Ceritasilat Novel Online

Still 1

Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih Bagian 1


Still (Sekuel Cewek) Esti Kinasih download dan baca secara online di http://cerita-silat.mywapblog.com Pedang Sakti Cersil Istana Pendekar Dewa Naga Raja Iblis Racun Ceritasilat.... thank. Amarah itu mematikan hati. Dan melukai. Menutup maaf, dan menciptakan benci.
Rei tidak bisa memaafkan apa yang telah dilakukan Langen saat kebut gunung itu. Langen
berdiri di atas sebuah batu besar, dan memperlihatkan apa yang menurut Rei seharusnya hanya
jadi miliknya sendiri. Tapi kalaupun Langen berpikir itu boleh dan sah saja terjadi " apalagi itu tubuh gadis itu sendiri
" Rei merasa dirinyalah yang berhak pertama kali melihatnya. Sendiri. Bukannya
menyaksikannya bersama-sama kedua sahabatnya, ditambah empat cowok lain yang saat itu
sangat beruntung memperoleh pencerahan agar melintasdi lokasi!
Peristiwa itu benar-benar telah menghantam Rei. Saat dia menyadari, kini matanya tidak bisa
lagi menatap Langen dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Rei sadar,ternyata Langen
sanggup melakukan tindakan-tindakan yang tidak terduga.
Langen memang manis,keras kepala, smart, dan nekat. Hal-hal yang membuat Rei tertarik.
Namun ternyata ada yang luput dari penglihatan Rei dan baru terbuka belakangan ini.
Gadis itu tangguh! Rei tidak bisa lagi memeluknya tanpa merasa ada sepuluh jari berkuku yang siap mencakarnya.
Tidak bisa lagi menatapnya tanpa mengabaikan setiap saat gadis itu bisa berubah menjadi
lawannya. Dan itu membuat Rei tanpa sadar jadi bersikap waspada setiap kali Langen
bersamanya. Kemarahan Rei makin memuncak saat mendapati bagaimana sorot mata Bima dan Rangga setiap
kali memandang Langen. Meskipun keduanya terlihat wajar, Rei tahu pasti apa yang sedang
berputar di dalam tempurung kepala masing-masing.
Langen yang berdiri tegak di atas batu besar. Angkuh dan menantang. Dan... transparan!
"Sialan!" Rei mendesis geram. Kembali dadanya bergolak hebat. Selalu, setiap kali peristiwa itu
teringat. "Sialan!" Rei mendesis lagi. Kali ini ditutupnya kedua matanya perlahan. Sebesar apapun
kemarahan ini,dirinya tetap merasa tak berdaya. Bukan karena status Bima dan Rangga yang
notabene adalah sahabatnya, tapi karena dirinya sadar, sekalipun mata-mata itu dibuatnya buta,
tetap tidak akan bisa menghapus apa yang terlanjur terekam didalam kepala, apalagi
menghentikan imajinasi gila.
Dan itu membuat kemarahan Rei meledak seketika.
"SIALAN! SIALAN! SIALAN!!!" Rei berteriak keras. Diraihnya setumpuk buku dari atas meja,
lalu sekuat tenaga dilemparnya ke dinding. Buku-buku itu membentur dinding dengan keras dan
berjatuhan ke lantai dengan bunyi berdebam. Diiringi teriakan Rei yang menggelegar.
"AAAAARRGGGHH!!!"
*** Perang itu berlanjut. Namun hanya Langen yang benar-benar bisa merasakan derapnya.
Bergemuruh di bawah permukaan yang terlihat tenang. Dia sudah menangkap rasa asing itu. Ada
yang salah. Yang tidak terbaca. Tidak terlihat dengan mata. Tidak terpahami. Karenanya dia
ciptakan permainan. Berharap akhirnya akan tahu dan mengerti.
Dan Rei mengikuti permainan itu. Permainan yang dicipitakan Langen. Babak demi babak.
Dengan"api" yang ditekan jauh-jauh di dalam dada. Jauh-jauh dan kuat-kuat.
Marah, sedih, kaget, dan sakit!
Tundukkan gadis itu sekarang, kemudian... lepaskan!!!
*** Langen tidak mau bertele-tele. Dia tahu, cara untuk secepatnya mengetahui apa rasa asing yang
dia rasakan terhadap Rei adalah dengan cara membuat cowok itu marah. Kemarahan akan
mengeluarkan semua yang tersimpan rapat di dalam hati, bahkan pikiran.
Dan cara yang dilakukan Langen cukup kelewatan, kalau tidak mau dibilang merendahkan. Dia
jadikan Rei petugas delivery order. Untuk apa saja. Pizza, fried chicken, martabak, bakso,
majalah, tabloid, jagung rebus, bahkan kerupuk!
Beberapa kali Langen bahkan sengaja memesan sesuatu dari lokasi yang jauh dari posisi Rei
pada saatcowok itu meneleponnya, atau pada saat dia mengontak cowok itu. Semakin kelewatan
permintaannya, akan semakin kenes dan manja cara Langen mengutarakannya. Langen tahu
pasti, memang itu cara yang harus dilakukan kalaumau keinginannya terpenuhi.
Kalau kebetulan Fani danFebi main ke rumah Langen saat malam Minggu, dan Rei juga datang
bersama Bima dan Rangga, kedua sobatnya itu akan menjadi saksi "penghinaan" yang sedang
dialami Rei. Rei yang berdiri diam,menunggu martabak telur pesanan Langen selesai dibuatkan. Rei dengan
tabloid gosip di tangan. Rei yang menggabungkan diri dalam antrean panjang sebuah konter
donat. Rei yang berdiri kebingungan di depan sebuah konter komestik, dan banyak kejadian lagi.
Pemandangan itu membuat Bima dan Rangga nelangsa. Keduanya bahkan seperti tidak lagi
mengenali Rei. Namun Rei tak ingin dicegah.
"Lo tunggu aja di mobil.Nggak usah ikut turun," kata Rei saat Bima mengikuti langkahnya.
"Surat pernyataan itu ya, yang udah bikin lo jadi begini" Pasrah di bawah kaki Langen," tanya
Bima. "Iya!" tandas Rei, dengan rasa jengkel yang ditekan. "Lo mau salinan tu kertas nyebar di
kampus" Bisa ancur reputasi kita!"
Sengaja Rei membiarkan dugaan itu, karena dia sama sekali tidak ingin mengatakan penyebab
yang sebenarnya, yaitu ingin sekali dicucinya otak kedua sahabatnya itu. Tidak seluruhnya.
Cukup pada bagian yang menyimpan memori saat Langen memperlihatkan sebagian tubuh
atasnya. "Ada apa sih, La?" Faniyang juga heran melihat keanehan itu, suatu hari akhirnya bertanya.
"Gue ngerasa ada yang aneh sama Rei," jawab Langen.
"Apaan?" "Itu dia. Gue nggak tau. Makanya gue lagi nyari tau."
"Rei kayaknya kesel banget tadi. Cuma nggak dia kasih liat aja."
"Baguslah. Emang itu tujuan gue."
Dan di satu hari Minggu, saat Fani dan Febi di rumah Langen, akhirnya tujuan Langen tercapai.
Permintaannya agar Rei membelikan satu jenis makanan yang memang jadi favoritnya para
cewek, yaitu rujak"dengan catatan tambahan: mangga mudanya yang buanyaaak" akhirnya
menghabiskan pertahanan Rei.
Permintaan itu membuat Rei harus menahan diri saat ibu penjual rujak yang didatanginya
menatapnya dengan sorot mata tajam dan mencela.
"Udah berapa bulan?" tanya si ibu sambil meracik sambal.
Sesaat Rei jadi bingung."Apanya?" tanyanya bodoh. Dan ketika sadar apa yang dimaksud,
dijawabnya juga pertanyaan itu. Kepalang basah.
"Oh, tujuh bulan."
Ibu itu melirik sekilas. Dengan sorot mata yang semakin mencela.
"Sebentar lagi jadi bapak dong."
Rei tersenyum datar. "Yaah, begitulah."
"Kamu pasti masih sekolah..."
"Betul." Mendadak ibu penjual rujak itu meradang.
"Orangtua susah-susah cari uang, banting tulang siang-malem, Cuma untuk anak-anak yang
nggak tau diri. Nggak tau terima kasih. Dasar anak-anak sekarang. Banyak yang durhaka!"
Bima dan Rangga, yang menunggu di mobil tapi bisa mendengar percakapan itu, jadi menghela
napasbersamaan. Mereka kasihan melihat Rei. Tapi mereka tidak bisa menggantikan posisi Rei,
karena selama ini semua order datangnya dari Langen. Tidak pernah dari Fani atau Febi.
Tak lama Rei kembali dengan bungkusan rujak di tangan. Dari raut mukanya terlihat jelas cowok
itu marah, juga malu. "Tau gitu nggak gue beli rujaknya!" makinya. Dan peristiwa itulah yang membuat pertahanan
Rei akhirnya mencapai klimaks. SEBELUM berangkat kuliah, Rei mampir ke rumah teman sekelasnya di SMA yang sekarang
tercatat sebagai mahasiswa fakultas Teknik Mesin.
"Tempat lo pasti kosong kan jam segitu?"
"He-eh." Aldo mengangguk, sambil mengulurkan kunci kepada Rei.
"Thanks, Do." Rei menepuk bahu temannya lalu berdiri. Aldo menatap Rei dengan pandangan
bertanya, karena Rei tidak mengatakan alasannya dengan jelas kenapa memerlukan rumah
tempat dirinya dan beberapa teman mengontrak. Rei tersenyum, sama sekali tidak berminat
menjawab keingintahuan Aldo.
"Ntar kalo lo balik, gue jamin tivi lo, juga MP4 player sama komputer, masih ada."
Aldo tertawa. "Oke deh. Gue nggak pingin tau."
"Thanks." Rei tersenyum lagi, balik badan dan pergi.
*** Jam satu tepat, dosen statistik menghentikan kuliahnya. Sesaat setelah dosen itu melewati
ambang pintu, ada lengan terulur dan memeluk Langen dari belakang.
"Hei, jalan yuk?" bisik Rei.
Langen menoleh dan menatapnya heran. Entah kenapa, dia merasa ada yang aneh. Senyum Rei,
dan cara Rei menatapnya. "Ke mana siang-siang gini" Panas banget, lagi."
Rei tidak menjawab. Dia lepaskan pelukannya dan dibantunya Langen membereskan diktatdiktat dan alat tulisnya.
"Duh... manisnya," bisik Fani di telinga Febi.
Febi mengangguk sambil menahan senyum.
"Pasti ada maunya," dia balas berbisik. Ganti Fani yang mengangguk.
"Oke," ucap Rei begitu selesai. Ditatapnya Fani dan Febi sambil tersenyum lebar. "Kami duluan,
ya. Bima sebentar lagi ke sini, Fan."
Sekali lagi Rei tersenyum lebar, lalu menggandeng Langen keluar.
Langen mengikuti langkah Rei. Ditatapnya kedua temannya sambil mengangkat bahu, tanda
tidak mengerti. Langen sama sekali tidak mengira bahwa yang dimaksud Rei dengan "jalan" adalah pergi ke
sebuah rumah yang lokasinya tidak begitu jauh dari kampus. Dari perrabotnya, rumah itu
tampaknya dihuni oleh beberapa mahasiswa.
"Ngapain ke sini?" tanya Langen heran.
Rei tidak menjawab. Dikuncinya pintu lalu dikantonginya kunci itu.
"Ngapain ke sini?" Langen mengulang pertanyaannya. Ia heran karena saat berbalik didapatinya
Rei tengah berdiri bersandar di pintu dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Dari cara cowok itu menatapnya, Langen merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang
membuat Rei menjadi semakin asing di matanya.
"Gimana rasanya dapat pengakuan kalo badan kamu seksi" Hmm?" Rei tersenyum. Senyum
yang membuat perasaan Langen mendadak jadi tidak enak.
"Apaan sih?" tanyanya bingung.
"Gimana rasanya jadi objek imajinasi" Bangga pastinya, ya?" Rei meneruskan pertanyaannya.
"Kasih aku kebanggaan juga dong. Supaya aku bisa bilang, minimal ke Bima sama Rangga,
'Empat cowok sialan itu terpaksa kita lupakan, kalian berdua cuma ngeliat sebatas itu aja, kan"
Karena gue cowoknya, jelas gue mendapat kehormatan untuk ngeliat lebih dari itu!' Betul,
nggak?" Langen tersentak. Ia sadar sekarang, apa yang menjadi sumber rasa asing yang dirasakannya
terhadap Rei bulan-bulan belakangan ini. Ternyata ini.
"Jadi kamu ngajak aku ke sini untuk ngomong ini?"
"Untuk ngomong?" Rei mengangkat kedua alisnya. "Jelas nggak lah. Ngomong udah nggak
asyik sekarang. Aku kesini untuk... melihat!" Kemudia raut wajah Rei mengeras. "Karena aku
tidak mendapat kehormatan untuk ngeliat tubuh kamu pertama kali, berarti sekarang aku berhak
ngeliat lebih dari yang udah diliat kedua sobatku dan empat cowok beruntung itu!"
Langen menggigit bibir. Diam-diam ditariknya napas panjang. Dadanya jadi terasa sakit. Sangat
sakit. Meski demikian, dengan nada tegas diberinya Rei satu tantangan yang justru membuat
cowok itu nyaris mati langkah.
"Kalo kamu mau ngeliat lebih dari yang udah diliat Bima sama Rangga...," Langen terdiam,
ditatapnya Rei tepat di manik mata, "... buka pake tangan kamu sendiri!"
Rei agak tersentak. Tidak menyangka akan menerima tantangan baru. Namun kemudian dia
sadar. Inilah Langen. Cowok itu mulai marah. Ditatapnya Langen tajam-tajam.
Cuma seorang cewek. Bisa ditangani dengan mudah. Cuma selembar kain. Bisa dirobek dengan
gampang. Namun yang dia inginkan... Langen yang melakukan itu! Untuk dirinya. Seperti yang
dilakukan cewek itu untuk kedua sahabatnya saat kebut gunung itu.
"Kenapa" Apa karena di depan kamu cuma ada aku" Kurang menantang ya, kalo cuma diliat satu
orang" Kurang seru" Kurang menguntungkan" Apalagi aku, cowok kamu. Jadi nggak akan
bilang ke siapa pun gimana seksinya badan kamu. Beda kalo yang ngeliat orang lain. Jelas akan
mereka sebarkan informasi menarik itu. Dengan begitu kan jadi banyak yang tau keseksian
kamu." Rei maju selangkah. Tatap matanya semakin menajam.
"Bagas bilang, kamu fans beratnya Kartini. Kamu tau" Kamu sama sekali nggak cocok jadi
fansnya. Kamu justru ngerusak nama dia. Kamu lebih cocok jadi fans Cleopatra atau Frida
Kahlo. Cewek-cewek smart, nekat, dan licik!" Rei tersenyum dingin. "Bagian tubuh Kartini yang
mungkin bisa diliat cuma betisnya. Itu pun yang bisa ngeliat mungkin cuma bokap sama sodarasodaranya. Sementara yang pernah ngeliat badannya, cuma suaminya! Beda jauh kan sama
kamu?" Langen terpana. Benar-benar tidak sanggup percaya bahwa Rei yang telah mengeluarkan
kalimat-kalimat menyakitkan tadi. Setelah sekian detik hanya bisa terpana, tiba-tiba Langen
mengangkat tangan kanannya. Dilayangkannya satu tamparan keras ke pipi Rei. Namun
tamparan itu hanya membuat tubuh Rei terdorong ke belakang sedikit.
Rei mengusap pipinya. Cowok itu balik badan dan meraih ranselnya yang tadi ia letakkan di
lantai, di dekat pintu. Dikeluarkannya sebuah stoples plastik kecil. Isi stoples itu membuat tubuh
Langen seketika menegang. Cicak.
Wajah Langen langsung pucat. Demi Tuhan, dirinya paling jijik dengan binatang itu!
Dengan puas, Rei menikmati ketakutan Langen. Dikeluarkannya cicak itu dari dalam stoples.
Kemudian perlahan dia mendekat, dan itu membuat Langen semakin pucat. Sekarang matanya
menatap cicak itu lurus-lurus.
"Kamu boleh pakai cara apapun untuk protes," ucap Rei sambil terus berjalan mendekat. "Tapi
jangan buka baju!" "Aku nggak buka baju!" bentak Langen.
"Kamu tinggal selangkah menuju buka baju!" Rei balas membentak.
"Aku nggak suka cara kamu!"
"Ini bukan caraku. Ini cara kamu!"
Cicak itu menggeliat di telapak tangan Rei. Cicak yang putih, gendut, lembek, dan...
menjijikkan! Binatang itu ingin melepaskan diri, tapi tak bisa karena ibu jari Rei menahannya.
