Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania Bagian 1
Bab 1 21.45 WIB, Desa Apit, Jawa Barat
MALAM ini beku. Hujan, air mata alam itu, baru saja tunai menciptakan butiran kristal-kristal
rapuh di tiap pucuk benda yang ia cumbu. Sudah berakhir. Tapi ternyata buliran air mata lain
belum usai, milik seorang gadis yang kini sedang duduk termangu di bangku lipat yang berada di
depan rumah kecil di desa itu. Sedu sedannya yang mengiris malam tampaknya belum mau
tuntas. Para tetangga baru saja kembali ke rumah mereka masing-masing, setelah mengucapkan
belasungkawa. Hanya gadis itu, bersama peti mati bundanya dan sederet kursi lipat berwarna
merah yang kini kosong yang tinggal.
"Shilla..." Seorang wanita bertubuh agak tambun dan berwajah sembap menghampiri Ashilla,
gadis itu, dan duduk di sebelahnya. "Shilla mau Ibu temani di sini?" tanya Bu Ira pelan, yang
dijawab Shilla dengan gelengan.
"Nggak apa-apa, Bu... Di rumah Ibu nggak ada yang jagain Oyy, kan?" gadis itu menyebut nama
anak Bu Ira yang baru berumur lima tahun.
Bu Ira mengusap air mata yang hampir jatuh dari pelupuknya. Ia menyusupkan sejumput rambut
panjang Shilla yang mulai menutupi wajah ke belakang telinga gadis itu, lalu menggeleng samar.
Kenapa cobaan seberat ini harus dihadapi oleh gadis berusia enam belas tahun" tanyanya dalam
hati. "Bu..." Shilla memanggil tetangga terdekatnya itu lirih.
"Kenapa?" Wanita itu mengelus kepala Shilla, yang sudah dianggapnya anak sendiri.
Gadis itu menghela napas pelan, menatap wanita di sebelahnya lalu memantapkan suaranya.
"Shilla," mulainya ragu, "Shilla mau ninggalin Desa Apit..."
"Kenapa?" tanya Bu Ira otomatis, mengernyit.
Shilla menggigit bibir, lalu mulai berkata, "Wasiat terakhir Bunda, Bu. Bunda hanya ninggalin
sedikit uang untuk Shilla. Nggak cukup buat ngontrak sebulan lagi. Bunda mau Shilla nemuin
temen Bunda waktu SMA dulu..."
"Ke mana?" tanya Bu Ira lagi.
Gadis itu merasakan ketakutan aneh menyergapnya kala mengatakan tiga suku kata setelahnya, "
Jakarta..." Bu Ira kontan menggeleng keras, teringat lintasan kekejaman ibu kota yang kerap ia dengar dari
tentangga-tetangga yang pernah ke sana. Ia mengusap sebulir air mata yang meluncur menuruni
pipinya, lalu mengusap kepala Shilla lagi dengan penuh sayang, "Jangan ke sana kalo kamu
nggak tahu apa-apa, Shilla... Shilla tinggal sama Ibu dan Ozy aja, ya?"
Gadis itu terenyak. Rasa hormatnya pada wanita yang baru saja bercakap itu membengkak,
diimbuhi rasa sayang pula. Ia tahu hidup Bu Ira tidak lebih baik daripada dirinya. Bu Ira hanya
penjaga warung. Penjaga buka pemilik. Dia pun harus menempuh perjalanan selama lima belas
menit untuk ke warung itu. Dia juga orangtua tunggal, seperti ibu Shilla.
Shilla tersedak sekali, menekan pelupuknya dengan saputangan yang sudah terkepal dan
berbentuk tak karuan, lalu menatap Bu Ira. "I-itu wasiat terakhir Bunda, Bu.. Shilla nggak bi.."
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, gadis itu tak mampu lagi melanjutkan, ia berusaha
menahan air mata yang meluncur deras.
Bu Ira sigap merangkul tubuh terguncang Shilla, yang kini berusaha mengatur napasnya.
"Ibu pulang aja..." kata Shilla dengan sedikit memaksa. "Nanti kalau Ozy bangun nggak ada Ibu,
tangisannya bisa bangunin seisi kampung..." Ia mencoba menyunggingkan senyum.
Bu Ira memeluk Shilla sekali lagi. Ia lalu dengan berat hati meninggalkan gadis itu, karena
perkataan Shilla benar. "Pokoknya kalau ada apa-apa, ke rumah Ibu aja, ya... Kalau Jakarta jahat
sama kamu, pulang saja ke rumah Ibu. Kapan pun kamu butuh, datang aja..."
Setelah Bu Ira beranjak, Shilla menarik napas, mendengar degup jantungnya ditingkahi bunyi
jangkrik. Ia menoleh ke sana kemari. Kini ia benar-benar sendirian. Kosong. Dan sepi...
Gadis itu merogoh saku kemeja hitamnya. Mengeluarkan selembar kertas putih, lalu menarik
napas untuk kembali menelaahnya. Wasiat Bunda yang ditulis dengan tulisan tangan sambung
yang sangat rapi. "Ashilla sayang, Bunda tahu umur Bunda sudah tidak lama lagi. Akhir-akhir ini dada Bunda terasa sesak setiap
pagi, bahkan tengah malam asma Bunda makin menjadi-jadi. Kenapa Bunda memutuskan tidak
memberitahu kamu" Karena Bunda tidak mau merusak keceriaan kamu. Bunda tidak mau
mengubah tawa kamu karena khawatir akan kondisi Bunda. Setelah Bunda pergi nanti, ambillah
sedikit tabungan Bunda di bawah tumpukan daster di lemari, pergilah ke alamat yang tertulis di
bawah ini, temui Ibu Romi dan suaminya. Dia teman SMA Bunda. Dia pasti akan membantu
kamu. Sayangku selalu, Bunda"
Shilla merasa impitan di dadanya semakin menjadi-jadi. Ia tahu Bunda punya penyakit asma.
Tapi ia benar-benar tak percaya asma yang tak pernah dikontrol karena kondisi ekonomi itu bisa
berakibat seakut dan sefatal ini.
Gadis itu menarik napas lalu memperhatikan alamat yang tertulis di bawah wasiat. Jakarta. Lagilagh ketakutan itu menyergapnya. Kota besar yang hanya dilihatnya di televisi, menjajikan
ketidaktahuan. Shilla memasukkan kertas itu kembali ke saku.
Ia bertekad hanya akan menemui Ibu Romi untuk mengabarkan bahwa bundanya meninggal,
karena sepertinya itu penting sekali. Ia tahu ia tidak akan datang untuk meminta pertolongan.
Tidak untuk mengemis. Setelah mengusap cairan bening yang mulai mengerak di pipinya, Shilla merogoh saku celana.
Kini di tangannya tergeletak pasrah bros perak mungil bermodel abstrak dengan ukiran huruf "L"
di tengahnya. Shilla menggenggam bros itu kuat-kuat. "Ayi... di mana pun kamu berada
sekarang... bantu aku..."
Ayi, cinta pertama Shilla.
11 tahun yang lalu. Tangis melengking anak perempuan mungil berbaju merah itu memecah keheningan syahdu
yang tercipta sejak garis cakrawala meneikan semburat jingga petang ke dalam kepekatan
malam. Isaknya tak juga reda.
"Shilla nggak mau ditinggal... huhuhuhu... Shilla nggak mau digondol setan... huhuhuhu..."
Gadis cilik itu berjalan sambil mengusap-usap matanya.
Sementara karena terus berjalan sambhl mengusap mata hingga tidak fokur, kaki kecil Shilla
tiba-tiba terantuk batu. Ia terjatuh dengan posisi tangan menopang kedua tubuhnya. "Huwaaa..."
Gadis cilik itu meraung lagi, lalu tanpa berpikir mengempaskan tubuhnya untuk duduk di tanah,
memandangi kedua telapak mungilnya yang kini perih karena tergores kerikil.
Semua ini terjadi karena Shilla kesal pada Bunda yang sibuk sendiri. Bunda berniat menyambut
temannya yang akan datang jauh-jauh dari Jakarta. Mereka akan singgah hanya sebentar, maka
Bunda mau membuat jamuan sebaik-baiknya. Kata Bunda, hari ini Shilla tidak boleh
mengganggunya, tidak boleh juga mengganduli kaki Bunda terus-menerus. Kesal, Shilla
langsung menyanggupi ajakan tetangga-tetangganya, Daud dan kawan-kawan untuk ikut
mengambil mangga di kebun Mang Echa yang galak. Sejak seminggu lalu, kebung Mang Echa
panen besar, dan kini Mang Echa sedang ke kota menjual mangganya. Kata Daud, masih ada
beberapa keranjang besar mangga di kebun Mang Echa.
Wah, kalau Mang Echa tidak pergi, mana berani mereka ke sana. Mang Echa itu lebih galak
daripjada herder. Boro-boro minta mangga, berjalan masuk melewati garis batas kebunnya
sedikiiiiiit saja, langsung dipelototi.
Kebun Mang Echa agak jauh dari rumah anak-anak nakal itu, melewati hutan bambu kecil yang
katanya angker pula. Tak masalah, Shilla cukup sering melewati kebun Mang Echa saat pergi
dan pulang sekolah. Gawatnya, Mang Echa pulang lebih cepat dari yang mereka perkirakan. Daud dan temantemannya langsung melesat peri saat mendengar dehaman Mang Echa. Sementara Shilla yang
sedang mengantongi beberapa mangga tertinggal di belakang.
Shilla boleh saja sering melewati jalan itu. Tapi tidak dalam keadaan gelap seperti ini. Shilla tahu
rumahnya tidak seberapa jauh lagi. Tapi dia letiiih sekali. Huh, lihat saja si Daud besok di
sekolah! Gadis kecil itu terus menangis karena telapak tangannya lecet. Suara sesenggukan kecilnya
ternyata menarik perhatian seorang anak laki laki kecil tampan sepantaranya. Anak asing itu
muncul entah dari mana, tapi... pakaiannya bagus sekali. Ia mengenakan kemeja yg bahannya
kelihatan sangat bagus dan celana jins model terbaru, seperti di televisi.
Shilla menghentikan tangisnya sejenak. Anak kota, pasti. Sedang apa dia di sini"
Anak laki-laki itu perlahan mendekati Shilla, lalu berjongkok di hadapan gadis cilik yg masih
terisak itu. "Kamu kenapa nangis?" tanyanya sambil tersenyum manis.
Shilla sesenggukan lagi. Anak lelaki itu menepuk2 lalu mengusap kepala Shilla, yg kini hanya mendongak sambil
mengusap air matanya. "Kata mamaku, manusia nangis karna sedih... Kamu lagi sedih" Umm..."
Anak lelaki itu terdiam sejenak lalu menyenandungkan lagu bernada riang... dum dum dum du
du na na na... Shilla terdiam menatapi anak lelaki itu. Lagunya bagus. Shilla belum pernah
mendengarnya. "Udah nggak sedih, kan?" tanya pemuda cilik itu lucu. Shilla mengangguk sambil menahan
sesenggukannya. Anak lelaki itu merogoh saku, lalu menarik tangan mungil Shilla dan meletakkan bros perak
mungil yg cantik di tangan anak perempuan itu.
"Apa?" tany Shilla bingung, sambil mengerutkan kening.
"Itu buat kamu. Supaya kamu nggak sedih lagi," kata anak laki2 itu. Tiba2 dengan mimik lucu, ia
melihat ke arah jam tangan Superman-nya.
"Aku harus pulang... Ditunggu Mama... dadaaaaah," kata anak laki2 itu, lalu bangkit dan berlari
kecil. Shilla masih terpaku menatap bros di tangannya. Tiba2 dia mendongak dan berteriak, "Hei!
Nama kamu siapa"!"
Anak lelaki itu berpaling sebentar, menyunggingkan senyumnya yg menenangkan, balas berseru,
"Ayi!" lalu kembali berlari.
Shilla terperangah melihat anak lelaki itu menjauh, lalu teringat dan berteriak, "Namaku Shilla!"
Entah pemuda cilik itu masih bisa mendengar atau tidak.
Anak perempuan bermata sembap itu menatap bros di tangannya lagi, tidak tahu bentuk apa itu.
Abstrak. Tp dia bisa menemukan huruf "L" di tengah bentuk2 aneh itu. Lalu ia menelengkan
kepala, tiba2 berpikir ia mungkin tidak akan pernah melupakan Ayi dan senandungnya yg ajaib
itu. Shilla mengusap matanya sekali lagi lalu bangun, berjalan pelan ke rumah, siap menerima
kemarahan Bunda. Shilla menarik risleting berkarat tas kainnya setelah selesai memasukkan baju terakhir. Ia lalu
keluar rumah dan menutup pintu yg berderit pelan. Cukup ditutup, tidak perlu dikunci. Karna
sebentar lagi pemiliknya akan datang. Gadis itu menghela napas, memandangi rumah kecil yg ia
tinggali selama enam belas tahun, dan kini akan ia tinggalkan. Ia berniat mencari pekerjaan di
Jakarta selepar memberitahu Bu Romi tentang Bunda. Ia tahu hidupnya takkan berubah jika terus
berada di Desa Apit. Ia tak tahu bagaimana kelak, tp berharap bisa mendapat pekerjaan yg layak. Tidak terlalu muluk,
karna ia sendiri sadar ia belum lulus SMA. Mungkin cukup menjadi pencuci piring di rumah
makan. Tiba2, menyerobot pikirannya, sebuah suara lembut menyapa samar telinga gadis itu
"Shillaaaa..." Shilla menoleh, mengangkat alis lalu tersenyum saat mendapati gadis manis dngan blus dan rok
panjang bunga2 menghampirinya. Silvia, sobat kental Shilla, langsung memeluknya.
Shilla mengusap punggung sahabatnya yg mulai terisak. Tak habis pikir knapa Silvia masih larut
dlm kesedihan, karna Shilla sendiri sudah berusaha berhenti menangis sejak pemakaman Bunda
berakhir du hari lalu. "Km bener mau pergi ke Jakarta, Shil!" tanya Silvia pelan, setelah melepas dekapannya, yg
dijawab anggukan pelan gadis bermata bening itu.
Silvia mengangguk pelan, lalu mengerucutkan bibir dan bertanya dengan cemas, "Trus kita
kapan ketemu lagi?" Shilla hanya tersenyum lemah lalu mengangkat bahu, membuat Silvia menunduk sedih, "Aku
kan masih bisa telepon kamu..." sahut Shilla pelan, sambil menggenggam tangan sahabatnya.
Silvia mengusap tangan Shilla, ikut mengangguk, lalu tiba2 teringat sesuatu. "Oh iya, aku udah
punya hape. Kamu tulis ya nomornya..."
