Ceritasilat Novel Online

Lautan Monster 3

Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan Bagian 3


sendiri bisa membacanya, tertulis:
DONAT MONSTER Ada gambar kartun sesosok ogre sedang melahap huruf O pada kata
MONSTER. Tempat itu berbau enak, seperti donat-donat cokelat yang baru
dipanggang. "Tempat ini mestinya nggak ada di sini," bisik Annabeth. "Ini salah."
"Apanya?" tanyaku. "Itu kan toko donat."
"Sttt!" "Kenapa sih kita berbisik" Tyson sudah masuk ke dalam dan beli selusin.
Nggak ada apa pun yang terjadi padanya."
"Dia kan monster."
"Oh, ayolah, Annabeth. Donat Monster bukan berarti monster beneran!
Itu cuma merek dagang. Kita juga punya merek seperti itu di New York."
"Merek dagang," Annabeth menyetujui. "Dan apa menurutmu nggak
aneh satu toko muncul tiba-tiba setelah kau menyuruh Tyson untuk mencari
donat" Tepat di sini di tengah-tengah hutan?"
Aku memikirkannya sejenak. Memang sih rasanya sedikit aneh, tapi,
maksudku, toko-toko donat tak termasuk dalam daftarku akan kekuatan jahat.
"Itu bisa jadi sarang," Annabeth menyimpulkan.
Tyson meringis. Aku ragu jika dia lebih mengerti dari aku akan apa yang
dikatakan Annabeth, tapi nada bicara Annabeth membuatnya gugup. Dia sudah
melahap habis setengah lusin donat dari kotaknya dan serbuk gula memenuhi
wajahnya. "Sarang buat apa?" tanyaku.
"Tak pernahkah kau berpikir bagaimana toko-toko waralaba berkembang
begitu pesat?" tanyanya. "Satu hari nggak ada apa-apa dan kemudian hari
berikutnya"bum, muncul kedai burger baru atau warung kopi atau
semacamnya" Pertama-tama muncul satu toko, kemudian dua, kemudian empat
"replika sama persis menyebar ke sepelosok negeri?"
"Em, nggak tuh. Nggak pernah mikir ke situ."
"Percy, sebagian dari cabang toko berlipat ganda begitu cepat karena
semua lokasinya terkait secara ajaib dengan sumber kehidupan dari seorang
monster. Beberapa anak Hermes menemukan cara bagaimana untuk melakukannya pada tahun 1950-an silam. Mereka membiakkan?"
Annabeth mematung. "Apa?" desakku. "Mereka membiakkan apa?"
"Jangan"banyak"bergerak,"
ujar Annabeth, seolah nyawanya bergantung pada itu. "Perlahan-lahan, berbalik badanlah."
Kemudian aku mendengarnya: suara gesekan, seolah sesuatu yang besar
sedang menyeret perutnya melewati dedaunan.
Aku berbalik dan melihat benda seukuran badak bergerak di bawah
naungan pepohonan. Makhluk itu mendesis, separuh tubuh depannya
menggeliat ke berbagai arah berbeda. Awalnya aku tak mengerti apa yang
sedang kulihat. Kemudian kusadari makhluk itu memiliki beberapa leher"
setidaknya tujuh, masing-masing leher memiliki kepala reptil yang mendesis.
Kulitnya bersisik, dan di bawah tiap lehernya ia mengenakan alas dada plastik
bertulisan: AKU ANAK DONAT MONSTER !
Aku menarik penaku, tapi Annabeth menatapku tajam"isyarat peringatan. Jangan dulu. Aku mengerti. Banyak monster yang memiliki penglihatan buruk. Bisa
jadi Hydra itu akan melewati kami begitu saja. Tapi kalau aku membuka tutup
pedangku saat ini juga, sinar perunggunya pasti akan menangkap perhatiannya.
Kami menunggu. Hydra itu hanya berjarak beberapa meter di depan. Ia sepertinya sedang
mengendus tanah dan pohon-pohon seolah sedang memburu sesuatu.
Kemudian aku menyadari dua kepalanya menyobek-nyobek secarik kanvas
kuning"salah satu tas ransel kami. Makhluk ini telah memasuki tempat kemah
kami. Ia mengikuti bau kami.
Jantungku berdebar. Aku pernah melihat batok kepala Hydra sebagai
trofi di perkemahan sebelumnya, tapi hal itu sama sekali tak membuatku siap
saat bertemu dengan makhluk aslinya. Tiap kepala berbentuk wajik, seperti ular
derik, tapi mulutnya dipenuhi barisan gigi yang tak rata serupa hiu.
Tyson gemetar. Dia mundur dan secara tak sengaja mematahkan satu
dahan ranting. Sontak, ketujuh kepala itu berpaling memandangi kami dan
mendesis. "Kabur!" pekik Annabeth. Dia merunduk ke kanan.
Aku berguling ke kiri. Salah satu dari kepala Hydra itu meludahkan
lengkungan cairan hijau yang melesat melewati bahuku dan muncrat ke pohon
elm. Batang pohon itu berasap dan mulai hancur. Seluruh pohon itu tumbang ke
arah Tyson, yang masih mematung, ketakutan oleh sang monster yang kini
berada tepat di depannya.
"Tyson!" aku menangkapnya dengan segenap kekuatanku, mendorongnya jatuh ke samping tepat saat sang Hydra menerkam dan pohon
itu membentur ke atas dua dari kepala-kepalanya.
Hydra itu terhuyung ke belakang, membebaskan kedua kepalanya yang
terjepit pohon, kemudian meraung marah pada pohon yang tumbang. Ketujuh
kepalanya menyemburkan asam, dan pohon elm itu mencair jadi kolam limbah
beruap. "Pergi!" seruku pada Tyson. Aku berlari ke satu sisi dan membuka tutup
Riptide, berharap menarik perhatian sang monster.
Berhasil. Pandangan perunggu langit sangat dibenci kebanyakan monster. Begitu
bilah pedang berkilatku tampak, Hydra itu menerjang ke arah pedangku dengan
semua kepalanya, sembari mendesis dan memamerkan giginya.
Berita baiknya: Tyson untuk sementara waktu terlepas dari bahaya. Berita
buruknya: Aku nyaris dilumerkan dalam genangan lengket.
Salah satu dari kepala itu mencoba menggigitku. Tanpa berpikir, aku
mengayunkan pedangku. "Jangan!" teriak Annabeth.
Terlambat. Aku menebas habis kepala sang Hydra. Kepala itu
menggelinding ke rerumputan, menyisakan puntung berkelepak, yang seketika
itu juga berhenti mengalami pendarahan dan mulai mengembang seperti balon.
Dalam hitungan detik leher yang terluka itu membelah jadi dua leher,
masing-masing menumbuhkan kepala ukuran penuh. Sekarang aku menatap
pada Hydra berkepala delapan.
"Percy!" bentak Annabeth. "Kau baru saja membuka toko Donat Monster
lagi di suatu tempat!"
Aku membungkuk menghindari semburan asam. "Aku mau mampus dan
kau malah mengkhawatirkan tentang itu" Bagaimana cara kita membunuhnya?"
"Api!" kata Annabeth. "Kita harus punya api!"
Begitu dia mengatakannya, aku teringat akan kisahnya. Kepala-kepala
Hydra hanya akan berhenti tumbuh kalau kita membakar ujung yang terpotong
itu sebelum tumbuh kembali. Itulah yang setidaknya dilakukan Heracles. Tapi
kami tak punya api. Aku mundur ke sungai. Sang Hydra mengikuti.
Annabeth bergerak ke sisi kiriku dan berusaha mengalihkan perhatian
salah satu kepala, menangkis giginya dengan belatinya, tapi kepala lain
mengayun ke samping seperti gada dan membenturkan Annabeth ke genangan
limbah. "Jangan memukul teman-temanku!" Tyson menerjang, menempatkan
dirinya di antara Hydra dan Annabeth. Saat Annabeth bangkit berdiri, Tyson
mulai memukuli kepala-kepala monster itu dengan tinjunya, begitu cepatnya
hingga mengingatkanku pada game "pukul tikusnya" di wahana bermain. Tapi
bahkan Tyson pun tak akan sanggup menangkis serangan Hydra terus-terusan.
Kami terus mundur setapak-setapak, mengelak dari semburan asam dan
menangkis kepala-kepala yang hendak menggigit tanpa menebasnya, tapi aku
tahu kami hanya menunda kematian. Toh pada akhirnya, kami akan membuat
suatu kesalahan dan makhluk itu akan membunuh kami.
Kemudian aku mendengar suara aneh"bunyi deru mesin kapal yang
awalnya kukira suara debar jantungku. Begitu kuatnya suara itu sampai-sampai
tepi sungai pun bergetar.
"Suara apa tuh?" teriak Annabeth, sambil tetap memakukan matanya
pada sang Hydra. "Mesin uap," kata Tyson.
"Apa?" aku membungkuk saat sang Hydra memuntahkan asam ke atas
kepalaku. Kemudian dari sungai di belakang kami, suara gadis yang familier
berteriak: "Di sana! Persiapkan bola meriam enam belas kilo!"
Aku tak berani mengalihkan pandanganku dari sang Hydra, tapi kalau
benar dugaanku akan siapa yang berada di belakang kami, kurasa kami
sekarang memiliki dua musuh di dua medan.
Suara serak seorang pria terdengar, "Mereka terlalu dekat, Nona!"
"Peduli amat dengan pahlawannya!" seru si gadis. "Ayo maju dengan
kecepatan penuh!" "Baiklah, Nona."
"Siapkan tembakan, Kapten!"
Annabeth memahami apa yang sedang terjadi setengah detik sebelum
aku sendiri. Dia berteriak, "Tiarap!" dan kami menjatuhkan diri ke atas tanah
saat suara BUM yang mengguncang bumi bergema dari arah sungai. Ada kilatan
cahaya, gumpalan asap, dan sang Hydra meledak di depan muka kami,
menciprati kami dengan lendir hijau menjijikkan yang menguap begitu ia
menimpa kami, seperti jeroan monster pada umumnya.
"Menjijikkan!" jerit Annabeth.
"Kapal uap!" pekik Tyson.
Aku berdiri, terbatuk dari gumpalan asap bubuk mesiu yang kini
menyelubungi tepi sungai.
Bergerak menuju kami melintasi sungai, adalah kapal teraneh yang
pernah kulihat. Kapal itu berlayar dengan rendah di air seperti kapal selam,
geladaknya berlapis besi. Di tengah-tengahnya ada kompartemen mesin artileri
berbentuk trapesium dengan bukaan pada dua sisi untuk meriam. Sebuah
bendera berkibar dari puncak"babi hutan dan tombak di lapangan merahdarah. Berjajar di geladak adalah para zombie berseragam abu-abu"tentara
mati dengan wajah-wajah mengilat yang hanya menutupi sebagian tengkorak
muka mereka, seperti para siluman yang pernah kulihat di Dunia Bawah
menjaga istana Hades. Kapal itu adalah kapal perang dari abad ke-19. Kapal tempur dari masa
Perang Saudara Amerika. Aku baru sempat mengartikan nama yang tertulis di
muka kapal yang huruf-hurufnya sudah tertutupi lumut: CSS Birmingham.
Dan berdiri di sisi meriam yang mengepulkan asap, yang nyaris menewaskan
kami, dengan mengenakan baju zirah tempur lengkap Yunani, adalah Clarisse.
"Orang-orang payah," dia menyeringai. menyelamatkan kalian. Ayo naik."
"Tapi kurasa aku terpaksa 11 C l a r i s se M e l e d a k k a n Se g a l a n y a
"Kalian benar-benar dalam masalah besar," kata Clarisse.
Kami baru saja menyelesaikan tur kapal yang tidak kami inginkan,
melewati kamar-kamar gelap disesaki dengan pelaut-pelaut yang sudah mati.
Kami sudah melihat bunker batu bara, ketel uap dan mesin, yang menggeram
dan meraung seolah-olah akan meledak tak lama lagi. Kami telah melihat ruang
kemudi kapal dan gudang mesiu dan geladak persenjataan (tempat favorit
Clarisse) dengan dua meriam laras halus Dhalgren di sisi kiri-kanan dan
senapan sembilan-inci (dua puluh tiga sentimeter) Brooke di sisi depan-belakang
"semuanya khusus disetel untuk menembakkan bola meriam berbahan
perunggu langit. Ke mana pun kami pergi, para arwah pelaut anggota Konfederasi
menatap kami, wajah-wajah hantu berjanggut mereka berkilatan di luar
tengkorak mereka. Mereka menyenangi Annabeth karena dia memberi tahu
mereka bahwa dia berasal dari Virginia. Mereka tertarik padaku juga, karena
namaku Jackson"seperti nama seorang jenderal dari Selatan"tapi kemudian
aku merusaknya dengan memberi tahu mereka bahwa aku berasal dari New
York. Mereka semua mencibir dan menggumamkan kutukan tentang para
Yankee, orang-orang Utara Amerika.
Tyson ketakutan pada mereka. Sepanjang tur berlangsung, dia mendesak
Annabeth untuk menggenggam tangannya, yang sepertinya tak dilakukan
Annabeth dengan antusias.
Akhirnya, kami diajak makan malam. Kamar kapten kapal CSS
Birmingham seukuran lemari yang bisa dimasuki, tapi masih tetap lebih besar
dari kamar mana pun di kapal. Meja ditata dengan linen putih dan
perlengkapan makan dari keramik Cina. Selai kacang dan roti isi jelly, keripik
kentang, dan minuman bersoda Dr Pepper disuguhkan oleh anggota kru
berbadan kerangka. Aku tak ingin makan apa pun yang disuguhi para hantu,
tapi rasa lapar mengalahkan rasa takutku.
"Tantalus mendepakmu untuk selamanya," Clarisse memberi tahu kami
puas. "Pak D bilang kalau satu pun dari kalian berani menampakkan muka di
kemah lagi, dia akan mengubah kalian jadi tupai dan melindas kalian dengan
mobil SUV-nya." "Apa mereka yang memberimu kapal ini?" tanyaku.
"Jelas bukan. Ayahku yang memberinya."
"Ares?" Clarisse menyeringai. "Apa kau pikir hanya ayahmu satu-satunya yang
memiliki kekuasaan laut" Para arwah di pihak yang kalah di tiap peperangan
berutang seserahan pada Ares. Itu kutukan mereka karena dikalahkan. Aku
memanjatkan permohonan pada ayahku untuk kendaraan laut dan inilah ia.
Orang-orang ini akan melakukan apa pun yang kuperintahkan pada mereka.
Bukan begitu, Kapten?"
Sang kapten yang berdiri di belakangnya tampak kaku dan marah. Mata
hijaunya yang bersinar menatap tajam diriku dengan tatapan lapar. "Jika itu
artinya akhir dari perang sialan ini, Nona, damai pada akhirnya, kami akan
melakukan apa pun. Menghancurkan siapa pun."
Clarisse tersenyum. "Menghancurkan siapa pun. Aku suka itu."
Tyson menelan ludah. "Clarisse," kata Annabeth, "Luke sepertinya mengejar Bulu Domba itu,
juga. Kami bertemu dengannya. Dia memiliki angka-angka koordinatnya dan
dia mengarah ke selatan. Dia memiliki kapal pesiar penuh dengan monster?"
"Bagus! Aku akan meledakkannya dari air."
"Kau tak mengerti," kata Annabeth. "Kita harus menyatukan kekuatan.
Biarkan kami membantumu?"
"Tidak!" Clarisse menggebrak meja. "Ini misi-ku, cewek pandai! Akhirnya
aku bisa jadi pahlawan, dan kalian berdua nggak akan merebut kesempatanku."
"Di mana teman-teman kabinmu?" tanyaku. "Kau diperbolehkan
membawa serta dua temanmu, bukan?"


Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka nggak " Aku biarkan mereka tetap tinggal. Untuk melindungi
perkemahan." "Maksudmu bahkan orang-orang di kabinmu sendiri nggak mau
menolongmu?" "Tutup mulutmu, Bocah Manis! Aku nggak butuh mereka! Ataupun
kalian!" "Clarisse," kataku, "Tantalus memanfaatkanmu. Dia nggak peduli pada
perkemahan. Dia senang melihat perkemahan hancur. Dia menyiapkanmu
untuk gagal." "Tidak! Aku nggak peduli dengan apa yang sang Oracle?" Dia
menghentikan dirinya sendiri.
"Apa?" kataku. "Apa yang dikatakan sang Oracle padamu?"
"Bukan apa-apa." Telinga Clarisse berubah jadi merah jambu. "Yang perlu
kauketahui hanyalah bahwa aku akan mengakhiri misi ini dan kau nggak boleh
membantu. Di sisi lain, aku nggak bisa membiarkanmu pergi " "
"Jadi kita ini tahanan?" tanya Annabeth.
"Tamu. Untuk sekarang ini." Clarisse menopang kakinya ke atas taplak
meja linen warna putih dan membuka satu kaleng Dr Pepper lagi. "Kapten,
bawa mereka ke bawah. Berikan tempat tidur gantung di geladak tidur. Kalau
mereka nggak menjaga sopan santun, tunjukkan pada mereka bagaimana kita
menangani mata-mata musuh."
Mimpi itu datang begitu aku jatuh tertidur.
Grover sedang duduk di perkakas tenunnya, melepas jahitan ekor
gaunnya dengan putus asa, saat pintu bongkah batu itu bergeser membuka dan
sang Cyclops berseru, "Aha!"
Grover memekik. "Sayang! Aku nggak"kau begitu tak terdengar!"
"Melepas jahitan!" raung Polyphemus. "Jadi itu masalahnya!"
"Ayo!" Polyphemus merenggut Grover di seputar pinggangnya dan
setengah mengangkut, setengah menyeretnya melewati lorong gua. Grover
berjuang untuk menjaga sepatu hak tingginya tetap terpasang pada kaki
kambingnya. Tudungnya merosot dari kepalanya, hampir copot.
Sang Cyclops menariknya memasuki gua seukuran gudang penuh
dekorasi rongsokan domba. Ada kursi sandar La-Z-Boy beralas bulu domba dan
satu set televisi berbulu domba, rak buku sederhana yang dipenuhi barangbarang koleksi serbadomba"cangkir kopi berbentuk muka domba, pajangan
domba berbahan plaster, papan permainan domba, dan buku-buku bergambar
dan mainan action figure. Lantai dipenuhi dengan tumpukan tulang-belulang
domba, dan tulang-belulang lain yang kelihatannya tak berasal dari domba"
tulang-belulang para satir yang pernah mendatangi pulau untuk mencari Pan.
Polyphemus menurunkan Grover hanya untuk menggeser bongkahan
besar batu lainnya. Sinar matahari memasuki gua, dan Grover meringis penuh
kerinduan. Udara segar! Sang Cyclops menyeretnya keluar, ke puncak bukit dengan pemandangan
pulau terindah yang pernah kulihat.
Pulau itu tampak bagai pelana yang dibelah jadi dua oleh kapak. Ada
bukit hijau subur di kedua sisi dan lembah luas di tengah-tengah, dipisahkan
oleh jurang dalam yang disatukan oleh rentangan jembatan tali. Sungai-sungai
kecil nan cantik berkelok-kelok hingga ke ujung ngarai dan menukik pada air
terjun berwarna-pelangi. Burung-burung nuri beterbangan sela-sela pepohonan. Bunga-bunga merah jambu dan ungu bersemi di semak-semak.
Ratusan domba merumput di padang gembalaan, bulu mereka berkilat aneh
seperti koin tembaga bercampur perak.
Dan di tengah-tengah pulau, tepat di sisi jembatan tali, ada pohon ek
raksasa yang meliuk dengan sebuah benda bersinar cemerlang di dahan
terbawahnya. Bulu Domba Emas. Bahkan dalam mimpiku, aku bisa merasakan kekuatannya terpancar ke
sepenjuru pulau, membuat rumputnya menghijau, bunga-bunganya bersemi
lebih indah. Aku hampir bisa menghirup bau sihir alamnya bekerja. Tak bisa
kubayangkan bagaimana kuatnya bau itu bagi seorang satir.
Grover meringis sedih. "Ya," Polyphemus berucap bangga. "Lihat di sana itu" Bulu Domba Emas
adalah barang paling berharga dari seluruh koleksiku! Curi dari para pahlawan
sudah lama sekali, dan sejak saat itu"makanan gratis! Para satir datang dari
seluruh dunia, seperti ngengat mendekati api. Satir makanan enak! Dan
sekarang?" Polyphemus mengangkat sebuah gunting besar perunggu.
Grover memekik tertahan, tapi Polyphemus hanya mengambil domba
terdekat seolah ia hanyalah boneka binatang dan mencukuri bulunya. Dia
menyerahkan segumpal bulu itu ke Grover.
"Taruh itu di roda tenunmu!" ujarnya bangga. "Sihir. Nggak bisa
diuraikan." "Oh " yah " "
"Manisku yang malang!" Polyphemus menyeringai. "Penenun buruk. Haha! Jangan cemas. Benang itu akan menyelesaikan masalah. Ekor gaun selesai
besok!" "Betapa " perhatiannya dirimu!"
"Hehe." "Tapi"tapi, sayang," Grover menelan ludah, "bagaimana kalau ada
seseorang datang menyelamatkan"maksudku menyerang pulau ini?" Grover
memandangiku lekat-lekat, dan aku tahu dia meminta pertolonganku. "Apa
yang bisa mencegah mereka dari berjalan memasuki guamu ini?"
"Rasa takut istri! Manis sekali! Jangan khawatir. Polyphemus punya
sistem keamanan canggih. Harus melalui hewan-hewan peliharaanku."
"Hewan-hewan peliharaan?"
Grover menebarkan pandangan ke sepenjuru pulau, tapi tak ada yang
bisa dilihat kecuali domba merumput dengan damai di padang rumput.
"Dan kemudian," geram Polyphemus, "mereka harus melewati aku
dulu!" Dia memukuli tinjunya ke batu terdekat, yang langsung retak dan
terbelah dua. "Sekarang, ayo!" teriaknya. "Kembali ke gua."
Grover tampak mau menangis"begitu dekat dengan kebebasan, tapi
begitu jauh dari raihan. Air mata menggenangi matanya saat pintu batu itu
menggeser menutup, mengunci kembali dirinya dalam gua Cyclops yang
lembap, dingin, bau, dan hanya diterangi cahaya obor.
Aku terbangun oleh dering bel alarm yang terdengar sepenjuru kapal.
Suara serak sang kapten: "Semua ke geladak kapal! Cari Nona Clarisse!
Di mana gadis itu?" Kemudian wajah hantunya muncul di atasku. "Bangun, Yankee. Temantemanmu sudah berada di atas semua. Kita sedang mendekati jalur masuk."
"Jalur masuk ke mana?"
Dia memberiku senyum tengkoraknya. "Laut Para Monster, tentu saja."
Aku memasukkan beberapa barang milikku yang terselamatkan dari serangan
Hydra ke dalam tas ransel kanvas pelaut dan menyampirnya ke bahuku. Aku
punya firasat bahwa aku tak akan menghabiskan malam di atas kapal CSS
Birmingham lagi. Aku sedang berjalan ke atas ketika sesuatu membuatku mematung.
Kehadiran suatu sosok dekatku"sesuatu yang familier dan tak menyenangkan. Tanpa suatu alasan, aku merasa terdorong untuk bertengkar.
Aku ingin meninju seorang anggota Konfederasi yang sudah mati. Terakhir
kalinya aku merasakan amarah seperti itu "
Bukannya melanjutkan naik, aku merayap ke kisi ventilasi dan mengintip
ke bawah ke dalam geladak ketel uap.
Clarisse berdiri tepat bawahku, berbicara dengan bayangan bergelombang di gumpalan uap yang menguar dari ketel"sosok pria kekar
dengan pakaian kulit hitam khas pengendara motor, dengan potongan rambut
gaya militer, kacamata merah, dan sebuah belati terikat di sisi badannya.
Tanganku mengepal. Dia adalah dewa Olympus yang paling tak kusukai:
Ares, Dewa Perang. "Aku tak mau mendengar alasan apa pun, Gadis Kecil!" geramnya.
"B-baik, Ayah," gumam Clarisse.
"Kau tak ingin melihatku mengamuk, kan?"
"Tidak, Ayah." "Tidak, Ayah," Ares meniru. "Kau sungguh menyedihkan. Seharusnya aku
menyuruh salah satu dari anak laki-lakiku untuk melakukan misi ini."
"Aku akan berhasil!" janji Clarisse, suaranya bergetar. "Aku akan
membuat Ayah bangga."
"Sebaiknya begitu," ancamnya. "Kau yang memintaku misi ini, Nak.
Kalau kau biarkan Jackson, si anak berengsek itu, mencurinya darimu?"
"Tapi sang Oracle bilang?"
"AKU TAK PEDULI DENGAN APA YANG DIKATAKANNYA!" Ares
berteriak kencang sampai-sampai bayangannya bergetar. "Kau akan berhasil.
Dan kalau sampai tidak " "
Dia mengacungkan tinjunya. Meskipun dia hanya bayangan dalam uap,
Clarisse berjengit. "Apa kita sudah saling mengerti?" geram Ares.
Bel alarm berbunyi lagi. Aku mendengar suara-suara menghampiriku,
para petugas meneriakkan perintah untuk menyiapkan meriam.
Aku merayap balik dari kisi ventilasi dan berjalan ke atas untuk
bergabung dengan Annabeth dan Tyson di geladak tiang kapal.
"Ada masalah apa?" Annabeth bertanya padaku. "Mimpi lagi?"
Aku mengangguk, tapi aku tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku tak
tahu mesti berpikir apa atas apa yang baru kulihat di lantai bawah. Hal itu
mengusikku hampir sama seperti mimpiku tentang Grover.
Clarisse tiba di lantai atas tepat di belakangku. Aku berusaha untuk tidak
menatapnya. Dia meraih teropong dari seorang petugas zombie dan mengintip ke
cakrawala. "Akhirnya. Kapten, maju dengan kekuatan penuh!"
Aku memandang ke arah yang sama dengan dirinya, tapi aku tak bisa
melihat banyak. Langit mendung. Udara berkabut dan lembap, seperti uap yang
mengepul dari seterika. Kalau aku memicingkan mata kuat-kuat, aku hanya bisa
mendapatkan dua bercak gelap yang kabur di kejauhan.
Naluri kelautanku memberitahuku bahwa kami berada di suatu tempat di
lepas pesisir utara Florida, jadi kami menempuh perjalanan sangat jauh dalam
tempo semalam, lebih jauh dari yang bisa dijangkau oleh kapal manusia mana
pun. Mesin menggerung saat kita meningkatkan laju kapal.
Tyson bergumam dengan gugup, "Terlalu banyak beban pada pistonnya.
Tidak dibuat untuk air dalam."
Aku tak yakin bagaimana dia bisa tahu itu, tapi ucapannya membuatku
tegang. Setelah beberapa menit, bercak gelap di depan kami mulai terlihat. Di
utara, kumpulan besar batu menjulang di atas hamparan laut"sebuah pulau
dengan tebing-tebing setidaknya setinggi tiga puluh meter. Sekitar satu
kilometer arah selatan darinya, petak kegelapan lain itu adalah badai yang
menggumpal. Langit dan laut mendidih bersamaan dalam gemuruh besar.
"Angin topan?" tanya Annabeth.
"Bukan," ujar Clarisse. "Charybdis."
Annabeth memucat. "Apa kau gila?"
"Satu-satunya jalan menuju Laut Para Monster. Tepat lurus di antara
Charybdis dengan saudarinya Skylla." Clarisse menunjuk ke arah puncak
tebing, dan aku mendapat firasat ada sesuatu berdiam di sana yang tak pernah
ingin kutemui. "Apa maksudmu dengan satu-satunya jalan?" tanyaku. "Lautan kan luas
membentang! Berlayar saja di sekitarnya."
Clarisse memutar matanya. "Kau ini nggak tahu apa-apa, ya" Kalau aku
mencoba berlayar mengitarinya, pulau itu akan muncul di jalurku lagi. Kalau
kau mau memasuki Laut Para Monster, kau harus berlayar tepat melintasinya."
"Bagaimana dengan Batu-Batu Berdentum?" kata Annabeth. "Itu kan
jalur masuk lain. Jason pernah menggunakannya."
"Aku nggak mungkin bisa meledakkan batu-batu dengan meriamku,"
kata Clarisse. "Sebaliknya, monster-monster " "
"Kau memang gila," putus Annabeth.
"Lihat dan perhatikanlah, Gadis Bijak." Clarisse beralih pada kapten.
"Putar haluan ke arah Charybdis!"
"Baik, Nona." Mesin meraung, lapis luar besi berderak-derak, dan kapal mulai melaju
kencang. "Clarisse," kataku, "Charybdis kan mengisap laut. Bukan begitu
kisahnya?" "Dan memuntahkannya keluar kembali, benar."
"Bagaimana dengan Skylla?"
"Ia hidup di gua, di atas tebing itu. Kalau kita bergerak terlalu dekat,
kepala-kepala ularnya akan turun mengejar dan mulai merenggut para pelaut
dari dalam kapal." "Pilih Skylla saja kalau begitu," seruku. "Semua orang sembunyi ke
bawah geladak dan kita terus melaju."
"Tidak!" desak Clarisse. "Kalau Skylla nggak bisa mendapatkan daging
dengan mudah, ia mungkin akan merenggut seisi kapal. Lagi pula, posisinya
terlalu tinggi untuk dijadikan target yang baik. Meriam-meriamku nggak bisa
menembak ke atas sana. Charybdis cuma duduk di sana di pusat pusaran
anginnya. Kita akan melaju tepat menujunya, mengarahkan senjata kita
padanya, dan menembaknya hingga ke Tartarus!"
Dia menerangkan itu dengan nada riang sampai-sampai aku ingin sekali
memercayainya. Mesin menderum. Ketel uap begitu memanas sampai-sampai aku bisa
merasakan lantai geladak menghangat di bawah kakiku. Cerobong ketel uap
mengepul-ngepulkan asap. Bendera merah Ares melambai-lambai diterpa angin.
Saat kami makin mendekati monster-monster itu, suara Charybdis
terdengar semakin keras"raungan basah mengerikan seolah-olah toilet terbesar
di galaksi lagi disiram. Setiap kalinya Charybdis menghela napas, kapal
berguncang dan bergerak ke depan. Setiap kali ia mengembuskan napas, kami
menanjaki air dan terhempas oleh ombak setinggi tiga meter.
Aku berusaha menghitung waktu pusaran angin. Menurut hitunganku,
dibutuhkan waktu tiga menit buat Charybdis untuk mengisap dan menghancurkan segalanya dalam radius satu kilometer. Untuk menghindarinya,
kami terpaksa harus menyusur sisi kanan tebing Skylla. Dan betapa pun
buruknya Skylla itu, saat ini tebing-tebing itu kelihatan jauh lebih menarik
buatku. Para pelaut siluman dengan santainya mengerjakan urusan mereka di
geladak tiang. Kurasa mereka sudah pernah kalah dalam pertempuran
sebelumnya, jadi hal ini tak terlalu mengusik mereka. Atau barangkali mereka
cuma tak peduli dihancurkan karena mereka toh sudah mati. Pikiran-pikiran itu
tak membantu menenangkanku sama sekali.
Annabeth berdiri di sampingku, berpegang pada jeruji kapal. "Kau masih
punya termos anginmu?"
Aku mengangguk. "Tapi terlalu bahaya untuk menggunakannya dengan


Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pusaran air seperti itu. Lebih banyak angin malah bisa memperburuk keadaan?"
"Bagaimana dengan mengendalikan air?" tanyanya. "Kau anak Poseidon.
Kau sudah pernah melakukannya."
Dia benar. Aku memejamkan mata dan berusaha untuk menenangkan
lautan, tapi aku tak sanggup berkonsentrasi. Charybdis terlalu bising dan kuat.
Ombak laut tak bereaksi. "Aku"aku nggak bisa," kataku sedih.
"Kita perlu rencana cadangan," kata Annabeth. "Ini nggak akan berhasil."
"Annabeth benar," kata Tyson. "Mesin nggak berguna."
"Apa maksudmu?" tanya Annabeth.
"Tekanannya. Piston harus diperbaiki."
Sebelum dia sempat menjelaskan, toilet kosmis tersiram dengan suara
gelegar besar. Kapal menerjang ke depan dan aku terlempar ke geladak. Kami
terseret dalam pusaran air.
"Balik arah!" Clarisse berteriak di tengah-tengah kegaduhan. Laut
teraduk di sekitar kami, deru ombak menerjang geladak. Lapisan besi kapal
sekarang begitu panasnya sampai-sampai beruap. "Dekatkan kapal kita dalam
jangkauan tembak! Siapkan meriam-meriam sisi kanan kapal!"
Para siluman anggota Konfederasi tergesa-gesa bolak-balik. Baling-baling
kapal menggerung untuk memutar arah, berusaha melambatkan laju kapal, tapi
kami terus-terusan tergelincir memasuki pusat pusaran.
Satu pelaut zombie menyeruak keluar dari palka dan berlari menuju
Clarisse. Seragam abu-abunya mengepulkan asap. Janggutnya terbakar. "Ruang
ketel uap kepanasan, Nona! Ia akan meledak!"
"Yah, pergilah ke bawah sana dan cepat perbaiki!"
"Tak bisa!" teriak pelaut. "Kita menguap dalam panas."
Clarisse memukul sisi kompartemen artileri. "Yang kuperlukan hanyalah
beberapa menit! Cukup untuk memasuki jangkauan tembak!"
"Kita memasuki pusaran terlalu cepat," ujar sang kapten dingin.
"Persiapkan diri untuk menyambut kematianmu."
"Tidak!" pekik Tyson. "Aku bisa membetulkannya."
Clarisse memandanginya ragu. "Kau?"
"Dia Cyclops," kata Annabeth. "Dia kebal sama api. Dan dia tahu selukbeluk mekanik."
"Ke sana cepat!" teriak Clarisse.
"Tyson, jangan!" Aku menarik lengannya. "Terlalu bahaya!"
Dia menepuk tanganku. "Satu-satunya cara, Kak." Raut wajahnya penuh
tekad"percaya diri, bahkan. Aku belum pernah melihatnya seperti itu
sebelumnya. "Aku akan memperbaikinya. Kembali dengan cepat."
Saat aku memandanginya mengikuti pelaut berasap menuruni lubang
palka, aku memiliki firasat buruk. Aku ingin berlari menyusulnya, tapi badan
kapal kembali terhempas"kemudian aku melihat Charybdis.
Makhluk itu tampak hanya berjarak sekian ratus meter dari kapal, di balik
selubung kabut dan asap dan air. Hal pertama yang kulihat adalah batu karang
"batu koral terjal warna hitam dengan pohon ara menggantung di puncak,
nuansa tenang yang aneh di tengah-tengah pusaran badai. Di seputarnya, air
berputar membentuk corong, seperti cahaya di seputar lubang hitam. Kemudian
aku melihat sesuatu yang mengerikan tertambat di karang tepat di bawah garis
tepi air"sebuah mulut raksasa dengan bibir berlendir dan gigi-gigi berlumut
seukuran perahu dayung. Dan lebih buruk lagi, gigi-gigi itu dibehel dengan
deret logam karatan menjijikkan dengan potongan ikan dan kayu apung dan
sampah mengambang menempel di sela-selanya.
Charybdis adalah mimpi buruk bagi dokter gigi. Sosoknya hanyalah
mulut hitam besar yang menganga dengan susunan gigi yang buruk dan gigi
depan supertonggos, dan selama berabad-abad ia hanya makan tanpa pernah
menyikat gigi. Selagi aku memandanginya, seluruh laut di seputarnya diisap ke
dalam kehampaan"hiu, kumpulan ikan, cumi-cumi raksasa. Dan kusadari
bahwa dalam hitungan detik, CSS Birmingham akan menjadi santapan
berikutnya. "Nona Clarisse," teriak kapten. "Senapan sisi kanan dan depan kapal
sudah bisa ditembakkan!"
"Tembak!" perintah Clarisse.
Tiga tembakan diluncurkan ke lubang mulut monster. Satu meriam hanya
membentur tepi gigi taring depannya. Satunya lagi menghilang ke dalam
kerongkongannya. Yang ketiga menabrak salah satu karet behel Charybdis dan
terlontar balik ke arah kami, menjepret bendera Ares yang menggantung di
tiang. "Sekali lagi!" Clarisse memerintahkan. Para penembak mengisi ulang bola
meriam, tapi aku tahu itu sia-sia. Kami harus memukuli monster itu ratusan kali
lagi untuk memberi kerusakan serius, dan kami tak punya cukup waktu untuk
melakukannya. Kami diisap terlalu cepat.
Kemudian getaran di geladak berubah. Deruman mesin terasa lebih kuat
dan mantap. Kapal bergoncang dan kami mulai bergerak menjauh dari mulut
itu. "Tyson berhasil!" seru Annabeth.
"Tunggu!" kata Clarisse. "Kita harus tetap berada dekat dengannya!"
"Kita akan mati!" kataku. "Kita harus menjauh."
Aku berpegang erat pada jeruji selagi kapal berjuang melawan
pengisapan. Bendera Ares yang koyak melesat melewati kami dan tersangkut di
behel Charybdis. Kami tak menghasilkan banyak kemajuan, tapi setidaknya
kami bertahan. Entah bagaimana Tyson telah memberi kami cukup bahan bakar
untuk mencegah kapal dari terisap ke dalam.
Tiba-tiba, mulut itu mengatup. Lautan menyurut dalam ketenangan
mutlak. Air menggenang Charybdis.
Kemudian, secepat ia mengatup, mulut itu pun meledak terbuka,
memuntahkan dinding air, mengeluarkan segala hal yang tak bisa dilahap,
termasuk bola meriam kami, yang salah satunya membentur sisi CSS
Birmingham dengan bunyi ding seperti bel pada permainan karnival.
Kami terpukul ke belakang dalam gelombang ombak yang setidaknya
setinggi dua belas meter. Kugunakan seluruh kekuatan tekadku untuk menjaga
kapal dari terbalik, tapi kami tetap berputar-putar tak terkendali, terhuyung
menuju tebing-tebing di sisi seberang selat.
Seorang pelaut hangus lagi keluar dari palka. Dia terhuyung menabrak
Clarisse, hampir menjatuhkan mereka berdua dari kapal. "Mesin mau meledak!"
"Di mana Tyson?" desakku.
"Masih di bawah sana," kata pelaut. "Masih menahan mesin itu dari
meledak, walau aku tak tahu untuk berapa lama lagi."
Sang kapten berseru, "Kita harus tinggalkan kapal."
"Jangan!" teriak Clarisse.
"Kita tak punya pilihan, Nona. Badan kapal sudah mulai pecah! Ia tak
akan?" Kapten itu tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Secepat kilat, sesuatu
berwarna cokelat dan hijau melesat dari langit, merenggut sang kapten, dan
menariknya ke atas. Yang tertinggal hanya sepatu bot kulitnya.
"Skylla!" seorang pelaut berteriak, saat gumpalan daging reptil sekali lagi
menjangkau dari tebing dan menariknya. Hal itu terjadi begitu cepat sampai
rasanya seperti menonton sinar laser alih-alih monster. Aku bahkan tak bisa
melihat wajah makhluk itu, hanya kilasan gigi dan sisik.
Aku membuka tutup Riptide dan mencoba mengayun ke arah sang
monster saat ia membawa seorang kelasi lain, tapi gerakku terlalu lambat
untuknya. "Semua pergi ke bawah!" teriakku.
"Nggak bisa!" Clarisse menghunus pedangnya sendiri. "Geladak bawah
terbakar." "Sekoci penolong!" seru Annabeth. "Cepat!"
"Sekoci itu nggak mungkin bisa melewati tebing," kata Clarisse. "Kita
semua bakal dimakan."
"Kita harus mencoba. Percy, termosnya."
"Aku nggak bisa tinggalkan Tyson!"
"Kita harus siapkan sekocinya!"
Clarisse mengikuti perintah Annabeth. Dia dan beberapa pelaut
silumannya membuka selubung satu dari dua perahu dayung darurat sementara
kepala-kepala Skylla terjun dari langit seperti hujan meteor dengan gigi,
merenggut pelaut-pelaut anggota Konfederasi satu demi satu.
"Ambil perahu satunya lagi." Kulempar termos pada Annabeth. "Aku
akan memanggil Tyson."
"Nggak bisa!" seru Annabeth. "Panasnya akan membunuhmu!"
Aku tak mendengarkan. Aku berlari ke palka ruang ketel uap, ketika tibatiba kakiku tak menyentuh lantai geladak lagi. Aku terlempar ke atas, deru
angin bertiup di kupingku, tepi tebing hanya berjarak sekian senti dari wajahku.
Skylla entah bagaimana telah menangkapku dengan menarik ranselku,
dan tengah mengangkatku menuju sarangnya. Tanpa berpikir, kuayunkan
pedang ke belakangku dan berhasil menikam makhluk itu tepat di manik
kuning matanya. Ia menggeram dan menjatuhkanku.
Jatuhnya aku mestinya berakibat parah, mengingat aku terlontar tiga
puluh meteran di udara. Tapi selagi aku terjatuh, CSS Birmingham meledak di
bawahku DUAAAR! Ruang mesin meledak, melempar bongkahan-bongkahan lapisan besi
beterbangan ke segala penjuru seperti sepasang sayap berapi.
"Tyson!" aku berteriak.
Sekoci penolong telah berada di luar badan kapal, tapi tak begitu jauh.
Rongsokan yang terbakar menghujan ke bawah. Clarisse dan Annabeth tentu
entah akan tertimpa atau terbakar atau terdorong ke dasar laut oleh beban kapal
yang tenggelam, dan itu kalau mau berpikir optimis, dengan perkiraan mereka
berhasil bebas dari Skylla.
Lalu aku mendengar bunyi ledakan lain"suara tutup termos ajaib
Hermes dibuka agak terlalu banyak. Seberkas putih angin menyembur ke segala
arah, menghamburkan sekoci-sekoci penolong, mengangkatku dari terjun
bebasku dan mementalkan aku ke seberang lautan.
Aku tak bisa melihat apa pun. Aku berputar di udara, mendapat pukulan
di kepala oleh sesuatu yang keras, dan menabrak air dengan benturan yang
mestinya sudah meremukkan semua tulang di badanku kalau saja aku bukan
anak Poseidon. Hal terakhir yang kuingat adalah tenggelam dalam air yang terbakar,
mengetahui bahwa Tyson sudah pergi untuk selamanya, dan berharap andai aku
bisa mati tenggelam. 12 K a m i M e n d a t a n g i Re s o r t & Spa C. C.
Aku terbangun di perahu dayung dengan layar buatan tangan yang dijahit dari
kain seragam abu-abu. Annabeth duduk di sebelahku, menghalau laju angin.
Aku berusaha untuk duduk dan langsung merasa pusing.
"Istirahatlah," kata Annabeth. "Kau memerlukannya."
"Tyson " ?"
Dia menggelengkan kepalanya. "Percy, aku benar-benar minta maaf."
Kami terdiam sementara ombak melambungkan kami naik turun.
"Dia bisa saja selamat," kata Annabeth ragu. "Maksudku, api kan nggak
bisa membunuhnya." Aku mengangguk, tapi aku tak punya alasan untuk berharap. Aku sudah
lihat ledakan yang mengoyak lapisan besi kapal itu. Kalau Tyson berada di
ruang ketel uap, mustahil dia bisa bertahan hidup.
Dia telah mengorbankan nyawanya untuk kami, dan yang bisa
kupikirkan hanyalah saat-saat ketika aku merasa dipermalukan oleh Tyson dan
pernah menyangkal bahwa kami berdua memiliki hubungan darah.
Ombak memukul-mukul perahu. Annabeth menunjukkan padaku
beberapa barang yang sempat dia selamatkan dari kerusakan"termos Hermes
(sekarang kosong), kantong plastik berisi penuh dengan ambrosia, dua kemeja
kelasi, dan satu botol Dr Pepper. Annabeth menarikku dari air dan menemukan
tas ranselku, terkoyak separuh oleh gigi Skylla. Sebagian besar barang-barangku
telah mengambang entah ke mana, tapi aku masih menyimpan botol
multivitamin Hermes, dan tentu saja aku memiliki Riptideku. Pena itu selalu
muncul kembali di sakuku betapa pun aku telah menghilangkannya.
Kami berlayar selama berjam-jam. Karena sekarang kami berada di Laut
Para Monster, air tampak bercahaya dengan warna hijau lebih terang, seperti
asam Hydra. Angin berbau segar dan asin, tapi ia juga membawa bau logam
yang aneh"seolah badai guntur akan segera menerpa. Atau bahkan sesuatu
yang lebih berbahaya. Aku tahu arah ke mana kami harus menuju. Aku tahu
persisnya kami berada pada seratus tiga belas mil laut dari titik barat, yaitu pada
arah barat laut dari tempat tujuan kami. Tapi hal itu tetap saja membuatku
kebingungan. Ke mana pun kami berbelok, sinar matahari tampaknya terus menerpa
tepat ke mataku. Kami bergantian meneguk Dr Pepper, menaungi diri kami di
bawah layar sebisa mungkin. Dan kami membicarakan tentang mimpi
terakhirku akan Grover. Menurut perhitungan Annabeth, kami memiliki waktu kurang dari dua
puluh empat jam untuk mencari Grover, dengan pertimbangan mimpiku akurat,
dan dengan pertimbangan Polyphemus sang Cyclops itu tidak mengubah
pikirannya dan mencoba menikahi Grover lebih awal.
"Yeah," kataku sinis. "Kita kan nggak bisa memercayai seorang Cyclops."
Annabeth melempar pandangan ke laut. "Maafkan aku, Percy. Aku sudah
salah tentang Tyson, oke" Andai aku bisa mengatakan itu padanya."
Aku berusaha untuk tetap marah padanya, tapi itu tak mudah. Kami
sudah melalui banyak hal bersama. Annabeth telah sering kali menyelamatkan
nyawaku. Bodoh sekali aku jika membencinya.
Aku memandangi ke bawah pada barang-barang kami yang masih tersisa
"termos angin yang sudah kosong, satu botol multivitamin. Aku memikirkan
tentang ekspresi marah Luke saat aku mencoba bicara padanya tentang ayahnya.
"Annabeth, apa ramalan Chiron itu?"
Dia mengerucutkan bibirnya. "Percy, sebaiknya aku nggak?"
"Aku tahu Chiron sudah berjanji pada para dewa bahwa dia nggak akan
memberitahuku. Tapi kau toh nggak berjanji, benar kan?"
"Pengetahuan nggak selalu baik untukmu."
"Ibumu adalah Dewi Kebijaksanaan!"
"Aku tahu! Tapi setiap kali para pahlawan mengetahui tentang masa
depan mereka, mereka berusaha untuk mengubahnya, dan itu nggak pernah
berhasil." "Para dewa takut akan sesuatu yang akan kulakukan saat aku lebih
dewasa," aku menebak. "Sesuatu yang akan terjadi pada saat aku beranjak enam
belas tahun." Annabeth memilin topi Yankeenya dalam genggamannya. "Percy, aku
nggak tahu tentang ramalan lengkapnya, tapi ramalan itu memperingatkan
tentang anak blasteran dari Tiga Besar"anak berikutnya yang akan menginjak
usia enam belas. Itulah alasan sebenarnya Zeus, Poseidon, dan Hades
melakukan sumpah setelah Perang Dunia II untuk tak memiliki keturunan lagi.
Anak berikutnya dari Tiga Besar yang menginjak usia enam belas akan menjadi
satu senjata berbahaya."
"Kenapa?" "Karena pahlawan itu akan menentukan nasib dari Olympus. Dia akan
menjatuhkan keputusan yang kelak akan menyelamatkan Zaman Para Dewa,
atau justru menghancurkannya."
Aku mencerna perkataannya. Biasanya aku tak mabuk laut, tapi tiba-tiba
aku merasa mual. "Itu sebabnya Kronos nggak membunuhku musim panas
lalu." Annabeth mengangguk. "Kau bisa sangat berguna untuknya. Kalau dia
bisa menjadikanmu untuk memihaknya, para dewa akan menemui masalah
besar." "Tapi itu hanya kalau aku-lah yang sebenarnya dimaksudkan dalam
ramalan itu?" "Kita baru akan tahu hal itu kalau kau bertahan selama tiga tahun lagi. Itu
bisa jadi masa yang lama bagi seorang anak-blasteran. Saat Chiron kali pertama
mengetahui tentang Thalia, dia menduga Thalialah yang dimaksudkan dalam
ramalan. Itu sebabnya dia sangat bertekad untuk mengamankannya ke
perkemahan. Kemudian Thalia terlibat dalam pertarungan dan diubah menjadi
pohon pinus dan kita semua kehabisan akal. Sampai kau datang."
Di sisi kiri perahu, sebuah sirip belakang tajam warna hijau sepanjang
lima meter meliuk di permukaan air dan menghilang.
"Anak dalam ramalan ini " mungkinkah dia seorang Cyclops?" tanyaku.
"Tiga Besar kan punya banyak keturunan monster."
Annabeth menggelengkan kepalanya. "Sang Oracle menyebut 'blasteran'.
Itu artinya selalu setengah-manusia, setengah-dewa. Sebenarnya nggak ada
seorang manusia pun yang hidup saat ini yang bisa masuk dalam kemungkinan
itu, kecuali dirimu."


Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau gitu kenapa para dewa bahkan membiarkanku hidup" Akan lebih
aman untuk membunuhku."
"Kau benar." "Makasih banyak."
"Percy, aku juga nggak tahu. Kurasa sebagian dewa memang ingin
membunuhmu, tapi mungkin mereka takut menyinggung Poseidon. Dewa-dewa
lain " barangkali mereka masih mengawasimu, berusaha mencari tahu
pahlawan macam apa kau kelak. Toh kau bisa saja jadi senjata untuk
kelanggengan mereka. Pertanyaan sebenarnya adalah " apa yang akan
kaulakukan dalam tiga tahun mendatang" Keputusan apa yang akan kau
ambil?" "Apa ramalan itu memberi sedikit petunjuk?"
Annabeth tampak ragu. Barangkali dia akan memberitahuku lebih banyak, tapi tepat saat itu
seekor camar menukik turun entah dari mana dan mendarat di tiang buatan
kami. Annabeth tampak kaget saat burung itu menjatuhkan serumpun daun ke
pangkuannya. "Daratan," seru Annabeth. "Ada daratan di dekat sini!"
Aku bangkit. Betul sekali, terlihat seberkas garis biru dan cokelat di
kejauhan. Menit berikutnya aku bisa melihat sebuah pulau dengan satu gunung
kecil di tengah-tengah, kumpulan gedung putih menakjubkan, sebuah pantai
yang dipenuhi pohon-pohon palem, dan sebuah pelabuhan disesaki dengan
kumpulan perahu yang aneh.
Arus laut menarik perahu kami menuju sesuatu yang terlihat seperti
surga tropis. "Selamat datang!" ujar seorang wanita yang menggenggam sebuah meja tulis.
Wanita itu tampak bagai pramugari"setelan kerja warna biru, rias wajah
sempurna, rambut diikat kuncir kuda. Dia menjabat tangan kami saat kami
melangkah ke dermaga. Dengan senyum menawan yang dia berikan pada kami,
kau akan mengira seolah-olah kami baru saja turun dari kapal pesiar Putri
Andromeda alih-alih dari perahu rusak.
Tapi kalau dipikir-pikir, perahu kami bukanlah kapal teraneh yang
mendarat di dermaga itu. Selain sekumpulan kapal pesiar mewah, ada juga
kapal selam U.S. Navy, beberapa buah kano ala kadarnya, dan sebuah perahu
layar bertiang tiga yang sangat kuno. Ada sebuah lapangan darat helikopter
dengan satu helikopter "Saluran Lima Benteng Lauderdale" terparkir di sana,
dan landasan terbang pendek dengan pesawat jet dan pesawat berbaling-baling
yang tampak seperti pesawat tempur Perang Dunia II. Barangkali itu adalah
pesawat replika untuk dilihat-lihat oleh para turis.
"Apakah ini kali pertama kalian bersama kami?" wanita dengan meja tulis
itu bertanya. Annabeth dan aku bertukar pandang. Annabeth berkata, "Em " "
"Kali"pertama"di"spa," ujar sang wanita selagi menulis pada meja
tulisnya. "Mari kita lihat " "
Dia menatap kami dari atas sampai bawah dengan kritis. "Mmm.
Pertama-tama baluran herbal untuk gadis ini. Dan tentu saja, perombakan total
bagi sang pemuda." "Apaan?" tanyaku.
Wanita itu terlalu sibuk menuliskan catatan untuk menjawab.
"Betul!" Wanita itu berkata dengan senyum riang. "Yah, aku yakin C.C.
ingin bicara secara pribadi pada kalian sebelum jamuan makan. Ayo, silakan."
Nah, ini dia nih. Annabeth dan aku sudah terbiasa menghadapi jebakan,
dan biasanya jebakan itu kelihatan bagus pada awalnya. Jadi aku sudah
menantikan wanita dengan meja tulis itu berubah jadi ular atau setan, atau
semacamnya, sesaat lagi. Tapi di sisi lain, kami sudah terapung di atas perahu
seharian. Aku kepanasan, letih, dan lapar, dan saat wanita itu menyebut jamuan
makan, perutku bertumpu pada kaki belakangnya dan menyalak-nyalak penuh
permohonan seperti anjing.
"Kurasa nggak ada salahnya sih," gumam Annabeth.
Tentu saja ada salahnya, tapi kami tetap saja mengikuti wanita itu. Aku
memasukkan tangan ke dalam sakuku tempat aku menyimpan satu-satunya
pelindung ajaibku"multivitamin Hermes dan Riptide"tapi semakin jauh kami
memasuki resort itu, semakin lupa aku terhadap keduanya.
Tempat itu menakjubkan. Ada marmer putih dan air biru ke mana pun
mata memandang. Teras menanjaki sisi gunung, dengan kolam renang di tiap
lantai, tersambung dengan perosotan air dan air terjun, dan tabung-tabung
bawah air yang bisa kau renangi. Air mancur menyemburkan air ke udara,
membentuk wujud yang tak masuk akal, seperti elang terbang dan kuda
berderap. Tyson sangat menyenangi kuda, dan aku tahu dia tentu akan senang
dengan air mancur itu. Aku hampir saja membalikkan badan untuk melihat
ekspresi wajahnya sebelum aku teringat: Tyson sudah tak ada.
"Kau nggak apa-apa?" Annabeth menanyaiku. "Kau kelihatan pucat."
"Aku baik-baik saja," aku berbohong. "Kita " terus jalan saja."
Kami melewati berbagai jenis hewan jinak. Kura-kura laut berbaring di
atas tumpukan handuk pantai. Seekor macan tutul merebahkan badan di atas
papan seluncur. Tamu-tamu resor"hanya wanita-wanita muda yang terlihat"
bersantai di kursi-kursi dermaga, menyeruput jus buah atau membaca majalah
sementara herbal menjijikkan dikeringkan pada wajah mereka dan petugas
manikur berseragam putih merawat kuku mereka.
Saat kami berjalan menaiki tangga menuju tempat yang tampak seperti
gedung utama, aku mendengar suara nyanyian seorang wanita. Suaranya
mengalun di udara seperti lagu ninabobo. Liriknya dalam bahasa selain Yunani
Kuno, tapi sama kunonya"Minoan, barangkali, atau bahasa semacam itu. Aku
bisa memahami apa yang dia nyanyikan"sinar rembulan di balik belukar
zaitun, warna-warni sinar terbit mentari. Dan sihir. Sesuatu tentang sihir.
Suaranya seolah mengangkatku dari anak tangga dan membawaku menghampirinya. Kami tiba di ruangan besar yang seluruh tembok depannya berupa
jendela. Tembok belakangnya tertutupi cermin-cermin, jadi ruangan itu rasanya
tak ada ujungnya. Ada banyak furnitur warna putih yang kelihatan mahal, dan
di atas sebuah meja di satu sudut ada sangkar hewan peliharaan berupa
kerangkeng kawat besar. Sangkar itu sepertinya tak sesuai berada di tempat itu,
tapi aku tak terlalu memikirkannya, karena tepat saat itu juga aku melihat
wanita yang tadi bernyanyi " dan wow.
Dia duduk di alat tenun seukuran layar TV besar, tangannya menenun
benang-benang berwarna maju-mundur dengan keterampilan yang luar biasa.
Kain permadani yang ditenun bergelombang seolah ia kain tiga dimensi"
gambar air terjunnya tampak begitu nyata sampai-sampai aku bisa melihat
airnya bergerak dan awan-awan berarak di langit berbahan kain itu.
Annabeth menahan napasnya. "Indah sekali."
Wanita itu berpaling. Wajahnya bahkan lebih cantik dari kainnya. Rambut
hitam panjangnya dikepang dengan benang-benang emas. Dia memiliki mata
hijau yang tajam dan dia mengenakan gaun hitam berbahan sutera dengan
bentuk-bentuk yang tampak bergerak dalam kainnya: bayang-bayang hewan,
hitam di atas hitam, seperti rusa melintasi hutan di malam hari.
"Kau menyukai seni tenun, Sayang?" tanya sang wanita.
"Oh, ya, Nyonya!" kata Annabeth. "Ibuku adalah?"
Dia menghentikan dirinya sendiri. Kau tak bisa begitu saja mengumumkan ke sembarang orang bahwa ibumu adalah Athena, dewi yang
menciptakan alat tenun. Kebanyakan orang akan segera menguncimu di kamar
rumah sakit jiwa. Nyonya rumah kami hanya tersenyum. "Kau punya selera yang bagus,
Sayang. Aku sungguh senang kau datang. Namaku adalah C.C."
Hewan-hewan di sangkar pojok mulai mencicit. Mereka pastinya marmut,
kalau didengar dari suaranya.
Kami memperkenalkan diri pada C.C. Dia memandangiku dengan sekilas
tatapan tidak suka, seolah aku telah gagal dalam suatu tes yang dia berikan.
Sontak, aku merasa sedih. Entah mengapa, aku ingin sekali menyenangkan
wanita ini. "Oh, Sayang," wanita itu mendesah. "Kau memang membutuhkan
bantuan." "Maaf, Nyonya?" tanyaku.
C.C. memanggil wanita bersetelan baju kerja. "Hylla, bawa Annabeth
berkeliling, yah" Tunjukkan padanya apa yang kami sediakan. Pakaiannya perlu
diganti. Dan rambutnya, ya ampun. Kita akan memberikan konsultasi penuh
akan citra-diri setelah aku selesai berbicara dengan pemuda ini."
"Tapi " " suara Annabeth terdengar terluka. "Apa salahnya dengan
rambutku?" C.C. tersenyum penuh kasih. "Sayang, kau cantik. Sungguh! Tapi kau tak
menunjukkan kecantikanmu itu atau talentamu sama sekali. Begitu banyak
potensi yang tersia-siakan!"
"Tersia-siakan?"
"Yah, tentu kau sendiri tak puas dengan penampilanmu saat ini! Ya
ampun, pastinya tak ada seorang pun yang akan puas. Tapi jangan khawatir.
Kami bisa memperbaiki siapa pun di spa ini. Hylla akan tunjukkan padamu
maksudku. Kau, Sayangku, harus menunjukkan diri sejatimu!"
Mata Annabeth bersinar penuh harapan. Aku tak pernah melihatnya
begitu kehilangan kata-kata. "Tapi " bagaimana dengan Percy?"
"Oh, tentu saja," kata C.C., sambil memberiku tatapan iba. "Percy
membutuhkan perombakan jauh lebih banyak darimu."
Biasanya kalau ada orang yang bilang begitu padaku, aku pasti akan
marah, tapi saat C.C. yang bilang, aku justru merasa sedih. Aku telah
mengecewakannya. Aku harus mencari tahu bagaimana cara untuk berbuat
lebih baik. Marmut-marmut itu mencicit nyaring seperti kelaparan.
"Yah " " kata Annabeth. "Kurasa begitu " "
"Ke arah sini, Sayang," ujar Hylla. Dan Annabeth membiarkan dirinya
dibawa ke arah taman-taman spa berhiaskan air terjun.
C.C. menarik tanganku dan mengarahkanku ke depan tembok berdinding
cermin. "Kaulihat, Percy " untuk menguak potensimu, kau membutuhkan
pertolongan serius. Langkah pertama adalah mengakui bahwa kau tidak puas
dengan dirimu saat ini."
Aku bergerak gelisah di depan cermin. Aku benci memikirkan tentang
penampilanku"seperti jerawat pertama yang muncul di hidungku tepat di awal
tahun ajaran sekolah, atau fakta bahwa dua gigi depanku tak rata, atau bahwa
rambutku tak pernah merebah rapi.
Suara C.C. mengirimkan pikiran-pikiran ini ke dalam benakku, seolah dia
sedang menaruhku di bawah lensa mikroskop. Dan pakaianku tak keren. Aku
tahu itu. Siapa yang peduli" Sebagian diriku berpikir. Tapi saat berdiri di depan
cermin C.C., sulit sekali untuk melihat hal yang baik dari diriku.
"Sudahlah, tak apa-apa," C.C. menenangkan. "Bagaimana kalau kita coba
" ini." Dia menjentikkan jarinya dan tirai warna biru-langit menyelubungi
cermin. Tirai itu bergelombang seperti kain di alat tenunnya tadi.
"Apa yang kaulihat?" tanya C.C.
Aku menatap kain biru itu, tak yakin apa maksudnya. "Aku nggak?"
Kemudian tirai itu berubah warna. Aku melihat diriku sendiri"sebuah
bayangan, tapi bukan bayangan pantulan. Berkilat-kilat di kain itu, adalah sosok
Percy Jackson dengan versi lebih keren"dengan pakaian yang sangat sesuai,
dan senyum percaya diri di wajahnya. Gigiku rata. Tak ada jerawat. Kulit
terjemur matahari yang sempurna. Lebih atletis. Mungkin dengan tubuh
beberapa senti lebih tinggi. Itu adalah aku, tanpa adanya kekurangan.
"Wow," seruku akhirnya.
"Apa kau menginginkan itu?" tanya C.C. "Atau maukah aku coba versi
lain?" "Nggak usah," kataku. "Itu " itu luar biasa. Bisakah kau benar-benar?"
"Aku bisa memberimu perombakan total," janji C.C.
"Apa pengorbanannya?" kataku. "Apa aku harus " diet atau apa?"
"Oh, cukup mudah sebenarnya," kata C.C. "Makan banyak buah-buahan
segar, ikuti program olahraga ringan, dan tentu saja " ini."
Dia melangkah ke meja barnya dan menuangkan air pada satu gelas.
Kemudian menyobek satu bungkus bahas minuman dan menuangkan beberapa
bubuk warna merah. Campuran itu mulai bercahaya. Saat cahayanya pudar,
minuman itu tampak seperti milkshake stroberi.
"Minuman ini menggantikan jatah makan biasa," kata C.C. "Kujamin kau
akan melihat hasilnya secara langsung."
"Bagaimana bisa?"
Dia tertawa. "Kenapa menanyakan itu" Maksudku, bukankah kau ingin
mendapatkan dirimu yang sempurna dengan seketika?"
Sesuatu mengusik pikiranku. "Kenapa nggak ada seorang laki-laki pun di
spa ini?" "Oh, tapi ada kok," C.C. meyakinkanku. "Kau akan menemui mereka tak
lama lagi. Cobalah minum ramuan ini. Kau akan buktikan sendiri khasiatnya."
Aku menatap kain permadani biru, pada bayangan diriku, tapi bukan
diriku sebenarnya. "Nah, Percy," C.C. mendesak. "Hal tersulit dari proses perombakan ini
adalah melepaskan kendali. Kau harus putuskan: apa kau ingin mengandalkan
penilaian-mu sendiri akan jadi apa sebaiknya dirimu, ataukah penilaian-ku?"
Tenggorokanku terasa kering. Aku mendengar diriku barkata, "Penilaianmu." C.C. tersenyum dan menyodorkan gelas itu padaku. Aku mengangkatnya
ke bibirku. Rasanya persis seperti kelihatannya"seperti milkshake stroberi. Hampir
seketika rasa hangat menyebar ke seluruh tubuhku: awalnya menyenangkan,
kemudian jadi panas sekali, seolah ramuan itu mendidih dalam tubuhku.
Aku jatuh membungkuk dan menumpahkan gelasnya. "Apa yang telah
kau " apa yang terjadi?"
"Jangan khawatir, Percy," kata C.C. "Rasa sakitnya akan lewat. Lihat!
Sesuai janjiku. Hasil seketika."
Sesuatu jelas tak beres di sini.
Tirai menyibak perlahan, dan di depan cermin aku melihat tanganku
berkerut, melengkung, menumbuhkan cakar-cakar panjang rapuh. Bulu-bulu
bermunculan di wajahku, di balik kemejaku, di setiap tempat tak nyaman yang
bisa kaubayangkan. Gigiku terasa terlalu berat dalam mulutku. Pakaianku jadi
terlampau besar, atau C.C. jadi lebih tinggi"bukan, akulah yang menyusut.
Dalam satu kilasan pedih, aku terbenam dalam gua gelap kain. Aku
terkubur dalam kemejaku sendiri. Aku berusaha untuk kabur tapi sepasang
tangan meraihku"tangan-tangan sama besarnya dengan tubuhku. Aku
berusaha berteriak minta tolong, tapi yang keluar dari mulutku hanyalah, "Ciiit,
ciiit, ciiit!" Tangan-tangan raksasa meremas perutku, mengangkatku ke udara. Aku
berontak dan menendang dengan kaki dan tanganku yang rasanya terlalu
pendek, dan kemudian aku menatap, dengan ketakutan, pada wajah raksasa
C.C. "Sempurna!" suaranya menggelegar. Aku menggeliat ketakutan, tapi dia
malah mengetatkan genggamannya di seputar perut berbuluku. "Lihat kan,
Percy" Kau telah menguak diri sejatimu!"


Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia membawaku ke depan cermin, dan apa yang kulihat membuatku
menjerit ngeri, "Ciiit, ciiit, ciiit!" Di sanalah berdiri C.C., cantik dan tersenyum,
menggenggam makhluk kecil bergigi tonggos dengan cakar mini dan bulu
warna putih dan jingga. Saat aku memutar tubuhku, begitu pula dengan
makhluk berbulu dalam pantulan cermin. Aku adalah " aku adalah "
"Seekor guinea pig"marmut," kata C.C. "Asyik, kan" Laki-laki adalah
babi, Percy Jackson. Biasanya aku mengubah mereka jadi babi betulan, tapi
mereka terlalu bau dan besar dan sulit dipelihara. Sebenarnya hal itu tak jauh
berbeda dengan keadaan mereka sebelumnya, sih. Tapi marmut-marmut jauh
lebih mudah! Sekarang ayolah, temui para laki-laki lain."
"Ciiit!" aku memprotes, berusaha mencakarnya, tapi C.C. meremasku
terlalu kuat sampai aku hampir pingsan.
"Jangan macam-macam, Makhluk Kecil," dia menggertak, "atau aku akan
mengumpanimu ke burung-burung hantu. Pergilah ke sangkar seperti hewan
peliharaan yang manis. Besok, kalau kelakuanmu baik, kau akan kami carikan
rumah. Selalu ada kelas di sekolah-sekolah yang membutuhkan marmut baru."
Pikiranku berpacu secepat debar jantung superminiku. Aku harus
kembali ke pakaianku, yang menumpuk di lantai. Kalau saja aku bisa
melakukannya, aku bisa keluarkan Riptide dari sakuku dan " Dan apa" Aku
tak mungkin bisa membuka tutup penanya. Bahkan kalau pun aku bisa, aku tak
akan bisa memegang pedangnya.
Aku menggeliat putus asa saat C.C. membawaku ke sangkar marmut dan
membuka pintu kawatnya. "Temui hewan-hewan peliharaanku yang tak bisa diatur, Percy," dia
memperingatkan. "Mereka tak akan bisa jadi hewan peliharaan kelas yang baik,
tapi mereka bisa saja mengajarimu sedikit tata krama. Kebanyakan dari mereka
sudah mendekam di sana selama tiga ratusan tahun. Kalau kau tak mau tinggal
bersama mereka untuk selama-lamanya, kusarankan agar kau?"
Suara Annabeth memanggil: "Nona C.C.?"
C.C. mengumpat dalam bahasa Yunani Kuno. Dia menjatuhkanku ke
dalam sangkar dan menutup pintunya. Aku berdecit dan mencakari jeruji, tapi
tak ada gunanya. Aku menatap saat C.C. dengan cepat-cepat menyepak bajuku
ke bawah alat tenun tepat saat Annabeth memasuki ruangan.
Aku nyaris tak mengenalinya. Annabeth mengenakan gaun sutra tanpa
lengan sama seperti yang dikenakan C.C., hanya saja gaun Annabeth berwarna
putih. Rambut pirangnya baru saja dikeramas, disisir, dan dikepang dengan
jalinan emas. Yang terburuk dari semuanya, dia mengenakan rias wajah, yang
kukira Annabeth tak akan mau mengenakannya di muka umum. Maksudku, dia
tampak cantik sih. Benar-benar cantik. Barangkali lidahku akan kelu kalau aku
bisa mengucapkan kata-kata lain selain ciit, ciit, ciit. Tapi ada sesuatu yang
benar-benar tak sesuai dari dandanannya. Dia sama sekali bukan seperti
Annabeth yang kukenal. Annabeth memandang ke sekeliling ruangan dan mengerutkan kening.
"Di mana Percy?"
Aku mengeluarkan suara berdecit senyaring yang kubisa, tapi sepertinya
dia tak mendengarku. C.C. tersenyum. "Dia sedang menjalani salah satu perawatan kami,
Sayang. Jangan khawatir. Kau tampak begitu cantik! Bagaimana pendapatmu
setelah melihat-lihat sekitar?"
Mata Annabeth bersinar cerah. "Perpustakaanmu sungguh luar biasa!"
"Ya, tentu," kata C.C. "Pengetahuan terbaik dari tiga milenium silam. Apa
pun yang ingin kaupelajari, apa pun cita-citamu, Sayang."
"Arsitek?" "Bah!" ujar C.C. "Kau, Sayang, punya bakat jadi penyihir. Sama seperti
aku." Annabeth mengambil satu langkah mundur. "Penyihir?"
"Betul, Sayang." C.C. mengangkat tangannya. Api muncul pada telapak
tangannya dan menari ke ujung jemarinya. "Ibuku adalah Hecate, Dewi Sihir.
Aku bisa mengenali putri Athena bila melihatnya. Kita tak jauh berbeda, kau
dan aku. Kita berdua haus akan pengetahuan. Kita berdua memuja keindahan.
Tak satu pun dari kita perlu berdiri di balik bayang-bayang pria."
"Aku"aku nggak ngerti."
Sekali lagi, aku berdecit sekuat tenaga, berusaha menangkap perhatian
Annabeth, tapi entah dia tak bisa mendengarku atau berpikir suara-suara berisik
itu tak penting. Sementara itu, para marmut lain mulai beranjak dari sangkar
mereka untuk memeriksaku. Sebelumnya kukira tak mungkin bagi marmut
untuk kelihatan jahat, tapi marmut-marmut yang ini iya. Mereka berjumlah
setengah lusin, dengan bulu-bulu dekil dan gigi patah-patah dan manik mata
merah. Tubuh mereka tertutupi serbuk kayu dan berbau, yang membuktikan
mereka benar-benar sudah mendekam di dalam sini selama tiga ratus tahun,
tanpa sekali pun sangkar mereka pernah dibersihkan.
"Tinggallah bersamaku," kata C.C. pada Annabeth. "Belajarlah bersamaku. Kau bisa bergabung dengan staf kami, menjadi penyihir, belajar
untuk menguasai orang lain sesuai kehendakmu. Kau akan hidup abadi!"
"Tapi?" "Kau terlalu cerdas, Sayang," kata C.C. "Kau tahu ada pilihan lebih baik
daripada memercayai perkemahan konyol itu. Berapa banyak pahlawan hebat
dari kaum blasteran perempuan yang bisa kausebutkan?"
"Em, Atalanta, Amelia Earhart?"
"Bah! Laki-laki mendapat segala kejayaan." C.C. mengatup kepalan
tangannya dan memadamkan api sihir itu. "Satu-satunya jalan meraih
kekuasaan bagi wanita adalah sihir. Medea, Calypso, nah itu baru wanita-wanita
hebat! Dan aku, tentu saja. Yang terhebat dari semuanya."
"Kau " C.C. " Circe!"
"Betul, Sayang."
Annabeth melangkah mundur, dan Circe tertawa. "Kau tak perlu
khawatir. Aku tak bermaksud melukaimu."
"Apa yang telah kau perbuat pada Percy?"
"Hanya membantu menyadarkannya akan bentuk sejatinya."
Annabeth mengamati sepenjuru ruangan. Akhirnya dia melihat sangkar,
dan aku yang mencakar-cakar jeruji, semua marmut lain mengerubungiku. Mata
Annabeth membelalak. "Lupakan dia," kata Circe. "Ikutlah denganku dan pelajari jalan sihir."
"Tapi?" "Temanmu akan dipelihara dengan baik. Dia akan dikirimkan ke sebuah
rumah bagus di tanah daratan. Anak-anak TK akan memujanya. Sementara itu,
kau akan jadi bijaksana dan berkuasa. Kau akan dapatkan semua yang pernah
kauinginkan." Annabeth masih memandangiku, tapi waut wajahnya tampak kosong. Dia
kelihatan sama sepertiku saat Circe menyihirku untuk meminum Milkshake
marmut. Aku berdecit nyaring dan mencakar-cakar, berusaha memperingatkannya untuk menyadarkan diri, tapi aku benar-benar tak berdaya.
"Biarkan aku berpikir," gumam Annabeth. "Bisakah " kau berikan aku
satu menit sendiri" Untuk mengucapkan perpisahan."
"Tentu saja, Sayang," ujar Circe penuh kelembutan. "Satu menit. Oh "
dan agar kau mendapatkan privasi penuh " " Dia melambaikan tangannya dan
jeruji-jeruji besi segera turun memalangi deretan jendela. Dia melangkah keluar
ruangan dan aku mendengar bunyi pintu terkunci rapat di belakangnya.
Tatapan kosong tampak terhapus dari wajah Annabeth.
Dia segera berlari ke sangkarku. "Baiklah, yang mana dirimu?"
Aku mendecit, tapi begitu pula dengan semua marmut yang ada.
Annabeth tampak putus asa. Dia mengamati seluruh ruangan dan mendapati
lipatan celana jinsku menjulur keluar dari bawah alat tenun.
Akhirnya! Annabeth berlari ke sana dan menggeledah saku jinsku.
Tapi bukannya mengambil Riptide, dia malah mengeluarkan botol
multivitamin Hermes dan segera berusaha membuka tutupnya.
Aku ingin berteriak padanya bahwa sekarang bukan waktu yang tepat
untuk minum suplemen! Dia harus mengambil pedangnya!
Annabeth cepat-cepat memasukkan tablet kunyah lemon ke dalam
mulutnya tepat saat pintu membanting terbuka dan Circe kembali masuk, diapit
oleh dua orang asisten bersetelan-kerja.
"Yah," desah Circe, "betapa cepat semenit berlalu. Apa jawabanmu,
Sayang?" "Ini," kata Annabeth, dan dia menghunus belati perunggunya.
Penyihir itu mundur, tapi keterkejutannya segera menghilang. Dia
menyeringai. "Yang benar saja, gadis kecil, sebilah belati melawan sihir-ku" Apa
itu bijak?" Circe menoleh pada asistennya di belakang, yang cengar-cengir. Mereka
mengangkat tangan seolah bersiap melemparkan mantra.
Kabur! Aku ingin beri tahu Annabeth, tapi yang bisa kuhasilkan hanya
suara-suara hewan pengerat. Marmut-marmut lain mendecit ketakutan dan
berlari kocar-kacir ke sekeliling sangkar. Aku juga terdorong untuk panik dan
sembunyi, tapi aku harus memikirkan sesuatu! Aku tak sanggup untuk
kehilangan Annabeth seperti aku telah kehilangan Tyson.
"Akan jadi apa Annabeth setelah perombakan nanti?" Circe merenung.
"Sesuatu yang kecil dan bertemperamen buruk. Aku tahu " celurut!"
Api biru melingkar di jemarinya, meliuk seperti ular di seputar Annabeth.
Aku memandang, dengan keterkejutan ngeri, tapi tak ada apa pun yang
terjadi. Annabeth masih tetap Annabeth, hanya saja tampak lebih mengamuk.
Dia melompat ke depan dan mengarahkan ujung belatinya ke leher Circe.
"Bagaimana kalau mengubahku jadi macan" Macan yang cakarnya menjerat
lehermu!" "Kok bisa!" pekik Circe.
Annabeth mengangkat botol vitaminku untuk dilihat sang penyihir.
Circe meraung frustasi. "Terkutuklah Hermes dan multivitaminnya! Itu
cuma obat-obatan iseng! Vitamin itu tak ada manfaatnya buatmu."
"Kembalikan Percy ke bentuk manusia sekarang juga!" kata Annabeth.
"Aku tak bisa!"
"Kalau begitu kau yang meminta sendiri."
Para asisten Circe melangkah maju, tapi majikan mereka berkata,
"Mundur! Dia kebal terhadap sihir sampai vitamin terkutuk itu kehilangan
khasiatnya." Annabeth menyeret Circe ke dekat sangkar marmut, mencopot tutup
atasnya, dan menumpahkan vitamin-vitamin yang tersisa ke dalamnya.
"Tidak!" teriak Circe.
Aku yang pertama mendapat vitamin, tapi marmut-marmut lainnya juga
berlari mengerumuninya, dan mengecek jenis makanan baru ini.
Gigitan pertama, dan aku merasa tubuhku berapi-api. Aku terus
menggerogoti vitamin itu sampai ia tidak tampak begitu besar lagi, dan
sangkarnya jadi mengecil, dan kemudian tiba-tiba, duar! Sangkar pun meledak.
Aku terduduk di atas lantai, kembali dalam wujud manusia lagi"entah
bagaimana sudah kembali mengenakan pakaian biasaku, terpujilah dewa-dewa
"dengan enam laki-laki lain yang semuanya tampak kebingungan, mengerjapngerjapkan mata dan mengibaskan serbuk kayu dari rambut mereka.
"Tidak!" Circe berteriak. "Kau tak mengerti! Orang-orang itu adalah yang
terburuk!" Salah satu pria itu berdiri"seorang pria bertubuh besar dengan janggut
panjang terpilin warna hitam jelaga dan dengan gigi warna serupa. Dia
mengenakan baju berbahan wol dan kulit yang tak sepadan, sepatu bot setinggi
lutut, dan topi bulu berkelepai. Para pria yang lain berpakaian lebih sederhana"
dengan celana breeches3 dan kemeja putih bernoda. Kesemuanya bertelanjang
kaki. "Aaarrggh!" si pria berbadan besar berteriak lantang. "Apa yang
dilakukan penyihir ini padaku!"
"Tidak!" Circe merintih.
Annabeth terengah. "Aku tahu kau! Edward Teach, putra Ares?"
"Aye, gadis muda," pria besar itu menggeram. "Walau kebanyakan orang
memanggilku si Janggut Hitam! Dan itu dia, penyihir yang menangkap kami,
Anak Muda. Akan kukejar sampai mampus, dan lalu aku mau cari semangkuk
besar seledri untukku! Aaarrgh!"
Circe menjerit. Dia dan asistennya kabur dari ruangan, dikejar oleh para
perompak. Annabeth menyarungkan belatinya dan memelototiku.
"Makasih " " aku tergagap. "Aku benar-benar minta maaf?"
Sebelum aku menemukan cara untuk meminta maaf karena bertindak
idiot, dia langsung memelukku, kemudian menarik diri sama cepatnya. "Aku
lega kau bukan marmut."
"Aku, juga." Kuharap wajahku tak semerah rasanya.
Dia melepaskan kepangan emas rambutnya.
"Ayo, Otak Ganggang," katanya. "Kita harus pergi mumpung Circe lagi
sibuk." Kami berlari menyusuri tepi bukit melintasi teras-teras, melewati para
pekerja spa yang menjerit-jerit dan para perompak yang menjarah resor secara
membabi buta. Para pesuruh Janggut Hitam memecahkan obor-obor pajangan
?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"
Model celana panjang yang populer di abad ke-17 sampai 19. Bentuknya menggembung di bagian paha,
mengetat di bawah, biasanya memiliki panjang selutut atau sebetis. Sekarang model ini digunakan juga
sebagai celana berkuda. untuk jamuan, melempar botol-botol ramuan herbal ke kolam renang, dan
menendang meja-meja tempat handuk sauna.
Aku nyaris merasa bersalah telah membebaskan para perompak beringas
itu, tapi kurasa mereka pantas mendapatkan sesuatu yang lebih mengasyikkan
daripada roda olahraga khusus marmut setelah terkurung di sangkar selama
tiga abad. "Kapal yang mana, nih?" seru Annabeth saat kami sampai di dermaga.
Aku memandangi sekitar dengan putus asa. Kami tak bisa menggunakan
perahu dayung kami lagi. Kami harus meninggalkan pulau ini dengan cepat,
tapi apa lagi yang bisa kami gunakan" Kapal selam" Jet tempur" Aku tak bisa
mengendalikan kendaraan seperti itu. Dan kemudian aku melihatnya.
"Yang itu," kataku.
Annabeth mengerjapkan mata. "Tapi?"
"Aku bisa menjalankannya."
"Bagaimana?" Aku tak bisa menjelaskan. Entah bagaimana aku hanya tahu bahwa kapal
layar kuno adalah pilihan terbaik buatku. Aku menarik tangan Annabeth dan
menariknya menuju kapal bertiang tiga. Tertulis di muka kapal adalah sebuah
nama yang baru bisa kumengerti kemudian: Dendam Kesumat Ratu Anne.
"Aaarrgggh!" jerit Janggut Hitam dari suatu tempat di belakang kami.
"Anak-anak berengsek itu menaiki kapalku! Tangkap mereka, Anak Muda!"
"Kita nggak akan bisa berangkat pada waktunya!" Annabeth berteriak
saat kami menaiki kapal. Aku memandang sekitar pada jalinan ruwet layar dan tali temali. Kondisi
kapal ini luar biasa baik untuk ukuran kapal tiga ratus tahun, tapi tetap saja
seorang kru akan membutuhkan beberapa jam untuk mulai menjalankannya.
Kami tak punya beberapa jam. Aku bisa lihat para perompak berlari menuruni
tangga, sambil melambai-lambaikan obor dan batang seledri.
Aku pejamkan mata dan memusatkan pikiran pada ombak yang
memukul-mukul perlahan lambung kapal, aliran air laut, angin yang
menerpaku dari segala penjuru. Tiba-tiba, satu kata yang tepat muncul di
pikiranku. "Tiang ketiga!" teriakku.
Annabeth memandangiku seolah aku sudah sinting, tapi pada detik
berikutnya, udara dipenuhi bunyi siulan tali-temali menegang, layar-layar
kanvas melepas gulungannya, dan kerekan kayu berderak.
Annabeth merunduk selagi seutas tali tambat kapal melesat ke atas
kepalanya dan mengikatkan dirinya sendiri mengelilingi tiang depan kapal.
"Percy, bagaimana " "
Aku tak punya jawabannya, tapi aku bisa merasakan kapal itu
menanggapiku seolah ia adalah bagian dari tubuhku. Aku memerintahkan layar


Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk mengembang semudah aku meregangkan lenganku. Aku memerintahkan
kemudi untuk berputar. Dendam Kesumat Ratu Anne perlahan bergerak meninggalkan dermaga,
dan pada saat para perompak tiba di tepi air, kami sudah melaju, berlayar
menuju Laut Para Monster.
13 A n n a be t h M e n c o b a Be re n a n g
Pu la n g Akhirnya aku menemukan sesuatu yang mahir kulakukan.
Dendam Kesumat Ratu Anne menjawab setiap komandoku. Aku tahu tali
mana yang harus ditarik, layar mana yang dikembangkan, arah mana untuk
mengemudi. Kami membelah lautan ombak yang kuperkirakan berkecepatan
sepuluh knot (satu knot sama dengan satu mil laut per jam). Aku bahkan paham
seberapa cepat lajunya itu. Untuk sebuah kapal layar, itu luar biasa cepat.
Semua terasa begitu sempurna"tiupan angin di wajahku, debur ombak
memukul haluan kapal. Tapi kini setelah kami terbebas dari bahaya, yang bisa kupikirkan
hanyalah betapa rindunya aku pada Tyson, dan betapa cemasnya aku pada
Grover. Aku tak bisa melupakan betapa aku telah mengacaukan segalanya di
Pulau Circe. Kalau bukan karena Annabeth, aku masih akan menjadi seekor
hewan pengerat, bersembunyi dalam sangkar bersama dengan sekumpulan
perompak berbulu yang imut-imut. Aku memikirkan tentang apa yang Circe
katakan: Lihat, Percy" Kau telah menguak diri sejatimu!
Aku masih merasa ada sesuatu yang berubah. Bukan karena aku tiba-tiba
memiliki kegemaran untuk makan seledri. Aku merasa cepat panik, seolah
naluri untuk menjadi hewan kecil yang ketakutan kini telah menjadi bagian dari
diriku. Atau barangkali naluri itu memang sebenarnya selalu ada di sana. Itulah
yang mengkhawatirkanku. Kami berlayar menembus malam.
Annabeth berusaha menolongku berjaga-jaga, tapi berlayar sepertinya
bukan kemahirannya. Baru beberapa jam mengayun mundur, wajahnya sudah
berubah sewarna avokad dan dia pun pergi ke bawah untuk berbaring di tempat
tidur gantung. Aku memandang ke cakrawala. Lebih dari sekali aku melihat keberadaan
monster-monster. Seberkas air setinggi gedung pencakar langit melesat menuju
kegelapan malam. Segaris punggung berwarna hijau merayap melintasi
gelombang"sesuatu yang sepertinya memiliki panjang tiga puluh meter, reptil
barangkali. Aku benar-benar tak ingin tahu.
Sekali aku melihat Nereid, arwah wanita laut yang bersinar. Aku mencoba
melambai pada mereka, tapi mereka malah menghilang ke kedalaman,
membuatku merasa tak yakin apakah mereka melihatku atau tidak.
Kadang-kadang setelah lewat tengah malam, Annabeth naik ke geladak.
Kami baru melewati pulau dengan gunung api yang mengepulkan asap. Air
berbuih dan beruap di sekitar pantainya.
"Satu dari tempat penempaan milik Hephaestus," kata Annabeth.
"Tempat dia membuat monster-monster logamnya."
"Kayak banteng-banteng perunggu?"
Dia mengangguk. "Ambil jalan berputar saja. Jauh-jauh dari situ."
Aku tak perlu diberi tahu dua kali. Kami menjauh dari pulau itu, dan tak
lama pulau itu hanyalah seberkas kabut merah di belakang kami.
Aku memandangi Annabeth. "Alasan mengapa kau sangat membenci
Cyclops " kisah tentang bagaimana Thalia meninggal. Apa yang terjadi?"
Sulit melihat raut wajahnya di gelap malam.
"Kurasa kau memang berhak tahu," ujar dia akhirnya. "Pada malam saat
Grover mengantar kami ke kemah, dia kebingungan, dan mengambil banyak
jalan belok yang keliru. Kau ingat dia pernah mengatakan itu padamu?"
Aku mengangguk. "Yah, belokan yang terburuk adalah saat memasuki sarang Cyclops di
Brooklyn." "Memangnya ada Cyclops di Brooklyn?" tanyaku.
"Kau nggak akan percaya betapa banyaknya, tapi bukan itu intinya.
Cyclops ini, dia menipu kami. Dia berhasil memisahkan kami dalam loronglorong ruwet di sebuah rumah lama di Flatbush. Dan dia bisa meniru siapa pun,
Percy. Sama seperti yang Tyson lakukan di atas kapal Putri Andromeda. Dia
menipu kami, satu per satu. Thalia mengira dia sedang berlari untuk
menyelamatkan Luke. Luke mengira dia mendengarku berteriak minta tolong.
Dan aku " aku sendirian di kegelapan. Aku baru tujuh tahun. Aku bahkan
nggak bisa menemukan pintu keluarnya."
Dia menyibak rambut yang menutupi wajahnya. "Aku ingat menemukan
ruang utamanya. Ada tulang-belulang memenuhi lantai. Dan di sana ada Thalia
dan Luke dan Grover, terikat dan dengan mulut disumpal, tergantung di langitlangit seperti daging asap. Cyclops itu menyalakan api di tengah lantai. Aku
menarik belatiku, tapi dia mendengarku. Dia berbalik dan tersenyum. Dia
bicara, dan entah bagaimana dia tahu suara ayahku. Kurasa dia hanya
mengambilnya dari dalam pikiranku. Dia bilang, 'Nah, Annabeth, jangan cemas.
Aku menyayangimu. Kau bisa tinggal bersamaku di sini. Kau bisa tinggal untuk
selama-lamanya'." Aku gemetar. Cara dia menceritakannya"bahkan kini, enam tahun
kemudian, menakutiku lebih parah dari kisah-kisah hantu mana pun yang
pernah kudengar. "Lalu apa yang kaulakukan?"
"Aku menusuk kakinya."
Aku menatapnya. "Apa kau bercanda" Kau baru tujuh tahun dan kau
menusuk kaki Cyclops dewasa?"
"Oh, dia memang akan membunuhku. Tapi aku mengagetkannya. Itu
memberiku cukup waktu untuk berlari ke Thalia dan memotong tali pengikat
tangannya. Dari situ Thalia mengambil alih."
"Yah, tapi tetap saja " itu tindakan sangat berani, Annabeth."
Dia menggelengkan kepalanya. "Kami nyaris nggak keluar hidup-hidup.
Aku masih terus mengalami mimpi buruk, Percy. Cara Cyclops itu bicara
dengan suara ayahku. Itu salahnya, kami jadi terlambat datang ke perkemahan.
Semua monster yang mengejar kami jadi punya waktu untuk menangkap kami.
Itu sebabnya Thalia tak tertolong. Kalau bukan karena Cyclops itu, Thalia masih
akan hidup saat ini."
Kami duduk di geladak, memandangi rasi bintang Hercules menampak
di langit malam. "Pergilah ke bawah," kata Annabeth padaku akhirnya. "Kau perlu
istirahat." Aku mengangguk. Mataku terasa berat. Tapi ketika aku turun dan
menemukan tempat tidur gantung, butuh waktu lama untuk membuatku
tertidur. Aku terus memikirkan tentang kisah Annabeth. Aku tak habis pikir,
andai aku dirinya, akankah aku memiliki cukup keberanian untuk pergi dalam
misi ini, untuk berlayar tepat menuju sarang Cyclops lain"
Aku tak memimpikan Grover.
Alih-alih aku menemukan diriku kembali berada di kamar utama Luke di
atas kapal Putri Andromeda. Tirai-tirainya terbuka. Di luar hari sudah malam.
Udara sekitar dikelilingi bayang-bayang. Suara-suara terdengar berbisik di
seputarku"arwah-arwah orang mati.
Waspadalah, mereka berbisik. Perangkap. Penipuan.
Sarkofagus emas Kronos bersinar lemah"satu-satunya sumber cahaya di
ruangan. Tawa dingin mengagetkanku. Tawa itu sepertinya datang dari jarak
berkilo-kilometer di bawah kapal. Kau tak punya cukup keberanian, Anak Muda.
Kau tak bisa menghentikanku.
Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku harus membuka peti mati itu.
Aku membuka tutup Riptide. Hantu-hantu berputar mengitariku seperti
angin topan. Waspadalah! Jantungku berdebar kencang. Aku tak bisa menggerakkan kakiku, tapi
aku harus menghentikan Kronos. Aku harus hancurkan apa pun yang ada
dalam peti itu. Kemudian seorang gadis bicara tepat di sebelahku: "Bagaimana nih, Otak
Ganggang?" Aku memandang ke sebelah, berharap menemui Annabeth, tapi gadis itu
bukanlah Annabeth. Dia mengenakan pakaian gaya punk dengan rantai perak
mengelilingi pergelangan tangannya. Dia memiliki rambut hitam ditata
berbentuk paku-paku tajam, pensil alis hitam di sekeliling matanya yang
berwarna biru badai, dan bintik-bintik di sekitar hidungnya. Wajahnya tampak
familier, tapi aku tak tahu kenapa.
"Bagaimana nih?" tanyanya. "Apa kita akan menghentikannya atau
nggak?" Aku tak bisa menjawab. Aku tak bisa bergerak.
Gadis itu memutar bola matanya. "Baiklah. Serahkan padaku dan Aegis."
Dia menepuk pergelangan tangannya dan rantai peraknya berubah wujud
"memipih dan memanjang jadi sebuah perisai besar. Perisai itu terbuat dari
perak dan perunggu, dengan wajah seram Medusa menonjol di tengah. Perisai
itu tampak seperti topeng kematian, seolah-olah kepala asli sang gorgon telah
ditempel ke logam itu. Aku tak tahu apakah itu kepala betulan, atau apakah
perisai itu bisa benar-benar mengubah diriku jadi batu, tapi aku memalingkan
pandangan. Berada di dekatnya saja sudah cukup membuatku ngeri. Aku
mendapat firasat bahwa dalam pertempuran sungguhan, pengguna perisai itu
akan nyaris mustahil untuk dikalahkan. Musuh yang waras pasti akan langsung
berbalik dan kabur. Gadis itu menarik pedangnya dan melangkah maju ke sarkofagus. Hantuhantu bayangan membuka jalan untuknya, menyebar pergi di depan aura buruk
perisainya. "Jangan," aku berusaha memperingatkannya.
Tapi gadis itu tidak mendengarkan. Dia berjalan langsung mendekati
sarkofagus dan mendorong terbuka tutup emasnya.
Sejenak dia berdiri di sana, memandang ke bawah pada benda apa pun
yang ada dalam kotak. Peti itu mulai bersinar. "Tidak." Suara gadis itu bergetar. "Tak mungkin."
Dari kedalaman laut, Kronos tertawa begitu keras sampai-sampai seluruh
tubuh kapal berguncang. "Tidak!" Gadis itu menjerit saat sarkofagus itu menelan dirinya dalam
ledakan cahaya emas. "Ah!" Aku langsung bangkit terduduk di tempat tidur gantungku.
Annabeth mengguncang-guncang tubuhku. "Percy, kau mengalami
mimpi buruk. Kau harus bangun."
"Ad"ada apa?" Aku menggosok mataku. "Ada yang salah?"
"Daratan," kata Annabeth muram. "Kita mendekati pulau para Siren."
Aku hampir tak melihat pulau di depan kami"hanya titik gelap di tengah
kabut. "Aku ingin kau menolongku," kata Annabeth. "Para Siren " kita akan
berada dalam jangkauan nyanyian mereka tak lama lagi."
Aku ingat kisah-kisah tentang Siren. Mereka menyanyi dengan begitu
merdunya sampai-sampai suara mereka menyihir para pelaut dan memikat
mereka untuk menjemput kematian.
"Nggak masalah," aku meyakinkannya. "Kita cukup menyumbat telinga
kita. Ada seember besar lilin di bawah geladak?"
"Aku ingin mendengar nyanyian mereka."
Aku mengerjapkan mata. "Kenapa?"
"Mereka bilang para Siren itu menyanyikan kebenaran akan hasrat yang
tersimpan dalam hatimu. Mereka memberi tahu hal-hal tentang dirimu yang kau
sendiri tak sadari. Itulah pesonanya. Kalau kau bertahan " kau akan jadi lebih
bijak. Aku ingin mendengar nyanyian mereka. Seberapa sering aku mendapat
kesempatan itu?" Kalau omongan ini muncul dari mulut kebanyakan orang, pasti akan
terdengar tak masuk akal. Tapi karena ini Annabeth"yah, kalau dia bisa
bertahan membaca buku-buku arsitektur Yunani Kuno dan menikmati acara
dokumenter di History Channel, kurasa para Siren itu akan menarik minatnya
juga. Dia memberitahuku tentang rencananya. Dengan setengah hati, aku
bantu Annabeth mempersiapkan diri.
Begitu garis pantai berbatu dari pulau itu mulai terlihat, aku perintahkan
salah satu dari tali untuk mengelilingi pinggang Annabeth, mengikatnya di tiang
depan. "Jangan lepaskan ikatanku," katanya, "nggak peduli apa yang terjadi atau
betapa aku memohon-mohon. Nanti aku akan pergi ke ujung kapal dan
menenggelamkan diriku sendiri."
"Apa jadi tergoda untuk membiarkanmu."
"Ha-ha." Aku berjanji akan menjaganya. Lalu aku mengambil dua gumpal lilin,
membentuk jadi sumbatan kuping, dan menyumpal kupingku.
Annabeth mengangguk sarkastis, memberitahuku bahwa sumbatan
kuping adalah pernyataan fashion yang keren. Aku memberi wajah cibiran
padanya dan berbalik ke belakang kemudi kapal.
Keheningan yang datang terasa mencekam. Aku tak bisa mendengar apa
pun selain aliran darah yang berdesir ke kepalaku. Saat kami mendekati pulau,
batu-batu bergerigi muncul di pandangan dari balik selubung kabut. Aku
perintahkan Dendam Kesumat Ratu Anne untuk mengitarinya. Kalau kami
berlayar lebih dekat, batu-batuan itu akan merobek haluan kapal kami seperti
bilah mesin blender. Aku menoleh ke belakang. Awalnya, Annabeth tampak betul-betul
normal. Tak lama kemudian wajahnya tampak kebingungan. Matanya
membelalak. Dia menarik-narik tali. Dia memanggil namaku"aku bisa tahu hanya
dengan membaca gerak bibirnya. Raut wajahnya jelas: Dia harus melepaskan
diri. Ini masalah hidup dan mati. Aku harus melepaskan talinya sekarang juga.
Dia tampak begitu sedih hingga sulit untuk menahan diri dari
membebaskan ikatannya. Aku memaksakan diri untuk membuang pandangan. Aku memerintahkan Dendam Kesumat Ratu Anne untuk melaju lebih cepat.
Aku masih belum dapat melihat pulau itu dengan jelas"hanya selubung
kabut dan batu-batuan"tapi mengambang di air adalah potongan-potongan
kayu dan serat kaca, sisa-sisa rongsokan kapal tua, bahkan beberapa kursi
apung dari pesawat terbang.
Bagaimana mungkin musik bisa menyebabkan begitu banyak nyawa
menyimpang dari jalur" Maksudku, memang benar, ada beberapa lagu Top
Forty yang membuatku ingin buru-buru menerjunkan diri, tapi tetap saja " Apa
sih yang bisa dinyanyikan para Siren itu"
Untuk satu menit yang berbahaya, aku memahami keingintahuan
Annabeth. Aku sendiri terdorong untuk mencopot sumbatan kupingku, sekadar
penasaran dengan lagunya. Aku bisa merasakan suara-suara bervibrasi Siren
menggetarkan rangka kayu kapal, mengikuti denyut darah yang mendentum
telingaku. Annabeth memohon-mohon padaku. Air mata mengaliri kedua pipinya.
Dia meronta berusaha melepaskan diri dari tali, seolah tali itu menahannya dari
segala hal yang dia sayangi.
Kenapa kau bisa begitu kejam" Dia sepertinya mengiba padaku. Kukira kau
adalah temanku. Aku menatap tajam pada pulau berkabut itu. Aku ingin membuka tutup
pedangku, tapi tak ada yang bisa dilawan. Bagaimana caramu melawan sebuah
lagu" Aku berusaha keras untuk tak menatap Annabeth. Aku berhasil
melakukannya selama kira-kira lima menit.
Itulah kesalahan terbesarku.
Saat aku tak tahan lagi, aku menoleh ke belakang dan menemukan "
tumpukan tali-tali terpotong. Tiang yang kosong. Belati perunggu Annabeth
tergeletak di lantai geladak. Entah bagaimana, dia berhasil meraih belati itu ke
tangannya. Aku benar-benar lupa untuk melucuti senjatanya.
Aku berlari ke sisi kapal dan melihatnya, berenang seperti orang
kesetanan menuju pulau, ombak menyeretnya langsung menuju batu-batuan
bergerigi. Aku meneriakkan namanya, tapi kalau dia mendengarku, itu tak ada
gunanya. Dia sudah kesurupan, terus berenang menuju kematiannya.
Aku menoleh ke belakang pada kemudi kapal dan berteriak, "Tetap di


Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat!" Kemudian aku melompat ke laut.
Aku bergerak lincah di air dan memerintahkan arus air untuk
melengkung ke sekitarku, membuat arus jet yang akan mementalkan aku ke
depan. Aku muncul di permukaan dan mendapati Annabeth, tapi gulungan
ombak menangkapnya, menyeretnya ke himpitan dua bilah tajam taring
bebatuan. Aku tak punya pilihan. Aku meneruskan terjun ke dalam air
mengikutinya. Aku menunduk di bawah potongan bangkai kapal pesiar, menyisir
melewati kumpulan bola-bola logam berantai mengapung yang kusadari
nantinya adalah ranjau. Aku harus gunakan seluruh kekuatanku pada laut
untuk menghindar dari terbentur bebatuan atau tersangkut jalinan kawat
berduri terpasang tepat di bawah permukaan.
Aku menyusur cepat di sela-sela dua taring bebatuan dan menemukan
diriku di teluk berbentuk setengah-bulan. Air disesaki dengan lebih banyak lagi
bebatuan dan sisa-sisa badan kapal dan ranjau apung. Pantai itu adalah pasir
vulkanis hitam. Aku melihat ke sepenjuru arah, mencari-cari sosok Annabeth.
Di sanalah dia. Untungnya atau justru ruginya, Annabeth adalah perenang tangguh. Dia
berhasil melewati kumpulan ranjau dan bebatuan. Dia hampir mencapai pantai
hitam. Kemudian kabut menghilang dan aku melihat mereka"para Siren.
Bayangkan sekawanan burung hering seukuran manusia"dengan bulu
hitam kotor, cakar hijau, dan leher merah-jambu keriputan. Sekarang bayangkan
kepala-kepala manusia di atas leher-leher itu, tapi kepala-kepala manusianya
terus berubah-ubah. Aku tak bisa mendengar mereka, tapi aku bisa melihat bahwa mereka
tengah bernyanyi. Selagi mulut mereka bergerak, muka-muka mereka berubah
ke wajah orang-orang yang kukenal"ibuku, Poseidon, Grover, Tyson, Chiron.
Orang-orang yang paling ingin kutemui. Mereka tersenyum menenangkan,
mengundangku untuk maju. Tapi apa pun bentuk yang mereka ambil, mulutmulut mereka berminyak dan penuh sisa-sisa bekas makanan. Sama seperti
burung hering, mereka makan dengan muka-muka mereka, dan kelihatannya
sih santapan mereka bukan Donat Monster.
Annabeth berenang menuju mereka.
Aku tahu aku tak bisa membiarkan dia keluar dari air. Laut adalah satusatunya keuntunganku. Air selalu melindungiku bagaimana pun juga. Aku
mendorong diriku ke depan dan menarik pergelangan kakinya.
Saat aku menyentuhnya, kejutan listrik mengaliri tubuhku, dan aku
melihat para Siren itu seperti yang pastinya dilihat Annabeth.
Tiga orang duduk di atas selimut piknik di Central Park. Makanan
terhidang di depan mereka. Aku mengenali ayah Annabeth dari foto-foto yang
dia tunjukkan padaku"pria bertubuh atletis, berambut pirang di usia empat
puluhan. Dia berpegangan tangan dengan seorang wanita cantik yang tampak
sangat mirip dengan Annabeth. Wanita itu berpakaian santai"berbalut celana
jins dan kemeja denim dan sepatu gunung"tapi aura dari wanita itu
memancarkan kekuatan. Aku tahu aku sedang memandangi Dewi Athena. Di
sebelah mereka duduk seorang pria muda " Luke.
Seluruh tampilan itu memendarkan cahaya lembut kekuningan. Mereka
bertiga sedang berbincang dan tertawa, dan saat mereka melihat Annabeth,
wajah mereka bersinar gembira. Ibu dan ayah Annabeth merentangkan tangan
siap menyambutnya. Luke tersenyum dan mengajak Annabeth untuk duduk di
sebelahnya"seolah-olah dia tak pernah mengkhianatinya, seolah-olah dia masih
temannya. Di balik rimbun pepohonan Central Park, tampak pemandangan gedunggedung pencakar langit kota. Aku menahan napas, karena itu kota Manhattan,
tapi bukan Manhattan sebenarnya. Kota itu telah dibangun kembali secara total
dari marmer-marmer putih yang memesona, lebih besar dan megah dari
sebelumnya"dengan jendela-jendela berbingkai emas dan taman-taman di atas
atap. Kota ini jauh lebih bagus dari New York. Lebih bagus dari Gunung
Olympus. Aku langsung tahu bahwa Annabethlah yang telah merancang kota itu.
Dialah arsitek untuk seluruh dunia baru. Dia telah menyatukan kembali kedua
orangtuanya. Dia telah menyelamatkan Luke. Annabeth telah melakukan semua
hal yang selalu dia dambakan.
Aku mengerjapkan mata kuat-kuat. Saat aku membuka mata, yang
kulihat kembali hanya para Siren"para pemakan bangkai dekil dengan mukamuka manusia, siap untuk melahap korban lain.
Aku menarik Annabeth kembali ke ombak. Aku tak bisa mendengar
suaranya, tapi aku bisa tahu kalau dia lagi berteriak. Dia menendang mukaku,
tapi aku tetap bertahan. Aku memerintahkan arus air untuk membawa kami ke teluk. Annabeth
memukul dan menendangiku, membuatku sulit berkonsentrasi. Dia terus
meronta-ronta sampai kami nyaris menabrak ranjau yang tengah mengapung.
Aku tak tahu apa yang mesti kulakukan. Aku tak akan bisa kembali ke kapal
hidup-hidup kalau dia terus berontak.
Kami menyelam ke dalam air dan Annabeth berhenti melawan. Raut
wajahnya tampak bingung. Lalu kami mengeluarkan kepala kami ke permukaan
dan dia mulai berontak lagi.
Air! Suara tak bisa melintasi air dengan baik. Kalau aku bisa
membenamnya ke dalam air cukup lama, aku bisa mematahkan sihir dari
musiknya. Tentu saja, Annabeth tak akan bisa bernapas, tapi untuk saat ini,
sepertinya itu hanya masalah kecil.
Aku menarik pinggangnya dan memerintahkan ombak untuk mendorong
kami ke bawah. Kami melesat ke kedalaman"tiga meter, enam meter. Aku tahu aku
harus berhati-hati karena kemampuanku menghadapi tekanan jauh lebih besar
daripada Annabeth. Dia meronta dan berjuang untuk bernapas saat gelembunggelembung air muncul dari sekitar kami.
Gelembung-gelembung. Aku sudah nyaris putus asa. Aku harus menjaga Annabeth tetap hidup.
Aku bayangkan semua gelembung di lautan"selalu teraduk, terangkat ke atas.
Aku bayangkan gelembung-gelembung itu mengumpul semua, tertarik ke
arahku. Laut menuruti. Kemudian datang semburan putih, sensasi menggelitik
mengelilingiku, dan saat pandanganku menjernih, Annabeth dan aku punya
gelembung air raksasa menyelubungi kami. Hanya kaki-kaki kami yang terjulur
ke air. Annabeth megap-megap dan terbatuk. Seluruh tubuhnya bergetar, tapi
saat dia melihatku, aku tahu sihirnya sudah menghilang.
Dia mulai menangis"maksudku menangis terisak-isak, seperti orang
baru patah hati. Annabeth menaruh kepalanya di bahuku dan aku
mendekapnya. Ikan-ikan berkerumun memandangi kami"serombongan ikan barakuda,
beberapa ikan marlin yang penasaran.
Pergi sana! kuusir mereka.
Mereka berenang pergi, tapi aku tahu mereka pergi dengan enggan. Aku
berani sumpah aku tahu niatan mereka. Mereka akan segera menyebarkan gosip
ke sepenjuru laut tentang anak Poseidon dan seorang gadis di dasar Teluk Siren.
"Aku akan bawa kita berdua kembali ke kapal," kataku padanya. "Tidak
apa-apa kok. Bertahanlah."
Annabeth mengangguk untuk memberitahuku bahwa dia sudah baikan
sekarang, lalu dia menggumamkan sesuatu yang tak bisa kudengar karena lilin
yang masih menyumbat telingaku.
Aku menggerakkan arus untuk mengarahkan kapal selam udara kami
yang mungil dan aneh melewati bebatuan dan kawat berduri, kembali menuju
badan kapal Dendam Kesumat Ratu Anne, yang perlahan-lahan bergerak
menjauhi pulau. Kami tetap bertahan di bawah laut, mengikuti laju kapal, sampai aku
menilai kami sudah berada di luar jangkauan pendengaran nyanyian Siren.
Kemudian aku naik ke permukaan dan gelombang udara kami meletup.
Kuperintahkan tangga tali untuk menjatuhkan diri dari sisi kapal, dan
kami memanjat naik. Aku masih memakai sumbatan telinga, sekadar untuk berjaga-jaga. Kami
berlayar sampai pulau itu hilang sepenuhnya dari pandangan. Annabeth duduk
meringkuk di atas selimut di geladak depan. Akhirnya dia mendongak, bingung
dan sedih, dan menggerakkan mulut, aman.
Aku melepas sumbatan kupingku. Tak ada nyanyian. Sore begitu tenang
kecuali suara debur ombak menerpa kapal. Kabut telah buyar ke langit biru,
seolah pulau Siren tak pernah ada.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku. Saat aku menanyakannya, aku tersadar
betapa bodohnya pertanyaan itu. Sudah jelas dia tidak baik-baik saja.
"Aku nggak sadar," gumamnya.
"Apa?" Matanya sewarna kabut yang menyelubungi pulau Siren. "Betapa
kuatnya godaan itu."
Aku tak ingin mengakui bahwa aku sempat melihat apa yang dijanjikan
para Siren padanya. Aku merasa seperti penyusup. Tapi kurasa aku berutang
pada Annabeth untuk menceritakannya.
"Aku lihat caramu membangun-ulang Manhattan," kataku padanya. "Dan
Luke dan orangtuamu."
Dia merona. "Kau melihatnya?"
"Apa yang Luke katakan padamu dulu di Putri Andromeda, tentang
membangun kembali dunia dari nol " itu cukup memengaruhimu, yah?"
Annabeth menarik selimutnya menutupi tubuhnya. "Kekurangan fatalku.
Itulah yang para Siren tunjukkan padaku. Kekurangan fatalku adalah hubris."
Aku mengerjapkan mata. "Benda warna cokelat yang biasa dioleskan
pada roti isi sayur?"
Annabeth memutar matanya. "Bukan, Otak Ganggang. Itu kan hummus.
Hubris itu lebih buruk."
"Memangnya ada yang bisa lebih buruk dari hummus?"
"Hubris artinya kebanggaan berlebihan, Percy. Berpikir kau bisa berbuat
lebih baik daripada orang lain " bahkan dari para dewa."
"Kau merasa begitu?"
Dia menatap ke bawah. "Apa kau nggak pernah merasa seperti,
bagaimana jika dunia ini memang benar-benar sudah kacau" Bagaimana kalau
kita bisa membangunnya kembali dari nol" Nggak ada lagi peperangan. Nggak
akan ada orang yang nggak punya tempat tinggal. Tak ada lagi musim panas
dengan tugas membaca PR-PR yang lalu."
"Aku mendengarkan."
"Maksudku, dunia Barat mewakili banyak sekali hal-hal terbaik yang
pernah dilakukan umat manusia"itu sebabnya api itu terus membakar. Itu
sebabnya Olympus masih ada. Tapi kadang-kadang kau hanya bisa melihat halhal yang buruk, kau tahu" Dan kau mulai berpikir sama seperti Luke: 'Kalau aku
bisa meruntuhkan segalanya, aku akan melakukannya dengan lebih baik.' Apa
kau nggak pernah merasa seperti itu" Seperti kau sebetulnya bisa melakukan
pekerjaan dengan lebih baik andai kau yang memimpin dunia?"
"Em " kayaknya nggak. Kalau aku memimpin dunia pasti semuanya
bakal jadi mimpi buruk."
"Kalau gitu kau beruntung. Hubris bukanlah kekurangan fatalmu."
"Lalu apa dong?"
"Aku nggak tahu, Percy, tapi setiap pahlawan punya satu kekurangan.
Kalau kau nggak menemukannya dan belajar untuk mengendalikannya " yah,
mereka tentu nggak menyebutnya 'fatal' tanpa alasan."
Aku memikirkan tentang itu. Itu sama sekali tak menyemangatiku.
Aku juga menyadari Annabeth tak menyinggung sama sekali tentang halhal pribadi yang ingin dia ubah"seperti menyatukan kembali kedua
orangtuanya, atau menyelamatkan Luke. Aku mengerti. Aku tak ingin mengakui
betapa seringnya aku memimpikan untuk menyatukan kembali kedua
orangtuaku juga. Aku membayangkan ibuku, sendirian di tengah apartemen kecil kami di
Upper East Side. Aku mencoba mengingat aroma wafel birunya di dapur.
Rasanya itu begitu jauh. "Jadi apa itu sepadan?" tanyaku pada Annabeth. "Apa kau merasa "
lebih bijak?" Dia menatap ke kejauhan. "Aku nggak yakin. Tapi kita harus
menyelamatkan kemah. Kalau kita nggak menghentikan Luke " "
Dia tak perlu menyelesaikan kalimatnya. Kalau cara berpikir Luke bahkan
sanggup memikat Annabeth, sudah pasti akan banyak anak blasteran yang
kemungkinan besar ingin bergabung dengannya.
Aku memikirkan tentang mimpiku akan gadis itu dan sarkofagus emas.
Aku tak mengerti apa arti dari mimpi itu, tapi aku punya firasat aku telah
melewatkan sesuatu. Sesuatu hal mengerikan yang sedang direncanakan
Kronos. Apa yang sebenarnya dilihat gadis itu saat dia membuka tutup petinya"
Tiba-tiba mata Annabeth membelalak. "Percy."
Aku menolehkan pandangan.
Di depan sana ada sebuah titik daratan lain"pulau berbentuk pelana
dengan bukit-bukit penuh pepohonan dan pantai-pantai putih dan padang
rumput hijau"persis seperti yang kulihat dalam mimpiku.
Naluri kelautanku mengukuhkannya. 30 derajat, 31 menit lintang utara,
75 derajat, 12 menit bujur barat.
Kami telah sampai di kediaman sang Cyclops.
14 K a m i Be r tem u D o m b a Pemba w a
M a l a pe t a k a Saat kau memikirkan "pulau monster", kau akan berpikir tebing-tebing terjal
dan tulang belulang berserakan seperti pulau para Siren.
Pulau Cyclops sama sekali tak seperti itu. Maksudku, oke, memang ada
jembatan tali membentangi jurang, yang bukan pertanda baik. Sekalian saja kau
pasang papan reklame bertuliskan, ADA SESUATU YANG JAHAT MENDEKAM DI SINI. Tapi selain dari itu, tempat itu kelihatan seperti
pemandangan yang ada dalam kartu pos Karibia. Pulau itu memiliki padangpadang hijau dan pohon-pohon buah tropis dan pantai pasir putih. Saat kami
berlayar menuju tepi pantai, Annabeth menghirup udara segarnya. "Bulu
Domba Emas," serunya.
Aku mengangguk. Aku belum bisa melihat bulu dombanya, tapi aku bisa
merasakan kekuatannya. Aku yakin ia dapat menyembuhkan segalanya, bahkan
pohon Thalia yang diracun. "Kalau kita mengambilnya, apakah pulaunya akan
mati?" Annabeth menggelengkan kepalanya. "Khasiatnya hanya akan pudar.
Pulau akan kembali ke kondisi normalnya, bagaimana pun itu."
Aku merasa agak bersalah harus menghancurkan surga ini, tapi aku
ingatkan diriku sendiri bahwa kami tak punya pilihan. Perkemahan Blasteran
sedang terancam. Dan Tyson " Tyson tentu masih akan bersama kami kalau
bukan karena misi ini. Di padang rumput di dasar air terjun, beberapa lusin domba sedang
merumput di sekitarnya. Mereka tampak cukup damai, tapi badan mereka
sangat besar"seukuran kuda nil. Di belakang mereka ada jalan setapak yang
mengarah ke bebukitan. Di puncak jalan setapak, dekat ujung jurang, ada pohon
ek besar yang pernah kulihat dalam mimpiku. Sesuatu berwarna emas berkerlip
di dahan-dahannya. "Ini terlalu gampang," kataku. "Kita bisa naik saja ke atas sana dan
mengambilnya?" Mata Annabeth menyipit. "Mestinya ada penjaganya. Seekor naga
atau ..." Saat itulah seekor rusa muncul dari semak-semak. Ia menderap ke
padang rumput, barangkali mencari rerumputan untuk dimakan, saat kesemua
domba mengembik bersamaan dan mengejar hewan itu. Kejadiannya begitu
cepat saat rusa itu terhuyung dan terbenam dalam lautan bulu domba dan
terinjak-injak kaki-kaki domba.
Rumput dan gumpalan bulu-bulu domba beterbangan di udara.
Sedetik kemudian semua domba menyebar pergi, kembali ke tempat
merumput mereka dengan damai. Tempat rusa itu berada tadi telah berubah
jadi tumpukan tulang-belulang putih bersih.
Annabeth dan aku bertukar pandang.
"Mereka kayak piranha," katanya.
"Piranha berbulu domba. Bagaimana kita akan?"
"Percy!" Annabeth terengah, menarik tanganku. "Lihat."


Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia menunjuk ke pantai bawah, tepat di bawah padang domba, tempat
sebuah perahu kecil mendarat " sekoci penolong lain dari CSS Birmingham.
Kami putuskan tidak mungkin kami bisa melewati domba-domba pelahap
manusia. Annabeth ingin berjalan mengendap melewati jalan setapak secara tak
kasat mata dan merebut Bulu Domba itu, tapi pada akhirnya aku meyakinkan
dirinya bahwa rencana itu tak akan berjalan dengan baik. Domba-domba itu
akan mengendus baunya. Penjaga lain akan muncul. Entah apa sosoknya. Dan
kalau itu terjadi, aku akan berada terlalu jauh untuk menolong.
Lagi pula, tugas pertama kami adalah menemukan Grover dan siapa pun
yang mendarat dalam sekoci itu"dengan dugaan kalau mereka berhasil selamat
melewati domba-domba itu. Aku terlalu takut untuk mengatakan apa yang
diam-diam kuharapkan " bahwa Tyson barangkali masih hidup.
Kami menambatkan Dendam Kesumat Ratu Anne di sisi belakang pantai
tempat tebing-tebing menjulang hingga enam puluh meter. Kuduga kapal itu tak
akan terlalu terlihat dari sana.
Tebing-tebing itu kelihatan bisa dipanjat, meski sulit"mungkin sesulit
memanjat tembok lahar yang ada di perkemahan. Setidaknya tebing-tebing itu
bebas dari domba. Kuharap Polyphemus juga tak memelihara kambing-kambing
gunung pemakan daging. Kami melayari sekoci ke tepi bebatuan dan mulai memanjat, dengan
sangat perlahan. Annabeth memanjat lebih dulu karena dia pemanjat yang lebih
jago. Kami hanya nyaris menemui maut enam atau tujuh kali, yang kupikir
cukup lumayanlah. Sekali, aku kehilangan peganganku dan aku bergelantungan
dengan bertahan pada satu tangan di pinggir tebing setinggi lima belas meter di
atas ombak ganas. Tapi aku menemukan pegangan lain dan meneruskan
panjatan. Semenit kemudian Annabeth menginjak sepetak lumut licin dan
kakinya tergelincir. Untungnya, dia menemukan pijakan lain untuk diinjak.
Sayangnya, pijakan lain itu adalah mukaku.
"Maaf," gumamnya.
"Nggak apa-apa," gerutuku, meski aku sebenarnya tak pernah ingin tahu
seperti apa rasanya sepatu kets Annabeth.
Akhirnya, saat jari-jariku terasa seperti timbal meleleh dan otot-otot
lenganku bergetar karena letih, kami menarik tubuh kami ke puncak tebing dan
merebahkan diri. "Ugh," kataku. "Auuw," rintih Annabeth.
"Grrrr!" teriak suara lain.
Kalau saja aku tak terlalu letih, aku tentu sudah melompat setinggi enam
puluh meter lagi. Aku memutar badan memeriksa sekeliling, tapi aku tak bisa
menemukan siapa yang barusan berseru.
Annabeth menutup mulut dengan tangannya. Dia menunjuk.
Ujung tebing yang kami duduki lebih sempit dari yang kusadari. Ia
menurun di sisi sebelah, dan dari sanalah suara itu berasal"tepat di bawah
kami. "Kau berani!" suara yang berat berteriak.
"Tantang aku!" suara Clarisse, sudah pasti. "Kembalikan pedangku dan
aku akan melawanmu!"
Monster itu meraung tertawa.
Annabeth dan aku merangkak ke ujung. Kami berada tepat di atas jalan
masuk gua Cyclops. Di bawah kami berdiri Polyphemus dan Grover, masih
dengan gaun pengantinnya. Clarisse terikat, tergantung terbalik di atas belanga
berisi air mendidih. Aku setengah berharap akan melihat Tyson di bawah sana,
juga. Meski pun dia berada dalam bahaya, setidaknya aku akan tahu kalau dia
masih hidup. Tapi tak ada tanda-tanda keberadaan dirinya.
"Hmm," Polyphemus tampak berpikir. "Makan gadis mulut besar
sekarang atau menunggu untuk jamuan pesta kawin" Apa pendapat
pengantinku?" Dia beralih ke Grover, yang melangkah mundur dan hampir tersandung
ekor gaunnya yang sudah jadi. "Oh, em, aku nggak lapar sekarang, Sayang.
Barangkali?" "Apa kau tadi bilang pengantin?" tanya Clarisse. "Siapa"Grover?"
Di sebelahku, Annabeth bergumam, "Tutup mulut. Dia harus tutup
mulut." Polyphemus membelalak. "Apa tuh 'Grover'?"
"Satir!" teriak Clarisse.
"Oh!" pekik Grover. "Otak makhluk malang itu mendidih akibat air
panas itu. Tarik dia ke bawah, Sayang!"
Kelopak mata Polyphemus menyipit sekitar mata putih mengancamnya, seolah dia mencoba melihat Clarisse lebih jelas.
Cyclops itu kelihatan lebih mengerikan daripada yang tampak dalam
mimpiku. Sebagian karena bau sangitnya sekarang langsung tercium. Sebagian
karena dia tengah mengenakan setelan kawinnya"rok pendek khas Skotlandia
rombeng dan selendang menyampir bahu, dijahit sambung dengan tuksedo biru
muda, seolah dia menambal-sulam sendiri bajunya dari koleksi baju pesta yang
dia miliki. "Siapa satir?" tanya Polyphemus. "Satir makanan enak. Kau bawakan aku
satir?" "Bukan, dasar raksasa idiot!" teriak Clarisse. "Itu satir! Grover! Yang
mengenakan gaun pengantin!"
Ingin rasanya aku memelintir leher Clarisse, tapi sudah terlambat. Yang
bisa kulakukan hanya melihat saat Polyphemus berbalik dan merobek tudung
wajah pada gaun pengantin Grover"menampilkan rambut keritingnya, janggut
kasar tipisnya, tanduk-tanduk kecilnya.
Polyphemus mengembuskan napas berat, berusaha menahan amarahnya.
"Aku nggak bisa lihat dengan baik," geramnya. "Tidak sejak beberapa tahun
lampau saat pahlawan lain menusuk mataku. Tapi KAU"BUKAN"CYCLOPS
"PEREMPUAN!" Cyclops itu merenggut gaun Grover dan menyobeknya. Di baliknya,
Grover yang kukenal muncul kembali dengan jins dan kausnya. Dia memekik
dan menunduk saat monster itu mengayunkan pukulan ke atas kepalanya.
"Stop!" pinta Grover. "Jangan makan aku mentah-mentah! Aku"aku
punya resep enak!" Aku meraih pedangku, tapi Annabeth mendesis, "Tunggu!"
Polyphemus tampak ragu, dengan sebongkah batu besar di tangannya,
siap untuk meremukkan calon pengantinnya.
"Resep?" tanyanya pada Grover.
"Oh p-pasti! Kau nggak akan memakanku mentah-mentah. Kau akan
terjangkit bakteri E-coli dan botulisme dan bermacam-macam penyakit buruk.
Aku akan terasa lebih sedap kalau dipanggang di atas api kecil. Dengan saus
mangga! Kau bisa petik beberapa mangga sekarang juga, di hutan bawah sana.
Aku akan tunggu di sini."
Sang monster merenungkannya. Jantungku memukul-mukul dadaku.
Kupikir aku akan mati kalau aku merangsek maju. Tapi aku tak bisa
membiarkan monster itu membunuh Grover.
"Satir panggang dengan saus mangga," Polyphemus tampak merenunginya. Dia memandang balik pada Clarisse, yang masih tergantung di
atas sebelanga air mendidih. "Kau satir juga?"
"Bukan, dasar gundukan tahi raksasa!" teriaknya. "Aku ini cewek! Putri
dari Ares! Sekarang lepaskan ikatanku biar aku bisa menyobek-nyobek
lenganmu!" "Menyobek-nyobek lenganku," ulang Polyphemus.
"Dan memasukkannya ke dalam tenggorokanmu!"
"Kau punya nyali."
"Turunkan aku!"
Polyphemus merenggut Grover seolah dia adalah anjing kecil yang tak
patuh. "Harus beri makan domba-domba sekarang. Pernikahan ditunda sampai
nanti malam. Lalu kita akan makan satir buat hidangan utama!"
"Tapi " kau tetap akan menikah?" Grover terdengar terluka. "Siapa
mempelainya?" Polyphemus memandang ke belanga mendidihnya.
Clarisse membuat suara tercekik. "Oh, tidak! Kau pasti bercanda. Aku
bukan?" Sebelum Annabeth atau aku bisa mengambil tindakan apa pun,
Polyphemus menariknya dari tali seolah Clarisse buah apel yang masak, dan
melemparkan Clarisse dan Grover ke dalam gua. "Anggap saja rumah sendiri!
Aku akan kembali saat matahari terbenam untuk peristiwa besar!"
Kemudian sang Cyclops bersiul, dan sekumpulan kambing dan domba"
lebih kecil dari domba-domba pelahap manusia"membanjir keluar dari gua
dan melewati tuannya. Saat mereka pergi ke padang rumput, Polyphemus
menepuk sebagian punggung mereka dan memanggil nama-nama mereka"
Beltbuster, Tammany, Lockhart, dan lain-lain.
Saat domba terakhir berjalan keluar, Polyphemus menggeser batu di
mulut gua semudah aku menutup pintu lemari es, meredam suara-suara
teriakan Clarisse dan Grover di dalam.
"Mangga," Polyphemus bicara sendiri. "Apa tuh mangga?"
Dia berjalan pelan menuruni gunung dengan setelan mempelai pria biru
mudanya, meninggalkan kami sendiri dengan belanga air mendidih dan batu
seberat enam ton. Kami sudah berusaha sampai terasa berjam-jam lamanya, tapi tak ada hasilnya.
Batu itu tak mau bergerak. Kami meneriaki ke retakannya, mengetuk batunya,
melakukan apa pun yang terpikir oleh kami untuk mendapat suatu isyarat dari
Grover, tapi kalau pun dia mendengar kami, kami tak bisa tahu.
Bahkan jika pun ada mukjizat hingga kami berhasil membunuh
Polyphemus, itu tak akan ada gunanya bagi kami. Grover dan Clarisse akan mati
di dalam gua tertutup itu. Satu-satunya cara untuk memindahkan batu itu
adalah dengan membiarkan Cyclops melakukannya.
Dengan frustrasi, aku menikam batu itu dengan Riptide. Bunga-bunga api
memancar, tapi tak terjadi apa pun. Batu besar bukanlah jenis musuh yang bisa
kau lawan dengan pedang ajaib.
Annabeth dan aku duduk hampir putus asa dan memandangi sosok biru
muda sang Cyclops di kejauhan saat dia bergerak di antara kumpulan
ternaknya. Dengan cermatnya dia telah memisahkan hewan-hewan normalnya
dari domba-domba pelahap manusianya, menaruh tiap kelompok di dua sisi
dari jurang besar yang membagi dua pulau. Satu-satunya jalan menyeberang
adalah jembatan tali, dan jarak antarpapan pijakannya terlalu lebar untuk dilalui
kaki-kaki domba. Kami memandangi saat Polyphemus mengunjungi kumpulan domba
karnivoranya di sisi jauh. Sayangnya, domba-domba itu tidak memakannya.
Bahkan, mereka sama sekali tak mengusiknya. Polyphemus memberi mereka
potongan-potongan daging misterius dari keranjang anyaman besar, yang hanya
menguatkan perasaan yang kualami semenjak Circe mengubahku jadi marmut
"bahwa barangkali sudah saatnya aku bergabung dengan Grover dan menjadi
vegetarian. "Tipuan," Annabeth memutuskan. "Kita nggak bisa mengalahkannya
dengan kekuatan, jadi kita harus menggunakan tipuan."
"Baiklah," kataku. "Tipuan apa?"
"Aku belum memikirkan bagian itu."
"Hebat." "Polyphemus harus menggeser batunya untuk memasukkan dombadomba itu." "Saat matahari terbenam," kataku. "Waktu dia akan menikahi Clarisse
dan melahap Grover sebagai santap malam. Aku nggak tahu deh mana yang
lebih menjijikkan." "Aku bisa masuk ke dalam," katanya, "dengan tak terlihat."
"Bagaimana dengan aku?"
"Domba," Annabeth merenung. Dia memberiku tatapan licik yang selalu
membuatku waswas. "Seberapa sukanya kamu sama domba?"
"Pokoknya jangan lepaskan!" kata Annabeth, berdiri tak kasat mata di suatu
tempat di sisi kananku. Memang gampang baginya untuk bicara. Toh bukan dia
yang menggantung terbalik di perut domba.
Sekarang, harus kuakui tindakan ini tak sesulit perkiraanku sebelumnya.
Aku pernah merayap ke bawah mobil untuk mengganti oli ibuku, dan ini tak
jauh berbeda. Domba itu tak peduli. Bahkan domba terkecil Cyclops pun masih
cukup besar untuk mengangkat berat tubuhku, dan mereka punya bulu yang
tebal. Aku hanya perlu memelintir seberkas bulunya untuk jadi tempat
pegangan tanganku, menyangkutkan kakiku pada tulang paha domba, dan sim
salabim"aku merasa bagai bayi kangguru, menunggangi dada domba,
berusaha menepis bulu-bulunya dari memasuki mulut dan hidungku.
Kalau-kalau kau penasaran, bagian bawah badan domba baunya tak
begitu enak. Bayangkan sweter musim dingin yang diseret ke dalam lumpur dan
ditinggalkan di keranjang cucian selama seminggu. Yah, seperti itulah.
Matahari akan terbenam. Saat aku baru pasang posisi, Cyclops itu sudah meraung, "Woi! Kambingkambing! Domba-domba!"
Kawanan ternak itu dengan patuh mulai berjalan pelan kembali menaiki
bukit menuju gua. "Ini saatnya!" bisik Annabeth. "Aku akan berada dekat. Jangan khawatir."
Diam-diam aku membuat janji pada para dewa bahwa kalau kami
selamat dari ini, aku akan mengaku pada Annabeth kalau dia genius. Hal yang
menakutkannya adalah, aku tahu para dewa akan menagih janjiku.
Taksi dombaku mulai berjalan pelan menaiki bukit. Setelah seratus meter,
tangan dan kakiku mulai sakit dari bergelantungan. Aku mempererat
cengkeraman pada bulu domba, dan hewan itu mengeluarkan suara geraman.
Aku tak menyalahkannya. Aku juga tak mau ada orang yang memanjat
rambutku. Tapi kalau aku tak berpegang erat, sudah pasti aku akan langsung
terjatuh tepat di depan sang monster.
"Hasenpfeffer!" seru Cyclops, menepuk salah satu domba di depanku.
"Einstein! Widget"eh tuh dia, Widget!"
Polyphemus menepuk dombaku dan nyaris menjatuhkanku ke tanah.
"Tambah daging lagi yah?"
O-ow, pikirku. Ketahuan deh.
Tapi Polyphemus hanya tertawa dan memukul pantat dombanya,
membuat kami terdorong ke depan. "Ayo, 'ndut! Nggak lama lagi Polyphemus
akan memakanmu untuk sarapan!"
Dan sekejap saja, aku sudah berada dalam gua.
Aku bisa melihat domba terakhir masuk ke dalam. Kalau Annabeth tak
segera melakukan aksinya mengalihkan perhatian Cyclops "
Sang Cyclops baru hendak menggeser batunya menutup, ketika dari
suatu tempat di luar, Annabeth teriak, "Halo, jelek!"
Polyphemus mematung. "Siapa yang bilang itu?"
"Bukan siapa-siapa!" teriak Annabeth.
Hal itu mendapatkan reaksi persis seperti yang diharapkan Annabeth.
Wajah sang monster berubah merah karena amarah.
Rahasia Bwana 1 Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin Ketika Dewa Memaksa 2

Cari Blog Ini