Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko Bagian 1
Linggang Si Bunian - Wendi Andriko download dan baca secara online di http://cerita-silat.mywapblog.com Pedang Sakti Cersil Istana Pendekar Dewa Naga Raja Iblis Racun Ceritasilat.... thank.1. Satu
Malam membaringkan dunia yang mulanya terang kedalam peristirahatan panjang.
Orang-orang kampung berdiam membenamkan diri dibawah naungan atap bangunan atau dalam
tuntunan selimut. Tak seorang penduduk;pun sanggup keluar rumah, sekalipun hanya untuk
sekedar bercengkeramah dikedai-kedai kopi menjelang rasa kantuk datang. Hawa dingin bagai
merayap dimana-mana, seolah-olah langit telah berubah menjadi gumpalan-gumpalan Es.
Petir menggelegar disertai kilat, menembus kegelapan. Bumi yang tak bercahaya tibatiba terang sekejapan mata. Desau-desau angin berpusing, gemerisik ,meriuh rendah. Jauh dari
pegunungan, ditepian pesisir pantai, Suara-suara lamunan ombak memecah dihempas badai.
Gelombang tinggi menghantam karang-karang kokoh. Lumba-lumba memekik bersiul
mengumpulkan kawanan. Ikan-ikan menyuruk berenang lebih jauh kedalaman. Burung-burung
laut dan kelompok-kelompok bangau putih yang tiduran didahan-dahan kayu terombang ambing
dalam kebutaan. Hendak pergi terbang, mata sudah buta tatkala kegelapan memulai merajai
dunia. Tetesan air sebesar jari-jari kelingking berjatuhan bagai ribuan anak panah berguguran
diawan, menyerbu sawah, ladang-ladang petani dan tanah kering perbukitan. Langit layaknya
runtuh. Alam laksana mengamuk, Seakan memberi pelajaran kepada siapa saja yang
menyakitinya. Menunjukkan kekuatan mahadahsyat pada makhluk-makhluk serakah.
Seiring lolongan serigala menyelip meraung, menggidikkan bulu roma, langit menghitam
menutupi cakrawala. Dimalam yang menakutkan itulah, nampak dibalik kegelapan perbukitan
dua sosok manusia sedang berlari kencang dari lereng menuju puncak bukit Gundam. Bukit yang
terletak dan terpencil di selatan pesisir pulau andalas bagian barat. Menerobos malam dengan
nafas tersengal-sengal, seakan tak bergeming bahkan merasa takut pada badai menggila yang
bukan tidak mungkin bisa saja menghempaskan tubuh mereka kejurang terdalam bukit itu.
Langkah keduanya cepat, gesit , dan tangkas mendaki tanah basah licin perbukitan. Tak
sedikitpun tergelincir. Telapak kaki mereka bagai menempel lekat disetiap injakan ditanah. Jika
diperhatikan baik-baik, dua orang itu bukanlah manusia dari golongan rakyat jelatah.
Setidaknya, mereka mempunyai ilmu kepandaian. Mustahil bagi orang biasa bisa mendaki bukit
secepat itu ditengah hujan badai tanpa tergelincir. Hanya orang tertentu saja yang bisa
melakukannya. Tiba-tiba orang yang paling belakang berhenti berlari. Yang didepanpun segera
menghentikan langkah dan menyusul dengan muka pucat pasi.
"Bertahanlah Sabai! Kita aka segera sampai. Tidak ada waktu lagi. Kita harus tiba
dipondok sebelum mereka datang", kata laki-laki berbaju hitam itu. Ia memmegangi bahu orang
dibelakangnya yang ternyata adalah seorang perempuan. Selendang putih panjang dileher wanita
itu menjula-jula ketanah dan sudah dikotori lumpur. Pakaiannya serba putih seperti pakaian
seorang putri. Rambutnya panjangnya dikuncir bagian atas, menjula sampai kepunggung.
Dikepalanya terdapat sebuah mahkota kecil dari emas murni. Perempuan itu matanya setengah
terpejam memegangi perutnya menahan sesak nafas. Mata sipitnya tampak semakin kecil.
". .Uda Randai! sudah tidak kuat lagi rasanya aku berlari. Kedua lututku serasa mau
tanggal dan tak berdaya. Tinggalkan saja aku disini. Segeralah Uda pergi dan selamatkan mak
Ina dan anak kita!". Ucapnya lemah. Wajahnya memucat menggigil. Tampaknya ia sudah sangat
kedinginan. Berlarian berlama-lama ditengah badai rupanya telah mennguras habis tenaga
perempuan itu, letih. Pun untuk bergerak saja sudah tidak mampu.
Laki-laki yang dipanggilnya Randai mendekatkan tubuh, lalu merangkul_memeluk gadis
yang bernama Sabai seraya berkata. "Tidak istriku. Hidup sama-sama hidup. Matipun samasama mati. Aku takkan meninggalkanmu apapun yang terjadi. Jika kau harus mati ditempat ini,
aku juga akan menerima takdir yang sama". Jawabnya mantap.
Bilamana hujan semakin gila, sudah layaknya hujan batu menimpa punggung serta
kepala, tak sedikitpun dirasakannya sakit. Ia berdiri seraya mengangkat tubuh Sabai yang
menggigil kedinginan dan mulai berjalan lagi. Penuh debaran hati dan pengharapan, penuh do'a
dan keyakinan, ia berusaha mencapai puncak bukit secepat mungkin sambil menggendong tubuh
istrinya yang keletihan. Kiranya, ada kesulitan besar tengah menunggu dua insan ini.
Randai mendaki bukit Gundam setengah berlari. Sekalipun mendaki, menyusuri jalanan
setapak yang basah dan licin, layaknya singa kelaparan ia tak kenal kata berhenti. Terus berjalan
meski deru angin semakin kasar. Jalanan berlumpur bukan rintangan, telapak kakinya tetap
menempel seperti paku disetiap injakannya diatas tanah. Gerakan tangkas dan cepat yang tadi
terlihat, masih tetap sama sekalipun kini ada beban dikedua lengannya. Tidak ada kegamangan
sama sekali. Tangan masih menggendong istri, tubuh basah kuyup, air telah bercampur baur dengan
keringat, tibalah juga ia dipuncak. Dihentikan langkahnya sejenak. Diperhatikan tiap sudut gelap
dengan mata awas. Suara desau angin semakin kuat membanting. Dedaunan serta rerumputan
kering beterbangan seperti kapas. Tubuh Randai bagai ditindih batu besar. Namun, dengan
berbekal kekuatannya, dia tetap berdiri kokoh tiada goyang, tiada surut barang sejengkalpun.
Diatas sana terdapat pedataran yang cukup luas. Pohon-pohon belantara diatas bukit itu
tampak aneh. Pedataran luas itu ibarat terbagi dua. Sebelah padang bukit ditumbuhi tumbuhan
teramat subur. Belukar ada dimana-mana. Hutan dan rerumputan tumbuh rimbun. Lebih
kedalamnya lagi suasana amatlah gelap, digelapkan oleh rentetan rapatnya pepohonan. Banyak
binatang bernaung didalamnya. Mungkin harimau bisa juga pemangsa lain. Namun, separoh
padangnya lagi ialah tanah tandus yang hanya ditumbuhi ilalang-ilalang yang berakar panjang.
Jangankan pohon besar, jati ataupun pinus, Pohon sekecil ranting;pun seakan tak sudi
menghidupi diri diatasnya. Bukit itu ibarat terbagi dua dalam satu tubuh. Tandus dan subur.
Sebagian penduduk desa dikaki bukit mempercayai bahwa ada hal ghaib yang menguasai tempat
itu. Konon, menurut cerita, disitulah pernaungan para jejadian.
Ditengah-tengah pedataran ada sebuah rumah kayu yang kiri kanannya terdapat dua buah
batu besar melebihi tinggi rumah itu sendiri. Kalau dilihat dari tempat pemuda yang bernama
Randai berdiri, rumah ini tidak terlihat sama sekali. Siapapun yang mengunjungi tempat itu
dikali pertama, tidak akan menyangka jika ada rumah kecil disana, tersembunyi dibalik
bebatuan. Diatas kedua batu itu terdapat dua buah guci perak tak terawat. Sudah ditumbuhi
lumut nyaris keseluruhannya. Guci itu mermotif bunga teratai dan bertuliskan sebentuk sandisandi kuno. Entah apa maksudnya.
Si Randai mempercepat langkahnya, setengah berlari dan berteriak menyerukan sebuah
nama, "Mak. . .Mak Ina. . .Mak Ina. . .!!". Panggilnya.
Beberapa waktu kemudian, Seorang perempuan tua tergopoh-gopoh keluar dari dalam
rumah. Tubuhnya bungkuk dan langkah sudah gontai termakan usia. Tenaga yang tersisa
mungkin hanya tinggal untuk berdiri saja. Sambil mengosok-gosokkan sugi (kapur dan sirih
dicampur tembakau) dimulutnya, dia berjalan memperhatikan orang didepan. Mencari-cari sosok
siapa gerangan memanggilnya. Akankah orang yang datang itu seperti pengharapannya"
Singguluk lusuh dikepala si nenek berkibar-kibar disapu angin. Ia pun berseru, "Randai..! waang
nak?" Tanyanya dengan suara serak dan lemah.
Randai menjawab,"Iyo mak. Ini ambo Randai",Randai mendekati Mak ina. Lalu
menurunkan tubuh istrinya.
"Mana Sabai" Dimana cucuku?", katanya tidak sabar.
Sabai yang mulai pulih sedikit tenaganya, sudah lapang pula nafasnya, segera memeluk
erat tubuh kurus Mak Ina. Dicium pipi kisut si nenek penuh kasih sayang dan kelegaan yang
sedari tadi mengganjal dalam hati, tak mau hilang sebelum bertatap muka. "Ini aku Sabai, Mak.
Walaupun mata amak sudah kabur tapi amak masih bisa mengenali suaraku, bukan?"
Perempuan tua itu menepuk-nepuk bahu cucunya berkali-kali, besar sekali nampak
hatinya mendengar suara itu,"Sabai!! Kemana saja kau, nak" Sudah dari tadi anakmu menangis.
Dia belum kamu susui semenjak kamu dan Randai pergi. Pasti dia lapar. Tadi terpaksa Mak
kasih air dicampur madu saja. Untung dia mau minum. Amak sangat khawatir kalian bertemu
bahaya diperjalan" terang mak Ina.
Sabai sedikit tersenyum,"Maaf, mak. Tadi Kami dikejar anak buah Rajo batuah
diperjalanan pulang dari rumah Angku Lareh. Kami terpaksa menghindar dulu kehutan sebelah
sana untuk menyelamatkan diri"
"Rajo batuah", kata mak ina bergetar, nafasnya berat. "Orang itu! Belum puas juga
rupanya dia memburumu. Kapan dunia ini bisa tenteram jika yang berkuasa justru orang yang
berhati tamak dan serakah. Kapan masanya kita akan bisa hidup berpindah lagi dari tempat sunyi
ini" Aku rindu punya tetangga disebelah rumah sebagai kawan berbagi. Takkan terwujud jika
manusia terkutuk itu belum juga berhenti?"
"Bersabarlah, Mak! Masa itu pasti akan tiba. Mana anakku" Kita harus segera pergi dari
sini" Tanya Randai pula.
"Sekarang dia sudah tidur. Mau pecah gendang telingaku ini rasanya mendengar
pekikkan anakmu itu kalau menangis" Mak Ina terdiam sebentar."Apa maksudmu dengan
pergi?". Lanjut Mak ina. Ia menarik tangan Sabai hendak membawanya kedalam rumah.
"Rajo batuah ..... dan anak buahnya sebentar lagi akan segera sampai ketempat ini, Mak.
Cepatlah berkemas. Kita harus meninggalkan kediaman ini untuk sementara waktu. Kalau tidak,
keselamatan kita akan terancam. Rajo batuah sudah hilang rasa kemanusiaan dan akal sehat.
Tidak bisa diharapkan lagi untuk bermufakat. Ia sekarang tak lebih dari seekor binatang".
Langkah mak ina terhenti. "Pergi! Kemana lagi kita harus pergi, Randai" Aku yang
sudah tua rentah, tak sanggup lagi berjalan jauh. Lututku sudah goyang, tulangku tak lagi
berbalut daging ini juga sudah rapuh. Lagipula, ini rumahku! Aku tidak akan meninggalkannya
hanya karena takut. Mau sampai kapan kita hidup sembunyi-sembunyi" Aku tidak takut dan
tidak akan tunduk pada Rajo batuah", mak ina berkaca-kaca.
Sabai disebelahnya dapat mahfum dan memahami setiap bulir umpat mak ina. Ia pasti
lelah hidup terasing ditengah hutan tanpa pernah bergaul dengan orang lain selain dirinya. Mak
Ina nampaknya tak lagi setegar dulu dimasa akhir penghujung hidup. Semua itu akibat ancaman
dari manusia bernama Rajo Batuah. Agaknya begitu menakutkan kekejamannya, sampai-sampai
mereka harus menjauh dan berpindah-pindah demi menghindarinya. Sabai memeluk bahu mak
ina, berusaha menenangkan orang dikasihinya itu. Disapunya air mata si nenek penuh kasih
sayang, penuh cinta,"Mak", katanya lembut, "sementara waktu, lebih baik kita bersembunyi
dulu. Kita tidak aman disini. Kami tahu amak sudah lelah dengan hidup yang selalu dicekam
kecemasan. Tapi, apa yang bisa kami lakukan sekarang untuk amak selain meninggalkan gubuk
ini" Amak tenang saja. Nanti, setelah rajo batuah pergi, kita bisa kembali lagi kerumah ini",
bujuknya. "Kita lari bukan karena takut! Kita menghindar demi kebaikan kita sendiri. Jika berkelahi
perkara selesai. Bisakah amak terkah dan pastikan akan selamat kita semuanya" Akan dapat
berkumpul lengkapkah kita kembali" Atau, kita akan kehilangan demi mempertunjukkan bahwa
kita tidak takut" Jika hidup sendiri saja, Uda Randai tidak bakal bersurut dan mengulak langkah.
Akan dihadangnya siapa saja. Tapi, ia punya keluarga! Keluargalah alasannya bersembunyi,
Mak!, "Maafkan Amak, sabai jo Randai! Bukan maksud amak hendak mengumpat, hanya kesal
pada Rajo batuah. Kenapa tiada hentinya juga mengganggu kita. Sedangkan matahari saja terus
tenggelam dikala senja, jika hari ini ia redup dikarenakan awan hitam, akan diusahakanya lebih
terang esok harinya, tiada dia ingat hari kemarin akan kejahatan awan hitam itu, tiada
mendendam. Bulan berganti dan waktu berputar. Masa-masa permusuhan itu seharusnya sudah
hilang. Kenapa watak perilakunya tidak juga berubah.
Sekarang amak setuju kita pindah, Tapi kemana?", kata mak ina menghela nafas.
"Ke-goa dibalik bukit ini", kata sabai. "Tempat itu cuma kita yang tahu. Jadi, kita aman
kalau berada disana. Amak ikut kami ya!". Dipikirnya sejenak, ditimbang buruk baiknya tempat
itu. Bisa tinggal berlama-lama disana atau tidak" Bisakah berteduh dikala hujan juga cercaan
sang surya" Terlindungkah mereka dari kejaran Rajo batuah jika kesana" Semua dipikirnya dulu
sebelum meng"iya"kan.
Mak ina kemudian mengangguk pelan setelah beberapa saat berfikir penuh pertimbangan
itu. Walau hatinya berat untuk pergi, mak ina juga tidak mungkin tidak menuruti keinginan
sabai. Seperti ia pahami sendiri tanpa harus ia ucapkan berkali-kali, separuh hidupnya adalah
untuk melindungi gadis itu. Tidak dengan tenaga, dengan buah pemikiran pun jadi. Dengan
nasihatpun bisa. Apapun yang bisa ia lakukan akan dilakukannya demi si buah hati, milik
tunggalnya didunia. Dia sangat menyayangi cucunya melebihi segala kata serta lakunya sendiri.
Cinta yang teramat dalam selayak ibu mencintai puterinya, sekalipun gadis itu bukanlah cucu
yang lahir dari rahim anak kandung Mak Ina. Sebab, Mak ina memang tidak pernah menikah
apalagi punya anak. Sabai sejatinya bukanlah cucu. Ia hanyalah cucu angkat. Sekalipun begitu,
tak berbilang sayangnya tertumpah pada sabai sedari kecil. Ditambah lagi sekarang dengan
kehadiran cicitnya, anak sabai dan Randai yang masih berumur tiga bulan itu, hatinya semakin
tak bisa jauh. Kesempurnaan hidup dimasa senja adalah menimang cucu dan berkumpul bersama
keluarga. Setidaknya, yang satu itu telah berhasil diraihnya.
Sementara itu, Randai masih berdiri diluar rumah memperhatikan keadaan disekitarnya
penuh rasa was-was. Istri dan mak ina mengemasi barang-barang mereka didalam rumah.
Gemerisik padang ilalang yang biasa didengarnya, kini mengejutkan juga dalam prasangka.
Siapa tahu disana ada yang mengintip, mengintai kediamannya. Siapa tahu disanalah Rajo
Batuah mencari-cari kesempatannya lengah dan membidiknya dari belakang. Beragam
kerusuhan berkecamuk dalam dada. Jantung Randai tiba-tiba berdebar kencang melihat sesuatu
didepannya. Matanya terbelalak. . .
2. Dua *** Badai semakin gila. Hujanpun masih turun lebat ketika segerombolan manusia berkuda
memasuki hutan belantara dibawah bukit Gundam nan tengah diamuk badai. Berdecak-decak
bunyi genangan air diinjak sepatu-sepatu kuda, bergetar-getar bumi Allah dikarenakan rentakan
binatang kuat itu yang berjumlah banyak, seperti kuda pacuan yang terus berlomba menjadi
paling terdepan, saling mendahului dengan hentakan khas penunggang. Gerombolan orangorang itu berhenti ditepi lereng bukit yang mana tidak jauh di depan tedapat jalan setapak
menuju puncak. Seorang laki-laki tambun, perutnya buncit seperti perut babi liar, berkumis tebal hitam
lebat teronggok di atas dua bibir yang sedikit tebal juga, perlahan maju kedepan dengan gagah
diatas kudanya. Kilat dan petir menyambar sesekali, membuat orang sekeliling tersadar bahwa
wajah itu teramatlah angker bila terlihat sekilas-sekilas. Beberapa saat sebelum suasana kembali
gelap, ia buka suara. "Cari bangsat itu sampai dapat dan habisi dia beserta anaknya, tapi jangan sentuh
istrinya. Dia bagianku. Kalau kalian berhasil, hadiah besar sudah menunggu. Kalian akan kaya
raya!!", teriaknya lantang penuh api. Senyuman bengis tersungging dari bibir yang hitam tebal.
Laki-laki yang berteriak ini, yang teramat buruk rupa ini , yang juga bengis dan kejam ini tidak
lain adalah Rajo Batuah. Manusia yang sedang memburu Randai dan istrinya. Manusia yang
telah membuat Randai dan Sabai lari tunggang langgang ditengah malam. Hal apa kiranya yang
terjadi diantara mereka"
Mendengar kata hadiah, semua orang diatas kuda bersorak girang. Carut marut beserta
kata-kata kotor lainnya sahut menyahut bergantian sebagai luapan kesenangan, bermacam canda
terlontar, pukul kanan pukul kiri sebagai ganti diri menyapa, hal yang tidak asing bagi
kehidupan orang-orang berjiwa kasar yang hidup dikaum berjiwa dan tutur kata kasar pula.
"Berapa imbalan untuk kepala bajingan itu Tuan Muda?", tanya salah seorang penunggang
ditengah-tengah keumunan. Wajahnya kurus dan pipinya agak cekung. Rambut acak-acakan
setali tiga uang dengan jambang lebat tak terurus, serupa beruk hutan saja tampilannya, tua.
Siapapun yang melihat-memandanginya, sudah barang tentu akan dapat menerka sifatnya yang
garang menakutkan tanpa harus bertanya, kekerasan bagai sudah tertulis dibentuk wajahnya,
itulah pemimpin rombongan pengikut setia Rajo batuah yang bergelar Celurit Perindu Darah.
Pendekar sakti mandraguna. Pandeka hebat lagi terkenal di empat penjuru angin pulau andalas
yang sangatlah luas ini. Lebih tepatnya, orang-orang itu adalah pemuja uang alias tukang jarah
kaum lemah. Pembunuh nomor satu, perampok ulung yang merajai segala sudut pesawangan
diselatan pesisir. "Dua ratus keping uang emas ditambah sepuluh ekor sapi!", teriak Rajo batuah."Uang itu
cukuplah bagi kalian bersenang-senang berbulan-bulan tanpa harus bercucuran keringat.
Bagaimana" Jikalau disetujui, lekaslah kita berangkat. Berlama-lama hanyalah memberi lawan
kita kesempatan untuk melarikan diri"
"Cukup menarik!", kata laki-laki bewok didepan kawanan garuk-garuk dagu. "Tapi
jumlah kami terlalu banyak bila dibagi-bagi dengan uang sekecil itu. Tambahkan seratus keping
emas lagi, agar kami dapat sedikit bagian. Sekedar pembeli kopi dikedai nanti. Kalau tuan muda
setuju, baru kami bertindak. Bagaimana?"
Merah padam muka Rajo batuah. Tampak menggeram, amarahnya membuncah. Dada
membusung, nafas tersesak naik-turun. Menurut sangkaannya, tidak lain ia juga sedang dijarah
oleh pengikutnya sendiri, sedang diperas dikuliti oleh si Celurit. Kalau saja sinar bulan
meneranginya dikala itu, maka tampaklah wajah angker itu sedang remuk redam. "Dasar
manusia-manusia tamak. Kuhancurkan kalian setelah rencana ini selesai". Gerung Rajo batuah
dalam hati. Lalu dengan lantang manusia ini kembali berucap. "Aku sanggupi permintaan itu.
Asal kalian tidak mengecewakan, semua yang kujanjikan akan kalian dapatkan sebagai imbalannya"
Si laki-laki bewok terkekeh kegirangan. Belum apa-apa sudah terbayang-bayang di
kepalanya kesenangan yang akan ia dapatkan setelah pekerjaan selesai. Meja judi serta
perempuan, main sana main sini, minuman dan mabuk-mabukan, semuanya mengambang silih
berganti dihadapannya. Melintas-lintas di pelupuk matanya. "Ha ha ha ha, baiklah!!",katanya
menyetujui."Tunggu apa lagi kawan-kawan. Lekaslah kita selesaikan pekerjaan! Kemudian
bersenang-senang!". "Ayolah!",teriak gerombolan itu serentak. Maka, menderulah suara kakikaki kuda meneobos amukan badai kepuncak bukit Gundam.
Petir kembali menggelegar. Kilat menyambar-nyambar dipenaungan awan, bencana
apakah yang akan terjadi" Tak biasanya alam mengamuk segila itu. Mungkinkah alam sedang
marah" Jika tidak, langitkah sedang sakit" Yang patut dan lebih ditakutkan hanyalah jika Allah,
Tuhan segala makhluk;lah mulai marah melihat tingkah manusia. Tidak satupun bisa selamat
jika itu benar terjadi. Namun, sekalipun begitu, kawanan Rajo Batuah tidak gentar. Meski bumi
tebalik terjungkal, atau bukit gundam runtuh, tekad sudah bulad takkan terpecah, sepakat yang
dipegang tidak juga akan berubah, terus melaju. Bayang kematian bukanlah soal yang harus
dipikirkan, omong kosong. Uang yang lebih perkasa dari segalanya. Uang lebih berkuasa atas
nafsu-nafsu serakah. Begitulah tamaknya hati manusia.
Jumlah orang-orang itu tidaklah kurang dari sepuluh orang. Berpakaian hitam degan ikat
kepala yang juga sama. Seayun, selangkah dan setujuan, semua mereka seragam dengan pakaian
kebesaran yang tidak terpisahkan. Tanda setia kawan. Rela menyabung nyawa demi kelompok.
Demi ketua yang diagungkan.
Terkecuali Rajo Batuah, penampilannya sama sekali sangat berbeda. Pakaian merah
dengan sulaman benang emas dipinggirnya itulah yang membuatnya dipandang lebih dari orang
lain. Emas tidaklah sama dengan loyang, Sutera tidak bisa disamakan dengan benang. Ia orang
besar, berpangkat tinggi lagi dihormati, manamungkin ia mau berpakaian setara dengan penjahat
rendahan di kelompok Celurit Perindu Darah yang hanyalah pesuruh lalu dibayar, orang
bawahan. Sebilah keris terbuat dari emas murni tersembunyi dipinggang laki-laki buncit itu.
Sembari kuda memacu lari, disentuhnya sesekali gagang senjata bertuah turunan ayahnya.
Sekalipun berkawan dan bergaul dengan banyak orang, terlihat juga bagaimana sifat
Rajo Batuah sangatlah berbeda. Nampak juga tabiat buruk menguasai tutur bahasanya yang
kasar. Perlakuannya yang keji. Otaknya yang kotor. Yang biasa bergaul dan bertatap muka, tidak
satupun berani menegur. Itu dikarenakan manusia picik ini memanggul jabatan terpandang dan
Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
disegani. Dubalang dalam kampung, ditakuti oleh sekalian pemuda, terkemuka dalam berbagai
hal, dituakan selangkah dari yang sebaya. Itulah dia.
Ia manusia serakah! Tak segan menyiksa bahkan membunuh apabila niatnya tak dituruti,
pintanya tidak dipenuhi. Tugasnya dikampung sebagai tukang tarik pajak rakyat sebelum dikirim
kekerajaan, kaki tangan pemerintah. Jika raja meminta pajak sepuluh perak per-kepala, maka
pajak yang ditarik oleh manusia angkuh ini bertambah menjadi tigapuluh perak. Berlipat-lipat
naiknya. Sebab, duapuluh perak per-kepala lagi masuk kekantongnya sendiri. Bukanlah
pertanyaan lagi apabila dia begitu cepat kaya raya. Tidaklah menjadi hal baru bagi orang-orang
yang ditindas diperas keringatnya oleh rajo batuah kenapa kekayaannya melimpah. Hasil
mengumpulkan uang haramlah yang membuatnya begitu. Banyak juga penduduk yang merasa
keberatan dengan kelakuan tamak Rajo batuah. Tak terhitung kepala yang mendongkol dan
menyumpah. Dengan dalih memperbaiki pembangunan kerajaan ia mengelabuhi banyak orang.
Hampir semua peduduk menyadari kebusukannya itu, keterlaluan. Karna takut mati, mereka
diam saja. Sekali bicara maka nyawalah tantangannya.
Salah seorang dari yang berkuda berteriak kepada temannya dibelakang. "Aku rasa Itu
mereka ! Sudah sampai dipuncak"
"Tunggu apa lagi", segera tangkap dan bunuh dia" teriak Rajo Batuah geram penuh
dendam. Beberapa kali terdengar dia menggerutu tidak jelas. Entah apa yang disebutnya.
Kuda dipacu, dipaksa berlari lebih cepat. Beberapa saat kemudian Rajo Batuah bersama
puluhan anak buahnya sudah sampailah di puncak bukit. Didiamkan diri sebentar,
diperhatikannya selingkaran pandang, sepi. Suasana masih tetap sepi sampai beberapa waktu
dilewatinya diatas punggung kuda, tiada apa-apa. Gemuruh guntur dilangit sana seakan tiada
henti membelah gelap. Hujan turun semakin deras. Hutan bukit sebelah itu bunyikan suara mengaung-ngaung
menakutkan, bagai sebuah lorong yang menelan badai. Sementara itu, Rajo Batuah belum juga
menemukan apa-yang dicari. Tak dilihat jua yang diselidikinya. Kecuali, suara desau yang
meniup kasar menampar-nampar wajah bengis laki-laki tambun itu.
"Kemana bajingan durjana itu", berkata Rajo batuah. Dipegangnya gagang keris emas
dipinggang dan turun dari kuda. Penuh rasa awas kehati-hatian, ia berjalan lurus menuju
gundukan batu besar didepan. Ketika itulah matanya terkesiap menangkap benda diatas batu
besar. Sebuah guci perak bermotif bunga teratai dengan ukiran sandi-sandi kuno berada disana,
yang sudah diselimuti lumut. "Teratai perak!", serunya tak percaya.
Tak lama kagetnya itu. Kemudian, ia tersenyum-senyum sendiri dengan kepala
terangguk-angguk, memahami sesuatu hal. Sesuatu yang sedang terfikir oleh otak kepala
bengisnya. Ia tertawa senang. "Hahaha, Kutemukan juga kau bajingan".
Perlahan-lahan rajo batuah berjalan kebalik batu besar itu. Kegelapan malam tak
menghentikan langkahnya, tak menciutkan nyalinya untuk menggeledah. Matanya waspada
tahu-tahu kalau ada serangan pembokong dengan senjata rahasia. Ketakutan yang tak lebih dari
sifatnya sendirilah yang pengecut. Yang terbiasa menyerang dalam gelap, membidik disaat
lengah. Penikam dari belakang.
Rajo Batuah membelalak lagi jikala melihat sesuatu yang ada dibalik batu itu. Darahnya
berdesir. Amarah bangkit memanaskan dada dikala menemukan orang yang memang sedang
dicari-carinya berdiri didepan sebuah rumah yang tersembunyi dibalik batu besar itu. Orang itu
ialah Randai. "Ooh!Jadi disini selama ini kau bersembunyi, Randai pengecut!", kata rajo batuah
bercakak pinggang."Apa kau masih ingat dosa-dosamu padaku" Bertahun tahun kau pergi.
Bertahun kau menghilang, bertahun pula aku memendam hasrat untuk memenggal kepalamu
penghianat! Ah!Tiap hari aku memikirkannya Randai. Selalu ku jaga dendam ini untukmu
sampai aku bisa membalasnya dengan cara yang lebih kejam. Tak kusangka, dendam itu akan
segera terbalas malam ini"
"Dosa?", jawab Randai tenang."Aku merasa tidak punya dosa apa-apa padamu dimasa
lalu. Tidak ada yang harus kusesali Rajo Batuah. Semua yang aku lakukan adalah apa yang
sudah seharusnya kulakukan. Jika kau kurang senang, itu tak lebih dari ketamakan;mu sendiri"
"Bagus!", kata rajo batuah."Seorang Penghianat takkan pernah merasa bersalah. Apalagi
kau, manusia hina. Tak juga kau sadari kesalahanmu, he" Apa sekarang kau mau cuci tangan
dan berpura-pura tidak berdosa setelah berhadapan denganku" Bangsat tak tahu malu macam
kau memangsudah sepantasnya dibumihanguskan dari dunia ini"
Randai sekilas melihat kedalam rumah. Sabai dan mak ina belum juga keluar. Mereka
sudah kehabisan waktu. Mungkin tak sempat lagi menyelamatkan diri. Terbesitlah dalam hati
laki-laki ini sedikit kekhawatiran akan keselamatan istri dan anaknya serta mak ina yang Rentah.
Jika yang dihadapinya hanyalah rajo batuah seorang, sejengkalpun ia takkan gentar. Selama
yang ia tahu, rajo batuah tak pernah menang tiap kali adu tanding dengannya. Tapi, ia sadar
betul keculasan otak musuhnya itu. Dia takkan gegabah datang seorang diri menghadapinya.
Dan benarlah dugaan Randai. Sepuluh orang anak buah Rajo Batuah telah berdiri sejajar
dibelakang si dubalang. Masih tenang randai;pun membalas ucapan rajo batuah,"Perlu kau tahu Rajo Batuah.
Jauh hari sebelum kau menyukai sabai, dia sudah menjadi milikku. Tiap kali kau bertanya siapa
kekasihku, aku ingin menjawab kekasihku adalah sabai. Namun, Sengaja tak kuberitahu padamu
karena aku tak mau kau bersedih hati. Seperti yang kau terangkan tiap kali kita bercengkeramah
diwaktu dulu, bahwa kau menyukainya. Kau ingin memilikinya. Mempersuntingnya adalah
tujuanmu. Semua itu ku lakukan karena persahabatan kita.
Sebab kenapa kuambil keputusan waktu itu, aku tahu betul tabiatmu. Aku sadar watak
keras yang tersimpan dalam jiwamu nan serakah itu. Setiap yang kau inginkan pasti mau kau
dapatkan. Tidak bisa secara baik-baik, secara paksa;pun tak apa. Dan, aku tidak bisa
membiarkanmu menyakiti Sabai, wanita yang kucintai. Maka, segera kunikahi dia dengan
pengharapan kau mau mengerti bahwa dia milik-ku, sahabatmu sendiri.
Akan tetapi, apa yang kulihat setelahnya sangatlah jauh dari sifat seorang sahabat yang
berkasihan sejak kecil. Yang setikar setiduran. Perlakuanmu tak lebih dari sebuah keserakahan
atas nafsu duniawimu saja. Kau gelap mata dan memburu temanmu sendiri"
"Cukup bangsat!", teriak rajo batuah."Banyak alasan kau Randai. Kau pikir aku akan
percaya dengan pembelaanmu itu" Sudah terlambat untuk menerangkan kebusukanmu sekarang.
Hari ini kau akan membayar semua penghianatanmu dimasa lalu. Bersiaplah menghadap setan
neraka kau jahanam!!"
Rajo Batuah surut dua langkah. Dipandang-pandangnya juga sesosok teman yang kini
menjadi musuh. Senyum layaknya menghina ia hadiahkan seraya memberi kode pada anak
buahnya untuk menyerang. "Habisi dia! Cincang! Bahkan tulangnya pun tidak boleh tersisa!".
Gelegar petir masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Randai menatap
langit beberapa saat. Direnungkannya nasib sementara waktu. Diingatnya anaknya yang kecil
sedang menangis, dibayangkan wajah sabai berurai air mata, juga mak ina yang mengiba dalam
ratapannya. Akankah ia biarkan angkara itu terjadi pada keluarganya" Tidak... Sampai putus
nyawa di badan takkan tersurut keberaniannya demi membela orang-orang tercinta.
Ia membuka langkah, memasang kuda-kuda untuk menghadapi serangan musuh. Anak
buah rajo batuah membentuk lingkaran dan randai terjepit ditengah kerumunan . Dan, "serang
bangsat tengik ini. . !!", seru si celurit perindu darah, ketua kelompok pembunuh bayaran.
Sembilan anak buahnya menyerbu serentak. Desing-desing senjata melayang menebar ancaman,
pertanda bermulanya pertempuran. Berkebut-kebut suara pedang, berdering-dering bunyi besi
tajam, sungguh Randai dalam bahaya besar. Pertempuran sengit;pun tak lagi terhindarkan.
Sebuah sabetan golok mengejar perut Randai. Dengan gesit ia melompat kebelakang dan
melayangkan sebuah tendangan keras berisi tenaga dalam kekepala si penyerang. Tiada bisa
dielak digelengkan, berkelit atau melepaskan diri, tendangan itu sudah bersarang tepat ditujuaan.
Tubuh pengeroyok terbanting keudara, langsung disambut batu besar dan "bukk", terdengar
benturan keras. Suara pekik aneh layaknya elang mengejar mangsa memecah relung hujan. Dan
kemudian diam. Nyawa laki-laki itu putus seketika.
Serangan beruntun datang lagi. Randai masih mampu menghindar dengan sangatlah
mudah. Bukan apa-apa baginya para lawannya itu. Jika ia boleh bersombong diri, algojo itu
belumlah seujung kuku;pun dibanding kepandaian ilmu silatnya yang diasah bertahun-tahun.
Jurus-jurus aneh berkelebat seakan mencabik-cabik lawan. Dua orang anak buah rajo
batuah kembali jadi korban. Dadanya terkoyak, daging menghambur keluar sehingga jantungya
kelihatan. Mayat bergelimpangan bersimbah darah. Cakar Harimau yang berasal dari silat
Harimau, jurus aliran silat minang kabau yang teramat berbahaya.
Rajo batuah yang menyaksikan keganasan itu sedikit bergidik bulu romanya. Bukan
main gentar hatinya menyaksikan kepandaian lawan. Sekalipun ia pernah bertarung, belumlah
pernah dilihatnya ilmu silat mantan sahabatnya begitu berbahaya.
Meski tidak diperlihatkan, keraguan mulai menelisik pertahanan-Rajo Batuah. Mulai
mengerik-ngerik dinding keberanian dan hati panasnya,"Sial benar! Manamungkin aku bisa
merobohkan bajingan ini" Kesaktiannya diluar dugaan. Kalau kupaksakan, malah aku yang bisa
celaka". Celotehnya dalam hati. "Aku harus mencari cara".
3. Tiga ** Sabai memegang tangan mak ina kuat-kuat ketika mendengar kegaduhan didepan rumah.
Tangan itu dingin selayaknya beku. Walaupun tidak melihat, ia sudah bisa memastikan bahwa
yang tengah bertarung adalah Randai, suaminya menghadapi anak buah Rajo Batuah. Tidak
dapat diembunyikan kekhawatiran-ketakutan jika suaminya dapat celaka menghadapi otak culas
Rajo Batuah. Pikiran itu terus membuntuti isi kepala dan buah pikirnya.
Ditatapnya wajah lusuh mak ina mengguratkan keresahan tersembunyi. Hatinya menjerit
mengiba. Air matanya meleleh. Penuh kebingungan, perempuan itu menangis, "Mak! Apa yang
harus kulakukan?", Sabai putus asah. Dihati dan dimata hanya nampak bayang angkara murka.
Dihadapan hanya ada kesusahan serta pesakitan hidup dalam bencana. Disela tangis, membathin
ia bertanya, kenapa tidak ada damai baginya, tidak ada senyum untuknya, tidak ada cerah di
gelapnya" Kenapa .... Kenapa ! Cuma itu umpat tangisan Sabai.
Mak Ina membalas pegangan tangan itu, "Ayo kita keluar! Tidak ada gunanya berada
didalam sini. Jika suamimu mati, orang-orang itu akan semakin leluasa memaksamu. Itu jauh
lebih buruk dari kematian. Lebih baik kau bantu Randai dan aku akan menyelamatkan bayimu"
"Amak tidak mungkin pergi sendiri! Hendak kemana amak akan menyelamatkan diri
bersama anakku sementara Amak tidak bisa melihat apa-apa" Kita sudah masuk perangkap,
Mak" "Percayakan anakmu padaku. Allah selalu bersama hambanya yang sedang
membutuhkan. Meskipun aku sudah rentah dan tidak bisa melihat apa-apa dengan jelas, tapi
sudah bertahun aku hidup ditempat ini. Goa yang kau sebutkan itu sudah kuketahui sebelum kau
dan Randai mengetahuinya. Segala keperluan kita sudah kupindahkan kesana. Tiap hari aku
mengunjungi tempat itu untuk persiapan. Aku sudah menebak Rajo Batuah akan menemukan
keberadaan kita. Sekarang kau bantu Randai dan kau susul aku setelah urusanmu disini selesai!"
"Tapi, Mak . . . !!" "Sudahlah Sabai . . Bukan saatnya kita berpendapat. Cepat pergi . .
!!", seru Mak ina mengambil bayi digendongan perempuan cantik itu. Untuk beberapa saat sabai
hanya bisa diam. Terdiam karena meragukan keputusan mak ina pergi sendiri. Namun, apa yang
bisa ia perbuat sebagai pilihan" Adakah cara lain agar anaknya selamat" Tidak ada! Tidak ada
pilihan lain. Maka disetujui;nyalah usulan itu.
Sabai beserta Mak ina menyelinap belakang rumah. Dibantunya Mak Ina melarikan diri
melewati pintu dapur. Dengan hati yang teramat berat, dengan dada yang menyesak,
dilepaskannya wanita tua itu pergi membawa serta bayinya. "Jaga anakku, Mak! Apapun yang
terjadi. Bahkan jika aku dan Uda Randai tidak menyusul amak kesana", kata sabai. Mak Ina
menganggukkan kepala. Deraian kesedihan tampak jelas diwajah keriputnya. Wanita tua itupun
berlalu. Langit hitam mengeluarkan letusan lagi. Kali ini lebih dahsyat dari sebelumnya.
Berguncang hebatlah bumi Allah diketika itu. Bertumbangan pohon-pohon besar. Dibawah kilat
halilintar, isak tangis Sabai tak lagi terbendung. Bagaimana nasib anaknya nanti" Jikalau pergi
bersama, akan celaka suaminya. Jikalau tinggal, belumlah tentu bisa kembali berjumpa. Ah,
semua terasa serba sulit dan menyedihkan. Getaran bibirnya yang kedinginan bercampur baur
dengan air mata. Dalam gelap itu ia memanggil-manggil anaknya. Betapa hancur perasaannya.
Betapa lemah tubuhnya. Seorang ibu yang harus berpisah dengan anak, buah cinta, buah kasih
yang lebih indah dari permata. Lebih terang dari sang surya, Putera tercinta yang baru berumur
tiga bulan, sedang disayang-sayang juga ditimang. Hatinya hancur
Bukan keputusan yang mudah bagi sabai membiarkan Mak Ina pergi menuruni bukit
licin seorang diri ditengah malam. Hati perempuan muda itu remuk ngilu. Dalam gelap, ia
bersujud, bertasbih, dan berdo'a semoga Allah melindungi buah hatinya. Karna, Ia dan Randai
mungkin takkan pernah menemui mereka lagi. Sebelum beranjak, masih dipandangnya juga
punggung mak ina yang semakin menghilang, "Tuhan, selamatkan mere . .!". Tiba-tiba Sabai
memekik nyaring. . . ** "Aakkhh", hantaman Randai tepat sasaran. Laki-laki itu terpelanting dan kepalanya
menghujam batu besar. "Kreekkh", Pekik kematian kembali terdengar. Kepala pecah dengan
mata terbelalak. Korban ketujuh dari rombongan itu. Deru perkelahian antara Randai dengan
algojo Rajo Batuah terus berlanjut. Desing senjata mengalahkan suara-suara amukan alam.
Saling serang, saling hantam dan kemudian menghindar. Satu tujuan, yaitu membunuh.
Sudah habis harapan untuk menang. Anak buah rajo batuah bergelimpangan bersimbahsimbah darah. Mayat-mayat manusia berserakan dimana-mana, selayaknya padang rumput yang
setiap helai daunnya berganti keparan demi keparan mayat manusia. Pembantaian luar biasa.
Jumlah mereka yang tadi sepuluh orang, satu persatu mati mengenaskan. Hanya tiga yang masih
mampu bertahan, termasuk sang pemimpin, si Celurit Perindu darah. Si culas itu memang belum
melakukan apa-apa. Dua anak buah celurit perindu darah yang tersisa mulai gentar. Keberanian telah goyah.
Yang ada kini hanyalah ketakutan. Takut dibantai dan mati mengenaskan seperti yang lain.
Mereka sudah kehabisan tenaga menaklukkan Randai, yang awalnya dikira hanyalah manusia
lemah, yang sebelumnya disangka akan bisa diringkus dengan mudah. Diluar dugaan, rupanya
dia adalah seorang pendekar, ahli silat yang sangat sulit dicari tandingannya.
Celurit perinduh darah dapat membaca situasi. Agaknya, ada sedikit kekhawatiran
terbesit dihatinya, bahwa algojonya akan kabur menyelamatkan diri. Akan ditinggalkan ia
seorang diri menghadang Randai. Hatinya kecut mengingat itu. Diapun menggembor marah,
"Hoi!! Cepat serang dia, bangsat!! Jangan jadi pengecut. Kau lihat, bajingan ini sudah mulai
lelah. Sekali serang lagi dia pasti mampus", katanya menyemangati sambil bercakak pinggang.
"Ayo! Serang lagi!"
Dua orang muda itu saling pandang, saling meminta pendapat dan persetujuan. Masihkah
perkelahian berjalan seimbang" Mampukah si Randai dijatuhkan" Satu diantaranya
mennganggukkan kepala tanda setuju. Persetujuan yang lebih tepat sebagai cara untuk
menghindari amukan ketuanyalah yang tidak kenal ampun pada siapapun yang berkhianat. Lalu,
dengan nekad kembali menyerang meski hati sudah berkata "jangan". Suara golok menyabet,
melayang-layang diudara. Berdesingan seperti peluru, mengejar perut dan leher musuh.
Laki-laki mudah itu terkesiap. Hanya beberapa mili saja mata golok nyaris memutus
tenggorokan, melayangkan nyawanya. Tengkuk terasa dingin bagai bermandikan air es. Hampir
saja ia menghadap gerbang maut.
Sesungguhnya lagi, Randai sudah tidak ingin melanjutkan perkelahian yang sangatlah
tidak berguna itu. Ada rasa iba dalam hatinya jika kembali harus membunuh dan membuat hidup
musuhnya sia-sia. Kembali diseru keduanya, "Tunggu! Hentikan ", Sontak dua penyerang
hentikan serangan. Seorang dari dua itu berkata,"apa maumu" Mati bunuh diri atau menebus
maut lewat pedang kami" Pilihlah salah satu"
Randai menghela nafas, "Sabar Uda-Uda. Sudah tidak ada gunanya seperti ini. Lebih
baik kita hentikan perkelahian sebelum ada lagi yang celaka. Aku maklum jika ditempat ini kita
adalah musuh dan saling bunuh. Tapi, kalian harus ingat, ditempat lain kalian juga punya
kehidupan seperti saya. Kalian punya keluarga. Kalian punya anak, punya istri dan orangtua.
Pikirkan mereka yang sangat membutuhkan kalian!", sambung Randai meyakinkan. "Kita bisa
mengakhiri ini dengan bijaksana. Kalau uda berdua mau".
Perang bathin berkecamuk dikepala masing-masing algojo. Kebimbangan mengisi hati
manusia-manusia itu yang berakibat terjadinya saling membenarkan dalam kepala. Tidak salah,
memang ada benarnya ucapan randai, memang begitulah kehidupan. Sejahat apapun, sekeji
apapun, mereka masih punya keluarga yang bergantung hidup. Anak yang ingin makan. Ibu
yang sudah tua. Dan, istri yang tidak mungkin kuat bertahan seorang diri. Hati manusiawinya
tersentuh. Jiwa lembutnya muncul ketika itu. Keduanya saling menundukkan kepala.
"Ah! Jangan didengar!", Celurit Perindu Darah mematahkan kebenaran. "Apa kau buta,
kawan-kawan" Kita hanya tinggal bertiga. Kalau berhasil membunuh si tengik ini sekarang,
hadiah dari Tuan Muda akan kita bagi tiga. Tentu sangatlah banyak. Kita akan sangat kaya. Jatah
yang seharusnya kita bagi sepuluh, dibagi tiga. Alah mak, kita mandi uang... Mandi uang kawan!
Kalian dengar" Berhentilah berfikir bodoh dan cengeng. Kita ini orang-orang terbuang
tercampakkan. Tak punya isteri lagi keluarga yang mengharap pulang. Sekalipun ada, bukankah
uang yang kita dapati nanti bisa diberikan sebagai pembeli beras" Cepatlah selesaikan pekerjaan
ini dan kemudian bersenang-senang".
Hasutan dahsyat! Senyum bengis keserakahan tersungging lagi dari mulut dua manusia
itu. Kepalanya serentak mengangguk membenarkan. Memalukan, sungguh sangat memalukan.
Tipu daya setan rupanya lebih menggiurkan daripada kepentingan orang-orang yang dicintai
bagi hati hitam penjahat-penjahat seperti mereka. Ketamakan telah menghilangkan sisi
kelembutan dan tanggung jawab. Uang dan kesenangan jauh lebih penting dari segalanya.
Tanpa ampun, mereka tiada lagi bisa diajak berpendapat serta berbicara. Tiada guna lagi
meminta sepatah dua patah kata sebab mereka telah kembali menyerbu, menghujani Randai
dengan jurus-jurus golok kilat mematikan.
Sungguh tak pandai mereka mengukur tingginya gunung, dalamnya samudera. Hanya
menuruti hawa nafsu tanpa berfikir akan berakibat buruk-baikkah kenekatan itu. Randai
bukanlah lawan yang sepadan untuk ditandingi sekalipun maju berdua. Sepuluh-pun sudah mati
tujuh. Tidak disadarinya hal itu, demi uang dan kesenangan yang hanyalah bayang-bayang.
Angan-angan yang tidak akan pernah kesampaian.
Randai;pun tidak lagi berfikir panjang. Sudah cukup usaha untuk berbelas kasihan pada
manusia yang tidak sayang nyawa. Dengan sekali serangan menyusur tanah, dia menghunus
golok yang belum dipergukan. "Seettt", robeklah perut keduanya secara bersamaan. Dalam
hitungan detik, hanya setarikan nafas, algojo-algojo Si Celurit roboh, mati dengan isai perut
berhamburan. Mereka menghadapi sakratul maut dalam hidup berlumur dosa.
Bukan main panasnya hati Randai. Tak dapat dikata gelegak dada kala menatap Si
penghasut tak berotak itu berdiri tegak tak jauh darinya. Ulah hasutannyalah, korban kembali
berjatuhan. Mulut busuk sedang tersenyum itulah penyebab niatnya untuk tidak lagi membunuh
tidak kesampaian."Manusia keji!", bentak Randai sambil berdiri."Mengorbankan anak buah,
pengikut setia, demi melindungi tubuh sendiri. Pemimpin macam apa kau"!! Tidak pantas
diteladani! Pengecut ... Cuihh", ia meluda ketanah, pertanda hati tengah diamuk puncak dendam
amarah. Kepala panas bagai dinaungi tunngku api, pipinya memerah padam.
Golok yang terhunus ditangan, digenggam erat. Mata menatap tajam tiada kedip barang
Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebentar. Mata itu telah memerah.
"Hahahaha . . .Kekejian terkadang membuahkan kemenangan, anak muda", balas Celurit
Perindu Darah sinis."Menang tidak sekedar tentang kepandaian, tapi menang juga tentang
kelicikan. Sehebat apa manusia berusaha, segiat apa ia bertindak kalau otak tidak dipergunakan,
tetap saja aka kalah. Otak lebih pandai dari ilmu beladiri apapun jika pintar mempergunakan.
Kelicikan dan kekejian adalah cara termudah untuk menang. Aku adalah manusia licik dan kau
adalah korban kelicikan. Tenagamu hanya tinggal selentik jari. Sekarang aku bisa membunuhmu
dengan sangat mudah. Saatnya mati, kunyuk busuk!!hahahahaha....!!"
"Biadab!", kata Randai."Sungguh hatimu lebih buas dari binatang. Lebih hina dari
anjing-anjing kurap dijalanan"
"Hehehe,,,", katanya kembali terkekeh."Mau keji, licik atau apalah, apa urusanmu, eh"
Manusia bodoh macam kau tidak akan mengerti. Otakmu hanya berisi taik kerbau dan sapi, tidak
ada isi! Janganlah kau banyak bacot, karna malaikat maut sudah didepan mata. Sebentar lagi
nyawamu akan lepas dari badan. Persiapkanlah perkataan terakhir".
"Hanya Allah yang tahu kapan aku harus mati. Hanya Yang Maha Kuasa yang bisa
mencabut nyawa dari tubuh hina ini. Dan Kau, kau hanya cecunguk rakus yang sangat tidak
pantas menyamakan diri dengan malaikat. Kutu beruk;pun lebih mulia dari tubuh najismu,
keparat!", balas Randai.
"Eh,,,eh . . .Bagak juo waang",kata celurit mengejek."Kau rupanya belum paham juga
siapa aku, bocah tengik" Apa perlu kuingatkan lagi seberapa menakutkannya aku dimasalalumu,
hah" Anak haram!"
"Apa maksudmu?", selidik Randai. Nafasnya mulai menyesak. Masalalu baginya,
ibaratkan menguliti badan sendiri. Sangatlah sakit, teramatlah pedih. Sabai ,istrinya pun tidak
pernah bertanya. Agaknya, Tan Mali telah membuat kesalahan besar sebab mengungkit-ungkit
yang telah lalu itu. "Aku adalah mimpi buruk dimasa kecilmu, anak haram! Kau ingat ini?". Katanya seraya
membuka bajunya. Sehingga dada kurusnya tampak begitu banyak tulang berjenjang. Nyaris
kulit berekatkan tulang. Di sisi kiri dada yang keriput terdapat sebuah bekas luka bakar
berbentuk telapak tangan manusia.
"Kau . . . !!! Ssi. . .siapa kau?", debaran jantung semakin kencang.
"Cuihh! Ayah dan anak tabiatnya sama saja, tukang rampas kekasih orang. Kau pikir
dunia ini milik moyangmu, sehingga kau bisa sesuka hati memiliki siapa saja yang kau mau"
Tidak salah ayahmu mati mengenaskan anak muda, sebab memang harus begitu balasan untuk
orang serakah. Dan sekarang, kaupun akan bernasib sama. Kalau dipikir-pikir, dua manusia,
ayah dan anak, sama perangai. Sungguhlah memalukan...hehehe"
Berkaca-kaca mata Randai. Berbutir-butir keluar keringat dalam kulitnya. Golok
ditangan bergetar menahan bara api didada. Hatinya bergolak hebat. Amarah masalalu menyalanyala yang tidak mau padam sekalipun dibawah guyuran hujan. Ubunnya bagai mendidih,"Kau
,, rupanya kau adalah si bangsat, Tan Mali. Pembunuh ayahku!!". Teriak Randai.
"Hehehehe. Akhirnya kau sadar juga bocah malang. Matilah kau, anak setaann!", kata
celurit yang nyatanya adalah Tan Mali, orang yang seumur hidup diburu Randai. Perlu
diketahui, Tan mali adalah tokoh silat yang telah lama hilang dari hiruk-pikuk dunia setelah
sebuah kejadian. Ia dicari oleh banyak pendekar silat untuk dihabisi karena membunuh Sutan
Rajo Ameh. Orang baik hati serta budiman. Yang memiliki banyak sahabat serta saudara. Punya
dunsanak dimana-manna. Mendengar kematiannya, tidak sedikit yang marah dan hendak pula
membalas, membunuh pelaku pembuhunan itu. Sebab itulah Tan Mali menghilangkan diri.
Bahaya mengintainya dimana-mana. Kematian sewaktu-waktu dapat mendatanginya. Sutan Rajo
Ameh itu tidak lain adalah ayah pemuda yang bernama Randai ini. Tak disangkanya, manusia
itu hanya mengganti nama menjadi gelar celurit perindu darah untuk menghilangkan jejak. Dan
bernaung di hutan serta pesawangan sebagai perompak.
"Kaulah yang pantas mati, bajingan. Tamatlah riwayatmu. . . !!", Randai menyentak
kedepan, mengangkat golok ditangan kiri dan langsung menyerang. Seluruh tenaga sengaja
dikerahkan kekepalan tangan dimana golok tergenggam agar sekali saja sabetan menyinggahi
kulit, maka mautlah akibatnya. Sangatlah dahsyat, ia menghujani Celurit Perindu darah dengan
amukan golok mematikan. Tubuh berputar-putar diudara, lalu layaknya gasing ia meluncur
kencang menghujamkan golok kearah manusia keriput itu.
Celurit Perindu Darah alias Tan mali yang masih tertawa-tawa belumlah siap membuat
pertahanan. Terkejut kesiaplah ia ketika melihat serangan datang. Matanya membelalak
kebingungan. Serangan mendadak membuatnya hilang akal. Otak culas ternyata tidak cukup
pintar mengambil keputusan dalam waktu cepat, "Siaaaall!!", teriaknya kalang kabut mencari
selamat. Tanpa pikir lagi, manusia keji itu lari terbirit-birit kebalik bebatuan besar yang
diatasnya terdapat sebuah guci perak.
Dan,"Bumm", terdengar benturan dahsyat layaknya gempa. Suara gemeretak disisi kiri
batu besar itu. Terbelah sebagian. Kalau saja celurit tak cepat menghindar, niscaya tubuhnya
akan menjadi daging cincang. Bibir Tan mali menghitam pucat. Keringat dingin menetes
didahinya, semakin dibuat dingin oleh rintikan hujan,"Bedebah! Jurus apa itu?", katanya
membatin."Hampir saja aku mati. Tenaga kunyuk ini sangat luar biasa. Sudah letih, tetap saja
berbahaya. Aku bisa mati konyol kalau begini".
Sekalipun sedikit gentar, Tan mali tidak mungkin berlama-lama dibalik batu. Randai
yang marah akan segera memburunya lagi. Jika tidak cepat membela diri, tamatlah ia dalam
sekejap. Maka, dengan cepat Tan Mali terpaksa mengeluarkan senjata andalannya yang tak lain
adalah sebilah celurit. Celurit sakti yang selama ini telah menelan banyak nyawa. Telah
membantai siapa saja yang menentang keinginannya sendiri atau;pun atas perintah Rajo Batuah.
Bukan sembarang waktu senjata itu digunakan. Sesekali saja, hanya bila keadaan terlalu
mendesak atau lawan yang kelewat tangguh. Kiranya, Randai merupakan lawan yang
menakutkan bagi Si celurit.
Setelah merasa siap, dengan gesit ia melompat, kembali kearena pertempuran. Kini nyali
kejam kembali menyala. Naluri membunuh kembali hidup. Tidak ada lagi aral yang patut
ditakutkan. Siapapun akan dilibas. Meskipun sebenarnya, sejak tadi Celurit sudah mengukurukur kepandaian ilmu silat Randai. Dicari-carinya titik lemah selagi laki-laki itu ketika bertarung
dengan anak buahnya yang sengaja dijadikannya umpan. Namun sial, sampai seluruh algojonya
musnah, tak satupun kelemahan yang ia temukan.
Bagi kaum pendekar, adalah pantang menghinakan diri dengan bersurut langkah. Seberat
apapun lawan, sudah jalannya menantang badai sekalipun mati. Begitu pula dengan Tan Mali.
Bertahun-tahun mengasah mengasah diri demi kehormatan dan wibawah. Takkan ia biarkan
nama besar itu pudar dalam satu malam. Maka, dengan lantang ia berucap,"Rasakanlah sakitnya
kematian kau ,Randai. Majulah! Kita mengadu nyawa"
Randai tidaklah menjawab tantangan itu dengan kata-kata. Kembali menyerang. Golok
dibentang, menyabet mencari sasaran keberbagai sisi tubuh lawanya adalah jawaban yang
diberikan. Dentangan suara senjata beradu kembali mengusik.
Rintikkan hujan berdesau di diawang-awang. Genangan air gemercik berhamburan.
Tanah, lumpur, air, langit dan bumi menjadi saksi pertempuran antarah manusia serakah dengan
manusia yang mempertahankan diri dari keserakahan. Entah kapan keserakahan dan
kemunafikan itu berhenti merajai dunia. Entah kapan kedamaian mengisi setiap ruang kosong
hati manusia yang terlanjur menghitam. Kesombongan Tan mali sudah terlanjur melebihi
tingginya gunung dan luasnya samudera. Satu yang ada dibenaknya, yaitu membunuh dengan
segala cara, lalu menang dengan kepala menengadah.
Beberapa waktu telah berlalu, perkelahian dua anak manusia itu cukup berimbang.
Keduanya saling mepetunjukkan kepandaian, mempertontonkan kelihaian. Randai menyerang,
Celurit menangkis dengan cekatan. Begitupun sebaliknya. Betubi-tubi mereka saling hantam
menunjukkan keperkasaan. Sebagai pembuktian siapakah yang paling hebat.
Namun waktu tidak akan pernah bisa berdusta. Sisa tenaga dimasa muda, sisa
keperkasaan dan kekusasaan yang dulu dijunjung sebagai jawara tanpa tandingannya, rupanya
kini telah menua disedot masa, telah menyusut dimakan zaman. Tak terelakkan lagi oleh Tan
Mali, setelah memasuki jurus kesepuluh, ia mulai terdesak. Kepandaiannya tak lagi mampu
menahan gempuran randai yang kalap.
Suara senjata yang beradu, menggema memecah langit. Percikan api membunga akibat
benturan dua benda logam itu. Nyaring sekali kedengarannya.
Dan, "buggh", sebuah hantaman kaki bersarang di dada ketua komplotan bengis itu. Tak
ayal lagi, ia terpelanting sangat jauh dan terhempas keras ke tanah basah. Tubuhnya kurusnya
terkapar diatas lumpur. Mulut menyemburkan darah. Nafas tersengal, terbatuk-batuk menahan
sakit dibagian dalam dadanya. Masih juga beruntung, ia tidak mati.
Sudah sekarat, rupanya amarah belum juga padam dalam diri si celurit. Justru semakin
bernafsu ingin membalas. Dengan segenap tenaga, dicobanya berdiri. Bermaksud kembali
menyerang. Malang baginya, secepat kilat golok sudah membentang di leher. Sudah siap
digorokkan. Randai tengah bersiap-siap.
"Wuss", angin menerpa pipi Tan Mali, terasa dingin olehnya. Lolongan serigala hutan
merintih mengoyak, merobek telinga. Nyali kejam Celurit Perindu Darah terbang entah kemana.
Entah menguap keudara, entah sudah runtuh ketanah. Tubuhnya mengigil menyaksikan dirinya
tengah berada digerbang maut, pintu kematian. Sedikit bergerak maka golok itu akan memupus
batang leher dan mencabut nyawanya. Terbayang-bayanglah kekejaman seumur hidup,
terkenang mayat bergelimpangan bersimbah darah. Juga, liang kubur!, ditimbun dalam tanah
seorang diri. Terbayang- pula olehnya sambutan malaikat kubur yang akan mencambuk
tubuhnya yang berlumur dosa. Tanpa sadar, si tamak yang bergelar celurit perindu darah ini
kencing dicelana. Terisak-sangat takut, tanpa malu ia memohon,"Am. . .ampuunn Randai.
Jangan . . .jangan bunuh ambo. Ampun! Ambo bertobat, ambo minta maaf".
Jiwa pendekar Tan mali musna seiring untaian kata memohon belas kasihan pada lakilaki muda bernama Randai yang baru saja mengalahkannya. Takut akan kematian membuatnya
melupakan harga diri yang selama ini ia banggakan. Tidak ada lagi si kejam yang bergelar
celurit perindu darah. Kepala rampok dan pembunuh nomor satu sekarang tinggal dongeng
belaka. Randai menggeleng,"Sudah terlambat, Tan Mali!", katanya pelan."Nyawa ayahku
terlanjur sia-sia ditanganmu. Kau tahu bagaimana rasanya hidup sebagai yatim piatu" Dianggap
anak haram dan diperlakukan layaknya gelandangan" Apakah kau tahu rasanya disaat lapar, kau
hanya bisa menangis dan kemudian makan ditempat sampah" Kau . . . Kau telah merenggut
kehidupanku, Tan Mali. Kau harus membayarnya"
"Aku mohon. . . Tolong! Beri aku kesempatan untuk menebus dosa-dosaku,
Randai!",katanya mengiba. Dipegangnya kaki Randai seperti hendak bersimpuh."Aku rela
menjadi budakmu seribu tahun asal kau mau mengampuniku. Aku mohon!" "Tamatlah kau. . . !",
Golok mulai bergerak hendak memutus urat leher Tan mali. Lutut laki-laki kempot itu menggigil
setengah mati. Sepenarikan nafas lagi golok hendak bergeser dari tempatnya. Tiba-tiba, Sebuah benda
tumpul, seperti sebuah tongkat menderu dengan kekuatan yang sangat luar biasa menghantam
senjata ditangan Randai itu, "trang!!". Golok patah dua. Tan mali terjungkal kebelakang.
Randai kaget bukan kepalang. Baru ia sadari ada sosok lain memperhatikannya ditempat
itu. Pembokong yang terlewatkan. Masih untung serangan itu hanya mengenai goloknya. Apa
jadinya kalau benda itu mengarah padanya disaat ia belum siap" Tentu roh kematiannya sudah
mengambang diawang-awang. Dengan segera, ia balikkan badan mencari arah serangan.
Tangannya mendenyut sakit, pertanda serangan kilat itu disertai aliran tenaga dalam tingkat
tinggi. Ia harus waspada. Siapa lagi musuhnya kali ini" "Siapa disana" Lekas keluar !!",
teriaknya. Hening seketika. Tak ada tanda-tanda sosok penyerang itu akan menampakkan diri.
"Manusia atau setan,,!! Tunjukkan wujudmu !!". Serga Randai lagi.
Tiba-tiba, sebuah suara pantulan penuh tenaga dalam menggema dengan tekanan teramat
kuat keruang telinga Randai. Bagai ribuan jarum mencucuk pendengarannya. Ia merasakan sakit
luar biasa. Dengan cepat, Randai segera menutup kedua telinga. Namun, samar-samar masih
didengarnya, "Angkara, dendam dan kebencian bukanlah sifat seorang ksatria. Seorang
pendekar yang berbudi luhur, yang tahu ilmu agama, tidak akan menganiaya musuh yang sudah
minta ampun. Takkan membunuh lawan yang tak berdaya. Nafsu adalah setan. Dan ingatlah,
kebenaran tidak pernah bersekutu dengan setan. . . !!"
Tan mali memekik kesakitan. Kepalanya bagai remuk tak sanggup menahan gelombang
suara bertenaga dalam tinggi itu. Ia berguling-guling ditanah sambil menutupi dua daun
telinganya yang mengeluarkan cairan merah, darah. "Iblis keparaaaat . . . !! Siapa kau . . ?"",
bentaknya putus asah. 4. Empat Mak ina terhuyung-huyung. Tubuh lusuh nan lemah ditambah menggendong bayi,
membuat si nenek kesusahan menempuh jalanan setapak yang licin. Kisaran angin yang tak
beraturan membuatnya kesulitan mencari keseimbangan. Ditambah penglihatan yang tidak jelas.
Semua jadi serba menyulitkan bagi si nenek. Hanya kasih sayang dan keberanian yang
memberikannya keyakinan bahwa ia mampu menyelamatkan cicitnya dari kehancuran.
Mak ina sangat sadar, Rajo batuah takkan rela melihat Sabai memiliki bayi hasil buah
cintanya dengan Randai yang dicapnya sebagai penghianat. Ingatannya akan sumpah Rajo
Batuah dimasalalu tidak pernah hilang dibenaknya, "Ingat sumpahku, Sabai. . !! Jika kelak kau
punya anak, akan kubakar hidup-hidup anakmu. Ingat itu!", begitulah titah rajo batuah diwaktu
pertemuan terakhir mereka yang disaksikan sendiri oleh mak ina setahun yang lalu. Dihari kedua
insan yang dicintainya itu melangsungkan pernikahan. Hari yang diingat Mak ina sebagai mimpi
buruk. Memulai hidup sebagai pelarian dan dicekam rasa takut sepanjang waktu. Malam ini,
rajo batuah benar-benar akan menunaikan sumpah kejinya. Dan, mak ina takkan pernah
membiarkan hal itu terjadi.
Berpegangan pada ranting dan pepohonan kecil sedikit membantu mak ina menuruni
bukit. Sesekali, tak kuasa juga kakinya menahan, terjatuhlah nenek ini. Hampir saja ia
bergulingan kejurang dibawah sana. Kalau itu terjadi, bayi Randai takkan selamat. Beruntung,
nasib mujur mengikuti setiap langkah si nenek. Tuhan masih melindunginya dari marabahaya.
Nenek yang telah berumur hampir tujuhpuluh tahun ini masih sanggup berdiri dan kembali
berjalan. Jika merasa letih, mak ina berdiri sejenak dan mengusap matanya yang berair, tak henti
juga Mak ina menangis memikirkan seperti apa nasib sabai dan Randai kini. Apakah dua orang
yang dicintainya itu masih hidup" Ratapannya terdengar pilu ditengah rimba ini.
Berlambat-lambat meskipun lamban, Mak Ina akhirnya sampai dikaki bukit. Dengan
bermodal sisa indera masamudanya, sayup-sayup telinganya masih mampu menangkap deru
suara air terjun dari kejauhan. Mak Ina;pun bernafas legah. Air terjun itu adalah pertandah
bahwa Goa persembunyian yang ditujunya sudah dekat. Bayi digendongan tetap tak bersuara.
Seakan ia mengerti keadaan akan bertambah buruk jikalau ia menangis. "Sabar ya, Bujang! Kita
segera sampai", hibur mak ina. Mereka kembali berjalan.
Namun takdir memang tidak pernah bisa dirubah, masa tak bisa diulang. Sekuat apapun
tekad si nenek untuk mencapai air terjun, usia dan tenaga yang menua telah berbicara. Baru
beberapa langkah berjalan, Mak Ina terjatuh diatas rerumputan, tubuh tua itu mulai keletihan.
Sekuat tenaga mencoba, kini hanya bisa duduk diatas kayu mati lapuk didepannya, tak sanggup
lagi berdiri. Bayi Sabai tetap dipeluknya meski mereka sudah berdua sama-sama kedinginan.
Entah beberapa lama lagi si kecil itu sanggup bertahan.
Mak ina panik. Takut si cicit tewas kedinginan. Kebingungan melanda hati, menderaderanya ketika itu. Perasaan kalut dan tak berdaya menekan-nekan dadanya. Ratapan pilu penuh
putus asah mengalir deras dari bibir mak ina, sederas deru hujan yang tak henti-hentinya turun.
Setengah meratap mak ina berucap seorang diri, "Balaaaang! Oh . . Balaaaang! Maaf, Aku harus
melanggar sumpahku untuk tidak memanggilmu disisa hidupku. Datanglah dan selamatkan
cicitku dari kematian. Aku butuh bantuanmu!". Lirih mak ina entah pada siapa. Mulutnya
terlihat seperti sedang melafalkan sesuatu. Tapi yang jelas, sudah beberapa lama waktu berlalu,
tak ada satu orangpun datang menolong.
Mayapada benderang sekilas lalu. Semak-semak belukar didepan mak ina bergoyanggoyang. Terdengar suara-suara rerantingan patah disana. Mungkin makhluk buas, bisa juga
bukan. "Grrrr . . !!", Suara geram menakutkan sabang-sabang terdengar tidak jauh dari tempat
nenek mertua Randai ini duduk. Tidak ada laku yang bisa dilakukan olehnya selain
memejamkan mata. Seakan menutup rapat diri dari ketakutan. Tak lama kemudian, seekor
mahkluk besar, berbulu tebal mengerikan muncul dihadapan mak Ina. Berkaki empat, berbulu
hitam dari perut sampai kekaki, namun putih dari ekor sampai kepala. Ukurannya sama besar
dan sama tinggi dengan seekor sapi. Mahkluk serupa anjing dengan ukuran tubuh berbeda.
Seekor seragala raksasa. Mulut binatang itu menyeringai menatap Mak Ina yang mungkin tampak seperti
sepotong daging empuk baginya. Santapan tengah malam yang menggiurkan. Gigi tajam serta
taring-taring runcing bejejeran, seakan bersiap mengoyak mangsa. Laku yang sangat tidak
bersahabat. Lalu, dengan lantang binatang itu melolong keras. Lolongan yang mampu membuat
seisi hutan bahkan orang-orang diperkampungan akan terusik. Gelegar yang menyamai deru
alam. Tubuh besar, tidak mengejutkan apabila suaranya begitu dahsyat.
Mak ina tidak juga membuka mata dari pejamannya. Pikiran berkecamuk memikirkan
sesuatu yang mungkin bisa jadi diluar dugaan, Tak seperti yang diharapkan. Atau, si nenek
sedang dilanda ketakutan hebat melihat sosok nan aneh lagi mengerikan seperti yang ada
dihadapannya itu. Tubuh mak ina menggigil. Jemarinya gemetar menahan dingin. Dipandangnya
Si kecil, bayi Randai yang belum bernama juga ikut berdiam diri. Dibalut kain tebal serta
bedung yang menutup tubuhnya, ia tertidur pulas.
Dilain pihak, serigala raksasa telah puas meraung. Pelan-pelan anjing besar itu mulai
berjalan mendekat dan semakin dekat pada Mak ina. Hidungnya mengendus-endus membaui
sesuatu. Setiap injakan membekaskan jejak cukup besar ditanah.Kini, jaraknya hanya setipis
kuku di pipi keriput si nenek. Bahkan, bulu-bulu lembut serigala yang basah bersentuhan dengan
pipinya. Indera penciuman serta naluri yang tajam, menuntun kedatangan anjing raksasa ini.
Akankah sesuatu yang buruk terjadi"
Tak terbayangkan mencekamnya situasi, dimana bahaya begitu dekat didepan mata, Mak
Ina malah tersenyum. Senyum kelegaan terpampang cerah dibinar dua bola mata tua itu. Tanpa
rasa takut, ia mengusap-usap kepala si serigala, dibelai-belai bulu-bulu basanya. Kemudian
berkata, "Seratus kali purnama mungkin sudah berlalu. Waktu pergi, masa menghilang. Ratusan
hari telah membenamkan rindu ,menutup pikiranku tentangmu. Ah, sudah terlalu jauh jarak
membentangi kau dan aku. Sudah lama kita berpisah. Aku sudah rentah, namun kau tetap tidak berubah. Kukira kau
telah melupakanku, Balang"!"
"Hmm", balas makluk itu sambil menggoyang-goyangkan kepala layaknya mengatakan
"tidak". Mak Ina kembali tersenyum,"Aku tahu, kau tidak pernah benar-benar menghilang
dariku. Lolonganmu setiap malam bulan purnama masih kukenali. Kau selalu mengawasi
sekalipun telah kuusir menjauh! Kau seharusnya melakukan apa yang kuperintahkan tigapuluh
tahun silam". Binatang itu masih diam. Dan sesekali, menggosok-gosokkan moncongnya ke pipi mak
ina. "Apa kau bisu, balang!!", tanya mak ina.
"Maafkan aku, Puti! Aku tidak bisa menunaikan titahmu. Hidupku dan sumpahku
diwaktu itu takkan pernah bisa berubah sekalipun kau melepaskanku kealam bebas. Tempatku
bukanlah disana. Tugasku menjagamu selayaknya takdir yang tak bisa kuhindari. Aku terikat
sampai mati". Jawab sebuah suara serak dan terdengar seperti suara laki-laki. Adakah orang lain
ditempat itu yang memberi jawab" Tidak...serigala raksasa didepan mak ina;lah yang bersuara.
Diluar akal, sangatlah sulit diterima oleh manusia sehat lahiriah jika tidak disaksikannya sendiri
Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kejadian itu. Diluar adab sebagaimana kodratnya binatang, makluk itu bicara.
Ia mengedipkan mata beberapa kali dan kemudian menatap kearah lain. Dengusan nafas
binatang buas itu terdengar berat.
"Tidak apa-apa balang", kata mak ina."Keputusanku waktu itu menyuruhmu pergi bukan
karena aku tidak menginginkan kau menjagaku. Aku hanya ingin bayi yang kutemukan dalam
guci itu selamat dari amukanmu yang membabi buta. Kau begitu sulit dikendalikan. Dan, Aku
terpaksa mengambil keputusan. Daripada, kau menjadikannya sebagai tumbal kemarahanmu atas
kutukan itu, lebih baik kuminta kau tenangkan dirimu. Tapi percayalah balang. Disaat kau pergi,
aku selalu menunggumu kembali".
"Ya! Aku tahu", jawab balang."Aku tidak menyalahkanmu. Datuk Mangkualam! Dialah
yang membuatku seperti ini. Manusia laknat itu merubahku menjadi binatang karena aku
melarikanmu dari cengkeraman dan nafsu bejatnya. Tapi, aku tidak menyesal. Sama sekali tidak.
Karena, niat baikku tertunaikan"
"Maafkan aku", kata mak ina."Kau mempertaruhkan segalanya. Kau rela membangkang
Mangkualam, majikanmu hanya demi menyelamatkan seorang gadis bodoh dan tidak berharga
dari jurang kenistaan. Kau menyelamatkan hidupku. Aku berhutang padamu. Aku tidak tahu
cara membalasnya balang"
"Tidak ada piutang diantara kita", kata balang lagi."Kau tak perlu membayarnya. Inilah
takdir yang kuterima sebagai penebus dosa-dosa semasa aku bekerja pada Mangkualam. Telah
kuiklaskan semuanya. Tubuhku boleh binatang. Tapi, hati dan perasaanku adalah manusia.
Karna kodratku bukanlah serigala. Itu sudah cukup. Sekarang, apa yang bisa kulakukan
untukmu, puti?" Mak ina mengusap air diwajahnya, "Tolong selamatkan cicitku. Bawa kami ke Goa
hitam kenduri dibalik air terjun tombak. Kesanalah tujuanku. Aku khawatir bayi ini akan
kedinginan dan tidak mampu lagi bertahan jika berlama-lama disiram hujan", kata mak Ina.
"Baiklah", jawab Balang seraya menggoyangkan tubuhnya hingga air yang melekat
dibulu tebal itu berguguran. "Tunggangi tubuhku".
Ia menapak ketanah agar mak ina bisa dengan mudah naik kepunggungnya. Lalu, secepat
kilat ia berlari menerobos hutan yang kelam hitam membawa sinenek dan cicitnya. Gemerisik
suara jangkrik terdengar disela-sela rintikan hujan didedaunan. Binatang malam hanya sanggup
bernyanyi disarang-sarang mereka tanpa bisa keluar mencari makan. Kelelawar-kelelawar
malam-lah yang sanggup keluar , beterbangan diudara berair dengan matanya yang bersinar.
Mak ina berpegangan erat pada tubuh besar serigala jejadian agar tidak jatuh atau
terlempar dari tunggangan. Rimba belantara kini melolong hitam dimata kaburnya. Untuk
sementara, ia dan cicitnya aman dalam penjagaan serigala besar yang bernama Balang.
*** Bintang dilangit tak juga muncul. Awan hitam masih enggan mengalah meski hujan telah
berangsur reda. Rembulan seakan menangis dikungkung kegelapan. Siang yang ditunggu datang
begitu lama. Kapankankah cahaya menggusur pekat yang terasa sangatlah lama ini" Serigala
bernama balang terus berlari dan berlari ditengah-tengah belantara. Belukar diterjangnya.
Lubang dilompatinya. Tak ada aral rintangan sulit bagi tubuhnya yang begitu besar.
Pohon-pohon tinggi rimbun menutupi mayapada, menyuguhkan keangkeran rimba yang
dipenuhi beragam isi tak terduga. Semoga tiada hadangan serta bahaya sampai tiba ditujuan.
Tempat persembunyian entah seperti apa yang dimaksudkan mak ina. Ia tidak mau berletih-letih
memikirkan. Kepalanya sudah cukup berat menanggung beban. Dan mak ina, Meski kedinginan,
nenek ini tampak perkasa. Mampu bertahan meski tubuh hanya menyisakan kulit membaluti
belulang rapuh. "Apa yang kau makan selama ini Balang?",tanya mak ina dipunggung binatang yang
tengah berlari kencang itu."Adakah kau memangsa manusia?"
"Sudikah kau mendengar jika kukatakan makananku adalah ikan-ikan mentah", jawabnya
sambil berari."Serigala tidak tahu caranya membuat rendang. Manusia" Aku takut memakan
daging manusia. Karna dagingnya dibumbui banyak dosa. Dosaku sudah cukup besar"
"Ikan mentah" Apa pula rasanya balang! Sungguh berat hidupmu", kata mak ina.
"Bagaimana caranya kau bertahan dialam liar yang terkenal kejam ini" Saling memangsa, tikam
menikam sudah lumrah terjadi. Tanpa persahabatan bahkan dengan kaum sendiri. Apa yang kau
lakukan untuk bertahan selama itu?"
"Bertarung dan menghabisinya tanpa ampun! Jadi penguasa dirimba belantara akan
membuatmu lebih mudah mencari makan tanpa ada yang berani mengganggu. Bahkan seekor
harimau pun kutendang keluar sarang ketika aku ingin tidur ditempat yang hangat. Kalau kau
tanya bagaimana caranya aku mengalahkan raja hutan itu, jawabannya adalah sama dengan
kenapa kau bergelantung dipunggungku malam ini. Aku bukan serigala biasa. Aku jejadian yang
menakutkan" "Kau telah belajar banyak dalam pengembaraanmu", kata mak ina."Sulit bagiku
memikirkan bagaimana caranya kau memakan daging mentah dan masih berdarah. Pasti tidak
enak" "Tidak semudah itu", kata balang memperlambat larinya."Di hari pertama kau
mengusirku dari pondok bukit gundul, aku kelaparan. Aku ingin makan, tapi aku tidak tahu
bagaimana caranya bisa makan layaknya manusia. Alam hanya memberiku makanan serba
mentah. Aku bahkan tidak tahu cara membuat unggun untuk memanaskan diri. Berjalan dan
terus berjalan. Sementara perut kosong membuat tenagaku terus berkurang. Itulah yang
kulakukan. Sampai akhirnya, aku terkulai letih tanpa tenaga disebuah anak sungai. Perutku
benar-benar sakit. Aku merasa tak ada lagi kesempatan bertahan hidup. Samar-samar kulihat
banyak ikan berenang-renang didekatku. Berbekal sedikit sisa-sisa kekuatan, kutangkap ikanikan itu mengandalkan kuku-kuku tajam jemari jejadianku ini. Penuh keterpaksaan serta tak
adanya pilihan, kutelan ikan tangkapanku mentah-mentah. Seperti katamu tadi, rasanya memang
tidak enak. Seiring bergantinya hari dan berjalannya waktu, ikan-ikan itu menjadi santapan
kesukaanku setiap hari. Dan, keadaan itu membuatku menjadi terbiasa. Begitulah cara aku
bertahan hidup". "Pantas saja kau bau ikan! Agak aneh membaui:mu. Serigala biasa pasti berbau daging
dan bangkai, kau malah anyir bau ikan kering. Hehehehe .... Apa kita sudah sampai balang?",
mak ina longgarkan pegangan.
"Belum", jawab serigala jejadian."Aku mencium sesuatu disekitar tempat ini. Sesuatu
yang aneh dan tidak kukenal"
"Apa itu?" "Entahlah, aku tidak bisa menebak. Semoga bukan bahaya yang mengancam
kita bertiga. Berdo'alah agar kita bisa mencapai air terjun tombak dengan selamat!"
Balang mendekatkan hidung ketanah, mencari asal bau yang tidak dikenali itu.
Disengajanya berjalan lamban dan mengendus-endus rerumputan. Sementara itu, mak ina duduk
berdiam diri dipunggung serigala besar dengan perasaan cemas tak karuan. Dalam hati ia berdo'a
semoga Yang Maha Kuasa terus memberikan perlindungan.
"Diam...! Jangan bersuara ....!", kata balang berbisik.
"Ada apa?",tanya mak ina.
"Lihat kedepan, kau akan tahu...!!",
"MasyaAllah ... !!", leher mak ina bagai tercekik.
Didepan sana, seekor makluk besar bertanduk bercabang seperti rusa tapi bersisik dan
berukuran sangat panjang sedang melintas menuju semak-semak tepian sungai. Sisik-sisik
binatang itu berkilauan seperti emas murni. Suaranya gemerisik menyentuh rerumputan tiap kali
ia bergera menjalar. Kemudian, masuk kedalam air. Sungai bergelombang besar, menyeruak
bagaikan membentuk sebuah lubang ditengahnya. Mak ina merasa semakin dicekam ketakutan.
Bergerakpun terasa kaku, apalagi bernafas. Jika ketahuan, mereka mungkin akan jadi santapan
binatang aneh yang belum diketahui termasuk golongan makhluk apa. Jika disebut ular, ular
tidaklah bertanduk. Balang dan mak ina terpaku sementara waktu. Bibir mereka terkatup rapat-rapat. Tak
seorangpun bersuara. Kehadiran makhluk aneh itu seolah mengerucutkan nyali siapa saja, sangat
menyeramkan. Benarlah adanya, alam terkembang berisi banyak beragam makluk dengan
bentuk, rupa, serta wujud yang berbeda-beda, bahkan aneh. Dari sekian banyak itu, bisa jadi
belumlah semuanya dijumpai manusia. Termasuk binatang yang melinta tadi.
Bayi mungil, buah hati sabai dan randai geliatkan tubuhnya sejenak. Kepala bergerak
kiri-kanan, gelisah. Dalam pangkuan mak ina, ia merengek. Mungkin mulai kedinginan, atau
merasa tidak nyaman dalam balutan kain basah. Mak Ina timang-timang si bayi dengan buaian
pelan, berharap si kecil tidak menangis disana. Sekakan mengerti, ia kembali pulas dipangkuan
mak ina. Perempuan tua itu memandangi bayi mungil nan lucu itu. "Sabar ya ,nak!". Katanya
berbisik. Si nenek baru bisa bernafas legah, setelah bahaya itu berlalu. Setelah binatang antah
berantah itu membenamkan seluruh tubuhnya kedalam air. Dan menghilang dari pemandangan.
Suara jangkrik berderik-derik mengalun senyap dalam belantara yang kejam ini. Burung hantu
bersenandung riang , nyanyikan lagu menakutkan didahan-dahan pohon besar. Konon kata
orang, nyanyian burung hantu selalu diiringi tarian oleh sekalian setan disekelilingnya.
Wallahualam! Hujan reda! Kini, tinggallah gerimis menyerbukkan uap air yang terbawa udara.
Membekaskan hawa dingin, mencucuk tulang hingga permukaan kulit. Balang, serigala
penolong kembali berjalan. Tidak berlari seperti tadi, Ia berjalan agak pelan memanggul mak
ina dan cicitnya yang kedinginan. Matanya awas, memandangi sungai nan tenang itu, tempat
lenyapnya binatang angker yang baru saja melintas.
"Makluk apa yang kita lihat tadi balang?", tanya mak ina."Seperti ular. Tapi ular tidak
bertanduk dan sebesar itu. Bentuknya cantik tapi mengerikan".
"Naga !! Penghuni sungai yang berasal dari air terjun tombak, tempat tujuan kita", kata
Balang. "Aku tidak tahu banyak tentangnya. Bau yang berubah-ubah, membuatku kesulitan
menerka kehadirannya. Ini adalah kali kedua aku bertemu dengan makluk itu. Pertama kali aku
menjumpainya sekitar tiga purnama yang lalu. Ketika itu, aku hendak mencari ikan disepanjang
tepian sungai ini. Sudah sampai larut malam aku berusaha, tak seekorpun ikan kudapatkan. Aku
benar-benar kesal. Karna sakit hati, aku nekat berenang kedalam sungai dan menyelami ikanikan kesarangnya. Kutangakapi mereka dan kulemparkan kemana-mana. Aku mengamuk. Cukup
lama kejadian itu kulakukan, sampai kulihat tepian sungai memutih oleh bangkai-bangkai ikan.
Namun, aku belum juga berhenti. Aku ingin melampiaskan kemarahan. Sampai akhirnya seekor
ular besar melilit tubuhku sangat kuat. Kurasakan tulang belulangku gemeretakan dan aku tidak
bisa lagi bernafas. Semakin aku meronta, semakin tak berdaya aku dibuatnya. Sayup-sayup
kudengar bentakan ditelingaku,"enyah kau dari sini sebelum kulumat kau hidup-hidup dan
kumuntahkan belulangmu menjadi
kotoran", Dan kemudian tubuhku dilemparkannya keatas
kerikil sungai. Naga tadilah pelakunya. Anehnya, dia tidak memakanku. Sejauh ini, belum
kulihat keganasannya dalam memangsa. Aku bahkan tidak percaya dia adalah binatang!"
"Bukan binatang" Lalu apa?"
"Entahlah, naluriku mengatakan naga itu bukan binatang. Ia berbeda! Naga itu bisa
bicara selayaknya aku yang dikutuk ini. Seperti yang kita tahu, keberadaan naga selama ini
hanyalah cerita khayalan, dongeng pengantar tidur. Dan aku sangat yakin, belum ada yang
melihatnya selain kita malam ini. Kalaupun ada, barangkali sudah ditelannya. Makluk itu sangat
aneh!" "Mudah-mudahan saja naga itu tidak jahat", kata mak ina."Pasti ada penyebab yang
memaksanya keluar sarang tengah malam. Ular besar biasanya lebih banyak tidur daripada
merayap membuang tenaga. Atau, barangkali tidurnya terusik sesuatu!"
"Dibalik gunung sana",kata balang."Aku pernah menemukan sebuah pondok tersembunyi
didalam lembah terpencil. Pondok itu sudah reot dan nyaris roboh. Konon, dari bisik-bisik
pemburu yang kudengar, pondok itu dulunya adalah tempat bersemayamnya seorang pendekar
hebat tiada tanding. Ia mengucilkan diri jauh dari keramaian karena tak mau lagi terlibat
perkelahian dengan manusia-manusia penasaran yang ingin menantangnya dan beradu
kepandaian. Beberapa tahun silam, sesuatu terjadi. Seekor naga tiba-tiba muncul disekitar
lembah dan memangsa sekalian makluk hidup yang ada disana. Babi hutan lewat, babi hutan
mati. Kijang melintas, kijang jadi korban. Sampai pada puncaknya, seorang pemburu tewas
ditelannya hidup-hidup. Semenjak hari itu, tidak ada lagi yang berani mendekati wilayah lembah
angker itu. Banyak yang menduga, naga itu adalah jelmaan dari musuh si pendekar yang
termakan sumpah. Jika kalah, ia bersedia dikutuk menjadi seekor naga. Kepandaian tidak
sepadan dengan pendekar penyendiri itu. Akhirnya tubuhnya menjadi naga"
"Cerita yang aneh!", keluh mak ina."Lalu, kemana pendekar hebat itu pergi" Apa dia
tidak sanggup mengalahkan naga jejadian musuhnya?"
"Entahlah! Aku juga tidak tahu....! Cerita pemburu masih bersifat dugaan dan belum
tentu begitu kejadian yang sebenarnya. Kalau tidak salah, kudengar si pendekar hebat mati
ditelan si naga yang mengamuk menuntut mengembalikan wujud aslinya"
Suara deru air terjun terdengar jelas. Bunyi yang tak ubahnya seperti suara pekikan maha
dahsyat digendang telinga. Disisi kiri dan kanan sungai dijejeri tanaman belukar rapat. Berbagai
anggrek menempeli batang-batang pepohonan. Dihulu sungai ada sebuah kolam besar yang
menampung kucuran air bah yang jatuh dari ketinggian yang meruncing kebawah seperti
tombak. Itulah air terjun tombak tujuan mak ina. Mereka telah sampai.
Dibalik air terjun terdapat dinding pualam yang licin berwarna hitam. Batu-batu kapur
berlumut menghijau disekitarnya membentuk lubang cekungan, lorong besar yang tidak begitu
bisa dilihat dari luar. Mak ina menamainya goa kenduri. Goa persembunyiannya sementara
waktu. Balang berhenti ditepian air terjun. "Bagaimana caranya kita masuk, puti?", tanya
balang."Goa itu berada dibalik jatuhan air. Mustahil kita bisa masuk kesana!"
"Mendekatlah kedinding yang terbuat dari batu kapur itu. Ada jalan yang dibuat Randai
langsung menuju pedalaman goa", jawab mak ina.
Balang mendekat. Didepannya terdapat semak belukar rimbun, tinggi dan dijalari banyak
akar-akar tumbuhan liar. "Belukar ini yang kau maksud" Jalan apa yang bisa kau buat dari
belukar?" "Teroboslah belukar itu sebanyak tujuh langkah dan dilangkah ketujuh, kau harus
memukan batu sekepalan tinju ditanah dan injaklah. Batu itu adalah kunci kita masuk kedalam
goa" "baik"
Dijalankannya tugas itu sesuai perintah. Ia masuk menyibak tumpukan tumbuhan
penumpang hidup itu sembari menghitung langkah. Dilangkah ketujuh, ia berhenti! Dirasarasakannya benda menurut petunjuk yang berikan Mak Ina. Kakinya meraba-raba tanah mencari
batu yang dimaksud. "Ini dia", kata balang. "Apa yang akan terjadi jika batu ini kuinjak, putih"
Pintu mana yang akan terbuka" Tidak ada pintu disini ,,!!" "Lakukan saja!!". Diinjaknyalah batu
kecil itu. "Kreekkkhh", dinding pualam dari batu kapur bergerak perlahan dan tiba-tiba salah satu
tumpukan batu besar itu bergeser kebelakang. Dan, terbukalah sebuah lubang cukup besar.
Balang terkesima. "Hebat!!", katanya membatin.
Mereka memasuki lorong gelap pekat yang baru saja terbuka. Hal pertama yang mereka
rasakan didalam sana hanyalah gelap hampa yang sangat menyiksa mata, buta. Tidak ada
satupun sumber cahaya! "Turunkan aku!", pinta mak ina. Ia meraba-raba sesuatu didalam
kantong baju lusuhnya. Rupanya dua buah batu belerang yang masih sempat dipersiapkan
sebelum ia meninggalkan gubuk di bukit gundam. Diadunya kedua batu itu. Bunga api memecah
beberapa kali, kemudian ruang gelap pengap itu menjadi terang. Mak ina menyalakan lampu
minyak yang terletak diding goa.
Belum selesai, entah apa lagi yang dicari si nenek. Ia membungkuk-kan tubuh
menghadap kedasar gua. Kaki di goyang-geser dilantai seperti mencari sesuatu yang hilang.
Dirasakannya kaki membentur benda keras sekepalan tinju, raut tegangnya mulai tenang. "Ini
dia", katanya. Diinjak batu itu sampai menghilang kedalam tanah. Dan "kreekkh", bunyi yang
sama dengan yang pertama tadi terdengar lagi. Batu pualam yang sebelumnya bergeser
kebelakang, kembali menutup lorong pintu masuk. Tak nampak lagi pintu masuk. "Dengan
begini, batu yang kau injak diluar tadi akan menyembul lagi, balang".
"Buah tangan yang luar biasa! Bagaimana caranya kita keluar?", balang mendesah
takjub. "Itulah yang sedang kucari tahu. Sebab, Aku juga tidak tahu!",balas nenek biasa!"Tidak
usah kau pikirkan bagaimana cara kerja pintu itu. Akupun cuma bisa menginjak dan menginjak
saja tanpa bertanya lebih banyak. Itu tidak penting bagiku. Mari ... Balang ! Ikuti aku ...", ajak
mak ina sambil berjalan. Balang mengikut, sekilas ia memandang kebelakang, pintu masuk yang
telah tertutup itu. Benaknya berusaha mencari jawaban, bagaimana caranya keluar"
Mereka menapaki jalan lurus bercahaya remang-remang. Bantuan lampu minyak yang
dinyalakan Mak Ina tadi. Cahaya remang lampu itu, Cukup menghilangkan pengap dan
memberikan sedikit hawa hangat dalam pualam dingin ini. Jalan itu seukuran dua depa manusia
dewasa dan tingginya sekitar dua tombak, tidak terlalu sempit, bisa dilewati oleh manusia
normal. Alam memang menyimpan berbagai keajaiban.
Tidaklah terlalu jauh mereka berjalan, kira-kira sepuluh tombak. Setelah itu, Mak ini
yang memanggul Cicitnya diikuti Balang memasuki sebuah gorong yang tidak berbeda dengan
sebuah ruangan besar. Sangat besar. Goa ajaib! Lantai dan dinding-dinding pualam terbentuk
sempurna. Amatlah megah bak istana para Raja, buah tangan alam semesta, dibentuk sebegitu
rupa oleh yang Maha Kuasa, indah!
Ditenggah ruangan Goa, membentang aliran anak air seluas satu depa laki-laki dewasa.
Sangat jernih dan dingin. Air itu berasal dari rembesan Air terjun tombak yang mengalir diatas
atap goa itu. Kiri-kanan memancar pula dua batangan cahaya bak menembus cela dinding
bebatuan. Cahaya itu berasal dari lampu minyak besar yang dibuat Randai berama isterinya
beberapa bulan yang lalu. Tempat itu emakin indah kala sinarnya membias di aliran air,
berkilauan seperti pecahan batu permata. Luar biasa, Balang si serigala tersihir seketika. Tak
mampu keluarkan suara. Mak ina baringkan bayi kecil diatas tempat tidur yang sudah tersedia. Digantinya baju si
kecil yang sudah basah, ia bergerak-gerak. Lalu, menangis. Penuh kasih sayang, Mak ina
memasang badung dan menimang-nimangnya sampai tangisannya reda. "Jangan menangis
Bujang! Ibu dan ayahmu pasti datang menjemput kita!", begitu katanya. Luapan harapannya
sendirilah yang dipendam, tertahan tanpa tahu apa yang telah terjadi pada dua orang terkasihnya
itu diluar sana. Balang masih berdiri memandangi setiap gerik wanita tua itu tanpa bicara. Sesekali ia
mendengus, hembuskan nafas berat. Entah apa yang sedang dirasakan dalam hati, mungkin ada
kata tak tersampaikan atau sekedar benaman perasaan dirundung kerinduan. Serigala itu
mendudukkan diri dilantai dingin. dilengahkan kepalanya menatap kucuran air bah dimulut goa.
Suaranya memecah, meski tidak terlalu berisik jika didengar dari dalam! Lama ia memandang!
"Kau tidak senang berada disini, Balang" Jauh betul pandangan kau layangkan!",
bertanya Mak Ina masih menimang cicitnya.
Balang menoleh! Mendengus lagi,"Bukan! Bukan itu Puti. Tentu saja aku senang
mendampingimu. Menjagamu ditempat ini adalah kewajibanku. Seperti kataku, melindungimu
selayaknya takdirku sampai mati. Aku hanya......", terang Balang tertahan. Kemudian
menekurkan kepalanya. "Hanya kenapa, Balang" Katakanlah agar senang hatiku mendengarnya. Jika ada yang
mengganjal dihatimu, bicarakanlah. Jangan kau simpan, jadi penyakit pula nantinya", balas Mak
Ina.
Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Balang berdiri dari duduknya, berjalan mendekati anak air, minum sedikit, dan balik
menatap Mak Ina, "Aku ... ,!! Aku hanya merasa sedikit aneh melihatmu seperti ini!"
Mak Ina mencibir. Lalu lontarkan senyuman,"Balang....Balang...! Kenapa" Kau malu
menemuiku yang telah rentah begini rupa, sudah tidak cantik lagi seperti dulu" Aku sudah tua,
Balang! Hukum alam-lah yang membuatku menua jadi keriput. Kaupun tahu, waktu takkan
pernah berhenti, masamudaku telah lama berlalu!"
"Bukan perkara keriputmu, Puti! Dustamu...! Itu yang membuatku bertanya-tanya! Tapi
biarlah, aku tidak akan menanyaimu perkara itu sekarang, jelaskan padaku apa yang terjadi
hingga kau terlunta-lunta ditenga hutan?"
Mak Ina teringat kembali pada Sabai dan Randai yang sedang bertarung, menyabung
nyawa melawan keserakahan manusia yang berniat menghancurkan keluarga mereka. Hendak
memisahkan dua cinta yang ia ketahui amatlah kuat ikatannya. Sekalipun berat cobaan
menghimpit, tak lebih baik dari hantaman ribuan topan samudera, mak ina percaya, sangat
percaya! Tiada satupun yang bisa memisahkan keduanya kecuali Tuhan. Hanya maut. Ya!
Hanyalah maut dikirim Tuhan;lah yang dapat memisahkan dua sejoli itu.
Diceritakanlah oleh mak ina awal mula kejadian. "Kisah itu berawal ketika...."
* Pemuda desa itu bernama Rajo batuah, seorang kaya-raya dan terpandang. Kebunnya
luas, ternaknya banyak! Tidak itu saja, dia juga seorang dubalang! Kaki tangan kerajaan dalam
hal tarik-menarik uang pajak. Pemuda itu sangat menggilai Sabai cucunya, ingin mempersunting
dan memilikinya dengan segala cara. Apapun dilakukan agar si gadis pujaan mau dinikahi.
Sementara sabai, tidaklah menyukai pemuda itu. Terlalu banyak hal yang tak disukainya dari diri
Rajo Batuah. Bukan rahasia lagi buruk perlakuannya pada penduduk, amatlah keji, melewati
ambang batas kemanusiaan yang seharus saling berbagi dan mengasihi. Akan tetapi, Sabai tetap
berbaik hati menerima kedatangannya bila berkunjung, sekalipun cuma basa-basi. Demi
silahturrahmi dan menjaga perasaan orang.
Perangai manusia memanglah banyak macamnya, terlebih si dubalang itu, tak punya rasa
malu! Seakan tak pernah mengerti bahwa ketika seseorang menolak sampai tiga kali, itu berarti
orang tersebut memang tidak mau! Bahasa kasarnya, "Tidak Sudi". Percaya diri, Suatu hari Rajo
Batuah melamar Sabai lagi untuk kesekian kalinya, tak terhitung lagi. Untuk kesekian kali-nya
pula dia harus kembali gigit jari, ditolak lagi dengan bijaksana. Seperti selalu, sekalipun ditolak,
Pendekar Pedang Sakti 5 Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 1 Undangan Maut 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama