Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter Bagian 1
ONLY THE GOOD SPY YOUNG by Ally Carter Copyright ? 2010 by Ally Carter
Published by arrangement with Hyperion Books
for Children, an imprint of Disney Book Group.
All rights reserved. CUMA YANG LIHAI YANG BISA JADI MATA-MATA
Alih bahasa: Alexandra Karina
GM 312 01 11 0017 Sampul dikerjakan oleh Marcel A.W.
? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 29"37
Blok I, Lt. 5 Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, Maret 2011 288 hlm.; 20 cm. ISBN-13: 978 - 979 - 22 - 6873 - 7
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Untuk Daddy Bab S a t u "T arget terkunci, arah jam sepuluh."
Suara sahabatku terdengar setenang angin yang bertiup dari
Sungai Thames. Tekadnya sekuat dinding batu kuno Menara
London yang menjulang enam meter dari sana. Aku bisa
melihat malam semakin gelap"sedangkan lampu-lampu semakin terang"dan sahabatku begitu percaya diri sehingga
rasanya nyaris menular. Nyaris. Tapi saat memandang kerumunan di kejauhan, mau nggak mau aku berpikir Aku belum
siap untuk ini. Maksudku, jangan salah sangka, aku siap menghadapi banyak situasi mengerikan. Bagaimanapun, selama satu setengah
tahun terakhir ini aku berpura-pura diculik sekali, hampir
betul-betul diculik dua kali, serta menjadi target satu organisasi
teroris internasional dan dua cowok yang sangat keren. Jadi,
mengerikan" Yeah, situasi mengerikan sudah sangat akrab denganku.
Tapi saat itu Rebecca Baxter dan aku berdiri mengenakan
sepatu seluncur di arena seluncur es yang dulu merupakan
saluran air besar di sekeliling Menara London. Kami kalah
jumlah dan kalah besar. Jadi, bagaimanapun momen itu terasa" menakutkan.
Walaupun sahabatku ada di sampingku. Walaupun sekolah
kami sudah melatih kami dengan baik.
Walaupun kami bersekolah di sekolah mata-mata.
"Ooh, Cam. Mereka melihat ke arah sini."
Sebagian diriku berharap Bex memaksudkan ayahnya, yang
berdiri di sebelah kios makanan di arena seluncur es, atau ibunya yang berada di samping pintu keluar timur. Aku betulbetul berharap Bex memaksudkan para agen di antara kerumunan yang bertugas melindungiku"misalnya wanita yang
membawa ransel yang mengikuti kami sepanjang siang, atau
pria yang ditempatkan di puncak Tower Bridge, karena
jembatan itu melintang di atas Thames dan memberikan
pemandangan luas ke seluruh rute transportasi dalam radius
setengah kilometer"ke segala arah. Tapi aku mengenal
Rebecca Baxter dengan cukup baik untuk tahu dia bukan
memaksudkan mereka. Maksudnya adalah" para cowok.
Saat Bex berputar dengan mudah dan meluncur mundur
melewati kerumunan cowok yang berdiri sambil tertawa-tawa
dan pamer kemampuan di tepi arena, mereka semua menoleh
menatapnya. Syal merah Bex melambai tertiup angin selagi ia
tersenyum. "Jadi, kau mau yang mana?"
"Nggak usah, trims." Aku mengangkat bahu. "Sedang mencoba nggak berhubungan dengan cowok."
Maksudku, tentu saja, mereka memang kelihatan baik, keren,
dan sama sekali nggak berbahaya, tapi satu hal yang kami"
para Gallagher Girl"ketahui dengan jelas adalah bahwa
penampilan bisa menipu. "Ayolah, Cam," pinta Bex. "Bagaimana kalau yang tinggi?"
"Nggak." "Yang pendek?" "Nggak, trims," kataku sambil menggeleng.
"Yang?" Bex terdiam. Matanya terbelalak dan menatap ke
belakangku, tapi benakku sedang mengingat kembali satu malam dingin pada bulan November di Washington, D.C. serta
suatu siang hangat pada musim panas di atap gedung di
Boston, selagi dua momen paling menakutkan seumur hidupku
terbayang di depan mata. Kurasakan jantungku mulai berdebar kencang. "Ada apa?"
Mataku memindai kerumunan, mencoba menangkap kilasan
adegan yang dilihat Bex. "Cam?" Bex memulai.
Aku berputar di es, menunggu ibu Bex, ayahnya, atau sebagian pengawalku menampilkan ekspresi shock sama yang kulihat di mata sahabatku, tapi ekspresi wajah mereka tetap kosong.
"Bex," sergahku, "ada apa?"
"Bukan apa-apa. Hanya saja" Jawab aku, Cam?" Senyumnya betul-betul jail, dan ia bicara begitu pelan sampai-sampai
aku ingin melukainya. "Jawab saja aku" kau yakin nggak mau
berhubungan lagi dengan cowok mana pun?"
"Bex, apa sih maksudmu?" tanyaku.
Tapi sahabatku hanya mengerucutkan bibir, mengangkat
tangan ke mulut, dan berkata, "Ups."
Lalu Rebecca Baxter, cewek dengan koordinasi tubuh paling
sempurna di Akademi Gallagher untuk Wanita Muda Berbakat
(yang, percayalah, punya beberapa murid yang koordinasi
tubuhnya sangat baik), jatuh di es.
Well, ternyata pura-pura jatuh adalah cara yang sangat baik
untuk membuat para cowok berhenti menatap dan mulai
bergerak. Tentu saja, teman sekamar kami yang lain, Liz, pasti
butuh jauh lebih banyak bukti sebelum menganggap hal
tersebut sebagai kepastian ilmiah, tapi mengingat fakta bahwa
tadi ada delapan cowok yang menatap Bex dan sekarang tujuh
di antaranya langsung cepat-cepat menolongnya, kusimpulkan
hasil itu cukup bisa diterima secara statistik.
Tapi, sejujurnya, saat itu aku sama sekali nggak memikirkan
statistik, karena butiran-butiran salju putih lembut melayang
di langit malam, memisahkan diriku dan satu-satunya cowok
yang tidak bergerak, cowok yang tidak terpengaruh oleh Bex,
cowok yang cuma berdiri di samping susuran arena seluncur es
dengan tangan dimasukkan ke saku, menatapku, dan berkata,
"Selamat Tahun Baru, Gallagher Girl."
Ada berbagai variasi emosi yang pasti dialami cewek mana
pun"apalagi Gallagher Girl"pada situasi apa pun"mulai dari
senang sampai sedih, frustrasi sampai penuh semangat.
Tepat pada momen itu, sepertinya cukup aman untuk mengatakan aku merasakan semuanya.
Padahal aku mencoba nggak memperlihatkan emosi apa
pun. Tujuh pengagum Bex berlutut di sebelahnya, sementara sepatu seluncur membawaku lebih dekat ke satu-satunya cowok
yang tetap berdiri di dekat susuran.
"Kelihatannya kau kedinginan," entah bagaimana aku berhasil bicara.
"Aku dulu punya jaket yang lebih hangat, tapi kuberikan
pada seorang cewek."
"Sepertinya itu bukan tindakan pintar."
"Memang." Ia meringis dan menggeleng. "Mungkin memang
bukan." Walaupun aku sudah mengenalnya selama hampir setahun,
ada banyak hal yang belum kuketahui tentang Zachary Goode.
Misalnya bagaimana aroma sabun dan sampo bisa jadi jauh
lebih enak saat dipakai cowok itu dibandingkan saat dipakai
siapa pun. Misalnya ke mana dia pergi ketika nggak muncul
dengan misterius pada saat-saat tak terduga (dan seringnya
berbahaya) dalam hidupku. Dan, yang terpenting, bagaimana"waktu dia menyinggung soal jaket"dia membuatku
berpikir tentang bagian manis dan romantis dari malam bulan
November ketika dia memberikan jaket tersebut padaku, dan
bukan bagian yang buruk dan berdarah-darah yang terjadi
tepat setelahnya ketika teroris internasional mencoba menculikku.
Dari sudut mata, kulihat cowok-cowok itu sudah "membantu" Bex duduk ke bangku terdekat, tapi sepertinya Zach
nggak memperhatikan. Dia hanya beringsut mendekatiku dan
tersenyum. "Lagi pula, kelihatannya lebih bagus saat kaupakai."
Akademi Gallagher mengajarkan banyak cara untuk mengingat banyak hal, tapi saat itu kuharap pendidikanku yang luar
biasa juga mengajariku cara melupakan.
Maksudku, ini malam dingin di kota asing, dan ada cowok
yang sangat keren tersenyum padaku di antara sinar lembut
lampu-lampu yang berkilauan! Jadi jelas aku tak mau mengingat apa yang terjadi terakhir kalinya aku bertemu Zach"
ban-ban yang berdecit ataupun orang-orang bertopeng itu.
Serius, cara melupakan pasti akan sangat berguna untukku.
Tapi aku Gallagher Girl. Kami tidak melupakan apa pun.
"Kenapa aku curiga kau di sini bukan untuk berlibur?" tanyaku.
Kudengar Bex tertawa. Kurasakan tangan Zach beringsut
menyusuri susuran, semakin lama semakin dekat dengan tanganku. Selama sedetik, kupikir jawabannya aku"bahwa dia di sini
untuk bertemu denganku. "Aku mencari Joe Solomon." Zach melirik berkeliling ke
seluruh Menara. "Mungkin dia bersamamu?"
Dan secepat itu pula jantungku berdebar kencang karena
alasan yang sangat berbeda. Kedengarannya itu memang pertanyaan mudah, tapi tak ada sesuatu pun tentang instruktur
Operasi Rahasia-ku yang mudah. Tidak pernah.
"Ada masalah apa?" tanyaku, benakku dipenuhi setidaknya
belasan alasan yang mungkin membuat Mr. Solomon mengikutiku ke London"dan tidak satu pun merupakan alasan bagus.
"Nggak ada masalah, Gallagher Girl. Mungkin bukan?"
"Beritahu aku atau aku akan berteriak memanggil Mr. dan
Mrs. Baxter, dan kau bisa lihat sendiri kenapa Bex bisa menjadi Bex."
Zach menendang salju tebal dan keras yang terkumpul di
tepi arena. "Seharusnya kami bertemu beberapa hari lalu, tapi dia
nggak muncul." Zach menatapku. "Dan dia nggak menelepon."
Oke, aku tahu bahwa ketika sebagian besar remaja bicara
soal seseorang yang nggak menelepon, biasanya mereka sedang
mengeluh. Atau merengek. Tapi Zach bukan tipe yang suka
merengek. Untuk pertama kalinya, aku merasa kedinginan di atas lapisan es ini.
"Dia bukan bagian detail pengamananku."
"Ibumu pergi mencari petunjuk tentang kelompok Circle,
kan?" tanya Zach. "Apakah mungkin Mr. Solomon bersama
ibumu?" "Aku nggak tahu," kataku. "Mungkin, tapi" aku nggak
tahu pasti." "Mr. Solomon sudah mengontak Mr. dan Mrs. Baxter?"
"Aku nggak tahu."
"Apakah dia sudah?"
"Nggak ada yang memberitahuku apa-apa, kauingat?" Aku
mengamati wajahnya, dan terlepas dari situasi ini, mau nggak
mau aku menikmati fakta bahwa akhirnya ada sesuatu yang
tidak diketahui Zach. "Nggak tahu banyak hal ternyata nggak
menyenangkan, kan?" "Rebecca!" Suara ibu Bex bergema di tengah udara dingin.
"Kau harus pergi," kata Zach sambil mengangguk ke arah
orangtua Bex. "Kalau Mr. Solomon tidak berhasil menelepon pada waktu
yang telah ditentukan, kita harus mencarinya. Kita harus memberitahu orangtua Bex" Kita harus menelepon ibuku supaya
dia bisa?" "Tidak," sergah Zach, lalu menggeleng dan memaksakan
senyum. "Mungkin tidak ada apa-apa, Gallagher Girl. Pergilah.
Bersenang-senanglah," katanya, seolah itu mungkin dilakukan.
"Cameron," panggil ayah Bex. "Ucapkan selamat tinggal
pada anak muda itu sekarang."
"Kita harus memberitahu mereka, Zach. Kalau Mr. Solomon
hilang?" "Mereka sudah tahu," Zach mengingatkanku. Suaranya
melembut. "Apa pun yang terjadi saat ini, aku janji padamu,
mereka tahu jauh lebih banyak dibandingkan kita."
Zach beringsut menjauh dari susuran sementara, di belakang
kami, suara Mr. Baxter makin keras. "Cepat, Cammie!"
Aku menengok ke belakang, ke arah ayah sahabatku, ibunya, dan para pengawal yang telah mengelilingiku selama berminggu-minggu. "Aku segera ke sana!"
Saat aku menoleh kembali ke susuran, Zach sudah menghilang.
Bab D u a yah Bex merupakan salah satu mata-mata terbaik Inggris
(dan juga pria yang mengajari putrinya cara menggunakan
Barbie sebagai senjata waktu Bex berumur tujuh tahun), jadi
aku tidak mengejar Zach. Aku tidak berseru memanggil cowok
itu. Aku hanya berjalan di samping Abe Baxter, meluncur
perlahan di atas es. "Menara London adalah gedung kerajaan tertua yang masih
digunakan secara resmi sampai sekarang, Cammie."
"Dia sudah tahu, Dad," kata Bex, walaupun A) aku sebenarnya nggak tahu, dan B) saat itu, ada lebih banyak fakta rahasia
lain yang kupikirkan. "Mr. Baxter?" aku memulai, tapi ayah Bex sudah menunjuk dinding batu Menara London yang tinggi dan berkata,
"Jewel House adalah target Tingkat AA?"
"Dia sudah tahu, Dad," kata Bex lagi sambil memutar bola
mata. Tapi sebenarnya Bex nggak kelihatan kesal waktu men15
dongak memandang ayahnya, menunggu untuk mendengarkan
ayahnya melanjutkan penjelasan.
"Tempat itu dilengkapi dengan gerbang keamanan berlapis
titanium dan formasi laser 980 poin yang bisa memodifikasi
diri sendiri." Lalu ia terdiam. "Maaf, Cammie, tadi kau mau
bilang apa?" Tapi caranya memandangku membuatku lupa tentang Zach,
Mr. Solomon, bahkan Circle of Cavan. Sesuatu mengingatkanku bahwa para ayah selalu membuat lelucon payah. Para ayah
terus-menerus mengoceh tentang sejarah dan fakta yang nggak
terlalu penting untuk 99% populasi dunia. Para ayah kadang
memandang putri mereka seakan mereka lebih berharga daripada semua permata di Inggris. Aku ingat bahwa"dahulu
kala"seseorang juga memandangku seperti itu.
"Aku" aku cuma ingin berterima kasih lagi karena Anda
memperbolehkanku menghabiskan liburan musim dingin bersama Anda," kataku akhirnya.
Mr. Baxter meremas bahuku. "Dengan senang hati,
Cameron." Dan dengan semudah itu, kuyakinkan diriku bahwa Zach
benar"mungkin tidak ada masalah. Mungkin semuanya baikbaik saja. Bagaimanapun, Mr. Solomon selalu berhati-hati. Mr.
Solomon hebat. Namun tetap saja, selagi aku meluncur ke salah satu bangku
dan mulai melonggarkan tali sepatu seluncur, jari-jariku seakan
menolak berfungsi. Seakan aku lupa cara bernapas.
"Ooh" burung gagak!" kata Mr. Baxter, duduk di bangku
di sebelahku. Ia menunjuk burung hitam yang mencari remahremah di dasar dinding batu tinggi itu. "Nah, itu potongan
sejarah menarik lain, Cammie. Menurut legenda, Inggris akan
jatuh ke tangan musuh kalau burung-burung gagak meninggalkan Menara London."
Aku menatap burung itu, tapi tetap diam. Burung itu begitu
hitam, dengan latar belakang es yang begitu putih.
Mr. Baxter mendesah. "Sayap burung-burung itu sampai dipotong supaya tidak bisa terbang pergi."
Lalu, meskipun angin begitu dingin, wajahku terasa panas.
Di dalam sarung tangan, tanganku berkeringat selagi aku mengencangkan syal di leher, tiba-tiba kepalaku pusing saat
berdiri hanya memakai kaus kaki di tanah yang membeku, sementara para peseluncur terus berputar mengelilingi arena.
Mr. Baxter berdiri. "Ada apa, Cammie" Ada masalah?"
Aku menggeleng. "Bukan" apa-apa."
Tapi sesuatu memang terjadi padaku"seperti d?j? vu, hanya
saja ini lebih kuat. Ada sesuatu dalam kerumunan itu yang
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seharusnya kukenali, yang seharusnya kulihat. Aku menggeleng,
dan selama sepersekian detik sepertinya aku melihat wanita
tinggi yang anggun di arena es; napasku tersentak saat mengingat wanita itu dari atap gedung di Boston.
"Jangan," gumamku.
Aku menatap Mrs. Baxter dan koleganya yang membawa
ransel"yang telah mengikuti kami sepanjang hari. Mereka
sama-sama memegang secangkir kopi di tangan kanan"tanda
bahwa tidak ada yang mengikuti kami, bahwa semua baik-baik
saja. Tapi itu tidak benar. Ada hantu di kerumunan itu"sesuatu yang seharusnya kulihat. Sesuatu yang seharusnya kukenali.
"Cammie?" Tangan Mr. Baxter memegangi bahuku. "Ada
apa?" "Entahlah." Aku menggeleng. "Hanya saja?"
Sebelum bisa menyelesaikan kata-kataku, terdengar semburan suara statis dari unit komunikasi di telinga Mr. Baxter"
jeritan tertahan dari kejauhan. Di seberang kami, di lapisan es
itu, wanita yang membawa ransel berputar, seakan mencari
sesuatu"seseorang. Gelasnya jatuh dari genggaman dan terlempar ke es. Dan pada momen itu, benakku melayang kembali
ke D.C., lalu lebih jauh ke masa lalu, ke Boston.
Tangkap cewek itu. Kata-kata itu bergema di benakku.
Tangkap aku. Lalu lampu-lampu padam seketika.
Bab T i g a ahkan dalam kegelapan total, aku tahu berbagai perintah
bergema di telinga para agen di arena. Dalam sekejap, Mr.
Baxter menyambarku, menarikku menjauh dari arena es dan
mendekat ke dalam perlindungan dinding menara.
Tanah terasa keras dan dingin di bawah kakiku, tapi nggak
ada waktu untuk menyambar sepatu botku"nggak ada waktu
sedetik pun untuk melakukan apa-apa kecuali lari dan mendengarkan jeritan-jeritan yang mengambang di tengah kegelapan. Sebelah tanganku tetap menyusuri dinding batu yang
kasar sedangkan yang satunya erat dalam genggaman Mr.
Baxter selagi kami bergerak makin jauh ke tengah kerumunan
turis yang panik"menerobos kekacauan"sampai, tiba-tiba,
tangan Mr. Baxter terlepas dari tanganku.
"Cammie!" seru Mr. Baxter, dan kuulurkan tangan ke arahnya dalam kegelapan, tapi ada terlalu banyak orang.
"Cammie!" panggil Mr. Baxter lagi, tapi sebelum aku bisa
menjawab, sepasang lengan kuat melingkari pinggangku, dan
seseorang mengimpitku ke dinding batu. Aku mulai berusaha
melepaskan diri, tapi pria itu menangkis seakan dia tahu persis
gerakan apa yang selama ini kulatih. Dia meremas lenganku
ke sisi tubuh begitu keras sehingga aku hanya punya satu pilihan: kuhantam dia dengan seluruh kekuatanku. Kurasakan
serangan itu mengenai sasaran"pria itu terdengar mengernyit.
Lalu terdengar suara lain"suara familier di telingaku, berkata,
"Cammie, tenanglah."
Sesaat kupikir aku sedang memakai unit komunikasi"karena aku mendengar suara guruku, memberitahuku cara menyelamatkan diri sendiri.
"Cammie, berhentilah melawan," bisik suara itu saat, satu
demi satu, lampu keamanan cadangan di menara mulai menyala. Dan dari balik pendar lembut yang memenuhi area itu,
kulihat Joe Solomon menatapku. Kurasakan dia menyambar
tanganku. Dan kudengar dia berbisik, "Lari."
"Mereka datang, kan?" Napasku beruap di tengah udara dingin,
nemun lenganku tetap terayun, kakiku tetap bergerak, dan
guruku terus menggenggam erat tanganku, menarikku menyeberangi halaman menara yang remang-remang menuju
jalanan London yang sibuk sementara aku mengucapkan katakata yang kutakuti selama berminggu-minggu:
"Circle" mereka di sini."
"Ms. Morgan, kita hanya punya semenit sebelum mereka
menemukan kita, jadi kau harus mendengarkanku dengan sangat saksama," kata guruku, mengeratkan pegangan di tanganku, mendorongku melintasi aliran lalu lintas yang stabil
dan mengarah ke Tower Bridge.
"Apakah Anda memakai unit komunikasi" Anda harus
memberitahu Mr. dan Mrs. Baxter bahwa Anda bersama saya.
Kita harus memanggil tim ekstraksi dan?"
"Cammie, dengarkan!" Perintah Mr. Solomon seakan bergema dalam kegelapan, dan sesuatu dalam nada suaranya membuatku berhenti bergerak di tengah-tengah jembatan. Ia terdengar marah, panik, dan takut.
Joe Solomon takut. Mr. Solomon menyambar kedua bahuku. "Cammie, kita
hanya punya semenit sebelum mereka menemukan kita, lalu
mereka akan membawamu pergi?"
"Tidak!" seruku.
"Dengar! Setiap saat mereka bisa membawamu kembali ke
sekolah, dan saat kau tiba di sana, kau harus?"
"Halo, Joe." Saat ayah Bex muncul di tepian sungai yang gelap, suaranya
datar dan tenang, tapi ia menampakkan ekspresi sama seperti
yang biasa ditampilkan Bex saat dia terfokus dan marah serta
saat kekuatan apa pun di dunia ini nggak bakal bisa menghentikannya.
Namun Mr. Solomon sama sekali tidak menoleh. Ia masih
mencengkeram bahuku seakan semua tugas seumur hidupku
nggak ada artinya dibandingkan tugas yang akan diberikannya
padaku. "Cammie, dengarkan aku!"
"Ayolah, Joe," ujar Mr. Baxter dari seberang jembatan, maju
perlahan seperti orang yang siap berkelahi. "Serahkan dirimu.
Lepaskan Cammie." Aku menggeleng. Saat itu nggak ada yang masuk akal"
baik kata-kata Mr. Solomon maupun cara Mr. Baxter menatap
kami. Sepertinya mereka sama-sama nggak tahu bahwa mereka
berada di pihak yang sama"pihakku.
"Tidak apa-apa, Mr. Baxter," kataku, menoleh pada ayah
Bex, mengira dia nggak mengenali guruku. "Ini Mr. Solomon.
Joe Solomon. Dia?" "Aku tahu siapa dia, Cammie." Ayah Bex maju semakin
dekat. "Dan dia akan ikut aku sekarang"terbang ke Langley
dan membereskan kekacauan ini."
"Cammie!" Mr. Solomon mengguncangku sedikit. "Jangan
dengarkan dia. Dengarkan aku!"
Tapi ayah Bex terus bicara. "Joe, kau harus melepaskan
dia." Ibu Bex berjalan keluar dari bayang-bayang di belakang
suaminya. "Cammie, Sayang, aku ingin kau berjalan menghampiriku sekarang."
Jembatan itu terasa dingin dan kasar di bawah kakiku, tapi
aku tidak bergerak. Pandanganku menyusuri tepian sungai yang
berbayang, mencari Bex, butuh Bex membantuku menjelaskan
pada orangtuanya bahwa mereka salah besar. Tapi yang kulihat
hanyalah para pengawal dan agen yang semakin mendekat di
sekeliling kami, dan pada momen itu kusadari bahwa nggak
ada yang mencari target di kerumunan. Nggak ada yang mencari Circle of Cavan. Sebaliknya, orang-orang yang telah
bersumpah melindungiku malah menatap seakan jembatan ini
merupakan tempat paling berbahaya untukku.
Saat agen dari menara observasi muncul di ujung lain
jembatan, aku tahu kami benar-benar terkepung.
"Cammie, sekarang!" perintah Mrs. Baxter, tapi aku tetap
membeku di tempat. "Ayahnya adalah sahabatku!" seru guruku, kata-katanya
bergema di sungai dan kegelapan malam.
Ayah Bex mengangguk dan maju semakin dekat. "Aku
tahu." "Ini sinting, Abe." Mr. Solomon menggeleng.
"Tentu saja," kata Mr. Baxter tenang. "Tapi protokol dibuat
karena ada alasannya, Joe. Kita tahu?"
"Kita tahu bagaimana ini bakal berakhir!" seru guruku.
"Tidak kali ini," kata Mr. Baxter. "Belum tentu. Tidak kalau
kau melepaskan Cammie, dan ikut denganku."
"Mr. Solomon?" Aku nggak mengenali suaraku. Kedengarannya jauh dan lemah. Aku menyadari bagaimana aku tetap
diam di bawah bayang-bayang, nggak berusaha melepaskan
cengkeraman guruku. Lemah. Aku merasa lemah. Dan karena
itulah aku bergerak mundur.
"Cammie, kemarilah," perintah ibu Bex lagi. Aku bisa melihat Bex di belakangnya, tidak bergerak. Bingung. "Cammie!"
bentak ibu Bex, tapi aku hanya menatap guruku.
"Mr. Solomon, ada apa" Kenapa Anda di sini" Kenapa
Anda tidak bertemu Zach" Kenapa mereka terus menatap
Anda seakan" Kenapa mereka bicara seakan Andalah musuh
kami?" "CIA punya beberapa pertanyaan untuknya, Cammie,"
jawab Mr. Baxter. "Itu saja. Dia hanya perlu menjawab beberapa pertanyaan."
"Kau mencoba menyerahkanku pada mereka, Abe?" Mr.
Solomon tertawa, lalu menoleh pada ibu Bex. "Grace" Apakah
kau akan memborgolku di depan Bex dan Cammie?"
Bex menjerit, "Tidak!" Tapi suara ibunya kedengaran tenang
saat berkata, "Kau tahu kami harus melakukannya."
"Mom!" seru Bex.
"Rebecca, jangan ikut campur," ayah Bex memperingatkan.
Lalu ia menatap pria yang kami semua kenal"pria yang hanya
masih dipercaya Bex dan aku. "Seharusnya kau tahu lebih baik
kau tidak datang kemari, Joe."
"Aku harus bicara pada Cammie."
"Cammie aman bersama kami," kata ibu Bex.
Guruku hanya menggeleng. "Cammie tidak aman di mana
pun." Saat itu aku nggak ingin menangis, tapi aku juga nggak
bisa berpura-pura lagi. Ini bukan liburan. Aku bersembunyi.
Aku seperti burung-burung gagak itu, tawanan takdir, takdir
yang tidak kuketahui dan tak bisa kukontrol. Jadi aku menatap
orang dewasa yang paling kukenal"satu-satunya pria yang sangat kupercaya sejak lama.
"Mr. Solomon, kumohon, ada apa sebenarnya?"
Lalu tangannya kembali ke bahuku. "Cammie, kau harus
mengikuti merpati." "Saya" saya nggak mengerti."
"Berjanjilah padaku, Cammie! Apa pun yang terjadi, berjanjilah kau akan mengikuti merpati."
Sama sekali nggak masuk akal"baik ucapannya, ekspresi di
matanya maupun cara orangtua sahabatku berdiri menatap
seakan saat yang mereka takutkan selama berhari-hari akhirnya
tiba. Sirene meraung, dan tiba-tiba aku merasa goyah, seakan
tanah berguncang. "Mr. Solomon," kataku pelan, tenang, "mungkin sebaiknya
Anda ikut kami" Kita akan menelepon Mom dan dia akan
menjelaskan bahwa Anda guru dan ada kesalahpahaman
dan?" Tapi aku nggak bisa menyelesaikan ucapanku karena tanahnya memang berguncang. Sirenenya meraung makin keras;
orang-orang mulai berseru dari tepian sungai. Dengan kesadaran ngeri, aku ingat bahwa Tower Bridge merupakan jembatan
tarik, padahal Mr. Solomon dan aku berdiri di tengah-tengah
jembatan ini. Jembatan terangkat dan Bex berseru, "Cammie!" tapi ibunya menahannya.
Aku menyambar susuran saat jembatan naik makin tinggi
dan curam, dan Mr. Solomon meraih bahuku, memegangiku,
menjaga keseimbanganku. "Cammie, kau harus berjanji padaku!"
"Oke, Mr. Solomon. Tentu. Saya janji."
"Terima kasih, Cammie." Pegangannya melonggar dan ia
menunduk. Untuk pertama kalinya, ia tampak menarik napas
sambil mendesahkan, "Terima kasih."
"Oke, Joe." Mr. Baxter beringsut mendekat. "Kau sudah
bicara pada Cammie. Dia sudah berjanji. Nah, ayolah. Ayo
pergi dan membereskan semua ini."
Tapi Mr. Solomon malah mundur menjauh, tatapannya
masih terkunci padaku. "Merpati, Cammie."
"Merpati," ulangku.
Lalu salah satu mata-mata terhebat yang pernah kukenal
berlari ke tepi jembatan yang terangkat dan meloncat dari
puncaknya, terbang, dan jatuh. Orangtua Bex berlari mengejar,
tapi aku sampai lebih dulu, menatap aliran Sungai Thames.
Dan Joe Solomon pun menghilang.
Bab E m p a t ada liburan musim dingin kelas tujuh, Bex membantu
orangtuanya membongkar identitas agen ganda yang bekerja di
dalam MI6. Pada musim panas ketika ia berulangtahun keempat belas, Bex bersumpah telah menjinakkan bom di bawah
area duduk keluarga kerajaan pada turnamen Wimbledon. Tapi
saat Bex dan aku duduk di kursi belakang van MI6 dengan
kata-kata "Jasa Pengecatan Rumah Handy Helpers" terlukis di
sisinya, aku tahu tak ada Gallagher Girl yang pernah membawa
cerita seperti ini sepulang liburan.
Aku mencoba mengingat kembali fakta-faktanya"bahwa
agen pertama yang menghampiri kami kidal dan bermata hijau,
bahwa nomor telepon yang tertulis di sisi van merupakan
nomor telepon di daerah Surrey. Aku ingat semua detailnya"
seluruhnya. Bagaimanapun, Mr. Solomon melatihku dengan
sangat baik. Dan sebenarnya, itulah masalahnya.
Selama ini Mr. Solomon melatihku.
Selama ini Mr. Solomon mengajariku.
Lalu Mr. Solomon menyeretku ke jembatan itu dan melompat ke Sungai Thames yang gelap serta dingin. Jadi aku
duduk diam, diapit Mr. Baxter di satu sisi dan Mrs. Baxter di
sisi lain, berharap dunia kembali berputar ke arah yang benar.
Tapi, tentu saja, meskipun Rebecca Baxter punya banyak
keahlian, menunggu bukan salah satunya.
"Tadi itu apa?" seru Bex begitu pintu van menutup.
"Diam, Rebecca," perintah ibunya.
"Karena yang kulihat, tadi kalian mencoba menahan Joe
Solomon," kata Bex. "Bukankah begitu kelihatannya bagimu,
Cam?" "Jangan sekarang, Rebecca," kata ayahnya.
"Jadi tadi itu apa, kalau begitu?" tanya Bex. "Operasi latihan?"
"Bex," desis ibunya.
"Tes keamanan perimeter?" tebak Bex.
"Rebecca, aku akan menyuruh si agen menghentikan van
ini," ayahnya memperingatkan, tapi Bex terus bicara.
"Karena, tolong koreksi kalau aku salah, tapi bukankah Joe
Solomon orang baik?"
Aku berharap orangtua Bex bakal memotong ucapannya,
memarahinya, mengatakan sesuatu"apa pun"karena nggak
ada yang lebih menakutkan daripada ekspresi Mr. dan Mrs.
Baxter saat bertukar pandang. Bahkan Bex terdiam melihatnya.
Semenit kemudian kurasakan van berbelok dan memelankan
laju dan, di sekeliling kami, dunia menjadi gelap. Dari balik
lampu interior van, Bex menatapku. "Terowongan?" tebakku.
Bex menatapku dan balas berbisik, "Zach?"
Sebelum aku bisa menjawab, lampu-lampu terowongan
berkedip, dan kami seakan menghilang dalam kegelapan total
saat si pengemudi memutar setir. Suara ban berdecit-decit. Aku
berpegangan di kursi, merasakan pasangan Baxter bergeser di
kedua sisiku, meskipun begitu nggak ada yang berteriak atau
mempersiapkan diri menghadapi tabrakan saat kami menikung
cepat"terlalu cepat"ke arah dinding terowongan. Dalam kegelapan kurasakan tangan sahabatku terulur dan menggenggam
tanganku saat, tiba-tiba saja, dinding di depan kami terbuka,
dan van masuk sepenuhnya.
Aku berbalik di kursi, dan lewat jendela belakang van yang
berdebu kulihat pintu tersembunyi itu menutup.
"Keren," bisik Bex.
Lalu ada cahaya di ujung terowongan (secara harfiah).
Lingkungan sekitar kami semakin terang selagi van melaju semakin pelan dan jalanan menjadi makin lebar sampai ruangan
tempat kami berada bukan lagi berupa terowongan.
"Selamat datang di Stasiun Baring Cross," kata suara bernada
tinggi saat pintu van terbuka.
Seketika, lengan ibu Bex merangkul pinggangku; tangan
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ayahnya menggenggam tanganku, dan anggota-anggota terbaik
serta terpandai Dinas Rahasia Ratu Inggris memandangiku
melangkah turun dari van seakan aku hal paling menarik di
ruangan mirip gua raksasa itu.
Langit-langitnya saja pasti setinggi lima tingkat. Berbagai
jalur panjang mirip jembatan melintang di atas kami, dan di
sebelah kananku ada lebih banyak van, terparkir dengan sudutsudut yang aneh. Di sekeliling kami, orang-orang berlari, me28
neriakkan berbagai perintah. Ada tangga besi, panggung krom
mengilap, dan partisi kaca di mana-mana. Mau nggak mau aku
berpikir sudah nyaris setahun sejak aku dibimbing memasuki
fasilitas bawah tanah superrahasia dan superkeren lain di ibukota negara besar lain.
Tapi perjalananku ke fasilitas rahasia di bawah tanah D.C.
disebabkan cowok. (Atau" lebih spesifiknya" pacar.) Di
London, sebabnya pria dewasa. (Atau" lebih spesifiknya"
guru.) Setahun lalu, aku tahu aku memang harus melakukan
perjalanan itu. Tapi kali ini, nggak satu pun kejadian hari ini
terasa rutin. Musim dingin lalu, aku tahu Mom membawaku
ke fasilitas itu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. Tapi
kali ini, aku berdiri di samping Mr. dan Mrs. Baxter, diselimuti
hal-hal yang tidak kuketahui.
"Kau baik-baik saja?" tanya seorang wanita.
"Apakah dia melukaimu?" pria yang mengenakan sarung
tangan operasi dan jas putih bertanya.
"Bagaimana bisa dia sampai sedekat itu?" bentak pria lainnya.
"Gerbang Pengkhianat," jawab salah satu wanita itu. "Dia
masuk dari Gerbang Pengkhianat."
"Tentu saja," gumam pria tadi, dan aku mencoba menghilangkan kata-kata itu dari benakku. Kata-kata itu nggak masuk akal. Omong kosong. Karena "dia" adalah Mr. Solomon.
"Dia" salah satu mata-mata terbaik yang pernah kukenal.
"Dia" sahabat ayahku.
Selagi kami berjalan melewati dinding besar yang penuh
layar, berbagai citra kota London berkilasan begitu cepat
sampai-sampai ajaib sekali kalau ada yang bisa melihat salah
satunya dengan jelas. "Satelit aktif!" seru pria muda dengan kacamata berbingkai
tanduk. "Aktifkan kamera di setiap pintu masuk kereta bawah
tanah, setiap perempatan, dan setiap bandara. Kita sudah
dekat, Teman-teman!" seru wanita yang lebih tua. "Jangan biarkan dia kabur."
Bex menatapku, dan aku tahu apa yang ada dalam pikirannya: guru kami nggak bakal berjalan ke jembatan itu kalau
nggak punya cara untuk turun; dia nggak bakal masuk ke
London kalau nggak punya cara untuk keluar; dan kalau Joe
Solomon mau bersembunyi, kamera, satelit, atau agen mana
pun di dunia nggak akan bisa menemukannya.
"Baxter!" panggil suara dari jalur di atas kami. "Kau membawa gadis itu, kalau begitu?"
Ayah Bex merangkul bahuku. "Dia di sini. Dia baik-baik
saja." Pria itu memberi isyarat ke pintu logam di ujung jalur. "Kalau begitu kemarilah," katanya padaku, tapi Bex melangkah
mendekat. "Dengan senang hati kami akan menunggu di sana," ujar
Bex. Agen itu menatap Mrs. Baxter, yang ekspresi wajahnya penuh tekad, sama seperti wajah putrinya.
"Aku akan ikut bersamanya," kata Mrs. Baxter. "Cammie
tanggung jawab kami."
"Kalau begitu seharusnya kau memikirkan hal itu sebelum
mengajaknya main seluncur es," bentak si agen.
Aku ingin mengatakan sesuatu sebagai protes"mengingatkan mereka bahwa itu bukan salah suami-istri Baxter"apa pun
"itu". Tapi tangan Mrs. Baxter menyentuh bahuku, dengan
lembut mendorongku maju, memberitahuku bahwa jalan di
hadapanku adalah jalan yang harus kulalui sendirian.
Bab L i m a PRO DAN KONTRA MENGINAP DI RUANGAN
TOP SECRET DALAM FASILITAS TOP SECRET,
TANPA ADA YANG MAU MEMBERITAHUKAN
ALASANNYA PADAMU: (Daftar oleh Cameron Morgan)
PRO: Ternyata, fasilitas bawah tanah top secret milik pemerintah sangat bagus untuk menghangatkan diri setelah bermain
seluncur es. KONTRA: Proses penghangatan itu tidak melibatkan teman,
keluarga, dan sama sekali tanpa jawaban.
PRO: Kadang rasanya menyenangkan punya momen
sendirian untuk menenangkan diri setelah melewati pengalaman
yang cukup traumatis (dan betul-betul membingungkan).
KONTRA: "Momen" itu tidak lagi menyenangkan ketika
berlangsung hingga nyaris dua jam.
PRO: Tiga kata"Nilai. Tambah. Esai
KONTRA: Tiga kata"Nggak. Ada. Toilet.
PRO: Tahu ada lima puluh agen dan setidaknya dua ratus
kamera di antara dirimu dan orang-orang yang mencoba menculikmu.
KONTRA: Sadar bahwa kau tahu bahkan lebih sedikit tentang orang-orang itu daripada yang kaukira. Jauh lebih sedikit.
*** emua mata-mata baik tahu ada alasan untuk membiarkan
seseorang menunggu sebelum kau menginterogasi mereka.
Kadang kau ingin membuat mereka gugup; kadang kau ingin
membiarkan mereka berpikir; kadang kau perlu mengumpulkan
fakta-fakta; dan kadang bicara pada mereka sebenarnya memang nggak penting. Tapi hanya satu alasan yang terpikir
olehku saat kudengar pintu berderit membuka dan kuangkat
kepala serta lengan dari meja besi yang dingin.
"Apakah ibu saya di sini?"
"Tidak." Pintu itu terbanting menutup, dan aku menoleh untuk melihat pria yang belum pernah kulihat menyeberangi ruangan.
Dia tinggi, dengan rambut hitam bergelombang dan mata biru
tua. Saat dia bicara menggunakan aksen Inggris yang kental
itu, baik sisi mata-mata maupun sisi cewek dalam diriku langsung menyadari fakta bahwa aku terpesona olehnya.
"Bagaimana kabarmu, Cammie?" tanya si agen, tapi ia hampir nggak menunggu untuk mendengar jawaban "Baik"-ku.
"Ada yang kaubutuhkan" Air" Sesuatu untuk di?"
"Apa yang terjadi di jembatan tadi?"
Si agen terkekeh pelan. "Well, kuharap kaulah yang bisa
bercerita padaku." Ia menjatuhkan dokumen ke meja di antara
kami dan bergerak ke kursi di seberangku, tapi ada sesuatu
dalam gerakan itu"dalam suara tawanya"yang menurutku
aneh. Sepertinya nggak ada yang selucu itu.
"Dia tidak melukaimu?" tanya si agen.
"Mr. Solomon guru saya. Dia tidak mungkin melukai saya."
"Kau yakin kami tidak bisa mengambilkanmu sesuatu" Cokelat panas, mungkin?"
"Saya tidak mau cokelat. Saya ingin tahu kenapa tim khusus dengan enam anggota baru saja mengepung Joe Solomon.
Saya ingin tahu mengapa salah satu agen terbaik CIA harus
menarik saya dari perlindungan MI6 hanya untuk bicara pada
saya. Maksud saya, kita ada di pihak yang sama, bukan?"
Lalu senyuman si agen menghilang"dalam sekejap. "Oh,
kami tahu siapa teman-teman kami."
"Benarkah" Karena kelihatannya?"
"Apa yang terjadi di jembatan itu?"
"Itulah yang saya tanyakan pada Anda."
"Apa yang dikatakan Joe Solomon di jembatan itu?" Ia
mengertakkan gigi selagi mengubah pertanyaannya.
"Saya tidak tahu. Semuanya terjadi begitu cepat. Saya tidak
sepenuhnya mengerti."
Lagi-lagi ia tertawa, dan kali ini bergumam, "Tentu saja kau
tidak mengerti." "Siapa nama Anda?" tanyaku, tapi si agen nggak menjawab.
"Anda MI6, bukan?"
"Mengesankan," katanya, tapi nada bicaranya memberitahuku dia sama sekali nggak terkesan.
"Siapa Anda" Di mana suami-istri Baxter?"
Si agen bergeser di kursi dan mencondongkan tubuh ke
depan. "Berkat suami-istri Baxter, setengah kota London melihat apa yang terjadi hari ini, yang, dalam bisnis kami, merupakan hal buruk. Jadi suami-istri Baxter sedikit sibuk sekarang."
Aku nggak tahu apa yang lebih buruk, bahwa orangtua Bex
mendapat masalah karena aku, atau bahwa pria di seberangku
bicara padaku seakan aku ini orang luar"penipu. Tentu, aku
memang cewek enam belas tahun sekaligus calon mata-mata,
dan, jangan salah sangka, bagian sisi cewek enam belas tahun
itu kadang sangat berguna, tapi agen di hadapanku ini memandangku dengan sorot yang biasa kuterima dari orang-orang
yang nggak mengetahui identitas rahasia sekolahku"padahal
seharusnya dia tahu. Setidaknya, kukira seharusnya dia tahu.
"Mm" hanya penasaran," kataku, "level keamanan apa
yang Anda miliki?" "Level keamanan apa yang kaumiliki?"
"Saya bertanya lebih dulu pada Anda."
Si agen menyeringai, lalu berkata, "Cukup tinggi." Sebetulnya itu bukan jawaban, tapi kurasa ini bukan waktunya berkata
begitu. "Kenapa semua orang mencari Mr. Solomon?" tanyaku. Saat
pria itu bersandar kembali di kursi, aku mencondongkan tubuh
dan menatap mata birunya dalam-dalam. "Telah terjadi kesalahan," kataku padanya. "Coba telepon Akademi Gallagher.
Telepon ibu saya." "Apa yang dikatakan Joe Solomon padamu di jembatan itu?"
bentak si agen, tapi aku nyaris nggak mendengar kata-katanya.
"Ibu saya Rachel Morgan, nomor identitas agen 145-236741. Kepala Sekolah Akademi Gallagher untuk Wanita Muda
Berbakat. Anda harus?"
"Aku tahu siapa ibumu," katanya tenang. "Sekarang beritahu aku tentang Joe Solomon!"
Kubiarkan kata-kata itu menyapuku, sambil mencoba menemukan pusat kemarahanku, ketakutanku, sebelum aku berbisik perlahan, "Merpati. Mr. Solomon memberitahu saya agar
mengikuti merpati." Aku menunggunya tertawa lagi, tapi kali ini ia mengamatiku. "Apakah kata-kata itu punya arti khusus bagimu?"
"Tidak." "Bukan pelajaran yang pernah kauterima" Cutout yang
kaugunakan?" tanyanya, lalu menggeleng frustrasi. "Cutout adalah perantara yang bisa digunakan dua mata-mata untuk membawa informasi di antara?"
"Saya tahu apa itu cutout."
"Dan merpati tidak memiliki arti khusus bagimu?" tanyanya
lagi. Aku memejamkan mata, mengingat kembali rasa angin dingin di wajahku dan tekanan tangan Mr. Solomon di lenganku, tapi matanyalah yang kulihat paling jelas.
"Kejadiannya begitu cepat. Dia takut. Dia tidak" tidak
seperti biasanya." "Dia memang punya alasan bagus untuk itu," kata si agen
tanpa emosi. "Kau tidak mengenal Joe Solomon."
"Anda salah," kataku datar. "Ada kesalahan. Mr. Solomon
guru di Akademi Gallagher. Dia CIA, dan dia datang ke
London untuk melindungi atau memperingatkan atau" dia
hanya khawatir karena ancaman itu."
"Kau masih tidak mengerti, ya?" Si agen nyaris tersenyum
selagi menutup map itu. "Joe Solomon adalah ancamannya."
"Menggelikan," balasku. "Mr. Solomon guru saya."
Si agen berdiri. "Kau bisa berhenti memanggilnya "mister",
Nona muda." Ia berjalan ke pintu dan mengetuk kacanya. "Joe
Solomon takkan pernah jadi gurumu lagi."
Bab E n a m elama enam malam berikutnya, keluarga Baxter dan aku
menginap di lima rumah aman berbeda.
Gudang berkebun yang tampak diabaikan di lahan luas di
Skotlandia, apartemen dengan pemandangan ke arah Big Ben,
vila di Wales, dan rumah yang hanya bisa dideskripsikan sebagai kastil kecil, lengkap dengan baju zirah dan burung
merak. Setiap pagi kami pergi dengan mobil. Setiap detik kami
dikelilingi pengawal. Tentu, kau mungkin mengira memiliki akses penuh ke tempat perlindungan rahasia sebanyak itu bakal membuat temanteman kami di sekolah iri pada Bex dan aku; tapi sebenarnya,
kami"para Gallagher Girl"nggak akan iri terhadap apa pun
yang melibatkan pengawal (saat kaulah yang dikawal) dan
laba-laba (dan di rumah-rumah aman MI6 ada banyak labalaba).
Pada malam keenam, aku terbangun di tempat tidur sempit
dan mendengar suara napas Bex yang damai dan sesuatu yang
lain"kata yang suaranya tertahan: "Cavan."
Sesaat, aku berbaring di sana lalu menyelinap turun dari
ranjang bawah. Papan lantainya ternyata tidak terlalu berisik saat kuinjak
dengan kaki telanjangku. Udaranya dingin membeku, tapi aku
nggak membuang waktu mencari-cari jaket di dalam tas dan
koper yang tergeletak terbuka tapi terkemas rapi, siap dibawa
pergi kapan pun. Sebaliknya, aku keluar ke koridor dan berjalan ke arah tangga sempit yang menghubungkan lantai dua
dengan ruangan kecil di luar dapur.
Selagi berjongkok di tangga, aku bisa melihat kaki Mr.
Baxter, ia duduk di meja dapur, sedikit bergerak selagi bicara.
"Kau sudah bertemu Rachel?"
"Ya," jawab wanita dengan bisikan serak.
"Aku kaget sekali itu bahkan mungkin dilakukan," kata
Mrs. Baxter. Si wanita tertawa pelan. "Well, suasana hatiku tidak cocok
untuk mendengar itu mustahil dilakukan."
"Aku mengerti," kata Mrs. Baxter.
"Grace, bagaimana kabarnya?" tanya wanita itu.
"Baik," kata Mrs. Baxter. "Apakah sebaiknya kupanggil
dia?" "Tidak." Aku berdiri dalam kegelapan dan mendengarkan, selagi
angin bertiup dan kastil berderit lalu wanita itu berkata, "Biarkan Squirt tidur dengan tenang."
Hanya satu orang yang pernah memanggilku Squirt, jadi aku
nggak berpikir"aku hanya berdiri, siap berlari menuruni
tangga sempit dan menghampiri bibiku, Abby. Tapi kurasakan
lengan melingkari pinggangku, dan ada tangan yang membungkam mulutku. Aku melirik ke belakang dan melihat mata
lebar Bex berkilat dalam kegelapan.
Bex menggeleng sekali dengan cepat. Jangan, dia memberitahuku. Coba pikir. Kita mungkin nggak mendapat kesempatan
seperti ini lagi. Senyum sahabatku betul-betul jail (dan itu, percayalah padaku, artinya sangat besar) saat ia berbisik, "Aku punya ide yang
lebih bagus." Tiga menit kemudian aku berdiri di lantai teratas kastil, memandang kotak kayu kecil dan tali yang nggak-terlalu-kuat,
mendengarkan sahabatku berkeras, "Sebaiknya kau saja."
"Kenapa aku?" bisikku, mengamati kotak tua itu tergantung
di udara di atas terowongan gelap dan kosong yang seakan
menghilang di antara dinding batu kastil yang dingin.
"Kau lebih pendek," kata Bex. (Itu memang benar.) "Dan
aku lebih kuat," katanya. (Itu juga mungkin sangat benar.)
"Dan aku?" "Takut laba-laba?" tebakku.
Tapi Bex terus bicara, ?"masih sedikit tuli akibat insiden
granat tangan pada minggu ujian akhir lalu."
Jadi, yeah, begitulah ceritanya sampai aku berakhir di dalam
lift makanan. Kurasakan tubuhku turun melalui dinding-dinding kastil,
makin lama makin rendah, sementara suara-suara di dapur
bertambah keras dan jelas.
"Kau yakin tidak mau teh?" tanya ayah Bex.
"Tidak, terima kasih, Abe." Suara bibiku terdengar lemah"
nyaris rapuh. "Sejujurnya, aku belum tidur nyenyak akhir-akhir
ini." "Kami juga," tambah ibu Bex.
Ketelnya mulai berbunyi. Terdengar suara kursi bergeser di
lantai. "Sebenarnya seberapa nyaris kejadian itu, Grace?" tanya
Aunt Abby. "Apakah Cammie dalam bahaya?"
"Cammie selalu dalam bahaya," kata Mrs. Baxter saat ketel
berhenti berbunyi. "Kau melihat dia, Abe?" tanya Abby. Walaupun aku sama
sekali nggak ragu siapa yang dimaksud bibiku dengan "dia",
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tampaknya Mr. Baxter butuh waktu lama sekali untuk menjawab.
"Ya." "Bagaimana keadaannya?" tanya Abby.
"Putus asa," jawab ayah Bex.
"Kau percaya apa kata mereka ?" tanya Abby.
"Beginilah cara kerja Circle selama lebih dari seratus tahun?" Mr. Baxter memulai.
"Tapi, Abe, kita kenal dia," desak Abby lagi.
Setelah keheningan panjang lain, Mr. Baxter berkata, "Aku
yakin Joe Solomon adalah tipe pria yang takkan pernah dikenal siapa pun sepenuhnya."
Tiga mata-mata berpengalaman dan hebat duduk di balik
dinding ini. Mereka bertiga mungkin memiliki ratusan identitas
berbeda di belasan negara. Nama hanyalah penyamaran. Hanya
legenda. Selagi bergantung dalam kegelapan, aku bertanyatanya apakah ada sesuatu tentang Joe Solomon yang benarbenar nyata.
Rasanya kebenaran merosot dan terlepas dari genggamanku,
terjatuh, sampai" Tunggu, kusadari saat sudah terlambat. Aku memang merosot"secara harfiah.
Lewat bukaan di puncak lift makanan, bisa kulihat Bex memegangi tali yang rapuh itu, berusaha keras menarikku ke atas,
tapi tali itu merosot lagi.
Di luar, ketiga orang dewasa itu terus bicara. Kudengar Mrs.
Baxter berkata, "Kita tidak bisa memberitahu Cammie sampai
kita betul-betul yakin?"
"Kita takkan pernah bisa memberitahu Cammie," kata Aunt
Abby. "Pegangan!" Bisikan panik Bex bergema menuruni terowongan itu selagi lift makanan merosot lagi.
Ini nggak bagus, kataku pada diri sendiri. Ini nggak"
Tapi di luar terowongan, suara Mrs. Baxter terdengar tenang. "Dia hampir tujuh belas tahun, Abby. Dan semakin banyak yang diketahuinya, akan membuatnya semakin aman?"
"Cammie tidak akan pernah aman!" kata Abby, dan aku
teringat bahwa lift makanan yang semistabil bukanlah masalah
terbesarku. "Pegangan, Cam," bisik Bex dari atas. "Aku?"
"Belum tentu Cammie akan melakukan hal bodoh," Mrs.
Baxter melanjutkan. "Tentu saja dia akan melakukannya." Aunt Abby tertawa.
"Aku jelas bakal melakukannya. Percayalah padaku, Grace,
Abe. Sampai kapan pun Cammie tidak boleh tahu?"
Sebelum Aunt Abby bisa menyelesaikan kalimat, kurasakan
bagian bawah lift makanan terjatuh dari bawahku saat, tiga
meter di atas terowongan, tali tua itu putus dan aku jatuh
bebas ke dapur. Terdengar suara derakan tajam saat lift makanan mencapai
dasar terowongan, hancur berkeping-keping, dan membuatku
terpental ke lantai dapur.
"Apa-apaan?" Mr. Baxter mulai berteriak.
Sambil mengerang, aku berguling dan sadar aku menatap
sepatu bot berhak tinggi yang keren, kaki panjang, dan wajah
familier yang menunduk menatapku, berkata, "Hei, Squirt."
Bab T u j u h "S ampai kapan pun Cammie tidak boleh tahu apa?" tanyaku. Bex duduk di sebelahku, kami sama-sama duduk di kursi
bersandaran tegak yang keras, mendongak memandang orangtuanya dan Aunt Abby. Tangan Bex lecet-lecet karena memegangi tali. Sikuku berdarah. Tapi satu-satunya kekhawatiranku adalah apa yang membuat satu-satunya adik Mom datang
ke Inggris dan, yang terpenting"
"Sampai kapan pun Cammie tidak boleh tahu apa?"
"Lihat, kan?" kata Abby, menunjuk kami berdua. "Inilah
maksudku tadi." "Benar." Mr. Baxter bersedekap dan menatap kami. Suaranya sama sekali nggak bercanda saat meneruskan, "Mereka
memang beban." "Apa yang tidak boleh diketahui Cammie?" tanya Bex, memilih, kurasa, untuk mengabaikan saja soal "beban" itu untuk
sementara ini. "Tidurlah, Cammie," perintah bibiku, terdengar persis seperti Mom.
"Tidak," kataku, terdengar persis seperti bibiku.
Aku cukup yakin kontinum ruang dan waktu bakal berlubang waktu Abby membentak, "Cameron!"
Tapi aku sudah berdiri. "Jadi kau tahu apa yang akan bakal
kaulakukan kalau kau jadi aku, dan kau mengetahui rahasia
besar ini?" Aku mencondongkan tubuh ke seberang meja,
nyaris menantangnya saat melanjutkan, "Nah, bayangkan apa
yang bakal kaulakukan kalau ada sesuatu yang nggak kauketahui."
Sebagai ancaman, itu merupakan ancaman bagus. Aku bisa
melihat buktinya di mata Abby. Sesaat kemudian, dia menarik
kursi di seberang meja dan mendudukinya. Aku mencoba
nggak memperhatikan gerakannya yang kaku atau bagaimana
dia dengan hati-hati menahan sebelah lengan selalu di sisi
tubuh. Aku mencoba nggak memikirkan fakta bahwa dulu dia
nyaris mati. Abby nyaris mati. Abby nyaris mati. "Kami menangkap salah satu dari mereka." Suara Abby
membawaku menghentikan lamunanku. "Pada malam pemilihan" kau pingsan, dan aku?" Kalimatnya terputus.
Dia nyaris mati. "Kami menangkap salah satu anggota tim penangkap yang
mencoba menculikmu." Bibiku menunjuk bahunya yang dulu
tertembak. "Kami menangkap orang yang melakukan ini.
Seminggu yang lalu dia memutuskan mulai bicara."
Di sebelahku, kurasakan Bex gemetar, ketidaksabarannya
mulai mendidih. "Apa hubungannya dengan Mr. Solomon?"
Ayah Bex memperingatkan, "Rebecca," dan Abby melanjutkan bicara.
"Circle beroperasi dalam banyak sel"kelompok-kelompok
kecil yang terisolasi. Bisa saja ada dua agen Circle yang duduk
bersebelahan namun tidak saling kenal. Jadi pria yang tertangkap itu tahu sedikit mengenai kegiatan sel, tapi tidak tahu
banyak. Dia bahkan tidak tahu kenapa mereka menginginkanmu, Cammie."
Abby menatapku lekat-lekat, dan rasanya jantungku mencelos.
"Dia hanya mengenal orang-orang yang bekerja langsung
bersamanya dan?" Saat kalimat bibiku terputus, kulihat Mrs. Baxter menegang.
Mr. Baxter mengangkat tangan ke mulut, seakan tak mampu
mengucapkan kata-kata selanjutnya keras-keras.
"Dan dia mengenal orang-orang yang direkrut bersamanya,"
kata Abby perlahan. Tatapannya mengarah ke lantai. "Sewaktu
dia bersekolah di Blackthorne."
Berhari-hari aku menginginkan jawaban"aku sudah memohon
dan berkeras meminta kebenaran. Tapi sekarang kami diberi
kebenaran, dan aku justru nggak mau mendengarnya.
"Tidak. Menurut MI6 mungkin memang begitu, entah
untuk alasan apa, tapi mereka salah. Pasti ada kesalahan." Aku
mencoba menjauh, tapi Abby malah mencondongkan tubuh
dan mendekatiku. "Joe adalah agen ganda, Cam. Dia direkrut Circle sejak
lama." "Bagaimana kau bisa bilang begitu?" aku balas membentak.
"Dia temanmu." "Dia juga berteman dengan orang yang melakukan ini!"
seru Abby, menunjuk bahunya yang terluka. Ia terlihat begitu
marah dan dikhianati, dan waktu bicara lagi suaranya lebih
seperti permohonan. "Kita harus memercayainya, Cammie.
Kau, terutama, perlu memercayainya."
"Tapi" Mr. Solomon anggota CIA?" Kedengarannya kekanak-kanakan, tapi aku harus mengatakannya. Bagaimanapun,
aku memang masih kecil. "Dia guru kami. Nggak mungkin dia
bekerja untuk Circle."
Mrs. Baxter tampak tenang saat duduk di sebelah Abby.
"Coba pikirkan, Anak-anak. Kalian tahu memiliki mata-mata
di dalam CIA pasti merupakan prioritas tinggi bagi Circle.
Apalagi mata-mata di Akademi Gallagher"mata-mata yang
punya akses penuh pada Cammie?"
"Kalian salah," kata Bex.
"Itu praktik kuno dan efektif," kata Mrs. Baxter pelan. "Rekrut mata-mata yang masih muda, yakinkan mereka untuk menghabiskan liburan dengan berlatih bersama Circle, bekerja dengan
Circle. Lalu kirimkan mereka kembali ke sekolah." Ia begitu
tenang"begitu baik, bijaksana, dan cantik sehingga nyaris nggak
mungkin meragukan kata-katanya saat ia menatap kami berdua
dan berkata, "Tapi jangan salah, Anak-anak. Kita tahu apa yang
dilakukan Joe Solomon selama liburan musim panas."
"Bagaimana kalau dia berubah?" tantang Bex. "Orang bisa
berubah. Mungkin dia tidak bekerja pada mereka lagi."
"Ini bukan Pramuka," jawab Abby. "Tidak mudah pergi begitu saja."
Lama sekali kami duduk dalam keheningan sebelum akhirnya aku menoleh kembali pada Aunt Abby. "Kenapa kau datang kemari malam ini?"
"Aku mengkhawatirkanmu, Squirt. Aku?"
"Di mana Mom?" Kudengar suaraku meninggi, tapi aku
nggak mencoba menahannya.
"Dia baik-baik saja, Squirt." Abby menatapku. "Dia tidak
bisa datang, jadi aku yang datang. Ibumu baik-baik saja."
"Kenapa dia tidak bisa datang?" semburku. "Apa yang begitu
penting sampai?" "Baiklah, kalau begitu." Mr. Baxter berdiri, memberi isyarat
bahwa bagian tanya-jawab malam ini sudah berakhir secara
resmi. "Sebaiknya kalian tidur. Besok hari yang penting. Kita
harus bangun pagi-pagi untuk membawa kalian kembali ke
sekolah." Besok. Sekolah. Bex dan aku saling memandang. Tanpa
kata, kami berdua berdiri dan berjalan ke pintu. Rasanya
Roseville berjarak jutaan kilometer dari sini.
"Abby?" Bex berhenti dan menoleh di ambang pintu, menunggu bibiku mendongak. "Berapa umur.... Waktu Mr.
Solomon bergabung dengan mereka" berapa umurnya?"
Senyum Abby lembut namun sedih. Ia menelan ludah sebelum berkata, "Enam belas."
Bab D e l a p a n CARA KEMBALI KE SEKOLAH (Daftar oleh Cameron Morgan dan Rebecca Baxter)
" Cuci baju. Omong-omong, itu jauh lebih gampang kalau
kau berada di rumah nenekmu dan bukan di rumah aman
MI6 (karena, walaupun rumah aman MI6 memiliki mekanisme pertahanan yang jauh lebih keren, ruang cuci di
rumah nenekku jauh lebih bagus).
" Berkemas. Itu akan berguna kalau kau harus berpindahpindah ke beberapa rumah aman, karena kau memang
nggak pernah betul-betul membongkar koper.
" Pasang alarm. Karena jam beker internal Gallagher Girl
pun punya kecenderungan kacau saat berurusan dengan
tingkat stres dan jet lag yang tinggi.
" Pakai baju berlapis-lapis. Karena di pesawat selalu dingin.
Lagi pula, jauh lebih mudah mengubah penampilan dan
menghilang dari orang yang mengikutimu kalau kau bisa
melepaskan sweter setiap saat.
" Cek ulang bahwa kau sudah membawa esai yang kautulis
untuk kelas Budaya dan Asimilasi, kode-kode yang kaupecahkan untuk kelas Persandian Praktis, dan makalah riset
yang kaubuat untuk kelas Operasi Rahasia.
" Ambil makalah Operasi Rahasia itu dari tas. Injak-injak.
Tendang. Buang ke tempat sampah.
" Keluarkan makalah itu dari tempat sampah dan masukkan
ke tas lagi. Untuk jaga-jaga saja.
Memang dibutuhkan tiga pesawat, dua SUV, dan pada satu
titik, satu van VW yang baunya sangat mencurigakan, tapi
enam belas jam kemudian aku memandang ke balik kaca antipeluru, ke arah pepohonan gundul dan tumpukan salju dan es
setengah mencair yang berbaris di samping Highway 10 yang
meliuk-liuk memotong hutan seperti ular. Setelah tiga minggu
hidup seperti orang gipsi di tanah asing, pulang ke rumah
benar-benar terasa aneh. Rumah. "Kau memikirkan apa, Cam?" Bex menyikutku dan tersenyum.
"Oh, kau tahu" hal biasa," kataku setenang mungkin sambil duduk di kursi belakang limusin"dan ini betul-betul nggak
biasa. (Aku cukup yakin limusin itu dulu dipakai presiden.)
"Kalian sudah mempelajari pengintaian kendaraan?" tanya
Aunt Abby. Bex menggeleng. "Benarkah?" tanya Mrs. Baxter. Kedengarannya ia betulbetul terkejut. "Kukira kalian sudah mempelajarinya di?"
Kalimatnya terputus, tapi aku tahu apa yang hendak dia
katakan: Operasi Rahasia. Kelas Mr. Solomon.
"Oh well. Kurasa tidak ada waktu yang lebih baik daripada
sekarang." Ia menyilangkan kaki. "Beritahu aku, Cammie, apa
yang kaulihat?" "Dua mobil di depan kita."
"Mobil-mobil pendahulu, ya." Mrs. Baxter mengangguk
setuju, lalu menoleh pada putrinya. "Bex?"
"Satu kendaraan pembuntut."
"Benar," kata Mrs. Baxter. Ia melanjutkan, menceritakan
asal mula teknik pengintaian dan perlindungan bergerak, ada
hubungannya dengan kereta perang pada masa Romawi kuno
dan kematian Caesar, tapi pikiranku tidak terfokus. Kuamati
belasan mobil lain"limusin-limusin seperti yang kami kendarai
(walaupun mungkin nggak antipeluru) yang memenuhi jalan,
menunggu sebelum membawa teman-teman sekelasku kembali
melewati gerbang kami yang menjulang tinggi.
"Aku belum pernah melihat antreannya sepanjang ini," kata
Bex, dan aku memikirkan hal yang sama. "Para penjaga pasti
masih liburan," candanya.
Aunt Abby bergeser di kursi di sampingku, tapi tetap diam.
Aku menunggu limusin ini melambat dan menunggu giliran
dalam antrean. Tapi sebaliknya, Mrs. Baxter bertanya, "Apa
peraturan kedua dalam teknik antipengintaian?"
"Hindari rutinitas dan ekspektasi," jawab Bex dan aku persis
saat Mr. Baxter mengarahkan limusin ke jalur sebelah. Kurasakan mobil itu bergerak semakin cepat, melesat melewati
barisan panjang mobil yang menunggu untuk mengantarkan
teman-teman sekelasku kembali ke sekolah.
Mrs. Baxter terdengar persis seperti Bex saat berkata, "Tepat
sekali." Aku kenal Akademi Gallagher. Maksudku, nggak mungkin ada
orang yang merusak kemeja putih sebanyak yang kurusak tanpa
menghabiskan banyak waktu merangkak melalui saluran pembuangan yang kotor dan jalan rahasia. Jadi selagi kami melaju
semakin jauh dari gerbang sekolah, aku cukup yakin sebenarnya kami melesat ke" nggak ke mana-mana. Atau begitulah
yang kusangka sampai Mr. Baxter memutar setir lagi dan sadar
kami ada di jalan sempit yang, sumpah, belum pernah kulihat.
Berita bagusnya adalah mobil ini antipeluru, antimisil, serta
menggunakan ban yang diisi karet solid dan bukan udara biasa,
jadi ban mobil ini nggak bisa kempis.
Berita buruknya adalah aku mulai paham kenapa Bex bisa
jadi pengemudi yang sangat buruk, karena semakin kasar jalannya, Mr. Baxter justru menginjak pedal gas semakin dalam.
"Jalan pintas," kata Aunt Abby.
"Ke mana?" tanya Bex dan aku bersamaan.
Mobil melaju menyusuri jalan sempit itu, ban-bannya
keluar-masuk dari lubang-lubang besar, dan lumpur terciprat ke
bawah mobil. Cabang pepohonan yang gundul menggores sisisisi mobil, dan rasanya kami ditelan hutan, melaju persis ke
arah dinding batu bertegangan listrik dan setidaknya belasan
kamera pengawas berteknologi paling canggih di seluruh dunia.
"Sekarang?" tanya Mr. Baxter dari kursi depan.
"Sekarang cukup," jawab Abby.
Mr. Baxter menekan tombol di dasbor dan menginjak gas
keras-keras. Dan untuk kedua kalinya selama libur musim dinginku, kulihat hidupku (yang sebenarnya masih pendek) melintas di
depan mataku. Kuggenggam tangan sahabatku, menunggu
tabrakan yang ternyata nggak pernah terjadi.
Percaya atau tidak, aku belum pernah betul-betul ke danau
Akademi Gallagher. Well, memang belum. Sampai saat ini.
Aku masih nggak tahu bagian mana yang paling mengejutkan"ketika mobil menghantam jalur melandai dengan kecepatan 120 km/jam, sensasi melayang di udara dan terbang
melewati pagar dalam limusin, atau cipratan tiba-tiba saat
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mobil seberat dua ton terjun masuk ke air, sabuk pengaman
tersentak, menahan kami semua di tempat.
Kurasakan mobil yang berat itu tenggelam. Air sudah naik
melebihi kap dan terus naik ke jendela, tapi nggak setetes pun
menyusup ke dalam mobil selagi kami tenggelam ke bawah
permukaan, ke kegelapan pekat danau. Ikan-ikan berenang
melewati samping jendela seakan setiap hari ada limusin yang
tenggelam di danau ini"dan baik Aunt Abby maupun Mrs.
Baxter sama sekali nggak tampak khawatir selagi mobil antipeluru kami tenggelam.
Tapi tunggu sebentar, aku tersadar sedetik kemudian. Kami
tidak tenggelam. Bex dan aku sama-sama mencondongkan tubuh ke depan,
mengamati bagaimana lampu depan limusin menerangi air saat
baling-baling muncul dari bagasi dan mulai berputar, mendorong kami melewati kabut pekat seperti kapal selam.
"PERINGATAN: DAERAH TERLARANG. HANYA
UNTUK PERSONEL BERWENANG," suara mekanis yang
melengking memerintahkan dari radio, bergema lewat pengeras
suara mobil. "Mom?" Bex memulai, tapi ibunya hanya menyuruhnya
diam. "MENGAMBIL CITRA RETINA," kata suara itu persis
saat lampu oranye muncul di dalam mobil seperti kilat. Aku
menyipitkan mata, dan rasanya ada ribuan lampu kilat mungil
yang menyala di dalam mataku.
"BERIKAN IDENTITAS SUARA," perintah suara itu, dan
bibiku menjawab, "Abigail Cameron. CIA."
"Abraham Baxter, MI6," kata ayah Bex dari kursi depan.
Di sampingku, ibu Bex menyebutkan namanya, lalu menyikut
pelan rusukku. "Mmm" Cameron Ann Morgan" Gallagher Girl?" Aku
nggak tahu apa sebenarnya gelar resmiku. Target teroris internasional" Remaja cewek" Calon mata-mata" Orang yang betulbetul, sungguh ingin tahu apa yang terjadi"
Kudengar Bex menjawab dengan cara sama, lalu gerakan itu
berhenti. Air mulai surut seakan mobil keluar dari danau, tapi
nggak ada cahaya matahari yang masuk melalui jendela. Aku
mengintip dari balik kaca antipeluru dan melihat lampu depan
limusin terarah ke batu solid. Lalu semua pintu mobil terbuka
otomatis, dan Abby melangkah keluar, dan seluruh pengalaman
selama enam belas tahun (nyaris tujuh belas!) hidupku, atau
lima setengah tahun pelatihanku, sama sekali nggak mempersiapkanku untuk apa yang kulihat.
"Ada jaringan gua di bawah danau?" tebakku, tapi ibu Bex
sudah keluar dari mobil dan berjalan ke bagasi.
Aku mendengar cerita tentang saluran air bawah tanah,
ruang besar, dan gua sepanjang hidup, tapi sama sekali belum
tahu bahwa aku tinggal begitu dekat dengan salah satunya.
Aku menatap stalaktit dan stalagmit yang memenuhi lantai
dan langit-langit gua. Tanahnya melandai turun di belakang
kami, ke arah danau, sementara sahabatku dan aku berdiri di
pantai bawah tanah, dan ingat bahwa aku belum mengetahui
keseluruhan rahasia dalam sekolahku"sama sekali belum.
Tahu-tahu, Mr. Baxter sudah mengeluarkan tas-tas kami
dari bagasi dan Mrs. Baxter memeluk Bex, berbisik di telinganya. Aku masih menatap gua gelap dan panjang yang terbentang jauh melebihi sinar lampu depan limusin.
Aku melangkah ke dinding, dan meraba lambang Akademi
Gallagher yang diukir ke batu itu.
"Selamat tinggal, Sayang," kata Mrs. Baxter. Aku berbalik,
dan dia memelukku. Mr. Baxter mencium pipiku. Lalu tangan
Aunt Abby memegang bahuku.
"Cammie, tunggu sebentar. Sebelum kau pergi lebih jauh,
aku perlu kau berjanji padaku."
"Oke." "Aku ingin kau berhati-hati semester ini." Kusadari Aunt
Abby kedengaran berbeda sekali, seakan dia bukan bibiku. Dia
kedengaran seperti Mr. Solomon. "Cam, kau mendengarku?"
"Ya" aku tahu."
"Jangan mengambil risiko yang tidak perlu."
"Aku tahu." "Dan, Squirt, kau harus" kuat."
Aku nyaris memberitahunya lagi bahwa aku sudah tahu,
tapi sesuatu membuatku tersadar. "Kau nggak ikut, ya?" tanyaku.
Abby memandangku, memandang suami-istri Baxter, lalu
kembali memandangku. "Aku hanya mengantar sejauh ini."
"Tapi kupikir mungkin kau akan" Kami nggak punya guru
Operasi Rahasia." "Tentu kau akan punya, Squirt." Abby tersenyum kecil.
"Tentu kau akan punya."
Bab S e m b i l a n "L emari arsip Dr. Fibs?" Kudengar diriku bergumam lima
menit kemudian"masih sedikit shock, kalau kau mau tahu
sejujurnya. Tapi apa lagi yang seharusnya dirasakan remaja
cewek setelah menaiki lift bawah tanah, melewati enam
pemindaian lagi (dua pemindaian retina, tiga pemindaian
suara, dan satu pemindaian seluruh badan), lalu menaiki
tangga reyot setinggi lima belas meter yang kelihatannya bahkan lebih tua daripada sekolah"
Jadi, yeah, kata shock mungkin cukup sesuai. Tapi aku tetap
memeriksa pintu rahasia tempat kami baru saja keluar. "Aku
nggak tahu ada jalan rahasia di balik lemari arsip Dr. Fibs!"
"Dan itulah satu-satunya alasan jalan tersebut masih
berfungsi." Bex dan aku berbalik untuk melihat Profesor Buckingham
di belakang kami, berdiri di ambang pintu ruang remangremang itu sambil bersedekap, tampak seperti halangan paling
mengintimidasi di dunia. "Cameron, Rebecca, ikut denganku."
Ada tiga hal penting yang perlu kauketahi mengenai
Patricia Buckingham. 1) Dia merupakan guru tertua di sekolah
kami. 2) Dia betul-betul legenda di MI6. Dan 3) Dia berjalan
lebih cepat daripada yang seharusnya mampu dilakukan manusia yang pinggulnya sakit. Setidaknya, begitulah kelihatannya
selagi Bex dan aku menyeret tas-tas kami yang berat menaiki
tangga, berusaha keras agar nggak ketinggalan.
"Kuharap liburan kalian menyenangkan, Nona-nona." Ia
melirik kami. "Atau semenyenangkan yang bisa diharapkan,
mengingat situasinya."
"Profesor!" panggil Mr. Mosckowitz dari tangga di atas kami.
"Aku perlu?" "Kantorku. Rak kedua," balas Profesor Buckingham tanpa
jeda sedikit pun. "Aku diminta untuk menyampaikan tiga fakta
yang sangat penting pada kalian berdua. Yang pertama mengingatkan kalian bahwa kejadian di London benar-benar rahasia.
Apa pun yang kalian lihat?" Ia berhenti dan menatap kami
dari atas kacamatanya. "Pembicaraan apa pun yang mungkin
kalian alami tidak boleh diulangi pada siapa pun"terutama
teman-teman sekelas kalian. Semua itu tidak boleh kalian
ceritakan di wilayah sekolah."
Bex melirikku singkat, dan aku tahu dia juga mendengar
ada celah dalam perintah tersebut. Mungkin itu sebabnya
Profesor Buckingham nggak membuang sedetik pun sebelum
menambahkan, "Hal kedua adalah tidak akan ada kunjungan
ke luar wilayah sekolah lagi." Ia berbalik dan menaiki tangga
lagi. "Baik untuk keperluan ekstrakurikuler atau keperluan
lain." Sambil menaiki tangga, kuamati guruku menoleh kembali
padaku. "Aku yakin kami melewatkan beberapa, Cameron.
Dan kalau itu benar" well" kuharap kau akan memberitahu
kami." Sebelum bisa bertanya apa tepatnya yang mungkin mereka
lewatkan, aku berhenti tiba-tiba dan mengamati dinding,
menatap tuas yang digunakan untuk memutar dan membuka
jalan menuju lumbung tempat kami mengikuti kelas Perlindungan & Penegakan. Jalan masuk itu sekarang ditutup"
ada dinding batu solid yang menutupi jalan itu, untuk selamanya.
Di koridor lantai satu, kami melewati tempat jam antik
dulu berdiri, menutupi pintu rahasia menuju sistem ventilasi
asli mansion Gallagher....
Di dekat perpustakaan, aku mencari rak buku yang dulu
bisa bergeser terbuka dan memperlihatkan tangga tali yang
membentang dari ruang bawah mansion sampai ke atap....
Tapi rak itu sudah nggak ada. Semuanya sudah nggak ada.
Profesor Buckingham pasti membaca pikiranku, karena dia
berhenti di puncak Tangga Utama dan mengamatiku.
"Menurutku, Cameron, kau akan menemukan banyak
perbedaan kali ini."
Penjaga-penjaga bersenjata berdiri di selasar di bawah kami,
memindai sidik jari teman-teman sekelasku, memeriksa semua
koper mereka. Barisan jendela kaca berwarna yang sangat
kusukai ditutupi kaca antipeluru. Mansion Gallagher telah bertahan menghadapi badai, rayap, dan anak-anak kelas tujuh
yang terlalu bersemangat selama ratusan tahun, tapi saat itu
aku tahu sekolahku terluka, dan yang bisa kulakukan hanyalah
berdiri di sana, menatap luka-lukanya.
"Mereka melakukan semua ini demi aku?" Aku nggak yakin
bagaimana seharusnya perasaanku"tersanjung atau aman atau
hanya betul-betul, sungguh, bersalah.
Koridor-koridor tampak sepi. Koridor Sejarah gelap. Di
bawah, teman-teman sekelas kami yang terakhir datang sedang
diperiksa, tapi segala hal di sekelilingku tidak seperti rumah
yang kutinggalkan sebelum liburan.
Well"sampai aku mendengar jeritan itu.
"Kalian terlambat!"
Nggak mungkin aku salah mengenali suara Liz. Aksennya
lebih kental, seperti biasanya setelah liburan. Walaupun begitu,
saat aku berbalik dan menatap gadis pirang mungil yang berdiri
di ujung Koridor Sejarah sambil bertolak pinggang itu, aku
betul-betul nggak menyangka, karena Elizabeth Sutton, si
cewek supergenius dan teman luar biasa, sedang marah.
Bukan jenis marah yang biasa dia perlihatkan saat tidur
terlalu lama dan baru bangun pada jam 06:05 untuk belajar,
bukan jam enam tepat"bukan marah seperti saat Bex menggoda soal sistem belajar khasnya, dengan banyak sekali kartu
catatan berkode warna. Bahkan bukan jenis marah yang
muncul saat dia mendengar ada guru yang nggak menawarkan
tugas untuk mendapatkan nilai ekstra.
Liz lebih marah daripada yang pernah kulihat saat menatap kami berdua, lalu merentangkan kedua lengan. "Aku
khawatir sekali!" Ia berlari menerjang kami seperti peluru
seberat 42,5 kg, menyambar kami, meremas dengan lebih
banyak tenaga daripada yang kukira bisa dimiliki manusia
(well" kalau manusia yang dimaksud adalah Liz). Aku pasti
bakal merasa sangat payah, tapi ternyata Bex juga betul-betul
kaget. "Hei, Lizzie," kata Bex dengan sisa napas yang bisa ditariknya. "Liburanmu menyenangkan?"
Tapi aku ragu Liz bahkan mendengar pertanyaan Bex.
"Kenapa kalian berdua nggak meneleponku" Kenapa kalian
nggak mengirim e-mail atau menulis surat atau?" Ia melangkah mundur, lalu memandang aku dan Bex bergantian.
"Aku meyakinkan diri bahwa kalian mungkin sibuk dan bersenang-senang dan" baik-baik saja. Lalu aku kembali dan
melihat semua langkah pengamanan baru itu dan aku khawatir
sekali!" Sebelum aku bisa berkata apa-apa, kami dipeluk erat-erat
lagi, dan Liz menarik napas dalam-dalam. Lalu, secepat itu
juga, ia tersentak mundur.
"Jadi apa yang terjadi" Kalian ke mana" Apa yang kalian
lihat?" "Liz, kami?" "Sayangnya, itu rahasia," kata Buckingham sambil menatapku.
"Semuanya?" tanya Liz.
"Semuanya," jawab Bex dan aku.
"Patricia!" Mr. Smith berlari menaiki tangga. "Kami siap
memulai?" "Aku segera ke sana!" seru Buckingham bahkan tanpa menoleh. Ia terlalu sibuk menatapku.
"Tiga hal," kataku padanya. "Anda bilang ada tiga hal."
"Ya, Cameron, aku diminta memberitahu bahwa ibumu
tertahan sementara waktu."
"Tapi?" "Dia baik-baik saja"aku bisa meyakinkan hal itu. Hanya
sedikit penundaan. Tapi dia belum kembali."
"Patricia, sepertinya menurut Harvey kita hanya punya satu
kesempatan untuk melakukan ini, jadi?" Guru Negara-Negara
Dunia kami memberi isyarat untuk berkata ayo kita percepat ini.
Dan, setelah itu, Profesor Buckingham langsung bergerak ke
tangga. "Makan Malam Selamat Datang akan segera dimulai," kata
Buckingham pada kami. "Kalian pergilah dulu."
"Tapi?" aku memulai, tapi lalu lupa apa yang ingin kukatakan. Karena, di selasar di bawah, Madame Dabney membantu anak kelas dua belas menjelaskan pada para penjaga
mengapa ada pedang abad ke-15 di kopernya. Di ujung koridor,
Dr. Fibs mengeluh bahwa pintu masuk ke laboratorium kelas
tujuh telah dipindahkan dan dia nggak bisa menemukannya.
Akademi Gallagher lebih kuat daripada dulu"secara teknis.
Secara fisik. Meskipun begitu, entah bagaimana, aku nyaris bisa
merasakan sekolah ini runtuh di sekitarku.
"Dan, Cameron," kata Profesor Buckingham dari puncak
tangga. "Selamat datang kembali."
Sambil menaiki tangga ke kamar kami, aku mencoba nggak
menghitung jalan rahasia yang seharusnya kami lewati, tapi
kini tidak ada (4); atau murid-murid kelas bawah yang tibatiba berhenti berbisik begitu melihatku (6); atau bahkan
jumlah pintu berpengaman sidik jari yang harus kami lewati
untuk mencapai suite kami (9).
Aku mencoba berkonsentrasi pada imutnya rambut Liz (karena, nggak sepertiku, dia betul-betul bisa kelihatan bagus
dengan potongan rambut bob). Aku memfokuskan diri pada
tubuhku yang terpengaruh jetlag dan perutku yang berbunyi
(karena walaupun rumah aman MI6 mungkin sangat aman,
biar kuberitahu bahwa stok makanan mereka nggak terlalu
lengkap). "Jadi aku kembali sehari lebih awal untuk menunjukkan
formula serum kejujuran baru yang kubuat pada Dr. Fibs," kata
Liz, matanya berbinar-binar. "Formula itu sepuluh kali lebih
efektif daripada Sodium Penthotal" dan bisa memutihkan
gigimu" dan?" "Tunggu," kataku, berhenti di pintu menuju suite yang telah
kami huni bersama sejak kelas tujuh, tahu"merasa"bahwa"
"Ada yang beda," kata Bex, beringsut melewatiku dan masuk ke ruangan.
Seluruh tempat tidur rapi. Tirai-tirainya terbuka. Semuanya
persis seperti seharusnya, kecuali" nggak juga. Ada jejak-jejak
sepatu di karpet yang baru dibersihkan, dan samar-samar tercium aroma kopi serta cologne yang kuat.
Aku melangkah ke kamar mandi yang gelap, mengulurkan
tangan ke arah lampu, dan Bex berseru, "Tunggu!"
Tapi sudah terlambat. Tangan yang kuat menyambar pergelangan tanganku. Aku melihat bayangan di cermin kamar
mandi, menjulang dalam kegelapan. Dan aku nggak ragu-ragu:
aku melangkah mundur dan menyambar lengan yang mencengkeramku, berputar, menggunakan momentum penyerangku
untuk melemparnya melewati pintu kamar mandi yang terbuka
hingga ke seberang kamar kami.
Ia menabrak laci pakaian dan menjatuhkan lampu. Lalu
Bex sudah bersiap, menyerang maju dengan tendangan yang
selama ini dilatihnya. Pria itu bergerak cepat, berhasil menghindar beberapa sentimeter dari kaki Bex.
Pria itu mengulurkan tangan dan membuka mulut untuk
bicara, tapi sebelum bisa berkata apa-apa, koper Louis Vuitton
melayang memasuki kamar kami, menghantam pria itu tepat
di wajah, menjatuhkannya ke lantai seperti batu.
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei, Macey," entah bagaimana aku berhasil bergumam dari
balik rambut Bex selagi sahabatku mendorongku ke sudut suite
kami. "Itu gerakan yang?"
"Jangan bergerak," Macey memperingatkan. Aku nggak
yakin dia bicara padaku atau pada pria yang terbaring di
kakinya, darah mengalir dari hidung bengkak pria itu. Macey
McHenry merupakan salah satu cewek tercantik di dunia, tapi
ekspresi wajahnya saat itu sama sekali nggak cantik. Ekspresinya menakutkan.
Walaupun begitu, pria di kakinya nggak gemetar. Dia nggak
melawan. Dia hanya menggeleng dan berkata, "Nah, aku tidak
akan melakukan hal itu kalau jadi kau."
Aku mengikuti arah tatapan pria itu ke sudut ruangan, tempat Liz mencoba memutuskan apakah akan menekan tombol
merah besar di dinding yang bertuliskan TOMBOL PANIK:
HANYA UNTUK DIGUNAKAN DALAM KEADAAN
DARURAT atau tidak. Aku belum pernah melihat tombol itu,
tapi cukup bisa dipastikan menekan tombol itu akan membawa
kekuatan penuh Akademi Gallagher ke suite kami.
"Ada orang asing di kamar kita, Liz. Tekan tombolnya!"
perintah Bex (terdengar sedikit kesal karena bukan dia yang
menghantam pria itu dengan koper).
"Bukan," semburku. Aku menatap ke balik darah dan
hidung yang bengkak, fokus pada mata biru yang terakhir kali
kulihat menatapku dari seberang meja logam yang dingin.
"Tepat." Ia nyaris tersenyum saat mendongak menatap kami
berempat dan berkata, "Aku bukan orang asing. Betul, bukan,
Ms. Morgan?" Bab S e p u l u h ke, secara teknis aku memang pernah bertemu dengannya
sekali, tapi tetap saja dia orang asing. Lagi pula, dia memang
nggak memberitahuku namanya di London"jabatan dan
nomor seri pun nggak. Aku tahu dia punya izin keamanan
yang cukup tinggi sehingga bisa berada di dalam fasilitas top
secret MI6 dan sekolah yang juga top secret. Tetapi kalau aku
nggak benar-benar mengenal Joe Solomon, berarti aku nggak
mengenal pria mana pun. Terutama pria ini.
Sayangnya, mengetahui sesuatu dan meyakinkan Liz
mengenai hal itu sama sekali berbeda.
"Tapi kenapa dia mengecek keamanan kamar kita?" tanya
Liz setelah kami berganti dengan seragam dan menuruni
tangga. "Apakah dia anggota staf keamanan?"
"Aku belum tahu, Liz," aku mengakui. "Dia cuma agen
yang kutemui di London."
Liz harus berlari kecil untuk menjajari langkahku, tangan65
nya menyusuri pegangan tangga. "Jadi dia anggota detail keamananmu?"
Aku memandang Bex dan mengangkat bahu. "Nggak juga
sih." "Apakah kau bertemu dia?" tanya Liz, berputar menghadap
Bex. "Nggak," kata Bex jujur. "Aku nggak ketemu dia."
"Kau meninggalkan Cammie sendirian?"
Sejujurnya, aku nyaris lupa Macey juga bersama kami. Dia
sangat pendiam, berjalan di depan kami, tapi sekarang dia
berdiri di dasar tangga, memelototi Bex.
"Kupikir kita sudah setuju?" Macey memulai, lalu terdiam
tiba-tiba. "Setuju untuk apa?" tanyaku, tapi nggak mendapat jawaban.
"Apa?" tanyaku lagi. "Apakah sebelum liburan kalian berkumpul dan setuju nggak akan meninggalkanku ke mana pun"
Ataukah lebih seperti persetujuan untuk memonitor mood dan
sikapku supaya kalian bisa memperingatkan seseorang kalau
aku nyaris mengamuk dan melakukan hal bodoh?"
Ketiga sahabat terbaikku saling memandang seakan mereka
lupa cara bicara. Akhirnya, Bex menjawab, "Dua-duanya."
Pintu ganda menuju Aula Besar terbuka. Aku mencium
aroma roti yang baru matang dan mendengar suara ratusan
cewek yang mengobrol dan tertawa. Aku pulang. Setelah berminggu-minggu berlari dan bersembunyi, akhirnya aku pulang;
tapi saat memandang teman-teman sekamarku, aku ingat
bahwa menjadi Gallagher Girl bukanlah tentang bangunannya.
Ini tentang persaudaraan.
Aku ingat bahwa aku nggak betul-betul pergi.
"Bex nggak meninggalkanku, Macey," kataku. "Mereka
menggiringku untuk diinterogasi suatu hari, dan pria itulah
yang menginterogasiku." Aku melangkah memasuki Aula Besar,
tersenyum sekali lagi pada teman-temanku. "Bex nggak meninggalkanku."
Empat hal terlintas di benakku saat aku duduk di bangku biasa
di meja anak-anak kelas sebelas. 1) Berlari dan bersembunyi di
negara asing cukup untuk membuat Gallagher Girl betul-betul
merindukan masakan hebat koki kami. 2) Seluruh jendela
Aula Besar sudah di-upgrade dengan bahan yang mungkin bisa
bertahan menghadapi tembakan langsung misil. 3) Bungkusbungkus gula di meja sekarang bertuliskan kalimat "Isi
bungkusan ini dinyatakan bebas dari obat-obatan psikoaktif."
Tapi hal keempatlah yang sama sekali tidak kuduga: keheningan. Begitu aku duduk, seakan seluruh meja"seluruh
aula"langsung berhenti bicara.
Hanya Bex yang tampak kebal terhadap keheningan itu
selagi mengayunkan satu kaki panjangnya ke balik bangku dan
duduk di sebelah Macey. "Liburan kalian semua menyenangkan?" Ia meraih pitcher di tengah meja dan mengisi gelas. Tapi
tetap saja, keheningan semakin panjang.
"Kubilang," ulang Bex perlahan, "apakah liburan kalian semua
menyenangkan?" "Ya." "Tentu." "He-eh," kata semua orang cepat-cepat, tapi mata temanteman sekelasku" mata mereka masih menatapku: Cameron
Ann Morgan, bukan lagi si Bunglon.
Lalu, secepat itu juga, tatapan mereka bergeser pada Tina
Walters. "Jadi, ngg" Cammie," Tina memulai, "bagaimana liburanmu?"
"Liburan kami menyenangkan, Tina," Bex menjawab untukku. "Terima kasih sudah bertanya."
Punggung Tina betul-betul tegak saat mengucapkan kalimat
berikutnya. Dengan hati-hati ia membuka lipatan serbet linen
dan menghamparkannya di pangkuan. Madame Dabney pasti
bangga sekali, tapi tentu saja Madame Dabney nggak ada di
sini"nggak ada satu pun guru kami di sini"jadi mungkin karena itulah Tina merasa aman untuk menyandarkan siku di
meja dan mencondongkan diri mendekat.
"Tapi apakah mereka" tahu kan" menangkap orang-orang
itu?" tanya Tina lagi. Mungkin karena ibunya mata-mata sekaligus kolumnis gosip, Tina nggak bakal mau berhenti bertanya
sebelum mendengar cerita lengkapnya. Atau mungkin dia hanya mengharapkan cerita yang berbeda dari cerita yang seharusnya sudah dibisikkan setiap cewek di Aula Besar (yang barubaru ini diperkuat).
"Nggak, Tina," kataku hati-hati, "mereka nggak menangkap
orang-orang itu. Belum."
"Tapi mereka punya banyak petunjuk bagus, kan?" tanya
Eva Alvarez. "Tentu saja." Tatapan Bex bertemu tatapanku, kata-kata tak
terucap itu seakan mengalir di antara kami: Dan nama orang
itu Joseph Solomon. "Yeah. Aku berani taruhan, ibumu dan Mr. Solomon sebentar lagi pasti akan menemukan sesuatu," kata Anna
Fetterman, dan aku memandang berkeliling Aula Besar, memproses, berpikir, menyadari bahwa nggak ada yang mendengar
rumor soal ini. Tidak satu pun teman sekelasku tanpa sengaja
mendengar ibu dan ayah mereka berbisik-bisik pada tengah
malam mengenai agen pengkhianat dan agen ganda.
"Yeah," kata Anna lagi. "Mr. Solomon akan menangkap
mereka." Ia mengangguk, tersenyum, dan terdengar begitu yakin.
Aku mengangguk, tersenyum, dan rasanya ingin menangis.
Bagi mereka, Mr. Solomon bukanlah anak laki-laki enam
belas tahun yang bergabung dengan Circle. Dia tetap pria sama
yang berjalan melewati pintu ganda di belakang Aula Besar
satu setengah tahun lalu.
Aku menoleh dan menatap pintu itu, nyaris melompat terkejut waktu pintu itu terayun membuka"seakan pikiranku yang
membukanya, melintasi waktu ke masa lalu. Aku setengah berharap melihat Joe Solomon di antara barisan panjang guru secara resmi berjalan memasuki Aula Besar, menyusuri gang tengah. Kurasakan suasana ruangan di sekitarku berubah saat, satu
demi satu, teman-teman sekelasku menghitung jumlah guru,
memindai barisan itu, dan menyadari hilangnya seseorang.
Aku menunduk menatap meja, tak mampu melihat, saat
Tina bertanya, "Hei, di mana Kepala Sekolah Morgan?"
Buckingham bilang Mom belum kembali. Bahwa Mom tertahan" tertunda. Dan tertunda berarti sedikit terlambat.
Tertunda berarti "segera kembali."
Buckingham tidak bilang tidak ada.
"Dia pasti ada," kataku datar, yakin Tina melewatkan sosok
Mom. "Mom pasti sudah kembali sekarang," kataku, meskipun
faktanya saat ini Profesor Buckingham bergerak ke tempat
Mom di belakang podium di depan ruangan.
Aku berdiri, begitu ingin melihat lebih jelas, saat
Buckingham bertanya, "Wanita-wanita Akademi Gallagher,
siapa yang bersekolah di sini?" dan semua cewek di ruangan
ikut berdiri. Aula seakan bergema. "Kami saudara-saudara perempuan
Gillian." "Mengapa kalian bersekolah di sini?"
"Untuk mempelajari keterampilan Gillian. Menghormati
pedangnya. Dan menjaga rahasianya," jawab teman-teman sekelasku, tapi aku nggak ikut mengucapkan kata-kata itu. Aku
terlalu sibuk menatap Profesor Buckingham, yang berdiri
dengan bangga di belakang perisai Akademi Gallagher seakan
itu tempatnya"pekerjaannya.
"Selamat datang kembali, Nona-nona. Aku punya beberapa
pengumuman," katanya tanpa emosi, sama seperti saat kami
berdiri di Koridor Sejarah dan dia memberitahuku bahwa Mom
tertahan. "Kepala Sekolah Morgan tidak bisa bersama-sama kita
malam ini, jadi aku yang bertugas memberitahu kalian bahwa
Joe Solomon tidak akan mengajar kelas Operasi Rahasia semester ini."
Buckingham mengatakannya dengan singkat"tanpa alasan,
tanpa penjelasan"selagi suara-suara terkesiap bergema di ruangan.
"Untungnya, Akademi Gallagher memiliki daftar alumni
dan teman yang sangat panjang, dan dari sana kita bisa memilih guru-guru yang akan mengajar di sekolah ini. Karena itu,
dengan senang hati aku menyambut agen yang telah berhasil
menjalankan tugas di banyak benua, bekerja dalam situasisituasi paling menantang yang bisa dialami seseorang sebagai
mata-mata." Tentu saja aku sudah tahu apa yang akan dikatakan
Buckingham. Sebagian diriku tahu begitu merasakan tangan
itu memegang lenganku dan mendengar suara itu"jauh sebelum Liz mengajukan banyak pertanyaan. Saat menoleh, aku
melihat mata biru itu balas menatapku. Kudengar Profesor
Buckingham berkata, "Mari kita sambut Agen Edward
Townsend." Selagi mengamati pria dari London itu berjalan menyusuri
gang tengah, ratusan pikiran merasuki benakku: Siapa sebenarnya pria ini" Apa yang dia inginkan dari kami" Bisakah koper
menghasilkan luka sebesar itu" Tapi Liz-lah yang menanyakan
apa yang ada dalam pikiran teman-teman sekamarku dan
aku. "Kita nggak menyukainya, kan?"
"Nggak," Bex menjawab untukku selagi guru Operasi Rahasia baru kami berjalan ke depan ruangan. "Kita memang nggak
menyukainya." Agen Townsend menatap tepat ke arahku selagi lewat, tapi
dia nggak mengedip"nggak tersenyum. (Tentu saja, secara
teknis, dia mungkin cuma nggak mau memunggungi Macey.)
"Mungkin ini bagus, Cam." Bisa kurasakan Liz menatapku.
"Satu-satunya alasan ibumu dan Mr. Solomon mau melewatkan
permulaan sekolah adalah jika mereka nyaris menemukan
petunjuk besar. Mereka bakal menemukan petunjuk itu, lalu
kembali." "Aku berani taruhan Mr. Solomon sudah sangat nyaris menangkap Circle." Ia menatapku. "Betul, kan?"
Aku tahu ini bakal terdengar sinting, tapi kalau kau matamata, hidupmu tidak ditentukan oleh kebohongan-kebohongan
yang kauucapkan, tapi oleh kebenaran-kebenarannya. Kebohongan nggak akan mengubah apa-apa. Aku duduk di sana,
mati rasa, tahu bahwa kebenaran" kebenaran bisa membebaskanku.
Dan itulah caraku menemukan kekuatan untuk berbisik,
"Mr. Solomon anggota Circle."
Bab S e b e l a s i kamar kami sejam kemudian, Bex-lah yang menceritakan
semuanya. Mengenai Menara London, Circle of Cavan, dan
ekspresi liar di mata guru kami selagi berdiri gemetar di
jembatan. Kedengarannya seperti belasan cerita sinting lain
yang dibawa Bex setelah liburan, tapi aku tahu cerita ini memang benar.
"Waktu itu dia baru enam belas tahun?" Kuamati Liz memasukkan angka itu ke suatu formula perhitungan di benaknya,
lalu menggeleng seakan itu nggak masuk akal. "Nggak, nggak
mungkin dia jahat. Maksudku, nggak mungkin. Dia" maksudku, berarti waktu itu dia?"
"Seumur kita," Macey menyelesaikan kalimat Liz.
Salah satu kerugian bersekolah di sekolah yang mengajarimu
bahwa kau mampu melakukan apa pun adalah pada akhirnya
kau mulai memercayai hal itu. Tapi sepertinya kami nggak
akan sanggup melakukan hal semacam itu.
"Bagaimana bisa anak seumur kita akhirnya bekerja untuk
Circle?" tanya Macey nggak percaya.
"Blackthorne," jawabku singkat. "Circle of Cavan merekrut
murid-murid Blackthorne."
"Cammie, nggak mungkin" Liz memulai, sudah tahu ke
mana pikiranku melayang. "Zach nggak mungkin?"
"Tapi itu mungkin. Ini faktanya: Kita tahu Circle merekrut
di Blackthorne. Kita tahu waktu itu Zach ada di London. Dan
D.C. Juga Boston. Zach tahu Circle menginginkanku sebelum
kita bahkan tahu soal Circle." Aku menunduk, memandangi
kedua tanganku. "Dan kita tahu selama ini Zach dekat dengan
Mr. Solomon. Mereka selalu tahu terlalu banyak."
"Nggak, Cam," ujar Macey. "Hentikan. Meskipun benar Mr.
Solomon agen ganda, bukan berarti Zach juga."
"Ibu Bex bilang bahwa memiliki agen di Akademi
Gallagher"seseorang yang dekat denganku"akan jadi prioritas
mereka." Aku tertawa sedih. "Dan Zach berhasil jadi cukup
dekat denganku." "Cam, belum tentu." Liz berlari ke arahku. "Mungkin Mr.
Solomon dulu bekerja untuk Circle, tapi sekarang?"
"Dia orang baik?" tebakku.
"Yeah," kata Liz.
"Orang baik nggak akan melompat ke sungai pada musim
dingin hanya agar bisa melarikan diri dari orang-orang baik
lain," jawabku. "Lagi pula, kurasa Circle nggak menawarkan
program pensiun dini."
"Oke, kalau begitu Joe Solomon pengkhianat?" kata
Macey santai, seolah mengatakan "Joe Solomon kelihatan
keren saat memakai turtleneck." "Kau betul-betul berpikir dia
juga bodoh?" Ia melangkah mendekat. "Pikir, Cammie. Kenapa
Mr. Solomon ada di sana?"
"Dia bilang aku harus mengikuti merpati."
"Mengikuti apa?" tanya Liz.
"Bicaranya seperti orang sinting, oke?" Aku menarik napas
panjang. "Satu detik dia menyuruhku lari, lalu" kalian tahu
kan." "Jadi maksudmu salah satu agen penyamar terbaik CIA"
belum lagi salah satu pria paling dicari di dunia"berjalan
menembus pengamanan MI6 hanya untuk memberitahumu
agar mengikuti merpati?" Macey sama sekali nggak mencoba
menyembunyikan keheranannya.
"Yeah," kataku. "Mr. Solomon bilang dia harus menemuiku
sebelum aku kembali ke sekolah. Dan waktu aku kembali ke
sekolah, aku harus mengikuti merpati."
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Coba beritahu aku, Cam." Macey merangkul bahuku. Ia
tampak jauh lebih tinggi dariku saat itu. "Kau percaya Mr.
Solomon bekerja untuk Circle?"
"Abby dan orangtua Bex bilang begitu."
"Bagaimana menurutmu?" tanya Macey.
"Itu benar," Bex menjawab untukku, bersandar di dinding
dengan lengan bersedekap. "Ibu dan ayahku sudah membawaku
dalam misi mereka bahkan sebelum aku bisa berjalan. Mereka
belum pernah berbohong padaku. Mereka nggak akan mulai
bohong padaku tentang ini." Ia menoleh dan menatap tepat
padaku. "Abby nggak mungkin berbohong padamu tentang
ini." Kadang aku benci kalau teman-temanku benar. Sayangnya,
hal itu sering terjadi. "Tapi, Bex, orangtuamu nggak ada pada malam pemilu,"
balas Macey. "Abby memang ada, tapi dia sekarat. Cam, kau
dibius dan praktis pingsan, jadi kau juga nggak bakal ingat"
tapi aku ingat." Ia sedikit gemetar. "Aku ingat semuanya. Semua orang khawatir malam itu, tapi Mr. Solomon ketakutan.
Dia sama khawatirnya dengan ibumu."
"Mr. Solomon sudah bekerja untuk Circle sejak berumur
enam belas tahun! Dia pasti sangat hebat berpura-pura," tantang Bex.
Macey menggeleng. "Waktu itu dia nggak pura-pura."
"Nggak mungkin kau bisa yakin soal itu," kata Bex.
Macey tertawa pelan. "Aku bakal tahu kasih sayang palsu
saat melihatnya." Aku nggak tahu harus bilang apa, jadi aku merosot ke
lantai dan menyandarkan lengan di lutut, tiba-tiba merasa terlalu lelah untuk hari pertama sekolah.
Di seberang ruangan, Liz duduk diam di tempat tidurnya,
mempertimbangkan pilihan-pilihan, menunggu untuk memberikan suara yang akan mematahkan skor seri ini. Saat ia bicara,
suaranya pelan. "Cam, di mana ibumu?"
"Buckingham bilang Mom tertahan untuk sementara waktu.
Entah apa artinya itu." Aku mendesah. "Dia bahkan nggak
datang ke Inggris setelah" semuanya."
"Kuharap ibumu di sini," Bex mengakui. "Ada sesuatu yang
mereka sembunyikan dari kita."
Aku membayangkan Zach, napasnya beruap di udara saat
berkata Mereka tahu lebih banyak daripada yang kita ketahui. Tapi
Mom nggak ada. Pasangan Baxter dan Abby ribuan kilometer
jauhnya dari sini. Pagi ini Bex dan aku pergi dari Inggris"dari
kesempatan terakhir kami untuk mendapatkan jawaban"kecuali"
Aku tersenyum. "Cam," kata Liz pelan. "Ada apa?"
"Townsend." "Apa?" kata Liz. "Menurutmu dia bakal jadi guru yang
baik?" Aku menggeleng. "Menurutmu dia seksi?" tanya Macey.
Aku tertawa. "Lalu kenapa kau tersenyum?" Suara Liz naik satu oktaf penuh, tapi aku hanya memandangnya"memikirkan map di
meja logam dan mata yang tampak seakan sudah melihat segalanya.
"Menurutku dia tahu banyak hal."
Bab Du a B e l a s Laporan Operasi Rahasia Saat Pelaksana Morgan, McHenry, Baxter, dan Sutton (seterusnya
disebut Para Pelaksana) kembali ke Akademi Gallagher untuk
mengikuti semester musim semi kelas sebelas, mereka dihadapkan
pada fakta absennya ibu-garis-miring-kepala-sekolah; mantan guru
yang kini menjadi buron; dan guru baru yang tinggi, berkulit
gelap, dan sombong yang"sepertinya"mengetahui jauh lebih banyak daripada yang dikatakannya.
Para Pelaksana bertekad memaksanya mengatakan semua
itu. ari pertama semester ini dimulai seperti biasa.
Mr. Smith memberi tes mendadak yang sangat bagus mengenai rezim politik yang paling tidak stabil dan lima cara
utama untuk menjatuhkan masing-masing rezim. Pada tengah
hari Madame Dabney membagikan kartu tempat duduk dan
menginstruksikan kami mempersiapkan denah tempat duduk
untuk makan malam kenegaraan yang melibatkan dua duta
besar, lima senator, dan tiga agen pengkhianat yang berniat
menjual teknologi nuklir pada penawar tertinggi.
Tapi saat berjalan keluar dari ruang minum teh Madame
Dabney Senin pagi itu, mau nggak mau aku teringat bahwa
nggak akan ada hal yang "tipikal" lagi.
"Ya. Beritanya sudah resmi!" Tina Walters berbisik padaku.
"Joe Solomon sedang melakukan tugas penyamaran mendalam."
Aku melirik Bex dengan panik, tapi Tina melanjutkan
kalimatnya dengan sangat perlahan, menikmati setiap kata.
"Menurut sumber-sumberku, Mr. Solomon nggak dikirim ke
agensi-agensi yang bekerja sama dengan kita. Dia tidak ada di
daftar agen yang sedang bertugas. Dan dia memang bukan tipe
yang bakal melakukan operasi penyamaran resmi, jadi di mana
pun dia" guru kita sedang melakukan penyamaran yang amat
sangat mendalam." Sepertinya seluruh murid kelas sebelas mengembuskan
napas, dan aku mengenali ekspresi yang menyebar ke seluruh
koridor sempit itu. Kalau ini masih mungkin, Joe Solomon
baru saja menjadi lebih keren. Dan lebih seksi.
"Aku berani taruhan dia dan ibumu sedang melakukan misi
superrahasia dan berbahaya, Cam," tebak Courtney Bauer saat
kami keluar ke koridor utama di lantai dua.
"Yeah." Suara Anna Fetterman terdengar mengkhayal. "Aku
berani taruhan ibumu dan Mr. Solomon bakal menemukan
mereka. Aku berani taruhan?"
Anna terus melanjutkan, tapi aku nggak mendengarkan
lagi, nyaris nggak menyadari suara-suara di sekolahku"pintu79
pintu yang dibanting dan cewek-cewek yang berlarian. Aku
menatap ke tengah selasar, tempat enam guru berkerumun
dengan cara yang belum pernah kulihat.
"Cam?" tanya Anna. "Kau baik-baik saja?"
Di selasar, satu demi satu guru mulai memisahkan diri dan
berjalan menyusuri koridor atau menaiki tangga.
"Cam?" tanya Anna, suaranya lebih tinggi.
"Sori, Anna," gumamku. "Aku" harus pergi."
Profesor Buckingham sudah berada di puncak Tangga Utama,
berjalan ke arah Koridor Sejarah, saat aku berseru, "Profesor"
Profesor Buckingham!"
"Ya, Cameron?" Buckingham nggak membentak, tapi suaranya terdengar lelah. Ia tampak capek selagi berdiri di sebelah
pedang yang dulu merupakan milik Ioseph Cavan. "Ada yang
bisa kubantu?" Aku ingin tahu kenapa pintu kantor Mom tertutup bagi
semua orang, bahkan aku. Aku ingin bertanya bagaimana
mungkin berita tentang Mr. Solomon benar"bagaimana mungkin itu bahkan dipercaya. Tapi hanya satu hal yang aku tahu
boleh ditanyakan. "Sekarang musim semi," kataku.
"Benarkah?" Profesor Buckingham melirik ke luar jendela
yang dihiasi titik-titik hujan yang membeku.
"Maksud saya, sekarang semester musim semi. Musim gugur
lalu Anda bilang bahwa mungkin Anda bisa mengajari saya
tentang Circle of Cavan pada musim semi. Dan" sekarang
sudah musim semi." Di sekeliling kami, cewek-cewek mengisi berbagai ruang
kelas, berlari keluar dari pintu depan ke kelas P&P. Koridor80
koridor mulai sepi. Sekolah kembali dimulai"hidup kembali
normal. Tapi di belakang Patricia Buckingham, pintu kantor
Mom tetap tertutup. "Kurikulum kelas sebelas sangat berat, Cameron sayang,"
katanya. "Saya tahu, itulah sebabnya saya?"
"Kau perlu fokus dan belajar sebanyak mungkin."
"Saya tahu, tapi Circle?"
"Cameron, pelajaran-pelajaran di sekolah ini penting untuk
memerangi kejahatan di dunia"tidak penting apa nama
kejahatan itu. Kau harus mempelajari pelajaran-pelajaran itu,"
ujarnya ketus, dan aku tahu itu bukan nasihat; itu merupakan
perintah. Dan Buckingham benar. Sekarang, kelas-kelasku menjadi lebih penting. Jauh lebih penting.
"Dan bahkan kalaupun itu tidak benar, aku khawatir ada
beberapa" masalah penting yang membutuhkan perhatianku
saat ini." Lalu hal itu menghantamku: untuk pertama kalinya sejauh
yang bisa kuingat, guru tertua di sekolah kami tampak" tua.
Tangannya kering. Matanya bengkak. Dan aku berani bersumpah mendengar suara Profesor Buckingham pecah saat
berkata, "Nah, kalau aku tidak salah, sebentar lagi kau akan
terlambat untuk kelas Operasi Rahasia. Kau pasti tidak mau
membuat guru baru kita menunggu."
Bab T i g a B e l a s ambil berlari menyusuri koridor-koridor menuju lift ke
Sublevel Dua, aku mencoba mempersiapkan diri untuk apa
yang harus kulakukan. 1. Mencari tahu apa (kalau memang ada) yang diketahui
Agen Townsend mengenai Mom, Mr. Solomon, dan Circle
of Cavan. 2. Menentukan apakah Agen Townsend lebih condong ke
arah ujian praktis atau teoritis dan cara menguasai masingmasing jenis ujian sebaik mungkin. (Karena menjadi target
organisasi teroris internasional bukanlah alasan untuk
membiarkan nilai IPK-mu turun.)
Saat aku mencapai koridor kecil di bawah Tangga Utama
dan cermin besar yang seharusnya bergeser dan menunjukkan
jalan ke ruang-ruang kelas Operasi Rahasia, kutekankan
tanganku pada cermin itu dan menunggu mata di lukisan di
belakangku menyala hijau. Tapi cermin di bawah telapak
tanganku tetap dingin, dan nggak terjadi apa-apa.
Hari itu kelas pertamaku bersama Agen Townsend, dan aku
sudah terlambat. Aku bahkan mengetuk cermin itu, seakan
seseorang ada di belakang sana, menunggu untuk membiarkanku masuk.
Masih tidak terjadi apa-apa.
Aku berbalik, hendak berjalan ke salah satu lift lain waktu
melihat itu: kertas kecil yang diketik rapi dan ditempelkan ke
dinding. PERHATIAN UNTUK PARA SISWA: SAMPAI
PEMBERITAHUAN LEBIH LANJUT, SELURUH SUBLEVEL
AKAN DITUTUP. SEMUA KELAS OPERASI RAHASIA
AKAN DIADAKAN DI RUANG 132.
Aku nggak tahu apa yang terjadi. Yang kutahu pasti hanyalah aku terlambat, jadi aku berbalik dan berlari menyusuri
koridor kosong, melewati perpustakaan dan ruang santai
murid"terus berjalan sampai ke ruang kelas yang sampai akhir
semester lalu hanyalah lemari penyimpanan besar. Aku nyaris
berlari melewatinya, tapi pada detik terakhir aku menyambar
bingkai pintu dan berhenti mendadak.
"Oh, di situ kau rupanya."
Oke, aku nggak tahu bagaimana situasinya di sekolah-sekolah
biasa, tapi kita katakan saja di sekolah mata-mata terbaik dunia,
keterlambatan jarang sekali terjadi. Dan kalau itu terjadi, hal
tersebut nyaris selalu disambut dengan pertanyaan-pertanyaan
seperti "Apakah terjadi ledakan di laboratorium kimia?" atau
"Apakah kau gegar otak lagi?" Yang jelas, keterlambatan nggak
pernah disambut dengan "Oh, di situ kau rupanya."
Tapi itulah kata-kata yang dipilih Agen Townsend, dan bagi
orang yang menginterogasiku di fasilitas top secret hanya beberapa jam setelah salah satu pria paling dicari di dunia semimenculikku, dia sama sekali nggak kelihatan khawatir tentang
dari mana saja diriku. "Maafkan saya, saya?"
"Duduk" saja," kata Agen Townsend, bahkan tanpa melirik ke arahku.
Aku duduk di meja sebelah Bex, dan tanpa melihat jam,
aku tahu aku terlambat tiga setengah menit. Tiga setengah
menit ketika teman-teman sekelasku duduk hening, menunggu.
Dan saat aku bergabung dengan mereka, kusadari guru kami
bukan sedang menungguku. Empat menit. Lima menit. Sepuluh menit, kami menunggu. Satu-satunya bunyi adalah
suara Agen Townsend saat membalik halaman-halaman koran.
Ini merupakan tes, kataku pada diri sendiri. Dia ingin melihat apakah kami menghafalkan halaman depan koran yang
dipegangnya; mengukur seberapa diam kami bisa bersikap, seberapa tenang kami bisa duduk. Mata-mata hebat memang
harus sabar, pikirku. Dia ingin melihat apakah kami bisa menunggu.
Yang nggak diketahui Agen Townsend adalah, Tina Walters
nggak suka menunggu siapa pun. (Atau, well, dia mau menunggu, tapi jelas sekali Tina menetapkan batas pada waktu
sepuluh menit.) "Mr. Townsend?"
Guru kami nggak mendongak, nggak mengucapkan sepatah
kata pun. "Sir," Tina melanjutkan, "apakah ada sesuatu yang bisa kami
lakukan untuk membantu Anda memulai pelajaran?" Tina
terdengar sangat mirip Madame Dabney, tapi Mr. Townsend
sama sekali nggak terkesan.
"Tidak," jawab Agen Townsend datar, lalu mengangkat koran lebih tinggi, menaikkan kaki ke meja, dan bersandar kembali di kursi. "Siapa yang bisa memberitahuku tentang Joe
Solomon?" Kedengarannya itu seperti tes mendadak. Kelihatannya seperti tes mendadak. Tapi aku nggak bisa mengenyahkan perasaan bahwa seluruh siswi kelas sebelas baru saja dijemput dan
dibawa menyeberangi Samudra Atlantik"lalu didudukkan di
dalam Stasiun Baring Cross.
Townsend menggeser koran selama sepersekian detik dan
menunjuk Tina Walters, yang mungkin bisa membuat engsel
lengannya lepas karena mengangkat tangan begitu bersemangat.
"Kau," kata Agen Townsend.
"Agen Joseph Solomon. Mata-mata CIA. Guru di Akademi
Gallagher untuk Wanita Muda Berbakat?"
"Sudah tahu semuanya," potong guru baru kami. "Berikutnya."
"Dia bilang setelah liburan kami mungkin akan mulai mempelajari teknik-teknik menulis rahasia," Anna memberitahu
Agen Townsend. "Dan kalau itu berjalan baik, dia berjanji
kami boleh?" "Membosankan," balas Townsend.
Bisa kurasakan teman-teman sekelasku mengamati lebih
teliti, duduk lebih tegak"betul-betul menerima tantangan ini.
Tapi aku tahu ini bukan tes"ini interogasi. Saat itu kami bukan siswi; kami para saksi mata yang terkurung di satu ruangan
bersama agen ganda nyaris setiap hari selama satu setengah
tahun terakhir. "Ke mana dia pergi?" Agen Townsend perlahan-lahan membalik halaman koran. "Bagaimana dia mengisi hari-harinya"
Apa yang dia inginkan" di sini?"
"Dia guru," kata Eva Alvarez. "Dia ingin mengajar."
Agen Townsend tertawa, singkat dan pelan, tapi sama sekali
nggak ada kegembiraan dalam suaranya saat berkata sinis,
"Aku yakin itu benar."
"Maaf, Sir?" kata Anna. "Saya tidak mengerti."
"Aku yakin kau memang tidak mengerti," gumam Agen
Twonsend. Para Pelaksana bisa memastikan bahwa apa pun alasan yang
membawa Agen Townsend ke Akademi Gallagher, alasan itu
BUKANLAH kecintaan terhadap mengajar.
Lalu kaki Agen Townsend turun dari meja dan korannya
direndahkan sehingga aku bisa melihat hidungnya yang
bengkak dengan jelas (catatan untuk diri sendiri: koper bersisi
lembut pun bisa menjadi senjata yang sangat bagus).
"Di mana dia menghabiskan waktu?"
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Well, biasanya kami melihat Mr. Solomon di Sublevel
Dua," Tina mengakui, dan sekilas tampak ekspresi aneh di wajah Agen Townsend.
"Tidak di tempat lain?"
"Di semua tempat lain," jawab Anna.
Saat itu terpikir olehku bahwa ini bisa menjadi pelajaran
bagus"tes terhadap ingatan kami, terhadap kemampuan obser86
vasi kami. Tapi Agen Townsend nggak tahu itu. Dia nggak
peduli. "Rekan-rekan yang diketahui?" tanyanya, lalu menggeleng
seakan selama sedetik lupa bahwa ia menganggap kami idiot.
"Maksudku, siapa teman-temannya" Apakah dia punya sekutu"
Seseorang yang punya hubungan dekat dengannya?"
"Kadang-kadang dia memperbolehkan Mr. Mosckowitz ikut
bersama kami dalam misi," kata Anna.
"Biasanya dia berlatih di lumbung kelas P&P dengan Mr.
Smith," tambah Kim Lee.
"Saya rasa Mr. Solomon mungkin sangat dekat dengan Kepala Sekolah Morgan." Tina terkikik, tapi lalu melirikku dan
terdiam. "Benarkah?" Townsend bersedekap dan menatapku. "Bagaimana denganmu, Ms. Morgan" Apa yang kauketahui tentang
Joseph Solomon?" Hujan yang dingin membeku menghantam jendela. Aku
bergidik, teringat angin dingin dan ekspresi di mata Mr.
Solomon saat kami berdiri di jembatan, dan fakta bahwa aku
memercayainya. Selama satu setengah tahun, aku memercayai
segalanya. Para Pelaksana benci Joe Solomon.
"Sir." Kudengar suara Bex. "Mr. Solomon sering berkata bahwa senjata terbaik mata-mata adalah ingatannya, dan itu?"
Agen Townsend akhirnya berhenti menatapku. "Kau adalah
Baxter." "Ya, Sir." Bex berseri-seri.
"Aku tahu hasil kerja orangtuamu," katanya.
Bex tersenyum. "Terima kasih, Sir."
"Itu bukan pujian."
Para Pelaksana kangen Joe Solomon.
Townsend berdiri dan berjalan mengitari meja, duduk kembali di kursinya. "Aku tahu tentang Akademi Gallagher dan
para siswinya selama sebagian besar karierku." Ia menatap
tajam pada kami. "Dan itu juga bukan pujian."
Aku menyadari sesuatu dalam aksennya saat itu. Kuulangi
kata-katanya dalam benakku sementara, di luar, hujan turun
semakin deras, dan ruang kelas jadi makin dingin, dan aku
tahu semua murid kelas sebelas mulai merasakan dingin itu.
"Baiklah, kalau hanya ini yang bisa kalian bawa untuk kelas
hari ini?" "Berapa lama Anda ditugaskan di Mozambik?"
Aku tahu Townsend jarang terkejut, walaupun begitu pertanyaanku mengejutkannya. "Apa?" kata Agen Townsend.
"Pagi ini, saat sarapan, bahasa Swahili yang Anda gunakan
sangat unik." Agen Townsend menatapku seakan ingin memprotes, tapi aku nggak memberinya kesempatan. "Anda kidal,
tapi garis-garis kasar di telapak tangan Anda menandakan
bahwa kemungkinan besar Anda menembak dengan tangan
kanan." Aku memikirkan bagaimana dia bergerak saat menarik
kaki dari meja. "Anda sangat berhati-hati dengan lutut kiri
Anda. Saya berani taruhan Anda terluka" kapan" Sekitar
enam bulan lalu. Aksen Anda merupakan aksen kelas menengah bawah, tapi Anda bersekolah di sekolah yang bagus,
bukan" Suatu tempat seperti sekolah ini, saya berani taruhan
lagi." "Trik bagus, Ms. Morgan."
"Itu bukan trik." Aku menggeleng. "Itu ujian tengah semester musim gugur lalu. Mr. Solomon?"
"Joe Solomon sudah tidak ada," bentaknya. "Aku mengatakan hal itu dengan sangat jelas di London, ataukah kau sudah
lupa?" Aku nggak melupakan apa pun yang terjadi hari itu"baik
warna kemeja Townsend ataupun rasa dingin meja logam yang
keras itu. "Kenapa kelas ini tidak diadakan di Sublevel Dua?" tanyaku, lalu mengamati sorot mata Agen Townsend berubah. "Apakah Anda tidak mendapatkan izin keamanan untuk ke sana?"
"Oh, aku bisa meyakinkanmu, Ms. Morgan, aku akan melihat seluruh bagian sekolah ini yang perlu kulihat." Ia mengibaskan tangan ke arah pintu. "Nah, pergilah. Anggap kelas
ini kububarkan." Bab Em pa t B e l a s Selama satu minggu berikutnya, Para Pelaksana mampu memastikan hal-hal berikut:
" Kata "merpati" tidak muncul di mana pun dalam seluruh dokumen kasus, sejarah legenda, ataupun materi pelajaran Joseph
Solomon. " Kira-kira ada 4902 Jalan Merpati, Jalur Merpati, Sungai
Merpati, dan sejenisnya di Amerika Serikat"tidak satu pun
berada di Roseville, Virginia.
" Pencarian yang sangat teliti di server Akademi Gallagher menunjukkan bahwa tidak ada database rahasia yang berlabel
"Arsip Merpati Superrahasia Mr. Solomon," sebesar apa pun
keinginan Para Pelaksana untuk menemukannya.
" Dalam hal kemisteriusan, "merpati" tidak ada apa-apanya dibandingkan kemisteriusan Agen Townsend.
"Ini nggak ada gunanya," seru Liz, suaranya bergema di
langit-langit tinggi lumbung P&P.
"Memang," kata Bex, menyambar busur dari tangan Liz.
(Oh yeah, kalian nggak salah baca, aku memang bilang busur.)
"Semua Gallagher Girl harus ahli memakai dua senjata, dan
biar kuberitahu kau bahwa busur itu?"
"Bukan ini," kata Liz, menyambar senjata itu kembali dan
mengguncangnya keras-keras (dan pada saat itu Macey dan aku
sama-sama merunduk ke lantai untuk berlindung). "Operasi
Townsend," bisiknya.
Di luar, lapisan salju baru jatuh di halaman, dan jendelajendela tinggi mansion berlapis kabut. Anak-anak kelas sepuluh
berlatih pedang di matras di bawah kami. Sekelompok murid
kelas tujuh memanjat dinding, sementara seluruh lumbung
bergema dengan dentuman dan seruan cewek-cewek yang
sudah terlalu lama terkurung di dalam ruangan.
"Pria itu seperti hantu, Teman-teman," kata Liz pelan.
"Maksudku, betul-betul seperti hantu. Dia bersekolah di sekolah asrama mahal di Inggris dengan beasiswa?"
"Omong-omong, tebakan bagus soal itu," kata Bex padaku,
tapi Liz nggak memperlambat ocehannya.
"Lalu dia langsung bergabung dengan MI6 begitu selesai
kuliah. Aku cukup yakin dia pernah ditugaskan di Eropa timur,
karena dia melakukan operasi penangkapan besar di Rumania
sepuluh tahun lalu."
"Yang melibatkan kelelawar-kelelawar vampir?" tanya Bex,
matanya terbelalak. "Yeah," kata Liz, matanya terbelalak lebih besar. "Dan aku
cukup yakin dialah yang melumpuhkan kelompok jenderal
KGB yang menyelundupkan misil-misil tua Soviet menggunakan sirkus sebagai penyamaran."
"Operasi Big Top?" seru Bex.
"He-eh," kata Liz. "Tapi... setelah itu" dia seolah
menghilang. Maksudku" nggak ada apa-apa, sama sekali."
"Dan itu berarti sesuatu," kataku, dan Liz mengangguk pelan.
"Sesuatu yang besar."
"Bex, apa hasil pengintaian kita?" tanyaku, menoleh ke cewek di sampingku.
"Dia nggak pernah mengambil rute yang sama dua kali;
nyaris nggak pernah makan, nyaris nggak pernah tidur, dan
nggak pernah berbagi rahasia dengan siapa pun."
"Dia merencanakan sesuatu," kataku. "Pria ini nggak melakukan apa pun tanpa rencana, jadi kalau dia ada di sini,
pasti untuk sesuatu yang besar, dan sesuatu itu nggak ada
hubungannya dengan mengajar."
"Liz," kata Macey, kepanikan muncul dalam suaranya. "Liz,
kau harus menahan itu?"
"Sori!" teriak Liz pada cewek-cewek di dinding batu, yang
sekarang harus menghindari anak panah yang terlepas dari
busurnya. "Hei, Morgan!" Aku menoleh dan melihat Erin Dillard berjalan menyusuri
lumbung, seakan anak kelas dua belas sering bicara dengan
anak-anak kelas sebelas, yang, kuberitahu saja ya, sama sekali
nggak biasa. "Kita perlu bicara."
"Hai, Erin," kataku. "Apakah liburan musim dinginmu?"
"Di mana ibumu?" Begitu Erin bicara, aku tahu ini bukan
obrolan biasa. Ini misi. "Aku nggak tahu."
"Kau tahu cara menyampaikan pesan padanya?" tanya Erin.
"Lewat kotak surat rahasia" Perantara" Apa saja?"
"Memangnya ada masalah apa?" tanyaku.
"Menurutmu apa" Townsend. Aku kelas dua belas, Morgan,"
kata Erin sambil memandang berkeliling lumbung dengan hatihati. "Aku ditawarkan posisi dalam Program Latihan Penyamaran Mendalam InterAgensi MI6/CIA."
"Hebat," kata Bex, tapi Erin hanya mengangkat bahu.
"Trims. Aku mendapat surat penawaran itu waktu liburan.
Seharusnya aku melapor untuk mulai bekerja"bekerja"bulan
Juni, dan kau tahu apa PR kelas Operasi Rahasia kami akhir
pekan ini?" Kami semua menggeleng. "Nggak ada PR."
"Nggak mungkin!" seru Liz.
Erin mengangguk. "Beberapa bulan lagi aku bakal melakukan penyamaran mendalam di suatu tempat, tapi persiapanku
hanya begini?" Erin benar, tentu saja. Kelas Mr. Townsend bukan hanya
buang-buang waktu. Kelas itu berbahaya.
Erin menggeleng, lalu menoleh untuk menatap ke luar
jendela dan kami sama-sama mengamati guru terbaru kami
berjalan menyeberangi halaman sekolah lalu menghilang tanpa
jejak ke tengah salju yang turun. "Sebenarnya apa yang dia
lakukan di sini?" Erin murid yang baik. Dia bakal jadi mata-mata hebat. Saat
dia berbalik dan berjalan pergi, bisikannya seakan bergema,
melingkupi kami berempat. Misi kami sudah jelas.
"Townsend bakal jadi target sulit," kata Bex.
"Aku tahu." "Maksudku, pria ini bakal membuat operasi pengintaian Mr.
Smith jadi semudah mengintai amatiran."
Aku mengangguk. "Yeah. Kau betul."
"Jadi pertanyaannya," kata Bex perlahan, "seberapa jauh
kau mau melangkah?" Aku menatap ketiga sahabat terbaikku di dunia. "Seberapa
jauh yang diperlukan?"
Bab L i ma B e l a s Laporan Operasi Rahasia Pelaksana Morgan, Baxter, Sutton, dan McHenry memulai operasi
pencarian informasi yang berbahaya mengenai target yang sangat
berbahaya. Kebetulan sekali dia juga guru di Akademi Gallagher.
Para Pelaksana mampu memastikan hal-hal berikut:
" Agen Townsend tidak pernah bangun lebih lambat daripada
jam delapan pagi atau tidur sebelum jam dua pagi.
" Target berolahraga lari sejauh delapan km setiap hari dan terlihat
melakukan sit-up lima ratus kali sekaligus (yang, menurut
Pelaksana Baxter, tidak semengesankan kedengarannya.)
" Target dengan ketat menghindari gula maupun kafein (yang,
menurut Pelaksana Morgan, memang sesinting kedengarannya).
" Meskipun sudah dua minggu menjadi anggota dewan guru Akademi Gallagher, Target tidak mendapatkan satu teman pun.
Aku punya banyak waktu makan berkesan selama lima setengah tahun belajar di Akademi Gallagher, tapi hari itu merupakan salah satu dari sedikit kesempatan ketika aku sampai
nggak makan apa-apa. "Dia nggak bakal datang," kata Liz, tatapannya terpaku
pada pintu ganda besar di bagian belakang ruangan. Bex,
Macey, dan aku tetap diam, memandang berkeliling Aula Besar, mereka berdua memainkan makanan mereka selagi kami
menatap pintu-pintu bergantian.
Liz-lah yang menyuarakan pikiran kami semua. "Bagaimana
kalau dia nggak datang?"
"Hei, Macey, boleh aku ambil itu?"
"Nggak!" kami berempat berseru bersamaan. Macey menyambar pisang dari tangan Courtney Bauer, dan itu mungkin
kelihatan agak aneh. Dan, oke, mungkin fakta bahwa kami
berempat sengaja mengambil satu dari setiap jenis makanan di
buffet memang agak aneh. Tapi di Akademi Gallagher, "aneh"
merupakan hal relatif. "Sori, Courtney," kataku, mencoba menjelaskan. "Hanya
saja, nanti kami mau melakukan eksperimen?"
Tapi aku nggak bisa meneruskan kalimat itu karena kini
Agen Townsend berdiri di pintu masuk Aula Besar, meneguk
banyak-banyak dari botol air minum. Rambut keriting gelapnya
basah karena keringat. Dengan setelan olahraga hitam, kelihatannya ia mungkin saja baru kembali dari tugas menyusup
ke suatu kedutaan besar, mendarat menggunakan parasut ke
belakang garis pertahanan lawan, atau bertemu informan yang
sangat mencurigakan di gang tergelap kota paling berbahaya di
dunia. Sebesar apa pun aku ingin membenci Agen Townsend,
ada satu hal yang nggak berani kulupakan: mungkin dia matamata yang sangat hebat.
Kupandang teman-teman sekamarku, tahu bahwa satu jam
berikut, entah bagaimana, dengan suatu cara, kami berempat
harus jadi lebih hebat. "Siapa yang jadi "mata?"" bisikku saat merasakan pria itu
lewat di belakangku. "Dia menuju buffet," kata Bex, tapi kecuali kau bisa mendengarnya, kau pasti bakal bersumpah Bex cuma sedang membicarakan cuaca.
"Sedang apa dia?" tanya Liz. (Wajah dan suaranya, dengan
menyesal kukatakan, jauh lebih nggak rahasia dibandingkan
kami yang lain.) "Apel," kata Macey. Mata birunya tampak sangat biru dan
berbinar saat memandangku dan berbisik lagi, "Apel."
Liz butuh waktu empat detik untuk mengambil jarum suntik
dari tas. Tangannya gemetar saat aku mengambil apel dari
nampanku dan memeganginya di bawah meja.
"Kalian tahu ini mungkin ilegal, kan?" tanyaku, tapi Liz
mendongak menatapku dan tersenyum seakan aku cewek
paling naif sedunia. "Nggak mungkin ini ilegal, Cam. Ini riset."
Jadi begitulah yang terjadi. Nasib guru kami, keselamatanku,
dan IPK Liz bergantung pada apa yang hendak kami lakukan.
"Kau melakukannya dengan baik, Lizzie," kata Bex, tapi
tetap saja tangan Liz gemetar.
"Liz?" Macey memulai.
"Selesai!" kata Liz, dan detik berikutnya apel itu berpindah
di bawah meja, dari tangan Liz ke tangan Bex.
Dalam sekejap Bex sudah berdiri dan berjalan ke arah pintu
sementara Townsend melakukan hal yang sama. Tiga detik
kemudian sahabatku tersandung dan menabraknya. Apel yang
dibawa Townsend jatuh dari tangannya dan melayang di udara,
persis ke telapak tangan Bex yang terulur.
"Hati-hati kalau jalan, Baxter," kata Townsend saat Bex
mengulurkan apel padanya. Tapi ada kilatan di mata Bex selagi
memunggungi kami, mengambil apel lain dari balik punggung,
dan menggigit apel itu. Aku hanya duduk dan bertanya-tanya apa yang akan dikatakan Grandma Morgan kalau tahu apa yang sedang kami lakukan"sudah pasti Grandma Morgan bakal bilang sesuatu tentang buah terlarang.
Para Pelaksana melakukan teknik pengintaian empat-orang bergilir
dasar, melacak keberadaan Target di mansion Gallagher.
Pasti menyenangkan kalau kami punya unit komunikasi. Setiap
mata-mata di dunia bisa memberitahukan kelemahan-kelemahan ekstrem yang harus kauhadapi saat kau bertugas mengikuti
seseorang yang sudah mengenal wajahmu. Dan sejujurnya, pasti
lebih mudah jika rekan mata-matamu merupakan agen
lapangan yang terlatih baik dan percaya diri, dan bukan"
well" Liz. "Aduh, aduh, aduh," bisik Liz saat melewatkan satu anak
tangga di tangga batu besar menuju kapel tua.
Aku bisa mendengar langkah kaki Townsend di koridor di
atasku. Setelah selama 45 menit mengikuti dia melewati perpustakaan dan mengamati dari jendela selagi Bex mengikutinya
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyeberangi halaman sekolah"belum lagi satu momen menakutkan yang melibatkan Liz, baju zirah, dan kucing hitam
Profesor Buckingham"teman-teman sekamarku dan aku berhenti sejenak di tangga, mendengarkan selagi Townsend berjalan semakin cepat, tapi menuju apa atau siapa, kami nggak
tahu sampai kudengar ia berseru, "Mosckowitz, aku mau bicara
sebentar." "Oh, halo, Agen Townsend! Baru berolahraga, rupanya.
Aku mencoba berolahraga lari selama beberapa waktu. Itu
bukan olahraga yang" cocok untukku."
Sebenarnya pernyataan itu agak meremehkan kalau kau
bertanya pada cewek mana pun yang mengingat semester ketika kami harus belajar kode dan sandi di lantai dasar karena
kedua pergelangan kaki Mr. Mosckowitz keseleo gara-gara terjatuh ke selokan.
Kuamati Bex beringsut maju, lalu memberi sinyal pada kami
bertiga untuk mengikutinya menaiki tangga. Sambil berjongkok
di puncak tangga, aku bisa melihat dua bayangan"bayangan
Agen Townsend jauh lebih panjang dan langsing daripada
bayangan Mr. M. "Dengar, Mosckowitz," kata Townsend. Aku nggak mendengar langkah kaki, tapi kulihat bayangannya bergerak. "Aku
diberitahu bahwa kau ahli kode."
"B" betul," kata Mr. Mosckowitz, tapi sepertinya ia nggak
betul-betul memercayai jawaban itu.
"Aku mendapat kesan kaulah yang terbaik."
"Aku" cukup baik," kata Mr. Mosckowitz, dan mungkin
itu ucapan paling meremehkan abad ini.
"Jadi kenapa kau belum membereskan kekacauan di lantailantai sublevel mansion ini" Sublevel digunakan untuk pelajaran Operasi Rahasia, bukan?" kata Townsend.
"Well, ya?" "Dan aku instruktur Operasi Rahasia, bukan?"
"Seharusnya seseorang memberi instruksi padanya," bisik
Bex, tapi ia nggak bergerak. Kami tetap diam, menatap kedua
bayangan di lantai. "Well, begini, itu" rumit," kata Mr. Mosckowitz.
"Buat jadi tidak rumit," kata Townsend.
"Setiap generasi menambahkan satu level pertahanan baru,
dan walaupun yang baru" well, bagus, yang lama?"
"Apa?" bentak Townsend.
"Sudah kuno," kata Mr. Mosckowitz singkat. "Dr. Fibs dan
aku sedang memikirkan teori mengenai kemungkinan fungsi
sebagian mekanisme lama itu, tapi sejujurnya, sebagian besar
mekanisme itu tidak seharusnya diperbarui. Kalau diaktifkan,
maka akan?" Ia memberi isyarat dengan tangan. "Bum."
Townsend tertawa pelan. "Dan kau serta Buckingham tidak
sengaja memperlambat proses ini, bukan?"
"Kami bisa menonaktifkan protokol-protokol keamanan yang
baru, dan kau bisa pergi ke bawah sana malam ini, tapi?"
"Apa?" "Sebagian artefak paling rahasia di dunia mungkin akan
hancur, dan?" "Apa?" "Kau mungkin akan mati." Bayangan Mr. Mosckowitz bergerak di lantai, beringsut menjauh.
Lalu bayangan yang lebih panjang melemparkan sesuatu
tinggi-tinggi ke udara. Aku melihatnya terpilin, berputar. Tangan yang terulur untuk menangkap benda itu bergerak dengan
kecepatan cahaya. "Aku menginginkan akses ke lantai-lantai sublevel,
Mosckowitz." Terdengar suara kres yang memuatku mual saat
100 Townsend menggigit apel. "Kerjakan itu. Kerjakan secepatnya."
"Liz!" desis Bex dua puluh menit kemudian. "Berapa banyak
yang kaumasukkan?" Liz mengangkat bahu dan tampak sedikit bersalah. Dan sedikit jail. Itu kombinasi yang sangat buruk. "Aku nggak yakin
dia bakal memakan semuanya, dan kalau dia cuma memakan
segigit, mungkin nggak cukup untuk?"
"Liz," bisikku, memaksanya bicara langsung ke pokok masalah.
"Lima kali lebih banyak daripada yang direkomendasikan!"
sembur Liz. Di ujung koridor terdengar dentuman. Kepala kami berempat mengintip ke tikungan tepat waktu untuk melihat Agen
Townsend tersandung-sandung menjauh dari kepingan vas yang
pecah. Kami menatap Liz, yang berbisik, "Mungkin enam."
Saat kami menoleh kembali ke koridor, jarak Townsend
sekitar sembilan meter, menatap kami. Aku yakin kami ketahuan. Tapi kemudian Agen Townsend berhenti berjalan dan
mengibaskan tangan asal-asalan.
"Aku mau ke kamarku!" serunya, lalu berbalik dan terjatuh
ke bantal-bantal empuk di salah satu tempat duduk jendela
favoritku. Dia mencoba menarik tirai beledu merah ke sekelilingnya seperti selimut.
"Sedang apa kau di kamarku?" bentaknya saat aku muncul
di sebelahnya. Lalu ia tampaknya sadar bahwa "kamar"-nya
hanya berukuran 60 cm x 1 meter. "Apakah ini kamarku?"
Aku menggeleng. "Bukan."
101 "Oh." Entah bagaimana sorot matanya yang biru tampak
hangat, seakan sesuatu di dalam apel itu meruntuhkan semua
pertahanannya. "Haruskah kita menanyainya sesuatu untuk" kalian tahu
kan" mengetes?" tanya Macey.
Saat teman-teman sekamarku memandangku, aku sadar
kami belum menerima pelatihan interogasi. Mr. Solomon belum mengajari kami cara melakukan ini.
Untungnya, seperti untuk sebagian besar hal yang bersifat
mata-mata, Bex punya bakat alami.
"Apakah Monster Loch Ness betul-betul ada?" tanya Bex.
Townsend mengangkat bahu. "Tentu saja ada. Latihan
perang dengan bahan kimia berakhir dengan buruk pada tahun
30-an. Kami harus mengurung makhluk itu di suatu tempat."
"Apakah permata di mahkota Ratu Inggris betul-betul dicuri
dan digantikan dengan permata palsu pada tahun 1962?"
Townsend tersenyum. "Hanya rubinya."
"Di mana Mr. Solomon?"
"Yang itu, aku tidak tahu." Townsend mengangkat alis.
"Belum." "Kenapa CIA dan MI6 memburu Mr. Solomon?"
"Oh, kau tahu jawabannya, Ms. Morgan." Meskipun ucapannya nggak jelas, kata-kata Townsend cukup untuk membuat
jantungku berdebar kencang. "Siapa pun yang menjadi bagian
Circle sejak usia enam belas tahun pasti ingin kami ajak
Century 1 Pendekar Bodoh 6 Muslihat Sang Durjana Traveller 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama