Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan Bagian 4
"Bukan Siapa-Siapa!" Polyphemus membalas teriakannya. "Aku ingat
kau!" "Kau terlalu bodoh untuk mengingat siapa pun," ejek Annabeth. "Apalagi
untuk mengingat Bukan Siapa-Siapa."
Aku berdoa demi para dewa Annabeth sudah pindah saat dia bicara
begitu, karena Polyphemus berteriak mengamuk, menarik batu terdekat (yang
kebetulan pintu depan gua itu) dan melemparnya ke arah sumber suara
Annabeth. Aku mendengar batu pecah menjadi ribuan serpih.
Untuk sesaat yang mengerikan, suasana hening. Kemudian Annabeth
berteriak, "Kau juga belum belajar untuk melempar lebih baik!"
Polyphemus meraung. "Ayo ke sini! Biarkan aku membunuhmu, Bukan
Siapa-Siapa!" "Kau nggak bisa membunuh Bukan Siapa-Siapa, dasar bodoh," ejeknya.
"Ayo temukan aku!"
Polyphemus berlari cepat menuruni bukit mengikuti arah suara.
Nah, "Bukan Siapa-Siapa" itu tak akan terdengar masuk akal bagi siapa
pun, tapi Annabeth telah menjelaskan padaku bahwa itu adalah nama yang
digunakan Odysseus untuk menipu Polyphemus berabad-abad lalu, tepat
sebelum dia menusuk mata Cyclops itu dengan tongkat panas besar. Annabeth
menduga Polyphemus tentu masih akan menyimpan kesal dengan nama itu,
dan Annabeth benar. Karena begitu bernafsu mencari musuh lamanya, dia lupa
untuk menutup kembali mulut gua. Sepertinya, dia bahkan tak terpikir untuk
mengingat bahwa suara Annabeth suara perempuan, sementara Bukan SiapaSiapa yang pertama jelas-jelas lelaki. Di sisi lain, toh tadinya dia ingin menikahi
Grover, jadi pastinya dia memang tak begitu cerdas membedakan masalah lakilaki/perempuan ini.
Aku hanya berharap Annabeth bisa bertahan hidup dan terus
mengalihkannya cukup lama untukku mencari Grover dan Clarisse.
Aku turun dari kendaraanku, menepuk kepala Widget, dan minta maaf.
Aku mencari ke ruang utama, tapi tak ada tanda-tanda keberadaan Grover dan
Clarisse. Aku mendorong-dorong melewati kerumunan domba dan kambing
menuju belakang gua. Meskipun aku memimpikan tempat ini, aku menemui kesulitan
menemukan jalanku melewati sekat-sekat ruwet ini. Aku berlari melewati
lorong-lorong dipenuhi tulang-belulang, melewati kamar-kamar penuh dengan
karpet kulit domba dan patung semen domba sebesar ukuran aslinya yang
kusadari adalah hasil karya Medusa. Ada koleksi kaus-kaus domba; satu bak
besar berisi krim lanolin; dan mantel-mantel wol, kaus kaki wol, dan topi-topi
dengan tanduk domba jantan. Akhirnya, aku menemukan ruang tenun, di mana
Grover meringkuk di pojok, berusaha memotong tali ikatan Clarisse dengan
gunting tumpul. "Nggak ada gunanya," kata Clarisse. "Tali ini kayak besi!"
"Beberapa menit lagi!"
"Grover," tangisnya, kesal. "Kau sudah mengerjakannya selama beberapa
jam!" Dan kemudian mereka melihatku.
"Percy?" seru Clarisse. "Kau harusnya sudah meledak!"
"Senang berjumpa denganmu, juga. Sekarang bertahanlah selagi aku?"
"Perrrrcy!" Grover mengembik dan memberiku pelukan kambing. "Kau
dengar aku! Kau datang!"
"Yeah, sobat," kataku. "Tentu saja aku datang."
"Di mana Annabeth?"
"Di luar," kataku. "Tapi nggak ada waktu untuk bicara. Clarisse,
bertahanlah." Aku membuka tutup Riptide dan memutus talinya. Clarisse berdiri
tegang, sambil menggosok-gosok pergelangannya. Dia memelototiku sejenak,
kemudian memandang ke tanah dan menggumamkan, "Makasih."
"Kembali," kataku. "Omong-omong, apa ada orang lain yang naik
sekocimu?" Clarisse tampak terkejut. "Nggak ada. Cuma aku. Semua orang lain yang
naik Birmingham " yah, aku bahkan nggak tahu kalian bisa selamat."
Aku menunduk, berusaha untuk tak meyakini bahwa harapan terakhirku
untuk melihat Tyson hidup-hidup kandas sudah. "Baiklah. Ayo pergi, kalau
begitu. Kita harus menolong?"
Sebuah ledakan bergema ke sepenjuru gua, diikuti oleh teriakan yang
memberitahuku bahwa kami mungkin sudah terlambat. Itu suara Annabeth
berteriak ketakutan. 15 B u k a n Si apa-Si apa M e n d apa t
Bu l u D o mba "Aku dapat Bukan Siapa-Siapa!" seru Polyphemus senang.
Kami merayap ke pintu masuk gua dan melihat Cyclops, menyeringai
jahat, mengangkat udara kosong. Monster itu menggoyang kepalanya, dan
sebuah topi bisbol melayang turun. Di sanalah Annabeth, terbalik dengan kaki
menggantung di atas. "Hah!" kata Cyclops. "Gadis tak kelihatan yang bandel! Sudah dapat
yang bernyali besar buat istri. Artinya kau akan dipanggang dengan kuah
mangga!" Annabeth meronta, tapi dia terlihat kebingungan. Ada goresan luka di
dahinya. Matanya menerawang.
"Aku akan menangkapnya," bisikku pada Clarisse. "Kapal kami ada di
sekitar belakang pulau. Kau dan Grover?"
"Nggak mungkin," mereka berkata serempak. Clarisse telah mempersenjatai dirinya dengan koleksi langka tombak bermatakan tanduk
domba jantan dari gua Cyclops. Grover telah menemukan sebuah tulang paha
domba, dan meski kelihatannya dia tak terlalu puas dengannya, dia
menggenggamnya seperti pentungan, bersiap menyerang.
"Kita akan menyerbunya bersama-sama," geram Clarisse.
"Betul," kata Grover. Kemudian dia mengerjapkan mata, seolah tak
percaya dia baru saja setuju dengan Clarisse tentang suatu hal.
"Baiklah," kataku. "Rencana serangan Macedonia."
Mereka mengangguk. Kami semua mengikuti pelatihan yang sama di
Perkemahan Blasteran. Mereka tahu apa yang kumaksudkan. Mereka akan
mengendap ke dua arah dan menyerang Cyclops dari samping kanan-kirinya
sementara aku menangkap perhatiannya di depan. Barangkali ini berarti bahwa
kami semua akan mati alih-alih aku sendiri, tapi aku bersyukur atas bantuannya.
Aku mengangkat pedangku dan berteriak, "Hei, Jelek!"
Sang raksasa memutar tubuhnya menghadapku. "Satu lagi" Siapa kamu?"
"Turunkan temanku. Aku-lah yang mengejekmu."
"Kau adalah Bukan Siapa-Siapa?"
"Benar, dasar ember ingus bau!" Ejekanku tak terdengar sebagus ejekan
Annabeth, tapi cuma itu yang bisa terpikirkan olehku. "Aku Bukan Siapa-Siapa
dan aku bangga atas itu! Sekarang, turunkan dia dan ke sinilah. Aku ingin
menusuk matamu lagi."
"GGRRRRRRR!" raungnya.
Kabar baiknya: dia menjatuhkan Annabeth. Kabar buruknya: dia
menjatuhkan kepalanya lebih dulu ke bebatuan, tempat Annabeth kemudian
terkapar tak bergerak seperti boneka kain.
Kabar buruk lainnya: Polyphemus menerjang ke arahku, Cyclops seberat
ribuan kilo berbadan bau yang mesti kulawan dengan pedang yang amat kecil.
"Demi Pan!" Grover menerjang dari sisi kanan. Dia melemparkan tulang
dombanya, yang hanya memantul ke kening monster. Clarisse menyerang dari
kiri dan menempelkan tombaknya di tanah, tepat untuk diinjak sang Cyclops.
Cyclops merintih kesakitan, dan Clarisse menyingkir ke samping untuk
menghindar dari terinjak. Tapi Cyclops itu hanya mencabut batang tombak itu
laksana serpihan besar dan terus menerjang ke arahku.
Aku bergerak maju dengan Riptide.
Sang monster berusaha mencengkeramku. Aku berguling ke samping dan
menikam pahanya. Aku berharap melihatnya terbuyar, tapi monster ini terlalu besar dan
kuat. "Bawa Annabeth!" teriakku pada Grover.
Grover buru-buru berlari, mengambil topi tak kasat matanya, dan
mengangkat Annabeth sementara Clarisse dan aku berusaha terus mengalihkan
perhatian Polyphemus. Harus kuakui, Clarisse memang berani. Dia menyerang Cyclops lagi dan
lagi. Monster itu memukuli tanah, mengentakkan kaki berusaha menginjaknya,
mencoba meraihnya, tapi Clarisse terlalu gesit. Dan begitu Clarisse melancarkan
serangan, aku mengikuti dengan menusuk jempol atau pergelangan kaki atau
tangan monster itu. Tapi kami tak bisa terus-terusan melakukan ini. Pada akhirnya kami akan
keletihan atau monster itu akan memperoleh serangan beruntung. Hanya
diperlukan satu pukulan untuk membunuh kami.
Lewat sudut mataku, aku melihat Grover mengangkut Annabeth
menyeberangi jembatan tali. Itu pastinya bukan pilihan pertamaku, mengingat
domba-domba pemakan manusia berada di sebelah, tapi saat ini hal itu tampak
lebih baik daripada berada di sisi jurang ini, dan itu memberiku sebuah ide.
"Mundur!" perintahku pada Clarisse.
Dia mengguling menjauh saat tinju Cyclops itu menghancurkan pohon
zaitun di sebelahnya. Kami berlari ke arah jembatan, Polyphemus mengekor tepat di belakang
kami. Dia sudah cedera dan pincang dari begitu banyak luka, tapi yang kami
lakukan padanya hanya sekadar memperlambatnya dan membuatnya ngamuk.
"Akan menggilingmu buat makanan domba!" janji Polyphemus. "Beriburibu kutukan untuk Bukan Siapa-Siapa!"
"Lebih cepat!" seruku pada Clarisse.
Kami berlari menuruni bukit. Jembatan itu satu-satunya kesempatan
kami. Grover baru berhasil menyeberangi ke sisi lain dan sedang menurunkan
Annabeth. Kami berdua juga harus berhasil menyeberang, sebelum sang raksasa
menangkap kami. "Grover!" teriakku. "Ambil pisau Annabeth!"
Mata Grover membelalak saat dia melihat Cyclops itu mengejar di
belakang kami, tapi dia mengangguk mengerti. Selagi Clarisse dan aku berlari
menyeberang jembatan, Grover mulai mengiris-ngiris talinya.
Tali pertama putus. Tar! Polyphemus melompat di belakang kami, membuat jembatan berayunayun liar.
Tali-tali jembatan sudah setengah terputus. Clarisse dan aku menukik ke
tanah, mendarat di sebelah Grover. Aku membuat satu tebasan liar dengan
pedangku dan memotong tali-tali yang tersisa.
Jembatan itu roboh ke dalam jurang, dan sang Cyclops meraung "
dengan senang, karena dia berdiri tepat di sebelah kami.
"Gagal!" dia berteriak puas. "Bukan Siapa-Siapa gagal!"
Clarisse dan Grover mencoba menerjangnya, tapi monster itu menepis
mereka seperti mengusir lalat.
Amarahku memuncak. Aku tak bisa terima aku sudah sampai sejauh ini,
kehilangan Tyson, melewati begitu banyak penderitaan, hanya untuk gagal"
dihentikan oleh monster raksasa dungu dengan rok pendek dan tuksedo birumudanya. Tak ada siapa pun yang bisa mengenyahkan teman-temanku seperti
itu! Maksudku " tak siapa pun, bukannya Bukan Siapa-Siapa. Ah, kau tentu tahu
maksudku. Kekuatan menjalari seluruh tubuhku. Aku mengangkat pedangku dan
menyerang, lupa bahwa aku sama sekali bukan tandingannya. Aku menikam
sang Cyclops di perutnya. Saat dia merunduk kesakitan aku memukuli
hidungnya dengan gagang pedangku. Aku menusuk dan menendang dan
memukul hingga yang kusadari berikutnya, Polyphemus sudah terjengkang di
atas punggungnya, bingung dan mengerang, dan aku berdiri di atasnya, ujung
pedangku mengarah ke matanya.
"Uhhhhhhh," Polyphemus merintih.
"Percy!" Grover terengah. "Bagaimana kau?"
"Tolong, jangaaan!" sang Cyclops merintih, menatapku dengan iba.
Hidungnya berdarah. Air mata menggenang di sudut matanya yang setengahbuta. "D-d-domba-dombaku butuh aku. Cuma ingin melindungi dombaku!"
Dia mulai menangis. Aku telah menang. Yang perlu kulakukan sekarang tinggal menusuknya
"satu tikaman cepat.
"Bunuh dia!" teriak Clarisse. "Apa lagi yang kau tunggu?"
Sang Cyclops terdengar begitu terluka, sama seperti " seperti Tyson.
"Dia adalah Cyclops!" Grover memperingatkan. "Jangan percaya dia!"
Aku tahu Grover benar. Aku tahu Annabeth akan mengatakan hal yang
sama. Tapi Polyphemus terisak " dan untuk kali pertama terlintas dalam
benakku bahwa dia adalah anak dari Poseidon, juga. Sama seperti Tyson. Sama
seperti aku. Bagaimana mungkin aku bisa membunuhnya dengan begitu keji"
"Kami hanya menginginkan Bulu Domba," kukatakan pada sang
monster. "Apa kau setuju untuk membiarkan kami mengambilnya?"
"Tidak!" teriak Clarisse. "Bunuh dia!"
Monster itu mendengus. "Bulu Domba indahku. Barang utama dari
koleksiku. Ambil saja, manusia kejam. Ambillah dan pergi dengan damai."
"Aku akan mundur pelan-pelan," kataku pada monster. "Satu gerakan
salah " " Polyphemus mengangguk seolah mengerti.
Aku melangkah mundur " dan secepat ular kobra, Polyphemus
menghantamku ke ujung tebing.
"Manusia bodoh!" teriaknya, sambil bangkit berdiri. "Ambil Bulu
Dombaku" Ha! Aku makan kau lebih dulu."
Dia membuka mulut besarnya, dan aku tahu gigi geraham busuknya akan
jadi pemandangan terakhir yang kulihat.
Kemudian sesuatu melesat dengan bunyi wuusss melewati atas kepalaku
dan gedebuk! Sebuah batu seukuran bola basket meluncur memasuki tenggorokan
Polyphemus"tembakan tiga angka yang keren, langsung masuk ke netnya.
Cyclops itu tersedak, berusaha menelan pil yang tak terduga. Dia terhuyung ke
belakang, tapi tak ada tempat untuk bersandar. Tumitnya terpeleset, ujung
tebingnya longsor, dan sang Polyphemus raksasa membuat kepakan sayap ayam
yang sama sekali tak membantunya terbang saat dia terjun ke dalam jurang.
Aku berbalik. Di setengah jalan setapak menuju pantai, berdiri tegap di tengah-tengah
gerombolan domba-domba ganas, adalah seorang kawan lama.
"Polyphemus jahat," kata Tyson. "Nggak semua Cyclops semanis rupa
kami." Tyson memberi kami cerita versi singkatnya: Pelangi sang hippocampus"yang
tampaknya selama ini mengikuti kami sejak dari Selat Long Island, menanti
Tyson untuk bermain lagi dengannya"menemukan Tyson tenggelam di bawah
reruntuhan kapal CSS Birmingham dan menyelamatkannya. Sang hippocampus
dan Tyson semenjak itu terus mencari Laut Para Monster, berusaha mencari-cari
kami, sampai Tyson menangkap bau domba dan menemukan pulau ini.
Aku ingin sekali memeluk si jagoan ceroboh ini, hanya saja dia sedang
berdiri di tengah-tengah kumpulan domba pembunuh. "Tyson, terpujilah dewadewa. Annabeth terluka!"
"Kau memuji dewa-dewa karena Annabeth terluka?" tanyanya, bingung.
"Bukan!" aku berlutut di sisi Annabeth dan sangat cemas dengan apa
yang kulihat. Luka dalam di keningnya tampak lebih buruk dari yang kusadari.
Pangkal rambut di atas keningnya lengket oleh darah. Kulitnya pucat dan
berkeringat dingin. Grover dan aku bertukar pandang cemas. Lalu sebuah ide muncul di
benakku. "Tyson, Bulu Domba itu. Bisakah kau ambilkan untukku?"
"Yang mana?" seru Tyson, memandang berkeliling pada ratusan domba.
"Yang di pohon!" kataku. "Yang emas!"
"Oh. Cantik. Oke."
Tyson berjalan dengan susah payah, berhati-hati untuk tak menginjak
domba. Kalau salah satu dari kami mencoba mendekati Bulu Domba itu, kami
sudah akan dimakan hidup-hidup, tapi kurasa Tyson berbau seperti
Polyphemus, karena domba-domba itu tidak mengusiknya sama sekali. Mereka
hanya meringkuk ke dekatnya dan mengembik mesra, seolah mereka berharap
mendapatkan makanan dari keranjang anyaman besar. Tyson sampai di atas dan
mengangkat Bulu Domba itu dari dahannya. Dengan segera daun-daun di
pohon ek itu menguning. Tyson mulai menyeberang balik ke arahku, tapi aku
teriak, "Nggak ada waktu! Lemparkan!"
Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kulit domba jantan emas itu meluncur di udara seperti Frisbee karpet
yang berkerlap-kerlip. Aku menangkapnya dengan gerutuan. Ternyata ia lebih
berat dari yang kukira"tiga puluh atau tiga puluh lima kilo wol emas berharga.
Aku menyelimuti Annabeth dengan bulu itu, menutupi seluruh tubuhnya
kecuali wajahnya, dan berdoa dalam hati pada semua dewa yang terpikir
olehku, bahkan dewa-dewa yang tidak kusuka.
Aku mohon. Aku mohon. Secercah warna kembali ke wajahnya. Kelopak matanya berkedip-kedip.
Luka di keningnya mulai menutup. Dia melihat Grover dan berkata lemah, "Kau
nggak " menikah?"
Grover nyengir. "Tidak. Teman-temanku berhasil meyakinkanku untuk
membatalkannya." "Annabeth," kataku, "jangan bergerak yah."
Tapi meski kami memprotes, Annabeth tetap bangkit duduk, dan aku
menyadari bekas luka di wajahnya sudah hampir sembuh sempurna. Dia
tampak jauh lebih baik. Bahkan, dia tampak bersinar dengan kesehatan, seolaholah ada seseorang yang telah menyuntiknya dengan kerlap-kerlip cahaya.
Sementara itu, Tyson mulai menemui kesulitan dengan domba-domba
yang mengerubunginya. "Turun!" Tyson memerintahkan pada mereka saat
domba-domba itu mencoba memanjatnya, mencari makanan. Beberapa domba
mulai mengendus ke arah kami. "Jangan, domba-domba. Ke sini! Kemarilah!"
Mereka mengikutinya, tapi jelas mereka kelaparan, dan mereka mulai
menyadari Tyson tak bawa makanan untuk mereka. Mereka tak akan mau
menunggu lama-lama dengan begitu banyak daging tersedia di dekat mereka.
"Kita harus pergi," kataku. "Kapal kita di " " Dendam Kesumat Ratu Anne
masih sangat jauh dari sini. Rute terpendek adalah melewati jurang, dan kami
baru saja merobohkan satu-satunya jembatan tersedia. Satu-satunya kemungkinan lain lagi adalah melewati kerumunan domba.
"Tyson," aku memanggil, "bisakah kau arahkan domba-domba itu ke
tempat yang sejauh mungkin?"
"Domba-domba ingin makan."
"Aku tahu! Mereka ingin manusia buat dimakan! Pokoknya arahkan
mereka menjauh dari jalan. Beri kami waktu untuk menuju pantai. Lalu susul
kami ke sana." Tyson tampak ragu, kemudian dia bersiul. "Ayo, domba-domba! Em,
manusia-manusia enak ada di sini!"
Dia berlari kecil ke padang rumput, domba-domba menyusul.
"Tetap pegang Bulu Domba itu menutupi badanmu," kataku pada
Annabeth. "Kalau-kalau kau belum pulih sepenuhnya. Kau bisa berdiri?"
Dia mencoba, tapi wajahnya berubah pucat lagi. "Ohh. Belum pulih
sepenuhnya." Clarisse berjongkok di sebelah Annabeth dan merasakan dadanya, yang
membuat Annabeth terengah.
"Tulang rusuk patah," kata Clarisse. "Tulang-tulangnya sedang memulihkan diri, tapi jelas-jelas patah."
"Bagaimana kau tahu?" tanyaku.
Clarisse memelototiku. "Karena aku juga pernah mengalami patah
tulang, dasar telmi! Aku harus mengangkutnya."
Sebelum aku bisa membantah, Clarisse sudah memikul Annabeth seperti
karung tepung dan membawanya menuruni pantai. Grover dan aku mengikuti.
Begitu kami tiba ke tepi air, aku memusatkan pikiran pada Dendam
Kesumat Ratu Anne. Aku memerintahkannya untuk melempar jangkar dan
mendatangiku. Setelah beberapa menit menanti cemas, aku melihat kapal itu
sedang mengitari ujung pulau.
"Aku datang!" teriak Tyson. Dia berlari cepat menuruni jalanan menyusul
kami, domba-domba berada sekitar lima puluh meter di belakangnya,
mengembik marah saat teman Cyclops mereka kabur tanpa memberi mereka
makan. "Mereka kemungkinan nggak akan mengikuti kita ke dalam air," kataku
pada yang lain. "Yang perlu kita lakukan hanya berenang menuju kapal."
"Dengan kondisi Annabeth yang seperti ini?" protes Clarisse.
"Kita pasti bisa," desakku. Aku mulai merasa percaya diri lagi. Aku
sudah kembali di teritori rumahku"laut. "Begitu kita sampai di kapal, kita akan
terbebas." Kami sudah hampir sampai.
Kami baru berlari melewati jalur masuk jurang air terjun, saat kami
mendengar suaran raungan besar dan melihat Polyphemus, babak belur dan
terluka tapi masih hidup, setelan mempelai biru mudanya tampak compangcamping, berjalan gontai menuju kami dengan sebongkah batu di masingmasing tangannya.
16 A k u K a r a m Be r s a m a K apa l
"Kukira dia sudah kehabisan batu," gumamku.
"Ayo berenang!" seru Grover.
Grover dan Clarisse mencebur ke ombak. Annabeth berpegangan pada
leher Clarisse dan berusaha mendayung dengan satu tangan, Bulu Domba yang
basah memberatinya. Tapi perhatian sang monster bukan pada Bulu Domba itu.
"Kau, Cyclops Muda!" raung Polyphemus. "Pengkhianat kaummu
sendiri!" Tyson mematung. "Jangan dengarkan dia!" aku memohon. "Ayo."
Aku menarik lengan Tyson, tapi rasanya aku seperti menarik sebuah
gunung. Tyson berbalik dan memandang Cyclops yang lebih tua. "Aku bukan
pengkhianat." "Kau mengabdi pada manusia!" teriak Polyphemus. "Manusia-manusia
pencuri!" Polyphemus melemparkan bongkah batu pertamanya. menangkisnya dengan tinjunya.
"Bukan pengkhianat," seru Tyson. "Dan kau bukan kaumku."
Tyson "Mati atau menang!" Polyphemus menerjang ombak, tapi kakinya masih
cedera. Dia langsung tergelincir dan jatuh di atas mukanya. Mestinya itu adegan
lucu, hanya saja dia mulai bangkit kembali, memuntahkan air garam yang
tertelan dan menggeram. "Percy!" teriak Clarisse. "Ayo!"
Mereka hampir sampai di kapal bersama dengan Bulu Domba. Kalau saja
aku masih bisa mengalihkan perhatian sang monster sedikit lebih lama "
"Pergilah," Tyson memberitahuku. "Aku akan menahan Raksasa Jelek."
"Jangan! Dia akan membunuhmu." Aku sudah nyaris kehilangan Tyson
sekali. Aku tak ingin kehilangannya lagi. "Kita akan melawannya bersamasama."
"Bersama-sama," Tyson setuju.
Aku menghunus pedangku. Polyphemus maju dengan hati-hati, lebih pincang dari sebelumnya. Tapi
tak ada masalah pada lengannya yang dipakai memukul. Dia melempar batu
keduanya begitu saja. Aku membungkuk ke samping, tapi aku sudah pasti
remuk kalau saja tinju Tyson tak meledakkan batu itu jadi keping-keping kecil.
Aku memerintahkan laut untuk naik. Ombak setinggi enam meter
menjulang ke atas, mengangkatku ke puncaknya. Aku menungganginya menuju
Cyclops dan menendangnya tepat di mata, melompat melewati kepalanya saat
air menyapunya ke pantai.
"Hancur kau!" teriak Polyphemus sambil meludahkan air. "Tukang curi
Bulu Domba." "Kau yang curi Bulu Domba!" balasku. "Kau telah menggunakannya
untuk menarik satir menuju kematian mereka!"
"Kenapa memang" Satir kan enak dimakan!"
"Bulu Domba mestinya digunakan untuk menyembuhkan! Ia milik anakanak para dewa!"
"Aku kan anak para dewa!" Polyphemus mengayunkan pukulan ke
arahku, tapi aku mengelak. "Ayah Poseidon, kutukilah pencuri ini!" Dia
mengerjap-ngerjapkan matanya dengan kuat-kuat sekarang, seolah dia sudah
tak dapat melihat, dan kusadari dia menyasar ke asal suaraku.
"Poseidon nggak akan mengutukku," kataku, melangkah mundur saat
Cyclops itu merengkuh udara. "Aku anaknya, juga. Dia nggak akan pilih kasih."
Polyphemus meraung. Dia mencabut paksa sebuah pohon zaitun dari sisi
tebing dan melemparnya ke arah tempatku berdiri semenit lalu. "Manusia
nggak sama! Jahat, licik, penipu!"
Grover membantu Annabeth menaiki kapal. Clarisse melambai- lambaikan tangannya kalut ke arahku, memberitahuku untuk segera naik.
Tyson berjalan mengendap ke balik Polyphemus, berusaha untuk
mengincarnya dari belakang.
"Anak Muda!" Cyclops lebih tua memanggil. "Di mana kau" Bantu aku!"
Tyson berhenti. "Kau tidak dibesarkan dengan benar!" Polyphemus merintih, menggoyang pentungan pohon zaitunnya. "Saudara yatim piatu yang malang!
Bantu aku!" Tak ada satu pun yang bergerak. Tak ada suara selain deru ombak dan
degup jantungku sendiri. Kemudian Tyson melangkah maju, mengangkat kedua
tangannya tak berdaya. "Jangan bertengkar, saudara Cyclops. Turunkan?"
Polyphemus langsung berbalik menghadap ke asal suaranya.
"Tyson!" teriakku.
Pohon itu menghantamnya dengan kekuatan besar hingga jika aku yang
terpukul, jelas ia sudah akan meratakanku jadi pizza Percy dengan ekstra zaitun.
Tyson terseret ke belakang, membuat parit di tengah pasir. Polyphemus masih
menerjangnya, tapi aku memekik, "Tidaaak!" dan melesat sejauh yang kubisa
dengan Riptideku. Aku berharap untuk menusuk Polyphemus di belakang
pahanya, tapi aku berhasil melompat sedikit lebih tinggi.
"Mbeeek!" Polyphemus mengembik persis seperti domba-dombanya, dan
mengayun pohonnya ke arahku.
Aku menunduk, tapi punggungku tetap tergores oleh selusin rantingranting tajamnya. Aku berdarah dan terluka dan letih. Marmut di dalam diriku
ingin rasanya untuk kabur. Tapi aku menelan rasa takutku.
Polyphemus mengayun pohon lagi, tapi kali ini aku siap. Aku merenggut
ranting-rantingnya saat ia melintas, melupakan rasa nyeri tanganku saat aku
terenggut ke atas, dan membiarkan Cyclops mengangkatku ke udara. Di puncak
lontaran aku melepaskan cengkeramanku dan terjatuh tepat di atas muka
raksasa"mendarat dengan dua kaki menginjak matanya yang sudah cedera.
Polyphemus melolong kesakitan. Tyson menangkap tubuh Polyphemus,
menjatuhkannya. Aku mendarat di sebelah mereka"dengan pedang di tangan,
dan dengan jarak begitu dekat dari jantung sang monster. Tapi aku beradu mata
dengan Tyson, dan aku tahu aku tak bisa melakukannya. Rasanya tidak benar.
"Lepaskan dia," kataku pada Tyson. "Lari."
Dengan satu menit upaya terakhir, Tyson mendorong Cyclops lebih tua
yang sedang mengumpat menjauh, dan kami berlari cepat menuju ombak.
"Aku akan lumatkan kau!" teriak Polyphemus, sambil membungkuk
kesakitan. Tangan-tangan besarnya menutupi matanya.
Tyson dan aku berlari menerjang ombak.
"Di mana kau?" teriak Polyphemus. Dia memungut pentungan pohonnya
dan melemparnya ke dalam air. Pohon itu tercebur ke sisi kanan kami.
Aku memanggil arus air untuk membawa kami, dan kami mulai melaju
lebih kencang. Aku mulai berpikir akhirnya kami akan tiba di atas kapal dengan
selamat, saat Clarisse berteriak dari geladak kapal, "Yeah, Jackson! Syukurin
kau, Cyclops!" Tutup mulut, aku ingin berteriak.
"Ggrrrrrrr!" Polyphemus memungut sebuah batu. Dia melemparnya ke
arah suara Clarisse, tapi batu itu terlontar tak cukup jauh, malah nyaris
menimpa Tyson dan aku. "Yeah, yeah!" ejek Clarisse. "Kau melempar kayak anak ingusan! Biar
tahu rasa karena sudah mencoba-coba mengawiniku, Dasar Idiot!"
"Clarisse!" teriakku, tak mampu lagi menahan diri. "Tutup mulut!"
Terlambat. Polyphemus melempar batu lagi, dan kali ini aku memandang
tanpa daya saat batu itu meluncur ke atas kepalaku dan membentur badan kapal
Dendam Kesumat Ratu Anne.
Kau tak akan percaya betapa cepatnya sebuah kapal tenggelam. Dendam
Kesumat Ratu Anne berkeriat-keriut dan menggerung dan condong ke depan
seolah ia sedang meluncur di perosotan taman bermain.
Aku mengumpat, memerintahkan air laut untuk mendorong kami lebih
cepat, tapi tiang-tiang kapal itu sudah terbenam.
"Menyelam!" seruku pada Tyson. Dan saat sebongkah batu lagi meluncur
ke atas kepala kami, kami menukik ke bawah permukaan air.
Teman-temanku tenggelam dengan cepat. Mereka berusaha berenang, dengan
susah payah, di tengah jejak-jejak rongsokan kapal bergelembung.
Tak banyak orang menyadari bahwa saat sebuah kapal karam, ia
bertingkah seperti lubang bak cuci, menarik ke bawah semua yang ada di
sekelilingnya. Clarisse adalah perenang tangguh, tapi bahkan dia pun tak
membuat banyak kemajuan. Grover menendang-nendang panik dengan kakikaki
kambingnya. Annabeth bergantungan pada Bulu Domba, yang memendarkan cahaya di air seperti ombak uang-uang koin baru.
Aku berenang menuju mereka, menyadari bahwa aku rasanya tak
memiliki kekuatan untuk mengamankan teman-temanku. Lebih buruknya lagi,
potongan-potongan kayu berputar-putar mengitari mereka; kekuatanku di air
tak akan ada gunanya kalau kepalaku terbentur oleh sebuah balok.
Kita butuh bantuan, pikirku.
Benar. Suara Tyson, terdengar nyaring dan jelas di kepalaku.
Aku menoleh padanya, terkejut. Aku pernah mendengar kaum Nereid
dan arwah-arwah laut bicara padaku di bawah air sebelumnya, tapi tak pernah
terlintas dalam pikiranku " Tyson adalah anak Poseidon. Kami bisa
berkomunikasi pada satu sama lain.
Pelangi, kata Tyson. Aku mengangguk, kemudian memejamkan mata dan berkonsentrasi,
menambah suaraku di balik suara Tyson: PELANGI! Kami membutuhkanmu!
Dengan segera, bayang-bayang berdenyar di kegelapan bawah"tiga
kuda dengan ekor ikan, meluncur ke atas lebih cepat dari lumba-lumba. Pelangi
dan kawan-kawannya memandang ke arah kami dan tampaknya membaca
pikiran kami. Mereka meluncur menuju bangkai kapal, dan semenit kemudian
muncul ke permukaan dalam kumpulan gelembung"Grover, Annabeth, dan
Clarisse masing-masing berpegangan pada leher-leher hippocampus.
Pelangi, hippocampus terbesar, membawa Clarisse. Dia berpacu ke arah
kami dan memperbolehkan Tyson untuk berpegangan pada surainya. Temannya
yang mengangkut Annabeth melakukan hal serupa padaku.
Kami memecah permukaan air dan meluncur meninggalkan pulau
Polyphemus. Di belakang kami, aku bisa mendengar sang Cyclops meraung
Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penuh kemenangan, "Aku berhasil! Aku berhasil menenggelamkan Bukan SiapaSiapa!"
Kuharap dia tak akan pernah menyadari bahwa dugaannya salah.
Kami meluncur menyeberangi lautan sementara pulau itu menciut hingga
tinggal berupa titik dan kemudian menghilang sama sekali.
"Berhasil," Annabeth bergumam letih. "Kita " "
Dia bersandar ke leher hippocampus dan segera jatuh tertidur.
Aku tak tahu seberapa jauh ketiga hippocampus ini sanggup membawa
kami. Aku tak tahu ke mana kami pergi. Aku hanya menegakkan Annabeth agar
dia tak merosot jatuh, menyelimutinya dengan Bulu Domba Emas yang kami
lalui dengan begitu berat untuk mendapatkannya, dan diam-diam memanjatkan
ucapan syukur. Yang mengingatkanku akan suatu hal " aku masih berhutang sesuatu
pada para dewa. "Kau memang genius," kataku pada Annabeth pelan.
Kemudian aku menyandarkan kepalaku pada Bulu Domba itu, dan
sebelum aku menyadarinya, aku tertidur juga.
17 K a m i M e n d apa t Kej u t a n d i
Pa n t a i M i a m i "Percy, bangun."
Air garam terciprat ke mukaku. Annabeth mengguncang bahuku.
Di kejauhan, matahari terbenam di balik pemandangan kota. Aku bisa
melihat jalan raya di tepi pantai dijajari pohon-pohon palem, muka-muka toko
berkilat dengan neon merah dan biru, pelabuhan disesaki perahu layar dan
kapal pesiar. "Miami, kurasa," kata Annabeth. "Tapi para hippocampus mulai
bertingkah aneh." Benar kata Annabeth, teman-teman ikan kami berjalan memelan,
merengek-rengek dan berenang melingkar, sembari mengendus air. Mereka tak
tampak senang. Salah satu dari mereka bersin. Aku tahu apa yang mereka
pikirkan. "Ini tempat terjauh yang bisa mereka tempuh untuk mengantar kita,"
kataku. "Terlalu banyak manusia. Terlalu banyak polusi. Kita harus berenang ke
tepi pantai sendiri."
Tak satu pun dari kami yang siap untuk itu, tapi kami berterima kasih
pada Pelangi dan teman-temannya atas tumpangannya. Tyson menangis sedikit.
Dia melepas bungkusan pelana yang dia buat sendiri, yang memuat kotak alatalatnya dan beberapa barang lain yang berhasil dia selamatkan dari rongsokan
Birmingham. Tyson melingkarkan tangannya seputar leher Pelangi, memberinya mangga basah yang dia pungut di pulau, dan mengucap
perpisahan. Begitu surai putih hippocampus itu menghilang ditelan laut, kami
berenang menuju pantai. Ombak mendorong kami ke depan, dan tak lama kami
sudah kembali ke dunia manusia. Kami menyusuri sepanjang dermaga tempat
berjajar kapal-kapal pesiar, mendorong-dorong melewati kerumunan orang
yang baru tiba untuk berlibur. Para kuli angkut sibuk dengan kereta-kereta
bermuatan barang. Sopir taksi meneriaki satu sama lain dengan bahasa Spanyol
dan mencoba menyela antrean pengguna taksi. Kalau ada orang yang
memperhatikan kami"lima anak basah kuyup dan tampak seolah mereka baru
saja bertarung dengan monster"mereka tidak menunjukkannya.
Karena kami sudah kembali berada di dunia manusia, mata satu Tyson
terselubungi kabut. Grover memakai topi dan sepatu ketsnya. Bahkan Bulu
Dombanya telah berubah dari kulit domba jadi jaket sekolah warna merah-danemas dengan tulisan Omega berkelap-kelip besar di saku.
Annabeth berlari ke boks koran terdekat dan memeriksa tanggal yang
tertera pada Miami Herald. Dia mengutuk, "Delapan belas Juni! Kita sudah pergi
dari kemah sepuluh hari!"
"Itu mustahil!" kata Clarisse.
Tapi aku tahu itu mungkin saja. Jarak tempuh waktu berbeda di tempattempat monster.
"Pohon Thalia pasti sudah hampir mati," ratap Grover. "Kita harus bawa
pulang Bulu Domba malam ini juga."
Clarisse melorot ke lantai. "Bagaimana kita bisa melakukannya?"
Suaranya bergetar. "Kita ratusan kilometer jauhnya dari kemah. Nggak ada duit.
Nggak ada tumpangan. Ini persis seperti yang diramalkan sang Oracle. Ini
salah-mu, Jackson! Kalau kau nggak ikut-ikutan?"
"Salah Percy?" Annabeth meledak. "Clarisse, bagaimana kau bisa bilang
begitu" Kau sungguh?"
"Hentikan!" kataku.
Clarisse menangkup kepalanya dengan dua tangannya. Annabeth
mengentakkan kaki jengkel.
Masalahnya adalah: Aku nyaris lupa sama sekali bahwa misi ini
seharusnya jadi misi Clarisse. Selama semenit yang mengerikan, aku melihat
kejadian ini dari sudut pandang Clarisse. Bagaimana perasaanku apabila
segerombol pahlawan lain ikut-ikutan misiku dan membuatku terlihat buruk"
Aku terpikir tentang apa yang kucuri dengar di ruang ketel uap CSS
Birmingham"Ares membentaki Clarisse, mengancamnya agar tidak gagal. Ares
sama sekali tak peduli dengan situasi perkemahan, tapi kalau Clarisse beraniberaninya merusak citranya "
"Clarisse," kataku, "apa tepatnya yang dikatakan sang Oracle padamu?"
Dia mendongak. Kupikir Clarisse akan menyuruhku untuk tak ikut
campur, tapi alih-alih dia menarik napas dalam-dalam dan mengungkapkan
ramalannya: "Kau akan melayari kapal besi bersama para panglima tulang-belulang,
Kau akan temukan yang kaucari dan berhasil melakukannya sendiri,
Namun kemalangan hidupmu, terkunci dalam batu,
Dan gagal tanpa teman, hingga terbang pulang sendiri."
"Waduh," gumam Grover.
"Tidak," kataku. "Tidak " tunggu dulu. Aku tahu."
Aku merogoh sakuku mencari uang, dan tidak menemukan apa pun
kecuali sekeping drachma emas. "Apa ada yang punya uang tunai?"
Annabeth dan Grover menggelengkan kepala, muram. Clarisse menarik
selembar mata uang dolar Konfederasi basah dari sakunya dan mendesah.
"Tunai?" Tyson bertanya ragu. "Kayak " kertas hijau?"
Aku menatapnya. "Iya."
"Kayak yang ada dalam ransel-ransel kemah?"
"Iya, tapi kita kehilangan ransel-ransel itu sudah lama sek?"
Aku tergagap hingga terhenti bicara saat memandangi Tyson merogohrogoh bungkus pelananya dan menarik keluar sebuah kantong plastik berisi
penuh uang tunai yang disertakan Hermes dalam perlengkapan kami.
"Tyson!" ujarku. "Bagaimana kau?"
"Kukira itu tas isi makanan buat Pelangi," katanya. "Ketemu mengambang di laut, tapi cuma ada kertas-kertas di dalamnya. Maaf."
Dia menyerahkanku uang itu. Uang pecahan lima dan sepuluh dolar,
setidaknya terkumpul sejumlah tiga ratus dolar.
Aku berlari ke tikungan dan memanggil taksi yang baru saja menurunkan
keluarga penumpang kapal pesiar. "Clarisse," aku berteriak memanggilnya.
"Ayo. Kau akan pergi ke bandara. Annabeth, beri dia Bulu Dombanya."
Aku tak yakin siapa yang tampak lebih kaget saat aku mengambil jaket
Bulu Domba dari Annabeth, menyelipkan uang ke dalam saku jaketnya, dan
menaruhnya di lengan Clarisse.
Clarisse berkata, "Kau akan biarkan aku?"
"Ini kan misimu," kataku. "Kita cuma punya cukup uang untuk satu
karcis pesawat. Lagi pula, aku nggak bisa naik transportasi udara. Zeus akan
meledakkanku jadi jutaan keping. Itulah maksud ramalannya: kau akan gagal
tanpa teman, artinya kau akan membutuhkan bantuan kami, tapi kau harus
terbang pulang sendiri. Kau harus bawa pulang Bulu Domba dengan selamat."
Aku bisa baca cara kerja pikirannya"curiga pada awalnya, memikirkan
tipuan apa yang kumainkan, kemudian akhirnya memutuskan bahwa
perkataanku tulus. Clarisse melompat ke dalam taksi. "Kau bisa mengandalkanku. Aku
nggak akan gagal." "Nggak gagal terdengar bagus."
Taksi itu melaju meninggalkan kepulan asap knalpot. Bulu Domba tengah
dalam perjalanan. "Percy," kata Annabeth, "tindakanmu sangat?"
"Mulia?" usul Grover.
"Sinting," koreksi Annabeth. "Kau berani mempertaruhkan nyawa semua
orang di perkemahan bahwa Clarisse akan membawa Bulu Domba itu pulang
dengan selamat malam ini?"
"Ini misinya," kataku. "Dia pantas mendapat kesempatan."
"Percy baik," ujar Tyson.
"Percy terlalu baik," gerutu Annabeth, tapi aku merasa bahwa barangkali,
hanya barangkali, Annabeth sedikit terkesan. Setidaknya aku sudah mengejutkannya. Dan bukan hal yang mudah untuk mengejutkan Annabeth.
"Ayo," kataku pada teman-teman. "Mari kita cari jalan lain untuk
pulang." Saat itulah aku menoleh dan mendapati ujung pedang yang diarahkan ke
tenggorokanku. "Hei, Sepupu," kata Luke. "Selamat datang kembali di Amerika."
Manusia-beruang gerombolannya muncul di sebelah kanan-kiri kami.
Satu menarik kerah leher kaus Annabeth dan Grover. Satunya lagi mencoba
menarik Tyson, tapi Tyson mendorongnya jatuh ke tumpukan muatan dan
meraung pada Luke. "Percy," Luke berkata tenang, "bilang pada raksasamu untuk mundur
atau aku akan menyuruh Oreius membenturkan kepala dua temanmu ini
sampai hancur." Oreius tersenyum dan mengangkat Annabeth dan Grover dari atas tanah,
menyepak-nyepak udara dan berteriak.
"Apa yang kauinginkan, Luke?" geramku.
Dia tersenyum, codetnya beriak di sisi wajahnya.
Luke mengisyaratkan ke arah ujung dermaga, dan aku menyadari apa
yang mestinya sudah begitu jelas. Kapal terbesar di pelabuhan adalah Putri
Andromeda. "Yah, Percy," ujar Luke, "aku hanya ingin menunjukkan keramahtamahanku, tentu saja."
Si kembar beruang menggiring kami menaiki Putri Andromeda. Mereka
mendorong kami ke geladak belakang di depan kolam renang dengan air
mancur bergemerlap yang memancarkan air ke udara. Selusin gerombolan Luke
yang beraneka ragam"manusia ular, Laistrygonian, manusia setengah dewa
berbaju zirah"berkumpul untuk menyaksikan kami menerima "keramahtamahan."
"Dan omong-omong, Bulu Dombanya," ungkap Luke. "Di mana ia?"
Dia mengamati kami, menyodok kemejaku dengan ujung pedangnya,
mengintip jins Grover. "Hei!" teriak Grover. "Itu bulu kambing beneran di bawah situ!"
"Maaf, kawan lama." Luke nyengir. "Berikan padaku Bulu Domba itu dan
akan kubiarkan kau kembali ke, ah ya, misi alam kecil-kecilan."
"Mbaa-ha-ha!" protes Grover. "Teman lama apaan!"
"Barangkali kau belum mendengarku." Suara Luke terdengar terlalu
tenang. "Di mana"Bulu Domba"itu?"
"Bukan di sini," kataku. Mungkin seharusnya aku tak memberitahunya
apa-apa, tapi senang rasanya melempar kebenaran ke mukanya. "Kami sudah
mengirimnya lebih dulu. Kau gagal."
Mata Luke memicing. "Kau bohong. Kau tak mungkin " " Wajahnya
memerah saat kemungkinan mengerikan terlintas di benaknya. "Clarisse?"
Aku mengangguk. "Kau memercayai " kau berikan " "
"Iya." "Agrius!" Raksasa beruang itu berjengit. "Y-ya?"
"Turun ke bawah dan siapkan kudaku. Bawa ia ke geladak. Aku harus
segera pergi ke bandara Miami, buruan!"
"Tapi, bos?" "Ayo cepat!" teriak Luke. "Atau aku akan mengumpanmu buat makanan
drakon!" Manusia beruang itu menelan ludah dan berjalan susah payah menuruni
tangga. Luke mondar-mandir di depan kolam renang, mengeluarkan sumpah
serapah dalam bahasa Yunani Kuno, menggenggam pedangnya begitu erat
sampai-sampai buku jarinya memutih.
Kru Luke selebihnya tampak gelisah. Barangkali mereka belum pernah
melihat bos mereka begitu lepas kendali sebelumnya.
Aku mulai berpikir " Kalau saja aku bisa menggunakan amarah Luke,
membuatnya bicara agar semua orang bisa mendengar betapa gila rencananya
" Aku memandangi kolam renang, pada air mancur yang memancarkan
kabut ke udara, menciptakan pelangi di tengah terbenamnya matahari. Dan tibatiba aku mendapatkan sebuah ide.
"Kau telah mempermainkan kami selama ini," kataku. "Kau menginginkan kami untuk membawakan Bulu Domba itu padamu dan
membuatmu tak perlu berepot-repot mengambilnya sendiri."
Luke mengerutkan dahi. "Tentu saja, dasar idiot! Dan kau mengacaukan
semuanya!" "Pengkhianat!" Aku menarik keping drachma terakhirku dari dalam
sakuku dan melemparnya ke arah Luke. Seperti yang kuduga, dia mengelak
dengan mudah. Koin itu meluncur ke semburan air berwarna pelangi.
Dalam keheningan kuharap doaku akan segera dikabulkan. Aku meminta
dengan segenap hatiku: Oh dewi, terima persembahanku.
"Kau menipu kita semua!" aku berteriak pada Luke. "Bahkan pada
DIONYSUS di PERKEMAHAN BLASTERAN!"
Di belakang Luke, air mancur itu mulai bergelombang, tapi aku harus
mendapatkan seluruh perhatian orang padaku, maka aku membuka tutup
Riptide. Luke hanya nyegir. "Ini bukan saat yang tepat untuk aksi heroik, Percy.
Turunkan pedang kecil payahmu itu, atau aku akan membunuhmu sekarang
juga." "Siapa yang meracuni pohon Thalia, Luke?"
"Aku, tentu saja," gertaknya. "Aku sudah bilang itu padamu. Kugunakan
racun sesepuh ular piton, langsung dari kedalaman Tartarus."
"Chiron nggak ada hubungannya dengan itu?"
"Ha! Kau tahu dia nggak akan mau melakukannya. Si tua bodoh itu
nggak punya nyali." "Kau sebut itu nyali" Mengkhianati teman-temanmu" Membahayakan
seluruh perkemahan?"
Luke mengangkat pedangnya. "Kau bahkan nggak mengerti separuh dari
rencanaku. Aku akan membiarkan kalian membawa Bulu Domba itu " begitu
aku sudah selesai menggunakannya."
Perkataannya membuatku berpikir. Mengapa dia akan membiarkan aku
membawa Bulu Domba itu" Dia pasti berbohong. Tapi aku tak sanggup
kehilangan perhatiannya. "Kau berencana menyembuhkan Kronos," kataku.
Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Betul! Sihir Bulu Domba itu akan mempercepat proses pemulihannya
hingga sepuluh kali lipat. Tapi kau belum menghentikan kami, Percy. Kau hanya
memperlambat kami sedikit."
"Jadi kau meracuni pohon, kau mengkhianati Thalia, kau menjebak kami
"semua demi membantu Kronos menghancurkan dewa-dewa."
Luke menggertakkan giginya. "Kau sudah tahu itu! Kenapa kau terus
bertanya padaku?" "Karena aku ingin seluruh hadirin mendengarmu."
"Hadirin apa?" Kemudian matanya memicing. Dia menoleh belakang dan gerombolannya juga melakukan hal yang sama. Mereka terengah dan terpeleset
ke belakang. Di atas kolam, berdenyar di tengah kabut pelangi, tampak pesan-Iris
menampilkan bayangan Dionysus, Tantalus, dan seluruh pekemah yang tengah
berada di paviliun makan. Mereka duduk terpaku dengan hening, menyaksikan
kami. "Yah," kata Dionysus datar, "hiburan makan malam yang di luar
rencana." "Pak D, kau mendengarnya," kataku. "Kalian semua dengar perkataan
Luke. Racun pada pohon itu bukan salah Chiron."
Pak D mendesah. "Kurasa begitu."
"Pesan-Iris ini bisa jadi tipuan," saran Tantalus, tapi sebagian besar
perhatiannya tercurah pada burger kejunya, yang berusaha dia tangkap dengan
dua tangannya. "Sayangnya kurasa bukan," ujar Pak D, memandang dengan jijik pada
Tantalus. "Tampaknya aku harus mengembalikan posisi Chiron sebagai
penanggung jawab kegiatan. Kurasa aku juga merindukan permainan pinochle
si kuda tua." Tantalus berhasil menangkap burger kejunya. Burger itu tak langsung
melesat kabur darinya. Tantalus mengangkatnya dari piring dan memandanginya takjub, seolah burger itu adalah berlian terbesar di dunia. "Aku
dapat!" dia terkekeh.
"Kami sudah tak membutuhkan jasamu lagi, Tantalus," Pak D
mengumumkan. Tantalus tampak terkejut. "Apa" Tapi?"
"Kau boleh kembali ke Dunia Bawah Tanah. Kau dipecat."
"Tidak! Tapi"Tidaaaaaaaaak!"
Saat dia tengah buyar ke dalam kabut, jari-jarinya masih memegang erat
burger keju, berusaha memasukkannya ke mulutnya. Tapi sudah terlambat. Dia
menghilang dan burger keju itu terjatuh kembali ke atas piringnya. Para
pekemah bersorak-sorai riuh.
Luke berteriak marah. Dia mengayun pedangnya menebas air mancur
dan pesan-Iris itu pun menghilang, tapi niatku sudah tercapai.
Aku merasa cukup puas pada diriku sendiri, sampai Luke berbalik dan
memberiku tatapan penuh kemarahan.
"Kronos benar, Percy. Kau senjata yang tak bisa diandalkan. Kau harus
digantikan." Aku tak yakin apa maksudnya, tapi aku tak punya waktu untuk
memikirkannya. Salah satu gerombolannya meniup peluit kuningan, dan pintupintu geladak membuka. Selusin tentara lagi berhambur keluar, mengelilingi
kami, ujung kuningan tombak mereka begitu runcing.
Luke tersenyum padaku. "Kau tak akan meninggalkan kapal ini hiduphidup."
18 Se r b u a n K u d a - K u d a P o n i Pes t a
"Satu lawan satu," aku menantang Luke. "Apa sih yang kau takutkan?"
Luke mengerutkan bibirnya. Para prajurit yang sudah siap membunuhku
tampak ragu, menunggu perintahnya.
Sebelum Luke bisa berkata apa-apa, Agrius, manusia-beruang, berlari ke
geladak sambil menggiring seekor kuda terbang. Itu adalah pegasus hitam
legam pertama yang pernah kulihat, dengan sayap-sayap seperti gagak raksasa.
Pegasus itu tampak siap melompat dan meringkik. Aku bisa memahami
pikirannya. Ia memanggil Agrius dan Luke dengan sebutan-sebutan yang begitu
kasarnya sampai-sampai Chiron tentu sudah akan mencuci moncongnya dengan
sabun kuda. "Tuan!" panggil Agrius, sembari menghindar dari kaki sang pegasus.
"Kudamu sudah siap!"
Luke memakukan matanya padaku.
"Sudah kukatakan padamu musim panas yang lalu, Percy," katanya. "Kau
nggak bisa membuatku terpancing untuk bertarung."
"Dan kau terus-terusan menghindar," aku menyadari. "Takut prajuritprajuritmu akan melihatmu dihabisi?"
Luke memandangi anak buahnya, dan dia sadar aku telah memerangkapnya. Kalau dia mundur sekarang, dia akan kelihatan lemah. Kalau
dia melawanku, dia akan kehilangan waktunya yang berharga untuk mengejar
Clarisse. Bagi diriku sendiri, hal terbaik yang bisa kuharapkan adalah
mengalihkannya, memberi teman-temanku kesempatan untuk melarikan diri.
Kalau ada orang yang bisa memikirkan cara untuk membebaskan mereka dari
sana, Annabethlah orangnya. Hal buruknya, aku tahu betapa mahirnya Luke
dalam adu-pedang. "Aku akan membunuhmu dengan cepat," putusnya, dan mengangkat
senjatanya. Backbiter tiga puluh senti lebih panjang dari pedangku sendiri.
Pedangnya berkilat dengan pendar mengerikan abu-abu dan emas, besi tempa
manusia disatukan dengan perunggu langit. Aku hampir merasakan bilah
pedang itu bertarung melawan dirinya sendiri, seperti dua magnet berlawanan
yang terikat bersama. Aku tak tahu bagaimana pedang itu dibuat, tapi aku dapat
merasakan kehadiran sebuah tragedi. Seseorang telah tewas dalam proses
pembuatannya. Luke bersiul pada salah satu anak buahnya, yang melemparkan
padanya perisai bundar berbahan kulit dan perunggu.
Dia menyeringai jahat padaku.
"Luke," kata Annabeth, "setidaknya beri dia perisai."
"Maaf, Annabeth," kata Luke. "Kau bawa perlengkapanmu sendiri ke
pesta ini." Perisai itu akan jadi masalah. Bertarung dua-tangan dengan hanya
memegang pedang memberimu kekuatan, tapi bertarung satu-tangan dengan
sebuah perisai memberimu pertahanan lebih baik dan keluwesan. Akan lebih
banyak gerakan, lebih banyak pilihan, lebih banyak cara untuk membunuh. Aku
terpikir kembali akan Chiron, yang memberitahuku untuk tetap di perkemahan
apa pun yang terjadi, dan belajar untuk bertarung. Sekarang aku harus
membayar akibat dari tak mendengarkan nasihatnya.
Luke menerjang dan nyaris membunuhku pada percobaan pertama.
Pedangnya mengarah ke bawah lenganku, mengiris menembus kemejaku dan
menggores tulang rusukku.
Aku melompat ke belakang, kemudian membalas serangan dengan
Riptide, tapi Luke menghantam pedangku menjauh dengan perisainya.
"Wah, Percy," ejek Luke. "Kau sudah lama tak latihan rupanya."
Luke menyerangku lagi dengan satu ayunan ke arah kepala. Aku
mengelak, membalas kembali dengan tikaman. Dia menghindar dengan mudah.
Sayatan di tulang rusukku terasa menyengat. Jantungku berpacu. Saat
Luke menerjang lagi, aku melompat mundur hingga tercebur masuk ke kolam
renang dan merasakan gelombang kekuatan. Aku berputar di bawah air,
menghasilkan awan berbentuk corong, dan menyembur keluar dari kolam
terdalam, tepat ke muka Luke.
Kekuatan air itu membuatnya terjungkal, tersedak air dan pandangannya
terganggu. Tapi sebelum aku bisa menyerang, dia berguling ke samping dan
kembali berdiri. Aku menyerang dan menebas tepi perisainya, tapi itu tidak mengganggunya sama sekali. Luke merunduk dan menikam ke kedua kakiku.
Tiba-tiba pahaku terasa terbakar, dengan rasa nyeri begitu hebat hingga aku
terjatuh. Jinsku sobek di atas lutut. Aku terluka. Aku tak tahu seberapa
parahnya. Luke mencoba mencincang ke bawah dan aku berguling ke balik
kursi geladak. Aku mencoba berdiri, tapi kakiku tak mampu menahan beban
tubuhku. "Perrrrcy!" Grover mengembik.
Aku berguling lagi saat pedang Luke menebas kursi geladak jadi dua,
lengkap dengan tiang-tiang logamnya dan semacamnya.
Aku mencakar-cakar menuju kolam renang, berusaha keras untuk tidak
pingsan. Aku tak akan berhasil sampai. Luke tampaknya juga tahu itu. Dia maju
perlahan, sambil tersenyum. Ujung pedangnya berkilau merah.
"Satu hal yang aku ingin kausaksikan sebelum kau mati, Percy." Dia
memandang pada Oreius si manusia-beruang, yang masih memegangi leherleher Annabeth dan Grover. "Kau bisa menyantap makan malammu sekarang,
Oreius. Bon appetit."
"He-he! He-he!" Si manusia-beruang mengangkat teman-temanku dan
memamerkan gigi-giginya. Pada saat itulah semua komplotan Hades kocar-kacir.
Syuuut! Panah berbulu-merah mencuat dari mulut Oreius. Dengan tatapan kaget
pada wajah berbulunya, dia terjatuh ke lantai geladak.
"Saudaraku!" ratap Agrius. Dia membiarkan tali kekang pegasus
melonggar cukup lama bagi kuda hitam itu untuk menyepak kepala Agrius dan
terbang bebas melintasi Teluk Miami.
Sesaat, para pengawal Luke terlalu terkejut untuk melakukan apa pun
kecuali memandangi badan si kembar beruang buyar menjadi asap.
Kemudian muncul paduan suara liar akan ratapan peperangan dan kukukuku kuda berderap memukuli logam. Selusin centaurus merangsek masuk dari
tempat tangga utama. "Kuda-kuda poni!" Tyson menangis kesenangan.
Pikiranku menemui kesulitan untuk mencerna segala hal yang kulihat.
Chiron berada di antara kerumunan, tapi kerabatnya sama sekali tak serupa
dengannya. Ada beberapa centaurus dengan tubuh kuda tunggang Arab hitam,
beberapa yang lain berbulu emas khas kuda palomino, selebihnya dengan bintik
jingga-dan-putih seperti kuda-kuda yang tubuhnya dicat. Sebagian mengenakan
kaus berwarna terang dengan celupan huruf-huruf berpendar bertulisan KUDA
PONI PESTA: CABANG FLORIDA SELATAN. Sebagian bersenjatakan busur,
sebagian dengan tongkat pemukul bisbol, sebagian lagi dengan senapan
berpeluru cat. Satu centaurus wajahnya dilukis menyerupai prajurit suku
Comanche dan melambai-lambaikan Styrofoam berbentuk tangan besar jingga
mengangkat satu telunjuk, simbol Nomor 1. Yang lain bertelanjang dada dengan
seluruh tubuh bercat hijau. Yang ketiga mengenakan kacamata mainan dengan
bola mata melompat keluar dari pernya, dan topi bisbol yang ditempeli kalengsoda-dan-sedotan di kedua sisi.
Mereka berhambur ke geladak dengan beringas dan penuh warna hingga
sejenak bahkan Luke pun mematung. Aku tak tahu apakah mereka datang
untuk merayakan sesuatu atau menyerang.
Tampaknya kedua-duanya. Selagi Luke mengangkat pedang untuk
mengumpulkan bala tentaranya, seorang centaurus menembakkan panah
buatan-khusus dengan sarung tinju kulit pada ujungnya. Panah itu menonjok
wajah Luke dan membuatnya terjungkal ke kolam renang.
Para prajurit Luke kocar-kacir. Aku tak bisa menyalahkan mereka.
Berhadapan dengan kaki-kaki kuda yang membelakangi kita sudah cukup
menakutkan, tapi ketika ini adalah seorang centaurus, bersenjatakan busur dan
bersorak penuh semangat dengan topi peminum-sodanya, bahkan prajurit
terberani sekalipun akan mundur.
"Ayo maju!" teriak salah satu kuda poni pesta.
Mereka melepas tembakan dengan senapan cat mereka. Gelombang biru
dan hijau meletus ke para prajurit Luke, membutakan dan menciprati mereka
dari kepala sampai jempol. Mereka mencoba kabur, tapi malah terpeleset dan
jatuh. Chiron berderap menuju Annabeth dan Grover, perlahan mengangkat
mereka dari lantai geladak, dan menaruh mereka di punggungnya.
Aku mencoba berdiri, tapi kakiku yang cedera masih terasa terbakar.
Luke merayap keluar dari kolam.
"Serang, dasar bodoh!" dia memerintahkan bala tentaranya. Di suatu
tempat di bawah geladak, bunyi alarm bel terdengar nyaring.
Aku tahu tak lama lagi kami akan dikepung oleh bala bantuan Luke. Para
prajuritnya bahkan sudah mengatasi rasa terkejut mereka, mulai mendekati para
centaurus dengan pedang-pedang dan tombak-tombak terhunus.
Tyson menghajar setengah lusin dari mereka ke samping, mendorong
mereka terlempar keluar pagar pembatas menuju Teluk Miami. Tapi lebih
banyak prajurit lagi mulai berdatangan dari tangga.
"Mundur, saudara-saudaraku!" ujar Chiron.
"Kau tak akan bisa lari dengan semua ini, manusia kuda!" teriak Luke.
Dia mengangkat pedangnya, tapi mendapat tonjokan di muka oleh panah
sarung tinju lagi, dan jatuh terduduk dengan keras di kursi geladak.
Centaurus berbulu emas mengangkatku ke punggungnya. "Dude, panggil
teman besarmu!" "Tyson!" aku berteriak. "Ayo!"
Tyson menjatuhkan dua prajurit yang baru hendak dia ikat simpul dan
berlari mengejar kami. Dia melompat ke punggung centaurus.
"Dude!" erang centaurus, hampir membungkuk menerima berat tubuh
Tyson. "Apa kau nggak pernah dengar tentang 'diet rendah-karbohidrat'?"
Para prajurit Luke mulai mengatur diri membentuk formasi pertahanan.
Tapi pada saat mereka siap untuk melancarkan serangan, para centaurus sudah
berderap ke ujung geladak dan tanpa takut melompati pagar pembatas, seolah
itu hanya halang-rintang pacuan kuda dan bukanlah lantai sepuluh tingkat di
atas daratan. Aku yakin kami akan mati. Kami menukik menuju dermaga, tapi
para centaurus menyentuh aspal tanpa guncangan sedikit pun dan langsung
berlari, bersorak-sorai dan meneriakkan ejekan pada Putri Andromeda saat kami
berpacu menuju jalan-jalan utama Miami.
Aku tak tahu apa yang dipikir oleh penduduk Miami saat kami melintas.
Jalan-jalan dan gedung-gedung mulai kabur saat para centaurus
menambah kecepatan. Rasanya seolah-olah ruangan memadat"seolah tiap
langkah centaurus membawa kami berkilo-kilometer jauhnya. Tak lama, kami
sudah meninggalkan kota Miami. Kami berpacu melewati tanah-tanah rawa
dengan rerumputan tinggi dan kolam dan pohon-pohon pendek.
Akhirnya, kami sampai di sebuah lapangan parkir trailer"rumahgandeng di ujung sungai. Rumah-rumah gandeng itu semuanya kepunyaan
pada kuda, dengan dekorasi televisi dan kulkas-mini dan jaring nyamuk. Kami
berada di kemah centaurus.
"Dude!" seru kuda poni pesta selagi ia menurunkan muatannya. "Apa kau
lihat tadi si pria beruang itu" Dia seperti: 'Adow, ada panah masuk ke
mulutku!'" Centaurus dengan kacamata mainan tertawa. "Tadi itu keren banget!
Tepuk kepala!" Kedua centaurus itu menerjang ke arah satu sama lain dengan kekuatan
penuh dan saling membenturkan kepala, lalu sama-sama terhuyung ke arah
berlawanan dengan seringai sinting di wajah mereka.
Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Chiron mendesah. Dia menurunkan Annabeth dan Grover di atas selimut
piknik di sebelahku. "Aku benar-benar berharap sepupu-sepupuku tak akan
saling membenturkan kepala seperti tu. Mereka tak punya sel-sel otak
cadangan." "Pak Chiron," kataku, masih tak menyangka akan kehadirannya di sini.
"Kau telah menyelamatkan kami."
Dia memberiku senyum datar. "Yah, aku kan tak bisa membiarkanmu
mati, terutama sejak kau telah membersihkan namaku."
"Tapi bagaimana Bapak tahu kita ada di mana?" tanya Annabeth.
"Perencanaan matang, Sayang. Sudah kuperhitungkan kalian akan
terdampar di pantai Miami kalau kalian berhasil keluar hidup-hidup dari Laut
Para Monster. Hampir segala hal aneh terdampar di sekitar Miami."
"Wah, makasih deh," gumam Grover.
"Bukan, bukan," ujar Chiron. "Aku tak bermaksud " Oh, lupakan saja.
Aku benar-benar senang bertemu kau lagi, Satir Mudaku. Intinya adalah, aku
sanggup mencuri dengar pesan-Iris dari Percy dan melacak sinyalnya. Iris dan
aku sudah berteman sejak berabad-abad lalu. Aku memintanya untuk
memberitahuku jika ada komunikasi penting apa pun di area ini. Kemudian
sama sekali tak sulit untuk meyakinkan sepupu-sepupuku untuk pergi
menolongmu. Seperti kaulihat sendiri, para centaurus bisa melaju cukup cepat
jika kami menginginkannya. Jarak bagi kami tidak sama dengan jarak yang
berlaku dalam dunia manusia."
Aku memandangi ke arah api unggun, tempat tiga kuda poni pesta
sedang mengajari Tyson untuk menggunakan senapan berpeluru cat. Kuharap
mereka sadar akan apa yang mereka hadapi.
"Jadi bagaimana sekarang?" tanyaku pada Chiron. "Kita baru saja
melepaskan Luke berlayar begitu saja" Dia mengangkut Kronos dalam kapal.
Atau sebagian dari dirinya, setidaknya."
Chiron berlutut, perlahan melipat dua kaki depannya ke bawah
tubuhnya. Dia membuka kantong obat di sabuknya dan mulai mengobati
lukaku. "Sayangnya, Percy, hari ini pertarungan sepertinya berlangsung seri.
Kita tak punya cukup pasukan untuk menyerbu kapal itu. Kekuatan Luke juga
tak cukup terorganisir untuk mengejar kita. Tak ada pihak yang menang."
"Tapi kami mendapatkan Bulu Dombanya!" seru Annabeth. "Clarisse
sedang dalam perjalanan kembali ke kemah dengan Bulu Domba itu saat ini
juga." Chiron mengangguk, walau dia masih tampak resah. "Kalian semua
benar-benar pahlawan sejati. Dan begitu Percy pulih, kalian harus kembali ke
Bukit Blasteran. Centaurus-centaurus ini akan membawa kalian."
"Bapak ikut juga, kan?" tanyaku.
"Oh tentu, Percy. Aku akan lega bisa pulang. Saudara-saudaraku di sini
sama sekali tak menghargai musik Dean Martin. Lagi pula, aku harus berbicara
dengan Pak D. Masih ada sisa musim panas yang harus direncanakan. Begitu
banyak latihan yang harus diajarkan. Dan aku ingin melihat " aku penasaran
dengan Bulu Dombanya."
Aku tak tahu persis apa maksudnya, tapi perkataan Luke saat itu
membuatku khawatir: Aku akan membiarkanmu mengambil Bulu Domba itu "
begitu aku selesai menggunakannya.
Apakah Luke hanya berbohong" Aku tahu dari Kronos bahwa biasanya
akan ada rencana di dalam rencana itu sendiri. Penguasa titan itu tidak disebut
Yang Menyimpang tanpa alasan. Dia punya kemampuan memengaruhi orang
untuk melakukan apa yang dia inginkan tanpa mereka pernah menyadari akan
niatan Kronos sebenarnya.
Di dekat api unggun, Tyson menembakkan senapan peluru catnya.
Sebuah proyektil biru menciprati salah satu centaurus, membuatnya terhuyung
jatuh ke sungai. Centaurus itu kembali sambil nyengir, tertutupi kotoran lumpur
dan cat biru, mengacungkan dua jempol pada Tyson.
"Annabeth," kata Chiron, "barangkali kau dan Grover mau mengawasi
Tyson dan sepupu-sepupuku sebelum mereka, ah, mengajari satu sama lain
terlalu banyak kebiasaan buruk?"
Annabeth menatapnya. Ada semacam pertukaran pemahaman di antara
mereka berdua. "Tentu, Chiron," ucap Annabeth. "Ayo, Bocah Kambing."
"Tapi aku nggak suka senapan cat."
"Tentu, kau suka." Annabeth menarik Grover berdiri dan menggiringnya
ke arah api unggun. Chiron selesai membalut kakiku. "Percy, aku bicara dengan Annabeth
pada perjalanan ke sini. Pembicaraan tentang ramalan itu."
O-ouw, gawat, pikirku. "Itu bukan salahnya," kataku. "Aku yang memaksanya memberitahuku."
Matanya berkedip terganggu. Aku yakin Chiron akan memarahiku, tapi
kemudian wajahnya berubah letih. "Kurasa aku memang tak bisa berharap
untuk menyimpannya sebagai rahasia selamanya."
"Jadi apakah aku orang yang dimaksudkan dalam ramalan itu?"
Chiron memasukkan perbannya kembali ke dalam kantongnya. "Andai
aku sendiri tahu, Percy. Usiamu belum menginjak enam belas tahun. Untuk
sementara kami hanya bisa melatihmu sebaik yang kami mampu, dan
menyerahkan masa depan pada para Penyampai Takdir."
Penyampai Takdir. Sudah lama aku tak memikirkan tentang wanitawanita sepuh itu, tapi begitu Chiron menyebut mereka, sesuatu terlintas dalam
benakku. "Itulah artinya," kataku.
Chiron memberengut. "Itulah artinya apa?"
"Musim panas lalu. Pertanda dari Penyampai Takdir, saat aku melihat
mereka menggunting benang umur seseorang. Kukira itu artinya aku akan mati
saat itu juga, tapi ternyata lebih buruk dari itu. Itu ada kaitannya dengan
ramalanmu. Kematian yang mereka ramalkan"kematian itu akan tiba saat aku
berumur enam belas."
Ekor Chiron menyapu rumput dengan gelisah. "Anakku, kau tak bisa
yakin akan hal itu. Kami bahkan tak tahu apakah ramalan itu tentangmu atau
bukan." "Tapi sudah tak ada lagi anak blasteran dari Tiga Besar!"
"Yang kami ketahui untuk saat ini."
"Dan Kronos tengah bangkit. Dia akan menghancurkan Gunung
Olympus!" "Dia akan mencoba," Chiron menyetujui. "Dan juga beserta Peradaban
Barat, kalau kita tak menghentikannya. Tapi kita pasti akan menghentikannya.
Kau tak akan berjuang sendiri."
Aku tahu Chiron mencoba untuk membuatku merasa lebih tenang, tapi
aku ingat akan apa yang dikatakan Annabeth. Pada akhirnya hanya akan tersisa
satu pahlawan. Satu keputusan yang kelak akan menyelamatkan atau
menghancurkan Peradaban Barat. Dan aku merasa yakin para Penyampai Takdir
telah memberiku semacam peringatan akan hal itu. Sesuatu yang buruk akan
terjadi, entah pada diriku atau pada seseorang yang dekat denganku.
"Aku hanya seorang anak, Chiron," kataku muram. "Mana bisa satu
pahlawan payah melawan musuh seperti Kronos?"
Chiron memberi senyuman. "'Mana bisa satu pahlawan payah " '"
Joshua Lawrence Chamberlain juga pernah bilang begitu padaku, persis
sebelum dia seorang-diri mengubah garis sejarah dari peristiwa Perang
Saudara." Dia menarik setangkai panah dari kantong panahnya dan memutar
ujungnya yang setajam silet hingga ia berkilat diterpa pijar api. "Perunggu
langit, Percy. Senjata makhluk yang hidup abadi. Apa yang akan terjadi jika kau
menembakkan ini pada manusia?"
"Tak akan mempan," kataku. "Panah itu hanya akan menembus
tubuhnya." "Itu benar," katanya. "Manusia tidak hidup di dunia yang sama dengan
makhluk abadi. Mereka bahkan tak bisa dilukai oleh senjata kami. Tapi kau,
Percy"kau adalah setengah dewa, setengah manusia. Kau hidup di dua dunia.
Kau bisa dilukai oleh keduanya, dan kau bisa memengaruhi keduanya. Itulah
yang membuat pahlawan begitu istimewa. Kau membawa harapan kemanusiaan
ke wilayah keabadian. Para monster tak pernah mati. Mereka selalu terlahir
kembali dari kekacauan dan barbarisme yang selalu muncul menyertai
peradaban, hal-hal yang membuat Kronos semakin kuat. Mereka harus
dikalahkan berulang-ulang kali, dijauhkan dari kemungkinan menyulut
kekacauan. Para pahlawan menyimbolkan perjuangan itu. Kau memperjuangkan perlawanan yang harus dimenangkan oleh umat manusia, di
setiap generasi, agar kemanusiaan itu tetap terjaga. Apa kau paham?"
"Aku " entahlah."
"Kau harus berusaha, Percy. Karena entah benar atau bukan kau anak
yang diramalkan itu, menurut Kronos bisa jadi itu kau. Dan setelah hari ini, dia
akhirnya akan putus asa untuk menjadikanmu berada di pihaknya. Asal
kautahu, itulah satu-satunya alasan mengapa dia belum membunuhmu. Begitu
dia yakin dia tak dapat memanfaatkanmu, dia akan menghancurkanmu."
"Bapak bicara seolah mengenalnya."
Chiron mengerutkan bibirnya. "Aku memang mengenalnya."
Aku menatapnya. Kadang-kadang aku lupa betapa tuanya Chiron itu.
"Apakah itu sebabnya mengapa Pak D menyalahkanmu saat pohon Thalia
diracun" Mengapa kau bilang sebagian orang nggak memercayaimu?"
"Itu jelas." "Tapi, Pak Chiron " maksudku, yang benar saja! Mengapa orang-orang
bisa berpikir bahwa Bapak akan mengkhianati perkemahan demi Kronos?"
Mata Chiron berwarna cokelat gelap, sarat dengan ribuan tahun
kesedihan. "Percy, coba ingatlah akan mitologi. Apa hubunganku dengan Raja
Titan?" Aku berusaha berpikir, tapi ingatan akan pelajaran mitologiku selalu
kacau. Bahkan hingga sekarang ini pun, saat mitologi itu begitu nyata, begitu
penting untuk kehidupanku sendiri, aku menemui kesulitan mengingat semua
nama dan fakta-faktanya. Aku menggelengkan kepala. "Bapak, eh, berutang
budi pada Kronos atau apa" Dia pernah nggak jadi membunuh Bapak?"
"Percy," kata Chiron, suaranya begitu lembut. "Kronos sang penguasa
Titan adalah ayahku."
19 L o mb a Ke re t a Temp u r Be r a k h i r
d e n g a n G e mpa r Kami tiba di Long Island tepat setelah Clarisse, berkat kekuatan perjalanan
centaurus. Aku menaiki punggung Chiron, tapi kami tak bicara banyak, apalagi
membahas tentang Kronos. Aku tahu sulit bagi Chiron mengungkapkan itu
padaku. Aku tak ingin mendesaknya dengan bertanya lebih banyak. Maksudku,
aku pernah bertemu dengan banyak orangtua yang memalukan, tapi Kronos,
raja titan jahat yang ingin menghancurkan Peradaban Barat" Bukan tipe ayah
yang akan kau undang ke sekolah saat Hari Karier.
Saat kami tiba di kemah, para centaurus begitu bersemangat untuk
bertemu Dionysus. Mereka dengar dia suka mengadakan acara pesta yang seru,
tapi mereka terpaksa kecewa. Dewa Anggur sedang tak berselera untuk berpesta
saat para pekemah berkumpul di puncak Bukit Blasteran.
Perkemahan telah melalui banyak kesulitan dua minggu belakangan.
Kabin seni dan kerajinan terbakar habis akibat serangan Draco Aionius (yang
kalau kuperkirakan sih arti dari bahasa Latinnya adalah "kadal-yang-sangatbesar-dengan-napas-yang-bisa-meledakkan-barang-barang"). Ruangan Rumah
Besar penuh sesak dengan orang-orang yang cedera. Anak-anak di kabin Apollo,
yang merupakan penyembuh terbaik, telah bekerja lembur memberikan
pertolongan pertama. Semua orang terlihat letih dan babak-belur saat kami
mengerubungi pohon Thalia.
Begitu Clarisse merentangkan Bulu Domba itu menutupi dahan terendah,
sinar rembulan tampak lebih terang cahayanya, berubah dari abu-abu ke perak
berkilat. Semilir dingin angin membuat ranting-rantingnya bergemeresik dan
meriak melewati rerumputan, terus berdesir sepanjang lembah. Semuanya terasa
lebih jernih"cahaya kunang-kunang di tengah hutan, harum ladang stroberi,
suara debur ombak di pantai.
Perlahan, daun-daun di pohon pinus itu mulai berubah warna dari
cokelat menjadi hijau. Semua bersorak. Kejadiannya berlangsung begitu perlahan, namun tak
salah lagi"sihir Bulu Domba itu meresap ke dalam pohon, mengisinya dengan
kekuatan baru dan mengeluarkan racunnya.
Chiron menugaskan petugas jaga dua puluh empat jam setiap harinya di
puncak bukit, setidaknya sampai dia bisa menemukan monster yang cocok
untuk melindungi Bulu Domba itu. Dia bilang dia akan segera memasang
iklannya di kolom lowongan kerja Olympus Weekly.
Sementara itu, Clarisse diarak di bahu teman-teman satu kabinnya
menuju amfiteater, tempat dia menerima penghargaan dengan mahkota daun
dafnah dan banyak kegiatan perayaan di sekeliling api unggun.
Tak ada seorang pun yang memerhatikan Annabeth atau aku. Seolah-olah
kami tak pernah pergi meninggalkan kemah. Sebetulnya, kurasa itu adalah
ucapan terima kasih yang terbaik yang bisa diberikan orang pada kami, karena
kalau mereka mengakui kami diam-diam kabur dari kemah untuk melakukan
misi ini, mereka akan harus mengeluarkan kami. Dan sesungguhnya, aku juga
tak ingin mendapat perhatian lagi. Rasanya enak juga hanya menjadi salah satu
dari mereka sekali-kali. Di malam itu, saat kami sedang memanggang s'more"biskuit isi cokelat
dan marshmallow panggang"dan mendengarkan Stoll bersaudara mengisahkan
cerita hantu tentang raja jahat yang dimakan hidup-hidup oleh kue-kue kering
yang kerasukan setan saat sarapan, Clarisse menyikutku dari belakang dan
berbisik di telingaku, "Hanya karena kau berbuat baik satu kali, Jackson, jangan
kira masalahmu dengan Ares selesai. Aku masih menantikan saat yang tepat
untuk menghabisimu."
Aku memberinya senyum setengah hati.
"Apaan?" desaknya.
"Bukan apa-apa," ucapku. "Senang saja rasanya kembali ke rumah."
Keesokan paginya, setelah kuda-kuda poni pesta kembali pulang ke Florida,
Chiron memberi pengumuman mengejutkan: perlombaan kereta tempur akan
tetap dilangsungkan sesuai jadwal. Kami semua mengira perlombaan itu sudah
tinggal sejarah sekarang setelah Tantalus pergi, tapi menyelesaikan perlombaan
yang sudah dimulai itu mungkin memang sudah sepantasnya, terutama
mengingat sekarang Chiron sudah kembali dan perkemahan sudah aman.
Tyson tak begitu bersemangat akan rencana untuk kembali mengendarai
kereta tempur setelah pengalaman pertama kami, tapi dia cukup senang dengan
ideku bergabung dengan Annabeth. Aku akan menyetir, Annabeth akan
bertugas mengamankan kereta, dan Tyson akan bertugas sebagai kru kereta.
Sementara aku mengurusi kuda-kuda, Tyson membenahi kereta Annabeth dan
menambah berbagai macam modifikasi khusus.
Kami menghabiskan dua hari berikutnya berlatih seperti orang gila.
Annabeth dan aku setuju kalau kami menang, hadiah bebas mengerjakan tugas
selama sisa bulan itu akan dibagi antara kabin kami berdua. Karena Athena
memiliki lebih banyak pekemah, mereka akan mendapat lebih banyak waktu
bebas tugas, yang bagiku sih oke-oke saja. Aku toh tak peduli dengan
hadiahnya. Aku cuma ingin menang.
Malam sebelum perlombaan, aku menghabiskan waktu di kandang kuda
hingga larut. Aku mengajak bicara kuda-kuda kami, memberi mereka sikatan
terakhir, ketika seseorang di belakangku berkata, "Hewan yang baik, kuda itu.
Andai dulu aku terpikir menggunakan mereka."
Seorang pria paruh-baya dengan seragam petugas pos bersandar pada
pintu kandang. Tubuhnya langsing, dengan rambut ikal hitam di bawah topi
mataharinya yang berwarna putih, dan dia menyandang kantong surat-pos di
bahunya. "Hermes?" aku tergagap.
"Halo, Percy. Tak mengenaliku tanpa pakaian jogingku?"
"Eh " " Aku tak yakin apa aku seharusnya berlutut atau membeli
prangko darinya atau apa. Lalu terpikir olehku alasan mengapa dia berada di
sini. "Oh, dengar, Tuan Hermes, tentang Luke " "
Dewa itu menautkan alisnya.
"Eh, kami sempat bertemu dengannya," kataku, "tapi?"
"Kau tak berhasil menyadarkannya?"
"Yah, kami sebenarnya berusaha saling bunuh dalam duel maut."
"Oh begitu. Kau mencoba pendekatan diplomatis."
"Aku benar-benar minta maaf. Maksudku, kau memberi kami hadiahhadiah hebat itu dan segalanya. Dan aku tahu kau ingin Luke kembali. Tapi "
Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia sudah jadi jahat. Benar-benar jahat. Dia bilang dia merasa kau telah
menelantarkannya." Aku menanti Hermes mengamuk. Kupikir dia akan mengubahku jadi
hamster atau semacamnya, dan aku tak ingin menghabiskan waktu lagi sebagai
hewan pengerat. Namun, dia malah mendesah. "Apa kau pernah merasa ayahmu
menelantarkan-mu, Percy?"
Waduh, sulit nih. Aku ingin bilang, "Hanya sekian ratus kali sehari." Aku belum bicara
dengan Poseidon sejak musim panas lalu. Aku bahkan belum pernah
mendatangi istana bawah airnya. Dan kemudian ada masalah baru dengan
Tyson"tanpa peringatan, tanpa penjelasan sebelumnya. Tiba-tiba saja bum, aku
punya saudara. Bukankah mestinya ada basa-basi panggilan telepon untuk
peringatan atau semacamnya"
Semakin aku memikirkannya, semakin marah aku rasanya. Kusadari
sesungguhnya aku ingin mendapatkan pengakuan akan misi yang sukses
kulakukan, tapi bukan dari para pekemah lain. Aku ingin ayahku mengucapkan
sesuatu. Untuk memperhatikanku.
Hermes membetulkan letak kantong pos-surat di bahunya. "Percy, bagian
tersulit dari menjadi seorang dewa adalah kau sering kali harus mengambil
tindakan secara tidak langsung, terutama jika berkaitan dengan anak-anakmu
sendiri. Kalau kami selalu mengintervensi setiap kali anak-anak kami
menghadapi masalah " yah, hal itu hanya akan menimbulkan lebih banyak
masalah dan lebih banyak kebencian. Tapi aku percaya kalau kau mau
merenungkannya, kau akan menyadari kalau Poseidon selama ini sudah
memberi perhatian padamu. Dia sudah mengabulkan doa-doamu. Aku hanya
bisa berharap kelak suatu hari nanti, Luke akan menyadari hal yang sama
tentang aku. Baik kau merasa berhasil atau tidak, setidaknya kau telah
mengingatkan Luke akan siapa dia sebelumnya. Kau sudah bicara dengannya."
"Aku berusaha membunuhnya."
Hermes mengangkat bahu. "Keluarga-keluarga memang kacau. Keluargakeluarga kaum yang hidup abadi selamanya akan kacau. Kadang-kadang hal
terbaik yang bisa kita lakukan hanyalah mengingatkan satu sama lain bahwa
kita satu keluarga, dalam susah maupun senang " dan mencoba menjaga
penganiayaan dan pembunuhan yang terjadi seminimal mungkin."
Nasihatnya tidak terdengar seperti resep untuk keluarga yang bahagia.
Tapi, kalau aku berpikir tentang misiku lagi, kusadari barangkali Hermes benar.
Poseidon telah mengirim hippocampus-hippocampus itu untuk menolong kami.
Dia memberiku kekuatan mengendalikan lautan yang belum pernah kuketahui
sebelumnya. Dan ada Tyson. Apakah Poseidon telah mempertemukan kami
untuk suatu tujuan" Sudah berapa kali Tyson menyelamatkan nyawaku musim
panas ini" Di kejauhan, bunyi tiupan terompet kerang terdengar, menandakan
berakhirnya jam malam. "Kau sebaiknya pergi tidur," ujar Hermes. "Aku sudah cukup banyak
memberimu kesulitan musim panas ini. Sebenarnya aku cuma datang untuk
mengantar kiriman ini."
"Kiriman?" "Aku ini kan pengantar pesan para dewa, Percy." Dia mengambil alas
tanda tangan elektronik dari dalam kantong pos-suratnya dan menyodorkannya
padaku. "Tolong, tanda tangan di situ."
Aku mengambil pena yang tersambung dengan alasnya sebelum
menyadari pena itu terjalin dengan sepasang ular hijau kecil. "Ah!" kujatuhkan
alas itu. Aduh, seru George. Tolong ya, Percy, protes Martha. Apa kau sendiri mau dijatuhkan ke dasar
kandang kuda" "Oh, eh, maaf." Aku tak suka menyentuh ular, tapi aku pungut alas
beserta pena itu kembali. Martha dan George menggeliat di bawah jari-jariku,
membentuk semacam pegangan pensil seperti yang guru pendidikan khususku
pernah menyuruhku menggunakannya di kelas dua.
Apa kau bawakan aku tikus" tanya George.
"Tidak " " kataku. "Eh, kami nggak menemukannya."
Bagaimana dengan marmut"
George! Martha menggertaknya. Jangan usili anak ini.
Aku menandatanganinya dan menyerahkan alas itu kembali ke Hermes.
Sebagai balasannya, dia menyerahkanku secarik amplop warna biru-laut.
Jari-jariku bergetar. Bahkan sebelum aku membukanya, aku tahu itu dari
ayahku. Aku bisa merasakan kekuatannya dalam kertas biru dingin itu, seolaholah amplop itu sendiri dibuat dari gulungan ombak.
"Semoga beruntung besok," kata Hermes. "Kau punya kuda-kuda yang
bagus, meski kau harus mengerti kalau aku bakal menjagokan kabin Hermes."
Dan jangan terlalu kecewa saat kau membacanya, Sayang, kata Martha
padaku. Dia selalu memerhatikan kepentinganmu.
"Apa maksudmu?" tanyaku.
Jangan pedulikan dia, kata George. Dan lain waktu, ingatlah, ular-ular bekerja
buat tip. "Cukup, kalian berdua," ujar Hermes. "Sampai jumpa, Percy. Untuk saat
ini." Sayap-sayap putih kecil muncul dari topi mataharinya. Dia mulai
bercahaya, dan aku cukup tahu tentang para dewa untuk menghindarkan
pandanganku sebelum dia memunculkan bentuk dewa sejatinya. Dengan sekilas
sinar putih terangnya dia menghilang dari pandangan, dan aku sendirian
dengan kuda-kudaku. Aku memandangi amplop biru di tanganku. Alamat di amplop itu ditulis
tangan dengan kesan yang kuat namun elegan, yang pernah kulihat sekali
sebelumnya, pada paket yang dikirim Poseidon musim panas lalu.
Percy Jackson Perkemahan Blasteran Farm Road 3.141 Long Island, New York 11954
Surat sungguhan dari ayahku. Mungkin dia akan memberitahuku bahwa
aku telah melakukan pekerjaan dengan baik mendapatkan Bulu Domba itu. Dia
akan menjelaskan tentang Tyson, atau meminta maaf karena tak bicara padaku
sebelumnya. Ada begitu banyak yang kuharap tertulis dalam surat itu.
Aku buka amplopnya dan meratakan lipatan kertas surat itu.
Dua kata sederhana tercetak di tengah-tengah halaman kertas:
Persiapkan Dirimu Keesokan paginya, semua orang meributkan tentang lomba kereta
tempur, meski terus-terusan memandang resah ke arah langit seolah takut
melihat burung-burung Stymphalian berarak. Namun tak satu pun kelihatan.
Hari itu adalah hari di musim panas yang indah dengan langit biru dan banyak
cahaya matahari. Perkemahan mulai kelihatan seperti seharusnya: padang
rumput terlihat hijau nan subur; tiang-tiang putih pada bangunan Yunani
tampak bersinar; para peri pohon bermain dengan gembira di hutan.
Dan aku begitu sedih. Aku tak bisa tidur semalaman, memikirkan tentang
peringatan Poseidon. Persiapkan dirimu. Maksudku, dia sudah repot-repot mau menulis surat, tapi hanya menulis
dua kata" Martha si ular sudah memberitahuku untuk tidak kecewa. Barangkali
Poseidon punya alasan untuk tak menyampaikan sesuatu secara gamblang.
Barangkali dia sendiri tak tahu pasti apa yang mesti dia peringatkan padaku,
tapi dia mendapat firasat sesuatu yang besar akan terjadi"sesuatu yang benarbenar akan menjatuhkanku kalau aku tak berhati-hati. Walau sulit, aku berusaha
memusatkan pikiranku pada lomba.
Selagi Annabeth dan aku berkendara menuju lintasan lomba, aku tak
henti-hentinya mengagumi hasil kerja Tyson pada kereta tempur Annabeth.
Kereta itu berkilat dengan tambahan perunggu. Roda-rodanya disesuaikan
kembali dengan sistem penggantung roda mobil ajaib sehingga kami meluncur
hampir tanpa benturan sedikit pun. Tali-temali untuk kuda-kudanya begitu
seimbang sampai-sampai kedua kuda itu akan berbelok pada tarikan tali kekang
sekecil apa pun. Tyson juga telah membuatkan kami dua lembing, masing-masing dengan
tiga tombol pada batangnya. Tombol pertama menyulut lembing itu untuk
meledak langsung saat terbentur, melepaskan kawat silet yang akan menjerat
dan menyobek roda-roda kereta lawan. Tombol kedua menghasilkan ujung
tombak perunggu yang tumpul (tapi tetap saja masih sangat menyakitkan) yang
dirancang untuk mendorong jatuh pengemudi keretanya. Tombol ketiga
memunculkan pengait yang bisa digunakan untuk mengunci kereta musuh atau
mendorongnya menjauh. Kupikir persiapan kami sudah sangat baik untuk perlombaan, tapi Tyson
masih memperingatkanku untuk berhati-hati. Regu kereta tempur lainnya
menyimpan banyak tipuan hingga ke balik pakaian mereka.
"Ini," ujar Tyson, tepat sebelum pertandingan dimulai.
Dia menyerahkanku jam tangan. Tak ada yang istimewa dari jam itu"
hanya jam dengan permukaan berwarna putih dan perak dengan tali kulit hitam
"tapi begitu aku melihatnya kusadari bahwa jam inilah yang kulihat selalu dia
utak-atik sepanjang musim panas ini.
Biasanya aku tak suka mengenakan jam. Siapa yang peduli jam berapa
sekarang" Tapi aku tak mungkin menolak pemberian Tyson.
"Makasih, Sobat." Aku memasangnya dan menyadari jam itu ternyata
sangat ringan dan nyaman. Aku bahkan tak merasa sedang mengenakannya.
"Nggak selesai pada waktunya untuk perjalanan," gumam Tyson. "Maaf,
maaf." "Hei, sobat. Bukan masalah."
"Kalau kau butuh perlindungan saat lomba," dia menasihati, "tekan saja
tombolnya." "Oh, oke deh." Aku tak mengerti bagaimana melihat jam akan bisa
menolongku, tapi aku begitu tersentuh oleh perhatian Tyson. Aku berjanji
padanya akan mengingat jam ini. "Dan, hei, em, Tyson " "
Dia memandangiku. "Aku ingin bilang, yah " " Aku telah berusaha mencari cara bagaimana
meminta maaf karena telah merasa malu akan dirinya sebelum misi itu, karena
telah bilang pada semua orang bahwa dia bukanlah saudaraku sesungguhnya.
Tidak mudah untuk mencari kata-kata yang tepat.
"Aku tahu apa yang ingin kaukatakan padaku," kata Tyson, tampak malu.
"Poseidon ternyata memerhatikanku selama ini."
"Eh, yah?" "Dia mengirimmu untuk menolongku. Persis seperti yang kupinta."
Aku mengerjapkan mata. "Kau meminta Poseidon untuk " aku?"
"Untuk seorang teman," kata Tyson, memilin-milin kemejanya dengan
tangannya. "Para Cyclops Muda tumbuh besar sendirian di jalanan, belajar
untuk membuat barang-barang dari sampah rongsokan. Belajar untuk bertahan
hidup." "Tapi itu sangat kejam!"
Dia menggelengkan kepala sungguh-sungguh. "Membuat kita menghargai keberkahan, tidak rakus dan jahat dan gendut kayak Polyphemus.
Tapi aku ketakutan. Monster-monster sering mengejarku, mencakarku kadangkadang?"
"Bekas luka di punggungmu?"
Air mata menggenangi matanya. "Sfinks di Jalan Tujuh Puluh Dua.
Penindas besar. Aku berdoa pada Ayah untuk menolong. Tak lama orang-orang
di Meriwether menemukanku. Bertemu kamu. Berkah terbesar yang pernah
kuterima. Maaf dulu aku bilang Poseidon jahat. Dia telah mengirimku seorang
saudara." Aku menatap jam yang dibuatkan Tyson untukku.
"Percy!" panggil Annabeth. "Ayo!"
Chiron sudah berada di garis start, bersiap meniup terompet kerangnya.
"Tyson " " kataku.
"Pergilah," ucap Tyson. "Kau akan menang!"
"Aku"yeah, okelah, Jagoan. Kami akan memenangi ini untukmu." Aku
naik ke kereta dan baru menyiapkan posisi saat Chiron meniup sinyal
dimulainya perlombaan. Kuda-kuda itu tahu tugas mereka. Kami melesat di jalur lintasan begitu
cepatnya sampai-sampai aku pasti sudah terjatuh kalau saja lenganku tak terikat
dengan tali kekang dari kulit. Annabeth berpegang erat pada birai kereta. Rodarodanya meluncur dengan begitu mulus. Kami melewati putaran pertama
dengan jarak satu kereta lebih jauh di depan Clarisse, yang sedang sibuk
melawan serangan tombak dari Stoll bersaudara di kereta Hermes.
"Kita mengalahkan mereka!" pekikku, tapi aku bicara terlalu dini.
"Serang!" teriak Annabeth. Dia melemparkan lembing pertamanya dalam
bentuk sangkutan kait, menjatuhkan jaring-jaring pancingan ikan yang akan
menjerat kami berdua. Kereta Apollo mendempeti sisi kami. Sebelum Annabeth
sempat mempersenjatai diri kembali, panglima Apollo melempar lembing ke
roda kanan kami. Lembing itu pecah, tapi tidak sebelum mematahkan sebagian
ruji-ruji roda kami. Kereta kami meluncur dengan miring dan goyah. Aku yakin
rodanya akan ambruk bersamaan, tapi entah bagaimana kami terus melaju.
Aku meminta kuda-kuda itu untuk tetap menjaga kecepatan. Kami kini
berdempetan dengan kereta Apollo. Hephaestus hampir menyusul. Ares dan
Hermes tertinggal di belakang, meluncur berdampingan, Clarisse dengan
pedangnya melawan Connor Stoll dengan lembingnya.
Bila kami menerima satu pukulan lagi pada roda, aku tahu kereta kami
akan terguling. "Akan kuhancurkan kau!" sais kereta Apollo berteriak. Dia pekemah
tahun pertama. Aku tak ingat namanya, tapi dia jelas terlalu percaya diri.
"Yeah, yang benar saja!" Annabeth balas berteriak.
Annabeth mengambil lembing keduanya"risiko besar mengingat kami
masih harus melewati satu putaran penuh lagi"dan melemparnya ke sais
Apollo. Sasarannya jitu. Lembing itu menumbuhkan ujung tombak yang berat
tepat saat ia mengenai dada si sais, menjatuhkannya ke teman satu timnya dan
membuat keduanya terguling keluar dari kereta dengan gaya jungkir-balik.
Kuda-kuda mereka merasa tali kekangnya melonggar dan jadi liar, berlari lurus
ke arah kerumunan penonton. Para pekemah lari kocar-kacir mencari
perlindungan saat kuda-kuda itu melompat ke pojokan kursi penonton dan
kereta emasnya terbalik. Kuda-kuda itu lalu melaju pulang ke kandang mereka,
menyeret kereta terbalik di belakang mereka.
Aku mengendarai kereta kami dengan hati-hati melewati putaran kedua,
meski roda kanan kami sudah meraung. Kami melewati garis start dan mulai
melaju pada putaran final.
Poros roda berkeriat-keriut dan merintih. Roda yang sudah goyah
membuat kami kehilangan kecepatan, meskipun kuda-kuda kami menanggapi
semua komandoku, berlari seperti mesin yang diminyaki dengan baik.
Tim Hephaestus masih mengejar.
Beckendorf menyeringai saat dia menekan tombol di kompartemen
kendalinya. Kabel-kabel besi melesat dari depan kuda-kuda mekanisnya, melilit
seputar jeruji belakang kami. Kereta kami berguncang saat sistem kerekan
Beckendorf mulai bekerja"menarik kami ke belakang sementara Beckendorf
menarik dirinya sendiri ke depan.
Annabeth mengumpat dan menarik belatinya. Dia memotong-motong
lilitan kabel tapi kabel-kabel itu terlalu tebal.
"Nggak bisa dipotong!" teriaknya.
Kereta Hephaestus sekarang berada terlampau dekat, kuda-kuda mereka
nyaris menginjak kaki-kaki kami.
"Tukar denganku!" seruku pada Annabeth. "Pegang tali kekangnya!"
"Tapi?" "Percaya padaku!"
Annabeth menarik dirinya ke depan dan merebut tali kekangnya. Aku
berbalik, berusaha keras menjaga pijakanku, dan melepas tutup Riptide.
Aku menebas dengan pedangku dan kabel-kabel itu terputus bagai
benang layang-layang. Kami meluncur ke depan, tapi pengemudi Beckendorf
mengayun keretanya ke sisi kiri kami dan menjajari kami. Beckendorf
menghunus pedangnya. Dia mengayunkannya ke Annabeth, dan aku
menangkis bilah pedangnya.
Kami sudah hampir menyelesaikan putaran akhir. Kami tak akan berhasil.
Aku harus menghentikan kereta Hephaestus dan mengeluarkannya dari jalur,
tapi aku juga harus melindungi Annabeth. Hanya karena Beckendorf anak yang
baik bukan berarti dia tak akan mengirimkan kami berdua ke rumah perawatan
kalau kami melemahkan pertahanan.
Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami benar-benar berdempetan sekarang, sementara Clarisse menyusul
dari belakang, berhasil mengejar waktu yang tertinggal.
"Sampai jumpa, Percy!" teriak Beckendorf. "Ini hadiah perpisahan dari
kami!" Dia melemparkan kantong kulit ke kereta kami. Kantong itu langsung
menempel ke lantai dan mulai menyemburkan asap hijau.
"Api Yunani!" teriak Annabeth.
Aku mengutuk. Aku pernah mendengar cerita tentang keampuhan dari
api bangsa Yunani itu. Kupikir kami mungkin punya waktu sepuluh detik
sebelum ia meledak. "Singkirkan itu!" teriak Annabeth, tapi aku tak bisa. Kereta Hephaestus
masih menjajari kereta kami, menanti hingga detik terakhir untuk memastikan
hadiah kecil mereka meledak. Beckendorf menyibukkanku dengan aksi
pedangnya. Kalau aku melepaskan pertahananku cukup lama untuk mengurusi
api Yunani itu, Annabeth akan kena sabetan pedang dan kami pun tetap
tertabrak. Aku mencoba menyingkirkan kantong kulit itu dengan menyepaknya,
tapi aku tak bisa. Kantong itu menempel dengan kuat.
Kemudian aku teringat akan jam tangan.
Aku tak tahu bagaimana jam itu bisa menolong, tapi aku berhasil
menekan tombol penghitung detiknya. Dengan segera, jam itu berubah. Ia
memanjang, lengkung luar logamnya bergerak melingkar ke luar seperti alat
jepret kamera kuno, tali kulitnya membungkus seputar lengan bawahku hingga
aku memegang sebuah perisai perang bundar selebar satu meter, bagian
dalamnya berbahan kulit yang lembut, bagian luarnya perunggu mengilat
berukir pola-pola gambar yang tak sempat kuamati.
Yang kutahu adalah: upaya Tyson berhasil. Aku mengangkat perisainya,
dan pedang Beckendorf berdencang nyaring saat menghantamnya. Bilah
pedangnya pecah berkeping-keping.
"Apa-apaan?" teriaknya. "Bagaimana?"
Dia tak sempat bicara banyak karena aku memukul dadanya dengan
perisai baruku dan membuatnya terjungkal keluar dari keretanya, jatuh
terguling-guling di tanah.
Aku baru ingin menggunakan Riptide untuk menyerang saisnya saat
Annabeth berteriak, "Percy!"
Api Yunani itu menyemburkan bunga-bunga api. Aku menyorong ujung
pedangku ke bawah kantong kulit itu dan mengangkatnya seperti menggunakan
spatula. Bom api itu diamankan dan dikirim kembali ke kereta Hephaestus ke
bawah kaki sang sais. Dia memekik tertahan.
Dalam hitungan setengah detik, si pengemudi mengambil keputusan
tepat: dia terjun keluar dari keretanya, yang meluncur oleng dan meledak dalam
kobaran api hijau. Kuda-kuda logamnya tampak korsleting. Mereka berbalik
arah dan menyeret bangkai kereta yang terbakar itu kembali ke arah Clarisse
dan Stoll bersaudara, yang terpaksa berbelok tajam untuk menghindarinya.
Annabeth menarik tali kekang untuk belokan terakhir. Aku bertahan, jelas
kami akan terguling, tapi entah bagaimana Annabeth sanggup membawa kami
bertahan dan memacu kuda-kudanya melewati garis finis. Kerumunan
penonton bersorak. Begitu kereta berhenti, teman-teman kami mengerubungi kami. Mereka
mulai menyoraki nama-nama kami, tapi Annabeth berteriak di tengah riuh
sorak-sorai: "Tunggu dulu! Dengar! Kita nggak hanya berdua!"
Keramaian tak ingin diam, tapi Annabeth membuat suaranya terdengar:
"Kita nggak mungkin bisa melakukannya tanpa satu orang lagi! Kita nggak
mungkin bisa memenangkan lomba ini atau mendapatkan Bulu Domba atau
menyelamatkan Grover atau yang lainnya! Kami berutang nyawa kami pada
Tyson, " " "Saudaraku!" seruku, cukup keras untuk terdengar oleh semua orang.
"Tyson, adik kesayanganku."
Tyson merona. Kerumunan bersorak. Annabeth memberi kecupan di
pipiku. Sorakan penonton makin ribut setelahnya. Seluruh pekemah kabin
Athena mengangkatku dan Annabeth dan Tyson di atas bahu mereka dan
mengarak kami menuju podium juara, tempat Chiron menunggu untuk
menganugerahi mahkota daun dafnah.
20 Si h i r B u l u D o m b a I t u
Te r l a mpa u A mp u h Sore itu adalah salah satu hari terbahagia yang pernah kualami di perkemahan,
yang mungkin menunjukkan bahwa, kita tak akan pernah tahu kapan dunia kita
akan mengalami guncangan hebat.
Grover menyampaikan bahwa dia bisa menghabiskan sepanjang sisa
musim panas bersama kami sebelum melanjutkan misinya mencari Pan. Bosbosnya di Dewan Tetua Berkuku Belah begitu terkesan karena Grover berhasil
tak tewas dan telah membuka jalan bagi para pencari di masa depan, hingga
mereka memberinya dua bulan masa cuti dan satu set seruling baru. Satusatunya kabar buruknya: Grover terus-terusan memainkan seruling itu
sepanjang sore, dan kemahiran musiknya belum juga meningkat. Dia
memainkan lagu "YMCA", dan tanaman stroberi mulai bertingkah gila, melilit
kaki-kaki kami seolah ingin mencekik kami. Kurasa aku tak bisa menyalahkan
mereka. Grover memberitahuku dia bisa mematahkan sambungan empati di
antara kami, sekarang karena kami sedang berhadapan langsung, tapi aku
memberitahunya aku justru ingin mempertahankannya kalau dia mau. Grover
meletakkan serulingnya dan menatapku. "Tapi, kalau aku menemui kesulitan
lagi, kau akan terancam bahaya, Percy! Kau bisa mati!"
"Kalau kau menemui kesulitan lagi, aku ingin tahu tentang itu. Dan aku
akan kembali menolongmu, G-man. Itu yang kuinginkan."
Pada akhirnya Grover setuju untuk tak mematahkan sambungannya. Dia
kembali memainkan "YMCA" untuk tanaman-tanaman stroberi. Aku tak butuh
sambungan empati dengan tanaman-tanaman itu untuk mengetahui bagaimana
perasaan mereka mendengar lagu itu.
Beberapa waktu kemudian saat pelajaran memanah berlangsung, Chiron
menarikku ke samping dan memberitahuku bahwa dia telah mengatasi
masalahku di Meriwether Prep. Pihak sekolah tak lagi menyalahkanku akan
kehancuran ruang gimnasium mereka. Kepolisian tak lagi mencariku.
"Bagaimana kau bisa melakukannya?" tanyaku.
Mata Chiron berbinar. "Aku hanya memberi saran bahwa kaum manusia
melihat hal yang berbeda pada hari itu"ledakan tungku perapian yang bukan
kesalahanmu." "Kau cuma bilang itu dan mereka langsung memercayainya?"
"Aku memanipulasi Kabut. Suatu hari nanti, saat kau sudah siap, aku
akan tunjukkan caranya."
"Maksudmu, aku bisa kembali ke Meriwether tahun depan?"
Chiron mengangkat alisnya. "Oh, tidak, mereka tetap mengeluarkanmu.
Kepala sekolahmu, Pak Bonsai, bilang kau punya"bagaimana dulu dia
bilangnya yah?"sebuah karma yang tak baik yang mengganggu aura
pendidikan sekolah. Tapi kau tak terlibat dalam masalah hukum apa pun, yang
membuat ibumu lega. Oh ya, omong-omong tentang ibumu " "
Dia mencopot ponselnya yang menjepit di kantong panahnya dan
menyodorkannya padaku. "Sudah waktunya kau meneleponnya."
Bagian terburuk adalah pada awalnya"bagian "Percy-Jackson-apa-yang-kaupikirkan-apa-kau-tahu-betapa-cemasnya-Ibu-kabur-diam-diam-dariperkemahan-tanpa-izin-menjalani-misi-berbahaya-dan-membuat-Ibu-ketakutansetengah-mati."
Tapi pada akhirnya dia berhenti untuk menarik napas. "Oh, Ibu hanya
senang kau selamat!"
Itulah hebatnya ibuku. Dia tak bisa berlama-lama marah. Dia
mencobanya, tapi itu memang bukan wataknya.
"Maafkan aku, Ibu," kataku padanya. "Aku nggak akan membuat Ibu
ketakutan lagi." "Jangan menjanjikan itu pada Ibu, Percy. Kau tahu pasti kejadian
berikutnya hanya akan makin buruk." Ibu berusaha terdengar santai
mengucapkannya, tapi aku tahu dia cukup terguncang.
Aku ingin menyampaikan sesuatu untuk menenangkannya, tapi aku tahu
dia benar. Menjadi seorang anak blasteran, aku akan selalu melakukan hal-hal
yang akan menakutkannya. Dan semakin aku beranjak besar, bahaya yang
kuhadapi akan menghebat. "Aku bisa pulang ke rumah sebentar," tawarku.
"Jangan, jangan. Tetaplah di perkemahan. Berlatihlah. Lakukan apa yang
perlu kaulakukan. Tapi kau akan pulang untuk tahun ajaran mendatang kan?"
"Iya, tentu saja. Eh, itu kalau ada sekolah yang mau menampungku."
"Oh, kita akan menemukannya, Sayang," ibuku mendesah. "Di tempattempat di mana mereka belum mengenali kita."
Sementara bagi Tyson, para pekemah memperlakukannya bagai pahlawan. Aku
akan senang untuk memilikinya sebagai teman kabinku untuk selamanya, tapi
malam itu, saat kami tengah duduk di atas bukit pasir memandangi Selat Long
Island, Tyson menyampaikan berita yang benar-benar mengejutkanku.
"Mimpi datang dari Ayah kemarin malam," ujarnya. "Dia ingin aku
berkunjung." Aku bertanya-tanya kalau dia tengah bercanda, tapi Tyson tak pernah
tahu cara bercanda. "Poseidon mengirimimu pesan mimpi?"
Tyson mengangguk. "Ingin aku pergi ke bawah air untuk sisa musim
panas. Belajar untuk bekerja di tempat penempaan para Cyclops. Dia
menyebutnya kerja"semacam kerja?"
"Kerja magang?"
"Betul." Aku berusaha mencerna perkataannya. Kuakui, aku merasa sedikit iri.
Poseidon belum pernah mengundang aku ke bawah air. Tapi kemudian aku
berpikir, Tyson akan pergi" Begitu saja"
"Kapan kau akan pergi?" tanyaku.
"Sekarang." "Sekarang. Maksudnya " sekarangnya sekarang ini?"
"Sekarang." Aku memandangi ke gulungan ombak di Selat Long Island. Air berkilau
merah saat matahari tenggelam.
"Aku ikut senang untukmu, Jagoan," kataku akhirnya. "Serius."
"Sulit untuk tinggalkan kakak baruku," ucapnya dengan suara bergetar.
"Tapi aku ingin buat barang-barang. Senjata-senjata buat perkemahan. Kau akan
membutuhkannya." Sayangnya, aku tahu Tyson benar. Bulu Domba itu tidak menyelesaikan
seluruh persoalan kemah. Luke masih berada di luar sana, mengumpulkan bala
tentara di atas Putri Andromeda. Kronos masih memperbaharui dirinya kembali
dalam peti emasnya. Pada akhirnya, kita harus melawan mereka.
"Kau akan membuat senjata terbaik yang pernah dibuat," kataku pada
Tyson. Aku mengangkat jam tangan yang menempel di tanganku bangga. "Aku
berani taruhan senjata itu akan bisa menunjukkan waktu, juga."
Tyson tersedu. "Kakak-adik saling menolong satu sama lain."
"Kau memang adikku," kataku. "Sudah pasti itu."
Dia menepuk punggungku keras hingga nyaris membuatku terjungkal
dari bukit pasir. Lalu Tyson menghapus air mata dari pipinya dan bangkit untuk
pergi. "Gunakan perisainya baik-baik."
"Tentu, Jagoan."
"Bisa menyelamatkan nyawamu suatu hari."
Cara dia mengatakannya, dengan begitu yakin, membuatku bertanyatanya apakah mata satu Cyclopsnya bisa memandang ke masa depan.
Tyson berjalan turun menuju pantai dan bersiul. Pelangi, sang
hippocampus, menyeruak dari gulungan ombak. Aku memandangi keduanya
melaju bersama menuju kerajaan Poseidon.
Begitu mereka menghilang, aku memandangi jam tangan baruku. Aku
menekan tombol dan perisainya melingkar-lingkar hingga ukuran sebenarnya. Terukir pada bahan perunggunya adalah gambar-gambar bergaya
Yunani Kuno, berbagai peristiwa dari petualangan kami di musim panas ini.
Ada Annabeth sedang menebas pemain bola karet Laistrygonian, aku bertarung
dengan banteng-banteng perunggu di Bukit Blasteran, Tyson menunggangi
Pelangi menuju Putri Andromeda, CSS Birmingham menembakkan bola-bola
meriamnya ke Charybdis. Jemariku menelusuri gambar Tyson, melawan Hydra
sembari mengangkat tinggi-tinggi sekotak Donat Monsternya.
Aku tak bisa menahan rasa sedihku. Aku tahu Tyson akan menghabiskan
waktu dengan senang di bawah laut. Tapi aku akan merindukan segala hal
tentangnya"kekagumannya pada kuda-kuda, kemampuannya memperbaiki
kereta tempur atau menggumpalkan logam dengan tangan kosongnya, atau
mengikat orang-orang jahat membentuk simpul. Aku bahkan akan merindukan
dengkurannya yang bagai gempa bumi di sebelah tempat tidurku sepanjang
malam. "Hei, Percy." Aku berbalik. Annabeth dan Grover tengah berdiri di puncak bukit pasir. Kurasa
mataku sedang kelilipan pasir, karena aku terlalu banyak mengerjap-ngerjapkan
mata. "Tyson " "kataku pada mereka. "Dia harus ..."
"Kami tahu," ujar Annabeth perlahan. "Chiron memberi tahu kami."
"Tempat penempaan para Cyclops." Tubuh Grover bergetar. "Kudengar
makanan kafetaria di sana sangat buruk! Kayak, nggak ada enchilada sama
sekali." Annabeth mengulurkan tangannya. "Ayolah, Otak Ganggang. Waktunya
makan malam." Kami berjalan kembali menuju paviliun makan bersama-sama, hanya
kami bertiga, persis seperti masa lalu.
Badai mengamuk malam itu, tapi ia surut di sekitar Perkemahan Blasteran
seperti terpaan badai pada biasanya. Kilat menyambar di cakrawala, ombak
memukul-mukul pantai, tapi tak ada satu tetes hujan pun yang jatuh di lembah
kami. Kami terlindungi lagi, berkat Bulu Domba itu, terlindungi di dalam
perbatasan sihir kami. Tetap saja, mimpi-mimpi yang kualami terus mengusikku. Aku
mendengar Kronos mengejekku dari kedalaman Tartarus: Polyphemus duduk
dalam kebutaan di guanya, Pahlawan Muda, mengira dia telah memenangi sebuah
pertarungan besar. Apa kau sama tertipunya" Tawa dingin sang Titan memenuhi
kegelapan. Kemudian mimpiku berubah. Aku mengikuti Tyson ke dasar laut,
memasuki istana Poseidon. Aulanya bersinar terang dengan cahaya biru,
lantainya dilapisi butir-butir mutiara. Dan di sana, di singgasana batu karang,
duduk ayahku, berpakaian seperti seorang nelayan sederhana dengan celana
pendek khaki dan kaus yang memutih oleh sinar matahari. Aku memandangi ke
wajah dengan kulit tergerus sinar mentari, mata hijau dalamnya, dan dia
mengucapkan dua kata: Persiapkan dirimu.
Aku tersentak bangun. Ada ketukan keras di pintu. Grover berderap masuk tanpa permisi.
"Percy!" dia tergagap. "Annabeth " di bukit " dia " "
Pandangan matanya memberitahuku bahwa ada sesuatu yang buruk
terjadi. Annabeth bertugas jaga di perbatasan malam itu, melindungi Bulu
Domba. Kalau sesuatu terjadi"
Aku menyibak selimutku, darahku mengalir seperti air pembuluhku. Aku mengenakan pakaian sementara Grover berusaha membuat
satu kalimat penuh, tapi dia terlalu kaget, terlalu kehabisan napas. "Dia
berbaring di sana " berbaring begitu saja di sana " "
Aku berlari ke luar dan berpacu melewati halaman tengah, Grover tepat
di belakangku. Fajar baru menyingsing, tapi seluruh kemah tampak gempar.
Kabar menyebar. Sesuatu yang besar tengah terjadi. Beberapa pekemah sudah
berjalan menuju bukit, para satir dan peri dan pahlawan dalam kumpulan aneh
baju zirah campur piama. Aku mendengar langkah kaki kuda, dan Chiron berderap di belakang
kami, tampak muram. "Apakah benar?" tanyanya pada Grover.
Grover hanya bisa mengangguk, raut wajahnya bingung.
Aku mencoba bertanya apa yang terjadi, tapi Chiron menarik lenganku
dan dengan ringannya mengangkatku ke punggungnya. Bersama kami melesat
menuju Bukit Blasteran, di mana kerumunan kecil mulai berkumpul.
Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku mengira akan melihat Bulu Domba itu raib dari pohon pinus, tapi
ternyata ia masih menggantung di sana, berkelip diterpa sinar awal fajar. Badai
telah reda dan langit berwarna merah darah.
"Terkutuklah Raja Titan," ujar Chiron. "Dia mengerjai kita lagi,
memberinya kesempatan lagi untuk mengendalikan ramalan itu."
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Bulu Domba itu," katanya. "Khasiat Bulu Domba itu terlalu ampuh."
Kami melaju ke depan, semua orang menyingkir dari jalur. Di dasar
pohon sana, seorang gadis terbaring tak sadarkan diri. Seorang gadis lain
dengan baju zirah Yunani berlutut di sebelahnya.
Darah menderu di telingaku. Aku tak bisa berpikir jernih. Apa Annabeth
habis diserang" Tapi kenapa Bulu Domba itu masih menggantung di sana"
Pohon itu sendiri tampak baik-baik saja, tegap dan sehat, terpenuhi
dengan saripati Bulu Domba.
"Ia telah menyembuhkan pohon itu," kata Chiron, suaranya terdengar
goyah. "Dan racun bukan satu-satunya yang ia pulihkan."
Kemudian kusadari Annabeth bukanlah gadis yang terbaring di tanah.
Annabeth adalah gadis berbaju zirah, berlutut di sebelah seorang gadis lain yang
tak sadarkan diri. Saat Annabeth melihat kami, dia berlari menuju Chiron. "Dia
" dia " tiba-tiba saja ada di sana " "
Matanya banjir oleh air mata, tapi aku masih tak mengerti. Aku terlalu
kaget untuk memikirkan kejadian ini dengan jernih. Aku melompat turun dari
punggung Chiron dan berlari menuju gadis tak sadarkan diri. Chiron berseru:
"Percy, tunggu!"
Aku berlutut di sisinya. Dia memiliki rambut hitam pendek dan bintikbintik di sekitar hidungnya. Tubuhnya bagai pelari jarak jauh, tampak lentur dan
kokoh, dan dia mengenakan pakaian bergaya antara punk dan Gothic"kaus
hitam, jins sobek-sobek warna hitam, dan jaket kulit dengan kancing-kancing
dari kumpulan band yang tak pernah kudengar namanya.
Dia bukan pekemah. Aku tak mengenalinya sebagai salah satu penghuni
kabin. Dan anehnya aku memiliki firasat bahwa aku pernah melihat dirinya
sebelumnya " "Ternyata benar," kata Grover, terengah-engah setelah berlari sepanjang
bukit. "Aku nggak percaya " "
Tak ada orang lain yang mendekati gadis itu.
Aku menaruh tanganku di keningnya. Kulitnya dingin, namun ujung
jariku terasa tersengat seperti terbakar.
"Dia membutuhkan nektar dan ambrosia," kataku. Gadis itu jelas anak
blasteran, baik dia itu pekemah atau bukan. Aku bisa merasakannya hanya dari
sekali menyentuhnya. Aku tak mengerti mengapa semua orang bertingkah
begitu ketakutan. Aku merengkuh bahunya dan mengangkatnya ke posisi duduk,
menyandarkan kepalanya ke bahuku.
"Ayo dong!" teriakku pada yang lain. "Ada apa sih dengan kalian semua"
Ayo kita bawa dia ke Rumah Besar."
Tak ada yang bergerak, tidak pula Chiron. Mereka semua begitu terkejut.
Kemudian gadis itu menghela napas dengan bergetar. Dia terbatuk dan
membuka matanya. Selaput bola matanya berwarna biru aneh"biru yang sangat terang.
Gadis itu menatapku kebingungan, gemetar dan membelalakkan mata.
"Siapa?" "Aku Percy," kataku. "Kau aman sekarang."
"Mimpi teraneh " "
"Tak apa-apa." "Hampir mati." "Tidak," kataku menenangkan. "Kau baik-baik saja. Siapa namamu?"
Saat itulah aku tahu. Bahkan sebelum dia menyebutkannya.
Mata biru gadis itu menatapku tajam, dan kini aku paham akan maksud
dari misi Bulu Domba ini. Racun pada pohon itu. Semuanya. Kronos
melakukannya untuk menambahkan pelakon baru ke permainan ini"satu
kesempatan lagi untuk mengendalikan ramalan.
Bahkan Chiron, Annabeth, dan Grover, yang mestinya merayakan momen
ini, tampak begitu terguncang, memikirkan akan kemungkinan arti ini di masa
depan. Dan aku sedang merangkul seseorang yang telah ditakdirkan untuk
menjadi sahabat terbaikku, atau mungkin musuh terbesarku.
"Aku Thalia," ucap gadis itu. "Putri Zeus."
SELESAI Buku adalah Jendela Ilmu Please respect the author"s
copyright and purchase a legal copy of
this book www.AnesUlarNaga.com Raja Silat 14 Untukmu Aku Ada Karya Awangga Setiawan Ledakan Dendam 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama