Filosofi Kopi Karya Dewi Dee Lestari Bagian 2
'Dan saya tetap Tio, yang kalkulatif dan tidak mau rugi, tapi kali ini saya benar-benar tidak mengharap apa-apa. Saya hanya ingin mengatakan ini semua, dan., sudah.' Aku menutup pernyataanku dengan senyum se mampunya. Berusaha bangkit berdiri, walau berat rasanya menopang tubuh dengan lutut yang bergetar.
Tangan Egi yang sesejuk es menahanku.
'Kamu mau ke mana"' tanyanya lirih,
'Jalan-jalan...' jawabku tidak yakin.
'Ikut,' ujarnya pendek seraya berdiri melipat buku.
Kami berdua berjalan meninggalkan taman, seolah olah tidak pernah terjadi apa-apa. Tak ada jejak spasi kosong dari satu tahun yang sepi itu.
'Saya sendiri sudah banyak berpikir, murni dengan sel-sel otak seperti yang selalu kamu anjurkan, mener jemahkan apa yang kamu anggap absurditas. Dan kesini pulannya...' ia berkata mengeja, genggaman tangannya terasa hangat, 'alam hati saya tidak mungkin dimengeiti siapa-siapa. Tapi ke mana pun saya pergi, kamu tetap orang yang paling nyata, paling berarti. Saya tidak mesti menyikat gigi untuk bisa pulang. Kamulah tiket sekali jalan.'
Egi tahu aku butuh jeda untuk memahami ucapannya, karena itu langkah kakinya berhenti dan, lewat sorot matanya, ia kirimkan pernyataan yang tak perlu diterjemahkan. Bahasa mutual kami yang pertama.
'Kamu hidup nyata saya, Tio. Dan saya tidak mau ke mana-mana lagi. Itu juga kalau kamu tidak keberatan kita menjalaninya pelan-pelan...' .setengah berbisik ia menegaskan.
Perjalanan singkat menuju mobilku sore itu menjadi gerbang sebuah perjalanan baru yang panjang.
Egi benar. Banyak hal yang tak bisa dipaksakan, tapi layak diberi kesempatan. Dan kesempatan itu harus ditawarkan setiap hari oleh kedua belah pihak. Aku pun benar, kami berdua mampu membangun apa saja, baik persahabatan belasan tahun maupun kebersamaan seumur hidup.
Setiap kali aku duduk di sofa dan memandangi Egi yang asyik menyikat gigi, ketakutan itu kadang-kadang datang. Ketakutan kalau suatu hari aku terpaksa harus menari
knya pulang dengan paksa, dan sikar gigi rak mampu lagi menjadi tiketnya. Ketakutan kalau aku harus kehilangan dunia absurd tempat perasaanku kepadanya bersemayam, dunia yang ternyata amat kusukai. Ketakutan yang justru timbul setelah aku benar-benar mengerti perasaan Egi dan semua alasannya dulu.
Perlahan aku bangkit, memandangi satu sosok di belakang Egi yang terpantul dalam kaca: Tio. Irasional dan buta. Aku tidak mau kehilangan dia.
Jembatan Zaman [1998] Bertambahnya usia bukan berarti kita paham segalanya.
Pohon besar tumbuh mendekati langit dan menjauhi tanah, ia merasa telah melihat segala dari ketinggiannya. Namun masih ingatkah ia dengan sepetak tanah mungil waktu masih kerdil dulu" Masih pahamkah ia akan semesta kecil ketika semut serdadu bagaikan kereta raksasa dan setetes embun seolah bola kaca dari surga, tatkala ia tak peduli akan pola awan di langit dan tak kenal tiang listrik"
Waktu kecil dulu, kupu-kupu masih sering hinggap di pucuknya. Kini burung besar bahkan bersangkar di ketiaknya, kawanan kelelawar menggantungi buahnya Namun jangan sekali-kali ia merendahkan kupu-kupu yang hanya menggeliat di tapaknya, karena mendengar bahasanya pun ia tak mampu lagi.
Setiap jenjang memiliki dunia sendiri, yang selalu dilupa kan ketika umur bertambah tinggi. Tak bisa kembali ke kacamata yang sama bukan berarti kita lebih mengerti dari yang semula. Rambut putih tak menjadikan kita manusia yang segala tahu.
Dapatkah kita kembali mengerti apa yang ditertawakan bocah kecil atau yang digejolakkan anak belasan tahun seiring dengan kecepatan zaman yang melesat meninggal kan" Karena kita tumbuh ke atas tapi masih dalam petak yang sama. Akar kita tumbuh ke dalam dan tak bisa terlalu jauh ke samping. Selalu tercipta kutub-kutub pemahaman yang tak akan bertemu kalau tidak dijembatani.
Jembatan yang rendah hati, bukan kesombongan diri.
Kuda Liar [1998] Tanyakanlah arti kebebasan pada kawanan kuda liar.
Otot mereka kokoh akibat kecintaan mereka pada berlari, bukan karena mengantar seseorang ke sana ke mari. Kandang mereka adalah alam, bukan papan yang dipasangkan. Di punggungnya terdapat cinta, bukan pelana yang disandangkan dengan paksa.
Hidup mereka indah dalam keinginan bebas. Hari ini ke padang, esok lusa ke gunung, tak ada yang bingung. Kebimbangan tak pernah hadir karena mereka tahu apa yang dimau. Yakin apa yang diingini. Lari mereka ringan karena tak ada yang menunggangi.
Kelelahan akan berganda apabila kita dihela. Waktu akan mengimpit apabila kita dikepit. Dan suara hati akan mati jika dikebiri.
Larilah dalam kebebasan kawanan kuda liar. Hanya dengan begitu, kita mampu memperbudak waktu. Me lambungkan mutu dalam hidup yang cuma satu.
Sepotong Kue Kuning [1999] Kulit putih itu tampak kontras dengan langit hitam. Sering Lei mengeluh, kulitnya terlampau putih untuk seorang pria. Namun Indi tidak menemukan alasan untuk mengeluh. Dengan tatapan kagum dan cinta, Indi meraba kulit Lei perlahan-lahan, sama takzimnya dengan menghayati kehalusan sutera yang ditenun ulat. Dan di ujung perjalanan jemarinya, Indi menemukan apa yang ia cari. Sepotong kue kuning manis. Ada di sebelah wajah Lei.
Mereka berdua berbaring, bertindihan. Dada bidang itu masih berotot sekalipun katanya sudah lebih dari dua tahun tidak pernah fitness. Ada daya pejal yang membuat dada Lei nyaman seperti bantal, dan Indi bisa tidur selamanya di sana.
Gelap sekali di ruangan itu. Tangan Lei mencari-cari tangan Indi, tetapi yang tergenggam selalu hatinya. Kadang kadang digenggam terlalu erat hingga ngilu. Ngilu yang dibangun oleh rasa takut kehilangan, takut ditinggalkan, dan cemburu pada pihak-pihak lain. Pihak lain...
Mendadak Indi tertawa kecil.
'Kenapa kamu ketawa"' bisik Lei halus. Seolah-olah ada orang lain di ruangan itu yang tak diizinkannya ikut mendengar.
Indi rak menjawab karena merasa Lei tahu.
Keheningan bagai lagu merdu.
Kapan, ya, kita bertemu lagi..." bisik Indi setengah mengeluh.
'Paling lama sebulan. Nanti saya atur alasannya.'
Tangan Lei menemukan tangan Indi. Akhirnya.
Berdoa saja semoga lebih cepat. Kita tidak pernah tahu apa yang
terjadi besok, atau lusa... siapa tahu keadaan berubah,' ujar Lei lagi, bijak.
Indi pun berdoa. Doa yang sama setiap malamnya Indi yakin Tuhan tidak akan bosan, malah semakin paham akan keinginannya, impiannya. Semuanya tulus Dan ketulusan akan membuahkan hasil setimpal.
Satu lagi kue kuning tandas tertelan. Pahit rasanya. Kali ini mereka tidak beruntung. Lei tidak bisa datang menemuinya. Anaknya sakit dan tidak bisa ditinggal. Indi mengerti. Sudah seharusnya demikian. Lei punya dunia sendiri, begitu pula dirinya.
Indi lalu duduk bersandar menghadap jendela, menakar dunianya. Dunia yang normal dan wajar, tempat dirinya eksis sebagai manusia yang seimbang. Orang-orang memang tidak tahu betapa limbung ia kala malam tiba. Malam hari membawanya ke dalam penjara. Penjara yang dimasuki dengan suka rela. Di sana ia kenakan bola besi yang membuat langkahnya terseret dan terantuk. Namun Indi yakin bisa bahagia, mengubah penjara itu menjadi nirwana, ia mulai berdoa.
Tidak lagi diingatnya berapa potongan kue kuning yang sudah mereka lewati. Poros hidup memang sedang bergulir berat. Indi memilih untuk menjadikannya satir. Menertawakan sesuatu yang sesungguhnya tidak lucu.
'Katanya, kalau dia ketemu kamu, dia mau mencakar mata kamu sampai keluar.'
Indi terbahak. 'Kenapa tidak dia sewa sniper atau langsung menembak saya pakai pistol betulan di tengah orang banyak" Bukannya kalau begitu lebih monumental" Lebih sophisticated"'
Lei ikut tertawa. 'Kamu sudah kirim surat palsu itu, kan" Ke kantor saya"'
Mereka terpaksa membuat skenario 'bubaran', langkah praktis untuk menenangkan istri Lei yang mengamuk Sebuah surat palsu yang membuat Indi tersiksa. Ia sadar itu cuma pura-pura, tapi sekadar menuliskannya pun pekerjaan yang menyakitkan.
Mereka lalu meneruskan percakapan. Satu jam yang indah, dan langka. Kesempatan bercerita hal-hal remeh, tertawa, dan saling mengungkapkan kangen.
Tiba-tiba terdengar sayup telepon genggam berdering.
'Sebentar,' ujar Lei, lalu dengan tangkas menekan tombol hold.
Indi sudah hafal apa artinya, yakni: sabarlah menunggu ditemani hantu Beethoven yang terperangkap dalam kotak musik Fur Elise. Memprihatinkan, pikirnya selalu Sebagai guru biola klasik, bunyi kotak musik yang tak bernyawa adalah siksa.
'Halo,' suara Lei kembali terdengar. Lebih berat.
'Semua baik-baik"' 'Dia kurang enak badan. Tapi, ya sudah, tidak apa apa.'
Namun Indi merasakan kegelisahan yang rak pergi pergi lagi dari suara Lei. Tak sampai tiga menit, Lei menyudahi teleponnya.
'Maaf, tapi saya harus pulang.'
Indi mengerti, maka ia melepas Lei dengan santai. Bukankah demikian seharusnya" Indi bertanya pada ba yangan di cermin. Kondisinya dan Lei merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan mereka dahulu sebelum bertemu. Sudah sepantasnya kamu berbangga, Indi berkata lagi pada bayangan di cermin. Lei tidak memilih kabur sekalipun mau dan mampu. Ia bertahan karena tanggung jawab.
Sesuatu mulai disadari Indi. Bayangan itu kelamaan membatu, menggenggam telepon yang tak lagi tersambung Dadanya terasa sesak, tambah lama tambah mendesak. Cepat-cepat ia mengatur pernapasan. Indi tahu apa akibatnya kalau salah bernapas sedikit saja. Itulah kenapa ia ikut kursus meditasi kilat, agar diajarkan menumpangkan derita dan kepenatan dalam gelembung-gelembung karbondioksida yang dibanjirkan keluar, serta berharap keberuntungan akan datang bersama gelembung oksigen yang masuk.
Embus... tarik... embus... tarik... impitan itu terlalu kuat, dan ia... salah. Ada beban tak seimbang yang menyelip keluar, menghancurkan konsentrasinya.
Bagai luapan sungai saat penghujan, air mata membanjir. Tersengal-sengal Indi mencoba membendung, ber-rahan untuk tetap kuat walau tak ada orang lain yang melihat- selain bayangan di cermin. Tapi bukankan justru dia yang paling Indi hindari" Sambil menahan sengguk ia menduga-duga, adakah manusia lain yang sepertinya, merasa berdosa pada bayangannya sendiri.
Empat kali dalam dua tahun terakhir Indi sakit. Diagnosa semua dokter selalu sama: Anda stres'.
Tidak satu kali pun dari empat momen itu Indi punya kesempatan luks untuk ringan mengangkat te
lepon dan mengadu sakit, untuk kemudian mendapatkan Lei pulang, mengantarnya ke dokter, atau sekadar mengambil kan obat dan air putih.
Indi selalu merasa yang paling berunrung karena hanya kepadanyalah Lei memberikan cinta dengan sepenuh jiwa tanpa sisa. Jangan-jangan aku selama ini salah dan kamulah yang benar, tuding Indi pada bayangan di cermin. Sebenarnya ia orang yang paling sial. Cinta hanya retorika kalau tidak ada tindakan nyata, yang artinya selama ini ia dikenyangkan dengan bualan.
Merasa tidak sanggup menjalani sisa malam dengan rasa sesal, Indi menelepon bantuan gawat darurat: Ari. sahabat terdekatnya.
Ari langsung datang dan duduk di pinggir jendela. Sepotong kue kuning ada di sebelah wajah sahabatnya, belum sempat Indi cicipi karena sudah duluan disemprot: Apa kubilang" Dia tidak datang lagi, kan" Dan kamu masih bertahan" Sinting!' seru Ari gemas. Coba berkaca, nilai diri kamu. Kamu perempuan baik-baik, pintar, dan tidak layak menjalani semua ini.'
Aku justru keseringan berkaca, dan betul, aku memang tidak layak, balas Indi dalam hati. Satu kehormatan yang terlalu besar untuk bisa mencintai seperti ini.
'Saya tidak membenci Lei, kamu tahu itu, tapi tdi luar sana pasti ada orang yang bisa memberi kamu lebih.' Ari lalu meremas bahu Indi, menatapnya cemas sekaligus iba seperri menasihati anak kecil nakal, 'Kalian berdua sama-sama muda, tapi kamulah yang punya banyak kesempatan. Jangan cuma jadi alas kaki yang dipakai sembunyi-sembunyi.'
Secepat aliran listrik di jaringan saraf, secepat itu Indi memvisualisasikan sepasang sepatu tua yang disembunyikan di bawah tangga. Sepatu nyaman yang selalu dipakai ketika kaki pemiliknya letih. Namun ketika sang pemilik ingin menghadapi dunia, ia tak mungkin memilih sepatu itu. Akan dipakainya sepatu mentereng yang memang diperunrukkan sebagai pendampingnya. Dunia menuntut demikian. Sekalipun tidak nyaman, tapi itu kewajiban. Dan Lei, lagi-lagi, adalah orang yang bertanggung jawab.
'Mungkin...' Indi bergumam, 'memang lebih baik bersama seseorang yang tidak punya pilihan lain. Dia cuma punya aku, mau susah atau senang. Aku bukan alternatif
Ari tersenyum lega. Indi mulai bangun dari tidur panjangnya.
Ari, dan sahabat-sahabatnya yang lain, terpaksa kembali gigit jari. Indi batal menyerah, ia dan Lei malah semakin ahli bergerilya. Sepotong kue kuninglah yang menjadi pengatur mekanis pasang surut kisahnya. Ari tahu persis fluktuasi itu, juga 'tempat sampah'-nya Indi yang lain, yang tertawa lebih lebar ketika Indi bahagia, dan menangis lebih keras jika ia sedih.
Kadang-kadang semua itu membuat Indi geli sekaligus bingung saat melaksanakan doa rutinnya. Apakah ia menghadap sebagai seorang penjahat... perusak... atau pihak yang patut dikasihani dan ditolong" Impitan tak diundang itu juga tetap ada, tapi Indi sudah terlalu kebal. Matanya seperti kehabisan stok air mata. Sekarang, rak perlu repot lagi ia mengatur napas.
Tidak ada yang berubah dalam dunianya. Indi tetap Indi, dengan murid-murid kursus biolanya yang lucu-lucu, dan para orang tua yang menganggapnya teladan sempurna. Dengan lapang dada pula ia menerima keberadaan dunia lain yang mencapkan aneka stigma keji untuk ia pikul. Indi tak menemukan ada yang salah juga di sana. Penjara yang ia pilih memberikan konsekuensi reputasi buruk. Dan jangan mimpi ada program perbaikan citra.
Setiap malam Indi duduk di pinggir jendela untuk berbicara pada seporong kue kuningnya. Berusaha mengingatkan berulang-ulang, bahwa yang ia inginkan sungguhlah sederhana: setengah jiwanya yang selalu ikut pergi dengan Lei. Itu saja. Indi ingin jiwanya utuh.
Hujan datang membadai, memporak-porandakan malam. Indi terbangun oleh suara guntur dan dering telepon.
'Halo...' suara serak Indi mengandung curiga. Perasaannya tidak enak.
'Dia mencoba bunuh diri.'
Indi tercekat. Benaknya gamang meraba-raba sekuel dari kalimat Lei.
'Saya tidak tahu siapa yang dia sewa, yang jelas dia tahu semuanya, pertemuan-pertemuan kita, kenyataan bahwa kita tidak pernah berhenti berhubungan selama lima tahun ini...'
Tapi, ini bukan yang pertama kali, kan" Bunuh diri selalu ja
di ancaman favoritnya dari dulu,' potong Indi terbata.
Kali ini dia betulan nekat, Indi. Hampir sebotol valium dia tenggak. Untung tidak terlambat. Kondisinya bisa diselamatkan.'
Perasaan Indi membisikkan masih ada sekuel yang perlu ditunggu.
'Kacaunya, dia sempat menulis satu surat yang bercerita tentang kita berdua, nama kamu disebut-sebut, dan dia anggap kamulah penyebab tindakannya...'
Masih ada lagi, batin Indi. Pasti masih.
'Siapa pun ada pihak dia sekarang. Siapa yang mau membela kita"'
Ini dia, Indi memejamkan mata. Pasti ini.
'Maafkan saya.' Cukup. 'Tapi kamu mengerti situasinya, kan"" Cukup. Cukup.
'Saya tidak mungkin meninggalkan dia. Bayangkan, hidup matinya ditentukan keputusan saya! Kalau saya pergi, apa lagi yang nanti dia bikin...'
Cukup. Cukup. Cukup. 'Saya janji, saya akan mengusahakan yang terbaik buat kamu, buat kita...' Tolong diam. Tolong.
'Tapi tidak sekarang, tidak mungkin sekarang...' Diam.
'Indi, maaf..." Telepon itu ia tutup hati-hati, seolah mengunci jin di dalam botol, lalu Indi mencabut kabelnya, seolah menarik putus benang waktu. Langit keruh oleh awan mendung. Di mana engkau" Kenapa tidak datang supaya bisa kucicipi rasamu yang tergetir" Kerongkongannya tersedak. Inikah balasan sebuah ketulusan... sebuah keyakinan...
Seperti si buta yang mendadak melihat, Indi sontak tersadar bahwa penjara itu sudah menjadi hidupnya. Total. Dan sungguh ia tak siap. Rasa sesak yang akrab mengimpit dadanya, terus mendesak hingga tak lagi tertahan. Kelenjar air mata yang sudah lama dinonaktif-kan memompa deras butir-butir air asin yang membuat kulit pipinya seperti meleleh. Doa-doa yang ia layangkan setiap malam selama lima tahun dirontokkan dari atas
sana, berubah menjadi celaan dan penyesalan, menghujaninya bertubi-tubi. Indi tidak tahu apa saja yang sudah ia doakan, pastinya terlalu banyak, karena hujan itu rasanya tak mau berhenri. Tiap rintik menusuk bagai pisau. Indi menyesal dulu terlalu banyak bicara.
Akhirnya, terjerembaplah ia mencium tanah kesia-siaan. Entah bagaimana caranya bangun. Indi terlalu mual, muak, dan hanya kepingin muntah.
Lei tidak pernah lagi menemaninya di pinggir jendela. Namun sepotong kue kuning itu selalu ada, selalu tepat waktu, hadir tanpa dosa.
Berbulan-bulan, Indi menutup tirai rapat-rapat, menyangkal kehadiran kue kuningnya, melawan rasa rindu dan sesal, menggantinya dengan rasa hambar yang di-pabrikasi sendiri. Sampai akhirnya ia lelah dan menyerah.
Pada satu malam cerah di penghujung tahun, Indi membuka tirai, menemui langit yang penuh bintang. Dan, di sanalah dia... bulan pada awal dan akhir bulan, yang bertengger separuh di langir dengan warna menguning. Mentor bisu pelajaran terbesar dalam hidupnya. Sepotong kue kuning di tengah loyang hitam.
Puluhan kue kuning telah tersaji dalam piringnya, dan selalu Indi menebak-nebak cemas apakah rasanya manis atau pahit. Sekarang ia berhenti menebak. Keberaniannya malam itu; untuk berhadapan kembali dengan perasaannya sendiri; untuk mengakui bahwa cintanya tidak padam tapi bermutasi, memberi makna baru. Bulan kuningnya tak lebih dari pantulan Bumi yang terus berputar tanpa kompromi, hidup yang bergerak maju tanpa pernah bisa mundur.
Lama Indi mematung, merangkai pengertian sederhana yang mengubah pola hatinya perlahan-lahan. Terbayanglah sebuah bola besi yang ia kenal. Terbayanglah kepalan tangannya yang sudah membatu. Perlahan, jemari itu membuka. Indy dapat membayangkan dirinya berjongkok, menanggalkan pemberat yang bertahun-tahun terikat. Anak kunci itu selama ini ada di tangannya. Tak tahan ia untuk tidak tersenyum. Separuh jiwa yang ia pikir hilang ternyata tidak pernah ke mana-mana, hanya berganti sisi, permainan gelap terangnya matahari dan bulan.
Malam itu Indi menyeberang. Ia telah mampu mencinta tanpa takut kehilangan cinta.
-Untuk Indiana, yang menemukan kembali independensinya.Diam [2000] Malam memuram. Diammu menginfeksi udara dan
membuat dunia sungkan bersuara. Dunia 4x6 meter tempat kita duduk berdua.
Lenganmu kautarik menjauh untuk merengkuh dirimu sendiri. Tidak apa-apa. Aku mengerri. Duka membuatmu demam, di
buka kedinginan tapi dibungkus dua pasang lengan bikin kamu keringatan. Bukan berarti saya tidak butuh kamu, dulu sekali kamu memperingatkan.
Aku mengerti. Kesedihan selalu membawamu pulang ke rahim ibu tempat engkau meringkuk nyaman sendirian padahal tidak. Ada dunia di sekelilingmu. Ada aku di sampingmu. Tapi kamu mendamba rasa sendiri itu.
Diammu memapahku ke ujung pertahanan. Dan akhirnya kutersedak oleh hampa. Tak satu pun boleh menodai diammu. Telan napas itu. Bungkus dan simpan di kantong untuk nanti dilarutkan di sungai.
Lamat-lamat, suara ramai membubung, merubung dunia 4X6 meter tempat kita duduk berduka. Kudengar gerundel, kudengar gerutu, terkadang batuk, decak lidah, hingga teriakan yang membuatku gemetar. Terakhir, terdengar isak pelan. Namun siluetmu masih diam sempurna.
Bagaimana mungkin kamu jadikan tubuhmu sangkar bagi perasaan" Bukankah perasaanlah kandang dari jasad ini" Dalam diammu, aku mendengar banyak suara. Diammu berkata-kata.
Tangisanmu yang tak terlihat merobek ruang waktu dan menghampiriku dengan caranya sendiri. Mari, ku-susutkan air mata itu, kukecup keningmu halus, dan ku tidurkan kepalamu di atas perutku yang hangat. Mati...
Kau dan aku mengembuskan napas. Tak lagi pengap. Tidak ada yang bergerak. Namun diam itu telah runtuh oleh diam.
Cuaca [1998] Membicarakan cuaca. Cuaca bagi kami adalah metafora. Menanyakan cuaca menjadi ungkapan yang digunakan saat masing-masing pihak menyimpan hal lain yang gentar diutarakan.
'Bagaimana cuacamu"' 'Aku biru.' 'Aku kelabu.'
Keangkuhan memecah jalan kami, kendati cuaca menali-kannya. Kebisuan menjebak kami dalam permainan dugaan, lingkaran rebak-menebak, agar yang tersirar tetap tak tersurat.
'Bagaimana cuacamu"'
'Aku cerah, sama sekali tidak berawan. Kamu"' 'Bersih dan terang. Tak ada awan.'
Batinku meringis karena berbohong. Batinnya tergugu karena telah dibohongi. Namun kesatuan diri kami telah memutuskan demikian: menampilkan cerah yang rak sejati karena awan mendung tak pantas jadi pajangan.
Cuaca demi cuaca melalui kami, dan kebenaran akan semakin dipojokkan. Sampai akhirnya nanti, badai meletus dan menyisakan kejujuran yang bersinar. Entah menghangatkan atau menghanguskan.
Lara Lana [2005] Sederet angka mencuat dari kertas putih, menusuk mata Lana. Ada sebersit takjub juga ngeri. Seberantak angka yang susah dihafal mampu membongkar kenangan usang dan memberinya makna baru. Dia yang baru. Aku yang usang.
Ruang tunggu selalu memancing dilema dalam hatinya, tapi tidak pernah seperti ini. Lana betul-betul tergerak untuk menelepon. Mungkin karena Lana sudah tak yakin kapan akan kembali, akankah dirinya kembali.
Lana memencet empat angka pertama dari sepuluh digit yang tertera. Dadanya berdegup kencang sampai sakit rasanya. Bibirnya bergetar resah, mengantisipasi. Begitu terdengar nada sambung nanti, Lana siap berekspresi layaknya pose untuk berfoto yang terakhir kali.
Kata apa kabar' akan meluncur dengan semangat penghabisan mentari sore sebelum dipadamkan malam. Lalu ia lancarkan sepaket basa-basi dalam urutan yang tepat, seperti yang selalu dilatihkannya dalam hati sebelum lelap tidur, agar percakapan mereka tercatat sejarah sebagai yang paling mengasyikkan.
Lalu perasaan itu. Rasa rindu yang akan ia ungkap hati-hati, dicicil sehingga tidak terasa picisan. rasa sayang dikemas dalam kiasan seperti membungkus puteri dalam gaun pesta lalu dilepas anggun ke lantai dansa. Cantik mengundang tapi membuat segan. Semua itu telah dilatihkannya berhari-hari. Bertahun-tahun.
Dua angka sebelum digit terakhir. Jarinya tertahan oleh detik yang tahu-tahu beku. Detik yang tahu-tahu melebar dan membentangkan dua puluh tiga rahim perkawanan. Dia selalu memuja Lana, begitu kata semua orang. Tapi mereka tidak bisa bersama karena alasan yang tak perlu dipertanyakan lagi. Kamu itu bajaj bei-mesin BMW, begitu Lana mengungkapkan padanya saat didesak.
Lana kenal banyak BMW bermesin bajaj, dan semua itu habis ia hina-hina. Untuk benar-benar bersanding sebagai pacar Lana, seseorang harus jadi mobil mewah Eropa luar dalam. Lana yang unik dan glamor. Kamu cukup jadi kacu
ng intelektualku saja, kata Lana padanya. Mereka berdua lantas tertawa-tawa, mereka suka perumpamaan itu, sekalipun hatinya patah setiap kali kata 'kacung' terlontar dari bibir lana yang menguncup menggemaskan.
Dia ingin jadi pendekar sakti, seorang master, ilmuwan kaya raya yang menciptakan temuan-temuan hebat untuk memajukan umat manusia. Lana ingin jadi anggota dari kelompok ultraelit yang memperoleh teknologi dari makhluk Mars untuk membangun koloni rahasia di bulan. Mereka percaya teori konspirasi dan secara berkala bertukar informasi yang dikarang sendiri. Tak ada orang lain yang mampu menghibur Lana sebegitu sempurna, memuaskan rasa humornya, menjajal daya khayalnya.
Masa kuliah mereka habiskan di tempat berbeda. Dia kuliah di UI dan untuk itu terpaksa menumpang di dapur pamannya di Lenteng Agung karena beliau beranak delapan dan itulah satu-satunya tempat yang masih muat digelari kasur. Lana kuliah di USC yang mengharuskannya tinggal di Los Angeles. Sama-sama 'L.A', baru kalau diuraikan perbedaan kelasnya terlihat, canda mereka selalu. Namun ada kalanya persamaan insignifikan itu, aksara L dan A, menjadi satu-satunya penghibur kala kangen mereka tak lagi terbendung.
Lana tidak menyelesaikan kuliahnya di USC, dan itu tidak masalah. Bisnis keluarganya terlalu banyak untuk menunggu sebuah gelar kesarjanaan. Lain halnya dengan dia yang mencicil gelar demi gelar, mengetuk banyak pintu demi beasiswa, lalu kembali berjuang meniti karier akademis yang terjal, yang tak akan pernah membuatnya sekaya raya Lana.
Saat dia menjadi dosen, hidup sederhana dalam rumah cicilan tipe 36 di perumahan milik universitas yang sebagian masih rawa-rawa, Lana membantunya pindahan, bahkan menginap dan ikut tidur di atas tikar. Pendar-pendar televisi pemberiannya menyemarakkan dinding polos yang tak berhias. Lana tidak punya koloni di bulan, tapi penghasilannya lebih dari cukup untuk menghadiahkan televisi.
Lana tinggal seminggu di rumah itu. Setelah kita mencoba hidup 24 jam X 7 hari dengan seseorang dan tidak merasa bosan maka orang itu bisa kita nikahi, Lana berteori. Mendengar ucapan Lana, ia tertawa sampai berurai air mata, diikuti Lana sampai tercekik-cekik Saya tidak mungkin menikahi kamu, ia berceletuk d ujung tawanya. Barulah Lana sadar mereka berdua tertawa karena alasan yang berbeda.
Satu hari dia bilang kalau dia punya pacar. Baru seminggu. Seorang gadis tingkat akhir yang lugu, kaku. dan tidak seru. Tidak percaya UFO, tidak suka Kho Ping Hoo, dan tidak peduli ada tidaknya konspirasi global selama nasi tersaji di meja makan keluarganya setiap hari, selama adzan masih berkumandang lima kali sehari. Kenapa kamu bisa suka, Lana bertanya. Karena dia mau sama saya, ia menjawab. Lana spontan tertawa, keras dan lama. Ia hanya tersenyum dan menunggu tawa Lana usai. Saya akan menikah, lanjutnya saat hening. Bagaimana kamu bisa menikahi orang yang baru kamu kenal, yang tak seru, yang tak bisa menghargai keunikan pikiranmu, yang rak bisa kamu ajak bercanda dan berkhayal semalam suntuk, cecar Lana yang mulai marah karena percakapan itu makin tidak lucu.
Dia diam, menatap Lana dengan lelah. Dia jemu menanti yang tak pasti. Dia jenuh menjadi pihak yang tak berdaya. Manusia mana yang tidak, pikir Lana. namun dirinya tak bisa berbuat apa-apa. Keadaan mereka terlampau jauh berbeda. Terkadang Lana berpikir keajaibanlah yang melahirkan manusia satu itu. Bagaimana mungkin lingkungan serba kekurangan, kolot, konservatif, ortodoks, kampungan, dan segala ajektif yang menandakan sindrom klaustrofobik sosial, mampu menghadirkan dia yang sebegiru canggih dan gila. Seolah dia terbelah dalam dua dunia: dunianya bersama Lana, dan bersama sisa dunia tanpa Lana.
Lana ingat saat terakhir kali nomor itu tertera di layar ponselnya: Besok saya lamaran. Doakan, ya. Lana tergeli sendiri, apa yang harus didoakan" Hidup berjalan sesuai konrrak yang disepakati antar-roh sebelum terlahir jadi daging ke dunia. Apa pun yang terjadi bukanlah keberuntungan atau kesialan, melainkan eksekusi kontrak belaka. Jadi, apakah seseorang bisa dibilang sial kalau sebenarnya kesialan i
tu direncanakan" Lana tambah stres
saat pertama kali mendengar konsep itu di retret anti-stres.
Akhirnya Lana tak tahan lagi, menelepon membabi buta: Saya mohon, jangan pergi melamar ke sana. Kalau kamu menikah, saya akan jadi orang paling kesepian di dunia. Kalau perlu saya yang melamar ke orang tua kamu. Jangan bohongi diri kamu. Cuma saya yang mengerti siapa sebetulnya kamu...
Ia memotong, dingin, seolah disusupi roh asing yang tak Lana kenal: Selama ini kamu cuma mengenalku dalam versi yang kamu mau. Aku begitu karena kamu. Kamu tidak pernah tahu siapa diriku sebenarnya.
Lana menggeleng. Tidak mungkin. Barangkali ia salah sambung. Perjanjian macam apa ini" Benarkah ini roh yang sama, teman sebangkunya sejak SMA, yang selalu berkata mereka adalah sejiwa terbelah dua, soulmate" Lana menutup telepon. Aku ditipu. Breach of contract.
Anaknya yang paling besar sudah mau SD, mereka masih tinggal di rumah yang sama. Lana tahu itu dari seorang alumni. Dan kamu belum menikah" Temannya itu bertanya, hati-hati. Lana menggeleng ringan dengan ekspresi yang bikin iri. Ada kemerdekaan di sana, penerimaan, dan keberanian untuk menjadi beda. Sejak dulu memang cuma Lana yang punya itu semua, temannya membatin. Bergaul dengan Lana seperti hanyut dalam air sejuk, tapi kesejukan itu lama-lama menjadi dingin yang mengintimidasi. Temannya pun permisi
pergi, meninggalkan Lana yang kehilangan belahan jiwanya pada reuni akbar, pada saar jiwa-jiwa yang terpisah seharusnya kembali bertemu.
Digit terakhir. Jatuh pada angka nol. Jempol Lana gemetar seolah dibebani bergunung-gunung sampah batin yang dikoleksinya sepanjang hayat. Hatinya lalu mengukur dan menimbang: akankah aku bertambah tenang bila berhasil membuktikan pada diriku, pada dia, pada dunia, kalau aku baik-baik saja"
Satu percakapan telepon akan membuktikannya. Satu dosis kejujuran sebelum Lana pergi meracuni tubuh dengan kemoterapi-racun yang berbohong jadi obat.
Jempol itu melayang di atas nol. Kejujuranlah obat sejati.
Suara sintetik bernada tinggi menggema di ruang tunggu yang lengang. Tombol rerakhir dipencet sudah. Aku mencintaimu. Tidak akan berubah.
Tombol merah yang Lana pilih menghapus kesembilan digit angka pada layar ponsel yang menyala biru. Seorang perempuan berseragam menghampirinya, 'Bapak Maulana, mari saya antar ke pesawat.'
Lana tidak terburu-buru. Tangannya bergerak pelan dan khidmat. Pesawat itu pasti mau menunggu seorang pesakitan untuk melipat dan menyimpan secarik kertas ke dalam dompet, sebagaimana kertas itu sudah terlipat dan menunggu bertahun-tahun di tempat sama. Lalu Lana beringsut hati-hati ke kursi roda yang dibawakan khusus untuknya.
'Tidak apa-apa, Pak"' petugas itu bertanya saat melihat mata Lana.
Lana tersenyum tipis, ringan, ekspresi yang memancing rasa iri. Ada kejujuran di sana, kepasrahan, dan keberanian untuk menjadi beda. Namun ada juga bulatan air menyerupai angka nol yang menyembul di pelupuk mata. Lana menghancurkan bulatan itu dengan punggung tangan, 'Tidak apa-apa.'
Lilin Merah [1998] Ada kalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun yang terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam, menembus rahasia terciptanya waktu.
Keheningan mengapungkan kenangan, mengembalikan cinta yang hilang, menerbangkan amarah, mengulang manis keberhasilan dan indah kegagalan. Hening menjadi cermin yang membuat kita berkaca-suka atau tidak pada hasilnya.
Lilin merah berdiri megah di atas glazur, kilau apinya menerangi usia yang baru berganti. Namun, seusai disembur napas, lilin tersungkur mati di dasar tempat
sampah. Hangat nyalanya sebatas sumbu dan usailah sudah.
Sederet doa tanpa api menghangatkanmu di setiap hari, kalori bagi kekuatan hati yang tak habis dicerna usus. Lilin tanpa sumbu menyala dalam jiwa. menerangi jalan setapakmu ketika dunia terlelap dalam gelap.
Berbahagialah, sesungguhnya engkau mampu berulang tahun setiap hari.
Spasi [1998] Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda" Dapatkah ia dimengerti jika rak ada spasi"
Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak" Dan saling menyayang
bila ada ruang" Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.
Napas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi. Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali. Jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Jadi jangan lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.
Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat. Janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung.
Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring dan bukan digiring.
Cetak Biru [1998] Sewujud bangunan hadir di setiap kepala, tujuan yang mendenyutkan nyawa ke dalam cetak biru. Satu demi satu batu mimpi tersusun rapi, berlandaskan fondasi mantap, terekatkan semen yang kuat. Lalu bangunan itu dilengkapi dan digenapi, sampai lahirlah utuh ke dunia materi.
Setiap kepala memiliki rancangan bermacam-macam, pilihan bahan yang berbeda-beda. Ada yang bahagia dengan gubuk sederhananya, ada yang baru terpuaskan dengan julangan menara.
Dalam jutaan bangunan yang ada, pastikan milikmu ada di sana. Sekalipun bukan yang terkemuka, tapi senyata bulan di pembuka candra. Karena banyak batu terbengkalai di sekitar bangunan tak selesai, karena banyak penumpang di teras rumah orang, dan tak ada bangunan yang nyata hanya oleh ancang-ancang.
Mimpi tak berlengan, tetapi akan selalu ada jika engkau menginginkan. Ketika badai datang atau api menelan bangunanmu, batu-batu itu tak akan hancur atau jadi abu. Mereka hanya menunggu uluranmu, kekuatan hatimu, dan satu lagi rancangan cetak biru.
Buddha Bar [2005] Nelly. Probo. Omen. Jack. Bejo. Mereka berlima. Mereka muda. Mereka bahagia. Mereka lajang. Mereka bersahabat. Mereka raja-raja dunia.
Tidak semua dari mereka laki-laki sekalipun istilah 'raja' dipakai. Ada satu perempuan, Nelly, yang kurang berminat jadi ratu apabila itu berkonotasi jabatan nomor dua. Mereka semua sama. Tenaga-tenaga kerja masih bau toga milik perusahaan-perusahaan besar yang menggaji sarjana kemarin sore dengan gaji mini. Godaan maksi. Lima tequila shot mereka tenggak bersama. Sesaat kemudian hadir sensasi meledak di kepala. Berakhirlah sisa gaji bulan ini di jumput garam dan ampas jeruk lemon, terbang bersama lolongan perempuan India yang melatari dentuman bas dan drum. Lagu seperti itu
digila-gilai sekarang. Fusi antara dua budaya. Buddha dan bar. Tequila dan kacang bawang. Disko dan mantra.
Segalanya melebur harmonis di sudur itu. Selama ada lima mereka dan bukan empat atau tiga apalagi dua.
Probo si pengikut Dewa Hermes. Dunia berputar berlipat-lipat kali lebih cepat bila Probo yang jadi poros. Kesima dalam mata Nelly talc bisa ditutupi setiap kali Probo bergerak, berkelebat. Orot-otot jantan yang lencir dan lentur, meliuk dan menggeliat. Sinar mata Probo hangat, pertanda banyak cinta di sana. Probo mencintai dirinya, menjilati kulitnya sendiri bila kepingin, menari sambil menghadap cermin dan betulan menggilai apa yang dilihatnya di sana. Ia mencintai semua yang di dekatnya tanpa kecuali. Tak ada konsep orang asing bagi Probo. Ia percaya mereka adalah saru. Tuhan dan dirinya satu.
Jiwa Nelly dibasuh saat panas dan peluh dari lengan-lengan Probo merengkuh tubuhnya, membisikkan kata cinta. Nelly selalu berandai-andai, cinta itu hanya untuk dirinya seorang. Namun Probo seolah melampaui itu semua. Probo yang berkata cinta cenderung mirip Nabi mengatakan cinta pada pengikutnya. Seorang bintang pada penggemar.
Probo tak terkendali. Setelah pelukan lima derik yang
penuh kesungguhan, ia akan meloncat ke sana ke mari, memberi pelukan dan kara cinta pada mereka yang meminta. Nelly hanya mampu mengikuti dari belakang, berteriak mengingatkan Probo: Bo! Jangan lupa minum air putih'. Jangan sampai dehidrasi! Di tangannya, Nelly selalu menggenggam stick light, berjaga-jaga. Karena hanya setiap kali otot mata Probo mulai keram, Nelly berkesempatan meliuk, menggeliat, dan membuat Probo tergila-gila.
Omen selalu percaya dirinya adalah perempuan dalam tubuh lelaki, tapi perempuan itu lesbi, jadi Omen yang bertubuh laki-laki masih menyuka
i perempuan. Sembilan puluh persen energinya feminin, sepuluh persen maskulin-cukupan untuk mendongkrak Pavlov, celetuk Omen, mengekeh sambil menunjuk ke arah penisnya, satu-satunya komponen bernama asing di dirinya yang Familiar. Apa pun tentang Omen terasa akrab. Perempuan selalu nyaman di dekatnya. Ia akan menyuruh satu dunia menunggu demi mendengarkan sebaris keluh kesah. Karena kekuatan terbesar manusia bukan pada berlari, tapi diam. Omen kerap mengatakan itu pada Probo.
Nelly ingin menjadi bagian tetap dari diam yang dimaksud Omen. Ketenangan Dewi Hestia. Siapa yang tidak ingin" Omen yang tegas menutup pintu dan jendela agar total mengabdi pada mereka yang membutuhkan telinganya. Omen yang tega berkata 'cukup pada Piala Dunia, mematikan televisi untuk tenang bereuni dengan Tuhan dalam dirinya, sekalipun Piala Dunia empat tahun sekali dan reuni itu empat kali sehari. Siapa yang tidak ingin" Meski ketenangan itu harus dibayar mahal.
Memiliki Omen sama dengan memiliki telepon umum. Baru nyambung bila dimasukkan koin. Sisanya ia tidur. Bergesernya kerak bumi tak mengubah letak kepala seorang Omen dari bantal. Dan ketika makan, lambung Omen seolah memuai, memenuhi sembilan puluh persen rongga tubuhnya. Sepuluh persen untuk tempat tinja. Dan Nelly hanya bisa menggerutukan itu kala Omen lelap, kala sibuk memunguti puntung-puntung kerras Bear Brand, kala menyikat karpet dari jejak daun kering, kala menyemprot kalap kamar Omen dengan pengharum kalengan, sebelum Mama-nya Omen kembali marah-marah karena menyangka ada yang membakar sampah malam-malam.
Malam ini adalah idenya Jack. Makanya hadir tequila, lemon, dan garam. Yang lain berhenti sampai shot kedua, bahkan pertama, tapi tidak Jack. Ia baru berhenti kalau
kepalanya mulai pusing, dan untuk sampai ke tahap itu, dibutuhkan malam yang ekstra panjang.
Mereka sering debat terbuka. Jack yang paling sering dipojokkan. Dia disebut pengecut, karena hanya berani di jalur yang direstui pemerintah, yang dilindungi hukum. Padahal jelas-jelas paling tidak ekonomis dan efek sesudahnya paling tidak enak. Jack tak ambil pusing. Setiap kali ia mengundang, keempat sahabatnya akan selalu datang. Tidak ada yang tahan jauh darinya. Jack adalah karru joker di dalam setumpuk kartu angka dan karru ningrat. Bagaimana mungkin ia dilewatkan"
Tertawa merupakan terapi antistres terbaik, terapi anti-kerut wajah tercanggih. Dan semua manfaat tertawa akan didapatkan dengan berada di radius auranya. Bertemu Jack berarti tertawa sepanjang malam. Jack on the rocks. Itu kombinasi terdahsyat. Sesuatu dalam etanol tersambung dengan kualitas terbaik dalam dirinya.
Kalau memang hidup yang cuma sekali ini ingin dihabiskan dengan keceriaan, positivitas, Nelly akan memilih Jack. Tapi hidup juga aneh. Saat kutub positif hendak mendominasimu, seketika separuh dirimu menolak, mengingatkan perlunya tempat sama besar untuk kutub negatif; rumah bagi kesengsaraan, kekecewaan, dan air mata sedih. Pada saat yang bersamaan Jack menjadi sosok membingungkan. Ada yang tidak alami darinya. Jack on the rocks-seperti tak memiliki ruang untuk berduka. Karena itu Nelly bimbang-stirred, and shaken.
Semua tahu mengapa Bejo ikut serta. Karena drum dan bas. Karena lolongan perempuan India. Karena fusi antara detak jantung dan detak dee-jay. Bejo hadir untuk menikmati musik dari sistem canggih yang dipasang dengan perhitungan matematis. Itu saja. Bejo di tengah-tengah mereka ibarat perawan dalam sarang penyamun; perawan suci yang mencuci kebusukan dunia lewat keturunannya; adalah perawan-titik. Nelly yang tahu persis itu.
Dalam grup kecil mereka, Bejo menjadi maskot sekuritas dan stabilitas. Santo Bejo, demikian panggilannya, bukan cuma berguna bila tak ada lagi yang cukup sadar untuk berkendara. Santo Bejo akan berkoordinasi dengan satpam untuk menggotong Jack yang mengonggok di toilet, mengeluarkan angin dari tubuh Probo dengan kemampuan refleksiologinya, mengerjakan sebagian tugas nyata Omen apabila lupa pulang dari alam nenek moyang. Tanpa Bejo, mereka semua seperti meja berkaki tiga. Timpang.
Bejo tanpa mereka adalah sebatang ka
yu. Banyak pertanyaan muncul saat tanganmu menggenggam selonjong kayu. Mau kau jadikan apa" Nelly bertanya pada dirinya setiap hari. Dan pada setiap penghujung hari, jawaban yang ia pilih tetap sama: Bejo hanya sebatang kayu tanpa mereka.
Segalanya melebur harmonis di sudut itu. Selama ada lima dan bukan empat atau tiga apalagi dua. Selama Nelly hanya menerima tanpa perlu memilih. Tanpa dirinya, mereka hanya meja berkaki empat tanpa pengagum.
Rico de Coro [1995] 1. Aku lahir di dalam meja kayu antik yang penuh ukiran. Meja bulat berlapis kaca itulah tempai persinggahan ibuku yang terakhir. Untung Ibu sempal melekatkan telurku di antara lekuk ukiran sebelum warat disemprot Baygon. Kalau tidak, aku tak akan mengalami kisah ajaib ini.
Aku jatuh cinta. Dan itu merupakan masalah besar bagiku, dan bagi bangsaku. Gadis yang kucintai adalah seorang manusia remaja berparas manis dengan nama yang manis pula: Sarah.
Rambutnya sebahu, sedikit ikal, kulitnya cerah dan wangi. Dialah manusia yang paling baik di rumah yang kutumpangi ini. Namun, bagi bangsaku, dia tak lebih dari seorang pembunuh.
Padahal aku tahu pasti, Sarah tidak mungkin membunuh. Sering aku mendengar dia berbicara pada setiap orang: "Kalau saya melihat kecoak, biar dari jarak lima meter, bukan dia yang lari, tapi saya yang ngacir duluan!' lalu matanya membelalak. Indah sekali.
Memang demikian yang terjadi. Selama ini oknum-oknum yang sering memburu kami hanyalah Bi Ipah, Tante dan Oom Haryanto (pemilik rumah ini), David dan Natalia (kakak-kakaknya Sarah). Sarah sendiri tidak pernah berani berurusan dengan kami. Setiap kali mendekati kerajaan yang terletak di dapur, dia selalu minta ditemani.
Aku semakin yakin, sebenarnya dia sayang padaku. Setiap kali dilihatnya aku bertengger di lemari piring, Sarah hanya tertegun, kemudian berlari keluar. Dia tak ingin menyakitiku.
Ayah tak pernah mau mengerti. Posisinya memang sulit. Sebagai seorang raja, dia memiliki beban berat. Ayah berharap aku menggantikan posisinya kelak, lengkap dengan karisma yang tak mungkin kumiliki.
Ayah adalah kecoak ningrat yang tiada duanya. Ia perpaduan kecoak hutan yang besar dan kuat dengan kecoak rumahan yang pintar. Dulu Ayahku berurbanisasi dari hutan ke kota dengan cara bersembunyi di balik sayur yang diangkut ke pasar induk. Entah bagaimana caranya sampai ia terbawa ke rumah ini.
Masa kecilnya dihabiskan di lubang dekat televisi karena itulah dia pintar, berbudaya, dan punya wawasan luas. Dia mempelajari semuanya dari kotak listrik warna warni itu.
Ayahku jugalah yang memberikan nama bagi kami semua, sehingga kami tidak sama dengan kecoak-kecoak selokan yang suka muncul dari lubang kamar mandi. 'Kecoak WC itu tidak beradab. Mereka masih hidup di zaman primitif saat kecoak tidak punya identitas. Apalagi bau badan mereka yang... puah! Mana tahan!' katanya selalu. Ayah percaya bau badan kami lebih wangi. Setidaknya kami bergelut di sisa makanan, bukan di hasil akhirnya.
Ayah menamai dirinya sendiri HUNTER. Diadaptasi dari tokoh jagoan film favoritnya dulu. Bagi Ayah, nama itu gagah betul.
Perbendaharaan nama Ayah banyak dan bagus-bagus, ada Renegade, Dimension. Marimar, Bella Vista, Laurier, Glade, dan lain-lain. Semuanya diambilnya dari televisi. Kecuali aku. Namaku memiliki sejarah yang lain daripada yang lain.
Tadinya aku mau dinamai Tak Tik Boom. Ayah bilang nama itu sangat cocok untuk kecoak, lucu tapi juga kedengaran cerdik dan taktis. Cocok untuk seekor calon raja. Tapi begitu aku mendengar sebuah nama yang terucap dari mulut Sarah pujaanku, segalanya berubah.
Waktu itu, Bi Ipah sedang memberi makan sepasang ikan arowana kesayangan Oom Haryanto, dan makanan itu berupa seekor... (maaf) kecoak. Syukur aku tak mengenalinya. Dia seekor kecoak apes yang tertangkap di kamar mandi.
Tontonan itu sebenarnya tabu untuk dilihat oleh sesama kecoak. Bawa sial, katanya. Bisa-bisa kita ikut berumur pendek. Namun saat itu aku tak sanggup menahan diri, sebab Sarah-ku ada di sana, tertawa-tawa manis di pinggir akuarium.
Masa itu tampaknya musim kawin bangsa ikan. Kata Ayah, kedua ikan arowana bisa sal
ing membunuh kalau disatukan dalam satu akuarium. Tapi angin cinta dan perdamaian memang sedang bertiup. Kedua ikan yang kalau melihat bayangan sendiri bisa gila karena ingin mencabik-cabik, sekarang malah... pacaran! Kelakuan mereka primitif betul.
'Yuk, kita kasih nama semuanya,' kata Sarah pada David dan Natalia yang juga ikut menonton. Aku terharu. Betapa miripnya Sarah dengan Ayah.
Gadis cantik itu berpikir sejenak lalu berseru, 'Kita pakai saja nama anak-anak kompleks!'
'Setuju! Setuju!' David dan Natalia menyahuti semangat. Otak-otak nakal mereka langsung giar berputar.
'Ikan Arowananya kita kasih nama Michael dan Meiti!' 'Makanan-makanannya juga, dong. Bagaimana kalau kelabangnya kita kasih nama Anto!' usul David dengan
berbinar-binar, teringat musuh sejak kecilnya, Anto Suwiryo, anak RT 5 yang selalu licik bermain gundu tapi tak bisa dilawan karena badannya besar. 'Kodoknya... Indra!
'Ikan-ikan kecilnya... Nino en de geng!'
Tante Haryanto yang numpang lewat juga ikut-ikutan. 'Kalau corone jenenge opo"'
Sarah yang sedari tadi diam tiba-tiba bersuara, 'Coro nya... Rico! Lucu, kan" Rico de Coro!' ujarnya dengan mimik menggemaskan.
R-I-C-O... Rico... nama yang sungguh indah!
'Da-dah, Rico.' Sarah mengucap lirih sambil melambaikan tangan. Bi Ipah pun melepaskan kumis kecoak malang yang langsung hilang disikat arowana kelaparan itu. Entah si Michael atau si Meiti. Aku tak lagi peduli. Yang ada di pikiranku hanya nama itu... bayangkan, Sarah memberi nama pada seekor kecoak jelata!
Sebut aku penjiplak, plagiator, dan sebagainya, tapi aku tak mungkin membiarkan nama yang terlontar dari buah hatiku hilang bersama nyawa kecoak tak jelas. Biarlah aku yang mewarisi nama Rico de Coro, mulai detik itu sampai selama-lamanya.
Pada suatu malam, terjadi rapat besar di lemari gas LPG. Di sanalah istana kediaman Ayah, aku, dan ibu tiriku. Tempat itu memang paling nyaman dari semua pelosok dapur. Paling lembap, gelap, dan jarang diusik.
Aku dan adik-adik tiriku rengah memandangi Ayah yang berbicara berapi-api di depan mimbar.
'Ini sudah keterlaluan!' serunya penuh amarah. 'Petruk, coba beritahu yang lain!' perintahnya pada Petruk, asisten pribadi sekaligus Sekretaris Kerajaan.
Petruk berdehem sejenak. "Tadi pagi, ada musibah yang menimpa salah seekor warga kita... Lala Pita.' Suara Petruk bergetar, menyiratkan duka yang dalam.
Khalayak langsung ribut. Aku ikut terperanjat mendengarnya. Lala Pita adalah kecoak albino yang manis, usianya kira-kira sebaya denganku. Dan kami tahu benar berapa puluh kecoak jantan yang saling bersaing untuk mengawini Pita. Sebelum bertemu Sarah aku juga pernah sedikit naksir.
Filosofi Kopi Karya Dewi Dee Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'Bagaimana dia bisa mati"!' jerit Komo, salah seorang fans berat Pita.
Petruk seperti tak sanggup bercerira, tapi dia berusaha menguatkan diri. 'David... anak itu... anak itu menangkap Pita. Dia tidak membunuhnya sekaligus... tapi, dia menjeratnya dengan sebuah sisir, dan kemudian... me... menyimpulkan kedua sungutnya, se... sehingga...' Petruk terpaksa berhenti dulu untuk menenangkan hati.
Semua langsung rercekat ngeri. Sungutnya disimpul" Bagi para kecoak, itu sama saja dengan siksa alam kubur. Seratus kali lebih baik diinjak atau disemprot, daripada disakiti seperti itu.
'Pita sepertinya sungguh tersiksa. Beberapa dari kita menemukannya sudah tak bernyawa, tapi itu pun sudah terlambat... kawanan semut sudah mengarak-araknya pergi...' Petruk sampai tersedak.
Saat itu aku benar-benat benci pada David, teganya dia menghabisi nyawa Pita seperti itu. Malangnya lagi, kecoak rupawan itu berakhir menjadi santapan para semut hina.
Rakyat hiruk-pikuk. Ibu-ibu saling berpelukan dan tersedu-sedan. Para pemuda pun mengutuki David habis-habisan dengan segala sumpah serapah untuk mengge-rayanginya sampai mampus, mengencinginya sampai bengkak-bengkak.
Ayah kelihatan berpikir keras. Ia lalu bangkit dan berkata, 'Mulai sekarang kita berlakukan lagi jam siang!' Suaranya menggelegar dan membungkam mulut semuanya.
'Tidak ada lagi kecoak yang boleh berkeliaran sebelum pukul enam sore. Tidak ada lagi yang boleh iseng-iseng menampakkan diri untuk menaku
t-nakuti Sarah. Semuanya harus bersembunyi sampai aku menemukan cara untuk membalas dendam!'
Tak lama, pertemuan itu bubar. Suasana istana muram durja. Aku ngeri melihat Ayah. Saat-saat seperti ini selalu memunculkan sisi kecoak hutannya yang sangar.
Dia mondar-mandir, kadang-kadang mengembangkan sayapnya yang kokoh dan rerbang dari tembok satu ke tembok lainnya.
Aku berusaha sedapat mungkin untuk tidak memperlihatkan diri, bersembunyi di balik wajan atau panci. Persoalan cintaku pada Sarah akan membuatnya semakin gila.
2. Kengerian semakin melanda Kerajaan.
Jam siang yang sudah diberlakukan ternyata tidak berdampak seampuh yang kami kira. Perburuan terhadap warga oleh oknum-oknum keluarga Haryanto berjalan tanpa ampun, tak kenal siang atau malam.
Biasanya, hanya sebagian dari kami yang lengah saja yang tertangkap. Namun sekarang mereka sudah dengan beringas mengobrak-abrik laci-laci tempat keluarga-keluarga kami tinggal, dan semuanya berakhir di perut sepasang ikan arowana Kalimantan yang sedang kasmaran.
Fenomena ini menjadi tanda tanya besar bagi semuanya, hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk mendekati ruang kerja Oom Haryanto, tempat dia dan istrinya berdiskusi masalah rumah tangga.
Ternyata mereka sedang dibelit masalah keuangan.
semuanya dibahas, termasuk anggaran makan ikan arowana.
'Bayangkan, berapa duit yang harus keluar kalau kita kasih mereka kelabang setiap hari" Satu kelabang saja sudah gopek! Kodok juga mahal. Ikan kecil mereka nggak doyan lagi. terus, ikannya ada dua! Makan mereka sebulan sudah sama dengan uang jajan si Sarah,' Tante Haryanto mulai berargumentasi, 'sudah deh, Pi, kita jual saja ikannya...'
Oom Haryanto dengan keras menolak. 'Aku sayang sekali sama ikan-ikan itu. Kau kan tahu, mereka sudah kupelihara dari kecil. Mereka tidak boleh kelaparan, apa pun caranya! Biarlah, sementara mereka dikasih makan kecoak saja.'
Ah, Papi, kecoak mana ada gizinya! Jorok lagi. Lagian berapa puluh yang harus kita tangkap, sementara ikan-ikan itu kelaparan melulu" Aku jijik cari-cari kecoak tiap hari di dapur,' rajuk Tante Haryanto.
'Suruh saja si Ipah atau David yang cari. Pokoknya ikan-ikan itu tidak boleh dijual!' Oom Haryanto mengultimatum.
Jelaslah jawaban misteri pembantaian selama ini.
Buru-buru aku menyelinap menuju dapur, melaporkan informasi tersebut pada Petruk yang langsung pergi melapor pada Ayah.
Di luar dugaan kami, Ayah malah naik pitam. Kurang ajar! Mereka pikir kita kecoak-kecoak murahan, apa"!'
teriaknya seketika. 'Kalau cuma mengganjal perut ikan-ikan bodoh itu, kenapa mereka tidak pilih kecoak got yang sama-sama tidak punya otak"! Kita kan bangsa berbudaya, beradab. Sudah separutnya nyawa kita dihargai lebih dari sekadar makanan ikan,' lanjutnya lagi. Badannya yang besar kian mengembang. 'Kita akan buktikan kalau kita tidak sama dengan kecoak-kecoak lain!'
Tiba-tiba kudengar ia meneriakkan namaku. 'RI-COOO!'
Tubuhku langsung kaku. Tapi kuberanikan diri untuk mendongak sedikit demi sedikit. Pasti Ayah akan mengungkit-ungkit masalah itu lagi. Dan benar saja.
'Kamu... otakmu juga ada di got! Persis kecoak WC! Bagaimana mungkin kamu bisa tergila-gila dengan manusia pembunuh itu...'
'Dia bukan pembunuh! Dia belum pernah menyakiti satu kecoak pun!' bantahku, spontan. Keberanian dari panci mana ini" Bisa-bisanya aku menentang Hunter Sang Raja.
'Masih berani-beraninya kamu bela dia" Dia memang tidak melakukannya secara langsung, tapi berapa ratus kali orang-orang di rumah ini membunuh kita gara-gara dia" Anak manja yang cuma bisa 'aduh-aduh-tolong-tolong'. Dia pikir kita ini genderuwo, apa"'
Sederet kalimat pembelaan sudah siap meluncur keluar. Tapi kulihat ibu ciriku memberi kode-kode supaya aku tidak membantah.
'Daripada kamu memikirkan cinta butamu itu, lebih baik kamu pikirkan nasib bangsa yang kelak akan ada di tanganmu. Jangan sampai kamu membuat wargamu menjadi calon makanan ikan, dan bagi bibit-bibit ikan yang akan lahir dan kelak akan mengganyang bangsa kita!' serunya menyala-nyala, terbakar semangat nasionalisme sampai gosong. Setiap kali mendengar Ayah bicara begitu, aku mer
asa lelah. 'Coba cari sendok dan berkacalah di sana!' bentak Ayah lagi. 'Lihat dirimu. Kita ini kecoak! Di mata manusia, kita selamanya hitam, kecil, jelek, bau!'
Kali ini kata-katanya menamparku telak.
'Dan kalau itu juga yang jadi pendapatmu, maka kamu kecoak gadungan. Mungldn kamu anak manusia yang dikutuk jadi kecoak. Tapi kalau kamu bisa melihat bayanganmu sebagai makhluk yang gagah, tampan, dan punya arti... barulah kamu kecoak yang sejati. Dan pantas menjadi penggantiku.' Suara Ayah terus menurun, tertekan. Seperti menahan tangis.
Mendadak aku jadi sedih, baru sekarang kudengar Ayah sebegitu kecewa. Tak sanggup lagi kulihat sosoknya yang pergi menjauh. Namun masih kurasakan sakit tamparan kata-katanya... hitam, kecil, jelek, bau. Perlahan-lahan aku beringsut mendekati tutup panci yang mengkilap dan melihat bayanganku di sana.
Ingin aku menjerit ketika kusadari kebenaran kata-katanya. Tak kulihat bayangan makhluk tampan dan gagah. Yang ada hanyalah serangga pipih bersungut panjang-hitam, kecil, jelek, dan bau.
Kerajaan kami sudah berubah total. Malapetaka ini sudah mencapai puncaknya. Populasi warga sudah menyusut hampir sepertiga. Jalanan semakin sepi dan rumah-rumah terlihat lengang. Tak ada lagi pesta pora tengah malam, tak ada arisan ibu-ibu gosip, atau kawanan kecoak kecil yang bermain bebas.
Hari-hariku berubah menjadi rangkaian nelangsa. Aku tak dapat memandangi Sarah sebebas dulu. Dan yang gilanya, kejadian ini malah membuat cinta dan pengharapanku semakin dalam, membuatku terjebak dalam mimpi-mimpi absurd, misalnya, berubah menjadi manusia.
Pada suatu siang, ketika baru terbangun dari mimpi-mimpi gila itu, aku menyadari ada beberapa kecoak bercakap-cakap.
'Yang Mulia, itu gagasan yang sangat hebat. Tapi apakah mungkin berhasil" Mungkinkah manusia-manusia itu mengerti"'
'Percayalah Truk, itu satu-satunya jalan supaya mereka dapat ganjaran.'
'Tapi bagaimana caranya kita berkomunikasi dengan dia"'
'Gerak-geriknya sudah kupelajari. Biarpun sedikit aneh, tapi kupikir banyak kesamaannya dengan bahasa kita. Aku yakin kita bisa berkomunikasi.'
Aku segera tahu. Itu suara Ayah dan Petruk. Tiba-tiba kudengar suara kecoak betina. Ibu tiriku, Vinolia atau Mami Vin, panggilan akrabnya.
'Hunter, kupikir itu salah,' dengan lembut ia angkat bicara. 'Aku tidak mengerti kenapa kamu berpikir sekonyol itu. Aturan kira tidak sama dengan aturan mereka. Kita tidak perlu membalas dendam pada siapa pun. Sudah pasti yang kuatlah yang menang. Dan apalah arti serangga seperti kira dibandingkan makhluk sepintar manusia.'
Ayah berkeras. 'Sampai kapan kita mau diperlakukan seperti ini" Sampai kapan mental kita tetap bertahan sebagai hewan busuk yang bisa dibasmi begitu saja" Apa kamu tidak ingin melihat sesamamu maju" Kecoak sudah ada di muka Bumi sebelum manusia, dan kita akan terus ada sekalipun semua manusia punah! Jadi, siapa yang lebih kuat"'
Mami Vin melengos. 'Kamu terlalu lama hidup bersama televisi,' katanya ketus, "anakmu sendiri kamu petuahi agar jadi kecoak sejati, padahal pikiranmu sudah sama dengan manusia.'
Ayah sepertinya sudah ingin meledak, tapi rasa hormatnya pada Mami Vin membuatnya bungkam. Dialihkan-nyalah perhatiannya pada Petruk. 'Kita tetap jalankan rencana..."
Tentunya Petruk manut. Ia segan pada Hunter lebih dari apa pun.
'Besok kita akan menemuinya,' tandas Ayah. 'Aku yang akan berbicara langsung. Tolong siapkan beberapa serdadu kuat untuk ikut pergi. Bagaimanapun dia masih harus kita anggap berbahaya, sampai kita betul-betul tahu...'
Mereka berdua terus berbicara sambil berjalan keluar istana, tak dapat lagi kutangkap pembicaraan mereka. Yang jelas, rencana itu besar dan... berbahaya.
3. Dari balik tirai, aku asyik mengamati Sarah yang tengah tertidur pulas. Kusembunyikan kedua sungut ini rapi-rapi setiap kali mengunjungi kamarnya, karena perjalanan ini berbahaya sekali.
Kamar Sarah dilengkapi obat nyamuk listrik yang cukup bikin kami sempoyongan, dan yang lebih ngeri lagi, perangkap-perangkap khusus kecoak. Keluarganyalah yang sengaja menaruh ruang-ruang eksekusi itu supaya mereka tidak usah repot dipang
gil tengah malam untuk memburu kami.
Tiba-tiba Natalia menyeruak masuk, membongkar-bongkar, mengobrak-abrik sana-sini.
'Sebenarnya, apa yang kamu cari"' tanya David yang membuntutinya dari tadi.
'Hasil percobaan di kampus. Yang bikin itu profesor Biologi yang agak edan,' Naralia memiringkan Telunjuknya di dahi. Ketika sudah seperempar jam mencari dan tidak ketemu-ketemu, Natalia tambah pucat pasi. Percobaan apa"' rongrong David tak sabar.
Sekilas Naralia memandang Sarah yang masih tertidur. 'Nanti saja, ada Sarah. Aku rakur dia dengar.'
'Dia kan lagi tidur. Kalau kamu tidak bilang, aku tidak mau bantu mencari.' ancam David.
Walau ragu, Natalia mulai berbicara pelan-pelan. Kulihat mata David membelalak, sementara aku sendiri rasanya seperti digilas sepatu lars. Secepat kilat aku menyelinap kembali ke istana. Dan ternyata... akulah yang paling terlambat tahu.
Semua warga sudah mengetahui tentang kehadiran seekor makhluk aneh yang kini ditempatkan di bilik istana. Segera kukais-kais informasi, tapi berita yang beredar masih simpang-siur.
'Dia sungguh besaaar... menakutkan! Bentuknya seperti ratu semut, tapi lebih ngeri!'
'Makhluk itu seperti belalang lamban, kelihatannya bodoh.'
'Ular naga. Ya. Betul-betul seekor ular naga.'
Nekat, kuterobos penjagaan istana untuk menemui Ayah. Dan langkahku serta merta terhenti ketika berhadapan dengan sosok teraneh yang pernah kulihat.
Makhluk itu seperti perpaduan kumbang, belalang, dan... kecoak. Warnanya cokelat kusam, sungutnya pendek dan tebal, sayapnya kecil hingga nyaris tidak terlihat, tapi yang membuat jijik adalah posisi tubuhnya yang aneh. Badannya sebesar Ayah tapi dengan posisi manusia duduk! Punggungnya melengkung bagai bulan sabit. Kaki-kaki yang menopang posisi duduknya hanya sedikit dan lemah hingga ia bergerak sangat lamban. Bahkan hampir tak bergerak. Sementara kaki-kaki sisanya menengadah begitu saja seperti tanpa fungsi.
Dia memang kelihatan seperti monster besar yang bodoh, tapi ada satu kengerian yang membuatku tak mampu berkata-kata: di bawah sungut pendeknya, terdapat dua capit besar yang tajam berkilat! Mungkinkah... mungkinkah itu yang dibicarakan David dan Natalia tadi"
Ayah tampak sama sekali tak gentar berdekatan dengan monster itu. Ia malah memperkenalkannya padaku.
Ah, Rico. Kenalkan, dia masih famili bangsa kita... Tuan Absurdo!'
Tuan Absurdo berkata terpatah-patah dengan rintihan yang mirip berkumur, 'Grrroorbll... Rhhheekhho, phaaa-ngerraan mudzraaah...'
'Pangeran muda, maksudnya,' Ayah menerjemahkan dengan bangga. Seolah-olah ia telah belajar suatu bahasa yang luar biasa.
Aku bergeming menatapnya. Apa yang Ayah akan lakukan"'
Ayah tertawa kecil. 'Tuan Absurdo ini akan bekerja-sama dengan kita untuk memberi ganjaran pada manusia-manusia kejam itu,' dia menepuk badan Absurdo yang ternyara lembek seperti bantal, 'hidupnya tidak panjang, karena itulah dia ingin menggunakan sisa usianya untuk hal yang berguna.'
Tuan Absurdo mengangguk-angguk pelan sambil terkekeh. 'Hrgeeh... hrgeeh... hrgeeh...'
Aku memandanginya, antara muaJ dan iba. Namun rasa kasihankulah yang bertambah setelah mengetahui kisah malangnya.
Tuan Absurdo adalah kelinci percobaan yang dibuang dari laboratorium karena dianggap gagal, dan malah menjadi spesies yang membahayakan.
Asalnya ia adalah kecoak hutan yang dicoba untuk diinseminasikan dengan kumbang tanduk dan belalang. Struktur tubuhnya memang masih mengalami beberapa kekurangan, terutama pada kaki-kakinya yang lemah. Namun kesalahan fatal timbul pada kedua capit berukuran besar yang jadi mengandung racun. Dan dengan struktur ruas yang membuat badannya tengadah, capit-capit itu semakin berbahaya karena tidak dapat dikendalikan.
Tuan Absurdo diboyong oleh Natalia yang sok tahu di dalam sebuah plastik kresek, kemudian dengan sembrono terjatuh di muka dapur. Sapu Bi Ipah pun menyeretnya ke dekat tempat sampah.
Capit-capitnya yang tajam bergesekan dengan plastik tersebut sampai sobek, dan akhirnya ia dapat meloloskan diri keluar dengan susah payah. Beberapa warga lalu menemukannya dan melaporkan pada Ayah.
Awalnya aku tidak terlalu yak
in pada Tuan Absurdo, tapi lama kelamaan aku menyadari bahwa di balik fisiknya yang mengerikan, dia memiliki hati yang tulus.
Aku jadi sering menemaninya bercakap-cakap pada malam hari, walau dituntut kesabaran tinggi untuk dapat mengerti ucapannya.
"Oom Absurdo...' 'Yha... Rheekhoo...' 'Kalau Oom memiliki capit yang berbahaya, kenapa Oom tidak berusaha menyerang kecoak-kecoak yang menemukan Oom waktu itu" Bagaimana Oom tahu itu musuh atau bukan" Bukannya kita cenderung menjauhi yang bukan sesamanya"'
Tuan Absurdo terkekeh. 'Ithruuu bethriuull... tzhrapiii...' dan dengan terbata-bata ia menjelaskan sesuatu yang membuatku bertambah iba.
Tuan Absurdo ternyata telah menyaksikan beberapa temannya yang sama-sama dijadikan monster dipaksa untuk menggunakan capitnya, yakni dengan memberikan
rangsangan kuat agar racun itu termuntahkan keluar. Betapa pilu hatiku setelah tahu bahwa racun yang keluar nanti adalah seluruh cairan tubuhnya sendiri, sehingga Tuan Absurdo pasti akan mati sesudah melakukannya.
Apakah racun itu sangat berbahaya, Oom"'
Dia menggeleng. 'Thrriiidhakz therlallruuu...' kemudian dijelaskannya bahwa racun itu hanya sejenis racun pelumpuh mangsa yang akan membuat mangsa itu tidak bisa bergerak. Tetapi pada manusia, racun itu memberi sensasi terbakar pada kulit dan kaku pada otot yang membuat orang itu pastinya sangat kesakitan.
Aku tertegun. Sepertinya aku dapat mereka-reka rencana Ayah kini. 'Dan Oom akan melakukannya demi Ayah saya"'
Tuan Absurdo menggeleng lagi dan tampaknya ia tersenyum. 'Thrriidaakz... tzhraapiii unthruukhuu...'
Hatiku dirembesi haru. Tuan Absurdo tidak kuat lebih lama tersiksa dengan keadaan tubuhnya yang tak sanggup beradaptasi dengan ekosistem, dan ia juga tak punya teman-teman spesies sejenis.
'Siapa yang akan Oom sengat"'
'Dhraaarrviidz...' 4. Hari yang dinanti-nantikan seluruh warga kerajaan telah tiba. Subuh-subuh, dengan bantuan kawanan semut yang bersahabat, diboyonglah Tuan Absurdo ke dalam laci meja belajar David yang memang selalu dibiarkan setengah terbuka.
Setelah semua siap diatur, Ayah memberi salam terakhir untuk pahlawan perangnya. Absurdo, atas nama Kerajaan Kecoak Dapur, aku mengucapkan terima kasih untuk pengorbanan yang tak terhingga ini,' dengan sungguh-sungguh Ayah berkata.
tuan Absurdo mengangguk sembari menerbitkan senyum memelas, dan dengan lemah melambaikan kaki kecilnya. 'Rheekhooo...' panggilnya padaku.
'Oom Absurdo,' sahutku tercekat menahan sedih. Kupandangi wajah belalangnya yang lugu, dan kugapai-gapaikan sungutku untuk meraih kakinya yang melambai-lambai. Ia senang sekali menerima balasan itu, wajahnya yang ramah kian berseri. Rasanya tak sanggup lagi aku di sana. Kususul Mami Vin yang juga meninggalkan tempat prosesi.
'Ada apa dengan Hunter, apakah dia tidak mengerti bahwa semua usahanya ini sia-sia"' keluh ibu ciriku.
'Memangnya kenapa"' 'Dia pikir manusia akan mengerti aksinya, padahal kita hanya akan semakin dimusuhi dan dibasmi. Apalagi kalau ada dari anak mereka yang terluka. Hunter tidak mau terima kalau kita ini tak perlu balas dendam. Setiap makhluk sudah punya tugasnya masing-masing... ikan arowana, kita, keluarga Haryono... kenapa malah jadi dibuat perang"' Mami Vin menunduk semakin dalam. 'Semua ini hanya akan mendatangkan duka. Rico.'
Sementara yang lain sibuk mempersiapkan diri untuk menyaksikan peristiwa monumental itu, aku memilih pergi ke kamar Sarah. Bersembunyi di balik tirai seperti biasa. Karena sesungguhnya hari ini adalah hari yang sangar istimewa.
Sarah berulang tahun yang ke-15. Pagi ini ia tampak sangat cantik, mematut-matut dirinya dalam gaun putih untuk pesta kecilnya nanti malam.
Tante Haryanto yang lewat di depan pintu berceletuk, 'Cantik sekali anak Mami, seperti puteri.
Sarah tertawa lepas. Dan ketika ibunya berlalu, ia berbicara sendiri pada cermin, "Masa seperri begini dibilang puteri"'
Dia memang rendah hari. Betapa aku ingin ikut-ikutan berseru, kalau aku setuju seratus persen dengan Tante Haryanto. Sarah benar-benar seorang puteri. Tercantik sejagat raya! Dan aku... akulah pangerannya! Pangeran Rico de Coro!
Nyaris aku lepas kendali dan menampakkan diri. Selintas bayanganku tertangkap di cermin itu. Bayangan Rico de Coro. Pangeran serangga yang hitam, kecil, jelek, dan bau. Mana mungkin aku bisa seputih dan sebersih gaun yang dikenakannya, atau cukup tampan untuk menjadikan kami pasangan yang serasi. Aku hanya makhluk bersungut yang tinggal di bagian terkotor di rumahnya, dengan kepala penuh impian konyol yang hanya membuat orang tuaku kecewa.
Kulihat Sarah terperanjat. Begitu pula aku yang kaget sendiri mendengar bunyi sayap bergetar menggesek tirai. Ternyata sayapku mulai dewasa, tak lama lagi aku akan bisa terbang seperti Ayah.
Sarah yang telanjur takut buru-buru keluar. 'David... Bi Ipah... Kak Lia... Mami..' ia langsung memanggil bala bantuan. Betapa menyesalnya aku sudah mengagetkan Sarah. Kususul dia diam-diam lewat jalur kabel di tembok.
'David... David! Tolong! Ada kecoak di kamarku!' Sarah mengguncang-guncangkan badan abangnya.
David terlonjak bangun. 'Benar-benar kecoak"' tanyanya serius.
Natalia langsung menerobos masuk dan bertanya tegang, 'Kecoak" Kecoak macam apa"'
Sarah memandangi mereka berdua, bingung bercampur curiga. 'Memangnya, ada kecoak seperti apa lagi"'
'Sarah, coba ingat-ingat, warna kecoak yang kamu lihat bagaimana" Sungutnya panjang atau pendek" Terus, badannya keliharan aneh, nggak"' Natalia berusaha ber-ranya serenang mungkin, capi Sarah semakin kerakutan dibuatnya.
'Ada capitnya"" David menambahkan, kelepasan.
'Capit"!' Sarah tak sanggup lagi membayangkan berapa mengerikan makhluk yang ditanyakan kedua kakaknya. Sekujur tubuhnya gemetar seperti orang menggigil.
'Ada tidak"' Sarah hanya bisa melongo memandangi David, pikirannya sudah kacau. 'Tidak tahu, tidak jelas, tidak tahuuu!' teriaknya kalap.
Ayo, kita lihat sama-sama!" David bangkit berdiri dan bergegas. 'Sarah, cepat ambil senter di laci mejaku!'
Seluruh tubuhku berdesir mendengarnya. Dengan kepanikan Sarah, akan semakin kuarlah rangsangan bagi Tuan Absurdo yang sudah menanri di dalam laci meja David.
Petruk, yang mendampingi Absurdo di dalam laci, mulai merasakan getaran-getaran mendekat. 'Siap-siap, Absurdo. Sebentar lagi..."
Sarah menarik laci itu dengan grasak-grusuk, jari-jarinya gemetar hebat.
Absurdo menarik napas. Ia sudah siap sekarang.
Aku tak ingat apa-apa lagi selain putihnya gaun Sarah yang tak boleh dicemarkan air mata, dan tawa lepasnya yang tak kubiarkan berubah menjadi erangan kesakitan.
Sayap mudaku bergerak dan bergerak secepat mungkin. Mendarat lebih cepat daripada jemari mungilnya. Dan, oh, wajah Tuan Absurdo terasa dekat sekali, menatapku tak percaya. Kudengar ia merintih halus, 'Phaaa-ngerraaan... muddzzraaahh...'
Badan Tuan Absurdo seketika mengempis. Tak ada lagi yang berarti selain kedua capit kokohnya yang telah merobek badanku. Kurasakan tubuhku mengembang oleh cairan racun yang kuisap. Tak ada nyeri, aku hanya mematung.
Sayup-sayup terdengar Sarah menjerit. 'Itu kecoaknya... ITU!'
Secepat kilat David menyambar sendai jepit dan me-libaskannya. Pukulan itu memuncratkan sebagian isi tubuhku hingga mengotori lacinya.
'Aaah! Laciku... laciku!' teriak David panik. Dengan sapu lidi ia mencongkelku keluar, siap melibasku lagi.
'Tunggu!' teriak Natalia seraya menahan tangan David. Gadis itu membalikkan tubuhku dan dilihatnyalah sosok buronan yang selama ini dicari-carinya... Absurdo!
Natalia terpekik pelan. 'Ini mutan yang kuceritakan itu. Dan kecoak ini... berarti kecoak ini...'
Entah kesaktian apa yang dikandung racun Tuan Absurdo, yang jelas tak kurasakan nyeri sama sekali walau tubuhku sudah remuk. Dan karena sebagian racun itu sudah keluar dari tubuhku yang rusak, perlahan aku merasakan kaki-kakiku lagi... menggerakkannya untuk
sekali lagi mendekat pada Sarah... menatap wajah malaikatnya...
'David! Kecoaknya masih hidup!"
Itulah teriakan Sarah yang terakhir kali kudengar, sebelum riwayatku tamat di bawah sendai karet David yang memukulku berulang-ulang tanpa ampun. Dan untuk terakhir kalinya, hatiku menjerit dan berdoa, pada leluhur, dewa-dewi serangga, dan siapa pun di sana... izinkan aku menemui puteri impianku. Seka
li saja. Natalia diam termangu. Matanya nanar memandangi rubuhku yang sudah tak terbentuk. 'Tapi, kecoak itu yang sudah menyelamatkan kamu, Sarah,' bisiknya.
Sejenak kamar itu sunyi. Suara gusar David lalu mematahkan hening cipta mereka. 'Kecoak tetap saja kecoak! Dia cuma kebetulan terbang dan masuk laci. Dasar sial saja, makanya langsung menabrak mutan itu. Mati!' Ia lalu beranjak pergi untuk mengambil kain pel.
Sementara itu, Petruk yang berhasil lolos lari runggang-langgang menuju Kerajaan. Ia pasti memilih ikut remuk dihantam sendai daripada menghadap Ayah.
Ketika sampai, ia menemukan Sang Raja, Hunter, tengah memandang hampa ke luar istana. Dunia yang berusaha ia taklukkan dan ia beri pelajaran.
'Yang Mulia... Pangeran muda kita...' di antara sedu sedannya Petruk mencoba berbicara. Namun Ayah sudah melihat semuanya.
Di bilik istana, Vinolia juga tengah menangisi nasibku. Menangisi semua kenangan dan semua mimpi yang selalu kuceritakan padanya. Mami Vin pasti tak mengira betapa besar cintaku pada Sarah sehingga aku rela memberikan nyawaku hanya agar gadis itu tidak disakiti. Aku rela melepaskan semua, termasuk tampuk Kerajaan Kecoak Dapur.
Aku merasakan diriku mengawang-awang. Tidak tahu apa bentuknya. Aku tak bisa lagi berbicara, tidak kepada diriku sekalipun. Tinggallah aku sebagai sebentuk kesadaran, sebuah permohonan, yang kini melayang-layang dalam dimensi nonmateri. Tidak ada waktu. Tidak ada ruang. Tidak ada wujud. Tidak ada pangeran serangga yang hitam, kecil, jelek, dan bau.
Kumasuki labirin pikiran Sarah dan melebur di sana.
'Kakak...' Sayup-sayup kudengar suara merdunya memanggil Natalia yang baru saja bangun pagi.
'Kamu kenapa"' tanya Natalia bingung.
'Tadi malam aku mimpi jadi puteri,' senyum Sarah mengembang, tersipu-sipu. 'Aku bertemu dengan pangeran. Namanya Rico de Coro, lalu kami jalan-jalan, berdansa, dia cium pipiku dan bilang selamat ulang tahun.'
Sesuatu mengusik Natalia. Rico de Coro... nama yang tidak asing, tapi ia tak berhasil mengingat jelas, dan sepertinya tidak juga Sarah.
Tidak apa-apa. Aku bahagia. Misiku selesai.
Wujudku sebagai sebuah kesadaran akan segera berakhir. Sebentar lagi aku keluar dari labirin pikiran Sarah. Giliranku bergabung dengan roh-roh nenek moyang yang sudah lama menunggu... Ibu! Aku akan menemuinya, bercerita tentang masa kecilku tanpanya di dalam meja kayu.
SEKIAN Neraka Keraton Barat 1 Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang Neraka Puncak Lawu 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama