Our Story Karya Orizuka Bagian 2
"Karena saya berkelakuan baik di sana," jawab ayahnya sambil tersenyum sini. Ia lantas
bergerak mendekati Nino. Nino mempererat genggamannya pada tongkat walaupun tubuhnya
gemetar. "Kenapa" Kamu nggak senang saya bebas lebih cepat?"
Nino melirik tangan ayahnya yang sekarang sedang melepas ikat pinggang. Mata Nino melebar.
Keringat dingin sudah mengalir di sekujur tubuhnya.
Saat ikat pinggang itu sudah tercabut, Nino berderap kearah pintu. Ia tidak peduli ayahnya yang
menyumpah karena tertabrak dengan keras. Ia tidak ingin berada di rumah itu bersamanya.
Nino bahkan masih tidak bisa memercayainya. Ayahnya, yang divonis hukuman lima tahun di
penjara, sudah bisa bebas dalam waktu tiga tahun saja. Nino tidak pernah menduganya. Semua
rencana Nino untuk segera pergi jauh setelah lulus SMA sekarang berantakan.
Nino berhenti berlari, lalu terduduk lemas di sebuah bangku taman. Ia menjambak rambutnya
keras-keras. "Sialaaannnnn!!!!!!!!!!" serunya sekuat tenaga, membuat beberapa orang yang lewat berjengit
dan segera menghindar. Nino memukul-mukul dahinya sendiri, menyesali segalanya.
Di saat ia pikir hidupnya sudah membaik.
*** Yasmine menatap ragu bangunan sekolahnya yang sudah gelap. Ia menoleh ke kanan dan kiri,
tapi tidak ada siapa pun. Yasmne menggigit bibir, lalu memberanikan diri melangkah masuk.
Ia mengutuk dalam hati dirinya sendiri yang lupa meletakkan ponsel. Kalau bukan karena
ayahnya yang bisa saja menelpon dan khawatir, ia tidak akan repot-repot menantang maut seperti
ini. Tadi, ia bahkan rela berhenti satu kilometer dari sekolanya agar sopir taksi tak bertanya
macam-macam. Yasmine mengintip kelasnya yang gelap, lalu meraba-raba dinding untuk mencari saklar. Setelah
lima menit meraba dinding yang penuh debu, ia menemukannya juga. Ia cepat-cepat menyalakan
lampu, lalu melesat ke bangkunya. Ia merogoh laci meja dan menghela napas lega saat ponselnya
masih ada di sana. Yasmine berbalik bermaksud untuk cepat-cepat pergi, tapi ia tak sengaja melihat sesuatu di
pojok belakang kelasnya. "Huaaa!" jeritnya, refleks menutup mata dan telinga, menyangka yang dilihatnya adalah sejenis
makhluk gaib. "Hoi," kata makhluk itu, membuat Yasmine mau tidak mau mengintip. Tidak ada makhluk gaib
yang menyapa. Yasmine langsung melongo saat melihat makhluk yang di sangkanya gaib ternyata Nino.
Yasmine tak berkedip untuk beberapa saat, bingung dengan apa yang dilakukan Nino di kelas
yang gelap seperti ini. "Nino?" Yasmine memicing. "Ngapain lo?"
Nino tak menjawab. Ia hanya menatap Yasmine datar, lalu tersenyum lelah.
"Bertapa," jawabnya singkat. Yasmine tak langsung memercayai. "Lo sendiri?"
"Ngambil ini, ketinggalan," Yasmine menunjukkan ponselnya. Nino hanya mengangguk-angguk.
Yasmine menatap Nino yang tampak kacau, lalu menghampirinya. "Ada apa, No?"
Nino menatap Yasmine lama, tampak menimbang-nimbang. Yasmine sendiri berhenti
melangkah begitu melihat tongkat baseball Nino masih setia di sampingnya. Yasmine punya
sejarah buruk dengan tongkat itu.
"Lo serius mau tau?" tany nino, tidak terdengar marah. Yasmine menggigit bibir. Nino kadang
ramah, tapi ia juga sering hanya menggodanya. Tapi di luar kesadarannya, Yasmine
mengangguk. Nino tersenyum simpul. "Gue mau ngasih tau lo, tapi setelah itu loharus gue
bunuh." Nino mengatakannya dengan sangat serius, membuat Yasmine refleks menutup kedua
telinganya. Nino lantas terbahak melihat Yasmine yang ketakutan.
"Bercanda," kata Nino disela tawanya, membuat Yasmine menatapnya sengit.
"Gimana gue bisa tau kalo lo cuma bercanda?" katanya kesal, membua Nino berhent tertawa.
"Lo nggak tau, kecuali gue bilang begitu," kata Nino tajam. Yasmine sadar kalau ia tidak boleh
membuat Nino kesal sekarang. Nino tampak begitu labil.
"Oke, gue nggak mau tau," kaa Yasmine kemudian. "Ayo kita pulang."
Nino menatap Yasmine tak percaya, lalu terkekeh.
"Kenapa ketawa" Udah malem loh," Yasmine melihat sekliling waspada. "Lo ngak takut ada"
makhluk gaib?" Tawa Nino semaki menjadi-jadi mendengar kata-kata Yasmine. Baru kali ini Nino tertawa lepas
dalam beberapa tahun terakhir. Yasmine sendiri menatap Nino bingung. Nino lantas berusaha
menghentikan tawanya. "Duduk sini, temenin gue," Nino menepuk-nepuk lantai di sebelanya. Yasmine menatap lantai
itu ragu, tapi Yasmine juga takut dilempar tongkat kalau menolaknya.
Yasmine akhirnya duduk di sebelah Nino. Nino tampak terseyum-senyum simpul, membuat
Yasmine merinding. "Mau"ngapain?" tanya Yasmine pelan saat Nino mencondongkan tubuh padanya.
"Masa lo nggak ngerti sih?" Nino balas bertanya. Yasmine tahu jantungnya sudah berdegup
kencang. Ia sering melihat adegan semacam ini di serial remaja Amerika.
"Jangan!" Yasmine segera mencengkeram kancing blusnya sendiri. Ia belum siap untuk ini.
Tahu-tahu ia mendengar Nino terpingkal-pingkal. Ia menatap anak laki-laki itu sebal. "Lo kok
suka banget sih ngegodain gue!"
"Salah sendiri lo imut," kata Nino setelah puas tertawa. Ia lalu menatap Yasmine lekat-lekat.
"Entah apa lo pinter akting, atau lo bener-bener polos, sampe sekarang gue nggak tau."
"Gue belum pernah pacaran," kata Yasmine membuat Nino tak berkedip.
"Dan gue masih perjaka ting-ting," timpal Nino, lalu terbahak. Yasmine sendiri hanya
menatapnya tanpa reaksi, membuat tawa Nino berhenti. Nino berdeham sebentar, kemudian
menatap Yasmine serius. "Serius lo?"
Yasmine mengangguk, membuat Nino menatapnya tak percaya.
"Jadi"lo udah nggak"perjaka?" tanya Yasmine, sementara Nino masih sibuk dengan
pikirannya sendiri. "Yah, siapa sih di sekolah ini yang masih?" jawabnya cuek, membuat Yasmine menggigit bibir,
tidak tahu apa yang membuatnya kecewa. Padahal Yasmine sadar benar kalau Nino adalah
playboy sekolah ini. "Oh, gitu?" gumam Yasmine, berusaha sebisa mungkin untuk tidak terdengar kecewa.
"Tapi kalo di piker-pikir, mungkin ada," Nino menatap Yasmine yang tampak ingin tahu. "Ketua
OSIS kesayangan lo itu."
"Ferris?" tanya Yasmine. Tapi ia sendiri tidak pernah mempertanyakan Ferris.
"Kalian cocok banget kalo gitu," kata Nino sinis. "Pasangan virgin. Fantastis."
Yasmine menatap Nino sebal. Nino mengetakannya seolah menjadi virgin adalah hal yang
memalukan. "Apa salahnya virgin" Gue bangga," kata Yasmine, membuat Nino terkekeh.
Yasmine memperhatikan Nino yang sudah kembali menerawang. Yasmine lantas teringat
sesuatu. "Ngomong-ngomong, kemarin itu, antara lo sama Ferris" Ada apa sih?" tanya Yasmine hatihati. Sesuai dugaannya, Nino sekarang menatapnya tajam. Yasmine menggigit bibir. "Gue"
harus dibunuh setelah lo kasih tau?"
Nino mendengus, lalu menyandarkan punggung ke tembok. "Apa yang di bilang sama lo?"
"Dia nggak bilang apa pun," jawab Yasmine cepat.
"Oh ya" Gue piker dia udah curhat segala macem sama lo," kata NINO, MEMBUAT Yasmine
mengangkat alis. Nino menatapnya lagi. "Dia bilang kami pernah satu SMP?"
"Kalian temen SMP?" ulang Yasmine tak percaya.
"Bukan temen. Pernah satu SMP," tukas Nino, terdengar kesal. Yasmine mengengguk-angguk
pelan. "Yah, intinya, dia itu pengkhianat."
Yasmine menatap Nino yang tampak memijat dahi.
"Kalian dulu berteman, kan" Tapi sekarang nggak lagi?" tanya Yasmine membuat Nino
mendelik. "Kenapa?"
"Lo nggak denger gue?" bentar Nino, membuat Yasmine segera menutup mulut. "Dia
berkhianat, dan gue nggak bisa terima itu. dan dia bukan temen gue."
Nino kembali memijat dahinya keras-keras. Denyutannya semakin menyakitkan.
"Apa yang dia lakukan sampe lo semarah ini?" tanya Yasmine lagi, membuat Nino menatapnya
tidak sabar. "Lo bener-bener bego ya?" seru Nino membuat Yasmine tersentak. "Gue kasih tip aja buat lo.
Kalonggak mau mati muda, jangan banyak tanya!"
Yasmine menunduk, lalu menggigit bibir untuk menahan tangis. Nino meliriknya, lalu menghela
napas. "Sori," katanya membuat Yasmine mendongak, heran dengan makhluk di depannya itu.
"Hebat banget ya," kata Yasmine takjub. "Mood swing lo."
Nino manatapnya kesal sesaat, lalu berdecak.
"Jangan ngomong pake bahasa inggris di depan gue," katanya sambil membuang pandangan.
Yasmine nyengir sendiri melihat tingkah Nino.
"Oke," kata Yasmine manis membuat Nino meliriknya. Nino memperhatikan Yasmine sebentar.
Tiba-tiba ia ingin mencoba sesuatu.
"Lo tau tentang bokap gue?" tanya Nino membuat Yasminemenggeleng. "Bokap gue napi."
Yasmine menatap Nino sesaat.
"Lo ngertikan arti kata napi?" tanya Nno lagi, heran dengan reaksi anak perempuan di depannya
ini. "Narapidana, kan?" kate Yasmine. "Karena apa?"
"Narkoba," jawab Nino walaupun masih bingung. Yasmine mengangguk-angguk simpati.
"Terus, nyokap lo?" tanya Yasmine santai, seolah Nino sedang bercerita tentang silsilah
keluarganya. "Kabur," sambar Nino tak sabar. "Lo nggak mau ngomong apa-apa soal bokap gue?"
"Ngomong apa?" Yasmine balas bertanya, bingung.
"Nggak tau. Hal yang biasanya orang omongin sama anak napi, kayak misalnya, anak napi itu
udah pasti mewarisi kejahatan orangtuanya?" kata Nino membuat Yasmine tambah bingung.
"Kenapa gue harus ngomong kayak gitu?"
"Karen ague anak napi!" sahut Nino emosi. "Lo normalnya nggak mau deket-deket sama anak
napi, kan?" "Hah" Kenapa harus gitu" Lo anak napi bukan berarti lo juga napi, kan?"
Nino terdiam untuk beberapa saat, lalu mulai tertawa hampa dan kembali menyandarkan tubuh
ke tembok. Ia menatap Yasmine nanar.
"Kenapa lo nggak pindah ke sini tiga tahun lalu?" gumamnya, membuat Yasmine mengerutkan
kening. Ia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Nino.
Nino meneka wajah, berusaha ntuk menghilangkan amrahnya. Anak perempuan di depannya itu
sudah membuatnya hampir gila.
"No, ini yang bikin lo jadi kayak sekarang?" tanya Yasmine hati-hati. "Gara-gara ini lo jadi
pemarah kayak gini."
"Menurut lo?" Nino balas bertanya. "Dan lo tau siapa yang paling bertanggung jawab?"
Yasmine menggeleng pelan.
"Ketua OSIS lo itu," kata Nino, rahangnya mengeras. "Ketua OSIS lo yang belagak pemenang
nobel perdamaian itu."
Yasmine menatap Nino tak percaya. "Ferris?"
"Dia yang bikin gue kayak begini," kata Nino lagi. "Dan seakan belum cukup mengkhianati gue
di SMP, dia pindah kemari dari SMA unggulannya, jadi bintang pemegang ranking pertama,
pemenang lomba, ketua OSIS, idola cewek-cewek" Dia belum cukup liat gue hancur! Dia
masih mau ngejek gue!"
Yasmine menatap Nino tak percaya. Ia tidak pernah berpikir Ferris bisa melakukan hal-hal
seperti itu. Nino menatap Yasmine sinis. "Apa" Gue ngehancurin image pangeran pujaan lo?"
Gue" Cuma" Dia bukan pengeran pujaan gue," Yasmine tergagap, membuat Nino terkekeh.
"Ganteng, kaya, pinter" dia bukan pangeran pujaan lo" Gue percaya," komentarnya, masih
belum kehilangan nada sinisnya.
"Lo bisa bilang gue cewek aneh," kata Yasmine, jantungnya mendadak berdegup kencang.
"Tapi" gue punya kecenderungan tertarik sama cowok brengsek."
Nino terdiam untuk beberapa saat. Ia menatap anak perempuan di depannya itu tanpa berkedip
sementara Yasmine membalasnya berani. Yasmine tidak tahu kalau Nino sekarang mati-matian
berusaha menahan segala keinginan untuk menerkamnya.
Tahu-tahu terdengar suara ganjil memecah keheningan. Yasmine buru-buru memegang perut
sambil menatap Nino malu-malu. Nino bengong sesaat, sejurus kemudian tawanya menyembur
dan tak bisa dihentikan untuk beberapa menit. Yasmine sendiri menatapnya sambil cemberut.
"Ehem" sori," kata Nino setelah puas tertawa. Ia menatap Yasmine, masih dengan sisa-sisa
senyum di bibir. "Lo bener-bener deh" Polos."
Yasmine terdiam sebentar, lalu mengedikkan bahu.
"Gue anggep sebagai pujian deh," katanya sambil bangkit dan menepuk-nepuk jeans-nya yang
kotor. Ia lalu mengulurkan tangan kepada Nino. "Ayo pulang."
Nino menatap tangan itu sebentar, kemudian meraihnya, bermaksud untuk berdiri dengan
menumpukan berat badannya pada Yasmine. Yasmine yang tidak siap malah tertarik kearah
Nino dan tanpa sengaja memeluknya. Saking dekatnya, Yasmine sampai yakin ia mendengar
detak jantung Nino. "Lo harus makan dulu," bisik Nino membuat Yasmine tersadar dari khayalannya. Yasmine
langsung mundur beberapa langkah sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga, salah
tingkah. Telinganya terasa panas saat Nino berbisik tadi.
Tak terlihat menyadar apa pun, Nino melangka, bermaksud keluar kelas sementara Yasmine
masih terdiam memegangi kedua pipinya. Saat sadar Yasmine tidak mengikutinya, Nino
menoleh. "Lo kenapa?" tanya Nino membuat Yasmine kembali salah tingkah.
"Eh" Nggak apa-apa!" seru Yasmine kelewat ceria. "Ayo pulang!"
Yasmine melesat mendahului Nino keluar kelas, membuat Nino mengernyitkan dahi. Ia lalu
mengedikka bahu dan mengikutinya.
Part 10 Nino membuka mata perlahan, tapi segera memejamkan mata lagi. Cahaya matahari yang
menyilaukan membuat matanya terasa perih. Nino mengucek mata, lalu mencoba duduk dan
melihat sekeliling. Ruangan kelasnya masih lengang. Nino bangkit, lantas menggerakkan pinggang yang terasa
kaku. Lehernya juga terasa sakit. Tidurnya semalam sangat tidak nyenyak. Selain lantai kelasnya
keras dan dingin, nyamuk yang berkeliaran juga tidak tanggung-tanggung. Nino menggaruk
tangan dan pipinya yang penuh bentol.
Nino terasuk ke bangkunya, lalu duduk. Ia lantas menatap ke depan, kea rah papan tulis yang
dipenuhi coret-coretan anak buahnya. Kebanyakan coretan itu tentang makian terhadap guru, tapi
ada juga yang menjadikan papan itu ajang untuk menitip salam.
Nino menguap, lalu tanpa sengaja melirik meja di sebelahnya. Meja Yasmine.
Nino tersenyum sendiri, mengingat kejadian semalam. Ia tak pernah menyangka masih ada hal
yang bisa membuatnya tersenyum setelah mimpi buruknya selama tiga tahun menjadi nyata.
Nino menghela napas, sekarang teringat pada sosok ayahnya yang muncul di pintu rumah setelah
tiga tahun di penjara. Nino berpikir ia masih punya waktu dua tahun, tapi ternyata ia salah.
Ayahnya sekarang sudah kembal. Itu yang menolak Nino untuk pulang.
Tanpa ia sadari, ia meraba punggungnya yang mendadak terasa sakit. Bukan karena tidur di
lantai yang keras, tapi karena luka di masa lalu. Luka yang sampai kapan pun tak akan bisa
sembuh. "Hei," Nino mendongak, lalu melongo saat melihat siapa yang barusan berbicara. Yasmine munvul dari
pintu kelas, lantas masuk dengan ceria sambil menenteng sebuah tas berwarna pink. Ia
meletakkan tas itu di atas meja Nino, membuka isinya dan menyododrkannya pada Nino.
Nino hanya menatap bingung kotak bekal di tangan Yasmine.
"Gue tau lo pasti masih di sini," kata Yasmine sambil tersenyum. "Mankanya gue dateng pagipagi. Ini, sarapan dulu."
Nino menatap Yasmine yang masih tersenyum, lalu kembali menatap kotak bekal bergambar
Hello Kitty itu dan menerimanya. Yasmine segera duduk di depannya.
"Punya lo?""
"Oh, gue" Udah makan," jawab Yasmine cepat, membuat Nino mengangguk-angguk. Nino
lantas membuka tutup kotak bekal itu, membuat Yasmine segera meringis. "Gue nggak bisa
masak, sori ya." Nino menatap nasi putih beserta beberapa sosis goreng di bentuk gurita dan telur orak arik yang
ada di dalam kotak bekal itu, tapi tak lantas meahapnya. Ia menatap Yasmine lekat-lekat, lalu
dengan sekali gerakan cepat, ia meraih kepala Yasmine dan mengecup dahinya.
Yasmine melongo parah sementara Nino segera asyik mengunyah sosis. Beberapa saat
kemudian, Yasmine sadar dan memegang pipinya sendiri yang sudah terasa panas. Nino
melihatnya dari sudut mata, tapi pura-pura tidak peduli walaupun setengah mati ingin tertawa.
"Siapa juga bisa masak yang kayak begini," komentar Nino setelah selesai makan, membuat
Yasmine mendelik. Nino tertawa, lalu menepuk kepala Yasmine.
"Makasih," gumam Nnino tak jelas sambil bangkit dan mengelus-elus perutnya yang kenyang.
"Apa?" tanya Yasmine pura-pura tak mendengar, tak ingin melepaskan Nino kali ini. Nino
berdecak kemudian mendekati Yasmine yang segera menunduk.
"Apa perlu gue bilang dengan cara lain?" tanya Nino membuat Yasmine cepat-cepat menggeleng
takut. Nino mengangguk-angguk dengan ekspresi jahil, lalu meregangkan otot-ototnya.
Yasminemenatap kemeja Nino yang kotor.
"No, kemeja lo kotor banget tuh. Lo nggak ada baju ganti?" tanya Yasmine, membuat Nino
mengintip punggung kemejanya yang memang sudah cokelat terkena debu lantai.
"Oh, baju olahraga," Nino segera mengeluarkan baju olahraganya dari laci, membuat Yasmine
bergidik. Yasmine bersumpah suatu saat akan mengeluarkan isi laci Nino dan mengirimnya ke
laundri. Nino melepas kemejanya, dan pada saat itulah Yasmine menyadari sesuatu. Yasmine bangkit,
lantas mendekati Nino menyentuh punggungnya. Nino tersentak kaget dan buru-buru
mengenakan kaus olahraga, tapi Yasmine sudah keburu melihat. Ia sudah melihat bekas-bekas
luka panjang yang memenuhi punggung Nino.
"Kenapa?""
Nino mengehela napas, lalau menyisir rambutnya sendiri dengan jari. Ia sedang tidak ingin
bercerita apa pun. "Bokap lo ya?" tanya Yasmine membuat Nino mendelik. Yasmine segera menutup mulut, tahu
kalau tebakannya benar. "Jangan ngomongin soal itu lah," sergah Nino, kembali dingin seperti kemarin-kemarin. Nino
Our Story Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lantas mendesah. "Gue mau mandi dulu."
Nino bergerak kea rah pintu, tapi langkahnya tiba-tiba terhenti. Sisca ada di sana sambil menatap
mereka tak percaya. "Ngapain lo berdua hari gini?" tanyanya curiga.
"Bukan urusan lo, pecun," kata Nino sinis, lalu melewatinya.
"NINO,: SAHUT Yamine, tapi Nino sudah menghilang di balik pintu. Yasmine lantas menatap
Sisca penuh rasa bersalah. "Sori ya."
"Kenapa lo minta maaf?" tanya Sisca dingin. "Memang lo siapanya?"
"Gue" tapi memang nggak seharusnya Nino ngomong begitu, kan?" kata Yasmine, membuat
Sisca mendekatinya dengan tatapan sinis.
"Jangan minta maaf atas nama dia," desis Sisca tanpa berkedip. "Lo bukan siapa-siapa."
Yasmine menggigit bibir sementara Sisca melewatinya dan melemparkan task e bangkunya.
Yasmine menoleh, lalu menatap Sisca yang sekarang sudah sibuk dengan ponsel.
"Kenapa lo diem aja sih dikatain pecun?" tanya Yasmine, tak tahan dengan rasa penasarannya.
"Lo nggak ngerasa harga diri lo diinjek-injek?"
Sisca mengangkat wajah dari layar ponsel, kemudia menatap Yasmine tajam. Ia lantas bangkit
dan mendekati Yasmine yang tampak gemetar. Tanpa kata-kata, Sisca menampar keras wajah
Yasmine. "Tau apa lo?" desis Sisca geram. "TAU APA LO!!"
Sisca menabrak tubuh Yasmine hingga oleng, lalu berderap keluar kelas. Yasmine meraba pipi
kanannya yang berdenyut menyakitkan.
Baru kali ini ia ditampar seseorang.
*** "Halo! Ada orangnya gak ya?"
Yasmine tersentak, lantas menatap kearah pintu. Mei melongokkan kepala dari sana. Anak
perempuan itu melambai, lalu masuk ke dalam.
"Waah... baru kali ini gue masuk ruang OSIS, ternyata enak juga," komentarnya sambil
melempar pandangan ke sekeliling. Ia lalu menatap Yasmine yang hanya sendirian di ruangan
itu. "Si ketua OSIS ke mana?"
"Lagi ke ruang guru," jawab Yasmine sambil tersenyum lemah. Mei memperhatikan Yasmine,
lantas duduk di depannya.
"Lo kenapa" PMS?" tanya Mei membuat Yasmine menggeleng. Mei mengangguk-angguk pelan.
Ia tahu ada yang aneh dengan Yasmine, karena tidak biasanya anak itu melamun sepanjang hari.
"Tadi" gue tanya sama Sisca," kata Yasmine, membuat Mei menatapnya. "Kenapa dia nggak
marah karena dibilang pecun. Kenapa dia nggak ngerasa harga dirinya diinjek. Tapi" dia malah
nampar gue." Yasmine meraba pipinya, ia masih merasa panas sampai sekarang. Mei menatapnya simpati, lalu
menghela napas. "Jawabannya gampang aja," kata Mei membuat Yasmine menatapnya. "Karena dia emang
pecun." Mata Yasmine melebar mendengar jawaban Mei. "Maksud lo?"
"Dia, gue, dan kebanyakan cewek di sekolah ini," kata Mei santai.
Yasmine sekarang menganga. "Tap-tapi itu nggak bener,kan" Itu Cuma image sekolah kita, kan"
Itu Cuma yang orang-orang pikir tentang kita, kan?"
"Itu semua bener, Yas, bukan Cuma image," Mei tersenyum miris. "Dan jangan bilang"kita", lo
bikin gue jadi sedih. Lo bukan bagian dari "kita". Lo nggak akan pernah."
Yasmine menekap mulutnya sendiri, tak percaya dengan pendengarannya barusn. Selama ini, ia
menyangka julukan "pecun" itu hanyalah ejekan, bukan yang sebenernya terjadi. Tapi ternyata ia
salah." "Tapi kenapa?""
"Banyak alasannya," jawab Mei lagi. "Alasan-alasan yang cewek seperti lo nggak bakal
mengerti." Yasmine menatap Mei lama hingga matanya terasa panas. Ia lalu teringat pada Sisca dan
ekspresinya saat ia menampar Yasmine.
Yasmine memang tidak tahu apa alasan Sisca, tapi Yasmine ingin mengetahuinya.
Part 11 Sisca membuka pintu rumahnya yang reyot, kemudian masuk tanpa bersuara. Tanpa melepas
sepatu, ia masuk ke dalam kamar dan membanting pintu.
Sisca merebahkan tubuh di atas ranjang dan menatap langit-langit kamarnya yang penuh sarang
laba-laba. Sisca bedecak, lalu tahu-tahu pintu kamarnya terbuka. Seorang pria tua muncul dari
sana. "Udah gue bilang kalo mau masuk ketok dulu!" Sisca bangkit dan mendekatinya untuk
mencegahnya masuk ke dalam kamar. "Ada apaan sih?"
"Bapak Cuma mau lihat kamu," kata ayahnya. Sisca mendesah.
"Udah liat kan" Udah sana, ah!" Sisca mendorong ayahnya, lalu bermaksud menutup pintu. Tapi
ayahnya menahannya. "Sis" Bapak tadi dapat uang untuk bayar uang sekolah kamu," kata ayahnya lagi, membuat
Sisca menatapnya. "Mana?" tanya Sisca ketus. Ayahnya merogoh peci, lalu menyerahkan beberapa lembar uang
dari sana. Sisca menerima lembaran uang sepuluh ribuan, lima ribuan, dan seribuan, lalu tertawa sinis.
"Mana cukup ini!" Sisca melempar uang itu kembali pada ayahnya. "Bapak jangan malu-maluin
Sisca deh, bayar sekolah pake duit ginian."
Sisca kembali masuk ek dalam kamar, lantas membanting pintu kamarnya. Ia bisa mendengar
suara batuk-batuk, jadi ia menyurukkan kepala di antara bantal agar tak bisa mendengarnya. Tapi
entah bagaimana, batuk ayahnya yang sudah menahun itu tetap isa menembus bantal dan masuk
ke telinganya "SIALAN!" sahut Sisca. "Kenapa gue bisa lahir di keluarga begini, hah?" KENAPA?"?"
Sisca melempar bantal kea rah pintu, lalu menjambak rambutnya sendiri, menyesali nasibnya.
Saat ia baru saja merasa tenang, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Sisca mengambilnya, kemudian
menatap nanar gambar yang baru saja masuk ponselnya.
Ade, sahabat baik skaligus saingan saat SMP, tampak sedang menggandeng seorang anak lakilaki ganteng di depan sebuah mobil mewah. Di bawahnya, terdapat tulisan.
Sis, gue baru dibeliin mobil sama cowok gue! Ngiri kan lo"
Sisca berusaha menahan segala emosi yang membuncah di dadanya, tapi ia tak bisa. Ia menggigit
bibir keras-keras sambil meremas rok. Ia teringat pada kejadian tadi pagi saat menemukan
Yasmine dan Nino berdua. Ingatan Sisca lantas terlempar pada kejadian setahun silam, saat ia terpojok di depan sekolah
karena dicampakkan oleh kliennya. Nino yang kebetulan sedang lewat, menyelamatkannya.
Semenjak itulah, Sisca memutuskan untuk tidak lagi menerima orderan dan bertahan walau
semiskin apa pun hidupnya.
Tapi bahkan alasan itu sudah tidak ada lagi.
Yasmine sudah mengambilnya. Anak bau kencur itu mengambil semua di saat ia sudah punya
semuanya. Sisca merasa darahnya naik ke kepala. Tangannya menggenggam ponsel keras, lalu menekan
sebuah tombol. "Bang?" kata Sisca begitu tersambung. "Lo inget anak baru yang gue bilang itu" lo cari tau dan
laporin ke gue "ntar malem". Ya, "ntar malem" kita ketemu. Sekalian" cariin gue klien."
Sisca mendengarkan kata-kata lawan bicaranya, lalu menyudahi hubungan telepon. Sisca
menatap pantulan wajahnya sendiri di cermin. Ia akan kembali lagi ke kehidupan lamanya, garagara perempuan itu.
Saatnya untuk membalas dendam.
Part 12 Yasmine melangkah menuju sekolah tanpa semangat. Memang, sebelumnya ia juga tidak pernah
bersemangat, tapi hari ini berbeda. Ia merasa bersalah pada Sisca karena sudah membuatnya
marah kemarin, sekaligus takut karena kemungkinan besar hari ini ia akan kembali dibuli.
Yasmine melewati beberapa anak yang menatapnya penuh minat. Yasmine balik menatap
mereka bingung, lalu mengedikkan bahu. Mungkin mereka para junior yang baru melihat
Yasmine, atau baru mendengar cerita tentang Yasmine.
Tapi begitu masuk ke dalam gedung sekolah, Yasmine melihat lebih banyak anak yang kasak
kusuk, bahkan ada yang terang-terangan menunjuknya sambil tertawa-tawa. Yasmine seketika
mendapat firasat buruk. Jelas-jelas ini sudah tidak normal.
Yasmine lantas menatap bingung kelasnya yang ramai oleh murid-murid. Yasmine dapat
mengenali mereka seebagai anak kelas sepuluh dan sebelas. Tapi apa yang mereka lakukan di
kelasnya" Anak-anak itu tiba-tiba menyadari kehadiran Yasmine, lalu membuka jalan baginya sambil
terkikik. Yasmine mengernyit, tapi melangkah masuk juga. Sisca berdiri tepat dihadapannya
dengan tangan terlipat di depan dada sambil tersenyum sinis.
"Ada apaan ya?" tanya Yasmine, masih tidak sadar dengan apa yang terjadi.
Sisca tidak menjawab. Ia hanya mengedikkan bahu kearah papan tulis. Yasmine menoleh, lalu
matanya melebar saat melihat apa yang dilihatnya.
Beberapa foto dirinya beberapa tahun lalu, entah bagaimana, tertempel di sana. Foto-foto yang
merupakan aib bagi Yasmine. Foto-foto yang merupakan bukti eksistensi dirinya de masa lalu.
Fakta yang ia sedang berusaha lupakan.
Yasmine tahu ia lupa bernapas, dan air mata sudah mengenang di pelupuk matanya. Seluruh
tubuhnya gemetar dan muncul keringat dingin. Ia bisa mendengar beberapa cemoohan di
belakangnya. "Ternyata dia dulu gendut begitu?"
"Nggak ada cakep-cakepnya?"
"operasi kali ya, dia?"
Tangan Yasmine perlahan terangkat. Ia menutup telinganya sendiri supaya tak bisa mendengar
lagi. "Get lost, you freakin" Asian fatso! "
"What" That ugly Asian likes me" You gotta be kidding me!"
"What the heck is she doing with james" She"s plain ugly! She"d never get a single chance!"
Ia masih bisa mendengar. Sekarang semuanya kembali berputar di kepala Yasmine dan
membuatnya mual. Yasmine menekap mulut, lalu segera menghambur keluar kelas. Katika melewati pintu, ia tak
sengaja menabrak seseorang. Yasmine mendongak, dan menatap Nino yang balas menatapnya
bingung. "Kenapa lo?" tanya Nino, tapi Yasmine tak menjawab. Ia berderap melewati kerumunan, lalu
menghilang. Nino bertukar pandang dengan teman-temannya, lantas beralih pada kerumunan di depan
kelasnya. "Ada apaan nih?" seru Bowo mewakili rasa penasaran Nino. "Ngapain lo pada di depan kelas
kita?" "Itu, Kak, ada yang lucu," jawab seorang anak laki-laki kelas sepulus, membuat Nino dan yang
lain segera masuk kelas untuk mencari tahu..
Nino melihat Sisca yang masih tertawa-tawa, lalu menoleh kea rah papan tulis. Nino
memicingkan mata untuk melihat lebih jelas.
Di sebelah kiri, di bawah ada bacaan "before", terdapat foto-foto seorang anak perempuan yang
sangat gemuk. Di sebelah kanan, di bawah tulisan "after", terdapat fiti Yasmine yang sekarang.
Nino tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat, otaknya sibuk mencerna informasi baru itu.
"Gimana, No" gue nggak pake edit-edit lho. Foto-foto itu asli gue dapet dari temen SMP-nya
dulu," Sisca nyengir penuh kemenangan.
Nino menatap datar foto-foto itu, lalu melangkah keluar kelas dan menarik masuk anak laki-laki
yang tadi menjawab Bowo. Ia menjambak rambutnya dan membuatnya menghadap papan tulis.
"Lo bilang ada yang lucu" Mana yang lucu?" tanya Nino dingin sementara semua anak sekarang
menatapnya ngeri. "Ng-nggak, Bos," cicit anak itu, membuat Nino melemparnya ke papan tulis. Dalam hitungan
detik, Nino mneyambar kerah kemeja Sisca dan menariknya.
"Lo" Selain jadi pecun ternyata berbakat juga jadi wartawan infotaiment," desis Nino, sementara
Sisca sudah genetaran. Nino melepaskan Sisca sehingga ia terhempas ke lantai. Ia lantas menatap tajam ke sekeliling,
membuat kerumunan itu bubar seketika.
"Beresin ini," perintah Nino pada Yudhis yang langsung mengangguk. Ia kemudian melangkah
keluar kelas, bermaksud mencari Yasmine.
Nino berderap ke koridor, mendorong anak-anak yang menghalangi jalannya. Ia mencari sosok
Yasmine di setiap sudut, tapi tak ditemukannya.
Nino menghela napas, lalu tanpa sengaja melirik ke kamar mandi perempuan, satu-satunya
tempat yang belum ia periksa. Nino menatapnya ragu, tapi melangkah juga kesana. Ia
melongokkan kepala ke dalam kamar mandi dan mendapat
i Yasmine sedang berjongkok di
depan WC. Nino menatapnya sebentar, lalu mendekatinya.
Yasmine yang menyadari kehadiran orang lain segera menoleh, lantas mengalihkan pandangan
saat tahu itu Nino. Nino sendiri sudah kepalang melihat mata Yasmine yang basah, tapi ia tak
berkata apa pun. Ia hanya memperhatikan Yasmine yang masih terisak pelan, sambil berjongkok
di depan pintu kamar mandi.
Yasmine bersyukur Nino tak bertanya apa pun.
*** "Haloo?" Mei melongokkan kepala ke dalam ruangan OSIS, kemudian masuk tanpa dipersilahkan. Ferris
yang ada di kursi kebesarannya hanya mengernyit.
"Ada apa ya?" tanyanya, tak biasa melihat Mei ada di sini.
"Nggak apa-apa. Tadi di kelas lo nggak ada, mankanya gue piker lo pasti ada di sini," Mei
menarik kursi dan duduk di depan Ferris. "Lo kehilangan momen tadi."
"Momen apa?" Ferris melirik jam tangan. Ia yakin belum ada jam pelajaran apa pun dimulai saat
ini, mankanya ia memutuskan untuk menyepi di ruang OSIS.
Mei menatap Ferris, lalu menghela napas.
"Si, Yasmine. Dipermalukan Sisca di depan kelas," kata Mei, membuat Ferris menatapnya
dengan mata melotot. "Dipermalukan" gimana?"
"Entah gimana, Sisca bisa dapet foto-foto Yasmine jaman julu, dan di tempel di papan tulis,"
kata Mei lagi, sementara Ferris masih menatapnya bingung. Mei menghela napas. "Yasmine
dulunya gendut." Ferris terdiam sesaat, lalu kembali bingung.
"Terus?" komentar Ferris, tak tahu apa yang harus dipusingkan.
"Lo cowok sih, susah deh," Mei memutar bola mata. "Buat cewek, apalagi yang semanis
Yasmine, gendut bisa jadi aib. Sisca sengaja masang foto itu supaya Nino ngejauhin Yasmine."
Ferris mengangguk-angguk, walaupun dalam hati ia masih tidak terlalu mengerti.
"Terus?"" kata Ferris, tapi tak segera melanjutkannya.
Mei menatapnya, lalu tersenyum penuh arti. "Terus gimana sama Nino, maksud lo?"
Ferris menatap Mei tanpa berkedip. Mei bisa membuka usaha ramal kalau ia mau. Mei lantas
terkekeh saat melihat ekspresi Ferris.
"Nino langsung ngejar dia," kata Mei. "Aneh ya" Gue piker dia bukan tipe cowok yang setia
sama satu cewek?" Ferris tidak langsung menanggapi kata-kata Mei, karena ia sendiri heran. Ia memang tak pernah
melihat Nino dekat dengan perempuan mana pun lebih dari dua hari.
"Terus, Ris, ada sesuatu," kata Mei lagi, membuat Ferris kembali menatapnya. "Ini memang
masih dugaan gue, tapi kalo feeling gue bener, Yasmine itu" anoreksia."
Ferris mengernyit. Ia tahu appa anoreksia. Anoreksia adalah gangguan makan yang berupa
pengurangan porsi makan secara sengaja. Tapi Ferris tak pernah menyangka Yasmine
mengidapnya. "Dulu temen gue juga pernah mengidap anoreksia. Gejalanya mirip Yasmine," kata Mei. "Dia
nggak tahan tekanan, dan badannya kurus nggak wajar. Kapan hari" gue nemu Yasmine
muntah-muntah setelah dikerjain Sisca."
Setelah Ferris piker-pikir, ia memang tidak pernah melihat Yasmine makan apa pun di mana pun.
Wajah Yasmine juga sering tampak pucat, apalagi kalau ia sedang takut atau sedang cemas.
Ferris tampak berpikir keras, membuat Mei tersenyum simpul.
"Lo mikirin dia" Mau ngehibur dia?" tanya Mei, membuat Ferris tersadar, lalu menatapnya
kesal. "Bosa, lo nggak selalu ngambil keputusan sendiri?" sungut Ferris membuat Mei terkekeh.
"Lo gampang di tebak sih, Ris," Mei bangkit, membuat Ferris sadar betapa pendeknya rok anak
perempuan itu. mei lantas menatap sekeliling. "Oke. Mulai sekarang gue sering-sering hang-out
di sini deh." Ferris mengalihkan pandangan dari rok ke wajah Mia. "Ha" Kenapa?"
"Ya" mau main aja. Dari pada bosen di kelas?" Mei lalu memicing pada Ferris. "Atau" lo
nggak suka kalau gue dateng" Takut gue ganggu lo berduaan sama Yasmine?"
Ferris berdecak. "Terserah lo lah," gerutunya. Mei segera terbahak.
"Ya ampuuun" lo imut banget sih," goda Mei, membuat Ferris kembali menatap monitor tanpa
benar-benar membaca proposalnya.
Masih tersenyum simpul, Mei berjalan-jalan ke rak dan menemukan sebuah buku kenangan
lama. Ia lantas membawanya ke meja dan membacanya penuh semangat.
Feris mengintipnya dari balik monitor, lalu menghela napas lega. Setidaknya anak perempuan itu
tidak mencoba-coba menebak isi otaknya lagi.
Pikiran Ferris lantas melayang pada Yasmine. Ia khawatir dengan anak erempuan itu. tapi karena
Nino bersamanya, mungkin Yasmine baik-baik saja. Atau karena Nino bersamanya, ia malah
harus khawatir" "Dia pasti baik-baik aja kok," kata Mei membuat Ferris melotot, kehilangan kata-kata.
Mei langsung terkikik geli.
*** "Lo" nggak mau tanya apa-apa, No?"
Yasmine menatap Nino yang hanya menatap lapangan gersang. Nino berhasil membawa
Yasmine keluar dari kamar mandi dan duduk di tumpukan kayu tempat ia biasa nongkrong.
Nino melirik Yasmine yang pucat, lalu bangkit.
"Lo tunggu sini," katanya, kemudian melangkah pergi. Yasmine hanya menatapnya bingung.
Yasmine benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Ia malu. Ia takut. Ia ingin menghilang
selamanya, seperti yang pernah dirasakannya saat sekolah di Manhattan.
Sebotol air mineral tiba-tiba muncul di depan Yasmine. Yasmine mendongak, lalu mendapati
Nino yang sudah kembali dengan air mineral dan sebungkus roti. Yasmine menerima air
mineralnya, tapi ia hanya mleirik roti di tangan Nino.
Our Story Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Makan," kata Nino, membuat Yasmine meneguk ludah. Tangannya terangkat gemetar, tapi tak
kunjung menerima roti itu.
Nino berdecak tak sabar, lalu meraih tangan Yasmine dan menjejalkan roti itu padanya. Ia lantas
duduk di samping Yasmine sementara Yasmine masih menatap kosong roti di tangannya. Air
matanya mulai mengalir. "Gue?" Yasmine tercekat. "Gue" anoreksia."
"Gue nggak ngerti istilah-istilah begitu," tukas Nino sambil mengorek kuping. "Udahlah lo
makan aja." Yasmine menatap Nio memohon, tapi Nino malah balas menatapnya galak.
"Mau makan gak lo?" benatknya, membuat Yasmine tersentak. Yasmine segera membuka
bungkus roti itu, lalu menatapnya ragu. Yasmine bisa melihat tampang tak sabarnya Nino dari
sudut matanya, lantas mulai menggigit roti itu.
Seketika Yasmine langsung merasa bersalah. Tidak seharusnya ia makan. Tidak seharusnya.
Nanti ia kembali jadi gemuk. Nanti ia kembali tidak cantik. Nanti semua orang akan
menertawainya lagi. Yasmine langsung merasa mual. Roti itu tidak bisa masuk tenggorokannya. Yasmine baru akan
kembali ke kamar mandi saat Nino meraih tangannya dan menariknya hingga kembali terduduk.
Yasminemanatap Nino ynag sudah menatapnya tajam.
"Lo mau mati?" desis Nino dengan suara rendah. Yasmine menatapnya tanpa berkedip, air
matanya sudah melelh lagi. "Lo mau mati,ya?"
Tangis Yasmine pecah seketika, tapi tak membuat Nino kasihan. Nino berjongkok di depan
Yasmine yang terisak hebat.
"Lo boleh pura-pura nangis atau apa pun, tapi gue tetep harus liat lo makan," kata Nino,
membuat tangis Yasmine semakin keras. "Lo mau makan selama apapun, gue tunggu. Tapi
jangan bilang lo nggak mau makan."
"Lo nggak ngerti, sih!" Yasmine memukul Nino, membuatnya kaget. "Lo nggak ngerti."
Nino membiarkan Yasmine memukulinya hingga anak perempuan itu merasa lelah sendiri.
Beberapa menit kemudian, Yasmine sudah tampak terengah-engah.
"Lian" Lo bahkan nggak punya tenaga buat nangis," kata Nino. "Jadi jangan nangis. Yang lo
perlu lakuin itu makan."
Yasmine menatap Nino, berusaha mengumpulkan tenaganya. Ia tahu ia pusing sekarang, tapi ia
tetap tidak ingin makan. Ia hanya boleh makan sehari sekali, yaitu saat jam tiga siang. Ia tidak
boleh makan sekarang. "Kalo lo nggak mulai makan, gue bakalan ngejejelin tu roti ke mulut lo," kata Nino lagi kejam,
membuat mata Yasmine melebar takut. "Jadi?"
"Please, No,please?" pinta Yasmine, tapi Nino malah bangkit dan merebut roti itu dari
tangannya. Yasmine menekap mulut, kembali terisak.
"Gue harus lakuin ini," kata Nino, tampak bersungguh-sungguh. "Gue" Gue nggak mau liat lo
mati konyol." Yasmine menatap Nino tak percaya. Nino sendiri menatap Yasmine tanpa berkedip sampai
matanya berair. Ia mengeraskan rahang. Roti di tangannya sudah hamper tak berbentuk.
"Lo" mau liat gue gendut?" tanya Yasmine dengan suara serak.
"Asal lo hidup," jawab Nino, membuat Yasmine menunduk, kembali terisak.
Nino menghela napas, lalu berjongkok di depan Yasmine dan menyodorkan roti itu. Yasmine
menatapnya lama, kemudian mulai menggigitnya. Ia perlahan mengunyah, menahan setengah
mati rasa mual di perutnya.
"Telan, Yas," perintah Nino, sadar kalau Yasmine hanya menyimpan roti itu di dalam mulut.
Yasmine menarik napas, lalu sekuat tenaga menelan roti itu hingga wajahnya memerah. Saat ia
berhasil melakukannya, ia langsung menggapai botol air mineral dan minum banyak-banyak.
Nino menatap Yasmine, lalu menggeleng-geleng lelah. Ia tahu ada yang salah dengan Yasmine
karena ia tidak pernah melihat Yasmine makan sekali pun. Saat Yasmine mengambil ponselnya
dan bertemu Nino, perutnya berbunyi tapi ia menolak makan dan malah langsung pulang.
"Kenapa lo bisa begini sih?" desahnya membuat Yasmine menunduk.
"Sori," gumam Yasmine lirih. Ia merasa tak siap membuka masa lalunya.
"Gue nggak peduli," kata Nino, membuat Yasmine mendongak. "Gue nggak peduli masa lalu lo.
Yang penting, selama lo ada di deket gue, lo harus makan."
Yasmine menatap Nino lama, lalu mengangguk pelan. Nino menghela napas, lantas bangkit dan
menepuk kepal Yasmine. "Habisin," kata Nino, membuat Yasmine kembali menatap roti di tangannya. Nino melirik lagi,
lalu merebut roti itu. "Sini gue bantuin."
Nino membagi roti itu jadi dua, lalu melahap habis bagiannya dan memberikan sisanya pada
Yasmine. Yasmine tersenyum lemah, kemudian mulai menggigit lagi roti ditangannya, dan bisa
menelannya tanpa banyak kesulitan.
Yasmine juga mulai bisa merasakan makanan di mulutnya. Sebelumnya, ia tidak pernah
merasakan apa pun, dan hanya menelannya bulat-bulat. Yasmine melirik Nino yang sekarang
sedang minum. Ternyata makan bersama orang lain itu menyenangkan.
Part 13 Ferris mengintip Yasmine dari balik monitor. Tidak seperti biasanya, hari ini wajah Yasmine
terlihat sangat cerah. Ferris kembali menatap proposal pengayaan di monitor. Mungkin Nino
kemarin benar-benaar sudah berhasil menghibur anak perempuan itu. Jadi sekarang, ia tidak
perlu mengungkit-ungkit soal kemarin lagi.
Ferris akan kembali mengetik saat pintu tiba-tiba menjeblak terbuka. Mei muncul dari sana
dengan wajah ceria. "Halooo?" serunya sambil melempar cengiran pada Ferris yang langsung menghela napas.
Anak perempuan itu ternyata menepati janjinya untuk dating lagi.
Mei mendekati Yasmine yang sudah nyengir jugs.
"Gimana, Yas" Lo siap kan masuk kelas pagi ini?" tanya Mei membuat Yasmine mengangguk.
Mei menepuk bahunya. "Gitu dong, Yas! Baru cewek keren," Mei duduk dan memperhatikan wajahnya. "Kemaren
gimana, diapain lo sama Nino sampe bisa hepi begini?"
Ferris melotot kea rah Mei yang tampak tak peduli. Yasmine sendiri hanya tersenyum-senyum
malu sambil memegang kedua pipinya yang terasa panas.
"Cieeee?" goda Mei. "Sampe bersemu-semu gituuu?"
"Apaan sih, Mei," kata Yasmine malu sambil mendorong Mei. :Nggak diapa-apain kok" Cuma
makan roti bareng?" Mei dan Ferris mengerjap mata saat mendengar kata-kata Yasmine, lalu saling lirik sementara
Yasmine masih sibuk dengan dunianya sendiri, mengingat momen indahnya kemarin.
"Oooke," komentar Mei. "Eh iya, Yas, lo tau nggak, kemaren Ferris juga khawatir berat loh."
Ferris mendelik pada Mei yang sengaja menatap langit-langit sambil bersiaul, sementara
Yasmine menoleh pada Ferris. Ferris beralih menatap Yasmine, lalu tersenyum kaku.
"Tapi" yang penting lo udah nggak apa-apa kan?" tanya Ferris membuat Yasmine mengangguk
sambil tersenyum ceria. Ferris ikut mengangguk-angguk lalu melempar tatapan judes kea rah
Mei yang malas menjulurkan lidah.
Tahu-tahu sebuah kepala menyembul di jendela, membuat Mei yang kebetulan melihatnya
hamper kena serangan jantung. Mei buru-buru keluar, lalu mendapati a=Anwar sedang berusaha
mengintip. "Siapa lo?" sahut Mei membuat Anwar terlonjak. Yasmine dan Ferris segera menyusulnya dan
menatap Anwar bingung. "Sa-saya disuruh Bos, Kak?" cicit Anwar membuat ketiga anak itu mengernyit.
"Disuruh apa?" tanya Ferris heran sementara Anwar tampak panic.
"Emh" disuruh" mata-matain?" Anwar terbata membuat Ferris, Yasmine, dan Mei saling
tukar pandang, lalu tertawa geli.
"Mata-matain Yasmine sama Ferris, maksud lo?" tanya Mei membuat Anwar mengangguk
pelan. "Tenang aja, lapor sama Bos lo sana, kalo udah ad ague yang mata-matain!"
Anwar mengangguk dengan segera. Ia baru akan berbalik saat Yasmine meraih bahunya.
"Gue ikut," kata Yasmine membuat Anwar melotot. "Tenang aja, nggak apa-apa kok."
Anwar menatapnya ragu, lalu kemudian mengangguk juga. Yasmine melambai pada Mei dan
Ferris, lalu bersama Anwar berjalan menuju markas Nino di depan sekolah.
"Waah" Nino udah pake kirim mata-mata tuh. Gimana, Ris?" tanya Mei sambil menoleh, tapi
Ferris sudah tidak ada disebelahnya. Mei melongok ke dalam ruangan, dan ternyata Ferris sudah
kembali duduk di kursi kebesarannya.
Mei berdecak kaki, lalu masuk dan duduk di depan Ferris sambil menatapnya penuh selidik.
Ferris sendiri sudah kembali sibuk dengan proposalnya.
"Lo nggak cemburu, Ris" Atau" Apa ini cara lo untuk menutup-nutupi perasaan lo"
" tanya Mei dengan gaya penyiar infotaiment, membuat Ferris meliriknya sebal, tapi menolak
berkomentar. Mei menatapnya, lalu menghela napas dan bangkit. Saat Ferris menyangka Mei akan pergi, tahutahu anak perempuan itu malah menghampirinya dan duduk di atas meja tepat di depannya.
"Emang lo lagi ngapain sih" Sok sibuk amat," Mei menatap monitor sementara Ferris tak tahu
harus melihat kemana, karena rok Mei yang sangat pendek itu membuatnya rishi. Ferris sendiri
tak tahu kenapa dia yang harus merasa rishi, sementara yang memakainya nampak santai-santai
saja. Ferris menghela napas, lalu membuka laci meja dan mengeluarkan sarung miliknya. Ia lantas
menutup paha Mei dengan sarung itu sementara Mei melongo.
Mai masih melongo saat Ferris meliriknya.
"Apa?" tanya Ferris datar.
Detik merikutnya Mei terbahak geli. Ferris sndiri tak tahu dimana kesalahannya, jadi ia berdecak
menatap anakperempuan yang tertawa heboh itu.
"Ya ampun, Ris"Huahahaha?" gelak Mei, membuat Ferris keki. Mei berusaha untuk
menghentikan tawanya, tapi percuma. Saraf gelinya sudah tersentuh karena perlakuan Ferris
barusan. "Apaan sih lo?" Ferris bangkit dan bergerak menuju rak, tapi tak tahu apa yang sedang dicarinya.
"Kuping lo, Ris, meraaah?" seru Mei di tengah tawanya, lalu tertawa lagi, kali ini sambil
memukul-mukul meja hingga air matanya menitik.
Ferris segera meraba telinganya sendiri, lantas mendelik pada Mei dan mencibirnya sebal. Anak
itu sudah mengambil hari-hari damainya di ruangan ini.
*** Nino menatap lapangan gersang di depannya sambil berdecak tak sabar. Di tangannya,
tongkatbaseball kebesaran sudah dijejak-jejakkan di tanah. Anak-anak buahnya menatapnya
cemas, tahu bosnya sedang tak sabar menunggu hasil pantauan Anwar.
"Di hibur gih," bisik Bowo pada Haris.
"Ih, ogah, lo aja sono," tolak Haris buru-buru.
Yudhis melirik Nino yang memang nampak gelisah itu. Setengah jam lalu saat mereka keluar
kelas untuk beristirahat, mereka melihat Yasmine dan Ferris berjalan bersama ke ruang OSIS.
Nino tadinya pura-pura tidak peduli, tapi karena malah jadi senewen sendiri, akhirnya Yudhis
mengusulkan untuk mengirim Anwar jadi mata-mata. Nino dengan senang hati menerima usulan
itu. Yudhis jadi geli sendiri mengingat wajah Nino yang salah tingkah saat menyetujui usulannya
tadi. Bosnya sekarang berubah menjadi sedikit rumit, tidak sesimpel dulu. Tapi Yudhis
menyukai bosnya yang sekarang. Semenjak mengenal Yasmine, ia menjadi sedikit lebih
manusiawi. "Bos! Itu Anwar!" sahut Bowo, saat melihat Anwar di kejauhan. Nino tersentak, lalu segera
menoleh. "Eh tapi, Bos" sib ego itu sama si?"
Sebelum Bowo menyelesaikan kata-katanya, Nino sudah duluan melihat Yasmine yang berjalan
disebelah Anwar. Nino bersumpah akan membunuh Anwar tepat setelah ini.
Nino buru-buru bangkit, berusaha untuk mengendalikan ekspresinya. Nino bermaksud ingin sok
cool seperti biasanya, tapi ia malah jadi salah tingkah. Anak-anak buahnya menatapnya bingung,
karena sebellumnya ia tak pernah seperti ini.
"Halo," sapa Yasmine pada mereka semua, disambut gumaman seadanya" Yasminemelirik
Nino yang pura-pura tak melihatnya. "No?"
"Hm?" jawab Nino secepat kilat dengan nada manis, membuat anak-anak buahnya melongo.
Nino menyadari perubahan ekspresi anak-anak buahnya, lalu berdeham, mencoba kembali ke
nada suaranya yang semula. "Apaan?"
"Kenapa lo suruh Anwar mata-matain gue?" tanya Yasmine to the point, membuat Nino mati
kutu. Ia menatap Anwar dengan tatapan membunuh, membuat Anwar segera menunduk serendah
mungi=kin. Yasmine lantas melangkah ke depan Anwar, membuat Nino meneguk ludah.
"Dia sendiri yang mau," jawab nino sekenanya, berusaha untuk terdengar tidak bersalah atau
terlalu khawatir. "Lain kali jangan suruh-suruh orang. Dateng aja sendiri kalo mau tau," kata Yasmine membuat
anak-anak buah Nino saling pandang geli. Nino langsung melirik mereka judes.
"Siapa juga yang mau tau," sergah Nino. Yasmine menghela napas.
"Terserah deh," kata Yasmine. "Yang jelas gue sama Ferris nggak ngapa-ngapain. Ada Mei juga
kok." Nino membuang pandangan supaya nampak tak peduli. Yasmine menatapnya sebal, lalu berbalik
menatap Anwar. "Kalo habis ini lo diapa-apain, bilang gue ya," katanya, malah membuat Anwar melirik Nino
takut. Yasmine menatap Nino lagi, lalu ia melangkah pergi. Setelah yakin Yasmine sudah jauh, Nino
dan semua anak menatap Anwar bengis.
"Bego banget sih lo!" sahut Bowo sambil mendorong kepalanya. "Kenapa bisa ketauan?"
"Ng-nggak tau , Kak," cicit Anwar. "Kak Mei tau-tau nongol."
"Jadi bener tadi di sana ada Mei?" tanya Nino refleks, membuat semua orang menatapnya.
Biasanya Nino tak secerewet ini. Nino lalu berdeham.
"A-ada, Bos," jawab Anwar lagi. "Mereka tadi Cuma ngobrol-ngobro aja. kak Ferris juga sibuk
sendiri sama computer."
Nino mengangguk-angguk, kembali tak sadar kalau ia sedang diperhatikan oleh anak-anak
buahnya. Ia sibuk berpikir. Ferris mungkin tidak suka pada Yasmine. Tapi hamper mustahil
Ferris tidak menyukainya. Ferris selalu ingin mengalahkan Nino dalam hal apa pun. Yasmine
pasti termasuk di dalamnya.
"Bos?" tanya Harris, menyadarkan lamunan Nino. "Abis ini kita mau ke mana" Nongkrong halte
aja yuk, sama anak-anak SMP" Duit kas abis nih."
"Abis ini kita PKN," jawab Nino singkat, tapi sukses membuat semua anak melongo parah.
"PKN" PKN pelajaran itu, maksudnya?" jerit Haris syok. "PKN-nya si Arso?"
Nino hanya mengangguk, tak sadar pada kehebohan yang terjadi di belakangnya. Mereka
memang tak pernah sekalipun masuk pelajaran PKN. Bukannya Nino sekarang sadar akan
pentingnya pelajaran itu, tapi ia tidak ingin melewatkan momen apa pun tentang Yasmine dan
Ferris. Mungkin saja saat PKN mereka berdua duduk berdekatan, saling berbagi buku, pinjam
pensil, atau hal-hal lainnya"
"Gue siap-siap bantal, ah!" seru Bowo. "Anwar! Lo cariin bantal sana!"
"Di mana, Kak?" tanya Anwar bingung.
"Ya di mana kek! Nyolong dari gerobak abang-abang kek, balik ke rumah ambil kek, pokoknya
gue mau ada bantal pas jam pelajaran PKN mulai!"
Anwar mengangguk takut, lalu segera melesat keluar sekolah, sambil bersyukur pada tugas baru
dan bukannya dimarahi karena ketahuan tadi.
Yudhis menatap Nino yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Benar-benar bukan profil
seorang ketua geng. *** Hari ini ada yang berbeda di kelas PKN. jika hari-hari sebelumnya kelas ini hanya dihuni
maksimal lima murid, sekarang hamper semuanya hadir. Arso sampai tersedu sebelum akhirnya
bisa mengajar. Itu juga dengan suara serak sambil sesekali mengelap ingus.
Tadi sebelum Arso masuk kelas, Nino dan anak-anak buahnya sudah masuk duluan dan duduk
walaupu tidak manis. Sisca dan gengnya juga tidak jadi pulang dan ikut0ikutan duduk walaupun
hanya sibuk bergosip dan berdandan.
Yasmine dan Ferris juga heran dengan pandangan langka ini. Mereka saling lirik, lalu tersenyum
geli. Tahu-tahu Yasmine merasakan pandangan dari sebelah kirinya. Ia menoleh dan mendapati Nino
sedang memicingkan mata padanya. Yasmine membalas tatapan Nino sesaat, lalu menunduk dan
emutuskn untuk membaca buku cetak saja.
Nino lantas mengalihkan pandangannya pada Ferris yang sudah sibuk mencatat. Anak itu selalu
saja sok rajin. Saat Arso sedang sibuk terharu begini, ia malah menulis. Menulis apa, coba"
Nino berdecak, lalu kembali menatap Yasmine yang serius membaca buku. Nino akan benarbenar memastikan Yasmine tidak akan jatuh hati pada Ferris. Nino ingat, dulu anak-anak yang
ditaksirnya selalu saja suka pada Ferris. Nino akan memastikan hal ini tidak terulang lagi.
"Baiklah, Anak-anak, terimakasih karena sudah mau hadir," kata Arso tiba-tiba, mengalihkan
perhatian semua anak. Ia bangkit, lalu menyedot ingus. "Bapak sangat-sangat menghargai kalian
yang mau mendengarkan pelajaran Bapak."
"Emang tadi dia ngajar" Perasaan cuma mewek," gumam Bowo, disambut anggukan temanteman yang mendengarnya.
Arso melangkah berat keluar kelas, lalu melambai kepada anak-anak yang dengan segera
mengacuhkannya. Dalam sekejap, semua anak sekarang sedang membereskan barang-barang,
bermaksud pulang. Padahal menurut jadwal, setelah ini masih ada jam pelajaran Bahasa
Indonesia. Semua anak sedang sibuk mengobrol dan melangkah keluar kelas saat Ferris berdiri.
"Temen-temen," sahutnya, membuat semua orang menoleh padanya. "Gue minta waktunya
sebentar." Ferris kemudian berjalan ke depan kelas sementara semua anak menatapnya ingin tahu. Nino
sudah menatapnya tajam dari bangkunya.
Ferris menarik napas, lalu menghelanya mantap.
"Sebagai ketua OSIS dan ketua kelas, gue mau mengusulkan sesuatu sama kepala sekolah, dan
gue perlu butuh kerja sama dari kalian semua."
Sekarang semua anak sibuk berkasak-kusuk. Yasmine dan Mei sempat bertukar pandang, tak
pernah mendengar ini sebelumnya dari Ferris.
"Kita semua tahu sebentar lagi UN," kata Ferris membuat semua anak mendesah, akhirnya tahu
kemana arah pembicaraan Ferris.
"UN kan mau ditiadakan!" seru Haris, membuat semua anak mengangguk setuju.
"Belum tentu," kata Ferris. "Kita belum dapet kepastian, kita nggak boleh terbuai dengan desas
desus itu." Semua anak sekarang saling pandang.
"Terus lo mau apa?" tanya Sisca mewakili pertanyaan smeua anak.
"Gue lagi bikin petisi buat pengadaan pengayaan," kata Ferris, membuat semua naak kompak
melongo. "Gue butuh tanda tangan kalian."
Our Story Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pengayaan itu makssud lo" yang belajar setelah sekolah itu?" tanya Sisca lagi, siapa tahu yang
dipikirannya salah. "Betul," jawab Ferris membuat anak-anak segera tertawa. Beberapa malah beranjak pergi,
tampak tak mau peduli. "Kalian ma uterus-terusan begini?"
Perhatian kembali teralihkan padanya. Ferris menatap teman-temannya yang skeptis.
"Begini bagaimana maksud lo?" tanya Intan dengan suara cempreng.
"Terus-terusan direndahkan orang," jawab Ferris, membuat semua anak menatapnya tajam.
"Direndahin masyarakat, bahkan direndahkan oleh guru-guru kita ssendiri. Apa kalian ma
uterus-terusan direndahkan?"
"Nggak masalah," jawab bowo dari belakang kelas, membuat semua menatapnya. "Emang kita
udah ditakdirkan begitu."
"Takdir, kata lo?" tanya Ferris. "Lo nggak punya harga diri, ya?"
Bowo hamper merangsek ke depan kalau Yudhis tidak mencegahnya. Bowo meronta dari
pegangan Yudhis, lalu menatap marah Ferris.
"Heh, anak orang kaya!" sahut Bowo emosi. "Lo sih enak, udah ada masa depan! Kalo belajar
sekarang pun berguna! Nah kita" Apa gunanya kita belajar kalo masa depan kita aja suram."
"Apa gunanya beda status kita" Toh sekarang kita sama-sama ada disini," kata Ferris tenang,
membuat Bowo tambah melotot. "Dan soal apa gunanya belajar kalo masadepan lo suram, gue
rasa lo salah logika. Supaya masa depan lo nggak suram, makanya lo harus belajar."
"Heh, setelah lulus SMA ini, atau nggak lulus sekalipun, gue bakal jadi tukang ban, nerusin
bokap gue. Terus apa gunanya gue belajar, hah" Ngukur diameter ban?" seru Bowo membuat
teman-temannya tertawa. "Jangan pikir lo bakal jadi apa, pikir lo mau jadi apa," kata Ferris lagi. "Lo mau jadi tukang
ban?" Bowo terdiam, berpikir. Sebenernya ia tidak pernah ingin menjadi tukang ban. Selain uang yang
didapat tidak seberapa, tidak keren juga. Kalau ditanya apa maunya, Bowo mau menjadi teknisi
dan bekerja di perusahaan otomotif besar.
"Lo punya cita-cita kan" Kenapa lo nggak berusaha meraih cita-cita lo" Kenapa lo pasrah sama
apa yang ada di depan mata lo?" tanya Ferris.
"Omong kosong."
Semua orang sekarang menatap Nino yang mendadak bicara dengan suara rendah. Ferris juga
menatap Nino, dan sekarang mereka sudah saling tatap tajam. Yasmine menatap mereka
khawatir. "Liat sekeliling lo," kata Nino, membuat Ferris mengedarkan pandangan. "Lo liat ada yang udah,
atau seenggaknya pernah belajar?"
Ferris menatap Nino lagi.
"Lo pikir berapa lama lagi kita UN" Dua bulan" Tiga bulan" Dan kalo belajar sekarang kita pasti
bisa lulus?" tanya Nino lagi.
Sekarang semua anak menatap Ferris yang terdiam.
"Seenggaknya kita udah berusaha," jawab Ferris kemudian, membuat Nino mendengus.
"Lo pikir kenapa kita beda sama yang laen" Kenapa kita nggak repot-repot belajar?" tanya Nino
lagi. "Kita-kita yang sekolah disini, nggak pernah mikir mau lulus atau nggak. Lulus syukur,
nggak jga nggak apa-apa. Apa kata lo" Berusaha" Jangan omong kosong. Jangan ngasih harapan
yang nggak jelas." Nino bangkit dan meraih tas, dan tongkat baseball-nya. Ia lalu melangkah diikuti anak-anak
buahnya yang melirik Ferris sebal.
"Terus, kenapa kalian ada di sini?" tanya Ferris membuat Nino menghentikan langkahnya.
"Kenapa kalian masih dateng ke sekolah kalo kalian memang nggak punya cita-cita" Kalo mau
nongkrong dan ngumpul-ngumpul, kenapa nggak di mall?"
Nino menoleh dan menatap Ferris yang sudah menatapnya.
"Kita dateng Cuma?"
"Kalian masih dateng ke sekolah karena kalian masih berharap sama sekolah, kan?" sambar
Ferris sebelum Nino selesai bicara. "Kalian ada di sini karena kalian berharap ada yang
menyelamatkan kalian, kan?"
Semua anak menatap Ferris, lalu saling pandang. Nino sendiri menatap Ferris tajam.
"Cih," decak Nino akhirnya. "Berharap, kata lo" Sama orang-orang yang nyebut diri mereka
guru itu?" "Gue jga nggak percaya mereka," kata Ferris. "Tapi sekolah ini bukan Cuma punya mereka.
Sekolah ini punya kita juga. Makanya gue mau berusaha dengan mengumpulkan kekuatan kita.
Supaya mereka mendengar kita. Supaya kita nggak terus direndahkan."
Nino menatap Ferris tanpa berkedip, lalu tertawa.
"Lo bener-bener?" katanya, menahan emosi. "Kerjaan lo cuma menghancurkan hidup gue. Gue
pikir gue udah nyaman hidup di sini dengan anak-anak yang mirip gue, lo dateng dan mau
mengubahnya. Sok-sok malaikat."
"No, gue nggak pernah---"
"Temen-temen," potong Nino sambil menghadap teman-temannya yang bingung. "Kalian jangan
mau dikibulin sama dia, dia pengkhianat! Dan kalo ada yang mau ngikutin dia, berarti kalian
juga pengkhianat! Inget itu."
Yasmine melotot mendengar kata-kata Nino, sementara Ferris sudah membeku. Kertas petisi di
tanannya sudah kusut. Nino meliriknya sebentar, tersenyum sinis, lalu segera melangkah keluar kelas diikuti anak-anak
lain. Mei juga melewati Ferris, menatapnya dengan ekspresi sulit dimengerti, dan keluar tanpa
bicara sepatah kata pun. Setelah kelas kosong, Ferris menghela napas. Yasmine menghampirinya, kemudian menepuk
bahunya simpati. Ferris menatapnya penuh rasa terima kasih.
Ferris tahu akan seperti ini jadinya. Tapi tetap saja hatinya terasa sakit.
*** Nino berjalan pelan di daerah kompleks rumahnya sambil menghisap sebatang rokok. Tahu-tahu
ia teringat kata-kata Ferris tadi, lalu terkekeh.
"Cita-cita, katanya," gumamnya sinis, tapi lantas teringat sesuatu.
Ia dulu pernah punya cita-cita. Ia pernah membahasnya dengan Ferris saat SMP Ferris ingin
menjadi jaksa, sedangkan Nino inginmenjadi pengacara. Nino bahkan ingat mereka pernah
membuat janji untuk bertemu lagi di ruang pengadilan danmentraktir siapa pun yang menang.
Samapi sekarang pun, Nino masih mengingatnya. Nino masih ingin menjadi pengacara dan
melawan Ferris di meja hijau. Nino menginginkannya, tapi ia tahu taka da cara untuk
mewujudkannya. Kehidupannya sudah terlalu rumit.
Nino menatap rumah reyot di depannya, tiba-tiba merasakan tubuhnya gemetar. Ia tahu laki-laki
itu ada di sana. Nino mengeraskan rahang, menyesali keputusannya untuk kembali ke rumah ini
setelah berhari-hari kabur. Tapi Nino harus mengambil uang yang di kiramkan padanya, atau ia
tidak akan punya uang untuk hidup dan membayar sekolah.
Nino melompati pagar tanpa suara, lantas mengendap naik ke teras dan membuka pintunya
perlahan. Nino bisa mendengar suara televise dari ruang keluarga. Mungkin ayahnya sedang
menonton, jadi ia tak akan sadar.
Nino membuka pintu lebar-lebar, lalu mengecek lantainya. Ia meraba-raba dalam kegelapan,
mencoba mencari sebuah amplop putih yang biasanya ada di sana. Tapi taka da tanda-tanda
keberadaan aplop itu. Nino menghela napas, lalu memberanikan diri masuk ke dalam rumah. Ia berjingkat masuk,
matanya menatap awas ke sekeliling.
Tahu-tahu Nino melihat sebuah amplop putih di meja makan. Sebelum mencapai amplop itu,
Nino mengintip ruang keluarga. Ia segera melongo saat melihat pemandangan di depannya.
Ayahnya tergeletak di lantai, bersama belasan suntikan dan botol-botol bir. Nino baru akan
mendekatinya saat ia bergerak.
"Heh" anak kurang ajar?" gumamnya, membuat Nino tak jadi mendekat. Yang penting, ia
masih hidup. Nino segera meraih amplop itu, lalu membukanya. Kosong. Nino segera mendelik ayahnya.
"Ayah pake duit saya untuk beli itu?" sahut Nino marah. Ayahna malah terkekeh dengan kepala
terkulai lemas. Matanya juga tak fokus.
"Enak aja duit lo?" gumamnya lagi, membuat amplop di genggaman Nino kusut.
"Gue nggak bakal balik sini lagi," kata Nino geram. "Gue nggak peduli lo mau idup atau nggak!
Gue pergi untuk selamanya!"
Nino berderap ke pintu, lalu membuka dan membantingnya dengan sekuat tenaga. Ia berjalan
cepat hingga dada dan perutnya terasa sakit. Ia sampai tidak sadar kalau air matanya sudah
mengalir. Nino terduduk di kursi sebuah taman, lalu menyeka air matanya sembarangan. Ia tidak akan
menangis. Ia tidak akan menangisi apa pun. Ia bisa jadi kuat tanpa bantuan siapa pun.
Masa bodoh dengan cita-cita. Masa bodoh dengan masa depan. Ia hanya harus bisa bertahan
hidup untuk sekarang. Masa lalu, masa kini, masa depan. Tak ada satu pun yang bisa ia harapkan.
Part 14 Mei mengintip dari luar jendela ruang OSIS. Ferris tampak sedang duduk di kursi kebesarannya,
menatap serius ke monitor. Mei menggigit bibir, menimbang-nimbang apakah ia perlu masuk.
Mei lantas teringat kejadian kemarin, saat Ferris berusaha memberitahu teman-teman sekelasnya
tentang petisi pengayaan. Menurut Mei, usahanya memang sia-sia. Makanya Mei tidak berkata
apa pun pada Ferris. "Disuruh mata-matain sama siapa?" tanya Ferris, membuat Mei terlonjak kaget.
Mei menoleh pada Ferris yang sudah bersandar di pintu, lalu nyengir kaku.
"Hai," katanya sambil melambai. Ferris sendiri hanya menatapnya datar. "Gue bukan mata-mata
kok." Ferris menghela napas, lalu kembali ke kursi kebesarannya. Mei menatapnya ragu, tapi
melangkah masuk juga. Sekarang Ferris sudah sibuk mengetik, jadi Mei hanya menarik kursi dan
duduk tanpa bersuara, sambil memandanginya.
"Yasmine mana?" tanya Mei hati-hati.
"Belum keliatan," jawab Ferris pendek dengan mata masih terpaku pada monitor. Mei
mengangguk-angguk, lalu menatapnya lagi.
"Lo pikir Yasmine juga nggak mendukung keputusan lo," kata Mei berusaha membaca pikiran
Ferris lagi. Sesaat tangan Ferris berhenti di udara. Bebrapa detik berikutnya, ia kembali mengetik.
"Itu hak dia," jawabnya singkat.
"Menurut gue nggak sih. Mungkin Yasmine Cuma kecewa karena lo nggak pernah ngasih tau dia
soal petisi itu," kata Mei, membuat Ferris mengalihkan pandangan dari monitor untuk
menatapnya. "Menurut lo begitu?" tanyanya membuat Mei mengangguk. Ferris ikut mengangguk-angguk.
"Kalo lo, gimana?"
Mei terdiam, kemudian mengalihkan pandangan, pura-pura sibuk berpikir.
"Kalo gue" mungkin sama dengan temen-temen yang lain," jawab Mei tanpa melihat Ferris.
"Masa depan gue nggak di tnetukan dari lulus atau nggaknya gue dari sekolah ni"
Ferris terdiam sebentar sambil menatap anak perempuan di depannya itu.
"Bukannya lo bilang mau jadi penulis scenario?" pancingnya, membuat Mei menoleh cepat.
"Itu" lupain aja gue pernah ngomong begitu," elak Mei. "Gue cuma asal ngomong."
Ferris menatapnya lama. "Lo mau selamanya jadi pelacur?" tanyanya, membuat Mei menatap Ferris tajam. Tapi detik
berikutnya, ia tersenyum.
"Nggak," jawab Mei mantap. "Gue mau jadi istri orang kaya. Terserah istri berapa juga."
Ferris melongo mendengar jawaban Mei, tapi kali ini tak bisa tertawa seperti dulu. Ferris merasa
kali ini Mei serius mengatakannya.
"Nggak perlu lulus SMA, kan, biar bisa jadi itu?" kata Mei lagi, lalu terkekeh sendiri.
Ferris menghela napas, lantas melirik monitor, Mei sudah menarik kursi tepat ke depan meja
Ferris dan bertopang dagu di sana.
"Tapi gue udah mikir. Gue maungedukung lo kok," kata Mei, membuat Ferris menoleh. Sesaat
perhatian Ferris teralihkan oleh pipi Mei yang memerah karena blush on dan bulu matanya yang
lantik karena mascara, tapi lalu ia menatap mata Mei.
"Maksud lo?" tanya Ferris, bingung dengan pernyataan Mei tadi.
"Yaa" gue mau-mau aja tanda tangan petisi itu," kata Mei. "Walaupun mungkin bagi gue
belajar nggak berguna, bagi lo dan Yasmine pasti berguna."
Ferris menatap Mei lama. Mei lantas tersenyum.
"Mungkin anak-anak itu ngggak ada yang ngerasa, kalo lo sebenernya pengen ngajak mereka
lulus bareng. Tapi gue ngerasa," kata Mei lagi, membuat Ferris terdiam. "Gue pengen liat lo
sama Yasmine lulus. Tapi, Ris, sekolah ini terlalu payah buat kalian. Mungkin masih sempet
kalo mau pindah." Ferris menyandarkan punggung sambil menatap kosong mejanya. Ferris sudah berulang kali
berpikir untuk pindah. Ia tahu, walaupun ia bertanggung jawab terhadap Nino, ia juga
bertanggung jawab atas masa depannya sendiri.
Ferris melirik soal-soal di monitor, lalu piala-piala yang terpajang di rak. Ferris tidak pernah
menyesal dating ke sekolah ini. Tapi waktunya semakin sedikit, dan taka da perubahan berarti
selama ia berusaha. Tak ada perubahan baik dari kepala sekolah, para guru, maupun temantemannya sendiri.
"Gue nggak akan pindah," kata Ferris kemudian, membuat mata Mei melebar.
"Berarti lo ngebuang masa depan lo sendiri?" tanya Mei tak percaya. Ferris menatapnya, lalu
menggeleng pelan. "Gue tetep berusaha mengejar cita-cita gue. Gue yakin gue pasti bisa/ gue percaya, selama kita
berusaha kita pasti bisa, nggak peduli kita sekolah di sekolah internasional atau sekolah
sampah," kata Ferris, lalu tersenyum.
Mei menatapnya lama, kemudian tertawa.
"Bener-bener deh. Orang kayak lo mungkin cuma ada satu di dunia," katanya geli. Ia lantas
menatap Ferris penuh arti. "Gue jadi pengen kawin sama lo aja. lo kaya kan, ya?"
Ferris memicingkan mata pada Mei, seolah
mengucapkan-hal-hal-seperti-itu". Mei terkekeh.
mengatakan "jangan-main-main-dalam"Habis, lo dan sifat Supermen lo itu oke banget sih, Ris. Kalo gue jadi Yasmine, pasti gue bakal
pilih lo daripada Nino," seloroh Mei, membuat Ferris teringat pada Nino yang kemarin
mengancam teman-teman sekelasnya.
Ferris melirik Mei. "Lo" serius mau tanda tangan petisi itu?"
"He-eh. Emang kenapa?" Mei balik bertanya, bingung Ferris kembali membahasnya.
"Lo denger sendiri. Nino kemarin," kata Ferris membuat Mei paham.
"Ah, bodo amatlah sama anak itu. Gue nggak pernah takut sama dia," jawab Mei santai sambil
mengambil pensil mekanik Ferris dan memainkannya. Ferris menatapnya lama.
"Mei," katanya membuat Mei mengalihkan perhatiannya dari pensil untuk menatap tampang
Ferris yang serius. "Lo sendiri" kenapa masih dating ke sekolah?"
Mei terdiam sesaat, tampak berpikir.
"Karena" dateng ke sekolah adalah satu-satunya hal yang bisa bikin gue merasa gue masih
tujuh belas tahun," jawab Mei membuat Ferris menatapnya tanpa berkedip. "Papan tulis, bangku
sekolah,seragam. Hal-hal kecil yang bikin gue merasa rindu kalo gue lagi"nggak sekolah."
Mei menghela napas, lalu tersenyum lemah dan menatap Ferris. "Mungkin lo nggak akan ngerti
perasaan gue." "Rasa-rasanya gue ngerti," kata Ferris, membuat Mei menatapnya. "Lo suka sekolah. Dan nggak
ada yang salah sama itu."
Mei menatap Ferris lama. "Suka sekolah, ya?" Mei menerawang. "Mungkin gue memang suka sekolah. Kalo bisa, gue
mau serius sekolah."
"Kenapa nggak bisa?" tanay Ferris. Mei menatapnya lagi.
"Lo nggak pernah hidup miskin sih, Ris, jadi lo nggak tau rasanya," kata Mei membuat Ferris
terdiam. Mei menghela napas, lalu bangkit dan meregangkan tubuhnya.
"Nggak masuk kelas?" tanya Mei lagi, membuat Ferris melirik jam tangan dan mengangguk.
"Ayok, bareng."
"Duluan aja," kata Ferris memicingkan mata.
"Kenapa, lo nggak mau keliatan jalan bareng sama pecun?" tanay Mei, membuat Ferris melongo.
"Bukan, gue mau matiin computer dulu," jawabnya polos.
Mei terbahak. "Sana matiin, gue tunggu."
Ferris buru-buru mematikan computer sementara Mei memperhatikannya. Ferris benar-benar
sosok anak laki-laki yang sempurna. Pintar, dari keluarga berada, rendah hati, ringan tangan,
jago olahraga, tampangnya imut pula"
Mendadak Mei tersadar. Ia segera mengalihkan pandangan sambil menepuk dahinya sendiri.
Mungkin harusnya ia tidak terlalu lama berada di dekat anak laki-laki itu supaya tidak berpikir
yang macam-macam. "Ng" gue duluan aja deh!" sahut Mei buru-buru. "Dadah!"
Mei segera melesat bahkan sebelum Ferris sempat menoleh. Ferris menatap heran ruangan yang
sudah kosong, lalu mengedikkan bahu.
*** Ferris berjalan cepat ke kelas, takut terlambat. Sebetulnya guru ekonomi tak pernah
mempermasalahkan mereka yang terlambat bahkan tidak masuk, tapi Ferris tidak suka dating
terlambat. Obrolannya denagan Mei membuatnya lupa waktu.
Omomng-omong tentang Mei, anak itu ternyata berlari secepat kilat ke kelas, atau bahkan tidak
ke kelas sama sekali. Ferris tidak melihat bayangannya sampai sekarang.
Ferris baru melangkah masuk ke kelas saat melihat Yasmine sedang menutup pulpen di
hadapannya. Ferris menatapnya heran, lalu menoleh pada petisi yang sudah di pasang di dinding.
Dua tanda tangan sudah tertera di sana, milik Mei dan Yasmine.
Yasmine menatap Ferris yang baru dating, lalu tersenyum lebar. Ferris sendiri tak menyangka
Yasmine akan menandatanginya.
"Berjuang, Ris," kata Yasmine ceria, membuat Ferris tersenyum.
Tahu-tahu Ferris terdorong oleh seseorang. Ferris mendapati Bowo yang tadi sengaja
menabraknya. Di belakangnya, Nino sedang menatap mereka sinis.
"No?" Nino melirik Yasmine, lalumelengos sebelum Yasmine sempat berkata apa pun. Yasmine
menatapnya, lantas melirik Ferris.
"Lo harusnya nggak tanda tangan, Yas," kata Ferris, membuat Yasmine menggigit bibir.
Ferris menoleh lagi petisi itu, kemudian menghela napas.
*** "Ferris." Ferris menoleh, lalu mendapati Arso, guru PKN-nya, sedang berjalanmendekatinya dengan
Our Story Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terburu-buru. "Ada apa, Pak?" tanya Ferris. Tak biasanya Arso memanggilnya.
Arso menariknya ke sebuah koridor yang sepi, lalu manatapnya ragu. Ferris balas menatapnya
heran. "Ris, Bapak" bapak sudah mendengar soal petisi kamu," kata Arso buru-buru, membuat mata
Ferris melebar. Arso berdeham gugup, sesekali melirik orang-orang yang lewat. "Guru-guru
sudah mulai membicarakannya. Lebih baik kamu batalkan."
Kenapa?" tanya Ferris. "Bukankah itu hak kami untuk mendapatkan pengajaran" UUD 45 pasal
31 ayat 1, setiap warga Negara berhak mendapatkan pengaja---"
"Iya, iya, Bapak sangat mengerti," potong Arso. "Bapak pribadi, ingin mengadakan pengayaan.
Bapak inginmelihat kalian lulus. Tapi?"
Ferris menatap guru muda itu. Ferris sebenernya tahu, kalau Arso masih sangat berapi-api dalam
mengajar. Ia tidak mengajar di tempat lain dan sangat berdedikasi. Saying, dedikasinya seperti
terbuang percuma di tempak seperti ini.
"Tapi guru-guru yang lain tidak mau," Ferris meneruskan kalimat Arso ynag terpotong.
"Kamu tahu kan, Ris, banyak guru-guru yang mengajar di sekolah lain. Kami di sini hanya
honorer. Gaji kmai tidak besar. Jangannya gaji tambahan untuk pengayaan, gaji utama kami saja
kadang-kadang ditunggak," lanjut Arso, tampak salah tingkah. "Tapi kamu jangan menyalahkan
kami, Ris. Kami juga butuh uang untuk keluarga kami."
"Saya tahu, Pak," Ferris menunduk dengan tangan terkepal. "Saya mengerti."
Arso mengangguk-angguk, lalu menatap Ferris lagi.
"Kalau saya boleh mengusulkan, lebih baik kalian mengadakan acara belajar bersama," kata
Arso membuat Ferris mendongak. "Kamu kan pintar, kamu bisa mengajar teman-temanmu.
Bapak juga bersedia membantu kalau ada permasalah yang tidak bisa kamu selesaikan.
Bagaimana?" Ferris menatapnya lama sambil berpikir. Apa yang dikatakan gurunya itu benar. Kalau sangat
susah mendapatkan tanda tangan dari teman-temannya, belum lagi menyerahkan petisi itu pada
kepala sekolah dan harus menunggu persetujuannya dan para guru, solusi Arso sangat masuk
akan untuk jadi alternatif.
"Terima kasih, Pak," kata Ferris kemudian. Arso mengangguk lalu menepuk bahu Ferris.
"Tapi saya tidak janji bisa yang susah-susah ya," Arso garuk-garuk kepala, membuat Ferris
tersenyum. "Baik, saya duluan kalau begitu."
Ferris mengangguk sementara Arso segera melangkah menuju ceruk. Ferris menghela napas, lalu
mulai melangkah sambil memikirkan kata-kata Arso. Ia sangat bersyukur Arso masih mau peduli
pada mereka. Di saat Ferris menyangka taka da orang dewasa yang bisa dipercaya.
Mendadak Ferris mengehentikan langkah tepat did epan ceruk sekolahnya. Tak jauh darinya,
Mei tampak sedang menghampiri sebuah mobil sedan hitam yang biasa dipakai pejabat-pejabat
tinggi. Sopir sedan itu segera turun dan memukakan pintu belakang untuk Mei. Tepat pada saat itu, Mei
melihat Ferris. Wajah Mei membeku sesaat, tapi detik berikutnya ia nyengir lebar sambil
melambai. Ferris tak sempat melakukan apa pun untuk membalasnya.
Setelah Mei masuk, sang sopir membawa mobil itu pergi. Ferris memang tak bisa melihat ke
dalam mobil, tapi Ferris tetap menatap mobil itu hingga menghilang di belokan.
Selama ini Ferris menyangkan Mei hanya bercanda. Atau, berharap Mei hanya bercanda.
Part 15 Ferris menatap Mei yang sibuk dandan di depannya, tak habis pikir. Sudah setengah jam berlalu,
tapi anak perempuan itu belum selesai juga. Ferris lantas melirik Yasmine yang sebaliknya,
berwajah polos tanpa ada warna apa pun.
"Apa lo harus dandan segitu lama?" tanya Ferris akhirnya, tak tahan ntuk bertanya.
"Iya dong, biar cakep," jawab Mei sekenanya sambil menambahkan mascara. Ferris menatapnya
ngeri, takut matanya tertusuk batang berbulu itu.
"Kayaknya lebih cakep nggak usah dandan deh," komentar Ferris membuat gerakan tangan Mei
terhenti sesaat, lalu kembali menyapu bulu matanya.
"Iya, gue juga setuju sama Ferris," timpal Yasmine yang sudah mengalihkan pandangan dari
buku yang sedang dibacanya. "Lo lebih cantik kalo nggak dandan, Mie."
"Aduh udah deh, lo nggak usah ikut-ikutan komentar," tukas Mei galak, membuat Yasmine
mengerut dan kembali membaca. Mei lantas mengingat sesuatu. "Lo" gimana sama Nino" Gue
liat tadi dia nyuekin lo."
Ferris menatap datar Mei yang segera kembali sibuk dengan wajahnya. Ferris lalu melirik
Yasmine yang menerawang. Gara-gara menandatangani petisi, sekarang Yasmine tampak sedih
begitu. "Ngomong-ngomong," kata Mei, membuat Ferris dan Yasmine menatapnya. "Nggak ada yang
dateng ya." Ferris dan Yasmine menatap sekeliling ruang kelas yang ksong. Siang ini, harusnya mereka
mereka sudah mulai belajar bersama. Tadi pagi Ferris sudah mengumumkan, bahkan menulisnya
besar-besar di papan tulis. Tapi nampaknya tak ada satu pun yang berminat, mereka tak bisa ikut
karena ancaman Nino. "Udah gue duga sih," kata Ferris. "Selama Nino belum ikut, kayaknya nggak ada satu pun yang
bakal ikut." Mei melirik Yasmine yang kembali terkulai lemas. Ia menghela napas, lentas teringat sesuatu. Ia
melirik jamtangan dan segera membereskan komestiknya.
"Sorry banget nih, Ris, Yas, tapi gue harus pergi sekarang," Mei buru-buru bangkit dan
menyambar tasnya. "Besok-besok kalo gue nggak sibuk, gue ikutan deh."
"Tunggu, Mei," sahut Ferris, tapi Mei sudah berlari ke pintu.
"Kesempata emas, Ris! Jangan disia-siakan!" seru Mei dari pintu, lalu melambai dan segera
menghilang. "ferris berdecak, lalu melirik Yasmine yang tampak bingung.
"Kesempatan apa sih, Ris?" tanyanya, membuat Ferris salah tingkah.
"Ah, nggak, itu" Bisa-bisanya si Mei aja," Ferris segera mengambil buku sejarah dan pura-pura
sibuk. Yasmine mnegangguk-angguk, lalu kembali membaca.
Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dan rasa-rasanya ia tahu apa.
*** Ferris menatap pintu ruang OSIS yang terbuka dari kursi keberasannya. Ia melirik jam tangannya
07;24. Sebentar lagi anak itu pasti akan muncul.
Benar saja. Tak lama kemudian, Mei muncul di sana dengan cengirannya yang biasa. Ia
melompat masuk, lalu segera menarik kursi ke depan Ferris dan duduk di sana. Ferris sendiri
hanya menatapnya sambil bersandar.
Mei baru akan mengambil pensil mekanik Ferris untuk dimainkan saat menyadari kalau Ferris
memperhatikannya. Mei balas menatapnya bingung.
"Apa?" tanyanya.
"Lo dibayar berapa?" tanya Ferris tiba-tiba, membuat Mei melongo.
"Emang kenapa?"
Ferris mengedikkan bahu. "Cuma pengen tau."
"Kenapa pengen tau?" tanya Mei lagi. Ferris mengalihkan pandangannya sebentar, lalu kembali
manatap Mei. "Emangnya kalo ada orang yang nanya lo dibayar berapa, lo harus tanya kenapa" Bukannya lo
propesional?" tanya Ferris, membuat Mei mendengus sebal.
"Sejuta untuk kencan selama tiga jam, dua juta untuk one night stand," jawab Mei tegas,
membuat Ferris terdiam. "Kenapa" Lo mau make gue?"
Ferris memicingkan mata pada Mei yang balas menatapnya berani. "Kenapa?"
"Kenapa gue melacur" Gue pikir kita udah melewati fase ini," Mei menghela napas. "Hh" gue
pikir gue bisa ngobrol sama lo tanpa harus inget soal pekerjaan gue. Ternyata gue salah."
Mei bangkit, lalu melangkah ke pintu dan menghilang, Ferris menatap pintu itu, matanya
menerawang. Hari ini taka da lagi seorang pun yang dating lagi ke acara belajar bersama. Nino dan temantemannya bahkan tidak repot-repot masuk kelas sedari pagi. Yasmine juga tidak masuk ke
sekolah karena sedang menjemput ibunya yang baru keluar dari rumah sakit.
Ferris melirik Mei yang sedang membaca bku sejarah.
"Menurut lo" kejadian G30S itu rekayasa bukan sih?" tanyanya, membuat Ferris tersadar. Mei
lalu menatap Ferris. "Menurut gue rekayasa loh. Abis kejam banget kayaknya!"
Ferris hanya mengangguk-angguk pelan, bingung dengan sikap Mei yang berbeda dengan tadi
pagi. Mei ternyata cepat memaafkan orang.
Tahu-tahu Mei melirik jam tangan, lalu buru-buru membereskan buku.
"Sori, Ris, gue kudu pergi sekarang. Besok gue temenin lagi deh," katanya sambil bangkit.
"Dadah." Mei melesat keluar kelas, meninggalkan Ferris yang hanya termangu di dalam kelas kosong.
Ferris sedang berpikir, apakah ia harus melakukan sesuatu atau tidak.
Mata Ferris tahu-tahu menangkap sebuah buku di atas meja yang bukan miliknya. Ferris menatap
pintu yang terbuka untuk beberapa saat, lalu segera menyambar buku itu dan tasnya. Ia berlari
keluar kelas, menyusul Mei yang sekarang sedang mendekati sedan hitam.
Ferris mengatur napas, lalu mendekati Mei yang tampak tak sadar. Sang sopir sudah
membukakan pintu untuknya, tapi sebelum Mei sempat masuk, Ferris meraih tangannya. Mei
menoleh kaget saat melihat Ferris.
"Sori, Pak, hari ini dia sama saya," kata Ferris pada seorang berjas hitam di dalam mobil, lalu
segera menarik Mei yang nampak panik.
"Ris! Lo mau apa!" sahutnya sambil menoleh ke belakang, di sana sang sopir hanya bisa
melongo. Mei lantas menatap Ferris yang masih menariknya. "Lo mau ngapain?"
Feris merogoh saku celana, lantas mengeluarkan kunci mobil dan menekan tombol unlock.
Seketika lampu sebuah mobil sedan mewah berwarna merah menyala. Mei melotot melihat
mobil itu sementara Ferris membuka pintu.
"Masuk," perintah Ferris sementara Mei nampaknya tak percaya. Ferris segera menyusulnya dan
menyalakan mesin. "Ris?" gumam Mei sambil menoleh ke belakang. Sopir itu sudah mendekati mereka,
tampangnya marah. Ferris sendiri bisa melihatnya dari spion. Ia segera menginjak pedal gas, lalu
membawa mobilnya meluncur, meninggalkan si sopir yang sudah mengamuk.
"Hh" hamper aja," Ferris mengamati bayangan si sopir dari kaca spion. Mei sendiri masih
menatapnya tak percaya. "Lo apa-apaan, Ris," kata Mei dingin. Ferris sendiri tidak tampak mendengar. Ia menghentikan
mobilnya yang terkena lampu merah, tetap mengawasi dari spion, siapa tahu sedan hitam itu
mengikutinya. Mei menatap Ferris kesal. Ia tak tahu ada angina apa Ferris tadi tiba-tiba menariknya.
Seharusnya ia sudah tahu dari waktu Ferris bertanya tadi pagi. Ia memang sudah merasa tak
enak, tapi ia tak menyangka akan begini jadinya.
Ferris tahu-tahu mencondongkan tubuh pada Mei, membuat Mei melotot. Mei tak pernah tahu
Ferris memiliki sisi yang seperti ini. Mei selalu berpikir Mei anak laki-laki polos.
Saat Mei menyangka Ferris akan menciumnya, Ferris malah menarik sabut pengaman dari
samping Mei dan memasangkannya. Mei tidak bergerak maupun bernapas untuk beberapa detik
sementara Ferris masih menoleh ke belakang.
"Bagus, mereka nggak ngikutin kita," katanya, lalu kembali fokus menyetir.
Mei menghela napas tak percaya dirinya yang propesional itu bisa berdebar-debar hanya karena
seorang Ferris ingin mencuimnya. Oh, ia bahkan salah sangka.
Mei memijat dahinya yang berdenyut, tak percaya bahwa dirinya jatuh juga dalam perangkap
yang dibuatnya sendiri. Ferris tahu-tahu menyalakan player, membuat Mei mendelik. Seketika lagu milik Dream Theater
berkumandang. Mei segera mematikannya, membuat Ferris memandangnya heran.
"Kenapa dimatiin?" tanyanya membuat Mei gemas.
"Kenapa" Lo jelasin dulu yang tadi!" sahutnya. Ferris pura-pura tak mendengar. Ia malah
mengelus dasbor mobilnya itu.
"Ini mobil gue, Mei. Bagus kan?" katanya membuat Mei melongo. "Keluaran terbaru. Gue beli
setelah nabung gila-gilaan."
"Ris, jangan bercanda," sambar Mei, membuat Ferris menutup mulut, sadar dirinya tak bisa
mengalihkan topic lebih lama. "Lo baru aja bikin gue kehilangan klien penting gue."
Ferris tak langsung menjawab. Ia membawa mobilnya masuk ke dalam tol. Mei menghela napas,
berusaha untuk meredam emosi.
"Ris, lo harus ngomong sesuatu. Atau gue mau turun, sekarang," ancam Mei.
"Nggak bisa, jalan tol," kata Ferris, membuat Mei menatap sekeliling. Ia sama sekali tidak sadar
kalau Ferris mengambil jalan tol. Mei berdecak sebal, lalu mendelik Ferris lagi.
"Lo nyebelin banget sih, Ris!" sahutnya membuat telinga Ferris berdenging. "Maksud lo apaan
sih?"" Ferris menghela napas. Ia membuka laci dashbor di depan Mei, mengambil sebuah amplop, lalu
menyodorkannya pada Mei. Mei manatap amplop itu bingung, tapi menerimanya juga.
"Apaan nih?" tanyanya.
"Buka aja," jawab Ferris singkat sambil memandang lurus. Mei menatapnya bingung, lalu
membuaka amplop itu. Matanya melebar sesaat melihat apa isinya.
"Lo" taro duit sebanyak ini di dasbor mobil?" tanya Mei tak percaya, lalu segera
menggelengkan kepala, salah bertanya. "Bukan itu. Ini dui tapa?"
"Lo bilang dua juta buat one night stand, kan" Lo hitung sendiri, di dalem situ ada tiga juta.
Berarti?" Ferris mnegambil jeda untuk berpikir. "Satu malem plus tiga jam?"
Ferris tahu Mei sudah melongo, tapi ia berpikir untuk tidak menoleh. Mei sendiri hanya menatap
Ferris tak percaya untuk beberapa saat, lalu tertawa, Mei manatapnya nanar.
"Lo bercanda kan, Ris," tanya Mei dingin. "Bilang lo bercanda."
"Itu duit palsu?" Ferris balas bertanya.
"Gue nggak tau, dan gue nggak mau tau. Bilang aja lo bercanda," desak Mei.
"Lo selalu bilang gini sama klien lo setiap mereka nyodorin duit?" tanya Ferris membuat Mei
menggeleng. "Lo nggak sama," jawab Mei dengan suara bergetar.
"Nggak sama di mananya" Gue juga laki-laki. Gue punya duit. Itu dah cukup memenuhi syarat,
kan?" tanya Ferris membuat Mei menatap kosong jalanan di depannya. Genggamannya sudah
mengeras hingga amplop itu kusut.
"Gue tetep nggak bisa terima ni," Mei meletakkan amplop itu di atas dasbor.
"Cih," decak Ferris membuat Mei menoleh. "Ternyata lo ngga propesional seperti yang lo
bilang." Mei menatap Ferris tak percaya, lalu melirik amplop itu lagi. Mei tahu hatinya sakit. Hatinya
sakit karena ternyata Ferris juga menganggapnya sebagai pelacur. Selama ini Mei mengira Ferris
menganggapnya sebagai teman, makadari itu Mei senang mengobrol dengannya dan dengan
penuh keyakinan mengira Ferris berbeda dari yang lan.
Mei mengambil amplop itu, lalu memasukkannya ke dalam tas.
"Gue terima karena lo udah ngacauin pekerjaan gue tadi," kata Mei, berusaha terdengar tegas.
"Bagus," kata Ferris lalu kambali berkonsentrasi menyetir sementara Mei melempar pandangan
keluar jendela,berusaha menahan tangis.
Ternyata, di dunia ini memang tidak ada laki-laki yang bisa di percaya.
*** Mei menatap kosong pemandangan di depannya, masih belum bisa percaya. Tahu-tahu, sebuah
es krim muncul di hadapannya, membuatnya mendongak.
Ferris menyodorkan es krim cone untuk Mei sementara dirinya sendiri sedang makan satu. Ferris
lantas menggoyangkan es krim itu karna Mei tak kunjung menerimanya. Mei menerimanya
walaupun masih belum sepenuhnya sadar, sementara Ferris duduk did sampingnya, sibuk
menggerogoti cone es krim.
"Abis ini gue mau naik itu," katanya tiba-tiba membuat Mei menoleh. Ferris mengedikkan bahu,
membuat Mei menatap arah yang di tunjukknya.
Mei menatap sebuah wahana berbentuk kursi panjang yang di goyang-goyangkan ke sana kemari
yang bernama tornado. Mei melirik Ferris yang masih sibuk makan.
"Kayaknya seru," gumam laki-laki itu di antara kunyahannya.
Mei menghela napas, lelah dengan segala pikirannya yang selalu beberapa lebih jauh dari yang
sesungguhnya terjadi. Tadi ia sudah mati-matian menyiapkan mental untuk menghadapi Ferris
saat anak itu malah membawa mobilnya masuk ke kawasan ancol. Mei masih menyangka Ferris
akan membawanya ke apartemen atau hotel di kawasan itu, tapi ternyata ia malah masuk ke
Dufan. Sesuatu yang tidak pernah di duga Mei, tapi kalau dipikir-pikir, sangat cocok dengan
mental Ferris. Mei sendiri heran kenapa tidak bisa membaca pikiran Ferris di saat-saat seperti ini.
"Lo" nggak pernah ke Dufan?" tanya Mei, berusaha melupakan pikiran-pikiran memalukannya
tadi. "Pernah, dulu. Pas masih SMP?" Ferris berhenti bicara, seperti teringat sesuatu.
"Sama Nino ya?" tanya Mei lagi, membuat Ferris mengangguk.
"Dulu sih, kita belom berani naik yang begitu-begitu. Nino gitu-gitu takut ketinggian," Ferris
lantas terkekeh. Mei sendiri ikut tersenyum.
Mei hendak mengambil ponsel dari dalam tas saat tangannya menyentuh amplop dari Ferris. Mei
mengeluarkan amplop itu, lalu menyerahkannya pada Ferris. Ferris menatapnya tanpa reaksi.
"Gue kembaliin. Gue nggak marah lagi kok," Mei tersenyum. "Harusnya gue berterima kasih, lo
udah ngajak gue ke sini."
Ferris menatap Mei lama, lalu mengalihkan pandangan, menolak untuk menerima uang itu
kembali. "Nggak ada detail harus ngapain selama kencan, kan?" tanya Ferris membuat Mei mengernyit.
Ferris lantas menoleh. "Yang kayak begini, namanya kencan juga, kan?"
Mei menatap Ferris tanpa berkedip, lalu mengangguk pelan. Ferris tersenyum lantas kembali
tertarik pada Tornado di depannya. Ia tidak sadar, Mei sudah menatapnya dnegan mata berkacakaca.
"Ini yang pertama dan terakhir ya," kata Mei. "Nggak aka nada lain kali. Lo janji?"
Ferris tak menjawab. Ia mendadak bangkit lalu mengulurkan tangan. Mwi mwnatap tangan itu
bingung. Ferris menarik tangan Mei tak sabar, lelu membawanya ke Tornado.
Mei tahu ia telah melakukan kesalahan, tapi sesuatu membuat Mei tak ingin melepaskan tangan
Ferris. Mei tidak pernah menyangka, hal seperti ini akan datang.
Hari ketika ia bisa berkencan dengan secara normal, seperti kebanyakan remaja lainnya.
*** Ferris menghentikan mobil tepat di depan sebuah gang kecil. Ia mematikan mesin, lalu membuka
pintu dan turun. Beberapa orang yang kebetulan lewat menatapnya sambil berbisik-bisik.
Ferris menghela napas, lalu memandang ke dalam gang. Semalam, Mei masuk ke dalam gang itu
saat Ferris mengantarnya pilang.
"Permisi, Bu," Ferris menghentikan seorang ibu yang sedang berjalan keluar dari gang itu.
"Rumahnya Mei yang mana ya?"
Ibu itu mengernyit, lantas menatap Ferris dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Mas siapa ya?" tanyanya.
"Saya temen sekolahnya," jawab Ferris, membuat si ibu itu menganga, lalu melirik mobil Ferris.
Our Story Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mm" rumahnya yang pagar tanaman," jawab ibu itu kemudian, dalam hatimnegagumi sosok
Ferris yang nyaris sempurna.
"Makasih, Bu," Ferris mengangguk, lalu segera berjalan masuk ke gang itu.
Ferris tahu ia sedang di perhatikan oleh para tetangga yang lewat, tapi ia mencoba untuk tak
peduli. Ia masuk ke dalam pekarangan rumah Mei, lalu berdiri di depan pintunya.
Ferris mengetuk pintu itu tiga kali, tapi taka da jawaban. Saat Ferris mengangkat tangan untuk
mengetuk lagi, pintu itu terbuka. Ferris hamper saja tidak mengenali wajah tanpa make up milik
Mei. Wajah tanpa make up itu sekarang menganga melihat Ferris ada di beranda rumahnya.
"Hei," sapa Ferris sambil nyengir.
?""Hai" jidat lo!" sahut Mei, buru-buru melongok ke lauar dan menggigit bibir saat melihat para
tetangga yang sudah berkumpul dan menatap mereka ingin tahu. Mei lantas melirik sewot Ferris
yang tampak bingung. "Jangan bilang lo ke sini bawa mobil."
"Bawa," jawab Ferris polos, membuat Mei melotot. "Kenapa emangnya?"
Mei menatap Ferris sebal. Ia tidak bisa bilang kalau para tetangga tukang gossip itu akan
menjadikannya mangsa empuk. Yang harus ia lakukan adalah mengusir anak laki-laki itu dari
sini. "Ngapain lo kesini?" tanya Mei rishi.
"Gue nggak boleh main?" Ferris balas bertanya, membuat Mei melongo.
"Lo pikir rumah gue taman bermain?" semprot Mei, lalu segera membalik Ferris dan
mendorongnya saat melihat o=para tetangga mulai menunjuk-nunjuk. "Udah sana pulang!"
Ferris berbalik, mendadak menyadari bahwa lingkungan sekitarnya sudah ramai. Ferris malah
mengangguk dan tersenyum ramah, membuat para ibu secara tak sadar balas mengangguk
dengan tampang terhipnotis. Mei sendiri memutar bola mata.
"Siapanya Mei, Mas?" tanya seorang ibu iseng.
"Temen sekelasnya, Bu," jawab Ferris kalem. Para ibu itu malah mengangguk-angguk sambil
melirik Mei sinis. "Ati-ati, Mas, sama Mei," kata ibu itu lagi.
Ferris mengernyit. "Emangnya kenapa, Bu?"
"Yaaaa" Mei kan perek," jawab si ibu itu tanpa pikir panjang, membuat Ferris segera menoleh
pada Mei untuk melihat keadaannya.
Mei tampak menerawang sebentar, lalu matanya bertemu dengan mata Ferris. Ia lantas
tersenyum seperti kemarin-kemarin.
Ferris kembali menatap para ibu itu. "Mei tetep temen sekelas saya, Bu."
Ferris mengangguk sopan pada para ibu yang melongo, lalu kembali ke beranda rumah Mei. Mei
sendiri menatapnya tak percaya.
"Gue tetep nggak boleh masuk?" tanya Ferris. "Lo mau ngebiarin gue jadi tontonan di sini"
Lagian gue masih punya beberapa jam, inget?"
Mei menatap Ferris ragu, lalu akhirnya membiarkannya masuk ke rumah, sambil melihat para
ibu yang sudah menatapnya sinis. Mei menghela napas, lalu membalik badan dan melihat Ferris
yang sudah tampak nyaman duduk di sofa bututnya. Mei merasa kehadiran Ferris di ruang
tamunya ini menyedihkan. Ferris menatapnya. "Lo nggak mau nawarin apa-apa buat tamu?"
Mei balas menatapnya datar. "Nggak ada apa-apa buat tamu nggak di undang."
Ferris terkekeh, lalu memandang sekeliling. Ruang tamu ini nyaris kosong, selain satu set sofa
lapuk dan sebuah meja. Tak ada foto. Taka da vas bunga. Tak ada apa pun.
"Mei?" Ferris nyaris nyaris bergenyit saat sayup-sayup mendengar sebuah suara serak seorang wanita.
Ferris lantas menatap Mei yang tampak salah tingkah.
"Apaan tuh?" tanya Ferris.
"Apa" Gue nggak denger apa=apa," balas Mei secepat kilat, membuat Ferris malah curiga.
"Mei" ambilin air minum?"
Ferris sekarang bisa mendengar dengan jelas. Suara itu berasal dari dalam ruangan, mungkin dari
kamar. Ferris menatap Mei yang tampak salah tingkah.
"Sebentar, Bu," jawab Mei akhirnya, lalu melangkah ke dalam.
Penasaran, Ferris bangkit dan mengikuti Mei masuk ke ruang tengah, tapi Mei sudah taka da di
mana pun. Ferris lantas memberanikan diri untuk melangkah ke sebuah kamar yang pintunya
terbuka. Seorang ibu bertubuh kurus tampak terbujur di atas ranjang. Wajahnya pucat dan tangannya
gemetar menyambut gelas dari tangan Mei. Mei membantunya minum, lalu saat itulah matanya
bertemu dengan mata Ferris. Ferris segera mengangguk sopan.
"Siapa?"" tanyanya, membuat Mei menoleh. Mei menatap Ferris tak suka, lantas bangkit,
bermaksud menutup pintu. Tapi ibunya malah berusaha duduk. "Temannya Mei?"
"Iya, Bu," Ferris buru-buru melangkah masuk sebelum Mei sempat menutup pintu. Ferris lalu
menyambut tangan ibu Mei dan menciumnya. "Saya Ferris, teman sekelasnya Mei."
Mei menatap pandangan itu nanar. Tak seorang pun pernah mencium tangan ibunya. Bahkan ia
pun tak ingat apa ia sendiri pernah melakukannya.
Ibu Mei tersenyum sambil mengangguk-angguk pelan. Sekarang wajahnya tampak sedikit
berwarna. Ferris melirik meja penuh obat di samping tempat tidur. "Ibu" sakit apa?"
"Tumor Rahim," Mei menjawab dengan tangan bersedekap di depan dada.
Ferris melotot. "Nggsk dirawat?"
"Ibu baru pulang operasi," jawab Mei lagi. Ferris mengangguk-angguk, lalu kembali menatap
ibu Mei. "Ibu senang sekali ada teman Mei yang dating ke rumah," ibu Mei menggenggam tangan Ferris.
"Selama ini Mei selalu sibuk bekerja, jadi ibu pikir Mei nggak punya teman."
Ferris melempar ekspresi bertanya pada Mei yang balas menatapnya nanar.
"Mei susah payah bekerja sama pamannya untuk membayar semua biaya rumah sakit ibu," kata
ibu Mei lagi, membuat mata Ferris melebar. "Jadi kalo Mei ada kesulitan di sekolah, tolong di
bantu, ya." Ferris mengangguk lalu tersenyum penuh kemenangan pada Mei yang malah mencibir. Ferris
lantas kembali menatap ibu Mei yang tersenyum lemah.
Ferris bersyukur ia dating hari ini.
*** "Kerja sama paman, ya?"
Mei melirik Ferris sewot. Mei pikir Ferris akan segera pulang setelah bicara pada ibunya, tapi
anak laki-laki itu malah kembali duduk di sofa.
"Kenapa" Om-om itu juga"paman?" balas Mei sinis. Ia lantas meletakkan segelas the manis
hangat di atas meja. "Bokap lo mana?" tanya Ferris, membuat Mei terdiam sejenak.
"Kabur sama cewek lain pas gue SD," jawab Mei pendek.
Ferris mengangguk-angguk. Ia memperhatikan gelas the yang mengepul.
"Jadi kemaren lo ngumpulin duit buat operasi," kata Ferris, tampak berpikir. "Sekarang lo bakal
berenti kerja dan konsen sama sekolah, kan?"
Mei menatap Ferris seolah anak itu gila. "Lo pikir makanan sehari-hari sama obat itu turun dari
langit?" Ferris mengangguk-angguk, masih tampak berpikir. "Kira-kira berapa sebulan?"
Mei mengerjapkan mata. "Hah?"
"Kira-kira berapa pengeluaran lo selama sebulan?" tanya Ferris sambil menatap Mei serius. Mei
balas menatapnya bingung.
"Kenapa" Lo mau nanggung?" tanya Mei asal, tapi Ferris malah mengangguk nyaris tanpa
berpikir. "Rencananya begitu," jawabnya polos. Mei bersumpah tak akan bertanya macam-macam lagi
padanya. Meimenghela napas, lalu menatap Ferris tajam. "Ris, gue ngerti insting Supermen lo jalan begitu
liat orang susah. Tapi guenggak butuh."
"Lo" lebih milih jadi pelacur daripada belajar?" tanya Ferris, tak mengerti.
"Lebih baik gue jadi pelacur daripada nyusahin lo," jawab Mei tegas.
Ferris menatap Mei. "Gue nggak merasa disusahin."
Mei balas menatap Ferris. Mei tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapi anak laki-laki itu.
Harusnya dulu Mei tidak pernah mendekatinya untuk alas an apa pun.
"Kalo gitu, gue butuh tujuh juta sebulan," kata Mei, merasa akan menang.
"Oke," jawab Ferris, membuat Mei melotot. Mei benar-benar tidak menyangka Ferris akan
menyanggupi permintaannya.
"Lo masih anak SMA," Mei menekankan. "Biarpun lo anak prang kaya, nggak mungkin lo
punya tujuh juta sebulan."
"Itu sih biar gue yang mikir," Ferris tersenyum, lalu bangkit. "Gue balik dulu ya, udah sore."
"Ferris!" seru Mei sebelum Ferris mencapai pintu. Membuatnya menoleh. Mei menatapnya
sungguh-sungguh. "Gue tadi Cuma bercanda. Gue nggak serius. Tolong jangan ambil pusing
omongan gue. Gue mohon."
Ferris tak bereaksi untuk beberapa saat. "Sori Mei, gue udah ambil pusing."
Mei melongo, lalu segera menghadang Ferris di depan pintu. "Ris, gue nggak akan terima uang
apa pun dari lo lagi."
"Tapi dari om-om lo mau?" balas Ferris membuat Mei terdiam.
"Om-om itu gue mand=faatin. Tapi gue nggak mau manfaatin lo."
"Anggep aja gue klien lo."
"Nggak bisa." "Kenapa?" "Karena lo beda! Lo nggak sama kayak mereka."
Ferris menatap Mei yang tampak sudah akan menangis. Ferris lantas menepuk kepala Mei pelan.
"Lo nggak perlu pergi sama om-om itu lagi, Mei. Lo biar konsen sekolah, lo bisa ngejagain ibu
lo. Lo bisa menggapai cita-cita lo. Lo yakin mau nolak kesempatan sebagus ini?"
"Kalo itu nyusahin lo, gue nggak---"
"Kata siapa gue susah?" sambar Ferris, membuat Mei tersentak. "Udahlah, lo nggak usah banyak
mikir. Sekarang lo siap-siap aja buat belajar besok. Oke?"
Mei belum sempat menjawab, tapi Ferris sudah keburu pergi. Mei menggigit bibir, lelu kembali
terduduk di sofa. Ada dua kemungkinan: Tuhan memberinya kesempatan, atau sedang mengujinya.
Dan yang manapun itu, Mei tidak tahu harus bagaimana.
Part 16 "Seperti biasa, nggak ada yang dateng."
Yasmine mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas yang lengang. Acara belajar bersama hari
ini kembali sepi peminat, sama seperti hari-hari sebelumnya. Yasmne menghela napas, lalu
kembali menekuni buku sejarahnya.
Mei memperhatikan Yasmine sebentar, lalu melirik Ferris yang tampak asyik dengan jurnal
akuntansi. Hari ini Ferris bersikap sama seperti yang sudah-sudah. Tidak ada tanda-tanda kalau
kemarin ia menyanggupi permintaan mustahil Mei untuk menanggung hidupnya sebanyak tujuh
juta sebulan. Mungkin Ferris memang tidak pernah dating. Mungkin kemarin Mei hanya
bermimpi. Tahu-tahu Ferris mendongak dan menatap Mei. "Lo nisa ngayal nggak?"
Mei mengerjapkan mata. "Hah?"
"Lo bisa ngayal, kan?" ulang Ferris, lalu menyodorkan jurnalnya pada Mei. "Ini. Anggep aja lo
punya perusahaan dan lo belum punya karyawan. Mau nggak mau, lo harus ngitung pemasukan
dan pengeluaran perusahaan lo sendiri."
Mei menatap table-tabel jurnal itu, dan sebentar saja kepalanya sudah pusing.
"Kenapa," kata Mei sambil memijit dahi. "Gue harus ngitung duit fiktif, punya perusahaan fiktif
pula?" Ferris terkekeh. "Itu satu-satunya cara supaya akuntansi terasa menyenangkan."
Yasmine sekarang sudah ikut menatap Ferris, tampak menarik.
"Mending kalo perusahaannya untung, kalo rugi?" tantang Mei.ferris tampak berpikir sebentar.
"Ya anggep aja lo lagi sial. Berani bisnis, harus berani rugi dong," jawabnya kemudian.
Mei mendengus. "Mr. Brightside."
"Bener juga, ya," kata Yasmine, membuat Mei segera menoleh. Anak perempuan itu tampak
sudah menerawang. "Oke kalo gitu, gue mau cari tahu nasib perusahaan gue di soal ini."
Mei menatap Yasmine yang sekarang sudah membuka buku akuntansi danmenghitung dengan
ceria. Mei lantas melirik Ferris yang juga sudah sibuk menghitung.
Meimendesah. Dua makhluk di dekatnya ini terlalu menyilaukan. Meraka berdua dan dirinya
terlalu jauh berbeda. Mei lantas tidak tahu apa yang ia lakukan disini, di antara mereka.
Tahu-tahu tatapan Mei bertemu dengan Ferris. Ferris mengangkat alis seolah bertanya "ada apa"
dan Mei dengan segera merasa pipinya memanas.
"Puhaha," Mei tak tahan. Seumur hidupnya, pipinya tak pernah terasa panas. Tidak pernah
sekalipun, dan sekarang ia merasakannya hanya karena seorang anak laki-laki mengangkat alis
padanya. Ferria dan Yasmine menatap Mei ingin tahu. Mei hanya membalasnya dengan gelengan kepala,
lalu melirik buku akuntansi Ferris dan mulai membaca untuk mengalihkan pikiran.
"Hm?" gumamnya saat membaca sesuatu di buku itu.
"Kenapa, Mei?" tanya Yasmine, ingin tahu.
"Kenapa ada biaya tak terduga" Biaya tak terduga itu biaya macam apa?" Mei lantas mencoretcoret bukunya. "Buang-buang duit perusahaan gue aja."
Ferris menatapnya datar. "Emang sih gue suruh lo ngayal, tapi bukan berarti lo bisa seenaknya
ngubah soal." Mei mencibir pada Ferris, membuat Yasmine segera tertawa lepas.
*** Mei merasakan getaran di saku kemejanya. Ia mengeluarkan ponsel, lalu menggigit bibir saat
nama kliennya muncul di sana. Mei memutus sambungan itu, lalu mematikan ponselnya.
Semalam setelah Ferris pulang, Mei bertemu dengan Om Pradipta, klien yang akhir-akhir ini
selalu bersamanya. Mei sudah mengatakan kalau semalam adalah pertemuan terakhir mereka,
tapi nampaknya pria itu bersikeras untuk tidak melepas Mei.
Mei sendiri tidak tahu apa yang membuatnya malah ingin mempercayai Ferris. Mei harusnya
bisa berpikir jernih dan menolak kebaikan anak laki-laki itu, tapi mungkin inilah Mei yang
sebenernya. Seorang oportunis.
"Dasar cewek brengsek," runtuk Mei sambil memukul-mukul dahinya sendiri.
"Kenapa" Pusing?"
Mei segera bangkit saat Ferris tahu-tahu muncul di sampingnya. Mei menggeleng, lalu
melangkah keluar gedung sekolah. Harusnya Mei tadi buru-buru pulang supaya tak bertemu
Ferris. Atau Mei memang sengaja menunggunya.
Langkah Mei terhenti. Tiba-tiba ia merasa seperti memiliki kepribadian ganda.
"Lo kenapa sih?" Ferris menatap Mei khawatir. Mei hanya menggeleng pelan sambil
meneruskan langkahnya menuju ceruk. Ferris mengikutinya.
Mei baru akan duduk di halte bus saat sadar kalau Ferris masih ada di belakangnya. Mei lantas
menoleh. "Ngapain lo?" tanya Mei bingung.
"Pulang," jawab Ferris pendek.
"Nggak bawa mobil?"
"Nggak." Mei mengangguk-angguk, lalu membiarkan Ferris duduk di sampingnya. Untuk beberapa saat,
taka da satupun yang berbicara. Mei mendesah, menyesali ketidakhadiran Yasmine. Kalau anak
itu tidak pulang duluan, pasti ia bisa menetralkan suasana.
"Nih," Ferris tahu-tahu menyodorkan ponsel, membuat Meimengernyit walaupun menerimanya
juga. "Apaan nih?" Mei menatap ponsel Ferris.
"Catetin nomer rekening lo," jawab Ferris, membuat jantung Mei serasa berhenti berdetak. Ferris
menatap Mei yang tak kunjung menjawab. "Oh, apa lo mau cash?"
Mei masih belum bisa menjawab. Selurus sel tubuhnya terasa memberontak pada pertanyaan
Ferris. Mei hamper saja merasa normal sampai Ferris menyinggung apa pun yang berkaitan
dengan uang. "Wuooooh! Sekarang sama Ferris lo, Mei":
Mei dan Ferris menoleh bebarengan pada segerombol anak yang sedang berjalan kea rah mereka.
Gerombolan Nino. Haris, yang tadi berteriak, sekarang sudah berdiri di depan Ferris dan Mei, menatap mereka ingin
tahu. "Hebat lo, Mei!" decaknya kagum, membeuat tangan Mei terkepal. Haris lantas melirik Ferris.
"Lo juga, Ris, kalem-kalem ternyata hidung belang!"
Ferris hanya menatap Haris datar. Ia lantas melirik Nino yang masih berjalan menuju mereka
dengan tongkat baseball di bahu. Nino menatap kermaian itu dengan wajah ingin tahu.
"Dibayar berapa lo. Mei?" Bowo ikut memanaskan suasana.
Mei mengangkat kepala dan tersenyum sinis. "Tujuh juta sebulan."
Semua orang yang mendengarnya langsung mengernyit.
"Sebulan?" ulang Haris, lalu menatap Ferris. Detik berikutnya, ia mendorong ketua kelasnya itu.
"Aaaahhh! Lo maruk jua, Ris, nyewa kok sampe sebulan!"
"Tujuh juta sebulan" Lo?" Nino tahu-tahu membuka mulut, membuat semua orang menatapnya.
Nino melirik Ferris, lantas menatap Mei. "Turun derajat, lo?"
Ferris mengernyit, lalu melirik Mei yang hanya terdiam.
"Lo, sok jagoan," desis Nio, membuat Ferris menatapnya. Nino sudah lebih dulu menatapnya
tajam. "Jangan sok mau nanggung hidup orang lain."
Ferris menatapnya nanar. "Gue yang sekarang beda dari gue yang dulu, No."
Nino mendengus. "Lo yang sekarang lagi melakukan semacam apa, penebusan dosa?"
"Dos ague" nggak akan pernah tertebus sama apa pun," kata Ferris membuat Nino terdiam.
"Sekarang gue Cuma ngikutin kata hati gue aja. gue nggak akan terpengarus orang lain lagi."
Nino menatap Ferris lama, lalu mengalihkan pandangan. Anak-anak buahnya sekarang
menatapnya, seolah menunggu sesuatu terjadi. Nino berdecak, lalu mulai melangkah. Ia tidak
mau berada terlalu lama di dekat Ferris.
Nino tidak bisa memaafkannya, sekalipun ingin.
*** Nino menatap kosong lapangan gersang di depannya. Sekarang waktunya pelajaran bahasa
Indonesia, tapi ia sedang tak berminat untuk masuk kelas. Ia sedang tidak ingin melihat Ferris.
Nno mendesah. Semalam ia kembali tidur di sekolah, karena ayahnya masih ada di rumah. Ia
sudah tidak memegang uang kecuali hasil palakan teman-temannya, karena ayahnya telah
menghabiskan uang bulanannya.
Mendadak Nino merasa sakit perut. Uang bulanan itu. Uang yang ia terima setelah membuang
sisa harga dirinya. Uang yang membuatnya harus selalu mengingat masa lalunya yang
Our Story Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyedihkan. "Si Anwar lama bener, sih?"
Suara cempreng Bowo menyadarkan Nino, tapi perutnya masih terasa sakit. Tanpa sengaja
pandangan Nino bertemu dengan Yudhis.
"Kenapa, No?" tanyanya membuat Nino segera menggeleng. Nino tidak bisa bilang ia belum
makan apa pun sejak kemarin siang.
"Ke mana sih sih Anwar?" tanya Nino pada Bowo yang segera terlihat serba salah. "Gue udah
laper nih." "Belom keliata, Bos," jawab Bowo, membuat mengernyit.
"Maksud lo" Belum dating ke sekolah?"
Bowo mwngangguk membuat Nino tambah bingung. Anwar tak biasanya belum datang jam
segini. Ia termasuk anak yang rajin dan selalu dating sebelum kakak kelasnya.
"Apa ketiduran yak tu anak gajah?" sahut Haris, disambut anggukan setuju yang lain. Haris lalu
bangkit. "Ya udah, Bos, gue ke kantin beli roti yak."
Nino mengangguk. Haris segera melesat ke dalam gedung sekolah, sementara yang lain kembali
sibuk bercengkerama, membicarakan pertandingan bola semalam. Nino sendiri kembali sibuk
dengan pikirannya. Nino harus mencarii cara untuk hidup. Entah itu harus mengusir ayahnya dari rumah atau
mencari pekerjaan. Nino menghela napas. Opsi pertama sudah pasti sulit, dan Nino enggan
melekukannya. Satu-satunya cara adalah dengan melakukan opsi kedua. Dan untuk itu, Nino
harus rela melepaskan sesuatu : sekolah.
Bukannya Nino berat hati meninggalkan sekolah, toh ia juga tidak pernah belajar. Tapi Nino
harus mengucapkan selamat tinggal lebih awal pada teman-temannya. Pada Yasmine. Pada masa
remajanya. Pada apa yang seharusnya ia miliki di usianya.
Nino sedang memikirkan pekerjaan apa yang cocok untuknya saat Yudhis tahu-tahu menyikut
rusuknya. Nino menoleh pada Yudhis, lalu mengernyit saat anak itu menatap bingung ke suatu
arah. Nino mengikuti arah pandangnya, lalu mengernyit.
Beberapa guru tampak berlari panic keluar sekolah, diikuti beberapa anak kelas sebelas. Ekspresi
ngeri di wajah mereka semua membuat bulu kuduk Nino meremang.
"Ada apaan nih?" seru Bowo mewakili kebingungan Nino.
Nino dan teman-temannya sekarang bangkit, bermaksud mencari tahu. Tapi beberapa detik
berikutnya, Haris muncul dari dalam gedung, berlari semuat tenaga kea rah Nino hingga roti
yang di bawanya jatuh berceceran. Tapi ia tak peduli.
"BOS!!" serunya, wajahnya pucat pasi. Semua orang sekarang menatapnya ngeri. Haris berhenti
tepat di depat Nino, lalu berusaha mengambil napas di sela engahannya. "Anwar. Meninggal. Di
rumahnya. OD." Jantung Nio terasa mencelos.
"Apa?"" tanyanya perlahan. Tapi sebelum Haris sempat menjawab, kerah kemejanya sudah
keburu di tarik Nino. "APA KATA LO?"
"Gue denger dari ruang guru!!" pekik Haris.
Nino melepaskan cengkeramannya, belum berkedip dari semenjak Haris mengatakan Anwar
meninggal. Karena over dosis.
"Nggak mungkin Anwar OD! Dia nggak make!" seru Bowo, sama tak percayanya. Haris hanya
menggeleng, sama tidak mengertinya.
Nino merasa seluruh darahnya naik ke kepala. Tangannya terkepal sangat keras hingga bergetar.
Nino lantas mengangkat kepala, menatap kepanikan yang masih berlangsung di depannya.
Beberapa guru dan anak perempuan kelas sebelas berhenti sesaat untuk menatap Nio dan anakanak buahnya dengan pandangan jijik. Nino membalasnya nanar. Matanya panas dan kabur
karena air mata. Ia ingin meneriaki mereka semua, berkata bahwa Anwar tidak pernah sekalipun
memakai narkoba. Tidak di bawah kepemimpinannya.
"No." Nino merasakan tepukan Yudhis di bahunya, membuatnya tak jadi berteriak. Nino lantas
berbalik,menatap anak-anak buahnya yang balas menatapnya bingung. Nino menatap mereka
satu persatu. Nino tahu, selain kesedihan dan kebingungan, ada kekecewaan yang muncul di
wajah mereka. Nino kembali menatap lapangan. Matanya lantas melebar saat melihat Ferris, Yasmine, dan Mei
tampak tergopoh keluar gedung. Ketiga anak itu pun berhenti saat melihat Nino.
Mata Nino bertemu dengan Ferris. Nino sudah siap kembali dihujat, tapi Ferris tak melakukan
apa pun. Ia hanya tersenyum lelah, lalu mengajak Mei dan Yasmine untuk pergi. Yasmine
sendiri hanya menatap Nino khawatir, tapi ikut pergi bersama Ferris.
Nino lantas menatap lapangan gersang yang sudah kosong. Sekosong hatinya.
*** Nino meneguk ludah saat melihat kumpulan orang berpakaian hitam di depannya. Langkahnya
terhenti. Kakinya terasa terpaku ke tanah.
"Bos," tgur Haris, menyadarkannya. Nino meliriknya, lalu mengangguk. Ia kembali melangkah
walaupun berat. Nino masuk ke dalam pekarangan rumah Anwar yang telah dipenuhi oleh para pelayat. Anakanak kelas sebelas tampak berkumpul di pojokan, melotot saat melihat kedatangan Nino dan
yang lain. Kerumunan di depan Nino pun segera terbelah, mamberi jalan.
Nino tersaruk menuju pintu rumah Anwar yang terbuka lebar. Saat Nino mencapai pintu, ia
segera bisa melihat tubuh Anwar yang telah terbungkus kain kafan, terbujur di tengah ruangan.
Ninomenatap nanar sosok pucat itu.
Kedua orang tua Anwar tahu-tahu menyadari kehadiran Nino.
"Ngapain kamu dating!!" jerit ibu Anwar, membuat Nino tersentak. Wanita itu segera bangkit
dan dengan kalap memukuli Nino. "Gara-gara kamu Anwar meninggal!! Gara-gara kamu!!"
Yudhis dan Haris dengan segera melindungi Nino dari amukan ibu Anwar, tetapi Nino
mencegahnya. Nino menerima segala pukulan dari ibu Anwar, merasa pantas mendapatkannya.
"Maaf?" kata Nino kemudian, suaranya tercekat.
"Maaf" MAAF?"" Kamu minta maaf sekarang?" Anwar sudah mati!!" seru ibu Anwar histeris.
Nino tak bisa menjawab. Ibu Anwar sekarang sudah terduduk, menangis sekuat tenaga sementara suaminya
merangkulnya. "Aku yang salah" Aku yang salah, harusnya Anwar nggak kubiarkan masuk
sekolah sampah itu?"
Beberapa orang guru sekarang menunduk. Nino sendiri bergeming, matanya kembali terpaku
pada jenazah Anwar. Nino bisa melihat Ferris dan Yasmine yang ada di sudut ruangan dari sudut
matanya. Keduanya tampak sedang berdoa.
"Sekarang ngapain kalian di sini, hah" Sana pergi!" sahut ibu Anwar lagi, menyadarkan Nino.
"Sekarang Anwar sudah mati!! Jangan urusin lagi!"
Nino hanya menurut saat ibu Anwar mendorongnya dan anak-anak buahnya keluar rumah. Nino
lantas termangu di depan pintu, masih berusaha menguasai diri. Anak-anak buahnya menatapnya
cemas, sementara para tetangga sudah mulai berbisik.
"Memang dasar anak Bengal?"
"Kecil-kecil aja udah berani make narkoba. Mau jadi apa coba mereka?"
"Kasihan banget Anwar bergaul sama mereka?"
"Dasar sampah masyarakay."
"Harusnya mereka aja yang mati."
Rahang Nino mengeras sementara anak-anak buahnya semakin cemas. Anak-anak kelas sebelas
juga menatapnya ngeri dari pojokan.
Di saat semua orang menyangka Nino akan mengamuk, anak lkai-laki itu malah menghela napas
berat dan mulai melangkah. Anak-anak buahnya saling pandang bingung, lalu mengikutinya
tanpa banyak bicara. Beberapa meter dari rumah Anwar, Nino menghentikan langkah. Ia lantas melirik sedikit ke
belakang. "Gue mau sendiri."
Mata Yudhis segera melebar. "Tapi, No?"
"Gue. Mau. Sendiri."
Kali ini taka da siapapun yang berani membantahnya lagi. Mereka membiarkan Nino melangkah
pergi sendirian. Yudhis menatap punggung Nino cemas. Ia hanya bisa berharap Nino berpikir
jernih dan tak melakukan sesuatu yang bodoh.
Sayangnya, Yudhis tahu benar bagaimana Nino.
*** Nino menarik kerah seorang pemuda yang wajahnya sudah berlumuran darah dengan satu
tangan. Satu tangannya lagi menggenggam tongkat baseball erat-erat.
"Di mana dia?" tanya Nino lambat-lambat dengan suara rendah. "Apa lo mau mati?"
"Di" gudang" belakang" sek"olah," jawab pemuda itu susah payah, hamper tersedak
giginya yang tanggal. Nino menghempaskannya ke tembok, lalu melewati beberapa tubuh lain
yang lebih dulu terkapar di tanah.
Nino berjalan tegap menuju belakang sekolah Krida Mandiri, musuh bebuyutan sekolahnya.
Nino pernah menolak segala ajakan mulai hanya sekedar tanding futsal, tawuran, hingga bisnis
narkoba. Dan ajakan terakhir inilah yang menjadi alas an Nino berada di sini sekarang. Nino tahu
kalau Andre, ketua geng sekolah inilah yang dulu berhasil memengarusi Rendi memakai
narkoba. Dan sekarang, Andre berhasil memengaruhi Anwar tanpa sepengetahuan Nino.
Harusnya Nino membuat perhitungan ini sejak dulu, sebelum Anwar menjadi korbannya.
Nino menatap halaman luas di belakang sekolah itu dan memicing kea rah sebuah gedung reyot
di kejauhan. Nino memanggul tongkat baseball-nya, lalu mulai melangkah dnegan sebuah
determinasi: ia akan menghancurkan semuanya hingga tak bersisa.
Nino menatap sebuah pintu seng, lalu menendangnya hingga pintu itu melayang ke ujung
ruangan. Ruangan itu oenuh asap mengepul hingga Nino tak dapat melihat ke dalam.
"HEH! SIAPA LO!" seru seseorang. Nino mundurbeberapa langkah dan membiarkan semut itu
keluar dari sarangnya. Satu per satu anggota geng itu keluar, dan satu per satu pula menganga saat menyadari siapa
yang ada di depan markas mereka. Nino hanya balasmenatap mereka sengit, sampai seseorang
yang dikenalnya muncul dari dalam gudang itu.
Mata Nino melebar saat melihat Rendi, begitu pula sebaliknya. Rendi malah dengan segera
berlindung di balik tubuh tambun Andre, sang ketua geng.
"Wah, wah, liat siapa ini!" seru Andre saat melihat Nino, tapi Nino tidak memedulikannya. Ia
hanya peduli pada Rendi dan apa yang sedang dilakukannya di sini.
"Ngapain lo disini?" tanya Nino geram, membuat Andre mengernyit. Tapi detik berikutnya, ia
sadar Nino sedang mengajak bicara Rendi.
"Dia udah jadi pengikut gue," Andre menjawab dengan senyum licik. "Semenjak lo ngebuang
dia." Nino menatap Rensi tanpa berkedip. Rendi sendiri masih berlindung di balik Andre, tak berani
menatap balik Nino. "Nggak ada tempat buat pengkhianat kayak dia," kata Nino dingin, tapi lantas teringat sesuatu.
"Lo" yang nawarin Anwar?"
Rendi tersentak, lalu segera menggeleng. Tapi terlambat. Nino sudah melihat semuanya.
"Jadi bener lo yang ngasih Anwar obat itu," Nino merapatkan geraham. "Lo yang bikin dia OD."
Rendi sekarang menatap Nino bingung. "OD" Anwar?"
"Jangan pura-pura bego, lo," sambar Nino, tapi Rendi masih tampak bingung. Nino lalu
mendengus. "Lo bahkan belum tau si Anwar mati?""
"Hah?"" seru Rendi, tidak tampak dibuat-buat. Andre pun ikut bingung untuk beberapa saat.
"Anwar mati?""
"Dia mati OD di kamarnya. Berkat obat yang lo kasih," kata Nino, genggamannya pada tongkat
baseball mengencang. Rendi tak bereaksi, seolah tak memercayai pendengarannya. Detik berikutnya, dia menatap
Nino, lalu segera jatuh berlutut dan merangkak ke arahnya.
"Ampun, Bos, ampun! Saya nggak bermaksud!" rengeknya membuat Nino mendecis.
"Bos?" gumam Nino jijik. "Siapa yang lo maksud" Dia?"
nino menunjuk Andre dengan tongkat baseball-nya. Andre hanya memicing, sementara Rendi
malah semakin terpuruk di tanah.
"Ampun, Kak! Ampun! Saya minta ampun!"
Nino menatap Rendi yang menyembah kakinya, lantas meregangkan otot leher sambil
memejamkan mata. "Lo tau, di dunia ini cuma satu hal yang nggak bisa gue terima keberadaannya," Nino membuka
mata lalu meraih sebatang suntikan dari saku Rendi dan mematahkannya dengan satu
genggaman. "Barang nggak berguna kayak gini."
Nino melempar patahan suntikan itu ke depan Andre, membuatnya balik menatap bengis. Nino
lantas mengangkat tongkat baseball dan menunjuknya.
"Lo duluan," kata Nino dingin, lalu beralih menunjuk Rendi. "Lo terakhir."
Andre segera memberi sinyal kepada anak-anak buahnya, tapi sebelum ia sempat menghindar,
Nino sudah kenuru menonjok rahanyanya dengan tongkat baseball. Darah beserta beberapa gigi
segera muncrat dari mulutnya, membuatnya terhuyung dan akhirnya roboh ke tanah.
Andre memegangi rahangnya yang sudah miring, tak bisa berkata-kate karena menahan sakit.
Anak-anak buahnya hanya bengong menatap bosnya yang sudah terkapar dalam hitungan detik
itu. Nino lantas berbalik, menatap kumpulan anak-anak yang hanya bisa menatapnya ngeri. Nino
baru saja melangkah, kumpulan itu sudah kocar-kacir, berusaha melarikan diri. Tapi Nino tak
akan membiarkan mereka kabur. Nino tak akan menjilat ludahnya sendiri. Nino bertekad untuk
menghancurkan mereka semua, dan Nino akan melakukannya, hari ini juga.
Rendi merapat ke tembok, sekujur tubuhnya gemetar menyaksikan Nino berubah menjadi
monster saat menyerang anak-anak geng Krida Mandiri dengan membabi buta. Rendi tak pernah
melihat bagaimana Nino berkelahi. Selama ini hanya pernah mendengar legenda, dan tak pernah
Pasangan Detektif 4 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Misteri Goa Malaikat 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama