Ceritasilat Novel Online

Beautiful Disaster 7

Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire Bagian 7


"Berjanjilah padaku," dia berkata, sambil mengerang saat mendorong lagi.
"Aku mencintaimu. Aku akan mencintaimu selamanya." Kata-kata itu lebih terdengar seperti desahan, namun aku menatap matanya ketika aku mengatakannya. Aku dapat melihat ketidakpastian di matanya menghilang, dan meskipun dalam cahaya redup, wajahnya terlihat bersinar.
Akhirnya merasa puas, dia mencium bibirku.
*** Travis membangunkanku dengan ciuman. Kepalaku terasa berat dan berkabut karena beberapa minuman yang aku minum tadi malam, namun satu jam sebelum aku jatuh tertidur berputar kembali di pikiranku dengan detil yang sangat jelas. Ciuman lembut menghujani setiap inchi tangan, lengan, dan leherku, lalu dia mencium bibirku, aku tersenyum.
"Selamat pagi," aku berkata sambil menciumnya.
Dia tidak menjawab; bibirnya terus menciumi bibirku. Tangannya yang kekar membungkusku, lalu dia membenamkan wajahnya di leherku.
"Kau pendiam pagi ini," aku berkata, sambil membelaikan tanganku di kulit punggungnya yang telanjang. Aku terus membelainya hingga bagian belakangnya, lalu aku mengaitkan kakiku di atas pinggulnya, mencium lehernya.
Dia menggelengkan kepalanya. "Aku hanya ingin seperti ini," dia berbisik.
Aku mengerutkan dahi. "Apakah aku melewatkan sesuatu""
"Aku tidak bermaksud untuk membangunkanmu. Kenapa kau tidak kembali tidur""
Aku bersandar ke belakang ke atas bantal, mengangkat dagunya. Matanya merah, kulit di sekelilingnya merah dan bernoda.
"Apa yang terjadi padamu"" tanyaku, waspada.
Dia meletakkan tanganku di atas tangannya lalu menciumnya, menekan dahinya ke leherku. "Kembalilah tidur, Pidge. Aku mohon""
"Apakah terjadi sesuatu" Apakah America"" pada pertanyaan terakhir, aku terduduk. Meskipun melihat ketakutan dalam mataku, ekspresinya tidak berubah. Dia hanya menghela nafas dan duduk bersamaku, melihat pada tanganku yang ada di tangannya.
"Tidak...America baik-baik saja. Mereka pulang ke rumah sekitar pukul empat pagi ini. Mereka masih tidur. Ini masih terlalu pagi, kembalilah tidur."
Merasakan jantungku berdebar di dadaku, aku tahu tidak akan mungkin kembali tidur. Travis menaruh tangannya di kedua sisi wajahku dan menciumku. Bibirnya bergerak dengan berbeda, seolah dia menciumku untuk terakhir kalinya. Dia menurunkanku di bantal, menciumku sekali lagi, lalu menyandarkan kepalanya di dadaku, memelukku erat dengan kedua lengannya.
Semua kemungkinan yang membuat Travis bersikap seperti ini terlintas di pikiranku seperti channel televisi. Aku memeluknya erat, merasa takut untuk bertanya. "Apakah kau tidak tidur""
"Aku...tidak bisa. Dan aku tidak ingin..." suaranya melemah.
Aku mencium keningnya. "Apapun itu, kita akan melaluinya, ok" Kenapa kau tidak tidur sebentar" Kita akan membicarakannya setelah kau bangun."
Kepalanya terangkat dan dia memeriksa wajahku. Aku melihat ketidakpercayaan dan harapan di matanya.
"Apa maksudmu kita akan melaluinya""
Alisku ditarik masuk, merasa bingung. Aku tidak dapat membayangkan apa yang telah terjadi pada saat aku tidur yang membuatnya sangat menderita seperti ini. "Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku ada di sini."
"Kau ada di sini" Seperti kau tinggal" Bersamaku""
Aku tahu bahwa ekspresiku pasti terlihat konyol, namun kepalaku berputar karena alkohol dan pertanyaan Travis yang aneh. "Ya. kupikir kita sudah membicarakannya tadi malam""
"Kita sudah membicarakannya," dia mengangguk.
Aku melihat sekeliling kamar, berpikir. Dindingnya tidak lagi polos seperti dulu saat kami pertama b
ertemu. Sekarang dindingnya dihiasi pernak-pernik dari tempat kami menghabiskan waktu bersama, dan cat putihnya terganggu oleh bingkai hitam yang memajang fotoku, kami, Toto, dan semua teman kami. Bingkai lebih besar yang memasang foto kami berdua saat ulang tahunku menggantikan topi sombrero yang dulu tergantung dengan paku di atas ujung kepala tempat tidur.
Aku memicingkan mataku padanya. "Kau pikir aku akan terbangun dan merasa kesal padamu, ya kan" Kau pikir aku akan pergi""
Dia mengangkat bahunya, melakukan sedikit usaha untuk terlihat tidak peduli yang biasanya sangat mudah untuknya. "Kau terkenal begitu."
"Itukah yang membuatmu kesal" Kau terjaga semalaman mengkhawatirkan apa yang akan terjadi saat aku terbangun""
Dia bergeser seolah kata berikutnya begitu sulit. "Aku tidak bermaksud tadi malam terjadi seperti itu. Aku sedikit mabuk, dan aku mengikutimu seperti penguntit, lalu aku menyeretmu keluar dari sana, di luar keinginanmu &lalu kita &," dia menggelengkan kepala, sangat jelas merasa jijik saat kejadian itu berputar di pikirannya.
"Merasakan seks terbaik dalam hidupku"" aku tersenyum, meremas tangannya.
Travis tertawa satu kali, ketegangan di sekitar matanya perlahan menghilang. "Jadi kita baik-baik saja""
Aku menciumnya, menyentuh satu sisi wajahnya dengan lembut. "Ya, bodoh. Aku sudah berjanji, bukan begitu" Aku mengatakan padamu semua yang ingin kau dengar, kita kembali bersama, dan kau masih belum merasa senang""
Wajahnya ditahan di sekitar senyumnya.
"Sayang, hentikan. Aku mencintaimu," aku berkata, melembutkan garis-garis khawatir di sekitar matanya. "Pertengkaran menggelikan ini seharusnya dapat berakhir pada hari Thanksgiving, tapi &"
"Tunggu...apa"" dia memotong, bersandar ke belakang.
"Aku sudah siap untuk menyerah saat Thanksgiving, tapi kau bilang kau sudah cukup berusaha untuk membuatku bahagia, dan aku terlalu gengsi untuk mengatakan padamu bahwa aku menginginkanmu kembali."
"Apakah kau bercanda" Aku hanya mencoba untuk membuat segalanya lebih mudah untukmu! Kau tahu bagaimana telah menderitanya aku""
Dahiku berkerut. "Kau terlihat baik-baik saja setelah liburan."
"Itu demi kau! Aku takut aku akan kehilanganmu kalau aku tidak berpura-pura menerima bahwa kita hanya teman."
"Aku..." Aku tidak bisa membantahnya; dia benar. Aku telah membuat kami berdua menderita, dan aku tidak bisa menyangkalnya. "Aku menyesal, maafkan aku."
"Kau menyesal" Aku nyaris membuatku mati karena mabuk, aku hampir tidak bisa turun dari tempat tidur, aku menghancurkan teleponku menjadi jutaan serpihan kecil pada Malam Tahun Baru agar tidak meneleponmu &dan kau menyesal""
Aku menggigit bibirku dan mengangguk, merasa malu. Aku tidak pernah tahu apa yang telah dia lalui, dan mendengar dia mengatakan itu membuat rasa sakit seperti tertusuk benda tajam di dadaku. "Aku benar-benar &minta maaf."
"Kau dimaafkan." Dia berkata sambil tersenyum. "Jangan pernah lakukan itu lagi."
"Tidak akan. Aku berjanji."
Dia memperlihatkan lesung pipinya sambil menggelengkan kepala. "Aku benar-benar mencintaimu."
*** Bab 21 ASAP Beberapa minggu telah berlalu, dan aku terkejut bagaimana cepatnya Liburan Musim Semi sudah hampir tiba. Aliran gosip dan tatapan yang telah kami perkirakan sudah mulai hilang, dan kehidupan sudah kembali ke normal. Ruang bawah tanah Eastern tidak mengadakan pertarungan sudah berminggu-minggu. Adam menegaskan untuk tetap low profile setelah insiden penangkapan yang menimbulkan pertanyaan apa sebenarnya yang telah terjadi pada malam itu, dan Travis menjadi mudah marah karena menunggu telepon yang akan memanggilnya untuk melakukan pertarungan terakhir tahun ini; pertarungan yang membayar hampir semua tagihannya selama musim panas, dan untuk hidup enak selama musim gugur.
Salju masih tebal di atas tanah, dan pada hari Jumat sebelum libur, pertarungan bola salju terakhir terjadi di halaman yang tertutupi es seperti kristal. Aku dan Travis menghindari salju yang berterbangan saat berjalan ke kafetaria, dan aku berpegangan erat pada lengan Travis, berusaha mengh
indari salju dan agar tidak terjatuh ke tanah.
"Mereka tidak akan melemparnya padamu, Pidge. Mereka tahu itu," kata Travis, menempelkan hidung merah dan dinginnya di pipiku.
"Arah lemparan mereka tidak sama dengan rasa takut mereka terhadap kemarahanmu, Trav."
Dia memelukku erat di sampingnya, menggosok-gosok lengan jaketku dengan tangannya saat dia menuntunku melewati kekacauan itu. Kami tiba-tiba berhenti berjalan saat beberapa wanita yang melintas berteriak karena dilempari bola salju tanpa ampun oleh tim baseball. Setelah mereka pergi, Travis membawaku dengan aman ke pintu.
"Lihat kan" Aku sudah bilang kita akan berhasil," dia berkata sambil tersenyum.
Rasa girangnya menghilang saat bola salju padat mengenai pintu, tepat di antara wajah kami. Mata Travis menatap memeriksa halaman, ada beberapa mahasiswa menatap ke arah lain karena takut pada keinginan Travis untuk membalas dendam.
Dia menarik pintu terbuka, memperhatikan salju yang mencair meluncur ke bawah pintu besi yang di cat ke tanah. "Ayo kita masuk."
"Ide yang bagus," aku mengangguk.
Dia menuntun tanganku ke jalur prasmanan, menempatkan berbagai macam makanan kukus dalam satu nampan. Kasir sudah menghentikan ekspresi tercengangnya yang sudah diperkirakan oleh kami dari beberapa minggu yang lalu, karena sudah terbiasa dengan kebiasaan kami.
"Abby." Brazil mengangguk padaku lalu mengedipkan sebelah matanya pada Travis. "Kalian berdua sudah punya rencana minggu depan""
"Kami akan tinggal di sini. Kakak-kakakku akan datang kemari," kata Travis, mengalihkan perhatiannya saat dia mengatur makan siang kami, membagi dua piring styrofoam kecil di hadapan kami di atas meja.
"Aku akan membunuh Davis Lapinski!" America mengumumkan, membersihkan salju dari rambutnya saat dia mendekat.
"Tepat sasaran!" Shepley tertawa. America memandangnya dengan tatapan peringatan dan tawanya berubah menjadi cekikikan gugup. "Maksudku &dasar brengsek dia."
Kami tertawa melihat ekspresi menyesalnya saat dia memperhatikan America melangkah menuju jalur prasmanan, Shepley langsung mengikutinya.
"Dia benar-benar takut pada America," kata Brazil dengan ekspresi sebal di wajahnya.
"America sedikit tegang," Travis menjelaskan. "Dia akan bertemu orangtua Shepley minggu ini."
Brazil mengangguk, alisnya terangkat ke atas. "Jadi mereka akan &"
"Menuju ke sana," kataku, mengangguk bersamanya."Ini permanen."
"Wow," kata Brazil. Keterkejutan tidak hilang dari wajahnya saat dia menyuapkan makanan, dan aku dapat melihat rasa bingung di sekitarnya. Kami semua masih muda, dan Brazil tidak mengerti komitmen Shepley.
"Ketika kau merasakannya, Brazil &kau akan mengerti rasanya," kata Travis sambil tersenyum padaku.
Kafetaria bising oleh kegembiraan, karena pertarungan bola salju di luar dan beberapa jam terakhir menuju liburan yang berlalu dengan cepat. Saat tempat duduk penuh, suara mengobrol yang mengalir dengan stabil berubah menjadi suara keras yang bergema, volume meningkat saat semua orang mulai berbicara melawan kebisingan.
Pada saat Shepley dan America kembali sambil membawa nampan, mereka telah berbaikan. Dengan senang dia duduk di sampingku, berceloteh tentang momen bertemu-orangtua mendatangnya. Mereka akan pergi sore ini untuk bertemu orangtua Shepley, alasan sempurna untuk menjadi salah satu krisis America yang terkenal.
Aku memperhatikannya memilih roti saat dia mencemaskan apa yang harus dikemas dan berapa banyak tas yang bisa dia bawa tanpa kelihatan berlebihan, namun dia terlihat berusaha menahannya.
"Aku sudah mengatakannya padamu, sayang. Mereka akan mencintaimu. Mencintaimu seperti aku mencintaimu, aku mencintaimu," kata Shepley, menyelipkan rambut America ke belakang telinganya. America menarik nafas dan ujung bibirnya tertarik ke atas seperti biasanya setelah Shepley membuatnya lebih tenang.
Telepon Travis bergetar, menyebabkannya meluncur beberapa inchi di atas meja. Dia mengabaikannya, terus membicarakan dengan antusias tentang permainan poker pertama kami dengan semua kakaknya Travis kepada Brazil. Aku melirik sekilas
pada layar, menepuk bahu Travis saat aku membaca nama di layar.
"Sayang"" Tanpa permisi pada Brazil, dia berpaling dari Brazil lalu memberiku perhatian penuhnya. "Ya, Pigeon""
"Kau mungkin ingin menjawabnya."
Dia melihat ke bawah pada handphone-nya dan menghela nafas, "Atau tidak."
"Itu mungkin penting."
Dia mengerutkan bibirnya sebelum mengangkat telepon ke telinganya. "Ada apa, Adam"" Matanya melihat ke sekeliling ruangan sambil mendengarkan, mengangguk sesekali. "Ini pertarungan terakhirku, Adam. Aku masih belum yakin. Aku tidak akan pergi tanpanya dan Shepley akan pergi ke luar kota. Aku tahu &aku mendengarmu. Hmmm &itu sebenarnya bukan ide yang buruk."
Alisku ditarik masuk, melihat matanya bersinar karena apa pun ide Adam telah membuatnya ceria. Ketika Travis menutup telepon, aku menatapnya penuh harap. "Itu akan cukup untuk membayar uang sewa selama delapan bulan ke depan. Adam mendapatkan John Savage. Dia sedang berusaha untuk menjadi petarung profesional."
"Aku belum pernah melihat dia bertarung, apakah kau sudah pernah"" tanya Shepley, bersandar ke depan.
Travis mengangguk. "Pernah satu kali di Springfield. Dia bagus."
"Tidak cukup bagus," kataku. Travis mendekat dan mencium lembut keningku dengan apresiasi. "Aku bisa tinggal di rumah, Trav."
"Tidak," dia berkata sambil menggelengkan kepala.
"Aku tidak ingin kau terkena pukulan seperti waktu itu karena kau mengkhawatirkan aku."
"Tidak, Pidge."
"Aku akan menunggumu," aku tersenyum, berusaha terlihat lebih bahagia pada ide itu dari yang sebenarnya aku rasakan.
"Aku akan meminta Trent untuk datang. Dia satu-satunya orang yang aku percaya sehingga aku bisa berkonsentrasi pada pertarungan."
"Terima kasih banyak, bajingan," Shepley menggerutu.
"Hey, kau sudah mendapatkan kesempatanmu," kata Travis, hanya setengah meledeknya.
Bibir Shepley ditarik ke samping karena menyesal. Dia masih merasa bersalah karena kejadian malam itu di Hellerton. Dia meminta maaf padaku setiap hari selama seminggu, akhirnya rasa bersalahnya bisa dikendalikan menjadi hanya menderita dalam diam. Aku dan America berusaha meyakinkannya bahwa dia tidak bersalah, namun Travis selalu menganggap bahwa Shepley-lah yang bertanggung jawab.
"Shepley, itu bukan salahmu. Kau menariknya menjauh dariku, ingat"" kataku, meraih ke belakang America untuk menepuk lengan Shepley. Lalu aku melihat pada Travis, "Kapan pertarungannya""
"Minggu depan," dia mengangkat bahunya. "Aku ingin kau ada di sana. Aku membutuhkanmu untuk berada di sana."
Aku tersenyum, meletakkan daguku di bahunya. "Kalau begitu aku akan berada di sana."
Travis mengantarku ke kelas, genggamannya menjadi lebih erat beberapa kali setiap kali aku tergelicir di atas salju. "Kau harus lebih berhati-hati," ledeknya.
"Aku melakukannya dengan sengaja, bodoh."
"Jika kau ingin aku memelukmu, kau hanya tinggal bilang," Travis berkata sambil menarikku ke pelukannya.
Kami tidak mempedulikan mahasiswa yang melintas dan bola salju yang melayang di atas kepala kami saat dia mencium bibirku. Kakiku terangkat dari tanah dan dia terus menciumku, mengangkatku dengan mudah melintasi kampus. Saat dia menurunkanku di depan pintu kelas, dia menggelengkan kepalanya.
"Nanti saat kita mengatur jadwal kita semester depan, akan lebih bagus kalau kita mengambil lebih banyak mata kuliah yang sama."
"Aku setuju," jawabku, memberinya sebuah ciuman lagi sebelum menuju tempat dudukku.
Aku melihat ke atas, dan Travis memberiku satu senyuman lagi sebelum berjalan menuju kelasnya di gedung sebelah. Orang-orang di sekitarku sudah terbiasa melihat pertunjukan kasih-sayang kami yang tidak tahu malu seperti teman sekelas Travis yang sudah terbiasa melihatnya terlambat masuk kelas beberapa menit.
Aku terkejut waktu berlalu dengan cepat. Aku menyerahkan jawaban ujian terakhirku hari ini dan berjalan menuju aula asrama. Kara sedang duduk di tempat biasanya di atas tempat tidur, membaca, saat aku menggeledah laciku mencari beberapa barang yang aku butuhkan.
"Kau akan pergi ke luar kota"" tanya Kara.
"Tidak, aku hanya membutuhkan beberapa barang. Aku akan ke gedung Sains untuk menjemput Travis, lalu aku akan berada di apartemennya selama seminggu."
"Aku sudah menduganya," dia berkata, masih tetap melihat ke halaman bukunya.
"Semoga liburanmu menyenangkan, Kara."
"Mmmmm." Kampus hampir kosong, masih ada beberapa orang yang keluyuran. Saat aku berbelok, aku melihat Travis berdiri di luar, menghabiskan rokoknya. Dia memakai topi rajutan di atas kepala yang rambutnya telah di cukur habis dan satu tangannya masuk ke dalam saku jaket kulit berwarna coklat tua yang dipakainya. Asap keluar dari lubang hidungnya saat dia melihat ke bawah, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Hingga tinggal beberapa kaki aku darinya, baru aku menyadari betapa kacau pikirannya.
"Apa yang sedang kau pikirkan, sayang"" tanyaku. Dia tidak mengangkat kepalanya ke atas. "Travis""
Matanya berkedip beberapa kali ketika suaraku terdengar olehnya dan ekspresi sedihnya berganti menjadi sebuah senyuman yang dipaksakan. "Hai, Pigeon."
"Semuanya baik-baik saja""
"Semua baik-baik saja sekarang," jawab Travis, menarikku ke pelukannya.
"Baiklah. Ada apa"" aku berkata sambil cemberut dan mengangkat alisku, memperlihatkan rasa raguku.
"Hanya sedang memikirkan banyak hal," dia menghela nafas. Ketika aku menunggu dengan harap, dia melanjutkan. "Tentang minggu ini, pertarungan, dan tentang kau akan berada di sana nanti &"
"Aku sudah bilang kalau aku akan tinggal di rumah saja."
"Aku membutuhkanmu di sana, Pidge." dia berkata sambil membuang rokok ke bawah. Dia memperhatikannya menghilang ke dalam jejak kaki di salju lalu memegang tanganku, menarikku ke tempat parkir.
"Apakah kau sudah bicara dengan Trent"" tanyaku.
Dia menggelengkan kepalanya. "Aku sedang menunggu dia menelepon balik."
America menurunkan jendela mobilnya dan menjulurkan kepalanya keluar dari mobilnya Shepley. "Cepatlah! Di sini sangat dingin!"
Travis tersenyum dan mempercepat langkahnya, membukakan pintu mobil untukku. Shepley dan America mengulangi pembicaraan yang sama yang telah mereka bicarakan beberapa kali sejak America mengetahui akan bertemu dengan orangtua Shepley sementara aku memperhatikan Travis yang sedang memandang keluar jendela. Pada saat kami berhenti di tempat parkir apartemen, telepon Travis berbunyi.
"Apa yang terjadi, Trent"" dia berkata saat menjawab teleponnya. "Aku meneleponmu empat jam yang lalu, seperti orang sibuk saja. Terserahlah. Dengar, aku membutuhkan bantuanmu. Aku akan bertarung minggu depan. Aku ingin kau datang. Aku belum tahu kapan waktunya, tapi saat aku meneleponmu nanti, aku ingin kau datang dalam waktu satu jam. Bisakah kau melakukannya untukku" Bisa apa tidak, bodoh" Karena aku ingin kau menjaga Pigeon. Ada orang brengsek yang menyentuhnya terakhir kali dan &ya." Nada suaranya menjadi menakutkan. "Aku sudah membereskannya. Jadi kalau aku menelepon &" Thank's Trent."
Travis menutup telepon dan menyandarkan kepalanya di kursi mobil.
"Sudah merasa lebih tenang"" tanya Shepley, melihat Travis dari kaca spion.
"Yap. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan kalau dia tidak datang."
"Aku sudah mengatakannya padamu." Aku memulai.
"Pidge, berapa kali aku harus mengatakannya padamu"" dia merengut.
Aku menggelengkan kepala karena nada kesalnya. "Aku tidak mengerti. Kau tidak membutuhkanku di sana dulu."
Jarinya dengan lembut memegang pipiku. "Karena aku belum mengenalmu dulu. Kalau kau tidak berada di sana aku tidak bisa berkonsentrasi. Aku bertanya-tanya kau ada di mana, apa yang sedang kau lakukan &jika kau di sana dan aku bisa melihatmu, aku bisa fokus. Aku tahu ini gila, tapi itu yang terjadi."
"Dan gila seperti itulah yang aku sukai," aku tersenyum, mendekat untuk mencium bibirnya.
"Tentu saja," America bergumam pelan.
*** Di bawah bayangan gedung aula Keaton, Travis memelukku erat di sampingnya. Uap dari nafasku bersatu dengan uap nafasnya di udara malam yang dingin, dan aku dapat mendengar percakapan pelan terdengar dari pintu samping yang hanya berjarak beberapa kaki, tidak menyada
ri kehadiran kami. Keaton adalah gedung tertua di Eastern, dan meskipun The Circle pernah diadakan di sana sebelumnya, ada perasaan tidak enak mengenai tempatnya. Adam mengharapkan penonton yang banyak, dan ruang bawah tanah Keaton bukanlah ruang bawah tanah yang paling luas di kampus. Beberapa balok disusun menjadi kotak sepanjang dinding bata tua, sebagai tanda gedung ini sedang di renovasi.
"Tempat ini adalah ide terburuk Adam," Travis menggerutu.
"Sudah terlambat untuk mengubahnya sekarang." Aku berkata sambil memandangi perancah.
Telepon Travis menyala dan dia melihat pada layar. Wajahnya menjadi berwarna biru karena lampu dari layar, dan aku dapat melihat dua garis khawatir di antara alisnya yang aku sudah tahu ada di sana. Dia memijit tombol dan menutup teleponnya, memelukku lebih erat.
"Kau tampak gugup malam ini," bisikku.
"Aku akan merasa lebih tenang kalau si bodoh Trent sudah ada di sini."
"Aku di sini, dasar kau gadis kecil cengeng," kata Trent, dengan suara pelan. Aku hampir tidak dapat melihatnya di kegelapan, namun senyumnya bersinar di bawah sinar bulan.
"Bagaimana kabarmu, Sis"" kata Trent. Dia memelukku dengan satu tangan, dan mendorong Travis dengan tangan satunya.
"Aku baik-baik saja, Trent."
Travis langsung terlihat tenang, lalu dia menuntun tanganku ke belakang gedung.
"Jika ada polisi dan kita terpisah, kita bertemu di asrama , ok"" kata Travis pada kakaknya. Kami berhenti di depan jendela yang terbuka yang menuju ruang bawah tanah, tanda bahwa Adam sudah berada di dalam dan sedang menunggu.
"Kau serius"" kata Trent, menatap jendela. "Abby saja tidak akan muat ke jendela itu."
"Kau akan muat," Travis meyakinkannya, merangkak ke bawah masuk ke dalam kegelapan. Seperti sebelumnya, aku membungkuk dan mendorong mundur tubuhku, tahu Travis akan menangkapku.
Kami menunggu beberapa saat, lalu mendengar Trent menggerutu saat melewati jendela kecil itu dan mendarat di lantai, hampir kehilangan keseimbangan saat kakinya mendarat di lantai semen.
"Kau beruntung aku mencintai Abby. Aku tidak akan melakukan ini untuk orang lain," Trent menggerutu, membersihkan baju dengan tangannya.
Travis melompat ke atas, dengan gerakan cepat dia menarik jendela hingga tertutup. "Lewat sini," kata Travis, mengarahkan kami di kegelapan.
Dari lorong ke lorong, aku berpegangan dengan erat pada lengan Travis, merasakan Trent berpegangan pada ujung bajuku. Aku dapat mendengar kerikil semen yang terinjak di lantai. Mataku terbuka lebih lebar, berusaha untuk menyesuaikannya dengan kegelapan ruang bawah tanah, namun tidak ada sedikitpun cahaya yang dapat membuat kami fokus.
Trent menghela nafas saat kami berbelok untuk ketiga kalinya. "Kita tidak akan menemukan jalan keluar dari sini."
"Ikuti aku saja nanti. Semua akan baik-baik saja," kata Travis, merasa terganggu karena keluhan Trent.
Ketika lorong menjadi sedikit terang, aku tahu kami sudah semakin dekat. Saat gemuruh pelan penonton terdengar menjadi teriakan gelisah yang meneriakan nama dan angka, aku tahu kami sudah sampai. Di ruangan tempat Travis menunggu dipanggil biasanya hanya terdapat satu lentera dan satu kursi, namun karena sedang renovasi, ruangan ini dipenuhi oleh meja, kursi dan beberapa peralatan yang ditutupi kain putih.
Travis dan Trent sedang mengatur strategi untuk pertarungan saat aku mengintip keluar. Di luar sama penuh dan kacaunya seperti pada saat pertarungan terakhir waktu itu, tapi dengan ruangan yang lebih kecil. Perabotan ditutupi kain berdebu berderet di dekat dinding, yang disingkirkan untuk memberi ruang untuk para penonton.
Ruangan itu lebih gelap dari pada biasanya, dan aku rasa Adam hanya ingin berhati-hati untuk tidak menarik perhatian pada apa yang sedang kami lakukan. Lentera digantung di langit-langit, menciptakan efek terlihat lebih kumal pada uang yang diangkat ke atas saat taruhan masih dibuka.
"Pigeon, kau mendengar apa yang aku katakan"" tanya Travis, menyentuh lenganku.
"Apa"" aku bertanya sambil berkedip.
"Aku ingin kau berdiri di dekat pintu ini, ok" Berpegangan
pada lengan Trent sepanjang waktu."
"Aku tidak akan bergerak. Aku janji.
Travis tersenyum, lesung pipi sempurnanya terlihat di pipinya. "Sekarang kau yang terlihat gugup."
Aku melirik ke arah pintu lalu kembali menatap Travis. "Perasaanku tidak enak, Trav. Bukan karena pertarungannya, tapi karena &sesuatu. Tempat ini membuatku takut."
"Kita tidak akan lama di sini." Kata Travis berusaha menenangkanku. Suara Adam terdengar dari pengeras suara, lalu sepasang tangan hangat yang aku kenal memegang kedua sisi wajahku. "Aku mencintaimu," kata Travis sambil mengangkatku dari lantai, memelukku erat saat dia menciumku. Dia menurunkanku ke lantai lalu meletakkan tanganku di lengan Trent. "Jangan lepaskan pandanganmu darinya," kata Travis pada kakaknya. "Walaupun hanya satu detik, tempat ini akan menjadi kacau setelah pertarungan dimulai."
" &mari kita sambut penantang kita malam ini &JOHN SAVAGE!"
"Aku akan menjaganya dengan hidupku, adikku," kata Trent sambil menarik-narik lenganku. "Sekarang pergi kalahkan orang itu agar kita bisa cepat pergi dari sini."
" &TRAVIS 'MAD DOG' MADDOX!" Adam berteriak di pengeras suara.
Suara di ruangan itu memekakkan telinga saat Travis berjalan menerobos kerumunan. Aku melihat ke arah Trent, ada senyuman kecil di wajahnya. Orang lain mumgkin tidak akan melihatnya, tapi aku dapat melihat rasa bangga di matanya.
Saat Travis masuk ke tengah The Circle, aku menelan ludah. Tubuh John tidak lebih besar dari Travis, namun dia terlihat berbeda dari orang yang pernah Travis lawan sebelumnya, bahkan dari pria yang Travis lawan di Vegas. Dia tidak berusaha mengintimidasi Travis dengan tatapan menakutkan seperti yang lain; dia sedang mempelajari gerakan Travis, mempersiapkan cara untuk bertarung melawan Travis di dalam pikirannya. Matanya selain terlihat sedang menganalisa, itu juga terlihat kosong. Aku tahu sebelum pertarungan dimulai bahwa Travis tidak hanya akan sekedar bertarung, dia sedang berdiri berhadapan dengan iblis.
Travis tampaknya menyadari perbedaannya juga. Seringai yang biasanya ada sekarang tidak ada, digantikan dengan tatapan intens. Saat tanda pertarungan dimulai, John menyerang.
"Ya Tuhan," aku berkata sambil mencengkeram kuat lengan Trent.
Trent bergerak seperti Travis, seolah mereka adalah orang yang sama. Aku semakin tegang setiap John mengayunkan pukulannya, melawan dorongan untuk menutup mataku. Tidak ada gerakan yang sia-sia; John sangat lihai dan penuh perhitungan. Kalau dibandingkan, lawan Travis yang lain terlihat sangat ceroboh. Kekuatan yang belum terlatih di balik setiap pukulan pria itu saja sudah membuat kagum, seolah semuanya telah diatur dan dilatih agar sempurna.
Udara di ruangan itu menjadi berat dan pengap; debu dari kain penutup beterbangan dan masuk ke tenggorokanku setiap kali aku menarik nafas. Semakin lama pertarungan berlangsung, semakin tidak enak perasaanku. Aku tidak bisa menghilangkannya, namun aku memaksa diriku untuk tetap diam di tempatku agar Travis dapat berkonsentrasi.
Pada satu waktu, aku terhipnotis oleh pemandangan di tengah ruang bawah tanah, saat berikutnya, aku didorong dari belakang. Kepalaku tersentak karenanya, namun aku mencengkram lebih erat, menolak untuk bergerak dari tempat yang sudah aku janjikan. Trent melihat ke belakang dan menarik baju dua orang pria di belakang kami lalu mendorongnya ke lantai seolah mereka hanyalah boneka kain.
"Mundur atau aku akan membunuhmu!" dia berteriak pada mereka yang menatap dua pria yang jatuh itu. Aku mencengkram lengannya lebih erat dan dia menepuk tanganku. "Aku akan melindungimu, Abby. Tonton saja pertarungannya."
Travis melakukannya dengan baik, dan aku menarik nafas saat dia melukai pria itu. Penonton semakin histeris, namun peringatan Trent membuat orang-orang di sekitar kami menjaga jarak aman. Travis mendaratkan pukulan kuat lalu melirik padaku, langsung mengembalikan perhatiannya pada John. Gerakannya gesit, hampir penuh perhitungan, terlihat seperti dapat meramalkan serangan John, bahkan sebelum John melakukannya.
Karena John sudah tidak sabar, dia m
elilitkan tangannya ke tubuh Travis, menariknya ke bawah. Seperti satu kesatuan, kerumunan yang mengelilingi ring buatan menjadi semakin berdesakan, semua ingin melihat ke dalam ring saat pertarungan terjadi di lantai.
"Aku tidak bisa melihatnya, Trent!" aku berteriak sambil berjinjit.
Trent melihat sekeliling, menemukan kursi kayu Adam. Dengan gerakan seperti sedang berdansa, dia memindahkanku dari tangan satu ke tangan yang satunya, membantuku naik kursi sehingga aku sekarang berada di atas penonton. "Bisakah kau melihatnya""
"Ya!" aku berkata sambil memegang tangan Trent agar tidak jatuh. "Dia berada di atas John, tapi kakinya John melilit leher Travis!"
Tubuh Trent miring ke depan sambil berjinjit, meletakkan tangannya yang bebas di sekitar mulutnya, "BANTING PANTATNYA, TRAVIS!"
Aku melirik sekilas pada Trent di bawah lalu memiringkan tubuhku ke depan agar dapat melihat lebih jelas pada ke dua pria yang berada di lantai. Tiba-tiba Travis berdiri, kaki John masih berada di lehernya.
Travis kemudian terjatuh di atas lututnya, membanting punggung dan kepala John ke lantai semen dengan keras. Kaki John terkulai, melepaskan leher Travis, lalu Travis memundurkan sikunya, memukuli John terus menerus dengan kepalan tangannya yang dikepalkan dengan rapat hingga Adam menariknya menjauh dari John, melemparkan kain merah kotak ke arah tubuh John yang terkulai.
Kegembiraan meledak di ruangan itu saat Adam mengangkat tangan Travis ke udara. Trent memeluk kakiku, sambil berteriak mengucapkan selamat atas kemenangannya pada adiknya. Travis melihat ke atas ke arahku sambil tersenyum lebar dan berdarah; mata kanannya mulai bengkak.
Saat uang berpindah tangan dan kerumunan mulai berpencar dan bersiap untuk keluar, mataku melihat ke arah lentera yang berkelap-kelip dan bergoyang ke depan dan ke belakang tak terkendali di ujung ruangan di belakang Travis. Cairan menetes dari dasarnya, membasahi kain penutup di bawahnya. Perutku langsung mual.
"Trent"" Setelah mendapat perhatiannya, aku menunjuk ke ujung ruangan. Pada saat itu juga, lentera jatuh dari gantungannya, ke atas kain penutup di bawahnya, langsung meledak menjadi kobaran api.
"Ya Tuhan!" Trent berkata sambil memegang kakiku.
Beberapa pria yang ada di sekitar api langsung loncat menjauh, melihat terpana pada api saat merembet pada kain di dekatnya. Asap hitam keluar dari pojok, dan dengan bersamaan, semua orang di ruangan ini menjadi panik, saling mendorong untuk keluar.
Aku menatap mata Travis, dan pandangan ketakutan terlihat di wajahnya.
"Abby!" dia berteriak, mendorong lautan manusia yang ada diantara kami.
"Ayo!" Trent berteriak sambil menarikku dari kursi ke sampingnya.
Ruangan menjadi gelap, dan suara keras seperti ada yang meledak terdengar dari sisi lain ruangan. Lentera lain memicu dan membuat api semakin besar dengan ledakan kecil. Trent menarik lenganku, menarikku di belakangnya saat dia berusaha menerobos orang-orang untuk keluar.
"Kita tidak bisa keluar lewat situ! Kita harus kembali ke jalan tempat kita masuk tadi!" aku berteriak, memberontak.
Trent melihat ke sekeliling, membuat rencana untuk keluar di tengah-tengah kebingungan. Aku melihat pada Travis lagi, melihatnya berusaha melintasi ruangan. Saat orang-orang semakin banyak, Travis terdorong semakin jauh. Teriakan gembira sebelumnya berganti menjadi jeritan ketakutan dan keputusasaan saat semua orang berusaha untuk keluar.
Trent menarikku ke pintu, dan aku melihat ke belakang, "Travis!" aku berteriak, mencoba meraihnya.
Dia terbatuk, menggerak-gerakkan tangannya agar asap menjauhinya.
"Ke arah sini, Trav!" Trent memanggilnya.
"Bawa saja dia keluar dari sini, Trent! Bawa Pigeon keluar!" dia berkata sambil terbatuk-batuk.
Merasa ragu, Trent melihat ke arahku. Aku dapat melihat rasa takut di matanya. "Aku tidak tahu jalan keluar!"
Aku melihat ke arah Travis sekali lagi, dia berada di dekat api yang sudah menyebar kemana-mana. "Travis!"
"Cepat pergi! Kita akan bertemu di luar!" suaranya tenggelam di antara kekacauan yang ada di sekitar kami
, dan aku menarik lengan baju Trent.
"Lewat sini, Trent!" kataku, merasakan airmata dan asap membakar mataku. Banyak orang yang panik di antara Travis dengan satu-satunya pintu untuk dia keluar.
Aku menarik tangan Trent, mendorong semua orang yang menghalangiku. Kami tiba di pintu keluar, lalu aku melihat ke depan dan ke belakang. Dua lorong gelap menjadi remang-remang diterangi api yang ada di belakang kami.
"Lewat sini!" Kataku, menarik tangannya lagi.
"Kau yakin"" tanya Trent, suaranya terdengar sangat ragu dan ketakutan.
"Ayo!" kataku menarik tangannya sekali lagi.
Semakin jauh kami berlari, lorong menjadi semakin gelap. Setelah beberapa saat, aku benafas semakin mudah karena asap berada jauh di belakang, namun suara jeritan tidak berkurang, malah semakin kencang dan panik dari sebelumnya. Suara mengerikan di belakang kami menguatkan tekadku, membuat langkahku semakin cepat tapi terarah. Pada belokan ke dua, kami berjalan tanpa bisa melihat apa pun dalam kegelapan. Aku meletakkan tangan di depanku, merasakan dinding sepanjang jalan dengan tanganku yang bebas, mencengkeram tangan Trent dengan tangan yang lain.
"Apa kau pikir dia berhasil keluar"" tanya Trent.
Pertanyaannya merusak konsentrasiku, dan aku berusaha mendorong keluar jawabannya dari pikiranku. "Terus berjalan," kataku, tercekat.
Trent berhenti sebentar, namun saat aku menariknya lagi, ada cahaya remang-remang. Dia memegang pemantik api, memicingkan mata untuk mencari jalan keluar. Aku mengikuti cahaya saat dia menggerakkannya mengelilingi lorong, dan aku terkesiap saat pintu keluar terlihat.
"Lewat sini!" aku berkata sambil menariknya lagi.
Saat aku bergegas melintasi ruangan berikutnya, segerombolan orang menabrakku, membuatku terjatuh ke lantai. Tiga wanita dan dua pria, semua wajahnya kotor dan mata yang lebar dan ketakutan menatapku.
Salah satu pria menarikku untuk membantuku berdiri. "Ada beberapa jendela di sana yang bisa kita lalui untuk keluar." dia berkata.
"Kami baru saja datang dari arah sana, tidak ada apa-apa di sana," aku berkata sambil menggelengkan kepala.
"Kau pasti tadi tidak melihatnya. Aku tahu itu ada di sana!"
Trent menarik tanganku. "Ayo, Abby, mereka tahu jalan keluar!"
Aku menggelengkan kepala. "Kita masuk dari sini bersama Travis. Aku tahu itu."
Trent memegangku lebih erat. "Aku sudah berjanji pada Travis untuk selalu bersamamu. Kita akan pergi bersama mereka."
"Trent, kita tadi dari sana &tidak ada jendela di sana!"
"Ayo kita pergi, Jason!" teriak salah satu wanita.
"Kami akan pergi," kata Jason, melihat ke arah Trent.
Trent menarik tanganku lagi dan aku melepaskannya. "Trent, aku mohon! Lewat sini, aku yakin!"
"Aku akan pergi bersama mereka," kata Trent, "Aku mohon ikutlah bersamaku."
Aku menggelengkan kepala, air mata jatuh di pipiku. "Aku sudah pernah kemari sebelumnya. Itu bukan jalan untuk keluar!"
"Kau harus ikut bersamaku!" dia membentak sambil menarik lenganku.
"Trent, hentikan! Kita pergi ke arah yang salah!" aku menangis.
Kakiku terseret di atas lantai semen saat dia menarikku bersamanya. Dan ketika bau asap semakin kuat, aku menarik lepas tanganku, berlari ke arah yang berlawanan.
"ABBY! ABBY!" Trent memanggilku.
Aku terus berlari, sambil meletakkan tangan di depanku, agar tidak menabrak dinding.
"Ayo pergi! Dia akan membuatmu terbunuh!" teriak seorang wanita.
Bahuku menabrak dinding dan aku berputar, terjatuh ke lantai. Aku merangkak di atas lantai, sambil tetap meletakkan tangan di depanku. Ketika jariku menyentuh eternit, aku menelusurinya lalu berdiri. Ujung pintu terasa di bawah sentuhanku dan aku mengikutinya ke ruangan sebelah.
Kegelapan tiada akhir, namun aku berusaha menghilangkan rasa panikku, dengan hati-hati menjaga agar langkahku tetap lurus, mengapai dinding berikutnya. Beberapa menit berlalu, dan aku merasakan ketakutan yang mucul di dalam diriku saat suara ratapan terdengar.
"Aku mohon," aku berbisik di dalam kegelapan, "Jadikan ini jalan keluar."
Aku merasakan ujung pintu lain, dan saat aku masuk, seberkas
cahaya berwarna perak bersinar di hadapanku. Cahaya bulan masuk menerobos kaca jendela, dan isak tangis keluar dari tenggorokanku.
"T-TRENT! Ada di sini!" aku memanggil ke belakangku. "TRENT!"
Aku memicingkan mataku, melihat gerakan kecil di kejauhan. "Trent"" panggilku, jantungku berdegup kencang di dadaku. Dalam sekejap, sebuah bayangan menari di dinding, dan mataku terbelalak ngeri ketika aku menyadari bahwa apa yang tadi aku kira adalah bayangan seseorang ternyata adalah kobaran api.
"Ya Tuhan," aku berkata sambil melihat ke arah jendela. Travis tadi menutupnya, dan itu terlalu tinggi untuk bisa aku raih.
Aku melihat sekeliling mencari sesuatu untuk dinaiki. Ruangan itu penuh dengan perabotan kayu yang ditutupi kain putih. Kain yang sama yang akan dilahap api hingga ruangan ini menjadi seperti neraka.
Aku menarik sepotong kain putih, melepasnya dari sebuah meja. Debu beterbangan di sekitarku saat kain itu dilempar ke bawah lalu menyeret kayu berukuran besar itu melintasi ruangan ke bawah jendela. Aku mendorongnya menempel ke dinding dan aku menaikinya, terbatuk karena asap yang perlahan menyusup ke dalam ruangan. Jendela itu masih beberapa kaki di atasku.
Aku mendengus setiap kali mencoba untuk mendorongnya terbuka, dengan asal memutar kunci ke depan dan ke belakang sambil mendorong. Jendela itu sama sekali tidak bergeming.


Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayolah, sialan!" aku berteriak, bersandar di lenganku.
Aku miring ke belakang, menggunakan seluruh berat badanku dengan sedikit kekuatan yang dapat aku usahakan untuk memaksanya terbuka. Ketika itu tidak berhasil, aku memasukan kukuku ke dalam celah jendela, mencongkel dan menariknya hingga aku rasa kukuku terangkat dari kulitku. Cahaya berkelebat di ujung mataku, dan aku berteriak ketika aku melihat api merembet ke kain putih sepanjang lorong yang aku lalui tadi.
Aku melihat ke jendela, sekali lagi menancapkan kukuku ke ujung jendela. Darah menetes dari ujung jariku, ujung jendela yang terbuat dari besi menyayat kulitku. Instingku muncul mengalahkan semua akal sehatku, dan aku mengepalkan tanganku, memukul-mukul kaca. Kaca jendelanya sedikit retak, diikuti percikan darahku setiap kali memukul.
Aku memukul kacanya sekali lagi dengan kepalan tanganku, lalu melepas sepatuku, membantingnya ke jendela dengan kekuatan penuh. Suara sirene terdengar di kejauhan dan aku terisak menangis, memukul-mukulkan telapak tanganku ke jendela. Sisa hidupku hanya berjarak beberapa inchi, di balik jendela. Aku mencongkel jendela sekali lagi, lalu mulai memukul kaca dengan kedua tanganku.
"TOLONG AKU!" aku berteriak, melihat api yang sudah semakin mendekat. "SIAPAPUN, TOLONG AKU!
Suara batuk samar-samar terdengar di belakangku. "Pigeon""
Aku langsung berputar karena mendengar suara yang aku kenal. Travis muncul dari pintu di belakangku, wajah dan bajunya penuh dengan abu.
"TRAVIS!" aku menangis. Aku bergegas turun dari meja dan berlari menuju tempat dia berdiri, kehabisan tenaga dan kotor.
Aku berlari ke arahnya, dan dia memelukku, terbatuk saat dia menarik nafas. Tangannya memegang kedua pipiku.
"Di mana Trent"" tanyanya, suaranya serak dan lemah.
"Dia mengikuti mereka!" aku menjawab sambil menangis, air mata mengalir di wajahku. "Aku sudah mencoba membujuknya untuk ikut denganku, tapi dia tidak mau!"
Travis melihat ke bawah ke arah api yang semakin mendekat. Aku menarik nafas, terbatuk ketika asap memenuhi paru-paruku. Dia melihat ke arahku, matanya berkaca-kaca. "Aku akan mengeluarkan kita dari sini, Pidge." Dia menciumku dengan gerakan cepat dan kuat, lalu dia naik ke atas tangga buatanku.
Dia mendorong jendela, dan memutar kuncinya, semua ototnya bergetar saat dia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendorong kaca.
"Mundur, Abby! Aku akan memecahkan kacanya!"
Takut untuk bergerak, aku hanya bisa menjauh satu langkah dari satu-satunya jalan kami untuk keluar. Sikunya Travis ditekuk saat dia mengangkat kepalan tangannya ke belakang, berteriak saat dia memukulkannya ke jendela. Aku berpaling, menutup wajah dengan tanganku yang berdarah saat kaca pecah
di atasku. "Ayo!" dia berteriak, mengulurkan tangannya padaku. Panas api memenuhi ruangan, dan aku melayang di udara saat dia mengangkatku dari lantai dan mendorongku keluar.
Aku menunggu sambil berlutut saat Travis memanjat keluar, lalu membantunya berdiri. Suara sirene menggelegar dari belakang gedung, dan cahaya merah biru dari lampu mobil pemadam kebakaran dan polisi menari di dinding bata gedung sebelah.
Kami berlari menuju kerumunan orang yang berdiri di depan gedung, mencari wajah kotor Trent. Travis meneriakkan nama kakaknya, suaranya semakin terdengar putus asa pada setiap panggilan. Dia mengeluarkan handphonenya untuk memeriksa apakah ada missed call lalu menutupnya, menutup mulut dengan tangannya yang hitam.
"TRENT!" Travis berteriak, memanjangkan lehernya saat dia mencarinya di kerumunan.
Mereka yang telah berhasil keluar berpelukan dan merintih di belakang mobil ambulans, menatap ngeri saat mobil pemadam kebakaran menyemprotkan air melalui jendela dan para pemadam kebakaran berlari ke dalam, menarik selang di belakang mereka.
Travis mengacak-acak rambut pendek di atas kepalanya, menggelengkan kepalanya. "Dia tidak berhasil keluar," dia berkata dengan suara pelan. "Dia tidak berhasil keluar, Pidge."
Nafasku tercekat saat aku melihat abu di pipinya tercoreng oleh air mata. Dia jatuh berlutut dan aku mengikutinya.
"Trent pintar, Trav. Dia pasti berhasil. Dia pasti menemukan jalan keluar lain," aku berkata, mencoba meyakinkan diriku juga.
Travis roboh di pangkuanku, mencengkeram bajuku dengan kedua tangannya. Aku memeluknya. Aku tidak tahu apalagi yang harus aku lakukan.
Satu jam telah berlalu. Kami memandang dengan harapan yang semakin menipis saat pemadam kebakaran membawa keluar dua orang, masuk lalu keluar lagi tanpa membawa apapun. Ketika paramedis mengobati orang yang terluka dan ambulans melaju di kegelapan malam membawa korban yang terbakar, kami menunggu. Setengah jam kemudian, pemadam kebakaran membawa keluar mayat-mayat orang yang tidak terselamatkan. Korban tewas dijajarkan di atas tanah, jumlahnya melebihi jumlah orang yang selamat. Travis tetap menatap ke arah pintu, menunggu mereka mengeluarkan kakaknya dari abu.
"Travis"" Kami menoleh bersamaan dan melihat Adam berdiri di samping kami. Travis berdiri, menarikku bersamanya.
"Aku senang melihat kalian berhasil keluar," kata Adam, terlihat terpana dan kebingungan.
"Di mana Trent""
Travis tidak menjawab. Pandangan kami kembali ke arah aula Keaton yang hangus terbakar, asap tebal masih membumbung dari jendela. Aku memendamkan kepalaku di dada Travis, menutup rapat mataku, berharap aku akan segera terbangun dari mimpi.
"Aku harus uh &aku harus menelepon ayahku," kata Travis, alisnya menyatu saat dia membuka handphonenya.
Aku mengambil nafas, berharap suaraku terdengar lebih kuat dari yang aku rasakan. "Mungkin kau harus menunggu, Travis. Kita belum mengetahui apapun."
Matanya tidak berpaling dari tombol angka, dan bibirnya gemetar. "Ini tidak mungkin terjadi. Dia seharusnya tidak berada di sana."
"Itu kecelakaan, Travis. Kau tidak bisa mengetahui hal seperti ini akan terjadi," aku berkata sambil menyentuh pipinya.
Wajahnya ditahan, matanya tertutup rapat. Dia menarik nafas panjang dan mulai menghubungi nomor telepon ayahnya.
*** Bab 22 PESAWAT JET Nomor di layar berganti menjadi sebuah nama ketika telepon berdering, dan mata Travis terbelalak saat dia membacanya. Telepon berada di atas telinganya dengan gerakan cepat.
"Trent"" suara tawa tidak percaya keluar dari bibirnya, dan sebuah senyuman terlihat di wajahnya saat dia melihat ke arahku, "Ini Trent!" Aku menarik nafas dan meremas lengannya ketika dia berbicara. "Di mana kau" Apa maksudmu kau di asrama" Aku akan ke sana sekarang, jangan kemana-mana!"
Aku tersentak ke depan, mencoba mengikuti langkah Travis saat dia berlari dengan cepat melintasi kampus, menyeretku di belakangnya. Ketika kami tiba di asrama, paru-paruku berteriak menginginkan udara. Trent berlari menuruni tangga, menabrak kami berdua.
"Ya Tuhan, bro! K upikir kau sudah terbakar!" Trent berkata sambil memeluk kami berdua dengan erat hingga aku kesulitan untuk bernafas.
"SIALAN kau!" Travis berteriak sambil mendorong kakaknya menjauh. "Aku pikir kau sudah mati! Aku menunggu pemadam kebakaran membawa tubuhmu yang hangus terbakar keluar dari Keaton!"
Travis mengerutkan dahinya pada Trent untuk beberapa saat, lalu menarik dan memeluknya. Tangannya menjulur keluar, meraba-raba hingga dia merasakan bajuku, lalu menarikku juga ke pelukannya. Setelah beberapa saat, Travis melepaskan Trent, namun tetap menggandengku di sampingnya.
Trent melihatku dengan tatapan meminta maaf. "Maafkan aku, Abby. Aku panik."
Aku menggelengkan kepalaku. "Aku senang kau tidak apa-apa."
"Aku" Aku akan lebih memilih mati jika Travis melihatku keluar dari gedung itu tanpa dirimu. Aku berusaha menemukanmu setelah kau lari, tapi aku tersesat dan harus mencari jalan lain. Aku berjalan menelusuri gedung mencari jendela itu, tapi aku bertemu dengan beberapa orang polisi dan mereka memaksaku keluar. Aku diangkut keluar dari sana!" kata Trent, mengacak-acak rambut pendeknya.
Travis mengelap pipiku dengan jempolnya, lalu menarik kaosnya, menggunakannya untuk membersihkan abu dari wajahnya. "Ayo kita pergi dari sini. Sebentar lagi akan banyak polisi berkeliaran di tempat ini."
Setelah memeluk kakaknya sekali lagi, kami berjalan menuju mobil Honda milik America. Travis memperhatikanku memasang sabuk pengaman lalu mengerutkan dahinya saat aku terbatuk.
"Mungkin aku harus membawamu ke rumah sakit. Untuk memeriksamu."
"Aku baik-baik saja," jawabku, menggenggam jarinya di jariku. Aku melihat ke bawah, ada luka yang dalam di ruas jarinya. "Itu akibat pertarungan atau jendela""
"Jendela," jawabnya, merengut saat melihat kukuku yang berdarah.
"Kau menyelamatkan hidupku, kau tahu."
Dia merengut. "Aku tidak akan keluar tanpa dirimu."
"Aku tahu kau akan datang," aku tersenyum, meremas jarinya.
*** Kami tetap berpegangan tangan hingga kami tiba di apartemen. Aku tidak tahu darah siapa saat aku membersihkan noda merah dan abu dari tubuhku di bawah pancuran. Menjatuhkan diri ke atas tempat tidur Travis, aku masih dapat mencium bau asap dan kulit yang terbakar.
"Nih," kata Travis, menyodorkan gelas pendek yang terisi cairan berwarna kuning tua, "Ini akan membuatmu tenang."
"Aku tidak lelah."
Dia menyodorkan gelas itu lagi. Matanya tampak lelah, merah, dan berat. "Cobalah untuk beristirahat, Pidge."
"Aku merasa takut untuk menutup mataku," aku berkata sambil mengambil gelas itu dan meminumnya.
Dia mengambil gelas yang sudah kosong dan meletakkannya di meja, duduk di sampingku. Kami duduk terdiam, membiarkan beberapa jam yang lalu tercerna. Aku menutup rapat mataku saat teringat jerit ketakutan dari mereka yang terjebak di bawah tanah memenuhi pikiranku. Aku tak yakin berapa lama bagiku untuk bisa melupakannya, atau aku mungkin tak akan pernah melupakannya.
Tangan hangat Travis di lututku menarikku dari mimpi burukku. "Banyak orang yang meninggal malam ini."
"Aku tahu." "Besok baru kita akan tahu jumlahnya berapa banyak."
"Aku dan Trent berpapasan dengan sekelompok orang saat akan keluar. Aku penasaran apa mereka berhasil keluar. Mereka tampak sangat ketakutan &"
Aku merasakan air mata memenuhi mataku, namun sebelum mereka turun di pipiku, tangan kekar Travis memelukku. Aku langsung merasa terlindungi, berdekatan dengan tubuhnya. Merasa seperti di rumah saat berada dalam pelukannya yang dulu membuatku takut. Namun saat ini, aku bersyukur aku bisa merasa aman setelah mengalami kejadian yang sangat menyeramkan. Hanya ada satu alasan mengapa aku merasa seperti itu.
Aku miliknya. Saat itulah aku tahu. Tanpa keraguan di pikiranku, tanpa merasa khawatir akan apa yang akan dipikirkan orang lain, dan tidak merasa takut salah atau menerima konsekuensinya, aku tersenyum pada apa yang akan aku katakan.
"Travis"" aku berkata di dadanya.
"Apa, sayang"" jawabnya pelan.
Telepon kami berbunyi bersamaan, dan aku menyerahkan telepon Travis padanya saat aku m
engangkat teleponku. "Halo""
"ABBY"" America memekik.
"Aku baik-baik saja, Mare. Kami baik-baik saja."
"Kami baru mendengarnya! Ada di semua berita!"
Aku dapat mendengar Travis yang sedang menjelaskan bagaimana kejadiannya pada Shepley di sampingku, dan aku berusaha sebaik mungkin untuk menenangkan America. Menjawab semua pertanyaannya, berusaha menjaga suaraku tetap tenang saat menceritakan kembali kejadian yang paling menakutkan dalam hidupku, aku merasa tenang sesaat setelah Travis memegang tanganku.
Aku seperti sedang menceritakan pengalaman orang lain, duduk dengan nyaman di apartemen Travis, berada jauh dari mimpi buruk yang bisa saja membuat kami berdua kehilangan nyawa. America menangis ketika aku selesai, menyadari bagaimana nyarisnya kami kehilangan nyawa kami.
"Aku akan mulai berkemas sekarang. Kami akan pulang besok pagi," America terisak.
"Mare, tidak perlu pulang cepat. Kami baik-baik saja."
"Aku harus melihatmu. Aku harus memelukmu sehingga aku yakin kau tidak apa-apa," dia menangis.
"Kami baik-baik saja. Kau bisa memelukku hari Jumat."
Dia terisak lagi. "Aku menyayangimu."
"Aku juga menyayangimu. Selamat bersenang-senang."
Travis melihat ke arahku lalu menekan teleponnya dengan kuat di telinganya, "Sebaiknya kau memeluk kekasihmu, Shep. Dia terdengar sedih. Aku tahu, man &aku juga. Sampai bertemu nanti."
Aku menutup telepon beberapa detik sebelum Travis, dan kami duduk terdiam beberapa saat, masih memproses apa yang telah terjadi. Setelah beberapa lama, Travis bersandar ke bantal, lalu menarikku ke atas dadanya.
"America baik-baik saja"" dia bertanya sambil memandangi langit-langit.
"Dia sangat sedih. Tapi dia akan baik-baik saja."
"Aku sangat lega mereka tak ada di sini."
Aku menutup rapat gigiku. Aku bahkan tidak memikirkan apa yang akan terjadi seandainya mereka tidak sedang berada di rumah orang tua Shepley. Pikiranku kembali pada ekspresi ketakutan para wanita yang ada di ruang bawah tanah, melawan para pria untuk keluar. Mata ketakutan America menggantikan wanita tanpa nama di ruangan itu. Aku merasa mual memikirkan rambut pirangnya yang indah menjadi kotor dan hangus bersama dengan mayat-mayat yang tergeletak di halaman.
"Aku juga." Aku berkata sambil gemetar.
"Kau sudah melalui banyak hal malam ini. Aku seharusnya tidak menambah bebanmu."
"Kau juga berada di sana, Trav."
Dia terdiam beberapa saat, dan pada saat aku membuka mulutku lagi untuk bicara, dia menarik nafas.
"Aku jarang merasa takut," dia akhirnya bicara. "Aku takut pada saat pertama kali aku terbangun di pagi hari dan kau tidak ada di sini. Aku takut ketika kau meninggalkanku sepulang dari Las Vegas. Aku takut saat aku pikir aku harus memberitahu ayahku bahwa Trent meninggal di dalam gedung itu. Tapi pada saat aku melihatmu melewati api di ruang bawah tanah &aku merasa sangat ketakutan. Aku berhasil mendekati pintu, beberapa kaki dari pintu keluar, dan aku tidak bisa melangkah keluar."
"Apa maksudmu" Apa kau gila"" kataku, kepalaku tersentak ke atas untuk menatap matanya.
"Aku tak pernah merasa seyakin ini tentang apapun dalam hidupku. Aku berbalik, berjalan menuju ruangan tempat kau berada. Aku tidak mempedulikan yang lain. Aku bahkan tak tahu apakah kita akan selamat atau tidak, aku hanya ingin bersamamu, apa pun artinya itu. Satu-satunya yang aku takutkan adalah untuk hidup tanpamu, Pidge."
Aku mendekat, mencium bibirnya dengan lembut. Saat bibir kami terpisah, aku tersenyum. "Kalau begitu tidak ada yang perlu kau takuti lagi. Kita untuk selamanya."
Dia menghela nafas. "Aku akan melakukannya lagi, kau tahu. Aku tidak akan menukar satu detik pun jika itu artinya kita akan berada di sini, saat ini."
Mataku terasa berat, dan aku menarik nafas dalam. Paru-paruku memprotes, masih merasa terbakar karena asap. Aku terbatuk sedikit, lalu merasa tenang, merasakan bibir hangat Travis di keningku. Tangannya di atas rambutku yang basah, dan aku dapat mendengar detak jantungnya yang teratur di dadanya.
"Ini dia" dia berkata sambil menghela nafas.
"Apa"" "Momen ini. Ketika aku memandangimu yang sedang tidur &kedamaian di wajahmu" Ini dia. Aku tidak pernah merasakannya setelah ibuku meninggal, tapi aku dapat merasakannya lagi." Dia kembali menarik nafas dalam dan menarikku lebih dekat. "Aku langsung tahu begitu melihatmu ada sesuatu tentangmu yang aku butuhkan. Ternyata sama sekali bukan sesuatu tentangmu. Tapi dirimu."
Ujung bibirku terangkat ke atas saat aku menyembunyikan wajahku di dadanya. "Itulah kita, Trav. Tidak ada yang masuk akal, kecuali kita bersama. Apakah kau menyadari itu""
"Menyadari" Aku telah mengatakannya padamu sepanjang tahun!" dia meledek. "Sudah resmi. Wanita murahan, pertarungan, perpisahan, Parker, Vegas &bahkan api &hubungan kita dapat menghadapi apapun."
Aku mengangkat kepalaku lagi, melihat kepuasan di matanya saat dia menatapku. Itu sama dengan kedamaian yang aku pernah lihat di wajahnya sesaat setelah aku kalah taruhan dan harus tinggal bersamanya di apartemen, setelah aku mengatakan padanya kalau aku mencintainya untuk pertama kali, dan pada pagi hari setelah acara Valentine. Itu semua mirip, tapi berbeda. Yang ini mutlak-permanen. Harapan hati-hatinya telah menghilang dari matanya, kepercayaan tanpa syarat menggantikannya.
Aku mengenali itu karena matanya mencerminkan apa yang aku rasakan.
"Vegas"" tanyaku.
Alisnya mengernyit, tidak yakin apa maksudku. "Ya""
"Apakah kau pernah berpikir untuk kembali ke sana""
Alisnya mengernyit lagi. "Kupikir itu bukan ide yang bagus untukku."
"Bagaimana kalau kita pergi kesana hanya untuk satu malam""
Dia melihat ke sekeliling ruangan yang gelap, merasa bingung. "Satu malam""
"Menikahlah denganku," aku mengatakannya tanpa ragu. Aku terkejut karena betapa cepat dan mudahnya kata-kata itu keluar.
Bibirnya terbuka menjadi sebuah senyuman lebar. "Kapan""
Aku mengangkat bahuku. "Kita dapat memesan tiket pesawat untuk besok. Sekarang sedang Libur Musim Semi. Tidak ada yang harus aku lakukan besok, apakah ada yang harus kau lakukan besok""
"Aku akan menerima gertakanmu," dia berkata sambil mengangkat telepon. "American Airlines," dia berkata sambil memperhatikan reaksiku dengan teliti saat panggilannya tersambung. "Aku membutuhkan dua tiket ke Vegas. Besok. Hmmmmm &," dia melihat ke arahku, menungguku berubah pikiran. "Dua hari, pulang-pergi. Apapun yang anda punya."
Aku meletakkan daguku di dadanya, menunggunya memesan tiket. Semakin lama aku membiarkannya menelepon, semakin lebar juga senyumannya.
"Ya &uh, tunggu sebentar," dia berkata sambil menunjuk ke dompetnya. "Tolong ambil kartu kreditku, Pidge"" dia menunggu reaksiku lagi. Dengan senang aku mengambilnya keluar dari dompet dan menyerahkannya pada Travis.
Travis menyebutkan nomornya pada agen, melihat ke arahku setiap dia menyebutkan satu angka. Saat dia menyebutkan tanggal berlaku kartu dan melihat aku tidak memprotesnya, dia menutup bibirnya rapat. "Ehm, ya. Kami akan mengambilnya ke sana. Terima kasih."
Dia menyerahkan teleponnya padaku dan aku meletakkannya di atas meja, menunggunya berbicara.
"Kau baru saja memintaku untuk menikahimu," dia berkata, masih menungguku untuk mengakui kalau itu adalah tipuan.
"Aku tahu." "Itu tadi serius, kau tahu. Aku baru saja memesan dua tiket ke Vegas untuk besok sore. Itu artinya kita akan menikah besok malam."
"Terima kasih."
Dia memicingkan matanya. "Kau akan menjadi Mrs. Maddox ketika kau mulai kuliah hari senin."
"Oh," aku berkata sambil melihat sekeliling.
Alis Travis naik. "Berubah pikiran""
"Aku akan mengurus perubahan dokumen penting minggu depan."
Dia mengangguk pelan, dengan hati-hati berharap. "Kau akan menikahiku besok""
Aku tersenyum. "Ah ha."
"Kau serius""
"Yap." "Aku sangat mencintaimu!" dia menarik kedua sisi wajahku, menciumku dengan keras. "Aku sangat mencintaimu, Pigeon," dia berkata sambil terus menerus menciumiku.
"Ingat selalu itu selama lima puluh tahun mendatang saat aku masih mengalahkanmu dalam permainan poker," aku tersenyum geli.
Dia tersenyum, penuh kemenangan. "Jika itu berarti enam atau tujuh puluh ta
hun bersamamu, Sayang &kau mendapat izinku untuk melakukan sebisamu."
Aku menaikkan satu alisku, "Kau akan menyesali itu."
"Kau mau taruhan""
Aku tersenyum sejahat mungkin yang aku bisa. "Apa kau cukup yakin untuk mempertaruhkan motor mengkilap yang di luar itu""
Dia menggelengkan kepalanya, ekspresi serius mengantikan senyum menggodanya yang dia berikan beberapa detik yang lalu. "Aku akan mempertaruhkan semua yang aku punya. Aku tak menyesali satu detik pun saat bersamamu, Pidge, dan aku tak akan pernah."
Dia memegang tanganku dan menariknya tanpa ragu, menggoyangkannya sekali, lalu mendekatkannya ke mulutnya, menekan bibirnya dengan lembut di tanganku. Kamar menjadi hening, bibirnya meninggalkan kulitku dan satu-satunya suara yang terdengar adalah suara udara yang meninggalkan paru-parunya.
"Abby Maddox &," kata Travis, senyumnya berkilau di bawah sinar bulan.
Aku menekan pipiku ke dadanya yang telanjang. "Travis dan Abby Maddox. Harus punya cincin yang bagus untuk itu."
"Cincin"" kata Travis, merengut.
"Kita akan pikirkan tentang cincin nanti, Sayang. Aku hanya asal bicara."
"Ehm &" dia terdiam, memperhatikanku menunggu reaksiku.
"Apa"" aku bertanya, merasa tegang.
"Jangan panik ya," dia berkata saat dia bergeser dengan gugup. Pegangannya padaku menjadi lebih erat. "Sepertinya &aku sudah menangani masalah itu."
"Masalah apa"" tanyaku, aku memanjangkan leherku untuk melihat wajahnya.
Dia menatap langit-langit lalu menghela nafas. "Kau pasti akan panik."
"Travis &" Aku cemberut saat dia melepaskan satu tangannya dariku, meraih laci di meja lampu tidurnya. Dia meraba-raba beberapa saat dan aku meniup poni basah dari mataku.
"Apa" Kau membeli kondom""
Dia tertawa satu kali, "Bukan, sayang." Alisnya bersatu saat dia terus mencari, meraih lebih jauh ke dalam laci. Setelah dia menemukan apa yang dia cari, perhatiannya beralih, dan dia menatapku saat menarik satu kotak kecil dari tempat persembunyiannya.
Aku melihat ke bawah saat dia meletakkan kotak beludru di atas dadanya, lalu meletakkan tangan di belakang kepalanya.
"Apa itu"" tanyaku.
"Kelihatannya apa""
"Ok. Aku akan mengulang pertanyaanku &kapan kau membelinya""
Travis menarik nafas, dan saat dia melakukan itu, kotak itu naik bersamaan dengan dadanya, dan turun saat dia mengeluarkan udara dari paru-parunya. "Beberapa saat yang lalu."
"Trav &," "Aku hanya kebetulan melihatnya pada suatu hari &dan aku langsung tahu ada satu tempat di mana seharusnya itu berada &di jari kecilmu yang indah."
"Suatu hari kapan""
"Apakah itu penting"" bantahnya. Dia meringis sedikit, dan aku tidak dapat menahan tawaku.
"Bolehkah aku melihatnya"" aku tersenyum, tiba-tiba merasa pening.
Dia juga tersenyum, dan melihat ke arah kotak. "Bukalah."
Aku menyentuhnya dengan satu jari, merasakan beludru tebal di bawah ujung jariku. Aku menggenggam kotak berwarna emas itu dengan kedua tanganku, perlahan membuka tutupnya. Aku melihat cahaya kelap-kelip di dalamnya dan aku langsung menutupnya lagi.
"TRAVIS!" aku menjerit.
"Aku tahu kau akan panik!" Travis berkata sambil terduduk dan memegang tanganku.
Aku dapat merasakan kotak itu di dalam genggaman tanganku, seperti sebuah granat berduri yang dapat meledak kapan saja. Aku menutup mata dan menggelengkan kepalaku. "Apakah kau gila""
"Aku tahu. Aku tahu apa yang kau pikirkan, tapi aku harus membelinya. Itu adalah cincin yang paling tepat. Dan aku benar. Aku bahkan belum pernah menemukan yang sesempurna ini lagi."
Aku membuka mataku dan bukannya sepasang mata coklat cemas yang aku lihat, matanya justru berkilau karena bangga. Dengan perlahan dia melepas genggaman tanganku dari kotak lalu membuka tutupnya, menarik cincin dari celah kecil yang menahannya. Berlian bulat besar berkilau meskipun dalam cahaya yang redup, setiap fasetnya menangkap sinar bulan.
"Itu &ya Tuhan, sangat menakjubkan," aku berbisik saat dia mengambil tanganku.
"Bolehkah aku menyematkannya di jarimu"" dia bertanya, melihat ke arahku. Ketika aku mengangguk, dia menutup rapat bibirnya, mema
sukkan lingkaran berwarna perak ke jariku, menahannya untuk beberapa saat sebelum melepaskannya. "Sekarang baru menakjubkan."
Kami berdua memandangi tanganku untuk beberapa saat, sama-sama terkejut karena betapa kontrasnya berlian yang besar berada di atas jariku yang kecil. Lingkaran itu membentang di bagian bawah jariku, terbagi menjadi dua lingkaran yang menyatu di ujung tempat berlian besar itu berada, berlian yang lebih kecil berjajar di setiap lingkaran yang terbuat dari emas putih.
"Kau bisa membayar uang muka untuk sebuah mobil dengan ini," kataku, berbisik, tidak mampu lagi menambah kekuatan pada suaraku.
Mataku mengikuti tanganku yang Travis dekatkan ke bibirnya. "Aku telah membayangkan seperti apa jadinya saat ini berada di jarimu jutaan kali. Sekarang cincin ini sudah di situ &"
"Kenapa"" aku tersenyum, melihatnya menatap tanganku dengan senyuman emosional.
Dia menatapku. "Kupikir aku harus berusaha selama lima tahun sebelum aku dapat merasakan hal ini."
"Aku sangat menginginkan ini sama sepertimu. Hanya saja aku memiliki poker face," aku tersenyum lalu menciumnya.
*** EPILOG Travis meremas tanganku saat aku menahan nafasku. Aku berusaha menjaga agar wajahku tetap terlihat tenang, namun ketika aku meringis, genggaman tangannya semakin erat. Langit-langit putih ternoda oleh bekas bocor di beberapa tempat. Selain dari itu, ruangan ini sempurna. Tidak ada kekacauan, atau peralatan yang berserakan. Semua berada di tempatnya, membuatku cukup nyaman tentang situasi ini. Aku telah membuat keputusan. Aku akan melakukannya.
"Sayang &," Travis berkata sambil meringis.
"Aku bisa melakukannya," kataku, melihat pada noda di langit-langit. Aku terlonjak saat ujung jari menyentuh kulitku, namun aku berusaha untuk tidak tegang. Aku dapat melihat rasa cemas di mata Travis saat suara berdengung terdengar.
"Pigeon"" kata Travis mulai bicara lagi, namun aku menggelengkan kepala untuk membuatnya diam.
"Baiklah. Aku siap." Aku menjauhkan telepon dari telingaku, meringis karena sakit dan karena ceramah yang tidak bisa dihindari.
"Aku akan membunuhmu, Abby Abernathy!" jerit America. "Membunuhmu!"
"Secara teknis, aku Abby Maddox sekarang," aku berkata sambil melirik pada suami baruku.
"Itu tidak adil!" dia merengek, sudah tidak terdengar marah lagi. "Aku kan seharusnya menjadi pendamping pengantin wanitamu! Aku seharusnya berbelanja baju bersamamu, mengadakan pesta lajang dan memegangi karangan bungamu!"
"Aku tahu," kataku, melihat senyum Travis menghilang saat aku meringis lagi.
"Kau tidak harus melakukan ini, kau tahu," dia berkata sambil menarik alisnya menjadi satu.
Aku meremas jarinya dengan tanganku yang bebas. "Aku tahu."
"Kau sudah mengatakan itu tadi!" America membentak.
"Aku tidak sedang bicara padamu."
"Oh, kau sedang bicara denganku," dia mulai marah lagi. "Kau sangat sedang bicara denganku. Kau tidak akan pernah mendengar akhir dari ini, kau dengar aku" Aku selamanya tidak akan pernah memaafkanmu!"
"Kau pasti akan memaafkanku."
"Kau! Kau adalah seorang &! Kau sangat jahat, Abby! Kau adalah sahabat yang buruk!"
Aku tertawa, membuat pria yang duduk di sampingku tersentak. "Jangan bergerak, Mrs. Maddox."
"Maaf," kataku.
"Siapa itu"" bentak America.
"Itu Griffin." "Siapa Griffin" Biar aku tebak, kau mengundang orang asing ke pernikahanmu bukannya sahabatmu"" nada suaranya semakin tinggi pada setiap pertanyaan.
"Tidak. Dia tidak datang ke pernikahan," kataku, menarik nafas.
Travis menghela nafas dan bergeser dengan gugup di atas kursinya, meremas tanganku.
"Aku yang seharusnya melakukan itu, ingat"" aku berkata sambil tersenyum padanya dalam kesakitan.
"Maaf. Kupikir aku tidak bisa menahannya," kata Travis, suaranya terdengar penuh dengan penderitaan. Dia melonggarkan cengkeramannya lalu melihat ke arah Griffin.
"Cepatlah sedikit,"
Griffin menggelengkan kepalanya. "Penuh dengan tatoo, tapi tidak tahan ketika melihat kekasihmu membuat tatoo berupa tulisan yang sederhana. Aku akan selesai sebentar lagi, Mate."
Travis merengu t. "Istri. Dia istriku."
America menarik nafas saat pembicaraan itu terproses di pikirannya. "Kau membuat sebuah tatoo" Ada apa denganmu, Abby" Apakah kau menghirup asap beracun di kebakaran itu""
Aku melihat perutku, ke arah lumuran tinta hitam berantakan di atas tulang pinggul bawahku kemudian tersenyum. "Trav punya tatoo namaku di pergelangan tangannya," aku menarik nafas lagi ketika suara berdengung berlanjut. Griffin mengelap kelebihan tinta dari kulitku dan mulai lagi. Aku berbicara sambil menutup rapat gigiku, "Kami sudah menikah. Aku ingin melakukannya juga."
Travis menggelengkan kepala. "Kau tidak harus melakukannya."
Aku memicingkan mataku. "Jangan mulai lagi. Kita sudah membahas masalah ini."
America tertawa satu kali. "Kau sudah gila. Aku akan memasukkanmu ke rumah sakit jiwa saat kau pulang nanti." Suaranya tetap terdengar tajam dan jengkel.
"Itu bukan gila. Kami saling mencintai. Kami sudah seperti tinggal bersama hampir sepanjang tahun. Jadi kenapa tidak""
"Karena kau baru sembilan belas tahun, idiot! Karena kau kabur dan tidak memberitahu siapapun, dan karena aku tidak ada di sana!" teriaknya.
"Maafkan aku, Mare, aku harus pergi. Sampai bertemu besok, ok""
"Aku tidak tahu apa aku ingin bertemu denganmu besok! Aku rasa aku tidak ingin bertemu Travis lagi selamanya!" Dia mencibir.
"Aku akan menemuimu besok, Mare. Kau pasti ingin melihat cincinku."
"Dan tatoomu," kata America, terdengar ada sebuah senyuman dalam suaranya.
Aku menutup telepon, menyerahkannya pada Travis. Suara berdengung terdengar lagi, dan perhatianku fokus pada rasa seperti terbakar yang diikuti perasaan lega yang manis saat Griffin mengelap sisa tinta. Travis memasukan teleponku ke dalam sakunya, memegang tanganku dengan kedua tangannya, bersandar mendekat ke arahku lalu menempelkan dahinya di dahiku.
"Apakah kau merasa ketakutan seperti ini saat kau membuat tatoo mu"" aku bertanya padanya, tersenyum melihat ekspresi cemas di wajahnya.
Dia bergeser, terlihat seperti merasakan rasa sakitku seribu kali lebih besar. "Uh &tidak. Ini berbeda. Ini lebih, lebih parah."
"Selesai!" kata Griffin, suaranya sama leganya dengan ekspresi Travis.
Aku menjatuhkan kepalaku ke sandaran kursi. "Terima kasih Tuhan!"
"Terima kasih Tuhan!" Travis menghela nafas, menepuk tanganku.
Aku melihat ke bawah ke arah garis hitam indah di atas kulitku yang merah:
Mrs. Maddox "Wow," kataku, mengangkat kedua sikuku untuk dapat melihat dengan lebih baik.
Kerutan dahi Travis berubah menjadi senyum penuh kemenangan. "Itu sangat indah."
Griffin menggelengkan kepalanya. "Jika aku mendapat satu dolar setiap istri yang di bawa suami barunya kemari untuk di tatoo dan merasa lebih takut dari istrinya &well. Aku tidak perlu mentatoo siapapun lagi selamanya."
"Katakan saja berapa harus aku bayar, bodoh," Travis menggerutu.
"Bonnya ada di meja kasir," kata Griffin, merasa geli mendengar jawaban Travis.
Aku melihat ke sekeliling ruangan lalu pandanganku tertuju pada krom mengkilap dan poster contoh tatoo di tembok, lalu kembali melihat perutku. Nama terakhir baruku bersinar dalam bentuk huruf hitam tebal.
Travis melihatku dengan bangga, lalu memandang ke bawah ke arah cincin kawinnya yang terbuat dari titanium.
"Kita berhasil, Sayang," dia berkata dengan suara berbisik. "Aku masih tidak percaya kau sekarang adalah istriku."
"Percayalah," aku berkata sambil tersenyum.
Dia membantuku bangkit dari kursi dan aku berhati-hati dengan bagian kanan tubuhku, menyadari semua gerakan yang aku lakukan membuat celana jinsku bergesekan dengan kulitku yang lecet. Travis mengeluarkan dompetnya, menandatangani bon dengan cepat sebelum menuntun tanganku menuju taksi yang sudah menunggu di luar. Handphoneku berbunyi lagi, dan ketika aku mengetahui bahwa itu America, aku tidak mengangkatnya.
"Dia akan membuat kita merasa sangat bersalah karena ini, ya kan"" Travis berkata sambil mengernyit.
"Dia akan cemberut selama dua puluh empat jam setelah dia melihat semua foto ini, tapi dia akan melupakannya."
Travis member iku seringai nakal. "Apakah kau yakin, Mrs. Maddox""
"Apakah kau akan pernah berhenti memanggilku seperti itu" Kau telah mengatakannya ratusan kali sejak kita meninggalkan chapel."


Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia menggelengkan kepalanya saat dia menahan pintu taksi terbuka untukku. "Aku akan berhenti memanggilmu itu saat aku benar-benar yakin kalau ini semua adalah nyata."
"Oh, ini memang nyata," kataku, meluncur ke tengah tempat duduk untuk memberi tempat untuk Travis. "Aku punya kenangan tentang malam pernikahan kita untuk membuktikannya."
Dia bersandar padaku, menelusuri kulit leherku yang sensitif hingga telingaku dengan hidungnya. "Aku yakin kita punya."
"Aw &," aku meringis saat dia tidak sengaja menekan perbanku.
"Oh, sial, maafkan aku, Pidge."
"Kau dimaafkan," aku tersenyum.
*** Kami melaju menuju bandara sambil berpegangan tangan, dan aku tertawa geli saat melihat Travis terus memandangi cincin kawinnya. Matanya memancarkan perasaan yang damai dan sekarang aku sudah terbiasa melihatnya.
"Saat kita tiba di apartemen, akhirnya aku akan tersadar, dan aku akan berhenti menjadi orang yang menyebalkan."
"Janji"" aku tersenyum.
Dia mencium tanganku, lalu meletakkannya di atas pangkuannya sambil tetap memegangnya. "Tidak."
Aku tertawa, menyandarkan kepalaku di bahunya hingga taksi melaju perlahan untuk berhenti di depan bandara. Handphoneku berbunyi lagi, memperlihatkan nama America lagi.
"Dia tidak kenal lelah. Biar aku bicara dengannya," kata Travis, mengambil teleponku.
"Halo"" kata Travis, menunggu suara melengking America. Dia tersenyum, "Karena aku suaminya. Aku boleh menjawab teleponnya sekarang." Dia melirik ke arahku, lalu mendorong pintu taksi terbuka, mengulurkan tangannya. "Kami sedang di bandara, America. Kenapa kau dan Shep tidak menjemput kami saja dan kau bisa memarahi kami berdua dalam perjalanan ke rumah" Ya, selama perjalanan ke rumah. Kami tiba sekitar jam tiga. Baiklah, Mare. Sampai bertemu nanti." Dia meringis karena kata-kata tajam America lalu menyerahkan kembali teleponku padaku. "Kau tidak bercanda. Dia benar-benar kesal."
Dia membayar supir taksinya lalu mengangkat tas ke bahunya, menarik pegangan tasku yang ada rodanya ke atas agar bisa menariknya. Tatoo di tangannya meregang saat dia menarik tasku, tangannya yang bebas meraih untuk memegang tanganku.
"Aku tidak percaya kau akan mengizinkan dia memarahi kita selama satu jam penuh," aku berkata sambil mengikutinya menuju pintu putar.
"Kau tidak benar-benar percaya aku akan membiarkannya memarahi istriku, kan""
"Kau sangat menikmati itu."
"Aku pikir sudah waktunya aku mengakuinya. Aku tahu kau akan menjadi istriku sesaat setelah aku melihatmu pertama kali. Aku tidak akan berbohong dan berkata aku tidak menunggu hari di mana aku dapat mengatakan itu &maka aku akan terus-menerus memanggilmu dengan sebutan itu. Kau seharusnya sudah terbiasa dengan itu sekarang." Dia mengatakan hal itu seperti sedang berlatih pidato.
Aku tertawa, meremas tangannya. "Aku tidak keberatan."
Dari sudut matanya dia melihat ke arahku. "Kau tidak keberatan"" Aku menggelengkan kepala dan dia menarikku lebih dekat ke sampingnya, mencium pipiku. "Bagus. Kau akan merasa muak pada hal itu dalam beberapa bulan lagi, tapi maklumi aku ya""
Aku mengikutinya ke lorong, naik eskalator, dan mengantri di keamanan. Saat Travis berjalan melewati metal detektor, alarm berbunyi dengan keras. Ketika keamanan bandara meminta Travis untuk melepas cincin kawinnya, wajahnya menjadi keras.
"Aku akan memeganginya, sir." Kata petugas keamanan.. "Hanya untuk beberapa saat."
"Aku sudah berjanji pada istriku tidak akan melepaskannya," Travis berkata sambil menutup rapat giginya.
Petugas keamanan itu mengulurkan telapak tangannya, kerutan tipis sabar dan perasaan geli terlihat di sekitar matanya.
Travis dengan berat hati melepas cincinnya, menaruhnya dengan kasar di tangan petugas keamanan, lalu menghela nafas ketika dia berjalan melewati metal detektor, kali ini tanpa membuat alarm menyala lagi. Aku melewatinya tanpa ada insiden, menyerahkan cincink
u juga pada petugas keamanan. Ekspresi Travis masih tegang, namun saat kami diperbolehkan masuk, bahunya sedikit santai.
"Tidak apa-apa, sayang. Itu sudah ada di jarimu lagi," kataku, tertawa geli karena reaksi Travis yang berlebihan.
Dia mencium keningku, menarikku ke sampingnya saat kami berjalan menuju terminal. Ketika aku bertatapan dengan orang yang berpapasan dengan kami, aku bertanya-tanya apakah terlihat jelas kalau kami adalah pengantin baru, atau mereka hanya melihat seringai konyol di wajah Travis, yang sangat kontras dengan rambutnya yang dicukur habis, tangan bertatoo dan ototnya yang kekar.
Bandara bising dengan suara turis yang bersemangat, bunyi bip, dan suara dering mesin slot, dan orang-orang berlalu-lalang ke semua arah. Aku tersenyum pada pasangan muda yang sedang berpegangan tangan, terlihat sesenang dan segugup aku dan Travis saat kami baru tiba. Aku yakin mereka akan pulang dengan perasaan lega bercampur bingung seperti yang kami rasakan, setelah menyelesaikan apa yang menjadi tujuan kami datang kemari.
Di terminal, aku membolak-balik majalah, dan dengan lembut menyentuh lutut Travis yang bergerak naik turun. Kakinya berhenti bergerak dan aku tersenyum, kembali menatap gambar selebriti di majalah. Dia gugup tentang sesuatu, tapi aku menunggunya memberitahuku, mengetahui dia sedang mencoba mengatasinya sendiri. Setelah beberapa menit, lututnya bergerak lagi, namun kali ini dia berhenti sendiri, kemudian dengan perlahan merosot ke bawah di kursinya.
"Pigeon"" "Ya"" Beberapa saat berlalu, lalu dia menghela nafas. "Tidak apa-apa."
Waktu berlalu terlalu cepat, dan kami seperti baru saja duduk saat nomor penerbangan kami terdengar. Satu barisan terbentuk, dan kami berdiri, menunggu giliran kami untuk memperlihatkan tiket dan berjalan menelusuri lorong menuju pesawat yang akan membawa kami pulang.
Travis ragu-ragu. "Aku tidak bisa menghilangkan perasaan ini," dia berkata sambil berbisik.
"Apa maksudmu" Perasaan tidak enak"" aku bertanya, tiba-tiba menjadi cemas.
Dia melihat ke arahku dengan perasaan khawatir di matanya, "Aku punya perasaan yang gila bahwa setelah kita tiba di rumah, aku akan terbangun dari mimpi ini. Seolah ini semua tidak nyata."
Aku memeluk pinggangnya, membelai otot punggungnya. "Apakah itu yang membuatmu khawatir""
Dia menatap pergelangan tangannya, lalu melihat pada cincin berwarna perak tebal di jari kirinya. "Aku tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa gelembung ini akan meletus, dan aku akan terbaring di tempat tidurku seorang diri, berharap kau ada di sana bersamaku."
"Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan padamu, Trav! Aku telah mencampakkan seseorang untukmu-dua kali-aku telah pergi ke Vegas bersamamu-dua kali-aku secara harfiah telah masuk neraka dan kembali lagi, menikahimu dan menandai tubuhku dengan namamu. Aku kehabisan ide untuk membuktikan bahwa aku adalah milikmu."
Sebuah senyuman terukir di wajahnya. "Aku sangat suka ketika kau mengatakan itu."
"Bahwa aku milikmu"" tanyaku. Aku berjinjit lalu mencium bibirnya. "Aku. Adalah. Milikmu. Mrs. Maddox, selalu dan selamanya."
Senyuman kecil di wajahnya menghilang saat dia melihat boarding gate lalu melihat ke arahku. "Aku pasti akan mengacaukannya, Pigeon. Kau akan muak dengan kelakuanku."
Aku tertawa. "Aku muak sama kelakuanmu saat ini. Tapi kita masih tetap bersama."
"Aku pikir setelah kita menikah, aku akan merasa lebih yakin tidak akan pernah kehilanganmu. Tapi aku merasa kalau kita naik ke dalam pesawat ini &"
"Travis" Aku mencintaimu. Ayo kita pulang."
Alisnya mengernyit. "Kau tidak akan meninggalkanku, kan" Meskipun aku menyebalkan""
"Aku sudah bersumpah di hadapan Tuhan &dan Elvis &bahwa aku tidak akan meninggalkanmu, kan""
Dia sudah tidak terlalu cemberut. "Ini untuk selamanya""
Satu ujung bibirku terangkat ke atas. "Apakah kau akan merasa lebih baik kalau kita taruhan""
Penumpang lain mulai melewati kami, namun dengan perlahan, memperhatikan dan mendengarkan pembicaraan konyol kami. Seperti beberapa waktu lalu, aku mendelik menyadari tatapan
mata orang lain, namun kali ini berbeda. Satu-satunya yang aku pikirkan adalah bagaimana caranya mengembalikan kedamaian di mata Travis.
"Suami macam apa aku jika bertaruh melawan pernikahannya sendiri""
Aku tersenyum. "Suami yang bodoh. Apakah kau tidak mendengarkan ayahmu saat dia bilang padamu untuk tidak bertaruh melawanku""
Dia mengangkat satu alisnya. "Jadi kau seyakin itu, hah" Kau akan bertaruh untuk itu""
Aku memeluk lehernya dan tersenyum sambil mencium bibirnya. "Aku bertaruh demi kelahiran pertamaku. Seyakin itulah aku."
Lalu kedamaian kembali. "Kau tidak mungkin seyakin itu," kata Travis, rasa cemasnya hilang dari suaranya.
"Aku mengangkat satu alisku, sambil menyeringai. "Mau taruhan""
-THE END- Wanita Iblis 2 Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Pembunuhan Roger Ackroyd 1

Cari Blog Ini