Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
"Ahh, mengapa Tocu dan kau masih bersikap sungkan terhadap aku" Bukankah kita
ini sahabat" Kedatanganku bukan hanya kebetulan saja. Aku datang dengan maksud
yang sama seperti setahun yang lalu, yaitu mencari Sumoi. Apakah dia tidak datang ke
sini?" Soan Cu dan kakeknya memandang kaget dan juga heran, dan di dalam pandang mata
Ouw Kong Ek terkandung rasa hati tidak senang. Sin Liong maklum akan ketidaksenangan
hati kakek itu, maka dia menarik napas panjang dan berkata, "Harap saja Tocu tidak
menyangka yang bukan-bukan terhadap Sumoi. Apa yang dilakukan oleh Suhu di sini
sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Sumoi."
"Jadi Taihiap sudah tahu apa yang diperbuat oleh Han Ti Ong di sini?" Sin Liong
mengangguk. "Aku dapat menduganya. Tentu dia marah-marah karena puterinya pernah ditahan di
sini." "Bukan hanya marah-marah!" kata Soan Cu mengepal tinju. "Orang itu sombong
sekali! Dia menghina kakek, biar pun tidak melakukan pembunuhan tapi dia memukul
semua orang!" "Kau juga dipukulnya?" Sin Liong bertanya.
"Tadinya, melihat aku seorang wanita dan masih muda, dia tidak mau memukulku,
akan tetapi karena melihat kakek dipukul, aku menyerangnya dan aku roboh oleh
tamparan. Dia memang sakti, akan tetapi ganas dan kejam, bahkan semua catatanmu
dihancurkan! Sekali waktu kami akan menuntut balas, kami akan menyerang Pulau
Es!" Sin Liong menarik napas panjang. "Lupakan saja niat itu, selain tidak baik juga
tidak ada gunanya. Kerajaan Pulau Es tidak ada lagi sekarang, telah musnah."
"Hei..." Apa maksudmu, Taihiap...?" kakek itu bertanya, terbelalak.
"Apa yang telah terjadi?" Soan Cu juga bertanya.
"Dilanda badai... habis seluruhnya, semua penghuninya termasuk suhu dan seluruh
benda di sana habis terbasmi kecuali bangunan istana yang telah kosong sama
sekali..." Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat malapetaka yang penimpa
Pulau Es, dan betapa secara aneh dan kebetulan saja dia dan Sumoinya terluput
dari bencana. Kakek dan cucu itu mendengarkan dengan melongo kemudian kakek itu
bertepuk tangan dan tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha!
Ha-ha-ha-ha! Dendam ratusan tahun lenyap dalam sekejap mata! kami orang-orang
buangan yang dianggap berdosa, dianggap dikutuk tuhan, malah masih dapat hidup
melanjutkan riwayat, sedangkan penghuni Pulau Es yang suci dan agung, kaum bangsawan yang
tinggi, sekali sapu saja musnah! Ha-ha-ha, siapa yang lebih dilindungi tuhan" Han Ti Ong, tanpa kami bergerak,
engkau dan kerajaanmu lenyap sudah!" Kakek itu tertawa-tawa sampai air matanya keluar sehingga sukar
dikatakan apakah dia itu tertawa, ataukah menangis..Mengapa Taihiap sekarang mencari Nona Swat Hong ke
sini" Apa yang terjadi dengan dia?"Sin Liong lalu menceritakan niat
perjalanannya bersama Swat Hong, yaitu untuk mencari ibu Swat Hong yang sampai
kini tidak diketahui berada di mana. Dan betapa di jalan mereka menjadi bungung
dan tersesat karena badai telah menciptakan
pemandangan yang berbeda di permukaan laut sehingga sehingga mereka mendarat di
gunung es dan betapa dia menemukan biruang hitam.
"Sumoi berangkat melanjutkan perjalanan mencari Pulau Neraka karena disangkanya
ibunya berada di sini, sedangkan aku mengobati biruang." Sin Liong menutup
ceritanya, tentu saja dia segera menceritakan kemarahan Swat Hong kepadanya.
"Apakah dalam beberapa hari ini dia tidak dantang ke sini?" Soan Cu menjawab,
"Untung saja dia tidak datang, Sin... eh, Taihiap."
"Soan Cu mengapa engkau meniru kakekmu, bersungkan kepadaku dan menyebut Taihiap
segala?" "Biarlah, Taihiap," Kata Ouw Kong Ek. "Tidak pantas kalau dia menyebut
namamu begitu saja. Dan engkau memang menolong kami dan pantas disebut Taihiap
karena kepandaianmu tinggi sekali." "Kaukatakan tadi untung Sumoi tidak datang ke sini,
mengapa?" "Andaikata dia datang, tentu akan terjadi apa-apa yang tidak baik antara dia dan
Kong-kong. Ketahuilah, semenjak Raja Pulau Es datang mengacau di sini, Kong-kong jatuh
sakit, dan kebencian kami semua terhadap Pulau Es makin mendalam. Maka kalau
Sumoimu, Swat Hong datang, tentu akan terjadi hal yang tidak baik."
Sin Liong mengangguk-angguk, merasa lega bahwa sumoinya tidak mendahului datang
ke Pulau Neraka, akan tetapi juga menimbulkan kegelisahannya karena dia jadi tidak
tahu ke mana sumoinya yang pemarah itu kini berada!
Bajak-bajak laut itu, dari mana datangnya dan mengapa mengacau ke sini?"
tanyanya. "Entah. Tahu-tahu mereka muncul dan perahu besar mereka terdampar di tepi
pulau." "Agaknya mereka juga diamuk badai."
"Mungkin." Soan Cu melanjutkan. "Kami diserang selagi kong-kong sakit. Kong-kong
tidak dapat turun dari pembaringan, maka aku yang menggantikannya, aku keluar
menyambut mereka, akan tetapi karena kurang hati-hati, karena memandang rendah am-gi
mereka, aku hampir celaka kalau tidak ada engkau yang datang di waktu yang
tepat, Taihiap." "Akan tetapi akhirnya, biarpun sakit, Kong-kongmu dapat membunuh semua bajak
laut itu." Sin Liong bergidik ngeri mengenangkan kematian para bajak itu.
"Ugh-ugh....!" Kakek itu terbatuk-batuk. "Bajak-bajak macam itu saja kalau aku
tidak sakit, kalau Soan Cu tidak memandang rendah dan kalau para penghuni tidak
baru saja diamuk badai, tidak ada artinya bagi kami. Kalau binatang-binatang Pulau Neraka
bersembunyi ketakutan diamuk badai, mana mereka mampu masuk"
Sudahlah, sekarang saya hendak menyampaikan permohonan yang amat penting bagi
Taihiap." "Ah, Tocu, Di antara kita yang sudah menjadi sahabat, perlu apa banyak
sungkan lagi" Kalau ada sesuatu, katakanlah saja, mana perlu menggunakan
permohonan lagi?" jawab Sin Liong.
Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu turun dari bangkunya dan menjatuhkan diri
berlutut di depan Sin Liong! Tentu saja pemuda ini menjadi sibuk sekali, cepat
membangunkan kakek itu dan berkata, "Tocu, harap jangan begini. Aku yang muda
mana berani menerimanya" Ada
keperluan apakah" katakan saja, aku tentu akan membantumu sedapat mungkin." Sin
Liong berkata dengan hati tidak enak, mengira akan menghadapi hal yang sulit.
Setelah duduk kembali dan mengatur napasnya yang terengah-engah karena
kesehatannya belum pulih kembali dan tubuhnya terasa amat lelah, kakek itu berkata, "Kwa-taihiap, aku
sudah tua dan tidak.mempunyai keturunan lain kecuali Soan Cu. Taihiap sudah
melihat sendiri keadaan di Pulau Neraka yang
merupakan tempat tidak baik untuk seorang dara seperti Soan Cu. Oleh karena itu,
setelah kini kerajaan Pulau Es tidak ada, berarti bahwa Pulau Neraka telah bebas
dan kami bukanlah orang-orang buangan lagi. Soan Cu juga bukan keturunan orang
buangan lagi dan sewaktu-waktu kami boleh meninggalkan pulau ini. Karena itu,
aku mohon dengan sepenuh hatiku, sudilah Taihiap membawa Soan Cu bersama Taihiap
untuk mengenal dunia ramai, dan syukur kalau Taihiap dapat mengatur agar cucuku
ini tidak usah lagi kembali dan tinggal di Pulau Neraka ini. Kuharap permohonan
ini tidak akan ditolak oleh Taihiap." Sin Liong mengerutkan alisnya. Permintaan
yang sama sekali tidak pernah disangkanya! "Akan tetapi, Ouw-tocu, hendaknya di
ngat bahwa aku sendiri adalah seorang sebatangkara yang tidak mempunyai
apa-apa, tidak mempunyai tempat tinggal dan masih belum kuketahui apa akan
jadinya dengan diriku ini." "Kalau Taihiap merantau, bawalah dia merantau, ke mana saja aku sudah pasrah
sepenuhnya. Baik dia akan Taihiap anggap sebagai sahabat, sebagai saudara, atau kalau
mungkin.... dari lubuk hatiku kuharap sebagai calon jodoh, aku sudah merasa lega
dan senang, asal dia tidak tersiksa tinggal di neraka ini." Sin Liong merasa
sukar untuk menolak, akan tetapi juga berat untuk menerima, maka dia menoleh
kepada Soan Cu dan berkata, "Soal ini sebaiknya kita serahkan kepada Soan Cu
sendiri. Kalau memang dia suka merantau meninggalkan pulau ini, tentu saja aku
tidak keberatan mengadakan perjalanan bersama. Akan tetapi hal ini bukan berarti
bahwa aku menerima usul perjodohan Tocu, dan sewaktu-waktu dia boleh pergi ke
mana saja, jadi aku tidak terikat oleh perjanjian apapun juga."
"Taihiap, jangan khawatir. Memang aku sejak dulu tidak kerasan tinggal di sini,
hanya karena kedudukanku sebagai seorang keluarga buangan saja yang mencegah aku
meninggalkan Pulau Neraka. Sekarang aku telah bebas, dan betapapun juga, aku
akan pergi dari sini. Hanya kalau bersama Taihiap, tentu hati Kong-kong akan
merasa lebih aman, dan juga untukku sendiri yang tidak ada pengalaman, melakukan
perjalanan bersamamu merupakan hal yang
menyenangkan sekali. Aku hendak pergi mencari ayahku, Taihiap."
"Dan aku hendak mencari Swat Hong dan ibunya."
"Kalau begitu, mari kita mencari berdua, siapa tahu dalam mencari Sumoimu itu ,
aku dapat bertemu dengan ayahku."
Setelah mendapat banyak pesan dan melihat Kong-kongnya, membawa pula bekal
berupa pakaian dan sekantung emas simpanan Kong-kongnya, berangkatlah Soan Cu bersama
Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka dengan sebuah perahu. Selama hidupnya yang lima
belas tahun itu, belum pernah Soan Cu meninggalkan pulau, maka setelah perahu meluncur
jauh dan dia hampir tidak dapat melihat lagi Kong-kongnya bersama semua sisa penghuni
Pulau Neraka yang mengantarkanya sampai ke pantai, Soan Cu tak dapat menahan
bercucurannya air matanya. "Soan Cu, mengapa kau menangis" Kalau kau tidak tega meninggalkan kakekmu, masih
belum terlambat untuk kembali," kata Sin Liong yang sebetulnya merasa tidak enak
sekali memikul kewajiban ini. Biarpun dia tidak terikat sesuatu, namun sedikit
banyak dia dibebani keselamatan dara ini, dan kalau dara ini wataknya seaneh Swat Hong, dia tentu
akan menjadi lebih pusing lagi! "Ah, tidak, Taihiap. Aku hanya merasa perih
hatiku meninggalkan tempat yang sejak kulahir menjadi tempat tinggalku itu.
Orang sedunia boleh menyebutnya Pulau Neraka, akan tetapi setelah aku berangkat
meninggakan pulau itu, terasa olehku bahwa disitu adalah sorga."
Sin Loing tersenyum dan mendayung perahunya lebih cepat lagi. Pernyataan yang
keluar dari mulut dara ini merupakan pelajaran yang amat penting baginya,
membuka matanya melihat kenyataan bahwa sorga maupun neraka itu berada dalam hati manusia itu sendiri! Betapapun
indahnya suatu tempat kalau tidak berkenan di hatinya, akan merupakan neraka, sebaliknya betapapun
buruknya suatu tempat kalau berkenan di hatinya akan menjadi sorga! Jadi, baik buruk, senang, susah,
puas kecewa, semua ini bukan ditentukan oleh keadaan di luar, melainkan ditentukan oleh keadaan hati
dan pikiran sendiri. keadaan
di luar merupakaan kenyataan yang wajar, dan hanya pikiranlah yang menentukan
dengan menilai, membandingkan, maka lahirlah puas, kecewa, senang, susah, baik, buruk, dan lainlain hal yang saling.bertentangan itu. Bahagialah orang yang dapat menghadapi
segala sesuatu dengan mata terbuka, memandang segala sesuatu seperti APA ADANYA, tanpa penilaian. tanpa
perbandingan. Orang bahagia tidak mengenal susah senang, karena bahagia bukan
susah bukan pula senang, bukan puas bukan pula kecewa, melainkan suatu keadaan
di atas itu semua, sama sekali tidak
terganggu oleh pertentangan-pertentangan itu.
Perahu yang ditumpangi Sin Liong dan Soan Cu meluncur terus, ujung depannya yang
meruncing membelah air yang tenang seperti sebuah pisau membelah agar-agar biru.
Soan Cu sudah melupakan kesedihan hatinya dan kini dara itu memandang ke depan
dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar penuh harapan akan masa depan yang berlainan
sama sekali dengan keadaan di Pulau Neraka. Banyak sudah dia mendengar dongeng
kakeknya yang juga hanya mendengar dari nenek moyangnya tentang keadaan di dunia rame, dan sekarang
dia sedang menuju kepada kenyataan yang akan dilihatnya dengan mata sendiri!
Pusat perkumpulan Pat-jiu-kaipang (Perkumpulan pengemis Tangan Delapan) berada
di lereng Pegunungan Hen-san. Dari luar, tempat itu memang pantas disebut pusat
perkumpulan pengemis karena hanya merupakan tempat di dataran tinggi yang dikelilingi pagar
bambu yang tingginya hampir dua kali tinggi orang, pagar yang butut dan bambu-bambu
itu mengingatkan orang akan tongkat bambu yang biasa dibawa oleh para pengemis. Akan
tetapi kalau orang sempat menjenguk di dalamnya, dia akan terheran-heran
menyaksikan sebuah rumah gedung yang pantas juga disebut sebuah istana kecil berdiri megah dan
mewah sekali! Inilah tempat tinggal Pat-jiu Kai-ong, Si Raja Pengemis yang menjadi ketua Patjiu Kai-pang di lereng Hengsan!
Pat-jiu kai-ong sudah berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, akan tetapi dia
masih kelihatan tangkas dan belum begitu tua, sungguhpun pakaianya selalu butut,
sebutut tongkatnya, sama sekali tidak sesuai dengan keadaan gedungnya. Hanya
kalau hari sudah menjadi gelap saja maka berubahlah raja pengemis ini,
pakaiannya diganti dengan pakaian tidur yang layaknya dipakai seorang pangeran!
Dan mulailah kehidupan yang berlawanan dengan keadaan
hidupnya di waktu siang, berbeda jauh seperti bumi dan langit. Di waktu siang,
dia lebih patut disebut seorang pengemis elaperan yang berkeliaran di sekitar
rumah gedung itu. Akan tetapi di waktu malam, dengan pakaian indah dan tubuh
bersih, dia bersenang-senang makan
minum dengan hidangan serba lezat dan mahal, dilayani oleh lima orang selirnya
yang muda-muda, cantik dan genit.
Pat-jiu Kai-ong tinggal tinggal didalam istananya yang mewah akan tetapi yang
dikelilingi pagar bambu tinggi sehingga tidak tampak dari luar itu bersama lima
orang selirnya, lima orang pelayan dan selosin orang anak buahnya yang merupakan
pengawal-pengawalnya. Selosin orang ini tentu saja merupakan tokoh-tokoh dalam pat-jiu Kai-pang,
karena mereka adalah pembantu yang boleh diandalkan, atau juga murid-murid
tingkat satu dari raja pengemis itu. para pengawal itu melakukan penjagaan siang malam secara bergilir
dan mereka tinggal di dalam rumah samping di kanan kiri istana ketua mereka. Adapun
Pat-jiu Kai-pang mempunyai anggota yang banyak dan yang tersebar luas di kotakota. Dengan mengandalkan nama besar perkumpulan itu, terutama sekali nama besar Kai-ong,
para anggauta itu dapat mengumpulkan sumbangan-sumbangan yang besar dan sebagian dari
pada hasil sumbangan ini mereka setorkan kepada Pat-jiu kai-ong. Inilah membuat
raja pengemis menjadi kaya raya dan dapat hidup mewah sekali. Selosin orang
pembantunya, selain pengawal dan penjaga istananya, juga bertugas untuk turun tangan mewakili
ketua mereka apabila ada cabang yang kurang dalam memberi setoran! Pat-jiu Kaiong sendiri yang sudah hidup makmur jarang meninggalkan istananya di Heng-san.
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya urusan besar saja yang dapat menariknya pergi meninggalkan tempat yang
amat menyenangkan hatinya itu.
Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu dia ikut pula memperebutkan Sin-tong Si
Anak Ajaib karena dia pada waktu itu ingin cepat-cepat menyempurnakan ilmu yang
sedang diciptakan dan dilatihnya, yaitu ilmu Hiat-ciang-hoatsut (Ilmu Sihir
Tangan Darah). Jika pada waktu itu dia berhasil merebut Sin-tong, tentu dalam
waktu satu tahun saja ilmunya akan sempurna. Akan tetapi karena seperti
diceritakan di bagian depan, dia gagal dan Sin-tong dibawa pergi oleh pangeran
Han Ti Ong dari Pulau Es, maka dia harus mengorbankan puluhan orang bocah
untuk dimakan otaknya dan disedot darah dan sumsumnya. Kini dia telah mahir
dengan ilmu hitam yang mengerikan itu, akan tetapi sayangnya, setiap tahun dia
harus mengisi tenaga itu dengan pengorbanan seorang bocah!
Pada suatu hari , pagi-pagi sekali, selagi Pat-jiu Kai-ong seperti biasa
meninggalkan kehidupan malamnya yang mewah, berpakaian sebagai seorang pengemis
berjalan-jalan di dalam taman bunga di
belakang istananya, membawa tongkat butut dan berlatih silat di waktu embun pagi
masih tebal, tiba-tiba.seorang pengawalnya datang menghadap dan melaporkan bahwa
ada tiga orang tamu datang ingin bertemu
dengan Si Raja Pengemis. "Hemm, siapakah pagi-pagi begini sudah datang menggangguku?" Pat-jiu Kai-ong
berkata dengan alis berkerut. Akan tetapi karena merasa penasaran, dia tidak
memerintahkan pengawalnya mengusir orang itu dan terutama sekali ketika mendengar pelaporan
itu bahwa yang datang adalah seorang kakek bersama dua orang muda, seorang dara
jelita dan seorang muda tampan. Hatinya tertarik sekali ketika mendengar bahwa
kakek itu mengaku sebagai
seorang "sahabat lama."
Ketika dia keluar membawa tongkat bututnya dan bertemu dengan tiga orang itu,
Pat-jiu Kai-ong memandang tajam. Dia kagum melihat pemuda yang amat tampan dan
pemudi yang amat cantik jelita itu. Wajah mereka yang mirip satu sama lain menunjukan bahwa
mereka adalah kakak beradik, pemudanya berusia kurang lebih enam belas tahun,
pemudinya lima belas atau empat belas tahun. Sampai lama pandang mata Pat-jiu Kai-ong melekat
kepada dua orang muda itu, keduanya membuat hatinya terguncang penuh kagum dan
andaikata dia tidak menahan perasaannya, tentu mulutnya akan mengeluarkan air
liur! Barulah dia terkejut
ketika mendengar kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Pat-jiu Kai-ong kurasa engkau belum begitu pikun untuk melupakan
dua orang anakku ini. Mereka adalah Swi Liang dan Swi Nio, ha-ha-ha!
Akan tetapi Pat-jiu Kai-ong mengerutkan alisnya, sama sekali tidak mengenal
kedua nama ini. Dia memandang dengan mata terheran kepada laki-laki yang berdiri di depannya,
seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian sederhana berwarna
kuning, dengan kepala yang beruban itu terlindung kain pembungkus rambut yang
berwarna kuning pula. Kakek itu tertawa lagi. "Wah, Pat-jiu Kai-ong, benar-benar engkau telah lupa
kepada kami" Lupa kepada sahabatmu di Lusan ini?"
"Ahhhh...!" Pat-jiu Kai-ong tertawa, mukanya berseri dan dia cepat membungkuk
untuk memberi hormat. "Kiranya sahabat Bu yang datang" maaf, maaf, mataku sudah
lamur saking tuanya sehingga tidak mengenal sahabat baik yang kurang lebih
sepuluh tahun tak pernah kujumpi. Jadi ini kedua anakmu itu" Dahulu mereka baru
berusia lima enam tahun, kecil dan lucu serta berani, bahkan kalau tidak salah,
anak perempuanmu ini yang dahulu menantang pibu kepadaku. Ha-ha-ha!" Dara
berusia lima belas tahun yang cantik jelita itu menunduk dan kedua pipinya
berubah merah. "Harap Pangcu sudi memaafkan saya."
"Aih-aih...! Ini tentu orang tua lusan ini yang mengajarnya. Menyebutku Pangcu
segala!" "Ha-ha-ha, Pangcu. Bukankah engkau memang Ketua dari Pat-jiu Kai-pang"
Mengapa tidak mau disebut Pangcu oleh puteriku?" Kakek itu berkata.
"Wah, jangan berkelabar. Anak-anak yang baik, sebut saja aku paman. marilah
masuk, kita bicara di dalam." Pat-jiu-kai-ong lalu bertepuk tangan dan para
pengawalnya muncul. "lekas beritahukan para pelayan agar mempersiapkan hidangan
makan pagi yang baik untuk tamuku yang terhormat, Lu-san Lojin (Orang Tua Dari
Lusan) dan dua orang putera-puterinya!"
Para pengawal itu mundur dan Pat-jiu-kai-ong menggandeng tangan kakeknya itu,
sambil tertawa-tawa mereka memasuki istana dan duduk di ruangan dalam menghadapi meja
dan duduk di kursi-kursi yang berukir indah. Sambil memandang ke kanan kiri
mengagumi keindahan ruangan itu, Lu-san Lojin berkata memuji, "Sungguh hebat! Lama sudah
aku mendengar bahwa Pat-jiu-kai-ong tinggal disebuah istana yang megah, kiranya
keadaan di sini melampau segalanya yang telah kudengar. Hebat sekali!" Sejak
tadi Pat-jiu-kai-ong merayapi tubuh pemuda dan pemudi itu dengan pandangan
matanya. Dia kagum bukan main melihat
dara cantik jelita dan pemuda yang tampan dan gagah itu. "Ha-ha, kau terlalu
memuji, sahabat. Aku tidak mengira bahwa hari ini tempatku yang buruk akan
meneriama kehormatan kedataangan seorang tamu agung, seorang penolongku yang
budiman bersama putra dan
puterinya yang begini elok."
Kedua orang tua ini lalu bercakap-cakap dengan gembira membicarakan masa lampau.
Siapakah kakek ini" Dia adalah Lu-san Lojin, seorang ahli silat dan ahli pengobatan yang semenjak
istrinya meninggal dunia,
meninggalkan dua orang anak, lalu mengajak dua orang anaknya itu mengasingkan
diri ke puncak Lu-san, dan di sana dia bertapa sambil mendidik dan menggembleng putera puterinya.
Sepuluh tahun yang lalu, setelah gagal merebut Sin-tong, dalam kekecewaannya Pat-jiu Kai-ong lalu
mengamuk di sepanjang.jalanan, menculik dan membunuhi bocah-bocah yang dianggapnya cukup
sehat. Ketika dia tiba di kaki Pegunungan Lu-san, dia berada dalam keadaan keracunan hebat. Hal ini terjadi
karena dia terlampau banyak membunuh anak laki-laki, makan otak mereka dan
menghisap darah serta sumsum mereka untuk menyempurnakan ilmunya, terlampau banyak melatih diri dengan
ilmu hitam Hiat-ciang Hoat-sut. Karena hatinya yang penasaran mengapa dia tidak
dapat mengalahkan Han Ti Ong dan merebut Sin-tong, maka dia lupa akan ukuran tenaga
sendiri dan melatih diri dengan ilmu hitam itu, dia terlampau terburu-buru dan
akibatnya, hawa mujijat dari ilmu itu membalik dan membuat dia terluka dalam,
keracunan hebat sehingga dia terhuyung-huyung dan hampir pingsan ketika tiba di
kaki Pegunungan Lu-san. Dia maklum
akan keadaan dirinya, tahu bahwa dia terancam bahaya maut maka hatinya menjadi
khawatir sekali. Kebetulan baginya, pada saat itu keadaannya terlihat oleh Lusan Lojin yang sedang turun gunung bersama putera-puterinya yang pada waktu itu
baru berusia enam dan lima
tahun, sebagai seorang gagah dan berilmu tinggi, Lu-san Lojin cepat menolong
Pat-jiu Kai-ong. Setelah memeriksa keadaan raja pengemis itu, dia maklum bahwa Pat-jiu Kai-ong
memerlukan perawatan khusus, maka diajaknya orang ini naik ke puncak Lu-san. Di
situ Pat-jiu Kai-ong diobati Lu-san Lojin sampai sembuh . Selama satu bulan
berada di Lu-san, raja pengemis ini menerima perawatan yang amat baik dari Lusan Lojin, maka dia merasa berterima kasih
sekali dan menganggap pertapa itu sebagai penolong dan sahabat baiknya. Juga dia
mengenal dua orang bocah yang mungil itu. Karena kebaikan hati Lu-san Lojin,
biarpun dia melihat Swi Liang sebagai seorang anak yang mempunyai darah bersih
dan tulang kuat, dia tidak tega untuk mengganggu anak laki-laki itu.
Di lain pihak, ketika mendengar bahwa yang ditolongnya adalah Pat-jiu kai-ong
ketua Pat-jiu kai-pang, Lu-san Lojin terkejut sekali. Akan tetapi dia menjadi
bangga bahwa raja pengemis yang namanya terkenal itu menganggapnya sebagai
sahabat baik. Maka setelah sembuh,
mereka berpisah sebagai sahabat yang berjanji untuk saling mengunjungi dan
saling membantu. "Sungguh aku tidak tahu diri dan tidak mengenal budi," setelah makan minum Patjiu Kai-ong berkata kepada tamunya. "Sepatutnya akulah yang datang mengunjungi
kalian di Lu-san, bukan kalian yang jauh-jauh datang mengunjungi aku."
"Ahhh, mengapa kau menjadi sungkan begini" Kita bersama telah mempunyai
kewajiban masing-masing sehingga tentu saja telah sibuk dengan pekerjaan. Kamu
pun hanya kebetulan saja lewat di kaki Pegunungan Heng-san, maka aku teringat
kepadamu dan mengajak kedua
anakku untuk mendekati Pegunungan Hengsan mencarimu."
"Terima kasih, engkau baik sekali, Lu-san Lojin. Akan tetapi, kalau boleh aku
mengetahui, kalian datang dari manakah?"
Lu-asn Lojin menarik napas panjang dan menoleh kepada puteranya, memandang
puterinya seolah-olah minta ijinnya, Swi Liang menganggukan kepalanya kepada ayahnya, dan
menunduk. Dianggap oleh pemuda ini bahwa Pat-jiu Kai-ong adalah seorang sahabat
baik ayahnya, bahkan seperti saudara sendiri, maka tidak ada salahnya kalau raja
pengemis itu mengetahui urusannya. Siapa tahu raja pengemis itu dapat
membantunya . "Kami baru saja datang dari Lokyang, melakukan perjalanan sejauh itu dan
ternyata sia-sia belaka perjalanan kami untuk mencari Tee-tok Siangkoan Houw."
"Tee-tok Siangkoan Houw" Ah, ada urusan apakah engkau mencari racun bumi itu,
Lu-san Lojin?" "Sebetulnya urusan lama, urusan perjodohan, semenjak kecil,
antara Tee-tok dan aku telah terdapat persetujuan untuk menjodohkan puteraku Bu
Swi Liang ini dengan puterinya yang bernama Siangkoan Hui. Akan tetapi, setelah
keduanya menjadi dewasa, tidak ada berita dari Tee-tok sehingga hatiku merasa
khawatir sekali. Aku sudah berusaha mencarinya, namun selalu sia-sia. Akhirakhir ini aku mendengar bahwa dia berada di Lokyang, akan tetapi setelah jauhjauh kami bertiga mencarinya di sana, ternyata dia tidak berada di sana pula.
Hemm, sikap orang tua itu masih selalu aneh dan penuh rahasia.".JILID 9 "Ha-haha, ala salahmu sendiri! mengapa mengikat perjanjian dengan seorang iblis
seperti Tee-tok?" "Pat-jiu Kai-ong, jangan bergurau. Ini urusan yang penting
bagi kami, karena itu, kami mengharap bantuanmu yang mempunyai banyak anak buah,
agar suka menyelidiki di mana kami dapat bertemu
dengan Tee-tok Siangkoan Houw."
"Baik, baik... jangan khawatir. Akan kusuruh anak buahku menyelidikinya, dan
kalian bermalamlah di sini, jangan tergesa-gesa pulang."
Lu-san Lojin menggeleng kepala. "Sudah terlalu lama kami meninggalkan pondok,
kami hanya dapat bermalam untuk satu malam saja. Besok pagi-pagi kami harus
melanjutkan perjalanan."
"Semalaman cukuplah, Biar kupergunakan untuk menjamu kalian sepuas hatiku."
Tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk di luar istana raja pengemis itu. Tak lama
kemudian dua orang pengawal pribadi Kai-ong masuk dengan muka pucat dan
kelihatan takut. "Ada apa" mau apa kalian mengganggu kami?" Kai-ong membentak
marah dan menurunkan cawan araknya keras-keras ke atas meja sehingga meja itu
tergetar. "Pangcu... ampunkan kami berdua... terpaksa kami mengganggu karena ada peristiwa
yang amat aneh dan mengkhawatirkan kami semua."
"Apa yang terjadi" Hayo cepat ceritakan."
Dengan wajah ketakutan, seorang di antara dua orang pengawal itu lalu
menceritakan apa yang baru saja terjadi di luar istana. Karena Pangcu sedang
menjamu tamu, para pengawal menjaga di luar dan mereka sedang mengagumi seekor
ayam jago kesayangan Pat-jiu Kai-ong.
Raja pengemis itu memang suka sekali memelihara ayam jago dan kadang-kadang
mengadunya. Pagi hari itu seperti biasa, seorang pelayan memandikan dan memberi
makan ayam jago itu, dan memuji-mujinya sebagai jago peranakan tanah selatan yang amat
baik. Tiba-tiba ayam jago itu menggelepar di dalam kedua tangannya, darah muncrat dan
ayam itu mati, dadanya ditembusi sehelai benda lembut yang kemudian ternyata
adalah sebatang daun! Di tangkai daun itu terdapat sehelai kain yang ada tulisanya. "Kami telah
meloncat dan mencari di sekeliling, akan tetapi tidak ada bayangan seorang pun
manusia, Pangcu. Agaknya hanya iblis saja yang dapat menggunakan sehelai daun
untuk menyambit dan membunuh
ayam jago dan...." "Cukup!" Raja pengemis itu marah sekali mendengar jagonya dibunuh orang. "Kalian
tolol semua! Mana kain yang ada tulisan itu!"
Kepala pengawal yang mukanya penuh bewok itu dengan kedua tangan gemetar,
menyerahkan sehelai kain putih kepada ketuanya. kain itu ada tulisannya dengan
huruf-huruf kecil berwarna hitam, akan tetapi ada noda-noda darah, darah ayam
jago tadi. Akan tetapi Pat-jiu Kai-ong yang menerima kain itu, sejenak menjadi
bingung dan baru ia teringat bahwa dia tidak mampu membaca. Dia buta huruf!
Dengan jengkel dan agak malu dia lalu
melemparkan kain itu kepada Lu-san Lojin sambil berkata, "Harap kaubacakan ini
untukku!" Lu-san Lojin menyambar kain yang melayang ke arahnya itu, lalu matanya memandang
tulisan. Mukanya berubah, matanya terbelalak. "Wah... apa artinya ini?"
"Lojin! bagaimana bunyinya?" Pat-jiu Kai-ong bertanya, suaranya membentak. Lusan Lojin lalu membaca huruf-huruf itu.
Malam ini, semua mahluk hidup yang tinggal di rumah Pat-jiu Kai-ong dari
binatang sampai manusia, akan kubasmi habis!"
Ratu Pulau Es.."Ratu Pulau Es...?" Pat-jiu Kai-ong tertawa. "Siapakah dia" Aku
tidak mengenalnya. Hai pelawak dari
manakah yang main-main seperti ini" Ha-ha-ha, biar dia datang hendak kulihat
magaimana macamnya!" "Kai-ong, harap jangan main-main. Biarpun hanya seperti
dalam dongeng, nama Pulau Es amat terkenal, katanya penghuninya memiliki
kepandaian seperti dewa, apalagi
dahulu yang terkenal dengan sebutan Pangeran Han Ti Ong...."
"Ha-ha-ha, siapa perduli" Aku tidak ada permusuhan dengan Han Ti Ong, bahkan dia
yang pernah mengganggu aku. Mengapa sekarang ada ratu dari sana hendak
membunuhku dengan ancaman sesombong itu" Aku tidak percaya. He, pengawal apakah kalian tahu akan
isi surat?" Dua orang pengawal itu mengangguk. "Sudah Pangcu."
"Apa kalian takut?"
"Ti... tidak, Pangcu, Hanya... hanya amat aneh itu..."
"Sudahlah. Setelah kalian tahu isinya, hayo kalian dua belas orang melakukan
penjagaan yang ketat terutama malam ini. Kita jangan mudah digertak lawan yang
membadut! Biarkan dia datang, kita tangkap dia dan kita permainkan dia, ha-ha-ha!"
"Kai-ong harap hati-hati...." kata Lu-san Lojin setelah para pengawal itu keluar
dari ruangan itu. "Ha-ha-ha, mengapa khawatir" Apalagi baru seorang badut, biar
Han Ti Ong sendiri yang datang, setelah kini Hiat-ciang Hoat-sut kulatih
sempurna, aku takut apa?"
Kakek dari Lu-san itu kelihatan ragu-ragu, akan tetapi untuk menyatakan bahwa
dia takut, tentu saja dia tidak mau dengan hati berat dia bersama dua orang
anaknya menemani tuan rumah makan minum dan bercakap-cakap sampai lewat tengah
hari. Kemudian mereka dipersilahkan mengaso sejenak dalam kamar tamu, akan tetapi menjelang senja,
mereka sudah dipersilahkan makan minum lagi. Sekali ini mereka benar-benar takjub.
Melihat Pat-jiu Kai-ong kini bertukar pakaian, pakaian malam yang indah dan
mewah! Mengignat betapa siang tadi Kai-ong merupakan seorang pengemis yang berpakaian butut, dan kini
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti seorang raja, benar-benar membuat Lu-san Loji hampit tertawa, seperti melihat
seorang badut pemain lenong! Dan hidangan yang dikeluarkan di meja juga istimewa, jauh
lebih lengkap daripada siang tadi!
"Ha-ha, ayo makan minum. Kita berpesta sampai kenyang!" kata tuan rumah itu
mempersilahkan tamu-tamunya. Setelah hidangan tinggal sedikit dan perut mereka
kenyang sekali, Pat-jiu Kai-ong mengusap-ngusap bibirnya yang berminyak dan
perutnya yang gendut, matanya memandang ke arah Bu Swi Liang dan Bu Swi Nio
penuh gairah, lalu dia berkata,
kata-kata yang sama sekali tidak pernah disangka oleh para tamunya dan yang
membuat mereka terkejut setengah mati, "Lu-san Loji, sekarang kau tidurlah dalam kamarmu
dan jangan hiraukan badut yang hendak mengganggu. Adapun dua orang anakmu ini,
yang cantik jelita dan tampan gagah, biarlah mereka berdua besenang-senang
dengan aku dalam kamarku, ha-ha-ha!" "Kai-ong!" Lu-san Lojin membentak. "Apa... maksud katakatamu ini?" Pat-jiu Kai-ong memandang tamunya sambil tersenyum lebar. "Apa maksudnya" Swi
Liang begini tampan gagah dan Swi Nio cantik jelita dan segar, sungguh aku suka
sekali kepada mereka. Kalau mereka bedua bersama dengan aku dalam kamarku, tentu
mereka akan terlindung dan....hemmm, aku ingin sekali bersenang dengan mereka, tidur-tiduran
dengan mereka sejenak."
"Kai-ong, apa kau gila?"" Lu-san Lojin hampir tidak dapat percaya akan
pendengaranya sendiri. "Eh, mengapa" Apa salahnya aku tidur dengan dua orang
keponakanku ini" Heh-heh, tak tahan aku melihat puterimu yang muda dan cantik
segar, dan puteramu yang tampan dan ganteng ini. Anak-anak baik, marilah kalian
layani pamanmu..." "Keparat!" Lu-san Lojin melompat ke depan dan dua orang anaknya yang berada di
belakangnya pun sudah siap dengan pedang di tangan. "Pat-jiu Kai-ong! Harap kau jangan main gila dan
jelaskan apa sebabnya perubahan sikapmu ini. Mau apa engkau dengan anak-anakku?"."Ha-ha-ha! Siapa main
gila" Sebelum kalian muncul, tidak pernah ada terjadi apa-apa di sini. Akan tetapi
begitu kalian muncul, muncul pula orang aneh yang membunuh ayamku dan
mengeluarkan ancaman. Siapa lagi kalau bukan teman dan kaki tanganmu" Dan kau tentu sudah
mendengar bahwa Pat-jiu Kai-ong tidak pernah menyia-nyiakan kecantikan seorang
dara remaja seperti putermu ini dan puteramu yang tampan ini tentu memiliki otak
yang bersih, darah yang segar dan sumsum yang kuat. Perlu sekali untuk menambah
keampuhan Hiat-ciang Hoat-sut agar
makin kuat menghadapi lawan kalau malam ini ada yang berani datang!"
"Iblis jahanam! Kiranya engkau seorang manusia iblis yang busuk!" Lu-san Lojin
sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya. Kakek ini memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi sebagai bekas murid Hoa-san-pai yang sudah memperdalam
ilmunya dengan ciptaanya sendiri, hasil renungannya di waktu bertapa. Kepalan tangnnya menyambar dahsyat,
mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Akan tetapi kiranya hanya dalam ilmu
pengobatan saja dia menang jauh dibandingkan dengan Pat-jiu Kai-ong. Dalam ilmu
berkelahi, dia tidak mampu menandingi Kai-ong yang amat lihai. Sambil tertawa,
Kai-ong mengebutkan ujung lengan bajunya yang lebar dua kali dan kakek Lu-san
itu terpaksa harus menarik kembali kedua tanganya karena dari kedudukan
menyerang, dia malah menjadi yang diserang karena pergelangan kedua tangannya
terancam totokan ujung lengan baju itu! dua orang naknya
yang sudah marah sekali karena merasa dihina, sudah menerjang maju pula dengan
pedang mereka. Swi Liang menusuk dari samping kiri ke arah lambung kakek pengemis itu,
sedangkan dari kanan Swi Nio membabatkan pedangnya ke arah leher.
"Ha-ha, bagus! Kalian benar-benar menggairahkan!" kata kakek itu dan dia
bersikap seolah-olah tidak tahu bahwa dirinya diserang. Akan tetapi setelah
kedua pedang itu menyambar dekat, tiba-tiba kedua tangannya menyambar dan....
dua batang pedang itu telah
dicengkramnya dengan telapak tangan! Swi Liang dan Swi Nio terkejut bukan main,
akan tetapi melihat betapa kedua batang pedang mereka itu dipegang oleh tangan kakek
itu, mereka cepat menggerakan tenaga menarik pedang dengan maksud melukai telapak
tangan Pat-jiu Kai-ong. Namun usaha mereka ini sia-sia belaka, pedang mereka tak dapat
dicabut, seolah-olah dicengkeram jepitan baja yang amat kuat.
"Manusia tak kenal budi!"
"wirrrr... tar-tar!"
Pat-jiu Kai-ong merasa terkejut melihat menyambarnya sinar kuning dan ternyata
bahwa Lusan Lojin melolos sabuknya yang berwarna kuning dan kini menggunakan
sabuk itu sebagai senjata. Kakek ini memang memiliki tenaga sinkang yang kuat,
dan memainkan sabuk sebagai senjata sudah merupakan kehaliannya. Sabuk lemas di
tangannya itu dapat bergerak seperti pecut, dapat pula menjadi sebatang senjata
yang kaku dengan pengerahkan sinkangnya.
"Krekk-krekkk!" dua batang pedang itu patah-patah dalam cengkraman Pat-jiu Kaiong dan sambil melompat mundur menghindarkan sambaran ujung sabuk, raja pengemis
ini menyambitkan dua ujung pedang yang dipatahkanya ke arah Lu-san Lojin.
"Trang-tranggg!" Dua batang ujung pedang itu terlempar ke lantai ketika
ditangkis oleh ujung sabuk(ikat pinggang) dan kini Lu-san Lojin mendesak ke
depan dengan putaran senjatanya yang istimewa. Sedangkan kedua orang anaknya
telah mundur dan hanya menonton di pinggir karena mereka terkejut menyaksikan
pedang mereka dipatahkan begitu saja oleh kedua
tangan lawan dan mereka sama sekali tidak berdaya dan tidak berguna membantu
ayah mereka. Pada saat itu, muncul ah empat orang pengawal yang mendengar suara ribut-ribut.
Melihat mereka, Pat-jiu Kai-ong berkata, "Tangkap dua orang muda ini, akan
tetapi awas, jangan lukai mereka!" Empat orang pengawal itu segera menubruk maju
hendak menangkap Swi Liang dan Swi Nio. Tentu saja kakak beradik ini melawan
sekuat tenaga, akan tetapi biarpun keduanya memiliki ilmu silat tinggi, namun
empat orang pengawal itu pun merupakan murid-murid
terpandai dari Pat-jiu Kai-ong, maka ketika dua orang di antara mereka
menggunakan tongkat, dalam belasan jurus saja Swi Liang dan Swi Nio dapat
ditotok dan roboh dan lumpuh.
Ha-ha-ha, belenggu kaki tangan mereka baik-baik... kemudian lempar mereka ke
atas tempat tidurku... ha-ha-ha!" Pat-jiu Kai-ong tertawa sambil menyambar
tongkatnya..Setelah dia bertongkat, maka kini dia menghadapi Lu-san Lojin dengan
lebih leluasa. Kakek dari Lu-san itu
marah bukan main melihat putera dan puterinya digotong pergi dari ruang itu. Dia
mengejar dan menggerakan ikat pinggangnya, namun Pat-jiu Kai-ong menghadangnya
sambil tertawa-tawa dan menyerangnya dengan tongkatnya sehingga terpaksa kakek
Lu-san itu melayaninya bertanding. Pertandingan yang amat seru dan diam-diam
Pat-jiu Kai-ong harus mengaku
bahwa ilmu kepandaian kakek yang pernah menolongnya ini memang hebat.
"Pat-jiu Kai-ong, benar-benarkah kau lupa akan budi orang" Aku pernah
menyelamatkan nyawamu, apakah sekarang engkau mencelakakan kami bertiga?" Lu-san
Lojin berkata membujuk karena khawatir melihat nasib puterinya.
"Ha-ha-ha, dahulu memang engkau pernah menolongku, akan tetapi sekarang kalian
datang dengan niat buruk!"
"Tidak! Kau salah duga! Kami tidak ada sangkut pautnya dengan si pembunuh ayam!"
"Ha-ha-ha, Lu-san Lojin! Kalian menyelundup ke dalam dan bergerak dari dalam,
sedangkan setan itu bergerak dari luar. Begitukah?" Tongkat di tangan Pat-jiu
Kai-ong menyambar ganas. "Plak-plakk!" Ujung sabuk kakek Lu-san menangkis dua
kali akan tetapi dia merasa betapa telapak tangannya tergetar tanda bahwa tenaga
Si Raja Pengemis itu benar-benar amat kuat. "Pat-jiu Kai-ong, kau salah menduga,
kami tidak ada hubungan dengan musuh yang datang. Lepaskan kedua anakku dan kau
berjanji akan membantumu menghadapi musuh gelap itu." "Wah, berat kalau disuruh
melepaskan. Lu-san Lojin, dengan baik-baik. Aku tergila-gila melihat anakanakmu. Pinjamkan mereka kepadaku untuk satu dua malam, dan kau bantu aku
menghadapi musuh, baru aku akan membebaskan kalian."
"Iblis busuk!" Lu-san Lojin marah sekali dan dengan nekat dia lalu mengerahkan
seluruh tenaga untuk melawan raja pengemis ini karena dia maklum bahwa betapapun
juga hati yang kotor dari raja pengemis itu tidak mudah dibujuk. Satu-satunya
jalan untuk menolong anak-anaknya adalah melawan mati-matian. "Plakkk!" Tibatiba ujung sabuk melibat tongkat, keduanya saling betot untuk merampas senjata.
Tidak mudah bagi mereka untuk dapat
berhasil merampas senjata lawan dan kesempatan ini dipergunakan oleh Pat-jiu
Kai-ong untuk menggerakan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka ke arah
lawan. Lu-san Lojin terkejut melihat telapak tangan yang menjadi merah seperti tangan berlumuran
darah itu. Dia belum pernah mengenal limu Hiat-ciang Hoat-sut dari raja pengemis
itu, namun dia pernah mendengar akan hal ini, tahu pula betapa keji dan
berbahayanya ilmu itu. Akan tetapi untuk mengelak dia harus melepaskan sabuknya
dan hal ini pun amat berbahaya. Dengan senjata itu saja dia masih kewalahan
melawan Pat-jiu Kai-ong, apalagi tanpa senjata, maka dengan nekat dia lalu
menggerakan tangan pula menyambut pukulan itu.
"Dessss...! Aduhhh...!!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Lu-san
Lojin terjengkang dan terbanting ke atas lantai, mulutnya mengeluarkan darah
segar dan matanya mendelik. Kakek ini pingsan dan menderita luka dalam yang amat
parah! "Lempar dia di kamar tahanan!" Pat-jiu Kai-ong berkata sambil tertawa. Setelah
tubuh kakek yang pingsan itu digusur pergi oleh para pengawalnya. Pat-jiu Kaiong menghampiri meja di mana dia tadi menjamu para tamunya, menyambar guci arak
dan menenggaknya habis, kemudian sambil tertawa-tawa dia memasuki kamarnya.
Pemuda dan pemudi She Bu itu sudah rebah terlentang di atas pembaringan Pat-jiu
Kai-ong yang lebar. Dalam keadaan terbelenggu kaki tanganya. Lima orang selirnya
menjaga di situ. Ketiaka dia masuk sambil tertawa gembira, Bu Swi Liang memandang dengan mata
melotot penuh kebencian, akan tetapi Bu Swi Nio memandang dengan mata terbelalak
ketakutan dan mencucurkan air mata. Pat-jiu Kai-ong menghampiri pembaringan,
menggunakan tangannya untuk membelai dan menghusap pipi Swi Nio dan Swi Liang sambil berkata, "Manis,
jangan menangis dan kau jangan marah.
Aku akan menemani kalian dan bersenang-senang sepuas hati setelah kami menangkan
musuh gelap yang mengancam." Dia menengok ke arah lima orang selirnya dan berkata garang. "Temani
mereka, jaga baik-.baik jangan sampai ada yang lolos, dan kalau ada apa-apa,
cepat berteriak memanggil para pengawal.
Mengerti?" Lima orang selir itu mengangguk dan kakek itu meninggalkan kamar lagi. Sebelum
orang yang membunuh ayam jagonya dan yang mengirim surat ancaman itu dapat
ditangkap atau dibunuh, tentu saja dia tidak bernafsu untuk bersenang-senang dengan dua orang
muda yang tertawan itu. Dia percaya penuh bahwa menghadapi seorang pengacau
saja, para pengawalnya akan dapat mengatasinya, akan tetapi dia harus berhati-hati dan ikut
melakukan penjagaan sendiri. Setelah keadaan benar-benar aman barulah dia boleh
bersenag-senang. Dia belum yakin benar apakah musuh gelap itu ada hubungannya dengan Lu-san Lojin
dan kedua orang anaknya, akan tetapi ada hubungan atau tidak, setelah tiga orang itu
dibuat tidak berdaya, berarti mengurangi bahaya. Dia harus berhati-hati, maklum
bahwa dia mempunayi banyak musuh. Siapa tahu kalau Lu-san Lojin yang termasuk
golongan putih itu juga memusuhi. Andaikata tidak sekalipun, mana bisa dia melepaskan dua orang muda
yang cantik jelita dan tampan itu"
Pat-jiu Kai-ong duduk lagi di ruangan tadi sambil melanjutkan minum arak. Dia
maklum bahwa malam ini dua belas orang pengawalnya menjaga dengan tertib dan
penuh kewaspadaan. Ingin dia tertawa keras-keras mengusir kesunyian malam yang mendatangkan
perasaan tidak enak. Hemmm, Ratu Pulau Es" Hanya dongeng!
Pembunuh ayam itu tidak perlu ditakuti. Andaikata dia mampu mengalahkan dua
belas orang pengawalnya, hal yang sukar dipercaya, masih ada dia sendiri. Hiatciang Hoat-sut, ilmu yang dilatihnya belasan tahun kini telah dapat diandalkan.
Tadipun, hanya menggunakan sebagian kecil tenaganya saja, ilmu itu telah
merobohkan Lu-san Lojin. Dia tidak takut!
"Aku tidak takut!" serunya kuat-kuat. "Datanglah kamu, hai Ratu Pulau Es
keparat! Ha-ha-ha!" Para pelayan sudah menyalakan lampu-lampu penerangan dan atas perintah para
pengawal, pelayan-pelayan ini menambah jumlah lampu sehingga keadaan di seluruh gedung itu
menjadi terang. Setelah menyuruh para pelayan membersihkan meja di ruangan itu,
dan sekali lagi memanggil kepala pengawal dan menekankan agar penjagaan
diperketat dan selalu diadakan perondaan bergilir, Pat-jiu Kai-ong lalu duduk
bersila di dalam ruangan itu untuk
mengumpulkan tenaga dan mempertajam pendengarannya sehingga biarpun dia berada
di dalam istana, namun dia ikut pula menjaga dan meronda mempergunakan ketajaman
pendengarannya untuk menangkap semua suara yang tidak wajar di luar istana.
Malam makin larut dan keadaan sunyi sekali di istana itu dan sekitarnya. Para pelayan
yang mendengar dari para pengawal, dengan muka pucat tinggal berkelompok di kamar
seseorang di antara mereka, tidak berani membuka suara dan hanya saling pandang
dengan mata penuh rasa takut. Para selir juga berkelompok di dalam kamar Pat-jiu
Kai-ong, agar terhibur dengan adanya Swi Liang pemuda yang tampan itu. Bahkan
ada di antara mereka yang tanpa-malu-malu membelai pemuda itu, memegang
tangannya, mengusap dagunya, membereskan
rambutnya. Akan tetapi mereka tidak berani berbuat lebih dari itu, dan tidak
berani mengeluarkan suara. Juga para pengawal agaknya melakukan penjagaan dengan teliti
dan hati-hati, tidak bersuara seperti biasanya kalau mereka melakukan penjagaan
tentu di si dengan sendau gurau dan mengobrol.
Kesunyian yang mengerikan itu tidak menyenangkan hati Pat-jiu Kai-ong. Akan
tetapi dia amat memerlukan kesunyian ini agar penjagaan dilakukan lebih tertib
dan rapi pula. dia merasa tersiksa dan diam-diam dia memaki musuh gelap itu.
Kalau sampai tertawan, tentu akan
dihukum dan disiksanya seberat mungkin!
Tiba-tiba terdengar suara jeritan susul-menyusul yang datangnya dari dalam
kamarnya! Pat-jiu Kai-ong cepat melompat dan hanya dengan beberapa kali lompatan
saja dia sudah menerjang masuk ke dalam kamarnya. Dilihatnya kelima orang
selirnya menangis dan kelihatan gugup dan ketakutan, akan tetapi dua orang muda
yang tadi terbelenggu di atas pembaringannya, seperti dua tusuk daging panggang
yang dihidangkan di atas meja makan dan siap untuk
diganyangnya, kini telah lenyap tanpa bekas! "Apa yang terjadi" Keparat, diam
semua! Jangan menangis, apa yang terjadi?"
Lima orang selir itu menjatuhkan diri berlutut dan seorang di antara mereka
bercerita dengan suara gagap,
"Ada... ada... setan...., hanya tampak bayangan berkelebat ke atas ranjang
dan... dan mereka berdua... tahu-tahu
telah lenyap..."."Tolol!!" Pat-jiu Kai-ong berkelebat keluar melalui jendela
kamar yang terbuka, terus berloncatan
memeriksa sampai dia bertemu dengan para pengawal di luar istana, namun dia
tidak melihat jejek dua orang tawanan yang lenyap itu. "Kalian tidak melihat
orang masuk?" Bentaknya kepada para pengawal. "Tidak ada, Pangcu."
"Bodoh! Kalau tidak ada, bagaimana dua orang tawanan itu lenyap?" Kagetlah para
pengawal itu dan Pat-jiu Kai-ong, dibantu oleh para pengawalnya lalu mengadakan
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemeriksaan di dalam istana. Mula-mula timbul dugaannya bahwa tentu Lu-san Lojin dan dua orang
anaknya itu benar-benar mempunyai kawan-kawan di luar, buktinya kedua orang muda
itu ditolong mereka. Akan tetapi ketika dia menjenguk kedalam kamar tahanan, Lu-san Lojin
masih mengeletak pingsan di atas lantai!
"Cepat lakukan penjagaan tadi. Tutupsemua jalan masuk! Bagi-bagi tenaga!" Patjiu Kai-ong memerintah dengan suara yang agak parau karena harus diakuinya bahwa
jantungnya tergetar juga oleh rasa gentar menyaksikan sepak terjang musuh gelap yang aneh
dan amat luar biasa itu. Setelah sekali lagi memeriksa sendiri dengan
memepersiapkan tongkat ditangan, sampai tidak ada lubang yang tidak dijenguknya di dalam dan di sekitar
gedungnya dan mendapatkan keyakinan bahwa tidak ada orang bersembunyi di dalam
gedung, Pat-jiu Kai-ong kembali ke dalam ruangan besar dan menanti dengan jantung berdebar.
Malam telah makin larut dan musuh yang aneh itu telah mulai memperlihatkan bahwa
musuh itu memang ada dengan menculik dua orang tawannan itu secara aneh. Biarpun lima orang
selirnya bukan ahli-ahli silat tinggi, namun lima pasang mata tidak dapat
melihat orang yang menculik pemuda-pemudi itu di depan hidung mereka, sungguh
merupakan hal yang amat aneh! Pat-jiu Kai-ong bergidik dan membalik-balik gudang
ingatan di dalam otaknya. Siapakah Ratu Pulau Es" Apalagi dengan ratunya, dengan
penghuni Pulau Es dia tidak pernah bertemu, kecuali satu kali dengan Han Ti Ong
ketika memperebutkan Sin-tong. Dan di mana adanya pulau dongeng itu dia pun
tidak tahu. Pertemuannya dengan Han Ti Ong tidak boleh dianggap permusuhan, dan
adaikata ada yang sakit hati, kiranya sakit hati itu seharusnya datang dari dia,
bukan dari pihak Pulau Es atau Han Ti Ong yang telah berhasil menangkan
perebutan atas diri Sin-tong!
Mengapa kini muncul tokoh rahasia yang mengaku bernama Ratu Pulau Es" Siapakah
yang bermain-main dengan dia"
Melihat sepak terjang orang rahasia ini, caranya membunuh ayam, dapat dipastikan
bahwa orang itu kejam dan aneh, ciri seorang tokoh golongan hitam, bukan
golongan putih yang selalu datang secara berterang. Siapakah tokoh golongan
hitam yang memusuhinya" Tentu saja banyak, dan di antara mereka, yang paling
menonjol adalah Kiam-mo Cai-li Liok Si!
Wanita itukah yang kini datang mengganggunya" "Ha-ha-ha!" Dia tertawa keraskeras, hatinya menjadi besar. Mengapa dia takut" Andaikata Kia-mo Cai-li sendiri
yang datang, diapun tidak takut! Dan siapakah lain wanita di dunia Kang-ouw yang
lebih mengerikan daripada Kiam-mo Cai-li"
"Iblis atau manusia, jantan atau betina, keluarlah dari tempat persembunyian!
Hayo serbulah, aku Pat-jiu Kai-ong tidak takut kepada siapa pun juga! Kalau kau
diam saja, berarti kau pengecut hina dan penakut, ha-ha-ha-ha!"
Karena merasa tersiksa oleh keadaan sunyi yang mengerikan itu, Pat-jiu Kai-ong
berusaha mengusir rasa takutnya dengan teriakan keras ini yang tentu saja
didengar oleh semua penghuni gedung itu. Dan agaknya, sebagai sambutan atas tantangannya, tiba-tiba
terdengar suara ayam jagonya yang berada di belakang, di kandang ayam,
berkeruyuk keras sekali! "Ha-ha-ha!" Pat-jiu Kai-ong tertawa mendengar ayamnya sendiri yang menjawab,
akan tetapi tiba-tiba dia terkejut dan mukanya berubah. Keruyuk ayamnya itu
berhenti setengah jalan dan terputus oleh suara "kok!" suara ayam kesakitan!
Suara ini disusul suara berkotek riuh dari ayam-ayam betina di dalam kandang,
seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu mereka akan tetapi suara berkotek ini
pun berhenti setengah jalan dan bekali-kali terdengar suara "ko"
suara ayam dicekik atau dihentikan suara dan hidupnya!
"Keparat...!!" Pat-jiu Kai-ong yang bermuka merah saking marahnya itu sudah
meloncat keluar dan langsung lari ke kandang. Hampir dia bertubrukan dengan dua orang pengawal yang
juga mendengar keanehan di kandang itu. Kini dengan sebuah obor yang dipegang oleh pengawal,
mereka bertiga memeriksa kandang dan di bawah sinar obor tampaklah oleh mereka bahwa dua puluh
ayam yang berada di kandang itu, jantan, betina, semua telah tewas dengan leher putus! Darah merah
muncrat ke mana-mana, membuat lantai dan dinding kandang itu menjadi merah mengerikan.."Jahanam...!"
Pat-jiu Kai-ong memaki dan mereka bertiga sejenak menjadi seperti arca
memandang ke dalam kandang. Sunyi di situ, bahkan tidak ada angin berkelisik,
membuat suasana menjadi menyeramkan.
"Ngeooonggg...!" Suara kucing yang tiba-tiba terdengar ini yang membuat mereka
tersentak kaget dan memandang ke atas genting. Si Putih satu-satunya kucing
peliharan di gedung itu, berkelebat melompat sambil menggereng, seolah-olah
menghadapi musuh dan marah. Akan
tetapi gerengannya terhenti tiba-tiba dan Pat-jiu Kai-ong cepat melompat ke kiri
ketika ada benda jatuh dari atas genteng menimpanya. "Bukkk!" Ketika pengawal
yang membawa obor mendekat, ternyata yang terjatuh itu adalah bangkai kucing Si
Putih yang baru saja mengeong tadi! "Jahanam...!" Pat-jiu Kai-ong memaki untuk
kedua kalinya dan tubuhnya sudah melayang ke atas genting, di kuti oleh dua
orang pengawalnya. Melihat betapa obor yang dipegang pengawal itu tidak padam
ketika dia meloncat ke atas genting membuktikan bahwa pengawal itu sudah
memiliki ginkang yang hebat. Akan tetapi kembali ketiganya termangu-mangu di
atas genting karena tidak tampak bayangan seorang manusian pun. Keadaan sunyi.
Sunyi ekali, terlampau sunyi seolah-olsh gedung itu telah berubah menjadi tanah
kuburan! "Hung-hung! Huk-huk-huk...!!" Riuhlah suara tiga ekor anjng peliharaan gedung
itu menggonggong dan menyalak-nyalak di sebelah kanan gedung. Suara ini
mengejutkan mereka, apalagi suaran gonggongan mereka yang riuh rendah itu tiba-tiba ditutup
dengan suara "kaing...! nguik... nguikkk... nguikkkkk!" Dan suasana menjadi
sunyi kembali, lebih sunyi dari tadi sebelum terdengar gonggongan anjing-anjing
itu. "Bedebah...!" Pat-jiu Kai-ong melompat dari atas genting, tidak dapat disusul
oleh dua orang pengawalnya itu saking cepatnya dan sebentar saja dia sudah tiba
di sebelah kanan gedungnya, di kandang anjing. Seperti sudah dikhawatirkannya, tiga ekor anjing
itu sudah menggeletak mati dengan leher hampir putus dan darah mengalir di bawah
bangkai mereka. Tiga orang pengawal yang terdekat sudah tiba pula dan mereka saling pandang
dengan muka berubah pucat!
Seperti terngiang di telinga Pat-jiu Kai-ong suara Lu-san Lojin ketika
membacakan isi surat, "Malam ini, semua mahluk hidup yang tinggal di rumah Pat-jiu Kai-ong, dari
binatang sampai manusia, akan kubasmi habis!"
Semua binatang peliharaannya , ayam, kucing, dan anjing, sudah mati semua dan
sekarang tentu tiba gilirannya manusianya! Teringat akan ini, Pat-jiu Kai-ong
cepat berkata, suaranya sudah mulai gemetar "Cepat, semua berkumpul denganku di
dalam gedung...!" Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh jeritan-jeritan di sebelah luar dan di depan
gedung itu. Mereka cepat berlari menuju ke depan gedung dan tampaklah oleh mereka dua orang
pengawal yang berjaga di luar sudah menggeletak tak bergerak di atas tanah.
Ketika seorang pengawal yang membawa obor mendekat, Pat-jiu Kai-ong melihat
bahwa dua orang pengawalnya yang terlentang itu telah tewas dengan mata melotot dan dari mata,
hidung, telinga, dan mulut keluar darah hitam sedangkan di dahi mereka itu
tampak jelas cap jari tangan yang kecil panjang, tiga buah banyaknya dan mudah
dilihat bahwa itu adalah tanda jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis.
Begitu dalam gambar jari itu sampai garis-garisnya tampak! "Kurang ajar! Mari
kita berkumpul semua...!"
Akan tetapi kembali terdengar pekik mengerikan dari sebelah kiri gedung. Mereka
kembali berlari-lari ke tempat itu dan melihat tiga orang pengawal lain sudah
menjadi mayat dalam keadaan yang sama seperti dua orang korban pertama.
Segera tersusul pula pekik-pekik mengerikan itu dari belakang gedung. Pat-jiu
Kai-ong dan tiga orang pengawalnya ini, termasuk pengawal kepala Si brewok, mengejar ke belakang dan
empat orang pengawal sudah menggeletak tewas dalam keadaan mengerikan, presis seperti yang lain.
Dalam sekejap mata saja sembilan orang pengawal telah tewas. Mereka itu berada di depan, di sebelah
kiri, di belakang gedung,
akan tetapi kematian mereka susul menyusul begitu cepatnya, seolah-olah banyak
musuh yang datang dari berbagai jurusan. Namun, biarpun mulutnya tidak menyataakan sesuatu, Pat-jiu
Kai-ong maklum bahwa tanda dari jari tangan itu dibuat oleh jari tangan yang sama, dan bahwa
pembunuhnya itu hanya satu orang
saja, seorang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa sehingga para pengawal
itu agaknya sama sekali tidak mampu melakukan perlawanan..Tiga orang pengawal saling pandang dengan muka
pucat. Melihat muka mereka, Pat-jiu Kai-ong
menjadi penasaran dan merah sehingga timbul kembali keberaniannya yang tadi agak
berkurang karena jerih. Dia berteriak memaki, "jahanan pengecut! Hayo keluarlah
dan lawan aku Pat-jiu Kai ong!" Setelah dia mengeluarkan kata-kata ini dengan
suara nyaring, keadaan menjadi sunyi sekali, sunyi yang amat menggelisahkan damn
menyeramkan, seolah-olah dalam kegelapan dan kesunyian malam itu tampak mulut iblis menyeringai dan
menanti saat untuk menerkam dan mencabut nyawa ! Pat-jiu Kai-ong makin
penasaran. Dia sendiri adalah seorang manusia yang dikenal sebagai iblis, jarang
menemui tandingan dan ditakuti banyak orang dari semua golongan. Akan tetapi
malam ini dia, Raja Pengemis yang menjadi ketua Pat-jiu Kai-pang yang terkenal,
memiliki anggauta ratusan orang banyaknya, seorang di atara datuk kaum sesat
atau golongan hitam yang ditakuti orang, dia dipermainkan orang! Dan
orang itu, kalau melihat namanya sebagai ratu tentulah seorang wanita! Apa lagi
dia melihat bahwa bekas jari tangan di dahi para korban itu pun jari tangan
wanita yang kecil meruncing!
"Hem, pengecut benar dia, "katanya kepada tiga orang pengawalnya yang diam-diam
telah kehilangan separuh dari nyali mereka. "Kita harus menggunakan pancingan.
Biar aku mengintai dari atas, kalian berjalan-jalan di sini. kalau dia muncul
menyerang, aku tentu dapat melihatnya dan aku akan meloncat turun.
Bersiaplah kalian!" Setelah berkata demikian, dengan gerakan ringan seperti
seekor kelelawar, Pat-jiu Kai-ong melompat ke atas genteng dan mendekam di
wuwungan sambil mengintai.
Dia melihat tiga orang pengawalnya itu masing-masing telah mencabut senjata
mereka. Si Brewok menggunakan sebatang tombak panjang yang ujungnya berkait,
orang ke dua mengeluarkan golok besar dan orang ketiga sebatang pedang. Mereka berdiri saling
membelakangi dan mata mereka memandang tajam ke depan, telinga mereka
memperhatikan setiap suara. Akan tetapi sunyi saja sekeliling tempat itu. Tibatiba Pat-jiu Kai-ong melihat sesosok bayangan melayang turun dari atas pohon!
Celaka pikirnya. Kiranya si laknat itu bersembunyi di dalam pohon yang tumbuh di
depan gedung. Bayangan itu sukar di lihat bentuknya karena cepat sekali
gerakannya, tahu-tahu telah berada di depan Si Brewok.
Tiga orang pengawal itu menggerakan senjata, akan tetapi anehnya, tampak oleh
Pat-jiu Kai-ong betapa tiga buah senjata mereka itu telah berpindah tangan!
entah bagaimana caranya karena dari atas genteng itu dia tidak dapat melihat
jelas. Yang dia ketahuinya hanyalah betapa tiga orang pengawalnya itu kini lari
ketakutan! "Hik-hik-hik!" Suara ketawa ini membuat bulu tengkuk Pat-jiu Kai-ong
berdiri dan dia melihat sinar-sinar menyambar ke arah tiga orang pengawal yang
lari, melihat mereka roboh dan memekik, terjungkal tak bergerak lagi karena
punggung mereka ditembus oleh senjata mereka masing-masing! "Keparat jangan lari
kau!" Pat-jiu Kai-ong sudah melayang turun dan tongkatnya sudah diputar-putar.
Akat tetapi bayangan itu melesat dan lenyap dari tempat itu!
Pat-jiu Kai-ong menoleh ke kanan kiri, akan tetapi tidak tampak gerakan sesuatu.
Dia makin penasaran. Dihampirinya tiga orang pengawalnya. Mereka telah tewas dan
hanya mereka bertiga yang tidak dicap dahinya dengan tiga buah jari tangan hitam akan tetapi
kematian mereka cukup mengerikan. Tombak golok dan pedang itu menembus punggung
pemilik masing-masing sampai ujungnya keluar dari hulu hati! Dan sambitan tiga buah
senjata yang berlainan bentuknya itu dilakukan secara berbareng dari jarak yang
cukup jauh, tepat mengenai tiga sasarannya yang sedang berlari. Hal ini saja membuktikan pula
betapa hebatnya kepandaian orang aneh itu Mendadak Pat-jiu Kai-ong tersentak kaget. Di
dalam gedung! Betapa tololnya dia! Semua pengawalnya yang berjumlah dua belas orang
telah tewas semua. Tentu sekarang musuh itu masuk ke dalam gedung untuk membunuh
orang- orang di dalam gedung. Secepat kilat dia meloncat dan lari memasuki gedung.
Benar saja, terdengar pekik susul-menyusul dan begitu melewati pintu depan, dia
sudah melihat para pelayannya telah menjadi mayat dan berserakan di sana-sini. Cepat dia lari ke
dalam kamarnya dan dengan mata terbelalak dia melihat lima orang selirnya telah mati semua, dahi mereka
juga ada bekas tanda tapak
tiga jari tangan dan semua lubang di muka mereka mengalirkan darah hitam! Sunyi
sekali di dalam gedung itu, kesunyian yang penuh rahasia. Lu-san Lo-jin! Pat-jiu Kai-ong teringat dan
dia cepat lari ke dalam tempat tahanan, hanya untuk melihat bahwa kakek itu pun telah tewas dan di
dahinya terdapat pula tanda tapak tiga jari tangan dan semua lubang di muka mereka mengalirkan darah
hitam!.Kini dia benar-benar bingung. Jelas bahwa musuh ini bukanlah kawan Lu-san
Lojin seperti yang disangkanya semula! Makin bingunglah dia dan dia lari pula ke dalam ruangan
besar di mana dia tadi makan minum dengan Lu-san Lojin dan dua anaknya, di mana
dia tadi menanti datangnya musuh rahasia. Dan begitu memasuki ruangan itu, dia tertegun! Ruangan
itu kini terang sekali, agaknya ada yang menambah lampu penerangan. Ketika dia
melihat, benar saja bahwa di situ terdapat banyak lampu, banyak sekali karena
agaknya semua lampu penerangan dibawa dan dikumpulkan di ruangan itu. Dan di
atas kursinya yang tadinya ditinggalkan
kosong, kini tampak duduk seorang wanita! Di depan wanita itu, juga duduk di
atas kursi, tampak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang
memandangnya dengan mata penuh selidik. Wanita itu cantik, pakaiannya mewah dan indah, anak itu pun
tampan dan bersih serta mewah pakaiannya. Wanita itukah yang membunuh semua orang di
gedungnya" Tak mungkin agaknya. wanita itu usianya paling banyak tiga puluh lima tahun,
cantik dan kelihatan halus gerak-geriknya, hanya sepasang matanya mengeluarkan
sinar yang aneh dan dingin sekali.
"Ibu, dia inikah orangnya?" Tiba-tiba anak kecil itu bertanya, suaranya nyaring,
memecahkan kesunyian yang sejak tadi mencekam.
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, dialah Si Bedebah Pat-jiu Kai-ong." Wanita itu berkata, suaranya halus
akan tetapi dingin menyeramkan. "Kalau begitu, mengapa ibu tidak lekas
membunuhnya?" Wanita itu tersenyum dan wajah yang cantik itu makin cantik, akan
tetapi juga makin dingin menyeramkan, kemudian bangkit berdiri berlahan-lahan. "Kau lihat sajalah ibumu
menundukan Si jembel busuk ini."
Wanita itu ternyata bertubuh tinggi ramping dan ketika melangkah maju, tampak
gerakan kedua kakinya lemah lembut. Pat-jiu Kai-ong sudah dapat menguasai hatinya dan
timbul keberaniannya setelah melihat bahwa orang itu hanyalah seorang manusia biasa,
wanita yang kelihatan lemah pula, bukan seorang iblis yang menyeramkan sama
sekali. "Siapakah engkau" Siapa pembunuh orang-orangku dan apa hubunganmu dengan Ratu
Pulau Es yang mengancamku?"
Wanita itu kini tiba di depan Pat-jiu Kai-ong sehingga raja pengemis ini dapat
mencium bau harum semerbak yang keluar dari rambut dan pakaian wanita itu.
"Akulah Ratu Pulau Es, aku pula yang telah membunuh semua mahluk hidup di dalam
gedungmu, semua telah kubunuh kecuali engkau, Pat-jiu Kai-ong. Aku harus
membunuhmu berlahan-lahan, menyiksamu sampai puas hatiku."
Mendengar ancaman ini, Raja Pengemis yang biasanya berhati kejam dan keras itu,
menjadi berdebar juga. Akan tetapi kemarahannya melenyapkan semua rasa jerih dan dia membentak,
"Perempuan sombong! Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi Pat-jiu Kai-ong?" Pat-jiu Kai-ong,
agaknya kejahatanmu sudah begitu bertumpuk-tumpuk sehingga engkau tidak dapat
mengenal korban-korbanmu lagi. Pandanglah aku baik-baik dan kumpulkan ingatanmu! Lupakah
kau apa yang terjadi di kaki pegunungan Jeng-hoa-san sepuluh tahun yang lalu?"
Pat-jiu Kai-ong memandang dan terbayanglah peristiwa di Jeng-hoa-san sebelum dia
naik ke puncak gunung itu untuk mencari Sin-tong. Kini dia dapat mengenal wajah
ini, wajah cantik yang pernah merintih-rintih dan memohon pembebasan, namun yang
dia permainkan secara kejam.
"Kau... kau... Cap-she Sin-hiap...?" Tanyanya ragu-ragu.
"Benar. Aku adalah anggauta paling muda dari Cap-sha Sin-hiap. Dua belas orang
suhengku telah kaubunuh. Ingatkah sekarang kau?"
Pat-jiu Kai-ong tertawa. Hatinya lega. Kalau hanya wanita muda itu, yang telah
diperkosanya dan yang hanya menjadi orang ke tiga belas dari Cap-sha Sin-hiap, perlu apa dia takut"
Biar perempuan ini agaknya
telah memperdalam ilmunya selama sepuluh tahun ini, akan tetapi perlu apa dia
takut"."Ha-ha-ha, kiranya engkaukah ini, manis" Tentu saja aku masih ingat
kepadamu, siapa bisa melupakan kenang-kenangan manis selama tiga hari itu" Ha-ha-ha, betapa mesranya!" Jahanam!
Kematian sudah di depan mata dan kau masih berlagak" Pat-jiu Kai-ong, aku telah
datang dan rasakanlah pembalasanku, aku akan membuat kau menyesal mengapa kau
pernah dilahirkan ibumu!" "Perempuan sombong, mampuslah!" Pat-jiu Kai-ong sudah menerjang dengan
tongkatnya melakukan penyerangan dengan dahsyat, menusukan tongkatnya yang tentu
akan menembus dada wanita itu kalau tidak depat wanita itu mengebutkan ujung lengan
bajunya menangkis. "Trakk!" Tongkat itu menyeleweng dan terkejutlah Pat-jiu Kaiong. Ternyata lawannya ini benar-benar telah memperoleh kemajuan hebat dan telah
memiliki sinkang yang tak boleh dipandang ringan. Tentu saja! Wanita itu bukan
lain adalah The Kwat Lin yang selama sepuluh tahun ini menjadi istri atau
permaisuri Raja Pulau Es, Han Ti Ong yang sakti!
Wanita ini selama sepuluh tahun telah menggembleng diri, di bawah petunjuk
suaminya yang amat mencintainya. Bahkan suaminya telah menurunkan ilmu-ilmu yang
khusus untuk menghadapi ilmu tongkat Pat-jiu Kai-ong dan ilmu mujijat Hiat-ciang Hoat-sut
dari Raja Pengemis ini atas permintaan The Kwat Lin. Karena itu, biarpun ada
sebatang pedang menepel di punggungnya, The Kwat Lin tidak menggunakan senjata melainkan ujung
lengan bajunya untuk menghadapi tongkat dan memang kedua ujung lengan baju ini yang
merupakan sepasang senjata yang dilatihnya khusus untuk mengatasi tongkat Raja
Pengemis itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan, The Kwat Lin menggunakan kesempatan
selagi Han Ti Ong pergi menyerbu Pulau Neraka, untuk meninggalkan Pulau Es. Hal
ini sudah bertahun-tahun dia cita-citakan. Dia menjadi istri Han Ti Ong hanya
karena ingin mewarisi ilmu kepandaiannya, akan tetapi setelah menjadi
permaisuri, dia pun ingin memiliki pusaka Pulau Es dan benda-benda berharga
lainya. Maka dia menanti kesempatan baik untuk meninggalkan pulau, tentu saja
meninggalkan untuk selamanya karena pada hakekatnya dia tidak suka
tinggal di pulau itu. Siapa suka tinggal di Pulau Es yang membosankan itu, jauh
dari dunia ramai" Pergilah dia mengajak puteranya, Han Bu Hong, meninggalkan
Pulau Es sewaktu suaminya tidak ada, membawa pusaka Pulau Es. Dengan alasan akan menyusul
suaminya yang menyerbu Pulau Neraka, tidak ada seorang pun berani menghalangi
kepergiannya dan akhirnya, dengan kepandaiannya yang sudah tinggi, dia berhasil mendarat.
Berbulan-bulan dia menyelidiki dan akhirnya dia dapat menemukan tempat tinggal
musuh besarnya di lereng Heng-san. Dia mengajak puteranya dan setelah menyembunyikan
puteranya, dia menyelidiki istana Raja Pengemis itu. Melihat Swi Liang dan Swi
Nio, dia tertarik sekali, maka dia menculik mereka dan membawa mereka ke dalam
hutan di mana Bu Hong menanti ibunya. "Kalian kuselamatkan dengan maksud untuk
mengangkat kalian berdua menjadi muridku ," dia berkata tanpa banyak cerita lagi. "Tinggal kalian
pilih, mati atau hidup. Kalau ingin mati, kalian semestinya mati karena kalian
berada di gedung Pat-jiu Kai-ong. karena sekarang belum malam, maka kalian belum
mestinya dibunuh dan karenanya
boleh pula kukeluarkan dari sana. Kalau kalian ingin hidup harus suka menjadi
muridku. Bagaimana?" Tentu saja dua orang muda itu ingin hidup dan segera berlutut di depan calon
Subo (ibu guru) mereka. "Harap subo sudi menolong Ayah kami...." kata Swi Liang.
"Kalian tinggal saja di sini menemani sute kalian ini. Tentang Ayahmu, kita
lihat saja nanti." The Kwat Lin meninggalkan dua orang murid itu bersama puternya, kemudian
mulailah dia turun tangan membunuh-bunuhi semua binatang peliharaan gedung raja Pengemis itu
lalu membunuhi semua pengawal, pelayan, selir dan juga Lusan Lojin dibunuhnya karena
dia sudah berjanji akan membunuh semua orang di dalam gedung itu, apalagi dia tahu
bahwa kalau tidak dibunuh, kakek itu tentu akan menjadi penghalang baginya mengambil
murid Swi Liang dan Swi Nio yang menarik hatinya. Akhirnya dia keluar dari
gedung, menyuruh kedua orang muridnya menanti di hutan. Akhirnya bersama
puteranya, dia dapat berhadapan
dengan musuh besarnya itu setelah membunuh semua orang di dalam gedung.
Han Bu Ong anak laki-laki yang baru berusia sepuluh tahun itu, duduk di kursi
dan menonton pertandingan dengan mata terbelalak dan jarang berkedip. Dia sama
sekali tidak merasa takut atau
khawatir. Dia percaya penuh kepada kelihaian ibunya dan memang sejak kecil anak
ini memiliki.keberanian luar biasa dan kekerasan hati yang amat aneh bagi seorang
anak sebesar itu. Melihat
kekejaman-kekejaman yang terjadi, dia tidak pernah merasa ngeri, bahkan merasa
gembira! Barulah hati Pat-jiu kai-ong terkejut sekali setelah selama lima puluh jurus dia
mainkan tongkatnya dia tidak mampu menembus pertahanan sepasang ujung lengan
baju lawannya. Bahkan lawannya terkekeh-kekeh mengejeknya dan biarpun lawannya hanya mainkan
ujung lengan baju, namun ternyata tongkat yang biasanya dia andalkan itu sama sekali
tidak berdaya! "Keparat, mampuslah!" Tiba-tiba Pat-jiu Kai-ong berseru keras, disusul
dengan gerengan dahsyat yang menggetarkan seluruh ruangan itu. Han Bu Ong
terplanting jatuh dari kursinya, akan tetapi bocah ini sudah duduk bersila dan
mengatur pernapasan, menutup
pendengaran. Ternyata sekecil itu, Bu Ong telah digembleng hebat oleh ayahnya
sehingga dengan dasar latihan sinkang Inti Salju, dia kini mampu menulikan
telinga dan menghadapi auman Sai-cu Ho-kang dari Pat-jiu Kai-ong! Padahal lawan
yang tidak begitu kuat sinkangnya, mendengar auman Sai-cu Ho-kang yang
berdasarkan Khi-kang yang amat kuat ini, sudah akan roboh. Sementara itu, The
Kwat Lin yang melihat puteranya dapat menyelamatkan diri, sudah mengeluarkan
suara terkekeh-kekeh dan lawannya terkejut bukan main karena dari suara ini
keluar getaran yang menghancurkan ilmunya bahkan menyerangnya dengan hebat.
Terpaksa dia menghentikan auman Sai-cu Ho-kang dan mempercepat gerakan tongkatnya dengan
ilmu Tongkat Pat-mo-tung-hoat (Ilmu Tongkat Delapan Iblis) yang dahsyat.
The Kwat Lin memang hendak mempermainkan lawannya, maka dia hanya menangkis dan
mengelak. Hal ini sengaja dilakukannya untuk memamerkan kepandaiannya dan untuk
meyakinkan lawan bahwa akhirnya lawan akan roboh olehnya sehingga lawannya yang
amat dibencinya itu akan ketakutan setengah mati! Dan memang usahanya ini berhasil.
Keringat dingin membasahi muka pat-jiu Kai-ong dan tahulah kake ini bahwa
mengandalkan ilmu silat saja, dia tidak akan menang melawan wanita yang pernah
dipermainkannya dan diperkosanya selama tiga hari tiga malam itu. Maka dia lalu mengerahkan
tenaganya, menggerakan sinkang dan tiba-tiba dia memekik dan menghantamkan tangan kirinya
dengan telapak tangan terbuka. The Kwat Lin sudah menduga bahwa lawannya tentu akhirnya
akan menggunakan ilmu Hiat-ciang Hoat-sut ini. Dan dia sudah mendengar dari
suaminya akan ilmu mujijat ini, maka dia bersikap hati-hati dan tidak berani
memandang rendah. Bahkan ketika menyaksikan cahaya merah menyambar keluar,
merasakan getaran mujijat dan mencium bau
amis darah yang memuakan, dia terkejut sekali dan cepat dia menekuk kedua
lututnya sedikit, kemudian mendorongkan telapak tangan kanannya dengan tiga buah
jari tangan diluruskan. Hawa dingin meluncur keluar dari telapak tangannya menyambut hawa pukulan Hiatciang Hoat-sut. "Dess!"dua benturan tenaga mujijat bertemu dan tubuh kedua orang itu tergetar
hebat! Kiranya tenaga Hiat-ciang Hoat-sut sudah sedemikian ampuhnya sehingga dalam
benturan tenaga ini, Pat-jiu Kai-ong dapat mengimbangi tenaga The Kwat Lin. Kalau kakek
itu merasa betapa tubuhnya mendadak menjadi dingin sekali, sebaliknya The Kwat
Lin merasa tubuhnya panas! Namun keduanya dapat melawan hawa ini dan berkalikali mereka mengadu tenaga
sinkang lewat telapak tangan mereka . Tiba-tiba ujung lengan baju kiri The Kwat
Lin menyambar kearah ubun-ubun kepala kakek itu yang menjadi terkejut sekali dan
menangkis dengan tongkatnya. Ujung lengan baju melihat dan tangan The Kwat Lin
menyambar ke depan dari dalam lengan baju itu, menangkap tongkat. Pat-jiu Kaiong cepat menghantamkan tangan kirinya lagi dengan tenaga Hiat-ciang Hoat-sut
sekuatnya, mengarah kepala lawan. Namun hal ini sudah diperhitungkan oleh wanita
itu yang cepat sekali menarik tongkat yang
dicengkramnya menangkis. "Krekkkk!" Tongkat raja pengemis itu hancur terkena pukulannya sendiri dan
selagi dia terkejut bukan main, tahu-tahu ujung lengan baju kanan wanita itu
sudah menyambar ke arah matanya! Dia berteriak kaget, miringkan kepala, akan
tetapi ternyata ujung lengan baju itu tidak menyerang mata, melainkan
menyeleweng ke bawah dan menotok lehernya.
"Auggghh...!" Kalau orang lain yang terkena totokan yang tepat mengenai jalan
darah, tentu akan roboh dan tewas. Akan tetapi tubuh Pat-jiu Kai-ong sudah kebal, maka totokan yang kuat
itu hanya membuat ia terhuyung ke belakang. Melihat ini, The Kwat Lin tertawa terkekeh, kedua
tangannya bergerak dengan
cepat sekali dan biarpun raja pengemis itu sudah berusaha mati-matian membela
diri, namun karena.totokan pertama membuat pandangan matanya berkunang sehingga
gerakannya menjadi kurang cepat, dua
kali totokan lagi dan sebuah tamparan dengan tiga jari tangan yang tepat
mengenai punggungnya membuat dia roboh pingsan!
Ketika dia siuman. Pat-jiu Kai-ong mendapatkan dirinya sudah rebah terlentang di
atas lantai dan dia tidak mampu menggerakan kaki tangannya, bahkan tidak mampu
mengeluarkan suara karena selain tertotok jalan darah yang membuatnya menjadi lumpuh, juga urat
ganggu di lehernya telah ditotok. Tahulah dia bahwa dia tak berdaya lagi dan
nyawanya berada di tangan lawan, dan dia pun maklum bahwa wanita ini tidak akan mungkin mengampuni
kesalahannya.Maka dia memejamkan mata menanti datangnya kematian.
"Bret-bret-brettt..., hi-hik! lihatlah, Bu Ong, lihat binatang ini!"
Pat-jiu Kai-ong memaki dalam hatinya. Apa maunya perempuan ini" Seluruh
pakaiannya direnggut lepas semua sehingga dia terlentang dalam keadaan telanjang bulat sama
sekali! Karena ingin tahu, bukan karena jerih sebab seorang datuk macam Pat-jiu Kai-ong
juga tidak mengenal takut, dia menggerakan pelupuk mata dan mengintai dari balik
bulu matanya. Dia melihat anak laki-laki turun dari kursinya, memandanginya dan
tertawa. "Heh-heh, ibu,dia lucu sekali! Lucu dan amat buruk... eh, menjijikkan!"
The Kwat Lin tertawa-tawa, kemudian sekali ujung lengan bajunya bergerak
menyambar ke arah leher Pat-jiu Kai-ong, kakek ini terbebas dari totokan urat
ganggunya dan dapat mengeluarkan suara. "Perempuan hina, mau bunuh lekas bunuh!
Aku tidak takut mati!" teriaknya marah. "Hi-hik, enak saja! Ingatkah kau betapa
aku dahulupun minta-minta mati kepadamu" Tidak, engkau harus mengalami siksaan,
mati sekarat demi sekarat! Bu Ong, dia inilah yang membunuh dua belas orang
Supekmu secara kejam . Maukah kau membalaskan sakit hati dan kematian para Suoekmu?"
"Tentu saja! Akan kubunuh anjing tua ini!" Bu Ong sudah melangkah maju dan anak
ini memandang dengan muka bengis.
"Nanti dulu, Bu Ong.Terlampau enak baginya kalau dibunuh begitu saja. Tidak,
untuk setiap orang dari suhengku, dia harus menderita satu macam siksaan. Jari
tangannya. Hi-hak, jari-jari tangannya berjumlah sepuluh, itu untuk sepuluh
orang suheng! Dan dua buah daun
telinganya itu untuk kedua suheng yang lain," The Kwat Lin mencabut pedangnya,
menyerahkan kepada puteranya sambil tertawa-tawa, kemudian dia menggerakan
khikangnya, "mengirim suara" dengan ilmunya yang tinggi ini sehingga suaranya
hanya terdengar oleh Pat-jiu Kai-ong, akan tetapi sama sekali tidak terdengar
oleh anaknya, "Pat-jiu Kai-ong , tahukah kau siapa bocah ini" Dia ini adalah
puteramu! Keturunanmu! hasil kotor dari perkosaanmu atas diriku. Nah, sekarang
kaulihatlah anakmu, darah dagingmu sendiri yang akan menyiksa dirimu!" Sepasang
mata Pat-jiu Kai-ong terbelalak lebar, mukanya pucat sekali.
Puluhan tahun dia ingin sekali memperoleh keturunan, terutama seorang putera,
akan tetapi biarpun dia sudah berganti-ganti selir sampai ratusan kali, tetap
saja para selir itu tidak pernah memperoleh keturunannya. sekarang, secara tidak
sengaja dia telah memperoleh
seorang putera! dan puteranya itu dengan pedang di tangan menghampirinya, siap
untuk
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyiksanya! Tadi dia terheran melihat betapa bekas anggauta Cap-sa Sin-hiap,
murid Bu-tong-pai yang terkenal gagah itu menjadi begitu keji, mengajar putera
sendiri melakukan kekejaman. Kira-kira wanita itu memang sengaja hendak
menyiksanya dengan menggunakan
tangan keturunanya sendiri! Kiranya wanita itu juga membenci anak itu seperti
juga membencinya, maka sengaja membiarkan anak itu menyiksa dan membunuh ayah
sendiri! "Anak... jangan...dengarkanlah...."
"Pratttt...!" Pat-jiu Kai-ong tidak dapat melanjutkan kata-katanya yang tadinya
hendak mmperingatkan anak
laki-laki itu karena urat ganggunya dileher telah ditotok oleh lengan baju The
Kwat Lin yang terkekeh menyeringai.."Pat-jiu Kai-ong, begini pengecutkah engkau" Hai i... di mana
kegagahanmu sebagai seorang datuk"Lihatlah baik-baikdan nikmatilah siksaan anak
ini! Bu Ong, pergunakan pedang itu . Pertama buntungi kedua daun telinganya
untuk Twa-supek dan Ji-supekmu!"
"Baik, Ibu!"Bu Ong lalu melangkah maju dan dua kali pedang itu berkelebat karena
anak itu ternyata sudah pandai menggunakan pedang itu dan buntunglah kedua daun
telinga Pat-jiu Kai-ong ! Dapat dibayangkan betapa nyeri, perih dan pedih rasa
badan dan hati kakek itu. Air matanya meloncat keluar membasahi pipinya!
"Ha-ha, ibu! Lihat, dia menangis !" Anak itu bersorak dan mengambil dua buah
daun telinga itu. "He-he, seperti teling babi!"
Memang Pat-jiu Kai-ong menangis! Akan tetapi bukan menangis karena rasa nyaeri
dan pedih karena kedua daun telinganya buntung, melainkan nyeri di hati yang
lebih hebat lagi melihat betapa anaknya sendiri yang sejak puluhan tahun yang
lalu dirindukannya, kini bersorak girang melihat penderitaannya! Dia tidak takut
mati, tidak takut sakit, akan tetapi melihat betapa dia menghadapi siksaan dan
kematian di tangan anaknya sendiri, benar-benar
merupakan tekanan batin yang hampir tak kuat dia menanggungnya . "Teruskan,Bu
Ong.Masih ada sepuluh orang Supekmu yang belum dibalaskan sakit hatinya.Jarijari tangannya yang sepuluh itu! Perlahan-lahan saja, satu demi satu buntungkan!"
Mulailah penyiksaan yang amat mengerikan itu dilakukan oleh Bu-ong. Anak ini
seolah-olah telah menjadi gila, dengan tertawa-tawa dia membuntungi semua jari tangan kakek itu
satu demi satu dan setiap buntung sebuah jari, dia bersorak kegirangan. Memang
sejak dapat mengerti omongan, anak ini dijejali dendam oleh ibunya, dendam
terhadap Pat-jiu Kai-ong dan
diceritakan betapa Pat-jiu Kai-ong telah membunuh dua belas orang suhengnya dan
betapa raja pengemis itu menyiksanya dan Bu Ong kelak harus membalas dendam itu.
Maka kini anak itu samasekali tidak menaruh rasa kasihan, bahkan hatinya puas
sekali dapat menyiksa kakek itu.
Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Pat-jiu Kai-ong. Namun dia tidak
menyesali nasibnya karena dia maklum bahwa dia pun telah melakukan perbuatan sewenangwenang atas diri The Kwat Lin sehingga pembalasan ini sudah jamak. Hanya satu hal yang
membuat air matanya bercucuran adalah melihat betapa dia disiksa dan akan
dibunuh oleh darah dagingnya sendiri. Dia menangis melihat darah dagingnya sendiri itu, yang baru
berusia sepuluh tahun, telah menjadi seorang iblis cilik yang demikian kejam!
Kini The Kwat Lin membebaskan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh. Begitu
kaki tangannya dapat bergerak, Pat-jiu Kai-ong meloncat dan menerkam ke arah Bu Ong dengan ke dua
tangan yang sudah tak berjari lagi itu, yang berlumuran darah. Niat hatinya
untuk membunuh saja anaknya itu agar kelak tidak dijadikan iblis cilik oleh ibu
yang membencinya. Akan tetapi sebuah tendangan dari samping yang dilakukan oleh
The Kwat Lin membuat dia terguling lagi. Rasa nyeri pada kedua ujung tangannya
membuat kakek itu menggeliat-geliat.
"Mundurlah, Bu-ong. lihat sekarang ibumu yang akan turun tangan. Aku akan
membalas sendiri perbuatannya kepadaku terdahulu!"
The Kwat Lin menghampiri musuhnya dengan pedang di tangan. "Pat-jiu Kai-ong,
ingatlah engkau akan peristiwa dahulu itu" Bayangkanlah,hi-hik, bayangkanlah
betapa nikmatnya bagimu dan betapa menyiksa dan sengsaranya bagiku. Sekarang aku yang menikmati
dan kau yang menderita . Sudah adil bukan" Nah, terimalah ini... ini... ini...!"
Bertubi-tubi pedang di tangan The Kwat Lin bergerak dan tubuh kakek itu
bergulingan, berkelojotan karena rasa nyeri yang amat hebat ketika ujung pedang
itu membabat keseluruh tubuhnya, dengan tepat sekali membabat ujung semua jari
kakinya, hidungnya, dagunya. Babatan itu hanya mengenai ujung sedikit, tidak
membahayakan keselamatan nyawa namun menimbulkan rasa nyeri yang hebat.
Seluruh tubuh kakek itu kini berlepotan darah, mukanya dipenuhi oleh kerut-merut
menahan nyeri. "Hi-hik, bagaimana" Masih kurang" Nah, rasakanlah ini!" Kembali
pedang itu digerakan, kini menusuk-nusuk dan seluruh tubuhnya ditusuki ujung
pedang bertubi-tubi. Ujung pedang hanya menusuk dua senti saja sehingga menembus
kulit daging akan tetapi tidak membunuh dan darah keluar makin banyak lagi, rasa
nyeri makin menghebat sehingga tubuh kakek itu berkelojotan seperti dalam
sekarat. "Ini yang terakhir!" The Kwat Lin berkata dan ujung pedangnya membabat ke bawah
pusar. Wanita itu tertawa bergelah, tertawa puas, wajahnya yang cantik itu pucat sekali dan dia
tertawa sambil berdongak ke.atas. "suheng sekalian, terutama Twa-suheng,
lihatlah musuhmu. Sudah puaskah kalian?" Dan dia terisak,
lalu menghampiri tubuh yang berkelojotan itu. "akan tetapi aku belum puas! kau
harus tidur dalam keadaan tersiksa di antara mayat-mayat yang membusuk, selama
tiga hari tiga malam!"
The Kwat Lin menengok kepada anaknya dan berkata, "Bu Ong, kautunggu di sini
sebentar!" Tubuhnya berkelebat meninggalkan ruangan itu dan dengan cepat dia telah datang
menyeret mayat-mayat para pengawal, selir dan pelayan sampai ruangan itu penuh
dengan mayat-mayat yang dia lemparkan ke sekeliling tubuh Pat-jiu Kai-ong yang
mandi darah. JILID 10 Nah, nikmatilah sekaratmu selama tiga hari!" The Kwat Lin lalu menggandeng
tangan anaknya dan mengajak pergi meninggalkan gedung itu. Ketika mereka berdua
tiba di dalam hutan di depan gedung, Swi Liang dan Swi Nio menyambut mereka
dengan mata penuh harapan.
"Mana Ayah, Subo?" Swi Liang bertanya.
"Bagaimana dengan dia?" Swi Nio juga bertanya.
"Ayah kalian telah tewas...."
Dua orang muda itu mengeluh dan menangis. Swi Liang mengepal tinjunya dan
berkata, "Si jahanam Pat-jiu Kai-ong! aku harus membalas kematian Ayah!"
"Subo, bantulah kami..." kata pula Swi Nio, "kami harus menuntut balas!" "Hehheh, Suheng dan Suci, tenangkanlah hati kalian. Pat-jiu Kai-ong telah di balas
dan sekarang sedang sekarat di antara tumpukan mayat, he-he-heh! Wah, aku
mendapat bagian pesta tadi. Akulah yang
membuntungi kedua telinganya dan sepuluh jari tangannya. Menyenangkan sekali!"
Swi Liang dan Swi Nio terbelalak memandang "sute" ini. Ucapan anak itu benarbenar membuat mereka merasa serem. Memang, mendengar kematian ayah mereka yang
tanpa keraguan lagi mereka
yakin tentu dilakukan oleh Pat-jiu Kai-ong, mereka pun merasa sakit hati dan
ingin membalas dendam. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh sute mereka menurut
pengakuan anak itu, sungguh luar biasa sekali. Membuntungi kedua daun telinga dan sepuluh jari
tangannya, dan perbuatan itu dianggap menyenangkan sekali dan berpesta, benarbenar membuat mereka bergidik! "Musuhmu sedang menanti saat kematian, harap kalian tenang dan tidak
memikirkannya lagi. Ayahmu telah tewas, dan kalian akan kuajak bersamaku sebagai muridku . Akulah
pengganti ayah kalian." Swi Liang dan Swi Nio menjatuhkan diri dan berlutut di
depan subo mereka sambil bercucuran air mata.
"Terima kasih subo..." Kata mereka di antara tangis mereka.
"Perkenankan kami mengubur jenasah Ayah, "kata pula Swi Liang.
"Tidak perlu. Kita menanti di sini sampai tiga hari, setelah itu aku akan
membakar gedung itu."
Biarpun merasa heran dan kasihan kepada mayat ayah mereka, kedua orang yang
sudah merasa ditolong dan dibalaskan sakit hati itu tidak membantah. Mereka tentu saja
tidak tahu betapa mayat ayah mereka itu ikut pula di lempar oleh The kwat Lin di
dekat tubuh Pat-jiu Kai-ong untuk ikut menyiksa musuh besar ini!
Memang Pat-jiu Kai-ong tersiksa hebat bukan main. Ketika tadi anaknya
membuntungi jari-jari tangannya, dia melihat muka anaknya itu berubah-ubah
menjadi muka banyak anak laki-laki yang menjadi korbanya.
Puluhan, bahkan ratusan anak laki-laki yang menjadi korbannya itu seolah-olah
mengeroyoknya, memaki dan mengejeknya, dan kini, setelah tubuhnya mandi darah dan rasa nyeri sampai
menusuk- nusuk tulang, dia ditinggalkan di antara mayat-mayat itu. Celaka baginya, tubuhnya yang
terlatih memiliki daya tahan
yang amat kuat sehingga dia tidak menjadi pingsan oleh rasa nyeri itu. Kalau
saja dia dapat pingsan atau
mati sekali, tentu dia tidak akan menderita sehebat itu..Mayat-mayat itu mulai
mengeluarkan bau yang memuakan pada hari ke dua. Bau darah yang mengering
dan membusuk, ditambah rasa nyeri di sekujur tubuhnya, masih diganggu lagi oleh
bayangan anak-anak yang dahulu menjadi korbanya, membuat Pat-jiu Kai-ong
menangis di dalam hatinya, menyesali perbuatannya yang mengakibatkan dia mati dalam keadaan
tersiksa seperti itu. Tiga hari kemudian, The Kwat Lin muncul dan perempuan ini tertawa
bergelak melihat musuh besarnya masih belum mati. Senang sekali hatinya. Dahulu, dia
diperkosa dan dipermainkan di antara mayat-mayat suhengnya selama tiga hari tiga
malam, dan kini dia dapat membalas secara memuaskan sekali.
"Hi-hik, kau sudah puas sekarang?" ejeknya. "Nah, mampuslah kau. Pat-jiu Kaiong!" pedangnya berkelebatan dan seluruh bagian tubuh di bawah pusar kakek itu
dicincang hancur oleh pedang di tangan The Kwat Lin. Setelah merasa puas melihat
mayat musuh besarnya, barulah dia membuat api dan membakar gedung itu, lalu berlari keluar.
Dengan air mata bercucuran, Swi Liang dan Swi Nio memandang nyala api yang
membakar gedung, maklum bahwa mayat ayah mereka ikut terbakar.
"Ayahmu telah sempurna," kata The Kwat Lin. "Tak perlu menangis lagi, hayo
kalian ikut bersamaku. Kalau kalian rajin mempelajari ilmu, kelak kalian tidak akan
mengalami penghinaan orang lagi."
Dengan hati berat namun karena tidak ada orang lain yang mereka pandang setelah
ayah mereka meninggal, dua orang muda itu terpaksa mengikuti The Kwat Lin bersama Han
Bu Ong pergi meninggalkan Hen-san.
Bu-tong-pai adalah sebuah perkumpulan silat yang besar, merupakan sebuah di
antara "partai-partai" persilatan yang terkenal. Akan tetapi pada saat itu, Bu-tong-pai
sedang berkabung. Di markas perkumpulan itu yang letaknya di lereng pegunungan
Bu-tong-san, dari pintu gerbang sampai rumah-rumah para tokoh dan murid kepala,
tampak kibaran kain-kain putih menghias pintu, tanda bahwa Bu-tong-pai sedang
berkabung. Siapakah yang meninggal dunia" Bukan lain adalah ketua Bu-tong-pai yang sudah
berusia lanjut, yaitu Kiu Bhok San-jin yang meninggal dunia dalam usia delapan puluh
tahun. Baru saja upacara penguburan selesai dilakukan oleh para anak murid Butong-pai, para tamu telah meninggalkan Pegunungan Bu-tong-san, akan tetapi semua
anak buah murid Bu-tong-pai
masih berkumpul di sekitar kuburan baru itu. Suasana penuh pergabungan dan masih
tampak beberapa orang murid yang mengusap air mata. Kui Bhok San-jin terkenal
sebagai seorang ketua dan guru yang baik dan yang dicintai oleh para anak murid
Bu-tong-pai. "Suhu...!"
Seruan ini membuat semua orang menengok dan tampaklah seoang wanita cantik
berlari mendatangi, di kuti oleh seorang muda-mudi remaja dan seorang anak laki-laki.
Wanita itu tidak menoleh ke kanan kiri, melainkan langsung berlari menghampiri
kuburan baru dan menjatuhkan diri berlutut di depan batu nisan sambil menangis.
"Ahh, bukankah dia Sumoi The Kwat Lin....?" Seorang murid Kui Bhok San-jin yang
usianya lima puluhan berseru. Semua orang memandang dan kini mereka pun mengenal
wanita yang berpakaian indah seperti seorang nyonya bangsawan itu. The Kwat Lin! Tentu saja
mereka semua kini teringat. Bukankah The Kwat Lin merupakan seorang anak murid
Bu-tong-pai yang amat terkenal, sebagai orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap yang
sudah bertahun-tahun lenyap tanpa meninggalkan jejak" "Benar, dia orang termuda dari Cap-Sha Sinhiap!" terdengar seruan-seruan setelah mereka mengenal wanita cantik itu.
Mendengar suara-suara itu, wanita ini lalu bangkit berdiri, menyusuti air
matanya, kemudian memandang kepada mereka sambil berkata, "Benar, aku adalah The
Kwat Lin, orang termuda dari Cap-Sha Sin-hiap. Masih baik kalian mengenalku!
Sekarang suhu telah meninggal dunia, siapakah yang akan menggantikannya sebagai
ketua Bu-tong-pai?" Para tokoh Bu-tong-pai terkejut menyaksikan sikap angkuh ini. Di antara mereka,
terdapat delapan orang yang terhitung suheng-suheng dari The Kwat Lin, dan orang tertua di antara
mereka adalah seorang kakek.berpakaian seperti pendeta tosu. Sejak tadi kakek
tosu ini mengerutkan alisnya setelah mendengar bahwa
wanita itu adalah seorang muda dari Cap-sha Sin-hiap, maka kini mendengar
pertanyaan Kwat Lin, dia melangkah maju dan berkata, "Sian-cai..., tak pernah
pinto sangka bahwa anggauta termuda dari Cap-sha Sin-hiap akan muncul hari ini.
Berarti engkau adalah murid termuda dari mendiang suheng, dan kalau engkau ingin
mengetahi, pinto yang dipilih oleh anak murid Bu-tong-pai, juga telah ditunjuk
oleh mendiang suheng menjadi ketua di Bu-tong-pai." Kwat Lin mengangkat mukanya
memandang. Tosu itu bertubuh kecil sedang, dan biarpun mukanya
penuh keriput, namun matanya bersinar terang dan jenggotnya yang terpelihara
baik mengitari mulutnya itu masih hitam semua, demikian pula rambutnya yang di kat
dan diberi tusuk konde dari perak. Pakaiannya sederhana saja, pakaian seorang
pendeta To yang longgar. "Siapakah Totiang?"
"Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu kalau seorang murid keponakan tidak mengenal
susioknya sendiri. Ketahuilah bahwa pinto adalah Kui Tek Tojin, satu-satunya
saudara seperguruan dari mendiang Kui Bhok San-jin." Kwat Lin sudah pernah
mendengar nama susioknya (paman gurunya) ini, seorang tosu perantau, sute
termuda dan satu-satunya yang masih hidup dari mendiang suhunya. Dia mencibirkan
bibirnya yang merah dengan gaya mengejek, kemudian
berkata dengan suara lantang, "Ah, kiranya Susiok Kui Tek Tojin yang
menggantikan Suhu menjadi ketua Bu-tong-pai" Sungguh keputusan yang sama sekali
tidak tepat! Aku tidak setuju sama sekali kalau Susiok yang menjadi ketua!"
Tosu itu membelalakan matanya dan memandang kaget, heran dan penasaran. Akan
tetapi sebelum dia mengeluarkan kata-kata, seorang tosu lain yang bernama Souw Cin Cu,
murid tertua dari Kui Bhok San-jin, melangkah maju dan berkata, "Sumoi, apa yang
kaukatakan ini" Betapa beraninya engkau mengatakan demikian! Keputusan ini tidak saja sesuai
dengan petunjuk suhu, juga telah menjadi keputusan kami semua. Pula, Susiok merupakan
satu- satunya saudara seperguruan mendiang Suhu, sehingga kedudukannya paling tinggi
dan
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
usianya paling tua di antara kita. Siapa lagi kalau bukan Beliau yang
menggantikan Suhu menjadi ketua kita?"
"Siancai, kedatangan yang mendadak dan tak tersangka-sangka, juga pendapat yang
mengejutkan. Betapapun juga, sebagai murid mendiang Suheng, dia berhak berbicara
untuk kepentingan dan kebaikan Bu-tong-pai. The Kwat Lin, bukankah demikian
namamu tadi" Kalau menurut pendapatmu, siapa gerangan yang patut dijadikan ketua
Bu-tong-pai menggantikan Suheng yang telah tidak ada?" "Harap maafkan aku,
Susiok. Bukan sekali-kali aku memandang rendah kepada Susiok, akan tetapi
penolakanku itu berdasarkan perhitungan yang matang."
Kwat Lin berkata kepada calon ketua Bu-tong-pai itu, mengejutkan dan
mengherankan semua orang yang mendengar dan melihat sikap tidak menghormat dari
wanita itu. "Pertama-tama sejak dahulu Susiok selalu merantau, tidak pernah
memperdulikan keadaan Bu-tong-pai,
apalagi Susiok adalah seorang tosu sehingga kalau Susiok yang menjadi ketua Butong-pai, ada bahayanya Bu-tong-pai akan berubah menjadi perkumpulan Agama To!
Berbeda sekali dengan pendirian mendiang Suhu yang bebas sehingga murid suhu pun terdiri dari
bermacam-macam golongan. Selain itu, selama ini Bu-tong-pai makin kehilangan
sinarnya, menjadi bahan ejekan dan bahan penghinaan orang lain."
"Ahhhh...!" terdengar suara memprotes dari sana-sini dan Souw Cin Cu kembali
berkata penasaran, "Sumoi aku benar-benar merasa heran mendengar kata-katamu dan
melihat sikapmu. Sepuluh tahun engkau dan para suhengmu menghilang dan kini engkau
muncul seperti seorang yang lain. Seperti langit dengan bumi bedanya antara engkau
dahulu dan engkau sekarang! Sumoi, kau mengatakan bahwa Bu-tong-pai menjadi
lemah dan menjadi bahan ejekan dan penghinaan orang lain. Apa artinya ini?" "Souw Cin Cu Suheng,
selama bertahun-tahun ini Cap-sha Sin-hiap telah lenyap, tahukah engkau apa yang
terjadi dengan mereka?"
"Kami telah berusaha menyelidiki namun tidak dapat menemukan kalian." "Hemm,
itulah tandanya bahwa Bu-tong-pai amat lemah, sehingga semua suhengku, tokohtokoh Cap-sha Sin-hiap, dibunuh orang tanpa diketahui oleh Bu-tong-pai!"
Semua orang terkejut sekali mendengar bahwa dua belas orang dari Cap-sha Sinhiap telah dibunuh orang!."Siapa yang membunuh mereka?" Souw Cin Cu bertanya
dengan suara marah sekali. Hati siapa yang
takkan menjadi panas dan marah mendengar bahwa dua belas orang saudara
seperguruannya dibunuh orang" "Hemm, terlambat sudah! Dua belas orang Suheng dibunuh oleh Pat-jiu Kai-ong
ketua Pat-jiu Kai-pang di Heng-san."
"Ohhh...!" kini Kui Tek Tojin berseru kaget, "Pat-jiu Kai-ong...?" Mengapa...?""
Kwat Lin tersenyum mengejek. "Ahhh, tentu Susiok pernah mendengar nama besarnya
dan menjadi gentar, bukan" Memang dialah datuk sesat yang terkenal itu, yang
telah membunuh dua belas orang Suhengnya. dan peristiwa itu berlalu begitu saja!
Tiga belas orang tokoh Bu-tong-pai mengalami penghinaan, dan Bu-tong-pai sendiri
diam saja. Apalagi berusaha membalas
dendam, bahkan tahupun tidak akan peristiwa itu! Ini tandanya bahwa Bu-tong-pai
lemah! Kini Bu-tong-pai hendak diketahui oleh Susiok, apakah akan dijadikan markas kaum
pendeta Tosu dan menjadi makin lemah lagi" Aku sendirilah yang harus turun
tangan membunuh musuh-musuh besar kami, membunuh Pat-jiu Kai-ong dan membasmi Pat-jiu Kai-pang
di Heng-san. Melihat kelemahan Bu-tong-pai, aku tidak setuju kalau mendiang Suhu
digantikan kedudukannya oleh Susiok Kui Tek To-jin harus diganti oleh orang yang
memiliki kepandaian tinggi dan dapat memajukan dan memperkuat Bu-tong-pai,
barulah tepat!" Kwat Lin bicara penuh semangat, mukanya yang cantik dan berkulit halus itu
kemerahan, sepasang matanya bersinar-sinar dan dengan tajamnya menyapu wajah semua anak
murid Bu-tong-pai yang hadir di situ. Pandang mata bekas orang termuda Cap-sha Sinhiap ini membuat banyak anak murid Bu-tong-pai merasa gentar dan mereka hanya menunduk
untuk menghindarkan pandang mata Kwat Lin. Akan tetapi, delapan orang suheng dari Kwat
Lin memandang dengan marah dan penasaran. Adapun Kui Tek Tojin hanya tersenyum dan
mengelus jenggotnya sambil mengangguk-angguk, matanya memandang wajah wanita itu
penuh selidik. "The Kwat Lin, omonganmu penuh semangat terhadap kedudukan Bu-tong-pai.
Andaikata benar semua kata-katamu itu, habis siapakah yang kaupandang tepat
untuk menjadi ketua Bu-tong-pai?" Kui Tek Tojin berkata lagi dengan sikap tenang.
"Untuk waktu ini, kiranya tidak ada orang lain lagi dari Bu-tong-pai kecuali aku
sendiri!" Kini benar-benar terkejut dan terheran-heranlah semua anak murid Butong-pai yang berada di situ. Begitu beraninya wanita ini. Biarpun tak dapat
disangkal lagi bahwa The Kwat Lin merupakan murid utama pula dari mendiang Bhok
Sanjin dan orang termuda Cap-sha Sin-hiap, akan tetapi pada waktu itu dia
bukanlah orang yang memiliki tingkat tertinggi di Bu-tong-pai. Sama sekali
bukan! Di atas dia masih ada delapan orang suhengnya, murid-murid Kui Bhok Sanjin yang lebih tua, dan lebih lagi di situ masih ada Kui Tek Tojin yang tentu
saja memiliki tingkat jauh lebih tinggi karen tosu ini adalah paman gurunya!
"Murid Murtad!!"
Tiba-tiba Souw Cin Cu membentak garang dan meloncat maju, di kuti pula oleh
sute-sutenya. Telunjuk kirinya menuding ke arah muka The Kwat Lin. "The Kwat Lin, engkau
sungguh tidak patut menjadi murid Bu-tong-pai! Kiranya engkau menghilang sepuluh
tahun hanya untuk pulang sebagai iblis wanita yang murtad terhadap perguruanya sendiri. Dan kami
berkewajiban untuk mengajar seorang murid murtad!" Sambil berkata demikian, Souw
Cin Cu menerjang ke depan dengan dahsyat. Souw Cin Cu merupakan murid pertama
atau paling tua dari Kui Bhok San-jin. sungguhpun tidak dapat dikatakan bahwa
dia memiliki tingkat ilmu silat paling tinggi, akan tetapi setidaknya tingkatnya
sejajar dengan orang-orang tertua dari Cap-sha Sin-hiap dan sebenarnya masih
lebih tinggi setingkat jika dibandingkan dengan ilmu kepandaian The Kwat Lin
ketika masih menjadi orang termuda Cap-sha Sin-hiap dahulu. Akan tetapi, Kwat
Lin sekarang sama sekali tidak bisa disamakan dengan Kwat Lin sepuluh tahun yang
lalu. Dia telah mewarisi ilmu, silat ilmu silat tinggi dan mujijat dari Pulau
Es! Tingkatnya sudah tinggi sekali dan dengan tenang saja dia memandang ketika
suhengnya itu menerjangnya. Apalagi karena dia mengenal benar jurus yang dipergunakan oleh
suhengnya, jurus dari ilmu silat Ngo-heng-kun. Ketika tangan kiri Souw Cin Cu
mencengkeram ke arah lehernya dan tangan kanan tosu itu menampar pelipis, dia
diam saja seolah-olah dia hendak menerima dua serangan ini tanpa melawan. Akan
tetapi setelah hawa sambaran pukulan itu sudah terasa olehnya, tiba-tiba tangan
kirinya bergerak dari bawah ke atas.
"Plak-plak-plak!!".Kedua lengan Souw Cin Cu telah terpental, bahkan tubuh tosu
ini terpelanting ketika tangan Kwat Lin yang
tadi sekaligus menangkis kedua lengan itu melanjutkan gerakannya dengan tamparan
pada pundaknya. Tamparan yang perlahan saja, akan tetapi sudah cukup murid pertama
mendiang Kui Bhok San-jin terpelanting!
Diam-diam Kui Tek Tojin terkejut heran menyaksikan gerakan tangan wanita itu,
gerakan yang amat cepat dan aneh, gerakan yang sama sekali tidak dikenalnya dan
tentu saja bukan jurus ilmu silat Bu-tong-pai! Akan tetapi tujuh orang sute dari
Suow Cin Cu sudah menjadi marah dan tanpa dikomando lagi mereka menerjang maju.
Akan tetapi The Kwat Lin tertawa, tubuhnya bergerak sedemikian cepatnya dan
berturut-turut tujuh orang ini pun terguling roboh di dekat Suow Cin Cu! Mereka
sendiri tidak tahu bagaimana mereka dirobohkan, akan tetapi tahu-tahu terpelanting dan bagian yang
tertampar tangan Kwat Lin, biarpun tidak sampai patah tulang, akan tetapi amat
nyeri. Padahal tamparan itu perlahan saja. Bagaimana andaikata wanita itu menampar
dengan pengerahan tenaga sekuatnya, sukar dibayangkan akibatnya. Betapapun juga,
delapan orang murid utama dari Bu-tong-pai ini tentu saja tidak sudi menyerah
begitu mudah dan mereka sudah meloncat bangun dan mencabut senjata masingmasing! "Ibu, mengapa tidak dibunuh saja tikus-tikus menjemukan ini?" Tiba-tiba Bu Ong
berteriak. Anak ini sudah bertolak pinggang dan memandang marah kepada para pengeroyok
ibunya. Kalau saja tangannya tidak dipegang erat-erat oleh Swi Liang dan Swi Nio, suheng
dan sucinya, tentu dia sudah menerjang maju membantu ibunya. Akan tetapi memang
sebelumnya, Swi Liang dan Swi Nio sudah dipesan oleh subo mereka untuk menjaga Bu Ong, dan
terutama sekali mencegah bocah ini mencampuri urusannya dengan orang-orang Bu-tong-pai.
Kwat Lin tersenyum mengejek melihat delapan orang suhengnya itu mengeluarkan
senjata. "Hemmm, apakah kalian ini sudah buta" Apakah para suheng tidak melihat bahwa
tingkat kepandaianku jauh melebihi kalian, dan bahkan andaikata Suhu masih
hidup, beliau sendiri tidak akan mampu menandingi aku."
"Keparat...!" Souw Cin Cu dan tujuh orang sutenya menerjang maju, akan tetapi
tiba-tiba Kui Tek Tojin berseru, "Tahan senjata! Mundur kalian!"
Mendengar teriakan ini, delapan orang ini serentak mundur mentaati perintah
calon ketua mereka. Kui Tek Tojin melangkah maju menghampiri wanita yang
tersenyum-senyum itu. "Siancai... kiranya engkau telah memiliki kepandaian tinggi maka berani
menentang Bu-tong-pai! The kwat Lin, selama ini engkau telah mempelajari ilmu
silat dari luar Bu-tong-pai, tidak tahu dari perguruan manakah?"
"Memang benar dugaanmu, Susiok, akan tetapi tidak perlu aku menceritakan kepada
siapapun juga." "Hei, tosu bau! Ibu adalah Ratu dari Pulau Es, tahukah engkau?"
"Bu Ong...!" Kwat Lin membentak puteranya, akan tetapi anak itu sudah terlanjur
bicara dan bukan main kagetnya Kui Tek Tojin dan para anak murid Bu-tong-pai
mendengar ini. Pulau Es hanya disebut-sebut dalam dongeng saja, dan memang nama
besar tokoh Pangeran Han Ti
Ong dari Pulau Es amat terkenal di dunia kang-ouw. Timbul keraguan di dalam hati
Kui Tek Tojin, akan tetapi karena wanita di hadapannya itu juga merupakan anak
murid Bu-tong-pai, maka dia menekan perasaannya dan berkata, "The Kwat Lin,
kalau engkau masih mengaku sebagai murid Bu-tong-pai, betapapun tinggi ilmu
kepandaianmu, engkau harus tunduk
kepada pimpinan Bu-tong-pai. Sebaliknya, kalau engkau sudah mempelajari ilmu
silat dari golongan lain dan tidak lagi merasa sebagai orang Bu-tong-pai, engkau
tidak berhak mencampuri urusan dalam dari Bu-tong-pai."
Kwat Lin tersenyum mengejek. " Susiok, tidak perlu kupungkiri lagi bahwa aku
telah membelajari ilmu silat dari golongan lain dan tingkat kepandaianku menjadi jauh lebih tinggi
daripada semua tokoh Bu-tong-pai. Akan tetapi aku bukan saja masih mengaku orang
Bu-tong-pai, bahkan ingin memimpin Bu-tong-pai
menjadi perkumpulan terkuat di dunia. Akan kuperbaiki dan kupertinggi mutu ilmu
silat Bu-tong-pai.agar tidak ada lagi golongan lain yang berani memandang rendah
Bu-tong-pai, apalagi menghina anak murid Bu-tong-pai seperti yang terjadi kepada Cap-sha Sin-hiap sepuluh tahun
yang lalu." "Hemm, kalau begitu, pinto sebagai calon ketua Bu-tong-pai, terpaksa melarang
dan menentang kehendakmu, The Kwat Lin."
"Dengan cara bagaimana kau hendak menentangku, Susiok?"
"Dengan mempertaruhkan nyawaku. Kehormatan Bu-tong-pai lebih penting dari pada
nyawa seorang ketuanya. Majulah dan mari kita putuskan persoalan ini dengan
kepandaian kita ." The Kwat Lin tersenyum. "Susiok, betapapun mudahnya bagiku membunuhmu, membunuh
para suheng dan membunuh semua orang yang menentangku. Akan tetapi, aku bahkan
ingin menolong kalian, ingin mengangkat nama Bu-tong-pai, maka biarlah aku hanya akan
mengalahkan Susiok tanpa membunuhmu." Ucapan ini malah merupakan penghinaan yang
luar biasa sekali, karena mengalahkan lawan tanpa membunuhnya merupakan hal yang
amat sukar dan hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki tingkat kepandaian yang
jauh lebih tinggi dari lawannya!
Merah muka tosu tua itu. Dia dipandang rendah oleh murid keponakannya sendiri!
Bukan hanya itu saja. Dia sebagai orang tertua dari Bu-tong-pai, sebagai calon ketua
Bu-tong-pai, dihina oleh seorang anggauta muda Bu-tong-pai! Oleh karena itu,
tosu tua ini mengambil keputusan untuk mengadu nyawa dengan wanita yang kini
dipandangnya bukan sebagai
anggauta Bu-tong-pai lagi, melainkan sebagai seorang musuh yang hendak mengacau
Bu- tong-pai. "The Kwat Lin sebagai seorang ketua Bu-tong-pai, pinto menyediakan nyawa untuk
mempertahankan kehormatan Bu-tong-pai terhadap siapapun juga , dan saat ini
pinto akan mempertahankannya terhadap engkau! Majulah!" sambil berkata demikian
tosu tua berjenggot lebat ini meloncat ke depan, tongkatnya di tangan kanan dan ujung
lengan bajunya melambai panjang.
Kwat Lin mengenal tongkat itu. Tongkat kayu cendana yang harum dan menghitam
saking tuanya, tongkat yang menjadi tongkat pusaka para ketua Bu-tong-pai sejak dahulu.
Dia maklum pula bahwa tongkat itu hanya sebagai lambang kedudukan ketua belaka,
namun dalam hal ilmu silat bersenjata, ujung lengan baju kakek itu jauh lebih
barbahaya dari pada tongkatnya. Dia dapat menduga bahwa tentu kakek ini sudah
memiliki tingkat tertinggi dari Bu-tong-pai, dan telah memiliki sinkang yang
amat kuat sehingga kedua ujung lengan bajunya dapat dipergunakan sebagai senjata
ampuh yang dapat menghadapi senjata apapun juga dari lawan, dapat dibikin kaku
keras seperti besi dan lemas seperti ujung cambuk yang dapat melakukan totokantotokan maut keseluruh jalan darah di tubuh lawan! Karena itu, dia tidak berani
memandang rendah, cepat dia mengeluarkan pekik melengking, dan tubuhnya sudah
bergerak maju, tangan kananya melakukan pukulan dorongan dengan telapak tangan
sambil mengerahkan tenaga sinkang Swat-im Sin-jiu. Hawa yang amat dingin menghembus ke
depan menyerang kakek itu. Swat-im Sin-jiu adalah tenaga dalam inti salju yang
dilatihnya di Pulau Es, kekuatannya dahsyat bukan main karena hawa yang
menyambar ini mengandung tenaga
sakti yang mendatangkan rasa dingin. "Siancai...!!" Tosu itu berseru kaget
ketika merasa betapa hawa yang menyambar dari depan amat dinginnya, membuat
tangannya ketika mendorong kembali terasa membeku. Maka dia lalu mengerakan tongkat di tangan
kanannya, mengambil keuntungan dari ukuran tongkat yang panjang, menghantam ke
arah kepala wanita itu dari samping. "Wuuuuttt... plakkkk!"
Dengan berani sekali Swat Lin menggunakan tangan kiri yang dibuka untuk memapaki
sambaran tongkat dari samping, terus mencengkram tongkat itu dan mengerahkan
sinkang, menyalurkannya lewat getaran tongkat dan kembali tosu itu berseru kaget ketika
merasa betapa lengan kanannya yang memegang tongkat terasa dingin dan lumpuh!
Kesempatan baik ini, dalam satu detik pada saat lawan masih terkejut dan belum
sempat mengerahkan
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sinkang, dipergunakan oleh Kwat Lin dengan jalan menarik ke bawah, bergulingan
ke depan dan menghantam ke arah lawan dengan tangan kananya, kini menggerakan tenaga sinkang
yang berhawa panas!."Ouhhh...!" Kui Tek Tojin berteriak, cepat meloncat ke belakang dan tentu
saja tongkatnya dapat dirampas.Dia tadi sudah mengerahkan sinkang melawan
getaran melalui tongkat, dengan niat merampasnya kembali, akan tetapi pukulan lawannya dari
bawah yang ditangkis dengan tangan kanan, ternyata luar biasa kuat dan panasnya,
mengejutkannya karena perubahan sinkang yang berlawanan itu tidak disangka-sangkanya, maka
untuk menyelamatkan diri, terpaksa dia meloncat ke belakang dan mengorbankan
tongkatnya. Kwat Lin sudah melompat kebelakang pula, memegang tongkat itu dengan
kedua tangan di atas kepala sambil tertawa dan berkata, "Hi-hik, tongkat pusaka telah berada di
tanganku, berarti akulah ketua Bu-tong-pai! "Kembalikan tongkat!" Kui Tek Tojin
berteriak marah dan kedua lengannya bergerak ketika tubuhnya menerjang maju.
Suling Emas Dan Naga Siluman 15 Pendekar Naga Putih 17 Serigala Siluman Makam Bunga Mawar 23
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama