Ceritasilat Novel Online

She 1

She Karya Windhy Puspitadewi Bagian 1


sHe Oleh Windhy Puspitadewi PROLOG Dhinar mengambil satu satunya komik conan yang tersisa ketika tiba-tiba seseorang di dekatnya
terpekik kecil. "Aaah!" Dhinar menoleh dan dilihatnya cewek yang sepertinya seumuran dengannya tampak panik
campur kecewa menatap tumpukan komik di depan mereka.
"habis.." desah cewek itu.
Cewek itu menoleh kearah Dhinar dan lansung menyadari dhinar memegang komik yang
dicarinya. "itu.. Yang terakhir, ya?" tanyanya sambil menatap dhinar penuh harap.
"Hah" Eh.. Oh.. Iya.. Sepertinya," jawab dhinar tergagap, tidak menyangka akan ditanya secara
tiba2 sperti itu. "padahal aku berharap kamu bilang 'tidak'," keluh cewek itu. "tau gasih aku udah muter2 ke
sanakemari, dari satu toko buku ke toko buku yang lain, tapi selauu aja kehabisan," kata cewek
itu lagi, kali ini berapi-api. "Memangnya si penerbit itu cetak berapa biji sih" Nggak tau deh aku
mesti nyari kemana lagi."
Dhinar menyerngit, bertanya tanya kmna sebenarnya arah pembicaraan ini. Jangan2 dia mau
meminta komik ini dariku. JANGAN HARAP!
Seakan akan bisa membaca pikiran dhinar, cewek itu buru2 menambahkan, "eh, aku sama sekali
nggal berniat meminta punyamu lho!".
Pipi dhinar langsung bersemu.
"kamu penyuka komik atau cuma conan aja?". Tanyanya cewek itu kemudian.
Dhinar terdiam sejenak, tapi kemudian menjawab, "aku suka smua komik".
Entah kenapa, tiba2 cewek itu tersenyum senang. "wah senangnya! Aku ketemu lagi temen
sealiran!" "sealiran?" tanya Dhinar heran
"iya!" seru cewek itu. "suka komik apa aja" Pilih-pilih gak" Maksudku, cuma komik cewe aja
atau komik cowo aja?"
Dhinar menggeleng. " Kalo aku suka ya aku baca".
"baca Monster juga?"
Dhinar mengangguk. "aku penggemar Naoki urushawa" katanya.
" Wah! Sama dong!" seru cewek itu girang. "aku paling suka Monster dibanding semua
karyanya". "kalo aku lebih suka Master Keaton" kata Dhinar.
" lebih banyak memberi pengetahuan dan manusiawi. Kadang2 aku smpai lupa itu cuma cerita
fiktif, apalagi dengan adanya cuplikan2 sejarah di sanasini. Master keaton jg bagus sih, tapi
kalau..." ..... Master keaton juga bagus sih, tapi kalau..."
mendadak Dhinar tersadar dia telah berbicara terlalu banyak padahal dgn orag yg dikenalnya saja
dia belum pernah bicara sebanyak dan seantusia ini. Cewek itu tersenyum sambil menatap
Dhinar lekat2. "kenapa menatapku seperti itu?"
"aku benar2 senang dapat satu teman saliran lagi" jawabnya.
"hah?" "susah loh, cari temen yang sama2 suka komik seumuran kita ini. Soalnya banyak yg
menganggap komik hanya buat anak kecil, terus bla.. Bla.. Bla.."
selagi cewek itu bicara, Dhinar mendapati dirinya terpesona. Bukan karena apa yang dikatakan
cewek itu, tetepi lebih pada bagaimana cewek itu bisa membuatnya ikut antusias dan merasa
nyaman untk berbicara, padahal meraka blm saling kenal. Mata cewek itu bersinar-sinar dan
terlihat seperti anak kecil yg sedang membicarakan mainan barunya.
"Ah!" kata cwek itu sambil menepuk dahinya sendiri. "kalo sudah ngomongin komik aku selalu
lupa waktu. Sapu pasti sudah menunnguku!"
"sapu?" dhinar mengangkat alis
"cowokku," kata cewek itu sambil nyengir "oke, udah dulu ya! Semoga kita bisa ketemu lagi!
Bye!" cewek itu melambaikan tangan kearah Dhinar, yang anehnya, dibalas Dhinar walaupun
rada2 bengong. Dhinar sendiri heran, tidak biasanya dia merasa senyaman itu diajak bicara oleh
orang yg baru saja dia kenal.
Semoga bisa bertemu lagi" Kurahap begitu, dhinar berkata dalam hati, lalu tanpa sadar
tersenyum sendiri. Rasanya seseuatu dalam cewek itu membuatnya penasaran, seakan-akan
hendak menarik keluar seseuatu dalam dirinya.
*** " Lama bener sih?" gerutu sapu yang sudah menunggu di dekat pintu keluar.
" Hehehe" Dinar hanya menjawab dengan cengengesan. Dinar tahu sapu tidak benar benar
marah. Sapu jarang sekali marah, apalagi kepadanya.
"Tadi temanmu?" tanya sapu.
"Hah?" "Itu," Sapu menunjuk cewek berkacamata yang masih berkutat di depan tumpukan komik baru
dengan dagunya. "Ooh..." Dinar menggeleng. "Bukan, aku baru kenal kok. Aku bahkan nggak tahu namanya."
Sapu mengangkat alis. "Hah" Kok kayaknya kalian akrab banget" Kukira itu temenmu yang
udah lama nggak ketemu."
"Masa sih?" tanya Dinar tak percaya.
Sapu mengangguk mantap. Dinar menatap ke arah cewek yang tadi dia ajak ngobrol dengan tatapan menerawang. "begitu,
ya" Tapi.... Kalau boleh jujur, itulah yang sebenarnya kurasakan. Aku merasa ada seseuati dalam
diri kami yang mirip selahin hobi... Mungkin jiwa..... Atau... Kehidupan... Ibarat musik,
sepertinya kami mempunyai ritme yang sama..."
Dinar terdiam sejenak. Kemudian seakan akan tersadar dari lamunan, dia langsung tergagap.
"aduh aku ngomong apa sih" Aku kayaknya lagi kesambet deh, sampai ngomong yang aneh aneh."
sapu hanya tersenyum. "nggak kok," katanya sambil mengelus rambut Dinar. " ayo pulang."
Dinar balas tersenyum. " He-eh. "
BAB 1 TIng! Tong! Bel pintu depan berbu nyi.
Sial, siapa sih yang datang pada saat begini, umpat Dhinar dalam hati.
" DHINAAAR, TOLONG BUKAKAN PINTUNYA! MAMA LAGI SIBUK!" teriak mama dari
bawah. Dhinar menggerutu. Gara-gara Mbak Voni alias Poniyah, pembantu meraka, pulang kampung
karena ibunya mau menikah, alhasil Mama jadi sibuk berat dan nggak bisa diganggu hal2 sepele
membuka pintu depan. Dengan malas, Dhinar menuruni tangga menuju pintu depan. Maklum,
dia sedang asyik baca conan pada saat bel pintu depan berbunyi, dan sedang di bagian paling
serunya pula. Kesel kan, dapat gangguan nggak penting kayak gini.
Ketika Dhinar membuka pintu, seorang cowok yang sepertinya seumuran dengannya, berambut
jabrik dengan plester di pipi kanan, tampak terkejut. Tangannya terulur seperti hendak memencet
bel lagi. Ia tersenyum. " Hai, selamat siang," sapanya ramah.
"Selamat siang," balas Dhinar dengan senyum dipaksakan.
"aku tetangga baru, rumahku tiga dari sini," jelasnya sambil menunjukkan arah rumahnya.
"Oooh," kata Dhinar tanpa melihat arah yang ditunjuk cowok itu.
"Eh, ini ada sedikit makana," kata cowok itu sambil menyodorkan sebuah kotak kepada Dhinar. "
sebagai tanda perkenalan. "
Dhinar mengangguk, lalu menerima kotak itu.
"Thanks." setelah itu mereka terdiam lama. Dhinar tak mau repot-repot membuka percakapan karena
teringat conan yang belum selesai dibaca. Akhirnya ia berkata, "oke, ada lagi?"
cowok itu tampak kebingungan. "Eh... Oh.... nggak ada, kalo gitu aku permisi dulu."
Dhinar mengangguk. "Bilang ke ortumu, sekali lagi thanks ya." lalu tanpa menunggu jawaban, ia
langsung menutup pintu dengan cueknya.
"Siapa, Dhin?" tanya mama ketika dhinar membawa kotak itu ke dapur.
"Tetangga baru," jawabnya seadanya. "yang rumahnya terpaut tiga rumah dari sini."
"Oooh," Mama manggut-manggut. "Namanya siapa?"
Dhinar tertegun. Pertanyaan mama membuatnya menyadari sesuatu. Dia lupa menanyakan nama
keluarga cowok itu! ******** kelas dhinar tiba2 mengalami kehebohan yg tidak biasa.
"Eh, katanya ada murid baru, ya?" tanya Wulan.
Shinta mengangguk. "Iya, katanya pindahan dari jakarta."
"Waaah, keren dong,." seru Selvy bersemangat. "Cakep, nggak?"
"kayaknya sih iya," jawab Shinta lagi.
"Mau ditempatin ke kelas mana?" sekarang giliran Nana yang bertanya.
"Pastinya kelas kita lah" jawab Tia sok yakin. "kabarnya dia kelas 2 kok, lagi pula sejak si Anto
di-DO kelas kita kan kekurangan satu orang."
"Bener juga!" teriak wulan dan nana hampir berbarengan, lalu suara mulai riuh rendah.
Sepertinya hanya Dhinar yang tak ambil peduli. Dia sedang asyik mengotak-atik soal
matematika untuk ulangan kemarin.
Hmm, sepetinya ulangan kemarin sudah bisa dipastikan aku bener semua, batinnya.
Tiba2 anita, teman sebangkunya, menepuk punggungnya. "Dhin, kamu nggak penasaran sma
anak baru itu" Katanya cakep lho!"
Dhinar hanya tersenyum, lalu menggeleng. Sepertinya aku tahu siapa anak baru itu.
Beberapa menit kemudian bel tanda masuk kelas yang menurut anak2 sekolah seperti penjual es
krim-berbunyi. "eh, eh, dia datang!" seru wulan didekat pintu. Kontan semua cewek di kelas itu, kecuali Dhinar,
berebutan melihat, mereka bersusun didekat pintu seperti tiang totem. Sedangkan murid2 cwok
hanya menggeleng-geleng dn mendesah meliahat hali itu.
"kelihatan, gak?" Tanya wulan.
"gak, dia jalan dibelakang pak Tiono sih" keluh anita
"eh, eh, mereka udah hampir deket lho" selvy memperingatkan. Cewek2 yang semula
menggerombol didekat pintu berhamburan kembali ke meja masing2. Suara langkah kaki dari
luar mulai terdengar mendekat. Sejurus kemudian Pak Tiono yang tingginya hampir dua meter
dengan wajah berjambang masuk diikuti cwok dngn tinggi yg hampir sma. Cowok itu berwajah
ramah, ceria berambut jabrik, dan di di pipi kanannya tertempel plester. Tuh kan..., ujar Dhinar
dalam hati "Anak anak" pak Tiono membuka suara. "kita kedatangan murid baru" dia lalu menoleh kearah
cwok itu. "silahkan perkenalkan diri"
Cwok itu mengangguk lalu menatap semua orang yang ada di depannya sambil tersenyum
ramah. "Nama saya Flemming Setiawan" katanya memperkenalkan diri. "bukan dari Alexander
Flemming sang penemu penisilin, tapi dari Ian Flemming si penulis James Bond" jelasnya yg
disambut tawa seisi kelas.
Dhinar menggeleng-geleng. Nggak penting banget.
"Saya pindaha dari SMA Terra Incognita di Jakarta" lanjut Flemming. "Saya pindah ke
Semarang karna ikut ayah yg dipindahtugaskan ke sini" Ia pun mengakhiri perkenalannya.
Pak Tiono mengangguk-anggul. "Bagus, sekarang..." dia melirik ke bangku paling depan yang
kosong. "kamu duduk di situ, sebelahnya Dony" katanya sambil menunjuk bangku yg dimaksud.
Flemming mengangguk laulu langsung berjalan ke mejanya tanpa menoleh kearah lain. Dia
tidajk sadar sekarang dia duduk di depan Dhinar, tetangga barunya yg dngn tdk sopan menutup
pintu tepat di dpan hidungnya kemarin.
"slam kenal" Flemming menyodorkan tangan pada Dony begitu dia duduk. Dony menjawab
sodoran itu dengn kuat sambil tersenyum. "salam kenal juga". Dhinar hanya melihat dari
belakang tanpa berkata apa2.
"baiklah" kata pak Tiono berdehem. "kita bahas ulangan matematika minggu lalu. "seisi kelas
langsung menggerang.. *** setelah satu setengah jam, yang rasanya seperti satu setengah tahun bagi sebagian besar penghuni
kelas, bel tanda istirahat berbunyi. Begitu pak tiono meninggalkan kelas, cwek2 langsung
menyerbu meja Flemming. Dhinar yg jengah langsung beranjak dari tempat duduknya, dan pergi keluar. Dia berjalan
menuju perpustakaan seperti yang biasa dilakukannya tia jam istirhat untuk mendapatkan
ketenangan. Ketika menaiki tangga depan perpustakaan, ia mendengar seseorang berseru,
"HOI!" dhinar terus berjalan. Dia yakin panggilan itu bukan untuknya.
"HOI! Cewek tinggi, berkacamata, berambut sebahu, dan berdiri di depan perpustakaan!"
cewek tinggi, berkacamata, berambut sebahu" Dhinar menoleh. Ternyata Flemming. Cowok itu
berlari kearahnya. "Ada apa?" tanya dhinar cuek. Sambil terengah-engah flemming memberi tanda"tunggu" selagi
dia mengatur napas. "kok nggak nyapa sih wktu di kelas?" protesnya. "kita kan tetangga".
"lha kamu sendiri?" tukas Dhinar
"gue baru ngeliat muka lu waktu lu keluar kelas" flemming membela diri. "harusnya kalo lu udah
tahu gue, lu nyapa duluan dong!"
dhinar mendengus " sejak kapa cwek mesti mengambil langkah duluan?"
Ia membuka pintu perpustakaan. Perpustakaan sangat sepi dan petugas perpustakaan terliah
duduk dipojok sambil membaca kora sehingga tidak memedulikan kedatangan dua anak muda
yang ribut sendiri. Flemming berjalan mengikutinya dari belakang. "sekarang udah gak zamannya lagi
mempersalahkan siapa yg harus duluan melakukan seseuatu"
"oke." langkah dhinar terhenti, lalu ia menoleh ke arah flemming. "apa sih pentingnya?"
"hah?" flemming menatapnya bingung. "apa sih pentingnya aku menyapamu atau tidak?" tanya
dhinar. "apa sih pentingnya aku mengenalimu atau tidak?"
flemming terdiam. Dhinar tersenyum sinis, lalu berjalan menuju tangga ke lantai dua
perpustakaan. "tentu saja itu penting" kata flemming ketika Dhinar hendak melangkahkan kaki ke pertengahan
tangga menuju bagian ilmu populer. "karena itu berarti lu peduli" lanjutnya
Dhinar menoleh pun tidak. " wah aku tersentuh" sahutnya asal. "tapi apa penting aku peduli atau
tidak?" tanyanya kemudian.
"tentu saja" sahut flemming yakin. "karena lu udah gue anggap temen sejak pertama kita
ketemu.. Walaupun lu gak sopan" tambahnya. Dhinar menoleh dan melihat flemming
menyeringai. "PD bangt sih" komentar dhinar. "aku blm menganggapmu sebagai temenku".
"terserah" flemming bergegas naik mengikuti dhinar. Di lantai atas cuma ada satu-dua orang
anak yang asyik membaca buku.
"oh ya, gimana kabar cewek2 yang tadi merubungi kam?" tanya dhinar, menyibukkan diri
dengan memilih-milih buku di bagian mitologi.
Flemming mengangkat bahu. "mana gue tahu. Gue kan langsung ngejar lu waktu ngelihat lu
keluar." "wah, aku merasa tersanjung lagi nih" kata dhinar tanpa ekspresi.
"bohong" sahut Flemming
"emang" "dasar lu tuh." flemming mendesah. "gue baru kali ini ketemu cewek kayak lu"
"yang gak berebut minta perhatian kamu?"
flemming mengangkat alis. "yah.. Itu salah satunya."
dhinar menemukan buku yang dicarinya dan langsung mengambilnya dari rak. "Terus?"
"yang cuek, sinis, dan sarkatis."
"trims atas pujiannya" kata Dhinar sambil menuju meja dan duduk di smping Dhinar.
"kamu sepertinya udah biasa jadi pusat perhatian cewek2 ya?" tanya dhinar tanpa basabasi.
"gitu deh" ujar flemming agak sombong. "kok lu gak ya?"
dhinar mengangkat bahu. "Tapi gue jadi tertarik sama lu lho" kata flemming setengah merayu.
"Aku gak tuh" jawab 6inar singkat, jelas, padat dan langsung menohok flemming.
"Hah! Baru kali ini gue ditolak bahkan sebelum gue menyatakan" seru flemming tak percaya.
"Selalu ada yg pertama untuk segala hal," kata Dhinar.
Tiba2 salah satu murid yg sedang membaca menyuruh mereka diam dgn tatapan garang.
Flamming mengangguk malu, tapi 6inar terlihat tenang2 saja.
"oh ya, gue belum tahu nama lu" kata flemming setengah berbisik.
"Dhinar pake H" jawab Dhinar sambil membolak-balik halaman buku depannya.
Flemming mengernyit dahi. "Dinar-H?"
"Bukan." "Din-Har?" "Bukan" Dhinar mulai jengkel.
"Dih-Nar?" tanya Flemming pantang menyerah.
"Bukan, Bukan, bukan!" kesabran Dhinar pun habus.
"D-H-I-N-A-R, DHINAR!"
Kontan semua orang di perpustakaan serempak mendesis, "SSSTTT!"
"Oooh..." Flemming manggut-manggut. "Dhinar?"
BAB 2 "SAPUU..." Dinar menggelayut manja di lengan Sapu, cowoknya, ketika mereka berada di toko
buku sepulang sekolah. Nama lengkapnya sih Erwan Saputra nggak ada hubungan keluarga
dengan Nicholas Saputra lho-tapi entah kenapa Dinar sangat senang memanggilnya sapu.
Seperti biasa Sapu hanya menjawab dangan, "hm?"
"aku pengen beli komik, tp bnyk yg baru jadi bingung pilih yang mana," keluh Dinar.
"Hm?" sahut sapu lagi. Entah sebenarnya Sapu mendengar atau tidak. Cowok itu tampak
tenggelam dalam buku yg sdang dibacanya.
Dinar mendesah lalu melepaskan tangannya dari Sapu yg masih tidak memedulikannya. Dia
berjalan kearah tumpukan komik dan akhirnya memutuskan memililih-milh sendiri.
Dinar dan Sapu sudah berpacaran sejak kelas dua SMP, kira2 hmpir 5 thn lalu. Tidak ada yg
menyangka mereka berpacaran. Maklum, selain karn sikap mereka sblmnya seperti musuh
bebuytan, sifat mereka pun bagaikan air dan api. Dinar sangat ekspresif, bicaranya ceplas-ceplos,
dan nggak pernah bisa diam. Sapu malah sebaliknya: kalem, berwibawa, tapi sekalinya


She Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ngomongnya pasti tajam dan sinis. Hobi mereka pun berbeda jauh, Dinar suka segala macam yg
berhubungan dengan komik, kartun jepang, dan serial2 Tokukatsu-itu lho, cerita Kesatria Baja
Hitam, Mega Ranger, Goggle, dll- sapu justrusuka buku yg berat2. Bahkan sejak masih SMP, ia
sudah melahap buku2 Freud, Nietzche, Guevara. Mereka berdua ngetop saking seringnya
bertengkar. Dinar troublemaker nomer wahid sementara Sapu scudetto alias murid teladan di
sekolah. Tak heran satu sekolah langsung gempar begitu tahu mereka pacaran.
Jangankan orang lain Dinar saja sampai sekarang tak habis pikir kenapa dulu dia mau berpacaran
dengan Sapu dan lebih heran lagi mengapa Sapu mau berpacaran dengannya, sampai empat
tahun pula! Dinar ingat saat pertama kali mereka bertemu. Waktu itu masa OSPEK. Karena sering membuat
masalah dan tidak menaati peraturan sekolah dengan mengecat rambut, memakai rok yg kelewat
mini, karena sering membuat masalah dan tidak menaati peraturan sekolah dgn mengecat
rambut,memakai rok yang kelewat mini, bahkan pernah menampar slah seorang teman ceweknya
karena mengejeknya, dinar sering dihukum oleh kakak2 kelas panitia ospek, bahkan oleh guru.
Biasanya dihukum lari keliling lapangan atau berdiri du luar kelas sampai jam ospek berakhir.
Dia sih cuek2 aja, apalagi dia lebih suka olahraga daripada mendengarkan ceramah.
Ketika dia sedang dihukum berdiri di depan kelas, seorang cwok dari kelas lain berjalan
melewati Dinar, lalu berkata pelan "dasar sok."
mendengar hal itu, telinga Dinar langsung memerah.
"hei! Apa maksud kata2mu itu?" teriak Dinar. Cowok itu berhenti lalu menoleh ke arahnya.
"Kamu sok" kata cowok itu dengan sikap menantang dan tersenyum sinis.
"sok apa maksudmu?" tanya dinar marah.
"ya ampun, selain sok ternyata bego juga" cowok itu menggeleng-geleng.
Darah dinar mulai terasa mendidih, ingin rasanya dia menonjok wajah cowok itu, tapi
ditahannya. "coba, buat apa kamu sengaja melanggar peraturan?" kata cowok itu. "Buat cari perhatian doang,
kan" Biar orang2 jadi tahu kamu kan" Apa bukan sok itu namanya?"
Dinar benar2 marah, tapi kali ini lebih karena ada kebenaran dalam kata2 cowok itu. Seumur
hidup ia selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya yg sempurna. Ia sudah muak, hingga
akhirnya memutuskan mencari cara agar orang2 melihatnya sebagai dirinya, bukan "adik
kakaknya". Dan yang ada dlm pikirannya hanyalah membuat onar supaya orang tak lagi
mengkait-kaitkannya dengan kakaknya.
"kamu ngajak berkelahi ya?" dinar menggulung lengan kemejanya. "Ayo! Aku gak taku."
"sudah kuduga kamu akan bereaksi seperti itu".
"APAAA?" dinar mendelik.
Cowok itu berbalik. "aku ga mau berkelahi, aku pencinta damai," katanya sambil meneruskan
berjalan. "pengecut!" ejek Dinar.
"terserah" Dinar baru mengetahui identitas cwok menyebalkan itu setelah masa ospek berakhir dan mereka
resmi menjadi murid sekolh tsb. Erwan Saputra, peraih NEM tertinggi SD. peraih NEM tertinggi
SD sekota Semarang dan juga juara berbagai macam lomba. Guru2 se-SMP itu pun langsung
menjadikannya anak kesayangan, hal yg membuat dinar makin membencinya. Setiap mereka
berpapasan selalu terjadi pertengkaran. Itu pun pasti Erwan yg memulai dngn selalu tersenyum
mengejek tanpa berkata-kata ketika melihat dinar, atau malah melontarkan komentar sinis tiap
kali dinar tertawa terbahak-bahak bersama teman2nya atau dihukum di luar kelas. Siapa yang
gak marah diperlakukan seperti itu coba" Dinar pernah hampir nangis saking jengkelnya.
Aku salah apa sih sma dia" Dinar bertanya-tanya dlm hati. Akhirnya dinar memutuskan untuk
balik menantang. Semakin Erwan mengomentari sikapnya, dia justru akan terus melakukannya.
Ketika Erwan lewat, dia justru akan sengaja tertawa keras2. Pokoknya dia berjanji akan
melakukan apa pun yg tdk disukai Erwan.
Sialnya ketika naik kelas 2, mereka ternyata sekelas! Anak2 satu kelas sampai merasa tidak
nyman gara2 aura neraka yg menyebar dari kedua kubu. Dinar sudah mencoba menahan diri
walaupun Erwan masih terus2san mengomentari dirinya dgn menyebalkan.
Suatu hari Dinar datang ke sekolah menggunakan rok mini dan kemeja ketat yg lansung
membuatnya jadi pusat perhatian, termasuk perhatian guru BP yg memanggil dan memarahinya.
Anehnya, hari itu Erwan sma sekali tidak berkomentar apa-apa. Dia memang tampak terkejut
ketika pertama kali melihat Dinar berpakaian seperti itu, tapi setelahnya seharian dia sma sekali
tidak berkomentar. Hari itu akhirnya dinar pulang paling akhir lagi seperti biasa kerna dihukum guru BP. Dia baru
boleh pulang jika sudah menulis 100kalimat: "saya tiadk akan melakukannya lagi". Setelah
selesai dia menyerahkannya ke guru BP, lalu berjalan kembali ke kelas utk mengambil tasnya.
Sekolah sudah sepi,hanya terlihat beberapa anak bergerombol membicarakan sesuatu. Dari jauh
dia melihat kelasnya pun sudah sepi.
Semua sudah pulang. Ternyata dugaan dinar salah. Di pojok ruangan seseorang sedang duduk seseorang sedng duduk
sambil membaca buku yg lansung ditutupnya begitu menyadari kedatangan dinar. Erwan
"sudah selesai?" tanyanya.
"apa pedulimu?" jawab dinar ketus sambil berjalan menuju mejanya.
"apa hukuman yg baru saja diberikan cukup menyadarkanmu biar gak jadi cewek murahan?"
dinar tak percaya dengn kata2 yang baru saja didengarnya. Murahan" Dia langsung mendelik ke
arah Erwan. "murahan" Apa maksud kata2mu itu?" teriak dinar
Erwan beranjak dari kursinya. "pakai baju kaya gitu apa namanya kalau bukan murahan" Kamu
ingin jadi pusat perhatian semua cowok di sekolah ini kan?"
Dinar diam, tapi napasnya tersengal-sengal dan dadanya naik-turun.
"Apa sih pedulimu?" tanyanya dengan suara tercekat. Dia bisa merasakan air mata mulai
menggenangi pelupuk matanya. "Aku salah apa sih sama kamu!" tanyanya lagi. "Sejak pertama,
bahkan sebelum mengenalku, kamu selalu menggangguku, mengomentari nyaris semua yg
kulakukan. Aku ini salah apa sama kamu?""!!!" teriak Dinar histeris. Air matanya pun tumpah.
"Apa salahnya kalau aku melakukan apa yang ingin kulakukan" Apa salahnya aku jadi diriku
sendiri" Apa salahnya jika aku ingin dilihat sebagai aku" APA SALAHNYA?""!!!"
Erwan tertegun, dia tidak menyangka akan mendapat reaksi balik seperti itu.
"Dirumah aku sku selalu dikomentari tentang apa yg kulakukan. Selalu dibanding-bandingkan
dengan kakaku, aku sudah muak," kata dinar lirih. "dan sekarng di sekolah juga aku diperlakukan
sama olehmu!" Erwan terdiam. "Apa hakmu mengomentari apa yang kulakukan?" kata Dinar lagi. "kamu gak berhak! Kamu
juga berhak mengata-ngatai aku cewek murahan! Toh aku gak merugikan siapa pun!" dinar lalu
menyambar tasny dan lari keluar kelas sambil menghapus air matanya.
Sejak hari itu, Erwan tdk lagi mengomentari sikap Dinar. Dia bahkan mendekato dinar untuk
minta maaf, tp sebaliknya dinar malah berusaha menhghindarinya. Hal itu berlangsung slama
hmpir seminggu. Sbenarnya, diam2 Dinar merindukan komentar2 Erwan, namun ia tidak mau
mengakuinya. Kemudian pada suatu minggu pagi yg cerah, seperti biasnaya Dinar keluar rumah untuk membeli
komik baru. Begitu menutup pintu pagar, ia terpekik kecil melihat seorang berjongkok di smping
pintu pagarnya. "Erwan!" Erwan alnsung berdiri. "Maaf bukin kamu kaget"
Entah kenapa melihat Erwan disana dinar merasa sedikit senang. Tapi setelah mengingat
kejadian seminggu lalu, ia langsung memasang muka masam.
"Ngapain kamu ke sini?" tanyanya ketus.
"Mau.. Ketemu kamu," jawab Erwan kikuk.
"Kenapa gak mengetuk rumahku aja" Begini kan malah mencurigakan."
Erwan menatapnya tak percaya. "Yang bener aja, pasti kamu cari2 alasan biar gak usah nemuin
aku" "Untung sadar diri" sahut Dinar sinis sambil mulai berjalan. Erwan buru2 menjejeri langkahnya.
"Aku mau minta maaf," kata Erwan sambil menoleh ke arah dinar untuk melihat reaksinya, tapi
Dinar diam saja. "Aku.. Seharusnya aku tidak mengomentari tindakanmu" tambahnya. "Kau benar, aku gk berhak.
Itu hidupmu, dan terserah padamu bagaimana menjalaninya."
Dinar masih terdiam dan terus berjalan.
"Aku baru menyadari," lanjut Erwan. "aku melakukan semua itu karna aku iri padamu"
Dinar menhentikan langkhnya lalu menoleh kearah Erwan dngn tatapan tak percaya. "Iri?"
Erwan mengangguk. "karena seperti yng kamu bilang sendiri, kamu melakukan apa yg ingin km
lakukan tanpa peduli omongan atau pandangan orang lain. Sdngkan aku beda, aku menjalani apa
yg orng ingin aku menjalaninya. Karena itulah aku iri dan selalu mengata-ngataimu. Aku brharap
km akan berubah shg kau juga merasakan hal yg kurasakan. Jahat ya?"
Dinar mengangguk. "Jahat sekali"
Erwan mendesah. "Maaf. Ternyata dugaanku salah. Kamu tidak berubah dn tetap hidup spt yg
km inginkan. Lalu sedikit demi sedikit mulai ada perubahan dalam diriku, setiap melihatmu aku
jd merasa hidup. Aku senang sekali waktu tau kita sekelas," akunya jujur. "aku terus
mengomentari atau bersikap sinis padamu karna entah kenapa aku senang melihatmu marah.
Lalu waktu km berpakain ketat dan mini, tiba2 aku merasa sangat marah. Aku semakin tdk senag
melihat tatapan teman2 cowok kita sewaktu melihatmu." Erwan tampak malu saat
mengatakannya. "Kenapa?" "Karena.. " Erwan terdiam selam beberapa saat, lalu tiba2 wajahnya memerah. "Aku baru sadar
sepertinya aku... Cemburu."
Dinar langsung melongo mendengar kata terakhir yg diucapkan erwan. "Ini... Pernyataan nih?"
tanya Dinar tidak yakin. "Mungkin," jawab Erwan sambil memandang ke arah lain karena terlalu malu untk menatap
mata Dinar. Dinar tersenyum senang. "Sbenarnya..," kata Dinar dengn tk kalah malu2 "beberapa hari ini aku
merasa kehilangan komentar2mu."
"Hah?" sekarang giliran Erwan yg melongo. "Maksudnya?"
"Uuh, dasar bodoh!" gerutu Dinar. "Maksudnya, aku juga punya perasaan yg sama!"
Erwan menatap Dinar tak percaya, ada kata "benarkah?" tertulis di wajahnya. Setelah itu selama
beberapa saat berdua berdiri dalam diam, hanya saling memandang dgn wajah memerah sampai
akhirnya Erwan membuka suara.
"Trims," katanya sambil tersenyum. Senyum tulus dan termanis pertama yg diperlihatkannya
pada Dinar. "Sama2" Dinar membalas senyumannya.
Mereka berduapun jadian dan sejak saat itu pula dinar memanggil Erwan dgn nama "Sapu" dan
hanya dia yg boleh memanggil dgn nama itu.
Dinar yg tidak mau berpisah dari Sapu, sejak saat itu rela belajar pontang-panting agar Ia rela
belajar pontang panting agar bisa satu SMA dengan Sapu. Tapi sayang dia tidak berhasil
mencapai NEM minimal SMA favorit yang ingin dimasuki Sapu. Akhirnya Sapu-lah yang
mengalah meski sempat mendapat tentangan keras dari ortunya. Begitulah, akhirnya mereka
bersekolah di SMA yang sama dan tetap langgeng sampai sekarang.
*** "Sudah mutusin mau beli yang mana?" tanya Sapu, membuyarkan lamunan Dinar.
"Eh, kayaknya udah," jawab Dinar. "Tapi cuma satu, padahal banyak yang ingin kubeli. Eh, Pu,
mau beliin aku, nggak?"
"Nggak," jawab Sapu tegas.
"Pelit," Dinar menggerutu.
"Emang," sahut Sapu.
"Heran deh, kok aku mau pacaran sama kamu ya?"
"Aku juga heran," balas Sapu.
"Kok kamu mau pacaran sama aku?" tanya Dinar sambil melirik Sapu.
Sapu mendesah. "pertanyaan bodoh."
Dinar tersenyum. "Ayo, cepet bayar," kata Sapu sambil berjalan menuju kasir.
"Iya!" Dinar mengikuti Sapu lalu menggelayu manja di lengannya.
BAB 3 "KOK kemarin kamu bisa langsung akran banget sama Flemming sih?" tanya Selvy ketika bel
pulang berbunyi. Ini sudah yang kesekian kalinya pertanyaan itu diajukan pada Dhinar sampai
dia enek dan pengin muntah. Untuk yang kesekian kalinya pula dia memberi jawaban singkat:
"Tetangga." Setelah itu si penanya pasti akan manggut-manggut kemudian berkata, "Oooh.." dan tak bertanya
lebih lanjut. Baru kali ini Dhinar merasa terganggu oleh masalah sepele. Dia mendesah beberapa kali
mengingat hari melelahkan yang baru dilaluinya. Bayangkan saja, dia harus menjawab
pertanyaan sama yang diajukan oleh setiap orang, terutama cewek, yang dia temui! Gila aja!
Setelah mengemasi barang-barangnya, dia menyambar tas dan pergi ke luar kelas. Hari ini dia
diminta menemui guru BP sepulang sekolah.
Ada apa ya" Nggal mungkin karena aku membuat masalah, kan" Batin Dhinar.
Tiba-tiba seseorang menepuk punggungnya ketiaka dia sedang berjalan. Dia menoleh dan
melihat flemming sudah berada di smpingnya. Tanpa berkata apa2 dia menatap cwok yang
berjalan di sebelahnya itu selama beberapa detik lalu mengalihkan pandangannya lagi lurus ke
depan. "Dingin banget" komentar Flemming.
"Panas ko," kata Dhinar. "Ini kan semarang"
"bukan cuacanya, dodol" sergah flemming. "LU-nya"
"Ooh.." Flemming geleng-geleng melihat kecuekan Dhinar.
"Hari ini pulang bareng yuk" ajak Flemming kemudian.
"Bagaimana kalau jawabannya 'nggak'?" tanya Dhinar retoris.
"Belum pernah ada cewek yang bialng 'nggak' sama gue" tuntut Flemming.
"Wah, kalau begitu aku orang pertama dong. Aku habat ya?" kata Dhinar sarkatis. "Gimana
kalau kamu ajak cewek2 yg ngerubungin kamu kemarin itu" Mereka sepertinya berminat."
Flemming tersenyum nakal. "Oooh.. Domab2 kecilku itu?"
Dhinar menatapnya tak percaya, "kamu menganggap mereka seperti itu?"
Flemming hanya cengengesan.
Dasar playboy cap kadal! Dhinar menggeleng-geleng sambil membetulkan letak kacamatanya.
"Ogah, gue maunya sama lu ko" rayu Flemming sambil mengerling nakal pada Dhinar.
"lagi pula rumah kita kan searah, emang kenapa sih segitunya lu nggakl mau deket2 sama gue?"
Dhinar menghela napas. "Teserah, pokoknya jawabanku tetep tidak..."
"Tapi jawabanku iya." Flemminh menyeringai. "Oh ya, omong2 kita mau ke mana nih?"
"Ruang BP." "HAH"!" jerit Flemming. "Ngapain?"
"Aku dipanggil sma guru BP," jelas Dhinar.
"Lu bikin masalah apa?" tanya Flemming. "Nyontek" Narkoba" Atau tawuran?"
Dhinar menghentikan lahkahnya lalu memutar tubuhnya, menghadap Flemming. "Memangnya
aku punya tampang seperti itu?"
Flemmming berpura-pura berpikir sambil mengelus-elus dagunya. "Hmm...emangnya gak?" lau
dia tertawa. Tanpa memedulikan cowok itu, Dhinar mulai berjalan lagi. Entah kenapa ruang BP terasa sangat
jauh hari ini. Mungkin ini hanya karena dia ditemani orang yang luar biasa kurang ajar.
"Eh, gue tunggu di gerbang aja ya?" kata Flemming tiba2 "Gue agak alergi sama ruang BP"
jelasnya. "keliatan ko" ejek dhinar.
Flemming cuma tersenyum kecut mendengar ejekan Dhinar, lalu berbalik dan berjalan ke arah
gerbang. Akhirnya Dhinar bisa bernafas lega. Pengganggu itu pergi juga.
*** Sambil berjalan menuju pintu gerbang, Flemming berpikir keras bagaimana cara menaklukkan
Dhinar. Ia tahu dirinya tampam dan pintar memanfaatkan kelebihannya itu. Ia tahu cewek suka
sekali diberi perhatian lebih, apalagi ditambah senyuman bertegangan 100.000 volt yang
dimilikinya. Ia selalu menebar pesona seperti itu pada semua cwek yang ditemuinya, dan nggak
pernah gagal. Tapi pernah juga ia hampir celaka karenanya. Satu kali ia berhasil menggoda cewek salah
seorang ketua berandal tersinggung, alhasil flemming dikeroyok habis habisan oleh anak buah si
ketua berandal sampai harus nginep di rumah sakit. Bekas luka di pipi kan yg selalu ditutupinya
dengan palster berasal dari perkelahian itu.
Masalah itu juga yang membuatnya mesti pindah sekolah demi amannya, selain karena ayahnya
memang dipindahtugaskan. Anehnya, ia sama sekali tidak menyesal. Bahkan semakin bangga
dan senang. pokoknya sebelumnya tidak pernah ada cewek yang menolaknya seperti yang dilakukan Dhinar.
Inilah yang membuatnya penasaran thdp cewek itu.
*** Pintu ruang BP berbentuk seperti pintu bar zaman koboi shg walaupun Dhinar baru beberapa
sentimeter dari pintu, BU Eny sang guru BP sudah melihatnya.
"Masuk Dhin," katanya. Dhinar membuka pintu, lalu setelah mengucapkan permisi dia duduk di
kursi dpan meja bu Eny. "Ibu mau bertemu dengan saya?"
"Oh!, Ini.." Bu Eny membuka laci mejanya lalu mengadukny, seperti mencari-cari sesuatu.
Dhinar melirik ke meja di sebelah Bu Eny. Di sana ada dua orang anak kelas dua, tapi bukan
temen sekelas Dhinar, sepertinya sedang dimarahi pak agus.
"Mereka membawa komik kesekolah," kata Bu Eny tiba2 hingga Dhinar terkejut.
"Ooh.." dhinar langsung mengalihkan pandangannya lagi ke Bu Eny.
"Komik kok di bawa ke sekolah" lanjut Bu Eny
"mengganggu pelajaran saja. Lagi pula anak umur segitu kok masih baca komik. Bisa2 otaknya
jadi ikut kekanak-kanakan. Apalagi zaman sekarang banyak yang gak bener, moral bisa rusak
gara2 baca komik" Dhinar menelan ludah dan hanya terdiam. Sebenarnya dalam hati dia ingin berteriak, "saya juga
suka baca komik, Bu!" tapi akhirnya dia diam saja. Dia tidak mau mencari masalah. Lagi pula
selam ini dia sudah terlanjur dicap sebg murid teladan yg penurut dan selalu menjadi kesayangan
guru2. Suatu hal yg dia peroleh dng susah payah. Jangan sampai hal itu rusak hanya karena
emosi sesaat.

She Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah!" seru bu eny saat berhasil menemukan benda yg dicarinya. Bu Eny mengeluarkan brosur
dari laci, lalu menyodorkannya pada Dhinar.
"ini ada tawaran beasiswa ke jepang"
"Ritsumeikan Asia University?" Dhinar membaca nama univesitas yg tertera di sampul brosur
itu. Bu Eny mengangguk. "kalu kamu berminat, ibu bisa bantu mengurus persyaratannya, setelah itu
kamu tinggal ikut tesnya saja."
"ta..tapi..saya masih..saya nggak yakin saya bisa" ucap Dhinar terbata-bata.
"ah, kalau dhinar sih ibu yakin lolos." kata bu eny yakin. Tentu saja Bu Eny yakin, sejak kecil
Dhinar sudah menunjukan prestasinya. Dia peraih NEM SMP tertinggi sekota semarang. Dia
cuma sekali "lengah" dan mendapat peringkat dua, yaitu waktu SD. Berbagai macam lomba
dimenanginya, itulah sebabnya semua guru sayang kepadanya. Apalagi kepala sekolah.
Dhinar hanya terdiam. Bu Eny pede bener! Orang yg punya nama aja gak pd, batinnya.
"Terimakasih Bu" kata Dhinar memasukan brosur itu ke tasnya. " akan saya pikirkan baik2."
"benar2 dipikirkan baik2 ya?" pesan Bu Eny.
Dhinar mengangguk. "kalu begitu saya permisi dulu, Bu." Dhinar mohon pamit lalu beranjak
dari kursinya. Sebelum keluar dari ruang Bp, dia melirik sesaat ke arah dua orang yg sdng
dimarahi Pak Agus gara2 membawa komik ke sekolah. Dhinar menghela napas, lalu membuka
pintu dan keluar. Dhinar berjalan menuju gerbang sambil berdoa semoga tidak bertemu Flemming lagi. Tapi
sayang sekali, doanya tidak terkabul. Cowok tinggi berambut jabrik itu bersandar di pintu
gerbang dan begitu melihat kedatangannya langsung berteriak, "DHIINAAA!" sambil melambailambaikan tangan hingga semua anak yg masih disekolah melihat kearah mereka berdua. Dhinar
hanya bisa menghela napas lebih panjang daripada biasanya.
*** "DHINAAR!" panggil Mama diikuti suara langkah kaki yg semakin mendekat.
Dhinar yg sedang asyik memca komik naruto langsung tersikap. Great! Pekiknya dalam hati.
Harus cepet2 disembunyikan!
Dia bergegas bangun dari tempat tidurnya dan lari ke lemari buku,mengambil kotak
Ensiklopedia, lalu menyelipkan komik naruto di antara kumpulan komik laninnya di dalam situ.
Tepat pada saat dia hendak meletakan kotak ensiklopedia itu kembali, mama membuka pintu.
Pandangan mama menyapu sekeliling kamar. "Sedang apa kamu?" tanya mama curiga.
"Belajar" jawab dhinar enteng sambil mengambil buku fisikanya dan membolak-balik
halamannya. Mama manggut2 percaya saja pada perkataan Dhinar. "Makan malam sudah siap" kata mama,
kemudian menutup pintu kamar Dhinar kembali.setelah yakin mama sudah jauh dari kamarnya,
Dhinar merebahkan diri di kasur dengn jantung masih berdebar-debar. Dia tersenyum. Selamat.
Entah apa yang akan dilakukan mama jika ia ketahuan sedang membaca komik. Orangtuanya
sengat ketat untuk urusan sekolah. Papa sangat ingin anak-anaknya mengenyam pendidikan
setinggi-tingginya. Dhinar anak terakhir dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya perempuan dan
kakak keduanya laki-laki, nama mereka lira dan real (jadi jangan heran jika seumpama nanti
Dhinar punya adik lagi, mungkin akan diberi nama Peso, Bath, atau bahkan Rupiah). Mereka
bertiga sudah dipaksa ikut berbagai macam les sejak masih SD. Setelah Lira berhasil kuliah di
Barkeley University dan Real diterima di ITB, sebagai anak terakhir Dhinar diharapkan mampu
menyamai, atau kalau bisa, melebihi prestasi kedua kakanya itu.
Di rumah sekarang cuma ada papa, mama, mbak Von, sopir papa Pak Sair, Bang ucok si tukang
kebun, dan Dhinar sendiri. Dan dirumahnya yg sepi itu, peraturan ortunya tentu saja sangat
mudah diterapkan : Nggak boleh main playstation! Nggak boleh baca komik! Pokoknya belajar!
Pada dasarnya Dhinar memang suka membaca buku, apapun itu, berat ataupun ringan. Namun yg
paling dia sukai tetap komik! Sejak kecil Dhinar suka komik. Dia pertama kali kenal komik dari
teman yang memimjaminnya doraemon waktu sd dulu. Dhinar benar2 terpesona dengan
Doraemon, hingga sering mengkhayal memiliki barang2 yang ada di kantong ajaib robot kucing
itu. Sejak saat itu dia jadi penggila komik. Karena takut ketahuan orangtuanya, Dhinar selalu
membeli dan membaca komik secara bersembunyi2 pokoknya kayak pengguna narkon deh. Tapi
Dhinar sangat menikmati hal itu, bukan hanya membaca komik iru sendiri, tetapi juga main
kucing-kucingan dengan mamanya untuk menyembunyikan komik2..
Suatu kali Mamah pernah curiga sehingga menggeledah kamarnya dan menemukan setumpuk
komik di bawah tempat tidurnya. Mama marah besar lalu langsung membuang komik-komik itu
ke tong sampah. Dhinar menyesal tidak bisa menyembunyikan komik-komiknya dengan baik.
Hal itu terjadi lebih dari lima tahun yang lalu.
Dhinar menatap kotak-kotak Ensiklopedia berisi komik yang menghiasi lemari bukunya. Dhinar
tahu setelah kejadia itu secara rutin mama selalu menggeledah kemarnya. Tapi dhinar sudah
bukan anak umur sepuluh tahun yang suka menyumbunyikan benda-benda rahasia di bawah
kasur atau kolong tempat tidur. Sampai sekarang mama belum berhasil menemukan komikkomiknya.
Lagi lagi Dhinar menghela napas, jantungnya sudah tidak berdebar-debar lagi, lalu berjalan
keluar kamar untuk makan malam. Sebelum menutup pintu, dia melirik sebentar ke arah brosur
beasiswa di meja belajarnya bertanya-tanya haruskah ia memberitahu orangtuanya tentang hal itu
sekarang. Lalu ia menggeleng. Kapan-kapan saja.
Dan pintu pun ditutup. BAB 4 Sepulang sekolah Dinar seperti biasa membonceng Sapu, tapi kali ini mereka tidak pulang ke
rumah. Motor mereka melaju melewati bundaran Tugu Muda, lalu ke Simpang Lima, dan
akhirnya masuk ke Taman Budaya Raden Saleh. Ketika mereka samapai disana, beberapa orang
sudah terlihat bergerombol di taman dekat sebuah warung.
Hari selasa dan sabtu siang sepulang sekolah memang jadwal berkumpulnya para anggota Genki
Ji, perkumpulan pencinta anime dan manga yg didirikan Dinar.
Awalnya sih iseng2 saja. Tahun lalu, lewat sebuah stasiun radio, dia mengajak orang2 yang suka
anime dan manga seperti dirinya untuk membentuk wadah bagi para pencinta anime dan manga
se-Semarang. Dan yang berminat dia minta berkumpul di Pujasera Java Supermal pada hari yang
ditentukan. Dia pikir paling2 yg berminat cuma lima-enam orang, eh ternyata pada hari H ada
sekitar dua puluhan yang datang! Setelah itu mereka sepakat melakukan pertemuan tiap hari
selasa dan sabtu di TBRS alias Taman Budaya Raden Saleh untuk bertukar info tentang anime
dan manga terbaru. Dinar diangkat sebagai ketua Genki Ji. Dinar yang menamainya begitu,
alasannya cuma, "Karena aku pikir itu keren"
"Hoi, Le!" seru Dani, cowok paling tinggi dan paling krempeng se-Genki Ji, begitu melihat
Dinar datang. Dinar sering menganggap diri sebagai Arele, salah satu tokoh dalam anime Dr.
Slump. Itulah sebabnya di kalangan teman2nya di Genki Ji dia dipanggil Ale.
"Hoi," dinar membalas sapaannya. "Gimana kabar semuanya?" tanyanya sambil melepas jaket
sambil duduk diantara belasan anak yang ada disitu.
"Bosen Le," sahut Ayi, cowok kurus berkacamata yang duduk dipojok. "Kalau acara Genki Ji
cuma gini2 doang lama2 anggotanya bisa kabur semua" lanjutnya, yang langsung diiyakan oleh
yg lain. "kita mesti nunjukin ke orang2 ada forum anime/manga yang namanya Genki Ji" tambah fio,
cowok bertubuh agak sebur.
"Terus, kalian usul kita bikin apa?" Dinar menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Eh, sebentar lagi kan Genki Ji ulang tahun yang pertama" celetuk Amru, cowok yang duduk
disebelah Flo. "Pas banget tuh momennya kalau kita mau bikin acara."
"Acara apa?" tanya Dinar lagi.
"Acara musik, gimana?" Flo balik bertanya. "Yang mainin lagu-lagu jepang, terutama soundtrack
anime." "Dananya nggak ada tahu!" sergah Dinar.
"Yah.. modal awal kita patungan aja dulu." jelas Flo. "kalau kita sudah dapat sponsor atau
donatur mungkin penjualan tiket juga, kan bisa balik modal."
"Setuju!" timpal Novi salah satu orang yang jago bahasa jepang di Genki Ji, biasanya dipanggil
Nobi-san. "Lagipula acara musik kan acara paling murah, mengingat anggota2 Genki Ji banyak
yang bikin ban sendiri. Jadi, pengisi acaranya bisa dipastikan bakal GRATIS!"
"Nggak setuju!" Tiba2 Resya, yang vokalis band aliran Jepang bernama Japanese Girls (padahal
semua anggotanya cowok) berteriak. "Temen sih temen tapi bisnis tetep bisnis. Masak
grentongan" Suara gue ini juga butuh modal!"
"Iya deh, gampang" rayu Dinar. "Ntar kalau ada keuntungan, kita pakai sistem bagi hasil aja
gimana?" "Emang ini Bank Syariat?" celetuk Resya lagi, yang diikuti tawa anak2 lain.
"Ah! Ribut banget sih anak!" Dinar sudah mulai kehilangan kesabaran. "Mau nggak" Take it ora
leave it!" Resya berpikir sebentar, lalu sambil ogah-ogahan dia mengangguk. "Iya deh."
Dinar tersenyum penuh kemenangan. "Jadi," katanya kemudia sambil berdiri, "sudah diputuskan.
Untuk memperingati setahun berdirinya Genki Ji, kita akan mengadakan acara musik. Semua
setuju?" Dinar memandang sekeliling.
Setelah tdk melihat adanya tanda2 penolakan, ia melanjutkan, "Karena aku ketua perkumpulan,
aku tdk mungkin merangkap sbg ketua panitia juga. Jadi gimana kalau Ayi kita angkat jadi ketua
panitia" Ada yang keberatan" Kalau ada, biar dia yang ngegantiin Ayi."
semua orang, kecuali Ayi, menggeleng. Ayi langsung mengacungkan tangannya sambil
berteriak. "AKU! AKU! AKU KEBERATAN!"
Dinar cengengesan. "Oke, kalau begitu kamu menggantikan dirimu sendiri."
"Hah?" Ayi melongo.
"Tadi kan seudah kubilang, kalau ada yg keberatan maka dia yg harus menggantikan" jelas
Dinar. "Artinya, km keberatan atau gak, ketuanya tetep kam! Hahaha!"
Ayi masih melongo selama beberapa saat, lalu mengumpat. "Dasar otoriter! Diktator! Sewenangwenang!"
Dinar dan anggota lain hanya tersenyum melihat reaksi Ayi.
"Tentang format acara, susunan panitia dan lain2 biar ketua kita aja yg nentuin di rapat
berikutnya" Dinar mengerling pada Ayi yg masih cemberut.
"Sekarang kita cari nama acaranya dulu aja, Din" usul Flo.
"Acaranya kan bertema musik, ada yg punya ide utk namanya?" tanya Dinar.
"Gebyar Jepang?" usul Amru.
"Norak" komentar yg lain.
"Musik oke?" usul Dani.
"Jelek banget!"
"Jepang Rock?" "gak ada yg lebih jelek lagi?"
"Aku suka soundtrack Anime?"
"Itu nama acara atau pernyataan pribadi?"
"Semalam Bersaman Musik Jepang?"
Beberapa orang langsung memasang wajah mau muntah.
"Japan Song for The Soul"
"Chickep soup-nya dah dibuang sma nyokap ya?" ejek yang lain.
"A B C D E F G H I Jepang?"
Semua orang geleng2 kepala.
"Tembang Jepang?" usul Flo yg langsung dijwab dgn acungan jempol kebawah oleh yg lain.
Setelah itu usul2 yg mengalir pun masih tetep tidak ada yg memenuhi kualifikasi. Kalu ga jelek,
jayus, ya norak. Pokoknya payah! Sampai Sapu yg sejak tadi hanya diam (hingga sepertinya dia
ada ataopun tdk, semua orang tdk ada yg tahu) membuka mulut.
"Gimana kalau namanya 'Party Pake J'?" usulnya.
Semua langsung menoleh ke arahnya dan melongo.
"Memang ga ada kata2 'musik' atau 'jepang' atau bahkan Genki Ji-nya sih," dia mulai
menjelaskan. "Tapi kupikir, huruf 'J' itu bisa diinterpretasiin sendiri sama orang-orang dan..."
Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, serempak para anggota Genki Ji langsung berseru,
"Setujuuu!" Gantian Sapu yang melongo sendirian.
BAB 5 Setelah makan malam, ketika Dhinar sedang menyelesaikan tugas makalah Fisikanya utk bulan
depan, tiba2 ponselnya berdering. Dia membaca nama di layarnya yg berkedip-kedip. Anita.
"Halo?" "Dhin?" "Ada apa?" tanya Dhinar.
"Gini, besok kan ada pertandingan basket SMA kita lawan SMA 5 di Gedung Juang 45" jelas
Anita. "Terus?" "Sayangnya waktunya tepat saat jam pelajaran Bahasa Inggris," kata Anita. "Dan sekolh gak
ngsih izin pergi selain yg main."
"Terus?" "Terus.. Anak2 berencana bolos semua."
"terus?" "Terus, terus, terus, gak bisa ngomong kata lain ya?" sahut Anita jengkel.
"Aku cuma pengen tahu apa hubungannya sma aku?" kata Dhinar.
"Oooh, kami penginnya 1 kelas bolos semua," kata anita bersemangat. "Biar kalau dihukum,
dihukum bareng2." Dhinar terdiam. "Lagian kalau kamu ikut bolos, pasti gak akan ada guru yg tega menghukum. Hehehe" tambah
anita. "Ogah" jawab Dhinar enteng.
"Lho kok?" nada suara Anita terdengar cemas.
"Apa untungnya buatku?" tanya Dhinar. "Aku toh gak suka basket"
"Kamu ga setia kawan ya" Yang bakal main kan tim basket SMA kita!" sembur Anita dgn nada
suara meninggi. "Lho, kalu memang perlu diberi semangat, Kepala Sekolah pasti ngasih ijin buat semuanya pergi
ngasih dukungan dong," sergah Dhinar.
Kali ini giliran anita yg terdiam. Dia tahu apa yg Dhinar katakan ada benarnya.
"Besok pasti cuma kamu dikelas kita yg masuk sekolah!" kata Anita kemudian dgn nada
mengancam. "Kita lihat saja nanti" shut Dhinar enteng.
"Pengkhianat!" lalu Anita menutup teleponya.
KLIK! Dhinar masih menggenggam ponselnya. Tercenung sejenak lalu menggeleng sambil tersenyum
sinis. Cih, mau memakaiku sebgai tameng" Enak aja! Ia kembali menatap layar komputernya
dan mulai mengetik utk menyelesaikan makalah fisikany.
*** Kelas lenggang. Hanya ada sekitar 10 orang di kelas saat jam pelajaran Bahasa Inggris.
Bagaimnapun tebakan Anita salah.
Bu Ati sedng menulis beberapa soal di papan tulis ketika Flemming pindah ke kursi di sebelah
Dhinar yg kosong. "hoi" kata Flemming sambil tersenyum nakal.
Dhinar tidak menoleh kearahnya, hanya menghela nafas.
"Kok lu gak ikut-ikutan bolos?" tanya flemming setengah berbisik.
"Sepertinya lebih pantas aku yang menanyakan itupadamu," iawab dhinar dengan volume suara
yang sama. "Ah.. soalnya gue tahu lu nggak bakalan bolos" sahut flemming dengan nada merayu. "Gue udah
tahu reputasi lu sih."
"Terimakasih atas perhatiannya" jawab Dhinar dingin.
Setelah itu mereka terdiam, karena bu ati menoleh kearah mereka berdua dan memberi tatapan
yang berarti 'diam!'. ketika Bu Ati keluar untuk ke kamar kecil, Flemming memulai pembicaraan lagi.
"Lu suka basket?" tanyanya.
"Nggak," jawab Dhinar singkat. "Kamu sendiri?"
Flemming menggeleng "Nggak"
Dhinar menoleh, memandangnya tak percaya. "Muka-muka kayak kamu masa nggak suka
bsaket?" "muka-muka kayak kamu?" Flemming mengernyitkan dahi. "Emang muka_muka gue tuh yang
gimana" cakep?"
Dhinar hanya mengangkat bahu.
Flemming mendesah "Asli, gue nggak suka kok"
Tidak lama kemudian Bu Ati masuk lagi dan mereka berdua pun kembali terdiam hingga bel
istirahat berbunyi. *** Seperti biasa Dhinar pergi ke perpustakaan dab seperti kemarin Flemming mengikuti. saat
berjlan bersama, Dhinar memperhatikan Flemming selalu tebar pesona pada setiap cewek yang
berpapasan dengannya hingga cewek-cewek iru hampir mati berdiri.
dasar kepedean! batin dhinar.
"eh, gue mau tanya sesuatu" kata Flemming ketika meraka sudah masuk ke perpustakaan yang
sepi. "Lu nggak takut bakal dikucilin temen temen lu?" tanya Flemming.
"Aku besar ko gak kucil" sahut Dhinar.
Flemming menepuk jidatnya. "Ampun deh, ternyata lu jayus juga ya"
"Thanks" "Itu bukan pujian, Non!" sergah flemming sambil geleng2 kepala. "Heh, gue serius!"
"dan aku dua rius," jawab dhinar. "Kamu sendiri" nggak takut?" Dhinar balik bertanya sambil
menaiki tangga. "Gue kan orang baru," kilah flemming "Mereka pasti maklum, tapi lu kan beda."
"Selama ini aku ada ataupun enggak, nggak ada yang peduli tuh,"kata Dhinar enteng seolah-olah
itu bukan hal besar. "kecuali kalau ada PR, nah, pasti satu kelas langsut ikut padaku."
"Lu gak papa diperlakukan seperti itu?" tanya Flemming heran.
"Udah biasa" jawab Dhinar enteng. Flemming menggeleng-geleng mendengar jawaban Dhinar.
Sejak kecil Dhinar memang selalu merasa orang-orang mencoba berteman dengannya bukan
karena dirinya, tapi lebih karena kepandaian, popularitas, atau kekayaannya saja. Dia sudah
mengalami hal ini puluhan kali hingga dia benar-benar susah percaya pada seseorang. Karena
itulah dia memilih tenggelam dalam buku, terutama komik, untuk mendapatkan kesenangan.
"Hoi!" Flemming melambai-lambaikan tangannya kedepan muka Dhinar. Dhinar tersadar dari
lamunannya. "Nglamun aja" kata Flemming."Bukan urusanmu" sahut Dhinar dingin.
"Ya ampun! Lu tuh jadi orang kok sinis banget sih," celetuk Flemming.
"Jangankan kamu, aku sendiri juga nggak tahu kenapa," kta Dhinar cuek sambil mengambil
sebuah buku lalu berjalan meninggalkan Flemming yang berdiri terpaku dengan wajah melongo.
BAB 6

She Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dinar menatap cermin, melihat model rambutnya yang sudah mulai tak beraturan alias semrawut.
Dia mendesah, lalu kembali menoleh ke foto cewek di artikel majalah yg sekarang berbentang di
atas tempat tidurnya. Cewek itu diva nomer satu di Jepang : Ayumi Hamasaki. Dinar sangat
mengagumi penyanyi yg juga sering dinobatkan sebagai ratu kuku dan best jeanist alias selebriti
yg paling cocok mengenakan celana jins itu. Selain mengoleksi semua kaset dan benda lain yg
berhubungan dengan 3umi, Dinar juga pengikut setia tren yang dipopulerkan penyanyi itu. Ia
mengikuti semua gaya rambut dan gaya berpakaian Ayumi. Ia memperhatikan model rambut
Ayumi di foto itu. Hm, sekarang rambut pendek warna kuning jeruk ya"
Dinar termenung ingin sekali memotong rambut dan mengecatnya persis seperti Ayumi, tapi
orangtuanya bakal membunuhnya, begitu juga guru BP dan kepala sekolah. Karena bimbang, dia
mengambil ponselnya untuk meminta pendapat sapu.
"Halo?" jawab Sapu.
"Sapuu.. Gimana nih?" rengek Dinar. Cuma Sapu yg bisa bikin dia berubah jadi cewek manja
dan lemah. "Gimana apanya?"
"Ayumi ganti model rambut lagi"
"Terus?" "Potongannya pendek dan dicat warna kuning jeruk"
"Apa hubungannya sama kamu?"
"Ya ampuun! Masa sih masih nggak ngerti juga?" teriak Dinar gusar. "Aku juga pengin punya
model rambut kaya gitu!"
"Jadi apa masalahnya?" tanya sapu lagi dengan heran.
"Bukannya kamu memang selalu ngikutin gaya dia" Atau km mau izin sama aku" Tumben
banget." "Bukan minta izin." sergah Dinar. "Aku mau minta pendapat. Ini warna kuning jeruk, remember"
Gimana nanti kalau Bpak dan Ibu ngelihat?"
"Kalau km udah tahu konsekuensinya, ya jangan lakukan" sahut Sapu.
"Tapi... aku ingin..." Dinar terdiam. Dalam hati ia benar2 ingin mengubah gaya rambutnya
seperti Ayumi. Dari seberang terdengar suara Sapu mendesah, lalu cowok itu berkata, "Ya udah, lakukan kalau
km memang kepingin. Tapi jangan sampai menyesal, ya."
"Eh?" Dinar tdk percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Aku gak mau lihat km cemberut terus gara2 keinginanmu gak kesampaian." jelasnya. "lagipula,
Dinar yg kukenal tdk pernah peduli kata orang. Dia hanya melakukan apa yg ingin dia lakukan
hingga membuat orang yg melihatnya iri. Termasuk aku. Bukan begitu?"
Dinar tersenyum. Wajahnya memerah karena tersipu.
"Mau aku anterin ke salon?" tanya Sapu.
"Iya dong!" "kapan?" "Malam ini, gimana?" tanya Dinar.
"Hmm... Oke deh. Aku jemput jam tujuh ya?"
"OKE! Kutunggu!" kata Dinar bersmangat. "Luv you!"
"Me too" *** Malamnya, tepat pukul tujuh, Sapu datang menjemput Dinar. Orangtua Dinar sangat menyukai
Sapu karena dia anggap membawa pengaruh baik pada putri mereka. Dinar hanya menjawab
"potong rambu" ketika ibunya bertanya kemana mereka hendak berangkat. Ibunya sih percaya
aja, apalagi perginya dgn Sapu.
Merekapun berangkat ke salon langganan Dinar.
Begitu Sapu mematikan mesin motor di depan salon, begitu mereka membuka pintu, mereka
langsung di sambut santi, si pemilik salon. Santi ini waria tulen. Tadinya Dinar sempat jengah
dengan gaya santi, tapi setelah coba2 potong di sana, ternyata cocok dan sesuai harapan. Sejak
saat itulah Dinar jadi pelanggan tetap salon itu.
"Dinaar sayaang kok lama gak kelihatan siih?" tanya santi sambil melenggang kemayu ke arah
Dinar. "Eh, ikke kangen lho sama yey," katanya sambil menepuk bahu Dinar dgn centil.
"Mau potong rambut?" tanya santi melihat rambut Dinar yg sudah tdk berbntuk. "Ala Ayumi
Hamasaki lagi?" tanya santi. Saking seringnya Dinar potong rambut di salonnya, dia sampai
hafal. "Apa lagi?" tanya Dinar sambil tersenyum. "Model terbaru, san. Tau kan?"
"Hmmm.. Iya" santi mengamat-amati rmbut Dinar sambil memegang2nya dgn lembut.
"Yang pendek dan.." jeda sejenak, "...dicat kuning jeruk"
"HAH!" tiba2 santi menjerit. "yey juga pingin di cat kuning jeruk?"
"iya emang kenapa?" sahut dinar enteng
"yey ga takut dibunuh sama nyokap dan guru2 yey?" tanya santi khawatir
"hehehe. Biarin paling2 jg masuk Buser atau Brutal" dinar cengengesan
Santi menoleh ke arah sapu, lalu memukul dada cowok itu dgn kemayu. "Eh, yey bilangin tuh
cewek yey." Sapu tersenyum. "Aku udah bilang kok supaya potong rambut sesukanya aja"
Santi melongo, sementara Dinar langsung tersipu. Beruntung banget punya cowok kayak Sapu
yg sngt mengerti dirinya.
Santi mendesah. "Terserah yey aja deh" katanya menyerah.
Emand terserah ikke, hehehe, kata dinar dalam hati.
"ya udah, ayo kita mulai." kata santi. Sapu dan Dinar mengedarkan pandangan ke sekeliling
salon itu. Mungkin memang belum musimnya orang potong rambut" Atau memang sejak dulu
sepi ya" Dinar mencoba mengingat-ingat. Mungkin orang2 langsung keder melihat santi.
Dinar sangat menyukai dekorasi salon milik santi ini. Sangat memanjakan pelanggan, begitu
istilah Dinar. Kursi2nya lebih mirip sofa dari pada kursi salon. Empuk. Ruangan itu didominasi
warna biru laut yg sejuk di mata hingga gak bikin bosan, ditambah berbagai majalah mode yg up
to date utk di baca selagi rambut dipotong. Dan selain fasilitas tambahan seperti cuci rambut,
blow, dan pijat gratis, masih di sediakan makanan kecil pula, pkoknya salon ini bener2 surga
bagi para pelanggannya! Setelah dikeramasi oleh asisten Santi yg juga 100% waria, Dinar mengenyakan tubuhnya si kursi
tengah. Santi yg sudah siap dgn peralatannya mengamati lagi rambut Dinar selama beberapa saat
lau mulai menggunting. Tidak lama kemudian, tibalah saat pewarnaan.
"Udah siap?" tanya santi.
Dinar mengangguk. Apaan sih, kesannya kayak mau maju perang aja!
"Benar2 udah siap?" tanya santi lagi.
"IYA!" sahut Dinar jengkel. "Langsung warnaiin aja kenapa sih?"
santi mendesah. "oke deh, resiko yey tanggung sendiri ya?"
Dinar tersenyum sambil mengangguk. Kemudian dia mulai merasakan rambutnya diolesi krim
pewarna. *** "Selesai," kata santi setelah mengerjakan rambut Dinar.
Dinar memandangi potongan rambutnya yang baru di cermin tanpa berkedip.
Pendek dan kuning jeruk. Sepurna.
"Makasih ya!" Dinar memandang Santi sambil tersenyum puas.
Santi agak ragu-ragu. "Jangan menyesal ya,"
Dinar menggeleng. "Nggak bakalan." Lalu menoleh ke arah Sapu. "Bagus kan, Pu?"
Sapu yang sudah mengantuk hanya mengangguk dan tersenyum.
"Kami pulang dulu, San!"
"Eh! Yey bayar dulu, kali!" sergah Santi.
"Oh iya. Lupa" Dinar menepuk jidatnya sendiri dan membayar.
Ketika mereka pulang, sudah jam sebelas malam dan semua penghuni rumah Dinar sudah
terlelap. Saking percayanya orangtua Dinar pada Sapu, mereka jarang menunggui kepulangan
Dinar menerka-nerka bagaimana reaksi orangtuanya jika melihat rambutnya sekarang. Dia
terkiki sewaktu membayangkannya. Tapi sayang, apa yang terjadi tidak selucu yang
dibayangkan. BAB 7 Apa yang ditakutkan Flemming terjadi. Dhinar dikucilkan teman2nya gara2 menolak ikut
membolos. Apalagi ketika anak2 yg membolos dihukum, Dhinar malah dipuji habis2san oleh
Pak Guru di depan mereka. Gimana nggak muak, coba"! Sekarang sudah menginjak hari kedua.
Dhinar sih cuek2 saja diperlakukan seperti itu, tapi justru Flemming yg merasa tidak enak.
Mungkin karena ini pertama kalinya dia melihat orang yg begitu antisosial.
"Lu gak apa2?" tanya Flemming setelah bel pulang berbunyi dan hanya tinggal mereka berdua di
kelas. Dhinar diminta Pak Tiono mengumpulkan tugas Matematika.
"Aku nggak sakit kok," kata Dhinar sambil mengurutkan tugas yg dikumpulkannya sesuai nomor
absen. "Bukan itu!" sergah Flemming. "Maksud gue soal lu dijahui temen2! Bahkan Anita nggak mau
duduk sebangku sama lu dan lebih memilih duduk sama Alex si mesum itu!"
Dhinar terdiam. Flemming pun akhirnya menyerah.
"Selesai" kata Dhinar tiba2 setelah beberapa saat.
Ketika dia hendak mengambil tasnya, Flemming menyambarnya lebih dulu.
"Biar gue yg bawain" kata Flemming.
"Thanks" ujar Dhinar dingin sambil mengangkat bahu.
Setelah menyerahkan tugas2 itu ke Pak Tiono di ruang guru, mereka keluar. Di luar pintu Dhinar
meminta tasnya lagi. "Gue bawain juga nggak apa2 kok" kata Flemming.
"Trims, tapi nggak usah" tolak Dhinar.
Flemming mendesah lalu menyerahkan tas itu.
"Thanks again" Disamping koridor menuju pintu keluar gedung mereka berjalan dlm diam. Flemming sempat
heran karena cewek-cewek yg sebelumnya dia ajak pulang bareng pasti cerewetnya bukan main.
Entah itu berbicara tntang mereka sendiri atau bertanya berbagai macam hal mengenai dirinya,
mulai dari yg umum hingga yg bersifat pribadi. Sebenarnya, dia juga sebal dgn cewek2 yg mau
tahu seperti itu, tapi jika dia menolak atau memperlihatkan wajah nggak suka, pasti nggak akan
ada lagi cewek yg mau deket2 dengannya. Dan ini hal yg paling dia takuti! Entah kenapa dia
benar2 menikmati saat2 diam seperti sekarang bersama dhinar. Entah kenapa dia benar2
menikmati saat2 diam seperti sekarang bersama Dhinar. Dia sendiri tidak tahu alasannya.
Tiba2 tepat di depan pintu keluar, mereka di hadang segerombolan anak cowok kelas 3.
"HEH! Kamu yg namanya Flemming?" tanya anak yg paling jangkung.
Not again, keluh Flemming dalam hati.
"Iya, kenapa?" sahut Flemming.
"Anak baru jangan belagu lu!" kata anak lain yg paling gendut sambil mendorong Flemming
keras2 hingga mundur beberapa langkah.
Flemming tersenyum mengejel. "Terus kalian mau apa" Mau main keroyokan?"
"Jangan menghina kamu ya!" sembur si paling jangkung lagi.
"Kalau gitu kalian maunya apa?" tantang Flemming.
"Ikut kami ke lapangan basket, sekarang juga."
Flemming menoleh ke arah Dhinar yg ternyata masih ada di sampingnya, tapi sepertinya
gerombolan cowok tadi tidak ada yg menyadari kehadirannya. Dia terkejut melihat tidak ada
perubahan air muka di cewek itu, takut pun tidak!
"Ayi, lu juga ikut!" kata Flemming sambil menarik tangan Dhinar.
"Hah" Buat apa?" protes Dhinar, berusaha melepaskan diri.
"Jagain tas gue"
"Enak aja!" Flemming diam saja sambil terus berjalan. Dhinar menyerah dan akhirnya membiarkan
Flemming menyeretnya menuju lapangan basket.
"Kok mereka kelihatannya benci baget sama kamu sih?" tanya Dhinar kemudian.
Flemming mengangkat bahu. "mungkin cewek mereka kesengsem sama gue"
"Hah" Pede bener" cibir Dhinar.
"Sebelumnya juga sudah pernah ada kejadian kayak gini kok"
Dhinar menaikan alisnya. Sesampainya mereka di lapangan basket, entah kenapa Dhinar merasa akan ada hal buruk yg
akan terjadi. "Terus gimana?" tanya Dhinar.
"Gimana apanya?"
"Kalau mereka ngapa-ngapain kamu gimana" Merekan berlima, sementara kamu sendirian."
"Gue pasti bisa menang. Doain aja"
you wish, ujar dhinar dalam hati waktu Flemming dengan pedenya berjalan menghampiri
gerombolan itu. Naluri Dhinar merasakan adanya bahaya. Ia cepat2 mengambil ponselnya.
Ketika si jangkung berjalan ke arahnya diikuti teman2nya yg lain, Flemming berkata mengejek,
"Jadi bagaimana" Kalian bukannya mau ngajak gue main basket kan?"
Mata si jangkung langsung mendelik dan berkilat-kilat. Dia mendekati Flemming dan
menyambar kerah cowok itu. "BERANI-BERANINYA KAMU NGEDEKETIN CEWEKKU..!"
katanya sambil menggertakan gigi menahan marah.
"Kalau dianya suka, kenapa ga?" jawab Flemming enteng.
Kontan si jangkung meledak mendengar perkataan Flemming. Dia mendorong Flemming keras2
hingga cowok itu terhuyung, kemudia memberi isyarat kepada teman2nya utk mengeroyok
Flemming. Hal buruk yg tadi diperkirakan Dhinar terjadi juga.
Beberapa anak maju menyerang Flemming secara bersamaan. Flemming berhasil menghindar,
bahkan sempat memukul balik, tapi jumlah lawan tidak seimbang tentu saja menempatkan dia
sebagai pihak yg kalah. Diterjang pukulan bertubi-tubi, Flemming pun jatuh tersunkur.
Lawannya masih tdk mau melepaskannya begitu saja, dia masih dipukuli dan ditendang.
Flemming berusaha melindungi kepalanya. Sekilas, ditengah pengeroyokan itu dia melihat ke
arah Dhinar yg berdiri di pinggir lapangan. Untuk pertama kalinya dia melihat cewek itu
menampakkan ekspresi takut. Flemming tersenyum.
Lalu semua gelap. *** Flemming merasakan ada benda dingin menempel di pipinya. Ketika membuka mata, dia melihat
Dhinar duduk di sampingnya dan mengompres pipinya dengan saputangan basah.
"Ini dimana?" tanya Flemming.
"UKS" jawab Dhinar. "Kamu pingsan, aku sampai harus manggil satpam buat ngangkat km ke
sini." "Kemana mereka?" tanya Flemming. Dia merasakan sakit yg amat sangat di sekujur tubuhnya.
"Melihatmu pingsan, mereka langsung lari ketakutan" jelas dhinar sambil terus mengompres.
"Ooh," ucap Flemming. Ia berusaha bangun dari tempat tidur, tapi tidak punya tenaga untuk
berdiri. "Guru-guru?" "Gak ada yang tahu" kata Dhinar. "Sekolah sudah sepi, sepertinya sudah pulang semua."
"Nih," Dhinar menyodorkan saputangan basah itu kepada Flemming.
Flemming memandangnya bingung. "buat apa?"
"Kompres sendiri" kata Dhinar sambil membetulkan letak kacamatanya.
"aku mau pulang"
"Tegaaanyaa" "Emang" jawab Dhinar enteng
"Lu tuh beruntung lho" desah Flemming, menerima saputangan basah yg disodorkan Dhinar.
"Bagian mananya?" tanya Dhinar.
"Cewek2 biasanya berebutan pengin ngompres gue" jelas Flemming.
"Sori ya" dengus Dhinar. "Aku bukan cewek2 biasanya"
Flemming tersenyum kecil, ketika Dhinar hendak mengambil tasnya, Flemming buru2 bertanya,
"Eh, lu gak apa2?"
"Aku masih utuh kok" jawab Dhinar singkat sambil berdiri.
"Bukan itu!" sergah Flemming. "Lu diancam ga sama mereka?" katanya.
"Maaf, gue yg bikin lu terlibat" kata Flemming tulus.
Dhinar menghela napas lalu duduk lagi di samping Flemming. Anehnya dia tersenyum. Senyum
pertama Dhinar yg pernah dilihat Flemming.
"Eh, km mau bales dendam?" tanyanya.
Flemming hanya melongo mendengarnya.
"Waktu mereka mengancamku, mereka bilang 'percuma km ngadu kalo ga ada bukti'," kta
Dhinar. "Mereka benar juga sih ttng itu, tapi.." Ia merogoh tasnya untk mengambil ponsel.
"Lu mau telpon siapa?" tanya Flemming bingung.
Dhinar tdk menjawab dia sibuk memencet-mencet tombol di ponselnya. Setelah menemukan yg
dia cari, dia menunjukan layar ponsel itu pada Flemming.
"Mereka lupa akan teknologi yg dinamakan video recording" jelasnya sambil tersenyum licik
dan mata berbinar-binar. Di layar ponselnya tampak jelas rekaman aksi pengeroyokan
gerombolan kelas 3 itu thdp Flemming.
"Ka...kapan lu..." Flemming tergagap saking takjubnya.
"Tentu saja waktu mereka sdng sibuk mukuli km dan km sdng sibuk dipukuli."
Dengan susah payah Flemming berusaha duduk, lalu mengambil ponsel dari tangan Dhinar.
"Hebat!" serunya sambil memandangi aksi pemukulan yg ia putar berulang-ulang.
"Kalau km mau, kita bisa mengadukannya" kata Dhinar.
Flemming menoleh ke arah cewek itu. "Lu gak takut dengan ancaman mereka?"
"Cih, buat apa?"
Flemming menggeleng "Gak usah deh. Kalo mereka masih macem2 baru kita laporin"
Dhinar mendengus. "Pencinta damai rupanya, gak asyik ah"
"kok lu kayaknya antusias bgt pengin balas dendam?"
"Emang," sahut Dhinar. "Bikin hidup lebih hidup. Its thrilling and definitely exciting!"
Flemming tersenyum geli. "Dasar psycho!"
"Kamu baru nyadar?" tanya Dhinar pura-pura kaget.
Flemming tertawa. Dhinar membersihkan roknya yang kotor gara-gara sempat duduk di lapangan basket. Kemudian
dia mengulurkan tangan pada Flemming.
"Apa?" tanya Flemming bingung.
"Siapa tahu encokmu kambuh gara-gara dipukuli sampai nggak sanggup berdiri."
Flemming tertawa lagi. "Cepat! Mau dibantu nggak" Sebelum aku berubah pikiran nih," desak Dhinar.


She Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya bosa!" Flemming menyambut uluran tangan Dhinar sambil tersenyum.
"Katamu kamu pasti menang?" tanya Dhinar setelah Flemming berhasil berdiri.
"Gue bilang gitu ya?" Flemming mengernyitkan dahi.
"Soalnya gue tahu cewek-cewek suka sama cowok yang jago berkelahi."
Mata Dhinar langsung menyipit. Dasar! Lalu dia berbalik dan berjalan meninggalkan Flemming.
"Woi! Woi!" panggil Flemming. "Kalau nolong jangan setengah-setengah dong. Bantu mapah
gue, kenapa?" "Ogah, tunggu aja sampai ada salah satu domba-domba kecilmu itu lewat," kata Dhinar sambil
terus berjalan. "Payah lu!" gerutu Flemming. Tapi entah kenapa melihat sosok Dhinar dari belakang yang
semakin menjauh tiba-tiba membuatnya tersenyum.
BAB 8 Dinar terbangun dari tidurnya dengan perasaan malas yang amat sangat seperti biasa. Hal yg
paling ia benci di dunia adalah bangun pagi! Ia terduduk di tempat tidur, lalu menoleh ke arah
cermin yg terpasang di dinding sebelah kananya.
Rambut barunya. Dinar tersenym. Tiba tiba terdengar suara langkah kaki. Ibu! Pekiknya dalam hati. Cepat cepat ia menutupi
rambutnya dengan selimut seperti artis-artis Bolliwood. Tidak lama kemudia pintu kamarnya
terbuka dan ibunya masuk membawakan seragamnya yang baru saja disetrika. Sepertinya beliau
tidak menyadari keanehan yg terjadi pada Dinar.
"Bu" kata Dinar
"Hmm?" sahut Ibu sambil menggantung seragam itu di gantungan pintu.
"Menurut ibu, kalau rambutku dicat kuning gimana?"
"coba aja kalau berani!" kata ibunya tanpa menoleh ke arahnya.
Dinae menelan ludah. "udah bu," kata Dinar pelan pada akhirnya.
Ibu lansung membeku mendengar kata-kata Dinar barusan. Dengan mata melotot, dia menoleh
lalu berjalan ke arah Dinar. Tangannya bergetar ketika memegang selimut yang menutupi rambu
Dinar. Dinar bahkan tidak berani membayangkan apa yg akan terjadi. Semua bayangan lucu yg
ada di pikirannya tadi malam seakan hilang menguap. Dan begitu Ibu menarik selmut itu hingga
rambut Dinar terlihat seluruhnya, dia menjerit histeris.
"YA AMPUUUN! APA ITU!"
Dinar hanya terdiam, tak berani memandang wajah ibunya.
"KA... KAMU ITU YA!" teriak Ibu. Napasnya tercekat. Mata dan wajahnya memerah menahan
marah. Tak lama kemudia, Dinar melihat ibunya sibuk menggeledah lacinya. Sewaktu berbalik,
ibu mengacungkan GUNTING.
Dinar tersikap. "I... Ibu, itu buat apa?"
"Buat ngegunting rambutmu!" ancam Ibu sambil menggerak-gerakan guntingnya.
"Ibu serius?" tanya Dinar tak percaya, dia sudah hampir menangis.
"Tentu saja!" Tangan Ibu menari rambut Dinar. Tepat saat hendak mengguntingnya, Dinar
menepis tangan Ibu lalu meloncat dari tempat tidurnya.
"Jangan, Bu!" Dinar mulai menangus. Dia ketakutan setengah mati.
"Jangan"! Jangan katamu"!"
Ibu berjalan mendekati Dinar. "Kamu pikir apa kata tetangga2 nanti kalau melihatmu" Apa kata
guru2 di sekolahmu nanti" Hah"! Kamu sengaja bikin Ibu malu, ya"!"
Dinar merapat ke dinding. Setiap kali ibunya mendekat sambil mengacung-acungka gunting,
Dinar menghindar dengan gesit. "Ibu.. Jangan!" pekik Dinar sambil berlari menghindar,
meloncat ke tempat tidur lalu turun dan berlari lagi. Air matanya tumpah.
"Jangan?" Ibu melotot sambil terus mengejarnya. Mata Ibu pun sudah mulai berkaca-kaca. "Ibu
lebih baik melihatmu gundul daripada keluar rumah dengan rambut kayak gitu!"
Beberapa menit kemudian, Ibu berhenti mengejar, napasnya terengah-engah kecapean dan
menahan marah. Sekarang mereka berhadap-hadapan. Dinar todak bisa melihat wajah ibunya
dengan jelas karena pandangannya sudah tertutup air mata.
"Kamu..," kata Ibu. Bibirnya bergetar dan dadanya naik-turun. "Kenapa selalu mempermalukan
keluarga" Kenapa nggak bisa seperti kakakmu" Kenapa kamu selalu bikin Ibu mara" Kenapa?"
Dinar hanya terisak tanpa mampu mengucapkan sepatah katapun. Ibu menggeleng-geleng lalu
keluar kamar Dinar dan membanting pintu.
Dinar langsung tertunduk. Kakinya terasa sangat lemas dan tak bertenaga. Ia masih terisak
sambil memeluk ke dua kakinya.
Aku nggak bermaksud bikin Ibu marah... Aku nggak bermaksud menyakiti hati siapa pun... Aku
hanya ingin melakukan apa yang ingin kulakukan. Tanpa dorongan atau paksaan siapa pun...
Apa itu salah" Dinar tertunduk. Tangisnya belum berhenti sampai setengah jam kemudian, saat Sapu datang
menjemputnya untuk berangkat ke sekolah.
*** Sapu memandang iba pada Dinar yg sekarang duduk di sampingnya. Sedih rasanya melihat
keadaan ceweknya itu, terutama waktu dia menjemputnya tadi. Wajah Dinar amburadul. Lalu
sambil terisak dia menceritakan apa yang baru saja terjadi. Saat itu ingin sekali rasanya Sapu
memeluknya agar bisa mengurangi kesedihan cewek yang sangat disayanginya itu, tapi akhirnya
dia hanya bisa menggenggam tangan Dinar erat-erat dalam diam.
Selama di sekolah, Dinar tampak tak bersemangat seperti biasa. Teman-temangnya sampai
khawatir. Guru BP sempat memanggil dan menegurnya, tapi tidak sekeras biasanya, karena
kasihan melihat keadaan Dinar. Ketika ditanya, Sapu hanya menjawab "Masalah keluarga."
Walaupun bandel dan urakan, Dinar disukai banyak orang. Mereka senang berada di dekat Dinar,
karena rasanya mereka ikut bersemangat melihat Dinar yang selalu ceria dan optimis, sama
seperti yang dirasakan Sapu. Makanya begitu Dinar kelihatan lesu, teman-temannya lansung
gempar. Di teras pojok sekolah, Dinar duduk didampingi Sapu tanpa berkata apa-apa. Anak-anak yang
semula bergerombol di teras langsung agak memberi jarak mereka tahu Dinar sedang ada
masalah dan ingin berdua saja dengan Sapu.
"Sapu...," akhirnya Dinar membuka mulut.
"Hmm?" Sapu menoleh ke arahnya.
"Aku anak yang nggak berbakti, ya?"
Sapu terdiam, tidak tahu mesti mengucapkan apa.
"Aku anak yang berguna, ya?" tanya Dinar lagi. "Memang seharusnya aku nggak dilahirkan."
Sapu masih terdiam. Tiba-tiba mereka dikagetkan bunyi dering ponsel Sapu. Sapu sudah hendak
mematikannya jika tidak melihat nama yang tertera di layarnya.
Akhirnya dia memutuskan untuk menjawab.
"Halo" Kenapa Yi?"
"Oi, Hp Ale kenapa dimatiin?" tanya Ayi.
Sapu melirik Dinar sekilas lalu menjawab. "Lagi ada masalah keluarga."
"Hah! Kenapa" Dia nggak apa-apa kan?" tanya Ayi khawatir.
"Nggak, nggak apa-apa kok." Sapu tersenyum, menyadari banyak orang yang peduli pada Dinar.
"Ada apa?" "Gini, masalah Party Pake J, itu lho, aku pengin kita rapat secepatnya"
"Ya terserah kamu kamu dong, kamu kan ketuanya."
"Iya sih..." jeda sejenak. "Tapi kayaknya kalo nggak dibantu Ale rasanya aku nggak sanggup
deh, dia kan paling jago ngatur anak-anak. Tahu sendiri lah, Genki Ji no okaasan (ibu) hahaha."
Sapu tersenyum. "Iya deh, nanti kuhubungi lagi kalau masalahnya sudah mereda."
"Oke! Thanks ya! Domo arigatou, terimakasih!"
"Sama-sama." KLIK! "Ada apa?" tanya Dinar setelah Sapu memasukkan ponselnya kembali ke saku celana.
"Ayi," jawab sapu. "Dia butuh bantuanmu buat rapat Party Pake J.Q. Dinar menghela napas.
Sapu ikut-ikutan menghela napas.
"Ini bukti kalau kamu berguna," kata Sapu. "Orang-orang masih butuh bantuanmu. Apa kamu
nggak lihat di sekelilingmu" Bagaimana temen-temenmu sangat peduli sama kamu" Kamu
nggak tergantikan, Din," Sapu membelai rambut kuning ceweknya itu."Nggak ada yang bisa
menggantikan siapa pun. Itulah sebabnya setiap orang unik, berguna, dan berhak dilahirkan dan
merasakan yang namany hidup."
Dinar tertegun mendengar kata-kata Sapu, lalu menoleh ke arahnya, ada pancaran rasa kagum di
kedua matanya terhadap cowoknya itu. Setelah merenungkan kata-kata itu selama beberapa saat,
dia tersenyum. "Terima kasih"
kata Dinar sambil menggelayut manja di lengan Sapu.
"Sama-sama." Sapu menghela napas lega, Dinar mulai kembali bersikap seperti biasa. "Sapu..."
"Hmm?" "Aku pengin kursus bahasa Jepang lagi" kata Dinar
"Di tempat yang dulu?" tanya Sapu.
Dinar mengangguk. "Oke, pulang sekolah kuanterin ke sana."
Dinar mengangguk lagi. *** Spulang sekolah, Sapu dan Dinar pergi ke jalan Kertanegara, ke lembaga pendidikan bahasa
asing. Dinar pernah kursus bahasa Jepang, tapi berhenti di tengah jalan gara-gara malas dan tidak
ada uang. Maklum, uang untuk biaya kursus waktu itu dia dapat dari menyisihkan uang saku tiap
bulan dengan susah payah.
"Mbak Endang!" serunya begitu memasuki tempat kursus itu.
Wanita meja resepsionis langsung menoleh ke arah pintu masa lalu ikut-ikutan berseru,
"ALEEE!" "Ya ampun, ke mana aja kok nggak pernah kelihatan?" Mata Mbak Endang berbinar-binar
melihat Dinar. "Masih di semarang kok, Mbak" jawab Dinar enteng sambil mengenyakkan tubuh di kursi depan
meja resepsionis. Mbak Endang mengalihkan pandangannya ke rambut Dinar. "Ya ampun! Rambutmu diapain
Le"!" Dinar hanya cengengesan. "Udah ah, Mbak nggak usah dibahas" celetuk Dinar.
"Aku ke sini mau daftar kursus nih"
"Sori... Sori" mbak endang meringis. "Hmm, mau nerusin ke Chuukyuu 2?"
Dinar berpikir sejenak. "Nggak deh kayaknya. Aku mau balik ke shokyuu aja."
Menden gar kata-kata Dinar, Mbak Endang langsung melongo.
Tingkatan dalam bahasa jepang dimulai dari shokyuu atau basic dalam bahasa Ingris, lalu
chuukyuu atau intermediate, dan terakhir kaiwa atau advance. Dan di tiap tingkatan itu masih
dibagi menjadi tiga. "Nggak sayang duitnya, Le?" tanya Mbak Endang.
"Sayang juga sih," kata Dinar sambil menampakkan wajah menyesal. "Tapi mau gimana lagi,
aku benar-benar udah lupa. Terakhir aku kursus kan udah sekitar tujuh bulan yang lalu."
"Iya, tapi... dari chuukyuu ke shokyuu," Mbak Endang masih menyayangkan.
"Udah lah, Mbak," bujuk Dinar.
Mbak Endang mendesah. "Terserah kamu deh. Maunya Shokyuu berapa" Jangan bilang mau
balik ke Shokyuu Satu."
Dinar nyengir. "Shokyuu Tiga mulainya kapan?"
"Mungkin bulan depan."
"HAH!" pekik Dinar. "Lama beneeer?"?"
"Emang butuh banget, ya?" tanya Mbak Endang.
"Nggak juga sih." Dinar mengangkat bahu. "Cuma... yah... aku bisa..."
"Oke... oke...," potong Mbak Endang sambil memberi isyarat STOP.
"Shokyuu Dua dimulai minggu depan," katanya kemudian setelah mengecek jadwal. "Mau?"
Dinar langsung mengangguk. "MaU!"
"Nggak nyesel?" Mbak Endang masih mencoba meyakinkan.
Dinar menggeleng. "Nggak bakal!" jawabnya yakin.
Mbak Endang mendesah, menyadari usahanya gagal.
"Iya deh, namamu kutulis untuk kursus minggu depan. Untuk pembayarannya..."
"Oh ya! Aku mau nyi-"
"Nggak boleh nyicil," potong Mbak Endang.
"APA"!" seketika Dinar memekik histeris.
Mbak Endang tersenyum nakal. "Bercanda ding."
BAB 9 "Jadi formatnya gimana, Le?" tanya Amru. Malam itu mereka berkumpul di rumah Ayi untuk
rapat perdana mereka membahas Party Pake J.
"Kok nanya aku?" Dinar mengernyit dahi. "Ketuanya kan Ayi."
"Oh iya ding," Lalu Amru menoleh ke arah Ayi.
"Jadi gimana, Yi?"
"Hmmm..." Ayi manggut-manggut. "Jadi gimana, Le?"
Dinar memutar bola matanya, lalu mendesah. "Oke deh," katanya kemudian. "Kalau menurutku,
isinya musik ditambah cosplay-costume playing, berdandan mirip tokoh kartun idola-party aja.
Terus band pengisi acara, karena ini pertama kalinya kita bikin acara dan dana yang ada amat
sangat mepet, kita ambil dari band teman-teman Genki aja, nggak perlu audisi."
Semua orang yang ikut rapat manggut-manggut.
"Terus, penjualan tiketnya?" tanya Flo yang menjadi sekretaris dadakan.
"Mungkin bisa kerja sama dengan salah satu stasiun radio," jawab Dinar. "Dan brosur acaranya
bisa juga ditempel di setiap lembaga kursus bahasa Jepang."
Semuanya manggut-manggut lagi-lagi.
"Sekarang masalahnya modal awal," Dinar melanjutkan kata-katanya. "Untuk memperbanyak
proposal guna mencari dana kan butuh duit. Ada usul?"
"Kan udah sepekat mau patungan," kata Amru.
"Hmmm," Ayi membuka suara, "Kalau itu sepertinya aku udah dapat satu donatur."
Serempak semua yang ikut rapat berseru, "SIAPA?"
Ayi nyengir. "Bokapku sendiri."
Flo menepuk bahu temenya itu. "Memang nggak salah Ale milih kamu sebagai ketua."
"aku kan bisa melihat lebih dalam daripada yang terdalam," kata Dinar bangga, mengutip ucapan
Kakashi di komik Naruto. "Mungkin memang sebaiknya ketuanya Ale aja," desah Ayi. "Aku nggak sanggup. Kalau Ale
kayaknya kok semua bisa beres," tambahnya. "Iya, kan?" Dia menoleh ke arah lain, minta
persetujuan. "Iya," Flo mengangguk. " kalau Ale yang jadi ketua aku yakin seratus persen acara bakal sukses.
Nggak bermaksud nyinggung kamu lho, Yi?" dia menoleh ke arah Ayi yang langsung
mengacungkan jempol. Novi yang juga dijadikan bendahara dadakan mengiyakan. "Bener, bener, sayangnya dia udah
jaddi ketua Genki dan nggak mau merangkap. Sayang banget deh."
Dinr bisa merasakan wajahnya memerah, ada perasaan malu, bangga dan senang bercampur jadi
satu. Dia menoleh ke arah Sapu yang duduk di pojok. Sapu hanya tersenyum.
Setelah berdeham beberapa kali, Dinar berkata dengan malu-malu "Aku nggak sehebat itu kok.
Kalian berlebihan." "Tapi...," Ayi sudah hendak membantah, namun buru-buru dipotong oleh Dinar.
"Ah! Sudahlah, sekarang yang paling penting kita menyusun rencana anggarannya," katanya
"Betul juga," timpal Novi.
"Oke ayo mulai!" seru ayi "Ada yang punya usul?"
*** Keesokan harinya, entah kenapa Ibu yang sejak beberapa hari yang lalu mendiamkan Dinar pagi
itu menyapanya saat menyiapkan sarapan.
"Pagi din," kata Ibu lembut. "Ibu sudah siapkan nasi goreng kesukaanmu."
Dinar terbengo-bengong. Bahkan sampai dia terduduk di kursi meja makan pun dia masih
melongo. Dinar menoleh ke Ayah yang duduk disampingnya dan membaca koran sembari
meminum kopi. Dia ingat benar bagaimana ayahnya hanya diam, tak mampu berkata-kata apaapa pertama kali melihat rambut kuningnya. Entah karena saking marahnya sampai nggak bisa
ngomong apa-apa, atau karena sudah terbiasa dengan tingkah polah anaknya yang di luar batas
kewajaran. "Yah," kata Dinar takut-takut.
"Hm?" jawab Ayah sambil menyeruput kopinya lagi.
"Kita habis menang lotre ya?" tanya Dinar. "Kok Ibu sepertinya girang banget?"
"Kakakmu tadi malem telpon, katanya minggu depan pulang." jelas ayah.
"Oh... pantes" gumam Dinar. Anak kesayangannya mau pulang.
Kak Tony kuliah di jakarta, tepatnya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan sejak
setahun kemarin belum pulang ke Semarang. Ibu bangga bukan main terhadap anak pertamanya
ini. Dari kecil Kak Tony memang penurut dan nggak neko2 berbeda 180 derajat dengan Dinar.
Di satu sisi Dinar sangat menyayangi kakak satu2nya itu, tapi disisi lain, dia sangat sebal mati
padanya. Memang bukan salah kakaknya sih, kalau orang-orang, terutama ibu, membanding-bandingkan
mereka dan selalu menempatkan Dinar di posisi yang jelek, tapi Dinar tetep saja tidak bisa
menahan kejengkelannya. Bisa jadi sebenernya Dinar cemburu pada kakaknya karena sangat
ingin seperti kak Tony namun tidak bisa. Dan akhirnya Dinar memang memilih jalan untuk
menjadi dirinya sendiri. Tidak lama kemudia bel pintu depan berbunyi.
Sapu! Dinar cepet-cepet minum dan mengelap mulutnya lalu bergegas menyambar tasnya.
"Aku berangkat dulu!" serunya sebelum menutup pintu depan.
"Ada apa?" tanya sapu ketika dinar hendak menaiki motornya.
"Apanya?" "Sepertinya ada sesuatu," jawabnya.
"Hebat! Kamu tahu! Kita memang benar-benar sehati. Hihihi. Nggak ada apa-apa sih, cuma tadi
malam Kak Tony telpon dan bilang minggu depan mau balik ke Semarang." jelas Dinar.
"Wah, seneng dong!" seru Sapu "Lama nggak ketemu gimana kabarnya ya?"
Dinar mengangkat bahu. "Auk!" Ia lalu menepuk punggung cowoknya itu. "Heh, ayo
berangkat!" "Iya, iya!" Sapu menyalakan mesin motornya dan tidak sampai semenit mereka pun melaju menjauhi rumah
Dinar. BAB 10 "Flem, mukamu kenapa?"


She Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya ampun Flem, sakit nggak?"
"Aduh Flem mau kurawat?"
"Semoga nggak sampai membekas ya?"
Begitulah, esoknya setelah pemukulan itu, Flemming kebanjiran simpati cewek-cewek satu
kelas. Rasanya dia mau mati kegirangan.
"Nggak apa-apa kok, cuma jatuh," katanya sambil sengaja memasang senyum mautnya. Kontan
cewek-cewek yang mengerubunginya langsung ber-ooh ria. Flemming bisa merusakan hawa
membunuh dari cowok-cowok yang memperhatikannya tapi tidak ambil peduli.
Mereka hanya iri. Ketika bel tanda masuk berbunyi, kerumunan itu pun bubar. Mereka kembali ke tempat duduk
masing-masing. "Eh, Flem," kata Selvy setengah berbisik sewaktu mereka antre masuk kelas.
"Hmm?" "Kamu jadi terluka gara-gara dia, kan?" tanya Selvy.
Flemming mengikuti arah pandangan mata Selvy.
"Dhinar?" Selvy mengangguk. "Nggak kok" jelas Flemming buru-buru.
"Nggak usah ditutupin deh," Selvy tetep ngotot dengan teorinya. "Sebaiknya kamu nggak usah
dekat-dekat lagi sama dia. Kalau, nggak, kamu bisa ikut-ikutan dikucilkan. Dia itu berbahaya,
suka ngadu sama guru-guru dang nggak setia kawan."
Flemming hanya diam karena dia tahu kata-kata Selvy tidak benar sama sekali, terutama setelah
apa yang dia alami kemarin. Flemming menoleh ke arah Dhinar sesaat sebelum duduk di
kursinya yang terletak di depan cewek itu. Dhinar sedang asyik mengerjakan soal-soal Biologi.
Ada perasaan kasihan bercampur kagum terhadap cewek itu. Tetap tegar walaupun sepertinya
seluruh dunia memusuhinya. Kalau dia berada dalam posisi Dhinar, mungkin dia sudah bunuh
diri. ** Dhinar sedang berjalan menuju gerbang ketika ada yang memanggilnya dari belakang.
"Oh, kamu," katanya dingin setelah melihat Flemming.
"Pulang bareng yuk?" ajak Flemming.
"Buat apa nanya" Bukannya kamu nggak bisa menerima kata 'tidak'?" dengus Dhinar
Flemming tertawa. "Lu benar-benar sudak kenal gue."
"Pujian?" "Terserah lu," jawab Flemming dengan tawa yang masih tersisa.
Setelah itu, selama beberapa saat cuma diam termasuk ketika naik angkot. Sesampainya di
kompleks menuju rumah mereka, Dhinar membuka suara.
"Kamu masih mau pulang bareng aku?" tanya Dhinar.
"Emang kenapa?" Flemming balik bertanya.
"Nggak takut dikucilin?"
"Wah, lu baik banget masih mikirin gue," ujar Flemming sok tersanjung.
Dhinar diam saja. "Yah..." Flemming mendesah. "Mereka nggak bisa mendikte gue dengan siapa gue harus
berteman." "Cih, benar begitu?" cibir Dhinar.
"Maksud lu?" tanya Flemming agak tersinggung.
"Bukannya kamu mendikatiku karena ingin menguji seberapa hebat kemampuanmu menaklukan
hati cewek?" tanya Dhinar dingin. Nadanya memang pelan tapi tepat sasaran hingga Flemming
tidak mampu membantah. Mereaka kembali terdiam. Rumah Dhinar sudah terlihat dan tinggal beberapa meter lagi ketika
tiba-tiba nalurinya kembali mengirimkan tanda bahaya. Dari belakang rumahnya dia melihat
asap mengepul di udara. Jantungnya langsung serasa berhenti berdetak.
"Di rumahmu kok ada asap?" tanya Flemming yang ternyata melihat hal yang sama. "Apa ada
kebakaran?" Tanpa pikir panjang, Dhinar langsung berlari menuju rumahnya diikuti Flemming.
Itu bukan kebakaran! Itu... semoga bukan! Semoga bukan!
Dhinar membuka pintu pagar, lalu bergegas menuju halaman belakang rumahnya. Di sana dia
melihat Mama sedang membaca komik-komiknya. Persis yang terjadi pada saat dia masih SD.
Dhinar menelan ludah. Apa yang dia takutkan jadi kenyataan.
Mama yang menyadari kehadirannya hanya melihat sekilas ke arah Dhinar lalu kembali
memandang kobaran api di depannya.
"Kamu telah berbohong pada mama," kata Mama dingin.
"Dan ini hukumannya"
Dhinar terdiam. "Tadi siang Bu Eny menelpon Mama," lanjut Mama.
"Kenapa kamu tidak mengatakan pada Mama tentang beasiswa ke Jepang itu" Kamu mau
menyembunyikannya" Kamu mulai memberontak ya?"
Dhinar masih terdiam. Pandangan matanya hanya memantulkan api yang membakar komikkomiknya.
Mama menghela napas melihat api yang sudah mulai mengecil di atas abu komik Dhinar. Mama
sepertinya tidak menyadari kehadiran Flemming, karena begitu apai padam, Mama langsung
beranjak masuk kembali ke rumah.
"Mama sudah memberitahu Papa tentang hal ini," kata mama sebelum pergi. "Biat dia saja yang
memutuskan apa langkah selanjutnya dan beasiswa itu."
Dhinar berjalan mendekati onggokan abu di depannya lalu berjongkok. Ia tidak melakukan apa
pun, hanya memandangnya dalam diam. Penuh rasa penyesalan, tentu saja. Ingin sekali ia
menjerit keras-keras, tapi ia tahu itu tidak akan ada gunanya. Saat itu, bukan perasaan sedih yang
ia rasakan, tetapi perasaan kecewa karena lagi-lagi strateginya untuk menyembunyikan komikkomiknya gagal.
Dhinar hanya menghela napas, toh dunia tidak akan berakhir gara-gara ini. Tapi dia merasakan
benar-benar kesal sampai hampir menangis rasanya. Mengapa Mama tidak pernah mau
mendengarkan kinginannya, bahkan hanya untuk memiliki sebuah komik pun"
"Gue nggak tahu lu suka komik," kata Flemming tiba-tiba hingga membuat Dhinar kaget dan
tersadar bahwa dia tidak sendirian di tempat itu.
"Memang nggak ada yang pernah tahu," sahut Dhinar dengan suara bergetar. "Dan nggak akan
ada lagi yang tahu." Lalu ia berdiri. "Makasih sudah mengantarku," kata Dhinar tanpa menengok
ke arah Flemming sambil berjalan menuju rumahnya. Tidak sampai semenit, sosoknya sudah
menghilang ke dalam rumah.
Flemming tertegun. Dia masih bingung dengan apa yang baru saja dilihatnya. Komik dibakar...
Ibu yang dingin seperti anaknya... Beasiswa... Dhinar yang terlihat kecewa... Suara bergetar..
Hampir nangis" Ini pertama kalinya dia melihat Dhinar seperti itu.
padahal selama ini di matanya cewek itu terlihat sangat kuat bagai batu karang yang tidak takut
diterjang ombak. Tapi sekarang, Dhinar terlihat seperti cewek biasa, rapuh dan lemah,
bagaimanapun dia berusaha menyembunyikannnya. Flemming ingin menolongnya, tapi tidak
tahu caranya. Tiba-tiba dia sadar bahwa ini juga pertama kalinya dia sungguh-sungguh
inginmenolong seorang cewek tanpa maksud tertentu.
Setelah lama berdiri di tempat itu, akhirnya dia memutuskan untuk pulang.
*** Malam harinya setelah makan malam, Dhinar disidang dengan Papa sebagai hakim, Mama
sebagai penuntut umum. Tanpa pengacara.
"Kami sudah membuat keputusan," Mama yang pertama kali membuka suara. "Kamu harus ikut
kursus bahasa Jepang," kata Mama.
Hah" "Ada lembaga pendidikan bahasa di dekat sekolahmu. Paling lambat besok kamu harus sudah
mendaftar di sana," lanjut Mama. "Akan Mama cek nanti."
"Papa pikri, kalau bisa menguasai bahasa Jepang, kemungkinan kamu mendapatkan beasiswa itu
lebih besar." tambah Papa.
Mereka bahkan tidak menanyakan pendapatnya.
Dhinar terdiam, merasa mungkin inilah hukumannya.
"Dan masalah komik itu," lanjut Papa, "Sebaiknya jangan sampai terulang lagi. Kamu tidak akan
mau tahu apa yang mungkin Papa lakukan terhadapmu."
Dhinar hanya memandang Papa dingin, seolah tidak gentar akan ancamannya. Padahal dia
Jo Anak Gelandangan 1 Dewi Ular 96 Di Sini Ada Iblis Name Of Rose 11

Cari Blog Ini