Shilla menaruh tas besarnya di lantai semen depan rumah, membuka ritsleting lalu merogoh2 dan
mengeluarkan notes lusuh beserta pulpen yg terselip di tumpukan baju. Ia membuka notes kecil
itu dan menulis nomor ponsel yg disebutkan Silvia.
Sambil menulish Shilla menghela napas pelan. Silvia memang sedikit lebih beruntung
dibandingkan dirinya. Sobatnya itu anak juragan sapi dan kambing di desa. Rumahnya
merupakan salah satu rumah yg paling besar di Desa Apit.
Silvia melirik tangan Shilla yg memegang notes. Ada benda lain yg terkepal di sana. Bros itu. Yg
slalu Shilla bawa ke mana2 sejak umurnya lima tahun. "Kamu masih simpen bros itu?" tanyanya
penuh selidik. Shilla sontah mengangkat wajah dari notesnya, mengangguk cerah. "Ini kekuatan aku, Vi"
jawabnya mantap. Silvia menggeleng pelan, tak habis pikir. "Segitunya kamu... Sampai kapan kamu mau berharap
ketemu Ayi?" Shilla hanya tersenyum, dengn binar tak terbaca di matanya. Ia mencubit pelan pipi Silvia. "Ya,
sampe aku ketemu dong... Aku yakin bisa nemuin dia, Vi... Ada keyakinan itu di dalem sini..."
Gadis itu mantap menunjuk dadanya. Hatinya. Membuat Silvia melengos dan menggeleng2
pelan. Setelah menaruh kembali notes dan pulpennya, Shilla melirik jam tangan plastiknya, lalu
terkesiap. "Via, aku harus pergi sekarang. Keretanya berangkat sebentar lagi..."
Mata Silvia kembali berkaca2. Ia memeluk Shilla sekuat yg ia bisa.
Ia pun melepas kepergian Shilla menuju Jakarta. Menuju kota yg mereka tak tahu bagaimana
rupanya. 17.00 WIB, Perumahan Airlangga, Jakarta
Shilla mengelap peluh yg membasahi dahinya dngan sebelah tangan yg bebas. Fiuuhhh... untung
saja banyak orang baik yg ditemuinya sejak tadi di stasiun hingga sekarang ia bisa sampai di
depan portal utama perumahan ini.
Gadis itu terdiam sebentar, takjub menatapi dinding bata dengan tulisan timbul AIRLANGGA
besar. Ia pun mulai melangkah.
Shilla baru saja hendak menunduk dan masuk ke perumahan dari bawah palang besar di dekat
pos satpam yg tertutup, saat hardikan keras terdengar.
"Heh! Ngapain kamu" Mau apa" Mau cari kerja"! Jangan di sini!" teriak seorang satpam yg
keluar dari posnya, mengabung2kan pentung.
Shilla mengerutkan dahi. Sekampung itukah penampilanku" batinnya. Ia memang ke sini
memakai baju terusan bermotif bunga cokelat, baju terbagus yg dimiliki almarhumah bundnya.
Tp, paling tidak rambutnya tidak dikucir dua atau dikepang, seperti gambarang gadis desa pada
umumnya. "Saya..." jawab Shilla ragu, "mencari alamat ini..." Ia menyerahkan carikan kertas pada si satpam
galak. Satpam itu mengernyit, menyambut uluran Shilla lalu meneliti kertas yg diberikan gadis itu. Tak
lama kemudian ia memandang gadis di hadapannya dengan mata menyipit, curiga. "Kamu kenal
siap pemilik rumah ini?"
"Ibu Romi..." jawab Shilla seadanya, pelan sekali.
Satpam itu mengerutkan kening, lalu mengangkat bahu dan menyerahkan kertas kumal tadi
kembali pada pemiliknya. "Ya sudah, sana masuk. Jangang macem2 kamu, ya."
Setelah mengambil kembali kertasnya, Shilla mengangguk lalu mengucapkan terima kasih pelan
saat satpam itu membukakan palang.
"Waah..." Gadis itu terperangah begitu mengedarkan pandangan setelah mengambil langkah
pertama melewati batas palang. Menatap rumah2 di hadapannya yg begitu besar dengan
ketakjuban yg tak ditutup-tutupi. Mana ada rumah sebesar ini di desanya. Rumah Silvia yg
merupakan salah satu rumah paling besar di kampungnya saja mungkin hanya sepersepuluh
besarnya rumah2 ini. Shilla menarik napas, berjalan lebih jauh lalu melongok ke kanan dan ke kiri. Setelah beberapa
saat, akhirnya ia bisa menyimpulkan bahwa di kanannya adalah rumah bernomor genap,
sementara di kirinya rumah bernomor ganjil.
"105B... hmm..." gumamnya, sambil melirik kertas di tangannya.
Shilla pun mulai melangkah sabil mengurut dalam hati. 97B... 99B... 101B... 103A... Dan
akhirnya, 105B. Gadis itu menarik napas, terengah karna jarak antar satu rumah dengan rumah yg lain cukup
memauatnya lelah. Ia mendongak lalu terperanjat saat mendapati gerbang hitam menjulang di
hadapannya. Gerbang dengn nomor rumah yg ia cari. Tinggi sekali gerbang itu. Kira2 hampir
sepuluh meter, jauh lebih tinggi daripada pogon tertinggi yg biasa dipakai untuk lomba panjat
pinang di kampungnya saat 17 Agustus-an.
Shilla mungkin gadis desa, tp ia tak terlalu norak. Ia jelas tahu di perumahan seperti ini pasti ada
bel. Gadis itu menggigit bibir, lalu celingak-clinguk mencari bel. Di pojok gerbang tidak ada.
Mungkinkah ada di tengah" Mungkin saja, jawabnya sendiri, di Jakarta pasti banyak hal ajaib.
Shilla mematung di tengah gerbang, sambil mendongak heran melihat lambang di tengah pintu
gerbang itu. Di mana ia pernah melihat lambang embos besar itu"
Saat ita masih terpaku, tiba2 terdengar suara berat dari gerbang yg kini membuka cepat secara
otomatis. Ia tersentak kaget.
Ciiiiiitttttttt... Sebuah sedan hitam metalik melaju keras dan hampir saja menbraknya, membuat Shilla mkin
terpaku, syok. Mulutnya menganga.
Setelah beberapa ratus detik yg tak bisa gadis itu kalkulasikan, pintu sedan terbuka kasar.
Seorang pemuda tinggi nan tampan dalam balutan kemeja dan celana panjang yg kelihatan mahal
keluar. Alis pemuda itu bertaut, dengan mata kelam tajam yg menjorok ke dalam dan menampilkan pijar
arogan. "Heh! Kampung!" hardiknya keras, murka. "Ngapain lo di situ" Minta mati"! Jauh2
sana! Jangan ngotorin mobil gue!"
Dengan dengusan keras, pemuda itu kembali masuk mobil lalu membanting pintu hingga
menutup. Mungkin ada tangan gaib yg membantu Shilla, sehingga ia bisa melangkah ke pojok gerbang dan
menjauhi sedan yg kini meraung dengan kecepatan tinggi. Gadis itu masih membatu, mata
beningnya tak henti membeliau. Apa itu tadi" Ucapan selamat datang khas Jakarta"
Tiba2, seorang bibi tua yg memakai terusan hitam mengilat, yg sedari tadi berdiri di sisi dalam
gerbang dan menggeleng-geleng melihat kejadian sebelumnya, beralih memandangi Shilla. Dari
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atas sampai bawah. Tanpa ragu wanita itu mendekati Shilla, dengan kilasan nada otoriter dalam ucapannya. "Kamu
pasti pembantu baru kiriman Nur, ya?" katanya tanpa ragu, menegur gadis yg masih terperangah
itu. Shilla seakan baru disadarkan dari tidur panjang. Ia menatap wanita yg mulai menuntunnya
masuk itu. Ia hanya mengernyit saat bibi itu menjelaskan, "Kami kekurangan pembantu untuk
jamuan makan nanti malam, untung kamu cepat datang. Lupakan saja kejadian tadi..."
Shilla masih terbengong2, tak mengerti.
"Celaka sekali kamu. Belum apa2 sudah berurusan sama Den Ryo," kata si bibi.
Ryo" Nama pemuda tadi" pikir Shilla selintas, tak tahu kenapa kini ia malah mengikuti wanita
itu, seolah dihipnotis. Tak lama setelah berhasil -sedikit- mengenyahkan keterpanaanny, ia
menoleh ke kanan dan kiri, lantas kembali terperangah.
Syok yg dialami Shilla karna bentakan pemuda tampan tadi seketika jadi begitu tidak ada apa2ny
dengan apa yg kini menyapa matanya. Dengan takjub, Shilla melirik ke arah kamera CCTV yg
berada di atas gerbang yg baru ia lewati tadi.
Tak lama masih dengan raut tak percaya, ia menoleh ke depan, kembali melongo saat mendapati
air mancur besar berdiri megah di tengah halaman depan, di pusat jalan setapak yg cukup lebar
untuk tempat parkir mobil orang sekampungnya -dengan asumsi semua orang di kampungnya yg
padat itu punya mobil. Di tingkat teratas air mancur itu terdapat ukiran besar berbentuk lingkaran
dari marmer, dengan lambang yg sama dengan simbol di gerbang tadi.
Seakan tak puas menyergapnya dengan keterpanaan, masing2 sisi kiri dan kanan jalan setapak
menghadirkan hamparan kebun luas dengan pohon peneduh -hampir empat kali lipat luas kebun
Mang Echa. Shilla jadi berpikir iseng berapa ton mangga yg bisa dipanen tiap tahun jika ada
pohonnya di sini. Berapa rumah burung buatan berdiri asing di sela caaang pohon, menjanjikan
tempat singgah untuk kawanan penerbang liar. Juga tak lupa tonggak2 setinggi pinggang, dengan
mangkuk batu besar berisi teratai, berdiri apik dalam interval jarak yg serupa, memagari kebun,
membatasinya dari jalan setapak.
Dan astaga... Ketika Shilla mengunci pandangannya lebih jauh ke depan, sebuah rumah besar
bertingkat empat -tingkat lima kalau dihitung dengan dak teraukanya- dengan gaya mediterania
yg menakjubkan menjulang kokoh di hadapannya. Beranda depan rumah itu -yg luasnya sekitar
sepertiga lapangan sepak bola resmi- ditopang pilar2 marmer besar. Begitu pula lantainya.
Lampu kristal yg menggantung angkuh di langit2 beranda akhirnya menyempurnakan segalanya.
Ini rumah atau hotel" pikir Shilla, padahal ia tidak tahu bagaimana rupa hotel. Ia hanya suka
mendengar tetangga2nya yg pernah ke Jakarta bercerita berapi2 soal "rumah tinggi dari kaca" yg
bernama hotel. Kira2 beginilah deskripsi mereka jika dijabarkan.
"Kita lewat garasi aja ya masuknya. Jangan lewat pintu depan..." Wanita tua itu menarik Shilla
ke sisi samping beranda, ke arah pintu kayu kecil yg bersebelahan dengan pintu dorong yg cukup
panjang. Ia lalu membuka pintu kayu kecil tadi dan membawa Shilla masuk ke...
Tempat penjualan mobil"
Shilla menelan ludah. Kira2 ada sepuluh mobil mewah berderet manis dan mengilat di garasi
"kecil" itu. Dari si besar Alphard hingga si lincah Porsche. Gadis itu benar2 kehabisan kata.
Mobil2 ini hanya bisa ia lihat dari majalah otomotif milik paman Silvia, yg kerap membawanya
dari kota. Ya ampun, ini rumah macam apa sebenarnya" Jangan2, pikirnya asal, ini rumah presiden.
Sementara Shilla memasang tampang takjub, wanita itu memandunya memasuki pintu kecil lain
di bagian dalam garasi, yg tersambung langsung dengan lorong pendek dan mengarah ke ruangan
lain. Ternyata dapur. Gadis itu kini mengamati dapur yg tampak menawan dengan paduan kitchen set granit hitam.
Beberapa perempuan yg memakai baju terusan berwarna senada dengan kitchen set yg sama
dengan wanita tua tadi terlihat sangat sibuk. Sebagian memotong buncis, merebus daging,
memereteli jagung, sementara sebagian tampak sibuk mengobrol. Shilla mengangkat sebelah
alis. Ternyata bukan hanya di film2 pelayan di sebuah rumah megah memakai seragam seperti
ini. Memang sih mereka tidak memakai baju pelayan yg berenda-renda seperti di serial Korea. Tapi
kan tetap saja seragam, batin Shilla. Ia bisa melihat sekilas di dada kanan semua baju terusan
hitam lengan pendek itu terdapat simbol yg juga terdapat di gerbang dan air mancur.
Begitu melihat wanita yg bersama Shilla itu memasuki dapur, beberapa pelayan yg keliatan
mengobrol langsung kembali ke pekerjaan masing2, dengan raut agak salah tingkah dan jelas
merasa bersalah. "Ehm," kata wanita itu memecah keheningan, mengundang segenap pasukan pelayan untuk
sejenak menghentikan kegiatan dan memperhatikannya.
"Ini teman baru kalian," katanya, sambil menepuk pundak Shilla, nada otoritas dalam suaranya
tak bisa dibantah, "namanya..."
"Shilla," jawab gadis itu otomatis, ketika wanita itu menoleh ke arahnya.
Wanita itu mengangguk-angguk, lalu kembali memandang ke depan dan berkata lagi, "Bantu dia
dalam pekerjaannya. Ingat bahwa keluarga yg kalian layani selalu menginginkan yg terbaik.
Silahkan kembali bekerja."
Setelah mendengar nada final dari wanita tua itu, para pelayan kembali ke aktivitas mereka
masing2, sementara Shilla dituntun ke bagian rumah lain yg juga terkoneksi dengan dapur,
berupa lorong panjang yg tampak seperti bangsal rumah sakit. Wanita itu membuka salah satu
pintu, memberi isyarat pada Shilla untuk mengintip ke dalam. Kamar mungil yg berisi ranjang,
lemari, aisle-telephone, bangku, dan meja rias kecil.
"Ini kamar kamu. Mulai sekarang kamu tinggal di sini," kata wanita itu lugas.
"Tapi..." Shilla tiba2 teringat tujuan awalnya ke sini, tepat ketika wanita itu tergesa memotong.
"Nama saya Okky, semua orang di sini memanggil saya Bi Okky. Saya kepala rumah tangga
bagian pelayan di sini," kata wanita itu. Ia lalu melanjutkan, "Kamu punya waktu dua puluh
menit, rapikan barang-barangmu. Ada pakaian pelayan baru di dalam lemari."
"Tapi saya," kata gadis itu terburu-buru lagi, saat melihat Bi Okky akan melangkah ke luar pintu
yg terbuka. Atasan baru Shilla itu memandangnya bingung. "Kamu ke sini... dikirim sama Nur, kan?"
Shilla menggeleng, membantah, walau entah kenapa ada sesuatu yg mengurungkan niatnya
untuk bertanya tentang sebuah nama yg membuatnya bertandang ke Jakarta "Saya sebenernya...
nggak ada niat jadi pelayan di sini," jawabnya jujur.
"Kamu punya tempat tujuan di Jakarta?" tanya Bi Okky dngan pandangan menyelidik.
Shilla lagi2 mau membuka mulut untuk menjelaskan alamat rumah yg diberikan almarhumah
bundanya. Tp akhirnya, ia kembali menggeleng.
"Percaya sama saya," ujar wanita itu lagi, memandang mata Shilla dengan kepastian. "Kamu
bekerja di tempat terbaik di Jakarta. Apalagi kamu tidak punya tempat tujuan, dan kami sedang
sangat membutuhkan tambahan tenaga pembantu."
Setelah terdiam dan mencerna apa yg wanita itu katakan, akhirnya Shilla mengangguk, dan
membiarkan Bi Okky meninggalkannya sendirin di kamar barunya.
Shilla menaruh tas besar yang sedari tadi masih ia pegangi, lalu duduk di salah satu ranjang. Ia
menghela napas perlahan, membuka dompet bututnya dan mengelus foto Bunda yang disekat
plastik kaku. "Bunda... Aku nggak tahu mau ke mana. Apa ini bantuan yang Tuhan berikan" Temani aku ya,
Bunda. Kalau Bu Romi ada di sini, aku pasti akan mengabulkan permohonan Bunda
secepatnya." Shilla memasukkan kembali dompetnya ke tas, lalu merogoh saku celana, mengambil bros
peraknya. Ia menggenggam bros itu kuat-kuat, lantas melantunkan sebaris harap, "Ayi... bantu
aku juga..." katanya pelan, lalu mengecup bros itu dan memandanginya.
Gadis itu menelengkan kepala sepersekian menit lalu membelalak, terlonjak.
Apa"! serunya dalam hati.
Shilla tersadar lalu bergegas membuka lemari di sudut kamar. Benar kata Bi Okky tadi, beberapa
baju pelayan hitam dengan berbagai ukuran tergantung di sana. Ia memabalik salah satu baju lalu
memandangi lekat-lekat simbol yang terembos di dada kanannya. Lantas ia beralih memandangi
bros di tangannya. Simbol. Yang. Sama. Persis.
Bagaimana ia bisa tidak sadar saat melihat lambang yang sejak tadi ia lihat di depan gerbang"
Padahal ia sudah memandangi lambang itu selama lebih dari sepuluh tahun.
Jadi" Jantungnya mulai berdebum tak sabaran. Mungkinkah Ayi ada di sini"
Bab 2 "TUAN MUDA RYO minta minum!" Seorang pelayan tergopoh2 masuk, mengabarkan berita itu
kepada seisi dapur. Shilla yg sedang membantu seorang pelayan merajang buncis memandangi
perubahan drastis yg terjadi di hadapannya.
Sangat terlatih layaknya robot yg telah diprogram, beberapa pelayan langsung berkelebat menuju
lemari di pojok dapur, mencari-cari di dalamnya, lalu mengeluarkan stoples bening berisi bubuk
hitam, sepertinya hendak membuat secangkir kopi. Beberapa pelayan lainnya berkutat dengan
gelas tinggi berlainan, membuatkan teh dan sirup, sementara beberapa lagi mengeluarkan soft
drink kalengan mahal dari kulkas besar.
Semua minuman itu lantas diletakkan berurutan mulai dari yg terpekat -minuman kalengan di
paling ujung- di baki besar berwarna hitam yg juga diembos dengan lambang yg sama. Apa
maksudnya" tanya Shilla pada diri sendiri. Masa si Tuan Muda itu akan meminum semua
minuman di baki" Atau Tuan Muda akan memilih sendiri satu minuman dari sekian banyak
minuman itu" Baki itu ternyata terlalu panjang untuk dibawa satu orang pelayan saja, hingga Shilla yg masih
terperangah, akhirnya ditunjuk Bi Okky untuk ikut membawa baki.
Shilla merasa jantungnya berdegup ketakutan hingga pegangannya sedikit bergetar. Ia memang
tak tahu berapa banyak "tuan muda" di rumah ini. Lalu bagaimana kalau si Tuan Muda itu orang
tadi" Dan dia mengenali Shilla, yg sebelum ini mengadang jalan mobilnya" Dari raut para
pelayan, dan kearoganan yg sempat dia lihat sendiri tadi, sudah terbaca bagaimana watak "tuan
muda" itu. Mengerikan.
Pemuda itu, si Tuan Muda, ternyata masih dengan setelan kemeja dan celana panjang yg tadi.
Dia duduk di sofa empuk nan mahal di ruang tamu -yg luasnya hampir sama dengan beranda
depan. Kaki kanannya ditopangkan di kaki kirinya, menampilkan sepasang sepatu kulit mahal,
yg dari kilapnya saja Shilla tahu pasti memiliki harga tak masuk akal.
"Tuan muda" itu memelototi Shilla dan pelayan lain yg meletakkan baki di meja kaca panjang di
hadapannya. Rahang kokohnya berkedut keras, air mukanya yg menawan dan menunjukkan dia
tak pernah mengecap setetes pun kekurangan, tampak teramat jengkel.
"Lama!" dampratnya ketus. Mata hitam tajamnya terlihat berkilat berbahaya.
Sementara pelayan satunya menunduk dan berkata, "Maaf, Tuan," dengan aksen terprogram,
Shilla yg masih belum tahu apa2, dengan canggung mengikuti gerakan pelayan itu.
Ryo, pemuda itu, melihat gerakan canggung Shilla, lalu mengangkat sebelah alis dan berkata
acuh, "Pergi!" perintahnya tak lama kemudian.
Akhirnya, pelayan satunya membungkuk dan Shilla kembali mengikutinya dengan canggung,
lalu mulai beranjak menjauh dari ruang tamu.
Baru saja mengambil langkah ketiga mengekori pelayan senior di hadapannya, Shilla harus
menghela napas dan berbalik saat mendengar suara bariton tuan muda barunya menghardik, "Yg
baru, tetep di sini."
Ryo, yg jelas jauh lebih tampan daripada siapa pun yg pernah ditemui Shilla, memandanginya
lekat2, "Lo pelayan baru?" tanyanya angkuh sambil meraih sekaleng teh hijau dari meja.
Shilla yg sedikit tersihir tatanan apik setiap unsur profil pemuda di hadapannya hingga
membentuk wajah tampan tanpa cacat cela, hanya mengangguk.
Pemuda itu membuka kaleng dan mulai meneguk teh hijaunya, lalu bertutur seakan tak peduli,
"Yg tadi siang mau cari mati?" tanyanya telak.
Shilla terdiam, bingung mau menanggapi apa, hingga kedua mata pemuda itu menyipit. "Jawab
kalo ditanya! Nggak punya mulut?" sergahnya kasar.
Akhirnya Shilla hanya mengangguk pasrah dan menjawab pelan, "Iya..." lalu menambahkan
dengan enggan, "Tuan..."
Setelahnya Ryo menatapi Shilla lekat2, dari atas sampai bawah, tak sadar membuat gadis itu
jengah. Sebenarnya, pelayan baru ini nggak jelek2 amat, pikir Ryo. Kulitnya tidak terlalu sawo
matang, hampir langsat, malah. Tubuhnya juga ramping, cukup tinggi. Rambutnya panjang
terurai, tampak halus -tentu Ryo tidak akan tahu tekstur aslinya kalau tidak membelainya.
Wajahnya memang tidak terlalu jelas dari tempat Ryo duduk, tp rautnya itu manis sekali. Daya
tariknya jelas berada di mata beningnya yg membelalak cantik. Untuk ukuran pelayan sih, bisa
dibilang di atas rata2. Tp tetap saja, Ryo mengingatkan diri sendiri, cuma pelayan, tegasnya.
Pemuda itu berdeham setelah sepersikian menit memperhatikan Shilla lalu bertanya, "Umur
berapa?" Gadis itu menjawab lirih sekali, "Enam belas."
"Berapa?" Alis tebal Ryo bertaut lagi, "Nggak kedengeran..."
"Enam belas," ulang Shilla, kali ini sedikit lebih keras, "Tuan," tambahnya lagi, masih canggung.
Ryo mengangguk lalu mengangkat dagu tinggi2. "Hampir sama kayak gue toh," ucap Ryo pelan.
Hah" batin Shilla. Jadi tuan muda ini baru sekitar enam belas tahun juga" Setelah menyadari tuan
muda itu tak mengungkit masalah semi tabrakan tadi, rasanya sekarang ingin sekali Shilla
menempeleng pemuda sengak ini.
"Ya udah deh, pergi sana. Males lama2 ngeliatin lo," kata Ryo, lalu menyandarkan punggungnya
yg sedari tadi melengkung ke depan tanpa sadar dan mulai meneguk teh hijaunya lagi.
Shilla membungkuk samar lalu dengan dongkol kembali ke dapur. Ia tidak habis pikir kenapa
bisa bekerja di tempat seperti ini. Menilik majikan yg pongahnya setengah mati begitu saja, ia
sudah segan. Gadis itu menarik napas pelan setelah kembali masuk ke dapur dan bersandar di meja granit yg
menempel di salah satu dinding, lalu meniup poninya. Ia tidak percaya Ayi ada di tempat ini.
Sekelebat kecurigaan seketika mencelat dari benaknya. Apa mungkin tuan muda tadi itu Ayi" Tp
kan namanya Ryo, bukan Ayi"
Segala hal yg mendengung di benak Shilla terhenti ketika gadis berkacamata yg tampak hanya
sedikit lebih tua darinya datang menghampiri dengan senyum lebar, ramah.
"Halo, aku Deya," katanya sambil tersenyum makin semringah. "Kamu baru kerja, ya?"
Shilla menjawab dengan anggukan dan senyum tipis.
"Udah ketemu Tuan Ryo?"
Kali ini, Shilla hanya meringis.
"Begitulah memang kelakukan tuan muda kita," kata Deya. Ia memutar bola matanya lalu mulai
menceritakan sepetik kisah pada Shilla.
Tampan dan angkuh. Aryo Junio Luzardi, atau yg lebih dikenal dengan Ryo, anak sekaligus
pewaris tahta kedua keluarga Luzardi, pemilik Luzardi Group, perusahaan multinasional milik
keluarga Luzardi yg merajalela dalam bidang ekspor-impor, properti, dan konstruksi di
Indonesia. Luzardi Group juga mulai menancapkan taringnya di beberapa negara Asia dan Eropa
-karna itu Tuan dan Nyonya Besar kebanyakan berada di luar negeri, bukan di rumah ini. Semua
usaha yg dikembangkan tangan dingin Tuan Besar Luzardi dipastikan membengkak dengan
kesuksesan tak terkendali, hingga tak perlu ditanya berapa jumlah kekayaan keluarganya kini.
Belum lagi anak perusahaan nasional Luzardi yg merambah ke bidang waralaba jasa boga. Sebut
saja nama Loo F&B Division -Loo diambil dari bagian depan kata LU-zardi, dan sedikit diubah
agar lebih menjual- yg membawahkan Loo Resto, Loo Patisserie, Loo Coffee, atau Loo Cafe &
Bar yg mulai menguasai dominasi pemasukan terbesar puluhan pusat perbelanjaan dan pusat
hiburan lokal yg didiaminya. Semua usaha itu membuat nama Luzardi kian kondang sebagai satu
dari sepuluh keluarga terkaya di Indonesia, dan masuk deretan teratas 150 triliuner dunia versi
majalah Forbes, yg pernah Deya lihat saat membereskan tumpukan majalah di ruang duduk.
Tuan dan Nyonya Besar Luzardi kini menetap di Paris, berfokus pada perusahaan properti
mereka yg sedang berkembang pesat di negara itu. Perusahaan2 di Indonesia dipegang oleh
beberapa tangan kanan kepercayaan serta anak pertama mereka, Arya Juniar Luzardi, yg mulai
belajar mengurusi perusahaan induk -berfokus pada ekspor-impor yg paling besar, sambil
mengambil gelar master manajemen bisnis di universitas swasta internasional nomor satu di
Indonesia, setelah sebelumnya mengambil sarjana di luar negeri.
Tuan Muda Ryo sendiri masih bersekolah di sebuah SMA tersohor, yg digadang-gadang pula
sebagai salah satu pusat pendidikan swasta termahal di Jakarta. Mewarisi ketampanan ayahnya,
Ryo membuat hampir semua teman perempuan di sekolah atau dalam lingkup sosialitanya
berlomba-lomba menarik perhatiannya.
Tapi, dengan sodoran bermacam-macam gadis cantik nan kaya, tuan muda satu ini nyatanya tak
pernah punya gandengan. Walau sebenarnya tidak aneh juga, karna Ryo juga seumur-umur
tampak tidak punya teman dekat atau sahabat, karna ia tidak percaya akan adanya perasaan -ya,
kita sebut saja, cinta- yg bisa menautkan seorang manusia dengan manusia lainnya, kecuali
dalam konteks pekerjaan -seperti ia dan pelayannya.
Sejak tahun pertama Ryo memasuki taman kanak2, hanya dua kali dalam setahun orangtuanya
pulang ke Indonesia. Pemuda itu dibesarkan serangkaian pengasuh. Ia jadi agak pahit
menghadapi hidup. Ia bahkan tak percaya ada kekuatan dalam kata "keluarga". Bengal dan keras
kepala setengah mati, itulah Ryo. Lantas, embosan lambang keluarga Luzardi di mana2 membuat
supremasi kekuasaan pemuda itu seperti dicap "resmi", begitu pun kecongkakannya.
"Ah..." Shilla sedikit terpana mendengar penjelasan panjang Deya, yg ternyata lebih tua dua
tahun darinya. Ia tak tahu mau menanggapi apa. Tak lama kemudian, pembicaraan mereka
terputus karna perintah dari Bi Okky.
"Shilla, tolong bawakan handuk bersih ke kamar Aden. Di lantai empat. Di seberang tangga, di
sebelah pantry." Setelah mendengar ucapan Bi Okky, gadis itu menghela napas berat lalu mengambil handuk dari
tangan wanita yg baru saja memberikan perintah. Dalam hati, Shilla bersungut-sungut sambil
melangkah ke luar dapur. Kenapa harus dirinya"
Bergegas, ia pun melintasi ruang tamu lagi, menaiki tangga menuju lantai empat. Setelah
berhenti dan terengah sebentar karna jarak yg baru ditempuhnya tidak bisa dibilang pendek,
Shilla pun menarik napas, lalu menuju pintu kayu di seberang tangga, kamar "Tuan Muda".
Gadis itu mengetuk pintu beberapa kali. Lalu karna tak kunjung terdengar jawaban, ia
memutuskan untuk masuk saja. Ia mulai terbiasa terperangah setiap memasuki ruangan baru.
Kali ini ruang tamu lapang bergaya Amerika lengkap dengan sofa lebar dan TV plasma 42" yg
tertanam di dinding menyambutnya saat memasuki pintu. Kamar aslinya -bagian tempat tidurternyata berada di balik tirai keong keemasan.
"Permisi," kata Shilla, memberanikan diri menyibak tirai keong itu.
Sebuah suara, entah dari mana -karna Shilla belum melihat jelas seluruh bagian kamar- terdengar
samar, "Ya..." Lho, kok suaranya beda" batin Shilla, lalu mengedarkan pandangan dan mendapati punggung
gagah pemuda berkemeja sutra biru muda sedang duduk menghadap meja kerja di pojok lain
dinding yg sejajar dengan sisi tirai. Sepertinya bukan Ryo. Terima kasih, Tuhan...
Beberapa saat kemudian, pemuda itu berbalik, menampilkan latar sebuah notebook yg ternyata
tadi sedang diamatinya. Ia tersenyum, dengan sepasang mata yg meneduhkan. Shilla terkesiap.
Merutuk kenapa semua "tuan muda" di sini begitu elok rupanya. Ia mulai merasa tersihir lagi.
Wajah pemilik kamar ini sekilas mirip, tp memang lebih halus dan ramah ketimbang Ryo. Tp
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
entah knapa, ada yg membuat Shilla berpikir Ryo lebih menawan dibanding pemuda ini.
Entahlah, mungkin pada hakikatnya semua gadis memang menyukai sosok pemuda yg lebih
misterius atau semacamnya.
Tak lama, pemuda itu tersenyum lagi, menarik Shilla dari alam lamunannya. "Oh... Nganterin
handuk. Taruh di situ aja, ya," ujarnya sambil menunjuk tempat tidur queen-size.
Shilla pun mengangguk takzim dan mengikuti instruksi pemuda itu. Lalu tak lama, ia dikejutkan
lagi dengan pertanyaan, "Kamu pelayan baru?" Gadis itu menegakkan tubuh, lalu berbalik ke
arah tuan muda barunya dan mengangguk sopan.
"Belum kenal saya?" tanya si tuan muda, yg kembali tak dijawab dengan suara melainkan
gelengan. "Saya Arya," kata pemuda itu sendiri dengan senyum menawan lagi, membuat Shilla membatin
pelan, Oh... kakak Ryo yg diceritakan Kak Deya tadi itu rupanya. "Kamu?"
"Shilla. Ashilla, Tuan."
Arya mengangguk-angguk lalu meneliti wajah manis pelayan baru di hadapannya dan bertanya
ramah, "Udah ketemu adik saya?" Ia malah tertawa pelan saat mendapati gadis itu tersenyum
sedikit miris, seperti meringis. Ia pun melanjutkan, "Jangan dipikirin kalo dia ngomong kasar."
Shilla kembali mengangguk, lalu terdiam sesaat saat mendengar keingintahuan berikutnya dari
Arya, "Umur berapa?" Pertanyaan yg sama dengan pertanyaan Ryo tadi, tapi terasa berbeda.
"Enam belas, Tuan," jawab gadis itu untuk kedua kali hari ini, juga dengan lirih.
Jawaban itu ditanggapi anggukan menelaah Arya. "Masih sekolah?" tanya pemuda itu lagi.
Shilla memutuskan menjawab seadanya, "Seharusnya... Dulu saya sekolah, Tuan. Tp saat ibu
saya sakit, saya terpaksa jagain beliau, jadi tidak bisa terus sekolah."
Arya tersenyum, lalu memandang tepat ke dua mata bening gadis di hadapannya. "Kalo begitu,
mulai besok kamu pergi ke sekolah yg sama dengan Ryo, ya..."
Shilla sontak terperangah. Beberapa detik kemudian ia baru berhasil menangkap kesadarannya
yg melayang-layang di udara. Ia bertanya ragu sambil menelan ludah, "Tuan serius?"
Arya lagi2 tersenyum manis dan mengangguk.
"Tapi," kata Shilla, entah kenapa tak terlalu setuju dengan ucapan Arya.
Pemuda murah senyum itu, masih juga menawarkan keramahan saat berujar, "Itu kebijakan di
sini. Semua pekerja yg ada dalam umur sekolah, akan dibiayai sekolahnya oleh keluarga Luzardi.
Kebijakan ini sudah ada sejak kakek saya, Kakek Besar Luzardi memiliki perusahaan
pertamanya." Shilla mengangguk sebentar, berusaha mencerna. Lalu ia bertanya dengan agak segan, "Tapi...
sekolah Tuan Ryo?" Belum apa2 ia sudah ngeri sendiri.
Arya mengangguk mantap. "Sekolah Ryo satu-satunya sekolah yg terkoneksi baik dengan
Luzardi Group, jadi saya bisa mengurus masuknya kamu dengan cepat tanpa tetek bengek nggak
penting." Shilla hanya bisa tersenyum bingung. Di benaknya mulai berkelebat hal2 menakutkan. Satu Ryo
saja sudah sepongah itu, bagaimana dengan "Ryo-Ryo" lain di sekolah itu nanti" Shilla bahkan
tak berani memikirkan lebih jauh lagi.
"Tenang aja," sahut Arya, seolah bisa mengartikan raut cemas di wajah Shilla, "nggak akan ada
yg tahu tentang pekerjaan kamu di sini. Saya juga akan melarang Ryo menceritakannya."
Shilla akhirnya tak berani membantah lagi, hanya mengangguk sopan. "Kalau begitu saya...
permisi dulu, Tuan," katanya pelan.
Arya turut mengangguk, lalu kembali berbalik menghadap meja kerjanya.
Tapi ketika gadis itu hampir melewati tirai, suara Arya kembali terdengar, "Kamu tahu kenapa
Kakek Besar Luzardi mau menyekolahkan para pegawainnya?"
Shilla menahan napas sebentar, sebelum berpaling dan mendapati Arya juga baru menoleh lagi.
Pemuda itu menatap gadis di depannya.
"Karna Kakek Besar Luzardi percaya, dalam usia semuda itu, mereka semua masih bisa menjadi
orang yg lebih berguna dan sukses daripada sekadar bekerja pada keluarga Luzardi. Saya juga
percaya kamu bisa... Dari sinar di mata kamu..."
Shilla tertegun ketika Arya kembali menghadiahi senyum menawan, seperti malaikat rupawan.
*** Astaga. Shilla kembali ke dapur yg agak lengang, sambil menekan dadanya yg bergemuruh
keras. Tuan Arya baik sekali! batinnya histeris sendiri. Tidak bisa dipungkiri, senyum terakhir
Arya tadi benar2 membuat Shilla selumer mentega yg dibiarkan berada di luar ruangan saat
cuaca sedang terik-teriknya. Satu senyuman yg berarti segalanya. Gadis itu tersenyum sendiri
mengenang senyum tuan tampannya, lalu tersadar dan meluruskan kembali lengkungan bibirnya.
Shilla menggigit bibir. Lebih baik tidak usah mengharap dan berpikir macam2, batinnya. Dari
urutan kasta saja ia sudah terlontar jauh sekali. Shilla mengerucutkan bibir lalu menghela napas
panjang, tepat ketika Deya tiba2 menghampirinya.
"Shil, bantu aku nyiapin daging, yuk!"
Setelah sempat tesentak, Shilla akhirnya mengangguk lalu mengikuti Deya ke halaman belakang.
Setelah melewati pintu dorong kaca, mau tak mau ia melongo lagi, mendapati halaman belakang
kediman besar Luzardi -yg lagi2 berupa hamparan kebun luas dengan penerangan seadanya,
hingga agak remang-ternyata dilengkapi playground set-kolam pasir, ayunan, perosotan, jungkatjungkit, beberapa permainan outbond-jembatan tali, flying fox mini, sebuah rumah pohon
berukuran besar. Sambil menggeleng-geleng tak habis pikir, Shilla pun mengikuti Deya mendekati barbecue set
yg terpasang di tengah halaman.
"Ada acara apa sih, Kak?" tanyanya, mengingat sepintas singgungan Bi Okky sebelumnya soal
jamuan. "Biasa," sahut Deya, sambil mengolesi tusuk demi tusuk daging dengan saus yg tersedia, "acara
para sosialita." Shilla mengernyit. "Sosial... apa?" tanyanya bingung.
"Sosialita, Sayang," jawab gadis berkacamata itu sambil tersenyum sedikit geli. "Biasanya sih
sesama anak pemilik perusahaan. Beberapa artis juga kadang dateng. Ya gitu lah, orang2
terpandang, berduit. Bukan kalangan kita..."
Penjelasan itu membuat Shilla mengangguk saja.
"Biasanya bergilir tempat ngadain pestanya. Minggu ini giliran kediaman keluarga Luzardi lagi,"
lanjut Deya. "Cuma segini aja, Kak, yg mau dibakar?" tanya Shilla, melihat gerombol tusukan barbecue
mungil yg tak berapa banyak. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa yg menyentapnya akan kenyang,
ya" "Iya," Deya mengangguk sambil mulai menyiapkan arang, "menu yg lainnya kan dibikin sama
Chef. Kita pelayan untuk urusan makanan sih, cuma bantu rebus atau motong bahan dasarnya
aja," jelasnya. Deya, yg ternyata amat ceriwis berceloteh lagi, "Kamu harus terbiasa dengan pesta2 semacam ini
kalau tinggal di rumah keluarga Luzardi. Mereka yg pesta, kita yg kerja sampe malem..." Gadis
berkacamata itu tampak sinis.
"Oh, iya," melupakan topik Deya, Shilla berniat menanyakan sesuatu yg sedari tadi mengganjal
di hatinya, "Tuan Arya itu umur berapa?"
Deya kontan menatap Shilla, lalu mengulum senyum. "Oh. Kamu udah ketemu sama tuan muda
murah senyum kita yg satu itu." Yg hanya dijawab Shilla dengan senyum tipis.
"Kayaknya sih sekitar 21. Kenapa emangnya?" sahut Deya, lalu tersenyum menggoda sambil
melirik Shilla yg terdiam dan terlihat agak salah tingkah.
Shilla berdeham, agak tidak nyaman diperhatikan seperti itu. Masa perasaan-bertepuk-sebelatangannya tertebak secepat itu sih" Ia pun berusaha mengganti topik, "Besok... aku disuruh
sekolah di tempat yg sama kayak Tuan Ryo, Kak," katanya pelan.
Deya meng-oh lantas mengangguk pelan. "Aku juga pernah denger soal itu. Kebijakan buat
pekerja di umur sekolah, kan?"
Shilla mengangguk, sambil mengikuti Deya mengipasi arang. "Aku takut, Kak," katanya jujur.
Gadis berkacamata itu hanya tersenyum. "Jangan takut kalo nggak ada salah..."
Shilla mengangguk kecil lalu mengalihkan pandangan pada arang yg mulai meretih. Tidak ada
yg salah sih, batinnya. Yg salah hanya status sosialku yg mungkin memang tak pantas untuk
bersekolah di sana. Apalagi -hati kecilnya berbisik lirih, tanpa sadar mengacu dari maksud
terakhir Deya. Ia menghela napas- untuk bisa ada di sebelah Arya...
Ryo berdeham, mematut diri sebentar di depan cermin panjang di pojok kamar besarnya yg
bernuansa hitam-putih. Paduan blazer dan celana hitam -warna kesukaannya- dengan kemeja
katun abu2 bermerek tanpa dasi membuatnya tampil sempurna.
Sambil menghela napas dan merapikan lengan blazer formalnya, ia berpikir sejenak. Akankah
teman2 sekolahnya datang lagi malam ini" Sepertinya iya, jawabnya sendiri. Sebagian besar
orangtua mereka relasi bisnis ayah dan kakaknya. Ah, apa pedulinya"
Selama makhluk bernama Bianca itu tidak menggelayutinya malam ini, Ryo mungkin akan
merasa sedikit -ingat, sedikit- senang berada di pesta sosialita membosankan ini. Acara yg akan
sangat monoton, tentu saja. Kebanyakan pembicaraan hanya akan berkisar seputar investasi real
estat atau investasi perhiasan bla bla bla yg baru dibeli. Ha. Ryo tersenyum sinis pada bayangan
tampannya. Tetap saja kebanyakan orang itu bisa dikatakan baru merangkak di titik minus jika
dibandingkan pencapaian keluarganya.
Setelah merengut sekali lagi, Ryo keluar kamar dan bergegas menuruni tangga sebelum
kakaknya, Arya menerornya lewat aisle-phone lagi untuk turun dan beramah tamah. Ia berhenti
sebentar di tengah barisan tangga menuju lantai dasar, mengamati ruang tamu dan area
sekitarnya yg slalu diubah menjadi aula serbaguna untuk setiap acara sosialita. Belum begitu
banyak yg datang, ternyata.
Begitu menjejak lantai pertama, Ryo hanya memaksakan senyum tak acuh pada beberapa orang
yg menyapanya. Malam ini -seperti malam2 biasa, sebenarnya- ia malas bersosialisasi. Kalau ada
kesempatan lebih baik, ia kabur ke halaman belakang. Tidak ke halaman samping, karna
halaman bermuatan kolam renang jumbo itu malah menjadi spot yg paling ramai saat acara tidak
penting seperti ini. Beberapa menit kemudian, saat "aula serbaguna" rumahnya mulai dipenuhi tamu dengan pakaian
bermerek dan rupa2 harum parfum mahal yg menyesaki udara, Ryo mulai merasa sangat ingin
menjauh. Sayangnya ia belum bisa kabur karna Arya terus memelototinya dengan tidak kentara.
Sambil berdecak geram, ia pun melangkah pelan dan mengambil cupcake rendah kalori yg
berjajar teratur pada meja kecil di pojok ruangan. Enak, kecapnya. Seperti biasa.
Sambil mengunyah, Ryo menyapukan pandangan, tertarik melihat ke arah pelayan yg mulai
sibuk mengedarkan pastry dan welcome drink. Matanya, entah kenapa, tertumbuk pada pelayan
baru itu. Lagi2 tak tahu kenapa ia suka sekali memandangi raut manisnya. Sederhana, tak palsu,
tak membosankan seperti kebanyakan perempuan di ruangan ini. Jelas lebih alami daripada...
"Ryo, deaaaar." Tiba2, tak tahu dari mana munculnya, gadis mungil berkulit putih mengilap
dengan semu merah muda -hasil penggunaan krim mahal dan perawatan kelas atas- dengang
gaun cantik kelewat pendek dan ketat dari salah satu desainer asing ternama, menggelayuti
lengangnya. Ryo menatap Bianca dengan raut bosan. Panjang umur. Dasar kuntilanak, batinnya kesal. Mau
apa lagi sih makhluk satu ini" "Apa?" tanggapnya galak.
Raut Bianca, yg sebenarnya sudah cukup manis tanpa pulasan make-up yg terlalu tebal,
merengut, "Ih. Kok kamu ketus gitu sih?" katanya manja.
Ryo bergerak menepis tangan Bianca, risi. "Udahlah, Bi..."
Bianca mengerucutkan bibir. "Kok kamu gitu sih, Yo" Kita kan udah kenal dari kecil."
"So?" tanya Ryo menantang, tak tahu apa korelasi antara hubungan-sebatas-rekan-bisnis-paraayah-mereka-sehingga-mereka-kenal-dari-kecil dengan urusan tadi. Pemuda itu memang tak
suka digamit2 -atau kontak fisik lainnya- sembarangan. Ia memandang Bianca dengan galak.
"Papi nggak bakal seneng kalo kamu gituin aku!" cetus Bianca dengan suara dibuat-buat.
Ryo memutar bola mata. "Jangan ganggu gue dulu deh, Bi..."
Bianca langsung merengut lagi, setengah mengentakkan kaki. "Huh! Kamu nggak bakal bisa
selamanya menjauh dari aku, Yo!" katanya tegas, lalu menghampiri teman2 populernya yg baru
saja datang. Ryo mendengus kesal selepas kepergian Bianca. Cewek itu, selalu saja menyusahkan. Ia
menggeleng pelan, tahu Bianca selalu mengeluarkan jurus pamungkas gue-temen-kecil-Ryo-danelo"! untuk menggencet kaum hawa lain yg berusaha mengejarnya.
"Hei, Ryo!" Seseorang tiba2 menepuk pundaknya dari samping. Ryo menoleh lalu mengangkat
sebelah alis. Ternyata Devta, salah satu anak relasi bisnis papanya. Dia lumayan baik sih. Tapi
tetap saja Ryo tidak terlalu senang bersosialisasi.
"Hmm," jawab Ryo singkat, membalas sapaan Devta.
"Udah bikin PR bio buat besok belom?" tanyanya.
Ajaib juga makhluk satu ini, pikir Ryo saat mendengar pertanyaan Devta, yg memang teman
sekelasnya di sekolah. Sementara teman sekelas yg lain banyak bersikap sok penting saat acara
sosialita seperti in" Devta malah menanyakan hal lazim pelajar sekolah seperti PR.
"Udah," jawab Ryo singkat, sambil mengambil cupcake kedua lalu menggigitnya sambil
memandang ke depan tanpa melirik Devta.
Rekan bicaranya itu dalam hati merutuk geram. Devta sebenarnya malas beramah tamah dengan
pemuda sombong satu ini, tp mengingat wejangan ayah-ibunya yg slalu mengajarinya untuk
berlaku sopan pada siapa pun, apalagi tuan rumah acara seperti ini. Jadi anggap saja ini sekedar
basa-basi, batinnya menghibur diri.
"Mmm. Ya udah, gue ketemu Oka dulu, ya," kata Devta, setengah enggan, menyebut teman
sekelas mereka yg lain yg terlihat baru datang.
Ryo hanya mengangguk pelan, sambil melirik punggung Devta yg menjauh lalu kembali
menatap sekelilingnya dengan angkuh dari pojok ruangan. Ruang tamunya kini kelihatan tak
terlalu sesak, karna beberapa orang tampak mulai pindah ke halaman samping, begitu pula Arya.
Ryo menghela napas lega, lalu memutuskan beranjak diam2. Aroma daging bakar agak menarik
perhatiannya saat ia menggeser pintu dorong yg merupakan akses ke halaman belakang. Ia
menyipitkan mata sebentar, menyesuaikan fokus dengan suasana remang halaman belakang,
karna cahaya hanya dihasilkan empat lampu lollipop redup yg berada di sudut-sudutnya.
Di sini sepi, pepohonan yg rimbun makin menggelapkan kondisi halaman. Tempat ini memang
kurang cocok untuk berpesta jika tidak ditambahi penerangan. Tapi Ryo menyukai tempat seperti
ini, entah kenapa. Ia kini memperhatikan barbecue set di tengah halaman yg kini dihadapi si pelayan baru
sendirian. Gadis itu tampak serius menunggui pembakaran beberapa buah daging tusuk, yg tak
lama, setelah kecokelatan diletakkannya di piring panjang, siap diantarkan ke dalam.
Shilla yg berkonsentrasi membawa piring tak bisa menutupi keterkejutannya saat mendapati Ryo
berdiri di dekat pintu dorong halaman belakang, menghalangi.
"Permisi," kata gadis itu pelan, segan. Yg hanya ditanggapi sang tuan muda dengan bergeming di
tempatnya semula. Shilla mendongak sedikit, karna tingginya hanya mencapai batas leher Ryo. Dari dekat begini,
mau tak mau, ia memperhatikan juga. Ternyata tuan mudanya itu berpostur proposional. Ototototnya tak berlebihan, namun tetap mencetak kesan tegap yg membuatnya tampak gagah dan...
hmm, tak terelakkan, mungkin. Di samping mata dalam yg menyempurnakan wajahnya, tulang
pipi tajam dan rahang kokoh Ryo tampak menawan sekali.
Shilla langsung menunduk, ketika Ryo tiba2 menyipit curiga ke arahnya, seperti sadar di
perhatikan. Shilla mengernyit ketika pemuda itu malah mengambil satu tusuk daging dari piring
panjang yg dibawanya. Masih sambil mengernyit, Shilla memperhatikan Ryo menggigit potongan daging. Ia lalu
memutuskan meminta izin untuk ke dalam lagi, "P-permisi."
Pemuda itu masih bergeming.
"Permisi," kata Shilla lebih keras, sedikit kesal.
Ryo, setelah beberapa saat hanya mengangkat alis ke arah pelayan baru itu, akhirnya bergeser
sambil, menahan senyum. Lucu juga ngerjain dia, batinnya. Jelas sekali pelayan baru di
hadapannya tadi belum bisa menahan geram akan kecongkakannya. Ya, lumayan. Ryo
menyunggingkan senyum miring andalannya untuk pertama kali malam itu. Paling tidak,
sekarang acara sosialita ini tak seberapa membosankan.
Bab 3 KEESOKAN PAGINYA. "Hah"! Pelayan itu mau sekolah di tempat gue"!" protes Ryo otomatis kala Arya mengutarakan
tujuannya ke kamar sang adik pagi itu. Ryo sontak berdecak samar saat melihat sang kakak
mengangguk dengan tenang, lalu mencetus lagi, "Gila lo, Kak..."
Arya mengernyit. "Gue nggak gila. Lo kan tau sendiri kebijakan keluarga kita," sahutnya tak
mau dibantah. Ryo menghela napas ketus, lalu berbalik ke arah cermin, melanjutkan aktivitasnya memakai dasi
yg terputus karna kedatangan Arya. "Tp knapa di tempat gue?" tanyanya kesal, sambil melirik
sang kakak dari pantulan cermin. Menurutnya alasan kakaknya tetap tak masuk akal.
Arya mencibir. "Karna sekolah lo itu satu-satunya sekolah yg bisa gue campurin urusannya tanpa
bikin gue repot." Ryo menggeleng-geleng, menarik segitiga dasinya hingga naik ke atas kerah lalu berbalik
membelakangi kaca. "Gila kali lo. Bisa turun reputasi gue," katanya kesal, lalu berjalan ke arah
gantungan di dekat cermin, mengambil blazer sekolahnya yg baru di-steam.
Arya bersedekap. "Nggak ada hubungannya sama reputasi lo. Elo ya elo. Dia ya dia. Anggap aja
lo nggak kenal dia, dan jangan pernah ngebocorin pekerjaan dia di sini."
"Ya ngapain juga?" sahut Ryo sambil mengancingkan blazernya dan tersenyum mengejek.
Arya mengangguk-angguk pelan. "Bagus," katanya lalu mulai beranjak meninggalkan kamar
adik semata wayangnya itu. Tepat ketika sampai di depan pintu, ia teringat sesuatu dan menoleh
lagi. "Oh, iya. Hari ini dia berangkat sama elo dulu, ya."
Ryo membelalak. Apa-apaan" batinnya. "Naek mobil gue" Ogah!" tolaknya. Lalu ia
menambahkan, "Lagian, tadi katanya gue nggak usah kenal dia."
Arya menanggapinya dengan pelototan, "Ini hari pertama dia."
"Terus apa peduli gue?" jawab Ryo tak mau kalah.
Arya menghela napas lelah. "Lo mau nyasarin anak orang?"
"Bodo," balas Ryo lagi. "Lo aja yg anter."
Arya menggeleng. "Nggak bisa, gue ada meeting pagi. Ini gue mau langsung cabut, abis liat dia
naek mobil bareng elo."
Ryo melepaskan tangan dari kaitan kancing terakhir blazer yg baru ditautnya sambil melengos.
Nyusahin aja pelayan itu.
Shilla mematut diri di cermin kecil kamar dalam balutan seragam sekolah baru yg diberikan Bi
Okky tadi malam. Lengkap dengan blazer dengan simbol huruf "S" yg sangat cantik di dada
kanannya. Katanya ini titipan dari Tuan Arya. Senyumnya langsung mekar ketika memikirkan
nama itu. Setelah menenangkan jantungnya yg mulai ditumbuhi bunga2 imajinasi entah dari mana, ia
menyentuh rambutnya. Apa yg harus dibuatnya pada mahkota itu sekarang" Dikucir duakah"
Atau dikepang" Atau dibando" Tidak, tidak, tidak, putusnya sendiri. Ia akan berpenampilan
biasa. Lalu tak lama, kucir ekor kuda akhirnya melengkapi penampilan gadis itu. Sederhana.
Shilla menghela napas sambil meletakkan sisir di meja mungilnya, berpikir. Bagaimana cara dia
menuju sekolah barunya" Rasanya Arya tidak menyebutkan perkara transportasi kemarin.
Ketukan di pintu tiba2 menyadarkan lamunannya.
Arya. Shilla merasa detak jantungnya berhenti saat melihat sosok bermata teduh itu berdiri di depan
pintu yg baru dibukanya. Aduh, pikirnya kesal. Kenapa aku nggak bisa bersikap biasa aja sih"
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Selamat pagi," sapa Arya dengan senyum ramah, kembali membuat Shilla menelan ludah tak
kentar. "Pagi, Tuan," balas Shilla lirih.
Arya melanjutkan maksudnya, "Hari ini kamu diantar Ryo, ya?"
Shilla kontan tergeragap dan bergumam, "Sama Tuan Ryo?"
Pemuda bersenyum malaikat itu mengangguk, sambil menahan ekspresi setengah geli. "Dia
nggak gigit kok," jelasnya. "Sampai saat ini sih," lanjutnya.
Shilla tersenyum segan. Berpikir cepat. Brangkat bersama Tuan Ryo yg mengerikan itu" Lebih
baik ia tersasar naik kendaraan umum di Jakarta deh. Tapi... ia mendongak menatap Arya diam2.
Mau menolak kok... rasanya tidak pantas dan sombong sekali menolak kebaikan tuannya sendiri.
Arya menganggap kegaguan gadis di hadapannya sebagai persetujuan lalu mulai beranjak. "Ayo
ke depan. Ryo udah di depan."
Shilla akhirnya, ragu2 mengikuti Arya melintasi lorong kamar pelayan, sambil mendengar
pemuda itu bicara lagi. "Soal buku pelajaran, kita urus nanti, ya. Yg penting kamu masuk
sekolah dulu..." Shilla mengangguk saja, tak tahu mau menjawab apa.
Setelah melewati ruang tamu, yg telah rapi dari sisa2 keriuhan semalam, Arya membimbing
Shilla keluar dari pintu utama. Di depan pelatarannya, sedan hitam mengilat yg nyaris
menabraknya kemarin menanti Shilla.
Ryo sudah duduk manis di kursi pengemudi. Wajah tampannya terlihat tak sabar dan
mungkinkah... agak marah" Shilla diam2 menelan ludah.
"Masuk sana," ujar Arya, mendorong pelan bahu Shilla yg masih tampak ketakutan.
Gadis itu pun menoleh ke arah tuan mudanya baik hati, "Permisi, Tuan." Ia mengangguk lalu
melangkah takut menuju mobil. Ia baru saja akan membuka pintu penumpang belakang, saat
suara bariton Ryo terdengar menembus kaca, menghardikknya, "Heh! Jangan di belakang!
Emang gue sopir lo?"
Sambil menghela napas agak dongkol, Shilla akhirnya berjalan sedikit lagi dan bergerak
membuka pintu penumpang di depan lantas mengempaskan tubuh tepat di samping Ryo, yg kini
memelototinya. "Pake itu seatbelt... Bisa kan pakenya?" tanya pemuda itu dengan nada merendahkan. Shilla
menghela napas pelan lagi, mengangguk ke arah Ryo lalu menarik sabuk pengamannya.
Setelah memperhatikan prosesi kikuk pemakaian seatbelt pelayan baru itu, Ryo mengklakson
mobilnya, memberi isyarat ia siap berangkat pada Arya yg kini mengangguk pelan.
Shilla menggembungkan pipi saat mendengar Ryo menggumam kesal, yg terdengar seperti,
"Babu... nyusahin..."
Gadis itu benar2 tak tahu berapa banyak lagi cobaan yg harus dihadapinya sejak hari ini.
Ryo mengentak-entakkan kepala sambil mengetukkan jari ke setir, mengikuti irama alunan lagu
Krazy dari grup musik Pitbull. Stereo turbo yg dipasang di bagian depan dan blakang sedan
hitamnya mendukung beat demi beat asyik lagu khas clubbing itu.
Sementara, Shilla yg duduk di sebelah Ryo hanya menghela napas samar sambil sesekali melirik
ke arah tuannya yg asyik dengan dunianya sendiri. Ia tak pernah mendengar lagu seberisik itu
sebelumnya. Ini satu mobil speaker semua, kali ya, isinya" batinnya heran.
Ryo, melupakan gadis di sebelahnya, mulai melajukan sedannya dengan kecepatan lebih tinggi,
seakan jalanan sudah dibeli olehnya. Shilla mendesah pelan sambil membatin penuh syukur,
untung mereka berangkat agak pagi, sehingga jalanan masih sepi. Jadi peluang risiko kecelakaan
karna cara Ryo mengemudi seenak perut itu dapat sedikit menyusut.
Sambil menggerakkan setir, Ryo mengambil lalu mengecek ponselnya yg bergetar tak tenang di
dasbor. Hmm, batinnya sambil melirik layar. Pesan2 nggak penting lagi. Nggak ada kerjaan kali
ya, cewek2 itu" Ia menyentuh scroll bar pada layarnya, agak tertarik pada sebuah pesan.
Perayaan apa di Loo Bar malam ini" Siapa yg kali ini menyewa milik keluarganya itu" Felice"
Yg mana orangnya" Bodo ah. Dia juga bisa ke sana tanpa exclusive invitation begini.
Ryo mencibir, trus menggerakkan scroll ke bawah. Knapa banyak banget pula" pikirnya kesal.
Dia paling malas menghapusnya, meski hanya dalam beberapa langkah mudah ia bisa
menyelesaikannya. Akhirnya setelah menimbang, Ryo mengacungkan ponselnya ke depan muka
Shilla, yg kini hanya mengerutkan kening.
"Kenapa?" tanya gadis itu dengan suara pelannya. "Tuan," tambahnya lagi.
"Apusin," perintah Ryo enteng, sementara pandangannya masih menyapu jalanan di hadapan.
"Hah?" Ryo memalingkan wajah tampannya dengan geram kala mendengar reaksi spontan Shilla. "Gue
bilang apusin! Nggak ngerti bahasa Indonesia?" dampratnya cepat.
Sambil menelan ludah takut2, Shilla akhirnya meraih ponsel yg diulurkan Ryo. Matilah aku,
pikirnya saat benda elektronik itu tergenggam mantap di jemarinya. Ponsel tuan mudanya itu
ponsel model terbaru yg biasa ia lihat di majalah milik Silvia, layar sentuh, pula. Sementara
Shilla bisa dibilang gagap teknologi.
Akhirnya Shilla hanya bisa memandangi ponsel Ryo, tak tahu mau berbuat apa. Takut jika salah
menekan, malah terjadi apa2. Seperti misalnya, ponsel itu tiba2 meledak, mungkin.
"Lama amat?" tanya Ryo tiba2, kekesalan terdengar jelas dari suaranya yg menyentak kasar.
Shilla menelan ludah, menyusuri pinggiran besi ponsel Ryo dengan jari lalu akhirnya membuka
mulut ragu, "Saya... nggak ngerti..."
Ryo menoleh cepat ke arah Shilla, mengernyit sebentar melihat raut gadis itu lalu menghela
napas kesal. "Kampungan," sindirnya pelan, lalu menyambar kembali ponselnya dengan sebelah
tangan dan tak lama menggumam sendiri, "Bego juga sih gue nyuruh elo..."
Shilla cuma mendengus samar.
Setelah meletakkan ponselnya kembali ke dasbor, memutuskan menghapus semua pesan tadi jika
ada waktu luang nanti, pemuda itu berdeham lalu berujar tiba2, "Ntar siang," katanya, "elo
pulang sendiri... Gue mau cabut waktu jam pelajaran ketiga."
Shilla, setelah mencerna beberapa detik, akhirnya mengangguk saja. Masa mau protes" Kan anak
nyolotin ini majikanku, batin gadis itu kesal sendiri.
Lalu akhirnya tak berapa lama, sedan Ryo memasuki jalan kecil yg relatif sepi. Shilla
memandang ke kanan-kiri curiga dan makin cemas kala pemuda itu menghentikan mobil lalu
menatapnya tajam. Apa salahnya" Shilla menelan ludah lagi.
"Turun," kata Ryo.
Satu tanggapan yg terlintas di benak Shilla lagi2 hanya kata, "Hah?"
"Lo turun di sini," pemuda itu menekankan sambil menatap Shilla, alisnya bertaut lagi, matanya
berkilat mengerikan. "Sekolah gue udah deket lo silakan jalan kaki, jangan ikut gue. Bisa rusak
reputasi gue, kalo ada yg liat gue dateng sama lo."
Shilla akhirnya hanya bisa pasrah dan melangkah turun, masih diiringi tatapan galak Ryo.
Pemuda itu mengangguk-angguk menjengkelkan saat Shilla bergerak menutup pintuh lalu buru2
menambahkan ucapan perpisahn, "Jangan bilang2 Arya, oke?"
Setelah mendapat anggukan takut dari Shilla, akhirnya Ryo membiarkan gadis itu menutup pintu.
Lalu tanpa sepatah kata lagi, ia mundur dan melajukan mobilnya, meninggalkan Shilla dan
kebingungannya di balik kepulan debu.
Lucu sekali, ha ha ha. Cuma itu yg ada di benak Shilla. Butuh lebih dari dua puluh menit baginya
untuk gerbang sekolah barunya. Ia sendiri sebelumnya tidak tahu apa nama sekolahnya. Ia harus
bertanya pada belasan orang, hingga ada yg bisa memberitahunya nama sekolah dari lambang yg
tersemat di blazernya. Shilla hampir saja berputar-putar jalan karna berbagai petunjuk
menyesatkan yg didapatnya.
Lucu sekali, ha ha ha. Hari pertama masuk ke sekolah superelite itu dijalani Shilla dengan
kondisi hampir bermandi peluh. Shilla mendesah lalu memelototi plang besar di depan gerbang
menjulang yg baru ia lewati. Balok2 perak yg membentuk nama "Season Senior High Academy"
seakan berkilau mengejeknya. Oke, jadi ini nama sekolahnya. Bagus. Bagus sekali, malah. Gadis
itu mengendus ke bawah. Blazernya sudah bau matahari begini. Permulaan yg sangaaaaaaat
bagus, pikirnya sarkatis.
Ia menggeleng pelan. Kalau bukan karna kebaikan Bi Okky, Kak Deya, dan Tuan Arya, mungkin
ia akan memutuskan hengkang secepatnya dari kediaman keluarga Luzardi karna perlakuan
semena-mena Ryo. Errrrrrgh... andai saja dia bisa memiting leher Ryo seperti dia biasa memiting
leher Daud, tetangga dan partner-in-crime-nya sejak kecil itu.
Shilla menghela napas lalu membatin, memarahi dirinya sendiri. Sudahlah, tidak usah rewel,
tidak usah manja. Sudah untung bekerja di tempat sebagus itu. Sudah untung bisa disekolahkan
di tempat sebagus ini. Ia meringis. Mungkin memang itu masalahnya, sekolah ini terlalu bagus.
Benar saja, begitu memasuki gerbang ia disambut lapangan parkir superluas. Deretan mobil
mewah dengan harga yg mencapai sembilan digit menyergap pandangannya.
Shilla menelan ludah sambil trus berjalan ke arah pintu salah satu pintu gedung. (Aku harus ke
gedung mana"! batin gadis itu hiteris. Banyak sekali gedung!) Bagus. Baguuuuus sekali...
Kontaknya belum lepas dari jajaran semua tunggangan super itu. Siswa-siswi di sini naik
kendaraan pribadi. Sementara ia nanti harus pulang dengan kendaraan sejuta umat. Bukan. Ia
bukan berharap punya mobil pribadi juga. Tapi... Hei, di mana tenggang ra...
Pikiran Shilla seketika terhenti saat mobil berkap terbuka warna shocking pink melaju kencang
di sampingnya, membuat debu2 menebal, berterbangan, dan membuat mata Shilla sakit
setelahnya. Klise ternyata, layaknya film2 remaja barat sana. Segerombolan gadis cantik nan populer nan
kaya nan... (diikuti gelar2 "kebangsawanan" lainnya, silakan isi sendiri) turun dari mobil kap
terbuka itu. Bianca dan kawan2nya. Shilla sepertinya merasa melihat gadis manis ini kemarin di pesta
sosialita keluarga Luzardi. Dengan gaun ketat menawan. Kini pun, di sekolah, gadis kaya itu
tampak tak kurang "wah". Sling bag mungil tersampir anggun di bahunya. (Ditaruh di mana
bukunya" pikir Shilla otomatis), sepatu sekolahnya hak tinggi pula! Shilla tak habis pikir.
Shilla berdecak. Tampaknya ia harus terbiasa menelan ludah memperhatikan semua aksesoris
"wah" pelajar2 di sini. Tp ternyata manusia memang tidak sempurna, karna kemudian ada satu
hal yg disayangkan di samping kecantikan dan gaya mereka. Menurutnya gadis2 di depannya ini
mirip Medusa. Licik dan mengerikan.
Kala itu, Bianca tiba2 mengomel panjang-lebar, kedengarannya karna tidak melihat satu pun
tukang parkir dari tempatnya berdiri sekarang. "Pada ke mana sih ini?" Gadis itu merengut
sambil memaikan rambutnya yg diikalkan dengan sentuhan obat. Raut manjanya tampak kesal.
Tak lama, seperti terpanggil radar, seorang lelaki tua dengan kemeja lengan pendek berwarna
biru pastel tergopoh mendekati Bianca. "Maaf, Non," ujarnya sambil membungkuk. Shilla
mengernyit, memang bapak itu punya salah" batinnya bingung.
Bianca mencibir kesal, melepas tangan dari rambutnya lalu bersedekap. Setelah beberapa menit
terlihat menimbang sambil terus melotot, akhirnya ia menyodorkan kunci mobil ke arah bapak
tua tadi lalu... Praaaak... Ia menjatuhkan kunci mobil dengan sengaja sehingga tukang parkir itu harus
kesusahan membungkuk di depan sepatu mahal Bianca untuk mengambil kunci tersebut.
Shilla langsung menelan ludah saat mendapati adegan berlebihan di hadapannya itu. Astaga,
batinnya. Sehabis itu, Bianca langsung pergi diiringi kawan2nya, sementara bapak tua itu mengambil alih
mobil pink-nya. Di sini ada semacam layanan valet, mungkin.
Shilla tanpa sadar menggaruk-garuk kepalanya yg tidak gatal. Keajaiban macam apa lagi yg
harus dihadapinya nanti"
XI-I, kelas baru Shilla. Ia membaca buklet dan peta yg diberikan padanya di ruang tata usaha tadi
-yg dicapainya setelah mendapat arahan yg tepat. Kepala sekolah menyambut baik
kedatangannya. Mungkin karna hormat pada nama Arya. Tampaknya lelaki lebih dari paruh baya
itu sendiri juga tidak diberitahu soal asal-usulnya. Entahlah, Shilla juga tidak habis pikir.
Bukankah administrasi sekolah biasanya membutuhkan akta kelahiran serta tetek bengek lain"
Arya tidak meminta satu pun lembaran resmi atau informasi darinya kecuali tanggal lahir, saat
menyempatkan di bertanya padanya kemarin malam setelah acara sosialita selesai.
Kelasku ada di lantai tiga, batinnya saat memperhatikan denah. Tak masalah, ada lift yg siap
mengantar. Shilla tidak terlalu norak kok. Ia pernah menaiki lift semacam ini waktu ke pusat
perbelanjaan di kota dekat kampungnya dulu.
Ia bersiul pelan sambil memasuki lift yg ternyata tidak begitu penuh. Hanya ada seorang gadis
berdagu tirus yg sedang membahas pelajaran -yg kedengarannya seperti kimia- di buku tulisnya
bersama seorang pemuda bermata besar. Shilla mengerutkan kening. Rasanya pemuda itu tidak
asing. Shilla mengerucutkan bibir lalu mengangkat bahu dan kembali berkutat dengan lembaran kertas
mengilat di tangannya. Ckckckck... apa-apaan sampai ada taman rusa segala" batinnya. Ini
sekolah atau kebun binatang"
Tak lama kemudian terdengar denting saat layar di sisi pintu lift menampilkan angka tiga,
mengagetkan Shilla. Ia membenahi posisi saat pintu terlihat membuka, lalu terkejut diam2 ketika
melihat kedua orang yg bersamanya di lift ternyata turun di lantai yg sama.
Setelah keluar dari lift, Shilla akhirnya berdeham dan memutuskan mengabaikan urat malunya,
lalu mendekati orang itu. Ya, walau Shilla bisa melihat tas bergambar anak anjing lucu yg
kelihatan mahal dan tentu asli pada bahu gadis berdagu runcing itu -mengindikasikan mereka
orang berpunya juga, tp paling tidak raut wajah mereka kelihatan lebih ramah dibandingkan
gadis congkak di bawah tadi.
"Permisi," kata Shilla akhirnya, setelah susah payah berusaha mengeluarkan suara. Gadis itu
langsung menghela napas lega ketika dua orang di hadapannya membalas dengan senyuman. Ia
memberanikan diri mengajukan pertanyaan selanjutnya. "Kelas XI-I itu di mana, ya" Hehe."
Gadis berwajah tajam itu tersenyum lagi. "Oh. Itu kelas kita juga," katanya, merujuk pada
pemuda di sebelahnya. "Elo anak baru?" tanyanya.
Shilla mengangguk sekali.
Gadis itu mengangguk lalu mengulurkan tangannya, "Gue Ifa."
"Shilla," balasnya, menjabat tangan Ifa lalu beralih pada si pemuda yg kini juga menyodorkan
tangan dan berkata mantap, "Gue Devta."
"Shilla," ulangnya lagi, masih tersenyum.
"Pindahan dari mana?" tanya Ifa, sambil menggiring mereka bertiga menyusuri lantai tiga yg
dipenuhi siswa-siswi lain. Shilla tidak heran knapa pada jam pertama ini mereka malah
berkeliaran, karna menurut jadwal dalam bukletnya, jam pertama pada hari ini harusnya waktu
upacara, yg jika ditiadakan berarti menghadiahkan jam kosong untuk para pelajar.
Shilla terdiam sejenak saat mencerna pertanyaan Ifa. Lidahnya digembok ketetapan Arya itu.
Masa ia harus bilang ia dari desa" Mana ada anak desa yg baru kemarin ke Jakarta bisa masuk
sekolah se-elite ini"
"D-dari SMAN 3," jawab Shilla seadanya, lalu menambahkan dalam hati, SMAN 3 Desa Apit.
"Oh." Ifa mengangguk-angguk. "Yg di Setia Budi?"
Shilla hanya menjawab dengan senyuman.
Sementara Devta, Shilla menyadari, melihatnya dengan pandangan menyelidik. "Kok kayaknya
gue pernah liat elo, ya?" tanya pemuda itu. Devta memang tidak diragukan dalam urusan ingatmengingat.
Shilla membelalak, tergagap hingga akhirnya melihat Devta mengangkat bahu dan beralih
pertanyaan, "Baru masuk hari ini?"
Gadis itu bergegas mengangguk lagi. Lega, dalam hati berharap agar Devta tak perlu mengitar
keingintahuan di daerah berbahaya.
Tiba2 Ifa menyambar, "Belom muter2 dong?" tanya gadis itu ramah.
"Belum," jawab Shilla, lalu melirik Devta yg sedang memutar bola mata ke arah Ifa, seakan
mengatakan "ya-iyalah-emang-kita-liat-dia-kemaren?"
Ifa menjulurkan lidah pada Devta, lalu kembali menoleh ke arah Shilla. "Mau dong kita ajak
muter2 dulu?" tanyanya, mengajak berkonspirasi.
Devta tiba2 tertawa mengejek. "Ketua OSIS macem apa lo, manfaatin anak baru buat bolos
pelajaran?" Ifa mencibir. "Daripada pusing belajar kimia" Nanti Bu Fiya juga pacaran sendiri sama papan
tulis. Gue tanya Kepala Sekolah dulu deh boleh nggak ambil jam pelajaran keempat dan kelima
dipake buat anter Shilla muter2. Kayaknya sih boleh."
Devta tertawa pelan melihat Ifa yg sudah berlari menjauh, lalu berseru tertahan, "Nanti ajak2 gue
kalo boleh bolosnya!"
"Wooooo dasar!" balas Ifa dari kejauhan, membuat Shilla tersenyum kecil melihat tingkah polah
kedua orang ini. Setelah sepersekian menit menatapi punggung Ifa, Devta akhirnya tersadar lalu mengajak Shilla
memasuki ruangan di dekat mereka.
"Masuk aja yuk. Jam kedua nanti bahasa Indonesia, paling
elo disuruh ngenalin diri," kata pemuda itu.
Ketika mulai melangkah ke dalam, pemandangan serbaputih menyambut Shilla. Ternyata empat
dinding ruang kelas yg baru dimasukinya itu ber-wallpaper putih yg dilengkapi garis tunggal
dengan lebar sekitar sepuluh senti bergambar simbol sekolah yg melintang di bagian tengah.
Papan tulis yg tergantung di depan kelas, meja guru, dan meja semua murid -dengan model kursi
dan meja tersambung langsung- juga berwarna putih. Tak lupa juga, sudut kelas dihiasi pula oleh
dua air conditioner dengan pengharum ruangan beraroma lavender.
Ruangan itu tampak hampir penuh.
"Duduk situ aja ya," kata Devta, memecah keterpanaan Shilla lalu menunjuk sebuah kursi di
tengah kelas. Tak lama, sambil berjalan menuju kursi yg ia tunjuk tadi, pemuda itu melanjutka,
"Gue sama Ifa sebelah-sebelahan sama elo deh," janjinya.
"Emm..." Shilla terdiam, ragu mengikuti Devta ke kursi barunya. Pemuda itu baik sih, tp kenapa
memilih tempat di belakang... Ryo" Kenapa pula kami sekelas" batinnya segan.
Tapi, tuan mudanya itu ternyata tampak tak peduli. Ia sibuk dengan ponselnya, mungkin
menghapus pesan2 tadi. Ryo berdeham. Ia sebenarnya tahu pelayan baru itu sudah memasuki kelas bersama Devta, tp
mengabaikannya. Toh ia memang harus berpura-pura tidak mengenal Shilla. Tp mau tak mau, ia
tertawa dalam hati saat melihat kondisi Shilla yg agak kusut. Lucu kan ngerjain cewek satu itu,
pikirnya. Setelahnya, sambil menunggu bel jam pelajaran kedua, Shilla mengobrol pelan dengan Devta,
jauh2 dari masalah pribadi yg bisa membuka kedoknya. Tak lama, ternyata Ifa pun datang sambil
tersenyum. Gadis berdagu lancip itu tersenyum ke semua orang di dalam kelas termasuk Ryo, yg
tidak menghiraukannya. "Heiiii. Ntar waktu pelajaran kimia gue boleh ajak elo keliling," kata Ifa girang pada Shilla,
sambil mengempaskan tubuhnya di kursi.
Devta bergegas menoleh dan memandang Ifa penuh harap. "Terus gue?"
"Elo nggak boleh ikut," kata Ifa langsung, menjulurkan lidah lagi.
"Jahat banget." Devta menggeleng-geleng sedih, lalu membuang muka ke depan.
"Becandaaaaaa!" lanjut Ifa, tersenyum melihat sohibnya sok merajuk. "Lo boleh ikut asal nggak
ngerusuh..." Devta hanya tersenyum manis.
Tak lama bel penanda berakhirnya jam pertama berdering keras. Sontak semua penghuni XI-I
menghambur masuk ke kelas. Mereka bergegas duduk di bangku masing2, tepat ketika wanita
berumur sekitar pertengahan dua puluhan dengan rambut keriting gantung menjejakkan kaki ke
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depan papan tulis. Bu Muthia, guru bahasa Indonesia. Wanita menarik itu langsung mengabsen
mulai dari Aluna Syifa Umali -alias Ifa- yg menempati nomor pertama hingga Zera Gretha di
urutan terakhir. Ia tersenyum kecil saat melihat wajah Shilla yg kebingungan, menyadari
mungkin itu anak baru yg disinggung atasannya tadi saat singgah di ruang guru. Bu Muthia
akhirnya mempersilakan Shilla maju ke depan dan memperkenalkan diri.
Gadis itu berdeham pelan, lalu menelan ludah, ketakutan melihat teman2 sekelasnya yg kelihatan
bersiap memangsa, apalagi tuan mudanya. Ia melirik Bu Muthia yg berdiri cantik di dekat meja
guru, lalu berkata, "Nama saya Ashilla Rayanda," dengan terbata-bata. Lantas setelah yakin tak
akan diapa-apakan, ia menyebut lagi nama asal sekolahnya (kembali meminuskan nama
daerahnya). Hanya dua keterangan itu.
Shilla kembali melirik Bu Muthia lalu beberapa anak lain yg tampak masih menunggunya
kembali bicara. "Mmm... apa lagi?" tanyanya ragu pada Bu Muthia.
"Hmm," Bu Muthia tampak menimbang, "kamu mungkin mau menambahkan papa kamu kerja di
mana atau kamu tinggal di perumahan mana," usulnya, seakan itu hal lazim di setiap perkenalan
murid baru. Shilla melongo, lalu menghela napas dalam hati. Dasar sekolah orang kaya. Perkenalan memang
harus pakai acara nyombong, ya" batinnya tak habis pikir.
"Segitu saja, Bu," sahut gadis itu akhirnya.
Bu Muthia akhirnya mengangkat bahu, lalu mempersilakan Shilla kembali duduk.
Gadis itu mengikuti jam kedua pelajaran bahasa Indonesia dengan lancar, walau tanpa buku
pelajaran -entah kenapa Bu Muthia tidak menanyakannya. Sebenarnya, tidak ada yang istimewa
dalam hal materi pelajaran. Yang lebih menarik perhatian Shilla adalah kenyataan bahwa
beberapa kali ia melihat tuan mudanya menyentuh-nyentuh layar ponsel di mejanya, tanpa
ditutupi layaknya anak SMA lain yang takut ketahuan mengulik benda elektronik apa pun saat
jam pelajaran. Bu Muthia tampak membiarka Ryo bertindak semaunya. Mungkin karna kedudukan Ryo" Shilla
juga tidak tahu. Begitu bel pergantian pelajaran kembali berdering, Ryo dengan sigap bangkit dan bergegas
meninggalkan kelas, cabut, seperti yang dikatakannya pada Shilla. Padahal jam pelajaran Bu
Muthia belum selesai. Tapi ternyata guru bahasa Indonesia itu hanya diam, menunggu kesiapan
murid-murid lain yang masih agak terpana dengan aura angkuh yang terpancar dari Ryo yang
kini menjauh dari kelas, sebelum meneruskan pelajaran.
"Iuuuuuh." Devta mencibir, "Tuan Besar Ryo."
"Huh." Ifa langsung menyambar, sambil memberikan isyarat pada Devta untuk memperhatikan
penjalasan guru mereka lagi.
Shilla sebenarnya masih terperangah dan tak bisa berkata-kata menyadari Ryo benar-benar bisa
seenaknya. Ia hanya menggeleng-geleng dan mengikuti pelajaran hingga bel yang sama
memekik-mekik lagi, menyatakan pergantian materi hari ini, dari bahasa Indonesia ke kimia.
Ifa langsung mencelat dari kursi. "Yuk keluar, Shil," ajaknya bersemangat. Ia lalu keluar terlebih
dulu, meninggalkan Shilla dan Devta, karena harus menemui Bu Fiya sebelumnya.
"Shil... gue mau ngomong," kata Devta langsung begitu ia berdiri dan mengiringi Shilla ke luar
kelas. Shilla mengerutkan kening, menoleh ke arah pemuda itu dengan tatapan heran, "Apa?"
Devta memperhatikan gadis di dekatnya sekali lagi dengan mata menyipit lalu berujar mantap,
"Gue seratus persen yakin pernah ngeliat elo."
Bab 4 SHILLA menelan ludah. "D-di mana?" sahut gadis itu pelan, ketakutan.
"Rumah Ryo..." Tak ada kata spontan selain "Hah?" yg bisa dipikirkan Shilla. Mati aku, batinnya.
Devta mengangkat sebelah alisnya, "Bener nggak gue?"
Shilla memainkan jarinya, ragu. Perutnya mual persis seperti perasaan orang yg baru tertangkap
basah melakukan hal2 tak baik, walau sebenarnya rahasianya tidak buruk. Ia hanya tidak
menyangka kedoknya harus terkuak secepat ini. Shilla memandang Devta, yg masih
menatapinya seakan menunggu jawaban.
Shilla menelan ludah, mencoba-coba peruntungan terakhirnya, walau sudah kedengaran tak
meyakinkan karna suaranya bergetar, "K-kamu yakin itu... a-aku?"
"As I said, one hundred percent," Devta menekankan, matanya menyipit seperti berusaha
menggali ingatan lebih jauh. Tiba2 ia memandang Shilla tak percaya. "Tapi," mulainya ragu kali
ini, "yg gue inget, lo pake baju pela..."
Habislah dia. "Ssssssstttt..." Shilla tergesa berjinjit dan membekap mulut pemuda di hadapannya. Ia menaruh
telunjuknya yg lain di depan bibirnya sendiri, mengisyaratkan Devta untuk berhenti berbicara
saat itu juga. Setelah menyadari Devta megap2 kehabisan napas, gadis itu akhirnya menarik telapaknya lalu
menunduk dan menelan ludah. Sesaat, ia memperhatikan sepatunya. Shilla lalu berdecak,
berpikir. Sudahlah. Sudah kepalang basah, batinnya. Apalagi raut Devta menunjukkan bahwa
pemuda itu bukan tipikal yg mudah ditipu.
"Iya," kata Shilla pelan akhirnya, masih juga memperhatikan lantai.
Ia menghela napas lalu melanjutkan, "Aku emang kerja di rumah Tu... eh, Ryo maksudnya jadi
pelayan... Tapi kamu jangan bilang siapa2, ya," ujarnya pelan, lalu terdiam saat tak mendapat
jawaban. Ha. Batinnya. Boro2 memberitahu orang lain, mungkin sekarang Devta juga tidak mau
lagi berteman dengannya. Ya sudahlah, mungkin ia harus menghabiskan sisa masa SMA-nya
sendirian. "Knapa nggak boleh kasih tahu siapa2?" tanya Devta tiba2, membuat Shilla mendongak dan
memandangnya dengan raut tak mengerti. Pemuda itu hanya mengernyit. "Emangnya lo malu"
Buat gue itu bukan hal yg memalukan kok. Malah seharusnya lo bangga udah bisa punya
pemasukan sendiri." Shilla masih menganga. "J-jadi maksudnya kamu... enggg," gadis itu mencoba mengungkapkan
pikirannya, "engg... kamu mau temenan sama aku, gitu?"
Devta malah tertawa. "Nggak selamanya film2 itu bener, lagi. Emang gue siapa, mandang orang
dari cara begitu" Nggak selamanya orang yg... emhh... 'berpunya' itu picik. At least, gue sih
nggak." Shilla ikut tersenyum tipis. "Aku bukannya malu... tp ini pesennya Tuan Arya, katanya kalo bisa
nggak usah ada yg tahu. Kan Tuan Arya juga yg nyekolahin aku..."
Pemuda itu mengangguk-angguk sementara Shilla mengangkat bahu tepat ketika terdengar
sebuah suara, "Knapa lo bedua tampangnya pada serius gitu?" Ternyata Ifa.
"Ini nih," kata Devta semringah saat mendapati Ifa sudah kembali. "Lagi ngomongin Shilla yg
tinggal di rumah Ry..."
Otomatis, Shilla menginjak kaki Devta yg langsung meringis sambil mencoba memasang
tampang tak bersalah. Ifa sontak mengernyit, lalu menoleh ke arah Shilla. "Hah" Emang lo tinggal di mana sih, Shil?"
tanyanya bingung. Shilla sontak meringis. Oke, batinnya. Haruskah dia juga jujur pada Ifa" Ia menimbang-nimbang,
mendengarkan dua sisi dalam benaknya berdebat sendiri. Bagian yg mendukung untk bercerita
lebih kuat. Shilla sendiri yakin Devta -yg saat ini memandangnya sembunyi2 dengan tatapan
"terserah elo mau jujur atau nggak"- pasti akan memberitahu Ifa juga.
Lagi pula, bukankah hubungan apa pun -termasuk pertemanan- pasti akan berjalan tidak baik jika
berlandaskan ketidakjujuran"
Gadis itu menelan ludah, menatap Ifa lalu menghela napas, "Ehm. Aku cerita, tp pleeease jangan
bilang siapa2 lagi," katanya.
Ifa yg bingung dan penasaran akhirnya memutuskan mengangguk saja. Sementara, Shilla
menarik napas panjang lalu mengulangi penjelasannya pada Devta, ditambah sedikit bumbu soal
almarhumah bundanya dan wasiatnya (entah kenapa kembali meminuskan bagian nama Bu
Romi). Respon Ifa berubah-ubah. Dari agak mengernyit saat mendengar bagian pelayan -Shilla kembali
takut itu indikasi ketidaksukaan, lalu terlihat turut prihatin saat menyinggung Bunda- Shilla bisa
bernapas lagi, menyadari mungkin kernyitan Ifa sebelumnya hanya kekagetan.
Setelah menyelesaikan penuturannya, Shilla mengangkat bahu, "Ya, gimanapun itu jalan hidup
aku sekarang, kan" Ya aku jalanin aja," lanjutnya sambil tersenyum.
Ifa mengangguk pelan, rautnya seperti masih terlihat mencerna. Ia pun ikut mengangkat bahu
lalu tersenyum. "Gue... bakal jaga rahasia ini kok," mulainya lalu menatap Shilla. "Yg jelas, gue
seneng lo mau jujur."
Akhirnya, Shilla tersenyum lega. Seakan beban baru terangkat dari pundaknya. Paling tidak, ia
tidak perlu terus-menerus mengenakan topeng di depan semua orang di sini.
Devta ikut tersenyum, lalu merasa harus memecah kebekuan "Udah yuk, jalan," ajaknya.
Ifa mengangguk. "Turun dulu aja deh yuk. Ke gedung putih," katanya sambil menggiring Devta
dan Shilla menuju lift. Setelahnya, Shilla diajak kedua sobat barunya itu menyusuri lantai pertama gedung putih,
gedung khusus ekstrakurikuler. Seakan belum terlatih di kediaman Luzardi, Shilla melongo
melihat sebuah kolam renang besar berstandar olimpiade.
"Soalnya banyak siswa sini yg atlet renang," jelas Ifa bangga. Shilla berpikir, mungkin itu
memang tugas Ifa sebagai "ambassador" sekolah.
Shilla pun kembali melongo, karna ternyata masih banyak yg membuatnya berdecak kagum.
Pusat kebugaran lengkap dengan trainer-nya, gimnasium luas, tak lupa bermacam lapangan
olahraga indoor seperti lapangan futsal, sepak bola, basket, voli, bulu tangkis. ("Yg outdoor juga
ada, yg jelas ada di luar," jelas Devta.) Belum lagi ruang musik dengan alat2 superlengkap yg
berada di lantai teratas, di sebelah amfiteater -yg berfungsi ganda sebagai auditorium.
Setelah menjelajahi seluruh lantai gedung ekstrakurikuler, Ifa dan Devta pun mengajak Shilla
beranjak ke halaman utama untuk mengitari bagian luar sekolah. Mereka mengunjungi lapangan
olahraga outdoor yg disebutkan Devta tadi, bahkan kali ini Shilla memucat saat melihat lapangan
pacuan kuda. Gadis itu hanya bisa menelan ludah. Setelahnya Ifa dan Devta harus mati-matian
menahannya yg berkeras berniat masuk ke istal kuda. ("Kuda ya gitu2 doang kok, Shil. Nggak
beda sama di buku2. Lagian istal kuda bau, tau," kata Ifa sambil bergidik.)
Setelah menjenguk rusa2 kecil di dekat taman ("Aku belum pernah liat rusa lho. Biasanya
kambing," kata Shilla polos), mereka bertiga akhirnya mendarat nyaman di gedung kafeteria yg
terletak terpisah lagi dan agak jauh dari gedung2 sekolah. Bangunan dua lantai yg hampir
seluruhnya tertutup kaca ini dilengkapi pendingin ruangan di tiap sudutnya. Di lantai atas,
setengah bagiannya adalah teras kecil yg dilengkapi payung2 besar untuk siswa-siswi yg
menginginkan suasana outdoor.
Berbagai gerai makanan, mulai dari nasi uduk hingga okonomiyaki (piza jepang) dan macam2
fastfood terkenal berjejalan di kedua lantai tersebut. Ifa dan Devta iseng2 membelikan sekotak
tokoyaki untuk Shilla, yg sempat geli melihat potongan gurita kering, tp akhirnya ketagihan juga.
"Udah deh, kita ngadem di sini aja. Bentar lagi juga istirahat," kata Ifa yg baru saja memesan
seporsi rawon. Mereka bertiga sudah duduk nyaman di lantai dua kafeteria sejak sekitar lima
belas menit lalu, membicarakan hal2 ringan, seperti desa Shilla, lalu beralih ke persahabatan IfaDevta sejak mereka SMP.
"Dasar lo, emang," kata Devta sambil mencomot spiced chicken-nya. "Keterusan."
"Bodo." Ifa mencibir ke arah Devta, lalu mengalihkan pandangan pada Shilla "Lo nggak mau
makan lagi, Shil?" tanyanya.
Shilla tersenyum kecil, dalam hati meringis. Ia melirik isi kantongnya diam2. Cuma ada
selembar dua puluh ribuan di sana. Ia memang memutuskan menjatah "uang jajannya" untuk
sebulan ke depan sampai menerima gaji. Tidak mungkin kan ia meminta DP pada Bi Okky atau
semacamnya" Shilla mengerucutkan bibir, berpikir. Ia belum tahu bagaimana cara pulang dari sini, berapa
biaya yg harus dikeluarkan. Cukupkah uangnya untuk makan" Perutnya sedikit melilit sih. Tidak
mungkin dia meminjam uang Ifa atau Devta, apa kata dunia"
Diam2 Ifa, bisa melihat Shilla melirik uangnya. Ia tersenyum kecil lalu mengelus pundak teman
barunya itu, "Shil, mau makan apa" Gue traktir deh..."
Shilla menggeleng, lalu menarik napas. "Ga usah, Fa. Makasih. Ehm, di sini makanan yg sepuluh
ribuan apa, ya?" tanyanya, memutuskan menggunting urat malu. Daripada dia kena maag, hayo"
"Oh. Ada tuh bakmi ayam di pojok situ. Enak tuh," sambar Devta masih menikmati potongan
ayam berbumbunya. Akhirnya Shilla tersenyum. "Ya udah, aku pesen dulu deh," kata Shilla sambil berdiri lalu mulai
beranjak ke arah gerobak di pojok ruangan.
"Mas," katanya pada seorang lelaki muda bertopi, sang penjual yg berdiri di seberang gerobak.
"Bakminya satu, ya," pesan gadis itu.
"Oke, Neng," katanya menyanggupi sambil meracik bumbu.
Shilla tersenyum, lalu menarik napas dan berbalik, bersandar di satu sisi gerobak. Benar saja,
seperti kata Ifa, jam istirahat ternyata sudah dimulai. Puluhan pelajar berbondong-bondong mulai
menjejali kantin. Beberapa naik ke lantai dua, tempatnya berada sekarang.
Shilla sedikit mengernyit kala melihat gerombolan populer tadi pagi. Bianca dan kawankawannya, mereka sibuk memenceti ponsel dengan gaya angkuh yg sama dan langkah yg teratur.
Kehadiran mereka mengintimidasi siapa pun yg mereka lewati.
Shilla mencibir pelan, paling malas melihat adegan-sok-dramatis yg mereka ciptakan. Emang ini
film Hollywood" "Kok lama, Mas?" tanya gadis itu tiba2 tersadar, ia memutar kepala ke arah si mas penjual.
Lelaki itu tersenyum memohon maaf. "Bentar, Neng, ini elpijinya abis. Saya ganti dulu ya
bentaran..." Shilla, yg sudah merasakan perutnya meronta-ronta, hanya bisa mengangguk dan meringis.
Dalam hati merutuk. Kalau sampai bakminya tidak seenak kata Devta, berarti ia telah
menghabiskan uang makannya untuk sesuatu yg sia2. Awas saja, ancamnya.
Akhirnya tatapan Shilla kembali tertumbuk pada gerombolan anak populer itu. Ya ampun,
gayanya. Kayak sekolah punya dia, batin Shilla, padahal ia tahu bisa itu saja benar. Shilla tanpa
sadar terus menatapi point of interest kelompok itu, yg seakan bercahaya paling terang di antara
semua, the one and only Bianca.
Gadis pongah nan cantik itu kali ini menghampiri -masih dengan gaya ratu sejagadnya- salah
satu meja berpayung di bagian outdoor kafeteria yg terletak di sudut teras. Shilla mengernyit,
menyadari tempat itu sudah terisi beberapa gadis lain.
Bianca ternyata hanya diam, mengangkat dagu tinggi2 sambil memandang gadis2 itu satu per
satu dengan tatapan lelah. Ia berdeham, jelas menyulut pertengkaran.
Gadis2 yg terlebih dulu menempati meja itu balas menatap Bianca, walau Shilla melihat jelas
sempat ada pintas kengerian di mata mereka. Seperti mangsa yg mencoba peruntungan melawan
pemburu. Salah seorang gadis yg duduk di seberang tempat berdiri Bianca membentak, "Nggak bisa tuh
mata biasa aja?" Wah, wah. Shilla mengangkat alis.
"Mata gue udah begini dari sananya. Protes aja sama Tuhan," ketus Bianca tajam.
"A-ada masalah apa, Bi?" tanya seorang gadis berkacamata yg berada paling dekat dengan ratu
sejagad itu, tampak berniat menanggapi dengan kepala dingin.
"Ini tempat gue," jawab Bianca. Tak mau dibantah.
"Oh, ya" Sejak kapan di sini ada tulisan 'reserved'?" Seorang gadis bertubuh agak tambun
menantang dengan nada superketus. Wow. Shilla tak tahu bagaimana ceritanya kalau gadis
barusan memutuskan untuk "meremukkan" Bianca. Si Ratu Sejagad itu mungil sekali, soalnya.
Bianca tiba2 tertawa meremehkan, lalu menggeleng-geleng. Ia menatap tajam gadis tambun itu,
seakan siap membunuh. "Gue tau siapa elo," katanya, tak pelan, tp tetap menimbulkan kesan
tajam. Mungkin maksudnya memang undangan agar semua orang menyaksikan, bukan hanya
menggertak agar mendapat tempa duduknya.
Gadis tambun itu mengernyitkan dahi. "Maksud lo?" tanyanya pelan.
"Elo," Bianca agak membungkuk mendekat, "Fitri dari kelas XII IPA II, masuk ke sini bukan
karna elo mampu. Bokap lo... cuma tukang kue. Dan nyokap lo... cuma guru les anak SMP.
Orangtua lo mati-matian minta keringanan dari sekolah karna ya... elo punya otak," kata Bianca
agak geli, seakan "punya otak" sama definisinya dengan "mengemut kecoak Madagaskar mentah
hidup2". Seperti yg diharapkan, semua mata di lantai dua kafeteria menatap adegan itu. Bahkan beberapa
pelajar yg ada di lantai satu bergegas naik ke lantai dua, mau melihat siapa kali ini korban
sinetron harian penggencatan oleh Yang Mulia Bianca.
Gadis mungil itu menaikkan dagu tinggi, lalu berujar dengan nada seolah tak acuh, "Dan gue...
Bianca dari kelas XI IPA II. Bokap gue salah satu majelis sekolah DAN yg punya setengah
saham kafeteria ini," katanya, mendeklarasikan supremasinya, membuat Fitri mengerut. Mangsa
Bianca itu sukses memasang wajah malu memerah.
Bianca mendesah, lalu berdecak merendahkan, "Pergi... atau lo dan temen2 lo gue larang buat
masuk kafeteria ini," katanya, lalu bersedekap.
Tertebak, akhirnya Fitri dan teman-temannya bangkit dari kursi, tergesa. Membuat Bianca
tersenyum tipis. "Oya," kata Bianca, belum puas saat melihat Fitri beranjak, "jangan bilang jam Levi's di tangan
lo itu asli. Berapa harganya" Sepuluh ribu?" Gadis itu mencibir diiringi tatapan kagum temantemannya. Sementara Fitri, yg sudah merasa kehilangan muka bergegas menjauhi kafeteria.
Bianca melepas lipatan tangannya, menyibakkan rambut seperti bintang iklan sampo lalu
memandang teman-temannya dengan tatapan memerintah. "Aduh. Bangku gue bekas orang
miskin. Tolong bersihin dulu dong," katanya sambil mengalihkan pandangan pada kukunya.
Seperti robot, beberapa temannya lalu mencabut beberapa helai tisu dari meja dan membersihkan
bangku yg akan Bianca duduki.
Shilla hanya menggeleng-geleng tidak habis pikir. Ada ya manusia sesombong itu di dunia ini,
batinnya berdecak. Ia kira perkara bangku yg dijadikan hak milik itu cuma terjadi di cerita2
rekaan saja. "Neng," sapaan si mas penjual mengagetkannya.
"Eh, kenapa, Mas?"
"Ini bakminya. Keasyikan nonton ya, Neng?" katanya ramah, sambil nyengir.
"Hah" Iya," jawab Shilla seadanya.
Mas penjual itu mencibir, lalu berkata sambil mengelap tangannya. "Adegan kayak gitu mah
udah biasa, Neng. Pasti Neng anak baru, yah?"
Shilla akhirnya menjawab dengan meringis lalu merogoh kantong dan mengangsurkan uang dua
puluh ribuannya. Yg segera dikembalikan dengan selembar sepuluh ribuan oleh si mas penjual.
Ia mengucapkan terima kasih sambil mengambil mangkuk yg diulurkan. Ia berjalan pelan2
membawa mangkuk bakminya yg masih panas. Salahnya juga sih tidak minta nampan atau
tatakan. Ia mengendus. Bakminya tercium begitu menggoda, perutnya berteriak semakin keras.
"Eiiiiit..." PRAAAANG... Perhatian Shilla dikacaukan kepulan menggoda dari makanan di tangannya, sehingga ia tak
menyadari seorang yg sedang sibuk memainkan ponsel dengan langkah congkak melintas di
dekatnya. Mereka ternyata sama2 tak menyadari keberadaan masing2. Mangkuk Shilla
tersenggol dan kini terjatuh.
Gadis itu syok. Ia menatapi pecahan mangkuk dan isinya di dekat kakinya dengan tampang
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lemas. Tidak. Mungkin. Makanan dari sisa uang terakhirnya hari ini itu kini tergeletak tak
berdaya di bawah, bercampur dengan debu, kuman, bakteri, semut, dan kawan-kawannya.
Shilla ternganga lalu mengangkat wajah, memandang Bianca yg malah meliriknya sinis dan
berniat melenggang pergi dengan tatapan super membunuh.
"Heh." Shilla mencekal tangan Bianca yg sudah mulai menjauh. Menyia-nyiakan makanan dari
sisa uang terakhir adalah perbuatan yg sama hinanya dengan tindakan terorisme bagi Shilla.
Sejak dulu, di tengah segala kekurangannya, Bunda selalu mengajari Shilla untuk tidak pernah
membuang makanan, karna bisa saja itu rezeki terakhir mereka.
"Apaan sih?" kata Bianca setengah marah, ia menepis kasar tangan Shilla.
"Itu makanan saya," kata Shilla sambil menunjuk helai2 kuning di bawah kakinya.
Bianca menatap Shilla dengan pandangan remeh. "So what" Lo mau gue beliin lagi" Gue beliin
sama mas2 penjualnya sekalian juga bisa," katanya ketus.
Shilla mendengus. Lebih dari makanan itu, ada hal yg lebih ingin ia minta. Ia menatap tepat mata
Bianca yg dihiasi lensa kontak berwarna lekat2, "Saya nggak butuh kesombongan kamu! Yg
Bandar Hantu Malam 1 Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala Candi Murca 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama