Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter Bagian 4
jalur, yang menatap tepat ke arahku.
Dikenali di tengah-tengah pelaksanaan operasi rahasia jelas
buruk. Maksudku, demokrasi (belum lagi kehidupan) yang kau221
kenal bakal musnah" itu buruk. Agen-agen musuh mungkin
akan mencoba membunuhmu. Teman-teman yang nggak tahu
bahwa kau menyamar sebagai penerjemah PBB dan menggunakan nama Tiffany St. James mungkin akan membuka penyamaranmu. Tapi sampai saat itu, aku nggak sadar seberapa berbahayanya jika kau dikenali oleh"
Mantan pacarmu. "Bukankah itu?" Macey memulai, tapi aku nggak bisa menunggunya menyelesaikan kalimat itu.
"Josh." Pikiranku berpacu dengan semua alasan kenapa aku sebaiknya nggak panik. Bagaimanapun, itu adalah pesta homecoming
dan kelihatannya seluruh penduduk kota Roseville keluar
untuk menonton pertandingan. Dan bukan cuma itu, tapi ketika itu aku lebih terlihat seperti Macey daripada seperti diriku
sendiri, berdiri di sana dalam wig hitam panjang dan lensa
kontak biru, dalam jins yang nggak akan pernah dipakai diriku
yang sesungguhnya untuk bersenang-senang pada Jumat malam.
Tapi harapan yang paling kupegang erat"saat aku berdiri
enam meter jauhnya dari pacar pertamaku"sangatlah sederhana: aku masih cewek yang nggak dilihat siapa pun.
Tapi selalu ada satu pengecualian untuk peraturan itu. Dan
pengecualian itu berdiri persis di depanku.
"Apakah dia" bertambah kekar?" tanya Macey, menyipitkan mata supaya bisa melihat lebih baik lewat kacamata palsunya. "Dia tampak lebih" keren," tambahnya, seakan betulbetul menyukai Josh.
Aku ingin bilang tidak. Aku ingin berpura-pura itu nggak
penting. Tapi waktu Josh berpaling dan mulai berjalan menjauhi kami, aku melakukan apa yang akan dilakukan mata222
mata (ditambah lagi mantan pacar) mana pun: aku mengikutinya.
Seharusnya aku menunggu Macey, tapi kusadai diriku mendorong melewati kelompok marching band, yang sedang berbaris
untuk mengambil alih lapangan selama istirahat paruh waktu.
Aku berjalan mengejar cowok yang berjalan dengan bebas
melewati kerumunan"tanpa bersembunyi. Tanpa penyamaran.
Aku kagum pada fakta bahwa masih ada cowok-cowok di
dunia ini yang tak menutupi apa pun.
Dari sudut pandang seniman jalanan, mengikuti cowok seperti Josh Abrams sangatlah mudah. Bagaimanapun, dia nggak
terlatih, nggak waspada, dan betul-betul nggak memedulikan
Hal Esensial Dalam Antipengintaian Dasar (buku favoritku waktu
berumur tujuh tahun). Meskipun begitu, sesuatu tentang misi
itu terasa lebih sulit daripada apa pun yang sudah kulakukan
sejak lama. Mungkin karena fakta bahwa aku berada di daerah
yang betul-betul nggak familier. Mungkin karena cara kerumunan orang mengimpit di sekitarku, membuatku sulit terus
melawan arus. Atau mungkin karena aku melihat cowok lain
yang muncul entah dari mana dan sekarang berdiri menghalangi jalanku.
"Kau sedang apa di sini, Gallagher Girl?" Suara Zach pelan
tapi kuat. Ia mencengkeram lengan atasku dan menarikku
minggir dari jalur sebuah mobil convertible yang membawa
siswa homecoming baru mengelilingi jalur.
"Tugas Operasi Rahasia," aku berbohong. "Kau?"
"Kupikir kau seharusnya nggak boleh meninggalkan sekolah," katanya padaku.
"Yeah, karena kau suka sekali berada di sekitar sekolah
223 belakangan ini. Serius, Zach, apa kau pernah tinggal di
Blackthorne?" Tapi dia nggak menjawab (dan itu, Macey memberitahuku,
adalah reaksi tipikal baik untuk cowok maupun mata-mata,
jadi aku nggak tahu sisi mana yang membuat Zach nggak
menjawab pertanyaanku saat itu).
"Aku punya firasat kau mungkin bakal mencoba sesuatu
seperti ini." Kedengarannya itu hal paling jujur yang dikatakannya padaku sejak lama. "Beritahu aku?" Zach memulai, dan
untuk pertama kalinya, kemarahan Zach tampak memudar.
"Beritahu aku kau nggak melakukan ini untuk bertemu
Jimmy." "Josh," aku mengoreksi Zach untuk sekitar kesejuta kalinya,
tapi dia nggak tersenyum, dan entah bagaimana aku tahu bahwa leluconnya sudah berakhir sejak lama. "Nggak," kataku,
bersungguh-sungguh. "Aku cuma" di sini."
Aku nggak mencarinya, tapi entah bagaimana aku tahu
Josh sedang berdiri bersama sekelompok teman tiga meter jauhnya. Zach persis di depanku. Di sanalah aku, terjepit di antara
dua cowok yang sangat jauh berbeda. Kalau aku ini cewek lain
dengan penyamaran lain, aku nggak tahu apa yang bakal kulakukan; tapi saat itu, hanya satu hal yang penting.
"Kenapa kau ada di Boston, Zach?" Udara terasa kering dan
sejuk di sekitar kami. Musik lembut mulai bermain di pengeras
suara saat putri-putri homecoming berjalan ke tengah lapangan.
Aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam angin yang bertiup
ini, jadi mungkin itulah sebabnya aku menatap cowok yang
belum sungguh-sungguh kutemui selama berbulan-bulan dan
berkata, "Kenapa kau ada di sini, Zach?"
Aku melangkah mendekat padanya, menunggunya meng224
ulurkan tangan, menggoda, tersenyum. Dan lebih dari segalanya, aku ingin dia berkata Aku ada di sini untukmu.
Jarak di antara kami mengecil, tapi saat aku maju selangkah
lagi, Zach mundur selangkah. Musim semi lalu, dia meledekku,
dia menggodaku"akulah yang sulit didapatkan. Tapi saat berdiri di bawah lampu-lampu terang itu, aku bisa melihat bahwa
entah bagaimana, dalam beberapa bulan terakhir, Zach dan
aku bertukar tempat. Aku nggak menyukai permainannya dari
sisi ini. "Ayo," katanya, meraih tanganku (tapi bukan dengan cara
yang manis dan romantis). "Kita akan membawa Macey pulang."
"Kita nggak akan melakukan apa-apa."
"Baik," katanya, mulai menjauh. "Aku akan pergi mencari
Solomon, dan minta pendapatnya."
"Zach," aku memulai, memotongnya, tapi dia berputar menghadapku.
"Apakah kau tahu siapa yang ada di luar sini?" tukasnya
lebih keras sekarang, lalu secepat itu juga ia melangkah mendekat. "Apakah kau bahkan peduli?"
"Circle of Cavan mengincar persaudaraanku, Zach. Bukan
persaudaraanmu. Mereka melukai teman-temanku. Mereka memaksa para Gallagher Girl menuruni lubang cucian, jadi jangan
muncul di sini dan menguliahiku tentang risiko." Zach menarik
napas seakan hendak bicara, tapi aku nggak membiarkannya.
"Kalau para pengikut Ioseph Cavan ingin membalas dendam
pada cicit Gillian Gallagher, maka mereka harus berurusan
dengan kami semua, dan mungkin itu nggak termasuk kau."
Penyiar pertandingan bicara lewat pengeras suara, mengatakan sesuatu tentang ratu homecoming dan rasa cintanya yang
225 mendalam pada anak-anak anjing atau semacamnya, tapi aku
cuma menatap Zach, mencoba mengenyahkan perasaan bahwa
aku belum betul-betul bertemu dengannya selama berbulanbulan. Atau mungkin selamanya. "Kenapa aku merasa aku
nggak bisa memercayaimu lagi?"
Aku ingin dia marah. Aku ingin dia melawan, memprotes,
mendebat"melakukan apa saja selain menatap lebih dalam ke
mataku dan berkata, "Karena Akademi Gallagher nggak menerima murid bodoh."
Ratusan orang memenuhi berbagai stand di sekitar kami.
Mereka guru dan akuntan, para ibu rumah tangga dan para
pria yang bekerja di pabrik tisu toilet"orang-orang biasa yang
melakukan usaha terbaik mereka untuk menjalani hidup biasa.
Meskipun mencoba sekuat tenaga, mereka nggak bisa lebih
berbeda lagi dari Macey McHenry (baik si mata-mata maupun
si cewek). Meskipun begitu, Macey berada tepat di sebelah mereka.
Di sebelah kami. Dan dia mendengar semua yang kami katakan.
"Hubungan keluarga dengan Roseville," Macey mengulang
pelan kata-kata pria di jalanan tadi.
"Macey," kataku, melangkah mendekat.
"Apakah ini berarti?" Macey memulai, dan aku tahu ada
selusin cara kalimat itu bisa berakhir. Kalau aku yang menemukan fakta bahwa aku punya hubungan keluarga dengan Gillian
Gallagher, aku bakal senang sekali. Bex bakal berpikir itu hal
terkeren sedunia. Liz mungkin memutuskan untuk melakukan
eksperimen DNA serius untuk menentukan apakah sifat matamata itu memang menurun.
226 Tapi nggak penting apa yang bakal kami lakukan. Yang terpenting adalah apa yang Macey lakukan.
"Kau tahu soal ini?" tanyanya padaku. Suaranya pecah.
Bibirnya gemetar. "Berapa lama kau sudah tahu soal ini?"
Kurasa aku bisa saja berbohong. Tapi aku nggak melakukannya. Mungkin karena Macey sudah tinggal bersamaku lebih
dari setahun dan bakal langsung mengetahui kebohonganku.
Mungkin karena kami belum mempelajari subjek berbohong
pada agen terlatih di kelas Operasi Rahasia. Atau mungkin aku
hanya merasa Macey punya hak untuk tahu bahwa dari ribuan
Gallagher Girl di dunia, hanya dia yang memiliki darah Gilly
di dalam tubuhnya. "Yeah, ibuku memberitahu kami waktu?"
"Kami!" sergah Macey. "Apakah seluruh sekolah tahu?"
"Nggak! Cuma Bex dan Liz dan aku. Mom menjelaskan
semua itu setelah kau diterima. Dia?"
"Jadi aku keturunan Gillian Gallagher?" Semangat tampak
memudar dari dirinya, jadi aku mengulurkan tangan, masih
setengah takut bahwa waktu aku menyentuhnya dia bakal
berubah menjadi abu. "Jadi itu sebabnya mereka menerimaku."
"Macey, itu nggak?"
"Benar?" katanya, menatapku, tapi untuk pertama kalinya
dalam hidupku aku nggak bisa berbohong"nggak bisa bersembunyi. Aku hanya bisa menonton saat Macey berjalan pergi
tanpa bicara apa-apa, melewati anggota Pride of Roseville
Marching Band yang berpakaian merah-merah, yang mulai meninggalkan lapangan.
"Macey!" aku memanggilnya, tapi tangan Zach meraih
tanganku. 227 "Cam?" ia memulai.
"Jangan sekarang, Zach." Aku menyentakkan tubuhku menjauh. Mungkin aku ingin menemukan Macey. Atau mungkin
aku hanya ingin berada di mana pun kecuali di sana.
Aku berjalan menembus kerumunan, mendorong melewati
band dan keluar ke daerah terbuka"melihat ancaman potensial
ke arah mana pun aku menoleh.
Enam meter di sebelah kananku dan naik tiga baris, tampak
seorang pria bertopi merah yang melompat berdiri untuk bersorak sepersekian detik lebih lambat, seakan perhatiannya tadi
terfokus di tempat lain. Di jalur antara para pemandu sorak
dan bangku-bangku, dua wanita berdiri bersama dan memandang kerumunan"tapi mengenakan sepatu yang nggak bakal
dipakai ibu rumah tangga di kota kecil.
Aku ingin berteriak ke unit komunikasiku dan memanggil
bantuan, tapi aku nggak punya unit komunikasi. Nggak ada
backup. Dan Macey sudah menghilang.
228 Bab Du a P u l u h E m p a t
alan kembali dari Roseville nggak pernah terasa sepanjang
ini. Dalam jam-jam yang telah berlalu, mansion itu nggak
pernah terasa sebesar ini. Dan aku nggak pernah merasa sebodoh ini, waktu Bex dan Liz dan aku berjalan dari kamar ke
kamar, lantai ke lantai, mencari Macey.
Laporan Operasi Rahasia Jam 05:00 Pelaksana Morgan, Baxter, dan Sutton melakukan pencarian mendetail dalam mansion Gallagher, mengikuti pola jaringan deteksi
dari buku teks. (Mereka yakin tentang ini karena Pelaksana
Sutton sungguh-sungguh membawa buku teksnya.)
"Aku tahu dia sudah kembali," kataku, mungkin yang keseratus
kalinya, tapi aku harus terus mengucapkan kata-kata itu. Nggak
penting bahwa baik Bex maupun Liz tak perlu mendengar itu.
229 "Aku melacak jejak kakinya sepanjang terowongan" Dia
kembali lewat jalan itu"aku yakin. Dia meninggalkan wignya
di samping pintu bersama penyamarannya yang lain, jadi aku
menjatuhkan penyamaranku di sana juga dan mencari dia?"
Aku menatap Bex dan Liz, bahkan nggak mencoba menyembunyikan kepanikanku saat memohon mereka agar memercayaiku. "Aku tahu dia sudah kembali!"
Aku ingin Liz menyebutkan betapa besarnya kemungkinan
bahwa Macey baik-baik saja. Aku berharap Bex memberitahuku
bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi ia cuma menatapku
dan bertanya, "Dari skala satu sampai sepuluh, seberapa marah
dia tadi?" Kami berada di perpustakaan, tapi nggak ada siapa pun di
antara rak-raknya. Jam dalam kepalaku memberitahuku saat itu
sudah hampir jam lima pagi. Api di perapian sudah berubah
menjadi setumpuk arang panas"satu-satunya cahaya dalam
ruangan. Aku memikirkan pertanyaan Bex, perlahan-lahan
menyadari bahwa marah bukanlah kata yang tepat. Marah bisa
diatasi dengan menantang Bex dalam pertandingan berkelahi
di lumbung kelas P&P. Marah bisa memudar dengan tidur
malam yang cukup. "Bukan marah," kataku, menggeleng. "Lebih tepatnya dia?"
"Hatinya hancur." Suara Liz begitu pelan sampai aku hampir
nggak mendengarnya, bahkan sekarang pun aku nggak yakin
apakah Liz sadar kata-kata itu diucapkannya dengan keras. Kami
sudah mencari Macey berjam-jam, tapi sesuatu dalam cara Liz
merosot ke tangga spiral membuatku sadar bahwa, di suatu
tempat di sepanjang jalan, Liz juga menghilang.
"Waktu Macey mengetahuinya, hatinya hancur," kata Liz
lagi, dan aku tahu itu betul.
230 "Yeah," kataku, menoleh pada Liz. "Hatinya hancur."
"Oh, aku bakal memecahkan sesuatu waktu kita menemukannya?" Aksen Bex muncul kembali dalam gelombanggelombang jelas. "Dia bakal membuat dirinya langsung tertangkap kalau terus bersikap sebodoh ini. Berlari-lari di negara
ini sendirian?" "Kau nggak mengerti, ya?" Itu pertama kalinya kudengar
Liz meninggikan suara, pertama kalinya kulihat kulitnya begitu putih pucat. Bahkan Bex terdiam dan menatapnya. "Maksudku, lihat dirimu"lihat kalian berdua! Kalian nggak tahu
seperti apa rasanya. Ini memang... tempat kalian," kata Liz,
seakan Bex dan aku berada di pusat rahasia tua namun kami
nggak menyadarinya. Dan kurasa, dalam suatu cara, itu benar.
"Kau." Liz menoleh pada Bex. "Kau berkeliling dunia dengan ibu dan ayahmu, melacak penjual senjata ilegal dan
mengintai teroris selama liburan musim panas."
Bex mulai memprotes sampai dia sadar bahwa kata-kata Liz
bukan hinaan dan, terlebih lagi, itu sungguh-sungguh benar.
"Dan kau," kata Liz, berputar menghadapku. "Cam, ibumu
kepala sekolah di sini" Bibimu legenda hidup?" Untuk suatu
alasan kurasakan pipiku memerah. "Kalian nggak tahu seperti
apa rasanya menjadi" normal. Lalu suatu hari seseorang memberitahumu bahwa sekolah paling mengagumkan, paling elite,
dan paling sulit dimasuki di dunia ada di Roseville, Virginia?"
suara Liz terdengar hampir seperti mimpi, tapi waktu ia
mengalihkan tatapannya pada kami, suaranya berubah keras,
?"dan mereka menginginkanmu."
Aku memikirkan kata-katanya dan sadar bahwa tak pernah
ada momen dalam hidupku ketika aku meragukan apakah aku
231 akan menjadi Gallagher Girl atau tidak. Bagi Bex, halangan
terberatnya adalah lokasi geografis.
"Yeah," kata Liz, membaca ekspresi kami. "Sejak dulu prestasiku di sekolah cukup baik." Itu mungkin pernyataan paling
meremehkan sepanjang abad ini, tapi aku nggak berani memotongnya. "Sejak dulu orang-orang memberitahuku aku pintar"mereka bilang aku spesial. Tapi Macey?" suara Liz
pecah. Mataku mulai berkaca-kaca, bahkan Bex terlihat bakal
menangis. "Apa yang selalu dikatakan orang-orang padanya?"
Aku nggak mau memikirkan jawaban terhadap pertanyaan
itu"tidak pada saat itu. Tidak selamanya. Jadi kami bertiga
duduk dikelilingi buku dan rahasia dan cahaya dari api yang
mulai redup, akhirnya menyadari bahwa hanya kamilah orang
dalam hidup Macey yang tahu bahwa menilai cewek dari
penyamarannya tidaklah benar.
"Kita harus menemukannya," kata Bex, berjalan ke pintu.
"Sekarang." Tapi aku sudah jauh di depannya, terus berjalan maju, menaiki gelombang rasa lelah dan teror; naluri mendorongku
maju selagi aku berdoa agar aku salah.
Aku bisa mendengar mereka mengikuti di belakangku,
langkah mereka bergema di lantai batu tua saat Bex berseru,
"Kita sudah mengecek ke sana."
Tapi aku hanya berlari lebih cepat menyusuri koridor-koridor sepi, melewati kelas-kelas kosong dan jendela-jendela gelap
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan, akhirnya, menuruni tangga yang mengarah ke koridor
bawah tanah yang panjang"ke tempat semua itu dimulai.
Nggak ada jendela di sana. Koridornya gelap, lantai batunya
nggak rata, tapi tetap saja aku berlari ke tempat Mom
232 membawa kami lebih dari setahun lalu dan memberitahu kami
kebenaran tentang Macey. Saat aku berhenti di depan permadani yang menunjukkan
seluruh pohon keluarga Gallagher, aku mencoba membayangkan
berapa kali aku menghilang ke baliknya, tapi aku tahu bahwa
perjalanan kami malam itu adalah perjalanan terpenting.
Aku terengah-engah, hampir takut akan apa yang bakal
kutemukan, saat Bex dan Liz muncul di sebelahku.
"Dia ada di suatu tempat di sini," kata Liz. "Dia pasti ada
di sini. Dia?" Tapi aku nggak betul-betul mendengarkannya saat menyibakkan permadani itu dan memutar pedang mungil di lambang
perisai Akademi Gallagher yang tertanam di dinding batu.
"Dia mungkin ada di ruang rekreasi kelas sembilan," Liz
berkata dengan sikap seseorang yang harus terus bicara atau
bakal jatuh tertidur. "Di sana ada kursi-kursi yang betul-betul
nyaman itu?" Tapi aku cuma mengamati dinding itu bergeser hingga
menampilkan koridor kosong. Aku mendengarkan suara-suara
keheningan bergema di sepanjang terowongan itu. Aku menunduk melihat tempat Macey dan aku meninggalkan penyamaran kami tadi malam"tapi di tempat itu nggak ada wig,
nggak ada kacamata, nggak ada jejak kedua cewek yang menjadi penyamaran kami tadi malam.
"Dia ada di sini," kata Liz. "Dia nggak mungkin?"
"Pergi." 233 Bab Du a P u l u h L i m a
"B eritahu aku." Suara Mr. Solomon stabil saat ia duduk di
meja pendek di depan sofa kulit di kantor Mom. Aku nggak
memandang berkeliling ruangan. Aku nggak mendengarkan
saat Mom bicara di salah satu telepon dan bibiku di telepon
lainnya. Aku nggak mengamati Liz dan Bex saat mereka duduk
di kursi di tepi jendela, menjawab pertanyaan-pertanyaan dari
Buckingham dan Mr. Smith. Itu merupakan kekacauan paling
hening yang pernah kulihat atau kudengar, jadi aku hanya
duduk di sana, mencoba menjaga agar pikiranku yang lelah
nggak melayang terlalu jauh menyusuri jalan kosong itu, mengejar Macey.
Satu lantai di bawah kami, cewek-cewek berkumpul untuk
sarapan pagi hari Sabtu; sedangkan di lantai atas di suite, setengah anggota kelas sebelas mungkin masih tidur. Berita tentang Macey belum menyebar, tapi pasti akan menyebar" dan
aku tahu seberapa jauh berita tersebut tersebar sangat ber234
gantung pada orang-orang di kantor Mom ini; jadi mungkin
itulah sebabnya Joe Solomon menatapku seakan di ruangan itu
hanya ada kami berdua"bahkan di seluruh sekolah. Dunia Mr.
Solomon nggak runtuh. Dia akan menjaganya tetap utuh"aku
bisa menjaganya tetap utuh. Aku hanya harus"
"Beritahu aku semuanya, Ms. Morgan."
"Terakhir kali aku melihat Macey adalah semalam."
"Semuanya." "Pada jam 8:47 kemarin malam kami ada di kota" di pertandingan football," aku mengakui, setengah berharap Mr.
Solomon akan berteriak atau setidaknya tampak bingung, tapi
Joe Solomon jadi salah satu agen rahasia terbaik di dunia bukan tanpa alasan, jadi dia hanya mengangguk dan menyuruhku
meneruskan. "Dan kami bertemu Zach."
Mungkin hanya karena imajinasiku yang terlalu aktif, tapi
aku berani bersumpah bahwa kalimat terakhirku itu membuat
Mr. Solomon berkedip. Aku berpikir tentang bagaimana Mr.
Solomon dan Zach bertemu di terowongan kereta di
Philadelphia. Selusin pertanyaan muncul di benakku, tapi seberapa pun aku menginginkan jawaban atas pertanyaanpertanyaan itu, aku lebih menginginkan Macey kembali. Jadi
aku berkata, "Apakah Anda menginginkan verbatimnya?"
Sepertinya Mr. Solomon menghargai tawaran itu, tapi ia
menggeleng. "Tidak sekarang."
"Zach dan saya bicara tentang Circle of Cavan"saya tahu
soal itu, Anda tahu. Dari cincin dan pedangnya?"
Ia tersenyum. "Aku tahu kau akan mengetahuinya. Lanjutkan."
"Macey tidak sengaja mendengar pembicaraan kami. Dia
tidak tahu dirinya punya hubungan keluarga dengan Gilly.
235 Macey ingin tahu apakah karena itu dia diterima di sekolah
ini. Dia sama sekali tidak tahu sampai semalam, dan karena
itulah Macey" lari. Saat itu berisik dan ramai, dan saya kehilangan dia." Aku nggak bisa menatap guruku. "Seharusnya
saya ini seniman jalanan, tapi saya kehilangan Macey."
"Itulah yang selalu dilakukannya, Ms. Morgan." Tatapan Mr.
Solomon terarah ke mataku, tapi entah bagaimana aku melihat
perubahan dalam dirinya. "Lari," tambahnya. "Tentu saja, secara
teknis, polanya adalah melakukan sesuatu agar dikeluarkan, tapi
itu bukan pilihan sekarang, jadi dia membereskan masalahnya
sendiri. Kau mengerti maksudku, Ms. Morgan?"
Tapi sayangnya, aku nggak mengerti.
"Kadang seseorang lari" untuk melihat apakah kau akan
mengejar mereka." Setiap hari, selama lebih dari setahun, aku melihat Joe
Solomon, tapi kurasa aku nggak akan betul-betul mengenalnya.
Ada saat-saat ketika dia merupakan salah satu orang terkuat
yang pernah kukenal, lalu ada saat-saat"seperti saat ini"ketika
kupikir mungkin dia memiliki luka, jauh di dalam dirinya, di
tempat yang nggak akan pernah sembuh.
Lalu dalam sekejap, Mr. Solomon berubah jadi guruku lagi.
"Ada yang hilang dari kamarmu?"
Aku terdiam sesaat, memejamkan mata, dan membayangkan
kamar itu. "Paspor Macey."
"Pakaiannya tidak" Uang?"
"Macey punya empat belas kartu kredit dan hafal semua
nomornya." Sepertinya Mr. Solomon ingin tersenyum, ingin tertawa.
"Sekarang ini dia juga punya wajah paling terkenal di negara
ini, Ms. Morgan," katanya padaku, nggak terdengar sedikit pun
236 kekhawatiran dalam suaranya. "Kurasa kita bisa melacaknya."
Tapi lalu ia membaca ekspresiku, dan senyum itu menghilang
dari bibirnya. "Apa?"
"Well," kataku perlahan, "Anda ingat bahwa kami sudah
mengikuti kelas penyamaran?"
Nggak ada waktu untuk memarahiku. Itu bukan tempat
untuk memberikan pelajaran ibu-anak. Saat para guru berkerumun di sekitar kami, aku memberikan detail berbagai barang
yang dibawa Macey. Waktu aku selesai, Mom menggeleng dan
berjalan ke telepon. Sayangnya, perhatian Aunt Abby nggak
semudah itu teralihkan. "Aku tahu apa yang kulakukan," kataku sebelum bibiku bisa
mengucapkan sepatah kata pun.
"Benarkah?" Ada sesuatu yang lebih dalam di matanya. Dia
bukan cuma Aunt Abby saat itu; dia lebih daripada pelindung
Macey; selama sepersekian detik dia adalah wanita di kereta
itu, tapi lalu"dengan kecepatan sama"wanita itu menghilang.
"Kalian pergi ke kota sendirian dan" dan sekarang, begitu
Selasa tiba, kita harus memunculkan Macey McHenry, dan
kalau kita tidak bisa, setiap agen dalam Dinas Rahasia dan
setengah anggota FBI akan mendatangi mansion ini, Cameron,
dan aku tidak tahu apakah ibumu bisa mencegah mereka
masuk. Mereka akan menyibak semua karpet dan mendobrak
semua pintu sampai bisa melacak setiap langkah Macey, dan
dalam prosesnya, mereka mungkin akan menggantungku sebagai bentuk pertanggungjawaban. Dan sementara itu,
Macey?" Abby meletakkan satu tangan di pinggul, dan untuk
pertama kalinya, aku melihat sarung senjata. Seperti asap dan
api, aku langsung tahu bahwa di dalam sarung senjata itu pasti
ada senjata. "Macey di luar sana. Dia hanya tahu?"
237 "New York!" seru Buckingham, lalu membanting telepon.
"Wanita muda yang cocok dengan deskripsi Macey membeli
tiket bus ke New York semalam. Dan seseorang memesan jet
pribadi ke Swiss memakai salah satu rekening bisnis ibu
Macey." Abby menatapku. "Keluarganya punya rumah di sana," kataku. "Cocok."
Mom menoleh pada Buckingham. "Kita punya alumni di
Swiss?" "Tentu saja," adalah jawaban Buckingham.
"Minta mereka mengawasinya sampai kita bisa menempatkan tim di sana." Profesor Buckingham berbalik untuk pergi,
tapi Mom berseru padanya. "Dan Patricia, beritahu mereka dia
target yang sulit. Beritahu mereka dia salah satu dari kita."
Aku mau memberikan apa pun asal Macey bisa mendengar
kata-kata Mom. Mungkin dengan begitu dia bakal memercayaiku. Mungkin dengan begitu dia nggak kabur. Mungkin
dengan begitu banyak hal akan jadi sangat berbeda. Tapi
Macey nggak mendengar kata-kata Mom, dan itulah masalahnya. Jaraknya dari kami hampir setengah dunia. Sendirian.
Dan sekali lirikan ke mata Mom yang khawatir memberitahuku
bahwa mungkin bukan hanya kami yang mencari Macey.
Saat Abby berlari ke pintu, Bex, Liz, dan aku mengejarnya.
"Kapan kita berangkat?" tanya Bex.
"Kita tidak akan pergi ke mana-mana," bentak Abby. Dari
jendela-jendela aku bisa melihat baling-baling salah satu
helikopter sudah mulai berputar, menunggunya. Dia berlari ke
arah tangga, tapi berhenti mendadak. "Dia akan baik-baik saja,
kalian tahu." Sesaat, Abby menjadi dirinya yang dulu, tepat
saat ia menaikkan pinggul. "Percayalah padaku."
238 *** Aku tahu, secara ilmiah, bahwa semua hari terdiri atas 24 jam.
Seribu empat ratus empat puluh menit. Delapan puluh enam
ribu empat ratus detik. Tapi Liz pun mengakui bahwa hari-hari
setelah kejadian itu terasa lebih panjang, saat kami memandang keluar setiap jendela yang kami lewati, berharap
gerbang-gerbang itu berayun membuka dan melihat Aunt Abby
serta Macey berjalan menyusuri jalur masuk.
Tapi gerbang tetap tertutup. Jalan masuk tetap kosong. Dan
Macey tetap hilang. Senin malam, di dalam diriku muncul kembali suatu perasaan lama"seperti virus yang dorman selama bertahun-tahun"
saat aku teringat ketika orangtuaku akan pergi berhari-hari
atau berminggu-minggu; sebelum hari-hari ketika aku tahu Dad
nggak akan pulang lagi. Ketika menuruni tangga untuk makan
malam, aku nggak bisa mengenyahkan perasaan bahwa mungkin aku betul-betul hebat menghilang, tapi jenis menghilang
Macey jelas sangat berbeda.
"Ups, sori," kata seseorang, tepat waktu aku mendongak
dan melihat Tina Walters berlari menaiki tangga. Tanda di
atas Aula Besar memberitahuku malam itu kami akan mengobrol dalam bahasa Portugis; aroma yang memenuhi selasar
memberitahuku kami akan makan lasagna. Tapi cara Tina menatapku memberitahuku bahwa nggak satu pun anggota kelas
sebelas merasa lapar. "Kau baik-baik saja, Cam?" tanya Tina, dan aku mengangguk, tapi entah kenapa aku nggak bisa minggir dan memberi jalan padanya.
"Tina, apakah kau sudah?" aku memulai, lalu terdiam
239 karena aku sama sekali nggak bisa memercayai pertanyaan
yang bakal kuajukan. "Apakah sumber-sumbermu sudah mendengar sesuatu?"
Aku ingin Tina memberitahuku Macey baik-baik saja. Aku
bahkan bakal cukup puas mendengar cerita sinting tentang
seorang cewek yang cocok dengan deskripsi Macey sedang
mengintai pembunuh bayaran eks-KGB di Bucharest. Aku
perlu apa pun selain melihat Tina menggeleng dan berkata,
"Nggak sepatah kata pun."
Ia tersenyum simpatik. "Tapi nggak ada berita kadang berarti berita baik, kan?" tanyanya. "Semua orang mencarinya."
Tapi saat aku mendongak ke Koridor Sejarah, yang bisa kulakukan hanyalah menatap pedang yang masih berkilauan di
dalam kotaknya, pisau tajam yang mengiris waktu, dan berbisik, "Itulah yang kutakutkan."
Aku ahli bersembunyi. Bukannya menyombong, tapi itu
benar, dan saat aku duduk menatap piringku malam itu, sesuatu tentang menghilangnya Macey sepertinya nggak masuk
akal. "Dua penyamaran," kataku.
"Apa?" tanya Bex, mencondongkan diri mendekat.
"Kedua penyamaran hilang waktu kita kembali"yang dipakai Macey dan yang kupakai."
Lalu Bex menyeringai padaku. "Kau memikirkan yang kupikirkan?" tanyanya, dan dalam sekejap kami berlari menaiki
tangga, Liz mengikuti di belakang kami.
Koridor Sejarah tampak redup. Pintu kantor Mom tertutup,
tapi aku nggak melambatkan langkah sampai Madame Dabney
muncul entah dari mana, dengan tegas menghalangi jalanku.
240 "Saya harus menemui Mom," semburku.
"Oh, Cammie sayang, sayangnya ibumu tidak ada di sini."
"Tapi saya harus menemuinya!"
"Well, aku tidak meragukan itu, tapi mengingat situasi
akhir-akhir ini, Kepala Sekolah pergi menemui Senator dan
Mrs. McHenry untuk menjelaskan kenapa putri mereka mungkin akan" terlambat" menghadiri pesta menonton kampanye
besok malam. Itu pun jika kita berhasil membawanya kembali
dari Swiss tepat waktu," tambah Madame Dabney persis ketika
Bex dan aku bergerak maju.
"Tapi Macey tidak ada di Swiss!" sembur kami bersamaan.
Madame Dabney berhenti. Ia berbalik. "Kenapa kalian mengatakan ini" Apa yang kalian ketahui?"
"Well?" Bex, Liz, dan aku berpandangan. "Macey membawa kedua penyamaran. Dan kalian sudah mencarinya di
Swiss selama tiga hari. Saya rasa alasan tidak seorang pun menemukannya adalah karena dia tidak ada di sana."
"Cameron, Sayang, aku mengerti kekhawatiranmu, tapi
gadis yang cocok dengan deskripsi Macey menaiki pesawat pribadi ke Swiss?"
"Tapi?" aku memulai, tapi Madame Dabney nggak memberiku kesempatan untuk menyelesaikannya.
"Paspornya sudah dicap masuk Swiss. Dia ada di sana,
nona-nona." Madame Dabney menepuk lenganku. "Dia ada di
sana. Dan aku tidak ingin kalian khawatir. Kita akan menemukannya."
Sambil berjalan naik ke suite kami, aku nggak bisa nggak
berpikir bahwa Macey entah pantas disebut Gallagher Girl
atau sebaliknya; bahwa dia entah cukup baik atau sebaliknya.
241 Kami nggak bisa menjadi keduanya, nggak peduli bagaimana
anggapan para guru. Aku menutup pintu di belakang kami dan menatap Bex.
"Kalau kau Macey, apa yang kaulakukan?" tanyaku.
"Pertama-tama, aku nggak akan meninggalkan jejak," kata
Bex, dan aku mengangguk. "Kartu kredit dan paspor itu untuk
amatir. Aku nggak peduli secara teknis dia kelas berapa, Macey
jelas bukan amatir."
Bex memberi isyarat seakan berkata sekarang giliranku. "Kalau aku punya wajah yang paling dikenali di negara ini dan
membawa dua penyamaran, nggak mungkin aku bakal pergi
jauh-jauh ke Eropa tanpa memakai salah satu darinya."
Bex mengangguk dan aku menatap Liz, yang mengangkat
bahu. "Aku kan si kutu buku," Liz mengakui. "Aku nggak tahu
apa-apa soal Operasi Rahasia."
"Tapi kau kenal Macey," bisik Bex, dan mungkin itu hal
paling benar yang pernah dikatakan salah satu dari kami sejak
lama sekali. Liz duduk kembali di tempat tidurnya. Aku bisa melihatnya
mencari-cari di dalam database raksasa"otaknya, tapi jawaban
pertanyaan Bex nggak ada di dalam sana"jawaban itu ada
dalam hatinya. Jadi akhirnya ia menarik napas dalam dan berkata, "Kurasa aku bakal ingin pergi ke suatu tempat yang
aman." Mansion sepi. Aku bersandar pada jendela yang berangin,
mengamati potongan-potongan puzzle melayang dalam benakku"tahu bahwa ada sesuatu yang nggak pas. Aku memikirkan
kata-kata Liz, ekspresi pucat seperti hantu di wajah Macey
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sewaktu kami berdiri di bawah lampu yang terlalu terang di
242 lapangan football yang dingin. Udara sejuk menyelimuti lenganku"aku melihat teman sekamar kami menggigil di tengah
terpaan angin. Lalu" aku tahu.
"Ambil kunci Dodge-nya, Liz," kataku sambil berdiri dan
berjalan ke lemari. Bex sudah bersiap-siap"untuk apa, itu nggak penting. Tapi
Liz hanya memandangiku. "Kita mau ke mana?"
"Membawa pulang saudari kita."
243 Bab Du a P u l u h E n a m
urasa nggak seorang pun siswi dalam sejarah Akademi
Gallagher untuk Wanita Muda Berbakat pernah kabur dari
sekolah sebelum akhir pekan itu, tapi Selasa pagi, totalnya
sudah mencapai empat orang.
Sementara Liz tidur dan Bex menyetir, aku duduk di kursi
penumpang Dodge, khawatir kami nggak bakal menemukan
Macey. Bagaimanapun, pada akhir musim panas hutan itu dipenuhi dedaunan hijau, tanaman liar, dan rumput tinggi yang
berbaris di jalan-jalan sempit. Tapi pada bulan November lapangan rumput sudah kosong, pohon-pohonnya gundul, dan dalam
cahaya fajar yang pucat seluruh dunia tampak seperti khayalan.
Atau mungkin semua itu hanyalah penyamaran yang sangat
bagus, dan mau nggak mau aku berpikir bahwa"dengan
keterampilan mata-mata atau tidak"aku adalah cewek yang
terkena gegar otak saat terakhir kali berada di tempat ini.
Bex mengemudi perlahan menyusuri jalanan beraspal hitam
244 sampai, akhirnya, aku melihat jalanan berkerikil yang kira-kira
sebesar jalan setapak, dan berkata, "Belok di sini."
"Ini apa, semacam rumah aman?" tanya Bex saat kami berdua menyipitkan mata dalam cahaya remang dan hutan lebat,
dan aku memikirkan apa dulu dikatakan guru Operasi Rahasia
kami. "Sebaiknya begitu," jawabku waktu Bex berhenti berjalan.
"Rumah ini punya Mr. Solomon."
Laporan Operasi Rahasia Pelaksana Morgan, Baxter, dan Sutton memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, mengingat pemilik
properti itu adalah profesional keamanan yang amat sangat
terlatih (tambahan dalam karakteristiknya selain amat sangat
keren). Saat masuk melewati hutan, aku mencari sesuatu yang tampak
familier. Sedikit sekali atap kabin yang terlihat dari balik pepohonan ini, tapi nggak ada asap dari cerobongnya"nggak ada
tanda-tanda kehidupan"dan ratusan keraguan mengusikku:
Bagaimana kalau aku salah dan Macey nggak kabur ke sini"
Bagaimana kalau kami terlambat" Jadi aku menyuarakan satu
pertanyaan yang paling nggak membuatku khawatir, "Bagaimana kalau ini bukan rumah yang benar?"
Saat aku maju selangkah lagi, tangan Bex menyambar lenganku, dan aku membeku. Aku nggak perlu menunduk untuk
tahu bahwa kaki kananku hanya berjarak beberapa senti dari
kabel tipis yang akan, nggak diragukan lagi, memicu alarm
tanpa suara. Aku nggak perlu mendengar Bex bilang, "Ini jelas
245 tempat yang benar," untuk tahu jawaban dari pertanyaanku
tadi. Nah, normalnya, dalam situasi rahasia ideal, agen yang sangat terlatih akan melambatkan langkah. Dan memeriksa
daerah itu. Dan merencakan rute dengan hati-hati, atau mundur untuk berdiskusi. Tapi situasi rahasia ideal nggak melibatkan Liz.
"Hei, apa yang kalian?" Liz memulai, dan detik berikutnya
ia tersandung batu sambil berseru, "Aduh, aduh, aduh!"
Liz terjatuh dengan kepala lebih dulu, tersandung kabel
tipis di sebelah kakiku dan mendarat di tumpukan dedaunan.
Bex dan aku mencoba menahannya, tapi itu sudah terlambat:
gravitasi mengambil alih, dan Liz merosot menuruni bukti, berguling di antara semak-semak, lewat tepat di antara dua sensor
gerak inframerah dengan begitu sempurna sampai aku yakin
kami nggak akan bisa meniru ketepatannya meskipun kami
mencoba. "Dia bakal menabrak?" kata Bex memulai, tapi nggak bisa
menyelesaikan kalimatnya, karena bukannya jatuh ke batang
pohon yang tumbang, entah bagaimana Liz berhasil mengubah
arah dan menabrak gerumbulan blackberry.
"Liz!" seruku, berlari mengejarnya sampai tanahnya jadi
terlalu curam, dedaunan yang rontok terasa terlalu basah oleh
embun, dan kakiku terpeleset juga. Di belakangku, kudengar
Bex tersentak saat kehilangan keseimbangannya juga.
Dahan-dahan pohon menampar wajahku. Tanganku terbenam lumpur sampai pergelangan, tapi tetap saja aku terguling
maju, makin lama makin cepat. Di pikiranku, sepertinya sirene
sudah berbunyi"tim S.W.A.T. sudah dalam perjalanan.
Lalu, akhirnya, aku berhenti berguling. Aku terduduk di
246 tanah, berlepotan lumpur dan dedaunan layu. Aku nggak bisa
merasakan apa-apa kecuali napasku dan hantaman Bex, yang
jatuh mendarat tepat di atasku. Aku berhasil mengusap lumpur
dari mataku saat dua kaki yang luar biasa panjang muncul di
atas kami, dan Macey McHenry bilang, "Kalian terlambat."
Para Pelaksana memutuskan menggunakan kesempatan langka ini
untuk melakukan pengintaian mendetail di rumah paro-waktu
profesional bidang keamanan yang sangat terlatih, dan di sana
mereka menemukan hal-hal berikut:
" Sekotak umpan, alat pancing, dan kait yang bisa jadi
SANGAT membantu dalam taktik interogasi ilegal. (Tapi
setelah diperiksa lebih lanjut, benda-benda tersebut
sepertinya benar-benar digunakan untuk memancing
ikan.) " Empat T-shirt putih polos
" Enam pasang kaus kaki tinggi
" Satu pisau Swiss Army (yang tampaknya dikeluarkan
oleh Kesatuan Tentara Swiss sungguhan)
" Empat puluh tujuh peta dalam enam belas bahasa
" Nol surat cinta, foto, atau buku catatan dengan coretan
di sampulnya " Kotak P3K paling lengkap yang pernah dibuat manusia
"Makanan kucing!" seru Liz waktu mengintip ke dalam lemari lainnya. Aku mendengarnya buru-buru menulis penemuan
itu dalam daftar, lalu berkata, "Aku penasaran apa artinya
itu?" Aku bisa merasakan Bex dan Liz berkeliaran untuk meng247
amati setiap detail tempat itu, kagum pada fakta bahwa tirai
di rumah ini dijahit sendiri dan jendelanya nggak antipeluru.
Tapi aku hanya berdiri di sebelah tempat tidur sempit di ruang
tidur, menatap selimut quilt, mengingat kembali hal-hal yang
dikatakan Mr. Solomon padaku di sana, tahu bahwa entah
bagaimana nggak ada jawaban apa pun di dalam kabin kecil
itu. Nggak peduli seberapa keras Liz mencari, aku ragu dia
bakal menemukan bola kristal yang bisa menjawab semua pertanyaan kami.
Macey berdiri di sebelahku. Kami menatap bayangan kami
di kaca dan memandang ke luar ke danau. Mau nggak mau
aku berpikir bahwa kami butuh waktu yang lama untuk berjalan menjauh dari ujung dermaga itu.
Mungkin Liz benar dan Macey hanya menginginkan tempat
yang aman. Mungkin Mr. Solomon betul-betul mengerti bahwa
lari adalah satu-satunya cara Macey bisa tahu apakah kami
akan mengejarnya. Atau mungkin, seperti aku, dia hanya ingin
menghilang sebentar. Tapi itu nggak mengubah fakta bahwa kami berhasil menemukannya.
Dan bukan hanya kami yang mencarinya.
Pintu kasau berderit sewaktu kami melangkah keluar. Kurang dari tiga bulan, tapi entah bagaimana kami berhasil
menemukan jalan kembali ke sini, dan aku harus tahu apakah
Macey masih sama dengan cewek di tepi danau ketika itu.
"Macey," aku memulai, tapi sebelum aku bisa menarik napas, dia membaca pikiranku.
"Aku tahu kita nggak bisa tetap di sini."
Ada sesuatu yang secara alami terasa aman tentang rumah
di tepi danau dengan perlindungan CIA dan daun-daun yang
248 berguguran dan kontes siapa yang bisa meloncati batu dengan
jarak terjauh (Bex yang menang, omong-omong). Tapi setiap
mata-mata tahu semua hal selalu berubah. Selalu. Dan van
kami sudah menunggu. "Kita bisa kembali ke sekolah, atau kau bisa menemani
orangtuamu di pesta menonton pemilihan, tapi?" Kurasakan
diriku mencari kata-kata yang kutakuti.
"Apa aku semudah itu dilacak?" tanya Macey, masih menatap ke danau seakan itu cermin.
"Nggak," kataku, dan untuk pertama kalinya Macey menatapku. "Kami menemukanmu karena kau terlalu hebat untuk
dilacak lewat satu telepon."
Aku duduk di ujung dermaga. "Lagi pula, kau membawa
dua penyamaran. "Dengan penyamaran yang satu, kau bisa terlihat seperti orang lain." Aku memikirkan wig hitam mengilap
yang kupakai. "Dengan penyamaran satunya lagi, orang yang
tepat bisa terlihat sepertimu."
"Dari sana, mudah sekali membayangkan kau menawarkan
perjalanan gratis ke Eropa pada cewek malang yang nggak
curiga dan bertukar paspor dengannya," tambah Bex saat ia
dan Liz berjalan mendekat di belakang kami.
"Jadi itu menjelaskan bagaimana kalian menebak?" Macey
memulai. "Tahu," Liz mengoreksi, seluruh kemampuannya harus diakui
kalau ia berhasil menemukan jawaban yang benar.
"Tahu," Macey melanjutkan, "aku nggak ada di Swiss.
Bagaimana kalian bisa menemukanku di sini?"
Aku menatap danau dan memikirkan satu hari yang belum
terlalu lama berlalu. "Ke sinilah aku bakal pergi," kataku, baru
sadar bahwa itu benar. 249 "Aku juga," tambah Bex.
Kami semua menatap Liz, yang mengangguk. "Yeah."
Macey tertawa. Tawa itu begitu cepat dan jernih hingga aku
berani bersumpah suaranya mengirimkan riak-riak ke sepanjang
danau. "Apakah mereka betul-betul masih mencari di Swiss?"
"Sekarang mereka sudah melebarkan lingkupnya hingga
setengah Eropa Utara," kata Bex sambil meringis.
"Masih berpikir mereka menerimamu cuma karena siapa
keluargamu?" tanyaku.
"Ya." Jawaban Macey membuatku kaget. Aku sudah hampir
berdiri. Kayu kasar dermaga itu menusuk tanganku karena bebanku yang terlalu besar, tapi aku nggak bisa bergerak.
Macey tersenyum. Ia mengangkat satu alis dan berkata,
"Tapi bukan karena itu mereka tetap mempertahankanku."
Dari semua ujian yang berhasil dilewati Macey McHenry
dalam setahun terakhir, nggak ada keraguan di benakku bahwa
itulah yang terbesar. "Lagi pula," katanya, mengedip-ngedipkan matanya dengan
gaya menggoda, "ayahku punya potensi untuk jadi pria kedua
paling berkuasa di negara ini."
"Well," kata Liz pelan, "potensinya tidak bertahan untuk
waktu lama." "Kenapa?" tanyaku, menatapnya.
"Karena pemungutan suara sudah dibuka dua jam lalu."
Setiap mata-mata jago sekali berpura-pura, jadi kami bersikap
seakan bagian buruknya sudah lewat; seakan segalanya akan
baik-baik saja. Kami menurunkan jendela mobil dan bernyanyi
sekeras-kerasnya dan mencoba nggak memikirkan kenapa kami
harus melakukan beberapa perhentian spontan, berbelok tanpa
250 memberi sein, dan lusinan teknik antipengintaian lain. Semua
itu seakan menandakan kami adalah pengemudi yang sangat
buruk, tapi mata-mata yang sangat baik.
Tapi nggak penting seberapa hebatnya kami dalam melakukan antipengintaian berkendaraan, karena setidaknya kami
akan menghadapi satu pertemuan berbahaya yang aku tahu
nggak akan bisa kami hindari.
"Kami bersamanya."
Perhentian truk ini berisik"penuh suara mesin diesel, dentangan piring dan alat makan yang dibereskan dari meja-meja
yang berminyak"dan sesaat aku takut Mom nggak mendengar
kata-kataku. "Kubilang, kami bersama?"
"Ya, Profesor Buckingham," kata Mom perlahan, dan awalnya aku hendak mengoreksi Mom. Aku ingin mengatakan
bahwa dia salah mendengar suaraku. Salah besar. Tapi Mom
terus bicara. "Senang sekali mendengar kabar ini darimu. Bahkan aku sudah bertanya-tanya di mana kau sekarang, Patricia?"
tanya Mom, dan aku tahu ada orang lain di dekatnya.
"Kami dalam perjalanan ke tempat Mom," kataku, nggak
ingin berkata terlalu banyak di telepon. "Mom, aku minta
maaf kami kabur." Dengan setiap napas, kata-kataku keluar
lebih cepat. "Kami mencoba memberitahu Madame Dabney,
tapi semua orang begitu sibuk mencari di Swiss, tapi naluriku
betul-betul memberitahuku dia nggak di sana, dan?"
"Tentu saja semua hal sudah siap di sini. Kalau Macey
sudah menyelesaikan ujian Biologi dan sudah siap, Dinas
Rahasia bisa membawanya kemari ke D.C. supaya dia bisa bergabung dengan orangtuanya secepat mungkin."
Aku melangkah makin jauh menyusuri koridor sempit itu,
menjauh dari ruang makan yang ramai, mengulur kabel telepon
251 yang berminyak sejauh mungkin saat berkata, "Mereka nggak
tahu dia kabur, kan?"
"Tentu saja tidak," jawab Mom, si mata-mata terhebat. "Itu
akan terlalu menyulitkan."
Aku memikirkan Senator dan Mrs. McHenry, dan sesuatu
membuatku tersenyum. "Jadi seberapa kesal mereka karena dia nggak ada di sana?"
"Aku sudah mengurus semuanya," kata Mom, suaranya masih sangat tenang dan ramah.
Salah satu stasiun televisi menampilkan siaran langsung"
peta Amerika, setiap negara bagian siap untuk diwarnai merah
atau biru. Hari ini adalah hari pemilihan umum di Amerika
Serikat, tapi ada satu suara lagi yang penting, dan, ironisnya,
itu adalah suara yang tak bisa dimenangkan pasangan McHenry
sejak lama. "Cam!" seru Bex, "sudah waktunya."
"Mom," kataku, tiba-tiba perlu mengatakan ini, "aku sayang
Mom." Keheningan panjang memenuhi saluran telepon itu. Sesaat,
kupikir sambungan kami sudah terputus.
"Aku merasakan hal yang persis sama. Dan Patricia." Suara
Mom semakin pelan. "Cepatlah. Dan berhati-hatilah."
Mungkin aku bakal mengatakan ratusan hal lain, tapi aku
tahu saluran telepon umum nggak aman (dan jelas nggak jernih). Lagi pula, teman-temanku"dan misi kami"menungguku.
Para Pelaksana memulai persiapan untuk menyamar agar bisa
memasuki daerah musuh (alias pesta menonton pemilihan
Presiden resmi di kubu Winters-McHenry).
252 Pelaksana Sutton dan Baxter senang sekali mengetahui bahwa
misi kami membutuhkan berbelanja pakaian baru.
Sayangnya, menurut Pelaksana McHenry, agar bisa betul-betul
berbaur, pakaian baru Para Pelaksana tidak bisa terlalu cantik.
Atau nyaman. Washington, D.C. adalah rumah pertama yang kukenal, tapi
untuk pertama kalinya malam itu jalan-jalannya terasa asing.
Mungkin karena kendaraan yang kukemudikan (minivan Dodge
dengan mesin teknologi tinggi yang jelas sama sekali tidak
biasa, kau tahu), atau mungkin karena fakta bahwa cewek
paling terkenal di negara ini duduk di kursi belakang dan memakai wig merah, tapi aku merasakan semua hal kecuali nggak
terlihat saat kami berbelok menyusuri jalan-jalan dengan
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
barisan van stasiun televisi dan barikade Dinas Rahasia.
Saat semakin dekat ke hotel tujuan, kami melewati banyak
koresponden berita yang melaporkan langsung untuk setiap media berita di negara ini, dan aku nggak bisa menahan diri"aku
berpikir tentang Boston. Di sebelahku, Macey gemetar, dan aku
tahu bahwa bukan hanya aku yang memikirkan hal itu.
Aku baru mulai membayangkan bagaimana kami akan membujuk seseorang atau menyelinap masuk (bagaimanapun, Macey
nggak mungkin muncul di hotel tujuan tanpa kawalan Dinas
Rahasia!), waktu suara familier mengiris semua kekacauan di
sekeliling kami. "Cameron!"
Para Pelaksana ingat bahwa kadang penculik potensial tidak
semenakutkan agen yang sangat terlatih-garis-miring-ibu-garis
miring-Kepala-Sekolah yang kebetulan tahu bahwa kau keluar dari
sekolah tanpa izin. 253 "Cammie," panggil ibuku lagi, cepat-cepat menghampiri
kami. "Mom, aku?" aku memulai, ingin menjelaskan atau minta
maaf, memohon pengampunan atau rasa kasihan. Tapi aku
nggak bisa melakukan satu pun di antaranya karena, pada
detik berikut agen-agen Dinas Rahasia langsung mengerumuni
kami. Aku melihat unit komunikasi di telinga Mom. Aku
sadar agen di sekitar kami semuanya wanita. Salah satu agen
itu mengerling padaku, dan sesaat aku bertanya-tanya apakah
sebenarnya Aunt Abby bukanlah satu-satunya Gallagher Girl
yang mendapat penugasan khusus.
Meskipun begitu, Mom nggak mengerling. Dia nggak tersenyum. Sebaliknya, dia menyambar lenganku dan membimbing kami ke arah bangunan.
Sesuatu sedang terjadi, pikirku. Ada yang nggak beres. Ada
ratusan pertanyaan yang ingin kutanyakan, tapi aku nggak
punya waktu"apa lagi napas"untuk menyuarakannya saat
pintu keluar darurat dibuka, lalu teman-temanku dan aku dibimbing masuk.
Saat berjalan menyusuri koridor sempit itu, aku merasakan
d?j? vu yang sangat kuat sewaktu kami melewati tumpukan
tanda Winters-McHenry dan kereta katering"belakang panggung pesta besar ini"sampai akhirnya kami sampai di ruangan
dengan cermin-cermin berbingkai emas dan dinding-dinding
berlapis sutra. Ruangan itu mengingatkanku pada ruang minum
teh Madame Dabney dan aku sadar bahwa, dengan suatu cara,
sekolah kami sudah mempersiapkan kami untuk saat itu selama
empat setengah tahun terakhir.
Cewek normal mungkin akan menatap langit-langitnya
yang berukir dan bertanya-tanya apakah ada hal buruk yang
254 mungkin terjadi di tempat seindah itu. Tapi kami Gallagher
Girl. Kami lebih tahu. "Macey," kata Mom pada teman sekamarku, bahkan nggak
menatapku. "Pergilah bersama agen-agen ini. Orangtuamu menunggumu."
Tapi Macey nggak bergerak, dan aku ingat di dunia semacam inilah Macey dilahirkan. Namun dunia yang ia pilih
adalah gubuk di tepi danau.
"Pergilah, Sayang," dorong Mom.
Gubernur Winters lewat saat itu"dan aku tahu kami ada
di tengah-tengah salah satu tempat paling aman di negara ini,
walaupun begitu ada sesuatu yang misterius saat Mom bilang,
"Aku perlu bicara pada Cammie sen?"
Aku nggak yakin apa yang bakal dikatakan Mom"apa
yang akan ia beritahukan padaku"tapi Mom nggak punya kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya, karena sekejap
kemudian seruan "Di situ kau rupanya" memenuhi ruangan.
Pengambilan suara sudah selesai, jadi mungkin karena itu
Cynthia McHenry nggak ragu-ragu membentak putrinya. "Baju
apa yang kaupakai itu?"
Tangan Macey otomatis terarah ke atas seakan sama sekali
lupa tentang wig merahnya.
"Protokol, Ma"am," salah satu agen di samping Macey menjawab. "Kami pikir lebih baik tetap menyamarkan putri Anda
selagi kami memindahkannya dari sekolah."
"Well, sekarang dia sudah ada di daerah aman," kata ibu
Macey, lalu berjalan menyusuri ballroom, yang menjadi makin
penuh setiap detiknya. "Well, kau mau ikut atau tidak?" tanyanya, berbalik menghadap kami semua. Macey menatap kami
255 seakan meminta bantuan, tapi kami tahu kali ini dia harus
pergi sendirian. Macey menjauh satu langkah, tapi aku begitu sibuk mencoba mengartikan sorot khawatir di mata Mom sampai hampir
nggak melihat temanku bergerak.
"Cam, kita perlu?" Mom memulai, tapi lagi-lagi ia nggak
sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Mrs. Morgan," kata Cynthia McHenry. "Ikutlah dengan
saya." Mom bisa bilang tidak. Dia bisa berjalan menjauh.
Tapi Mom bilang padaku, "Tunggu di sini," dan aku tahu
saat ini Mom bukan cuma ibu dan Kepala Sekolah-ku"ia adalah Gallagher Girl, dan Mom akan memegang teguh penyamarannya sampai akhir.
PRO DAN KONTRA DATANG KE PESTA MENONTON
PEMILIHAN PRESIDEN TANPA DIUNDANG:
PRO: Personel Dinas Rahasia dan seluruh media nasional
ada di mana-mana, jadi ibumu nggak bisa memarahimu karena
kabur. KONTRA: Kau tahu dia bakal memarahimu pada akhirnya,
dan semakin lama menanti, pasti akan semakin buruk jadinya.
PRO: Orang-orang yang sudah tidak tidur, makan, atau
menjalani kegiatan normal apa pun selama dua tahun (dan/
atau menyerahkan sejumlah besar uang) untuk membuat seseorang jadi Presiden, betul-betul nggak pelit menyediakan udang
raksasa untuk hidangan di pesta ini.
KONTRA: Orang-orang yang berkampanye dan hidup hanya dengan sekoper pakaian, tinggal di bus dan kereta selama
256 itu juga punya kecenderungan mengabaikan kebersihan pribadi
mereka (belum lagi penghormatan mereka akan ruang pribadi).
PRO: Ternyata, pesta politik semacam ini juga dilengkapi
penampilan band! KONTRA: Band-nya memainkan lagu yang sama dengan di
rally-rally kampanye itu, berulang-ulang.
Mata-mata menghabiskan sebagian besar waktu mereka dengan
menunggu. Aku tahu itu kedengarannya sinting, tapi itu benar.
Dan sambil berdiri di ballroom besar itu malam itu, menghitung
banyaknya balon yang tergantung dalam jaring-jaring di atas
kepalaku (setidaknya ada 7.345, omong-omong), mau nggak
mau aku berpikir bahwa kami sedang menjalani latihan operasi
rahasia terbaik. Bex menghabiskan sebagian besar malam itu dengan bicara
kepada eksekutif perusahaan minyak yang nantinya kami ketahui bersalah atas tuduhan perdagangan saham berdasarkan
informasi orang dalam (beberapa hari kemudian kami menghack system Komisi Sekuritas dan Bursa Efek dan meninggalkan
informasi anonim, asal kalian tahu). Liz menggunakan memori
fotografisnya untuk membaca ulang buku Pengkodean Tingkat
Lanjut dan Dirimu untuk mempersiapkan diri mengikuti ujian
besar di kelas Mr. Mosckowitz.
Tapi yang bisa kulakukan hanyalah memikirkan ekspresi di
mata Mom saat Cynthia McHenry menariknya pergi. Aku
berbisik, "Ada yang nggak beres."
"Cammie." Sebuah suara mengiris kekhawatiranku, jadi aku
berbalik. "Hei, kukira itu memang kau," kata Preston, menghampiri kami.
257 Bex memandangi Preston dari atas ke bawah. Liz memegangmegang atasannya. Di bagian depan ruangan, pembawa acara
meminta semua orang diam dan memerintahkan agar suara di
salah satu televisi dibesarkan saat seorang penyiar berita berkata,
"Ya, sudah resmi. Secara resmi kami menyatakan Ohio memilih
Gubernur Winters dan Senator McHenry."
Sorakan riuh memenuhi ballroom itu. Orang-orang mengangkat gelas mereka, bersulang untuk negara bagian Buckeye,
tapi pikiranku melayang kembali pada bayang-bayang di bawah
deretan bangku pada hari yang cerah.
"Jadi, kalian teman-teman Macey juga?" tanya Preston, menoleh pada Bex dan Liz, dan aku betul-betul bisa merasakan
nilaiku dalam kelas Budaya dan Asimilasi turun drastis.
"Oh, maafkan aku," kataku cepat-cepat. "Preston Winters,
ini Rebecca." "Bex," Bex mengoreksiku dengan aksen Amerika-nya.
"Dan Liz," kataku. Wajah Liz memerah, tapi dia nggak mengatakan apa-apa. "Jadi, kau sudah siap melihat semua ini
berakhir?" tanyaku, karena" well, aku cukup yakin seharusnya
aku mengatakan sesuatu. Preston memandang berkeliling, lalu mencondongkan diri
dan berbisik, "Sudah nggak sabar setengah mati."
"Aku punya perasaan Dinas Rahasia nggak akan menyukai
pilihan kata-katamu," kata Bex padanya.
"Kurasa kau benar." Dan Preston tertawa.
Di sekitar kami, bisa kurasakan ruangan itu berubah saat
malam makin larut dan peta di dinding dibagi-bagi oleh pertarungan antara merah dan biru.
"Hei," kata Preston, menatapku. "Boleh aku bicara denganmu sebentar?"
258 Aku melirik Bex dan Liz, yang mengangguk, membolehkanku pergi. Jadi si calon putra presiden dan aku berjalan ke sudut
sepi di pesta itu. "Aku mengakui sepenuhnya bahwa apa yang
bakal kukatakan secara resmi akan membuatku seperti cewek."
Sesaat, aku melupakan ketakutanku dan tertawa. "Dan aku
mengakui itu," cowok di hadapanku meneruskan. "Jadi itu
pasti berharga, kan?"
"Betul," jawabku, menahan senyum.
"Tapi aku harus bertanya padamu tentang" Apakah
Macey pernah bilang sesuatu tentang aku?" sembur Preston
akhirnya. Terlepas dari pendidikanku yang luar biasa, aku betul-betul
nggak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ini. Alasannya mungkin karena kami sudah menghabiskan lebih dari setahun untuk mencoba memahami cowok, tapi sepanjang waktu
itu nggak sekali pun terlintas di benakku bahwa mungkin bagi
mereka kami juga misterius. Tapi alasan yang lebih mungkin
adalah karena aku nggak tahu harus bilang apa.
"Macey nggak bicara banyak tentang semua ini," akhirnya
aku mengakui, menunjuk ke sekeliling pesta besar itu"dunia
Macey yang lain. "Semua ini sebenarnya" tidak cocok untuknya, kau tahu?"
Preston tersenyum. Dia memang tahu. Dan saat itu aku
tahu bahwa semua hal ini juga tidak cocok dengannya.
"Apakah kau pernah memikirkan Boston, Cammie?" tanya
Preston, tapi aku nggak mendapat kesempatan untuk mengakui
bahwa aku memang memikirkannya"terlalu sering. "Aku memikirkannya," kata Preston, lalu tersenyum. "Macey betul-betul
istimewa, kan?" "Yeah," kataku perlahan. "Benar."
259 Saat itu Preston menatapku seperti aku pernah ditatap sekali atau dua kali sepanjang hidupku, dan aku merasakan
getaran samar yang biasanya muncul saat orang lain benarbenar bisa melihat diriku. "Sesuatu memberitahuku Macey bukan satu-satunya."
"Preston?" aku memulai, tapi putra calon presiden itu
hanya menggeleng. "Rahasia apa pun yang kau dan Macey miliki, Cammie, aku
nggak ingin tahu." Ia menjauh satu langkah tapi lalu berhenti
tiba-tiba dan bergerak mendekat. "Beritahu aku satu hal saja:
apakah itu melibatkan Spandex?" Preston memejamkan mata
dan ekspresi yang betul-betul lucu muncul di wajahnya.
"Karena dalam pikiranku, itu melibatkan Spandex."
"Preston," kataku, tertawa lalu memukul pelan lengannya.
Aku melihat Macey berjalan ke arah Bex dan Liz, dan sebelum aku bisa berkata apa pun lagi, Preston menghampirinya.
"Astaga, Preston." Macey memutar bola mata. "Memangnya
kau tidak punya?" "Macey," kata Preston, memotongnya, "aku datang untuk
bilang bahwa kalau ayah kita menang, kita akan sering bertemu." Macey membuka mulut seakan mau memprotes, tapi
Preston nggak membiarkannya menarik napas. "Dan kalau mereka kalah" well, menurutku kita sebaiknya tetap sering bertemu. Jadi begitulah," ia menyelesaikan kata-katanya sambil
mengangkat bahu. "Itu saja. Silakan kalian, nona-nona, menikmati pestanya."
Dan Preston berjalan pergi. Dan satu-satunya yang bisa Liz,
Bex, Macey, dan aku lakukan adalah melihatnya berjalan menjauh.
260 "Apakah dia terlihat sedikit?" Macey memulai, tapi Bex
dan Liz yang harus menyelesaikan kalimatnya.
"Keren?" kata mereka bersamaan.
Macey mengangguk seakan mungkin itu benar, mungkin
tidak apa-apa mengakui hal itu, mungkin"mungkin saja"ada
untungnya jadi putri wakil presiden. Tapi kemudian tatapannya
beralih dan ada kilauan di matanya. "Dan omong-omong soal
keren?" kata Macey, "ada berita baru apa soal Zach?"
Aku memikirkan Preston, yang baru saja melakukan salah
satu hal paling berani yang pernah kulihat, dan aku sadar bahwa mencintai seseorang butuh keberanian. Mencintai seseorang
butuh kekuatan. Tapi aku nggak pernah melakukan hal berani
menyangkut Zach"aku nggak pernah mengambil risiko atau
mengatakan apa yang ingin kukatakan. Aku memikirkan
caranya menatapku di pertandingan football, dan tiba-tiba
semua tampak sudah terlambat.
"Kurasa dia sudah nggak suka aku. Mungkin sejak awal dia
nggak menyukaiku. Mungkin dia cuma menyukai" tantangan?"
Macey mengangkat bahu. "Kadang itu memang terjadi."
"Nggak, Cam!" protes Liz. "Mungkin dia cuma?" Tapi Liz
nggak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena satu-satunya cara
kalimat itu bisa selesai adalah dengan buruk.
"Well, sekaranglah kesempatanmu untuk mencari tahu,"
kata Macey saat menunjuk melewati kerumunan kepada cowok
yang berdiri di tengah-tengahnya dengan tangan dimasukkan
ke saku dan bahu merosot seakan dia cowok paling nggak berbahaya di dunia.
"Kudengar seseorang kabur dari sekolah," kata Zach padaku. Ia
261 tersenyum. Saat ia berdiri di sana, rasanya nggak ada hal buruk
yang pernah terjadi"atau bakal terjadi lagi.
"Ada cowok dalam hidupku," kataku padanya. "Dia memberi pengaruh yang sangat buruk."
Lalu Zach mengangguk. "Cowok-cowok nakal memang
kadang seperti itu. Tapi mereka sepadan."
Ballroom itu terlalu panas dan penuh. Aku hampir pusing
sewaktu Zach mencondongkan diri padaku dan berbisik, "Boleh
aku bicara denganmu?"
Begitu kurasakan tangannya menggenggam tanganku, aku
melupakan kata-kata Mom. Aku nggak teringat janjiku. Aku
ingin ada di tempat yang sepi, tempat yang sejuk. Dan yang
terpenting, aku ingin mendapat jawaban. Jadi kubiarkan Zach
membimbingku keluar lewat pintu samping menuju jalanan
yang entah bagaimana telah menjadi gang berkat pengawalan
perimeter Dinas Rahasia dan blokade D.C.
Aku menggigil dan memeluk diri sendiri, berharap tadi aku
membawa mantel musim dingin. Tiba-tiba rasanya hari ini
dingin sekali untuk ukuran Selasa pertama bulan November.
Seseorang menahan salah satu pintu ke hotel tetap terbuka,
dan aku mendengar band-nya berhenti bermain. Hasil pemilihan di suatu negara bagian lain pasti diumumkan, karena gerutuan bergema pada malam itu, tapi aku nggak betul-betul mendengarkan. Nggak lagi.
Karena saat itu gelap. Dan aku kedinginan. Dan Zach melepaskan jaket lalu menyampirkannya di
bahuku, yang (menurut Liz, yang sudah mengecek ulang dengan Macey) adalah hal terseksi yang bisa dilakukan cowok.
262 Tangannya bertahan di bahuku sedetik lebih lama daripada
yang diperlukan. Jaketnya terasa hangat dan beraroma seperti
dirinya. Angin bertiup lebih kencang, menangkap potonganpotongan confetti dalam embusannya sehingga confetti itu berputar-putar di sekitar kami seperti badai salju patriotik.
Itulah saat ketika seharusnya segala sesuatu jadi sempurna.
Bagaimanapun, cowok yang sangat keren" Ada. Latar dramatis dan romantis" Ada. Jarak dekat tanpa pengawasan orangtua" Jelas ada.
Tapi Zach sama sekali bukan cowok biasa, sama seperti aku
sama sekali bukan cewek biasa, jadi aku menatapnya dan bertanya, "Kenapa waktu itu kau ada di Boston?"
Zach melangkah mundur. Ia menggeleng dan menunduk
menatap tanah saat bergumam, "Ada hal-hal yang nggak bisa
kukatakan padamu, Gallagher Girl."
"Nggak bisa?" tanyaku. "Atau nggak mau?"
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi Zach nggak menjawab. Dia cuma menatapku seakan
berkata, Apa bedanya. "Beritahu aku," bisikku, mencoba nggak memikirkan fakta
bahwa Zach nggak mengejar-ngejarku lagi. Tapi dia menunduk
menatapku, dan untuk pertama kalinya, aku sadar bahwa dia
semakin bertumbuh, bahwa dia lebih tinggi dan lebih kuat dan
jelas sudah berbeda dari cowok yang menciumku musim semi
lalu. "Ada beberapa hal yang nggak ingin kauketahui."
Aku tahu kedengarannya sinting, tapi aku memercayai
Zach. Bagaimanapun, aku menjalani seluruh hidupku dengan
informasi hanya-yang-perlu-kauketahui, dan saat itu aku bersedia memercayai Zach. Aku mau percaya.
Dari sudut mataku, aku melihat teman-teman sekamarku
263 meninggalkan hotel dan melangkah ke jalanan. Aku mendengar Macey memanggil, "Cam!" Tapi tatapanku terkunci
pada mata Zach. Rahasia dan confetti bertebaran di udara di
sekitar kami sampai tiba-tiba saja semua hal menjadi gelap dan
bergerak lambat. Sampai nggak mengetahui jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku bukan lagi jadi pilihan, untuk selamanya.
Sampai aku melihat van itu.
264 Bab Du a P u l u h T u j u h
ku tahu itu hanya berlangsung beberapa menit. Begitulah
yang mereka bilang padaku. Aku sudah melihat video pengintaiannya, sependek apa pun itu. Tapi tetap saja, satu-satunya
hal yang kuyakini adalah bahwa satu detik kami berdiri dalam
bayangan lampu jalanan, dan detik berikutnya kami diselubungi kegelapan. Listrik di tiga blok kota tiba-tiba mati, dan
dalam keremangan itu, hanya Monumen Washington yang
tetap bersinar. "Macey!" teriakku, tahu dalam hatiku bahwa ada yang
betul-betul nggak beres. Aku mulai berlari menyusuri jalan, menjauh dari Zach menuju temanku, persis saat lampu depan van mengiris kegelapan,
persis saat pembatas perimeter menabrak van yang melaju
begitu cepat menyusuri jalanan kosong itu sampai aku berhenti
bergerak. Aku hanya menatap.
Macey. Macey sudah berjalan mendekatiku, menjauh dari
265 Bex dan Liz. Dia di sana, berdiri sendirian di tengah sorotan
lampu depan van, delapan belas meter jauhnya dari bantuan.
"Lari!" teriakku, lalu berlari ke arahnya, tapi sudah terlambat. Van itu terlalu dekat. Pintu sampingnya bergeser terbuka. Orang-orang bertopeng keluar. Sepertinya segala hal berjalan dalam gerak lambat sampai aku nggak yakin teriakanku
bakal mencapainya saat Macey berdiri terpaku di tengah sorotan
lampu van. Dan melihat van itu melewatinya.
Kadang kami melakukan tes semacam ini di kelas Operasi
Rahasia, ketika Mr. Solomon mengajukan empat atau lima
pertanyaan sekaligus"sebagian membuatmu berpikir, sebagian
membuatmu mengingat, sebagian menguji nalurimu, sebagian
lagi menguji kemampuanmu. Dan seperti itulah rasanya. Aku
tahu kedengarannya ini sinting. Aku tahu kau nggak akan memercayaiku. Tapi kejadian itu betul-betul terasa seperti salah
satu tes Mr. Solomon selagi aku berdiri di bawah penerangan
dari Monumen Washington dan mengingat segala hal tentang
van itu; saat aku memperhatikan tipe jam tangan yang dikenakan pengemudinya, apakah pria yang melompat keluar dari
pintu samping bakal memukulku lebih dulu dengan tangan
kanan atau tangan kiri. Saat aku berpikir tentang Boston; saat
aku mendengar kata-kata "tangkap cewek itu" sekali lagi; saat
kusadari bahwa Macey bukan satu-satunya Gallagher Girl di
atap tersebut hari itu. Saat aku ingat bahwa nggak ada satu pun yang sama seperti
yang terlihat. Ban-ban berdecit di trotoar saat van itu berderum melewatiku, berputar sembilan puluh derajat, menghalangi arah asalku.
266 "Cammie!" Teriakan Zach terdengar sangat jauh, hilang di
balik gundukan karet dan baja.
Di sebelah kanan, aku melihat teman-teman sekamarku
berlari mendekat, tapi dunia berjalan dalam gerak lambat.
Bantuan rasanya berjarak bertahun-tahun cahaya saat pria
besar melompat dari bagian belakang van. Tapi dia terlalu
besar"terlalu lambat. Aku menghindari pukulan-pukulannya
dan mengaitkan kakiku ke balik lututnya sambil mendorong
dan dia tersandung, menjepit pria kedua di pintu van selama
sepersekian detik, dan aku mulai berlari.
"Cammie!" suara Bex bergema dalam kegelapan malam dari
arah selatan. "Macey!" aku balas berteriak. "Selamatkan Macey!"
Tapi Macey nggak perlu diselamatkan. Dan sekarang aku
tahu itulah masalahnya. Aku nggak tahu apa yang terjadi. Aku nggak tahu Zach
ada di mana. Satu-satunya yang kutahu adalah aku harus terus
berlari"semakin cepat dan semakin cepat sampai lenganlengan kuat menangkap pinggangku. Sebelum kakiku bisa menendang, ada kain yang ditempelkan ke mulutku"baunya
membuat mual. Aku mencoba nggak bernapas selagi lenganku
melambai-lambai dan dunia mulai berputar.
Lalu aku terjatuh. Aku ingat aku terjatuh. Melewati kilauan menakutkan lampu-lampu van itu, aku
mencari Zach, tapi sosok-sosok tampak kabur saat trotoar mendekatiku"terlalu cepat, terlalu keras.
Kepalaku serasa terbakar. Tubuhku tertindih di bawah beban tubuh penyerangku. Seseorang atau sesuatu pasti membuat
kami berdua terjatuh ke tanah, karena kain tadi sudah nggak
267 ada"kabut di pikiranku terbelah cukup banyak sehingga aku
bisa melihat teman-teman sekamarku berkelahi dengan dua
pria yang bertubuh dua kali lebih besar daripada mereka. Liz
memegangi punggung pria besar itu sementara Bex menangkis
pukulan-pukulan. Macey berkelahi dengan pria kedua, dan aku
ingin berteriak padanya agar lari, tapi kepalaku berdenyutdenyut seakan terlalu banyak fakta"terlalu banyak pertanyaan"hingga pikiranku nggak menampungnya, dan kata-kataku
nggak keluar. Lalu berat yang menindihku menghilang. Udara bersih
masuk ke paru-paruku. Tapi sebelum aku bisa mendorong diriku hingga berdiri, kain itu menempel lagi di wajahku. Lenganlengan itu mencengkeramku lebih kuat dan kabut di mataku
makin tebal, jadi aku mengeluarkan kekuatan terakhirku dan
memukulkan kepalaku ke kepala penyerangku.
Aku mendengar suara krak, merasakan hidungku yang patah
berdarah saat aku berdiri. Tapi dunia berputar terlalu cepat,
kakiku terlalu berat. Lengan-lengan itu menemukanku lagi.
Kurasakan van mendekat saat tumitku terseret di trotoar, dan
aku mencari bantuan dalam kegelapan samar"mencari harapan. Dan saat itulah aku melihat Macey.
Dia berlari ke arahku. Begitu kuat. Begitu cepat. Begitu
cantik. "Macey aman," bisikku, tapi nggak seorang pun mendengar
kata-kata itu"kebohongan itu.
Aku terlambat merasakan perhentian gerakan itu. Kurasakan bagian kanan tubuhku merosot, tapi aku nggak berusaha
berdiri. Sebaliknya, kulihat teman sekamarku berlari lebih
cepat, mendengarnya memanggil namaku lebih keras, tapi satusatunya pikiran yang memenuhi benakku yang kacau adalah
268 cewek yang berada di tepi danau bukanlah tandingan cewek
yang berada di depanku saat itu.
"Tidak!" Aku mendengar kata itu, tapi aku nggak ingat berteriak. Aku melihat kilasannya"mendengar letusannya"tapi
aku nggak melihat pistolnya.
Aku menerjang ke depan, tapi sudah terlambat. Akademi
Gallagher pun nggak bisa mengajari kami untuk memutar balik
waktu. Jeritan memenuhi udara. Kepanikan menyebar di tengah
angin saat ledakan senjata itu bergema di sepanjang jalan yang
gelap dan ke kegelapan malam. Dan saat itulah aku tahu suara
yang kudengar bukan suaraku. Orang lain yang berteriak. Orang
lain berlari menembus kegelapan. Orang lain menerjang ke
depan Macey lalu jatuh ke tanah yang gelap dengan terlalu
keras. Tangan yang bersenjata itu mencoba menarikku mundur,
tapi aku berputar dan menendang, mendengar sentakan yang
memualkan, dan melihat sosok bertopeng itu jatuh.
Aku melangkah, tapi kakiku nggak kuat. Aku jatuh ke
tanah dan mencoba merangkak, tapi nggak bisa. Mungkin
karena obat dari kain tadi, atau mungkin karena pukulan ke
kepalaku, atau mungkin karena aku melihat teman sekamarku
berteriak pada tubuh bibiku yang terluka, tapi untuk suatu
alasan lenganku lupa caranya bergerak.
"Keluarkan dia dari sini!" Mr. Solomon muncul entah dari
mana. "Sekarang!" suara Mom bergema dalam angin.
Sebuah tangan menyambar lenganku lagi, tapi kali ini aku
menyerang dengan kemarahan yang lebih besar daripada yang
269 pernah kurasakan, bangkit dengan lututku, berputar, menendang, berteriak, "Lepas?"
Mata itulah yang membuat gerakanku terhenti. Dan tangantangan yang tiba-tiba diulurkan ke arahku. Dan kata-kata,
"Gallagher Girl."
Aku ingin merosot ke trotoar, beristirahat. tidur. Tapi tangan Zach menemukan tanganku lagi. Dia menarikku berdiri
saat kepalaku berputar dan tenggorokanku terbakar dan dunia
terus runtuh di sekelilingku.
"Lari," katanya, menyeretku kembali ke arah kedatangan
kami"ke utara, ke arah pintu hotel. Menjauh dari van itu.
Menjauh dari perkelahian. Menjauh dari letusan senjata yang
masih bergema dalam bagian-bagian tergelap pikiranku.
Di kejauhan sirene berbunyi. Seseorang berseru, "Dinas
Rahasia Amerika Serikat!" Dan dua belas meter dariku, bibiku
terbaring di tanah. Nggak bergerak.
Macey mencondongkan diri ke atasnya. Jaket Zach jatuh
dari bahuku, dan Macey menekankan jaket itu pada luka di
dada Abby, mencoba menghentikan darah yang mengalir ke
aspal gelap, menodai semua yang disentuhnya.
"Abby," bisikku, tapi Zach nggak membiarkanku melepaskan
diri. Kudengar van itu berderum menyala di belakang kami.
Agen-agen Dinas Rahasia berteriak. Lebih banyak tembakan
terdengar, namun kurasakan Zach berhenti. Aku menabrak
bahunya, terlalu sibuk menatap ke belakangku untuk melihat
pria yang berdiri di antara kami dan pintu.
Aku melihat pistolnya. Aku merasakan van itu berjalan
maju, hanya beberapa detik jauhnya dan semakin cepat. Aku
mendengar teriakan-teriakan perkelahian di belakang kami.
270 Tapi malam itu nggak ada hal lain yang kudengar dengan lebih
keras daripada bisikan terkejut si pria bertopeng saat ia menatap cowok yang berdiri di sebelahku dan berkata, "Kau?"
Kami punya beberapa teori tentang apa yang terjadi selanjutnya"tapi kami sama sekali nggak punya motifnya. Nggak ada
penjelasan untuk menjawab kenapa. Mungkin karena sirenenya
atau karena kehadiran Dinas Rahasia, tapi pria itu lari dan
tidak berkelahi. Dia kabur ke dalam kegelapan selagi Mom
meneriakkan namaku, tapi suaranya terlalu tinggi. Momentumnya terlalu kuat saat Mom melemparkan tubuhnya pada tubuhku, mendorongku jauh ke balik bayang-bayang.
Sosok-sosok muncul di sekelilingku"agen Dinas Rahasia,
polisi, para wanita yang membawa kami dari van kami dan
memasuki hotel. Wanita-wanita yang menunggu" aku.
Aku mencoba bangun, tapi tangan-tangan kuat mendorongku ke bawah, kembali ke dinding bangunan, aman di bawah
dinding persaudaraanku, yang entah bagaimana dikirim dari
Roseville dan kini berdiri berjaga di sekitarku.
"Abby!" teriakku saat salah satu wanita itu bergeser. Dari
sela-sela kaki mereka aku bisa melihat bibiku terbaring di
tanah, darah merembes ke blusnya, sama sekali nggak bergerak.
"Aunt Abby!" teriakku lagi.
Pikiranku melayang kembali ke Philadelphia. Aku melihat
malaikat membawa tentara yang terluka, terbang dari api perang. "Tidak!" aku mulai merangkak seperti anak-anak, lemah
dan nggak berdaya, memikirkan Dad yang meninggal dengan
cara yang nggak akan pernah kuketahui, di tempat yang nggak
akan pernah kulihat, pada saat mengerikan itu bertanya-tanya
manakah yang lebih buruk"nggak mengetahuinya atau me271
lihat langsung kehidupan terisap keluar dari seseorang yang
kausayangi. Mom berteriak. Dia berlutut di sisi Abby. Jadi aku berjuang
lebih keras. "Tahan dia!" Suara itu milik Mr. Solomon. Nadanya belum
pernah kudengar dan nggak kuharap bakal kudengar lagi.
"Mereka bisa kembali!" Lingkaran di sekitarku mengetat.
"Mereka tidak akan berhenti mencoba sampai berhasil menangkapnya."
Tangkap cewek itu. Saat itu sepertinya seluruh tenagaku meninggalkan tubuhku.
Aku jatuh bersandar ke dinding ketika sirene berbunyi dan
perasaan kebas datang serta kata-kata bergema di kegelapan
malam. Tangkap aku. 272 Bab Du a P u l u h D e l a p a n
Jam 23:00 "D ia histeris!" salah satu paramedis berkata. Terlalu banyak
cahaya dan sirene. Aku berteriak. Aku melawan. Aku harus
didengar. "Berikan sesuatu padanya," kata seorang wanita.
"Tapi?" si paramedis itu mulai membantah.
"Aku ibunya! Lakukan!"
Jam 02:00 "Para dokter tidak memberikan komentar mengenai kondisi
agen Dinas Rahasia yang semalam tertembak dalam penembakan
berkendara yang dilaporkan di pusat kota Washington, D.C.
Agen tersebut ditugaskan menjadi pengawal pribadi Macey
McHenry, tapi laporan mengindikasikan bahwa, mengingat hasil
273 pemilihan umum semalam, Ms. McHenry tidak memerlukan
perlindungan dari Dinas Rahasia lagi, bahwa hidup bagi Macey
McHenry bisa dan akan kembali normal."
Aku mendengar TV-nya dimatikan.
Aku bergerak dan berkedip dan mengenali ruangan di sekitarku"sofa kulitnya, rak bukunya. Tapi obatnya terlalu kuat.
Atau mungkin aku yang terlalu lemah.
Aku tertidur lagi. Jam 04:45 "Kalian sebaiknya tidur."
"Tidak terima kasih, Profesor," kata Bex.
"Rebecca, ibu dan ayahmu secara pribadi memintaku untuk
mengawasimu, dan aku ingin kau tidur."
"Saya baik-baik saja, Profesor. Terima kasih."
"Aku sudah menduga kau akan bilang begitu. Setidaknya
biarkan Ms. Sutton tidur sebentar."
Jam 05:20 Aku tahu aku nggak sendirian. Bisikan-bisikan Bex terdengar
pelan di luar pintu. Liz menggumamkan sesuatu, setengah tertidur. Lalu sebuah bayangan mengiris ruangan, dan aku melihat
Mr. Solomon berdiri diterangi cahaya bulan, menatap ke luar
ke halaman. Tapi itu pasti karena obatnya"aku pasti masih tertidur"karena kelihatannya bahu guruku gemetar. Aku berani bersumpah
tangannya mengusap wajah.
Itu nggak nyata. 274 Aku masih tertidur. Joe Solomon nggak menangis.
Jam 06:25 "Cammie." Suara Mom tinggi dan serak, dan aku tahu ia habis
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menangis. Kalau kau ingin tahu yang sebenarnya, itulah yang
paling membuatku takut. Kupikir mungkin aku sudah mati.
Aku bertanya-tanya apakah aku sedang memandang ke atas
dari dalam peti mati dan bukannya sofa kulit. Lalu aku teringat tentang Aunt Abby.
"Dia sudah keluar dari ruang operasi," kata Mom, menjawab
pertanyaanku yang belum terucap, membaca pikiranku. Ia menarik napas panjang. "Dia sudah keluar dari ruang operasi."
Aku memaksa diri duduk dan sebuah selimut jatuh dari
pangkuanku ke lantai. Ada perban di kepala dan lenganku.
Semua itu terlalu familier untuk menjadi kenyataan, sepertinya
itu hanya mimpi yang sangat buruk.
"Kau bisa tidur, Sayang?"
Kupikir itu pertanyaan yang jawabannya sudah jelas"hanya
buang-buang waktu. Tapi semua interogator yang baik tahu
bahwa kau harus memulai dengan hal-hal yang diketahui subjek secara pasti. Jadi aku mengangguk. Mom berkata, "Bagus."
Mom duduk di meja kopi di depanku"di tempat nampannampan sayuran dan mangkuk-mangkuk saus diletakkan setiap
Minggu malam. Tapi pagi itu Mom hanya duduk di sana
dengan tangan di pangkuan. Saat itu, apakah dia ibuku atau
mata-mata" Aku nggak yakin. Tapi aku tahu mana yang kuperlukan.
275 "Beritahu aku," tuntutku, nggak peduli siapa yang mendengar"seberapa jauh suara kami terbawa. Aku melihat Mr.
Solomon di samping meja Mom, tahu kenapa guruku ada di
sana. "Kalian berdua, mulailah bicara," kataku, tapi Mom
bergerak ke arahku. "Sayang, ini bukan sesuatu?"
"Aku punya hak untuk tahu!"
Sikap tubuh Mom jadi kaku, masih berperan jadi atasanku
dan nggak membiarkanku melupakan fakta itu. "Cameron, ada
waktu dan tempat untuk?"
"Mereka nggak mengincar Macey," kataku. "Sejak awal
mereka nggak mengincar Macey. Dan" Mom tahu."
"Cameron, ini?" Tapi Mom nggak sempat menyelesaikan
kalimatnya, karena Mr. Solomon mendudukkan diri di sudut
meja, bersedekap sambil berkata, "Kami mengetahui lebih
banyak darimu, Ms. Morgan. Tidak untuk waktu yang lama."
"Tapi?" aku memulai, pikiranku berputar, "Philadelphia."
Aku memikirkan pintu tertutup di kantor Mom keesokan harinya, teror baru yang dirasakan bibiku di kereta. Rasa dingin
yang sangat mengerikan mengaliriku saat aku berkata, "Apa
yang dikatakan Zach pada Anda dalam terowongan itu, Mr.
Solomon?" Guruku mengangguk. Ia hampir tersenyum. "Dia dengar
Macey bukan targetnya. Sejak awal itu memang salah satu
kemungkinan"kami tahu itu, tapi Zach punya sumber-sumber?"
"Sumber-sumber macam apa" Siapa mereka" Di mana mereka" Apa?"
"Hanya itulah yang kaudapat, Cammie," kata Joe Solomon,
dan aku membencinya sedikit. Tapi lalu ia mengangkat bahu,
276 terlihat kalah. "Karena kurang-lebih hanya itulah yang kami
tahu." Mr. Solomon pembohong yang baik"terbaik. Dan aku juga
membencinya karena itu. "Joe," kata Mom tenang, seakan aku nggak sedang mengoceh dan memar-memar. Seakan segala hal dalam hidupku
nggak berubah mendadak. Dan berakhir. "Bisakah kau memberi
kami waktu sebentar?"
Sesaat kemudian, kudengar pintu membuka dan menutup.
Aku tahu kami sendirian. "Sayang, jangan?" Kalimat Mom terputus, nggak bisa menyelesaikan, sampai sosok Gallagher Girl dalam dirinya mengalahkan sosok ibu dalam dirinya, dan ia menemukan kekuatan untuk melanjutkan. "Kau akan baik-baik saja, Cammie.
Dewan pengawas Gallagher sudah diberitahu. Kekuatan penuh
sekolah dan agensi ada di belakang kita. Kau akan baik-baik
saja." Aku sangat menyukai kantor Mom. Itu hal terdekat dengan
rumah yang kumiliki selama bertahun-tahun. Pagi itu aku
duduk di sana lama sekali, menatap foto-foto yang biasanya
diletakkan di meja Mom di apartemen kami di Arlington.
Sebelum Mom jadi Kepala Sekolah. Sebelum aku menjadi
Gallagher Girl. Sebelum kami kehilangan Dad.
Sebelum kami kehilangan banyak hal.
"Apa yang akan terjadi sekarang?" Kudengar suaraku pecah
dan aku tahu aku hampir menangis, hampir memohon. Kemarahanku hilang, sekarang digantikan gelombang kesedihan
serta teror yang begitu kuat sampai aku nyaris nggak bisa bernapas. Aku memikirkan Abby yang berdarah. Aku memikirkan
Macey dan Preston. Dan akhirnya, aku melihat Zach yang
277 berdiri di atasku, saat pikiranku berputar di sepanjang lubang
cucian itu, jatuh bebas yang aku takut mungkin nggak akan
berakhir. "Tapi" Mom" kenapa?"
Mom memelukku. Kepala Sekolah mengelus rambutku. Dan
mata-mata terhebat yang pernah kukenal berbisik, "Kita akan
mencari tahu. Aku janji kita akan mencari tahu."
278 Bab Du a P u l u h S e m b i l a n
elas-kelas seharusnya sudah berakhir, tapi ternyata belum.
Minggu ujian akhir seharusnya sudah selesai, tapi ternyata baru
akan berlangsung berminggu-minggu lagi. Walaupun begitu
setiap cewek di sekolahku tahu bahwa teman-teman sekamarku
dan aku sudah diuji lebih dulu. Aku memikirkan Aunt Abby,
dan aku tahu kami hampir nggak lulus.
Butuh waktu tiga minggu sebelum semua itu terjadi, sebelum Mr. Solomon mengetuk pintu ruang minum teh
Madame Dabney, sebelum teman-teman sekamarku dan aku
dipanggil ke lantai bawah.
Sambil mengikuti guru kami menyusuri koridor hari itu, aku
nggak membiarkan pikiranku berkelana"aku tahu ada terlalu
banyak tempat gelap yang bisa dituju pikiranku, jadi aku berusaha tetap terfokus pada langkah kaki, pada tangga, dan pada
dinding-dinding. Sampai Mr. Solomon membuka pintu kantor
Mom" 279 Dan seseorang berkata, "Hei, squirt."
"Abby!" Bex dan Liz berseru bersamaan, berlari ke arahnya,
memeluknya. "Anak-anak," kata Mom, seakan mengingatkan mereka bahwa (setidaknya dalam kasus Bex) kadang mereka nggak menyadari kekuatan mereka.
Bibiku lebih pucat daripada yang kuingat. Dan lebih kurus,
nyaris rapuh. Lengan kanannya tergantung dengan perban.
Tapi matanya sama"jadi ke arah itulah aku menatap saat melangkah mendekat.
"Bagaimana kabarmu?" tanyaku, hampir takut mendengar
jawabannya, tapi menanyakannya juga.
Bibiku tersenyum. "Tidak pernah lebih baik." Aku bertanyatanya apakah dia berbohong"atau apakah aku bisa menjadi
agen yang cukup baik untuk mengetahui hal tersebut. "Ternyata,
Langley butuh seseorang dengan luka tembak yang masih baru
untuk menyamar sebagai pedagang senjata terkenal di" well"
suatu tempat." Ia mendongak menatap langit-langit dan menggerakkan pinggul, lalu mengulurkan perban di tangannya supaya
kami bisa ikut melihat. "Ini penyamaran terhebat, kan?"
Tapi, dengan sangat mengagumkan, kami berempat nggak
setuju. "Apakah kau betul-betul harus pergi?" Liz melirik koper
Abby. "Kau bisa tetap tinggal di sini, kan" Kau bisa mengajar?"
"Hebat!" seru Bex, tapi Abby sudah menggeleng, menarik
tasnya ke bahunya yang sehat. Tapi itu nggak menghentikan
Bex berkata, "Ooh, kau bisa pulang bersamaku waktu Natal.
Cam akan datang. Mom dan Dad pasti senang sekali bertemu
denganmu." 280 "Terima kasih, Bex," kata Aunt Abby, "tapi sayangnya ada
beberapa" hal lain yang harus kulakukan."
Kira-kira untuk kesejuta kalinya dalam sebulan terakhir aku
memikirkan apa yang terjadi di luar dinding-dinding sekolah
kami, tapi lalu aku ingat untuk nggak mengajukan pertanyaan
yang nggak ingin kudengar jawabannya.
"Jadi kurasa, sampai jumpa." Abby memeluk Mom, yang
membisikkan sesuatu di telinganya.
Saat melangkah ke arah pintu, Aunt Abby menatap temanteman sekamarku dan aku. "Sori, tapi aku tak pernah mengucapkan selamat tinggal."
Tapi kemudian ia berhenti. Ia menjatuhkan tasnya dan berbalik. "Oh, terserahlah."
Dan dengan sejujurnya aku bisa mengatakan bahwa tak satu
pun latihan mata-mata di seluruh dunia bisa mempersiapkanku
untuk melihat bibiku menyambar kemeja Joe Solomon.
Dan mencium guruku. Di bibir. Selama 87 detik. Liz tersentak. Bex berdiri dengan rahang ternganga lebar.
Dan aku"aku hanya menatap Mom, yang sedang menatap
mereka berdua seakan dunianya nggak mungkin bisa jadi lebih
aneh lagi. Ketika selesai, Aunt Abby akhirnya menarik napas (Mr.
Solomon, kulihat, nggak melakukan apa-apa). Bibiku menatap
kakaknya, memiringkan sebelah pinggul, dan berkata, "Well,
seseorang harus melakukannya."
Dan saat itulah dia berjalan pergi.
Mom dan Mr. Solomon masih bingung, mengingat apa yang
baru saja terjadi dan segalanya. Tapi Bex, Macey, Liz, dan aku
281 mengejarnya, mengamati legenda hidup yang memiliki namaku
berjalan menyusuri Koridor Sejarah, melewati pedang yang
memulai semua ini, lalu berjalan menuruni Tangga Utama,
menjauh dari kami. Dalam satu detik terakhir itu, semua orang yang kusayangi
berada dalam situasi aman.
"Jangan jadi hantu kali ini." Suaraku seakan mengiris selasar yang kosong. "Lakukan apa yang harus kaulakukan, tapi
jangan jadi hantu, oke?"
Abby menoleh padaku, lalu mengeluarkan jaket dari tas
bahunya. "Ini. Kurasa seseorang memberikan ini padamu."
Aku nggak menunduk untuk melihat apakah darah bibiku
masih menodai jaket Zach. Aku nggak membiarkan diriku berpikir tentang malam itu. Aku hanya mengambil jaket itu dan
mencoba berpikir tentang kenapa Zach memberikannya padaku
dan nggak memberi apa-apa lagi.
"Abby." Itu suara Macey, dan dari ekspresi wajahnya, Macey
jelas sama syoknya dengan siapa pun yang mendengar katakatanya. "Aku belum bilang" Maksudku, kau harus tahu"
Kurasa yang kucoba katakan adalah?"
Abby berhenti berjalan. Tangannya yang sehat memegang
susuran tangga yang mulus. Rambutnya tergerai di satu bahu
saat ia tersenyum, memakai kacamata hitam yang merupakan
bagian dari seragamnya, dan berkata, "Sudah kubilang padamu
aku akan menahan peluru untukmu."
Lalu dia berjalan pergi. Aku berdiri lama di sana, memandanginya pergi, karena
hanya itulah yang bisa kulakukan.
Bex dan Macey berjalan ke Aula Besar untuk makan siang.
Liz berjalan ke perpustakaan. Aku berdiri sendirian, memberi282
tahu diriku bahwa bibiku akan kembali suatu hari nanti"
bahwa dunia di luar dinding-dinding sekolahku membutuhkannya, dan untuk saat ini, aku dibutuhkan di dalam.
Bahwa untuk saat ini, yang bisa kulakukan hanyalah menunggu.
"Kelas tujuh!" Suara Patricia Buckingham terdengar di
selasar saat sekumpulan Gallagher Girl terbaru mengikuti di
belakangnya, keluar dari Aula Besar. "Kita akan berjalan secara
berkelompok ke laboratoriun untuk mengikuti ujian. Jangan
masuk sampai aku memberi kalian?"Ia terdiam mendadak dan
berteriak pada cewek-cewek di bagian depan barisan, "Emily
Sampson! Aku melihat itu!"
Aku bertanya-tanya apakah benar dulu aku sekecil itu. Aku
melihat kepolosan di mata mereka, dan entah bagaimana aku
tahu aku nggak akan pernah merasa seperti itu lagi. Aku sudah
melihat terlalu banyak"aku tahu terlalu sedikit. Dan untuk
alasan-alasan yang bahkan nggak kuketahui saat itu, aku berlari mengejar kelompok mereka.
"Profesor Buckingham," panggilku, melangkah mendekati
wanita yang merupakan anggota dewan guru tertua di Akademi
Gallagher dan juga satu-satunya anggota yang penampilannya
sama sekali tidak berubah sejak aku di kelas tujuh.
"Ya, Cameron?" kata Profesor Buckingham, dan saat itu ia
terlihat abadi. Seakan mata-mata hebat abad kedua puluh
mengukirnya di batu dan menjadikannya patung abadi.
"Saya punya pertanyaan" tentang sejarah."
"Sejarah Spionase adalah pelajaran untuk kurikulum semester musim semi, Cameron. Kurasa kau sudah mengetahuinya." Ia membimbing anak kelas tujuh lain menyusuri koridor
panjang itu. "Saat ini, seperti yang bisa kaulihat, aku sibuk
283 membantu siswi-siswi terbaru kita menyesuaikan diri. Sissy!"
teriak Buckingham sambil mendorong mereka maju, makin
jauh dariku, sementara angin bertiup lebih kencang di luar.
"Ya, Ma"am," kataku. "Saya bisa melihatnya. Hanya saja saya
bertanya-tanya" tentang Circle of Cavan." Waktu Profesor
Buckingham berbalik, mata birunya menatapku tajam.
"Saya harus tahu?" kataku, suaraku pecah di bawah tekanan rasa takut yang sudah membebaniku berminggu-minggu.
"Saya harus siap."
"Maaf, Cameron. Itu bukan sesuatu" Maafkan aku." Ia
maju selangkah. Suara-suara siswi kelas tujuh menghilang saat
mereka berbelok di sudut"menghilang dari pandanganku.
Aku menoleh untuk menatap ke luar jendela, mengamati
salju pertama musim dingin mulai berjatuhan dan bertiup di
halaman. Dalam beberapa jam, segala sesuatu akan tertutup
salju, seakan bumi sedang memakai penyamaran terbaiknya.
"Mungkin pada musim semi." Suara Buckingham seakan
mengiris koridor berangin itu, mengejarku seperti angin yang
keras. Aku menoleh dan menatapnya. "Ya," katanya lagi, dan
selama sepersekian detik"nggak mungkin lebih lama"ia tampak seperti wanita tua. Koridor seakan berubah jadi rentangan
waktu, dan Patricia Buckingham serta aku sedang berdiri di
ujung berlawanan"ia memandang kembali semua yang pernah
dilihatnya, sedangkan aku bertanya-tanya apa yang menungguku di depan sana.
Lalu Profesor Buckingham mengangguk sekali lagi dan berkata pelan, "Mungkin pada musim semi."
Aku memandangi Profesor Buckingham menghilang di
ujung koridor panjang itu sementara di luar langit berubah
284 kelabu, tanah tertutup salju putih, dan musim dingin datang.
Jaket Zach masih ada di lenganku, jadi kusampirkan jaket itu
di bahuku. Jaket itu tergantung di sana, berat dan hangat, dan
dingin yang tadi kurasakan sedikit menghilang. Saat kumasukkan tanganku ke saku jaket, kurasakan sesuatu menyentuh jarijariku. Aku mengeluarkan sepotong kecil Evapopaper dan
mengamati tulisan tangan yang pernah kulihat dua kali:
Bersenang-senanglah di London
Lalu, meskipun dengan segala yang terjadi, aku tersenyum lalu
menatap pesan itu dan tahu bahwa musim semi akan datang"musim semi selalu datang. Jadi aku menatap ke luar
jendela yang dingin itu, mengamati napasku berkumpul di
kaca, mencoba nggak memikirkan seperti apa hidupku nanti
setelah es di luar mencair.
285 PRO DAN KONTRA MENULIS SERI GALLAGHER GIRLS: DAFTAR OLEH ALLY CARTER Pro : Kau bisa memiliki para pembaca paling mengagumkan di dunia.
Kontra : Sayangnya, mencoba menulis buku-buku yang
pantas dibaca oleh para pembaca tersebut butuh waktu. Aku betul-betul bersyukur pada
semua orang yang bersedia menunggu dengan
begitu sabar. Pro : Bekerja bersama semua orang berbakat di
Disney Hyperion Books adalah anugerah luar
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
biasa. Aku berutang banyak sekali pada semua
orang di sana, terutama Jennifer Besser yang
mengagumkan, yang menerimaku waktu aku
tidak punya rumah. Jen, yang terbaik akan
datang! Kontra : Menulis adalah pekerjaan soliter. Aku tidak
tahu bagaimana aku bisa berhasil tanpa
dukungan dan dorongan dari penulis-penulis
seperti Maggie Marr dan Jennifer Lynn Barnes,
yang membaca buku ini dalam bentuk paling
awal dan paling kasarnya. Dan, tentu saja,
para BOB. Pro : Kau bisa mendapatkan Kristin Nelson sebagai
agen. Kontra : Sulit sekali mengunjungi semua tempat yang
harus didatangi Gallagher Girls, jadi aku menyampaikan permintaan maaf sedalam-dalamnya kepada penduduk Boston, Cleveland, dan
Philadelphia untuk kebebasan yang kuambil
saat mendeskripsikan kota mereka yang
indah. Pro : Jauh lebih mudah menulis tentang orangtua
yang penuh kasih sayang dan saudari-saudari
yang setia saat kau punya contoh pribadi. Jadi
yang terpenting dari semuanya, aku berterima
kasih pada keluargaku. TENTANG PENULIS Ally Carter adalah penulis buku Aku Mau
Saja Bilang Cinta Tapi Setelah Itu Aku Harus
Membunuhmu dan sekuelnya Sumpah, Aku
Mau Banget Jadi Mata-Mata. Dari berbagai
jenis identitas samarannya, Ally paling menyukai penyamarannya sebagai penulis buku
remaja. %NMS+TCFD"(HQK#X)DQ$NUDQ
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya
Mata-mata punya penyamaran untuk setiap kesempatan.
Mata-mata hebat bisa berubah jadi orang yang berbeda
dalam sekejap. Sejak dulu Cammie Morgan sudah tahu fakta itu. Tetapi
baru semester ini Cammie benar-benar menyadari bagaimana
mata-mata harus mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata
di luar dinding-dinding tinggi mansion Gallagher.
Cammie dan teman-temannya di kelas sebelas memang sudah dipersiapkan dengan baik oleh Akademi Gallagher, terutama sejak Mr. Solomon membawa mereka menyusuri lorong
bawah tanah menuju Sublevel Dua dan mengajari mereka cara
menyamar sebaik mungkin. Tapi Cammie harus mempelajari
sendiri salah satu pelajaran terpenting dalam hidup matamata: bahwa kau nggak bisa menilai seseorang dari penyamaran yang mereka kenakan... terutama kalau itu menyangkut
Zach. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I, Lantai 4-5 Jl. Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270 www.gramedia.com Wasiat Dewa Geledek 1 Pedang Hati Suci Karya Jin Yong Pendekar Jembel 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama