Eldest Seri 2 Eragon Karya Christhoper Paolini Bagian 7
mang ragu kata-kata Solembum ada artinya sampai kebutuhan kita jelas.
Eragon memberitahu Arya tentang kedua bagian nasihat kucing jadi-jadian itu, sekalipun--sebagaimana pada Ajihad dan Islanzadi--ia merahasiakan ramalan Angela karena bersifat pribadi, dan karena ia takut ramalan itu akan menyebabkan Arya menebak ketertarikannya pada elf tersebut.
Sesudah Eragon selesai, Arya berkata, "Kucing siluman jarang menawarkan bantuan, dan sewaktu mereka menawarkan bantuan, sebaiknya jangan diabaikan. Sepanjang pengetahuanku, tidak ada senjata yang tersembunyi di sini, bahkan dalam lagu atau legenda pun tak disebutkan. Sedang mengenai Karang Kuthian... Nama itu menggema dalam kepalaku seperti suara dari mimpi yang separo terlupakan, kukenali tapi terasa asing Aku pernah mendengar nama itu, tapi tidak ingat di mana."
Sewaktu mereka mendekati pohon Menoa, perhatian Eragon tertarik pada puluhan semut yang merayap di akar-akarnya, Di matanya semua serangga itu hanyalah noda-noda hitam samar, tapi latihan yang diberikan Oromis meningkatkan kepekaannya terhadap kehidupan yang ada di sekitarnya, dan ia bisa merasakan kesadaran primitif semut-semut itu dengan benaknya. Ia menurunkan pertahanannya dan membiarkan kesadarannya mengalir keluar, dengan ringan menyentuh Saphira dan Arya lalu membentang melewati mereka untuk apa melihat apa yang hidup di lapangan itu.
Dengan ketiba-tibaan yang tak terduga, ia menghadapi entitas yang luar biasa, keberadaan yang begitu kolosal sifatnya hingga Eragon tidak mampu menangkap batas psikisnya. Bahkan kecerdasan Oromis yang luas, yang pernah bersentuhan dengan Eragon di Farthen Dur, bagai kurcaci kalau dibandingkan dengan keberadaan ini. Udara seperti menggemakan energi kekuatan yang terpancar dari... pohonnya"
Sumbernya tidak mungkin keliru.
Dengan pasti dan tanpa tergesa-gesa, pikiran pohon itu bergerak mantap selambat es yang merayapi permukaan granit. Pikiran itu tidak memerhatikan Eragon, juga, ia yakin, individual mana pun. Pikiran itu betul-betul hanya memerhatikan masalah-masalah yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tumbuh dan berkembang dalam cahaya matahari yang terang benderang, dengan dogbane dan lili, evening primrose dan foxglove yang selembut sutra, serta mostar kuning yang tumbuh tinggi di samping crabapple dengan bunga ungunya.
"Pohon ini hidup!" seru Eragon, shock hingga keceplosan bicara. "Maksudku... ia memiliki kecerdasan." Ia tahu Saphira juga merasakannya; naga itu memiringkan kepala ke pohon Menoa, seakan mendengarkan, lalu terbang ke salah satu cabangnya, yang sebesar jalan dari Carvahall ke Therinsford. Di sana Saphira bertengger dengan ekor menjuntai bebas, melambai-lambaikan ujungnya dengan begitu anggun. Pemandangan yang aneh, naga di pohon, hingga Eragon nyaris tertawa.
"Tentu saja ia hidup," kata Arya. Suaranya pelan dan lembut di Udara malam. "Apa kau mau mendengar cerita tentang pohon Menoa ini""
"Tentu saja." Kilasan callaya putih membelah langit, seperti hantu yang dibuang, dan berubah bentuk di samping Saphira menjadi Blagden. Bahu gagak yang sempit dan lehernya yang melengkung menyebabkan ia tampak seperti orang kikir yang bermandikan cahaya tumpukan emas. Gagak itu mengangkat kepalanya yang pucat dan melontarkan jeritan khasnya, "Wyrda!"
"Begini kejadiannya. Dulu ada seorang wanita, Linnea, yang hidup di tahun-tahun kemakmuran sebelum perang kami dengan naga dan sebelum kami menjadi makhluk abadi, masih makhluk yang terbuat dari daging yang rapuh. Linnea menua tanpa pasangan atau anak-anak, dan ia tidak merasa perlu mencarinya, lebih suka menyibukkan diri dengan seni bernyanyi pada tanaman, bidang yang merupakan keahliannnya. Hingga seorang pemuda muncul di pintu rumahnya dan membanjirinya dengan kata-kata cinta. Perhatian pemuda itu membangkitkan bagian diri Linnea yang tidak diduganya ada, kehausan akan hal-hal yang dikorbankannya tanpa sadar. Tawaran kesempatan kedua terlalu hebat untuk diabaikan. Ia meninggalkan pekerjaannya dan mengabdikan diri pada pemuda itu dan, untuk sementara waktu, mereka bahagia.
"Tapi pemuda itu masih muda, dan ia mul
ai merindukan pasangan yang usianya lebih dekat dengannya. Pandangannya jatuh pada seorang wanita muda, lalu ia merayu dan memenangkan wanita itu. Dan untuk sementara waktu, mereka juga bahagia.
"Sewaktu Linnea tahu dirinya ditipu dan ditinggalkan, ia sinting karena berduka. Pemuda itu melakukan tindakan yang terburuk; ia memberi Linnea kesempatan mencicipi kehidupan yang utuh, lalu merenggutnya tanpa pikir panjang, seperti ayam jantan merayu satu ayam betina lalu ayam betina yang lain. Linnea menemukannya bersama wanita muda itu dan, dalam kemurkaannya, menusuk pemuda tersebut hingga tewas.
"Linnea tahu perbuatannya jahat. Ia juga tahu bahwa kalaupun dibebaskan dari pembunuhan itu, ia tidak bisa kembali ke keberadaannya yang sebelumnya. Hidup kehilangan seluruh suka citanya. Jadi ia menemui pohon tertua di Du Weldenvarden, menempelkan diri padanya, dan menyanyi hingga ia masuk ke pohon itu, meninggalkan semua persekutuan dengan rasnya sendiri. Ia menyanyi selama tiga hari tiga malam, dan sesudah selesai, ia menyatu dengan tanaman-tanaman yang disayanginya. Dan selama berabad-abad sejak itu, ia terus mengawasi hutan... Dengan begitu terciptalah pohon Menoa ini."
Di akhir ceritanya, Arya dan Eragon duduk berdampingan di puncak sebatang akar yang besar, dua belas kaki dari tanah. Eragon memukul-mukulkan tumitnya ke pohon dan penasaran apakah Arya berniat menyampaikan cerita itu sebagal peringatan baginya atau cerita itu hanyalah sepotong sejarah tanpa maksud apa-apa.
Keraguannya berubah menjadi kepastian sewaktu Arya bertanya, "Menurutmu, apakah pemuda itu patut disalahkan atas tragedi tersebut""
"Kurasa, kata Eragon, tahu jawaban yang salah bisa menjauhkan Arya dari dirinya, "yang dilakukannya kejam... dan Linnea bereaksi berlebihan. Mereka berdua salah."
Arya menatapnya hingga Eragon terpaksa mengalihkan tatapan. "Mereka tidak cocok bagi satu sama lain."
Eragon mulai mengingkari itu tapi lalu menghentikan dirinya.
Arya benar. Dan Arya telah mengarahkan dirinya sebegitu rupa hingga Eragon terpaksa mengatakannya, hingga ia terpaksa mengatakannya pada elf itu. "Mungkin," katanya mengakui.
Kebisuan menggunung di antara mereka seperti pasir yang menumpuk menjadi dinding, dan tidak satu pun di antara mereka ingin menembusnya. Dengung melengking jengkerik menggema dari tepi lapangan. Akhirnya Eragon berkata, "Berada di rumah tampaknya cocok bagimu."
"Memang." Dengan keanggunan tanpa sadar, Arya membungkuk dan memungut sebatang ranting tipis yang jatuh dari pohon Menoa lalu mulai menjalin daun-daun jarumnya menjadi keranjang kecil.
Darah panas mengalir ke wajah Eragon saat ia mengawasi Arya. Ia berharap bulan tidak seterang itu hingga menampakkan pipi-pipinya yang merah padam. "Di... di mana kau tinggal" Apakah kau dan Islanzadi memiliki istana atau puri...""
"Kami tinggal di Aula Tialdari, bangunan leluhur keluarga kami, di bagian barat Ellesmera. Aku senang kalau bisa menunjukkan rumah kami padamu."
"Ah," Pertanyaan praktis tiba-tiba menyela pikiran Eragon yang kacau balau, menyingkirkan perasaan malunya. "Arya, apakah kau memiliki saudara"" Arya menggeleng. "Kalau begitu kau satu-satunya pewaris takhta elf""
Tentu saja. Kenapa kautanyakan"" Ia kedengaran heran mendengar pertanyaan Eragon.
Aku tidak mengerti kenapa kau diizinkan menjadi duta besar untuk kaum Varden dan para kurcaci, juga mengantar telur Saphira dari sini ke Tronjheim. Itu tugas yang terlalu berbahaya bagi seorang putri, apalagi bagi calon ratu."
"Maksudmu itu terlalu berbahaya bagi wanita manusia. Sudah kukatakan padamu bahwa aku bukan manusia wanita yang tidak berdaya. Yang tidak kausadari adalah kami memandang kerajaan kami dengan cara yang berbeda dari kalian atau para kurcaci. Bagi kami, tanggung jawab tertinggi raja atau ratu adalah melayani rakyat mereka dengan cara apa pun dan kapan pun. Kalau itu berarti mengorbankan kehidupan, kami menyambut kesempatan membuktikan pengabdian kami--seperti kata para kurcaci--keluarga, aula, dan kehormatan. Kalau aku tewas dalam tugas, penerus pengganti akan dipilih dari keluarga. keluarga yang ada. Bahk
an sekarang pun aku tidak akan diminta menjadi ratu kalau aku tidak menyukai prospek itu. Kami tidak akan memilih pemimpin yang tak bersedia mengabdikan diri sepenuh hati pada kewajiban mereka." Ia ragu-ragu, lalu memeluk lutut ke dadanya dan menumpukan dagu ke sana. "Aku memiliki waktu bertahun-tahun untuk menyempurnakan argumentasi itu dengan ibuku." Selama semenit, jeritan jengkerik mengalun tak terganggu di lapangan. Lalu ia bertanya, "Bagaimana pelajaranmu dengan Oromis""
Eragon mendengus saat kemuramannya kembali dalam bentuk gelombang kenangan yang tidak menyenangkan, memasamkan kesenangannya bersama Arya. Ia hanya ingin naik ke ranjang, tidur, dan melupakan hari ini. "Oromis-elda," katanya, mengucapkannya dengan hati-hati, "cukup teliti."
Ia mengernyit saat Arya mencengkeram lengan atasnya dengan kekuatan yang bisa membuatnya memar. "Ada yang tidak beres""
Eragon berusaha melepaskan cengkeramannya. "Tidak ada,"
"Aku sudah bepergian cukup lama denganmu untuk tahu kapan kau bahagia, marah... atau menderita. Apa ada yang terjadi antara dirimu dan Oromis" Kalau benar begitu, kau harus memberitahuku agar bisa diperbaiki secepat mungkin atau karena punggungmu" Kami bisa--"
"Bukan latihanku!" Sekalipun tergelitik, Eragon sadar Arya tampak benar-benar prihatin, ini membuat ia gembira. "Tanyakan pada Saphira. Ia bisa memberitahumu."
"Aku ingin mendengarnya darimu," kata Arya dengan pelan.
Otot-otot di rahang Eragon berkedut saat ia mengertakkan dengan suara pelan, tidak lebih daripada bisikan, ia menceritakan kegagalannya bermeditasi di rawa, lalu kejadian yang meracuni hatinya seperti ular yang bergelung dalam dadanya: berkatnya.
Alya melepas lengan Eragon dan mencengkeram akar pohon Menoa, seakan untuk memantapkan diri. "Barzul." Makian kurcaci itu mengejutkan Eragon; ia tidak pernah mendengar Arya memaki, dan yang satu ini sangat tepat, karena artinya sial. "Aku tahu tentang tindakanmu di Farthen Dur, sudah pasti, tapi aku tidak pernah menduga... aku tidak pernah curiga kejadian seperti itu bisa terjadi. Aku minta maaf, Eragon, karena memaksamu meninggalkan kamarmu malam ini. Aku tidak memahami ketidaknyamananmu. Kau pasti ingin sendiri."
"Tidak," kata Eragon. "Tidak, kuhargai kedatanganmu dan apa yang kautunjukkan padaku." Ia tersenyum pada Arya, dan sesaat kemudian, Arya balas tersenyum. Bersama-sama mereka duduk diam di dasar pohon kuno dan mengawasi bulan melengkung tinggi di atas hutan yang damai sebelum bersembunyi di balik awan yang menebal. "Aku hanya penasaran bagaimana jadinya anak itu."
Tinggi di atas kepala mereka, Blagden mengibaskan bulubulunya yang seputih tulang dan menjerit, "Wyrda!"
LABIRIN PERLAWANAN Nsuada bersedekap tanpa menyembunyikan ketidaksabarannya saat mengamati kedua pria di hadapannya.
Pria di sebelah kanan memiliki leher begitu tebal hingga kepalanya terjulur ke depan nyaris langsung dari bahunya, menyebabkan penampilannya seperti orang bodoh yang keras kepala. Kesan ini diperkuat alisnya yang lebat--nyaris cukup panjang untuk menjuntai menutupi matanya--dan bibir tebal yang merekah seperti jamur merah muda, bahkan sewaktu ia berbicara. Tapi Nasuada tahu ia tidak boleh terpengaruh penampilannya, pria itu sangat pandai bicara.
Satu-satunya ciri yang menonjol dari pria kedua hanyalah kulitnya yang pucat, yang tidak bertambah gelap di bawah matahari Surda yang tak kenal ampun, sekalipun kaum Varden telah berada di Aberon, ibukota, selama beberapa minggu sekarang. Dari warna kulitnya, Nasuada menebak ia dilahirkan di ujung utara Kekaisaran. Pria itu memegang topi wol rajutan yang dipuntirnya hingga menjadi tali yang keras.
"Kau," kata Nasuada, sambil menunjuk pria itu. "Berapa ayam yang kau bunuh""
"Tiga belas, Ma'am."
Nasuada mengalihkan perhatian pada si pria berpenampilan buruk. "Angka sial, dari segala sudut, Master Gamble. Dan terbukti bagimu. Kau bersalah baik atas pencurian maupun pengrusakan properti orang lain tanpa menawarkan ganti rugi yang layak."
"Saya tidak pernah mengingkarinya."
"Aku hanya penasaran bagaimana kau menyantap tiga belas dalam empat hari. Apa ka
u tidak pernah kenyang, Master Gamble""
Pria itu tersenyum konyol dan menggaruk sisi wajahnya. Deritan kuku jemarinya yang tidak dipotong ketika beradu dengan bakal janggutnya menjengkelkan Nasuada, dan hanya dengan mengerahkan segenap kemauan ia bisa menahan diri untuk tidak meminta pria itu berhenti menggaruk. "Well, bukannya tidak menghormati, Ma'am, tapi memenuhi perut saya tidak akan menjadi masalah kalau Anda memberi kami makan selayaknya, mengingat segala pekerjaan yang harus kami lakukan. Tubuh saya besar, dan saya membutuhkan sedikit daging dalam perut saya sesudah separo hari memecah batu dengan martil. Saya sudah berusaha sebaik-baiknya untuk menahan godaan, sungguh. Tapi tiga minggu makan ransum yang kurang dan mengawasi para petani ini menggiring ternak ke mana-mana, ternak yang tidak akan mereka bagi sekalipun pada orang yang kelaparan... Well, akan saya akui, saya tidak bisa menahan diri. Saya bukan orang yang kuat kalau untuk urusan makan. Saya suka makanan hangat dan banyak. Dan saya bukan satu-satunya orang yang mau bertindak sendiri."
Dan itu inti masalahnya, pikir Nasuada. Kaum Varden tidak mampu memberi makan anggotanya, bahkan dengan bantuan raja Surda, Orrin. Orrin membuka gudang hartanya bagi mereka, tapi ia menolak melakukan apa yang dilakukan Galbatorix sewaktu memindahkan pasukannya melintasi Kekaisaran, yaitu meminta pasokan makanan dari penduduknya tanpa membayar.
Pikiran yang mulia, tapi hanya mempersulit tugasku. Sekalipun begitu Nasuada tahu tindakan seperti itulah yang membedakan dirinya Orrin, Hrothgar, dan Islanzadi dari Galbatorix. Mudah sekali melanggar Batas itu tanpa menyadarinya.
"Aku mengerti alasanmu, Master Gamble. Tapi, sekalipun Varden bukan negara dan kita tidak bertanggung jawab pada siapa pun kecuali pada diri kita sendiri, tidak berarti kau atau papa pun berhak mengabaikan aturan hukum yang ditetapkan para pendahuluku atau yang diterapkan di Surda sini. Oleh karena itu kuperintahkan kau membayar sekeping tembaga setiap ayam yang kau curi."
Gamble mengejutkan Nasuada dengan menerima keputusannya tanpa protes. "Terserah Anda, Ma'am," katanya.
"Sudah"" seru si pria pucat. Ia memuntir topinya lebih erat lagi. "Itu bukan harga yang pantas. Kalau saya jual ayam ayam itu di pasar mana pun, harganya--"
Nasuada tidak mampu menahan diri lebih lama lagi. Kau akan mendapat lebih banyak. Tapi kebetulan aku tahu
Master Gamble tidak bisa membayar ayammu dengan harga penuh, karena aku yang memberinya gaji! Sebagaimana aku memberimu gaji. Kau lupa bahwa kalau kuputuskan menyita ayam-ayammu untuk kebaikan kaum Varden, kau tidak akan mendapat lebih dari sekeping tembaga untuk setiap ekor ayam dan itu pun sudah beruntung. Kau mengerti""
"Ia tidak bisa--"
"Kau mengerti""
Sesaat kemudian, pria pucat itu pasrah dan menggumam, Ya, Ma'am."
"Baiklah. Kalian berdua boleh pergi." Dengan ekspresi kagum yang sinis, Gamble menyentuh alisnya dan membungkuk pada Nasuada sebelum keluar dari ruangan batu bersama lawannya yang cemberut. "Kalian juga," kata Nasuada pada penjaga di kedua sisi pintu.
Begitu mereka pergi, ia merosot di kursi sambil mendesah kelelahan dan meraih kipas, mengibaskannya ke wajah dalam usaha yang sia-sia untuk mengusir butir-butir keringat yang muncul di keningnya. Panas yang terus-menerus menguras tenaganya dan menyebabkan tugas terkecil pun terasa berat.
Ia merasa akan tetap kelelahan seandainya sekarang ini musim dingin sekalipun. Walau memahami rahasia-rahasia terdalam kaum Varden, memindahkan seluruh organisasi dari Farthen Dur, melintasi Pegunungan Beor, dan mengantar mereka ke Surda dan Aberon membutuhkan kerja yang berat daripada dugaannya. Ia bergidik, teringat hari-hari panjang dan tidak nyaman yang dihabiskannya di atas pelana. Menyusun rencana dan melaksanakan keberangkatan mereka sangat sulit, juga menyatukan kaum Varden ke dalam kungan baru mereka bersamaan dengan persiapan menyerang Kekaisaran. Aku tidak memiliki cukup waktu setiap hari untuk memecahkan semua masalah ini, keluhnya.
Akhirnya, ia meletakkan kipas dan membunyikan genta, memanggil pelayan pr
ibadinya, Farica. Bendera yang menjuntai di sebelah kanan meja kayu ceri berkibar saat pintu yang tersernbunyi di baliknya dibuka. Farica menyelinap keluar untuk berdiri menunduk di samping Nasuada.
"Apakah masih ada lagi"" tanya Nasuada.
"Tidak ada, Ma'am."
Nasuada berusaha agar kelegaannya tidak terlihat. Seminggu sekali ia membuka pintu untuk menyelesaikan berbagai perselisihan di antara kaum Varden. Siapa pun yang merasa telah diperlakukan dengan tidak benar bisa memohon bertemu dengannya dan meminta penilaiannya. Ia tidak bisa membayangkan tugas tanpa penghargaan yang lebih sulit daripada ini. Seperti yang sering dikatakan ayahnya setelah bernegosiasi dengan Hrothgar, "Kompromi yang baik menyebabkan semua orang marah." Dan tampaknya memang begitu.
Ia kembali memerhatikan masalah yang dihadapinya dan berkata pada Farica, "Kuminta si Gamble dipindahtugaskan. Beri ia pekerjaan di mana bakatnya berkata-kata berguna bagi kita. Kepala gudang, mungkin, selama pekerjaan itu memberinya ransum penuh. Aku tidak ingin ia dihadapkan padaku karena mencuri lagi."
Farica mengangguk dan melangkah ke meja, tempat ia men"tat instrnksi Nasuada di sehelai perkamen. Keahlian itu saja syudah menjadikan dirinya tak ternilai. Farica bertanya, "Di Man, aku bisa menemukan dirinya""
"Di salah satu kelompok kerja di parit batu."
Ya, Ma'am. Oh, tadi sementara Anda sibuk, Raja Orrin meminta Anda menemuinya di laboratoriumnya."
Apa lagi yang dilakukannya di sana sekarang, membutakan diri"" Nasuada mencuci pergelangan dan lehernya dengan air lahender, lalu memeriksa rambutnya di cermin perak mengilap diberikan Orrin padanya dan menarik-narik gaun luarnya hingga lengan gaunnya rapi.
Puas dengan penampilannya, ia meninggalkan kamar diikuti begitu terang hari ini hingga suluh tidak diperlukan untuk menerangi bagian dalam Puri Borromeo dan tambahan panasnya juga tidak dapat ditolerir. Berkas-berkas cahaya menerobos masuk melalui lubang-lubang pemanah dan menerangi dinding dalam lorong, menggaris-garis udara dengan balok-balok debu keemasan pada jarak tertentu. Nasuada memandang keluar melalui salah satu lubang ke benteng pertahanan, di mana sekitar tiga puluh prajurit kavaleri; Orrin yang berseragam oranye melakukan patroli tanpa henti mengawasi pedalaman di sekeliling Aberon.
Mereka takkan banyak berguna kalau Galbatorix memutuskan menyerang kami sendiri, pikirnya pahit. Satu-satunya perlindungan mereka terhadap kemungkinan itu hanyalah harga diri Galbatorix dan, Nasuada berharap, ketakutannya terhadap Eragon. Semua pemimpin menyadari adanya risiko perebutan kekuasaan, tapi para perebut kekuasaan sendiri dua kali lebih takut pada ancaman dari seseorang yang bertekad bulat. Nasuada tahu dirinya memainkan permainan yang sangat berbahaya dengan orang sinting yang paling berkuasa di Alagaesia. Kalau salah menilai seberapa jauh dirinya bisa mendorong orang gila itu, ia dan kaum Varden lainnya akan dihancurkan, bersama harapan apa pun untuk mengakhiri kekuasaan Galbatorix.
Bau bersih puri mengingatkan dirinya pada masa ia tinggal di sana sewaktu masih anak-anak, ketika ayah Orrin, Raja Larkin, masih memerintah. Saat itu ia jarang bertemu Orrin. Orrin lima tahun lebih tua daripada dirinya dan sibuk dengan tugas-tugas sebagai pangeran. Tapi, hari-hari ini, Nasuada sering merasa dirinya yang lebih tua.
Di pintu laboratorium Orrin, ia berhenti dan menunggu para pengawal Orrin, yang selalu berjaga di luar, untuk mem, beritahukan kedatangannya pada Raja. Tidak lama kemudian suara Orrin menggema melalui lorong tangga. "Lady Nasuada! Aku senang kau datang. Ada yang ingin kutunjukkan padamu."
Setelah menguatkan diri dalam hati, Nasuada memasuki laboratorium bersama Farica. Jajaran meja bagai labirin yang dipenuhi berbagai alembic, gelas pengukur, dan tabung kimia berada di depan mereka, seperti sesemakan kaca yang menunggu kesempatan mengait gaun mereka dengan salah satu cabangnya yang rapuh. Bau uap logam yang pekat menyebabkan mata Nasuada berair. Dengan mengangkat tepi gaun dari lantai, ia dan Farica berjalan beriringan ke bagian belakang ruangan, me
lewati beberapa jam pasir dan timbangan, buku-buku besar dan misterius yang dijilid dengan besi hitam, dan bertumpuk-tumpuk prisma kristal berfosfor yang memancarkan cahaya biru terang berpendar-pendar.
Mereka menemui Orrin di dekat bangku bepermukaan marmer, di mana ia tengah mengaduk air raksa dalam wadah tahan panas dengan tabung kaca yang tertutup salah satu ujungnya, dan panjangnya pasti minimal tiga kaki, sekalipun tebalnya hanya seperempat inci.
"Yang Mulia," kata Nasuada. Sesuai jabatannya yang sejajar dengan raja, ia tetap berdiri tegak sementara Farica membungkuk. "Kau tampaknya sudah pulih dari ledakan minggu lalu."
Orrin meringis riang. "Aku sudah belajar bahwa tidak bijaksana mencampur fosfor dan air dalam ruang tertutup. Hasilnya bisa cukup brutal."
"Apakah pendengaranmu sudah pulih sepenuhnya""
"Belum, tapi...." Sambil nyengir seperti bocah yang mendapatkan pisau pertamanya, ia menyulut lilin dengan api dari tungku--Nasuada tidak bisa membayangkan bagaimana Orrin bisa tahan dengan panas tambahan di cuaca seperti ini--lalu membawanya kembali ke bangku, dan menggunakannya untuk menyalakan pipa.
"Aku tidak tahu kau merokok."
"Sebenarnya tidak," Orrin mengakui, "tapi kudapati bahwa mumpung gendang telingaku belum sembuh total, aku bisa berbuat begini..." Setelah mengisap pipa, ia menggembungkan pipi hingga asap mengepul keluar dari telinga kirinya, seperti ular yang meninggalkan sarang, dan bergulung-gulung di samping kepalanya. Pemandangan itu begitu tidak terduga hingga tawa Nasuada meledak, dan sesaat kemudian, Orrin turut tertawa, mengepulkan asap dari mulutnya. "Sensasi yang paling aneh," kata Orrin. "Menggelitik setengah mati waktu keluar."
Setelah kembali serius, Nasuada bertanya, "Apa ada lagi yang ingin kaudiskusikan denganku, Yang Mulia""
Orrin menjentikkan jemari. "Tentu saja." Setelah mengisi tabung kaca panjangnya dengan air raksa, Orrin menutup salah satu ujungnya dengan jari dan menunjukkannya pada Nasuada. "Kau setuju bahwa satu-satunya benda yang ada dalam tabung ini adalah air raksa""
"Tentu saja." Apakah ini alasan ia ingin menemuiku"
"Bagaimana kalau sekarang"" Dengan gerakan cepat, ia membalik tabung dan membenamkan ujung tabung yang terbuka ke dalam mangkuk air raksa, sambil melepas jarinya. Bukannya mengalir keluar seperti dugaan Nasuada, air raksa dalam tabung turun sekitar setengah tabung, lalu berhenti dan bertahan di posisinya. Orrin menunjuk bagian yang kosong di atas logam yang menggantung itu. Ia bertanya. "Apa yang menempati ruang ini""
"Pasti udara," kata Nasuada.
Orrin tersenyum dan menggeleng. "Kalau benar begitu, bagaimana udara bisa melewati air raksa atau meresap melalui kaca" Tidak ada jalan yang tersedia agar atmosfer bisa masuk." Ia memberi isyarat pada Farica. "Apa pendapatmu, pelayan""
Farica menatap tabung, lalu mengangkat bahu dan berkata, "Tidak ada apa-apa, Yang Mulia."
"Ah, tapi tepat itulah pikiranku: tidak ada apa-apa. Aku yakin sudah memecahkan salah satu teka-teki tertua tentang filsafat alam dengan menciptakan dan membuktikan keberadaan ruang hampa! Ini membatalkan sepenuhnya teori Vacher dan berarti Ladin memang jenius. Para elf terkutuk itu tampaknya benar."
Nasuada berusaha tetap tenang sewaktu bertanya, "Tapi apa gunanya penemuan ini""
"Tujuan"" Orrin memandangnya dengan sungguh tertegun. "Tentu saja tidak ada. Setidaknya tak ada yang bisa kupikirkan. Tapi ini akan membantu kita memahami mekanika dunia kita, bagaimana dan kenapa hal-hal tertentu terjadi. Ini penemuan yang luar biasa. Siapa tahu ke mana lagi penemuan ini akan membawa kita"" Sementara berbicara, ia mengosongkan tabung dan dengan hati-hati meletakkannya dalam kotak berlapis beludru tempat instrumen-instrumen rumit lainnya berada. "Tapi prospek yang membuatku benar-benar bersemangat adalah penggunaan sihir untuk mengungkap rahasia alam. Nah baru kemarin, dengan satu mantra, Trianna membantuku menemukan dua gas yang baru sama sekali. Bayangkan apa bisa dipelajari kalau sihir secara sistematis diterapkan pada ilmu filsafat alam. Aku sendiri sedang mempertimbangkan untuk belajar
sihir, kalau memiliki bakat untuk itu, dan kalau aku bisa meyakinkan beberapa pemakai sihir untuk mengajar pengetahuan pengetahuan mereka. Sayang sekali Penunggang Nagamu, Eragon, Eragon, tidak menemanimu kemari; aku yakin ia bisa membantuku."
Sambil memandang Farica, Nasuada berkata, "Tunggu aku di luar. Wanita itu membungkuk memberi hormat lalu pergi. Begitu Nasuada mendengar suara pintu laboratorium ditutup, ia berkata, "Orrin. Kau sudah kehilangan kewarasanmu""
"Apa maksudmu""
"Sementara kau menghabiskan waktumu terkurung di sini dan melakukan percobaan yang tidak dipahami siapa pun--membahayakan keselamatanmu ketika melakukannya--negaramu hampir berperang. Puluhan masalah menunggu keputusanmu, dan kau berdiri di sini mengepulkan asap dan bermain-main dengan air raksa""
Wajah Orrin mengeras. "Aku cukup menyadari kewajibanku, Nasuada. Kau mungkin memimpin kaum Varden, tapi aku masih tetap raja Surda, dan ada baiknya kau mengingat hal itu sebelum berbicara dengan tidak hormat. Apa perlu kuingatkan bahwa perlindunganmu di sini tergantung dari berlanjut-tidaknya niat baikku""
Nasuada tahu itu bukan ancaman kosong; banyak rakyat Surda yang memiliki kerabat kaum Varden, dan sebaliknya. Mereka berkaitan terlalu erat untuk bisa saling meninggalkan. Tidak, alasan sebenarnya Orrin tersinggung adalah masalah kewenangan. Karena mustahil mempertahankan sejumlah besar pejuang bersenjata dalam keadaan siap tempur selama beberapa waktu yang berkepanjangan--seperti yang dipelajari Nasuada, memberi makan begitu banyak orang yang tidak aktif merupakan mimpi buruk logistik--kaum Varden mulai bekerja, membuka lahan pertanian, dan menyatu dengan negara tuan rumahnya. Diamana aku pada akhirnya" Sebagai pemimpin pasukan yang atau penasihat di bawah Orrin" Posisi Nasuada sangat berbahaya. Kalau ia bergerak terlalu cepat atau dengan terlalu banyak inisiatif, Orrin akan menganggapnya sebagai ancaman dan berbalik menentangnya, terutama sekarang, sesudah ia berselimut kemegahan atas kemenangan kaum Varden di Farthen Dur. Tapi kalau ia menunggu terlalu lama, mereka akan kehilangan kesempatan memanfaatkan kelemahan sementara Galbatorix ini. Satu-satunya keuntungan Nasuada atas labirin perlawanan ini hanyalah kekuasaannya atas satu elemen yang memicu drama ini: Eragon dan Saphira.
Ia berkata, "Aku tidak berusaha meremehkan kepemimpinanmu, Orrin. Aku tidak pernah berniat begitu, dan aku minta maaf kalau tampak begitu." Orrin membungkuk kaku. Karena tidak yakin bagaimana cara melanjutkan, Nasuada bertumpu pada ujung jemarinya yang menempel di tepi bangku. "Hanya saja... begitu banyak yang harus dilakukan. Aku bekerja siang-malam--kuletakkan lembaran batu di samping ranjangku untuk catatan--dan aku tidak pernah bisa melakukannya dengan benar; aku merasa kita selalu berada di tepi jurang bencana."
Orrin mengambil alu yang hitam karena sering dipakai dan mengguling-gulingkannya di antara kedua telapak tangannya dengan irama yang mantap dan menghipnotis. "Sebelum kau datang kemari... Tidak, itu tidak benar. Sebelum Penunggangmu tiba-tiba muncul seutuhnya seperti Moratensis muncul dari air mancurnya, kuduga hidupku akan berjalan seperti ayahku atau kakekku. Yaitu, menentang Galbatorix secara diam-diam Kau harus memaafkan aku kalau aku membutuhkan waktu sejenak untuk membiasakan diri dengan kenyataan baru ini--"
Hanya sejauh itu permintaan maaf yang bisa diharapkan Nasuada. "Aku mengerti."
Orrin menghentikan alu di tangannya sejenak. "Kau boleh saja memegang kekuasaan, sedangkan aku sudah berkuasa selama beberapa tahun. Kalau aku boleh cukup sombong untuk menawarkan saran, menurutku penting sekali bagi kewarasanku kalau aku mengalokasikan beberapa waktu setiap hal-hal yang kuminati."
"Aku tidak bisa berbuat begitu," kata Nasuada. "Setiap saat yang kubuang mungkin merupakan saat perjuangan yang perlukan untuk mengalahkan Galbatorix."
Alunya kembali diam sejenak. "Kau justru merugikan kaum Varden kalau berkeras bekerja lembur seorang diri. Tidak ada yang bisa berfungsi dengan benar tanpa sesekali mendapat kedamaian dan ketenangan. Tidak perlu lam
a, lima atau sepuluh menit sudah cukup. Kau bahkan bisa melatih keahlian memanahmu, dan dengan begitu masih setia pada tujuanmu, sekalipun dengan cara yang berbeda... Itu sebabnya aku memainkan laboratorium ini. Itu sebabnya aku mengembuskan asap dan bermain-main dengan air raksa, seperti katamu tadi agar aku tidak menjerit frustrasi sepanjang sisa hari ini."
Biarpun Nasuada enggan melepaskan pendapatnya bahwa Orrin berleha-leha, ia harus mengakui keabsahan argumentasi Orrin. "Akan kuingat rekomendasimu."
Sebagian kegembiraan Orrin kembali saat ia tersenyum. "Hanya itu yang kuminta."
Nasuada berjalan ke jendela, membuka daun jendela lebih lebar lagi dan memandang Aberon di bawahnya, penuh jeritan para pedagang yang sigap menawarkan dagangan mereka ke pada pembeli yang tidak curiga, debu kekuningan berembus dari jalan barat ketika ada iring-iringan yang mendekati gerbang kota, udara yang berpendar pada atap-atap genteng dan membawa bau ilalang dan dupa dari kuil-kuil marmer, dan ladang-ladang di sekeliling Aberon yang tampak seperti kelopak-kelopak bunga yang merekah.
Tanpa berbalik Nasuada bertanya, "Kau sudah menerima salinan laporan terbaru kami dari Kekaisaran"" "Sudah." Orrin mendekatinya di jendela.
Apa pendapatmu""
Bahwa laporan itu terlalu sedikit dan tidak lengkap untuk kita gunakan dalam menarik kesimpulan yang berarti."
Tapi ltu yang terbaik yang kita miliki. Katakan kecurigaan dan firasatmu. Simpulkan dari fakta-fakta yang diketahui seakan ini salah satu percobaanmu." Nasuada tersenyum sendiri. "Aku berjanji tidak akan menafsirkan apa-apa terhadap apa pun yang kaukatakan."
Ia terpaksa menunggu jawaban Orrin, dan sewaktu Orrin menjawab, jawabannya bagai ramalan hari kiamat. "Pajak yang dinaikkan, markas-markas yang dikosongkan, kuda dan kerbau yang disita di seluruh Kekaisaran... Tampaknya Galbatorix mengumpulkan pasukan sebagai persiapan menghadapi kita, sekalipun aku tidak tahu apakah ia bermaksud menyerang atau mempertahankan diri. Bayangan yang berputar menyejukkan wajah mereka saat awan melaju menutupi matahari. "Pertanyaan yang membebani pikiranku sekarang adalah, berapa lama waktu yang dibutuhkan Galbatorix untuk memobilisasi" Karena itu akan menentukan arah strategi kita."
"Berminggu-minggu. Beberapa bulan. Bertahun-tahun. aku tidak bisa memperkirakan tindakannya."
Orrin mengangguk. "Apa agen-agenmu terus menyebarkan berita mengenai Eragon""
"Tindakan itu menjadi semakin berbahaya, tapi ya. Harapanku adalah kita bisa membanjiri kota-kota seperti DrasLeona dengan isu mengenai kehebatan Eragon, sewaktu kita benar-benar tiba di kota itu dan begitu mereka melihatnya, mereka akan menggabungkan diri secara sukarela dan kita tidak perlu mengepung mereka."
"Perang jarang sekali semudah itu."
Nasuada membiarkan komentar itu tanpa membantahnya. "Dan bagaimana mobilisasi pasukanmu sendiri" Kaum Varden, seperti biasa, sudah siap tempur."
Orrin membentangkan tangan dengan sikap menyerah. "Sulit membangkitkan satu negara, Nasuada. Ada bangsawan-bangsawan yang harus kuyakinkan untuk mendukungku, baju besi dan senjata yang harus dibuat, persediaan yang harus dikumpulkan &"
"Dan sementara itu, bagaimana caraku memberi makan orang-orangku" Kami membutuhkan lebih banyak lahan daripada yang kau alokasikan--"
"Well, aku tahu," kata Orrin.
"--dan kami hanya bisa mendapatkannya dengan menginvasi Kekaisaran, kecuali kau ingin menjadikan kaum Varden tambahan permanen bagi Surda. Kalau begitu, kau harus menemukan rumah bagi ribuan orang yang kubawa dari Farthen Dur, yang tidak akan menggembirakan bagi pendudukmu sendiri. Apa pun pilihanmu, pilihlah dengan cepat, karena aku khawatir kalau kau terus menunda, kaum Varden akan kacau balau menjadi kawanan yang tidak terkendali." Ia berusaha agar kata-katanya tidak terdengar sebagai ancaman.
Sekalipun begitu, Orrin jelas tidak menghargai pendapatnya. Bibir atas Orrin mengerut dan ia berkata, "Ayahmu tidak pernah membiarkan anak buahnya lepas kendali. Aku percaya kau juga tidak, kalau kau ingin tetap menjadi pemimpin kaum Varden. Sedang mengenai persiapan kami, ada ket
erbatasan menyangkut apa yang bisa kami lakukan dalam waktu singkat; kau terpaksa menunggu hingga kami siap."
Nasuada mencengkeram kusen jendela hingga pembuluh darah di pergelangannya menonjol dan kuku-kuku jemarinya melesak ke celah-celah batu, tapi ia tidak membiarkan kemarahannya mewarnai suaranya sedikit pun. "Kalau begitu, kau mau meminjami kaum Varden lebih banyak emas untuk membeli makanan""
"Tidak. Aku sudah memberikan semua uang yang bisa kuberikan."
"Kalau begitu bagaimana kami bisa makan""
"Kusarankan kau mencari dana sendiri."
Dengan marah, Nasuada melontarkan senyumnya yang paling lebar dan cerah--mempertahankannya cukup lama hingga Orrin bergerak-gerak gelisah--lalu memberi hormat dengan membungkuk sedalam pelayan, tanpa pernah membiarkan senyum sintingnya goyah. "Selamat tinggal, kalau begitu, Yang Mulia. Kuharap sisa harimu sama menyenangkannya dengan percakapan kita tadi."
Orrin menggumamkan jawaban yang tidak jelas sementara Nasuada berjalan kembali ke pintu masuk laboratorium. Dalam kemarahannya, lengan baju kanan Nasuada tersangkut botol giok dan menjatuhkannya, membuat batunya retak dan mengeluarkan cairan kuning yang menciprati lengan baju dan membasahi roknya. Ia mengibaskan tangan dengan jengkel tanpa menghentikan langkah.
Farica menggabungkan diri dengannya di tangga, dan bersama-sama mereka menyusuri lorong-lorong, kembali ke kamar Nasuada.
BAGAI TELUR DI UJUNG TANDUK
Setelah mendorong pintu kamarnya hingga terbuka, Nasuada berjalan ke mejanya, lalu mengempaskan diri ke kursi, tidak menyadari sekitarnya. Punggungnya begitu kaku hingga bahunya tidak menyentuh sandaran kursi. Ia merasa beku karena masalah tak terpecahkan yang dihadapi kaum Varden. Naik-turun dadanya melambat hingga tidak terlihat. Aku gagal, hanya itu yang bisa dipikirkannya.
"Ma'am, lengan baju Anda!"
Tersentak dari lamunannya, Nasuada menunduk dan mendapati Farica memukul-mukul lengan kanannya dengan kain pembersih. Asap tipis mengepul dari lengan baju berbordirnya. Dengan terkejut Nasuada bangkit dari kursi dan memutar lengan, berusaha menemukan sumber asap. Lengan baju dan roknya hancur menjadi seperti sarang laba-laba seputih kapur yang menebarkan asap berbau busuk.
"Bantu aku melepas baju ini," katanya.
Ia mengulurkan lengannya yang terkontaminasi jauh-jauh dari tubuhnya dan memaksa diri untuk tidak bergerak sementara Farica menanggalkan gaun luarnya. Jemari pelayan itu menyentuh punggung Nasuada dengan tergesa-gesa, sulit menguraikan simpul-simpulnya, dan akhirnya berhasil menanggalkan lapisan wol yang membungkus tubuh Nasuada. Begitu gaun luarnya terlepas, Nasuada menyentakkan lengannya dari lengan baju dan membebaskan diri dari mantel.
Ia berdiri terengah-engah di samping meja, hanya mengenakan sandal dan pakaian dalam linen. Yang melegakannya, pakaian dalamnya yang mahal tidak rusak, sekalipun terkena bau busuk.
"Apakah Anda terbakar"" tanya Farica. Nasuada menggeleng, ddak memercayai lidahnya untuk menjawab. Farica menyentuh gaun luarnya dengan ujung sepatu. "Setan apa ini""
Salah satu ramuan busuk Orrin," kata Nasuada dengan Suara serak. "Aku menumpahkannya di laboratorium." Setelah menenangkan diri dengan menghela napas panjang, ia memeriksa gaun yang rusak itu dengan kecewa. Gaun tersebut dirajut para kurcaci wanita Durgrimst Ingeitum sebagai hadiah ulang tahun terakhirnya dan salah satu pakaian terbaik yang dimilikinya. Ia tidak memiliki pakaian lain sebagai pengganti, dan ia tidak bisa membenarkan keputusan untuk membeli gaun baru, mengingat kesulitan keuangan yang dihadapi kaum Varden. Entah dengan cara bagaimana, aku harus bisa bertahan tanpa gaun ini.
Farica menggeleng. "Sayang sekali gaun seindah ini rusak." Ia mengitari meja menuju keranjang menjahit dan kembali membawa gunting berukir. "Sebaiknya kita selamatkan gaun ini sebisanya. Akan saya potong bagian yang rusak dan saya bakar."
Nasuada merengut dan mondar-mandir dalam ruangan, marah pada kecerobohannya sendiri dan karena menambah daftar kekhawatirannya yang telah panjang. "Apa yang harus kukenakan untuk ke istana sekarang"" tanyanya.
Gunting memotong wol yang lunak dengan mantap. "Mungkin gaun linen Anda."
Gaun itu terlalu biasa untuk menemui Orrin dan para bangsawannya."
"Beri saya kesempatan untuk mengatasinya, Ma'am. Saya yakul bisa mengubahnya menjadi cukup layak. Pada saat saya menyesal, gaun itu akan tampak dua kali lebih anggun daripada tidak. Tak ada gunanya. Mereka akan menertawakan aku. Dengan mengenakan pakaian yang layak saja sudah cukup sulit untuk mendapatkan penghormatan mereka, apa lagi kalau aku mengenakan gaun tambal sulam yang menunjukkan kemiskinan kita."
Wanita yang lebih tua itu menatap Nasuada tajam. "Gaun itu layak, selama Anda tidak malu dengan penampilan Anda. Bukan hanya itu, saya jamin para wanita lain akan begitu terpesona pada model baru baju Anda hingga akan menirunya. Anda lihat saja nanti." Setelah melangkah ke pintu, Farica membukanya dan memberikan kain yang rusak kepada salah seorang penjaga di luar. "Nyonyamu ingin kain ini dibakar. Lakukan diam-diam dan jangan memberitahu siapa pun. Kalau tidak, kau akan berhadapan denganku." Penjaga itu memberi hormat.
Nasuada tidak mampu menahan senyum. "Bagaimana jadinya aku tanpa dirimu, Farica""
"Cukup baik, menurut saya."
Setelah mengenakan pakaian berburu hijau--yang rok tipisnya terasa menyegarkan dalam panasnya hari--Nasuada memutuskan bahwa sekalipun masih merasa tidak enak terhadap Orrin, ia akan menerima saran pria itu dan menyela jadwal rutinnya dengan membantu Farica menanggalkan jahitan dari gaunnya. Ia mendapati tugas itu sangat bagus untuk memusatkan pikiran. Sambil mencabuti benang, ia mendiskusikan masalah kaum Varden dengan Farica, dengan harapan Farica melihat jalan keluar yang tidak terlihat olehnya.
Pada akhirnya, bantuan Farica hanyalah komentar, "Tampaknya sebagian besar masalah di dunia ini berakar pada emas. Kalau kita memiliki cukup banyak emas, kita bisa menyingkirkan Galbatorix dari takhta hitamnya... mungkin bahkan tidak perlu bertempur melawan anak buahnya."
Apakah aku benar-benar berharap ada orang lain yang melakukan pekerjaanku untukku" tanya Nasuada dalam hati. Aku yang memimpin kami ke jalan buntu ini dan aku harus memimpin mereka keluar.
Dengan niat membuka jahitan, ia mengulurkan lengan dan mengaitkan ujung pisaunya ke tepi renda bobbin, memotongnya menjadi dua. Ia menatap renda yang rusak itu, ujung terburai benang-benang berwarna perkamennya melingkar-lingkar melintasi gaun luarnya seperti banyak sekali cacing kepanasan. Ia terus menatap dan merasakan tawa histeris mencakari tenggorokan bahkan saat air mata menggenangi matanya. Bisakah nasibnya lebih buruk lagi" Renda bobbin itu bagian paling berharga gaunnya. Sekalipun membuat renda dibutuhkan keahlian, kelangkaan dan mahalnya benda itu terutama karena bahan utamanya: proses pembuatannya yang makan waktu sangat banyak, berulang-ulang, seakan seakan bisa membekukan otak dan melumpuhkan badan.
Merajut sendiri kerudung berenda membutuhkan waktu yang begitu lama hingga kemajuanmu bukan diukur dengan minggu tapi dengan bulan. Kalau diukur menggunakan ons, renda lebih mahal daripada emas atau perak.
Ia menyusuri rajutan benang itu dengan jari-jari, berhenti sejenak pada sela yang dibuatnya. Renda tidak membutuhkan energi terlalu banyak, melainkan waktu. Ia tidak suka membuat renda sendiri. Energi... energi.... Pada saat itu, serangkaian bayangan melintas dalam benaknya: Orrin berbicara mengenai penggunaan sihir untuk penelitian; Trianna, wanita yang memimpin Du Vrangr Gata sejak kematian si Kembar; menengadah memandang salah seorang tabib kaum Varden saat pria itu menjelaskan prinsip-prinsip sihir kepada Nasuada sewaktu ia baru berusia lima atau enam tahun. Pengalaman yang berbeda itu membentuk serangkaian alasan yang begitu konyol dan mustahil hingga akhirnya ia hanya bisa tertawa.
Farica menatapnya dengan pandangan aneh dan menunggu penjelasan. Saat berdiri, Nasuada menjatuhkan separo gaun dari pangkuannya ke lantai. "Panggilkan Trianna saat ini juga," katanya. "Aku tidak peduli apa yang sedang dilakukannya; bawa ia kemari."
Kulit di sekitar mata Farica menegang, tapi ia memberi
hormat dan berkata, "Terserah Anda, Ma'am." Ia pergi melalui pintu pelayan yang tersembunyi.
"Terima kasih," bisik Nasuada dalam kamar yang kosong.
Ia memahami keengganan pelayannya; ia juga merasa tidak nyaman setiap kali harus berhubungan dengan pengguna sihir. Ia malah hanya memercayai Eragon karena Eragon Penunggang--sekalipun itu bukan bukti kebaikan, seperti yang ditunjukkan Galbatorix--dan karena sumpah setia Eragon padanya, yang Nasuada tahu tidak akan pernah dilanggarnya. Ia takut memikirkan kekuatan para penyihir. Pikiran bahwa sesekarang yang tampak biasa mampu membunuh dengan sepatah kata; menjajah pikiranmu kalau ia menginginkannya; menipu, berbohong, dan mencuri tanpa tertangkap; dan menantang masyarakat nyaris tanpa pernah di hukum &
Jantungnya berdetak semakin cepat.
Bagaimana kau bisa menerapkan hukum kalau sebagian tertentu dari populasi memiliki kekuatan istimewa" Di tingkat yang paling dasar, perang kaum Varden terhadap Kekaisaran tidak lebih daripada usaha untuk mengadili orang yang menyalahgunakan kemampuan sihirnya dan untuk mencegahnya melakukan kejahatan lebih jauh. Semua penderitaan dan kehancuran ini karena tidak ada seorang pun yang memiliki kekuatan untuk mengalahkan Galbatorix. Ia bahkan tidak mati sesudah rentang waktu yang normal!
Sekalipun tidak menyukai sihir, Nasuada tahu sihir akan memainkan peran penting dalam menyingkirkan Galbatorix dan ia tidak bisa mengabaikan para penggunanya sebelum kemenangan yang pasti. Begitu menang, ia berniat menyelesaikan masalah yang ditimbulkan penggunaan sihir.
Ketukan mantap di pintu kamar mengusik pikirannya. Setelah memaksa diri tersenyum ramah dan menjaga ekspresinya seperti ia dididik selama ini, Nasuada berkata, "Masuk!" Ia harus bersikap sopan setelah memanggil Trianna dengan cara sekasar itu.
Pintu terbuka dan si wanita penyihir berambut merah Melangkah masuk ke kamar, rambutnya yang kusut ditata tinggi di kepala dengan ketergesa-gesaan yang kelihatan jelas. Trianna tampak seperti baru saja dibangunkan dari tidur. Setelah membungkuk dengan gaya kurcaci, ia berkata, "Anda ingin bertemu denganku, Lady""
"Memang." Setelah duduk di kursi, Nasuada membiarkan pandangannya perlahan-lahan menyusuri Trianna dari atas ke bawah. Wanita penyihir itu mengangkat dagu saat dipandangi Nasuada. "Aku perlu tahu: Apa aturan sihir yang penting""
Trianna mengerutkan kening. "Bahwa apa pun yang Anda lakukan dengan sihir membutuhkan energi yang sama seperti kalau Anda melakukannya tanpa sihir."
"Dan yang bisa kaulakukan, hanya dibatasi kecerdasan dan pengetahuanmu tentang bahasa kuno""
"Ada aturan-aturan lain, tapi pada umumnya, ya. Lady, kenapa Anda menanyakannya" Ada prinsip-prinsip dasar sihir yang sekalipun tidak umum, aku yakin sudah Anda ketahui."
Memang. Aku hanya ingin memastikan sudah memahaminya dengan benar." Tanpa beranjak dari kursi, Nasuada mengulurkan tangan ke bawah dan mengambil gaunnya agar Trianna bisa melihat renda yang terpotong. "Kalau begitu, dalam batasan-batasan itu, kau seharusnya mampu menyusun mantra yang memungkinkan dirimu membuat renda dengan sihir."
Cibiran mengejek mengerutkan bibir gelap wanita penyihir itu. "Du Vrangr Gata memiliki tugas yang lebih penting daripada memperbaiki pakaian Anda, Lady. Seni kami tidak sebiasa itu untuk digunakan sesuka hati. Aku yakin tukang jahit Anda lebih dari mampu memenuhi permintaan Anda. Nah, kalau Anda tidak keberatan, aku--"
"Diam, perempuan," kata Nasuada datar. Keterkejutan menyebabkan Trianna tidak mampu bicara. "Kulihat aku terpaksa mengajar Du Vrangr Gata pelajaran yang sama seperti yang kuajarkan pada Dewan Tetua: Aku mungkin masih muda, tapi aku bukan anak yang bisa diperintah seenaknya. Aku bertanya tentang renda ini karena kalau kau bisa membuatnya dengan cepat dan mudah menggunakan sihir, kita bisa mendukung kaum Varden dengan menjual renda yang murah di seluruh Kekaisaran. Orang-orang Galbatorix sendiri yang akan menyediakan dana yang kita butuhkan untuk bertahan hidup "
Tapi itu konyol," Trianna memprotes. Bahkan Farica tampak Skeptis. "Anda tidak bisa membiayai perang d
engan renda." Nasuada mengangkat satu alisnya. "Kenapa tidak" Wanita-wanita yang selama ini tidak mampu memiliki renda akan menerkam kesempatan untuk membeli renda kita. Setiap istri petani yang ingin tampil lebih kaya daripada sebenarnya akan menginginkannya, Bahkan pedagang kaya dan bangsawan akan memberi kita emas mereka karena renda kita akan lebih baik daripada renda mana pun yang dirajut tangan manusia. Kita akan mengumpulkan kekayaan yang menyaingi para kurcaci. Itu kalau kau cukup ahli dengan sihirmu untuk memenuhi permintaanku."
Trianna mengibaskan rambut. "Anda meragukan kema puanku""
"Bisakah kau melakukannya""
Trianna ragu-ragu, lalu mengambil gaun itu dari Nasuada dan mempelajari rendanya cukup lama. Akhirnya ia berkata, "Seharusnya bisa, tapi aku harus melakukan beberapa pengujian sebelum bisa memastikannya."
"Lakukan secepatnya. Mulai sekarang, ini tugasmu yang paling penting. Dan cari pembuat renda paling berpengalaman untuk memberi saran mengenai polanya."
"Ya, Lady Nasuada."
Nasuada melunakkan suaranya. "Bagus. Kuminta kau juga memilih anggota-anggota Du Vrangr Gata yang paling cerdas untuk membantumu menciptakan teknik-teknik sihir yang akan membantu kaum Varden. Itu tanggung jawabmu, bukan tanggung jawabku."
"Ya, Lady Nasuada."
"Sekarang kau boleh pergi. Laporkan padaku besok pagi." "Ya, Lady Nasuada."
Dengan puas Nasuada mengawasi kepergian wanita penyihir itu, lalu memejamkan mata dan membiarkan dirinya menikmati kebanggaan sesaat atas prestasinya. Ia tahu tidak ada oran& bahkan ayahnya, yang mampu memikirkan solusi yang dihasilkannya. "Ini sumbanganku pada kaum Varden, katanya sendiri, berharap Ajihad bisa menyaksikannya. Dengan suara yang lebih keras, ia bertanya, "Apakah aku membuatmu terkejut, Farica""
"Selalu, Ma'am."
ELVA Ma'am"... Anda ditunggu, Ma'am."
"Apa"" Karena enggan bergerak, Nasuada membuka mata dan melihat Jormundur memasuki ruangan. Veteran bertubuh kurus tapi liat itu menanggalkan helm, menyelipkannya di bawah lengan, dan mendekatinya dengan tangan kiri bertumpu pada ujung tangkai pedangnya.
Jala-jala bajanya berdencing saat ia membungkuk. "My Lady."
"Selamat datang, Jormundur. Bagaimana kabar putramu hari ini"" Nasuada senang pria ini datang. Dari semua anggota Dewan Tetua, pria ini yang paling mudah menerima kepemimpinannya, melayaninya dengan kesetiaan dan kebulatan tekad yang sama seperti pada Ajihad. Kalau semua pejuangku seperti dirinya, tidak ada yang bisa menghentikan kami.
"Batuknya sudah reda."
"Aku senang mendengarnya. Nah, ada apa kau kemari"" Kerut-kerut muncul di kening Jormundur. Ia mengusap rambutnya yang yang diekor kuda, lalu tersadar dan memaksa tangannya turun ke sisi tubuhnya. "Sihir, yang paling aneh."
"Anda ingat bayi yang diberkati Eragon""
"Aye. Nasuada hanya sekali melihat bayi itu, tapi ia sangat menyadari berbagai kisah yang dibesar-besarkan tentang anak yang beredar di kalangan Varden, juga harapan kaum Varden akan apa yang dicapai gadis itu kelak ia dewasa. Nasuada bersikap lebih praktis mengenai hal itu. Apa pun jadinya anak tersebut kelak, ia baru dewasa bertahun-tahun lagi, ketika pertempuran melawan Galbatorix telah dimenangkan atau kalah.
"Aku diminta membawa Anda menemuinya." "Diminta" Oleh siapa" Dan kenapa""
"Seorang bocah laki-laki di lapangan latihan memberitahuku Anda sebaiknya mengunjungi gadis itu. Katanya Anda akan mendapatinya menarik. Bocah itu menolak memberitahukan namanya, tapi ia tampak seperti kucing jadi-jadian si penyihir, jadi kupikir... Well, kupikir sebaiknya Anda tahu." Jormundur tampak malu. "Aku sudah menanyai anak buahku sendiri mengenai gadis itu, dan aku mendengar kabar.., bahwa ia berbeda."
"Berbeda bagaimana""
Pria itu mengangkat bahu. "Cukup untuk percaya bahwa sebaiknya Anda memenuhi permintaan kucing jadi-jadian itu."
Nasuada mengerutkan kening. Ia tahu dari kisah-kisah lama bahwa mengabaikan kucing jadi-jadian merupakan tindakan paling bodoh dan sering menyebabkan kehancuran seseorang. Tapi teman kucing jadi-jadian itu--Angela si tukang obat--adalah pengguna sihir lain yang tidak terlalu di
percayai Nasuada; wanita itu terlalu mandiri dan tidak bisa ditebak. "Sihir," katanya, dengan nada seakan kata itu merupakan kutukan.
"Sihir," Jormundur menyetujui, sekalipun ia menggunakan kata itu dengan nada terpesona dan takut. "Baiklah, kita kunjungi anak itu. Apakah ia ada dalam puri""
"Orrin memberi ia dan perawatnya kamar-kamar di sisi barat benteng."
"Antarkan aku padanya."
Setelah menyingsingkan rok, Nasuada memerintahkan menunda janji temu hari ini, lalu meninggalkan kamar. Di belakangnya, ia mendengar Jormundur menjentikkan jemari di saat mengatur keempat pengawal agar mengambil posisi di sekitar Nasuada. Sesaat kemudian ia mendampingi Nasuada, menunjukkan jalan.
Panasnya udara di dalam Puri Borromeo meningkat hingga mereka merasa seperti terperangkap dalam oven roti raksasa. Udara berpendar bagai kaca cair di sepanjang kusen-kusen jendela.
Sekalipun merasa tidak nyaman, Nasuada tahu ia lebih bisa mentolerir panasnya udara dibandingkan orang-orang lain karena kulitnya yang gelap. Mereka yang paling kesulitan dalam uaara panas adalah pria-pria seperti Jormundur dan para pengawalnya, yang mengenakan baju besi sepanjang hari, bahkan sewaktu mereka ditugaskan di tempat terbuka tanpa pelindung dari matahari.
Nasuada terus mengawasi kelima pria itu sementara keringat merigucur di kulit mereka yang terbuka dan napas mereka semakin tersengal-sengal. Sejak tiba di Aberon, sejumlah anggota kaum Varden pingsan akibat sengatan panas--dua di antaranya meninggal satu atau dua jam kemudian--dan Nasuada tidak berniat kehilangan lebih banyak anak buahnya dengan memaksa mereka melampaui batas fisik mereka.
Sewaktu merasa mereka perlu beristirahat, ia memerintahkan mereka berhenti--tanpa memedulikan keberatan mereka--dan minum air yang dibawa pelayan.
"Aku tidak bisa membiarkan kalian berjatuhan begitu saja." Mereka harus berhenti dua kali lagi sebelum tiba di tempat tujuan, pintu biasa dalam ceruk di dinding dalam lorong.
Lantai di sekitarnya dipenuhi hadiah.
Jormundur mengetuk, dan suara yang gemetar dari dalam bertanya, "Siapa itu""
" Lady Nasuada, datang untuk menemui anak itu," kata Jormundur.
"Apakah kalian tulus dan bertekad bulat""
Kali ini Nasuada yang menjawab, "Hatiku tulus dan tekadku sekeras besi."
"Silakan masuk, kalau begitu, dan selamat datang."
Pintu terbuka ke ruang tamu yang diterangi satu lentera merah kurcaci. Tidak ada orang di pintu. Setelah masuk, Nasuada melihat dinding dan langit-langitnya tertutup berlapis-lapis kain gelap, menyebabkan tempat itu terasa seperti gua atau liang. Yang mengejutkannya, udara di sana cukup sejuk, hampir dingin, seperti malam musim gugur. Ketakutan menghunjamkan cakarnya yang beracun ke perut Nasuada. Sihir.
Sehelai tirai jala hitam menghalangi jalannya. Setelah meyibakkannya, ia ternyata berada di tempat yang dulunya merupakan ruang duduk. Perabotannya telah disingkirkan, kecuali sebaris kursi yang menempel ke dinding. Sekelompok lentera redup kurcaci tergantung pada cekungan di kain yang meles, di atas kepala, menebarkan bayang-bayang berbagai warna ke segala arah.
Pelayan bungkuk mengawasinya dari keremangan salah satu sudut ruangan, diapit Angela si tukang obat dan kucing jadi-jadian, yang berdiri dengan bulu tegak. Di tengah ruangan berlutut seorang gadis pucat. Nasuada memperkirakan usianya tiga atau empat tahun. Gadis itu menjumput makanan di piring di pangkuannya. Tidak ada yang bicara.
Dengan bingung Nasuada bertanya, "Mana bayinya""
Gadis itu menengadah. Nasuada tersentak saat melihat tanda naga yang terang di atas alis anak itu dan ia menatap tajam matanya yang ungu. Gadis itu tersenyum sok tahu dan mengerikan. "Namaku Elva."
Nasuada mundur tanpa sadar, mencengkeram pisau yang terikat di lengan kirinya. Suara gadis itu suara orang dewasa dan penuh dengan pengalaman dan kesinisan orang dewasa. Keluar dari mulut anak kecil, suara itu terdengar sangat menakutkan.
"Jangan lari," kata Elva. "Aku temanmu." Ia menyingkirkar piringnya; piring itu kosong sekarang. Pada si pelayan, ia berkata, "Makanan lagi." Wanita tua itu bergegas keluar kamar. Lalu
Elva menepuk lantai di sampingnya. "Silakan duduk. Aku sudah menunggumu sejak aku belajar bicara."
Sambil tetap mencengkeram pisau, Nasuada duduk. "Kapan itu""
"Minggu lalu." Elva melipat tangan di pangkuannya. Dia menatap Nasuada lurus di mata, menguncinya di tempat dengan kekuatan tatapannya yang tidak wajar. Nasuada merasa seperti ada tombak ungu yang menembus tengkoraknya berputar-putar dalam benaknya, mencabik pikiran dan kenangannya. Ia menekan keinginan untuk menjerit.
Sambil mencondongkan tubuh ke depan, Elva mengulurkan tangan dan memegang pipi Nasuada dengan tangannya yang lembut. "Kau tahu, Ajihad tidak bisa memimpin kaum Varden lebih baik daripada dirimu. Kau sudah memilih jalan yang benar. Namamu akan dipuji hingga berabad-abad karena memiliki keberanian dan pandangan jauh ke depan untuk memudahkan kaum Varden ke Surda dan menyerang Kekaisaran sementara semua orang lain menganggap tindakan itu sinting."
Nasuada ternganga memandang gadis itu, tertegun. Seperti anak kunci yang tepat pada lubangnya, kata-kata Elva tepat mengenai ketakutan utama Nasuada, keraguan yang menyebabkan ia terjaga di malam hari, bercucuran keringat dalam gelap. Emosi tak tertahan bergolak dalam dirinya, membangkitkan kepercayaan diri dan kedamaian yang tidak dirasakannya sejak sebelum kematian Ajihad. Air mata kelegaan mengalir deras dari matanya dan bergulir turun di wajahnya. Rasanya Elva seolah tahu persis apa yang harus dikatakan untuk menghibumya.
Nasuada membenci gadis itu karenanya.
Kegembiraannya bertarung melawan kebenciannya karena mengingat bagaimana saat lemah ini dibangkitkan dan oleh siapa. Ia juga tidak memercayai motivasi gadis ini.
"Kau ini apa"" tanyanya.
"Aku adalah apa yang dibuat Eragon."
"Ia memberkati dirimu."
Tatapan mata kuno yang menakutkan itu sejenak menghilang saat Elva mengerjap. "Ia tidak memahami tindakannya. Sejak Eragon menyihirku, setiap kali bertemu seseorang, aku merasakan semua penderitaan yang menyiksanya dan yang akan menyiksanya. Sewaktu masih kecil, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasinya. Jadi aku tumbuh."
"Kenapa--" "Sihir dalam darahku memaksaku melindungi orang-orang dari penderitaan... apa pun akibatnya padaku dan apakah aku akan membantu atau tidak." Senyumnya berubah agak pahit. "Aku sangat menderita kalau menolak dorongan itu."
Sementara Nasuada memikirkan artinya, ia menyadari bahwa sikap Elva yang meresahkan adalah akibat sampingan penderitaan yang diterimanya. Nasuada bergidik membayangkan apa yang sudah dialami gadis ini. Ia pasti tercabik-cabik dorongan ini dan tidak mampu bertindak untuk mengatasinya. Bertentangan dengan keinginannya sendiri, ia mulai merasakan simpati pada Elva.
"Kenapa kau memberitahukan hal ini padaku"" "Kupikir sebaiknya kau tahu siapa dan apa diriku" Eva diam sejenak, dan api di matanya menguat. "Dan bahwa aku akan berjuang demi dirimu sebisa mungkin. Gunakan diriku seperti kau menggunakan pembunuh bayaran--diam-diam, dalam gelap, dan tanpa ampun." Ia tertawa melengking menggetarkan. "Kau heran kenapa; aku bisa melihatnya. Karena kalau perang ini tidak berakhir, dan lebih cepat lebih baik, aku akan sinting karenanya. Aku sudah cukup sulit mengatasi penderitaan kehidupan sehari-hari tanpa harus menghadapi kekacauan pertempuran. Gunakan diriku untuk mengakhirinya dan akan kupastikan hidupmu sebahagia manusia mana pun yang mendapat keistimewaan mengalaminya."
Pada saat itu, si pelayan bergegas masuk ke kamar, membungkuk pada Elva, dan memberikan sepiring makanan padanya. Nasuada merasakan kelegaan fisik saat Elva menunduk dan melahap kaki domba, menjejalkan daging ke mulut dengan dua tangan. Ia makan dengan nafsu serigala kelaparan, tanpa sopan santun sedikit pun. Karena matanya yang ungu dan tanda naganya tersembunyi di balik rambut hitamnya, ia sekali lagi tampak tidak lebih dari anak yang masih polos.
Nasuada menunggu hingga jelas bahwa Elva telah mengatakan semua yang ingin dikatakannya. Lalu--dengan isyarat dari Angela--ia menemani ahli tanaman obat itu masuk ke pintu samping, meninggalkan gadis pucat tersebut duduk seorang diri d
i tengah kamar yang gelap dan tertutup kain seperti janin menakutkan dalam rahim, menunggu saat yang tepat untuk muncul.
Angela memastikan pintu telah tertutup sebelum berbisik, "Ia makan terus. Kami tidak bisa memuaskan nafsu makannya, dengan ransum yang sekarang. Kau bisa--"
"Ia akan diberi makan. Kau tidak perlu khawatir." Nasuada menggosok-gosok lengan, berusaha menghilangkan kenangan akan mata yang menakutkan itu...
"Terima kasih."
Apakah kejadian ini pernah menimpa orang lain""
Eldest Seri 2 Eragon Karya Christhoper Paolini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Angela menggeleng hingga rambut keritingnya memantul pada bahunya. "Tidak sepanjang sejarah sihir. Sudah kucoba mengucilkan masa depannya, tapi sia-sia, karena hidupnya berinteraksi dengan hidup begitu banyak orang."
"Apakah ia berbahaya""
"Kita semua berbahaya."
"Kau tahu maksudku."
Angela mengangkat bahu. "Ia lebih berbahaya daripada beberapa orang dan tidak seberbahaya beberapa orang lainnya.
Tapi yang paling mungkin dibunuhnya adalah dirinya sendiri.
Kalau ia bertemu orang yang akan terluka dan mantra Eragon menyerangnya saat ia tidak siap, ia akan bertukar tempat dengan orang yang akan mengalami bencana itu. Itu sebabnya ia lebih banyak tinggal di dalam kamar."
"Seberapa jauh ia bisa memperkirakan kejadian yang akan berlangsung""
"Dua atau tiga jam paling lama."
Sambil menyandar ke dinding, Nasuada mempertimbangkan kerumitan terbaru dalam hidupnya ini. Elva bisa menjadi senjata yang ampuh kalau ia menggunakannya dengan benar. Melalui dirinya, aku bisa memahami masalah dan kelemahan lawan-lawanku, juga apa yang akan menyenangkan mereka dan membuat mereka mau meinenuhi keinginanku. Dalam keadaan darurat, gadis itu bisa juga bertindak sebagai pengawal yang tak pernah gagal kalau salah satu anggota Varden, seperti Eragon atau Saphira, harus dilindungi.
Ia tidak bisa dibiarkan tanpa pengawasan. Aku harus menugaskan seseorang untuk mengawasinya. Seseorang yang memahami sihir dan cukup nyaman dengan identitas mereka sendiri sehingga bisa melawan pengaruh Elva & dan yang bisa kupercayai, jujur, dan dapat diandalkan. Ia langsung mengesampingkan Trianna.
Nasuada memandang Angela. Sekalipun mewaspadai ahli tanaman obat ini, ia tahu Angela telah membantu kaum Varden mengatasi masalah-masalah paling rumit dan penting--seperti menyembuhkan Eragon--dan tidak meminta imbalan. Nasuada tidak bisa memikirkan orang lain yang memiliki waktu, kemauan, dan keahlian untuk menjaga Elva.
"Kusadari," kata Nasuada, "sikapku ini berlebihan, karena kau tidak berada di bawah perintahku dan hanya sedikit yang kuketahui tentang kehidupan atau tanggungjawabmu, tapi aku harus meminta bantuanmu."
"Teruskan." Angela melambaikan satu tangan.
Nasuada ragu, bingung, lalu memaksa diri. "Kau mau mengawasi Elva untukku" Aku perlu"Tentu saja! Dan aku akan mengawasinya terus, kalau bisa. Aku senang mendapat kesempatan mempelajari dirinya."
"Kau harus melapor padaku," Nasuada memperingatkan. "Anak panah beracun yang tersembunyi dalam kue tar kismis. Ah, well, kurasa bisa kuatasi."
"Kau berjanji, kalau begitu""
"Aku berjanji."
Dengan lega Nasuada mengerang dan duduk di kursi terdekat. "Oh, benar-benar kacau. Benar-benar membingungkan. Sebagai atasan Eragon, aku bertanggung jawab atas perbuatannya, tapi aku tidak pernah membayangkan ia akan melakukan tindakan semenakutkan ini. Ini menodai kehormatanku, juga kehormatannya."
Serangkaian suara letupan keras memenuhi ruangan saat Angela mengertakkan buku-buku jemarinya. "Ya. Aku berniat membicarakan hal ini dengannya begitu ia kembali dari Ellesmera."
Ekspresinya begitu keras hingga Nasuada terkejut karenanya, "Well, jangan menyakitinya. Kita membutuhkan dia." "Tidak akan... secara permanen."
KEBANGKITAN KEMBALI Embusan angin kencang menyentakkan Eragon dari tidur. Selimut-selimut berkibar menutupi tubuhnya saat badai mencakari kamarnya, menghamburkan barang-barang miliknya dan mengempaskan lentera-lentera ke dinding. Di luar, langit gelap karena mendung.
Saphira mengawasi sementara Eragon terhuyung-huyung berdiri dan berjuang menjaga keseimbangan sementara pohon bergoyang-goyang seperti kapal di laut. Ia men
unduk menentang angin kencang dan berjalan mengitari kamar, mencengkeram dinding hingga tiba di pintu berbentuk air mata, tempat badai yang melolong masuk.
Eragon memandang ke balik lantai yang bergejolak, ke tanah di bawah. Tanah tampak bergoyang maju-mundur. Ia menelan ludah dan mencoba tidak memedulikan perutnya yang memberontak.
Dengan meraba-raba ia menemukan tepi kain pelapis yang dia ditarik dari kayu untuk menutup lubangnya. Ia bersiap melompat dari satu sisi lubang ke sisi lain. Kalau ia terpeleset, tidak ada yang menghalanginya jatuh ke akar-akar pohon.
Tunggu, kata Saphira. Ia mundur di panggung rendah tempat ia tidur dan menjulurkan ekor ke samping Eragon agar Eragon bisa menggunakannya sebagai pegangan.
Dengan memegang kain hanya menggunakan tangan kanan, segenap tenaganya, Eragon menggunakan jajaran tonjolan di ekor Saphira untuk menarik diri menyebrangi pintu. Begitu tiba di sisi seberang, ia menyambar dengan dua tangan dan menekankan tepinya ke ceruk yang mengunci kain itu di tempatnya.
Kamar jadi sunyi. Kainnya menggembung ke dalam akibat kekuatan angin tapi tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah. Eragon menusuknya dengan jari. Kainnya sekencang drum.
Mengagumkan, apa yang bisa dibuat elf, katanya.
Saphira memiringkan kepala, lalu mengangkatnya hingga kepalanya menempel rapat pada langit-langit sementara ia mendengarkan. Sebaiknya kau tutup ruang kerja; ruang itu kacau balau sekarang.
Sementara Eragon menuju tangga, pohon tersentak dan kakinya tertekuk, membuatnya jatuh dengan bertumpu pada satu lutut.
"Terkutuk," geramnya.
Ruang kerja dipenuhi pusaran kertas dan pena bulu, melesat ke sana-kemari seakan memiliki pikiran sendiri. Ia terjun ke dalam pusaran itu dengan kedua lengan menutupi kepala. Ia merasa seperti dihujani batu sewaktu ujung pena-pena bulu menghantamnya.
Eragon bersusah payah menutup pintu atas tanpa bantuan Saphira. Begitu ia berhasil melakukannya, sakit-sakit yang luar biasa hingga membekukan pikiran--mencabik punggungnya."
Ia berteriak dan suaranya jadi serak karena kerasnya teriakannya. Pandangannya dipenuhi warna merah dan kuning, memudar dan menggelap saat ia jatuh ke samping. Di bawah ia mendengar Saphira melolong frustrasi; tangga terlalu kecil dan, di luar, angin terlalu kencang hingga menghalanginya mendekati Eragon. Hubungan Eragon dengannya memudar. Eragon pasrah ditelan kegelapan sebagai jalan keluar penderitaannya.
Sesuatu yang masam memenuhi mulut Eragon sewaktu ia terjaga. Ia tidak tahu sudah berapa lama dirinya terbaring di lantai, tapi otot-otot lengan dan kakinya kaku akibat meringkuk rapat. Badai masih menyerang pohon, diiringi hujan deras menyamai dentuman dalam kepalanya.
Saphira &" Aku di sini. Kau bisa turun" Akan kucoba.
Ia terlalu lemah untuk berdiri di lantai yang bergoyang-goyang, jadi ia merangkak ke tangga dan meluncur turun satu anak tangga demi satu anak tangga, sambil mengernyit setiap kali melakukannya. Di tengah jalan, ia bertemu Saphira, yang menjejalkan kepala dan leher sejauh mungkin di tangga, melubangi pohon dalam kepanikannya.
Makhluk kecil. Saphira menjulurkan lidahnya keluar dan menangkap tangan Eragon dengan ujung lidahnya yang kasar. Eragon tersenyum. Lalu Saphira menyentakkan lehernya dan berusaha menarik kepalanya mundur, tapi sia-sia.
Ada apa" Aku terjepit. Kau... Eragon tidak mampu menahan diri; ia tertawa walau menyakitkan. Situasinya terlalu konyol.
Saphira menggeram dan mengangkat seluruh tubuhnya, mengguncang pohon dengan susah payah dan menjatuhkan Eragon. Lalu ia terkulai, terengah-engah. Well, jangan hanya duduk diam di sana, nyengir seperti rubah idiot. Tolong aku!
Sambil berusaha menahan tawa, Eragon menumpukan kaki ke hidung Saphira dan mendorongnya sekeras mungkin sementara Saphira menggeliat dan meronta-ronta dalam usahanya membebaskan diri.
Setelah lebih dari sepuluh menit barulah ia berhasil. Sesudah itu Eragon melihat besarnya kerusakan pada tangga. Ia mengerang. Sisik-sisik Saphira menggores kulit pohon dan menghancurkan pola-pola rumit yang dibuat di kayunya.
Ups, kata Saphira. Setidaknya kau yang melakukannya, bukan aku. Para elf mungkin mau memaafkan dirimu. Mereka bersedia menyanyikan balada cinta kurcaci siang dan malam kalau kau yang minta.
Ia menemani Saphira di tempat tidurnya dan meringkuk ke sisik-sisik rata di perut Saphira, mendengarkan badai yang mengamuk di sekitar mereka. Membran lebarnya menjadi tembus pandang setiap kali kilat menyambar di langit.
Menurutmu pukul berapa sekarang"
Beberapa jam sebelum kita harus menemui Oromis. Tidurlah, dan pulihkan tenagamu. Aku akan berjaga.
Eragon pun tidur, walau pohon bergoyang-goyang hebat.
KENAPA KAU BERTEMPUR"
Penunjuk waktu pemberian Oromis mendengung seperti lebah raksasa, meraung di telinga Eragon hingga ia mengambil alat itu dan memutar mekanismenya.
Lututnya yang terbentur menjadi ungu, badannya pegal semua akibat serangan rasa sakit dan Tarian Ular dan Bangau elf, dan ketika ia berbicara, suaranya serak karena tenggorokannya sakit. Tapi luka terparahnya adalah firasat bahwa ini bukan terakhir kalinya luka Durza mempersulit dirinya. Prospek itu membuatnya muak, menguras tenaga dan kemauannya.
Sudah berminggu-minggu sejak serangan sebelumnya, katanya, tadinya aku mulai berharap bahwa mungkin, hanya mungkin, aku sudah sembuh... Kurasa keberuntungan sematalah yang menyebabkan aku selamat selama ini.
Dengan menjulurkan leher, Saphira mengelus lengannya. Kau tahu kau tidak sendirian, makhluk kecil. Aku bersedia melakukan apa saja untuk membantu. Eragon bereaksi dengan tersenyum lemah. Lalu Saphira menjilat wajahnya dan menambahkan, Kau harus bersiap-siap berangkat.
Aku tahu. Eragon menatap lantai, enggan bergerak, lalu menyeret diri ke kamar mandi, tempat ia menggosok tubuhnya hingga bersih dan menggunakan sihir untuk bercukur.
Ia tengah mengeringkan tubuh sewaktu merasa ada kehadiran yang menyentuh benaknya. Tanpa berpikir, Eragon mulai membentengi benaknya, memusatkan perhatian pada ibu jari kakinya dan tidak memikirkan hal lain. Lalu ia mendengar suara Oromis berkata, Mengagumkan, tapi tidak perlu. Bawa Zar'roc bersamamu hari ini. Kehadiran itu menghilang.
Eragon mengembuskan napas yang gemetar. Aku harus lebih waspada, katanya pada Saphira. Aku pasti sudah ditaklukkannya kalau ia musuh.
Tidak kalau aku ada di dekatmu.
Sesudah persiapannya selesai, Eragon membuka membran dari dinding dan naik ke punggung Saphira, sambil mengepit Zar'roc.
Saphira terbang diiringi deru angin, miring ke Tebing Tel'naeir. Dari ketinggian, mereka bisa melihat kerusakan Du Weldenyarden akibat badai. Tidak ada pohon yang tumbang di Ellesmera, tapi lebih jauh dari sana, di tempat sihir elf lebih lemah, puluhan pohon pinus tumbang. Angin yang tersisa menyebabkan cabang-cabang yang saling melintang dan pepohonan bergesekan, memperdengarkan serangkaian derakan dan erangan. Awan serbuk sari keemasan, setebal debu, mengalir keluar dari pepohonan dan bunga-bunga.
Sementara mereka terbang, Eragon dan Saphira bertukar ingatan tentang pelajaran masing-masing kemarin. Eragon menceritakan apa yang dipelajarinya tentang semut dan bahasa kuno, dan Saphira memberitahu tentang arus udara ke bawah dan pola-pola cuaca berbahaya lainnya serta cara menghindarinya.
Dengan begitu, sewaktu mereka mendarat dan Oromis menginterogasi Eragon tentang pelajaran Saphira dan Glaedr menginterogasi Saphira tentang pelajaran Eragon, mereka mampu menjawab setiap pertanyaan.
"Bagus sekali, Eragon-vodhr."
Aye. Dimainkan dengan baik, Bjartskular, tambah Glaedr Pada Saphira.
Seperti sebelumnya, Saphira pergi bersama Glaedr sementara Eragon tetap di tebing, sekalipun kali ini ia dan Saphira berhati-hati dengan mempertahankan hubungan mereka agar bisa menyerap pelajaran satu sama lain.
Saat kedua naga itu berangkat, Oromis berkata, "Suaramu lebih serak hari ini, Eragon. Kau sakit""
"Punggungku kumat tadi pag."
"Ah. Aku turut bersimpati." Ia memberi isyarat dengan satu jari." "Tunggu di sini."
Eragon mengawasi sementara Oromis masuk ke gubuk lalu muncul kembali, tampak buas dan siap tempur dengan rambut keperakan berkibar ditiup angin dan pedang tembaga di tangan. "Hari ini," katanya, "kita
akan melupakan Rimgar dan mengadu pedang, Naegling dan Zar'roc. Cabut pedangmu dan lindungi matanya seperti yang diajarkan guru pertamamu padamu."
Eragon sangat ingin menolak. Tapi ia tidak berniat melanggar sumpah atau membiarkan kebulatan tekadnya goyah di depan Oromis. Ia menelan ketakutannya. Inilah arti menjadi Penunggang, Pikirnya.
Dengan mengerahkan cadangan tenaganya, ia menemukan tempat jauh di dalam benaknya yang menghubungkan dirinya dengan aliran liar sihir. Ia masuk ke sana, dan energi menyelimuti dirinya. "Geuloth du knifr," katanya, dan bintang biru vang berkelap-kelip muncul di antara ibu jari dan telunjuknya, melompat dari satu jari ke jari yang lain saat ia menyusurkannya di mata Zar'roc.
Begitu pedang mereka beradu, Eragon tahu ia kalah dari Oromis, seperti dari Durza dan Arya. Eragon pemain pedang yang hebat bagi manusia, tapi ia tidak bisa menyaingi pejuang yang darahnya dipenuhi sihir. Lengannya terlalu lemah dan refleksnya terlalu lamban. Sekalipun begitu, hal itu tidak menghalanginya berusaha menang. Ia berjuang hingga batas kemampuannya, sekalipun, pada akhirnya, usahanya sia-sia.
Oromis mengujinya dengan segala cara yang ada, memaksa Eragon menggunakan seluruh keahliannya dalam menyerang, menangkis, dan menipu. Semuanya sia-sia. Ia tidak bisa menyentuh elf itu. Sebagai usaha terakhir, ia berusaha mengubah gaya bertempurnya, yang mampu mengguncang veteran paling berpengalaman sekalipun. Ia hanya mendapat pukulan di paha sebagai hasilnya.
Gerakkan kakimu lebih cepat!" seru Oromis. "Ia yang berdiri seperti tiang tewas dalam pertempuran. Ia yang meliuk seperti ilalang menang!"
Gerakan elf itu menakjubkan, perpaduan sempurna pengendalian dan kebrutalan tak terjinakkan. Ia menerkam seperti kucing, menyerang seperti burung heron, dan meliuk dengan keanggunan musang.
Mereka telah berlatih tanding selama hampir dua puluh menit sewaktu Oromis goyah, wajahnya yang tirus meringis sejenak. Eragon mengenali gejala penyakit misterius Oromis dan menyerang dengan Zar'roc. Tindakan yang tidak pantas, tapi Eragon begitu frustrasi, ia bersedia memanfaatkan setiap celah, tak peduli setidak adil apa pun, demi sekadar mendapat kepuasan mengenai Oromis sekalipun hanya sekali.
Zar'roc tidak pernah mencapai sasarannya. Saat berputar, Eragon menarik otot punggungnya melewati Batas.
Sakit menghantamnya tanpa peringatan.
Hal terakhir yang didengarnya adalah Saphira berteriak, Eragon!
Sekalipun serangan itu hebat, Eragon tetap sadar sepanjang penyiksaannya. Ia tidak menyadari sekitarnya, hanya api yang membakar di dalam tubuhnya dan memperpanjang setiap detik menjadi keabadian. Bagian yang paling buruk adalah ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi penderitaannya kecuali menunggu....
...dan menunggu.... Eragon berbaring terengah-engah di Lumpur dingin. Ia mengerjapkan mata saat pandangannya terfokus dan ia melihat Oromis duduk di bangku bulat di sampingnya. Setelah memaksa diri berlutut, Eragon mengamati tunik barunya dengan menyesal dan jijik. Kain merah yang indah itu berlapis Lumpur kering karena ia tersentak-sentak di tanah. Lumpur kering juga memenuhi rambutnya.
Ia bisa merasakan Saphira dalam benaknya, memancarkan keprihatinan sementara naga itu menunggu ia menyadari kehadirannya. Bagaimana kau bisa terus seperti ini" tegur naga itu. Ini akan menghancurkan dirimu.
Teguran Saphira semakin mengecilkan kebulatan tekad Eragon yang tersisa. Saphira belum pernah menyatakan keraguan ia akan berhasil, tidak di Dras-Leona, Gil'ead, atau Farther Dur, tidak juga biarpun ada berbagai bahaya yang mereka temui. Keyakinan Saphira memberinya semangat. Tanpa kepercayaan diri itu ia benar-benar takut.
Kau seharusnya memusatkan perhatian pada pelajaranmu, kata Eragon.
Aku seharusnya memusatkan perhatian padamu.
Jangan ganggu aku! Ia membentak Saphira seperti hewan terluka yang ingin merawat luka-lukanya dalam kesunyian dan kegelapan. Saphira terdiam, menyisakan hubungan mereka hanya secukupnya agar Eragon bisa mendengar pelajaran Glaedr mengenai tanaman fireweed, yang bisa dikunyah Saphira untuk membantu pencerna
annya. Eragon menyingkirkan Lumpur dari rambutnya dengan jari, lalu meludahkan gumpalan darah. "Lidahku tergigit."
Oromis mengangguk seakan hal itu sudah bisa diduga. "Apakah kau membutuhkan penyembuhan""
"Tidak." "Baiklah. Urus pedangmu, lalu mandi dan pergilah ke tunggul di rawa, dengarkan pikiran-pikiran hutan. Dengarkan, dan sesudah kau tidak mendengar apa-apa lagi, temui aku dan ceritakan apa yang kaupelajari."
"Ya, Master." Saat duduk di tunggul, Eragon mendapati pikiran dan emosinya yang bergejolak menghalangi dirinya berkonsentrasi untuk membuka pikiran dan merasakan kehadiran makhluk-makhluk di lubang. Dan ia juga tidak tertarik untuk berbuat begitu.
Sekalipun demikian, kedamaian di sekitarnya perlahan-lahan meredakan kekesalan, kebingungan, dan kemarahannya yang tidak mau hilang. Ia tidak lantas jadi bahagia karenanya, tapi mulai bisa menerima keadaan. Ini bagianku dalam hidup, dan sebaiknya aku membiasakan diri karena keadaanku tidak akan pulih dalam waktu dekat.
Sesudah seperempat jam, kemampuannya mendapatkan ketajaman yang biasa, jadi ia kembali mempelajari koloni semut merah yang ditemukannya kemarin. Ia juga berusaha menyadari segala hal lain yang berlangsung di rawa, sebagaimana yang diajarkan Oromis.
Eragon tak terlalu berhasil. Kalau ia santai dan membiarkan tubuhnya menyerap masukan dari semua kesadaran di dekatnya, ribuan bayangan dan perasaan menghambur ke dalam benakya, bertumpuk-tumpuk dalam kilasan suara dan cahaya, sentuhan dan bau, sakit dan senang yang cepat. Banyaknya informasi yang diterimanya menggetarkan. Karena kebiasaan benaknya memilih salah satu subjek dari pusaran itu menyingkirkan segala yang lain sebelum ia menyadari kealpaannya dan memaksa diri kembali menjadi penerima yang pasif, Siklus itu berulang sendiri setiap beberapa detik.
Meskipun begitu, ia mampu meningkatkan pemahamannya mengenai dunia semut. Ia mendapat petunjuk pertama mengenai jenis kelamin mereka sewaktu ia menebak semut bertubuh besar di jantung liang bawah tanah mereka tengah bertelur, sekitar setiap semenit sekali, yang berarti semut itu betina. Dan waktu ia mengikuti sekelompok semut merah memanjat tangkai rumpun mawar, ia mendapat gambaran yang jelas mengenai musuh yang mereka hadapi: sesuatu melesat dari bawah daun dan membunuh salah satu semut yang terhubung dengan Eragon. Sulit baginya untuk menebak dengan tepat makhluk apa itu, karena semut-semut hanya melihatnya sekilas dan mereka lebih menekankan pada penciuman daripada pandangan. Kalau mereka manusia, ia bisa mengatakan mereka diserang monster menakutkan sebesar naga, yang memiliki rahang sekuat gerbang jeruji di Teirm dan bisa bergerak secepat kilat.
Semut-semut mengelilingi monster itu seperti orang-orang berusaha menangkap kuda yang melarikan diri. Mereka menyerangnya tanpa takut sedikit pun, menggigit kaki monster itu dan mundur sesaat sebelum mereka tertangkap capit besi si monster. Semakin lama semakin banyak semut yang membantu. Mereka bekerja bersama mengalahkan si penyusup, tanpa pernah goyah, bahkan waktu dua dari mereka tertangkap dan dibunuh serta beberapa saudara mereka jatuh dari tangkai mawar ke tanah di bawah.
Pertempuran berlangsung seru, tanpa satu pihak pun bersedia mengalah. Hanya melarikan diri atau menang yang akan menyelamatkan para pejuang dari kematian mengerikan. Eragon mengikuti pertarungan itu dengan napas tertahan, terpesona melihat keberanian semut-semut dan bagaimana mereka terus bertaru sekalipun mengalami luka parah yang, kalau terjadi pada manusia, akan melumpuhkannya. Pertarungan mereka cukup berani untuk dinyanyikan oleh para seniman di seluruh negeri.
Eragon begitu tenggelam dalam pertarungan itu hingga ketika semut-semut akhirnya menang, ia berteriak gembira begitu keras hingga mengusir burung-burung dari sarang mereka di pepohonan.
Karena penasaran, ia mengalihkan perhatian ke tubuhnya sendiri, lalu berjalan ke rumpun mawar untuk melihat sendiri monster yang telah mati itu. Yang dilihatnya hanyalah seekor laba-laba cokelat biasa dengan kaki-kaki menekuk membentuk tinju, hewan itu kini diangkat para semu
t ke sarang mereka untuk dijadikan santapan.
Mengagumkan. Ia hendak pergi, tapi lalu sadar bahwa sekali lagi ia tidak memerhatikan puluhan serangga dan hewan lain di rawa. Ia memejamkan mata dan berpindah-pindah ke benak beberapa puluh makhluk hidup, berusaha sebaik-baiknya mengingat rincian menarik sebanyak mungkin. Tindakan itu merupakan pengganti buruk bagi pengamatan yang panjang, tapi ia lapar dan telah menghabiskan satu jam masa tugasnya.
Sewaktu Eragon menemui Oromis di gubuknya, elf itu bertanya, "Bagaimana""
"Master, aku bisa mendengarkan siang-malam selama dua puluh tahun mendatang tapi tetap tidak akan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di dalam hutan itu."
Oromis mengangkat alis. "Kau sudah mendapat kemajuan." Sesudah Eragon menjabarkan apa yang disaksikannya, Oromis berkata, "Tapi masih belum cukup, sayangnya. Kau harus bekerja lebih keras, Eragon. Aku tahu kau bisa. Kau cerdas dan tekun, dan kau berpotensi menjadi Penunggang yang hebat. Sekalipun sulit, kau harus belajar mengesampingkan masalah-masalahmu dan memusatkan perhatian sepenuhnya pada tugas yang kauhadapi. Temukan kedamaian dalam dirimu dan biarkan tindakanmu mengalir dari sana."
"Aku sudah berusaha sebaik-baiknya."
Tidak, ini bukan yang terbaik darimu. Kita akan melihat yang terbaik darimu pada saatnya nanti." Ia diam sejenak, berpikir. "Mungkin ada gunanya kalau ada murid lain yang bisa menjadi sainganmu. Dengan begitu kita akan melihat usaha terbaikmu... Akan kupikirkan masalah ini."
Dari lemari lacinya, Oromis mengeluarkan sepotong roti yang baru saja dipanggang, seguci mentega hazelnut--yang digunakan elf sebagai ganti mentega yang sebenarnya--dan dua mangkuk yang diisinya dengan sayuran rebus dari dan menggelegak di atas bara di sudut ruangan.
Eragon memandang sayuran itu tanpa berselera; ia muak dengan hidangan elf. Ia merindukan daging atau ikan, makanan apa pun yang membuat ia bisa membenamkan giginya, bukan rangkaian tanaman tanpa henti ini. Master, tanyanya untuk mengalihkan perhatiannya sendiri, "kenapa Anda memaksaku bermeditasi" Apakah agar aku memahami tingkah laku hewan dan serangga, atau ada tujuan yang lebih daripada itu""
"Menurutmu ada motif lain"" Oromis mendesah sewaktu Eragon menggeleng. "Murid baruku selalu begitu, terutama yang manusia; otak adalah otot terakhir yang mereka latih atau gunakan, dan yang paling tidak mereka perhatikan. Tanyakan permainan pedang pada mereka dan mereka bisa menyebutkan setiap serangan dari duel yang sudah sebulan berselang, tapi minta mereka memecahkan masalah atau menyampaikan pernyataan yang jelas dan... well, aku beruntung kalau mendapat lebih dari sekadar tatapan kosong sebagai jawabannya. Kau masih baru dalam dunia gramarye--begitulah nama sihir yang sebenarnya--tapi kau harus mulai mempertimbangkan implikasi penuhnya."
"Kenapa begitu""
"Bayangkan sebentar bahwa kau Galbatorix, dengan segenap sumber dayanya yang luas di tanganmu. Kaum Varden menghancurkan pasukan Urgal-mu dengan bantuan seorang Penunggang Naga pesaing, yang kau tahu dididik--setidaknya sebagian--salah seorang musuhmu yang paling hebat dan berbahaya, Brom. Kau juga sadar musuh-musuhmu berkumpul di Surda, mungkin untuk menyerangmu. Mengingat hal itu, apa cara termudah untuk mengatasi berbagai ancaman ini, selain terbang sendiri ke dalam pertempuran""
Eragon mengaduk-aduk sayuran untuk mendinginkannya sambil memikirkan masalah itu. "Menurutku," katanya perlahan-lahan, "tindakan termudah adalah melatih sepasukan penyihir--mereka bahkan tidak perlu kuat--memaksa mereka bersumpah setia padaku dalam bahasa kuno, lalu memerintahkan mereka menyusup ke Surda untuk menyabot usaha kaum Varden, meracuni sumur-sumur, dan membunuh Nasuada, Raja Orrin, dan tokoh-tokoh penting perlawanan lainnya."
"Dan kenapa Galbatorix belum berbuat begitu""
"Karena hingga sekarang, Surda tidak menarik baginya, dan karena kaum Varden sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di Farther Dur, tempat mereka mampu memeriksa benak setiap pendatang baru untuk mencari penipuan, yang tidak bisa mereka lakukan di Surda karena perbatasan dan populasiny
a begitu besar." Itu kesimpulanku juga," kata Oromis. "Kecuali Galbatorix bersedia meninggalkan sarangnya di Uru baen, bahaya terbesar yang mungkin kauhadapi selama kampanye kaum Varden berasal dari sesama penyihir. Kau sama tahunya seperti diriku betapa sulitnya menjaga diri dari sihir, terutama kalau musuhmu telah bersumpah dalam bahasa kuno untuk membunuhmu, tidak peduli risikonya. Musuh seperti itu tidak akan berusaha menaklukkan pikiranmu terlebih dulu, ia akan mengucapkan mantra untuk memusnahkan dirimu, sekalipun--sesaat sebelum kau hancur--kau masih akan bebas untuk membalas. Tapi kau tidak bisa menjatuhkan pembunuhmu kalau kau tidak tahu siapa atau di mana ia berada."
"Jadi terkadang Anda tidak perlu bersusah payah menguasai pikiran lawan Anda""
"Terkadang, tapi itu risiko yang harus dihindari." Oromis diam sejenak untuk menelan beberapa sendok sayuran. "Sekarang, mengenai inti masalah ini, bagaimana caramu melindungi diri dari musuh tak dikenal yang mampu menerobos perlindungan fisik dan membunuh dengan hanya bergumam""
"Aku tidak melihat caranya, kecuali...." Eragon ragu-ragu, lalu tersenyum. "Kecuali aku menyadari kesadaran semua orang di sekitarku. Dengan begitu aku bisa merasa kalau mereka berniat jahat."
Oromis tampak senang mendengar jawaban itu. "Betul begitu, Eragon-finiarel. Dan itu jawaban untuk pertanyaanmu. Meditasimu mengkondisikan benakmu untuk menemukan dan memafaatkan kelemahan dalam perisai mental musuhmu, tidak peduli sekecil apa pun."
"Tapi apakah pengguna sihir lain tidak akan tahu kalau menyentuh pikiran mereka""
"Aye, mereka akan tahu, tapi sebagian besar orang tidak. Sedangkan untuk penyihir, mereka akan tahu, mereka akan takut, dan mereka akan melindungi benak mereka dari dirimu karena ketakutan mereka, dan kau akan mengenali mereka karenanya."
"Apakah tidak berbahaya, membiarkan kesadaran Anda tidak terjaga" Kalau diserang secara mental, Anda bisa dikalahkan dengan mudah.
"Tidak seberbahaya buta terhadap dunia."
Eragon mengangguk. Ia mengetuk-ngetukkan sendoknya ke mangkuk beberapa lama, tenggelam dalam pikiran, lalu berkata,
"Rasanya salah."
"Oh" Coba jelaskan."
"Bagaimana dengan privasi orang lain" Brom mengajariku untuk tidak pernah memasuki pikiran orang lain kecuali hal itu mutlak diperlukan... Kurasa aku tidak suka memikirkan akan mengusik rahasia orang lain... rahasia yang berhak mereka sembunyikan." Ia memiringkan kepala. "Kenapa Brom tidak memberitahukan hal ini padaku kalau begitu penting" Kenapa ia tidak melatihku sendiri""
"Brom memberitahumu," kata Oromis, "apa yang layak untuk diberitahukan mengingat situasinya. Memasuki kolam pikiran terbukti bisa menimbulkan kecanduan bagi mereka yang memiliki kepribadian jahat atau ingin berkuasa. Keahlian tidak diajarkan pada calon Penunggang--sekalipun kami meminta mereka bermeditasi seperti yang kaulakukan sepanjang latihan mereka--hingga kami yakin mereka sudah cukup dewasa untuk menolak godaannya.
"Tindakan ini memang merupakan pelanggaran privasi, kau akan mengetahui banyak hal yang tidak pernah kauinginkan. Tapi, ini demi kebaikanmu sendiri dan demi kebaikan kaum Varden. Aku bisa mengatakan berdasarkan pengalaman, dan melihat para Penunggang lain yang mendapat pengalaman yang sama, bahwa ini, di atas segala hal lainnya, akan membantumu memahami apa yang mendorong orang-orang. Dan pemahaman menghasilkan empati dan belas kasihan, bahkan bagi pengemis paling pelit di kota paling pelit di Alagaesia."
Mereka membisu sejenak, makan, lalu Oromis bertanya, "Bisakah kaukatakan, alat mental paling penting apa yang bisa dimiliki seseorang""
Pertanyaan itu serius, dan Eragon mempertimbangkannya cukup lama sebelum memberanikan diri berkata, "Kebulatan tekad."
Oromis mencabik roti menjadi dua dengan jemarinya yang cukup panjang. "Aku bisa memahami kenapa kau mendapat kesimpulan itu--kebulatan tekad terbukti berguna bagimu dalam petualanganmu--tapi bukan. Maksudku alat yang paling diperlukan untuk memilih tindakan terbaik dalam situasi apa pun. Kebulatan tekad umum ditemui di antara orang-orang yang bodoh dan lamban, juga di a
ntara mereka yang cerdas dan cemerlang. Jadi, bukan, kebulatan tekad bukanlah yang kita cari."
Kali ini Eragon memperlakukan pertanyaan itu sebagai tekateki, menghitung jumlah katanya, membisikkannya keras-keras untuk mencari tahu apakah ada rimanya, dan memeriksa apakah ada arti tersembunyi. Masalahnya, ia tidak lebih daripada pemecah teka-teki kelas menengah dan tak pernah mendapat tempat yang tinggi dalam kontes teka-teki tahunan di Carvahall. Pikirannya terlalu harafiah untuk memecahkan teka-teki yang belum pernah didengarnya, warisan dari cara Garrow yang praktis dalam membesarkan dirinya.
"Kebijaksanaan," katanya pada akhirnya. "Kebijaksanaan adalah alat paling penting yang bisa dimiliki seseorang."
"Tebakan yang cukup bagus, tapi, sekali lagi, bukan. Jawabannya adalah logika. Atau, dengan kata lain, kemampuan berpendapat secara analitis. Kalau diterapkan dengan benar, logika bisa mengatasi kurangnya kebijakan, yang hanya bisa diperoleh melalui usia dan pengalaman."
Eragon mengerutkan kening. "Ya, tapi bukankah memiliki hati yang baik lebih penting daripada logika" Logika murni bisa menyebabkan Anda mendapat kesimpulan yang secara etika salah sedangkan kalau bermoral dan jujur, Anda akan dipastikan tidak mengambil tindakan yang memalukan."
Senyum setipis pisau cukur muncul di bibir Oromis. "Kau salah memahami permasalahannya. Yang ingin kuketahui adalah alat yang paling berguna yang bisa dimiliki seseorang, terlepas dari apakah orang itu baik atau jahat. Aku setuju memiliki sifat baik sangat penting, tapi aku juga yakin jika kau harus memilih antara memberi penawaran yang mulia pada seseorang atau mengajarinya berpikir jernih, kau akan lebih memilih mengajarinya berpikir jernih. Terlalu banyak masalah di dunia ini yang disebabkan orang-orang yang memiliki tawaran yang mulia tapi dengan benak yang tidak jernih.
"Sejarah memberi kita puluhan contoh orang-orang yang yakin mereka melakukan tindakan yang benar dan melakukan kejahatan mengerikan karenanya. Ingatlah, Eragon, bahwa tidak ada yang menganggap dirinya penjahat, dan hanya sedikit yang mengambil keputusan yang menurut mereka salah. Seseorang mungkin tidak menyukai pilihannya, tapi ia akan mempertahankannya karena, bahkan dalam situasi terburuk, ia percaya itulah pilihan terbaik yang tersedia baginya waktu itu.
"Kalau dianalisis secara terpisah, menjadi orang yang baik bukanlah jaminan kau akan bertindak dengan baik, yang mengembalikan kita pada perlindungan yang kita miliki terhadap para penipu dan kesintingan orang banyak, dan pembimbing kita yang paling pasti menjalani badai kehidupan yang tidak pasti: pikiran yang jelas dan beralasan. Logika tidak akan pernah mengecewakan dirimu, kecuali kau tidak menyadariatau sengaja mengabaikan-konsekuensi tindakanmu.
"Kalau elf selogis itu," kata Eragon, "maka kalian semua pasti menyetujui tindakan yang harus diambil."
"Jarang," kata Oromis. "Seperti setiap ras, kami mengikuti banyak sekali aturan yang bermacam-macam dan, akibatnya kami sering kali mencapai kesimpulan yang bertentangan bahkan dalam situasi yang sama. Kesimpulan, kalau boleh kutambahkan, yang masuk di akal dari sudut pandang semua orang. Dan sekalipun aku menginginkan yang sebaliknya, tidak semua elf melatih pikirannya dengan benar."
"Bagaimana Anda akan mengajarkan logika ini padaku""
Senyum Oromis melebar. "Dengan metode paling tua dan akan efektif: berdebat. Aku akan bertanya padamu, lalu kau akan menjawab dan mempertahankan jawabanmu." Ia menunggu sementara Eragon mengisi kembali mangkuknya dengan sayuran. "Misalnya, kenapa kau melawan Kekaisaran""
Eragon tidak siap menghadapi perubahan topik yang tiba-tiba ini. Tadinya ia mengira Oromis hanya akan membicarakan hal-hal yang selama ini membangkitkan semangatnya. "Seperti yang kukatakan tadi, untuk membantu mereka yang menderita di bawah kekuasaan Galbatorix dan, yang lebih rendah dari itu, untuk pembalasan dendam pribadi."
"Kalau begitu kau bertempur demi alasan kemanusiaan"" "Maksud Anda""
"Bahwa kau bertempur untuk membantu orang-orang yang disakiti Galbatorix dan untuk mencegahnya meny
akiti orang lain." "Tepat sekali," kata Eragon.
"Ah, tapi coba jawab ini, Penunggang mudaku: Tidakkah perangmu dengan Galbatorix akan menimbulkan lebih banyak penderitaan daripada yang akan dicegahnya" Mayoritas orang di Kekaisaran hidup normal dan produktif tanpa tersentuh kesintingan raja mereka. Bagaimana kau bisa membenarkan menjajah tanah mereka, menghancurkan rumah mereka, dan membunuh putra-putri mereka""
Eragon ternganga, tertegun karena Oromis bisa mengajukan pertanyaan seperti itu--Galbatorix sudah jelas jahat--dan tertegun karena tidak ada jawaban mudah yang ditemukannya. Ia tahu dirinya benar, tapi bagaimana membuktikannya" "Apa Anda berpendapat Galbatorix seharusnya tidak diturunkan dari takhta""
"Bukan itu pertanyaannya."
Tapi Anda pasti berpendapat begitu," kata Eragon, berkeras.
Lihat apa yang dilakukannya pada para Penunggang."
Dengan janggut tercelup sayuran, Oromis melanjutkan makan, membiarkan Eragon mendidih dalam kebisuan. Sesudah selesai, Oromis melipat tangan di pangkuan dan bertanya, "Apakah aku membuatmu gusar""
"Ya benar." "Baiklah. Well, kalau begitu, pertimbangkan terus masalah ini hingga kau menemukan jawaban. Kuharap jawaban yang meyakinkan."
MORNING GLORY HITAM Mereka membersihkan meja dan membawa piring-piring keluar, di mana mereka membersihkan piring-piring itu dengan pasir. Oromis menaburkan sisa-sisa roti yang diremukkannya di sekitar rumah agar dirnakan burung-burung, lalu mereka kembali ke dalam.
Oromis mengeluarkan pena dan tinta bagi Eragon, dan mereka melanjutkan pendidikannya mengenai Liduen Kvaedhi, bentuk tulis bahasa kuno, yang jauh lebih anggun daripada huruf manusia atau kurcaci. Eragon tenggelam dalam pelajaran, bahagia karena mendapat tugas yang hanya membuatnya mengerahkan ingatan, bukan tenaga.
Sesudah berjam-jam membungkuk di atas lembaran kertas, Oromis melambai dan berkata, "Cukup. Kita lanjutkan besok." Eragon menyandar ke belakang dan memutar bahu sementara Oromis memilih lima gulungan dari ceruk di dinding. "Dua dari lima dokumen ini ditulis dalam bahasa kuno, tiga sisanya dalam bahasa ibumu. Ini akan membantumu menguasai ke abjad, juga memberimu informasi berharga yang terlalu melelahkan untuk kuutarakan."
"Utarakan""
Dengan ketepatan yang menggetarkan, tangan Oromis menyambar dan mengambil gulungan keenam yang tebal dari dinding, yang ditambahkan ke tumpukan dalam pelukan Eragon. "Ini kamus. Aku ragu kau bisa, tapi cobalah membaca seluruhnya."
Sewaktu elf itu membuka pintu agar ia bisa pergi, berkata, "Master""
"Ya, Eragon""
"Kapan kita mulai belajar sihir""
Oromis menyandarkan sebelah lengannya ke ambang pintu, seakan tidak lagi memiliki keinginan untuk berdiri tegak. Lalu ia mendesah dan berkata, "Kau harus memercayaiku untuk membimbing latihanmu, Eragon. Sekalipun begitu, kurasa bodoh sekali kalau aku menunda lebih lama. Ayo, tinggalkan dokumen-dokumen itu di meja, dan kita jelajahi misteri gramarye."
Di petak berumput di depan gubuk, Oromis berdiri memandang ke balik Tebing Tel'naeir, memunggungi Eragon, kakinya mengangkang selebar bahu, dan kedua tangan tertangkup di punggung bawah. Tanpa berbalik, ia bertanya, "Apakah sihir""
"Manipulasi energi dengan menggunakan bahasa kuno""
Oromis diam sejenak sebelum menjawab. "Secara teknis, kau benar, dan banyak perapal mantra yang tidak pernah memahami lebih dari itu. Tapi penjabaranmu tidak mampu menangkap intisari sihir. Sihir adalah seni berpikir, bukan kekuatan atau bahasa--kau sudah tahu bahwa kosa kata yang terbatas bukanlah halangan untuk menggunakan sihir. Seperti segala hal lain yang harus kaukuasai, sihir mengandalkan intelektual yang berdisiplin.
"Brom melompati rangkaian latihan normal dan mengabaikan nuansa gramarye untuk memastikan kau memiliki keahlian yang kaubutuhkan untuk bertahan hidup. Aku juga harus mengubah rangkaian dan memusatkan perhatian pada keahlian-keahlian yang mungkin akan kauperlukan dalam pertempuran-pertempuran mendatang. Tapi, jika dulu Brom mengajarkan mekanisme sihir yang sederhana padamu, aku akan mengajarkan penerapannya yang lebih rumit, rahasia yang dis
impan bagi Para Penunggang paling bijaksana: bagaimana kau bisa membunuh dengan energi yang tidak lebih besar daripada yang kauperlukan untuk menggerakkan jarimu, metode yang kaugunakan untuk memindahkan benda dari satu tempat ke tempat lain dalam sekejap, mantra yang memungkinkanmu mengidentifikasi racun dalam makanan atau minumanmu, variasi scrying yang memungkinkanmu mendengar juga melihat, bagaimana kau menyerap tenaga dari sekitarmu dan dengan begitu menghemat tenagamu sendiri, dan bagaimana kau bisa memaksimalkan tenagamu dengan segala cara mungkin.
"Teknik-teknik ini begitu ampuh dan berbahaya hingga tida pernah diberitahukan pada Penunggang pemula seperti dirimu tapi situasi menuntut diriku mengungkapkannya dan memercayai kau tidak akan menyalahgunakannya." Sambil mengangkat lengan kanan, tangannya membentuk cakar yang melengkung, Oromis berseru, "Adurna!"
Eragon mengawasi saat bola air terbentuk dari sungai di dekat gubuk dan melayang di udara hingga mengambang di sela jemari Oromis yang terulur.
Sungai gelap dan kecokelatan di bawah cabang-cabang pepohonan di hutan, tapi bola air itu, setelah terlepas dari sungainya, sebening kaca. Bintik-bintik lumut, tanah, dan yang lainnya melayang-layang di dalam bola tersebut.
Sambil tetap menatap kaki langit, Oromis berkata, "Tangkap." Ia melemparkan bola itu ke balik bahunya, ke arah Eragon.
Eragon mencoba menangkap bola itu, tapi begitu bola itu menyentuh kulitnya, airnya kehilangan kohesi dan menciprati dadanya.
"Tangkap dengan sihir," kata Oromis. Sekali lagi, ia berseru, "Adurna!" dan bola air kembali muncul di permukaan sungai dan melompat ke tangannya seperti elang terlatih mematuhi majikannya.
Kali ini Oromis melemparkan bola itu tanpa peringatan. Tapi Eragon telah siap, dan berkata, "Reisa du adurna," sambil mengulurkan tangan ke bola. Bola itu melambat dan berhenti sangat dekat dengan kulit telapak tangannya.
"Pilihan kata yang kikuk," kata Oromis, "tapi tetap berfungsi."
Eragon tersenyum dan berbisik, "Thrysta."
Bola itu berputar balik dan melesat ke bagian bawah kepaat Oromis yang keperakan. Tapi bola itu tidak mendarat di tempat yang diinginkan Eragon, melainkan melesat melewati elf itu berputar, dan terbang kembali ke Eragon dengan kecepatan yang semakin tinggi.
Airnya sekeras dan sepadat marmer mengilap sewaktu mengantam Eragon, berdebuk sewaktu beradu dengan tengkoraknya. Pukulan itu menyebabkan Eragon terkapar di rumput, tempat ia tergeletak tertegun, mengerjap-ngerjapkan mata sementara cahaya-cahaya yang berdenyut bagai berenang melintasi langit.
"Ya," kata Oromis. "Mungkin lebih baik menggunakan letta atau kodthr." Ia akhirnya berbalik memandang Eragon dan mengangkat alis dengan terkejut. "Apa yang kaulakukan" Bangun, Kita tidak boleh berbaring sepanjang hari."
"Ya, Master," kata Eragon sambil mengerang.
Sesudah Eragon berdiri kembali, Oromis memintanya memanipulasi air dengan berbagai cara--membentuknya menjadi simpul-simpul yang rumit, mengubah warna cahaya yang diserap atau dipantulkannya, dan membekukannya dalam urutan yang diberitahukan--tidak satu pun yang sulit baginya.
Latihan terus berlanjut begitu lama hingga minat awal Eragon memudar dan digantikan ketidaksabaran dan kebingungan. Ia berhati-hati agar tidak menyinggung perasaan Oromis, tapi tidak melihat manfaat perbuatan elf itu; rasanya seolah Oromis menghindari mantra apa pun yang memaksanya menggunakan tenaga lebih dari minimal. Aku sudah menunjukkan sejauh mana keahlianku. Kenapa ia berkeras mengulangi pelajaran-pelajaran dasar ini" Ia berkata, "Master, aku sudah tahu semua ini. Bisakah kita melanjutkan""
Otot-otot di leher Oromis mengeras, dan bahunya seperti pahatan granit saking diamnya; bahkan napas elf itu tertahan sebelum ia berkata, "Apakah kau tidak pernah belajar menghormati, Eragon-vodhr" Terserahlah!" Lalu ia menggumamkan empat kata bahasa kuno dengan suara yang begitu dalam hingga Eragon tidak bisa menangkap artinya.
Eragon berteriak saat ia merasa setiap kakinya diselimuti tekanan hingga lutut, meremas dan menjepit tungkainya begitu rupa hingga ia tidak bisa
berjalan. Paha dan tubuh bagian atasnya bisa bebas bergerak, tapi lebih dari itu, rasanya ia seperti disemen.
"Bebaskan dirimu," kata Oromis.
Inilah tantangan yang belum pernah dihadapi Eragon: bagaimana melawan mantra orang lain. Ia bisa membebaskan diri dari ikatan tak kasatmata ini dengan menggunakan salah satu dari dua metode yang berbeda. Yang paling efektif adalah kalau ia tahu bagaimana cara Oromis melumpuhkan dirinya; apakah dengan memengaruhi tubuhnya secara langsung atau menggunakan sumber dari luar--karena dengan begitu ia bisa mengubah arah elemennya atau memaksa membuyarkan kekuatan Oromis. Atau ia bisa menggunakan mantra generik dan samar untuk memblokir apa pun yang dilakukan Orornis. Sisi buruknya adalah taktik ini bisa mengakibatkan adu kekuatan secara langsung di antara mereka. Bagaimanapun, toh itu pasti akan terjadi, pikir Eragon. Ia tidak berharap bisa menang menghadapi si elf.
Dengan menyatukan frasa yang diperlukan, ia berkata, "Losna kalfya iet." Bebaskan kakiku.
Gelombang energi yang meninggalkan Eragon lebih besar daripada yang diduganya; dari agak kelelahan akibat kesakitan dan pengerahan tenaga hari ini, ia merasa seolah habis melewati tanjakan berat sejak pagi. Lalu tekanan menghilang dari kakinya, menyebabkan ia terhuyung saat berusaha memulihkan keseimbangan.
Oromis menggeleng. "Bodoh," katanya, "sangat bodoh. Kalau aku bertekad mempertahankan mantraku, kau akan terbunuh.
Jangan pernah menggunakan mantra yang mutlak." "Mutlak""
"Jangan pernah menyusun mantramu sehingga hanya bisa menghasilkan dua hal: keberhasilan atau kematian. Kalau musuh yang mengikat kakimu dan ia lebih kuat daripada dirimu, kau pasti sudah menghabiskan seluruh energimu untuk menghancurkan mantranya. Kau akan tewas tanpa sempat memba, talkan usahamu begitu kau menyadari usahamu sia-sia."
"Bagaimana cara menghindarinya"" tanya Eragon.
"Lebih aman menyusun mantra sebagai proses yang bisa kaubatalkan diam-diam. Bukannya mengatakan bebaskan tungkaiku, yang merupakan mantra mutlak, kau bisa mengatakan kurangi sihir yang menahan kakiku. Agak lebih panjang, tapi dengan begitu kau bisa memutuskan berapa banyak pengurangan mantra musuhmu dan apakah aman untuk memikirkannya sepenuhnya. Kita akan mencoba lagi."
Tekanan kembali ke kaki Eragon begitu Oromis mengucapkan mantra tanpa suara. Eragon begitu kelelahan, ia ragu apakah bisa melawan. Sekalipun begitu, ia menjangkau kekuatan sihirnya.
Sebelum bahasa kuno meninggalkan bibirnya, ia menyadari adanya sensasi aneh saat beban yang menekan kakinya berkurang dengan mantap. Sensasi itu menggelitik dan terasa seperti seolah ia ditarik dari pusaran lumpur yang dingin dan licin. Ia melirik Oromis dan melihat wajah elf itu mengerut penuh semangat, seakan memegangi benda yang begitu berharga hingga ia tidak sudi kehilangan. Pembuluh darah di dahi Oromis berdenyut-denyut.
Sewaktu kekuatan yang mencengkeram Eragon menghilang, Oromis melompat mundur seperti disengat kumbang dan berdiri dengan pandangan terpaku ke kedua tangannya, dadanya yang kurus naik-turun. Selama mungkin semenit, ia tetap berdiri dalam keadaan seperti itu, lalu menegakkan tubuh dan berjalan ke tepi Tebing Tel'naeir, sosok tunggal dengan latar belakang langit pucat.
Penyesalan dan kesedihan melanda Eragon--emosi-emosi yang sama seperti yang mencengkeramnya sewaktu ia pertama kali melihat kaki Glaedr yang terputus. Ia memaki diri sendiri karena bersikap begitu sombong terhadap Oromis, buta sama sekali terhadap cacat elf itu, dan kurang memercayai penilaian gurunya. Bukan cuma aku yang harus menghadapi luka-luka masa lalu. Eragon tidak benar-benar paham sewaktu Oromis mengatakan hanya sedikit sihir yang tidak dikuasainya. Sekarang ia mengerti gawatnya situasi Oromis dan penderitaan yang pasti ditimbulkannya terhadap elf itu, terutama bagi seseorang dari rasanya, yang dilahirkan dan berkembang dengan sihir.
Eragon mendekati Oromis, berlutut, dan membungkuk dengan gaya para kurcaci, menempelkan keningnya yang memar ke tanah. "Ebrithil, aku minta maaf."
Elf itu tidak menunjukkan tanda-tanda mendengar.
Mereka ber dua tetap berada di posisi masing-masing selaentara matahari turun di depan mereka, burung-burung melantunkan lagu sore, dan udara berubah jadi sejuk dan lembap. Dari utara terdengar debuman pelan saat sayap-sayap Saphira dan Glaedr mengepak dalam perjalanan pulang hari ini.
Dengan suara pelan, jauh, Oromis berkata, "Kita akan mulai lagi besok, dengan subjek ini dan yang lain." Melihat profilnya, Eragon bisa melihat Oromis kembali menunjukkan eks tenangnya yang biasa. "Apakah kau setuju""
"Ya, Master," kata Eragon, bersyukur atas pertanyaan itu.
"Kupikir paling baik kalau, mulai sekarang, kau berusaha berbicara hanya dalam bahasa kuno. Kita hanya memiliki sedikit waktu, dan ini cara belajar yang paling cepat bagimu."
"Bahkan sewaktu aku berbicara dengan Saphira""
Untuk Orang Pemberani 3 Pedang Siluman Darah 25 Kitab Pembawa Bencana Golok Halilintar 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama