Ceritasilat Novel Online

Vila Toedjoeh Tjemara 2

Vila Toedjoeh Tjemara Karya Donatus A. Nugroho Bagian 2


Re berjalan mundur dengan mata melotot, lalu nggak bisa ditahan lagi, ia pun muntah-muntah. Ham berdiri nggak bergerak. Matanya juga melotot penuh kengerian.
Di bawah plastik itu, di lubang yang belum sempurna itu, telah terlihat seonggok daging yang mulai membusuk. Dan jika diamati lebih saksama, makin jelaslah bentuknya.
Sebentuk kepala manusia yang membusuk!
"Re! Kuatkan dirimu, panggil polisi! Cepat!"
Re masih bengong dan punggung tangannya bergerak-gerak mengelap mulutnya. Ranti, Rosa, dan Wanda yang belum mengerti apa yang ada di dalam lubang itu hanya memandang dari kejauhan tanpa berani mendekat.
Tapi, baru saja Re hendak bergerak ".
"Apa yang kalian kerjakan di sini"!"
Pak Lenggono! Entah gimana caranya, tiba-tiba orang tua itu
berada di tempat ini. Orang tua itu berdiri tegak, sama sekali nggak bungkuk! Mata Ham cepat sekali menyadari sesuatu yang berkilat di tangan Pak Lenggono, namun bersamaan dengan datangnya kesadaran itu, Pak Lenggono sudah bergerak cepat menerjang ke arah Ham.
"Re!" Ham berteriak keras.
Tahu-tahu, Re bergerak sangat cepat memapak tubuh Pak Lenggono. Gerakan Re begitu cepat. Tahu-tahu, kaki Re terangkat sebelah melakukan tendangan kilat yang mengenai pergelangan tangan kanan Pak Lenggono. Pedang panjang di tangan orang tua itu terlepas dan melayang ke udara, sebelum akhirnya jatuh ke tanah.
Usai itu, Re kembali melakukan tendangan beruntun. Masing-masing ke arah pinggang, lalu ke ulu hati. Tendangan ke arah pinggang bisa dihindari Pak Lenggono, namun kaki kanan Re tepat menimpa perut bagian atas lawannya. Tak ayal lagi, Pak Lenggono mundur sambil mendekap bagian tubuhnya yang sakit luar biasa. Belum sampai ia mampu berdiri dengan tegak, tiba-tiba pula Niko menerjang orang tua itu dan berhasil menggigit pergelangan kakinya.
Ranti yang berdiri terpukau, hanya bisa berteriak, "Bagus, Niko. Kalahkan orang tua jahat itu!"
Melihat itu, Ham ikut mendekat dan mengambil posisi siap menyerang, namun lagi-lagi Re yang bertubuh kecil itu kembali mengirimkan sebuah tendangan taekwondo yang amat jitu menghajar
tubuh lawannya. Sekali lagi, Pak Lenggono mengaduh sambil mendekap perutnya. Setelah itu, dengan mudah Re dibantu Ham menelikung tangannya.
"Ranti, ambil tali!"
Ranti masih bengong nerima perintah Re. Ia masih terpesona menyaksikan kehebatan cowok kerempeng itu.
"Ranti!" Ranti tergagap, lalu berlari ke vila dan kembali dengan seutas tali jemuran di tangannya. "Cuma ada ini!"
Pak Lenggono meronta-ronta, namun tenaganya nggak cukup kuat melawan tenaga dua anak muda itu. Akhirnya, ia nggak berdaya. Tubuhnya diikat pada sebatang pohon.
"Mana Rosa dan Wanda?" Ham baru menyadari kedua temannya nggak ada di tempat.
"Mereka pasti memanggil bantuan," kata Re.
"Ranti! Amankan Niko. Dan jangan melihat ke lubang itu!"
"Mayat Opa Herman?" Ranti terduduk lemas. Air matanya menetes sejak tadi.
Ham menarik napas lega dan menepuk-nepuk pundak Re.
"Kamu hebat, Re."
Re hanya tersenyum tipis. Ia menunduk memeriksa sepatunya. Diliriknya Pak Lenggono yang diikat nggak berdaya. Ternyata, orang tua itu nggak sadarkan diri.
Sayup-sayup, terdengar suara sirene polisi
Pukul 14.15 " RUMAH makan di seberang kantor polisi itu mendadak ramai. Beberapa orang petugas berseragam tampak mondar-mandir di depannya. Sementara di dalamnya Ham, Re, Gilas, Rosa, Wanda, dan Ranti menghadapi menu makan siang nggak berselera. Apalagi Ham dan Re yang melihat langsung isi lubang. Tiap kali teringat itu, isi perutnya seperti hendak keluar lagi.
"Jadi, gitu, deh! Pak Lenggono ngedadak turun di Karangpandan dan nyuruh aku ke Solo sendirian. Katanya, ia mendadak sakit perut. Huh!" Gilas bersungut.
"Dan, kamu sial nggak bisa ngikutin sepak terjang Re!" Ranti mengerling ke arah Re. Ham mendadak cemburu. "Lalu, gimana, Pak?"
Kapten Gunadi minum kopinya sekali lagi. "Masih jauh. Kalau kalian masih berniat berlama-lama di sini, kalian bisa mengikuti perkembangan pemeriksaan kami," kata Kapten Gunadi dengan gayanya yang santai.
"Tapi, keterangannya sudah cukup bisa dijadikan alasan untuk menyeret orang tua itu ke penjara, kan?" tanya Re.
"Pak Lenggono memang sempat membuat
pernyataan. Ia mengakui perbuatan-nya. Alasannya karena Ranti mendapat warisan dari Tuan Herman, dan Pak Lenggono yang sudah lama mengabdi padanya, merasa lebih berhak atas harta orang tua yang nggak punya sanak saudara dan keturunan itu. Lalu, Pak Lenggono membunuh Tuan Herman dengan keji. Ia juga berniat memusnahkan surat wasiat yang telah di-buat Tuan Herman. Sayangnya
"Ham nggak sengaja menemukan testamen itu di atas plafon," Re melanjutkan.
"Ranti yang kaya raya Wanda merangkul pundak Ranti. Tiba-tiba, semua merasa begitu akrab dan dekat dengan cewek gunung itu.
Mata Ranti berkaca-kaca. Ia sudah membaca surat wasiat yang akhirnya diserahkan Ham pada polisi. Nggak tampak kegembiraan, yang ada justru perasaan kehilangan. Ia sama sekali nggak pernah menduga bahwa kasih sayang dan persahabatan dengan orang tua itu sedemikian dalam, sehingga ia menerima warisan yang amat nggak ternilai itu. Seperti mimpi!
"Gimana caranya" Maksud saya, gimana ia melakukan pembunuhan keji itu, Pak?" Gilas penasaran. Ia memang datang terlambat setelah kejadian seru itu berakhir di kantor polisi.
"Nanti akan kami selidiki lebih rinci. Kalau menurut pengakuan Pak Lenggono, pada malam tanggal tiga belas itu, ia memukul kepala Tuan Herman dengan sepatu, hingga terjatuh dan kepalanya membentur sudut piano. Setelah itu, Pak
Lenggono menyudahi dengan tusukan pedang di perut."
"Hantu sepatu, hantu piano " mungkin kalau diteruskan, akan ada hantu pedang gumam
Ham. "Darah kering di sudut piano itu, Ham," kata Wanda pada Ham.
"Dugaanku benar desis Ham. Semua terdiam terbawa pikiran masing-masing. "Untung surat wasiat itu belum sempat di hapus atau dimusnahkan. Keteledoran orang tua itu," kata Kapten Gunadi sambil meraba kumisnya.
"Beruntung kita berhadapan dengan penjahat yang jujur dan lugu. Hahaha "."
Tawa Gilas diikuti yang lain, kecuali Ranti yang tengah menghapus air matanya.
"Tapi, ia cukup cerdik dengan menanam mayat itu, nyaris tak terlihat."
"Sayang, masih kalah cerdik dengan Niko."
"Niko jadi pahlawan, dong!" teriak Rosa.
"Kalian semua pahlawan. Kalian semua berjasa, " timpal Kapten Gunadi.
"Nggak akan jadi begini kalau Ham nggak punya naluri detektif!" kata Re.
Ham menunduk sambil tersenyum puas. "Semua hanya kebetulan, kok. Hei, siapa yang paling berani" Re dong, ya" Jagoan kita yang kerempeng!" Ham memukul pinggang Re.
Re meringis dan tersipu-sipu menerima pandang kagum Kapten Gunadi.
"Well, sekarang gimana?" Gilas berdiri setelah
menghabiskan teh es manisnya.
"Kita pindah nginep!" seru Rosa bersemangat. "Di kantor polisi?"
"No way! Di hotel yang lebih nyaman dan tanpa hantu. Tanpa gangguan orang tua yang pembunuh sadis!"
"Kalian akan diantar Pak Triyono untuk mengambil barang dan mobil. Untuk sementara waktu, Vila Toedjoeh Tjemara kami segel. Oya, Pak Tri juga yang akan membantu membetulkan mobil kalian."
"Jadi, kami bebas sekarang?" tanya Wanda yang dari tadi lebih banyak diam.
"Kalian berlima masih beberapa hari lagi di sini, bukan" Kami masih memerlukan keterangan kalian semua untuk berita acara. Kalian nggak bisa menolaknya, lho," Kapten Gunadi berkata dengan senyum ramah.
"Kami siap, Kapten!" Ham berkata mewakili teman-temannya.
Rabu, pukul 14.26 " HAM jalan bareng Ranti menjauhi keempat temannya yang telah siap di mobil hijau terang itu. Gilas yang ada di belakang setir, bersuit-suit meledek.
"Masih sedih dengan wafatnya Opa Herman" Nggak sedih dengan perpisahan ini?" tanya Ham nyaris seperti bisikan.
"Sedih juga melepas para pahlawan." "Pahlawan?" Ham berusaha tertawa mesti hatinya terasa getir.
"Ya. Begitu kan, koran-koran menulis tentang kalian?"
"Hei, nggak usah senewen, dong! Kamu sebenarnya bisa terkenal juga, kalo namamu boleh ditulis lengkap oleh wartawan-wartawan itu. Tapi, mungkin baiknya begitu. Kekayaanmu yang mendadak berlimpah bisa mengundang kejahatan baru."
"Udahlah." "Kapan lagi kita bisa ketemu" Kalo ada hantu-hantu lagi?"
"Ngaco! Kamu toh bisa ke sini kalau libur panjang."
"Hanya buat kamu?"
"Juga mengenang bahwa di sini kalian pernah menerima piagam penghargaan dari kepolisian atas jasa kalian mengungkap kasus pembunuhan."
"Aku nggak mau!" kata Ham keras.
"Lalu, apa" Liburan sambil memburu bonsai?"
Ham menendang kerikil dengan ujung sepatunya. "Kelak, pasti ada acara menginap gratis di Toedjoeh Tjemara, ya" Vila kamu?"
"Jangan ngomong soal itu! Tuh, kamu ditunggu temen-temen. Ayo, aku harus say goodbye sama mereka."
"Boleh kuminta sesuatu darimu?"
Ranti mencubit pipi Ham dengan gemas. "Kalo kamu mau nunda kepulanganmu seminggu la-gi!" "Tapi, sekolahku?"
BONUS: Sketsa Bulan Sketsa Bulan UNTUK kedua kalinya tiba di tempat itu, ia merasa bahwa pilihannya sangatlah tepat. Ia merasa puas. Sangat puas sekaligus merasa amat beruntung. Untuk sesaat, ia masih berdiri terpaku di halaman berumput itu. Halaman yang nggak terpelihara, jika dilihat dari betapa tingginya rumput yang tumbuh di situ. Juga serakan daun dan ranting kering di mana-mana.
Ia menatap bangunan di depannya, dan sekali lagi senyumnya terkembang.
Tangannya masih menimang-nimang anak kunci kuno itu. Anak kunci dengan bentuk aneh dan mungkin nggak ada duanya lagi saat ini. Anak kunci berkepala elang, yang sekilas dilihat telah menampakkan keantikannya. Sama seperti bangunan di depannya ini. Ya, semua memang serbaantik, serbakuno, namun sebenarnya justru sangat artistik.
Vila ini mungkin umurnya sudah seabad lebih.
Jika disamakan dengan rata-rata bangunan berarsitektur Eropa yang biasanya berukuran besar, vila ini mungil. Tapi, jika hanya digunakan sebagai studio lukis, tempat ini sudah lebih dari cukup. Kenapa nggak" Toh, dulunya tempat ini memang digunakan untuk melukis.
"Mau dimasukkan sekarang, Non?" Ia menoleh dengan ekspresi agak terkejut, seolah baru sadar nggak sendirian. "Oh, ya! Tentu saja! Pak Kodi boleh mulai nurunin semua barang saya. Hati-hati dengan kanvas-kanvas itu, Pak! Minyak cat yang di botol besar itu nggak ketinggalan, kan?"
Pak Kodi nggak menyahut, tapi bergerak cepat menuju mobilnya dan mulai menurunkan barang-barang.
"Yes.,u Cewek itu, melonjak girang, baru kemudian melangkah ke pintu utama vila dan membukanya dengan anak kunci berkepala elang itu. Ketika pintu telah terbuka, ia menutup hidungnya karena mencium kepengapan. Tapi, ia nggak mengeluh. Pikirnya, Kalo Pak Kodi mau membantu membersihkan debu, lantas semua pintu dan jendela telah dibuka, pastilah pengapnya akan berkurang, kemudian sirna sama sekali.
Namanya juga vila yang udah cukup lama nggak dihuni, batinnya bukan sekadar untuk menghibur diri. Lebih dari itu, ia memang mendapatkan tempat ini dengan ongkos sewa yang sangat murah. Cuma satu juta rupiah sebulan penuh. Menyewa tempat lain di sekitar sini dengan
waktu yang sama, tarifnya bisa sekitar lima juta rupiah. Apalagi di masa liburan seperti sekarang, biasanya pemilik hotel dan vila memanfaatkannya dengan menaikkan tarif.
"Nona kok, mau tinggal di tempat seperti ini" Kesannya serem, Non. Kayak " kayak apa, ya?" Tahu-tahu, Pak Kodi ada di belakangnya, mengusung empat buah kanvas kosong sekaligus.
"Kayak rumah hantu, ya?" Cewek itu masuk, membuka sebuah jendela. Angin gunung yang sejuk, bertiup lembut menyatroni kepengapan. Ia membuka dua jendela lainnya. Angin makin keras. Dua buah sarang laba-laba di sudut ruang bergoyang karenanya. "Untuk uang empat juta, saya rela bertemu hantu, Pak."
"Non"!" Pak Kodi terbelalak.
"Lho, iya Ia mencibirkan bibirnya. "Mami nyediain dana lima juta untuk ongkos sewa, lalu ternyata saya bisa dapetin tempat ini yang cuma satu juta. Untung empat juta rupiah, kan?"
"Nggak gitu, Non. Tapi
"Cerita horor" Pak Kodi mau bilang hal-hal yang bikin saya jadi ngeri" Orang tua kok, suka mengada-ada! Sekarang, setelah Pak Kodi nurunin semua peralatan saya, Pak Kodi harus bantu-bantu saya sampai selesai. Jadikan tempat ini la-yak huni, biar nggak kayak vila hantu lagi."
Pak Kodi menggeleng-geleng. Dalam hati, ia makin kagum sama cewek ini. Bukan cuma pemberani dan nggak manja, tapi ia juga punya selera humor yang lumayan. Ini yang membuat Pak
Kodi sangat sayang padanya, dan akan memenuhi semua keinginannya.
Dua jam kemudian, ia duduk di balkon yang memang udah dibersihkan oleh Pak Kodi. Ia berdiri dan berputar-putar riang menikmati sentuhan angin pegunungan yang bertiup sejuk. Lalu, ia mengedarkan pandangan ke bawah, lalu jauh, sejauh mata memandang. Ke perbukitan di depan sana, ke hutan pinus yang hijau dan lebat, kemudian ke perkampungan kecil di bawah sana.
"Sempurna!" Ia memutar tubuhnya lagi sambil menjerit. Kemarin waktu melakukan transaksi dengan Pak Slamet Wirono, orang yang selama ini diberi tanggung jawab untuk menjaga vila, ia sama sekali nggak pernah membayangkan bahwa pemandangan dari atas balkon ini begitu indahnya. Sekarang ia baru berpikir, alangkah idealnya melukis di atas balkon ini. Betapa idealnya lantai kedua ini jika dijadikan ruang kerja selama sebulan.
"Sempurna!" Lagi-lagi, cewek itu menjerit puas.
"Sudah, Non!" "Pak Kodi ini!" Ia memberungut kesal. "Selaluuu " aja, bikin saya kaget! Pake permisi dulu, dong" Ruang di bawah udah bersih semua, Pak?"
Pak Kodi mengangguk. "Tapi " lubang air di kamar mandi kayaknya mampet, Non."
"Nggak apa-apa. Saya bisa sekalian mandi di kamar mandi sini. Semua yang ada di atas lancar. Hm, bodohnya saya katanya kemudian. "Kenapa baru kepikiran sekarang" Tentu aja ia waktu itu
menggunakan ruang atas ini untuk studio. Yaaa " di mana lagi" Lantai atas ini sepertinya emang dibikin untuk melukis. Ah, semua serba kebetulan!"
"Semua sudah beres, jadi saya
"Boleh pulang!" Ia mendahului. "Jangan lupa jemput saya minggu sore, ya" Jangan kemalaman, Pak! Minggu sore sebelum jam lima, Pak Kodi sudah harus di sini, supaya kita nggak kemaleman sampai rumah."
Pak Kodi mengusap telapak tangan yang berdebu ke celananya. "Jangan lupa nelepon ke rumah, Non. Tadi nyonya berpesan begitu."
"Iya! Iya! Uuuh, dasar Mami! Cuma nggak ketemu dua malem aja ributnya nggak ketulungan?"
Pak Kodi mengangguk hormat dan menuruni tangga dengan cepat. Gayanya memang selalu cekatan. Sebentar kemudian, mobilnya telah meninggalkan halaman vila.
Ia, cewek itu, mengawasi mobil hingga menghilang di balik tikungan, dari atas balkon. Tapi, tiba-tiba ia merasa perasaannya terusik. Ia mengalihkan pandangannya.
Uh! Ia menyipitkan matanya. Di luar pagar, di seberang jalan itu, seseorang tengah berdiri terpaku menatap ke arahnya. Ia makin menyipitkan mata, memperjelas pandangan.
Orang itu lagi mengawasinya dari seberang jalan di depan vila itu. Ia merasa terusik dan ri-sih karena nggak tau entah sudah berapa lama cowok itu mengawasinya. Ia mengalihkan pandangan ke dalam, ke tumpukan kanvas dan kotak catnya.
Ketika ia merasa terusik untuk menengok lagi, dilihatnya tempat itu kosong. Cowok itu nggak ada lagi di tempatnya.
TIGA buah kanvas sekaligus telah terpasang di masing-masing penopang. Ketiganya siap untuk nerima coretan. Ia duduk di sudut ruang itu sambil menggigiti pensil. Di kepalanya telah siap sekian ide yang segera dituangkan di atas kanvas. Semuanya akan berjalan sesuai rencana.
Tiga buah sketsa akan diselesaikannya pada akhir pekan yang pertama di vila ini. Lalu, ketiga lukisan itu akan selesai pada akhir pekan terakhir. Matematikanya adalah, ia punya empat akhir pekan di vila ini untuk melukis. Empat akhir pekan yang masing-masing Sabtu dan Minggu, berarti delapan hari. Delapan hari penuh, tanpa gangguan. Delapan hari dengan konsentrasi hanya untuk melukis, demi tugas akhir itu.
Tugas Akhir! Ingat itu, ia sedikit panik. Waktunya nggak banyak lagi untuk bisa memenuhi dan menepati jadwal akademik. Minggu kedua bulan depan, sepuluh lukisannya harus siap. Kalo sepuluh lukisan nggak dilolosin sama dosen pembimbingnya, Pameran Bersama Tugas Akhir itu akan berlangsung tanpa keikutsertaannya. Dan, itu artinya penundaan hingga semester berikutnya!
Nggak! Ia nggak ingin ada semester depan kecuali hanya untuk ikut wisuda. Ya, wisuda yang akan menobatkannya menjadi Sarjana Seni jurusan Seni Lukis!
Tujuh lukisan udah siap di rumah. Ketujuh-tujuhnya disetujui dosen pembimbing dan tinggal tiga lukisan lagi belum jadi. Harusnya, itu bisa diselesaikannya di rumah bulan ini. Tapi siapa duga, situasinya jadi lain. Kedatangan Ichal dan Ratih, sepupunya dari Toli-Toli itu, telah memorak-porandakan semuanya. Kedatangan mereka dan urusannya yang memakan waktu berminggu-minggu itulah yang membuat ia harus hengkang dari rumah.
Kamar kosong yang selama ini dijadikan studio lukis itu, saat ini mau nggak mau harus diubah fungsi, menjadi kamar tidur tamu buat Ichal dan Ratih.
Ah, untuk apa menyesali semua itu" Ia mendadak seperti tersadar dari lamunannya dan segera menghampiri kanvas kosongnya. Seperti kesetanan, ia mulai mencorat-coret kanvas itu.
DI akhir pekan, ternyata tempat itu menjadi cukup ramai. Banyak orang dari luar kota datang untuk berakhir pekan, menghirup udara segar yang belum terkena polusi. Banyak yang sengaja
menyewa vila atau menginap di hotel yang banyak banget di lokasi itu.
Ia yang duduk di sudut restoran kecil itu, mencoba nggak terusik sama keramaian di sekelilingnya. Nggak ada sesuatu yang mampu menarik perhatiannya, atau bisa jadi karena ia memang nggak ingin tertarik sama apa pun. Yang ia pikirkan adalah mengisi perut sekenyang-kenyangnya, membeli camilan buat pengusir kantuk, dan cepat-cepat kembali ke vila, kembali melukis.
Di kepalanya cuma ada rencana, pokoknya besok sore, sebelum Pak Kodi datang menjemput, ia udah harus menyelesaikan tiga sketsa itu. Ya, harus! Meskipun untuk itu, malam ini ia harus melukis sampai pagi.
Ia menghabiskan isi piringnya dengan tergesa-gesa. Bahkan waktu membayar di kasir, mulutnya masih dipenuhi kerupuk udang yang terakhir masuk mulutnya. Ketika ia hendak keluar dari restoran?sambil menjinjing tas plastik berisi aneka makanan kering dan minuman kaleng?inderanya terusik.
Tap! Matanya bertemu sepasang mata milik cowok yang duduk di meja nomor enam itu. Sedetik ia terpaku. Cuma sedetik, karena detik berikutnya ia kembali melangkah keluar. Tapi, sedetik bertemu pandang tadi telah menumbuhkan keyakinannya. Cowok itu adalah " orang yang tadi pagi mengawasinya dari seberang jalan!
Ah! Ia membuang pikiran buruk itu jauh-jauh. Apa anehnya ketemu orang yang sama di dua
tempat yang berlainan" Itu semua hanya kebetulan!
Tapi, benarkah orang itu sengaja mengawasiku tadi pagi" Benarkah hanya kebetulan" Ia mempercepat langkahnya dan nggak ingin mene-gok lagi.
"Nona! Nona "!"
Ia menoleh dengan terpaksa, lagi-lagi merasa sangat terpaksa karena harus berhenti. Seseorang berlari menyusulnya sambil mengacungkan sesuatu di tangannya.
"Nona! Nona ketinggalan sesuatu!"
Cowok itu! "Ini kunci Nona, bukan?" Cowok itu menyodorkan sebuah anak kunci berkepala elang.
Seketika, ia merasa bahwa dirinya teramat bodoh dan sembrono. Entah apa jadinya kalo ia udah nyampe vila dan baru menyadari kunci itu tertinggal di restoran. Entah apa jadinya kalo kunci vila sampai hilang.
"Makasih," katanya mirip gumaman, ketika ia seperti merebut anak kunci itu dari tangan cowok itu.
"Nona nginap di vila kuno itu?" tanya cowok itu. Kesannya ia amat hati-hati sama pertanyaannya.
"Ya." "Sendirian?" "Ya." Ingin rasanya ia cepat-cepat menyudahi pembicaraan basa-basi ini.
"Namaku Opang. Ya, orang-orang biasa memanggil Opang. Nona
"Bulan. Bulan Trisna. Makasih atas kebaikan kamu. Maaf, aku buru-buru." Ia memasukkan anak kunci ke saku overaii-nya yang banyak sekali dihiasi noda cat minyak. Lalu, ia kembali melangkah dengan cepat tanpa memedulikan cowok yang masih mengawasinya dengan menyipit.
Sebenarnya ia, Bulan Trisna, merasa amat menyesal. Entah setan mana yang telah mendorongnya dan membuat ia begitu terus terang menyebutkan namanya di depan orang asing yang mencurigakan. Ia sungguh menyesal.
Bulan Trisna berada di balkon itu lagi, kemudian menghidupkan semua lampu di lantai dua, dan kini berdiri terpaku di depan ketiga kanvasnya. Sebuah sketsa telah rampung, nyaris sempurna pada salah satu kanvas itu. Sebuah lagi menunggu disempurnakan, dan kanvas ketiga masih putih bersih.
Bulan Trisna ingin segera melanjutkan sketsa keduanya, yang melukiskan sepasang sapi dan seekor anak sapi yang merumput. Bulan ingin ketiga lukisan terakhirnya ini lukisan tentang hewan. Ia nggak tahu atau nggak terlalu yakin, penganut aliran mana. Hanya, selama ini ia memang lebih banyak melukis objek nyata. Lukisan-lukisan realis.
Ia telah melukis bunga, manusia, benda, dan hewan. Bulan Trisna ingin di pamerannya nanti, orang-orang bisa melihat sepuluh lukisannya de-ngan objek beragam.
Bulan mulai menggerakkan pensilnya, tapi hanya sebentar. Tangannya kembali mengejang. Ada
sekilas bayangan hadir di benaknya, membuat ia sesaat merasa kehilangan konsentrasi.
Cowok itu, yang katanya bernama Opang, terbayang jelas di benak Bulan. Bulan nggak bisa memungkiri, Opang adalah cowok yang punya daya tarik kuat, meskipun ia baru memandangnya sepintas. Bulan masih ingat betul pada tubuh atletis itu. Pada sebentuk rahang berbentuk persegi yang umumnya dimiliki orang-orang berhati keras. Tapi, matanya" Bulan nggak bisa melupakan caranya memandang. Sorot mata yang tajam, namun gelisah.
Ia adalah cowok tampan, dengan usia yang mungkin nggak terpaut jauh dari usia Bulan.
Tapi, benarkah Opang sengaja mengawasiku" Kaio benar, untuk aiasan apa" Gimana kaio ternyata ia bermaksud jahat"
Berpikir begitu, Bulan sedikit bergidik. Ia benar-benar telah bertindak bodoh karena mengatakan apa adanya bahwa ia sendirian di vila ini.
Bulan menyatukan bibirnya rapat-rapat. Ia membuka pintu dan menuju balkon. Dilongokkan kepalanya ke bawah, mengawasi suasana di sekitar vila. Nggak ada yang mencurigakan di balik kegelapan. Lalu, ia masuk lagi ke studio barunya dan mengunci pintu yang menghubungkan ruang itu dengan balkon. Kini, ia merasa jauh lebih tenang.
Zaaap Seraut wajah dengan rahang persegi itu tiba-tiba hadir lagi di pelupuk matanya, saat Bulan kembali meraih pensilnya. Bulan mengeluh kecil. Hei,
kenapa sulit sekali mengusir bayangannya "
Bulan bukanlah anak kemarin sore. Bukan cewek ingusan yang mudah terganggu oleh wajah tampan, lantas membayangkan hal-hal yang berbau romantis. Tapi, kenapa bayangan itu terus-terusan hadir dalam pikirannya, justru pada saat ia nggak ingin memikirkan hal lain kecuali membuat sketsa" Sekali lagi, Bulan mencoba menggoreskan pensilnya di atas kanvas, lalu lagi-lagi merasa nggak puas dan menghapusnya.
Tiba-tiba, Bulan tersentak. Mendadak ia merasa dibangunkan dari sebuah mimpi. Suara itu begitu keras memecah kesunyian. Suara lonceng jam dinding. Secara refleks, Bulan menengok arlojinya.
Ah! Pukul dua belas malam! Tapi, yang membuat Bulan terkejut bukanlah kesadaran ternyata ia melamun berjam-jam. Bahwa telah dua jam lebih ia hanya mematung di depan kanvasnya tanpa menghasilkan apa-apa, melainkan karena seingatnya di vila ini cuma ada sebuah jam dinding besar di lantai bawah, di ruang tengah.
Ia dan Pak Kodi pagi tadi sempat memeriksa jam kuno itu dan agak menyayangkan karena jam itu nggak berfungsi lagi. Tapi sekarang, ke-napa jam itu bisa berbunyi"
Belum habis keheranan Bulan, tiba-tiba ia merasakan adanya tiupan angin yang amat kencang dari arah balkon. Angin yang sangat keras, sehingga mengibar-ngibarkan tirai.
Bulan melesat cepat, dan berpikir ada jendela yang lupa masih dibiarkan terbuka. Dengan sangat panik, Bulan memeriksa setiap jendela dan merasa sangat heran karena semua jendela telah tertutup rapat-rapat.
Bulan berdiri dengan mata melotot. Sekujur tubuhnya seolah mengejang. Sementara itu, dentang lonceng jam dinding belum juga berhenti bersuara. Angin keras masih bertiup, membuat rambut panjang Bulan ikut berkibar-kibar seperti tirai-tirai jendela itu.
Mendadak seperti ada kekuatan yang mendorong Bulan untuk bergerak. Tiba-tiba, Bulan melangkah menuju lantai bawah. Di otaknya cuma ada satu keinginan melihat seperti apa jam dinding kuno itu. Bulan telah sampai di bawah dan membuka ruang tengah yang sengaja dimatikan lampunya.
Bunyi lonceng jam dinding itu kian nyaring dan memekakkan telinganya. Tapi, Bulan telah membulatkan tekadnya. Tangan kanannya masih memegang handle pintu, sementara tangan kirinya meraba-raba dinding di dekat kusen untuk menemukan sakelar lampu. Klik!
Lampu pijar itu menyala dan seketika, dentang lonceng terhenti bersamaan dengan berhentinya embusan angin yang menggila.
Bulan berjalan tertatih, dan akhirnya berhenti tepat di bawah jam dinding kuno. Bulan memandanginya dengan saksama. Nggak ada yang aneh, nggak ada yang berubah. Bahkan, rasanya
Bulan masih mengenali debu yang menempel di kaca jam itu. Bulan mempertegas pandangannya. Jarum jam dan ayunan lonceng itu nggak bergerak sama sekali. Nggak ada tanda-tanda habis bergerak, apalagi digerakkan!
Aneh. Aneh banget," Bulan bukan penakut, apalagi percaya pada hal-hal yang nggak masuk akal. Ia udah sering ikut pendakian dan ekspedisi berbahaya bersama kelompok Mapala. Bahkan, ia pernah tersesat, terpisah dari rombongan dan menembus hutan lebat lebih dari delapan belas jam sendirian!
Tapi, kali ini ia merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia ingat kalimat yang diucapkan Pak Kodi. Katanya, vila ini lebih mirip rumah hantu. Ia ingat cerita-cerita di buku bacaan, tentang cerita horor di sebuah vila yang seram. Akankah ia meng-alaminya sendiri"
Omong kosong! Bulan Trisna membantah bayangan sendiri. Kini, mulutnya mengucapkan doa.
Ah, tadi semua pasti cuma ilusi! Bulan meyakinkan diri sendiri. Mungkin karena ia terlalu larut dalam lamunan dan tanpa sadar, telah terbawa ke alam pikiran yang aneh-aneh. Berpikir begitu, Bulan jadi tersenyum sendiri. Kata orang tua, memang nggak baik membiarkan pikiran kosong terlalu lama.
Dimatikannya lampu pijar di ruang tengah itu, lalu ia kembali ke lantai dua berniat nerusin kerjaan"
nya selagi kantuk belum menguasainya
SEBERKAS sinar yang tepat mengenai pelupuk mata kanannya itu membuat Bulan mengerjapkan mata. Perlahan-lahan, kesadarannya mulai berangsur sempurna, meskipun ia belum membuka mata sepenuhnya. Tapi, ketika tangannya yang menggapai menyentuh lantai yang dingin, Bulan tercekat. Seketika ia terbangun dalam posisi duduk.
Bulan terperanjat bukan main saat menyadari ternyata ia tidur di lantai yang dingin. Bulan memutar pandangannya dan baru menyadari saat ini ia berada di ruang tengah lantai bawah.
Tidur di lantai" Bulan memeras ingatannya. Semalam, ia menyelesaikan sketsa Sapi Merumput itu hingga pukul tiga dini hari. Ya, hampir jam tiga, karena ia sempat melihat arlojinya sebelum menutup kanvasnya itu dengan kain pelindung debu. Lalu, ia merebahkan diri di atas kasur busa yang terdapat di kamar yang telah diubahnya menjadi studio lukis itu. Jadi, kenapa sekarang ia bisa terbangun di lantai bawah"
Kacau! Benar-benar kacau! Bulan memukul kepalanya. Semalam, atau tepatnya pagi tadi, ia pasti terlalu lelah, hingga nggak sadar telah pindah tidur. Mungkin udara dini hari tadi terlalu panas, sehingga di luar kesadarannya ia telah mencari tempat tidur yang lebih dingin.
Lebih dingin" Ada embusan angin memasuki ruangan itu lewat celah-celah ventilasi. Bulan mendekapkan kedua tangannya di depan dada untuk mengurangi dingin. Matahari telah bersinar terang, tapi udara masih dingin.
Bulan nggak ingin berpikir panjang, ketika telinganya menangkap kicau burung yang ramai di luar. Ia masih terhuyung ketika melangkahkan ke ruang depan, membuka semua jendela dan akhirnya membuka pintu. Di halaman vila, Bulan menghirup udara kuat-kuat, seolah ingin mengisi dadanya dengan udara segar sebanyak-banyaknya. Bulan menengadah ke arah pucuk pinus besar di halaman itu, kemudian tersenyum.
Ada sepasang burung, yang ia nggak tahu namanya, tengah melompat-lompat dengan riang sambil berkicau. Alangkah bebasnya. Alangkah alaminya. Di kota, mana ada pemandangan seperti ini" Dalam hati, Bulan berjanji, untuk lukisan ketiga, aku akan melukis sepasang burung di pucuk pinus.
Bulan terus menengadah, mengamati tingkah laku sepasang burung itu dan merekam setiap gerak-geriknya.
"Sudah bangun, Non?"
Bulan menoleh ke arah suara itu. Senyumnya terkembang ramah ketika menyadari siapa yang telah menegurnya. Pak Slamet Wirono, orang yang beberapa waktu yang lalu menerima uang pembayaran sewa vila. Orang tua itulah yang selama ini dipercaya untuk menjaga dan mengawasi vila.
"Pergi ke kebun, Pak Slamet?" Bulan balik bertanya, saat dilihatnya orang tua itu membawa sabit dan bakul besar.
"Nyabit rumput, Non. Biasa, untuk makan kambing yang cuma empat ekor. Gimana" Enak tidurnya?" tanya Pak Slamet.
Bulan mengangguk, tapi seketika ia ingat kejadian-kejadian misterius yang dialaminya.
"Saya benar-benar minta maaf, karena nggak sempat membersihkan vila ini, Non. Nona sendiri yang menolak
"Sudahlah, Pak," Bulan menukas cepat. "Kemarin saya dan Pak Kodi, sopir saya, udah ngeberesin semuanya. Nggak masalah. Terima kasih sekali lagi untuk ongkos sewa yang murah."
Pak Slamet menundukkan wajahnya.
"Tapi, Pak Bulan berjalan mendekati Pak Slamet. "Selama ini, apakah pernah terjadi sesuatu yang aneh di vila ini?"
"Kejadian aneh?" Pak Slamet mendongak dengan ekspresi terkejut.
"Ya " misalnya "Nggak pernah! Nona jangan percaya sama omongan orang."
"Omongan orang?"
"Biasanya, orang-orang itu suka mengatakan hal-hal yang nggak masuk akal. Vila hantu-lah, yang ada penunggunya-lah, yang
Bulan tertawa kecil, membuat Pak Slamet mengerenyit.
"Saya juga nggak percaya hal-hal yang begituan, Pak."
"Saya beberapa kali tidur di vila ini, dan nggak pernah mengalami kejadian yang aneh-aneh. Sumpah, Non! Sumpah!"
"Iya " saya percaya " tapi
"Tapi apa, Non?"
Bulan menggoyangkan kepalanya. "Nggak apa-apa, Pak. Ngomong-ngomong, kenapa vila seperti ini dibiarkan nggak terawat dan nggak dihuni?"
"Saya benar-benar nggak tahu, Non."
"Semua keluarga pemilik vila ini tinggal di kota?"
"Begitulah. Dulu, memang tempat ini cuma dipakai untuk bekerja. Maksud saya, melukis. Pak Mampang itu seorang seniman lukis, Non. Seperti Nona ini juga, barangkali. Dulu, ia selalu menyendiri di vila ini dan menghabiskan hari-harinya untuk melukis dan melukis. Padahal
"Padahal apa, Pak?" Bulan mendadak merasa amat tertarik.
"Padahal, salah seorang anak Pak Mampang yang sering datang kemari, lho. Anehnya, ia juga nggak pernah mau tinggal di vila ini. Nggak tahu, kenapa ia justru lebih suka tinggal di hotel dan membayar mahal. Aneh, kan?" "Ya, aneh," gumam Bulan.
"Dari dulu sampai Pak Mampang meninggal dunia, nggak ada yang datang kemari. Ah, maaf kalau saya jadi membicarakan orang lain. Tapi menurut perkiraan saya, Pak Mampang punya masalah,
sehingga ia nggak pernah akur dengan istri dan anak-anaknya. Buktinya, sampai ajalnya tiba, Pak Mampang hanya seorang diri. Saya sendiri yang paling dekat dengan Pak Mampang, karena sering dimintai bantuan dan menerima upah dari beliau, baru dua kali bertemu dengan istrinya. Sekali, ketika mereka membawa pulang jenazah Pak Mampang. Kedua kalinya, ketika anak-anak Pak Mampang datang lagi untuk membawa lukisan almarhum dan mengambil barang-barang ber-harga."
Bulan mendengarkan semua itu dengan saksama.
"Yang paling saya kenal adalah Panggih. Panggih Sujiwo. Dia anak tertua almarhum Pak Mampang, yang memercayakan vila ini pada saya. Ia adalah anak yang saya sebut-sebut tadi. Yang sesekali masih suka datang kemari dan
"Siapa" Panggih?" potong Bulan.
"Namanya Panggih Sujiwo, Non. Dia seaneh bapaknya."
"Namanya juga anaknya, Pak."
"Nona benar," Pak Slamet tertawa pelan. Lalu, ia kembali memanggul bakul besar yang dibawanya. "Ayolah, Non. Saya musti buru-buru mencarikan rumput untuk kambing-kambing saya. Oh, ya " kalau perlu apa-apa, Nona masih ingat rumah saya, kan?"
"Tentu, Pak." Pak Slamet membungkukkan badannya dalam-dalam, kemudian berlalu dengan langkah lebar-lebar.
Sepeninggal Pak Slamet, Bulan masih sempat meliuk-liukkan tubuhnya dan melakukan gerakan senam. Setelah itu, ia bergegas masuk ke vila. Mandi dan kembali meneruskan menyelesaikan sketsa di kanvas terakhirnya.
Sebelum sore, saatnya Pak Kodi datang menjemput, ia harus menyelesaikan apa yang telah direncanakannya.
Ketika tubuh Bulan menghilang di balik pintu besar itu, ada sebentuk kepala menyembul dari balik rumpun pohon pangkas di seberang jalan. Sepasang mata yang gelisah itu belum juga ber-lih arah, meski pintu besar itu kini telah tertutup rapat.
MAMI menyambut kedatangan Bulan dengan senang dan penuh kerinduan. Bulan sampai merasa heran.
"Mami ini kenapa, sih" Baru nggak ketemu dua hari aja udah seribut ini. Sekarang ngaku aja " Mami sayang banget sama aku, kan?" Bulan menghela tubuh Mami.
"Sok yakin!" Mami memberengut. "Mami cuma khawatir. Mami ngeri."
"Ngeri gimana, Mam" Emangnya, Bulan pergi ke bulan?"
"Nggak gitu. Tapi " Pak Kodi bilang, kamu nekat memilih tempat yang lebih mirip rumah vampir. Iya, kan?"
"Pak Kodi nggak bohong. Emang kayak rumah vampir. Lalu, kenapa" Nih, buktinya aku pulang dengan selamat. Sebenernya, pengin juga sih, sekali-sekali dideketin vampir."
"Heh!" Mami melotot ketakutan. "Jangan bilang begitu!"
"Lho?" "Iya, kan" Kamu nekat memilih tempat buruk itu karena dengan begitu, kamu dapet untung gede dari uang yang mami berikan. Iya, kan?" desak Mami.
"Itu karena pinter-pinternya aku nyari tempat yang murah, Mam. Tapi, tempat itu nggak seburuk yang Pak Kodi ceritakan. Tempatnya lumayan bagus, Mam. Cocok banget dijadiin studio lukis. Mami lupa" Tempo hari udah aku bilang, vila itu dulunya milik seorang pelukis juga. Serba kebetulan, kan?"
"Tapi bener, kamu nggak mengalami hal-hal yang aneh" Kejadian yang ngeri dan seram-seram?"
Bulan Trisna menggeleng. "Ya udah. Lalu, gimana hasilnya" Lancar?"
"Lancar, Mam. Cuma dalam dua hari, aku nyelesein tiga sketsa. Bayangin, tiga sketsa! Di rumah ini, mana bisa secepat itu?"
Mami hanya mengangguk-angguk.
Yang ribut ternyata bukan cuma mami. Ratih dan Ichal, sepupunya dari Toli-Toli itu juga ikut ribut.
"Jadi nggak enak, nih. Pasti gara-gara kedatangan kami, kamu jadi terpaksa pergi dari rumah untuk nyelesein Tugas Akhir-mu," sesal
Ichal. Sementara Ratih, adik perempuan Ichal, cuma menunduk sambil menggigiti kuku jarinya.
"Nggak usah ngomong gitu, Chal. Semuanya oke dan lancar. Di tempat pengungsianku itu, produktifitasku meningkat pesat. Tiga pekan lagi, ketiga lukisanku bakal beres. Maju ke dosen pembimbing, lalu ikut Pameran Bersama Tugas Akhir itu pasti bisa aku ikuti."


Vila Toedjoeh Tjemara Karya Donatus A. Nugroho di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat Bulan begitu ceria dan penuh semangat, Ratih ikut tersenyum. "Gimana kalo Sabtu depan, kami ikut ke vila itu?"
"Jangan!" bentak Ichal.
"Lho" Kita belum pernah ke sana, kan" Katanya, di sana sangat nyaman. Udaranya sejuk dan "."
"Itu namanya lagi-lagi kita mengganggu Bulan. Bener, kan?" Ichal menatap Bulan.
"Iya, dong!" canda Bulan. "Emangnya kalian pengin jadi pengganggu lagi?"
Ratih kembali mengigiti kukunya. Ia tampak agak kecewa.
"Gimana urusan kalian?"
"Semua hampir beres," jawab Ichal. "Tinggal ketemu dekan dan mencocokkan SKS. Mungkin bulan depan udah bisa mulai kuliah."
Ichal lagi ngurus pindahan kuliahnya dari Palu. Dia udah ngedaftar di sebuah universitas swasta di kota ini. Kalo urusannya udah beres, Ichal mau nyari tempat kos di deket kampus barunya. Sedangkan Ratih, pulang lagi ke Toli-Toli kalo
liburan semesternya habis.
"Mami selalu khawatir waktu kamu nggak ada di rumah," kata Ratih.
"Kenapa?" "Bener nggak sih, kamu nyewa vila yang mengerikan?"
"Yup, bener. Tapi, nggak ada apa-apa, kok. Cuma Bulan Trisna nggak nerusin ucapannya. Mendadak ia teringat sama peristiwa-peristiwa aneh yang dialaminya di vila itu. Bunyi lonceng jam dinding yang rusak itu, angin keras itu, dan gimana caranya ia bisa pindah tidur ke lantai bawah.
"Cuma " apa?" tanya Ichal antusias.
"Janji, kalian nggak akan bilang ke mami?"
Ichal dan Ratih saling pandang sebentar, lalu sama-sama mengangguk. Maka, Bulan pun menceritakan semua kejadian yang dialami di vila itu.
"Kejadian seperti itu hanya kamu anggap ke-be-tulan?" Ichal melotot. Sedangkan Ratih, tan-pa sadar mencengkeram lengan kakaknya.
"Mungkin lebih tepat, semua itu cuma halusinasiku."
"Juga ketika tidurmu berpindah tempat" Dari lantai atas ke lantai bawah tanpa sadar" Kamu nggak punya kebiasaan tidur berjalan, kan?"
Bulan menggeleng. "Kalo aku jadi kamu, aku nggak akan mau kembali ke tempat itu." Ratih masih gemetaran. "Rumah itu pasti ada penghuninya. Orang bilang, rumah yang kelamaan nggak ditempatin, biasanya dihuni makhluk halus."
"Oh, ya?" Bulan tertawa kecil.
"Jangan ngeremehin dunia gaib, Bulan!" hardik Ichal. "Bisa jadi, arwah pelukis itu kini gentayangan di tempat kesayangannya. Siapa namanya" Mampang" Ya. Bisa jadi, arwah Mampang yang membuat onar malam itu. Mungkin, ia nggak rela tempatnya kamu acak-acak. Atau bisa jadi, ia meninggal nggak wajar. Orang yang meninggal nggak wajar, suka membalas dendam dan
Bulan memukul pundak Ichal keras sekali. "Jangan ngaco! Ia meninggal karena sakit."
"Atau karena punya problem serius" Kamu tau dari mana?"
Bulan Trisna termangu. Pak Slamet Wirono, pengurus vila itu, emang cerita sedikit tentang keluarga Pak Mampang. Tapi ".
"Nah, kamu ragu, kan?" desak Ichal. "Sebaiknya, kamu nggak usah kembali ke vila itu. Bisa gawat kalo nekat."
Bulan tertawa lagi. "Yang gawat adalah kalo lukisan-lukisan itu nggak selesai dan aku terpaksa ikut pameran semester depan! Nggak bisa! Aku pengin cepet-cepet beres kuliah, lalu kerja. Jangan lupa, aku udah dapet tawaran kerja di sebuah rumah produksi. Aku mau kerja di produksi film, meski berawal dari membuat storyboard dulu."
"Tapi kata Ichal dan Ratih bareng.
"Tapi, yang kualami hanya gangguan kecil. Bisa kuatasi, kok. Yang penting, nggak mencelakai aku. Aku yakin, mereka justru takut sama manusia yang punya keyakinan dan iman kuat."
Sesaat Ichal terdiam melihat keseriusan Bulan. Lalu, Ichal masuk ke kamar dan keluar lagi bawa sesuatu yang langsung dikasihin sama Bulan. Sebuah benda kecil terbungkus kain putih yang telah kusam.
"Kamu boleh percaya, boleh nggak. Kamu udah berkorban buat kami, nggak ada salahnya kalo kamu nerima ini."
Bulan membuka buntalan kain putih itu dan agak terkejut. "Badik?"
Bulan menatap sebilah senjata mirip pisau, berukuran sejengkal. Sebilah badik kecil yang tampak usang. Sekilas, tampak besi hitam itu berkarat. "Buat apa" Kayaknya udah nggak tajam."
"Emang nggak," Ratih menyahut. "Badik itu konon berumur ratusan tahun dan nggak sembarangan."
"Badik ini dikasih Puang Labedu. Ia tetua sebuah dusun di pinggiran kota kami. Kebetulan, aku kenal baik sama orang tua itu. Puang menghadiahkan badik ini padaku waktu aku pamit mau pindah kuliah ke Jawa."
"Tapi ?"" tukas Ratih ragu-ragu.
"Nggak apa-apa. Orang tua itu ngasih buat tolak bala. Sebagai jimat pengusir unsur jahat. Apa salahnya kalo sekarang aku minjemin ke Bulan. Nanti kalo udah beres dan nggak lagi tinggal di vila itu, Bulan kembaliin badik ini ke aku."
Bulan menimang-nimang badik itu dengan ragu. Dia nggak percaya sama jimat. Tapi, Bulan
nggak mau bikin sodaranya kecewa.
"Bawalah, Bulan. Sekadar buat berjaga-jaga," bujuk Ichal.
"Baiklah." Bulan nyerah.
"Oke! Sekarang kita ngomongin yang lain aja." Bulan menyimpan badik itu ke dalam tas kecilnya.
"Besok, aku masih harus konsultasi sama dosen pembimbing Tugas Akhir. Cuma setengah hari. Setelah itu, aku siap nganter-nganter kalian. Kalian mau dianter ke mana" Makan" Jalan-jalan?"
"Tapi, lukisan-lukisanmu?"
"Justru karena udah kurencanakan, aku hanya melukis di akhir pekan, berarti hari lain aku tetap di sini dan bisa nemenin kalian tanpa harus mikirin tugas-tugasku."
SETELAH memasuki kawasan yang mulai padat sama vila, hotel, dan rumah makan, Pak Kodi memperlambat laju mobilnya.
"Kenapa harus ke pasar, Non?"
"Mau beli mi, beli buah-buahan. Mungkin ada sesuatu yang menarik di pasar itu. Pokoknya, harus ke pasar. Saya pengin lihat suasana pasar di tempat ini."
"Yang namanya pasar tradisional, ya seperti itu
"Kenapa sih, dari tadi Pak Kodi protes melulu" Mulai bosen nganter saya?"
"Nggak gitu, Non. Iseng aja." "Iseng?"
"Pengen liat Non kalo lagi marah. Apa masih
cantik Bulan tertawa. "Pak Kodi ini ada-ada aja. Udah tua tetep genit."
Pak Kodi ikut tertawa. Sopir yang baik hati itu menepikan mobil di depan pasar. Bulan pun turun dari mobil.
Sesaat kemudian, Bulan masuk ke pasar yang nggak terlalu ramai. Ada sederet toko kelontong dan toko sembako di sisi selatan. Selebihnya adalah para pedagang buah dan sayuran hasil pertanian setempat.
Bulan jongkok memilih tomat buah yang matang dan segar, ketika suara batuk buatan di belakangnya memaksanya untuk menoleh. "Hai!"
Bibir Bulan bergerak-gerak, tapi nggak ada suara yang keluar. Ia masih belum bisa meredakan gejolak aneh yang mendadak ada di hatinya.
Cowok itu kini berjongkok di samping Bulan dan ikut-ikutan memilih tomat.
"Mas Opang mau beli tomat juga" Tumben," kata ibu penjual tomat.
Bulan mengernyitkan dahinya. Ternyata, penjual tomat itu kenal sama Opang.
"Saya mau dua kilo, Bu." Cowok itu ngomong sambil melirik ke arah Bulan.
"Tumben, betah di sini, Mas?"
"Lagi suka aja, Bu Ijah. Kenapa, apa keberatan?"
"Ya ndak gitu to, Mas." Penjual tomat itu menyeringai. "Mas punya hak yang sama sebagai warga negara yang
"Idiiih, Bu Ijah, ada-ada aja."
Opang dan Bu Ijah tertawa, membuat Bulan merasa terasing.
"Apa kabar?" bisik Opang.
"Baik," jawab Bulan pendek. Lidahnya terasa
kelu. "Nginep lagi?" Bulan diam, karena ia teringat bahwa cowok inilah yang dulu mengawasinya saat ia mulai tinggal di vila.
"Masih melukis lagi" Sampai kapan?" "Kok, tahu?" Bulan terperangah. "Pak Slamet yang bilang."
"Pak Slamet Wirono" Kamu kenal orang tua
itu?" "Tentu aja kenal, Non Bu Ijah yang menjawab tanpa diminta.
"Saya sering ngobrol dengannya," kata Opang cepat, seolah ia enggan Bu Ijah mendahuluinya.
"Saya permisi dulu." Tiba-tiba, Bulan berdiri dengan membawa keranjang berisi dua kilo tomat buah.
"Kembaliannya ambil saja, Bu."
Bulan cepat-cepat melangkah, meninggalkan me-reka. Tanpa memedulikan tatapan heran Opang.
"Lho, cuma beli tomat, Non?" Pak Kodi membukakan pintu mobil dan menatap heran. Mata
tuanya melihat sesuatu yang nggak beres di wajah Bulan. "Ada apa?"
"Nggak ada apa-apa. Ayo, jalan aja!"
Menjelang tiba di vila, batin Bulan senantiasa terganggu. Benarkah Opang sengaja mengawasiku" Mengamati, menguntit, iaiu mengorek keterangan dari Pak Siamet Wirono. Apa tujuannya" Ja-ngan-jangan, dia punya maksud jahat!
Mobil itu memasuki halaman vila, akhirnya berhenti di samping teras. Ketika Bulan turun, seketika ia menjumpai banyak hal baru. Bulan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumput telah terpangkas pendek dan rapi. Pohon-pohon itu juga memperlihatkan tanda-tanda bekas pangkasan. Nggak ada lagi serakan daun kering dan ranting.
"Wow!" jerit Bulan riang. Rasanya, kini keadaan vila jauh beda sama seminggu.
Kini dari luar, vila ini tampak lebih terurus dan nggak serem lagi. Bulan tersenyum puas. Sekali lagi, Bulan mengedarkan pandangan. Ia merasa kalau dinding vila dicat dan kayu-kayunya diplitur lagi, pastilah jauh lebih menarik. Pasti akan banyak pendatang yang menginap di sini, karena lingkungannya sangat nyaman.
Bulan mengeluarkan anak kunci berkepala elang dari tasnya.
"Sekarang, Pak Kodi boleh pulang. Katanya, siang ini mami mau pergi arisan?"
"Iya, Non. Semua beres, kan" Nggak ada yang ketinggalan di mobil?"
"Ada! Tomat-tomat itu. Tolong kasiin ke Ratih. Dia yang minta dibeliin tomat buah untuk jus. Jangan lupa ya, besok sore jemput saya seperti minggu kemarin."
"Sebelum jam lima?"
"Tepat!" Saat mobil meninggalkan halaman vila, Bulan pun membuka pintu dan langsung menuju lantai atas. Ia udah nggak sabar lagi segera melukis. Dalam perkiraannya, meskipun ini cukup berat, besok sore sebuah lukisan harus selesai.
Baru saja mencapai pertengahan tangga, Bulan merandek sebentar. Ia mencium bau yang amat dikenalnya. Bau minyak cat. Sesaat Bulan merasa agak panik. Jangan-jangan, ada tikus yang menumpahkan minyak cat dalam botol besar itu. Celaka! Di tempat ini, mana ada yang menjual minyak cat untuk melukis, apalagi dengan kualitas yang baik"!
Masih dengan panik, Bulan membuka pintu yang nggak terkunci itu. Pintu ruang atas. Dan ".
Bulan tertegun. Matanya menatap nggak percaya pada ketiga buah kanvas yang masih berada di masing-masing penopangnya itu. Nggak ada yang berubah posisinya. Namun kanvas-kanvas itu kini telah terbuka, tanpa kain penutup pelindung debu. Dan yang membuat Bulan terperangah adalah kanvas itu nggak lagi kosong. Nggak hanya berisi sketsa coretan pensil, melainkan lukisan jadi.
Tiga buah lukisan jadi! Bulan mendekati ketiga kanvas itu masih dengan mulut terbuka. Sketsa yang dibuatnya telah menjelma menjadi lukisan jadi. Dengan keheranan yang luar biasa, Bulan meneliti ketiga lukisan itu. Sepasang sapi dan anak sapi yang merumput, lukisan ikan mas koki, dan lukisan sepasang bu-rung di pucuk pinus. Ketika Bulan menyentuh salah satu lukisan itu, ternyata catnya masih basah.
Siapa yang udah menyelesaikan lukisan-lukisan
ini" Bulan berjalan mundur, menyender di tembok, akhirnya terduduk. Matanya belum lepas dari lukisan-lukisan itu. Ketiga-tiganya nyaris sempurna. Goresan kuas dan paduan warnanya, yang didominasi warna hijau, terlihat matang dan mantap. Bukan goresan tangan sembarangan.
Tapi, siapa yang telah begitu lancang menyelesaikan lukisan ini"
Tiba-tiba, Bulan berdiri dan berlari menuruni anak tangga. Ia melemparkan tasnya ke lantai. Bulan terus berlari keluar vila, bahkan lupa menutup pintunya lagi. Yang ada dibenaknya kini adalah, ia harus menemui Pak Slamet Wirono!
"Non"!" Pucuk dicinta ulam tiba! Bulan bersyukur dalam hati. Orang yang hendak dijumpainya, ternyata ada di depannya.
"Bapak mau ke mana?" tanya Bulan sambil mengatur napasnya.
Pak Slamet mengangkat sabitnya. "Nerusin bersih-bersih di sini, Non. Bagian belakang sana
belum selesai saya rapikan. Non sendiri sekarang mau ke mana" Kok, tergesa-gesa sekali. Baru saja sampai, kan?"
"Mau menemui Bapak."
"Ada yang bisa saya bantu, Non?"
Bulan tercenung sebentar. "Selama sepekan setelah saya tinggalkan, apakah ada orang lain yang masuk ke vila ini, Pak?"
"Orang lain masuk vila ini" Tentu tidak. Jangankan orang lain, saya pun ndak bisa masuk, Non. Bukankah Non yang membawa kuncinya?" Orang tua itu menatap Bulan dengan heran.
"Saya memang membawa kuncinya, dan saya menyewa vila ini sebulan penuh. Tapi, apa mungkin ada orang lain yang masuk?"
Pak Slamet Wirono menggerak-gerakkan jarinya sembarangan. Gelisah. "Mana mungkin, Non. Satu-satunya kunci, Nona yang bawa, sedangkan pintu-pintu lainnya sengaja dikunci dari dalam. Saya berani jamin nggak ada orang lain yang bisa memasuki vila ini, termasuk saya sendiri. Apa barang Nona ada yang hilang?"
Bulan menggeleng. Ia merasa nggak enak melihat Pak Slamet kebingungan.
"Nggak ada, Pak."
"Tadi, pagi-pagi sekali saya kemari dan mulai bersih-bersih, tapi ndak melihat sesuatu yang aneh. Benar, nggak ada apa-apa?"
Bulan menggeleng lagi. "Kalau begitu, saya permisi," pamit Pak Slamet. "Tunggu, Pak!"
"Apakah belakangan ini ada orang yang menanyakan saya dan kegiatan saya di sini" Maksud saya " ada orang yang mengorek keterangan mengenai saya dari Pak Slamet?"
Mata Pak Slamet menyipit. "Rasanya nggak ada, Non."
"Nggak ada?" desak Bulan.
"Rasanya, memang ndak ada
"Tapi, Pak Slamet kenal sama Opang?"
"Opang?" ulang Pak Slamet. "Oh ya, Opang. Tentu saja kenal sekali, Non. Kok, Nona bisa tahu?"
"Nah, jadi benar kan, dia nanya-nanya tentang saya?"
Pak Slamet sedikit salah tingkah. "Tidak ada salahnya, Non. Dan saya memang harus mengatakan apa adanya. Dia berhak tahu
"Kenapa?" "Karena dialah pemilik vila ini, Non." "Apaaa ?""
"Opang adalah Panggih Sujiwo, putra tertua almarhum Pak Mampang."
Seketika Bulan terdiam. Jadi, Opang adalah nama panggilan Panggih Sujiwo. Opang f Panggih Sujiwo! Dua nama itu berseliweran di benak Bulan. Jadi, dialah anak aneh yang diceritakan Pak Sla-met tempo hari. Satu-satunya keluarga Mampang yang masih sering datang, tapi lebih memilih tinggal di hotel!
Pantas saja ia seperti memata-matainya dan nanya-nanya sama Pak Slamet tentang cewek yang
menyewa vilanya. "Jadi, belakangan ini Opang ada di daerah sini" Apa kegiatannya?"
Pak Slamet tampak sedih. "Saya baru tahu kalau Den Opang ada di sini, seminggu lalu. Dulu, setelah Nona kembali ke kota. Setelah itu, saya ndak pernah melihatnya lagi. Mungkin sekarang sudah ada di rumahnya lagi. Setahu saya, kerjanya hanya keluyuran. Kasihan juga melihat anak orang kaya itu lebih memilih nganggur, ndak punya kerjaan dan juga ndak sekolah."
Bulan menghela napas panjang. "Tadi, saya bertemu dengannya di pasar
Bibir Pak Slamet membulat.
MALAM mulai larut, tapi Bulan Trisna masih berkutat dengan kuasnya. Kenyataan bahwa ketiga sketsanya telah menjelma menjadi tiga buah lukisan yang sempurna secara ajaib itu, membuat Bulan nggak punya pekerjaan lagi.
Untunglah ia masih memiliki sebuah kanvas kosong yang semula dibawanya sebagai cadangan. Kanvas itulah yang sejak siang tadi dijadikan pelampiasan untuk mengisi waktu. Daripada nggak ada kegiatan sama sekali, karena di luar hujan turun sejak siang.
Bulan sadar, saat ini ia tengah melukis tanpa mood, bahkan tanpa inspirasi. Ia hanya sekadar
mengikuti naluri dalam mencoret, menyapu dan meratakan warna dengan kuas gambarnya. Hasilnya adalah lukisan abstrak dengan warna-warna gelap yang tumpang tindih.
Ruwet, seruwet pikirannya! Puncak keruwetannya adalah jika Pak Slamet menjamin nggak ada orang lain yang bisa masuk rumah ini, kecuali dengan jalan paksa. Lalu, siapa yang udah menyelesaikan ketiga lukisan itu"
Bulan Trisna menghujamkan kuasnya ke kanvas dengan kesal. Akibatnya, kini di atas kanvas tertera semacam bercak dengan warna nggak keruan. Bulan melemparkan kuas itu ke sudut ruangan. Ketika ia menoleh, matanya menancap pada sebuah lukisan berukuran 50 "/. 100 sentimeter yang tersandar di tembok. Sebuah lukisan seekor banteng yang mengamuk. Seekor banteng dengan ekspresi marah dan terluka.
Di sudut kanan bawah lukisan yang nggak berbingkai itu, masih jelas terbaca tanda tangan Mampang. Lukisan hasil karya Mampang.
Siang tadi, Bulan nggak sengaja nemuin lukisan itu di gudang lantai bawah. Bulan meneliti semua sudut dan ruang di vila. Ia berhasil masuk ke sebuah gudang dengan cara merusak kuncinya. Semula, Bulan udah ngebayangin nemuin hal-hal yang aneh, bahkan horor. Ternyata, dugaannya meleset.
Gudang itu nyaris kosong, kecuali terisi beberapa kaleng dan tube cat yang mengering. Lalu, ada beberapa lukisan yang semuanya nyaris rusak
berat. Hanya ada sebuah lukisan yang nggak terlalu rusak. Lukisan itu adalah lukisan banteng mengamuk yang kini ada di depannya.
Lukisan ini sangat bagus dan ekspresif. Sayang, nggak terawat dan termakan waktu. Tapi sungguh, Bulan sempat terkagum-kagum ketika baru pertama kali melihatnya. Sapuan kuas yang sempurna, pemilihan dan komposisi warna yang sangat tepat.
Satu hal nggak Bulan ngerti adalah banyak kemiripan antara lukisan banteng dengan lukisan ajaib yang ada di kanvasnya.
Bulan menelitinya berjam-jam. Ia yakin seolah lukisan yang ada di ketiga kanvasnya adalah hasil tangan yang sama dengan lukisan banteng mengamuk itu. Lukisan Pak Mampang yang udah meninggalkah "
Tiba-tiba, Bulan nyaris terlompat karena terkejut. Bunyi lonceng jam itu terdengar berdentang keras sekali, lalu disusul oleh deru angin keras yang membuat semua tirai di ruangan itu berkibar-kibar.
"Ya Tuhan!" Bulan Trisna memekik keras dan terhuyung ke belakang karena diterpa angin sedemikian kerasnya. Cukup keras tubuh Bulan terbentur tembok dan akhirnya terbanting ke lantai. Dalam kepanikannya, mendadak ia teringat sesuatu.
Bunyi lonceng masih terus terdengar dan a-ngin bertiup makin menggila. Dengan susah payah, Bulan meraih tas yang ada di dekat kakinya. Dengan susah payah pula ia membuka dan akhirnya
mendapatkan benda itu. Tangan Bulan Trisna tergetar hebat ketika badik kecil itu telah tergenggam erat di tangannya. Untuk sesaat, Bulan nggak tahu lagi apa yang harus dilakukan dengan benda kecil itu. Yang ia ingat saat ini hanyalah ucapan Ichal, bahwa benda kecil mampu mengusir setan dan roh jahat.
Tiba-tiba, tangan kanan Bulan bergerak menghunus badik kecil itu dari sarungnya. Dan ".
Aaaargh Bulan menjerit keras ketika melihat badik itu nggak utuh lagi. Di tangan kanannya hanya tersisa hulu dan besi hitam yang nggak lebih dari empat sentimeter panjangnya. Badik itu patah!
Terdengar bunyi cukup nyaring ketika badik patah itu terlepas dari tangan Bulan dan jatuh ke lantai. Bersamaan dengan itu, pandangan Bulan berangsur gelap dan makin gelap. Bulan terjatuh lagi, kini dalam keadaan nggak sadarkan diri.
Bunyi lonceng itu berhenti bersamaan dengan berhentinya tiupan angin yang menggila. Di luar, gerimis reda, langit tampak cerah bahkan dihiasi oleh rembulan yang nyaris sempurna.
BULAN menggeliat malas dan merangkul guling di sampingnya. Tapi tiba-tiba, ia seperti tersadar dan terduduk di atas kasur busa yang tipis. Ia memandang ke sekeliling ruangan, seolah
mencari-cari sesuatu. Nggak ada yang berubah. Ketiga lukisan misterius itu masih ada di tempatnya. Lukisan banteng mengamuk itu juga masih bersandar di tembok tanpa berubah sedikit pun posisinya.
Bulan mencoba mengingat kembali semua peristiwa aneh yang dialaminya semalam. Persis ketika tengah malam. Lonceng jam dinding dan angin yang menggila itu telah dialaminya seminggu yang lalu. Tapi, yang semalam sungguh lebih mengerikan. Bulan ingat bahwa dirinya sempat terlempar dan membentur tembok, lalu pingsan.
Bulan mendekap wajahnya kuat-kuat dengan telapak tangannya yang masih ternoda cat minyak.
Kalo semalam aku pingsan, lalu kenapa pagi ini aku terbangun di atas kasur" Rasanya nggak masuk akal kalo aku sengaja menjatuhkan diri ke atas kasur sebelum pingsan"
Bulan bangkit dan meneliti sekujur tubuhnya. Ia yakin nggak kurang satu apa pun. Tapi, Bulan terpaku menatap sebuah benda yang tergolek di atas lantai. Bulan memungutnya dengan tangan bergetar. Berkali-kali ia memeriksa benda itu, seolah nggak yakin badik kecil itu benar-benar patah. Potongan ujungnya ada di dalam sarungnya. Bulan terkesima melihat kenyataan itu. Artinya, semua yang terjadi semalam bukan cuma ilusinya.
Semua benar-benar terjadi!
"Orang bilang, rumah yang lama nggak dihuni biasanya dihuni oleh makhluk halus. Se-bangsa jin dan setan gentayangan! Bisa jadi, arwah pelukis itu
gentayangan di tempat kesayangannya itu!"
Ucapan Ratih dan Ichal terngiang lagi. Saling tumpang tindih memenuhi hati Bulan Trisna.
Makhluk halus! Arwah gentayangan"!
Bulan memejamkan mata rapat-rapat. Ia berkomat-kamit membaca doa.
Ya, Tuhan " badik sakti pemberian Ichal pun nggak berpengaruh apa-apa. Bahkan patah jadi dua!
Misteri apa yang menyelimuti vila ini" Otak Bulan bekerja keras. Dua kali Bulan mengalami keanehan yang cukup mengganggu, tapi nggak sampai mencelakakannya. Bahkan ketika pingsan semalam, Bulan yakin itu bukan karena kesakitan terlempar angin itu. Ia pingsan karena ketakutan. Dan lukisan ajaib itu"
Kalo semua kejadian misterius ini ulah makhluk halus, pasti bukan makhluk jahat. Mungkin hanya iseng dan nggak nyelakain.
Mungkin itu arwah Pak Mampang. Hantu pelukis yang berbaik hati menyelesaikan ketiga buah lukisannya.
Mikir kayak gitu, mulut Bulan Trisna terbuka. Heran dan takjub bercampur jadi satu. Benarkah di dunia ini ada banyak hal yang nggak masuk akal, tapi benar-benar terjadi" Peristiwa gaib! Campur tangan penghuni alam lain!
BULAN Trisna mutusin sore nanti akan pergi dari vila ini dan nggak akan kembali lagi, meskipun kontrak sewanya masih berlaku sampai dua pekan mendatang.
Pertama, karena ketiga lukisannya udah beres, walaupun dengan cara aneh. Kedua, ia nggak mau ngalamin lagi kejadian-kejadian aneh kayak semalam, atau yang lebih buruk lagi.
Salah satu dari ketiga lukisan itu masih basah, tapi Bulan tetep membawanya dengan hati-hati supaya nggak rusak. Sedangkan lukisan asal jadinya akan ia gantung di tembok balkon vila, sebagai kenang-kenangan.
Ini emang nggak fair. Tapi, siapa yang tau" Siapa pula yang mau percaya kalo ia ngomong jujur lukisannya dibikin oleh hantu" Siapa yang percaya kalo arwah Pak Mampang ternyata masih bisa melukis"
Bulan tersenyum tipis. Ya, nggak ada yang tau dan nggak ada yang perlu tau tentang semua peristiwa misterius ini.
Bulan merasa belum puas dan sangat tertarik sama misteri ini, walaupun akan melupakannya. Ia hanya ingin tau, seperti apa sebenarnya kehidupan Pak Mampang itu" Lalu, apa pula penyebab kematiannya. Bulan merasa, mungkin kepedulian semacam itu merupakan tanda terima kasihnya atas lukisan-lukisan itu.
Orang yang paling bisa memberikan banyak jawaban adalah Opang. Pangih Sujiwo!
Nggak susah nemuin hotel itu dan nggak susah juga ketemu Panggih Sujiwo. Pak Slamet Wirono udah ngasih keterangan yang diperlukan.
"Nona ingin kami panggilkan atau tanya
resepsionis di hotel itu.
"Biar saya menemuinya sendiri," tukas Bulan.
Ketika melangkah melewati lobi dan menyusur koridor hotel, Bulan nggak bisa nyembunyiin keheranannya sama Opang.
Opang punya vila yang dibiarin nggak terurus, dan memilih menghamburkan uang menginap di hotel mewah ini. Udah berapa iama ia tinggal di sini"
"Room service "f" seru Bulan di depan kamar itu sambil mengetuk dua kali.
"Salah kamar! Saya nggak butuh apa-apa!"
Bulan tercekat. Sama sekali nggak disangka, ia akan nerima bentakan seperti ini. Seperti itukah manusia yang tampaknya pendiam itu "
Bulan mengulang ketukan. Lebih lama dan lebih
keras. "Ada apa"!" Seraut wajah yang muncul dari balik pintu itu seketika berubah pucat. Ia bahkan mendekap mulutnya sendiri. "Sori Opang
tersipu. "Maaf ngeganggu." Bulan ngerasa nggak
enak. Opang tampak acak-acakan, seperti bangun tidur. "Masuklah
Bulan melangkah masuk, ragu-ragu.
"Angin apa yang membuat kamu sampai di
sini?" Pertanyaan itu terdengar sangat resmi. Nada"
nya datar, diucapkan nyaris tanpa ekspresi. Bulan merasa kaget nerima sambutan yang kurang bersahabat.
Bulan menarik kursi satu-satunya di kamar itu. Sementara Opang, duduk di pinggir tempat tidur.
"Gimana kalo kita ngobrol di luar?" tawar Bulan.
"Oke, nggak masalah."
Bulan berdiri dan ngasih jalan buat Opang yang membuka laci meja, kemudian ngambil dompetnya dari dalam laci itu. Bulan nggak sengaja melihat isi laci itu dan tercekat. Sebuah jeritan kecil nggak mampu ditahannya.
"Ya?" Opang menoleh, menatap heran.
Bulan cepat-cepat menguasai diri. "Nggak apa-apa. Cuma " tiba-tiba aku inget kalo malem nanti, aku udah janjian sama dosen. Hmmm " maksudku, dosen pembimbing," Bulan gelagapan.
"Begitu, ya?" acuh Opang.
Bulan mendahului ke luar kamar. Opang menyusulnya setelah mengunci kamar.
"Dalam sebulan ini, berapa kali kamu dateng ke tempat ini?" tanya Bulan waktu mereka di luar hotel. Mereka menyusuri tepi jalan yang diteduhi oleh jajaran cemara.
"Tergantung kemauan hati. Kadang, aku ngerasa betah tinggal berminggu-minggu di sini."
"Selalu di hotel ini?"
Opang mengangguk. "Kamu " maksud aku, sori, orangtua kamu pasti kaya banget. Abis, tidur di hotel terus!"
"Hei! Kamu ini siapa" Petugas sensus ekonomi?"
"Cuma orang yang suka ngitung-ngitung." "Kurang kerjaan!"
"Oh, ya?" Bulan merandek. Bibirnya tertekuk ke bawah. "Kamu sendiri ngapain di tempat ini" Punya bisnis apa" Ada kerjaan?"
Opang terperanjat mendengar ucapan itu. Tapi sesaat kemudian, tawanya meledak. "Kamu tersinggung, ya" Hah! Ternyata benar dugaanku. Kamu cewek yang mudah marah." "Kamu?"
Opang masih tergelak. Cukup lama Bulan Trisna mengamati cowok itu. Kalo lagi tertawa lepas begini, hilang kesan dingin yang tadi ditampak-kannya di kamar hotel.
"Kenapa kamu menyelidiki aku lewat Pak Slamet?" tanya Opang.
"Apa salahnya" Kamu orang asing."
"Iya, aku ngerti. Kamu mungkin berhak tau. Tapi, kenapa kamu nggak jujur?"
"Nggak jujur gimana?"
"Ketika pertama kali kita ketemu, mestinya kamu langsung ngomong kalo kamu Panggih Sujiwo, anak almarhum Pak Mampang, pemilik vila yang kusewa!" Bulan senewen.
"Apa aku harus teriak-teriak ngasih pengumuman?"
"Ya nggak gitu. Tapi
"Tapi, apa?" Bulan terdiam. Opang juga. Entah siapa yang memulai, tapi kini mereka berdua berhenti di bawah keteduhan cemara. Berdiri
kaku dan saling membisu. Angin pegunungan bertiup lembut, membawa serta keharuman rumpun mawar yang berjajar di dekat pagar.
"Orang-orang heran sama kehidupan almarhum papamu," ucap Bulan memecah kesunyian. Ini sebuah pancingan.
"Hm "." "Pak Slamet bahkan mengatakan almarhum sengaja mengucilkan diri."
Opang menoleh, menatap Bulan tanpa berkedip. "Apa lagi yang kamu ketahui tentang pecundang itu?"
"Pecundang" Siapa?" Bulan balik bertanya.
"Papaku emang pecundang."
"Kamu benci papa sendiri" Bahkan sampai kini, setelah papamu tiada" Anak macam apa kamu ini?"
"Papa yang seharusnya mendapat pertanyaan semacam itu. Orangtua macam apa dia"!"
"Hah"!" Bulan terperangah. Ia bergidik saat menyaksikan betapa dinginnya wajah Opang.
"Anak mana yang nggak ingin membanggakan papanya" Tapi, ia cuma seorang seniman yang gagal. Pelukis yang melukis untuk melukis. Kamu tau apa tentang keluargaku"!"
"Pak Slamet juga nggak banyak tau."
"Mamaku yang kaya karena beliau seorang pengusaha yang gigih. Sedangkan papa" Ia benar-benar seorang pecundang!" Suara Opang terdengar geram. "Ia memaksa mama membeli vila itu sebagai tempat pelarian. Tempat dia memanjakan obsesi kosong dan impian seniman


Vila Toedjoeh Tjemara Karya Donatus A. Nugroho di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang gagal. Ia memang gagal total. Nggak satu pun lukisannya laku terjual dengan harga pantas, apalagi bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Mama yang menghidupi kami semua, bahkan menghidupi impian kosong papa."
"Melukis itu bukan impian kosong, Pang. Mungkin lebih tepat kalo dikatakan papamu bukan orang yang beruntung."
"Itu diplomasinya. Kenyataannya adalah kami akan hidup miskin kalo mengandalkan papa yang hari-harinya diisi dengan menyendiri, menjauhi kesuksesan istrinya, menutup mata dari tanggung jawabnya!"
"Seburuk itu kamu menilai papamu?"
"Fakta! Ia memang datang kemari karena ingin lari dari kenyataan. Melarikan diri dari ke-kalahannya. Kegagalannya! Ia adalah laki-laki sombong dan tinggi hati."
"Lalu " papa kamu meninggal karena merana?" tanya Bulan hati-hati.
"Ia memang sombong, bahkan sampai menjelang ajalnya. Kami yang di rumah nggak pernah tau papa mengidap kanker ganas di hatinya."
"Jadi?" "Kami terlambat mengetahuinya. Kanker itu telah merenggut nyawa papa."
Bulan menundukkan kepala, ia nggak tega menatap Opang. Meskipun Opang terlihat tegar, tapi ia nggak bisa nyembunyiin matanya yang basah.
Angin pegunungan bertiup agak keras, membuat rambut Bulan Trisna meriap-riap.
"Aku " mulai bisa memahami perasaan kamu,
Pang," lirih Bulan. "Kamu?" Cuma sekejap Opang menoleh ke arah Bulan. Bulan tau, Opang menyembunyikan sesuatu di matanya.
"Sebenernya, kamu sayang banget sama papamu."
"Tidak!" teriak Opang. "Ia membuatku kecewa. Sangat kecewa!"
"Kamu ngerasa selama ini nggak bisa berbuat banyak untuk papamu?"
"Ia yang seharusnya berbuat banyak untuk kami.
Tapi "Sebenernya kamu begitu mengagumi beliau," kata Bulan tanpa peduli ucapan Opang. "Sok tahu!"
"Bahkan, mungkin kamu satu-satunya putra Pak Mampang yang mewarisi bakat melukisnya."
"Omong kosong! Apa artinya menjadi pelukis" Ia adalah contoh pelukis yang gagal."
"Ia hanya nggak beruntung."
"Diplomasi buruk lagi! Kamu tau apa?"
"Aku ngerti" kalo kamu punya bakat luar biasa dalam melukis. Aku ngerti kamu punya potensi hebat jadi pelukis, bahkan bisa nandingin papamu."
"Omong kosong! Kamu nggak ngerti apa-apa tentang aku!"
Bulan bergeming nerima bentakan itu. Sejak tadi, ia udah nyiapin diri ngadepin situasi semacam ini, juga yang lebih buruk.
"Jadi, siapa yang lancang nerusin sketsa-sketsa-ku" Yang bikin tiga lukisan dengan sketsaku" Hantu" Arwah Pak Mampang yang gentayangan?"
Opang melangkah surut. Matanya yang basah terpaku menatap Bulan.
"Aku merasa bodoh karena semula aku berpikir
begitu. Sampai tadi kebetulan aku melihat isi lacimu." Bulan menarik napas, seperti mengambil kekuatan. "Ada anak kunci berkepala elang di laci mejamu
di hotel itu. Anak kunci yang sama dengan yang ada padaku!"
Bulan merogoh saku celananya dan mengacungkan anak kunci berkepala elang. "Ternyata kunci seperti ini nggak cuma satu. Pak Slamet keliru. Ia nggak tau kalo kamu punya kunci yang sama denganku. Oleh karena itu, kamu leluasa keluar-masuk vila tanpa sepengetahuan orang lain. Lalu, kamu lancang menggarap lukisan-lukisanku!"
"Aku " hanya Opang pucat.
"Ingin nyiptain teka-teki " atau ingin pamer?"
Opang menunduk. Nggak sadar, air matanya jatuh menimpa ujung sepatunya yang berdebu.
"Kamu berhak marah, Bulan " aku seperti kesetanan ketika melihat sketsa-sketsa kamu. Aku " jadi inget dulu, di masa kanak-kanak, aku sering menunggui papa melukis. Sketsa kamu punya banyak kesamaan dengan sketsa yang selama ini aku kenal. Sama seperti kamu, papa suka menjadikan binatang sebagai objek lukisan."
Bulan terpaku. "Aku nggak tau! Aku ngerti banget! Waktu itu, aku hanya ingin memegang kuas. Menyapukan warna-warna dan " ah!" Opang mendekap wajahnya.
Bulan menyentuh pundak Opang. "Aku nggak marah, Pang. Justru aku seneng tau kamu punya bakat luar biasa. Artinya, kamu bisa berbuat
sesuatu yang jauh lebih berarti, daripada keluyuran, mengenang papa kamu setiap saat dan menghambur-hamburkan kekayaan ibumu tanpa menghasilkan apa-apa."
"Kamu ?"" Opang menatap nggak percaya ke arah Bulan Trisna.
"Sori kalau omonganku jadi mirip nasihat orangtua. Tapi, tolong kamu bisa menerimanya dengan lapang dada. Aku nggak maksud menggurui kamu, Pang. Jadi, anggap aja ini nasihat seorang sahabat." Bulan menarik napas sebelum melanjutkan ucapannya. "Apa yang kamu miliki saat ini" Kamu cuma lulusan S M A dan nggak mau nerusin kuliah. Kamu kuliah di jurusan ekonomi yang ditentuin mamamu, bukan tuntutan jiwamu."
"Kata siapa?" "Pak Slamet." "Sok tahu!" "Kurasa, kamu hanya nggak jujur dan enggan mengakui kata hati yang sebenarnya. Okelah, kamu boleh bersikeras bahwa menjadi pelukis sama artinya dengan menjadi seorang pecundang. Bahwa melukis itu cuma aktivitas yang nggak ada artinya. Yang nggak bisa jadi duit. Begitu, kan?"
Opang terdiam. Ia kembali menunduk dalam-dalam.
"Tapi, apa kamu juga udah bikin penilaian yang jujur, kalo kegiatan papamu, jauh lebih nggak ada artinya dibandingin keseharianmu sekarang" Jujur aja, kalo saat ini kamu sama sekali nggak berbuat apa-apa!"
Ketika Opang masih terdiam, Bulan nerusin ucapannya. "Sekarang, semua udah jelas, Pang. Minimal, aku ngerti kalo kamu punya bakat yang dimiliki semua orang, bahkan orang yang sengaja menekuni seni lukis seperti aku. Semuanya balik lagi sama kemauan."
Dua puluh delapan hari kemudian "
BULAN nggak punya pilihan lain lagi, kecuali mengikuti perubahan jadwal yang ditetapkan dosen pembimbing. Hari ini, Bulan sibuk banget nyiapin sepuluh lukisannya. Membagi area dengan keenam peserta lain dan menempatkan lukisan pada tempat yang telah dirancang.
Sore nanti, Pameran Bersama Tugas Akhir ini akan dibuka dekan fakultas, dan dibuka untuk umum. Tiga hari terakhir ini, Opang banyak ngebantu nyiapin semuanya. Bahkan, Opang ikut ngebantuin Henry dan Budi?yang gabung sama kelompok Bulan?mendekor ruang pameran ini.
Bulan Trisna puas banget sama bantuan O-pang kali ini. Bahkan menurutnya, semua ini nggak mungkin beres kalo nggak ada Opang. Tapi, hal yang bikin Bulan sangat puas adalah waktu tau Opang mulai betah tinggal di vilanya. Sejak tiga pekan yang lalu, Opang mutusin tinggal dan melukis di tempat itu. Ternyata, ia bisa bangkit dari
keputusasaannya dan ia mulai nyoba hal-hal baru yang positif.
Bulan mengedarkan matanya ke sekeliling, lalu akhirnya berhenti menatap ketiga lukisan itu. Tiga lukisan terakhir yang kini telah diberi judul. Canda Sepasang Burung, Tiga Sapi Merumput, dan Ikan Mas Koki.
Sepertinya, Bulan nggak mampu menatap ketiga lukisan itu lama-lama. Tiap kali ia memandang lukisan itu, selalu muncul perasaan bersalah dan berdosa. Gimanapun, ketiga lukisan itu nggak seratus persen lukisannya.
Bulan cuma bikin sketsanya. Semula, Bulan pengin melukis lagi dan mengganti ketiga lukisan itu dengan hasil karyanya sendiri. Tapi, situasi nggak memungkinkan. Perubahan jadwal itu memaksa Bulan nggak jujur.
Tapi, siapa yang tau"
Cuma Opang. Dan, Opang nggak mungkin membongkar rahasia itu. Rahasia itu akan tetap menjadi rahasia mereka berdua. Sama seperti hal-nya misteri kejadian-kejadian aneh yang Bulan alami di vila itu. Hanya kepada Opang-lah, Bulan nyeritain semua peristiwa misterius itu yang hingga saat ini, nggak pernah terpecahkan.
Opang sendiri sepenuhnya percaya kalo Bulan pernah ngalamin kejadian misterius itu. "Semua udah beres, Non!"
Bulan menoleh ke arah suara yang belakangan ini begitu ia hafal. Dilihatnya Opang menghampiri dengan senyum puas tergambar di wajah
tampannya. "Spanduk ucapan selamat datang itu udah terpasang di tempatnya!"
"Baguslah kalo gitu. Lalu, apa lagi?"
"Lalu, mentraktirmu minum atau makan siang!" kata Opang riang.
"Bukannya aku yang harus mentraktir kamu sebagai upah jasa baikmu atas ini semua?"
"Mungkin nanti, kalo pameran ini udah beres. Menurutmu, pantes nggak sih, kalo sebuah lukisanku laku lima juta rupiah?"
Bulan Trisna tertegun. "Lukisanmu laku" Lima juta rupiah?"
"Ya." Opang berubah sedih. "Tapi " mama yang membeli lukisan itu untuk dipajang di lobi kantornya. Lima juta rupiah itu uang perusahaan mama."
"Lho?" Bulan menatap mata Opang dengan heran "Lalu, kenapa sedih?"
"Rasanya kurang fair, karena
"Jangan pesimis, Pang!" Bulan agak membentak. "Menurutku, itu sebuah langkah awal yang amat bagus dan emang pantes kita rayakan. Juga, bukti bahwa mama mulai bisa memahami-mu."
"Benarkah?" "Ayolah! Aku jadi khawatir, jangan-jangan kamu menarik kembali ajakanmu ini! Aku mau ikut mencicipi sebagian rezekimu!"
Mereka tertawa bahagia. Donatus A. Nugroho, lahir di Blora, Jawa Tengah. Sarjana Pendidikan IKIP Negeri Semarang ini, sempat menekuni Pendidikan Seni Rupa dan Psikologi dalam waktu yang cukup
lama-sebelum akhirnya ia benar-benar memilih menjadi penulis. Ia mulai menulis sejak 1983 untuk segmen pembaca remaja. Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 1.000 judul fiksi (cerpen, novel, dan novelet, termasuk dongeng dan cerpen anak) yang telah dipublikasikan. Selebihnya, ratusan artikel populer, psikologi, dan pendidikan, serta liputan. Novel perdananya Mata Hati Mata Cinta diterbitkan oleh Gramedia pada 1993.
Dalam bidang tulis-menulis, pengidola tokoh Spiderman ini sempat memenangkan banyak penghargaan pada 1990-an, di antaranya; Juara III dan Juara Harapan Lomba Mengarang Cerpen Majaiah Aneka 1990 (juara I tidak ada), Juara II Sayembara Mengarang Cerpen Gadis 1991 (juara I tidak ada), Juara I Lomba Cipta Cerpen Remaja Anita Cemertang 1992, dan masih banyak lagi. Donatus juga pernah mengikuti kursus menulis skenario yang diselenggarakan oleh PPFN dengan hasil terbaik pada 1997.
Selain menulis cerpen dan artikel untuk hampir semua media remaja dan beberapa harian yang terbit di Jakarta dan Jawa tengah, ia juga menulis beberapa skenario untuk tayangan televisi dan kerap menjadi pembicara dalam berbagai seminar kepenulisan.
Novel Viia Toedjoeh Tjemara adalah karyanya yang keenam, yang diterbitkan oleh Penerbit Cinta, setelah Belajar Kencan (Cinta, 2005), Nomor Telepon 000000001 (Cinta, 2005), My Lucky Day (Cinta, 2005), Pilihan Lain (Cinta, 2005), dan PizzAmore (Cinta, 2005).
Lalu, tentang produktivitas, penulis yang suka makan ikan ini berkomentar, "Saya hanya pekerja seni, bukan seniman. Saya sangat produktif karena dalam mimpi pun saya bisa menyelesaikan sebuah cerpen!"
Nah, buat kamu yang pengin kenal ama raja cerpen ini, bisa e-mail ke: donatusl001cerpen@ yahoo.com.
Manusia Setengah Dewa 5 Pendekar Rajawali Sakti 23 Jago Dari Mongol Bangkitnya Pandan Wangi 3

Cari Blog Ini