The True Of My Life Karya Nyimas Humairoh Bagian 3
terlihat. 2 ekor kuda. Anak yang tadi siang. Anggun dan Rain.
Mereka langsung tersenyum melihat Amel. Tapi.... bisa ia
rasakan. Ada aura membunuh. Aura yang berbeda, tepat di
belakang kuda Anggun dan Rain.
"Sial! MENYINGKIR!" seru Amel dengan lantang.
Anggun dan Rain sentak bingung, dan Amel langsung
menghenatikan laju kudanya. Belum sempat Anggun atau
Rain melewati Amel, cahaya itu muncul. Tepat hampir
172 mengenai Amel. Melesat, hanya beberapa senti dari wajah
Amel, seandainya saja ia tidak menghindar, cahaya itu pasti
sudah meledakkan wajahnya yang cantik.
"Apa itu!?" tanya Anggun panik sambil memegang
tongkatnya. Amel tidak perduli dan dengan cepat turun dari
kudanya. Dia langsung berlari ke arah tempat cahaya itu tadi.
10 orang penunggang kuda berjubah. Mereka semua berjejer
di hadapan Amel. "Jadi ini Gadis Vampir" Hanya gadis kecil yang
sedang memberontak saja rupanya," ucap laki-laki yang
berada di tengah jejeran penunggang kuda. Ia yang paling
maju. Paling di dapan dari yang lainnya. Jelas, dialah
pemimpin mereka. Amel hanya diam mendengarnya.
"Pasti hanya bohong belaka bahwa kau membunuh
lebih dari 100 orang dalam waktu yang singkat! Lihat saja
tubuhmu! Kurus dan sangat berantakan! Bodoh sekali para
petinggi itu menyuruhku membawa semua pasukanku untuk
memusnahkanmu," ucap Laki-laki itu dengan geli.
Pasukannya ikut tertawa mendengarnya.
"Baiklah gadis kecil, kau punya kata-kata terakhir
sebelum di musnahkan?" tanya laki-laki itu dengan
angkuhnya. Amel merasa jijik melihat semua laki-laki yang
berjejer di hadapannya. Terutama yang paling berisik itu.
"Kalian semua menjijikkan," ucapnya dengan
dingin. Seketika gelak tawa mereka terhenti. Berganti
perasaan marah, karena di hina oleh orang, yang mereka
anggab seperti serangga itu.
173 "Tahu sendiri apa akibatnya! Serang!" ucap laki-laki
itu marah. Seketika, 10 cahaya biru mengarah ke arah Amel.
Amel langsung menghindarinya dengan cepat. Berlari, dan
semakin mendekati para penunggang kuda itu dengan
kecepatannya. Dengan keahlianya menghindari cahaya itu,
sekarang ia berdiri tepat di depan pemimpin mereka yang
tidak percaya memandang gadis, bermata merah.
Dari bola mata yang memancarkan ketakutan sang
pemimpin itu, ia melihat warna bola mata gadis di
hadapannya dengan ngeri. Warna merah yang menyala di
kegelapan. Di terpa cahaya bulan purnama, dan warna merah
darah. Amel, langsung mengubah tongkat sihirnya jadi di
selimuti es tajam. Membuat tongkat sihirnya kini menjelma
menjadi pedang es. Dan, pedang es yang panjang itu
menancap tepat di dada kiri pemimpin itu. Tepat di jantung.
Seketika, Amel langsung mencabut pedangnya, dan mayat itu
terjatuh dari kuda. Kuda yang di tunggangi si Pemimpin
langsung melarikan diri. Terbebas dari tuannya yang kini
menjadi bangkai. Lalu, semua pasukan itu terpaku. Hanya dapat
memandang pemimpin yang mereka hormati dengan tidak
percaya. Mereka terlalu syok dengan apa yang mereka lihat,
hingga mereka sama sekali tidak sadar saat ternyata, sebuah
jarum tipis kristal es menancap tepat di leher mereka. Urat
nadi mereka terputus, dan, mereka terjatuh dari atas kuda,
sama seperti pemimpin mereka.
174 Nafas Amel terengah. Tenaga yang sedari tadi ia
tahan untuk di keluarkan, kini keluar semua. Ia langsung
memandang bulan purnama dan tersenyum. Di malam
Purnama ini juga, ia membunuh. Di malam purnama itu juga,
akhirnya ia hanya sebatang kara. Lalu, pandangan Amel
berkunang-kunang. Ia langsung memandang kebelakangnya. Kudanya
berjalan dengan berlahan ke Tuannya. Kuda itu langsung
berhenti tepat di depan Tuannya. Memandang Tuannya.
Seolah, kuda itu mengerti dengan apa yang di rasakan
Tuannya, kuda itu mendekatkan tubuhnya ke arah Tuannya,
sehingga, Amel dapat langsung menyenderkan tubuhnya ke
kuda itu. "Terimakasih Black," ucap Amel terengah sambil
bersender di tubuh kuda yang bernama Black itu. Amel
terlalu ceroboh. Ia terlalu bernafsu untuk cepat sampai
ketempat"nya" sehingga, selama lebih dari 5 hari dia tidak
beristirahat. Amel langsung merasaka kehadira orang lain.
Seketika, Amel langsung memegang tongkat
sihirnya dan berdiri dengan waspada memandang ke arah
datangnya 2 orang itu. Ia memandang tajam ke arah Rain dan
Anggun yang menunggangi kuda itu. Dibiarkannya Anggun
dan Rain mendekat. Dan, saat kuda itu berhenti tepat di
dekat Amel, mereka langsung turun.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Anggun dengan cemas
sambil berlari mendekati Amel.
"Jangan men?" Amel sentak kaget saat tiba-tiba
pandangannya kabur dan kepalanya terasa berat. Dan, tiba175 tiba saja semuanya gelap. Tubuh Amel terasa ringan, tapi
kepalanya berdenyut sakit. Lalu, ingatan pada malam itu
kembali lagi. 176 15. Cerita: Bersama"
Amel menangis sambil memeluk lututnya. Ia
berusaha sekuat tenaga untuk tidak bersuara. Suara ledakan
dan kilatan cahaya yang ia lihat membuat seluruh tubuhnya
gemetar ketakutan. Aneh, apakah karena terlalu sibuk
melawan pasangan suami-istri bangsawan yang sangat ahli
sihir itu, laki-laki berjubah itu sama sekali tidak menyadari
seorang gadis kecil yang bersembunyi tepat di bawah meja
pertempuran mereka. Jantung Amel langsung terasa berhenti berdetak
saat itu juga saat mendengar teriakan Ayahnya, dan saat itu
juga tubuh Ibunya terjatuh dan terbaring dalam keadaan
terlentang di depan matanya. Amel langsung menutup
mulutnya. Membekap mulutnya dengan kedua tangannya.
Mata Ibu-nya terbelalak. Memandang ke arah Amel.
Tubuh Ibu-nya sama sekali tak bergerak, di penuhi dengan
cairan berwarna gelap. Bisa ia cium bau darah itu. Amel
hampir histeris seandainya ia tidak ingat, bahwa dirinya juga
akan mati bila bersuara. Lalu ia melihat Ayahnya terduduk
terengah. Di samping tubuh Ibunya yang tidak bergerak itu.
Tubuhnya penuh luka. Nafasnya terengah. Bisa
Amel rasakan perasaan takut itu menjalar ke seluruh
tubuhnya. Ia bisa melihat Ayahnya sendiri di depannya,
dalam keadaan yang mengenaskan, dan mati-matian untuk
bertahan. 177 Dan, tanpa terduga, Ayah-nya langsung mengarahkan tongkat sihir ke arah Amel. Amel sentak kaget
saat sebuah kotak kaca transparan membungkus tubuhnya.
Dan pada saat itu juga, Amel benar-benar kaget melihatnya.
Jarum-jarum tajam es langsung memenuhi seluruh
rumahnya. Semuanya membeku di dalam rumah itu,
termasuk meja yang menjadi tempat berlindung Amel. Tetapi
anehnya, Jarum itu sama sekali tak dapat menembus kotak
yang menyelimuti tubuh Amel dan tidak membuat Amel
merasa kedinginan sama sekali.
Tetapi.... Ayahnya, dan juga tubuh Ibunya.
Tertancap es yang di buat Ayahnya. Lalu, Amel bisa
mendengar suara erangan kesakitan laki-laki. Dan, Amel
sentak kaget saat tiba-tiba rumah yang ia jadikan tempat
berlindung, berjatuhan menimpa tubuhnya. Amel berteriak.
Ia sudah tidak tahan lagi dengan semuanya. Ia menangis
histeris. Melepaskan semua yang di tahannya.
Sementara, Rumahnya hancur, berjatuhan puingpuing es yang menimpa kotak yang menyelimuti Amel. Amel
terus menangis dan histeris. Kedua orang tuanya meninggal.
Ia tahu itu. Tidak akan ada lagi yang menyayanginya seperti
kedua orang tuanya. Tidak akan ada lagi kehangatan keluarga
yang biasa ia rasakan. Tidak akan ada lagi yang menyebut
namanya dengan lembut dan mengusap kepalanya dengan
sayang. Tidak akan lagi, pagi di mana ia lalui dengan
senyuman Ayah yang meminum secangkir kopi dan Ibunya
yang memasak sarapan untuknya. Tidak akan ada lagi, suara
dan keberadaan kedua orang tuanya, di dekatnya.
178 @@@ Amel langsung membuka kedua matanya. Nafasnya
terengah. Keringat membajiri pelipisnya. Ia langsung sadar
bahwa itu hanya mimpi. Mimpi buruk itu datang lagi. Itu
sebabnya Amel benci sekali tidur, setiap ia tidur, dia selalu di
bayangi oleh mimpi itu. Mimpi di malam bulan purnama itu.
Amel langsung mengerjab mata dan memandang
skelilingnya dengan bingung. Matahari hampir terbit. Ia bisa
melihat keadaan skelilingnya yang di penuhi tumbuhan, dan
di hadapannya terdapat danau. Langit mulai terang, tapi
matahari belum menunjukkan cahayanya.
"Ah! Akhirnya kau sadar!" Amel langsung
memandang ke arah Anggun dengan bingung. Gadis itu
langsung berlari ke arahnya sambil membawa kain basah.
Amel menatap gadis itu dengan tajam.
"Kenapa aku ada di sini?" tanyanya dengan
bingung. Sadarlah Amel bahwa dirinya berada di Oasis.
Anggun langsung berhenti tepat di samping Amel, ia langsung
berjongkok dan memandang Amel dari dekat.
"Karena kami yang membawamu. Istirahat saja lagi,
sepertinya kau kele?"
"Jangan sentuh aku!" bentak Amel sambil menepis
tangan Anggun yang mencoba mengelap keringat Amel. Amel
langsung berdiri. Memegang tongkatnya yang berada di saku
jubahnya dan menjaga jarak dengan Anggun. Anggun terpaku
melihatnya. Dan, sadarlah Amel, bahwa tindakannya
berlebihan. Ia langsung membenarkan kembali posisinya.
179 "Berapa lama aku tidur?" tanya Amel dengan
enggan. Nadanya melunak. Anggun langsung mengerjab dan
tersenyum. "Hanya beberapa jam saja. Pagi saja belum, kau
sudah bangun. Sebaiknya kau beristirahat lagi, oh ya, siapa
namamu" Aku tidak mau memanggilmu Gadis Vampir, walau
aku harus megakui kalau kau benar-benar seperti Vampir
saat bertarung itu, tapi bagai manapun, kau manusia"kan?"
gerutu Anggun, seolah tidak terjadi apa-apa.
"Beberapa jam saja cukup untuk tidur, lalu di mana
laki-laki yang satu lagi?" tanya Amel sambil berjalan ke arah
danau itu dan langsung membuat air itu bergumpal dan
terangkat di udara, lalu masuk ke dalam mulutnya. Anggun
hanya terperangah melihatnya, sedangkan Amel langsung
mengalihkan pandangannya ke arah balik hutan. Dan,
beberapa saat kemudian, Rain mucul, sambil membawa
beberapa buah-buahan. "Kau sudah sadar ya" Mau makan buah-buhan ini"
Tenang saja! Ini tidak beracun kok!" ucap Rain dengan
senang sambil memberika buah-buahan itu kepada Anggun.
Amel hanya menatap mereka. Lalu dia menggerutkan kening
melihat perut Anggun. "Dimana anakmu?" tanya Amel kemudian. Anggun
sentak kaget mendengarnya.
"Dari mana kau tahu aku sudah melahirkan"
Jangan-jangan Kau memberi tahunya?" selidik Anggun
dengan kesal sambil memandang Rain. Rain sendiri sentak
kaget mendengarnya. 180 "Jadi kau sudah jadi Ibu!?" ucapnya tidak percaya
kepada Anggun. "Ha" Kau tidak tahu" Lalu dari mana kau tahu aku
Ibu?" tanya Anggun dengan bingung. Amel sama sekali tidak
menjawab. "Memangya kau sudah punya berapa anak"
Umurmu masih 16 tahun"kan?" tanya Rain bingung.
"Memangnya kenapa" Aku menikah saat berusia 14
tahun dan melahirkan saat berusia 15 tahun. Anakku cowok,
namanya Yudistira sekarang umurnya hampir 1 tahun. Kalau
sampai usia di atas 20 tahun belum menikah, itu Pamalih di
tempatku tahu!" ucap Anggun.
"Sama! Tapi aku cuman tidak menyangka kalau kau
ternyata sudah melahirkan. Sama sekali tidak terlihat. Tapi,
Pamalih itu apa?" ucap Rain bingung.
"Kau ini bodoh ya" Aku"kan sudah bilang di awal
pertemuan kalau anakku sakit dan aku ikut kau karena kau
tahu di mana obatnya!" ucap Anggun dengan tidak percaya.
Amel hanya asik memandang pertengkaran mereka, yang
baginya, menarik. Untuk pertama kalinya, ia merasa tertarik
untuk melihat dan meperhatikan sesuatu yang sebelumnya,
di anggab tidak penting. "Ah! Benar! aku lupa gara-gara terlalu fokus ke
Selatan! Anggrek Perakkan" Kau cari Anggrek Perakkan?"
ucap Rain. Anggun menghela nafas mendengarnya. Jelas ia
terlihat capek dengan tingkah Rain, yang entah bagai mana
181 terbalik sekali dengan saat mereka pertama kali bertemu di
kota. "Iya! Katanya ada di Selatan"kan" Di tempat siapa"
Di tempat yang penuh salju itu"kan?" gerutu Anggun.
"Tenang saja, Anggrek Perak biasanya tumbuh di
Selatan. Tempat bersalju, tempatnya berada. Aku tidak akan
membiarkannya lepas! Kau tahu sendiri akibat yang di
buatnya"kan?" ucap Rain dengan serius. Amel tertarik
mendengarnya.
The True Of My Life Karya Nyimas Humairoh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau ingin balas dendam, Phoenix?" tanya Amel
kemudian. Rain sentak kaget mendengarnya dan langsung
memandang Amel dengan pandangan tidak percaya. Sama
halnya dengan Anggun. "Kenapa kau.... aku yakin kami belum
memperkenalkan diri"kan?" ucap Rain dengan bingung. Amel
hanya diam sambil berjalan dan duduk bersandar di pohon di
sebelah mereka. "Lalu?" mendengarnya. tantangnya. Anggun tersenyum "Benar juga. Yah, kita memang orang asing.
Kenalkan, aku Anggun Aprilia, sihirku udara. Yah, aku datang
ke tempat ini, seperti yang sudah aku ceritakan bukan"
Mencari obat Anggrek Perak untuk anak dan desaku. Lalu aku
bertemu dengan Rain saat sedang mengembara, tujuan kami
sama. Selatan, jadi kami pergi bersama," jelas Anggun.
"Ya, dan aku Rain Alix Phoenix. Alasanku pergi ke
Selatan, yah... karena tugas. Aku di suruh Ayah-ku untuk
182 membunuhnya. Adghard Hilton. Pemimpin dan penyebab
dari semua kekacauan ini," Amel langsung tersentak
mendengar nama itu di sebut. Ia langsung bangkit berdiri.
"Bila kau ingin membunuhnya, langkahi dulu
mayatku," ucapnya dingin sambil berjalan memunggungi
Anggun dan Rain yang terpaku dengan ucapan Amel. Rain
langsung tersentak kaget saat sadar apa maksud dari
ucapannya. Dengan segera, Rain berlari mendekati Amel.
"Tunggu! Kalau begitu kenapa kita tidak sama-sama
saja ke Selatan" Kau ingin membunuh orang itu" Baiklah, tapi
dengan syarat, kami boleh membantu mu, bagai mana?" usul
Rain. Amel tersenyum mendengarnya.
Dan, secara tiba-tiba tongkatnya berubah menjadi
pedang es. Dengan kecepatannya, tiba-tiba saja Amel
berbalik dan ujung pedang itu tepat, hanya beberapa Cm lagi
mengenai kulit leher Rain. Rain terpaku dengan kecepatan
itu. "Bahkan, kau tak bisa mengeluarkan Api-mu.
Keluarga Phoenix adalah keluarga bangsawan yang terkenal
karena kekuatan mereka, tapi karena kau bangsawan yang
hanya bergelimah harta, apa kau mengerti bagai mana
menjadi aku?" ucap Amel geli.
"Vampir! Hentikan!" pekik Anggun sambil berlari ke
arah mereka. Anggun langsung mengeluarkan kekuatannya
dan membuat pisau udara untuk memotong pedang milik
Amel. Amel tersenyum menyadarinya, dan dalam gerakan
cepat, Anggun sudah berada di dalam kotak kaca yang
terbuat dari es. 183 "Hey! Gadis Vampir! Keluarkan aku!" ucap Anggun
marah sambil memukul-mukul dinding es itu. Amel tidak
perduli dan memandang tajam Rain yang balas memandang
Rain dengan pandangan tanpa takut. Tidak gentar. Amel
tersenyum melihat mata tajam itu.
Rain dan Anggun. Sekarang Amel mengerti kenapa
ia tertarik dengan mereka. mereka tidak menatap Amel
dengan takut, tidak menatapnya dengan rendah, tapi
menatapnya dengan keberanian. Amel langsung mengubah
pedangnya menjadi tongkat lagi dan langsung melepaskan
Anggun dari belenggu kotak.
"Aku tahu kau adalah bangsawan Phoenix, karena
kau memiliki Api berwarna merah keemasan. Sama seperti
punya "dia". Tetapi kau berbeda. Api-mu lebih besar, tapi
tertahan. Berbeda dengannya. Apinya besar, terlepas dan
terkendali. Aku.... dapat melihat besaran kekuatan sihir
dengan mataku," ucap Amel.
"Lalu dari mana kau tahu aku sudah melahirkan?"
tanya Anggun bingung sambil berjalan mendekati Amel dan
Rain. Amel memandang Anggun dan langsung tersenyum.
Anggun sentak kaget melihat senyuman itu. Senyuman....
yang memancarkan kesedihan yang menyayat hati.
"Karena auramu sama dengan mediang Ibu-ku,"
jawabnya dengan nada sedih. Anggun dan Rain hanya
tertengu menyadari kepedihan yang terlukis jelas di wajah
Amel. Amel langsung menghela nafas.
"Dan namaku Amelia Semone. Kekuatanku... Air
dan udara," ucap Amel kemudian.
184 "Apa" Semone" Kau.... keturunan Bangsawan?"
"Bukan. Sekarang, itu hanyalah nama," sela Amel
dengan nada sedingin es. Rain terdiam mendengarnya. Tentu
saja ia ingat dengan Bangsawan Es yang sangat terkenal itu.
Hidup di Selatan, dan salah satu dari 3 bangsawan yang
menguasai kastil. Pheonix, Aprilia, dan Semone. Jadi, dia si
Anak Yang Beruntung itu"
"Sebaiknya aku pergi sekarang, aku tidak mau kalau
sampai terhalang hanya karena hal seperti ini," ucap Amel
dingin sambil bersiul. Lalu, kuda hitam itu muncul. Berlari ke
arah tuannya dan berhenti tepat di depan Tuannnya.
"Tunggu dulu! Kami ikut kau Amelia!" ucap Anggun
sambil berlari dan segera mengemas barang. Amel terdiam
lalu memandang Rain dan Anggun yang dengan segera
membereskan barang mereka.
"Bila kalian tidak cepat, aku akan meninggalkan
kalian," ucapnya dingin sambil naik ke atas kudanya. Rain dan
Anggun tersenyum mendengarnya. Mereka tahu, artinya,
Amel bersedia untuk pergi bersama mereka.
@@@ "Sudah kukatakan kalau aku tidak menerima orang
lemah"kan" Jadi berusahalah sendiri," ucap Amel sambil
tersenyum memandang Rain yang tepat berada di antara ke4 Singa. Anggun hanya terpaku melihat Rain, yang entah
bagai mana bisa di pojokkan oleh 4 ekor Singa. Sedangkan
Rain berdiri pucat pasi, Amel dan Anggun menontonnya dari
atas pohon yang tepat ada di dekat Rain.
185 "Aprilia, biarkan dia berusaha sendiri, setidaknya
dia seharusnya bisa mengeluarkan api-nya. Aku masih tidak
percaya. Di usia 17 tahun, dia sama sekali tak bisa
mengeluarkan kekuatannya," ucap Amel dengan serius.
Anggun tidak percaya mendengarnya.
"Kau mau dia mati ya?" ucap Anggun marah.
"Tidak. Aku mau dia belajar. Mengherankan sekali
kalau dia sudah lebih dari 3 hari mengembara bersamamu
dan kalian tidak di ganggu oleh para Makhluk pemakan
daging itu," ucap Amel jujur. Anggun hanya diam
mendengarnya. Tidak berkomentar, karena memang, selama
ini mereka beruntung bisa kabur dari berbagai hewan buas.
"Amel! Anggun! Tolong ak"wakh!?" tiba-tiba salah
satu Singa menyerang. Rain hampir terkena cakaran dari
kuku besar Singa itu, tapi ia tidak seberuntung itu, karena
serangan itu di susul serangan singa yang lainnya. Anggun
sentak kaget melihatnya. "Rain!" pekiknya. Amel langsung sigab dan
melompat dari atas pohon untuk menolong Rain, tapi tibatiba langkahnya langsung terhenti saat mendengar suara
kecil yang ganjil itu. Suara lonceng kecil yang merdu. Suara itu bagaikan
lagu melodi indah yang biasa di alunkan sebelum tidur. Dan,
Singa-singa yang sebelumnya menyerang Rain, entah bagai
mana hanya memandang Rain. Sama sekali tidak menyerang
Rain yang sudah siap di serang dengan memegang tongkat
sihirnya sambil melindungi wajahnya.
186 Amel langsung sadar apa yang membuat makhluk
itu tidak menyerang. Amel dapat melihatnya. Rain, di
lindungi oleh lingkaran kristal transparan. Entah bagai mana,
ia langsung teringat dengan masa lalunya. Ya, tidak salah lagi.
Itu sihir pelindung. Amel langsung sadar apa yang
menyebabkan sihir pelindung itu. Gelang perak yang di pakai
Rain. Gelang perak itu mengeluarkan suara. Suara yang
menenangkan, dan hangat. Tetapi juga peringatan. Bila singa
itu menyentuh pelindung itu, maka singan itu akan terbakar
oleh api merah yang tidak mungkin padam dengan hanya air
dan mantera. Hanya dapat padam, bila sang pemilik
menginginkan api itu padam. Meskipun sudah beberapa
tahun yang lalu, tetapi Amel masih ingat betul dengan
kegunaan dan bentuk gelang pelindung itu.
"Loh" Kenapa tidak menyerang?" gumam Rain
bingung sambil memandang ke-4 Singa yang hanya diam
memandang Rain. Amel menghela nafas dan memejamkan
kedua matanya. Dan saat Amel membuka kedua matanya, ia
tersenyum. "Kenapa hanya diam kucing manisku?" ucapnya
dengan ramah. Rain dan Anggun sentak kaget mendengarnya
dan langsung memandang Amel. Amel tersenyum
memandang ke-4 Singa itu. Sementara Singa itu langsung
menggeram sambil mundur menjauh dari Amel.
"Kucing manis... kalian takut denganku?" tanyanya
sambil tersenyum. Dan, Anggun dan Rain sentak kaget saat
sadar bahwa mereka merinding. Mereka merasa takut
187 dengan keberadaan Amel. Dengan ucapannya yang membius
penuh mantera pengendalian dan tatapannya sepasang mata
merahnya. Ada perasaan tidak enak yang dalam seketika,
membuat Anggun dan Rain menjadi sangat ingin menjauhi
tempat itu. "Kemari kucing manis," ucap Amel lembut. Dan,
salah satu dari ke-4 singa itu menurut. Mendekati Amel dan
langsung dengan manja mengelus tubuhnya ke tubuh Amel.
Mirip seperti anak kucing. Amel mengelus singa itu.
"Pergilah bersama temanmu sebelum aku
membunuhmu bersama mereka," bisik Amel dengan suara
yang sedingin es. Seketika, singa itu langsung berlari dan
menghilang di balik hutan bersama semua kawanannya.
Amel langsung memandang Rain.
"Aku sudah menduganya. Kau anaknya"kan" Anak
guruku," ucap Amel sambil memandang Rain. Anggun
langsung turun dari pohon dan ikut bergabung dengan Rain
dan Amel. "Guru?" ucap Anggun bingung.
"Ah!" Jadi kau!" Jadi ini alasan si Ayah sialan itu
menyuruhku melakukan tugas itu!" Jadi kau yang di
bicarakan Ayahku untuk mengajariku!?" ucap Rain dengan
nada tidak percaya. "Aku tidak pernah berjanji seperti itu dengan
Ayahmu," ucap Amel dingin. Tiba-tiba saja mood Amel jadi
jelek kembali karena sadar, bahwa guru yang menyebalkan
itu seenaknya memutuskan hal itu.
188 "Tunggu, aku sama sekali tidak mengerti maksud
kalian. Memangnya ada apa ini?" tanya Anggun bingung.
189 16. Cerita: Perjalanan"
Anggun bingung bukan main dengan pembicaraan
Rain dan Amel. Yang entah bagai mana, langsung membuat
Amel jadi bad mood lagi. Terlebih, setelah melihat hawa
pembunuh dari dewi kecantikan itu, Anggun jadi benar-benar
mengerti kenapa Amel di sebut Gadis Vampir.
Amel adalah perempuan yang sangat cantik. Saat
mau mebunuh, ia berubah seperti malaikat yang sangat jelita
atau seorang Dewi, tapi ia mengeluarkan aura pembunuh
yang sangat kuat. Bahkan, penyihir kelas teri atau manusia
biasa saja mungkin bisa merasakan kengerian hawa
pembunuhnya. Sangat mirip dengan Vampir. Cara
membunuhnya yang sangat anggun dan sadis. Gadis Vampir.
Tapi lanjut ke masalah yang tadi. Akhirnya, mereka
bertiga langsung melanjutkan perjalanan lagi setelah merasa
cukup mengambil persediaan air dan bahan makanan. Tapi,
Amel memisahkan diri dari mereka. Amel mengendarai
kudanya dangan sangat cepat tepat di depan. Jelas sekali
Anggun dan Rain tertinggal. Tetapi meskipun sedang bad
mood, Amel tetap saja menunggu mereka yang mati-matian
menyusul (Meskipun Amel terlihat mengebut, tetapi
sebenarnya ia memperlambat laju kudanya).
"Rain, coba kamu jelaskan apa maksud pembicaarn
kalian tadi?" tanya Anggun penasaran. Rain menghela nafas
mendengarnya. Ia terlihat tidak bersemangat sama sekali
setelah keributan kecil itu.
190 "Dulu, sekitar 7 tahun yang lalu, Ayahku pernah
mengembara selama 5 tahun. Selama itu, ia mengakui
sedang mengajar seseorang. Seorang gadis yang sangat
berbakat. Aku yakin itu Amelia. Jelas sekali, kalau hanya
Amelia yang di ajari Ayah. Bahkan, Ayahku saja menyerah
mengajariku, apalagi dia," ucap Rain dengan lesu. Anggun
terdiam mendengarnya. Entah bagai mana, Anggun merasa Rain agak
merasa iri dengan Amel. Karena, Amel terkenal. Anggun
sangat yakin kalau Rain pasti berfikir kalau Amel jadi terkenal
karena di latih Ayahnya. Dan, sebagai seorang Ibu, mau tidak
mau, dia meras iba dengan Rain. Dia sadar apa yang
membuat Rain lesu. Ayahnya yang lebih memilih orang lain
untuk mengajarinya, ketimbang Ayahnya sendiri yang
mengajarinya. "Sudahlah, sekarang sebaiknya jangan memikirkan
itu dulu, entah bagai mana aku yakin kalau Amelia merasa
kesal karena baru tahu kalau Ayahmu menyuruhnya untuk
mengajarimu sihir. Jelas sekali dia merasa terbebani," ucap
Anggun dengan bijak. "Kurasa tidak. Jelas sekali kalau aku merepotkan
bukan" Jadi tidak mungkin dia mau mengajariku sihir. Ayahku
saja menyerah soal itu, bagai mana mungkin dia bisa
membuatku mengeluarka sihir. Atau jangan-jangan aku tidak
punya sihir?" ucap Rain ngeri.
"Kalau kau tidak punya sihir, lalu apa gunanya
tongkat sihirmu itu?" ucap Anggun malas. Sepertinya
kebodohan Rain muncul lagi.
191
The True Of My Life Karya Nyimas Humairoh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hanya bukti kalau aku penyihir. Sejak aku
memilikinya, aku belum pernah sekalipun mengeluarkan
sihirku sendiri. Menyedikan sekali ya" tongkat sihir yang
seharusnya menjadi alat bertarung jadi hiasan," ucap Rain
geli. Anggun hanya menggeleng mendengarnya.
@@@ Langkah kuda mereka terhenti saat sampai di sana.
Anggun dan Rain sentak kaget saat melihat laut di hadapan
mereka. Amel langsung turun dari kudanya. Anggun dan Rain
juga turun dan langsung berlari kecil menghampiri Amel.
Mereka sampai di laut. Banyak sekali pedagang
penyihir di tempat ini. Menawarkan dagangan mereka.
Berbagai buah dan daging, juga barang-barang ilegal di jual di
perbatasan antara air dan darat itu. Amel langsung berhenti
di depan kios yang menjual apel hijau. Anggun dan Rain
langsung ikut berhenti. "Kau mau membeli apel?" tanya Rain. Pemilik kios
itu langsung memandang ke arah Amel, Rain dan Anggun. Ia
tersenyum. "Nona dan Tuan mau membeli apel saya" Saya akan
memberikan harga murah untuk anda ber-3 bila membeli
banyak apel saya," ucap pedagang itu dengan ramah. Lakilaki denga kumis lebat itu sepertinya memiliki sifat yang
ramah. "Tidak ada kapal di sini?" tanya Anggun bingung
saat sadar bahwa di pantai ini sama sekali tidak ada kapal.
192 "Sayang sekali, baru saja kapal-kapal itu pergi dari
pelabuhan. Tuan dan Nona terlambat, 2 hari lagi kapal-kapal
itu kembali," jawab pedagang itu dengan nada menyesal.
Rain langsung menghela nafas.
"Jadi bagai mana dengan kita?" gumam Rain.
"Paman, berapa harga apel ini?" tanya Amel
kemudian. Penjual itu langsung memandang Amel. Ia
menggerutkan kening saat melihat Amel. Pedagang itu
merasa pernah bertemu dengan gadis di hadapannya. Ia
yakin itu. Lalu, pedagang itu melihat mata merah Amel.
Sadar dirinya di awasi, Amel hanya pura-pura tidak
tahu dan terus memlilih-milih apel yang di anggabnya bagus.
Rain langsung menepuk bahu Amel. Amel langsung
mendongak memandang Rain.
"Kau mengenal paman itu?" tanya Rain bingung.
Amel langsung memandang paman penjual buah itu. Paman
itu berwajah pucat pasi melihat Amel. Ia berkeringat dingin.
Amel langsung tersenyum memandang Penjual itu.
"Jangan bersuara dan memberi tahu seorangpun ya
Paman?" ucap Amel dengan nada selembut dan suara
seindah nyanyian. Tetapi bisa di rasakan nada mengancam
yang di timbulkan dari keindahan itu. Penjual itu
mengangguk. "A"ambilah semua apel yang saya punya ini,"
ucapnya ngeri. Amel tersenyum mendengarnya dan langsung
mengambil kantung dan mengambil semua apel yang
menurutnya bagus. Sedangkan Anggun dan Rain hanya bisa
193 menghela nafas dengan perbuatan Amel. Mereka kasihan
dengan pedagang itu. "Terimakasih Paman," ucap Amel ramah lalu pergi
bersama Rain dan Anggun. Amel langsung memasukkan
skantung apel itu ke dalam tas besar yang ada di punggung
kudanya. Isi kantung itu hanya ada 10 apel.
"Apa kau tidak keterlalun Amelia?" tanya Anggun
dengan enggan. "Itu biasa," jawab Amel singkat.
"Tapi lumayan juga sih dapat apel geratis"ah!
Kenapa aku tidak ikut memintanya saja ya tadi?" gumam Rain
dengan menyesal. Anggun hanya menghela nafas
mendengarnya. Mereka langsung berjalan kembali hingga
sampai di bibir pantai. "Kita harus melewati Laut?" tanya Rain. Lebih
kepada dirinya sendiri. "Tentu saja," jawab Amel sambil mengeluarkan
tongkat sihirnya. "Tunggu! Kau mau membekukan laut" Apa
tenagamu?" ucapan Anggun langsung di potong Amel.
"Mana mungkin aku bisa membekukan samudra
dalam 1 jam. Perlu waktu lebih dari 3 hari untuk
membekukannya dan tenaga yang sangat besar. Bila aku
melakukannya mungkin bisa, tapi itu akan menguras waktu
dan tenaga. Terlebih itu akan menarik perhatian," jawab
Amel lalu langsung membungkuk. Amel langsung
menyentuhkan ujung tongkat sihirnya ke air asin itu.
194 Tidak terjadi apa-apa. Anggun dan Rain
menggerutkan kening melihatnya. Sedangkan Amel langsung
mengambil sesuatu di tas yang di gantungkan di kudanya.
Sebuah Apel hijau. "Loh" Untuk apa Apel?" tanya Rain bingung. Amel
langsung naik ke atas kudanya.
"Sudah jelas"kan" Untuk di makan," jawab Amel
sambil menggigit apelnya. Anggun dan Rain langsung merasa
tertipu mendengarnya. Mereka pikir, Amel akan
mengeluarkan ramuan untuk membekukan air asin itu karena
dirinya tidak bisa membekukan air asin itu.
"Cepat naik kuda kalian. Aku tidak mau
mengeluarkan sihirku secara percuma," ucap Amel lalu
langsung melajukan kudanya ke arah laut. Anggun dan Rain
sentak kaget melihatnya. Airnya langsung berubah menjadi
sebuah jembatan es. Setiap langkah kuda hitam itu,
membekukan airnya sehingga membentuk jalan es yang
panjang, tanpa harus membekukan semua air itu.
"Ah!" Tunggu kami!" teriak Rain lalu langsung
menaiki kudanya. Anggun juga langsung menaiki kudanya.
Dan dengan segera, mereka melajukan kudanya di atas air
yang mebeku itu. Tentu saja itu sangat menarik perhatian.
"Wah, kita jadi tontonan," guma Anggun gugub
sambil melihat kebelakang. Semua penyihir itu mengeliling
bibir pantai dan bertumpuk di sana. Memandang ke arah
Amel, Rain, dan Anggun. 195 "Wakh!" Cepat lajukan kudamu Rain!" ucap Anggun
kaget saat sadar bahwa es yang ada di belakang Rain mencair
dan pecah. Rain sentak kaget mendengarnya dan
memandang ke belakangnya. Es yang pecah itu mendekat.
Dengan ngeri, Anggun dan Rain langsung melajukan kudanya
dengan cepat. "Kenapa esnya mencair?" ucap Rain ngeri sambil
mempercepat laju kudanya. Pecahan itu juga semakin cepat
mendekati mereka. "Mana aku tahu! Dan kenapa Amelia tidak
menunggu kita" Ah!" Itu dia!" ucap Anggun saat melihat
kuda Amelia yang melaju sangat cepat di atas air yang
membeku itu. Dan, dengan ngerti, akhirnya Rain dan Anggun
sampai di tempat dekat Amel. Pecahan es itu juga tetap saja
di belakang mereka. Mendekat.
"Amel! Esnya cair!" pekik Anggun dengan ngeri.
Amel langsung memandang kebelakang. Memandang wajah
pucat Rain dan Anggun yang melajukan kudanya dengan
mengebut. "Cair bagai mana" Aku memang membuatnya
langsung mencair saat sudah di lewati 3 kuda agar tidak ada
yang mengikuti kita. Jadi mana mungkin kalian akan
tenggelam"kan?" ucap Amel. Rain dan Anggun kesal bukan
main mendengarnya. "Kenapa tidak bilang dari tadi?" ucap Anggun
dengan geram. 196 "Kalian tidak tanya," jawab Amel cuek sambil
memperlambat laju kudanya. Anggun dan Rain hanya bisa
menggerutu dengan kesal. Entah sudah keberapa kalinya,
mereka merasa Amel mengerjai mereka.
@@@ Tepat saat malam, akhirnya mereka sampai di bibir
pantai yang lain. Kasihan kuda mereka karena tidak
beristirahat sama sekali dalam perjalanan melewati
samudera itu. Mereka berhenti di tempat yang sangat
berbeda. Di tempat ini di penuhi banyak pohon. Tetapi,
seperti yang mereka ketahui.... semua dedaunan yang ada di
tempat ini berguguran. Udara juga lebih dingin.
"Ah.... dingin sekali," gumam Rain sambil turun dari
kudanya. "Benar, tahu seperti itu, tadi aku beli baju yang agak
tebal tadi," gerutu Anggun sambil turun dari kudanya. Nafas
mereka membuat kepulan uap. Amel hanya menghela nafas
dan langsung mengambil 3 apel yang ada di dalam tas di
kudanya. Dia langsung memberikan masing-masing 1 apel ke
3 kuda itu. "Kita semakin dekat," ucap Amel sambil
memandang Anggun dan Rain yang berusaha menghangatkan diri mereka.
"Apakah di sekitar sini ada kota?" tanya Anggun
sambil memandang sekelilingnya yang gelap gulita. Ia benarbenar menyesal karena tidak membeli pakaian tebal, karena
sekarang ia benar-benar kedinginan.
197 "Sepertinya ada. Entah bagai mana aku kenal jalan
ini... tunggu dulu," ucap Rain bingung sambil memandang
Amel. Anggun hanya memandang bingung Rain. Ada apa"
batinnya bingung. "Aku tidak tahu kalau ternyata.... kita mengarah ke
Istana. Kenapa aku sama sekali tidak di beri tahu kalau
ternyata "dia" ada di Istana?" tanya Rain dengan bingung.
Anggun sama sekali tidak mengerti mendengarnya.
"Memang itu"kan tujuannya" Menguasai, jadi jelas
sekali sekarang di ada di dekat Istana. Kalau tidak cepat
mungkin kita akan terlambat," ucap Amel dengan santai
sambil berjalan masuk ke dalam hutan. Diikuti Rain dan
Anggun. "Sial! Di saat seperti ini aku malah tidak bisa
mengendalikan sihirku! Tahu seperti ini, seharunya aku
belajar sihir lebih giat!" ucap Rain dengan nada kesal.
"Memangnya kenapa?" tanya Anggun bingung.
"Aku tidak menyangka kalau Ia senekat itu. Bila ia
ingin menyerang Istana, berarti ia membawa banyak
pasukan. Dan, kalau sampai Ayahku tahu dan menyuruhku
membereskannya, berarti berita ini sebenarnya sudah
tersebar sejak lama. Aku terlalu lengah," ucap Rain dengan
nada kesal. Anggun langsung menangkap maksudnya.
"Kalau sudah menyebar berita sebelum ia
menyerang, artinya ada yang membocokannya" Seharusnya"kan ia mengurungkan niatnya untuk menyerang
bila sudah ketahuan seperti itu?" tanya Anggun bingung.
198 "Bila ia memang mau dia akan melakukannya. Tapi
bukan sikapnya bila ia mundur. Ia tetap maju, walau apapun
resikonya. Tentu saja ia tidak akan datang sendirian bersama
pasukan yang lemah. Aku yakin, ia datang, berasama pasukan
khusus yang sangat handal. Yang bahkan mungkin 10x lipat
kekuatannya dari pada mereka yang waktu itu
menyerangku," ucap Amel dengan serius. Anggun menelan
liur mendengarnya. "Yah, Anggun aku tahu apa tujuanmu, tapi maaf.
Sepertinya kita harus berpisah di sini," ucap Rain tiba-tiba.
Anggun sentak kaget mendengarnya dan langsung
memandang Amel dan Rain yang balas memandang mereka.
"Apa" jadi kalain mau meninggalkanku?" ucap
Anggun dengan tidak percaya.
"Kau datang bukan untuk bertarung Anggun,
lagipula kau sudah punya anak. Kau juga datang dan ikut
kami karena ingin mencari tanaman Anggrek Perak bukan"
Jadi ini bukan?" "Lalu" Aku harus pergi begitu saja dan membiarkan
kalian bertarung berdua" Tanpa diriku" Apakah kalian pikir
aku tidak bisa bertarung sama sekali?" ucap Anggun dengan
marah. "Apa kau mau membuat keluargamu menunggu
lebih lama Aprilia?" tanya Amel.
"Tentu saja tidak! Tapi bukankah sudah jelas"
Mereka memang sakit, tapi sakit mereka tidak akan
membuat mereka meninggal. Aku tahu pasti itu, sedangkan
199 kalian" Yang benar saja! aku tidak akan menuruti keinginan
kalian! Aku ikut bertarung dengan kalian!" ucap Anggun
dengan tegas. "Apa kau siap mati nanti" Apakah kau sendiri sudah
siap membuat keluargamu sedih seandainya kau meninggal
dan tidak dapat memberikan Anggrek itu?" tanya Amel
dengan serius. Anggun terdiam mendengarnya.
Tentu saja dia siap mati bersama temannya! Entah
kenapa, ia merasa sangat nyaman dengan kehadiran mereka.
Ia merasa seperti berada di lingkaran keluarga. Berbeda
dengan di desa dan keluarganya yang sesungguhnya. Yang
selalu menekan dan memaksa Anggun tanpa perduli bagai
mana perasaannya di perlakukan dengan sangat keras dan
tanpa kenal kehangatan, karena dialah satu-satunya penyihir.
Karena dialah tumpuan semua orang yang ada di tempatnya.
Anggun tersenyum. "Aku siap mati, dan kalau aku mati, aku mau salah
satu dari kalian mencarikanku Anggrek itu dan
memberikannya ke desaku. Bagai mana" Adil tidak?"
ucapnya dengan yakin. Rain memandang Anggun dengan
tidak yakin. "Sepertinya cukup adil," ucap Amel tiba-tiba.
The True Of My Life Karya Nyimas Humairoh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anggun tersenyum senang mendengarnya sedangkan Rain
memandang Amel dengan bingung.
"Kenapa kau?" 200 "Karena mungkin saja, dia lebih berguna ketimbang
kau yang tak bisa mengeluarkan sihirmu," sela Amel sebelum
Rain menyelesaikan kata-katanya.
"Yah, aku tahu," gerutu Rain.
"Selama di perjalanan, kau akan kulatih, tapi jangan
harap aku akan memberikan pengampunan untukmu,"
"Aku akan membantu Amel melatihmu," ucap
Anggun dengan senang. "Hah, masa" guruku cewek semua?" gerutu Rain.
"Salahmu sendiri kenapa tidak bisa mengeluarkan
sihir sama sekali," ucap Anggun kesal.
"Kemarikan gelangmu itu, Phoenix," pinta Amel
tiba-tiba. "Untuk apa?" tanya Rain bingung sambil
melepaskan gelangnya dan memberikannya ke Amel.
"Karena kau menggunakan gelang ini, kekuatanmu
jadi tidak mau keluar," jawab Amel singkat sambil
menyimpan gelang itu di balik jubahnya. Rain hanya
memandang Amel tidak mengerti. Sedangkan Amel hanya
diam. Gelang yang di buat Alix untuk melindungi
keturunannya. Gelang pelindung. Amel tahu itu, tapi yang
pasti, karena Rain mengenaka gelang itu, ia tidak bisa
mengeluarkan kekuatan sihirnya. Kecuali, bila Rain sudah
dapat mengeluarkan sihirnya, dan mengenakan gelang itu,
maka gelang itu akan membuat kekuatan sihirnya samakin
besar, dan terkendali. 201 Itu sebabnya, Amel meminta gelang itu. Karena saat
ini, gelang itu sama saja seperti penghalang untuk Rain
mengeluarkan kekuatan sihirnya.
202 17. Cerita: Pertarungan"
Selama di perjalanan, Rain terus berlatih. Ia belajar
fisik dengan ilmu bela diri dari Anggun. Dan belajar untuk
menenangkan diri dari Amel. Diperlukan kekuatan fisik dan
mental yang kuat untuk membuat ia dapat mengendalikan
kekuatannya. Tapi sekarang, Rain hanya mempelajari dasardasar untuk dapat mengendalikan kekuatan sambil
melakukan perjalanan. "Amel, apa kau tidak merasa dingin?" tanya Rain
dengan bingung. Sejak pertama kali ke tempat ini, Amel sama
sekali tak terlihat kedinginan. Tidak seperti Rain dan Anggun
yang mati-matian menghangatkan tubuh mereka dengan
cara mengenakan kain yang kebetulan, mereka miliki.
"Aku sudah jawabnya singkat. terbiasa, jadi bukan masalah," "Terbiasa ya" tapi ngomong-nomong tentang
terbiasa, aku jadi ingat waktu pertama kali mengeluarkan
sihirku. Aku sama sekali tidak terbiasa. Kalau tidak salah saat
aku umur 13 tahun. Sekitar 3 tahun lalu. Aku mengendalikan
angin topan yang hampir membuat desaku hancur.... yah,
gara-gara itu, aku benar-benar di tekan untuk melatih
kekuatanku. Karena jelas, aku satu-satunya yang dapat
mengeluaarkan sihir," cerita Anggun.
"Hm.... jadi semua yang ada di desamu itu manusia
biasa?" tanya Rain. 203 "Bisa dibilang seperti itu," ucap Anggun sambil
mengangkat bahu. "Lalu kau" Amel" Kapan pertama kali kau
mengeluarkan kekuatanmu?" tanya Rain penasarana. Amel
terdiam mendengarnya. Lalu tiba-tiba dia tersenyum. Anggun
dan Rain langsung merasakan firasat yang tidak enak.
"Benar kalian ingin tahu?" tanyanya.
"Iya," ucap Rain tegas.
"Aku bisa mengeluarkan sihirku sekitar 7 tahun
yang lalu. Saat berumur 10 tahun, saat kabur dari tempat
penjualan manusia. Aku membunuh 4 orang pengawal
dengan kekuatan es-ku," jawab Amel dengan pandangan
lurus kedepan. Mengendalikan kudanya. Rain dan Anggun
sentak kaget mendengarnya.
"Apa maksudnya!?" ucap Anggun tidak percaya.
"Kau... di jual" Bagai mana bisa?" ucap Rain tidak
percaya. Amel bingung mendengarnya. Mereka sama sekali
tidak takut saat mendengar di usia 10 tahun ia sudah bisa
membunuh, tapi malah bertanya tentang ia saat di Tempat
Penampungan itu. "Yah... setelah kejadian kedua orang tuaku di
serang dan tewas, aku dipungut dan ternyata di jual di pasar
gelap selama 2 tahun aku di kurung untuk menghilangkan
sikap memberontakku, tapi mereka salah besar. Karena
akulah, mereka mati. Seharusnya mereka cepat-cepat
menjualku dan mungkin sekarang mereka masih hidup," ucap
Amel geli. 204 "Aku tidak setuju. Mereka pantas mati! mereka
tega sekali menyiksamu sampai luka-luka bekas siksaan
mereka tidak hilang di tubuhmu! Mereka tidak pantas
hidup!" ucap Anggun dengan marah. Amel bingung bukan
main mendengarnya. "Dari man kau tahu?" tanyanya bingung.
"Kau lupa" Di desaku, aku ini tabib, dan aku yang
mengobatimu saat kau pingsan saat itu," jawab Anggun.
Amel tidak bertanya lagi.
"Lalu" Bagai mana bisa kau bertemu dengan
Ayahku?" tanya Rain.
"7 tahun lalu, aku masih baru bisa mengeluarkan
sihirku. Saat itu aku selalu mengamuk dan sangat takut bila
bertemu dengan orang lain. Sejak mengeluarkan sihirku itu
juga, aku dapat melihat "besar" kekuatan sihir seseorang. Itu
sebabnya, setiap kali bertemu dengan seseorang. Di
manapun, aku selalu membunuhnya. Tidak perduli wanita
atau laki-laki. Dewasa atau anak-anak. Aku membunuh
mereka. "Hingga aku bertemu dengan Ayahmu. Hanya
Ayahmu yang tidak bisa kulawan. Aku tahu kalau aku tidak
mungkin melawannya, karena aku dapat melihat
kekuatannya. Tapi, aku tetap melawannya. Akhirnya, aku
selalu kalah. Aku menyerah, dan memintanya untuk
mengajariku sihir. Aku tahu bahwa aku belum bisa
mengendalikan sihir dengan benar saat itu, karena setiap kali
mengeluarkan sihir, aku selalu kelelahan.
205 "Ayahmu setuju, dengan syarat aku tidak boleh
membunuh asal-asalan. Aku hanya boleh membunuh orang
yang boleh di bunuh. Aku setuju dan akhirnya dia yang
melatihku semuanya," cerita Amel.
"Ayah... mengajarimu selama 5 tahun?" tanya Rain.
"Ya, dan saat kami berpisah. Kau tahu apa yang dia
katakan" "Aku akan bertemu dengan Putraku, dan dia pasti
sudah sangat menunggu cerita perjalananku. Aku ingin, dari
semua cerita yang kuberikan untuknya, secara tidak langsung
itu akan menjadi pengalamannya juga"," ucap Amel.
Rain terdiam mendengarnya. Ia merasa sangat
senang mendengarnya. Sampai-sampai matanya terasa
panas. Selama ini, Ayahnya hanya pergi dengan membawa
segudang cerita. Tetapi setiap kali Ayahnya mengajarinya
sihir, Ayahnya menyerah. Tidak ingin mengajarinya sihir
kembali, hingga Rain berfikir bahwa dirinya benar-benar
bodoh. Bahwa dirinya bukanlah seorang penyihir.
Tapi sekarang Rain mengerti. Dari semua cerita
perjalanan Ayahnyalah itu secara tidak langsung belajar. Rain
mengerti, bahwa ternyata Ayahnya bukan hanya bercerita,
tetapi menyumbangkan ilmu dan pengalaman yang di
milikinya kepadanya. Hanya kepadanya. Putra tunggal
keluarga Alix Phoenix. "Tapi... kalau aku tidak dapat mengeluarkan sihirku,
aku akan mengenakan pedang ini. Aku jago dalam
menggunakan pedang," ucap Rain sambil tersenyum.
206 "Jangan sia-siakan rencana B itu nanti ya!" ucap
Anggun dengan geli. Amel hanya diam sambil memandang
mereka. Mungkin bibir Amel tidak tersenyum, tapi
pandangannya saja sudah cukup mewakili ekspresinya.
@@@ Amel, Anggun, dan Rain berjalan di atas tumpukan
salju putih. Mereka tidak menunggangi kuda lagi sejak salju
turun. Pepohonan yang mengelilingi mereka semuanya mati.
Hangus terbakar. Sedangkan salju yang menutupi tanah sama
sekali tak cair. "Tempat ini membuatku merasa tidak enak," ucap
Rain sambil memandang sekelilingnya dengan ngeri.
"Ya. Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Anggun
dengan bingung. Tidak ada yang menjawab. Amel sibuk
memandang salah satu pohon yang hangus terbakar. Telah
terjadi pertarungan di tempat ini. Amel yakin akan itu karena
ia bisa melihat bekas-bekas tenaga sihir dari setiap pohon
yang hangus itu. Terlihat warna gelap yang seperti api hitam...
sekilas memang tak kasat mata, tapi bila di perhatikan,
terlihat api merah kecil yang hampir padam di pohon itu.
Tentu saja itu menurut pengelihatan Amel. Dan, ia langsung
tahu kalau semua ini bekas pertarungan. Terjadi pertarungan
kemarin. Amel yakin itu, karena bekas kekuatan sihir itu
mulai pudar. "Aprilia, apa kau mencium samar-samar bau karat?"
tanya Amel. Biasanya tipe udara penciumannya lebih tajam
207 ketimbang yang lain. Anggun langsung menoleh memandang
Amel. Lalu dia mulai mengendus-endus udara.
"Ya.... bau karat"bukan. Ini bau darah," ucap
Anggun dengan kaget sambil memandang Amel dengan
tatapan tidak percaya. "Jangan-jangan ada mayat di sekitar sini?" tanya
Rain. "Tidak ada bangkai ataupun mayat di sini, aku yakin
itu. Tapi.... bau darah di udara ini memang samar-samar.
Jangan-jangan pernah ada pertarungan di sini?" ucap Anggun
dengan nada tidak percaya.
"Ya, dilihat pun langsung tahu"kan" Siapapun yang
bertarung di sini, kekuatannya sangat besar.... dan bisa di
bilang profesional karena sihirnya sangat rapi dan sepertinya
terkendali, sehingga api yang di buatnya tidak menyebar
jauh," jelas Amel sambil berjalan ke arah Anggun dan Rain.
"Artinya kita semakin dekat?" tanya Rain.
"Bisa dibilang seperti itu," jawab Amel. Ia langsung
mengambil gelang perak milik Rain dan menyerahkannya ke
Rain. Dengan bingung Rain menerima gelang miliknya itu.
"Kenapa di kembalikan?" tanya Rain bingung.
"Memangnya kau pikir aku mengambilnya karena
apa?" "Em... karena kupikir kau menyukai perhiasan.
Mangkanya aku berniat untuk memberikannya ke kamu
karena sepertinya kau berminat dengan gelangku," jawab
Rain dengan polos. 208 "Memangnya Amel terlihat menyukai perhiasan!?"
ucap Anggun tidak percaya.
"Kau tahu kenapa?" tanya Amel ke Anggun.
"Aku tidak tahu pasti, tapi yang jelas, sejak Rain
tidak memakai gelang itu, dia jadi lebih mudah berlatih dan
mengeluarkan kekuatannya," jawab Anggun dengan ragu.
Rain langsung memandang Amel dengan bingung.
"Ya. Dan apa kau tahu kenapa orang tuamu
memberika gelang ini Phoenix?" tanya Amel. Rain
menggeleng mendengarnya. "Karena itu adalah gelang Pelindung. Gelang yang di
buat Alix Phoenix untuk melindungi keturunannya. Gelang ini
dapat melindungi si pemakai dan menyembuhkan. Tetapi....
selama si pemakai memakai gelang ini sebelum ia dapat
mengeluarkan sihirnya, maka gelang ini akan mejadi
penghalang kekuatanmu untuk mengeluarkan sihir.
"Karena gelang ini, memerlukan kekuatan untuk
melindungi pemakainya. Itu sebabnya, gelang ini akan
menguras semua tenagamu selama kau dalam keadaan
terdesak dan gelang ini melindungimu. Tetapi, bila gelang ini
kau pakai saat tenaga sihirmu sudah keluar, gelang ini akan
membuka kekuatan sihirmu sampai ke tahap maksimum.
"Itu sebabnya, sekarang aku baru mengembalikan
gelang ini. Pergunakan gelang itu sekarang.... karena mungkin
sekaranglah waktunya," jelas Amel. Rain mengangguk dan
langsung mengenakan gelangnya.
209 "Terimakasih sudah menjelaskan semua hal yang
sama sekali tidak kuketahui," ucap Rain tulus.
"Ya, aku juga sangat berterimakasih dengan Amel,
karena ada Amel, aku jadi merasa nyaman. Karena ada kau
dan Rain, aku jadi merasa tidak sendirian. Terimakasih," ucap
Anggun dengan tulus. "Benar. Aku ingin kita bertiga selalu. Aku ingin kita
selamanya bersama kalian," setuju Rain. Amel ingin setuju
dengan ucapan mereka, tapi Amel tahu, bahwa tidak
mungkin untuk bersama mereka kembali. Amel tahu, bahwa
di antara mereka bertiga kelak, pasti akan ada yang pergi.
"Aku memang tidak pintar bicara, tapi aku cuman
mau memberi tahu kalau aku sudah menganggab kalian...
sangat baik dan berbeda dengan yang lain," ucap Amel balkblakan. Anggun dan Rain sentak langsung memandang Amel.
Dan, secara tidak terduga mereka langsung memeluk Amel
sebelum Amel sempat berkelit.
"Katakan! Katakan sekali lagi!" pinta Rain dengan
senang. "Aku senang sekali mendengarnya!" ucap Anggun
The True Of My Life Karya Nyimas Humairoh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan riang. Entah sejak kapan, Amel jadi sangat lemah
sekali menghadapi Anggun dan Rain. Sebelumnya ia tidak
pernah seperti ini. Sebelumnya ia tidak pernah menunjukkan
ataupun bersifat lengah dan lemah. Tetapi sekarang.... ya
begitu merasa lemah, tetapi itu sungguh membuatnya
merasa nyaman degan kelemahan yang ia tunjukan.
210 Dan, tiba-tiba merasakannya. saja Amel sentak kaget "Awas!" teriaknya sambil mendorong Anggun dan
Rain. Mereka langsung terjatuh di atas tumpukan salju. Dan,
tiba-tiba saja pohon yang ada tepat di dekat mereka
terbakar. Api merah yang menyala dan berkobar itu menarinari di dekat Rain. Dan, Anggun dan Rain langsung sadar apa
yang terjadi. Mereka langsung memegang tongkat mereka
masing-masing dan berdiri di dekat Amel yang sudah siaga.
Amel memegang tongkatnya yang sudah menjadi
pedang es. Ia merasakannya. Hawa pembunuh yang
meskipun sangat tipis.... tapi ia merasakannya. Ia bisa melihat
di mana penyerangnya. Tepat di hadapannya. Di balik semua
yang terlihat putih di skelilingnya. Api merah yang bergejolak
dari seorang pria berjubah itu. Menyeramkan.
Keberadaan ke-2 penyihir itu nyaris tidak
terdeteksi. Dan... tenaga mereka jelas lebih besar dan
terkendali. Seorang pria jangkung dengan kulit pucat.
Rambut emasnya dikuncir satu dan matanya yang biru
memandang ke arah mereka dengan tajam. Dengan
senyuman yang sedingin es. Laki-laki itu memperlihatkan
warna yang berbeda. Warna perak yang sangat kuat dan
besar. Lalu yang seorang lagi... memancarkan api. Api
merah yang membara. Laki-laki dengan tubuh yang lebih
pendek dari yang jangkung itu. Kulitnya berwarna gelap,
dengan rambut hitam cepak. Matanya berwarna hitam di kiri
dan merah di kanan. Anggun sentak kaget melihat warna
211 mata merah yang bagaikan darah itu. Dia tidak percaya
dengan apa yang ia lihat.
"Jadi mereka yang?"
"Kalian berdua lawan yang Pirang itu, biar aku yang
melawan yang berambut hitam itu," ucap Amel dengan
tegas. Rain dan Anggun mengangguk mengerti. Mereka
sadar, bahwa sekarang, mereka benar-benar akan bertarung.
Kedua penyihir itu berjalan semakin mendekat.
Amel masih terlihat tenang, sama seperti 2 penyihir itu.
Sedangkan Anggun dan Rain mulai mempererat genggaman
tongkat sihir mereka sambil berusaha berkonsentrasi apa
yang akan mereka keluarkan untuk menyerang.
"Wah.... kali ini 3 remaja ya" Sekarang pihak
kerajaan menyerah dan membiarkan 3 remaja melawan Tuan
Edghard. Padahal baru saja kemarin pihak kerajaan
membawa semua pasukannya," ucap si Pirang dengan geli.
Amel bisa merasakan aura pembunuh itu semakin kuat.
Tetapi Amel masih memperlihatkan wajah tanpa ekspresi.
Mencoba menenangkan dirinya agar tidak mengamuk.
"Jadi begitu" Kalian sengaja menyebarkan pesan itu
dan menunggu di sini agar semua pengawal Istana
menyerang kalian" Agar saat kalian menyerang ke Istana,
kalian tidak akan kerepotan?" tebak Amel.
"Kau mengerti juga," ucap si Pirang dengan nada
sinis. "Percaya diri sekali kalian kalau kalian akan selalu
menang," ucap Rain dengan nada kesal. Anggun sentak kaget
212 mendengarnya dan langsung memukul kepala Rain dengan
kesal, hingga akhirnya Rain menyerah dan memilih untuk
bungkam. "Menarik juga teman yang kau bawa," ucap si
Pirang dengan geli sambil memandang mereka dengan
tatapan meremehkan. Lalu si Pirang itu memandang Amel
dengan bingung. "Jangan-jangan kau bisa melihat besar kekuatan
sihir sama seperti Black juga ya?" ucap si Pirang itu dengan
bingung. "Hm.... jadi kau anaknya" Anaknya yang selamat
itu?" ucap laki-laki hitam yang di sebut Black itu. Amel hanya
diam sambil memandang tajam mereka. Manusia
menjijikkan! Mereka apakan mata Ayahku!" Batin Amel
dengan marah. "Sepertinya kau tahu kalau aku mengambil sebelah
mata Kanan milik Ayahmu 9 tahun lalu. Amelia Semone...
atau bisa kupanggil Gadis Vampir?" tanya Black dengan nada
sedingin es dan meremehkan.
"Gadis Vampir" jadi kau gadis Vampir" wah! Pantas
saja di sebut Gadis ya!" ucap si Pirang itu dengan geli. Lalu ia
berhenti tertawa dan langsung memandang tajam ke-3
remaja itu dengan sepasang mata birunya yang tajam.
"Sayang sekali, itu artinya kau dan temanmu itu
harus musnah si sini," ucap si Pirang itu dengan nada
sedingin es. Seketika, Amel langsung mendorong Anggun dan
213 Rain lalu tiba-tiba pohon di dekat mereka langsung memutih
dan hancur seperti tumpukan salju.
"Wah, padahal itu seharusnya tidak bisa di lihat loh!
Menarik sekali," ucap si Pirang itu sambil tersenyum. Amel
tersenyum mendengarnya. Jantungnya berdebar. Ia ingin. Ia
ingin sekali melihat 2 penyihir yang ada di depannya di
selimuti dengan warna kesayangannya. Merah darah.
"Sayang sekali, tetapi aku ingin melawan
temanmu," ucap Amel dengan nada menyesal. Si Pirang itu
sentak kaget merasakan Aura pembunuh yang sangat kuat
dari diri Amel. Ia tersenyum.
"Bukan masalah, bila kau merasa ingin seperti itu.
Bila kau bosan... gadis kecil, kau boleh bermain denganku,"
ucapnya dengan senyuman yang merekah di bibirnya. Amel
tersenyum mendengarnya. "Terimakasih," ucapnya lalu menghilang dari dekat
Anggun dan Rain. Mereka sentak kaget dan langsung
menyiapkan diri untuk melawan si Pirang yang tengah
memandang mereka dengan pandangan kurang yakin.
"Hm... sepertinya kalian tidak akan bisa membuatku
puas, tapi kurasa kalian berhaga sekali untuk nya. Karena dia
mengambil keputusan tepat. Berterimakasihlah kalian
kepada teman kalian itu, karena tidak harus melawan Black...
si Iblis Penjaga Pintu Neraka," ucap si Pirang itu.
Anggun dan Rain sentak kaget mendengarnya. Dan,
mereka langsung menyesali apa yang mereka setujui. Amel,
ingin melawan tangan Kanan Edghard Hilton sendirian. Bagai
214 manapun, ada ataupun tanpa si Pirang ini, mereka ingin
membantu Amel. Karena bagai manapun Amel sudah
menjadi bagian dari mereka. Tetapi sekarang, mereka harus
bersiap melawan si Pirang, yang kekuatannya sangat
menakutkan. Dapat mengubah apapu menjadi salju.
215 18. Cerita: Edghard Hilton"
Anggun dan Rain memandang waspada musuh
mereka itu. Untuk pertama kalinya mereka bertarung.
Pertarungan antar penyihir. Tentu saja kekuatan mereka
sangat berbeda jauh dengan Amel. Tetapi tetap saja, mereka
ingin melakukannya. Bertarung, dan segera membantu Amel.
Rain sentak kaget saat tiba-tiba si Pirang itu
tersenyum dan dapat ia rasakan aura pembunuh yang sangat
kuat. Hampir sama kuatnya dengan aura pembunuh yang di
keluarkan Amel. Dengan siaga, mereka mengawasi arah
pandangan si Pirang. Mereka sadar, mata. Itulah arah dan
sudut pandang bidikan si Pirang itu.
"Monaherta!" ucap Si Pirang itu dan dalam
seketika, mereka ber-3 berada di dalam sebuah ruangan.
Ruangan yang di tutupi cermin tipis. Cermin tipis pelindung
yang sama seperti yang di gunakan Amel, untuk mengurung
Anggun. "Kenapa kau mengurung kami!?" tanya Anggun.
"Sudah jelas"kan" Supaya kalian fokus melawanku.
Sepertinya menarik kalau aku bisa melawan dan menghabisi
keturunan Alix dan keturunan Penyihir penyembuh... Aprilia,"
ucapnya sambil tersenyum dingin. Anggun sentak kaget
mendengarnya. Ya, alasan kenapa hanya Anggun yang di suruh
mengambil Anggrek, tanpa di temani siapapun. Bukan hanya
karena dia seorang Penyihir, tetapi juga seorang tabib.
216 Keturunan dari penyihir penyembu Aprilia. Penyihir
penyembuh terhebat sepanjang masa. Salah satu dari 3
penyihir yang membuat gelang Pelindung.
@@@ Amel langsung melompat dan menghindari api yang
hampir menghanguskan tubuhnya. Dengan segera, ia
membalas serangan laki-laki itu. Ia tidak perduli apapun yang
di ajarkan oleh Ayah Rain. Ia sudah tidak bisa di kendalikan
lagi. Amarahnya bergejolak.
Ia sangat ingin. Sangat ingin sekali membunuh lakilaki yang ada di hadapannya itu! Tidak akan ada lagi yang
dapat menghalanginya. Dengan segera, dengan kecepatannya, Amel berhasil sampai tepat di dekat laki-laki
itu. Dengan mata merah yang di penuhi amarah, ia langsung
menancapkan pedang esnya ke tubuh laki-laki itu.
"Bodoh," ucap laki-laki itu. Amel sentak kaget saat
menyadarinya. Pedang Es-nya tidak dapat di cabut. Padahal
jelas sekali pedang itu menancap di dada kiri laki-laki itu dan
mengeluarkan darah. Tetapi laki-laki itu masih berdiri dengan
kokohnya dan bahkan memandang Amel dengan pandangan
menghina! Dan laki-laki yang ada di hadapannya langsung
mencengkram pergelangan tangan Amel. Amel mencoba
melepaskan tangannya. "Akh!?" cengkraman laki-laki itu sentak membuat
pergelangan tangannya terasa panas. Kulitnya terasa
melepuh. Rasa panas itu membuatnya sangat kesakitan.
Saking sakitnya, Amel tidak dapat bersuara. Dan, sebelum ia
merasakan tangannya melepuh, ia langsung menancapkan
217 jarum kecil es ke dada kiri bekas luka pedangnya ke laki-laki
itu. Laki-laki itu sentak kaget dan langsung melepaskan
tangan Amel. Seketika Amel langsung termundur dan membuat
jarak. Ia mendapati pergelangan tangannya terkena luka
bakar. Memerah dan hampir melepuh. Amel langsung
menutupi luka itu dengan es yang ada di seklilingnya. Dan
langsung memandang laki-laki yang ada di hadapannya.
Pedangnya, masih menancap di sana.
"Ini bukan tongkat milikmu bukan" Itu sebabnya
kau hanya dapat mengeluarkan pedang es dengan tongkat
ini," ucap laki-laki itu sambil mencabut pedang es milik Amel
dan tiba-tiba, pedang itu langsung mencari. Dan tongkat yang
ada di dalamnya, langsung terbakar. Amel tersenyum
melihatnya. "Untuk apa tongkat sihir bila kau sudah benarbenar menguasai dan mengendalikan sihirmu. Benar"kan?"
ucap Amel lalu ribuan jarum tipis es menyerbu laki-laki itu.
Tetapi tepat sebelum jarum-jarum es itu mengenai tubuh
laki-laki itu, ia mencairkan es itu dan menyerang balik dengan
jarum-jarum tipis api yang tak kasat mata. Amel melihatnya
dan langsung melompat menghindar. Jarum api yang tak
terlihat itu langsung menancap di pohon dan terbakar. Lalu
pohon itu berubah menjadi abu dalam seketika.
Apa!" batin Amel tidak percaya. Bila ia terkena
jarum api itu, ia akan terbakar dan bila ia sampai terkena 2
kali, dia akan menjadi abu. Tidak. Amel tidak boleh samapi
218 terkena jarum itu. Kelemahan. Di mana kelemahan laki-laki
itu" Amel langsung melompat dan berlari mengitari lakilaki itu sambil menghindari jarum-jarum tipis itu. Ia bisa
melihat jarum itu karena matanya yang melihat. Melihat api
yang melesat itu. Amel tersenyum mengerti.
"Gadis Vampir, bukankah itu julukanmu" Kenapa
kau hanya menghindar tanpa menyerang" Apakah kau
takut?" ucap laki-laki itu dengan geli. Amel menjawabnya
dengan gelak tawa. "Takut" Aku tidak takut dengan apapun," ucap
Amel dengan serius lalu langsung membuat bongkahan es
berbentuk bola dengan ukuran bola baseball. Bola es yang
mirip seperti kristal. Dan saat laki-laki itu juga melempar bola
api, Amel langsung menghindari bola api itu dan
melemparkan bolanya. Laki-laki itu tertawa dan dalam satu hentakan, bola
yang di buat Amel pecah. Amel tersenyum dan ribuan jarum
es langsung menancap di seluruh tubuh laki-laki itu. Darah
langsung keluar dari setiap tusukan jarum yang memenuh
tubuhnya itu. "Ini tidak akan menghalangi"apa!?" ia sentak kaget
saat melihat Amel, tersenyum. Amel menang. Darah yang
keluar dari dalam tubuh laki-laki itu langsung di buat Amel
membeku. Membelenggu jantung laki-laki itu hingga
membuatnya kesakitan. 219 Laki-laki itu langsung memegang dada kirinya.
Jantungnya semakin berdegub dengan kencang. Berusaha
memompa darah keseluruh tubuh, tapi sebagain dara-darah
itu sudah di buat membeku oleh Amel. Laki-laki itu langsung
terduduk dengan nafas terengah di atas tumpukan salju.
"Bersiaplah," ucap Amel sedingin es sambil
mengeluarkan panah es berwarna perak. Laki-laki itu tidak
berdaya melihat anak panah yang terarah ke arahnya. Siap
melesat dan membunuhnya.
The True Of My Life Karya Nyimas Humairoh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau hebat. Pantas untuk ukuran keturunan
Semone. Bangsawan es yang menguasai berbagai sihir air,
udara, dan es. Tetapi apakah kau tahu... uhuk! Bahwa Tuan
Edghard yang akan kau lawan... uhuk! Adalah keluar?"
"DIAM!" teriak Amel lalu melepaskan anak
panahnya. Anak panah itu melesat dan menancap tepat di
tumpukan salju yang berada di depan laki-laki itu. Hanya
beda beberapa Cm hingga mengenai laki-laki itu. Laki-laki itu
bingung. Dan, dalam kebingungan itu, tanpa sadar tubuhnya
sudah berada di dalam bongkahan es.
"Dasar cerewet!" ucap Amel dengan nafas
terengah. Dan, dengan sebuah jarum es, ia langsung
membuat bongkahan es itu hancur berkeping-keping.
Bersama tubuh yang ada di dalamnya. Ia tahu. Tentu saja
Amel tahu siapa pembunuh kedua orang tuanya. Tentu saja
dia tahu... siapa sebenarnya Edghard Hilton. Sang
penghianat. Kepala Amel berdenyut sakit. Matanya
berkunang-kunang. 220 "Sial!" ucap Amel dengan nafas terengah. Dan,
seekor kuda hitam langsung berlari ke arah Amel. Amel
sentak kaget melihatnya. Meskipun sekarang tenaganya
terkuras habis. Dan rasa sakit mulai menjalari sekujur
tubuhnya, ia dapat melihat dengan jelas. Kuda hitam yang
seharusnya menghampiri tuannya itu, tetapi kuda hitam yang
selama ini menemaninya... tiba-tiba saja langsung terbakar
api. Amel sentak kaget dan langsung memandang
jebakan itu dengan tidak percaya. Jebakan itu di buat oleh
laki-laki yang di lawan Amel. Dengan segera Amel berusaha
memadamkan api itu dengan esnya. Tetapi api itu sama
sekali tidak mau mati dan terus-terusan membuat kudanya
mendeking kesakitan. Tentu saja Amel tahu, bahwa api itu
tidak akan padam sampai benda yang dibuatnya terbakar
benar-benar habis terbakar. Tetapi Amel tetap saja berusaha
memadamkannya dengan es-nya.
Dada amel terasa sesak. Rasanya sakit dan ingin
menangis. Tetapi air mata Amel sudah kering. Ia hanya dapat
berjalan dengan agak terhuyung ke arah kuda hitam
kesayangannya yang sudah menemaninya berjalan selama
lebih dari 5 tahun. Kuda itu terus bersuara kesakitan di
hadapan Amel. "Maaf," ucapnya lalu dengan gerakan cepat, es
abadi itu menancap di urat nadi kudanya. Suara kesakitan itu
tidak ada lagi. Gerakan menghenatk-hentakan untuk
mematikan api yang ada di tubuhnya kini sudah diam tidak
221 bergerak. Rasa sakit di pergelangan tangan Amel seolah tidak
berarti apa-apa. Ia hanya dapat memandangi tubuh kuda
kesayangannya dengan rasa bersalah. Seandainya ia lebih
menyadari kalau masih ada jebakan. Ia tidak mau melihat
kudanya menahan sakit lebih lagi, jadi, dia ingin meringankan
beban itu. "Maafkan aku Black," ucap Amel dengan suara
seperti bisikan. Ia langsung berdiri. Menahan rasa sakit di
seluruh tubuhnya. Dan, dengan agak terhuyung berjalan
menjauhi abu kuda itu. Amel terlalu banyak mengeluarkan
tenaganya. Tentu saja ia tahu. Bila mengeluarkan jarum es
itu, akan menyerap banyak tenaga.
Seluruh tubuhnya terasa berat. Seluruh tubuhnya
terasa sakit dan pandangannya kabur. Tetapi ia tahu. Ia tidak
boleh lemah dan harus berjalan terus. Lalu langkah Amel
terhenti. Ia mengangkat tangannya, dan sebuah dinding
tersentuh. Dinding yang sama sekali tak terlihat. Bisa amel
rasakan sebuah kekuatan. Kekuatan besar yang tak
terkendali. @@@ Anggun langsung mengubah udara yang ada
menjadi pisau. Dengan nafas terengah, si Pirang langsung
mengubahnya menjadi salju dan dalam seketika, Rain
langsung menusuk laki-laki itu dengan pedang miliknya.
Menusuknya tepat di daerah vital. Si Pirang terbelalak. Ia
langsung muntah darah dan darah segar keluar dari bekas
tusukan yang di buat Rain.
222 "Ka, kalian ta"takkan keluar...." ucap Si Pirang
dengan nafas terengah. Dan, dalam seketika, si Pirang
langsung terjatuh dan sama sekali tak bergerak di atas
tumpukan salju. Rain dan Anggun memandang si Pirang
dengan terengah. "Kita... menang?" ucap Rain tidak percaya.
"Ya, kita menang," setuju Anggun sambil tersenyum
memandang Rain. Rain dan Anggun sama-sama tersenyum
puas. Mereka menang dan tanpa di katakanpun, mereka
senang. Tetapi sayang, mereka di penuhi luka karena
pertarungan itu. Tetapi luka itu bukanlah masalah. Masalah
sekarang, bagai mana caranya agar keluar dari ruangan yang
di buat si Pirang untuk mengurung mereka.
"Bagai mana caranya kita keluar?" tanya Rain. Ia
menyerah. Ia sudah mengeluarkan api birunya dan percuma.
Tembok kaca itu sama sekali tak tergores sedikitpun. Anggun
juga sudah mencoba menyayatnya, tapi tetap tidak bisa.
Mereka langsung sama-sama terduduk di atas tumpukan
salju yang dingin. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya
Anggun. "Bagai mana dengan Amelia" Apa dia baik-baik
saja?" tanya Rain dengan khawatir.
"Kau meremehkannya?" gerutu Anggun.
"Benar juga, dia tidak mungkin kalah," ucap Rain
sambil tersenyum. Perempuan kuat seperti Amel pasti
menang. Rain dan Anggun sama-sama menghela nafas berat
223 saat sadar kalau mereka sepertinya tidak dapat datang
menolong Amel. Dan, entah bagai mana, pikiran buruk
merasuki Rain dan Anggun.
"Tapi... yang di lawannya kan Tangan Kanan
Edghard?" ucap Anggun tidak percaya.
"Apa yang akan terjadi dengan Amel kalau dia
sendirian melawannya?" ucap Rain panik.
"Apa kau ingat" Selama latihan Amel tidak pernah
menggunakan sihirnya. Dan saat kita melihatnya
menggunakan sihirnya, dia selalu terlihat kehabisan tenaga
bukan?" ucap Anggun tidak percaya.
"Gawat! Kita harus segera keluar!" ucap Rain sambil
berdiri. "Benar... gimana kalau kita sama-sama memecahkan temboknya" Satu arah, siapa tahu bisa," ucap
Anggun sambil berdiri. Rain tersenyum dengan ide Anggun.
Dan, dengan konsentrasi penuh, mereka mengeluarkan sihir
mereka. Muncul api biru dari tongkat Rain. Menghantam
dinding es yang sama sekali tidak mencair. Di sebelahnya
Anggun mengarahkan tongkah sihirnya ke tempat yang sama
denga api biru Rain. Angin yang kencang langsung
menghembus. Dan, mereka sentak kaget saat api biru itu
berubah menjadi api merah.
"Apa yang terjadi!?" ucap Anggun panik sambil
mencoba menahan kekuatannya agar segera menghilang.
224 Tapi percuma. Terlebih, tangannya sama sekali tidak bisa
melepaskan tongkat sihirnya.
"Kenapa dengan Api-ku!?" ucap Rain panik. Mereka
berdua berusaha menahan kekuatan mereka agar berhenti.
Tetapi percuma. Semakin berusaha untuk menghentikannya,
api itu semakin besar. Dan... tiba-tiba saja tembok itu pecah.
Anggun dan Rain sentak kaget saat melihat Amel di balik
tembok itu. "AMELIA!" "AWAS!" Pekik mereka kompak. Amel hanya berdiam diri.
Aneh karena tubuhnya jelas terkena api merah mereka, tapi
tubuhnya sama sekali tak telihat terkena luka bakar. Dan
dalam seketika, Api merah itu menghilang bersamaan saat
Amel mengangkat tangannya menggapai api merah itu. Rain
dan Anggun langsung merasa tubuh mereka lemas saat Api
itu benar-benar hilang. Mereka terengah sambil berlari
menghampiri Amel. "Amel! Maaf"kan kami!" ucap Rain panik.
"Api itu tidak membuatmu"ah!?" Anggun sentak
kaget mendapati Amel mendapati luka bakar di pergelangan
tangan kanannya. Amel langsung menarik tangannya untuk
menyembunyikan luka bakar itu.
"Tidak apa-apa," ucapnya. Kepalanya terasa berat,
matanya berkunang-kunang dan seluruh tubuhnya terasa
sakit, tapi ia tersenyum melihat ke-2 orang itu baik-baik saja.
Setidaknya, mereka selamat.
225 "Syukurlah kalian..." kata-kata Amel seketika
terhenti saat tiba-tiba Amel langsung jatuh pingsan. Refleks,
Anggun dan Rain menangkap Amel sebelum Amel benarbenar jatuh di atas tumpukan salju. Mereka panik bukan
main mendapati Amel pingsan.
Di dalam kegelapan itu, tidak seperti biasanya. Amel
merasakan tekanan berat. Ia merasa kekuatan yang sangat
besar. Kekuatan yang sangat familiar. Kekuatan yang selama
ini ia cari. Tapi Amel tidak berdaya. Ia tidak dapat bergerak,
bahkan membuka kedua matanya. Ia benar-benar kelelahan.
@@@ "Kenapa dengan teman kalian?" tanya seseorang.
Anggun dan Rain langsung memandangnya dengan tidak
percaya. Belum pernah mereka melihat ada perempuan yang
lebih cantik dari pada orang itu.
Perempuan itu bertubuh mungil, dengan kulit
pucat. Usianya sekitar belasan. Rambutnya di potong pendek
mirip laki-laki. Rambutnya berwarna hitam. Dan matanya
bulat besar, berwarna merah. Bibirnya berwarna pink.
Bahkan pipinya juga agak memerah karena udara dingin.
"Entahlah, kami juga tidak tahu," jawab Rain
akhirnya. Perempuan itu langsung berjalan mendekat ke arah
Amel. Tubuhnya lebih kecil dari Amel. Dia langsung
menyentuh kening Amel. "Sepertinya demam," ucap Perempuan itu dengan
kalem. Anggun dan Rain sentak kaget saat tiba-tiba mata
226 Amel terbuka. Matanya memandang tajam Perempuan yang
ada di hadapannya. "Amel" kau siuman!" ucap Rain senang. Amel
langsung berusaha bangkit. Tubuhnya terasa sangat berat.
Kepalanya juga terasa berdenyut sakit. Keseimbangannya
susah sekali di jaga, tetapi Amel tetap menolak untuk di
pegang. Dia memandang Perempuan di hadapannya dengan
marah. "Amel, jangan paksakan dirimu," ucap Anggun
khawatir. Perempuan itu langsung tersenyum lembut
memandang Amel. "Benar, Amel, sebaiknya kau beristirahat. Jangan
memaksakan dirimu," ucap Perempuan itu ramah. Amel tidak
perduli dan tiba-tiba saja keseimbangannya hilang.
Perempuan itu langsung menangkap Amel sebelum Amel
terjatuh di atas salju. "Wah, Pingsa lagi. Keponakanku ini memang suka
sekali memaksakan diri," ucap Perempuan itu geli sambil
memeluk Amel yang tengah pingsan. Anggun dan Rain sentak
kaget mendengarnya. "Jadi kau Tante Amel?" ucap Anggun tidak percaya.
"Tante" Ah, karena wajahku mirip perempuan ya"
aku ini Pamannya loh! Walau aku bertubuh dan berwajah
seperti remaja, sebenarnya aku sudah puluhan tahun. Kalian
bisa memanggilku Semone," ucapnya dengan geli.
"Wah, awet muda! Terus" Semone tinggal di
mana?" tanya Rain bingung. Ia memandang Amel yang
227 berada di dalam pelukan Semone dengan khawatir. Semone
tersenyum mendengarnya. "Didekat sini," jawabnya. Sementara itu, Amel
mengutuk dirinya sendiri. Ia tenggelama dalam dirinya. Ia
berteriak. Meneriakkan peringatan kepada Anggun dan Rain.
Tetapi percuma. Tentu saja, karena sekarang Amel dalam
keadaan pingsan. Amel sangat ingin memberi tahu mereka,
bahwa orang itu adalah Edghard Hilton Semone. Pamannya
sendiri yang membunuh keluarganya dan orang yang mereka
incar. Meskipun wajah, suara, dan tubuhnya sudah
berbeda dengan Pamannya yang dulu, tapi aura yang di
rasakannya ini. Tidak salah lagi. Orang yang sama. Dan kini,
Amel hanya dapat terkulai lemas di dalam dekapan
pembunuh yang ingin ia bunuh.
228 19. Akhir--Awal" "Sebelum Amel di bunuh oleh Edghard, ia siuman.
Akhirnya ia bertarung dengan Edghard, yang merupakan
Pamannya sendiri. Anggun dan Rain membantu Amel, dan
mereka sadar bahwa mereka tidak bisa mengalahkannya. Itu
sebabnya, Edghard di segel. Di dalam hutan itu... di dalam
hutan di dekat sini," cerita Nyonya Alix. Sekarang aku
mengerti kenapa jantungku bereaksi waktu itu. Jadi... karena
tempat segel itu" "Lalu apa yang terjadi setelah itu?" tanyaku.
Matahari mulai terlihat. Ruangan ini juga agak mulai terang.
Wajah Nyonya Alix terlihat sedih. Ia menatapku dengan
pandangan meminta maaf. "Nenekmu meninggal setelah kejadian itu. Ia di
bunuh karena mencoba menolong Amel yang kelelahan
karena habis menyegel. Nenekmu di bunuh oleh salah satu
pengikut Edghard. Beruntungnya, Pembunuh itu sudah di
The True Of My Life Karya Nyimas Humairoh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bunuh oleh Rain. Tetapi... Amel merasa bersalah. Ia...
meminta Rain untuk melakukan Perjanjian Pedang Suci
kepada dirinya. "Tentu saja Rain menolak. Mereka sempat
bertengkar dan akhiranya, sambil menangis... di depan
makam Anggun, Rain dan Amel melakukan perjanjian pedang
suci. Amel bersumpah. Ia tidak akan pernah mau mati
sebelum Edghard benar-benar mati. Setelah itu, mereka
menemukan Anggrek Perak. Dan sesuai dengan janji mereka.
229 "Mereka memberikan Anggrek Perak itu ke Suami
Anggun, dan menceritakan semua yang telah terjadi.
Akhirnya, bahkan setelah jasad Amel meninggal, rohnya
tetap menyimpan semua kekuatannya. Dan, karena kau
keturunan Anggun, maka Amel lebih memilih mu. Ia ingin
kau...keturunan Anggun, roh Amel, dan keturunan Phoenix
berkumpul. Memperkuat segel itu atau memusnahkan
Edghard," cerita Nyonya Alix.
"La lu Al... kenapa dia memiliki kekuatan yang
sangat besar, itu semua karena kami. Karena aku dan
suamiku memiliki kekuatan yang besar, terlebih Suamiku
adalah keturunan Alix. Itulah alasan kenapa Al memiliki
kekuatan yang sangat besar. Kami takut, karena kekuatan
besarnya itu... bergejolak dan berdampak negatif dengan
kondisi fisiknya. Jadi, kami harus menyegel kekuatan Al, kelak
bila kekuatannya benar-benar tak terkendali lagi.
"Kami harus selalu mengawasinya...," Tiba-tiba
Nyonya Alix menangis. "Maaf kan kami... maaf kan kami... percayalah, kami
berbuat seperti ini bukan karena keinginan kami," isak
Nyonya Alix. Aku tidak kuat melihatnya. Lalu aku melihat
gadis itu di sebelah Nyonya Alix. Wajahnya juga
menyiaratkan kesedihan. "Maaf"kan aku. Aku hanya ingin menyelesaikan
tugas ini," ucap Amel dengan tulus. Ya, tidak apa-apa. Lalu
aku teringat dengan segel yang kurasakan hampir lepas itu.
Aku tidak percaya saat menyadari semuanya.
230 "Nyonya... nyonya tahu kalau segel itu akan
terlepas?" tanyaku hati-hati.
"Ya, maaf"kan aku... tetapi aku mohon... kami
melakukan ini karena kami sangat menyayangi Alicia.
Lindungilah dia, karena kami akan menyegel kekuatannya. Ia
akan jadi lemah," isak Nyonya Alix. Aku langsung memeluk
Nyonya Alix. Sekarang aku mengerti semuanya. Semuanya
jadi sangat jelas. Sejak awal, aku memang mempunyai kekuatan sihir.
Sihir udara sama seperti Nenekku. Tetapi karena ada Amel
yang selalu di dekatku, sihirku di tekan. Lalu Snow. Sekarang
aku mengerti kenapa ia memilihku. Karena dia tahu aku
seorang penyihir, dan karena hatinya menginginkan aku
menjadi majikannya. Dan Al dan Pi. Mereka sengaja membiarkan Pi dan
Al mengikuti kami, untuk mengawasiku. Apakah aku benar
keturunan Anggun. Atau apakah benar Amel selalu ada di
dekatku. Dan... alasan kenapa mereka berbicara seperti itu,
agar aku mau melakukan perjanjian pedang suci.
Dan alasan mereka memintaku melakukan itu di
depan banyak orang. Di pesta itu di saat itu juga, agar aku
tidak di ganggu para penyihir itu lagi. Agar aku bebas dari
kejaran mereka. Dan... tentu saja, mereka ingin aku
melakukan hal yang terpenting. Melindungi Al... atau biasa di
panggil Alicia. Dan membantunya kelak untuk juga menyegel
atau mungkin menghancurkan Edghard.
231 "Nyonya... apakah Nyonya akan memperbaiki segel
yang mengurung"nya" itu?" tanyaku. Nyonya Alix
mengangguk. "Ya... aku dan suamiku akan memperkuat segel
itu.... tetapi, aku tahu. Karena hanya kami berdua yang akan
menyegelnya... mungkin kami akan mati karena kehabisan
tenaga, dan segel kami hanya bisa bertahan sekitar 3-5
tahun. Jadi... bila kelak kami sudah tidak ada lagi.... kami
mohon. Lindungila Alicia. Ajarkanlah dan jelaskanlah semua
yang kau ketahui kepadanya," pinta Nyonya Alix sambil
menatapku dengan matanya.
"Ya Nyonya," setujuku.
"Terimakasih.... maafkan kami. Kumohon, maaf kan
kami atas semua yang telah kami lakukan. Maafkan kami,"
ucapnya dengan terisak. @@@ Aku menarik nafas sambil mengenakan kaos putih
dengan celana jins hitam. Aku tidak mengenakan jubah.
Tentu saja. Jantungku memburu. Aku menggandeng tangan
Snow dengan erat. "Kita akan pulang. Saya sangat berterimakasih
untuk semuanya," ucapku tulus.
"Terimakasih karena sudah menolong Saya dan
Nona. Juga Kami semua yang ada di sini. Kami semua benarbenar berterimakasih," ucap Snow tulus. Di halaman
belakang Istana, kami berkumpul. Matahari mulai tenggelam.
Memancarkan cahaya kemerahannya dilangit.
232 "Kolin.... Al cuka Kolin, jangan pegi jauh-jauh ya?"
ucap Al hampir menangis. Aku tersenyum mendengarnya dan
langsung berlutut dan memeluk anak kecil yang manis itu.
Mungkin, saat ia besar, akan mengalami hal yang akan
membuatnya sangat ketakutan melebihi kemarin. Al gadis
kecil yang malang..... "Tanang saja, kita akan ketemu lagi kok Al," janjiku.
"Benal?" tanya Al.
"Benar Kak Corin mau datang lagi dan nemenin
kami" Sama Snow?" tanya Pi dengan semangat. Senyuman
merekah di bibirnya. "Ya, Tentu saja. Kita akan bertemu lagi," ucapku
dengan pasti. "Oh ya, kalian bakalan ketemu dengan aku hari apa
ya" em.... oh ya! Sabtu nanti ya" nah, jadi kita baru ketemu
hari sabtu dong!" sela Edle. Aku langsung memandang Edle,
Eka dan Roni. "Benar juga," setuju Josh.
"Terimakasih ya Eka, kau memang sahabatku!" ucap
Lin dengan senang sambil memeluk Eka. Eka balas memeluk
Lin. "Tentu saja! kita memang sahabat"kan?" ucapnya
dengan senang. Mereka langsung melepaskan pelukan
mereka. Lalu Eka memandangku dan langsung memelukku.
Aku terperangah. "Jangan lupakan aku. Aku tahu kau ingin jadi
manusia, tapi aku sudah menganggabmu Sahabtku. Jadi bila
233 ada apa-apa, katakan saja kepadaku," ucap Eka di kupingku.
Mataku terasa panas mendengarnya. "sahabat". Kata-kata
yang sejak dulu ingin sekali kudengar. Kata-kata ajaib, yang
dengan mudahnya membuat dadaku terasa hangat dan
nyaman, sekaligus membuat dadaku sesak.
"Iya, tentu saja aku nggak akan lupain kamu! Juga
semuanya!" isakku sambil memeluk Eka. Semua terlihat geli
melihatku menangis. Tapi biarkanlah, aku menangis juga
karena aku senang. "Sudahlah, kita akan ketemu kok!" ucap Edle
menenangkanku. Aku menggeleng.
"Siapa bilang aku ingin bertemu denganmu?"
candaku. "Apa!?" ucap Edle kaget. Aku tersenyum dan
menghepus air mataku. "Aku bukan cuman ingin ketemu kamu aja tahu!
Tapi semuanya!" ucapku jujur. Semuanya tertawa saat
melihat wajah memerah Edle. Dengan kesal, Edle
memandangku. Aku tertawa.
"Maaf ya Sayang," ucapku geli.
"Kenapa kau memangggilnya Sayang?" tanya Lin
bingung. Wajah Edle memerah mendengar panggilanku tadi.
Ia terlihat manis sekali.
"Kan itu ungkapan sayang! Benar"kan Kak Corin!"
ucap Pi dengan ceria. "Tuh! Pi aja tahu!" ucapku jujur.
234 "Yah, mau malam," ucap Josh sambil memandang
ke langit yang menampakan bintang. Aku juga memandang
langit. Kami semua langsung terdiam.
"Sebaiknya, untuk pertama kalinya, kubantu kau
mengeluarkan sihirmu," ucap Edle tiba-tiba. Kami semua
langsung memandang Edla yang berdiri di sebelahku. Apa
maksudnya" "Mana mungkin keluar begitu saja"kan?" ucap Roni
bingung. "Katanya kalau pakai cincin, bisa mengeluarkan sihir
lebih mudah"kan Nyonya?" tanya Edle.
"Ya, tentu saja," jawab Nyonya Alix dengan bingung.
Edle tersenyum. "Tipe sihirmu udara"kan" Entah ini berhasil atau
tidak," ucap Edle sambil memandangku. Firasatku langsung
tidak enak. Dan, semuanya sentak kaget, terutama aku
sendiri, saat tiba-tiba Edle memelukku. Jantungku langsung
memburu dengan kuat seperti baling-baling dan seluruhh
tubuhku langsung terasa panas.
Seketika udara kencang bermunculan dari seluruh
tubuhku. Saat Edle melepaskan pelukannya, aku langsung
sadar apa yang telah aku perbuat. Dedaunan kubuat
berterbangan di sekitar kami. Semuanya jadi terlihat cantik.
Di langit senja yang menawan.
"Tuh! Berhasilkan!?" ucap Edle dengan senang.
"Apanya yang berhasil!" Apa-apaan kamu!?"
ucapku marah. Edle nyengir mendengarnya. Sedangkan yang
235 lain mulai memperolokku. Tetapi berkat itu aku sadar, bahwa
ini bukanlah perpisahan. Tetapi hanyalah sebuah jangka tidak
bertemu, dan pasti akan bertemu kembali. Jadi, bukanlah
saatnya untuk menangis. Aku yang selalu sendiri. Aku yang selalu
menganggab duniaku hitam-putih. Tanpa warna sama sekali.
Mengingat betapa kami menantang maut bersama.... entah
bagai mana semua yang telah kami lakukan beberapa hari
terakhir ini sama sekali tak berarti apa-apa sekarang.
Apakah aku bahagia" Tentu saja! "Sahabat". Hanya
satu kata itu saja yang perlu kau ucapkan... dan kurasakan.
Itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku rela menantang
maut. Terimakasih. Terimakasih karena untuk pertama
kalinya, kalian mengajariku untuk bangkit dan mendorongku
di saat tersulitku. Membantuku. Dan hanya demi diriku,
kalian rela mengeluarkan semua tenaga dan perasaan kalian.
Kalian juga mengajariku untuk saling menolong dan
melindungi. Terimakasih....
Terimakasih, karena untuk pertama kalinya, aku
merasa begitu di cintai oleh orang lain selain keluargaku
sendiri. Terimakasih karena kalian, telah melengkapkan
warna pelangiku. Dan aku sadar. Ini mungkin saja akhir dari
tujuanku semula, tetapi ini juga awal, untuk membuatku
melangkah maju ke depan, sambil mengangkat wajah dan
tidak seperti dulu saat aku masih menunduk sambil
mengasihani diriku sendiri.
@@@ 236 "Kakak bangun! Mentang-mentang hari Minggu!
Jangan tidur mulu dong!" aku menggertukan kening
mendengar suara familiar itu. Kubuka kedua mataku. Aku
mengerjab bingung saat melihat wajah Alvin tepat di sebelah
kasurku. Menatapku sambil berdecak pinggang.
"Alvin?" gumamku sambil mengucek mataku yang
masih agak rabun. "Siapa lagi kalao bukan Alvin Yudistira" Kak!
Katanya Kak Pemy mau pulang tuh dari Bali! Cepetan
mandi!" ucap Alvin. Aku mengerjab kaget dan langsung
bangkit. Alvin sentak kaget dengan gerakanku yang tiba-tiba
itu dan langsung memegang dadanya.
"Kak Pemy!?" ucapku tidak percaya.
"Iya.... terus" Kok ada anak kucing di kamar Kak
Corin?" tanya Alvin sambil memandang ke kasurku. Aku
langsung memandang sebelah kasurku dengan bingung.
Seekor anak kucing hitam tengah terlelap di atas kasurku,
sambil membulatkan tubuhnya. Aku tersenyum melihat
kucing itu. "Ya, nggak apa"kan" Tok aku yang bakal ngurus!"
ucapku kemudian. "Emang Gue Pikirin," ucapnya cuek sambil berjalan
keluar kamarku. Aku memutar bola mataku mendengarnya.
Lalu aku tersenyum memandang kamarku. Sama seperti saat
aku meninggalkannya. Dan, bisa kurasakan cincin itu
melingkar di jari tengahku.
237 Semua yang telah aku alami bagaikan sebuah
mimpi. Rasanya... semua ini tidak masuk akal. Tentu saja. Aku
langsung bangkit dan membuka jendela kamarku. Bisa
kurasakan embun pagi yang sejuk menyambutku. Aku
tersenyum memandang matahari dan udara segar tempatku
ini. Tempat yang tidak asing. Tempat yang sangat kurindukan.
Aku menghela nafas dan langsung duduk di
pinggiran jendela. Kebiasaanku di pagi hari kalau liburan. Aku
tersenyum melihat banyak sekali orang berlalu lalang hanya
sekedar untuk joging. Tentu saja aku paling malas untuk
berolahraga. Aku lebih suka di kamar dan menikmati
kedamaian yang membosankan bersama pikiran-pikiranku
yang melayang entah ke mana.
Tapi, sekalipun aku menganggabnya membosankan,
itu sudah menjadi hal yang sangat aku sukai. Karena
sekarangpun, aku hanya melamun sambil tersenyum
memandang keluar jendela. Menikmati hari-hariku seperti
biasa. Seolah, semua hal yang telah aku lalui adalah sebuah
mimpi. Tetapi.... kalaupun semua itu hanya mimpi, tidak
The True Of My Life Karya Nyimas Humairoh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masalah. Karena dari mimpi itulah....
"Corin!" aku langsung mengerjab kaget saat melihat
Josh dan Lin melambaikan tangan mereka ke arahku. Aku
tersenyum dan ikut melambaikan tanganku. Mereka tertawa,
dan dengan riang melanjutka joging mereka.
Yah, karena dari mimpi itulah aku belajar, untuk
mulai merubah hidupku dan membuka diri untuk bersama
dengan taman-temanku. Teman-teman sebayaku, tanpa sihir.
238 Karena aku sudah berjanji, aku ingin hidup menjadi manusia
biasa, tanpa menggunakan sihir.
Umh.... Nona" Aku langsung menoleh memandang Snow. Anak
kucing hitam itu mengangkat kepalanya. Memandangku.
Anak kucing hitam itu langsung melompat dari kasurku,
kedepanku. Di penyangga jendela. Snow langsung duduk
dengan patuh sambil menatapku.
"Pagi Snow, pagi yang cerah ya?" ucapku ceria.
Ya, saya rasa" Anda akan segera melakukan semua
hal baru tanpa sihir dan bahaya. Aku geli mendengar isi
pikiran Snow. Yah" mungkin sedikit pengecualian. Mungkin
aku akan berpura-pura jadi manusia tanpa daya, dan tetap
menggunakan sihir hanya untuk melatih kekuatanku saja.
Terlebih, jelas sekali beberapa tahun lagi, aku akan
di gunakan. Menyegel kembali Edghard. Ancaman bagi
penyihir. Bila ia bangkit, maka peperangan akan muncul
kembali. Dan artinya, aku harus menunggu sampai Alicia
besar. Agar ia bisa mengerti.
Tetapi sekarang, aku harus menikmati semua harihari yang mebosankan lagi" um, ralat sedikit. Hidup yang
membosankan itu sepertinya tidak perlu. Aku hanya perlu
mengatakan, bahwa hari ini, harus jadi hari yang lebih baik
dari kemarin. Ya! "Corin" Kamu tidur lagi ya?" teriak Mama dari
ruang makan. "Nggak kok Ma!" teriakku.
239 "Kalau begitu cepat mandi!" teriak Papa.
"Iya sebentar!" ucapku lalu langsung bangkit dan
mengambil handuk. Dan, dengan enggan, keluar dari
kamarku dan menutup pintu.
240 Epilog....." "Siska, maaf ya?" ucapku dengan menyesal sambil
memandang teman sebangkuku itu. Ia menggerutkan kening
mendengar ucapanku. Lalu, ia menghela nafas. Aku langsung
tersenyum melihat "tanda-tanda akan di maafkan" itu.
"Hah, nggak bosen apa" kita ni kan udah kelas 3
SMA Bu! Masa" hari minggu atau malem minggu aja nggak
bisa keluar?" gerutunya.
"He he he, Sory ya My friend!" ucapku sambil
nyengir. "Cengar-cengir! Udah ah! Pulang yuk!" gerutunya
sambil bangkit dan mengambil tasnya.
"Yuk!" ajakku sambil ikut bangkit. Kami langsung
berjalan keluar kelas. Aku menghela nafas. Sudah 1 tahun setelah
kejadian itu. Semuanya terasa begitu cepat bergulir. Dan,
saat sadar, aku sudah menemukan banyak teman. Salah
satunya Siska. Walaupun bisa dibilang kami keseringan
berdebat. Entah itu masalah pelajaran atau bandingin harga
coklat yang satu dengan yang lain di tempat toko yang
berlainan, tapi dari perdebatan itulah kami merasa cocok.
Jangan di kira aku tidak akrab dengan Lin. Tentu
saja aku akrab dengannya! Dia sahabatku! Dan adiknya". Eh,
walau agak malu mengakuinya(Karena mampu membuat
241 wajahku memerah bila mengingatnya). Partnerku yang
berbeda 2 tahun dariku. Edle Weish.
Tetapi tentu saja kami punya alasan kenapa kami
pura-pura tidak saling kenal di sekolah. Itu karena kami tidak
mau sampai ada yang curiga. Tentu saja Lin sadar dengan
posisinya sebagai seorang yang Populer. Dia tidak mau
membuatku terlibat dalam hal geng dan sebagainya. Dan
akupun, kalau boleh jujur, mulai tidak tertarik dengan apa itu
yang namanya geng. Sehingga kami, di sekolah seperti teman
saling kenal dan sapaan saja. Tanpa obrolan.
@@@ "Kak Corin! Buka pintunya!" teriak Alvin. Aku kesal
bukan main mendengarnya. "Kau saja yang buka!" ucapku kesal.
"Dasar Kakak kecil!" desisnya kesal sambil keluar
dari kamarnya. Aku hanya diam sambil memandang berita di
TV lagi. Dan, aku sentak kaget saat tiba-tiba di peluk dari
belakang. "Corin!" "Eh!" Eka" Lin?" ucapku kaget bercampur bingung
dan senang. Mereka nyengir sambil melepaskan pelukan
mereka. Tanpa disuruhpun, kami langsung masuk ke dalam
kamarku. Inilah alasan kenapa aku tidak bisa pergi setiap
Sabtu, malam Minggu, dan Minggu. Karena setiap Sabtu, Eka
dan Lin ke rumahku. Setiap malam Minggu, aku melatih
sihirku. Dan tentu saja hari Minggu seperti biasa. Bertemu
dengan Edle. 242 Lalu kami langsung masuk ke dalam kamar. Mana
mungkin"kan membicarakan sihir di depan Alvin atau kedua
orang tuaku" Jelas, aku merahasiakan sihir ini dari
keluargaku. Mau di apakan lagi" Aku"kan punya alasan
tersendiri. "Corin jadi sombong ya! Mentang-mentang sudah
punya banyak kawan!" gerutu Eka saat aku menutup kamar.
Aku mengerucutkan bibir mendengarnya.
"Kan kalian yang sombong! Apalagi Eka, mentangmentang beda sekolah, kamu jadi sombong," gerutuku
sambil duduk menyilangkan kaki di atas kasurku. Di sebelah
Lin. "Aku nggak pernah sombong tuh! Tanya aja dengan
Lin! Tiap hari Minggu, Rabu dan Sabtu kami saling sapa dan
ngobrol di sekolah," balas Eka.
"Iya! Sombong~ banget!" tambah Lin.
"Kan beda lagi! Itu mah sekolah di mana aku nggak
ada!" gerutuku. Mereka tertawa mendengarnya. Tentu saja
aku tahu maksud mereka. Setiap malam Minggu, Rabu dan
Sabtu adalah jadwal pergi ke sekolah sihir. Sebenarnya aku
tidak pernah ke sana, jadi tidak tahu menahu di mana
tempatnya. "Ah! Snow!" seru Lin saat melihat Snow melompat
masuk ke dalam kamar dari jendela. Tanpa di tunggu lagi, Lin
langsung memeluk Snow, yang sekarang sudah menjadi
kucing betina yang cantik. Aku berharap dia melahirkan anakanak kucing yang lucu, tapi sayang, dia tidak bisa hamil.
243 "Mana Phoenix?" tanyaku penasaran.
"Phoenix lagi di pinjem Papa untuk tugas, jadi aku
kesepian... ah, untung saja kau punya Snow ya," ucap Lin
dengan senang sambil mengelus bulu Snow. Snow juga
sepertinya senang sekali di elus. Tentu saja, setiap hari aku
yang bertugas mengelusnya.
"Oh ya, sesuai dengan permintaanmu nih! Edle
sampai nyarinya mati-matian di perpustakaan," ucap Eka
tiba-tiba. Jantungku terasa berhenti berdetak mendengar
nama Edle. Aduh... kebiasaan!
"Mana?" tanyaku. Eka langsung mengeluarkan
sebuah buku tebal yang sampulnya terbuat dari kulit yang
sangat tebal. Mungkin kulit ular, karena sampul itu bersisik
dan mengkilat. "Aku aja sampe heran banget waktu tahu kalau Edle
akhir-akhir ini sering ke Perpustakaan. Ternyata benar
dugaanku. Semuanya demi kau," ucap Lin santai sambil
memandangku. Seketika wajahku memerah mendengarnya.
"Habis, bacaan buku di "sana" bagus-bagus. Aku juga
nggak minta di pinjamkan buku dengan Edle. Aku juga baru
tahu kalau Edle nggak suka baca buku. Kenapa dia
memaksakan diri seperti itu sih!?" gerutuku kesal. Eka geli
sendiri mendengarnya. "Karena dia cinta kamu," ucapnya. Seketika
wajahku memerah. "Josh dan Roni juga cinta dengan kalian"kan!?"
ucapku panik. 244 "Tentu saja! Aku juga cinta dengan Roni!" gerutu
Eka. "Iya, aku mencintai Josh setulus hatiku"ah! Aku
baru ingat kalau Edle besok pulang," ucap Lin. Senyumanku
langsung merekah mendangarnya. Jadi benar, Minggu besok
Edle pulang. Jantungku berdebar-debar saat membayangkan
wajah Edle. Seketika wajahku terasa panas.
"Hey, kalian mau menemaniku"kan" Aku tidak mau
berdu?" "Oh maaf ya" Aku ada rapat penting nih besok!"
sela Eka. "Iya! Aku ada kencan dengan Josh! Tumben banget
loh dia ajak aku kencan siang-siang!" ucap Lin. Aku
menggerutu mendengar alasan tidak menyenangkan itu. Eka
rapat" Tentu saja aku tahu dia salah satu dari guru yang
mengajar di sekolah sihir, jadi wajar saja dia rapat.
Lalu Lin. Memang aneh, biasanya mereka
kencannya ya pas di sekolah sihir (Malam), atau pagi-pagi
(Hanya untuk olahraga). Jadi, memang kejadian langka kalau
Josh mengajak kencan Lin di siang bolong.
"Oh ya, tapi aku memang nggak nyangka kalau
kamu keturunan Aprilia. Penyihir penyembuh terhebat
sepanjang masa itu. Hebat banget! Sayang, aku baru tahu
waktu makan malam barenag keluarga waktu itu," ucap Lin.
Wajahku memerah mengingat makan malam itu. Siapa bilang
aku akan melupakan makan malam itu!
245 Dengan beraninya, tanpa sepengetahuanku, di
malam ulangtahunku, Edle datang ke rumah! Meminta izin ke
Papa dan Mama untuk mengajakku makan malam! Tebak aja
sendiri. Ternyata aku di ajak makan malam bersama
keluarganya di hotel mahal! Akh! Hari terindah + nyenengin+
malu-maluin! @@@ Aku menghela nafas saat memandang wajahku di
cermin. Pipiku merona. Wajahku berseri-seri. Ah... terlihat
sekali kalau aku lagi senang! Menyebalkan! Aku menghela
nafas dan mengatur nafasku untuk menenangkan diri. Lalu
aku tersenyum di depan pantulan diriku itu.
"Ok!" ucapku lalu langsung berjalan keluar kamar.
Alvin yang sedang duduk santai di depan TV mendongak
memandangku. Ia menggerutkan kening. Seolah menatapku
sebagai orang aneh. "Kak Corin kenapa?" tanya Alvin bingung.
"Nggak kenapa-napa," jawabku sambil duduk di
sebelahnya. "Em... Kak, mau nggak liat aku main futsal nanti"
Jam 12," ucapnya agak malu. Aku terdiam memandangnya.
Heran bercampur bingung. "Kamu demam ya Alvin?" ucapku bingung sambil
memegang keningnya. "Nggak! Habis Kakak dikit-dikit dengan teman
Kakak! Biasanya juga di rumah sama aku"kan" Atau kalau
nggak, sama pacar Kakak! Ngeselin tahu! PR-ku jadi susah
246 buatnya sendirian!" gerutunya. Aku geli bukan main
mendengarnya. "Wah, Alvin cemburu gara-gara nggak ada yang
ngajak main ya?" ledek Mama sambil duduk di sofa dekat
kami. Wajah Alvin memerah mendengarnya.
"Cemburu!?" ucapnya kaget.
"Tenang, kecemburuan sosial dalam keluarga itu
wajar kok. Ok, aku nonton kamu main futsal dengan 1 syarat.
Kamu harus menang! Ok" Terus kapan tandingnya?" ucapku
bijak. Alvin nyengir mendengarnya.
"Ok deh, kalau gitu aku pergi dulu ya Ma! Mau
lathian!" ucapnya girang lalu bangkit dari sofa.
"Hoy! Kapan tandingnya?" tanyaku bingung.
"Jam 2 nanti, awas kalau Kakak nggak datang! Kalau
aku menang, aku bakalan kenalin cewek-ku ke Kakak,"
ucapnya samil nyengir. Aku sentak kaget mendengarnya.
"Apa!" kamu udah punya pacar!" Kamu"kan baru
SMP!?" ucapku kaget.
"Aku"kan nggak kayak Kakak, dag Ma!" ucapnya lalu
keluar rumah. Aku menggerutu mendengarnya. Lalu Snow
melompat ke atas pahaku. Ia mengibas-ngibaskan eskornya
sambil duduk di atas pangkuanku.
Ada apa dengan Tuan Alvin" Memangnya kenapa
kalau Tuan sudah punya pacar" Tanya Snow dengan bingung.
Aku menghela nafas mendengarnya. Tidak, tidak apa-apa.
aku hanya kaget aja. Aku saja... um... mungkin ngga bisa di
sebut pacaran ya kalau sama Edle"
247 Nona"kan tunangan Tuan Edle sambung Snow.
Wajahku langsung terasa panas mendengarnya. Ya ampun
Snow! Hentikan itu! Kau mau membuat Mama heran
melihatku memerah sendiri tanpa sebab!"
Baik Nona, oh ya, apakah Saya akan ikut saat Nona
pergi nanti" Tanya Snow lagi. Tenu saja"kan" Aku nggak mau
buat kamu khawatir setengah mati hanya karena aku tidak
mengizinkanmu mengikutiku keluar rumah.
Terimakasih Nona ucap Snow tulus. Aku hanya
tersenyum mendengarnya. "Hah, Alvin sudah punya pacar, kamu juga sebentar
lagi menikah?" "Akh!" Kenapa Mama ngomong kayak gitu sih!?"
gerutuku. Wajahku terasa panas mendengarnya. Mama
langsung memandangku dengan wajah tanpa dosa.
"Kenapa" jelas sekali"kan" Hubungan kalian serius
sekali. Padahal Edle lebih muda 2 tahun darimu, tapi dia
sudah mengajak kamu makan malam dengan seluruh
anggota keluarganya. Dia juga sudah makan malam di sini.
The True Of My Life Karya Nyimas Humairoh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu apa lagi yang kurang"ah! Dia juga sangat kaya dan
pintar. Mama sempat heran kenapa Edle memilihmu"
Padahal kau tidak cantik sama sekali," ucap Mama.
"Mana ada orang tua yang menghina Putrinya
sendiri tidak cantik," gerutuku kesal.
"Ada, baru saja Mama bilang seperti itu"kan" Kamu
tidak terlalu cantik, tapi malah di pilih oleh pangeran tampan
seperti Edle. Padahal banyak sekali"kan model yang lebih
248 cantik" Kenapa malah memilih Putriku yang super biasa
dengan wajah pas-pasan?" ucap Mama dengan wajah sok
polos. Aku mengerucutkan bibir mendengarnya.
"Nggak juga kok Tante, Corin cantik sekali malah,"
jantungku langsung terlonjak kaget saat mendengar suara
yang sangat familiar itu. Aku dan Mama refleks, langsung
menoleh kebelakang. Seorang cowok berkulit putih, dengan rambut
hitam di potong cepak memandangku dengan sepasang mata
coklatnya. Ia memberikanku sebuah senyuman, yang bila
perempuan melihatnya, pasti akan membuatnya kegirangan
bukan main. Cowok itu terkesan keren, dengan kaos hitam
dan celana jins. Cowok itu berdiri tepat di depan pintu yang
terbuka. "Wah, Edle! Kapan kamu datang?" tanya Mama
dengan girang. "Baru tadi pagi saya sampai di stasiun," jawabnya
ramah. "Hm... kamu ingin cepat-cepat bertemu dengan
Corin rupanya," gumam Mama.
"Bisa dibilang seperti itu. Asal Tante tahan
denganku yang suka bolak-balik dari Jakarta-Bandung saya
betah datang ketempat ini setiap hari. Tapi maaf ya Tante"
Saya jadi cuman bisa datang seminggu sekali," ucap Edle
dengan nada sedih. "Justru kami yang merepotkanmu. Hanya cuman
untuk ketemu dengan Corin, kau sampai berbuat seperti ini.
249 Kenapa kau tidak memanggilku Mama saja?" tawar Mama.
Edle tersenyum mendengarnya dan langsung berjalan
mendekatiku. Jantungku memburu.
"Maunya sih begitu, tapi Corin pasit marah kalau
aku memanggil Tante denggan sebutan "Mama". Benar"kan
Corin?" ucapnya ramah sambil tersenyum mendengaku. Aku
mengerjab kaget. Seketika wajahku terasa panas.
"Eh" Ah" Apa?" tanyaku bingung.
"Hah, sepertinya Corin sampai kaget melihatmu
yang jadi tambah tinggi. Baiklah, cepat temani Edle sebelum
ia ingin kembali lagi ke Bandung," ucap Mama dengan nada
capek. "Apa?" ucapku kaget.
"Sudahlah. Tante, saya culik Corin dulu ya," ucapnya
ramah sambil menarik tanganku. Seketika tanganku seolah
kesetrum. Jantungku sama sekali tidak tenang. Dan seluruh
tubuhku terasa panas. Ya ampun! Apa-apaan anak ini!"
"Ed?" "Permisi Tante," ucap Edle sambil masih
menyeretku keluar rumah tanpa sempat membuatku
mengucapkan beribu pernyataan kemarahan kepadanya.
@@@ "Ke taman lagi," ucap Edle sambil memandangku
yang tengah asik duduk di atas bangku taman dan menikmati
suasana taman yang menyenangkan dan sejuk. Aku nyegir
mendengarnya. 250 "Kau mau pergi ke mana memangnya?" tanyaku.
Edle langsung duduk di sebelahku.
"Kalau bisa, pergi ke manapun asal kau senang,"
jawabnya sambil memamerkan senyuman Pangerannya.
Seketika jantungku langsung memburu mendengarnya.
Dengan kesal, aku langsung menutupi wajahnya dengan
selembar kertas brosur yang tengah kupegang.
"Ukh!" Apa-apaan sih!?" gerutunya
menyingkitkan kertas itu dari wajahnya.
sambil "Habisnya! Gayamu sok jadi Pangeran! Aku"kan jadi
kesal kalau melihatnya!" gerutuku. Edle langsung tersenyum
mendengarnya. Dia langsung bangkit dan berdiri tepat di
hadapanku. "Mau apa?" tanyaku bingung.
"Kau bilang aku sok jadi Pangeran"kan?" ucapnya.
Aku hanya diam. "Sekarang gantian, kau yang sok jadi Putri,"
ucapnya kemudian. Aku menggerutkan kening dengan
bingung. Aku sentak kaget saat tiba-tiba saja Edle duduk
bersimpuh di hadapanku dan langsung memegang kedua
tanganku. Jantungku memburu.
"Ed?" "Ups! Putri Corin, sepertinya kau tidak bisa berkata
apapun selain diam saat ini karena aku sudah menawan
hatimu"kan" Sama seperti saat kau menawan hatiku,"
ucapnya sambil mengangkat sebelah alisnya.
251 "Perkataan gombal macam apa itu!?" ucapku panik.
Seluruh tubuhku terasa panas.
"Terserah kau mau bilang apa. tetapi yang pasti,
perkataan gombal itu ada di dalam hatiku," ucapnya bangga.
Aku hanya mengerucutkan bibir mendengarnya. Semua
orang yang ada di teman ini memandang kami. Memalukan.
Tetapi... aku tidak dapat menahan senyumanku. Aku tidak
dapat menahan perasaanku dan tidak dapat mengkhianatinya. "Kau mencintaiku," ucap Edle dengan yakin. Aku
hanya tersenyum dengan wajah semerah tomat dan
mengangguk. Karena Edle merasa puas, dia langsung duduk
kembali di sebelahku. Menikmati suasana nyaman di taman.
Tanpa kenal bosan, tanpa kenala lelah, tanpa mengenal
tempat. Sepertinya kebahagiaan itu memang akan datang
menghampiri kita. Tetapi sepertinya aku lupa menjelaskan beberapa
hal penting dengan kalian. Alasan kenapa Edle harus bolakbalik Jakarta-Bandung. Itu karena kedua orang tua Edle dan
Lin berceria. Lin tinggal dengan Papanya di Jakarta.
Sedangkan Edle dengan Mamanya di Bandung.
Papa Edle seorang penyihir, dan Ibunya hanya
manusia biasa, aku tak mengerti kenapa kedua orang tua
mereka bercerai, tapi jelas itu adalah keputusan yang terbaik
bagi mereka(sepertinya begitu). Tapi saat makan malam,
keluarganya berkumpul lengkap. Dan, jelas sekali selain
diriku, sepertinya saat itu mereka semua sangat bahagia
karena dapat berkumpul bersama.
252 Lalu soal Aprilian. Leluhurku. Seperti yang sudah
kalian ketahui, bahwa ia adalah orang yang sangat hebat.
Penyihir Penyembuh terhebat sepanjang masa. Dan, salah
satu dari 3 penyihir yang membuat gelang Pelindung. Kau
tahu siapa saja yang membuat gelang Pelindung" Dengan
kekuatan penyembuh, penyihir Aprilia. Kekuatan penghancur, penyihir Alix Phoenix, dan kekuatan pelindung,
penyihir Semone. Tetapi gelang itu di tangan Phoenix (Entah
mengapa). Dan, bagai mana dengan keluarga Alix" Apakah
mereka akan menggunakanku sebagai pelindung" Tentu saja.
Tapi itu nanti...masih lama. Dan selama waktu yang mereka
sediakan itu, aku belajar untuk menambah wawasanku.
Dan, asal kalian tahu, aku terpaksa merahasiakan
sihir ini dari keluargaku bukan karena aku takut mereka
kenapa-napa. Tetapi lebih kepada diriku pribadi. Alasannya
mudah saja, karena setiap kali aku latihan untuk
menggunakan sihirku, mata kiriku berubah menjadi merah
dan dapat melihat "besar" kekuatan sihir. Dan semua itu
karena aku sudah menyatu dengan Amelia Semone. Aku
tidak mau mendengar keluargaku memperolokku karena
mata merah itu. Aku yakin, mereka akan menganggabku
bajak laut bila mereka melihat mata itu.
Di dalam hidupku. Di dalam kisah hidupku yang
sama sekali tak terduga ini apa yang kalian ketahui"
Kehidupanku yang membosankan berubah menjadi begitu
berwarna" Seperti pelangi. Tapi tentu saja kalian tahu"kan"
Sebelum pelangi itu muncul mengindahkan langit, kau harus
253 melihat hujan. Awan gelap
mataharimu yang hangat. yang menutupi cahaya Tetapi dari awan gelap hitam itulah, aku belajar.
Belajar untuk berubah dan mulai menghargai. Menghargai
semua yang telah aku lalui, menghargai setiap waktu yang
terlah berputar, dan... menghargai orang-orang di sekitarku
yang telah memberikanku kehangatan dan warna yang
berbeda. Tetapi yang terpenting. Aku telah dapat
menghargai diriku sendiri, untuk terus maju dan melangkah.
Inilah.... hidupku. The End...... 254 Tentang Penulis 255 Nama Lengkap : Nyimas Humairah Khairun Nisa.
Panggilan : Nisa/ Humairoh. Jenis kelamin : Perempuan. TTL :Palembang, 16 Januari 1995.
E-mail : nisa_soi@yahoo.co.id Dulu, saat masih SMP membuat kelompok yang beranggota
10 orang. Kelompok Sastra yang anggotanya biasa di sebut
"Secret People". Dan sekarang ikut eskul PASSMANDA.
Angkatan 23. Selain sekolah dan ikut kegiatan eskul Paskibra, penulis juga
menyempatkan waktu untuk mengetik, meluapkan emosi
yang bergejolak ke dalam tumpahan kata-kata yang semoga
saja dapat tersampaikan. Lambang Kegelapan 3 Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi Meteor Kupu Kupu Dan Pedang 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama