Ceritasilat Novel Online

Pena Wasiat 2

Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen Bagian 2


pelanggaran adat kesopanan apalagi duduk setandu
denganmu." "Kau tidak ingin menjumpai ayahmu?"
"Ingin, tapi tak ingin membuat persoalan ini menjadi tak
terselesaikan, selama beberapa malam aku keluar rumah
pada kentongan ketiga, pulang pada kentongan kelima itu
pun kulakukan tanpa sepengetahuan Tiong Ling-kang...."
"Mengapa kau tidak katakan kepadanya?" tukas orang
dalam tandu sambil tertawa dingin.
"Aku tak ingin menyaksikan kalian bentrok senjata
sehingga mengakibatkan darah bercucuran, tapi sekarang
tampaknya aku sudah tidak berdaya lagi..........."
"Pek Hong, kau anggap dengan andalkan beberapa jurus
ilmu pedang Cing-ping-kiam-hoatnya itu ia sudah mampu
untuk menandingiku?"
"Hem! Jangan memandang enteng diri Ling-kang,"
dengus Pek Hong, "sekalipun kau sudah berlatih dua puluh
tahun, belum tentu kau merupakan tandingannya!"
"Kenapa tidak dicoba" Dalam seratus jurus aku akan
menyuruhnya mampus dengan tubuh bercucuran darah!"
Pembicaraan kedua orang itu dilangsungkan dengan
suara keras, Cu Siau-hong yang bersembunyi di belakang
batu karang dapat mendengarkan semua pembicaraan
dengan jelas, hawa amarah segera berkobar dalam
dadanya. Tapi ia berusaha keras untuk mengendalikan hawa
amarahnya, ia merasa keadaan dan saat seperti ini bukan
saat yang tepat baginya untuk munculkan diri.
Cuma Cu Siau-hong merasa perjalanannya malam ini
tidak sia-sia, paling tidak ia telah membuktikan
kesalahpahamannya terhadap ibu gurunya.
Sekalipun Seng Tiong-gak secara langsung tidak
mengatakan apa-apa, tapi dari sikap maupun nada
suaranya yang marah dan penuh penderitaan, siapa pun
dapat mengetahui betapa besarnya kecurigaannya terhadap
Pek Hong. Dalam kenyataannya ketika untuk pertama kalinya Tang
Cuan dan Cu Siau-hong mengetahui kejadian tersebut
mereka pun tercekam pula dalam perasaan yang sama.
Sekarang jalan pikiran Cu Siau-hong sudah makin
terbuka, dia tahu meskipun Subonya mengadakan
pertemuan dengan orang di tengah malam buta, namun ia
sama sekali tidak melakukan perbuatan asusila. Bahkan
walaupun berada di bawah ancaman ia tetap menjaga
kesucian tubuhnya. Kedengaran Pek Hong menghela napas panjang, lalu
berkata : "Rupanya di antara kita berdua sudah tak akan bisa
dijumpai suatu cara penyelesaian yang disetujui kedua
belah pihak lagi." "Pek Hong, sebenarnya aku mengira malam ini persoalan
di antara kita dapat diselesaikan, tapi tak kusangka cintamu
terhadap Tiong Ling-kang lebih dalam lagi dari samudra
bahkan keselamatan ayahmu sendiri pun tidak kau
gubris......." "Apakah kau benar-benar hendak membunuh ayahku?"
sela Pek Hong. "Kalau sudah jengkel, kau pun bisa kubunuh apalagi
ayahmu!" Paras muka Pek Hong berubah hebat.
"Kau .......... kau ............."
Orang dalam tandu itu tertawa dingin, ia menukas
pembicaraan Pek Hong yang belum selesai :
"Dengarlah baik-baik, hanya kau yang bisa menolong
ayahmu, hanya kau juga yang bisa menolong Tiong Lingkang
serta segenap anggota perguruan Bu-khek-bun, apa
pun yang kau pikirkan, sebuah permintaan harus kau
penuhi.........." "Ulangi sekali lagi, apa yang kau inginkan?"
"Aku tidak takut ada orang mendengarkan perkataanku
ini, apa salahnya kalau kuulangi sekali lagi.........."
Sesudah berhenti sebentar, ia melanjutkan,
"Aku harap kau suka pergi bersamaku, pergi mengikutiku
dalam keadaan utuh dan hidup, maka ayahmu akan segera
kulepaskan. Tiong Ling-kang serta segenap anggota
perguruan Bu-khek-bun juga akan kulepaskan."
"Sekalipun aku setuju, Ling-kang belum tentu akan
setuju!" Cu Siau-hong yang bersembunyi di belakang batu karang
menjadi terperanjat, pikirnya :
"Sejak munculkan diri Sunio selalu menunjukkan
keteguhan hatinya ia tidak takut ancaman, tidak pula
menerima pancingan kenapa sikapnya secara tiba-tiba bisa
berubah?" Pelan-pelan Pek Hong mencabut keluar sebuah pisau
belati lalu katanya lembut :
"Bila aku bunuh diri di sini juga, apakah kau bersedia
melepaskan Ling-kang dan Bu-khek-bun......"
"Tidak mungkin. Ayahmu pertama-tama akan kubunuh
lebih dulu, kemudian akan kutemui Tiong Ling-kang dan
mengajaknya berduel, kecuali ia berhasil membunuhku
kalau tidak aku pasti akan memusnahkan Bu-khek-bun dari
muka bumi." Pek Hong tertawa getir. "Baiklah!" ujarnya kemudian, "kalau toh kematian ku tak
dapat menyelesaikan persoalan ini, agaknya aku mesti
memberitahukan kejadian ini kepada Ling-kang!"
"Pek Hong, hingga sekarang aku tidak mencelakai
anggota Bu-khek-bun secara tiba-tiba, hal ini disebabkan
aku masih teringat dengan hubungan kita di masa lampau,
coba kalau aku sudah kalap perburuan Bu-khek-bun telah
musnah di tanganku."
"Yakinkah kau bisa melakukan perbuatan itu?"
"Aku bersedia melakukan perbuatan yang lebih besar dan
lebih hebat, karena tujuanku hanya ingin memaksa Tiong
Ling-kang agar menyerahkan kau kepadaku."
"Cukup! Aku rasa tak ada persoalan yang bisa kita
bicarakan lagi!" "Aku memberi sebuah kesempatan lagi kepadamu, besok
malam pada kentongan ketiga ajaklah Tiong Ling-kang
datang kemari, aku hendak melangsungkan duel satu lawan
satu dengannya." "Apakah semua murid Bu-khek-bun perlu ikut datang?"
"Tidak usah, hanya kalian berdua yang boleh datang!"
"Baik!" kata Pek Hong sambil manggut-manggut,
"kukabulkan permintaanmu itu besok malam aku pasti akan
datang bersama Ling-kang!"
"Ingat, jangan lewat kentongan ketiga!"
"Yaa, aku pasti datang tepat pada waktunya!"
"Bila selewat kentongan ketiga kalian belum juga datang,
maka perbuatan pertama adalah membunuh Pek Bwee lebih
dulu." "Aku mengerti!" katanya.
Kemudian tanpa banyak berbicara lagi dia lantas putar
badan dan berlalu dari situ.
Menanti bayangan punggung Pek Hong sudah lenyap dari
pandangan mata, orang dalam tandu itu menitahkan anak
buahnya untuk berangkat meninggalkan tempat itu.
Malam yang gelap pun pulih kembali dalam keheningan
yang mencekam. Dengan sabar Cu Siau-hong menunggu beberapa saat
lagi di situ, setelah benar-benar yakin kalau orang dalam
tandu itu telah pergi jauh, diam-diam ia pun ngeloyor turun
dari atas tebing dan kembali ke perkampungan Ing-gwatsanceng. Tiba di bawah pohon waru, tampak Seng Tiong-gak serta
Tang Cuan telah menunggu di situ.
Waktu itu kentongan lima belum tiba. Sebelum Seng
Tiong-gak sempat buka suara, Cu Siau-hong telah bertanya
lebih dulu. "Apakah Subo telah pulang?"
"Yaa, malam ini dia pulang rada awal!" jawabnya.
"Sute, apa yang berhasil kau lihat?" tanya Tang Cuan
pula. "Hampir saja kita menaruh salah sangka terhadap Subo!"
"Salah sangka?" bisik Seng Tiong-gak tertegun.
Cu Siau-hong menghela nafas, ia lantas menceritakan
apa yang telah dilihatnya selama ini.
Ketika kisah itu selesai dituturkan, Seng Tiong-gak lantas
berseru : "Aaah... jadi ada peristiwa semacam itu" Siapakah nama
orang yang berada dalam tandu?"
"Selama ini ia tak pernah menyebutkan nama sendiri,
Subo sendiri pun tak pernah menyebut namanya."
"Suhu pasti mengetahui nama orang itu?" seru Tang
Cuan. "Toa-suheng, Suhu memang tahu orang itu, tapi siapa
yang akan pergi menanyakan persoalan ini?"
"Yaa, sulit juga, kecuali Subo mengatakan sendiri,
memang tidak ada orang lain yang sanggup mengucapkan
persoalan ini kepada Suhu."
"Susiok, Subo telah berjanji dengan orang yang beradu
dalam tandu untuk berjumpa lagi besok malam pada
kentongan ketiga, demi keselamatan Pek-lotoaya aku
percaya Subo pasti tak akan mengingkari janjinya."
"Itu berarti Subo pasti memberitahukan persoalan ini
kepada Suhu!" sambung Tang Cuan.
"Yang menjadi persoalan sekarang adalah latihan malam
Suhu telah selesai atau belum, coba kalau sudah selesai
urusan tentu akan terselesaikan," kata Cu Siau-hong.
"Jadi maksudmu Siau-hong, Subomu tak akan
memberitahukan persoalan ini kepada Suhu?" tanya Seng
Tiong-gak. "Keponakan memang berpendapat demikian, aku kuatir
Subo akan memenuhi janji itu sendirian."
"Setelah kita mengetahui persoalan ini, tentu saja tak
akan kita perkenankan Subomu pergi memenuhi janji
seorang diri." "Maksud Susiok .........." tanya Tang Cuan.
"Biar aku mewakili Suheng dan Enso untuk memenuhi
janji tersebut," tukas Seng Tiong-gak.
"Susiok, sebagai murid Bu-khek-bun, Tecu semua
berkewajiban untuk menanggulangi semua kesulitan yang
kita hadapi, biar Tecu saja yang memenuhi janji itu."
Seng Tiong-gak tertawa. "Kalian semua belum menjalankan pelantikan, sebagai
murid yang belum tamat belajar, kalian tak boleh
melakukan pertarungan, rasanya hanya aku seorang yang
pantas untuk melaksanakan tugas ini."
"Susiok, orang dalam tandu mempunyai pembantu yang
sangat banyak," kata Cu Siau-hong, "bagaimanapun juga
Susiok tak boleh pergi seorang diri."
"Betul!" sambung Tang Cuan, "persoalan ini mempunyai
sangkut paut yang besar sekali dengan keselamatan
perguruan kita, keputusan tak bisa kita ambil secara
gegabah, bagaimanapun juga kita musti melaporkan
kejadian ini kepada Suhu."
"Betul juga perkataan Toa-suheng," kata Cu Siau-hong
pula, "bila kejadian ini sampai berkembang lebih lanjut,
mungkin akan menyangkut mati hidupnya Bu-khek-bun,
kita tak boleh mengambil keputusan sendiri sehingga
mengakibatkan timbulnya kesalahan besar."
Seng Tiong-gak termenung beberapa saat, lalu katanya
kemudian : "Setelah fajar menyingsing nanti, akan kujumpai Enso
lebih dulu, agar ia mau memberitahukan persoalan ini
kepada Suheng......."
Setelah berhenti sebentar, ia menambahkan :
"Jangan kita beri tahukan persoalan ini kepada It-ki."
Tang Cuan dan Cu Siau-hong segera membungkukkan
badan sambil mengiakan. Tak lama setelah fajar menyingsing, Seng Tiong-gak
telah pergi ke ruangan belakang.
Waktu itu Pek Hong dan Tiong Ling-kang sedang duduk
saling berhadapan sambil sarapan pagi.
Melihat kedatangannya, Tiong Ling-kang segera bangkit
sambil menyongsong kedatangannya.
"Tiong-gak!" ia berkata, "sepagi ini sudah bangun tidur,
ayoh duduklah dan bersama-sama sarapan pagi."
Seng Tiong-gak berpaling memandang sekejap ke arah
Pek Hong, lalu katanya pula.
"Menjumpai Enso!"
"Duduklah!" jawab Pek Hong sambil tertawa, seakan
akan tak pernah terjadi apa-apa.
Bahkan ia turun tangan sendiri untuk mempersiapkan
mangkuk dan sumpit untuk Seng Tiong-gak.
"Sute, makanlah!"
Sesungguhnya banyak urusan penting yang hendak
dibicarakan Seng Tiong-gak, tapi ketika dilihatnya Pek Hong
bersikap tenang terpaksa ia pun harus berabar diri.
Tiba-tiba Tiong Ling-kang meletakkan mangkuk dan
sumpitnya lalu berkata sambil tertawa :
"Tiong-gak, bersantaplah pelan-pelan aku sudah selesai
dan akan keluar sebentar, selama dua bulan belakangan ini
kita belum pernah bercakap-cakap, hari ini kita musti bicara
baik-baik!" "Silakan Suheng!" sahut Seng Tiong-gak sambil berdiri
dengan hormat. Tiong Ling-kang tertawa, ia bangkit dan berlalu dari
ruangan. Setelah Tiong Ling-kang pergi jauh, Seng Tiong-gak baru
berbisik : "Enso beberapa malam ini siapa yang telah kau jumpai?"
"Dari mana kau bisa tahu?" tanya Pek Hong dengan
paras muka berubah hebat.
"Kebetulan Siaute sedang meronda di luar
perkampungan, secara tidak sengaja kutemui Enso keluar
tiap malam, orang itu.........."
Pek Hong segera menggelengkan kepalanya berulang


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kali, tukasnya : "Sute, jangan kau lanjutkan pembicaraanmu, soal ini
jangan sampai diketahui Suhengmu."
"Enso, kejadian ini mempengaruhi mati hidup perguruan
Bu-khek-bun kita, sebagai seorang ciangbunjin kenapa
Suheng tak boleh tahu?"
Sekali lagi Pek Hong tertegun, ditatapnya wajah Seng
Tiong-gak lekat-lekat, setelah termenung agak lama ia
bertanya lagi : "Sute, berapa banyak yang telah kau ketahui?"
"Yang Sute ketahui cuma sebanyak itu, Enso, persoalan
ini bukan persoalan seorang, bukan juga persoalan Suheng,
tapi menyangkut seluruh perguruan Bu-khek-bun, maka
dari itu dengan memberanikan diri Siaute harap agar
kejadian ini dilaporkan kepada Toa-suheng......."
"Jangan kau lanjutkan," tukas Pek Hong, "Sute, sebentar
akan kuajak kau untuk merundingkan persoalan ini, mari
kita atasi bersama persoalan serius itu."
Tiba-tiba suara Tiong Ling-kang berkumandang datang
dari luar : "Persoalan apakah itu" Takut aku tahu?"
Sambil berkata dia lantas melangkah masuk ke dalam
ruangan. Pek Hong dan Seng Tiong-gak saling berpandangan,
untuk sesaat mereka terbungkam dan tak mampu bicara.
Dengan wajah yang lembut Tiong Ling-kang mengalihkan
sinar wajahnya ke wajah Seng Tiong-gak, kemudian ujarnya
: "Tiong-gak, coba kau saja yang berbicara, sesungguhnya
kejadian apakah itu?"
"Soal ini..... soal ini.........."
Tiong Ling-kang tersenyum, sorot matanya kembali
dialihkan ke wajah Pek Hong, kemudian melanjutkan :
"Pek Hong, mungkin kurang leluasa buat Tiong-gak
untuk membicarakan persoalan ini, bagaimana engkau saja
yang mengatakannya kepadaku........."
"Ling-kang betul-betul tak ada persoalan serius," seru
Pek Hong. Sekali lagi Tiong Ling-kang tertawa.
"Hujin, bukankah ada seorang sahabat lama telah datang
mencari kita?" "Kau............"
"Malah aku tahu kalau orang itu bernama Liong Thiansiang."
"Dari mana kau bisa tahu" Ia bilang hanya
memberitahukan kepadaku seorang..........."
"Beberapa hari ini, setiap kentongan ketiga malam kau
musti pergi dan kentongan kelima baru kembali, selama ini
tentu lelah sekali bukan. Yaa, Liong Thian-siang telah
menggunakan waktu selama dua puluh tahun untuk melatih
ilmu silatnya, tentu saja ia tak mau menyerah dengan
begitu saja. Hujin, aku lihat dalam persoalan ini pun kau tak
usah memohon lagi kepadanya."
"Eeeh...... dari mana kau bisa tahu tentang persoalan
ini?" seru Pek Hong keheranan.
Jilid 3 Selama beberapa tahun ini aku sudah terlalu teledor,
misalnya kematian Lo-liok si penjaga istal kuda yang secara
mendadak, munculnya jago-jago persilatan yang menetap
tak jauh dari perkampungan Ing-gwat-san-ceng tanpa
sepengetahuanku, coba bayangkan saja, betapa cerobohnya
aku selama ini." "Ling-kang, bukankah kau mengatakan hendak latihan
malam" Apakah kau sengaja membohongi aku?"
"Aku benar-benar latihan, cuma ada satu hal tidak
kujelaskan kepadamu, yakni sejak tiga hari berselang
latihan telah selesai. Waktu itu kentongan keempat belum
lewat sebetulnya aku ingin memberitahukan kejadian ini
kepadamu, ternyata kau telah lenyap tak berbekas."
"Mengapa tidak kau tanyakan kepadaku?"
"Aku pergi mencarimu tapi tidak kutemukan, sebaliknya
kujumpai Tiong-gak sedang berdiri termangu seorang diri
sambil melamun, baru saja aku hendak menyapanya,
ternyata kau telah kembali dan Tiong-gak pun
menyembunyikan diri, aku merasa tak enak untuk
menyapamu, sedang kau mungkin lantaran terpengaruh
oleh pergolakan emosi ternyata tidak kau sadari bahwa aku
menguntil di belakangmu. Aku pun mendengar kau
bergumam seorang diri bahwa persoalan itu tak boleh
kuketahui, kau hendak menanggungnya sendiri, maka aku
pun terpaksa kembali lagi ke kamar latihan. Selama dua
hari ini aku selalu berharap kau bisa memberitahukan
kepadaku, tapi setiap kali kau berjumpa denganku sikapmu
selalu menunjukkan seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu
apa pun, karena kau tak bicara aku pun enggan bertanya,
dan terpaksa aku lakukan penyelidikan sendiri secara diamdiam
..........." "Kau telah berjumpa dengan Liong Thian-siang?"
"Kemarin malam aku berangkat dua kentongan lebih
duluan dan bersembunyi di belakang sebuah batu cadas di
atas tebing, aku dapat mendengarkan semua pembicaraan
kalian, Hujin aku merasa sangat terharu........"
"Aku telah menyaksikan ilmu silatnya, aku tak ingin
membiarkan kau berduel dengannya," sambung Pek Hong.
"Aku dapat memahami kesulitanmu, tapi apa yang
dikatakan Sute tak salah, bukan kau atau aku yang hendak
ia hadapi, tapi seluruh Bu-khek-bun yang hendak
dihadapinya. Aku bisa bersabar tapi tak dapat membiarkan
perguruan Bu-khek-bun terancam, aku pun tak rela
menyaksikan ayah mertuaku terancam."
"Oh, sungguh kebetulan!" pikir Seng Tiong-gak, "Cu
Siau-hong pun bersembunyi di balik batu besar di atas
tebing, hanya bedanya mereka selisih semalam."
Terdengar Pek Hong menghela napas sedih, dua titik air
mata jatuh berlinang membasahi pipinya, ia berkata :
"Ling-kang, aku merasa amat sedih karena perbuatanku
selama ini telah melanggar tata kesopanan seorang
perempuan yang telah bersuami."
"Kalau tidak salah, Pek Hong sebagai seorang putri
persilatan yang penting adalah tidak berbohong pada Thian
dan tidak menipu diri sendiri, kau tetap masih merupakan
istriku....." "Terima kasih banyak Ling-kang, bisa mendengar
perkataanmu itu hatiku sudah lega, semua kemasgulanku
ikut pula tersapu lenyap."
Sambil tertawa Tiong Ling-kang menepuk bahu istrinya,
lalu berkata lagi : "Hujin, kau tidak melakukan kesalahan apa pun, justru
aku yang menyesal karena telah membuat susah Gak-hu,
bagaimanapun juga, besok kita harus berusaha mencari
akal untuk menyelamatkan Gak-hu dari cengkeraman
musuh. Pek Hong tertawa getir. "Sulit untuk menolongnya, Liong Thian-siang telah
berhasrat untuk menimbulkan badai darah di sini, sekalipun
aku telah bersilat lidah dengannya, dengan harapan
pikirannya bisa berubah, sayang ia tak mau
menyanggupinya." "Aku tahu, kita memang tak bisa melunakkan hatinya,
terpaksa hanya pertarungan yang bisa menyelesaikan
persoalan ini." "Ia sendiri telah bilang, kali ini ia mengajak banyak
pembatu, tapi dalam pertemuan besok malam, hanya kita
berdua yang diijinkan ke sana.
"Cukup, kau dan aku ............."
"Tidak bisa Toa-suheng," tukas Seng Tiong-gak, "kau
telah mengakui sendiri bahwa persoalan ini adalah
persoalan Bu-khek-bun kita, tak perlu harus menuruti
perkataannya, kita boleh mengerahkan segenap kekuatan
inti Bu-khek-bun untuk bertarung melawannya."
Tiong Ling-kang manggut-manggut.
"Perkataanmu memang benar, cuma, ayah Ensomu
masih di tangan mereka, sekalipun kita dapat bertarung
mati-matian melawan mereka, tapi tak dapat menjamin
bahwa mereka tak akan mencelakai jiwa dia orang tua......."
"Lantas maksud Toako?"
"Maksudku biar aku dan Ensomu saja berdua yang
menghadapinya, aku pikir kekuatan kami masih sanggup
untuk menghadapinya," katanya.
"Toa-suheng!" ujar Seng Tiong-gak dengan cepat, "aku
percaya kau sanggup menghadapi Liong Thian-siang, betul
Liong Thian-siang telah melatih diri dua puluh tahun, tapi
Suheng sanggup menghabisinya. Namun kita harus berpikir
juga betapa banyak jumlah anak buah yang dibawa
olehnya, padahal kalian hanya berdua, bagaimana mungkin
empat tangan bisa menghadapi puluhan pasang tangan?"
"Sute, bagaimanapun kita harus menempuh bahaya ini."
"Toa-suheng, sebelumnya Siaute ingin minta maaf dulu
kepadamu," tiba-tiba Seng Tiong-gak berkata.
"Ada apa?" Seng Tiong-gak tidak menjawab, tapi beranjak dan
memberi hormat kepada Pek Hong, lalu katanya :
"Enso, aku pun minta maaf lebih dulu kepadamu."
Sehabis berkata ia lantas berlutut di hadapan suami istri
berdua. Tentu saja perbuatannya itu mengejutkan Pek Hong,
buru-buru ia membangunkannya seraya berkata :
"Hey Sute, apa-apaan ini" Hayo cepat bangun!"
"Enso, jika kau tidak bersedia memaafkan Siaute, maka
selamanya Siaute tak akan bangkit berdiri lagi."
"Aku mengerti Siau-sute," ucap Pek Hong sambil
tersenyum, "Hayolah cepat bangun aku dapat memahami
maksud baikmu itu, justru dapat semakin membuktikan
kebersihan serta kesucian Ensomu selama ini."
Seng Tiong-gak bangkit berdiri, kemudian membeberkan
rencana yang telah diaturnya itu, akhirnya ia menambahkan
: "Toako, kau jangan menghukum Tang Cuan serta Siauhong,
sebab segala sesuatunya timbul dari ideku, mereka
tak lebih hanya melaksanakan perintah!"
"Jangan kuatir Sute, aku tak akan menghukum mereka,
lagi pula aku pun berterima kasih kepadamu, karena kau
telah membantuku untuk mengetes kemampuan mereka."
"Oya! Masih ada satu hal yang tidak Siaute pahami,
bersediakah Suheng memberi petunjuk?"
"Kali ini kau memilih Tang Cuan dan Siau-hong sebagai
pembantumu, hal ini membuktikan bahwa Sute pun
memiliki kemampuan mengenal orang yang cakap dalam
penampilan. Siau-hong yang cerdik dan cekatan dalam
peristiwa kali ini serta penampilan Tang Cuan yang mantap
dan tegas, ditambah lagi penampilan bakat memimpin yang
diperlihatkan Sute, membuktikan bahwa perguruan Bukhekbun kita memiliki kemampuan yang cukup hebat, hal
mana sungguh membuat hatiku lega dan terhibur."
"Ling-kang!" tiba-tiba Pek Hong menyela, "rencana apa
yang telah kau siapkan" Kini waktu kita tinggal sehari saja,
sedikit banyak kita musti mengadakan persiapan lebih
dulu." Tiong Ling-kang termenung sebentar, lalu dengan serius
katanya : "Hujin, setelah aku pikir dengan lebih mendalam,
kurasakan bahwa bagaimanapun juga tidak seharusnya
kalau kita libatkan angkatan yang lebih muda dalam
persoalan ini.........."
Pek Hong manggut-manggut menyetujui.
Tapi Seng Tiong-gak segera berkata sambil gelengkan
kepalanya berulang kali. "Suheng, aku pikir tidak gampang!"
"Maksudmu?" "Tang Cuan dan Siau-hong telah mengetahui persoalan
ini, lagi pula mereka telah melibatkan diri di dalamnya, bila
tidak mengijinkan mereka turut serta, aku pikir hal ini tak
mungkin bisa terelakkan."
"Tapi Sute......... persoalan ini merupakan urusan pribadi
Ensomu dan aku, aku mana boleh membawa seluruh
perguruan Bu-khek-bun hingga terlibat di dalamnya?"
"Suheng, jangan lupa bahwa yang mereka hadapi adalah
segenap perguruan Bu-khek-bun kita, cukup berdasarkan
alasan ini, kita anak murid perguruan Bu-khek-bun sudah
sepantasnya jika turut serta dalam peristiwa ini............"
"Sute, ada satu persoalan apakah telah kau pikirkan"
Nyawa dari ayah Ensomu masih berada dalam cengkeraman
mereka........" "Siaute tahu," sambung Seng Tiong-gak cepat, "justru
dari sini semakin terbukti kalau Liong Thian-siang memang
berniat jahat kepada kita."
"Tapi dia pernah berkata kepada Ensomu agar jangan
membawa orang yang terlalu banyak, dia hanya
mengijinkan aku dan Ensomu berdua yang boleh
menghadiri pertemuan itu."
"Ciangbun-suheng," kata Seng Tiong-gak kembali,
"sudah jelas terbukti Liong Thian-siang adalah seorang
manusia yang berhati busuk dan licik, untuk menghadapi
manusia semacam ini kita pun tak usah membicarakan soal
peraturan dunia persilatan lagi.
Tiong Ling-kang termenung sejenak, kemudian bisiknya :
"Jadi maksud Sute........"
"Maksud, Siaute, untuk berperang kita jangan lupa
menggunakan taktik peperangan, sudah sepantasnya kalau
kita pun gunakan sedikit kepandaian."
"Kepandaian apakah itu?"
Seng Tiong-gak segera membeberkan rencananya.
Mendengar rencana tersebut, Tiong Ling-kang segera
tersenyum, ucapannya : "Sute, rupanya kau datang kemari dengan rencana yang
telah tersusun rapi."
"Bila Siaute telah mendahului Suheng, harap Ciangbunsuheng
sudi memaafkan!" Tiong Ling-kang lantas berpaling ke arah Pek Hong
sambil bertanya : "Bagaimana pendapatmu Hujin?"


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang telah disusun Tiong-gak-sute memang cukup
bagus, bila dilihat dari kedatangan Liong Thian-siang
dengan persiapan sempurna, memang bisa diduga kalau ia
mempunyai rencana busuk, untuk menghadapi manusia
semacam ini, rasanya kita pun tak usah terlampau jujur
pula" Lama sekali Ling-kang termenung sambil memutar otak,
akhirnya dia baru berkata :
"Sute, Hujin, selama beberapa hari belakangan ini aku
selalu mempunyai suatu perasaan yang sangat aneh, aku
selalu merasa bahwa perkampungan Ing-gwat-san-ceng
kita bakal tertimpa suatu musibah........."
"Toa-suheng!" tukas Seng Tiong-gak cepat, "kini Liong
Thian-siang telah menculik Pek-locianpwe, ayah Enso, itu
berarti sudah ada musibah yang telah terjadi, aku rasa
pastilah musibah inilah yang kau maksudkan itu........"
Tiong Ling-kang menghela napas panjang.
"Sute agaknya persoalan tersebut tak sampai di sini saja,
aku memang tidak melihat sendiri jenazah Lo-liok si
penjaga istal kuda, tapi aku tahu kalau ia gagah perkasa,
tidak semestinya ia mati secara tiba-tiba tanpa alasan yang
tepat." Bagaimanapun juga dia adalah seorang ketua dari suatu
perguruan, tentu saja caranya untuk menilai segala
persoalan jauh melebihi siapa pun.
"Suheng, usia Lo-liok sudah tua, konon ia pun gemar
minum arak, siapa tahu kalau diam-diam ia sudah
mengidap penyakit parah dan kali ini kambuh secara tibatiba
hingga mengakibatkan kematiannya."
"Aaaai......!" Tiong Ling-kang menghela napas panjang,
"seandainya ia memang betul mengidap penyakit parah,
selama banyak tahun ini, paling tidak pernah kambuh satu
dua kali, tapi ia belum pernah mengalami serangan
penyakit apa pun." "Lalu apa yang telah mencurigakan hati Suheng......?"
"Keracunan! Mungkinlah ada seorang yang diam-diam
meracuninya hingga mati?"
"Aneh, tidak mungkin! Aku telah memeriksa jenazahnya,
jelas gejalanya bukan gejala keracunan, lagi pula siapakah
anggota perkampungan Ing-gwat-san-ceng kira-kira yang
tega meracuninya sampai mati?"
"Bagaimanapun juga, aku selalu merasa bahwa hal ini
merupakan suatu peringatan buat kita, sebetulnya aku
hendak melakukan penyelidikan atas peristiwa tersebut,
sungguh tak disangka Liong Thian-siang keburu datang, aai!
Mungkinkah aku terlalu banyak curiga" Atau terlalu banyak
pikiran?" "Suheng, kau telah membawa perguruan Bu-khek-bun
kita ke puncak kemasyhuran, kesuksesan kita pasti akan
memancing kedengkian dan rasa iri di sementara orang,
apalagi selama banyak tahun belakangan ini Suheng sangat
jarang berkelana dalam dunia persilatan, seluruh semangat
dan perhatianmu kau curahkan untuk mendidik anak murid,
sudah pasti hal mana telah membangkitkan kedengkian
banyak orang, dan sudah barang tentu banyak orang ingin
merusak keberhasilan kita."
"Mendirikan suatu usaha tidak gampang, menjaga
keutuhannya lebih sukar lagi! Jika kita ingin
mempertahankan nama baik Bu-khek-bun, mungkin besar
sekali pengorbanan yang harus kita bayar."
"Selama lima tahun belakangan ini, kita semua dapat
melewatkan kehidupan kita dengan tenang dan penuh
kedamaian," kata Pek Hong, "apalagi selama masih
berkelana dalam dunia persilatan dulu, kau sudah beratusKANG
ZUSI http://kangzusi.com/
ratus kali menghadapi pelbagai pertarungan yang sengit,
aku berharap agar kali ini pun kau bisa menghadapinya
dengan pikiran serta perasaan yang tenang pula."
Tiong Ling-kang tertawa terelak mendengar perkataan
itu, ujarnya : "Ooh Hujin, kau memang benar, cuma yang kukuatirkan
adalah suatu kekuatan tersembunyi rupanya sudah mulai
bergerak dalam perkampungan Ing-gwat-san-ceng kita."
"Toa-suheng!" Seng Tiong-gak ikut berbicara, "yang
paling mengancam keutuhan kita sekarang adalah sepak
terjang dari Liong Thian-siang. Kita harus secepatnya
mencari akal untuk menghancurkan ancamannya, kemudian
baru pikirkan soal-soal lainnya."
"Betul!" Tiong Ling-kang manggut-manggut, "dewasa ini
kita memang musti bekerja sama untuk mencari akal guna
menghadapi ancaman dari Liong Thian-siang, Sute! Apakah
yang kita bicarakan sekarang lebih baik jangan dibocorkan
dulu, paling tidak jangan sampai membiarkan mereka
sampai bertindak membarengi kita."
"Ling-kang!" tiba-tiba Pek Hong bertanya, "kau
mengatakan ada suatu kekuatan sedang bergerak dalam
perkampungan Ing-gwat-san-ceng kita, sesungguhnya
kekuatan apakah itu?"
"Aku sendiri pun tak dapat mengatakannya keluar,
padahal seandainya aku telah mendapatkan suatu bukti, tak
nanti aku akan berpeluk tangan belaka!"
"Suheng, di dalam persoalan menghadapi Liong Thiansiang
nanti, apakah kita perlu membawa serta Tang Cuan
serta Siau-hong." "Seandainya kedatangan Liong Thian-siang kali ini hanya
untuk menghadapi aku serta Ensomu, aku pikir tidak
sepantasnya bila kita kerahkan segenap kekuatan Bu-khekbun
untuk menghadapinya.........."
"Tapi bukankah dia datang dengan membawa maksud
lain" Bukankah yang hendak dia hadapi adalah segenap
perguruan Bu-khek-bun kita?"
"Itulah sebabnya aku ingin pula menggunakan kekuatan
Bu-khek-bun untuk menghadapinya........."
Setelah berhenti sebentar ia melanjutkan.
"Aku ingin membetulkan sedikit rencanamu itu, bawa
saja empat orang murid Bu-khek-bun untuk menghadapi
Liong Thian-siang." "Empat orang yang mana saja?"
"Murid pertama, kedua, ketujuh dan kesembilan, cuma
kecuali Tang Cuan serta Siau-hong, dua orang lainnya lebih
baik jangan diberitahukan dulu!"
"Siaute mengerti!"
Tiong It-ki tetap tinggal di perkampungan Ing-gwat-sanceng
untuk membantu Sam-suhengnya menjaga rumah.
"Baik!" "Beri tahukan perintah ini setelah menjelang kentongan
kedua malam nanti, nah sekarang pergilah mempersiapkan
diri!" Seng Tiong-gak segera berpamitan dan mengundurkan
diri dari situ. ---------------------------------3 Mendekati kentongan ketiga malam itu, Tiong Ling-kang
dan Pek Hong telah berangkat ke tebing curam itu untuk
memenuhi janji. Pek Hong mengenakan seperangkat pakaian ringkas
berwarna perak, sepasang pedangnya tersoren di punggung
dan sebuah kantong senjata rahasia tergantung di sisi
pinggangnya. Tiong Ling-kang mengenakan juga seperangkat pakaian
ringkas dengan sebilah pedang tersoren di pinggangnya, ia
membawa serta pul kedua puluh empat batang senjata
rahasia Thiat-lian-hoa miliknya.
Pakaian tersebut sebetulnya merupakan pakaian yang
mereka berdua kenakan di kala masih berkelana dalam
dunia persilatan tempo hari, sudah lima tahun mereka
simpan pakaian tersebut tanpa mengenakannya kembali,
tapi hari ini mereka harus memakainya kembali.
Kentongan ketiga tepat, dari tikungan bukit sebelah
depan sana tiba-tiba muncul serombongan bayangan
manusia. Dalam waktu singkat mereka telah berada di hadapan
kedua orang itu. Rombongan tersebut terdiri dari sebuah tandu besar
warna hitam, empat orang laki-laki baju hitam bergolok
yang melindungi tandu serta dua orang tukang tandu.
Tandu itu berhenti kurang lebih beberapa kaki di
hadapan Tiong Ling-kang berdua, menyusul kemudian tirai
pun digulung ke atas. Seorang manusia berbaju hitam pelan-pelan berjalan
keluar dari balik tandu itu.
"Saudara Liong baik-baikkah kau selama dua puluh tahun
ini?" sapa Tiong Ling-kang sambil memberi hormat.
Liong Thian-siang adalah seorang laki-laki berusia
pertengahan yang berdandan seorang sastrawan, tubuhnya
sedang dengan wajah yang bersih, cuma sayang kulitnya
terlalu putih hingga kepucat-pucatan, di bawah rembulan ia
kelihatan seperti sesosok mayat saja.
Di atas wajahnya yang pucat dan dingin, tiba-tiba
terlintas rasa dendam yang amat tebal, sambil
mengelapkan tangannya ia menjawab :
"Untung saja aku orang she Liong ini belum mampus,
panjangnya usiaku ini tentunya di luar dugaan Tiongciangbunjin
bukan?" Begitu bersuara, ucapannya langsung ketus dan tak
bersahabat, dari sini cepat diketahui bahwa ia memang
menaruh dendam sakit hati yang tak terukur dalamnya
kepada ketua Bu-khek-bun ini.
"Aku dengar saudara Liong sudah beberapa kali
berjumpa dengan istriku..." kata Ling-kang.
"Hmm, tapi dengan perbuatannya itu Pek Hong justru
akan kehilangan kesempatan untuk menolong dirimu, juga
kehilangan kesempatannya untuk menolong ayahnya."
"Bagaimana dengan ayahku?" tanya Pek Hong cemas.
"Ia masih hidup segar bugar."
"Kami suami istri telah datang sesuai dengan apa yang
kau minta, aku harap seperti yang telah kau janjikan aku
pun dapat berjumpa muka dengan ayahku," pinta Pek
Hong. "Boleh saja!" jawab Liong Thian-siang dingin, "cuma
tidak sekarang!" Tiong Ling-kang segera tertawa.
"Lantas apa yang harus kami lakukan sehingga dapat
bersua dengannya?" ia bertanya.
"Asal persoalan ini di antara kita telah terselesaikan,
dengan cepat kalian dapat bersua dengannya."
"Oh apa pula yang hendak kita rundingkan lagi?"
"Selama banyak tahun belakangan ini, kau berhasil
tampilkan diri sebagai seorang jago yang punya kedudukan
dan nama dalam dunia persilatan, perkampungan Ing-gwatsanceng yang tak ternama pun, kini mulai dikenal oleh
setiap umat persilatan."
"Oya" Lantas?"
"Dengan cara yang sangat mudah aku berhasil
menemukan dirimu, dan aku pun mempunyai banyak cara
untuk melenyapkan perkampungan Ing-gwat-san-ceng
dalam waktu sekejap."
"Wah, kalau begitu perkampungan Ing-gwat-san-ceng
bisa berdiri tegak sampai sekarang hal ini adalah berkat
kebijaksanaan serta kebaikan hati saudara Liong!" sindir
Tiong Ling-kang. "Aku tak akan berbuat bijaksana, apalagi terhadapmu,
sampai sekarang aku belum juga turun tangan hal ini
dikarenakan aku mempunyai tujuan lain, yakni pertemuan
kita pada malam ini. Aku telah memberitahukan
kesemuanya itu kepada Pek Hong, aku rasa Pek Hong tentu
sudah menyampaikan kepadamu."
"Baik! Sekarang semua sudah menjadi jelas, apa yang
kau inginkan?" "Pek Hong telah melahirkan anak bagimu, sudah banyak
tahun mengikutimu, maka sekarang........"
Tiba-tiba ia tutup mulut dan tidak berbicara lagi.
Tiong Ling-kang masih tetap mempertahankan
ketenangannya, ia bertanya :
"Sekarang, apa pula yang musti kulakukan?"
"Sekarang, kau harus serahkan dirinya kepadaku, mulai
saat ini dia akan menjadi istriku!"
"Pek Hong dapat menjaga batas-batas kewanitaannya,
banyak pula bantuannya bagiku, keberhasilanku hari ini
sebagian besar adalah hasil pemberiannya, aku merasa
sayang dan hormat kepadanya."
"Maksudmu, kalian tak akan dapat berpisah lagi untuk
selamanya?" "Saudara Liong, apakah kau tidak merasa bahwa
permintaanmu itu terlalu kelewat batas?"
Liong Thian-siang tertawa dingin.
"Tiong Ling-kang!" ia berseru, "aku tak akan merampas
istrimu dengan begitu saja, aku hendak membuatmu untuk
menyerahkannya secara sukarela dan hati yang pasrah."
Bagaimana baiknya iman Tiong Ling-kang, lama
kelamaan habis juga kesabarannya, dengan mata melotot ia
membentak : "Liong Thian-siang, bagaimana pun juga kau telah
mendekati setengah abad, kalau berbicara aku harap
sedikitlah tahu diri, apakah kau tak takut ditertawakan
orang dengan ucapan-ucapanmu itu?"
Pek Hong sendiri pun naik pitam, bentaknya dengan
gusar : "Wahai orang she Liong, mulutmu kotor dan tak tahu
aturan, lebih baik tutup saja bacot anjingmu itu!"
"Aku orang she Liong datang dengan membawa
perisapan yang matang, setiap ucapanku segera akan
berubah menjadi kenyataan. Tiong Ling-kang!
Bagaimanapun juga kau harus menyanggupi syaratku ini!"
Sepasang tangan Pek Hong telah mulai meraba gagang
pedangnya, hawa nafsu membunuh menyelimuti wajahnya,
dari sikapnya yang menahan geram dapat diketahui bahwa
ia telah bersiap untuk melancarkan serangan.
"Pek Hong!" Liong Thian-siang segera membentak keras,
"jika kau berani sembarangan berkutik lagi, aku akan


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera membuat ayahmu tewas dalam keadaan
mengerikan." Pek Hong menjadi tertegun, pelan-pelan ia menurunkan
kembali sepasang tangannya yang telah meraba gagang
pedangnya itu. "Baiklah! Katakan syaratmu itu!"
"Suruh ayah mertuamu dan istrimu duduk di pinggir
gelanggang untuk menyaksikan kita berdua berduel sampai
mati!" Tiong Ling-kang manggut-manggut.
"Ada satu hal yang lebih penting lagi," lanjut Liong Thiansiang,
"yakni sebelum pertarungan dimulai, kita harus
membuat surat perjanjian lebih dulu, seandainya kau
berhasil kubunuh maka Pek Hong akan menjadi milikku."
"Orang gila, kau tak usah ngaco belo tak karuan!" bentak
Pek Hong dengan gusarnya.
Sedangkan Tiong Ling-kang masih tetap tenang.
"Masih ada yang lain?" ia bertanya.
"Aku menghendaki ayah mertuamu sebagai saksi, jika
sampai waktunya kau orang she Tiong ingkar janji, maka
aku hendak membasmi seluruh perguruan Bu-khek-bun
kalian dan meratakan perkampungan Ing-gwat-san-ceng
dengan tanah, bukan cuma manusia saja yang kubunuh
anjing ayam pun tak akan kubiarkan lewat sampai tengah
malam!" Tiong Ling-kang tertawa ewa, katanya,
"Saudara Liong, apakah perselisihan antara kita berdua
tak dapat diselesaikan dengan cara yang lebih baik?"
"Asal kau bersedia menyerahkan Pek Hong untuk
dijadikan istriku, bukan saja ayahnya bisa diselamatkan,
kedudukanmu sebagai ciangbunjin dalam perguruan Bukhekbun pun bisa dipertahankan, malah siapa tahu bila
perguruan Bu-khek-bun mengalami ancaman bahaya
dikemudikan hari aku pun bersedia untuk membantumu?"
"Liong Thian-siang!" kata Tiong Ling-kang kemudian
dengan serius, "memang aku menaruh sedikit rasa sesal
dalam hati kecilku, tapi sesal itu kini sudah lenyap tak
berbekas oleh kata-katamu yang gila dan tak tahu diri
itu......" "Heeehh....... heeehh.......... heeehh......" Liong Thiansiang
tertawa dingin, "ketahuilah kau Tiong Ling-kang,
untuk melampiaskan rasa benci dan dendamku ini, sudah
dua puluh tahun lamanya aku hidup sengsara dan penuh
penderitaan, kecuali kau serahkan kembali Pek Hong
kepadaku, di antara kita tak akan ada syarat kedua yang
bisa dibicarakan lagi."
"Liong Thian-siang agaknya di antara kita berdua
memang harus ada satu yang mampus dalam duel ini."
"Sebelum pertarungan dimulai, aku hendak
memberitahukan satu persoalan lebih dulu kepadamu!"
"Syarat apa pula yang kau punyai" Hayo katakan saja
terus terang, aku orang she Tiong pasti akan
menghadapinya sekaligus."
"Lebih baik kita jelaskan lebih dulu bahwa semua
dendam dan sakit hati kita terselesaikan semua dalam
pertarungan berikut ini!"
"Akan kudengar semua perkataanmu itu!"
Liong Thian-siang tarik napas panjang-panjang,
kemudian ujarnya : "Aku datang kemari dengan membawa jumlah orang
yang cukup banyak, kekuatan tersebut sudah cukup bagi
kami untuk melenyapkan perguruan Bu-khek-bun dari muka
bumi!" "Ooh"!" "Tapi jangan kuatir, mereka tak akan turun tangan
sebelum memperoleh tanda rahasia dari ku!"
"Ooh.......!" "Jika kau mati di ujung golokku, Pek Hong tak boleh ikut
mati, aku hendak membawanya pergi meninggalkan tempat
ini dalam keadaan hidup."
"Masih ada lagi?" hawa kemarahan sudah mulai
menyelimuti seluruh wajah Tiong Ling-kang.
"Jika ia sampai mati, baik itu bunuh diri atau dibunuh
oleh anggota perguruan Bu-khek-bun, maka seluruh
perguruan Bu-khek-bun akan mengalami bencana yang
paling besar, aku akan membunuh habis setiap orang yang
ada sangkut pautnya dengan perguruanmu itu."
"Suatu jalan pemikiran yang amat keji! Masih ada yang
lain?" "Cukup, sekarang kau boleh meloloskan pedangmu!"
Sepasang mata Tiong Ling-kang berputar-putar
memperhatikan wajah Liong Thian-siang serta sekitar
tubuhnya, kemudian ia bertanya :
"Mana golokmu?"
"Golok itu berada di tubuhku, bila sampai waktunya
untuk dipergunakan, aku akan mencabutnya sendiri."
Sikapnya amat tenang dan santai, seakan-akan ia sudah
mempunyai rencana matang untuk menghadapi
pertarungan itu. Ketenangan ini segera meningkatkan kewaspadaan
dalam hati Tiong Ling-kang, pelan-pelan tangan kanannya
menggenggam gagang pedangnya, lalu menarik napas dan
menghimpun tenaganya, di dalam pusar, setelah itu
katanya kembali : "Saudara Liong, sudah setengah harian kau bicara, tapi
semuanya hanya membicarakan soal bila kau yang menang,
bagaimana jika hasilnya nanti menunjukkan kalau kau
orang she Liong yang kalah?"
"Kau yang menang" Tak mungkin, kau tidak akan
mempunyai kesempatan untuk meraih kemenangan."
"Gunung nan tinggi air akan lebih panjang, Liong-heng
jangan terlalu takabur."
"Jika kau dapat menangkan aku, Liong Thian-siang tak
akan meninggalkan tempat ini dengan selamat."
Itu berarti ia sudah menganggap pertarungan tersebut
sebagai suatu pertarungan yang menentukan mati
hidupnya. Tiong Ling-kang lantas menekan tombol rahasianya
dan........ "Cring!" pedang Cing-peng-kiam segera melolos
dari sarungnya. "Hati-hati!" ejek Liong Thian-siang sambil tertawa dingin.
Tiba-tiba ia menerjang ke depan, sebuah jotosan keras
langsung diayunkan ke dada lawan.
Tiong Ling-kang merupakan seorang ahli pedang yang
dihormati dan disegani oleh umat persilatan di dunia,
pedang Cing-peng-kiam tersebut entah sudah mengalahkan
berapa banyak jago lihay selama puluhan tahun belakangan
ini" Tapi sekarang ternyata Liong Thian-siang tidak
menganggap sebelah mata pun terhadap ahli pedang yang
termasyhur ini, bahkan ia berani menghadapi serangannya
dengan tangan kosong belaka.
Tindakannya yang melanggar kebiasaan ini tak lain
dikarenakan dua alasan, pertama Liong Thian-siang terlalu
sombong, memandang enteng musuhnya, dan kedua ia
memang mempunyai rencana busuk.
Tiong Ling-kang sebagai seorang jago yang
berpengalaman luas, tentu saja cukup mengerti kalau
tindakan Liong Thian-siang ini bukan hanya terbatas karena
kejumawaannya belaka. Sambil menarik napas panjang ia mundur dua langkah,
tubuhnya berkelebat ke samping untuk menghindarkan diri,
kemudian pedangnya dibabat ke bawah menebas
pergelangan tangan kanan lawan.
Liong Thian-siang mendengus dingin, sambil turunkan
pergelangan tangannya ke bawah, ia putar badan, "Weess,"
sebuah pukulan digentarkan, menyusul kemudian tubuhnya
melejit ke udara dan berputar satu lingkaran besar sejauh
satu kaki lebih untuk menyelinap ke belakang punggung
orang she Tiong itu. Tiong Ling-kang membentak keras.
"Suatu jurus Pat-poh-hwe-gong (delapan langkah
terbang di udara) yang amat bagus!"
Pedang Cing-peng-kiam digetarkan dan segera
mengembangkan serangkaian serangan balasan.
Bayangan pedang segera berkelebat ke sana kemari
memenuhi angkasa, pedang Cing-peng-kiam itu berubah
menjadi selapis cahaya tajam yang melindungi tubuhnya
rapat-rapat. Menghadapi serangan ilmu pedang Cing-peng-kiam-hoat
yang maha dahsyat itu, untuk sesaat Liong Thian-siang
agak kateter, namun ia masih juga menghadapinya dengan
tangan kosong belaka. Ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna ternyata
telah dikombinasikan dengan ilmu langkah Pat-poh-hwegong
yang dahsyat, membuat ia dapat bergerak ke sana
kemari dengan seenaknya sendiri, bahkan sepasang
tangannya sebentar menotok sebentar memukul dan
membacok ke sana kemari, semuanya ditujukan untuk
mengincar jalan darah lawan.
Untuk sesaat lamanya posisi mereka tetap berada dalam
keadaan seimbang alias sama kuat.
Secara beruntun Tiong Ling-kang telah melancarkan tiga
puluh jurus serangan lebih, namun ia selalu gagal untuk
merebut posisi yang menguntungkan karena semua
serangannya sebagian besar dapat dihindari lawan.
Liong Thian-siang yang mendekam diri selama dua puluh
tahun, kini betul-betul berubah menjadi lihay sekali, bahkan
kehebatan ilmu silatnya sama sekali di luar dugaan Tiong
Ling-kang. Tapi dengan demikian justru telah memancing rasa ingin
menang di hati Tiong Ling-kang. Ia berpekik nyaring,
serangan pedangnya segera dilancarkan makin gencar.
Cahaya tajam tampak berputar kian kemari, cahaya
pedang dari kecil berubah makin besar dan kemudian
berkembang menjadi sebuah lingkaran besar seluas satu
kaki persegi yang mengurung tubuh Liong Thian-siang di
balik lingkaran cahaya pedang tersebut.
Menyusul kemudian lingkaran cahaya pedang itu dari
besar menyusut semakin kecil seperti sebuah jala ikan yang
ditarik ke atas, jaring tersebut makin lama makin kencang
dan makin bertambah rapat.
Kali ini cahaya pedang tersebut berlapis-lapis dan
lihaynya bukan kepalang. Dalam keadaan demikian, sekalipun Liong Thian-siang
memiliki ilmu langkah Pat-poh-hwe-gong yang lihay, di
bawah kepungan cahaya pedang yang berlapis-lapis itu ia
menjadi kewalahan juga sehingga tak sanggup berkutik
lagi. Dengan cepat cahaya pedang itu mengancam tiba
dengan amat dahsyatnya.......
Menghadapi ancaman lawan yang begitu hebat dan
mengerikan, Liong Thian-siang tidak menjadi gugup, ia
masih dapat mempertahankan ketenangannya seperti sedia
kala. Mendadak pedang Cing-peng-kiam di tangan Tiong Lingkang
menusuk dada Liong Thian-siang dengan jurus Cianghonghap-it (selaksa ujung pedang bersatu padu).
Tusukan tersebut bukan cuma disertai dengan tenaga
serangan yang hebat, lagi pula dipakai tepat pada saatnya,
tusukan itu menyerang tiba di kala Liong Thian-siang
sedang bersiap-siap menarik kembali telapak tangannya.
Padahal ilmu langkah Pat-poh-hwe-gong sudah terkunci
oleh lapisan pedang Tiong Ling-kang hingga tak mampu
dipergunakan lagi, menghadapi tusukan yang datang secara
tiba-tiba itu, agak sulit juga baginya untuk menghindarkan
diri. Satu-satunya jalan baginya untuk menyelamatkan
jiwanya dari ancaman adalah menangkis serang tersebut
dengan kekerasan. Siapa tahu Liong Thian-siang telah memutar balik telapak
tangan kanannya yang hendak melancarkan serangan itu,
kemudian menangkis datangnya tusukan pedang tersebut
dengan kekerasan. "Traanng......!" benturan nyaring berkumandang
memecahkan keheningan, pedang Cing-peng-kiam itu
segera tertangkis pergi. Padahal tenaga dalam yang dimiliki Tiong Ling-kang
cukup sempurna, sekalipun Liong Thian-siang memiliki
kepandaian semacam Kim-ciong-co atau Thiat-poh-san, tak
nanti ia sanggup menangkis datangnya ancaman pedang
itu. Tiong Ling-kang tak mau terkecoh dengan begitu saja,
sebagai seorang jago kawakan yang berpengalaman, ia
telah menangkap suara benturan tersebut sebagai benturan
antara besi dan besi. Jangan-jangan Liong Thian-siang memiliki tangan yang
terbuat dari baja asli"
Kini orang she Liong itu telah meloloskan goloknya.
Sementara Tiong Ling-kang masih tertegun karena
tusukkan pedangnya tertangkis, Liong Thian-siang telah
mengembangkan kembali serangannya secepat kilat.
Golok itu meluncur dari balik bajunya, di mana cahaya
tajam berkelebat lewat senjata tersebut sudah meluncur
keluar. Sungguh suatu serangan yang keji, licik dan berbahaya.
Ketika sadar akan datangnya bahaya, Tiong Ling-kang
segera menarik nafas dan mundur lima depa, sayang
tindakannya itu masih terlambat setindak.
Darah segar segera menyembur keluar sejauh tiga empat
depa dan berhamburan di tanah.
Sambaran golok dari ujung baju Liong Thian-siang
berhasil menembusi bahu kanan Tiong Ling-kang.
Kontan saja lengan kenannya yang menggenggam
pedang itu terkulai lemas ke bawah.
Pek Hong buru-buru menghampirinya dan bertanya
dengan penuh rasa kuatir.
"Ling-kang, kau terluka?"
Tiong Ling-kang tertawa ewa.
"Tidak menjadi soal, cuma luka kulit saja!" sahutnya.


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padahal darah segar sempat menyembur keluar,
mungkinkah luka di kulit berakibat demikian"
Tapi Pek Hong tidak bertanya pula, ia mengambil secarik
sapu tangan putih dan cepat-cepat membalut luka di bahu
suaminya. Liong Thian-siang dengan sepasang matanya yang tajam
mengawasi terus sepasang tangan Pek Hong yang putih dan
halus itu tapa berkedip, rasa dengki, iri, dan cemburu jelas
tertera di atas wajahnya.
Namun dia pun tidak memanfaatkan kesempatan
tersebut untuk melancarkan kembali serangannya.
Tiong Ling-kang berdiri dengan wajah serius, sekalipun ia
berbicara dengan Pek Hong, tetapi sepasang matanya tak
pernah beralih dari tubuh Liong Thian-siang.
Selesai membalut luka di bahu suaminya, diam-diam Pek
Hong mengundurkan diri dari situ.
Dua titik air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya
ketika ia mundur dari situ tadi.
Pelan-pelan Tiong Ling-kang menggerakkan lengan
kanannya, kemudian berkata :
"Liong Thian-siang, lenganku ini masih bisa dipergunakan
untuk memegang pedang lagi!"
"Hmm! Terlampau cepat kau hindarkan diri, coba sedikit
terlambat lagi, niscaya lengan itu sudah bukan milikmu
lagi." Tiong Ling-kang tertawa ewa.
"Kalau ingin bertarung, bertarunglah secara jujur dan
ksatria, tindakanmu mengenakan lengan baja pelindung
badan sungguh jauh di luar dugaanku......."
"Ya, siapa lagi yang musti disalahkan kalau bukan
menyalahkan sepasang matamu sendiri yang kurang awas."
"Liong Thian-siang, kau telah melepaskan kesempatan
baik untuk membinasakan diriku, aku tak akan tertipu lagi
untuk kedua kalinya."
"Jangan takabur dulu, dengan tangan kosong pun aku
sudah sanggup untuk menghadapi ilmu pedang Cing-pengkiamhoatmu itu, bila kugunakan golokku untuk kedua
kalinya, nanti jangan harap kau bisa meloloskan diri dengan
selamat." "Bila kau yakin bisa membunuhku, inilah kesempatan
yang paling baik bagimu untuk bertindak, hanya saja,
sebelum pertarungan berlangsung untuk kedua kalinya, aku
ingin berjumpa dulu dengan ayah mertuaku."
"Pokoknya Pek Bwee masih hidup segar bugar, aku tak
pernah melukainya walau hanya seujung rambut pun,
sekarang kau sudah bermandikan darah, dalam pertarungan
ini kau pula yang bakal mampus, apa lagi yang bisa kau
lakukan untuk Pek Bwee meskipun dapat menjumpainya?"
Ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terkekehkekeh.
"Heeehh...... heeehh......... heeehh......... cuma kalau
kau sudah tewas dalam pertarungan nanti, aku pasti akan
mengajak Pek Hong untuk berjumpa dengan ayahnya."
Tiong Ling-kang masih tetap tenang, terhadap cemoohan
dan hinaan yang dilontarkan Liong Thian-siang, hampir
boleh dibilang tak pernah ia pikirkan dalam hati.
Baru seorang jago pedang yang lihay, maka ketenangan,
kemantapan, dan keseriusan merupakan pokok-pokok
utama yang harus dimiliki menjelang pertarungan yang
bakal berlangsung. Karena itu, Tiong Ling-kang tak berani lengah, dia harus
menguasai ketiga pokok utama tersebut sebaik-baiknya.
Agak tercekat juga Liong Thian-siang melihat ketenangan
orang, pikirnya kemudian :
"Waaah, tampaknya bukan suatu perbuatan yang
gampang untuk membangkitkan hawa amarahnya..........."
Berpikir demikian, tangan kanannya segera di angkat,
cahaya putih segera berkelebat lewat menusuk ke dada
Tiong Ling-kang. "Menyimpan golok di balik ujung baju merupakan
kepandaian andalan dari Hay-pak-khi-keng-khek, apakah
kau sudah menjadi anggota perguruan dari Khi-keng-bun?"
tegur Tiong Ling-kang. Sementara di mulut berbicara, pedang Cing-pengkiamnya
melancarkan serangkaian serangan berantai yang
dengan cepat dapat membendung ke tujuh buah bacokan
kilat dari Liong Thian-siang.
Kali ini ia telah merubah taktik bertarungnya dengan
ketenangan ia berusaha menghadapi gerak serangan
musuh. Setelah melepaskan ketujuh buah serangan berantainya,
Liong Thian-siang menghentikan pula serangannya, dengan
sepasang mata yang tajam dia awasi wajah Tiong Ling-kang
lekat-lekat, dengan harapan ia dapat menangkap rasa
menderita yang melintas di atas wajah orang itu.
Tapi Tiong Ling-kang masih tetap tenang setenang air
telaga, sama sekali tidak ditemukan sesuatu sikap yang
aneh. Padahal luka yang diderita Tiong Ling-kang cukup parah,
setelah menggerakkan pedangnya untuk menangkis ketujuh
buah serangan golok dari Liong Thian-siang tadi, mulut
lukanya betul-betul terasa sakitnya bukan kepalang.
Tapi dengan paksakan diri ia menahan rasa sakit
tersebut, ia tetap berusaha mempertahankan ketenangan di
atas wajahnya. Memang hal itu merupakan suatu persoalan yang sukar
dilukiskan, tapi Tiong Ling-kang berhasil melakukannya
secara baik. Pengalamannya dalam menghadapi beratus-ratus kali
pertarungan membuat jago ini menang pengalaman, dia
tahu jika ingin membunuh musuhnya maka ia musti
menunggu sampai tibanya saat yang paling
menguntungkan, serangan tersebut harus mematikan
dalam sekali penyerangan.
Kini kedua belah pihak saling berhadapan muka sambil
menantikan tibanya saat yang paling baik.
Mendadak Liong Thian-siang melakukan serangan
dengan sepasang telapak tangannya, dua kilatan cahaya
putih dengan cepat meluncur ke depan.
Yang satu langsung menyerang bagian dada sementara
yang lain menyerang lambung.
Tiong Ling-kang menggetarkan pedang Cing-pengkiamnya,
menciptakan selapis cahaya tajam mengikuti
perputaran tubuhnya, ia menerjang maju lebih ke depan.
Pertarungan ini merupakan adu jiwa yang mempengaruhi
mati hidup masing-masing pihak, oleh karena itu kedua
belah sama-sama melancarkan serangan dengan sepenuh
tenaga. Dua gulungan angin serangan dari kedua belah pihak
dengan cepat menciptakan selapis hawa serangan yang
tajam dan mengerikan. Dengan cepat Liong Thian-siang mengunci serangan
Tiong Ling-kang yang dibarengi gerakan maju itu.
Tapi justru dengan gerakan serbuannya itu, Tiong Lingkang
tidak berhasil menghindarkan diri dari serangan golok
musuhnya yang mengancam dada serta lambungnya itu,
sepasang senjata lawan kontan bersarang telah di
tubuhnya. Liong Thian-siang mendengus dingin, sepasang goloknya
kembali diputar sedemikian rupa menciptakan selapis
kekuatan pertahanan yang betul-betul amat tangguh.
Sedemikian tangguhnya pertahanan itu, membuat Liong
Thian-siang merasa aman pula atas keselamatan jiwanya.
Dari gembira dan bangga ia menjadi teledor dan
gegabah, kegegabahan itu menciptakan pula terbukanya
titik kelemahan di atas tubuhnya.
Tiong Ling-kang segera merasakan bahwa saatnya telah
tiba, pedang Cing-peng-kiam tersebut disertai sambaran
cahaya kilat yang tajam langsung menusuk ke bagian
mematikan di dada lawan. Dari dada pedang itu tembus hingga ke atas bahu bagian
belakangnya, darah kental segera berhamburan membasahi
seluruh permukaan tanah. Liong Thian-siang tertegun ketika merasakan dadanya
tertusuk, pada hakikatnya segenap jago yang ada di sekitar
gelanggang dibuat tertegun oleh kenyataan tersebut.
Lama, lama sekali, masih belum kedengaran juga sedikit
suara pun. Buru-buru Pek Hong maju ke depan menghampiri
suaminya yang terluka parah.
Dua orang pengawal Liong Thian-siang segera
meloloskan pula senjata mereka untuk bersiap sedia.
Pada saat itulah bayangan manusia berkelebat lewat, dua
sosok bayangan manusia kembali meluncur datang ke
tengah arena. Kedua orang yang baru datang itu tak lain adalah Tang
Cuan serta Cu Siau-hong. Dari tebing sebelah belakang melayang turun pula
sesosok bayangan manusia, dia adalah Seng Tiong-gak.
Pek Hong meloloskan pedangnya menghadang jalan
maju dua orang pengawal dari Liong Thian-siang, kemudian
bentaknya dingin : "Kalian hendak bertempur?"
Dengan suatu gerakan cepat Cu Siau-hong melewati
Tang Cuan dan turun di hadapan Pek Hong, lalu sambil
menghampiri dua orang laki bersenjata itu, katanya :
"Sunio, lihat keadaan Suhu, serahkan saja kedua orang
ini kepadaku!" Dalam pada itu Liong Thian-siang telah membelalakkan
sepasang matanya lebar-lebar, kemudian bisiknya :
"Tiong Ling-kang, kau berhasil mematahkan ilmu golok
Thian-seng-to-hoat ku?"
Tiong Ling-kang sendiri pun menderita luka yang cukup
parah, tapi ia masih sanggup mempertahankan diri secara
perkasa, sikap maupun senyumannya tetap agung dan
penuh kewibawaan sebagai layaknya seorang ketua dari
suatu perguruan. Sahutnya sambil tersenyum,
"Aku gagal mematahkan ilmu golokmu itu."
"Tapi kau berhasil menusuk dadaku dengan telak!"
sambungnya. "Yaa, itulah dikarenakan kau terlalu gegabah, dengan
mengandalkan pengalaman maupun kemampuanku, aku tak
berhasil menemukan cara yang tepat untuk mematahkan
seranganmu, coba kalau kau mempertahankan diri secara
baik-baik, niscaya aku akan gagal untuk menusukmu."
Air mata mulai bercucuran membasahi wajah Liong
Thian-siang, pelan-pelan ujarnya :
"Aku telah bersusah payah selama dua puluh tahun
lamanya, tapi toh tetap gagal untuk mendapatkan Pek
Hong!" Selesai berkata, tiba-tiba sepasang matanya terpejam,
darah kental bercucuran dari mulut dan lubang hidungnya.
Tiong Ling-kang menggetarkan pergelangan tangan
kanannya dan mencabut keluar pedang Cing-peng-kiam
tersebut, darah segar segera menyembur keluar dari dada
maupun punggungnya. Sementara itu Pek Hong telah mencabut pula kedua bilah
golok yang bersarang di tubuh Tiong Ling-kang.
Yang dimaksud golok di balik ujung baju adalah dua
lembar pisau tajam yang tipis tapi tajamnya luar biasa,
senjata itu dapat digulung menjadi bulatan.
Di balik ujung bajunya, Liong Thian-siang
menyembunyikan dua buah kotak besi, di hari-hari biasa
kedua bilah golok tipis tersebut bergulung di dalam kotak
besi itu, letak kotak tepat di atas lengan baja pelindung
tangan yang dikenakannya, sehingga asal ia mengebaskan
tangannya kuat-kuat maka kedua bilah golok tipis itu
segera akan meluncur keluar dari kotak besi dengan
kecepatan luar biasa. Bila golok tipis itu sudah tak terpakai lagi, asal tombol
dalam kotak ditekan, serta-merta golok tadi akan tergulung
kembali ke dalam kotak tersebut.
Jika seseorang dapat melatih diri dengan senjata
tersebut hingga mencapai kesempurnaan, maka bila
dikombinasikan dengan lengan baja pelindung tangannya,
maka kedua macam senjata tersebut akan berubah menjadi
suatu senjata pembunuh yang benar-benar mengerikan.
Menyaksikan tubuh Liong Thian-siang mulai roboh ke
tanah, Tiong Ling-kang merasakan pula tubuhnya mulai tak
tahan, ia mundur dengan sempoyongan, kemudian roboh
terjengkang ke tanah. Buru-buru Pek Hong memayang tubuh suaminya.
"Aku tidak mengapa, cuma terlampau besar tenaga yang
telah kugunakan." "Tiong-gak-sute, Tang Cuan, dan Siau-hong telah
berdatangan semua!" "Jangan lepaskan orang-orang itu, suruh mereka hadang
musuh kita dan memaksanya untuk menunjukkan tempat
ayahmu disekap." Padahal tanpa diperintah oleh Tiong Ling-kang pun, Seng
Tiong-gak, Cu Siau-hong dan Tang Cuan telah mengambil
posisi segi tiga untuk mengurung ke empat orang itu rapatrapat.
Empat orang musuh adalah dua orang tukang tandu dan
dua orang pengawal bersenjata.
Kematian dari Liong Thian-siang dengan cepat
menimbulkan getaran perasaan yang besar di hati mereka
berempat, untuk sesaat lamanya mereka hanya berdiri
tertegun di tempat semula, tanpa mengetahui haruskah
melakukan perlawanan ataukah harus melarikan diri.
"Tang Cuan, Siau-hong, bunuh dulu dua orang di antara
keempat orang itu.......!" perintah Seng Tiong-gak dingin.
Tang Cuan dan Cu Siau-hong segera mengiakan, pedang
mereka berkelebat lewat, dua orang tukang tandu itu
segera roboh terkapar bermandikan darah segar.
Terluka parah guru mereka membuat orang jago muda
ini merasa sedih bercampur gusar, tapi karena gurunya
belum memberi perintah, mereka pun tak berani
sembarangan bergerak. Karenanya begitu Seng Tiong-gak memberi komando
untuk bunuh, kontan saja sepasang pedang mereka


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkelebat lewat, dua orang tukang tandu yang jaraknya
memang dekat dengan mereka kontan saja menemui
ajalnya detik itu juga. Belum lagi kedua orang pengawal itu meloloskan
goloknya, dua bilah pedang yang masih membawa noda
darah telah menempel di atas tenggorokkan mereka.
Ilmu pedang Cing-peng-kiam-hoat memang
mengutamakan kecepatan bergerak, apalagi Tang Cuan
serta Cu Siau-hong memang telah memperoleh seluruh
kepandaian dari gurunya, kecepatan gerak senjata mereka
sungguh cepatnya luar biasa.
"Jangan bunuh kedua orang itu!" buru-buru Pek Hong
berseru. Seng Tiong-gak menggetarkan pedang untuk memukul
rontok senjata golok dua orang pengawal itu, lalu ujarnya
dengan dingin : "Aku tidak memiliki kesabaran seperti ciangbunjin kami,
maka kuanjurkan kepada kalian berdua agar menjawab saja
semua pertanyaan secara jujur dan tanpa membantah!"
Dua orang pengawal itu saling berpandangan sekejap,
kedua belah pihak sama-sama membungkam diri.
Melihat sikap mereka, Seng Tiong-gak tertawa dingin,
serunya kembali : "Apakah harus kubunuh seorang di antara kalian,
sehingga sisa yang seorang baru bersedia menjawab?"
Sekali lagi kedua orang itu saling berpandang sekejap,
namun belum ada juga yang menjawab.
"Sute!" tiba-tiba Tiong Ling-kang berkata, "jangan kau
bunuh mereka berdua, mereka hanya mendengarkan
perintah dari Liong Thian-siang sebab dalam sekali gerakan
tangan saja Liong Thian-siang sanggup untuk membunuh
mereka." Seng Tiong-gak manggut-manggut.
"Asal mereka bersedia bekerja sama tentu saja aku tak
akan membunuh mereka, cuma kalau tidak dikasih sedikit
tanda mata, belum tentu mereka bersedia menjawab."
Tiong Ling-kang menghela napas panjang, ia pejamkan
mata untuk mengatur pernafasan dan tidak berbicara lagi.
Dengan suara lantang Seng Tiong-gak lantas berkata :
"Kalian dengar baik-baik, aku akan mengajukan sebuah
pertanyaan kepada kalian masing-masing orang, bila tidak
menjawab maka aku akan menusuk tubuh kalian satu kali,
soal enteng atau beratnya tusukan itu tergantung pula pada
kemujuran kalian masing-masing."
Sambil berpaling ke arah laki-laki di sebelah kiri, dia
mulai bertanya : "Di manakah Pek-locianpwe?"
Laki-laki si sebelah kiri itu menggerakkan bibirnya seperti
hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat tersebut kemudian
diurungkan. "Sreert!" Seng Tiong-gak segera menggerakkan
pedangnya melancarkan sebuah tusukan.
Laki-laki itu hanya merasakan wajahnya menjadi dingin,
separuh potong hidungnya tahu-tahu sudah rontok ke tanah
diiringi cucuran darah kental.
Seng Tiong-gak segera mengalihkan sorot matanya yang
tajam itu ke atas wajah laki-laki yang di sebelah kanan,
katanya : "Sekarang kau yang haru menjawab, Pek-locianpwe
berada di mana?" Laki-laki di sebelah kanan itu memandang sekejap darah
yang bercucuran dari sebagian hidungnya, kemudian
menghela napas panjang. "Ia berada di sebuah rumah petani, lebih kurang belasan
li dari tempat ini," sahutnya lirih.
Seng Tiong-gak alihkan pula sinar matanya ke arah lakilaki
di sebelah kiri, lalu bertanya lebih jauh :
"Hayo jawab, luka apa saja yang telah diderita oleh Peklocianpwe
selama berada dalam sekapan?"
Sejak separuh hidungnya kena ditebas, laki-laki itu
merasakan kesakitan yang luar biasa, tentu saja ia tak
berani berkeras kepala lagi, buru-buru jawabnya :
"Ia tidak menerima siksaan apa-apa, cuma jalan darah
bisunya tertotok, selama ini ia berada dalam keadaan tak
sadar." Seng Tiong-gak kembali berpaling ke arah laki-laki di
sebelah kanan sambil tanyanya :
"Berapa orang yang berjaga di tempat itu?"
"Lima orang !" "Bagaimana dengan kepandaian silat yang dimilikinya?"
"Tidak terlalu jelek!"
Kemudian setelah melirik sekejap ke arah Tang Cuan dan
Cu Siau-hong, ia melanjutkan :
"Andaikata dibandingkan dengan mereka berdua, maka
kepandaian akan seimbang."
Seng Tiong-gak berpaling kembali ke arah laki-laki di
sebelah kiri, tanyanya lebih jauh :
"Sudah berapa lama kalian mengikuti Liong Thian-siang?"
"Tidak lebih dari tiga bulan!"
"Hanya tiga bulan?" Seng Tiong-gak keheranan.
"Benar!" "Kalau begitu kalian bukan sekomplotan dengan Liong
Thian-siang?" sela Tang Cuan dingin.
"Kami mempunyai delapan puluh orang saudara yang
selama ini bergerak di sekitar wilayah Ho-lam sebelah timur
dan Shoa-tang sebelah barat, tidak beruntung pada tiga
bulan berselang kami telah berjumpa dengan Liong Thiansiang,
memang kami agak teledor sehingga salah
mengiranya sebagai seekor domba gemuk, baru saja akan
turun tangan kepadanya, siapa tahu kami malah ketanggor
batunya, dengan tangan kosong tak sampai seratus
gebrakan hampir separuh anggota komplotanku kena
dibunuh." "Oleh karena itu kalian rela takluk dan menjadi pengawal
tandunya?" sambung Seng Tiong-gak.
"Benar! Waktu itu ia masih ada dua orang teman
perjalanan, salah seorang di antaranya mengusulkan agar
kami dibunuh semua saja, daripada meninggalkan bibit
bencana dikemudikan hari, tapi Liong Thian-siang
mengatakan bahwa kami bisa dipergunakan tenaganya
dengan menjadikan kami semua sebagai anak buahnya, lagi
pula kami pun dipaksa untuk mengangkat sumpah tak boleh
berpikiran nyeleweng, jika berniat memberontak atau
melarikan diri, maka bila ketahuan kami akan dibunuh
tanpa ampun......" "Kau bilang, ia mempunyai dua orang teman
seperjalanan, manusia macam apakah kedua orang itu?"
tanya Seng Tiong-gak cemas.
"Yang seorang adalah laki-laki berusia empat puluh
tahunan, sedangkan yang lain berusia dua puluh tahunan,
mereka berdua sama-sama mengenakan baju berwarna
hitam...." Seng Tiong-gak gelengkan kepalanya mencegah laki-laki
di sebelah kanan itu berbicara lebih jauh seraya berpaling
ke arah laki-laki di sebelah kiri, katanya :
"coba kau yang melanjutkan keterangan ini!"
"Setelah melakukan kami semua, keesokan harinya Liong
Thian-siang berpisah dengan kedua orang rekannya,
sedangkan ia membawa kami datang kemari, cuma Liong
Thian-siang telah berjanji dengan mereka untuk berjumpa
kembali di atas loteng Ui-hok-lo pada bulan satu tanggal
lima belas tahun depan."
"Bagaimanakah raut wajah kedua orang laki-laki berbaju
hitam itu?" "Laki-laki yang berusia empat puluh tahunan itu
berperawakan sedang, memelihara jenggot pendek,
wajahnya persegi lebar dengan alis mata yang tebal, ia
tidak memiliki ciri-ciri yang khusus dan mencolok, berbeda
sekali dengan pemuda itu, ia mempunyai tanda-tanda
khusus yang mudah dikenali."
"Apa ciri-cirinya?"
"Ia memiliki kulit badan sangat aneh, seluruh tubuhnya
berwarna kuning emas."
"Oooh.............!"
"Yang lebih aneh lagi, tubuhnya seperti memiliki sisiksisik
yang kuning yang tebal."
"Mempunyai sisik" Jangan-jangan dia bukan manusia?"
"Jelas dia adalah manusia, bahkan wajahnya terlalu
lumayan, di atas wajah maupun tangannya putih bersih dan
halus, tapi dari batas pergelangan tangan ke atas lamatlamat
mempunyai sisik tebal yang memantulkan sinar
tajam." "Omong kosong!" bentak Tang Cuan, "masa dalam dunia
terdapat manusia macam begitu?"
"Setiap perkataan Siaute adalah sejujurnya," buru-buru
laki-laki di sebelah kiri itu berseru, "tidak sulit sebenarnya
untuk membuktikan persoalan ini, asal pada bulan satu
tanggal lima belas mendatang kalian berkunjung ke loteng
Ui-hok-lo, hal ini akan segera diketahui."
Seng Tiong-gak manggut-manggut, setelah termenung
sebentar ia berkata kembali :
"Tang Cuan, kau tinggal saja di sini membantu Subo
untuk merawat Suhu, sedang Siau-hong ikut aku
menyelamatkan Pek-locianpwe, kemudian baru menyusun
rencana lebih jauh."
"Perkataan Sute memang benar," kata Pek Hong pula
sambil menahan sedih dalam hatinya, "usahakan dulu untuk
menolong ayahku, dia orang tua memiliki pengalaman yang
sangat luas, mungkin keterangannya bisa banyak memberi
petunjuk kepada kita."
Sekalipun ia sangat kuatir atas keselamatan ayahnya
yang tersekap, tapi ia pun tak kalah sedihnya oleh luka
suaminya yang parah, untuk sesaat ia menjadi serba salah
dan tak tahu haruskah menolong ayahnya lebih dulu"
Atau menolong suaminya lebih dulu.
Tapi luka yang diderita Tiong Ling-kang memang
terlampau parah, setiap saat luka tersebut mungkin akan
mengalami perubahan di luar dugaan.
Karenanya setelah berpikir sejenak, Pek Hong
memutuskan untuk tetap tinggal di sana mendampingi
suaminya. Seng Tiong-gak segera menotok jalan darah laki-laki di
sebelah kiri itu dan katanya,
"Kau tetap tinggal di sini, sesudah menolong Peklocianpwe
nanti kami akan datang lagi untuk membebaskan
dirimu.........." Lalu kepada laki-laki di sebelah kanan katanya :
"Hayo, kita berangkat, tunjukkan tempat penyekapan
tersebut!" Cu Siau-hong yang selama ini membungkam, tiba-tiba
menghembuskan napas panjang, lalu bisiknya lirih :
"Susiok, apakah perlu kita hantar dulu Suhu pulang ke
perkampungan Ing-gwat-san-ceng" Coba lihatlah, luka
Suhu parah sekali." "Aku rasa tak perlu," tukas Pek Hong cepat-cepat,
"lukanya terlampau parah, dewasa ini lebih baik jangan
bergerak-gerak dulu."
Cu Siau-hong memberi hormat.
"Subo memang benar, Toa-suheng! Baik-baiklah
merawat Suhu." Selesai berkata, bersama Seng Tiong-gak dan laki-laki
berbaju hitam itu berangkatlah mereka meninggalkan
tempat itu. Memandang peluh sebesar kacang yang bercucuran
membasahi sekujur tubuh Tiong Ling-kang, Pek Hong
merasa sedih sekali hingga air matanya jatuh bercucuran.
Tiba-tiba Tang Cuan bertekuk lutut dan menjatuhkan diri
di hadapan gurunya, kemudian dengan keras ia
menempeleng wajah sendiri.
"Tang Cuan apa yang sedang kau lakukan," tegur Pek
Hong sambil menahan cucuran air matanya."
"Kami menyesal kenapa tidak munculkan diri sejak tadi,
kini Suhu terluka separah ini kami memang pantas mati."
Pek Hong menghela napas panjang.
"Tang Cuan!" katanya lagi dengan lembut, "kau tak usah
terlalu menyesali diri sendiri, jangankan kalian, aku yang
berada di sampingnya pun sama saja tidak turun tangan."
"Tecu pun merasa sedikit tercengang, mengapa Subo
hanya berpeluk tangan saja."
"Aku tak mampu menolongnya, selama banyak tahun ini
kepandaian silat Suhumu telah memperoleh kemajuan yang
amat pesat, aku sudah bukan tandingannya lagi, jika aku
turun tangan, kemungkinan akan memecahkan
perhatiannya malah."
"Subo, benarkah ilmu silat yang dimiliki Liong Thiansiang
lihay sekali?" "Yaa, lihay sekali, setiap sambaran goloknya mungkin
akan merenggut kita semua."
"Andaikata aku pertaruhkan jiwaku dengan menerima
tusukan goloknya, dapatkah Suhu membunuhnya?"
"Tidak dapat, kau sama sekali tak akan mampu untuk
menghalanginya, karena itu kau meski turun tangan tidak
lebih hanya akan mengorbankan jiwamu dengan percuma."
"Ooo, kalau begitu meskipun kita turun tangan juga tak
akan dapat membantu Suhu."
"Yaa, sedikit pun tak bisa, maka kalian tak usah
menyesal di hati, pun tak usah sedih bila ada orang yang
mesti bersedih hati, maka orang itu seharusnya adalah
aku." "Subo......." "Hayo, cepat bangun!" tukas Pek Hong.
"Tidak....... Tecu biar berlutut saja di sini!"
"Tang Cuan, jangan berlutut terus, perhatikanlah
sekeliling tempat ini, mungkin masih ada musuh yang
tertinggal di tempat ini."
Tang Cuan segera menjadi sigap dan melompat bangun.
"Benar juga perkataan Subo!" katanya.
Dengan pedang terhunus ia melakukan pemeriksaan dulu
di sekeliling tempat itu, kemudian baru kembali ke tempat
semua dan berdiri serius di situ sambil mengawasi empat


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penjuru. Air mata Pek Hong bercucuran terus tiada hentinya, tapi
ia tak berani menangis hingga bersuara.
Luka yang di derita Tiong Ling-kang telah diteliti dengan
seksama, luka tersebut memang cukup parah.
Waktu berlalu dengan lambat dalam penantian.
Tang Cuan gelisah, Pek Hong lebih gelisah, tapi mereka
tidak berbicara lagi. Kurang lebih satu jam kemudian, Seng Tiong-gak dan Cu
Siau-hong baru kelihatan muncul di sana.
Cu Siau-hong berlari sambil membopong seorang kakek,
dia adalah Pek Bwee ayah Pek Hong.
Cepat Pek Hong membesut air matanya, lalu bertanya :
"Apa jalan darah ayahku telah dibebaskan?"
Seng Tiong-gak gelengkan kepalanya berulang kali.
"Siaute telah mencoba dengan dua macam ilmu totokan
yang berbeda, tapi jalan darah Pek-locianpwe belum
terbebas juga, karenanya Siaute tak berani gegabah lagi."
"Kalau begitu, ayah tentu sudah ditotok oleh suatu
macam ilmu totokan khusus!" kata Pek Hong sambil tertawa
sedih. "Hembusan napas Pek-locianpwe masih ada, ini
membuktikan kalau ia masih hidup, mari kita pulang dulu
ke perkampungan Ing-gwat-san-ceng, kemudian baru
mencari cara lain untuk membebaskan totokan jalan darah
di tubuh Locianpwe."
"Yaa, terpaksa kita memang harus berbuat demikian!"
Pek Hong manggut-manggut.
"Enso, bagaimana dengan keadaan luka Suheng?" Seng
Tiong-gak bertanya setengah berbisik.
Pek Hong gelengkan kepalanya berulang kali.
"Lukanya parah sekali, entah obat mujarab milik kita
dapat menyembuhkan lukanya itu atau tidak?"
"Enso, kalau memang begitu kenapa kau tidak kau
mengajaknya pulang ke perkampungan" Luka Suheng
begitu parah, hayolah kita pulang ke Ing-gwat-san-ceng
sambil usahakan pertolongan."
"Aaai.........!" Pek Hong menghela napas panjang, "terus
terang saja, lukanya terlampau parah, sudah beratus kali
pertarungan sengit yang pernah kualami selama berkelana
dalam dunia persilatan dulu, tapi belum pernah kujumpai
pertarungan seperti ini."
"Maksud Enso.........."
"Berhubung luka yang dideritanya terlampau parah, aku
tak berani menggerakkan tubuhnya secara gegabah, sebab
salah-salah mungkin akan merenggut selembar jiwanya."
"Ooh! Jadi kalau begitu..."
"Dapatkah ia mempertahankan diri, hal ini tergantung
pada kesempurnaan tenaga dalam serta kemujurannya."
"Enso, apa maksud ucapanmu itu?"
"Aku kuatir tusukan itu telah menembus ulu hatinya,
meski darah yang mengalir sekarang sudah berhenti, tapi
aku curiga kalau berhentinya aliran darah itu lantaran ia
menutup mulut lukanya dengan mengandalkan hawa murni
yang sempurna, oleh sebab itulah aku tak berani
sembarangan menggeserkan tubuhnya."
"Tapi..... Enso, kita toh tak bisa berdiam terus di sini
untuk selamanya......"
Jilid 4 "Tunggu saja sebentar lagi! Bila keadaan luka dari Lingkang
betul-betul teratasi, kita baru memikirkan rencana
selanjutnya." "Enso, menurut pendapatmu, sampai kapankah luka
Suheng baru dapat teratasi?"
"Paling tidak harus menunggu setengah jam lagi!"
Tiba-tiba terdengar Tang Cuan menjerit-jerit dengan
suara yang tinggi melengking :
"Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!"
Seng Tiong-gak dan Cu Siau-hong segera berpaling,
tampaklah cahaya api telah membumbung tinggi ke
angkasa dan menerangi seluruh permukaan tanah.....
Tempat asal kebakaran tersebut tak lain adalah
perkampungan Ing-gwat-san-ceng.
Padahal wilayah puluhan li di sekeliling tempat itu tiada
dusun atau rumah penduduk lain kecuali perkampungan
Ing-gwat-san-ceng, maka bila sampai terjadi kebakaran,
satu-satunya sumber kebakaran tersebut tak lain adalah
perkampungan tersebut. Dengan terperanjat Seng Tiong-gak melompat bangun,
lalu serunya : "Perkampungan Ing-gwat-san-ceng kita yang terbakar!"
"Dalam perkampungan masih ada It-ki, lima orang
Suheng dan belasan centeng, kenapa bisa terjadi
kebakaran?" seru Cu Siau-hong pula.
"Susiok, bagaimana kalau Tecu pulang dulu untuk
melihat keadaan?" tanya Tang Cuan dengan cepat.
"Siau-hong, kau tinggal di sini!" perintah Seng Tiong-gak
cepat, "Tang Cuan, ikut aku pulang ke perkampungan!"
"Sute! Jangan sembarangan bergerak!" mendadak Pek
Hong melompat bangun sambil berseru.
"Enso, kau....."
"Jelas ini adalah rencana busuk musuh, kalian jangan
pulang secara gegabah......"
"Tapi Enso, apakah kita harus berpeluk tangan belaka
membiarkan perkampungan kita dibakar orang?" seru Seng
Tiong-gak gelisah. Bagaimanapun juga Pek Hong adalah seorang jago
kawakan yang amat berpengalaman, sejak terjadinya
musibah, ia malah dapat menenangkan hatinya.
"Mungkin orang lain telah mempersiapkan segala
sesuatunya untuk menunggu kita masuk perangkap,"
katanya dingin, "maka jika kalian sampai pulang, kita
perguruan Bu-khek-bun pasti akan tertumpas habis."
"Maksud Enso........"
"Seperti yang kukatakan tadi, kejadian ini merupakan
suatu rencana musuh yang sangat keji.," kata Pek Hong
lebih jauh, "kemunculan Liong Thian-siang tidak lebih hanya
menyebarkan kekuatan kita saja, sementara kita kemari,
pihak musuh dengan kekuatan yang lebih besar menyerbu
ke perkampungan Ing-gwat-san-ceng melakukan
penumpasan." Pada saat itulah, Tiong Ling-kang yang sedang duduk
bersemedi membuka matanya lebar-lebar, lalu mengeluh :
"Satu kali salah bertindak, menyesal pun tak
berguna........" Tiba-tiba ia muntah darah segar, kemudian tubuhnya
roboh terjengkang ke atas tanah.
Pek Hong merasa amat terkejut, buru-buru ia
membopong tubuh Tiong Ling-kang sambil berseru :
"Ling-kang kau......"
"Aku...... aku sudah tak tahan lagi," sahut Tiong Lingkang
sambil membuka kembali matanya.
"Mari kita pulang ke perkampungan Ing-gwat-sanceng...."
Dengan paksakan diri Tiong Ling-kang tarik napas
panjang, kemudian katanya :
"Jangan memikirkan untuk mengobati lukaku dengan
obat mujarab Pek Hong, percuma, nadiku telah retak dan
kesempatan hidupku telah punah, kecuali kau bisa
mencarikan jantung baru bagiku jangan harap nyawaku bisa
tertolong, sekarang hawa murniku telah buyar, selesai
mengucapkan beberapa patah kata ini jiwaku akan
melayang pergi........"
Ketika berbicara sampai di situ, hawa darah di dadanya
kembali bergolak, ia muntah kembali darah kental.
Darah tersebut telah berubah menjadi merah kehitamhitaman,
lagi pula amat kental, jelas jantungnya sudah
pecah. Pek Hong menghembuskan napas panjang, telapak
tangannya segera ditempelkan ke atas punggung Tiong
Ling-kang, kemudian katanya dengan sedih :
"Ling-kang, apa yang hendak kau katakan" Sekarang
katakanlah kepada kami semua."
Sekulum senyuman segera menghiasi wajah Tiong Lingkang,
katanya : "Aku bisa mempunyai seorang istri yang bijaksana
seperti kau, hal ini sungguh merupakan suatu kejadian yang
patut kubanggakan......."
Pek Hong tak dapat mengendalikan rasa sedihnya lagi,
air matanya jatuh bercucuran dengan amat derasnya.
"Oh, Ling-kang, dalam kenyataan, akulah yang
menyebabkan kau menjadi begini," rintihnya, "coba kalau
tiada aku, mungkin kau pun tak akan mengalami kejadian
seperti hari ini..........."
Tiong Ling-kang tertawa getir.
"Tanpa bantuan dan dorongan dirimu, aku mana bisa
memperoleh kesuksesan seperti hari ini" Ilmu silat dari
Liong Thian-siang memang aneh sekali, tapi aku toh dapat
membunuhnya lebih dulu, terhadap dari pertarungan hari
ini aku pun merasa amat gembira. Golok dibalik ujung baju
merupakan semacam ilmu yang lihay, sebelum kejadian ini
tak pernah kujumpainya. Pek Hong, jangan bersedih hati
bagi kematianku, aku sudah mendapat banyak sekali dalam
kehidupanku ini........."
Agaknya ia masih mempunyai banyak perkataan yang
hendak diucapkan, setelah menghembuskan napas panjang,
dengan meminjam kekuatan yang disalurkan Pek Hong ke
tubuhnya, ia berkata lebih jauh :
"Selama ini aku selalu berusaha menjaga nama baik Bukhekbun, bahkan aku ingin meningkat lebih jauh dengan
membawa Bu-khek-bun ke puncak ketenarannya, tapi aku
telah melupakan banyak persoalan-persoalan kecil, justru
persoalan-persoalan kecil inilah yang membuat aku jadi
gagal total dan mengalami keadaan seperti hari ini."
"Ling-kang, coba katakan, apa yang harus kita lakukan
selanjutnya?" kata Pek Hong.
Tiong Ling-kang melirik sekejap ke arah Pek Bwe,
kemudian sahutnya : "Banyaklah minta petunjuk kepada dia orang tua.........."
Sesudah muntah darah lagi, ia berkata lebih jauh :
"Panggillah mereka datang kemari"
Pek Hong segera menggape, Seng Tiong-gak, Tang Cuan,
dan Cu Siau-hong segera mengiakan dan maju mendekat.
Mereka bertiga menjatuhkan diri berlutut di depan tubuh
gurunya. Waktu itu sinar mata Tiong Ling-kang telah pudar,
walaupun ketiga orang itu berada di hadapannya ia sudah
tak mampu untuk melihat dengan jelas lagi.
Setelah berkedip beberapa kali, akhirnya Tiong Ling-kang
dapat juga melihat Seng Tiong-gak dengan jelas, pelanpelan
ia berkata " "Tiong-gak, beban berat dari perguruan Bu-khek-bun kita
mulai sekarang kuserahkan kepadamu, kau......."
"Toa-suheng hal ini mana boleh jadi," buru-buru Seng
Tiong-gak menukas, "serahkan saja jabatan ketua itu
kepada Tang Cuan sedang Siaute akan berusaha dengan
sepenuh tenaga untuk membantunya membangun kembali
kejayaan Bu-khek-bun kita."
Tiong Ling-kang manggut-manggut, katanya kemudian :
"Tang Cuan berada di mana?"
Tang Cuan bergerak maju dua langkah dan mendekati
Tiong Ling-kang, lalu sahutnya.
"Tecu berada di sini!"
"Dengarlah baik-baik, mulai sekarang kau sudah menjadi
ciangbujin dari perguruan Bu-khek-bun......"
"Tecu belum tamat belajar, mana berani menerima
jabatan sebagai ciangbunjin" Sepantasnya kalau Susiok
yang menerima warisan ini."
"Tang Cuan! dengan cepat Seng Tiong-gak berseru,
"keadaan Suhumu sudah amat kritis, mungkin masih
banyak pesan penting yang hendak disampaikan,
perhatikan baik-baik, jangan mengacau!"
Tang Cuan agak tertegun, akhirnya ia tak berani berkata
lagi. Sementara itu suara dari Tiong Ling-kang sudah semakin
lemah, pelan-pelan ia berkata lagi :
"Tang Cuan, kau tak usah menampik lagi. Hanya saja, di
dalam menghadapi setiap masalah, kau harus berunding
dengan Susiokmu lebih dulu."
"Tecu terima perintah!" sahut Tang Cuan pada akhirnya
dengan air mata bercucuran.
Tiong Ling-kang menghembuskan napas panjang, sesaat
kemudian ia baru berbisik lagi.
"Di mana Siau-hong?"
"Tecu berada di sini!" Cu Siau-hong menjawab.
"Siau-hong, aku tahu kau adalah seorang bocah yang
pandai menyembunyikan diri, kau juga merupakan orang
yang paling tangguh dalam perguruan Bu-khek-bun kita,
aku menaruh harapan yang besar terhadap dirimu, semoga
saja kau jangan mengecewakan diriku."
"Pesan Suhu tak akan Tecu lupakan untuk selamanya!"
"Aku tahu kau cerdik dan berbakat alam, aku tak berani
menahanmu terus dalam perguruan Bu-khek-bun, kuijinkan
kau untuk berguru dengan orang lain kemudian hari, tapi
kau harus bersedia untuk membangun Bu-khek-bun, serta
membantu Toa-suheng mu memimpin perguruan kita."
Cu Siau-hong menyembah di atas tanah dan sahutnya.
"Tecu tak berani, Tecu tak berani, Tecu adalah murid Bukhekbun, tentu saja semua masalah dalam Bu-khek-bun
adalah masalah Tecu pula, tentu Tecu akan berjuang
dengan sepenuh tenaga."
"Siau-hong, Suhu dapat melihat bahwa di kemudian hari
kau pasti akan sukses besar. Bu-khek-bun mungkin akan
menjadi penghalang bagi gerak-gerikmu di kemudian hari,
maka....... Tang Cuan! ingat baik-baik perkataanku......"
"Tecu siap mendengarkan dengan seksama!"
"Aku dengan kedudukan sebagai ciangbunjin angkatan
kesebelas dari Bu-khek-bun menurunkan perintah yang
terakhir, mulai sekarang Cu Siau-hong sudah bukan murid
Bu-khek-bun lagi, ia tidak terkekang oleh semua peraturan
dan pantangan yang berlaku dalam perguruan Bu-khekbun."


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tecu terima perintah!"
"Suhu!" dengan cemas Cu Siau-hong segera berseru,
"apakah kau hendak mengusir Tecu dari perguruan......."
"Tidak, aku hanya menginginkan kau memiliki lebih
banyak kebebasan untuk berbuat dan bertindak, Siau-hong
mulai sekarang kau boleh bertindak sekehendak hatimu
sendiri dan tidak terikat lagi oleh peraturan perguruan......."
Ketika berbicara sampai di situ, rupanya ia sudah
mempergunakan sisa tenaga yang dimilikinya, tiba-tiba
tubuhnya berkelojot, sepasang matanya membalik ke atas
dan jago lihay ini menghembuskan napasnya yang terakhir.
"Suhu.......!" dengan cemas Tang Cuan berseru, cepat ia
mencengkeram baju Tiong Ling-kang.
Setelah mengalami pelbagai peristiwa, Pek Hong malah
berubah menjadi lebih tenang dan tabah, sambil
membaringkan tubuh Tiong Ling-kang ke atas tanah ia
bangkit berdiri, kemudian berkata :
"Tang Cuan, lepaskan cengkeramanmu pada baju
gurumu!" Tang Cuan tertegun, lalu melepaskan cengkeraman atas
ujung pakaian Tiong Ling-kang.
Pelan-pelan Pek Hong mengalihkan sinar matanya
memandang wajah Tang Cuan, Cu Siau-hong, dan Seng
Tiong-gak, kemudian katanya :
"Kalian berdiri semua!"
Seng Tiong-gak sekalian menurut dan segera bangkit
berdiri. Dengan wajah serius, Pek Hong berkata lagi :
"Tang Cuan, Siau-hong, Suhu kalian mati tanpa
membawa sesal, usianya sudah melewati setengah abad,
tidak terhitung berumur pendek, selama puluhan tahun
berkelana dalam dunia persilatan, ia berhasil membawa Bukhekbun dari suatu perguruan kecil menjadi suatu
perguruan besar, ia mati di ujung golok dibalik baju milik
Pak-hay-khi-keng-khek-bun, kematian itu tidak termasuk
memalukan, apa lagi ia berhasil membunuh musuhnya lebih
dulu, peristiwa ini boleh dibilang merupakan suatu kejadian
yang patut dibanggakan."
Begitulah, suatu peristiwa kematian yang sesungguhnya
amat memedihkan hati telah di rubahnya menjadi suatu
kejadian yang penuh kebanggaan, hal mana seketika itu
juga membangkitkan semangat semua orang.
Pek Hong menghembuskan napas panjang lalu katanya
lagi : "Suhu kalian suamiku, telah mati dengan hati yang
tenang dan mata yang meram hasil karyanya tak akan
tersia-sia, perjuangan ada penerus yang akan melanjutkan
usahanya dan kini tanggung jawab dari perguruan pun telah
diserahkan kepada murid pertamanya yang telah dididik
sejak kecil." "Setelah Tecu menjabat ketua perguruan, Tecu
bersumpah akan menjunjung nama baik perguruan, tak
akan kusia-siakan harapan suhu," dengan cepat Tang Cuan
berseru. "Bagus sekali...."
Sinar matanya dialihkan ke wajah Cu Siau-hong,
kemudian lanjutnya lagi :
"Siau-hong, jangan salah sangka terhadap maksud baik
gurumu....." "Tecu tidak berani."
"Ilmu Siu-tiong-to (golok dibalik baju) dari Khi-kengkhek
telah berpindah dari Pak-hay ke dalam daratan
Tionggoan, itu menandakan kalau dunia persilatan yang
selama ini tegang selama beberapa tahun bakal mengalami
pergolakan lagi, peristiwa ini yang terjadi sekarang tak lebih
hanya suatu perkumpulan sebelum berlangsungnya suatu
badai besar. Perguruan Bu-khek-bun dari kecil tumbuh
menjadi besar, peraturan perguruannya ketat dan
disiplinnya tinggi, namun peraturan-peraturan yang ketat
tersebut meski dapat merubah anggota kita menjadi
pendekar-pendekar yang jujur tapi justru mengurangi
kepekaannya terhadap segala perubahan, Suhumu tahu
bahwa kau berbakat bagus dan pintar, maka ia tak ingin
membuat kau pun terbelenggu oleh peraturan yang
bermacam-macam, Suhumu berharap agar kau bisa lebih
bebas untuk bertindak guna membalaskan dendam bagi
kematian gurumu dan melindungi keutuhan perguruan,
dengan kemampuan sekarang, hal ini pasti dapat kau
atasi...." Demikianlah, setelah berlangsung pembicaraan yang
panjang lebar, dipimpin Tang Cuan. Seng Tiong-gak, Cu
Siau-hong, dan Pek Hong bersama-sama berlutut di depan
jenazah Tiong Ling-kang dan menyembah tiga kali kepada
layonnya. Dalam pada itu, kobaran api yang membakar
perkampungan Ing-gwat-san-ceng makin lama berkobar
semakin besar, agaknya seluruh perkampungan tersebut
sudah tertelan dibalik lautan api.
Pek Hong yang tabah tidak menampilkan rasa panik atau
gugup, terhadap kobaran api yang membumbung ke
angkasa, ia bersikap seakan-akan tak pernah melihatnya.
Waktu itu secara tiba-tiba Tang Cuan berlutut di hadapan
Seng Tiong-gak, melihat itu sambil membangunkan kembali
keponakan muridnya, Seng Tiong-gak berseru :
"Tang Cuan, apa yang sedang kau lakukan?"
"Pesan Suhu tak berani Tecu tampik, dikemudikan hari
Tecu masih banyak mengharapkan bantuan dan petunjuk
dari Susiok sebagai Tiang-lo perguruan kita."
"Tang Cuan, Suhumu mewariskan kedudukan ciangbunjin
itu kepadamu, hal mana sesungguhnya merupakan
peraturan yang berlaku umum dalam dunia persilatan, dan
merupakan juga maksud hatiku, tentu saja aku akan
berusaha dengan sepenuh tenaga untuk membantumu, soal
menjunjung nama baik perguruan, aku masih berkewajiban
untuk memperjuangkan...."
Setelah menghela napas, ia melanjutkan :
"Suheng telah mewakili Suhu untuk mewariskan ilmu
silat kepadaku, tak terukur budi baiknya kepada diriku,
meski dia hanya Suhengku tapi hubungan kami boleh
dibilang sangat akrab sekali, sudah pasti aku akan ikut
memikul tanggung jawab perguruan dengan meneruskan
perjuangannya yang belum selesai......."
"Terima kasih banyak atas kesediaan Susiok untuk
memenuhi harapan kami semua," cepat-cepat Tang Cuan
memberi hormat. Sinar matanya segera dialihkan ke wajah Cu Siau-hong,
lalu katanya lagi : "Sute....." "Ciangbun-suheng ada pesan apa?"
"Sudah kau dengar pesan terakhir dari Suhu?"
"Telah Siaute ingat di dalam hati!"
"Penjelasan dari Sunio juga sudah kau pahami?"
"Siaute telah memahaminya!"
"Pesan Suhu mengandung arti lain yang amat mendalam,
semoga saja Sute dapat meresapi kata-katanya."
"Siaute mengerti!"
"Sejak sekarang, kau sudah tidak terikat lagi oleh
peraturan perguruan Bu-khek-bun, ibaratnya ikan berenang
bebas di samudra, burung terbang bebas di angkasa, asal
kau merasa tindakanmu itu benar, lakukan saja tanpa kuatir
kutegur!" "Siaute masih hendak mengikuti ciangbunjin, Sengsusiok,
dan Suhu untuk berjuang demi perguruan Bu-khekbun
kita." "Aaai.....! itu terserah pada maksud hatimu sendiri...."
Tiba-tiba Pek Hong mengambil pedang Cing-peng-kiam
milik Tiong Ling-kang itu, kemudian diangsurkan ke tangan
Tang Cuan katanya : "Cing-peng-kiam merupakan senjata mustika yang
turun-temurun dipegang oleh ciangbunjin perguruan BuKANG
ZUSI http://kangzusi.com/
khek-bun, mulai sekarang pedang ini kuserahkan
kepadamu." Dengan sangat hormat Tang Cuan menerima pedang itu,
lalu sahutnya : "Tang Cuan turut perintah!"
Ketika Seng Tiong-gak menyaksikan upacara pewarisan
jabatan ketua telah dilangsungkan dalam suasana penuh
kepedihan, segera ia mengalihkan pokok pembicaraan ke
soal lain, katanya : "Ciangbunjin, perlukah kita kembali ke perkampungan
Ing-gwat-san-ceng untuk melihat keadaan?"
"Seharusnya kita ke sana untuk melihat keadaan," jawab
Tang Cuan, "siapa tahu kalau-kalau beberapa orang rekan
kita masih terlibat dalam suatu pertarungan berdarah yang
amat sengit?" Tiba-tiba Cu Siau-hong berjongkok sambil berkata :
"Kita harus membebaskan dulu jalan darah Pek-cianpwe
yang tertotok!" tiba-tiba ia melepaskan tiga buah totokan
kilat. Rupanya secara tiba-tiba ia teringat dengan semacam
ilmu membebaskan jalan darah yang tercantum dalam kitab
pusaka Kiam-boh, maka tanpa disadari ia telah
mempergunakannya. Tampak sekujur tubuh Pek Bwe gemetar keras,
kemudian bangun berduduk, katanya dengan geram.
"Cucu monyet yang tak tahu diri, berani menyergap
diriku....." Tiba-tiba ia menyaksikan mayat Tiong Ling-kang
tergeletak di situ, dengan wajah tertegun segera serunya :
"Hei, apa yang telah terjadi?"
"Ayah, kau telah sadar?" kata Pek Hong tak tahan air
matanya bercucuran seperti anak sungai.
Seng Tiong-gak agak terkejut juga melihat kemampuan
Cu Siau-hong dalam membebaskan jalan darah Pek Bwe
yang tertotok, setelah tertegun sejenak katanya :
Kiranya Seng Tiong-gak telah mempergunakan belasan
macam cara untuk membebaskan jalan darah Pek Bwe tapi
ia tak pernah berhasil. Sebaliknya Cu Siau-hong hanya
melancarkan tiga totokan saja, dan alhasil secara mudah ia
berhasil membebaskan jalan darah tersebut.
Sudah jelas, kepandaian yang barusan ia gunakan bukan
kepandaian aliran Bu-khek-bun.
Seng Tiong-gak tidak bertanya lebih jauh, ia teringat
dengan pesan terakhir Suhengnya, jangan-jangan antara
guru dan murid itu sudah mengadakan kontak secara
rahasia. To-heng-siu (kakek yang berkelana seorang) Pek Bwe
adalah seorang jago kawakan berpengalaman luas, setelah
berpikir sejenak ia berhasil menebak sebagian besar duduk
persoalan yang telah terjadi, setelah menghela napas
katanya, "Apakah Ling-kang telah beradu jiwa dengan Liong
Thian-siang?" "Suhu berhasil membinasakan Liong Thian-siang lebih
dulu, sedang beliau tewas karena pendarahan yang kelewat
banyak," Tang Cuan segera menerangkan.
Pek Bwe manggut-manggut. "Kalau begitu kebakaran yang terjadi dalam
perkampungan Ing-gwat-san-ceng pun merupakan hasil
karya dari Liong Thian-siang?"
"Ayah aku lihat tidak mirip, agaknya ada dua peristiwa
yang kebetulan saja berlangsung dalam saat yang
bersamaan," ujar Pek Hong sambil menyeka air mata.
"Nak, tak akan sedemikian kebetulan peristiwa itu
berlangsung pada saat yang sama, sudah pasti hal ini
merupakan suatu intrik musuh yang keji, cuma
kemungkinan sekali di dalam rencana busuk itu Liong
Thian-siang tidak ikut serta...."
Kemudian setelah berpaling sejenak, ia bertanya :
"Di mana It-ki?"
"Masih ada dalam perkampungan, dia tidak ikut datang!"
sahut Pek Hong cepat. "Kita tak boleh membiarkan It-ki terbunuh pula di tangan
musuh, biar kutengok keadaannya."
"Locianpwe, kesehatanmu belum pulih kembali, biar
Boanpwe saja yang melakukan pemeriksaan!" kata Tang
Cuan sambil berpaling dia lantas berseru, "Siau-hong! Ikut
aku......" Ketika selesai berbicara tubuhnya sudah berada dua kaki
lebih dari posisi semula.
Cu Siau-hong segera menyusul pula di belakangnya.
"Enso!" Seng Tiong-gak segera berbisik, "baik-baik
menjaga Pek-locianpwe, suruh ia duduk atur pernapasan,
Siaute ikut ke perkampungan untuk melihat keadaan!"
Dengan terbebasnya Pek Bwe dari pengaruh totokan,
kekuatan mereka bertambah kuat, hal mana membuat Seng
Tiong-gak merasa amat lega sekali.......
Dengan suatu gerakan cepat Tang Cuan berlarian
menembusi hutan kembali ke perkampungan Ing-gwat-sanceng.
Di tengah kobaran api yang membumbung tinggi ke
angkasa, lamat-lamat terendus pula bau anyir darah yang
memuakkan. Ia mencoba untuk memperhatikan suasana di sekeliling
situ, namun tidak terdengar suara benturan senjata tajam.
Itu berarti pertarungan telah berakhir.
Tanpa memperdulikan keadaan sendiri, dengan cepatnya
Tang Cuan menerjang masuk ke balik kobaran api.
Cu Siau-hong dan Seng Tiong-gak ikut pula menerjang
masuk ke dalam perkampungan yang terbakar itu.
Dengan menempuh kobaran api yang panas, mereka
mondar-mandir di sekitar kebakaran itu sambil setiap kali
membopong keluar setiap jenazah yang dijumpainya!
Tak lama kemudian, Pek Bwe dan Pek Hong dengan
membawa jenazah Tiong Ling-kang telah menyusul pula ke
tempat kejadian. Betul Seng Tiong-gak sekalian memiliki ilmu siat yang
lihay, tapi mereka tak mampu untuk mencegah
berkobarnya api yang membakar perkampungan mereka.
Untung saja Pek Bwe yang berpengalaman menitahkan


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka untuk merobohkan dinding dan menghadang
jalannya kobaran api, sehingga api yang berkobar amat
besar diperkecil. Ketika api telah padam semua, waktu pun menunjukkan
tengah hari bolong..............."
Perkampungan Ing-gwat-san-ceng boleh dibilang
sembilan puluh persen telah musnah dimakan api, hanya
tinggal sebuah ruangan di sudut barat laut yang belum
sempat tertimpa bencana. Hasil pemeriksaan mayat menunjukkan ada tiga puluh
sembilan mayat yang ditemukan, bahkan pelayan, dayang,
centeng, tukang kayu pun tak ada yang dilepaskan.
Dari ketiga puluh sembilan sosok mayat tersebut tiada
seorang pun yang mati karena terbakar, kebanyakan
mereka dibunuh lebih dulu kemudian mayatnya dibuang ke
dalam liang api. Justru karena itulah, raut wajah beberapa orang itu
secara lamat-lamat masih bisa dikenali.
Dua belas orang murid Bu-khek-bun, kecuali Tang Cuan
dan Cu Siau-hong, masih ada sepuluh orang lagi, tapi hanya
enam sosok mayat yang ditemukan, itu pun dengan tubuh
yang penuh luka besar, jelas sebelum tewas mereka telah
melangsungkan suatu pertempuran yang amat seru....
Ketika diperiksa lagi oleh Tang Cuan dengan lebih
seksama, ditemukan bahwa saudara seperguruannya yang
ditemukan tewas adalah saudara-saudaranya yang ketiga,
empat, enam, delapan, sepuluh dan sebelas, sedangkan
yang tidak dijumpai adalah mayat dari sute kedua, kelima,
kesembilan, dan siau-sute Tiong It-ki.
Rambut Pek Hong sudah awut-awutan kacau terhembus
angin, wajahnya penuh dengan noda arang.
Padahal bukan cuma dia saja, setiap orang telah berubah
jadi hitam karena hangus.
Hanya dalam satu malam, suaminya tewas dalam medan
pertempuran, perkampungannya terbakar hancur, putranya
lenyap dan tak diketahui mati hidupnya, pukulan batin ini
cukup berat. Sekalipun Pek Hong tabah, toh tak tahan juga
menghadapi kesemuanya itu.
Sambil berdiri termangu-mangu di depan pintu ruangan,
ia awasi deretan mayat itu dengan sinar mata sayu,
kesedihan yang mencekam perasaannya benar-benar sudah
melampaui batas. Pelan-pelan Tang Cuan berjalan menghampirinya, lalu
berbisik dengan lirih : "Subo, jenazah siau-sute tidak ditemukan...."
"Aku tahu!" jawab Pek Hong pendek, sekalipun wajahnya
agak muram, namun pikirannya masih segar.
Di pihak lain, Seng Tiong-gak sedang terlibat pula dalam
suatu pembicaraan serius dengan Cu Siau-hong.
Sejak Cu Siau-hong berhasil membebaskan jalan darah
Pek Bwe dengan satu totokan saja, Seng Tiong-gak telah
mempunyai pandangan yang lain atas diri anak muda
tersebut. Sesudah mendehem pelan ia pun berkata :
"Coba lihatlah, menurut pendapatmu siapa yang
melakukan perbuatan durjana ini?"
"Dari sekitar tempat kebakaran kita tidak menemukan
tanda apapun," sahut Cu Siau-hong, "jelas hal ini
menunjukkan kalau pihak musuh telah memiliki suatu
rencana yang matang, lagi pula datang menyerang dengan
suatu kekuatan yang dahsyat. Sebab itulah kelima orang
sute dan kelima orang suheng, tak seorang pun berhasil
meloloskan diri....... Tiba-tiba ia membungkam dan tidak berbicara lagi.
Seng Tiong-gak manggut-manggut.
"Siau-hong!" katanya, "selama ini It-ki belajar silat
bersamamu, kau lebih memahami dirinya dari pada aku,
bagaimanakah kepandaian silat yang dimilikinya sekarang?"
"Usia It-ki sute masih terlalu muda, tenaga dalamnya tak
bisa menandingi kesempurnaan Toa-suheng, tapi
kesempurnaannya dalam ilmu pedang pasti tak akan berada
di bawahku maupun Toa-suheng."
"Nah, di sinilah letak kecurigaan tersebut. Jika
kesempurnaan ilmu pedang yang dimiliki It-ki benar-benar
telah mencapai taraf seperti yang kalian miliki, sekalipun ia
tak mampu menangkan musuhnya, paling tidak masih
mampu baginya untuk melarikan diri."
"Kecuali sebelum bertarung Tiong-sute sudah kena
disergap lebih dulu, sehingga dibalik kesempurnaan rencana
mereka, tersisa juga sebuah titik keterangan buat kita."
"Betul It-ki masih muda," kata Seng Tiong-gak, "tapi
bukannya berarti ia tak berotak sama sekali."
"Itulah sebabnya, jika bukan orang dikenal yang
menyergapnya, tak nanti Tiong-sute bisa kena
dipecundangi." "Tapi siapa yang telah menyergap It-ki?"
"Masalah ini besar sekali akibatnya, maka dari itu
sebelum memperoleh bukti yang nyata, Siau-hong tak
berani sembarangan bicara."
Tiba-tiba terdengar Pek Bwe sedang berkata dengan
suara lantang : "Anak Hong, Ling-kang telah mati, ia pun telah
menyerahkan Bu-khek-bun untuk murid tertuanya Tang
Cuan, Tiong-gak dan Siau-hong setiap saat akan
membantunya juga, dengan demikian tanggung jawab Bukhekbun telah ada yang memikul. Tapi para pelayan dan
para dayang dari Ing-gwat-san-ceng tak ada yang pandai
silat, lagi pula mereka datang karena diundang kau serta
Ling-kang, kematian mereka yang penasaran tersebut tak
boleh tidak harus kita tuntut balas!"
"Dalam semalam saja suami mati anak hilang, apa yang
musti kulakukan sekarang?" keluh Pek Hong sambil bangkit
berdiri. "Hong-ji, Ling-kang bisa berakhir seperti hari ini, sedikit
banyak kau pun ikut bertanggung jawab. Sebuah perguruan
besar yang termasyhur namanya dalam dunia persilatan,
ternyata sama sekali tidak waspada dan bersiap sedia, apa
yang dipikirkan hanya bagaimana caranya
mencermelangkan nama perguruan, meski keteledoran ini
terhitung kecil, tapi justru keteledoran yang kecil inilah
mengakibatkan peristiwa yang besar. Aaai...... meski
jalannya peristiwa jauh di luar dugaan, tapi bila dipikir
kembali sesungguhnya bibit bencana ini sudah sejak lama
tertanam di sini." "Nasihat Ayah memang benar!"
Tiba-tiba wajah Pek Bwe berubah menjadi amat keren,
katanya lagi : "Aku pernah mendengar dari Liong Thian-siang katanya
paling tidak pada enam hari berselang kau telah bertemu
dengannya, kenapa kau tidak memberitahukan persoalan ini
kepada Ling-kang atau berunding dulu dengan Tiong-gak?"
"Waktu itu putrimu berpendapat, bila pertikaian ini bisa
diselesaikan secara damai, bukan hal ini lebih baik lagi...."
"Cinta dan dendam yang terwujud hampir dua puluh
tahun lamanya, apa kau anggap bisa dibereskan dengan
sepatah dua patah kata saja" Jika kau memberitahukan soal
ini kepada Ling-kang, sehingga Bu-khek-bun telah
mengadakan persiapan semenjak beberapa hari berselang,
tak nanti kalian akan mengalami peristiwa tragis seperti hari
ini." "Putrimu tahu salah!"
"Aaai....!" sayangnya, ia telah membekuk diriku lebih
dulu," keluh Pek Bwe kemudian sambil menghela napas.
"Dengan cara apa Liong Thian-siang berhasil
menaklukkan Locianpwe?" tanya Seng Tiong-gak dengan
suara dalam. "Yaa, bila dibicarakan kembali sebetulnya cukup
memalukan, waktu itu ia datang seorang diri menjenguk
diriku, aku menahannya untuk makan bersama, kebetulan
ia membawa seguci arak wangi, maka kami pun membuka
arak itu dan meminumnya sambil bercakap-cakap, tanpa
terasa seguci arak itu sudah habis kita minum. Pada
mulanya kau masih menaruh was-was kepadanya, tapi
ketika selesai minum arak seguci, kewaspadaanku sama
sekali mengendur, sungguh tak disangka ketika kuhantar ia
pulang, tiba-tiba saja ia melancarkan sebuah totokan untuk
merobohkan aku." "Locianpwe, mereka telah merampas sebuah rumah
petani dan membunuh ketiga orang penghuninya secara
keji." "Yaa, meskipun Lohu berhasil lolos dari keselamatan, tapi
harus pula mengorbankan selembar nyawa Ling-kang,
aai.....! Sebetulnya aku ingin berdiam di perkampungan
Ing-gwat-san-ceng, tapi aku sudah tertarik oleh bukit kecil
itu dengan pemandangan alamnya. Coba kalau sejak dulu
aku tinggal di dalam perkampungan Ing-gwat-san-ceng, tak
nanti akan sampai terjadi peristiwa semacam ini!"
Cu Siau-hong ikut menghela napas panjang, tiba-tiba
timbrungnya : "Locianpwe, Boanpwe punya pendapat yang bodoh,
entah bolehkah kuutarakan pendapatku itu?"
"Siau-hong, katakan saja berterus terang," seru Seng
Tiong-gak, "Pek-locianpwe memiliki pengetahuan yang luas
dengan jiwa yang besar, seorang yang hanya membaca
sepuluh laksa kitab tak akan menangkan seorang yang
telah melakukan perjalanan sejauh selaksa li. Asal dia orang
tua bersedia hidup bersama kami, besar tentunya bantuan
yang akan kita peroleh......."
"Aku telah kehilangan satu-satunya menantuku dan
kehilangan pula satu-satunya cucu luarku," kata Pek Bwe
dengan sedih. "Demi satu-satunya putriku, aku tak bisa melepaskan
persoalan ini dengan begitu saja, apalagi mereka telah
menyekapku selama beberapa hari......."
Sorot matanya dialihkan ke wajah Cu Siau-hong,
kemudian katanya : "Bocah muda, katakanlah pendapatmu itu!"
"Setelah Boanpwe pikirkan sekian lama, dapat kurasakan
bahwa peristiwa ini sebenarnya adalah dua persoalan yang
masing-masing berdiri sendiri yang secara kebetulan saja
berlangsung pada saat yang bersamaan......"
"Ehm, suatu pendapat yang hebat!" Pek Bwe manggutmanggut,
"lanjutkan perkataanmu itu, Siau-hong!"
"Kelompok yang membakar dan membantai anggota
perguruan kitalah baru merupakan kelompok yang
sesungguhnya mengincar perkampungan Ing-gwat-sanceng,
mungkin rencana ini sudah mereka siapkan cukup
lama, hanya secara kebetulan saja mereka mendapatkan
kesempatan baik ketika Liong Thian-siang datang mencari
gara-gara." Pek Hong, Tang Cuan maupun Seng Tiong-gak ikut
mendengarkan dengan seksama, tanpa terasa mereka
manggut-manggut. "Bagaimana selanjutnya Siau-hong?" tanya Seng Tionggak
kemudian. "Dalam peristiwa ini, siapa pun jangan terlalu
menyalahkan diri, sebab andaikata kita tidak menjumpai
peristiwa Liong Thian-siang, kemungkinan besar mereka
akan melakukan tindakan yang jauh lebih keji lagi terhadap
kita semua, rencana ini pasti sudah disusun mereka cukup
lama, mereka pun sudah menanti sangat lama.
Kesemuanya ini menunjukkan bahwa mereka adalah
sekawanan manusia yang berhati busuk dan berakal
panjang, meski Liong Thian-siang telah membantu mereka
tapi ia pun telah merusak rencana mereka!"
"Lohu pernah berpikir sampai ke situ, tapi tidak sedalam
apa yang kauterangkan sekarang. Luar biasa kau, anak
muda! Orang kuno pernah bilang, seorang siucay tanpa
keluar pintu pun dapat mengetahui semua persoalan di
dunia, tidak sia-sia rasanya kau banyak membaca buku."
"Bila Boanpwe tidak masuk ke dalam perguruan Bukhekbun, tak nanti akan kucapai hal seperti ini," kata Cu
Siau-hong. "Apa maksud perkataanmu itu?"
"Bila aku tetap belajar di rumah, ayahku pasti akan
mengawasi diriku secara ketat, apa yang dibaca pun pasti
sekitab kitab-kitab Lun-hi, Cho-co-an, Ngo-keng-su-siu, dan
sejenisnya. Tapi setibanya di Bu-khek-bun, Suhu tidak
terlalu membatasi bahan bacaan yang kubaca, justru
karena itulah aku baru mendapat kesempatan untuk
menambah pengetahuanku dalam membaca, tidak sedikit
pula bahan bacaan aneka ragam yang berhasil kubaca."
"Setiap kali Suhumu keluar rumah, ia pasti pulang
dengan membawa sejumlah besar buku bacaan, apakah
semua buku itu diberikan kepadamu untuk dibaca?" tanya
Pek Hong. "Suhu amat memperhatikan diriku, tapi yang paling
membantu Tecu justru adalah dua peti buku yang
ditinggalkan Pek-cianpwe untukku itu......"
"Bocah muda, kau telah membaca semua kitab dalam
kedua petiku itu......?" teriak Pek Bwe dengan mata
melotot. "Suhu yang memberikan kedua peti buku itu untukku
baca, kalau tidak begini, mana Boanpwe berani
membongkar barang milik Locianpwe?"
"Maksudku, apa kau memahami isi dari semua kitab
bacaan yang kumiliki itu?"
"Walaupun jumlah kitab yang Locianpwe miliki tidak
terhitung banyak, tapi memang terhitung kitab-kitab yang
sukar dipahami, walaupun di antaranya ada dua jilid yang
isinya betul-betul mendalam sekali hingga Tecu merasa
kesulitan untuk memahami isinya, tapi untunglah sebagian
besar dapat kupahami, di antaranya ada sejilid yang tidak
berisikan tulisan kita."
"Benar! Kitab itu berisi tulisan Thian-tok (India), aku
mendapatkannya dari seseorang pendeta tua yang hampir
wafat, apakah isinya adalah sejilid kitab sembayangan?"
Cu Siau-hong segera tertawa.
"Boanpwe sendiri pun tidak mengerti huruf Thian-tok,
tapi menurut perasaan Boanpwe, isi kitab itu bukan sejilid


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kitab sembayangan......"
"Kalau bukan kitab sembayangan, lantas apa isinya?"
seru Pek Bwe setelah tertegun sejenak.
"Agaknya seperti sebuah cerita."
"Dapatkah kau menceritakan kisah dalam kitab tersebut
kepadaku?" Agak memerah wajah Cu Siau-hong karena jengah,
dengan perasaan apa boleh buat katanya kemudian :
"Aku sama sekali tidak paham dengan isi tulisan itu,
kemudian ketika ilmu kitab telah selesai kubaca dan tiada
kitab lagi yang bisa kubaca, maka kitab berisi huruf Thiantok
itu kubaca lagi sampai beberapa puluh kali, setelah
kuduga berluang kali, akhirnya bisa juga kupahami isi cerita
tersebut, tentu saja ketiga gambar yang ada di dalam kitab
itu sangat menolong diriku, cuma Locianpwe, Boanpwe
betul-betul tak tahu apakah rabaanku ini benar atau tidak"
Aaai.... jika permulaan sudah keliru maka selanjutnya pasti
akan keliru, karena itulah Boanpwe tak berani sembarangan
bicara." "Tidak menjadi soal katakanlah! Mungkin Lohu bisa
sedikit membatumu!" Tiba-tiba Seng Tiong-gak menyela :
"Siau-hong, aku masih ingat pada dua tahun berselang
Suheng pernah memberitahukan sepatah kata kepadaku,
waktu itu aku masih kurang percaya, tapi tampaknya apa
yang dikatakan Suheng memang tidak salah."
"Apa yang dikatakan Ling-kang?" tanya Pek Hong.
Sepasang suami istri itu mempunyai hubungan batin
yang amat erat, apalagi Tiong Ling-kang mati belum lama,
Pek Hong lebih-lebih merasakan bahwa setiap ucapan yang
Pendekar Patung Emas 8 Pendekar Rajawali Sakti 203 Kitab Pelebur Jiwa Buronan Dari Mataram 2

Cari Blog Ini