Ironis, karena Rei tahu tentang binatang yang paling ditakuti Langen itu justru dari Raditya,
kakak sulung Langen. Kalau sudah kewalahan dengan kenakalan anak bungsunya, mama Langen
biasanya akan menyerahkan penanganannya pada anak sulungnya. Dan Raditya yang ogah repot,
akan mengambil tindakan yang paling efektik dan efisien. Cicak. Cukup cicak berukuran sedang
sudah akan membuat Langen histeris habis-habisan dan langsung bersikap kooperatif.
"Sekarang...!" perintah Rei. "Kasih liat ke aku lebih dari yang udah dilihat Bima dan Rangga.
Buka baju kamu!" "Buka pake tangan kamu sendiri!"
"Aku bilang... buka!" bentak Rei. Sekarang dia benar-benar sudah berdiri di depan Langen.
Diperlihatkannya cicak itu dengan demonstratif.
Namun Langen bertahan. Mati-matian. Saat Rei kemudian menyentuhkan cicak itu ke tangannya,
Langen langsung memalingkan muka. Dipejamkannya kedua matanya rapat-rapat. Tubuhnya
gemetar. Keringat dingin mengalir. Namun gadis itu tetap bertahan. Bahkan setelah cicak itu
benar-benar diletakkan Rei di salah satu telapak tangannya, Langen tetap berdiri tegak.
Meskipun bukan lagi disangga kedua kaki, tapi sudut antara dinding dan lemari.
Melihat itu, kemarahan Rei memuncak. Akumulasi dari rasa marah yang telah dipendamnya
selama berbulan-bulan, ditambah kekalahan yang dialaminya sekarang.
Ketika ternyata Langen tidak juga menyerah"meskipun wajahnya sudah seputih kertas, jemari
tangannya sudah dingin dan basah, dan berdirinya pun sudah sangat goyah"Rei akhirnya
melepaskan si cicak yang segera berlari ke belakang lemari.
Rei mengatupkan kedua rahangnya kuat-kuat. Kesepuluh jarinya mengepal. Ia ingin berteriak
keras-keras, tapi sadar, akan menyebabkan kegemparan di tetangga sekitar.
Akhirnya sambil menggeram, cowok itu meninju rak buku di dekatnya. Rak yang terbuat dari
serbuk kayu padat itu seketika patah berantakan. Buku-bukunya yang tadinya tersusun rapi, jatuh
berserakan. Langen menyaksikan itu dalam diam. Diam yang menyimpan banyak rasa sedih, kecewa, sakit,
dan kemarahan. Rei menoleh dan menatap Langen dengan bara kemarahan yang berkilat di kedua matanya.
Kemudian dihampirinya Langen. Diulurkannya kedua tangan, lalu diraihnya gadis itu ke dalam
pelukannya. Langen menggigit bibir. Pelukan Rei benar-benar menyakitkan. Terasa seperti akan mematahkan
tulang. Sama sekali tidak tersisa ruang untuk bergerak. Ahirnya untuk mengurangi rasa sakit,
Langen melemaskan tubuhnya.
Begitu tubuh yang dipeluknya melemas, Rei memejamkan kedua mata. Kepalanya menggeleng
perlahan. Ditahannya dadanya yang terasa sesak. Bahkan hanya untuk dipeluk pun, gadis ini
melawan. Menit-menit lewat. Pelukan yang beku. Yang tidak terasa mendekatkan. Ketika akhirnya Rei
melepaskan pelukannya, Langen bisa melihat kedua mata Rei yang memerah.
Jangan dilepas kalau tidak yakin, Rei mendengar hatinya berbisik mengingatkan. Tapi ini
pertarungan terakhir, sang ego langsung berteriak. Dan dia menang.
"Kita selesai di sini!" ucap Rei kemudian. Parau. Sesak.
Langen diam. Pelukan sakit dan dingin itu sudah memperingatkan. Dia bergerak ke sudut
ruangan. Mengambil tasnya dari atas meja, lalu melangkah menuju pintu. Sampai di depan pintu,
dia berhenti lalu berdiri menunggu, karena pintu itu terkunci dan kuncinya ada pada Rei.
Rei merogoh saku celana jinsnya dan mengeluarkan anak kunci dari sana. Dia melangkah
menuju pintu. Dimasukkannya anak kunci ke lubangnya lalu perlahan diputarnya. Semua itu
dilakukan Rei dengan tatap mata tetap tertuju pada Langen. Sementara pandangan Langen tertuju
lurus ke daun pintu. Pandangan yang dingin dan datar.
Saat Rei membuka pintu perlahan, Langen segera melangkah keluar. Sesaat sebelum gadis itu
mencapai ambang pintu, Rei mencekal satu tangannya dan menahan langkahnya.
"Jangan noleh. Jangan ngeluarin suara. Sedikit aja kamu noleh, sedikit aja kamu ngeluarin
suara... akan aku tahan!"
Dia lepaskan cekalannya. Langen pun pergi. Seperti permintaan Rei, gadis itu tidak menoleh
sama sekali. Tidak mengeluarkan suara sedikit pun.


Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rei terguncang. Ada permohonan yang menggila dalam diam. Agar Langen menoleh, sesaat saja.
Atau mengeluarkan suara, sedikit saja. Agar ada alasan untuk menahan langkahnya. Agar ada
dalih untuk menarik gadis itu kembali ke sampingnya.
Akhirnya Langen tiba di tepi jalan. Di bawah tatapan Rei yang makin menajam, diiringi degup
jantung Rei yang makin meliar, gadis itu berbelok dan akhirnya... hilang!
Tubuh Rei terguncang seketika. Membentur tembok dan bersandar di sana tanpa tenaga.
Kemudian tubuh itu meluruh lunglai. Bahkan hatinya yang tadi sudah berbisik mengingatkan,
kini ikut diam. Selesai sudah semuanya. Genap sudah kekalahannya.
Namun satu yang tidak diketahui Rei. Langen tidak ingin menoleh, tidak ingin mengeluarkan
suara, hanya karena dengan cara itulah dia bisa menyembunyikan air matanya.
*** "Gue nggak mau dengar komentar apa pun. Lo berdua udah nanya, dan gue udah cerita
semuanya." Rei menatap dua orang di depannya dengan sepasang matanya yang mengelam tanpa
sinar, dan raut muka yang sama keruhnya.
"Ini bukan komentar, tapi pertanyaan," ucap Bima hati-hati. "Jadi lo sama Langen udah benerbener bubar?"
"Ya!" tandas Rei, jelas-jelas berasal dari emosinya yang kacau.
Bima dan Rangga sesaat saling pandang, lalu berkata bersamaan dengan pelan, "Oke."
*** "Gila!" Fani geleng-geleng kepala. "Ini ya, yang lo maksud waktu itu" Kayaknya ada yang aneh
sama Rei." "Iya." Langen mengangguk.
"Tapi udah deh, La. Nggak usah diperpanjang. Kalau maunya Rei gitu, ya udah."
"Siapa juga yang mau memperpanjang?"
"Nggak apa-apa, kan?"
"Ya marah lah...!"
"Lupain aja!" "Oke." Langen menghela napas, lalu mengangguk lemah.
"Gila!" Fani geleng-geleng kepala lagi. "Asli, gue nggak nyangka Rei bisa tega begitu."
"Itu wajar kok," Febi yang sejak tadi diam, kini bicara dengan nada tenang. Dua orang di
dekatnya menoleh seketika. Febi membalas tatapan Langen dan Fani dengan sorot meminta
maaf. "Kalo diliat dari mata cowok, ya tindakan Rei itu bisa dibilang wajar. Sumpah, gue
bukannya belain Rei. Tapi cowok-cowok memang begitu mikirnya."
Raditya juga cemas melihat kondisi Langen yang kini terlihat murung dan agak pendiam. Tapi
tidak ada yang bisa dilakukannya karena Langen mengatakan, tidak terjadi apa-apa. Hanya
bertengkar hebat dengan Rei, kemudian bubar. Dan bertengkar hebat sama sekali bukan alasan
yang tepat untuk membuat perhitungan, apalagi menghajar orang. Akhirnya setelah sekali lagi
meminta ketegasan bahwa memang benar tidak ada yang terjadi selain pertengkaran, Raditya
menghibur satu-satunya adik perempuannya itu dengan cara seorang kakak yang baru terima gaji
bulanan. "Temenin Mas Radit shopping yuk?"
"Shoppiiiing?" Kedua mata Langen langsung membulat. "Ayuk! Ayuk! Asyiiikkk!"
*** Di saat hubungan Rei-Langen guncang dan akhirnya hancur berantakan, hubungan Rangga-Febi
justru kembali ke kondisi awal. Setelah mengalami euforia berbulan-bulan, mengubah pola pikir
di luar adat dan kebiasaan, sepertinya Febi kembali berpendapat bahwa nilai-nilai keluarga yang
sedari kecil dia dapatkan adalah yang paling benar.
Dengan mudah dilupakannya apa yang sudah terjadi. Termasuk pengkhianatan Rangga, karena
apa yang dilakukan cowok itu"menurut Febi"memang bukan hal yang luar biasa. Malah sangat
biasa. Melihat kondisi Langen yang kacau setelah perpisahannya dengan Rei, Febi menghiburnya
dengan khotbah yang sebenarnya sama sekali tidak membantu meringankan keadaan. Justru
menjengkelkan. Febi berkhotbah tentang batas yang jelas antara cowok dan cewek. Febi malah ngomong di luar
konteks: dia memaafkan pengkhianatan Rangga. Alasannya, berselingkuh sudah menjadi kodrat
cowok. Sesuatu yang alami. Semua raja atau cowok yang punya kekuasaan di tangan, di semua
tempat, di semua masa, dan di semua peradaban, bisa mempunya istri atau selir yang jumlahnya
bahkan bisa melebihi kapasitas stadion bola, dengan jumlah anak yang bisa untuk membentuk
satu peradaban tersendiri.
Namun kali ini Febi tidak memaksa kedua temannya untuk berpendapat sama. Katanya, cuma
wacana. Setelah menyelesaikan wejangan panjang lebarnya, Febi menatap Fani dan Langen dengan
ekspresi sangat puas. Seolah-olah dia telah memberikan pencerahan batin sekelas Buddha. Dua
orang di depannya mengembangkan senyum terpaksa, lalu berbarengan mengucapakan katakata...
"God blessed you!"
"Apa sih maksud si eyang itu?" sungut Langen kesal, begitu Febi sudah pergi.
"Maksudnya, elo salah, Rei bener," jawab Fani. "Ngeselin emang tu orang!"
*** "Mendingan lo cari cowok lagi, La," usul Fani suatu pagi. "Daripada terus mikirin Rei. Belom
tentu tu orang mikirin lo juga."
Sejenak Langen sempat membeku mendengar kalimat itu.
"Iya, ya?" "Iya lah! Udah, lupain. Cari yang baru. Tapi jangan yang ngeselin kayak dia."
"Iya. Bener. Bener." Langen mengangguk-angguk.
Dan usul dadakan itu langsung mereka lakukan begitu ternyata sang dosen tidak datang.
"Kita mangkal di mana nih?"
"Mmm..." Fani berpikir sejenak. "Aha! Di taman kampus aja. Gimana" Setuju?"
"Oke!" Langen mengangguk. Kemudian dia memandang berkeliling. "Mana si Febi?"
"Lo nggak liat tadi dia dijemput Rangga. Yuk ah. Sementara berdua aja dulu."
Keduanya berjalan menuju taman terluas di area kampus. Tempat para siswa dari hampir semua
fakultas bisa ditemukan. Begitu sampai, mereka mencari tempat strategis dan langsung pasang
mata. "Itu gimana?" tunjuk Fani langsung, ke seorang cowok bertampang profesor. "Masa depan lo
bakalan cerah." "Elo aja gih sana. Gila apa" Umur baru segini jidat udah selebar gitu. Umur empat puluh pasti
udah botak total." Fani tertawa geli. "Kalo itu?" tunjuknya ke sasaran lain. "Model rambutnya kayak vokalis Nidji."
"Oh, tidak!" Langen langsung geleng kepala. "Cowok dengan model rambut hopeless gitu bukan
tipe gue." Kembali Fani tertawa geli. Sengaja dia asal tunjuk, karena baginya yang terpenting saat ini
adalah membuat Langen melupakan perpisahannya dengan Rei.
Febi juga setuju dengan usul Fani tersebut. Tapi lebih karena dia tidak bisa menemukan cara lain
yang lebih baik. Langen sendiri sebenarnya tidak terlalu bersemangat. Tapi melihat usaha keras
kedua temannya itu untuk mengeluarkannya dari kesedihan, ia jadi tidak tega menolak. Dan
acara hunting cowok itu kemudian jadi rutinitas harian. Yang hanya absen kalau betulan Bima
dan Rangga muncul bersamaan.
Sampai suatu ketika, seorang cowok melintas di depan ketiganya. Cowok itu menoleh dan
tersenyum hangat. Fani terpana, dan baru sadar kembali setelah cowok itu benar-benar jauh.
"Siapa dia, La?" tanyanya dengan suara tercekat.
"Dia siapa?" "Cowok tadi. Yang barusan lewat tadi. Dia tersenyum. Lo nggak kenal?"
Langen sama sekali tidak tahu siapa yang dimaksud Fani, karena sejak tadi cowok yang
berseliweran di sekitar mereka cukup banyak. Selain itu Langen memang tidak terlalu menaruh
perhatian. Febi juga tidak tahu.
Fani jadi terdiam. Cowok itu. Senyumnya hangat sekali. Juga cara sepasang matanya menatap.
Dan senyum serta tatap mata itu ditunjukkan untuk dirinya. Kemudian Fani jadi tersentak ketika
menyadari apa yang sedang menimpa dirinya saat ini.
Cinta pada pandangan pertama!
Ya Tuhan! desisnya dalam hati. Akhirnya! Dia pikir keberuntungan ini tidak akan pernah datang
padanya. Terusir oleh kehadiran Bima. Namun ternyata...
Oh, ya ampun! Fani tersenyum lebar. Kedua matanya sontak berbinar. Jantungnya juga jadi
berdetak kencang. Bisa ditebak apa yang terjadi kemudian. Fanilah yang sekarang paling bersemangat. Setiap ada
waktu luang, langsung diseretnya Langen dan Febi, minimal salah satu dari mereka, ke taman
utama kampus, menuju bangku yang sama. Kemudian ia akan segera memandang berkeliling
dengan harap-harap cemas.
Kalau cowok itu tidak terlihat sampai saat mereka harus meninggalkan taman, muka Fani akan
langsung mendung berat. Tapi kalau cowok itu melintas, tersenyum atau menyapa "hai" muka
Fani akan langsung berubah cerah. Ceria. Sumringah. Dan semua ekspresi lain yang
menunjukkan dia bahagia. Saat meninggalkan taman, langkah kakinya jadi seperti terbang.
Langen dan Febi cemas. Bila Fani naksir orang, berarti akan ada urusan runyam.
"Hati-hati lho, Fan," Febi akhirnya mengingatkan.
"Hati-hati kenapa" Gue kan cuma suka ngeliat doang. Dia namanya siapa, gue nggak tau.
Fakultasnya juga nggak."
"Iya. Tapi kalo lo suka ngeliat doang, ya jangan tiap hari ke sini deh. Duduknya di bangku yang
ini melulu, lagi. Ntar Bima pasti curiga."
"Iya, bener," Langen membenarkan. "Ditahan sedikit deh rasa suka lo itu. Takutnya pas lo lagi
jalan sama Bima, trus tu cowok kebetulan lewat, lo nggak bisa ngontrol. Kelepasan."
"Betul!" Febi mengangguk.
"Yah... abis gimana dooong?" Rasanya Fani ingin menangis. "Gue suka banget ngeliat dia."
"Lagian ini kan proyek untuk gue. Kok jadi elo yang dapet sih?" Langen jadi agak keki.
"Ya elonya juga sih. Di kepala lo tuh isinya Rei doang. Makanya cowok laen jadi nggak
keliatan." "Udah deh," potong Febi. "Kita selesain yang urgein dulu." Ditatapnya Fani lurus-lurus. "Lo tau
posisi lo sekarang, kan" Berani nggak lo minta putus sama Bima?"
"Gila apa!?" Seketika Fani melotot.
"Nah, kan?" ganti Febi melotot. "Kalo gitu, lupain tu cowok!"
"Yaaaah..." Fani langsung lemas. "Kayaknya dia juga suka sama gue, Feb."
"Baru juga dikasih senyum sama hai-hai doang. Nggak bisa buat patokan."
"Buktinya lo sama Langen nggak dikasih senyum, hayo" Dia senyumnya sama gue doang."
"Ah, udah!" potong Febi. "Mulai besok kita nggak usah ke sini lagi." Dia menoleh dan menatap
Langen. "Setuju kan, La" Kita cuci matanya di fakultas sendiri aja. Kali aja jodoh lo emang
masih satu jurusan."
"Iya deh." Langen, mengangguk. Bukan karena kemungkinan jodohnya masih satu jurusan. Tapi
demi mencegah Fani agar tidak tertimpa musibah.
Fani meninggalkan taman utama kampus dengan ditarik Langen dan Febi di kiri-kanan. Kedua
kakinya melangkah gontai. Segala sesuatu yang ditatapnya juga jadi terlihat suram.
Cinta pertamanya kandas sudah. Sedih banget. Bima ternyata benar-benar kutukan!
Langen, Fani, dan Febi sedang berjalan bersisian di koridor yang menuju gedung fakultas
mereka, saat Rei mendadak muncul dan menghampiri ketiganya dengan raut muka tegang.
Seketika Langen ikut tegang karena ini pertama kalinya dia melihat Rei kembali. Tapi ternyata
Rei sama sekali tidak menatap ke arahnya. Kedua matanya terarah lurus pada Fani. Begitu
sampai di hadapan ketiganya, Rei langsung mengulurkan tangan dan meraih tangan Fani.
"Ikut gue sebentar. Ada yang mau gue omongin!"
"Eh! Eh! Lo salah orang. Gue?"
"Elo!" Rei menatap Fani tajam. "Ayo!"
Ditariknya Fani menjauh. Langen dan Febi menatap kepergian keduanya dengan bingung.
Begitu mereka tiba di bagian koridor yang lengang, Rei melepaskan genggamannya dan
menghadapkan tubuhnya ke Fani.
"Lo lagi suka sama orang, ya?"
Fani sontak terperangah. "Nggak!" bantahnya seketika.
"Jangan bohong. Gue tau dari Bima. Iya?"
Fani menatap Rei dengan mata terbelalak. Mukanya langsung pucat.
"Lo" tau" dari Bima?" tanyanya tergagap.
"Iya. Makanya!" desis Rei. "Iya apa nggak" Gue bukan mau marah sama elo. Gue Cuma mau
tau." Seketika kepala Fani tertunduk lunglai. "Gue Cuma suka ngeliat dia aja kok," ucapnya lemah.
Rei menghela napas. "Sini!" diraihnya tangan Fani dan ditariknya ke sudut yang tersembunyi. "Masalahnya bukan di
"elo Cuma suka ngeliat dia". Masalahnya, Bima tau. Itu!"
"Yah" abis gimana dong" Suka kan nggak bisa diatur."
Sesaat Rei terdiam. "Gue tau, lo terpaksa pacaran sama Bima," ucapnya pelan.
"Itu dia! Gue pingin jalan bukan Cuma sama cowok yang suka sama gue, tapi gue juga suka
sama dia. Cowok yang baik. Bukan yang model bromocorah atau preman terminal kayak sohib
lo itu." Rei berdecak lalu menghela napas.
"Untuk sementara jauhin dulu itu cowok. Bonyok nanti dia. Selesain dulu urusan lo sama Bima."
"Itu diaaaa," keluh Fani, jadi kepingin nangis.
"Gimana caranya minta putus sama dia?"
Rei tidak bisa menjawab. Selama ini, Bimalah yang selalu membuat mantan " mantannya putus
asa. Sikap dingin dan ketidakacuhannya biasanya terjadi kalau cowok itu sudah mulai bosan,
kemudian menghentikan usaha jatuh " bangun cewek " cewek itu untuk tetap bisa berada di
sebelahnya, dan akhirnya mereka pergi dengan membawa sakit hati. Tapi Bima tidak pernah
peduli dengan berita apa pun yang didengarnya seputar mantan " mantannya itu.
Si A sekarang jadi pendiam. Si B jadi doyan gonta " ganti pacar. Nilai akademis si C merosot
drastic. Si D pindah universitas lain. Dan dalih Bima bisa dibilang cukup masuk akal juga.
"Visi mereka telalu jauh. Sampai ke merit segala. Gila! Kuliah aja belom ketauan bisa lulus tepat
waktu. Apalagi setelah itu harus cari kerja. Itu juga kalo dapetnya nggak jauh, masih di sekitar "
skiter sini. Kalo mesti ke pelosok atau tengah laut, gimana" Apa nggak bakalan muncul masalah
baru" Cara berpikir cewek " cewek itu kadang malah bikin hidup jadi ruwet."
Tapi sepertinya sekarang kasusnya beda!
"Kayaknya dia sayang sama elo, Fan," lanjut Rei. "Lo nggak bisa ngeliat, ya?"
"Sekarang. Nggak tau nanti. Lagian sayangnya dia nakutin, tau nggak" Bikin gue kayak diiket,
dipenjara." Rei menghela napas lagi. Terpaksa harus mengakui kebenaran kata " kata itu.
"Kok Bima bisa tau gue lagi suka sama orang?" tanya fani pelan.
"Feeling, Fan. Berarti dia bener " bener sayang sama elo. Makanya peka."
Lunglai, Fani menyandarkan tubuhnya ke dinding. "Dari awal gue nggak pernah suka dia?"
"Gitu, ya?" Rei tersenyum tipis. "Emang sih. Kecuali saat " saat lo pulang kuliah kemaleman,
kebetulan Langen pas nggak masuk, dan lo nggak dapet " dapet taksi juga. Jadi terpaksa elo
neleponin Bima, minta jemput. Atau kalo lo harus cari diktat ke Senen. Kebetulan lagi gue sama
Rangga pas nggak bisa nemenin. Jadi lagi " lagi lo terpaksa minta anterin Bima, supaya lo aman
masuk daerah rawan itu. Atau kalo Bima dapet game yang lucu trus dia download ke computer
lo. Hal " hal kecil kayak gitu kadang perlu juga dipikirin, Fan. Kalo mau jujur, sebenernya lo
nggak pernah bener " bener nggak suka dia."
Fani tertegun. Ditatapnya Rei, yang balas menatapnnya lurus.
"Nggak apa " apa kalo lo nggak mau ngaku. Tapi pikirin bener " bener kalimat gue tadi."
*** Meskipun Rei sudah meminta dengan amat sangat agar Fani meyelesaikan masalahnya dengan
cara perlahan dan hati " hati, cewek itu langsung jadi paranoid, ketakutan, dan akhirnya
mengambil langkah drastic. Menjauh dari Bima saat itu juga!
Fani tidak mau mengangkat telepon kalau nomor yang muncul di layar berasal dari ponsel Bima,
rumah Bima, bahkan nomor " nomor lain yang tidak dikenalnya sebelumnya. Dari Senin sampai
Jumat Fani juga menginap di rumah Langen, dan baru berani pulang sabtu " Minggu, saat kedua
oranngtuanya full ada di rumah.
Dengan kalut Fani menceritakan masalah itu pada Langen dan Febi. Ketiganya berembuk
mencari jalan keluar, karena Fani tetap dengan tekadnya. Putus dari Bima!
Dan itu artinya Cuma satu. Bencana !
Langkah pertama yang bisa terpikir oleh Langen dan Febi Cuma satu: menemani dan mengawal
Fani kemana pun. Dan dengan semakin ketatnya kebersamaan Langen " Fani, Rei jadi tidak bisa
menolong banyak. Keberadaan Langen menghalanginya. Terpaksa Rei mengikuti perkembangan
kasus itu hanya melalui telepon.
Yang paling sering menjadi tameng Fani memang Langen. Fani tidak mau melibatkan Febi
terlalu jauh. Mejadikan cewek itu perisai untuk menghadapi Bima sama saja dengan
menyodorkan anak ayam langsung ke mulut serigala.
Begitu Bima menunjukkan gejala akan melakukan sesuatu, Febi memang alan langsung melejit
dari depan Fani dan berdiri sejauh mungkin dari Bima. Sementara Langen akan bertindak
sebaliknya. Bima sendiri menghadapi situasi itu dengan santai. Situasi yang membuat Fani mendadak
menjadi VVIP " very very important person. Selalu dalam pengawalan ketat. Situasi yang
membuat kedua bodyguard " nya, terutama Langen, berupaya dengan sangat keras agar cewek
itu jangan sampai terjangkau oleh Bima.
Bima juga hanya mengawasi dengan senyum, saat mendadak Langen cs berganti arah begitu
melihatnya. Atau berlari terbirit " birit menjauhinya. Cowok itu sama sekali tidak berusaha untuk
mengejar. Belum saatnya! Namun hari ini berbeda. Hari ini Bima yakin Fani memang ingin pergi darinya. Dan karena
kepastian itu telah dia dapatkan, cowok itu kemudian tidak lagi menanggapi situasi itu dengan
santai! *** Langen memarkir Kijang-nya di bawah kerindangan sebatang pohon, di satu sudut area parkir
depan rektorat yang cukup terhalang. Sebelum turun, dikontaknya Febi, memberitahukan dirinya
dan Fani sudah sampai di kampus, juga supaya Febi menyusul. Soalnya, seperti biasa, mereka
harus mengawal Fani dengan ketat sampai ke kelas.
Keduanya lalu turun. Setelah memastikan semua pintu sudah terkunci, Langen mengajak Fani
menunggu Febi di belakang Kijang. Tapi baru saja keduanya berdiri bersandar di pintu belakang
menunggu Febi, mendadak Jeep Bima muncul di hadapan.


Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cowok itu melompat turun tanpa menutup pintu dan mematikan mesin. Sedetik Langen dan Fani
hanya bisa terkesiap dan membeku, sebelum kemudian Langen berdiri di depan Fani, rapat "
rapat. "Mau apa lo!" Pergi!" bentaknya. Sudah pasti usaha yang sia " sia. Bima tetap melangkah
mendekati keduanya. "Status lo udah bukan cewek Rei lagi lho, La," Bima mengingatkan, dengan senyum iblis bejat
di bibirnya. "Lo bisa gue macem " macemin nanti. Jadi daripada nanti lo kenapa " kenapa,
mending minggir dari depan cewek gue."
Namun Langen bergeming. Ia tetap berdiri tegak dan rapat di depan Fani. Fani bisa merasakan
tubuh sahabatnya itu gemetar, saat perlahan Bima merangsek maju.
Tiba " tiba Langen mencengkeram satu tangan Bima dan menariknya menjauh sambil menjerit.
"Fan! Lari, Fan! Cepeeeeet!!!"
Sedetik Fani terkesima, kemudian dia berlari sekencang " kencangnya menuju koridor utama
kampus. "Lepasin tangan gue, La!" bentak Bima. Ditariknya tangannya dari cengkeraman Langen.
Namun Langen justru makin mencengkeram erat " erat. Cewek itu sampai menggigit bibir kuat "
kuat karena seluruh konsentrasinya tercurah kesitu. Bima berdecak.
"Lepas, atau gue cium lo nanti!" ancamnya. Langen sempat tersentak, tapi memilih tidak
mengacuhkan ancaman itu. "Oooh, nantang ya!"
Bima mengulurkan tangannya yang bebas dan meraih tubuh Langen. Cewek itu kontan menjerit
dan seketika melepaskan tangan Bima yang dicengkeramnya. Tapi percuma, karena tubuhnya
sekarang sudah berada dalam pelukan Bima. Saat pelukan itu semakin mengetat, cepat " cepat
Langen menahan dada Bima dengan kedua tangannya.
"Harusnya lo tau gue nggak pernah main " main!" bisik Bima. "Angkat muka lo. Jangan sampe
gue paksa!" Langen terpaksa menyurukkan mukanya di dada Bima. Upaya terakhir untuk menghindari hal
terburuk. Dengan ekspresi dingin Bima justru memeluk erat cewek itu dengan tangannya yang
lain. "Putusin aja Fani. Kasian dia?"" Langen memohon dengan suara teredam karena wajahnya
terbenam di dada Bima. "Begitu" Tapi lo yang gantiin, ya?" ucap Bima lembut. "Lo bebas kan sekarang?"
Seketika Langen mengangkat muka.
"Lo itu bajingan banget ya!" makinya. Bima tersenyum lebar. Sebelum Langen sempat menduga,
Bima telah menundukkan kepala dan mendekatkan bibirnya. Namun gerakannya terhenti
mendadak, hanya sekian mili menjelang bibir mereka akan bersentuhan.
Langen pucat pasi. Ini pertama kalinya dia melihat wajah Bima dalam jarak yang teramat dekat.
Mata hitamnya yang tajam ternyata benar " benar menakutkan.
"Kalo bukan mantannya sohib gue, udah gue abisin lo!" bisik Bima, kemudian dia lepaskan
pelukannya. Setelah balik badan dan berjalan menuju Jeep-nya, Bima segera melesat
meninggalkan tempat itu dan berhenti di dekat mulut koridor utama kampus. Cowok itu
melompat turun, berjalan cepat ke koridor, dan menghilang.
Ketika Febi tiba tak lama kemudian, Langen sedang terduduk di sebelah Kijang-nya. Lemas dan
pucat. "Lho" Fani man?"
Langen tak sanggup buka mulut. Tapi Febi sudah langsung bisa menduga.
"Diculik Bima, ya !?" serunya. "Trus, lo kenapa diam aja" Ayo cari!"
Langen menggeleng lagi. Febi mengeluarkan ponselnya dan cepat mengontak Rei. Tak lama
Jeep Re muncul. Cowok itu melompat turun disusul Rangga.
"Ada apa?" tanya Rei, terkejut melihat kondisi Langen. Cowok itu langsung berjongkok di depan
Langen dengan satu lutut menyentuh aspal.
"Kenapa kamu,La?" tanyanya cemas.
Reaksi spontan Rei itu seketika membuat Rangga dan Febi saling pandang sambil mengangkat
alis. Langen menggeleng. "Nggak apa " apa. Tolongin Fani aja. Dia lagi dikejar " kejar Bima."
Kening Rei langsung mengerut.
"Apa"!" Langen menceritakan dengan singkat peristiwa yang baru saja terjadi. Tentu saja minus Bima
memeluk dan hampir saja menciumnya.
"Gue udah bilang, kalau ngadepin Bima jangan frontal. Pelan " pelan deh kalo sama dia." Rei
berdecak dan segera mengeluarkan ponselnya. Dihubunginya Fani. Tidak diangkat. Dicobanya
lagi. Kembali tidak diangkat. Dicobanya sekali lagi. Kali ini diangkat. Meskipun cemas, Rei
berusaha agar intonasi suaranya tetap terdengar tenang.
"Fan, lo di mana" "Nggak tau" "Tapi masih di kampus, kan" "Cepet cari tau di mana posisi
lo sekarang, supaya gue sama Rangga bisa jemput!"
Rei menutup telepon. "Fani udah bener " bener panik, sampai nggak tau ada di mana. Udah hampir nangis dia. Kita
mesti cepet, sebelom urusannya jadi runyam."
Mendengar itu Langen jadi semakin cemas. Tanpa sadar Rei mengulurkan tangan kirinya.
Diraihnya pinggang Langen dan disangganya tubuh cewek itu sampai berdiri.
Sementara itu ganti Rangga mencoba mengontak Fani. Berkali " kali, tapi tidak diangkat. Rei
langsung membagi tugas. "Kamu cari berdua Febi,La. Jangan misah. Kalo kamu ngeliat mereka, langsung kontak aku atau
Rangga. Jangan deketin mereka. Soalnya Bima lagi nggak bisa diajak bercanda."
Langen mengangguk. Dia sudah tahu itu. Rei menepuk bahu Rangga.
"Ayo, Ga. Nanti kita misah. Lo gue turunin di belakang. Gue cari di gedung " gedung tengah."
Rangga mengangguk. Mereka berpisah. Rei dan Rangga langsung melesat ke bagian belakang
kampus. Jeep Rei sempat berhenti sesaat di depan Jeep kanvas Bima yang terparkir begitu saja di
dekat mulut koridor utama. Sementara Langen dan Febi berlari ke koridor utama. Langkah
pertama, mencari Fani di gedung rektorat lalu berlanjut ke gedung fakultas mereka sendiri.
FANI berlari pontang " panting. Tapi saat tindakannya itu mulai membuat orang " orang
menatapnya heran, terpaksa diubahnya jadi setengah berlari atau berjalan cepat.
Saat posisinya jadi mangsa begini " jadi yang diburu " mendadak Fani merasa kampusnya begitu
kecil dan terbuka. Rasanya tidak ada satu pun tempat yang benar " benar bisa
menyembunyikannya dari kejaran Bima.
Ponselnya terus bordering, nyaris tak pernah berhenti. Dari keempat temannya. Semuanya
menanyakan posisinya. Sementara Bima justru tidak pernah mengontaknya. Cowok itu hanya
mengirimkan SMS secara berkala. Isinya sama, namun berhasil membuat mental Fani merosot
secara bertahap setiap kali selesai membacanya.
I SAW YOU!!! SMS " SMS Bima itulah yang membuat Fani terus berlari dan berlari, dengan intensitas panik
dan ketakutan yang semakin tinggi. Dia tak sempat lagi memerhatikan gedung fakultas apa yang
barusan dia masuki, atau gedung fakultas apa yang baru saja dia tinggalkan.
Akibatnya, tidak ada info yang bisa dia berikan tiap kali keempat temannya menanyakan posisi
agar bisa menjemputnya mendahului Bima. Bahkan Fani sering kali tak sanggup mengangkat
panggilan itu. Ia sibuk berlari dan berlari, atau terpuruk kelelahan dan kehabisan napas di suatu
tempat. Akhirnya Fani sampai di batas akhir staminanya. Dia tidak punya tenaga lagi untuk berlari.
Cewek itu terduduk lemas di tangga. Masih tidak tahu di gedung ffakultas apa dirinya sekarang
berada. Tapi mudah " mudahan tempat ini aman karena sudah sangat tersembunyi. Atap gedung
tinggal beberapa anak tangga di belakangnya, dan di depannya dinding tanpa jendela, jadi tidak
seorang pun bisa melihatnya saat ini.
Fani menyandarkan tubuhnya yang letih ke besi " besi pegangan tangga. Ponselnya terus
bordering, tapi cewek itu tidak ingin mengangkatnya. Nanti saja. Dia ingin istirahat sebentar
saja. Capek sekali. *** Bima sama sekali tidak terlihat bingung meskipun Fani tak tampak di mana pun. Dia sudah
melibatkan salah seorang temannya, Andreas, untuk membuntuti Fani. Tentu saja tidak dengan
mengatakan alasan yang sebenarnya.
"Dia lagi ngambek. Katanya, dia nggak pingin ngeliat muka gue. Jadi tolong ikutin, Yas. Supaya
gue tau Fani kabur kemana."
Andreas, yang emang paling males sama cewek " cewek manja apalagi tukang ngambek, tanpa
mengecek kebenaran info itu langsung mengiyakan.
"Oke. Sip!" Jadi tidak ada yang menyangka bahwa Fani, yang terkadang berjalan cepat sambil menyelinap,
kadang setengah berlari, tapi kadang juga lari pontang " panting, dengan Andreas yang
melangkah cepat dalam jarak yang terjaga dan sesekali mengangkat ponselnya, dan Bima yang
melangkah tenang, kadang sambil menyapa di sana " sini, sebenarnya masih dalam satu frame
cerita. Jadi Fani sama sekali tidak tahu bahwa walaupun Bima tidaak dilihatnya sama sekali, cowok itu
tetap bisa mengikuti jejak pelariannya dengan gampang.
Bima tinggal mengontak Andreas dan secara berkala mengirimkan SMS intimidasi ke ponsel
Fani agar cewek itu panik dan akhirnya berlari keluar dari tempatnya bersembunyi. Dengan
demikian sang mata " mata, Andreas, bisa terus membuntuti ke mana pun sang buruan itu
berlari. Dan inilah info terbaru dari mata " matanya. Sang buruan ada di gedung fakultas psikologi, dan
belum ada tanda " tanda akan berlari keluar tempat itu.
"Gue liat sih tadi dia terus naik tangga. Nggak masuk ke satu ruangan," lapor Andreas langsung
dari TKP (Tempat Kejadian Perkara) di area parkir fakultas psikologi.
"Tangga sebelah mana?"
"Yang deket Sema. Yang tembus ke atap. Jangan-jangan cewek lo itu ada di atap sekarang."
"Oke." Bima tersenyum tipis. "Thanks, Yas."
"Mission completed nih?"
"Yes. Kayaknya dia udah kecapekan. Nggak sanggup lari-lari lagi."
"Oke. Gue balik kalo gitu."
Bima menutup pembicaraanya dengan Andreas. Bibirnya menyeringai lebar. Ditulisnya satu
SMS baru untuk Fani, dan langsung dikirimkannya ke nomor tujuan.
Dengan rasa menang dan puas, cowok itu meneruskan langkah. Menuju satu tempat yang sudah
bisa dipastikan akan dia temukan seseorang yang sedang berusaha untuk dia pertahankan.
Cinta sejati adalah keikhlasan untuk membiarkan orang yang dicintai bahagia. Meskipun
bersama orang lain. Meskipun diri sendiri harus hancur.
Bullshit! Omong kosong! Siapa sih orang yang ngomong begitu" Sok pahlawan bener! Sok berjiwa besar! Abis ngomong
begitu nggak taunya besoknya bunuh diri, lagi!
Sambil terus berjalan, Bima menyeringai sendiri.
Cinta sejati yang benar ya yang begini. Seperti yang dia lakukan sekarang ini. Mempertahankan
cewek yang dia cinta, mati-matian. Dan dengan cara apapun!
Perkara cewek yang dia cinta belum tentu cinta juga, itu masalah lain lagi. Cinta bisa ditanam
kok. Bisa disemai, dipupuk, terus diusahakan untuk tumbuh. Karena hati itu fleksibel. Tidak
mutlak! *** Akhirnya ponselnya berhenti berdering. Fani menarik napas lega. Sesaat keheningan mungkin
bisa membuatnya sedikit merasa tenang. Tapi kemudian terdengar SMS masuk. Fani langsung
waswas. Soalnya orang yang sejak tadi mengirim SMS hanya Bima.
Dengan menahan napas, Fani membaca SMS itu. Benar saja. Dari Bima! Dan isinya...
I SAW YOU! Wait 4 me, ok" I'll come 2 u! RIGHT NOW!!!
Fani tersentak. Ditatapnya SMS itu dengan mata terbelalak maksimal. Nyawanya juga terasa
sudah setengah terbang dari badan.
Detik berikutnya, cewek itu bangkit berdiri seperti tersengat, dan tanpa berpikir lagi ia berlari ke
atap. Ditutupnya kedua pintu jeruji besinya, kemudian dia kaitkan gerendelnya. Terakhir, dengan
susah payah karena selain posisnya yang di dalam, benda itu juga besar dan berat, Fani mengunci
gembok besinya. Cewek itu kemudian menarik napas lega. Namun kelegaan itu hanya berlangsung sesaat, karena
kemudian dia sadar, dia telah mengunci dirinya sendiri di atap. Tanpa jalan keluar!
"Mati gue!" desisnya lemah. Tepat saat itu ponselnya berdering. Dari Langen. Dan sahabatnya
itu langsung menjerit keras.
"FAN, LO DI MANA!!!?"
"La, kayaknya nasib gue bakalan tragis, nih." Bukannya menjawab pertanyaan Langen, Fani
malah mengungkapkan awal kepasrahannya.
"Lawan! Lawan dia! Jangan nyerah, Fan!" seru Langen seketika. "Jangan sampe nyerah!"
"I-iya... iya... Lawan... lawan..." Fani mengangguk-angguk. Menyambut seruan Langen tapi
dengan suara lemah. Tak lama Rangga menelepon. Sepertinya dia sudah diberitahu.
"Fan, denger! Lawan dia kalo lo diapa-apain! Lawan mati-matian! Denger!?"
"Iya! Lawan! Lawan!"Fani mengangguk-angguk lagi. Mulai optimis.
"Posisi lo di mana sekarang?"
"Di... di mana gue ya" Ntar telepon lagi deh. Gue cari tau dulu ini di mana."
"Oke. Cepet, ya?"
Baru saja telepon ditutup, benda itu langsung berdering lagi. Kali ini Rei. Fani langsung
menyerukan optimismenya yang tadi sempat menghilang.
"Bakalan gue lawan dia! Mati-matian!"
"JANGAN!!!" teriak Rei menggelegar. "Jangan ngelawan! Jangan lo tantang Bima! Lo bisa abis,
tau!" "Hah!?" Fani langsung membeku. Sedetik kemudian menjadi panik. "Trus, gue mesti gimana
dooong?" "Ikutin aja apa maunya! Jangan lawan Bima! Malah ancur nanti! Sekarang di mana posisi lo"
Biar gue susul! Di mana!?"
Belum sempat menjawab, Fani mendengar bunyi besi diketuk logam. Dia menoleh dan langsung
ternganga. Bima berdiri di balik pintu jeruji besi. Cowok itu memberi isyarat agar Fani menutup telepon.
Seperti terhipnotis, Fani menuruti perintah Bima.
"Tolong buka pintunya."
"A... aku nggak pegang kuncinya."
Kedua alis tebal Bima kontan terangkat. Kaget dia.
"Jadi kamu sengaja mengunci diri di luar situ" Nanti kamu bisa kering lho, Sayang..." Cowok itu
lalu tertawa geli. "Kalo gitu, sebentar aku cari kuncinya. Tapi inget..." Kedua matanya menajam
dan tawanya menghilang. "Jangan kontak siapa pun! Paham?"
"I... iya." Fani cepat-cepat mengangguk.
"Sini. Jangan berdiri di tempat panas begitu." Ketika Fani tidak bergerak dari tempatnya, Bima
mendekatkan tubuhnya ke pintu jeruji besi. Ditatapnya Fani lurus-lurus.
"Jangan buang-buang tenaga untuk hal yang udah jelas nggak ada gunanya," ucapnya. Halus tapi
tajam. Cowok itu kemudian balik badan dan berjalan menuruni tangga. Begitu tubuh Bima menghilang,
Fani menarik napas panjang dan mengeluh pelan.
Lunglai, diseretnya langkah menuju teras tangga. Satu-satunya tempat yang terlindung dari
sengatan matahari. Tubuhnya luruh disana, jatuh terduduk. Dia sama sekali tidak ingin
mengangkat ponselnya yang terus berdering. Tidak ada gunanya. Lebih baik ikuti saran Rei.
Turuti saja kemauan Bima.
*** Saat Bima kembali, Fani sedang duduk membelakangi tangga. Meringkuk di antara pintu jeruji
besi dan tembok sempit yang membentuk teras"sedikit tempat yang terbebas dari sinar
matahari. Ponselnya terus berdering tapi cewek itu tidak berniat mengangkatnya.
Bima menatap pemandangan yang sesungguhnya mengenaskan itu. Mengharukan sekaligus
menyedihkan. Tapi sifat posesifnya membuatnya memandang berbeda. Dia sayang cewek ini.
Sudah diperlihatkannya berkali-kali. Dengan sikap juga kata-kata. Jadi seharusnya yang dia
terima adalah balasan yang sama. Sikap yang sama. Perasaan yang sama. Bukannya malah berani
menyukai orang lain dan bermain di belakangnya!
Fani tersentak saat mendengar bunyi gembok dibuka. Dia mendongak, dan Bima jadi tertegun
saat mendapati Fani ternyata sedang menangis. Tanpa suara.
Dibukanya pintu jeruji besi di belakang Fani. Hanya sedikit. Hanya agar terbentuk celah agar dia
bisa duduk di belakang cewek ini. Agar bisa dipeluknya Fani bukan hanya dengan keseluruhan
fisiknya, tapi juga dengan seluruh hati dan pikirannya.
Dan saat gadis itu telah berada di dalam pelukannya, dengan jemari tangannya Bima menghapus
air mata itu tanpa bicara.
Fani menyurukkan mukanya di dada Bima. Pasrah sudah. Tempat yang paling tenang memang
justru terletak di pusat pusaran badai.
Sementara itu ponsel Fani terus berbunyi, tapi cewek itu sama sekali tidak ingin mengangkatnya.
Sudah tidak ada gunanya. "Sini HP-nya. Aku yang jawab kalo kamu nggak mau," bisik Bima. Fani menyerahkan
ponselnya. Dengan sikap dan nada suara yang tetap tenang, Bima menjawab panggilan beruntun itu.
Ponselnya sendiri sudah dia nonaktifkan sejak tadi. Sepertinya semua penelepon itu melontarkan
pertanyaan awal yang sama, karena untuk ketiga kalinya Fani mendengar Bima menjawab...
"Ada sama gue. Ini sekarang lagi gue peluk. ... Nggak. ... Kata siapa" ... Dia baik-baik aja. ...
Kenapa" ... Mau ngomong" ... Sori, kayaknya dia lagi nggak pingin ngomong. Ngomong aja
sama gue, sama aja kok."
Saat menerima telepon dari Langen, suara Bima sempat meninggi.
"Yang sopan kalo ngomong sama gue, La! Gue bukan Rei. Jangan bikin gue marah. ... Ada sama
gue. ... Tadi udah gue bilang, kan" ... Gue apain?" Sesaat Bima tertawa geli. "Mau tau aja urusan
orang!" Diputusnya pembicaraan. Kemudian Bima menundukkan kepalanya sedikit. "Sahabat
kamu itu usil, ya" Dia tanya, kamu mau aku apain" Bener-bener nggak sopan!
Langen ini! keluh Fani dalam hati. Nggak tau gue lagi disandera, apa"
Rangga menanyakan posisi. Bima menjawabnya dengan kalimat puitis.
"Di tempat langit terasa sangat dekat," ucapnya sambil menahan geli. Kemudian ditutupnya
telepon. Rei tidak bertanya apa-apa lagi selain apakah Fani ada bersama Bima. Rei tahu, dalam situasi
seperti ini, percuma mengajak bicara Bima panjang-lebar. Hanya akan memperkeruh keadaan.
Sementara Febi, saking cemasnya memikirkan nasib Fani, tanpa sadar dia berbicara pada Bima
dengan kalimat-kalimat dan intonasi suara seperti seorang polisi yang sedang membujuk
buronan"yang mengancam akan menembak sandera"agar menyerah. Atau seperti seorang ibu
yang sedang membujuk anaknya yang ngambek.


Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hasilnya" Bima malah tertawa terbahak-bahak!
Tubuh Fani yang berada dalam pelukan Bima jadi ikut terguncang-guncang.
"Dengerin nih si Eyang..." Bima mengaktifkan speaker agar mereka bisa mendengarkan bersama.
Fani pun mendengar kalimat-kalimat Febi yang diucapkan dengan nada membujuk itu.
Kata Febi, cintu itu nggak bisa dipaksa. Hati nggak bisa dikekang. Meskipun Bima berhasil
mempertahankan Fani, itu sia-sia saja. Karena yang berhasil dipertahankan hanya tubuhnya.
Sama sekali bukan hati, perasaan, apalagi cintanya. Justru akibatnya akan lebih menghancurkan.
Menjijikkan banget! Nggak tau ngutip dari mana tuh anak. Pantes aja Bima jadi ketawa ngakak.
"Kalo sama gue, cinta bisa dipaksa kok, Feb." ucap Bima kalem. "Malah gue punya banyak cara
untuk memaksa, cinta atau tidak cinta..."
Lagi-lagi, Bima langsung memutuskan pembicaraan.
"Matiin aja, ya?" bisiknya. "Menganggu sekali mereka itu."
Fani tidak menjawab, karena memang tidak ada gunanya. Itu bukan permintaan persetujuan. Dan
memang tak lama kemudian Bima menonaktifkan ponsel Fani meskipun pemiliknya tidak
mengatakan "ya".
Mendadak suasana jadi terasa begitu sunyi. Sunyi yang mencekam dan menimbulkan ketakutan.
Fani berusaha keras mengusir bayangan-bayangan mengerikan dari pikirannya. Kembali
dibenamkannya wajahnya di dada Bima. Berharap kepasrahannya itu bisa mencegah yang
terburuk terjadi. Sepasang mata Bima yang tidak bisa dilihatnya perlahan melembut. Cowok itu lalu
menundukkan kepala. Diciumnya puncak kepala Fani. Kemudian dia tengadahkan wajah Fani.
Diciumnya kedua dahinya, kedua pipinya, ujung hidungnya, dan terakhir, bibirnya. Dibelainya
punggung cewek itu, kemudian dia perketat pelukannya.
Pelukan yang kali ini terasa hangat dan nyaman. Pelukan yang membuat Fani mengeluh dan
nelangsa dalam hati. Kalau saja orang ini tidak sakit jiwa, pasti dirinya akan sangat bahagia.
Ketika akhirnya keduanya menuruni tangga dan kembali ke dunia nyata, mereka sudah terlihat
seperti pasangan yang berbahagia. Bima dengan wajahnya yang tampak begitu cerah, sedang
merangkul ceweknya yang...meskipun tidak terlihat ceria, justru pucat, tapi tidak terlihat sedang
sedih juga. Karena pemandangan Bima merangkul atau memeluk ceweknya adalah pemandangan yang
sudah sangat biasa, tidak satupun orang yang melihat mereka akan mengira bahwa, khusus untuk
kali ini, ada prosesi panjang dan menakutkan yang terjadi sebelumnya. Bahwa cewek yang
sedang dirangkulnya saat ini bukan dalam kondisi sukarela apalagi cinta, tapi karena putus asa
setelah gagal melarikan diri.
*** Keberadaan Bima dan Fani yang tidak diketahui dan tidak bisa dikontak membuat panik keempat
teman mereka. Terutama Langen. Dengan lunglai cewek itu menyandarkan tubuhnya ke dinding,
menutupi mukanya dengan kedua tangan dan... menangis!
Menangis yang benar-benar menangis.
Rei, Rangga, dan Febi menatap terpana. Rei langsung bergerak saat dilihatnya tubuh Langen
meluruh. Ditahannya tubuh Langen dengan kedua tangan. Melihat itu, Rangga menggamit
lengan Febi. Keduanya meninggalkan tempat itu tanpa bicara.
Rei membawa Langen ke satu ruang kelas yang kosong, tidak jauh dari situ. Dia tidak ingin ada
yang memergoki cewek ini sedang menangis sesenggukan begini. Ditutupnya pintu lalu
ditariknya sebuah kursi untuk Langen. Dengan sabar ditunggunya sampai tangis Langen mereda.
Kalau saja masih bisa, pasti udah gue peluk cewek ini, Rei mengeluh dalam hati.
"Kalau sampai Fani kenapa-napa, aku ancurin Bima," ucap Rei ketika akhirnya tangis Langen
mereda. Langen menghapus air matanya lalu mengangkat muka. "Emang ada gunanya" Kalo mau
ngancurin dia, ya sebelum Fani kenapa-napa!"
Sesaat Rei terdiam. Kemudian dia menghela napas, lalu menarik sebuah kursi ke depan Langen.
"Aku kenal Bima dari balita, La. Makanya aku bilang sama Fani, kalo mau aman, ikuti aja apa
maunya Bima." "Ikuti aja apa maunya!?" Langen menatap Rei dengan mata terbelalak. "Kamu sama Bima tuh
kalo sayang sama orang caranya begini, ya" Malah disakitin. Gimana kalo benci" Diancurin kali,
ya?" Rei tersentak. Sesaat cowok itu merasa tertampar. Kedua rahangnya mengatup keras saat dia
berdiri untuk mengambil ponsel dari saku celana jinsnya.
"Ga, temenin gue ke tempat Bima!"
Tak lama Rangga muncul bersama Febi.
"Pasti mereka ada di sana?" tanya Rangga. Rei tidak menjawab. Cowok itu justru menatap Febi.
"Titip Langen, Feb. Tolong anter sampe rumah."
"Iya." Febi mengangguk.
Sesaat Rei menatap Langen, kemudian mengajak Rangga pergi. KAMAR Bima. Lagi-lagi.
Sepertinya tempat ini sudah ditakdirkan menjadi kamp konsentrasi khusus untuk Fani.
"Duduk di sini." Bima menunjuk tepi tempat tidur besarnya. Fani menuruti perintah itu. Dia
sadar, keselamatan dirinya tergantung pada suasana hati Bima. "Pintu nggak aku tutup, tapi
jangan coba-coba lari kayak tadi ya, Sayang!"
Ancaman yang sama sekali tidak perlu sebenarnya. Keinginan Fani untuk melarikan diri sudah
hilang. Dia sadar, tidak akan ada tempat tujuan yang benar-benar aman. Ruangan itu terasa
panas. "AC-nya rusak." Bima seperti bisa membaca pikiran Fani. Cowok itu kemudian menanggalkan
kemejanya, menampakkan dada telanjangnya yang basah karena keringat. Seketika tubuh Fani
menegang. Tuhan, tolong! Tolong! doanya dalam hati dengan panik. Bima melihat perubahan wajah Fani
dan jadi tertawa geli. "Kenapa?" godanya.
"Nggak!" Fani langsung menggeleng-geleng kuat.
"Kalo mau diapa-apain, pintunya pasti kututup, kan" Ada si Mbok di belakang. Kamu tuh suka
panik nggak jelas, ya?"
Tapi sedetik kemudian wajah Bima berubah serius. Cowok itu menarik satu-satunya kursi di
ruangan itu, ke depan Fani, lalu duduk di depannya dalam jarak dekat. Sesaat ditatapnya Fani
tanpa bicara. "Karena kamu sudah bersikap manis dan cukup kooperatif, kecuali waktu kabur-kabur tadi, aku
nggak akan tanya soal cowok yang lagi kamu suka itu."
Seketika muka Fani kembali memucat.
"Baru tahap suka aja, kan?"
Fani mengangguk takut-takut.
"Dia gimana?" "Ng... nggak tau. Sebenarnya... aku nggak kenal dia."
Bima tersenyum tipis. Tiba-tiba dia bungkukkan tubuhnya sampai mukanya hampir sejajar
dengan Fani. Lalu diulurkannya kedua tangannya dan dibelainya kedua pipi Fani.
"Lupain dia. Oke?" bisiknya. Pelan tapi tajam. Fani langsung mengangguk. Bima tersenyum lagi.
Kali ini begitu lembut. "Good! Pinter!" Dikecupnya pipi Fani. Kemudian cowok itu berdiri dan mengembalikan kursi
yang barusan didudukinya ke tempat semula.
"Sekarang kita foto-foto, ya" Aku sama sekali nggak punya foto kamu. Kecuali yang lagi
pelukan sama Langen. Itu juga dikasih Rei. Soalnya kayaknya kamu nggak ada niat untuk
ngasih." Bima kembali menghampiri Fani. Kali ini dengan kamera digital di tangan. Dirapikannya rambut
Fani dengan satu tangan, kemudian dimintanya cewek itu untuk tersenyum.
"Itu senyum, ya?" tanya Bima dengan kening berkerut. Diletakkannya kamera di atas meja, lalu
dipeluknya Fani dan diusap-usapnya punggungnya. "Emang kamu aku apain sih" Kok ketakutan
bener?" tanyanya. Kemudian dia lepaskan pelukannya. "Ayo dong. Senyum yang manis."
Setengah mati Fani berusaha memenuhi permintaan Bima. Tapi baru dua kali take, mendadak
Rei dan Rangga muncul. Rei terlihat biasa. Melangkah masuk kamar dengan tenang dan wajar.
Sementara Rangga tertegun di ambang pintu. Kaget melihat kondisi Fani. Pucat pasi, sangat
ketakutan tapi tampak pasrah. Sementara Bima terlihat puas dan bangga. Dengan rambut
panjangnya yang tidak terikat rapi dan bertelanjang dada, cowok itu tampak begitu berkuasa dan
dominan. Fani, yang tadinya sudah pasrah menjalani situasi itu, seketika kembali berharap bisa melarikan
diri. Kedua matanya yang balas menatap Rangga perlahan merebak. Meminta tolong.
Bima tertawa geli, tanpa suara.
"Ada yang takjub tuh!" ucapnya pada Rei sambil menunjuk Rangga dengan dagu.
Rei tersenyum lebar. Tapi begitu Bima tidak melihat, dengan jengkel dilemparnya isyarat agar
Rangga mengubah sikap tubuh dan ekspresinya. Atau keadaan akan bertambah runyam.
Rangga tergeragap. Segera diubahnya air muka dan sikapnya, tapi tidak berhasil seratus persen.
Cowok itu malah seperti aktor pendatang baru yang belum lama belajar akting.
Keberadaan Rangga, terutama reaksinya itu, memang telah membuat situasi kembali ruwet.
Bima yang sempat melunak karena kepasrahan Fani yang hampir total kembali jadi waspada.
Fani, yang tadinya duduk di tepi tempat tidur di dekat pintu, langsung dipindahkannya ke kursi
di samping meja, di sudut kamar.
"Sekarang kita lanjutin foto-fotonya." Bima meraih kamera digitalnya dari meja. "Senyumnya
dong, Sayang. Ada penonton nih. Jangan sampai mereka mengira abis difoto kamu bakalan di
bunuh." Bima mengusap-usap kepala Fani kemudian merapikan rambut gadis itu.
Susah payah Fani memaksakan diri untuk tersenyum. Bima melanjutkan mengambil foto-foto
Fani, yang tadi sempat terhenti karena kedatangan Rei dan Rangga.
"Sini gue ambilin. Biar kalian bisa foto berdua," Rei menawarkan bantuan.
"Baru gue mau ngomong," sambut Bima. Diserahkannya kamera digitalnya kepada Rei.
Fani meremas kesepuluh jarinya kuat-kuat saat Bima menghampirinya, lalu duduk rapat di
belakangnya. Cowok itu memaksakan kursi berkapasitas satu orang itu untuk digunakan berdua.
Fani menggigit bibir, menahan risi ketika Bima melingkarkan kedua tangan dan menarik dirinya
ke dalam pelukan dan dada yang basah karena keringat itu.
Untuk sementara Rei mematikan hati melihat ketakutan dan ketidakberdayaan Fani.
"Oke" Siap?" tanya Rei.
"Sip!" jawab Bima.
Rei mengabadikan pose-pose itu. Bima yang memeluk Fani erat-erat. Bima yang meminta Fani
untuk ganti memeluknya erat-erat. Bima yang mencium Fani. Bima yang memangku Fani.
Semuanya dengan ekspresi sama. Tawa dan senyum lebar di wajah Bima. Ketakutan dan
ketegangan serta senyum yang dipaksakan di wajah Fani.
Rangga yang baru pertama kalinya menyaksikan Bima ternyata bisa sangat-sangat posesif,
cenderung psikopat malah, kembali ternganga-nganga. Kali ini dia tidak sanggup lagi
menyembunyikan keterkejutannya.
Rei baru menyadari itu setelah Bima menjadi sangat demonstratif, meskipun tidak sedang
menjadi fokus lensa kamera. Dan overprotektif.
Bima terus memeluk Fani, seakan cewek itu mainan pertama yang ia miliki. Terus
menggandengnya ke sana kemari. Bahkan hanya untuk mengambil sesuatu dari lemari yang
cuma berjarak kurang dari 3m, tetap tidak dia lepaskan genggamannya.
Ketika sadar bedak Fani sudah luntur karena keringat juga air mata yang dihapus berkali-kali,
Bima meminta cewek itu untuk berdandan. Dan Bima memerhatikannya dengan serius, seperti
yang biasa dilakukan seorang anak saat pertama kali menyaksikan ibunya berdandan!
Rei mendesis geram. Dihampirinya Rangga.
"Lo bikin situasi jadi tambah kacau aja. Keluar dulu sana!" bisiknya. Ia mendorong Rangga
keluar kamar lalu menutup pintu.
Bima tertawa. Tawa yang benar-benar geli. Setelah itu dia tampak lebih tenang. Dia lepaskan
pelukannya dan hanya meminta Fani duduk tidak jauh darinya.
"Udah nih foto-fotonya?" tanya Rei.
"Udah berapa?" Rei menatap kamera di tangannya.
"Delapan belas."
"Udah deh. Cukup."
"Nih." Rei menyerahkan kembali kamera itu. Bima menguluran tangan kirinya tanpa menoleh.
Saat itulah, saat tahu Bima tidak dalam keadaan waspada, dengan gerakan cepat dan tiba-tiba,
Rei mencekal kedua lengan sahabatnya dan mendorongnya ke dinding.
"RANGGA!!!" teriak Rei. Seketika pintu terbanting terbuka dan Rangga menerjang masuk.
"Bawa Fani pergi! Cepet!"
Bima menggeram marah dan berusaha melepaskan diri dari cekalan Rei.
"Rangga! Kalo sampe lo bawa dia keluar dari..."
"Diem!" bentak Rei. "Lo udah kelewatan, Bim!"
Rangga cepat menghampiri Fani dan meraih satu tangannya, berusaha menariknya agar berdiri.
Tapi gadis itu sudah menjadi patung hidup. Tidak bereaksi dengan perubahan situasi yang telah
terjadi. Apa yang dialami Fani hari ini lebih dari sekadar mimpi buruk. Ini benar-benar horor! Fani
seakan merasa terikat, tak mungkin lagi bisa lari. Tak mungkin lagi bisa pergi dari Bima. Dan itu
membuatnya lumpuh. "Cepet berdiri!" bentak Rangga tanpa sadar. Fani menggeleng.
"Nggak! Gue nggak mau pergi dari sini. Percuma!"
"Ck!" Rangga berdecak tak sabar. Terpaksa ditariknya Fani sampai berdiri, lalu dipeluknya
dengan satu tangan. Melihat itu kontan Bima mengamuk.
"Jangan peluk dia di sini, goblok!" teriak Rei keras. Jengkel atas tindakan Rangga sekaligus
kewalahan menghadapi amukan Bima.
"Dia nggak bisa bergerak, tau!" Rangga balas berteriak.
"Cepet keluar! Tutup pintunya, kunci dari luar!"
Rangga sudah akan membawa Fani keluar kamar saat dia teringat kunci mobil ada pada Rei.
"Kunci mobil, Rei!" serunya. Tapi Rei sedang setengah mati menghadapi Bima. Meskipun hanya
untuk mengambil kunci dari salah satu kantong celana jinsnya, Rei tidak bisa.
"Pake mobil Bima aja!"
"Nggak mau! Nggak mau!" Fani langsung menggeleng kuat-kuat, hampir menangis lagi. "Nggak
mau naik mobil dia!"
Rangga berdecak. Kunci yang barusan diambilnya dilemparnya kembali ke meja.
"Kunci mobil lo, Rei!"
Ganti Rei berdecak. "Di kantong celana gue. Cepetan! Ini orang tenaganya gede banget!"
"Sebentar, Fan." Rangga mendudukkan kembali tubuh lemas Fani di kursi, lalu menghampiri Rei
yang"dengan tubuhnya sendiri"sedang menekan Bima ke dinding kuat-kuat.
"Mau lo bawa ke mana dia!?" geram Bima.
Rangga menyeringai. "Lo kira bakal gue kasih tau" Bego!" jawabnya sambil merogoh salah satu
kantong celana jins Rei, mencari kunci. Ketika berhasil menemukannya, diperlihatkannya benda
kecil itu pada Bima dengan ekspresi mengejek. Ucapan dan sikapnya itu membuat Bima jadi
semakin berang. "Gue kasih peringatan lo...!"
"Lo yang mau gue kasih peringatan! Ke dokter jiwa sana! Lo psikopat sinting! Maniak! Sakit
jiwa!" Bima terperangah. Hanya sesaat. Detik berikutnya dia menggeram dan berteriak dengan suara
menggelegar. Disentaknya tubuh Rei yang sejak tadi menekannya kuat-kuat. Rei, yang juga
sempat terpana mendengar makian Rangga tadi, terlempar dan jatuh terjerembap. Secepat kilat
dia kembali berdiri dan meraih tubuh Bima yang sudah hampir mencapai Fani, lalu
mendorongnya kembali ke dinding. Kemudian sekali lagi ditekannya tubuh Bima kuat-kuat. Kali
ini dengan mengerahkan seluruh tenaganya.
"Ngapain juga lo ngomong begitu!?" bentak Rei pada Rangga. "Pergi cepet!"
Kembali Rangga terpaksa menarik Fani sampai berdiri dan merangkulnya, karena cewek itu
cuma bisa duduk menatap ruang kosong di depannya, ruang tempat dirinya tadi hampir saja
didekati Bima. Dan itu menyebabkan amukan Bima semakin menjadi.
Rei, yang memang sudah benar-benar mengenal Bima, tahu bahwa untuk menaklukkan
sahabatnya itu kadang diperlukan tindakan ekstrim.
"Kalo terus berontak, bener-bener gue cium nanti!" ancamnya.
Ketika Bima tidak mengacuhkan, Rei benar-benar membuktikan ancamannya. Dicumnya sebelah
pipi Bima, hampir menyentuh sudut bibir. Seketika pemberontakan Bima terhenti. Ditatapnya
Rei dengan shock. Rangga terperangah di ambang pintu, sama shocknya. Sementara Fani
sepertinya sudah tidak sanggup lagi untuk menampung kejadian menggemparkan baru.
"Astaga! YA TUHAN!" desis Rangga.
Rei menoleh dan menatapnya.
"Off the record, Ga! Gue nggak mau dikejar-kejar makhluk berkelamin sejenis!"
"Oke!" Rangga mengangguk, tapi masih dalam keadaan tercengang.
"Cepet pergi sana! Apa lagi yang lo liat" Gue cium juga lo nanti!"
Rangga tersadar. Buru-buru dibawanya Fani keluar, dan dikuncinya pintu kamar Bima dari luar.
Bima mengikuti kepergian keduanya dengan tubuh menegang. Kesepuluh jarinya mengepal
keras dan sepasang matanya terus mengikuti sampai kedua orang itu benar-benar hilang di balik
pintu. Rei menghela napas panjang lalu melepaskan cekalannya.
"Sori, Bim!" bisiknya pelan.
Sesaat Bima masih berdiri mematung, sebelum kemudian dengan cepat menyambar kunci mobil
dan berlari ke pintu. "Percuma lo kejar. Dia nggak pulang ke rumah!" seru Rei. Langkah cepat Bima langsung
terhenti. Dia menoleh. Rei membalas tatapan penuh kemarahan itu. "Fani nggak pulang ke
rumahnya. Nggak ke rumah Langen, apalagi ke tempat Febi. Jadi percuma lo kejar. Untuk
sementara lo nggak akan ngeliat dia."
Dengan kedua rahang terkatup keras, Bima menghampiri Rei lalu mencekal satu lengan
sahabatnya itu. Cekalan itu begitu keras sampai Rei merasa aliran darahnya akan terhenti.
"Ke mana mereka!?" tanya Bima tajam.
"Mau lo pukulin gue sampe ancur juga, gue nggak bisa ngasih tau, karena gue emang nggak tau.
Nggak ada yang tau. Cuma Rangga yang tau, dia bawa ke mana si Fani."
Mereka bertatapan. Tepat ke bola mata masing-masing. Rei sudah tahu apa yang akan menimpa
dirinya sesaat lagi. Karena itu dia tidak berusaha melawan saat Bima membenturkan tubuhnya ke
dinding. Meninjunya berulang kali. Meneriakkan makian berulang kali. Dan baru berhenti
setelah Rei mengerang lalu membungkuk terbatuk-batuk sambil memegangi perut.
"Lo lagi berlagak jadi pahlawan!?" bisik Bima tajam.
Rei tertawa mendengus. "Bukan. Gue lagi cari temen buat sama-sama ngerasain patah hati,"
ucapnya sambil terhuyung menghampiri tempat tidur, lalu menjatuhkan diri di sana sambil


Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerang. Bima mengikuti. Direbahkan tubuhnya di sebelah Rei.
"Akhirnya ada juga cewek yang bener-bener lo sayang, ya" Selamat!" Rei menepuk lengan
Bima. "Sayangnya salah orang." Bima menghela napas.
"Udahlah. Cewek bukan cuma dia."
"Juga bukan cuma Langen."
Sesaat Rei tersentak, lalu tertawa. Agak geli. "Sialan!" desisnya di sela tawa. "Betul! Mari samasama kita lupakan cewek-cewek sialan itu!"
FANI benar-benar menghilang. Dan dari sikap Rangga, Bima tahu dia tidak akan mendapatkan
keterangan apa-apa. Telah dicarinya dengan segala cara, tapi keberadaan Fani tak terlacak.
Satu-satunya celah"di mana keberadaan Fani tidak mungkin disembunyikan"adalah kedua
orangtuanya. Tapi saat Bima nekat bertanya dengan datang dan langsung menemui mama Fani,
keterangan yang dia terima sama buramnya.
"Fani kan sementara ini kos. Kamu nggak tau" Katanya lagi banyak tugas. Jadi dia mau kos di
dekat kampus. Biar waktunya nggak habis di jalan. 'Fani capek, Mah.' Begitu kata dia waktu
Tante tanya kenapa pakai kos segala."
"Dia kos sendiri, Tan?"
"Oh, ya nggak lah. Bertiga sama Langen dan Febi. Mereka kan satu jurusan. Kok kamu nggak
tau?" Bima tersenyum. Jadi serbasalah.
"Saya kebetulan juga lagi banyak tugas, Tan. Dan jadwal kuliah kami kan nggak sama. Jadi udah
lama juga nggak ketemu. Kami cuma komunikasi lewat telepon atau SMS."
"Fani kosnya juga belum lama kok. Baru semingguan ini."
Mama Fani kemudian memberikan satu alamat. Seperti telah diduga Bima, alamat itu fiktif!
Namun Bima tidak bisa menyampaikan informasi itu"alamat fiktif, juga menghilangnya Fani
dari kampus dan dari mata semua orang"karena Rangga menantangnya langsung.
"Cari sendiri. Jangan bawa-bawa nyokapnya. Hadapin gue!"
Bima sudah ingin menjawab tantangan itu. Menghajar Rangga, dan mengajarinya untuk tidak
ikut campur urusan pribadi orang. Persetan dengan persahabatan mereka. Namun ucapan Rei
membuat Bima membeku seketika.
"Lo kira kami lagi ngelindungin Fani, gitu" Salah besar! Justru elo yang sebenarnya lagi kami
lindungan sekarang. Gimana mau lo pertanggungjawabkan ulah lo waktu itu kalo sampe
orangtua Fani tau" Lo sekep anak mereka di dalem kamar! Sampe nangis begitu, udah ketakutan
sampe mukanya persis mayat, masih nggak lo lepas juga. Bisa sampe ke polisi, tau?"
Rei menghela napas saat dilihatnya Bima tertegun. Dirangkulnya sahabatnya yang
temperamental itu. "Kemaren itu barter, tau nggak" Kami bersedia ngumpetin dia dan ngejauhin dia dari elo, setelah
memohon. Lo camkan ini, ya: memohon! Supaya Fani nggak ngelaporin peristiwa itu ke ortunya.
Karena itu tadi, urusannya bisa sampe ke polisi."
"Jadi lo tau di mana dia?"
Rei menggeleng. "Cuma Rangga yang tau. Sengaja gue larang dia ngasih tau gue. Takutnya gue nggak tega ngeliat
elo, akhirnya gue buka mulut. Kalo begini, meskipun sebenernya gue nggak tega, gue tetep ngga
bisa ngasih lo info apa-apa."
"Tapi dia baik-baik aja, kan?"
"Cuma Rangga yang tau. Gue juga belom ngeliat Fani lagi. Sama kayak elo."
*** Seminggu berlalu. Fani masih belum juga muncul, dan sama sekali tidak terlihat. Tidak oleh
siapa pun, dan tidak di mana pun.
Bima mulai cemas. Ia mulai sadar, akibat dari tindakannya waktu itu memang serius. Terpaksa
ditanyanya Rangga, satu-satunya orang yang tahu keberadaan Fani.
"Ga, dia baik-baik aja, kan?"
Rangga rupanya masih menyimpan kemarahan.
"Emang ada ya, mantan cewek lo yang baik-baik aja
?" dia balik bertanya, lalu pergi begitu saja
tanpa menjawab pertanyaan Bima tadi.
Bima cuma menatap kepergian Rangga. Tidak berusaha mengejar untuk memaksa mendapatkan
jawaban. Dia tahu, akan sia-sia.
*** Ketika seminggu kemudian, memasuki minggu keempat, Fani belum juga kelihatan, Bima sudah
tidak bisa lagi tinggal diam. Apa pun akan dilakukannya agar gadis itu kembali ke kampus.
Dicarinya Rangga, yang meskipun masih sering bersamanya dan Rei, sekarang seperti ada
tembok tebal di antara mereka berdua. Bima melihat Rangga sedang berjalan ke koridor yang
menuju fakultas ekonomi. Rangga langsung menghentikan langkahnya begitu Bima
menjajarinya. "Lo mau tanya soal Fani, kan?" tanyanya langsung.
"Bima menghela napas. "Iya," ucapnya berat. "Dia baik-baik aja, kan?"
"Ada ya, mantan lo yang baik-baik aja?" Rangga bertanya balik. Lewat sudut mata, bisa
dilihatnya Rei sedang melangkah cepat ke arah mereka berdua.
Bima menghela napas. Belakangan ini dia mulai bisa bersabar.
"Gue nggak mau kuliahnya berantakan," ucapnya dengan suara melunak.
"Oh, ya" Surprise!" Rangga menghadapkan tubuhnya ke Bima. Sekilas diliriknya Rei yang sudah
berada bersama mereka. "Kuliah berantakan, masih bisa ngulang!" ucapnya ketus. "Sementara
hidup cuma satu kali. Begitu berantakan, tinggal bisa nyesel. Kalo berantakan karena ulah sendiri
sih nggak apa-apa. Kalo karena ulah orang lain" Apalagi ulah psikopat sinting kayak elo!
Maniak! Sakit jiwa!"
Bima terperangah. Ditatapnya Rangga dengan wajah yang kini memucat. Kedua rahangnya
mengatup keras. Rangga membalas tatapan itu, kemudian menoleh dan menatap Rei tajam. Rei
langsung mengangkat kedua tangannya. Mengisyaratkan dia tidak akan bicara untuk kepentingan
Bima. Meskipun begitu, wajahnya memperlihatkan kemarahan yang sangat jelas.
"Kalo lo mau dia nongol di kampus lagi, supaya kuliahnya nggak berantakan...," Rangga
mengembalikan tatapannya ke Bima, "jangan berdiri di tempat yang bukan tempat lo! Fakultas lo
di belakang sana! Pergi lo dari sini!"
Rei kaget. Namun Bima justru jadi tenang. Wajahnya tidak lagi sepucat tadi. Kini dia tersenyum.
"Oke!" ucapnya pelan. "Terima kasih lo udah jaga dia."
Ditepuknya bahu Rangga, kemudian pergi. Rangga menatap tercengang. Sama sekali tidak
menyangka akhirnya Bima bersedia mundur. Namun ketercengangan Rangga tidak bertahan
lama, karena mendadak Rei mencekal satu lengannya dan menatapnya marah. Sangat marah.
"Lo boleh pukul dia. Lo boleh hajar dia. Tapi jangan pernah lo kasih dia sebutan. Apalagi kayak
yang barusan gue denger. Psikopat sinting. Maniak. Sakit Jiwa. Jangan kasih dia label! Kalo
nanti dia makin parah... lo salah satu yang harus tanggung jawab!"
Rangga tercengang. "Masih juga lo belain dia" Lo nggak liat gimana kelakuannya?"
Rei menghela napas. Dia lepaskan cekalannya di lengan Rangga.
"Bukan 100% salah dia. Gue bukannya mau belain Bima. Kadang susah untuk nolak hal-hal
menggiurkan yang disodorin langsung di depan hidung."
"Iya juga sih." Rangga mengangguk. Terpaksa mengakui. "Cewek emang sering susah
dipahamin." "Itu lo tau!" "Apa karena mereka suka nonton film-film romantis kacangan nggak masuk akal, ya?"
"Mungkin." Rei tertawa pelan. "Fani baik-baik aja, kan?"
"Baik-baik aja. Cuma belom berani ke kampus. Jadi bukan gue yang ngelarang dia ke kampus."
"Dia bener-bener sendirian di...," sejenak Rei terdiam, "tempat persembunyiannya itu?"
"Ya nggak lah. Gila apa gue ninggalin anak orang yang lagi depresi gitu sendirian. Ada yang
nemenin. Kalo dia pingin keluar, ya gue jemput. Gue antar ke tempat Febi sama Langen nunggu.
Udahlah. Lo jangan tanya banyak-banyak. Nanti waktu lo nggak tega sama Bima, lo bongkar
semua deh. Yang penting Fani aman. Baik. Gitu aja."
"Iya..." Rei tersenyum dan mengangguk. "Thanks."
Rangga mengeluarkan ponselnya dan menekan nama "Bima" di daftar kontak.
"Sori, Bim, tadi gue udah ngomong kasar," ucapnya begitu telepon di seberang diangkat. "Tapi
gue serius soal tadi. Kalo lo mau Fani nongol di kampus lagi, ya sebisa mungkin lo jangan
beredar di tempat-tempat yang mungkin dia datengin. Jangan sampe lo ketangkep mata dia.
Intinya itu aja." Di seberang Bima menghela napas. "Iya...," ucapnya berat.
Rangga menutup telepon. "Gue mau ke tempat Febi. Lo mau ikut?"
"Nggak." Rei langsung geleng kepala.
Rangga tertawa. Pelan tapi geli. "Lo sangkal aja terus!" katanya. Santai tapi telak. Lalu balik
badan dan pergi. Rei tertegun. *** Perang melawan patah hati adalah perang yang tidak dapat dimenangkan. Tidak dalam waktu
dekat. Namun Bima belum tahu tentang itu.
Selain itu, postur tubuhnya yang tinggi besar, rambut panjangnya yang hampir menutupi
punggung, bekas luka di pipi kiri, juga brewoknya yang mulai tumbuh, memperingatkannya
dengan keras agar jangan sampai terlihat sedang patah hati. Harus tetap kukuh seperti cadas di
tepi laut. Yang tetap menjulang dan tidak terkalahkan, bahkan oleh badai yang paling ganas.
Juga karena jauh di dasar jiwanya, Bima merasa Fani masih miliknya. Disangkalnya kenyataan,
dibantahnya penolakan, tapi ditekannya kuat-kuat keinginan untuk mendekat.
Sama sekali bukan karena janjinya terhadap Rangga, tapi karena hanya dari kejauhanlah apa
yang dibiarkannya tetap hidup dalam hati dan pikiran bisa dilihatnya dalam realita. Dengan
kedua mata. Bima tidak bisa mendekat, karena gadis itu seperti fatamorgana. Atau garis cakrawala. Tetap ada
di kejauhan sana. Tetap ada dalam jarak yang sama.
Namun apa yang terlihat dari kejauhan itu kadang kala tidak dapat menghilangkan rasa yang ada
di dadanya. Rasa yang tidak dimengerti. Terkadang bentuknya sederhana, dan berusaha
dihilangkannya lewat cara yang juga sederhana.
"Gimana dia?" Rei biasanya akan menatap cukup lama sebelum menjawab pertanyaan Bima itu.
"Baik. Kenapa lo tanya dia?"
Bima tersenyum tipis. "Cuma tanya." Baik. Terkadang cukup satu kata itu bisa membuatnya tenang. Bisa meredam banyak keinginan,
bahkan rasa frustrasi. Tapi kalau akal sehatnya sedang hilang, harus dia hindari agar sosok cewek itu tidak tertangkap
kedua matanya. Atau otak gilanya akan memerintahkannya untuk melakukan sesuatu. Yang
nekat. Yang suatu hari nanti mungkin akan disesali.
Hari ini, rasa aneh itu tidak lagi terbendung. Rei langsung waspada begitu menyadari Bima tidak
seperti biasanya. Dikuntitnya sahabat itu"yang seperti dugannya"berjalan menuju fakultas
ekonomi, segera setelah dia memarkir Jeep kanvasnya.
Fani, yang mengira dirinya sudah bebas sepenuhnya, kini tidak lagi selalu bersama Langen
maupun Febi. Gadis itu tersentak begitu mendapati Bima sudah berdiri di depannya.
Mereka bertatapan. Pucat. Keduanya.
"Tolong peluk aku. Dengan dua tangan kamu. Dengan badan kamu. Terima aku di sana.
Sebentar saja. Supaya aku ikhlas melepas kamu."
Bima melangkah maju. Hanya satu langkah.
Seketika, yang dilakukan Fani adalah... mundur tiga langkah! Dengan sepasang mata yang
menatap Bima dengan sorot waspada, dan sikap tubuh yang juga sama.
Itu murni refleks. Meskipun menyesalinya. Fani tetap tidak berhasil memerintahkan hati, pikiran,
dan tubuhnya untuk lebih terbuka dan menerima.
Penolakan Fani kali ini benar-benar menghantam Bima. Begitu keras hingga guncangannya
terbaca jelas di kedua matanya. Tidak teredam. Tidak tersembunyikan.
Keduanya masih berdiri berhadapan. Diam. Tegang. Pucat. Bima sudah berada di antara
berharap dan tidak lagi. Sementara Fani masih berkutat memperhitungkan, seberapa fatal
akibatnya kalau permintaan Bima tadi dipenuhinya.
Diliriknya Rei, yang berdiri mengawasi tidak jauh. Cowok itu mengangguk samar. Sedikit
kelegaan yang terbaca di wajah Fani membuat Bima bisa merasakan anggukan itu walaupun
tidak melihatnya. Cowok itu memejamkan kedua matanya. Di saat bersamaan, ditariknya napas panjang lalu
dihembuskannya perlahan... untuk kehancuran yang benar-benar sempurna dan total.
Ketika sepasang mata Bima yang dinaungi sepasang alis tebal itu terbuka, Fani terpana. Ini
mungkin pertama kalinya Bima membiarkan Fani melihat kondisi hatinya yang sebenarnya.
Tanpa disadari, Fani mengulurkan kedua tangannya. Tapi sekarang justru Bima yang tergerak
mundur. Menjauh dari jangkauan Fani, memalingkan muka dan melangkah pergi.
Rei segera menyadari kesalahannya. Harusnya dia tidak mengangguk. Rasa sakit itu begitu
gamblang. Harusnya Fani juga bisa melihatnya. Tapi kalaupun tidak, sama sekali bukan tugas
Rei untuk menyingkapnya! "Elo nggak bisa ngeliat?" desis Rei, dengan rasa geram yang ditekannya kuat-kuat. "Dia cuma
minta dipeluk!" "Gue takut. Dia kan orangnya gitu. Kalo nggak dilepas, gimana?"
"Elo bener-bener nggak bisa ngeliat, ya?" Rei mengulangi pertanyaannya. Kedua matanya
menatap Fani sampai menyipit.
Fani menggigit bibir. Menundukkan kepala, memandangi ujung-ujung sepatunya.
"Iya sih," jawabnya lemah. Lalu ditariknya napas panjang.
"Tolol!" desis Rei gemas. Kemudian ia balik badan dan mengejar Bima, meninggalkan Fani
yang mematung di tempatnya.
"Sori, Bim," bisik Rei lirih, begitu berhasil menyejajari langkah Bima. Bima langsung
menghentikan langkahnya dan menghadapkan tubuhnya ke Rei.
"Kasih isyarat apa lo tadi?" tanyanya tajam.
"Sori. Tadi gue refleks, karena gue liat dia bener-bener ketakutan."
"Lo kira gue nggak bisa liat dia ketakutan?"
"Gue bener-bener minta maaf," ucap Rei pelan dan dengan nada sungguh-sungguh. Kedua
rahang Bima mengeras. "Bagus gue kenal elo dari kecil!" desisnya. Kedua matanya menatap Rei dengan bara meletup.
Kemudian Bima berlalu. Rei hanya bisa menatap kepergian sahabatnya itu dengan rasa bersalah.
Malam harinya Rei menelepon Bima, kembali meminta maaf untuk kejadian itu.
"Udahlah, nggak apa-apa. Nggak usah dibahas lagi," ucap Bima dengan nada berat.
"Kalo lo belum bisa ngelepas, gue bisa jagain dia. Untuk elo."
"Nggak akan ada yang bisa nahan kalo emang dia bener-bener mau pergi. Biarin aja. Biar dia
pergi." "Serius?" Bima tidak menjawab. Rei menunggu. Cukup lama. Sampai kemudian didengarnya Bima
menghela napas. Panjang dan berat. Diikuti suara yang terdengar letih.
"Biar dia pergi. Nggak usah ditahan."
Namun helaan napas itu, suara yang terdengar letih itu, membuat Rei memutuskan untuk
melakukan hal yang bertolak belakang.
*** Perang melawan patah hati adalah perang yang tidak dapat dimenangkan. Tidak dalam waktu
dekat. Ketika akhirnya Bima menyadari itu, dia berhenti melawan. Yang tetap harus
dilakukannya adalah bersikap seperti cadas. Agar dirinya tetap terlihat baik-baik saja.
Namun akting sebagai cadas itu membuatnya semakin lelah. Dan ketika kelelahan itu telah
sampai di batas yang tidak sanggup lagi di tanggungnya, Bima meraih carrier-nya dan pergi.
Tanpa kedua sahabatnya. Sendiri.
Pada gununglah Bima sepenuhnya menyerah. Melepaskan ketegarannya dan membiarkan
kejatuhannya telanjang dan nyata. Karena jauh di dalam, kesunyian itu benar-benar menekam.
Tidak bisa terisi. Sama sekali!
Di gununglah kesunyian itu tergenapi. Bukan hanya milik hatinya sendiri. Dibaginya rasa sakit
itu bersama pinus, kabut, semak edelweiss, tupai yang berlari cepat setelah menatapnya sesaat,
dan awan-awan yang bergantian lewat.
Dia cinta gadis yang terpaksa harus dilepaskannya belum lama itu. Yang mati-matian berusaha
dipertahankannya, namun akhirnya terlepas juga.
Namun perpisahan itu juga telah mengajarinya banyak hal. Dirinya belajar memahami betapa
berartinya seseorang. Dan bahwa kepergiannya bisa memberikan kepedihan yang tajam,
mematahkan semangat, dan mendinginkan hati.
Akhirnya terjadi juga. Satu hal yang tadinya dia pikir tidak akan pernah menimpanya.
First cut is the deepest! FANI merasa akhirnya dia benar-benar bebas! Bebas! BEBAS!!!
"Yihaaa!" cewek itu menjerit keras-keras. Melompat-lompat di atas tempat tidurnya. Di tengah
lagu Party Up yang disetel dengan volume gila-gilaan. Dengan syair yang berbeda, dia ikut
bernyanyi keras-keras. "Bebas! Bebas! Bebas!"
"Life is so beautiful! Yihaaa!"
"Waktunya berburu cintaaa! Asyik! Asyik! Asyiiik...!"
Ijah berdiri di ambang pintu, sudah tidak terlalu kaget lagi. Akhir-akhir ini non majikannya ini
sepertinya sedang gembira sekali.
Hari pertama kepulangannya kembali ke rumah, Fani melompat-lompat, menjerit-jerit, serta
tertawa-tawa sendiri. Hari kedua, dia berteriak-teriak dan berjoget berdua Langen. Hari ketiga
Febi bergabung. Tapi cewek itu cuma menonton sambil tersenyum-senyum, tidak bisa mengikuti
polah gila kedua temannya. Hari ini, hari keempat, masih sama. Cuma ditambah musik jedangjedung yang suaranya gila-gilaan.
Ijah kemudian pergi sambil geleng-geleng kepala. Ia harus siap-siap. Sebentar lagi pasti ada
tetangga yang datang untuk protes karena suara bising konser dadakan ini.
Fani juga mulai mengubah penampilan. Cewek itu jadi lebih sering memakai rok daripada celana
panjang. Dulu bisa dihitung dengan jari, berapa kali dia mengenakan rok. Karena memakai rok
dekat Bima saja mengundang malapetaka. Gadis itu juga mulai suka dandan, meskipun tidak
berlebihan. Pokoknya, Fani berusaha keras agar jejak-jejak atau aura "pernah jadi ceweknya
Bima" lenyap tak berbekas!
Sebab... it's a new life!
Gebetan sudah ada. Fakultas gebetannya itu juga tidak jauh. Cuma di gedung belakang fakultas
Fani. Jadi tidak repot kalau mau tebar pesona sesering mungkin.
Sang gebetan sepertinya fall in love juga pada Fani. Buktinya cowok itu yang pertama kali
memberikan senyum dan menyapa, serta berinisiatif untuk berkenalan, meminta alamat juga
nomor telepon. Dan meskipun hubungan mereka sampai saat ini masih dalam taraf saling


Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberikan senyum, menyapa, dan bercakap-cakap sekadarnya, Fani merasa cowok itulah yang
selama ini dicarinya. Fani juga sudah meminta pendapat Langen dan Febi. Dan keduanya berkata bahwa Ferry"
gebetan Fani itu"oke banget. Keren, modis, dan good looking. Ferry memang jenis cowok yang
berada di kutub yang berlawanan dengan Rei cs. Fashionable dan terawat.
"Sama Bima emang jauh banget sih," kata Langen.
"Nggak bisa dibandingin, lagi, La... Yang satu beradab, yang satu lagi primitif!" protes Fani
seketika. "Ferry baik, tau. Perhatian, lembut. Nggak suka maksa. Nggak sok berkuasa. Pokoknya
Ferry itu so sweet deh!" pujinya setinggi langit.
Betapa ajaibnya cinta. Dia bisa menggambarkan dengan detail, dalam banyak kata dan warna,
sebuah objek yang bahkan adanya nun jauh di batas cakrawala sana.
*** "Sendiri" bukan kata yang asing untuk Bima. Dia sudah mengenalnya berkali-kali. Dan semua
definisi kata "sendiri" adalah menyenangkan.
Sendiri berarti tidak ada seorang pun di rumah, jadi dia bisa mengerjakan sesuatu dengan tenang.
Sendiri juga berarti pergi ke mana pun tanpa kedua sahabatnya. Dan itu menyenangkan setelah
berhari-hari selalu bersama.
Tapi defini kata "sendiri" favoritnya adalah: berhasil mengenyahkan cewek yang selama ini
menempel di sebelahnya. Yang mulai membuatnya muak dan bosan dengan segala perhatian dan
kemanjaan mereka yang mulai terasa mengekang.
Ada di mana" Lagi ngapain" Udah makan, belom" Kemarin kuisnya gimana" Kok malem
Minggu nggak dateng sih" Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang membuatnya jadi menahan diri
untuk tidak memberikan bentakan sebagai ganti jawaban.
Juga sederet panggilan khusus. Yayang, babe, cinta, honey, dan sejenisnya, yang mulai terasa
mengancam kebebasannya, dan akhirnya membuat dirinya memutuskan untuk sendiri.
Namun, ternyata ada definisi lain untuk kata "sendiri". Definisi yang benar-benar baru dan
berbeda. Yang tidak dia kenal sebelumnya.
Sendiri... ternyata adalah kekosongan. Juga sakit dan kehilangan. Sedih dan penyesalan. Sendiri
itu juga sunyi. Sangat sunyi.
Kesunyian mendadak mengingatkan Bima pada mereka-mereka yang pernah "jalan"
bersamanya, kemudian dipaksanya untuk pergi.
Air mata, tangis histeris, permohonan untuk tinggal, luka, dan keputusasaan. Tidak satu pun bisa
menyentuhnya. Tidak sedikit pun. Harusnya mereka tahu bahwa saat kebersamaan itu akan
berakhir. Akan selesai. Dan tidak ada janji atau pernyataan yang pernah dia ucapkan.
Jadi untuk apa menangis" Ada dua variasi jawaban yang biasa didengarnya di antara air mata itu.
Cinta atau sayang. Dan kedua jawaban itu sama-sama membuatnya muak. Kemudian
membuatnya mempercepat proses pendeportasian cewek-cewek itu. Ke mana saja, asal enyah
dari sebelahnya! Bima sama sekali tidak menyangka akhirnya dirinya juga melakukan hal yang persis sama.
"Memohon" agar orang yang dicintainya bersedia untuk tinggal. Dan orang itu mendepaknya
mentah-mentah! FANI sama sekali tidak tahu bahwa Rei mengawasinya. Tentu saja untuk kepentingan Bima,
meskipun Bima tidak meminta.
Begitu melihat Fani sudah seperti kuda liar yang dilepaskan dari kandang, Rei yang tadinya
hanya berniat untuk mengawasi dari jauh langsung berubah pikiran. Sekaligus dia penasaran,
ingin tahu siapa cowok gebetan Fani.
Cara yang dilakukan Rei benar-benar tanpa basa-basi. Diawali dengan kemunculannya di satu
pagi, dan langsung mengomentari penampilan Fani.
"Lipstik baru, hmm?" Rei tersenyum menggoda.
"Ini lipbalm. Sok tau!" sungut Fani.
"Bajunya juga baru. Mirip daster tapi kurang panjang."
"Baby doll. Ya ampun!" seru Fani tertahan. "Udah deh. Kalo nggak tau, nggak usah komentar.
Langen udah datang tuh. Lagi nunggu gue di kantin."
"Gue nggak tanya dia!" jawab Rei pendek. "Kuliah pertama kelar jam berapa lo?"
"Sepuluh. Kenapa?"
"Pingin ngobrol aja," kembali Rai hanya menjawab pendek, kemudian pergi. Sesaat Fani
menatap Rei bingung, lalu meneruskan langkah.
Rei benar-benar muncul di saat yang tepat, menjelang hubungan Ferry-Fani melangkah ke arah
yang lebih serius. Dan cowok itu langsung menjadi duri dalam daging.
Duri yang sungguh sangat susah dienyahkan!
Kemunculan pertama Rei sudah membuat suasana kebersamaan Ferry-Fani yang syahdu, indah,
dan penuh tebaran cinta, langsung rusak parah.
Dengan santai Rei menghampiri keduanya yang sedang duduk berhadapan di kantin, dan
langsung duduk rapat di sebelah Fani. Dengan dongkol, Fani terpaksa mengenalkan Rei pada
Ferry. "Ferry." "Rei!" Rei menyambut tangan Ferry yang terulur, menjabatnya dengan tatap mata yang menghunjam
lurus dan senyum yang terlihat jelas tidak tulus. Melihat itu, kening Ferry jadi sedikit mengerut.
"Apaan"!" tanya Fani ketus pada Rei.
"Judes amat sih" Nanti malem gue mau ke tempat lo."
"Ngapain" Langen lagi nggak nginep di tempat gue."
"Gue perlu sama elo. Bukan Langen. Oke" See you tonight." Rei mengacak-acak rambut Fani.
Setelah tersenyum kaku pada Ferry, cowok itu pergi.
"Kayaknya kamu akrab banget sama dia," ucap Ferry begitu Rei sudah pergi. Fani tersenyum
kikuk, jadi merasa tidak enak.
"Dia mantannya sohib gue."
"Gitu?" Ferry mulai merasakan sesuatu yang ganjil.
*** Di kencan-kencan Ferry-Fani berikutnya, Rei benar-benar jadi perusak suasana. Cowok itu
muncul tiba-tiba dan mencomot kue yang sedang dimakan Fani. Atau meneguk habis es
jeruknya. Atau membicarakan hal-hal yang sama sekali tidak penting.
Rei bahkan pernah muncul lalu menyikat habis siomai di piring Fani. Sambil mengunyah, dia
memberikan penjelasan untuk dua wajah ternganga di dekatnya.
"Sumpah, gue laper banget. Dan kalo lagi laper kayak gini, gue suka gampang naik darah.
Makanya kudu buru-buru makan."
Kali lain, Rei muncul dengan sebotol kecil minyak angin. Ia mengulurkan botol itu ke Fani
disertai satu permintaan yang membuat dua orang yang diganggunya lagi-lagi jadi ternganga.
"Gue kayaknya masuk angin nih, Fan. Tolong pijetin dong."
"Pijetin!?" Fani hampir memekik. "Lo kira gue tukang pijet, apa" Gue ini calon sarjana, tau!"
"Pijetin ini aja," Rei menunjuk tengkuknya. "Soalnya dari tadi gue kepingin muntah."
"Itu bukan masuk angin, lagi. Itu berarti lo lagi hamil!"
Rei kontan tertawa terbahak-bahak. Sementara Fani cuma bisa menatapnya dongkol, dan Ferry
hanya bisa terdiam dengan wajah kaku.
*** Interupsi Rei yang tanpa jeda itu akhirnya membuat hubungan cinta Ferry-Fani yang baru
berumur kurang dari setengah umur pohon jagung, langsung menukik ke kondisi kritis.
Fani menelepon Rei suatu malam, setelah untuk pertama kalinya Ferry ngambek dan menolak
bertemu. "Hei, Rei, lo pasti disuruh Bima ngawasi gue. Iya, kan?"
"Nggak. Malah dia udah nggak kepingin tau lagi soal elo."
"Trus, ngapain lo ngebuntutin gue ke mana-mana?"
"Lho, gue kan sekarang jomblo. Boleh dong mulai PDKT lagi," jawab Rei tenang.
Fani ternganga. "Dasar lo, sarap!"
Fani menutup telepon, lalu mematung dengan wajah tercengang.
Esoknya, ganti Ferry mencegat Rei. Begitu Jeep Rei memasuki gerbang kampus, cowok itu
segera menghadang dengan berdiri di tengah jalan.
Dengan kedua rahang terkatup keras dan raut wajah yang terlihat jelas sedang menahan marah,
Ferry mendekati pintu pengemudi.
"Lo mantannya Langen, kan?"
"Iya," Rei menjawab tenang.
"Kenapa lo selalu ngikutin Fani ke mana-mana" Lo mau dekatin dia setelah bubar sama
sohibnya?" "Dari masih jalan sama Langen gue udah dekat sama Fani. Nggak ada masalah."
Seketika kedua mata Ferry terbelalak mendengar itu. "Bohong!" desisnya tak percaya.
Rei tersenyum lebar dan mengedipkan satu matanya. "Buy one get one free." Dia tersenyum lagi.
Ferry terpana. Seketika kepalan tangannya melayang, Rei menangkap tinju itu dan menariknya
mendekat. "Di luar!" bisiknya. "Jangan di kampus. Minta nomor HP gue sama Fani." Disentaknya kepalan
tangan Ferry sampai cowok itu terdorong mundur beberapa langkah. "Gue tunggu!"
Setelah sesaat menatap Ferry dengan pandangan tajam, Rei menginjak gas dan membawa Jeepnya pergi dari situ.
Tanpa menceritakan peristiwa itu, Ferry mengusulkan pada Fani agar hubungan mereka break
sementara. Tidak ada yang bisa dilakukan Fani selain menerima usul itu. Fani hanya berharap
break itu benar-benar cuma sementara, tidak untuk seterusnya.
SATU per satu, Bima mendatangi gadis-gadis yang pernah "jalan" bersamanya di banyak waktu
yang singkat, bahkan teramat singkat. Beberapa telah terlupakan. Beberapa telah menghilang.
Beberapa ternyata masih berharap bisa kembali. Beberapa menyimpan kebencian sampai saat ini.
Dan... Beberapa memberinya tamparan telak!
Salah satu dari gadis itu meninggalkan kesan yang cukup dalam untuk Bima. Puguh Triastuti.
Bima bahkan masih ingat dengan jelas namanya yang"sumpah!"kampung banget. Tapi, waktu
pertama kali bertemu Bima, gadis itu memang baru saja tiba di Jakarta, dari desanya di pelosok
Sumatera sana. Desa transmigran di tengah perkebunan karet dan kelapa sawit.
Saat pertama kali melihat Puguh di area parkir sebuah lembaga kursus tidak jauh dari kampus,
saat Jeep-nya terjebak macet, Bima langsung tertarik. Puguh cantik. Cantiknya gadis desa. Polos.
Penampilannya sederhana. Terlihat canggung dan bingung di tengah keramaian orang-orang
yang tahu pasti ke mana tujuan dan apa yang akan mereka lakukan. Puguh tipe perempuan yang
sering jadi sasaran penipuan, bahkan trafficking.
Saat ia dekati, gadis itu langsung waspada. Mukanya langsung pucat, dan baru agak tenang
setelah Bima menekankan berkali-kali bahwa tempat itu pernah jadi daerah jajahannya. Apalagi
ucapan Bima dibenarkan oleh penjual rokok yang mangkal di situ.
"Puguh, ya" Bukan puyuh?" goda Bima saat gadis itu menyebutkan nama. Asli, itu plesetan
nggak mutu banget. Dan Puguh tersenyum. Meskipun malu-malu, gadis itu terlihat sangat geli
dengan joke jayus yang dilontarkan Bima. Jangan-jangan di kampungnya sana nggak kenal sama
plesetan, lagi. Parah juga!
Di hari-hari berikutnya, Bima senang mengajak gadis desa itu keliling Jakarta. Rasanya lucu
sekaligus aneh, melihat ada orang yang sebegitu tercengangnya melihat Monas. Sebegitu
takjubnya dengan Dufan. Sebegitu terperangahnya dengan gedung-gedung pencakar langit yang
berderet di sepanjang Thamrin-Sudirman. Puguh bahkan sampai minta mobil berhenti di depan
Menara Da Vinci, saking terpesonanya pada gedung yang memang berarsitektur indah dan
elegan itu. Tapi cukup sekali Bima mengajaknya memasuki sebuah plasa, karena gadis itu memasuki setiap
konter dengan wajah terperangahnya. Juga pertanyaan dan komentar-komentar yang membuat
hampir setiap orang yang mendengar jadi menoleh dan langsung tahu gadis itu baru datang dari
pedalaman. Puguh juga sangat takjub pada lift kasul di plasa itu. Ketika akhirnya bisa mengatasi rasa
takutnya, gadis itu naik-turun lift berulang kali.
*** Bagaimana kabar Puguh sekarang"
Pertanyaan yang sebenarnya ditujukan Bima untuk dirinya sendiri itu kemudian membawanya
memasuki perkampungan yang bisa dibilang kumuh. Berbekal ingatan yang sudah samar,
ditelusurinya perkampungan padat, sumpek, dan semrawut itu.
Setelah tersesat di lorong-lorong yang becek, kadang remang bahkan gelap, dan tak terhitung
berapa kali ia bertanya dia sana-sini, Bima menemukan apa yang dia cari. Sebuah rumah
kontrakan murah, kecil, dan kusam. Tempat Puguh tinggal bersama kakak perempuannya yang
sudah berkeluarga. Sama sekali bukan karena kondisi ini ketika akhirnya dia tinggalkan Puguh. Tapi karena lagilagi, kebebasannya mulai terancam, dan yaaah... harus dia akui, agak malu juga untuk
memunculkan gadis itu di tengah teman-temannya.
Pelan, diketuknya pintu. Tak lama didengarnya suara gerendel ditarik. Menjelang pintu itu akan
terbuka, Bima merasa tubuhnya mendingin. Ternyata yang muncul di depannya adalah seorang
wanita muda yang tidak dikenalnya.
"Maaf. Puguh ada?"
"Puguh?" Wanita itu mengerutkan kening. "Di sini nggak ada yang namanya Puguh. Yang dulu
pernah ngontrak di sini, kali ya" Udah pindah."
"Mmm... ke mana ya kira-kira?"
"Wah, saya nggak tau."
Sesaat Bima terdiam. Tapi kemudian dia minta diri karena memang tidak ada lagi yang bisa
dilakukannya di situ. "Terima kasih, Mbak. Permisi."
Namun saat akan ditinggalkannya perkampungan kumuh itu, tak diduga Bima bertemu seseorang
yang dia kenali sebagai teman sekelas Puguh di tempat kursus. Sayangnya dia lupa nama cewek
itu. Terpaksa disapanya tanpa menyebut nama.
"Hai. Apa kabar?"
Cewek tak bernama itu tampak kaget. Diturunkannya majalah yang sedang dibacanya.
"Baik," jawabnya dingin.
"Ng... lo tau Puguh pindah ke mana?" tanya Bima langsung.
"Pindah ke mana" Dia balik ke kampungnya di tengah sana. Baru tau?"
Sekarang ganti Bima yang kaget. "Balik ke kampungnya" Kapan?"
"Begitu lo tinggalin dia!" jawab cewek itu telak, membuat tubuh Bima menegang.
"Maksudnya?" "Maksudnya!?" Cewek itu melotot. "Lo pacaran sama dia, kan" Kalo mau putus, bilang dong!
Jangan kayak pengecut gitu. Pergi begitu aja. Nggak ngomong apa-apa!"
"Kami nggak pacaran!" bantah Bima tajam.
"Oh, ya" Trus kenapa dulu lo suka ngajak dia jalan" Beliin ini-itu. Jemput dia di tempat kursus.
Bantuin ngerjakan PR yang dia nggak bisa. Gue juga pernah beberapa kali ngeliat lo gandeng
tangan dia. Kayak gitu bukan pacaran, ya?"
"Yaaa... mmm..." Bima tergeragap. Cewek itu menatapnya semakin dingin, lalu geleng-geleng
kepala. "Elo itu orangnya tega banget, ya" Cewek kampung polos gitu lo mainin."
Bima menghela napas. "Ada nomor telepon yang bisa gue hubungin?"
Cewek itu terbelalak. "Elo itu ternyata juga suka menghina, ya" Dia itu tinggalnya di kampung di
tengah hutan. Boro-boro telepon, listrik aja kadang hidup kadang mati. Dia bisa ke Jakarta
karena ortunya jual sapi. Buat biaya nerusin sekolah di Jakarta. Makanya dia cuma pingin ambil
D3, sama kursus-kursus. Ntar kalo udah lulus, dapet kerjaan, dia mau bantu orang tuanya di desa.
Biar nggak bener-bener hidup dari bertani. Soalnya kalo lagi kemarau panjang kayak kemaren
itu, sawah kering kerontang, keluarganya bener-bener sampe harus makan nasi sama sambel
doang. Malah pernah cuma bisa makan singkong yang udah dijemur sampe kering. Pahit nggak
sih, begitu sampe sini dia ketemu orang kayak elo?"
Kepala Bima tertunduk sesaat.
"Ada alamat?" tanyanya kemudian. Suaranya berubah lirih. "Kalo nggak bisa telepon, paling
nggak gue bisa kirim surat. Bisa, kan?"
"Oh, bisa!" jawab cewek itu langsung. "Dengan syarat, tukang posnya selamet sampe tujuan.
Nggak keburu dimakan macan, atau diinjek gajah liar!"
*** Bima tercenung di belakang setir. Hampir satu jam Jeep-nya terparkir di satu tepi jalan yang
lengang. Kenyataan tadi benar-benar memukulnya.
Puguh pasti punya banyak impian dan harapan yang menyertai kepergiannya ke Jakarta. Milik
orangtua, saudara-saudara, keluarga besar, teman-teman, bahkan mungkin seisi desa.
Terlebih untuk kedua orangtuanya. Anak gadis mereka merantau ke Jakarta untuk meneruskan
sekolah. Hebat sekali! Namun semua impian dan harapan itu hancur di tangannya. Dan baru saat ini dia tahu, setelah
lebih dari satu tahun berlalu!
Bersama tarikan napas berat, Bima menjatuhkan kepalanya ke atas setir. Kesepuluh jarinya
mencengkeram benda itu kuat-kuat. Kuat-kuat! Kuat-kuat!!! Sampai semua jarinya terasa sangat
sakit. Tapi rasa bersalah itu tetap tidak bisa keluar. Tetap diam di dalam. Mengganjal dan
menekan. *** "Lo bener-bener nggak tau atau pura-pura nggak tau?"
"Serius gue nggak tau. Kenapa Luna nggak nerusin kuliah, Yan?"
Yana, sahabat Luna, salah satu mantan cewek Bima yang kebetulan masih bisa diingat dan masih
bisa dilacak, menatap cowok gondrong di depannya dengan ekspresi datar.
"Dia nggak nerusin kuliah karena harus merit."
Bima terperangah. "Kenapa dia harus cepet-cepet merit?"
Kening Yana sedikit mengerut mendengar itu.
"Kayaknya elo deh yang paling tau, kenapa dia harus cepet-cepet merit," jawabnya dingin. Bima
sempat tersentak sesaat namun kemudian kembali normal.
"Gue justru baru tau sekarang dia udah merit. Dia nggak bilang sama sekali. Apalagi ngundang
gue." "Kita lagi ngomongin alasan, bukan undangan!" ucap Yana sengit. "Lo berharap diundang,
gitu?" "Kenapa gue harus nggak diundang?"
Sesaat sepasang mata Yana jadi menyipit. Kemudian dia bangkit berdiri dan berjalan ke dalam,
meninggalkan Bima kebingungan di teras. Tak lama cewek itu kembali dengan selembar foto di
tangan. Diserahkannya foto itu pada Bima.
"Umurnya baru dua bulan."
Bima menatap foto di tangannya. Tubuhnya terasa meringan. Kesadarannya ikut melayang. Itu
foto seorang bayi mungil. Montok. Lucu.
"Tebak siapa namanya?" desis Yana. Perlahan Bima mengangkat kepala. Bibirnya bergerak tapi


Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak ada suara yang keluar. Yana tersenyum sinis.
"Bhimasena. Pake 'H'. Cuma beda tipis sama nama lo yang Bimasena."
Bima sontak pucat pasi. Yana menyaksikan itu dan kembali senyum sinisnya muncul.
"Lo nggak usah panik dulu. Gue juga pingin banget kalo nanti udah merit, trus punya anak
cowok, gue namain Dude. Meskipun orang bakalan ribut nanya apa hubungannya sama Dude
Herlino yang bintang sinetron itu, gue berhak untuk nggak ngomong apa-apa, kan?"
Lagi-lagi Yana tersenyum sinis. Bima merasa dirinya dipojokkan.
"Itu bukan anak gue!" tandasnya.
"Gue nggak bilang itu anak lo kok." Yana geleng kepala. "Kecuali ada kata 'junior'-nya. Baru
deh lo boleh panik trus bikin klarifikasi. Eh, tapi untuk orang sengetop elo, konferensi pers
kayaknya lebih tepat." Tapi detik berikutnya, Yana meralat kalimatnya, "Eh, tapi kayaknya
nggak usah diklarifikasi ding. Bener. Lo cukup panik aja. Karena biarpun di klarifikasi sampe ke
mana, kayaknya orang nggak akan percaya."
Kedua rahang Bima mengatup keras. Susah payah ditahannya dadanya yang bergolak marah.
Kemudian dia berdiri dan menjulangkan tubuhnya di atas Yana. Ditatapnya cewek itu dengan
sepasang mata membara. "Lo dengar ya. Sekali lagi gue tegasin. Itu anak bukan anak gue!"
Masih menahan marah, Bima meninggalkan tempat itu. Namun langkahnya terasa gamang.
Meskipun dia yakin bayi itu bukan anaknya, kenyataan salah satu mantannya meninggalkan
bangku kuliah dan menikah muda serta telah menjadi seorang ibu benar-benar mengacaukan
emosinya. Yana mengikuti kepergian cowok itu dengan kedua matanya. Bayi itu memang bukan anak
Bima. Yang terjadi adalah, Luna ternyata sangat mencintai cowok gondrong bangsat sialan itu
sehingga ketika akhirnya ditinggalkan Bima, Luna langsung goncang. Kuliahnya kacau, dan dia
memutuskan untuk menerima lamaran pertama yang datang.
*** Butuh waktu cukup lama bagi Bima untuk menormalkan kembali hati dan emosinya. Ketika ia
kembali menelusuri masa lalunya, orang pertama yang dia temui langsung kalap begitu
melihatnya. "Ngapain lo dateng ke sini" Pergi sana! Pergi!"
Tubuhnya disentak keras-keras ke belakang. Bima sampai harus meraih ambang pintu agar tidak
jatuh. "Sil, gue cuma mau minta maaf."
"Sekarang!" Baru sekarang lo mau minta maaf!" Lo tau, gue hampir aja diperkosa gara-gara
elo!" "Apa!?" Bima terperangah. "Apa lo bilang!?"
Gadis di depannya berdiri dengan mata merebak. Ketika kemudian dia kembali bicara, intonasi
suaranya menurun drastis dan diwarnai tangis.
"Gue hampir diperkosa, tau! Alasannya karena gue mantan lo. Karena cewek yang pernah jalan
sama lo pasti udah nggak bener. Pasti udah rusak. Pasti udah diapa-apain. Dan dia macarin gue
karena alasan itu. Karena gue sampah orang, jadi nggak perlu dijaga!" Sisil terisak. "Gue trauma
sama cowok!" Bima terenyak. "Siapa dia!?" desisnya.
"Percuma lo tanya sekarang. Udah lama. Basi!"
"Kenapa lo nggak cari gue?" tanya Bima dengan suara tercekat.
"Buat apa" Biar gue keliatan kayak cewek putus asa, gitu" Biar orang sekampus tau kekalutan
gue" Ngejar-ngejar elo sampe frustrasi, sementara elo duduk dengan sombongnya di Jeep gede lo
itu" Bangga. Ada cewek yang jadi segitu gilanya gara-gara lo tinggal!" Juga biar cewek lo yang
baru itu bisa menghina gue!?"
Bima bahkan sudah lupa siapa ceweknya setelah Sisil!
Tuhan, desisnya dalam hati. Namun hanya sampai di situ. Terhenti. Dia tidak tahu apakah pantas
memohon untuk diampuni. "Kalo kita jalan lagi, lo mau?" tanyanya pelan, namun permintaan itu sungguh-sungguh. Sisil
terperangah. "Pergi lo dari sini! Pergi!" bentaknya.
"Sil, gue serius..."
"PERGI!!!" Sisil menjerit histeris. Pintu di depan Bima kemudian dibanting keras-keras.
*** Apa yang sudah dilakukannya"
Bagi Bima, hidup tetap berjalan seperti keinginannya. Harapan, mimpi, dan cita-cita masih ada
di depan sana. Utuh, dan akan jadi miliknya suatu saat nanti.
Sementara dirinya telah memenggal hidup orang lain. Banyak hidup orang lain. Dia telah
memaksa mereka berganti arah. Menjauh dari mimpi, melupakan angan, dan melepas cita-cita.
Mereka menerima dan menjalaninya dengan diam. Diam! Sakit namun ikhlas. Luka tapi
akhirnya pasrah. Beberapa di antaranya memaafkannya. Memaafkannya, dan menganggap apa
yang sudah terjadi adalah bagian dari kebodohan. Bagian dari kesalahan mereka sendiri.
Bima melarikan Jeep-nya dengan kecepatan tinggi, menembus kegelapan jalan tol, namun
kemudian berhenti mendadak di bahu jalan. Cowok itu turun dengan langkah terhuyung. Sesaat
dia hanya berdiri diam, kemudian berteriak sekeras-kerasnya. Sejadi-jadinya. Melengking tajam.
Panjang. Sakit. Sesak. Namun tetap tidak mampu melegakan. Tetap terasa meremukkan.
Ada saatnya kita tidak bisa menahan air mata. Karenanya, biarkan saja dia mengalir. Tidak perlu
diredam. Tidak usah disangkal.
Menangis bukanlah cengeng. Menangis meredakan sakit, meskipun tidak mengubah keadaan.
Meskipun sama sekali tidak menebus kesalahan.
Dan... Bima menangis! Terisak. Air matanya turun. Tubuhnya terhuyung mundur membentur Jeep. Perlahan, dia jatuh
terduduk. Masih terisak, dia lalu tertunduk. Meringkuk. Mengecil. Kerdil.
Apa air mata bisa membayar" Sama sekali tidak! Begitu juga penyesalan. Bahkan hidup dan
jiwanya sekalipun! Semua yang sudah dilakukannya di masa lalu... tidak akan terbayar! Dan tak
satu pun yang mampu menegakkan kembali ke-aku-annya. Tidak jam terbangnya sebagai
pendaki gunung, atau Jeep kebanggaannya, bahkan fisiknya yang di atas rata-rata. Tidak ada satu
pun alasan yang bisa dijadikannya penyangga untuk mengangkat kembali wajah dan dadanya.
Karena dia sudah melihat, dari jarak yang sangat dekat, warna kepasrahan dan bentuk
keikhlasan. *** Sudah menjelang fajar. Langit gelap di timur mulai menjingga, saat Bima akhirnya mampu
sedikit berdamai dengan dirinya. Saat akhirnya di dengarnya hatinya berbisik. Memintanya
Wanita Gagah Perkasa 8 Pusaka Para Dewa Karya Lovely Dear Kisah Tiga Kerajaan 23

Cari Blog Ini