Ceritasilat Novel Online

The First Fall 3

Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania Bagian 3


berantem terus. I have to go now, see ya," ujar pemuda itu, melambaikan tiket yg digenggamnya
di sebelah tangan yg lain dan menuju security check, meninggalkan kedua orang yg mulai
sekarang harus mulai mewarnai hidup satu sama lain, seperti nubuatannya.
Shilla, yg sedari tadi diam, merasa sesuatu mencekat tenggorokan dan dadanya. Ia tidak mau
menangis, tp tak bisa menahan kekosongan di dalam dirinya. Arya. Pergi, batinnya. Apakah ini
berarti ia kehilangan lagi" Walau dia belum yakin Arya itu Ayi, tp ia merasa... ini seperti
kehilangan Ayi untuk kedua kalinya.
Ryo memperhatikan wajah gadis di sebelahnya. Kehampaan dalam mata bening Shilla entah
knapa membuatnya sendiri tak suka. "Udah, nggak usah sedih," ujarnya tajam. "Dia bakal balik
kok." Ia mulai melangkah kembali ke lapangan parkir.
Shilla tersadar, memandangi pintu yg dikawali petugas security check sekali lagi lalu bergegas
mengikuti Ryo. Ia melambatkan laju langkahnya saat Ryo berada tepat di depannya, lalu
akhirnya melangkah perlahan bersama menuju mobil, masih sambil memikirkan Ayi dan Arya.
Ia memasuki kursi penumpang masih dengan tatapan kosong, masih diiringi Ryo yg
memperhatikan. Pemuda itu menatap Shilla yg terlihat terus menerawang, lalu berdecak samar. Ia membuang
pandangan ke depan lalu mengetuk-ngetukkan jarinya ke setir perlahan. Ryo tersenyum saat
sebuah ide menyambar benaknya, lalu menatap Shilla.
"Gimana kalo kita ke Dufan?" ajaknya bersemangat, membuat Shilla kontan tersadar lalu
menatap Ryo tak percaya. "Ke Dufan?" tanya Shilla, mengulang ucapan Ryo.
Pemuda itu mengangguk acuh tak acuh, lalu mengangkat sebelah alisnya. "Iya. Gue liat muka lo
merana banget, kayak orang mau mati. Daripada lo mati terkapar di mobil gue, mending kita ke
Dufan. Lo tinggal milih mau loncat dari Halilintar atau apa tuh yg paling baru" Hysteria, ya?"
Shilla mendelik seketika lalu mengangkat satu ujung bibirnya kesal. Seenaknya saja tuan muda
itu bicara. Ia memang merasa kehilangan Arya, tp tidak mungkinlah sampai berniat bunuh diri.
Berlebihan sekali, cibirnya.
"Mau nggak jadinya?" tanya Ryo memastikan.
Shilla mengangkat satu alis ke arah Ryo sambil menggigit bibir ragu. "T-tuan serius?" ia balik
bertanya. Ryo hanya melirik sekilas ke arah gadis di sebelahnya, memutar bola mata, lalu mengalihkan
perhatian untuk menstater mobilnya. Ketika Jaguar hitamnya mulai keluar dari pelataran parkir
terminal dua, pemuda itu bergerak meraih ponselnya, mencari ke daftar kontak sambil memutar
setir, lalu mendekatkan ponsel ke telinganya setelah menyentuh tombol hijau.
Tak lama kemudian, Ryo berdeham saat mendengar nada sambung, "Halo, Pak Andi" Iya, ini
Aryo. Iya, udah lama. Hmm, saya nggak mau banyak basa-basi. Iya, mau ke sana. He-emm. Bisa
tolong di-clear-in Dufan-nya?"
Shilla yg sedari tadi mencuri dengar, mau tak mau membelalak tiba2 saat mendengar ucapan
terakhir Ryo. Apa maksudnya "di-clear-in?" Si tuan muda pongah in mau meminta
mengosongkan Dufan" Memang bisa" Astaga, batinnya sambil menelan ludah.
Ryo mengangguk pelan, mengucap terima kasih hingga beberapa detik kemudian menyelesaikan
pembicaraan dan mematikan sambungan pada ponselnya.
Merasa jelas sedang diperhatikan, ia menoleh mendadak ke arah Shilla yg masih memasang
wajah melongo, lalu melotot dan mencetus galak, "Apa liat2"!"
"Tuan mau ngosongin Dufan?" tanya Shilla pelan. Biar lebih lama tinggal di desa, ia jelas tahu
tentang taman hiburan tersohor di ibu kota itu. Hari libur atau bukan, jumlah pengunjung Dufan
dalam sehari pasti slalu terus tembus di angka ribuan.
"Iya," kata Ryo acuh, tanpa memandang gadis yg baru menanyainya.
Shilla menggigit bibir sebelum bertanya lagi, "Karna kita mau ke sana?"
Ryo mengernyit sesaat, laku menoleh dan menatap Shilla jengkel. "Lebih tepatnya karna gue
mau ke sana. Biasa aja. Dari gue kecil juga begitu."
Hah" batin Shilla lagi, terkejut.
Pemuda itu mencibir seraya terus menggerakkan setir. "Lagian udah lama juga gue nggak ke
Dufan. Rada males. Dari umur delapan, gue udah nggak pernah ke sana lagi, kali. Gue prefer
Universal Studio Singapura, Goldcoast, atau Disneylan Hong Kong sekalian," ucapnya tak acuh.
Shilla balas mencibir, menyadari Ryo sedang menyombong secara tak langsung. Padahal ke
Dufan saja Shilla belum pernah.
Ryo ternyata meneruskan, sambil menggeleng-geleng sok menyesal "Sayangnya USS,
Goldcoast, atau Desneyland nggak bisa gue kosongin kayak gitu. Ck." decaknya setengah kesal.
Gadis di sebelahnya hanya bisa memutar bola mata. Mungkin Ryo berniat membeli Desneyland
sehabis ini, pikir Shilla sarkatis.
"Kan," gadis itu tak tahan memprotes, "nyusahin orang lain yg mau main kalo egois begitu.
Mereka yg lagi di sana kan udah bayar, masa mau diusir..."
Ryo sontak menoleh dan menatap Shilla tajam, sekilas.. Dalam bayangannya, wajah Shilla
berubah menjadi rupa manis si kecil Mai. Omongan gadis itu tadi persis dengan protes Mai
bertahun-tahun lalu, saat Ryo juga meminta papanya mengosongkan Dufan, karna ia dan teman
kecilnya mau bermain hingga puas di sana, tanpa mengantre.
Shilla hanya balas memandangnya, sambil mengangkat sebelah alis. Sementara Ryo kini kembali
mengalihkan pandangan ke jalanan di depannya. Dulu, ia mengabulkan permintaan Mai dan
membatalkan rencananya untuk mengosongkan Dufan, lalu sekarang"
Ryo akhirnya menghela napas, lantas meraih kembali ponselnya. Tak lama, sambil melirik gusar
wajah gadis di sebelahnya yg tampak cukup puas, ia berdeham lagi.
"Halo... Pak Andi" Iya, ini Aryo lagi. Hmm, kayaknya saya nggak jadi mau clear-in Dufan-nya...
Iya... Tapi saya nggak mau ngantre,"
Shilla sontak mencibir. Dasar tuan muda, dengusnya dalam hati.
"Apa?" Ryo masih bicara pada ponselnya. "Fast trax" Tapi cuma lima wahana" Nggak ada yg
semuanya" Ck... Payah... Ya udah deh," katanya, lalu menutup pembicaraan lagi sambil
menggerundel, sementara Shilla hanya geleng-geleng.
Pada waktu yg sama, di sekolah ternyata ada sebuah insiden kecil. Pada jam kedua istirahat para
siswa-siswi menggerutu di depan kafeteria yg mendadak tertutup untuk umum. Ada apa
gerangan" Oh. Pasalnya, Bianca sedang bad mood setengah mati. Pikirannya sedang sangat kacau, ia butuh
tempat yg sepi, tanpa teman-temannya. Siang itu, ia ingin kafeteria menjadi tempat untuknya
seorang diri. Duduk di singgasananya yg biasa, mata Bianca berkilat membara. Bukan karna pengaruh
matahari yg memang sedang terik-teriknya, melainkan karna benaknya tengah memutar adegan
memuakkan yg disaksikannya tadi siang, ketika ia dan teman-temannya sedang berganti gedung
sehabis pelajaran olahraga.
Ryo -iya, Ryo yg miliknya seorang itu- tadi menggandeng si cewek miskin kurang ajar itu ke
dalam mobil. Apa-apaan itu"! Ada hubungan apa mereka"
Bianca saja tidak pernah diperlakukan "seistimewa" itu oleh Ryo. Kalau gue saja nggak pernah,
orang lain pun nggak boleh! pikirnya ketus. Bianca mendengus. Kenapa harus cewek sampah itu
pula" Yang selalu mempermalukan gue"! Ck, decaknya sinis. Cewek itu terlalu... Keterlaluan
mempermainkannya. Bianca mencibir. Lihat saja nanti.
Bab 9 APA-APAAN INI" tanya Shilla dalam hati, terkejut begitu melihat karpet merah terhampar dari
dalam pintu masuk Dufan hingga ke trotoar depan, tempat mobil Ryo baru saja berhenti. Lalu
tiba2, sepasukan pegawai Dufan -yg teridentifikasi dari seragam mereka- berdiri di samping kiri
mobil, tepat di trotoar. Salah seorang pegawai membukakan pintu penumpang Shilla, sementara
salah seorang yg lain mengitari mobil lalu membukakan pintu pengemudi untuk Ryo.
Ryo turun dengan gaya angkuhnya yg biasa begitu pintu terbuka, lalu menyerahkan kunci
mobilnya pada pegawai yg sama tanpa menoleh.
Shilla hanya mengernyit heran melihat adegan itu. Ada layanan khusus parkir untuk si tuan
muda, begitu" Ia lalu mengerutkan kening lagi saat mendapati seorang laki2 paruh baya dengan
kemeja putih klimis dan tanda pengenal tergantung di lehernya, berjalan takzim mendekati Ryo.
"Selamat datang, Pak," ucapnya pelan.
Ryo hanya mengangguk tak acuh, lalu berjalan mendekati Shilla yg masih tampak kebingungan.
Ia menarik lengan kemeja gadis itu agar berjalan mengiringinya mendekati pintu masuk, sambil
mengabaikan sepasukan pegawai tadi yg dengan canggung membungkuk saat Ryo lewat.
Tak lama kemudian, setelah mendapat tiket -yg langsung dibuang Ryo ke tong sampah, padahal
Shilla ingin menyimpannya- mereka menuju bagian cap. Dengan bersemangat Shilla maju
terlebih dulu, lalu dengan senang hati mengulurkan tangan. Di pasar malam kan tidak ada
stempel seperti ini, batinnya.
Sementara, Ryo hanya tersenyum remeh saat petugas cap berniat menghujamkan senjata andalan
mereka itu ke punggung tangannya. "Saya nggak perlu," kata Ryo, bergidik. "Takut nggak
steril," lanjutnya, diiringi tatapan melongo si petugas dan Shilla.
Gadis itu mencibir. Dasar, batinnya sambil menggeleng-geleng, lalu menoleh ke depan sambil
melangkah maju. Ia mau tak mau membelalak, menyadari memang banyak sekali pengunjung
Dufan, padahal ini jam sekolah.
Ia bergerak maju beberapa langkah lagi, terlalu bersemangat hingga melupakan Ryo. Tiba2 ia
mengernyit, merasakan sesuatu yg basah mengenai wajahnya.
Gadis itu menoleh mencari-cari lalu kontan melongo saat melihat kipas angin besar yg ternyata
bertugas memercikkan air ke segala arah. Setelah beberapa kali mengerjap terpesona, Shilla
akhirnya memutuskan mendekat dan berdiri tepat di depan kipas angin itu. Enak, pikir Shilla
sambil memejamkan mata. Sejuk.
Ryo hanya menepuk dahi kala memperhatikan Shilla. Tidak tahan melihat kenorakan gadis itu.
"Heh!" hardiknya keras pada Shilla, yg kini menoleh tajam ke arahnya.
Apa sih" cetus Shilla kesal dalam hati. Mengganggu kenikmatan orang saja.
Shilla mencibir, lalu memperhatikan Ryo yg kini sudah beralih mengipas-ngipas dirinya sendiri
dengan tangan. Ia menggeleng-geleng sambil memperhatikan Ryo. Siapa suruh ke sini pakai
setelan lengkap begitu" batinnya tak habis pikir lalu menatap dirinya sendiri yg memakai
seragam. Ia terdiam. Ya dia sendiri juga sih. Tp paling tidak, seragam ini pasti jauh lebih nyaman dibanding setelan
Ryo, apalagi tanpa blazer yg sudah ia lepas di mobil tadi.
Shilla beralih menoleh ke kanan dan ke kiri, menyipit ketika melihat seorang pria berkumis dan
anaknya mengenakan T-shirt berbeda warna bergambar maskot Dufan, si bekantan. Ia
menimbang sejenak, lalu memutuskan mendekati pria itu.
Sementara Ryo mengernyit lagi. Ada apa sih dengan cewek itu" Suka sekali bertindak aneh2.
Shilla terlihat sedang menanyakan sesuatu yg dijawab arahan telunjuk dari si pria berkumis,
hingga akhirnya ia tersenyum dan tampaknya mengucapkan terima kasih.
Diam2 Ryo memperhatikan Shilla yg menghampirinya dengan seragam yg sudah awut-awutan,
ikatan rambutnya juga terlihat agak berantakan. Tapi... tetap manis juga, pikir pemuda itu jujur.
"Yuk, Tuan," kata gadis itu sambil tersenyum saat berhenti di depan tuan mudanya.
"Ayuk apaan?" tanya Ryo kontan.
"Tuan kepanasan, kan?" tanya Shilla, mengedikkan dagu pada Ryo yg kini sedang mengipasi
dirinya lagi. Ryo hanya merengut. "Menurut lo?"
Tanpa sadar, gadis itu menggenggam tangan Ryo lalu menariknya ke arah yg ditunjukkan pria
berkumis tadi. Ryo tersentak, menatap tangannya dalam genggaman Shilla. Entah kenapa, Ryo
menikmatinya. Aneh. Ia merasa nyaman.
Ryo balas menggenggam tangan Shilla lebih kuat, walau gadis itu tampak tak menyadarinya. Ia
mendesah. Lebih jauh jarak tujuannya juga nggak apa2, pikirnya seketika.
Tak lama kemudian mereka berhenti di depan toko suvenir. Ryo mengerutkan kening. Sementara
Shilla berbalik dan menapatnya, lalu beralih memandangi... tangannya yg menggenggam tangan
Ryo. Ups, batinnya langsung.
Shilla berniat melepaskan tangannya dari genggaman Ryo, yg kini malah menahannya. Gadis itu
menarik-narik jemarinya, heran, lalu mendongak menatap Ryo yg ternyata sedang
memandangnya galak. "Lo udah genggam2 tangan gue sembarangan, jangan pikir lo bisa lepas semaunya. Lo bukan
cuma udah genggam tangan gue, tau nggak?" cerocos pemuda itu.
Shilla mengernyit, "Hah?"
Ryo berdeham salah tingkah, lalu melepaskan tangan Shilla kasar. Bego, rutuknya pada diri
sendiri. Knapa gue bisa ngomong begitu, coba" "Tau deh," katanya ketus. "Dasar lemot."
Shilla mencibir lalu berbalik dan mulai memasuki toko suvenir, diikuti Ryo yg mengerutkan
kening dan bertanya heran, "Ngapain ke sini sih?"
"Begini ya, Tuan," kata gadis itu berbalik lagi menghadap Ryo, "kalau mau main itu harus pake
baju yg pantes, biar bisa menikmati. Tuan yakin mau pake setelan itu?" tanya Shilla lalu berbalik
dan mengedarkan pandangan. Akhirnya ia berjalan mantap mendekati gantungan T-shirt
bergambar maskot Dufan. Shilla mengacak-acak gantungan, lalu menarik keluar sebuah T-shirt berwarna merah. "Nih,
Tuan," katanya, sambil menyodorkan gantungan itu pada Ryo.
"Apaan?" tanya Ryo ketus. "Gue disuruh pake... beginian" Mau taro di mana muka gue?"
Shilla langsung menarik tangan Ryo, membenamkan gantungan T-shirt itu di sana. "Muka Tuan
nggak bakal pindah ke mana2 kok."
Pemuda itu mengernyit, menatap T-shirt di tangannya lalu menggeleng. "Ogah."
Gadis itu mengerucutkan bibir, lalu memandang Ryo dengan tatapan memohon. Entah knapa,
Ryo malah merasa luluh. Ia berdecak kalah. "Ck, ya udah."
Shilla menghadiahkan senyum manis, yg membuat Ryo tercengang dan tak habis pikir knapa
malah menuruti gadis itu. Sepertinya ia mulai kehilangan orientasi siapa yg majikan dan siapa yg
pelayan. Setelah mendorong paksa Ryo ke ruang ganti, Shilla terbahak-bahak ketika pemuda itu keluar
dengan T-shirt yg pilihannya tadi.
Ryo mencibir. "Heh! Nggak usah ketawa lo!" katanya kesal, lalu terdiam tiba2, memperhatikan
Shilla yg masih memakai setelan seragam. Ia tersenyum jail.
"Lo juga ganti! Enak aja," cetusnya, lalu kembali mendekati gantungan T-shirt yg sama. Ia sibuk
memilih, hingga akhirnya menyambar T-shirt pink yg bergambar sama dengan miliknya.
Setelah menimbang, ia juga mengambil celana pendek katun berwarna peach yg tergantung tak
jauh dari sana. Shilla mengernyit ketika Ryo berjalan mendekatinya. "Apa?" tanyanya.
"Pake!" perintah Ryo.
"T-tapi... pink?" Shilla bergidik.
"Biarin," kata Ryo ketus lalu berbalik mendorong Shilla ke ruang ganti.
"Kok pake beli celana pendek segala?" tanya gadis itu lagi, berputar ketika melihat dua
gantungan yg diserahkan Ryo.
Pemuda itu mengangkat bahu, lalu mengutip ucapan Shilla, "Kalau mau main itu harus pake baju
yg pantes, biar bisa menikmati. Lo yakin mau pake seragam itu?"
Sial. Shilla mencibir kesal. Senjata makan tuan. Akhirnya ia melangkah dengan raut tragis ke
arah ruang ganti sambil merutuk, mau mengerjai Ryo jadi dirinya juga yg kena.
Beberapa menit kemudian, setelah Ryo dengan pongahnya membayar, mereka keluar sambil
menenteng tas plastik yg berisi seragam. Shilla mengernyit, bingung juga memperhatikan
mereka memakai T-shirt yg sama walau berbeda warna. Sementara Ryo hanya mengulum
senyum. Keduanya sepertinya berpikiran sama. Mengapa mereka terlihat seperti pasangan
begini" "Mau main apa dulu kita?" tanya Shilla tiba2, berusaha memecah keheningan.
"Kora-Kora." Ryo tersenyum yakin.
Shilla bodoh! Bodoooooh! batin gadis itu sambil merutuki dirinya sendiri. Ia, bersebelahan
dengan Ryo, kini sedang menempati salah satu tempat di barisan paling atas wahana perahu
berayun yg tadi dipilih pemuda itu. Sekarang sih posisi mereka masih cukup rendah, tp nanti
kalau sudah bergerak" Posisi ini pasti menjadi yg paling tinggi dan mengerikan. Gadis itu
bergidik, lalu menepuki dahinya sendiri, menyesal knapa ia mau menuruti pilihan Ryo.
Sementara Ryo hanya menahan tawa melihat Shilla yg tampak teramat gugup, "Ah, payah lo.
Begini doang." Shilla merengut, mendelik kecut ke arah Ryo, lalu segera memasang wajah pucat lagi ketika
mendapati palang pengaman di depannya mulai diturunkan.
"Pastikan semuanya sudah terpasang, yaaaaaa!" seru si operator wahana dengan ceria. Ia terusmenerus berkomentar cerewet.
"Iya, bawel," rutuk Shilla kesal, membuat Ryo kini benara tergelak.
"Siaaaaaaap" Kita mulaaaai. Berayuuuuuuuuun!" seru si operator ceria lagi, mulai
menggerakkan Kora-Kora dengan kecepatan paling rendah.
Shilla tercekat, merasakan jantungnya hampir lepas saat wahana tersebut berayun naik dan turun
dalam ketinggian yg tak ia perkirakan. Tangannya gemetar.
"Mau lebih tinggi lagiiiii?" tanya si operator ceria tiba2, membuat Shilla menjerit,
"Nggaaaaaak!" Ia mencaci pelan ketika sisa manusia di wahana yg sama malah mengiyakan,
termasuk Ryo. "Gila lo semua," cetus Shilla pelan, membuat Ryo kembali tertawa mendengar ocehan kesal
gadis itu yg sok memakai bahasa gaul Jakarta.
Tak sesuai dengan harapan Shilla, ternyata kini si operator ceria mulai mewujudkan janjinya,
memaksimalkan pergerakan Kora-Kora hingga kecepatan tertinggi, membentuk sudut yg bagi
Shilla kelewat mengerikan.
"AAAAAAAAAAHHH!" Gadis itu menjerit kencang, tanpa sadar mencengkram tangan Ryo yg
bertengger di palang, di dekat tangannya.
"Adaaaaaaw!" seru Ryo kesakitan sambil menoleh ke arah Shilla. Takut sih takut, tp knapa
tangannya yg jadi korban"
Setelah beberapa saat -yg bagi Shilla terasa sangat menyiksa- Kora-Kora akhirnya berhenti.
Shilla menghela napas lega, sementara Ryo masih merasakan tangannya perih.
Biar! Biar aja cewek ini ketakutan, rutuknya, lalu mengangkat alisnya licik saat menemukan ide
untuk membalas. Ia mengajak Shilla ke permainan selanjutnya. Tornado.
"Nggak... nggak. Makasih," tolak gadis itu sambil menggeleng keras dan bergidik.
Ryo melotot, mengancam akan meninggalkan Shilla kalau dia itu tak mau menurut. Enak aja,
batinnya. Tak lama kemudian, karna menggunakan fasilitas fast trax, akhirnya Shilla tidak sempat berlari
untuk sembunyi ke mana2. Dalam sekejap mereka sudah berada di dalam area permainan.
Opertator ceria lain mengucapkan selamat datang pada gerombolan orang yg baru memasuki
area wahana, lalu mengimbau, "Yg bawa tas atau dompet bisa ditaruh di meja di depan wahana,
ya. Yg pakai sandal silakan dilepas."
Shilla hanya menelan ludah dan merapal doa dalam hati ketika Ryo menariknya ke bangku
paling ujung wahana, diam2 membuatnya mengutuk. Knapa sih Ryo suka sekali di paling
pinggir" "Siaaaaap?" tanya operator ceria setelah sabuk pengaman diturunkan dan dipastikan terpasang
baik.

Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Shilla menarik napas dalam2, mencengkram pegangan yg tersampir pada bantalan oranye di
kedua bahunya. Ia memejamkan mata, berharap bisa menikmati wahana kali ini. Lalu, akhirnya
setelah sebuah seruan lagi, operator mulai menggerekkan wahana.
Dan mereka pun melayang. Dilempar ke angkara, berputar-putar dalam posisi tak masuk akal,
bahkan dibiarkan tergantung dalam keadaan terbalik saat wahana sengaja dihentikan pada
ketinggian beberapa belas meter di udara.
"Cheeeeeseeee!" Operator ceria berseru, memberikan aba2 sebelum lampu flash menandakan
kamera jumbo memotret mereka dari bawah.
Shilla tertawa girang ketika wahana kembali digerakkan. Ia, tak disangka, ternyata sangat
menikmati Tornado. Permainan ini sejenak dapat membebaskan pikirannya dari berbagai hal yg
memusingkan, melempar jauh2 kesedihannya.
Shilla mengernyit, beralih menatap Ryo yg memejamkan mata dan berkomat-kamit di
sebelahnya. Kini ganti ia yg menertawai pemuda itu. Astaga.
Setelah beberapa kali putaran mengasyikkan (tp mengerikan bagi Ryo) lagi, wahana itu pun
kembali menjejak bumi. Shilla melepas sabuk pengaman sambil tertawa senang, sementara kali
ini Ryo yg pucat pasi. Ryo berjalan sempoyongan mengikuti Shilla. Gadis itu baru saja mengajaknya menaiki PociPoci, wahana berbentuk cangkir yg saling mengitari. Kepalanya pening, walau tawa renyah
Shilla sedari tadi diam2 sedikit menghiburnya.
"Apa lagi?" tanya Ryo pelan. Mereka sudah naik Ontang-Anting, Pontang-Panting, Niagara-gara,
Burung Tempur, Teater Simulator, dan sejuta permainan lainnya.
Sebenarnya Shilla juga merasakan hal yg aneh. Ia merasakan sangat nyaman bersama Ryo hari
ini. Merasakan setiap tawa, ejekan, genggaman tangan, dan tepukan dari Ryo. Ia sempat berpikir
sejenak. Apa ia secepat itu bisa berpindah hati" Akhirnya ia menggeleng dan memutuskan
mendepak pikiran itu jauh2 dulu. Ini waktunya bersenang-senang bukan yg lain.
"Perang Bintang, yuuuuuk!" kata Shilla bersemangat sambil menunjuk papan wahana yg baru
dilihatnya. Ryo mengangguk mengikuti langkah mantap gadis itu. Namun mengernyit, heran menyadari
wahana itu sepi sekali, hanya mereka berdua yg mengantre padahal pintu sudah dibuka.
"Mas, kok sepi banget sih?" tanya Ryo penasaran pada petugas yg menjaga di bagian dalam
wahana. "Oh, tadi sempat maintenance, Mas. Tp sekarang sih udah jalan lagi. Memang baru dibuka lagi
sekitar lima belas menit yg lalu," jawab si petugas.
"Oh, tp sekarang udah beres semua, kan" Nggak ada yg rusak atau apa?" tanya Ryo lagi.
"Beres kok, Mas. Aman," jawab si petugas yakin.
Dengan cepat, Ryo dan Shilla memasuki arena Perang Bintang, lalu mengendarai wahana bulat
yg akan membawa mereka mengitari arena.
Tak lama, keduanya mulai sibuk menembaki sinar laser merah yg tersebar di langit2 dan dinding
area untuk mengumpulkan poin. Shilla merutuk karna tembakannya slalu meleset, hingga
skornya tak berubah sejak beberapa waktu tadi.
Ryo mengernyit, mendengar rutukan pelan Shilla lalu menoleh, melihat gadis di belakangnya. Ia
tertawa pelan, lalu menaruh senapan lasernya di tempat dan menghampiri Shilla.
"Gini nih, ya." Ryo berdiri tepat di belakang Shilla, merangkul gadis itu, membiarkan kedua
tangannya menggenggam jemari Shilla yg kepayahan memegang senjata.
"Itu tuh harus cepet ditembaknya. Kan ini jalan terus," ujar Ryo di telinga Shilla, membuat gadis
itu bergidik saat merasakan desahan napas Ryo menyapu rambut dan telinganya.
Ryo tiba2 teringat pendapatnya saat pertama kali memperhatikan penampilan Shilla waktu itu.
Rambut gadis itu ternyata benar2 halus, paling tidak, begitu yg teraba dagunya. Hmm, wangi
juga. Saat menyadari posisi mereka, Ryo sontak melepaskan kedua lengannya, berupaya
mengusir perasaan aneh yg menyergapnya. Ia tak mengerti apa yg meracuni otaknya, atau apa yg
membuat jantungnya tiba2 berdetak menyalahi aturan.
Tiba2, saat Ryo kembali ke tempatnya sambil menghela napas lambat2, terdengar bunyi
"jegreeek" kencang, disusul kegelapan total yg seketika menyerbu dan berhentinya wahana
mereka. Shilla terkesiap, ketakutan menyadari apa yg sedang terjadi.
"Tuan?" panggil Shilla pelan, waswas, suaranya bergetar.
"Apa?" tanya Ryo pelan, kembali meletakkan senjata yg baru saja ia pegang. "Lo duduk di situ
aja dulu, nanti gue samperin."
Shilla duduk di bangku kecil yg berada di depan lututnya tadi, perlahan terdiam saat merasakan
Ryo mengempaskan tubuh di sebelahnya.
"Ini ada apa?" tanya Shilla pelan.
"Nggak tau," kata Ryo. "Coba gue telepon Pak Andi." Ia merogoh ponsel di kantongnya.
Beberapa lama ia mengutak-atik benda elektronik itu, hingga baru menyadari dan merutuk pelan,
"Sialan. No signal," katanya.
Shilla menghela napas, lalu menoleh saat Ryo berkata lagi, "Kayaknya wahana ini belum beres
betul ya, abis maintenance tadi."
Shilla mengangguk pelan, lalu bertanya, "Trus gimana?"
Ryo terdiam, berpikir sejenak lalu berkata cerah, "Kita turun trus jalan ikutin alur rel. Pasti bakal
keluar kan ujungnya..." Ia tidak kehabisan akal.
Shilla akhirnya mengangguk menyetujui, lalu mengikuti tuan mudanya melompat keluar dari
wahana. Ryo secara otomatis membiarkan tangannya mencari-cari di belakang, menggenggam tangan
Shilla, dan tak sekali pun melepasnya selama menyusuri jalur rel itu keluar.
Tanpa disadari, jantung mereka berdua berdetak seirama. Detaknya lebih cepat daripada
biasanya. Masing2 degup bergaung sendiri di dasar hati. Menunggu siapa pun memanggilnya
keluar dan menunjukkannya pada dunia bahwa sesuatu yg aneh dan magis terbentuk mulai hari
itu. Senja mulai datang ketika Ryo dan Shilla keluar dari area wahana Arung Jeram dengan kondisi
basah kuyup. Seharusnya mereka bermain wahana itu siang hari. Saat matahari masih bersinar.
Sekarang ini benda raksasa kuning itu hanya memancarkan cahaya redup karna waktu kerjanya
memang sudah hampir habis.
Shilla merasakan giginya mulai bergemeletuk, tubuhnya menggigil. Ia menoleh ke arah Ryo dan
menyadari pemuda itu juga merasakan hal yg sama walau terlihat menutupinya. Ia berpikir keras,
lalu melihat kantong yg ditenteng Ryo dan mendapat ide bagus. Ia seketika menarik-narik lengan
kaus Ryo. "Apa?" tanya pemuda itu pelan.
"Gimana kalo ganti baju yg tadi pagi aja?" tanya Shilla.
"Ide bagus," kata Ryo lalu menatap kantong berisi setelan yg dipeganginya. Namun tiba2 Shilla
melongo. "Knapa?" tanya Ryo, beralih memperhatikan gadis yg kini berhenti mendadak di tempat.
Shilla menelan ludah, lalu menatap Ryo sambil meringis. "Kayaknya kantong saya ketinggalan
di Perang Bintang tadi," ucapnya lemah.
Ryo menepuk jidatnya sendiri. "Dasaaaaaar. Ya udahlah."
"Saya mau ambil. Itu kan seragam baru dikasih," kata Shilla.
"Nggak usah lah. Di rumah juga ada stoknya," kata Ryo.
"Tp kan itu dikasih Tuan Arya," kata Shilla pelan, tanpa berpikir panjang.
Ryo seketika merasa hatinya terpilin, lalu merutuk kesal. Knapa harus Arya trus sih" Ia kini
benar2 semakin jengkel, belum lagi ditambah kondisi suhu tubuhnya yg sedang kurang nyaman.
Ia lantas bergegas melangkah cepat menuju Bianglala, tempat yg sebelumnya mereka sepakati
untuk membiarkan angin membantu mengeringkan tubuh mereka, meninggalkan Shilla di
belakan karna sedikit kecewa.
"Karna yg naik sedikit, boleh berdua-dua aja, biar seimbang juga," kata seorang petugas pintu
Bianglala saat mereka sampai di wahana itu.
Aneh juga melihat wahana yg satu ini sepi. Namun akhirnya Ryo dan Shilla naik juga ke salah
satu gondola Bianglala. Saat wahana itu mulai bergerak, gadis itu tak berhenti gemetar.
Tampaknya angin malam memang bukan angin yg tepat untuk mengerikan badan.
Ryo, yg sedari tadi memilih menatap pemandangan untuk sejenak menguapkan kegeramannya,
mau tak mau menatap Shilla ketika suara gemeletuk gigi gadis itu terdengar begitu kuat. Ia
mendesah, timbul rasa ibanya melihat tubuh Shilla berguncang hebat.
Ryo menarik napas, lalu membuka kantong plastiknya dan mengeluarkan blazer abu-abunya.
"Nih..." Shilla menengadahkan kepalanya yg sedari tadi ia tundukkan, bisa merasakan kekesalan Ryo
sejak ia menyebut-nyebut Arya. Ya, ia akui memang ia yg salah. Ryo mengajaknya bermain ke
sini untuk melupakan kesedihan karna ditinggal Arya, tp malah ia sendiri yg mengungkitnya.
"Pake aja," kata Ryo memaksa, melemparkan blazer itu pada Shilla, yg tampak masih berkeras
menolak. "Ck." Ryo bergegas mendekati Shilla, menyambar blazer abu2 tadi dari pangkuan
Shilla lalu menyampirkan dan mengeratkannya ke tubuh gadis itu. "Nggak usah dilepas lagi. Ini
perintah." Ryo menatap Shilla tegas, lalu kembali ke tempat duduknya di seberang.
Shilla menatap T-shirt Ryo yg juga masih basah. Pasti dia juga kedinginan, tapi tak mau
mengakuinya. "Ganti aja sama kemejanya," kata gadis itu pelan, merasa tidak enak.
Ryo mendelik. "Lo mau gue buka baju di sini" Nggak usah bawel."
Gadis itu mendesah samar, bingung mendapati suasana yg berubah canggung, tidak senyaman
tadi. "Maaf ya, Tuan," ucapnya sambil memainkan jari, merasa harus mengucapkan permohonan
maaf agar semuanya bisa kembali seperti sedia kala. "Maaf, saya tadi nyebut2 Tuan Arya,"
lanjutnya, tak sadar Ryo sedang menatapnya dalam diam.
Shilla menunduk makin dalam saat tak ada suara yg menyahutinya kecuali derak besi. Kenapa
harus diam" Kenapa harus keheningan yg tercipta di tempat seindah ini" Kenapa pula
kenangannya besama Ayi dan Arya kembali bergulir dalam benaknya" Memang cuma kenangan
kecil... namun entah kenapa sekarang terasa b
egitu berarti. Tapi jangan menangis di hadapan
Ryo, Shilla. Tolong. Ryo menatap Shilla yg jelas sedang menahan isaknya. Apa itu tangisan untuk Arya" tanyanya
getir dalam hati. Kenapa harus Arya" Akankah suatu saat Shilla bisa menangis untuknya"
Kenapa pula dia mau Shilla menangis untuknya" Apa tawa yg terurai dari gadis ini sejak tadi
siang hanya palsu" Kenapa harus rasa nyeri aneh pula yg dirasakannya sekarang"
Shilla menggigit bibir, merasakan setetes air mata berhasil kabur dari pelupuknya. Jangan begini,
jeritnya dalam hati. Setetes jatuh, yg lain pasti akan mengikuti. Namun akhirnya ia tak tahan lagi,
lantas terisak sambil memeluk dan membenamkan wajah pada lututnya.
Ryo tidak bisa menahan perasaan aneh yg menyergapnya ketika melihat tubuh mungil gadis itu
berguncang hebat, yg jelas bukan hanya karna faktor kedinginan. Ia mendekati Shilla, lalu
memeluk gadis itu erat2. Jangan menangis, ucap Ryo dalam hati. Jangan menangis untuk Arya.
Seiring perputaran Bianglala, berputar pula perasaan itu. Semakin aneh dan rumit. Shilla bisa
merasakan tubuh basah Ryo juga menggigil memeluknya, berusaha menghentikan tangis
kepedihan yg sejak tadi dipendamnya. Jadi, bagaimana setelah ini"
Ryo mempererat pelukannya pada Shilla yg kian tersedu. Sebuah rasa menyakitkan seakan ikut
mengoyak lapis demi lapis hatinya, seiring isakan yg keluar dari mulut gadis itu. Sudahlah, pinta
Ryo dalam hati. Ia menempelkan dagu pada rambut gadis dalam dekapannya. Jangan lagi buat
hati kita masing2 sakit, katanya, masih dalam nurani.
Sementara, Shilla menyadari ini salah. Bodohnya ia menangis di hadapan, bahkan di pelukan
Ryo. Namun, dalam raung sendunya pun ia tersadar lalu bertanya-tanya mengapa Ryo
merengkuhnya" Ryo mendesah, memejamkan mata dan dalam hati menyerukan keheranan yg sama pula, ada apa
dengan perasaannya" Alam seakan menjawab. Dalam sekejap, tanpa aba2, mendadak titik demi titik air mulai
berjatuhan, terperas bergantian dari awan2 kelabu yg menggantung di cakrawala.
Hujan. Ryo menengadah ke langit, lalu tersadar. Bianglala tidak mungkin dioperasikan dalam
keadaan hujan mendadak seperti ini. Benar saja. Tak lama terdengar seorang operator meminta
maaf dengan sangat menyesal kepada para penumpang wahana, karna Bianglala terpaksa
dihentikan. Terlalu berbahaya tetap mengoperasikan roda besar itu. Satu kesalahan kecil, maka
Bianglala akan tergelincir dan melemparkan penumpang entah ke mana, mungkin terapungapung di Laut Jawa. Tidak perlu ada cuplikan adegan Final Destination malam itu.
Operator memberitahu bahwa penumpang yg sudah terlanjur naik akan diturunkan perlahanlahan.
Ryo memandang ke atas. Posisi gondola mereka baru seperempat jalan dari satu putaran penuh.
Ia menghela napas. Biarlah. Biar gue semakin lama bisa mendekap Shilla, batinnya, tanpa sadar.
Mungkin memang tak ada lagi satu pun bentuk kesadaran atau logika yg bisa memahami apa yg
sedang ia rasakan. Ryo pun tertegun, menyadari ini bukan dirinya... Dirinya yg biasa akan mengamuk jika ada
kesalahan teknis besar semacam ini.
Arya benar, batinnya terkejut. Shilla mengubahnya perlahan dengan cara yang tak kasatmata. Ya
Tuhan, kenapa pula hatinya ikut teriris mengingat nama Arya" Ryo mengertakkan giginya pelan.
Tak lama kemudian hujan berteriak, meronta lebih keras daripada biasa. Ryo terkesiap tak
nyaman ketika merasakan percikan air terjun meliar dan meloncat membasahi punggungnya.
Atap Bianglala tidak bisa mengalahkan derasnya hujan. Ryo perlahan membetulkan posisi
blazernya yg sedari tadi tersampir di punggung Shilla, menarik blazer untuk menutupi kepala
gadis itu. Sementara tangis Shilla mereda, bertolak belakang dengan air mata alam di atas sana. Ia
sesungguhnya letih. Letih menangis. Letih menunggu hal-hal yg kian tak pasti. Ayi. Arya.
Semua pergi. Semua meninggalkannya dalam kebimbangan yang berarti. Shilla terisak pelan
lagi. Ryo merapatkan tubuhnya, membiarkan kepala Shilla terus terbenam di dadanya. Dengar, Shilla,
batin Ryo pelan. Tolong dengar detak jantung yang berbunyi menyalahi aturan ini. Ryo kini tak
lagi dapat menahan perasaannya.
Cinta. Hal yang dikecap rasa, namun tak teraba raga. Ia datang tak bersuara. Tanpa berita, ia ada.
Merasuki sukma dan pandangan mata.
Sunyi, bukan berarti tak berbunyi. Hening, bukan berarti bergeming. Dengar kesunyian itu
sejenak dan kau akan tahu sebuah rasa telah berarak. Secara perlahan, namun tak
tertanggungkan. Karna cinta adalah hakiki. Sebuah misteri yang akan berganti sesuai perjalanan
hati. Ia berteriak dalam hati pada titik-titik air yang mencumbu bumi. Entah dari mana asalnya
pengetahuan ini datang. Mungkin dari bisikan alam yang tiba-tiba ditiupkan hujan. Atau dari
desah yang terucap samar melalui jantungnya yang perlahan dilingkupi jalar kehangatan. Tapi
satu yang jelas ia tahu. Tampaknya ia jatuh cinta pada gadis dalam pelukannya itu.
Bab 10 SHILLA menguap lebar lalu membuka mata, mengerjap dan berusaha bangun dari tidurnya.
Astaga. Ia memegangi kepalanya lalu memutuskan merebahkan diri lagi. Kepalanya berputarputar, pening sekali. Sambil kembali memejamkan mata, ia berusaha mengingat kejadian
semalam. Hal terakhir yg diingatnya adalah Bianglala, hujan, dan... pelukan Ryo.
Ya ampun. Shilla sontak membuka mata dan merasakan pipinya memanas. Tak percaya semalam
ia menangisi Arya di pelukan Ryo. Astaga... Mimpikah" Ia tak merasa semua itu nyata. Mana
mungkin Ryo memeluknya"
Shilla lalu mendesah dan meraba dahinya dengan punggung tangan. Sedikit hangat. Tapi ia
menyadari bahwa pipinya jauh lebih panas dibanding dahinya saat ini. Harum parfum Aigner
milik Ryo yg begitu kental membekas jelas di benaknya. Shilla kontan menutupi mukanya
dengan selimut, lalu berdecak. Knapa dia jadi malu begini"
Tiba2, pintu kamarnya menjeblak terbuka, mengejutkan Shilla. Ia bergerak menurunkan selimut.
"Shillaaaaaaaaaaa!" Sesosok gadis manis mendadak masuk sambil berseru ke dalam kamar.
"Ya ampun, kalian!" Shilla kontan tertawa saat menyadari siapa yg bertamu ke kamar kecilnya.
Ifa dan Devta. Ia bangun dari posisi tidurnya sambil memegangi kepala dan duduk bersandar di
kepala tempat tidur. "Knapa lo?" Devta berjalan mendekatinya lalu duduk di bangku sebelah Shilla. Sementara Ifa
memutuskan duduk di tepi tempat tidur.
Shilla tidak menjawab pertanyaan Devta, malah melirik ke arah jam dinding. Jam sepuluh" Lama
juga dia tidur, jika dihitung dari semalam. "Kok kalian bisa disini jam segini" Bolos?" tanya
Shilla ketika menyadari hal lain itu.
"Tentu tidaaaaaak," jawab Devta cepat. "Mana mungkin Ketua OSIS bolos?" Ia melirik iseng ke
Ifa. Gadis berdagu tirus yg baru dilirik itu kontan menjulurkan lidah pada Devta, lalu menoleh ke
arah Shilla. "Guru2 rapat, tauuuu. Jadi kita langsung ke sini deh jenguk elo. Bingung aja knapa
elo nggak masuk." "Oh. Aku semalem keujanan," jawab Shilla seadanya sambil nyengir malu.
Devta menatap Shilla dengan pandangan menyelidik. "Kok Ryo juga nggak masuk" Emang ujanujanan berdua?"
Seharusnya jawabannya iya, pikir Shilla jengah. Tp akhirnya ia cuma menggaruk belakang
telinganya sambil melirik Ifa yg tiba2 juga ikut menatapnya dengan tajam yg mengisyaratkan
bahwa ia juga ingin tahu.
Shilla berdeham lalu mengalihkan topik. "Oh iya. Kemaren bawain ranselku nggak?" tanyanya.
Ifa tersenyum kecil. "Ada di mobil Devta. Lagian, kemaren lo tinggal gitu aja. Dasar."
"Kan Tu... Ryo nariknya tiba2," kata Shilla kontan lalu langsung tercekat ketika merasakan
pipinya memanas lagi. Astaga. Ada apa sih dengan dirinya"
Devta tersenyum jail lalu menyeletuk, "Aih. Shilla pipinya merah. Ke mana aja lo berdua
kemaren?" tanyanya sambil berdiri dan beranjak mendekat.
"Ke bandara," jawab Shilla pelan, setengah jujur.
"Emang lo sakit apaan sih?" tanya Devta seraya mengulurkan punggung tangannya ke dahi
Shilla. Tiba2 pintu kamar gadis itu terbuka lagi, membuat ketiga orang yg sebelumnya ada di dalam
menoleh bersamaan. Ryo, ternyata. Kali ini dengan kaus berkerah dan padanan celana bermuda biru laut. Sial. Shilla
kembali merasakan pipinya memanas. Pemuda itu tetap saja terlihat tampan walau tampak agak
pucat. Shilla menelan ludah, wajahnya kembali memerah.
Ryo terdiam, terkejut mendapati Devta dan Ifa di kamar Shilla. Pandangannya tertumbuk pada
tangan Devta yg menempel di dahi Shilla. Tanpa diminta, sesuatu dalam dadanya bergejolak
aneh. Seakan ada monster di dalam sana yg siap mencakar muka Devta saat itu juga.
Stay cool, perintahnya dalam hati.
Ifa hanya menunduk, sementara Devta membiarkan tangannya tidak berpindah posisi.
Ryo menghela napas lalu melempar bungkusan tepat ke pinggir ranjang Shilla. "Dari Arya,"
katanya tak acuh lalu keluar dengan langkah tergesa. Tanpa menoleh lagi.
Shilla seketika menggigit bibir, merasakan hati yg mendadak agak nyeri. Tp memangnya, apa yg
dia harapkan" Ryo menyentuh dahinya seperti yg Devta lakukan" Gadis itu menghela napas
pelan, semakin yakin kemarin malam hanya mimpi.
Ryo kembali ke kamarnya dengan agak jengkel. Apa-apaan sih cewek itu" Kok mau saja
dipegang-pegang Devta" Meski sebagian kecil hatinya membela Shilla, monster egonya ternyata
mengalahkan suara kecil itu.


Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aaaaaargh... Ia mengacak-acak rambutnya. Knapa hati gue jadi kacau karna pelayan itu sih"
Ryo melirik meja panjang di kamarnya. Matanya tertumbuk pada sebuah benda. Botol bening
itu. Mai. Hmm... apakah ia akan melupakan Mai untuk gadis itu"
Ryo memejamkan mata. Berusaha merasakan dan mendengar suara hatinya. Ia melongok ke
dalam ruang penuh misteri itu. Ada senyum manis Mai di sana yg perlahan memudar dan
digantikan derai tawa Shilla.
Sesuatu tiba2 melintas di benaknya. Devta dan Ifa mengunjungi Shilla di rumahnya" Rumah ini"
Berarti... Mereka sudah tahu Shilla itu...
Rasa pening menyakitkan seketika menyerang kepalanya, membuat Ryo kontan menghentikan
pikirannya. Nggak tahu, ah, putus Ryo cepat akhirnya lalu merebahkan diri di ranjang.
Shilla diculik. Bukan, bukan dalam arti sebenarnya. Shilla dengan sukarela diculik kedua
sobatnya, Ifa dan Devta yg sudah meminta izin sampai bersujud-sujud kepada Bi Okky. Hari ini,
ternyata Ifa berniat mampir ke butik desainer langganan maminya. Rencananya, Ifa akan
memesan gaun istimewa untuk pesta sweet seventeen-nya dua bulan lagi itu.
VW antik Devta perlahan bergerak memasuki kawasan elite Jakarta Selatan, Kemang. Tak lama
kemudian mereka berhenti tepat di depan sebuah bangunan dua lantai bergaya chic. Ketiganya
turun dan mulai memasuki kawasan gedung bernuansa merah-hitam itu sambil mengobrol pelan.
"Udah tau pake tema apa ya, Fa?" tanya Shilla. Ifa mengangguk lalu tertawa dan menyikut Devta
yg sedang memutar bola matanya.
"Dia nih, ya," kata Devta sambil menjitak kepala Ifa, "pake tema Black and White Kingdom
segala. Astajiiim... Gue mau pake apa" Jas berekor?"
Ifa hanya menjulurkan lidah, lalu buru2 memasang tampang serius saat mereka sudah berada di
dalam butik. Kesan chic kental terasa di ruang depan butik itu. Sepasang sofa puff hitam dan
merah berdiri bersebrangan dengan meja resepsionis.
Sementara Ifa beranjak ke resepsionis, Shilla dan Devta memilih duduk di sofa. Meraka masing2
mengambil majalah mode internasional yg tersedia dan membolak-baliknya. Wah... keren juga,
pikir Shilla ketika melihat beberapa desainer kenamaan Indonesia disebut-sebut majalah itu.
"Aluna..." Seorang lelaki kurus bergaya metroseksual, dengan meteran kain masih
menggelantung di lehernya menghampiri, memeluk lalu mengecup pipi kanan dan kiri Ifa.
"Ifa ajaaa," kata Ifa seakan mengingatkan, lalu mengisyaratkan Devta dan Shilla untuk turut
menyapa lelaki yg agak gemulai itu.
"Devta," ucap Devta sambil menjabat tangan lelaki yg kini berkedip secara tak kentara pada
dirinya. Shilla berusaha menahan tawa yg akan menyembur. "Saya Shilla, Pak." Kali ini giliran gadis itu
memperkenalkan diri. Lelaki itu kontan mendelik. "Pak, Pak! Emang eike bapak2" Cukup Mas. Mas Dipta. Sandi
Sasongko Pradipta," ucapnya dengan nada seperti mengajari anak kecil mengucap "terima
kasih". Oh. Shilla mengenali nama yg disebutkan lelaki itu. Jadi lelaki di hadapannya inilah salah satu
desainer yg disebut-sebut di majalah tadi. Dan kerap juga dibicarakan teman2 sekelasnya yg
berduit. Mau bertemu dengan "Mas Dipta" saja harus membuat appointment minimal tiga bulan
sebelumnya, katanya. Hebat juga Ifa bisa bertemu secepat ini.
Gemulai tapi genius luar biasa dalam bidang yg ditekuninya. Ide2 mendobraknya yg
membuatnya kian dicari-cari. Baru2 kemarin, dari yg Shilla baca di majalah tadi, lelaki di
hadapannya ini baru saja menuntaskan sebuah pergelaran busana "Living through Indonesia" yg
mengangkat tenunan kayu doyo Suku Dayak Benuaq, kain manik2 khas suku Asmat Papua, serta
tenunan Lombok. Venue-nya tak lain tak bukan adalah Museum Tekstil, yg menurut Dipta, satu-satunya tempat yg
cocok untuk pergelarannya. Bukan di ballroom hotel kelas atas seperti yg kerap dipilih rekan
sejawatnya. Mas Dipta membawa mereka memasuki butik lebih dalam. Mereka melewati ruangan tempat
digantunya baju2 yg berbahan dasar kain tradisional. Beberapa heels cantik bercorak batik nan
mewah pun berdiri anggun di meja pajang kaca. Akhirnya keempatnya naik ke lantai dua, masuk
ke ruang kerja pribadi Mas Dipta, yg ditempeli berbagai sketsa masterpiece-nya. Sudut2 ruangan
tampak dihiasi kain2 tradisional favorit yg tertata amat artistik.
"Nah," Mas Dipta membawa mereka duduk di hadapan meja kerjanya, "jadi Ifa mau konsep
rancangan seperti apa" Kemarin mamimu cuma menjelaskan garis besarnya lewat telepon."
Sementara Ifa berbicara, Shilla asyik memperhatikan pigura2 foto yg menempel di dinding.
Sandi S. Pradipta dengan kain2 tradisional dan suku asli yg memilikinya. Keren.
"Good point..."
Shilla kembali menoleh ke arah lelaki yg kini dengan tekun berbicara sesekali sambil terus
menggambar sketsa. Jemarinya menari tak henti di permukaan kertas.
"Kita buat bajunya dengan rancangan ala Belle di Beauty and the Beast, oke" Bahu sabrina,
bagian atas terpotong garis V datar, dan rok megar dari pinggang hingga menutupi kaki.
Kainnya... songket warna pelangi pastel" Bagaimana?"
Ifa cuma mengangguk, wajahnya berseri menyetujui.
Putri pelangi, pikir Shilla. Pasti Ifa akan cantik sekali. Hmm. Lalu apa yang akan dia sendiri
kenakan nanti" Kain sarung dijahit megar" Ha. Ucapan mendadak Ifa tiba2 menarik dan
mengagetkan Shilla dari pikirannya, "Mas, tolong bikinin buat Shilla sekalian, ya?" Shilla
membelalak ke arah Ifa. "Nggak usah, Fa!" serunya. Ifa hanya tersenyum dan memegang
tangannya. Sementara Mas Dipta kembali mencoret-coret kertasnya.
Waktu menunjukkan tepat pukul tujuh malam saat Shilla kembali memasuki kamarnya. Bi Okky
sempat melotot sekilas saat membuka pintu gerbang dan mendapati gadis itu ternyata pulang
cukup malam. Shilla kini merebahkan dirinya di kasur. Setelah dari butik Mas Dipta tadi, Ifa dan Devta kembali
mengajaknya mengitari Jakarta. Memesan suvenir, undangan, dan beberapa pernak-pernik pesta
lainnya. Undangan pesta Ifa nanti berbentuk cupcake, terbuat dari entah apa yg tekstur dan aromanya
sangat teramat mirip cupcake asli. Kalau Shilla tak tahu itu salah satu bentuk undangan, pasti ia
keburu tergoda mencicipi kue menggiurkan itu. Keterangan pestanya akan ditulis imut2 di kotak
transparan berpita pembungkus "cupcake" itu. Sebagai tanda masuk dan kupon doorprize, akan
dicantolkan sebuah kertas kecil yg ceritanya price tag "cupcake" tersebut.
Pestanya akan keren sekali, pikir Shilla. Selain diadakan di ballroom hotel bintang lima
terkemuka di Jakarta, Ifa juga mengundang sebuah band ternama.
Shilla menarik napas perlahan lalu melirik ke arah meja kecil di sebelah ranjangnya. Bungkusan
-yg kata Ryo- diberikan Arya itu tadi. Kira2 apa ya isinya" Shilla baru saja hendak membuka
bungkusan tadi saat tiba2 terdengar ketukan di pintunya. Heran, batinnya. Knapa hari ini banyak
sekali yg datang ke kamarku"
Tak lama kepala Deya menyembul dari pintu yg terbuka. "Shilla," panggilnya, "kata Bi Okky,
uhmm... karna kamu dari tadi belum kerja, tolong ke kamar Tuan Ryo dan tanyain dia knapa.
Dari tadi nggak turun2."
"Oh.. iya, Kak," kata gadis itu agak berat lalu menepuk-nepuk pipinya sepeninggal Deya.
Memerintahkan bagian wajahnya itu agar tak usah memerah nanti.
Shilla merapikan diri sebentar sebelum akhirnya keluar, lalu terkejut karna ternyata Deya masih
ada di depan kamarnya. "Kok kamu agak pucat, Shil" Sakit?" tanya gadis berkacamata itu pelan, khawatir.
Shilla menggeleng pelan. "Nggak papa kok, Kak, hehe. Baik2 aja."
"Oh." Deya mengangguk-angguk lalu melanjutkan, "Kirain... Kemarin kamu pulang sampai
dibopong Tuan Ryo ke kamar, soalnya."
Pipi Shilla ternyata tak mau diajak kerja sama, malah berkhianat lalu mulai membara dalam suhu
tinggi lagi. Astaga. Ia menepuk-nepuk pipinya tak sabaran. Baru melihat pintu kamar Ryo saja
kok sudah malu begini, batinnya tak habis pikir.
Kata2 Deya terngiang terus di kepalanya sedari tadi, membuat wajahnya makin membara. Jadi
yg semalam itu bukan mimpi" Hanya bagian bopong-membopong saja yg tidak ada dalam
ingatan. Shilla berdeham salah tingkah, lalu merutuk dalam hati. Knapa pintu bergambar tengkorak
mengerikan ini malah bikin aku grogi sih" Ia menarik napas perlahan lantas akhirnya bergerak
untuk mengetuk bidang kayu di hadapannya.
"Masuuuuk." Terdengar suara amat samar dari dalam.
Shilla merasakan jantungnya memburu mendengar suara bariton itu, lalu menghirup napas sekali
lagi dan memutar kenop, lantas memasuki kamar.
Di mana Ryo" pikirnya langsung ketika mulai mengedarkan pandangan. Makhluk itu tidak
terlihat, padahal biasanya slalu berseliweran di dalam kamar. Shilla menyipitkan mata ke arah
lantai yg lebih tinggi, memperhatikan gundukan selimut bergerak naik-turun di atas tempat tidur
king-size Ryo. Eh, batinnya, ketika menyadari di sanalah orang yg sedang dicarinya. Haruskah
Shilla naik ke sana"
"T-tuan," panggil Shilla agak takut, setelah memutuskan menaiki undakan lalu mendekati tempat
tidur Ryo. Pemuda yg menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tebal bergambar kartun animasi The Cars
itu membuka mata pelan dari bawah selimut. Ia tahu jelas suara ini. Shilla. Entah knapa Ryo
menahan senyum semringahnya, seketika melupakan kepalanya yg masih terasa pening.
"Tuan," panggil Shilla sekali lagi.
Ryo memutuskan membuka selimut yg menutupi bagian wajahnya perlahan. "Hah?" tanyanya
lemah. Pucat sekali, batin gadis itu, tercekat ketika melihat wajah Ryo.
"Tuan sakit?" tanya Shilla, benar2 cemas. Sementara, Ryo mengangguk kecil lalu menunjuk dahi
dengan telunjuk tangan kanannya, mengisyaratkan agar Shilla memeriksa dahinya.
Shilla menelan ludah, lalu memohon pada kedua pipinya agar tidak usah memerah. Ia pun
bergerak mengulurkan tangan, lalu menyentuh pelan dahi Ryo.
Asyiiiiiiik, batin Ryo seketika dalam hati lalu menambahkan batuk pelan agar sakitnya terlihat
makin parah. Lumayan panas, kata Shilla dalam hati, tak menyadari tambahan sedikit bumbu dramatisasi oleh
tuan mudanya. "Pusing banget," ucap Ryo pelan.
"Mm. Diukur pake termometer dulu gimana, Tuan" Kompres" Mau air hangat" Sup ayam?" kata
Shilla sekenanya. Biar saja. Di rumah ini, untuk tuan mudanya, ia kan bisa memesan segalannya.
Ryo mengangguk lagi. "Semuanya. Gue pusing banget. Kayaknya gara2 kemarin keujanan,"
katanya sengaja. Sementara Shilla merutuk pelan karna tuan mudanya mengungkit hal itu,
membuat pipinya kali ini benar2 berubah warna.
Ryo tersenyum tertahan, melihat pipi Shilla yg merona perlahan. Ia menahan keinginan
tangannya untuk menjawil pipi gadis itu.
"K-kalau begitu saya turun dulu, ya," kata Shilla buru2 berniat kabur secepatnya.
"Aduh," kata Ryo, memegangi kepalanya yg betul2 pening, walau sebenarnya belum sesakit itu.
"Lo di sini aja. Itu mau mesen lewat telepon aja kan bisa," kata pemuda itu, sambil menunjuk
telepon di samping ranjangnya.
Shilla mencibir, tiba2 bisa mencium bau busuk kesengajaan. Ia menimbang lalu akhirnya
mendekati telepon yg berada di nakas, memencet extension dapur memesan semua yg tadi
disebutnya. "Duduk di sini," kata Ryo setelah Shilla menyelesaikan ucapannya. Ia menunjuk bagian tepi
ranjang tepat di sampingnya. Gadis itu terpaksa menurut, lalu duduk canggung di tempat yg
ditunjuk Ryo. Kini ia bisa merasakan hawa panas benar2 terpancar dari tubuh pemuda itu.
Ryo berguling menatap Shilla yg memunggunginya, tidak melihatnya lalu menghela napas berat.
Sebegitu tidak sukanyakah Shilla padanya" Apa lagi yg harus ia lakukan" Berteriak di hadapan
Shilla" Tiba2 rasa pening menyakitkan benar2 menyerangnya lagi. Dunia mulai berjungkir-balik di
kepala Ryo. Pemuda itu memegangi kepalanya, mengaduh pelang.
"Duh." Shilla menoleh ke belakang, ikut-ikutan mengaduh. Bingung mau berbuat apa. "Sa-saya
panggil dokter aja gimana?" tawarnya sambil berdiri, berniat beranjak lagi.
Tepat saat Shilla melangkah, ia terhenti karna tangan kokoh Ryo mencekalnya. Pemuda itu
berkata lirih, "Jangan... Gue hanya butuh elo... Di sini..."
Shilla tersentak, berbalik lalu memandang Ryo dengan perasaan aneh yg bergemuruh di dadanya.
Kehangatan jemari Ryo yg mendekap jemarinya, perlahan menyusupi kalbunya. Ryo menatap
matanya dengan tajam, seolah hanya ingin ia tahu isi hatinya.
Shilla berupaya meraba apa yg tak terbaca, berusaha membaca alunan lagu dari ombak yg
berkejaran di mata Ryo. Ia tertegun merasakan kehangatan asing yg tak henti menjalari
punggung tangannya. Ryo begitu nyalang menatapnya. Setiap helaan napas berat pemuda itu mengisyaratkan kata yg
kian tak terbaca. Shilla berusaha memahami tatapan Ryo, namun tak ada yg didapatinya. Apakah
yg berusaha ia cari di balik tatapan itu"
Ryo menghela napas dan melepaskan genggamannya. Tak ada gunanya. Gadis di hadapannya
bahkan belum tahu apa yg bergemuruh di dadanya. Meskipun itu bukan salah Shilla juga.
Membaca hati memang tak semudah kelihatannya.
Ryo bisa merasakan pening hebat kian menyerangnya. Seakan ribuan jarum menusuki
kepalanya. Hawa dingin perlahan menjalari tubuhnya. Rasa dingin yg lebih parah daripada
tiupan angin selatan paling ganas saat musim dingin paling mengerikan di belahan dunia barat
sana. Ketukan di pintu membuat Shilla bergegas membukanya. Ternyata pelayan yg membawa
pesanan Ryo tadi. Segelas air putih hangat, termos kecil, sebaskom air hangat, handuk kompres,
termometer, dan semangkuk sup ayam yg masih mengepul.
Shilla membawa semua itu ke nakas di samping tempat tidur Ryo. Ia menarik bangku kecil dan
meletakkannya tepat di pinggir tempat tidur.
Shilla mulai mengukur suhu tubuh Ryo dengan termometer. Betapa terkejutnya ia mendapati
angka 39,3 derajat Celcius di sana. Astaga, batinnya, aku saja belum pernah demam setinggi ini.
Ryo bergidik pelan saat Shilla menekankan kompres hangat ke dahinya yg serasa melepuh. Ulu
hatinya sakit. Hawa dingin mulai merayap dari sela2 jari kakinya lagi. Mau mati rasanya.
Shilla ketar-ketir juga melihat Ryo menggigil hebat. Ia merapatkan selimut ke tubuh Ryo.
"D-d-d-dingin," ucap Ryo pelan, wajahnya memucat.
Shilla mengela napas, lalu meletakkan salah satu tangannya di pipi Ryo. Tanpa sadar, Shilla
membelainya pelan. Ryo hanya terdiam sejenak. Seakan, karna belaian Shilla tadi, angin dingin
yg menyerangnya dengan ganas mulai menjinak. Tubuh dan hatinya sedikit menghangat.
Tanpa ragu, Ryo meraih tangan Shilla yg menempel di pipinya. Ia menggenggam jemari gadis
itu dengan telapak tangannya yg memanas.
"Biar begini," desahnya teramat pelan, setengah tak sadar.
Shilla membiarkan tangannya berada dalam genggaman kokoh Ryo. Ia perlahan menggerakkan
tangannya, balas menggenggam tangan pemuda rupawan di hadapannya.
Ryo tersentak merasakan gerakan jemari Shilla. Sudahkah... Shilla mendapati isi hatinya"
Mungkin ya, mungkin juga tidak. Cukuplah. Untuk saat ini, sudah lebih dari cukup. Ia membawa
jemari gadis itu tepat ke dadanya.
Artikanlah tiap getaran ini lebih gamblang... isyarat Ryo. Lalu kedua pelupuk matanya mulai
digelayuti kantuk dan akhirnya terpejam. Ryo mendengkur pelan.
Shilla terkesima ketika merasakan detak jantung Ryo yg memburu di tangannya. Entah pengaruh
kondisi tubuhnya atau hal lain. Shilla menghela napas. Seiring semakin terlelapnya Ryo,
genggaman tangan pemuda itu pun mengendur.
Gadis itu menarik dan tanpa sadar, mengelus tangannya sendiri. Masih ada kehangatan itu di
sana dan sedikit... membekas di hatinya. Shilla menyibak beberapa helai rambut yg jatuh
menutupi kening Ryo. Perasaan aneh merambatinya saat melihat Ryo tertidur dengan hela napas
satu2. Ryo... seperti ini... karnanya... Untuknya... Buat apa" Tak terketukkah hatinya"
"Shil... a..." Ryo menggumam pelan secara tak sadar.
Shilla kembali menatap sosok itu. Ada getaran aneh yg merayap di hatinya. Apa itu" Apakah ia
sudah tahu" Tp berusaha pura2 tidak tahu" Cukup beranikah ia jujur pada prasaannya sendiri"
*** Ryo tertidur tidak begitu lama. Pagi2 buta ia terbangun dan agak terkejut mendapati Shilla
tertidur dalam posisi duduk di lantai, di tepi ranjangnya. Kedua tangan gadis itu terlipat rapi,
menopang kepalanya yg terkulai miring di atas tempat tidur.
Ryo mengulum senyum, mengulurkan tangan dan menjawil pipi Shilla. Ia tidak tahan untuk
tidak melakukannya. Keadaannya sudah membaik. Jelas sudah tidak sepusing kemarin. Ia
mengecek dahinya, sudah tidak begitu panas. Baguslah. Penyakit memang tidak pernah lama
menghinggapi tubuhnya, jadi, tak perlu lama2 mencemaskannya.
Ryo menarik napas, mengulurkan tangan lagi lalu dengan ragu mulai mengelus pelan puncak
kepala Shilla, ia bergumam, "Thanks." Lalu tersenyum tipis.
Perlahan, ia bangun. Ia melewati Shilla, berusaha tidak membangunkan gadis itu. Ia
membutuhkan udara segar lalu memutuskan menuju balkon kamarnya.
Waktu menunjukkan kurang-lebih pukul tiga pagi. Langit masih berwarna biru kehitaman
dengan butir2 bintang yg tersisa. Ryo mendesah pelan, menatap halaman samping dari sana.
Ryo mengelus pipinya perlahan. Kemarin malam, Shilla mengelus pipinya. Ha ha ha. Arya saja
mungkin belum pernah. Ryo terkekeh sendiri. Ah, indahnya dunia, pikirnya. Tidak apa2 juga
sering sakit asal mendapat elusan seperti itu tiap hari.
Tak lama, terdengar gerakan2 panik pelan dari pintu kaca di belakangnya. Ryo tersenyum kecil
mendapati Shilla yg tadinya tampak mengantuk kini membelalak menatapnya.
"Nyariin gue?" tanya Ryo pelan sambil menggeser pintu kaca. Shilla mengangguk sambil sedikit
mengerucutkan bibir. "Khawatir?" tanya Ryo senang, merasakan monster di dadanya hampir melonjak kegirangan.
Shilla mengangguk tidak rela. "Bukannya kenapa2," kilahnya, "saya kaget Tuan tau2 ilang. Kalo
diculik dedemit, nanti gimana jelasinnya?"
Pemuda itu hanya tersenyum kecil. "Yg intinya, lo khawatir."
Shilla mencibir, mati-matian mempertahankan alibi. "Soalnya kalo Tuan tau2 ditemuin nggak
bernyawa, yg jadi saksi matanya saya. Kalo saya nggak punya alesan yg pantes, nanti saya
dipenjara." Ryo berbalik ke arah balkon sambil terus tersenyum-senyum sendiri, membuat Shilla kesal
setengah mati melihatnya dan menegaskan, "Pokoknya saya nggak khawatir."
Ryo mengangkat alis, berpikir sebentar. "Ah," ujarnya tiba2 perlahan menjatuhkan tubuh sambil
memegangi kepalanya. "Tuan!" Secara refleks, Shilla bergegas maju dan menopang tubuh limbung Ryo yg ternyata
kelewat besar bagi tubuhnya. Hampir saja ia tertimpa, kalau Ryo tidak segera menahan tubuhnya
sendiri dan menyambar pinggang Shilla.
Tatapan mereka bertumbukan dengan desah napas yg seirama. Dengan jarak hanya beberapa
senti, Shilla bisa menghirup lagi aroma parfum Aigner milik Ryo.
Ryo masih menatap mata Shilla. Tatapannya dalam dan gamblang. Berupaya mencairkan kode es
itu lagi agar Shilla dapat menebak maksudnya.


Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Shilla merasakan pipinya memanas. Tubuhnya menempel erat sekali dengan tubuh Ryo.
"Elo... khawatir," kata Ryo tegas, menangkap raut cemas yg jelas sarat di mata gadis dalam
dekapannya. Shilla menunduk, menyembunyikan jendela hatinya itu dari tatapan tajam Ryo. Buru2 ia
memperbaiki posisinya. Sial, ia dikerjai lagi.
"S-s-saya keluar dulu," kata Shilla salah tingkah lalu buru2 pergi. Sementara, Ryo cuma
tersenyum miring menatap kepergian Shilla seraya berucap dengan suara yg pasti sampai di
telinga gadis itu. "Lo nggak bakal bisa ngebohongi gue," kata Ryo yakin sambil tersenyum memikat.
"Brengsek!" Rutuk Shilla kesal sambil bersandar pada pintu kamar yg baru ia banting di
belakangnya. Ia menggaruk-garuk kepalanya dengan kesal. Tidak habis pikir knapa ia bisa ditipu
makhluk yg satu itu. Ia mendengus, mencaci juga kedua pipinya yg terlalu mudah merona. Bisa
makin menjadi nanti tuan mudanya itu. Hhh.
Shilla menarik napas lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Berusaha mencari
pengalih perhatian agar otaknya tidak melulu memikirkan kejadian tadi. Matanya seketika
tertumbuk pada benda di meja rias kecilnya. Bungkusan dari Arya.
Ia meraih bungkusan itu dan duduk di ranjangnya. Ia merobek bungkusan cokelatnya, lalu
mengernyit heran saat sebuah kotak terjatuh ke pangkuannya.
Ponsel" Untuk apa Arya memberinya ponsel" Ponsel itu tampaknya memang bukan model
tercanggih seperti milik Ryo atau Ifa, tp ia tahu dan yakin ponsel di pangkuannya ini juga tidak
murah. Shilla menggigit bibir lalu membuka memo yg berisi pesan dari Arya. Inti pesannya adalah,
pemuda itu memberikan ponsel ini agar Shilla bisa menghubunginya saat ada keperluan
mendesak, apalagi soal Ryo (Shilla mencibir). Ponsel ini sudah dipasangi nomor abonemen yg
tagihannya akan dibayar langsung per bulan oleh Arya.
Wuih, canggih juga. Padahal kan Arya nun jauh di sana, batin Shilla lalu memutuskan
mengaktifkan ponser tersebut dan mengirim SMS -dengan susah payah ditambah bantuan buku
panduan- pada sederet nomor telepon genggam internasional yg tertera di sana sebagai nomor
ponsel Arya. Shilla mengucapkan terima kasih pada Arya yg begitu baik. Ah... Arya... pikiran Shilla
menerawang. Tampaknya majikannya yg satu itu tetap menjadi malaikat penolong di mana pun
dia berada. Hatinya kembali berdesir pelan.
Shilla masih berbunga-bunga sehabis membuka bungkusan dari Arya. Maka, walaupun agak
tidak sudi, ia mengiyakan perintah Bi Okky untuk mengantarkan sepatu pantofel hitam mengilat
milik Ryo. Tak lama setelah Shilla mengetuk dengan wajah sedikit ditekuk, ternyata Ryo sendiri yg
membuka pintu. Pemuda itu kontan tersenyum semringah kala melihat objek godaannya manyun
memegangi sepatu sekolahnya.
"Masuk," kata Ryo dengan nada memerintahnya yg biasa.
Shilla mendelik sambil mengacungkan sepatu di tangannya. "Saya cuma mau anter sepatu."
Ryo tersenyum meremehkan. "Dasar pembantu baru," katanya sambil berdecak lalu menggelenggeleng sok prihatin. "Kalo di sini etikanya yg nganterin sepatu harus makein juga," lanjutnya,
mengada-adakan ketentuan yg sebenarnya sudah menghilang sejak ia lulus dari bangku sekolah
dasar. "Hah?" kata Shilla spontan lalu mendengus dan bertanya-tanya dalam hati sebenarnya Ryo ini
bocah umur berapa hingga tak bisa memakai sepatu sendiri.
Ryo menarik napas, berbalik, dan mengempaskan tubuh ke sofa kecil di kamarnya. Lalu ia
meletakkan kakinya di atas bantalan yg tergeletak di lantai.
Shilla mendengus sambil diam2 mengutuk tampang pongah Ryo, yg ingin sekali ditinjunya.
Dengan tampang superkecut, ia pun melangkah pelan lantas bersimpuh di hadapan Ryo dan
memakaikan sepatu mahal keluaran asli Italia itu ke kaki tuan mudanya.
Ryo hanya tersenyum-senyum. Senang sekali mengerjai gadis di hadapannya ini. Ia
mengangguk-angguk pelan saat Shilla selesai memakaikan sepatu, lalu berdiri.
"Saya permisi, Tuan," gumam gadis itu pelan, masih kesal, lalu mulai berbalik dan berniat
berjalan ke luar. Tepat ketika suara bariton Ryo tiba2 berseru lagi.
"Heh... Lo berangkat sama gue!" katanya dengan nada lugas.
Shilla perlahan berbalik lagi lantas berkata sambil tersenyum masam, "Nggak usah. Terima
kasih..." Ryo mengernyit sambil menggigit bibir, seakan menimbang penolakan Shilla lalu berkata
menyebalkan, "This is a command. And since I am your master, you have to obey me." Your
master" Hell-o" Shilla memutar bola matanya kesal.
"Just take it as an advantage, okay" At least you don't have to get pushed over by the people on
the bus this morning," tukas Ryo lagi, lalu mulai berdiri sambil merapikan seragamnya.
Mending aku desak-desakkan di bus daripada semobil sama Ryo.
"Gue tunggu lo di mobil, lima menit lagi," kata Ryo tegas, lalu berjalan mendahului Shilla
meninggalkan kamar. Ryo berdeham, mengenakan kacamata hitamnya lalu mematut diri di spion sebelum akhirnya
mulai menstater dan perlahan menjalankan mobilnya. Ia tertawa dalam hati melihat Shilla
mengerucutkan bibir di sebelahnya.
"Seharusnya lo bersyukur. Banyak tau, cewek yg mau ada di posisi lo sekarang," kata Ryo pelan,
mengatakan kebenaran walau terlalu gamblang hingga terkesan over-pede sambil melajukan
Jaguar, kendaraan yg dipilihnya untuk menembus hiruk pikuk Jakarta pagi ini.
"Ha," tanggap Shilla datar. Sini deh siapa yg mau tukeran. Sekarang juga boleh, batinnya pelan.
Shilla menghela napas sambil bersedekap, lalu berbalik mengurai lipatan lengannya begitu
merasakan ponsel barunya bergetar dalam saku. Mungkin balasan dari Silvia, pikirnya. Tadi pagi
ia memang menemukan notes kecil berisi nomor ponsel yg diberikan sohib karibnya di kampung
dulu itu. Ryo sontak tertarik untuk menoleh dan memperhatikan Shilla yg masih memenceti ponselnya
dengan penuh kehati-hatian. Ia mengernyit. "Hape siapa tuh?" tanyanya otomatis.
"Saya," jawab Shilla sekenanya, dengan canggung memencet keypad ponselnya.
"Dari siapa?" "Tuan Arya," jawabnya singkat, masih berkonsentrasi membalas pesan singkat yg ternyata benar
dari Silvia. Oh. Jadi isi bungkusan waktu itu ponsel, batin Ryo lalu melirik Shilla lagi dan seketika menjerit
frustasi dalam hati. Kesal sekali ia melihat gadis itu begitu lembut menggunakan ponsel dari
kakanya. Arya lagi, Arya lagi.
Tempramen yg tiba2 menanjak tinggi membuat Ryo menekan gas semakin dalam, menyebabkan
mobilnya terbang semakin cepat.
Jarum spidometer bergerak naik dan terus naik, membuat Shilla mau tak mau sedikit terlonjak
dan memegangi sabuk pengaman kuat2 dengan satu tangan. Lagi2 ia harus merasakan cara Ryo
yg seenak udel dalam membawa kendaraan.
Ketika mereka akhirnya tiba di sekolah, Ryo bergegas mematikan mesin dan turun lebih dulu,
lalu tergesa memutari Jaguar-nya dan berdiri di depan pintu penumpang. Ia kontan memajukan
tubuhnya ke arah Shilla yg baru saja keluar, mengurung gadis itu dengan kedua lengannya yg
menempel ke kap mobil. Shilla terpaksa menempelkan punggungnya ke bodi Jaguar.
"Bilang apa?" kata Ryo dengan pandangan berbahaya.
Shilla kontan memundurkan kepalanya, jengah saat merasakan sapuan napas Ryo di wajahnya.
Mau bilang apa dia" Terima kasih" Sori aja, ia juga mau ikut karna dipaksa.
"Bilang apa?" tanya Ryo lagi, kian memajukan wajahnya hingga kepala Shilla semakin
mendongak. Gadis itu menghela napas, merasakan urat lehernya berontak lalu memutuskan berkata cepat,
"Besok2 nggak perlu repot2 anter saya, Tuan!" Dengan nekat, ia mendorong tubuh Ryo dan
terbirit-birit mengambil langkah seribu.
Ryo melotot menyaksikan gadis yg berhasil kabur dari kurungannya itu. "Sial," makinya pelan
sambil menendang ban depan mobilnya. Sehabisnya ia kesakitan karna objek tendangan itu lebih
tangguh daripada kaki malangnya.
Dari kejauhan, seseorang menyaksikan adegan itu dengan raut tidak senang.
"Eh, eh, eeeeh gue punya berita! Masa tadi ya gue liat si..."
"Ryo?" "Kok tau?" "Emang topik lo bisa jauh2 dari dia" Dasar gila."
Radar Bianca sontak memekik-mekik ketika telinganya menangkap nama itu. Ryo" Ryo-nya" Ia
melirik meja kafeteri sebelahnya. Menyadari gerombolan siswi di sanalah yg sedang
membicarakan Ryo. Bianca mencibir. Mereka nggak sadar gue ada di sini, sampe berani ngomongin Ryo" batinnya.
Ia hendak mendamprat, namun kemudian mengurungkan niat karna tertarik ingin ikut
mendengar. "Hehehe. Lanjut, ah. Jadi, tadi... Tadi gue liat dia berangkat sama cewek yg kemaren ituuu.
Huaaaaaa!" "Itu ceweknya bukan sih" Penasaran gue."
"Meneketehe. Tapi manis sih."
"Yg mana sih" Belom pernah liat gue."
"Adaaa. Eh eh gue belom selesai cerita. Mereka juga pulang bareng trus katanya. Kan si Vali
kemaren pas di belakang mobilnya Ryo. Vali iseng nge-stalk gitu, trus katanya mobil Ryo
langsung masuk ke Airlangga."
"Sama tu cewek?"
"Iyaaaaaa! Gila nggak tuh" Serius bener kali ya ampe dibawa ke rumah?"
"Emang rumah Ryo di sono?"
"Iya, dodol. Ke mana aja sih lo, Yol?"
Bianca mengangkat sebelah alis dan ujung bibirnya. Apa-apaan maksudnya itu" Ryo mengajak
gadis sampah itu ke Istana Luzardi" ME-NGA-JAK"
Seumur-umur Ryo tak pernah mengajak siapa pun ke rumahnya (kecuali Mai, desah Bianca.). Ia
saja tak pernah masuk ke kediaman Luzardi jika tidak ada acara. Tapi, gadis itu..."
Bianca mengepalkan tangannya kuat2 lalu berdiri, menendang kursinya hingga terbalik dan
beranjak pergi dari kafeteria.
"Iya, iya. Gue titip Moochie gue. Udah lo bawa ke rumah lo, kan" Iya. Masa gitu aja nggak
ngerti?" Bianca menghela napas kesal, terdiam sebentar mendengar cerocosan salah satu dayangnya.
"Iya, kan tadi lo liat sopir gue bawain CR-V pas istirahat kedua trus dia langsung pulang... Apa"
Kenapa gue mesti ganti mobil" Gue mau nge-stalk orang, Pikaaaaaa.
"Moochie itu udah terlalu terkenal trademark-nya gue. Sama aja gue buka identitas kalo pake tu
mobil, apalagi Ryo hafal. Ya udah, besok lo bawa aja ke sekolah Moochie-nya. Ya udah ya,
bye." Gadis itu mematikan sambungan dari tombol pada kabel earphone-nya, lalu kembali
memperhatikan gerbang hitam menjulang di seberangnya.
Ia melirik jam digital di dasbor dan langsung melotot. Dua setengah jam. Sudah dua setengah
jam, kenapa cewek itu tidak keluar2 juga" Bianca menggigit bibirnya, kesal. Dan ini hampir
petang. Bianca mengecilkan volume siaran radio favoritnya yg sedari tadi mengudara untuk memecah
kebosanan, lalu meraih ponselnya dan mengetik cepat.
To: Ryo Ryo, lagi di mana" Beberapa lama setelahnya, baru terdengar bunyi balasan.
From: Ryo Kamar. Bianca membelalak ngeri. K-kamar" Lalu gadis miskin itu juga ada di dalamnya, begitu" Mana
mungkin" bantahnya sendiri. Tapi, mana mungkin Ryo meninggalkan gadis itu sendirian di
ruang tamu" To: Ryo Sm siapa" Bianca mengetik dengan gemetar.
From: Ryo Siapa aja bolehlah. Kamar, kamar gue.
Bianca menghela napas dalam2. Sakit hati jika memikirkan mengapa setiap hari Ryo mengajak
gadis itu ke rumahnya. Siapa dia sebenarnya"
Lalu seakan menjawab pertanyaannya, tepat ketika ia kembali memalingkan wajah ke arah
gerbang, sesosok tubuh keluar dari pintu samping sambil membawa kantong sampah berukuran
jumbo. Bianca menyipitkan mata begitu serius hingga kepalanya hampir pening, merasa mengenali
siluet dalam balutan seragam pelayan keluarga Luzardi itu.
Mungkinkah... Bab 11 GADIS itu berteriak kencang kepada lelaki di ujung ponselnya, "I DON'T. WANNA. HEAR.
ANY. EXCUSE!" katanya geram, desis tajamnya memantul dari dinding granit di sekitarnya.
Eeeeergh, kenapa sih papinya mempekerjakan orang tidak profesional begini"
"Search EVERYTHING about the name I texted you. EVERY TINY LITTLE PIECES of
information. Or just STALK her, you IDIOT!" sergah gadis itu lalu membanting ponselnya ke
lantai marmer di samping Jacuzzi-nya.
"Shilla!" Gadis itu menghela napas pelan, menoleh ke belakang lalu mengerutkan kening menyadari siapa
yg baru saja menyerukan namanya.
Ryo" "Kenapa, Tu..." Shilla sontak menghentikan niat untuk mengucap sebutan resminya pada
pemuda itu, menyadari mereka masih berada di lorong sekolah.
"Mau ke mana" Kafeteria?"
"Hah?" ujarnya otomatis, jelas bingung ada angin apa tuan mudanya menanyakan hal seremeh
itu. Kemudian, menyadari Ryo masih menunggu jawabannya, Shilla menggeleng. Istirahat pertama
ini memang mau digunakannya untuk mengunjungi perpustakaan, sehingga ajakan Ifa dan Devta
pun tadi juga ditolaknya. Ia berniat meminjam novel yg sempat direkomendasikan Zera kemarin.
"Emang lo mau ke mana?"
Shilla mengernyit lagi sebelum menanggapi, benar2 tidak mengerti maksud Ryo menanyainya
terus. "Ke perpustakaan."
Ryo membelalak. "Perpus" Lo saking nggak ada duit atau gimana sampe mau makan buku?"
Shilla mendengus. Ryo berdecak, lalu meraih sebelah tangan Shilla dan menariknya. "Temenin gue ke kafeteria aja,
yuk." "Hah?" Adalah satu-satunya reaksi alamiah yg bisa diberikan gadis itu.
Shilla, menahan tangannya, tak mau beranjak. "Eng... Nggak. Saya mau ke perpustakaan aja."
"Eeeeeeeeh. Lo ngebantah perintah gue?" ucap Ryo, berbalik lalu menatap gadis itu sambil
melotot. Shilla mendesis pada Ryo, lalu berusaha menarik tangannya dari kurungan tangan pemuda itu.
Ryo kontan melengos, mengasihani upaya sia2 Shilla melepaskan diri, karna kekuatan gadis itu
kecil sekali. Ia menahan tangan Shilla lebih kuat, lalu melangkah maju merapatkan diri pada
gadis yg kini malah diam terperangah.
"Lo mau gue pecat?" ancamnya pelan.
Ancaman basi itu lagi, batin Shilla bosan.
Gadir itu mengangkat satu ujung bibirnya kesal. "Pecat aja kalau Tuan mau," tantangnya, lalu
menyentakkan tangan ia merasakan jemari Ryo mengendur dan bergegas kabur sambil
menjulurkan lidah. "A..." Ganti Ryo yg kini terperangah, lalu tak lama setelahnya tertawa memandangi punggung
Shilla, tak percaya karna sang mangsa berhasil mengelabuinya lagi. Ia pun mulai melangkah
sambil tersenyum-senyum sendiri.
Sementara, tanpa disadari, ponsel seseorang bergetar tak jauh dari Ryo dan Shilla berada. Bianca
masih berusaha mengatur napasnya yg memburu karna amarah, sambil bergerak mengambil
benda yg memanggilnya. Sudah beberapa hari ini ia menunggu. Akhirnya.
Setelah beberapa saat, Bianca masih memandangi barisan pesan layar ponselnya dengan mata
membelalak. Jadi... Jadi... Jadi spekulasinya...
Bianca perlahan menganga lalu mulai tertawa tak terkendali setelahnya. Gadis itu menggelenggeleng terkejut sekaligus kegirangan, hingga akhirnya menguasai diri dan terdiam.
Jika diingat-ingat, memang ada kejanggalan yg baru disadarinya sekarang. Kalau memang gadis
itu orang tak berpunya, bagaimana bisa dia masuk Season High"
Beasiswa" Bianca menggeleng. Ia hampir tahu semua nama siswa-siswi penerima beasiswa di
sini, karna papinya salah satu dewan pasif. Tapi seingatnya tak ada murid beasiswa baru2 ini,
apalagi di tengah tahun ajaran.
Berarti semuanya sesuai. Senyum licik tak pupus dari wajah Bianca saat ia mengucap dalam hati.
Shilla... Ternyata... Shilla terbirit-birit menuju toilet. Cairan di kandung kemihnya sudah berteriak-teriak minta
dibebaskan. Ah, untung sepi, pikirnya otomatis begitu memasuki toilet. Ia pun bergegas masuk
ke salah satu bilik. Tak lama setelah ia menutup pintu bilik, pintu utama toilet terdengar terbuka lagi. Shilla kontan
memasang telinga. Ia selalu tertarik mendengar ocehan anak2 kaya di sini, walaupun kebanyakan
tak ia mengerti. "Ryo berangkat sama cewek itu lagi"!"
"Serius, La. Orang banyak yg liat kok."
"Anjiiiiiir. Canggih juga pangeran es kita bisa cair begitu!"
Pangeran es" Si Ryo itu" Hoeeeek. Shilla pura2 muntah lalu bergidik. Eh, tapi, ia terdiam,
menyadari sesuatu. Cewek yg diomongin itu aku, ya" pikirnya.
"Emang kelas berapa ceweknya?"
"Anak baru kan kalo nggak salah" Kelasnya Ryo juga."
"Sekelas" Panteeeees. Pantes bisa deket."
"Nggak jamin, ah. Gue dulu di waktu SMP tiga tahun sekelas, dianya lempeng2 aja."
"Yeh, itu mah elonya kali nggak ada daya tarik, Yolla. Hahaha."
"Sialan! Cakepan gue juga kali, daripada tu cewek. Liat aja style-nya, ordinary banget. Bingung
gue si Ryo liatnya apaan."
"Iya juga sih. Jangan2 pake pelet, lagi. Aiiiiih."
"Ckckck. Apa mau kita 'ajarin' biar tau diri?"
"Anak baru ini, kan" 'Kasih' dikit aja, La."
Shilla menelan ludah. Mengerikan sekali pemilik suara manja yg sepertinya dipanggil Yolla itu.
Bundaaaaaa, mau diapain aku" jeritnya dalam hati. Diam2 ia mengutuk Ryo. Kenapa ia baru
menyadari tuan mudanya ternyata memang setenar ini sih" Gawat.


Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Shilla pun memutuskan mendekam lebih lama dalam bilik. Berbeda dengan Bianca yg tak takut
ia hadapi, entah kenapa ia kini malah gentar membayangkan akan menghadapi gerombolan
cewek itu. Bianca itu satu, ini banyak. Diserang gerombolan perempuan yg sedang marah itu lebih
mengerikan daripada diserbu kawanan singa kelaparan.
"Mau ngajarin siapa, La?"
Shilla mengernyit. Menyadari yg tadi berbicara itu suara baru, meski tak asing baginya. Ia
mencoba mengingat. Ah... "Bi" Eh..."
Yolla terdengar tertawa gemetar. Bianca, ternyata baru keluar dari salah satu bilik. Shilla
kembali menajamkan pendengaran.
"Mau ngajarin siapa, La?"
"Ah. Ng... Nggak. T-tapi..." Yolla terdengar berusaha mengumpulkan keberaniannya saat
melanjutkan, "Lo tau soal ceweknya R-ryo itu kan, Bi?"
"Yg jelas gue lebih tau daripada lo semua."
"O-oh iya. Pasti."
"Tolong lo sama temen2 lo keluar ya, La. Gue mau pake cermin."
Shilla tersenyum kecil setelahnya. Kecongkakan Si Bianca itu ternyata mendarah daging, dan
menjadi semacam bakatnya, mungkin.
Shilla merapikan seragamnya, lalu memutuskan keluar dari bilik. Kalau Bianca seorang diri saja
sih, ia tidak takut. "Eh, elo." Shilla mengangkat alis, mendapati sapaan Bianca yg ternyata sedang memulas bibir dengan
lipgloss dan melihatnya dari cermin. "Udah lama di situ?"
Shilla hanya terdiam. "Cukup lama buat denger semua pembicaraan Yolla tadi?" Bianca mencibir. "Tapi ketenaran
nggak selamanya baik, ya" Lo denger sendiri kan, tadi" Liat penampilan lo yg lebih minus
daripada Yolla aja, yg lain udah pada mencak2. Apalagi... Kalo tau siapa elo sebenernya."
Shilla menatap rivalnya dengan keterkejutan yg tak mampu ditutupi kali ini.
Bianca tersenyum manis. "Gue tau kok siapa sebenernya elo dan... apa pekerjaan elo."
Habislah dia. Shilla mematung, meski masih mempertahankan wajah tanpa ekspresinya.
"Lo bener2 nggak sadar ya, betapa banyaknya pemuja radikal majikan lo" Berapa banyak yg
lebih gila daripada gue" Lo nggak tau ya, betapa bisa menakutkannya pelecehan verbal dari
gerombolan massa itu?"
Shilla mencengkram ujung blazernya. Ia tak takut pada Bianca. Tapi jika Bianca dikalikan
sepuluh, ia benar2 tinggal tunggu mati saja.
Bianca bergerak lebih dekat ke arah Shilla. "Lo juga nggak tau ya, berapa banyak yg bisa jadi
psikopat kalau seandainya mereka tau Ryo suka sama pembantu kayak lo?"
Shilla mengerutkan kening. "Apa?" tanyanya memastikan.
"Iya, pembantu. Lo... pembantu, kan?" Bianca mengangkat alis, tersenyum licik.
Bukan. Bukan fakta itu masalahnya. Shilla mencengkeram blazernya lebih kuat. Ryo... Ryo suka
padanya" Mungkinkah"
"Nggak mungkin," serunya pelan, memandang dalam kekosongan.
"Apanya yg nggak mungkin" Gue liat sendiri kalo elo kelu..."
Shilla menggeleng sendiri. "Ryo nggak mungkin..."
Sekarang Bianca yg mengerutkan kening, memperhatikan Shilla yg benar2 tampak syok. Dan ini
jelas bukan karna pekerjaannya telah diketahui oleh Bianca.
Ah. Bianca mulai sadar dari mana asal keterkejutan Shilla. Ia memandang musuhnya tak
percaya. "Lo... Bener2 nggak sadar kenapa sikap Ryo begitu baiknya sama lo?" Bianca tertawa
sinis. "Tapi..." Shilla terdiam lagi, belum sepenuhnya mencerna. Ia masih terlalu dibingungkan oleh
spekulasi Bianca. Masa...
"Lo... nggak suka Ryo?" tanya Bianca tak percaya.
"Apa?" Shilla tersentak lagi begitu meresapi pertanyaan Bianca lalu menggeleng pelan, tampak
ketakutan pada kenyataan, terlebih pada perasaannya sendiri.
Lantas begitu menjawab, ia terdengar seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri "Eng...
Nggak. Aku... nggak mungkin suka sama Ryo."
Bianca mengernyit lagi. Menyadari sikap Shilla tidak seperti biasanya. Bianca jelas menyadari
Shilla tidak terlalu terancam dengan kenyataan bahwa ia mengetahui rahasia besarnya,
melainkan ketakutan karna masalah lain.
Bianca menimbang-nimbang, lalu mencoba mengancam sebagaimana rencana awalnya. "Buktiin
kalo memang begitu. Jauhin Ryo gue. Atau gue sebarin kalo lo itu cuma pembantu keluarga
Luzardi yg mati-matian ngejar Ryo."
Shilla kini memandang Bianca, keraguan berpijar dalam dua matanya, lalu tak lama ia
mengagguk. Bianca tersenyum meski sebenarnya heran. Segampang... ini" batinnya tak menyangka.
Shilla melangkah perlahan menyusuri koridor sekolah sambil memainkan tali ranselnya dan
merenung. Yg dipikirannya masih tetap sama, ucapan Bianca tadi.
Bahkan kebenaran bahwa musuh congkaknya itu sudah mengetahui identitasnya tidak begitu
mengusiknya. Ia menghela napas, mencoba mengingat-ingat sikap Ryo selama ini.
Jika dibandingkan, sikap pemuda itu memang berubah semenjak kepergian Arya. Bahkan ce...
"Shilla!" Shilla sontak menoleh mencari-cari ketika mendengar panggilan itu, lalu mengernyit saat melihat
sosok Ryo berlari ke arahnya.
"Gue kira lo udah pulang. Dari mana?"
Gadis itu terdiam, diam2 mencoba mulai membandingkan. Benar juga. Kenapa ia baru
menyadari Ryo jadi lebih perhatian" Normalkah ini"
"Yeh, gue tanya jawab, babu!"
Shilla mengernyit. Mendapati, bahkan celaan terang-terangan Ryo terasa benar2 berbeda kali ini,
jika dibandingkan dulu. Ia mendongak, lalu menatap pemuda di hadapannya lekat2, mencoba
mencari tahu. Ryo mengernyit, lalu mendadak memalingkan wajah, salah tingkah diperhatikan begitu.
"Ngapain sih lo ngeliatin gue?"
Shilla akhirnya menoleh, memandang dinding. Gadis itu tepekur menyimpulkan bahwa sikap
Ryo benar2 berubah. Tapi mungkinkah"
Ryo berdeham, lalu memperhatikan Shilla. "Lo kenapa sih?" Mau tak mau ia senang juga,
mungkinkah gadis ini sudah mengetahui isi hatinya"
Sementara Shilla masih juga bingung karna kegalauannya. Lalu bagaimana dengan dirinya
sendiri" Apa ia juga...
"Hari ini pulang sama gue lagi aja, ya?"
Shilla tersentak, Ryo lagi2 seenaknya menggenggam dan menarik tangannya. Ia terdiam, kala
mendengar debaran teredam yg melaju cepat di tengah kesenyapan. Dari mana bunyi itu"
Mungkinkah... Shilla menarik tangannya hingga terbebas lalu menggeleng samar. Tak boleh. Ryo tak boleh.
Dirinya tak boleh. "Saya," mulai Shilla pelan.
"Hmm?" tanya Ryo, mengangkat sebelah alisnya.
Shilla menghela napas lalu memandang tuan mudanya. "Saya... mulai hari ini dan seterusnya
mau pulang dan brangkat sendiri. Tuan... tolong jangan terlalu memperhatikan saya."
Ryo tersentak. "Knapa?"
Shilla mengucap, "Aaa..." pelan lalu mendadak terdiam, teringat bahwa Bianca sempat
memperingatkannya untuk tidak memberitahu Ryo perihal ini.
Gadis itu menunduk lalu berbicara cepat. "S-saya cuma pelayan."
Shilla lantas membungkuk sekilas ke arah Ryo, lalu bergegas pergi tanpa menghiraukan tuan
mudanya yg masih mematung di belakang.
Kurang-lebih satu setengah bulan berlalu, dan segalanya mulai mencapai titik meragu. Ryo tidak
mengerti mengapa Shilla terus membentangkan jarak kelewat jauh, hingga terlalu sulit kembali
ia rengkuh. Ada apa sebenarnya" Ia juga tak tahu.
Shilla selalu menemukan cara untuk menghindarinya bahkan meski ia berada dalam radius
sepuluh meter. Padahal sejujurnya Ryo rindu. Melihat tawa Shilla. Senyum terpaksa dan bibir
mencela yg membuatnya menahan tawa, selalu. Namun sayangnya, rasa itu harus selalu
terbendung di balik barikade yg sengaja diciptakan.
Shilla ternyata masih terlalu takut pada hatinya sendiri. Entah sebenarnya apa atau siapa yg
menjadi momok, ia juga tak mengerti.
Di sisi lain, Bianca, yg jelas menyebabkan dan memanfaatkan hal ini, secara teliti terus membaca
setiap pergerakan. Dengan semakin lebarnya jurang antara Ryo dan Shilla, maka semakin
memudar dan hilanglah berita yg menggaungkan bahwa kepemilikan hati pangeran keluarga
Luzardi itu sudah tercuri.
Setelah dirasanya waktu telah cukup menyembunyikan ancaman bukti, Bianca berencana
melancarkan tindakan agresif-persuasif pada Ryo lagi. Dan ini, langkah pertamanya.
*** Season High, seminggu kemudian.
Satu hal yg menjadi headline dan highlight di Season High hari2 ini adalah: Pesta Aluna Syifa
a.k.a Ifa. Acara ini menjadi headline bukan hanya karna kenyataan bahwa Ifa ketua OSIS yg
mengundang seluruh penghuni sekolah, dari petugas kebersihan hingga kepala yayasan untuk
ikut serta dalam perhelatannya. Acara ini pun dikabarkan berpotensi menggeser kedudukan pesta
Bianca yg sampai sekarang masih memegang gelar event terakbar se-Season High tahun ini.
Belum lagi fakta bahwa acara Ifa sedikit "memaksa" para hadirinnya untuk membawa pasangan,
sehingga konsep matang kerajaan dengan kedatangan duke dan duchess-nya dapat tereksekusi
sempurna. Hal terakhir inilah yg paling banyak menimbulkan pembicaraan. Sepertinya semua orang di
koridor sekolah memperbincangkan siapa akan datang dengan siapa, siapa yg begitu nerd-nya
hingga belum mendapat pasangan, atau siapa yg terlalu populer hingga menjadi rebutan.
Dan yg "beruntung" menjadi objek penderitaan dari topik terakhir tadi, salah satunya adalah
Aryo Luzardi kita. Sebenarnya Ryo bosan sekali, mendengar dengung hal yg sama setiap kali di sekolah. Belum lagi
sekelompok gadis -penggemar- berisik tak henti menguntitnya sejak beberapa hari lalu.
"Ryo belum punya pasangan?" Pertanyaan sama untuk kesejuta kali ini lagi.
Pemuda itu memejamkan mata, menarik napas lelah lalu menoleh ke arah gerombolan gadis yg
langsung menjerit histeris begitu ia dengan kesal menatap mereka satu per satu.
"Kenapa elo semua nggak balik ke kelas sih"! Istirahat kan udah lewat!" bentaknya. Bingung
sekali karna kini ia telah duduk di kursinya di kelas namun gerombolan itu masih ada.
"Kan semua guru ada rapat sampe jam keenam nanti. Masa elo nggak tau?" jawab seseorang, yg
langsung disambut cekikikan oleh yg lain.
Ryo mendesah. Ia mendongak, tapi sontak merasa salah menaruh pandangan. Tepat di depannya,
akibat perputaran baris kelas per bulan, tak lain dan tak bukan, kini ada Shilla. Yg membuat Ryo
makin miris saja. Ryo jelas tahu siapa yg mau diajaknya pergi bersama jika keadaan masih seperti biasa. Ia
menarik napas pelan, lalu memutuskan mengajak bicara si empunya hajat yg baru saja
berkunjung ke meja Shilla.
"Eh, Fa... emang acara lo itu harus ada pasangannya?"
"Ah?" Ifa tampak sedikit kaget ketika menyadari Ryo bertanya padanya.
"Emang itu harus?" ulang Ryo lagi.
"Eng... Sebenernya sih... Emang, e-elo belom ada pasangan?" tanya Ifa agak tergagap.
Shilla mendongak, memandangi Ifa yg kini mengabaikannya. Gadis berdagu tirus itu tampak
benar2 syok, mungkin karna ini pertama kalinya Ryo mengajak orang bicara terlebih dulu atau
semacamnya. "Belom... Belom ada," sahut Ryo, dengan suara yg entah kenapa makin mengecil.
Shilla hanya menghela napas mendengar suara bariton Ryo, menyangkal hatinya yg kini
meloncat-loncat. Ia sendiri sebenarnya juga belum punya pasangan. Itulah yg mau dibahasnya
dengan Ifa. "Jadi l-lo beneran belum ada pasangan kan, Y-yo" S-sama salah satu dari kita aja," kata
seseorang masih dari gerombolan yg sama.
Ryo menunduk dan mendesah kesal. Tepat saat itu, seorang gadis lain tiba2 merangsek dari pintu
kelas sambil berseru, "Ryoooooooo!"
Ryo kontan mengangkat wajah lalu mengerang pelan. Bianca" batinnya. Ia mendengar kor
sentakan napas kaget dari kelompok di belakangnya.
Oke. Jadi sekarang kawanan cicak bertemu kadal. Ah, tetap saja ia yg jadi santapan. Ryo
melempar pandangan terganggu pada Bianca. "Apa?"
"Besok kamu pergi sama aku, kan?" tanya Bianca manis manja, namun mengirimkan tatapan
membunuh pada gerombolan gadis lain di dekatnya dan Ryo.
Ryo hampir saja meledak dan mengusir semua pengganggunya, termasuk Bianca. Tapi lalu ia
menangkap kilatan mata Shilla yg tampak melirik memperhatikannya.
Ia langsung memasang wajah pura2 polos lalu menyambar kesempatan yg dirasanya tepat sekali.
"O... Oh, iya. Gue lupa. Besok... Gue jemput lo. Kayak biasa."
Bianca mengangkat alis, bingung walau akhirnya mengangguk-angguk senang sambil melempar
senyum penuh kemenangan pada gerombolan yg mendesah kecewa. Sementara Ryo tesenyum
tertahan ketika mendapati Shilla membuang muka kemenangan dengan raut... kesal"
Ha-ha. Akhirnya Ryo tahu bagaimana cara mendapat perhatian gadis itu lagi.
Bab 12 BIANCA menatap sosok di sebelahnya dengan sedikit kesal. Gadis itu mempererat tangannya yg
bergelayut manja di lengan Ryo yg sejak tadi tak berkata sepatah kata pun. Hanya memandang
langit senja yg mulai memudar.
Bianca menyandarkan kepalanya di bahu Ryo. Membiarkan dirinya nyaman dengan posisi itu,
tak peduli si empunya bahu suka atau tidak diperlakukan seperti itu.
Ryo menatap langit melalui kaca jendela dalam diam. Dia tahu Bianca lagi2 seenaknya bersandar
padanya. Ia tidak melakukan apa pun -meski sempat bergerak sedikit risi. Ia tidak berkomentar
apa2. Ia tidak ingin mengacaukan dramanya sendiri. Kalau memang ini yg harus ia lakukan
untuk mendapatkan Shilla lagi, jadilah.
Limusin milik Bianca mulai membelah kemacetan petang di Jakarta. Hari ini mereka akhirnya
akan menghadiri pesta Ifa. Bianca sengaja membiarkan Ryo tidak membawa mobil sendiri. Ia
dengan senang hati meminjamkan limusin dan sopir pribadinya malam ini. Alasannya sederhana,
ia hanya ingin menikmati waktu berdua dengan Ryo di bangku penumpang.
Bianca merengut. Walaupun senang, tp bukan ini yg sungguh2 ia harapkan. Bukan Ryo yg INI.
Bukan Ryo yg bertingkah terlalu jinak dan menurut begini. Ah. Tp mungkin Ryo sudah benar2
menyukainya, lantas berubah" Bianca mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Ryo tetap tampan seperti biasa. Apalagi dengan jas berekor hitam ala kerajaannya. Bianca
sungguh beruntung bisa mendapatkan Ryo sebagai pasangan malam ini.
Semoga saja mulai malam ini hingga seterusnya, Ryo benar2 melupakan gadis miskin itu dan
sepenuhnya berpaling padanya, Bianca yg jauh lebih sempurna.
Bianca menatap ke arah kaca di sebelah kirinya, yg dengan sempurna merefleksikan
bayangannya. Ia tampak cantik dengan gaun bermodel kemben dan rok megar bernuansa hitamputih ala tahun '60-an yg dipesannya langsung dari desainer ternama. Rambutnya ditata dengan
Milkmaid Braid lalu dipadupadankan make-up yg sempurna. Apa lagi yg kurang dari dirinya"
Gadis itu menghela napas pelan.
Shilla menatap sosok di depannya. Lelaki ini tinggi semampai, berkulit hitam manis. Dia tidak
begitu tampan. Tapi ada sesuatu yg membuatnya menatap wajah pemuda itu berlama-lama.
Intinya, wajahnya enak dilihat. Apalagi matanya yg tampak berbinar.
Ifa, yg berdiri di sebelah Shilla tersenyum manis. "Ini Patra. Sepupu gue. Dia seumuran sama
kita. SMA-nya di international school yg deket sekolah kita itu lho," jelas Ifa.
"Oh," tanggap Shilla sambil mengangguk.
"Ini Shilla, Pat. Cakep kan temen gue" Kayak gue, hahaha," canda Ifa, yg siap dalam balutan
gaun istimewa buatan Mas Dipta. Rambutnya telah diombak dan ditata cantik dengan tiara besar.
Membuatnya makin cocok menjadi tokoh utama putri dalam dongeng.
Patra tersenyum manis. Sejenak, Shilla bisa menangkap kedipan kecil darinya. Bukan kedipan
nakal, melainkan kedipan bersahabat.
"Jadi, nanti kalian berdua aja ya, sekalian bawa lilin. Lo berdua lilin keempat belas," jelas Ifa.
Mereka bertiga berada di dalam kamar hotel Ifa di lantai sembilan. Pesta ulang tahun gadis itu
akan diadakan di ballroom di lantai dasar hotel yg sama.
"Trus Devta?" tanya Shilla.
Ifa menggigit bibir sambil melangkah, lalu mematut dirinya lagi di cermin. "Dia bawa lilin
kelima belas. Sendiri, soalnya dia sahabat gue yg paling lama sih. Nanti lilin keenam belas
bokap-nyokap. Lilin ketujuh belas yg ada di kue," jelas gadis itu.
"Oh," Shilla dan Patra berkata bersamaan. Lalu mereka bertatapan dan tertawa.
Shilla entah kenapa tiba2 merasa tenang ketika derai tawa mereka terurai. Kehadiran pemuda di
depannya seakan membawa atmosfer baru yg menghangatkannya, yg sempat menggigil karna
takut akan apa yg dihadapinya malam ini.
"Ya udah, lo berdua turun duluan aja. Gue kan dateng belakangan, hehehe. Soalnya, ada surprise
pas entering procession gue," kata Ifa sambil tertawa pelan.
"Oke." Mereka berdua lalu melangkah ke luar.
Patra membiarkan Shilla keluar lebih dulu dan menutup pintu kamar Ifa.
"Can I?" Patra mengulurkan lengannya kepada Shilla, menawari gadis itu menggamitnya.
"Hah?" kata Shilla bingung.
Patra hanya tersenyum. "Kayak di film2 jadul gitu lho, Shil," katanya.
Shilla menatap Patra yg tersenyum dengan binar di matanya, lalu meringis. "Nggak ngerti..."
Patra tertawa kecil. "Gagal deh gue jadi gentleman ala film2. Ceweknya nggak mudeng sih..."
Shilla tersenyum, masih belum mengerti.
Patra tersenyum, lalu meraih tangan Shilla perlahan dan meletakkannya di lengannya. "Gini
lho..." Shilla menatap tangannya yg kini tersampir di lengan Patra. Kapan terakhir ia berkontak
langsung dengan laki2 dan merasakan debaran (Devta tidak masuk hitungan) seperti sekarang
ini" "Lho, kok bengong?" tanya Patra sambil mengangkat alis. "Ayo, jalan."
Shilla menatap Patra dengan ragu, lantas akhirnya tersenyum kecil dan membirkan Patra
membimbingnya ke arah lift.
*** Shilla tertawa mendengar ucapan Patra meski sebenarnya dia tidak bermaksud melucu.
Ucapannya jadi terasa lucu karna ekspresi dan kepolosan Patra mengatakannya.
"Makanya gue bingung kenapa gue bisa dimarahin, coba" Kan gue jawab jujur gue nggak bisa,"
kata Patra seraya membawa Shilla memasuki ballroom yg kini didekor apik dan cantik dengan


Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ornamen ala kerajaan. Shilla dan Patra berbisik-bisik membicarakan salah satu penerima tamu yg mengenakan kostum
penasihat kerajaan zama dulu. Lengkap dengan wig keritingnya.
Shilla menatap Patra yg tertawa lepas di sebelahnya. Pemuda ini terkesan begitu hidup. Ia
mengutarakan isi kepalanya tanpa ragu dan takut. Shilla jadi tertegun. Mungkin ia harus belajar
untuk menjadi seperti Patra. Sudah berapa lama ia tidak tertawa selepas ini"
"Ih. Bingung deh sama otak sepupu gue yg satu itu. Kok bisa sih bikin pesta sampe ada booth
cupcake workshop" Emang pada mau kursus masak di sini?" tanya Patra mengutarakan
keheranannya. Shilla tertawa lagi. Ia tak sadar kala tawa itu kini terkonversi menjadi angin, yg
mengantarkannya kepada sosok lain yg baru saja memasuki ballroom.
Entah kenapa, begitu Ryo memasuki ballroom -tentu dengan Bianca yg menggelayutinyaotaknya langsung memerintah kepalanya untuk menoleh ke kanan. Ke arah sosok yg baru saja
menelurkan tawa renyahnya.
Shilla" pikirnya... Ryo tahu dari Bi Okky bahwa sejak pagi tadi gadis itu sudah meminta izin
untuk ikut ke hotel tempat Ifa menginap. Namun yg membuatnya tidak percaya adalah Shilla yg
kini ia lihat. Shilla mengenakan model gaun yg hampir sama dengan Ifa -bahu Sabrina, rok megar- namun
dengan panjang rok yg hanya mencapai atas lutut. Kalau kain gaun Ifa terbuat dari songket
pelangi, gaun Shilla terbuat dari songket hitam yg anggun. Penampilan gadis itu disempurnakan
pula dengan stoking dan sarung tangan transparan sesiku berwarna hitam. Tiara yg lebih kecil
daripada milik Ifa menghiasi rambutnya yg sudah diombak dan dikucir satu tinggi.
Ryo tertegun. Shilla cantik sekali... Tapi...
Tiba2 ia merasakan debur kejengkelan di jantungnya. Siapa cowok yg ada di sebelah Shilla"
Apa-apaan pula dia megang2 tangan Shilla" Dan... dan... kenapa Shilla bisa mengerucutkan bibir
lucu pada cowok itu seperti saat bersama Ryo"
Bianca baru hendak mengajak Ryo ke booth foto saat melihat mata pemuda itu tertumbuk pada
satu titik. Bianca sontak menyipitkan mata dan berusaha menangkap apa yg sedang Ryo
perhatikan dengan saksama.
Cewek itu" desisnya dalam hati. Cukup, tegasnya lalu menarik paksa Ryo ke arah booth yg ingin
ia tuju. Ryo tersentak dan terpaksa mengikuti Bianca yg menggamit dan menariknya dengan kekuatan
penuh. Tidak membiarkan pandanganmya hilang, ia tetap menatap tajam ke arah Shilla.
Tak disangka, Shilla menoleh pada saat yg sama. Matanya menangkap kilatan di mata pemuda
yg tampil tampan bak peragawan dalam balutan jas hitam berekor itu. Shilla membuang muka.
Menampik getar yg membuatnya tersiksa dan tak mampu diusirnya.
Ryo tertegun, ia yakin sesaat tadi Shilla pun menangkap sorot matanya. Dan gadis itu...
membuang muka" Ia mendesah. Apa sih yg terjadi dengan Shilla"
Sementara itu, Shilla memutuskan memejamkan mata sejenak. Ia berusaha menetralisir
perasaannya. Patra menangkap sikap Shilla dan aura kecemasan yg tiba2 timbul dari gadis di sebelahnya.
"Kenapa, Shil?" tanya Patra.
"Hah?" Shilla menoleh ke arah Patra yg tersenyum. "Nggak," jawabnya.
Patra bisa melihat kebohongan di mata gadis di sebelahnya. Tapi ia tidak suka mengorek-ngorek
urusan orang. "Apa pun yg lo rasain sekarang," kata pemuda itu sambil menatap Shilla, "nikmatin aja
pestanya." Shilla tersenyum. "Iya," jawabnya menyanggupi.
Ia pun mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, berusaha mematuhi saran Patra. Pesta Ifa
diadakan di ballroom paling besar yg ada di hotel berbintang lima ini.
Di bagian paling depan ada panggung megah dengan band set di bagian kanan. Sementara di
hadapan panggung itu ada meja2 bulat berisikan kurang-lebih sepuluh bangku yg tertata rapi
hingga tengah ruangan. Lalu, di kedua sisi luar kanan dan kiri barisan meja itu ada sebuah meja
panjang berisi makanan, terdiri atas menu Indonesia, Cina, hingga western.
Dan terakhir, sebagai penyempurna acara, terdapat berbagai booth, mulai dari booth foto,
cupcake workshop, fortune telling, gulali, hingga temporary tatto yg dapat dikunjungi para
undangan. Tentu semua dikonsep dengan tema kerajaan.
Pukul tujuh tepat acara dimulai. Acara dibuka dengan pertunjukan kabaret lalu dilanjutkan
dengan parade kecil. Mendekati akhir parade, terdengar kegaduhan kecil di luar. Desah kagum
terdengar begitu jelas mulai dari pintu hingga ke tempat Shilla dan Patra berdiri. Ternyata kereta
kencana bulat berwarna pink yg dijalankan dengan mesin bergulir dari luar hingga ke dalam
ruangan. Entah dari mana even organizer menyewa alat semacam itu, tapi yg jelas tampaknya Ifa
ada di dalam sana. "Ini toh yg katanya surprise," kata Patra, membuat Shilla seketika menatap pemuda yg sedang
tersenyum itu lalu ikut tersenyum.
"Kreatif juga sepupu gue," komentar Patra lagi.
"Ih. Begitu aja kreatif. Norak, kali," sahut suara ketus di belakang mereka.
Shilla mengernyit lalu kontan menoleh ke belakang, diikuti Patra. Ternyata Bianca dan Ryo.
Shilla mendesah samar, mulai bergerak tidak nyaman di tempatnya. Sementara Ryo berusaha
keras memandangi gadis itu tanpa ekspresi, sambil menahan keinginan untuk mengamputasi
lengan pemuda yg tak ia kenal di hadapannya agar tak lagi dipegangi Shilla.
Patra tersenyum saat melihat Bianca dan Ryo, membuat Shilla keheranan. Ya ampun. Jelas2
Bianca mencela sepupunya, pemuda itu malah tersenyum.
"Halo, saya Patra," kata Patra sambil mengulurkan tangan ke arah Bianca yg mengaitkan tangan
ke lengan Ryo. Kedua orang itu sama sekali tidak membalas uluran tangannya, membuat Patra
lagi2 hanya tersenyum. Shilla mengangkat alis ke arah Bianca dan Ryo, lalu heran melihat tuan mudanya menatap Patra
dengan tatapan yg penuh... dendam kesumat"
Bianca mempererat pegangannya di lengan Ryo. Seakan berusaha menegaskan kepada Shilla, yg
hanya diam dan terpaksa memandang bahwa pemuda itu miliknya.
Sementara Ryo, yakin benar Shilla masih mengawasinya, perlahan melepas tangan Bianca -yg
Pendekar Pemanah Rajawali 21 Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas 4 Warriors Karya Wen Rui An Cinta Bernoda Darah 5

Cari Blog Ini