Ceritasilat Novel Online

Wasripin Dan Satinah 3

Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo Bagian 3


Partai. Adapun di rumah paranormal ia minta jaminan bahwa sumpah pocong
itu takkan punya akibat. "Itu sudah di luar wewenang seorang paranormal,"
jawab paranormal. "Kabarnya kau punya jin yang dapat mengubah batang
pisang jadi orang," kata intel. "Ya, tapi sumpah pocong terlalu sakral. Saya
tak berani." Keputusan paranormal itu memperjelas bayangannya mengenai
kegagalan. Langkah selanjutnya ia pergi ke rumah bordil. Ibu menyambutnya
dengan ramah, "Waduh, waduh. Intel kita kok terlihat murung. Siang-siang
butuh hiburan, ya?" "Nanti mudah, Bu. Saya butuh pertolongan seperti dulu,"
katanya. Ibu itu memanggil anak buahnya yang dulu ditugaskannya ke rumah
Wasripin. Anak buah itu datang, dan intel menerangkan maksudnya.
Mendengar kata "sumpah pocong" itu badannya menjadi dingin, mata
berkunang-kunang, dan dunia menjadi gelap. Ia jatuh pingsan, lalu digotong ke
dalam. "Kalau bukan dia, orang lain juga boleh," kata intel. Ibu itu punya
naluri melindungi anak buahnya, dan ditolaknya permintaan intel.
Harapannya tinggal pada hakim. Ia minta supaya hakim menolak sumpah
pocong yang bukan merupakan bukti hukum itu. Tim hakim memang mula-mula
akan keberatan dengan sumpah pocong berdasarkan sebuah memo yang mereka
terima. Karena, cara kuno itu tidak terdapat dalam KUHP. Akan tetapi, ketika
koran-koran ikut meramaikan perihal sumpah, mereka berubah pikiran. Maka
ketika intel datang, mereka mengatakan bahwa terlanjur tahu. Mereka sudah
memutuskan untuk mengabulkan sumpah pocong.
"Hakim harus independen!"
"Korbankan seorang, selamatkan belasan ratus juta jiwa!"
"Korbankan kebenaran?"
"Mengapa tidak. Kalau terpaksa."
"Terpaksa atau rekayasa?"
"Rekayasa, itu hanya pendapat orang. Masyarakat! Media massa!
Persetan!" "Kami tidak bisa tinggalkan kebenaran. Nanti ada anarki hukum."
Tidak, tak ada jalan buntu bagi orang yang mau berpikir. Ia akan
mengirim telex ke atasan, minta supaya hakim yang sekarang diganti. Hakim
mau suapnya, tak mau kerjanya. Mereka penipu!
5 HARI itu Masjid Jami"i ramai dikunjungi orang: nelayan, wartawan,
mahasiswa, advokat, dosen, dan para peminat lain. Akan tetapi, mereka
semua kecewa. Semua petugas sudah siap, Wasripin siap, penonton siap.
Setelah ditunggu satu jam, saksi korban tak juga muncul. Mereka bubar.
Wasripin dinyatakan bersih oleh Hakim.
Di kantor Badan Pengawas Agama anggota-anggotanya tampak murung.
Kegagalan demi kegagalan membuat kantor interdepartemental itu tak efektif.
Para anggota bisik-bisik satu dengan lainnya, supaya Ketua dan intel tak
mendengar. "Kantor ini melanggar tujuannya sendiri. Kata statuta pendirian:
mencegah ajaran sesat, mencegah politisasi agama, mencegah penyelewengan
agama untuk kepentingan pribadi dan golongan, dan mencegah perpecahan
intra-agama serta antar-agama. Mana semua itu?"
"Pekerjaan kita tak sesuai dengan hati nurani."
"Fitnah melulu. Duit ya duit. Tapi kesadaran tertindas."
"Kata orang pandai, manusia tak hidup hanya dengan roti saja."
"Kita keluar, kembali ke departemen masing-masing."
"Bersatu kita teguh, bercerai kita jatuh."
"Nanti kalau ditanya tentang inisiator semua mengaku jadi inisiator."
Mereka semua mengajukan surat pengunduran diri. Tidak ada komentar,
tidak ada pertanyaan. Beberapa hari kemudian keluar Surat Keputusan
pembubaran lembaga itu untuk seluruh Indonesia demi efektivitas, efisiensi,
dan penghematan. Intel yang melapor pada atasannya di Jakarta mendapat
jawaban yang menggembirakan, "Masih banyak jalan untuk mengikis habis
Golput dan kaum ekstremis."
SEPULUH 1 PARTAI Randu ulang tahun. Partai-partai lain, Partai Kuda dan Partai
Langit, meramalkan bahwa kesempatan itu akan digunakan untuk mencuri start
alias kampanye terselubung. Mereka gembar-gembor lewat media massa.
Koran-koran juga bilang begitu. Tapi, Menteri Penerangan dalam sebuah
wawancara di TVRI menyatakan bahwa pemerintah akan menindak tegas siapa
saja yang mencuri start. Mekanismenya ialah soal perijinan. Semua pihak yang
akan mengumpulkan lebih dari lima puluh orang di tempat umum wajib minta
ijin dengan menunjukkan jadwal acara. Atau, kalau itu berupa pertunjukan
(teater, ketoprak, nyanyi, film) harus menunjukkan naskah, alur cerita, ijin
sensor, atau teksnya. Pendek kata, Pemerintah tidak mau kecolongan oleh
siapa pun. Untuk keperluan Partai di alun-alun kota didirikanlah sebuah
panggung pertunjukan yang akan diisi rombongan artis-artis keliling dari ibu
kota. Dalam rencana Bupati Kepala Daerah, Komandan Tentara, dan Kepala
Polisi akan minta menyumbangkan suara. Soal perijinan, jangan tanya
mudahnya. Partai Randu tinggal menelepon Kepala Polisi. Pengamanan polisi
ekstra kuat diperlukan karena Partai Randu memperkirakan yang menonton
pasti banyak ekstrem kanan dan Golputnya.
Sore hari menjelang pertunjukan jalan-jalan yang diperkirakan akan
dilalui ekstrem kanan dan Golput dijaga polisi tanpa uniform. Kebetulan surau
TPI mengadakan Pengajian Akbar. Teratak sudah dipasang, tikar-tikar digelar,
ibu-ibu nelayan sudah menyediakan makan, kue, dan kopi. Maka aparat
keamanan memperkirakan semuanya akan berjalan lancar. Intelijen tentara
dan polisi yakin bahwa orang-orang yang dicurigai sebagai ekstrem kanan dan
Golput dari surau TPI tidak akan nonton.
Namun, seperti kata pepatah, "sepandai-pandai tupai melompat sekali
akan gagal juga". Satgas Partai Randu yang bertugas menjaga kelancaran
pertunjukan menemukan selebaran-selebaran yang mendiskreditkan Partai.
Misalnya, "Partai Randu Sarang Korupsi", "Partai Randu Melindungi Maling
Kakap", "Maling Teriak Maling", dan "Partai Randu Anti Pembangunan". Ketika
Ketua Partai melihat selebaran itu rasanya dada mau meledak. Tai dasar
sedang pentas kesenian dia harus bisa menunjukkan muka cerah dan bibir
tersenyum. Pertunjukan berjalan lancar separo jalan. Separonya lagi kacau. Mulamula panggung terasa miring, kemudian miring sekali, dan akhirnya runtuh.
Tidak ada korban jiwa, meskipun ambulans cepat datang. Pertunjukan bubar
begitu saja. Pagi harinya koran-koran ramai memberitakan. Panitia menuding
pemborong, pemborong mengelak dengan mengatakan pasti ada sabotase.
Dalam sebuah rapat, aparat keamanan (tentara dan polisi) mensinyalir
perpecahan di tubuh Partai Randulah penyebab dari runtuhnya panggung.
Ketua Partai menyatakan bahwa partainya solid, dan dalih perpecahan itu
mengada-ada. "Bukan perpecahan, tapi perbedaan pendapat. Dalam
demokrasi yang sehat, perbedaan pendapat itu biasa." Ketua Partai sempat
menyitir Nabi yang mengatakan bahwa perbedaan pendapat adalah rahmat.
Memang dalam kepemimpinan Partai Randu timbul dua pendapat
mengenai sikap Partai terhadap ekstrem kanan dan Golput. Surat Ketua Partai
Randu di perkampungan nelayan itu menjadi sebab perpecahan. Garis keras,
tidak ada kompromi dengan penjegal pembangunan. Garis moderat, perlu
toleransi, kekerasan menambah musuh. Menurut bisik-bisik yang sampai ke
polisi, ada persaingan keras dalam kepemimpinan Partai. Namun harus ada
yang disalahkan. Ketua Partai Randu berkesimpulan bahwa pertunjukan hanya
mungkin dikacau ekstrem kanan dan Golput. Maka Partai Randu memprotes
lambatnya penanganan kasus pertunjukan itu lewat surat kepada Bupati,
sebagai Kepala Daerah dan Pembina Partai Randu.
"Sudah jelas, orang-orang ekstrem kanan dan Golput yang mengacau
pertunjukan. Kami punya buktinya." Ia menyertakan fotokopi dari selebaranselebaran itu.
"Jangan menanggapi surat yang mengada-ada itu, Pak," kata Kepala
Polisi kepada Bupati. "Tapi, fotokopi itu?"
"Itu rekayasa mereka yang Garis Keras."
Setelah dua minggu tidak ada tanggapan, Ketua Partai menemui
langsung Bupati. "Bagaiman dengan surat kami?"
"O, ya. Kami sedang sibuk. Ada penduduk mau bedhol desa
bertransmigrasi. Saya harus datang dan memberi pengarahan. Ada jembatan
selesai dibangun. Saya harus meresmikan. Ada Jambore Nasional Pramuka.
Saya harus menyertai para Gubernur, Menteri, dan Wakil Presiden. Ada "."
Ketua Partai jengkel. Ia ingin Bupati paham betul bahwa Partai Randu
adalah partai pemerintah yang sanggup menentukan siapa duduk di mana.
"Katanya Bapak ingin jadi Wakil Gubernur?"
Bupati paham betul arti ancaman itu, lalu merendah.
"Ya jangan begitu, to Pak. Ini betul-betul, kok. Coba, Pak. Apa yang
tidak saya kerjakan untuk Partai" Suruh bikin edaran ke camat-camat, ke
instansi yang ada, dan ke perusahaan-perusahaan sudah saya kerjakan. Sering,
tanpa tedeng aling-alind di depan publik saya berkampanye untuk partai."
"Tapi itu, Pak. Ekstrem kanan dan Golput itu, bagaimana?"
"Kepala Polisi haqul-yaqin mereka tidak hadir."
"Selebaran-selebaran itu?"
Bupati menahan diri untuk tidak mengatakan Kepala Polisi berpendapat
bahwa itu hanya rekayasa Garis Keras supaya ada tindakan keras terhadap
ekstrem kanan dan Golput. Ia menggelengkan kepala, mengangkat bahu,
memoncongkan bibir. Ketua Partai mengalah, dia diam, pamit ke kamar mandi dengan niat
terus pulang. 2 SEMENTARA itu ada pembakaran terhadap dua kapal pukat harimau di
sebuah pelabuhan, yang sangat jauh. Kepala Polisi Kabupaten mendapat
perintah dari kepolisian propinsi untuk menyelidiki para nelayan di
perkampungan itu. Alasannya, pembakaran selain bermotif ekonomi juga
politik. Polisi menyebar intel. Intel-intel melaporkan bahwa pada hari
pembakaran, nelayan dari perkampungan itu tidak pergi, tidak melaut. Mereka
sedang pergi, seorang warga meninggal.
Kepala Polisi melaporkan hal itu secara langsung ke Semarang. Dengan
halus Kepala Polisi Propinsi menyayangkan bahwa isyarat yang sederhana tak
bisa ditangkap. "Lalu maksudnya apa?"
"Pokoknya tahu sendiri."
"Saya tidak tahu, Pak."
"Begini, lho." Kepala Polisi Propinsi mendekat ke telinga. Dengan bisik-bisik
dikatakannya bahwa nelayan-nelayan dari perkampungan nelayan harus ada
yang ditangkap, setidaknya lima orang.
"Polisi tidak bisa berbuat tanpa bukti."
"Ah, ini perintah atasan."
"Ya, atasan yang ngawur!"
"Sst-sst." "Lalu soal bukti itu?"
"Itu bisa diatur."
Kepala Polisi Kabupaten tetap tidak mengerti. Kepada istrinya
diceritakan perihal peristiwa di Semarang.
"Kalau begini caranya saya bisa stress, Bune."
"Sudah kubilang, kalau beban terlalu berat ya jangan diangkat."
"Bagaimana, ya?"
"Saya jadi isteri pedagang atau petani tak apa. Pekerjaan itu asal halal.
Saya dan anak-anak akan bangga dengan bapaknya."
"Memang, saya sedang berpikir untuk kirim surat pengunduran diri."
"Kalau kirim surat pakai bahasa yang sopan, tidak menyinggung
perasaan." Seminggu kemudian Kepala Polisi Propinsi menerima surat tembusan
tentang pengunduran diri Kepala Polisi Kabupaten. Surat itu sendiri ditujukan
kepada Kepala Polisi Nasional dengan alasan ibunya minta dia menungguinya di
hari tua, sebab dia anak tunggal. Akan tetapi, jawaban dari Jakarta sangat
mengejutkan: Dia dipecat dari kepolisian karena pembangkangan. Tuntutan
hukum akan menyusul. (Tuntutan itu tidak pernah terjadi).
Nelayan-nelayan selamat. Ketika kabar pengunduran diri Kepala Polisi
Kabupaten sampai di perkampungan nelayan itu, mereka merasa kehilangan
pelindung. Sebuah pertemuan veteran telah memperjelas sebab sebenarnya
pengunduran diri itu. Dalam khotbah Jum"at Pak Modin memuji Kepala Polisi
secara umum, "Kadang-kadang orang menjadi korban kebaikannya sendiri."
3 TIDAK disangka-sangka kayu di teluk terbakar. Suatu malam ketika
perahu-perahu nelayan sedang istirahat, dan orang-orang muda tiduran di surau
mereka mendengar seseorang berteriak, "Api! Api!" Mereka bangun,
membawa ember-ember air, menuju tumpukan kayu di teluk. Kayu-kayu itu
tidak pernah menjadi perhatian mereka lagi. Juga perahu-perahu yang
menjemput kayu itu dari sebuah kapal yang berlabuh di lepas pantai, truk-truk
yang mengangkut kayu. "Api!" "Api!" Orang di seluruh perkampungan
terbangun, membawa ember-ember untuk memadamkan api. Lagi ramairamainya bekerja dikejutkan oleh datangnya sebuah truk yang penumpangnya
membawa bedil. Melalui sebuah mikrofon mereka mendengar orang berteriak,
"Jangan dipadamkan!" "Biarkan! Biarkan!" Mereka terus bekerja. Tiba-tiba
terdengar tembakan senjata api. "Hentikan air itu, Saudara-saudara!" Ketika
satu-dua orang masih juga mengambil air laut dengan ember, terdengar letusan
lagi. "Mundur!" Dengan terbengong-bengong tidak mengerti mereka hanya
bisa menonton kayu bertumpuk-tumpuk terbakar. Jadilah orang-orang desa
datang mengelilingi teluk, menonton pertunjukan terbakarnya kayu itu. Api
berkobar-kobar. Truk dengan orang-orang bersenjata itu pergi.
Tak lama kemudian sebuah jip, sebuah truk, dan sebuah tangki dengan
kabel besar, datang. Dengan penerangan api yang menjilat-jilat orang-orang
desa dengan jelas melihat mereka berseragam. Mereka polisi, tentara dan
pemadam kebakaran. Bersenjata bedil. "Tolong, Bapak-bapak, minggir. Api
itu akan dipadamkan," kata seorang lewat mikrofon. Orang-orang tidak
bergerak. Corong mikrofon berbunyi lagi, "Tolong, Bapak-bapak." Orangorang menyingkir memberi tempat penyedot dan penyemprot air. Sementara
itu tangki mendekati kayu-kayu yang terbakar. Air disedot, air disemprotkan.
Tidak lama kemudian api padam. "Terima kasih, Bapak-bapak," kata pengeras
suara, lalu merek pergi. Teluk itu jadi gelap, dan orang-orang kembali tidur.
Keesokan harinya Kepala Dusun perkampungan nelayan mengajak
nelayan yang tak melaut ke kelurahan untuk mendengarkan keterangan resmi
tentang peristiwa terbakarnya kayu.
"Bapak-bapak. Kayu-kayu itu adalah kayu ilegal. Nah, kebakaran itu
disengaja oleh sindikat kayu ilegal yang lain. Persaingan usaha."
"Tanya, Pak." "Ya?" "Bedil mereka dari mana?"
"Itu sedang dalam penyelidikan."
"Kok rambut mereka pendek-pendek?"
"Itu juga sedang diselidiki."
"Ilegal kok sudah beberapa bulan dibiarkan?"
"Itu sedang dalam penyelidikan."
"Aparat terlibat?"
"Itu dalam penyelidikan."
"Pemiliknya siapa, Pak?"
"Itu dalam penyelidikan."
"Ketika TPI dibakar, yang mengganti kok Ketua Partai Randu?"
Secara bersama-sama orang menyahut, "Itu dalam penyelidikan."
Berkali-kali. Ruang pertemuan gaduh. "Ini penerangan atau penggelapan?"
"Gombal!" "Pembodohan!" Juru penerang dan perangkat desa diam-diam
menyelinap keluar, meninggalkan kantor.
Ada kejadian yang sama di tempat lain. Kayu-kayu dibakar, rakyat
berusaha memadamkan, orang-orang bersenjata datang, melarang api
dipadamkan, orang-orang bersenjata pergi, polisi datang dengan mobil
pemadam kebakaran. Ketika berita itu sampai di perkampungan nelayan,
mereka sudah tak peduli lagi. "Itu bukan urusan kami," kata mereka.
4 MEREKA bisa tak peduli dengan urusan kebakaran kayu, tetapi mereka
tidak bisa tak peduli ini. Para nelayan yang melaut dicegat di tengah laut oleh
sebuah kapal motor kecil. Sebuah megafon mengatakan.
"Tunjukkan KTP!"
Perahu-perahu nelayan oleng oleh ombak kapal motor itu. Kapal
merapat. Seorang awak kapal meloncat ke perahu. Orang-orang di kapal tidak
berseragam. Ketika para nelayan tak bergerak, tapi hanya terheran-heran atas


Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejadian yang belum pernah mereka alami, bedil ditodongkan dari kapal.
"Ayo cepat! KTP atau pecah kepala kalian!"
Mereka yang kebetulan membawa KTP segera menunjukkan. KTP-KTP
diperiksa. Mereka yang tidak membawa KTP diharuskan naik kapal motor untuk
interogasi. Wasripin yang melaut bersama para nelayan ikut naik. Mereka
dikembalikan setelah jelas bahwa mereka benar-benar dari kampung nelayan.
Kecuali Wasripin yang tidak ber-KTP, bukan penduduk perkampungan nelayan,
dan mengaku sebagai Satpam TPI.
Mereka yang kembali ke perahu melapor kawan-kawannya, "Wasripin
dibawa!" "Mereka bukan polisi!"
"Di sana ada orang yang datang dengan truk malam itu!"
"Entah, siapa yang mereka cari."
Seorang mengatakan, "Kata mereka, mereka sedang mencari kaki-tangan
setan gundul." Tidak lama kemudian datang kapal-motor yang jauh lebih besar. Orangorang berseragam. Mereka juga menghentikan perahu-perahu. Sama seperti
orang-orang tak berseragam, dengan megafon mereka menyuruh orang-orang di
perahu menunjukkan KTP. "Maaf, Bapak-bapak. Kami sedang patroli. Tolong, tunjukkan KTP."
Seorang turun dengan tangga tali besar. Mereka yang punya KTP
memperlihatkan, mereka yang tak punya siap untuk naik kapal, dan
diinterogasi. "Semua orang perkampungan itu?"
"Ya, Pak." "Selamat bekerja!"
Kapal motor menjauh. Meninggalkan para nelayan yang berteriak-teriak,
"Tolong Wasripin! Tolong Wasripin!"
Sampai di darat TPI memutuskan untuk menghadap Kepala Polisi
Kabupaten, melaporkan tentang Wasripin, dan menyampaikan pernyataan sikap
keberatan atas gangguan terhadap ketenangan kerja.
"Maaf, Bapak-bapak. Urusan kami adalah ketertiban di darat. Tapi soal
nasib kawan dan pernyataan sikap itu akan kami sampaikan."
Polisi laut betul-betul berhenti menangkap perahu nelayan. Mungkin
atas usulan para nelayan, mungkin atas perintah atasan.
Kabar tentang hilangnya Wasripin segera menyebar di perkampungan
nelayan. Juga orang-orang pasar. Pada Hari Pasar Satinah yang mendengar
nasib Wasripin mengurungkan niatnya untuk menyanyi. Bergegas pulang.
Sampai di rumah segera ia menangis di kamarnya.
Pamannya menghibur, "Saya sudah menanyakan pada Yang Di Atas,
Wasripin tidak apa-apa."
"Ah, Pak Lik ini kok menghibur melulu. Jelas dia dibawa geng!"
"Habis, kita mau apa?"
"Ya, usaha!" "Kita orang kecil hanya bisa berdoa."
5 WASRIPIN ada di atas kapal motor.
"Tidak punya KTP?"
"Tertinggal di Jakarta."
"Sudah lama jadi nelayan?"
"Saya bukan nelayan, tapi Satpam. Melaut hanya hobi."
"Kamu kelompok Marta, ya?"
"Bukan, saya kelompok Pak Modin."
"Dimana markas mereka?"
"Di surau." Mereka berkesimpulan bahwa mereka salah tangkap. Mereka juga tidak
tahu apa yang harus dikerjakan dengan tawanan itu. Mau disakiti, tidak ada
gunanya. "Lemparkan ke laut."
"Jangan, menambah musuh saja."
Jadi, tidak seperti yang dicemaskan para nelayan dan Satinah, nasibnya
malah sebaliknya. Sebabnya, demikian. Pimpinan geng mengerang-ngerang
kesakitan. Dia, yang dianggap paling jagoan,ternyata sekujur tubuhnya terasa
sakit. Mungkin sakit-sakit akibat dipukuli dalam perkelahian dengan geng lain
kumat lagi, mungkin jantungnya kambuh, mungkin pula tekanan darah terlalu
tinggi. Ia mengumpulkan anak buahnya,
"Saya tidak tahan lagi, tolong isteri dan anak-anakku dirawat," katanya.
Anak buahnya bingung, tak ada dokter, tak ada tukang pijit. Mau ke
darat, itu wilayah geng lain.
"Boleh saya memijit?"
Orang-or ang di atas kapal motor hanya bisa mengangguk. Wasripin
memijit-mijit. Kepala geng tertidur mengorok, siang-siang, di atas kapal,
dalam keadaan siaga penuh.
"Kau bisa memijit!"
Bergiliran mereka minta dipijit. Setiap orang akan bilang, "Kau betulbetul lihai."
Sejak itu mereka memperlakukannya dengan baik, berbagi kotak
makanan, Coca-Cola, sarden, dan kue-kue.
Mereka mendarat di suatu pantai, lalu berjalan.
"Tugasku sudah selesai?"
"Belum. Kami akan mengantarmu ke Bos."
"Bos suka pusing-pusing." Mereka menyebut namanya.
"Ke mana kita?"
"Ke desa. Sudah itu nasibmu terserah Bos."
Tanpa curiga, mereka juga menyebut nama desa.
Ketika melewati kebun tebu, tiba-tiba mereka disergap.
"Dor! Dor! Angkat tangan!"
Mereka lari pontang-panting. Dari kejauhan mereka membalas
menembak. Wasripin baru sekali itu mendengar suara tembakan. Ia tengkurap
di tanah, badannya berkeringat dingin.
Perhatian mereka tertuju pada Wasripin.
"Angkat tangan!"
Dengan gemetaran Wasripin berdiri dan mengangkat tangan. Sementara
itu orang-orang di kapal sudah lari.
Ia dibawa ke suatu tempat dengan mata tertutup, yang ternyata markas
mereka. Markas mereka ialah rumah berpagar tembok tinggi.
Seseorang memukul kepalanya,
"Begitulah hukumannya jika kau bohong. Nama?"
"Pekerjaan?" "Satpam." "Bohong!" Sebuah tinju bersarang di kepalanya.
"Jadi, apa pekerjaanmu?"
"Satpam." Sebuah tinju lagi. "Pekerjaan sampingan?"
"Tidak Ada." Sebuah tinju lagi. "Jangan mukul lagi, Pak. Nanti Bapak menyesal."
Orang-orang tertawa. Mereka memukul dan menendang keras-keras.
Tapi di luar dugaan tangan dan kaki mereka seolah menyentuh patung
perunggu. Mereka berteriak-teriak kesakitan.
"Terima kasih, Bapak-bapak."
Wasripin keluar dari markas, sementara mereka masih mengaduhmengaduh memegangi tangan dan kaki.
6 TEMPAT pertama yang disinggahi Wasripin ialah rumah sewa Satinah.
Ketika Satinah melihatnya, ia ternganga dan menyeka matanya berkali-kali.
"Benar, kok. Ini Wasripin. Bukan setan, bukan hantu, bukan
nyawanya." Mereka berpelukan, lalu pelan-pelan Wasripin mundur.
"Maaf, maaf," katanya.
"Tidak apa, minta maaf segala."
"Begitu saja terjadi, tanpa dipikir."
"Apa perlu dipikir?"
Mereka berdiri terhenyak, mengenang pelukan itu.
"Oh, duduk. Sampai lupa mempersilakan."
Wasripin duduk. Satinah ke dalam.
"Pak Lik, tebak siapa yang datang?"
"Siapa?" "Wasripin, eh, Kang Wasripin. Kau benar."
"Sudah kubilang. Orang itu tak perlu susah atau gembira. Segalanya
ketentuan Yang Di Atas."
Paman keluar menemui Wasripin, sebentar kemudian Satinah keluar
dengan teh dan kaleng biskuit.
"Eh, tadi makan belum?" Wasripin menggeleng.
Tempat kedua yang disinggahi Wasripin ialah surau. Segera ia bergabung
dengan jamaah Maghrib. Mereka semua senang melihat Wasripin kembali. Pak
Modin mengajak semua sujud syukur, Wasripin telah selamat dari musibah.
Kata Pak Modin, "Itu bukan musibah. Tapi rahmat."
7 ORANG-orang di perkampungan nelayan sudah membaca berita bahwa
sipil bersenjata (yang malam itu datang) ternyata adalah tentara sewaan.
Mereka sudah dilucuti dan sedang dihadapkan Pengadilan Militer. Selain itu,
juga dimuat dalam koran tentang hadiah berupa uang beserta sertifikat
penghargaan yang akan diberikan langsung oleh Kapolri Propinsi kepada siapa
saja yang dapat memberi informasi mengenai dua geng kayu ilegal itu. Polisi
berjanji untuk menyembunyikan nama informannya. Kabarnya, banyak yang
memberi informasi tapi selalu saja tidak akurat.
Maka kawan-kawannya mendorong Wasripin untuk memberi informasi.
Pergilah Wasripin ke polisi. Dan, betul dia pergi ke polisi. Dua hari kemudian
polisi berhasil menangkap semua anggota geng dari kedua kelompok. Kecuali,
para bosnya yang sempat kabur dan masuk dalam daftar DPO (Daftar Pencarian
Orang). Namun, uang tak pernah diberikan, dan upacara pemberian
penghargaan tak pernah ada. Para nelayan datang ke Markas Polisi Kabupaten,
tetapi mereka ditolak karena Kepala Polisi sibuk. Mereka datang lagi, gagal
lagi. Mereka kembali lagi ke Markas, Kepala Polisi sibuk lagi. Mereka putus
asa. Akhirnya datang ke kantor kecamatan untuk mendesak Camat
menanyakan penghargaan itu. Camat pergi ke Markas Polisi. "Sebenarnya
kami malu pada masyarakat kami malu pada masyarakat. Ada perintah dari
atas supaya penghargaan tak diberikan. Begini saja, Pak. Katakan bahwa
penghargaan diberikan nanti kalau para bos sudah tertangkap." Camat
menyampaikan persis seperti dipesan Kepala Polisi. Sehari kemudian suratsurat kabar memuat tertangkapnya dua bos kayu ilegal. Para nelayan berharap
bahwa penghargaan segera turun. Tetapi tidak juga.
"Tidak ada penghargaan tak apalah," kata Wasripin.
"Bukan untuk kamu, tetapi untuk kami."
Mereka memutuskan untuk mendatangi lagi Markas Polisi. Kepala Polisi
kepergok. Ketika mobilnya dibuka ajudan, para nelayan mendekat dan
menyampaikan maksud kedatangan mereka.
"Bapak-bapak ini bagaimana. Wasripin saja tidak peduli kok malah
kawan-kawannya yang ribut. Yang berjasa Wasripin mestinya dia yang
menuntut." "Kami masih orang timur, Pak. Wasripin tidak akan datang minta
penghargaan." "Jadi jelas, kan. Tidak ada persoalan. Selamat siang."
Kepala Polisi meninggalkan mereka. Masuk dalam gedung.
Mereka kembali sangat kecewa. Mereka terus saja di Markas. Mereka
berteriak-teriak. "Pak Polisi,mana tanda jasanya?"
"Mana penghargaan?"
"Rakyat berjasa tak dihargai!"
"Penggede korupsi malah jadi pahlawan!"
"Ini demokrasi Pancasila. Yang gedhe diemuk-emuk, yang kecil
dikerasi!" (Diemuk-emuk artinya dibuat enak).
Entah dari mana datangnya, tiga anjing besar dengan mulut ternganga
menyerbu para nelayan yang berdiri di halaman Markas. Para nelayan
berhamburan keluar gedung.
8 KETUA Partai Randu desa yang meliputi perkampungan nelayan pagi-pagi
sekali menemui Wasripin. "Ini rahasia. Saya dapat bocoran informasi.
Penghargaan itu tidak akan diberikan. Pusat yang melarangnya, alasannya
macam-macam yang anehlah. Di antaranya, KTP tidak ada. Jadi kau penduduk
gelap. Kau dituduh PKI atau DI/TII. Maka saya kira KTP itu perlu segera
dibuat. Saya akan mengusahakan secepatnya. Tapi perlu beberapa
keterangan. Tanggal lahir?"
"Ya, kira-kira dua puluh tiga tahunan yang lalu."
"Bagaimana kalau tanggal lahir 2 Januari?"
"Ya, Pak." "Jadi tanggal lahir kita sama. Nama ibumu?"
"Tidak tahu." "Bagaimana kalau Amanah?"
"Setuju." "Jadi nama ibu kita sama. Ayah?"
"Juga tidak tahu."
"Bagaimana kalau Mukmin?"
"Setuju." "Jadi nama ayah kita sama. Kita kakak-beradik."
"Ya, kita semua bersaudara, Pak."
Ketua Partai Randu pamit. Dari jauh dikatakannya, "Jangan lupa kita
bersaudara." Lalu dikatakannya pelan, ditiup angin. "Kemudian kita
membangun sekat-sekat."
SEBELAS 1 SIANG Hari Pasar itu Wasripin dengan sebuah kail pergi ke teluk. Sekali
itu ia sempat melayangkan mata ke sekitar. Ia mengikat kailnya. "Sedang apa
kau?" tanya seorang nelayan yang sedang memperbaiki jaring-jaringnya.
"Memancing," jawab Wasripin. "Gila! Tidak akan ada ikan di situ." "Tidak
dapat, ya tak apa." Kemudian Wasripin yang berbaju ungu duduk dalam lingkaran bersama
orang-orang lain yang ingin mendengar Satinah menyanyi. Paman bermain
kecapi sebagai pembuka. Satinah mulai dengan mengajak semua menyanyi.
Dan bertepuk tangan. Lalu nyanyian yang lain-lain. Setelah selesai, katanya,
"Saya akan menyanyikan "Dandanggula Tanah Merindukan Hujan". Kalau jelek,
jangan ditertawakan. Yang penting tembang ini jujur. Nyanyian yang saya
gubah sendiri ini ditujukan untuk seseorang. Mulai, ya?"
Dhuh gusti, ra udan puniki
lemah-lemah selak pada bengkah
grimis we mendah senenge (Aduh Tuhan, hujan tidak datang
tanah-tanah sudah tidak tahan
gerimis saja betapa senang)
"Tidak mengharap banyak, gerimis saja sudah senang,kok," kata
Satinah. Mengko neka keduwung yen ana singa andhisiki nyiram banyu tawa wong selak pikun (nanti kalau menyesal jika ada yang mendahului menyiram air tawar sebab keburu pikun) "Ya ketimbang tidak, to?"
aywa suwe-suwe to anggonmu mikir kuwi wong butuh tenan kakang (jangan terlalu lama kau memikirkan soalnya saya membutuhkan, kakang)
"Butuh apa, nggak tahu, hayo."
"Lagi!" "Lagi!" Satinah menyanyikan tembang itu lagi.
"Sekarang lagunya bernama, "Syair dan Pantun Bulan Merindukan


Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pungguk"." "Kebalik!" "Memang nyatanya kebalik, kok!" kata Satinah.
Bulan pucat pasi menanti pungguk bernyanyi
bulan menangis matanya sembab hatinya teriris
kabutkah yang menutupi sampai wajahnya tersembunyi
rasanya panas matahari selalu siang tak pernah pagi
buah pace buah mengkudu rasanya muak baunya tak enak
siapa dia berbaju ungu lha kok selalu mengelak kelapa muda segar minumnya
tapi pemanjat takut memetik
bulan sudah bersedia pungguk yang takut bernyanyi
"Ayo, sebut saja!"
"Siapa pungguk, siapa bulan!"
"Jangan-jangan dia!"
"Sekarang tembangnya bernama "Keroncong Bunga Merindukan
Kumbang". Oke?" kata Satinah.
Lama sekali bunga bergoyang, sayang
ke kanan dan ke kiri meliuk-liuk bertahan dari angin
tapi kumbang yang dinanti-nanti
tak kunjung datan, ooo entah sampai kapan, sayang
bunga bisa tinggal di taman
jangan-jangan malah dipetik orang, ooo
lama sekali bunga bergoyang, sayang
ke kanan dan ke kiri meliuk-liuk bertahan dari angin
tapi kumbang yang dinanti-nanti
tak kunjung datang, ooo entah sampai kapan, sayang
bunga bisa tinggal di taman
jangan-jangan malah dipetik orang, ooo
"Sekarang "Dangdut Sungai Merindukan Air". Kalian semua bisa
berjoget." Ada sungai di negeri Antah-Berantah
kering-kerontang, batu lumut dan lumpur di permukaan
ooo menyedihkan sekali air mati tidak mengalir ataukah airnya pergi ke tempat lain
ooo menyedihkan sekali ada sungai di negeri antah-berantah
kering-kerontang, batu lumut dan lumpur di permukaan
ooo menyedihkan sekali tidak ada mendung tidak ada angin
tidak ada guntur tidak ada hujan
ooo menyedihkan sekali ada sungai di negeri antah-berantah
kering-kerontang, batu lumut dan lumpur di permukaan
ooo menyedihkan sekali jangan-jangan ada air dari tempat lain mengalir
ooo menyedihkan sekali Wasripin tak kelihatan, sementara orang berjoget. Juga ketika mereka
berhenti berjoget. Juga ketika Satinah mulai lagi.
Suwe ora jamu jamu tolak angin suwe ra ketemu temu pisan karo a-i-in "Saribin!" "Thoyibin!" "Gholibin!" "Tholibin!" "Aripin!" "Bukan," kata Satinah.
Suwe ora jamu jamu masuk angin suwe ra ketemu temu pisan karo a-i-in "Masuk angin!" "Ih-u!" Wasripin datang dengan seekor ikan di dalam tas plastik transparan. Ia
berdiri-diri di tepi. Orang mendorongnya ke tengah. Ia berdiri kaku, tak tahu
yang harus dikerjakan. "Serahkan ikan itu!" kata orang banyak
Suwe ora jamu Jamu godhong ringin Suwe ra ketemu Temu pisan karo a-i-in "Wasripin! Siapa lagi."
Mereka bertepuk dan berteriak-teriak.
"Maju!" "Maju terus! Pantang mundur!"
Wasripin maju dan menyerahkan ikan.
"Bilang! I love you!" kata orang bayak.
"Untuk apa!" kata orang lagi.
"Lamaran!" kata Wasripin.
"Diterima nggak, kawan-kawan?" Satinah.
"Terima! Terima!"
"Ya, saya menerima," kata Satinah.
Orang-orang bertepuk tangan.
Jenang selo wader kalen Apuranto yen wonten lepat kawulo
Kerumunan itu bubar. Satinah dan Wasripin ke paman.
"Ada apa, Nduk. Kok rame-rame?"
"Ini. Kang Wasripin itu memancing, dapat ikan besar sekali."
"Nanti malam kita pesta?"
"Tentu saja, Pak Lik. Kang Wasripin, ajaklah teman barang lima orang."
2 DI perkampungan nelayan kemudian beredar berita bahwa malaikat telah
menggiring seekor ikan besar ke kail Wasripin. Pengalaman Wasripin dengan
memancing di teluk itu mengilhaminya untuk memanfaatkan teluk sebaikbaiknya. Ia tahu. Orang juga bisa beternak ikan dengan tambak, dan di sungai
sistem karamba. Selain itu, ia akan menjadikan teluk itu sebuah "Wisata Air".
Dengan tambak: jika para lelaki harus melaut supaya dapat ikan, sedangkan
para perempuan bisa mendapat ikan tanpa melaut. Kalau sedang tidak musim
ikan, para nelayan tetap mendapatkannya. Dengan "Wisata Air" dapat
memberi banyak pekerjaan baru. Tukang perahu, penjual ikan segar, penitipan
sepeda/sepeda motor, dan banyak lagi. Cerita yang beredar bahwa malaikat
telah menolongnya, memuluskan jalan ketika ia mengusulkan tambak dan
"Wisata Air" pada suatu rapat koperasi. Kemudian seperti disulap akan terlihat
orang sibuk membuat empang di sekitar teluk dan di pantai, serta karamba di
sungai. 3 KEDATANGAN Wasripin dan kawan-kawannya malam itu memperjelas
lamaran Wasripin dan berhasil menetapkan tanggal perkawinan. Paman
Satinah nampak gembira ketika mendengar lamaran dan ikut merencanakan
tanggal perkawinan. "Hari Senin Pon Bulan Mulud Tahun Dal!" katanya. "Hari
Senin Pon Bulan Mulud itu kelahiran Kanjeng Nabi, Tahun Dal itu artinya dadi
(jadi)." Sudah ditetapkan bahwa Satinah akan datang naik andong diantar
beberapa tetangga pada pukul 07.00. Wasripin sudah menunggu di surau.
Pejabat KUA akan datang untuk mencatat. Pak Modin akan menjadi wali,
menikahkan mereka, dan mengucapkan khotbah nikah. Malam harinya akan
ada walimahan. Orang akan membangun tenda di depan surau. Wasripin
mengatakan bahwa ia akan mengundang emak angkatnya yang di Jakarta.
Dikatakannya pula perasaannya bahwa pasti ada hubungan antara paman dan
Satinah dengan emak angkatnya.
Kebahagiaan Satinah berlipat ganda malam itu, karena pamannya begitu
bersemangat. Baginya itu suatu tanda baik bahwa pamannya sudah melupakan
janjinya untuk mengantarnya hanya sampai ia dilamar orang. "Jangan lupa
mengatakan ketika kau menerima lamaran," kata pamannya entah berapa kali
setiap ia tahu ada laki-laki mendekat.
4 PAK Modin mengundang dua adiknya dan dua orang anak-anak tunggal
adik-adiknya. Seperti diketahui, ia suka serba resmi dan serba nasehat. Bila
adik-adik dan para keponakan datang pada Hari Raya, pasti doa dan nasehatnya
panjang, mirip ceramah. Maka, mereka tidak terkejut ketika mereka
mendapat undangan. Tidak ada yang aneh, hanya yang agak luar biasa adalah
soal waktu, sepertinya tidak ada alasan.
Kata Pak Modin memulai, "Bersyukurlah banyak-banyak, karena kedua
orangtua kalian jelas. Bagaimana andaikata kalian lahir ke dunia tapi tidak
tahu siapa bapak dan siapa ibu, nama mereka, dan alamat mereka tidak jelas.
Juga tidak ada kekayaan apa pun diwariskan. Nah, kalian kami undang kemari,
pertama-tama, untuk bersama bersyukur, sebab siapa yang pandai mensyukuri
nikmat, Tuhan akan menambah kenikmatan itu. Kedua, untuk memberitahukan
kesepakatan kami berdua. Seperti diketahui karena kebijaksanaan Allah kami
tidak mempunyai keturunan. Maka kami bermaksud untuk memberikan
kekayaan kami pada keponakan-keponakan dan kepada orang di luar keluarga
yang membutuhkan. Kalian masing-masing akan dapat satu hektar sawah kami,
dan rumah ini akan saya berikan kepada Wasripin, yatim piatu itu yang jadi
merbot surau itu. Saya akan mengurusnya ke kelurahan dan ke agraria."
Pak Modin menemui Wasripin sesudah Isya".
"Begini, Nak. Maksud kami, saya dan ibunya, akan minta supaya sesudah
pernikahan nanti kalian berdua sudi tinggal di rumah kami seadanya. Jangan
dipikirkan yang lain-lain, pokoknya semua beres. Mengapur, membuat sekatsekat, dan dipan semua dikerjakan anak surau."
"Wah, saya merepotkan saja. Sudah terlalu banyak yang saya minta dari
Pak Modin dan teman-teman di surau. Kata emak angkat saya ini namanya
karoban kebaikan." "Jangan bilang begitu. Tidak apa-apa. Begitulah adat kami di sini."
"Ya, Pak. Malah saya mau bilang, kalau emak saya datang dari Jakarta,
boleh numpang di rumah?"
"Itu rumahmu, Wasripin. Jadi biarlah emakmu tinggal bersama kita."
"Terima kasih."
Pak Modin tidak mengatakan kalau Wasripin akan jadi pemilik rumah itu,
sertifikat tanah itu akan jadi hadiah perkawinan.
5 KEPALA TPI mengundang Wasripin ke kamarnya. Katanya, "Akhir bulan
ini saya akan BT, kemudian pensiun.
Saya akan mengusulkan supaya engkau jadi pengganti saya."
"Jangan, Pak. Saya akan jualan ketoprak."
"Apa sudah dipikir?"
"Jadi pegawai bukan potongan saya. Satpam saja sering saya tinggal
melaut. Kabarnya orangtua saya dulu ke Jakarta karena ingin mengembara."
"Apa kau juga ingin mengembara?"
"Bukan begitu, Pak. Ini soal bisnis. Saya akan jualan ketoprak di sini,
sementara itu orang-orang lain saya ajari dan membuka warung ketoprak di
tempat-tempat lain."
"Ya, sudah. Saya sendiri akan membuka bengkel sepeda motor."
6 KETUA Partai Randu menemui Wasripin. Katanya, "Wah, Dik." (Ia sudah
memanggil "dik" Wasripin). "Celaka. Bagian intelijen partai (disebut
Departemen Khusus) mendapat kabar bahwa para dukun santet akan balas
dendam. Dan orang yang dituju mereka sebut dukun dari perkampungan
nelayan. Saya juga heran kok kita yang jadi sasaran, padahal pengadilan saja
sudah menyatakan tak terlibat. Ada saja orang yang cari gara-gara ketika
semua sudah beres. Kampanye aman, tak ada kerusuhan, tak ada
perkelahian." "Ya, begitulah orang."
"Apa tidak lebih baik kita mendahului daripada keduluan?"
"Tidak." Ketua Partai Randu gelisah. Ia ingin mencari siapa biang kerok dari
semuanya itu. Ia bergerak cepat. Setelah dicermati dalam waktu 24 jam ia
peroleh namanya. Kebetulan orang itu anggota partai. Mudah saja baginya
mencari foto, dan alamat. Ia kenal betul pemegang daftar anggota.
Ia kembali menemui Wasripin dengan nama, foto, alamat, dan denah
rumahnya. Ia mengusulkan agar orang itu disantet atau "apa begitu",
pokoknya mendahului. "Wah, tidak ada ilmu saya."
"Apa serahkan saja kepada saya?"
"Tidak, Pak. Kita tawakal saja."
"Menyerah sebelum bertanding?"
"Habis, bagaimana lagi. Saya tak akan bertanding."
Malam harinya perkampungan nelayan itu geger. Seseorang melihat
dengan jelas cahaya-cahaya merah bersliweran di atas surau. Ia berteriak
keras, "Bintang akan jatuh! Bintang akan jatuh!" Orang-orang keluar untuk
melihat bintang jatuh. Mereka juga melihat ada bara-bara api berputar-putar
di atas surau. Orang-orang berkerumun. Ada Wasripin dalam kerumunan itu.
Tiba-tiba Ketua Partai Randu datang, langsung menemui Wasripin. "Berbuatlah
sesuatu! Hentikan cahaya-cahaya merah itu!" katanya, menggoyang-goyang
tubuh Wasripin. "Tidak, Pak. Tidak apa-apa. Kita perlu hiburan." Untuk
beberapa waktu cahaya-cahaya itu bersliweran. Kemudian sepertinya tertiup
angin, menghilang dari atas suarau.
Setelah cahaya-cahaya pergi Ketua Partai Randu mengatakan kepada
banyak orang, "Cahaya-cahaya itu adalah santet untuk Wasripin. Saya usul
supaya sejak ini kita bergantian mejaganya. Jangan sampai kita lengah. Kalau
ada cahaya, ledakan, atau benda yang mencurigakan beritahu kawan-kawan
nelayan. Kita harus waspada. Mereka akan berbuat lebih kejam lagi."
Sejak itu rumah, pribadi, dan seluruh tingkah Wasripin mendapatkan
pengawalan. Ketika sore Wasripin potong rambut, para pengawal
mengumpulkan rambut dan segera memendamnya dalam tanah. Jemuran
pakaian Wasripin juga dijaga. Makan Wasripin lebih dulu dicicipi.
Malam hari Wasripin dinas jaga di TPI. Enam orang nelayan yang sedang
bertugas menjaga Wasripin ikut jadi penjaga malam. Malam itu tiga orang
datang menemui Wasripin. Mereka mengaku utusan dari tiga orang dukun.
Mereka datang untuk minta maaf dan obat. Ternyata, santet yang mereka
lempar untuk Wasripin kembali dan berbalik mengenai mereka. Kalau tidak
diberi obat, mereka akan mati dalam tiga hari. "Saya akan mengunjungi
mereka," kata Wasripin. "Jangan,ini jebakan," kawan-kawannya keberatan.
"Tidak, mereka tidak bohong. Adalah hak yang sakit untuk dikunjungi yang
sehat." Kawan-kawannya, "Kami akan mengawalmu."
Pagi harinya, ketika Wasripin akan berangkat, 25-an orang mengantarnya
dengan sepeda motor. Di jalan waktu ketemu iring-iringan Partai Randu atau
Partai Langit mereka saling bertukar acungan jempol. Orang-orang menyisih
memberi jalan, "Ini partai apa, kok tidak pakai bendera?"
Melihat orang yang datang masih muda-muda, seorang dukun sambil
memegangi kepala yang sakit kemasukan paku-paku bertanya, "Mana Bapak
Wasripin, saya mau minta maaf." Ketika seorang muridnya menunjuk Wasripin
sambil mengatakan bahwa sebaiknya ia memanggil dengan "nak", dukun itu
terkejut. Ia melihat Wasripin yang masih bocah. "O, tidak. Aku lebih baik
mati daripada minta maaf!" katanya melengos. Isterinya menyabarkan,
"Sabar, Pak-e, sabar." Kepada Wasripin ia berkata, "Maafkan, Nak. Begitulah
watak suami saya." "Tidak apa-apa, Bu. Boleh saya memegang kakinya?"
Wanita itu mempersilakan. Kemudian Wasripin memberi sebotol Aqua, dan
minta pamit.

Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dukun lain juga terkejut dengan kemudaan Wasripin. Mereka tidak
percaya bahwa orang yang akan dibunuhnya patut jadi cucunya. Mula-mula,
demi kehormatan, mereka tidak percaya bahwa orang semuda itu dapat
membuat santetnya membalik. Bahkan, akan mengobati. Seperti dukun
pertama, juga para isteri berperan untuk menyabarkan dan menyadarkan.
Setelah mereka mendapat cerita bahwa Nabi Hidhir-lah yang
mengajarkan ilmu padanya, mereka percaya keampuhan dukun muda itu, dan
ingin berguru padanya. Bahkan anak-anak bisa melampaui orang tua bila
mendapat wahyu. Maka, keesokan harinya mereka bersama para cantrik ingin
menemui Wasripin. Tidak mudah, sebab para nelayan masih bergantian
menjaga. Setelah mereka mengutarakan maksud, Wasripin diundang. "Wah,
bukan potongan saya menjadi guru." Lalu ia merujuk ke Pak Modin.
Pak Modin berceramah, "Berjalan di atas air" Tidak aneh. Katak yang
hina itu pun bisa. Melayang-layang di udara" Tidak aneh.
Gagak pemakan bangkai pun bisa. Dapat memasukkan batu di kepala
orang" Tidak aneh. Iblis yang terkutuk pun bisa mengerjakan. Manusia itu
lebih mulia daripada katak, burung, dan iblis. Bahkan, ia sebenarnya lebih
mulia daripada malaikat. Terserahlah, mau jadi mulia, hina, atau hina-dina.
Sebelum belajar ilmu yang lurus, ilmu yang tidak mendatangkan manfaat bagi
orang lain, malah selalu merugikan orang harus dilepas dulu. Kata Nabi,
"semulia-mulianya orang ialah yang paling bermanfaat bagi orang lain". Itu
syaratnya. Kalian saya beri waktu dua hari untuk berpikir. Sudah itu
kembalilah yang ingin kembali ke jalan yang lurus."
7 HARI Pasar. Sesudah paman main siter, sesudah semuanya selesai. Kata
Satinah, "Maaf, dengan sangat menyesal harus diumumkan bahwa saya ingin
berhenti menyanyi," Gumam panjang dari orang dalam lingkaran menunjukkan
kekecewaan. "Belum selesai. Kalau saya nanti sudah jadi Nyonya Wasripin,
akan tinggal di sini dan membentuk kelompok karawitan, keroncong, atau
dangdut. Pilih mana?"
"Karawitan?" "Tidak!" "Keroncong?" "Tidak!" "Dangdut?" "Yaaa!" "Dangdut, dados."
Kata Satinah lagi, "Karena Pak Lik juga akan meninggalkan kalian, ia
sudah menggubah lagu "Maskumambang Selamat Berpisah" dan "Megatruh
Selamat Tinggal". "Maskumambang" artinya emas yang mengapung di air,
sebuah keajaiban, dan "Megatruh" artinya pisahnya roh dari badan, tanda
bahwa perpisahan ini ibarat kematian. Silakan, Pak Lik." Satinah memasukkan
kaset, merekam tembang pamannya.
Paman mulai dengan siternya disambung seruling. Permainan seruling
itu mendayu-dayu, mengiris-iris hati, membuat para nelayan yang tiap hari
menghadapi gempuran ombak itu termenung. Ketika seruling memainkan
"Megatruh Selamat Tinggal" mereka membayangkan kegagalan, keputusasaan,
dan kematian. Sebagian orang mulai berdiri, meninggalkan lingkaran. "Kami
datang untuk bersenang-sengang, bukan untuk bersedih-sedih," pikir mereka
sambil meninggalkan tempat itu.
"Pak Lik, penonton semakin menipis."
"Sekali ini jangan larang saya main. Sesuka saya."
Satinah semakin gelisah. Penonton tinggal anak-anak sekolah.
"Pak Lik, tidak ada lagi penonton."
"Saya tidak bermain untuk penonton."
Dia tahu pamannya tidak lagi dapat diberi tahu, lalu diam. Menanti
sampai pamannya berhenti.
Di bawah pohon, di lapangan, di pasar tidak ada lagi orang. Wasripin
datang dengan seragam Satpam, menolong Satinah membungkus pengeras
suara. 8 SEBUAH panitia walimahan sudah dibentuk. Para nelayan patungan
menanggung biaya. Orang tahu bahwa surau akan punya hajatan. Beras,
ketan, gula, kopi, dan teh. Panitia juga mencatat siapa akan menyumbang
apa. Sumbangan berupa daging, ikan segar, dan sayur akan diserahkan sehari
sebelum walimahan. Tenda akan dipasang sehari sebelum pernikahan.
Anak-anak yang mengaji di surau belajar shalawatan bersama dua orang
gadis nelayan. Orang-orang laki-laki dewasa mengiringi dengan menabuh
rebana. Di surau sudah tersedia topi-topi lancip berwarna merah untuk dipakai
anak-anak yang akan berseragam putih. Di emper mereka diajari meliukkan
badan dan leher, melambaikan tangan. "Shalawaat Badriyyah!" perintah gadis
nelayan pengajar menyanyi.
shalluu "alaih! (seorang pemain rebana berteriak, rebana mulai ditabuh).
shalaatullah salaamullah "alaa thaahaa rasuulillah
shalaatullah salaamullah "alaa yaasiin habibillah
"Lagi, lagi!" tawassalnaa bibismillah wa bilhadii rasuulilah wa kulli mujahidilillah wa biahli badri yaa Allah
"Lagi, lagi!" ilaahii sallimil ummah minal afaati wanniqmah wa min hummi wa min hummah
bi ahlil badri ya Allah "Lagi, lagi!" Orang akan memasang tenda siang hari, sedangkan pernikahan
berlangsung besok pagi-pagi. Listrik sudah diurus ke PLN. Surau akan punya
kerja! Para nelayan ingin membuat pasangan Wasripin dan Satinah berbahagia
di hari pernikahan. Mereka berdua adalah anak-anak yatim piatu yang
kesejahteraannya menjadi tanggungan masyarakat.
Tiga ekor kambing sumbangan masyarakat di luar perkampungan nelayan
ditambatkan di pohon jeruk di samping surau. Orang sudah memesan piring,
sendok, dan gelas dari kas desa.
Selesai upacara keduanya akan menetap di rumah Pak Modin, lalu sore
hari sesudah Isya" mereka akan diarak dengan rombongan rebana dan rodat ke
pelaminan di tenda. Penceramah walimahan diambilkan dari luar daerah,
ceramah yang pasti banyak luconnya disela lagu-lagu Islami dalam berbagai
cengkok. Perayaan praktis akan berlangsung selama tiga hari, sebab akan
dilanjutkan dengan perayaan Mauludan berupa pertandingan bola, bola basket,
badminton, dan puncaknya ceramah Maulud.
TIGABELAS 1 KEPALA Polisi Kabupaten duduk saja di kursinya, tak tahu apa yang harus
dikerjakan. Dulu dia dilarang memberi penghargaan apa pun pada Wasripin,
sekarang ia dapat telegram dari Markas Besar untuk mempersiapkan pemberian
bintang jasa "Adhikarta" kepada Wasripin. Tidak percaya, dia menelepon ke
Mabes. Malah, diberitahukan pula bahwa Kapolri sendiri berkenan
menyematkan bintang. Itu perlu, kata Mabes, supaya ada partisipasi
masyarakat dalam menjaga ketertiban dan keamanan. Kapolri akan datang
dengan pesawat lewat Semarang, kemudian dengan rombongan provinsi akan
berkonvoi ke tempat upacara.
Upacara diminta melibatkan masyarakat (sekolah, Hansip, dinas-dinas,
jajaran Pemerintah Daerah, Ormas, Orpol). Mudah saja, mereka sudah terbiasa
dengan upacara-upacara sehingga siapa bertugas apa bukan persoalan.
Undangan segera disebar, termasuk undangan kepada Wasripin.
Polisi Lalu-Lintas sudah diminta merencanakan jalan mana yang akan
ditutup, dan jalur alternatifnya. Gladi resik juga sudah diatur. Konsumsi
berupa air minum dan makanan kecil bisa dikerjakan ibu-ibu polisi.
Pendeknya, semua sudah diatur rapi. Hari Minggu gladi resik, dan hari Senin
pelaksanaannya. 2 KETIKA ada motor polisi datang di perkampungan nelayan itu, orangorang sudah curiga: jangan-jangan Wasripin kena perkara polisi lagi. Tetapi
tidak, dia dapat undangan untuk menerima bintang "Adhikarta" yang akan
disematkan langsung oleh Kapolri. Mereka yang berkerumun bersorak-sorak,
"Hidup hidup, Wasripin!" Siapa menanam, ia mengetam, pikir mereka.
Wasripin jug diberitahu di mana duduk, tempat duduk teman-teman
yang mengantar, dan kapan dia dipanggil maju untuk menerima. Sesudah
upacara Kapolri berkenan omong-omong sebentar dengan Wasripin dan lima
orang teman di pendopo kabupaten.
Undangan itu hanya sedikit mengubah rencana. Sesudah akad nikah
mereka akan datang di stadion, tempat upacara. Mereka bergerombol dan
mencoba menebak-nebak makna dari undangan. Para nelayan menafsirkannya
sebagai "kerjasama penguasa dan masyarakat", "peranserta msyarakat",
"kepercayaan pada masyarakat", dan "ada perubahan di atas sana".
3 SABTU sore paman Satinah mengatakan, "Tinah, kalau ketemu emaknya
Wasripin, bilang saya minta maaf dan kesalahan dia sudah saya maafkan."
"Tidak, Pak Lik akan ketemu dia."
"Ya kalau ya, kalau tidak bagaimana. Umur orang itu sudah ditetapkan,
tidak bisa dimajukan atau diundurkan sesaat pun."
Tidak seperti biasanya, paman mengunci pintu dari dalam. Kemudian
bermain siter dan seruling, "Maskumambang" dan "Megatruh". Itu-itu saja yang
dimainkannya, sampai lewat tengah malam. Satinah mengetuk pintu. "Pak
Lik, sudah malam. Ingat tetangga." Biasanya pamannya menurut, tapi kali ini
tidak. Peringatan itu diulang lagi, tapi pamannya terus saja. Diulang lagi,
terus saja. Satinah gelisah. Ketika siter dan seruling itu akhirnya berhenti,
kegelisahan Satinah meningkat jadi kecurigaan. Tapi dibiarkannya kecurigaan
itu sampai pagi tiba. Pagi itu ia bertambah curiga ketika pamannya belum juga
bangun. Minggu Pahing. Ketika matahari sudah keluar dan pamannya belum
bangun, ia lari ke tetangga, minta supaya pintunya dibuka paksa. Para
tetangga datang dan mendobrak pintu. Di atas dipan pamannya terbujur kaku
dengan wajah tersenyum. "Inna lillahi wa inna ilaihi raaji"uun," kata para
tetangga. "Dia bunuh diri," kata para tetangga berbisik pelan. Tapi, Satinah
mendengar juga. "Tidak, Paman tidak bunuh diri," pikirnya. "Orang-orang
harus dibuat mengerti."
Jenazah dimandikan dan dikafani. Kemudian upacara pemberangkatan
jenazah. Setelah sambutan-sambutan, pembawa acara mengumumkan, "Kalau
ada hutang almarhum belum dibayar, mohon menghubungi ahli waris. Ada?"
Pada waktu itulah Satinah minta gagang mikrofon, "Bapak-bapak, Ibu-ibu.
Paman ingin pamit dengan lagu "Maskumambang" dan "Megatruh". (Lalu
disetelnya kaset). Dan mohon diketahui bahwa Paman tidak pernah bunuh diri.
Ia meninggal karena rohnya meninggalkan badan dan tidak kembali. Ia tidak
bunuh diri, rohnya meninggalkan badan dan tidak kembali "." Ia masih akan
menerangkan bahwa pamannya menguasai kawruh bab pejah, ilmu tentang
kematian, tapi matanya berkunang-kunang, badan lemas, dan jatuh pingsan.
Beberapa wanita membawanya ke dalam rumah. Modin desa mengisyaratkan
untuk mulai mengusung jenazah. "Laa ilaaha illaa Allaah Muhammadun
rasuulullaah, laa ilaaha illaa Allaah Muhammadun rasuulullah", katanya keras.
Disambut dengan ucapan sama oleh semua yang hadir, lalu jenazah
diberangkatkan. 4 UPACARA pemberian bintang itu membuat gelisah Ketua Partai Randu
Kabupaten. Di tengah-tengah musim kampanye, hal itu merupakan kampanye
gratis dan besar-besaran bagi partai lain dan Golput. Ia mengumpulkan semua
pimpinan untuk menjelaskan perlunya penggagalan upacara itu.
"Tapi upacara tinggal besok pagi."
"Kita masih punya waktu dua puluh jam penuh."
"Bagaiman caranya?"
"Itulah, itulah. Makanya saudara-saudara saya kumpulkan. Lebih
banyak kepala, lebih baik."
Ketua Departemen Khusus angkat bicara, "Serahkan saya."
"Ini rapat terbuka, jadi kami perlu tahu caranya."
Ketua Departemen Khusus mendekati Ketua dan bisik-bisik.
"Saudara kita mengatakan bahwa menggagalkan upacara yang ditangani
orang banyak itu tidak mungkin. Tapi disanggupkannya untuk berusaha supaya
Kapolri tidak hadir, dan protokolnya berbicara ngawur. Bagaimana, setuju?"
"Setuju," kata yang hadir.
Maka wewenang itu diserahkan pada Departemen Khusus. Kapolri perlu
dibuat berhalangan dan protokol ngoceh seperti burung. Itu bukan perkara
sulit baginya. Ia bekerja cepat. Ditemuinya seorang dukun yang bisa membuat niatnya
kesampaian. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa menolong. Saya sudah membuang ilmu
saya. Saya mau mati sempurna. Sebaik-baiknya orang ialah yang paling
bermanfaat bagi orang lain, kata Nabi. Selama ini saya sudah salah jalan.
Karenanya "." Dukun tidak meneruskan kata-katanya, karena seperti tidak
mendengarkan, terus pamit.
"Mau bilang tidak becus saja kok berputar-putar."
Tidak disanggupi satu dukun, ia pergi ke dukun lain. Jawabannya sama.
"Wah, Pak. Ternyata saya sesat. Mumpung masih ada umur, saya mau
bertobat. Jadi, maaf saya tidak bisa menolong Bapak."
Ke dukun lain lagi, juga sama.
"Saya sekarang baru sadar. Kalau mengirim paku ke perut orang itu
pekerjaan hina-dina."
"Sudah, sudah. Saya tahu kelanjutannya."
Putus asa dengan para dukun, dia kembali ke Ketua Partai, yang
menantinya di kantor. Ketua Partai masih menunggu di ruangnya. Ruangan
yang lain penuh orang dari Departeman Pemenangan Pemilu. Ia masuk ke
ruangan Ketua. "Where there is a will, there is a way," kata Ketua Partai setelah
mendengar laporan kegagalan itu. "Jangan khawatir kita masih punya cara."
Melihat optimisme Ketua Partai, Ketua Departemen Khusus pergi dengan
keyakinan bahwa sebuah jalan pasti sudah terpikirkan.
Setelah sendirian di kamarnya " orang di puncak harus berani sendirian "
ia menelepon Komandan Satgas Partai Randu. Komandan datang dengan
pakaian lapangan, karena baru saja mengawal sebuah kampanye Partai.
"Ya, Pak." "Begini. Saya punya pikiran bagus."
"Ya, Pak." "Seperti kita tahu bahwa besok pagi Kapolri akan datang untuk
menyematkan bintang "Adhikarta" kepada Wasripin. Ini tidak boleh terjadi.
Alasannya kita bersama sudah tahu."
"Ya, Pak." Ketua Partai menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Satgas saya tugaskan untuk menculik Wasripin, sampai besok siang
pukul 12.00. Sudah itu boleh kau lepas dia. Tapi jangan sampai orang tahu."
"Ya, Pak. Tapi, mmm."
"Tapi apa?" "Dia berjasa membuat kampanye sekarang adem-ayem."
"Wah, sampai dimana penataran politikmu" Politik itu the art of the
possible." "Itu PKI, Pak. Katanya, politik itu pengejawantahan dari moral."
"Yang punya moral itu pribadi, bukan lembaga. Lembaga itu netral,
bebas nilai. Pokoknya kau takut, ya?"
"Bukan saya pribadi, Pak. Tapi lembaga."
"Makanya, ini masalah lembaga bukan masalah pribadi. Lembaga partai
memerintahkan lembaga Satgasnya. Tahu!"
Menghindari suasana yang makin memanas, Komandan Satgas biang, "Ya,
Pak. Kami kerjakan."
Komandan Satgas keluar. "Saya tunggu beritanya."
"Menculik Wasripin" Tidak masuk akal," Komandan Satgas berpikir.
Sebentar kemudian dia masuk ke ruang Ketua. Katanya pada Ketua.
"Saya tidak bisa mengerjakan yang satu ini, Pak."


Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah saya duga."
"Cukup, Pak." "Cukup." Komandan Satgas pergi. Ketua pergi ke ruang sebelah menemui
Departemen Pemenangan Pemilu,
"Taruh Komandan Satgas nama di nomor sepatu."
"Tapi susunan caleg jadi ditetapkan oleh rapat pleno pengurus."
"Taruh ya taruh. Ini kebijakan Ketua."
"Bapak yang tanggung risikonya."
"Tentu saja." Ketua menelepon Wakil Komandan Satgas. Katanya begitu Wakil
memasuki kamarnya, "Ada tugas untukmu."
"Menculik Wasripin?"
"Iya." "Jangan, Pak. Seperti kata peribahasa itu namanya "Air susu dibalas
dengan air comberan"."
"Ini urusan Partai!"
"Jangan begitu, Pak."
"Bagaimana kalau risikonya kau dipecat?"
"Tidak jadi Satgas tidak patheken, Pak."
Wakil Komandan keluar, dan membuang jaketnya di pintu.
Tiba-tiba datang lima belas orang Satgas. Mereka beramai-ramai
mencopot jaketnya dan membuangnya ke kamar Ketua. Ketua hanya bisa
terduduk di kursinya. Ketua Departemen Pemenangan Pemilu melihat gelagat yang tak baik,
lalu menelepon Ketua Dewan Pembina Daerah alias Bupati Kepala Daerah untuk
datang. "Kalau Bapak tidak segera datang, perpecahan bisa terjadi."
Ketua Dewan Pembina Datang.
"Ada apa, to?" tanyanya pada Ketua.
Ketua menjelaskan. "O, begitu. Itu soal mudah, tapi coba telepon Komandan Satgas dan
Wakilnya, minta maaf."
Seperti kerbau dicocok hidungnya maka Ketua menelepon minta maaf.
"Lalu bagaimana, Pak."
"Coba telepon Ketua Umum Pusat minta menyampaikan masalah ini ke
Ketua Dewan Pembina Pusat untuk menunggu pengarahannya. Kita punya aji
pamungkas." Ketua Partai Randu Kabupaten kemudian menelepon Ketua Umum Pusat,
minta supaya masalah ini dimintakan petunjuk kepada Ketua Dewan Pembina
Partai Randu. "Aduh, jawabannya pasti nanti selepas pukul sebelas. Bapak sedang
menghadiri pesta pernikahan."
Maka malam hari itu adalah waktu paling menggelisahkan Ketua, bukan
dari jam ke jam atau dari menit ke menit tapi dari detik ke detik. Ia
menongkrongi telepon di kantor Partai sejak pukul 10.00 malam, dan
mengumpat kalau ternyata yang berdering bukan telepon dari Pusat. Orangorang di kamar sebelah sudah pulang.
Pada pukul 12.00 telepon berdering. Cepat ia menyahut gagang telepon.
"Sudah saya sampaikan. Katanya, tunggu saja, semua sudah diserahkan
Panglima. Tetapi, beliau berpesan bahwa kebijakan apa pun yang akan
diambil, sama sekali bukan desakan dari mana-mana, tapi murni dari atas
sebagai amanat pembangunan nasional."
"Kita hanya minta supaya pemberian bintang itu dibatalkan. Atau
setidaknya ditunda sampai setelah Pemilu. Sulitnya apa?"
"Ya, tapi pasti tidak begitu caranya. Babe kita itu paling tidak suka
dilangkahi. Jadi, solusinya ya terserah beliau."
"Waaah!" Ia tidak tahu bahwa di seberang sana Ketua Umum Pusat mengangkat
bahu. Malam itu ia pulang, dan tidak bisa tidur.
"Kira-kira apa?" selalu dibenaknya.
6 MINGGU sesudah Isya". Karpet merah berbunga-bunga sudah digelar di
dalam surau, untuk upacara akad nikah. Tenda sudah dipasang di depan surau.
Ular-ularan dan balon menghias tenda. Listrik sudah menyala. Kursi-kursi
sudah dipasang. Panggung untuk anak-anak melantunkan sholawat dan orang
bermain rebana sudah tersedia. Anak-anak bermain kejar-kejaran, sembunyisembunyian. Mereka main di mana saja. Rumah Wasripin yang tak pernah
dikunci jadi tempat bersembunyi yang bagus. Tenda, surau, dan rumah
samping surau terang-benderang. Kursi pelaminan dengan dua pasang kursi di
kanan dan kiri juga telah di tempat. Akan duduk sebagai ganti orangtua
Wasripin, Pak Modin beserta Ibu, sedangkan bertindak sebagai orangtua
Satinah, Pak Kepala Dusunnya beserta Ibu.
Ketua Partai Randu yang membawahi perkampungan nelayan datang.
"Mana Wasripin?"
"Di TPI, Pak." Dia ke TPI. "Lho, kok masih bekerja!"
"Saya sedang menikmati topi Satpam untuk yang terakhir kali."
"Terakhir?" "Besok pagi saya berhenti dan menjadi penjual ketoprak."
"Kalau begitu tekadmu ya sudah. Tapi seharusnya kau dipingit, tidak
boleh pergi, tidak boleh kerja. Ini KTP-mu. Tinggal tanda tangan. Ini foto
yang saya ambil dari tukang foto. Kalau ditanya orang besok, C-1 di mana,
katakan masih bergabung dengan keluarga saya."
"Terima kasih, Pak. Saya sudah bingung bagaimana kalau KUA
menanyakan KTP." Waktu itu datang seorang dengan karangan bunga di kanan dan kiri
sepeda. Setelah meletakkan bunga, ia berkata.
"Untuk Pak Wasripin. Tolong ditandatangani."
Orang bersepeda itu mengucap terima kasih dan pergi.
"Dari siapa?" "Satinah. Katanya malam ini namanya malam midodareni. Di
kampungnya orang membuat kembar mayang, dua rangkaian bunga. Pengantin
perempuan ibarat bidadari, temanten laki-laki seperti dewa."
"Jadi kau dewa, ya. Lalu dewa memberi apa padanya sebagai ganti?"
"Maksudnya apa, Pak?"
"Maskawinmu apa?"
"Apa maskawin?"
"Pemberian wajib dari calon suami kepada isteri. Besok pagi apa yang
akan kau berikan?" "Lha, saya miskin. Apa, ya?"
"Sudah, begini saja. Maskawinnya seperangkat alat sembahyang,
mukena dan sajadah, serta cincin emas lima gram."
"Wah, tidak punya itu."
"Besok, kalau ditanya KUA bilang saja, maskawinnya diutang."
"Maskawin diutang."
Mereka lalu menggotong karangan bunga diletakkan di kanan dan kiri
pelaminan. 7 MALAM itu Kepala Polisi Kabupaten di rumahnya mendapat telepon dari
Wakil Kepala Polisi di Jakarta untuk membatalkan rancana pemberian bintang.
Tidak percaya, ia menelepon balik.
"Ya, saya yang telepon. Ssst, jangan bilang-bilang, rencana pemberian
bintang itu murni dari kepolisian sebagai wujud kerja sama dengan masyarakat.
Tetapi, Panglima bilang, tentara sudah punya rencana khusus, yang digodok
lama dan matang." "Rencana apa, Pak?"
"Kata Panglima, besok pagi juga tahu. Itu urusan tentara, bukan polisi.
Jadi yang penting, batalkan rencana itu!"
"Siap, Pak. Laksanakan."
Sesudah pukul 11.00, hampir tengah malam. Undangan-undangan sudah
tersebar, gladi resik sudah jalan, rencana sudah matang. Dan sekarang
dibatalkan! Kemudian ia menelepon Radio Pemerintah Daerah yang siarannya
akan berhenti pukul 12.00, minta diumumkan bahwa acara pemberian bintang
dibatalkan. Tapi ia yakin akan banyak orang kecele, sebab tidak semua
mendengarkan siaran daerah. Ia menelepon kesana-kemari hanya untuk urusan
pembatalan itu. 8 MINGGU sore itu Pak Modin baru saja tiba dari kota. Ia baru saja ketemu
kawannya yang bekerja di Dinas Pertanahan. Begitu turun dari sepeda
motornya, ia melambai-lambaikan sebuah buku sertifikat tanah pada isterinya.
"Akhirnya selesai juga. Padahal saya sudah dag-dig-dug, jangan-jangan
tidak selesai. Sekarang tugasmu."
"Pekerjaan saya sudah beres sejak kemarin," kata isterinya.
"Itu apa?" "Orang Yogya bilang, ini layah (batu ceper agak cekung), yang ini uleguleg (batu bulat panjang)."
"Iya, maksudnya untuk apa?"
"Layah itu simbol wanita, dan uleg-uleg itu simbol laki-laki."
"Iya, untuk apa?"
"Membuat sambal."
"Masak temanten dihadiahi begituan."
"Ini akan saya bungkus dengan kertas emas bersama sertifikat tanah
itu." "Iya, hadiah. Tapi masak batu."
"Coba, kalau bikin sambal, bagaimana?"
"Ya begini, to," kata Pak Modin sambil memperagakan orang membuat
sambal. "Tahu belum?" Pak Modin menggeleng. "Ah, pasti kura-kura dalam perahu."
"Betul, kok." "Itu lambang mmm ketemunya laki-laki dengan perempuan."
"Masak hanya begitu."
"Kira-kira saja, saya sudah lupa."
"Kalau sudah lupa, nanti saya ajari."
"Ssst, jangan saru."
"Apa saru?" "Bagaimana saya tahu?"
"Saru itu artinya nyasarnya kalau turu (tidur)."
"Sudah tua kok genit!"
"Tua bagaimana!"
Mereka terdiam, lalu tertawa.
"Kita akan punya anak!"
"Tanpa mengandung tanpa kesakitan."
"Kesakitan atau kenikmatan?"
"Ya, kesakitan begitu, namanya saja melahirkan."
"Iya, ya. Sakit kok malah terus diulang."
"Jangan diteruskan, nanti ada setan lewat. Ingat, kita sudah tua."
9 DI surau Ketua Panitia mengadakan ceking terakhir. Dia bertanya seksi
konsumsi, dokumentasi, tempat, undangan, dan protokol. Semua beres.
"Saudara-saudara, Pak Kades menawarkan Kijangnya untuk dipakai
seharian itu. Kita akan gunakan untuk mengantar Wasripin ke stadion."
"Tapi saya biasa membonceng sepeda motor," kata Wasripin.
Ketua berkata sambil tersenyum.
"Ketuanya itu saya, jadi semua orang harus tunduk keputusan saya."
"Ya, sudah." "Dari stadion kita terus ke SDN. Ada sedikit upacara bendera untuk
menghormat bintang itu."
"Tapi itu terlalu berlebihan," kata Wasripin.
"Biar, berlebihan tak apa. Kata Bung Karno kita bukan bangsa tempe
tapi bangsa yang besar."
EMPAT BELAS 1 MENJELANG fajar, Senin Pon. Di rumah Kepala Desa seseorang
berpakaian seragam hijau dan berbaret mengetuk pintu. Tentara.
"Siapa itu?" "Saya. Tentara Komando."
Tergopoh-gopoh lurah membuka pintu. Tentara memberi hormat.
"Silakan masuk."
"Begini, Pak. Bapak diperintahkan menyaksikan, seorang warga Bapak
akan ditangkap tentara."
Mereka berdua kemudian ke TPI.
"Siapa yang ditangkap?"
"Saya tidak tahu. Itu urusan Komandan Operasi."
Sementara itu empat orang yang tidur di emperan surau yang juga
dijadikan Poskamling dibangunkan. Mata mereka silau oleh listrik yang
menerangi tenda, ular-ularan, dan kursi-kursi, diucek-ucek memakai jari-jari.
"Ada apa?" Mereka terkejut melihat seragam yang hijau, baret, dan senapan di
tangan. "Kami ingin kalian menjadi saksi."
"Saksi?" "Ya, saksi penangkapan."
Seorang tentara memadamkan listrik yang terang-benderang. Lapangan
jadi gelap. Dalam gelap itu Wasripin diantar oleh enam orang bersenjata ke
rumahnya di samping surau. Tangan Wasripin diborgol! Lho! Lurah dan
petugas ronda heran. Ada crew membawa lampu, kameraman, wartawan foto,
dan wartawan berita. Di bawah sorotan lampu televisi mereka bergerak.
Rombongan menuju rumah Wasripin di samping surau. Pintu yang tidak pernah
terkunci dibuka. Seorang tentara menggeledah ruangan itu, tidak menemukan
apa-apa, lalu menengok kolong tempat tidur Wasripin. Ia menunjuk ke
seonggok senapan dan granat tangan. Jepret-jepret! Wasripin terdiam,
terlongong-longong tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya dan
sekitarnya. "Tugas Bapak-bapak selesai!"
Dalam gelap mereka memborgol tangan dan menggiring Wasripin
berjalan dan meloncat ke atas truk yang berhenti jauh di luar lapangan. Dari
dalam gelap meloncat tentara-tentara ke atas truk terbuka itu. Operasi
berjalan lancar. Sebuah truk yang lain memuat para crew televisi, kameraman,
wartawan foto, dan jurnalis.
2 MENYADARI apa yang telah terjadi, seorang berteriak di tengah
lapangan, "Allahuakbar! Allahuakbar!" Sebentar kemudian pintu-pintu sekitar
lapangan terbuka, orang-orang keluar rumah dengan senjata di tangan: golok,
linggis, tangkai besi, cangkul, dan sabit. Pada tahun 1965 teriakan itu berarti
bahwa bahaya datang. "Apa?" "Was-ri-pin! Di-ba-wa ten-ta-ra."
"Lapangan penuh orang. Listrik menyala kembali. Ada kursi tapi orang
tidak berminat duduk. Mereka mendengarkan penuturan Lurah dan orangorang yang jaga malam sambil berdiri.
Dari pinggir lapangan terdengar deru sepeda motor yang berhenti, dan
akan membalik. Tiba-tiba orang sudah mengepung, motor dimatikan. Seorang
polisi di atasnya menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu turun dari motor.
"Apa ini?" "Ini orangnya!" Orang-orang merangsek.
"Bukan, pasti bukan!" kata polisi sekenanya. Ia mengacung-acungkan
sebuah surat yang berisi pembatalan upacara pemberian bintang untuk
Wasripin. "Saya mengantar ini!"
"Bohong!" "Siaaap!" Orang-orang bergerak maju.
"Siaaap!" Orang membawa senjata tajam.
Pak Modin datang. Seorang nelayan lari ke rumahnya memberitahukan
apa yang terjadi. Mengangkat tangan, menghentikan gerak maju orang.
"Tenang-tenang! Nanti dulu! Jangan tergesa!"
"Ini orangnya, Pak!"
"Polisi bukan tentara! Qur"an mengatakan, barang siapa membunuh
seorang manusia tanpa dosa, maka dia telah membunuh seluruh ras manusia.
Artinya, siapa menyakiti seorang tak bersalah, ia menyakiti seluruh manusia."
Orang-orang bersenjata tajam itu mundur.
"Kita tahan di sini."
"Sampai Wasripin pulang!"


Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak ada gunanya menahan dia," kata Pak Modin. Polisi itu
menyerahkan selembar surat. "Itu mendatangkan masalah dengan polisi," kata
Pak Modin lagi. "Bagaimana baiknya terserah, Pak."
"Sebaiknya kita suruh dia kembali. Islam artinya menyerah diri pada
Tuhan, salam artinya damai, kita bukan bangsa pemarah. Bagaimana?"
"Setuju!" kata orang banyak.
Kemudian kata Pak Modin pada polisi, "Nah, kembalilah pada
komandanmu. Bilang bahwa surat sudah diterima."
Polisi mengucapkan terima kasih dan bersalaman dengan orang-orang di
dekatnya. Setelah polisi pergi Pak Modin membaca surat pembatalan itu. Surat itu
pindah dari tangan ke tangan.
"Perasaan saya mengatakan sesuatu yang tak baik akan menimpa
Wasripin," kata Pak Modin pada orang di dekatnya.
3 PAGI TVRI dan koran-koran memberitakan bahwa Wasripin mati
ditembak tentara waktu berusaha merebut senjata. Mayatnya dikuburkan di
suatu tempat yang dirahasiakan karena dapat menimbulkan syirik. Kemudian
juga dikatakan bahwa dia Komandan DI/TII Pantura, anti-Pancasila, dan ingin
mendirikan Negara Islam dengan kekuatan senjata. Gambar-gambar setumpuk
senapan dan seonggok granat tangan di bawah dipan dipajang. Granat yang
sama dengan yang digunakan untuk menggranat Candi Gedong Sanga. Kata
para pejabat yang dikutip korang ialah bahwa Pemerintah akan menindak tegas
pelaku-pelaku makar untuk membuat mereka miris. Perkampungan nelayan itu
mengirim orang untuk memborong koran-koran.
Mereka mendengar berita dari TVRI. Mereka yang membaca koran
berteriak-teriak. Teriakan-teriakan terdengar.
"Bohong!" "Tadi sore anak saya bersembunyi di kolong dipan Wasripin, senjata itu
tak ada." "Munafik!" "Apa-apaan ini!"
Mereka berkumpul di lapangan.
"Kita harus membalas!"
"Sampai titik darah penghabisan!"
"Kita rela mati!"
Di rumah-rumah nelayan para perempuan menangis. Wasripin! Wasripin!
Pak Modin datang dan mengajak mereka sembahyang ghaib untuk
jenazah Wasripin. Mereka menurut dan masuk surau.
"Allahuakbar! Ayo!"
"Allahuakbar! Ayo!"
Pak Modin berdiri. "Saudara-saudara. Itu tidak menyelesaikan masalah, malah membuat
masalah baru. Berpikirlah. Kita paling-paling seratus orang, tentara itu
ribuan. Senjata kita paling-paling pedang, mereka punya senapan, granat,
mortir, dan bom. Kita akan mati konyol."
"Kami tidak takut mati, Pak."
"Ya, kami tidak takut mati!"
"Kita sudah kehilangan Wasripin. Tidak ada yang tidak sedih. Tapi,
biarlah dia jadi tumbal demi hidup kita. Saya tidak punya anak, tapi Saudara?"
Kemarahan mereda. Mereka melihat permadani merah pelaminan. Ya
Tuhan, permadani akan kosong. Anak-anak yang latihan sholawat akan
bertanya, "Kemana Pak Wasripin?" Dan anak-anak sekolah yang hari itu akan
upacara menghormati bintang itu akan terdiam, mengerek bendera setengah
tiang. Ya, Allah! Ya, Rasul! Apa yang sebenarnya telah terjadi?"
4 PAK Modin sudah menyediakan kata-kata untuk menjemput Satinah
begitu andong itu muncul. Ketika sudah jamnya Satinah tidak datang, hatinya
gelisah. Ia minta mobil Kijang yang sudah menunggu mengantar ke tempat
Satinah. Beberapa orang ikut di mobil.
Sampai di rumah Satinah seorang perempuan berdandan rapi menyambut
mereka, "Satinah hanya titip salam. Terima kasih atas kebaikan yang sudah
diberikan pada Wasripin dan Satinah. Selanjutnya, ia mengatakan selamat
tinggal." "Kemana?" "Ia tidak berpesan."
"Pamannya?" "Sudah kemarin dia meninggal."
Mereka kembali, tidak seorang pun bicara.
Sampai di lapangan TPI bendera setengah tiang sudah dinaikkan. Pak
Modin turun dan terus pulang. Didapatinya Bu Modin masih sembab matanya.
"Sudahlah, Bu. Memang sudah takdir. Mau punya anak dan menantu
saja gagal." Dilayangkannya matanya ke sekat kamar yang maksudnya untuk Wasripin
dan Satinah. Dibayangkannya anak-anak yang bermain sondah-mandah di
halaman. Ia tersenyum getir. Ia tidak tahu rahasia Tuhan dengan kelahiran
Wasripin, keberadaannya yang sebentar dan bermanfaat di perkampungan
nelayan, dan kematiannya. Juga Satinah dan Pamannya.
"Apa pun yang terjadi, Bu. Beristighfarlah dan ucapkan Alhamdulillah."
Ia menarik napas panjang.
5 HARI masih sangat pagi, gedung itu masih sepi. Dengan membawa
parang yang disembunyikan di dalam baju seseorang mondar-mandir di Markas
Tentara Kabupaten. Ia melangkah pagar tembok yang hanya setinggi lutut, dan
berhasil menghindari pengawasan petugas piket.
"Di mana kamar Komandan?" tanyanya pada seorang yang membawa
sebaki air minum. Tanpa curiga, orang itu menunjukkan. Ia masuk kamar. Kamar itu
belum berpenghuni. Ia berjongkok di balik meja. Seorang tentara meletakkan
surat-surat di meja Komandan. Ia berdiri, mengacung-acungkan parangnya.
"Mengapa Wasripin kau bunuh?"
Tentara itu terkejut dan bengong. Ia menyabetkan parang dan melukai
lengan tentara. Tentara berteriak-teriak dan berlari keluar sambil menudingnuding.
"Orang ngamuk! Orang ngamuk!"
Beberapa orang perwira dengan pistol di tangan masuk. Orang itu
langsung mengayunkan parang dan berhasil melukai dua orang. Tentara
perempuan yang bekerja sebagai sekretaris membunyikan sirine tanda bahaya,
meraung-raung. Seorang perwira berhasil menembak dada orang itu. Orang itu
jatuh berlumuran darah, parang lepas dari tangan.
"Meng-apa Was-ri-pin kau bu-nuh?" kemudian menghembuskan napas
yang penghabisan. Markas itu sibuk. Ambulans mengoeng-ngoeng. Para perwira dipapah ke
mobil ambulans. Mereka yang baru datang menanyakan pada teman-temannya.
Dengan mobil ambulans yang lain jenazah segera dibawa ke rumah sakit untuk
diserahkan keluarga. Beberapa petugas membersihkan darah di lantai.
Komandan datang. Ia baru saja tiba dari Kantor Bupati memberikan
briefing mengenai perlunya tindakan tegas tentara untuk memberantas makar.
Bertanya pada wakilnya apa yang telah terjadi, kemudian mengundang rapat.
Ia mendapat laporan bahwa pelakunya menanyakan kenapa Wasripin dibunuh.
"Kepung perkampungan nelayan!" perintahnya.
Tentara bergerak cepat. Mereka menjaga jalan-jalan menuju
perkampungan, menanyakan KTP setiap orang. Bukan itu saja. Tentara juga
menyebar ke kebun-kebun, bahkan ke kuburan desa. Tentara menaikkan
bendera yang dipasang setengah tiang di lapangan TPI. Tentara juga ke SD dan
Kantor Kelurahan yang benderanya dipasang setengah tiang. Mereka yang
mengetahui bahwa tenda dan kursi-kursi di depan surau semuanya untuk
Wasripin juga memerintahkan orang-orang sekitar untuk membongkarnya.
6 HARI itu Hari Pasar. Tenda, ular-ularan, dan kursi sudah dibongkar. Tak
ada orang, tak ada tenda pedagang, tak ada gerobak dorong, tak ada warung
tiban, tak ada orang di pasar TPI. Di jalan masuk ke pasar tentara akan
menghadangnya. Mereka memeriksa keranjang sayur dan gerobak dorong.
"KTP?" Tidak ada caranya bagi orang pasar untuk membawa KTP. Orang
kantoran bawa KTP, mahasiswa perlu KTP, orang kota perlu KTP, tapi bukan
pedagang kecil seperti mereka, bukan bakul di pasar. Mungkin punya, mungkin
tidak. "Pulang dulu ambil KTP."
Dengan patuh mereka pulang, dan tak pernah kembali.
"Ada apa?" "Pak Wasripin diciduk, dan ditembak."
"Ampuh sungguh tentara, Pak Wasripin saja kalah."
Pasar hewan juga sepi. Truk yang membawa kambing dihentikan.
"Apa yang kau bawa?"
"Kambing, Pak."
Kemudian tentara akan naik, memeriksa. Tentara juga memeriksa jok
depan. "Apa yang dicari, Pak?"
"Senjata api, senjata tajam. KTP?"
"Wah, tidak ada, Pak. Sopir itu, biasanya hanya bawa SIM dan STNK."
"Coba." Sopir memberikan yang ia bawa, dan diperbolehkan terus. Sebentar
kemudian mereka kembali. "Lho, kamu lagi!"
"Pasar mati, Pak. Katanya itu karena Pak Wasripin diciduk dan
ditembak. Kami ini orang susah, Pak. Jangan dibuat lebih susah lagi."
Ada pedagang memikul dagangannya dihentikan tentara.
"Senjata tajam tak boleh masuk."
"Saya ini memang berdagang sabit, pisau, cangkul, kelewang."
"Pokoknya ini peraturan."
Bagi orang di perkampungan nelayan, pasar TPI mati tak melaut tidak
apa. Mereka masih punya gulai dan nasi walimahan untuk beberapa hari.
Beras dan ikan kering untuk seminggu. Pemungut pajak tidak masuk. Tetapi,
bagi para bakul tidak jualan berarti tak ada untung, tak ada untung berarti tak
makan. Maka, para bakul menggelar dagangan, memasang tenda di jalan-jalan
menuju pasar. Praktis, dekat tempat penjagaan tentara.
Tak ada nelayan melaut. TPI sepi. Tak ada truk pengangkut ikan. Tak
ada keranjang-keranjang ikan dengan ikan dan air laut yang menetes-netes.
Para Satpam dan Kepala TPI tidak masuk kerja. Perkampungan yang menjadi
pemasok ikan untuk kota-kota di Jawa Barat. Tidak ada pasokan ikan segar.
7 KOMANDAN Operasi yang masuk dengan sebuah jeep ke lapangan TPI
kaget. Ternyata di lapangan itu bendera dinaikkan setengah tiang. Ia minta
seorang prajurit yang mengawalnya menaikkan bendera itu menjadi sepenuh
tiang. Firasatnya mengatakan kalau ia harus ke kelurahan, karena janganjangan di sana orang juga mengibarkan bendera setengah tiang. Ia berjalan ke
sana. Lhadalah! Ia betul, orang mengibarkan bendera setengah tiang. Ia ke
lurah, dan memerintahkan untuk menaikkan ke atas. Lalu ia berjalan ke SD.
Lho! Benderanya juga setengah tiang. Ia menemui seorang guru. "Di sini yang
kuasa Kepala Sekolah, Pak. Semua kebijakan dia yang ambil." Komandan
Operasi mencari Kepala Sekolah, tapi tidak ada. Akhirnya ia menemui tukang
kebun sekolah, dan bendera itu berhasil dinaikkan.
Maka, ia kembali ke lapangan TPI. Ia terkejut untuk kedua kalinya:
bendera itu telah jadi setengah tiang kembali. Kemudian ia menyuruh
pengawalnya ke kelurahan dan SD. Di sana pun yang terjadi demikian.
Bendera itu kembali jadi setengah tiang. Di kedua tempat itu ia berhasil
menyuruh orang untuk menaikkan bendera, lalu kembali untuk lapor.
Komandan menyuruh seorang tentara lagi untuk menunggu tiang bendera,
karena ternyata kedua tempat itu rawan pembangkangan dan ia sendiri
menunggu tiang bendera di lapangan. Semuanya berjalan lancar: di lapangan,
kelurahan, dan SD. Ditunggui tentara dengan topi baja dan senapan siap
menyalak! Tidak disangkanya di rumah-rumah para nelayan di sekitar lapangan dan
seluruh rumah perkampungan nelayan tiba-tiba muncul bendera setengah
tiang. Maka, ia memerintahkan sopir untuk menjemput seorang prajurit
pembawa megafon. Setelah prajurit itu datang diperintahkannya untuk keliling
kampung dan mengumumkan bahwa pemasangan bendera setengah tiang
berarti pembangkangan. Maka berjalanlah prajurit itu dari rumah ke rumah dengan pengumuman,
"Menaikkan bendera setengah tiang adalah pembangkangan."
Tidak begitu mujur nasibnya: hanya rumah yang dekat dengannya
kemudian menaikkan bendera, tapi begitu ia sudah lewat bendera itu jadi
setengah tiang lagi. Ia merasa dipermainkan. Pusing bermain kucing-kucingan
dengan para nelayan, ia kembali ke lapangan dan melapor Komandan.
"Ubah pengumuman itu, dilarang memasang bendera," kata Komandan.
Ia kembali ke perkampungan. Anak-anak sekolah yang hari itu hanya
masuk setengah hari melihat ada tentara masuk kampung membawa megafon.
Itu aneh. Mereka senang, dan mengikuti dari belakang, sambil menirukan
penabuh genderang, "Deng deredeng deng, deng deredeng deng. Ba-ris terik tempe, le-song
dele gosong." Sepanjang jalan anak-anak menirukan penabuh genderang dan
bernyanyi. Makin lama makin banyak anak sekolah yang mengikutinya.
Ia mengangkat megafon, anak-anak itu mengerumuninya, dan merengekrengek.
"Pinjam, Pak. Pinjam, Pak."
Ia terpaksa mengurungkan niat. Setiap kali dia mengangkat megafon,
anak mengerumuninya dan merengek-rengek, "Pinjam, Pak! Pinjam, Pak!"
Anak-anak terus mengikutinya, sambil memperagakan orang menambur.
Ia merasa seperti orang gila yang diikuti anak-anak. Dan sangat risi. Tugasnya
ia batalkan dan kembali ke lapangan.
"Lapor! Tugas selesai!"
Komandan menunjuk ke rumah-rumah di sekitar lapangan yang masih
berbendera setengah tiang. Mereka ke perkampungan.
"Sudah dengar pengumuman?"
"Dengar, Pak." "Nekad, ya?" "Bendera-bendera itu memasang dirinya sendiri."
"Bohong!" Sementara itu orang berkumpul.
"Tanya tiangnya sendiri."
"Dasar kampungan!"
"Bapak ini bagaimana" Saya tidak pernah mengaku orang kota. Berani
sumpah, Pak." Tentara itu merasa tidak ada gunanya berdebat dengan mereka,
kemudian keduanya naik jeep dan mau menjemput kawannya di kelurahan dan
SD. Pada waktu itu Lurah datang. Lurah datang dengan seragam, peci, dan
tanda di dadanya. "Saya menjamin orang tidak akan memasang bendera setengah tiang,
asal tentara tidak lagi mengepung desa."
"Kami harus menunggu perintah atasan," kata Komandan dan
memerintahkan jeep untuk berjalan.
8 Koran-koran di Jawa Barat yang biasa menerbitkan indeks harga-harga di
pasar selama empat hari belakangan memberi catatan bahwa melejitnya harga
ikan telah diketahui sebabnya, yaitu tidak adanya pasokan ikan di pasar-pasar.
Tetapi, kata mereka, belum diketahui sebab kenapa hal itu bisa terjadi.
Bupati Kepala Daerah menerima telepon dari rekan-rekannya di Jawa
Barat. Mereka mengatakan bahwa sudah empat hari ini tidak ada pasokan ikan
dari Pantura sehingga harga ikan melejit. Bupati memerintahkan bawahannya
sebab-sebab para nelayan tidak melaut. Segera bawahannya ke perkampungan
nelayan. Dia juga dicegat tentara.
"Lha bagaimana, Pak. Bukannya kami tidak mau melaut, tapi ikan yang
tak mau dijaring." "Bukan karena pengepungan itu?"
"Bukan. Mau dikepung sebulan, dua bulan, juga boleh."
Bupati mendapat laporan bahwa pengepungan tentara menyebabkan
nelayan tak melaut dan pasar mati. Bupati pun menelepon Komandan Tentara
Kabupaten, minta supaya pengepungan diakhiri.
Seminggu kemudian pengepungan berakhir, nelayan melaut, pasar hidup,


Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan bendera-bendera disimpan.
9 Nelayan sudah melaut. Pada sore hari beberapa nelayan berkumpul di
emperan surau. "Di tengah laut ada ombak besar, saya teriakkan nama Wasripin, ombak
itu menghilang!" "Saya tidak dapat menangkap seekor ikan pun, saya sebut nama
Wasripin, ikan-ikan datang seperti ditumpahkan dari langit!"
"Saya ke Masjid Demak. Saya melihat dengan mata kepala sendiri
Wasripin shalat di sana!"
"Saya dapat surat dari sepupu saya yang sedang umrah di Mekkah. Dia
melihat Wasripin sedang berdoa di Multazam!"
Orang-orang percaya bahwa Wasripin sebenarnya tidak mati. Para
nelayan menularkan kepercayaan itu pada orang pasar. Orang-orang pasar
pada keluarganya. Orang pasar akan berkata satu sama lain.
"Anak saya demam, saya sebut nama Wasripin lalu saya suruh minum air
putih. Sembuh." "Suami saya pegelnya kumat, malam-malam antara terbangun dan
tertidur Wasripin datang dan memijat. Paginya ia bekerja."
"Istri saya bengeknya kumat. Datang Wasripin dalam mimpi memberi air
putih. Ee, ketika ia bangun ada sebotol air putih sungguhan, lalu diminum,
sembuh." Para nelayan dan orang pasar menyebarkan berita itu ke seluruh
kecamatan. "Sebutlah nama Wasripin, Tuhan akan mengabulkan doamu," kata
mereka. Wasripin telah menjadi washilah (perantara) terkabulnya
permohonan. Pak Modin prihatin.
LIMA BELAS 1 MALAM itu ada peringatan Milad Nabi di perkampungan nelayan, menukar
rencana yang semula batal. Anak-anak dan permainan rebana setempat akan
bermain. Kyai dan rombongan rebananya diundang lagi. Kyai itu berdakwah,
melucu, dan diselang-seling permainan rebana. Tenda didirikan, kursi-kursi
dipasang. Sebelum waktu diberikan pada Kyai, Pak Modin " sebagaimana selalu
demikian " diminta menyambut selaku sesepuh surau. Orang-orang dari desa
sekitar berdatangan. "Orang-orang syahid tidak mati, tapi diangkat Tuhan ke sisi-Nya," kata
Pak Modin. "Dan Wasripin telah syahid. Negara menzhalimi anaknya sendiri
yang seharusnya dilindungi. Jangan menjadikan dia sebagai washilah. Itu
syirik." Keesokan paginya sehabis dari surau, sebuah jip hijau datan ke rumah.
Tentara menghormat. Katanya, "Aku diperintahkan Komandan untuk
menjemput Pak Modin. Mari ikut kami." Bu Modin yang punya firasat buruk
berteriak, "Jangan! Ja-ngan!" Teriakan itu membuat orang-orang keluar
rumah. Tapi, mereka hanya sempat melihat jip itu semakin jauh. Bu Modin
ingat Wasripin: dibawa tentara selalu berarti mati.
Para nelayan berkumpul. Mereka berniat menyusul Pak Modin.
Kecurigaan pertama mereka ialah pada Tentara Kabupaten. Dengan sepeda
motor mereka menuju Markas Tentara Kabupaten. Setelah berunding, mereka
diperbolehkan melihat kamar tahanan. Tempat itu kosong. Kecewa, mereka
menuju Markas Polisi Kabupaten. Di sana mereka juga diperbolehkan
menjenguk kamar tahanan. Tidak ada. Mereka pergi ke Kejaksaan. Pak Modin
tidak ditemukan. Mereka kembali. Mereka hanya bisa berdoa untuk
keselamatan Pak Modin. Beberapa orang nelayan ditugaskan untuk memantau berita-berita di
koran dan teve. Seperti terjadi pada syahidnya Wasripin, mereka tidak melaut.
Pengibaran bendera setengah tiangtidak mereka lakukan, karena tidak ada
berita yang pasti tentang Pak Modin.
Telepon rumah dan kantor Bupati mendapat keluhan bahwa harga ikan di
kota-kota Jawa Barat naik berat. Minta supaya Bupati menggunakan seluruh
kekuasaan untuk memaksa para nelayan melaut. Kalau tidak, mereka
mengancam bahwa akan minta para Bupati di jalur Pantura Jawa Barat
memasok ikan. Bupati menugaskan Kepala Dinas Perikanan untuk menemui
para nelayan, dan mengatakan bahwa melaut adalah kepentingan nelayan
sendiri, sambil menyampaikan ancaman itu. "Kami mau melaut, tapi
pulangkan Pak Modin."
Para nelayan berkumpul. "Tidak usah digubris."
"Membuat orang biasa jadi nelayan tidak semudah membalikkan
tangan." "Harus membangun dermaga, TPI, perahu-perahu, dan mengajari orang
menangkap ikan." Bupati ternyata juga baru tahu bahwa Pak Modin dibawa tentara. Dia
menelepon kesana-kesini, tapi baik tentara maupun polisi tidak tahu. Lain
dengan berita tentang Wasripin yang semua orang tahu belaka, dari korankoran dan teve. "Bukan pekerjaan kami," kata Komandan Tentara. "Bukan
pekerjaan kami," kata Kepala Polisi. Tahulah dia bahwa itu pekerjaan
intelijen. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia menarik napas panjang.
2 DI kantor Pimpinan Daerah Partai Randu. Ketua Partai yang membawahi
perkampungan nelayan muncul.
"Kebetulan, ada yang ingin kami tanyakan."
"Tentu ini, mengapa warga kami tak aktif dalam kampanye?"
"Kok tahu." "Saya sudah mengira. Warga partai desa kami mogok."
"Mengapa?" "Kata mereka, Partai bungkam ketika Wasripin ditembak tentara. Partai
juga tidak ada usaha apa pun mengenai Pak Modin."
"Itu semua sudah di luar wewenang kami."
"Mereka berpikir tidak ada gunanya jadi partai penguasa."
"Kekuasaan itu ada batasnya."
Ketua Partai Desa merogoh bajunya. Mengeluarkan seratusan kartu dari
sakunya. Meletakkan di meja.
"Apa-apaan ini" Seharusnya mereka tidak usah keluar."
"Keputusan kami sudah bulat. Partai di desa kami menyatakan bubar.
Terima kasih." Dia meninggalkan kantor. 3 TERJADI gara-gara. Ada tawur di jalanan antara peserta kampanye
Partai Randu dan Partai Langit. Lima orang luka-luka berat akibat sabetan
pedang, delapan luka-luka ringan, dan jalan terganggu. Di bukit ada hujan
deras yang mengakibatkan banjir bandang dan tanah longsor. Puluhan rumah
terpendam, tiga belas hektar sawah puso, lima orang hilang dan belum
diketahui nasibnya. Jembatan bobol dan tinggal beton dan kerangka besi.
Teve mengumumkan bahwa jalan di Pantura tak dapat dilalui, dan dianjurkan
pengguna jalan melalui jalur alternatif. Reklamasi laut yang hampir selesai
gagal, karena ombak ganas menerjang. Dalam rencana reklamasi itu
diperuntukkan pembangunan pelabuhan modern.
Puluhan petani mendatangi kantor Bupati karena sawah-sawah mereka
terbenam dalam banjir. Menurut para petani sebabnya ialah pembangunan
perumahan mewah untuk pegawai Pemerintah Daerah oleh sebuah perusahaan
real-estate telah membuat tanggul-tanggul sehingga air mengalir ke arah yang
salah. "Hentikan pembangunan!"
"Persetan rumah mewah!"
"Pegawai untung, petani buntung!"
Bupati terpaksa menemui mereka. Bupati berjanji akan menegor
perusahan properti, dan menghentikan proyek itu. Mereka bubar tapi
mengancam akan datang lagi bersama anak isteri kalau janji Bupati tidak
ditepati dalam tiga hari.
Bupati memanggil pengusaha.
"Wah, Bapak memanggil orang yang salah. Itu sudah keputusan Dewan."
Dia menelepon Ketua Dewan. Tidak ada. Kemudian ditelepon Wakilnya.
Tidak ada. Wakilnya lagi, kosong. Bupati curiga. Lalu menyuruh Sekretaris ke
Dewan. Kantor Dewan kosong, tidak ada sidang, yang ada tukang sapu.
"Mereka sedang ke luar negeri. Studi banding."
"Studi banding atau melancong bersama isteri?"
"Mana saya tahu, Pak."
"Kampanye ke luar negeri, barangkali."
Bupati mengeluh, "Aji mumpung!"
Tiga hari kemudian para petani datang. Mereka bersama isteri, anak,
perlengkapan masak, dan kasur-kasur. Seperti para keluarga petani yang akan
bertransmigrasi ke luar Jawa. Mereka bertekad menginap di Kantor Bupati
sampai ada penyelesaian. Wartawan berdatangan. Mereka bertanya pada
Bupati. "No comment," kata Bupati.
Lalu mereka menginterviu para petani. Ketika keesokan paginya beritaberita sekitar banjir dan genangan air yang membusukkan tanaman di sawah
keluar di koran-koran, Bupati hanya bisa terdiam. Juga ketika ditanya soal
kosongnya Dewan. Sebuah koran memberitakan seolah-olah dia mengatakan
"kacang mangsa ninggala lanjaran" (bawahan mencontoh atasan), dia hanya
bisa menelan semua kepahitannya. Entah sampai kapan keruwetan itu
berakhir, ia pun tidak tahu.
4 UNTUK mengatasi masalah suplai ikan Bupati mengundang rapat stafnya.
"Ancam mereka dengan menaikkan pajak," usulnya.
"Itu terlalu lama. Perlu Peraturan Daerah, dan Partai Randu takkan
setuju. Sekarang musim kampanye."
Rapat itu tidak menghasilkan keputusan. Lalu Bupati mengundang
Komandan Tentara dan Kepala Polisi. Kepada Komandan Tentara dimintanya
mencari keberadaan Pak Modin, dan kepada Kepala Polisi ia mempunyai usul
untuk memaksa para nelayan menangkap ikan.
"Bagaimana kalau polisi memaksa para nelayan menangkap ikan?"
"Kekerasan tidak akan jalan, Pak. Tetapi akan kami coba."
Dengan sebuah megafon keesokan harinya sebuah jip polisi keliling
perkampungan nelayan. "Halo! Halo! Nelayan wajib mencari ikan. Kalau tidak, izin perahu akan
dicabut!" Rupa-rupanya nelayan menjadi terbiasa dengan polisi. Mereka tidak
juga bangkit. Polisi, pengadilan, dan tentara adalah makanan sehari-hari.
Resiko tertinggi adalah mati. Tidak seorang nelayan pun melaut.
Kepala Polisi menelepon Bupati tentang kegagalan itu.
"Saya punya usul untuk meningkatkan tekanan," kata Bupati.
"Apa?" "Setiap polisi ikut melaut bersama nelayan."
"Akan kami coba, demi daerah kita."
Maka terjadilah peristiwa yang tak ada duanya di dunia. Nelayan
dipaksa melaut. Seorang polisi pilihan (kekar, atletis, sehat) berada di atas
satu perahu. Sehabis subuh, lima belas perahu nelayan berangkat bersama
lima belas polisi. Para polisi berdiri tegar, tangan menyelempang ke belakang,
pistol di pinggang. Sebentar saja, ketika angin, ketika ombak, perahu oleng.
Para polisi tidak tahan. Badan dingin, keringat keluar, para polisi terduduk,
memegang pinggiran perahu. Perut mulas-mulas. Mereka muntah-muntah,
"Ho-ek, ho-ek". Dari lima belas polisi hanya seorang yang tidak muntahmuntah.
"Kita kembali!"
"Sebentar, Pak. Belum dapat ikan."
"Kembali saja!"
"Nanti tak dapat ikan."
"Tak dapat ikan tak apa."
Mereka kembali ke darat. Para polisi lapor, bahwa tugas sudah
dilaksanakan. Kepala Polisi senang. Segera dia menelepon Bupati untuk
menyampaikan berita baik itu. Bupati mengatakan bahwa pekerjaan itu perlu
diulang terus-menerus sampai para nelayan sadar. Bupati dengan bangga
menelepon kolega-koleganya di Jawa Barat, mengatakan bahwa ikan-ikan akan
segera membanjiri pasar. Kepala Polisi bilang pada bawahannya.
"Kalian akan kami usulkan dapat "Bintang Produksi". Besok diulang lagi.
Sampai mereka sadar."
"Ya, tugas dan bintang itu berikan saja pada orang lain."
"Polisi pantang membantah."
"Terus terang saja, Pak. Kami muntah-muntah."
"Lho! Jadi?" "Kami kembali sebelum dapat ikan. Jadi nelayan tidak mudah. Kalau
kami kena hukum, ya silakan."
Kepala Polisi berpikir keras untuk memberitahu Bupati aib yang sangat
memalukan itu. 5 EMAK angkat Wasripin pulang ke gunung. Tempat pertama yang
dikunjunginya ialah rumah seorang kiai. Ia mengaku banyak berdosa, dan
menyatakan ingin betul-betul bertaubat.
"Tuhan itu pengampun. Meskipun engkau datang dengan dosa sebesar
gunung, dia akan memaafkanmu. Nah, apa ada manusia yang pernah kau
sakiti?" "Ada. Wasripin dan paman Satiyem."
"Cari mereka sampai ketemu. Dan minta maaf pada manusia, baru
Tuhan akan memaafkanmu."
Maka mu lailah dia bertanya-tanya pada tetangga.
"O, ya. Satiyem baru saja mengirim undangan ke kami untuk menghadiri
pernikahan dengan seseorang bernama Wasripin."
Dia melihat undangan itu dan mencatat alamatnya.
Dia pergi mencari alamat itu. Sebuah surau di Pantura.
Tidak usah diceritakan perjalanannya, ia menyewa sebuah becak dari
jalan raya menuju perkampungan nelayan. Sampai, ia menyeberangi lapangan
dan menuju surau. Ia menyuruh becak berhenti dan bertanya kepada orang
pertama yang dijumpai. "Tolong, tunjukkan rumah Wasripin. Aku akan mencium lututnya, dan
minta maaf. Aku ingin keluar kata-katanya bahwa ia memaafkanku."
"Jadi belum dengar beritanya?"
Perempuan itu curiga, ia mencium sesuatu yang tak baik.
"Dia sudah pergi."
"Pergi?" "Meninggalkan dunia yang fana, pergi ke alam baka."
"Mati?" "Ya, Bu." Perempuan itu terduduk di tanah.
"Duh, Gusti! Minta maaf saja kok tidak boleh."
Untuk beberapa lama ia terdiam.
"Di mana kuburnya?"
"Di suatu tempat yang kita tidak tahu."
"Isterinya?" "Tidak diketahui ke mana dia pergi."
"Paman isterinya?"
"Kami tidak tahu, Bu."
Perempuan itu mencium tanah dua kali.
"Maafkan, emakmu. Maafkan, Mas."
Mengucapkan terima kasih, dan pergi.
6 SEBUAH jip hijau berhenti. Tiga orang tentara turun. Mereka memapah
seseorang berpiyama yang lusuh, lalu menaruh orang tua itu di tepi jalan.
Setotong bambu sepanjang dua meter dilemparkan. Jip itu pergi. Orang tua
merangkak memungut bambu itu. Orang tua yang ternyata bongkok itu
berjalan mondar-mandir, bertumpu tongkat bambu. Banyak orang lewat,
tetapi tak memperhatikan. Seorang lewat dengan sepeda motor. Orang itu
berhenti. "Pak Modin! Pak Modin!"
Orang tua itu diam saja, menatap dengan kosong. Orang tua itu
mengulurkan tangan. "Kenalkan saya Mister Mudin, Presiden NII."
"Bukan. Tapi Pak Modin, imam surau TPI."
"Saya berani sumpah. Pengangkatan sudah saya tanda tangani.
Disaksikan dua kopral, bersenjata lengkap."
"Tidak, Pak."

Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lha, siapa saya?"
Orang bersepeda motor itu tahu bahwa keadaan orang tua itu gawat.
Segera ia menitipkan sepeda motornya dan memanggil becak.
"Kok begini jadinya."
Ia menaikkan orang tua itu ke atas becak, dia sendiri duduk di samping,
memapah. Orang itu menangis.
"Mengapa engkau menangis?"
"Tidak apa!" "Kemana lagi saya akan dibawa?"
"Pulang ke rumah!"
"Apa" Rumah?"
"Ya, Pak." "Bajumu kotak-kotak. Kau bukan tentara?"
"Saya nelayan, Pak. Anakmu."
"Saya tak punya anak."
"Setiap nelayan anakmu."
"O, begitu." Hari itu Hari Pasar, sekalipun para nelayan belum melaut, pasar sudah
buka. Tukang becak itu turun dan mendorong becaknya.
Mereka yang kebetulan melihat penumpang becak berteriak.
"Pak Modin! Pak Modin!"
Mereka membentuk ekor panjang. Para lelaki sesenggrukan dan para
perempuan menangis. oOo TAMAT Pendekar Aneh Naga Langit 33 Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa Pendekar Jembel 16

Cari Blog Ini