Ceritasilat Novel Online

The Chronos Sapphire Iii 6

The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri Bagian 6


empati terkuat dalam The Chronos Sapphire, kan?" kata Clarissa sambil mengibaskan pedangnya
hinga darah di pedangnya terciprat ke tanah, "Kuharap kau siap kubakar hidup-hidup."
"Kami tidak akan membiarkanmu menyakiti siapa pun lagi." ujar Jonathan, "Balas
dendammu tidak ada gunanya melawan kami."
Jonathan bergerak cepat menyerang Jack. Tidak memberi pria itu kesempatan menyerang
balik seperti sebelumnya, Jonathan memutar pedangnya dan pedang itu menembus telapak tangan
Jack. "Anak kurang ajar! Kalian benar-beanr pengkhianat!" geram Jack, "Kalian lupa siapa yang
membuat dan melatih kalian hingga seperti sekarang?"
"Ya, kami tahu. Apocalypse." Kata Jonathan tenang, "Tapi, mereka bukanlah orangtua
kami. Mereka adalah orang-orang keji yang menginginkan kami menjadi pembunuh bayaran.
Sama seperti yang pernah mereka lakukan dulu."
Jack sedikit tersentak mendengar ucapan Jonathan.
"Kau tidak bahagia." Ujar Jonathan, "Karena itu kau melampiaskan ketidak-puasanmu
dengan cara membunuh. Itu membuatmu kecanduan, dan kau tidak bisa berhenti walau ingin"
aku benar, kan?" "Tidak! Itu tidak benar!" teriak Jack, "Aku senang membunuh! Aku ingin membuat orangorang yang melawanku menderita sampai mati. Aku akan menghancurkan mereka yang
menentang, melawanku! Aku akan menghancurkan mereka semua!!"
Lumina yang berdiri di samping Jonathan berjengit ketika menangkap nada kemarahan
serta pilu dalam suara Jack. Ia melirik Jonathan, apakah yang dikatakan cowok itu benar kalau Jack
Lucios tidak bahagia" Kenapa"
Jack menggenggam erat pedangnya dan menyerang kearah Jonathan. Tapi, dia dihadang
oleh Samuel dan Snow. Kemudian Claire dan Sarah menyerangnya. Serangan dari nunchaku
mereka berdua cukup mematikan karena selain beratnya yang lumayan, senjata tersebut
mematahkan beberapa tulang Jack.
"Kami tidak akan membiarkanmu membunuh lagi." ujar Sarah, "Terima saja?"
"Aku tidak akan menerimanya!!"
Jack menyerang lagi. Kali ini dengan membabi-buta. Dia menyerang siapa saja yang
menghalanginya. Ia tidak mau menghabiskan waktu lagi. Ia harus mendapatkan Lumina, atau tidak
sama sekali! "Minggir!!" Serangan Jack yang membabi-buta itu cukup membuat Snow, Samuel, Sarah, dan Claire
cukup kewalahan. Pada akhirnya mereka berempat menerima luka-luka yang cukup membuat
mereka mundur beberapa langkah untuk menetralisir keadaan mereka. Dan kelengahan mereka
membuat bagian depan Jonathan dan Lumina terbuka lebar. Seringai keji muncul di wajah Jack.
Pedangnya terayun dengan cepat, dan jika saja manusia biasa yang terkena serangannya, pasti
sudah mati detik itu juga.
Bunyi benturan pedang bergema di udara ketika Jonathan dan Reno menahan serangan
Jack. Kedua pedang mereka menahan pedang Jack yang nyaris mengenai Lumina.
"Nathan! Oniichan!"
"Minggir, anak-anak kecil. Kalian bukan tandinganku!!"
"Kami memang bukan tandinganmu," kata Reno sambil tersenyum, "Tapi, kurasa, mereka
bisa menandingimu." "Ap?" "Kau lupa dengan kami, ya?"
Charles muncul di udara dan menendang mundur Jack. Pria itu mundur beberapa
langkah, namun tidak bisa lebih dari itu karena Duke dan Lord sudah menunggu di belakangnya.
Mereka berdua menikam Jack dari belakang, tepat mengenai jantungnya.
"Kurasa, aku akan mengambil bagian untuk menikam bagian paling penting di tubuhmu,
kawan lama." kata Lord, "Sudah dari dulu aku ingin melakukannya."
Duke dan Lord mencabut pedang mereka dan membiarkan tubuh Jack yang sudah tidak
bernyawa ambruk ke tanah. Darah mengalir deras dari tubuhnya dan membuat pemandangan itu
agak menyeramkan bagi Lumina. Kakinya goyah dan dia terduduk ke tanah.
"Lumina?" Jonathan dan Reno berlutut di samping Lumina. Jonathan langsung bergerak memeluk
Lumina, tapi, mengurungkan niatnya ketika melihat Reno dengan sigap memeluk Lumina lebih
dulu. "Aku" tidak apa-apa?" ujar Lumina pelan, "Hanya" sedikit lelah, dan mual."
"Memang sudah semestinya." Kata Snow. "Ugh" aku mungkin tidak akan bisa makan
setelah melihat pemandangan seperti itu."
"Apalagi aku." timpal Sarah.
"Kita harus menyingkirkan mayatnya." Kata Charles. "Tapi, kita tidak boleh membuangnya
begitu saja." "Ya, benar." Rifan menyetujui ucapan Charles. "Kita harus membakar mayatnya, agar
DNA-nya tidak disalah-gunakan."
"Aku membawa zippo." Kata Clarissa. "Kita perlu sesuatu untuk menjadi pemicu api.
Tapi, di sini tidak ada?"
"Ada." Kata Jonathan, "Di dekat gazebo ada perahu motor yang kugunakan ketika kemari
bersama Lumina. Di sana ada bensin. Itu bisa digunakan."
"Biar aku yang mengambil." Kata Samuel, lalu berteleportasi ke tempat yang dimaksud.
Clarissa mendekati Reno yang memeluk Lumina, "Sini, biar kuperiksa dulu dia. Dan kamu
juga. Luka-lukamu mulai membiru." ujarnya.
"Eh" Tapi?"
"Tidak apa-apa, Reno. Clarissa adalah dokter terbaik di dunia." Kata Jonathan.
"Dan juga kejam kalau bertarung." Kata Reno sambil meringis.
Clarissa hanya tersenyum dan menyentuh luka-luka di sekujur tubuh Reno dengan gerakan
selembut kupu-kupu. Tapi bagi Reno, itu tetap saja sakit.
"Tidak apa-apa. Jika kita segera ke rumah sakit, aku yakin kita bisa mendapat perawatan
yang lebih baik." ujar Clarissa. "Lumina, biar kuperiksa dulu matamu, dan kamu harus bilang apa
yang kamu rasakan. Oke?"
Lumina mengangguk dan membiarkan Clarissa menyentuh mata kirinya, lalu luka di
tubuhnya yang hanya berupa memar dan lecet.
"Matamu sudah sembuh." Clarissa mengerutkan kening, "Maksudku, sembuh dalam artian
benar-benar sembuh, tapi?"
"Apa" Kenapa?" tanya Lumina.
"Warna matamu" jadi aneh." Kata Clarissa sambil mengerutkan kening. "Seperti warna
bola kaca berwarna biru laut" tidak. Memang warnanya biru, tapi warnanya tidak seperti itu."
"Eh?" Aria dan Rifan mendekati mereka dan Aria terkesiap melihat warna mata kiri Lumina yang
berubah. "Warna mata itu?"
?" warna mata yang sama dengan Maya." Kata Rifan, juga terkejut. "Astaga?"
"Apa itu aneh?" tanya Lumina, dan menyadari kalau suaranya sedikit berubah. Dia melihat
ibunya terkesiap pelan. "M, Maya?" Lumina mengerutkan kening. Maya. Itu juga nama yang disebut-sebut oleh Jack Lucios.
"Tidak. Itu bukan suara Maya." Kata Charles. "Memang agak mirip, tapi, yang tadi itu
bukan suara Maya. Aku yakin seratus persen."
Aria seperti menghembuskan nafas lega. Dalam pikirannya tadi, dia mendapat visi, kalau
Maya muncul, dari tubuh Lumina, tersenyum padanya, lalu menghilang begitu saja.
Tidak" itu tidak akan terjadi. Kalaupun terjadi, Aria takut dia akan tetap waras untuk
beberapa detik. Samuel muncul kembali dengan membawa bensin yang disimpan dalam sebuah botol
besar dari kaca. Ia menyerahkannya pada Jonathan.
"Terima kasih, Samuel," kata Jonathan sambil tersenyum.
"Sama-sama." Jonathan menatap mayat Jack yang diam tidak bergerak di tanah. Ia kemudian berdiri dan
menyebarkan bensin itu di sekitar tubuh Jack. Clarissa berdiri di sebelahnya, memegang zippo.
Ketika bensin di dalam botol itu habis, Jonathan membuang botolnya ke tanah.
"Ini, Kak?" "Berikan zippo itu pada Rifan Hawkins." Kata Jonathan, "Dia yang berhak melakukannya.
Membakar mayat ini."
"Apa?" Rifan dan Clarissa berkata berbarengan.
"Bukankah Anda berkata kalau Anda ingin membunuhnya agar tidak lagi mengganggu
kehidupan The Chronos Sapphire lain yang masih hidup?" tanya Jonathan dengan tersenyum,
"Anda bisa membakarnya dengan zippo milik Clarissa."
"Ap"tapi?"
"Anda harus cepat. Kalau tidak, Apocalypse akan menyadari Jack Lucios sudah mati dan
akan memburu kita semua dalam waktu beberapa detik saja." kata Clarissa. "Ini."
Clarissa menyodorkan zippo di tangannya pada Rifan yang menerimanya dengan ragu-ragu.
Ia lalu mendekat kearah genangan darah Jack yang tercampur dengan bensin. Dia membuka zippo
itu dan mendekatkan apinya kearah genangan darah. Dalam sekejap, api sudah melahap tubuh
Jack yang kaku. Bunyi kertakan terdengar dan membuat Rifan agak berjengit.
"Terima kasih." Kata Rifan, mengembalikan zippo itu pada Clarissa.
Clarissa mengangguk sambil tersenyum.
"Kalau begitu" masalah kita adalah Apocalypse." Kata Dylan, "Kalau mereka melihat asap
dari pembakaran mayat ini, mereka pasti akan datang kemari dan akan mengusahakan berbagai
cara untuk menangkap Lumina, Jonathan, atau Reno dan Clarissa. Kalau memang organisasi itu
mengincar pasangan empati The Chronos Sapphire generasi ketiga."
"Kita harus menyembunyikan mereka secepatnya. Setelah itu, baru kita datangi markas
mereka, dan melakukan pekerjaan kita yang terakhir." Kata Stevan, "Pekerjaan yang benar-benar
terakhir. Percaya, deh, aku benar-benar mual dengan semua ini."
Rifan mengangguk, kemudian membantu Lumina berdiri.
"Kalian berempat harus pergi dari sini." kata Rifan, "Lalu?"
"Aduh!!" Lumina mengernyit ketika ada sesuatu yang menyakiti lehernya. Dia meraba lehernya dan
merasakan ada selaput benang tipis melingkari lehernya.
"Lumina, kamu kenapa?" tanya Reno, melihat Lumina yang mengernyit kesakitan.
"A, ada" kyaaa!!!"
Entah dari mana dan kekuatan apa, tiba-tiba tubuh Lumina terjungkal ke belakang, dan
mendarat dalam genggaman tangan seseorang yang berdiri di balik kegelapan hutan. Mereka
semua menoleh ke sana dan melihat seseorang berpakaian setelan serba putih muncul.
Albert Lucios berdiri di depan mereka. Sebelah tangannya mencengkeram leher Lumina
sementara tangannya yang lain memegang pistol.
"Kukira aku akan memberikan penyambutan khusus ala Apocalypse pada kalian semua."
Ujarnya dengan seringai jahat.
CHAPTER 31 "Lumina!!" Reno hendak maju menyelamatkan Lumina ketika sebuah peluru ditembakkan kearahnya.
Sekitar 4 orang berpakaian hitam dan membawa setidaknya satu senjata, keluar dari hutan dan
berdiri di sekeliling Albert.
"Oniichan"aduh! Lepaskan aku!!"
"Oh, tidak" mereka juga The Chronos Sapphire." Kata Stevan ketika mengamati situasi
mereka sekarang. "Sekarang aku benar-benar kecewa ending yang bahagia sangat sulit kita
dapatkan." "Kuharap kalian tidak keberatan kalau para pengawalku memberikan sambutan lebih
dulu." Ujar Albert menatap keempat orang yang berdiri di sisinya. "Aku akan membawa anak ini,
dan mungkin, dia akan kuubah menjadi mesin pembunuh seperti yang dilakukan Ardelia pada
kalian dulu." "Tidak akan kubiarkan!!" Reno kembali berlari, dengan sangat cepat, melewati keempat
pengawal Albert, dan mencoba menyerang pria itu dari belakang.
Akan tetapi, sekelebat bayangan menghalanginya. Sebuah serangan ia terima di dadanya
dan membuatnya terpental ke belakang. Salah seorang pengawal Albert berdiri di belakang pria itu
dan dia jugalah yang tadi menyerang Reno.
"Reno!!" seru Clarissa.
"Aduh?" Reno mengggeleng-gelengkan kepalanya yang terkena tanah dan berdiri,
"Kekuatannya lumayan juga."
Clarissa berteleportasi ke samping Reno dan membantunya berdiri.
"Kau terlalu gegabah." Tegur Clarissa, "Kita tidak bisa mengalahkannya hanya dengan
kemampuan kita yang "biasa"."
"Bagus sekali?" geram Reno, "Lalu, bagaimana kita menolong Lumina?"
"Itu" aku tidak tahu bagaimana caranya."
Reno mendecak. Dia menatap Albert yang sekarang mencekik leher Lumina lebih erat.
Gawat. Ini tidak bagus, dan aku benci tidak bisa melakukan apa pun seperti ini. kata Reno
dalam hati. Kalau saja ada satu cara agar bisa menyelamatkan Lumina"
"Aku berharap bisa membawa Jonathan juga," Albert menoleh kearah Jonathan yang
berdiri di dekat Sarah, "Tapi, aku hanya membutuhkan yang satu ini. Dan sekarang, aku harus
pergi?" Albert menjentikkan jarinya dan salah seorang anak buahnya meleparkan sebuah bom
asap. Asap putih tebal yang muncul menghalangi pandangan mereka. Albert tersenyum tipis dan
mengangguk ke salah satu anak buahnya.
"Habisi mereka?" ujarnya, kemudian memukul pingsan Lumina dan memanggulnya pergi.
Keempat pengawalnya saling berpandangan dan menyebar, mencari mangsa. Sementara
mereka lupa, kalau ada beberapa orang yang sudah menghilang dari sana ketika Albert pergi.
*** "Kita harus menolong Lumina!" ujar Sarah. "Claire, kemari! Aku punya rencana untuk
menghilangkan kabut asap ini!"
Claire mendekat kearah Sarah, yang dengan cepat mengambil senjatanya dan memutarnya
dengan cepat. "Apa yang akan kamu lakukan, Sarah?" tanya Claire. "Apa keempat pengawal Albert
Lucios ada?" Sarah mengangguk. Dia meneliti keadaan di sekitar mereka.
"Tehnik ini baru kupelajari beberapa detik yang lalu." kata Sarah, "Kurasa cara ini efektif
untuk kabut seperti ini."
Sarah melompat ke udara dan melemparkan nunchaku di tangannya kearah berlawanan.
Sedetik kemudian, dia mendengar suara erangan dari arah kanan dan di depannya. Sarah
mendarat di tanah dan menangkap kedua nunchaku yang terbang kearahnya.
"Wow." kata Claire. "Hebat, little sister."
Sarah hanya tersenyum lebar.
Asap sudah mulai menghilang sepenuhnya, dan mereka bisa melihat keempat pengawal
tadi sedang menyerang. Aria dan Rifan diserang oleh seorang pengawal yang menggunakan katana
sebagai senjatanya. Sementara 3 lainn
ya sedang berurusan dengan yang lain.
"Kita harus membantu." Ujar Claire, "Berikan senjataku. Sebaiknya, kita mulai dari yang
menyerang Snow dan Samuel."
"Setuju." "Rifan, switch!!"
Rifan mundur dan membiarkan Aria yang menyerang. Pedangnya dan katana milik
pengawal itu berbenturan begitu keras. Tapi, katana itu sama sekali tidak rusak. Tergorespun
tidak. Padahal Aria berharap katana milik si pengawal patah dan mereka bisa memenangkan
pertarungan dengan mudah.
Itu bahan yang sama seperti pedang milik Jack. Kata Rifan lewat telepati, Kita tidak bisa
menghancurkan pedangnya begitu saja.
"Sial." gerutu Aria, kemudian menendang mundur pengawal tersebut.
Rifan berdiri di sebelah Aria, "Kamu tidak apa-apa?"
"Tidak" aku baik-baik saja." Aria menggeleng, "Lalu, apa yang harus kita lakukan?"
"Hmmm?" Rifan melihat ke sekitarnya, "Gunakan kemampuan menghentikan waktumu,
dan biarkan aku yang mengerjakan sisanya."
"Tapi?" "Aku akan melindungimu jika terjadi hal di luar dugaan." Kata Rifan, "Percaya saja
padaku." Aria mengangguk pelan, kemudian menjentikkan jarinya dua kali. Seketika itu juga, waktu
berhenti, dan Rifan tersenyum pada Aria.
"Nah, serahkan sisanya padaku." katanya.
"Kau akan menggunakan kemampuanmu yang "itu?"" tanya Aria.
"Kalau tidak, kita tidak akan sempat mengejar Albert Lucios yang menculik Lumina, kan?"
balas Rifan. "Sebaiknya kamu tetap di tempatmu, dan biarkan aku yang mengerjakan pekerjaan
"berat"-nya."
Seusai berkata begitu, Rifan seakan meloncat dengan kecepatan cahaya kearah pengawal
yang menyerang Charles dan yang lain. Dengan sekali tusukan tepat di jantung, dia beralih ke yang
lain dan menyelesaikannya kurang dari 5 detik. Aria menjentikkan jarinya lagi dua kali, dan
keempat pengawal yang teman-teman mereka hadapi langsung jatuh bersimbah darah di tanah.
Charles sempat kaget ketika pengawal di hadapannya nyaris menubruknya dan menyingkir dari
jangkauan jatuh si pengawal tersebut.
"Rifan" kau ini benar-benar sadis." Gerutu Charles sambil memandang pengawal yang
ambruk ke tanah. "Aku lupa kalau kau punya kemampuan yang cukup mematikan untuk hal
seperti ini." Rifan hanya mengedikkan bahu. "Yang penting, masalah selesai. Sekarang, kita harus
cepat-cepat kalau tidak mau Albert Lucios kabur."
"Benar. Apocalypse harus dilenyapkan dari muka bumi." Kata Stevan.
"Aku setuju." Sahut Charles, "Kalau begitu sekarang" tunggu dulu. Di mana Reno?"
"Eh?" Aria juga baru sadar, Reno tidak ada. Begitu juga dengan Clarissa dan Jonathan.
"Jangan-jangan mereka pergi mengejar Albert sendirian?" kata Dylan, "Pasti begitu."
"Kita harus cepat-cepat mengejar mereka. Bahaya kalau?"
"Ayah!" Samuel berlari kearah Charles bersama teman-temannya yang lain.
"Ada apa, Samuel?" tanya Charles.
"Joe" maksudku, kembaran Jonathan, dia tidak ada di mana-mana. Padahal dia sedang


The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terluka parah dan seharusnya tidak bisa bergerak sekarang." ujar Samuel.
*** Clarissa, kamu kepung Albert Lucios dari arah kanan, bilang juga pada Jonathan untuk ikut
mengepung dari sebelah kiri. Kata Reno lewat telepati.
Oke. Clarissa yang berlari di sebelahnya lalu memperlambat larinya dan berbicara dengan
Jonathan dengan isyarat tangan. Jonathan menoleh kearah Reno dan mengangguk. Mereka berdua
lalu berlari terpencar. Reno tetap berlari di belakang Albert Lucios, yang entah bagaimana,
kecepatan larinya melebihi orang-orang normal.
Apa dia juga The Chronos Sapphire" Reno bertanya-tanya dalam hati.
Reno mentransformasikan pedangnya menjadi pistol. Ia mengatur posisi pelatuknya agar
tepat pada sasaran, kemudian menembak.
Tembakan pertama meleset. Gerakan Albert Lucios begitu licin dan nyaris tidak terlihat.
Reno tidak menyerah. Dia mencoba lagi, dan tembakan kedua dan ketiga cukup mulus mengenai
sasaran. Dan lari Albert agak melambat.
Sekarang saatnya! "Clarissa!!" "Haaa!!!" Clarissa menyerang Albert dari arah kanan dan pria itu menghindar dengan gesit, seperti
yang diprediksi oleh Reno. Dia melirik kearah Jonathan dan mengangguk pelan kearahnya.
Jonathan kini ikut menyerang bersama Clarissa, dan itu membuat langkah Albert terhenti.
Dia harus berusaha menghindari serangan Jonathan dan Clarissa kalau tidak mau terluka lebih dari
tembakan Reno. Dengan sebelah tangan, pria itu menggendong Lumina dan menahan serangan kakakberadik itu dengan pistol di tangannya. Gerakannya nyaris sama cepat dengan kecepatan yang
diperlihatkan oleh Clarissa dan Jonathan. Dan Reno merasa dugaannya kian menguat.
Sambil mentransformasikan pistolnya menjadi pedang, ia berlari kearah Albert dan
mencoba menyerang pria itu dari belakang tanpa melukai Lumina yang posisinya sangat rentan
terkena serangan dari Reno.
Namun, Albert melihat gerakan Reno. Dia merunduk ke bawah dan menendang Reno
hingga terpental ke belakang.
"Reno!!!" Dengan kemampuan teleportasinya, Clarissa berteleportasi ke belakang Reno dan
mencegah cowok itu menabrak batang pohon besar di belakangnya. Mereka berdua mendarat di
tanah tepat ketika Reno memuntahkan darah dari mulutnya.
"Ya ampun, Reno, darah?" kata Clarissa.
"Ini Cuma luka kecil." Gumam Reno sambil mengelap mulutnya dengan punggung
tangannya. "Kita harus"aaarggh!!"
Reno mengerang kesakitan sambil memegangi dadanya. Clarissa menepis tangan Reno dan
menyentuh dada cowok itu dengan gerakan ringan dan lembut, dan dia terkesiap cemas merasakan
apa yang dirasakan kulitnya.
"Tulangmu" patah." Kata Clarissa lirih.
"Sudah kubilang, ini hanya luka kecil." Reno menepiskan tangan Clarissa dan mencoba
berdiri walau dia harus sampai mengernyit karena kesakitan.
"Tapi tulang igamu patah dan salah satunya menekan paru-parumu." Kata Clarissa, "Kamu
tidak boleh ikut bertarung. Bagaimana kalau lukamu tambah parah?"
"Ini hanya luka kecil?" Reno meringis sebentar, "Lagipula, kita harus menyelamatkan
Lumina. Secepatnya. Aku tidak mau orang itu memanfaatkan Lumina dan membuat adikku
menderita." Clarissa tertegun mendengar ucapan Reno. Dia hanya diam ketika Reno kembali ke arena
pertarungan dan meninggalkannya berdiri mematung di tempatnya berdiri sekarang.
Lagipula kita harus menyelamatkan Lumina" kata-kata itu bergaung di otaknya, berulangulang. Dia menatap Reno yang kembali bertarung, kemudian Jonathan. Clarissa memandangi
mereka berdua dengan tatapan mata yang tidak bisa diartikan.
Sambil menghembuskan nafas, Clarissa berteleportasi dan ikut kembali bertarung bersama
Jonathan dan Reno. *** Kalau begini, kami akan kehabisan tenaga dan tidak akan menang. Batin Jonathan sambil
menangkis serangan Albert yang terarah ke kepalanya. Walau sudah berusia setengah abad,
sepertinya Albert Lucios rajin mengolah tubuhnya hingga terbentuk dan masih mampu bertahan
menghadapi serangan seperti yang dilakukan olehnya, Clarissa, dan Reno, yang notabene adalah
manusia yang tidak bisa dianggap biasa.
Aku harus melakukan sesuatu.
Jonathan bersalto ke belakang dan mengamati keadaan mereka sekarang. Mereka berada
di tengah hutan, dengan pepohonan yang cukup untuk menyembunyikan keberadaan seseorang
dalam kegelapan. Lalu"
"Aha." Jonathan tersenyum memikirkan sebuah ide yang terlintas di dalam pikirannya.
Dia berlari mendekati Clarissa dan memberikan beberapa isyarat dengan tangannya.
Clarissa mengangguk mengerti, dan berteleportasi ke tempat lain.
"Reno, aku butuh bantuanmu!" seru Jonathan. "Buat dia kebingungan sementara aku dan
Clarissa mempersiapkan sesuatu. Kau bisa?"
"Membuat orang kebingungan adalah keahlian alamiku." Ujar Reno sambil tersenyum
lebar. Serahkan saja padaku."
Reno menerjang Albert lagi. Kali ini, dia tidak memberikan dirinya sendiri kesempatan
untuk beristirahat. Dia menyerang Albert dengan cepat, serangannya bertubi-tubi dan seperti
dilakukan di berbagai tempat. Ini jelas membuat Albert kebingungan dari mana Reno
menyerangnya padahal sedetik yang lalu Reno masih berdiri di hadapannya, namun detik
berikutnya, Reno sudah berpindah ke tempat lain.
Jonathan mendarat tepat di dekat Clarissa yang menunggu di balik kegelapan hutan.
Clarissa sedang menarik tali busur yang dibuatnya dari ranting pohon dan juga benang tipis yang
lentur dan kuat yang selalu dibawanya sebagai senjata cadangan.
"Siap?" tanya Jonathan, "Bidik kearah sana, dan jangan sampai terkena Lumina. Setelah
ini, aku akan membantu Reno menghabisinya."
"Oke." Clarissa mengangguk. "Kalau begitu, bisakah Kakak pergi sekarang, supaya aku
bisa berkonsentrasi untuk menembak."
"Baiklah?" *** Lumina tahu dia diangkut oleh seseorang. Albert Lucios. Dia tahu itu. Walau tubuhnya lunglai,
lemas, dan tidak bisa digerakkan, dia masih sadar.
Aku mau di bawa ke mana" tanyanya dalam hati.
Selama beberapa saat dia merasakan deru angin di telinganya, kemudian dia mendengar
suara peluru berdesing di dekatnya. Dia tahu itu suara peluru yang ditembakkan oleh Artemisia
Gunblade Reno. Lumina hafal suara desing peluru yang khas itu.
Oniichan! Kemudian, dia merasakan tubuhnya dibopong dengan satu tangan. Lumina merasakan
kalau kedua tangannya sudah bisa digerakkan, tapi sama saja bohong jika dia tidak bisa bergerak
sepenuhnya. Tubuhnya seakan diayun ke segala arah sementara orang yang membopongnya
menghindari serangan demi serangan yang ditujukan padanya.
Lalu, dia mendengar suara desingan anak panah meluncur entah dari mana. Matanya yang
berkabut menangkap sebuah kilatan berwarna perak yang menembus sesuatu, disusul dengan
warna merah menyala dan bau karat dan garam seperti" darah.
Suara erangan, bercampur teriakan marah terdengar samar-samar di telinganya. Akan
tetapi, lengan yang memeluk pinggangnya tidak bergeming dan masih memeluknya dengan erat.
Lumina ingin bisa bergerak, kabur, atau melawan.
Dia hanya bisa berharap, apa pun yang tadi dihirupnya dan membuatnya lemas seperti
sekarang akan segera pudar efeknya.
*** Clarissa melepaskan anak panahnya, dan tepat mengenai ulu hati Albert. Dia tersenyum lebar.
Tidak sia-sia dia melatih kemampuan memanahnya baru-baru ini.
Albert mengerang kesakitan dan menatap tajam kearah Clarissa yang melepaskan anak
panah dari balik kegelapan. Dia menyeringai.
Cerdik sekali, menggunakan kegelapan hutan untuk menyerangku. Katanya dalam hati.
Tapi, sayangnya, aku tidak akan membiarkan kalian membunuhku dengan mudah.
Albert menghindari serangan demi serangan yang dilancarkan oleh Reno dan Jonathan.
Dan, walaupun sudah terluka di bagian tubuh yang cukup vital, anehnya dia masih bisa bertahan.
Bahkan dia sempat mencabut paksa anak panah yang menancap di dadanya.
"Apa kau tidak bisa mati saja?" kata Jonathan sambil menyerang Albert, "Kembalikan
Lumina pada kami!!" "Maaf, Nak. Tapi, ini memang konsekuensi pekerjaanku." Balas Albert sambil
menghindari serangan cowok itu. "Tapi, kalau kamu memang bersikeras ingin gadis ini kembali?"
Albert melompat jauh dari jangkauan serangan Jonathan dan berdiri tegak. Dia tersenyum
dengan seringai jahat. "Kupuji kalian bertiga karena berhasil membuatku berkeringat seperti ini." katanya,
"Namun, aku ragu aku mau menyerahkan gadis ini dengan mudah."
"Oh, yang benar saja" kembalikan adikku!!" geram Reno.
Albert tersenyum dengan sebelah bibir, kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya.
Sebuah suntikan. Pria itu mengarahkan jarumnya ke leher Lumina.
"Mau apa kamu?" tanya Clarissa yang sudah kembali bergabung bersama Reno dan
Jonathan. "Jangan bergerak sedikitpun. Aku ingin kalian melihat cairan di dalam suntikan ini masuk
ke dalam tubuhnya." kata Albert dengan nada datar, namun tersirat arti yang membuat Jonathan
langsung merinding. "Oh, tidak?" Reno tidak tahu apa cairan yang ada di dalam suntikan itu. Tapi, melihat raut wajah
Jonathan yang berubah, Reno yakin cairan itu adalah sesuatu yang berbahaya.
Racun, kah" Tanyanya dalam hati.
"Albert Lucios, kuperingatkan kau, jangan coba-coba menyuntikkan benda itu pada
Lumina." Kata Jonathan, "Aku bersumpah aku akan?"
"Akan apa, kau tidak akan bisa menghentikanku." Sela Albert, "Aku rasa kau tahu cairan
apa ini. Ya" seperti yang kau kira. Ini adalah cairan yang sama yang pernah kalian rasakan."
"Jangan suntikkan itu pada Lumina." Cegah Clarissa dengan wajah ngeri. "Jangan lakukan
itu!!" Albert menatap Clarissa dengan senyum. Kemudian mulai menyuntikkan cairan itu ke
pembuluh darah di leher Lumina. Kening Lumina berkerut ketika merasakan jarum itu
menembus kulit lehernya. Matanya terbuka sedikit dengan sorot mata sayu.
Clarissa berlari kearah Albert untuk menyerangnya. Tapi, pria itu sudah menyuntikkan
semua cairan itu ke leher Lumina dan kemudian membuang tubuh Lumina ke depan hingga
menabrak Clarissa. "Aku mungkin tidak bisa membalaskan dendamku secara langsung." Ujar Albert, "Tapi,
aku sudah melaksanakan apa yang sudah ingin kulakukan sejak lama."
Clarissa menahan tubuh Lumina dengan kedua tangannya. Ia memeriksa tusukan kecil
akibat jarum suntik itu dan merabanya. Bintik kecil itu mulai berubah menjadi kebiruan, dan
Clarissa menatapnya dengan ngeri. Dia memeriksa denyut nadi Lumina, dan kengerian benarbenar tampak jelas di wajahnya.
"Tidak?" gumamnya, kemudian menatap Albert. "Kau memberinya racun mematikan
itu?" "Racun mematikan?" Reno mengerutkan kening.
"Racun yang dioleskan oleh Jack Lucios pada Deathly Sorrow-nya." gumam Jonathan, "Itu
racun paling mematikan dan bisa membuat orang yang terkena racun itu mati dalam beberapa
menit?" "Apa!?" "Aku sudah melaksanakan apa yang ingin kulakukan. Dan sekarang?"
Albert mencabut pistol dari pinggangnya dan mengarahkannya pada Reno, "Giliranmu,
Cucu Kazuto." Ketika mendengar bunyi tembakan, Reno langsung berguling ke samping, menghindari
peluru yang ditembakkan oleh Albert. Reno menoleh kearah peluru itu bersarang, yaitu dalam
sebuah pohon di belakangnya. Dan betapa terkejutnya ia melihat warna kulit pohon itu berubah
menjadi hitam legam. "Reno, hati-hati! Peluru itu beracun!" ujar Jonathan. "Itu racun yang sama!"
Racun yang sama" pandangan Reno tertuju pada Albert, kemudian kearah Clarissa yang
mencoba membangunkan Lumina. Amarah baru timbul dalam dirinya. Tanpa memerdulikan
seruan dari Jonathan, ia menerjang Albert dan menyabetkan senjatanya dengan gerakan yang
cukup cepat. "Reno, jangan menyerangnya!" seru Clarissa melihat Reno sudah menyerang Albert
dengan membabi-buta dan dengan gerakan cepat.
Albert menembak beberapa kali kearah Reno, dan dia sudah memprediksi bahwa Reno
akan menghindari terjangan peluru yang mengarah kearahnya. Dia bisa melihat mata anak itu
dipenuhi amarah yang besar. Dan Albert sekilas melihat sorot mata membunuh yang besar di
dalam mata Reno. Persis seperti yang kurencanakan. Dan sekarang saatnya!
"Aku akan membunuhmu sekarang!!"
Reno sudah berdiri di hadapan Albert dengan pandangan mata yang membara. Pedangnya
sebentar lagi terayun ke leher pria itu, ketika dia merasakan sesuatu menembus perutnya dan
membuatnya kehilangan keseimbangan.
"Reno!!" Albert tersenyum penuh kemenangan melihat Reno melangkah mundur. Wajahnya
berkeringat karena selain dia harus menghindari serangan Reno yang begitu cepat, luka-luka akibat
serangan yang ia terima mulai berasa efeknya.
Reno merasa kepalanya pening. Dia menunduk menatap perutnya dan melihat sesuatu
merembes dari bajunya, berwarna merah. Seperti"
Darah" Reno mengerutkan kening dan merasakan kepalanya semakin sakit. Ia jatuh terduduk dan
mencoba menahan rasa sakit yang mulai menjalar dari perutnya. Keringat dingin mulai mengalir
dari tengkuk Reno. "Sekarang," Albert tersenyum, "Kalian berdua akan mati, perlahan-lahan. Dan kedua
orangtua kalian akan sedih sekali ketika mereka menemukan kalian berdua, kalian sudah menjadi
mayat. Aku sudah berhasil melaksanakan dendam yang sudah aku dan Jack pendam selama ini.
"Reno!" Jonathan berjongkok di sebelah Reno dan memegangi pundaknya. Dia melihat darah yang
keluar banyak dari luka tembak di perut Reno.
Gawat. Kalau kami tidak segera membawa mereka ke rumah sakit di Dewan"
"Tapi, kalian tidak akan semudah itu kabur dari hutan ini." ujar Albert, "Aku sudah
menyiapkan perangkap untuk mencegah kalian kabur. Semua The Chronos Sapphire, termasuk
orangtua kalian, akan mati di sini. Aku sudah mengaktifkan alat yang akan menyebarkan gas
beracun dengan dosis tinggi yang mampu membunuh kalian semua dalam waktu 30 menit lagi."
Jonathan menatap marah kearah Albert. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak jika
ada dua orang terluka di sini. Kalau dia menyerang, Jonathan takut kalau sasaran berikutnya adalah
Clarissa. Dia tahu Albert sangat licik. Pria itu bisa membuatnya gelap mata karena ingin menyerang
dan membunuhnya, dan itu akan membuatnya lengah, hingga akan timbul korban lain.
Apa yang harus kulakukan sekarang"
Albert menatap mereka dengan wajah datar tanpa ekspresi. Tatapan matanya sedingin es.
"Sekarang, aku akan melenyapkan kalian juga. Jadi, bersiaplah."
Albert mengacungkan pistolnya ke kepala Jonathan. Dan Jonathan menggeram. Saat ini,
dia benar-benar tidak punya rencana. Semua rencana yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana
membawa Reno dan Lumina ke rumah sakit untuk cepat-cepat dirawat.
"Sayang sekali kalian akan mati di sini," kata Albert dengan suara mengejek, "Kalau saja
Jack juga ada di sini, mungkin dia akan senang karena kalian semua akan mati tanpa tersisa
satupun." "Aku akan membunuhmu, Albert Lucios?" geram Jonathan. "Aku bersumpah untuk itu."
"Lihat, ucapan yang dikeluarkan oleh seseorang yang sudah pasti kalah." Albert terkekeh,
"Kau tidak akan bisa melakukannya, Nak. Game over. Sudah berakhir."
"Oh ya?" Suara itu mengejutkan Jonathan, juga Albert dan Clarissa. Pria itu menoleh ke belakang,
namun terlambat ketika sebuah pedang menusuk punggungnya, dan menembus jantungnya. Darah
menyembur deras dari mulut dan juga tusukan di jantung tersebut. Mata Albert membelalak tidak
percaya, sebelum jatuh ke tanah dengan suara bedebum keras tanpa bisa mengucapkan sepatah
kata pun. Jonathan berjengit melihat darah mengalir di tanah dan menggenang di sekitar tubuh
Albert yang roboh. Dia mendongak untuk melihat siapa yang menusuk Albert.
Dan dia harus menahan kegembiraan ketika dia mengetahui siapa yang melakukan hal
tersebut. "Kukira aku masih belum terlambat." Gumam Joe sambil tersenyum lemah, "Aku benar,
kan?" CHAPTER 32 "Joe!" Joe tersenyum dan kemudian batuk darah. Dia mengelap darah yang membasahi telapak
tangannya ke celananya dan berjalan tertatih kearah Reno.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Joe.
"Dia terkena racun yang sama seperti yang pernah dimasukkan ke tubuh kita." Ujar
Jonathan. Dia menatap Reno yang wajahnya sekarang pucat dan bibirnya menghitam. Namun
begitu, Reno tidak berkata apa-apa. Mungkin karena pengaruh racun, kesadarannya mulai
memudar. Joe mengalihkan pandangannya kearah Clarissa yang masih berusaha membangunkan
Lumina. Mendadak, perasaan nyeri muncul di dadanya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Jonathan, "Lukamu?"
"Ini bukan masalah." Ujar Joe, "Justru sekarang, kita harus membawa Reno dan Lumina
ke rumah sakit?" "Anak-anak?" Mereka serentak menoleh kearah datangnya suara itu. Aria dan yang lain datang, dan
mereka langsung menghambur kearah Reno. Rifan dan Charles segera menghampiri Clarissa.
"Apa yang terjadi pada mereka?" tanya Aria.
"Albert menyuntikkan racun mematikan Deathly Sorrow pada Lumina," kata Jonathan,
"Dan Reno" dia sendiri terkena peluru berlumur racun yang sama."


The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya Tuhan?" Aria menutup mulutnya dengan sebelah tangan. "Kumohon" tidak lagi?"
"Apa yang terjadi pada Reno, Jonathan?" tanya Snow.
"Dia terkena racun."
"Oh, tidak bagus,"
Aria merasakan desakan yang sama seperti dulu. Ketika dia memulangkan temantemannya yang dalam keadaan mati akibat misi terakhir dulu. Desakan ingin muntah, ingin lari,
ingin kabur dari semua kenyataan yang sekarang terjadi lagi.
"Kita harus segera membawa mereka ke rumah sakit di Dewan secepatnya!" kata Charles,
"Aku dan Stevan membuat serum penangkal racun itu, dan?"
"Kita tidak bisa keluar dari hutan ini karena Albert Lucios memasang jebakan untuk
mencegah kita semua keluar." ujar Clarissa gemetar. "Jebakan itu sudah diaktifkan dan akan
meledakkan sebuah gas beracun berdosis tinggi yang akan membunuh kita semua dalam waktu 30
menit lagi. Kalau kita sampai terkena jebakan itu, kita semua akan mati?"
"Tapi, kita bisa memakai kemampuan teleportasi milik Samuel dan Clarissa." Kata Sarah,
"Kalau kalian berdua menggabungkan kemampuan kalian itu, pasti bisa membawa kita semua
pergi dari sini." "Kurasa itu tidak mungkin," ujar Claire, menatap kearah langit. "Ada selaput tipis yang
menyelimuti tempat ini. Seperti kaca, tapi, lebih lunak dari itu" semacam jarring tak terlihat, dan
kemungkinan besar, akan menghambat kemampuan kita di sini."
"Apa!" Kalau begitu tidak ada jalan keluar?"
"Albert Lucios adalah ayah Jack," kata Lord, "Sudah pasti dia memikirkan semua ini
dengan matang. Persiapannya benar-benar sempurna. Aku sudah mencoba menggunakan
kemampuanku di sini, dan seperti kata Claire, tempat ini seakan mengisolasi kemampuan kita."
Aria menutup mata, dia tidak sanggup melihat lagi kematian di depannya. Apalagi ini anakanaknya sendiri.
Apa yang harus kulakukan" Tanya Aria dalam hati. Aku tidak mungkin membiarkan
mereka berdua mati. Anak-anakku" mereka tidak boleh mati. Kami semua tidak boleh mati di
sini! "A, Aria," Stevan menepuk pundaknya, dan membuatnya membuka matanya. Dia melihat wajah
Stevan seakan terpaku pada sesuatu.
"Ada apa?" tanyanya.
Stevan tidak menjawab, dan tatapan mata Stevan" itu tatapan terkejut. Tapi, terkejut pada
apa" Dan kemudian dia sadar, semua mata sedang menatap ke satu arah yang sama, dengan wajah
terperangah. Penasaran, Aria menoleh dan yakin kalau dia sedang berhalusinasi.
Sesosok tubuh berdiri tidak jauh dari mereka. Mengenakan gaun putih tanpa lengan,
kontras dengan rambutnya yang berwarna hitam. Sekujur tubuhnya berpendar, seakan dia tercipta
dari sinar hologram, namun sosok itu kelihatan nyata. Dan sosok itu tersenyum pada Aria.
Aku pasti bermimpi! *** Aria yakin dia bermimpi. Dia berhalusinasi.
Tapi, sosok itu sangat nyata walau tubuhnya berpendar dalam sinar putih. Berdiri di dekat
Rifan yang sedang bersama Clarissa mencoba membangunkan Lumina, dan sekarang sama
terperangahnya dengan mereka semua.
"Kukira aku tidak pernah bisa bertemu kalian lagi." ujar sosok itu sambil tersenyum.
"Ma" ya?""
Maya tersenyum. Bahkan dalam penampakan seperti itu, Maya tidak berubah. Masih sama
seperti yang ia lihat terakhir kali di dalam incubator.
Tapi" bukankah dia sudah mati" Setelah menukar nyawanya sendiri untuk
menyelamatkan hidup Aria yang saat itu tinggal beberapa tahun saja akibat "kutukan"
memulangkan teman-temannya yang dalam keadaan mati dan menjadi hidup kembali dengan
kalung Bulan Sabit Biru miliknya"
"Ke, kenapa kamu ada di sini?" itu Charles, yang pertama sadar, dan menatap Maya,
"Bukankah" kamu sudah?"
"Mati" Ya. Aku memang sudah mati." Ujar Maya, "Aku hanyalah gema terakhir dari jiwa
Maya, yang masih ada di dalam kalung anak ini, dan memberinya mata biru di mata kirinya."
"Tapi" kenapa kamu ada di sini?" tanya Aria. "Maya?"
"Aku merasa dipanggil." Ujar Maya, "Oleh anak perempuan ini."
Ia menunjuk Lumina dan kemudian berlutut di dekat Clarissa.
"Oleh Lumina?" tanya Rifan, "Tapi" bagaimana?"
"Itu rahasia." ujar Maya, "Dan aku tidak mungkin memberitahumu, Rifan. Aku selalu
mempunyai rahasia yang harus kujaga."
Dia kemudian menatap Clarissa yang menatapnya dengan kening berkerut.
"Biar aku yang menyembuhkannya." Ucapnya dengan suara tak kalah lembut.
Maya menyapukan tangannya ke wajah Lumina dan dari telapak tangannya muncul sinar
kebiruan. Ia lalu menarik tangannya kembali dan tersenyum.
"Dia sekarang tidak apa-apa. Dia akan sadar sebentar lagi." ujar Maya, "Sekarang, anak
laki-laki yang itu?"
Dengan gerakan anggun, Maya mendekati Reno dan mengusapkan telapak tangannya
kearah luka tembak yang ada di perutnya. Wajah Reno yang semula memucat berubah menjadi
lebih segar, dan sinar matanya leih focus. Ketika Maya menarik tangannya, Reno sudah sadar
sepenuhnya. "Lho" Apa?"
Dia menoleh kearah Maya yang tersenyum padanya. Reno mengerutkan kening, bertanyatanya siapa wanita berambut hitam di sebelahnya itu.
"Sekarang, mereka berdua sudah tidak apa-apa." ujar Maya, kemudian berdiri dan
menatap Aria, "Aku sudah mengeluarkan racun itu dari tubuh mereka. Dan sekarang, aku akan
mengeluarkan kalian semua dari hutan ini."
"Bagaimana caranya" Tempat ini sudah seperti cangkang raksasa yang mengurung kami."
Ujar Sarah. "Aku bisa melakukannya." Kata Maya.
"Bagaimana?" "Dia bisa." Kata Rifan dan Aria bersamaan. Membuat mereka semua menatap Aria dan
rifan bergantian dengan tatapan aneh.
Aria menatap Maya, menahan airmata yang akan jatuh dari sudut matanya.
"Kamu" kamu yakin bisa mengeluarkan kami dari sini?" tanya Aria.
"Setidaknya, ini benar-benar yang terakhir." Ujar Maya, "Aku hanyalah gema dari Maya
Elizabeth Watson. Aku hanyalah embusan nafas terakhirnya, yang masih tertahan di dunia ini.
Aku tidak bisa melakukan hal lebih daripada menyembuhkan mereka berdua dan membawa
kalian semua keluar dari sini."
"Aku tidak tahu harus bicara apa," Rifan berdiri dan mendekati Maya, "Kau selalu
menolong kami?" "Itu memang tugasku, untuk mengatasi kekacauan yang dibuat oleh Jack." Maya
tersenyum. Kemudian merentangkan tangannya. Tubuhnya berpendar dalam cahaya putih yang
menyilaukan. "Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu untuk Aria, sebelum aku benar-benar
menghilang." Kata Maya, mendekati Aria dan berbisik di telinganya.
Aria mengerjapkan matanya dan menatap Maya yang tersenyum lembut. Tanpa bisa
dicegah, airmata mulai mengalir di pipinya. Ia memeluk Maya yang mulai memudar tubuhnya.
"Maya, maafkan aku?" gumam Aria, "Aku" aku minta maaf?"
"Untuk apa kamu minta maaf, Aria?" tanya Maya, "Aku senang bisa bertemu denganmu
dan kalian semua lagi. Dan aku senang karena aku bisa membantu kalian walau untuk yang
terakhir kali." Aria terisak mendengar ucapan Maya. Dia mengeratkan pelukannya, tapi dia hanya
memeluk dirinya sendiri, tubuhnya menembus tubuh Maya yang setengah memudar.
"Aria?" Maya menepuk kepala Aria dengan sayang, "Jangan pernah lupakan untuk
memenuhi permintaanku yang bodoh ini."
Aria menatap Maya, "Aku" akan melakukannya." Katanya, "Aku akan melakukannya
untukmu." Maya mengangguk, kemudian mencium pipi Aria, sebelum benar-benar menghilang dalam
cahaya putih menyilaukan itu.
Aria menangis keras dan menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Cahaya putih menyilaukan itu menyelimuti mereka dan membuat pandangan mereka silau.
Namun, cahaya itu juga cepat memudar. Dan tahu-tahu saja mereka sudah berada di taman di
depan Dewan. "Kita" kita ada di Dewan?" tanya Claire takjub. "Wanita tadi" dia benar-benar
mengeluarkan kita?" "Sepertinya begitu." ujar Stevan, "Aku merasakan kemampuanku bisa dipakai lagi."
"Bi," Sarah menyentuh pundak Aria, "Bibi tidak apa-apa?"
Aria masih menangis, dan Rifan segera memeluk Aria, yang mengirimkan pikirannya pada
Rifan dengan suara terbata-bata.
Rifan menghela nafas dan mengangguk samar.
"Charles," "Ya?" Rifan menatap Charles, Dylan, dan semua yang ada di dekatnya.
"Kita harus mengadakan operasi untuk Lumina."
*** Reno menatap kalung Bulan Sabit Hitam di tangannya. Dia menimang-nimang kalung itu dengan
pandangan menerawang. Dia masih ingat senyum wanita berambut hitam dan bergaun putih itu.
Dia masih ingat melihat ibunya menangis sesunggukan ketika wanita itu memeluknya dan
membisikkan sesuatu. Sementara itu, di dekatnya, semua orang sedang duduk dalam perasaan khawatir, sekaligus
tegang. Terutama Jonathan. Dia memandang anak itu sering menoleh kearah ruang operasi yang
berada di dekatnya dengan pandangan cemas.
Reno tahu, ayahnya, Paman Charles, Paman Dylan, dan juga beberapa dokter lain yang
dibangunkan pada dini hari ini sedang sibuk di dalam sana. Melakukan operasi pada Lumina.
Pandangan Reno beralih kearah ibunya yang menatap ke luar jendela dengan tatapan
nyaris kosong. Paman dan bibinya, Keiko dan Kazuhi, berada di sebelah ibunya dan
menenangkannya. "Kuharap operasinya berhasil." Gumam Clarissa yang duduk di sampingnya. Wajah
Clarissa juga tidak kalah tegangnya dari semua orang yang sedang berkumpul di sini.
"Sebenarnya aku masih tidak terlalu mengerti." kata Reno, "Tapi, aku juga berharap
demikian. Aku juga berdoa semoga operasi Lumina berhasil."
Clarissa mengangguk dan bersandar pada bahu Reno.
"Aku takut aku kehilangan dirimu." Kata Clarissa lirih. "Waktu kamu tertembak saat itu,
aku takut kamu akan mati akibat racun mematikan itu?"
Reno merengkuh pundak Clarissa dan mengeratkan pelukannya.
"Aku ada di sini. Dan kamu tidak perlu khawatir lagi, bukan?" ujar Reno.
Clarissa menatap Reno sejenak, kemudian mengangguk.
*** Aria menatap ke luar kearah langit gelap dengan pandangan nyaris kosong. Kedua kakaknya ada di
sisinya, sementara Rifan sedang berada di ruang operasi. Ikut membantu Charles dan Dylan yang
mengoperasi kedua mata Lumina.
Aria menghembuskan nafas dengan gemetar. Dia teringat bisikan Maya di dalam cahaya
putih itu. Kedua mata anak perempuan itu rusak. Kamu harus mentransplantasikan kedua bola
mataku padanya, sebagai pengganti untuk kedua matanya yang kehilangan fungsi. Tubuhku berada
di ruang bawah tanah Dewan"
Dan Aria sempat terkejut mendengar bahwa tubuh Maya masih ada, dan tersembunyi
dengan baik di dalam ruang bawah tanah. Di dalam incubator yang sama seperti yang dia lihat
terakhir kali. Saat ia dan Rifan menemukannya, mereka melihat sebuah amplop di atas meja di
dekat incubator itu. Amplop itu berisi surat dengan tulisan tangan ibunya, Haruka, yang
mengatakan bahwa Maya melihat visi bahwa salah satu organ tubuhnya akan diperlukan di masa
depan. Karena atas visi itulah, Shiroyuki Haruka, bersama Ardelia Ainsworth mengawetkan tubuh
Maya di ruang bawah tanah. Dan mereka berdua menjaga rahasia bahwa mayat Maya sudah
dibakar dan abunya dikuburkan di suatu tempat yang Aria tidak tahu di mana letaknya.
"Aria," Kazuhi memeluk adiknya dan membiarkannya bersandar di bahunya.
"Ternyata semua ini sudah dipersiapkan dengan matang." Gumam Aria sambil menghela
nafas, "Aku tidak pernah tahu Ibu mengawetkan tubuh Maya, dan tubuh itu bahkan tidak berubah
sedikitpun walau sudah berada lebih dari 20 tahun di bawah tanah."
Kazuhi mengangguk. Dia mengingat-ingat saat di masa kecil, ibunya selalu bermain rahasia,
bahkan dengan anak-anak mereka sendiri. Ayah mereka juga ikut merahasiakan bahwa mereka
adalah The Chronos Sapphire. Sama seperti Aria dan teman-temannya.
Tapi, kenapa dia dan Keiko tidak termasuk menjadi The Chronos Sapphire padahal kedua
orangtua mereka adalah The Chronos Sapphire generasi awal"
"Aku menemukan catatan harian Ayah dan Ibu," kata Keiko suatu saat ketika mereka
berdua membahas hal itu berdua. "Di situ dikatakan, kalau kita berdua" hanyalah anak angkat.
Dari salah seorang teman mereka yang membantu mengembangkan gen The Chronos Sapphire
generasi kedua. Aku sempat syok dan tidak percaya kita berdua adalah anak angkat, sementara
Aria adalah anak kandung Ayah dan Ibu kita.
"Tapi, kita harus bersyukur karena diangkat anak oleh mereka. Kalau saja mereka tidak
mengangkat kita sebagai anak, kita juga akan dibunuh oleh orang-orang suruhan yang ingin
melenyapkan Laboratorium Terlarang beserta pegawalnya. Ayah dan Ibu beruntung bisa selamat
dengan membawa ke-8 gen yang sekarang berada di dekat kita. Secara tidak langsung, sebenarnya
kita melindungi dan dilindungi oleh mereka."
Kazuhi masih belum mengerti dengan ucapan kakaknya. Tapi, dia memang harus
mensyukuri hal tersebut karena dia sendiri juga menyadari betapa mengerikan takdir seorang The
Chronos Sapphire saat itu, yang harus membunuh tanpa kesadaran dan dicuci otak agar menuruti
perintah atasan mereka. Pintu ruang operasi terbuka dan semua orang langsung menoleh kearah Dylan dan Charles
yang keluar dengan wajah lelah. Operasi yang berlangsung selama 2 jam itu ternyata membuat
mereka berdua cukup lelah.
"Dylan, Charles," Aria langsung menghampiri mereka dengan wajah cemas.
"Bagaimana keadaan Lumina" Operasinya berhasil?" tanyanya.
Dylan menatap semua orang yang ada di ruangan itu satu-persatu, kemudian wajahnya
tertuju pada Reno dan Jonathan yang menatapnya dari kejauhan. Ikut menuntut penjelasan seperti
Aria walau tidak mengatakannya.
Charles menepuk bahu Dylan, dan mengangguk pelan.
"Bagaimana operasinya, Dylan, Charles" Katakan padaku." kata Aria. "Rifan di mana" Dia
masih di dalam?" "Rifan masih di dalam," kata Charles, "Operasinya berhasil. Tapi?"
CHAPTER 33 5 bulan kemudian" Reno berjalan masuk ke rumahnya sambil menghempaskan tas sekolahnya ke sofa. Dia
menghembuskan nafas dan melonggarkan dasinya. Tapi, dia tidak bisa bersantai lebih lama,
karena dia harus menghadiri pentas seni sekolah lain dan mengisi acara di sana bersama band yang
dia bentuk dengan teman-temannya.
"Oniichan?" Reno menoleh kearah asal suara dan melihat Lumina berdiri di dekat pintu dapur.
"Halo, adikku yang manis."
Reno berdiri dan menghampiri Lumina, kemudian mencium pipinya.
"Oniichan, sudah dong?" Lumina tertawa geli. "Bagaimana sekolahnya?"
"Baik." jawab Reno, "Tapi, aku harus segera bersiap-siap untuk show."
Lumina manggut-manggut. Rambutnya yang diikat menyamping tersampir ke bawah bahu
kirinya. Lumina sendiri berpakaian rapi, seolah mau pergi, dan Reno menyadai hal itu.
"Kamu juga mau pergi?" tanyanya.
"Aku mau pergi ke pentas seni di sekolah tempat Oniichan tampil nanti." Lumina
tersenyum lebar, "Dengan Nathan, tentu saja."
Reno mengernyit mendengar nama Nathan alias Jonathan disebut.
"Rupanya kalian serius mau melihatku tampil di sana." gerutu Reno.
"Aku, kan sudah janji padamu, kalau aku akan ke sana dan melihat penampilanmu." Balas
Lumina, "Oniichan lupa, ya?"
"Tidak. Tapi, aku tidak bisa konsentrasi kalau kalian berdua datang dan bermesraan
selama aku berada di atas panggung." Ujar Reno, "Kalau Jonathan melakukan sesuatu padamu?"
"Singkirkan pikiran Oniichan yang melantur itu dan cepat bersiap-siap." Kata Lumina
mencubit pinggang Reno. "Semua juga akan datang. Termasuk Claire Oneesan dan Sarah
Oneesan." "Mereka sudah pulang dari travelling?"
"Tentu saja. Mereka baru saja meneleponku kalau mereka semua akan menunggu kita di
pentas seni sekolah itu." jawab Lumina, "Clarissa juga akan datang, kok."
Reno mengerjap mendengar nama Clarissa, kemudian manggut-manggut pelan.
Lumina tersenyum lebar melihat reaksi kakaknya.
"Oniichan, bagaimana hubungan kalian berdua" Kamu dan Clarissa?" tanyanya.
"Hah?" "Oniichan jangan berpura-pura bodoh, deh?" kata Lumina, "Clarissa bilang kalau
Oniichan mengajaknya makan malam romantic di gazebo di universitas alamamater Ayah dan Ibu.
Itu benar, kan?" Reno mengerang. Dia yakin, Clarissa, yang dia panggil dengan nama Utami, memang
sengaja mengatakan rahasia mereka itu pada Lumina. Dan kalau Reno bertanya pada gadis itu
nanti, pasti jawabannya adalah kelepasan bicara.
Aku harus "menghukum" Utami nanti. Gerutu Reno dalam hati. Dia dan Clarissa memang
makan malam di gazebo universitas almamater orangtuanya. Gazebo yang dikatakan "keramat"
karena nuansa romantisnya di saat bulan purnama. Dan menurut Pamannya, Dylan, gazebo itu
sengaja disebut keramat oleh teman-temannya, karena setelah kedua orangtua Reno dan Lumina
berkencan di sana, banyak pasangan yang terbentuk dalam jalinan hubungan yang masih bertahan
sampai sekarang ketika mereka masuk ke dalam gazebo itu, sehingga dikatakan punya "kutukan
cinta" yang kuat. Reno tidak mempercayai hal itu, tapi ketika dia mengadakan makan malam untuk
merayakan ulang tahun Clarissa, dia mau tidak mau mempercayai hal tersebut. Dan memang,
sejak makan malam itu, hubungan mereka menjadi lebih baik.


The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oniichan, kenapa melamun" Memikirkan Clarissa, ya?"
Suara Lumina menyentak Reno kembali kealam nyata.
"Apa, sih?" kata Reno. "Sudahlah. Kalau kamu memang mau ikut. Sebaiknya tunggu di
ruang depan, aku akan berganti baju sebentar."
Lumina terkikik geli melihat sikap Reno dan wajahnya yang agak memerah itu.
*** "Lumina?" Lumina yang asyik membaca novel sambil mendengarkan lagu dari MP3 Player barunya
mendongak dan melihat Clarissa, Jonathan, serta Joe masuk dari pintu depan yang sengaja dia
biarkan terbuka. "Hai, Clarissa."
Clarissa memeluk Lumina sambil tersenyum lebar.
"Bagaimana kondisimu" Bukankah kata Paman Dylan dan Paman Charles kamu masih
dalam masa pemulihan pascaoperasi 5 bulan lalu?"
"Aku sudah tidak apa-apa." Lumina tersenyum. "Aku sudah mulai bisa melihat dengan
baik. Hanya sedikit penyesuaian dengan kedua bola mata baruku."
Clarissa tersenyum dan menatap kedua mata Lumin yang kali ini tidak lagi berwarna
coklat, melainkan biru laut yang indah.
Ingatan Lumina terlempar kembali pada peristiwa 5 bulan lalu. Dari yang dia dengar dari
kedua orangtuanya, juga Reno dan Jonathan, nyawanya nyaris terancam oleh racun mematikan
Deathly Sorrow milik Jack Lucios yang dikembangkan oleh Albert Lucios. Seorang wanita
bernama Maya Watson, kembaran ibunya yang seharusnya sudah meninggal, tiba-tiba muncul dan
menyembuhkan Lumina, juga Reno yang terkena peluru beracun dengan jenis sama. Maya
membawa mereka semua keluar dari hutan yang sudah dipasangi perangkap, dan meminta sesuatu
pada ibunya sebagai permintaan dan bantuan terakhir.
Mengoperasi kedua mata Lumina.
Lumina sendiri sempat bingung ketika dia ternyata berbaring di sebuah ranjang di rumah
sakit. Ayah dan ibunya juga ada di sana, begitu juga Reno, dan yang lainnya. Mereka semua
menunggunya sadar. Dan ketika dia sadar, ibunya langsung memeluknya sambil menangis.
Ayahnya membawakn cermin dan menyerahkannya pada Lumina. Sontak dia
mengerjapkan matanya kaget ketika melihat kedua warna bola matanya yang berwarna coklat
sekarang berganti menjadi warna biru laut yang seakan bergolak indah di wajahnya.
"Maya meminta kami mengoperasi kedua matamu yang rusak." Kata ayahnya, "Dengan
kedua bola matanya. Dia meminta kami mencari tubuhnya yang disimpan di ruang bawah tanah
Dewan dan menggunakan kedua bola matanya untuk menggantikan bola matamu yang rusak
akibat racun dan luka yang diakibatkan Jack."
Lumina hanya bisa terpaku menatap kedua bola mata barunya. Dia seakan berubah
menjadi" orang lain. Dan dia bisa melihat bayangan seorang gadis berambut hitam dengan mata
biru yang sedang tersenyum menatapnya dari cermin.
Berbahagialah" sebuah suara terdengar di kepalanya. Suara seorang perempuan, dan dia
yakin itu suara Maya Watson.
Sejak saat itu, Lumina berusaha beradaptasi dengan kedua bola mata barunya. Agak sulit
karena setiap kali dia terbangun dari tidur, dia selalu mengalami mimpi buruk dan halusinasi aneh
yang seakan masih terekam dalam kedua bola mata biru milik Maya Watson yang sekarang berada
di tubuhnya. Adaptasi itu membutuhkan waktu lebih dari 4 bulan karena Lumina harus bolakbalik ke Dewan untuk memeriksakan kondisinya, hingga dia tidak bisa bersekolah seperti biasa lagi
dan terpaksa mengikuti home schooling.
Tapi, untungnya Lumina tidak sampai stress dan tertekan karena itu semua. Reno,
kakaknya, sering menemaninya di rumah di sela-sela kegiatan sekolah dan band yang digelutinya.
Joe dan Clarissa sering datang dan menemani Lumina di rumah, sementata Jonathan hanya datang
sesekali karena harus mengurus perusahaan.
"Clarissa, sebaiknya kamu menyingkir dan memberikan Kak Nathan kesempatan untuk
memeluk Lumina." ujar Joe. "Kak Nathan kelihatan ingin menjewer telingamu, tuh?"
"Tidak mau. Kak Nathan harus memisahkanku dulu dari Lumina." kata Clarissa sambil
memeluk Lumina lebih erat.
Lumina hanya tertawa melihat interaksi Clarissa dengan kedua kakaknya. Kemudian
matanya menatap Jonathan dan tersenyum.
Jonathan membalas senyuman Lumina.
"Kuharap aku tidak terlambat untuk mengucapkan selamat datang kembali ke rumah."
Kata Jonathan, "Kamu tidak apa-apa, kan?"
"Tidak, kok" seperti yang aku bilang tadi." jawab Lumina, "Err" Clarissa, tolong lepaskan
pelukanmu, aku sudah sesak nafas."
"Ups. Maaf." Clarissa melepas pelukannya dan tertawa, "Tapi, serius deh, Lumina,
tubuhmu ini benar-benar mungil seperti boneka dan aku suka sekali memelukmu."
"Clarissa?" tegur Joe dan Jonathan bersamaan.
"Baiklah, baiklah?" Clarissa mengedikan bahu, "Dan di mana cowok gitar kecilku?"
"Sejak kapan kamu memanggilku dengan kata "kecil?""
Mereka menoleh kearah Reno yang sudah siap dengan T-shirt abu-abu yang dilapisi
dengan jaket kulit hitam dan celana jins berwarna sama. Reno membawa kotak gitar di tangannya
dan sedang mengutak-atik ponsel.
"Sudah siap?" tanyanya sambil mendongak kearah keempat orang yang menatapnya.
"Apa?" "Tidak" penampilanmu masih dibilang terlalu rapi untuk seorang anak band." Kata Joe,
"Iya, kan, Kak Nathan?"
"Aku tidak akan berkomentar soal itu." Jonathan mengedikkan bahu.
Lumina hanya tersenyum mendengar ucapan Jonathan.
"Halo, cowok gitar kecilku!"
Tahu-tahu Clarissa sudah berteleportasi di sebelah Reno dan memeluknya. Nyaris
membuat cowok itu hilang keseimbangan dan jatuh ke lantai.
"Sudah kubilang, jangan gunakan kemampuan teleportasimu hanya untuk memelukku."
Gerutu Reno sambil mementil dahi Clarissa. "Heran" tidak kusangka kamu bisa semanja dan
secentil ini." Clarissa hanya tertawa dan bergelayut di lengan Reno.
"Ayo kita berangkat. Hari ini, biar aku yang menyetir mobil." ujar Clarissa.
*** "Hei!!!" Sarah dan Claire melambai kearah Reno dan yang lain yang baru sampai. Di dekat mereka,
Snow dan Samuel sedang asyik berfoto bersama beberapa cosplayer dari aliansi cosplayer terkenal
di kota. Lumina berlari kearah mereka berdua dan langsung memeluk mereka.
"Lumina, sepupu kecilku, aku kangen sekali padamu." Kata Sarah sambil memeluk erat
Lumina, "Bagaimana keadaanmu" Baik-baik saja, kan?"
"Baik." kata Lumina, "Oneesan sudah lama di sini?"
"Baru saja." jawab Claire, "Tapi, Snow dan Samuel sudah lebih dulu berburu foto bersama
para cosplayer itu."
Lumina tertawa dan menatap Snow dan Samuel yang asyik berfoto dengan salah satu
cosplayer yang mengenakan kostum maid dan anak sekolah SMA.
"Dan ini dia, bintang utama acara pentas seni." Kata Claire sambil tersenyum pada Reno,
"Dan, wow, bersama pasangannya."
"Claire, jangan mulai, deh?" kata Reno sementara Claire terkikik.
"Oh ya, aku harus segera pergi ke belakang panggung. Sebentar lagi giliran band-ku yang
tampil, dan aku sudah ditunggu teman-temanku." Kata Reno sambil melihat jam tangannya.
"Kalian, silakan bersenang-senang selama aku berada di atas panggung."
"Oh, itu akan kami lakukan," ujar Sarah sambil tersenyum lebar pada Claire, "Iya, kan,
Kak?" "Yup." "Jangan berbuat yang aneh-aneh." Kata Reno menegur.
"Kami tidak akan berbuat aneh, kok. Tenang saja?"
Reno menatap Claire dan Sarah dengan tatapan sangsi. Tapi, kemudian menyerah dan
berjalan kearah panggung besar di tengah lapangan.
"Dia terlalu khawatir." Kata Claire.
"Terlalu protektif, sebenarnya." Sambung Sarah, "Terutama pada Lumina."
"Hmm?" Lumina yang dari tadi tidak mendengarkan pembicaraan menoleh.
"Tidak ada apa-apa." Sarah menggeleng, "Ayo, kita cari makan dan memisahkan Snow dan
Samuel dari para cosplayer itu sebelum mereka lupa kalau sekarang sudah hampir jam makan
siang." *** Lumina mengernyit ketika dia merasa melihat halusinasi lagi. halusinasi seorang remaja
perempuan seusia dirinya sedang berjalan berdua bersama seorang cowok bermata tajam dan
dingin di sebelahnya. Remaja perempuan itu menoleh kearah Lumina dan tersenyum kecil, lalu
menggelayut di lengan cowok itu.
Lagi-lagi halusinasi ini" kata Lumina dalam hati, sambil menghembuskan nafas.
"Ada apa?" Lumina mendongak dan menatap Jonathan yang duduk di sebelahnya dan menyodorkan
sekotak donat pada Lumina.
"Terima kasih," kata Lumina sambil mengambil sebuah donat berlapiskan coklat dan
kacang almond. "Kamu masih melihat halusinasi-halusinasi di matamu?" tanya Jonathan.
Lumina mengangguk, "Tapi, tidak apa. Aku sudah terbiasa."
Jonathan mengangguk. Dan mereka menikmati donat masing-masing dalam diam.
"Anu," "Ya?" Lumina menoleh kearah Jonathan.
"Apa" apa kamu benar-benar sudah memaafkan perbuatanku yang mengirim Joe untuk
menyamar sebagai aku?" tanya Jonathan. "Jujur saja, itu adalah perbuatan paling pengecut yang
pernah kuperbuat. Dan tindakanku itu membuat kita semua, dan orangtuamu, dalam bahaya."
Lumina ingat kata-kata yang diucapkan oleh Jack Lucios tentan Joe dan Jonathan. Dia juga
ingat semua itu sempat membuatnya syok beberapa saat, dan nyaris tidak mau memercayai Joe
dan Jonathan yang sudah membohonginya.
Tapi" "Kamu pernah bilang kalau itu untuk kebaikanku, dan aku terima. Permintaan maafmu
dan Joe yang sudah beribu kali kalian katakan juga sudah kuterima." Kata Lumina, "Aku tidak
marah, kok. Tapi, yah" memang, sih, saat Jack Lucios mengatakan hal itu, aku sempat kaget,
syok, dan tidak percaya. Aku ingin menamparmu dan Joe saat itu juga."
Lumina mengedikkan bahu. "Tapi, sudahlah. Semua itu sudah berlalu. Dan kamu sudah berani menemuiku, kan?"
lanjutnya, "Itu yang terpenting. Kamu harus membuang rasa pengecutmu itu jauh-jauh. Kalau itu
tidak bisa kamu lakukan, aku akan menjauhimu."
"Kenapa bicaramu seperti Reno, sih" Kalian benar-benar kejam dalam hal berkata-kata."
Gerutu Jonathan. Lumina tertawa melihat ekpresi dan gerutuan Jonathan, kemudian bersandar pada
bahunya. "Yang penting, aku bisa bertemu denganmu, Suara." Kata Lumina, memanggil Jonathan
dengan sebutannya ketika mereka masih hanya berbicara lewat telepati. "Aku senang akhirnya aku
tahu seperti apa wujud asli Suara. Dan aku bersyukur, ternyata wujud aslimu seperti bayanganku."
"Apa" Ganteng" Pintar" Dan kaya?" goda Jonathan.
"Hmm" tidak juga. Sifat penakut, kepengecutan, dan kekanak-kanakanmu itu benar-benar
seperti bayanganku."
"Dasar?" Jonathan mengacak-acak rambut Lumina dan mereka tertawa bersama.
"Hei, jangan bermesraan terus di hadapan kami, dong."
Sarah tiba-tiba memeluk Lumina dari belakang dan menyandarkan kepalanya di atas
kepala Lumina. "Kita harus cepat pergi ke dekat panggung untuk membuat Reno gugup." katanya dengan
senyum jahil. "Aku tidak sabar ingin mengerjainya."
"Oneesan, jangan begitu, dong?"
"Hei, aku mendapat ini." Joe tiba-tiba datang bersama Clarissa sambil memperlihatkan satu
kotak strap ponsel yang sama dengan berbagai warna.
"Dari mana kamu mendapatkan itu?" tanya Sarah.
"Kak Joe menang undian di sana." kata Clarissa sambil menunjuk ke salah satu stand
bazaar. "Dan dia mendapatkan satu kotak strap ponsel yang lucu ini untuk kita semua. Bagus,
kan?" "Sepertinya bakatmu yang misterius itu harus dikembangkan." Gumam Jonathan
mengerutkan kening. "Kamu tidak memakai kemampuan indera super tajammu untuk melihat
undian mana yang akan kamu pilih, kan?"
"Kemampuan indera super tajam" Sepertiku?" tanya Sarah.
"Ya. Selain kemampuan itu, sebenarnya Joe masih punya kemampuan lain yang masih
belum kami tahu apa namanya." Kata Jonathan. "Tapi, dia lebih sering menggunakan kemampuan
indera super tajam. Dan jarang menggunakan kemampuannya yang lain."
"Hee?" Sarah menatap Joe, "Aku punya saingan berat di sini sebagai tukang cicip
masakan. Aku sering menjadi tukang cicip masakan dadakan kalau ada orang yang memasak di
dekatku." "Sama kalau begitu." Joe tertawa, "Aku sering menjadi kelinci percobaan yang mencoba
masakan Utami." Clarissa hanya mengedikkan bahu, "Aku tidak akan menyangkal hal itu."
Mereka semua tertawa. "Ah," Lumina mengerjap, "Itu suara Reno Oniichan. Dia dan band-nya sudah naik ke
panggung." "Kalau begitu, tunggu apa lagi" Ayo kita ke sana!!"
CHAPTER 34 Aria menatap pentas seni yang diadakan di sebuah sekolah swasta terkenal yang akan menjadi
tempatnya mengadakan jumpa fans dengan para penggemarnya. Julia sedang menelepon seseorang
dan terlibat pembicaraan serius karena sesekali Julia mengangguk-angguk dan mengatakan "Ya,
saya mengerti" dan "Akan kami atur?"
Ketika telepon itu selesai, Julia mengelus telinganya yang panas karena berlama-lama
menerima telepon. "Maaf, telepon dari pihak manajemen kita." Kata Julia, "Mereka bilang, setelah ini, kita
harus pergi ke tempat lain untuk menghadiri konser dan acara talk show yang akan disiarkan
secara live." "Tidak apa-apa." Aria tersenyum, "Oh ya, apa kamu sudah menghubungi teman-temanku
untuk ikut makan siang bersama nanti?"
"Sudah, tentu saja. Suamimu juga sudah menghubungi Charles dan Dylan." Jawab Julia,
"Ayo, kita langsung masuk ke sana. Aku yakin, panitia pentas seni sekolah itu sudah menunggu
kita." *** "Lho" Ibu?"
Aria menoleh kearah Reno yang berdiri di belakang panggung bersama teman-teman bandnya.
"Reno" Kenapa kamu di sini?" tanya Aria.
"Aku dan teman-teman band-ku mengisi acara di sini." jawab Reno, "Dan Ibu sendiri?"
"Ibu ada jumpa fans. Sebentar lagi Ibu akan pergi ke ruang auditorium untuk bersiap-siap
di sana." kata Aria, "Kalau begitu, semoga sukses dengan penampilanmu, ya" Setelah ini, kamu
juga jangan pergi dulu. Kita akan makan siang bersama ayahmu dan teman-teman yang lain.
Adikmu di sini juga?"
"Ya. Sarah, Claire, Snow, dan Samuel juga ada. Clarissa dan kedua kakaknya juga datang."
jawab Reno. "Wow," Aria mengerjapkan mata dan tertawa kecil, "Rupanya kalian janjian untuk jalanjalan di pentas seni ini, ya?"
Reno mengedikkan bahu sambil tersenyum.
Panggilan dari MC yang berada di atas panggung menarika perhatian Reno.
"Oke. Kamu dan teman-temanmu sudah dipanggil ke atas panggung." Ujar Aria. "Sana.
bernyanyilah dengan bagus, ya?"
"Aku, kan mewarisi suara indah seperti Ibu." Kata Reno sambil mengedipkan sebelah
matanya. Lalu naik ke atas panggun bersama teman-temannya.
*** "Ternyata Reno lebih percaya diri daripada Rifan dulu." Kata Julia yang berdiri di sebelahnya.
"Ingat saat kamu mengisi acara konser di taman bermain dulu, kan" Duet berpasangan waktu itu?"
"Aku masih ingat. Masih sangat jelas di dalam ingatanku kegugupan Rifan waktu itu." Aria
tertawa, "Aku bahkan tidak menyangka itu sudah lama sekali."
Julia juga ikut tertawa, "Tapi, semuanya berakhir bahagia, kan" Sama seperti sekarang."
katanya. "Ya. Kamu benar." Aria mengangguk.
"Ayo. Kita langsung ke auditorium."
*** Ketika band Reno naik ke panggung, para penonton langsung menjerit histeris. Yah" yang
menjerit sebenarnya adalah penonton berjenis kelamin cewek. Lumina sempat mengernyit tidak
nyaman ketika salah seorang penonton cewek di dekatnya menjerit histeris sambil memanggil
nama kakaknya. Apa band yang dibentuk oleh Reno dan teman-temannya terkenal sekali, ya"
Sampai banyak sekali jeritan yang terdengar di sana-sini.
"Aku tidak menyangka para penonton ini penggemar Qubers." Kata Claire menyebut
nama band Reno. "Mereka semua terlalu histeris dan" fanatic."
"Aku juga berpikiran sama." Kata Jonathan, "Aku tidak tahu kalau band-nya ternyata bisa
membuat semua penonton histeris begini."
Apalagi aku. kata Lumina dalam hati sambil menatap kakaknya yang mulai memainkan
gitar listrik di tangannya dan mulai menyani dengan mikrofon mini yang disematkan di kerah
bajunya. Sebuah lagu, yang Lumina ingat, ditulis sendiri oleh Reno, mengalun. Lumina ingat,
aransemen lagu ini ditulis oleh Reno ketika kakaknya itu sedang asyik bermain gitar di ruang tamu
sambil sesekali menulis sesuatu pada lembaran-lembaran kertas yang berserakan di atas meja.
I found something, in my life"
I found you, immediately, caught by your face"
No wonder I could be this crazy, about you
Yeah" about you"
Do you know that you caught my heart at first sight"
You standing there, like an angel coming down from heaven"


The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

It"s like you"re the angel that the God sent to me,
For accompany me" in my life"
So, girl, what about you"
Oh, girl" please, let me know you,
I want to know about you, everything about you"
Oh, girl" please, let me love you"
Don"t just standing there and see me from the distance"
Oh, girl, please" oh girl, please"
Let me love you forever"
"Tunggu?" Lumina mengerutkan kening mendengar lirik lagu tersebut. "Kenapa lirik lagu
ini" aku pernah mendengarnya."
"Utami yang menulis liriknya." Kata Jonathan yang berdiri di sebelahnya. "Mereka berdua
diam-diam menulis lagu lewat telepati mereka, dan Reno menggubah lagunya untuk lagu utama
yang akan mereka bawakan hari ini."
"Benarkah?" Lumina terkejut, "Kamu tahu dari mana?"
"Tentu saja aku tahu karena aku mendengar Utami berbicara lirih di kamar. Dan aku
menduga dia berbicara dengan Reno lewat telepati." Kata Jonathan sambil melirik kearah Clarissa
yang ikut menyanyikan lagu itu.
Lumina mengikuti lirikan Jonathan dan tertawa. Rupanya hubungan kakaknya dan Clarissa
lebih dalam daripada yang dia bayangkan. Dan Lumina harus mengakui, lirik lagu yang dibuat
Clarissa sangat bagus. Mencerminkan isi hati cowok yang jatuh cinta pada pandangan pertama.
Atau sebenarnya, isi hati seorang cewek yang menemukan cinta pertamanya" Entahlah.
Lagu ini netral, walau ada kata "oh, girl?" yang merujuk pada seorang gadis. Mungkin kakaknya
mengubah sedikit lagu itu, dan hasilnya" sangat bagus.
Oh, girl, please accept my heart"
You don"t know how I can"t live without you"
Oh" oh" Girl, please, I just want let you know
That I"m loving you, forever in my live"
Take me to the sky, take me to peaceful place
Where we can together, just both of us"
Please, let me feel the sensation of love,
Please, let me feel the warm of sun in your smile
Oh, girl" please accept my heart"
"Lumina," "Hmm?" Lumina menoleh kearah Jonathan, tepat ketika cowok itu merengkuh bahunya dan
mencium bibirnya. Gadis itu mengerjapkan matanya, dan menatap mata Jonathan yang sangat
dekat dengan matanya. Ketika Jonathan melepaskan ciumannya, dia tersenyum lebar pada Lumina yang wajahnya
memerah dan langsung menunduk ke bawah.
"Jangan menunduk." Gumam Jonathan sambil mengangkat dagu Lumina, "Kamu tidak
perlu malu, kan" Kita sudah pernah berciuman sebelumnya."
"Tapi, itu, kan baru pertama kali?" Lumina tidak mau membalas kata-kata Jonathan
karena cowok itu sudah menatapnya dengan senyum jahil khas anak remaja seusianya.
"Akan ada kedua kali, ketiga kali, dan seterusnya?" kata Jonathan, "Dan kuharap kamu
bersiap-siap, karena aku akan menunjukkan sisi diriku yang lain."
"Eh?" Jonathan hanya tersenyum penuh arti, kemudian mencium bibir Lumina lagi. Dan kali ini,
Lumina bisa menangkap pikiran Jonathan dan menerima ciuman itu dengan tulus.
Oh, girl, just for you"
I love you more than anyone else"
CHAPTER 35 Aksi band Reno dan teman-temannya sangat luar biasa. Tepuk tangan dan jeritan histeris dari
penonton tidak ada habisnya, bahkan sampai mereka turun dari panggung. Ketika Reno berada di
belakang panggung, Lumina dan teman-temannya langsung menyusul ke sana dan mendapati Reno
sedang dipeluk oleh Clarissa. Sejak kapan cewek itu sudah ada di sana lebih dulu"
"Pasti dia menggunakan kemampuan teleportasi lagi." kata Joe sambil terkekeh, "Dia
memang sering memakai kemampuan itu."
Lumina manggut-manggut. "Oh ya, Joe, setelah ini, kita ada jadwal lain atau tidak?" tanya Jonathan.
"Hmmm" mungkin tidak ada. Kita bertiga bisa bersantai penuh seharian ini." jawab Joe.
"Kenapa" Berencana membuat makan malam romantic seperti Reno dan Clarissa?"
Jonathan hanya tersenyum lebar dan mengedipkan sebelah mata.
"Itu rahasia." katanya. "Tapi" apa kamu tidak apa-apa?"
"Memang kenapa?"
"Aku tahu kamu juga menyukai Lumina." kata Jonathan, nada suaranya tiba-tiba berubah
serius. "Aku tahu itu dari tatapan matamu, Joe. Apalagi tindakanmu waktu itu?"
Joe menatap kearah Lumina yang sedang menghampiri kakaknya dan berbicara sambil
tertawa bersama yang lain. Dia menghembuskan nafas perlahan-lahan.
"Aku tidak akan menyangkal kalau aku menyukai Lumina juga." Katanya, "Tapi, aku tahu,
aku tidak akan bisa bersaing denganmu. Aku" nyaris membuat semua orang menderita, hanya
karena ada DNA dari Jack Lucios?"
"Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri." tegas Jonathan, "Kamu berbeda
dengannya. Aku tahu itu. Dan mereka semua juga?"
"Ya, aku tahu." Joe mengangguk, "Tapi, aku memang menyerah soal Lumina, terutama
ciuman yang kalian lakukan tadi di tengah-tengah penonton" itu sudah menjadi jawaban yang
jelas bagiku." "Kau melihatnya?"
"Siapa yang tidak melihat seorang direktur perusahaan terkenal berciuman dengan anak
penyanyi terkenal di tengah-tengah penonton, bahkan sampai dua kali?" kata Joe dengan senyum
lebar. "Oh, sial?" Jonathan tertawa, namun, kemudian wajahnya kembali serius. "Tapi, serius.
Kamu benar-benar?" "Kak, jangan membuatku mengulangi ucapan yang sama. Aku memang menyukai Lumina,
tapi aku sudah menyerah soal itu. Dan aku sedang men-survey para cewek di sini, siapa tahu ada
yang menarik perhatianku. Dan mungkin, tertarik padaku juga."
"Gaya bicaramu seperti playboy ulung saja." kata Jonathan, "Baiklah" semoga berhasil.
Dan" terima kasih, Joe. Aku tidak tahu apakah aku bisa?"
"Hei, berhenti. Sudah cukup pembicaraannya, Kak. Kau tahu aku paling benci
pembicaraan lama dan membosankan seperti tadi." sela Joe.
"Sialan kamu?" Jonathan meninju lengan Joe dengan gerakan main-main dan mereka
tertawa. Jonathan mengulurkan tangannya kearah Joe. Joe membalas uluran tangan itu dan mereka
berdua sama-sama tersenyum lebar.
"Tidak ada permusuhan?"
"Tidak ada." "Atau perkelahian?"
"Kalau Kakak mau, ayo, kita berkelahi di lapangan." Kata Joe sambil tertawa, "Aku hanya
bercanda. Jangan dianggap serius."
Jonathan tertawa lagi. "Dasar?" "Joe, Nathan!" Mereka berdua menoleh dan melihat Snow melambai kearah mereka.
"Ke sini, dong! Jangan berduaan di situ seperti sepasang kekasih." Kata Snow, "Nanti
Lumina marah, lho?" "Apa-apaan, sih, Snow?" kata Lumina sambil merengut.
Jonathan dan Joe sama-sama tertawa sebelum akhirnya menghampiri mereka.
*** "Ibu bilang kita semua akan makan siang bareng." Kata Reno. "Beliau sudah ada di depan gerbang
sekolah, jadi, kita langsung saja ke sana."
"Asyik! Aku sudah lapar dari tadi." kata Sarah. "Untung saja aku bisa menahan diri dengan
segelas jus jeruk besar dan donat kentang lapis gula yang kumakan tadi."
"Kamu ini memang cocok jadi tukang cicip masakan." Kata Snow sambil terkekeh,
"Kenapa tidak beralih profesi dari traveler menjadi koki saja?"
"Sedang kupikirkan?" kata Sarah sambil tergelak, "Tapi, sayang sekali, aku tidak bisa
memasak!" "Sudah, sudah" ayo, kita langsung pulang saja. Teman-temanku yang lain juga sudah
pulang." kata Reno sambil menatap kursi tempat teman-temannya tadi duduk, kini telah kosong.
"Pas sekali, aku juga sudah kelaparan karena menyanyikan 4 lagu sekaligus dalam satu kali naik
panggung." "Tapi, kamu dapat applause yang heboh, kan?" kata Joe sambil tersenyum lebar,
"Terutama lagu pertama. Lagu itu benar-benar membuat salah satu pasangan di antara penonton
sampai terbawa suasana."
"Apa?" Joe terkekeh ketika Jonathan menyikutnya dengan wajah merona merah. Dan Reno
mengerti apa yang dimaksud oleh Joe, ikut terkekeh.
"Kuharap kamu tidak melakukan macam-macam pada Lumina, Nathan." Kata Reno.
"Aku tidak melakukan sesuatu yang senonoh, kok." Balas Jonathan, "Sumpah, deh?"
"Oke, oke" aku percaya, kok." Kata Reno. "Kalau begitu, lagu yang memang
kupersiapkan dengan Utami benar-benar sukses, ya?"
"Sepertinya begitu?" Clarissa tertawa. Kemudian menatap Jonathan dengan senyum jahil,
"Wajah Kak Nathan merah banget. Perlu kompres?"
"Tidak perlu." Kata Jonathan cepat. "Jadi, kalian memang bersekongkol untuk
membuatku malu, ya?"
Reno dan Clarissa sama-sama mengedikkan bahu sambil menahan tawa.
"Dasar, kalian berdua?"
"Sudah, dong" kapan kita pergi dan makan siang" Aku sudah lapar berat!" kata Sarah
menyela candaan yang tidak ada habisnya itu.
*** Rupanya orangtua mereka sudah menunggu di depan gerbang. Bahkan orangtua Snow dan Samuel
juga ada. "Dad!!" Snow menghampiri ayahnya dan ber-high five dengan Lord, kemudian ayahnya.
"Maaf, kami terlambat." Kata Reno, "Apa kita semua akan berangkat sekarang, Yah?"
"Ya." Rifan mengangguk. "Ayah sudah mempersiapkan mini bus, karena Ayah yakin mobil
yang ayah bawa tidak akan muat untuk kita semua."
Lumina menoleh kearah mini bus putih yang terparkir di belakang mobil ayahnya.
"Seperti darmawisata saja." katanya.
"Anggap saja kita akan darmawisata." Ujar Charles sambil memeluk istrinya, "Karena
setelah makan siang, kita akan pergi ke cottage milikku yang terletak di dekat sungai. Di sana
banyak ikan, dan kita bisa bersantai seharian ini di sana."
Dia kemudian menoleh kearah Rifan dan Aria. "Kuharap kalian tidak punya acara lain
setelah makan siang." Ujarnya.
"Sebenarnya aku ada acara lain setelah makan siang." Kata Aria, "Tapi" baiklah. Aku
tidak akan bisa menolak ajakanmu karena aku yakin kamu akan memaksaku, Charles."
"Seperti yang akan kulakukan setiap kali mengajakmu bolos mata kuliah." Charles
tersenyum lebar. "Katakan saja pada Julia untuk ikut. Dia juga perlu istirahat, bukan" Di mana dia
sekarang?" "Sedang berbicara dengan para panitia," jawab Aria, "Aku akan menghubunginya nanti dan
memberitahukan untuk memindahkan jadwalku di hari ini ke hari lain. Aku juga akan
menyuruhnya menyusul ke cottage-mu."
"Sip! Sekarang, semuanya sudah beres. Anak-anak," ujar Charles. "Kita berangkat."
CHAPTER 36 Acara makan siang yang diadakan di restoran favorit Aria dan Rifan berlangsung meriah.
Semuanya makan sambil menceritakan hal-hal yang lucu dan terkadang tertawa terbahak-bahak.
Lumina hari ini juga banyak tertawa mendengar lelucon dan cerita lucu dari Charles, atau dari Joe
dan Samuel yang sepertinya menjadi "badut kedua dan badut ketiga" setelah Charles yang dijuluki
ayahnya sebagai "badut" oleh mereka.
Setelah puas makan siang, mereka langsung menuju cottage Charles di dekat sungai.
Cottage itu cukup asri. Dibuat dari kayu yang kuat, serta dengan latar belakang pepohonan yang
rindang, membuatnya kelihatan seperti lukisan saja. Apalagi tanaman rambat yang menjalar di
sekitar tiang di teras cottage membuatnya tambah asri.
"Kalian boleh melakukan kegiatan apa saja." kata Charles, "Ada peralatan memancing di
ruangan di dekat ruang tamu. Juga ada 5 sepeda di ruangan di bawah cottage yang bisa digunakan
untuk berjalan-jalan di sekitar sini."
"Aku ingin memancing." Kata Snow.
"Aku juga," Samuel mengangkat tangan, "Ayo, kita ambil alat pancing dan kita bertaruh
siapa yang akan mendapat ikan paling besar."
"Oke. Siapa takut?" balas Snow. "Kau ikut, Joe?"
"Boleh juga." Kata Joe.
"Aku dan Claire akan menjelajahi wilayah sekitar sini." ujar Sarah, "Sepertinya
mengasyikkan. Iya, kan, Claire?"
"Ya. Aku setuju."
"Kalau begitu, silakan ambil sepeda di sana. Ayo!"
"Kau tidak ikut, Charles" Memancing bersama Samuel dan Snow?" tanya Rinoa.
"Aku punya rencana lain. Aku ingin adu panco dengan teman-teman yang lain." kata
Charles. "Oi, Rifan, Dylan, Duke, Lord, Stevan, kita adu panco di sana."
"Seperti biasa?" kata Stevan sambil geleng-geleng kepala, "Dasar badut."
Charles hanya tergelak dan mendorong mereka semua ke sebuah meja kayu yang tidak
jauh dari tempat mereka berdiri.
"Para ibu-ibu, silakan membuat makanan ringan dan minuman untuk kami semua." Kata
Charles, "Ayo, teman-teman, jadilah pria sejati dan adu panco denganku!"
"Oke" oke?" kata Rifan.
Aria menatap mereka semua dengan senyum geli. Kemudian mengikuti Rinoa dan
kakaknya, Keiko, ke dalam cottage untuk membuat makanan ringan dan minuman.
*** Reno dan Clarissa duduk di pinggir sungai. Kaki mereka telanjang dan dibenamkan ke aliran air
sungai yang cukup jernih.
"Airnya segar," kata Clarissa.
"Memang?" ujar Reno sambil mengamati Snow dan Samuel yang asyik memancing. Joe
tertawa ketika mereka bertengkar tentang siapa yang cepat mendapat ikan besar yang sekarang
berada di tangan Joe. Reno tersenyum tipis. Dia tidak sadar kalau Clarissa sedari tadi
memperhatikannya. "Reno," "Yup?" "Kamu senang tidak, semuanya sudah selesai?" tanya Clarissa.
"Senang" Ya" kurasa begitu." ujar Reno sambil menghembuskan nafas, "Tapi, kurasa
belum." "Belum?" "Bagaimana aku harus merasa senang kalau ternyata pasangan empatiku adalah gadis yang
centilnya bahkan melebihi pacar-pacarku sebelumnya?"
"Jadi, kamu pernah punya pacar sebelum aku!?" tanya Clarissa dengan mata membelalak.
"Yah" kalau dihitung, mungkin aku pernah pacaran sudah 25 kali, dihitung dari saat aku
kelas 1 SMP." Kata Reno sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Yah" saat itu, waktu pacaranku
yang paling lama hanya dua bulan, setelah itu, putus, kemudian pacaran lagi."
"25 kali!!?" Clarissa yakin wajahnya melongo dan merah karena ucapan Reno. Berarti" berarti Reno"
"Ng" Singkirkan pikiranmu yang melantur, Utami. Aku tidak pernah "menodai" pacarpacarku. Kecuali pelukan dan ciuman," kata Reno, "Kenapa wajahmu merah padam begitu?"
"Aku tidak menyangka pasangan empatiku adalah seorang playboy cap kabel." Gerutu
Clarissa. "Kamu tidak pernah menceritakan hal itu sebelumnya."
"Memang harus diceritakan, ya?" tanya Reno polos, dengan cengiran lebar di wajahnya,
"Apa itu harus dipermasalahkan sekarang?"
"Tentu saja, bodoh! Aku syok mendengarmu menceritakan hal itu, padahal kita lagi
asyik?" "Asyik apa?" tanya Reno, mengangkat alisnya dengan senyum jahil tersungging di bibirnya.
"Asyik" ah!! Jangan menggodaku!"
"Aku tidak sedang menggodamu, kok?" Reno tertawa. "Kamu sendiri yang bilang kita
sedang asyik, dan aku tanya sedang asyik apa" Wajahmu benar-benar merah, lho?"
"Uhh" Reno?" Clarissa memukuli tubuh Reno, melampiaskan rasa malunya.
Reno hanya mengaduh pelan dan pura-pura kesakitan. Dia tertawa melihat ekspresi
Clarissa yang sudah diduganya.
"Tapi, asyik lho, jadi playboy. Aku tahu semua hal tentang cewek, dan bisa kupraktikkan
pada saat aku pacaran." Katanya.
"Jangan buat aku frustasi." Gerutu Clarissa sambil memalingkan wajahnya. "Kamu benarbenar membuat kesalahan besar, tahu!"
"Kesalahan apa, coba" Aku, kan Cuma mengatakan kenyataan. Aku pernah pacaran 25
kali, tahu kesukaan setiap cewek, dan yang terpenting" tahu bagaimana cara menghadapi cewek
yang sedang marah dan ngambek seperti kamu."
Clarissa menoleh dan melihat Reno menatapnya sambil tersenyum. Uh-oh" senyum itu
lagi. Clarissa buru-buru memalingkan wajahnya lagi. Dia tahu dia tidak akan kuat melihat senyum
Reno sejak makan malam waktu itu.
Atau mungkin" jauh sebelum itu" Clarissa juga tidak tahu.
Dia mendengar Reno mendesah dan membaringkan tubuhnya di atas rerumputan.
"Cuacanya agak mendung, jadi tidak terlalu panas. Cocok untuk tiduran di luar seperti
sekarang." kata Reno sambil memejamkan matanya. "Aku agak mengantuk?"
Clarissa memandangi Reno yang memejamkan matanya seolah sedang tertidur. Dia lalu
ikut berbaring di sebelah Reno dan mengamati wajah cowok itu dari samping. Hidung Reno yang
mancung itu serasi dengan bibirnya yang kelihatan penuh itu. Apalagi bulu matanya yang lentik
membuat Reno terlihat seperti cowok cantik.
Sejak kapan aku menyukai Reno" tanyanya dalam hati. Lebih kepada diri sendiri. Aku
tidak tahu" mungkin" sudah sejak lama"


The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Reno," "Apa?" "Kamu menganggapku sebagai apa?"
"Hah?" "Kamu menganggapku sebagai apa" Maksudku, apakah lebih dari sekadar" pasangan
empati." Kata Clarissa takut-takut.
Dia menatap Reno dan melihat reaksi yang tidak diduganya dari cowok itu. Reno
menatapnya dengan tatapan menahan tawa.
"Memangnya kamu menganggap aku sebagai apa?" tanya Reno balik.
"Hah" Itu" kenapa kamu menanyaiku balik?"
"Kan, aku ingin tahu?" dia tersenyum lebar. "Coba kutanya, kamu sendiri menganggapku
apa?" Clarissa mengerjapkan mata. Bingung harus menjawab apa.
"Aku?" "Oke." Reno tiba-tiba duduk dan meregangkan tubuhnya. Clarissa juga ikut duduk.
"Aku akan membuatmu mengetahui perasaanmu sendiri." kata Reno.
"Apa?" Tahu-tahu, tanpa peringatan, Reno menarik Clarissa mendekat dan mencium bibirnya.
*** "Aku sudah bisa menebaknya." Kata Lumina yang duduk di salah satu dahan pohon besar
bersama Jonathan. Mereka asyik mengamati sungai ketika melihat Reno dan Clarissa yang sedikit
"menyepi" dari yang lain.
"Apa?" tanya Jonathan.
"Tuh" lihat saja sendiri." kata Lumina sambil mengedikkan dagunya kearah Reno dan
Clarissa. Jonathan melihat kearah yang dimaksud Lumina dan terkekeh geli melihat pemandangan
yang seharusnya tidak mereka lihat.
"Sudah kuduga Clarissa akan seperti itu juga." Kata Jonathan sambil terkekeh. "Clarissa
sudah suka pada Reno sejak pertama kali kutugaskan untuk mengawasi kalian semua."
"Kamu juga menugasi Clarissa untuk mengawasi keluargaku?" tanya Lumina kaget, "Kamu
ini suka sekali membuat kedua adikmu susah, ya?"
"Bukan begitu?" Jonathan garuk-garuk kepala. "Aku kadang harus menempatkan orangorang khusus untuk menjaga kalian, terutama kamu. Karena itu, kurasa Clarissa lebih cocok untuk
mengawasimu dulu ketika Joe sedang berada di luar negeri untuk menggantikanku menghadiri
rapat penting." Lumina meninju lengan Jonathan.
"Kamu kejam." Kata Lumina.
"Maaf?" Jonathan mengedikkan bahu. "Tapi, tidak ada orang lain yang cocok selain
mereka. Dan seharusnya memang aku yang harus menjagamu sendiri?"
"Hei, sudahlah" tidak apa. Karena kamu sudah minta maaf, kurasa tidak masalah." Kata
Lumina. Jonathan tersenyum dan memeluk Lumina. Gadis itu balas memeluk Jonathan sambil
tersenyum. "Oh ya, aku punya sesuatu untukmu."
"Apa?" Jonathan mengambil sesuatu dari saku celananya dan menyerahkannya pada Lumina.
Sebuah kotak kecil berwarna biru muda.
"Apa ini?" Lumina menerima kotak itu dan membukanya. Sebuah gelang perak berukir bunga melati
yang sangat indah. "Cantik?" kata Lumina sambil mengelus gelang itu. "Pasti mahal. Seharusnya kamu tahu
aku benci dibelikan barang-barang mahal seperti ini?"
"Itu bukan barang mahal, kok. Sebenarnya, aku dan Joe yang membuatnya."
"Kalian berdua yang membuat ini?" Lumina mengerjap dan menatap gelang itu dengan
pandangan tidak percaya. "Tapi" ini kelihatan seperti buatan toko perhiasan atau semacamnya."
"Jangan salah" aku dan Joe adalah pembuat perhiasan paling unggul." Kata Jonathan
sambil tertawa , "Dulu kami berdua pernah ikut rekan kerja orangtua angkat kami yang seorang
pembuat perhiasan. Kami belajar selama setahun di sana, dan mendapat pujian besar karena
perhiasan buatan kami begitu halus dan tidak kelihatan dibuat oleh anak-anak berusia 8 tahun."
"Kalian belajar membuat perhiasan pada usia 8 tahun?" kata Lumina, takjub, "Keren?"
Jonathan tertawa menanggapi reaksi Lumina.
"Bagaimana" Suka?" tanyanya.
"Ini bagus sekali." Lumina mengeluarkan gelang itu dari bantalannya dan memakainya di
pergelangan tangan kirinya. "Aku suka ukiran bunga melatinya. Tunggu. Apa ini?"
Lumina melihat ada yang lain selain ukiran bunga melati di gelang itu. Dia menyipitkan
matanya ketika merasakan sesuatu seperti tulisan yang dirasakan kulitnya.
"Tulisan?" Lumina mengerutkan kening dan menatap Jonathan.
"Baca saja?" Lumina mengerutkan keningnya semakin dalam, lalu mencoba membaca tulisan yang
terukir di sebelah bunga melati gelang itu.
"Wanna" be" my live" forever?" Lumina mengeja tulisan itu dan langsung menatap
Jonathan lagi dengan mata terbelalak.
"Apa artinya ini?"
"Seperti yang kamu baca." Kata Jonathan kalem.
"Tapi" tapi, apa maksudnya" Wanna be my live forever" Menjadi hidupku selamanya?"
tanya Lumina. "Apa kamu bermaksud?"
"Oh, tentu saja. Tapi secara resminya" nanti. Saat kita berdua sudah cukup umur." Kata
Jonathan sambil tersenyum lebar. "Ya, Lumina. Aku melamarmu menjadi istriku."
Walau Lumina sudah menduga hal tersebut, tapi itu malah membuatnya melongo selama
beberapa detik, sebelum dia tertawa. Sementara Jonathan hanya bisa tersenyum.
"Ya ampun" caramu menyampaikan hal seperti itu cukup unik." Kata Lumina. Mengusap
setitik airmata yang mewarnai sudut matanya.
"Jadi, jawabanmu?" tanya Jonathan.
"Apakah aku harus menjawab sekarang?" tanya Lumina balik.
"Jangan membuatku penasaran, Lumina. Kamu harus tahu kalau aku penasaran, aku bisa
menghalalkan segala cara untuk memuaskan rasa penasaranku."
"Oh" benarkah?" Lumina tersenyum manis dan mencium pipi Jonathan. "Apa itu sudah
cukup?" "Tidak." kata Jonathan yang mengerutkan kening merasakan bibir Lumina yang mencium
pipinya secepat kilat tadi. "Aku masih penasaran. Apa jawabanmu?"
"Nathan?" Lumina memutar bola matanya dan menatap Jonathan. "Dengan cara apa lagi
aku harus menjawabnya?"
Jonathan tersenyum, kemudian memegang pundak Lumina.
"Aku akan mendapatkan jawabannya, dengan caraku." Ujarnya, kemudian menarik
Lumina kearahnya, lalu mencium bibirnya dengan lembut.
*** Reno melepas ciumannya dari Clarissa yang menatapnya dengan tatapan mata kaget. Dia yakin
jantungnya berdegup kencang akibat ciuman Reno yang tidak main-main dan juga" pikiran yang
tadi dikirimkan oleh cowok itu lewat telepati padanya.
"Apa" apa yang tadi benar?" tanya Clarissa, dan menyadari suaranya serak. "Kamu
serius?" "Apa wajahu kelihatan tidak serius?" tanya Reno balik sambil tersenyum lebar.
"Wajahmu memang selalu tidak serius jika bersamaku atau Lumina." kata Clarissa
cemberut. "Yang serius, dong, Reno?"
"Apa ciuman tadi tidak menjelaskan semuanya?" ujar Reno, "Apa aku harus
mengatakannya keras-keras sampai semua orang yang ada di sini ikut mendengarkan?"
"Kurasa tidak perlu. Itu hanya akan membuat dirimu sendiri malu." Kata Clarissa cepat.
Kemudian menatap Reno dalam-dalam. "Kamu" serius?"
"Harus berapa kali aku bilang kalau aku SERIUS, Utami?" Reno memutar bola matanya,
"Serius, deh. Kamu sama sekali tidak percaya padaku, ya?"
"Aku percaya!" Clarissa cepat-cepat menjawab. "Tapi, sikapmu selama ini tidak
menunjukkan kalau kamu suka padaku. Lalu, sejak kapan?"
"Sejak kamu bilang kamu adalah Clavis di event waktu itu." kata Reno, "Entahlah" aku
juga tidak yakin. Tapi, kurasa, memang sejak saat itu aku suka padamu."
"Ini bukan permainanmu untuk mempermainkan hati cewek, kan?" tanya Clarissa dengan
mata disipitkan. "Aku tidak mau menjadi korbanmu yang ke-26."
"Kamu memang korbanku, kok." Kata Reno tertawa, "Korban terakhir."
"Reno!!" Clarissa memukul bahunya dengan cukup keras dan membuat Reno kali ini benar-benar
mengaduh kesakitan. "Aduh, sakit, Utami?"
"Kamu jangan main-main denganku, dong!" kata Clarissa, "Bagiku, pernyataan cinta itu
sama dengan melamar seseorang."
"Persepsi dari mana, tuh?"
"Dari" ah!! Tidak penting!"
Reno tertawa geli melihat sikap Clarissa yang langsung mengambek lagi.
"Jangan marah, dong" nanti cantiknya hilang, lho." Goda Reno.
"Biar saja!" "Duh" marah sungguhan, nih" Maaf, deh?"
Clarissa menatap Reno dan kemudian mencubit pipi cowok itu.
"Ini hukuman karena membuatku bingung dan malu." Kata Clarissa sambil tersenyum
lebar. "Sekali lagi kutanya padamu, kamu serius dengan yang tadi?"
"Aduh" masa, aku harus mengulangnya sampai berkali-kali?" tanya Reno dengan nada
dramatis. "Harus. Karena aku ingin mendengarnya berkali-kali sampai aku bosan." Clarissa tertawa
dan mencubit pipi Reno semakin keras.
"Aduh" ampun, deh! Cubitanmu keras sekali!" gerutu Reno, lalu menepis tangan Clarissa.
Dia mengapit tangan Clarissa dengan kedua tangannya, kemudian menatap gadis itu dengan
tatapan serius. "Utami, aku serius." Kata Reno pelan, "Aku suka padamu."
"Kau bilang menyukaiku saja?" Clarissa menaikkan sebelah alisnya. "Padahal aku
menggila-gilaimu sampai rasanya aku hampir benar-benar gila, tahu."
"Oh ya?" mata Reno bersinar jenaka. "Sejak kapan?"
"Sejak aku ditugaskan Kak Nathan untuk mengawasi Lumina dan akhirnya bertemu
dengnamu." Kata Clarissa, "Tapi, jangan salahkan dia. Kak Nathan juga tahu aku punya pasangan
empati, kamu. Dan dia berusaha membuatku sadar kalau kamu adalah pasangan empatiku dengan
menugaskanku untuk mengawasi Lumina."
"Kalau begitu, aku harus berterima kasih padanya atas hal itu." Reno tersenyum lebar,
"Jadi?" "Jadi" apa?"
"Bagaimana kalau kita pergi sebentar dari sini dan menghabiskan waktu berduaan?" kata
Reno, "Hanya berdua. Tidak ada orang lain."
Clarissa memutar bola matanya dan tersenyum, "Sekarang kamu yang punya pikiran
melantur. Iya, kan?"
"Kadang-kadang aku perlu imajinasi tinggi." Reno terkekeh. Kemudian terdiam, "Tapi, kita
harus memberi kejutan untuk satu pasangan?"
"Hah?" Clarissa menoleh kearah mata Reno memandang dan melihat Lumina dan Jonathan
duduk di dahan sebatang pohon besar dan tinggi, sambil berciuman. Ia tersenyum lebar, menatap
Reno yang masih menatap mereka dengan kening berkerut.
"Jangan terlalu protektif pada adikmu saja, dong." kata Clarissa sambil tertawa. "Dia sudah
dijaga oleh bodyguard-nya. Jadi, kamu tidak perlu khawatir."
"Benar juga," Reno menggeram, kemudian menoleh kearah Clarissa, "Aku juga perlu
protektif padamu, secepat mungkin."
Kemudian Reno mencium bibir Clarissa singkat.
"Ayo, kurasa para orangtua sudah mencapai batas kebosanan dan sedang menunggu kita
untuk tea break." Katanya.
Reno berdiri, lalu membantu Clarissa berdiri.
"Hei, bisa kamu melakukan teleportasi?"
"Ke mana?" tanya Clarissa.
"Mengejutkan mereka berdua." Reno tersenyum jahil, "Mau membantu?"
Clarissa tersenyum lebar. "Oke."
*** Lumina dan Jonathan terlonjak kaget ketika Reno dan Clarissa tahu-tahu sudah duduk di dahan
pohon lain di seberang mereka. Dengan gelagapan, mereka berdua sedikit menjauh satu sama lain.
"Ada tontonan gratis." Kata Clarissa sambil terkekeh menggoda, "Kenapa tidak
dilanjutkan?" "Clarissa?" Lumina yakin wajahnya memerah, sementara dia dan kakaknya tergelak.
"Sudahlah. Kami bukannya ingin mengacaukan suasana romantic di antara kalian. Tapi,
kakakmu yang protektif ini yang ingin mengacaukannya. Aku hanya menyediakan transportasi."
"Kamu menggunakan kemampuan teleportasimu?" tanya Lumina, "Kalian iseng sekali!"
Clarissa dan Reno sekali lagi tertawa.
"Kita kembali ke cottage sekarang. Kurasa yang lain dan para orangtua sudah akan mencari
kita kalau kita tidak segera kembali." ujar Reno.
"Kami tahu?" kata Jonathan, "Kalian duluan saja. Kami berdua akan menyusul."
"Dan membiarkanmu memonopoli Lumina sendiri" Tidak. Ayo, kalian juga harus ikut
kami. Clarissa," "Siap, laksanakan!"
Clarissa menjentikkan jarinya dan seketika, mereka sudah berada di teras cottage, tepat
ketika Aria dan Rinoa meletakkan teko berisi minuman segar dan juga beberapa piring kue.
"Kalian, bikin kaget saja!" kata Rinoa. "Di mana yang lain?"
"Mungkin sedang menuju kemari?" kata Reno. "Apakah itu cookies coklat?"
"Ya." Aria tersenyum, "Ayo, kalian langsung saja makan kuenya. Ini buatan Bibi Rinoa,
lho?" "Aku jamin pasti rasanya enak." Reno tersenyum lebar, "Cookies buatan Bibi, kan, paling
enak kedua setelah buatan Ibu."
"Mulai, deh" sifat perayumu keluar." kata ibunya sambil terkekeh. "Ayo, kalian makan
saja. Ibu akan memanggil ayahmu dan yang lain."
"Baik?" Sementara Aria memanggil yang lain dan Rinoa kembali ke dapur, mereka berempat
langsung menyambar minuman dan meminum satu gelas sirup lemon itu sampai habis.
"Rupanya kalian kehausan, ya?" kata Reno sambil tergelak. "Apa gara-gara ciuman tadi?"
"Oniichan dan Clarissa sendiri juga meminum habis minuman kalian." kata Lumina.
"Oke. Tidak usah saling mengejek. Kita berempat sama-sama impas."
"Setuju." Kata Clarissa. "Aku kehausan gara-gara Reno menciumku terlalu lama."
"Hei" jangan bilang-bilang hal itu, dong." kata Reno.
Clarissa hanya mengedikkan bahu sambil tersenyum.
"Ngomong-ngomong, apa itu yang ada di lenganmu, Lumina?" tanya Reno sambil
memperhatikan lengan kiri Lumina.
Lumina mengikuti arah pandangan kakaknya dan tersenyum, malu-malu.
"Oh, ini?" "Apa itu?" tanya Reno lagi. Kemudian menatap Lumina yang tersipu-sipu dan Jonathan
yang memeluk pinggang Lumina dengan erat. Reno tahu arti gerakan itu, dan dia menggeram,
nyaris frustasi. "Lumina, jangan bilang kalau itu?"
"Lho" Itu, kan gelang tunangan yang Kak Nathan dan Kak Joe buat 3 hari yang lalu?" kata
Clarissa. "Jadi" dugaanku benar, ya" Kak Nathan melamar Lumina?"
Lumina hanya menunduk, sementara Jonathan hanya mengedikkan bahu. Tapi, Reno
langsung mengerang lagi. "Kuharap aku mati saat ini juga?" keluhnya dengan nada bercanda.
"Oniichan!!" "Maaf, maaf?" Reno tertawa. "Jonathan, serius, kamu melamar adikku tanpa
persetujuanku atau kedua orangtuaku?"
"Sebenarnya?" kata Jonathan, "Aku sudah mengatakan hal ini pada ayah dan ibumu, dan
mereka setuju. Dengan sangat, malah."
"Oh, berarti aku yang ketinggalan berita?" Reno pura-pura memasang raut wajah sakit hati.
"Hei" kan, mereka sudah memberitahumu?" kata Clarissa. "Ya, kan" Jadi, tidak perlu
dipermasalahkan." Reno mendelik menatap Clarissa yang tertawa bersama Jonathan dan Lumina.
"Oh, oke" aku merestui, tapi selama kalian belum punya ikatan yang lebih dalam dari itu,
jangan macam-macam pada Lumina, atau kamu akan berurusan denganku." ujar Reno.
"Aku tidak akan melakukan hal yang buruk pada Lumina." kata Jonathan, kemudian
dengan senyum jahil dia melanjutkan, "Tapi, pelukan dan ciuman tidak termasuk, kan?"
Reno mendelik pada Jonathan, kemudian mengedikkan bahu.
"Okelah, lagipula aku juga mengambil adikmu. Jadi, kita berdua impas."
Jonathan mengangguk sambil ber-high five dengan Reno. "Impas. Setuju."
Lumina dan Clarissa saling pandang dan sama-sama tersenyum lebar.
Beberapa saat kemudian, Aria dan yang lain kembali ke cottage. Lumina mendengar
samar-samar Snow dan Samuel masih berdebat soal ikan dan Joe berdiri di antara mereka
berusaha menengahi. Mereka semua lalu duduk di teras cottage sambil makan kue dan minum sirup, dan
kembali melanjutkan obrolan tanpa akhir saat makan siang.
CHAPTER 37 Malam harinya, Lumina tidak bisa tidur. Dia masih duduk di kursi di depan meja belajarnya dan
menatap gelang perak bunga melati yang diberikan Jonathan padanya dengan senyum terkembang.
Dia menimang-nimang gelang itu dan membaca lagi tulisan di samping ukiran bunga melati di
gelang itu. Wanna be my live forever" kata-kata itu terus terngiang dan seolah tertanam kuat di
otaknya. Senyumnya makin lebar. Dia tidak sabar untuk bertemu Jonathan besok. Mereka sudah
janjian untuk double date bersama kakaknya dan Clarissa. Ide yang dicetuskan oleh Clarissa tadi


The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat mereka masih di cottage.
"Tempat kencannya, biar aku dan Reno yang mengatur." Kata Clarissa sambil
mengedipkan sebelah matanya, "Yang pasti, tempat itu akan cocok untuk kita berempat. Tidak
akan ada orang lain selain kita. Bagaimana?"
"Aku setuju." Kata Lumina saat itu, "Jangan sampai yang lain mengikuti kita."
Lumina kembali tersenyum mengingat pembicaraan itu.
Kira-kira ke mana kami akan melaksanakan double date itu, ya" Aku harap di sana kami
berempat bisa bersenang-senang. Aku senang, dan Reno Oniichan juga senang. Kata Lumina
dalam hati. Yah" asalkan itu bersama Jonathan, dia mau saja kalau tempat double date-nya diadakan
di kutub selatan sekalipun.
Sambil tersenyum, dia menyimpan gelang itu di dekat kalung Bulan Sabit Biru yang
diberikan ibunya dan memandangi pantulan bayangannya di cermin tinggi di dekat lemari
pakaiannya. Dua bola mata biru yang sekarang menjadi pengganti bola mata aslinya menatapnya
balik. Kilas halusinasi kembali terbayang di pelupuk matanya. Namun, kali ini bukan kilas
halusinasi bayangan Maya dan remaja cowok bermata dingin itu.
Tapi, kebahagiaan Maya ketika berhasil membantu Aria dan Rifan bersatu kembali setelah
terpisah oleh Jack Lucios. Lalu, dengan cepat, halusinasi itu berganti menjadi yang lain. Sosok
Maya yang mengenakan gaun putih dan senyum menghiasi wajahnya.
Kamu punya kemampuan melihat masa laluku" untuk yang terakhir kali. sebuah suara
terdengar di telinganya, Jangan lupakan bahwa setiap ada rasa sakit, akan ada saatnya masa-masa
bahagia menggantikan rasa sakit tersebut.
Lalu, semua halusinasi itu menghilang, begitu pula denga suara tersebut.
Lumina termenung sejenak meresapi kata-kata tadi, kemudian tersenyum tipis.
"Memang," katanya pelan, "Setiap rasa sakit akan tergantikan dengan rasa senang, dan
kebahagiaan." Lumina memejamkan matanya dan menghembuskan nafas pelan, lalu membuka matanya
lagi. "Terima kasih." Ujar Lumina, "Untuk semua yang kamu lakukan pada ayah dan ibuku,
dan kami semua?" Ia lalu beranjak ke tempat tidur dan merapikan bantalnya. Kemudian menekan tombol
pada lampu tidur di atas meja di dekatnya dan memejamkan matanya.
THE END OF STORY Pena Wasiat 2 Pendekar Mabuk 04 Perawan Sesat Raja Pedang 10

Cari Blog Ini