Ceritasilat Novel Online

Dirty Little Secret 2

Dirty Little Secret Karya Aliazalea Bagian 2


peduli orang-orang sudah menoleh ke arahnya sambil geleng-geleng kepala. Membutuhkan
waktu beberapa menit baginya untuk meredakan tawanya.
"Kamu emang selalu bisa bikin aku ketawa," ucap Ben sambil menghapus air mata yang keluar
dari ujung matanya. Jana menyilangkan tangannya dan berkata, "Well, aku bermaksud menghina kamu, bukan bikin
kamu ketawa." Ben tidak menghiraukan nada judesnya dan berkata, "Aku coba cari kamu selepas terima e-mail
kamu, tapi kamu udah menghilang entah kemana, dan nggak ada yang tahu ke mana kamu pergi.
Aku kirim berpuluh-puluh e-mail, tapi kamu nggak pernah bales. Kamu kenapa nggak bilang ke
aku kalo mau cabut?"
Jana memberikan tatapan dingin, sedingin-dinginnya kepadanya, sehingga Ben merasa menderita
frostbite, sebelum mendesis, "Pertama, kita udah putus waktu aku mutusin balik ke Jakarta, jadi
aku nggak ada kewajiban untuk kasih informasi apa pun ke kamu. Kedua, apa kamu pernah
mikir bahwa alas an aku nggak ngebales e-mail kamu adalah karena aku nggak mau ada
hubungan apa-apa lagi sama kamu?"
"Kok gitu?" Jana melepaskan sedekapan tangannya. "Kok gitu" Are you kidding me" Setelah?" Jana
menggelengkan sebelum berkata, "You know what, Ben, aku nggak mau membicarakan ini. It"s
done. Over. In the past, dan aku udah moved on."
Like hell she is. Ben tidak akan memperbolehkan Jana untuk moved on dan melupakannya
begitu saja. Lain dari apa yang dipikirkan Jana, mereka masih jauh dari kata "Selesai" atau
"Masa lalu" dan Ben tidak akan berhenti sampai Jana bisa mlihat itu. Dalam usaha
mengintimidasi, Ben mengambil langkah mendekati Jana hingga dada mereka hampir
bersentuhan, membuat Jana yang tingginya bahkan tidak mencapai bahunya harus mendongak,
mendongak, dan mendongak lagi. Dia menunggu hingga Jana betul-betul menatapnya sebelum
berkata, "Dan bagaimana kalo aku bilang aku belum moved on?"
Bukannya kelihatan takut atau terintimidasi, Jana justru memberikan tatapan penuh kemarahan
kepadanya. "Well, kamu harus melakukan itu, karena aku udah punya suami,Ben," tandasnya
*** "Oh" my life is over," rintih Ben sambil memegangi kepalanya yang sudah mau pecah.
Kejadian tadi malam tidak bisa berhenti di kepalanya seperti CD rusak.
"Damn it, Ben, stop being such a pussy dan bangun dari sofa aku. Sekarang udah setengah hari."
Omel Eva. Jawaban Ben atas omelan Eva hanyalah erangan tidak jelas. Bagaimana mungkin Jana menikah
dengan laki-laki selain dirinya" Siapakah laki-laki yang berani menikahinya tanpa memberitahu
Ben lebih dulu" Sumpah mati dia akan mencari tahu informasi ini, memburu laki-laki itu sampai
dapat, sebelum membunuhnya. Tentu saja dia akan membuatnya kelihatan seperti kecelakaan,
jadi tidak aka nada yang mencurigainya. Dia tidak peduli Jana akan jadi janda, yang penting dia
sudah menghapuskan penghalang rencananya untuk mendapatkan cinta matinya kembali.
"Oh Goooddd, why didn"t I see this coming?"
"What" Hangover kamu" Tentu aja kamu hangover, kamu ngabisin semua stok minuman kertas
Marti." Ucap Eva yang salah mengerti maksudnya. Tapi Ben terlalu hangover untuk
membetulkannya. Tadi malam, setelah Jana, lagi-lagi, pergi meninggalkannya, Eva menyerangnya dengan berbagai
pertanyaan dalam perjalanan pulang.
"Siapa perempuan itu, Ben?"
"Cewek yang aku pacarin waktu kuliah," jawab Ben.
"Dia nggak kelihatan seneng ketemu kamu."
"No kidding." "Kamu udah ngapain dia, kok dia sampe segitu bermusuhannya sama kamu?"
"It"s a long story."
"Aku punya waktu."
Dan Ben yang masih terlalu shock mendengar Jana sudah menikah menceritakan semuanya
kepada Eva. Dan waktu dia bilang semuanya, yang dia maksud adalah SE-MUA-NYA. Hal
pertama yang Eva lakukan setelah ceritanya selesai adalah menamparnya sekencang-kencangnya
sampai kepala Ben terbanting ke sandaran kepala kursi mobil.
"Aduuuuhhh!!! Jesus, Ev, kamu kenapa nampar aku?" Tanya Ben sambil memegangi pipinya
yang sedang kebakaran. Bukannya menjawab pertanyaannya, Eva malah menamparnya sekali lagi. Dan ketika Eva sadar
bahwa tamparannya mendarat pada belakang tangan Ben bukan di pipinya, Eva mengalihkan
serangannya dengan meninju lengannya berkali-kali.
"Ow, ow, ow, OWW. Stop it. What is wrong with you?"
Dia yakin bukan saja akan ada bekas telapak tangan pada pipinya, tapi memar pada lengannya
besok. "Pake nanya, lagi!!!" omel Eva dan sekali lagi melayangkan tinjunya yang kali ini mendarat
pada dadanya. "Omph, aduh!!! Stop. Sakit, tahu," geram Ben sambil mengusap-usap dadanya.
"I DON"T CARE!!! Kamu udah menghamili dia dan nggak bertanggung jawab. You are an
asshole, Ben!" teriak Eva dengan mata berapi-api.
"Apa kamu pikir aku nggak tahu itu?" Ben balas berteriak sebelum kemudian menurunkan
nadanya ketika melihat sopir Eva siap menghentikan mobil di pinggir jalan tol dan
menurunkannya kalau dia sampai mengasari majikannya.
"Aku udah hidup dengan penuh penyesalan atas perbuatanku selama delapan tahun. Delapan
tahun, Ev!!! Itu hamper tiga ribu hari ngerasa seperti ada beban berat yang nindih dadaku. Dan
nggak peduli apa yang udah aku coba, aku nggak bisa ngangkat beban itu."
"Kamu pantas ngerasa seperti itu. Jesus,Ben!!! Kamu minta dia gugurin kandungannya. What
were you thinking?" teriak Eva.
"Aku panik, oke" Aku nggak" nggak bisa mikirin solusi lain."
Mereka saling tatap tanpa mengatakan apa-apa selama beberapa menit. Masing-masing mencoba
mengontrol pernapasan mereka yang sudah terengah-engah. Dari kaca tengah, Ben melihat sopir
Eva sedang mengawasi mereka. Great, dia pada dasarnya baru saja meneriakkan aibnya di depan
orang asing. Dia harus meminta Eva berbicara dengan sopirnya agar tidak mengulangi apa yang
dia dengar di dalam mobil kepada siapa pun.
"Apa Mama dan Papa tahu tentang Jana?" Tanya Eva dengan nada lebih tenang.
Ben menggeleng dan Eva meghembuskan napasnya. "Kamu seharusnya telepon aku," ucap Eva
pelan. "I know," Ketika dia masih kuliah di lowa. Eva sudah bekerja di Jakarta. Dan meskipun sibuk dan ada jarak
beribu-ribu kilo meter yang memisahkan, mereka selalu menyempatkan diri ngobrol, setidaktidaknya sebulan sekali. Dia tahu Eva akan membantunya mencari solusi melalui telepon, dan
kalau itu tidak cukup, Eva akan langsung naik penerbangan pertama yang bisa didapatkan untuk
berada di sisinya. Jadi betul-betul tidak ada alasan baginya tidak meminta bantuan Eva delapan
tahun yang lalu. *** "Jadi kenapa kamu nggak telepon aku?"
"Aku nggak tahu juga, Ev. Mungkin karna malu, atau takut kamu nge-judge aku?" Ben tidak
menyelesaikan kalimatnya karena dia sendiri tidak bisa menjelaskan tindakannya.
Mereka berdiam diri lagi. "Apa pernah terlintas di pikiran kamu bahwa kalo anak kamu masih
hidup, dia sekarang udah berumur tujuh tahun?"
Kata-kata Eva seperti kampak yang menancap di dada Ben. Setiap hari, setiap bulan, setiap
tahun, dia selalu memikirkan hal itu. Terkadang kalau dia sedang betul-betul ingin menyiksa diri,
dia akan membayangkan wajah anaknya juga. Terkadang bayi itu perempuan dengan wajah
cantik dan menggemaskan seperti Jana dan terkadang bayi itu laki-laki dengan wajah dan
kelakuan yang mirip dengannya. Well, mungkin nggak kelakuannya, tapi setidak-tidaknya
wajahnya. "Setiap hari, Ev. Setiap hari." Jawab Ben akhirya.
Di dalam mobil kembali hening, mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Eva-lah yang
lagi-lagi memecahkan keheningan. "I don"t know about you, tapi aku perlu alkohol."
Dan itulah sebabnya siang ini Ben terbangun dari sofa ruang tamu Eva dengan hangover terparah
yang pernah dia alami sepanjang hidupnya. Dia mencoba duduk, tapi rasa mual langsung
menyerangnya dan akhirnya dia hanya bisa tidur menyamping tidak berdaya.
"Sebaikny kamu minum ini." Ucap Eva sambil menyodorkan dua tablet aspirin dan segelas
orange juice dengan sedotan.
Tentu saja Eva, yang mengundangnya minum alkohol, harusnya minum segelas wine yang
diikuti air putih dan jus. Alhasil Eva kelihatan segar, sedangkan dia seperti baru ketabrak kereta
api. Ben ingin mengomel atas kecurangan Eva, tapi karena tidak punya energy melakukannya,
harus menundanya sampai dia bisa melihat satu Eva, bukannya dua.
Setelah menenggak aspirin dan meminta ekstra satu gelas orange juice, Ben mulai merasa seperti
manusia lagi. "Erik ke mana?" tanyanya, khawatir keponakannya melihatnya teller.
"Ada diatas." "Apa Erik ngeliat aku?" Ben tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.
Eva menggeleng. "Dan Mama tahu kamu di sini, kamu nggak usah khawatir."
"Kamu bilang apa ke Mama?"
"Bahwa kamu mau slumber party dadakan sama Erik."
"You what say?" Tanya Ben tidak percaya
"Slum-ber par-ty da-da-kan," kata Eva perlahan mengeja kata-kata itu.
"I heard you the first time. Yang aku maksud adalah apa nggak ada alasan lain yang bisa kamu
pake" Aku ini laki-laki dewasa berumur tiga puluh tahun, Mama nggak akan percaya aku dengan
rela ikutan slumber party sama anak berumur empat tahun."
Eva hanya mengangkat bahunya cuek dan berkata, "kalo kamu mau mandi, aku udah siapin
pakaian di kamar tidur tamu. Habis itu mungkin kamu mau sarapan?"
Ben mengangguk, atau setidak-tidaknya dia mencoba mengangguk, sesuatu yang agak sulit
dilakukan dengan posisi kepalanya yang miring di atas bantal. "Sepuluh menit lagi," ucapnya
akhirnya sebelum menutup matanya lagi.
Ben merasakan gerakan dekat kepalanya sebelum tangan Eva membelai rambutnya dan sebuah
kecupan lembut mendarat pada keningnya. "Just rest, okay. Aku pastiin nggak ada yang ganggu
kamu di sini," bisik Eva sambil membelai rambutnya beberapa kali lagi
Ben mendesah panjang. Mensyukuri perhatian Eva hari ini. Ketika merasakan Eva akan
meninggalkan ruangan, Ben membuka matanya sedikit. "Ev?" panggilnya.
"Ya, Ben?" Eva berhenti melangkah dan memutar tubuhnya untuk bisa menatapnya.
Ben membuka matanya lebar-lebar dan berkata, "I still love her." Ben mengangkat kedua
tangannya untuk menutupi wajahnya. "Gooodd!!! There must be something seriously wrong with
me. Gimana bisa aku masih cinta setengah mati sama istri orang yang jelas-jelas benci banget
sama aku?" Ben merasakan bantalan sofa menurun dan tanpa melihat dia tahu Eva sudah duduk di
sebelahnya. "Yeah, something seriously is wrong with you," ucap Eva.
*** What the hell?"!! Ben langsung menurunkan tangannya dari wajah untuk menatap Eva.
"Bukannya kamu seharusnya ngebuat aku ngerasa lebih baik, bukannya lebih parah?"
Eva terkekeh. "Sori. Aku Cuma bingung aja kok kamu bisa blo"on banget."
That is it!! Dia tidak akan pernah mau membicarakan tentang perasaannya lagi dengan Eva kalau
kakaknya bertingkah seperti ini. Apa dia pikir gampang baginya untuk menumpahkan isi hatinya
seperti ini" "Maksud aku" apa pernah terlintas di pikiran kamu kalo ada kemungkinan dia bohong sama
kamu?" Pertanyaan Eva membuat Ben melupakan rasa kesalnya sekejap. "Bohong tentang apa"
"Bahwa dia udah punya suami. Aku rasa dia ngomong begitu Cuma untuk nyakitin kamu aja."
"Jana orangnya nggak seperti itu."
Eva mengangkat bahu. "Well, aku emang nggak tahu Jana, tapi aku tahu perempuan. Aku akan
ngelakuin hal yang sama kalo aku di posisi dia. Percaya sama aku, dan bahasa tubuhnya tadi
malam waktu bicara sama kamu, aku yakin dia masih ada feeling sama kamu."
Ben buru-buru bangun tanpa menghiraukan kepalanya yang nyut-nyutan dan kunang-kunang
yang bermunculan pada penglihatannya, dia menatap Eva serius. "Feeling gimana?"
"She"s still in love with you, dumbass."
"WHATTT?"!! Untuk pertama kalinya selama dua belas jam ini, Ben merasakan setitik harapan.
"Dan dia juga nggak pake cincin kawin."
Awalnya Ben menatap Eva sinis, tapi kemudian dia ingat akan inventori penampilan Jana tadi
malam. Kenapa dia baru "ngeh" sekarang bahwa semua jari Jana bebas dari cincin jenis apa pun"
Tapi hanya untuk memastikan dia tidak berhalusinasi, dia bertanya, "Dari mana kamu tahu itu?"
"Aku ketemu dia di toilet. Dia Tanya apa kami pernah ketemu sebelumnya, aku bilang nggak
pernah." Say what?"!! Oh, pagi ini sudah seperti di Twilight Zone. "Kamu ketemu dia di toilet?" Tanya
Ben tidak percaya. Eva mengangguk. "Kamu kenapa nggak bilang ke aku tadi malam?" teriak Ben dengan sedikit
ganas. Dia bahkan tidak tahu kenapa dia berteriak.
Eva menyipitkan matanya, tidak menghargai diteriaki pagi-pagi begini di rumahnya sendiri dan
balas berteriak, "Karena aku baru sadar tadi pagi, oke?"
Ben mencerna informasi ini dalam diam. Apa Eva benar tentang perasaan Jana" Tentang
kebohongannya" "Mungkin dia tipe yang nggak suka pake cincin meskipun udah nikah?" Ben
mencoba mencari alasan. Dia tidak mau berharap terlalu tinggi hanya untuk melihat harapan itu
hancur berkeping-keping. "Aku nggak tahu, Ben. Kan kamu yang pernah pacaran sama dia. Menurut kamu apa dia tipe
seperti itu" Ben menggeleng. Dia ingat betapa Jana tidak mau melepas "promise ring" yang dia berikan
sebagai tanda cintanya, bahkan ketika mandi sekalipun. Jana adalah tipe wanita yang akan
dengan bangga mengenakan apa pun yang menandakan bahwa dia dimiliki dan dicintai oleh
seseorang. "Kalo aku jadi kamu, aku akan ajak dia ketemu. Bilang ke dia, kamu mau ketemu suaminya.
Kalo dia menghindar dengan alasan suaminya sibuk, kamu tahu dia udah bohong," usul Eva.
"You"re kidding right?"
"Kamu mau dia apa nggak?" teriak Eva, tersinggung rencananya dipertanyakan.
"Yam au." "Kalo gitu man up dan lakukan yang aku bilang."
*** Ben ada di Jakarta. Dia harus pindah, itu dua hal pertama yang terlintas di kepala Jana ketika dia
bangun pagi ini. Dia tidak bisa tinggal satu kota dengannya. Meskipun Jakarta besar,
kemungkinan baginya bertemu Ben akan lebih besar daripada kalau mereka tinggal di Negara,
benua, atau lebih baik lagi, galaksi berbeda. Mungkin dia bisa mencoba mencari kerja di
Singapore, atau Eropa, atau bahkan Jupiter saja sekalian. Pokoknya di mana saja asal jauh dari
Ben. Dia tidak percaya dia bilang ke Ben bahwa dia punya suami. Di antara begitu banyak hal yang
bisa dia katakan untuk menjauhkan Ben darinya, dia harus mengatakan itu" Gimana kalau Ben
mencari informasi tentangnya dan tahu dia nggak pernah menikah" Entah apa yang dipikirkan
Ben tentangnya. Mungkin bahwa dia cewek gila yang berhalusinasi punya suami. Dengan susah
payah Jana memaksa dirinya bangun dari tempat tidur. Hari ini hari minggu dan dia selalu
menyiapkan sarapan pancake dengan pisang dan stroberi untuk Raka dan Erga. Tidak peduli apa
yang sedang bergejolak di dalam hatinya,dia harus menjaga tradisi itu.
Dia hanya bisa mendesah pasrah melihat pantulan wajahnya pada cermin. Kulitnya pucat,
hidungnya merah menyaingi badut, matanya bengkak, dan ada lingkaran hitam dibawahnya.
Semua ini hasil dari menangis semalaman dan kurang tidur. Ini bukanlah wajah yang ingin dia
perlihatkan kepada anak-anaknya pagi ini. Buru-buru ditanggalkannya semua pakaiannya
sebelum melompat masuk ke bathtub dan menghidupkan shower, di bawah siraman air hangat,
Jana memikirkan nasib sialnya. Kenapa, Oh, kenapa Ben harus muncul sekarang" Setelah
bertahun-tahun dia tidak bertemu dengannya dan berpikir rahasiannya akan aman-aman saja,
tiba-tiba Ben muncul untuk menghancurkan segalanya.
Tadi malam, setelah memastikan Raka dan Erga sudah tidur, dia menangis tersedu-sedu. Dia
berhasil menahan tangis itu selama mengantar pulang Caca, yang menyaksikan interaksinya
dengan Ben dan sepanjang perjalanan memberikan tatapan bingung padanya, tapi tidak berani
bertanya. Dia juga berhasil menahan isaknya saat menjemput anak-anaknya dari rumah Papi dan
Mami. Mereka memberikan tatapan curiga bahwa sesuatu terjadi di acara amal ketika melihatnya
agak linglung, tapi tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak bisa menahan diri lagi ketika sudah
sendirian di dalam kamarnya, tempat tidak akan ada orang yang bisa melihatnya menangis.
Membutuhkan waktu beberapa jam baginya untuk menenangkan diri. Dan pada saat itulah dia
sadar bahwa dia menangis karena marah, kecewa, dan takut. Marah atas tingkah laku Ben yang
kelihatannya lupa sama sekali akan apa yang sudah cowok itu lakukan padanya. Kecewa pada
dirinya sendiri yang meskipun tidak akan pernah bisa melupakan atau memafkan Ben, masih
merasakan ketertarikan luar biasa padanya. Dan ketakutan bahwa Ben akan tahu tentang anakanak dan marah besar padanya.
Tapi yang lebih dia takutkan lagi adalah bagaimana kalau Ben menyeretnya ke pengadilan
dengan tuntutan orangtua tidak layak karena menyembunyikan anak-anak dari ayah
kandungnya" Atau lebih parah lagi, menuntutnya atas tuduhan menculik Raka dan Erga" Apa
Ben bisa minta hak asuh penuh kalau dia sampa menang" Oh tuhan, Jana bisa mati tanpa Raka
dan Erga. Dia harus berbicara dengan Oom Frans untuk mencari tahu soal ini, secepatnya.
BAB 7 Tell me all you"ve thrown away
Find out games you don"t wanna play
You are the only one that needs to know
Setengah jam kemudian Jana sudah ada di dapur, mencoba membuat pancake. Tepat pukul 08.00
dia mendengar langkah menuruni tangga dan tidak lama kemudian Erga muncul masih
mengenakan piamanya. Tapi wajahnya kelihatan fresh, yang berarti dia sudah mencuci muka dan
menggosok gigi sebelum turun.
"Pagi, Sayang. Tidur nyenyak tadi malam?" Tanya Jana sambil menunduk untuk mencium
kepala Erga. "Pagi, Bunda," balas Erga sebelum berjalan menuju lemari es untuk mengeluarkan susu.
Jana memperhatikan gerakan Erga yang sistematis. Kebiasaannya setiap hari Minggu adalah
mengeluarkan susu dari dalam lemari es, meletakkannya di atas meja, kemudian mengambil tiga
gelas dari dalam lemari sebelum meletakkannya di atas meja juga. Dan pagi ini tidak terkecuali.
Jana meletakkan pancake di atas tiga piring, sebelum menghiasnya dengan buah-buahan. Pisang
sebagai mata dan mulut, sedangkan stroberi sebagai hidung dan rambut. Special untuk Raka, dia
membuat tanduk dengan dua potong stroberi, sesuai permintaannya.


Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalo kamu mau, hari ini kita bisa berenang. Gimana?"
Wajah Erga langsung ceria mendengarnya dan dia mengangguk antusias. Semenjak insiden di
rumah bowin, Jana mendapati bahwa Erga dan Raka ternyata terobsesi dengan kolam renang.
Mungkin karena di sanalah mereka bisa main air sampai puas tanpa kena omel karena basah.
"Bunda?" "Mmmhhh?" "Bunda lagi sedih, ya?"
What" Kenapa Erga menanyakan hal ini" Apa wajahnya sebegitu bengepnya" Mencoba
mengontrol kepanikannya, Jana memutuskan menghindari menjawab pertanyaan itu, memilih
bertanya dengan suara setenang mungkin, "Kenapa kamu Tanya begitu, Sayang?"
"Karena aku denger Bunda nangis tadi malem," ucap Erga dengan polosnya.
Dan Jana hampir saja menjatuhkan piring yang baru saja diangkatnya. Mampus gue!!! Gimana
dia bisa denger gue nangis sih" Gue udah nutupin muka pakai bantal. Apa yang harus dia
katakana sekarang" Dia tidak mau berbohong, tapi dia juga tidak mau mengatakan yang
sebenarnya. Mungkin kalau dia berdiam diri selama beberapa menit lagi, Erga akan melupakan
pertanyaan itu. Dia mnoleh dan mendapati Erga sedang menatapnya penuh ingin tahu, menunggu
jawaban darinya. CRAP! Akhirnya dengan susah payah Jana berusaha menjawabnya. "Bunda?"
Kata-kata jana terpotong oleh kemunculan Raka yang seperti badai. "Pagi, Bunda. Pagi Erga.
Waaahhh pancake, aku mau pancake. Bunda kasih tanduk nggak ke pancake-ku" Oh ya, Bunda,
kemaren aku sama Erga main Twister sama Mbah Uti. Terus Mbah sakit pinggang, jadi mesti
berhenti. Tapi Mbah janji kita bisa main lagi hari ini. Kita bisa nggak ke rumah Mbah hari ini
untuk main Twister, Bunda" Bunda, aku punya tebak-tebakan baru, mau denger nggak?"
Tanpa menunggu jawaban darinya, Raka langsung memulai tebak-tebakannya, dan Jana tidak
tahu apakah dia harus mengembuskan napas lega karena terlepas dari menjawab pertanyaan Erga
atau menggeram pasrah karena harus mendengarkan Raka, yang kalau sudah ngomong nggak
ada remnya. *** Mereka baru saja memasuki rumah setelah menghabiskan hamper seharian di kolam renang
ketika ponselnya berbunyi. Jana meminta Raka dan Erga untuk segera membawa peralatan
renang mereka ke atas dan mandi sebelum menjawab panggilan itu.
"Halo." "Jana?" "Ya?" "Ini Ben." Jana yang sedang mencoba melepaskan sandalnya tidak betul-betul memproses nama ini dan
bertanya, "Ben siapa?"
"Ben Barata, mantan pacar kamu di lowa state yang ketemu tadi malam. Masih inget?"
Jana hampir saja jatuh terjerembap, tersandung sandalnya sendiri saking kagetnya. Hal pertama
yang terlintas di kepalanya adalah "Hah?""!!!", diikuti oleh "Dari mana dia dapet nomor ini?"
dan "DAMN, DAMN, DAMN!!!"
"Jan?" "Dari mana kamu dapet nomor ini?"
"Oh, aku kenal orang, yang kenal orang, yang kenal kamu."
Meskipun seharusnya Jana ingin membunuh orang yang telah memberikan nomornya kepada
Ben. Dia juga merasa "sedikit" tersanjung karena Ben sudah bersusah payah mendapatkan
nomornya. Cuma sedikit. God, dia betul-betul menyedihkan.
"Hey listen. Just wondering, sebagai kenalan lama yang baru ketemu lagi, gimana kalo kita
keluar makan" Sekalian catch-up. Tadi malam kita nggak sempat ngobrol banyak. Kamu udah
keburu kabur duluan."
NO WAY! Ben sudah gila kalau dia pikir Jana mau ngapa-ngapan dengannya. Jangankan makan,
berada di dalam satu ruangan dengannya lagi saja Jana nggak mau.
Ben yang menganggap diamnya Jana sebagai persetujuan melanjutkan, "Gimana kalo makan
siang" Sabtu depan mungkin kalo kamu free" Kamu bisa bawa suami kamu. I would like to meet
the guy." KAMPREEETTT!!!! Semua ketakutannya menjadi kenyataan. Dia seharusnya tidak pernah
menyebut-nyebutkan kata suami di hadapan Ben. Punya suami saja nggak, gimana mau bawa
suami" Jana mulai panas-dingin memikirkan cara terbaik untuk menolak.
"I don"t think that"s a good idea, Ben," ucap Jana akhirnya sambbil berjalan menuju sofa.
"Kenapa?" "Aku nggak bisa" datang sama" suamiku. Dia lagi ada" tugas di luar kota."
Hah?"!! Itu alasan datang darimana lagi" Omel Jana dalam hati sambil mengempaskan tubuhnya
ke sofa dan menampar keningnya. Dia menggali kubur lebih dalam lagi dengan kebohongan ini.
"Ah," ucap Ben.
Entah kenapa, dia merasa Ben sedang menahan tawa dan ini membuatnya kesal. "Are you
laughing at me?" "Tentu saja nggak."
"Kamu kedengaran kayak lagi ngetawain aku."
"Sumpah?" Ben tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena kini dia sedang tertawa terbahakbahak. Jana harus menjauhkan ponselnya dari daun telinganya karena suara tawa itu hampir
membuatnya tuli saking kerasnya.
"Kalo kamu nggak berhenti ketawa sekarang juga, telepon aku tutup," ancam Jana.
"Jan, tunggu" hahaha" tunggu?" Ben menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Maaf,
bukan maksud aku ngetawain kamu. Tapi sumpah, kamu harus lebih banyak belajar bohong.
Karena apa yang kamu katakana barusan sama sekali nggak meyakinkan."
"Aku nggak bohong!!!"
"Jan, kamu emang berbakat di banyak hal, tapi ada satu hal yang nggak pernah bisa kamu
lakukan, yaitu bohong sama aku."
"Oh baby, I"ve been lying to you for years," ucap Jana dalam hati, tapi yang diia katakana hanya,
"Well, aku udah banyak berubah, Ben. Dan sekali lagi, terimakasih atas undangannya, tapi
sayangnya aku dan suamiku nggak bisa hadir."
"You wanna play this game, baby" Oke. Siapa namanya?"
Jana mencoba mengusir kupu-kupu yang mulai beterbangan di dalam perutnya mendengar Ben
memanggilnya "Baby" dan kembali focus pada percakapannya dengan Ben. "Nama siapa?"
Tanyanya pura-pura nggak tahu.
"Suami kamu. You know, laki-laki yang udah kamu nikahi dan bangun di sebelah kamu tiap
pagi?" "Stop being an ass, Ben."
"Kamu masih belum jawab pertanyaan aku."
Shit, shit, shit. Dia bahkan belum memikirkan kebohongannya sampai sejauh ini. Jana mencoba
memikirkan sebuah nama, terserah apa, yang penting nama.
"Namanya" Brrr?"
"Brrr" Itu nama apa kedinginan?" ledek Ben.
"Kamu bisa diem nggak sih" Aku belum selesai," omel Jana.
"Oh, sori." "Namanya Brian" Simatupang."
"Brian Simatupang?" Tanya Ben tidak percaya.
"Ya, ada masalah?"
"Nggak ada sih. Cuma kamu tahu kan simatupang itu kependekan dari apa?"
"Ini datang dari orang yang inisial namanya BB" Kamu tahu kan BB itu singkatan dari apa?"
Tanpa jana sangka-sangka, Ben malah ketawa. Dan entah kenapa, itu membuatnya ketawa juga.
Dan selama beberapa menit, itulah yang mereka lakukan. Ketawa sama-sama. Jana tidak ingat
kapan terakhir dia tertawa lepas seperti ini. Mungkin terakhir kali dia bersama Ben sebelum
pertengkaran mereka" Kesadaran ini membuatnya berpikir bahwa mungkin dia sudah
mempermalukan Ben dengan sedikit tidak adil selama ini. Peribahasa "Karena nilai setitik rusak
susu sebelanga" terlintas di kepalanya. Dia menilai karakter Ben berdasarkan satu hal buruk yang
dilakukannya, dia lupa sama sekali akan segala kebaikannya selama beberapa bulan mereka
pacaran. Ben bukan saja pacar yang baik, tapi juga teman baiknya. Dan sejujurnya, dia
merindukan kehadiran seorang teman di dalam hidupnya.
"God, I miss you," ucap Ben pelan setelah tawa mereka reda.
Kata-kata Ben yang datang tiba-tiba itu membuat Jana terdiam, namun dalam hati dia membalas
dengan, "I miss you too, Ben."
Serius" Kamu Cuma kangen" Ayo, Jana, ngaku aja, toh, nggak ada orang lain yang bisa
mendengar, suara hatinya berkata.
Aku serius. Aku Cuma kangen, balas sisi rasional dirinya.
Liar, liar pants on fire.
"Fine. I still love him, okay" There, are you happy now"
Pengakuan ini membuat Jana tersentak. Dadanya sesak dan kepanikan mulai menyelimutinya.
No, no, no" ini sama sekali nggak benar. Dia sudah mengunci cinta itu di dalam boks, mengikat
boks dengan rantai dan menguburnya dalam-dalam di bawah tanah, tidak pernah berniat
membiarkannya melihat sinar matahari lagi.
"Jan?" Mendengar Ben mengucapkan namanya dengan penuh harap, membuat kepanikannya bertambah
seratus kali lipat. "I-I have to go, Ben. Ada yang harus aku" I have to go."
Dan Jana langsung memutuskan sambungan itu. Kurang dari satu detik, teleponnya berbunyi
lagi, dan tanpa melirik layar, dia langsung mematikannya. Oh my god, this is bad. Really
REALLY BAD. *** Keesokan harinya ketika Jana berani menghidupkan ponselnya lagi, ada sekitar dua puluh missed
call, sepuluh SMS, dan beberapa voicemail. Sekitar 95 persennya datang dari nomor yang sama,
yang kini dia kenali sebagai nomor Ben. Untuk beberapa detik Jana berdebat dengan diri sendiri.
Apa dia mau membaca SMS-SMS atau mendengar semua voicemail ben" Pada satu sisi,
keingintahuan menggelitiknya, tapi di sisi lain, dia takut pada apa yang akan dia baca atau
dengar. Delapan tahun yang lalu ketika ben membombardir inbox e-mail-nya, dia tidak pernah
membaca satu pun. Begitu melihat namanya, dia langsung men-delete-nya dari inbox dan folder
trash agar tidak tergoda untuk membacanya di kemudian hari. Untungnya Ben berhenti
mengganggunya di kemudian hari. Untungnya Ben berhenti mengganggunya setelah sekitar
enam bulan. Tapi kali ini Jana mendapati rasa ingin tahu menang daripada rasa takut, dan dengan
jari-jari gemetaran dia membuka SMS pertama yang dikirimkan oleh Ben kemarin, pukul 17.28.
Jan, kita belum selesai bicara. Nyalain hp kamu!
SMS kedua datang pada pukul 17.35.
Jana, aku serius!!! SMS ketiga pada pukul 17.50.
Just text me back when you get this. I just want to talk to you.
Panik akan ketagihan membaca SMS-SMS Ben yang lain, Jana langsung mematikan ponselnya
dan melemparnya ke dalam laci meja kerja. Harinya sudah cukup sibuk tanpa harus pusing
memikirkan perasaannya terhadap Ben.
*** Tapi sepertinya Ben menolak menyerah karena ketika kembali dari meeting siang itu, Jana
menemukan satu e-mail darinya. Sudah lama dia tidak melihat nama Ben di dalam inbox-nya,
sehingga dia menatap nama itu lekat-lekat dan membacanya berkali-kali untuk memastikan. Email itu dikirim sekitar satu jam yang lalu. Jari-jarinya membeku di atas mouse, sementara
perdebatan hebat tentang pro dan kontra untuk membuka e-mail itu berputar-putar di dalam
kepalanya. Sepuluh menit kemudian dan mendapati diri masih dalam posisi yang sama, Jana
memutuskan untuk berhenti menjadi pengecut dan membuka e-mail itu.
Jan, Waktu hp kamu mati hari Minggu, aku bisa beralasan kalo itu emang kebiasaan kamu untuk
nggak mau diganggu pada akhir Minggu. Tapi hp kamu masih mati sampe sekarang. Dan aku
nggak punya pilihan selain berpikir bahwa kamu lagi menghindari aku.
Aku udah ninggalin banyak SMS dan voicemail di hp kamu. I don"t know if you get any of
those, tapi utk jaga-jaga aja, aku kirim e-mail ini. Aku mau ketemu kamu lagi. Satu jam waktu
kamu, itu aja yang aku minta untuk bisa ketemu face-to-face.
Ini adalah usaha terakhir aku untuk ngontak kamu secara baik-baik. Aku tunggu kabar dari kamu
sampe besok siang jam 12.00. kalo kamu masih nyuekin aku juga, aku nggak punya pilihan
selain ngambil extreme measures.
Ben. Setelah membaca e-mail itu sebanyak lima kali, tidak percaya bahwa Ben memohon dan
mengancamnya dalam e-mail yang sama, Jana menguburkan wajahnya pada kedua telapak
tangan. Ya Tuhan, dia mencari psikopat. Laki-laki gila mana yang akan mengancam seorang
wanita untuk bertemu muka dengannya" Kesal karena sudah diancam, Jana membalas e-mail itu.
Ben. Aku nggak tertarik utk ketemu kamu lagi. Jgn kontak aku lagi.
Jana. Dan hanya untuk menunjukkan bahwa dia tidak takut atas ancaman Ben, dia menyalakan
ponselnya. Hal pertama yang dia lakukan adalah menghapus semua SMS dan voicemail yang
Ben kirim, kemudian memblok nomor itu. Dan sebagai pencegahan saja, dia juga menandai
alamat e-mail Ben sebagai spam. Kalau laki-laki itu berpikir bahwa dia bisa dengan gampangnya
membuat hidup Jana merana, dia salah kaprah.
*** Ketika ben tidak menghubungi Jana setelah percakapan telepon mereka, rasanya dia sudah mau
gila. Wanita itu sudah mematikan satu-satunya saluran komunikasi yang dia miliki untuk bisa
menghubunginya. God, hidupnya sudah seperti rentetan kejadian d?j? vu from hell yang tidak
bisa dia hindari. Dia mungkin akan bisa lebih tenang menghadapi situasi ini kalau dia tahu
kesalahannya, masalahnya adalah dia betul-betul tidak tahu. Satu detik mereka sedang ketawa
sama-sama yang membuatnya senang nggak ketolongan karena sudah bisa membuat Jana
ketawa. Alhasil dia mengucapkan kata-kata yang dia pikir akan membuat Jana senang. Detik
selanjutnya Jana sudah menutup telepon setelah menggumamkan alasan nggak jelas.
Dia mencoba menelepon balik, tapi tidak diangkat, dan ketika dia mencoba untuk yang kedua
kali, ponsel Jana sudah dimatikan. Dia mencoba semalaman utnuk meneleponnya, tapi ponsel itu
tetap mati. Semua voicemail dan SMS-nya juga tidak ada yang dibalas. Dia tidak percaya bahwa
dia kehilangan Jana lagi, ketika dia sudah begitu dekat dengannya. WHAT THE HELL IS
WRONG WITH ME?"" Apa dia tidak pernah bisa melakukan apa-apa dengan benar kalau
menyangkut Jana" Kehabisan trik mendekati Jana, Ben menelepon Eva.
"Ev, she turned off her phone," teriak Ben gemas begitu Eva mengangkat telepon.
Dari ujung saluran telepon Eva menjawab, "who"s this?"
"Don"t play games with me. I"m not in the mood, okay."
"Apa susahnya sih kamu bilang halo dan Tanya kabar aku dulu daripada langsung ngomelngomel kayak begitu?"
Ben mendengus tidak sabar dan berkata, "Fine. Halo, Eva, apa kabar?"
"Halo Ben. Dari terakhir kali kita bicara, aku udah sempat bikin oatmeal cookies, antar Erik ke
play group, dan jalan-jalan ke mall. Kamu sendiri kabarnya gimana?" balas Eva dengan nada
ramah yang super dibuat-buat.
"She turned off her phone." Ben mengulangi beritanya, tapi kali ini dengan nada lebih tenang.
"Who?" "Mother Theresa," balas Ben yang sudah mulai berteriak lagi.
Demi Tuhan, kalau Eva menjailinya sekali lagi dengan pura-pura tidak tahu siapa yang sedang
dia bicarakan, dia akan mendatangi rumah Eva dan mencekiknya.
"Mother Theresa" Dia bukannya udah meninggal?" Tanya Eva sok bingung.
"Eva, I swear to god?"
"Oke, oke. Sori. Go ahead."
"Barusan aku kirim e-mail ke dia, dan tahu nggak balesannya apa?"
"Apa?" Ben membacakan isi e-mail Jana sebelum berkata, "God, that woman is driving me crazy."
"Ya, I can see that," ucap Eva sambil cekikikan.
"Bisa nggak sih kamu nggak ngetawain aku" Ini masalahnya serius, oke?"
"Ben, kamu ngomong apa di e-mail yang kamu kirim sampe dia bilang begitu?"
Untuk memastikan Eva mengerti duduk masalahnya, Ben tidak punya pilihan selain memulai
dengan menceritakan apa yang terjadi kemarin sore. Tentang pembicaraan teleponnya dengan
Jana, yang hamper terasa bersahabat; bahwa kini dia yakin seratus persen Jana berbohong
tentang memiliki suami, bahwa Eva benar, dan Jana masih ada rasa terhadapnya; bagaimana Jana
langsung mengambil langkah seribu ketika mendengarnya mengatakan tiga kata itu; dan
tentunya e-mail-nya yang harus dia akui bukan ide terbaiknya.
"Terang aja dia kabur, Ben. Pertama-tama kamu bilang kamu kangen sama dia, 24 jam setelah
kamu baru ketemu lagi setelah selapan tahun berpisah. Kedua, kamu ngancam dia untuk ketemu
lagi sama kamu. In which universe do you think this would ever work?"
Ben mendengarkan teguran Eva ini dalam diam. Dia mulai bertanya-tanya apakah dia sebaiknya
melupakan semua ini dan balik ke Chicago" Tidak ada wanita mana pun yang pantas menguras
semua emosi dan waktunya seperti ini. Namun dia tahu itu tidak benar. Karena dia tahu, untuk
Jana, dia rela melakukan apa saja.
Dengan keyakinan baru bahwa dia akan berjuang sampai tetes darah penghabisan, Ben berkata,
"Ev, kamu ingat janji kamu untuk ngelakuin apa aja untuk aku kalo aku pergi ke acara amal
sama kamu?" "Ya?" Tanya Eva was-was.
"Good. I need you to do something for me."
BAB 8 Hit the lights And I"ll be crawling to your window tonight.
"Nama saya Erlangga Oetomo. Umur saya tujuh tahun. Saya punya saudara kembar namanya
Raka?" Jana sedang memanuver mobil menuju kantor sambil mendengarkan Erga membacakan
karangan Bahasa Indonesia-nya.hari ini jadwalnya sedikit kosong, jadi dia bisa menjemput anakanak sendiri. Biasanya dia akan nge-drop anak-anak di rumah Mami dan menjemput mereka
setelah pulang kerja, tapi hari ini dia akan membawa mereka ke kantor. Sudah seminggu ini
hidupnya kembali tenang tanpa ada gangguan dari Ben. Dan sudah ngeblok nomor Ben dari
ponselnya, dia membutuhkan beberapa hari untuk tidak loncat setiap kali ponselnya berdering.
Membutuhkan waktu selama itu juga baginya untuk tidak deg-degan setiap kali akan membuka
e-mail. Satu hal yang dia ketahui tentang Ben adalah bahwa laki-laki itu pantang menyerah. Kalau dia
sudah menginginkan sesuatu, dia tidak akan berhenti sampai mendapatkannya. Itu berarti,
semakin dia menghindar, Ben akan semakin gencar mengejarnya. Oleh sebab itu selama
seminggu ini dia berusaha mengurangi waktunya berada di tempat umum, dengan begitu
mengurangi kemungkinan baginya bertemu dengan Ben secara tidak sengaja.
"Gimana, Bunda" Bagus nggak?" Erga bertanya dan dengan sedikit gelagapan Jana mencoba


Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengingat-ingat isi karangan tadi.
"Bagus kok," jawab Jana dengan nada sedikit bersalah karena sebetulnya dia tidak pasti apakah
karangan itu memang bagus atau tidak. "Karangan kamu gimana, Raka?" Jana mengalihkan
perhatiannya pada anaknya yang satu lagi, yang kali ini kebagian duduk di bangku belakang.
Melalui kaca tengah dia lihat Raka sedang sibuk menarik-narik seatbelt-nya.
"Raka," panggil Jana sekali lagi.
Ketika Raka tidak bereaksi juga, Jana melihat Erga melemparkan kotak tisu dari bangku depan
padanya. "Aduhhh," ucap Raka sambil mengusap-usap hidungnya. "Sakit, tahu," omelnya dan
siap melempar kotak tisu itu kembali kepada Erga.
Jana harus mengangkat tangannya, mengingatkan agar mereka tidak berkelahi di dalam mobil
karena dia sedang mengemudi. "Erga, kamu nggak boleh ngelempar kotak tisu ke Raka, oke?"
Jana memberi peringatan. "Tuh, dengerin Bunda," ucap Raka dengan penuh kemenangan karena dibela.
"Ya, Bunda," ucap Erga sambil memutar tubuhnya kembali menghadap ke depan dan
menundukkan kepalanya. "Dan, Raka" kamu kalo diajak ngomong, jawab, jadinya nggak dilempar kotak tisu lagi, oke?"
Bukannya mengucapkan, "Ya, Bunda", seperti Erga, Raka hanya mengerutkan keningnya, kesal
karena sudah diperingatkan. "Raka, kamu denger Bunda nggak?"
Membutuhkan beberapa detik bagi Raka untuk membalas, tapi akhirnya dia berkata pelan,
"Denger, Bunda."
Dari sudut matanya Jana melihat Erga menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan
kembarannya, dan Jana ingin tertawa terbahak-bahak. Erga mungkin baru berumur tujuh tahun,
tapi dia berjiwa 70 tahun.
Beberapa menit kemudian mereka tiba di kantor dan tanpa aba-aba Raka dan Erga langsung
tumpah dari mobil dan lari secepat mungkin ke dalam gedung. Well, secepat kaki mereka bisa
membawa mereka sambil memanggul ransel penuh buku, tas makanan, dan botol minum. Kalau
dipikir-pikir lagi, mereka sudah seperti Frodo dan Sam dalam perjalanan ke Mount Doom. Jana
hanya bisa menatap pasrah kepergian mereka yang selalu balapan menekan tombol lift. Entah
berapa kali dia memperingatkan mereka agar tidak lari jauh-jauh darinya kalau di tempat umum,
tapi semuanya sia-sia. Akhirnya dia harus berkompromi dengan memperbolehkan mereka main
"balapan nekan tombol lift" selama berada di bangunan kantornya saja. Setidak-tidaknya semua
satpam di gedung ini mengenalnya dan akan menjaga anak-anaknya.
Ketika Jana melangkah masuk ke dalam lobi, dia tidak melihat Raka dan Erga, tapi dia bisa
mendengar suara mereka dengan jelas.
"Aku duluan." "Aku yang duluan."
"Aku!" "Akuuu!!!" Ketika Jana berbelok, dia melihat anak-anaknya sedang adu mulut di depan lift dan Seto, salah
satu satpam gedung, sedang mewasiti pertengkaran itu.
"Siapa duluan yang sampe, Set?" Tanya Jana.
"Barengan, Bu. Mas Raka nekan yang kanan, Mas Erga yang kiri," Seto melaporkan sambil
tersenyum. Jana membalas senyuman itu dan mengangguk terima kasih sebelum berkata, "Tuh, kalian
denger kata pak Seto nggak" Kalian sampenya bareng, dah, untuk hari ini kalian sama-sama
menang. Oke?" *** Pada saat itu pintu lift terbuka dan Jana harus mendorong anak-anaknya pada saat bersamaan ke
dalam lift sebelum mereka bertengkar lagi tentang siapa yang menginjak lantai lift duluan.
Mereka memasuki kantor beberapa menit kemudian. Caca yang selalu senang melihat mereka
menyapa dengan antusias. "Halo, Erga. Halo, Raka."
"Halo, tante Caca," balas Erga sambil tersenyum malu-malu.
Jana tahu Erga naksir berat sama Caca semenjak anaknya yang ekstra pemalu ini berani
memberikan bunga kertas yang dia buat di kelas kepada Caca, yang menerimanya dengan
sukacita. "Kok tante nyapa Erga dulu sih, baru aku?" ucap Raka dengan sedikit cemberut.
Lain dengan Erga yang Jana yakin ingin menjadi romeonya Caca kalau dia bisa, Raka hanya
melihat Caca sebagai satu lagi orang dewasa yang bisa memberikan perhatian padanya.
Tanpa kelihatan kaget sama sekali atas teguran Raka, Caca berkata, "Oh iya, tante lupa. Ulang
lagi deh ya kalo gitu nyapanya."
Caca berlutut di hadapan Raka dan berkata, "Laki-laki favorit Tante, apa kabar?"
Kata-kata ini sepertinya membuat erga jealous banget karena dia langsung mengerutkan dahi.
Tapi Raka, yang terkadang nggak sensitive atas perasaan kembarannya, hanya menjawab, "Baik"
sambil tersenyum senang karena mendapat perhatian lebih.
"Tantenya dipeluk dulu dong," pinta Caca.
Dan Raka dengan senangnya langsung memeluk dan mencium pipi Caca. Setelah membalas
ciuman dan melepaskan pelukannya pada Raka, Caca menoleh ke Erga yang sudah berlalu
memasuki ruang kerja Jana dengan wajah supercemberut.
Raka yang tidak pernah tahan tidak berada satu ruangan dengan kembarannya, langsung
mengikuti Erga sambil berkata, "Erga" Erga" tunggu?"
Jana hanya terkekeh melihat kelakuan anak-anaknya. "kayaknya Erga marah sama saya," ucap
Caca sambil buru-buru bangun.
"Tentu aja dia marah, pacarnya udah nyium dan meluk Raka," jawab Jana sambil membantu
Caca bangun dari posisi berlututnya.
"Ooops." Caca meringis. "Kalo gitu nanti sebelum pulang saya sebaiknya nyium dan meluk Erga
biar impas." "Yeah, that would make his day," ucap Jana sambil tersenyum. "Omong-omong, apa ada yang
nyariin saya selama saya pergi?"
"Ada, Bu. Ada bapak-bapak yang udah nelepon dua kali sejam belakangan ini."
"Siapa namanya?"
"Beliau nggak ninggalin nama, Bu."
"Apa dia ninggalin pesan?"
"Nggak juga, Bu. Tapi katanya beliau akan telepon lagi nanti."
Jana hanya mengangguk dan berlalu memasuki ruangannya. Dia baru saja mau menutup pintu
ketika melihat Papi keluar dari ruangannya yang terletak berseberangan dengannya.
"Erga dan Raka udah datang?" tanyanya.
Mendengar suara Mbahnya, Erga dan Raka langsung berhamburan keluar dari ruangannya untuk
menyambut Papi dan menghilang ke dalam ruangan beliau. Mereka memang lebih menyukai
ruangan Papi yang selalu penuh dengan maket, daripada ruangan Jana yang menurut mereka
ngebosenin banget. Dia baru saja mendudukkan tubuhnya pada kursi kerja ketika intercom
berbunyi. "Bu, bapak-bapak yang tadi nelepon sekarang sedang on hold di line satu. Katanya namanya Ben
Barata. Apa ibu mau terima teleponnya?"
Dan Jana merasa lututnya langsung lemas. Dari mana Ben tahu dia bekerja di sini" Oh my God,
dia harus pindah kerja. "Bu?" Jana menarik napas dalam. Dia seharusnya tahu bahwa Ben akan menemukan cara lain untuk
menghubunginya, tapi dia tidak menyangka Ben akan sekreatif ini. Apa coba yang harus dia
lakukan untuk membuat Ben sadar bahwa dia serius waktu bilang tidak mau dikontak lagi"
Kalau pengusiran halus tidak bekerja, dia tidak punya pilihan selain mengusirnya blakblakan.
Satu-satunya penyesalan adalah karena dia harus melibatkan Caca.
"Oh ya, sori. Um" jangan pernah transfer teleponnya ke saya. Ever. Untuk kali ini, saya minta
kamu menyampaikan pesan ini untuk beliau?"
*** Sekali lagi Ben menekan redial pada nomor telepon kantor Jana. Minggu lalu dia meminta eva
mencari tahu, melalui Martin yang punya kenalan di dalam organisasi yang mengadakan acara
penggalangan dana, tentang Jana. Melalui informan inilah Ben tahu bahwa Jana bekerja sebagai
arsitek di sebuah perusahaan developer besar dengan nama Oetomo Jaya, yang berkantor di
Jakarta Pusat. Dengan bersenjatakan informasi ini, Ben menelepon informasi untuk mendapatkan
nomor telepon mereka. Membutuhkannya sepuluh menit sebelum akhirnya di transfer ke seseorang bernama Caca, yang
katanya adalah asisten Jana. Ben tidak tahu cara mencerna semua informasi, yang menurutnya
agak sedikit mengagetkan ini. Ketika dia mendengar nama tempat Jana bekerja, dia curiga
perusahaan itu ada hubungan keluarga dengan Jana. Namun kenyataan bahwa Jana, pada
umurnya yang baru 27 tahun, sudah punya asisten di perusahaan ini, mengonfirmasikan
kecurigaannya. Selama ini dia tahu Jana berasal dari keluarga berada, namun tidak pernah
menyangka keluarga Jana ternyata keluarga kaya-raya.
Caca mengatakan bahwa Jana sedang keluar kantor dan menanyakan apakah dia mau
meninggalkan pesan. Ben bertanya pukul berapa Jana kembali supaya dia bisa menelepon balik.
Caca menginformasikan bahwa Jana akan kembali satu jam lagi. Ketika dia menelepon tepat
sejam kemudian, Caca berkata bahwa Jana masih belum kembali, kemungkinan besar terjebak
macet di jalan. Kini dia menelepon untuk yang ketiga kalinya. "Apa Ibu Jana Oetomo sudah
kembali ke kantor?" "Sudah, Pak." "Bisa saya bicara dengannya?"
"Bisa, Pak. Nama bapak?"
"Ben Barata." "Oke, tunggu sebentar."
Ben menunggu selama tiga menit ditemani oleh alunan music klasik sebelum Caca kembali
padanya. "Um, maaf, Pak Ben, tapi saya diminta oleh Ibu Jana untuk mengatakan," Caca
berdehem dan Ben bersumpah dia mendengar Caca berdoa supaya bisa mendapatkan pekerjaan
lain kalau sampai dipecat gara-gara ini, "Ibu Jana bilang" fuck off, dan jangan pernah
menghubungi nomor ini lagi."
Dan Ben tidak bisa menahan diri lagi, dia sudah tertawa terbahak-bahak. Rupanya Jana serius
dengan kemarahannya. Karena seingatnya, Jana hanya akan menyumpah kalau sudah
mengamuk. "Mbak Caca," ucap Ben.
"Ya, Pak." Caca terdengar ketakutan dan Ben betul-betul mengasihaninya karena secara tidak
sengaja membuat Caca terjebak di antara perangnya dengan Jana.
"Bilang ke bos kamu bahwa saya akan ketemu sama dia lagi, terserah dia mau atau nggak. Dan
waktu kami ketemu, saya akan ikat dia ke tiang dan saya tampar bokongnya sampe dia minta
ampun." Dan Ben menutup telepon sebelum melanjutkan tawanya. Jana selalu mengingatkannya pada
harimau kumbang. Memiliki penampilan cantik dan gerakan lemah-gemulai bak penari balet,
tapi tidak akan ragu-ragu untuk mengeluarkan cakarnya kalau merasa terpojok.
God, he loves that woman.
*** "Saya akan ketemu sama dia lagi, terserah dia mau atau nggak. Dan waktu kami ketemu, saya
akan ikat dia ke tiang da
n saya tampar bokongnya sampe dia minta ampun."
Kata-kata Ben membuat tubuh Jana kebakaran semenjak mendengarnya dari mulut Caca.
Asistennya itu masuk ke ruangannya dengan muka merah padam dan menyampaikan kata-kata
Ben dengan sedikit terbata-bata. Caca yang merupakan jenis perempuan baik-baik, dan
kemungkinan masih perawan, jelas-jelas malu nggak ketolongan mengucapkan kata-kata itu.
Dan Jana buru-buru meminta maaf kepadanya atas kata-kata Ben. Setelah memastikan dia tidak
akan memecatnya, Caca meninggalkannya sendiri untuk merenungi kata-kata Ben. Sesuatu yang
seharusnya tidak dia lakukan, karena sekarang dia memikirkan hal-hal lain yang Ben bisa
lakukan padanya. Contohnya, mungkin setelah menampar bokongnya, Ben bisa menyerangnya
dengan ganas" Sesuatu yang cukup sering dilakukannya waktu mereka masih bersama. Laki-laki
itu selalu tahu cara untuk membuat tubuhnya meleleh dengan sentuhan tangan, bibir, lidah, gigi,
bahkan embusan napasnya. Tapi lebih dari itu semua, dengan kata-katanya. Mulut laki-laki itu
seharusnya datang dengan sebuah tanda peringatan: "Jangan diajak bicara kalau tidak mau
kehilangan celana dalam Anda".
Oh, dear God, dia betul-betul harus mencari suami untuk menyalurkan semua pikiran kotor ini.
Dengan kesal Jana menutupi wajahnya dengan bantal dan menggeram frustasi. Dia sudah
terbaring di atas tempat tidur semenjak pukul 23.00, dan sekarang pada pukul 02.00 dia masih
seratus persen sadar. Setiap kali dia memejamkan matanya, memori tentang kebersamaannya
dengan Ben menyerangnya, bahkan ketika saat pertama kalinya"
Jana duduk bersila di atas tempat tidur Ben dan menguburkan wajahnya pada kedua belah
tangannya. Oh, my God, what have I done" Dia baru saja tidur dengan laki-laki yang bukan suaminya. Ben
memang pacarnya dan dia tahu Ben mencintainya, dan dia mencintai Ben, tapi itu tidak
membenarkan apa yang sudah mereka lakukan. Dia sudah dibesarkan dengan norma-norma
agama yang kuat untuk menghindari hal seperti ini. Tidak peduli mereka sudah melakukannya
dengan aman, yang terpenting adalah bahwa mereka sudah melakukannya.
Apa yang akan dia lakukan sekarang" Apa yang akan Ben lakukan sekarang" Bayangan bahwa
Ben akan harus menikahinya setelah ini membuatnya panas-dingin. Dia baru saja masuk kuliah
dan belum siap melepaskan status lajangnya. Dan bagaimana kalau setelah ini Ben justru
memutuskan hubungan mereka" Karena toh sebagai cowok, dan dia sudah hal yang mereka
inginkan dari seorang cewek, dan dia sudah dengan rela memberikannya. Dan bukan rahasia lagi
bahwa Ben dikenal sebagai cowok tipe one night stand sebelum ketemu dengannya. Apa yang
membuatnya berpikir bahwa dia akan berbeda di mata Ben" Oh my God, oh my God, oh my
God. Dia tidak boleh membiarkan nasib yang sama menimpanya. Dia harus meninggalkan Ben
sebelum Ben meninggalkannya.
Dia mendengar pintu kamar mandi terbuka dan mendongak. Ben keluar dari kamar mandi hanya
mengenakan handuk. Rambutnya yang agak panjang masih basah. Dan untuk beberapa detik
Jana tidak bisa berkata-kata. Tidak peduli berapa kali dia melihat Ben tanpa kaus, tapi setiap kali
dia akan menganga juga. Ben yang memang hobi berenang, memiliki dada dan bahu yang kokoh
dan pinggang ramping. Lain dengan banyak cowok seumurannya yang senang banget nato tubuh
mereka sampai sudah mirip Yakuza, tubuh Ben bersih tanpa bercak apa pun.
*** "Morning, Sunshine," sapa Ben sambil tersenyum.
Sedetik kemudian senyum itu hilang ketika melihat ekspresi wajah Jana. "Hey, you okay?"
tanyanya khawatir dan buru-buru menghampirinya.
Entah kenapa, tapi ini membuat Jana panik. Buru-buru dia mengangkat tangannya untuk
menghentikan Ben dan berkata cepat, "I don"t think we should see each other anymore."
"Whaaattt?" langkah Ben terhenti dan dia kelihatan bingung. Jana mengambil kesempatan ini
untuk turun dari tempat tidur dan menuju pakaiannya.
"Aku nggak mau ketemu kamu lagi, Ben." Jana membelakanginya dan segera mengenakan
pakaian dalam yang dia sampirkan pada sandaran kursi tadi malam. Sambil mengenakan jinsnya,
dia menambahkan, "Dan aku yakin kamu nggak ada rencana untuk ketemu aku lagi setelah ini."
Dia baru saja mengancingkan jinsnya ketika lengan Ben yang dingin sudah memeluknya dari
belakang, otomatis membuat kedua lengannya tidak bisa bergerak. Dia mencoba melepaskan
diri, tapi Ben justru mengeratkan pelukannya.
"Just stop. Stop this, right now. Aku nggak tahu apa yang bikin kamu mikir begitu tentang aku.
Setelah semua yang aku udah lakuin untuk nunjukin kalo aku cinta setengah mati sama kamu."
"Apa kamu pikir aku segoblok itu, Ben" Kamu nggak bener-bener cinta sama aku. Kamu Cuma
ngomong gitu untuk bikin aku tidur sama kamu. Sekarang setelah kamu udah dapet apa yang
kamu mau, Cuma tinggal nunggu waktu sampe kamu ninggalin aku," teriak Jana, sekali lagi
mencoba berontak. Jana mendengar Ben menggeram dan detik selanjutnya dia sudah tidak berada di dalam pelukan
Ben lagi. Perlahan-lahan dia memutar tubuhnya, dan menemukan Ben sedang menatapnya
dengan sorot mata penuh kemarahan. Tanpa berkata-kata, Ben memutar tubuhnya dan
melangkah kembali ke dalam kamar mandi. Sedetik kemudian dia muncul kembali. Melihat
ekspresi wajah Ben yang gelap membuatnya mundur beberapa langkah. Tapi Ben kelihatan
terlalu marah untuk peduli. Dia tidak berhenti hingga dia berdiri di hadapannya.
"Ke siniin tangan kanan kamu," geramnya.
Otomatis Jana langsung menyembunyikan tangan kanannya. Melihat reaksinya membuat Ben
menyumpah dan dengan paksa dia menarik tangan kanannya.
"Eh, eh" Ben, kamu mau ngapain. Beeennnn?"
Jana merasakan sesuatu yang dingin mengelilingi jempol kanannya. "Lain kali kalo kamu pernah
ragu tentang perasaan aku ke kamu, aku mau kamu lihat cincin ini," ucap Ben sambil
menunjukan cincin yang sekarang melingkari jempolnya.
Cincin itu adalah cincin trademark Ben yang selalu dia kenakan pada kelingking kirinya. Barang
paling berharga yang dimilikinya karena merupakan hadiah ulang tahun ke-18 dari papanya. Dia
pernah bilang bahwa melepaskan cincin itu sudah seperti melepaskan sebagian dirinya. Cincin
yang sama yang sekarang berada di dalam sebuah kotak di laci pakaian Jana paling bawah.
BAB 9 Lies You never really told me and I never thought to ask you why
Begitu Jana memasuki kantor pagi ini, hal pertama yang dia sadari adalah aroma yang berbeda.
Dia mencium aroma bunga-bungaan yang sangat kuat, bukan citrus seperti biasanya.
"Ada yang meninggal apa, kok kantor baunya kayak kuburan begini?" canda Jana pada
Monique, resepsionis kantor.
"Oh, nggak, Bu. Sejam yang lalu ada yang nganter bunga banyak banget ke Mbak Caca."
"Caca" Bukannya itu sekertaris kamu, Jan?" Tanya Obar, salah satu arsitek senior yang juga
bekerja untuk Papi, yang kebetulan sampai kantor bersamaan dengannya.
Jana mengangguk, menanggapi pertanyaan itu.
"I guess someone has a very romantic boyfriend," ucap Obar sambil tersenyum dan berlalu
menuju ruangannya. Jana hanya tertawa mendengar ini, meskipun sedikit bingung karena setahunya Caca nggak
punya pacar. Ketika dia sampai di depan ruangannya dan melihat meja Caca penuh dengan karangan bunga
berbagai jenis, dia mengomentari, "Nice flowers, Ca. smells good, too," sebelum melangkah
masuk keruangannya. Dan dia harus mundur lagi karena berpikir sudah masuk ke ruangan yang salah. Dia melirik
plang nama pada pintunya yang bertuliskan nama dan jabatannya, dan menoleh ke Caca,
bingung. "Kenapa ada banyak banget karangan bunga di ruangan saya?"
"Oh, iya, Bu. Tadi pagi ada yang nganter seabrek. Saya udah coba tata sebanyak-banyaknya di


Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ruangan Ibu, tapi masih banyak sisa, makannya tumpah ke meja saya."
Jana semakin bingung. Seumur hidupnya, tidak pernah ada orang yang memberikan bunga
padanya. Apa dari klien" Tapi jenis karangan bunga yang sekarang menghiasi ruangannya bukan
jenis yang biasa dikirimkan seseorang ke rekan bisnis, lebih seperti bunga yang dikirimkan
seseorang ke pacarnya. Dengan kesadaran ini, dia langsung waswas.
"Bunganya dari siapa, Ca?""
Please don"t say, Ben. Please don"t say, Ben. Please don"t say, Ben, jana memohon dalam hati.
"Dari Pak Ben, Bu."
AMPUUUNNN DORAEMOOONNN!!! Jana berteriak dalam hati. Dia seharusnya lebih spesifik
lagi waktu memberikan perintah kepada Caca tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
Ben. Dia sekarang yakin bahwa Ben bukan saja kreatif, tapi nekat. Entah apa yang Papi akan
pikir begitu beliau lihat kantornya yang rapi, bersih, dan steril ini kini sudah kelihatan seperti
toko bunga, atau lebih parah lagi" rumah duka. Oh, my God, Papi!!! Beliau nggak boleh
melihat semua ini. Karena beliau pasti akan mulai bertanya-tanya siapakah yang mengirim bunga
sebanyak ini" Dan dia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu tanpa harus berbohong
lagi. "Apa TO udah sampe kantor?" Tanya Jana setenang mungkin, mencoba menyembunyikan
kepanikannya. "Belum, Bu." "Ca, tolong bantu saya ngebuang semua bunga ini."
"Semuanya, Bu?" Tanya Caca ragu.
"Semuanya," tandas Jana yang tanpa menunggu reaksi Caca, langsung bergegas memasuki
ruangannya dan mengambil dua karangan bunga pertama yang dilihatnya.
Setengah jam kemudian Jana baru bisa bernapas lagi setelah ruangannya dan meja Caca bersih
dari rangkaian bunga. Dia meminta Caca menyemprotkan pewangi ruangan citrus sebanyakbanyaknya di sekitar kantor sampai aroma bunga-bungaan tidak tercium lagi. Puas telah
menutupi jejaknya, dia duduk kembali di meja kerja dan menghembuskan napas lega.
*** Caca berdiri di dekat tempat sampah di mana dia baru saja membuang semua rangkaian bunga
milik Bu Jana. Ada sedikit kesedihan melihat semua bunga yang sudah dirangkai dengan rapi
dan indah kini teronggok terabaikan. Dia tidak tahu masalah apa yang dimiliki Bu Jana dengan
Pak Ben yang ditemuinya hamper dua minggu lalu di acara amal itu, tapi sepertinya masalahnya
cukup serius sehingga membuat bosnya yang biasanya kalem dan sopan jadi kalang kabut dan
bisa menyumpah dengan fasih.
Dari sedikit percakapan yang dia dengar malam itu, sepertinya mereka adalah mantan pacar,
meskipun dia tidak tahu kapan persisnya hubungan mereka tejadi. Dan sepertinya hubungan
mereka tidak berakhir dengan baik karena Bu Jana berusaha menghindari Pak Ben itu dengan
mengatakan dia sudah punya suami. Sesuatu yang menurutnya sangat aneh untuk dikatakan,
karena setahunya Bu Jana nggak punya suami. Jangankan suami, menurut gossip yang bereddar
di kantor, Bu Jana bahkan nggak pernah punya pacar atau menunjukkan ketertarikan sama sekali
untuk menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun. Dan ini bukan karena tidak ada laki-laki
yang berusaha mendekatinya. Banyak pegawai laki-laki dan juga beberapa klien yang naksir
berat dengan Bu Jana. Dan kenapa tidak" Dengan kulit putih bersih, wajah berbentuk hati, dan
mata seperti almond, Bu Jana mengingatkannya pada Sailor Moon.
Sebagai orang yang cukup romantis, Caca tidak mengerti tindakan Bu Jana yang menurutnya
ekstrem ini. Gimana bisa seorang wanita waras menolak laki-laki seperti Pak Ben" Sudah
ganteng, romantic gila, lagi, sampai ngirimin berpuluh-puluh rangkaian bunga. Oh, kalau saja
ada yang rela mengirimkan satu rangkaian bunga untuknya, dia pasti senangnya tujuh turunan.
Mungkin dia bisa menyimpan satu saja dari semua karangan bunga ini" Hitung-hitung dapat
pahala karena menyelamatkan makhluk hidup di muka bumi ini dari kehancuran.
Dan dengan begitu, dia mulai mengaduk-aduk tempat sampah memilih karangan bunga yang
masih utuh dan belum penyet. Beberapa OB yang melewatinya menatapnya bingung, tapi dia
tidak menghiraukan mereka. Setelah beberapa menit akhirnya dia menemukan karangan bunga
yang diinginkannya. Karangan bunga matahari dan peoni. Dia mendekatkan rangkaian itu ke
hidungnya untuk mencium aromanya, dan pada saat itulah dia melihat kartu kecil berwarna putih
yang terselip di tengah-tengah rangkaian bunga itu. Dia menarik kartu itu dan menatapnya ragu.
Dia tahu dia tidak berhak membaca pesan yang dituliskan pada kartu tersebut. Bahwa kalau dia
sampai membacanya, maka dia sudah melanggar privasi Bu Jana. Tapi keingintahuan
menggerogotinya, detik selanjutnya dia sudah membaca isi kartu itu.
Dear J, I love you because you"re my sunflower.
Love B. Dia langsung meraba dadanya, terharu oleh kata-kata yang simple tapi sangat sweet itu. Dan
dengan semangat dia langsung mengaduk-aduk seluruh tempat sampah untuk menarik semua
kartu yang ditemukannya pada setiap karangan bunga dan membacanya. Setiap kartu semakin
membuatnya meleleh dan laki-laki mana pun yang bisa membuat wanita merasa seperti ini hanya
dengan kata-katanya berhak mendapatkan kesempatan.
*** "Bu." Jana mengangkat tatapannya dari layar laptop dan melihat Caca berdiri ragu di ambang pintu.
"Ada apa, Ca?" Caca melangkah masuk ke ruangannya dan meletakkan setumpuk kertas kecil di atas mejanya
sebelum melangkah keluar tanpa mengatakan apa-apa. Jana mengangkat alisnya, bingung
melihat kelakuan misterius asistennya ini. Kemudian tatapannya jatuh pada tumpukan yang Caca
tinggalkan, yang ternyata adalah kartu. Kartu yang dia lihat diselipkan pada setiap karangan
bunga yang baru saja dibuangnya. Jana menatap tumpukan itu seakan itu bom. Dia baru saja
akan mengangkat tumpukan itu dan membuangnya ke tempat sampah ketika matanya membaca
tulisan pada kartu yang paling atas. Dia mengenali tulisan itu sebagai tulisan tangan kiri Ben
yang mirip cakar ayam. I Love you because you"re the smartest person I know.
Dan tanpa Jana sadari, dia sudah membaca kartu selanjutnya yang ada di dalam genggamannya.
I love you because you went to Bon Jovi concert with me even though you hate loud noises.
I love you because you always made my T-shirt smells like you.
I love you because you tolerated my singing.
I love you because you watched horror movies with me even though you were scared shitless.
I love you because you"re the most beautiful woman I"ve ever seen.
I love you because you make me a better person.
Jana tidak bisa berhenti hingga dia membaca kartu terakhir. Ada 24 kartu, total. Semuanya
dengan pesan berbeda-beda. Semua kartu akan dimulain dengan "Dear J" dan diakhiri dengan
"Love B" sebagaimana mereka memanggil satu sama lain waktu pacaran. Hanya Ben-lah yang
memanggilnya "J" dan dia ada feeling bahwa hanya dirinyalah yang pernah memanggil Ben,
"B". hah! Peduli setan dengan memori itu. Dia tidak akan terperangkap lagi oleh gombalan Ben.
Tidak peduli bagaimana dia memanggilnya. Dan tanpa pikir panjang lagi Jana membuang
tumpukan kartu itu ke dalam tempat sampah.
*** Beberapa hari kemudian Jana memasuki ruang kerjanya setelah menghadiri rapat bulanan kantor
yang memakan waktu lebih lama dari biasanya. Kepalanya sudah nyut-nyutan karena tadi pagi
belum sempat sarapan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 12.30. berarti dia memiliki tiga
puluh menit sebelum Erga dan Raka sampai. Hari ini sekali lagi mereka harus menghabiskan
sore mereka dengannya karena Mami ada acara, jadi tidak bisa menjaga mereka. Dia baru saja
mengeluarkan dompetnya dari laci untuk pergi makan siang ketika teleponnya bordering. Hari
ini Caca sedang sakit, jadi tugas menerima telepon dialihkan ke Monique, resepsionis kantor.
"Ibu Jana, ada Bapak Ben di ruang tunggu yang mau ketemu sama Ibu."
Jana pikir dia sudah salah dengar dan bertanya, "Did you say Bapak Ben?"
"Bener, Bu." Tegas Monique.
Jana tidak perlu bertanya dua kali untuk tahu bahwa Ben yang di maksud Monique adalah Ben
Barata. Shit!!! What the hell is he doing here?"!!! Dia pikir dia sudah aman karena setelah
mengirimkan bunga padanya beberapa hari yang lalu, dia tidak mendengar kabar sama sekali
darinya. Dia seharusnya tahu bahwa semua mimpi buruk ini belum berakhir. Jam dinding
berganti ke 12.35 dan kepanikannya menyerangnya. Oh, my God. Dia harus mengusir Ben
sekarang juga. Anak-anak akan tiba di kantor sebentar lagi dan mereka nggak boleh ketemu. Oh,
andaikan Caca ada di sini. Dia tidak perlu pusing memikirkan cara mengusir Ben karena Caca
yang tahu persis perasaannya terhadap Ben akan langsung menanganinya.
"Mon, tolong bilang ke Pak Ben kalau saya sibuk sekali dan nggak bisa menemui beliau hari
ini." Samar-samar Jana mendengar Monique mengulangi kata-katanya. Kemudian dia mendengar
seseorang dengan suara berat membalas, tapi dia tidak bisa mendengar dengan jelas. Detik
selanjutnya dia mendengar suara Monique lagi.
"Bu Jana, Pak Ben bilang dia akan duduk di sini seharian sampe Ibu ada waktu untuk
menemuinya." Yang ingin Jana lakukan adalah meminta Monique menelepon security untuk mengusir Ben dari
kantornya, tapi dia tidak bisa melakukan itu tanpa menjadi bahan omongan kantor. Oh, this is
stupid. Baiklah, kalau Ben memang segini ngototnya ingin menemuinya. Mungkin setelah ini,
dia akan meninggalkannya sendiri. Dia hanya berharap bahwa Ben bisa pergi dengan damai,
Karena dia betul-betul tidak mau menimbulkan keributan sampai bisa didengar oleh Papi, yang
untungnya hari ini sedang ada di Yogya.
"Oke, saya akan keluar sebentar lagi," ucap Jana dan bergegas menuju ruang tunggu tamu.
*** Ben duduk tidak sabaran, menunggu Jana yang menurut resepsionis sedang dalam perjalanan
menuju ruang tunggu. Resepsionis itu kini menatapnya dengan seksama, seakan dia specimen
penelitian. Dia kelihatan tidak senang sama sekali melihatnya dan Ben tidak tahu kenapa.
Seingatnya, mereka belum pernah bertemu sebelum sepuluh menit yang lalu, ketika dia
menginformasikan ingin bertemu dengan Jana. Sekilas dia melarikan matanya pada jins gelap
dan kemeja putih dengan lengan di lipat hingga ke siku yang dikenakannya. Apa si resepsionis
ini tidak menyetujui penampilan kasualnya"
Well tough shit, woman. Dia suka jins dan kemeja putihnya dan tidak ada orang yang bisa
mengubah opininya ini. Well, kecuali Jana mungkin. Dia akan secepat kilat menanggalkan
semua pakaian ini kalau Jana sedikit saja menunjukkan dia tidak menyukai penampilannya.
Memikirkan tentang Jana, membawa senyum simpul pada wajahnya. Akhirnya, dia bisa juga
menembus benteng pertahanan Jana dan membuatnya menemuinya. Meskipun dengan sedikit"
okay fine, banyak paksaan. Dia menyalahkan situasi ini sepenuhnya pada Jana. Kalau saja Jana
nggak terus menghindarinya, maka dia tidak perlu berkelakuan seperti ini.
Dia merasakan kehadiran Jana sebelum melihatnya dan mendongak. Dia melihat wanita itu
sedang bergegas ke arahnya dengan wajah serius. Dia segera berdiri dan menunggu hingga Jana
berdiri di hadapannya sebelum menyapa. "Hey, Jan."
"What are you doing here?" desis Jana.
"Nyariin kamu."
Jana menyedekapkan tangannya dan berkata, "Oke, kamu udah nemuin aku. Kamu bisa pergi
sekarang." Ben menatap Jana sambil mengerutkan dahi, sikap dingin Jana mulai membuatnya pissed-off.
"Did you get my flowers?" tanyanya.
"Yes," jawab Jana pendek.
"Kamu suka?" "Aku buang semuanya ke tempat sampah, Ben."
"You did whaaattt?" teriaknya membuat si resepsionis bangkit dari kursinya dan beberapa orang
yang berseliweran di ruang tunggu menoleh.
"Ssssttt," ucap Jana dan melambaikan tangannya pada di resepsionis untuk kembali duduk
sebelum menarik Ben keluar dari ruang tunggu menuju deretan lift.
Jana melepaskan genggamannya pada lengan Ben untuk menekan tombol turun lift dan Ben
menyayangkan hilangnya sentuhan itu. Inilah pertama kalinya Jana menyentuhnya lagi dan
sentuhannya pada kulit lengannya membuatnya merasa seperti baru disengat listrik. Apa Jana
merasakannya juga" Sepertinya tidak, karena kini dia sedang menghadapinya dengan tatapan
berapi-api. Tapi untuk beberapa menit dia tidak mengatakan apa-apa karena ada beberapa orang
yang menunggu lift bersama mereka.
*** Salah satu orang itu menyapa Jana dan Jana membalas sapaan itu dengan ramah. Mereka
mengobrol tentang sebuah proyek yang sedang mereka tangani. Dari percakapan mereka, Ben
tahu Jana orang yang cukup dihormati di perusahaan ini dan sesuatu yang mirip rasa bangga
menyelimutinya. Ketika pintu lift sebelah kanan terbuka, Jana mempersilahkan orang itu dan
teman-temannya duluan. Dia menunggu hingga pintu lift tertutup kemudian sekali lagi menekan
tombol turun, sebelum mendesis, "Aku nggak tahu cara apa lagi yang harus aku lakuin untuk
bikin kamu sadar kalo aku nggak mau ketemu kamu."
Pipi Jana memerah dan napasnya pendek-pendek. God, she"s beautiful when she"s mad, pikir
Ben. Tanpa pikir panjang dia sudah bertanya, "Apa kamu udah makan siang?"
Jana menatapnya seakan dia baru saja menanyakan apakah dia mau tidur dengannya sebelum
berkata, "What?"
"Sekarang udah mau jam 13.00. tadi resepsionis kantor kamu bilang kalo kamu ada meeting dari
tadi pagi," jelas Ben.
Bukannya menjawab pertanyaan tadi, Ben melihat Jana melirik jam tangannya sambil mengetukngetukkan sepatu haknya tidak sabar.
"Apa kamu terlambat menghadiri sesuatu?" tanyanya.
"Ya," jawab Jana pendek.
Ben menunggu hingga Jana memberikan penjelasan lebih lanjut, tapi dia hanya berdiam diri
sambil sekali lagi melirik jam tangannya. Giginya menggigit bibir bawahnya, kebiasaan kalau
dia sedang senewen. Dan tatapan Ben langsung mengarah kepada bibir itu, mencoba sebisa
mungkin mengusir keinginannya untuk menciumnya. Pikiran kotor Ben terpotong oleh
terbukanya pintu lift sebelah kiri dengan bunyi "ding" yang cukup keras. Lift itu memamerkan
kesesakan luar biasa, dan tanpa Ben sangka-sangka Jana memasukinya dengan paksa dan mau
tidak mau dia harus mengikutinya kalau tidak mau kehilangan kesempatan berbicara dengannya.
Dia harus mengucapkan maaf kepada beberapa orang yang kakinya tidak sengaja dia injak.
Selama lift dalam perjalanan turun dari lantai delapan menuju lobi, Ben melirik Jana, mencoba
memahami apa yang sedang dipikirkan wanita itu, tapi Jana menolak menatapnya. Mereka tidak
berbicara lagi sampai mereka turun di lobi dan Jana menariknya ke belakang pilar besar, jauh
dari lalu-lalang orang. "Untuk terakhir kalinya aku minta sama kamu untuk berhenti ganggu aku. Kalo kamu pikir bisa
muncul begitu aja, setelah delapan tahun tanpa kontak dan ngarepin aku akan nerima kamu ke
dalam kehidupan aku hanya dengan kata-kata manis dan karangan bunga, kamu salah. Aku
punya kehidupan sendiri, Ben, dan itu nggak termasuk kamu di dalamnya. So please, for the love
of God, leave me the hell alone," ucap Jana.
"Aku nggak bisa," tolak Ben.
"Kenapa nggak bisa?"
"Karena aku masih cinta sama kamu, oke?"!! Dan aku yakin kamu masih ada deeling juga sama
aku." Ben tahu pengakuan blakblakannya ini mengagetkan Jana, tapi dia tidak akan menariknya
kembali. Mungkin kalau Jana tahu persis perasaannya terhadapnya, dia tidak akan lari lagi.
Namun harapannya ini hancur lebur ketika Jana hanya mengalihkan perhatiannya pada sebuah
titik di samping kepalanya dan mengatakan, "Aku yakinkan ke kamu kalo aku udah nggak ada
rasa apa-apa lagi sama kamu," dengan datar.
Oh hell, perempuan satu ini keras kepalanya nggak ketolongan!! Ben menatap Jana sambil
memiringkan kepala, mencoba memutuskan langkah selanjutnya. Dia tahu Jana sedang
berbohong padanya. "Oke, aku akan tinggalin kamu sendiri." Ucap Ben.
Tatapan Jana langsung terfokus padanya. Dia memicingkan matanya curiga. "Don"t screw with
me, Ben." Ben menyeringai, senang karena bisa membuat Jana terus berbicara dengannya, meskipun hanya
untuk mengata-ngatainya. Ya, dia tahu bahwa ada yang salah dengan logika itu, tapi dia tidak
punya waktu untuk memikirkannya lebih lanjut. "Aku serius. Aku nggak akan ganggu kamu lagi
setelah ini. Asalkan kamu bisa ulangi apa yang kamu baru omongin" sambil natap mata aku."
Mata Jana langsung terbelalak. Mulutnya terbuka dan menutup berkali-kali, tapi tidak ada
sepatah kata pun yang keluar. Dan Ben tahu dia sudah menang.
"Just as I thought," ucap Ben, dan tanpa permisi lagi dia langsung menarik bahu Jana dan
menciumnya. Tanpa memberi Jana kesempatan untuk menyadari apa yang sedang terjadi, Ben sudah
mendesakkan lidahnya ke dalam mulutnya. Dan hanya dengan satu gerakan lidahnya di dalam
mulut Jana, Ben tahu dia sudah meninggal dan masuk surga. Rasa Jana masih sama,
percampuran mint, citrus, dan Jana, dan holy hell, dia merindukan rasa itu. Dengan sedikit kasar
dia mendorong punggung Jana ke pilar tanpa melepaskan bibirnya dan mengurung tubuh Jana
dengan tubuhnya. Dia mensyukuri betapa kecilnya tubuh Jana sehingga bisa ditutupi seluruhnya
oleh tubuhnya. Jana mencoba menarik diri, tapi Ben justru mengeratkan pelukannya dab menciumnya lebih
dalam lagi. Ketika Jana mengangkat tangannya ke dadanya untuk mendorongnya, tangan Ben
bergerak ke rambut Jana yang dikonde dan menjambaknya. Tidak keras, tapi cukup untuk
membuat Jana sadar apa yang mendominasi ciuman ini. Dia tahu bahwa dia kemungkinan sudah
menyakiti Jana dengan keganasannya, tapi inilah satu-satunya cara yang dia tahu untuk membuat
Jana sadar bahwa dia adalah miliknya. Terserah dia mau atau tidak. Dan ya, dia tahu pikirannya
ini sangat primitive bak kaum barbar dan kalau saja kaum feminis mendengarnya, mereka akan
meneriakkan sumpah serapah sebelum melemparkan panic, penggorengan, piring, mangkuk,
pisau, dan peralatan dapur lainnya. Tapi dida tidak peduli. Jana adalah miliknya dan dia milik
Jana. Mereka tidak akan komplet tanpa satu sama lain.
BAB 10 And all I"ve tried to hide
It"s eating me apart
Trace this life out. Ben harus menghentikan dirinya dari menggeram ketika tubuh Jana tidak lagi kaku di dalam
pelukannya dan tangan Jana yang tadinya mau mendorong dadanya sudah naik untuk melingkari
lehernya. Kuku-kukunya yang panjang mulai mencakar kulit kepalanya dan kalau saja
rambutnya lebih panjang, dia tahu Jana pasti sudah menjambaknya. Ya, dia selalu tahu bahwa
Jana likes it rough, dan dia tidak pernah ada masalah sama sekali dengan itu. Detik selanjutnya
Jana sudah membalas ciumannya seganas dia menciumnya.
Untuk beberapa menit, itu saja yang mereka lakukan. Mencium satu sama lain. Bibir dan lidah
mereka seperti tahu apa yang harus dilakukan tanpa perlu diperintahkan oleh otak mereka,
seakan-akan delapan tahun yang memisahkan mereka tidak pernah terjadi. Ketika Jana menggigit


Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bibir bawahnya, Ben harus menarik napas dalam kalau tidak mau mempermalukan diri sendiri
dengan pingsan di hadapan Jana. Detak jantungnya sudah nggak keruan dan dia mengalami
masalah mengontrol libidonya. Tapi dia harus mengontrolnya.
Perlahan-lahan dia menjauhkan wajahnya sedikit dari wajah Jana untuk menatapnya dan
mendapati Jana kelihatan sama-sama out of control seperti dirinya. Pupil matanya lebih besar
dari normal dan Jana sedang menatapnya seperti ingin melahapnya. Tanpa bisa menahan diri
lagi, dia sudah mengangkat tangannya untuk membelai wajah Jana, dan Jana mendekatkan
keningnya hingga bertemu dengan bibirnya. Suatu tindakan yang sangat simple, tapi penuh
dengan intiminasi dan pengertian yang membuat Ben ingin membawanya pulang sekarang juga
dan meneruskan apa yang mereka sedang lakukan di atas tempat tidur. Di sudut pikirannya Ben
sadar bahwa mereka sedang di tempat umum. Siapa saja bisa memergoki mereka dan
kemungkinan bisa menyebabkan mereka ditangkap polisi, tapi itu tidak cukup untuk
membuatnya berhenti. Tidak ada yang bisa membuatnya berhenti, biarpun api nereka menjilati
kakinya sekalipun. Dan dengan ini dia kembali menyerang bibir Jana.
Ketika dia sedang mencoba menarik lidah Jana lebih dalam lagi ke dalam mulutnya, samarsamar dia mendengar suara anak kecil bertanya, "Bunda" Bunda lagi ngapain?"
Jana langsung menarik lidahnya dari dalam mulut Ben dan tubuhnya kaku di dalam pelukannya.
Dia kemudian menoleh ke dua anak kecil yang sekarang sedang menatap mereka dengan penuh
keingintahuan. "Oh, shit," ucap Jana dan buru-buru mendorong Ben agar menjauhinya.
Namun Ben tidak bereaksi sama sekali. Tatapannya melekat pada dua anak kecil yang berdiri
tidak jauh darinya. Dua anak kecil yang sangat mirip satu sama lain sehingga orang yang
melihatnya tidak akan punya pikirain lain selain bahwa mereka kembar. Sepasang kembar yang
mirip sekali dengan dirinya
*** Shit, SHIT,SHIIIIIIIIITT!!!
Apa yang harus dia lakukan sekarang" Jana mengalihkan perhatiannya dari kedua anaknya
kepada Ben yang sekarang sedang menatap Erga dan Raka dengan mulut menganga, lalu Joko
yang menenteng ransel dan botol minuman Erga dan Raka dan kelihatan bingung dengan
kejadian yang ada di hadapannya. Dari ekspresi wajahnya, Jana tahu bahwa Joko sudah melihat
semuanya dan sedang berusaha mencernanya.
Great. Just great. Andaikan saja bumi bisa terbuka pada saat itu dan menelannya. Rasa malu
karena sudah tertangkap making-out di muka public tidak sebanding dengan rasa malu karena
sudah tertangkap basah melakukannya di depan anak-anak dan pegawai Papi. Oh, dear God.
Mudah-mudahan Joko tidak akan menceritakan kejadian ini kepada Papi. Oh, lupakan Papi!!!
Penjelasan apa yang harus dia berikan kepada anak-anaknya"
"Bunda, itu siapa?" Tanya Erga yang pelan-pelan berjalan ke arahnya. Wajahnya penuh
keingintahuan. Raka hanya satu langkah di belakangnya.
Oh, crap, crap, crap. Kalau saja ada tombol rewind yang bisa dia tekan pada saat ini, dia akan
kembali ke dua minggu yang lalu dan memutuskan untuk tidak menghadiri acara amal, sumber
bencana yang kini sedang dialaminya.
"Bunda?" Suara Raka membangunkannya dan buru-buru dia mendorong Ben dengan paksa dan melangkah
mendekati anak-anaknya untuk memeluk mereka. "Halo, Sayang," ucap Jana sambil mencium
kepala Raka dan Erga. Dia lalu berlutut di hadapan mereka dan dalam usaha mengalihkan
perhatian mereka dari Ben, dia berkata, "Bisa tolong kalian naik duluan ke atas sama Pak Joko"
Bunda masih ada urusan. Sebentar lagi Bunda nyusul."
"Oke, tapi itu siapa, Bunda?" Erga bertanya lagi, kini dengan nada sedikit ngotot.
Tatapan Erga terkunci kepada Ben dan Jana bersumpah bahwa kalau diberikan cukup waktu,
Erga akan mengenali ayahnya. Dan kepanikan menyerangnya. "Cuma temen Bunda," ucap Jana
cepat dan segera bangun untuk menutupi Ben dari tatapan Erga dengan tubuhnya.
"Pacar Bunda, ya?" Tanya Raka.
"Bukan." "Tapi tadi aku lihat Bunda cium oom itu," Raka berkeras.
"Raka Oetomo, berhenti menginterogasi Bunda!" geram Jana.
Bukannya kelihatan takut dengan nada tinggi suaranya, untuk beberapa detik Raka justru
kelihatan bingung. Kemudian dia menoleh ke Erga yang hanya mengangkat bahunya. Sebelum
bertanya dengan polos, "Menggasi itu apa, Bunda?"
Dan Jana mendapati dirinya mengalami masalah untuk bertahan kepada rasa kesalnya. Yang dia
inginkan adalah tertawa terbahak-bahak karena Erga tidak bisa mengucapkan kata
"Menginterogasi". Tentu saja kata itu terlalu panjang dan sulit untuk anak berumur tujuh tahun.
Merasakan tawanya akan meledak sebentar lagi kalau dia tetap menatap Raka yang masih
menunggu penjelasan darinya dengan sabar, dia mengalihkan perhatiannya ke Joko dan berkata,
"Jok, bisa tolong bawa anak-anak ke atas" Sebentar lagi saya nyusul."
Untungnya Joko sudah sadar dari kebingungannya dan segera berkata, "Ayo, Mas Raka, Mas
Erga, Pak Joko anter ke atas," sambil menggandeng Erga dan Raka dengan sedikit memaksa.
"Tapi, Bunda"." Rengek Raka dan Erga pada saat bersamaan.
"Erga, Raka!!! Kalo kalian nggak ikut Pak Joko sekarang, Bunda nggak akan ajak kalian
berenang lagi. Ngerti?"
Erga dan Raka langsung memberiakan tampang cemberut dan mengikuti Joko tanpa berkata-kata
lagi. Setelah mereka menghilang ke dalam lift, baru Jana berani menatap Ben yang sedang
menatap pintu lift yang sudah lama tertutup.
"Ben," panggil Jana.
Sunyi. Tidak ada jawaban. Ben bahkan tidak kelihatan mendengar panggilannya sama sekali.
"Ben," sekali lagi Jana mencoba menarik perhatiannya dengan menarik lengan kemejanya.
Seperti baru sadar bahwa ada orang di depannya, Ben mengalihkan perhatiannya dari pintu lift
kepada Jana. Dan pada saat itulah Jana melihat air mata di pelupuk mata Ben. Dear God, apa
yang telah dia lakukan" Dia sudah membuat laki-laki paling maskulin yang pernah ditemuinya
menangis. "Ben, aku minta maaf. Aku?"
"They"re mine." Ucap Ben pelan, memotong kata-kata Jana.
Jana mengangguk. "Aku nggak pernah?"
Tapi sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, Ben sudah melangkah pergi, meninggalkannya
lemas dan diselimuti perasaan bersalah.
*** Ben tidak tahu bagaimana dia bisa sampai di rumah, tapi dia menemukan dirinya sudah duduk di
atas tempat tidurnya. Wajahnya basah oleh air mata yang dia coba tahan sepanjang perjalanan
dan tangannya gemetaran nggak karuan. Dia membaringkan tubuhnya seperti bayi di dalam
rahim ibu dan menangis sejadi-jadinya. Dia tidak percaya bahwa dia punya anak laki, bukan
satu, tapi dua. Ketika matanya jatuh pada mereka sejam yang lalu, dia menyangka sudah salah
lihat, bahwa itu hanya imajinasinya saja. Tapi kemudian dia sadar memang melihat dua anak laki
dengan wajah yang sama persis dengan dirinya hingga membuatnya bertanya-tanya apa
seseorang sudah membuat klon dirinya tanpa seizinnya.
Segala sesuatu tentang mereka mengingatkannya pada dirinya, bahkan aura kebandelan yang
terpancar dari setiap pori mereka. Satu-satunya sumbangan gen Jana pada mereka hanyalah
hidung yang kecil dan bulat. Dia tidak lagi perlu membayangkan wajah anaknya, karena untuk
pertama kalinya dalam delapan tahun ini, anaknya bukan hanya bayangan masa lalu yang
menghantuinya, tapi kenyataan yang menamparnya persis di muka. Son of a bitch. Bagaimana
Jana bisa setega ini padanya" Bagaimana dia bisa berbohong tentang sesuatu sebesar dan
sepenting ini" Dia tahu bahwa dia memang seorang asshole delapan tahun yang lalu, tapi apakah
dia berhak diperlakukan seperti ini"
Dan bagaimana dengan anak-anaknya" Mereka juga berhak mendapatkan kasih saying dan
perhatian seorang ayah. Bukannya dia mempertanyakan kemampuan Jana sebagai orangtua,
karena semenjak dia pertama kali bertemu dengannya, dia tahu Jana memiliki potensi menjadi
ibu yang baik. Dan dari sedikit interaksi yang dia lihat antara Jana dan anak-anaknya tadi,
perkiraannya benar. Tapi tetap saja, akan lebih baik bagi seorang anak untuk memiliki kasih
sayang dari ibu dan ayah.
Mereka sudah berumur tujuh tahun. Dia tidak percaya bahwa dia sudah kehilangan kesempatan
untuk memandikan anak-anaknya, mengganti popok mereka, membacakan cerita sebelum tidur,
mengajari mereka cara membaca dan berhitung, mengeloni mereka kalau mereka takut tidur
sendiri, menuntun mereka naik sepeda untuk pertama kali, nonton finding nemo sama-sama dan
tertawa-tawa melihat kelucuan Dori, dan banyak lagi hal yang biasanya di lakukan seorang ayah
dengan anak mereka ketika mereka balita. Ini semua adalah kesempatan yang tidak akan pernah
dia dapatkan lagi. Tapi lebih dari itu semua, dia tidak percaya bahwa dia sudah hidup leha-leha sebagaiman
layaknya laki-laki single dengan pekerjaan mapan dan tanpa tanggung jawab lain selain dirinya,
sementara Jana harus membagi waktu antara bekerja dan mengurus anak, sendiri. Bayangan Jana
sebagai ibu tunggal yang hanya bisa memberikan kehidupan pas-pasan kepada anak-anaknya
sementara dia hidup mewah, mengahantuinya. Kenyataan bahwa Jana berasal dari keluarga kaya
dan kemungkinan mendapatkan support financial dari keluarganya, tidak membuatnya merasa
lebih baik. Dia bertanya-tanya, pengorbanan apa yang harus Jana lakukan untuk mendapatkan
support itu" Seingatnya dari cerita Jana, Papinya tidak pernah memberikan sesuatu tanpa
mengharapkan sesuatu yang lebih besar dari bayaran.
Dia selalu bangga memiliki pacar seperti Jana, tapi rasa bangga itu sekarang bercampur dengan
rasa salut dan hormat. Rasa bersalah karena dia sudah lalai akan tugasnya untuk melindungi Jana
dan anak-anaknya, menyelimutinya. Holy shit!!! Tadi pagi dia bangun hanya sebagai laki-laki
single yang tanggung jawab terbesarnya adalah memastikan proyek konsultasinya berjalan
lancer, dan sore ini, dia adalah seorang ayah dari dua anak laki berumur tujuh tahun. HOLY
MOTHER OF GOD, AKU SEORANG AYAH!!! Apa dia bahkan bisa menjadi seorang ayah
yang baik untuk anak-anaknya" Dia tahu Erik selalu senang hangout dengannya, tapi Erik baru
berumur empat tahun.dan selalu bisa disogok es krim kalau menangis. Dia yakin tidak bisa
melakukan hal yang sama kepada sepasang anak berumur tujuh tahun.
*** Erga dan Raka, itulah nama mereka. Nama yang terdengar kuat untuk anak laki. Apa Jana
memilih nama itu sendiri atau mendapatkan input dari Mami dan Papinya" Dan nama belakang
mereka adalah Oetomo. Well, setidak-tidaknya dari yang dia dengar, nama belakang Raka adalah
Oetomo, maka kemungkinan besar Erga juga memiliki nama belakang yang sama. Ben mengerti
kenapa Jana tidak memberikan nama Barata kepada Erga dan Raka, tapi tetap saja, dia merasa
sedikit dicurangi karena anak-anaknya, darah dagingnya, tidak memiliki identitas yang
mengasosiasikan dirinya dengan mereka. Yang bisa menunjukkan bahwa mereka adalah
miliknya dan dia milik mereka.
Raka Barata dan Erga Barata. Mmhhh" nama itu kedengaran lebih cocok untuk mereka
daripada Raka dan Erga Oetomo. Seperti apakah mereka" Apa mereka punya banyak teman"
Apa hobi mereka, makanan favorit mereka" Apa mereka akur" Apa mereka pernah bertanyatanya tentang ayah mereka" Dan kalau memang mereka bertanya, apa yang Jana sudah katakana
kepada mereka" Andaikan dia bisa menanyakan semua ini" sayang dia terlalu shock untuk
melakukan apa-apa selain menatap mereka dengan mulut ternganga siang tadi.
Dari semua pertanyaan yang kini berputar-putar di kepalanya, ada satu yang paling penting, tapi
dia takut menanyakan karena tahu itu akan menghancurkannya kalau jawabannya adalah
"Tidak", yaitu: aoa anak-anaknya mau bertemu dengannya" Bagaimana kalau mereka tidak
tertarik sama sekali untuk mengenalnya" Bahwa mereka puas hanya hidup dengan Jana. Bahwa
mereka tidak membutuhkannya. Oh, itu akan membunuhnya. Tapi pertanyaan paling besar yang
harus dia tanyakan adalah: apakah Jana akan memperbolehkannya mengenal mereka"
Kemarahan yang dia rasakan karena Jana sudah menyembunyikan Raka dan Erga darinya
kembali lagi. FUCK WHAT SHE WANTS!!! Terserah Jana mau atau tidak, siap atau tidak, dia
akan mengenal anak-anaknya.
Perlahan-lahan dia bangun dari tempat tidur dan berjalan sedikit kuyu menuju kamar mandi
untuk mencuci mukanya. Dia sudah membuat kesalahan delapan tahun yang lalu dengan tidak
meminta bantuan ketika membutuhkannya, dia tidak akan membuat kesalahan yang sama.
Setelah lebih segar dia mencari ponselnya dan menekan nomor ponsel Eva.
"Hey," ucap Eva.
Hanya mendengar suara Eva membuatnya ingin menangis lagi. Oh God, sejak kapan dia jadi
seperti banci begini" Dia tidak bisa ingat kapan terakhir kali dia menangis sebanyak ini, mungkin
waktu nonton adegan akhir film platoon ketika dia masih SD. This is fucking crazy. Dia menarik
napas dalam dan bisa berkata, "Ev?" sebelum emosi mengambil alih dan dia tersedak.
Ben mendengar Eva memanggil namanya tiga kali, setiap kali terdengar semakin khawatir, tapi
dia tetap tidak bisa membalas. "Ben, tell me what"s wrong. Apa sesuatu terjadi pada Mama"
Pada Papa" ANSWER ME, DAMN IT. YOU"RE SCARING ME!!!" Eva mulai histeris.
Dia tidak tahu bagaimana dia bisa mengucapkannya, tapi dia mendengar dirinya berbisik, "Aku
punya anak, Ev." "Apaaa?""!!!" teriak Eva.
Ben menarik napas dan mengulang kata-katanya. "Aku punya anak. Jana nggak pernah
ngegugurin kandungannya delapan tahun lalu."
Dan untuk beberapa detik tidak ada balasan apa-apa dari Eva. Ketika Ben berpikir bahwa
sambungan teleponnya secara tidak sengaja sudah terputus, dia mendengar Eva berteriak
sekeras-kerasnya, "HOLY MARY MOTHER OF JESUS. I"M COMING OVER." Sebelum
sambungan betul-betul terputus.
*** Ketika Eva melabrak masuk ke dalam kamarnya sejam kemudian, Ben sudah jauh lebih tenang.
Dia menuliskan sebuah daftar tentang apa saja yang harus dilakukannya untuk menghadapi
situasi ini. Yang paling teratas pada daftar ini adalah: Call George. George West adalah bosnya
di Chicago. Hanya membutuhkan semenit untuk menyadari bahwa dia tidak bisa kembli ke
Amerika sekarang. Sulit baginya untuk membayangkan dirinya kembali ke rutinitasnya yang
dulu di Chicago seakan kejadian paling penting di dalam hidupnya tidak sedang terjadi. Dia tahu
George akan mengamuk begitu mendengar dia mau memperpanjang cutinya untuk waktu yang
tidak bisa ditentukan di tengah-tengah pelaksanaan proyek konsultasi besar yang sedang mereka
tangani sekarang, tanpa penjelasan masuk akal. Oleh karena itu, hal ini menjadi prioritasnya.
Keputusannya sudah bulat, bahwa kalau sampai dipecat karena ini, dia harus menerima
keputusan itu dengan tangan terbuka.
Hal kedua: Tell Mama dan Papi. Ini satu hal yang membuatnya lebih panas-dingin daripada
prospek kehilangan pekerjaan. Tidak peduli dia berumur tiga puluh tahun, tapi seperti anak yang
sudah berbuat salah pada umumnya, dia takut menghadapi orangtua. Dia yakin Mama dan Papa
akan senang tujuh turunan begitu tahu tentang keberadaan Erga dan Raka. Tuhan tahu dia sudah
kenyang diteror oleh mereka untuk memberikan cucu. Tapi itu bukan berarti mereka akan senang
mendengar dia sudah menghamili seorang cewek delapan tahun yang lalu dan tidak
menikahinya. Disinilah bantuan Eva akan sangat diperlukannya.
Hal ketiga: Call Jana. Untuk yang terakhir ini dia harus melakukannya dengan sangat berhati-hati
karena tidak mau membuat Jana defensive dan justru tidak memperbolehkannya bertemu dengan
Raka dan Erga. Menurut sedikit riset yang dilakukannya melalui Google, hukum Indonesia
mengatakan karena dia tidak pernah menikahi Jana, dia tidak punya hak apa-apa atas anaknya.
Stupid law!!! Hanya karena seorang laki-laki tidak mengandung anak mereka selama Sembilan
bulan, bukan berarti mereka memiliki lebih sedikit hak atau kasih sayang kepada anak mereka
daripada sang ibu. *** Kesadaran ini membuatnya terdiam sesaat. Bagaimana dia bisa menyayangi manusia yang baru
saja ditemuinya kurang dari sepuluh menit, dia tidak tahu. Tapi itulah kenyataannya. Dia
menyayangi dan mencinta Erga dana Raka dengan seluruh hati dan Jiwanya. Oleh karena itu, dia
harus menghubungi seorang pengacara untuk memastikan perkara hak asuh, tapi untuk
sementara waktu sepertinya dia harus baik-baik dengan Jana kalau mau berkesempatan melihat
anak-anaknya lagi. "Ben, I am so sorry," ucap Eva dan langsung menyelubunginya di dalam pelukannya.
"Makasih ya udah dateng," kata Ben sambil menerima pelukan itu dengan pasrah.
"No problem. I"m glad you called me." Eva mencium keningnya dan melepaskannya untuk
duduk di sebelahnya sebelum bertanya, "Dari mana kamu tahu kalo kamu punya anak?"
"Dua anak." "Excuse me?" Tanya Eva bingung.
"Anakku kembar."
"Bercanda kamu?" Eva kelihatan tidak percaya. Ben menggelengkan kepalanya untuk menjawab
keraguan ini yang disambut dengan, "Oh Jesus," oleh Eva. "Tapi gimana" aku nggak"
maksudku" keluarga kita nggak ada turunan kembar sama sekali. Apa kamu yakin itu anak
kamu?" Tanya Eva sedikit terbata-bata.
"Ev, mereka kelihatan kayak kembaran aku waktu umur segitu."
"Apa mereka sepreman kamu?"
"Salah satunya, yang namanya Raka, kelihatan jauh lebih preman daripada aku. Tinggi, besar,
gempal dan siap berantem sama siapa aja."
"Jadi nama anak kamu Raka?"
Ben mengangguk. "Dan Erga."
"Wow." "I know," desah Ben.
Eva terdiam sesaat, seakan memikirkan sesuatu sebelum berkata- kata lagi. "Kebayang nggak
sih" Ada tiga kamu di muka bumi ini. As if, satu kamu belum cukup untuk membuat semua
orang pusing, tuhan harus bikin dua lagi."
Tidak merasa tersinggung dengan kata-kata Eva, Ben justru merasa depressed. Ya Tuhan,
mudah-mudahan anak-anaknya tidak mewarisi tingkah lakunya yang sering dibilang "anak iblis"
waktu kecil saking bandel dan susah diaturnya. Sejujurnya, dia mengasihani Jana kalau sampai
mereka seiblis dirinya. "Apa ada apa-apa yang bisa aku bantu?"
"Aku perlu kamu untuk nemenin aku waktu aku break the news ke Mama dan Papa."
"Jadi mereka belum tahu tentang ini?"
Ben menunduk dan menggeleng. "Aku nggak tahu gimana ngomongnya, Ev."
"It"s alright. I"ii help you, okay?"
*** Sudah tiga hari semenjak Jana terakhir melihat Ben dan dia tidak tahu apa yang harus dia
lakukan. Telepon dan e-mailnya tetap tidak bersuara, padahal dia sudah membatalkan blok pada
nomor telepon Ben dan spam pada e-mail Ben. Beberapa kali dia mencoba menelepon Ben tapi
mundur pada detik terakhir. Dia juga mencoba mengirimkan e-mail, tapi e-mailnya stuck pada
kata "Ben". Ya Tuhan, dia bisa mati oleh rasa bersalah kalau Ben tidak segera menghubunginya.
Dia beruntung Joko tidak mengatakan apa-apa kepada Papi, tapi seharusnya dia tahu ada dua
orang lagi yang menyaksikan kejadian ketika hormonnya mengalahkan akal sehatnya.
Sejujurnya, kalau ada yang bertanya bagaimana dia berakhir mencium Ben, dia tidak bisa
menjelaskannya. Satu detik dia sedang mencoba meneriakkan "Fuck you" kepada Ben atas katakatanya yang jelas-jelas memojokkan itu, detik selanjutnya mereka sudah ciuman seolah-olah
alien telah menyerang bumi dan inilah saat terakhir yang mereka bisa habiskan bersama-sama
sebelum mereka punah. Betul-betul memalukan.


Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BAB 11 If I had the chance, love
I would not hesitate To tell you all the things I never said before
Don"t tell me it"s too late.
Semua semakin memalukan ketika Jana gelagapan menjawab pertanyaan bertubi-tubi yang
ditembakkan Raka dan Erga tentang "oom yang sudah mencium Bunda". Ya, begitulah mereka
memanggil Ben. Jana tidak mencoba membetulkannya karena panggilan itu jelas-jelas tidak
mendingan daripada "Ayah".
"Bunda, kalo oom yang tadi Cuma temen Bunda, kenapa dia nyium bunda?" Tanya Raka.
"Ya karena kadang-kadang orang dewasa suka nyium temen mereka," jawab Jana.
"Kalo gitu, kenapa Bunda nggak pernah nyium Oom Obar?"
"Bunda cium Oom Obar kok."
"Tapi itu di pipi. Yang ini Bunda cium di bibir," tegas Raka.
Shit! Untuk pertama kalinya Jana menyesali kepandaian anaknya. Dengan sedikit terbata-bata,
dia membalas, " itu karena" biasanya" orang dewasa Cuma akan nyium" temen lama di
bibir, sayang." "Jadi Bunda udah lama kenal oom yang nyium Bunda itu?"
You have no idea, ucap Jana dalam hati. Tapi dia hanya menjawab, "Kami dulu teman sekolah."
Raka dan Erga mengernyitkan kening, tanda mereka sedang berpikir keras. Untungnya kemudian
kening mereka ;icin kembali dan Jana bisa bernapas lega. Sayangnya hanya untuk sementara.
"Oom itu namanya siapa, Bunda?" Tanya Erga.
Jana harus bersusah payah menahan diri agar tidak menggeram frustasi. Andaikan dia hanya
punya satu anak, dia akan bisa menangkis pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan padanya
dengan lebih efektif. Tapi kenyataannya, dia harus menghadapi diinterograsi oleh Sherlock
Holmes dan Dokter Watson wannabe ini. Jana berdebat dengan diri sendiri apakah dia mau lagilagi berbohong kepada Erga, tapi dia tahu ini mungkin saat terbaik untuk mulai memperkenalkan
anak-anak kepada ayah mereka. Dia yakin Ben belum selesai berurusan dengannya. Cepat atau
lambat dia akan muncul lagi, dan ketika itu terjadi, dia harus siap.
Akhirnya dia berkata sambil menempelkan senyum pada wajahnya. "Ben"/
"Ben siapa?" "Ben Barata." Erga mengangguk-angguk, seakan menyetujui nama itu. "Oom Ben tinggal di mana, Bunda?"
lanjut Raka. "Bunda nggak tahu, sayang. Emangnya kenapa kamu Tanya-tanya?"
Raka mengangkat bahunya dan berkata cuek, "Cuma mau tahu aja."
Seakan itu belum cukup, anaknya ini juga degan polosnya melaporkan kejadian itu kepada Papi
dan Mami. Hari minggu setelah kejadian, dia dan anak-anak pergi ke rumah orangtuanya untuk
makan siang rutin bulanan mereka ketika Mami bertanya, "Ada kabar apa minggu ini?"
"Donna nagis di sekolah, habis rambutnya ditarik sama Mark," lapor Raka, selalu antusias
menceritakan hal-hal yang terjadi disekolah.
"Wah, kok Mark jahat banget begitu?" sambut Mami dengan wajah penuh ketidaksetujuan.
"Oh, Mark nggak jahat, Mbah, dia Cuma suka sama Donna," jelas Raka sambil mengunyah
makanannya. "Raka, kalo mau ngomong makanannya ditelan dulu," tegur Jana.
Raka menelan makanannya sebelum membalas, "Ya, Bunda."
"Darimana kamu tahu Mark suka sama Donna?" Tanya Mami
"Soalnya Mark pernah nyium pipi Donna," jawab Raka kini dengan mulut penuh makanan lagi
dan Jana menyerah mencoba mendisiplinkan anaknya yang sepertinya memiliki attention span
superpendek ini. Mami langsung mengerutkan dahi mendengar berita ini dan berbisik supaya hanya bisa didengar
oleh Jana yang duduk disebelahnya. "Jana, coba kamu bicara dengan guru sekolah Erga dan
Raka. Bilang ke mereka untuk lebih tegas dengan anak seperti Mark. Entah apa jadinya anak itu
kalo dia seenaknya aja narik rambut dan nyium setiap cewek disekolah. Mungkin dia perlu
dirotan kalo kejadian lagi."
Jana belum sempat membalas ketika dikejutkan oleh suara Erga yang menanyakan, "Rotan itu
apa, Mbah?" Mami sedikit kalang kabut menanggapi pertanyaan ini karena dia tidak menyangka Erga sudah
mendengarnya. Beliau melirik ke Papi meminta bantuan, tapi Papi sibuk dengan makanannya.
"Umm.. itu kayu untuk menghukum anak yang bandel. Makannya kalian nggak boleh bandel,
oke?" kata Mami setelah beberapa menit.
"Apa Mark bandel?" Tanya Erga.
"Ya," jawab Mami pendek.
"Karena udah narik rambut Donna?" Tanya Erga lagi dengan wajah serius.
"Dan nyium Donna," tambah Mami.
"Jadi Mark perlu di rotan?"
"Oh, nggak, sayang.." Jana baru ingin menjelaskan konsep penggunaan rotan kepada Erga ketika
Mami sudah memotong. "Kalo Mark cucu Mbah, pasti udah Mbah rotan," tandas Mami.
Jana harus tetap mengunyah makanannya agar tidak menegur Mami, yang sudah menanamkan
pikiran yang nggak-nggak ke Erga. Satu hal yang dia tahu tentang orangtuanya adalah, mereka
tidak suka kalau pendapatnya dipertanyakan.
"Apa itu berarti oom yang nyium Bunda hari itu juga perlu dirotan?" Tanya Raka dengan
polosnya. Dan Jana hampir saja tersedak daging yang baru saja ditelannya. Papi yang tadinya sibuk tidak
menghiraukan percakapan itu kini menatapnya tajam, makanan di atas piringnya terlupakan. Not
good. Untuk menhindari tatapan Papi, Jana menoleh ke Mami yang sedang menatap cucunya
tajam. Super not good. "Apa kamu bilang?" tanyanya dengan sedingin es.
Jana memutar otaknya untuk mengalihkan pembicaraan ini secepatnya, tapi otaknya masih
terlalu kaget untuk menghasilkan ide. Dia seperti melihat kereta api dengan rem blong yang
meluncur dengan kecepatan tinggi di atas rel. dia tahu kecelakaan akan terjadi sebentar lagi, tapi
tidak berdaya menghentikannya.
Raka yang tidak menyadari apa yang dia sudah lakukan, mengulangi beritanya. "Iya, aku sama
Erga baru pulang sekolah. Pas mau naik lift, kami lihat Bunda lagi ciuman sama Oom. Ya kan,
Ga?" Erga mengangguk mengonfirmasi kata-kata kembarannya dan mata Mami langsung menatapnya
tajam. "Siapa oom yang di maksud sama mereka, Jana?" Tanya Mami.
Dan Jana tahu bahwa pada detik itu, hidupnya baru saja berakhir.
*** Ben membutuhkan seminggu sebelum bertemu dengan Jana lagi. Seminggu yang penuh dengan:
Telepon nonstop ke George dan timnya di Chicago, yang tidak menerima beritanya dengan
sukacita, tapi bersedia memberinya cuti satu bulan tanpa bayaran untuk menyelesaikan
masalahnya, meskipun tidak bisa menjamin posisinya kalau dia harus mengambil waktu lebih
lama dari itu. Memberitahu Papa lebih dulu mengenai situasinya. Setelah memberikan ceramah sampai
kupingnya pekak, beliau mempertemukannya dengan beberapa anak buahnya, yang akan
membantunya menangani situasi ini. Anak buah Papa hanya mengonfirmasi apa yang dia sudah
tahu melalui Internet. Bahwa dia tidak punya hak apa pun terhadap anak-anaknya. Mereka
mengusulkan agar dia menempuh jalan damai, yaitu berbicara dengan Jana mengenai Hak asuh
anak-anaknya. Memberitahu Mama, yang setelah puas menangis tersedu-sedu, ngotot mau bertemu dengan
cucu-cucunya secepatnya. Beliau baru berhenti memborbardirnya dengan permintaan ini setelah
Papa turun tangan menjelaskan duduk permasalahan dan hukum yang terlibat di dalamnya.
Keinginan mencekik dan meminta maaf kepada Jana, serta memikirkan langkah-langkah terbaik
untuk mengenal anak-anaknya. Dia sudah memutuskan ingin menjadi bagian dari kehidupan
mereka secepatnya. Dia sudah ketinggalan tujuh tahun hidup mereka dan berencana mengejar
waktu yang hilang itu. Yang dia masih belum punya jawabannya adalah bagaimana dia bisa menjadi bagian kehidupan
mereka kalau dia tinggal beribu-ribu mil jauhnya" Dia sudah membangun kehidupannya di
Amerika, dan semenjak dia mendapatkan green cardnya dua tahun yang lalu, dia tidak pernah
berencana untuk hidup di tempat lain. Sejujurnya, prospek hidup di Indonesia membuatnya
sedikit panic karena ada kemungkinan dia harus mulai dari bawah lagi. Tentu saja kalau dia mau
posisi bagus, dia bisa meminta Papa mencarikan kerja untuknya melalui kenalannya, tapi dia
tidak pernah setuju dengan budaya KKN yang sangat kental di Indonesia itu untuk
mengeksploitasinya. Alternative penyeselaian masalah ini adalah menikahi Jana dan memboyongnya dan anak-anak
ke Amerika dengannya. Sesuatu yang tentunya tidak akan pernah disetujui oleh Jana kalau
dilihat dari cara dia mengambil langkah seribu setiap kali melihatnya. Sudah untung kalau Jana
memperbolehkannya bertemu dengan anak-anaknya, untuk memintanya menikahinya, sama saja
seperti cari mati. Intinya, selama seminggu ini Ben tidak bisa tidur nyenyak, alhasil dia hampir
Pengasuh Setan 1 Mengejutkan Kawan Kawannya Einstein Anderson Karya Seymour Simon Harimau Kemala Putih 2

Cari Blog Ini