak dapat ditebak.
"Eh, Gas. Sori, tadi kamarmu gak kekunci, jadi sekalian aku bersihin," kata Kana sambil nyengir
bersalah. "Ng, itu obat apaan sih" Kamu sakit?"
"Keluar," kata Yogas lambat-lambat.
"Sori..." "KELUAR!" sahut Yogas membuat Kana terlonjak kaget. Urat-urat di dahi Yogas menyembul,
rahangnya mengeras, dan bool obat di tangannya sudah remuk.
Kana menatap Yogas takut, lalu segera berlari keluar kamar. Yogas segera membanting pintu,
menguncinya, lalu memukulnya keras-keras. Setelah itu, dia merosot ke lantai. Tangannya yang
gemetar menjambak rambutnya keras-keras.
Kenapa harus marah" Kenapa dia harus marah melihat Kana mengetahui rahasianya" Bukankah
itu tadi tujuannya, untuk memberitahu Kana" Tetapi, kenapoa sekarang dia malah tidak ingin
Kana mengetahui apa pun"
Kenapa Yogas menjadi setakut ini untuk ditinggalkan?"
*** Kana menatap bingung dinding kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Yogas. Dia merasa
bersalah karena lagi-lagi telah mencampuri kehidupan cowok itu. Kana ingin meminta maaf,
tetapi kelihatannya dengan keadaan seperti bini Yogas tak akan bisa diajak berbicara.
Kenapa Yogas semarah itu" Tanpa disadarinya, Kana memeluk lengannya sendiri. Tadi Yogas
kelihatan menakutkan. Kana nyaris tak mengenali sosoknya yang seketika berubah menjadi
monster yang menyeramkan.
Kana meletakkan satu tangannya di dinding itu, seolah bisa merasakan kepedihan yogas
melaluinya. Kana tidak tahu apa yang terjadi dengan Yogas, tetapi dia punya perasaan kalau
Yogas sangat membutuhkan bantuan.
Yang akan Kana berika kalau saja Yogas tidak menolaknya.
*** Pagi ini Yogas memutuskan untuk keluar kamar dan membuat kopi, setelah semalaman tidak
bisa tidur. Sebelum sempat keluar, Yogas memastikan kalau Kana tidak terlihat di mana pun.
Setelah situasi dirasa cukup aman, dia bergerak ke dapur. Baru berjalan beberapa langkah, Kana
keluar dari kamar mandi dan mereka sedang berhadapan.
"Sori!" seru Kana begitu Yogas mau menghindar. "Sori aku udah nyampurin urusan kamu lagi!
Aku gak sengaja ngeberesin kamar kamu!"
Yogas terpaku menatap Kana di depannya yang kelihatan salah tingkah. Yogas tak mengerti.
Bukankah seharusnya cewek ini menjauhinya seperti rencana"
"Gas, kamu marah banget ya" Sori!" sahut Kana lagi sambil mengatupkan kedua tangannya.
Yogas sendiri masih belum bisa berkata apa-apa. Secercah harapan tahu-tahu muncul di dalam
hatinya. Namun, tiba-tiba Yogas sadar kalau Kana mungkin belum tahu persis pa masalahnya. Dia hanya
belum tahu. Yogas tertawa miris. Bodoh benar tadi dia, berharap kalau Kana mau menerimanya
setelah mengetahui kenyataan itu. Cepat atau lambat Kana akan tahu, dan pada saat itulah, Kana
akan benar-benar meninggalkan dirinya.
"Gas?" tanya Kana, bingung melihat Yogas yang malah tertawa. Yogas akhirnya menatap Kana
dingin. "Gue udah bener-bener bosen memperingatkan lo untuk jangan pernah ganggu gue lagi," kata
Yogas. "Tapi, tunggu aja sebentar lagi, lo pasti bakal berhenti ngegangguin gue."
Tanpa menunggu reaksi Kana, yogas bergerak melewati Kana.
"Eh" Emangnya kenapa?" tanya Kana tak mengerti.
Yogas tak menjawab dan menghilang ke kamar mandi. Kana menatapnya bingung, kemudian
teringat kalau dia punya alasan kelas pagi itu dan buru-buru masuk kamar.
*** "Oke, dari cerita kamu, makin ke sini Yogas makin aneh," komentar Lian saat Kana
menceritakan kejadiana aneh kemarin padanya. Mereka sedang memakai akses internet yang ada
di lobi jurusan Hubungan Internasional.
Kana menganggukk setuju sambil mengetikkan alamat forum tempat dia biasa meminta pendapat
soal karyanya. Selama ini proses pengerjaan novel miliknya sangat lambat. Mungkin, dia bisa
meminta bantuan pada senior-senior yang sudah banyak menerbitkan buku.
"Tapi, kata kamu kemaren kamu nemu obat" Apa dia sakit?" tanya Lian lagi membuat Kana
teringat pada botol obat yang ditemukannya.
"Mungkin juga," kata Kana, jarinya mengetik salah satu web mesin pencaru. Setelah lamannya
terbuka, dia memasukkan kata kunci AZT dan menekan enter.
Berpuluh-puluh ribu hasil muncul, dan Kana mengklik salah satunya. Mendadak, tangan Kana
terasa kaku. Tubuhnya serasa mati rasa saat membaca artikel yang baru dibukanya.
"Kan" Kenapa?" tanya Lian setelah melihat wajah kana berubah pucat pasi dengan mata
terpancang ke layar. Lian menatap monitor yang dilihat Kana tadi, lalu menganga. "Kan, gak
mungkin, kan..." Kana jatuh terduduk di depan komputer. Kakinya lemas dan seluruh tubuhnya gemetar. Kana
mendongak untuk menatap layar lagi, berharap kata-kata yang tadi dibacanya salah.
AZT adalah obat antiretroviral untuk HIV positif.
*** Kana memasukkan motornya ke garasi, kemudian berjalan ke arah tangga seperti zombie. Dia
tidak bisa merasakan apa pun semenjak siang tadi. Kana menatap tangga di depannya dengan
mata menerawang, tak yakin harus menemui Yogas dengan wajah seperti apa.
Perlahan, Kana menaiki tangga, tidak ingin bertemu Yogas dulu. Namun, harapannya tidak
terkabul karena tepat saat Kana akan membuka pintu, Yogas keluar dari kamarnya dengan
handuk tersampir di bahunya.
Kana hampir lupoa bernapas saat melihat Yogas. Mata kana terasa panas karena tidak kunjung
berkedip, menatap sosok tegap di depannya itu. Hampuir tidak ada keanehan dari seorang Yogas
kecuali ribuan virus yang mengalir dalam darahnya.
Yogas balas menatap kana bingung, tapu akhirnya menghela napas.
"Lo udah tahu ya?" Yogas terkekeh sinis. "Sekarang, lo nyesel udah pernah bantu gue" Gue udah
pernah bilang kan..."
"Kenapa?" tanya Kana dengan napas tercekat membuat Yogas menatapnya lagi.
"Kenapa apa?" tanya Yogas datar
"Kenapa... kamu bisa dapat openyakit ini?" tanya Kana lagi, air matanya hampuir jatuh.
Yogas tak langsung menjawab pertanyaan Kana. Dia menatap Kana lama, lalu mengalihkan
pandangannya. "Hubungan seks," jawab Yogas singkat karena sibuk menahan tangis yogas sendiri sebisa
mungkin tidak melihat ke arahnya.
"Sekarang, lo pasti bisa gak ganggu gue lagi," kata Yogas sambil bergerak ke kamar mandi.
Kepalanya berdenyut menyakitkan dan harus dibanjur air.
Yogas harus pura-pura tidak tahu kalau Kana terduduk lemas di depan kamarnya sambil
menangis. Setelah menutup pintu kamar mandi, Yogas memukul tembok keras-keras, kemudian
terduduk di lantai sambil menjambak rambutnya.
Yogas sudah tahu hari ini akan datang dan dia sudah mempersiapkan diri. Namun, tetap saja,
rasa sakit di hatinya mengalahkan semua pertahanan yang sudah susah payah dibangunnya.
Berbagai 'kalau saja' sekarang berkelabat di benak Yogas. Kalau saja dia tidak pernah datang ke
kost ini. Kalau saja sejak awal dia menjauhi Kana.
Kalau saja dia tidak pernah terlahirkan.
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Does it hurt" Hari minggu. Langit Yogya sedang tidak bersahabat. Sudah hampir dua jam, kana duduk di
depan monitornya tanpa melakukan apa-apa. Tangannya terkulai lemas di keyboard sehingga
memunculkan huruf-huruf acak di tengah karyanya.
Semalam, Kana tidak bisa tidur. Dia hanya memandangi dinding kamarnya yang berbatasan
dengan kamar Yogas, bertanya-tanya apa Yogas juga tidak bisa tidur sepertinya.
AIDS. Jelas bukan penyakit yang sembarangan. Penyakit ini telah membunuh ribuan remaja
indonesia, bahkan jutaan remaja dunia. Penyakit yang membunuh secara perlahan. Penyakit yang
sampai sekarang masih belum ditemukan obatnya.
Membayangkannya saja membuat Kana merinding. Kana tidak pernah mengira masalah Yogas
akan seberat ini. Kana jadi teringat kata-kata Lian beberapa hari yang lalu.
"Kalo ternyata masalahanya benar-benar berat dan kamu gak bisa berbuat apa-apa untuk
ngebantu dia, kamu masih mau bareng dia?"
Saat itu, Kana tak menjawab, karena Kana takut hal itu benar-benar terjadi. Dan, sekarang, Kana
benar-benar takut Kana bukanlah cewek baik seperti yang ada di sinetron-sinetron, yang tegar menemani
kekasihnya yang sakit sampai akhir hayatnya. Seperti kebanyakan orang, Kana juga merasakan
ketakutan yang luar biasa saat mengetahui Yogas adlah penderita HIV. Kana tak yakin bisa
berbuat sesuatu dengan dirinya yang sekarang ini.
Kana menatap tangannya yang gemetar, lalu memgangnya. Ternyata dia memang takut. Kana
mengulurkan tangan bermaksud mengambil gelas, tetapi secara tak sengaja mengenai pinggiran
gelas yang sudah pecah. Kana meringis kesakitan saat mengetahui bahwa jarinya terluka.
Ketika Kana akan mengisap jarinya yang berdarah, dia terkesiap. Pikirannya melayang ke
kejadian beberapa hari lalu, saat jari Yogas juga berdarah karena terpalu dan dia menolak untuk
diplester. Setelah itu, pikiran Kana melayang lagi ke kejadian-kejadian saat Yogas beberpa kali
menolak makanan dan saat mereka di pantai.
"Kita gak punya masa depan."
Mata Kana menerawang. Darah di jarinya sudah menetes ke lantai, tetapi dia tidak peduli.
*** Yogas menatap atap rumah-rumah di depannya kosong. Pencariannya hari ini nol lagi. Padahal,
Yogas sangat bernapsu untuk cepat-cepat menyelesaikan masalahnya dan pergi dari kota ini.
Yogas melirik langit yang berwarna kemerahan. Satu hari lagi dari beberapa tahun sisa hidupnya
sudah dilalui. Yogas bertanya-tanya masih berapa lama lagi dia dapat melihat matahari terbenam
seperti ini. Tiba-tiba, yogas teringat pada kejadian kemarin, Kana akhirnya mengetahui penyakit yang
diidapnya. Reaksi Kana sama saja seperti reaksi orang lain. Sekarang, Yogas tidak akan heran
kalau Kana menghindarinya. Sepagian ini saja, Kana tidak keluar dari kamarnya.
Yogas memang kecewa tetapi dia tidak bisa mengharapkan lebih. Kana hanya menangis dan
tidak berteriak histeris saja sudah cukup untuknya. Lagi pula, Yogas memang tidak berhak untuk
kecewa. Yogas mendesah, lalu berbaring di lantai. Tak berapa lama, Yogas seperti mendengar suara
langkah kaki. Berharap setengah mati itu Kana, Yogas menoleh. Ternyata, emang Kana. Yogas
langsung mengalihkan pandangannya. Dia tidak boleh berharap yang macam-macam lagi.
"Dingin lho," kata kana sambil mendekatu yogas. Yogas duduk, lalu mengebas-ngebaskan
tangannya yang berdebu. "Kenapa lo ke sini?" tanya Yogas singkat tanpa menoleh.
"Mau nemenin, siapa tahu kamu kesepian," jawab Kana, membuat Yogas mendengus.
"Gak usah maksain diri jadi malaikat," Yogas berkata skeptik. "Lebih baik lo gak usah deketdeket ama gue."
Kana menatap punggung Yogas yang benar-benar tampak kesepian. Tadi pagi, Kana sudah
membulatkan tekadnya untuk tetap mendukung Yogas, karena Kana tahu, Yogas selama ini
melindunginya. Sikap Yogas yang keras dan tertutup itu semata-mata hanya supaya Kana tidak
bergaul dengan orang penyakitan sepertinya.
"Apa kamu gak kesepian?" tanya Kana. "Kamu memutuskan hidup sendiri dan gak membina
hubungan baik sama orang. Apa gak kesepian?"
"Kesepian gue juga gak peduli. Gue udah biasa sendiri," tandas Yogas.
Kana masih menatap punggung Yogas. Kalau yogas mau egois, Yogas bisa aja tetap bergaul
dengan semua temannya dan orang lain, dan tetap menyembunyikan penyakitnya. Namun, Yogas
malah melakukan sebaliknya.
"Kenapa?" tanya Kana lagi. "Kenapa kamu begitu?"
Yogas terdiam lama. "Gue gak mau ada yang nangisin gue kalo gue mati," kata Yogas pelan.
"Semakin sedikit semakin bagus."
Kana tertegun sejenak mendengar jawaban Yogas, lalu tersenyum.
"Ternyata kamu baik banget ya,"bujar Kana membuat Yogas menoleh sedikit. "Kamu masih
mentingin orang lain."
Yogas tak berkomentar. Dia hanya terdiam sambil menatap langit yang sudah gelap.
"Karena kamu gak mau orang-orang yang kamu sayangin berurusan sama kamu, kamu sengaja
ngehindarin mereka, ya, kan?" tanya Kana lagi. "Karena itu, kamu memilih sendirian, ya, kan?"
Yogas masih terdiam. Tangannya sudah terkepal keras hingga buku-buku jarinya memutih.
Tahu-tahu, sepasang tangan sudah melingkar di lehernya. Ternyata Kana sudah duduk dan
memeluknya dari belakang.
"Punya penyakit bukan berarti kamu gak bisa bahagia," kata Kana yang terdengar merdu di
telinga Yogas. "Kalo gak ada yang nemeni kamu, aku yang bakal nemenin."
Yogas tidak berusaha melepaskan tangan Kana. Tangan itu begitu hangat, sampai-sampai Yogas
tidak mau melepasnya. Yogas mau menggenggam kebahagiaan ini walau cuma beberapa detik.
Tanpa terasa air mata sudah mengalir dari mata Yogas.
"Sakit," gumam Yogas di antara isakan lirihnya membuat Kana menitikkan air mata dan
memeluk Yogas lebih erat.
Kana tahu benar di bagian mana Yogas merasa sakit. Dari seluruh bagian tubuhnya, pasti bagian
hatinyalah yang paling terasa sakit.
Bagian yang selama ini sudah dikorbankannuya.
*** Yogas melewati malam dengan menatap langit-langit kamarnya yang sudah kecokelatan. Dia
sama sekali tidak bisa tidur, stelah menangis untuk yang pertama kalinya di depan orang. Pada
saat Yogas divonis positif HIV, dia tidak menangis. Pada saat ibunya menangis sejadi-jadinya,
Yogas juga tidak menangis. Pada saat ayahnya pergi dari rumah karena malu memiliki anak
berpenyakit mengerikan spertinya, dia juga tidak menangis.
Mungkin semalam adalah akumulasi dari segala kesedihan yang Yogas alami selama enam tahun
terakhir. Yogas tahu cepat atau lambat dia akan meledak, tetapi dia tidak pernah menyangka
harus bersama orang yang baru dikenalnya. Kenapa malah orang yang hampur tidak dikenalnya
yang mau memeluknya dan membiarkannya menangis.
Yogas teringat ibunya. Saat divonis positif HIV, Yogas tidak sempat menangis karena ibunya
sudah menangis duluan. Setelah itu, perlakuan ibunya tidak sama lagi. Dia sangat hati-hati dalam
menyentuhnya dan sangat hati-hati dalam memberinya makan. Bahkan, ibunya memberi
peralatan makan khusus, dan dia mencuci pakaian Yogas secara terpisah. Yogas seperti alien di
dalam rumahnya sendiri. Betapapun dokter meyakinkan ibunya kalau penyakit Yogas tak akan
menular dengan cara-cara sperti itu, ibunya tidak mau mendengarkan.
Saat ayahnya pergi, ibunya depresi berat. Berhari-hari dia menangis tanpa memperdulika Yogas.
Yogas jadi tak punya waktu untuk memikirkan masalahnya sendiri. Yang dia pikirkan hanyalah
bagaimana ibunya bisa bahagia. Karen itu, yogas sering menghabiskan waktunya di luar untuk
menyepi, berharap dengan cara yang tak seberapa itu ibunya jadi lebih tenang.
Semalam, ketika Kana memeluknya, Yogas tak bisa menolak. Sudah terlalu lama semenjak
seseorang memeluknya seperti itu. Semalam, sisi egoisnya sudah menang. Dia tidak
memperdulikan apa pun, dan berharap malam itu tak pernah berakhir.
Namun, sekarang malanya sudah berakhir. Yogas tak bisa menerima kebaikan Kana hanya untuk
kepentingannya. Dia sadar kalau Kana hanya kasihan padanya. Kana kasihan karena Yogas
sendirian, dan akan mati sendirian pula.
Secercah harapan yang tumbuh pada hati Yogas saat kana tidak ragu memeluknya harus
dibunuhnya. Gadis itu memang tidak takut padanya dan masih bersikap sama seperti sebelum
mengetahui penyakitnya, namun Yogas juga sadar Kana hanya ingin menemaninya, tidak lebih.
Yogas bangkit dari tempat tidurnya, memutuskan untuk berangkat sepagi mungkin supaya tidak
bertemu dengan Kana. Sangat sulit baginya untuk bertemu dengan gadis itu setelah kejadian
semalam. Yogas membuka pintu kamarnya dan pada sAat yang bersamaan, pintu kamar Kana juga
terbuka. Yogas langusng mengumpat dalam hatinya.
Kana yang baru keluar kamar menoleh dan menatap Yogas yang tampak membeku di depan
kamarnya. Kana menelengkan kepalanya.
"Kenapa?" tanya Kana membuat Yogas tersadar. Yogas buru-buru mengunci pibtunya, lalu
bergerak cepat ke tangga. Kana mengamatinya dan teringat sesuatu.
"Gas! Bawa payung, ntar kehujanan lho!" sahutnya, tetapi Yogas sepeti tak mendengar.
Kana menatap punggung Yogas yang menghilang dibtangga, lalu tersenyum. Ternyata, Yogas
masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Ini akan jadi tugas yang sulit buat Kana, tetapi Kana
tak akan menyerah *** Yogas memandang kosong bangunan berwarna putih abu-abu di depannya, Fakultas Psikologi
UGM. Dia tidak benar-benar melihat siapa yang lewat karena otaknya masih terus memutar
kejadian semalam. Suara musik berdentum-dentum melalui headphone besar yang tergantung di
lehernya. Sepasang kekasih lewat di depan Yogas, membuatnya may tak mau memanang mereka dengan
sedikit perasaan iri. Alangkah baiknya jika Yogas tak memiliki penyakit apa pun. Di unurnya
yang sekarang ini, dia pasti juga bisa merasakan kebahagiaan seperti pasangan itu.
Namun, tak ada gunanya berandai-andai. Yogas sudah kepalang memiliki virus mematikan yang
mengalir dalam darahnya. Sekarang, dia hanya harus menyelesaikan urusannya dan setelah itu,
Yogas tak peduli lagi mau hidup dengan cara apa.
Yogas membetulkan headphone-nya, dan tanpa sengaja, dia menyentuh bagian belakang
telinganya. Yogas merasakan ada sesuatu yang tidak biasa. Dia menyentuh sebuah benjolan tepat
dibbelakang telinga yang seingatnya tak pernah dimilikinya.
Tangan Yogas langsung terlulai lemas. Pandangannya kosong. Beberapa detik kemudian, dia
terkekeh pelan. Benar. Ini sudah hampir enam tahun semenjak dia divonis menderita HIV. Tentu
saja, dia akan mengalami perubahan pada tubuhnya.
Yogas seharusnya bisa menerima ini, tetapi entah kenapa sebagian dari dirinya menolak. Selama
enam tahun ini, dia hampir tidak merasakan keanehan apa pun. Yogas merasa nyaris sehat. Dan,
sekarang, setelah kelenjar getah beningnya membengkak, dia baru sadar kalau dia benar-benar
sakit. Setitik air hujan jatuh di punggung tangan Yogas. Tak lama kemudian, hujan turun semakin
deras, tetapi Yogas belum beranjak dari tempatnya. Dia malah menengadahkan kepalanya,
berharap hujan bisa membawa pergi semua virus yang ada pada tubuhnya.
Juga membawa pergi semua air maya dan kesedihannya.
*** Kana menggeliat, lalu menggapai weker yang ada di sampingnya. Dia terduduk kaget saat
membaca jarum jam itu. Pukul sembilan lebih sepuluh menit. Kana mengucek matanya,
pandangannya tertumbuk pada dinding yang membatasi kamarnya dengan kamar Yogas.
Kana bangun dan bergerak membuka pintu. Ternyat, di luar hujan. Kana menengok ke arah
kamar yogas yang masih gelap, lalu menghela napas. Mungkin Yogas kehujanan di jalan, jadi
menunggu hujan reda. Kana baru akan bergerak ke kamar mandi ketika dia mendengarkan suara-suara dari arah kamar
Yogas. Kana berhnti melangkah, lalu menatap kamar Yogas. Mungkinkah ada tikus"
Kana memegang kenop pintu, tetapi dia segera menggeleng. Terakhir kali Kana masuk, Yogas
sangat marah. Dia tak mau dimarahi lagi. Namun, beberapa detik kemudian, suara itu muncul
lagi. Kali ini terdengar seperti suara igauan.
"Gas?" panggil Kana, tetap tidak ada sahutan. Kana mengetuk pintu Yogas. Karena tak kunjung
ada jawaban Kana mengetuk lebih keras. "Gas" Kamu ada di dalem?"
Lampu kamar Yogas tiba-tiba menyala, dan detuk berikutnya Yogas membuka pintu dengan
kasar. Wajahnya tampak pucat. Juga marah.
"Berisik! Apaan sih?" serunya. Kana menatap Yogas lekat-lekat. Tampaknya Yogas bukan baru
Kitab Pusaka 11 Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa Memanah Burung Rajawali 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama