Ceritasilat Novel Online

Keliling Dunia Dibawah Laut 2

Berkeliling Dunia Di Bawah Laut Karya Jules Verne Bagian 2


Di tengah-tengah kegairahannya itu, Kapten Nemo tiba-tiba terdiam. Sesaat dia berjalan mondar-mandir, untuk meredakan perasaan yang menggelora. Sesudah tenang kembali, dia berpaling padaku.
"Sekarang Profesor, jika Anda ingin melihat-lihat 'Nautilus', aku sudah siap untuk mengantarkan," ujarnya.
Aku mengikuti Kapten Nemo pergi ke luar kamar makan. Sebuah pintu di ujung belakang kamar itu membuka. Kami masuk ke dalam ruangan lain, yang sama besarnya.
Rupanya ruangan itu kamar perpustakaan, penuh dengan buku-buku bersampul seragam. Di depan rak-rak buku tersedia dipan-dipan besar terbuat dari kulit berwarna coklat. Bentuknya mengajak orang duduk. Meja-meja ringan yang dapat ditarik ke sana ke mari, memungkinkan penaruhan buku di atasnya sambil membaca. Di tengah ruangan terdapat
72 sebuah meja besar sekali, Di atasnya terdapat sejumlah lembaran tercetak, di antaranya koran-koran tua. Cahaya listrik menerangi seluruh ruangan. Sumbernya berupa empat buah bola, yang setengah terbenam dalam hiasan-hiasan melingkar pada plafon. Aku memandang berkeliling ruangan dengan perasaan kagum. Semuanya dibuat dengan begitu ahli, sehingga hampir-hampir tak kuper-cayai penglihatanku.
"Kapten Nemo," kataku pada Komandan, yang telah mengambil tempat duduk di atas salah satu dipan, "perpustakaan ini pantas jika terdapat dalam istana-istana raja. Saya heran, kalau mengingat kita saat ini sedang berada di dasar samudera."
"Di manakah dapat ditemukan ketenangan atau kesunyian yang lebih besar, Profesor"" jawab Kapten Nemo. "Apakah ruang perpustakaan Anda di museum dapat memberikan ketenangan seperti di sini""
"Tidak. Harus saya akui, perpustakaan kami sangat bersahaja, jika dibandingkan dengan kepunyaan Tuan ini. Paling sedikit terdapat enam sampai tujuh ribu jilid buku di sini."
"Dua belas ribu, Tuan Aronnax. Hanya inilah penghubungku dengan bumi di atas. Tapi tali-tali ikatan lainnya sudah kuputuskan semua, pada hari di mana 'Nautilus' untuk pertama kalinya menyelam ke bawah air. Hari itu aku membeli buku-buku, majalah-majalah serta koran-koranku yang terakhir. Sejak saat itu kubayangkan bahwa umat manusia tidak lagi berpikir atau menulis. Buku-buku ini dapat Tuan pergunakan sebebas-bebasnya, Profesor Aronnax."
Kuucapkan terima kasih, lalu menghampiri rak yang berjajar sepanjang dinding. Bermacam-macam jenis buku yang terpajang dalamnya: ilmu
73 pengetahuan, akhlak, kesusasteraan, dalam berbagai bahasa. Tapi tak kulihat terdapat satu buku pun mengenai politik. Rupanya pokok persoalan itu terlarang keras dalam kapal ini. Agak aneh juga melihat buku-buku tersusun tanpa a
turan, campur aduk dalam berbagai bahasa. Melihat keadaan itu, timbul dugaanku bahwa nakhoda kapal selam 'Nautilus' membaca tanpa memilih. Buku apa saja yang kebetulan terpegang, lalu dibaca olehnya.
"Saya mengucapkan terima kasih, karena telah diperbolehkan memakai perpustakaan ini," kataku. "Isinya merupakan ilmu pengetahuan yang sangat berharga. Saya pasti akan menarik manfaat dari padanya."
"Ruangan ini bukan cuma perpustakaan saja," ujar Kapten Nemo, "ini juga ruang merokok."
"Merokok!" kataku heran. "Kalau begitu, di kapal ini diperbolehkan merokok""
"Tentu saja." "Kalau begitu, saya cenderung untuk menyangka bahwa Tuan berhubungan tetap dengan orang-orang yang membuat serutu."
"Aku sama sekali tak punya hubungan dengan dunia luar," jawab Kapten Nemo. "Cobalah serutu ini, Tuan Aronnax, Meski bukan berasal dari Havanna, tapi aku yakin Tuan akan menyenanginya, jika Tuan seorang ahli perokok."
Kuambil serutu yang ditawarkan. Bentuknya seperti yang biasa, tetapi daunnya seakan-akan terbuat dari emas. Dengan segera aku menyalakan, lantas kuhirup asapnya.
"Rasanya enak sekali," kataku memuji, "tapi ini bukan tembakau."
"Memang bukan," jawab Kapten, "serutu yang Anda isap itu terbuat dari sejenis rumput laut, yang juga mengandung nikotin seperti tembakau."
74 Sambil bicara, Kapten Nemo membuka pintu yang letaknya berseberangan dengan pintu tempat kami masuk. Aku mengikuti dari belakang, memasuki sebuah kamar duduk. Tempatnya luas sekali diterangi cahaya indah.
Ukurannya sepuluh kali enam meter, sedang tingginya hampir lima meter. Plafon-nya bercahaya, memancarkan sinar lembut yang menerangi ruangan yang penuh dengan benda-benda berharga. Mataku menatap sekitar tiga puluh lukisan para pelukis ternama. Ramalan nakhoda kapal 'Nautilus' ternyata benar: aku kagum melihat segala ke-takjuban.
"Profesor," ujar orang aneh itu, "aku harap, Anda mau memaafkan penyambutanku yang kasar, begitu pula keadaan kamar yang tak teratur ini." Aku memuji-muji, tapi ia tetap rendah hati. Sudah itu ia membisu sambil merenung. Aku memperhatikannya dengan penuh minat. Kucoba mengupas tarikan mukanya yang aneh. Ia menyandarkan siku ke daun meja yang nampak berharga. Matanya tak melihat aku lagi. Seakan-akan kehadiranku dekatnya sudah dilupakan olehnya.
Aku tak mau mengganggu renungan itu, karenanya kulanjutkan meneliti berbagai benda berharga yang mengisi ruangan. Banyak sekali jenis hewan laut yang jarang terlihat mata manusia, semuanya ditaruh dalam kotak-kotak kaca bersimpai tembaga. Berbagai-bagai macam karang, sepon dan lain-lainnya, sangat memikat perhatianku selaku profesor.
Dalam tempat terpisah, ditaruh rentengan mutiara yang tak kepalang indahnya: ada yang merah muda, ada pula yang semu hijau, kuning, biru sampai hitam. Beberapa di antaranya sangat berharga, dan besar sekali; lebih besar dari telur burung dara, dan harganya mahal sekali. Karenanya mustahil aku
75 dapat menaksir nilai seluruh harta yang dipamerkan di sini. Aku hanya dapat menduga, pasti Kapten Nemo mengeluarkan biaya berjuta-juta untuk mendapat segala macam benda itu. Aku berpikir-pikir, dari mana ia mendapat uang sebanyak itu. Tiba-tiba pikiranku terpotong oleh komandan kapal.
"Tuan sedang mengamat-amati kumpulanku, Profesor" Pasti semuanya menarik, bagi seorang ahli ilmu alam. Tapi bagiku nilainya lebih besar lagi, karena semuanya hasil pengumpulan olehku sendiri. Tak ada sudut samudera mana juga di bumi ini, yang belum pernah kuperiksa."
"Saya dapat memahami nikmatnya berkelana di tengah-tengah harta yang sedemikian kaya. Anda termasuk orang yang mengumpulkan sendiri hartanya. Tak ada museum di Eropa yang memiliki kumpulan harta samudera sekaya ini. Tapi jika saya habiskan rasa kagum terhadapnya, nanti tak ada lagi yang tinggal untuk kapal yang merupakan tempat penyimpanannya. Saya tak ingin mengintip rahasia Tuan, tapi harus saya akui bahwa kapal ini sangat merangsang ingin tahu. Semuanya serba menarik: tenaga mesinnya, peralatan yang memungkinkannya bekerja, serta alat yang menjalankannya. Pada dinding ruangan ini saya lihat berbagai peralatan yang tak saya ketahui ke
gunaannya." "Alat-alat yang sama dapat Tuan temukan dalam kamar saya. Dengan senang hati saya akan menerangkan kegunaannya pada Profesor. Tapi sekarang marilah terlebih dulu melihat bilik yang telah dipersiapkan untuk Tuan. Anda harus melihat, bagaimana keadaan tempat tinggal Anda di kapal 'Nautilus'."
Aku mengikuti Kapten Nemo yang berjalan memasuki bagian tengah kapal. Ia mengantar aku
76 menuju ke haluan. Sesampai di sana, aku bukan menemukan sebuah bilik, melainkan ruangan tinggal yang indah.
Tak lain yang dapat kukatakan, kecuali ucapan terima kasih.
"Kamar Tuan bersebelahan dengan bilikku," ujar Kapten Nemo sambil membuka pintu, "sedang dari kamarku kita dapat sampai ke ruang duduk yang baru saja kita tinggalkan."
Aku masuk ke dalam kamar nakhoda. Segala-gala di dalamnya serba bersahaja, hampir-hampir seperti dalam biara. Sebuah tempat tidur sempit dari besi, sebuah meja, beberapa peralatan untuk kebersihan badan. Ruangan diterangi cahaya dari atas. Tak ada yang mewah dalam kamar. Semuanya hanya yang perlu-perlu saja.
Kapten Nemo menunjuk ke sebuah kursi.
"Silakan duduk," ujarnya. Aku duduk, dan ia mulai menerangkan.
XI SEMUA BERKAT LISTRIK INILAH dia, peralatan yang diperlukan untuk menjalankan kapal 'Nautilus'," ujar Kapten Nemo, sambil menunjuk pada alat-alat yang tergantung di dinding kamarnya. "Di sini, dan dalam ruang duduk, semuanya dapat kuawasi. Peralatan ini menunjukkan posisi dan arah yang tepat di tengah samudera. Beberapa di antaranya telah Tuan kenal. Misalnya saja termometer, yang menunjukkan suhu yang terdapat dalam kapal. Begitu pula barometer, yang menunjukkan berat udara untuk meramalkan keadaan cuaca." Kapten Nemo menunjuk ke beberapa alat lain, yang memang sudah kukenal.
77 "Ini semua alat-alat pelayaran biasa," kataku; "Saya juga mengenal cara pemakaiannya. Tapi pasti yang lain-lain itu merupakan peralatan khusus untuk 'Nautilus'. Misalnya alat dengan jarum yang bisa bergerak-gerak ini; bukankah ini manometer""
"Betul, itu manometer. Tapi dengannya juga dapat diketahui berapa dalam kapal sedang menyelam."
"Dan alat-alat yang lain itu" Saya tak bisa menebak kegunaannya sama sekali!"
"Profesor, aku harus memberikan keterangan sedikit. Maukah Anda mendengarkan sebentar""
Ia diam sebentar, sudah itu berkata,
"Dalam kapal ini terdapat suatu tenaga sangat kuat. Tenaga itu sangat menurut, bekerja cepat dan sesuai untuk segala macam tujuan. Semua dalam kapal dilakukan dengan memanfaatkan tenaga itu. Penerangan cahaya didapat dengannya, begitu pula dengan pemanasan kami. Segala peralatan mesinku dijalankan dengannya. Tenaga itu adalah listrik."
"Listrik"" Aku berseru karena heran. "Ya, betul. Listrik."
"Tapi kecepatan kapal Tuan luar biasa, tak sebanding dengan kemampuan listrik. Sampai sekarang baru berhasil dibangkitkan tenaganya dalam ukuran kecil belaka!"
"Listrik yang kupakai, tak sama dengan listrik yang lazim," ujar Kapten Nemo. "Anda mengenal susunan air laut, bukan" Dalam seribu gram, terdapat 96 1/2 persen air dan kira-kira 2 2/3 persen natrium khlorida. Sedang magnesium khlorida dan kalium khlorida terdapat dalam jumlah yang lebih kecil lagi, seperti juga elemen-elemen lainnya. Jadi, seperti Profesor lihat, kecuali air, bagian terbesar dari air laut terdiri dari natrium khlorida. Dan natrium-lah yang kupisahkan dari air laut, dan
78 kemudian kupakai sebagai bahan pengolah. Lautan benar-benar merupakan sumber segala-galanya bagiku. Lautan menghasilkan tenaga listrik, listrik menghasilkan panas, cahaya, gerak; pokoknya lautanlah yang menghidupkan 'Nautilus' ini."
"Tapi udara yang dipakai untuk bernafas, apakah juga dihasilkan oleh listrik"" tanyaku.
"Aku dapat saja menghasilkan udara yang mencukupi untuk keperluan. Tapi tak ada gunanya, karena setiap kali aku mau, kami muncul ke permukaan air. Meskipun begitu, walau listrik tak menghasilkan udara untuk pernafasan, tapi setidak-tidaknya tenaga itu menggerakkan pompa-pompa kuat yang terdapat dalam bejana-bejana cadangan yang besar. Dengannya, kalau perlu kapal ini dapat menyelam selama aku mau. Begitu pula listrik memberikan cahaya seragam dan
tak terputus-putus. Matahari tak mampu melakukan hal yang sama! Sekarang, cobalah Tuan perhatikan jam ini. Bekerjanya dengan listrik, dan berjalannya teratur sekali. Aku membaginya dalam dua puluh empat jam, karena aku di sini tak mengenal siang dan malam. Aku tak mengenal bulan maupun matahari. Yang kulihat hanya cahaya buatan,yang kubawa menyelam ke dasar laut. Lihatlah! Sekarang pukul sepuluh pagi." "
"Tepat!" "Ini satu pemanfaatan lagi dari tenaga listrik. Piringan berjarum yang tergantung di depan kita itu, menunjukkan laju gerak kapal 'Nautilus'. Sebuah kabel listrik menghubungkannya dengan baling-baling, dan jarum menunjukkan kecepatan kita. Lihatlah! Kita saat ini bergerak dengan kecepatan rata-rata lima belas mil sejam."
"Wah, hebat! Anda memang benar, Kapten. Tenaga listrik menggantikan angin, air dan uap."
"Kita belum selesai, Profesor Aronnax," kata Kapten Nemo sambil bangkit. "Jika Tuan mau mengikuti, kita sekarang akan melihat-lihat ke buritan kapal 'Nautilus'.
Aku mengikuti Kapten Nemo, dan kami sampai ke bagian tengah kapal. Di situ ada semacam lubang yang menganga antara dua dinding. Sebuah tangga besi menuju ke atas, dan disangkutkan ke dinding dengan kait besi pula. Aku bertanya padanya, untuk apa tangga itu.
"Untuk pergi ke perahuku," jawabnya. "Anda punya perahu di sini"" tanyaku heran.
"Tentu saja. Barangnya sangat baik, enteng dan tak mungkin, tenggelam. Aku bisa mempergunakannya untuk memancing, atau untuk berpesiar."
"Kalau begitu, jika Anda hendak naik perahu, maka kapal ini harus muncul ke permukaan""
"Sama sekali tidak. Perahu itu menempel ke bagian atas dari 'Nautilus', dan ditempatkan dalam lubang yang khusus untuknya. Dia tak mungkin tembus air, sedang penahannya baut-baut kuat. Tangga ini menuju ke lubang yang terdapat di kulit luar kapal 'Nautilus', yang berhubungan dengan lubang sama besar pada sisi perahu. Melalui kedua lubang, aku masuk ke dalamnya. Anak buahku menutup lubang pada kulit luar kapal ini, sedang lubang lainnya kututup dengan jalan tekanan seke-rup. Baut-baut penghubung perahu dengan kapal kubuka, dan perahu kecil mengapung ke permukaan laut dengan cepat. Sesudah sampai di permukaan, aku lantas membuka pelat penutup anjung, yang selama itu tertutup rapat. Kupasang tiang dan layar, dayung kuambil, dan aku sudah siap untuk berperahu."
"Tapi bagaimana caranya Anda kembali ke kapal""
80 "Aku tak kembali, Tuan Aronnax; kapal 'Nautilus' yang datang padaku."
"Mengikuti perintah Anda""
"Atas perintahku. Kami berhubungan dengan kawat listrik. Saya mengetok kawat ke kapal. Itu sudah mencukupi."
Aku cuma bisa tercengang saja. "Sungguh, sederhana sekali!"
Sesudah kami melewati lubang tangga yang menuju ke atas, aku melihat sebuah bilik berukuran hampir dua meter. Di dalamnya nampak Conseil dan Ned Land. Mereka sedang makan dengan lahap. Kemudian kami melalui sebuah pintu, yang menampakkan dapur berukuran sekitar tiga meter. Dapur itu terletak antara dua gudang perbekalan yang besar-besar. Semua masakan dikerjakan dengan tenaga listrik, yang lebih baik daripada gas. Arus listrik di bawah kompor-kompor, menyalurkan panas ke sepon-sepon yang terbuat dari platina. Tenaga listrik juga memanaskan sebuah alat penyuling. Dengan alat itu, yakni dengan jalan penguapan, dihasilkan air minum yang murni. Dekat dapur terdapat kamar mandi yang lengkap peralatannya, dengan keran-keran untuk air dingin dan panas.
Tak jauh dari dapur terdapat ruang perwira kapal. Ukurannya sekitar lima meter. Aku ingin melihat susunannya, namun pintu terkunci. Jadi aku tak dapat menduga jumlah kelasi yang bekerja di kapal 'Nautilus'.
Di ujung, terdapat dinding yang memisahkan ruang itu" dari kamar mesin. Kapten Nemo membuka sebuah pintu. Aku berada dalam ruangan, di mana terdapat mesin penggerak kapal. Kapten Nemo rupanya seorang ahli mesin yang sangat pandai. Ruangan itu terang benderang. Ukuran panjangnya pasti tak kurang dari dua puluh meter, dan
81 terbagi dalam dua bagian. Yang satu berisi alat-alat penghasil listrik, sedang dalam bagian kedua terdapat mesin-mesin yang menghubungkannya dengan baling-baling kapal.
Mesin itu kuperhatikan dengan penuh minat, agar dapat memahami cara kerja kapal 'Nautilus'.
"Anda lihat, aku mempergunakan peralatan cip-taan Bunsen, dan bukan kepunyaan Ruhmkorff," ujar Kapten Nemo menerangkan. "Alat-alat Ruhmkorff tak akan cukup kuat. Kepunyaan Bunsen lebih sedikit jumlahnya, tetapi tenaganya besar dan ukurannya juga besar. Menurut pengalaman, Bunsen lebih baik. Tenaga listrik yang dihasilkan mengalir ke depan. Di situ, dengan bantuan magnit listrik yang besar-besar, listrik menggerakkan serangkaian tuas dan roda bergigi, yang kemudian berganti memutar sumbu baling-baling. Yang ini, garis tengahnya enam meter, melakukan seratus dua puluh putaran dalam sedetik."
"Dan berapa kecepatan yang dicapai dengannya""
"Sekitar lima puluh mil sejam."
"Saya melihat, betapa 'Nautilus' melaju di depan kapal kami; jadi saya mempunyai bayangan sendiri mengenai kecepatan sesungguhnya. Tapi ini saja belum memadai. Saya ingin tahu, bagaimana cara mengemudikannya. Bagaimana caranya menyelam sampai tempat yang sangat dalam" Bagaimana caranya menahan tekanan air, yang bisa mencapai beratus-ratus atmosfir" Dan bagaimana caranya kembali ke permukaan laut" Bagaimana caranya untuk berada di tempat yang dikehendaki" Terlalu banyakkah permintaan saya""
"Sama sekali tidak, Profesor," jawab Kapten Nemo, sesudah agak ragu-ragu sebentar, "karena Anda takkan pernah meninggalkan kapal ini lagi. Ikutlah ke ruang duduk. Di situ Anda akan dapat
82 mengetahui segala-galanya tentang kapal 'Nautilus'."
XII SEDERETAN ANGKA-ANGKA TAK lama kemudian, kami sudah berada di ruangan duduk sambil merokok. Kapten menunjukkan sebuah gambar, yang memaparkan denah kapal 'Nautilus'. Ia mulai menerangkan,
"Di sini, Tuan Aronnax, dapat Anda lihat beberapa ukuran kapal ini. Bentuknya berupa tabung panjang, yang ujungnya mengerucut. Wujudnya mirip serutu. Di London, bentuk ini sudah dipakai untuk membuat konstruksi-konstruksi sejenis. Panjang tabung dari haluan sampai ke buritan, tujuh puluh meter lebih. Lebarnya di tempat paling lapang sekitar delapan meter. Bentuknya tak mirip dengan kapal-kapal uap, tapi garis-garisnya cukup panjang dan cukup melengkung untuk memudahkan mengiris air. Dari kedua ukuran tadi Anda dapat menghitung sendiri,betapa luas dan isi kapal ini. Isinya sekitar seribu lima ratus meter kubik. Artinya, jika 'Nautilus' menyelam, air yang dipindahkan berukuran sebanyak seribu lima ratus meter kubik, atau seribu lima ratus ton.
"Pada waktu sedang merancang pembuatan kapal selam ini, aku bermaksud untuk membenamkan sembilan persepuluhnya saja dalam air. Karenanya, air yang dipindahkan cuma sembilan persepuluh dari isi kapal.
"Kapal 'Nautilus' mempunyai dua kulit: yang satu di dalam, sedang yang lain di sebelah luar. Kedua kulit dihubungkan dengan batang-batang besi yang penampangnya merupakan huruf T, sehingga
83 kokoh sekali. Berkat penopang itu, daya tahannya menjadi sangat besar. Kedua kulit terbuat dari pelat-pelat besi, yang kepadatannya tujuh sampai delapan kali kepadatan air. Kulit pertama tebalnya enam sentimeter, dan berat keseluruhannya 394 ton. Kulit pelapis kedua, lunasnya berukuran tinggi lima puluh sentimeter, sedang tebalnya dua puluh lima sentimeter. Sedang mesin, beban pemberat, berbagai peralatan, dinding-dinding biasa serta dinding tahan air, semuanya berjumlah 961,62 ton. Anda masih bisa mengikutinya"" "Ya," jawabku.
"Baiklah. Sekarang, jika 'Nautilus' terapung dalam keadaan seperti ini, maka sepersepuluh dari tubuhnya muncul di atas air. Saya membuat bak pengumpul yang ukurannya sebanding dengan isi sepersepuluh tubuh itu, atau dengan perkataan lain bisa memuat air sebanyak seratus lima puluh ton. Jika air kumasukkan ke dalamnya, maka kapal ini akan terbenam. Bak pengumpul itu letaknya di bagian bawah. Jika aku mau menyelam, cukup kubuka keran."
"Nah, sekarang kita sampai pada persoalan rumit," ujarku memotong. "Saya mengerti bagaimana caranya kapal ini muncul ke permukaan air. Namun pada saat menyelam, tidakkah kapal 'Nautilus' mengalami tekanan dari bawah" Dan dengan begitu, setiap sepuluh meter mengalami desakan ke a
tas sebesar satu atmosfir""
"Betul." "Kalau begitu, saya tak mengerti bagaimana caranya Tuan dapat menyelam sampai ke tempat yang dalam sekali, kalau tidak dengan jalan mengisi seluruh kapal dengan air""
Kapten Nemo sudah siap untuk menjawab pertanyaanku itu. Ia menerangkan secara panjang lebar. Kata-katanya masuk di akalku. Tapi masih ada
84 satu kesulitan lagi, yang ingin kuketahui rahasia pemecahannya.
"Masih ada satu kesulitan lagi, yang ingin saya ketahui cara pemecahannya," demikian kataku.
"Apakah persoalan itu"" tanya Kapten Nemo.
"Jika Tuan sudah menyelam kira-kira sedalam tiga ratus meter, dinding 'Nautilus' mengalami tekanan yang luar biasa berat. Sekarang, jika Tuan hendak kembali ke permukaan, air yang ada dalam bak pengumpul harus dipompa ke luar. Artinya, pompa-pompa harus melawan desakan dari luar yang sangat kuat. Untuk itu diperlukan tenaga besar -"
"Yang dapat dibangkitkan oleh listrik," potong Kapten Nemo dengan cepat. "Kuulangi sekali lagi, kekuatan dinamika mesin-mesinku hampir tak terbatas. Pompa-pompa kapal 'Nautilus' sangat kuat. Tuan mestinya sudah menyaksikan sendiri buktinya, ketika kami menyemburkan air ke arah 'Abraham Lincoln'. Kecuali itu, jika kami ingin mencapai kedalaman tiga perempat sampai satu mil saja, kami mempergunakan bak-bak kecil saja. Jika aku kepingin mendatangi tempat dalam samudera yang letaknya enam mil di bawah permukaan laut, kupakai cara yang lebih lambat, tapi tak kalah sempurna."
"Cara apakah itu, Kapten""
"Untuk itu, aku harus menceritakan cara kerja kapal 'Nautilus'."
"Saya ingin sekali mengetahuinya."
"Biasanya aku mempergunakan daun kemudi yang terpasang di belakang buritan, apabila kapal hendak kubelokkan ke kanan atau ke kiri, atau berputar. Pokoknya untuk bergerak di bidang datar, daun kemudi yang kupakai. Tapi 'Nautilus' dapat pula kukemudikan ke bawah atau ke atas. Gerakan tegak lurus kulakukan dengan perantaraan dua
85 kepingan yang terpasang di sisi kapal. Kepingan itu bisa bergerak ke segala arah, dan dikendalikan dari dalam dengan perantaraan tuas-tuas yang kuat. Jika kepingan kugerakkan ke posisi miring, maka 'Nautilus' akan menyelam atau naik secara diagonal, tergantung dari miringnya ke mana. Dan yang menggerakkan, adalah baling-baling. Jika aku ingin naik ke atas lebih cepat, baling-baling kutarik. Tekanan air menyebabkan 'Nautilus' naik tegak lurus, seperti balon terisi gas zat air."
"Hebat, Kapten! Tapi bagaimana tukang kemudi bisa mengetahui arah dalam air""
"Dia ditempatkan dalam sebuah kotak berdinding kaca, yang letaknya di atas geladak. Kotak itu diperlengkapi dengan lensa-lensa."
"Dan lensa-lensa itu kuat menahan tekanan air""
"Kuat sekali! Kaca memang pecah kalau mengalami benturan. Tapi daya tahannya besar sekali terhadap tekanan. Pada saat mengadakan percobaan menangkap ikan dengan penerangan cahaya listrik di perairan Laut Utara tahun 1864, kami melihat bahwa pelat kaca yang tebalnya tak sampai satu senti, berhasil menahan tekanan sebesar enam belas atmosfir. Sedang kaca yang kupergunakan, tidak kurang dari tiga puluh kali lipat tebalnya."
"Baiklah. Tapi untuk dapat melihat, cahaya harus mampu menembus kegelapan. Bagaimana cara Tuan melihat, di tengah kegelapan dalam air""
"Di belakang kotak kaca tempat tukang kemudi, terpasang sebuah pemantul cahaya listrik. Sinarnya menerangi lautan, sampai setengah mil di depan kapal."
"Wah, hebat! Hebat sekali, Kapten! Sekarang baru saya pahami, sinar berpendar yang kami kira dipancarkan oleh ikan paus raksasa. Sekarang saya ingin bertanya, apakah tubrukan 'Nautilus' dengan
86 'Scotia' yang menggemparkan itu, terjadinya hanya karena kebetulan saja""
"Benar-benar tak tersengaja. Kami sedang berlayar sambil terbenam sekitar dua meter di bawah permukaan, ketika tiba-tiba terjadi benturan. Tapi akibatnya tak begitu parah."
"Betul. Tapi bagaimana halnya dengan 'Abraham Lincoln.""
"Profesor, aku menyesal karena merusak salah satu kapal Angkatan Laut Amerika yang terbaik. Tapi mereka menyerang lebih dulu. Jadi aku terpaksa mempertahankan diri. Tapi aku hanya membuat kapal itu tak mampu menyerang saja. Tanpa k
esukaran, pasti akan bisa dicapai pelabuhan terdekat, untuk diperbaiki."
"Ah, Kapten! Kapal 'Nautilus' ini memang sungguh-sungguh hebat!"
"Ya, Profesor. Dan aku mencintainya, seperti bagian dari diriku sendiri. Jika salah sebuah kapal, mengalami bahaya, maka kesan pertama yang terbayang dalam benak adalah adanya kengerian, baik di permukaan maupun di bawah air. Di 'Nautilus', orang tak pernah gentar. Di kapal ini tak perlu ditakuti terjadi kerusakan, karena kulit yang berlapis dua sangat kokoh. Mereka tak perlu mengurus tali-temali. Tak ada kain layar yang bisa dicabik atau diterbangkan angin. Tidak ada ketel uap yang bisa meledak. Kami tak menakuti bahaya kebakaran, karena kapal terbuat dari besi seluruhnya, dan bukan dari kayu. Kami tak khawatir kehabisan batu bara, karena bahan penggerak satu-satunya adalah listrik. Begitu pula tak perlu ditakuti terjadi benturan, karena 'Nautilus' hanya sendiri saja dalam air yang luas ini. Kami tak mempedulikan angin ribut, karena begitu menyelam, keadaan menjadi tenang. Nah, begitulah kapal ini. Kapal yang serba sempurna! Dan apabila benar, pencipta kapal
87 lebih mempercayai kapalnya daripada pembangunnya, dan pembangun lebih yakin dari nakhoda, maka dapat Anda bayangkan kepercayaanku pada 'Nautilus'. Aku merangkap ketiga-tiganya: aku yang mencipta, aku yang membangun, dan aku pula nakhoda kapal ini."
"Tapi bagaimana Tuan bisa membuat 'Nautilus' yang serba hebat ini secara diam-diam""
"Setiap bagiannya didatangkan dari tempat-tempat berlainan. Lunas ditempa di perusahaan Creu-sot, sumbu baling-baling dibuat oleh Penn & Co. di London, pelat-pelat besi dari kulitnya dipersiapkan perusahaan Laird's dari Liverpool. Sedang baling-baling kami pesan pada perusahaan Scott's di Glasgow. Bak-bak pengumpul dibuatkan oleh Cail & Co. di Paris, mesin diciptakan oleh perusahaan Krupp di Jerman, ujung haluan merupakan hasil pekerjaan bengkel Motala di Swedia. Dan begitu seterusnya. Pesanan pada masing-masing perusahaan, kuajukan dengan nama-nama yang berlainan."
"Tapi bukankah semua bagian itu harus disusun dan dipasang""
"Profesor, itu pun ada jawabannya. Aku membangun bengkel-bengkel untuknya di sebuah pulau gersang di tengah samudera. Di situ para pekerja yang telah kudidik dan kuajari bekerja, di bawah bimbinganku. Ketika kami selesai, bekas-bekas pekerjaan kubakar sampai habis."
"Kalau begitu, biaya untuk membangun kapal ini pasti banyak sekali."
"Tuan Aronnax, untuk membuat kapal besi, diperlukan biaya empat puluh lima pound untuk setiap ton. Kapal 'Nautilus' beratnya seribu lima ratus ton. Jadi harga keseluruhannya 67.500 pound. Kecuali itu masih kukeluarkan pula biaya 80.000 pound untuk memasangnya. Sedang nilai benda88 benda seni serta kumpulanku yang lain dalamnya, kira-kira 200.000 pound."
"Masih ada satu pertanyaan terakhir yang ingin saya ajukan, Kapten Nemo,"
"Silakan, Profesor."
"Tuan ini rupanya seorang yang kaya""
"Kekayaanku tak terhingga. Jika aku mau, hutang negara Perancis dapat kubayarkan, tanpa kurasakan kekurangan harta."
Aku menatap orang yang berbicara begitu tanpa mengejapkan mata. Mungkinkah dia bermaksud hendak mempermainkan" Hanya masa depan yang dapat membuktikan.
XIII SUNGAI HITAM SAMUDERA Pasifik membentang dari utara ke selatan di antara kedua kutub bumi. Sedang perairannya mencakup 145 derajat busur bumi, dari Asia sampai Amerika. Pasifik merupakan samudera yang teduh, sesuai dengan namanya. Arusnya lebar dan pelan, perbedaan permukaan antara pasang naik dan pasang surut tak seberapa. Hujan sering kali turun. Dan sudah nasibku, mengarungi untuk pertama kali dalam keadaan aneh!
"Kalau Tuan tak berkeberatan, kami hendak menentukan posisi dan menentukan titik kebe-rangkatan pelayaran kita," ujar Kapten Nemo. "Sekarang pukul dua belas kurang seperempat. Kita naik lagi ke permukaan."
Dia menekan tombol jam listrik tiga kali. Pompa-pompa mulai mengeluarkan air dari tangki-tangki. Jarum manometer bergerak, menunjukkan tekanan yang semakin berkurang. Dengannya
89 ditunjukkan gerak 'Nautilus' naik ke permukaan. Akhirnya jarum tak bergerak lagi.
"Kita sudah sampai," u
jar Nakhoda. Aku pergi ke tangga tengah, yang menuju ke geladak atas. Kunaiki jenjang yang terbuat dari besi, dan sampai di bagian atas.
Geladak muncul tak sampai satu meter di atas permukaan. Haluan dan buritan berbentuk kerucut, sehingga sudah sepantasnya jika 'Nautilus' dipersamakan dengan serutu. Kuperhatikan bahwa tepi pelat-pelat besi yang merupakan kulit agak tu-tup-menutupi; kelihatan mirip kulit pelapis binatang-binatang melata yang besar-besar di atas bumi. Aku menjadi mengerti, kenapa banyak yang menyangka melihat binatang laut besar, jika berjumpa dengan 'Nautilus'.
Di bagian tengah, nampak sebuah tonjolan rendah. Itulah perahu kepunyaan Kapten Nemo, yang agak terbenam dalam badan 'Nautilus'. Di depan dan di belakang terdapat dua kotak yang tingginya sedang. Sisi-sisinya agak miring, dan sebagian tertutup kaca tebal yang cembung. Kotak yang satu tempat tukang kemudi yang mengendalikan kapal, sedang dalam kotak kedua terdapat lampu cemerlang yang menerangi bagian laut di depan kapal.
Langit saat itu cerah, sedang lautan tenang. Ombak mengalun pelan, seakan-akan membuaikan. Angin meniup dari timur, menimbulkan kerutan kecil-kecil pada permukaan air. Tak nampak kabut menutupi batas pandangan. Ke mana pun dilayangkan mata, tak ada satu benda yang nampak.
Kapten Nemo mengukur posisi matahari dengan sekstan. Ia bekerja tanpa bergerak sama sekali.
"Sekarang pukul dua belas, Profesor," katanya. "Jika Anda mau-"
90 Kulayangkan pandangan terakhir ke arah laut, yang nampak agak kekuning-kuningan di dekat pesisir Jepang. Sudah itu kami turun, dan masuk ke kamar duduk.
"Sekarang Anda kutinggal sendiri," ujar Nakhoda lagi. "Kita akan berlayar dengan arah timur laut, dengan alur kedalaman lima puluh meter. Ini ada peta-peta berukuran besar. Dengannya, Anda dapat mengikuti pelayaran 'Nautilus'. Anda dapat mempergunakan kamar duduk ini. Aku ada perlu." Kapten Nemo membungkuk, lalu keluar meninggalkan aku seorang diri. Kepalaku penuh dengan pikiran mengenai komandan kapal 'Nautilus'.
Sejam lamanya aku disibukkan oleh renungan itu. Aku sangat kepingin mengetahui rahasia orang yang baru kukenal itu. Kemudian "mataku tertumbuk pada peta yang dibentangkan di atas meja. Kuletakkan jari pada tempat di mana garis lintang dan bujur bersilang, menandakan posisi kapal.
Lautan mempunyai sungai-sungai, seperti daratan. Sungai-sungai itu adalah arus-arus khusus, yang dapat dikenali dari suhu dan warna airnya. Arus yang paling menarik, adalah yang dikenal dengan nama Arus Teluk. Kalangan ahli ilmu pengetahuan sudah berhasil menentukan arah lima arus utama di bumi: satu di Atlantik Utara, yang kedua di bagian selatannya, ketiga di Pasifik Utara, keempat di belahan selatan, sedang yang kelima terdapat di Lautan Hindia sebelah selatan. Diduga dulu terdapat arus keenam di Lautan Hindia bagian utara, yaitu ketika Laut Kaspia dan Danau Aral merupakan sebuah lautan yang luas.
Di titik perpotongan yang ditandai pada peta, mengalir Arus Kuroshiwo. Arus ini, yang dikenal dengan nama Sungai Hitam, berpangkal di Teluk Benggala. Sambil menerima panas dari cahaya matahari daerah tropika, arus mengalir lewat Selat
Malaka dan kemudian membelok memasuki Pasifik Utara menuju Kepulauan Aleut. Dan kapal 'Nautilus' akan berlayar di bawah air, mengikuti arus itu. Mataku menyusuri peta, mengikuti arah pelayaran. Aku terpesona membayangkannya lenyap di tengah keluasan Samudera Pasifik, sehingga tak kudengar Ned Land dan Conseil muncul di ambang pintu.
Mereka berdua tertegun di situ, kagum menyaksikan segala keajaiban yang terpapar di depan mereka.
"Di mana kita ini"" ujar Ned Land keheran-he-ranan. "Dalam museum di Quebec""
"Sobat," sapaku sambil mengisyaratkan agar mereka masuk, "Anda bukan sedang berada di Kanada, melainkan di kapal 'Nautilus', lima puluh meter di bawah permukaan laut."
"Tapi berapa banyakkah awak kapal ini"" tanya Ned Land. "Apakah Tuan Profesor mengetahuinya" Sepuluh, dua puluh, lima puluh, atau barangkali bahkan seratus ""
"Pertanyaan Anda tak dapat kujawab, Tuan Land. Lebih baik untuk sementara waktu Anda lupakan saja niat untuk menguasai 'N
autilus', atau melarikan diri dari sini. Kapal ini merupakan karya industri modern, dan aku pasti akan menyesal jika tak mempelajarinya. Banyak orang yang mau mene rima keadaan yang dipaksakan pada kita, asal diperbolehkan berada di tengah segala keajaiban ini. Karena itu diamlah, dan lebih baik melihat dan memperhatikan hal-hal yang terjadi sekeliling kita."
"Melihat!" seru juru tombak itu, "apa yang bisa kita lihat dalam penjara besi ini! Kita berjalan, kita berlayar, tanpa bisa melihat apa-apa!"
Baru saja Ned Land melontarkan kejengkelan nya, tiba-tiba ruangan menjadi gelap. Cahaya lem92 but yang menyinar di plafon padam dengan seketika, sehingga sakit mataku dibuatnya.
Kami berdiri sambil membisu, karena tak tahu apa yang akan terjadi. Kami mendengar bunyi menggeser, seakan-akan terjadi di sisi samping kapal.
"Nah, sekarang kita mati!" ujar Ned Land.
Sekonyong-konyong cahaya masuk dari dua lubang lonjong di kedua sisi ruang duduk. Di luar nampak air laut berkilauan, diterangi cahaya listrik. Dua pelat kristal memisahkan kami dari laut. Mula-mula aku gemetar, membayangkan kemungkinan pecahnya kaca pemisah tipis. Tapi simpai-simpai kuat dari tembaga memberikan daya tahan yang boleh dikatakan tak terhingga.
Lautan sekeliling 'Nautilus' kelihatan terang sampai sejauh satu mil. Kami memandang dengan kagum. Tak mungkin kupaparkan di sini keindahan yang nampak di luar! Siapalah yang mampu memaparkan pengaruh cahaya dalam air yang jernih"
Di sekitar Kepulauan Antilles, dasar berpasir dari laut yang dalamnya seratus dua puluh lima meter bisa dilihat dengan jelas. Sinar matahari masih bisa menembus air, di tempat sedalam lebih dari dua ratus meter. Tapi di tengah-tengah air laut yang sedang diarungi 'Nautilus', cahaya listrik menebangi segala-galanya. Air tak keiihatan seperti air, melainkan menimbulkan kesan seakan-akan cahaya cair.
Di setiap sisi lambung terdapat sebuah jendela. Ruang duduk yang remang-remang menyebabkan laut di luar kelihatan semakin terang benderang. Kami memandang, seakan-akan sedang berdiri di depan akuarium raksasa.
"Anda tadi mengatakan ingin melihat, Sobat. Sekarang lihatlah!"
93 "Ajaib! Benar-benar ajaib!" kata juru tombak setengah berbisik. Kejengkelan sudah dilupakan olehnya, karena terpesona oleh pemandangan mengasyikkan. "Aku mau pergi lebih jauh lagi, untuk mengagumi pemandangan seperti ini!"
Dua jam lamanya kami diiringi oleh armada ikan. Bermacam-macam jenis yang kami lihat berkeliaran, tak dapat kusebutkan satu per satu. Ned menyebutkan nama-nama ikan yang dilihat, disusul oleh penggolongannya yang dilakukan oleh Conseil. Aku sangat tertarik melihat kelincahan gerak, serta keindahan warna-warnanya. Rupanya segala makhluk samudera itu tertarik oleh cahaya terang.
Tiba-tiba ruang duduk terang kembali. Pelat-pelat besi menutup, melenyapkan pemandangan mempesona. Tapi aku masih tetap berdiri seperti sedang mimpi, sampai mataku menatap alat-alat yang tergantung di dinding. Pedoman masih menunjukkan arah timur timur laut.
Menurut manometer, tekanan air di luar sebesar lima atmosfir, sedang alat penunjuk kecepatan menampakkan bahwa 'Nautilus' sedang bergerak dengan kecepatan lima belas mil sejam. Kukira Kapten Nemo akan datang, tapi dia sama sekali tidak muncul. Jarum jam menunjukkan pukul lima petang.
Ned Land dan Conseil kembali ke bilik mereka, dan aku memasuki ruangan yang sudah disediakan untukku. Di dalam telah dipersiapkan hidangan makan malam, terdiri dari sup penyu, kemudian bermacam-macam ikan.
Malam itu aku sibuk membaca, menulis dan berpikir. Namun akhirnya aku mengantuk, karena itu kubaringkan badan di atas bangku. Sementara itu 'Nautilus' melaju mengikuti arus Sungai Hitam.
94 XIV SURAT UNDANGAN KEESOKAN harinya tanggal 9 Nopember. Aku terbangun dari tidur selama dua belas jam. Conseil datang seperti biasa, untuk menanyakan apakah aku enak tidur dan apakah aku memerlukan sesuatu. Ned Land ditinggalnya dalam keadaan tidur nyenyak. Conseil bercerita dengan asyik. Kubiarkan saja dia berceloteh sendiri, tanpa kujawab. Aku sibuk memikirkan, kenapa Kapten tak menemani kami melihat tamasy
a indah kemarin. Kuharapkan akan bertemu dengan dia hari ini.
Begitu selesai berpakaian, aku pergi ke ruang duduk. Ternyata tak ada seorang pun di dalamnya.
Karena itu aku lantas asyik memperhatikan jenis-jenis hewan laut yang dipajang di balik kaca, serta mengamat-amati berbagai tumbuhan dasar samudera yang ditaruh dalam tempat-tempat khusus.
Sepanjang hari aku menunggu, tapi Kapten Nemo tetap tak muncul. Sedang pelat-pelat besi di sisi lambung juga tak membuka. Rupanya ia tak i-ngin membosankan kami.
Kapal berlayar dengan arah tetap. Kecepatannya dua belas mil sejam, dan bergerak di air sedalam empat puluh lima sampai lima puluh lima meter.
Keesokan hari, tanggal 10 Nopember, ruangan duduk tetap kosong. Sekelilingku tetap sepi. Tak seorang pun dari awak kapal yang kulihat. Untung ada Ned Land dan Conseil yang menemani hampir sepanjang hari. Mereka juga heran melihat Kapten Nemo tidak datang tanpa memberi tahu. Mungkinkah dia sakit" Atau pikirannya berubah"
95 Tetapi, seperti kata Conseil, kami bebas bergerak. Lagipula makanan yang dihidangkan lebih dari mencukupi. Tuan rumah menepati janji. Jadi kami tak boleh mengeluh !
Hari itu aku menuliskan pengalaman-pengalaman sejak kami mulai bertualang dengan 'Abraham Lincoln'. Kertas yang kupakai terbuat dari serat tumbuh-tumbuhan laut.
Pagi-pagi, tanggal 11 Nopember. Dari udara segar yang menyebar ke seluruh ruangan kapal 'Nautilus', aku mengetahui bahwa kami muncul lagi ke permukaan, untuk mengisi zat asam. Aku melangkah menuju tangga tengah, lalu naik ke geladak.
Waktu itu pukul enam pagi. Langit mendung. Laut kelihatan kelabu, tapi tenang. Angin hampir-hampir tak bertiup. Aku kepingin bertemu Kapten Nemo. Akan naik ke atas jugakah dia" Aku tak melihat siapa-siapa, kecuali tukang kemudi yang terkurung dalam kotak kaca. Aku duduk di atas tonjolan rendah yang dibentuk oleh badan perahu, sambil menghirup hawa laut dalam-dalam.
Pelan-pelan kabut lenyap, terusir sinar matahari. Laut bersinar kena pancaran cahayanya. Awan berarak di langit, seperti dicelup dalam warna-warna menyala; kelihatannya hari itu akan banyak angin. Tapi apalah arti angin bagi kapal 'Nautilus', yang bahkan tak gentar menghadapi taufan !
Aku asyik mengagumi keindahan matahari terbit, demikian cerahnya. Kudengar langkah orang mendekat. Kukira yang datang Kapten Nemo. Tapi ternyata ajudannya, yang sudah pernah kulihat pada pertemuan pertama. Ia berjalan di geladak, seakan-akan aku tak kelihatan olehnya. Ia mengamati setiap titik yang nampak di tepi langit dengan teropong yang kuat. Sesudah selesai, ia mendekati lubang tangga sambil mengucapkan suatu kalimat.
96 Masih kuingat benar apa yang dikatakan, karena setiap kali diulangi dalam keadaan sama. Ia berkata,
"Nautron respoc lorni virch."
Aku tak tahu, apa yang dimaksudkan dengannya.
Sesudah mengucapkan kalimat itu, ajudan turun ke bawah.
Aku menduga, kapal 'Nautilus' akan kembali ke bawah laut. Karena itu aku ikut turun, dan kembali ke kamarku.
Lima hari berlalu, tanpa perubahan keadaan. Setiap pagi aku naik ke geladak. Setiap pagi kudengar kalimat sama, diucapkan oleh orang yang sama. Tapi Kapten Nemo tetap tak kunjung muncul.
Aku sudah mengira takkan pernah berjumpa lagi dengannya. Tapi pada tanggal 16 Nopember, ketika aku masuk ke kamarku bersama Ned dan Conseil, di atas meja kulihat ada sepucuk surat, yang ternyata dialamatkan padaku. Surat kubuka dengan tak sabar, dan kubaca kalimat-kalimat yang tertulis dengan huruf-huruf jelas. Isinya sebagai berikut :
"Kepada Profesor Aronnax, di kapal 'Nautilus'.
16 Nopember 1867. "Kapten Nemo mengundang Profesor Aronnax untuk ikut berburu besok pagi. Kita akan berburu dalam rimba Pulau Crespo. Mudah-mudahan Profe-sor tak berhalangan hadir beserta rombongannya.
"Kapten Nemo, komandan kapal 'Nautilus'."
"Dia mengajak berburu!" seru Ned.
"Di hutan rimba Pulau Crespo!" sambung Conseil.
"Kalau begitu kita akan menginjak daratan," kata Ned Land lagi.
"Kan tertulis jelas di sini," jawabku, sambil membaca surat sekali lagi.
97 "Kita harus menerima undangan itu," usul juru tombak. "Tapi begitu kaki menginjak tanah, kita ta
hu apa yang harus dilakukan. Aku sudah kepingin makan daging rusa."
Aku tak berusaha memahami keanehan yang terdapat antara sikap Kapten Nemo yang tak menyukai daratan, dengan undangan untuk berburu dalam hutan. Aku hanya menjawab,
"Kita lihat saja dulu, di mana Pulau Crespo."
Kami menghampiri peta di meja. Pada posisi lintang utara 32"40' dan bujur barat 157"50, aku menemukan pulau kecil yang diinjak untuk pertama kalinya tahun 1801 oleh Nakhoda Crespo. Dalam peta-peta Spanyol kuno, pulau itu diberi nama Rocca de la plata, yang artinya "Cadas Perak". Pada saat itu kami sudah berlayar sejauh seribu delapan ratus mil dari titik awal. Arah haluan 'Nautilus' agak berubah sedikit. Kami bergerak menuju tenggara.
Kutunjukkan letak pulau karang kecil yang letaknya di tengah Pasifik pada kedua pengiringku.
"Rupanya apabila Kapten Nemo pergi ke daratan, ia selalu memilih pulau-pulau terpencil," ujarku.
Ned Land mengangkat bahu. Ia tak mengatakan apa-apa. Mereka berdua meninggalkan aku seorang diri.
Sesudah makan malam yang dihidangkan oleh pelayan yang masih tetap membisu, aku masuk ke tempat tidur. Perasaanku agak gelisah.
Keesokan harinya, tanggal 17 Nopember, begitu terbangun terasa olehku 'Nautilus' berhenti. Dengan cepat kukenakan pakaian, lalu pergi ke ruang duduk.
Kapten Nemo sudah menunggu. Ia bangkit sambil membungkuk memberi hormat. Ia menanyakan, apakah aku bersedia untuk ikut. Ia sama sekali
98 tak menyinggung ketidakhadirannya selama delapan hari, karenanya aku juga tak menanyakan. Kukatakan, dengan senang hati kami menerima undangan berburu.
Kami masuk ke kamar makan, di mana sudah disediakan sarapan.
"Tuan Aronnax," ujar Kapten Nemo. "Silakan duduk. Kita bisa mengobrol sambil makan pagi. Meski aku menjanjikan untuk berjalan-jalan dalam hutan, tapi jangan dikira kita akan menemukan tempat-tempat persinggahan di situ. Karenanya, mari kita sarapan. Kita takkan makan lagi, sampai larut."
Aku tak menunggu dua kali, dan dengan bernafsu menikmati hidangan. Seperti biasa, makanan terdiri dari berbagai jenis binatang laut. Minuman kami berupa air jernih, yang ditambah dengan beberapa tetes sari alkohol oleh Kapten Nemo. Mula-mula ia makan tanpa berkata apa-apa. Tapi akhirnya ia berbicara juga.
"Tentunya ketika menerima undangan saya untuk berburu, Tuan menyangka aku sudah gila. Tuan tak boleh terlalu cepat menilai orang." "Tapi Kapten, saya -"
"Kuminta Anda mendengarkan sebentar. Sudah itu akan dapat Anda lihat sendiri, apakah ada alas-an untuk mempersalahkan diriku sebagai orang yang tak konsekwen."
"Baiklah, saya mendengarkan." "Anda sekarang juga sudah tahu, Profesor; manu-sia dapat hidup dalam air. Pokoknya cukup banyak dibawa perbekalan udara untuk bernafas. Di tempat-tempat kerja bawah air, para pekerja mengenakan pakaian tahan air dan penutup kepala dari logam. Udara didapatnya dari atas, melalui pompa-pompa dan pengatur aliran udara." "Anda memaksudkan alat penyelam," ujarku.
99 "Betul. Tapi orang tak bisa bebas bergerak dengannya, karena masih tetap terikat pada pompa yang menyalurkan udara lewat pipa karet. Jika kita tertambat secara begitu pada 'Nautilus', tak mungkin pergi jauh-jauh."
"Bagaimana caranya membebaskan diri""
tanyaku. "Kita mempergunakan alat Rouguayrol yang diciptakan dua orang senegara dengan Tuan. Tapi aku telah menyempurnakannya. Wujudnya berupa tangki besi berdinding tebal, dalam mana ter-simpan udara bertekanan lima puluh atmosfir. Tangki itu dipasang di punggung, seperti ransel. Bagian sebelah atas merupakan kotak, dalam mana terdapat udara yang diatur tekanannya dengan se-buah pengembus. Keluarnya cuma bisa pada tekanan normal. Dua pipa karet menghubungkan kotak dengan semacam tenda kecil, yang menutup mulut dan hidung. Pipa yang satu mengalirkan udara se-gar, sedang yang lain mengeluarkan udara yang sudah terpakai. Lidah kita menyumbat salah satu pipa yang tak diperlukan. Karena di dasar laut ter-dapat tekanan air yang tinggi sekali, kita haru menutupi kepala dengan sebuah ketopong, seperti yang biasa dipakai para penyelam."


Berkeliling Dunia Di Bawah Laut Karya Jules Verne di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hebat ! Tapi dalam waktu sebentar saja, udara akan sudah habis t
erpakai. Jika kadar zat asam dalamnya tinggal lima belas persen, kita tak bisa mempergunakannya lagi untuk bernafas."
"Betul! Tapi sudah kukatakan tadi, pompa-pompa kapal 'Nautilus' memungkinkan kita menyim pan udara bertekanan tinggi sekali. Dengan begitu dalam tangki tersedia udara yang mencukupi untuk bernafas selama sembilan atau sepuluh jam."
"Saya tak punya keberatan apa pun lagi," ja wabku. "Cuma masih ada satu pertanyaan. Ba gaimana cara Anda menerangi jalan di dasar laut"
100 "Dengan alat Ruhmkorff, Tuan Aronnax. Kita masing-masing membawa dua buah. Satu di punggung, dan yang kedua diselipkan ke pinggang. Sebuah kawat mengalirkan listrik yang dihasilkan oleh kedua alat itu ke sebuah lentera khusus. Dalam lentera yang merupakan gelas berbentuk spiral, terdapat gas karbon dalam jumlah kecil. Jika alat-alat bekerja, gas itu memancarkan sinar putih dan terang. Jadi aku bisa bprnafas dan melihat dalam air."
"Kapten Nemo, untuk setiap persoalan berhasil Tuan temukan pemecahannya. Saya tak berani ra-gu lagi mengenainya. Namun jika kedua alat Tuan harus kuakui manfaatnya, saya masih belum memahami cara kerja senapan yang akan kita pakai."
"Senapan kita bukan senjata api, yang memakai mesiu," jawab Kapten.
"Kalau begitu, kita akan memakai senapan angin."
"Tepat! Kami tak bisa membuat mesiu, karena tak punya sendawa, belerang dan arang di kapal." "Kecuali itu sukar sekali menembak dalam air, yang delapan ratus lima puluh lima kali lebih papat daripada udara," tambahku.
"Itu tak merupakan kesukaran. Ada senjata-senjata dengan sistem penutup istimewa, yang bisa ditembakkan dalam air. Tapi karena kami tak punya mesiu, aku mempergunakan udara bertekanan sangat besar."
"Tapi udara itu akan cepat habis!" "Bukankah aku punya tangki Rouquayrol yang dapat mengisi udara kembali" Untuknya cuma kuperlukan sebuah keran. Di samping itu akan Tuan lihat sendiri selama perburuan nanti, bahwa hanya sedikit udara dan pelor yang akan kita perlu101 Aku masih tetap belum puas bertanya. Masih ada saja yang belum dapat kubayangkan. "Dalam keadaan remang-remang begini, dan dalam air pula, mestinya pelor takkan dapat melayang jauh, serta tak mematikan."
"Bahkan sebaliknya! Dengan senjata ini, setiap tembakan mematikan. Kalau ada hewan yang terserempet saja, dia pasti tumbang seperti disambar petir."
"Kenapa"" "Karena pelor yang kupakai bukan jenis yang biasa. Senapan kita melontarkan bola-bola kaca kecil yang penciptanya adalah Leniebroek, seorang sarjana kimia Austria. Bola itu dibungkus baja, dan diberati dengan timah hitam, menjadi botol Leiden ukuran kecil. Ke dalamnya kusalurkan arus listrik bertegangan sangat tinggi. Kalau terjadi benturan sedikit saja, listrik yang terkurung mengalir ke luar. Hewan yang kena, pasti mati."
"Sekarang saya benar-benar puas," jawabku sambil bangkit. "Saya siap untuk memanggul senapan serta mengikuti Tuan ke mana saja."
Kapten Nemo mendului berjalan, menuju ke belakang. Ketika melewati bilik tempat Ned Land dan Conseil, kupanggil kedua orang itu. Mereka berdua dengan segera mengikuti kami, sampai ke semacam sel yang letaknya berdekatan dengan ruang mesin Di situ kami mengenakan pakaian khusus untuk berjalan-jalan di dasar laut.
XV MELANCONG DI DASAR LAUT SEL yang kami masuki, tepatnya merupakan gu dang senjata dan tempat perlengkapan kapa 'Nautilus'. Di dinding tergantung selusin pakaian selam.
102 Begitu melihat, nampak di wajah Ned Land bahwa dia enggan mengenakannya.
"Ned yang budiman. Hutan rimba Pulau Crespo, merupakan rimba dasar laut."
"Nah, hebat!" ujar juru tombak. Kelihatan dia kecewa, karena lenyap harapannya akan bisa makan daging rusa. "Dan Tuan Aronnax akan mengenakan pakaian itu""
"Mau tidak mau, Ned."
"Silakanlah," jawabnya sambil mengangkat bahu, "tapi aku tak mau, kalau bukan dipaksa."
"Tak ada yang memaksa Anda, Tuan Land," ujar Kapten Nemo.
"Apakah Conseil akan mengenakannya"" tanya Ned.
"Saya akan mengikuti tuan saya, ke mana saja dia pergi," jawab Conseil.
Kapten memanggil dua awak kapal untuk membantu kami mengenakan pakaian berat yang tak tembus air itu, yang terdiri dari bagian cela
na dan jaket. Ujung celana berupa sepatu laras tebal, dengan alas yang terbuat dari timah hitam berat. Jaketnya berlapis simpai-simpai tembaga di bagian dada, untuk melindungi diri terhadap tekanan air. Di ujung lengannya terdapat sarung tangan, sehingga kami bisa menggerak-gerakkan jari dengan bebas. Jauh benar bedanya antara pakaian selam cip-taan Kapten Nemo, dengan yang biasa dipakai dalam abad ke delapan belas.
Kapten Nemo beserta salah seorang pengikutnya yang berbadan raksasa. Kemudian aku dan Conseil mengenakan pakaian selam dengan cepat. Kami tinggal mengenakan penutup kepala yang terbuat dari logam. Tapi sebelumnya aku minta izin pada Kapten, agar diperbolehkan melihat senjata-senjata yang akan kami bawa.
103 Salah satu awak kapal memberikan sebuah senjata sederhana padaku. Gagangnya terbuat dari baja. Ukurannya agak besar, dan berongga tengah-tengahnya. Di situlah tempat udara yang dipadatkan. Lewat sebuah katup yang bekerja dengan pegas, udara mendesak ke depan, memasuki sebuah tabung logam. Sebuah kotak peluru yang disisipkan dalam sebuah jalur yang juga terdapat dalam gagang, bersisikan dua puluh buah pelor. Pelor masuk ke laras senapan, karena terdorong sebuah pegas. Begitu sebuah pelor ditembakkan, pelor yang berikut masuk ke dalam laras.
"Kapten Nemo," kataku, "senjata ini sempurna. Cara memakainya mudah sekali. Tapi bagaimana cara kita keluar dari sini, untuk sampai ke dasar laut""
"Pada saat ini 'Nautilus' terletak di dasar laut. Jadi kita bisa keluar sekarang juga." "Bagaimana caranya"" "Lihat saja nanti."
Kapten Nemo memasukkan kepala ke dalam ke-topong. Aku dan Conseil mengikuti teladannya. Ned Land masih sempat menyindir, dengan ucapan "Selamat berburu!"
Bagian atas dari pakaian kami berakhir dengan kerah berupa simpai tembaga. Pada kerah itulah dipasang ketopong. Tiga buah lubang yang tertutup kaca tebal, memungkinkan kami memandang ke segala arah. Begitu ketopong terpasang, alat Rouquayrol pada punggung mulai bekerja. Aku dapat bernafas dengan leluasa.
Aku sudah siap untuk berangkat, dengan lampu Ruhmkorff tergantung di pinggang dan senapan di tangan. Tapi aku tak mampu melangkahkan kaki, karena terkungkung dalam pakaian berat.
Tapi persoalan itu pun sudah dipikirkan oleh Kapten Nemo rupanya. Aku didorong masuk ke se104 buah ruang sempit, yang bersebelahan letaknya dengan kamar tempat kami berganti pakaian. Yang lain-lain juga didorong masuk. Kudengar bunyi pintu tertutup, dan sekeliling kami menjadi gelap gulita.
Sesudah berlalu beberapa menit, terdengar bunyi mendesis nyaring. Kedinginan merayapi tubuhku, dari kaki naik sampai ke dada. Ruang terisi dengan air, yang rupanya dialirkan melewati satu keran dari salah satu bagian kapal. Sudah itu, sebuah pintu lain membuka. Kami melihat cahaya samar. Saat berikutnya kami sudah menginjakkan kaki di dasar samudera.
Kapten Nemo berjalan di depan, diikuti oleh yang lainnya beberapa langkah di belakangnya. Conseil dan aku sendiri berjalan berdekatan. Beban pakaian tak terasa lagi.
Cahaya yang menerangi dasar laut di tempat yang dalamnya sepuluh meter di bawah permukaan, kelihatan terang sekali.
Sinar matahari menembus air dan membaurkan semua warna. Aku dapat melihat benda-benda yang terdapat seratus lima puluh meter dari tempatku, kelihatannya jelas sekali. Lewat batas itu semuanya menjadi semu lembayung, dan nampak semakin samar. Air sekelilingku memberikan kesan seperti udara, tapi udara kental. Di atas kelihatan permukaan laut tenang. Kami berjalan di atas pasir halus, datar sekali seperti di pantai. Nampaknya seperti cermin yang memantulkan cahaya matahari, menerangi setiap benda terkecil.
Seperempat jam lamanya aku berjalan di atas pasir, yang ditebari dengan abu kulit lokan. Tubuh kapal 'Nautilus', yang menyerupai sebuah beting, makin lama semakin menghilang dari pandangan. Tapi lenteranya akan menerangi jalan kami kembali nanti.
105 Tak lama kemudian, mulai nampak bentuk-bentuk tertentu di kejauhan. Aku dapat mengenali batu-batu karang indah, bertaburkan kumpulan hewan-hewan laut kecil yang menyerupai tumbuhan.
Saat itu pukul sepuluh pagi. Sina
r matahari yang masih condong, menyepuh sekeliling kami dengan warna-warna pelangi. Semuanya serba menarik, tak puas rasanya mata memandang! Kenapa aku tak dapat mengadakan hubungan dengan Conseil, untuk meneruskan perasaan yang memenuhi kalbuku" Kalau Kapten Nemo, mungkin saja dia dapat berbicara dengan pengiringnya melalui bahasa isyarat, yang telah ditentukan sebelumnya. Karena perasaanku yang terpesona terasa memenuhi dada, aku bercakap-cakap dengan diriku sendiri.
Menyesal rasanya, terpaksa menginjakkan kaki di alam yang begitu murni. Tapi kami harus berjalan. Karena itu kuteruskan langkah, mengikuti Nakhoda, sambil menikmati pemandangan indah. Aku berjalan hampir tanpa berhenti, menuruti gerak isyarat yang diberikan oleh Kapten Nemo, Tak lama kemudian dasar laut berubah wujud; dataran pasir digantikan oleh tanah lumpur. Sudah itu kami merintis padang rumput laut, melewati tumbuh-tumbuhan subur yang menyemak. Kakiku bagaikan menginjak permadani lembut. Di atas kelihatan jaringan ganggang yang tumbuh di permukaan air. Kuperhatikan bahwa yang berwarna hijau lebih dekat tumbuhnya ke atas air, sedang yang merah agak dalam letaknya; sedang yang coklat sampai biru kehitam-hitaman, membentuk taman di dasar.
Sudah satu setengah jam lamanya kami pergi meninggalkan 'Nautilus'. Waktu itu sudah hampir tengah hari. Aku mengetahui, karena pancaran sinar matahari sudah hampir tegak lurus menembus air. Kami berjalan dengan langkah-langkah ter106 atur, menuruni dasar yang landai. Cahaya tidak lagi menampakkan warna-warna beraneka ragam, melainkan sudah mulai kelihatan seragam. Kami bergerak di tempat sedalam seratus lima meter. Tekanan air besarnya enam atmosfir.
Aku masih bisa melihat cahaya matahari, namun hanya remang-remang. Sinarnya yang benderang sudah menyusut menjadi seperti di saat magrib. Tapi kami masih dapat melihat dengan cukup baik. Jadi alat Ruhmkorff belum diperlukan. Pada saat itu Kapten Nemo berhenti. Ia menunggu sampai aku tiba dekatnya, lalu menunjuk ke bayangan gelap yang nampak tak begitu jauh.
"Itulah dia, rimba Pulau Crespo," pikirku. Ternyata dugaanku tepat.
XVI RIMBA BAWAH AIR KAMI sudah tiba di tepi rimba, yang pasti tergolong paling indah di antara milik Kapten Nemo. Seluruh dasar laut dianggap merupakan kepunyaannya. Ia bersikap seperti pemilik, sama halnya dengan manusia-manusia pertama yang menghuni bumi. Dan memang sikapnya benar; karena siapalah yang hendak mempertengkarkan segala harta di bawah laut itu dengannya" Orang manakah yang akan mungkin datang dengan kapak di tangan, untuk merusak semak-semak indah ini "
Rimba yang kami datangi terdiri dari pohon-pohon besar. Begitu melangkah di bawah naungannya, aku tertarik melihat arah cabang-cabangnya yang aneh. Belum pernah kulihat pohon-pohon bercabang serupa itu.
Tak satu pun daunnya menghampar di tanah, tak ada dahan yang patah atau bengkok dan menjulur
107 datar. Semuanya mengarah ke permukaan air. Setiap dahan, setiap ranting sampai yang paling kecil semua lurus seperti batang besi. Bahkan tumbuh-tumbuhan rendah pun tegak lurus ke atas. Semua yang nampak sekeliling kami, tegak lurus ke atas !
Dengan cepat aku terbiasa pada letak yang luar biasa itu, begitu pula pada cahaya remang-remang yang menyelaputi. Tanah hutan seakan-akan bertaburan dengan batu tajam, yang tak mudah dielakkan. Keadaan tumbuh-tumbuhan sekitar situ nampak sempurna bagiku. Tapi kemudian timbul keragu-raguan: yang mana tumbuh-tumbuhan, dan yang mana pula hewan" Dalam alam bawah air, keduanya memiliki wujud yang sangat berdekatan.
Kebanyakan dari tanaman di situ tidak berdaun yang berwujud lembaran, melainkan menumbuhkan daun-daun berbentuk aneh berwarna-warna: ada yang merah muda, merah tua, hijau, hijau kemuning dan coklat.
"Lautan memang aneh!" ujar seorang ahli ilmu alam. "Dalamnya hewanlah yang berupa kembang, sedang tumbuh-tumbuhan tidak!"
Sesudah satu jam kami berjalan dalam rimba aneh itu, Kapten Nemo memberi isyarat untuk berhenti. Aku sudah agak letih juga. Kami merebahkan diri di bawah naungan sebatang pohon, yang berdaun tipis panjang seperti anak panah tegak luru
s. Nikmat sekali rasanya, bisa beristirahat sebentar. Sayang, kami tak dapat bercakap-cakap. Kudekatkan ketopong ke penutup kepala Conseil. Kulihat matanya bersinar-sinar. Untuk menyatakan kepuasannya, ia menggeleng-gelengkan kepala dalam ketopong yang menutupi. Kelihatan kocak sekali.
Aku heran, karena tak merasa lapar. Padahal kami sudah berjalan beberapa jam lamanya. Aku
t08 tak mampu menerangkan, mengapa demikian halnya. Tapi aku merasa sangat mengantuk. Keadaan ini biasa dialami para penyelam. Dengan cepat mataku terkatup di balik kaca tebal. Aku tertidur pulas. Kapten Nemo serta kedua teman kami juga terlena.
Tak kuketahui, berapa lama aku terbuai alam mimpi. Namun ketika aku bangun kembali, sinar matahari sudah condong ke barat. Kapten Nemo sudah bangun. Aku sedang menggeliat untuk melemaskan persendian yang kaku. Tiba-tiba suatu makhluk muncul mendekat, menyebabkan aku meloncat bangkit.
Hanya beberapa langkah saja dari tempatku berbaring, seekor laba-laba laut yang sangat besar, kira-kira satu meter tingginya sedang siap untuk menerpa. Walau pakaian selam cukup tebal untuk melindungi diriku dari gigitannya, tapi badanku gemetar juga karena ngeri. Saat itu Conseil dan awak kapal terbangun. Kapten Nemo menunjuk ke arah binatang laut berkulit keras itu. Kelasi mengayunkan senapan, dan laba-laba mati sekali pukul. Kulihat jepit menyeramkan dari binatang itu bergerak-gerak pada saat sekaratnya. Peristiwa itu mengingatkan aku pada binatang-binatang lain yang lebih mengerikan lagi, yang mungkin hidup di tempat dalam itu. Mungkin pakaian selam tak cukup aman! Sebelumnya kemungkinan tersebut tak terpikir olehku. Aku bertekat untuk berjaga-jaga. Timbul sangkaanku, kami akan menghentikan pengembaraan sampai di situ saja. Tapi perkiraan itu keliru, karena Kapten Nemo melanjutkan perjalanan. Dasar laut masih tetap menurun. Rasanya makin curam saja, menuju tempat lebih dalam. Aku menduga. waktu sudah kira-kira pukul tiga siang, ketika kami tiba di sebuah lembah sempit. Letaknya terjepit di antara tebing-tebing curam
109 yang tinggi, kira-kira seratus lima puluh meter di bawah permukaan laut. Berkat kesempurnaan alat selam, kami bisa bergerak sembilan puluh meter di bawah batas kemampuan manusia di dalam air.
Aku mengatakan seratus lima puluh meter, meski tak ada peralatan yang dibawa untuk mengukur jarak kedalaman. Tapi aku tahu, dalam air yang paling jemih sekalipun cahaya matahari tak mampu menembus lebih jauh. Sesuai dengannya, makin dalam kami berjalan, semakin gelap pula sekeliling kami. Benda-benda yang sepuluh langkah dari kami, sudah tak dapat kelihatan lagi. Aku berjalan sambil meraba-raba. Tiba-tiba di depanku memancar cahaya putih yang terang. Rupanya Kapten Nemo menghidupkan lentera listriknya. Kami bertiga mengikuti. Kuputar sebuah tombol yang menyambungkan aliran listrik antara kawat dengan tabung kaca spiral. Air sekeliling kami diterangi empat lentera, dengan garis tengah tiga puluh lima meter.
Kapten Nemo terus berjalan, semakin dalam masuk rimba. Pepohonan menipis. Kuperhatikan bahwa kehidupan tumbuh-tumbuhan lebih dulu tidak ada, dibandingkan dengan alam hewan.
Sementara berjalan, kupikir cahaya lampu Ruhmkorff kami pasti akan menarik perhatian beberapa penghuni perairan dalam. Memang betul dugaanku itu, tapi mereka tak berani mendekat. Kapten Nemo berhenti beberapa kali, lalu meletakkan senapannya ke bahu. Tapi kemudian diturunkan lagi, lalu melanjutkan perjalanan. Akhirnya perkelanaan di rimba berhenti juga, sesudah empat jam kami berjalan. Sebuah dinding batu cadas menjulang tinggi di depan kami. Itulah dia, kaki tebing curam dari Pulau Crespo. Kami berhadap-hadapan dengan kaki daratan. Kapten Nemo menghentikan langkah dengan tiba-tiba. Ia
110 mengisyaratkan, agar kami juga berhenti. Betapa inginnya pun mendaki dinding, namun aku terpaksa patuh. Di sinilah akhir daerah kekuasaan Kapten Nemo. Dan dia tak mau melangkahkan kaki melampauinya. Di depan menjulang bagian bumi yang tak mau diinjaknya lagi
Kami kembali. Kapten Nemo mendahului, berjalan dengan langkah-langkah pasti. Menurut perasaanku, kami tidak m
engambil jalan yang sama untuk kembali ke 'Nautilus'. Jalan yang baru sangat terjal, sehingga melelahkan. Dengan cepat kami mendekati permukaan. Tapi juga tak terlalu cepat! Kalau tekanan air berkurang terlalu pesat, badan kami tak akan kuat menahan akibatnya. Tak lama kami berjalan, sekeliling kami mulai terang kembali. Cahaya matahari menembus air dengan sudut yang sudah sangat condong. Di tempat sedalam kira-kira sepuluh meter, kami berjalan di tengah kawanan besar ikan-ikan kecil dari berbagai jenis. Jumlahnya jauh lebih banyak dari burung yang beterbangan di udara.
Tapi kami masih belum berpapasan dengan hewan yang layak dijadikan perburuan. Tiba-tiba kulihat Kapten Nemo menyandang senapan dengan cepat, mengikuti gerak sesuatu yang menyelinap masuk semak. Pelatuk ditarik: kudengar bunyi desisan pelan, dan seekor hewan rebah di depan. Ternyata seekor berang-berang laut. Panjangnya sekitar satu setengah meter, dan mestinya sangat berharga. Bulunya sebelah atas berwarna coklat kemerahan, sedang bagian perut berwarna perak. Jenis bulu seperti itu sangat digemari di pasaran bulu hewan di Rusia dan Cina.
Pengiring Kapten memanggul hasil perburuan itu, dan kami melanjutkan perjalanan. Sejam lamanya kami bergerak di atas dataran pasir, yang kadang-kadang meninggi sampai tinggal dua meter
111 saja lagi di bawah permukaan. Aku melihat diri kami tercermin di atas.
Pada saat itulah aku menyaksikan keahlian menembak yang luar biasa. Seekor burung bersayap lebar terbang melayang di udara, tepat di atas kami. Pengiring Kapten Nemo mengangkat senapan, lalu menembak ketika burung melayang rendah. Burung itu jatuh ke air. Kuperhatikan dari dekat, ternyata seekor elang laut yang sangat indah.
Kami berjalan terus, melintasi dasar laut yang ditumbuhi tumbuhan ganggang yang sangat sukar dilalui. Karena itu aku sudah hampir kehabisan tenaga, ketika di kejauhan nampak sinar lampu kapal 'Nautilus' menembus kegelapan. Sudah kubayangkan, dua puluh menit lagi kami pasti akan sudah sampai. Aku akan bisa bernafas dengan leluasa kembali. Cadangan udara segar dalam tangki sudah mulai habis. Tapi aku menyangka begitu, tanpa memperhitungkan hal-hal yang bisa menghambat perjalanan.
Karena sudah letih, aku berjalan agak ketinggalan di belakang. Sekonyong-konyong kulihat Kapten Nemo membalik, dan bergegas menghampiri. Tangannya menekan tubuhku dengan kuat, sehingga aku terbungkuk ke tanah. Masih sempat kulihat pengiringnya melakukan hal sama terhadap Conseil. Mula-mula aku bingung mengalami serangan begitu; tetapi perasaan was-was lenyap kembali, ketika Kapten Nemo ikut merebahkan diri dan berbaring tanpa bergerak.
Aku menengadah, sambil baring di bawah lindungan semak ganggang. Di atas kami nampak bayangan besar sekali, bersinar pendar. Darahku berhenti mengalir, ketika kukenali wujud bayangan
112 itu. Dua ekor ikan hiu yang sangat besar berenang di atas kami. Rupanya menyeramkan sekali, dengan ekor mengibas pelan dan mata yang menatap tanpa berkejap. Sinar pendar yang kelihatan tadi memancar dari lubang-lubang di atas moncong. Wah, seram sekali kelihatannya! Manusia pasti akan langsung mati, jika terjebak di antara dua baris gigi tajam itu. Aku tak tahu, apakah Conseil masih sempat memandang dan menggolongkan jenisnya, atau barangkali dia menyembunyikan muka karena takut. Tapi aku memandang perutnya yang putih perak, serta moncongnya yang lebar dengan deretan gigi tajam, bukan sebagai ahli ilmu alam, tapi sebagai orang yang mungkin bernasib naas dan menjadi korbannya.
Tapi untung saja, kedua ikan itu tidak awas matanya. Mereka lewat tanpa melihat kami, padahal sirip mereka nyaris menyentuh kepala yang merunduk. Berkat nasib mujur, kami selamat dari bahaya, yang sudah pasti lebih menyeramkan daripada berjumpa harimau dalam hutan! Setengah jam kemudian, kami sampai juga di 'Nautilus'. Pintu luar dibiarkan terbuka sewaktu kami meninggalkannya. Begitu kami masuk kembali dalam sel sempit, Kapten Nemo menutup pintu kembali. Sudah itu ditekannya sebuah tombol. Kudengar pompa-pompa bekerja dalam kapal. Terasa air terisap ke luar sel, makin lama makin rendah.
Dalam beberapa detik saja, air dalam sel sudah habis. Kemudian pintu sebelah dalam terbuka, dan kami masuk ke bilik perlengkapan.
Pakaian selam kami dibuka, dengan agak susah. Aku sudah kehabisan tenaga, karena lapar dan mengantuk, karena itu dengan segera menuju ke kamarku. Tapi aku masih tetap terpesona, kagum mengalami pesiar yang menakjubkan di dasar laut.
113 XVII BERLAYAR EMPAT RIBU MIL DI BAWAH PERMUKAAN PASIFIK
KEESOKAN harinya, tanggal 18 Nopember, aku sudah merasa segar kembali. Aku naik ke geladak, tepat pada saat ajudan menggumamkan kalimat yang selalu diucapkannya setiap hari.
Aku sedang asyik menikmati pemandangan laut yang indah, ketika Kapten Nemo muncul ke atas. Nampaknya ia tak menyadari kehadiranku, karena ia langsung mulai dengan berbagai pengukuran langit. Sesudah selesai, ia lantas menyandarkan diri ke kotak tempat lentera. Pandangnya merenung ke laut. Sementara itu sejumlah awak kapal naik juga ke geladak. Semuanya kelihatan sehat dan kuat. Nyata sekali mereka berasal dari berbagai negara, meski semuanya orang Eropa. Ada yang kukenali sebagai orang Irlandia, ada yang kelihatan berbangsa Perancis, beberapa di antara mereka berasal dari daerah Slavia, serta seorang bangsa Yunani atau Kreta. Mereka bersikap sopan. Namun mereka bercakap-cakap hanya dalam bahasa asing, yang tak kukenal itu. Jadi aku tak dapat bertanya-tanya.
Mereka menghela jala, yang berwujud pukat. Hari itu banyak sekali tangkapan kami; bermacam-macam jenis ikan yang menggelepar, mulai dari yang kecil sampai ke tiga ekor ikan tuna.
Menurut perkiraanku, hampir setengah ton ikan yang berhasil ditangkap dengan pukat hari itu. Kami takkan kekurangan bahan makanan yang lezat. Sedang kelajuan kapal 'Nautilus' serta daya penarik lentera akan selalu memikat ikan-ikan mendekat. Dengan segera hasil pukat diturunkan le114 wat lubang masuk ke kamar kerja dapur. Beberapa di antara ikan-ikan akan dihidangkan hari itu juga, sedang yang lainnya diawetkan.
Penangkapan ikan sudah selesai. Pergantian udara segar juga sudah dilakukan. Karenanya kukira kami akan melanjutkan perjalanan menyelam; jadi aku sudah siap untuk kembali ke kamar, ketika sekonyong-konyong Kapten Nemo berpaling memandang ke arahku sambil berkata,
"Profesor, bukankah samudera ini penuh dengan kehidupan" Lautan bisa marah, dan bisa pula bersifat lembut. Kemarin dia tidur seperti kita, dan sekarang bangun lagi setelah beristirahat satu malam. Lihatlah!" katanya sambil menunjuk ke depan, "sekarang lautan bangun kembali, dibelai sinar matahari. Menarik sekali untuk mempelajarinya. Lautan mempunyai denyut nadi dan gejolak perasaan. Aku setuju dengan sarjana, yang mengatakan bahwa lautan memiliki peredaran yang sama seperti peredaran darah binatang." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Ya, samudera benar-benar mempunyai peredaran. Dan untuk memeliharanya, Sang Pencipta memberikan kemungkinan pada berbagai jenis makhluk untuk berkembang biak dalamnya."
Pada saat Kapten Nemo berbicara begitu, dia kelihatan berubah dari biasanya. Perasaanku ikut tergetar karenanya.
"Dalam laut terdapat kehidupan sejati," tambahnya, "dan dapat kubayangkan tercipta kota-kota samudera, kelompok perumahan bawah air, yang seperti 'Nautilus' muncul ke permukaan untuk menghirup udara segar. Dapat kubayangkan ter-ciptanya kota-kota bebas merdeka. Tapi siapa tahu, mungkin ada lagi penguasa lalim -"
Kalimat itu dipotong sendiri oleh Kapten Nemo, dengan tepisan tangan. Kemudian ia berbicara pa115 daku, seakan-akan hendak menyingkirkan pikiran sedih.
"Tuan Aronnax, tahukah Tuan berapa dalamnya samudera ""
"Saya hanya mengetahuinya, berdasarkan pengukuran-pengukuran yang sudah dilakukan."
"Dapatkah Anda mengatakannya, supaya dapat kujadikan perbandingan""
"Ada beberapa di antaranya yang masih saya ingat. Kalau tak salah, kedalaman tujuh ribu dua ratus meter sudah pernah diukur di perairan Atlantik Utara. Kalau di Laut Tengah, pernah diukur dasar sedalam dua ribu meter. Laut terdalam yang pernah diukur, adalah di Atlantik Selatan."
"Kalau begitu, mudah-mudahan saja kita bisa mencapai tempat yang lebih dalam lagi
. Sedang perairan Samudera Pasifik sekitar sini, dalamnya rata-rata tiga ribu lima ratus meter saja."
Sehabis berkata, Kapten Nemo berjalan menuju lubang tangga dan menghilang ke dalamnya. Aku menyusul, lalu pergi ke ruang duduk. Kapal mulai bergerak, dengan kecepatan dua puluh mil sejam.
Selama beberapa pekan berikut, Kapten Nemo jarang kelihatan. Setiap hari ajudan menerangkan arah pelayaran di peta, sehingga dapat kuketahui dengan tepat ke mana 'Nautilus' bergerak.
Selama beberapa waktu, hampir setiap hari pelat sisi kapal membuka. Tak bosan-bosannya kami memperhatikan keajaiban dunia bawah laut.
Arah pelayaran 'Nautilus' masih tetap tenggara, dan kami bergerak di kedalaman antara seratus sampai seratus lima puluh meter di bawah permukaan. Tapi pada suatu hari kapal bergerak menurun, dan menyentuh dasar laut. Aku tak tahu kenapa sebabnya. Suhu di luar 4.25 derajat.
Pukul tiga subuh tanggal 26 Nopember, 'Nautilus' melintasi garis balik utara pada garis bujur 172".
116 Tanggal 27 dilewati kepulauan Sandwich, di mana Cook meninggal dunia tanggal 14 Pebruari 1779. Kami telah berlayar sejauh 4860 mil dari titik awal. Pagi-pagi, ketika aku naik ke geladak atas, kelihatan Pulau Hawaii, kira-kira dua mil di atas angin.
Kapal 'Nautilus' masih tetap bergerak menuju tenggara. Khatulistiwa dilintasi kembali tanggal 1 Desember, pada garis bujur 142". Kapal melaju terus.
Pada tanggal 11 Desember, aku sedang asyik membaca di kamar duduk. Ned Land bersama Conseil memandang ke luar, melalui kaca sisi yang tutupnya terbuka separuh. Kapal 'Nautilus' tak bergerak di tempat sedalam seribu meter, sementara tangki-tangki diisi kembali. Daerah tempat kami berhenti saat itu jarang didatangi orang, dan ikan -ikan besar pun jarang kelihatan.
Tiba-tiba Conseil mengganggu.
"Maukah Tuan datang sebentar ke mari"" tanyanya. Suaranya kedengaran agak aneh.
"Ada apa, Conseil"" tanyaku.
"Ada sesuatu yang ingin saya tunjukkan pada Tuan."
Aku bangkit menghampiri, lalu ikut memandang ke luar jendela.
Sebuah benda besar kelihatan mengambang dalam air, tak bergerak-gerak diterangi sinar lampu kapal. Aku memperhatikan dengan saksama. Kukira benda itu seekor binatang laut yang sangat besar. Tapi tiba-tiba terlintas dugaan lain.
"Itu kapal!" kataku agak keras.
"Betul," jawab Ned Land, "kapal rusak, yang karam secara tegak lurus."
Kata Ned Land benar; kami berada di dekat sebuah kapal. Layarnya robek-robek, tersangkut ke rantai. Kelihatan lunasnya tak mengalami kerusakan. Menurut dugaanku, tenggelamnya pasti
117 baru beberapa jam yang lalu. Ketiga tiang layarnya patah, setengah meter di atas anjung. Rupanya kapal itu dilanda angin ribut, dan kemudian karam karena banyaknya air yang masuk ke dalam. Menyedihkan sekali kelihatannya, tenggelam tertimbun air. Tapi lebih menyedihkan lagi pemandangan yang nampak di anjung. Mayat beberapa orang masih terikat di situ dengan tali. Kuhitung ada lima. Empat mayat pria, satu di antaranya tegak di belakang kemudi. Di geladak belakang berdiri seorang wanita memegang bayi. Wanita itu kelihatan masih muda. Tangannya menjunjung bayi, seakan-akan hendak menyelamatkannya dari terkaman laut. Wajah mayat-mayat lainnya menyeramkan. Hanya juru kemudi saja yang kelihatan tenang, dengan tangan memegang kemudi erat-erat. Ia seakan-akan sedang mengarahkan haluan kapal tak bertiang, menuju ke dasar laut.
Perasaan kami tersentuh oleh pemandangan itu. Dan ketika kapal 'Nautilus' mengganti haluan mengitari kapal tenggelam, aku sempat membaca namanya tertulis di buritan: "The Florida, Sunderland".
XVIII VANIKORO PERJUMPAAN seram itu merupakan awal dari serangkaian peristiwa yang kami saksikan. Sepanjang pelayaran dalam perairan yang sering dilalui, acap kali kami lihat bangkai-bangkai kapal yang rusak terhampar di dasar laut, begitu pula meriam-meriam, peluru, jangkar, rantai serta beribu alat lainnya dari besi yang dimakan karat. Kami melihat Kepulauan Pomotou, Kepulauan Bougainville yang membentang sejauh lima ratus mil. Kepulauan itu terdiri dari batu karang yang mem118 bentuk unggukan rendah di atas permukaan air. Lama kelamaan pulau-pu
lau itu akan bersambung dengan daratan yang bersebelahan. Akhirnya akan tercipta benua baru yang membentang dari Selandia Baru sampai Kaledonia Baru, dan dari situ sampai Kepulauan Marquesas.
Suatu hari, ketika teori itu kuajukan pada Kapten Nemo, ia menjawab dengan ketus,
"Dunia tak menginginkan benua baru. Yang diperlukan adalah manusia baru."
Setelah 'Nautilus' melintasi garis balik selatan pada garis bujur 1350, arah dibelokkan menuju barat barat laut, memasuki daerah khatulistiwa kembali. Meski matahari memancar dengan terik, kami tak merasa kepanasan. Di perairan sedalam dua puluh sampai tiga puluh meter di bawah permukaan, suhu tak pernah naik di atas sepuluh sampai dua belas derajad.
Tanggal 15 Desember, kami melintasi sisi timur gugusan kepulauan, yang pulau terbesarnya adalah Tahiti. Perairan sekitarnya sangat kaya dengan ikan.
Tepat pada hari Natal, jadi tanggal 25 Desember, aku sedang berada dalam kamar duduk. Kapten Nemo sudah lebih dari seminggu tak kelihatan. Karenanya aku menyibukkan diri, mengikuti alur pelayaran 'Nautilus' pada peta. Begitu asyik, sehingga tak kedengaran langkah orang masuk. Rupanya Kapten Nemo yang datang. Ia langsung menuju peta, lalu menunjuk dengan jari ke suatu titik sambil mengucapkan sepatah kata,
"Vanikoro." Aku bangkit seperti ditusuk jarum. Kata yang disebutnya adalah nama pulau, di mana 'La Perouse' hilang!
"Kita berada di dekat Vanikoro"" tanyaku.
"Ya, Profesor," jawab Kapten.
119 "Dapatkah saya mengunjungi pulau terkenal itu, di mana kedua kapal 'Boussole' dan 'Astrolabe' terdampar""
"Kalau Anda menginginkannya, silakan." "Kapan kita sampai"" "Kita sudah sampai."
Cepat-cepat aku naik ke geladak atas, diikuti oleh Kapten Nemo. Kuperhatikan laut sekeliling kami.
Di sebelah timur laut, kelihatan dua buah pulau bergunung api, dikelilingi beting karang berukuran empat puluh mil. Kami berada di dekat Pulau Vani-koro, menghadapi pelabuhan kecil yang bernama Vanou. Seluruh pulau kelihatan menghijau karena tanaman yang tumbuh, dari pantai sampai ke kaki gunung di pedalaman. Di bawah naungan daun-daun bakau nampak wajah-wajah coklat. Rupanya penduduk setempat terkejut melihat kami. Hal itu tak mengherankan, karena pasti kami dikira ikan paus raksasa !
Saat itu Kapten Nemo menanyakan apa yang kuketahui tentang peristiwa menggemparkan itu.
"Seperti yang diketahui semua orang, Kapten," jawabku.
"Dan dapatkah Anda menceritakan, apa yang diketahui semua orang," sambungnya lagi. "Tentu saja," kataku. Dan aku mulai bercerita.
La Perouse dan ajudannya, Kapten de Langle ditugaskan oleh Raja Louis ke-16 pada tahun 1785 untuk mengadakan pelayaran keliling dunia. Mereka berangkat dengan dua buah kapal, yaitu 'Boussole' dan 'Astrolabe'. Tapi mereka tak pernah kembali lagi. Tahun 1791, pemerintah Perancis yang gelisah dan ingin mengetahui nasib kedua kapal yang hilang, mengirim dua kapal dagang besar untuk mencari. 'Recherche' dan 'Esperance' meninggalkan pelabuhan Brest pada tanggal 28 September
120 di bawah komando Nakhoda Bruni d'En-trecasteaux.
Dua bulan kemudian pihak pencari mendengar kabar dari sebuah kapal lain, bahwa di pesisir Kepulauan Georgia Baru dilihat ada bekas-bekas pecahan kapal. Tapi Nakhoda tak mempedulikan keterangan itu. Ia mengarahkan usaha pencarian ke Kepulauan Laksamana, yang menurut laporan merupakan tempat kapal 'La Perouse' pecah.
Mereka mencari dengan sia sia. Kedua kapal pencari melewati Vanikoro tanpa singgah. Usaha pencarian berakhir dengan bencana, karena meminta korban jiwa nakhoda, dua pembantu serta beberapa awak kapal.
Nakhoda Dillon, seorang pelaut tua yang sudah berpengalaman di Pasifik, adalah orang pertama yang menemukan jejak-jejak jelas dari kecelakaan. Tanggal 15 Mei 1824, kapal 'St. Patrick' yang dibawahi Nakhoda Dillon, lewat dekat sekali pada Pulau Tikopia, yang termasuk gugusan Hebrida Baru. Seorang pria penduduk setempat mendatangi kapal dengan perahu, dan menjual sebuah gagang pedang terbuat dari perak. Di hulu gagang terukir huruf-huruf. Menurut keterangan orang itu, enam tahun sebelumnya ia berjumpa dengan dua orang Eropa di Pulau Vanikoro. Kata
nya pula, kedua orang itu berasal dari beberapa kapal yang pecah terdampar di gosong karang.
Dillon menerka, pasti yang dimaksudkan adalah kapal 'La Perouse', yang hilangnya menggemparkan seluruh dunia. Karena itu ia mencoba berlayar ke Vanikoro, di mana menurut orang yang bercerita akan dapat ditemui bekas-bekas kapal pecah. Tapi angin dan pasang laut menghalangi maksudnya.
Dillon kembali ke Kalkuta. Di sana ia berhasil menarik minat perhatian 'Asiatic Society' dan 'Indian Company'. Padanya diserahkan kapal
121 'Recherche', dan Dillon berangkat pada tanggal 23 Januari 1827.
Sesudah singgah di beberapa tempat di Pasifik, kapal yang dinakhodai olehnya sampai di depan Pulau Vanikoro, pada tanggal 7 Juli 1827. Mereka berada di tempat yang sama seperti 'Nautilus' sekarang, jadi di depan pelabuhan Vanou.
Mereka mengumpulkan sejumlah besar benda yang berasal dari kapal pecah, termasuk sebuah genta tembaga. Pada genta itu terdapat tulisan "Bazin m'a fait", serta waktu pengecorannya di Brest, tahun 1785. Jadi tak ada keragu-raguan lagi.
Dillon tinggal di Vanikoro sampai bulan Oktober. Kemudian berangkat menuju Selandia Baru, sesudah itu singgah di Kalkuta dan akhirnya kembali ke Perancis. Raja Charles ke-10 menyambutnya dengan hangat.
Tapi, tanpa mengetahui usaha yang dilakukan oleh Dillon, sebuah kapal lain juga berangkat untuk mencari jejak kapal yang hilang. Di bawah pimpinan nakhoda yang bernama Dumont d'Urville, mereka mendengar dari beberapa nelayan penangkap ikan paus bahwa telah diketemukan beberapa medali dan sebuah salib di tangan penduduk setempat di Kepulauan Lousiade dan Kaledonia Baru. Dua bulan sesudah Dillon meninggalkan Vanikoro, Dumont d'Urville sampai di Hobart Town. Di sana ia mendengar tentang hasil-hasil pencarian yang dilakukan oleh Dillon. Karena itu ia memutuskan untuk mengikuti jejak pendahulunya.
Tanggal 10 Pebruari 1828 ia sampai di depan pantai Pulau Tikopia. Dengan membawa seorang ahli bahasa setempat, dilanjutkannya perjalanan sampai di Vanikoro pada tanggal 12 bulan yang sama. Tapi baru tanggal 20 ia berhasil melabuhkan jangkar di pelabuhan Vanou.
122 Tanggal 23 beberapa perwira kapal turun ke darat, dan berkeliling di pulau itu. Mereka kembali dengan beberapa keterangan tak penting. Penduduk setempat menolak untuk membawa mereka ke tempat terjadinya kecelakaan. Sikap mencurigakan itu menimbulkan dugaan, bahwa para pelaut yang terdampar mengalami nasib buruk di tangan penduduk. Sedang penduduk menunjukkan sikap, seolah-olah khawatir kedatangan Dumont d'Urville adalah untuk membalaskan dendam bagi La Perouse beserta anak buahnya.
Tapi akhirnya kekhawatiran itu berhasil dilenyapkan, dengan jalan memberikan berbagai hadiah. Tanggal 26, seorang perwira diajak ke tempat kapal pecah.
Di sela-sela beting karang, di dasar laut yang dalamnya sekitar lima sampai tujuh meter, kelihatan bertaburan meriam, jangkar dan berbagai benda lainnya dalam lumpur. Dengan susah payah, awak kapal pencari mengangkat sebuah jangkar, selaras meriam dari kuningan, beberapa bongkah besi serta sepasang meriam tembaga.
Dumont d'Urville menanyai penduduk. Dari mereka dia mendengar, bahwa sesudah kedua kapalnya pecah terbentur gosong karang yang mengelilingi pulau, La Perouse membuat sebuah kapal lagi. Kapal itu berukuran lebih kecil, dan dengannya dia berangkat. Entah ke mana, tak ada yang tahu. Nakhoda beserta anak buahnya hilang lenyap.
Begitulah ringkasan kisah yang kupaparkan pada Kapten Nemo, mengenai peristiwa yang berhubungan erat dengan Pulau Vanikoro.
"Jadi tak seorang pun tahu, di mana terdamparnya kapal ke tiga yang dibangun oleh La Perouse"" tanya Kapten Nemo.
"Betul." 123 Ia tak berkata apa-apa lagi. Tapi tangannya mengisyaratkan, agar aku ikut dengannya ke ruang duduk. Kapal 'Nautilus' menyelam beberapa meter di bawah gelombang. Sudah itu pelat-pelat penutup jendela kaca dibuka.
Aku bergegas mendekati jendela. Di luar, di bawah lapisan karang dan diselimuti lumut dan ganggang, kulihat bangkai kapal. Nampak beberapa jangkar, meriam, peluru, dan berbagai benda lagi yang terlalu berat untuk dipecahkan ombak. ikan berbo
ndong-bondong, keluar masuk tempat persembunyian di bawah ombak itu. Sementara aku menatap pemandangan yang terhampar di depan mata, Kapten Nemo melanjutkan dengan suara sedih,
"Komandan La Perouse berangkat tanggal 7 Desember 1786, dengan dua buah kapal, 'La Bousolle' dan 'Astrolabe'. Ia menyinggahi berbagai pulau di kawasan selatan samudera ini, sudah itu arah haluan ditujukan ke Santa Cruz. Namun malang, ekspedisinya mengalami bencana pada gosong karang yang tak dikenal di depan Vanikoro. Kapal 'Bousolle' yang berlayar di depan, terdampar di depan pantai sebelah selatan. 'Astrolabe' datang membantu, tapi juga mengalami nasib sama. Kapal pertama hancur hampir seketika. Kapal kedua masih dapat bertahan beberapa hari, karena terlindung dari angin. Kaum penduduk setempat menyambut para pelaut yang terdampar. Mereka tinggal di pulau untuk sementara waktu, sambil membangun kapal lagi yang agak kecil. Bahan-bahan untuknya diambil dari bekas-bekas kedua kapal pecah. Beberapa dari kelasi memilih tinggal di Vanikoro saja. Sedang yang lain-lainnya, yang lemah dan sakit, ikut berangkat dengan La Perouse. Kapal diarahkan menuju Kepulauan Salomon.
124 Di sana mereka tenggelam di depan pantai barat pulau terbesar. Tak seorang pun berhasil selamat."
"Bagaimana Anda bisa mengetahuinya""
"Benda ini kutemukan di tempat kapal ketiga pecah."
Kapten Nemo menunjukkan sebuah kotak timah, bersegel lambang negara Perancis. Kotak itu sudah banyak dimakan karat. Dia membukanya, dan nampak seberkas kertas. Warnanya sudah kuning, tapi masih dapat dibaca. Isinya berupa perintah menteri perhubungan laut pada Komandan La Perouse. Di pinggiran kertas piagam terdapat catatan yang ditulis dengan tangan oleh Raja Louis ke-16.
"Kematian gemilang bagi seorang pelaut!" ujar Kapten Nemo. "Makam karang merupakan tempat peristirahatan yang tenang. Aku yakin, kami pun akan menemui nasib serupa."
XIX SELAT TORRES DI MALAM hari menjelang tanggal 28 Desember, 'Nautilus' meninggalkan pesisir Vanikoro. Kami berangkat dengan kecepatan tinggi. Haluan diarahkan ke barat daya. Dalam waktu tiga hari ditempuh jarak tujuh ratus lima puluh mil, menuju ujung tenggara Pulau Papua.
Pagi-pagi tanggal 1 Januari 1868, Conseil ikut naik ke atas geladak.
"Tuan, izinkanlah saya mengucapkan selamat tahun baru."
"Eh, Conseil! Kau bersikap, seolah-olah kita sedang di Paris, dalam ruang perpustakaanku di Jar-din des Plantes. Tapi terima kasih untuk ucapan selamatmu itu."
125 Tanggal 2 Januari, kami telah menempuh jarak pelayaran sejauh 11.340 mil sejak meninggalkan Laut Jepang. Di depan haluan 'Nautilus' terbentang beting-beting berbahaya dari Laut Karang, di sebelah timur laut pesisir Asutralia. Kapal kami beberapa mil jauhnya dari gosong karang yang membawa bencana bagi kapal Kapten James Cook pada tanggal 10 Juni 1770.
Aku sebenarnya ingin melihat gosong itu, di mana ombak laut yang selalu menggelora, memecah dengan dahsyat. Tapi 'Nautilus' bergerak menurun ke tempat yang dalam sekali. Jadi aku tak sempat melihat dinding karang yang menghadang, dan harus merasa puas memperhatikan kekayaan jenis ikan yang terjala oleh 'Nautilus'.
Dua hari setelah melewati Laut Karang, tanggal 4 Januari nampak pesisir Pulau Papua di depan mata. Saat itu Kapten Nemo memberitahu, ia berniat menuju Samudera Hindia melalui Selat Torres. Hanya itu saja yang dikatakannya.
Sebenarnya Selat Torres lebar. Tapi karena banyaknya pulau besar kecil serta gosong karang, sukar sekali berlayar lewat di situ. Kapten Nemo mengambil sikap berhati-hati. Kami bergerak dengan kecepatan sedang, mengambang dengan geladak di atas air.
Aku beserta kedua teman senasib memanfaatkan kesempatan, dan naik ke geladak yang kosong. Kami berdiri di belakang kotak tempat tukang kemudi. Aku menyangka akan menjumpai Kapten Nemo di dalamnya, memberikan petunjuk mengenai arah pelayaran yang harus diambil. Aku menghadapi peta Selat Torres yang sangat teliti pembuatannya. Arus laut bergerak dengan cepat dari tenggara ke barat laut. Di sana-sini kelihatan ombak memecah pada karang yang menyembul di tengah air.
126 "Wah, laut ini berbahaya!" u
jar Ned Land. "Memang. Dan pasti tidak cocok untuk kapal seperti 'Nautilus'," jawabku.
"Mestinya Nakhoda sudah mengenal alur ini dengan baik, karena di mana-mana kulihat ujung gosong karang. Lunas pasti robek, jika tersentuh sedikit saja!"
Memang, keadaan saat itu berbahaya. Namun 'Nautilus' seakan-akan meluncur melewati penghalang-penghalang. Kami menyusuri tepi Pulau Murray, sudah itu membelok ke barat daya, menuju celah Cumberland. Kusangka kami akan lewat di situ. Tapi 'Nautilus' membelok lagi ke barat laut, melalui sejumlah pulau tak dikenal. Kemudian haluan kapal diarahkan ke barat, menuju Pulau Gil-boa.
Saat itu pukul tiga sore. Pasang air mulai surut. 'Nautilus' semakin mendekati pulau, yang kelihatan penuh ditumbuhi pohon-pohon pandan. Jarak yang memisahkan sekitar dua mil. Tiba-tiba kapal terguncang, sehingga aku jatuh terpelanting. 'Nautilus' membentur karang, sehingga kandas dan agak condong ke kiri.
Ketika aku bangkit, kulihat Kapten Nemo berdiri di geladak atas bersama ajudannya. Mereka sedang meneliti keadaan kapal, sambil bercakap-cakap dalam bahasa mereka yang tak kumengerti.
Aku sedang berpikir-pikir mengenai perkembangan selanjutnya, ketika Kapten Nemo datang menghampiri. Ia tetap tenang seperti sediakala.
"Kecelakaan"" tanyaku.
"Ah, soal kecil," jawabnya.
"Tapi soal kecil, yang mungkin memaksa Anda untuk menjadi penghuni daratan yang Anda jauhi."
Kapten Nemo memandangku dengan aneh. Ia menggerak-gerakkan tangan, seakan mengisyaratkan bahwa tak ada yang akan dapat memaksa127 nya untuk menginjakkan kaki di daratan kembali. Kemudian ia berkata,
"Lagipula 'Nautilus' sama sekali tak rusak. Kami masih akan membawa Anda ke tengah keajaiban samudera. Pelayaran kita baru dimulai, dan aku tak ingin cepat-cepat berpisah dari Anda."
"Tapi kapal 'Nautilus' kandas di lautan terbuka," kataku tanpa mempedulikan nada suaranya yang agak menyindir. "Di Samudera Pasifik, gerak pasang lautan tak begitu kuat. Jika Anda tidak meringankan bobot kapal, saya tidak tahu bagaimana caranya Anda mengapungkannya kembali."
"Perbedaan pasang naik dan pasang surut di Pasifik memang tak begitu besar. Anda benar, Profesor Aronnax. Tapi di Selat Torres, masih ada perbedaan setinggi satu setengah meter antara kedua tinggi laut. Hari ini tanggal 4 Januari. Lima hari lagi bulan purnama. Aku akan heran, jika bulan tak menyebabkan air pasang tinggi pada saat itu."
Sehabis berkata, Kapten Nemo turun kembali ke dalam kapal, diikuti oleh ajudannya. Kapal masih tetap terpaku tanpa bergerak-gerak. Seakan-akan karang telah melingkunginya dengan kokoh.
"Nah, bagaimana Profesor"" kata Ned Land. Begitu Kapten pergi, ia datang mendekati.
"Kita harus menunggu dengan sabar, sampai air pasang tinggi pada tanggal 9 nanti. Kelihatannya bulan akan membantu mengangkat kapal."
"Ah, masa""
"Betul." "Dan Kapten takkan melabuhkan jangkar sama sekali, karena air pasang akan sudah mencukupi"" tanya Conseil.
Ned memandang pelayanku, lalu mengangkat bahu.
128 "Tuan, percayalah jika kukatakan bahwa kapal ini tak mungkin berlayar lagi, apalagi menyelam. Bisanya cuma dijual sebagai besi tua saja. Karena itu aku berpendapat, sudah waktunya kita berpisah dari Kapten Nemo."
"Ned! Aku tak meragukan kekuatan kapal 'Nautilus', seperti Anda. Empat hari lagi, kita akan tahu apakah kapal akan terapung lagi atau tidak. Kecuali itu, melarikan diri hanya mungkin, jika kita di depan pantai Inggris atau Perancis. Tapi di depan Pulau Papua, lain halnya! Kita masih cukup kesempatan untuk memikirkan lari, jika 'Nautilus' benar-benar kandas."
"Tapi setidak-tidaknya tahukah mereka bertindak sesuai dengan keadaan. Di depan kita ada pulau. Di pulau banyak pohon. Sedang di bawah pohon-pohon berkeliaran binatang daratan, yang dagingnya ingin kucicip."
"Di segi ini, sobat kita Ned benar," ujar Conseil, "saya setuju dengannya. Tidak dapatkah Tuan meminta izin pada Kapten Nemo, agar kita boleh mendarat ke sana" Supaya kita jangan melupakan kebiasaan berjalan di atas bumi""
"Aku mau menanyakan, tapi dia akan menolak."
"Tapi maukah Tuan mencobanya"" tanya Conseil. "Agar kita mengetahui keramahan
Kapten Nemo." Tanpa kusangka semula, Kapten Nemo meluluskan permintaanku. Ia mengizinkan dengan segera, tanpa meminta aku berjanji kembali ke kapal. Tapi usaha melarikan diri melintasi Pulau Papua, bukan tak berbahaya. Aku takkan menganjurkan Ned Land untuk mencobanya. Lebih baik menjadi tawanan di kapal 'Nautilus', daripada jatuh ke tangan suku liar.
129 Pukul delapan kami meninggalkan 'Nautilus', dengan membawa senapan serta parang. Lautan saat itu tenang, agak berombak tertiup angin dari darat. Aku mendayung bersama Conseil. Perahu melaju menuju pulau, dikemudikan di buritan oleh Ned Land.
Juru tombak itu tak dapat menahan kegembiraan. Dia bersikap seperti seorang hukuman yang berhasil melarikan diri dari penjara, dan tak tahu bahwa lebih baik baginya jika nanti kembali lagi ke dalamnya.
"Daging! Kita akan makan daging," serunya. "Kita akan memakan daging buruan sejati! Aku bukannya tak senang ikan. Tapi sepotong daging rusa, dipanggang di atas api, pasti akan nikmat sebagai selingan."
"Anda ini cuma membikin lapar orang saja," kata Conseil.


Berkeliling Dunia Di Bawah Laut Karya Jules Verne di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita lihat saja nanti, apakah hutan benar-benar penuh dengan hewan buruan," kataku. "Asal jangan saja hewan di situ memburu pemburu."
"Masa bodoh," jawab tukang tombak, yang rupanya sudah bernafsu sekali, "kalau tak ada hewan lain, harimau pun mau saja aku memakannya."
"Rupanya teman ini sudah mulai was-was," ujar Conseil.
"Apa saja yang kita jumpai nanti," kata Ned, "semua binatang berkaki empat atau berkaki dua, akan kusambut dengan tembakan."
"Nah! Tuan Land mulai sembrono."
"Jangan khawatir, Tuan Aronnax," sambut teman itu. "Dalam dua puluh lima menit, akan kuhidangkan masakan istimewa buatanku."
Pukul setengah sembilan, perahu kami menyentuh pasir pantai pulau, sesudah mengitari beting karang yang mengelilingi Pulau Gilboa.
130 XX BEBERAPA HARI DI PULAU AKU terharu, ketika menyentuh bumi kembali. Ned Land menggosok-gosokkan kaki ke tanah, seolah-olah hendak menyatakan dialah pemiliknya. Meski baru dua bulan berselang sejak kami menjadi "Penumpang kapal 'Nautilus'," menurut istilah Kapten Nemo, namun dalam kenyataan kami adalah tawanan komandannya.
Dalam beberapa menit saja, kami sudah masuk ke dalam pulau sejauh tembakan senapan. Pandangan kami tertutup hutan. Pohon-pohon tinggi menjulang ke atas, ada yang sampai enam puluh meter lebih. Di mana-mana kelihatan anggrek, bunga-bunga lain serta tanaman pakis.
Meski tanaman pulau itu kelihatan menarik, tapi Ned Land tak melupakan tujuan kami datang, yaitu mencari makanan yang bukan ikan. Bermacam-macam buah kami coba, yang satu rasanya lebih enak dari yang lain. Rupanya selera kami sudah merindukan makanan daratan, sesudah cukup lama hanya mencicip hasil lautan belaka.
Pukul dua siang kami kembali ke pantai. Di sana kami mengambil beberapa butir kelapa, untuk melengkapi perbekalan buah-buahan. Akhirnya hari sudah pukul lima sore, ketika kami menuju ke kapal. Setengah jam kemudian, perahu menyentuh geladak 'Nautilus'. Tapi tak kelihatan seorang pun di atas. Sesudah memasukkan perbekalan, aku masuk ke kamar. Sehabis makan malam, aku tertidur nyenyak.
Keesokan harinya, tanggal 6 Januari, keadaan di kapal tetap tak berubah. Tak kedengaran bunyi sama sekali, semuanya seperti mati. Perahu masih tertambat di sisi kapal, di tempat kami meninggalkannya kemarin. Kami mengambil keputusan
131 untuk turun ke darat lagi. Ned Land berharap akan lebih mujur dalam perburuannya. Dia ingin mendatangi bagian rimba yang lain dari kemarin.
Kami berangkat pada waktu fajar. Perahu sampai ke pantai dalam beberapa menit saja, didorong ombak yang menepi.
Begitu mendarat, dengan segera Ned Land berjalan dengan langkah-langkah panjang. Tak lain yang bisa kami perbuat, kecuali menyusulnya. Dia menyusur pantai ke arah barat. Sesudah itu, sambil mengarungi beberapa buah sungai yang deras airnya, kami sampai ke suatu dataran tinggi. Di tepinya terdapat hutan. Beberapa ekor burung pekakak berkeliaran di tepi air, tapi mereka sukar sekali didekati. Rupanya burung-burung itu tahu, apa yang bisa terjadi dengan makhluk berkaki dua seperti kami. Dari kenyataan itu
aku menarik kesimpulan, jika pulau ini tak ada penghuninya, maka setidak-tidaknya kadang-kadang didatangi manusia.
Sesudah melintas padang rumput yang agak luas, kami tiba di tepi hutan kecil. Di dalamnya beterbangan burung-burung yang berkicau ramai.
"Ah, cuma burung saja," ujar Conseil dengan agak kecewa.
"Tapi burung bisa dimakan," jawab juru tombak.
"Saya tak sependapat dengan Anda. Karena yang kelihatan cuma burung nuri saja."
"Bung Conseil yang budiman," ujar Ned dengan bersungguh-sungguh, "bagi orang yang tak punya pilihan lain, nuri sebanding dengan burung kuau."
"Dan jika diolah dengan baik, bisa saja dima-,kan," kataku menyambung.
Di sela-sela daun yang rimbun, terdapat sejumlah besar burung nuri beterbangan dari dahan ke dahan. Riuh sekali suara mereka. Kalau ada saja
132 orang yang mengajari bahasa manusia, pasti akan ramai mereka berceloteh. Kami juga melihat beberapa ekor burung kakatua, yang merenung seakan-akan sedang memikirkan persoalan berat, diganggu burung-burung lori berbulu merah nyala. Bermacam-macam jenis burung yang serba indah kami lihat dalam hutan itu.
Tapi ada satu jenis burung yang tak nampak. Padahal jenis itu hanya terdapat di Papua dan pulau -pulau sekitarnya saja. Namun aku tak perlu lama-lama kecewa.
Sesudah melewati hutan belukar yang agak rapat, kami berdiri di tepi padang ditumbuhi semak di sana-sini. Pada saat itu mataku menatap hewan yang kucari-cari. Beberapa ekor burung berbulu panjang, terbang mengombak. Warna-warna bulunya memikat perhatian. Dengan segera aku mengenalinya.
"Burung cenderawasih!" seruku girang.
Sayang, kami tak memiliki jerat, yang biasa dipakai penduduk setempat untuk menangkapnya. Jadi kami terpaksa menembak pada saat terbang, namun sia-sia belaka. Hampir separuh peluru kami habis, tanpa mengenai seekor pun juga.
Sekitar pukul sebelas pagi, kami sudah melewati bukit-bukit pertama dari pegunungan yang merupakan pertengahan pulau. Tapi perburuan masih belum membawa hasil. Rasa lapar mendorong kami untuk meneruskan perjalanan. Untung saja Conseil berhasil menembak dua ekor burung dara untuk sarapan. Dengan cepat keduanya dibersihkan, lalu kami panggang di atas api.
"Nah, Ned, sekarang masih kurang apa lagi""
"Hewan berkaki empat, Tuan Aronnax. Burung dara ini kan hanya merupakan pembangkit selera
133 saja. Sebelum aku berhasil menangkap hewan yang banyak dagingnya, belum puas rasanya."
"Aku juga belum puas, kalau belum mendapat seekor burung cenderawasih."
"Kita teruskan perburuan ini," jawab Ned. "Lebih baik kita menuju ke pantai lagi. Kita tinggalkan saja daerah pegunungan ini, dan masuk kembali ke hutan."
Saran itu masuk akal, karenanya kami ikuti. Sesudah berjalan kira-kira sejam, kami sampai di sebuah hutan sagu. Beberapa ekor ular merayap dekat kaki kami, tapi mereka tak berbahaya. Burung-burung cenderawasih beterbangan menjauh ketika melihat kami datang. Aku sudah hampir putus asa. Conseil yang berjalan paling depan. Tiba-tiba ia membungkuk sambil berseru girang; kemudian bergegas datang, dengan seekor cenderawasih besar di tangan.
"Wah! Hebat kau ini, Conseil!"
"Tuan suka memuji-muji."
"Tidak, Conseil. Kau benar-benar hebat. Dengan gampang bisa menangkap burung hidup-hidup!"
"Jika Tuan sudi memeriksanya, maka Tuan akan melihat bahwa pujian itu tak pada tempatnya."
"Kenapa, Conseil""
"Karena burung ini mabuk kepayang." "Mabuk!"
"Ya, Tuan. Mabuk kepayang, karena memakan buah pala yang sudah meragi. Ini, lihatlah Bung Ned! Begini akibatnya, kalau tak bisa menahan diri terhadap alkohol."
"Ya ampun," keluh juru tombak, "karena aku senang minum sopi, sekarang Anda mengecam !"
Aku meneliti burung aneh itu. Ternyata Conseil memang benar; cenderawasih yang ditangkapnya itu mabuk kepayang, sehingga tak mampu terbang. Bahkan berjalan saja, sudah sempoyongan!
134 Walau begitu, aku sudah puas. Namun keinginan Ned masih juga belum terkabul. Untung saja sekitar pukul dua siang, dia berhasil menembak seekor babi hutan. Ned sangat bangga akan hasil perburuannya. Begitu hewan itu tersentuh peluru kaca, langsung rebah dan mati. Ned menguliti dan membersihkan babi itu, lalu
dipotong-potong dagingnya. Daging panggang akan merupakan hidangan untuk kami malam hari nanti. Sudah itu kami berburu lagi
"Ah, Profesor!" seru Ned bergairah. "Bukan main asyiknya berburu ini. Banyak sekali hewan berkeliaran. Satu! Dua! Tiga! Empat, lima! Nah - kalau direbus dan dibumbui, wah! orang-orang tolol di kapal takkan mendapat sedikit juga!"
Kurasa, jika juru tombak tak terlalu gairah dengan kata-katanya, mungkin ia benar-benar berhasil menembak binatang yang dihitung olehnya itu. Tapi ia masih dapat juga menembak beberapa ekor hewan kecil. Kami merasa puas. Ned berbahagia sekali. Ia menyarankan, untuk kembali lagi ke pulau keesokan harinya. Namun ia tak memperhitungkan adanya gangguan.
Sekitar pukul enam sore, kami sampai di pantai. Perahu masih tertambat di tempat biasa. 'Nautilus' nampak seperti gosong panjang, terapung dua mil di depan pantai. Tanpa menunggu lebih lama, Ned mulai mempersiapkan hidangan untuk makan malam. Ternyata dia memang pandai memasak. Bau daging babi hutan dipanggang, dengan segera memenuhi hidung.
Kami makan dengan nikmat, dibuka dengan hidangan dua ekor burung dara. Bubur sagu, buah sukun dipanggang, beberapa butir mangga, setengah lusin nanas serta air kelapa memperlengkap makanan. Kelihatan kedua pengiringku mulai memikirkan sesuatu.
"Bagaimana kalau kita malam ini tak kembali ke 'Nautilus'"" tanya Conseil.
135 "Bagaimana kalau sama sekali tak kembali lagi saja"" tambah Ned.
Saran juru tombak tak sempat terjawab. Tepat pada saat itu sebuah batu jatuh di depan kaki kami.
XXI SENJATA KILAT KAPTEN NEMO
KAMI bertiga memandang ke tepi hutan. Tak ada yang berdiri. Tanganku yang sedang menyuap makanan ke mulut, terhenti di tengah jalan. Sedang Ned Land memandang sambil mengunyah.
"Batu tak mungkin jatuh dari langit," ujar Conseil. "Kecuali jika memang batu langit."
Batu kedua, yang rupanya dibidikkan dengan saksama, menyebabkan paha burung dara terpental dari tangan Conseil. Kami berdiri sambil mengambil senapan, siap untuk menangkis setiap serangan yang datang. "Siapa mereka itu"" tanya Ned. "Pribumi yang masih liar." "Ayo cepat! Kita kembali ke perahu!" seruku, sambil bergegas menuju pantai.
Keputusanku itu ternyata tepat. Kira-kira dua puluh penduduk setempat muncul di tepi semak belukar, tak sampai seratus langkah di sebelah kanan kami. Mereka bersenjatakan panah dan tali umban.
Jarak kami dari perahu tinggal dua puluh meter. Para penyerang terus mendekat. Mereka tak berlari, tapi mengacung-acungkan senjata. Batu dan panah berhamburan di sekitar kami.
Ned Land tak mau meninggalkan perbekalan makanannya. Walau keadaan gawat, ia masih sempat membawa daging buruannya di tangan sambil berlari. Dalam waktu singkat, kami sudah sampai di
136 pantai. Dan dengan sekejap mata, makanan sudah masuk ke perahu, disusul oleh kami. Perahu didorong ke air, dan kami pun mulai berdayung. Baru sekitar empat ratus meter kami meninggalkan pantai, para penyerang yang sudah bertambah jumlahnya menjadi kira-kira seratus sampai pula ke tepi air. Mereka masuk ke dalamnya sampai setinggi pinggang, sambil berteriak-teriak ribut. Kuperhatikan, mungkin keributan di pantai akan menarik perhatian orang di 'Nautilus'. Tapi ternyata tidak! Kapal besar di depan kami tetap sunyi.
Dua puluh menit kemudian kami sampai. Pelat-pelat lubang terbuka. Sesudah perahu kami hubungkan lagi ke kapal dengan mengencangkan sekerup, kami masuk ke dalam.
Aku turun, menuju ke kamar duduk. Di dalam terdengar bunyi organ dimainkan. Kulihat Kapten Nemo sedang duduk membungkuk di depan alat musiknya, bermain dengan asyik.
"Kapten!" Ia tak menoleh, rupanya panggilanku tak didengar olehnya.
"Kapten!" kataku sekali lagi, sambil menyentuh tangannya.
Badannya menggigil sedikit. Sambil berpaling, ia menjawab, "Ah, Anda rupanya! Bagaimana " Baik hasil perburuannya" Banyak jenis tumbuh-tumbuhan yang berhasil Anda kumpulkan""
"Ya, Kapten. Tapi sayangnya, kami juga membawa serta sejumlah makhluk berkaki dua, yang agak mencemaskan saya."
"Makhluk berkaki dua ""
"Orang-orang liar."
"Orang liar!" Kapten Nemo mengulangi kataku itu, dengan nada agak meng
ejek. "Rupanya Profesor heran, menginjakkan kaki di tanah asing, lalu berjumpa orang-orang liar! Manusia liar! Hah! Di
137 mana mereka itu tidak ada" Kecuali itu, lebih jahatkah mereka itu dibandingkan dengan manusia lainnya""
"Tapi -" aku hendak membantah, namun tak diberi kesempatan olehnya.
"Berapa banyak mereka, menurut perhitungan Anda""
"Paling sedikit seratus."
"Profesor Aronnax," ujar Kapten Nemo, sambil meletakkan jari ke alat musiknya kembali, "juga apabila seluruh penduduk Pulau Papua berkumpul di pantai, 'Nautilus' takkan mengkhawatirkan serangan mereka."
Lalu dia memusatkan perhatiannya lagi ke permainan organ. Tak lama kemudian, kehadiranku sudah dilupakannya sama sekali. Karena itu aku naik lagi ke geladak. Hari sudah malam. Pulau hanya nampak remang-remang. Tapi dari sejumlah api unggun yang menyala di pantai, aku tahu bahwa musuh tak berniat pergi. Beberapa jam lamanya aku di atas. Kadang-kadang kupikirkan orang-orang liar yang berada di pantai. Tapi aku tak takut, karena sudah terjangkit sikap yakin yang ditunjukkan oleh Kapten Nemo. Aku sempat menikmati keindahan malam daerah tropika. Aku terkenang kembali pada tanah airku, aku terkenang pada Perancis, yang dalam waktu beberapa jam lagi akan diterangi bintang-bintang sama yang kemerlap di langit. Bulan hampir purnama, memancarkan sinar cerah di atas kepala.
Malam berlalu tanpa kejadian apa pun. Rupanya penduduk pulau takut melihat wujud benda raksasa yang kandas di teluk. Padahal pelat-pelat penutup terbuka, dan mereka bisa dengan mudah memasuki 'Nautilus'.
Pukul enam pagi tanggal 8 Januari, aku naik lagi
138 ke geladak. Fajar sudah menyingsing. Pelan-pelan pulau muncul dari balik tirai kabut tipis.
Penduduk setempat yang berada di pantai, semakin banyak saja kelihatannya. Menurut dugaanku, ada kira-kira lima sampai enam ratus orang. Karena air sedang surut, beberapa di antara mereka memberanikan diri. Mereka datang mendekat dan berdiri di atas gosong karang, yang terdapat kira-kira empat ratus meter dari tempat 'Nautilus'.
Pendekar Lembah Naga 2 Pendekar Pulau Neraka 49 Iblis Cebol Tumbal Perkawinan 1

Cari Blog Ini