Dirty Little Secret Karya Aliazalea Bagian 3
kelihatan seperti zombie ketika menemui Jana siang itu. Dia akhirnya menelepon Jana kemarin
dan meminta ketemu di area yang netral bagi mereka berdua. Jana mengusulkan sebuah restoran
bernuansa tenang dengan desain bersekat yang bisa memberikan privasi.
Ketika dia sampai di restoran, Jana sudah menunggunya. Dan meskipun kelihatan tenang, Ben
tahu dari mata yang menatapnya dengan sedikit takut dan curiga, bahwa Jana nervous setengah
mati. Entah kenapa, tapi ini membuatnya merasa sedikit puas. Sedetik kemudian dia merasa
bersalah karena sudah merasa seperti itu.
"Erga dan Raka di mana?" Tanya Ben setelah pelayan pergi dengan pesanan mereka.
Jana kelihatan terkejut ketika mendengarnya mengucapkan nama anak-anaknya tanpa ragu-ragu.
What the hell?""!!! Apa Jana pikir dia akan melupakan nama anak-anaknya begitu saja setelah
mengetahuinya" Nama mereka sudah terukir di kepalanya semenjak siang itu. Dan nama mereka
adalah kata-kata pertama yang di ucapkannya waktu bangun tidur dan terakhir sebelumdia tidur
selama seminggu ini. "Di sekolah," jawab Jana.
Ben sempat mengangkat alisnya, sedikit terkejut mendengar berita ini. Anak-anaknya sudah
sekolah" Pikirnya. Lalu dia ingat bahwa Raka dan Erga memang mengenakan kemeja batik
celana pendek biru. Untuk menutupi kekaguman bahwa anak-anaknya sudah sekolah dan
kesedihan karena ketinggalan mengantar mereka pada hari pertama sekolah, Ben bertanya,
"Umur mereka tujuh tahun kan, ya?"
Jana mengangguk dan Ben menunggu hingga Jana memberikan informasi lebih lanjut. Ketika dia
hanya diam saja, Ben bertanya lagi. "Kelas berapa mereka sekarang?"
"Kelas satu SD."
Berbagai macam pertanyaan melintas di kepalanya. Apa mereka pintar di sekolah" Apa sering
disetrap guru seperti dirinya waktu seumur itu" Karena seingatnya Mama sering sekali dipanggil
ke sekolah. Kalau bukan karena dia berantem dengan teman sekelasnya yang laki-laki, dia
mengisengi teman perempuan sampai mereka nangis. Memutuskan dia masih ada waktu untuk
menanyakan ini semua, dia memilih pertanyaan lain.
"Kapan tanggal ulang tahun mereka?"
"Dua Januari." "Siapa yang lebih tua?"
"Raka yang keluar duluan, beda empat menit sama Erga."
Ben mencoba mengingat apa yang dia sedang lakukan pada tanggal dua januari tujuh tahun yang
lalu. Dan kenyataan bahwa dia tidak ingat atau merasakan apa-apa yang special untuk mengingat
tanggal itu membuatnya sedikit depressed. Mungkin dia patut dihukum dengan tidak mengetahui
keberadaan anak-anaknya oleh Tuhan, karena jelas-jelas tidak ada ikatan batin sama sekali antara
dirinya dengan mereka. Tiba saatnya baginya untuk mengubah hal itu.
"Aku mau ketemu mereka lagi," ucap Ben tanpa basa-basi.
Ben menunggu hingga Jana meneriaki sumpah serapah padanya, bahwa dia tidak berhak
meminta itu darinya, tapi Jana hanya menatapnya pasrah. Dia baru saja akan mengatakan sesuatu
ketika pelayan sampai dengan makanan mereka dan Ben mencoba menahan keinginannya untuk
mencekik pelayanan itu. Ketika pelayan itu berlalu lima menit kemudian, ada bekas kuku pada
telapak tangannya, hasil mengepalkan tangannya terlalu kuat karena mencoba mengontrol
ketidaksabarannya. Tanpa menjawab, Jana justru mengangkat garpunya dan perlahan-lahan mulai makan. Ben tidak
bisa makan saking nervousnya. Yang ada, dia hanya bisa menatap Jana penuh antisipasi. Setelah
tiga suap dan Jana masih tidak mengatakan apa-apa, Ben mengulurkan tangannya untuk meraih
tangan kiri Jana yang diistirahatkan di atas meja. Alhasil garpu yang dipegang Jana terlepas dari
genggamannya dengan bunyi "klaaang" yang cukup keras. Jana buru-buru menarik tangan
kirinya dari genggaman Ben, seakan dia tidak tahan disentuh olehnya.
Dan ini membuat Ben pissed-off tak tergambarkan. Bagaimana Jana bisa sedingin ini
terhadapnya, setelah mereka menjulurkan lidah ke kerongkongan satu sama lain seminggu yang
lalu" Belum lagi suara-suara erotis yang Jana keluarkan ketika dia menciumnya dan reaksi tubuh
Jana ketika menempel pada tubuhnya. Dia cukup berpengalaman dalam memahami reaksi tubuh
wanita dan tahu kalau mereka tertarik padanya. Dan pada detik itu, Jana betul-betul tertarik
padanya. Garis bawah pada kata betul-betul. Jadi kenapa dia bereaksi sok malu-malu seperti ini
sekarang" Lagi pula, bukannya Jana itu virgin gitu lho. Dia yakin bahwa seperti juga dirinya,
selama delapan tahun ini Jana sudah berhubungan dengan orang lain.
*** Bayangan Jana di dalam pelukan laki-laki lain selain dirinya, mencium dan menyentuh seluruh
bagian tubuhnya, terutama bagian-bagian yang biasanya tidak pernah dipertontonkan kepadai
orang ramai, tidak menolong kemarahannya yang sudah mulai mendidih. Pelayan mereka
muncul untuk memberikan garpu baru sementara Jana mengucapkan kata maaf berkali-kali.
Ketika pelayan berlalu lagi, Ben sudah bosan dengan aksi kucing-kucingan Jana dan berkata,
"Jan?" "Raka dan Erga suka sekali berenang," potong Jana.
Ben berkedip, tidak bisa mencerna kata-kata itu, dia mendengarnya, tapi sepertinya otaknya
menolak memahaminya. Melihatnya hanya diam saja, Jana melanjutkan. "Hari Minggu ini kami
rencana mau berenang. Kalau kamu mau, kita bisa pergi sama-sama."
Akhirnya Ben bisa menemukan suaranya untuk berkata, "Minggu?"
Jana mengangguk. "Dalam waktu dekat ini aku mungkin perlu cari guru renang untuk mereka?"
"Aku nggak bisa nunggu sampe Minggu untuk ketemu mereka," potong Ben.
Jana menatapnya dengan penuh perhitungan. "Kamu nggak bisa ketemu mereka di tengah-tengah
minggu, Ben. Mereka ada tugas sekolah. Dan kamu kan harus kerja, apa kamu ada waktu?"
"Aku nggak ada kerja," ucap Ben sebelum dia bisa berpikir lagi.
Oh crap! Dia tidak berencana memberitahukan Jana tentang statusnya ini sampai nanti, setelah
dia bisa bertemu dan akrab dengan anak-anaknya.
"Hahhh"! Kamu pengangguran?""!!!"
Ben harus menggigit lidahnya agar tidak mengeluarkan sumpah serapah mendengar nada Jana
yang menghakimi itu. "No, aku bukan pengangguran. Aku punya kerjaan yang bagus dan
mapan." "Di mana?" Biasanya kalau ada orang menanyakan hal ini kepadanya, dia pasti akan langsung tersinggung.
Tapi dari cara Jana menatapnya, dengan penuh kecurigaan bahwa dia tipe laki-laki pemalas yang
mau istri kaya supaya tidak harus kerja seumur hidup, membuatnya ingin tertawa. Pertama,
karena dia sudah cukup kaya sehingga memiliki kebebasan menikahi siapa saja yang dia mau.
Kedua, orang bisa menempelkan banyak nama padanya, tapi "Pemalas" bukan salah satunya.
"Perusahaan konsultasi manajemen di Chicago. Aku senior consultant di sana," jawab Ben
pasrah. Tidak ada gunanya baginya berbohong. Kalau kata orang Amerika "The cats are out of the
bags". Yang dia bisa lakukan adalah mencoba sebisa mungkin mencari solusi untuk situasi ini.
"Chicago" As in Chicago, Amerika?"!!"
Ben mengangguk. "Wait a second. Are you telling me bahwa kamu nggak tinggal di Jakarta, bahwa kamu tinggal di
Amerika?" Tanya Jana dengan nada tinggi, yang membuat Ben bersyukur bahwa restoran cukup
sepi siang ini sehingga tidak ada yang melihat mereka bertengkar kecuali staf restoran.
Ben bisa melihat degradasi percakapan mereka dalam hitungan detik. Dia tidak sempat
menjawab pertanyaan ini karena Jana sudah berkata-kata lagi. "Kalo kamu tinggal di Amerika,
untuk apa kamu mau kenal Erga dan Raka, toh mereka tinggalnya di sini?"
"Karena mereka anak-anakku. Aku berhak mengenal mereka," desis Ben.
Mata Jana langsung berapi-api. "Kamu harus mencari argumentasi yang lebih menyakinkan dari
itu. Sumbangan DNA nggak memberikan kamu hak untuk mengatur kehidupan mereka. Apa
pernah kamu pikirkan tentang hak mereka" Bahwa mereka punya hak untuk nggak mau kenal
kamu?" "Argument goes both ways," gumam Ben.
"Apa kamu bilang?"
"Aku bilang, the argument goes both ways. Kamu bilang mereka punya hak untuk mau mengenal
aku. Tapi mereka juga punya hak untuk mengenal aku kalau mereka mau," jelas Ben.
Jana memicingkan matanya. Jelas-jelas tidak menyukai logika itu. "Oke, let"s say mereka mau
mengenal kamu. Selama berapa lama kamu berencana untuk mengenal mereka" Satu hari" Satu
minggu" Sampe kamu bosen" Atau sampe kamu mutusin untuk lari setelah kamu tahu kalo
mengurus anak itu perlu waktu dan energy yang banyak" Terakhir aku cek, kamu menolak
mentah-mentah dikasih tanggung jawab sebesar ini."
Inilah pertama kalinya Jana menyinggung kejadian delapan tahun lalu dan dari tatapan matanya
yang penuh kesedihan, Ben tahu memori itu masih menyakitkan baginya. Rasa bersalah yang dia
rasakan selama ini tidak bisa menandingi apa yang dia rasakan sekarang.
"Aku minta maaf karena udah nyakitin kamu," ucap Ben pelan. Jana melihat terkejut dengan
permintaan maafnya dan Ben melanjutkan, "Aku minta maaf karena udah ngecewain kamu
waktu kamu lagi betul-betul perlu aku, karena nggak pernah ada untuk Erga dan Raka" dan
untuk kamu selama ini. Kalo aku bisa kembali lagi ke hari itu dan memperbaiki semuanya, I
would. Tapi aku nggak bisa. Aku Cuma bisa mencoba memperbaiki kesalahan yang udah aku
buat dan berusaha sebisa mungkin untuk nggak mengulang kesalahan yang sama ke depannya.
Dengan sigap Ben memindahkan piringnya dan piring Jana dari hadapan mereka ke sudut meja
dan meraih tangan Jana. Kali ini Jana tidak menolak sentuhannya, dan Ben menganggap ini
pertanda baik untungnya. "Kasih aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahan ini, Jan."
Ben menunggu hingga es di dalam hati Jana lumer, dan ada satu detik ketika dia berpikir sudah
melakukannya, oleh karena itu dia terkejut ketika Jana justru menarik tangannya dan berkata, "I
can"t. Raka dan Erga berhak mendapatkan yang terbaik di dalam hidup mereka. Aku nggak bisa
ngebiarin mereka mengenal kamu, belajar menyayangi kamu hanya untuk kemudian ditinggal."
"Aku nggak akan ninggalin mereka."
"But you will, Ben."
Dan Ben meledak. "Goooddd, you"re so stubborn!!! Aku udah minta maaf sama kamu, bisa
nggak sih kamu maafin aku supaya kita bisa moved-on dari ini semua" Sebagai ayah Erga dan
Raka, aku berhak ketemu mereka!!!"
"Jangan ngomongin masalah hak sama aku, Ben. I"m not stupid. Aku udah bicara dengan
pengacara dan mereka bilang kamu nggak ada hak sama sekali atas mereka."
"Apa pengacara kamu juga bilang kalo Raka dan Erga nggak bisa nuntut hak waris dari aku garagara kita nggak pernah nikah" Bahwa mereka nggak bisa menerima tunjangan anak kecuali
kamu ngakuin aku sebagai ayah mereka" Apa kamu tega melakukan itu ke mereka?" Tanya Ben
sinis. "Selama tujuh tahun ini aku udah men-support mereka sendiri dan mereka baik-baik aja. Aku
nggak perlu bantuan apa-apa dari kamu. Apalagi uang kamu. We"re done here."
Dan dengan itu Jana mengeluarkan dompet dari dalam tasnya, menarik beberapa lembar seratus
ribuan. Dia kemudian membanting uang itu ke atas meja sebelum berdiri dan meninggalkan
restoran. Ben membutuhkan beberapa detik untuk menyadari apa yang terjadi dan buru-buru
melakukan hal yang sama sebelum berlari mengejar Jana. Dia tidak menghiraukan tatapan
bingung pelayan ketika dia berlari seperti restoran sedang kebakaran. Ketika sampai di pelataran
parkir, dia melihat Jana naik ke dalam SUV biru. Dia berusaha mengejarnya, bahkan berdiri di
lintasan SUV itu, tapi Jana hanya membanting setir bak pembalap formula 1 dan melewatinya
dengan kecepatan tinggi menuju pos bayaran parkir, kemudian jalan raya.
GODDAMN IT ALL TO HELL!!!
BAB 12 Cause I"ve relied on my illusions
To keep me warm at night But I denied in my capacity to love
I am willing, to give up this fight
Kepala Jana berkecambuk dengan segala sumpah serapah kepada dirinya sendiri, yang selama
seminggu ini sudah merasa bersalah terhadap Ben. Dia sudah bertekad memperbaiki
kesalahannya yang telah menyembunyikan Erga dan Raka dari Ben dengan memberikan Ben
kesempatan untuk betul-betul mengenal anak-anaknya kalau dia mau. Membayangkan ekspresi
Raka dan Erga ketika mereka tahu bahwa mereka memiliki seorang ayah yang mau bertemu
dengan mereka sempat membuatnya terharu. Meskipun dia merasa sedikit takut bahwa dia tidak
lagi jadi orang nomor satu yang paling disayangi oleh anak-anaknya dengan kehadiran Ben, tapi
dia rela melakukannya dengan harapan anak-anaknya akan menjadi seperti anak-anak lain yang
memiliki ibu dan ayah. Dia bahkan sudah mempertimbangkan untuk suatu hari menjalin rumah tangga dengan Ben kalau
pilihan ini dipersembahkan padanya. Tapi apa yang dia dapatkan" Laki-laki itu bahkan nggak
tinggal di benua yang sama dengan mereka!!! Kalau benua yang dia tinggali adalah Australia,
yang hanya memakan waktu maksimal delapan jam terbang dari Jakarta, dia mungkin masih bisa
memikirkan suatu arrangement di mana Ben akan datang mengunjungi anak-anaknya setiap dua
minggu sekali, atau dia yang membawa Erga dan Raka mengunjungi Ben. Tapi Ben tinggal di
benua yang paling jauh dari Jakarta. Kutub utara atau selatan saja masih lebih dekat dengan
Jakarta daripada Amerika.
Dengan keterangan pekerjaannya, Jana tahu Ben sudah cukup mapan di Chicago, bahkan ada
kemungkinan dia sudah punya green card, atau lebih parah lagi kewarganegaraan Amerika. Itu
berarti dia di Jakarta hanya untuk liburan, yang mengindikasikan bahwa cepat atau lambat dia
akan harus kembali ke Amerika. Lalu apa yang akan terjadi dengan anak-anaknya setelah Ben
pergi" Dia tidak meragukan kemampuan Ben untuk membuat anak-anaknya menyayanginya
kalau diberikan kesempatan. Sumpah, Ben adalah tipe orang dengan aura dan personality yang
mudah disukai siapa saja. Tapi seingatnya, Ben nggak pernah punya teman baik. Dia lebih
senang loncat dari satu teman ke teman yang lain. Sesuatu yang sepertinya tidak pernah
dipermasalahkan oleh orang-orang yang mengira diri mereka tanpa Ben, karena Jana tidak
pernah bertemu orang yang tidak akan tersenyum lebar kalau bertemu dengannya. Nggak peduli
mereka laki-laki atau perempuan.
Tapi anak-anaknya bukanlah teman-teman sementara Ben yang bisa ditinggalkan begitu saja
kalau dia sudah menemukan teman baru. Mereka nggak akan bisa mengerti kenapa seorang lakilaki yang memperkenalkan diri sebagai ayah mereka tiba-tiba menghilang begitu saja.
Kunjungan setiap beberapa bulan atau kapan saja Ben ada waktu tidak akan cukup bagi mereka.
Anak-anaknya berhak memiliki ayah full-time yang bisa mereka telepon kalau mereka
memerlukannya dan dia akan datang dalam hitungan menit, bukannya dua puluh jam. Mereka
berhak memiliki ayah yang menghabiskan setiap hari Sabtu-nya mengajari mereka berenang, dan
setiap malamnya menyelimuti mereka. Dan kalau Ben tidak bisa memberikan ini semua, lebih
baik nggak usah sama sekali.
Jana tidak tahu bagaimana dia bisa sampai di depan gerbang sekolah anak-anak, tapi tanpa dia
sadari dia sudah mendorong persneling dari "D" ke "P", dan menunggu hingga Raka dan Erga
muncul. Merasa terlalu resah untuk duduk, Jana turun dari mobil dan ketika matanya terkunci
pada Erga dan Raka, dia langsung berlari menyambut dan memeluk mereka seerat-eratnya.
"Bunda, aku nggak bisa napas," protes Raka dengan suara agak terendam.
Jana tertawa dan melonggarkan pelukannya, tapi dia menolak melepaskan mereka. Yang dia
inginkan adalah satu menit saja lagi dengan anak-anaknya, di mana nggak ada pekerjaan yang
harus dia selesaikan, lalu lintas padat yang harus dia lalui untuk mengantar mereka ke rumah
Mami, dan monster besar dan menakutkan bernama Ben. Beberapa menit kemudian Jana
melepaskan pelukannya. Dia menatap anak-anaknya dalam-dalam dan berkata, "Bunda
sayaaa"ng sekali sama kalian."
"Aku juga sayang sama Bunda," balas Erga.
"Aku yang paling sayang sama Bunda," timpal Raka nggak mau kalah, yang menerima pelototan
dari Erga, membuat Jana tertawa terbahak-bahak.
*** Ketika Jana sampai di rumah Mami, beliau sedang berdiri di halaman depan, mengenakan blus
dan celana panjang putih katun dan topi lebar, sibuk menyirami tanamannya. Jana baru saja turun
dari mobil dan melambaikan tangannya kepada Mami sambil meneriakkan, "Hai, Mam," ketika
sadar bahwa perhatian Mami tidak tertuju padanya.
Dia belum sempat menoleh untuk mencari tahu apa yang menarik perhatian Mami ketika
mendengar seseorang berteriak, "Hei, kita belum selesai bicara!"
Terkejut, dia segera menoleh dan menemukan Ben sedang bergegas ke arahnya dengan wajah
merah padam. Untuk beberapa detik dia hanya bisa menganga. Otaknya tidak bisa memproses
apa yang sedang dilihatnya. Samar-samar dia mendengar pintu mobil dibuka dan ditutup, diikuti
suara Erga dan Raka sedang membicarakan sesuatu, meskipun dia tidak tahu tentang apa. Kalau
bukan karena Raka yang mengatakan, "Halo, Oom Ben," dia mungkin menyangka bahwa dia
sedang berkhayal. Beberapa pertanyaan yang berkelebatan di dalam kepalanya adalah: bagaimana Ben bisa ada di
sini" Bagaimana dia bisa tahu alamat rumah orangtuanya" Apa dia mengikuti dari restoran tadi"
Tapi saking kagetnya, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya untuk mengemukakan
semua pertanyaan ini. Ben yang kelihatan terkejut oleh sapaan Raka berhenti melangkah dan menatap Raka dengan
sesuatu yang mirip seperti kebanggaan, ketakutan, dan kebingungan. Jana menunggu detik ketika
Ben akan lari pontang-panting, tapi yang dia dapatkan justru Ben melangkah mendekat dan
berjongkok di depan Raka.
"Halo," sapa Ben. "Kamu pasti" Raka."
Dari mana Ben bisa membedakan Erga dan Raka, dia tidak tahu. Memang, ada kemungkinan dia
hanya menebak saja dan kebetulan banget. Toh, hanya ada dua nama yang dia bisa pilih dan
kemungkinan dia benar adalah lima puluh persen. Tapi, tetep saja, dia sedikit kagum.
Raka yang memang nggak pernah mengenal kata malu-malu langsung membalas dengan
antusias. "Iya, kok Oom tahu?"
"Tahu dong," balas Ben dan mengulurkan tangannya untuk mengacak-acak rambut Raka yang
Oh my God menatap Ben seakan laki-laki itu dewa.
Ben membalasnya dengan tertawa sebelum mengalihkan perhatiannya kepada Erga, yang berdiri
ragu di belakang Raka. "Dan kamu pasti Erga. Kembaran Raka," ucapnya.
Dan sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya selama tujuh tahun Jana membesarkan Erga,
kejadian. Erga mendekati Ben dengan langkah pasti. Berhenti sekitar setengah meter darinya
untuk mengulurkan tangannya dan mengatakan, "Erlangga Oetomo."
Hilang sudah jejak anaknya yang pemalu dan susahnya setengah mampus
kalau diminta berkenalan dengan orang baru. Yang ada dihadapannya adalah" Jana bahkan nggak tahu apa
yang ada di hadapannya sekarang. Rasa bangga di taburi sedikit kekecewaan karena Ben, tanpa
harus berusaha berhasil menarik perhatian Erga, menyelimutinya.
Ben yang tidak kelihatan kaget sama sekali segera meraih tangan Erga. "Ben Barata," ucapnya.
Dia kemudian memutar tangan kanan Erga dan mengomentari, "Jam tangan kamu keren.
Optimus Prime kan, ya?"
Senyum lebar menghiasi wajah Erga dan dia mengangguk antusias. Satu lagi hal yang Jana tahu
disukai anak-anaknya selain berenang adalah Transformers. Mulai dari kartunnya, filmnya,
hingga segala tetek-bengek yang berhubungan dengannya. Pada ulang tahun mereka yang ke-6,
Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka menolak memakai selimut Barney lagi dan meminta dibelikan selimut bergambar tokohtokoh robot Transformers.
"Raka punya Bumblebee," ucap Erga kepada Ben.
Raka langsung mengulurkan lengan kanannya untuk memamerkan jamnya. Dan untuk beberapa
menit Ben menginspeksi jam tangan Optimus Prime dan Bumblebee dengan keantusiasan luar
biasa. Don"t freak out, don"t freak out, don"t freak out, Jana mengucapkan mantra ini dalam diam
sementara menyaksikan kejadian di hadapannya. Dan dia masih merasa cukup oke, sampai Erga
dan Raka menyandarkan tubuh mereka ke Ben dengan kepercayaan penuh bahwa tubuh Ben
akan mampu menahan tubuh mereka. Sekilas mata Ben melirik Jana, bukan dengan penuh
kemenangan karena dia bisa membuat Raka dan Erga ngobrol dengannya, tapi seperti
menanyakan: "Is this okay?"
Tentu aja nggak oke!! Jana tidak mau mengakuinya, tapi dia seriously freaking out. Apa dia oke
dengan semua ini" Dengan anak-anaknya yang langsung lengket pada Ben" Bagi orang yang
tidak mengenal mereka dan melihat interaksi mereka sekarang, mereka akan berpikir bahwa Ben
adalah ayah Erga dan Raka. Dan mereka tidak salah karena connection yang dimiliki Ben dengan
Erga dan Raka adalah pertalian yang hanya dimiliki orangtua dengan anak mereka. Pertalian
darah yang lebih daripada hanya DNA. Melihat betapa nyamannya Erga dan Raka dengan Ben,
dan Ben dengan mereka, membuatnya bertanya-tanya bagaimana dia pernah berpikir untuk
memisahkan mereka. Tiga laki-laki terpenting di dalam hidupnya. Ya, dia tahu apa yang baru
saja dia pikirkan. Dan betapa pun sulit baginya untuk mengakuinya, tapi tidak bisa dipungkiri
lagi, Ben adalah orang penting di dalam hidupnya.
Jana mendapati Ben masih menatapnya dan tanpa dia sadari, dia sudah mengangguk dan Ben
dengan luwesnya langsung mendudukkan mereka pada kedua pahanya dan melingkari pinggang
mereka supaya tidak jatuh. Jana melihat Ben menarik napas sambil menutup matanya selama
beberapa detik, seakan mencoba mengingat aroma anak-anaknya, sementara mereka ngomong
ngalor-ngidul ngetan-ngulon tentang Transformers. Apa Ben sadar bahwa Erga dan Raka
memiliki aroma yang sama dengannya"
Jana meloncat kaget ketika ada tangan menyentuh bahunya dan menemukan Mami sedang
menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Oh shit!!! Dia lupa sama sekali bahwa mereka sedang
berada di perkarangan rumah Mami.
"Mam," ucap Jana, sambil memutar otak mencoba menjelaskan keadaan ini.
Beberapa hari yang lalu ketika Mami dan Papi menginterogasinya tentang siapa Ben, dia berkata
Ben hanyalah teman lamanya. Kerika Mami bertanya kenapa dia tidak pernah di kenalkan ke
keluarga, Jana berkata itu baru pertama kalinya dia bertemu lagi setelah bertahun-tahun ini, yang
tentunya membuat Mami bertanya-tanya kenapa kalau dia baru saja bertemu lagi kok dia sudah
ciuman dengannya di tempat umum. Jana harus berbohong dengan mengatakan bahwa ciuman
Ben hanya kecelakaan. Dia hanya mau mencium pipinya tapi mendarat di bibirnya. Ya, dia tahu
alasannya ini banyak bolongnya, tapi Mami sepertinya cukup puas untuk melepaskan topic itu.
Tapi dari ekspresi wajah Mami sekarang, yang jelas-jelas bisa melihat kesamaan wajah Ben
dengan Erga dan Raka, Jana tahu bahwa dirty little secret-nya sudah tidak bisa disembunyikan
lagi. Satu-satunya hal yang dia syukuri adalah bahwa Mami tidak berteriak-teriak memarahinya
seperti orang gila, atau lebih parah lagi mencekik Ben dengan slang kebun.
*** Ben tidak tahu berapa lama dia sudah berjongkok dengan anak-anaknya di pangkuannya. Yang
dia tahu adalah bahwa kakinya sudah mati rasa, tapi dia menolak bangun dan kehilangan
kehangatan mereka. Dan dia bukan membicarakan tentang suhu tubuh. Rasa sayang yang dia
rasakan untuk mereka minggu lalu tidak ada bandingannya dengan apa yang dia rasakan
sekarang. Bahkan jauh melewati rasa sayangnya terhadap Eva, Erik, Mama, Papa, dan Jana. Dia
menyayangi Erga dan Raka lebih daripada apa pun juga di muka bumi ini. Rasa proktektif yang
tidak tergambarkan meremas hatinya. Dia bersumpah akan melindungi dan menjauhkan mereka
dari segala hal buruk di dunia ini.
Dia tersadar kembali dari segala rasa haru yang sedang menyergapnya ketika mendengar Jana
menyebut namanya. Perlahan-lahan dia mengedipkan matanya beberapa kali untuk
memfokuskannya pada wajah Jana yang sekarang sedang tersenyum padanya. Inilah pertama
kalinya Ben melihatnya tersenyum dan efeknya hampir membuatnya jatuh terduduk.
"Aku harus balik ke kantor," kata Jana.
Oke" dia tidak tahu maksud Jana dengan kata-kata ini. Melihat kebingungannya, Jana
menambahkan, "Aku harus ninggalin Erga dan Raka sama Mami."
Pada saat itulah dia melihat wanita setengah baya yang berdiri di sebelah Jana, yang kini sedang
menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Is this" no way. Ini ibunya Jana" Tidak salah lagi, ini
ibunya Jana. Dia kelihatan seperti Jana versi lima puluh tahun dan orang Jepang. Dan Ben jatuh
terduduk membawa Erga dan Raka bersamanya. Ben berusaha bangun untuk memeriksa apakah
anak-anaknya sudah cedera karena keteledorannya, tapi yang ada mereka malah tertawa-tawa
dan bergantian menindihnya seperti WWF SmackDown. Samar-samar dia mendengar suara Jana
meminta Erga dan Raka untuk berhenti, yang tidak dihiraukan sama sekali oleh mereka.
Lima menit kemudian dan dia masih mendapati dirinya ditindihi anak-anaknya, dia sadar bahwa
kemeja dua ratus dolarnya kemungkinan sudah kotor kena tanah dan rumput dan nggak akan bisa
dipakai lagi setelah ini. Tapi dia having too much fun untuk memedulikan hal sepele seperti itu.
Kemeja dia bisa beli lagi, tapi main dengan anak-anaknya seperti ini kemungkinan tidak akan
pernah terjadi lagi. Dia membalas serangan Erga dan Raka dengan memiting mereka, membuat
mereka guling-guling nggak karuan di atas rumput, mencoba menghindari serangannya. Anakanaknya memang berukuran besar untuk anak seumuran mereka, tapi tidak sebanding dengan
dirinya. Dengan mudahnya dia menarik mereka ke dalam pelukannya dan terus memiting
mereka. "Stop" stop ". Hihihi"," teriak Erga.
"Ampun" ampun" ARRRGGHHH!!! Nggak lagi" nggak lagi," teriak Raka.
Ben mengasihani mereka yang sudah minta ampun dan melepaskan pitingannya. Dia baru saja
akan menarik napas panjang ketika ditabrak dengan ganas oleh dua tubuh kecil yang
meneriakkan, "Seraaa"ng!!!" dan membuatnya jatuh telentang di rumput. Lain dari
sebelumnya, di mana mereka akan menindihnya seperti pyramid, kini mereka menggabungkan
serangan untuk balik memitingnya. Alhasil selama semenit ke depan mereka sibuk saling
memiting sampai dia merasakan semburan air cukup kencang yang diarahkan pada wajahnya,
membuatnya berteriak, "Aaaaggghhh!!!"
Dan sepertinya bukan dia saja yang terkena semburan air itu karena dia mendengar Erga dan
Raka berteriak, "Ujaaan, ujaaan," pada saat bersamaan.
Ben mencoba bangun dari posisinya agar bisa menarik Erga dan Raka untuk berteduh. Dia
bingung sesaat ketika melihat langit masih cerah, tidak ada setitik hujan pun. Baru pada saat itu
dia melihat ibu Jana memegang slang dengan moncong menghadap mereka, siap menyemprot
lagi bila perlu. Ben tahu dia seharusnya takut melihat wanita itu bertolak pinggang dan
melemparkan tatapan siap membunuhnya, tapi yang ada dia malah mulai cekikikan. Dan
cekikikannya ini membuat Erga dan Raka cekikikan juga. Cekikikan Ben berubah menjadi tawa
lepas ketika dia mendengar Raka bertanya, "Ayo, Mbah Uti, semprot lagi."
"Iya, Mbah. Lebih kenceng ya," timpal Erga.
Ya Tuhan. Kalau ada orang pernah meragukan bahwa Erga dan Raka adalah anak-anaknya,
mereka tidak akan meragukannya setelah ini. Anak-anaknya adalah dia seratus persen, berikut
dengan keiblisannya jua. God, he loves them to death. Di antara tawanya, dia melirik Jana yang
sekarang terkekeh sambil memegangi perutnya. Hal ini membawa kehangatan tersendiri pada
hatinya. Setidak-tidaknya dia tahu Jana masih memiliki sense of humor seperti dulu. Mata
mereka bertemu dan sebuah pengertian muncul. Apa pun yang telah atau akan terjadi diantara
mereka berdua, pada detik ini, dia, Erga, Raka, dan Jana adalah satu kesatuan.
*** Tiba-tiba gugup oleh tatapan Ben yang penuh arti itu, Jana berhenti teratwa dan mengalihkan
perhatiannya ke anak-anaknya. "Raka, Erga, ayo masuk. Seragam kalian kotor penuh tanah dan
perlu dicuci. Kalian juga perlu mandi, ada tanah di rambut kalian," perintah Jana.
"Tapi, Bunda"," rengek Raka.
"Nggak pake tapi-tapi," potong Jana.
Raka dan Erga langsung bangun dari posisi mereka yang sudah menggunakan tubuh Ben sebagai
bantal. " Oom Ben gimana?" Tanya Erga.
"Oom Ben gimana, apa?"
"Oom Ben bajunya kotor. Rambutnya juga. Apa Oom Ben harus mandi juga?"
"Ya, Oom Ben juga harus mandi." Jawaban ini membuat Ben menaikkan alisnya penuh
pertanyaan dan Jana menambahkan, "Di rumahnya sendiri."
Dan laki-laki itu berani-beraninya memampangkan wajah cemberut, membuatnya ingin ketawa.
Damn him! "Apa Oom Ben nggak bisa mandi di sini?" timbrung Raka. Ketika pertanyaannya ini tidak
menerima jawaban, Raka mengalihkan tatapannya ke Mami dan bertanya dengan nada
memohon, "Mbah, Oom Ben bisa kan mandi di sini?"
Menyadari bahwa Mami kemungkinan akan mengatakan "Iya", Jana langsung memotong.
"Raka, Bunda yakin Oom Ben lebih suka mandi di rumahnya sendiri. Udah, ayo say googbye
sama Oom Ben dan masuk ke dalam rumah. Bunda masih harus balik ke kantor."
Jana mengucapkan syukur ketika Raka tidak berdebat lagi dengannya. Tapi sedetik kemudian
ketika dia melihat Raka memutar tubuhnya untuk memeluk Ben, lebih tepatnya kaki kanan Ben,
satu-satunya tempat yang bisa dicapai Raka ketika Ben sudah berdiri tegak, Jana ingin
menendang dirinya sendiri.
"Bye, Oom Ben," ucap Raka.
Ben menunduk untuk mengangkat Raka dan memeluknya erat, seolah tidak akan mau
melepaskannya lagi. Beberapa menit kemudian, menyadari dia kemungkinan meremukkan
tulang rusuk Raka, dia melonggarkan pelukannya. "Bye, buddy," ucapnya pelan dan mencium
pipi Raka dengan bunyi "Ceplok".
"Kapan-kapan ke sini lagi ya, Oom. Kita bisa main tindih-tindihan lagi."
"Oke," ucap Ben sambil tersenyum lebar dan menurunkan Raka.
Seakan tahu Erga sedikit lebih sensitive daripada kembarannya, Ben tidak langsung
memeluknya, meskipun dari matanya Jana bisa melihat itulah yang ingin dia lakukan. Ben
memilih menunggu sinyal dari Erga yang perlahan-lahan berjalan ke arahnya.
"Bye, Erga," ucap Ben pelan.
"Bye, Oom," balas Erga dengan wajah serius.
Dan tanpa memberikan pelukan atau ciuman kepada Ben, Erga berlalu memasuki rumah. Raka
kelihatan ragu sesaat, sebelum mengikutinya. Jana betul-betul ingin menangis melihat wajah
penih kehilangan yang dipaparkan Ben sekarang. Dia baru saja akan berkata-kata ketika
didahului oleh Mami. "Jadi kamu ayahnya Erga dan Raka?"
Jana langsung menggigit bibirnya. Uh oh. Dia tidak tahu bagaimana percakapan antara Mami
dan Ben ini akan berakhir. Pada detik itu Jana betul-betul mengasihani Ben. Mana berlepotan
lumpur, dipelototin seperti seorang pemerkosa pula. Oleh sebab itu dia cukup terkejut ketika Ben
justru melangkah pasti mendekati Mami dan mengulurkan tangannya.
"Ya, Tante. Saya Ben" Ben Barata."
Whoa.. Ben ternyata jauh lebih bernyali daripada yang yang dia pikir. Sejujurnya, kalau dia jadi
Ben, dia mungkin sudah ngibrit.
Mami menyipitkan mata, seakan mencoba menilai Ben, sebelum berkata, "Apa kamu punya
hubungan dengan Oscar Barata?"
Oh, crap!!! Jana tahu betapa Ben tidak suka kalau orang menilainya hanya karena nama papanya.
Itu sebabnya dia suka kuliah di Amerika, di mana tidak ada orang yang mengenal atau peduli
dengan itu dan memperlakukannya biasa-biasa saja. As if orang yang mengenal Ben
memperlakukannya seperti itu. Entah kapan Ben sadar bahwa yang membuat orang menempel
padanya adalah karena dia, bukan papanya.
Jana melihat Ben meringis dan dia berpikir Ben akan menolak menjawab pertanyaan itu ketika
mendengarnya menjawab, "Itu papa saya,"
Mata mami langsung melebar bak piringan hitam, membuat Jana takut beliau sedang mengalami
serangan jantung. Setitik pengenalan muncul pada matanya, disusul sesuatu yang mirip"
kebanggaan" What the hell" Ketika Jana melihat Mami tersenyum, kebingungannya berubah
menjadi waswas. Dan ketika detik selanjutnya Mami berjalan mendekati Ben dan memeluknya,
menempelkan blus putih bersihnya dengan kemeja Ben yang super kotor, jantung Jana sudah
hampir meloncat keluar. "Welcome to the family, son," ucap Mami
Dan segala sumpah serapah terlintas di kepala Jana, sesuatu yang dia sadari semakin sering dia
lakukan semenjak Ben muncul lagi di dalam kehidupannya.
BAB 13 I light a candle in the garden of love
To blind the angels looking down from above
Satu jam kemudian Ben menemukan dirinya duduk di meja makan dirumah mami Jana,
mengenakan pakaian, bahkan celana dalam yang bukan miliknya, sementara menunggu hingga
pakaiannya kering. Menurut beliau pakaian ini milik adik Jana yang sedang kuliah di Amerika.
Setelah memeluknya dengan antusias, alhasil membuat pakaian putih bersihnya kotor dan
menyambutnya ke dalam lingkaran keluarga, mami Jana memaksanya mandi di rumahnya,
bahkan bersedia mencuci pakaiannya segala.
Ketika dia keluar dari kamar mandi setengah jam lalu hanya mengenakan handuk, mami Jana
mencegatnya sebelum dia berpakaian.
"Permisi, Tante," ucap Ben pelan, mencoba mengambil langkah ke kiri untuk melewati Mami
Jana. "Tante perlu bicara sama kamu."
Kata-kata ini membuatnya berhenti dan menatap mami Jana yang sedang menatapnya tajam.
"O-oke. Apa boleh saya pakai pakaian dulu?"
Mami Jana hanya memicingkan matanya dan Ben tidak tahu kenapa dia harus takut sama wanita
yang bobot tubuhnya kemungkinan hanya setengah bobot tubuhnya dan tingginya bahkan tidak
mencapai bahunya, tapi dia menemukan dirinya hanya menutup mulut dan menunggu.
"Tante nggak tahu apa yang terjadi delapan tahun lalu di antara kamu dan Jana. Sampai setengah
jam yang lalu, Tante bahkan nggak tahu kalau ayahnya Erga dan Raka adalah orang Indonesia.
Apalagi anaknya Oscar Barata."
Oh my God, apa yang wanita ini inginkan darinya" Apa mami Jana berencana untuk
memerasnya setelah tahu siapa dirinya" Well, beliau nggak perlu repot-repot. Dia sudah bertekad
memberikan support keuangan penuh kepada anak-anaknya sampai mereka bisa berdiri sendiri.
Andaikan beliau tahu bahwa satu-satunya penghalang baginya untuk melakukannya adalah Jana,
yang kelihatan lebih baik mati daripada menerima sepeser pun darinya. Tapi terlepas dari apa
yang mami Jana inginkan darinya, dia tidak menyangka bahwa Jana bahkan tidak pernah
menceritakan siapa dirinya kepada orangtuanya. Jana pasti betul-betul membencinya sampaisampai memutuskan semua asosiasi dengan dirinya seperti itu, meskipun dengan risiko dinilai
buruk oleh semua orang karena sudah hamil tanpa suami.
"Apa kamu tahu kalau dia hamil?"
Ben menarik napas dalam. Dia tahu salah satu kata saja, dia bisa kehilangan segalanya, oleh
karena itu, dia harus memilih kata-katanya dengan sehati-hati mungkin. "Saya tahu kalo Jana
hamil, tapi saya nggak pernah tahu kalo Jana mutusin untuk" keep the baby, well babies"
daripada menggugurkannya."
"Kamu ini siapanya Jana waktu itu?"
"Saya pacarnya."
Melihat mami Jana yang kelihatan seperti baru dilindas bulldozer mendengar berita ini, Ben
buru-buru menambahkan, "Jana memang nggak pernah cerita ke Tante atau Oom tentang saya.
Dia takut Tante dan Oom nggak akan setuju kalau dia punya pacar waktu kuliah."
Salah satu tangan mami Jana mulai mengelus-elus dadanya. Dan Ben berpikir beliau akan
menangis sebentar lagi. Dia betul-betul nggak tahu apa yang dia akan lakukan kalau itu sampai
terjadi. Memeluk beliau sementara dia hanya mengenakan handuk bukanlah pilihan. Untungnya
beliau kemudian bisa mengontrol emosinya dan bertanya, "Kapan kamu tahu keberadaan Raka
dan Erga?" Ben menelan ludah, memori hari itu masih membuat hatinya remuk. "Seminggu yang lalu,"
ucapnya pelan. Mami Jana terpekik dan menutup mulutnya dengan telapak tangan. Matanya menatapnya tidak
percaya. "Jadi kamu nggak pernah tahu kalo kamu punya anak, hingga minggu lalu?" bisiknya.
Ben mengangguk. "Waktu Jana ninggalin saya, dia bilang dia udah ngegugurin kandungannya.
Dan nggak pernah terlintas di pikiran saya sama sekali bahwa dia udah bohong."
"Kenapa dia harus bohong sama kamu?"
Oh, God. Here we go. Lebih baik mami Jana tahu mengenai ini darinya, mungkin dengan begitu,
beliau akan lebih toleran terhadapnya. Ben menarik napas dan berkata secepat mungkin, "Waktu
Jana datang ketemu saya dan bilang dia hamil" saya.. saya minta" saya minta dia untuk
ngegugurin kandungannya."
Dia menunggu teriakan sumpah serapah, tamparan, dan pukulan dari mami Jana, seperti yang
Eva lakukan padanya. Dia terkejut ketika menemukan beliau hanya menatapnya dengan mulut
ternganga. "Saya tahu saya sudah salah besar, Tante. Bukan Cuma terhadap Jana, tapi juga terhadap Erga
dan Raka. Saya ngerti kalau Tante marah dan mau memaki-maki, menampar, atau memukuli
saya. Saya berhak mendapatkan itu. Tapi saya mohon, jangan jauhkan saya dari anak-anak saya.
Kasih saya kesempatan untuk memperbaiki ini semua. Saya harus memperbaiki ini semua,
Tante." Mami Jana menatapnya dengan penuh pertimbangan dan berkata penuh ancaman, "Tante
seharusnya memotong testikel kamu dan mengusir kamu dari rumah ini sekarang juga setelah
apa yang sudah kamu lakukan rterhadap Jana."
Ben meringis dan otomatis tangannya langsung menutupi testikelnya, takut mami Jana tiba-tiba
mengeluarkan pisau dan betul-betul melaksanakan ancamannya.
"Tapi Jana juga salah karena menyembunyikan Raka dan Erga dari kamu," sambung beliau
dengan nada lebih tenang.
Untuk beberapa menit Ben hanya menatap mami Jana tanpa berkedip, berpikir beliau sedang
bercanda. Ketika dia sadar bahwa beliau serius, dia menghembuskan napas yang dia bahkan
tidak sadar sudah dia tahan. Tanpa dia sadari, dia juga menginginkan pengampunan, bukan saja
dari Jana, tapi juga dari orangtuanya.
"Oleh karena itu, Tante akan kasih kamu kesempatan untuk memperbaiki kesalahan kamu,
begitu juga Jana. Tapi inget, Ben, kalau sampai kamu messed-up lagi, jangan harap kamu akan
bisa ketemu cucu-cucu tante lagi."
Ben sebetulnya ingin nyeletuk bahwa "cucu-cucu Tante" itu adalah anak-anaknya, tapi dia cukup
pintar untuk tidak mengatakannya. "Tante bisa pegang kata-kata saya." Ucapnya.
Mami Jana melambaikan tangannya dan berkata, "Bah!!! Kata-kata itu Cuma angin kalau nggak
diikuti sama tindakan yang benar. Pikirkan betul-betul tindakan kamu setelah ini, Ben."
Kali ini Ben hanya mengangguk. Seperti puas bahwa Ben memahami pesannya, mami Jana
melangkah mendekat dan menepuk-nepuk pipinya. "Jadi kapan kamu akan menikahi Jana?"
Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
HAAAHHH?""!! Ben mencoba memformulasikan jawaban yang tepat, tapi tidak bisa. Dia hanya
berhasil megap-megap jawab pertanyaan ini, mami Jana hanya terkekeh dan berkata, "Tante
akan bawa Erga dan Raka makan es krim. Kami akan kembali sejam lagi. Gunakan waktu ini
untuk berbicara dengan Jana." Sebelum berlalu meninggalkannya sendiri.
Perlahan-lahan Ben menghirup the yang dibuatlam Jana untuknya sambil memikirkan
kenyentrikan mami Jana. Jana sudah menelepon asistennya beberapa menit yang lalu untuk
menginformasikan bahwa dia tidak akan kembali ke kantor siang ini. Dia tidak mendengar jelas
alasan yang diberikan Jana dan sejujurnya, dia tidak peduli karena Jana sekarang sedang duduk
di hadapannya, menghirup the dari cangkirnya. Ada sesuatu yang domestic tentang apa yang
mereka sedang lakukan. Dia tidak keberatan melakukan ini setiap hari dengan Jana. Sejujurnya,
dia mau melakukan apa saja asalkan dia melakukannya dengan Jana dan anak-anaknya.
Mungkin mami Jana benar. Mungkin dia harus betul-betul mempertimbangkan untuk menikahi
Jana. Apa beliau betul-betul serius menginginkannya jadi menantunya" Bajingan seperti dirinya"
Nggak peduli dia bajingan anak orang terkenal dan memiliki pekerjaan mapan untuk menghidupi
Jana dan kedua anaknya dengan nyaman. Dan bagaimana dengan papi Jana" Menurut Jana,
papinya jauh lebih strict daripada mami.
Dia yakin, di mata papi Jana, dia tetap seorang bajingan yang telah menghamili anak
perempuannya dia luar nikah. Dan dia tidak bisa menyalahkannya, karena dia akan merasakan
hal yang sama kalau sampai ada laki-laki yang macam-macam dengan anak perempuannya.
Thank God Raka dan Erga terlahir sebagai laki-laki. Dia tidak bisa membayangkan karma apa
yang akan dia dapatkan atas perlakuannya terhadap Jana kalau dia sampai punya anak
perempuan. Dia memang pulang ke Jakarta dengan rencana untuk merayu Jana, membuatnya jatuh cinta lagi
kepadanya, yang dia yakin bisa dilakukannya dalam hitungan minggu, sebelum menikahinya.
Tapi rencana ini buyar setelah kejadian minggu lalu, kini, semuanya jauh lebih rumit dengan
kebaradaan Erga dan Raka. Dan dia bukannya menyalahkan kehadiran anak-anaknya, dia hanya
menyatakan fakta. Karena kini dia tahu bahwa kalau dia mau menikahi Jana, dia bukan saja
harus menyakinkan Jana, tapi juga anak-anaknya, bahwa dia laki-laki yang pantas dinikahi.
Which is stupid. Mereka adalah anak-anaknya sendiri, damn it.
Tatapannya bertemu dengan Jana yang memberikan senyuman ragu dan untuk beberapa menit
dia tidak bisa berkedip meskipun matanya mulai panas. Betapa berbedanya keadaan mereka kini
dari tadi siang ketika mereka bertemu di restoran. Keraguan dan ketidakpastian yang
menyelimuti mereka tadi siang masih ada, tapi, setidak-tidak nya kini ada sedikit kehangatan
ketika Jana menatapnya. Ben tahu Jana tidak lagi bisa berlagak dia tidak terwujud. Dia ingat cara
Jana menatapnya ketika Erga dan Raka berada di pelukannya. Ada kerinduan dan kesedihan pada
tatapan itu. Seakan dia menginginkannya menjadi bagian keluarga kecil yang sudah dia bangun
selama ini, tetapi takut membiarkannya masuk.
Jana-lah yang memalingkan wajahnya yang mulai memerah duluan untuk berjalan menuju salah
satu rak. Dan dia menahan diri agar tidak mendesah karena merasa kehilangan. God, this is
insane. Dia betul-betul tergila-gila pada wanita ini dan dia nggak tahu cara menghapuskan atau
setidak-tidaknya mengurangi rasa itu supaya dia bisa berfungsi seperti layaknya laki-laki normal.
Jana berjinjit mencoba meraih sesuatu dari rak yang terlalu tinggi untuknya. "Jan, kamu lagi cari
apa?" Tanya Ben. "Biskuit. Ada di rak atas," jawab Jana tanpa menoleh, masih sibuk mengaduk-aduk rak sambil
berjinjit. "Aduuuhhh" susah banget sih!!!
"Sini, aku bantu." Ben langsung bangun dan mendekati Jana.
"Nggak, nggak usah. Aku bisa sendiri."
Ben tidak menghiraukan Jana dan berdiri di belakangnya sebelum mengulurkan tangannya ke
dalam rak yang penuh dengan segala macam biscuit, cukup untuk ngasih makan orang
sekampung. "Biskuit mana yang kamu mau?"
Jana yang tersentak kaget mendengar suaranya, langsung mengambil langkah mundur, alhasil
punggungnya menabrak perut Ben. Dan Ben justru mengambil kesempatan ini untuk
melingkarkan lengannya pada pinggang Jana. "Easy there," ucapnya.
Dia mendengar Jana menarik napas sebelum tubuhnya menjadi kaku. Dan Ben tahu dia
seharusnya melepaskannya, tapi dia mendapati lengannya menolak mendengarkan perintah
otaknya. Dia justru mendapati dirinya menunduk untuk mencium samping kepala Jana. Aroma
sampo citrus menyerangnya, membuatnya menarik napas dalam-dalam. Gooooddd!!! Aroma itu.
Samar-samar dia mendengar Jana memanggil namanya, tapi dia menghiraukannya. Dia justru
mengeratkan pelukannya pada pinggang Jana dan menariknya ke atas agar lebih bisa
menguburkan hidungnya pada rambut Jana. Ben mendengar Jana mendesahkan, "Oh my God."
Sebelum tubuhnya lunglai di dalam pelukannya.
Dia mengambil kesempatan ini untuk menarik rambut Jana ke samping dan menguburkan
hidungnya pada kulit leher yang mengundang itu. Ketika dia merasakan tangan Jana naik untuk
melingkarkannya pada lehernya, dia tidak bisa menahan diri lagi. Dia mulai menaburi leher Jana
dengan ciuman-ciuman kecil. Dari cara tubuh Jana meleleh ketika dia melakukannya, dia tahu
bahwa seperti dulu, area paling sensitive tubuhnya masih terletak pada lehernya.
"Ben, we need to stop," desah Jana dengan nada yang sama sekali nggak meyakinkan.
Hell no!!! jana sudah gila kalau menyangka akan bisa menghentikannya dengan kata-kata. "Not
gonna happen, baby," jawab Ben dan menarik leher sweater tipis yang dikenakan Jana ke
samping berikut dengan tali branya, sebelum melarikan lidahnya dari telinga hingga bahu.
Jana menggeram dan berkata dengan sedikit terputus-putus, "Ben stop. Kita" oh help me Jesus..
kita perlu" perlu bicara."
Ben tersenyum karena kata-kata Jana jelas-jelas nggak sinkron dengan reaksi tubuhnya.
Meskipun Jana mengatakan tidak, tapi dia tidak mencoba melepaskan diri dari pelukan Ben dan
suhu tubuhnya sudah naik beberapa derajat. "Nanti," bisik Ben dan melanjutkan aktivitas
lidahnya. Ya Tuhan, yang dia inginkan sekarang adalah untuk tenggelam dalam Jana dan nggak keluarkeluar lagi. Tapi Ben tahu dia sudah mendorong Jana terlalu jauh ketika tubuh Jana menjadi kaku
di pelukannya dan dia menggeramkan, "Ben, aku serius!"
Meskipun enggan, tapi tahu dia harus menghormati permintaan Jana, perlahan-lahan Ben
melonggarkan pelukannya, seperti akan melepaskannya. Ketika tubuh Jana sudah relaks lagi, dia
membisikkan, "Oke, let me just do this."
Dan dengan hanya peringatan itu, yang sama sekali bukan peringatan kalau dipikir-pikir lagi,
Ben mencupang leher Jana. Ya, dia tahu ini nggak cool sama sekali, tapi dia tidak bisa mengusir
keinginan untuk menandai Jana sebagai miliknya. Yep, dia betul-betul sudah kehilangan akal
sehatnya dan tidak ada satu hal pun yang bisa dia lakukan untuk mencegahnya.
Jana tidak percaya dia baru saja membiarkan Ben menciumi dan melarikan lidahnya pada
lehernya seakan-akan dia punya hak melakukan itu di dapur rumah Mami. DAPUR RUMAH
MAMI!!! Dia lebih tidak percaya lagi Ben mencupang lehernya. Oh my God, this man is a pig.
"You"re a pig," teriaknya sambil mendorong Ben dengan kasar dan mengambil beberapa langkah
menjauhinya. Ben hanya menyeringai seakan dia baru memenangi sesuatu. Kemungkinan kontes gorilla yang
mampu memukuli dadanya paling lama. Goooddd!!! Bagaimana dia pernah tertarik pada lakilaki seperti ini" Jana mengangkat tangannya dan menyentuh tempat Ben baru saja
mencupangnya beberapa menit yang lalu. Kulitnya terasa agak perih, membuatnya meringis.
Tiba-tiba Ben sudah berdiri di hadapannya. "Did I hurt you?" tanyanya sambil mengangkat
kedua tangan, siap memeriksa lehernya.
Sebagai jawaban, sekali lagi Jana mengambil beberapa langkah menjauhinya. Dia betul-betul
tidak mau disentuh oleh Ben lagi, tidak setelah apa yang baru saja dilakukannya. Laiki-laki itu
selalu bisa menggoreng akal sehatnya dengan sentuhannya. Dan dia memerlukan seluruh akal
sehatnya kalau mau berbicara serius dengannya.
Ben menyipitkan mata. Jelas-jelas tidak suka bahwa Jana blak-blakan menolak perhatiannya.
"Berhenti menghindar! Aku Cuma mau pastiin leher kamu nggak pa-pa," geram Ben.
"Well, what do you think, Ben" Kamu baru aja nyupang aku!" Jana balik menggeram.
Kali ini Ben nyengir dan berkata, "Seingat aku, kamu suka kalo aku cupang, babe."
Menolak mengomentari cara Ben memanggilnya, dia berkata, "Kamu nih mau lihat Raka dan
Erga nggak sih setelah hari ini?"
"Of course." "Kalo gitu berhenti bikin aku marah dan duduk di meja makan. Kita perlu bicara," geram Jana
sambil menunjuk ke arah meja makan.
Ben memberikan tatapan kesal padanya. Tatapan itu mirip sekali dengan tatapan yang Erga dan
Raka selalu berikan kalau mereka tidak menyukai perintahnya. Jana memberikan satu ekspresi
yang paling ditakuti oleh Erga dan Raka, yaitu merapatkan bibirnya hingga menjadi garis lurus
dan melontarkan tatapan setajam pisau. Tanpa dia sangka-sangka, ekspresi ini juga berfungsi
pada Ben yang pada detik itu melangkah menuju meja makan dan mendudukkan dirinya pada
kursi yang tadi dia tempati.
Jana memilih tetap berdiri dan memulai pidatonya. Dia tidak tahu apakah dia sudah mengambil
keputusan yang benar dengan melakukan ini. Dia hanya bisa berdoa dan berharap semuanya
akan baik-baik saja setelah ini.
"Sebelumnya, aku minta maaf karena udah pergi ninggalin kamu begitu aja di restoran tadi
siang. Aku terlalu terbawa emosi sampe nggak" nggak bisa menghargai usaha kamu yang udah
nyoba jujur tentang situasi kamu."
Jana melirik Ben yang kelihatan mendengarkan kata-katanya dengan saksama sebelum
melanjutkan. "Aku tebak kamu di Jakarta hanya untuk liburan?"
"Not exactly." "Sambil kerja, then?"
Ben sekali lagi menggeleng, membuat Jana bingung. "Oke, jadi kamu di Jakarta ngapain?"
"Aku pulang ke Jakarta specifically untuk nyari kamu. Untuk minta maaf tentang situasi delapan
tahun lalu, dengan harapan kamu mau maafin aku. Dan mungkin" kita bisa coba kenal satu
sama lain lagi. Tapi itu sebelum aku tahu tentang Erga dan Raka."
Kata-kata Ben membuat Jana berhenti mondar-mandir untuk menatapnya. Holy cow, is he really
serious" Apa dia betul-betul datang ke Jakarta hanya untuknya" No way. Dia tidak tahu apa yang
harus dia rasakan mendengar kata-kata ini. Akhirnya dia hanya berdiam diri.
"Erga dan Raka are great kids, Jan. happy kids. Dan aku bisa lihat mereka betul-betul adore
kamu dan kamu adore mereka. Aku selalu tahu kamu akan jadi Ibu yang baik, dan aku benar.
Thank you" karena udah ngebesarin dan ngejagain mereka dengan baik. Aku minta maaf
karena nggak bisa bantu selama ini. Aku ingin sekali mengubah itu dengan membagi tanggung
jawab dengan kamu, kalo kamu setuju. Semua keputusan ada di tangan kamu."
Kata-kata Ben barusan membuatnya tiba-tiba pusing dan tidak bisa menarik cukup oksigen ke
dalam paru-parunya. Whoa, dia perlu duduk.
*** Setengah detik saja dia terlambat, Ben yakin kepala Jana sudah akan membentur lantai. Dan dia
akan memiliki masalah menjelaskan kepada Mami Jana kenapa ada benjol di kepala anaknya,
atau lebih parah lagi, kenapa anaknya dibawa pergi naik ambulans. Dia langsung menggendong
Jana dan mendudukannya di atas sofa.
"Breathe, Jan, breathe" there you go" oke, sekali lagi. Tarik napas dalam. Lepasin. Good girl."
Ketika dia melihat mata Jana sudah kembali focus, dia berlari ke meja makan untuk mengambil
teh manis yang tadi di tinggalkan Jana. Buru-buru dia meminta Jana meminumnya sampai habis.
Setelah wajah Jana yang tadinya pucat sudah kembali berwarna lagi, dia bertanya, "Better?"
Jana mengangguk. "Kamu mau the lagi" Aku bisa bikini kalo kamu mau."
Jana menggeleng dan Ben mengambil cangkir kosong dari genggaman Jana dan meletakannya di
atas meja. "Sori, aku nggak bermaksud?"
"Kepan kamu harus kembali ke Amerika?" Jana memotong kata-katanya.
"Aku baru perpanjang cutiku sampe bulan depan. Aku bilang ke bosku ada urusan keluarga yang
harus diselesaikan."
"Jadi kamu Cuma ada waktu sebulan?" Tanya Jana dengan nada skeptic.
Ben mencoba untuk tidak meringis ketika mengatakan, "Iya." Melihat keraguan di mata Jana
membuat Ben panic, dan tanpa berpikir dia sudah berkata, "Aku berharap bisa menggunakan
waktu ini untuk mengenal Erga dan Raka lebih jauh. Dan kamu bisa menggunakan waktu ini
untuk mutusin apa kamu mau aku permanen di dalam kehidupan mereka."
"Dan kalo aku mutusin satu bulan nggak cukup bagi kamu untuk mengenal Erga dan Raka, apa
yang akan kamu lakukan?"
"Aku akan resign dari kerjaanku di Chicago dan balik ke Indonesia."
Ben kaget sendiri dengan kata-katanya itu. Apa dia betul-betul akan melakukan ini" Ini sama
sekali nggak ada di dalam agendanya ketika dia merencanakan pembicaraannya dengan Jana
seminggu belakangan ini. "You would do that?" Tanya Jana, sama terkejutnya dengan Ben.
Ben tidak ada waktu untuk berpikir. Kalau dia memang serius mau menjadi ayah bagi Erga dan
Raka dan berkesempatan memperbaiki hubungannya dengan Jana, dia harus melakukan ini
sekarang. Dia sudah mementingkan diri sendiri delapan tahun lalu, dia tidak akan melakukannya
lagi. Dengan satu tarik napas, Ben melakukan sesuatu yang dia tidak pernah lakukan
sebelumnya: terjun ke dalam air yang dia tidak tahu kedalamannya.
"Absolutely. Erga dan Raka bukan Cuma anak-anak kamu, mereka juga anak-anakku. Kerjaan
akan selalu bisa dicari di Jakarta, tapi aku nggak mau lagi ketinggalan kesempatan menjadi
bagian kehidupan Erga dan Raka.
BAB 14 You get me knocking at your door
And I"ll be coming back for more
"Mama nggak peduli, pokoknya Mama mau lihat cucu-cucu Mama."
Ben mencoba mengitari Mama, yang berdiri sambil bertolak pinggang dan ngomong dengan
nada ngotot di depannya, agar bisa mengenakan sandalnya. Semenjak beliau tahu tiga hari yang
lalu bahwa dia akan pergi berenang dengan Erga dan Raka, beliau tidak henti-hentinya
memburunya agar diperbolehkan ikut.
"Cuma sebentar aja, Ben. Mama bahkan nggak akan turun dari mobil," desak Mama.
Ben melirik Papa yang meskipun tidak mengatakan apa-apa, tapi wajahnya kelihatan seperti
anak anjing di tempat penampungan yang minta diadopsi. Dia tidak akan mendapatkan
pertolongan dari pihak ini.
"Ma, kan aku udah bilang. Aku perlu ngomong sama Jana dulu sebelum aku bisa bawa Erga dan
Raka ketemu keluarga kita," Ben mencoba menenangkan.
"Tapi kita ini mbahnya dua anak itu. Kita udah nunggu tujuh tahun untuk ketemu mereka, Ben."
"I know. I know. Aku akan bicara dengan Jana, oke?"
"Kapan kamu akan bicara sama dia?"
"Hari ini. Aku janji. Dah, please, jangan ngomel-ngomel lagi. Aku udah telat nih." Dan dengan
begitu Ben langsung mencium Mama dan melambaikan tangannya kepada Papa sebelum buruburu menuju pintu depan.
"Kamu setidak-tidaknya bisa naik mobil untuk ke kolam renang," teriak Mama.
"Nggak pa-pa, Ma, aku udah telepon taksi," jawabnya dan menutup pintu.
*** "Raka, Erga, denger Bunda. Seperti yang Bunda udah bilang, Oom Ben aka nada di kolam
renang sama kalian hari ini. Bunda nggak akan ikutan berenang, tapi Bunda akan ada deket situ,
oke" Jangan bandel. Jangan main tindih-tindihan sama Oom Ben di kolam renang. Bunda nggak
mau kalian kelelep."
"Ya, Bunda," jawab Erga dan Raka bersamaan.
"Apa Oom Ben bener-bener bakal ngajarin kita berenang?" lanjut Raka dengan mata berbinarbinar.
"Tentu saja, sayang. Kan dia udah Janji."
Jana masih tidak percaya Ben menjanjikan ini kepada anak-anaknya. Dia tahu Ben jago
berenang, tapi dia tidak menyangka Ben akan mau melakukan ini. Yang dia lebih tidak percaya
lagi adalah betapa antusias anak-anaknya mendengar Ben akan ikut berenang sehingga mereka
nggak berhenti membicarakannya selama tiga hari ini.
Dia belum bertemu dengan Ben lagi semenjak di rumah Mami, tapi mereka banyak berbicara di
telepon untuk merencanakan acara renang ini. Selain itu, mereka juga membicarakan tentang
berbagai cara untuk mendekatkan Ben dengan Erga dan Raka. Ben menawarkan untuk
mengantar-jemput mereka ke sekolahan dan menjaga mereka sampai dia pulang kerja minggu
ini, tapi Jana belum merasa cukup comfortable untuk meninggalkan anak-anaknya berjam-jam
sendiri dengan Ben. Ya, dia tahu dia terdengar seperti orangtua super protektif terhadap anakanaknya, tapi mau dibilang apa lagi" Bukannya dia merasa Ben nggak kompeten untuk menjaga
Erga dan Raka selama beberapa jam, sebaliknya, dia takut Ben akan terlalu kompeten sehingga
anak-anaknya nggak pernah mau pulang lagi dengannya. No, dia bukan orangtua super protektif,
dia orangtua yang memiliki ketakutan nggak jelas tentang ayah anak-anaknya.
Melalui pembicaraan di telepon ini juga Jana tahu Ben kini tinggal di rumah orangtuanya,
sesuatu yang katanya membuatnya sudah mau gila. Jana mengerti perasaannya karena
sejujurnya, dia tidak bias membayangkan kalau dia masih harus tinggal dengan Mami dan Papi.
Tadinya Ben langsung mau mengirimkan surat pengunduran dirinya ke kantor dan mencari
tempat tinggal permanen di Jakarta saat itu juga, tapi Jana berkata dia seharusnya menggunakan
waktu sebulan ini untuk memikirkan masak-masak apakah menjadi ayah bagi Erga dan Raka
adalah sesuatu yang memang ingin dan bisa dia lakukan. Setidak-tidaknya h\itulah alasan yang
dia ajukan kepada Ben, tapi alasan sebenarnya adalah, dia sendiri juga perlu waktu untuk
mempertimbangkan apakah dia bisa menerima Ben menjadi bagian kehidupannya secara
permanen. Ketika memasuki pelataran parkir, dia melihat Ben baru saja turun dari taksi. Dia kini tahu Ben
sama sekali nggak nyetir di Jakarta, memilih naik taksi ke mana-mana. Dia bilang ini lebih
mudah karena, pertama, dia nggak tahu jalan-jalan di Jakarta yang banyak berubah selama
sepuluh tahun belakangan ini; kedua, dia nggak yakin bisa bersaing dengan keagresifan para
pemudi Jakarta. "Bunda, itu Oom Ben. Ayo turunin kaca jendela, aku mau panggil Oom Ben," teriak Raka yang
kelihatan siap loncat dari kursinya.
"Mana" Mana?" Tanya Erga tidak kalah antusiasnya.
"Tunggu sebentar ya, sayang, Bunda lagi parkir," ucap Jana dan memundurkan mobilnya pada
tempat parkir yang ditunjukkan satpam.
Setelah mobilnya terparkir dengan sempurna, dia menekan tombol untuk menurunkan kaca
jendela dan harus menutup kupingnya karena teriakan keras Erga dan Raka, yang dia yakin bisa
terdengar sampai ke Papua. Ben sempat celingukan mencari asal suara itu dan langsung
melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar ketika melihat mereka. Hari ini dia mengenakan
celana pendek kargo dan kaus polo warna biru langit. Lain dari biasanya, kali ini kakinya hanya
ditutupi sandal warna hitam. Tangan kanannya menggenggam tas kecil, yang dia tebak berisi
peralatan renang. Ketika Jana baru saja membuka pintu mobil, Ben sudah melakukannya
untuknya. "Hey," ucapnya.
"Hi," balas Jana.
Kenapa dia kedengaran seperti orang kehabisan napas begini" Damn it! Ben hanya mengatakan
"Hey" dan dia sudah lumer seperti es krim di bawah matahari. Untungnya Ben, yang sudah
mengitari mobil untuk membantu Erga dan Raka turun, tidak menyadari hal ini. Untuk beberapa
menit, Raka tidak berhenti bicara sambil sekali-sekali diselingi oleh Erga, sementara mereka
Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengeluarkan semua peralatan renang dari mobil dan menuju pintu masuk. Di antara semua
kehebohan ini, Ben tidak kelihatan bingung atau tidak sabar sama sekali. Dia berhasil menjadi
bagian pembicaraan itu dengan memberikan komentar sana-sini, yang membuat Erga dan Raka
tergelak. Setelah Ben, yang menolototinya ketika Jana mengeluarkan dompet, membayar tiket
masuk, mereka menuju kolam renang.
Ben membiarkan Erga dan Raka jalan duluan sebelum berkata, "Hey, thanks ya karena
ngebolehin aku ngabisin hari ini dengan mereka."
Jana agak terkejut dengan kata-kata Ben yang diucapkan dengan sangat tulus itu. Mau tidak mau
senyum simpul muncul pada sudut bibirnya. "You"re welcome, Ben. Sejujurnya, aku nggak tahu
siapa yang lebih excited untuk hari ini. Kamu atau mereka. Udah tiga hari mereka nonstop
ngomongin tentang kamu dan acara renang ini."
"Oh ya?" Jana tertawa melihat keterkejutan, keheranan, kemudian kegembiraan yang terpapar pada wajah
Ben. "They really like you. Aku nggak pernah liat mereka sebegini excited-nya untuk ketemu
orang, terutama Erga. Seperti yang kamu udah lihat, dia jauh lebih pendiam daripada Raka. I
think you made an impression on them. Mereka nggak sabar untuk wrestling lagi sama kamu."
"Well, mereka boleh wrestling sama aku kapan aja."
"Selama itu nggak di kolam renang, aku nggak ada masalah."
"Whatever you say, Bunda," ledek Ben, sengaja menekankan kata "Bunda".
Jana mendelik dan Ben tertawa terkekeh-kekeh. Tawa itu membawa kehangatan tak diundang
pada hatinya. "Apa Erga dan Raka perlu ke kamar ganti untuk pake celana renang?" Tanya Ben.
"Nggak. Mereka udah pake di bawah celana pendek mereka. Kamu sendiri?" balas Jana.
"Sama." "Oh, oke. Let"s go, then," ucap Jana, mempercepat langkahnya untuk menyusul Erga dan Raka
yang sudah menemukan tempat di bawah paying.
"Kamu nggak perlu ganti?" Tanya Ben, menyamai langkah cepatnya.
"Oh, aku nggak akan berenang hari ini."
"Oh, kok gitu?"
"Lagi nggak kepengen aja."
Jana mencoba menjawab dengan nada sesuai mungkin. Andaikan Ben tahu bahwa alasan dia
nggak berenang hari ini adalah karena memikirkan Ben melihat tubuhnya dengan hanya ditutupi
baju renang membuatnya bergidik. Ya, Ben memang pernah melihatnya naked, tapi itu delapan
tahun lalu, waktu dia masih gadis berumur 19 tahun, di mana tidak ada lemak sama sekali pada
tubuhnya. Membayangkan Ben melihat tubuh ibu-ibu berumur 27 tahun miliknya sekarang
cukup untuk memberinya mimpi buruk.
"Apa Erga dan Raka biasa masuk kolam renang sendiri?" Tanya Ben, wajahnya kelihatan sedikit
bingung. "Nggak pernah. Biasanya pasti ada aku sama mereka."
"Oke.. jadi kenapa kamu nggak berenang sama mereka hari ini?"
Jana tidak tahu alasan apa yang bisa dia berikan untuk membuat Ben berhenti
menginterogasinya. Untungnya Raka berteriak memanggil Ben pada saat itu.
"Go ahead. Aku perlu ke toilet sebentar. Aku akan nyusul sebentar lagi," ucap Jana dan dengan
begitu dia langsung ngibrit menuju toilet meskipun dia tidak berniat menggunakan fasilitas itu
sama sekali. *** Ketika Jana keluar beberapa menit kemudian, dia menemukan anak-anaknya sudah melepaskan
kaus mereka dan hanya mengenakan celana renang. Ben yang kini mengenakan celana renang
selutut, meskipun masih mengenakan kausnya, sedang mengaduk-aduk tasnya mencari sesuatu.
"Um, kayaknya Oom lupa bawa Coppertone,"
Jana mendengar Ben berkata dan respons Raka yang menanyakan Coppertone itu apa.
"Um.. itu sun-block yang kamu oles di kulit supaya nggak terbakar matahari ," jelas Ben.
"Oh, kayak Nivea ya, Oom?" Tanya Erga
"Oh iya, kamu pake Nivea ya di Indonesia," gumam Ben.
Jana melihat Erga mengeluarkan botol Nivea dari dalam tas renangnya dan memberikannya
kepada Ben. "Ayo, kalian jangan lupa pake Nivea juga." Ucap Jana.
Ben menoleh mendengar suaranya dan tersenyum sebelum meletakkan botol itu di atas meja dan
mulai menanggalkan kausnya. Ketika kaus itu melayang ke salah satu sandaran kursi, dan untuk
pertama kali Jana bisa melihat tubuh laki-laki setengah telanjang dengan mata kepalanya sendiri
setelah bertahun-tahun ini, dia hanya bisa menganga. Apa yang dilakukan laki-laki ini selama
delapan tahun belakangan" Pergi ke gym setiap hari" Dia kelihatan seperti model iklan
Abercrombie& fittch. NGGAK ADIL! NGGAK ADIL!!! NGGAK ADIII"LLL!!!
Dengan sekuat tenaga dia berusaha mengalihkan tatapannya dari dada yang bidang dan perut six,
no wait, eight packs mulus itu, tapi otot lehernya menolak bekerja sama. Kerongkongannya
mulai terasa kering, dan dia sepertinya juga tidak bisa menyuruh otot rahangnya untuk menutup
mulutnya. Ben yang sama sekali tidak sadar akan pesona tubuhnya, kini sibuk mengoleskan
Nivea pada tubuh Erga. Jana berusaha tidak menggeram ketika Ben memutar tubuhnya dan
mempertontonkan punggungnya yang nggak kalah seksinya. Untuk beberapa menit Jana
terkesima melihat gerakan otot pada punggung Ben. Dia ingin melarikan tangannya pada
punggung itu. Oh Hell, dia ingin melarikan tangan, lidah, bibir, dan giginya pada punggung
indah laki-laki itu. Ben mengenakan celana renangnya cukup rendah sehingga dia bisa melihat dua lesung pada
dasar tulang punggungnya. Mau tidak mau matanya mengambil inventori punggung Ben, dari
belakang leher, hingga ke dua lesung yang oh dear God, I"m going to hell seksi banget itu. Apa
punggung Ben selalu seseksi ini" Kalau ya, bagaimana mungkin dia tidak pernah menyadarinya
sebelumnya" Bagian tubuh apa lagi yang dia tidak pernah sadari keseksiannya" Oh, dia ingin
membawa Ben pulang, menelanjanginya, dan mengeksplorasi tubuh itu dengan lebih teliti.
"Oke, dah kelar."
Kata-kata Ben membuat Jana menutup mulut. Ketika pikirannya sedang melayang bersama
libidonya, ternyata Ben sudah selesai mengoleskan Nivea pada Raka juga dan kini dia sedang
mengolesi lengannya. Dear God, dia perlu pergi dari sini sebelum tidak bisa menahan nafsunya
lagi dan melakukan tindakan keganasan. Misalnya, menyerang Ben di kolam renang umum
seperti ini. Dia baru saja akan lari terbirit-birit menuju tempat persembunyiannya lagi, alias toilet
wanita, ketika Ben menyodorkan botol Nivea padanya.
"Bisa tolong kamu olesi punggung aku" Tanganku nggak nyampe."
CRAAAPPP!!! *** Tidak ada kata yang bisa menggambarkan betapa bahagianya Ben hari ini. Dia bisa
menghabiskan seharian penuh dengan anak-anaknya. Karena mereka sampai di kolam renang
pagi, maka kolam renang masih cukup sepi dan Ben menggunakan waktu ini untuk mengajari
Erga dan Raka cara berenang yang benar. Mereka menghabiskan setengah jam pertama untuk
pemanasan tubuh. Setelah yakin otot-otot mereka tidak akan kejang, Ben meminta mereka masuk
ke kolam renang. Dia sengaja menggunakan sisi kolam renang yang paling dangkal untuk
memulai latihan pernapasan dalam air. Melihat konsentrasi Raka dan Erga mulai lari sekam
kemudian, dia mengusulkan adar mereka main tembak-tembakan dengan pistol air yang mereka
bawa. Bosan dengan tembak-tembakan, mereka main cebur-ceburan dan baru berhenti ketika
Jana memanggil mereka untuk makan siang.
"Oom, habis ini kita latihan napas dalam air lagi, ya." Ucap Raka dengan mulut penuh hotdog.
Ben tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari Jana, yang sibuk mengurusi makan anak-anak dan
juga dirinya. Dia mengenakan topi lebar dan dress katun berwarna putih longgar tanpa lengan.
Dress itu memang biasa-biasa saja dan jauh dari kata seksi, tapi entah kenapa, Jana bahkan
kelihatan lebih seksi daripada model-model iklan Victoria"s Secret. Ketika Jana melewatinya, dia
bisa mencium aromanya yang bercampur dengan matahari, membuat libidonya naik. Untung saja
dia sedang duduk, bisa berabe kalau anak-anaknya sampai melihat kondisi tubuhnya sekarang.
Menyadari Raka menunggu jawabannya, buru-buru Ben berkata, "Boleh aja. Nanti kalo kamu
udah bisa napas dalam air, Oom akan ajarin caranya ngapung."
"Aku tahu cara ngapung," sambut Raka.
"Oh ya?" Ben mengambil hotdog yang ditawarkan Jana padanya sambil memberikan tatapan
penuh terima kasih yang membuat pipi Jana memerah.
"Iya, aku bisa ngapung lebih lama daripada Erga."
"Hebat dong," puji Ben, mengigit hotdognya.
"Iya, kalo menurut kamu salah satu kaki masih nyentuh dasar kolam sebagai ngapung," celetuk
Jana membuat Ben tersedak.
Jana buru-buru memberikan botol minum yang dibawanya kepadanya lalu menepuk-nepuk
punggungnya. Ben langsung meminum setengah isi botol itu untuk mendorong hotdog yang
nyangkut di kerongkongannya.
"Oom Ben nggak pa-pa?" Tanya Erga penuh kekhawatiran.
"Iya" uhuk" uhuk" Oom nggak pa-pap. Cuma" uhuk" uhuk" keselek hotdog aja."
"You okay?" Tanya Jana pelan.
Ben mengangguk. Dia menyukai perhatian yang diberikan Jana padanya. Betul-betul
menyukainya. Terutama ketika tangan Jana yang tadinya menepuk-nepuk punggungnya sudah
naik ke bahunya dan mulai memijatnya. Oh God! Sentuhan tangan Jana membuat matanya
hampir saja berputar ke belakang kepalanya.
"Yeah. I"m good. Tapi aku nggak keberatan untuk batuk-batuk lagi kalo kamu terus mijetin aku
kayak gini." Seperti baru menyentuh bara api, Jana langsung menarik tangannya. Tapi kalah cepat karena
tangan Ben sudah melingkari pergelangan tangan kirinya erat. "Hei, kamu mau kemana?"
"Ben," desis Jana dan berusaha memutar pergelangan tangannya agar dilepaskan.
"Yes, babe?" jawab Ben dengan tawa pada tatapannya.
"Not here. Ada anak-anak," bisik Jana sambil melirik Erga dan Raka yang sudah selesai
memakan hotdog mereka dan sibuk mengoleskan Nivea ke tubuh masing-masing.
"Oh, mereka bisa survive tanpa kamu untuk beberapa menit."
"That"s not the point," geram Jana dan dengan tangan kanannya berusaha mengangkat
cengkeraman tangan Ben pada pergelangannya.
Ketika Ben menolaj bekerja sama, Jana mencakarnya, tidak sampai merobek kulitnya, tapi cukup
dalam sehingga meninggalkan bekas-bekas bulan sabit pada kulitnya. Damn it, that hurt. God ,
this woman in pissing him off. Jana sudah menggodanya dengan pakaian, aroma, senyuman, dan
sentuhannya selama beberapa jam ini. Perempuan ini sudah gila kalau menyangka dia akan diam
saja disiksa seperti ini.
*** Perlahan-lahan Ben bangun dari kursinya dan menarik Jana dengan paksa ke dalam pelukannya
dan berbisik, "Kalo kamu mau main kasar, all you have to do is ask, honey."
Dia mendengar Jana terkesiap sebelum menggeramkan, "Lepasin aku, Ben! Kalo nggak aku akan
angkut Erga dan Raka pulang sekarang juga."
Ben melepaskan Jana yang segera mengusap-usap pergelangan tangannya sambil menatapnya
penuh kemarahan. Seperti biasa, Jana selalu membuatnya bingung dengan tingkah lakunya yang
sudah seperti lirik lagu yang dia dengar di radio akhir-akhir ini. Satu detik dia hot, detik
selanjutnya dia cold. Dan hari ini bukan pengecualian.
"Oom Ben, ayo kita belajar napas lagi," panggil Raka, membuyarkan pikirannya.
"Oke, kamu sama Erga masuk duluan. Nanti Oom Ben nyusul," jawab Ben sebelum duduk
kembali di kursinya. Jana sibuk membereskan sisa makanan di atas meja dan menolak menatapnya. Ben membuka
tutup botol Nivea dan mengoleskan ke seluruh tubuhnya. "Mama dan Papaku Tanya kapan
mereka bisa ketemu Erga dan Raka."
Kata-katanya ini membuat Jana menghentikan apa pun yang sedand dilakukannya dan
menatapnya. Dan Ben berpikir bahwa Jana akan menolaknya ketika dia berkata, "Hari minggu
depan gimana?" "Jam berapa?" "Pagi. Mungkin jam Sembilan."
"Oke. Di mana?"
"Kalo kamu kasih alamat rumah orangtua kamu, aku bisa bawa mereka ke sana."
Ben menaikkan alisnya, sedikit terkejut dengan tawaran murah hati ini. "Apa yang akan kamu
bilang ke Erga dan Raka tentang orangtuaku?"
Jana menarik napas dalam dan mengembuskannya terlebih dahulu sebelum menjawab, "Bahwa
mereka orangtua kamu, dan bahwa mereka pengin banget ketemu."
Ben mendengus. Dia tahu kata-kata "Pengin banget ketemu" terlalu jinak untuk menggambarkan
perasaan Mama dan Papa tentang Erga dan Raka. "Dan kapan kamu akan bilang ke Erga dan
Raka aku ini ayah mereka?"
Tanpa Ben sangka-sangka, Jana justru kelihatan bersalah, dan ini membuatnya waswas. "Kamu
memang ada rencana untuk bilang ke mereka, kan?"
"Iya, aku memang ada rencana. Cuma" um" aku perlu waktu untuk bilang ke mereka. Perlu
cari kata-kata yang tepat."
"Apa kamu udah coba, Raka, Erga, ini Oom Ben, dan dia ayah kalian?" ucap Ben dengan nada
sarkastis. "Um" situasinya lebih complicated daripada itu."
"Complicated gimana?"
Jana kelihatan semakin bersalah. "Aku bilang" aku bilang" ayah mereka sudah" sudah ada di
surge." Membutuhkan beberapa detik bagi Ben untuk mencerna kata-kata Jana, dan ketika dia
memahaminya, dia langsung berteriak, "YOU TOLD THEM I"M DEAD?""!!!"
BAB 15 Just see the signal when my heart explodes.
Nervous adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Jana hari ini. Untuk menembus
kesalahannya yang sudah memberikan informasi tidak benar kepada anak-anaknya tentang
keberadaan Ben, Jana memperbolehkan Ben menjemput anak-anak dari sekolah sendiri dan
membawa mereka ke rumah orangtuanya, di mana dia akan menjemput mereka setelah pulang
kerja. Agar Erga dan Raka nggak kaget atas perubahan ini dan juga untuk mengenalkan Ben
dengan rutinitas ini, selama dua hari belakangan dia selalu mengajak Ben kalau menjemput
mereka. Setiap beberapa menit matanya kembali melirik jam tangannya. Ben berjanji untuk
member kabar begitu dia menjemput Erga dan Raka dan dia tidak bisa tenang sampai menerima
kabar itu. Jana hampir meloncat dari kursinya ketika mendengar suara Papi yang menggelegar
memanggil namanya. "Ya, Pak?" Untuk menjaga etika kerja professional, dia tidak pernah memanggil Papi dengan "Papi" kalau di
depan umum. Dia selalu menggunakan "TO" atau "Pak".
"Kecuali ada hal yang lebih penting yang harus kamu lakukan, saya sarankan kamu focus pada
meeting ini," ucap Papi.
"Ya, Papi juga tidak pernah memanggil dirinya "Papi" di depan umum, selalu menggunakan kata
"saya", meskipun dia sedang berbicara dengan anaknya sendiri.
"Baik, Pak," balas Jana.
Oh, God. Dia berharap Ben nggak terlambat menjemput mereka. Kalau dia sampai terlambat
atau nggak nongol, Jana akan membunuhnya. Tapi gimana dia bisa menelepon kalau ponselnya
ada di laci meja kerjanya sementara dia sedang ada di ruang rapat" Shit!!! Papi sedang
memelototinya, dia sebaiknya kembali focus pada meeting ini kalau nggak mau ditegur lagi.
*** Ben menunggu hingga Erga dan Raka keluar sekolah sambil berdiri di samping mobil Mama.
Oji, sopir Mama, duduk di belakang setir, menunggu sambil tetap menyalakan mesin. Dia
melihat ada banyak sekali mobil yang antre, berisi ibu-ibu dan sopir. Dua kali dia ikut Jana
menjemput, dia selalu duduk di dalam mobil karena Jana datangnya mepet dan hanya akan
mengangkut anak-anak terus cabut. Oleh karena itu, dia agak sedikit terkesima melihat antrean
ini. Ada satu ibu-ibu dengan dandanan superheboh yang sedari tadi memperhatikannya dengan
penuh keingintahuan, membuatnya sedikit risi. Ada sesuatu tentang penampilan ibu-ibu itu yang
mengingatkannya pada karakter di Desperate House Wives. Penekanan pada kata "desperate".
Wanita itu menatapnya seakan dia sepotong daging yang mau dilahapnya mentah-mentah.
Gggrrr" wanita seperti ini selalu membuatnya bergidik. Dan dia cukup berpengalaman untuk
segera menghindar kalau melihat mereka. Dia baru saja membuka pintu mobil, ketika ada orang
yang menepuk bahunya. Ketika dia menoleh dan menemukan wanita "Desperate" itu berdiri di
hadapannya sambil mengulurkan tangan, dia berusaha untuk tidak menggeram.
"Hai, kenalin saya Asti Jayadiningrat, mamanya Bowin."
Meskipun enggan, Ben tidak ada pilihan selain meraih uluran tangan itu kalau tidak mau dicap
tidak sopan. "Ben," ucapnya pendek.
"Mas ini ke sini mau jemput siapa, ya" Rasa-rasanya kita tidak pernah ketemu sebelumnya. Saya
tahu semua orangtua dan sopir di sini," ucap si ibu menor sambil menebarkan senyuman
lebarnya. "Oh, ya kita emang belum pernah ketemu. Ini hari pertama saya jemput anak-anak."
"Ooohhh" jadi Mas jemput lebih dari satu anak" Istri Mas lagi ke luar kota ya, jadi Mas yang
ditugasin jemput?" Duh! Nih perempuan rese banget sih! Apa dia pikir dia akan mendapat jawaban atas pertanyaan
yang ditanyakan dengan nada sok imut bak dia masih belasan tahun" Yang ada juga malah bikin
dia mau kabur. Dan itulah yang akan dia lakukan sekarang.
"Oh nggak, istri saya ada di rumah. Masih kecapekan setelah seks maraton kami tadi malam.
Selamat siang," tandas Ben dan buru-buru masuk ke mobil dengan senyum puas ketika melihat
kekagetan pada wajah wanita itu.
"Kabur, Mas?" celetuk Oji dengan aksen jawa-nya yang sangat kental sehingga membuat kata
"Kabur" terdengar sebagai "Kabor".
Ben mengerutkan dahi ketika melihat mata Oji berbinar-binar meledeknya. "Iya, nakutin banget
sih tuh ibu-ibu." "Lha wong dari tadi saya liatin dia ngeliatin Masss, aja,"
"Awas kalo kamu bilang-bilang ke Mama."
"Ya nggak dong, Mas."
Yakin Oji akan menepati janjinya, Ben kembali memfokuskan perhatiannya pada gerbang
sekolah. Dia hanya harus menunggu beberapa menit sebelum menemukan Erga dan Raka
berhamburan keluar bersama-sama dengan anak-anak lain dan celingukan mencarinya. Dia
segera menurunkan kaca jendela dan meneriakkan nama mereka, Erga dan Raka langsung
tersenyum lebar dan berlari secepat mungkin menuju mobil. Dia kembali turun dari mobil untuk
memeluk dan mencium mereka sebelum menaikkan mereka ke kursi belakang. Setelah
memastikan sabuk pengaman terpasang, dia meminta Oji membawa mereka ke rumah
Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orangtuannya. "Oom Ben, kata Bunda hari ini kita bakalan ngabisin waktu seharian sama Oom."
Karena tatapan Ben terpaku pada layar ponselnya.mencoba mengirimkan SMS kepada Jana
untuk memberitahukan bahwa Raka dan Erga sudah di tangan, dia tidak tahu siapa yang
bertanya. Tebakannya adalah Raka, oleh karena itu, setelah dia menekan send, dia memutar
tubuhnya dan menatap Raka sebelum menjawab, "Rencananya emang begitu, kamu excited
nggak?" "Oom Ben, yang tadi nanya itu aku, bukan Raka."
Mendengar ini Ben langsung mengalihkan perhatiannya ke Erga, yang sekarang sedang
menyeringai. "Wah, sori ya. Oom nggak bisa bedain suara kalian."
"Nggak pa-pa. bunda juga masih suka salah," balas Erga sambil sedikit cekikikan.
"Oom Ben." "Ya, Raka?" Ben mengalihkan perhatiannya kembali kepada anaknya yang satu lagi.
"Esaited itu apa, Oom?"
"Esaited?" Tanya Ben bingung.
"Yang tadi Oom bilang," ucap Raka sedikit tidak sabar.
Ben memutar otaknya mencoba mengingat kata-kata yang sudah diucapkannya. Ketika
mendapatkannya, dia langsung tertawa terbahak-bahak.
"Kok Oom ngetawain Raka gitu sih?" Raka terdengar betul-betul tersinggung karena sudah
ditertawakan. Ben buru-buru berhenti tertawa dan berkata, "Sori. Oom bilang excited, itu bahasa inggris yang
artinya.." dia ,emcoba mengingat-ingat perwakilan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia.
"Excited artinya seneng atau" gembira."
Dia mendengar Erga dan Raka mengatakan "Ooo" pada saat bersamaan, membuatnya tertawa
lagi. Oh my God, dia nggak sabar untuk memamerkan anak-anaknya pada Mama dan Papa. Dia
yakin, seperti juga dirinya, mereka akan langsung jatuh cinta pada mereka.
Dia tahu Mama sudah menunggu dengan tidak sabar di rumah. Itu terbukti dari frekuensi beliau
mengirimkan SMS untuk menanyakan ETA alias Estimated Time of Arrival alias kapan mereka
sampai" Ben sampai-sampai harus mensilent ponselnya. Untungnya Papa mesti menghadiri rapat
penting di kantor, jadi beliau tidak aka nada dirumah sampai sore. Dia mensyukuri ini, karena
kalau dia harus berurusan dengan dua orangtua emosional sekaligus, dia akan menembak
kepalanya. Sebagai persiapan menyambut cucu-cucunya, Mama sudah menstock rumah dengan jajanan
yang bisa membuat orang satu kampong hyper atau bahkan koma karena overdosis gula. Mulai
dari kue, biscuit, permen, sirup, susu cokelat, es krim, pokoknya apa pun yang mungkin di
inginkan oleh Erga dan Raka, Mama sudah menyediakannya. Papa juga tidak kalah parahnya,
beliau pun menstok rumah dengan mainan dan bacaan. Mulai dari sepeda, skateboard dengan
segala aksesoris keamanannya, mobil-mobilan pakai remote, robot-robotan Transformers, bukan
saja para Autobots, tapi Decepticons-nya juga, dan berbagai jenis bola yang diciptakan di dunia
ini. Sejujurnya, kalau beliau bisa menggali kolam renang di halaman belakangan dalam waktu
dua hari, beliau pasti sudah melakukannya.
Papa juga memaksanya naik ke loteng untuk menurunkan koleksi buku bacaannya waktu kecil.
Dia bahkan tidak tahu orangtuanya masih menyimpannya ketika dia melihat koleksi Noddy,
Detektif cilik, dan komik-komik DC dan Marvel miliknya. Selain itu dia juga melihat koleksi
Lima Sekawan dan Pasukan Mau Tahu-nya yang sayangnya sudah menguning di makan waktu.
Melihat semua buku ini, dia sadar betapa kutu bukunya dia waktu kecil. Dia hanya berharap bisa
membagi semua ini dengan anak-anaknya, toh mereka sudah membagi hobi berenang mereka,
mungkin mereka bisa membagi hobi membaca juga. Apa mereka sudah dikenalkan pada seri
Harry Potter oleh Jana" Hmm, dia harus menanyakan hal ini kepada mereka.
*** Ben mengembuskan napas lega karena bisa mendapatkan anak-anaknya kembali setelah dua jam
Mama memonopoli mereka dengan tidak memperbolehkan mereka meninggalkan sisinya. Mama
juga tidak henti-hentinya menyungguhkan semua jajanan yang dia miliki sampai Erga dan Raka
mendekatinya ketika Mama sedang menerima telepon, dan berbisik, "Oom Ben, kami laper."
"Umm, oke. Kamu mau kue lagi?" Raka dan Erga menggelengkan kepala mereka kuat-kuat.
"Es krim, kalo gitu?" sekali lagi mereka menggeleng.
"Roti pake susu?" Tanya Ben dengan nada sedikit ragu sambil memutar otak mencari makanan
apa lagi yang bisa dia tawarkan.
Lagi-lagi mereka menggeleng, "Oke, kalian mau makan apa kalo gitu?"
"Nasi," jawab Erga
"Pake sup terong," sambung Raka.
"Nasi sama sup terong?" Tanya Ben tidak percaya.
Sejak kapan anak-anak suka terong" Waktu dia kecil, sayuran yang paling dia benci adalah
terong. Kalau dipikir-pikir lagi, waktu kecil dia benci semua sayuran. Lalu dia ingat Jana suka
sekali makan terong, entah dibakar atau digoreng dia tahu nasi akan selalu tersedia di dapur, tapi
dia nggak yakin tentang terong dan segala tetek-bengek yang dibutuhkan untuk membuat sup.
Sejujurnya, dia sama sekali nggak tahu bumbu-bumbu apa saja yang akan dia perlukan. Selama
ini kalau mau makan sup, dia selalu membeli versi kalengan dari supermarket, dan yang dia
perlu lakukan adalah mencampurnya dengan air dan memasukkannya ke dalam microwave
sampai mendidih. Dia melirik Mama yang masih di telepon. Dan lain dengan kebanyakan orang, Mama nggak
punya pembantu rumah tangga yang bisa di mintai tolong. "Oke, kalo gitu kita cek apa ada
terong di dapur," ucapnya pasrah dan berjalan menuju dapur, diikuti Erga dan Raka.
Dia membuka lemari es dan mengucapkan syukur ketika menemukan terong ungu yang masih
baru dan segar. Dia juga mengeluarkan kol, daun bawang, dan seledri dari dalam lemari es. Dan
sambil menunggu hingga Mama selesai dengan teleponnya, dia menugaskan Erga dan Raka
mencuci semua sayuran itu.
Sesaat anak-anaknya kelihatan bingung dan dia bertanya, "Ada masalah?"
"Gimana cara cucinya, Oom?"
"Oh, begini." Dan Ben menunjukkan cara mencuci sayuran sebaik yang dia tahu. Dia tahu kalau
Mama melihat caranya, beliau pasti sudah mengomelinya. Diam-diam dia bersyukur Mama tidak
ada di dapur bersama mereka.
"Oom Ben." "Ya, Erga?" "Mbah yang itu bundanya Oom Ben, ya?"
"Iya. Emangnya kenapa?"
"Nggak kenapa-napa. Dia baik sama aku dan Raka. Aku suka sama dia."
Mau nggak mau Ben tersenyum atas kepolosan pernyataan ini. "Apa itu berarti kamu main ke
sini lagi besok-besok?"
Raka dan Erga mengangguk pada saat bersamaan dengan senyum lebar. Ben mengeluarkan
baskom dari dalam lemari untuk menampung sayuran yang sudah dicuci.
"Kalo ayah Oom Ben ada di mana?"
"Ayah Oom Ben masih di kantor."
"Pulang nya jam berapa?"
Ben melirik jam tangannya sebelum menjawab, "Sebentar lagi juga pulang. Apa kamu mau
ketemu ayah Oom Ben?"
"Apa ayah Oom Ben sebaik bunda Oom?"
Ben berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan ini. "Tergantung. Tapi biasanya sih begitu,"
ucapnya akhirnya. "Oom Ben?" "Ya, Raka?" "Gimana sih rasanya punya ayah?"
Wow, Raka baru saja menghantamnya dengan barbell seberat lima puluh kilo. Rasa bersalah
meremas hatinya. Dengan saksama dia memperhatikan ekspresi wajah Raka, takut akan melihat
kesedihan pada wajah kecilnya. Tapi yang dia temukan hanyalah keingintahuan. Ben
memformulasikan jawabannya sebaik mungkin. Pertanyaan ini mungkin terdengar mudah, tapi
untuk memberikan jawaban yang bisa dimengerti oleh anak berumur tujuh tahun, bukanlah
mudah. "Um" kamu tahu gimana Optimus Prime selalu bisa ngebuat kita ngerasa aman" Bahwa kalo
dia ada, kita tahu nggak akan ada apa pun yang bisa nyakitin kita?"
Raka mengangguk. "Ya itulah yang Oom rasa tentang ayah Oom. Dia Optimus Prime-nya Oom Ben."
Raka menunduk dan menggumamkan, "Kalo aku punya ayah, aku juga mau kayak Optimus
Prime. Sayang ayah Raka dan Erga udah di surge."
Ugh!!! Dia betul-betul akan membunuh Jana atas kebohongannya. Dia ingin berlutut di hadapan
anak-anaknya untuk mengatakan bahwa dialah ayah mereka dan dia memang Optimus Prime.
Heck, dia adalah Omega Prime yang tidak akan membiarkan apa pun terjadi kepada mereka. Dia
menyesali keputusannya beberapa hari yang lalu untuk membiarkan Jana menunda
memberitahukan anak-anak tentang identitasnya hingga waktu yang dinilai tepat oleh nya.
Karena lebih dari apa pun juga, dia ingin mendengar Erga dan Raka memanggilnya "Ayah",
bukan "Oom Ben", sekarang.
"Oom Ben istrinya mana?"
Ben hanya bisa berkedip mendengar pergantian topik ini.
"Um" Oom nggak punya istri," ucapnya sambil menurunkan panic dari gantungannya di atas
kompor. "Oom ada pacar?"
Ben berusaha untuk tidak tertawa ketika menjawab, "Nggak. Nggak ada pacar juga."
Raka kelihatan mengerutkan dahi lalu berkata, "Bunda juga nggak punya pacar."
"Atau suami," tambah Erga.
Oke" Ben tidak tahu ke mana anak-anaknya akan membawa percakapan ini sampai Raka
berkata, "Menurut Oom, bunda cantik nggak?"
Dan kali ini Ben tertawa. Bless them, mereka sedang mencoba menjodohkannya dengan Jana.
"Menurut Oom, Bunda kalian cantik sekali," ucap Ben di antara tawanya.
Pujian ini membuat wajah Erga dan Raka langsung berseri-seri. "Oom mau nggak jadi pacarnya
Bunda?" Say what?""!!! Dari mana datangnya pertanyaan ini" Yang lebih penting lagi, bagaimana dia
menjawab pertanyaan ini" Suatu pertanyaan yang penuh dengan ranjau. Kalau dia menjawab
mau memacari Jana, dan Raka dan Erga melaporkannya kepada Jana, dia yakin Jana akan lari
sebelum dia bisa berkedip. Sedangkan kalau dia mengatakan "Nggak", kemungkinan akan
menyinggung hati Jana. Sesuatu yang tidak mau dia lakukan sama sekali, terutama karena
kepalanya meneriakkan agar dia mengatakan "Iya".
"Errr" Oom sih mau-mau aja. Masalahnya adalah, apa Bunda kalian mau pacaran sama Oom?"
Raka kelihatan berpikir sejenak, sebelum berkata dengan antusias, "Aku bakal Tanya Bunda?"
"No, no, no! jangan Tanya Bunda," potong Ben cepat.
Erga dan Raka langsung menatapnya heran. Ben menelan ludah dan berkata dengan lebih tenang,
"Maksud Oom" lebih baik kalo" kalo kalian nggak bilang-bilang ke Bunda tentang omongan
kita hari ini, oke?"
"Emangnya kenapa, Oom?"
"Karena.. karena ini.. rahasia penting. Rahasia penting yang Cuma boleh diketahui sama kita
bertiga" laki-laki. Perempuan nggak boleh tahu, termasuk Bunda. Oke?"
Erga dan Raka menatapnya seolah-olah dia setengah gila dan dia tidak menyalahkan mereka. Dia
memang kedengaran gila, bahkan untuk telinganya sendiri. Untuk mengalihkan perhatian
mereka, Ben berkata, "Oke, kayaknya sayurannya udah bersih. Ayo kita mulai potong."
Dan tanpa menunggu lagi, Ben langsung mengambil talenan dari rak cuci piring dan
mengeluarkan pisau dari dalam laci, siap memotong sayuran itu
*** Tepat pukul 17.00, Jana langsung kabur dari kantornya, tidak menghiraukan teriakan Papi yang
memanggilnya. Dia harus menjemput Erga dan Raka sekarang juga. Sesuai permintaannya, Ben
sudah memberikan update tentang apa yang anak-anak lakukan setiap jamnya, tapi itu tetap tidak
membawa ketenangan untuknya. Oh God, dia tidak percaya bahwa dia sudah memperbolehkan
Ben menjaga anak-anak semenjak tadi siang. Parahnya lagi, dia bahkan memperbolehkannya
mengenalkan mereka kepada orangtua Ben. Orangtua yang dia bahkan tidak pernah temui
sebelumnya. Bagaimana kalau mereka ternyata jenis orangtua yang senang memukul kalau anakanak bandel" Mengingat betapa bandelnya anak-anaknya, Jana bergidik membayangkan bokong
merah yang Erga dan Raka akan miliki setelah ini. Shit!!! Dia seharusnya bertemu orangtua Ben
lebih dulu sebelum hari ini untuk memastikan mereka "Ramah anak". Dia memang
merencanakannya di dalam kepalanya, tapi keburu mundur sebelum bisa melakukannya. Entah
kenapa, prospek bertemu orangtua Ben membuatnya panas-dingin. Dia takut mereka tidak akan
menyetujuinya. Takut mereka akan menghakiminya sebagai perempuan egois yang sudah
menyembunyikan cucu-cucu mereka hanya karena dia membenci Ben bertahun-tahun yang lalu.
Ketakutan ini hampir membuatnya menelepon Ben untuk mengatur lokasi penjemputan lain. Get
a grip woman!!! Jana mengomeli dirinya sendiri. Dia nggak bisa menghindari bertemu orangtua
Ben selamanya. Cepat atau lambat dia akan harus bertemu mereka. Jadi kenapa nggak hari ini"
Toh, Erga dan Raka akan ada di sana, jadi kalau terjadi apa-apa, dia bisa menggunakan mereka
sebagai tameng. Oh, God, dia rasanya mau muntah.
*** Senja baru turun ketika Jana dipersilahkan masuk oleh seorang anak muda yang membukakan
gerbang rumah orangtua Ben. Perlahan-lahan Jana turun dari mobil dan dengan langkah sedikit
tidak pasti dia menuju pintu depan. Rumah orangtua Ben kelihatan biasa-biasa saja, seperti
layaknya rumah yang dibangun era tahun 60-an. Berbeda dengan rumah orangtuanya yang
serbamodern dan eksklusif, tapi terkesan dingin, rumah ini kelihatan hangat dan mengundang.
Jana baru saja akan menekan bel ketika pintu rumah terbuka dan seorang laki-laki tua yang mirip
sekali dengan Ben kalau dia berumur enam puluh tahunan dan sedang mengisap pipa, berdiri di
hadapannya. "Kamu pasti Jana," ucap Oscar Barata yang terkenal itu dengan suara serak-serak basah.
"Be-betul, Oom," jawab Jana sedikit tergagap.
Telapak tangannya sudah basah dan dia merasakan tetesan keringat mengalir di punggungnya
padahal hari sudah menjelang malam dan udara sudah mendingin. Pak Oscar hanya menatapnya
dari ujung rambut hingga ujung kaki sambil terus mengisap pipanya, tanpa menawarkan
tangannya untuk di salami, jadi Jana hanya bisa berdiri diam, tidak tahu apa yang harus dia
lakukan. "Ya, jangan berdiri di situ aja. Ayo, masuk. Ben ada di dalam sama anak-anak," geram Pak
Oscar tidak sabaran. Buru-buru Jana melangkah masuk, dan melihat Erga dan Raka dengan wajah segar habis mandi,
duduk manis di meja makan. Ben duduk diantara mereka di kepala meja. Mereka terlalu focus
mengerjakan apa pun yang mereka kerjakan, sehingga tidak ada dari mereka yang mendengarnya
masuk. Baru setelah beberapa menit Jana sadar bahwa anak-anaknya sedang mengerjakan peer" di bawah pengawasan Ben.
HOLY SHITTT!!! BAB 16 Iwant, I need the fruit of you pine
It tastes so bitter sweet cause I know it"s not mine
I wanna come inside "Boleh aku antar mereka ke sekolah besok?" Tanya Ben setelah Erga dan Raka naik ke mobil.
Rencana Jana yang hanya mau mengambil anak-anak dan langsung cabut gagal total ketika
mereka berkeras menyelesaikan pe-er di rumah orangtua Ben. Parahnya, anak-anak nggak mau
dibantu sama sekali oleh-nya, lebih memilih Ben. Alhasil, Jana tidak ada pilihan selain duduk
manis-manis dengan anggota keluarga Ben (Mama, Papa, dan Eva, kakak Ben) sementara
mereka menginterogasinya. Well, mungkin menginterogasi terdengar terlalu ganas, karena pada
dasarnya yang mereka lakukan hanyalah menanyakan banyak hal tentang Raka dan Erga.
Mereka kelihatan betul-betul tertarik untuk menjadi bagian kehidupan anak-anak dan dia nggak
tega menolak. Setelah puas membedah kehidupan Erga dan Raka, orangtua Ben mulai bertanya-tanya tentang
kehidupannya. Hal pertama yang mereka tanyakan adalah apakah dia baik-baik saja" Suatu
pertanyaan yang agak aneh, membutuhkan beberapa detik hingga Jana sadar bahwa mereka
bukan menanyakan kabarnya hari ini, tapi kabarnya selama delapan tahun ini.
"Awalnya memang sedikit sulit. Saya harus membagi waktu antara kuliah dan anak-anak. Tapi
orangtua saya banyak bantu menjaga mereka dan untungnya anak-anak nggak rewel," jelas Jana
sambil tersenyum kepada merek
a, menunjukkan dia memang baik-baik saja dan bahwa mereka
tidak perlu khawatir. Tapi sepertinya penjelasannya ini menghasilkan efek sebaliknya, karena kini Mama Ben dan Eva
mengusap dada dengan tatapan nggak tega. Dengan sedikit panic Jana melirik Ben, yang masih
duduk dengan Erga dan Raka di meja makan di seberang ruangan, mencoba mengirimkan sinyal
"Help meee!!!" padanya tanpa mengucapkan kata-kata. Untungnya Ben mengerti karena dia
langsung bergegas menghampirinya.
"You okay?" Tanya pelan.
Jana mengangguk dan dengan matanya dia menunjuk kepada Mama Ben yang sudah
menguburkan wajahnya pada saputangan sambil menangis tanpa bersuara, sementara Eva
mencoba menenangkannya. "Ma, kenapa Mama nangis?" Tanya Ben bingung.
Tanpa menjawab pertanyaan Ben , beliau justru bangun dari sofa dengan kecepatan yang tidak
disangka Jana bisa dimiliki wanita seumurannya. Detik selanjutnya, Jana menemukan dirinya
sudah ditarik ke dalam pelukan Mama Ben dengan paksa. Jana yang masih terlalu shock hanya
bisa berdiam diri ketika mendengar beliau membisikkan kata maaf atas perlakuan Ben padanya
dan juga karena mereka tidak bisa membantu sebelumnya. Dia mengharapkan yang terburuk dari
keluarga Ben, seperti mereka memintanya melakukan tes DNA pada anak-anaknya, toh papa Ben
seorang pengacara. Bukan nya pengacara seharusnya selalu bisa mencari cara untuk
membuktikan klien mereka bukanlah bapak dari anak wanita yang menuntut klien mereka"
Makanya dia terkejut atas kebaikan yang ditunjukkan padanya sekarang. Melihat Mama Ben
menangis seolah hatinya sudah remuk, membuatnya merasa sangat bersalah. Dia harus
meluruskan masalah ini. Ben bukanlah satu-satunya yang bersalah pada situasi ini.
"Saya juga minta maaf karena nggak pernah memperkenalkan Erga dan Raka ke Tante
sebelumnya," ucap Jana.
Mama Ben melepaskan pelukannya dan merangkum wajah Jana di dalam kedua telapak tangan
sebelum berkata, "Kamu nggak perlu minta maaf. Tante ngerti kenapa kamu melakukannya.
Tante mungkin akan melakukan hal yang sama kalau Tante jadi kamu."
Jana melihat Eva mengangguk, menyetujui kata-kata mamanya, dan Jana rasanya ingin ditelan
bumi. Sumpah mati, dia mungkin akan datang ke mereka delapan tahun lalu kalau tahu mereka
sebaik ini. Tapi mungkin mereka bisa baik sekarang, setelah semuanya berlalu. Mungkin kalau
dia datang menemui mereka delapan tahun lalu dalam keadaan hamil dan melaporkan betapa
brengseknya Ben, mereka akan langsung menendangnya dari teras rumah tanpa menengoknegok lagi.
Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jana memfokuskan perhatiannya kembali ke masa kini dengan menaiki mobil dan menyalakan
mesin sebelum menjawab pertanyaan Ben. "Anak-anak biasa berangkat jam 06.30 dari rumah,
apa kamu bisa sampe dirumahku sepagi itu?"
"I"ii be there," kata Ben pasti.
"Kamu tahu jalan ke rumahku?"
"Aku udah Tanya sopir Mama, katanya dia tahu."
"Oke kalo gitu. Aku tunggu kamu besok." Jana menutup pintu mobil dan harus menurunkan
jendelanya karena Ben masih berdiri di samping mobil, seperti akan menanyakan sesuatu.
"Kalo boleh, aku juga mau jemput mereka dari sekolah dan ngabisin waktu sama mereka kayak
hari ini," ucap Ben.
Jana menanyakan hal ini kepada anak-anak. "Apa kalian mau main sama Oom Ben lagi besok?"
"Mauuu," teriak Erga dan Raka bersamaan.
"There"s your answer," ucap Jana.
Dia terkejut ketika Ben menjulurkan kepalanya ke dalam mobil dan mencium pipinya. Dia belum
sempat bereaksi sebelum Ben sudah menarik bibirnya lagi. "Thank you," ucapnya sambil
meremas lengannya dan menatapnya dengan penuh terimakasih.
Jana mengatasi keterkejutannya dengan membalas, "You"re welcome. Makasih juga karena udah
jagain mereka hari ini."
"Anytime. Good night, then."
"Good night." Ben mengucapkan selamat malam kepada Erga dan Raka yang membalas dengan antusias. Dan
dengan satu anggukan pada Ben, Jana buru-buru mengenakan sabuk pengaman lalu membawa
mobil keluar gerbang. Dari kaca spion dia melihat Ben berdiri di depan gerbang sampai mobil
berbelok di ujung jalan. *** Dan selama beberapa hari ke depan itulah rutinitas mereka. Ben akan mengantar dan menjemput
anak-anak dari sekolah dan menghabiskan setiap siang dengan mereka. Kadang mereka
menghabiskan waktu di rumah orangtuanya, kadang di rumah Mami. Dan Jana akan menjemput
mereka setelah dia pulang kerja. Setelah beberapa hari di bawah pengawasan Oji, Ben akhirnya
memberanikan diri nyetir sendiri, dengan begitu memudahkannya untuk pergi ke mana-mana.
Contohnya seperti menghabiskan hari minggu ini dengan Erga dan Raka di rumahnya.
Jana sudah seperti cacing kepanasan semenjak dia mengiyakan rencana Ben ini. Bagaimana
mungkin dia bisa mengiyakannya" Oh iya, itu karena dia sudah diperdaya oleh Ben dengan
menanyakannya di depan anak-anak, membuatnya tidak bisa menolak kalau tidak membuat Erga
dan Raka menolak berbicara lagi dengannya. Entah bagaimana ini semua bisa terjadi. Dia ingat
masa-masa ketika dialah Wonder Women mereka. Saat ketika dia adalah orang yang paling di
puja oleh mereka, dan kata-kata yang paling sering diucapkan oleh mereka adalah "Bunda
bilang". Tapi sekarang, kata-kata favorit mereka adalah "Oom Ben bilang", yang akan mereka
ucapkan setidak-tidaknya seratus kali sehari, membuatnya ingin mencekik si Oom Ben itu.
Hanya dalam hitungan minggu Ben sudah menjadi superman bagi mereka, dengan begitu
menurunkan statusnya dari pemeran utama menjadi pemeran pengganti. Dia bukan lagi Wonder
Women, dia hanyalah sepergirl bagi mereka. And that sucks, karena she hates supergirl.
Untuk kesekian kali dia memastikan celana kapri yang dikenakannya tidak kusut. Dia
membutuhkan waktu 45 menit hari ini untuk memilih pakaian. Stupid, she knows! Memangnya
Ben akan peduli dengan pakaiannya" Toh, Ben datang ke rumahnya hari ini untuk hangout
dengan anak-anak, bukan dengan dirinya. Tugasnya hanyalah untuk memastikan Ben, sebagai
tamu, merasa nyaman dirumahnya. Itu saja. So what kalau dia jadi sedikit gila bersih-bersih
beberapa hari ini" So what kalau dia sibuk mempersiapkan bahan-bahan makanan kesukaan Erga
dan Raka semenjak beberapa hari yang lalu untuk makan hari ini" Dan so what juga kalau
kemarin sore dia sengaja pergi ke toko bunga untuk membeli beberapa rangkaian bunga sedap
malam untuk mengusir bau-bau aneh yang mungkin dimiliki rumahnya"
Oh, God, dia tidak bisa membohongi dirinya lagi. Dia melakukan ini semua bukan untuk
membuat Ben merasa nyaman, tapi untuk menunjukkan kepada Ben bahwa rumahnya layak
ditinggali anaka-anak. Bahwa dia ibu yang bisa memenuhi semua kebutuhan anak-anaknya. This
is insane!!! Kenapa dia tiba-tiba peduli akan pendapat Ben tentangnya" Tidak pernah sekali pun
dia mendengar Ben mengeluh tentang caranya memperlakukan anak-anak. Jadi kenapa dia masih
keringat dingin memikirkan Ben menghabiskan waktu di rumahnya"
Dia tahu Ben sudah sampai ketika Erga dan Raka yang sedari tadi sudah membuka dan menutup
pintu depan, takut tidak bisa mendengar suara mobil Ben, sehingga akhirnya dia memutuskan
membiarkan pintu itu terbuka, berteriak, "Oom Ben dah nyampe. Oom Ben dah nyampe," dan
berlari keluar sebelum dia bisa berkedip.
Jana menarik napas dalam dan mengucapkan, "Dear God, help me !" dalam hati. Dia bisa
mendengar suara nyaring anak-anak berteriak menyambut Ben dan suara berat Ben yang
membalas sambutan itu. Lalu Ben mengatakan sesuatu yang tidak bisa dia tangkap, tapi
sepertinya lucu sekali karena Erga dan Raka langsung tertawa keras. See" "Ben" sama dengan
"Superman". "Bunda" sama dengan "Nggak penting kalau ada Oom Ben".
Jana hanya berdiri dekat meja makan mengasihani dirinya. Meja makannya hari ini ditutupi
taplak border Mami. Di atasnya ada empat set peralatan makan porselen yang sudah di tata rapi
oleh Erga dan Raka tadi pagi, juga miliki Mami. Karena dia tidak pernah mengundang tamu ke
rumah, dia tidak pernah melihat kepentingan untuk memiliki taplak. Dan karena Erga dan Raka
sering sekali menjatuhkan piring hingga sompal atau pecah, maka semua peralatan makan
miliknya yang masih utuh nggak ada yang match.
Menyadari hal ini membuatnya tiba-tiba ingin menangis. Ibu macam apa dia yang bahkan nggak
punya taplak atau cukup peralatan makan untuk menjamu empat orang" Mungkin dia memang
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 3 Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah Darah Pemuas Ratu 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama