Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting Bagian 5
"Yaudah lo jangan nangis lagi. Cerita ke gw, ada apa?"
"Gw nggak mau cerita."
"Yaudah kalo gitu silakan nangis."
"Gw nggak mau nangis."
"Kalo gitu gw gampar lo, boleh?"
Meva menarik wajahnya. Sejenak menatap gw, lalu melayangkan telapak tangannya ke pipi gw.
"......" "Kenapa?" tanya gw ke Meva yg terdiam. Telapak tangannya cuma berjarak setengah inchi dari pipi gw.
"Nggak papa..." Meva menurunkan tangannya. "Gw lagi sedih aja."
Meva melepas pelukannya dan mulai menyeka airmata dengan ujung kemeja putih gombrang yg
dipakainya. Kemeja itu sangat besar sampai menutupi hampir ke lututnya. Malam ini Meva tanpa
stoking hitamnya. "Gw lagi sedih Ri..."
"Gw akan dengan senang hati dengerin cerita lo. Kalo lo mau cerita..."
"Nggak ada yg perlu gw ceritain kok. Gw cuma lagi mikirin beberapa hal kecil."
"Apa itu?" "Gw nggak mau wisuda Ri."
"Kenapa" Lo betah jadi mahasiswa abadi ya?"
"Enggak gitu juga. Gw takut aja..."
"Takut apa?" "Gw masih takut ngadepin masa depan gw. Gw takut, begitu gw keluar dari kosan ini, gw nggak akan
dapetin suasana kayak gini lagi.."
"......" "...gw nggak mau kehilangan yg udah gw dapatkan saat ini."
"Bukannya emang udah harusnya gitu ya?" gw mulai merasakan yg dikatakan Meva. "Tantangan
sebenernya kan saat lo selesai kuliah. Mulai kerja. Mulai ngebangun kehidupan lo tanpa bimbingan
siapa-siapa. Mulai mandiri."
"Justru itu! Gw nggak suka, kalo gw mesti mandiri. Gw nggak suka, tanpa bimbingan siapapun. Gw masih
labil Ri. Gw masih butuh bimbingan orang di dekat gw..."
"......" "Gw...masih...butuh...elo....."
Dia terdiam. Airmatanya sudah berhenti mengalir. Dan saat kedua mata kami bertemu, gw bisa
merasakan caranya menatap gw, sama dengan cara gw menatap dia.
"Dasar manja." "Biarin!" "Terus mau sampe kapan lo kayak gini?"
"Biarin aja. Gw pengen kayak gini terus."
"Berarti lo nggak akan dewasa donk.."
"Biarin!" "Manja.." "Enggak papa." "......" "Ri..." "Kenapa lagi?" "......" "Apa maksudnya nih, merem-merem kayak gitu?"
"......" Meva mengangkat dagunya.
"Jangan becanda ah..."
"......" "Gw nggak becanda..." katanya tanpa membuka mata.
"Eh mau ujan tuh, angkatin jemuran sono."
"......" "By the way kemeja yg lo pake punya siapa" Kok gombrang gitu yaa?"
"......" "Wah malem ini mendadak kamernya panas."
"......" "Oiya kemaren gw sempet ke toko bu......"
"......" ".........." "....................."
"Va?" "Iya?" "Jangan buka mata lo............"
"......" Part 87 "Va.." "Ya?" "Jangan buka mata loe ya..."
"Mmm...kenapa gitu?"
"....." "....." "Gw lagi ngupil soalnyah."
Meva membuka matanya, kaget dan secara refleks mendorong kepala gw ke belakang.
"Najong lu!!" dia mengambil bantal dan memukul-mukulkannya ke gw.
"Ya elo juga ngapain pake merem-merem gituh?"?" gw melindungi kepala gw dengan kedua tangan.
"Jorok banget!" masih memukulkan bantal ke gw. "Nggak sopan ngupil depan cewek!"
"Enggak! Tadi gw boongan Vaa..."
"Gw liat tangan lo di idung!"
"Gw garuk-garuk doang! Gatel.."
"Gatel apaan" Orang jelas tadi gw liat lo lagi ngupil di depan gw!!"
"Makanya tadi gw bilang lo jangan melek!"
"Udah balik sana ke kamer loe!"
"Iya gw balik....tapi berenti dulu lah mukulin gw nya."
Meva melempar bantal ke kasur. Dia berkacak pinggang di depan gw dengan ekspresi wajah yg aneh.
"Sebagai hukumannya, tiga hari ini lo nggak boleh masuk kamer gw!" katanya.
"Iya juragan...ampuun..."
"Yaudah pergi sana! Sebelum gw berubah pikiran buat makan daging orang!"
Gw mencibir lalu beranjak keluar menuju kamar gw. Kayaknya ni anak beneran sewot. Ya abisnya
ngapain tiba-tiba dia merem-merem gitu"
Gw baru mau nutup pintu kamar waktu mendadak Meva menahannya. Dia memegang daun pintu dari
luar. "Jangan ditutup," katanya lalu asal masuk ke kamar gw.
"Mau ngapain lo" Tadi katanya gw nggak boleh ke kamer lo?"
"Kan belum ada larangan buat gw ke kamer lo" Yg nggak boleh tuh elo ke kamer gw...kalo gw ke kamer
elo..." "Iya iya elo boleh ke kamer gw!"
"Nah tuh ngerti," Meva menuang teh.
Gw duduk dan menyalakan televisi. Lebih baik gw mah ngalah aja deh kalo sama dia.
"Lo mau teh?" kata Meva.
"Nggak, makasih."
"Kopi?" "Emang ada?" "Enggak..enggak ada..."
"......" "Nih teh gw aja."
"Wuih udah nggak marah lagi nih ceritanya."
"Ini kan kamer elo. Kalo di kamer gw, lain lagi ceritanya."
Hadeuuh...beneran nih cewek gampang bener emosinya berubah!
Meva duduk di sebelah gw dan menyandarkan kepalanya ke pundak kiri. Kedua tangannya memeluk
lutut. "Ganti dong pilemnya nggak seru," katanya.
Tanpa mendebat gw mengganti channel.
"Ini?" "Nggak asyik. Masa nonton berita?"
"Ini?" "Sinetron lama ini mah, diulang lagi!"
"Ini?" "Jangan lah. Ganti ganti."
"......" "Nah ini dia! Kayaknya bagus nih pilem!"
"INI KAN YG PERTAMA TADI?"?" Zzzzzt...
Meva cengar-cengir nggak jelas. Dia masih menyandarkan kepalanya. Wangi shampo dari rambutnya
mengalir masuk ke rongga hidung. Gw hafal banget sama wangi ini. Meva belum pernah pake shampo
selain yg biasa dipakainya.
"Lo kenapa sih Va" Tadi nangis, terus ngamuk...sekarang cengar-cengir gitu?"
"Enggak kok enggak papa. Cuma lagi sensi ajah."
"PMS?" "Absolutely." "Oiya udah tanggal muda. Udah waktunya yak" Hehehe."
"......" Entah karena filmnya yg beneran jelek atau wangi shampo Meva yg 'mengganggu', malam ini mendadak
tivi ngebosenin banget. "Gw takut Ri..." Meva mulai curcol.
"Takut kenapa?"
"Ya takut aja! Secara gw kan udah nggak punya siapa-siapa lagi. Apa jadinya gw begitu wisuda nanti"
Nggak ada yg peduli."
"Oma" Tante?"
"Oma udah terlalu tua buat merhatiin cucunya. Tante...yah tentu aja tante gw sibuk ngurusin
keluarganya sendiri. Coba lo jadi gw, sedih nggak sih kayak gitu?"
"Iya lah pasti sedih. Gw ngerti kok. Tapi kalo lo nggak lulus-lulus, mau jadi apa?"
"Enggak tau! Ya pokoknya gw belum siap aja, ngadepin masa depan gw sendiri..."
"......" "...gw ini masih labil Ri. Jujur aja gw ngerasa selama ini gw belum nemuin jati diri gw sebenernya. Gw
masih butuh bantuan orang lain buat nemuin itu.."
"Tenang aja, semua pasti ada prosesnya kok. Jalani aja apa adanya."
"Huh...seandainya aja gw bisa muter waktu...gw pengen banget balik ke masa kecil gw......masa-masa di
mana belum ada yg namanya beban hidup. Belum ada yg namanya tanggungjawab. Indah banget deh!"
"Boleh aja punya keinginan kayak gitu, tapi lo juga pasti tau kan nggak mungkin kita bisa muter waktu."
"......" "Di hidup ini ada yg pergi dan akan kembali, ada juga yg pergi tapi nggak mungkin kembali. Kita nggak
mungkin muter waktu, tapi kita bisa memanfaatkan waktu yg sekarang kita punya. Meski nggak banyak,
kita bisa menggunakannya untuk menciptakan kenangan yg berarti.."
"......" "Gw yakin suatu saat nanti lo bakal ketawa inget kejadian-kejadian hari ini."
"......" Meva diam. Mungkin lagi berusaha mencerna kalimat gw tadi. Sepuluh menit tetep nggak ada suara. Gw
tengok Meva. Anjrid, pantesan dari tadi nggak nyaut ni anak ternyata molor!
"Kampret," gerutu gw dalam hati.
Gw teruskan nonton tivi nya tanpa bergerak sedikitpun dari duduk gw. Gw takut ngebangunin Meva. Dia
pasti kecapekan setelah nangis tadi. Ya sudahlah, akhirnya gw pun tertidur dalam duduk gw......
Part 88 Gw pandangi lagi wajahnya yg penuh damai. Seolah beban yg semalam diungkapkannya menguap
bersama embun pagi yg mulai mengering. Dalam hati gw sebenernya iba melihat keadaannya sekarang.
Tanpa ayah dan tanpa ibu, tentu sangat sulit buat Meva yg anak tunggal untuk berjuang sendirian.
Dengan masa lalu yg begitu hancur serta trauma yg dialaminya, itu akan menambah berat bebannya.
Meva butuh seseorang yg membantunya keluar dari masa-masa sulit. Dia butuh kuping yg bersedia
mendengarkan curhatannya. Dia butuh mulut yg mau memberikan nasihat dan support saat dia
terpuruk. Dia butuh tangan yg selalu menuntunnya untuk tetap berada di jalan yg akan membawanya ke
ujung impiannya. Dia butuh kaki yg rela meninggalkan jejak, untuk dia ikuti, saat dia tersesat dari jalan
yg seharusnya dia tapaki. Dia butuh hati yg mau menerima dia apa adanya seburuk apapun masa
lalunya. Dan dia butuh pundak untuk menyandarkan kepalanya ketika dia lelah dengan semua
bebannya..... Telapak tangan Meva terasa hangat di pipi gw. Gw genggam tangannya, sejenak gw tergoda untuk
sekedar mencium jari-jarinya yg lentik, sebelum akhirnya gw menaruhnya pelan di sisi tangan yg lainnya.
Gw bangun. Tapi belum mau beranjak dari tempat tidur.
Gw terdiam di tempat gw. Memejamkan mata sambil membayangkan seandainya ada satu diantara
kami yg pergi. Apa yg harus dilakukan"
Meva nggak lebih dari seorang anak kecil yg merengek-rengek meminta sesuatu pada ibunya saat
melihat sesuatu yg disenanginya. Dia masih butuh bimbingan untuk menemukan jati diri sebenarnya.
Dia masih labil. Makanya kadang gw suka sok bijak ngasih nasihat gitu. Gw tau Meva adalah tipe orang
yg mudah mencerna dan biasanya selalu termotivasi setelah mendengar ocehan nggak jelas gw.
Gw care sama dia. Gw nggak mau sesuatu yg buruk menimpanya. Saat inilah gw sadar tahap sayang gw
ke Meva bukan sekedar suka ke lawan jenis, tapi ini adalah tentang bagaimana menjaga orang yg kita
sayang supaya nggak terluka. Menjaga hati dan tubuhnya.
Saat gw mengetikkan tiap sms balasan ke Meva, gw telah memberikan tangan gw untuk tetap
membuatnya tersenyum dengan banyolan-banyolan garing gw. Setiap dia minta ditemani makan, gw
sudah memberikan kedua kaki gw untuk berjalan di sampingnya, menjaganya dari hal buruk yg mungkin
saja terjadi ketika dia berjalan. Dia membuat gw terjaga di tengah malam cuma untuk mendengarkan
curhatnya, gw telah dengan rela menyerahkan sebagian mimpi indah gw, sebagian waktu yg seharusnya
gw gunakan untuk istirahat dan menggantinya dengan ocehan ngawurnya. Gw selalu berdiri di beranda
tiap Senin sore yg hujan, mengorbankan mata gw untuk melihat kalau saja Meva pulang kuliah, turun
dari angkutan umum dan cuma bisa berteduh di bawah telepon umum rusak. Gw akan selalu segera
menjemputnya dengan payung yg menjaganya dari air hujan yg bisa membuatnya sakit. Tiap kalimat yg
gw ucapkan, adalah doa semoga dia tetap dalam lindungan Tuhan.
Maafin gw Va, gw bukan bermaksud membuat sebuah perhitungan atas apa yg telah gw lakukan. Gw
cuma ngerasa, gw sudah berusaha memberikan semua yg gw miliki buat elo. Entah lo menerimanya
seperti apa, gw nggak peduli. Yg jelas, sayang gw ke elo lebih dari sayang seorang lelaki yg rela memetik
sekuntum edelweiss di tepi jurang demi wanitanya. Lebih dari sebuah rasa ingin memiliki. Tapi yg gw
punya adalah sebuah keinginan untuk menjaga. Gw nggak akan memaafkan diri gw sendiri kalo sampe
terjadi sesuatu yg buruk sama lo.
Gw buka mata dan mendapati gw masih terduduk dalam kamar yg pengap ini. Meva...dia masih di
sebelah gw. Meringkuk di balik kemeja gw yg digunakannya sebagai selimut.
"Gw sayang elo Va," gw cuma bisa berkata dalam hati. "Gw juga sama seperti lo. Gw nggak mau waktu
ini cepet berakhir. Gw pun masih butuh elo, untuk mewarnai pelangi di hidup gw. Elo adalah pelita saat
gw di tengah gelap malam. Elo adalah jiwa saat raga gw nggak lagi bernyawa."
Lagi-lagi hati gw berdesir. Ah, shit! Gw kok semellow itu yak?"
"Ri..." panggil Meva pelan tanpa terbangun dari tidurnya. Tangannya meraba kasur dengan mata
terpejam. "Gw di sini Va," gw raih tangannya. Dia berhenti bergerak.
"Kenapa Va?" tanya gw.
"Lo jangan kemana-mana ya..." kayaknya ni anak ngelindur. "...temenin gw."
"Iya gw nggak kemana-mana kok.."
"......" Lama kami diam. Genggaman tangannya mengendur. Gw ambil selimut dari lemari dan menutupi
tubuhnya. Sekali lagi gw pandangi Meva.
"Endless Love," gumam gw pelan.
Dan pagi itu gw akhiri dengan mengecup keningnya pelan...........
Part 89 "Dari dulu juga gw bilang apa..lo tuh suka sama Meva," kata si Gundul. "Sekarang kebukti kan."
Gw cuma senyum lebar. "Dulu nggak sedalem ini soalnya. Gw masih bisa nutupin perasaan gw waktu itu," ujar gw. "Tapi kok
makin lama yg gw rasain kok gw makin nggak bisa tutupi kalo gw sayang dia ya Dul?"
Indra tersenyum lebar. Gw tarik nafas panjang dan mengembuskannya cepat. Gw pandangi bayangan
gw sendiri yg tampak melengkung dalam pantulan cangkir putih berisi teh hangat. Indra meraih
cangkirnya dan meminum sedikit tehnya.
"Jadi," ucapnya kemudian meletakkan cangkir ke tatakannya. "Apa alasan lo cinta sama Meva?"
Gw termenung. "Gw...gw....." rasanya bingung mencari kalimat yg tepat untuk dijelaskan. "Gimana yak ngomongnya..?"
"Lo pasti punya alasan donk kenapa lo bisa segitu cintanya sama Meva?"
Gw menggeleng pelan. "Kalo lo beneran cinta, gw yakin lo punya alasan untuk itu."
Gw tarik nafas panjang lagi. Jujur gw sulit sekali buat ngejawab pertanyaan Indra.
"Menurut gw semua hal itu butuh alasan. Lo makan karena lo laper, lo minum karena haus, lo tidur
karena ngantuk." Lanjut Indra lagi. "Nah sekarang lo sayang sama Meva...lo cinta sama dia...itu juga
punya alasannya dong?"
Ah, gw nggak berhasil menemukan kalimat yg tepat.
"Gw suka senyumnya yg manis," kata gw sedikit ragu. "Gw suka jarinya yg lentik. Gw suka caranya bicara
ke gw. Gw suka teriakannya yg kadang bikin budek kuping gw. Gw suka setiap gerak tubuhnya. Gw suka
bentuk matanya yg agak sipit. Gw suka perhatiannya. Gw suka hidungnya yg mancung dan rambut
panjangnya. Gw suka perhatian yg dia kasih. Gw suka karena dia selalu ada nemenin gw. Gw suka
semuanya deh....." "......" "Ya ya ya...gw suka Meva karena itu."
"......." Sejenak kami berdua diam.
"Tapi itu semua bukan alasan gw mencintainya Ndra," kata gw. "Kalo gw bilang gw cinta Meva karena
kecantikannya, maka saat dia tua nanti dan mulai kehilangan kecantikannya, gw nggak akan punya
alasan lagi untuk mencintainya."
Sejenak gw menarik nafas.
"Kalo gw katakan gw cinta karena perhatiannya, saat nanti dia nggak perhatian lagi, gw pun nggak punya
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
alasan untuk mempertahankan cinta gw. Kalo gw cinta karena dia selalu ada di samping gw, saat dia
mati nanti...tentu nggak akan ada alasan lagi buat gw tetap mencintainya..."
"......" "Gw cinta Meva, karena gw tulus..."
Indra menunduk dan usapi matanya yg sempat berkaca-kaca.
"Lo hebat Ri..." dia menepuk bahu gw pelan. "Gw bahkan belum bisa mencintai istri gw seperti yg elo
lakuin ke Meva. Terharu gw sob. Gw nggak tau ternyata lo sedalam itu cinta ke Meva."
Gw masih termenung. "Tapi, lo nggak kepikiran buat ngungkapin perasaan lo ke dia?"
Gw senyum sendiri. Yg ada di ingatan gw adalah 'tragedi headset'.
"Belum..." jawab gw.
"Kenapa?" "Gw belum berani Ndra. Gw belum berani ngadepin resikonya."
"Kenapa" Lo takut ditolak" Menurut gw dia juga ada rasa kok ke elo?"
Gw menggeleng pelan. "Bukan itu...Gw belum berani, kalo ternyata perbedaan yg ada diantara gw dan Meva, cuma akan
membuat hubungan kami kandas. Yah seperti yg elo tau, keyakinan Meva kan beda sama gw."
"Bukannya lo pernah bilang yak, kalo perbedaan nggak akan jadi penghalang buat lo?"
"Iya tapi ini dalam konteks berbeda Dul. Gw bukan cuma sekedar pengen jalanin hubungan tanpa tujuan
yg jelas. Gw mulai berpikir bahwa gw harus membangun sebuah keluarga, seperti yg udah lo lakukan
sekarang. Gw mau itu. Tapi gw juga nggak mau maksa Meva buat melepas yg selama ini diyakininya. Dan
gw pun sama, gw akan tetap seperti ini adanya sampe gw tua nanti."
Indra mengangguk perlahan.
"Kalo gitu lo jalanin ajah dulu. Setelah lo pastikan Meva juga punya tujuan yg sama dengan lo, kalian
rundingkan deh gimana baiknya. Gw yakin Meva orang yg mengerti soal perbedaan ini."
Gw termenung. Menunduk dan melamun. Mungkin gw orang yg egois. Gw nggak bisa memungkiri hati
kecil gw bahwa ingin memiliki Meva seutuhnya, gw ingin kami membangun sebuah keluarga, tapi tentu
saja dengan keyakinan yg sama. Nggak mungkin kan dalam satu kapal ada dua nahkoda. Karena gw pun
pengen anak-anak gw kelak seiman dengan gw.
Ini dia egoisnya gw! Gw belum bisa terima dia apa adanya! Maybe" Gw nggak peduli dengan masa
lalunya yg kelam. Gw nggak peduli dengan kebiasaan anehnya melukai diri sendiri. Tapi kalo soal
keyakinan" "......." Hufft......Gw tatap lagi wajah damai Meva yg masih terlelap pagi itu. Percakapan gw dan Indra beberapa
hari yg lalu saat gw berkunjung ke rumahnya, menguap dalam pikiran gw. Gw cuma bisa memaki diri
sendiri dalam hati. Gw masih merasa jadi orang paling egois. Gw ingin memiliki Meva tanpa gw mau
menerima satu sisi kecil yg berbeda.
"Maaf Va," kata gw dalam hati. "Gw masih harus banyak belajar untuk bisa mencintai lo apa adanya.
Dan kelak ketika saat itu datang...gw akan lakukan apapun demi kita berdua. Bahkan seandainya harus
membangun kehidupan di tempat yg menerima perbedaan keyakinan pun, gw akan lakukan itu......"
Part 90 "Woy kebo," Meva muncul di depan kamar gw sambil kucek-kucek matanya. Kemeja putih gombrang yg
dipakainya tampak kusut. Gw buang puntung rokok yg lagi gw hisap. Gw inget Meva nggak suka liat gw ngerokok. Sejak kepergian
Echi, gw memang sudah hampir meninggalkan kebiasaan merokok. Cuma beberapa kali aja di kantor. Itu
pun kalo bener-bener lagi sumpek.
"Eh udah bangun loe cing," sahut gw sambil tetap memetik senar gitar warisan si Gundul.
Meva menguap, menggeliatkan badan lalu berjalan mendekati gw di beranda. Tanpa basa-basi dia
meminum kopi gw. "Kok rasanya agak aneh ya" Agak gimanaa gitu.." dia mengamati air berwarna hitam dalam gelas putih
di tangannya. "Ini kopi apaan sih?"
"Kopi biasa kok..."
Meva kernyitkan dahi. "...cuma emang kopi itu gw bikinnya kemaren."
"Jadi ini kopi basi donk?" Ah sialan lo Ri.!"
"Yeey yg salah siapa maen sruput ajah nggak minta ijin dulu."
Meva meludah beberapa kali lalu usapi mulutnya sementara gw ngakak puas.
"Kok doyan sih minum kopi basi?""
"Enggak papa. Gw males nyeduh lagi. Baik buat kesehatan juga kok."
Meva menyeringai jijik. "Bikinin gw teh lah," pintanya sedikit memerintah.
"Entar lah...lagi asyik nih. Lagi nemu nada, kali aja bisa jadi lagu."
"Buruan bikinin lah."
Zzzztt...mulai nongol deh cerewetnya. Kok bisa ya gw jatuh cinta sama cewek kayak gini"
Gw taro gitar di lantai dan beranjak ke kamar, kebetulan dispensernya udah nyala sejak semalem,
kayaknya Meva lupa matiin setelah nyeduh teh buat gw. Gw lagi nyari-nyari dimana gw naro teh, ketika
terdengar petikan gitar dari luar. Lalu disusul suara cewek nyanyi.
I can't live... If livin is without you...
I can't live... I can't give anymore... Gw hafal liriknya. Itu lagu "Without You" nya Mariah Carey. Gw pernah denger Meva nyanyi lagunya
Jamrud, tapi yg kali ini beda. Suaranya merdu banget. Sangat terlatih.
"Gw baru tau lo bisa maen gitar," kata gw. Gw taro cangkir teh di sebelah Meva.
"Udah biasa kok. Dulu gw sering nyanyi di Kelas Minggu. Tapi sekarang udah jarang ke gereja lagi."
"Hmm...suara lo bagus," gw memujinya.
Meva tertawa pelan. "Wajar lah gw dulu sempet ikut les vokal."
"Oh..." Meva turun dari pagar beranda. Dia memberikan gitarnya ke gw.
"Kenapa" Lanjutin aja."
"Gw mau mandi."
"Nah ini teh nya gimana?"
"Buat lo ajah."
Errrr....tadi ngotot minta dibuatin teh anget, sekarang malah ditinggal gitu aja!
"Yaudah," gw dengan kesal meminum habis teh nya.
"Lho kok diabisin!" Meva mengambil cangkir kosong dari tangan gw.
"Katanya buat gw?"
"Ya tapi kan enggak pake diabisin juga kalee!"
"Entar gw bikin lagi deh!" biar kesel tapi gw ngalah aja. Nggak akan mudah buat debat sama Meva.
"Bagus...bagus....entar bikinnya nggak usah manis-manis yak."
"Lo diabetes?" "Enggak. Gw kan udah manis jadi nggak perlu minum yg manis, soalnya kata dokter nanti gw tambah
maniiis...." katanya pede BANGET.!
"Pantesan di kamer lo banyak kecoanya. Ternyata lo manis yak"!" kalimat terakhir gw ucapkan dengan
nada menyindir. Meva cuma nyengir nggak jelas.
"Eh tapi gw agak gendutan nggak sih?" tanyanya entah ke gw apa ke dirinya sendiri. "Ri, menurut lo gw
gendut nggak?" dia meraba pinggangnya.
"Enggak." jawab gw males. Paling males gw dapet pertanyaan khas cewek semacam ini.
"Tapi berat badan gw naek loh dibanding bulan kemaren. Jangan bohong laah...gw gendut nggak sih?"
"Enggaak..." "Bohong ah!" "Hmmm..iya deh, mungkin lo perlu sedikit diet."
"Ooh jadi menurut lo gw gendut yak!!"
Sempat kepikiran buat loncat bunuh diri tapi karena gw nggak punya asuransi jiwa, jadi gw tunda deh
sampe batas waktu yg nggak ditentukan.
"Gw nggak gendut ah segini mah. Iya kan?""
Gw mengangguk terpaksa. "Jawabnya nggak ikhlas banget."
"......." Meva menguap lagi. Dia menggeliatkan badan.
"Eh tadi kok pas gw bangun tidur, kancing atas gw kebuka yak?" kata Meva. "Hayyooo......elo ngapain aja
semalem?" dia melotot dengan ekspresi dibuat-buat.
"Weiitz tunggu dulu. Kayaknya gw tersinggung nih ditanya ginian." Gw bales melotot. "Elo mimpi
berjemur di pantai kalee, kan panas tuh trus lo buka kancing lo sendiri."
"Masa sih?" Meva berpikir keras sambil mengetukkan jari telunjuk ke dagu. Keliatan tolol banget
sumpah. "Yakin nih lo nggak ngapa-ngapain?"
"......." "Oh yaudah. Awas kalo gw sampe kenapa-kenapa, lo yg bakal gw mintain tanggungjawab."
"......." Meva masuk ke kamarnya. Terdengar suara kran air mengucur deras dari dalam. Limabelas menit
kemudian Meva keluar. Masih mengenakan handuk, dia buru-buru bilang.
"Riii.....gw 'dapet'!" katanya setengah berteriak.
"Terus kenapa?" Apa hubungannya sama gw!"
"Ya berarti lo nggak perlu tanggungjawab."
"Duh yak..kita kan ENGGAK ngapa-ngapain semalem!!"
"Hehehe.." Meva nyengir bodoh. "Becanda kok. Beliin gw pembalut yak" Gw nggak ada stok nih."
"Beli sendiri sana!"
"Repot nih. Beliin laah..!"
"Nggak mau!" "Beliin!" "...Iya..iya.."
"Tengkyu," Meva balikkan badan dan bergegas masuk lagi ke kamarnya.
"......." Part 91 Di salahsatu sudut kafe kecil di daerah Cikarang...
Malam yg dingin disulap menjadi hangat berkat lantunan lagu-lagu jazz dari band pengisi acara. Gw suka
banget waktu lagu Fly Me To The Moon nya Frank Sinatra dibawakan versi akustik. Nadanya catchy
banget di kuping. Gw liat pengunjung yg lain juga menikmati sajian lagunya.
"Lo mau pesen apa?" tanya Lisa ke gw ketika waitress cewek dengan celemek bertuliskan nama kafe ini
menyambangi kami. "Kentang goreng aja deh..." gw buka pilihan menu di buku yg disodorkan waitress. "Sama wedang jahe.."
"Maaf Pak, di sini nggak sedia wedang jahe" si waitress langsung nyela gw.
"Oh.." kata gw oon. Padahal maksudnya tadi mau candain Lisa doang. Si pelayan tersenyum geli yg
segera ditutupinya dengan note book kecilnya. "Kalo gitu lemon tea aja deh."
Lisa kernyitkan dahi mendengar paduan menu yg gw pesan.
"Saya samain aja deh mbak.." ucapnya agak terpaksa.
Waitress itu berlalu meninggalkan kami. Gw senyum sendiri. Di depan gw, duduk dengan tenang Lisa
dengan senyum yg seperti nggak ada habisnya buat gw. Malam ini dia membiarkan rambutnya tergerai
rapi tanpa menutupi kedua telinganya. Kacamata berbingkai tipis menghiasi bola matanya yg indah.
Kalung emas tipis melingkari lehernya yg jenjang. Dress hijau sopan dengan kerahnya yg jatuh manis itu
semakin melengkapi penampilan bedanya malam ini.
"Lo pinter milih tempat," komentar gw memandang berkeliling.
"Enggak juga. Ini gw boleh dapet referensi dari temen kok."
Gw mengangguk pelan. Kami ngobrol basa-basi sampai hidangan datang. Sambil ngemil pun kami mulai
obrolan ke arah yg lebih serius.
"Selamat ulang tahun ya..." kata gw sambil tersenyum lebar. Lisa tersipu malu. Dia meminum lemon tea
nya cuma untuk sekedar menenangkan diri.
"Makasih. Tapi kadonya mana?" jawabnya malu.
"Wah justru itu. Gw mau bilang kalo gw lupa bawa kado. Hehehe..."
"Jiaah," Lisa menepuk jidatnya sendiri. "Gw pikir gw bakal dapet kado.."
"Enggak kok becanda. Gw bawa kok. Tapi ntar aja yah dikasihnya pas mau pulang."
Lisa tertawa kecil. "Nggak papa kok Ri. Nggak usah ngerepotin. Lo bisa dateng aja gw udah seneng banget."
Gw senyum lagi. Nampaknya malam ini agendanya adalah lomba memberi senyum. Yg paling banyak
senyum, dia yg bayarin makanannya. Hehehe.
Besok hari ulang tahun Lisa. Dia ngajakin gw dinner gitu, nraktir katanya. Karena kebetulan hari ini juga
libur yaudah gw iyakan ajakannya. Lisa yg milih tempat. Gw tinggal nunggu dijemput depan kosan terus
cabut deh. Lumayan jauh memang dari Karawang. Untung tadi berangkatnya sore jadi nggak kemaleman
di sini. "Mungkin nggak sih doa di malam ulang tahun tuh dikabulkan sama Tuhan?" Lisa mengaduk lemon tea
nya. "Hmm jelas mungkin lah. Kapanpun mau doa, Tuhan pasti denger kok," gw sok diplomatis.
"Apa cuma sebatas 'didenger' aja?" Lisa nampaknya memberi penekanan bahwa dia ingin gw tau dia
punya satu doa yg seharusnya gw juga tau.
"Enggak juga. Pasti dikabulkan kok."
"Tapi kok ada beberapa doa gw yg dikabulkan Tuhan" Dari dulu lho, sampe sekarang."
Gw tertawa pelan. Gw juga sebenernya nggak terlalu paham sama masalah beginian. Harusnya Lisa
curhat aja sama ustad. Hehehe.
"Gini deh, gw mau sedikit cerita, boleh?" kata gw dijawab anggukan kepala Lisa. "Mmmh..jadi gini. Suatu
hari ada seorang pelukis dan asistennya yg lagi mengerjakan sebuah lukisan di atap gedung. Objek
mereka saat itu adalah pemandangan kota dari ketinggian..."
Lisa memperhatikan secara saksama.
"...selesai lukisannya jadi, si pelukis sangat terkagum-kagum dengan hasil yg dia buat. Dia mulai nyoba
ngeliat lukisannya dari arah-arah yg berbeda. Hasilnya tetep sama. Lukisan ini sangat indah di matanya,
sementara sang asisten cuma senyum sendiri liat si pelukis yg mulai berjalan mundur, mencari sudut
pandang yg lain..." "......." "...tanpa sadar, si pelukis berjalan ke ujung gedung. Asistennya kebingungan buat memperingatkan si
pelukis. Kalau saat itu dia berteriak, si pelukis pasti terkejut dan malah kehilangan keseimbangan. Jadi si
asisten segera ngambil pisau dan mulai ngerobek lukisan indah itu. Si pelukis yg heran kemudian
berhenti jalan dan menghampiri asistennya. Dia marah besar. Tapi setelah diceritakan kejadian yg
sebenernya, si pelukis menangis terharu dan berterimakasih ke asistennya.."
Lisa menatap gw kalem dari balik kacamatanya.
"Jadi gini loh. Kadang, kita ngerasa kita sudah melukis kehidupan kita dengan begitu indah. Tapi tiba-tiba
aja Tuhan 'merusak' lukisan kita. Kita kecewa, tapi kita pasti akan mulai melukis lagi lukisan lainnya yg
hasilnya pasti akan lebih baik dari lukisan sebelumnya," gw sedikit ngawur. "Percaya deh, Tuhan
'merusak' lukisan kita karena Tuhan tau ada 'lukisan' lain yg lebih indah yg bisa kita buat..."
Lisa terdiam. Gw juga diam. Sama-sama menatap kosong ke cangkir di depan kami. Lisa tampak
mencerna cerita gw tadi. Dia mengangguk pelan.
"Oke. Jadi intinya jangan pernah berhenti berdoa sampe kita berhasil membuat guratan indah lukisan
kita.." katanya pelan lalu tersenyum.
Part 92 "Bener banget," gw mengamini ucapan Lisa.
Lisa menunduk dan selama beberapa saat sibuk memandangi minumannya.
"Jadi," katanya kemudian. "Menurut lo kalo gw suka sama cowok, terus si cowok Tuhan nggak ngijinin
gw sama dia, itu artinya ada cowok laen yg lebih baik buat gw gitu?"
Gw tertegun. Setelah mencoba membaca raut wajah Lisa, akhirnya gw bicara.
"Masih banyak yg lebih dari gw Lis..."
Lisa melepas sendoknya dan membiarkannya berputar pelan mengikuti arus air.
"Oh iya, gw lupa kalo cowok yg gw bicarakan ada di depan gw..." ujarnya.
"Tapi gw serius loh. Lo pantes dapet cowok yg baik. Banyak yg lebih baik dari gw Lis. Lebih cakep. Lebih
tajir. Yah gitu lah gw mah nggak ada apa-apanya, nggak ada lebihnya.." gw tertawa hambar.
"Justru karena lo nggak ada lebihnya, makanya gw suka sama loe.!"
Gw tersenyum. Agak salah tingkah juga sebenernya.
"Gw punya peluang nggak sih Ri, buat gw suatu hari nanti jadi cewek lo?" tanya Lisa dengan raut wajah
yg aneh. Gw diam. Nyoba nyari kata yg tepat buat diungkapkan.
"Apa lo udah cinta mati sama cewek depan kamer lo itu?" cecarnya.
"Meva maksudnya?"
"Iya dia. Lo suka kan sama dia?"
"Mmh....gimana yak," pengen banget gw jawab IYA!! tapi gw nggak mau merusak malamnya yg
berbahagia ini. "Bisa nggak kita ngomongin ini laen kali aja" Sorry...Gw cuma nggak mau bikin suasana
nggak enak di malem ultah lo Lis."
"Justru itu. Gw pengen tau malem ini juga, pas malem ulang tahun gw." Lisa menenangkan dirinya
dengan meminum lemon tea nya. "Apa gw masih punya sedikit aja harapan buat jadi cewek lo?"
Aduh! Gw bingung mesti jawab gimana.
"Gw nggak mau ngebunuh harapan lo. Nggak ada yg nggak mungkin buat gw," kata gw akhirnya. "Tapi
gw juga nggak mau bikin lo terlalu berharap."
"Jadi maksud lo, lo ngegantung gitu?"
"Enggak juga Lis. Bukan itu maksud gw. Dengerin dulu yah...Gw belum mikirin ke arah yg lebih jauh soal
hubungan kita. Bukan. Bukan karena gw nggak suka sama lo. Lo baik, perhatian dan mapan. Gw yakin
nggak ada cowok yg nggak mau sama elo..."
"Iya kecuali lo Ri.."
"...maaf bukan gitu. Gimana yak. Yaa gw lagi pengen sendirian ajah, nggak ada kekangan dari
siapapun..." "Emang kalo pacaran sama gw lo merasa bakal terkekang yah?"
"Enggak gitu juga atuh Neng. Denger gw. Lo itu punya prospek yg bagus di kantor. Kalo kita pacaran
terus married, kan salahsatu dari kita harus resign. Peraturan perusahaan. Sayang banget kan. Dimana
lagi coba dapet gaji segitu dengan kerjaan yg asyik kayak di tempat kita?"
"Wah gw nggak nyangka lo udah mikirnya sejauh itu. Gw malah mikirin jadian ajah nggak nyampenyampe."
Gw tertawa pelan. "Elo tuh yak...emang apa bagusnya sih gw di mata lo?" gw setengah becanda.
"Enggak ada. Lo itu pemalas. Di kantor kerjaannya ngegame mulu. Jarang cuci gelas tiap abis dipake.
Kadang suka ngomong sendiri nggak tau sama siapa. Tapi karena semua itu gw sayang elo."
Gw tersenyum malu. "Thanks," kata gw lirih.
Kami sama-sama terdiam. Lagu Bon Jovi - Never Say Goodbye jadi backsound saat itu.
"Lo belum jawab pertanyaan gw," kata Lisa.
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Emh yg mana yak?"
"Ah, pikun. Yg tadi tuh. Lo suka sama Meva?"
Gw terdiam. Butuh setengah menit buat gw menjawab.
"Sejujurnya iya," kata gw.
"Terus udah sejauh mana hubungan kalian berdua?"
Gw menggeleng. "Sama aja kayak gw dan elo. Cuma temen aja kok..."
"Lo udah pernah bilang perasaan lo ke dia?"
"Belum," gw menggeleng.
"Yah seenggaknya gw ternyata lebih gentle dari lo ya Ri.."
Gw tertawa pelan. "Oke. Enggak papa. Gw ngerti," kata Lisa lagi. "Buat saat ini gw belum punya peluang.."
"......." "Gw cuma pengen tau itu aja kok..."
"......." "Nah, sekarang kita cukupkan ngobrol seriusnya sampe di sini. Anggep aja itu intermezzo," kata Lisa lagi.
Nada bicaranya lebih ringan dari yg tadi. "Jadi, apa kado buat gw?""
Gw tersenyum melihat perubahan sikapnya.
"Emh apa yak...entar juga tau deh."
"Nggak bisa. Kasihtau sekarang laah..."
"Nanti ajah." "Wah biar aja gw tinggal lo di sini deh kalo lo nggak mau ngasihtau sekarang."
Gw tertawa pelan. Dalam hati gw kagum sama Lisa. Dia bisa dengan enjoynya, seolah pembicaraan tadi
menguap dan bahkan mungkin nggak pernah terjadi. Sebuah pembawaan yg baik.
"Yaudah kalo mau tau, kita balik sekarang ajah.."
Dan setelah membayar bon, kami menuju parkiran. Di sanalah gw serahkan kado gw buat Lisa. Bukan
kado mahal sih, tapi lumayan nggak malu-maluin banget lah. Hehehehe.
Lisa keliatannya seneng banget dapet kado dari gw. Setelah itu kami balik. Selama di perjalanan Lisa
nggak hentinya 'ngoceh'. Dia terdengar ceria sekali. Gw beneran salut dengan pembawaannya ini. Dan
malam ini pun berakhir begitu gw dianter ke kosan.
"Thanks banget yah buat malem ini," Lisa memeluk gw hangat.
"Sama-sama Lis. Makasih juga udah traktir gw. Sekali lagi happy birthday yaa."
"Iya Ri...gw seneng banget deh malem ini."
Dia mengecup pipi gw dan akhirnya berlalu pergi......
Part 93 "Ciiieee! Yg abis malem mingguan!" seru Meva begitu melihat gw datang. Dia duduk di beranda sambil
maenin gitar gw. "Jahat lo nggak ajak-ajak gw!" ocehnya lagi.
"Ogah gw ngajak elo, nyusahin mulu. Ntar mau kencing kudu dianter lagi," gw duduk di sebelahnya.
"Ah sialan. Gw nggak segitunya ah!" protes Meva.
Gw ketawa sendiri. "Sama siapa sih?" tanya Meva menyelidik.
Gw diam sejenak. "Lisa," kata gw pelan.
"CIIIIEEEEEEEE!!!" teriaknya di kuping gw. Tangan gw secara refleks bergerak ngejitak kepalanya. Meva
diam sambil mengaduh dan pegangi kepalanya. "Sakit nih! Dasar kebo!!"
"Maaf. Tapi bisa kan Anda tidak berteriak di TELINGA SAYA?""
"BISA! TAPI NGGAK PERLU NYOLOT GITU DONK KEEEBOOO!"
"NYOLOT APAAN" GW BIASA AJA KALEEE...! CACING!"
"IYA ELU BIASA. TAPI SUARA LU ITU BIKIN BUDEG TAU!!"
"KAN ELU DULUAN YG MULAI!"
"ELO!" "ELO TAU!!" "ENAK AJAH! ELO TUH!"
"KOK GW?"?"
Meva melotot ke gw. Kami sama-sama diam beradu pandang.
"Mas...Mbak...tolong donk jangan pada teriak," tiba-tiba penghuni kamar sebelah kamar Meva muncul
dari jendela. "Udah malem nih..."
Gw senyum malu. Sambil memberi gesture meminta maaf gw tutup mulut Meva pake tangan gw. Dia
udah mau nyerocos aja. Gw tau dah pasti dia mau bilang kalo gw duluan yg teriak-teriak.
"Iya Mas. Maaf," kata gw halus. Lalu si penghuni kamar tadi masuk lagi ke kamarnya.
"Elu siih...." kata gw berbisik. Meva berhasil menepis tangan gw.
"Kok jadi gw yg disalahin?"" dia balas nyolot dengan suara pelan. "Kan elo duluan yg teriak!"
"......." Oke. Lebih baik ngalah. Meva ngedumel sendiri tanpa suara.
"Eh eh tunggu...tunggu..." tiba-tiba Meva naro gitar di lantai dan secara aneh dia mengendus baju yg gw
pake kayak anjing pelacak.
"Apaan sih?"" gw dorong kepalanya menjauh.
Meva malah ketawa. "Ahaa...Gw apal banget Ri parfum yg biasa lo pake," katanya.
"Terus apa masalahnya?"
"Enggak masalah siih...cuma agak beda aja malem ini."
"Beda gimana maksud lo?"
"Wanginya ada dua. Satu wangi parfum yg biasa lo pake, yg kedua...bukan wangi lo. Emmmh wanginya
Lisa yak! Iya kan" Iya kan" Hayooo abis ngapain hayyoo?"
"Ngapain apanya maksud loe" Gw sama dia makan malem doank kok."
"Masa?" Kalo enggak ngapa-ngapain, kok bisa yaaak.....parfumnya Lisa nempel di baju loe!" tukasnya
dengan nada menyindir. "Zzztt...gw nggak ngapa-ngapain," tandas gw.
"Oke oke gw percaya kok..." tapi raut wajahnya sangat berlawanan dengan yg dikatakannya.
"Ekhem," sahut gw. "Kenapa sih lo nanya-nanya gituh" Jealous yak gw jalan sama Lisa?"" ganti gw yg
godain Meva. "Hah" Apaan gw nggak denger?" Tolong ulangi sekali lagi!"
"Lo-cemburu-yaak-gw-jalan-sama-Lisa?""
Meva kernyitkan dahi dengan ekspresi aneh.
"Idiih! Pede amat!" cibirnya.
"Udah ngaku aja laah..." gw senggol tangannya.
"Enggak!" "Oiya?"" "Ih ngapain gw kudu cemburu sama loe" Bukan urusan gw kalee lo mau jalan sama siapa juga!"
"Masa siih?" gw makin gencar ngetease dia. Wajahnya memerah.
"Gw...nggak...cemburu.....Ariii....."
"Mas..Mbak...toloong....anak saya lagi tidur."
"Iya Mas. Maaf.." kata gw.
"......." Pintu ditutup lagi.
"Huh, oke oke. Jadi lo nggak cemburu yaa...Oke deh kalo gitu."
"Emang enggak. Gw cuma kesel ajah."
"Kesel kenapa lagi?"
"Ya elo bilang kek kalo mau malem mingguan. Kan biar gw bisa nyari kesibukan laen, nggak bengong di
kosan." "Emang lo nungguin gw yak tadi?"
"Iyalah. Kirain lo lagi lembur. Gw dari sore nunggu lo mau ngajak maen catur. Eeh taunya baru balik jam
sepuluh.." "Lah elo nya juga, kenapa nggak sms ajah" Gw bisa balik cepet."
"Ya itu tadi, gw pikir lo lagi lembur."
"Hehehe..." "Kenapa ketawa"!"
"Enggak papa. Lucu aja."
"Maaf. Lucu di mana nya yak, saudara Ari?""
"Ya lucu aja. Pasti bosen yak sendirian di kamer" Hehehe."
"Iya, sementara lo di luar asyik peluk-pelukan sama Lisa!" dia ngambek.
"Udah gw bilang kan gw sama Lisa tuh cuma makan doank."
"Heh denger yak, tiap gw numpang tidur di kamer lo...paginya tuh pasti deh, di baju gw ada wangi
parfum elo nya," ucapnya sedikit menuduh.
"Maksudnya apaan nih" Gw nggak ngapa-ngapain elo kok."
"Yaelaah. Elo nya nggak sadar sih. Lo tuh suka meluk gw pas tidur, dianggepnya gw bantal guling kali
yak!" "Ooh..." gw mencoba membayangkan yg barusan dikatakan Meva.
"Udah nggak perlu dibayangin! Ntar malah ngeres tuh otak," Meva mengacak-acak rambut gw.
Gw nyengir malu. "Yaah kalo gw emang pernah meluk lo pas tidur, anggep aja itu sebuah ketidaksengajaan yg direkayasa."
"Iya asal jangan pura-pura tidur aja, padahal nyari kesempatan!"
"Eh denger yak, yg numpang tidur kan elo..bukan gw."
"Tetep aja!" "Yaudah entar kita tidurnya misah deh. Gw di kasur, lo di kamer mandi."
"Ogah! Mending nggak usah tidur sekalian!"
"Yaudah. Mulai sekarang nggak ada lagi acara numpang tidur di kamer gw."
"Oke. Deal!" Gw dan Meva bersalaman. "Mas...Mbak......."
"IYA MAS, KITA JUGA DENGER!!" kata gw dan Meva bersamaan.
Part 94 -ri, sini bentar deh gw mau minta tolong eloBunyi sms dari Meva. Gw yg baru selesai mandi, langsung ketik balesan.
-bukannya gencatan senjata masih dua hari lagi yak" inget perjanjian yg barusan kita buat Dan Meva pun bales sms gw. Kemudian terjadi pembicaraan di sms seperti ini.
-kan perjanjiannya 'gw dilarang nginep di kamer lo' bukan 'lo yg ke kamer gw' ?"-sama aja. lo juga kan yg ngelarang gw masuk kamer lo selama tiga hari ini"-yaudah kalo gitu perjanjian pertama dibatalkan. lo boleh, eh HARUS ke kamer gw. sekarang!-ngantuk...entar besok aja napa" lagian kamer sebelah lo tuh entar marah-marah lagi-kagak bakalan deh..asal jgn teriak kayak tadi aja-ogah ah...perjanjian nggak bisa dibatalkan gitu aja. tunggu dua hari lagi baru gw ke elo-duh elo tuh ganjen banget. banyak alesan! buru laah gw beneran butuh bantuan-bantu apaan"-radio gw rusak!-beli lagi atuuh-malem gini emang ada yak yg jualan"-ada tuh tukang nasi goreng di pertigaan-maksud gw yg jual radio, DODOL!-ooh kalo yg jualan dodol mah agak jauh neng. dari mega mall belok ke arah Goro Dua-ARIII!!! gw potong-potong kepala loe mau?" gw jemur di samping pom bensin gw jual diskon 50% kalo
nggak kesini sekarang juga!-wah kalo gitu gw cari yg diskonnya lebih gede laah-heh! kita tuh lagi ngomongin kepala loe!-maaf...gw pikir kita lagi ngomongin radio loe yg rusakBeberapa detik kemudian handphone gw bergetar.
"Halo..." "Keboo! Buruan ke sini!" suara Meva memekakan telinga.
"Ngantuk Va..." gw buka gorden kamar dan menatap ke luar jendela, dari sini tampak jendela kamar
Meva karena letak kamar kami yg bersebelahan.
"Ayolaah Ri...gw pengen dengerin segmen favorit gw nih..." pintanya mulai memelas.
"Besok lagi deh bisa kan?"
"Enggak! Acaranya tuh tiap malem minggu jam sebelas! Sekarang udah mau setengah duabelas, gw
ketinggalan nih.." "Acara apaan sih?"
"Kayak renungan malam gitu. Penyiarnya baca cerita romantis diiringi lagu mellow trus nanti kita juga
bisa curhat atau request lagu!"
"Kalo gw aja yg cerita gimana?"
"Lewat telepon?"
"Iya." "Cerita apa emangnya?"
"Cerita romantis. Judulnya Romeo dan Juliet..."
"......." gw anggep diamnya Meva sebagai tanda mempersilakan gw bicara.
"...jadi Romeo tuh punya anjing namanya si Tumang..."
"Tumang?" "Iya." "Tumang tuh bukannya yg suka jualan nasi goreng yah?"
"Itu TUKANG bukan TUMANG! Udah deh dengerin aja dulu! Jadi suatu hari, si Romeo ngebunuh
anjingnya terus dagingnya dikasih ke Juliet..."
"Perasaan kayak kenal sama ni cerita?"
"...Juliet terus ngusir si Romeo karna udah ngebunuh anjingnya."
"Beneran kayak kenal deh..."
"Beberapa tahun kemudian mereka berdua ketemu lagi. Romeo jatuh cinta sama Juliet, tapi Juliet punya
syarat minta dibendungin Kali Ciliwung sama dibuatkan perahu mewah. Semuanya harus dikerjakan
dalam satu malam..."
"Asli sumpah familiar banget ceritanya. Tapi apaan yak" Gw lupa."
"Ternyata Romeo nggak bisa ngelaksanain permintaan Juliet. Keburu pagi dulu soalnya. Terus perahu yg
baru setengah jadi itu ditendang dan akhirnya jadilah..."
"Gunung Tangkuban Perahu!! Itu kan cerita Sangkuriang sama Dayang Sumbi?" Lo ngawur banget!!!"
Gw ketawa cekikikan. "Ah, enggak lucu! Buru kesini lah!!" nadanya mulai mengultimatum.
"Iya gw ke situ." Gw tutup gorden dan bergegas ke kamar Meva.
Meva menyambut gw dengan muka berlipat-lipat kusutnya.
"Nih benerin," dia menyerahkan radionya ke gw.
Gw bukan montir elektronik dan nggak punya pengalaman nyervis barang ginian. Nothing to lose aja gw
ngerjainnya. Setelah hampir setengah jam nyoba, akhirnya gw nyerah.
"Nggak bisa gw," gw kembalikan radio ke Meva. "Nanti aja besok bawa ke tukang servis."
"Yaah.....padahal udah gw tungguin dari siang juga......pengen dengerin lagu-lagu. Biasanya yg diputer di
radio tuh lagunya enak buat pengantar tidur."
"Yaudah gw aja yg nyanyi deh."
"Boleh. Tapi jangan ngaco ke Dayang Sumbi lagi!"
"Iya enggak atuh neng. Hehe.."
"Yaudah sok atuh ambil dulu gitarnya."
Gw kembali lagi dalam waktu kurang dari satu menit dengan gitar nilon kesayangan gw.
"Mau nyanyi lagu apa?" Meva bertanya dengan antusias.
"Emh apa yak..." gw mikir. Sebenernya tadi gw nggak serius ngajuin diri buat nyanyi. "Lagu ciptaan gw
sendiri deh." "Emang lo bisa bikin lagu?"
"Bisa. Ini lagu malah gw ciptain khusus buat elo."
"Masa sih?"" Sejak kapan lo bisa bikin lagu?"
"Barusan dapet ilham."
"Buruan nyanyiin! Gw mau denger!" dia antusias banget.
"Justru itu, karna ini dadakan, gw baru nemu judulnya."
"Apa tuh judulnya?"
"Judulnya 'Sakura Bunga Cinta'."
"Wah kayaknya romantis nih lagu! Ceritanya tentang apa?"
"Tentang seorang cowok yg punya anjing, namanya Tumang..."
"AAAAAARRIIIIII!!!"
Dan buru-buru gw keluar sebelum sendal jepit mengenai kepala gw. Akhrnya malam itu gw malah nggak
bisa tidur gara-gara susah berhenti ketawa.
Part 95 "Selamat paagiiii!!!"
Baru bangun tidur kuping gw udah budeg sama teriakan Meva. Gw duduk sambil kucek-kucek mata. Jam
setengah satu siang. Semalam gw baru bisa tidur jam setengah empat pagi. Lumayan lama lah.
Meva di samping gw, lagi asyik nonton film. Dia nyengir lebar ke gw. Gw usapi kepala gw yg pening
sambil mencoba mengingat mimpi aneh yg barusan gw alami.
...gw lagi duduk di pantai sendirian. Backsound lagu 'Kemesraan' nya Iwan Fals yg entah dari mana. Lalu
tiba-tiba turun bidadari berseragam putih abu-abu dari langit. Wajahnya familiar banget buat gw tapi
gw nggak kenal siapa dia.
"Rangga?" tanyanya ke gw.
"Rangga?" sahut gw bingung. Gw yakin nama gw masih Ari, bukan Rangga.
"Kamu Rangga kan" Yg suka bikin puisi itu?" tanya cewek cantik di depan gw.
"Cinta?" entah darimana mendadak nama itu meluncur dari mulut gw.
"Kamu nyenengin kalo lagi bingung. Bingung aja terus deh," dia senyum lebar ke gw.
"Kamu ngapain ke sini?"
"Dagang kacang rebus," jawabnya polos. Tapi ada yg aneh. Kali ini suaranya mendadak ngebass dan
'laki' banget. "Lho" Kamu Cinta kan?"
"Bukan. Saya Pak Wardiman," suaranya beneran cowok!
Busett dah! Aduh yak...jadi Mbak ini siapa sih" Cinta" Pak Wardiman" Apa tukang kacang?""
"Kamu ngapain ke pantai?"
"Aku bosan dengan semua penat ini!" jawab cewek di depan gw. Sekarang suaranya cewek lagi. Tapi
kali ini ada backsound petikan gitarnya. Lagu iwan fals yg tadi lenyap. "Aku lari ke pantai...teriakku!"
"Pecahkan saja gelasnya biar ramai! Biar mengaduh sampai gaduh!"
Duh! Ini ngomong apa sih?"
"Hay Rangga," tiba-tiba datang cowok hitam berambut kriwil. "Cabut yuk?"
"Ayo," gw mengiyakan.
Gw baru aja mau pergi ketika cewek di samping gw menarik tangan gw.
"Rangga...jangan pergi....." matanya berkaca-kaca.
Hey, kayaknya gw inget nih. Mukanya mirip Dian Sastro!
"Aku sayang kamu..." dia meluk gw. Beberapa petugas bandara memperhatikan kami.
Eh... Bandara?" Kok gw tiba-tiba ada di bandara"
"Aku harus ke New York sekarang..." ah, gw makin ngawur!
"Jangan pergi..."
Kedua mata kami bertemu. Hmm mata yg indah. Semakin dekat jarak wajahnya dengan wajah gw...
Hidung kami bahkan sekarang bersentuhan. Kayaknya dia mau nyium gw. Merem aah.
Sunyi..... Sepi..... Lalu......... "SELAMAT PAAGIII!!!"
Aah, gw ngeh sekarang. Gw lagi mimpi, dan suara berisik dari tivi masuk ke mimpi gw, lalu Meva
ngerusak endingnya. Padahal kapan lagi kan gw bisa pelukan sama Dian Sastro!!
Gw jitak kepalanya. "Heh! Apa-apaan lu maen jitak kepala gw aja!" Meva protes dan bales ngejitak gw.
"Lo ganggu mimpi gw."
"Ganggu apanya?""
"Ah udahlah susah dijelasinnya." Gw usapi wajah gw.
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dasar aneh," komentarnya pendek.
Gw ke dispenser, niatnya mau nyeduh teh.
"Nih tehnya. Gw udah bikinin buat elo," Meva menyodorkan gelas berisi teh hangat.
Tanpa basa-basi gw minum tehnya.
"Tumben lo baik. Pasti ada maunya nih," kata gw.
"Hehehe. Lo tau ajah. Abis mandi anterin gw ke dokter gigi yah?"
"Mau ngapain?" "Cek kandungan."
"Hah" Ke dokter gigi tuh bukannya cek gigi yak?" gw bingung.
"Nah itu tau! Ngapain nanya!"
"Eh biasa aja donk ngomongnya! Nyawa gw belum kumpul nih. Masih belum ngeh gw."
"Ooh...jadi yg tadi bareng ama gw di kamer mandi itu nyawa elo yak" Pantesan gw udah nggak pake
apa-apa juga didiemin ajah." Meva cekikikan sendiri.
"Masa sih?" Kalo gitu reka ulang yuk!" gw gandeng Meva.
"Enak aja!" Meva menepis tangan gw. "Udah mandi sana! Cuci juga otak lo biar nggak mesum isinya!"
Gw mencibir. Dibalas dengan juluran lidah Meva. Akhirnya gw mandi. Selesai mandi gw makan nasi yg
dibeli Meva sewaktu gw mandi. Lalu gw dan dia berangkat ke dokter gigi di daerah Johar pake motornya
Raja. Setau gw dokter gigi yg tetep praktek pas libur cuma di sana.
Sampe di sana gw nemenin Meva periksa gigi. Meva bilang seminggu ini giginya sering sakit. Dokter
menyarankan untuk mencabut giginya. Meva setuju. Dasar nih anak emang rada-rada psycho. Cabut gigi
bukannya sakit, Meva malah seneng waktu darah keluar dari mulutnya. Ckckck...
Selesai dari sana Meva ngajakin ke Karang Pawitan. Kami duduk di pinggir alun-alun. Gw menikmati
momen-momen gw ngecengin Meva. Gw makan mie ayam dan pesen dua botol soft drink.
"Seneng lo yee bikin gw kabita!" omel Meva kesal.
"Hehehe. Biarin. Nikmati aja puasanya."
Gw tertawa lagi. Dokter tadi bilang Meva nggak boleh makan dulu selama satu jam ini. Dia cuma boleh
makan es krim. Nah itu dia, di sini nggak ada yg jualan es krim jadi dia cuma bisa gigit bibir deh liatin gw
makan. Maap ya Neng... Hahaha!
"Eh coba liat," Meva mengambil tutup botol soft drink gw. "Ada tebakannya nih. Coba lo jawab ya
pertanyaan gw." "Boleh." "Mmmh bis apa yg paling manis?"" Meva membaca pertanyaan di tutup botol.
"Bis jurusan Jawa dikasih gula."
"Ngawur! Yg bener...bis yg paling manis yaa...'bis-a jadi gue'!!"
Meva ketawa seneng. Dasar ni anak nggak ada matinya. Lagi sakit gigi juga bisa aja ngakaknya!
Akhirnya kami di sana sampe sore dan balik begitu Meva merengek minta es krim..
Part 96 Selain Endless Love, ada beberapa lagu yg cukup 'identik' dengan Meva. Memang Endless Love
mungkin adalah lagu paling cocok untuk jadi 'theme song' cerita gw dan dia, tapi beberapa lagu
lain juga punya history sendiri. Kapanpun dan dimanapun gw mendengarnya, termasuk ketika
Meva tertidur di samping gw, selalu ada kerinduan yg muncul lewat alunan nadanya. Bahkan
saat gw gerakkan jari-jari gw untuk menulis part ini, ada semacam kerinduan tersendiri yg
menari-nari dalam hati gw.
"Ri pinjem gitar loe..." Meva menunjuk ke sudut kamar, tempat gitar nilon tua warisan Indra
bersandar dengan lelahnya setelah gw pake semalaman.
"Mau ngapain" Berisik ah udah malem," gw menolak dengan halus. "Lagian kan perjanjiannya
lo nggak boleh nginep di kamer gw lagi."
"Namanya 'nginep' kan berarti 'tidur'. Nah karena sekarang gw nggak tidur, jadi gw nggak bisa
dibilang nginep. Dan karena gw nggak nginep jadi gw nggak melanggar perjanjian donk!" Meva
nyerocos tanpa jeda. "Yaudah gw ralat perjanjiannya. Lo dilarang begadang di kamer gw!"
"Kalo gitu gw tidur aja deh."
"........" "Udah coba sini gitarnya! Gw mau nyanyi."
"Sekarang udah jam duabelas Va! Ntar tetangga sebelah marah-marah lagi sama kita!"
"Tenang aja gw pelan-pelan kok nyanyinya."
"Besok gw kerja!"
"Besok juga gw kuliah."
"Tapi gw pagi-pagi mesti berangkat, dodol!"
"Gw juga sama. Cuma gw agak siangan berangkatnya. Jadi intinya?"
"Intinya gw ngantuk! Gw mau molor!!"
"Molor mah molor ajah. Ngapain jadi sewot gitu sih" Lo kan emang udah hobinya ngebo?"
"Iya masalahnya gw nggak bisa tidur kalo lo nya ngoceh aja kayak gini!"
"Yaudah gw nggak ngoceh deh. Gw nyanyi aja yah?"
"Sama aja, caciiing.........." gw kesel. "Gigi dicabut malah tambah cerewet ya loe?"
"Biarin!" Meva melet ke gw. "Sini laah gitarnya. Pelit amat lo Ri jadi orang."
Tuuhaaan! Gw sebenernya waras nggak sih bisa suka sama cewek model gini?"
Dengan terpaksa gw ambil gitar dan menyerahkannya ke Meva.
"Satu lagu aja," gw mengultimatum. "Abis itu lo ke kamer lo sana."
"Oke." Meva menyetujui. Dia memetik senar. Karena dirasa bunyinya fals, dia memutuskan
menyetemnya. Kurang dari dua menit dia sudah selesai nyetem. Gw sempat kagum juga ternyata
Meva mahir juga maenin gitar.
"Udah buruan nyanyi. Kelamaan ah," gw pura-pura tetep kesel dan nggak mau keliatan 'kagum'
soalnya dia pasti bakal tambah GR.
"Iya bentar. Lagi nyari nadanya dulu."
"Cari aja di laci. Tadi gw taro di situ nadanya."
"Ngawur! Lo pikir bantal, ditaro di laci"!"
"Bantal mah mana bisa ditaro di laci! Emang muat?""
"Muat aja kok! Kalo diabisin dulu kapasnya."
"Eh jadi lo ini lagi nyari nada apa nyari bantal sih?" Bertele-tele ah!"
"Dua-duanya." Meva nyengir lebar. Dia menggeser posisi duduknya.
"Lo mau gw nyanyiin lagu apa?" tanyanya ke gw.
"Lagunya GNR yg 'Welcome To The Jungle'."
"Jangan yg kayak gituan atuh," enak banget dia ngejitak gw. "Lagu yg kalem aja. Lagu pengantar
tidur." "Yaudah lagu nina bobo ajah."
"Itu mah mana ada romantis-romantisnya! Cari lagu laen napa?"
"Serah lo aja deh. Gw mah tanpa lagu juga bisa tidur. Kalo lo keluar sekarang, nggak nyampe
semenit gw pasti udah tidur."
"Ih elo nggak ada terimakasihnya pisan! Orang mau dinyanyiin juga protes mulu!"
"Yaudah yaudah apa aja lah!" gw mulai kesel beneran. Gw udah ngantuk banget.
"Mmmh..." Meva diam berpikir, dengan pose khasnya yg tolol : mata menatap atap kamar,
kepala agak miring ke kiri, sementara telunjuk tangan kanan mengetuk-ngetuk jidat. Kalo aja dia
nggak cantik, udah gw bungkus dia pake kantong plastik item terus gw buang ke Sungai Musi
deh! Eh tapi nggak jadi dink. Susah nyari barang kayak ginian. Hehehe
"Ah gw tau," kata Meva tiba-tiba. "Ada lagu yg cocok. Lo tau lagunya Mayumi Itsuwa?"
"Kokoro No Tomo?" sahut gw malas.
Meva mengangguk semamgat.
"Yaudah nyanyiin gieh. Kayak yg apal aja liriknya," gw setengah mengejek.
"Eh gw apal kok! Gw juga tau artinya."
"Bagus deh. Gw nggak apal plus nggak tau artinya. Hebat kan?""
Meva ngejitak gw lagi. "Berisik lo. Udah dengerin aja..."
Gw diam. Bukan takut, males aja. Meva berdehem pelan sekali terus bilang gini.
"Lagu ini pas banget buat elo Ri. Dengerin yah..."
"........" Kemudian terdengar petikan gitar khas Meva. Disusul suara halusnya..
Anata kara kurushimi o ubaeta sono toki...
Watashi nimo ikiteyuku yuuki nga waite kuru..
Anata to deau made wa kodoku na sasurai bito..
Sono te no nukumori o kanji sasete...
*Ai wo itsumo rarabai... Tabi ni tsukareta toki...
Tada kokoro no tomo to...
Watashi o yonde..........
Entah berapa lama Meva menyanyi. Nampaknya gw berhasil dininabobo-kan oleh Meva.
Ini yg pertama kalinya Meva nyanyiin lagu buat gw. Biasanya dia yg minta dinyanyiin. Jujur aja
waktu itu gw memang belum tau makna lagu ini. Yg gw rasakan, lagu ini versi Meva lebih
merdu. Lebih catchy. Lebih enak didengar. Lebih mengena di hati. Karena gw tau, Meva
menyanyikan lagu ini pun tulus dari hati.............
Part 97 Tanpa terasa hidup gw terus berpacu dengan waktu. Hari demi hari yg berlalu telah menumpuk menjadi
gunungan kenangan. Dalam beberapa kesempatan, gw sering tersenyum mengenang kejadian-kejadian
lucu dan menggelikan. Tapi nggak jarang juga gw menyesali diri dan berkata 'kenapa harus seperti ini"'.
Atau seringkali gw berpura-pura melupakan beberapa kejadian pahit, yg sebenarnya malah membuat
gw semakin mengingatnya. Gw tau, gw nggak mungkin terus stuck di satu titik dalam hidup gw. Akan ada titik-titik lain yg harus
dilewati. Dan masih banyak titik yg harus gw capai. Kadang gw seperti melompat dengan cepat ke titik
selanjutnya, tapi adakalanya gw seperti di tengah lautan yg tenang, yg butuh waktu lama buat mencapai
daratan. Gw bukan manusia hebat dan sempurna. Gw pernah frustasi. Gw pernah menangisi kegagalan gw. Gw
juga pernah iri dengan keberhasilan orang lain. Tapi gw nggak pernah, atau seenggaknya berusaha untuk
itu, menunjukkannya di depan orang lain.
Gw yakin Tuhan menciptakan semuanya berpasangan. Ketika Dia memberi gw cobaan, sebenarnya Dia
juga menunjukkan jalan keluarnya. Hanya saja kadang kemampuan tiap orang untuk menemukan jalan
tersebut berbeda. Dari keyakinan itulah gw selalu berusaha bangkit dari frustasi yg mendera dan tidak
berlarut-larut menangisi kegagalan gw. Rasa iri yg tumbuh dalam hati, gw jadikan energi positif untuk
memotivasi diri gw sendiri. Karena pada dasarnya manusia itu sama, jadi kalo orang lain bisa kenapa gw
enggak" Gw sangat bersyukur atas apa yg Tuhan telah berikan di hidup gw. Keluarga, sahabat dan
cinta....menurut gw tiga hal itulah yg membuat gw bisa seperti ini. Gw bersyukur dilahirkan dalam
keluarga yg bahagia. Gw punya ayah yg patut diteladani. Gw punya ibu yg sangat gw cintai. Dan gw
punya saudara-saudara yg menyayangi gw.
Di suatu pagi di bulan Juli 1993.....
Gw duduk memandangi roda sepeda di hadapan gw. Hingar bingarnya pasar tradisional di belakang gw
nggak mengusik lamunan gw. Sudah hampir satu jam gw nunggu nyokap gw belanja. Agenda rutin gw
tiap pagi, setelah solat Subuh, gw mengantar nyokap belanja bahan jualan. Nyokap gw biasa jualan
makanan di dekat sekolah dasar tiap harinya. Dengan bokap yg cuma pegawai sipil dengan pangkat
rendah, nyokap memutuskan membantu perekonomian keluarga yg pas-pasan. Dan gw sebagai anak,
selayaknya gw membantu sesuai porsi gw.
"Ri, udah selesai nih. Ayo pulang," suara nyokap menyadarkan gw dari lamunan.
"Ayo Mah," gw mengambil belanjaan nyokap dan menaruhnya di keranjang depan. Nyokap gw duduk di
jok boncengan di belakang.
Beginilah tiap pagi. Sepeda tua kesayangan almarhum kakek gw selalu mengangkut beban melebihi
porsinya. Berat memang membonceng orang yg lebih gede dari kita, tapi karena nyokap nggak bisa
nyetir sepeda, jadi gw yg bertugas sebagai driver. Hehe.
Nyokap gw orangnya supel. Dia nggak pernah matok harus belanja di satu penjual, jadi cukup banyak
orang pasar yg kenal nyokap gw. Bahkan tukang becak pun selalu memberi salam tiap kami lewat.
"Moga hari ini nggak ujan ya Ri..." kata nyokap gw penuh harap. "Biar jualannya laku."
"Iya Mah. Kalo ujan kan anak-anak sekolahnya pada nggak keluar dan langsung balik," sahut gw
mengamini. Dan obrolan-obrolan ringan pun menemani perjalanan pulang kami. Sampai tiba di sebuah jembatan
kayu tua. Mungkin karena pagi ini gw nggak begitu fit, gw rasa beban di belakang gw lebih berat dari
biasanya. Sepeda kumbang tua ini seperti berontak. Di tengah jembatan mendadak ban depan
membentur bambu yg mencuat. Gw hilang keseimbangan. Alhasil kami pun jatuh.
"Maaf Mah...tadi nyenggol kayu," kata gw menyesal sambil bantu nyokap berdiri.
"Enggak papa kok." Nyokap gw langsung membereskan belanjaan yg berserakan. "Mending bantu
Mamah beresin ini. Ayo."
Gw ikut bantu nyokap gw. Sayang, beberapa butir telor pecah dan ada belanjaan yg jatuh ke sungai di
bawah kami. "Maaf Mah jadi pada pecah kayak gini..." kata gw.
"Udah nggak papa. Gampanglah ntar beli di warung yg deket rumah."
"Tapi kan harganya lebih mahal?"
"Udahlah kamu nggak usah mikirin itu. Ayo jalan lagi, nanti kamu terlambat sekolah."
Gw raih setir. Gw tatap nyokap gw sebentar lalu berkata.
"Mah, kalo nanti Ari udah gede dan bisa cari uang sendiri, Ari akan bonceng Mamah pake motor Ari
sendiri. Jadi nggak pake sepeda kayak gini lagi," kata gw polos.
Nyokap gw tersenyum dan merangkul gw...........
** 3 Februari 2004... Akhirnya gw bisa beli motor. Nggak mewah memang, tapi cukuplah mengurangi biaya ongkos kerja yg
biasanya buat ojek. "Kok diem aja sih?" kata Meva dari belakang gw. "Ayo jalan. Lo gugup ya" Ciiee! Ini pertama kalinya
motor ini dipake euy. Masih bau toko. Gw orang pertama yg dibonceng nih."
Gw tersenyum. "Kita mau ke mana?" tanya gw.
"Kemana aja deh, puterin Karawang juga boleh!" jawab Meva semangat.
"Oke. Peluk gw yg kenceng yak!"
Gw tarik gas dan roda pun bergerak perlahan menyusuri jalanan Karawang..
Terimakasih Mah, tanpa Mamah nggak mungkin Ari bisa seperti sekarang ini
Part 98 Selalu saja terjadi hal yg sama dalam hidup ini. Yg datang akan pergi, dan yg pergi mungkin saja nggak
akan kembali. Kalaupun kembali mungkin dalam jangka waktu yg lama.
Masih di awal Februari 2004. Sebuah kabar datang dari Lisa. Entah gw harus menyebutnya kabar baik
atau kabar sedih. Di satu sore yg mendung. Ketika gw duduk di pantry setelah seharian lelah bekerja. Jam dinding
menunjukkan pukul lima sore. Harusnya gw balik setengah jam yg lalu. Tapi karena sekarang gw udah
punya kendaraan sendiri gw rasa nyantai-nyantai dulu nggak ada salahnya.
Gw seduh teh hangat dan mulai memandangi pemandangan yg sama yg setiap hari gw lihat dari jendela
pantry ini. "Ri," Lisa masuk ke pantry.
"Hay Lis," balas gw. Gw duduk di kursi. Lisa duduk di samping gw. "Kirain udah balik. Abis bel tadi lo
maen ngilang ajah." "Tadi gw dipanggil Pak Agus ke ruangannya."
"Dia nggak ngapa-ngapain elo kan?" kata gw becanda.
"Ya enggak lah!" Lisa sedikit malu.
"Hehehe. Becanda kok. Ada apaan dipanggil Pak Agus?"
"Duh gimana ya bilangnya," Lisa garuk-garuk rambutnya. Dia melepas kacamatanya lalu bicara. "Gw
nggak tau ini kabar baik apa kabar buruk. Tadi gw dipanggil Pak Agus buat ngomongin kemungkinan
penugasan gw di luar."
"Tugas luar" Kan udah sering" Biasanya juga Pak Agus maen teriak-teriak aja di telpon nyuruh kita ke
customer." "Bukan...bukan itu. Ini bukan luar kota."
"Jadi di mana atuh?"
"Luar negeri." Jawabnya agak hampa.
Sejenak gw diam. Gw cukup terkejut. Lisa yg nampaknya sudah mengalami keterkejutan ini sejam yg
lalu, tampak sedikit lesu.
"Maksudnya," kata gw mencoba memperjelas. "Lo mau ditugasin ke luar negeri?"
"Jepang." Jawabnya mantap. "Ya, gw dapet wacana tugas di sana."
"Wouw! Beneran?" Hebat dong! Kesempatan bagus tuh!!" mendadak gw senang dan menyalami Lisa
penuh semangat. "Lo kayaknya seneng banget gw pergi."
"Bukan gitu Lis...." gw jadi nggak enak sendiri. "Gw beneran seneng kok. Bukan karena kepergian lo. Tapi
gw seneng lo punya kesempatan yg sangat baik buat karir lo. Nggak semua orang dapet lho kesempatan
kayak gini." "......." "Kapan berangkatnya?"
"Ini baru wacana doang kok Ri. Belum pasti juga gw bakal berangkat ke sana. Perusahaan kita yg di sana
udah mengajukan permohonan 'peminjaman' tenaga ahli dari sini, tapi belum secara resmi. Masih dalam
tahap pembicaraan awal. Dan Pak Agus rencananya akan ngajuin gw kalo itu memang beneran terjadi."
"Gw pasti dukung lo! Hebat lo Lis bisa dapet kesempatan emas kayak gini."
"Tapi kok gw nggak pernah dapet kesempatan buat buka hati lo yaa....." tiba-tiba Lisa berkata lirih.
"......." Kami terdiam. Jadi nggak enak sendiri kalo udah ngomongin hal ini.
"Ya jangan sambung-sambungin masalah kerjaan sama yg itu laah," kata gw malu sambil nyengir lebar.
Lisa tertawa pelan. "Sory sory..." katanya. "Abisnya kalo gw pergi, ntar gw nggak ketemu lagi sama tukang ngegame yg suka
ninggalin kerjaannya!"
"Eh gw nggak ninggalin kerjaan gw yak! Gw ngegame kalo kerjaan udah beres!"
"Yakin udah beres?""
"Yaa setengahnya deh minimal."
"Beneran?" "Iya iya gw ngaku. Yg penting kan gw udah kerjain awalnya, jadi pas ketauan ngegame kan gw punya
alibi." Kami berdua pun tertawa. Suasana yg tadi mendadak agak kaku langsung mencair berkat pembawaan
Lisa yg luar biasa ini. "Oiya berapa lama lo tugas di Jepang?" tanya gw pengen tau.
"Katanya sih dua tahun. Tapi nggak tau juga lah. Gw beneran masih bingung mesti ambil kesempatan ini
atau enggak." "Kenapa bingung" Ambil aja! Kalo gw yg dapet kesempatan itu, bakalan gw ambil tanpa banyak pikir.
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kesempatan emas buat kemajuan karir lo. Gajinya juga gede kan tuh!"
Lisa tertawa lagi. "Kalo soal gaji mah nggak usah ditanya," katanya. "Gw mau ngomongin sama ortu gw dulu deh gimana
baiknya." "Bener tuh konsultasi dulu ke orangtua. Tapi sebagai rekan kerja yg baik, gw dukung elo 1000 persen!"
"Makasih ya Ri..."
"Sama-sama." Kami diam lagi dengan senyum yg masih tersisa di ujung bibir kami.
Jujur gw ikut senang denger kabar dari Lisa sore ini. Ini adalah kesempatan yg jarang terjadi. Ini
kesempatan emas. Karirnya akan melaju cepat, gw yakin. Tapi entah kenapa jauh dalam lubuk hati gw,
gw merasakan kehilangan yg mulai mengaduk perasaan. Gw sedih memikirkan akan ditinggal rekan kerja
yg selama ini klop banget sama gw. Gw sedih, apa nanti pengganti sementara Lisa akan sebaik dia" Gw
sedih menebak-nebak apa yg akan terjadi setelah dua tahun yg akan datang.
Ah, tapi itu kan belum terjadi! Ngapain mesti gw pikirin sekarang"
"Atau jangan-jangan....." gw mulai ragu dalam hati.
Gw ngerasa sedih karena gw akan ditinggal orang yg gw sayangi"
Part 99 Meski baru wacana dan masih dalam ketidakpastian, tapi nampaknya Lisa sudah cukup dibuat bingung
dengan kemungkinan tugas luarnya. Entah apa yg jadi pokok pertimbangannya, dia seperti sangat berat
buat meninggalkan kantor di Karawang. Padahal menurut gw ini peluang besar. Tapi suntikan semangat
dari gw nampaknya belum cukup meredam kebimbangannya.
"Gw masih butuh waktu buat mikir baik buruknya," kata Lisa ketika gw tanyakan keputusan yg akan
diambilnya. "Orangtua lo udah tau kan soal ini?" kata gw sambil tetep fokus ke monitor.
"Udah." "Terus gimana pendapat mereka?"
"Ya gitu deh. Ortu gw mah dukung aja keputusan gw. Mau diambil atau enggak, katanya terserah gw."
"Keputusan yg bijak yaa.."
"Sekaligus ngambang," sahut Lisa sambil menekan 'Enter' dengan keras. Dia sesaat mengamati layar di
hadapannya, menarik nafas panjang dan menghenyakkan punggungnya di sandaran kursi.
"Kok elo kayak yg stress gitu sih?" tanya gw lagi.
"Masa sih" Kok sampe segitunya ya gw. Haduh bingung lah. Gw masih takut aja. Kan di Jepang gw nggak
punya siapa-siapa. Kalo lagi butuh duit, mau ngutang ke siapa" Terus kalo bosen, mau ngobrol sama
siapa?" "Yah elo mah yg dipikirinnya yg gituan. Yg kayak gitu mah nanti juga terbiasa dengan sendirinya kok."
"Ya intinya gw belum punya keputusan."
Kami sama-sama diam. Cuma terdengar suara jari-jari gw beradu dengan tuts kecil di papan tombol.
Antara setuju dan tidak setuju, dalam hati gw mulai memikirkan apa yg akan gw ambil seandainya gw
ada di posisi Lisa. Ah, sulit juga ternyata.
"Gw udah diajukan secara resmi ke pihak sana," lanjut Lisa.
Gw benar-benar diam sekarang. Ujung jari gw cuma beberapa milimeter dari keyboard.
"Jujur gw seneng," kata gw akhirnya. Gw putar kursi gw menghadap Lisa. "Ini akan jadi kemajuan besar
buat karir loe." "Tapi Pak Agus juga katanya sedang mempertimbangkan buat masukin tambahan orang ke daftar
karyawan yg akan ke Jepang nanti."
"Maksudnya?" "Dari lima orang yg diminta, kita mau ngajuin satu orang tambahan."
"Oiya" Emang bisa?"
"Bisa aja. Kalopun nggak bisa, kan masih bisa ngubah daftar nama yg mau diajukan sekarang."
"......." "Gw diminta Pak Agus ngajuin nama buat dicalonkan. Dan lo tau siapa yg gw pilih?"
Kedua mata Lisa sudah menjawab sendiri pertanyaan itu.
"Pasti gw ya?" kata gw.
Lisa tersenyum lebar dan mengangguk mantap.
"Lo bilang ini adalah kesempatan emas buat memajukan karir. Jadi gw pikir nggak ada salahnya gw
ngebantu elo dapet kesempatan buat memajukan karir lo."
Gw senyum lebar. "Thanks Lis," kata gw.
"Tapi nanti semua juga harus melewati tes kelayakan kok. Maksudnya, nanti akan ada tes interview dari
bos kita, terus ada interview langsung sama pihak sana yg akan datang ke sini bulan depan. Yah
prosesnya cukup ribet lah."
Gw terdiam. Mendadak wajah Meva berkali-kali berkelebat dalam kepala gw. Gw langsung dijalari
perasaan takut yg entah darimana datangnya.
"Kenapa" Kok mendadak lo kayak bingung?" tanya Lisa menyelidik.
"Ah enggak kok. Emang kaget ajah, kerja belum nyampe empat tahun udah mau dikirim ke Jepang aja,"
gw tertawa kecil. "Eh tapi jangan bilang-bilang yah. Senior-senior kita banyak yg protes dan nggak terlalu suka karyawan
baru kayak kita udah diajukan aja. Menurut mereka sih seharusnya yg diutamakan senior dulu. Kan lebih
pengalaman." "Biar senior kalo nggak layak kan sama aja bohong."
Lisa tertawa pelan. "Menurut gw elo layak kok Ri."
"......." "Tuh gw kurang baik apa sama elo. Gw calonin nama lo buat ikut ke Jepang."
"Ah itu mah saking elo nya aja yg mau nempel sama gw terus."
"Yeeee pede lo!" Lisa tertawa lagi. Wajahnya memerah.
Secara keseluruhan hari ini kerjaan nggak begitu menyibukkan. Beberapa menit setelah bel pulang gw
buru-buru balik. Datang di kosan gw sedikit aneh. Kamar gw mendadak rapi banget padahal pagi tadi gw
belum sempet beres-beres. Hmm pasti Meva yg beresin. Tuh anak kalo lagi waras kadang-kadang emang
menguntungkan juga. Gw langsung mandi terus beli nasi di warung depan. Lewat satu jam tapi Meva be
lum menampakkan diri juga. Ini bukan hari Senin, harusnya dia udah balik. Iseng gw sms tanyain dia ada di mana tapi nggak
dibales. Waktu itu hampir maghrib, ketika handphone gw menerima sms balasan dari Meva. Gw yg lagi asyik
nonton tivi langsung ambil handphone.
-tunggu gw di depan kamer jam 7 malem. nggak usah dibales! tunggu aja pokoknya!Gw sedikit kernyitkan dahi bertanya-tanya dalam hati. Tapi karena Meva minta gw nggak bales sms nya
ya udah akhirnya gw taro handphone gw lagi. Gw lanjutin nonton tivi sambil terus bertanya apa
sebenernya yg direncanakan 'anak cacing' yg satu ini.......
Part 100 Jumat malam itu sebenernya nggak berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Beberapa menit
setelah magrib, mendadak hujan. Gw jadi makin lengket di kasur, tiduran nonton tv sambil makan
cemilan. Gw hampir lupa soal sms Meva tadi sore. Begitu jam dinding menunjukkan pukul setengah
delapan malam pintu kamar gw diketuk. Di luar suara hujan masih terdengar beradu dengan atap. Dan
dengan malasnya gw buka pintu.
"Meva?"?" gw terperanjat begitu lihat siapa di depan gw. Gw langsung inget sms yg gw terima tadi sore.
Gw liat lagi jam dinding, jam setengah delapan. "Sory gw lupa. Sekarang udah jam sete......"
"......." "Eh tunggu dulu," kata gw. Gw amati sosok di hadapan gw dengan saksama. "Kok kayak ada yg beda
yaa..." Meva masih berdiri diam. Cuma sedikit senyum yg tersungging di sudut kiri bibirnya. Beberapa bagian
tubuhnya nampak basah. "Gw keujanan," katanya kemudian.
Gw amati lagi Meva dari atas ke bawah.
"Bukan itu Va..."
"......." "Elo dandan yak?"" tanya gw setelah menyadari betapa berbedanya sosok yg sekarang sedang berdiri di
hadapan gw dengan sosok cewek berkaos kaki hitam yg bawel.
"......." Kedua pipi Meva merona merah.
"Kok tumben?" lanjut gw. "Mau kondangan Neng?"
Meva menutup mulutnya ketika tertawa kecil.
"Kenapa" Gw jelek ya?"" ucapnya malu. "Padahal udah ke salon dari sore, malah keujanan gini. Maaf
ya..." Gw geleng-geleng kepala sambil nyengir.
"Tunggu dulu. Gw belum ngerti nih. Lo minta gw nunggu di depan jam 7 malem. Trus lo dateng dengan
dandanan kayak gini...ini maksudnya apa yak" Gw mau disuruh nemenin lo kondangan?" Tumben lo niat
banget dandannya." "Gw jelek yaa emangnya kalo dandan?" wajahnya berubah sedih. "Tadi mah lumayan kok. Gw nggak tau
aja ternyata bakal ujan jadi nggak sempet bawa payung."
"Enggak. Lo cantik banget sumpah," kalimat ini meluncur begitu saja dari mulut gw. Meva nampak
terkejut mendengarnya. "Eh enggak dink. Maksudnya...ya lumayan laah. Gw belum pernah liat lo seniat
ini dandan, jadi agak aneh aja buat gw."
"Tuh kan gw jelek yak! Yaudah deh bentar ya gw salin dulu di kamer."
"Eh eh tunggu! Maen kabur ajah lo," gw raih tangannya. "Jelasin dulu ke gw, ada apa sama malem ini"
Ultah lo udah kelewat, ultah gw apa lagi, mmh tujuhbelasan masih jauh lah yaa...jadi, tolong kasitau gw
ada apa." Meva senyum malu. Beberapa tetes air jatuh dari ujung rambutnya. Malam itu dia mengenakan sebuah
dress pendek hijau muda kalem tanpa lengan. Kalung salibnya melingkar indah di dadanya. Rambut
Meva disanggul dengan style 'asal-asalan'. Satu tusuk konde warna cokelat berbentuk mirip sumpit
tertancap diantara gulungan rambutnya itu. Dengan beberapa helai rambut yg dibiarkan jatuh
menambah kesan kasual yg feminin. Gelang perak, stoking hitam khasnya, dan sepatu hak setinggi
hampir tiga senti, nyaris membuat gw nggak mengenalinya. Gw harus jujur, malam ini Meva manis
bangeeeeeett...... "Besok lo libur kan?" kata Meva.
"Iya besok hari Sabtu."
"Bukan itu. Mmh maksud gw, besok tanggal berapa?" suaranya kalem.
"Empatbelas. Tenang aja masih setengah bulan lagi bayar kosan."
"Ini bulan apa?" tanyanya lagi masih kalem.
"Februari. Daritadi nanyain tanggal, lo lagi pikun yak" Apa gw perlu bawa kalender?"
"Duh yak!! Elo itu beneran nggak sensitif banget! Besok tuh valentine!! Tadinya gw mau ngajak lo keluar,
tapinya ujan jadi yaudah deh nggak tau mau ngapain sekarang!!"
"Ooh..." gw paham sekarang. "Tapi kok sampe dandan kayak gitu sih. Valentine kemaren-kemaren juga
lewat gitu aja kan?"
"Yaa...gimana yaa...gw pengen valentine yg sekarang beda aja. Ini kan tahun terakhir gw di sini. Gw
pengen bikin malam spesial gitu lah niatnya. Eh taunya malah ujan gini..." dia pasrah. Wajahnya tampak
kecewa. "Lo nya juga nggak bilang-bilang sih. Tau gitu kan gw jemput lo di salon abis itu jalan kek kemana."
"Ini kan surprise?" Masa gw kasihtau dulu!"
Gw mengangguk. Selama beberapa detik gw pandangi Meva dari ujung rambut ke ujung kaki. Yeah, dia
sudah berusaha keras membuat penampilan yg sangat jarang gw liat. Malem ini dia cantik BANGET!!
"Eh gini Ri. Gw tau, lo nggak ngerayain yg namanya valentine. Jadi tolong jangan diliat dari situnya yah.
Anggep aja yah anggep aja..."
"Gw ngerti kok Va," gw senyum lebar.
"Syukur deh. Gw takut lo nggak enakan gitu."
"Nggak papa nyantai aja."
Kami terdiam. "Jadi...?" "Jadi apanya?" "Ya malem ini jadi gimana" Tadinya gw mau ngajakin lo makan malem gitu. Tapi kan masih ujan."
Gw berpikir sebentar. "Yaudah karna lo juga udah capek-capek dandan malem ini, kita dinner di sini aja."
"Di sini?" Meva menunjuk lantai tempatnya berdiri.
"Iya. Kita makan malem di sini."
"Emang ada makanannya?"
"Ada. Gw punya stok mie rebus. Nanti kita rebus terus makan di sini. Pemandangannya juga lumayan
tuh dari sini. Mau?"
"Emmh yaudah boleh lah gw juga udah laper nih."
"Oke." Dan akhirnya kami bergegas ke kamar, menyalakan dispenser, nyeduh teh dan menyiapkan 'makan
malam' dadakan ini. Momen pas dinnernya akan gw ceritakan di next part ya...
Part 101 "Ehm gw perlu ganti baju nggak?" tanya Meva ragu. "Aneh aja kalo ada yg liat di tempat kayak gini pake
pakean ini..." sambil pegangi dress nya.
"Udah nggak papa," gw taro dua mangkok mi rebus di atas meja kecil diantara kursi kami. "Sayang kan
udah dandan kayak gitu nggak dinikmati?"
"Maksudnyah?"" Emang gw makanan pake dinikmati!" Cerewetnya udah mulai kambuh lagi nih.
"Ya maksud gw, lo dandan kan biar keliatan cantik. Udah cantik kayak gini kalo nggak diliatin kan
mubazir," gw setengah becanda.
"Ngeliatinnya biasa aja lah!" pipinya memerah lagi. Jujur aja gw seneng banget liat Meva tersipu kayak
gitu. Pemandangan yg jarang dan hampir nggak pernah gw liat, kecuali saat dia lagi 'waras' kayak malem
ini. Gw tertawa pelan. "Kenapa sih ketawa mulu!" Meva protes. "Dandanan gw kayak badut yak!"
Gw menggeleng. "Nggak gitu kok. Lo cantik. Gw nggak pernah liat lo seperti ini sebelumnya. Masih shock aja tau nggak."
"Ah terlalu mendramatisir loe."
"Hahaha. Ngomong-ngomong, kalo lo nggak nyaman pake sepatu hak, lepas ajah. Ganti sendal jepit."
"Enak aja! Nggak nyambung banget pake dress gini bawahnya sendal jepit!"
Gw tertawa lagi. Hujan semakin mereda tapi masih menyisakan gerimis cukup deras.
"Udah makan aja dulu," kata gw. Kami berdua lalu makan mie rebus yg kami buat sendiri. Ditemani teh
anget sebagai penutup "dinner" kali ini, malam yg dingin perlahan berubah menjadi hangat.
"Kenapa sih lo dari tadi nggak bisa berhenti senyam-senyum ketawa-ketiwi nggak jelas kayak gitu!!"
ucap Meva sekembalinya gw mengembalikan mangkok di kamar.
Gw malah ketawa lebar. "Udahlah nevermind..." gw juga susah jelasinnya. Entah kenapa malam ini bibir gw nggak bisa berhenti
tersenyum. Gw duduk di beranda, menghadap ke arah Meva.
"Makasih ya udah bikin kejutan yg nggak mengejutkan malem ini," ujar gw.
"Seneng loe yak liat gw keujanan tadi! Capek tau nggak sih dandan di salon! Laen kali ogah deh, mending
dandan sendiri aja!"
Gw cuma senyum menanggapinya.
"Lo pasti aneh ya liat gw kayak gini Ri?" lanjut Meva.
"Bukan aneh, cuma kaget aja soalnya kan lo sebelumnya nggak pernah segitunya. Emang ada apa sih"
Tumben-tumbenan banget, ngajakin makan pake dandan kayak gitu?"
"Iiih kan udah gw jelasin tadi"! Gw pengen ngerasain malem valentine yg berkesan!" kata Meva sedikit
ngambek. "Seumur hidup tuh gw nggak pernah dapetin momen-momen yg kayak gini. Natalan aja lo tau
sendiri kan kayak gimana! Ultah gw pun nggak ada yg ngasih kado...termasuk elo!"
"Waduh! Iya ya gw lupa! Tapi kan gw selalu ngasih ucapan ke elo" Yaah biarpun kadang
terlambat...besoknya setelah ultah baru gw ucapin."
"Duh yak! Coba deh sekali-kali romantis-in gw! Kasih kado atau kasih ucapan tepat di hari ulang tahun
gw! Lo jadi cowok tuh nggak sensi banget kalo masalah yg kayak ginian," cecarnya semangat.
"Yaelaah lo kan udah kenal gw lama" Harusnya lo apal donk sifat gw kayak gimana. Lo ingetin gw lah tiap
mau ultah, biar gw inget beli kado buat lo."
"Emang dasarnya lo nggak pernah perhatian ke gw!!" wajahnya cemberut.
"Duh yak jangan cemberut gitu atuh. Rusak make up nya," goda gw.
"Biarin!" Gw tertawa lagi. Ah, malam ini bener-bener malam yg aneh buat gw.
"Jadi...agenda kita apa nih setelah ini?" gw mencari topik lain.
"Masih ujan yaa. Yaudahlah ngobrol-ngobrol aja. Lagian udah malem juga. Abis ini tidur deh."
Gw turun dan berjalan ke kursi di sebelah Meva. Untuk beberapa saat kami sama-sama terdiam. Cuma
terdengar bunyi hujan yg bergemericik disela suara jangkrik yg saling bersahutan.
"Gw masih bingung setelah lulus nanti mau kemana," Meva memulai pembicaraan.
"Kenapa" Bukannya lo udah punya planning ya" Di buku diary lo."
"Enggak tau," Meva menggeleng. "Setelah nyokap pergi, gw kayak limbung dan kehilangan semua gairah
gw buat merealisasikan cita-cita gw. Gw lagi dalam masa-masa yg berat Ri."
"......." "Kenapa Tuhan nggak adil ya" Dia bisa ngasih kehidupan yg sempurna ke orang lain, tapi kenapa hidup
gw kayak gini! Yg ada tuh nangis dan nangis terus gw. Capek!"
Kami diam lagi. Gw nggak perlu bersusah payah membayangkan yg diceritakan Meva. Gw paham betul
soal ini. "Hidup gw tuh kelam teruss..." lanjut Meva. "Kalo ibarat hujan nih, tiap hari tuh turun hujan terus kayak
malem ini!" "Tapi nggak ada hujan yg nggak reda kan?" gw coba menengahi pergulatan hatinya. "Gw belum pernah
nemuin hujan yg nggak reda."
"......." Meva tertunduk. Dia sepertinya enggan mendebat gw. Dia cuma diam memandangi ujung sepatunya.
Kami biarkan hening diantara kami. Gw diam-diam menangkap ekspresi takut dalam pandangan Meva.
Rasa yg sebenarnya juga hadir dalam hati gw saat ini. Rasa takut akan kehilangan.
"Sederas apapun, hujan pasti reda. Dan akan selalu ada pelangi yg indah untuk kita lihat setelah hujan,"
kata gw lagi. Kalimat yg sebenarnya bertentangan dengan yg gw rasakan dalam hati gw.
Gw pandangi lagi wajah Meva. Lo tau apa yg gw pikirkan sekarang Va" Seandainya lo adalah hujan, maka
gw nggak akan pernah sedetikpun berharap hujan itu reda.......
Part 102 Di suatu tempat di seberang pelangi,
Nun jauh dan tinggi Ada satu tempat yg pernah kudengar hanya dalam lullaby...
"Lo pernah nggak sih Ri bertanya dalam hati lo," kata Meva memecah kesunyian dan kedinginan yg
sempat menyelimuti kami. Sudah hampir jam dua pagi dan kami masih bertahan di beranda.
"Tanya apa?" gw balik tanya. Jari-jari gw udah berasa kebas buat memetik senar gitar dalam pelukan gw.
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meva diam sejenak. Wajahnya nampak sedikit lelah tapi sedikitpun itu nggak merusak penampilannya
pagi ini. Beberapa helai rambut yg acak-acakan justru makin memancarkan sisi feminin nya yg selama ini
jarang gw lihat. "Menurut lo, pelangi itu nyata atau nggak sih?" lanjutnya datar.
Sesaat gw diam lalu tertawa kecil.
"Kebiasaan nih, kalo udah malem kayak gini pasti deh bakal muncul pertanyaan-pertanyaan aneh lo,"
kata gw. Meva cemberut. "Ya abisnya gw mau tanya ke siapa lagi kalo bukan ke elo" Satu-satunya yg kenal gw kan cuma elo..."
katanya dengan nada merajuk.
"Iya tapi pertanyaannya tuh yg biasa aja lah. Gw suka bingung deh kalo udah ditanya yg kayak ginian."
"Ah, pertanyaan biasa kan cuma dijawab sama orang biasa. Kalo lo kan bukan orang biasa, yaah
katakanlah lo tuh 'orang tua' yak jadi kan udah banyak pengalaman dibanding gw yg masih muda plus
imut kayak gini.." "Kita cuma beda dua taun doank!"
"Tetep aja tua an elo kan"!"
"......." "Udah jawab ajah, menurut lo pelangi itu beneran nyata nggak?"
Gw gelengkan kepala. "Enggak. Pelangi kan cuma efek pembiasan cahaya. Jadi gimana yak. Duh gw bukan ilmuwan sih jadi
nggak bisa jelasinnya."
Meva tersenyum. "Kenapa?" tanya gw.
"Enggak papa. Pas tadi lo bilang soal hujan yg reda dan pelangi setelahnya, gw jadi inget waktu kecil
dulu..." Meva mulai curhat. "Dulu, sebelum tidur gw sering didongengin banyak cerita sama nyokap gw.
Dan ada satu cerita favorit gw, cerita tentang pelangi."
Meva melirik gw, mengecek apakah gw tertarik mendengar kelanjutan ceritanya. Gw mengangguk
sebagai tanda gw tertarik.
"Dongeng China kuno, tentang sepasang kekasih bernama Hsienpo dan Yingt'ei. Pernah denger?"
Gw menggeleng. "Mereka berdua adalah sepasang kekasih yg terpisah dan harus menunggu ada pelangi supaya bisa
bertemu. Dan pada akhirnya Hsienpo menjadi warna merah dalam pelangi sementara Yingt'ei menjadi
warna biru. Mereka hidup bahagia selamanya."
"......." "Gw suka nangis loh waktu dulu denger dongeng ini," dia tertawa pelan mengenang masa lalunya.
Matanya menatap kosong langit hitam di depan kami.
Gw terdiam. Baru pertama kali ini gw denger dongeng pelangi.
Di suatu tempat di seberang pelangi,
Langit selalu biru Dan apapun yg kau impikan
Menjadi nyata di situ... "Masa belum pernah denger sih?" tanya Meva lagi.
"Yah waktu gw kecil mah paling juga didongengin si kancil sama si keong yg lomba balap karung. Nggak
pernah gw dapet dongeng kayak gitu."
Kami berdua tertawa. "Dulu gw pengeeen banget bisa terbang dan pergi ke pelangi!" lanjut Meva antusias. "Gw pernah baca,
menurut orang Yunani, pelangi adalah jembatan yg dipake Dewi Iris untuk bertemu Dewa di langit.
Sampe sekarang pun gw kadang masih suka berkhayal seandainya gw bisa ke pelangi..."
Gw tertawa mendengarnya. "Ada-ada aja ah lo," komentar gw.
"Biarin. Namanya juga mengkhayal, kan bebas" Gratis juga!"
"Hehehe. Iya iya. Tapi sayang yak di sini nggak pernah muncul pelangi bulan."
"Pelangi bulan?"
"Iya, pelangi bulan. Kalo pelangi yg muncul setelah hujan kan namanya Rainbow, nah kalo yg ini
namanya Moonbow. Munculnya di malam hari. Katanya sih lebih indah dari pelangi biasa. Nggak tau deh
gw juga belum pernah liat soalnya."
Meva memandang takjub. "Pasti indah yaaa..." gumamnya. Dia memandang berkeliling ke penjuru langit, berharap secara ajaib
moonbow muncul tiba-tiba. Meva langsung tersenyum begitu tau yg diharapkannya nggak mungkin
terjadi. "Ri," katanya. "Kalo gw adalah pelangi, lo jadi apanya?" tanya Meva tiba-tiba.
"......." "Ayo jawab.." "Duh yak gw mana bisa jawab kalo lo nanya tapi muka lo sedeket ini sama muka gw?"" gw dorong
wajahnya menjauh. Meva cuma nyengir lebar. "Ayo jawab laah.."
"Emh jadi apa yak" Kayaknya gw jadi manusia biasa aja deh."
"Lho, kenapa" Lo jadi hujan nya atau apanya kek! Nggak ada romantisnya banget ah dodol!"
Gw tersenyum lalu menjawab.
"Gw pilih jadi manusia biasa, karena dengan begitu gw akan selalu bisa menikmati keindahan sang
pelangi kapanpun dia muncul."
"......." Kedua pipinya bersemu merah. Sebelum dia sempat bicara gw bilang gini.
"Boleh gw nyanyiin lagu buat lo?"
Meva mengangguk semangat.
"Lagu apa?" tanyanya.
"Over The Rainbow..."
Dan akhirnya malam valentine yg panjang itu pun ditutup dengan nyanyian fals gw...
Di suatu tempat di seberang pelangi,
Burung-burung biru beterbangan datang dan pergi..
Bila burung-burung kecil itu dg gembira beterbangan melampaui jembatan pelangi,
Mengapa aku tak bisa "..........
Part 103 Dan benar bahwa hidup memang nggak selalu seperti yg kita inginkan. Karena Tuhan
menciptakan segala sesuatunya berpasangan. Seperti halnya nggak ada hujan yg nggak reda,
maka nggak ada kemarau yg selamanya kering.
Di suatu malam gw terjaga di tengah derasnya hujan yg menderu atap kamar. Mungkin suara
berisiknya yg membuat gw terjaga di jam dua pagi ini. Gw terduduk lemas sandarkan punggung
di dinding kamar. Dada gw terasa sesak. Ditambah dingin yg menusuk dada, rasanya kepala gw
seperti mau pecah. Gw merangkak ke dispenser. Menuang segelas air hangat dan segera meminumnya untuk
sekedar mengurangi rasa dingin dalam tubuh gw. Gw terduduk lagi. Diam. Cuma deru hujan yg
terdengar meredam kamar yg gelap ini.
Gw pejamkan mata. Mencoba sesegera mungkin terlelap, tapi yg muncul di benak gw adalah
kejadian tiga hari yg lalu. Ketika gw duduk dengan lemas di kursi favorit gw di pantry.....
Jam kantor sudah berlalu hampir satu jam yg lalu. Tinggal gw dan beberapa orang lagi di kantor
yg hari ini lembur. Seperti biasa, ditemani secangkir teh manis hangat gw duduk memandang
langit di balik jendela. Gw kangen keluarga gw di rumah. Sudah hampir dua tahun gw nggak mudik. Cukup lama buat
seorang perantau seperti gw. Maklumlah beberapa waktu terakhir memang lagi banyak job.
Libur lebaran pun terpaksa lembur demi beberapa lembar rupiah.
Gw lagi asyik mengenang masa-masa kecil gw bareng temen SD dulu, ketika handphone gw
bergetar. Sms dari Lisa. Dia nanyain gw di mana, gw jawab kalo gw lagi di pantry. Dia bales lagi
minta gw ke tempatnya sekarang.
"Ada apa?" tanya gw sesampainya di kursi gw.
Lisa masih cukup sibuk menyelesaikan laporannya.
"Enggak papa. Gw khawatir aja," jawabnya memandang gw tersenyum.
Ah, senyum yg paling manis yg pernah gw liat dari seorang Lisa.
"Perhatian banget lo sama gw," kata gw sedikit menggoda.
"Yaiyalah gw kan emang baik hati dan tidak sombong" Rajin nabung pula," balasnya. Dia meng
close tab yg belum selesai dikerjakannya. "Jadi gimana?" lanjutnya.
"Gimana apanya?"
"Hasilnya laah.."
"Duh hasil apaan" Yg jelas atuh nanyanya," gw iseng maen hamsterball.
"Hasil medical check up kemaren. Gimana, oke kan" Kita jadi berangkat bareng kan ke
Jepang?"" tanya Lisa semangat.
Bola hamster gw jatuh dan pecah.
"Mmmh....." gw ketukkan jari-jari gw di meja.
"......." "Justru itu..."
"Justru itu kenapa" Sekarang lo yg nggak jelas ah!"
"Gw nggak lolos Lis. Hasil medical kemaren jelek," kata gw hambar.
Lisa terdiam saking kagetnya.
"Ah elo becanda aja!" dia menepuk pundak gw pelan. Gw diam. Lagi nggak semangat gw.
"Gw beneran Lis."
"Masa sih" Kok bisa?" Gw liat elo sehat banget kok! Apanya yg salah?"?"
Gw tersenyum kecut. Pembicaraan gw dan Pak Agus beberapa jam yg lalu di ruangannya
terngiang di telinga gw. "Ginjal gw Lis," kata gw sedikit ragu.
"Ginjal?" Lisa belum menemukan benang merah pembicaraan kami.
Gw mengangguk pelan. "Dari hasil medical check up kemaren, katanya gw punya kelainan di ginjal gw..."
"......." "Gw serius Lis. Lo tau kan abis makan siang tadi gw dipanggil Pak Agus ke ruangannya" Kita
ngomongin itu." "Gw belum percaya ah! Lo yg sehat kayak gini kok punya kelainan ginjal?"
"Hmm...kadang sesuatu yg keliatan baik di luar, nggak seperti itu di dalamnya," gw lebih
terdengar menghibur diri sendiri.
"......." "Mungkin belum rejekinya gw kali. Ya udahlah gw terima aja kok."
"Yaaah...nggak bisa gitu lah! Masa gw sendirian ke sananya?"
"Kan masih ada yg laen" Lo nggak sendirian kok."
"Iya tapi beda lah! Duh tau gini mah mending gw ngundurin diri dari awal aja!" Lisa tampak
sedih. "......." "......." Kami terdiam beberapa saat.
"Gw kecewa nih.." kata Lisa.
"Sama Lis. Gw juga. Tapi yg bikin gw down sebenernya bukan karena gw gagal ke Jepang. Tapi
yaah gw sendiri nggak nyangka aja ternyata gw punya penyakit yg gw sendiri nggak pernah
menduga kalo gw mengidap penyakit itu!"
"Apa separah itu ya?"
"Nggak tau. Gw harus konsultasi langsung ke dokter. Semoga aja nggak papa yah..."
"Harus lah! Gw yakin lo baik-baik aja!" Lisa menyemangati gw, meskipun itu nggak berhasil
menutupi kesedihannya. "Semoga," gw mengamini.
Kabar tadi siang benar-benar cukup mengejutkan. Sebuah shocktherapy yg sangat memacu
jantung gw. Untunglah setelah beberapa cangkir teh hangat gw habiskan, sekarang sudah agak
mendingan. "Lo harus ke dokter, malem ini." kata Lisa lagi. "Pastikan kalo penyakit yg lo punya itu nggak
mempengaruhi keadaan lo sekarang. Oke?"
"Iya, rencananya Sabtu ini gw mau ke dokter."
"Nggak bisa. Harus malem ini. Balik lembur gw anter deh ya"!"
Gw tersenyum dan akhirnya mengangguk.
"Gw yakin lo baik-baik aja Ri," kata Lisa sambil menepuk bahu gw pelan...
Sudah hampir satu jam gw terjaga. Keringat dingin mulai bercucuran dari tubuh gw. Hujan di
luar belum juga reda. Malah sekarang makin deras.
Gw pejamkan lagi mata gw. Dan dalam kegelapan itu, yg terbayang di benak gw cuma sesosok
wanita berkaos kaki hitam.
Entah Meva... Ah, atau Lisa......"
Part 104 "Ri bangun Ri," sebuah suara lembut tapi agak sengau di telinga membangunkan gw. Ada tangan hangat
yg menepuk pipi gw. "Bangun dulu minum obat..." lanjutnya lagi.
Gw terjaga dan nampak Meva duduk di sebelah gw sambil pegangi segelas air putih.
"Minum obat yuk," kata Meva lagi begitu melihat gw terjaga.
Gw bangun. Mencoba duduk tapi mendadak semua terasa berputar. Gw segera sandarkan punggung ke
dinding. "Lo kayaknya parah banget yak Ri," Meva berkomentar.
"Gw nggak papa kok," jawab gw. Sebuah jawaban yg bodoh tentu saja.
"Halaah tepar gituh masih ajah nggak ngaku." Meva tersenyum dengan manisnya, meskipun itu nggak
menutupi wajahnya yg pucat.
Jam dinding menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Jendela kamar gw masih tertutup tapi gw bisa
merasakan hangatnya sinar matahari masuk ke kamar gw. Sangat kontras dengan keadaan semalam.
"Udah ah, nih sarapan dulu abis itu minum obat," Meva menyodorkan sesendok bubur ke mulut gw.
"Lo sendiri udah makan belum?"
Meva menggeleng pelan. "Gampang lah gw mah.." katanya.
"Ya udah lo makan aja dulu deh entar aja gw mah, lagi nggak nafsu makan."
"Duh yak orang sakit mana ada sih nafsu makan kalo nggak dipaksa?"" sendok bubur itu masih di depan
mulut gw. "Buruan makan! Beberapa sendok aja deh."
"......." Gw paksakan menelan suapan bubur dari Meva.
Meva terbatuk-batuk beberapa kali.
"Tuh kan elo sendirinya juga lagi sakit, buruan makan bareng deh..." kata gw prihatin.
Meva tertawa kecil dan mulai makan buburnya.
"Kita tuh lucu yak!" ucapnya kalem. Rambutnya yg masih kusut karena belum mandi tergerai di dua
bahunya. Gampang banget buat tahu kalo dia lagi sakit. Apalagi Meva pake sweater tebal warna putih.
"Lucu di mana nya ya mbak?"" Orang kesiksa gini dibilang lucu!"
"Ya lucu ajah! Mana ada coba orang sakit barengan gini?""
"Barengan" Gw ralat yak, kita tuh enggak barengan. Lo yg nularin sakit ke gw."
"Apaan" Itu mah lo nya aja bodo, udah tau gw lagi sakit, malah makan sisa mie rebus gw!"
"Ya...yah....ya......ya gw laper soalnya. Males beli ke luar yaudah gw makan aja sisa elo."
"Yaudah jangan salahin gw atuh."
"Iya iya iya. Tapi gw sengaja sakit kok, biar bisa senasib sepenanggungan gituh sama elo..." gw bohong.
Padahal emang gw yg bodoh, kemarin makan sisa mie nya Meva.
"Halaah...bilang aja lo lagi ngerayu biar gw nggak maksa lo buat minum obat. Iya kan?""
"Eh, ternyata selain cantik, elo pinter juga ya Va...baru tau gw."
"Haduh! Jangan banyak omong deh, orang udah dua hari nggak mandi gini mana ada cantiknya sih"!
Udah buruan makan lagi."
"Oiya" Tapi kok elo kayak bukan yg dua hari nggak mandi ya" Kayak yg udah bertahun-tahun nggak
ketemu air gitu!" Dan sebelum sempat ketawa Meva keburu menjejalkan bubur ke dalam mulut gw. Dengan susah payah
gw memakannya. Sebenernya gw setuju sama Meva. Ini cukup bisa dikatakan lucu. Dua hari yg lalu gw dapati Meva
terbaring lemas di kasurnya. Dia demam cukup tinggi. Mungkin karena terlalu memporsir tenaganya
buat menyelesaikan tugas kuliah yg makin menumpuk. Eh, sekarang giliran gw yg ketularan Meva garagara makan sisa mie rebusnya. Sebenernya bukan mutlak gara-gara itu. Tubuh gw memang lagi nggak fit.
Ditambah virus dari mie rebus tadi, ya jadilah gw kayak gini.
"Thanks deh udah nemenin gw sakit," ujar Meva.
"......." "Ntar sore kita periksa bareng yah ke dokter," saran Meva.
Gw setuju aja. Baru tiga hari yg lalu gw cek up ke rumah sakit bareng Lisa, dan hasilnya baru akan keluar
hari Senin nanti. Yah gw berharap semoga semua baik-baik aja.
Pagi itu gw dan Meva barengan menghabiskan sepiring bubur. Karena belum sempat ke dokter, kami
minum obat warung seadanya.
"Gw tidur di sini yah?" Meva rebahkan diri di kasur.
"Yaudah tidur aja, gw mau nelpon bos dulu lapor hari ini nggak masuk kerja."
"Yaudah atur aja deh, asal jangan nelpon ke kantor imigrasi aja. Hehehe."
"......." Sempet-sempetnya Meva becanda di saat kayak gini! Badan lemes, kepala pening plus kaki pada
pegel-pegel. Gw memang butuh banyak istirahat kayaknya.
Gw telpon Pak Agus dan mengabarkan keadaan gw sekarang. Sementara Lisa pas gw telepon, dia marahmarah karena gw nggak segera ngasih kabar kalo gw sakit. Sore ini dia mau nengok gw ke kosan.
"Lisa perhatian banget ya sama elo Ri," kata Meva tanpa membuka matanya. Dia pasti tadi nguping
pembicaraan kami. Ya iyalah secara Meva ada di sebelah gw.
"......." "Pasti seneng banget yah punya orang yg bener-bener care sama kita?"
"Ah ngomong apa sih loe" Mulai ngelantur deh kalo demamnya kambuh kayak gini," gw pegang leher
Meva. Panas banget. "Ri, kalo ada dua cewek yg sama-sama care ke elo, tapi dengan latar belakang yg sangat berbeda. Yg
satu perfect, dan yg satu bukan apa-apa. Lo akan pilih yg mana?"
"Hmmm..." gw berpikir keras. "Rahasia perusahaan deh! Hehehe."
"Dih nggak lucu pisan!" Meva ngambek. Dia melempar bantal ke gw. Setelah itu dia sembunyi di balik
selimut. Selama beberapa saat gw diam melamun sebelum akhirnya terlelap lagi.....
Part 105 Gw bangun sore harinya ketika jam di kamar menunjukkan pukul lima lewat beberapa menit. Gw
langsung keingetan Meva karena kami punya janji berobat ke dokter sore ini. Meva nggak ada di sebelah
gw, kayaknya dia udah balik ke kamarnya. Meski dengan lemasnya buru-buru gw cuci muka plus gosok
gigi lalu keluar hendak ke kamar Meva. Tapi ternyata gw tertahan di depan kamar gw.
Meva ada di beranda. Dia lagi duduk di tembok pembatas. Tapi bukan dia yg membuat gw terkejut,
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melainkan orang di sebelahnya.
Seorang wanita dengan setelan kemeja putih panjang dipadukan rok abu-abu sopan dengan stoking
hitam. Lisa langsung tersenyum melihat gw.
"Hai Ri," sapanya. "Udah bangun loe?"
"Eh, udah....." gw masih belum percaya dengan yg gw lihat. Gw perhatikan lagi ekspresi wajah kedua
cewek di hadapan gw. Canggung, malu, tapi tetap tenang dan seolah nggak ada apa-apa. Yah mungkin
memang nggak ada apa-apa"
"Ng...dateng jam berapa?" tanya gw ke Lisa.
"Belum lama kok. Pas bel balik gw langsung ke sini. Ketemu sama Meva di sini," dia melirik Meva yg
membalasnya dengan senyum malu. "Yah gw tanya-tanya gimana keadaan loe. Terus lo nya bangun
deh." Gw lirik Meva. Dia tampak seperti seorang mahasiswa yg baru kepergok nyontek pas ujian. Gw baru
sadar kedua pipinya bersemu merah.
"Kita nggak ngomongin yg macem-macem kok! Beneran! Sumpah!" Meva nyerocos tanpa gw tanya.
Jawaban yg justru menimbulkan kecurigaan.
"Yaah terserah kalian kok mau ngomongin apa juga," kata gw kalem. Duh bingung juga kalo keadaannya
kayak gini. "Eh, elo tadi masuk kerja Lis?"
Lisa kernyitkan dahinya. "Kan lo liat nih gw masih pake pakean kayak gini emangnya abis dari mana?"
Duh sorry gw hilang konsentrasi!
"Oh.." gw nyengir malu.
"Lo udah minum obat?" tanya Lisa.
"Udah," jawab gw.
"Boong tuh Lis. Terakhir minum tuh pas pagi. Itu juga susahnya minta ampun kudu dipaksa dulu!" Meva
menyela dengan nadanya yg khas.
"Yg penting kan diminum obatnya?" sergah gw.
"Iya tapi susah!" Meva mulai nyolot lagi kayak biasa.
Lisa cuma diam memperhatikan kami dengan tatapan heran sekaligus tertarik. Baru tau dia gimana gw
sama Meva kalo ngobrol. "Eh mau ngobrol di dalem?" gw menawarkan sekedar mencairkan suasana yg agak kaku.
Lisa dan Meva kompakan geleng kepala.
"Di sini aja," jawab Lisa.
Gw duduk di kursi. Makin lama berdiri kaki gw makin lemes.
"Kalian mau ke dokter kan?" kata Lisa lagi. "Gw anter aja gimana?"
Gw kernyitkan dahi. "Gw bawa mobil kantor kok," Lisa menjawab tatapan heran gw. "Dari awal gw emang berniat nganter lo
ke dokter, makanya gw pinjem mobil kantor. Tapi ternyata yg sakitnya ada dua. Yaudah sekalian gw
anter deh ya?" dia mengakhiri dengan senyuman lebar di bibirnya.
Gw dan Meva sejenak saling pandang. Gw buru-buru alihkan pandangan gw sebelum kami saling lempar
sendal. "Nggak ngerepotin elo emangnya?" gw basa-basi.
"Ya enggak lah," jawaban yg udah gw duga sebelumnya.
"Gimana Va?" tanya gw ke Meva.
"Boleh aja. Biar lebih cepet juga."
"Yaudah bentar yah gw ganti baju dulu."
Gw ke kamar, ganti pakean sambil dalam hati bertanya-tanya kok bisa yak" Meva sama Lisa keliatan
akur, biarpun masih dengan sangat jelas ada kecanggungan diantara mereka.
Dalam sedan Mitsubishi hitam yg membawa kami bertiga ke rumah sakit, gw nggak hentinya geleng
kepala. Meva duduk di bangku depan di samping kemudi sementara gw sendirian di belakang. Mereka
berdua ngobrol-ngobrol mengakrabkan diri. Dan parahnya, kadang-kadang mereka kayak nganggep
kursi belakang kosong! Nggak ada gw!
Datang di rumah sakit kami langsung ke ruangan dokter kenalannya Lisa. Gw dan Meva diperiksa
bergantian. Dan benar, kami kena penyakit yg sama. Selesai berobat kami langsung balik ke kosan.
Karena sudah malam Lisa memutuskan langsung balik tanpa mampir dulu ke kosan.
"Cepet sembuh ya biar bisa maen hamster lagi," kata Lisa sebelum pergi.
Gw dan Meva berdiri diam memandangi mobil yg melaju meninggalkan kami di depan gerbang. Gw lirik
Meva. Dia, yg memang punya insting tajam seperti elang, langsung menangkap lirikan gw.
"Ngapain liatin gw kayak gitu?" tanyanya sok ketus.
"Ge-Er," balas gw.
Meva melet lalu balikkan badan berjalan masuk ke kosan. Gw menyusulnya di belakang.
"Va gw mau tanya donk?" kata gw tanpa menghentikan langkah.
"Tanya apa?" sahutnya tanpa menoleh.
"Sebelum gw bangun tidur, lo sama Lisa ngobrol apa aja" Ngomongin gw yah?"
Meva berhenti, menghadap gw, lalu kepala gw ditoyornya.
"Ge-Er," jawabnya singkat. Dia berbalik lagi dan lanjutkan naik tangga.
"Ya terus ngomongin apa donk" Nggak mungkin juga kan kalian ngomongin soal sejarah terciptanya
bumi?" "Ngawur lo!" "Ya makanya bilang aja apa susahnya sih?"
"Buat apa" Nggak penting juga kali. Lagian mau tau aja loe ah."
"......." Gw dan Meva sampai di kamar jam tujuh lewat limabelas menit. Gw memutuskan nggak ngebahas lagi
soal Lisa. Meva juga demikian. Kami makan bubur yg tadi dibeli dalam perjalanan pulang, lalu minum
obat dan setelah itu duduk nonton tivi sampe malem...
Part 106 Nggak ada yg aneh setelah pertemuan tak terduga antara Meva dan Lisa. Meva tetep bawel dan
ngeselin seperti biasanya. Yah itu memang bawaan dia sejak lahir kali ya" Sementara Lisa, dia juga sama.
Gw absen dua hari dan setelah masuk kerja lagi, semua biasa aja. Nggak ada yg aneh atau mencurigakan
dari Lisa, yg sebelumnya gw yakin banget dia ngomongin sesuatu sama Meva.
Weekend... Gw lagi nemenin Meva jemur pakaian di halaman bawah. Sebenernya gw nggak mau, tapi Meva maksa
gw buat ikut ke bawah soalnya gw juga nitip cucian ke dia.
"Pagi ini mau sarapan apa?" tanya gw ke Meva.
"Apa aja deh yg penting gratis," jawab Meva sambil tetap jemur pakaian.
"Yaelah baru juga nyuciin baju gw satu biji, udah minta ditraktir. Nggak ada pahalanya banget lo Va?"
"Duh yak wajar dong. Di dunia ini tuh nggak ada yg gratis. Orang kencing di terminal aja bayar" Lagian
baju lo emang satu, tapi temennya banyak! Liat noh sampe seember gituh!" dia menunjuk ember di
samping gw. Gw nyengir lebar. "Udah buru bantuin gw jemur lah jangan bengong doang!" tandasnya.
Gw turuti perintahnya. Gw bantu jemur pakaian. Cuma pakaian gw doang sih sebenernya, pakaian Meva
ada di ember terpisah dan dia sendiri yg ngejemur.
Selesai beresin jemuran gw dan Meva ke depan gang, ke warung bubur kacang ijo di pinggir jalan,
tempat favorit kami kalo lagi pengen ngemil. Di sana belum banyak pembeli. Gw dan Meva duduk di
kursi panjang yg menghadap ke jalanan. Kepulan asap dari dua mangkuk kecil bubur kacang ijo menyapa
kami dua menit kemudian. "Eh Ri, gw mau tanya tapi jawab yg jujur nih yak," kata Meva sambil makan bubur kacang.
"Tanya aja," jawab gw acuh.
"Menurut lo...gw cantik nggak sih?"?"
Sendok gw terhenti di depan mulut. Gw palingkan wajah ke Meva sambil senyum ngejek. Gw sempat
ngelirik tukang bubur di dekat kami, dia senyum-senyum, kayaknya dia tadi denger pertanyaan Meva.
"Udah ah liatinnya biasa ajaaa," Meva mencubit lengan gw. "Jawab aja napa?"
"Tumben amat lo tanya ginian," komentar gw berusaha sebisa mungkin nggak ngejawab pertanyaannya.
"Ya enggak papa. Gw pengen tau aja pendapat lo gimana tentang gw. Semua cewek di dunia ini pasti
pernah menanyakan hal yg sama ke orang terdekatnya."
Gw senyum. "Senyam - senyum mulu. Mau jawab enggak" Kalo enggak yaudah, biar gw tanya Mamang bubur ajah,"
Meva mengultimatum. Dia nengok ke tukang bubur yg sekarang nyengir lebar ngeliatin gw dan Meva.
Deretan giginya yg nggak beraturan tampak mencolok. Meva nengok ke gw lagi dan bicara dengan suara
pelan. "Eh nggak jadi deh. Gw tanya ke elo aja, si Mamang nya nyeremin."
Gw tertawa lebar sementara Meva berubah cemberut.
"Denger gw ya Va," gw menjawab sok diplomatis. "Pada dasarnya semua cewek itu cantik."
"Tapi.....?" "Tapi.....ada tingkatannya juga."
"Maksudnya?" Meva tampak sangat tertarik dengan jawaban gw.
"Maksud gw, tiap cewek punya tingkatan cantiknya masing-masing. Ada cewek yg di level sangat cantik,
ada juga yg cantik doang. Terus ada yg sedikit cantik...ada yg nggak begitu cantik...dan terakhir ada yg
nggak cantik samasekali. Nah, silakan lo menilai sendiri lo ada di kasta yg mana," gw lalu ketawa.
"Ah sama aja nggak ngejawab itu mah!" Meva nyubit gw lagi.
"Ya abisnya gw juga serba salah. Kalo gw bilang lo jelek, ntar nggak ada lagi yg nyuciin baju gw. Kalo gw
bilang loe cantik, wah itu namanya kebohongan publik."
"Duh emang gw sejelek itu yaaa?"?" Meva tampak murung. Dia kayak yg sedih banget.
"Eh eh enggak kok gw becanda Va. Ah, lo mah gitu aja dimasukin ke hati," gw senggol tangannya. Meva
mencibir lalu makan buburnya tanpa gairah. Beberapa kali Meva mengaduk-aduk bubur tanpa
memakannya. Wah kayaknya yg gw katakan tadi menyinggung perasaannya. Tapi nggak biasanya ah Meva kayak gitu!
"Iya deeh gw ralat. Lo cantik," kata gw.
"Nah gitu donk! Itu baru jawaban jujur!!" Meva sumringah. Dia nyengir lebar lalu menghabiskan sisa
buburnya dalam beberapa sendokan saja.
"Dasar cewek," batin gw dalam hati.
Gw menghabiskan bubur gw semenit kemudian. Meva yg nampaknya sudah mendapatkan mood nya
lagi, dari tadi nggak hentinya senyum.
"Jadi, udah akur niih sama Lisa?" pancing gw.
"Emang dulu gw pernah nggak akur" Enggak ah."
"Oh yaudah kalo gitu lupain aja yah gontok-gontokan yg pernah terjadi," sindir gw.
Meva cuma nyengir lebar. "Waktu pertama ketemu Lisa, kalian ngomongin apa sih?" gw mulai dengan pertanyaan utama.
"Enggak ngomongin yg macem-macem kok. Yah namanya juga cewek. Cuma tukeran gosip ajah."
"Pasti gw yg digosipin yahh?""
"Pede banget!" dengan refleksnya Meva noyor kepala gw.
"Ya abisnya kalian berdua kan saingan tuh ngerebutin gw. Jadi ya wajar aja laah kalo gw digosipin," gw
becanda setengah ngarep pendapat gw benar.
"Enak aja!! Sapa juga yg ngerebutin elo?"" Meva memukul gw beberapa kali.
"Kan gw bilang 'siapa tau'" Kalo enggak yaudah sih nyantai aja lah!"
Meva mencibir. Dan pagi itu akhirnya Meva yg bayarin makan karena ternyata gw lupa bawa dompet.
Part 107 "Udah lengkap semua barang yg mau dibawa Ri?" nyokap gw membuka resleting ransel gw.
"Udah Mah," jawab gw sambil membalas sms di handphone. Nyokap gw melakukan pengecekan selama
dua menit. "Bekal makanannya udah dibawa?" tanya nyokap gw lagi.
"Sip. Udah lengkap semua Mah."
Nyokap gw menutup ransel dan berdiri. Gw juga berdiri.
"Ati-ati di jalan yah," kata nyokap gw.
"Pasti," gumam gw pelan.
"Kapan balik lagi Kak?" adik perempuan gw yg baru masuk SMA muncul dari dalam kamar.
"Emh ntar akhir tahun deh kalo ada libur pasti balik."
"Jangan lupa oleh-oleh dari Jawa ya. Laen kali bawa batik kek, kan katanya batik Jawa bagus-bagus tuh.
Pengen tau batik Jogja kayak gimana."
"Huss kamu ini banyak mintanya," nyokap gw mengingatkan setengah becanda.
"Nggak papa lah Mah, kan Kak Ari juga baliknya setaun sekali pas lebaran doang. Oleh-oleh gitu doang
mah wajib kudu lah."
"Huh kamu ini maunya."
Kami bertiga tertawa. Tawa yg lepas. Tawa yg selalu mengundang kerinduan untuk melakukannya lagi
bersama-sama. "Yaudah buruan berangkat nanti ketinggalan pesawat lho," nyokap gw mengingatkan.
"Eh iya. Nanti kalo ke sini ajak juga Kak Meva yaa?" celetuk adik gw.
"Meva?" nyokap gw memandang heran.
"Pacarnya Kak Ari."
"Wah kamu udah punya calon Ri?" nyokap gw antusias.
"Eh enggak kok," jawab gw buru-buru klarifikasi. "Itu...temen! Bukan pacar."
"Ah boong! Di dompetnya Kak Ari banyak tuh foto berduaan! Pake dinamain segala di belakangnya. Kalo
bukan pacar kok dipajang di dompet yaa?""
"Enggak! Beneran bukan siapa-siapa ah!" gw malu.
"Ah masa siih?"" adik gw seneng banget tuh godain gw.
"Yaudah bawa ke sini apa salahnya, kenalin ke Mamah sama Papah. Kalo cocok kan tinggal nyari tanggal
aja," nyokap gw juga ikutan.
"Haduh apaan sih..." gw malu sekaligus mengamini dalam hati.
"Yaudahlah, Kakakku yg jelek! Ati-ati di jalan yah, kalo jatuh bangun sendiri lho," adik gw meluk gw.
"Salam buat Kak Meva!!"
Gw jitak kepalanya. "Jangan lupa ngabarin ya kalo udah sampe Jawa," kata nyokap gw.
Kali ini gw yg bergerak memeluk nyokap.
"Jangan lupa solat ya Ri," bisiknya di telinga gw. "Kita semua di sini selalu doain kamu."
"Makasih Mah. Ari pasti jalanin pesen Mamah..." jawab gw penuh haru. Gw memeluk nyokap gw erat.
Dan tanpa dapat ditahan lagi bulir airmata gw jatuh ke pipi. Rekaman kejadian dua tahun yg lalu
terbayang dengan jelas seolah baru saja terjadi kemarin.
Benar, rasanya baru kemarin gw memeluk nyokap gw. Rasanya baru semalam gw dibacakan dongeng
menjelang tidur masa kecil gw. Kecupan hangat di kiri kanan pipi gw tiap gw mudik, masih terasa
lembut. Seolah semua baru saja terjadi beberapa saat yg lalu.
Tapi mendadak semua terasa jauh. Sangat jauh. Bahkan hampir tak tergapai. Pelukan itu, kecupan
sayang itu, mendadak bias. Tersapu airmata yg kini mengalir butir demi butir.
Kalau saja gw tau bahwa saat itu adalah saat terakhir pertemuan kami, tentu gw akan ungkapkan betapa
sebenarnya gw sangat menyayanginya. Akan gw ungkapkan betapa beruntungnya gw terlahir dari rahim
seorang ibu yg bijaksana. Akan gw tunjukkan bangganya gw jadi seorang Ari, anak yg begitu menyayangi
ibunya. Dan dalam kesendirian malam itu gw senandungkan beberapa bait nada sekedar untuk menenangkan
hati gw yg berkecamuk. Mama... Kau telah memberikan kehidupan padaku
Telah mengubahku dari seorang bayi menjadi lelaki dewasa
Mama... Apa yg telah kau berikan Adalah janji cinta seumur hidup
Dan sekarang aku tahu Bahwa tak ada cinta seperti cinta seorang ibu pada anaknya
Dan sekarang aku tahu Sebuah cinta yg sempurna Suatu hari nanti harus pergi
Harus mengucapkan selamat tinggal
Selamat Tinggal adalah kata yg paling menyedihkan yg pernah ku dengar
Selamat Tinggal adalah saat terakhir ketika aku dapat memegangmu lebih erat
Suatu hari kau akan mengucapkan kata itu dan aku akan menangis
Mendengarmu mengucapkan selamat tinggal, itu akan menghancurkan hatiku
Mama... Kau telah memberikan cinta padaku
Telah mengubahku dari seorang remaja menjadi lelaki dewasa
Mama... Semua yg pernah kubutuhkan
Adalah jaminan bahwa kau mencintaiku
Karena aku tahu Bahwa takkan ada cinta seperti cinta seorang ibu pada anaknya
Dan itu sangat menyakitkan
Bahwa sesuatu yg begitu kuat, suatu hari akan menghilang
Harus mengucapkan selamat tinggal
Tapi cinta yg telah kau berikan padaku akan selalu hidup
Kau akan selalu berada di sana setiap aku terjatuh
Kau adalah cinta yg paling hebat bagiku
Kau mengambil kelemahanku dan membuatku kuat
Dan aku akan mencintaimu hingga keabadian tiba
Dan ketika kau membutuhkanku
Aku akan selalu ada untukmu
Aku akan selalu ada sepanjang hidupmu
Aku akan selalu ada Aku berjanji padamu, Mama..
Mama aku akan menjadi terang untuk melalui malam yg paling gelap
Aku akan menjadi sayap yg akan melindungimu dari perjalanan yg menyakitkan
Aku akan menjadi tempatmu berlindung dari amukan badai
Dan aku akan mencintaimu hingga keabadian tiba
Hingga saat kita bertemu lagi,
Hingga saat itu..... ** Mah, Ari bangga jadi anak Mamah
Part 108 Akan terasa sangat singkat seandainya kita menghitung waktu menuju satu titik bernama perpisahan.
Bahwa kebersamaan selama ini, ternyata bukanlah waktu yg lama dan cukup untuk menggambarkan
kehilangan yg dirasakan. Bahwa setiap hari yg telah dilalui, adalah momen yg paling berharga. Dan harihari yg tersisa, akan terasa lebih berharga lagi.
Belum habis duka gw ditinggal nyokap, beberapa waktu yg akan datang gw harus mulai membiasakan
diri tanpa rekan kerja terbaik gw. Lisa, yg sudah dipastikan akan terbang ke Tokyo pertengahan Juni
nanti, sudah mulai mengikuti pelatihan khusus Bahasa Jepang di Jakarta sejak awal April. Dia
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendapatkan dispensasi untuk absen dari kegiatan kantor dan tinggal di Jakarta selama dua bulan ke
depan. Posisinya digantikan Mbak Retno, salahsatu karyawan senior di tempat kami. Terasa sekali
perbedaannya berganti mitra kerja dengan yg baru. Kaku dan samasekali nggak ada chemistry seperti yg
sudah terbangun antara gw dan Lisa.
Meski berada di beda kota, Lisa masih sering contact gw. Dia selalu menanyakan kabar dan kerjaan di
kantor. Jam bubar kerja jadi waktu yg rutin buat kami telepon-teleponan. Gw tau Lisa sebenernya nggak
begitu menginginkan pekerjaan ini, tapi karena keprofesionalannya dia tetap menjalankan tugas sebaik
mungkin. Benar-benar sosok wanita yg bertanggungjawab.
Dan di suatu malam ketika bulan purnama menampakkan diri sebelum waktunya..
Langit cerah dihiasi bintang malam yg indah. Gw duduk terdiam di atas kursi, menengadah ke atas
memandang hiasan angkasa di langit. Bukan bintang-bintang itu yg membuat gw menengadahkan
kepala. Tapi gumpalan airmata di pelupuk mata ini, yg pasti akan terjatuh kalau gw menundukkan
kepala. Gw lebih memilih seperti ini daripada mesti menjatuhkan airmata.
Gw nggak mau menangis. Gw sudah lelah menangis. Hampir setiap hari airmata gw mengalir tanpa bisa
sedikitpun gw tahan. Luka dalam hati gw karena kehilangan sosok wanita yg paling berjasa dalam hidup
gw nggak mudah begitu saja terhapus. Kadang terbersit keinginan untuk pergi dari Karawang, dan mulai
membangun hidup di kampung halaman. Gw pikir dengan lebih dekat keluarga di rumah, seenggaknya
gw bisa berbagi kehilangan ini bersama-sama. Kesedihan ini nggak semestinya gw tanggung sendiri. Ada
adik dan bokap gw yg pastinya akan terus men support gw dan berjuang bersama membangun
kehidupan yg lebih baik. Tapi ada alasan lain yg membuat gw bertahan di sini. Entah gw sadari atau nggak, gw nggak pernah bisa
sehari saja nggak bertemu Meva. Rasanya aneh sekali, satu hari nggak liat wajahnya. Dialah alasan gw
melanjutkan perjalanan di kota ini. Sebuah perjalanan tak tergantikan yg nantinya sangat menentukan
kehidupan gw kelak. Meskipun jujur aja, sampai saat ini gw belum menemukan alasan yg tepat kenapa
Meva bisa sepenting ini buat gw.
Huffft... Sambil terus memandangi langit malam yg bersih tanpa awan, beberapa kali gw harus berkedip
dengan cepat untuk mencegah airmata gw jatuh. Setelah gw rasa airmata di mata gw sudah mengering
baru gw tundukkan kepala gw.
Saat itulah mendadak dua tangan halus melingkar di dada gw. Beberapa helai rambut yg tergerai
menimpa pipi gw. Dagunya tepat menempel di atas kepala gw. Wangi parfumnya yg khas, menyadarkan
gw dari lamunan yg tadi sempat melayang entah ke mana.
"Purnama nya indah yaa..." katanya setengah berbisik. Dagunya bergerak di kepala gw ketika dia bicara.
"......." "Langitnya bersih," lanjutnya. "Banyak bintangnya lagi. Indah yaa..."
"......." Kami terdiam selama beberapa saat. Dia bergerak melepas pelukannya. Dua tangannya menepuk bahu
gw pelan. "Jangan sedih terus donk," bisiknya lagi. "Kita sekarang sama, ditinggal orang yg paling kita cintai di
hidup kita. Gw tau gimana rasanya. Dan gw selalu bersedia kok dengerin curhatan elo. Apapun itu,
selama bisa membuat lo merasa lebih baik, ungkapkan aja...."
"Thanks Va," jawab gw akhirnya.
Walaupun gw nggak liat, tapi dari gerakan dagunya gw tau dia tersenyum.
"Nggak perlu gw jelaskan gimana hancurnya gw dulu waktu ditinggal nyokap," kata Meva. "Dan nggak
perlu juga gw banyak bicara buat ngehibur loe. Yg akan gw lakukan sekarang adalah sama kayak yg lo
lakukan waktu itu ke gw. Gw mau bantu lo keluar dari masa-masa sulit lo, seperti dulu lo bantu gw
bangun setiap kali gw jatuh. Gw mau jadi lilin kecil dalam gelapnya malam lo sekarang, sama kayak dulu
lo terangi malam gw. Gw...."
Seperti ada air yg menetes di rambut gw. Buru-buru Meva mengusapnya beberapa kali.
Gw bisa merasakannya. Degupan jantung Meva, berdetak di tengkuk gw. Selama beberapa saat kami
terdiam. Cuma desiran angin yg jadi lagu malam kami.
"Gw sayang lo Ri...."
"......." Gw sudah nggak bisa menahannya. Airmata gw mendadak mengalir deras tanpa tertahan.
Gw pejamkan mata gw, berusaha untuk berhenti menangis.
"......." Jari-jari halus itu mengusap airmata gw.
"Jangan sedih lagi yaa....."
Kelelawar Beracun 1 Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Heng Thian Siau To 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama