Salad Days Karya Shelly Salfatira Bagian 2
meja. Should I tell her"
"Ah,"gak"kok,?"jawabku"berusaha"mengelak."Tengsin"kalau"sampai"ketahuan.
"Pasti"ada"good"news"nih."Ayo"cerita,"ada"apa?""desak"Hannah.
Aku menimbang-nimbang cukup lama. Memikirkan segala baik dan buruknya
jika cerita atau"menyimpannya"sendri."Toh"aku"sendiri"belum"yakin."Tapi"
"Sepertinya"gue"jatuh"cinta."
Oke. Sudah kukatakan. "Hah?"Apa"lo"bilang"barusan?"Lo"jatuh"cinta?"
"Sssttt!!?"Aku"segera"membekap"mulut"sahabatku"itu."Suaranya"terlalu"keras"
untuk sebuah rahasia. Untung saja sepertinya gak ada yang peduli. Bisa gawat
kalau sampai bocor! "Iya,"iya,"sorry."Serius?"
"Yah,"gue"sendiri"juga"belum"yakin"sih."Tapi"yang"gue"rasain"ini"sama"seperti"
setahun"lalu."Seperti"ketika..gue"dan"Regar."
Hannah menggigit bibir. Aku terseyum kecut. Ah, Regar.
"Siapa"orangnya,"Ta?"
Nah, kali itu aku memilih bungkam. Masa iya harus kubuka sekarang" Lagian
aku sendiri belum yakin kan" Mungkin hormonku bekerja berlebihan saat itu. I
must"ve"lost"my"mind.
"Ta?" Mulutku hampir terbuka untuk menyebut satu nama ketika sudut mataku
menangkap sosok Dirgs memasuki kelas. Dadaku seketika berdebar kencang.
"Sorry,"gue"ngelantur."Gue"ke"kamar"mandi"dulu"ya."
*** "#"Hannah"
Kata Eta, dia sedsang jatuh cinta lagi sekarang. Perasaanku campur aduk antara
kaget, gak percya ,dan juga bahagia. Aku mengenalk Greta sebagai cewek yang
gak mudah jatuh cinta. Pernah sih dulu, dia cerita bahwa dia suka pada kakak
kelas kami. Namanya"Regar."Tapi"cerita"mereka"gak"seperti"yang"kami"semua"
harapkan. Saat pertama kali Eta membuka hatinya untuk cowok, yang
didapatnya justru luka. Eta bilang, dia masih ragu dengan perasaannya itu. Menurutku, rasa ragu itu
akibat trauma. Aku gak tahu istilah"yang"lebih"halus"untuk"kata?"trauma","
pkoknya seperti itulah. Mungkin Eta bisa terbuka lagi hatiny karena keistimewaan cowok itu, tapi dia
masih berpikir ulang karena takut terluka kembali. Aku bertanya-tanya, ingin
tahu cowok yang kali itu berhasil membuat Eta jatuh cinta. Tampaknya kau
harus bersabar sampai Eta yakin pada dirinya sendiri sebelum membuka nama
itu. "Lho,"kemana"Greta,"pagi-pagi terburu-buru"seperti"itu?"
Dirga berdiri di depanku, ransel merahnya masih tergantung di punggung. Baru
datang rupanya. Aku"mengangkat"bahu.?"Mau"ke"toilet,"katanya."
Dirga hanya ber-oh pelan, lalu menuju bangkunya.
"Eh,"Hannah,?"panggil"Dirga"dari"bangkunya,?"brownies"semalem"beneran"
enak,"trims"ya."
Aku tersenyum. Semalam dia bertamu ke rumah. Berhubung aku sedang
mencoba membuat brownies ubi dan belum matang saat dia datang, jadilah
kubawakan beberapa potong untuk dibawa pulang. Dan sepertinya, dia gak
berbohong soal rasanya. *** #Greta Aku dan Boy sedang mengerjakan soal-soal fisika malam itu.
"Eh,"Ta,"sekarang"tanggal"berapa?"
"Tanggal"10."Kenapa?"Masih"sekitar"dua"minggu"lagi"kok"kita"ulangan"
umumnya." Yap."Selangkah"lagi"untuk"mendapatkan"status?"siswa"yang"lagi"ulangan"
umum"."Bertaruh"untuk"masa"depan.
"Delapan"hari"lagi"ada"yang"ulang"tahun."
Aku mengerutkan kening. Siapa" Lagian , sejak kapan Boy menghafal teman
yang berulang tahun" Boro-boro orang lain. Ulang tahun kakak dan adiknya
sendiri aja dia lupa. "Dirga." "Oh?" "Gue"tahu"kemarin"pas"iseng"ngecek"biodata"anggota"ekskul."Hhehe,"pas"
banget nuh"kalo"dirayain."Sekalian"pas"Sabtu."
Aku"tahu"pasti"yang"dimaksud?"dirayain?"oleh"Boy."Jangan"harap"akan"banyak"
kado dan kue ulang tahun. Aku sudah pernah menjadi korbannya. Apa katanya
tadi" Tanggal 18 hari Sabtu" Ada latihan basket setiap hari Sabtu. Mungkin itu
timing yang pas untuk rencana jail Boy. Dan lagi, itu malam minggu.
Sementara Boy sibuk berceloteh tentang rencana membuat ulang tahun Dirga
nanti berbeda daripada biasanya, pikiranku setengah mati berkelana untuk
mencari kado yang pas sehingga memberikan kesan tersendiri untuknya.
*** "#"Patrick"
Aku dan anak-anak basket sudah ada di kantin sejak lima belas menit sebelum
istirahat. Pelajaran olahraga yang sangat menyenangkan sebab selain bisa
menggerakkan tubuh dengan maksimal dan duluan, kami juga bisa istirahat
duluan. Keistimewaan yang gak bisa di dapat dari pelajaran lain.
Mbak Rumi, penjual mi pangsit, mengantarkan pesanan ke meja kami. Tanpa
dikomando, empat cowok langsung menyerbu mangkuk masing-masing. Gak
peduli dengan keringat yang masih mengalir, begitu melihat kepulan mi yang
baru matang, sumpit langsung bergerak cepat. Kalau gak cepat disantap, air
liur bisa keburu kering. Aku selesai lebih dulu. Teh botol dingin pun langsung habis dalam satu tegukan
panjang."Puas"puas"puas?"aku"mengelap"mulut"dengan"tisu"yang"tersedia"di"
meja. Kami menikmati santapan barusan. Sampai Boy nyeletuk soal yang gak
pernah kami duga keluar dari mulut seorang Boy.
"Man,"pernah"gak"lo"punya"perasaan"lebih"pada"seseorang"yang"gak"
menyadarinya?" Aku menatap Boy tajam. Perasaanku langsung gak enak.
"Maksud"lo?"
"Yah,"lo"suka"ma"cewek,"tapi"sepertinya"cewek"itu"gak"menganggap"lo"sebagai"
cowok." "Maksud"lo,"dia"mengganggap"lo"cewek"gtu?""Yoel"bertanya"dengan"begonya.
"Yah,"bukan"gitu,"dodol.!"Maksud"gue?"
"I"do.?"Jawaban"gue"memotong"kalimat"Boy."Dia"kelihatan kaget, lalu
tersenyum lemah sambil menggeleng.
"Sakit"ya"rasanya,?"ujar"Boy"lirih.
Aku mengamini dalam hati. Sakit memang. Sakit sekali. Ketika kita selalu
berusaha untuk dia, apapun kondisinya, ternyata perjuangan itu gak
disadarinya. Tapi, perjuangan gue buat Greta gak begitu.
*** #Greta Hari ini aku pulang bareng Boy. Gara-garanya semalam aku tidur larut karena
teleponan dengan Dirga, jadi sekeras apapun alarm berbunyi, gak mampu
membuatku mataku terbuka. Aku terpaksa berangkat sekolah bareng Papa.
Naik mobil, tentu saja, demi mengejar waktu.
Akhir-akhir ini hubunganku dengan Dirga semakin intens. Kami menyempatkan
bercerita tentang hari masing-masing setiap malam, sekalipun sudah bertemu
di sekolah selama enam setengah jam, belum lagi latihan basket bareng. Kalau
dipikir secara logis, obrolan itu gak penting banget dan merugikan secara
finansial dan waktu. Pulsa jadi cepat habis dan waktu yang seharusnya
dipergunakan untuk hal lain jadi terpakai ngobrol. Tapi sejauh ini aku baik-baik
saja. Aku bisa memproritaskan waktu untuk belajar, mengingat ulangan akhir
semakin dekat. Lagi pula, Dirga selalu menelepon di atas jam sepuluh kok.
Masih ada waktu dua jam sebelum aku mengajar privat.
"Boy"lagi"buru-buru"gak?"
"Gak"juga"sih,"kenapa?"
"Anterin"gue"yuk."Nyari"sesuatu."
"Oke." Sip. Eksekusi rencana sudah di depan mata. Sejak semalam aku memikirkan
kado yang pas untuknya. *** #Hannah Dalam hitungan hari, Dirga kan berulang tahun. Walaupun umurnya bakal jadi
tujuh belas, aku yakin gak akan ada pesta perayaan seperti kami kaum cewek
yang suka sekali dengan pesta ulang tahun. No problem. Kalaupun gak ada
pesta, aku tetap akan membuat ulang tahunnya kali ini menjadi spesial.
Aku bingung juga dengan kado yang akan kuberikan padanya nanti. Percaya
gak, semakin bertambah usia seseorang, semakin rumit mencari hadiah yang
tepat untuknya. Seandainya Dirga masih berusia sembilan tahun, aku gak akan
ragu memberikan tas dengan gambar superhero atau Power Rangers
kesukaannya. Atau yang paling gampang, buku dan alat tulis.
Sekarang" Kata orang, jangan ngasih sesuatu yang langsung nempel di kulit
kalau"berhubungan"serius,"blablabla?"otomatis"kaus"langsung"tereliminasi"dari"
daftar kado. Padahal itu pilihan standar. Ah, aku kan emang gak mau
memberikan kado standar. Standar sama dengan biasa, kan" Biasa berarti gak
ada kesan khusus. Aku jadi teringat masa kecil kami. Dirga satu-satunya sahabatku-orang yang
paling sering menemaniku. Kami membeli arum manis, bergantian bermain
perosotan, bermain tanah dan hujan, bersembunyi dari orangtua saat disuruh
pulang, dan banyak lainnya. Ah ya, satu lagi. Favoritku adalah saat kami
bermain pengantin-pengantinan. He was the groom and I was the bride. Aku
masih mengingatnya dengan baik.
Tapi dari semua kenangan masa lalu, ada satu yang gak terlupakan, selalu
terkenang. Ketika kami berpelukan saat akan berpisah. Dirga mencium pipiku
dan"berkata,?"jangan"lupain"aku,"ya."Kita"pasti"ketemu"lagi."Hati-hati disana.
Kita sama-sama berdoa semoga kita gak lama-lama pisahnya. Aku sayang
kamu." Memang terdengar terlalu dewasa untuk ukuran anak kecil. Selain itu, aku
masih belum tahu benar arti sayangnya itu. Kasih sayang kepada seorang
sahabatkah" Dan, bagaimana sekarang"
Dirga, Dirga. Percaya tidak, sekarang hampir setiap malam aku berharap
semoga kenangan permainan masa kecil itu bisa menjadi kenyataan.
*** "#"Dirga" Gue mengobrol dengan nyokap Greta hampir setengah jam. Ya, salah gue juga
sih. Pertama, gue gak bilang-bilang dulu mau main ke rumahnya. Kedua, gue
lupa sekarang hari Rabu, jadwal dia ngajar privat. Jadilah nyokapnya yang
nemenin gue. Kata nyokapnya, Greta bisa sampai ke rumah hampir jam setengah delapan.
Beruntungnya nyokap Greta asyik. Ini pertama kalinya gue ngobrol berdua,
biasanya sekadar nyapa karena gue datang bareng anak-anak lain.
Gak ada maksud khusus sih kedatangan gue, selama ini gue dan Greta semakin
dekat, meski gak terang-terangan di depan publik. Gue dan Greta punya
perasaan dan pemikiran yang sama. Satu visi. Bukan bermaksud menutupnutupi. Lagi pula, kami juga..,sekadar berteman. Masih berteman. Di sekolah
kami tetap memilih untuk tampil biasa.
Gue kangen dia malam itu. Titik. Iya, gue paham betul perasaan itu sepertinya
berlebihan. Setiap hari, bahkan sampai siang tadi sudah bertemu. Tapi, itu dia.
At least, tonight I can be with her, not just by the phone. Gue pengin melihat
langsung wajah itu. Lagi.
Ah, penantian gue gak sia-sia. Greta datang dan agak kaget melihat gue ada di
rumahnya. Nyokap Greta masuk, memberi kesempatan kami untuk mengobrol.
"Wah,"kejutan."Tumben"kesini."Kenapa"gak"ngabarin"dulu?"
"Namanya"juga"surprise."Gue juga tiba-tiba aja pengin ke sini. Bentar lagi mau
ngapain?"Belajar?"
"Iya." Gue"memutar"bola"mata.?"Gak"capek"belajar"mulu?"Refreshing"sebentar"yuk."
Otak"lo"juga"perlu"istirahat"kali,"Ta."
Greta"berpikir"sejenak"sebelum"akhirnya"mengiyakan.?"Boleh"deh,"mau
kemana?" "Yah,"cari"angin"seger"aja."Yang"penting"bikin"fresh"lagi."
"Oke."Gue"pamit"dulu"ya."
Greta masuk ke dalam dan kembali ke hadapan gue bersama nyokapnya. Kami
lalu berpamitan. "Oh,"gue"baru"tahu"ini"motor"lo."Gue"sering"liat"di"parkiran,"tapi"gak tahu itu
punya"lo,?"kata"Greta"sambil"memasang"helm.
Gue tersenyum. "Siap?""Gue"menyalakan"mesin"motor"saat"Greta"sudah"duduk"di"boncengan.
"Absolutely." *** #Greta Kami sampai di rumah pukul setengah sebelas. Tadi kami mencoba restoran
Jepang yang baru buka dan kemudian memilih jalan pulang dengan rute yang
lebih jauh. Damn selama itu aku gak bisa menahan diri untuk selalu tersenyum.
"Makasih"banyak"ya."I"did"enjoy"it.?"Aku"mengembalikan"helm.
"What"a"beautiful"night,"eh?""Dirga"membalas"kata-kataku.
Aku tertawa. "Ya"udah"deh."Lo"langsung"pulang,"ya."Ati-ati, gak perlu ngebut. Jangan lupa,
besok"masih"masuk"sekolah,?"aku"mengingatkan.
"Pasti."Oke,"gue"balik"dulu"ya."Trims"juga"buat"waktunya."
Lagi-lagi aku tersenyum. Ahm aku pasti bakal awet muda. Sudah berapa kali
aku tersenyum malam ini. Kata orang, sering tersenyum membuat awet muda
dan mendapat pahala. Lumayan.
"Oh,"Ga,"tunggu."Ponsel"lo"masih"di"gue."
"Wah"iya,"hampir"lupa."
Aku merogoh tas vintage. Tadi sewaktu makan, Dirga meletakkan ponselnya di
meja dan hampir lupa membawanya saat pulang. Lalu dia menitipkannya di
tasku. "Nah,"ini?""Aku"tercekat"saat"mendongak"dan"melihat"Dirga"sudah"berdiri"di"
depanku. Yah Tuhan, tolong jangan biarkan cowok ini mendengar debar
jantungku yang berlompatan, pintaku dalam hati.
Dengan kikuk, aku menyerahkan ponsel yang ada di tangan kananku. Dirga
masih"menatapku"dengan"pandangan"oh,"sudahlah!"Pandangan"itu"lama-lama
bisa membuatku mati konyol.
Dirga meraih tanganku yang memegang ponselnya tanpa mengalihkan
tatapannya. Aku menelan ludah. Aku baru menyadari bahwa tinggiku hanya
sebatas bibirnya. Hanya sebatas bibir tipisnya yang merah itu.
Bibir kami bersentuhan, bahkan sebelum otakku benar-benar bisa
menerjemahkan apa yang sedang terjadi itu. Gak berlangsung lama, mungkin
hanya sekitar lima detik. Tapi sensasi yang ditinggalkannya luar biasa.
Aku dan Dirga gak mengucapkan sepatah katapun, sampai akhirnya entah
bagaimana, Dirga memasukkan ponselnya ke saku celananya. Mungkin karena
aku"terbius"oleh?"oh!"Ya"Tuhan!"Berhenti! Aku bisa merasakan pipiku
memanas. Dirga"tersenyum"dia"atas"motornya"dan"menyalakan"mesin.?"Gue"pulang"dulu"
ya."Maksih"buat"semuanya."
Aku gak yakin apakah senyum yang sedang kuusahakan ini terlihat seperti
senyum sungguhan atau meringis karena aku benar-benar kehilangan akalku.
Ah. Anyway, tonight is indeed beautiful.
*** #Dirga Gue berbaring dengan kedua tangan di kepala. Ada perasaan berbeda yang
melanda gue. Bukan perasaan yang gak enak, bukan seperti perasaan bersalah
atau semacamnya, justru sebaliknya"perasaan"yang"menyenangkan."
Menenangkan. Saat itu sama sekali gak ada niat untuk mencium gadis itu. Gue duduk di
motor, menunggu dia mencari ponsel di tasnya. Tapi saat itu, ketika malam
yang gelap dan cahaya bulan juga temaram, gue melihat wajah tertunduknya
yang"tertutup"pomi"dan"terkena"sedikit"cahaya"lampu"dan"gue"speechless."Dia"
terlihat"begitu"anggun,"kalem,"rapuh"dan"gue"sadar"gue"gak"pengen"
kehilangan dirinya. *** #Patrick Aku gak tahu cara menghadapi dua orang itu besok atau kapanpun saat
bertemu. Apa yang baru terjadi di depan mata rasanya terlalu menyakitkan.
Salad Days Karya Shelly Salfatira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
What would you feel if you saw someone you love kissing someone else"
Entah aku harus bersyukur atau justru marah karena mengetahuinya. Aku
barung pulang dari rumah Pak Andi, pembina basket, untuk menyelesaikan
beberapa urusan. Sudah terlalu malam untuk datang bertamu, tapi aku
berharap bisa melihat Greta meski hanya sesaat. Meski sekilas.
Rumah Pak Andi hanya beda satu kompkeks dengan rumah Greta. Jalanan
cukup sepi, aku leluasa menambah kecepatan mobil. Semakin mendekati
rumah Greta, aku justru semakin bingung. Seandainya nanti Greta melihatku,
aku harus bilang apa"
Di ujung gang, aku memperlambat laju mobil. Masih sekitar enam puluh meter
dari rumah yang ku tuju. Aku menyipitkan mata. Sepertinya dua orang yang
berdiri di dekat motor di bawah pohon palem itu dua temanku. Dan aku tahu
betul"itu"motor"siapa."Sedang"apa"mereka"bediri"disana?"Apakah"
Perasaanku mencelos menyaksikan adegan yang terjadi. Seperti ada yang
menyayat hatiku hingga sibek dan meninggalkan luka menganga di dalam sini.
Part 9 "#"Hannah"
Yay! Besok ulang tahun Dirga. Aku gak sabar menanti datangya hari bahagia
itu. Hadiah yang sempurna sudah kutentukan. Yang perlu kulakukan hanyalah
menunggu dan berdoa semoga semua berjalan sesuai rencana. Aku berusaha
semaksimal mungkin supaya hari ini sikapku kelihatan natural, seolah biasa aja.
Disamping memberi hadiah berupa barang, yang lebih kupersiapkan adalah
another present. Another gift. Ada sesuatu yang kusadari kini, setelah lebih
dari delapan tahun kami berpisah tanpa berkominikasi sedikit pun, memiliki
Dirga sebagai teman masa kecilku ternyata sangat berarti.
Beberapa kali aku mendapat teman baru di setiap lingkungan baruku, gak ada
yang bisa menggantikan nilai seorang Dirga buatku. Bukan berarti mereka jahat
dan bersikap buruk, melainkan gak ada yang bisa memberikan rasa nyaman,
terlindungi, dan kasih sayang seperti yang Dirga berikan.
Aku berhasil menemukan seseorang seperti Dirga ketika SMA. Eta. Gadis itu
memberiku perasaan yang persis Dirga berikan. Tuhan pasti mendengar
pintaku sehingga Dia menghadirkan seseorang yang kubutuhkan. Hanya saja,
dalam wujud dan sosok berbeda.
Aku menyayangi Greta. Aku sangat sayang kepadanya, sekalipun dia agak
protektif. Aku bersyukur memiliki Greta.
Tuhan memang pencipta skenario terbaik. Pada saat aku sudah memiliki Greta,
Dia mengembalikan orang yang juga kusayangi. Dirga kembali lagi. Kali itu dia
tampil sebagai lelaki yang gagah. Dalamnya, dia masih Dirga yang sama. Dirga
bocah yang selalu melindungi, menemani, dan memberiku rasa nyaman. Itu
semua membuktikan padaku bahwa dia memang pantas untuk selalu
kurindukan. Jika dulu aku menyayangi Dirga, kini pun masih, bahkan sangat
menyayanginya. *** "#"Greta" Sebenarnya sejak kejadian itu semalam, aku kelabakan membayangkan harus
bersikap bagaimana jika bertemu Dirga di sekolah. Bersikap seakan-akan gak
terjadi apa-apa" Mustahil. Bersikap itu benar-benar terjadi dan mengabarkan
kepada seluruh khalayak" Lebih mustahil lagi. Kacau deh. Bersikap biasa aja
adalah pilihan aman. Biar saja kejadian semalam hanya kami yang tahu, jadi
kami bisa berinteraksi seperti biasa.
Kalau tiba-tiba kami jadi dekat dan kemana-mana berdua, teman-teman pasti
mikir ada sesuatu di antara kami. Iya, kan" Eh ya, mungkin saja sih itu terjadi,
tapi jangan sekarang. Jangan dulu. Aku belum siap.
Aaah, sudah deh. Kenapa harus dibikin pusing"
Jam pertama hari ini pendidikan kewarganegaraan. Kata anak kelas IPS 3,
kemarin Pak Lutfi izin, istrinya melahirkan. Ada feeling kuat hari ini pun Pak
Lutfi gak masuk. Entah setan apa yang menempel, aku gak langsung menuju
kelas, tapi ke perpustakaan. Kalau ada apa-apa, Hannah pasti menghubungiku.
Aku juga perlu menenangkan diri dan mempersiapkan mental sebelum
bertemu Dirga. Kalau pagi, perpustakaan sepi. Jelaslah. Siapa juga yang nekat pagi-pagi bolos
pelajaran dan memilih ke perpustakaan sebagai pelarian" Eh, tapi aku bukan
lagi ngabur lho. Kan Pak Lutfi gak masuk.
Drrt drrt drrt. Sebuah pesan dari Hannah.
Di mana" Tau aja Pak Lutfi gak masuk.
Aku langsung mengetikkan jawabanku.
Di perpus doang. Ngerjain soal tanpa gangguan keributan kelas.
Ada yang membuka pintu. Ah, Patrick. Ada apa ya" Aku yakin dia bukan mau
menghilang seperti waktu itu karena gak ada Boy dan teman lain bersamanya.
"Hai, Pat!" sapaku.
Perasaanku saja atau Patrick memang kaget melihatku" Bukan kaget biasa.
Sebab dia hany mengangkat sebelah tangan dan terlihat canggung. Senyumnya
seperti dipaksakan. Sedang ada masalah" Aku paling gak suka melihat temanteman dekatku punya masalah sampai harus tampak di wajahnya.
Kedengarannya rese, ya" Tapi sungguh, kondisi teman yang seperti itu
menimbulkan perasaan gak enak padaku. Seperti menular. Atau berempati"
Patrick sepertinya gak mau berlama-lama di perpustakaan. Dia hanya mencari
buku sekilas-sepertinya gak berhasil menemukan-lalu meninggalkan
perpustakaan. Meninggalkanku begitu saja
"#"Dirga" Hari ini gie capek setengah mati. Latihan basket sore benar-benar menguras
tenaga. Kayaknya suasan hati coach lagi gak bagus, jadi sedikit aja kami
melakukan kesalahan, semua diulang sampai sempurna, seperti yang dia
harapkan. Setelah mandi dan makan malam, gue menonton TV sebentar, lalu
memutuskan tidur sebentar. Gue pengin telepon Greta sebenarnya, tapi jam
segini dia lagi belajar. Gampang deh. Biasanya kalo tidur jam segini, gue
bangun lagi nanti sekitar jam sepuluh. Baru deh ntar gue telepon dia.
#Greta Aku mematikan lampu belajar pukul 10.23. Lega bosa mengalahkan diri sendiri.
Latihan tadi sore bikin capek banget, ditambah aku harus mengayuh sepeda
kembali ke rumah. Rasanya kakiku mau copot. Otot-otot lainnya juga. Dibawa
belajar rasany berat banget.
Aku meregangkan badan dengan mengangkat kedua tangan dan
membusungkan dada. Aah, enaknya! Tapi, mana nih telepon dari Dirga" Sudah
hampir setengah sebelas. Uuuuh. Memangnya dia gak kangen aku" Eh, stop
stop stop! Gak bagus ah jadi ngelunjak.
Mengalihkan perhatian, aku turun, menuju dapur dan membuka kulkas.
Banyak buah-buahan, tapi ku lagi gak mood mengunyah. Ah, ini saja. Aku
mengambil satu cup kecil yogurt rasa aprikot. Lumayan. Lagian kalau sudah
malam begini kalau ngemil sembarangan bisa bahaya. Buat sebagian cewek,
yogurt jam segini pun sudah haram hukumnya.
Selesai menghaniskan yogurt hingga bersih dan minun air putih, aku kembali
ke kamar. Sekali lagi ku mengecek ponsel dan menelan kekecewaan. Berpikir
positif saja. Mungkin Dirga kecapekan sehingga langsung tidur begitu sampai di
rumah. Hmm... masih satu setengah jam lagi menuju tanggal 18. Aku tersenyum.
Menunggu saja. Toh satu setengah jam bukan waktu yang lama. Aku ingat
belum selesai menonton Mission Impossible 4, Ghost Protocol. Film action
begitu pasti gak bikin mengantuk, apalagi tokoh utamanya si cakep Tom Cruise.
#Hannah Selama di mobil aku gak bisa berhenti membayangkan ekspresi Dirga nanti. Di
pangkuanku ada kue lapis cokelat ukuran sedang. Tadi pukul tujuh Tante Prita
melaporkan padaku bahwa anaknya sudah tidur, kecapekan habis latihan sore
tadi. Aku terkikik. Itu justru bagus. Kemungkin rencana akan berhasil 99%
sudah pasti. Mama dan Papa sudah tahu rencanaku membuat suprise untuk ulang tahun
Dirga. Dengan diantar kedua orang tuaku yang memang berteman baik dengan
orangtua Dirga, malam itu kaki berangkat menuju rumah Dirga. Sekalipun
besok ketemu di sekolah, gak mengurungkan niatku untuk membuat kejutan
pada detik pertama hari ulang tahunnya kali itu.
#Greta Aku sudah berulang kali mengetik, lalu menghapis. Mengetik lagi, lalu
menghapus. Padahal yang ingin kusampaikan adalah ucapan sederhana yang
bermakna untuk Dirga. Kenapa susah sekali" Mestinya lebih gampang
menyampaikannya dalam bentuk tulisan-dalam hal ini ketikan via HP- daripada
secara oral. Final sudah. Ini ketikan terakhir dan harus segera kukirim. Isinya gak jauh beda
dengan ketikan-ketika sebelumnya. Cuma dinilai dari diksi, lebih enak dan lebih
baik daripada sebelumnya.
Terkirim tepat pukul 01.00. Lega!
Happy birthday, dear Dirga. Good night.
#Hannah Pelan-pelan Tante Prita membuka pintu putih itu. Aku di belakangnya
mengendap-rmdap supaya gak menimbulkan kegaduhan hingga
menbangunkan Dirga. Lilin di kue tar sudah dinyalakan.
Tante Prita mengelus rambut Dirga sambil membangunkannya. Tidurnya pulas
sekali, pasti kecapekan. Susah juga Tante Prita membangunkannya. Ah,
syukurlah. Perlahan-lahan Dirga membuka mata, lalu menatap kami dengan
ekspresi bingung. "Happy birthday!" seru kami bersama-sama.
Dirga terkejut, namun tak urung tersenyum juga. Aku maju ke hadapannya,
mengasongkan tar, menyilakannya meniup lilin. Ia mengucek
matanya sebentar, terdiam sambil memejamkan mata-kutebak dia make a wish, entah
benar atau gak-lalu meniup lilin. Semua orang di kamar bertepuk tangan dan
tertawa bahagia. "Happy birthday," ucapki sekali lagi sambil menatap mata Dirga.
Dirga mengucapkan terima kasih sambil mengecup pipi dan keningku.
*** #Dirga Acara kejutan itu berakhir pukul setengah dua saat orangtua Hannah
menyadari bahwa esok, eh sebentar lagi, putrinya harus pergi ke sekolah.
Gue bersyukur dan senang banget dengan perhatian yang mereka berikan. Kue
tarnya juga enak. Sengaja gue makannya sedikit supaya pagi atau kapan pun
pengin, masih ada. Gue mau tidur lagi. Biarpun udah tidur sejak sore, kalau harus menunggu lima
jam melek biat berangkat ke sekolah gak ada gunanya. Bisa-bisa gue ketiduran
di tengah jam pelajaran. Gue membalik bantal saat bersiap melanjutkan tidur, dan melihat ponsel di
bawah bantal. Ah, lupa. Padahal tadi niatnya mau telepon Greta, ternyata gue
kepulesan. Mau telepon sekarang jelas gak mungkin. Dia pasti lagi tidur
nyenyak. Ada banyak pesan masuk rupanya. Rata-rata standar, ucapan selamat ulang
tahun dengan harapannya. Gue gak sanggup bales satu-satu. Pesan terakhir
ternyata dari Greta. Pukul 00.01. Itu detik pertama tanggal 18 Mei.
Happy birthday. May God bless every step you take and never let you stay too far.
Sukses dunia akhirat juga ya
Regards, G Pesan Greta membuat gue tersenyum lama. Dan itu menjadi satu-satunya
pesan yang langsung gue bales.
Merci God bless you too Love, D *** #Hannah Hari itu Dirga sukses dikerjain teman-teman sekelas, termasuk juga oleh Pak
Nang, guru matematika yang galak banget. Aku gak nyangka Pak Nang bisa dan
mau berpartisipasi dalam acara heboh begitu.
Teman sekelas bertepuk tangan dan mengucapkan selamat, termasuk Eta.
Keduanya berjabat tangan sambil tersenyum, seakan lupa pernah ada
ketegangan antara mereka.
Aku juga memberi ucapan lagi ke Dirga, kali itu dengan senyum penuh arti.
Sepertinya Dirga mengerti maksud senyumku. Yang lain boleh saja sekadar
mengucapkan dan memberinya doa dan harapan yang baik-baik, tapi aku
sudah melakukan lebih daripada itu dini hari tadi. Hanya aku dam Dirga yang
tahu. *** #Greta Malam Minggu ini aku dan anak-anak basket ke rumah Dirga, merayakan
ultahnya dengan cara yang lebih enak dibanding harus perang air kopi kental
dan telur. Selesai latihan basket, Dirga gak bisa pergi kemana-mana karena
keburu dikepung dan ditelanjangi dada. Serangan pun diluncurkan. After all, it
was fun. Dan untungnya Dirga ak membatalkan niatnya mengundang kami ke
rumahnya untuk syukuran. Aku pergi bersama Boy. Berusaha gak terlihat mencolok, aku memilih
mengenaka skinny jeans dan kaus polos berwarna navy berbahan spandex
lengkap dengan suspender. Aku mengucir tinggi rambut ikalku,
membiarkannya ikut bergoyang jika aku menggoyangkan kepala. Dan kalung
berbandul burung hantu ukuran besar favoritku, satu set dengan cincinnya.
Sepatu, aku memilih yang berhak tujuh senti, warnanya senada atasanku.
Lagu Withouy You dari Usher mengalun di dalam mobil Boy. Aku dan Boy ikut
bernyanyi, menciptakan ruang karaoke berjalan. Aku suka lagu itu, apalagi
versi yang dinyanyikan Glee. Buatku, Rachel lebih menghayati dan pas
menyanyikan lagu itu. Hampir semua lagu yang dinyanyikan Glee lebih bagus
dibanding penyanyi aslinya. Namun, Boy gak sependapat.
"Tahun depan lo mai kemana?" tanya Boy setelah lagu berakhir.
"Mmm..." "Nyusul kakak lo di MIT sana?"
"Jauh banget. Gak lah. Gue gak sepinter dia. Bokap nyaranin ke Melbourne.
Gue masih belum tahu, tapi kalo masih tetep di Indonesia gue pilih di Bandung.
Kenapa tiba-tiba nanya begitu" Aneh deh. Lo sendiri mau kemana?"
Boy mengangkat bahu dengan agak malas. "Ikutin arus aja."
Aku mengernyit. "Kenapa" Ikutin arus gak berarti lo bakal pilih sembarang
universitas, kan" Emangnya lo mai berprinsip "mana aja yang mau terima
gue'?" "Hahaha..." Tawa yang dipaksakan. "Gak lah. Yaah.. gak sepesimistis itu juga sih. Gue masih ada waktu buat
perbaiki diri dan nilai."
"Lalu?" Aku menatap Boy dengan penuh tanda tanya. Boy menoleh dan balas
menatapku. Ujung bibir kirinya terangkat lemah. "Gak ada lalu. Liat aja nanti."
*** Ternyata sudah banyak yang datang. Aku turun sambil membawa kado yang
sudah kusiapkan dengan baik. Saat tadi Boy menanyai isi kado itu, aku sengaja
ngeles. Bisa gawat kalau aku punya maksud tertentu. Dia bisa meledekku
habis-habisan. Secara ukuran, kadoku emang menarik perhatian. Bukan karena bungkusnya
yang kombinasi merah dan hitam, melainkan karena ukurannya. Aku memberi
Dirga lukisan dirinya buatanku di atas kanvas. Ukuran piguranya 60 x 40 cm.
Seenggaknya lukisan bukan barang konsumsi yang akan habis masa gunanya.
Seenggaknya dia bisa melihat gambar dirinya dalam pose menoleh ke samping
dengan ekspresi datarnya. Sering diam-diam aku memperhatikannya dalam
pose seperti itu. Aku suka ekspresi dinginnya itu.
Dirga langsung berdiri begitu melihat kedatangan kami. Berbeda dengan
ekspresi di.lukisan, wajahnya penuh kebahagiaan. Dia tersenyum lebar melihat
aku dan Boy yang baru datang.
"My man, wah, selamat deh ya. Inget, kontrak lo makin dikit." Boy dan Dirga
berpelukan dan saling menepuk. Yang dinasihati hanya tertawa kecil.
"Oi, Boy!" Entah siapa yang memanggil Boy, yang jelas membuat Boy meninggalkan kami
berdua, menuju kerumunan di dalam sana. Aku nervous. Gimana nih"
Ngomong apa" "Mmm... once again, happy birthday ya. Nih. Buat lo." Aku menyodorkan
bungkusan yang kupeluk dengan dua tangan.
Senyum Dirga semakin merekah. "Wah, repot-repot. Gede banget nih. Apaan?"
Salad Days Karya Shelly Salfatira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Liat aja nanti. Nanti. Jangan sekarang."
Dirga mengerutkan kening karena heran, tapi mengerti maksudku. Dia maju
mendekatiku. "Trims banyak ya. Apapun isinya, gue pasti suka."
Aku baru mau mengatakan sesuatu saat Dirga tahu-tahu saja mengecup
keningku. Kata-kata yang menggantung di ujung lidahku hilang begitu saja.
"Masuk yuk. Udah banyak yang dateng."
Aku mengekor Dirga. Sayang sekali, dia mengabaikan tanganku. Kami gak jalan
bergandengan. Ya sudahlah, mungkin Dirga belum siap. Lagi pula aku juga belum siap kalau
harus mendapat respons heboh teman-teman yang ada di dalam.
*** "#"Patrick"
Gak ada alasan yang pas untuk menolak menghadiri acara Dirga. Bukannya
berencana bersikap gak jantan, aku hanya perlu waktu buat menerima fakta
yang baru aja kuketahui. Sama sekali bukan salah siapa-siapa. Aku gak bisa
menyalahkan Dirga yang selangkah lebih berani daripadaku.
Aku pun gak bisa menyalahkan Greta karena gak menungguku. Eh, dia harus
menunggu apa ya" Kan aku belum berusaha ekstra untuk mendapatkan Greta.
Penakut. Jadi masalahnya ada pada diriku sendiri. Duh!
Aku berusaha menghindari kontak dan interaksi dalam bentuk apapun dengan
dua orang itu. Tadi pagi saat mencari referensi di perpustakaan, Greta ada di
sana. Dia melihatku, bahkan langsung menyapaku. Bagaimana aku bisa
mengabaikannya jika baru melihatnya saja aku harus berusaha mati-matian
untuk gak berlari menghampiri dan memeluknya" Bagaimana aku bisa
mengabaikan Greta jika mendengar dia menyerukan namaku saja sudah
membuat dadaku bergemuruh"
Di tengah suasana yang ramai dan gembira ini, aku berusaha berbaur dengan
melupakan masalah personal. Jangan sampai merusak acara orang gara-gara
emosi pribadi. Kalau memang sudah gak mood, seharusnya aku gak usah
datang aja. Tadi ku dengar Boy datang bersama Greta, tapi sejauh ini yang terlihat hanya
Boy. Gak ada Greta. Eh, kok Dirga juga gak ada" Sekelabat bayangan malam itu
kembali muncul. Aku berusaha menghilangkannya, mencoba menyimak Luki
yang sudah bercerita. Dari ujung mataku tampak Dirga masuk membawa hadiah besar. Melihat
cewek yang berjalan di belakangnya, aku tahu hadiah itu dari Greta. Gadis itu
terlihat cantik dengan make up tipis. Dia langsung bergabung bersama Jenni,
Debi, Farah, dan cewek lain. Segera saja dia tertawa bersama mereka.
Melihatnya tertawa dan bahagia bersama teman-teman ceweknya jauh lebih
melegakan dibanding melihatnya tertawa dan bahagia dengan cowok selain
aku. *** #Greta Halaman belakang rumah Dirga juga dipenuhi tanaman seperti di rumahku.
Beratapkan langit yang cerah dengan taburan bintang, suasana terasa nyaman
dan sejuk. Tadi aku sempat bertemu dengan kedua orangtua Dirga. Mereka
hangat dan ramah. Kini Tante Prita dan Om Ruslim berdiri di tengah-tengah kami, mengapit Dirga
yang menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya sendiri. Mungkin dia malu,
risi, canggung karena diperlakukan seperti anak lima tahun yang merayakan
ulang tahun bersama teman-temannya. Tante Prita dan Om Ruslim
mengucapkan terima kasih dan mengajak kami memanjatkan doa bersama.
Saat Om Ruslim memberi sedikit sambutan, aku melihat Tante Prita menoleh
ke kiri, ke dalam rumah. Wajahnya terlihat lebih sumringah. Dia agak berlari ke
dalam. Sepertinya ada yang datang. Mataku mengekori wanita berusia awal
empat puluhan itu. Kemudian dia kembali bersama seseorang.
Aku kaget melihat Hannah datang dan terlihat malu-malu saat digandeng
Tante Prita untuk bergabung. Tante Prita berbisik kepadanya, dan Hannah
menutup wajahnya dengan benda yang kuduga kado untuk Dirga. Kenapa
mereka terkesan sangat akrab" Bagaimana bisa Hannah datang sendirian ke
acara ini" Yang kutahu Hannah pemalu. Dia gak akan pergi atau datang ke
suatu acara sendirian, apalagi di sini hanya ada anak-anak basket.
Perasaanku jadi gak enak. Aku berharap ini bukan cerita film pendek atau
sinetron kacangan di TV. Mataku membesar, memperhatikan setiap gerakgerik Hannah, menunggu kejadian selanjutnya.
"Mohon perhatian sebentar ya. Tante sekali lagi berterima kasij kepada kalian
semua yang sudah datang menghabiska malam minggu untuk..."
Aku gak terlalu peduli dengan ucapan basa basi itu. Aku yakin, sangat yakin,
apa yang akan diucapkan sebentar lagi pasti sesuatu yang mahadahsyat.
"Dan terima kasih buat si cantik Hannah yang bersedia datang. Dia teman masa
kecil Dirga..." Tante Prita masih mengoceh di depan sana, gak menyadari ada seorang tamu
nyaris kehabisan napas. Hannah teman masa kecil Dirga" Jadi itu sebabnya awal-awal Dirga masuk
mereka bisa langsung akrab" Aku samar-samar mendengar lanjutan omongan
Tante Prita. Katanya, Dirga dan Hannah selalu bersama setiap hari. Masa kecil
mereka diisi berbagai kejadian dan permainan konyol, bahkan bermain
pengantin-pengantinan. Teman-teman sudah tentu terbahak-bahak mendengar cerita Tante Prita soal
masa kecil anaknya. Hannah ikut tertawa sambil menutup sopan mulutnya,
sementara Dirga rada salah tingkah.
Hannah bergeser, berdiri di sebelah Dirga. Disaksikan seluruh orang yang hadir,
Hannah menyerahkan hadiah yang dipegangnya sedari tadi.
"Buka! Buka! Buka!"
Dirga membuka kertas pembungkus berwarna emas itu. Tampak kotak persegi
panjang berlapis beledu hitam. Ia membuka kotak itu, dan dengan tangan
kirinya memperlihatkan hadiahnya, sebuah liontin berbentuk hati.
Oh, yang benar saja! "Aku tau kamu gak mungkin make liontin itu, jadi cukup disimpen aja ya," kata
Hannah dengan suara lembut dan manja.
Aku merasa sesak, dan mulai bernapas lewat mulut. Mataku memanas. Oh
Tuhan! Hannah meraih liontn itu dan membukanya. Aku gak bisa melihat dengan jelas,
tapi ada yang maju dan dengan pedenya melihat gambar yang tertera dalam
liontin hati itu. "Gila! Foto Hannah dan Dirga waktu masih kecil! Aseeek!"
Cukup sudah. Aku gak mau tau lebih banyak lagi. Aku gak mau merasa lebih
sakit lagi. *** #Patrick Jangan tana betapa kagetnya aku melihan Hannah datang digandeng Tante
Prita. Terlebih tanpa perasaan bersalah Tante Prita menceritakan kisah dua
orang yang berdiri diantara dia dan suaminya, Hannah dan Dirga.
Greta. Aku langsung mencarinya di antara keramaian. Itu dia. Duduk
tercengang dengan campuran ekspresi kaget dan kecewa. Aku bisa mengerti.
Aku paham. Kareba aku pernah mengalaminya.
Tepat saat tepuk tangan meriah tanda acara makan dimulai, Greta
meninggalkan tempat pesta. Aku gak tau apa yang akan terjadi, jadi bergegas
berlari mengejarnya. "Greta!" Aku berhasil menyusulnya di luar rumah. Dia hanya berhenti, gak menoleh.
Dengan kepala tertunduk, dia memunggungiku. Mungkin dia menangis.
Mungkin dia gak ingin dilihat.
Aku berjalan mendekati Greta. Tanpa menyentuhnya. "Gue anterin pulang,
ya." Aku gak tahu harus berkata apa lagi. Pikirku, yang penting membawanya pergi
dari tempat ini dulu. Greta menoleh dengan perlahan. Tatapannya sendu, pipinya basah. Dia gak
berkata-kata, tapi aku mengerti. Aku merengkuh pundaknya, menutunnya
menuju mobil. Part 10 "Iya. Sorry ya."
Aku meletakkan kembali ponsel di bufet. Boy barusan menelfonku, bertanya
keberadaanku karena dia kehilangaku di tengah acara.
Tadi patrick mengantarku pulang. Aku nggak ngerti gimana dia bisa ada pada
saat yang tepat tadi. Aku dan patrick menghabiskan waktu dalam diam. Aku
nggak sanggup cerita. Patrick nggak bertanya, apa lagi memaksaku berbicara.
Padahal kalau dipikir-pikir, aku nggak sopan juga ya. Sudah ditolongin, eh,
justru nyuekin. Tapi patrick nggak mempermasalahkan itu.
Once again, thank you so much, Pat.
It meant a lot to me. Aku mengirimkan pesan kepada patrick dan langsung mematikan ponsel. Aku
gak ingin diusik siapa pun. Aku cuma ingin berdiam dalam sepi. Untuk jangka
waktu yang nggak terbatas. Merelaksasikan pikiran, mencoba mengambil
hikmah. Orang bilang, sejarah berulang. Aku percaya, tapi nggak menyangka rasa sakit
itu akan berulang secepat ini. Dalam jangka waktu yang sesingkat ini.
Aku menyayangi seorang cowok setahun lalu. Regar, dua tingkat di atasku.
Secara fisik, dia bukan tipe yang dilirik cewek pada pandangan pertama. Tinggi
kurus, nggak terlalu terkenal andai bukan karena gelar juara olimpiade yang
diaraih pada tahun terakhirnya. Pendiam, nggak banyak teman, dan sorot mata
nya yang cerdas sering terhalang kacamata minusnya yang kurang sesuai
dengan wajahnya. Dibandingkan adam yang sudah mengejarku sejak setahun lalu, Regar nggak
ada apa-apanya. Hannah, Patrick, Boy, dan beberapa teman lain yang tahu,
memarahiku begitu mereka tahu cowok pilihanku itu.
Tapi aku bertahan. Mereka nggak mengerti. Mereka hanya melihat Regar dari satu sisi.
Suatu siang sepulang sekolah aku naik angkot. Aku duduk di pojok, sementara
Regar duduk di belakang sopir. Hanya tersisa bangku ekstra dekat pintu.
Angkot berhenti, seorang nenek mau naik. Sopir yang nggak mau menyianyiakan tiga ribu perak meminta penumpang bergeser. Biarpun sudah bergeser
semaksimal mungkin, nggak ada ruang cukup untuk si nenek. Tak kusangka,
Regar turun dan menyilakan nenek itu naik.
Dia memberikan tempatnya yang strategis kepada si nenek, sementara dirinya
duduk di bangku ekstra. Mmm....luar biasa! Pernah suatu sore ketika sedang berlari, aku melihat Regar masuk kesebuah
gang di kawasan kumuh belakang perumahanku. Bertanya-tanya apa yang dia
lakukan, aku mengikutinya sembunyi-sembunyi.
Regar mengetuk sebuah rumah yang jelek. Nggak lama beberapa bocah berlari
keluar dan langsung memeluknya. Dia tertawa. Benar-benar tertawa lepas dan
terlihat riang. Dia bersama gerombolan bocah itu pergi ke warung, membeli beberapa
kantong makanan dan minuman. Setelah itu mereka ke tanah lapang dekat
situ, bermain layang-layang bersama.
Aku kagek sekaligus kagum. Aku bukan tipe orang susah bergaul, tapi untuk
mendekati dan sekadar menyapa Regar, aku nggak sanggup. Sampai suatu saat
ketika aku mengerjakan latihan soal di perpustakaan, Regar datang dan
langsung duduk di sebelahku. Kami hanya saling senyum karena aku nggak
tahu harus berkata apa. Lalu ketika keadaan menjadi begitu canggung, dia
memulai percakapan dengan perkenalan singkat.
"Greta," kataku menyambut uluran tangan Regar.
"Iya, gue tau lo siapa."
Kaget" Sudah pasti, dari mana Regar bisa mengenalku kalau selama ini melirik
saat berpapasan pun nggak pernah"
Kata Regar, murid senior heboh gara-gara tim cewek bisa menembus babak
semifinal setelah mengalahkan juara bertahan, padahal sudah dua tahun nggak
pernah berhasil. Fotoku dimuat di mading, selain itu beberapa senior yang
menontonku saat pertandingan terkesan dengan permainanku.
Segala bermula dari hal sederhana, kan" Begitu pula hubunganku dan Regar.
Setelah berkenalan di perpustakaan, kami saling menyapa ketika berpapasan,
hingga sempat diskusi bersama. Aku menyadari perasaanku pun tumbuh
dengan sederhana. Aku nggak perlu repot-repot mencari alasan mengapa ada
perasaan istimewa yang tumbuh dalam hatiku. Sederhana saja: aku
menyayangi Regar. Aku nggak bisa menahan lajunya waktu. Dengan kata lain: waktuku makin
sedikit. Sebentar lagi Regar lulus. Ada yang harus kuutarakn padanya. Hanya
saja sebuah pengakuan... Apa salahnya" Akan menyakitkan melihat Regar
bersama cewek lain jika tak ada usaha dariku. Aku siap menghadapi
kemungkinan terburuk seandainya jawaban Regar nggak sesuai harapanku toh
kami nggak akan bertemu lagi.
Maka aku nekad mempertarukan hatiku.
"Maaf, Ta, tapi gue nggak bisa. Gue nggak mau membohongi diri gue sendiri,
juga lo, dengan memaksakan perasaan dan jadian dengan perasaan yang nggak
bebas. Gue minta maaf, Ta"
Aku mengerti. Sekalipun siap menghadapi kemungkinan terburuk, ternyata
sakit di hati bukan sesutu yang bisa kunaifkan.
"Ada cewek yang udah lama gue suka. Lo tau orang nya"
Aku nggak meminta Regar untuk menjelaskan soal cewek itu secara rinci.
Sebab jika aku tahu lebih dalam. Pasti akan lebih sakit. Aku bergeming. Regar
salah mengartikannya. Mengira aku ingin tahu lebih lanjut.
"Gue suka Hannah"
Butuh usaha dan waktu panjang untuk merelakannya. Sekalipun nggak pernah
terjalin hubungan istimewa antara sahabatku dengan orang yang kusayangi itu,
tapi kekacauan jiwa nggak mudah berlalu. Sejujurnya, sampai saat ini pun
terkadang masih ada perasaan perih dan terluka yang menghatui setiap kali
aku melihat Hannah. Tapi aku mengerti sepenuhnya bahwa itu sama sekali
bukan kesalahan Hannah. Sekarang kejadian itu terulang lagi. cinta segi tiga. kenapa nggak linier saja:
cukup aku dengan seorang laki-laki tanpa harus ada titik lain di antara kami"
Kenapa harus lagi-lagi melibatkan sahabatku"
Jika aku sakit dan terluka, berhakkah aku" Jika aku marah dan cemburu,
berhakkah aku" Tentu saja! Aku berhak atas semua rasa itu karena aku yang
terabaikan! Ada kasih yang kujaga untuk kekasih hatiku.
Untuk kedua kalinya, aku membuka dan mempertaruhkan hatiku, dan untuk
kedua kali nya pula hanya sakit dan kecewa yang ku dapat.
*** Dirga Gue mencari-cari Greta ditengah acara, tapi nggak berhasil menemukan nya.
Saat gue tanya anak-anak cewek, mereka bilang Greta pergi begitu aja,
mulanya merek kira dia ke toilet.
Gue merogoh saku celana untuk mengambil ponsel, ternyata ponsel gue di
kamar. Mustahil ngambil sekarang.
Gue tanya boy, dia juga baru sadar Greta nggak ada. Dia mencoba
menghubungi HP Greta beberapa kali, tapi nggak di angkat.
Pikiran gue kacau. Kehadiran Hannah sama sekali di luar pengetahuan dan prediksi gue. Parahnya,
Nyokap dengan santainya menggandeng dan memperkenalkan Hannah kepada
teman-teman serta menceritakan kisah kami. Gue selama ini gak pernah
menutupi hubungan gue dan Hannah. Gue nggak cerita bukan karena gue malu
atau apa. Lagi pula, buat apa mereka tahu urusan gue dan Hannah waktu masa
kecil dulu" Memang gue setengah mati menyembunyikan kisah itu dari seseorang. Dari
Azmarie Greta. Pikiran gue kacau dan perasaan gue kalut menyangka reaksi Greta sekarang.
Karena, jujur saja, gue tau sayangnya Greta kepada Hannah. Gue melihat Greta
sebagai sosok yang rela mengorbankan apa saja demi kebahagiaan orang yang
disayanginya. Sebelum mengenal Greta lebih jauh, gue harus akui gue bahagia
bisa ketemu Hannah kembali. Gue menyayangi dia, sama seperti kenangan
delapan tahun yang lalu. Gue juga bisa merasakan hal yang sama dari Hannah.
Lalu dengan entengnya, takdir menyatukan gue dan Greta. Memang ada
perasaan lebih yang gue rasakan untuk gadis itu. Dia seperti udara segar dalam
hidup gue. Dia berbeda. Unik. Dia pilihan gue untuk melabuhkan asa. Gue
nggak mau kehilangan dia.
Gue sayang Hannah. Gue sayang Greta. Tapi untuk kapasitas yang berbeda.
Gue melihat Hannah sebagai teman masa kecil yang manja, kekanakan, dan
rapuh, yang kini beranjak dewasa. Sementara Greta tangguh, mandiri, dan
tegas. Meski belakangan gue tahu di balik kegarangannya, dia lembut dan juga
rapuh. Pada awal pertemuan kembali gue dan Hannah, gue salah mengartikan rasa
sayang itu. Sayangnya, gue terlambat menyadari kesalahan itu karena Hannah
Salad Days Karya Shelly Salfatira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah lebih dulu mendefinikasikannya seperti yang awal gue kira. Gue hanya
nggak mau menyakiti hatinya, itu aja.
Gue kira dengan berjalannya waktu, dia bisa menerima fakta yang sudah
berubah. Pun gue nggak mau menyakiti hati Greta. Demi Tuhan, gue selalu berusaha
menjadi pelindungnya, bukan menghancurkannya. Gue nggak tau apa yang
akan terjadi selanjutnya, mengira-ngira pun gue takut. Apa pun faktanya, gue
berdoa semoga nggak kehilangan Greta.
*** Hannah Aneh. Aku nggak berhasil menghubungi Eta. Ke mana ya" Sejak malam minggu
kemarin aku mencoba menghubungi, tapi ponselnya selalu mati. Kemarin aku
telepon ke rumahnya dua kali, Bi Rahmi yang menjawab. Katanya, Eta lagi
keluar dan nggak bilang pulang jam berapa.
Senin aku nggak melihat Eta hadir. Selesai upacara, aku langsung menghampiri
tempat-tempat yang mungkin disinggahinya. Perpustakaan, kantin, lapangan
basket. Sia-sia sudah empat kali dalam dua setengah jam ini aku menelponnya,
tapi sama saja. Ponselnya masih nggak aktif.
Oh iya, waktu acara ulang tahun Dirga, aku nggak bertemu Eta. Aneh. Padahal
yang kudengar, dia datang bersama Boy. Aku sengaja nggak memberitahunya
soal kedatanganku ke sana, mau bikin kejutan.
Malam itu aku pengin menceritakan semua yang ini belum sempat kubuka
karena waktu yang nggak pas. Lagi pula, hubungan Dirga dan Greta sudah
membaik. Jadi kemungkinan besar kalau Greta tahu, dia nggak akan marah dan
sewot. *** Greta Hari ini aku nggak sekolah. Bukan untuk menghindari beberapa orang,
melainkan karena aku flu berat. Jelas kusyukurin sebab mungkin ini cara Tuhan
memperpanjang waktuku untuk mempersiapkan diri jika harus bertemu
mereka. Yeah, ambil sisi positifnya saja.
Dan aku flu berat bukan gara-gara kejadian itu. Sembarangan. Beneran bego
dan nekatnya aku kemarin malam mandi pukul setengah sembilan dengan air
yang ternyata sangat dingin. Kondisi badanku yang sediiiikit melemah
beberapa hari itu langsung jembol perhanannya.
Aku tahu Hannah mencoba menghubungiku, termasuk juga dengan menelpon
kerumah. Mungkin juga dia sudah berkali-kali menelponku di ponsel, tapi
memang sengaja kumatikan. Entah dia sudah tahu atau belum soal garis-garis
aneh yang mengaitkan aku, dia, dan Dirga.
Victoria Hannah Cewek berperawakan mungil, berkulit putih mulus, bersuara selembut
perangainya, manja dan kekanakan, tapi lebih sering berpikiran dewasa
daripadaku, kalem, dan pemalu. Aku" Berbanding 180 derajat. Sejak
pengakuan Regar waktu itu, aku pernah mencoba berubah seperti Hannah.
Aku mencoba, sungguh. Tapi nggak berhasil. Nggak bisa. Aku bukan Hannah,
dan aku nggak akan pernah menjadi Victoria Hannah. Jadi yang bisa kulakukan
hanyalah menjadi diriku sendiri.
Aku selalu mendoktrin diriku sendiri bahwa aku akan menemukan orang yang
menyayangiku apa adanya, bukan ada apanya. Menerima diriku seutuhnya,
baik dan buruknya. Tapi gimana perasaanmu ketika saat pertaman kali menyukai cowok ternyata
cowok itu justru memilih sahabatmu, yang bahkan nggak mengenalnya" Saat
luka yang menganga itu perlahan terjahit kembali, muncul cowok lain yang
menawarkan kunci untuk membuka gembok hatimu. Sayangnya, kamu harus
kembali menelan pilu karena sekali lagi sahabatmu menjadi penghalang.
Aku tahu, Tuhan nggak selamanya memberi apa yang kita mau, tapi Dia pasti
memberi segala hal yang kita butuhkan, bahkan tanpa kita sadari. Begitu juga
urusan hati. Kalau ternyata Tuhan memberikanku jalan seperti ini, berarti Dia
sangat tahu aku belum membutuhkan kehadiran cowok dalam hidupku.
Aku memejamkan mata, menghirup nafas sekuat yang kubisa dengan keadaan
hidung merah tersumbat, lalu menghembuskannya perlahan, takut ingus yang
kental justru keluar dan muncrat pada kondisi yang nggak pas.
Aku bisa. Aku pasti bisa.
*** Dirga Akhirnya gue melihat Greta lagi pada hari rabu. Dia masuk ke kelas pas bel.
Lega. Gue bisa melihatnya dalam wujud nyata, nggak hanya sebatas ilusi yang
selalu membayangi setiap waktu. Gue terlalu merindukannya.
Beruntung gue duduk di bangku belakang bersama Lion, jadi gue bisa
mengamati Greta yang di bangku depan sana. Dia masih seperti biasa, nggak
ada yang berubah sedikit pun. Begitu pun Hannah. Dia masih tertawa dan
berbisik seperti biasa, seakan kejadian kemarin itu nggak memengaruhi
mereka. Gue melihat Hannah langsung memeluk Greta saat tadi dia datang,
dan tanpa canggung, Greta membalas pelukan sahabatnya.
Gue nggak kepedean untuk mengatakan bahwa gue punya andil besar andai
hubungan dua sahabat itu rusak. Gue nggak ke-GR-an bahwa kedua cewek itu
bersamaan menyukai gue karena faktanya gue memang menyayangi mereka
berdua. Intinya, gue nggak mau kehilangan keduanya.
Seharian itu nggak ada interaksi antara gue dan Greta. Sekalipun ingin, gue
ragu memulainya. Gimana reaksi Greta nanti" Akankah hubungan kami masih
baik-baik saja" Gue nggak ngerti sehingga memilih diam. Sebab dari bahasa tubuhnya, jelas
Greta menghindari gue. *** Hannah Greta is back! Yay! Aku langsung lari memeluknya begitu melihat dia sampai di
pintu kelas. Aaah, aku kangen wangi khas bayinya.
Ternyata dia habis flu berat. Lalu soal ponsel, sabtu malam itu baterainya habis
dan dia lupa di mana dia meletakkan charger-nya. Baru pagi tadi Bi rahmi
berhasil menemu-kanya. Dan saat kubilang aku nggak melihat dia waktu
dirumah Dirga, dia ngaku sakit perut dan lupa membawa obat sehingga segera
pulang. Aku tahu Greta memang punya infeksi lambung.
Aku berniat membeberkan semua pada Greta sekarang, tepat atau nggak tepat
timing-nya. Aku nggak bisa menunda lagi. Berita bahagia ini nggak bisa
kelamaan disimpan. Kata orang, kalau ada berita gembira sebaiknya
disebarluaskan supaya bisa diaminin banyak orang. So, jam istirahat aku membook Greta dan langsung menyeretnya ke kantin. Semangkuk pangsit dan
sebotol the langsung kupesankan untuknya.
Semua kuceritakan padanya, tanpa terkecuali, termasuk harapan tante Prita
setelah teman-teman basket Dirga pulang.
"Iya, Ta, jadi kemarin waktu tinggal kami berempat - aku, Dirga, dan kedua
orangtuanya - kami cerita-cerita soal masa kecil. Eh, tante Prita bilang, gue
cocok jadi calon mantunya. Hihihi..... Tante Prita bahkan bilang, sebaiknya
habis SMA gue dan Dirga tunangan saja. Aduh, Taaa, gimana nggak senang
coba hati inii?" Aku meletakan kedua telapak tangan di dada sambil
membanyangkan pertunanganku dengan Dirga.
"Wah, asyik dong. Lampu hijau tuh. Makanya lo harus rajin belajar, biar
lulusnya mantep, terus langsung deh. Hehehe...."
"Hihihi......amiiin. Eh, lo mesti dateng, ya, Ta!"
"Siaaaappp." Greta mengacungkan dua jempol.
Aku tertawa. Bahagia. Aku mengaduk-aduk bakso penuh kecap dan sambal. Ah, ada satu hal lagi. Satu
hal yang cukup Greta seorang tahu.
"Ta, gue serius sama Dirga. Gue nggak main-main lagi. Kalo selama ini lo
melihat gue menolak dan agak menjaga jarak dengan cowok, itu karena gue
menunggu dan setia sama Dirga. Gue nggak tau apa yang terjadi seandainya
gue nggak ketemu dia kembali. Ternyata Tuhan mahaadil, ya?" Aku tersenyum
sendiri. "Menurut lo, setelah penantian lama dan segala pengorbanan yang gue lakuin
selama ini, Dirga bisa membalas perasaan gue nggak ya?"
Greta memainkan sedotan dalam botol. Aku menunggu jawabanya.
"Iya, Tuhan mahaadil." Greta menjawab pendek. Tatapannya kosong. "Dirga
pasti membalas perasaan lo."
*** Greta Aku bisa menebak apa yang akan diomongkan Hannah. Dan persiapan batin
supaya nggak terlalu sakit sudah kucadangkan dengan baik. Kejadian pahit itu
terjadinya masih dalam hitungan hari. Nggak secepat itu aku bisa mengusir
badai dari jiwaku. Memangnya aku sakit" Namum, semakin cepat hatiku
disakit,semakin cepat pula aku bisa pulih.
Kurang-lebihnya hubungan Dirga dan Hannah sudah kudengar dari penuturan
Tante Prita di depan kami malam itu. Jadi waktu Hannah mempertegas berita
itu, aku nggak terlalu kagek. Ada sedikit rasa nyiuut-nyuuut di dalam hati sih,
tapi nggak sampe membuatku merasa di tonjok. Pangsit yang kumakan masih
terasa nikmat. Sampai akhirnya Hannah mengatakan soal perasaan dan penantian, serta
ucapan Tante Prita soal menantu dan pertunangan, the botol manis berubah
menjadi pahit banget. Mi di mangkuk rasanya jadi terlalu kenyal, aku seperti
mengunyah karet hingga susah menelannya.
"Ternyata Tuhan mahaadil, ya?"
Pertanyaan retoris jadi ambigu buatku. Selama ini aku percaya Tuhan
mahaadil, tapi kenapa setelah itu terlontar dari bibir mungil Hannah justru
menggoyahkan imanku" Kenapa terasa begitu menyakitkan"
Aku memandangi the botol yang tinggal setengahnya. Sedotan putih itu
kuputar-putar dengan pandangan kosong. Tuhan mahaadil. Tuhan mahaadil.
Tuhan mahaadil. "Menurut lo, setelah penantian lama dan segala pengorbanan yang gue lakuin
selama ini, Dirga bisa membalas perasaan gue nggak?"
Tolong jangan tanyakan itu. Demi Tuhan, aku harus bagaimana" Aku bisa apa"
"Iya Tuhan mahaadil." Aku berusaha meyakinkan fakta itu kepada diriku sendiri
daripada menjawab pertanyaan Hannah. "Dirga pasti membalas perasaan lo."
Aku nggak sekedar basa-basi. Aku nggak bisa menyakiti Hannah. Aku nggak
mengucapkan itu membuatnya senang. I did mean it. Dan juga berdoa dalam
hati, supaya bisa benar-benar merelakan Dirga.
Tuhan maha adil. Part 11 "#"Patrick"
Dalam beberapa hari itu ada desakan hebat yang begitu kuat dalam hatiku.
Ada hal yang seharusnya gak perlu sampai serumit ini. Sayangnya, dalam
kenyataannya hal sederhana berubah menjadi kompleks dan rumit.
Contohnya, menyatakan cinta.
Semiinggu lagi ulangan umum sehingga aku tau persis sekarang bukan waktu
yang tepat untuk mengurusi hal-hal yang gak relevan dengan sekolah. Namun
sayangnya,aku gak bisa konsentrasi mempersiap kan diri menghadapi ulangan
umum selama kalimat yang menggedor-gedor ingin keluar dari dadaku harus
terhenti pada ujung bibir.
Ya, aku bertemu dan mengobrol dengan Greta setiap hari, sekali pun sekedar
sapa yang teramat singkat. Aku bisa saja meminta Greta memperpanjang
waktu ketika kami bertemu agar kami bisa membicarakan hal ini, tapi selalu
ada yang menahanku. Dan begitu dia tersenyum lalu kembali melenggang,
sesuatu yang menggebu-gebu membuatku merasa seperti idiot.
Ada beberapa pertimbangan. Pertama, aku belum siap menghadapi penolakan.
Aku menyadari bahkan Greta belum menyadari perasaanku, jadi bagaimana
mungki aku langsung menyatakan perasaanku padanya"
Yang kedua, selama dua minggu kedepan kami akan mencurahkan pikiran
untuk meraih nilai akhir yang sempurna dan terbaik. Aku dan Greta termasuk
berprestasi memuaskan, selain menjadi tim inti basket, meski dengan rendah
hati aku mengakui Greta lebih unggul daripadaku.
Ketiga, aku tahu Greta aku sedang menata hatinya setelah peristiwa itu. Pikiran
dan hatinya masih dipenuhi Dirga. Bagaimna mungkin aku bisa menyusup
secepat itu menggantikan sosok Dirga" Aku tahu Greta bukan tipe orang yang
mudah jatuh cinta. Masih ada beberapa pertimbangan yang membuatku pusing.
Kenapa begitu susah mengakui cinta" Kenapa susah berkata jujur soal sayang"
Aku bukan orang yang suka berbelit-belit."Cukup"beri"jawaban?"ya?"atau"
"tidak"."Seringkas"itu."Gak"perlu"memperpanjangnya"menjadi"sebuah"prosa"
yang gak bermakna. Basa-basi.
Baru kusadari, ternyata rumit bila menyatakan cinta kepada bukan sembarang
gadis. Dia gadis istimewa yang kupilih umtuk benar-benar kucintai.
*** "#"Dirga" Hari Sabtu. Pelajaran terakhir hari itu kosong. Gue baru menyadari bangku di
sebelah Hannah kosong saat selesai menyalin catatan biologi Tria. Jaket dan tas
Greta masih ada, jadi gak mungkin dia udah cabut duluan.
Dihitung-hitung, sudah seminggu gue gak bicara sama Greta. Ponselnya pun
gak aktif. Beberapa kali gue mencoba datang langsung ke rumahnya, namun
ternyata gue hanya sanggup melewati rumah itu, lalu menoleh ke kamar di
atas. Gue gak berhenti dan mampir. Sungguh, gue sama sekali gak mengerti
kenapa nyali gue bisa menciut. Padahal menghadapi preman mana pun, gue
gak pernah takut. Apakah gue bersalah dan sangat menyesal membuat dia
pergi" "Dirga"mau"kemana?"
Suara"Hannah"menghentikan"langkah"gue."Pergi"mencari"Greta.?"Ke"toilet"
sebentar." Hannah tersenyum. Gue membalas dengan senyum samar, gak bersemangat.
Di mana Greta" Gue mencarinya di perpustakaan sekolah. Nihil. Gak ada siapasiapa selain petugas. Di kantin" Meski ragu karena ngerti Greta gak tertlalu
suka pergi dari kelas dan sengaja nongkrong di kantin, gue tetap ke sana.
Kemungkinan selalu ada, kan" Sekecil apapun. Ternyata gak membuahkan
hasil. Lapangan sepi. Jelas saja. Siapa yang nekat berpanas-panasan saat matahari
seterik ini" Ah, gue tau Greta ada dimana/
Gue belum masuk, masih berdiri di pintu, melihat Greta berlari sendirian di
tengah ruanagan besar, menimbulkan gema akibat pantulan bolanya. Gue
menimbang-nimbang, apa reaksi Greta jika gue menghampirinya" Apakah dia
akan kembali cuek" Meledak" Atau berpura-pura gak ada apa-apa" Tersenyum
palsu" Gue sama sekali gak bisa memprediksi reaksi yang bakal gue dapat.
"Greta." Entah gue dapat nyali dari ,ama, suara yang keluar dari mulut gue sudah lebih
dulu menyeberangi ruanagan.
Suara bola yang dipantulkan dalam sekejap menghilang, menyisakan lengang
yang menegangkan. Greta gak menoleh, hanya berhenti memainkan bola. Gue
tau gue yang harus maju. Bersikap jantan. Sudah cukup gue menjadi pengecut
kemarin. "Greta.?"Gue"mengulangi"panggilan.
Greta masih gak menjawab, membuat gue melangkah lebih jauh, sampai
berdiri tepat di hadapannya. Gue menatap lurus wajahnya, tapi dia menatap
lantai dengan tatapan kosong.
"Greta." Pelan-pelan wajah Greta menghadap gue. Dia menatap tajam mata gue, bikin
gue kikuk. Gue gak bisa membedakan, tatapan itu penuh kebencian atau
kekecewaan. Rasanya gue seperti orang paling bego dan paling jahat sedunia.
"Gue?"mau"minta"maaf."
Itu hanya permulaan. Gue melihat reaksi Greta dulu sebelum melanjutkan apa
yang pengin gue sampaikan.
"Memangnya"kenapa"harus"minta"maaf?"
Bersikap pura-pura seperti itu jelas menyiksa. Membuat gue berpikir untuk
menyelesaikan kejadian ini dengan cara yang lebih mudah. Jangan sampai
menghancurkan perasaan kami.
"Lo"tau"maksud"gue."Jangan"pura-pura"bego."
"Gue"gak"ngerti."
Dengan entengnya Greta menjawab seperti itu. Gue menyibakkan rambut ke
belakang dengan jari. Frustasi.
"Jangan"mempermainkan"gue,"Ta!"
Percakapan yang seharusnya dilakukan tenang kini berubah setelah gue lepas
kontrol dan berteriak kepadanya.
Greta tersentak. Matanya spontan melebar, dan detik berikutnya dia berbalik
meninggalkan gue. Gue segera menarik tangan kanan Greta yang bebas. Dia gak melepaskan,
justru berbalik memandang gfue dengan tatapan tegas dan mengintimidasi.
Salad Days Karya Shelly Salfatira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
?"Gue"pergi"ke"sini,"sendirian,"dalam"keadaan"sehat"walafiat. Dan sekarang
gvue"mau"balik,"sendirian."Dengan"keadaan"tanpa"sakit"sedikit"pun."
Sesuai permintaan Greta, gue melepas cengkeraman gue. Ternyata tanpa gue
sadari, gue mencengkeram terlalu keras sehingga menyebabkan bekas merah
di pergelangan tangannya.
"Gue"mohon,"Ta,"jangan"permainin"gue"seperti"ini."Jangan"bersikap"seperti"ini."
Greta"mendengus,"tertawa"mengejek.?"Gue?"Mempermainkan"lo?"Kapan?"
Gue gak menjawab. "Yang"ada"juga"lo"yang"mempermainin"gue."Dan"kesalahan"terbesar"gue"adalah"
mempercayai lo. Padahal gue tau lo sosok asing. Sosok yang secara logika, gak
seharusnya"gue"pilih"untuk"gue"percaya"begitu"aja."
Gue bisa melihat segores luka yang terpancar dari mata Greta.
"Gue"gak"ngerti"kenapa"lo"bisa"setega"itu"mempermainkan"gue."Selama?"
"Gue"gak mempermainkan lo! Gue gak pernah sekalipun berniat sekedar have
fun sama lo berdua! Siapa gue emmangnya" Gue gak berani mempermainkan
siapapun,"Ta!" "Lalu,"kenapa"lo"gak"pernah"cerita>"lo"gak"berbohong,"hanya"saja"lo"memilih"
gak menceritakan seluruhnya. Lo pengecut dan pencundang yang bersembunyi
dibaliok"titel"heartbreaker."
"Gue"bener-bener"minta"maaf,"Ta.,?"ucap"gue"sungguh-sungguh.
Greta mendengus. Ujung sebelah bibirnya terangkat. Dia bergeleng-geleng
kecil.?"Buat"apa"minta"maaf?"Ini"prinsip"hidup"gue, sekalian saran buat lo, gak
perlu"minta"maaf"untuk"apa"pun"yang"lo"tau"salah"tapi"tetap"lo"lakukan."
Greta berbalik pergi, tapi lagi-lagi"gue"berhasil"menahannya.?"Kenapa"lo"harus"
seangkuh"ini"sih?"
"Gue?"Angkuh?"Gue"terang-terangan memberikan sinyal bahwa gue gak
berpura-pura bersikap baik untuk mendapatkan simpati seseorang, lalu
memanfaatkannya." "Ngomong"terus"terang"aja"kenapa"sih"!?"Gue"panas"juga.?"Daripada"nyindirnyindir seperti itu, mendingan lo ngomong aja. Gak perlu basa basi! Ngapain
juga lo"harus"ribet"muter"kesana"kemari"yang"gak"jelas?"
"Kenapa"lo"merasa"tersindir?""Greta"tertawa"kecil"dengan"tatapan"mengejek."
"Gue"berbicara"general"kok."Jadi"lo"ngerasa"dan"sadar"bahwa"lo"juga"tipe"
seperti"itu?"Wah"wah"wah."
Gue menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dari mulut. Mencoba
mengatur rotme jantung yang sempat naik beberapa tingkat karena emosi.
Selesaikan baik-baik. Gak perlu adu mulut. Gak perlu teriak-teriak lagi.
Pecahkan dengan kepala dan hati dingin.
"Greta,"gue"gak"tau"harus"bagaimana untuk membuat lo mengerti dan
memaafkan"gue."Biarkan"gue"menjelaskan."
Aku kembali menarik napas dalam-dalam, bersyukur melihat Greta menjadi
tenang dan mau mendengarkan. Kedua tangannya disilangkan di depan dada,
tatapannya tetap ke mata gue.
"Gue"gak pernah mempermainkan lo ataupun Hannah, Ta. Secuil niat pun gak
ada. Untuk apa" Gue bukan tipe cowok yang gak bisa hidup tanpa banyak
cewek." "Malam"ini"gue"bener-bener yakin dan menyadari bahwa gue sayang lo, Ta. Lo
memberi gue perspektif baru kehidupan. Lo bisa dengan tenangnya menjalani
hidup dengan cara lo sendiri, memilih untuk menjadi unik. Ngasih keyakinan ke
gue,"bahwa"lo"memang"orang"yang"tepat,"orang"yang"gue"tunggu"selama"ini."
"Hannah"dan"gue"hanyalah"teman"masa"kecil,"Ta."Lo"tau"itu"artinya"apa" It
doesn"t"mean"anything."Begitu"ketemu"setelah"sekian"lama"berpisah,"gue"
masih menyayangi Hannah. I admit it. I confess it. Tapi ternyata itu hanya kasih
sayang seorang sahabat, TA. Karena gue terbiasa melindungi dia, gue gak mau
melihatnya"terluka."
Mata kami masih bertatapan, tapi ada yang lain dari sepasang mata dengan
ujung agak naik itu. Ah. Gue harap pertemuan ini gak emosional, gak perlu ada
air mata yang jatuh. Greta bergeming. "Maaf"kalo"gue"gak"bilang"dari"awal"soal"hubungan"gue"dan"Hannah,"karena,
yah"lo"tau,"gue"cowok."Mana"ada"cowok"yang"mau"cerita"soal"masa"kecilnya,"
apalagi"hal"menye"seperti"itu?"
"Gue"akui,"gue"gengsi"untuk"terbuka"di"depan"publik."Mungkin"berbeda"dengan"
kalian, kaum cewek. Kalian lebih excited dengan cerita-cerita seperti itu. Gue
kira Hannah akan cerita sendiri sama li, tapi ternyata gak. Dan anehnya, gue
lega karena gue bener-bener berharap untuk bisa memulai sebuah hubungan
dengan"lo"dengan"sangat"baik."
"Lo"ngebohongi"gue,"Ga!"
"Gue"gak"ngebohongi"lo,"Greta,"gak"pernah! Gue Cuma belum pernah sempat
membicarakan seluruhnya. "Lo"punya"banyak"waktu"untuk"bilang,"tapi"gak"memanfaatkannya."Dan"
sekarang"lo"seakan"menyalahkan"waktu."
"Gue"belum"punya"cukup"keberanian"saat"itu."Lagi"pula,"gue"tanya"ama"lo"
sekarang, kalo lo tau hubungan gue dengan Hannah, apa semuanya akan baikbaik saja" Apa lo juga kan menerima perasaan itu" Apa lo akan bersikap jujur
bahwa"lo"juga"memendam"perasaan"ke"gue?"Gue"gak"yakin,"Ta."
Air mata jatuh di pipi kiri Greta. Ah. Bukan seperti ini yang gue inginkan.
Kenapa gue harus melihatnya menangis" Gue gak mau melihat kesedihan di
wajah tegas ini. Sebelah tangan gue terangkat untuk mengusap pipinya, dan
dia gak menolak. Dia membiarkan.
"Ta,"satu-satunya"penjelasan"kenap"gue"saat"itu"gak"bilang"apa"pun"karena
gue"gak"berani."
Bahu Greta berguncang. Tangan gue terkena air matanya yang semakin deras.
"Greta"gue"sayang"sama"lo."Apa"itu"salah?"Lo"marah"sama"gue?"
Tiba-tiba dia menyentak tangan gue dan berubah menjadi liar. Sangat di luar
kontrol. Sifat yang gak pernah gue lihat pada diri Greta selama ini.
"Gue"marah"sama"lo!"Gue"marah"karena"lo"gak"jujur."Membiarkan"gue"
bermimpi sendirian, sementara lo tertawa, sementara lo tertawa, tahu mimpi
gue gak akan jadi kenyataan! Gue benci lo karena lo menyakiti hati gue justru
di saat gue membuka dan membiarkan lo untuk memilikinya! Sekarang gue
tanya"lo,"kalo"gue"marah,"gue"benci,"apa"gue"gak"berhak"!"
Gue gak emnjawab. Bingung. Gue gak bisa berpikir melihat Greta histeris.
"Gue"berhak,"Dirga!"Gue"berhak"kecewa"karena ternyata lo egois, mau memiliki
gue maupun Hannah! Gue berhak cemburu dan sekarang memilih pergi karena
gue"memang"memiliki"perasaan"khusus"pada"lo,"Dirga!"
Gue mematung. Pengakuan Greta dalam kondisi terliarnya bener-bener
membuat gue gak mampu berkata-kata.
"Udahlah,"Ga."Jangan"ngusik"gue"lagi."Gue"harus"fokus"dengan"masa"depan,"
ulangan umum sebentar lagi. Dan satu lagi, gak ada yang harus diakhiri, karena
kita berdua tau, gak ada yang benar-benar"pernah"dimulai."
Gue kaget dan seperti tersihir, hanya bisa berdiri kaku melihat Greta pergi.
*** "#"Greta" Ulangan umum kurang dari seminggu lagi.
Aku selesai mengepak beberapa pakaian ke ransel. Selesai. Aku harus fokus
untuk ulangan umum, mengingat nilainya berpengaruh untuk melanjutkan
pendidikan di perguruan tinggi.
Setelah persiapan matang selama sebulan bersama Boy, aku gak kewalahan
mengulangi materi seperti kebanyakan murid yang terbias belajar dengan SKS
alias Sistem Kebut Semalam.
Ponsel di ranjang bergetar. Ah, Tante Irma menelepon.
"Iya,"ada"apa,"Tante?"Iya?"iya."Nih,"udah"siap-siap, udah beres semua. Iya
dong!"Hehehe?"bisa"kok,"yakin"banget"lah?"hhehe?"iya,"birokrasinya"agak"
rumit"kemarin,"tapi"bisa"di"haddle"kok?"Pasti?"Iya."Oke,"Tante."Makasih."
Fiuuuh. Apa lagi ya" Aku mengecek sambilmemandang isi kamarku, berusaha
mengingat-ingat kalau-kalau ada barang yang terlewatkan dibawa.
Nanti sore aku berangkat ke Malang. Terkesan mendadak, memang.
Orangtuaku sempat gak mengizinkan dan kami sampai harus beradu argumen
yang cukup a lot. "Mau"ngapain"si,"Ta?"Sebentar"lagi"ulangan"umum,"kok"kamu"malah"ngeluyur."
Lagian"juga"masi"hari"sekolah.?"Mama"keberatan"dengan"rencanaku.
"MA,"hari"tenang"mulai"Jum"at,"jadi"masuk"senin"sampai"kamis aja. Aku gak
masuk sekalian empat hari juga gak masalah. Selama semester ini absenku
sedikit. Persiapan mental yang paling kubutuhin, Ma. Persiapan materi udah
beres,"sekarang"tinggal"bikin"rileks"badab"dan"pikiran,?"aku"mengutarakan"
alasanku. Bukannya sombong, tapi aku yakin aku tetap berada di top five semester ini,
melihat nilai-nilaiku yang emningkat, juga persiapan yang juga ku lakukan.
"Ada"masalah?""Mama"masih"berusaha"menahanku.?"Ada"masalah"di"
sekolah?" Aku gak mau ketemu Hannah dan Dirga dulu. Gak sekarang. Gakl sampai aku
bener-bener siap. "Yah,"gak"lah."Aku"ke"Malang"karena"butuh"suasana"baru"aja."
Gak mungkin aku mengakuinya ke Mama.
Melarikan diri" Gak tau deh. Aku Cuma merasa butuh menyendiri.
*** #Dirga Hannah datang dan sekarang ada di dapur bareng nyokap. Semakin sering aja
Hannah datang kesini dan semankin dekat pula keakbrannya dengan nyokap.
Gue sempat protes ke mama soal pertunangan itu. Tentu aja setelah Hannah
pulang. "Yah,"kan"gak"apa-apa, Ga. Mama berharap bisa punya mantu kayak Hannah.
Lagian"keluarganya"baik"banget."Jalani"dulu."
Sementara bokap sendiri nggak terlalu pusingin soal itu. Beliau ngasih gue
kebebasan, selama cewek yang gue pilih baik.
Sebagai laki-laki, gue kagek dan merasa bersalah bikin Greta dalam kondisi
seperti kemarin. Berulang kali pengen menghubunginya, tapi selalu gue
batalkan. Mungkin dia butuh menyendiri. Butuh waktu untuk kembali menata
semuanya. Gue juga terluka. Gak perlu mengakhiri sesuatu yang gak pernah dimulai.
Gue gak setuju. Kami berdua memulainya, hanya saja bukan dengan cara yang
bias orang lakukan, dengan bertukar kata cinta. Apa semua hal memang harus
terucapkan" Harus dengan pernyataan lisan" Bukankah tindakan justru lebih
baik?"" Part 12 *** "#"Hannah"
Sudah dua hari Eta nggak sekolah. Aku berulang kali menghubungi ponselnya,
tenyata nggak aktif. Aku telepon ke rumahnya, nggak ada yang ngangkat. Aku
belum sempat pergi kerumahnya. Kutanya Boy, ternyata dia juga nggak tahu.
Akhirnya aku duduk sebangku dengan Dirga. Oke, lebih tepatnya aku yang
meminta dia pindah. Saat kutanya apakah dia tahu di mana Eta, Dirga justru
bertanya balik padaku. Katanya, dia mana mungkin tahu. Betul juga. Dirga dan
Eta kan nggak akrab. Yah, awalnya mereka nggak akur, lalu pertengahan
membaik, tapi akhir-akhir ini kayaknya berubah.
Beberapa hari lagi ulangan umum. Aku pasti belum siap.
Kalau Eta jangan ditanya. Dia pasti sudah pasang sabuk pengaman sejak lama.
Bahkan seandainya dia harus belajar sistem kebut semalam pun, aku yakin
hasilnya jauh di atasku. Eta nggak pernah nyontek. Kalau nggak bisa, dia memilih diam, nggak seperti
kebanyakan dari kami yang langsung kasak-kusuk mencari jawaban.
"Ayo, belajar bareng, kita bisa diskusi. Bisa satu, bisa semua. Sukses satu,
sukses semua. Silahkan nanya sepuas-puasnya saat belajar bareng, tapi jangan
nanya pas ulangan." Sebagai sahabat, aku sungkan nyontek pada Eta.
Sejak awal dia sudah memberi warning seperti itu kepada semua. Greta jarang
mau ngasih jawaban ke teman. Itu momen langka dan siapa pun yang
mendapat kehormatan itu seharusnya bersyukur.
"Ngelamun aja."
Dirga baru muncul dari toilet dan kembali dudu di sebelahku. Aku tersenyum.
*** "#"Patrick"
Sabtu lalu aku mencari Greta untuk membahas turnamen yang diadakan
sepuluh hari setelah ulangan umum selesai. Berhubung jam istirahat harus ke
ruangan guru, aku nggak sempat mencarinya. Jam terakhir, Bu ana pulang
lebih awal dan kami diberi tugas. Aku keluar, ke kelas Greta.
Ternyata Greta nggak ada di kelas. Aku cuma melihat di bangkunya masih ada
jaket dan tasnya. Feeling-ku mengatakan, dia pasti di indoor.
Betul. Pintu ruang indoor terbuka setengah. Tanpa bermasud mengendap aku
melangkah perlahan sampai di balik pintu. Ternyata Dirga disana. Nggak
mungkin mereka berdua datang ke sini bersamaan, mengingat kejadian
kemarin. Keduanya terlihat berbicara serius.
Aku memilih diam di balik pintu, memperhatikan dua sosok itu dari kejauhan.
Suasananya kurang pas untuk menjadi tamu nggak diundang.
Sungguh, aku nggak bermaksud menetap dan menguping. Aku baru selangkah
berbalik pergi saat Dirga berbicara dengan nada tinggi. Aku mengurung niat.
Pasti ada kejadian selanjutnya.
Aku memilih diam di sana, mendengarkan semua percakapan yang penuh
emosi itu. Aku nggak melihat wajah Greta karena dia membelakangiku, tapi
aku tahu dari bahunya yang terguncang, dan tentu saja suaranya, dia
menangis. Saat itu aku ingin sekali berlari dan merengkuh Greta ke dalam dekapanku,
menyediakan bahu untuk dia bersandar. Tapi itu mimpi yang percuma.
Sejak saat itu aku belum melihat Greta di sekolah, sementara Dirga tetap
masuk seperti biasa. Meskipun Greta absen, aku nggak melihat Dirga merasa
bersalah dan khawatir, justru dia semakin akrab dengan Hannah. Sama sekali
nggak mencerminkan pengakuannya yang di ucapkan pada Greta. Jelas Dirga
berkhianat. Palsu. Tapi memangnya aku bisa apa" Datang menghampiri Dirga, lalu
menghanjarnya" Untuk apa" Toh itu masalah pribadi, hanya di antara Dirga
dan Greta. Mungkin melibatkan Hannah juga, kalau-kalau Greta mengharuskan
kehadirannya untuk memperjelas hubungan cinta segi tiga itu. Aku tetap orang
luar. Orang asing yang juga terimbas sakit.
*** "#"Dirga" Sampai hari terakhir sebelum hari tenang dimulai, batang hidung Greta hilang
dari peredaran. Hannah yang ternyata juga nggak tau, nanya ke gue, orang
yang jelas-jelas paling dihindari Greta saat itu. Tentu aja Hannah nggak tau
fakta gue dekat sama Greta. Meski nggak pernah ada kesempatan bersama,
baik gue maupun Greta nggak membicarakan hal itu dengan Hannah.
Latihan basket juga berhenti dulu, meski kabarnya ada turnamen setelah
ulangan umum. Gue terlalu pengecut untuk menghentikan motor di depan pagar hitam yang
tinggi itu dan masuk untuk mengunjungi Greta. Padahal gue amat
merindukannya. Cukup melihat aja, sekalipun gue tau sekarang hati gue
terluka setiap melihatnya. Tapi rasa sakit itu masih jauh lebih kecil
dibandingkan rindu. *** "#"Greta" Enam hari di malang benar-benar memuaskan. Melegakan dan memberi
ketenangan yang kubutuhkan. Disana aku melakukan apa pun yang kusuka
tanpa di ganggu siapa pun. Belajar masak sama Tante, bergabung dengan
orang-orang yang bermain basket, mengamati orang-orang dengan berbagai
aktivitasnya, lalu mengabadikannya dalam kamera, dan belajar pada malam
hari. Hehehe.... Harus lah!
Sampai di rumah pun, aku tetap nggak menyalakan ponsel, masi nggak mau
diganggu. Tapi begitu selesai mandi dan telpon rumah berdering, aku
mengangkatnya. Ternyata Boy. Baru mendengar "halo" dariku, Boy langsung membombardiku dengan
pertanyaan. Aku yakin dia menghabiskan satu napas panjang untuk pertanyaan
sepanjang gerbong kereta itu. Aku terkikik. Dia persis ibu kos yang cerewet. Ah,
kangen juga. Aku nggak menceritakan semuanya ke Boy, meskipun dia teman yang sangat
baik. Memang sih untuk urusan yang melibatkan cewek dan cowok, Boy bisa
diandalkan untuk memberi masukan yang berguna, dengan memberi penilaian
dari sisi cowok. Dulu pun saat kejadian aku dan Regar, Boy selalu
mendampingiku. Namun, ah.... Kali ini aku enggan berbagi cerita dengan Boy.
"Besok perang dimulai. Udah siap?" Tanyaku.
"Siaaaapp. Gue jauh lebih yakin dibanding tahun lalu. Kayaknya tahun ini gue
nggak perlu lagi sakit leher gara-gara noleh ke sana-sini deh. Hehehe....."
Salad Days Karya Shelly Salfatira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku meledeknya. Boy tertawa sambil ngeles.
Masih ada sisa waktu sepuluh menit sebelum ulangan umum selesai. Aku
mengesampingkan lembar jawaban yang sudah terisi penuh bulatan hitam
pensil dan kembali membuka lembar soal bahasa indonesia.
Nggak perlu buru-buru, masih ada waktu buat ngoreksi.
Cukup sekali aku dikagetkan nilai ujian bahasa indonesia, saat SMP, dengan
hasil yang jauh dari eks-pektasiku. Memalukan. Rasanya bego banget saat nilai
bahasa indonesia-ku lebih rendah daripada bahasa inggris. Aku kan orang
indonesia asli. Meski aku quite excellent in english, tetep aja aku nggak mau
sok menjadi bule. Syukurlah selama ulangan umum aku nggak seruangan dengan orang-orang
yang masih belum pengin kutemui. Aku sampai di sekolah sepuluh menit
sebelum diizinkan masuk ke ruangan kelas, sehingga memilih menunggu di pos
satpam. Sekarang, begitu selesai ulangan umum mata pelajaran pertama, aku
segera ngacir ke UKS. Rebahan sebentar di ranjang ala rumah sakit itu cocok
menjadi alternatif pengisi ulang baterai diri untuk pertempuran selanjutnya.
*** #Dirga Besok terakhir ulangan umum. Mmm... Selangkah lagi menuju kebebasan
sementara, sebelum lebih mengenjot usaha untuk masa depan. Kelas dua,
masa-masa paling merdeka di antara tiga tahun pendidikan, sebentar lagi
harus gue tinggalkan, kecuali saking cintanya gue memilih jadi siswa abadi.
Walaupun nggak akan ada banyak waktu untuk having fun, menjadi siswa kelas
tiga SMA bakal seras punya brand tersendiri yang pretty cool. Sepuluh bulan
yang akan menjadi penentu nasib beberapa tahun ke depan.
So far so good. Biarpun gue nggak bisa berkonsentrasi seratus persen, gue
mengerjakannya dengan cukup baik. Yah, nialai gur nggak ancur-ancur amat.
Hannahs sering membantu dan memotivasi gue dalam belajar, tanpa gue
minta. Perlahan, gue mencoba untuk mengikuti arus, just go with the flow. Biarkan
semua terjadi begitu aja, gue hanya perlu menghanyutkan diri. Singkatnya,
mencoba menerima apa yang telah, sedang, dan akan terjadi tanpa memaksa
kehendak. Menahan diri untuk menentang kejadian yang nggak sesuai
kemauan. Tetap saja hati gue berdesir saat melihat Greta berjalan memasuki kelas
sebelah tepat ketika bel. Tadi dia langsung ke UKS begitu ulangan pertama
usai. Dia langsung pulang begitu ulangan kedua selesai. Gue tau. Gue
mengamati. Seperti gue niatin, gue mengikuti arus. Belajar menanggalkan sifat egois dan
beralih bersikap dewasa. Masing-masing dari kami punya tujuan dan cita-cita
berbeda. Jadi biarkan aja kami menempuh jalan yang berbeda juga.
Meski gue sangat merindukan Greta.
Part 13 "#"Patrick"
Hari-hari penuh lembar soal dan jawaban berakhir sudah. Aku bisa merasakan
kelegaan terpancar di wajah teman-teman. Sebagian kecil terlihat biasa,
mungkin cemas menunggu hasil ulangan umum dan pengumuman remidi.
"Hoi." Seseorang merangkul pundakku dari belakang. Juan. Anak IPA I. Dia sainganku
dalam merebut peringkat satu seangkatan.
"Yo. Gimana" Lancar?"
" Lumanyan lah. Denger-denger mau ada turnamen lagi."
"Yah, gitu lah. Nambah jam terbang, not bad at all lah. Hehehe...."
Juan tertawa sambil menepuk-nepuk pundakku.
"Oke deh. Sukses, man. Ditunggu kabar gembiranya."
Kemudian dia pergi lebih dulu.
Aku bergegas menuju ruangan Greta, berharap dia masih ada di dalam
ruangan, mengingat cewek itu nggak pernah mengulur waktu. Selalu on time.
Sekarang sudah tujuh menit lewat dari waktu ulangan umum berakhir. Kecil
banget kemungkinannya dia masi ada di sana.
Tuh kan. Bangku-bangku sudah kosong.
"Eh, sorry, liat Greta nggak?" Tanyaku kepada seorang cewek yang tengah
ngobrol bersama teman-temannya di luar ruangan.
"Udah keluar dari tadi tuh. Malah dia keluar setengah jam sebelum ulangan
selesai." "Wah" Serius lo?" Sahut cewek berambut cepak. Pasti dia nggak seruangan
Greta. "Iya, nggak kagek sih. Dia kan pinter..."
Aku mengucapkan terima kasih dan berlari menuju lapangan parkir. Jejeran
mobil masih banyak, tapi sudah tentu nggak yang dinaiki Greta. Aku segera
menghampiri Pak Agus, yang berada di luar pagar, membantu beberapa anak
menyeberang jalan raya di depan sekolah.
"Pak, Greta sudah pulang belum?"
"Greta" Wah, sudah dari tadi."
Bahuku turun. Hah. Ya, sudah.
"Oke. Makasih, Pak."
**** "Lho, Patrick" Tumben dateng. Ayo, masuk...masuk," sambut Greta yang sudah
mengganti seragam sekolah dengan kaus hijau longgar dan celana pendek. Aku
memutuskan pergi kerumahnya sepulang sekolah tadi.
"Gimana ulangan tadi?" Aku berbasa-basi, meskipun tahu soal ulangan tadi
pasti bisa dikerjakan Greta dengan mudah.
"Yah, lumayan lacar lah. Tinggal tunggu hasilnya. Deg-degan sih. Lo sendiri
gimana, Pat?" "Idem," jawabku kalem.
Greta membuka tutup kaleng monde butter cookies besar dan menyilahkanku
untuk mengambilnya. Rumahnya sepi. Pukul sepuluh lewat sedikit. Aku
bertanya-tanya, apa yang mungkin dilakukannya kalau aku nggak bertamu. Apa
dia membuat berisik halaman belakang dengan pantulan bola, atau mungkin
sekadar berselancar di internet, atau menghabiskan waktu dengan menonton
film atau TV, atau... Malah nggak ngapa-ngapain selain melamun" Aku cepatcepat mengalihkan pikiran yang mulai melantur.
"Oh iya, Pat, gimana soal turnamen mendatang" Kemarin gue sempat ngobrol
sama tim cewek, terus mereka pengin ikutan. Kan bakal jadi turnamen
terakhir. Kelas dua belas kita nggak boleh lagi ikutan. Lagian hadiahnya gede
banget lho." Obrolan kam pun mengalir. Selama berbicar, aku memperhatikan ekspresi dan
bahasa tubuh Greta. She looks fine, seakan kejadian kemarin sama sekali nggak
memengaruhinya. Dua pendapatku soal Greta. Pertama, dia memang nggak terpengaruh apa
yang baru saja terjadi, padahal menurutku dan sebagian besar orang, masalah
seperti itu memberi pengaruh-khususnya psikis-apalagi untuk ukuran orang
yang nggak mudah jatuh cinta.
Kedua, dia aktris yang baik, memainkan peran hidupnya sendiri dengan
cemerlang. Berkamuflase sangat brilian.
"Pat, bentar ya, gue mau ke toilet dulu. Hehehe....
Dingin banget udaranya."
Aku tersenyum menyilakan. Dalam keheningan singkat, aku mencoba
mendengarkan suara hatiku. Apa ini momen yang pas" Apa nggak terlalu
cepat" Greta memang kelihatan oke-oke saja, tapi aku yakin dia sebetulnya
rapuh dan berusaha keras membangun kembali hatinya yang luluh lantak.
Mungkin dia belum siap menerima kehadiran cowok baru. Namum... Kita
nggak pernah tahu apa kita masih punya waktu dan kesempatan lain, kan" Bisa
saja sesuatu terjadi hinggal membuat kita nggak bisa lagi menyampaikan niat
tersebut. Aku merasa niatku harus kusampaikan sekarang. Aku ikhlas pada apa pun yang
terjadi "Haaa.... legaaa! Eh, ayo Pat, makan. Gue mulu nih jadinya yang ngabisin."
Tangan kanan Greta terjulur, mengambil cookies berbentuk bulat.
"Ta, gue suka sama lo." Lirih. Pelan. Tegas.
Greta mendengarnya dan... Tertegun. Yah, wajar. Dia pasti nggak menyangka
aku berucap seperti itu. "Gue nggak masalah lo kaget, Ta. Selama ini hubungan lo dan gue juga hanya
sebatas teman yang nggak terlalu akrab."
Greta nggak berkomentar. Dia masih menunggu penjelasan gue.
" Maaf ya, Ta, kalo terkesan mendadak seperti ini."
Aku tertawa kecil untuk mencairkan suasana. "Ta, gue nggak menampik bahwa
gue berharap lo bisa membalas perasaan ini. Tapi gue tau medan, siap dengan
segala kemungkinan."
"Tau medan?" Kening Greta berkerut, tanda dia nggak mengerti maksudku.
Kata-kataku memang konotatif.
"Ta, gue tau keadaan lo. Gue tau siapa cowok yang lo suka, atau seenggaknya
pernah lo suka. Gue memang nggak tau persisnya gimana jalan ceritanya,
namun gue tau lo belum ikhlas melepas Dirga."
Greta tercekat. Dia menahan napas, bola matanya membesar.
"Cinta segi tiga aneh antara lo, Hannah, dan Dirga. Gue tau, Ta. I've seen it.
Sebagai orang luar, gue nggak berhak melangkah masuk ke lingkungan itu.
Yang bisa gue lakukan hanya mengamati dan... Menunggu lo keluar dari segi
tiga itu. "Kedengarannya egois, ya" Tapi nggak pesis seperti itu. Gue sempat takut saat
lo dan Dirga mulai deket.
Buat gue, cukup Boy yang dekat dengan lo karena perasaan lo ke Dirga
berbeda dengan ke Boy. "Jangan lo kira gue mensyukuri akhir kisah lo dan Dirga. Gue juga terluka, Ta.
Gue benci ngeliat lo terluka karena orang yang lo harapkan nggak membalas
perasaan lo." Kami terdiam. Suasana rumah yang sepi menyenangkan, kini beralih menjadi
sepi yang menegangkan. Aku sudah mengeluarkan isi perdebatan batinku
selama ini. "Lo... Tau kejadian itu semua?"
Aku mendongak, mengalihkan pandangan kosongku dari gelas air mineral.
Nggak ada semangat dalam tatapan mata Greta.
Aku mengangguk. "Sejauh mana lo tau?"
"Sejauh yang udah gue ungkapin barusan."
"Karena akhirnya gue nggak bersama Dirga, lo merasa punya kesempatan?"
Nada suara Greta terdengar terluka. Ah.
"Gue lega lo nggak bersama Dirga karena gue nggak mau lo lebih terluka
nantinya." "Maksud lo?" "Gue tau ada sesuatu antara Dirga dan Hannah, meski nggak tau pastinya. Gue
sempat ngeliat mereka jalan bareng beberapa kali, keliatan sangat deket.
Meskipun saat di sekolah - di depan teman-teman lain dan elo - mereka
menjaga jarak. Lagian, memangnya lo nggak merasa aneh, Hannah dan Dirga
selalu ngobrol pake ' aku-kamu'?"
Lagi-lagi aku menangkap kekagetan di wajah Greta.
Benarkah dia nggak menyadari keganjilan di antara sahabat dan gebetannya"
Padahal enam hari dalam seminggu mereka bertemu dan berkomunikasi.
"Gue... Nggak tau."
"Ta, kalo gue bikin pikiran lo jadi kacau lagi, gue minta maaf. Bukan itu maksud
gue datang ke sini. Lo berhak tau sebenarnya."
Greta bergeming. Akhirnya aku berhasil pamit pulang dari keadaan penuh kecanggungan itu.
*** "#"Greta" Tuhan selalu memberikan yang kita butuhkan, meski nggak selalu yang kita
inginkan. Aku merenungkan kata-kata itu berulang kali, dan berulang kali juga aku
mengamininya. Sayangnya, apa yang kita butuhkan dan sudah disediakan
Tuhan sering terabaikan. Betul, kan" Contoh paling gampang dan umum
adalah oksigen. Apa kita selalu mengingat dan menyadarinya di setiap helaan
napas" Terus terang aku syok banget saat Patrick ke sini dan membeberkan semuanya.
Aku berusaha kembali berdiri dan membiarkan yang sudah terjadi menjadi
masa lalu, bukan untuk masa kini, apalagi masa depan.
Aku mencoba berdamai dengen diri sendiri, nggak menyalahkan pihak mana
pun. Rasanya diriku seperti keledai dungu saat Patrick bilang cara komunikasi
Hannah dan Dirga istimewa. Padahal Hannah teman sebangkuku, dan Dirga
duduknya hanya berjarak dua bangku dari tempatku. Gimana bisa aku nggak
menyadarinya" Ya, sudah. Berarti yang kali ini memang bukan jodohku. Hello, I'm a sixteen
year old gril, okay, going seventeen, but it all means I'm still a teenager. Just
enjoy this moment. Orang bilang, masa muda, apalagi SMA, masa yang paling seru dan asyik untuk
dikenang. Perjalanan hidup masih panjang. Dan aku hidup juga bukan untuk
sekedar mencari cowok. Ada banyak mimpi yang sudah kugantung tinggi dan
harus diwujudkan. Tuhan selalu memberikan yang terbaik. Tuhan selalu memberikan yang kita
butuhkan. Well, kalau sekarang aku belum dapet cowok, itu berarti Tuhan tahu aku bisa
dan akan baik-baik saja tanpa kehadiran makhlik berkromosom Y. Tuhan tahu
aku belum membutuhkan cowok.
Oke. Sip. *** "#"Dirga" Gue sempat ragu waktu latihan basket Greta belum muncul, mengingat
kebiasaanya hadir sepuluh menit sebelum waktunya. Apa dia sengaja
menghindari" Atau mungkin dia nggak mau bergabung lagi"
Dugaa gue terpatahkan saat kuncir ekor kuda Greta bergoyang dari seberang
lapangan. Dia berseru ceria. Kami belum saling pandang, hanya gue mengamati
dia diam-diam. Apa dia juga akan bersikap seperti itu dengan gue"
"Ga!" Bola keburu nimpuk kepala gue dari belakang sebelum gue menoleh ke sumber
suara. Refleks, gue mengusap-usap kepala. Sakit.
"Meleng aja lo. Ngeliatin siapa, coba?" Boy menghampiri sambil meledek, alihalih meminta maaf.
"Apaan" Sakit, woy!"
"Hehe. Makanya, jangan meleng terus. Kalo di lapangan, fokus dong! Fokus,"
Boy berlagak seperti coach. Dasar!
Gue kembali menoleh Greta. Dia tengah menatap gue. Mungkin hanya sedetik,
tapi rasanya lama banget. Gue tersenyum canggung. Mengejutkan: dia
membalas senyum gue. Malem ini gue dan anak-anak, termasuk Greta, Jenni, Cia, dan Ivonne,
nongkrong di salah satu bakery yang cozy banget. Sedari sore, yang menjadi
pusat perhatian gue cuma Greta. Nggak bisa dibilang lega juga melihat dia
kembali seperti biasa. Yang jelas, gue justru merasa terluka dan terbebani. Kenapa dia nggak terangterangan membenci gue" Kenapa nggak terang-terangan menghindari gue"
Gue nggak menikmati suasana. Di seberang gue, seorang cewek dengan
santainya menghabiskan banana boat. Sikapnya yang kalem justru
menyakitkan. Memuakkan. "Aduuuhh!" Pandangan semua beralih ke Greta. Dia tengah memegangi perutnya sambil
meringis. Cia, Ivonne, dan Jenni segera merapatkan diri, sementara yang lain
menunggu konfirmasi. Nggak jelas, gue cuma dengar Greta sakit perut.
"Rakus sih lo, makan main lahap aja," Boy mengolok Greta.
"Sembarangan!" "Gue antarin pulang yuk!" Entah setan atau malaikat yang membisikan ide itu
ke telingan gue dan tanpa pikir panjang langsung gue teruskan dalam bentuk
lisan. "Iya deh, lo pulang aja. Nggak lucu kalo lo pingsang di sini," Boy ikut
membujuk. Setelah perdebatan panjang antara Greta, Boy, serta yang lain, akhirnya Greta
duduk di sebelah gue. Di mobil gue. Tanpa berkata apa-apa selain memegangi
perut dan meringis tanpa suara. Mungkin menahan sakit.
"Kenapa, Ta" Lagi dapet?"
Greta hanya menggeleng singkat sambil menengok ke samping, lewat kaca
mobil. Berusaha supaya nggak menatap gue.
Gue memutuskan menempuh jalur yang lebih jauh, nggak ambil pusing dengan
sakit perut Greta. Siapa tahu dia hanya bermain peran. Nggak sakit tapi
memilih bersikap seperti itu demi menghindar gue"
"Kok lewat sini, Ga" Kan jauh." Akhirnya setelah perjalanan yang bisu, Greta
Salad Days Karya Shelly Salfatira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuka percakapan dengan pertanyaan.
"Lo nggak jujur."
Aku menoleh singkat ke arahnya, mendapati dia naikin alis dan mendesah.
Seakan-akan dia capek berat.
"Kita nggak sedang membahas itu. Dan emang nggak perlu dibahas lagi. Yang
kemarin sudah mewakili semuanya. Sudah menjelaskan semuanya."
See" Dia ngerti arah pembicaraanku.
"Kenapa lo harus pura-pura seperti itu" Faking smile, forcing to look happy.
Semuanya." "Gue nggak berpura-pura. Memang adanya seperti itu."
Gue tetap berjalan 70 km/jam, meski setengah mati menahan pedal gas.
"Lo rela" Gue udah berbicara jujur, Ta. Kenapa lo nggak menghargai?"
Greta meledak, "Gue justru menghargai sikap jujur lo yang terlambat itu, Ga.
Gue merelakan semuanya terjadi sebagaimana semestinya, tanpa gue, cukup
lo dan Hannah! Kenapa lo menghardik gue seperti itu" Lagi pula, apa yang
harus dipertahankan" Sejak dulu nggak ada yang layak dipertahakan di antara
kita, kecuali kesetiakawanan! Sebagai teman!"
"Susah sekali lo mengaku cinta?"
"Jangan kepedean!"
"Seenggaknya lo pernah bilang, lo sayang sama gue. Lo punya perasaan sama
gue." Gue mencoba mengingatkanya, kalau-kalau dia lupa.
"I remember it. I still do."
Gue butuh kepastian sekali lagi! Biar gue tau lo sebenarnya masih
mengharapkan gue! "Oke, Ga. Gini ya, dengerin baik-baik. Mungkin memang seperti ini yang harus
gue jalanin. Gue mengikhlaskan lo dan Hannah. Gue nggak akan bilang ke siapa
pun soal ini, jadi lo bisa tenang. Biarkan itu jadi penggalan cerita hidup gue,
gue nggak akan berusaha melupakannya."
"Lo nggak mencoba untuk... Berusaha lebih?"
"Berusaha lebih untuk apa" Supaya gue bisa jadian sama lo?" Greta tertawa.
"Nggak." "Karena Hannah" Seandainya bukan Hannah, lo tetep akan seperti ini?"
"Gue nggak tau, dan nggak mau berandai-andai. Kata 'seandainya'
menyakitkan, Ga. Gue nggak akan bermain dengan kata itu. Gue bisa
mengubah permainan kata 'seandainya', tapi tetep nggak bisa mengubah
faktanya." "Sesederhana itu?"
"Sesederhana itu."
Kami terdiam, sibuk berkuat dengan pikiran dan perasaan masing-masing.
"Gue masih sayang lo, Ga."
Suara Greta lirih dan pelan, tapi menimbulkan efek yang spektakuler buat di
tengah kebisuan ini. Dia menunduk, memainkan jemarinya. Masih ada yang
ingin dia sampaikan. Masih ada. Pasti.
"Jangan disela. Biarkan gue menyelesaikan omongan gue, supaya gue bisa lega.
Seenggaknya, usaha gue mengikhlaskan bikin hati gue lebih ringan."
Gue diam seperti yang dia minta. Bibir gue tertutup dan sekalipun pandangan
gue lurus ke depan, pikiran gue fokus pada sosok di samping gue.
"Gue baru dua kali jatuh cinta, Ga. Karena selera dan penilaian orang beda,
banyak yang nggak setuju ketika tahu pilihan gue. Gue menemukan banyak
kebaikan Regar. Tapi ternyata dia memilih Hannah."
Gue terenyak, bisa merasakan betapa hancur, sakit dan perih hati Greta saat
itu. "Butuh waktu buat menata hati gue." Greta tertawa getir. "Lalu lo datang."
Gue mencengkeram setir lebih kuat. Seperti ada yang meremas dada gue.
Jangan bilang bahwa gue pun memberikan sejarah yang sama.
" Lo pasti inget awal hubungan kita. Gue menganggap lo pesaing karena
mengira lo mengambil Hannah dari gue. Perlu lo pahami, Ga, sekalipun gue
sempat berperasaan aneh ke Hannah gara-gara Regar, gue nggak pernah
membenci dia. She means a lot to me, just lo my own sister.
Gue nggak bisa memastikan kapan gue punya perasaan lebih ke lo, tapi saat itu
gue mulai memupuk harapan demi harapan. Ternyata Tuhan punya jalan yang
unpredictable. Sejarah berulang cepat, bahkan sebelum gue siap
menghadapinya." "Ta..." "Gue sempat kecewa sama Tuhan. Gue merasa...dipermainkan. Kenapa gue
kembali harus diadu dengan sahabat gue sendiri?"
"Oh!" "Gue nggak tahu harus menyalahkan lo, Hannah, atau Tuhan, karena gue
merasa semua membenci gue. Akhirnya gue melampiaskan semua ke Tuhan.
Gue ungkapin semuanya. Yah, singkatnya, gue mendapat jawaban. Perlahan
tapi pasti, hingga gue bisa ikhlas."
"Mungkin Tuhan memberikan jalan seperti ini supaya lo berusaha lebih?"
"Gue rasa bukan seperti itu rencana Tuhan. Intinya, gue nggak akan
mengganggu dan memasuki hubungan lo dan Hannah. Kita tetep jadi teman.
Banyak impian besar yang harus gue raih. Dan gue nggak akan memberikan
apa pun mengalangi keinginan gue itu."
"Termasuk soal kita?"
Greta mengangguk mantap. "Temasuk soal kita. Gue memilih menyalurkan
energi ke hal yang lebih oke. Lebih positif, lebih menyenangkan."
Gue menelan ludah. Ada satu pengakuan yang belum tersampaikan. "Gue
nggak menyayangi Hannah seperti gue menyayangi lo, Ta."
Greta menoleh cepat. "Apa lo bilang?"
"Gue....yah, gue sayang Hannah sebatas sahabat."
Greta menghela napas, mungkin menilai gue sebagai gabungan bego, egois,
dan bajingan. "Ta, gue minta maaf atas ketidakmampuan gue melindungi kita bertiga,
membuat masing-masing terluka. Gue akan omongin ini ke Hannah, sebelum
dia berharap jauh." Kami sampai di rumah Greta.
"Ga, gue mau ngelanjutin hidup tanpa menoleh ke belakang. Gue sama sekali
nggak akan ikut campur urusan lo dan Hannah, dan tolong, jangan libatkan gue
juga." Greta tertawa datar. "Kalo memperbaiki dalam artian mengulang semua dari
awal, nggak." Gue menghela napas. Ini sudah final. Gue nggak bisa memaksa Greta.
"Thanks a lot ya, Ga. Lo ati-ato baliknya."
Gue hanya mengangguk pelan.
"Kita nggak tahu masa depan, Ga. Sekarang kita berusaha mencapai masa
depan seperti yang kita inginkan, berjalan pada jalur imajiner. Bukan mustahil
kalo ada dua jalur yang punya pangkal berjauhan, tapi ternyata unjungnya
menyatu. Kita nggak pernah tau, Ga"
Part 14 "#"Greta" Hannah menangis panjang setelah Dirga mengatakan semuanya. Aku bisa
mengerti perasaan Hannah, tapi nggk menyalahkan Dirga karena dia sudah
berani bersikap tegas. Lebih baik begitu daripada saling mendusta.
Hubungan aneh antara aku, Dirga, dan Hannah tetap menjadi rahasia bagiku,
Dirga, dan Patrick. Dirga nggak mencertikan dan menyangkutpautkanku seperti
yang kuminta. Masing-masing dari kami merasa sedih, tapi waktu akan
menyembuhkan. Perlahan tapi pasti kami merangkak keluar dari ruangan batin yang
menyesakkan dan berdiri tegap menuju awal bari yang menanti, meski letih
dan tertatih. Lagi-lagi, kami berhasil mengawinkan gelar juara pada turnamen setelah
ulangan umum. Kami menutup suasana pilu dengan menghadiahi diri sendiri
kemenangan baru. Bulan-bulan berat menemani kami. Try out dan ujian menggembleng kami
untuk memasuk jenjang pendidikan lebih tinggi yang terbaik. Ulangan akhir
semester, ujian akhir sekolah, dan ujian nasional membuat kami nggak sempat
memikirkan hal lain. Tinggal sepuluh hari lagi pengumuman hasil ujian, masih ada sedikit waktu
untuk memanfaatkan momen yang tersisa sebelum kemudian kam berpencar
menjalani hidup masing-masing.
*** "#"Hannah"
Awal kelas dua belas kemarin bukan saat baik bagiku. Selesai ulangan kenaikan
kelas, aku dan Dirga terlibat pembicaraan serius dan menguras emosi. Intinya,
Dirga mencoba meluruskan apa yang selama ini kusalah pahami.
Poinnya, rasa sayang Dirga kepadaku bukan seperti hubungan cowok dan
cewek, namum lebih kepada antarasahabat lama. Aku kecewa dan menangis.
Sekian lama menunggu, ternyata seperti ini yang kuterima.
Penyertaan Tuhan-lah yang membuatku bisa bertahan untuk menyelesaikan
semua tugas dan u jian sekolah. Tidak gampang melewati tahun ditemani
kegalauan hati. Eta sempat marah-marah karena aku nggak bisa mengendalikan pikiran dan
perasaanku sendiri. Menurutnya, aku nggk seharusnya mandek.
Eta juga bilang, banyak cowok oke, apalagi di bangku kuliah nanti, lebih
dewasa juga. Membantah Eta artinya minta tambahan ceramah. Aku diam dan
mengikuti sarannya. Dan hasilnya nggak mengecewakan. Eta berhasil menumbuhkan semangat dan
motivasiku, meski naik dengan sangaaat pelan. Dan pelan-pelan juga, aku
mulai bisa berbicara kembali dengan Dirga, meski belum mampu
menghilangkan perasaan sakit setiap kali bertatapan. Urusan hati memang
susah. Kemarin malam Dirga datang ke rumah tanpa pemberitahuan. Aku kangen
sekali suasana yang sering kami lewati bersama seperti dulu.
"Wah, bagus. Lagian sepertinya cocok deh sama sifatmu," komentar Dirga tulus
saat menanyakan lanjutan pendidikanku.
"Ya, amin. Mauku jadi dokter gigi yang baik. Kamu sendiri mau ke mana"
Teknik mesin ya?" Dirga menggeleng sambil tersenyum. " Aku mau ke angkatan."
"Angkatan?" Aku sama sekali nggak menyangka jawaban Dirga. "Militer?"
"Udara." "Di jawa tengah?"
"Yogya." "Nanti...pasti kamu jarang pulang." Aku mengungkapkan isi hati.
"Kan ada cuti. Enam bulan sekali juga pulang. Lagian, mungkin kamu sibuk
nanti. Kan mahasiswa kedokteran." Dirga mencoba bercanda.
Aku nggak bisa menahan air mataku. Dirga nggak berkata sepatah kata pun.
Dia hanya berdiri dan mendekat, lalu memelukku. Tangisanku meluap. Aku
nggak tahu berapa banyak air mata yang membasahi kausnya. Aku nggak mau
melepasnya pergi. "Dirgaa....jangan kuliah jauh-jauh," kataku di sela isakan.
Dirga mengusap-usap kepalaku, dengan sebelah tangannya masih memelukku
erat. "Kan nggak jauh. Masih di indonesia. Masih bisa ketemu. Masih ada cuti."
"Dirgaa, aku masih sayang kamu...."
Yang Dirga lakukan cuma memelukku semakin erat.
*** "#"Patrick"
Hari ini semua bergembira. Pengumuman kelulusan sudah keluar. Hasilnya
memuaskan, sesuai harapan. Greta berhasil masuk peringkat lima besar
provinsi, prestasi yang betul-betul membanggakan. Aku tahu apa saja yang
terjadi padanya setahun belakangan ini, tapi masa lalu yang pahit nggak
membuat masa depannya menjadi pahit juga.
"Yag, hikmah juga sih, Pat. Kalo dulu nggak ada kejadian seperti itu, bisa aja
gue malah keasyikan pacaran dan nggak dapet prestasi kayak gini. Disyukuri aja
lah," papar Greta saat aku mengucapkan selamat.
Nggak ada ritual corat-coret seragam. Murid-murid tertib, lebih memilih
mengabadikan momen ke dalam potret, gambar, dan berbagai tanda tangan
serta tulisan di buku kenangan.
Kami berdiri berhadapan di tengah kerumunan murid yang lalu-lalang. Saling
menunduk, nggak tahu harus berbuat apa. Nggak bisa dipungkiri bahwa aku
masih berharap lebih kepada cewek jangkung yang beridiri canggung di
depanku. Menyesakkan, mengingat ini adalah hari yang mengakhiri
kebersmaan di tempat yang penuh memori ini.
"Lanjut ke mana, Pat?"
Aku mengakat wajah. Dia tersenyum seperti biasa. Manis. Cantik. Beraura.
"Teknik perminyakan, Ta."
"Wah, keren! Oke deh. Sukses ya." Greta menepuk lenganku.
Aku baru akan bertanya balik, tapi Greta keburu mendapat telepon dan segera
pamit. Aku hanya menatap punggungnya yang menjauh.
*** #Greta Aku nggak menemukan Boy di antara sekial banyak murid di sekolah ini. Tanya
ke sana-sini, nggak ada seorang pun yang melihatnya. Aku sempat
mengiriminya pesan, tapi nggak ada balasan. Ihh! Aku melihat hasil ujian
nasionalnya. Urutan 28 dari 366 murid. Prestasi luar biasa untuk ukuran anak
urakan. Telepon dari Boy membuatku buru-buru pamit kepada Patrick dan mencari
tempat yang agak sepi supaya bisa mendengar dengan jelas. Perpustakaan,
taman belakang, semua bukan tempat yang pas untuk bisa mendengarkan
suaranya dengan jelas. "Iya, iyaa, sebentaaar, gue nyari tempat yang oke nih." Aku berlari-lari, mencari
lokasi sambil berteriak di telepon.
Nah. Pintu gedung indoor terbuka. Aku mulai mengurangi kecepatan menjadi
berjalan biasa. "Oke kenapa" Lo ada..."
Aku nggak menyelesaikan kalimatku, sebab tepat di lingkaran lapangan, daerah
jump ball, aku melihat Boy berdiri dengan tangan kiri memegang ponsel yang
menempel di telinga dan tangan kanan terangkat, melambai ke arahku.
Heran" Ini emang kebetulan atau apa ya" Aku seketika merasa ada sesuatu
yang nggak kuduga akan terjadi. Aku mengira boy nggak ke sekolah, mungkin
di rumah, aku ke sini sekadar mencari tempat tenang untuk mengobrol via
telepon. Atau jangan-jangan Boy seperti deddy corbuzier, bisa membaca
pikiran" Wah, gawat.
"Kok lo ada di sini" Ngapain?" Cetusku, nggak bisa menutupi rasa penasaran.
Boy mengangkat ujung bibirnya, dan mengangkat bahunya, memberikan kesan
yah-gue-gitu. Aku menyimpan ponsel di saku rok. "First of all, congratulation ya. Nilai
matematika lo sempurna tuh. Kalah gue."
Ngeledeeek! Fisika, kimia, sama inggris lo sempurna banget. Lainnya salah satu
doang. Gokil." "Bahasa indonesia salah dua," ralatku culun.
"Sama aja bagus."
Aku memandang setiap detial makhluk di depanku itu. Di antara semua teman
cowok, dia yang selalu ada dan paling dekat, penuh perhatian, dan penuh
pengertian. Aku tersenyum sedih. Apa iya, secepat ini kami harus berpisah"
Bukannya baru kemari kami berkenalan"
"Ngapain lo mau nangis begitu" Sedih ya, nggak bisa ketemu gue lagi?" Tanya
Boy nyengir. Biasanya aku akan berkilah sehingga dia semakin gencar meledekku.
"Iya nih. Sedih gue." Baru kali ini aku nggak membalas atapun mengelak.
"Sini." Boy merentangkan kedua tangan, tetap berdiri di tempatnya. Aku tersenyum
geli, tapi tak urung menyambutnya. Dia memelukku. Erat sekali. Aku
menikmatinya. Bisa jadi ini yang terakhir buat kami. Sepertinya bukan aku
sendiri yang merasa berat meninggalkan semua kenangan tiga tahun di sekolah
ini, baik dan buruknya. Banyak kejadian dan rahasia yang kami simpan di
gedung ini. "Ah nggak pengin gue lepasin kalo begini. Kayaknya waktu jalannya kecepatan
deh," gumam Boy. Aku nggak berkomentar, kerena mengamini ucapanya.
"Makasih ya buat lo semuanya. Lo mau terus bereng dan ngebantuin gue,
nggak peduli gimana mejengkelkannya gue."
Aku tertawa kecil. Rupanya dia menyadari sikapnya yang terkadang sangat
menjengkelkan. Az, seperti ini ya. Dengerin gue," Boy belum melepaskan pelukannya, " selama
ini gue seneng banget bisa akrab sama lo, sering ngabisin waktu bareng.
Sebelum gue sadari betul, ternyata dunia gue berputar dengan bayangan lo.
Salad Days Karya Shelly Salfatira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena kebersamaan itu, rasanya ada yang aneh aja kalo nggak ada lo. Ada
yang kurang tanpa kehadiran lo."
Pikiranku mulai macam-macam. Biasanya kalau mulai ngomong seperti
itu....eh, eh tapi Boy. Aku meyakinkan diriku untuk nggak berpikir ngaco.
"Gue sayang teman-teman gue. Kaewna keseringan menghabiskan waktu
bersama, gue nggak rela berpisah, apa lagi kehilangan. Gue pernah bilang sama
lo, gue pengen buktiin sesuatu ke seorang cewek. Selama ini gue melihat dia
begitu sempurna, sementara potensi dan keadaan gue nggak sebanding dia.
Perlu usaha esktra dari gue buat membuka matanya."
Aku melepaskan pelukanku, tapi Boy enggan melepaskan pelukannya.
"Iya, cewek itu lo, az. Kehadiran gue selama ini nggak lebih dari sekedar teman
cowok yang dekat banget, kan" Gue tau diri kok. Seperti yang lain, gue juga
punya khayalan dan harapan untuk punya hubungan lebih."
"Gue.." "Sssst. Let me finish my sentence, okay" Gue udah pikirin baik-baik. Gue aka
menyatakan semuanya. Gue nggak memaksa atau menuntut lo untuk langsung
menjawab. Biar sama-sama enak, gue ngasih lo kesempatan untuk mencoba
memandang gue sebagai cowok, bukan sekedar teman cowok. Tapi, tolong
jangan mengubah apapun yang sudah kita jalani selama ini. Kalo ternyata lo
nggak bisa, gue terima kok. Gue nggak mau kehilangan lo dua kali: sebagai
sahabat dan sebagai cewek gue."
"Duh. Ngapain nangis?" Boy mengusap air mataku lembut. "Jelek, ah. Udah
gede ngapain nangis" Main aja yuk. Buat yang terakhir kalinya."
Tangisanku semakin menjadi. Huhuhuhuhuuu.........
"Lho, kok malah heboh sih?"
"Jangan bilang yang terakhir dong..... Huhuhuhuhuuu...."
Boy tertawa dan mengacak-acak lembut rambutku.
"Sssst, cup cup. Ulangi taruhan setahun kemarin yuk. Sepuluh kali three point."
Aku masih terisak saat Boy memantukan bola padaku. Setelah bujuk rayunya
yang asli gombal, aku dan Boy justru nggak jadi bertaruh dan lebih memilih
bermain one-on-one dengan berbagai adegan kejar-kejaran, cubit-cubitan,
kelitikan, dan adegan-adegan lain khas film Bollywood.
*** "#"Dirga" Setiap akhir sebuah babak, akan datang awal babak lain yang baru. Masa SMA
sudah berakhir dan kini masing-masing menyongsong mimpi dalam fase
kehidupan baru. Begitu pun gue.
Begitu pengumuman ujian keluar, gue plong dan bangga dengan usaha gue
selama ini yang nggak sia-sia. Gue segera menjadi karbol, siap menempuh
pendidikan di Akademi Angkatan Udara.
Menengok kejadian yang sudah berlalu, nggak ada yang gue sesali. Gue nggak
akan bisa mengerti manis kalo nggak tau pahit, kan" Teman, basket, sekolah,
cinta...ya, semua memberikan warna dan pelajaran yang berbeda tapi
bermanfaat. Gue nggak aka bisa seperti ini kalo nggak melewati itu semua.
Kabar terakhir yang gue dengar, Greta melanjutkan studi ke Melbourne. Gue
nggak sempat bertemu dengan dia karena bertepatan dengan jadwal seleksi
akademi gue. Gue nggak tau kapan kami bisa bertemu lagi. Mungkin saat dia
liburan dan gue cuti, atau setelah kami menempuh pendidikan" Atau mungkin
pada acara pernikahannya"
Kata Hannah, Greta belajara arsitektur. Hal yang sangat mungkin dia tekuni,
mempertimbangkan potensi menggambarnya yang sangat baik. Gue masih
menyimpan lukisan diri gue yang di kasih saat ulang tahun ketujuh belas.
Lukisan itu tergantung di kamar gue, satu-satunya hiasan dinding di sana. Satusatunya fokus gue sebelum tidur dan yang pertama saat bangun tidur.
Part 15 "#"Greta" Aku menutup leptop dan merebahkan diri dengan nggak sabar di tempat tidur.
Besok aku kembali ke Indonesia. Akhirnya. Melbourne sedang musim dingin,
suhunya nggak tanggung-tanggung. Sementara menurut Boy yang sedang
kuliah di Surabaya. Ibu kota jawa timur membuatnya sering kehabisan stok
baju karena gampang berkeringat. Hahaha....
Dua tahun sudah berlalu sejak kelulusan SMA. Aku nggak sering berkomunikasi
dengan kawan-kawan SMA, termasuk Hannah. Boy menjadi orang yang selalu
memberikan informasi dari Tanah Air. Mengabarkan keadaan kawan-kawan
yang menyebar, sampai berita politik kaum elite. Ada saja yang menjadi bahan
obrolan kami. Tiga hari lalu kami sempat mengobrol bia telepon. Gaya banget si Boy. Tarif
internasional kayaknya nggak membuat dia berhenti ngoceh selama hampir
dua jam. Tapi aku kangen banget sih.
"Aaaah, kangen banget gueee. Lo udah libur, kan" Awas lo pokoknya kalo lo
nggak nyamperin gue nanti," ancamku.
"Yakiiin kangen sama gue?" Nada suara Boy justru meremehkan.
"Iya lah. Emangnya lo nggak kangen sama gue" Ih, jahat deh." Aku sok
merajuk. Habisnya aku memang kangen banget sih. Sudah setinggi apa ya Boy
sekarang" Apa ada kemajuan"
"Lebih kangen sama gue atau Dirga?"
Aku tertegun, sama sekali nggak menyangka Boy mengucapkan satu nama itu.
Aku memang sempat menceritakan semuanya pada Boy, sebelum
keberangkatanku ke sini. Sayangnya, aku nggak ketemu Dirga pada saat
terakhir karena dia harus mengikuti seleksi angkatan udara. Hingga kini kami
praktis nggak pernah berhubungan. Putus begitu saja.
Pembicaraan antara aku dan Boy sedikit pun nggak berindikasi yang mengrucut
pada satu nama itu. "Kok jadi bahas orang lain sih?" Cetusku.
"Kan benar. Katanya lo kangen gue. Sebesar apa kangen lo kalau di bandingin
ke Dirga?" Aku curiga, selama ini aku nggak pernah berbicara apa pun menyangkut Dirga.
Dua tahun memang berlalu, tapi ternyata perasaanku belum berlalu begitu
saja. Aku harus benar-benar mengamini dan mengakui kekuasan-Nya.
Melbourne nggak sepi dari laki-laki yang good looking dan nice, tapi hatiku
nggak terasa seperti kena setrum. Ya tahu lah, semenarik apa pun orang, kalau
memang hati kita nggak se iya dengan apa yang kelihatan, nggak akan jalan.
Situs jejaring sosial juga nggak banyak membantu. Facebook dan Twitter Dirga
jarang sekali di-update. Aku sama sekali nggak berinisiatif menghubunginya
lebih dulu, sebab takut. Takut menghadapi berbagai kemungkinan.
Gimana perasaan Dirga padaku saat ini, seletah dulu dia sempat memintaku
kembali tapi aku dengan tegas menolak" Apa dia masih berharap" Atau
mungkin dia sudah menemukan cewek lai di sana" Apa aku masih bisa berdiri
lagi di hadapannya tanpa air mata dan hati yang terluka kalau memang ada
yang lain" "Gue punya feeling yang kaut bahwa lo masih belum berhenti memikirkan
Dirga. Tweet lo selama ini juga soal dia, kan" Nggak banyak memang, dan
terlalu samar buat orang lain, tapi gue mengerti. Gue memahami lo."
Ah, ya. Twitter menjadi tempat sampah yang menyenangkan untuk keadaan
yang sangat mendesak, dan sering kali emosianal. Tapi nggak pernah secara
frontal mengucapkan isi hati, apa lagi menyebut namanya di depan publik.
Nggak. Aku nggak pernah. "Dia baik-baik aja, kalo lo mau tau, tiga bulan lalu gue sempat ke yogya. He
seemed fine." "Baby, stop it, okay?"
Aku menolak berbicara lebih lanjut menyangkut Dirga. Sudah, biarkan saja. Aku
nggak mau mendengarnya dari orang lain. Biarkan waktu yang
mempertemukan kami sehingga aku bisa memastikan langsung keadaanya.
Aku bisa kembali melihatnya. Aku bisa kembali menyentuhnya.
Part 16 "#"Hannah"
Aku sudah sampai di rumah Eta bersama Boy dan beberapa teman. Hari ini Eta
pulang ke Indonesia dan kami berencana membuat kejutan untuknya.
Lama banget aku nggak menginjakkan kaki di rumah ini. Bi Rahmi, Mang
Karmin dan orangtua Greta menanyakan kesibukanku, kenapa nggak pernah
main, dan lain-lain. Di samping nggak ada Eta di rumah ini, kuliahku juga
menyita waktu. Harus ada yang di korbankan. Having fun, misalnya.
Aku melihat Bi Rahmi di dapur, menyiapkan makanan. Mmm.... Aroma pisang
kejunya menggoda. Dijamin nggak sampai sepuluh menit, dua piring pisang
keju ini bakalan ludes. Nggak perlu diragukan lagi.
"Halo" Woi... Ga, di mana lo?"
Suara Boy yang sedang berbicara di telepon dengan seseorang mendapatkan
perhatianku. Iya, udah banyak nih... Iya lah... Dateng kan lo"....beres. Yo."
Mungkin yang di teleponnya Dirga. Ah, salah. Pasti Dirga. Aku nggak tahu dia
mau datang. Apa sudah waktunya cuti" Sedikit demi sedikit, aku tahu cerita
tentang Dirga dan Eta. Sejujurnya aku kecewa dan sakit hati karena dibohongi.
Aku meminta komfirmasi langsung pada Dirga, tapi ternyata jawabannya
mengejutkanku. Dari apa yang terjadi, Eta jauh lebih sakit daripada aku. Meski
begitu, Eta memilih mundur dan memaksa Dirga untuk nggak menceritakan
bagian itu sebab Eta nggak mau merusak persahabatan kami. Aku jadi malu
sendiri. Waktu terus berlalu, menawarkan berbagai pengalaman baru yang
mendewasakanku. Sejak empat bulan lalu, aku menjalin hubungan dengan
kakak angkatanku. Sedikit-banyak ada persamaan antara dia dan Dirga, tapi
aku nggak mau membandingkan. Aku merasa cukup dan mensyukuri apa yang
kunikmati hingga hari ini.
"Eh, eh, sssst, diem dulu dong!" Navid meminta kami diam dan membesarkan
volume TV. Karena di luar hujan, kami memutuskan ngumpul di ruangan
tengah dan bukan di gazebo.
Tanyangan TV menampilkan pembawa acara berita tengah mengabarkan
kecelakaan pesawat. Aku bergerak maju, kendekati kerumunan yang
mendadak sepi karena menyimak isi berita.
"Boy, itu bukan pesawat Greta, kan?"
*** "#"Dirga" Gue sangat-sangat bersemangat menyambut cuti kali ini. Bukannya akademi
membosankan dan bikin jenuh, namun cuti kali ini nggak bisa ngak nggak boleh
gue lewatkan begitu saja, atau gue akan menyesali keputusan bodoh gue
sendiri. Tiga bulan lalu, Boy ke Yogya dan kebetulan kami bisa bertemu. Selama ini dia
masih berhubungan rutin dengan Greta. Gue menyimak deng baik setiap
perkataannya, nggak mau melewatkan sedikit pun kabar tentang cewek yang
tetap mengisi hati gue. Liburan kali ini Greta bakalan pulang ke Indonesia dan
Boy menyiapkan kejutan menyambut kedatangannya.
Melegakan saat gue tahu Greta baik-baik aja di sana. Tapi ada satu hal yang
membuat gue lebih lega....
"Dia nggak pacaran di sana. Itu kalo yang mau lo tanyain."
Gue menatap Boy. Dia nggak berubah menjadi cenayang, kan"
"Beberapa cowok memang mendekati dia, tapi nggak ada yang nyangkut. Dia
masih nunggu seseorang. Dia masih setia sama satu orang Indonesia di sini."
Saat itu gue mencoba mencari jawaban dan kepastian dari tatapan Boy yang
misterius. Saat itu gue bertanya-tanya, apa gue boleh kembali berharap"
Gue menelepon Boy sambil menyalakan mesin mobil. Udah banyak yang
dateng rupanya. Gue semakin nggak sabar.
Gue kembali ke kamar, mengambil dompet yang hampir lupa dibawa. TV masih
menyala, tapi sudah nggak ada yang ngeliatin. Sejak tadi penontonnya emang
cuma gue sih. Gue baru akan menekan tombol remote untuk mematikan, tapi
suara penyiar berita yang di tangkep telinga gue membuat gue mengurungkan
niatku. Setengah mati gue mencoba tetap sadar mendengarkan berita. Seperti ada
yang meremas dada gue dengan kekuatan penuh, dan seakan menyedot udara
ke luar rongga dada. Gue terdunduk lemas di sofa. Gue nggak tau harus
ngapain, seperti kehilangan semangat dan tenaga.
Ponsel gue bergetar. Melihat siapa yang memanggil, dengan lemah gue
menerima panggilan dan menempelkan di telinga. Suara Boy terdengar,
sementara bibir gue terkunci rapat.
*** "#"Boy" Jalan tuhan memang tak terduga.
Hari ini banyak orang datang melayat dan mengantarkan jasad Greta sampai
peristirahatan terakhirnya.
Gue sempat ketemu adam, entah dari mana dia dapet kabar. Bahkan ada
beberapa wajah non-Indonesia yang belakangan ini gue ketahui sebagai
teman-teman Greta di Melbourne.
Gerimis masih turun, membuat aroma tanah semakin tercium. Kesukaan Greta.
Dia selalu suka hujan, apa lagi bau tanah yang basah. Sayangnya, sekarang
dalam suasana berbeda. Dia nggak bisa lagi menikmatinya sambil tertawa kecil,
ditemani secangkir cokelat panas seperti biasanya.
Satu per satu peziarah meninggalkan tanah merah dengan banyak taburan
bunga itu. Kedua orangtua Greta sudah ikhlas setelah pencarian jenazah
selama hampir dua minggu. Abangnya juga datang. Di nggak tersedu-sedu, tapi
air matanya terus mengalir. Hannah yang sempat histeris.
Dalam sembilan belas tahun usia Greta, gue baru baru mengenalnya lima
tahun terakhir. Mungkin di antara teman-teman, gue lebih mengerti dirinya.
Cukup banyak waktu yang kami habiskan bersama. Banyak duka dan canda
yang kami bagi, banyak cerita yang kami bikin. Sayangnya, dalam urusan
asmara, kami nggak berbagi. Kami nggak berada di jalur yang sama.
Tinggal gue dan Dirga yang masih bertahan di makam. Gue berdiri di sebelah
Dirga, yang berjongkok dan memegangi nisan putih bertuliskan nama indah.
Gue nggak melihat Dirga nangis dari tadi, cuma rahangnya mengeras.
Sekarang, dalam keheningan mencengkam, gue melihat bahunya bergetar dan
sejurus kemudian terdengar isakan tangis. Gue nggak mengalangi Dirga
menumpahkan emosinya. Di antara kami yang kehilangan, Dirga yang lebih berhak merasa kecewa,
ditinggalin pergi tanpa pernah mendengarkan kejujuran perasaan yang
diungkapkan langsung. Dia setia menunggu Greta kembali.
"Ga," panggil gue pelan sambil memegang pundak Dirga.
Dirga masih menangis tanpa suara. Saat gue menunduk akan berjongkok di
sebalahnya, gue melihat tangan kirinya menggenggam kertas biru. Kertas yang
tiga bulan lalu gue berikan ketika gue ke Yogya. Kertas yang selama dua tahun
gue simpen baik-baik, sesuai permintaan Greta. Kertas yang diberikan Greta
pada hari keberangkatannya meninggalkan Indonesia kepada seseorang yang
ternyata nggak bisa datang mengantarnya. Seseorang yang sangat ingin dia
temui sebelum pergi. "Dia sedang berjuang untuk masa depannya. Nggak apa-apa. Gue juga akan
berjuang untuk masa depan gue." Greta mencoba tersenyum saat mengatakan
itu. Gue ikut mengantarkannya ke bandara.
"Lo ati-ati ya di sana. Belajar yang benar. Inget, tujuang lo di sana buat belajar."
Greta tertawa kecil saat gue mengucek-ucek rambutnya dengan sayang.
"Jangan luapain gue ya. Gue pasti balik. Lo di Surabaya nanti juga yang bener,
jadi nanti kalo gue butuh dokter, gue tinggal hubungin lo."
"Siaaap." Kami berpelukan. "Oh iya, gue nitip sesuatu sama lo." Greta merogoh saku jeans.
"Tolong kasihin ini ke Dirga, ya. Kapan pun lo ketemu. Untuk deadline yang
nggak terbatas." "Az..." "Nggak ada yang bisa menduga jalan Tuhan. Kita nggak pernah tau masa depan
kita gimana. Begitu pun Dirga. Gue pernah bilang ke dia, kami berjalan pada
jalur imajiner yang nggak keliatan dan mungkin berbeda, tapi nggak menutupi
kemungkinan kalo ujung kedua jalur yang berjauhan itu bisa bersatu."
Gue terdiam. Greta tersenyum dengan sangat dewasa. Setelah menyerahkan kertas biru itu,
kami kembali berpelukan. Ternyata itu pelukan terakhir kami.
*** #Dirga Maaf gue nggak punya keberanian untu mengatakan langsung ini semua. Gue
bukannya takut dianggap plinplan atau semacamnya, tapi lebih karena nggak
sanggup berbicara lancar di depan lo.
Gue nggak berbohong waktu gue merelakan lo pergi dan memilih sahabat gue.
Lo juga bisa liat kan, selama ini gue bersikap seperti biasa, menganggap
semuanya nggak pernah terjadi, bakhan nggak membiarkan itu menjadi
penghalang dalam meraih apa yang udah gue targetin.
Gue tersenyum di depan lo, namun sebenarnya menangis di dalam hati. Gue
bersikap ceria dan terlihat baik-baik aja karena nggak pengin lo menganggap
Salad Days Karya Shelly Salfatira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gue rapuh. Gue nggak pengin lo membebani lo dengan kenyataan bahwa gue
sebetulnya nggak berhenti memikirkan lo. Dengan menjadi teman, kita nggak
mungkin menjauhi satu sama lain, kan"
Begitu lah gue menyakiti diri sendiri.
Kemarin saat lo datang dan meminta balik, dengan angkuhnya gue
mengabaikan itu. Ga, gue menangis. Gue nggak tau apakah setelah pengakuan
ini gue terlihat hina dan rendah di mata lo. Gue hanya pengin jujur.
Kita nggak bisa menentukan ujung jalan hidup kita. Gue hanya meyakini bahwa
kita nggak sedang dalam rute perjalanan yang sama. Cita-cita kita berbeda.
Gue pernah bilang, mungkin saja saat ini jalur kita berjauhan, tapi sama sekali
nggak menutup kemungkinan untuk mencapai satu titik yang sama pada
ujungnya. Itu pengharapan dan kerendahan hati yang sepenuhnya gue amini.
PS: gue meyakini kita punya akhir yang indah bersama. Yang perlu kita lakukan
hanyalah mengambil kesempatan yang ada. Seandainya lo mau memberikan
kesempatan itu ke gue, gue nggak akan menolaknya lagi.
The End Anak Harimau 2 Pedang Hati Suci Karya Jin Yong Algojo Gunung Sutra 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama